65
BAB I PENDAHULUAN Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan jamur serupa ragi candida albican, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur superficial pada kulit, rambut, kuku, dan selaput lendir. Jamur lainnya dapat menembus jaringan hidup dan menyebabkan infeksi dibagian dalam. Jamur yang berhasil masuk bisa tetap berada di tempat (misetoma) atau menyebabkan penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis). 1 Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang masyarakat luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis profunda jarang terdapat. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2: kelompok dermatofitosis dan non- dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus dibedakan di sini dengan dermatomikosis. Dermatofitosis ialah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah dermatofita yang mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu microsporum, trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama di antara

REFRESING JAMUR

  • Upload
    niyo-ji

  • View
    212

  • Download
    9

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: REFRESING JAMUR

BAB I

PENDAHULUAN

Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah

dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan jamur

serupa ragi candida albican, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur superficial

pada kulit, rambut, kuku, dan selaput lendir. Jamur lainnya dapat menembus jaringan

hidup dan menyebabkan infeksi dibagian dalam. Jamur yang berhasil masuk bisa tetap

berada di tempat (misetoma) atau menyebabkan penyakit sistemik (misalnya,

histoplasmosis).1

Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang

masyarakat luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis

profunda jarang terdapat. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2:

kelompok dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus

dibedakan di sini dengan dermatomikosis. Dermatofitosis ialah penyakit pada jaringan

yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan

kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah dermatofita

yang mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita

termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu microsporum,

trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang

sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat

makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.

Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies

epidermophyton, 17 species microsporum, dan 21 species trichophyton. Pada tahun-

tahun terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua

koloni yang berlainan “jenis kelaminnya”. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan

dermatofita dapat masuk kedalam family gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia

dan arthroderma yang masing-masing dihubungkan dengan genus microsporum dan

tricophyton. 2

Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh

karena negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah

Page 2: REFRESING JAMUR

infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai

kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit

lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam

penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan identifikasi

laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik. Pada masa kini

banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik dari golongan antifungal

konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan

daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen penyebab. Prevalensi di Indonesia,

dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah atau

pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain: 30% dan

pekerja penebang kayu di Palembang dan 11,8% dan pekerja perusahaan kayu lapis

menderita dermatitis kontak utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dan pekerja

pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja, sementara

Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82%. Sumamur (1986) memperkirakan bahwa

50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah dermatofitosis akibat kerja. Dari

data sekunder ini terlihat bahwa dermatofitosis akibat kerja memang mempunyai

prevalensi yang cukup tinggi, walaupun jenis dermatofitosisnya tidak sama. Dan

angka insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit

Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari persentase

terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga persentase tertinggi sebesar 82,6 %

(Surakarta) dari seluruh kasus dermatomikosis.3

Page 3: REFRESING JAMUR

BAB II

PEMBAHASAN

A.DERMATOFITOSIS

Definisi

DERMATOFITOSIS adalah setiap infeksi fungal superfisial yang

disebabkan oleh dermatofit dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku,

termasuk onikomikosis dan berbagai macam bentuk tinea. Disebut juga

epidermomycosis dan epidermophytosis. 4

Jamur dermatofit dinamai sesuai dengan genusnya (mycrosporum,

trichophyton, dan epidermophyton) dan spesiesnya misalnya, microsporum canis, t.

rubrum). Beberapanya hanya menyerang manusia (antropofilik), dan yang lainya

terutama menyerang hewan (zoofilik), walau kadang bisa menyerang manusia.

Apabila jamur hewan menimbulkan lesi dikulit pada manusia, keberadaaan jamur

tersebut sering menyebabkan suatu reaksi inflamasi yang hebat (misalnya, cattle

ringworm).1

Etiologi

Berdasarkan sifat makro dan mikro, dermatofita dibagi menjadi: microsporum,

tricopyton, dan epidermophyton. Yang paling terbanyak ditemukan di Indonesia

adalah T.rubrum. dermatofita lain adalah: E.floccosum, T.mentagrophytes, M. canis,

M. gypseum, T.cocentricum, T.schoeleini dan T. tonsurans.5

1. Microsporum

Kelompok dermatofita yang bersifat keratofilik, hidup pada tubuh manusia

(antropofilik) atau pada hewan (zoofilik). Merupakan bentuk aseksual dari jamur.

Terdiri dari 17 spesies, dan yang terbanyak adalah: 6

Page 4: REFRESING JAMUR

SPECIES CLASSIFICATION (NATURAL RESERVOIR)

Microsporum audouinii Anthropophilic

Microsporum canis Zoophilic (Cats and dogs)

Microsporum cooeki Geophilic (also isolated from furs of cats, dogs, and

rodents)

Microsporum

ferrugineum

Anthropophilic

Microsporum gallinae Zoophilic (fowl)

Microsporum gypseum Geophilic (also isolated from fur of rodents)

Microsporum nanum Geophilic and zoophilic (swine)

Microsporum persicolor Zoophilic (vole and field mouse)

Tabel 2.1 Spesies Microsporum.

Koloni mikrosporum adalah glabrous, serbuk halus, seperti wool atau powder.

Pertumbuhan pada agar Sabouraud dextrose pada 25°C mungkin melambat atau

sedikit cepat dan diameter dari koloni bervariasi 1- 9 cm setelah 7 hari pengeraman.

Warna dari koloni bervariasi tergantung pada jenis itu. Mungkin saja putih seperti wol

halus yang masih putih atau menguning sampai cinamon.6

2.Epidermophyton 

Jenis Epidermophyton terdiri dari dua jenis; Epidermophyton floccosum dan

Epidermophyton stockdaleae. E. stockdaleae dikenal sebagai non-patogenik,

sedangkan E. floccosum satu-satunya jenis yang menyebabkan infeksi pada manusia.

E. floccosum adalah satu penyebab tersering dermatofitosis pada individu tidak sehat.

Menginfeksi kulit (tinea corporis, tinea cruris, tinea pedis) dan kuku

(onychomycosis). Infeksi terbatas kepada lapisan korneum kulit luar.koloni E.

floccosumtumbuh cepat dan matur dalam 10 hari. Diikuti inkubasi pada suhu 25 ° C

pada agar potato-dextrose, koloni kuning kecoklat-coklata.

Page 5: REFRESING JAMUR

3.Tricophyton 

Trichophyton adalah suatu dermatofita yang hidup di tanah, binatang atau

manusia. Berdasarkan tempat tinggal terdiri atas anthropophilic, zoophilic, dan

geophilic. Trichophyton concentricum adalah endemic pulau Pacifik, Bagian

tenggara Asia, dan Amerika Pusat. Trichophyton adalah satu penyebab infeksi

pada rambut, kulit, dan kuku pada manusia.8

NATURAL HABITATS OF TRICHOPHYTON SPECIES

Species Natural Reservoir

Ajelloi Geophilic

Concentricum Anthropophilic

Equinum zoophilic (horse)

Erinacei zoophilic (hedgehog)

Flavescens geophilic (feathers)

Gloriae Geophilic

Interdigitale Anthropophilic

Megnini Anthropophilic

Mentagrophytes zoophilic (rodents, rabbit) /

anthropophilic

Phaseoliforme Geophilic

Rubrum Anthropophilic

Schoenleinii Anthropophilic

Simii zoophilic (monkey, fowl)

Soudanense Anthropophilic

Terrestre Geophilic

Tonsurans Anthropophilic

Vanbreuseghemii Geophilic

Verrucosum zoophilic (cattle, horse)

Violaceum Anthropophilic

Yaoundei anthropophilic

Tabel 2.2 Spesies Trichophyton.

Page 6: REFRESING JAMUR

Insidensi

Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur, sehingga

dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna MS, insidensi penyakit

jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi

antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum.

Dermatomikosis atau mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk

negara tropis. Di Indonesia angka yang tepat, berapa sesungguhnya insiden

dermatomikosis belum ada. Di Denpasar, golongan penyakit ini menempati urutan

kedua setelah dermatitis. Angka insiden tersebut diperkirakan kurang lebih sama

dengan di kota-kota besar Indonesia lainnya. Di daerah pedalaman angka ini

mungkin akan meningkat dengan variasi penyakit yang berbeda.

Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan pada penderita dermatomikosis

yang dirawat di IRNA Penyakit Kulit Dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya

dalam kurun waktu antara 2 Januari 1998 sampai dengan 31 Desember 2002. Dari

pengamatan selama 5 tahun didapatkan 19 penderita dermatomikosis. Kasus

terbanyak terjadi pada usia antara 15-24 tahun (26,3%), penderita wanita hampir

sebanding dengan laki-laki(10:9). Dermatomikosis terbanyak ialah Tinea Kapitis,

Aktinomisetoma, Tinea Kruris et Korporis, Kandidiasis Oral, dan Kandidiasis

Vulvovaginalis.

Jenis organisme penyebab dermatomikosis yang berhasil dibiakkan pada

beberapa rumah sakit tersebut yakni: T.rubrum, T.mentagrophytes, M.canis,

M.gypseum, M.tonsurans, E.floccosum, Candida albicans, C.parapsilosis,

C.guilliermondii, Penicillium, dan Scopulariopsis. Menurut Rippon tahun 1974 ada

37 spesies dermatofita yang menyebabkan penyakit di dunia.9

Di luar seperti India, berdasarkan penelitian di India yang mengambil

sampel sebanyak 121 kasus (98 pria & 23 perempuan), dermatomikosis menempati

urutan pertama untuk kasus penyakit kulit, 103 kasus (70,5%), diikuti candidiasis

30 kasus (20,5%) dan pitiriasis versikolor. Di Amerika endemik dermatomikosis di

Page 7: REFRESING JAMUR

daerah Utara dan barat Venezuela, brasil, dan beberapa kasus di laporkan di

Columbia dan argentina. Di Eropa infeksi tinea adalah hal yang umum. Perkiraan

insidensi penyakit ini sekitar 10-20%. Di Eropa dermatomikosis merupakan

penyakit kulit yang menempati urutan kedua. Penyakit ini disebabkan oleh tinea

pedis, tinea corporis, tinea cruris, dan tinea rubrum. Tinea rubrum ditemukan pada

76,2% kasus dermatomikosis melalui pemeriksaan sampel di Eropa.

