Upload
hammie-shop-palembang
View
60
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Referat
MANIFESTASI TRAUMA PADA SEGMEN POSTERIOR
Oleh :
Ilona Amanta 041147080
Pembimbing:
dr. Petty Purwanita, Sp.M
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATARUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.MOH HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA2014
1
HALAMAN PENGESAHAN
Telaah Ilmiah
Manifestasi Trauma pada Segmen Posterior
Oleh:
Ilona Amanta 041147080
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang Periode 10 Februari 2014 – 17 Februari 2014.
Palembang, Maret 2014
Pembimbing,
dr. Petty Purwanita, Sp.M
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
rahmatNya Penulis dapat menyelesaikan telaah ilmiah ini. Telaah ilmiah dengan
judul Konjungtivitis Alergi merupakan suatu persyaratan untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik pada Departemen Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas
Kedokteran UNSRI/RSUP. Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, tak lupa Penulis menghaturkan terima kasih yang
setulusnya kepada dr. Petty Purwanita, Sp.M selaku dosen pembimbing di
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran UNSRI/RSUP. Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan kesalahan, baik
dalam penulisan maupun materi telaah ilmiah ini. Untuk itu, penulis
mengharapkan saran yang membangun dari para pembaca. Akhir kata, semoga
telaah ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Terima kasih.
Palembang, Maret 2014
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ ii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
DAFTAR ISI........................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi ...........................................................................
BAB III KESIMPULAN ........................................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 37
4
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak sengaja yang menimbulkan
perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, walau tidak
mengancam kehidupan tetapi mengancam tajam penglihatan mata. Trauma mata
terbagi atas : trauma fisik (tumpul dan tajam), trauma kimia (asam dan basa),
trauma radiasi (ultraviolet dan infrared).
Trauma tumpul pada wajah sering mengenai area orbita dengan segala
akibatnya, mulai dari sekedar memar di pelpebra hingga kerusakan bagian dalam
bola mata yang dapat berakhir pada kebutaan. Trauma tumpul pada mata dapat
menyebabkan kerusakan pada bola mata yang paling belakang, karena tekanan
gaya dari bola mata bagian depan diteruskan ke segala arah sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan di semua arah. Trauma tumpul pada mata dapat
mengakibatkan kebutaan jika trauma yang terjadi cukup kuat untuk merusak
struktur - struktur yang penting dalam proses penglihatan, yaitu kornea, lensa,
retina dan koroid serta jaringan penyangganya mengalami kerusakan akibat
cedera, kadang sangat berat sampai terjadi kebutaan atau mata harus diangkat.
Oleh karena itu, penulisan ini akan membahas secara tentang manifestasi
trauma pada segmen posterior sehingga memudahkan dalam mendiagnosis
pasien sehingga tidak terjadi komplikasinya dan mendapatkan prognosis yang
baik ke depannya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Segmen Posterior
Segmen posterior merupakan dua pertiga dari bagian mata yang meliputi
membran anterior hyaloid dan semua struktur di belakangnya : vitreous humor,
retina, koroid, dan saraf – saraf optikus. Pada referat ini akan dibahas tentang
anatomi bagian segmen posterior
Gambar 1. Anatomi Bola Mata (Riordan-Eva, 2010)
2.1.1 Vitreous Humor
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang membentuk
dua pertiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi oleh
lensa, retina, dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus, membran hyaloid,
normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut: Kapsul lensa posterior,
serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina, dan caput nervi optici
(Riordan-Eva, 2010).
6
Vitreous tidak berwarna, transparan, mengisi ruang antara lensa mata dan
retina ke arah belakang mata. Vitreous diproduksi oleh beberapa sel selaput jala.
Komposisinya hampir sama dengan kornea tetapi hanya memiliki sangat sedikit
sel (kebanyakan fagosityang menghilangkan serpihan sel dalam area visual),
tanpa pembuluh darah, dan 98-99% volumenya terdiri dari air (kornea 75%)
dengan garam, gula, vitrosin, rangkaian kolagen dan juga susunan protein dalam
jumlah mikro. Yang mengagumkan, dengan hanya memiliki sangat sedikit zat
yang padat, vitreous dapat menahan mata. Disisi lain, lensa mata terikat erat
dengan sel. Namun demikian vitreous memiliki kekentalan dua sampai empat
kali kekentalan air murni. Vitreous juga memiliki indeks bias 1.336. (Riordan-
Eva, 2010).
Basis vitreus mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup ke
lapisan epitel pars plana dan retina tepat dibelakang ora serrata. Di awal
kehidupan, vitreus melekat kuat pada kapsul lensa dan caput nervi optici, tetapi
segera berkurang di kemudian hari. Vitreus mengandung air sekitar 99%, sisa
1% meliputi dua komponen, kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk
dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena kemampuannya mengikat banyak
air (Riordan-Eva, 2010).
