30

Click here to load reader

refleksi kasus puskesmas

  • Upload
    hmhida

  • View
    40

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

puskesmas

Citation preview

II. REFLEKSI A. Deskripsi PengalamanPada refleksi kasus yang pertama pada minggu pertama ini saya mengambil kasus down syndrome dan gizi buruk marasmus, saya mengambil kasus ini karena menurut saya kasus ini menarik, untuk di teliti lebih lanjut sebagai bahan pembelajaran. Pada hari rabu tanggal 22 januari 2014, saya mendapat tugas untuk mengikuti kegiatan RSBM. Kami bertugas dipuskesmas cangkol yang pada hari rabu minggu pertama mengadakan kegiatan RSBM anak di puskesmas kesunean. Pertama dalam kegiatan RSBM kami melakukan kunjungan kerumah pasien yang akan dirujuk kepuskesmas kesunean. Terdapat seorang anak berusia 12 bulan (1 tahun) dengan keluhan sesak nafas, dan pneumonia, berlokasi di RW 05 cangkol utara. Sebelum nya pasien mengalami keluhan pada umur 4 sampai 5 bulan yaitu demam setiap hari mencapai suhu 39,4oC, batuk pilek dan akhir nya di rawat di rumah sakit Gunung Jati selama 1 minggu dengan diagnosis pneumonia. Selanjutnya pada usia 10 bulan pasien kembali dirawat di rumah sakit Pelabuhan selama 1 minggu dengan diagnosis pneumonia dan, karena beberapa faktor rumah sakit pelabuhan merujuk pasien ke rumah sakit Gunung Jati dan anak tersebut kembali dirawat selama 2 minggu dengan diagnosis pneumonia. Kemudian pasien dipulangkan, dan setelah itu pasien mengikuti kegiatan posyandu di puskesmas cangokol, pasien mengalami gizi buruk dengan batas dibawah garis merah. Selanjutnya pasien dirujuk oleh puskesmas cangkol dalam kegiatan RSBM untuk di periksa ke dokter spesialis anak di puskesmas kesunean. Setelah dirujuk pasien di periksa dokter spesialis anak dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 5.900 kg, tinggi badan 70,8 cm, kepala-leher terdapat rambut jarang, kemerahan, dan tipis, mata mongol, hidung normal, mulut normal, leher tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, pada paru inspeksi perubahan bentuk dada atau tulang iga, retraksi sela iga, auskultasi terdapat suara ronki basah kasar, whezing, ekstremitas tidak ada edema. Pasien di diagnosa mengalami gizi bukuk tipe marasmus karena tidak ada edema, bronkopneumonia. Dokter memberi terapi cefadroksil, ambroksol, vitamin seltifor. Selanjutnya pasien melakukan kunjungan lanjutan di puskesmas kesunean untuk memperbaiki status gizi pasien dilakukan penimbangan ulang di dapat berat badan 5.800 kg, pasien menglami penurunan berat badan, frekuensi nafas 32 kali/menit, hate rate 70 kali/menit kemudian diobservasi selama 30 menit di dapatkan hate rate 80 kali/menit, frekuensi nafas 40 kali/menit. Pasien diberi makanan dengan gizi yang cukup, yaitu di beri susu dan biskuit promina. Pasien di anjurkan untuk kunjungan setiap hari selama satu minggu ke puskesmas kesunean untuk di beri asupan makanan yang mencakup kebutuhan gizi agar status gizi nya membaik. Rekam Medik PasienA. Anamnesis 1) Identitas: Nama Pasien : Rahma Nama Ibu : Ny. Ela N.Umur : 12 bulan Umur : 36 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Ibu Rumah TanggaAlamat : Cangkol Utara Agama : Islam Nama Ayah : Tn. SuryadiUmur : 37 tahun Pekerjaan : wirausaha (pedagang)Agama : Islam

