Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN
BURUH PABRIK: PENYEBAB DAN AKIBAT
(Studi Kasus Buruh Pabrik di Kota Probolinggo)
Oleh:
Fadhlillah Rahmawati
Dosen Pembimbing:
Grace Widijoko, MSA.,Ak.
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi dengan adanya survei yang diselenggarakan oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai tingkat literasi keuangan di Indonesia, dimana
survei tersebut menunjukkan bahwa persentase masyarakat dengan literasi keuangan
baik hanya sebesar 21,84 persen, lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN lainnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan memberikan gambaran
mengenai penyebab dari rendahnya tingkat literasi keuangan, khususnya di kalangan
buruh pabrik serta bagaimana pengaruhnya terhadap penggunaan produk-produk
keuangan. Studi kasus digunakan sebagai metode untuk mencari penyebab-penyebab
tersebut serta akibatnya tanpa melakukan generalisasi atas temuan yang diperoleh
menggunakan analisis data model Miles dan Huberman. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat empat penyebab yang mengakibatkan rendahnya literasi
keuangan di kalangan buruh pabrik kota Probolinggo, yaitu tidak ada waktu untuk
mencari informasi, produk lembaga keuangan sulit untuk dipahami, tidak memiliki
kepercayaan diri dalam menggunakan salah satu atau beberapa produk lembaga
keuangan, dan pendapatan perbulan dirasa terlalu kecil. Hal tersebut berdampak pada
penggunaan produk lembaga keuangan seperti tabungan, pinjaman, investasi dan
asuransi. Oleh karena itu perlu adanya kontribusi dari masing-masing pihak yang terkait
dengan masalah tingkat literasi keuangan, mulai masyarakat, pemerintah, dan juga
lembaga-lembaga keuangan dalam upaya meningkatkan tingkat literasi keuangan,
khususnya di kalangan buruh pabrik.
Kata kunci: literasi keuangan, buruh pabrik, penyebab rendahnya literasi
keuangan, akibat dari rendahnya literasi keuangan
1. Pendahuluan
Pada tahun 1960 Theodore, W. Schultz pertama kali memperkenalkan konsep
modal manusia atau human capital dalam sebuah pidatonya yang berjudul Investment in
Human Capital. Konsep ini menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk
modal sebagaimana modal-modal lainnya, seperti uang, bangunan, mesin, teknologi dan
sebagainya. Human capital sendiri terdiri atas enam komponen, yaitu modal intelektual,
emosional, sosial, ketabahan, moral, dan kesehatan (Ancok, 2002). Semua komponen
ini bisa ditingkatkan potensinya melalui suatu investasi sumber daya manusia, seperti
pendidikan formal maupun informal, pengalaman kerja, menjaga kesehatan dan gizi
yang terkandung dalam makanan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, human capital
berbeda dengan bentuk modal lainnya yang hanya diperlakukan sebagai alat tanpa bisa
melakukan investasi atau pengembangan potensi sendiri (Fattah, 2004).
Menurut Huston (2010) Dalam jurnal yang diterbitkan oleh The Journal of
Consumer Affairs, salah satu bentuk dari human capital adalah literasi keuangan.
Menurut Vitt et al (2000) dalam Huston (2010), literasi keuangan diartikan sebagai
kemampuan untuk membaca, menganalisis, mengatur, dan mengkomunikasikan kondisi
keuangan yang akan mempengaruhi kesejahteraan individu secara materi. Literasi
finansial terdiri atas empat komponen yang berbeda yang digunakan sebagai ukuran,
yaitu dasar tentang uang, pinjaman, serta pengamanan aset melalui asuransi.
Berdasarkan komponen-komponen literasi keuangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
literasi keuangan sangat erat kaitannya dengan produk keuangan yang disediakan oleh
lembaga jasa keuangan, baik produk simpan pinjam, investasi, maupun asuransi.
Seseorang dikatakan memiliki tingkat literasi keuangan yang tinggi apabila ia
mempunyai pengetahuan, keterampilan dan keyakinan yang cukup atas produk-produk
tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya, individu yang memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang luas atas produk keuangan, khususnya di Indonesia adalah yang
berasal dari kalangan atas.
Menurut Muliaman Hadad selaku Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
sebagaimana yang dilansir oleh tribunnews.com hal tersebut terjadi dikarenakan
lembaga jasa keuangan, khususnya perbankan sampai saat ini hanya memberikan
layanan edukasi finansial kepada nasabah yang memiliki penghasilan tinggi. Perbankan
mengasumsikan bahwa hanya nasabah dengan jumlah kepemilikan dana yang besar
yang mampu membeli atau mengupayakan produk-produk mereka, terutama produk
investasi dan asuransi. Sementara itu, nasabah dari kalangan menengah ke bawah yang
rata-rata berpenghasilan sedang, kurang mendapatkan edukasi finansial atau bahkan
tidak mendapatkan sama sekali. Padahal, sebagian besar penduduk Indonesia masih
berasal dari kalangan menengah ke bawah. Sebuah studi yang dilakukan oleh Bank
Dunia seperti yang dilansir oleh nasional.kompas.com menyebutkan bahwa jumlah
penduduk kalangan menengah di Indonesia pada tahun 2015 sebanyak 237 juta jiwa
atau 56,5 persen dari total penduduk yang ada. Dengan melihat jumlah penduduk
kalangan menengah yang melebihi setengah dari populasi penduduk di Indonesia dan
fakta bahwa mereka kurang atau tidak mendapatkan edukasi finansial yang cukup, maka
bisa dikatakan bahwa rata-rata tingkat literasi keuangan penduduk Indonesia masih
rendah. Hal ini diperkuat dengan adanya survei yang dilakukan oleh OJK pada tahun
2013 dalam situs sinarharapan.com yang menjelaskan mengenai literasi keuangan
penduduk Indonesia. Berdasarkan survei tersebut, persentase penduduk Indonesia yang
memiliki tingkat literasi baik (well literated) hanya sebesar 21,84 persen. Persentase ini
merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Sementara itu, penduduk kalangan menengah ke bawah memiliki berbagai jenis
pekerjaan. Salah satunya adalah buruh pabrik. Jumlah buruh pabrik di Indonesia sendiri
selalu mengalami peningkatan. Berikut ini adalah data yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS) mengenai jumlah buruh di Indonesia dari tahun ke tahun sampai survei
terakhir yang dilakukan pada tahun 2015.
Jumlah Buruh/Karyawa/Pegawai Tahun 2011-2014
Tahun Jumlah Buruh/Karyawan/Pegawai
2011 36.912.535
2012 40.868.630
2013 41.123.849
2014 42.382.148
2015 46.617.534
Sumber: Badan Pusat Statistik
Data di atas menunjukkan jumlah penduduk Indonesia yang bekerja sebagai
buruh dan jumlah tersebut mengalami peningkatan setiap tahun. Terlepas dari
peningkatan jumlah penduduk, pekerjaan buruh sampai saat ini masih diminati
masyarakat terutama oleh mereka dengan tingkat pendidikan yang tidak sampai jenjang
perguruan tinggi. Masyarakat secara umum memandang pekerjaan sebagai buruh pabrik
tidak memiliki risiko dan tanggung jawab yang besar. Di samping itu, masyarakat
menganggap bahwa upah buruh sudah terjamin dengan baik, mengingat upah yang
mereka dapatkan telah ditetapkan batas minimalnya oleh pemerintah melalui UMK
(Upah Minimum Kota) yang jumlahnya ditentukan berdasarkan KHL (Komponen
Hidup Layak). KHL sendiri diajukan oleh para buruh melalui perantara serikat buruh,
meskipun tidak semuanya bisa dipenuhi oleh pemerintah selaku regulator. Intinya,
menurut masyarakat umum, apa yang telah didapatkan oleh buruh sudah lebih dari
cukup.
