Upload
nila-soswita-yusuf
View
39
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Clinical Science Sessio
HUBUNGAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS)
DENGAN TONSILITIS KRONIS
Oleh:
Nila Soswita Yusuf
Vesri Yossy
Sonya Hardi
Erni Yessyc
Preseptor:
Dr. Novialdi, Sp.THT-KL
BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap
manusia. Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Bentuk gangguan
tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea (henti nafas pada waktu tidur), dan
gejala yang paling sering timbul pada sleep apnea adalah mendengkur.
Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) adalah kumpulan gejala gangguan
tidur yang terkait dengan penghentian nafas selama paling tidak 10 detik tiap episode
yang terjadi karena tertutupnya saluran pernafasan atas.
OSAS pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell.
Penyakit ini biasanya mempunyai gejala mendengkur keras, gangguan tidur
(sleep choking), dan dilaporkan oleh keluarganya ada henti nafas saat tidur, juga
gerakan - gerakan abnormal saat tidur. Mendengkur merupakan masalah sosial dan
masalah kesehatan. Mendengkur merupakan masalah yang mengganggu pasangan tidur,
menyebabkan terganggunya pergaulan, menurunnya produktivitas, peningkatan risiko
kecelakaan lalu lintas dan peningkatan biaya kesehatan pada penderita OSA.
Keluhan yang sering menyertai antara lain rasa kantuk terus menerus pada siang
hari (hipersomnolen), gangguan konsentrasi, sakit kepala pagi hari, depresi dan
penurunan libido. Tetapi diagnosis pasti OSAS saat ini dengan menggunakan
polisomnografi nokturnal yang dilakukan di klinik sleep apnea.
2
OSAS sebaiknya didiagnosis sedini mungkin untuk mencegah terjadinya
komplikasi. Komplikasi gangguan tidur ini sering pula dihubungkan dengan stroke.
Komplikasi tergantung dari derajat keparahan OSAS. Lebih baik untuk mengobati OSAS
sedini mungkin. Hal ini bertanggung jawab terhadap peningkatan keluhan dari pasangan
dan yang lebih penting membawa peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan
kematian dini.
I.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
kejadian obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) dengan tonsilitis kronik.
1.3 Metode Penulisan
Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada
beberapa literatur.
3
BAB II
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (SOAS)
II.1 Definisi
Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap manusia.
Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Gangguan tidur lebih sering
ditemukan pada pria, mulai dari sleep walking, sleep paralysis, insomnia, narkolepsi,
sampai sleep apnea. Bentuk gangguan tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep
apnea (henti nafas pada waktu tidur), dan gejala yang paling sering timbul pada sleep
apnea adalah mendengkur.1
Mendengkur (snoring) adalah suara bising yang disebabkan oleh aliran udara
melalui sumbatan parsial saluran nafas pada bagian belakang hidung dan mulut yang
terjadi saat tidur. 2
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran udara
selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan penurunan saturasi oksigen 2-4%) dan
hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik dengan desaturasi
oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara >50% untuk 10 detik dengan
desaturasi oksihemoglobin >3%) ada sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang
terjadi secara berulang pada saat tidur selama non-REM atau REM sehingga
menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat. Sumbatan ini menyebabkan pasien
menjadi terbangun saat tidur atau terjadi peralihan ke tahap tidur yang lebih awal.3,4
4
Apnea didefinisikan sebagai henti nafas selama 10 detik atau lebih yang dapat
mengakibatkan penurunan aliran udara 25% dibawah normal.5
II.2 Patofisiologi Mendengkur dan OSA
Faring adalah struktur yang sangat lentur. Pada saat inspirasi, otot-otot dilator
faring berkontraksi 50 mili-detik sebelum kontraksi otot pernafasan sehingga lumen
faring tidak kolaps akibat tekanan intrafaring yang negatif oleh karena kontraksi otot
dinding dada dan diafragma. Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan
(relaksasi) sehingga ada kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi.