Onset usia terjadi pada anak kecil yang baru belajar berjalan (toddlers) dan

anak usia sekolah. Paling sering menyerang anak berusia 6-10 tahun dan juga pada

usia dewasa.9

Frekuensi infeksi pada spesies tertentu antara lain:

Sekitar 58% dermatofita yang terisolasi adalah trichophyton rubrum

27% Trichophyton mentagrophytes.

7% Trichophyton verrucosum.

3% Trichophyton tonsurans.

Kecil dari 1 % yang terisolasi: Epidermophyton floccosum, Microsporum audouinii,

Microsporum canis, Microsporum equinum, Microsporum nanum, Microsporum

versicolor, Trichophyton equinum, Trichophyton kanei, Trichophyton raubitschekii,

and Trichophyton violaceum.10

Klasifikasi 

Dermatofitosis dibagi oleh beberapa penulis misalnya SIMONS dan

GOHAR ( 1954) menjadi dermatomikosis, trikomikosis, dan onikomikosis

berdasarkan bagian tubuh manusia yang terserang

Klasifikasi yang paling sering dipakai oleh para spesialis kulit adalah berdasarkan lokasi:

Tinea kapitis, tinea pada kulit dan rambut kepala.

Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jengggot.

Tinea kruris, dermatofita pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-

kadang sampai perut bagian bawah.

Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.

Tinea unguium, tinea pada kuku kaki dan tangan.

Tinea facialis, tinea yang meliputi bagian wajah.

Page 8: REFRESING JAMUR

Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk 5 bentuk tinea

diatas.

Selain 6 bentuk tinea di atas masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu:

Tinea imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang kosentris dan

disebabkan oleh tricophyton concentricum.

Tinea favosa atau favus: dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh

tricophyton schoenleini: secara klinis antara lain berbentuk skutula dan berbau

seperti tikus (mousy odor).

Tinea fasialis ,tinea aksilaris,yang menunjukan kelainan.

Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif dari morfologinya.

Tinea incognito: dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah

diobati dengan steroid topical kuat. 2

Gejala Klinis

Tinea glabrosa atau dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunya morfologi

khas.penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas,terdiri atas macam-macam

efloresensi kulit (polimorfi).bagian tepi lesi lebih aktif lebih jelas tanda-tanda peradangan

dari pada bagian tengah.

a. Tinea Pedis

Tinea pedis adalah infeksi dermatofit pada kaki, terutama di selajari dan telapak kaki

Tinea pedis yang tersering adalah bentuk interdigitalis. Di antara jari IV

danjari V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis, dapat meluas ke

bawah jari (subdigital) dan telapak kaki. Kelainan kulit berupa kelompok vesikel.

Sering terjadi maserasi pada sela jari terutama sisi lateral berupa kulit putih dan

rapuh, berfisura dan sering disertai bau. Bila kulit yang mati dibersihkan, akan

terlihat kulit baru yang pada umumnya telah diserang jamur. Bentuk klinis ini

dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau

Page 9: REFRESING JAMUR

tanpa keluhan. Pada suatu ketika dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri

sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis dan erisipelas, dengan gejala-

gejala umum.

Bentuk lain ialah moccasin foot, tipe papuloskuamosa hiperkeratotik yang

menahun. Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit

menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian

tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.

Sering terdapat di daerah tumit, telapak kaki, dan kaki bagian lateral, dan biasanya

bilateral.

Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang

bula. Kelainan ini mula-mula terdapat di pada daerah sela jari, kemudian meluas

ke punggung kaki atau telapak kaki, dan jarang pada tumit. Lesi-lesi ini mungkin

berasal dari perluasan lesi daerah interdigital. Isi vesikel berupa cairan jernih yang

kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik berbentuk lingkaran

yang disebut kolaret. Infeksi sekunder dapat terjadi, sehingga dapat

menyebabkan selulitis, limfangitis, dan kadang-kadang menyerupai erisipelas.

Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk menemukannya, sebaiknya

diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa untuk diperiksa secara sediaan

langsung atau untuk dibiak.

Gambaran klinis tinea manum umumnya berupa telapak tangan yang

hiperkeratotik, kulit kering, berskuama, biasanya unilateral. Inflamasi berupa

vesikel atau bula jarang ditemukan. Kelainan ini perlu dibedakan antara lain

dengan psoriasis, keratoderma palmaris, dermatitis kontak, dan infeksi jamur

nondermatofit.

b. Tinea unguium (dermatophytic onycomicosis, ringworm of the nail)

Page 10: REFRESING JAMUR

Trichophyton rubrum dan T. interdigitale adalah spesies yang sering

menyebabkan tinea unguium.

Tinea unguium merupakan kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi

jamur Dermatofita.Terdapat 3 bentuk klini menurut ZAIAS, yaitu:

1. subungual distalis, yang dimulai dari tepi distal atau disolateral kuku dan menjalar

ke proksimal. Pada bagian bawah kuku dapat ditemui sisa kuku yang rapuh. Jika

proses berlanjut kuku pada bagian distal akan hancur menjadi menyerupai kapur.

2. subungual proksimalis, dimulai dari pangkal kuku. Pada kelainan tipe ini,

didapatkan kuku bagian distal masih utuh sedangkan bagian proksimal sudah

rusak. Sering dijumpai pada kuku kaki.

3. leukonikia trikofita, kelainan kuku berupa keputihan di permukaan kuku. Kelainan

ini disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes

c. Tinea kruris (eczema marginatum, dhobie itch, ringworm of the groin)

Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan

sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut ataupun menahun, bahkan dapat

merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat berbatas pada

daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus, dan

perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.11

Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.

Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah di tengahnya. Fluoresensi terdiri

atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfik). Bila menahun

dapat disertai bercak hitam dan bersisik. Erosi dan keluarnya cairan terjadi akibat

garukan. Dan tinea kruris merupakan bentuk klinis tersering di Indonesia.2

Dermatofit T rubrum menjadi penyebab yang paling umum untuk tinea cruris.

T rubrum menjadi dermatofit yang lazim 90% dari kasus tinea cruris, diikuti T

tonsurans ( 6%) dan T mentagrophytes ( 4%). Organisme lain, termasuk E floccosum

dan T verrucosum, menyebabkan suatu kondisi klinis yang serupa. Infeksi T rubrum

dan E floccosum lebih cenderung untuk menjadi kronis dan non-inflamatori,

sedangkan infeksi oleh T mentagrophytes sering dihubungkan dengan suatu presentasi

klinis merah, menyebabkan peradangan akut.12

Page 11: REFRESING JAMUR

Agen yang pada umumnya menyebabkan tinea kruris antara lain: T. rubrum,

T. interdigitale dan E. floccosum. 11

d. Tinea kapitis

Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan

oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan,

alopesia dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut

kerion. Ada tiga bentuk tinea kapitis:

Gray patch ring-worm, merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh

genus microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan

papul merah yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak,

yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut

menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah dan terlepas dari

akarnya sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di

daerah tersebut terserang oleh jamur dan menyebabkan alopesia setempat. Tempat-

tempat terlihat sebagai gray patch, yang pada klinik tidak menunjukan batas daerah

sakit dengan pasti. Pada pemeriksaan lampu wood terlihat fluoresensi hijau

kekuningan pada rambut yang sakit, melampaui batas dari gray patch tersebut. Tinea

kapitis disebabkan oleh microsporum audouini biasanya disertai tanda peradangan,

hanya sesekali berbentuk kerion.2

Kerion, merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Microsporum canis

(Mulyono, 1986). Bentuk yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat. Lesi

berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan sebukan radang di

sekitarnya. Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang menetap.13

Black dot ring-worm, merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh

Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum (Mulyono, 1986). Gambaran

klinis berupa terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut

yang terinfeksi tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora

terlihat sebagai titik hitam. Diagnosis banding pada tinea kapitis adalah alopesia

areata, dermatitis seboroik dan psoriasis (Siregar, 2005). 13

Page 12: REFRESING JAMUR

f. Tinea korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, scherende flechte, kurap, herpes

sircine trichophytique)

Merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin).

Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atu lonjong, berbatas tegas

terdiri dari eritema, squama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi. Daerah

tengah biasanya tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi

pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Dapat

terlihat sebagai lesi dengan tepi polisiklik, karena beberapa lesi kulit menjadi satu.

Tinea korporis yang menahun tanda radang yang mendadak biasanya tidak terlihat

lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan

kelainan pada sela paha. Dalalm hal ini disebut tinea korporis et kruris atau sebaliknya

tinea kruris et korporis. Bentuk menahun dari trichophyton rubrum biasanya dilihat

bersama-sama dengan tinea unguium.

Bentuk khas dari tinea korporis yang disebabkan oleh trichophyton concentricum

disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata dimulai dengan bentuk papul berwarna

coklat, yang perlahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari

dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian

tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran berskuama yang kosentris.

