39
Clinical Science Sessio HUBUNGAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS) DENGAN TONSILITIS KRONIS Oleh: Nila Soswita Yusuf Vesri Yossy Sonya Hardi Erni Yessyc Preseptor: Dr. Novialdi, Sp.THT-KL BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 1

Refrat Tht

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Refrat Tht

Clinical Science Sessio

HUBUNGAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS)

DENGAN TONSILITIS KRONIS

Oleh:

Nila Soswita Yusuf

Vesri Yossy

Sonya Hardi

Erni Yessyc

Preseptor:

Dr. Novialdi, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2013

1

Page 2: Refrat Tht

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap

manusia. Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Bentuk gangguan

tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea (henti nafas pada waktu tidur), dan

gejala yang paling sering timbul pada sleep apnea adalah mendengkur.

Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) adalah kumpulan gejala gangguan

tidur yang terkait dengan penghentian nafas selama paling tidak 10 detik tiap episode

yang terjadi karena tertutupnya saluran pernafasan atas.

OSAS pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell.

Penyakit ini biasanya mempunyai gejala mendengkur keras, gangguan tidur

(sleep choking), dan dilaporkan oleh keluarganya ada henti nafas saat tidur, juga

gerakan - gerakan abnormal saat tidur. Mendengkur merupakan masalah sosial dan

masalah kesehatan. Mendengkur merupakan masalah yang mengganggu pasangan tidur,

menyebabkan terganggunya pergaulan, menurunnya produktivitas, peningkatan risiko

kecelakaan lalu lintas dan peningkatan biaya kesehatan pada penderita OSA.

Keluhan yang sering menyertai antara lain rasa kantuk terus menerus pada siang

hari (hipersomnolen), gangguan konsentrasi, sakit kepala pagi hari, depresi dan

penurunan libido. Tetapi diagnosis pasti OSAS saat ini dengan menggunakan

polisomnografi nokturnal yang dilakukan di klinik sleep apnea.

2

Page 3: Refrat Tht

OSAS sebaiknya didiagnosis sedini mungkin untuk mencegah terjadinya

komplikasi. Komplikasi gangguan tidur ini sering pula dihubungkan dengan stroke.

Komplikasi tergantung dari derajat keparahan OSAS. Lebih baik untuk mengobati OSAS

sedini mungkin. Hal ini bertanggung jawab terhadap peningkatan keluhan dari pasangan

dan yang lebih penting membawa peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan

kematian dini.

I.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

kejadian obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) dengan tonsilitis kronik.

1.3 Metode Penulisan

Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada

beberapa literatur.

3

Page 4: Refrat Tht

BAB II

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (SOAS)

II.1 Definisi

Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap manusia.

Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Gangguan tidur lebih sering

ditemukan pada pria, mulai dari sleep walking, sleep paralysis, insomnia, narkolepsi,

sampai sleep apnea. Bentuk gangguan tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep

apnea (henti nafas pada waktu tidur), dan gejala yang paling sering timbul pada sleep

apnea adalah mendengkur.1

Mendengkur (snoring) adalah suara bising yang disebabkan oleh aliran udara

melalui sumbatan parsial saluran nafas pada bagian belakang hidung dan mulut yang

terjadi saat tidur. 2

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran udara

selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan penurunan saturasi oksigen 2-4%) dan

hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik dengan desaturasi

oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara >50% untuk 10 detik dengan

desaturasi oksihemoglobin >3%) ada sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang

terjadi secara berulang pada saat tidur selama non-REM atau REM sehingga

menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat. Sumbatan ini menyebabkan pasien

menjadi terbangun saat tidur atau terjadi peralihan ke tahap tidur yang lebih awal.3,4

4

Page 5: Refrat Tht

Apnea didefinisikan sebagai henti nafas selama 10 detik atau lebih yang dapat

mengakibatkan penurunan aliran udara 25% dibawah normal.5

II.2 Patofisiologi Mendengkur dan OSA

Faring adalah struktur yang sangat lentur. Pada saat inspirasi, otot-otot dilator

faring berkontraksi 50 mili-detik sebelum kontraksi otot pernafasan sehingga lumen

faring tidak kolaps akibat tekanan intrafaring yang negatif oleh karena kontraksi otot

dinding dada dan diafragma. Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan

(relaksasi) sehingga ada kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi.

