refrensi Susenas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SENSUS NGIZI

Citation preview

http://syukronali.files.wordpress.com/2010/05/bps-status-ibu-rumah-tangga.doc.Status Ibu di Perkotaan Kebanyakan Ibu Rumah Tangga Dari hasil pengolahan data Badan Pusat Statistik yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004. Ternyata di perkotaan sebagian besar ibu usia kurang dari 40 tahun yang mempunyai anak, hanya mengurus rumah tangga saja (63.3%) dan yang bekerja hanya 29.6% saja. Sedangkan di Pedesaan, ibu (dengan kreteria di atas) yang mengurus rumah tangga saja sekitar 52.7% dan yang bekerja sekitar 41.1%. Berarti ibu di daerah perkotaan tidak banyak yang bekerja dan hanya mengurus rumah tangga dibanding dengan pedesaan. Kemungkinan hal ini terjadi karena tingkat kesejahteraan yang berbeda. Di perkotaan, kesejahteraan keluarga lebih baik dibandingkan di pedesaan. Akibatnya ibu di pedesaan banyak mencari nafkah untuk rumah tangganya, sedangkan ibu di perkotaan sepertinya sudah cukup dengan nafkah dari suami.Akibat dari gejala ini, perhatian ibu terhadap anak lebih baik di perkotaan karena mereka punya waktu yang cukup buat anak mereka. Tetapi anggapan ini masih harus dicermati dan diteliti kembali. Dengan adanya banyak fasilitas di perkotaan, maka godaan ibu rumah tangga untuk keluar dari rumah cukup besar. Misalnya shoping, arisan, ngrumpi dan sebagainya. Dengan banyak babysister dan pembantu yang datang ke perkotaan, menambah keyakinan kita bahwa ibu rumah tangga (tidak bekerja) belum tentu selalu menjaga anaknya.Sedangkan di Pedesaan keadaan sedikit terbalik. Walaupun mereka banyak yang bekerja mencari nafkah tetapi kemungkinan untuk selalu dekat dengan anak lebih besar. Setiap pulang kerja, biasanya mereka langsung bertemu anaknya di rumah. Selain itu waktu kerja di pedesaan-pun tidak sebanyak di kota, masih banyak waktu untuk keluarga mereka. Kegiatan-kegiatan yang memakan waktu diluar keluargapun lebih sedikit.Si Miskin kah pengguna Kartu Sehat? Tepat Sasaran?Kartu Sehat (KS) merupakan salah satu bentuk komitment pemerintah untuk meningkatkan mutu kesehatan khususnya untuk masyarakat tidak mampu (miskin). Menurut data Susenas BPS, tahun 2004 sekitar 7.9 juta rumahtangga (RT) di Indonesia memiliki KS ini atau sekitar 14% dari total RT. Dari seluruh RT yang memiliki, 2.5 juta RT berasal dari 20% RT termiskin (pengeluaran perkapitanya terkecil) atau sekitar 31%. Tetapi jika kita percaya bahwa RT miskin di Indonesia sekitar 40% RT yang mempunyai pengeluaran perkapita terkecil, maka ada 4.4 juta RT yang memiliki kartu sehat (55%). Sisanya (45%) dimiliki oleh rumah tangga menengah ke atas. Statistik ini tidak berubah jauh jika kita lihat tahun sebelumnya. Apakah pemberian kartu sehat tepat sasaran? Jelas tidak karena hampir setengahnya dimiliki oleh RT dengan tingkat kesejahteraan menengah ke atas. Inilah yang patut dicermati oleh pemerintah dalam hal mekanisme pemberian kartu sehat ke masyarakat miskin.