Bentuk tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea favosa atau

favus. Penyakit ini biasanya dimulai dikepala sebagai titik kecil di bawah kulit yang

berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk cawan (skutula)

dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya tembus oleh satu atau dua rambut

dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan membasah. Rambut

tidak berkilat lagi dan terlepas. Bila tidak diobati, penyakit ini meluas keseluruh

kepala dan meninggalkan parut dan botak. Berlainan dengan tinea korporis yang

disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada usia akil balik. Biasanya

tercium bau tikus (mousy odor) pada para penderita favus. Tiga spesies dermatofita

yang menyebabkan favus, yaitu trichophyton schoenleini, trichophyton violaceum,

dan microsporum gypseum. Berat ringan bentuk klinis yang tampak tidak bergantung

pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat

kebersihan, umur, dan ketahanan penderita penderita.2

Page 13: REFRESING JAMUR

Pemeriksaan Penunjang

Mikroskopik langsung

Sediaan basah dibuat dengan meletakan bahan di atas gelas alas, kemudian

ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi 10% untuk rambut dan untuk kulit, dan

untuk kuku 20%. Setelah sedian dicampur dengan KOH, tunggu 15-20 menit untuk

melarutkan jaringan.untuk mempercepat pelarutan dilakukan pemanasan sediaan

basah di atas api kecil. Pada saat mulai keluar uap, pemanasan dihentikan. Untuk

melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sedian KOH,

misalnya tinta parker superchroom blue black.2

Kerokan kulit, kuku, dan epitel rambut diuji dengan KOH 10% dan sediaan

tinta Parker atau calcofluor -white.11

pemanasan untuk mempercepat proses akan tetapi jangan sampai beruap. Pada

sediaan kulit dan kuku dapat terlihat hifa ataupun artrospora. Pada sediaan rambut

dapat terlihat mikrospora dan makrospora.

Pemeriksaan dengan biakan diperlkan untuk menentukan spesies jamur. Media

yang digunakan adalah agar saboraud. Dapat ditambahkan antibiotic seperti

kloramfenikol untuk menghindari kontaminasi1

.

Kultur

Spesimen akan diinokulasi ke dalam media isolasi primer, seperti agar

sabouraud’s dextrose yang terdiri dari sikloheksimid (actidione) dan masa inkubasi

26-28o C selama 4 minggu. Pertumbuhannya signifikan pada banyak dermatofita.11

Diagnosa

Umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas yaitu

bercak-bercak yang berbatas tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga

memberikan kelainan-kelainan yang polimorfik, dengan bagian tepi yang aktif serta

berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang. Gejala objektif ini selalu disertai

dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk maka papula-papula atau

Page 14: REFRESING JAMUR

vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah yang erosit dan bila

mengering jadi krusta dan skuama.Kadang-kadang bentuknya menyerupai dermatitis

(ekzema marginatum), tetapi kadang-kadang hanya berupa makula yang

berpigmentasi saja (Tinea korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai gejala-

gejala pioderma (impetigenisasi).3

Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakan diagnosa terdiri atas

pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain misalnya

pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang, dan imunologik tidak diperlukan.2

Diagnosa Banding

Tinea pedis et manum harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya

batasnya tidak jelas, bagian tepi lebih aktif dari pada bagian tengah. Adanya vesikel-

vesikel steril pada jari-jari kaki dan tangan (pomfoliks) dapat merupakan reaksi id,

yaitu akibat setempat hasil reaksi antigen dengan zat anti pada tempat tersebut.

Efek samping obat juga dapat memberi gambaran serupa yang menyerupai

ekzem atau dermatitis, pertama-tama harus dipikirkan adanya suatu dermatitis kontak.

Pada hiperhidrosis terlihat kulit yang mengelupas (maserasi). Kalau hanya terlihat

vesikel-vesikel, biasanya terletak sangat dalam dan terbatas pada telapak kaki dan

tangan. Kelainan tidak meluas sampai di sela-sela jari. 2

Penyakit lain yang harus mendapat perhatian adalah kandidiosis,

membedakannya dengan tinea pedis murni kadang-kadang sangat sulit. Pemeriksaan

sediaan langsung dengan KOH dan pembiakan dapat menolong. Infeksi sekunder

dengan spesies candida atau bakteri lain sering menyertai tinea pedis, sehingga pada

kasus-kasus demikian diperlukan interpretasi bijaksana terhadap hasil-hasil

pemeriksaan laboraturium. Sifilis II dapat berupa kelainan kulit di telapak tangan dan

kaki. Lesi yang merah dan basah dapat merupakan petunjuk. Dalalm hal ini tanda-

tanda lain sifilis akan terdapat misalnya: kondiloma lata, pembesaran kelenjar getah

bening yang menyeluruh, anamnesa tentang afek primer dan pemeriksaan serologi

serta lapangan gelap dapat menolong.

Page 15: REFRESING JAMUR

Tinea unguium yang disebabkan oleh bermacam-macam dermatofita

memberikan gambaran akhir yang sama. Psoriasis yang menyerang kuku pun dapat

berakhir dengan kelainan yang sama. Lekukan-lekukan pada kuku (nail pits), yang

terlihat pada psoriasis tidak didapati pada tinea unguium. Lesi-lesi psoriasis pada

bagian lain badan dapat menolong membedakannya dengan tinea unguium. Banyak

penyakit kulit yang menyerang bagian dorsal jari-jari tangan dan kaki dapat

menyebabkan kelainan yang berakhir dengan distrofi kuku, misalnya: Paronikia, yang

etiologinya bermacam-macam ekzem/dermatitis, akrodermatitis perstans.

Tidak begitu sukar menentukan tinea korporis pada umumnya, namun ada

beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan diagnosa itu, misalnya dermatitis

seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea. Kelainan kulit pada dermatitis seboroika

selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya terlihat pada tempat-tempat

predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit , misalnya belakang

telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya. Psoriasis dapat dikenal pada kelainan kulit

pada tempat predileksinya, yaitu daerah ekstensor misalnya lutut, siku dan punggung.

Kulit kepala berambut juga sering terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan-lekukan

pada kuku dapat pula menolong menentukan diagnosa. Ptiriasis rosea distribusi

kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada bagian tubuh dan bagian proksimal

anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis. Pemeriksaan laboraturiumlah

yang dapat memastikan diagnosanya. Tinea korporis kadang sukar dibedakan dengan

dermatitis seboroik pada sela paha. Lesi-lesi ditempat predileksi sangat menolong

dalm menentukan diagnosa. Psoriasis pada sela paha dapat menyerupai tinea kruris.

Lesi pada psoriasis lebih merah, skuama lebih banyak dan lamelar. Adanya lesi

psoriasis pada tempat lain dapat membantu menentukan diagnosa.

Kandidosis pada daerah lipat paha mempunyai konfigurasi hen and chicken.

Kelainan ini biasanya basah dan berkrusta. Pada wanita ada tidaknya flour abus dapat

membantu pengarahan diagnosa. Pada penderita diabetes mellitus, kandidosis

merupakan penyakit yang sering dijumpai.

Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokasi di sela paha.

Efloresensi yang sama yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda-

Page 16: REFRESING JAMUR

tanda khas dari penyakit ini. Pemeriksaan dengan lampu wood dapat menolong

dengan adanya floresensi merah (coral red).

Tinea barbe kadang sukar dibedakan dengan sikosis barbe, yang disebabkan

oleh piokokus. Pemeriksaan sediaan langsung dapat membedakan kedua penyakit ini.2

Pengobatan 

Pengobatan dermatofitosis sering tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi

tunggal pada kulit dapat diterapi secara adekuat dengan antijamur topikal. walaupun

pengobatan topikal pada kulit kepala dan kuku sering tidak efektif dan biasanya

membutuhkan terapi sistemik untuk sembuh. Infeksi dermatofitosis yang kronik atau

luas, tinea dengan implamasi akut dan tipe "moccasin" atau tipe kering jenis t.rubrum

termasuk tapak kaki dan dorsum kaki biasanya juga membutuhkan terapi sistemik.

Idealnya, konfirmasi diagnosis mikologi hendaknya diperoleh sebelum terapi sistemik

antijamur dimulai. Pengobatan oral, yang dipilih untuk dermatofitosis adalah.2,11

Infeksi Rekomendasi Alternatif

Tinea

unguium(Onychomycosis)

Terbinafine 250

mg/hr 6 minggu

untuk kuku jari

tangan, 12 minggu

untuk kuku jari kaki

Itraconazole 200 mg/hr /3-5 bulan atau

400 mg/hr seminggu per bulan selama

3-4 bulan berturut-turut. 

Fluconazole 150-300 mg/ mgg s.d

sembuh (6-12 bln) Griseofulvin 500-

1000 mg/hr s.d sembuh (12-18 bulan)

Tinea capitis Griseofulvin

500mg/day

(≥ 10mg/kgBB/hari)

sampai sembuh (6-8

minggu)

Terbinafine 250 mg/hr/4 mgg

Itraconazole 100 mg/hr/4mgg 

Fluconazole 100 mg/hr/4 mgg

Tinea corporis Griseofulvin 500

mg/hr sampai

sembuh (4-6

minggu), sering

dikombinasikan

Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4

minggu Itraconazole 100 mg/hr

selama 15  hr atau 200mg/hr selama 1

mgg. Fluconazole 150-300 mg/mggu

selama 4 mgg.

Page 17: REFRESING JAMUR

dengan imidazol.

Tinea cruris Griseofulvin 500

mg/hr sampai

sembuh (4-6

minggu)

Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4

mgg Itraconazole 100 mg/hr selama

15 hr atau 200 mg/hr selama 1 mgg.

Fluconazole 150-300 mg/hr selama 4

mgg.

Tinea pedis Griseofulvin

500mg/hr sampai

sembuh (4-6

minggu)

Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4

mgg Itraconazole 100 mg/hr selama

15 hr atau 200mg/hr selama 1 mgg.

Fluconazole 150-300 mg/mgg selama

4 mgg.

Chronic and/or

widespread

non-responsive

tinea.

Terbinafine 250

mg/hr selama 4-6

minggu

Itraconazole 200 mg/hr selama 4-6

mgg. Griseofulvin 500-1000 mg/hr

sampai sembuh (3-6 bulan).

Tabel 2.3 Pilihan terapi oral untuk infeksi jamur pada kulit11

Pada pengobatan kerion stadium dini diberikan kortikosteroid sistemik sebagai

antiinflamasi, yakni prednisone 3x5 mg atau prednisolone 3x4 mg sehari selama dua

minggu, bersamaaan dengan pemberian grisiofulvine yang diberikan berlanjut 2

minggu setelah lesi hilang. Terbinafine juga diberikan sebagai pengganti griseofulvine

selama 2-3 minggu dosis 62,5-250 mg sehari tergantung berat badan.