Mengapa hal ini terjadi hanya pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran

faring dan faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi lebih

sempit atau menutup pada waktu tidur. Faktor yang paling berperan adalah:

a. Obesitas

b. Pembesaran tonsil

c. Posisi relatif rahang atas dan bawah.6, 7, 8

Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas atas

akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau palatum.

Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas menstabilkan jalan

nafas pada waktu tidur di mana otot-otot faring berelaksasi, lidah dan palatum jatuh ke

belakang sehingga terjadi obstruksi.8, 9

5

Page 6: Refrat Tht

Gambar 1. Hambatan jalan nafas

Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu mendengkur

mengakibatkan kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer.

Akibatnya kemampuan otot untuk menstabilkan saluran nafas terganggu dan

meningkatkan kecenderungan saluran nafas untuk mengalami obstruksi. Obstruksi yang

diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu mendengkur dapat

berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea pada individu tertentu.2

Obstructive Sleep Apnoea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang dari saluran

nafas atas baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara pernafasan

berkurang (hipopnea) atau terhenti (apnea) sehingga terjadi desaturasi oksigen

(hipoksemia) dan penderita berkali-kali terjaga (arousal). Kadang-kadang penderita

benar-benar terbangun pada saat apnea di mana mereka merasa tercekik. Lebih sering

penderita tidak sampai terbangun tetapi terjadi partial arousal yang berulang, berakibat

pada berkurangnya tidur dalam atau tidur gelombang lambat. Keadaan ini menyebabkan

penderita mengantuk pada siang hari, kurang perhatian, konsentrasi dan ingatan

terganggu. Kombinasi hipoksemia dan partial arousal yang disertai dengan peningkatan

aktivitas adrenergik menyebabkan takikardi dan hipertensi sistemik. Banyak penderita

6

Page 7: Refrat Tht

OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya

karena teman tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase preobstruktif)

diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif).10

II.3 Epidemiologi

OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih dari

50 tahun yang lalu dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali. Prevalensi OSA

di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan 1-2% pada wanita.11

Pria lebih sering mengalami OSA dan seringkali (tetapi tidak harus) juga menderita

obesitas.7 Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui

mengapa OSA lebih jarang ditemukan pada wanita. Prevalensi OSA lebih rendah lagi

pada wanita sebelum masa menopause dan wanita menopause yang mendapat terapi

hormonal.12

Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi

dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan

Down.2 Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan menurun pada

usia di atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai

dengan penambahan usia.13

Pada penelitian kesehatan kardiovaskular di Amerika Serikat yang meliputi 5000

penduduk berusia 65 tahun atau lebih, 33% pria dan 19% wanita mendengkur. Prevalensi

mendengkur menurun pada kelompok usia di atas 75 tahun.14 Linberg et al. mendapatkan

hasil yang hampir sama, di mana prevalensi mendengkur pada pria memuncak pada

kelompok usia 50-60 tahun dan selanjutnya menurun.15 Sementara peneliti lain

7

Page 8: Refrat Tht

menemukan pada usia di atas 60 tahun, prevalensi OSA mencapai 45-62%. Di Nantes,

Perancis, hampir 60% penduduk yang berusia 60-70 tahun mendengkur.16

II.4 Gambaran Klinis

Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur,

mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea,

nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan enuresis,

mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia. Kebanyakan

penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang hari sehingga

menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan risiko terjadinya

kecelakaan lalu lintas.2, 17

Apnea pada orang dewasa didefinisikan sebagai tidak adanya aliran udara di

hidung atau mulut selama 10 detik atau lebih. Hipopnea didefinisikan sebagai

berkurangnya aliran udara sebesar 30% selama 10 detik atau lebih, dengan atau tanpa

desaturasi.18 Gastaut et al. menyatakan ada 3 jenis apnea:

1. Obstruktif, di mana aliran udara pernafasan terhenti tetapi gerakan dinding

dada tetap ada.

2. Central, di mana aliran udara pernafasan dan gerakan dinding dada

terhenti.

3. Campuran, merupakan kombinasi yang dimulai dengan tipe sentral diikuti

dengan obstruksi.

Kemudian diketahui apnea tipe campuran pada dasarnya adalah obstruktif di

mana gerak pernafasan tidak terdeteksi pada awal terjadinya apnea.