Meskipun upah buruh sudah terjamin melalui UMK, akan tetapi jumlahnya
masih dianggap terlalu kecil oleh para buruh. Untuk di Provinsi Jawa Timur misalnya,
seperti yang dilansir oleh regional.kompas.com, Gubernur Sukarwo menetapkan UMK
Surabaya pada tahun 2016 sebesar Rp 3.045.000, diikuti Kabupaten Gresik sebesar Rp
3.042.500, Kabupaten Sidoarjo Rp 3.040.000, Kabupaten Pasuruan Rp 3.037.500, serta
Kabupaten Mojokerto Rp 3.030.000. Wilayah-wilayah ini memang memiliki UMK
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lain di Provinsi Jawa Timur.
Perbedaan yang terjadi dikarenakan wilayah-wilayah tersebut berada di area Ring I atau
wilayah padat industri, tapi biaya hidup di kota-kota tersebut juga terhitung besar.
Berbeda halnya dengan Kota Pacitan, Ponorogo, Probolinggo, dan wilayah lain yang
bukan merupakan wilayah padat industri. Meskipun UMK yang ditetapkan untuk daerah
di luar Ring I tersebut kecil (misalnya untuk kota Probolinggo sebesar Rp 1.603.000),
akan tetapi biaya hidupnya juga tidak besar. Oleh karena itu, nominal yang ditetapkan di
setiap wilayah tidak bisa menjadi tolok ukur besar kecilnya upah buruh, namun juga
harus dibandigkan dengan tingkat biaya hidupnya.
Upah yang rendah tentu akan berdampak pada kemampuan finansial para buruh,
baik dalam kemampuan keuangan (khususnya dalam pemenuhan kebutuhan hidup)
maupun literasi keuangan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Vyvyan et al (2014)
dalam jurnal yang berjudul Factors that Influence Financial Capability and
Effectiveness: Exploring Financial Counsellors’ Perspectives. Dalam jurnal itu
disebutkan bahwa pendapatan bisa mempengaruhi literasi dan kemampuan keuangan
seseorang. Semakin tinggi pendapatan yang dimiliki, maka akan semakin baik pula
literasi dan kemampuan keuangan yang dimiliki, begitupun sebaliknya. Selain itu,
menurut Vyvyan et al, literasi keuangan juga bisa dipengaruhi oleh kepercayaan diri
individu terhadap kemampuannya dalam mengatur keuangan dan penggunaan produk-
produk keuangan. Sementara itu, Kehiaian (2012) dalam disertasinya yang berjudul
Factor and Behaviours that Influence Financial Literacy in U.S. Household
mengungkapkan bahwa faktor pendidikan dan motivasi diri juga bisa mempengaruhi
literasi keuangan.
Apabila melihat tingkat pendidikan, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan
bahwa sebagian besar buruh pabrik di Indonesia merupakan lulusan SMA. Hal ini dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tingkat Pendidikan Buruh/Karyawan/Pegawai di Indonesia pada Tahun 2015
Tingkat Pendidikan Terakhir Jumlah
Tidak/belum pernah sekolah 308.756
Tidak/belum tamat SD 2.262.748
SD 6.567.372
SLTP 7.073.953
SMA 10.575.103
SMK 7.043.961
Akademi/Diploma 2.417.363
Universitas 8.185.134
Total 44.434.390
Sumber: Badan Pusat Statistik
Karena faktor pendidikan ini, maka buruh cenderung menggunakan upah yang
dimiliki untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek Selain itu, mereka kurang memiliki
pengetahuan dan pemahaman mengenai risiko ketidakpastian dan pentingnya
mempersiapkan dana/sumber daya untuk kebutuhan di masa tua dan yang bersifat tidak
terduga. Hal ini, di samping karena tingkat pendidikan formal yang telah ditempuh, juga
disebabkan rendahnya edukasi finansial yang mereka terima. Seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya bahwa edukasi finasial hanya gencar diberikan kepada kalangan
atas, sehingga kaum buruh sebagai human capital tidak memiliki kesempatan untuk
meningkatkan intelektualitasnya, khususnya dalam hal kemampuan mengatur keuangan
mereka.
Melihat kondisi yang demikian, muncul ketertarikan pada diri peneliti untuk
melihat apa saja penyebab yang mempengaruhi literasi keuangan di kalangan buruh
pabrik, khususnya di Kota Probolinggo. Peneliti ingin mengetahui faktor apa saja yang
menjadi penyebab rendahnya literasi keuangan mereka, di samping faktor eksternal
seperti minimnya layanan edukasi finansial yang diberikan oleh lembaga keuangan.
Selain ingin mengetahui penyebab rendahnya literasi keuangan, penulis juga ingin
melihat sejauh mana penggunaan produk-produk lembaga keuangan, karena hal ini erat
kaitannya dengan literasi keuangan yang dimiliki oleh para buruh.
Dalam penelitian ini Kota Probolinggo dipilih sebagai tempat penelitian karena
berkaitan dengan UMK yang ditetapkan oleh pemerintah. Seperti yang telah
diungkapkan sebelumnya, UMK Kota Probolinggo hanya sebesar Rp 1.603.000.
Peneliti ingin mengetahui apakah upah dengan nominal upah tersebut, pabrik masih bisa
menyisihkan dana untuk disalurkan ke produk lembaga keuangan atau hanya bisa
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan begitu peneliti bisa mendapat
informasi yang lebih konkret mengenai hubungan antara pendapatan rendah terhadap
literasi keuangan.
Selain alasan di atas, kota Probolinggo dipilih karena akses yang lebih mudah
untuk mendapat informan, mengingat Probolinggo adalah kota domisili peneliti. Hal ini
juga mendukung validasi data yang dilakukan oleh peneliti karena faktor kemudahan
peneliti dalam menghubungi informan. Di samping itu, penelitian yang berkaitan
dengan literasi keuangan dengan objek penelitian buruh khususnya di Kota Probolinggo
belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai literasi keuangan di Indonesia, khususnya
untuk kepentingan skripsi kebanyakan menggunakan mahasiswa sebagia objeknya
seperti yang telah dicontohkan di atas, sehingga penelitian ini layak untuk dilakukan.
Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian mengenai literasi
keuangan dengan judul Refleksi Rendahnya Literasi Keuangan di Kalangan Buruh
Pabrik: Penyebab dan Akibat (Studi Kasus Buruh Pabrik di Kota Probolinggo).
2. Tinjauan Pustaka
Literasi Keuangan
Literasi keuangan erat kaitannya dengan keuangan pribadi. Seseorang dikatakan
memiliki literasi keuangan yang baik apabila ia memiliki kemampuan dan kepercayaan
diri dalam mengelola keuangannya secara efektif serta mampu membuat keputusan-
keputusan finansial yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Literasi
keuangan memiliki pengaruh positif terhadap kesejahteraan individu karena
pengaruhnya yang sangat kuat terhadap kondisi finansial. Seseorang yang memiliki
literasi keuangan yang baik, maka kesejahteraan ekonominya cenderung baik pula. Hal
ini telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Japelli dan Padulla (2013).
Penelitian ini membuktikan bahwa literasi keuangan dan kekayaan individu memiliki
korelasi yang kuat dalam siklus kehidupan, dimana kedua hal tersebut akan meningkat
sampai seseorang berhenti bekerja atau pensiun.