2.1.2 Papil
Visual pathway bermula di retina, dan terdiri dari saraf optik, chiasma
optikus,traktus optikus,lateral geniculate bodies, optic radiations dan kortex
visual. Panjang saraf optik ± 45-70 mm, terdiri atas 4 bagian yaitu intra okuli
(1mm), intra orbita (30 mm),intra kanalikuli (6-9mm), dan intra kranial (10mm).
Optic nerve head,oleh Brigss (1688) disebut ˝papil˝,berbentuk oval dengan
diameter 1,5mm dan aksis vertikal yang lebih panjang. Aliran darah saraf optik
dan papil sangat kompleks (Khurana A K,2007; Andra Pradesh,2009).
Papil adalah tempat serabut nervus optikus memasuki mata. Papil yang normal
mempunyai bentuk yang lonjong, warna jingga muda, dibagian temporal sedikit
pucat, batas dengan sekitarnya (retina) tegas, didapatkan lekukan fisiologis
(physiologic cup). Pembuluh darah muncul ditengah, bercabang ke atas dan ke
7
bawah, jalannya arteri agak lurus, sedangkan vena berkelo-kelok, perbandingan
besar vena : arteri ialah 3 : 2 sampai 5 : 4.3
2.1.3 Makula
Makula merupakan suatu area pada kutub posterior retina dengan diameter
sekitar 5-6 mm. Secara histologi merupakan area dengan lebih 4,7,8,9 dari satu
lapis sel ganglion. Istilah makula berasal dari kata “macula lutea“ yang berarti
bintik kuning, dikarenakan adanya warna kekuningan akibat pigmen karotenoid
(xantophyl). Terdapat dua pigmen utama didalam makula yaitu zeaxanthin dan
lutein. Rasio lutein dibanding zeaxanthin pada area sentral adalah 1 : 2,4
(sepanjang radius 0,25 mm dari fovea) dan berangsur meningkat menjadi 2 : 1
pada area perifer (2,2-8,7 mm dari fovea).
Secara topografi regio makula, topografi makula terdiri dari umbo,
umbo, foveola, fovea, parafovea, foveola, fovea, parafovea, dan perifovea.
Umbo adalah pusat dari foveola. Secara histologis terdiri dari suatu lamina basal
yang tipis, sel-sel Muller dan sel kerucut 4,7. Foveola merupakan area pusat
cekungan di dalam fovea, dengan lokasi ± 4 mm kearah temporal dan ± 0,8 mm
ke inferior dari pusat papil optik, dengan diameter sekitar 0,35 mm dan
ketebalan sekitar 0,10 mm pada pusatnya. Berisi sel - sel kerucut, sel-sel Muller
dan sel-sel glial. 4,7,8,9,10
Fovea adalah pusat dari makula berupa cekungan dengan diameter ± 1,5
mm 4,7,8,9,10. Pada daerah ini sel kerucut akan terdorong ke arah tepi, lapisan
pleksiforma luar (lapisan Henle) menjadi horizontal, sedangkan serat sel Muller
tersusun secara miring. Didalam fovea, dengan diameter 250-600 µm terdapat
fovea avascular zone ( FAZ ) atau capillary - free zone. Parafovea setebal 0.5
mm mengelilingi fovea. Parafovea terdiri dari sepuluh lapisan retina 7,8,9,10.
Perifovea mengelilingi parafovea setebal 1,5 mm, area ini merupakan bagian
yang paling luar dari makula. Vaskularisasi makula disuplai oleh arteri retina
sentralis, korio kapiler, arteri silio retina yang berjalan dari papil nervus optikus
ke makula 9,10.
8
2.1.4 Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semi transparan
yang melapisi bagian dalam dua pertiga postrerior dinding bola mata. Retina
membentang ke anterior hampir sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora
serrata dengan tepi yang tidak rata. Permukaan luar retina sensoris bertumpuk
dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan
membran Bruch, koroid, dan sklera (Riordan-Eva, 2010).
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalam, adalah sebagai berikut: (1)
membran limitans interna; (2) lapisan serat saraf, yang mengandung akson-
akson sel ganglion yang menuju nervus optikus; (3) lapisan sel ganglion; (4)
lapisan pleksiform dalam, yang mengandund sambungan sel ganglion dengan sel
amakrin dan sel bipolar; (5) lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin
dan horisontal; (6) lapisan pleksiform luar yang mengandung sambungan sel
bipolar dan sel horisontal dengan fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel
fotoreseptor; (8) membran limitans eksterna; (9) lapisan fotoreseptor segmen
dalam dan luar batang dan kerucut; dan (10) epitel pigmen retina. Lapisan dalam
membran Bruch sebenarnya merupakan membran basalis epitel pigmen retina
(Riordan-Eva, 2010).
