3
9.Pada tahun 2002, Heine dkk menunjukkan bahwa pada pada orang dewasa yang memiliki dermatitis atopi yang parah, sering menunjukkan polomorfisme gen yang menyandi Vitamin D Receptor (VDR). Penemuan ini menunjukkan bahwa VDR dapat mempengaruhi dermatitis atopi melalui regulasi fungsi barrier epidermis dan respon imun pada lapisan kutan. VDR dapat menghambat pematangan sel dendritik dan mengurangi sekresi sitokin pro inflamasi seperti IL-6 dan TNF-α. Namun bentuk haploid ini juga dapat terjadi pada individu yang sehat. Mungkin ini lebih menjadi kofaktor yang membutuhkan satu atau lebih faktor lingkungan dan genetik sebagai elemen tambahan. Pada tahun 2014, Wang dkk melaporkan sebuah studi asosiasi genetik di mana polimorfisme gen (Reference SNP rs4674343) yang berkaitan dengan vitamin D yaitu CYP27A1 memiliki efek protektif terhadap dermatitis atopi. Gen lain (CYP2R1 dan VDR) juga telah diteliti dan gen-gen tersebut dapat meningkatkan kerentanan terhadap dermatitis atopi dengan mengubah presentase eosinofil dan jumlah IgE. Sebuah studi menarik yang dilakukan Bella dkk menunjukkan bahwa polimorfisme VDR dan gen yang mengatur metabolisme meungkin merupakan faktor kerentanan terhadap penyakit autoimun, meskipun begitu, temuan ini memerlukan bukti lebih lanjut untuk membuktikannnya. Selain itu juga terdapatbukti lain yang menghubungkan risiko atopi dan asma dengan polomorfisme VDR. 10. Pendekatan Terapi Suplementasi Vitamin D Sebuah survei nutrisi yang membandingkan pasien atopi dengan kontrol pada pasien yang sehat menunjukkan bahwa pasien dengan dermatitis atopi memiliki asupan vitamin D yang lebih rendah di banding pasien kontrol yang sehat. Meskipun begitu, kandungan vitamin D dalam serum tidak di ukur. Berdasarkan rasionalitas yang didapatkan dari data yang di dapatkan dari penelitian-penelitian observational, uji klinis

refrat-dermato

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: refrat-dermato

9.Pada tahun 2002, Heine dkk menunjukkan bahwa pada pada orang dewasa yang memiliki dermatitis atopi yang parah, sering menunjukkan polomorfisme gen yang menyandi Vitamin D Receptor (VDR). Penemuan ini menunjukkan bahwa VDR dapat mempengaruhi dermatitis atopi melalui regulasi fungsi barrier epidermis dan respon imun pada lapisan kutan.

VDR dapat menghambat pematangan sel dendritik dan mengurangi sekresi sitokin pro inflamasi seperti IL-6 dan TNF-α . Namun bentuk haploid ini juga dapat terjadi pada individu yang sehat. Mungkin ini lebih menjadi kofaktor yang membutuhkan satu atau lebih faktor lingkungan dan genetik sebagai elemen tambahan.

Pada tahun 2014, Wang dkk melaporkan sebuah studi asosiasi genetik di mana polimorfisme gen (Reference SNP rs4674343) yang berkaitan dengan vitamin D yaitu CYP27A1 memiliki efek protektif terhadap dermatitis atopi. Gen lain (CYP2R1 dan VDR) juga telah diteliti dan gen-gen tersebut dapat meningkatkan kerentanan terhadap dermatitis atopi dengan mengubah presentase eosinofil dan jumlah IgE.

Sebuah studi menarik yang dilakukan Bella dkk menunjukkan bahwa polimorfisme VDR dan gen yang mengatur metabolisme meungkin merupakan faktor kerentanan terhadap penyakit autoimun, meskipun begitu, temuan ini memerlukan bukti lebih lanjut untuk membuktikannnya.

Selain itu juga terdapatbukti lain yang menghubungkan risiko atopi dan asma dengan polomorfisme VDR.

10. Pendekatan Terapi

Suplementasi Vitamin D

Sebuah survei nutrisi yang membandingkan pasien atopi dengan kontrol pada pasien yang sehat menunjukkan bahwa pasien dengan dermatitis atopi memiliki asupan vitamin D yang lebih rendah di banding pasien kontrol yang sehat. Meskipun begitu, kandungan vitamin D dalam serum tidak di ukur.

Berdasarkan rasionalitas yang didapatkan dari data yang di dapatkan dari penelitian-penelitian observational, uji klinis berikut ini meneliti peran suplementasi vitamin D dalam pengobatan dermatitis atopi.