2) Keluhan Utama:Pasien datang dengan berat badan tidak naik selama 2 bulan dibawah garis merah (BGM), batuk, pilek dan panas. Kejang (-). Pasien sering rewel. Sesak napas (+). Pasien masih bisa minum dan makan namun nafsu makan berkurang. Riwayat pengobatan: sudah pernah diobati oleh puskesmas (Ambroxol dan Paracetamol).3) Riwayat Penyakit Dahulu: Umur 4-5 bulan: demam setiap hari mencapai suhu 39,4C, batuk pilek (+). Dirawat di RS Gunung Jati selama 1 minggu dengan diagnosis bronkopneumonia. Umur 10 bulan: dirawat di RS Pelabuhan selama 1 minggu dan di RS Gunung Jati selama 2 minggu dengan diagnosis pneumonia dan kelainan congenital (ASD, VSD). Umur 12 bulan: berat badan pasien BGM (Bawah Garis Merah), rujukan puskesmas Cangkol ke Puskesmas Kesunean dalam RSBM. Pemeriksaan dokter spesialis anak dengan diagnosis gizi buruk marasmus.4) Riwayat Penyakit Keluarga: Anak kedua mengalami retardasi mental Kakak kandung ayah pasien mengalami retardasi mental

5) Riwayat Sosial: Memelihara binatang peliharaan burung dan ayam Kondisi rumah yang padat penduduk6) Riwayat Kehamilan Ibu: G3P3A1, anak pertama keguguran, anak kedua lahir normal dengan retardasi mental, anak ketiga lahir normal, anak keempat lahir normal dengan retardasi mental, sekarang ibu sedang hamil 5 bulan.7) Riwayat Persalinan: Lahir normal, cukup bulan (38 minggu), ditolong oleh bidan, keadaan ibu sehat, BB lahir 2700 gram, PB 48 cm, menangis spontan. Suntikan vitamin K1 Salep mata antibiotik profilaksis.8) Riwayat Pemberian ASI: Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam 1 jam pertama kelahiran bayi ASI selama 6 bulan9) Riwayat Makanan Tambahan: ASI eksklusif 6 bulan 6-11 bulan diberi pisang, bubur saring, ASI dan susu formula 11-12 bulan diberi susu formula, bubur, pisang dan biscuit. Makan pagi: bubur setengah mangkok kecil, wortel, tahu, waluh, dan 1 botol susu formula Makan siang: nestle 1 sachet, 1 pisang besar, 1 botol susu formula. Makan sore: biscuit marrie 5 keping, 1 botol susu formula Makan malam: 2 botol susu formula10) Riwayat Tumbuh Kembang Anak: Belum tumbuh gigi Belum bisa merangkak

B. Pemeriksaan Fisik1) Vital sign : Heart rate: 92 x/menit Suhu : 36,2C Frekuensi nafas: 26x/menit 2) Keadaan umum dan kesadaran: pasien tidak merintih, kesadaran penuh3) Antropometri: BB: 6 kg lingkar kepala: 40 cm PB: 67 cm lingkar lengan atas : 10 cm Panjang lengan: 23 cm lingkar dada : 44 cm4) Kepala dan Leher: Ubun-ubun kepala: DBN (Dalam batas normal) Rambut distribusi jarang, kemerahan dan tipis Jarak antara mata ada kelainan Hidung: DBN (dalam batas normal), tidak ada cuping hidung Mulut : DBN (dalam batas normal) Gigi belum tumbuh Leher : kelemahan otot-otot leher, tidak ada pembesaran KGB5) Thorax: Inspeksi: kelainan bentuk dada, retraksi sela iga Auskultasi: ronkhi (+), wheezing (+)6) Abdomen Inspeksi: tampak cekung, tidak terlihat pembesaran organ Auskultasi: peristaltic (+), 8 x/menit7) Ekstremitas Kelemahan ekstremitas atau trofi otot melemah Reflex menggenggam (+) Tidak ada edema Jari-jari ekstremitas normalCara penghitungan deteksi gizi buruk pada kegiatan posyandu D/S : balita yang datang / jumlah balita di seluruh RW tersebut N/S : naik timbangan BB / jumlah balita di seluruh RW tersebut N/D : naik timbangan BB / balita yang datang BGM/D : bawah garis merah / balita yang datang Tujuan dari penghitungan ini adalah jika ada balita yang gizi buruk, maka bisa terdeteksi da nada tindakan pemberian makanan tambahan.