8

Page 9: Refrat Tht

Gambar 2. Tipe Apnea

Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang

adanya hubungan antara OSA dan obesitas yang sangat tinggi dapat mengurangi

kesadaran akan kemungkinan adanya OSA pada orang yang tidak gemuk (non-obese).

Hanya sekitar 50% penderita yang didiagnosis OSA juga menderita obesitas.

II.5 Diagnosis

Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan

datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras

(fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea

obstruktif). Bahkan di negara-negara di mana OSA sudah dikenal luas, sejumlah besar

individu dengan gejala OSA tetap tidak terdiagnosis. Contohnya di Amerika Serikat,

pada sebuah survei yang dilakukan di masyarakat tahun 1997 dari 4925 orang dewasa

9

Page 10: Refrat Tht

sebanyak 82% pria dan 92% wanita kemungkinan menderita OSA sedang sampai berat

yang belum terdiagnosis.19

Diagnosis OSA dibuat berdasarkan gangguan nafas yang ditemukan pada waktu

tidur pada individu yang menunjukkan gejala terutama mengantuk pada siang hari dan

mendengkur. OSA paling banyak diklasifikasikan menurut American Academy of Sleep

Medicine yaitu:

• ringan (AHI 5-15)

• sedang (AHI 15-30)

• berat (AHI > 30)

Klasifikasi lain yang dihubungkan dengan Respiratory Disturbance Index (RDI)

dan beratnya hipoksemi seperti berikut:

RDI SaO2 (%)

Mild 5-20 >85

Moderate 21-40 65-84

Severe >40 <65

Pada saat OSA baru dikenal, praktis semua pasien harus menjalani pemeriksaan

polisomnografi di rumah sakit. Pemeriksaan polisomnografi meliputi pemeriksaan EEG,

elektro-okulografi, elektromiografi, EKG, aliran nafas di hidung atau mulut, pulse

oximetry, gerakan dinding dada dan posisi tidur yang menghasilkan apnea index (AI),

apnea-hypopnea index (AHI) atau respiratory disturbance index (RDI). Cara ini kurang

praktis dan tidak perlu dilakukan pada semua pasien. Saat ini pasien diperiksa dengan

cara yang lebih sederhana menggunakan 4-6 sinyal. Biasanya dilakukan penilaian

saturasi O2, aliran nafas, gerakan dada dan perut, dan kadangkadang denyut jantung dan

10

Page 11: Refrat Tht

dengkuran, tanpa EEG. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di rumah dan memadai untuk

keperluan klinis.20

Teknik pemeriksaan telah dikembangkan untuk memperkirakan pasien mana yang

lebih baik menjalani operasi atau menggunakan peralatan oral daripada menggunakan

nasal continuous positive airway pressure. Untuk itu dilakukan pemeriksaan

nasofaringoskopi rutin oleh ahli THT guna mengevaluasi saluran nafas atas, baik pada

waktu penderita bangun ataupun tidur.

Gambar 3. Naso-Faringo-Laringoskopi

Sleep nasoendoscopy memungkinkan penilaian dinamis faring pada waktu tidur.

Tempat di mana terjadi obstruksi dapat terlihat sehingga bisa dilakukan terapi yang

spesifik, sesuai dengan tempat terjadinya sumbatan:

• Kavum nasi

• Palatum

• Basis lidah

11

Page 12: Refrat Tht

• Dinding lateral faring

• Epiglotis

Gambar 3. Sleep Nasoendoscopy

Sumbatan yang ditemukan pada pemeriksaan sleep nasoendoscopy menurut

Pringle dan Croft (1993) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

• Derajat 1 : hanya ditemukan vibrasi dari palatum

• Derajat 2 : hanya ditemukan obstruksi palatum

• Derajat 3 : obstruksi palatum dan perluasan ke orofaring yang intermiten

• Derajat 4 : obstruksi pada beberapa level

• Derajat 5 : hanya ditemukan obstruksi pada basis lidah

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menilai faring secara 3 dimensi

adalah CT Scan dan MRI, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan secara rutin.

Pemeriksaan cephalography menghasilkan gambaran dua dimensi dan dapat

dipergunakan untuk menilai struktur maksilofasial.

II.6 Komplikasi

OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di

antaranya:

1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang

konsentrasi dan daya ingat, sakit kepala, depresi, epilepsi nokturnal.