9
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada
kutub posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter
5,5-6 mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh
cabang-cabang pembuluh retina temporal. Darerah ini ditetapkan sebagai area
centralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan
sel ganglionnya lebih dari satu lapis (Riordan-Eva, 2010).
Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat
diluar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen
retina serta cabang-cabang dari arteria centralis retinae, yang mendarahi dua
pertiga dalam retina (Riordan-Eva, 2010).
2.1.5 Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Koroid tersusun
atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang, dan kecil. Semakin dalam
pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya Bagian dalam
pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh
koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior.
Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh
sklera. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus optikus. Di sebelah
anterior, koroid bergabung dengan corpus ciliare (Riordan-Eva, 2010).
2.1.6 Saraf – Saraf Optikus
Retina merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual. Sebagaimana
halnya nervus optikus, retina merupakan bagian dari otak meskipun secara fisik
terletak di perifer dari sistem saraf pusat (SSP). Komponen yang paling utama
dari retina adalah sel-sel reseptor sensoris atau fotoreseptor dan beberapa jenis
neuron dari jaras penglihatan. Lapisan terdalam (neuron pertama) retina
mengandung fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) dan dua lapisan yang lebih
superfisial mengandung neuron bipolar (lapisan neuron kedua) serta sel-sel
ganglion (lapisan neuron ketiga). 1
10
Gambar 3. Lapisan Neuron pada Retina
Sekitar satu juta akson dari sel-sel ganglion ini berjalan pada lapisan
serat retina ke papila atau kaput nervus optikus. Pada bagian tengah kaput nervus
optikus tersebut keluar cabang-cabang dari arteri centralis retina yang
merupakan cabang dari a. oftalmika.1
Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum.
Di depan tubersinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan
bergabung menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum. Di depan tuber
sinerium nervus optikus kanan dan kiri bergabung menjadi satu berkas
membentuk kiasma optikum, dimana serabut bagian nasal dari masing – masing
mata akan bersilangan dan kemudian menyatu dengan serabut temporal mata
yang lain membentuk traktus optikus dan melanjutkan perjalanan untuk ke
korpus genikulatum lateral dan kolikulus superior. Kiasma optikum terletak di
tengah anterior dari sirkulus Willisi. Serabut saraf yang bersinaps di korpus
genikulatum lateral merupakan jaras visual sedangkan serabut saraf yang
berakhir di kolikulus superior menghantarkan impuls visual yang
membangkitkan refleks opsomatik seperti refleks pupil. 2
11
Gambar 4. Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus (tampak basal)
Setelah sampai di korpus genikulatum lateral, serabut saraf yang
membawa impuls penglihatan akan berlanjut melalui radiatio optika (optic
radiation) atau traktus genikulokalkarina ke korteks penglihatan primer di girus
kalkarina. Korteks penglihatan primer tersebut mendapat vaskularisasi dari a.
kalkarina yang merupakan cabang dari a. serebri posterior. Serabut yang berasal
dari bagian medial korpus genikulatum lateral membawa impuls lapang pandang
bawah sedangkan serabut yang berasal dari lateral membawa impuls dari lapang
pandang atas (gambar 5).1,3
12
Gambar 5. Radatio Optika
Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus
superior, saraf akan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi
yang berhubungan dengan nukleus Eidinger-Westphal (parasimpatik) dari kedua
sisi menyebabkan refleks cahaya menjadi bersifat konsensual. Saraf eferen
motorik berasal dari nukleus Eidinger-Westphal dan menyertai nervus
okulomotorius (N.III) ke dalam rongga orbita untuk mengkonstriksikan otot
sfingter pupil (gambar 6).1,4
13
Gambar 6. Jaras Refleks Pupil 1
2.2. Manifestasi Trauma pada Segmen Posterior
Trauma mata oleh benda tumpul merupakan peristiwa yang sering terjadi.
Kerusakan jaringan yang terjadi akibat trauma demikian bervariasi mulai dari
yang ringan hingga berat bahkan sampai kebutaan. Trauma tumpul mata adalah
trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak keras
dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan
kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau
daerah sekitarnya.
Pada setiap kasus trauma, kita harus memeriksa tajam penglihatan karena
hal ini berkaitan dengan pembuatan visum et repertum. Pada penderita yang
ketajaman penglihatannya menurun, dilakukan pemeriksaan refraksi untuk
mengetahui bahwa penurunan penglihatan mungkin bukan disebabkan oleh
trauma tetapi oleh kelainan refraksi yang sudah ada sebelum trauma.