\Tabel Pemantauan Tumbuh Kembang Bayi Usia 12 bulanPertanyaanYaTidak

1. Jika anda bersembunyi dibelakang sesuatu dipojok, kemudian muncul dan menghilang secara berulang-ulang dihadapan anak, apakah ia mencari anda dan mengharapkan andda muncul kembali?

2. Letakkan pensil di telapak tangan bayi, coba ambil pensil tersebut dengan perlahan-lahan, sulitkah anda mendapatkan pensil itu kembali?

3. Apakah anak dapat berdiri selama 30 detik atau lebih dengan berpegangan pada kursi atau meja?

4. Apakah anak dapat mengatakan dua suku kata yang sama, misal nya ma-ma, da-da atau pa-pa. Jawab YA bila ia mengeluarkan salah satu suara tadi?

5. Apakah anak dapat mengangkat badan nya ke posisi berdiri tanpa bantuan anda?

6. Apakah anak dapat membedakan anda dengan orang yang belum ia kenal? Ia akan menunjukan sikap malu-malu atau ragu-ragu pada saat permulaan bertemu dengan orang yang belum dikenal nya?

7. Apakah anak dapat mengambil benda kecil seperti kacang atau kismis, dengan meremas di antara ibu jari dan jarinya seperti pada gambar?

8. Apakah anak dapat duduk sendri tanpa bantuan?

9. Sebutka 2-3 kata yang dapat ditiru oleh anak (tidak perlu kata-kata yang lengkap). Apakah ia mencoba meniru menyebutkan kata-kata tadi?

10. Apakah anak dapat mempertemukan dua kubus kecil yang ia pegang? Tanpa bantuan?

Dari penjelasan mengenai riwayat anamnesis dan pemeriksaan fsisik tersebut, maka saya mencantumkan materi mengenai diagnosis yang saya dapatkanTinjauan Pustaka Marasmus1. Definisi Gizi BurukGizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan kedua-duanya. Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan ditampakkan oleh membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan zat gizi, atau dengan ungkapan lain status gizinya berada di bawah standar rata-rata. Zat gizi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta). Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh dibawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut. 2. Klasifikasi Gizi BurukTerdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.a) MarasmusMarasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000) :a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulitb. Wajah seperti orang tuac. Iga gambang dan perut cekungd. Otot paha mengendor (baggy pant)e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

b) KwashiorkorPenampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam, wajah membulat dan sembab, pandangan mata anak sayu, pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas.

c) Marasmik-KwashiorkorGambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.3. Patofisiologi gizi burukPatofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya bisa membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin.Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di hepar.Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya terjadi. Pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik. Sedangkan menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut :a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital.c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreasd. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat

Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukupf. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose intoleranceg. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab maramus yang lain disingkirkanh. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang kurang akan menimbulkan marasmusi. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.

4. Dampak Gizi BurukGizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi. Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat catch up dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak (Nency, 2005).Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat catch up dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya. Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak. Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak.

5. Faktor Penyebab Gizi Buruk Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk adalah sebagai berikut : 1. Penyebab Langsung. Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit kanker. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang atau demam akhirnya menderita kurang gizi. 2. Penyebab tidak langsung, ketersediaan Pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh karena itu untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik maupun gizinya (Dinkes SU, 2006).

Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang salah. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan Kekurangan gizi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan zat-zat gizi ensensial, yang bisa disebabkan oleh: asupan yang kurang karena makanan yang jelek atau penyerapan yang buruk dari usus (malabsorbsi), penggunaan berlebihan dari zat-zat gizi oleh tubuh, dan kehilangan zat-zat gizi yang abnormal melalui diare, pendarahan, gagal ginjal atau keringat yang berlebihan. (Nurcahyo, 2008).