Efek samping griseofulvine jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama

ialah sefalgia yang didapati pada 15% penderita. Efek samping lain berupa gangguan

traktus digestifus yaitu: nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut bersifat fotosensitif

dan dapat mengganggu fungsi hepar.

Efek samping terbinafine ditemukan kira-kira 10% penderita, yang tersering

gangguan gastrointestinal diantaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diarea,

konstipasi, umumnya ringan. Efek samping lain berupa ganguan pengecapan,

persentasinya kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau keseluruhan setelah

Page 18: REFRESING JAMUR

beberapa minggu minum obat dan hanya bersifat sementara. Sefalgia ringan

dilaporrkan pula 3,3%-7% kasus.

Pada kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan ketokonazol sebagai

terapi sistemik 200 mg per hari selam 10 hari sampai 2 minggu pada pagi hari setelah

makan. Ketokonazol kontraindikasi untuk kelainan hepar.2

B. NON DERMATOFITOSIS

1. PITIRIASIS VERSIKOLOR

Defenisi

                Pitiriasis versikolor yang disebabkan Malassezia furfur Robin (BAILLON 1889)

adalah penyakit jamir superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan subyektif,

berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi

badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher,

muka dan kulit kepala yang berambut.

Sinonim

                Tinea versikolor, kromofitosis, dermatomikosis, liver spots, tinea flava, pitiriasis

versikolor flava dan panau.

Epidemiologi

                Pitiriasis versikolor adalah penyakit universal dan terutama ditemukan di daerah

tropis.

Patogenesis

Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya pitiriasis

vesikolor ialah Pityrosporum orbiculareyang berbentuk bulat atau Pityrosporum

ovale yang berbentuk oval. Keduanya merupakan organisme yang sama, dapat

berubah sesuai lingkungannya, misalnya suhu, media, dan kelembaban.

Page 19: REFRESING JAMUR

Malassezia furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi

menjadi patogen dapat endogen atau eksogen. Endogen dapat disebabkan diantaranya

oleh defisiensi imun. Eksogen dapat karena faktor suhu, kelembaban udara, dan

keringat.

Gejala Klinis

Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan terutama

di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak

teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Becak-bercak tersebut berfluoresensi

bila dilihat dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun

jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga adakalanya penderita tidak

mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut.

Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan

alasan berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan

pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita.

Penyakit ini sering dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang dewasa

tua tidak luput dari infeksi. Menurut BURKE (1961) ada beberapa faktor yang

mempengaruhi infeksi, yaitu faktor herediter, penderita yang sakit kronik atau yang

mendapat pengobatan steroid dan malnutrisi.

 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinis, pemeriksaan flurosensi, lesi kulit dengan

lampu Wood dan sedian langsung.

Gambaran klinis dapat dilihat pada judul “gejala klinis”, fluoresensi lesi pada kulit pada

pemeriksaan lampu Wood berwarna kuning keemasan dan pada sediaan langsung kerokan

kulit dengan larutan KOH 20% terlihat campuran hifa pendek dan spora-spora bulat yang

dapat berkelompok.

Diagnosis Banding

Page 20: REFRESING JAMUR

                Penyakit ini harus dibedakan dengan dermatitis seboroika, eritramas, sifilis II,

aachromia parasitik dari Pardo-Costello dan Dominiquez, morbus hansen, ptiriasis alba, serta

vitiligo.

Pengobatan

                Pengobatan harus dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat-obatan yang

dapat dipakai misalnya : suspensiselenium sulfide (selsun) dapat dipakai sebagai sampo 2-3

kali seminggu. Obat digosokkan pada lesi dan didiamkan 15-30 menit, sebelum mandi. Obat-

obat lain yang berkhasiat terhadap penyakit ini adalah salisil spiritus 10%; derivat-derivat

azol, misalnya mikonazol, klotrimazol, isokonazol dan ekonazol; sulfur presipitatum dalam

bedak kocok 4-20%; tolsiklat; tolnaftat dan haloprogin. Larutan tiosulfas natrikus 25% dapat

pula digunakan; dioleskan sehari 2 kali sehabis mandi selama 2 minggu. Jika sulit

disembuhkan ketokanazol dapat dipertimbangkan dengan dosis 1x200mg sehari selama 10

hari.

Prognosis

                Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten.

Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu

Wood dan sediaan langsung negatif.

2. PITIROSPORUM FOLIKULITIS

Pitirosporum folikulitis (malasezia folikulitis) merupakan penyakit yang sudah

cukup lama dikenal didunia kedokteran, khususnya dikalangan para ahli kulit, oleh

karena klinisnya mirip acne vulgaris atau jerawat. Di daerah tropis penyakit ini

menarik perhatian para dokter kulit setelah di publikasikan di korea, filipina dan

Indonesia. Di indonesia telah diteliti oleh harjandi dkk. (2000) dan indrarini (2001)

Penyakit Pitirosporum folikulitis, merupakan penyakit jamur superfisial atau

mikosis superfisial yang termasuk golongan non-dermatofitosis yaitu disebabkan oleh

jenis jamur yang tidak dapat mengeluarkan zat yang dapat mencerna keratin kulit

tetapi hanya menyerang lapisan kulit yang paling luar dan Lebih sering terjadi pada

dewasa muda.

Page 21: REFRESING JAMUR

Pityrosporum folliculitis bukanlah infeksi. Weary dkk pertama kali

menjelaskan Pityrosporum folikulitis pada tahun 1969, dan kemudian pada tahun

1973, Potter dkk mengidentifikasi Pityrosporum folliculitis sebagai diagnosis klinis

dan histologis yang terpi.

DEFENISI

Pitirosporum folikulitis adalah penyakit kronis pada folikel polisebasea yang

disebabkan oleh spesies pitirosporum, berupa papul (Penonjolan kulit yang solid

dengan diameter < 1 cm) dan pustul folikular, yang biasanya gatal dan terutama

berlokasi dibatang tubuh, leher dan lengan bagian atas.

Pityrosporum folliculitis adalah suatu kondisi kulit yang berkembang karena

jamur dalam folikel rambut dan menyebabkan pruritus (gatal) yang papulopustules,

dengan bentuk menyerupai jerawat hanya saja pada pityrosporum folliculitis papulnya

berwarna lebih merah terang. Pustula ini terbentuk dari pertumbuhan berlebih dari

jamur penyebabnya.

SINONIM 

Malasezia folikulitis

Etiologi

Jamur penyebab adalah spesies pityrosporum yang identik dengan malassezia

furfur, penyebab pitiriasis versikolor atau panu. Spesies ini sekarang disebut sebagai

malassezia setelah ditemukan 7 spesies, sehingga penyakit yang disebabkan oleh

jamur ini atau dihubungkannya yang dahulu dinamai pitirosporosis sekarang disebut

malaseziosis.

Jamur penyebab yang sekarang disebut sebagai Malassezia khususnya

Malassezia furfur, adalah agen patogen pada Pityrosporum folliculitis. M furfur juga

dikaitkan dengan penyakit kulit lainnya, termasuk dermatitis seboroik, folikulitis,

pityriasis versicolor, dan dermatitis atopik

Page 22: REFRESING JAMUR

GAMBARAN KLINIS 

Mallassezia folikulitis atau pitirosporum folliculitis memberikan keluhan gatal

pada tempat predeleksi, klinis morfologi terlihat papul dan pustul perifolikuler,

berukuran diameter 2-3mm, dengan peradangan minimal. Bentuknya menyerupai

jerawat, karena gatal maka akan timbul juga erupsi papular.

Tempat predeleksinya yaitu dada, punggung dan lengan atas,. Kadang-kadang terdapat di

leher dan jarang dimuka.

Mallassezia folikulitis atau pitirosporum

folliculitis

Mallassezia folikulitis atau pitirosporum

folliculitis

Mallassezia folikulitis atau pitirosporum

folliculitis

Mallassezia folikulitis atau pitirosporum

folliculitis

Page 23: REFRESING JAMUR

PATOGENESIS

Spesies malassezia merupakan penyebab pitirosporum folliculitis dengan sifat

dimorfik(berada dalam dua bentuk atau struktur yang berbeda), lipofilik

( membutuhkan asam lemak yang ada dalam kulit berminyak untuk berkembang biak)

dan komensal.

Jamur Malassezia yang merupakan penyebab pitirosporum folliculitis ini

membutuhkan asam lemak bebas untuk bertahan hidup. Biasanya, mereka ditemukan

dalam stratum korneum dan folliculi pilar di daerah dengan peningkatan aktivitas

kelenjar sebaceous seperti dada dan punggung.

Bila pada hospes terdapat faktor predisposisi, maka spesies malassezia akan

tumbuh berlebihan dalam folikel, sehingga folikel dapat pecah. Dalam hal ini reaksi

peradangan terhadap produk, tercampur dengan asam lemak bebas yang dihasilkan

melalui aktifitas lipase.

Perluasan folikel rambut mengarah ke letusan putih pada kulit yang

mengelilingi folikel rambut. Letusan ini juga dapat tampak merah, ini tergantung pada

cuaca. Ketika folikel banyak terinfeksi oleh jamur, maka kulit akan tampak sebagai

ruam putih atau merah.

Pesatnya pertumbuhan dan multiplikasi dari jamur di wilayah folikel rambut

menyebabkan pengembangan ruam pada kulit. Kulit membentuk patch gatal dan

jerawatan.

DIAGNOSIS

Diagnosis Pitirosporum folikulitis didasarkan pada kecurigaan klinis dari

presentasi klasik papulopustules pruritus dalam pola folikuler ditemukan di punggung,

dada, lengan atas, dan, terkadang leher. serta jarang hadir pada wajah. Perbaikan atau

pengobatan lesi dengan  terapi  empirik antimycotic mendukung diagnosis klinis

Pityrosporum folliculitis. Di bawah lampu Wood, fluoresensi biru terang atau putih

yang diamati pada folikel di lokasi lesi. Diagnosa dengan biopsi juga dapat dilakukan,

yang kemudian seperti penyakit jamur umumnya di gunakan KOH 10%.