14
Pada saat penderita masuk ruang pemeriksaan, sudah dapat diketahui adanya
kelainan di sekitar mata seperti adanya perdarahan sekitar mata, pembengkakan
di dahi, di pipi, hidung dan lain-lainnya. Pemeriksaan mata perlu dilakukan
secara sistematik dan cermat.
Tabel 1. Temuan pada Segmen Posterior Tersering pada Trauma Tumpul
Temuan Luka memar Luka goresan Ruptur
Perdarahan Vitreous Ya Ya Ya
Pigmen Vitreous Ya Jarang Jarang
Vitreous base dialysis Ya Jarang Ya
Retinal flap tear Ya Ya Ya
Terpisahnya posterior vitreous Ya Jarang Ya
Intraocular Foreign Body No Ya Jarang
Commotio Retina Ya Jarang Jarang
Lubang Makula Ya Jarang Jarang
Ruptur Koroid Ya Tidak Jarang
Sclopetaria Ya Tidak Ya
Perdarahan Subretina Ya Ya Ya
Optic Nerve Avulsion Ya Jarang Jarang
Retinal Detachment Jarang Jarang Ya
Hypotony Maculopathy Ya Ya Ya
Dislokasi Lensa Ya Tidak Ya
Endophthalmitis Tidak Ya Jarang
2.2.1 Koroid
Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan
akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata
dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf optic. Bila ruptur koroid ini
terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam penglihatan akan turun
dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar
15
dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorbsi maka akan terlihat bagian
ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid.
2.2.2 Saraf Optik
Pada trauma tumpul dapat terjadi avulsi saraf optik atau terlepasnya saraf optik
dari pangkal-pangkalnya di dalam bola mata. Keadaan ini menyebabkan
penurunan visus dan sering berkahir pada kebutaan.Selain itu, trauma tumpul
juga dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula perdarahan
dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah cidera mata
dan terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina.
Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan
lapang pandang.
Kontusio dan konkusio dapat menyebabkan edema dan inflamasi di sekitar
diskus optik berupa pailitis, dengan sekuele berupa papil atrofi. Keadaan ini
sering disertai pula dengan kerusakan koroid dan retina yang luas. Kontusio dan
konkusio yang hebat juga mengakibatkan ruptur atau avulsi nervus optikus yang
biasanya disertai kerusakan mata berat.3,6
A. Avulsi Papil Saraf Optik
Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di
dalam bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini
akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering
berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk untuk dinilai kelainan
fungsi retina dan saraf optiknya.
B. Optik Neuropati Traumatik
Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian
pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang
setelah cidera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan
nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan
penglihatan warna dan lapang pandang. Papil saraf optik dapat normal
beberapa minggu sebelum menjadi pucat.
16
Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah
trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan
pada kiasma optik. Pengobatan adalah dengan merawat pasien waktu akut
dengan memberi steroid.
2.2.3 Vitreous Humor
Perdarahan vitreous humor merupakan penyebab kedua kekeruhan media
setelah katarak. Kavitas pada vitreous humor dapat dievaluasi dari adanya
kekeruhan dari cairan vitreous humor (sineresis), sel merah yang menumpuk
(perdarahan), inflammasi (uveitis), infeksi (endoftalmitis) atau karena steroid
hialoids (4,7).
Perdarahan vitreus adalah ekstravasasi darah ke salah satu dari beberapa
ruang potensial yang terbentuk di dalam dan di sekitar korpus vitreus. Kondisi
ini dapat diakibatkan langsung oleh robekan retina atau neovaskularisasi retina,
atau dapat berhubungan dengan perdarahan dari pembuluh darah yang sudah ada
sebelumnya.(2,8)
Perdarahan vitreus dapat terjadi akibat dari retinitis proliferans, oklusi
vena sentral, oklusi vena cabang, ablasio retina, kolaps posterior vitreus akut
tanpa harus ada robekan. Perdarahan tersebut terletak pada belakang gel vitreus
atau dengan sineretic kavitas.(7)
Etiologi terjadinya perdarahan vitreus menjadi tiga kategori utama yaitu:(1,5,6,8)
1. Pembuluh darah retina abnormal
Pembuluh darah retina abnormal biasanya akibat iskemia pada
penyakit seperti diabetik retinopati, sickle cell retinopati, oklusi vena retina,
retinopati prematuritas atau sindrom iskemik okular. Retina mengalami
pasokan oksigen yang tidak memadai, Vascular Endotel Growth Factor
(VEGF) dan faktor kemotaktik lainnya menginduksi neovaskularisasi.