6. Tata Laksana Utama Balita Gizi Buruk di Rumah Sakit Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor. a) Tahap Penyesuaian Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada, berikan ASI. Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari. b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari. c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3 jam. Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat pipa (per-sonde).b) Tahap Penyembuhan Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai 150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari. c) Tahap Lanjutan Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya. Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah : a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoglikemia. b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia. c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat hipomagnesimia.

d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau 100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI. e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi (Fe) dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP berat.

7. Komplikasi Penyakit Pada penderita gangguan gizi sering terjadi gangguan asupan vitamin dan mineral. Karena begitu banyaknya asupan jenis vitamin dan mineral yang terganggu dan begitu luasnya fungsi dan organ tubuh yang terganggu maka jenis gangguannya sangat banyak. Pengaruh KEP bisa terjadi pada semua organ sistem tubuh. Beberapa organ tubuh yang sering terganggu adalah saluran cerna, otot dan tulang, hati, pancreas, ginjal, jantung, dan gangguan hormonal. Anemia gizi adalah kurangnya kadar Hemoglobin pada anak yang disebabkan karena kurangnya asupan zat Besi (Fe) atau asam Folat. Gejala yang bisa terjadi adalah anak tampak pucat, sering sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya. Pengaruh sistem hormonal yang terjadi adalah gangguan hormon kortisol, insulin, Growht hormon (hormon pertumbuhan) Thyroid Stimulating Hormon meninggi tetapi fungsi tiroid menurun. Hormon-hormon tersebut berperanan dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan tersering mengakibatkan kematian. Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita KEP, khususnya pada KEP berat. Beberapa penelitian menunjukkan pada KEP berat resiko kematian cukup besar, adalah sekitar 55%. Kematian ini seringkali terjadi karena penyakit infeksi (seperti Tuberculosis, radang paru, infeksi saluran cerna) atau karena gangguan jantung mendadak. Infeksi berat sering terjadi karena pada KEP sering mengalami gangguan mekanisme pertahanan tubuh. Sehingga mudah terjadi infeksi atau bila terkena infeksi beresiko terjadi komplikasi yang lebih berat hingga mengancam jiwa.

8. Perubahan Berat Badan Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting, dipakai pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur. Berat badan merupakan hasil peningkatan/penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lainnya. Berat badan dipakai sebagai indikator terbaik pada saat ini untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap perubahan sedikit saja, pengukuran objektif dan dapat diulangi, dapat digunakan timbangan apa saja yang relatif murah, mudah dan tidak memerlukan banyak waktu. Indikator berat badan dimanfaatkan dalam klinik untuk :1. Bahan informasi untuk menilai keadaan gizi baik yang akut, maupun kronis, tumbuh kembang dan kesehatan 2. Memonitor keadaan kesehatan, misalnya pada pengobatan penyakit 3. Dasar perhitungan dosis obat dan makanan yang perlu diberikan. 9. Penilaian status gizi secara Antropometri Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan penilaian secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung dibagi menjadi empat penilaian adalah antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung terbagi atas tiga adalah survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. a) Penilaian secara langsung 1) Antropometri Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2002). Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). a) Indeks berat badan menurut umur (BB/U) Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan gizi terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang. Berat badan yang bersifat labil, menyebabkan indeks ini lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Current Nutritional Status) b) Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) Indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status ekonomi (Beaton dan Bengoa (1973) dalam. c) Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu.