2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung,

angina, penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke

12

Page 13: Refrat Tht

3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.

4. Metabolik: diabetes, obesitas.

5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.

6. Hematologis: polisitemia.21

Selain mengakibatkan gangguan kesehatan, OSA juga mengakibatkan

terganggunya kehidupan sosial, produktivitas dan juga meningkatkan risiko terjadinya

kecelakaan lalu lintas. Penelitian epidemiologis memperlihatkan angka kejadian OSA

relatif tinggi pada pengemudi truk dan terapi OSA memperbaiki kemampuan

berkendara.22

Penderita OSA menjadi beban yang berat bagi sistem pelayanan kesehatan di

negara maju sebelum diagnosis berhasil ditegakkan dan mengakibatkan biaya pelayanan

kesehatan bertambah besar. Diperkirakan OSA yang belum diterapi menimbulkan

tambahan biaya kesehatan sebesar 3,4 juta dolar AS setiap tahunnya..

13

Page 14: Refrat Tht

BAB III

TONSILITIS KRONIS

3.1 ANATOMI TONSIL23

Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria

membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan.

Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi

anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer

menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan

tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.

Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari

cincin waldeyer.

Gambar 4 : Cincin Waldeyer

14

Page 15: Refrat Tht

Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-

kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa

dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).

Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen,

selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari

tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan

sel T berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil.

Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu

respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I

terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan

kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan

mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro

intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing,

limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik

Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel

kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun

berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa

migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV( high

endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe.

15

Page 16: Refrat Tht

3.2 Definisi24

Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang

terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada

anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang

keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang

mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.

Gambar 5. Tonsilitis

3.3 Etiologi

Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari

Commission on Acute Respiration Disease bekerja sama dengan Surgeon General of the

Army America dimana dari 169 kasus didapatkan data sebagai berikut :

16

Page 17: Refrat Tht

25% disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus yang

pada masa penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus

antibodi dalam serum penderita.

25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang

tidak menunjukkan kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum

penderita. Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus

influenza.

3.4 Faktor Predisposisi24

Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu :

Rangsangan kronis (rokok, makanan)

Higiene mulut yang buruk

Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang

berubah- ubah)

Alergi (iritasi kronis dari allergen)

Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)

Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat. 

3.5 Manifestasi Klinis24

Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut

yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan

17

Page 18: Refrat Tht

(odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila

menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.

Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis

yang mungkin tampak, yakni :

1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke

jaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen

atau seperti keju.

2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang

seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta yang

melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak

antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil,

maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

T0  : Tonsil masuk di dalam fossa

T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T4  : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring 

18

Page 19: Refrat Tht

3.6 Diagnosis24

Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut

1. Anamnesa

Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50%

diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan

keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas

bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada

leher.

2. Pemeriksaan Fisik

Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut.

Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari

kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti

keju atau dempul amat banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang

sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis

dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta. 

3. Pemeriksaan Penunjang

Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus

tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat

keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans,

Stafilokokus, atau Pneumokokus.

19

Page 20: Refrat Tht

BAB IV

HUBUNGAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS)

DENGAN TONSILITIS KRONIS

4.1 Kesimpulan

Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya

merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.

Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk seluruh

kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi

sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat

membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis hipertrofi.

Faktor risiko OSAS pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa.4 Pada

dewasa, obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya OSAS, sedangkan pada anak

meskipun merupakan faktor risiko tetapi bukan merupakan yang utama.

OSAS merupakan penyebab kesakitan yang cukup sering ditemukan pada anak

Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur,

seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif sewaktu tidur

(Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA merupakan kondisi medik

yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga

menyebabkan berkurangnya asupan oksigen secara periodik.

Manifestasi klinis OSAS dapat berupa mendengkur dengan episode apnea, infeksi

respiratorik berulang, gangguan belajar dan tingkah laku, mengantuk pada siang hari,

20

Page 21: Refrat Tht

gagal tumbuh, enuresis, bernapas melalui mulut, dengan atau tanpa hipertrofi tonsil dan

adenoid atau kelainan kraniofasial.

Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk menentukan diagnosis

OSAS. Beberapa pemeriksaan seperti skor OSAS, dan pulse oximetry, dapat digunakan

sebagai uji tapis. Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi merupakan tatalaksana bedah

yang dianjurkan pada OSAS anak disamping CPAP dan penurunan berat badan.

4.2 Pengobatan 23

Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tindakan

bedah dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah tonsilektomi

dan/atau adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi kraniofasial, sedangkan terapi

medis dapat berupa diet pada anak dengan obesitas dan pemakaian nasal CPAP

(Continuous Positif Airway Pressure ).

1 . Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi

Banyak ahli berpendapat bahwa tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi

merupakan tindakan yang harus dilakukan karena keuntungannya lebih besar. Tingkat

kesembuhan tindakan ini pada anak sekitar 75-100%.3,21 Pada anak dengan etiologi

hipertrofi adenoid dan tonsil saja angka keberhasilannya tinggi tetapi apabila disertai

dengan risiko lain seperti obesitas dan disproporsi kraniofasial maka pascaoperasi akan

tetap timbul OSAS. Meskipun demikian, karena OSAS terjadi akibat ukuran struktur

komponen saluran nafas atas relatif kecil dibandingkan dengan ukuran absolut dari tonsil

dan adenoid, maka para ahli berpendapat tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi

tetap diperlukan pada keadaan di atas. Pasca tonsilektomi dan/atau adenoidektomi

21

Page 22: Refrat Tht

diperlukan pemantauan dengan polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadangkadang

gejala masih ada dan dalam beberapa minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non

medis lainnya seperti penanganan obesitasnya tetap dilakukan meskipun telah dilakukan

tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.

2. Continuous positive airway pressure (CPAP)

Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak termasuk bayi,

anak obesitas, sindrom Down, akondroplasia, dan dengan kelainan kraniofasial. Pada

kelompok usia anak, CPAP terutama berguna untuk pasien yang obesitas dan pasien

dengan OSAS yang menetap setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.

Sebenarnya indikasi pemberian CPAP adalah apabila setelah dilakukan tonsilektomi

dan/atau adenoidektomi pasien masih mempunyai gejala OSAS atau sambil menunggu

tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah

kepatuhan berobat dan hal tersebut memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan

pemantauan yang intensif.

Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara bertahap atau

dengan tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat meningkatkan kenyamanan pasien.

Efek samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran udara di sekitar

selang masker. Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam

pada kulit. Dekongestan, tetes hidung dengan NaCl fisologis atau penggunaan sistem

CPAP dengan menggunakan humidifer dapat mengurangi efek samping.

3. Penurunan berat badan

22

Page 23: Refrat Tht

Pada pasien obesitas, penurunan berat badan mutlak di lakukan. Dengan

penurunan berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS yang nyata. Penurunan berat

badan merupakan kunci keberhasilan terapi OSAS pada anak dengan predisposisi

obesitas. Sayangnya menurunkan berat badan pada anak lebih sulit dilakukan dari pada

dewasa. Pendekatan yang dilakukan harus bertahap karena menurunkan berat badan

secara drastis tidak dianjurkan pada anak. Perlu kesabaran dan perhatian tenaga kesehatan

lebih banyak dalam yang menangani pasien dengan obesitas. Cara ideal adalah

menurunkan berat badan secara perlahan dan konsisten, hal ini memerlukan waktu lama.

Selain memperbaiki diet pada obesitas, hal yang perlu diperhatkan adalah penyakit lain

yang mungkin menyertainya seperti diabetes melitus atau hipoertensi. Oleh karena itu

sambil menunggu berat badan turun diperlukan pemasangan CPAP. Nasal CPAP harus

digunakan sampai mencapai penurunan berat badan yang cukup. Peningkatan berat badan

akan memperburuk OSAS dan penurunan berat badan dapat menurunkan gejala OSAS.

Dalam hal penanganan obesitas termasuk di dalamnya adalah modfikasi perilaku, terapi

diet, olah raga (exercise), dan obat-obatan. Pada pasien OSAS yang berat dan memberi

komplikasi yang potensial mengancam hidup memerlukan perawatan di rumah sakit.

4. Obat-obatan

Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah

terjadinya OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan nasal atau steroid

inhaler. Progresteron telah digunakan sebagai stimulan pernafasan pada pasien anak

dengan obesity hipoventilation syndrom. Keberhasilan pemberian obatobat tersebut

kurang bermakna sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat penenang dan obat yang

mengandung alkohol harus dihindarkan karena dapat memperberat OSAS.