Pembuluh darah baru ini terbentuk karena kurangnya endotel tight junction
yang merupakan faktor predisposisi terjadinya perdarahan spontan. Selain
itu, komponen berserat yang sering menempatkan tekanan tambahan pada
17
pembuluh darah yang sudah rapuh serta traksi vitreus normal dengan
gerakan mata dapat menyebabkan pecahnya pembuluh tersebut.(1)
2. Pecahnya pembuluh darah normal
Pecahnya pembuluh darah normal dapat diakibatkan kekuatan
mekanik yang tinggi. Selama PVD, traksi vitreus pada pembuluh darah
retina dapat membahayakan pembuluh darah. Hal ini bisa terjadi dengan
robekan retina atau ablasio. Namun, perdarahan vitreus dalam bentuk
sebuah PVD akut harus diwaspadai dokter karena risiko robeknya retina
bercukup tinggi (70-95 persen). Trauma tumpul atau perforasi bisa melukai
pembuluh darah utuh secara langsung dan merupakan penyebab utama
perdarahan vitreus pada orang muda terutama umur kurang dari 40 tahun.
Penyebab yang jarang dari perdarahan vitreus adalah sindrom Terson, yang
berasal dari ekstravasasi darah ke dalam vitreus karena perdarahan
subaraknoid. Sebaliknya peningkatan tekanan intrakranial dapat
menyebabkan venula retina pecah.(1)
3. Darah dari sumber lainnya
Darah dari sumber lainnya, keadaan patologi yang berdekatan
dengan vitreus juga dapat menyebabkan perdarahan vitreus seperti pada
perdarahan dari makroaneurisma retina, tumor dan neovaskularisasi
koroidal, semua dapat memperpanjang melalui membran batas dalam
vitreus dan menyebabkan perdarahan.(1)
Tabel 2. Mekanisme Perdarahan Vitreus(1)
1. Pembuluh darah Abnormal
Diabetik retinopati (31-54 % perdarahan vitreus disebabkan oleh diabetes)
Neovaskularisasi dari cabang atau pusat oklusi vena retina (4-16 %)
Retinopati sickle sel (0,2-6 %)
2. Pecahnya Pembuluh darah normal
Robekan retina (11-44 %)
Trauma (12-19 %)
18
Posterior Vitreous Detachement (PVD), robekan pembuluh darah retina (4-12 %)
Ablasio retina (7-10 persen)
Sindrom Terson (0,5-1 persen)
3. Darah Dari Sumber Lain
Makroaneurisma (0,6-7 %)
Age Related Macula Degeneration (0,6-4 %)
Gambar 7. Mekanisme Perdarahan Vitreus
Gejala klinis
Pasien dengan perdarahan vitreus sering datang dengan keluhan mata kabur atau
berasap, ada helai rambut atau garis (floaters), fotopsia, seperti ada bayangan
dan jaring laba-laba. Gejala subyektif yang paling sering ialah fotopsia, floaters.
Fotopsia ialah keluhan berupa kilatan cahaya yang dilihat penderita seperti
kedipan lampu neon di lapangan. Kilatan cahaya tersebut jarang lebih dari satu
detik, tetapi sering kembali dalam waktu beberapa menit. Kilatan cahaya
tersebut dilihat dalam suasana redup atau dalam suasana gelap. Fotopsia diduga
oleh karena rangsangan abnormal vitreus terhadap retina.(1,2,5,6)
19
Floaters adalah kekeruhan vitreus yang sangat halus, dilihat penderita
sebagai bayangan kecil yang berwarna gelap dan turut bergerak bila mata
digerakkan. Bayangan kecil tersebut dapat berupa titik hitam, benang halus,
cincin, lalat kecil dan sebagainya. Floaters tidak memberikan arti klinik yang
luar biasa, kecuali bila floaters ini datangnya tiba-tiba dan hebat, maka keluhan
tersebut patut mendapat perhatian yang serius, karena keluhan floaters ini dapat
menggambarkan latar belakang penyakit yang serius pula, misalnya ablasio
retina atau perdarahan di vitreus.(2,4,5)
Perdarahan vitreus ringan sering dianggap sebagai beberapa floaters
baru, perdarahan vitreus moderat dianggap sebagai garis-garis gelap, dan berat
pada perdarahan vitreus cenderung untuk secara signifikan mengurangi
penglihatan bahkan persepsi cahaya. Biasanya, tidak ada rasa sakit yang terkait
dengan perdarahan vitreus. Pengecualian mungkin terjadi apabila termasuk
kasus glaukoma neovaskular, hipertensi okular akut sekunder yang parah atau
trauma.(1,2,7,8)
Pasien harus ditanyakan mengenai riwayat trauma, operasi mata,
diabetes, anemia sickle sel, leukemia dan miopia tinggi.(1)
Pemeriksaan lengkap terdiri dari oftalmoskopi langsung dengan depresi
skleral, gonioskopi untuk mengevaluasi neovaskularisasi sudut, TIO dan B-scan
ultrasonografi jika tampilan lengkap segmen posterior tertutup oleh darah.