B. Analisis KasusTujuan dari pengangkatan kasus ini ialah agar saya lebih memahami dan dapat menerapkan tatalaksana tentang materi kesehatan anak diantaranya mengenai sindrom down sehingga materi yang ada di referensi sesuaikahdengan temuan klinis yang didapatkan. Selain itu tujuannya adalah saya ingin berdiskusi bersama teman-teman mengenai kasus yang saya dapatkan. Saya melakukan penatalaksanaan kasus tersebut sesuai arahan dari dokter spesialis anak, dikarenakan dari temuan klinis pasien anak tersebut sangat terlihat bahwa anak tersebut mengalami penyakit yang berat sehingga terapi yang diberikan pun harus simultan diantaranya selain terapi farmakologis juga harus diberikan terapi makanan tambahan yang bergizi untuk menunjang keadaan gizi pada pasien tersebut.Tindakan yang saya lakukan terhadap pasien tersebut tentunya akan mengakibatkan konsekuensi bagi diri sendiri, pasien dan keluarga, serta orang yang bekerja bersama saya. Untuk konsekuensi bagi diri sendiri adalah saya merasa banyak belajar tentang tindakan pada pasien dengan komplikasi berat dikarenakan kita tahu bahwa pasien dengan kelainan kongenital tentunya prognosisnya sangat buruk sehingga tindakan yang diberikan pun harus adekuat. Untuk konsekuensi pasien dan keluarga dari tindakan yang saya berika ialah pasien tentunya sangat dipertaruhkan apakah dengan tindakan ini pasien bisa lebih baik keadaan klinisnya atau tidak sedangkan untuk kelurga ialah keluarga harus lebih kooperatif dengan petugas kesehatan yang memberikan terapi tersebut dan keluarga juga harus memberikan perhatian yang lebih kepada pasien tersebut agar bisa menunjang keberhasilan dalam terapi tersebut. Konsekuensi yang didapatkan untuk petugas kesehatan atau orang yang bekerja bersama saya ialah mereka harus lebih intensif memberikan intervensi terapi pada pasien tersebut khususnya terapi pemberian makanan tambahan karena memang keluarga pasien tersebut merupakan keluarga yang kurang mampu sehingga tenaga kesehatan ini harus selalu memberikan edukasi terhadap keluarga pasien.Ketika pertama kali saya menemukan pasien anak ini, saya merasa sangat prihatin karena kondisi pasien anak ini sangat buruk. Selain itu, kondisi ekonomi keluarga yang memang kurang mampu. Saya melakukan kunjungan rumah pada kasus ini, saya lihat ternyata kakak dari pasien tersebut juga mengalami kelainan yaitu retardasi mental. Setelah kami melakukan anamnesis dengan ibu pasien, saya rasa orangtua pasien ini kurang memahami tentang pentingnya kesehatan, memang yang saya ketahui dari segi pendidikan orangtua dari pasien tersebut hanya lulusan SMP.Saat melakukan anamnesis pada waktu itu, saya melihat perasaan orangtua pasien ini sangat sedih. Ibu pasien ini menceritakan tentang kronologis penyakit pasien ini, ibu pasien ini menganggap bahwa penyakit yang didapatkan pada anaknya ini merupakan cobaan bagi dirinya. Beliau tampak sabar menjalaninya, walaupun memang sempat tersirat bahwa kenapa cobaan yang dia hadapi ini begitu berat. Ketika melakukan kunjungan rumah dan anamnesis tersebut saya mencoba untuk lebih berempati terhadap keluarga pasien ini, diantaranya saya mencoba memberikan perhatian lebih terhadap anak tersebut saat melakukan pemeriksaan dan mendengarkan keluhan yang dilontarkan oleh ibu pasien sehingga tujuan yang saya ingin capai ini agar keluarga pasien ini lebih kooperatif dalam menceritakan keluhannya dan saya bisa mendapatkan data yang lebih lengkap untuk kasus ini.Dalam menentukan kasus dan tindakan ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan, diantaranya faktor internal dan eksternal. Untuk faktor internal adalah apa yang saya ketahui mengenai penyakit pasien ini kemudian di konversikan dengan referensi yang saya pelajari sehingga saya mencoba mencocokkan ilmu yang saya dapatkan dengan temuan klinis yang saya lihat. Selain itu saya juga melihat dari keadaan keluarga pasien yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga mungkin dengan kesulitan ekonomi tersebut gizi yang didapatkan oleh bayi tersebut sangat kurang. Sedangkan untuk faktor eksternalnya adalah saya melihat dari riwayat penyakit pasien bahwa pasien anak ini sebelumnya sudah pernah dirawat di rumah sakit, ketika itu pasien didiagnosis menderita bronkopneumonia berat dengan komplikasi kebocoran pada jantung atau yang kita kenal dengan penyakit atrial septum defek. Selain itu saya juga melakukan kegiatan penapisan pasien dalam pelaksanaan kegiatan RSBM oleh dokter spesialis anak, saat itu dokter mendiagnosis dengan penyakit gizi buruk marasmus. Dari faktor internal dan eksternal inilah saya mempunyai landasan pemikiran untuk mengambil keputusan saya ini dalam menentukan kasus dan tindakannya. Dari keputusan mengenai kasus dan tindakan tersebut, saya mempunyai alternatif untuk memperbaiki prognosa bayi ini, diantaranya ialah memberikan terapi farmakologis, melakukan intervensi pemberian makanan tambahan selama satu minggu di puskesmas, kemudian pasien diusahakan untuk control setiap hari agar petugas kesehatan mengetahui keadaan pasien apakah ada peningkatan kondisi pasien lebih baik atau buruk dengan melakukan pemeriksaan status gizi, dan memantau irama denyut jantung serta frekuensi nafas. Selain itu alternatif lain ialah menganjurkan keluarga pasien untuk merawat bayi tersebut di rumah sakit agar kesehatan bayi tersebut bisa terpantau secara maksimal. Tentunya ada konsekuensi yang didapatkan dari alternatif ini diantarannya adalah pasien membutuhkan biaya untuk dirawat di rumah sakit yang memang keadaan keluarga pasien kurang mampu walaupun memang keluarga pasien sudah tercantum dalam pelayanan jamkesmas. Selain itu konsekuensi lainnya ialah petugas kesehatan harus lebih kooperatif dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Konsekuensi terburuknya ialah apabila terapi atau tindakan yang diberikan tidak maksimal maka akan mengakibatkan kondisi pasien bisa lebih buruk.