Mengapa hal ini terjadi hanya pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran
faring dan faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi lebih
sempit atau menutup pada waktu tidur. Faktor yang paling berperan adalah:
a. Obesitas
b. Pembesaran tonsil
c. Posisi relatif rahang atas dan bawah.6, 7, 8
Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas atas
akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau palatum.
Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas menstabilkan jalan
nafas pada waktu tidur di mana otot-otot faring berelaksasi, lidah dan palatum jatuh ke
belakang sehingga terjadi obstruksi.8, 9
5
Gambar 1. Hambatan jalan nafas
Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu mendengkur
mengakibatkan kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer.
Akibatnya kemampuan otot untuk menstabilkan saluran nafas terganggu dan
meningkatkan kecenderungan saluran nafas untuk mengalami obstruksi. Obstruksi yang
diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu mendengkur dapat
berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea pada individu tertentu.2
Obstructive Sleep Apnoea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang dari saluran
nafas atas baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara pernafasan
berkurang (hipopnea) atau terhenti (apnea) sehingga terjadi desaturasi oksigen
(hipoksemia) dan penderita berkali-kali terjaga (arousal). Kadang-kadang penderita
benar-benar terbangun pada saat apnea di mana mereka merasa tercekik. Lebih sering
penderita tidak sampai terbangun tetapi terjadi partial arousal yang berulang, berakibat
pada berkurangnya tidur dalam atau tidur gelombang lambat. Keadaan ini menyebabkan
penderita mengantuk pada siang hari, kurang perhatian, konsentrasi dan ingatan
terganggu. Kombinasi hipoksemia dan partial arousal yang disertai dengan peningkatan
aktivitas adrenergik menyebabkan takikardi dan hipertensi sistemik. Banyak penderita
6
OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya
karena teman tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase preobstruktif)
diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif).10
II.3 Epidemiologi
OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih dari
50 tahun yang lalu dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali. Prevalensi OSA
di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan 1-2% pada wanita.11
Pria lebih sering mengalami OSA dan seringkali (tetapi tidak harus) juga menderita
obesitas.7 Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui
mengapa OSA lebih jarang ditemukan pada wanita. Prevalensi OSA lebih rendah lagi
pada wanita sebelum masa menopause dan wanita menopause yang mendapat terapi
hormonal.12
Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi
dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan
Down.2 Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan menurun pada
usia di atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai
dengan penambahan usia.13
Pada penelitian kesehatan kardiovaskular di Amerika Serikat yang meliputi 5000
penduduk berusia 65 tahun atau lebih, 33% pria dan 19% wanita mendengkur. Prevalensi
mendengkur menurun pada kelompok usia di atas 75 tahun.14 Linberg et al. mendapatkan
hasil yang hampir sama, di mana prevalensi mendengkur pada pria memuncak pada
kelompok usia 50-60 tahun dan selanjutnya menurun.15 Sementara peneliti lain
7
menemukan pada usia di atas 60 tahun, prevalensi OSA mencapai 45-62%. Di Nantes,
Perancis, hampir 60% penduduk yang berusia 60-70 tahun mendengkur.16
II.4 Gambaran Klinis
Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur,
mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea,
nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan enuresis,
mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia. Kebanyakan
penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang hari sehingga
menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan risiko terjadinya
kecelakaan lalu lintas.2, 17
Apnea pada orang dewasa didefinisikan sebagai tidak adanya aliran udara di
hidung atau mulut selama 10 detik atau lebih. Hipopnea didefinisikan sebagai
berkurangnya aliran udara sebesar 30% selama 10 detik atau lebih, dengan atau tanpa
desaturasi.18 Gastaut et al. menyatakan ada 3 jenis apnea:
1. Obstruktif, di mana aliran udara pernafasan terhenti tetapi gerakan dinding
dada tetap ada.
2. Central, di mana aliran udara pernafasan dan gerakan dinding dada
terhenti.
3. Campuran, merupakan kombinasi yang dimulai dengan tipe sentral diikuti
dengan obstruksi.
Kemudian diketahui apnea tipe campuran pada dasarnya adalah obstruktif di
mana gerak pernafasan tidak terdeteksi pada awal terjadinya apnea.