Menurut Remund (2000) definisi dari literasi keuangan adalah ukuran sejauh
mana seseorang memiliki pemahaman konsep keuangan dan kemampuan serta
kepercayaan diri dalam mengatur keuangan pribadi melalui pembuatan keputusan
jangka pendek dan perencanaan jangka panjang yang tepat dengan menyadari adanya
peristiwa sehari-hari yang dapat mengubah kondisi ekonomi. Sementara itu, Lusardi dan
Mitchel (2014) menyebutkan bahwa literasi keuangan merupakan kemampuan
seseorang untuk memproses informasi finansial dan membuat keputusan mengenai
rencana finansial, akumulasi kekayaan, utang, serta pensiun.
Literasi keuangan terdiri dari lima dimensi utama (Zait dan Bertea, 2014).
Kelima dimensi tersebut antara lain:
1. Pengetahuan
2. Komunikasi
3. Penggunaan pengetahuan pada instrumen-instrumen keuangan yang berbeda
4. Kemampuan dalam memanfaatkan pengetahuan
5. Kepercayaan diri
Akan tetapi, dimensi literasi finansial yang dipaparkan oleh Zait dan Bertea
berbeda dengan Huston. Menurut Huston (2000), literasi keuangan terdiri atas dua
dimensi, yaitu pemahaman dan penerapan (Huston, 2009). Pemahaman di sini diartikan
sebagai pengetahuan individu atas keuangan, sementara penerapan merujuk pada
aplikasi keuangan pribadi.
Dari kedua dimensi yang terdapat pada literasi keuangan, dapat dijelaskan
bahwa literasi keuangan dan pengetahuan finansial, meskipun keduanya adalah bentuk
dari human capital, namun memiliki konstruk yang berbeda. Pengetahuan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari literasi keuangan, namun kedua hal ini tidak bisa
disamakan. Hal ini dikarenakan, literasi keuangan memiliki dimensi tambahan, dimana
seseorang diharuskan memiliki kemampuan dan kepercayaan diri untuk membuat
keputusan finansial dengan memanfaatkan pengetahuan yang mereka miliki.
Dalam teorinya, terdapat dasar pada literasi keuangan yang menunjukkan
kemampuan dan pengetahuan apa saja yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga
dapat menunjukkan sampai sejauh mana tingkat literasi keuangannya. Menurut Chen
dan Volpe (2002), terdapat empat dasar literasi keuangan, yaitu: penganggaran
(budgeting), menabung (saving), meminjam (borrowing), dan investasi (investing).
Sementara itu, menurut Huston (2010), dasar literasi keuangan terdiri atas empat
pengetahuan dan kemampuan, antara lain: dasar keuangan, meminjam (borrowing),
investasi, dan perlindungan terhadap aset
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi literasi keuangan. Menurut
Vyvyan et al. (2014) faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Faktor latar belakang
2. Sikap
3. Pengaruh-pengaruh normatif
4. Kontrol perilaku yang dirasakan
5. Pengetahuan
Literasi keuangan memberikan manfaat kepada individu maupun pada
perekonomian suatu negara. Menurut PISA (2012), manfaat literasi keuangan antara
lain:
1. Literasi keuangan membuat individu dewasa lebih mampu dalam menabung
ataupun membuat perencanaan untuk masa pensiun mereka. Hal ini
mengindikasikan bahwa peningkatan literasi keuangan pada individu akan
membawa perubahan positif pada perilakunya.
2. Dengan memiliki tingkat literasi keuangan yang lebih tinggi, maka individu akan
lebih mampu memanage keuangannya, berpartisipasi dalam pasar modal dan
memilih portofolio kredit dengan lebih baik, serta lebih mampu dalam memilih
reksadana dengan biaya yang lebih rendah.
3. Tingkat literasi keuangan yang tinggi berhubungan tidak hanya dengan peningkatan
jumlah aset namun juga pada hutang dan manajemen hutang. Dengan tingkat
literasi keuangan yang lebih tinggi, individu akan memilih hutang hipotik dengan
biaya yang lebih murah dan menghindari pembayaran bunga yang tinggi serta biaya
tambahan.
4. Literasi keuangan juga mempunya peran penting dalam perekonomian dan
stabilitas keuangan. Masyarakat yang terliterasi secara finansial dapat membuat
keputusan yang tepat dan menuntut kualitas layanan keuangan yang lebih baik. Hal
ini akan mendorong kompetisi dan inovasi di pasar. Hal ini akan mengarah pada
sektor jasa keuangan yang lebih efisien dan berpotensi menghasilkan peraturan dan
penawasan dengan biaya rendah. Mereka juga dapat membantu mengurangi
bantuan pemerintah yang ditujukan untuk membantu mereka yang membuat
keputusan keuangan yang tidak tepat atau bahkan tidak membuat keputusan sama
sekali.
Literasi Keuangan di Indonesia
Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2013 menyelenggarakan survei literasi
keuangan masyarakat Indonesia yang melibatkan 8.000 responden yang tersebar di 20
provinsi. Hasil dari survei tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang
terliterasi dengan cukup (sufficient literate) hanya sebanyak 75,69%. Secara rinci hasil
dari survei tersebut adalah sebagai berikut:
Indeks Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Tahun 2013
Indeks Literasi Keuangan %
Well literate
Sufficient literate
Less literate
Not literate
21,84
75,69
2,06
0,41
100
Sumber: Otoritas Jaka Keuangan (2013)
Kemudian, apabila dilihat dari sisi pengetahuan atas produk dan jasa keuangan,
maka indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
Indeks Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Menurut produk dan Jasa Keuangan
Tahun 2013
Indeks Literasi
Keuangan
%
Perbankan Asuransi Perusahaan
Pembiayaan
Dana
Pensiun
Pasar
Modal Pegadaian
Well literate
Sufficient literate
Less literate
Not literate
21,8
75,44
2,04
0,73
17,84
41,69
0,68
39,8
9,8
17,89
0,21
72,1
7,13
11,74
0,11
81,03
3,79
2,40
0,03
93,79
14,85
38,89
0,83
45,44
100 100 100 100 100 100
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2013)
Dari data di atas dapat dilihat bahwa pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki
masyarakat indonesia sebagian besar mengenai produk dan jasa keuangan yang berasal
dari perbankan, sementara yang paling rendah adalah yang berasal dari pasar modal.
Berdasarkan survei OJK tahun 2013, indeks literasi keuangan masyarakat
Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh adalah sebagai
berikut:
Indeks Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tahun 2013
Tingkat Pendidikan %
Perguruan tinggi 56,4
Sekolah lanjutan 35,7
Sekolah dasar 24,6
Tidak sekolah 16,3
100
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2013)
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang
ditempuh, maka semakin banyak pengetahuan yang dimiliki oleh individu, khususnya
pengetahuan mengenai keuangan dan produk-produknya.
Sementara itu, seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa buruh di
Indonesia didominasi oleh masyarakat lulusan SMA/sederajat ke bawah. Hal tersebut
dapat dilihat pada survei BPS berikut ini:
Tingkat Pendidikan Buruh/Karyawan/Pegawai di Indonesia
Tingkat
Pendidikan
Terakhir
Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
Tidak/belum
pernah sekolah 361.955 343.999
349.914 342.908 308.756
Tidak/belum
tamat SD 2.262.420 2.412.991 2.281.778 2.262.733
2.262.748
SD 5.955.009 6.815.264 6.556.392 6.669.114 6.567.372
SLTP 7.027.809 7.141.189 6.983.089 7.023.654 7.073.953
SMA 8.688.260 9.493.230 9.573.281 9.947.931 10.575.103
SMK 5.375.966 6.265.160 6.512.147 6.734.883 7.043.961
Akademi/Dip-
loma 2.491.362 2.407.599 2.349.178 2.316.739 2.417.363
Universitas 4.749.754 5.989.198 6.518.070 7.084.186 8.185.134
Total 36.912.535 40.868.630 41.123.849 42.382.148 44.434.390
Sumber: Badan Pusat Statistik
Buruh
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 1 ayat (2) tentang Ketenagakerjaan
mendefinisikan tenaga kerja sebagai berikut:
Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Selanjutnya, pada ayat (2) disebutkan bahwa buruh merupakan setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari dua definisi
ini, dapat diketahui bahwa buruh merupakan bagian dari tenaga kerja. Selain itu, hasil
dari buruh berupa barang dan/atau jasa dan atas pekerjaan mereka, maka buruh akan
mendapatkan upah.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengkategorikan buruh bersama
dengan karyawan dan pegawai, sehingga buruh/karyawan diartikan sebagai seseorang
yang bekerja pada orang lain atau perusahaan/kantor/instansi secara tetap (dalam jangka
waktu satu bulan atau lebih) dengan menerima upah/gaji dalam bentuk uang dan/atau
barang. Dari definisi ini terdapat satu poin penting, yaitu seseorang bisa dianggap
sebagai pegawai tetap apabila ia bekerja pada orang/perusahaan/kantor/instansi tidak
kurang dari satu bulan. Apabila kurang dari satu bulan, maka orang tersebut
dikategorikan sebagai pegawai tidak tetap.