23

Page 24: Refrat Tht

5. Trakeostomi

Trakeostomi merupakan tindakan sementara pada anak dengan OSAS yang berat

yang mengancam hidup, dan untuk anak yang tinggal di daerah dengan peralatan operasi

tidak tersedia.

Gambar 6. Algoritma Tatalaksana OSAS

24

Page 25: Refrat Tht

DAFTAR PUSTAKA

1. Pang KP. Snoring–the Silent Killer. Medical Digest 2005

2. Kotecha B, Shneerson JM. Treatment options for snoring and sleep apnoea.

Journal of The Royal Society of Medicine 2003; 96: 343– 4.

3. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan Kardiovaskular.

Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.

4. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep

Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82

5. Saimak T., 2009. Sleep Apnea. Diakses dari

http://www.emedicinehealth.com/obstructive_and_central_sleep_apnea/article_em.htm

6. Hudgel DW, Harasick T. Fluctuation in timing of upper airway and chest wall

inspiratory muscle activity in obstructive sleep apnea. J Appl Physiol 1990; 69: 443-50.

7. White DP. The pathogenesis of obstructive sleep apnea: advances in the past 100

years. Am J Respir Cell Mol Biol 2006; 34: 1-6.

8. Wolkove N, Elkholy O, Baltzan M, Palayew M. Sleep and aging: Sleep disorders

commonly found in older people. Can Med Assoc J2007; 176(9): 1299-303.

9. Kotecha B, Shneerson JM. Treatment options for snoring and sleep apnoea.

Journal of The Royal Society of Medicine 2003; 96: 343– 4.

10. Bickelmann AG, Burwell CS, Robin ED, Whaley RD. Estreme obesity associated

with alveolar hypoventilation: a Pickwickian syndrome. Am J Med 1956; 21: 811-8.

11. Bickelmann AG, Burwell CS, Robin ED, Whaley RD. Estreme obesity associated

with alveolar hypoventilation: a Pickwickian syndrome. Am J Med 1956; 21: 811-8.

25

Page 26: Refrat Tht

12. Gibson GJ. Obstructive sleep apnoea syndrome: underestimated and

undertreated. Brit Med Bulletin 2005; 72: 49-64.

13. Bixler EO, Vgontzas AN, Lin HM et al. Prevalence of sleepdisordered breathing

in women: effects of gender. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163: 608-13.

14. Meoli AL, Casey KR, Clark RW, Clinical Practice Review Committee et al.

Hypopnoe in sleep-disordered breathing in adults. Sleep 2001;24:469-70.

15. Mortimore IL, Marshall I, Wraith PK et al. Neck and total body fat deposition in

non-obese and obese patients with sleep apnoea compared with that in control subjects.

Am Respir Crit Care Med 1998; 157: 280-3

16. American Academy of Sleep Medicine. Sleep related breathing disorders in

adults: recommendation for syndrome definition and measurement techniques in clinical

research. Sleep 1999; 22: 667-89.

17. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of obstructive

sleep apnoea/hypopnoea syndrome in adults. 2003.

18. Hirshkowitz M, Karaca I, Gurakar A et al. Hypertension, erectile dysfunction and

occult sleep apnea. Sleep 1989; 12: 223-32.

19. Shamsuzzaman AS, Winnicki M, Lanfranchi P et al. Elevated Creactive protein

in patients with obstructive sleep apnea syndrome. Circulation 2002;105: 2462-4.

20. Leineweber C, Kecklund G, Janazky I et al. Snoring and progression of coronary

artery disease: the Stockholm Female Coronary Angiography Study. Sleep 2004; 27:

1344-9.

21. European Respiratory Task Force. Public health and medicolegal implications of

sleep apnoea. Eur Respir J 2002; 20: 1594-609.

26

Page 27: Refrat Tht

22. Bambang S, Rusmala D. Obstruktif Sleep Apnea Sindrom Pada Anak. Dalam :

Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005: 77 - 84

23. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 6 th

Ed. Edisi Bahasa   Indonesia, EGC, Jakarta,  2001; 263-368

24. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2001; 180-183

25. Lindberg E, Taube A, Janson C et al. A 10-year follow-up of snoring in men.

Chest 1998; 114: 1048-55

27