8
Gambar 2. Tipe Apnea
Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang
adanya hubungan antara OSA dan obesitas yang sangat tinggi dapat mengurangi
kesadaran akan kemungkinan adanya OSA pada orang yang tidak gemuk (non-obese).
Hanya sekitar 50% penderita yang didiagnosis OSA juga menderita obesitas.
II.5 Diagnosis
Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan
datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras
(fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea
obstruktif). Bahkan di negara-negara di mana OSA sudah dikenal luas, sejumlah besar
individu dengan gejala OSA tetap tidak terdiagnosis. Contohnya di Amerika Serikat,
pada sebuah survei yang dilakukan di masyarakat tahun 1997 dari 4925 orang dewasa
9
sebanyak 82% pria dan 92% wanita kemungkinan menderita OSA sedang sampai berat
yang belum terdiagnosis.19
Diagnosis OSA dibuat berdasarkan gangguan nafas yang ditemukan pada waktu
tidur pada individu yang menunjukkan gejala terutama mengantuk pada siang hari dan
mendengkur. OSA paling banyak diklasifikasikan menurut American Academy of Sleep
Medicine yaitu:
• ringan (AHI 5-15)
• sedang (AHI 15-30)
• berat (AHI > 30)
Klasifikasi lain yang dihubungkan dengan Respiratory Disturbance Index (RDI)
dan beratnya hipoksemi seperti berikut:
RDI SaO2 (%)
Mild 5-20 >85
Moderate 21-40 65-84
Severe >40 <65
Pada saat OSA baru dikenal, praktis semua pasien harus menjalani pemeriksaan
polisomnografi di rumah sakit. Pemeriksaan polisomnografi meliputi pemeriksaan EEG,
elektro-okulografi, elektromiografi, EKG, aliran nafas di hidung atau mulut, pulse
oximetry, gerakan dinding dada dan posisi tidur yang menghasilkan apnea index (AI),
apnea-hypopnea index (AHI) atau respiratory disturbance index (RDI). Cara ini kurang
praktis dan tidak perlu dilakukan pada semua pasien. Saat ini pasien diperiksa dengan
cara yang lebih sederhana menggunakan 4-6 sinyal. Biasanya dilakukan penilaian
saturasi O2, aliran nafas, gerakan dada dan perut, dan kadangkadang denyut jantung dan
10
dengkuran, tanpa EEG. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di rumah dan memadai untuk
keperluan klinis.20
Teknik pemeriksaan telah dikembangkan untuk memperkirakan pasien mana yang
lebih baik menjalani operasi atau menggunakan peralatan oral daripada menggunakan
nasal continuous positive airway pressure. Untuk itu dilakukan pemeriksaan
nasofaringoskopi rutin oleh ahli THT guna mengevaluasi saluran nafas atas, baik pada
waktu penderita bangun ataupun tidur.
Gambar 3. Naso-Faringo-Laringoskopi
Sleep nasoendoscopy memungkinkan penilaian dinamis faring pada waktu tidur.
Tempat di mana terjadi obstruksi dapat terlihat sehingga bisa dilakukan terapi yang
spesifik, sesuai dengan tempat terjadinya sumbatan:
• Kavum nasi
• Palatum
• Basis lidah
11
• Dinding lateral faring
• Epiglotis
Gambar 3. Sleep Nasoendoscopy
Sumbatan yang ditemukan pada pemeriksaan sleep nasoendoscopy menurut
Pringle dan Croft (1993) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
• Derajat 1 : hanya ditemukan vibrasi dari palatum
• Derajat 2 : hanya ditemukan obstruksi palatum
• Derajat 3 : obstruksi palatum dan perluasan ke orofaring yang intermiten
• Derajat 4 : obstruksi pada beberapa level
• Derajat 5 : hanya ditemukan obstruksi pada basis lidah
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menilai faring secara 3 dimensi
adalah CT Scan dan MRI, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan secara rutin.