C. Kesimpulan Dari refleksi yang saya jelaskan, saya merasa bahwa kasus ini perlu kita perhatikan lebih dalam karena dengan kita mengetahui kasus ini kita bisa memberikan tindakan yang sesuai untuk kebaikan pasien. Selain itu, setelah saya mempelajari kasus ini, saya lebih mengetahui tentang kondisi pasien dengan kelainan congenital ini. Kasus ini tentunya menjadikan pelajaran yang berharga bagi saya, bukan dari segi ilmu saja melainkan juga dari segi moral karena saya mempelajari pengalaman hidup keluarga pasien dalam menghadapi cobaan ini, kemudian saya mempelajari cara komunikasi yang baik agar keluarga pasien mau untuk dilakukan intervensi oleh kita.Selain itu dari kasus ini juga saya mendapatkan pelajarn bahwa dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyakarat selain dari pembekalan ilmu yang saya miliki, saya juga harus memperhatikan aspek moralitas terhadap pasien dikarenakan keluarga pasien yang kurang mampu dari segi ekonomi. Kemudian saya juga harus lebih menanamkan sifat belajar sepanjang hayat atau mawas diri demi kemajuan ilmu dan keterampilan yang saya miliki.

DAFTAR PUSTAKA

Paryanto, Endy. 2007. Protein-Energy Deficiency.in: Buku Kumpulan Kuliah Blok 16 Endokrinologi, Metabolisme dan Nutrisi FKUGM. Editor: Health Study Club. Yogyakarta.Tim Field Lab. 2008. Keterampilan Pemantauan Status Gizi Balita. Surakarta: UNSDwyer, Johanna. 2007. Nutrition. In: Harisons Principles of Inteernal Medicine vol II ed 14. Editors: Braunwald Isselbacher Fauci.Shwartz, William M.2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : EGC.Potter & Perry , 2006. Fundamental Keperawatan Volume 2. Jakarta : EGC.Williams. 2005. Basic Nutrition & Diet Therapy. St. Louis : Westline Indrustrial Indrustrial Drive.