Badan Pusat Statistik (BPS) membagi buruh berdasarkan jam kerjanya. Jenis-
jenis buruh tersebut antara lain:
1. Buruh harian lepas
Buruh harian lepas adalah buruh yang dibayar berdasarkan jumlah hari kerjanya.
Umumnya upah mereka tidak dapat dipisahkan antara gaji/upah pokok dan
tunjangan lainnya.
2. Buruh borongan
Buruh borongan adalah buruh yang dibayar langsung oleh perusahaan berdasarkan
hasil kerja yang dihitung per satuan hasil. Akan tetapi, buruh dalam kategori ini
tidak termasuk buruh borongan yang bekerja di rumah sendiri secara makloon.
3. Buruh harian tetap
Buruh harian tetap adalah buruh yang dibayar berdasarkan jumlah hari kerjanya.
Biasanya upah buruh harian tetap terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap yang
mungkin dapat dipisahkan sehingga jika buruh absen, maka perusahaan bisa
menghitung potongan upahnya sesuai aturan yang berlaku.
4. Buruh bulanan
Buruh bulanan adalah buruh yang menerima upah/gaji pokok secara tetap setiap
periode pembayaran (umumnya bulanan kecuali tunjangan-tunjangan dan
perangsang lainnya yang tergantung jumlah hari atau jam kerja karyawan yang
bersangkutan). Buruh bulanan yang dibayar 2 kali atau lebih dalam sebulan tetap
dikategorikan sebagai buruh bulanan.
3. Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus.
Penelitian kualitatif merupakan kerangka berpikir dari satu kesatuan realita sosial yang
kompleks dan dinamis melalui pemahaman suatu fenomena dalam setting dan konteks
naturalnya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode studi kasus yang
menekankan pada bagaimana suatu fenomena kontemporer (masa kini) terjadi (Yin,
2012).
Studi kasus merupakan penelitian dengan karakteristik masalah yang berkaitan
dengan latar belakang dan kondisi saat ini dari obyek yang diteliti (dapat berupa
individu, kelompok, lembaga, atau komunitas tertentu), serta interaksinya dengan
lingkungan (Indriantoro dan Supomo, 2002:26). Sementara itu, Arikunto (2002:30)
menjelaskan bahwa studi kasus merupakan suatu penelitian yang mencoba
menggambarkan subyek penelitian di dalam keseluruhan tingkah laku. Lebih lanjut lagi,
dalam penelitian studi kasus peneliti mencoba mencermati individu atau sebuah unit
secara mendalam dan berusaha menemukan hubungan antara faktor-faktor tersebut satu
dengan yang lainnya.
Peneliti menggunakan studi kasus karena ingin berfokus pada suatu kondisi di
masyarakat, yaitu literasi keuangan, khususnya pada masyarakat yang tidak mengenyam
bangku perguruan tinggi maupun diploma. Terdapat banyak penyebab (faktor) yang
bisa mempengaruhi tinggi-rendahnya literasi keuangan seseorang dan bagaimana
akibatnya terhadap penggunaan produk lembaga keuangan. Oleh karena itu, peneliti
ingin mencari tahu secara mendalam faktor-faktor tersebut dan sejauh mana mereka
menggunakan produk-produk keuangan yang ada. Akan tetapi, peneliti tidak berupaya
untuk melakukan generalisasi atas hasil penelitian. Peneliti hanya ingin melihat apa saja
faktor yang mempengaruhi literasi keuangan per individu.
Berdasarkan pendapat Herdiansyah (2011), keunggulan yang diperoleh peneliti
dengan
Fokus Penelitian
Fokus dalam penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang menjadi
rumusan masalah penelitian, yakni mengetahui penyebab rendahnya literasi keuangan di
kalangan buruh pabrik serta sejauh mana penggunaan produk-produk keuangan sebagai
efek dari rendahnya literasi keuangan tersebut.
Penentuan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh
informasi yang mendalam mengenai literasi keuangan pada buruh pabrik dengan
informan beberapa buruh pabrik yang berada di Kota Probolinggo. Penggunaan
informan dalam penelitian ini bukan untuk membuat kesimpulan bahwa persepsi dan
pengetahuan dari informan berlaku untuk seluruh populasi buruh pabrik atau bahkan
berlaku sampai ke masyarakat pada umumnya. Karena hal tersebut, maka teknik yang
peneliti pakai dalam menentukan informan adalah teknik purposive sampling. Menurut
Sugiyono (2013:53), teknik ini digunakan pada sumber data dengan pertimbangan
tertentu. Pada penelitian ini, pertimbangan yang dimiliki oleh peneliti yaitu sampel
harus memenuhi beberapa kriteria yang telah ditentukan sebelumnya agar informasi
yang diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi literasi keuangan buruh pabrik.
Adapun kriteria informan yang diwawancarai adalah sebagai berikut:
1. Berprofesi sebagai buruh pabrik
2. Memiliki tingkat pendidikan SD/sederajat sampai dengan SMA/sederajat
3. Telah berkeluarga atau memiliki tanggungan keluarga
Kriteria terakhir peneliti gunakan karena peneliti berasumsi bahwa semakin banyak
tanggungan yang dimiliki, maka akan semakin kompleks perencanaan keuangan yang
harus dibuat, sehingga dengan keadaan ini peneliti berharap bisa benar-benar
mengetahui sejauh mana pengetahuan dan kemampuan informan dalam mengatur
keuangan dan menggunakan produk-produk keuangan sebagai bagian dari perencanaan
keuangan.