Pemeriksaan cephalography menghasilkan gambaran dua dimensi dan dapat
dipergunakan untuk menilai struktur maksilofasial.
II.6 Komplikasi
OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di
antaranya:
1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang
konsentrasi dan daya ingat, sakit kepala, depresi, epilepsi nokturnal.
2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung,
angina, penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke
12
3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.
4. Metabolik: diabetes, obesitas.
5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.
6. Hematologis: polisitemia.21
Selain mengakibatkan gangguan kesehatan, OSA juga mengakibatkan
terganggunya kehidupan sosial, produktivitas dan juga meningkatkan risiko terjadinya
kecelakaan lalu lintas. Penelitian epidemiologis memperlihatkan angka kejadian OSA
relatif tinggi pada pengemudi truk dan terapi OSA memperbaiki kemampuan
berkendara.22
Penderita OSA menjadi beban yang berat bagi sistem pelayanan kesehatan di
negara maju sebelum diagnosis berhasil ditegakkan dan mengakibatkan biaya pelayanan
kesehatan bertambah besar. Diperkirakan OSA yang belum diterapi menimbulkan
tambahan biaya kesehatan sebesar 3,4 juta dolar AS setiap tahunnya..
13
BAB III
TONSILITIS KRONIS
3.1 ANATOMI TONSIL23
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria
membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan.
Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi
anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer
menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan
tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari
cincin waldeyer.
Gambar 4 : Cincin Waldeyer
14
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-
kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa
dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).
Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen,
selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari
tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan
sel T berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil.
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu
respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I
terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan
kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan
mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro
intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing,
limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel
kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun
berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa
migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV( high
endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe.
15
3.2 Definisi24
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang
terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada
anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang
keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.
Gambar 5. Tonsilitis
3.3 Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari
Commission on Acute Respiration Disease bekerja sama dengan Surgeon General of the
Army America dimana dari 169 kasus didapatkan data sebagai berikut :
16
25% disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus yang
pada masa penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus
antibodi dalam serum penderita.
25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang
tidak menunjukkan kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum
penderita. Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus
influenza.
3.4 Faktor Predisposisi24
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu :
Rangsangan kronis (rokok, makanan)
Higiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang
berubah- ubah)
Alergi (iritasi kronis dari allergen)
Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat.
3.5 Manifestasi Klinis24
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut
yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan
17
(odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila
menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis
yang mungkin tampak, yakni :
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen
atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta yang
melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil,
maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
18
3.6 Diagnosis24
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50%
diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan
keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas
bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada
leher.
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut.
Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari
kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti
keju atau dempul amat banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang
sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis
dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus
tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat
keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans,
Stafilokokus, atau Pneumokokus.
19
BAB IV
HUBUNGAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS)
DENGAN TONSILITIS KRONIS
4.1 Kesimpulan
Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.
Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk seluruh
kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi
sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat
membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis hipertrofi.
Faktor risiko OSAS pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa.4 Pada
dewasa, obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya OSAS, sedangkan pada anak
meskipun merupakan faktor risiko tetapi bukan merupakan yang utama.
OSAS merupakan penyebab kesakitan yang cukup sering ditemukan pada anak
Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur,
seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif sewaktu tidur
(Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA merupakan kondisi medik
yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga
menyebabkan berkurangnya asupan oksigen secara periodik.
Manifestasi klinis OSAS dapat berupa mendengkur dengan episode apnea, infeksi
respiratorik berulang, gangguan belajar dan tingkah laku, mengantuk pada siang hari,
20
gagal tumbuh, enuresis, bernapas melalui mulut, dengan atau tanpa hipertrofi tonsil dan
adenoid atau kelainan kraniofasial.
Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk menentukan diagnosis
OSAS. Beberapa pemeriksaan seperti skor OSAS, dan pulse oximetry, dapat digunakan
sebagai uji tapis. Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi merupakan tatalaksana bedah
yang dianjurkan pada OSAS anak disamping CPAP dan penurunan berat badan.