Penggunaan Kartu Sehat oleh Rumah Tangga Rumah tangga yang sudah memiliki kartu sehat teryata tidak semuanya digunakan sesuai manfaatnya. Tahun 2004, sekitar 30% RT tidak menggunakan KS dengan berbagai alasan yang mungkin, seperti tidak ada anggota RT yang sakit, jauhnya fasilitas kesehatan yang ada, tidak adanya biaya transportasi ke fasilitas kesehatan, dsb. Alasan-alasan tersebut belum dianalisa lebih lanjut karena tidak adanya data pendukung. Sebagian besar rumah tangga pada tahun 2004, memanfaatkan kartu sehatnya untuk berobat (66.6%), periksa hamil/melahirkan (9%) dan keperluan KB (13.8%). Statistik ini tidak terlalu berbeda nyata untuk 5 strata kemiskinan (quintile).Alternatif Pengelompokan Kemiskinan Sudah banyak sekali metode untuk mengukur kemiskinan. BPS sebagai institusi pemerintah menggunakan konsep garis kemiskinan yang metodenya cukup rumit. BKKBN mempunyai kriteria kemiskinan sendiri. Lembaga-lembaga asingpun juga mempunyai ukuran tersendiri. Berkaitan dengan angka kemiskinan, kita tidak akan melupakan data SUSENAS untuk mengetahui kemiskinan di Indonesia, karena dari SUSENAS-lah angka kemiskinan di Indonesia di terbitkan (dengan penuh kontroversi tentunya) dengan merujuk pada garis kemiskinan BPS. Alat ukur kesejahteraan yang digunakan adalah pengeluaran per kapita (per orang) rumah tangga tersebut. Jadi jika pengeluaran perkapita satu RT di bawah garis kemiskinan maka RT tersebut statusnya miskin (begitu juga untuk anggota rumah tangganya), dan sebaliknya.Alternatif Kategori MiskinJika dengan garis kemiskinan, kita hanya mempunyai 2 kategori kemiskinan (miskin dan tidak miskin), maka dengan cara lainnya dalam memanfaatkan pengeluaran perkapita kita bisa membuat katagori kemiskinan yang berbeda konsepnya. Cara ini bisa disebut Kategori kemiskinan Quintile atau 5 kelompok kemiskinan. Sebenarnya tidak Cuma 5 kelompok saja, bisa saja 10 kelompok (Desil), tetapi untuk memudahkan interpretasi sepertinya lebih mudah melihat 5 kelompok. Jika kita mengurutkan rumahtangga menurut pengeluaran perkapitanya, maka bisa diartikan bahwa RT yang paling ujung dengan pengeluaran terkecil adalah RT termiskin dan ujung satunya (pengeluaran perkapita terbesar) berati RT terkaya. Dari urutan tersebut, kita dapat dengan mudah membaginya menjadi 5 kelompok dengan jumlah RT yang sama rata (masing-masing jumlahnya 20% dari total). Cara ini sangat mudah diperoleh dengan software SPSS tetapi tidak mungkin dengan Excel, bukannya Excel tidak menyediakan rumusnya tetapi data Susenas tidak bisa dibaca Excel karena jumlah barisnya lebih dari 65,000. Peta Kabupaten tentang Sumber Air Minum Aman Air merupakan komponen kehidupan yang dibutuhkan. Indonesia mempunyai banyak sekali sumber air yang berlimpah. Tetapi tidak semua sumber air tersebut aman untuk didigunakan terutama untuk diminum/dimasak. Indikator sumber air minum yang aman didefinisikan menjadi 2 yaitu Pertama sumber air minum yang berasal dari PAM, Pompa, Sumur terlindung dan Mata air terlindung; Kedua: sumber air minum yang berasal dari PAM, Pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung dengan batasan bahwa sumber air minum tersebut jaraknya lebih dari 10 m dari tempat penampungan tinja (septik tank). Kedua indikator tersebut dapat dihitung dari data Susenas Badan Pusat Statistik. Di dalam artikel ini digunakan data Susenas 2004, untuk menghitung persen rumah tangga yang menggunakan sumber air minum yang aman. Untuk mengetahui kondisi di semua Kabupaten/Kota di Indonesia, maka data disajikan untuk masing-masing kabupaten dan dipetakan supaya kita bisa melihat peta penggunaan sumber air minum aman.Air berlipah belum tentu aman?Secara keseluruhan, di tahun 2004 sekitar 76% rumah tangga di Indonesia sudah menggunakan sumber air minum dari tempat yang aman (PAM 18%, Pompa 14%, Sumur 36% & Mataair 8% terlindung). Angka ini sepertinya sudah cukup menggambarkan bahwa penggunaan air minum sudah cukup baik, apalagi kalau dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu sekitar 60% (1994). Tetapi dengan sumber air yang masih melimpah, sebenarnya angka ini masih bisa ditingkatkan dengan cara meningkatkan akses RT ke air bersih di daerah yang langka sumber air seperti di pegunungan selatan Jawa. Tetapi juga di daerah yang airnya berlimpah tapi penggunaannya belum benar seperti di Kalimantan atau di sebagian Riau, Jambi dan Sumatra selatan (lihat Peta). Sungai sebagai urat nadi kehidupan di lokasi tersebut, airnya masih digunakan masyarakat untuk keperluan minum/masak. Sedankan pencemaran sungai makin parah karena pengaruh rusaknya hutan dan juga penambangan logam mulia di sekitar sungai. Hal ini kalau bisa dipecahkan, maka tingkat penggunaan sumber air aman akan meningkat dari tahun ke tahun. Akhirnya sumber daya manusia Indonesia juga makin sehat.Jika merujuk pada definisi kedua indikator sumber air ini, maka nilanya lebih rendah lagi, sekitar 46% rumahtangga yang menggunkan sumber air aman yang jaraknya lebih dari 10m dari penampungan tinja. Sebagian besar terdapat di kota-kota besar yang sudah menerapkan konsep ini. Angka ini masih terlalu rendah sekali. Pola hidup sehat ini harus tetap diterapkan. Diperlukan waktu yang lama untuk proses penyadaran ini. Sosialisasi perlu dilakukan secara masal, misalnya pengembang rumah harus membangun rumah dengan konsep seperti ini, sekecil apapun rumahnya. Dan masih banyak lagi bentuk sosialisasinya.