Page 24: REFRESING JAMUR

Gambaran Histologis: 

Dilated folikel rambut dengan sumbat keratin mengandung spora jamur 

Intra-dan perifollicular inflamasi infiltrat terdiri dari neutrofil, limfosit dan histiosit 

Intra-dan perifollicular musin kolam Folikel rambut bisa pecah, menghasut reaksi tubuh

granulomatosa asing

Diagnosa banding atau penyakit yang mirip, meliputi:

Akne vulgaris (jerawat)

Folikulitis bakterial

Erupsi akne formis.

PENGOBATAN

Pengobatan dilakukan dengan mengunakan obat antijamur atau anti mikotik oral,

misalnya :

Ketokonazol 200 gr selama 2-4 minggu

Itrakonazol 200gr sehari selama 2 minggu

Flukonazol 150gr seminggu selama 2-4 minggu

Pengobatan dengan anti jamur topikal biasanya kurang efektif, walaupun dapat menolong.

3. PIEDRA

Piedra adalah infeksi jamur pada rambut, ditandai dengan benjolan/nodus sepanjang rambut.

Disebabkan oleh Piedreaia hortae (black piedra) dan Trichosporon beigelii (white piedra).

Sinonim : black piedra, white piedra, tinea nodosa, piedra nostros, trikomikosis

nodosa,chiqnon disease, Beigel disease.

Gejala Klinis :

Piedra hanya menyerang rambut kepala, janggut dan kumis tanpa memberi keluhan.

Krusta melekat erat sekali pada rambut yang terserang. Ukurannya dapat sangat kecil

Page 25: REFRESING JAMUR

sampai besar. Benjolan yang besar dapat mudah dilihat, diraba dan teraba kasar bila

rambut diraba dengan jari. Jika rambut disisir, maka akan terdengar suara metal (klik).

Piedra hitam menyerang rambut kepala di bawah kutikel, kemudian membengkak dan

pecah untuk menyebar di sekitar rambut (shaft) dan membentuk benjolan tengguli dan

hitam. Piedra ini ditemukan di daerah iklim tropis.

Piedra putih menyerang janggut dan kumis. Benjolan berwarna coklat muda dan tidak

begitu melekat pada rambut.

Diagnosis :

Piedra hitam : hasil KOH menunjukkan benjolan berukuran macam-macam dan

terpisah satu dengan yang lain. Benjolan berwarna tengguli hitam ini terdiri dari hifa

bersputum, teranyam padat dan di antaranya terdapat askus-askus. Dalam askus

terdapat 4-8 askospora.

Piedra putih : hasil KOH menunjukkan benjolan tidak begitu terpisah satu dengan yang

lainnya. Anyaman hifa mengelilingi rambut seperti selubung. Benjolan lebih mudah

lepas dari rambut dan berwarna kehijau-hijauan yang transparan.

Pengobatan :

memotong rambut yang terkena infeksi atau mencuci rambut dengan larutan sublimat

1/2000 setia hari. Obat anti jamur yang konvensional juga dapat dipakai.

4.TINEA NIGRA

SINONIM

Tinea nigra palmaris, keratomikosis nigrikans palmaris, kladosporiosis epidemika,

pitiriasis nigra, mikrosporosis nigra.1,2

DEFINISI

Tinea nigra adalah infeksi jamur kulit asimptomatik, superfisial, biasanya menyerang

kulit palmar (telapak tangan) disebabkan karena Hortae werneckii (dulu namanya

PhaeoanneIlomyces werneckii dan Exophiala werneckii)3.

Page 26: REFRESING JAMUR

ETIOLOGI

Umumnya disebabkan oleh Hortae werneckii (PhaeoanneIlomyces werneckii2,3,4

Exophiala werneckii1,2, Cladosporium werneckii1,5) yang merupakan jamur

dematiaceous seperti ragi.4 Arti dematiaceous adalah jamur kapang (mould/mold)

berwarna coklat.6 Dapat juga disebabkan oleh jamur dematiaceous yang lainnya

yaitu Stenella araguata. 1,2

EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini jarang terjadi.3,6 Kasus tinea nigra terjadi secara sporadik dibeberapa

bagian belahan dunia terutama didaerah pantai negara-negara tropis dan subtropis

seperti misalnya : Kepulauan Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Asia, Afrika dan

Australia.2,7

Penyakit ini paling sering menyerang anak-anak dan dewasa muda, berumur kurang

dari 19 tahun, pada wanita 3 kali lebih sering dibandingkan pada pria dan hampir

sebagian besar infeksi dilaporkan terjadi pada individu imunokompeten.1,2,7

CARA PENULARAN

Jamur penyebab berada saprofit di tanah, limbah, sampah/tumbuh-tumbuhan busuk

dan humus.1,6

Juga tumbuh di kayu dan cat pada lingkungan lembab dan tirai kamar mandi.1

Lesi diduga terjadi melalui inokulasi langsung pada kulit yang sebelumnya

mengalami trauma minor.

Dapat terjadi autoinokulasi.

Dicurigai dapat penularan dari manusia ke manusia,8 yang biasanya jarang terjadi,3

tapi ada yang menyanggahnya.

PATOGENESIS

Faktor predisposisi adalah telapak tangan yang hiperhidrosis.6

Ada yang menyatakan tidak ada faktor predisposisi dan tidak ada hubungan dengan

kegagalan sistem imunologis, serta tidak ada hubungan dengan penyakit lain dan tidak

ada predisposisi genetik.1

Infeksi hanya terbatas pada stratum korneum dan biasanya tidak merangsang

timbulnya reaksi inflamasi.7

Page 27: REFRESING JAMUR

GEJALA KLINIS

Masa inkubasi 10-15 hari hingga 7 minggu, dapat beberapa tahun1,2,3 sampai 20

tahun.3

Lesi khas berupa satu makula berbatas jelas, berwarna coklat kehitaman, tidak

berskuama dan asimptomatik (tidak gatal, tidak nyeri).1,2,9,10

Lesi mula-mula kecil

kemudian dapat melebar secara sentrifugal atau bersatu dengan lesi lainnya

membentuk tepi yang tidak beraturan atau polisikllis.1,2,4,11

Pigmentasi tidak merata,paling gelap didapatkan pada bagian tepi.1,2,3,7,10

Tidak didapatkan eritema atau tanda-tanda inflamasi lain.6

Karena asimtomatis menyebabkan tidak terdiagnosis dalam waktu yang lama. 6

Lesi umumnya terbatas pada satu telapak tangan, namun dapat mengenai jari

tangan, telapak kaki, pergelangan tangan, dada dan leher, 1,3,4,10

wajah tidak pernah terkena.8

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

Anamnesis dan gambaran klinis yang khas. 1,2,10

Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20 % tampak miselium yang terdiri atas hifa

bercabang banyak, berukuran besar diameter sampai 6 μm, septa berdinding tebal,

berwarna kecoklatan, dan tampak budding cells berbentuk bulat memanjang. Bagian

akhir hifa biasanya hialin (tidak berwarna).1,2,10 Hasil pemeriksaan langsung ini

sudah dapat menyokong/ memastikan diagnosis tinea nigra.

Bila dilakukan kultur pada medium Sabouraud's dextrose agar (DA) dengan

sikloheksimid dan khlorampenicol3 tumbuh 7 sampai ± 14 hari. Mula-mula berwarna

putih, lembab dan seperti ragi (yeast) kemudian koloni menjadi hijau kecoklatan atau

hitam. Permukaannya kemudian sering menjadi abu-abu atau kehijauan. Permukaan

bawah koloni berwarna hitam.1,4,5,10

Pemeriksaan mikroskopik pada kultur dini tampak sel seperti ragi, sering bentuk dua-

dua (2 sel dipisahkan septum). Kemudian tampak hifa bersepta, berlekuk dan

Page 28: REFRESING JAMUR

berwarna gelap dan tumbuh konidia oval di sepanjang hifa. Pigmentasinya tidak

sama. 1,4,5,10

Pada pemeriksaan histopatologi dengan pengecatan hematoksilin eosin (HE) atau

GMS (Gomori methenamine silver) tampak penebalan stratum korneum dan

parakeratosis. Tampak hifa bercabang berwarna coklat di lapisan atas stratum

korneum. Stratum lusidum tidak terkena dan tidak ada tanda-tanda inflamasi. 1,2,10

Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat dipakai untuk mempercepat identifikasi H.

werneckii. 11

DIAGNOSIS BANDING

Pitiriasis versikolor, Akral lentigo melanoma maligna, Junctional nevus, Sifilis

sekunder, Hiperpigmentasi pasca inflamasi, lesi pigmentasi Penyakit Addison’s,

bahan pewarna perak nitrat, Tattto, Pinta. 1,2,6,10

PENGOBATAN

Obat topikal :

Obat keratolitik : Salep Whitfield(=AAV II, berisi asidum salisilikum 6%, asidum

benzoikum 12% dalam vaselin album ) dioleskan pagi dan malam.3 Salep AAV I

(half strengh Whitfield ointment) tidak efektif. 10

Krim asam Undesilenik 2-3 minggu12

Krim Imidazol : mikonazol,3,10,11 klotrimazol11, ketokonazol3 dioleskan 2 x

sehari.