Pemeriksaan dari mata kontralateral dapat membantu memberikan petunjuk
etiologi dari perdarahan vitreus, seperti retinopati diabetik proliferatif.(1,7)
Gambaran perdarahan pada vitreus melalui ultrasonografi berbentuk
kecil dan semakin banyak terlihat dan semakin tebal diartikan banyak
perdarahan di dalamnya. Dapat pula dibedakan perdarahan yang masih baru
“fresh hemorrhage” atau sudah lama “clotted hemorrhage”. Bila perdarahan
disebabkan oleh PVD, akan terlihat gambaran membran yang sejajar di B-scan
ultrasonografi.(1,5,6)
Kehadiran perdarahan vitreus tidak sulit untuk dideteksi. Pada slit lamp,
sel darah merah dapat dilihat di posterior lensa dengan cahaya set "off-axis" dan
mikroskop pada kekuatan tertinggi. Dalam perdarahan vitreus ringan, pandangan
20
ke retina dimungkinkan dan lokasi dan sumber perdarahan vitreus dapat
ditentukan. (1,5,6)
Perdarahan vitreus hadir dalam ruang subhialoid juga dikenal sebagai
perdarahan preretinal. Perdarahan berbentuk seperti perahu dimana darah
terperangkap dalam ruang potensial antara hialoid posterior dan basal membran,
dan mengendap keluar seperti hifema. Perdarahan vitreus yang tersebar ke dalam
korpus vitreus tidak memiliki batas dapat berkisar dari beberapa bintik sel darah
merah sampai memenuhi keseluruhan dari segmen posterior.(1,5)
Gambar 8. Perdarahan vitreus segmen anterior dan segmen posterior(3)
2.2.4 Retina
A. Commotio Retinae / Berlin’s Edema / Edema Makula
Edema makula terjadi ketika cairan dari bocoran kapiler yang
lemah masuk ke dalammakula, yang bertanggung jawab
untuk memfokuskan mata. Edema retina yang mengenai makula dapat
disebabkan oleh penyakit peradangan intraokular, penyakit vaskular retina,
membran epiretina, bedah intraokular, degenerasi retina didapat atau
herediter, terapi obat, atau mungkin idiopatik. Edema makula mungkin
bersifat difus bila cairan intraretina yang tidak terlokalisasi menyebabkan
penebalan makula. Edema makula setempat, akibat timbunan cairan dalam
ruang-ruang mirip sarang lebah pada lapisan inti dalam dan lapisan
pleksiform luar, dikenal sebagai edema makula kistoid (CME). CME
21
memiliki gambaran yang khas pada optical coherence tomography, yang
merupakan suatu metode noninvasif yang baik untuk memantau respon
terapi. Pada angiografi fluoresens, zat warna fluoresens merembes keluar
dari kapiler-kapiler retina perifovea dan daerah peripapilar, tertimbun
dengan pola kelopak bunga di sekitar fovea.
Penyebab CME tersering adalah operasi katarak, terutama bila operasinya
lama atau menimbulkan komplikasi. Pelepasan vitreus posterior total
tampaknya agak menghalangi perkembangan CME. Setelah tindakan
bedah fakoemulsifikasi rutin, CME terdeteksi sekitar 25% dengan
angiografi fluoresens dan sekitar 2% dengan pemeriksaan klinis. Edema
ini biasanya terjadi dalam 4-12 minggu pascaoperasi, tetapi pada beberapa
keadaan onsetnya mungkin tertunda beberapa bulan sampai tahun. Banyak
pasien dengan lama CME kurang dari 6 bulan mengalami perhentian
kebocoran secara spontan dan sembuh tanpa pengobatan. Terapi inflamasi
nonsteroid dan atau steroid topikal dapat mempercepat permulihan
ketajaman penglihatan pada pasien edema makula pascaoperasi kronik.
Pada kasus-kasus yang resisten, terapi dengan triamcinolone dasar orbita
atau intravitreal mungkin bermanfaat. Vitreolisis laser YAG atau
vitrektomi dapat dipertimbangkan bila ada traksi vitreus. Apabila
pemasangan lensa intraokular merupakan penyebab edema makula
pascaoperasi, akibat disain, posisi, atau fiksasinya tidak adekuat, perlu
dipertimbangkan pengangkatan lensa tanam tersebut.