Angka kemiskinan baru saja diributkan oleh banyak kalangan baik dari kalangan politik dan kalangan ekonom. Semuanya intinya meragukan angka kemiskinan yang dipidatokan oleh Presiden SBY, atau tepatnya dengan angka BPS. Kemiskinan mempunyai dimensi yang banyak, tetapi walaupun begitu tetap harus diukur untuk kebijakan pemerintah. Pemerintah melalui BPS menentukan kemiskinan dari garis kemiskinan yang diformulasikan oleh ahli-ahli di BPS, sebenarnya BKKBN juga punya kriteria tertentu untuk menentukan keluarga miskin. Keduanya sangat berbeda dari segi metode pengukurannya.

Grafik 1 menunjukan persen penduduk miskin dan penduduk miskin setelah GK dinaikkan di daerah perkotaan, sedangkan Grafik 2 untuk pedesaan. Secara jelas kita bisa simpulkan bahwa kemiskinan banyak terjadi di daerah pedesaan. Kita yang tinggal di kota, sudah sedih lihat orang miskin di sekeliling kita. Tapi kita tidak sadari bahwa nun jauh dari kota, masih banyak orang miskin yang lebih memprihatinkan yang tinggal di Pedesaan. Di perkotaan, penduduk miskin akan sangat kelihatan karena status orang kaya dan miskin di sini sangat terlihat. Beda dengan di pedesaan, status miskin mereka tidak terlalu kelihatan dengan mudah.Grafik 3 menunjukan persen miskin untuk perkotaan+pedesaan. Seperti diucapkan Presiden SBY pada pidato HUT RI ke-61, angka kemiskinan turun, karena Data BPS-pun bicara seperti ini data kemiskinan turun sejak tahun 1999 (krisis ekonomi). Tetapi seperti tujuan analisa sederhana saya ini, untuk melihat juga penduduk yang rentan akan kemiskinan. Grafik 4 menunjukan gap akibat dinaikannya GK sebesar 25%, sejak tahun 1999 sampai 2004, sekitar 18% penduduk berada di sekitar garis kemiskinan. Jika ada kenaikan harga BBM atau sembako misalnya, maka penduduk golongan inilah yang pantas diperhatikan juga, terutama untuk daerah pedesaan. Berdasarkan data BPS tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan 36,1 juta jiwa atau 16,6%. Angka ini hanya turun 0,8% dibandingkan tahun 2003, yaitu jumlah penduduk miskin sebesar 37,4 juta jiwa atau 17,4% dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi tersebut membutuhkan pelayanan yang lebih baik agar secara bertahap tapi pasti dapat dikurangi. Pertumbuhan yang dicapai terutama bertumpu pada peningkatan konsumsi dan ekspor, sedangkan investasi masih tumbuh melambat mengingat penyelesaian beberapa persoalan mikrostruktural belum sesuai harapan. Kondisi demikian menyebabkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 belum dibarengi perbaikan penyerapan angkatan kerja dan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat secara berarti. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah modal utama untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi angka kemiskinan Dalam periode itu, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 40.000-50.000 orang. Merujuk hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2005, Juli 2005 dan Februari 2006 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa sebelumnya, penyerapan tenaga kerja 240.000-250.000 orang pada tahun 2003 dan sekitar 200.000 orang pada tahun 2004 untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi. likuiditas dunia Berdasarkan data Biro Pusat Statistik ( BPS ), jumlah penduduk miskin pada tahun 2003 mencapai 37,4 juta atau sekitar 17,4% sedangkan pada tahun 2004 diperkirakan menjadi 36,1 juta atau masih sebesar 16,6% dari seluruh penduduk Indonesia. Laporan Pembangunan Manusia 2004 juga mengungkapkan kondisi kualitas ( fisik ) manusia Indonesia yang masih sangat memprihatinkan. Indeks Pembangunan Manusia yang mencerminkan tingkat kesehatan, pendidikan, dan ekonomi rata rata penduduk menempatkan Indonesia pada peringkat 111 dari 175 negara, jauh dibawah peringkat negara-negara tetangga seperti Malaysia (59) dan Filipina (83).Susenas ,2010. Status Ibu di Perkotaan Kebanyakan Ibu Rumah Tangga. http://syukronali.files.wordpress.com/2010/05/bps-status-ibu-rumah-tangga.doc. Diakses 12 Oktober 2013