Krim Terbinafin3,11,13

Asam Retinoid14

Ciclopirox14

Obat topikal dilanjutkan selama 2-4 minggu sesudah sembuh klinis untuk

mencegah kambuh,3,6 , minimal 3 minggu pengobatan.6 Dianjurkan dikerok / dikupas

dengan penempelan cellophane tape (selotip) terlebih dahulu, baru diolesi obat

topikal.9

Obat oral

Indikasi obat oral adalah bila setelah pengobatan topikal yang adekuat tidak

Page 29: REFRESING JAMUR

sembuh.10

Obat yang dapat diberikan :

1. Ketokonazol 200 mg/ hari selama 3 minggu.9,10

2. Itrakonazol.7

Pengobatan dengan oral Griseofulvin tidak efektif.7

PENCEGAHAN

Tidak ada pencegahan khusus.1

PROGNOSIS

Baik. Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh lagi,

kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab.1,7 Resolusi spontan sangat jarang

terjadi.2 Bila tidak diobati oleh karena asimptomatik akan menjadi kronis.1

5.OTOMIKOSIS

Otomikosis ( dikenal juga dengan Singapore Ear ), adalah infeksi telinga yang

disebabkan oleh jamur, atau infeksi jamur, yang superficial pada kanalis auditorius

eksternus.6

Otomikosis ini sering dijumpai pada daerah yang tropis. Infeksi ini dapat

bersifat akut dan subakut, dan khas dengan adanya inflammasi, rasa gatal, dan

ketidaknyamanan. Mikosis ini menyebabkan adanya pembengkakan, pengelupasan

epitel superfisial, adanya penumpukan debris yang berbentuk hifa, disertai suppurasi,

dan nyeri.6,7

EPIDEMIOLOGI

Angka insidensi otomikosis tidak diketahui, tetapi sering terjadi pada daerah

dengan cuaca yang panas, juga pada orang-orang yang senang dengan olah raga air. 1

dari 8 kasus infesi telinga luar disebabkan oleh jamur. 90 % infeksi jamur ini

disebabkan olehAspergillus spp, dan selebihnya adalah Candida spp. Angka

prevalensi Otomikosis ini dijumpai pada 9 % dari seluruh pasien yang mengalami

gejala dan tanda otitis eksterna. Otomikosis ini lebih sering dijumpai pada daerah

Page 30: REFRESING JAMUR

dengan cuaca panas, dan banyak literatur menyebutkan otomikosis berasal dari negara

tropis dan subtropis. Di United Kingdom ( UK ), diagnosis otitis eksterna yang

disebabkan oleh jamur ini sering ditegakkan pada saat berakhirnya musim panas.8

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ali Zarei tahun 2006, Otomikosis

dijumpai lebih banyak pada wanita ( terutama ibu rumah tangga ) daripada pria.

Otomikosis biasanya terjadi pada dewasa, dan jarang pada anak-anak. Pada penelitian

tersebut, dijumpai otomikosis sering pada remaja laki-laki, yang juga sesuai dengan

yang dilaporkan oleh peneliti lainnya.9

Tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hueso,dkk, dari 102 kasus

ditemukan 55,8 %nya merupakan lelaki, sedangkan 44,2% nya merupakan wanita.3

 ETIOLOGI

Faktor predisposisi terjadinya otitis eksterna, dalam hal ini otomikosis,

meliputi ketiadaan serumen, kelembaban yang tinggi, peningkatan temperature, dan

trauma lokal, yang biasanya sering disebabkan oleh kapas telinga ( cotton buds ) dan

alat bantu dengar. Serumen sendiri memiliki pH yang berkisar antara 4-5 yang

berfungsi menekan pertumbuhan bakteri dan jamur. Olah raga air misalnya berenang

dan berselancar sering dihubungkan dengan keadaan ini oleh karena paparan ulang

dengan air yang menyebabkan keluarnya serumen, dan keringnya kanalis auditorius

eksternus. Bisa juga disebabkan oleh adanya prosedur invasif pada telinga.

Predisposisi yang lain meliputi riwayat menderita eksema, rhinitis allergika, dan

asthma.8

Infeksi ini disebabkan oleh beberapa spesies dari jamur yang bersifat saprofit,

terutama Aspergillus niger. Agen penyebab lainnya meliputi A. flavus, A. fumigatus,

Allescheria boydii, Scopulariopsis, Penicillium, Rhizopus, Absidia, dan Candida

Spp. Sebagai tambahan, otomikosis dapat merupakan infeksi sekunder

dari predisposisi tertentu misalnya otitis eksterna yang disebabkan bakteri yang

diterapi dengan kortikosteroid dan berenang.9,10

Banyak faktor yang menjadi penyebab perubahan jamur saprofit ini mejadi

jamur yang patogenik, tetapi bagaimana mekanismenya sampai sekarang belum

Page 31: REFRESING JAMUR

dimengerti. Beberapa dari faktor dibawah ini dianggap berperan dalam terjadinya

infeksi, seperti perubahan epitel, peningkatan kadar pH, gangguan kualitatif dan

kuantitatif dari serumen, faktor sistemik ( seperti gangguan imun tubuh,

kortikosteroid, antibiotik, sitostatik, neoplasia ), faktor lingkungan ( panas,

kelembaban ), riwayat otomikosis sebelumnya, Otitis media sekretorik kronik, post

mastoidektomi, atau penggunaan substansi seperti antibiotika spectrum luas pada

telinga.3

Aspergillus niger dilaporkan sebagai penyebab paling terbanyak dari

otomikosis ini. Pada dua penelitian di Babol dan barat laut Iran, A.niger dilaporkan

sebagai penyebab utama. Ozcan dkk, dan Hurst melaporkanA.niger , juga sebagai

penyebab terbanyak otomikosis di Turki dan Australia. Tetapi, Kaur, dkk,

menemukan bahwa A.fumigatussebagai penyebab terbanyak diikuti denganA.niger.

Spesies Aspergillus lainnya yang dihubungkan dengan otomikosis

adalahA.flavus. Penicillum juga dilaporkan oleh Pavalenko. Jamur lainnya yang

berhubungan dengan terjadinya otomikosis adalah C.albicansdan C. parapsilosis. Pada

penelitian yang dilakukan Ali Zarei di Pakistan Tahun 2006, dijumpai A.niger sebagai

penyebab utama diikuti dengan A.flavus.9,10

Aspergillus niger, juga telah dilaporkan sebagai penyebab otomikosis pada

pasien immunokompromis, yang tidak berespon terhadap berbagai regimen terapi

yang telah diberikan. ( aspergillus otomikosis ).11

GEJALA KLINIS

Gejala klinik yang dapat ditemui hampir sama seperti gejala otitis eksterna

pada umumnyayakni otalgia dan otorrhea sebagai gejala yang paling banyak

dijumpai, kemudian diikuti dengan kurangnya pendengaran, rasa penuh pada telinga

dan gatal.2

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Tang Ho,et al pada tahun 2006,

yakni dari 132 kasus otomikosis didapati persentase masing- masing gejala

otomikosis sebagai berikut :

Simptom Jumlah Pasien ( n ) Persentase ( % )

Page 32: REFRESING JAMUR

Otalgia

Otorrhea

Kehilangan pendengaran

Rasa penuh pada telinga

Gatal

Tinnitus

63

63

59

44

20

5

48

48

45

33

23

4

gbr.6. tabel presentase masing-masing gejala otomikosis

Pada liang telinga akan tampak berwarna merah, ditutupi oleh skuama, dan

kelainan ini ke bagian luar akan dapat meluas sampai muara liang telinga dan daun

telinga sebelah dalam. Tempat yang terinfeksi menjadi merah dan ditutupi skuama

halus. Bila meluas sampai kedalam, sampai ke membran timpani, maka akan dapat

mengeluarkan cairan serosanguinos.12

Pada pemeriksaan telinga yang dicurigai otomikosis, didapati adanya

akumulasi debris fibrin yang tebal, pertumbuhan hifa berfilamen yang berwana putih

dan panjang dari permukaan kulit, hilangnya pembengkakan signifikan pada dinding

kanalis, dan area melingkar dari jaringan granulasi diantara kanalis eksterna atau pada

membran timpani Terkadang otomikosis ini dapat menyebabkan perforasi pada

membran timpani, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini :

D ari hasil otoskopi didapatkan telinga kanan dengan perforasi 90 % dari pars

tensa. Membran timpani tampak kering. Bayangan keabuan dan massa putih dari

miselium tampak pada dinding anterior kanalis. Nanah kering kekuningan tampak

pada permukaan kulit pada dinding posterior kanalis.14

DIAGNOSA

Diagnosa didasarkan pada :

a. Anamnesis.

Page 33: REFRESING JAMUR

Adanya keluhan nyeri di dalam telinga, rasa gatal, adanya secret yang keluar dari telinga.

Yang paling penting adalah kecenderungan beraktifitas yang berhubungan dengan air,

misalnya berenang, menyelam, dan sebagainya.12

b. Gejala Klinik.

Yang khas, terasa gatal atau sakit di liang telinga dan daun telinga menjadi merah, skuamous

dan dapat meluas ke dalam liang telinga sampai 2/3 bagian luar. Didapati adanya akumulasi

debris fibrin yang tebal, pertumbuhan hifa berfilamen yang berwana putih dan panjang dari

permukaan kulit.12

c. Pemeriksaan Laboratorium

Preparat langsung : skuama dari kerokan kulit liang telinga diperiksa dengan KOH 10

% akan tampak hifa-hifa lebar, berseptum, dan kadang-kadang dapat ditemyukan

spora-spora kecil dengan diameter 2-3 u.12

Pembiakan : Skuama dibiakkan pada media Agar Saboraud, dan dieramkan pada suhu

kamar. Koloni akan tumbuh dalam satu minggu berupa koloni filament berwarna

putih. Dengan mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan pada ujung-ujung hifa dapat

ditemukan sterigma dan spora berjejer melekat pada permukaannya.12

DIAGNOSA BANDING

Otomikosis dapat didiagnosa banding dengan otitis eksterna yang disebabkan

oleh bakteri, kemudian dengan dermatitis pada liang telinga yang sering memberikan

gejala – gejala yang sama.12

PENATALAKSANAAN

Pengobatan ditujukan untuk menjaga agar liang telinga tetap kering , jangan

lembab, dan disarankan untuk tidak mengorek-ngorek telinga dengan barang-barang

yang kotor seperti korek api, garukan telinga, atau kapas. Kotoran-kotoran telinga

harus sering dibersihkan.15

Pengobatan yang dapat diberikan seperti :