Sementara itu, penentuan jumlah informan untuk penelitian ini tidak bisa
dilakukan sebelum penelitian berjalan. Dalam purposive sampling, banyaknya informan
ditentukan oleh pertimbangan informasi. Penentuan informan dianggap telah memadai
jika telah sampai pada taraf “redundancy” atau data telah jenuh, yang artinya bahwa
dengan menggunakan informan selanjutnya boleh dikatakan tidak lagi diperoleh
tambahan informasi baru yang berarti atau dengan kata lain sampai dirasa jawaban yang
didapat dari informan hampir sama. Oleh karena itu, setelah peneliti melaksanakan
penelitian, maka dapat ditentukan bahwa informan yang digunakan sebanyak 3 orang,
sebab berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara informan-informan tersebut,
peneliti telah mampu untuk menarik kesimpulan mengenai faktor yang mempengaruhi
rendahnya literasi keuangan buruh pabrik. Adapun rincian informan yang berhasil
peneliti wawancarai adalah sebagai berikut:
Tabel Informan
No. Nama Usia Lama Bekerja Tingkat Pendidikan
Terakhir
1. Aini 36 tahun 16 tahun SMA
2. Dita 30 tahun 7 tahun SD
3. Ika 36 tahun 16 tahun SMA
Jenis dan Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer berasal dari
sumber asli yang diperoleh secara langsung tanpa melalui perantara apapun (Indriantoro
dan Supomo, 2013:146,147). Data primer yang berhasil didapatkan oleh peneliti adalah
informasi yang didapatkan dari wawancara dengan para informan. Menurut Yin
(2012:108), salah satu sumber bukti/data dalam penelitian studi kasus berasal dari
wawancara. Lebih lanjut, wawancara merupakan sumber bukti yang esensial bagi studi
kasus, sebab studi kasus umumnya berkenaan dengan urusan kemanusiaan/sosial.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan prosedur untuk memperoleh segala informasi
berkaitan dengan obyek penelitian yang diperlukan selama penelitian. Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi lapangan. Metode ini digunakan
untuk mengetahui secara langsung obyek yang akan diteliti. Metode pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara. Menurut Kahn dan Cannel
(1957) dalam Sarosa (2012:45) wawwancara didefinisikan sebagai diskusi antara dua
orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Dalam penelitian ini, wawancara yang
digunakan adalah wawancara semi terstruktur, dimana peneliti sudah menyiapkan topik
dan daftar pertanyaan pemandu wawancara sebelum aktivitas wawancara dilakukan.
Akan tetapi, peneliti akan menelusuri lebih jauh berdasarkan jawaban yang diberikan
oleh informan. Wawancara untuk penelitian ini dilakukan kepada beberapa informan
yang terdiri atas buruh pabrik yang bekerja di perusahaan di Kota Probolinggo.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Peneliti Sendiri
Dalam penelitian kualitatif, peneliti berperan sebagai perencana, pelaksana,
pengumpul data, penafsir data, dan sekaligus sebagai pelapor hasil penelitiannya.
Peneliti sebagai instrumen penelitian dimaksudkan sebagai alat pengumpul data
seperti tes pada penelitian kualitatif (Moleong, 2005:168). Karena peran-peran
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa peneliti terlibat secara langsung pada
penelitian ini.
2. Alat Perekam Suara
Penelitian kualitatif ini sangat mengandalkan wawancara saat pengumpulan data di
lapangan. Oleh karena itu, peneliti perlu untuk melakukan perekaman proses
wawancara. Data tersebut selanjutnya akan digunakan untuk mencari pola, kata
kunci, dan pokok-pokok isi pembicaraan yang menjadi dasar analisis penelitian.
3. Pedoman wawancara
Peneliti menggunakan pedoman wawancara sebagai arahan untuk memberikan
pertanyaan. Oleh karena itu, pedoman wawancara yang digunakan berupa daftar
pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Akan tetapi, pertanyaan tidak hanya
terbatas yang ada di daftar, melainkan peneliti membuat pertanyaan-pertanyaan
baru berdasarkan jawaban yang diberikan oleh informan.
4. Alat Tulis
Selama proses penelitian, peneliti menggunakan alat tulis menulis untuk mencatat
poin-poin penting saat proses wawancara untuk menunjang kesimpulan.
Analisis Data
Analisis data merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh peneliti dengan cara
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilihnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang akan diceritakan kepada
orang lain (Bodgan & Biklen, 1982 dalam Moleong, 2011:248). Tujuan analisis data
adalah untuk mengelola data agar mudah dipahami dan dapat diinterpretasikan serta
mencerminkan hubungan antara masalah yang diteliti.
Proses analisis data dalam metode kualitatif ini menggunakan model Miles dan
Huberman dan dilakukan sejak dan sepanjang proses penelitian berlangsung secara terus
menerus sampai tuntas, sampai menghasilkan data yang jenuh. Secara umum, analisis
data menurut Miles dan Huberman terdiri atas tiga komponen dalam satu alur kegiatan
yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi. Alur tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Komponen Analisis Data Interaktif
Sumber: Sugiyono, 2007
Adapun penjelasan atas ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Reduksi data
Tahap ini meliputi penyempurnaan data baik pengurangan data yang kurang perlu
dan tidak relevan, ataupun penambahan data yang dirasa masih kurang dan
berlangsung terus-menerus selama penelitiam berlangsung. Sebagaimana
pengumpulan data berproses, terdapat beberapa episode selanjutnya dari reduksi
data, yaitu membuat rangkuman, pengkodean, membuat tema-tema, membuat
pemisah-pemisah, serta menulis memo-memo. Reduksi data dapat dilakukan
meskipun data yang terkumpul masih sedikit, sehingga selain meringankan kerja
peneliti, juga dapat memudahkan peneliti dalam melakukan kategorisasi yang telah
ada.
2. Penyajian data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Miles dan
Huberman, 2009: 17). Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.
Bentuk penyajian data yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif
adalah teks yang bersifat naratif. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan
untuk memahami apa yang terjadi serta merencanakan kerja selanjutnya
berdasarkan apa yang telah dipahami.
3. Penarikan kesimpulan/verifikasi
Penarikan kesimpulan adalah kegiatan konfigurasi yang utuh dari penelitian yang
telah dilakukan (Miles dan Huberman, 2009: 19). Kesimpulan ini diungkapkan
dengan kalimat yang singkat-padat dan mudah dipahami, serta dilakukan dengan
cara berulang kali untuk meninjau ulang mengenai kebenaran dari penyimpulan itu,
khususnya berkaitan dengan relevansi dan konsistensinya terhadap judul,
perumusan masalah, dan tujuan yang ada.
4. Hasil dan Pembahasan
Penyebab Rendahnya Literasi Keuangan di Kalangan Buruh Pabrik
1. Tidak Ada Waktu untuk Mencari Informasi
UMK (Upah Minimum Kota) yang ditetapkan oleh pemerintah dari tahun ke
tahun pasti mengalami peningkatan, mengingat harga berbagai barang kebutuhan selalu
mengalami peningkatan. UMK Kota Probolinggo yang ditetapkan oleh pemerintah
untuk tahun 2016 sebesar Rp 1.603.000. Ini berarti perusahaan diwajibkan untuk
menggaji baik karyawan maupun buruh pabrik minimal sebesar UMK tersebut. Akan
tetapi, meskipun selalu mengalami peningkatan, informan merasa bahwa upah
berdasarkan UMK yang diberikan oleh perusahaan belum bisa memenuhi kebutuhan
sehari-hari keluarga mereka, bahkan ketika upah tersebut telah digabung dengan upah
suami. Harga kebutuhan sehari-hari yang cenderung mengalami kenaikan beberapa kali
dalam setahun membuat mereka harus memikirkan berbagai cara untuk mendapatkan
tambahan uang, atau paling tidak melakukan penghematan.
Salah satu cara untuk mendapat tambahan uang adalah dengan melakukan
lembur. Apabila dalam sebulan informan rajin melakukan lembur, maka dalam satu
bulan itu mereka bisa mendapatkan upah sebesar Rp 3.000.000, hampir dua kali lipat
dari UMK yang ia dapat per bulannya. Karena sering melakukan lembur, para informan
tidak memiliki banyak waktu luang untuk dirinya sendiri karena ia harus bekerja dan
lembur. Selain itu, para informan juga memiliki kewajiban untuk mengurus keperluan
rumah tangga sebagai seorang istri sekaligus sebagai seorang ibu. Oleh karena itu,
mereka lebih memilih untuk beristirahat atau mengurus anak-anaknya, jika ada sedikit
waktu luang di antara semua kesibukannya. Keterbatasan waktu dan tidak adanya minat
untuk mempelajari produk-produk keuangan inilah yang membuat pengetahuan para
informan mengenai produk-produk keuangan sangat minim.