4.2 Pengobatan 23
Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tindakan
bedah dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah tonsilektomi
dan/atau adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi kraniofasial, sedangkan terapi
medis dapat berupa diet pada anak dengan obesitas dan pemakaian nasal CPAP
(Continuous Positif Airway Pressure ).
1 . Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi
Banyak ahli berpendapat bahwa tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi
merupakan tindakan yang harus dilakukan karena keuntungannya lebih besar. Tingkat
kesembuhan tindakan ini pada anak sekitar 75-100%.3,21 Pada anak dengan etiologi
hipertrofi adenoid dan tonsil saja angka keberhasilannya tinggi tetapi apabila disertai
dengan risiko lain seperti obesitas dan disproporsi kraniofasial maka pascaoperasi akan
tetap timbul OSAS. Meskipun demikian, karena OSAS terjadi akibat ukuran struktur
komponen saluran nafas atas relatif kecil dibandingkan dengan ukuran absolut dari tonsil
dan adenoid, maka para ahli berpendapat tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi
tetap diperlukan pada keadaan di atas. Pasca tonsilektomi dan/atau adenoidektomi
21
diperlukan pemantauan dengan polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadangkadang
gejala masih ada dan dalam beberapa minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non
medis lainnya seperti penanganan obesitasnya tetap dilakukan meskipun telah dilakukan
tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.
2. Continuous positive airway pressure (CPAP)
Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak termasuk bayi,
anak obesitas, sindrom Down, akondroplasia, dan dengan kelainan kraniofasial. Pada
kelompok usia anak, CPAP terutama berguna untuk pasien yang obesitas dan pasien
dengan OSAS yang menetap setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.
Sebenarnya indikasi pemberian CPAP adalah apabila setelah dilakukan tonsilektomi
dan/atau adenoidektomi pasien masih mempunyai gejala OSAS atau sambil menunggu
tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah
kepatuhan berobat dan hal tersebut memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan
pemantauan yang intensif.
Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara bertahap atau
dengan tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat meningkatkan kenyamanan pasien.
Efek samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran udara di sekitar
selang masker. Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam
pada kulit. Dekongestan, tetes hidung dengan NaCl fisologis atau penggunaan sistem
CPAP dengan menggunakan humidifer dapat mengurangi efek samping.
3. Penurunan berat badan
22
Pada pasien obesitas, penurunan berat badan mutlak di lakukan. Dengan
penurunan berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS yang nyata. Penurunan berat
badan merupakan kunci keberhasilan terapi OSAS pada anak dengan predisposisi
obesitas. Sayangnya menurunkan berat badan pada anak lebih sulit dilakukan dari pada
dewasa. Pendekatan yang dilakukan harus bertahap karena menurunkan berat badan
secara drastis tidak dianjurkan pada anak. Perlu kesabaran dan perhatian tenaga kesehatan
lebih banyak dalam yang menangani pasien dengan obesitas. Cara ideal adalah
menurunkan berat badan secara perlahan dan konsisten, hal ini memerlukan waktu lama.
Selain memperbaiki diet pada obesitas, hal yang perlu diperhatkan adalah penyakit lain
yang mungkin menyertainya seperti diabetes melitus atau hipoertensi. Oleh karena itu
sambil menunggu berat badan turun diperlukan pemasangan CPAP. Nasal CPAP harus
digunakan sampai mencapai penurunan berat badan yang cukup. Peningkatan berat badan
akan memperburuk OSAS dan penurunan berat badan dapat menurunkan gejala OSAS.
Dalam hal penanganan obesitas termasuk di dalamnya adalah modfikasi perilaku, terapi
diet, olah raga (exercise), dan obat-obatan. Pada pasien OSAS yang berat dan memberi
komplikasi yang potensial mengancam hidup memerlukan perawatan di rumah sakit.
4. Obat-obatan
Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah
terjadinya OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan nasal atau steroid
inhaler. Progresteron telah digunakan sebagai stimulan pernafasan pada pasien anak
dengan obesity hipoventilation syndrom. Keberhasilan pemberian obatobat tersebut
kurang bermakna sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat penenang dan obat yang
mengandung alkohol harus dihindarkan karena dapat memperberat OSAS.