Pada tahun 2008, sebuah uji double-blind randomized controlled trial pada anak-anak dengan dermatitis atopi yang berkaitan dengan musim dingin di lakukan dengan menggunakan sebuah rejimen vitamin D dengan dosis 1000 IU/hari untuk setiap bulan selama musim dingin. Lima subyek menerima suplementasi vitamin D dan enam subyek menerima plasebo. Terdapat empat dari lima anak-anak yang menerima vitamin D mengalami peningkatan kondisi medis, sedangkan hanya satu dari enam anak-anak yang menerima plasebo yang mengalami peningkatan kondisi medis. Meskipun begitu, studi ini sangat terbatas karena hanya menggunakan jumlah responden yang sedikit.

Javanbakt dkk melakukan studi dengan desain randomized, doubleblind, placebo-controlled pada empat puluh lima pasien dermatitis atopi. Peningkatan kondisi klinis dilakukan dengan SCORAD, yang menurun selama signifikan dalam 60 hari pada kelompok yang menerima vitamin D, vitamin E atau keduanya.

Page 2: refrat-dermato

Studi lain dengan responden yang lebih besar juga menunjukkan penurunan SRORAD setelah suplementasi vitamin D. 30 pasien menerima vitamin D 1600 IU/hari dan 30 pasien menerima plasebo. Pada kelompok kelompok perlakuan didapatkan peningkatan kondisi medis secara signifikan dalam 60 hari dan kadar serum vitamin D yang secara signifikan lebih tinggi dibanding nilai standar, tanpa memperhatikan keparahan dermatitis atopi di awal. Pada kelompok plasebo, peningkatan kondisi medis tidak signifikan.

Hatta dkk menguji suplementasi vitamin D dengan dosis 1000 IU/hari selama 3 bulan pada 14 pasien atopi yang memiliki dermatitis atopi dengan derajat keparahan moderate sampai severe. Pada studi ini didapatkan penimngkatan ekspresi cathelicidin secara signifikanpada lesi.

Mallbris dkk mengkonfirmasi studi tersebut dengan menunjukkan vitamin D dapat meninduksi peningkatan produksi cathelicidin dan aktivasinya pada sel keratinosit. Data di atas dapat menjelaskan mengapa infeksi kulit lebih sering terjadi saat musim dingin yaitu ketika keratinosit lebih rendah terstimulasi oleh vitamin D yang menyebabkan produksipeptida antimikroba menurun.

Meski terdapat semua bukti di atas, tidak terdapat perbedaan signifikan pada derajad keparahan dermatitis atopi setelah suplementasi vitamin D di bandingkan dengan kelompok plasebo berdasarkan systematic review literature.

Mencoba untuk mengklarifikasinya, pada tahun 2013 samochocki dkk melakukan penelitian di mana 20 dari 95 pasien di pilih untuk mendapatkan sumplementasi vitamin D (2000 IU oral chalciferol per hari). Rata-rata konsentrasi 25(OH)D sangat rendah antara 4-15 ng/ml. Setelah suplementasi, baik SCORAD dan indeks SCORAD menurun secara signifikan. Demikian pula, setelah sumplementasi, semua parameter SCORAD, kecuali likenifikasi, secara signifikan berkurang. Setelah 3 bulan suplementasi,, sebagian besar pasien mendapat perubahan dosis sumpementasi vitamin D dari yang sebelumnya <10ng/ml menjadi 10-20 ng/ml. Pada seluruh kelompok perlakuan parameter Patient Global Assessment antara 0 dan 3 (rata-rata 1.9). setelah 3 bulan pemberian vitamin D, rata-rata kadar IgE total dalam serum menurun secara signifikan dibanding sebelumnya.

Sebagai konsekuensinya, pada tahun 2014 Borzutsky dkk melaporkan sebuah kasus defisiensi vitamin D yang menyebabkan riketsia pada remaja dengan riwayat dermatitis atopi. Kadar serum 25(OH)D pasien tersebut 4.8 ng/ml. Sumplementasi vitamin D meningkatkan kadar serum 25(OH)D pasien tersebut menjadi 17.6 ng/ml, dengan normalisasi alkaline phosphatase, hormon paratiroid dan kalsiumserta peningkatan kondisi medis atas dermatitis atopi yang di deritanya. Laporan ini bersama dengan laporan samochocki dkk menunjukkan bahwa peningkatan kondisi medis memang dapat terjadi setelah sumpelementasi vitamin D pada pasien dengan defisiensi vitamin D yang parah.