2. Produk Lembaga Keuangan adalah Sesuatu yang Sulit untuk dipahami
Produk-produk keuangan sangat penting bagi setiap individu, terutama untuk
motif berjaga-jaga sebagai antisipasi atas kejadian tidak terduga yang mungkin terjadi di
masa mendatang. Selain itu, melalui produk-produk tersebut, seseorang tidak perlu
terlalu khawatir dengan keamanan atas dana yang mereka salurkan. Oleh karena itu,
penting bagi setiap individu untuk memiliki informasi yang memadai mengenai produk-
produk tersebut, sebab hal tersebut akan mempermudah mereka dalam memilih produk
keuangan mana yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki, baik
kemampuan secara finansial maupun intelektual.
Hanya saja, pentingnya produk-produk keuangan tidak diimbangi dengan
pengetahuan yang cukup. Saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya
kalangan menengah ke bahwa belum mempunyai pengetahuan yang memadai tentang
produk-produk lembaga keuangan. Informan-informan yang telah diwawancarai
mengaku bahwa mereka kurang memiliki minat dan motivasi untuk mencari informasi-
informasi tersebut secara mandiri, padahal sebenarnya mereka sudah memiliki fasilitas
untuk melakukannya, seperti televisi dan juga smartphone. Minat yang kurang
dikarenakan mereka menganggap hal-hal yang berkaitan dengan produk lembaga
keuangan merupakan sesuatu yang asing dan sulit untuk mereka pahami. Hal ini dapat
dimengerti sebab terdapat istilah-istilah khusus yang memerlukan pengetahuan lebih
dalam memahami hal-hal tersebut, sementara para informan hanya mengenyam
pendidikan sampai bangku SMA, bahkan salah satu informan hanya seorang tamatan
SMP sehingga wawasan mereka terbatas. Oleh sebab itu, informasi mengenai produk
lembaga keuangan menurut mereka adalah sesuatu yang rumit dan kemungkinan tidak
akan dapat dipahami tanpa bantuan orang lain yang lebih mengerti.
3. Tidak Memiliki Kepercayaan Diri untuk Menggunakan Salah Satu atau
Beberapa Produk Lembaga Keuangan
Kepercayaan diri (confidence) merupakan salah satu komponen penting dalam
membentuk literasi keuangan setiap individu. Kepercayaan diri di sini diartikan sebagai
keyakinan setiap individu pada kemampuan diri sendiri dalam membuat keputusan
finansial, termasuk dalam keputusan untuk menggunakan suatu produk lembaga
keuangan. Kepercayaan diri timbul karena adanya pengetahuan yang memadai seputar
keuangan. Meskipun pengetahuan sangat mempengaruhi kepercayaan diri, akan tetapi
kepercayaan diri juga dapat dibentuk melalui learning by doing atau melalui
pengalaman pengambilan keputusan sehari-hari. Melalui wawancara yang telah
dilakukan, hampir semua informan merasa tidak memiliki kepercayaan diri untuk
mengunakan produk lembaga keuangan, terutama produk tabungan. Hal ini membuat
mereka tidak tertarik untuk menyimpan uangnya di lembaga keuangan perbankan dan
lebih memilih cara tradisional, meskipun mereka memahami bahwa menabung di
lembaga keuangan perbankan akan lebih terjamin keamanannya daripada menggunakan
cara tradisional. Akan tetapi, mereka memilih menyimpan uangnya ke orang lain
dengan mengikuti arisan, dimana mereka diharuskan menyetor sejumlah uang tertentu
setiap bulannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan melalui sistem undi. Hal ini
terjadi karena para informan merasa tidak cukup mampu, baik dari segi finansial
maupun manajemen keuangan.
Ketidakpercayaan diri para informan terhadap kemampuan mereka dalam
mengelola keuangan dan serta kemampuan dalam mengontrol penggunaan uang
(khususnya uang yang tersimpan di rekening bank) menjadi salah satu alasan mengapa
mereka enggan untuk memanfaatkan produk lembaga keuangan, khususnya produk
tabungan. Keengganan ini membuat mereka tidak terlalu peduli terhadap informasi-
informasi mengenai produk tersebut, terutama jika mereka harus mencari dan
mempelajarinya secara mandiri. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa
literasi keuangan mereka rendah.
4. Merasa Pendapatan Terlalu Kecil
Pendapatan merupakan salah satu faktor penting bagi individu dalam
memutuskan apakah akan menggunakan sebuah produk lembaga keuangan atau tidak,
sebab pendapatan merupakan sumber utama dari dana yang nantinya akan dimanfaatkan
untuk mengusahakan produk tersebut. Semakin besar pendapatan yang dimiliki, maka
akan semakin memungkinkan bagi individu untuk memanfaatkan berbagai macam
produk, tentunya dengan mempertimbangkan kemampuan mengelola serta pemahaman
atas produk keuangan itu sendiri. Sebaliknya, semakin kecil pendapatan yang diterima,
maka semakin terbatas produk keuangan yang bisa digunakan, bahkan apabila
pendapatan yang dimiliki terlampau kecil, maka individu tersebut tidak akan memiliki
kemampuan sama sekali untuk menggunakannya, apalagi jika penerimaan pendapatan
tidak bersifat tetap. Hal ini dikarenakan pendapatan tersebut hanya mampu untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga sulit untuk menyisihkan sebagian untuk
dialokasikan pada produk lembaga keuangan, termasuk produk pinjaman sekalipun,
sebab dikhawatirkan pendapatan yang selama ini diterima tidak mampu digunakan
untuk melunasi pinjaman tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa pendapatan juga
mempengaruhi literasi keuangan individu. Semakin rendah pendapatan, maka semakin
kecil keinginan individu tersebut untuk mencari informasi dan memahami hal-hal
penting terkait produk lembaga keuangan. Para informan mengungkapkan bahwa
mereka belum tertarik untuk mendapatkan informasi atau mencari informasi sendiri
mengenai suatu produk karena mereka merasa masih belum memiliki kemampuan
finansial untuk menggunakannya, khususnya produk tabungan yang disediakan oleh
lembaga perbankan. Mereka merasa bahwa jumlah upah yang diterima setiap bulannya
terlalu kecil sehingga mereka merasa tidak mampu menyisihkan sejumlah uangnya
untuk disimpan di lembaga keuangan formal. Oleh karena itu, mereka tidak ingin
bersusah payah untuk mencari informasi dan memahaminya karena hal tersebut tidak
akan memberikan manfaat yang signifikan pada keuangan rumah tangga mereka.
Faktor-faktor di atas merupakan faktor yang disebabkan oleh perilaku dan
pemikiran informan dalam menyikapi informasi-informasi mengenai produk lembaga
keuangan. Selain itu, tingkat pendidikan mereka yang sebagian besar SMA membuat
mereka sulit untuk memahami informasi keuangan karena terbatasnya pengetahuan dan
wawasan, meskipun informasi-informasi tersebut mudah untuk didapatkan. Akan tetapi,
jika para informan memiliki motivasi dan kemauan untuk mempelajari, maka
setidaknya hal tersebut akan mempermudah pemahaman mereka. Di samping faktor-
faktor internal, terdapat faktor eksternal yang menyebabkan mengapa literasi keuangan
mereka rendah. Kurangnya sosialisasi yang diberikan oleh lembaga-lembaga terkait
turut berperan terhadap rendahnya literasi keuangan di Indonesia. Untuk itu, diperlukan
sinergi yang kuat baik dari pemerintah, lembaga keuangan, maupun masyarakat. Jika
salah satu dari pihak-pihak tersebut tidak melakukan perannya dengan maksimal, maka
tujuan untuk meningkatkan literasi keuangan di Indonesia akan sulit untuk dicapai.