B. Lubang Makula
Lubang makula biasanya terjadi karena adanya tekanan pada makula. Mata
terisi dengan jel bening yang disebut vitreous. Seiring dengan proses
penuaan atau karena trauma tumpul, vitreous biasanya menjadi semakin
encer dan dapat menekan pada makula, mengakibatkan robeknya makula,
membentuk lubang makula. Penyebab lain lubang makula adalah miopia
tinggi, dimana bentuk bola mata memanjang sehingga memberikan
tekanan pada makula, menyebabkannya robek.
22
Beberapa gejala lubang makula termasuk memburuknya penglihatan
sentral / pusat (bagian tengah) secara bertahap atau distorsi penglihatan
(melihat garis lurus menjadi bergelombang). Cara terbaik untuk
mendeteksi lubang makula adalah melalui pemeriksaan mata. Dokter mata
anda akan meneteskan obat tetes mata untuk memperbesar pupil sementara
sehingga dia dapat mengecek ada tidaknya lubang di bagian belakang mata
anda (retina). Mata juga di scan tanpa rasa sakit dengan menggunakan
tomografi koherensi optikal (suatu bentuk cahaya yang berguna untuk
mengecek lapisan-lapisan retina ) untuk mengevaluasi makula.
C. Perdarahan Subretina
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina akibat ruptur koroid.
Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar
kosentris di sekitar papil saraf optik. Bila ruptur koroid ini terletak atau
mengenai daerah makula lutea maka tajam penglihatan akan turun drastis.
Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar dilihat namun
bila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur
bewarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa koroid.
Perdarahan subretina ini kemudian diikuti oleh parut subretina. 3
D. Ablasio Retina / Retinal Detachment
Ablatio retina adalah lepasnya lapisan sensoris retina (sel batang dan sel
kerucut) dari lapisan epitel pigmen retina. Diantara kedua lapisan tersebut
akan terkumpul cairan yang disebut cairan subretina. Penderita ablatio
retina akan mengeluh penglihatan nya kabur secara mendadak. Pada
awalnya sebelum terjadi ablatio retina seseorang akan merasakan
penglihatannya seperti ada kotoran, ada bintik bintik hitam atau bayang
bayang hitam seperti garis garis pada lapangan penglihatannya (floaters)
dan dapat juga disertai adanya sensasi kilatan kilatan cahaya (fotopsi)
selanjutnya secara cepat penglihatan seperti tertutup tirai dan bahkan gelap
sama sekali. Ablasio retina diklasifikasikan atas :
23
i. Retinal detachment regmatogen
Retinal detachment regmatogen merupakan bentuk yang paling
banyak dijumpai, karakteristiknya adalah pelepasan total (full
thickness) suatu regma di retina sensorik, traksi korpus vitreus dan
mengalirnya korpus vitreus cair melalui defek retina sensorik ke
dalam ruang subretina. Sebanyak 90% sampai 97% dijumpai
adanya retinal break dan sebagian besar pasien mengeluh adanya
photopsia dan floaters. Tekanan bola mata cenderung rendah
dibandingkan dengan mata sebelah. Tanda khas yang dijumpai
yakni shafer sign (tobacco dust). Manajemen rhegmatogenous
retinal detachment dapat dilakukan dengan cara tehnik bakel sclera
yang bertujuan menutup robekan retina dengan cara indentasi
sclera maka traksi vitreus berkurang dan mengurangi masukan
vitreus cair melalui robekan retina ke ruang subretina. Sehingga
daerah robekan retina menempel kembali dengan EPR. Pada tehnik
pneumatic retinopexy, gelembung udara diinjeksikan ke dalam
rongga vitreus yang berfungsi sebagai temponade terhadap robekan
retina sehingga retina melekat kembali. Kedua tehnik diatas dapat
menghasilkan perlekatan retina yang kuat dengan melakukan
cryotheraphy, laser atau diathermy dan kadang perlu dilakukan
vitrektomi. Kegagalan tehnik diatas sering disebabkan oleh adanya
Proliferative Vitreo Retinopathy (PVR) dimana terjadi proliprasi
membran periretina yang menimbulkan traksi yang menyulitkan.
ii. Retinal detachment traksional
Retinal Detachment traksional adalah bentuk kedua tersering. Hal
ini terutama disebabkan oleh Retinopati diabetik proliferatif, vitreo
retinopati proliferatif dan trauma mata dimana membran yang
timbul pada vitreus menarik neurosensori retina dari RPE.
Gambaran karakteristiknya yaitu permukaan retina yang licin dan
imobil. Terapi dari traksional retinal detachment merupakan
kombinasi antara vitrektomi dan tehnik bakel sklera.