Larutan asam asetat 2-5 % dalam alkohol yang diteteskan kedalam liang telinga

biasanya dapat menyembuhkan.4,15

Page 34: REFRESING JAMUR

Tetes telinga siap beli seperti VoSol ( asam asetat nonakueus 2 % ), Cresylate ( m-

kresil asetat ) dan Otic Domeboro ( asam asetat 2 % ) bermanfaat bagi banyak

kasus.16

Larutan timol 2 % dalam spiritus dilutes ( alkohol 70 % ) atau meneteskan larutan

burrowi 5 % satu atau dua tetes dan selanjutnya dibersihkan dengan desinfektan

biasanya memberi hasil pengobatan yang memuaskan.8

Dapat juga diberikan Neosporin dan larutan gentian violet 1-2 %.8

Akhir-akhir ini yang sering dipakai adalah fungisida topikal spesifik, seperti preparat

yang mengandung nystatin , ketokonazole, klotrimazole, dan anti jamur yang

diberikan secara sistemik.2,16

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan anti jamur tidak secara

komplit mengobati proses dari otomikosis ini, oleh karena agen-agen diatas tidak

menunjukkan keefektifan untuk mencegah otomikosis ini relaps kembali. Hal ini

menjadi penting untuk diingat bahwa, selain memberikan anti jamur topikal, juga

harus dipahami fisiologi dari kanalis auditorius eksternus itu sendiri, yakni dengan

tidak melakukan manuver-manuver pada daerah tersebut, mengurangi paparan dengan

air agar tidak menambah kelembaban, mendapatkan terapi yang adekuat ketika

menderita otitis media, juga menghindari situasi apapun yang dapat merubah

homeostasis lokal. Kesemuanya apabila dijalankan dengan baik, maka akan

membawa kepada resolusi komplit dari penyakit ini.3

KOMPLIKASI

Komplikasi dari otomikosis yang pernah dilaporkan adalah perforasi dari

membran timpani dan otitis media serosa, tetapi hal tersebut sangat jarang terjadi, dan

cenderung sembuh dengan pengobatan. Patofisiologi dari perforasi membran timpani

mungkin berhubungan dengan nekrosis avaskular dari membran timpani sebagai akibat

dari trombosis pada pembuluh darah. Angka insiden terjadinya perforasi membran yang

dilaporkan dari berbagai penelitian berkisar antara 12-16 % dari seluruh kasus

otomikosis. Tidak terdapat gejala dini untuk memprediksi terjadinya perforasi tersebut,

keterlibatan membran timpani sepertinya merupakan konsekuensi inokulasi jamur pada

aspek medial dari telinga luar ataupun merupakan ekstensi langsung infeksi tersebut dari

kulit sekitarnya.2

PROGNOSIS

Page 35: REFRESING JAMUR

Umumnya baik bila diobati dengan pengobatan yang adekuat. Pada saat terapi

dengan anti jamur dimulai, maka akan dimulai suatu proses resolusi ( penyembuhan )

yang baik secara imunologi. Bagaimanapun juga, resiko kekambuhan sangat tinggi,

jika faktor yang menyebabkan infeksi sebenarnya tidak dikoreksi, dan fisiologi

lingkungan normal dari kanalis auditorius eksternus masih terganggu.1,12

 KESIMPULAN

Otomikosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur baik bersifat akut, sub akut, maupun

kronik yang terjadi pada liang telinga luar ( kanalis auditorius eksternus ).Gejala dari

otomikosis dapat berupa nyeri pada telinga, keluarnya secret ( otorrhea ), gatal, sampai

berkurangnya pendengaran.

Faktor predisposisi yang menyebabkannya meliputi ketiadaan serumen, kelembaban yang

tinggi karena sering beraktifitas dalam air seperti berenang, dan penggunaan kortikosteroid,

dan anti mikroba pada infeksi sebelumnya.Spesies yang paling terbanyak menyebabkan

infeksi ini adalah dari genus Aspergillum dan Candida. Pengobatan dengan menjaga

kebersihan telinga, mengurangi kelembaban dan faktor-faktor predisposisinya, dan

pemakaian anti fungal baik secara lokal maupun sistemik.

DEFENISI

Keratomikosis merupakan istilah umum yang dipakai untuk inflamasi yang

disebabkan oleh infeksi jamur (dan menyebabkan peradangan) pada kornea. Faktor

predisposisi antara lainnya adalah trauma, pemakaian kontak lensa, dan steroid

topikal. Trauma pada kornea yang memicu terjadinya keratomikosis, biasanya trauma

dengan tumbuhan atau benda-benda organik.3,4

INSIDEN

Menurut WHO (World Health Organization), penyakit kornea merupakan

antara penyebab utama penurunan visus dan kebutaan, dengan katarak menduduki

ranking pertama. Sedang di Asia keratomikosis khususnya, merupakan antara kausa

mayor kebutaan. Di China, insidens keratomikosis terus meningkat sejak 8 dekade

yang lalu. Manakala di daerah bersuhu rendah seperti di Inggris dan Amerika Serikat

Utara masih jarang terjadi keratitis akibat infeksi jamur, umumnya kurang dari 5%-

Page 36: REFRESING JAMUR

10% . Keratomikosis filamentosa didapati lebih sering terjadi di daerah Amerika

Serikat yang lebih hangat dan lebih lembab dari daerah lain di negara tersebut.4,5

Tipe Aspergillus merupakan tipe jamur penyebab keratomikosis tersering ditemukan

di seluruh dunia. Dari suatu studi di India, Aspergillus ditemukan terbanyak dengan

persentase 27-64%, diikuti Fusarium (6-32%) dan spesis Penicillium (2-29%).

Keratomikosis lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita dan pada pasien

dengan riwayat trauma okuler.4,5

 ETIOLOGI

Secara ringkas dapat dibedakan :

1. Jamur berfilamen (filamentous fungi); bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.

jamur bersepta; Fusarium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp,

Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.

jamur tidak bersepta; Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.

2.Jamur ragi (yeast)

jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans, Crypococcus sp,

Rodotolura sp.

3.Jamur difasik pada jaringan hidup membentuk ragi sedang pada media perbiakan

membentuk miselium: Blastomices sp, Coccidiodidies sp, Histoplasma sp, Sporothrix sp.

PATOGENESIS

Fungi biasanya tidak menyebabkan keratitis mikroba karena normalnya, fungi

tidak dapat berpenetrasi ke dalam lapisan epitel kornea yang intak dan tidak masuk ke

dalam kornea lewat pembuluh darah limbus episklera. Defek pada epitel sering

diakibatkan oleh trauma (mis., pemakaian lensa kontak, benda asing, riwayat operasi

kornea). Organisme dapat berpenetrasi ke dalam membran Descement yang intak dan

masuk ke dalam stroma.. Ia membutuhkan cedera penetrasi atau riwayat defek epitel

untuk masuk ke dalam kornea. Setelah berada di dalam kornea, organisme dapat

berproliferasi.5,6,7

Organisme yang menginfeksi defek pada epitel sebenarnya merupakan

mikroflora normal yang terdapat pada konjungtiva dan andeksa. Fungi filamentosa

Page 37: REFRESING JAMUR

merupakan kausa tersering dari infeksi pasca trauma. Fungi filamentosa berproliferasi

di dalam stroma kornea tanpa melepaskan substansi kemotaktik, sehingga menunda

munculnya respon imun host/ respon inflamasi. Berbeda dengan fungi filamentosa,

Candida albicans memproduksi fosfolipase A dan lisofosfolipase pada permukaan

blastospora, untuk membantu ia masuk ke dalam jaringan. Fusarium solani, yang

merupakan fungus yang virulen, dapat menyebar di dalam stroma kornea dan

berpenetrasi ke dalam membrane Descemet. Trauma kornea akibat tumbuhan

merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya keratomikosis. Terutamanya, petani

yang tidak memakai alat proteksi diri, khususnya kaca mata. Trauma akibat

pemakaian lensa kontak juga adalah salah satu faktor resiko terjadinya

keratomikosis.6 Trauma kornea paling sering menyebabkan keratomikosis dan

merupakan factor resiko major tipe keratitis tersebut . 6,7,8

Seorang dokter harus mempertimbangkan besar kemungkinan suatu

keratomikosis jika pasien mempunyai riwayat trauma kornea, terutama adanya kontak

dengan tumbuhan atau tanah. Resiko trauma akibat pemakaian lensa kontak adalah

kecil, dan bukan merupakan faktor resiko major untuk keratomikosis. 5,6

Selain dari itu, kortikosteroid topikal diketahui dapat mengaktivasi dan

meningkatkan virulensi organisme jamur dengan menurunkan resistensi kornea

terhadap infeksi. Candida sp menyebabkan infeksi okuler pada hospes yang

mengalami imunodefisiensi dan pada kornea dengan ulkus kronik. Pemakaian

kortikosteroid yang semakin meningkat sejak 4 dekade yang lalu telah berimplikasi

sebagai suatu penyebab utama peningkatan insidensi keratomikosis. Tambahan,

pemakaian kortikosteroid sistemik dapat menekan respon imun hospes, sehingga

terjadi perdisposisi kepada keratomikosis. Faktor resiko lainnya termasuk operasi

kornea (mis., PK, keratotomi radial) dan keratitis kronik (mis., herpes simpleks,

herpes zoster, atau konjungtivitis vernal/alergi). 6

Jika pada hospes normal keratomikosis acapkali didahului oleh trauma, atau

pemakaian steroid, pada penderita AIDS kelainan ini dapat timbul secara spontan

tanpa faktor predisposisi pada kornea, dan dapat terjadi pada satu mata atau dua

mata.5,6

 MANIFESTASI KLINIK

Page 38: REFRESING JAMUR

Pasien biasanya datang dengan keluhan rasa mengganjal, nyeri yang

bertambah berat, penglihatan menurun secara tiba-tiba, kemerahan pada mata,

lakrimasi berlebihan, dan fotofobia. Manakala tanda klinis yang dapat ditemukan

berupa injeksi konjungtiva, defek epitel, supurasi, infiltrasi stroma dan adanya reaksi

bilik mata depan. Manifestasi klinis yang lebih spesifik berupa adanya infiltrasi yaitu

bercak-bercak putih, lesi satelit, hipopion, dan plak endotel. 2

Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut : 1

1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.