Penggunaan Produk-Produk Keuangan di Kalangan Buruh Pabrik
1. Produk Tabungan
Tabungan merupakan salah satu dari berbagai produk lembaga keuangan yang
paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Survei yang dilakukan oleh OJK
pada tahun 2014 menyebutkan bahwa produk lembaga keuangan yang dikeluarkan oleh
perbankan adalah yang paling banyak dipakai dibandingkan dengan yang dikeluarkan
oleh lembaga keuangan lain dengan persentase sebesar 75,98%. Angka ini menunjukkan
bahwa masyarakat lebih mengenal dan memahami produk lembaga perbankan
dibandingkan lembaga keuangannya lainnya, khususnya tabungan.
Fakta di atas tidak sesuai dengan apa yang tengah terjadi, khususnya pada
informan. Saat proses wawancara berlangsung, semua informan yang peneliti
wawancarai tidak sedang menggunakan produk tabungan dengan berbagai alasan, mulai
dari proses yang dirasa rumit, kemungkin bahwa uang tersebut akan terpakai untuk
kebutuhan sehari-hari, dan alasan-alasan lainnya Meskipun tidak sedang menggunakan,
dua di antara informan setidaknya pernah mencoba untuk menabung di lembaga
perbankan.
2. Produk Pinjaman
Produk lembaga keuangan berupa pinjaman memudahkan masyarakat ketika
mereka membutuhkan dana untuk berbagai kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi apabila
hanya menggunakan dana pribadi yang tersedia pada saat itu. Untuk itu, banyak
masyarakat yang menggunakan produk pinjaman, baik pinjaman dengan atau tanpa
agunan. Di samping melakukan pinjaman ke lembaga keuangan formal, masyarakat
juga biasanya meminjam ke lembaga keuangan non formal (renteneir) maupun ke
kenalan dan kerabat. Biasanya alternatif ini dipilih karena prosedur untuk mendapatkan
pinjaman lebih mudah dan sederhana, meskipun ketika meminjam ke renteneir, debitur
akan dibebani dengan bunga yang cenderung tinggi.
Ketiga informan yang telah diwawancarai menyebutkan bahwa mereka sering
meminjam kepada saudara dan kenalan apabila mereka membutuhkan uang. Sebagian
besar alasan peminjaman dikarenakan adanya pengeluaran mendadak yang
menyebabkan uang bulanan mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga
hingga akhir bulan. Selain meminjam ke saudara dan kenalan dua dari informan pernah
melakukan pinjaman ke bank, sementara satu informan yang bernama Aini tidak pernah
melakukannya. Akan tetapi, mereka melakukan pinjaman melalui perantara pihak
ketiga. Oleh karena itu, meskipun mereka telah memiliki pengalaman, namun kedua
informan tersebut tidak bisa dikatakan memiliki pengetahuan mengenai produk
pinjaman.
3. Produk Investasi
Berdasarkan survei OJK pada tahun 2014 yang melibatkan 8000 responden,
persentase penggunaan produk lembaga pasar modal oleh masyarakat hanya sebesar
0,11%. Ini artinya, dari 1000 responden hanya satu orang yang menggunakan produk
tersebut. Sementara itu persentase pengguna produk lembaga dana pensiun hanya
sebesar 1,53%. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia masih sangat
asing dengan dunia investasi, terutama investasi di lembaga keuangan.
Minimnya pengetahuan dan penggunaan produk lembaga investasi juga dapat
dilihat dari informan yang peneliti wawancarai. Dari ketiga informan tersebut, tidak ada
yang bisa mendefinisikan apa itu investasi dan menyebutkan produk-produk seperti apa
yang terdapat di dalamnya. Ketiga informan juga tidak pernah menggunakan produk
lembaga investasi. Meskipun tidak memiliki pengetahuan, mereka sebenarnya tanpa
sadar juga telah melakukan investasi. Ketiga responden sering mengumpulkan uang dan
nantinya digunakan untuk membeli perhiasan emas. Apabila mereka membutuhkan
uang, perhiasan-perhiasan tersebut akan dijual. Peneliti mengkategorikan jual-beli ini
sebagai salah satu bentuk investasi, sebab informan tidak mengetahui bagaimana tingkat
pengembalian dari penjualan di masa mendatang atau dengan kata lain, informan tidak
mengetahui apakah akan mengalami keuntungan, kerugian, atau titik impas ketika
menjual perhiasan tersebut di masa mendatang. Tujuan mereka menggunakan emas
sebagai investasi karena perhiassan emas bersifat liquid, sehingga bisa sewaktu-waktu
diuangkan dengan mudah. Salah satu informan bernama
4. Produk Asuransi
Produk asuransi digunakan untuk mengalihkan risiko dari pihak tertanggung
kepada kepada penanggung. Saat ini masyarakat Indonesia diberikan kemudahan untuk
asuransi kesehatan dalam bentuk BPJS (Badan Penerimaan Jaminan Sosial). Khusus
untuk buruh pabrik, BPJS yang digunakan adalah BPJS ketenagakerjaan. Pembayaran
premi dilakukan dengan sistem potong upah. Semua informan yang telah peneliti
wawancarai menggunakan BPJS sebagai salah satu bentuk asuransi, namun mereka
tidak begitu memahami apa yang dimaksud dengan asuransi secara umum.
Keterbatasan penggunaan produk lembaga keuangan di samping disebabkan
oleh rendahnya pengetahuan, juga disebabkan oleh minimnya dana yang bisa dipakai
untuk menggunakan produk-produk tersebut. Terlebih lagi, para informan tidak ingin
mempersulit diri untuk mempelajari sesuatu yang mereka anggap sulit untuk dipahami.
Meskipun literasi keuangan masih rendah dan penggunaan produk lembaga keuangan
masih relatif minim, peneliti mengapresiasi sikap para informan yang masih berusaha
untuk menyisihkan pendapatannya untuk ditabung meskipun tidak melalui lembaga
keuangan formal. Ini berarti mereka memiliki kesadaran mengenai pentingnya
mempersiapkan dana untuk kejadian yang tidak terduga, seperti Ika yang menyimpan
perhiasan untuk dijual apabila sewaktu-waktu suaminya tidak mendapatkan proyek
pembangunan.
5. Penutup
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab rendahnya literasi
keuangan di kalangan buruh pabrik serta akibat rendahnya literasi keuangan tersebut
terhadap penggunaan produk-produk keuangan. Literasi keuangan sendiri didefinisikan
sebagai kemampuan individu untuk membaca, menganalisis, mengatur, dan
mengkomunikasikan kondisi keuangan. Peneliti menggunakan metode studi kasus
dengan teknik wawancara untuk mengumpulkan informasi guna memenuhi tujuan
penelitian tersebut.
Dari penelitian yang sudah dilaksanakan, peneliti mendapatkan beberapa poin
mengenai penyebab rendahnya literasi keuangan di kalangan buruh pabrik. Penyebab-
penyebab ini ini lebih merujuk pada perilaku dan pemikiran masing-masing informan
yang menyebabkan mereka tidak memiliki ketertarikan dan motivasi untuk mencari
secara mandiri informasi-informasi yang berkaitan dengan produk-produk lembaga
keuangan. Penyebab tersebut antara lain: tidak ada waktu untuk mencari informasi,
produk lembaga keuangan adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami, tidak memiliki
kepercayaan diri untuk menggunakan salah satu atau beberapa produk lembaga
keuangan, merasa pendapatan yang diterima tidak cukup untuk disalurkan pada produk
lembaga keuangan
Karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan, maka penggunaan produk
lembaga keuangan di kalangan buruh masih terbilang minim. Untuk produk tabungan,
tidak ada satu pun informan yang menggunakan ketika proses wawancara berlangsung,
meskipun seorang informan pernah menggunakan deposito satu kali dan seorang lagi
menggunakan produk tabungan. Sementara itu, untuk produk pinjaman, dua informan
pernah menggunakannya. Akan tetapi, mereka meminjam atas nama orang lain,
sehingga bisa dikatakan jika mereka tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan
mengenai produk pinjaman karena semua prosedur dilakukan oleh pihak lain.