23
5. Trakeostomi
Trakeostomi merupakan tindakan sementara pada anak dengan OSAS yang berat
yang mengancam hidup, dan untuk anak yang tinggal di daerah dengan peralatan operasi
tidak tersedia.
Gambar 6. Algoritma Tatalaksana OSAS
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Pang KP. Snoring–the Silent Killer. Medical Digest 2005
2. Kotecha B, Shneerson JM. Treatment options for snoring and sleep apnoea.
Journal of The Royal Society of Medicine 2003; 96: 343– 4.
3. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan Kardiovaskular.
Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.
4. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep
Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82
5. Saimak T., 2009. Sleep Apnea. Diakses dari
http://www.emedicinehealth.com/obstructive_and_central_sleep_apnea/article_em.htm
6. Hudgel DW, Harasick T. Fluctuation in timing of upper airway and chest wall
inspiratory muscle activity in obstructive sleep apnea. J Appl Physiol 1990; 69: 443-50.
7. White DP. The pathogenesis of obstructive sleep apnea: advances in the past 100
years. Am J Respir Cell Mol Biol 2006; 34: 1-6.
8. Wolkove N, Elkholy O, Baltzan M, Palayew M. Sleep and aging: Sleep disorders
commonly found in older people. Can Med Assoc J2007; 176(9): 1299-303.
9. Kotecha B, Shneerson JM. Treatment options for snoring and sleep apnoea.
Journal of The Royal Society of Medicine 2003; 96: 343– 4.
10. Bickelmann AG, Burwell CS, Robin ED, Whaley RD. Estreme obesity associated
with alveolar hypoventilation: a Pickwickian syndrome. Am J Med 1956; 21: 811-8.
11. Bickelmann AG, Burwell CS, Robin ED, Whaley RD. Estreme obesity associated
with alveolar hypoventilation: a Pickwickian syndrome. Am J Med 1956; 21: 811-8.
25
12. Gibson GJ. Obstructive sleep apnoea syndrome: underestimated and
undertreated. Brit Med Bulletin 2005; 72: 49-64.
13. Bixler EO, Vgontzas AN, Lin HM et al. Prevalence of sleepdisordered breathing
in women: effects of gender. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163: 608-13.
14. Meoli AL, Casey KR, Clark RW, Clinical Practice Review Committee et al.
Hypopnoe in sleep-disordered breathing in adults. Sleep 2001;24:469-70.
15. Mortimore IL, Marshall I, Wraith PK et al. Neck and total body fat deposition in
non-obese and obese patients with sleep apnoea compared with that in control subjects.
Am Respir Crit Care Med 1998; 157: 280-3
16. American Academy of Sleep Medicine. Sleep related breathing disorders in
adults: recommendation for syndrome definition and measurement techniques in clinical
research. Sleep 1999; 22: 667-89.
17. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of obstructive
sleep apnoea/hypopnoea syndrome in adults. 2003.
18. Hirshkowitz M, Karaca I, Gurakar A et al. Hypertension, erectile dysfunction and
occult sleep apnea. Sleep 1989; 12: 223-32.
19. Shamsuzzaman AS, Winnicki M, Lanfranchi P et al. Elevated Creactive protein
in patients with obstructive sleep apnea syndrome. Circulation 2002;105: 2462-4.
20. Leineweber C, Kecklund G, Janazky I et al. Snoring and progression of coronary
artery disease: the Stockholm Female Coronary Angiography Study. Sleep 2004; 27:
1344-9.
21. European Respiratory Task Force. Public health and medicolegal implications of
sleep apnoea. Eur Respir J 2002; 20: 1594-609.
26
22. Bambang S, Rusmala D. Obstruktif Sleep Apnea Sindrom Pada Anak. Dalam :
Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005: 77 - 84
23. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 6 th
Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
24. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2001; 180-183
25. Lindberg E, Taube A, Janson C et al. A 10-year follow-up of snoring in men.
Chest 1998; 114: 1048-55
27