2. Lesi satelit.

3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa

di bawah endotel utuh.

4. Plak endotel.

5. Hipopion, kadang-kadang rekuren.

6. Formasi cincin sekeliling ulkus.

7. Lesi kornea yang indolen.

Reaksi di atas timbul akibat investasi jamur pada kornea yang memproduksi

mikotoksin, enzim-enzim serta antigen jamur sehingga terjadi nekrosis kornea dan

reaksi radang yang cukup berat. 5,6,7

Pasien dengan keratomikosis cenderung mengalami gejala dan tanda inflamasi

yang minimal pada periode awal dibanding dengan penderita keratitis bakteri dan

hampir tiada injeksi konjungtiva saat presentasi klinis. Keratomikosis filamentosa

sering bermanifestasi dengan infiltrasi putih-keabuan, lesi tampak kering dengan tepi

ireguler berawan atau dikenal dengan berbatas filamentosa. Lesi superficial mungkin

muncul sebagai elevasi dari permukaan kornea berwarna putih-keabuan, dengan

permukaan kering, kasar atau rasa berpasir yang dapat dirasakan saat melakukan

kerokan kornea. Kadang terdapat lesi satelit atau lesi multifokal, tetapi sangat jarang

terjadi. Plak endotel dan/atau hipopion dapat terjadi jika infiltrasi jamur cukup dalam

atau cukup luas. 6,7,8

DIAGNOSIS

Page 39: REFRESING JAMUR

Mata merah yang ditemukan saat inspeksi (biasanya bersifat unilateral),

seperti yang terdapat pada ulkus kornea serpiginosa. Dapat juga ditemukan hipopion.

Pemeriksaan slit lamp memperlihatkan infiltrasi stroma berwarna keputihan, terutama

keratomikosis yang disebabkan oleh Candida albicans. Infiltrasi dan ulkus menyebar

secara sangat perlahan. Lesi satelit, yaitu beberapa infiltrat kecil yang berdekatan,

berkelompok disekitar pusat lesi yang lebih besar. Lesi satelit ini merupakan

karakteristik untuk keratomikosis, tetapi tidak selamanya muncul pada infeksi

tersebut.5

Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya

dengan spatula Kimura).1 Semua pasien suspek keratomikosis hendaklah dilakukan

kerokan kornea.2 Kerokan diambil di daerah luar dari tepi ulkus dan pada daerah di

mana kultur bakteri memberikan hasil negatif.2,5 Sampel diambil dengan

menggunakan spatula platinum, silet surgikal, atau apusan kalsium alginate

terinokulasi di medium agar Sabouraud, dan dipertahankan pada suhu 25°C untuk

pertumbuhan fungi.2 Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH +

Tinta India.1 Pemeriksaan Gram dan Giemsa mempunyai 50% sensitivitas dalam

menegakkan diagnosa.6,7,8

Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan

Periodic Acid Schiff (memberi pewarnaan merah pada dinding sel serta septa dan biru

pada nukleus) atau Methenamine Silver (memberi pewarnaan hitam pada dinding sel).

Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan efluoresensi. Ultrasound B-scan

oftalmik dilakukan untuk membantu menyingkirkan endoftalmitis akibat jamur dari

diagnosa banding.7,8

DIAGNOSIS BANDING

1.Keratitis bakterialis

Secara klinis onset nyeri keratitis bakterialis sangat cepat disertai dengan

injeksio konjungtiva, fotofobia dan penurunan visus pada pasien dengan ulkus kornea

bakterial, inflamasi endotel, tanda reaksi bilik mata depan, dan hipopion sering ada.

Penyebab infeksi tumbuh lambat, organisme seperti mikrobakteri atau bakteri anaerob

infiltratnya tidak bersifat supuratif dan lapisan epitel utuh. Penggunaan kortikosteroid,

Page 40: REFRESING JAMUR

kontak lensa, graf kornea yang telah terinfeksi kesemuanya merupakan predisposisi

terjadinya infeksi bakterial.7,8

2. Keratitis viral

Dapat disebabkan oleh virus herpes simplex, varicella-herpes zoster atau adenovirus. Pasien keratitis akibat nfeksi herpes simplex sering datang dengan keluhan nyeri berat dan gambaran seperti infiltrat yang bercabang-cabang (keratitis dendritik). Tes sensitivitas pula menurun, bahkan pada infeksi herpes zoster bisa hilang sama sekali.8

3. Endoftalmitis

Didiagnosa bila inflamasi melibatkan kedua-dua bilik mata depan dan belakang. Tanda klasik pada endoftalmitis adalah penurunan visus, hiperemis konjungtiva, nyeri yang memberat, edema palpebra, dan hipopion. Kemosis konjugtiva dan edema kornea dapat ditemukan. Penyebab terjadi endoftalmitis bisa secara eksogen (mis. pasca operasi) atau endogen (penyebaran secara hematogen ; mis. jalur IV yang terinfeksi, atau dari organ tubuh lain yang terinfeksi).8

PENGOBATAN

Larutan nistatin dan amfoterisin B yang diberikan tiap jam.pemberian dapat

dijarangkan bila terjadi perbaikan.larutan digunakan amfoterisin B mengandung 1,0 mg per

ml larutan garam faal atau akua destilata.pada tahun-tahun akhir larutan derivat azol juga

dengan hasil cukup baik.

PROGNOSIS

Baik bila diagnosis dilakukan dini dan pengobatan cepat dan tepat.

Page 41: REFRESING JAMUR

TINJAUAN PUSTAKA

1. Rippon J.W. Medical Mycology, Edisi ke 3. Philadelphia: WB Saunders Co, 1988.

2. Hay R.J. Ashbee H.R. Mycology. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths

C. editor. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke 8. Oxford : Wiley-Blackwell,

2010: 36.14 – 36.15.

3. Verma S & Heffernan MP. Superficial fungal infection : Dermatophytosis,

onychomycosis,Tinea nigra, Piedra. Dalam ; Wolff K, Goldsmith LA. Katz SI, Gilchrest

BA, Paller AS & Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.

Edisi ke 7. New York : Mc Graw Hill 2008 : 1807 -1821

Adhy JUANDA Prof.dr.ilmu penyakit kulit dan kelamin FK.Universitas Indonesia hal 92-109

4. Crissey J.Th., Lang H., Parish L.C. Manual of Medical Mycology. Massachusetts:

Blackwell Science, 1995.

5. Larone D.H. Medically important fungi. A guide to identification. Edisi ke 2. New

York: Elsevier, 1987.

6. Richardson M.D and Warnock D.W. Fungal Infection. Edisi ke 3. Oxford: Blackwell

Scientific Publications, 2003.

7. Sutton D.A, Rinaldi M.G, Sanche S.E. Dematiaceous fungi. Dalam: Anaissie E.J,

McGinnis M.R, Pfaller M.A.editor. Clinical Mycology.Edisi ke-2. USA: Churchill

Livingstone Elsevier 2009: 334-335, 347.

8. Faergemann J.N. Pityriasis (Tinea) vesicolor, Tinea Nigra and Piedra. Dalam:

Jacobs PH and Nall L. editor. Antifungal Drug Therapy. New York : Marcel Dekker,

1990: 23-9.

9. Cemizares 0, Herman R.R.M. Clinical tropical Dermatology. Edisi ke 2. Boston:

Blackwell Scientific, 1992.

10. Sawitri, Zulkarnain I, Suyoso S. Tinea Nigra Palmaris, A case report. Dalam

Abstracts The 15th Congress of The Asia Pacific Society for Medical Mycology.

Bali, 1997: 114.

11. James WD, Berger TG & Elston DM. Andrews’Diseases of the skin. Clinical

Dermatology. Edisi ke 10 Philadelphia : Saunders Elsevier, 2006.

12. Clayton YM, Moore MK. Superficial fungal infection. Dalam : Harper J, Oranje A

dan Prose N editor. Textbook of Pediatric Dermatology edisi ke 2. Massachusetts :

Page 42: REFRESING JAMUR

Blackwell Publishing 2006 : 542-569.

13. Paller AS & Mancini AJ. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi ke 3.

Philadelphia : Elsevir Saunders, 2006.

14. Mendoza N, Arora A, Arias C.A, Hernandez C.A, Madkam V, Tyring S.K.

Cutaneous and Subcutaneous Mycosis. Dalam : Anaissie E.J., McGinnis M.R.,

Pfaller M.A. editor. Clinical Mycology. Edisi ke-2. USA : Churchill Livingstone

Elsevier 2009 : 509-523.

1. Susetio B. Penatalaksanaan infeksi jamur pada mata In: Cermin dunia kedokteran. [Online]. 1993 [Cited 2009 September 25] ; [screens] Available from :URL: http://www.kalbe.co.id

2. Singh D. Keratitis fungal. [Online]. 2008 June 12 [Cited 2009 September 25] ; [4 screens] Available from :URL: http://www.emedicine.medscape.com

3. Arora U, dkk. Fungal Profile and Susceptibility Pattern in Case of Keratomycosis. In JK Science Vol 8 no.1. Medical College Punjab. India. 2006 Hal : 39-41

4. Sutpin J.E, Dana M.R, et al. External disease and cornea. Section 8. In : Skuta G.L., Cantor L.B., Weiss J.S. Basic and clinical science course 2008-2009. San francisco, United states of america, American academy of ophthalmology; 2008. p.179-187.

5. Benvenuto A. Anatomi mata. [Online]. 2009 March 25 [Cited 2009 September 25] ; [2 screens]. Available from :URL: http://www.doctorology.net.6. Ilyas Sidarta. 2005.Ilmu penyakit mata.Ed ke 3. Jakarta : FK Universitas Indonesia. p.167 – 9

7. Lt Coll, SS. M, et al, Medical and Surgical Management of Keratomycosis. In : MJAFI vol 64 no.1. 2008. Hal 40-42.