Selanjutnya, untuk investasi, para informan tidak memiliki pengetahuan sama sekali
mengenai produk tersebut. Akan tetapi, tanpa sepengetahuan, mereka telah melakukan
aktivitas investasi melalui jual beli perhiasan emas. Untuk produk asuransi, ketika
diwawancarai, mereka tidak bisa menjelaskan pengertian umum mengenai asuransi.
Para informan hanya mengetahui bahwa mereka mengikuti BPJS dan itu merupakan
salah satu bentuk asuransi dengan pemerintah sebagai pihak penanggung.
Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti merasa kesulitan untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan, sebab informan yang diwawancarai sulit untuk mengungkapkan apa
yang ada dipikiran mereka, sehingga informan tidak bisa menjelaskan dengan detail atas
pertanyaan yang peneliti sampaikan. Selain itu, hasil analisis data bersifat subjektif
sebab berasal dari sudut pandang peneliti yang didasarkan atas penjelasan yang
diberikan informan.
Saran
1. Untuk buruh pabrik dan masyarakat
Para buruh sebaiknya lebih memiliki kesadaran mengenai pentingnya produk
lembaga keuangan sebagai bagian dari perencanaan keuangan mereka. Selain itu,
kepercayaan diri terutama dalam kemampuan menggunakan produk keuangan juga
harus ditingkatkan agar kekhawatiran buruh pabrik ketika menggunakan produk
keuangan khususnya tabungan bisa berkurang. Jika rasa khawatir berkurang, maka
keengganan untuk mencari dan memahami informasi mengenai produk tersebut juga
akan berkurang. Kemudian, itu buruh pabrik sebaiknya mulai membiasakan diri untuk
mencari informasi secara mandiri, sebab para informan sudah memiliki fasilitas untuk
melakukannya. Apabila hanya menunggu sosialisasi dari pemerintah dan lembaga
keuangan, maka akan sulit bagi mereka untuk meningkatkan pengetahuan. Apabila
dalam proses belajar tersebut terdapat bebeapa hal yang tidak mudah untuk dipahami,
maka mereka bisa saling bertukar informasi satu sama lain.
2. Untuk lembaga keuangan dan pemerintah
Lembaga keuangan sebaiknya mulai memperluas target pengenalan produk yang
mereka miliki, baik produk baru maupun yang sudah ada untuk meningkatkan
pemahaman dan keyakinan masyarakat, khususnya para buruh pabrik. Sementara itu,
pemerintah melalui OJK harus memperketat izin pengeluaran produk investasi. Hal ini
dikarenakan selama ini banyak masyarakat yang tertipu oleh produk investasi bodong
yang dikeluarkan oleh bank-bank skala kecil maupun lembaga keuangan informal.
Dengan memperketat izin pengeluaran produk, maka masyarakat akan merasa lebih
yakin dan aman untuk menggunakannya. Hal ini nantinya dapat meningkatkan motivasi
masyarakat untuk mulai mencari informasi. Selain itu, OJK bisa membuat sebuah
aplikasi smartphone yang bisa memuat informasi mengenai produk-produk lembaga
keuangan secara beserta risiko-risikonya dengan konten yang mudah dipahami oleh
masyarakat dari berbagai kalangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. 2002. Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku dalam
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jogjakarta: UII Press.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Bps.go.id. 2014. “Penduduk 15 Tahun ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 2004 –
2014”. (http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/971), diakses pada 23
Februari 2016.
Bps.go.id. 2016. “Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama
Seminggu yang Lalu Menurut Status Pekerjaan Utama dan Pendidikan Tertinggi
yang ditamatkan, 2008-2015”.
(https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1936), diakses pada 17 Mei 2016.
Bps.go.id. “Penjelasan Teknis Survei Upah Buruh 2011”.
(https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/19#subjekViewTab1), diakses pada 30
April 2016.
Bps.go.id. “Penjelasan Teknis Tenaga Kerja”. (https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/6),
diakses pada 21 Februari 2016.
Deng, Hsu-Tong, et al. 2013. “Influence of Financial Literacy of Teachers on Financial
Education Teaching in Elementary School”. International Journal of e-Education,
e-Business, e-Management and e-Learning. Vol. 3 no. 1 hlm. 68-73.
Fattah, Nanang. 2004. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Huston, Sandra J. 2010. “Measuring financial Literacy”. The Journal of Consumer
Affairs. Vol. 44 no. 2. Hlm. 296-316.
Indriantoro, N. & Supomo, B. 2013. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi &
Manajemen. Yogyakarta: BPFE.
Jappelli, Tullio dan Mario Padula. 2013. “Investment in Financial Litaracy and Saving
Decisions”. Journal of Banking and Finance. Vol. 37 no. 8. Hlm. 79-92.
Kehiaian, Scott E. 2012. “Factors and Behaviours that Influence Financial Literacy in
U.S”. Households. Dissertation. Fort Lauderdale: Nova Southeastern University.
Lusardi, Annamaria dan Olivia S. Mitchell. 2014. “The Economic Importance of
Financial Literacy: Theory and Evidence”. Journal of Economic Literature. Vol
52. no. 1. Hlm. 5-43.
Lusardi, Annamaria dan Peter Tufano. 2009. “Debt Literacy, Financial Experiences, and
Overindebtness”. NBER Working Paper Series. no 14808.
Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 2009. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:
UI-Press.
Moleong, L. J. 2005. Metode Peneltian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Moore, D. (2003). Survey of Financial Literacy in Washington State: Knowledge,
Behaviour, Attitudes, and Experiences. Social and Economic Sciences Research
Center. Washington State University.
PISA. 2012. Financial Literacy Assessment Framework.
Regional.kompas.com. 2015. “Gubernur Jatim Tetapkan UMK 2016”.
(http://regional.kompas.com/read/2015/11/21/05000061/Gubernur.Jatim.Tetapka
n.UMK.2016), diakses pada 21 Februari 2016.
Remund, David L. 2010. “Financial Literacy Explicated: The Case for a Clearer
Definition in an Increasingly Complex Economy”. The Journal of Consumer
Affairs. Vol. 44 no. 2. Hlm. 276-295.
Sarosa, Samiaji. 2012. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: Indeks.
Schultz, Theodore, W (1961), Investment in Human Capital, The American
Economics Review. No. 51.
Sinarharapan. 2015. “Tingkat Literasi dan Inklusi Keuangan RI Rendah”.
(http://www.sinarharapan.co/news/read/151026038/tingkat-literasi-dan-iklusi-
keuangan-ri-rendah), diakses pada 18 Februari 2016.
Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Tribunnews. 2014. “OJK Ingin Ibu Rumah Tangga Pintar Masalah Keuangan”.
(http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/12/14/ojk-ingin-ibu-rumah-tangga-
pintar-mengelola-keuangan), diakses pada 18 Februari 2016.
Vyvyan, Victoria. 2014. “Factors that Influence Financial Capability and Effectiveness:
Exploring Financial Counsellors’ Perspectives”. Australasian Accounting,
Business and Finance Journal. Vol. 8 no. 2.
Yin, Robert K. 2012. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Zait, Adriana. dan Patricea Elena Bertea. 2014. “Financial Literacy - Conceptual
Definition and Proposed Approach for a Measurement Instrumen”t. Journal of
Accounting and Management. Vol. 4 no. 3. Hlm. 37-42.
. Commonwealth of Australia Consolidated Acts.
. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.