24
iii. Retinal detachment eksudatif
Retinal Detachment Eksudatif, ini disebabkan oleh kerusakan
pembuluh darah retina atau RPE. Sehingga memungkinkan
penimbunan cairan dibawah retina sensorik. Hal ini sering
disebabkan oleh infeksi, neoplasma. Adanya sifting fluid
merupakan karakteristik dari eksudatif retinal detachment karena
cairan subretina dipengaruhi oleh gaya grafitasi maka dimana
cairan ini menumpuk disana terjadi ablasio retina. Ablasio retina
eksudatif ini dapat mengalami regresi spontan. Setelah cairan
subretina mengalami resorbsi, oleh karena itu terapi ablasio ini
diarahkan terhadap penyebabnya sehingga jarang dilakukan
operasi.
2.2.5 Papil
Atropi Papil
Atropi papil merupakan kerusakan pada saraf optik yang mengakibatkan
degenerasi saraf optik yang terjadi sebagai hasil akhir suatu proses patologik
yang merusak akson pada sistem penglihatan anterior.Atropi papil dapat
bersifat primer atau sekunder. Atropi papil merupakan suatu tanda yang
penting dari suatu penyakit saraf optik lanjut.(Skuta 2010,Khurana 2007).
Atropi papil tidak terjadi dengan segera tetapi umumnya terjadi 4-6 minggu
setelah terjadinya kerusakan akson (Skuta, 2010). Atropi papil primer
disebabkan oleh adanya lesi yang mengenai jalur visual pada bagian
retrolaminar saraf optik ke badan genikulatum lateral. Lesi yang mengenai
saraf optik akan menghasilkan atropi papil yang unilateral,sedang lesi yang
mengenai chiasma dan traktus optikus akan menyebabkan atropi papil yang
bilateral.
Gambaran papil :
- Papil putih,datar dengan gambaran batas yang jelas
- Penurunan jumlah pembuluh darah kecil pada papil
- Pengecilan pembuluh darah peripapiler dan penipisan lapisan sarabut saraf
retina.
25
BAB III
PENUTUP
Segmen posterior merupakan dua pertiga dari bagian mata yang meliputi
membran anterior hyaloid dan semua struktur di belakangnya : vitreous humor,
retina, koroid, dan saraf – saraf optikus. Pada referat ini akan dibahas tentang
anatomi bagian segmen posterior
Trauma tumpul mata adalah trauma pada mata yang diakibatkan benda
yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut
dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan
pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya.
Pada setiap kasus trauma, kita harus memeriksa tajam penglihatan karena
hal ini berkaitan dengan pembuatan visum et repertum. Pada penderita yang
ketajaman penglihatannya menurun, dilakukan pemeriksaan refraksi untuk
mengetahui bahwa penurunan penglihatan mungkin bukan disebabkan oleh
trauma tetapi oleh kelainan refraksi yang sudah ada sebelum trauma.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Mata merah dengan penglihatan normal. Ilyas S, editor. Dalam:
Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta: FKUI; 2009.
2. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Ofthalmologi
Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika ; 2000.
3. Bruce, Chris, dan Anthony. 2006. Lecture Notes : Oftalmologi. Edisi 9.
Jakarta :Penerbit Erlangga.
4. Mansjoer, Arif, Kuspuji Triyanti et al. 2005.Kapita Selekta Kedokteran edisi
ketiga.Jakarta: Media Aesculapius
5. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI 1993 1. Bruce, Chris,
dan Anthony. 2006. Lecture Notes : Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta :Penerbit
Erlangga.
6. Kuhn F, Pieramici.Ocular Trauma Principles and Practice [ebook]. New
York: Thieme; 2002.
7. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology A Systematic Approach:
trauma to globe [ebook]. 7th ed. Edinburgh: Elsevier Saunders; 2011.
Chapter 21.
8. Khurana AK. Comphrehensive Ophthalmology: ocular injuries [ebook]. 4th
ed. New Delhi: New Age International; 2007. p.401-16.
9. Pieramici DJ, Kuhn F. Ocular Traumatology [ebook]. New York: Springer;
2008. p. 389-450.
10. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General
Ophthalmology: ocular and orbital trauma [ebook]. 16th ed. New York:
McGraw-Hill; 2010. Chapter 19.
11. Harus S, Srinivasan S, Kaye S, Batterbury M, Hollingworth K. Modification
of classification of ocular chemical injuries. Br J Ophthalmol. 2004; 88(10):
1353–5.
12. Berson FG. Basic Ophthalmology: ocular and orbital injuries. 6th ed. San
Fransisco: American Academy of Ophthalmology. p. 82-9.
27