Upload
tranlien
View
255
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
REGISTRASI CITRA DIGITALLY RECONSTRUCTED RADIOGRAPHS
(DRR) TERHADAP CITRA ELECTRONIC PORTAL IMAGING DEVICES
(EPID) UNTUK VERIFIKASI POSISI PASIEN SECARA OTOMATIS
DALAM PENGOBATAN RADIOTERAPI
OLEH :
ALFRED BUDIYONO
H211 09 270
PROGRAM STUDI FISIKA, JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
REGISTRASI CITRA DIGITALLY RECONTRUCTED RADIOGRAPHS
(DRR) TERHADAP CITRA ELECTRONIC PORTAL IMAGING DEVICES
(EPID) UNTUK VERIFIKASI POSISI PASIEN SECARA OTOMATIS
DALAM PENGOBATAN RADIOTERAPI
Oleh :
ALFRED BUDIYONO
H211 09 270
Disetujui Oleh :
Pembimbing Utama
Dahlang Tahir, M.Si, Ph.D
NIP. 19750907 200003 1 001
Pembimbing Pertama
Supriyanto Ardjo Pawiro, M.Si, Ph.D
NUP. 0308050323
Pembimbing Kedua
Eko Juarlin, S.Si, M.Si
NIP. 19811106 200812 1 002
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
SARI BACAAN
Telah dilakukan penelitian pengembangan sistem registrasi citra otomatis 2D/2D
terhadap citra digitally recontructed radiographs (DRR) dan citra electronic
portal imaging devices (EPID) untuk verifikasi posisi pasien dalam pengobatan
radioterapi. Registrasi dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu registrasi
rigid transformations dan mutual information. Implementasi menggunakan sistem
registrasi otomatis metode rigid transformations didapatkan pergeseran rata-rata
(2,18±0,89) mm terhadap sumbu X, (1,18±0,59) mm terhadap sumbu Y dan
(2,08±0,9) mm terhadap sumbu Z dengan waktu rata-rata registrasi (42,85±15,20)
s. Implementasi menggunakan sistem registrasi otomatis metode mutual
information didapatkan pergeseran rata-rata (2,27±0,8) mm terhadap sumbu X ,
(1,89±0,65) mm terhadap sumbu Y dan (0,94±0,59) mm terhadap sumbu Z
dengan waktu rata-rata registrasi (2,85±0.54) s. Berdasarkan hasil uji chi square
verifikasi manual, fusi semiotomatis, registrasi rigid transformations, dan mutual
information tidak ada perbedaan secara signifikan dengan nilai Pv > 0,05.
Kata kunci: Radioterapi,Citra digitally recontructed radiographs, Citra
electronic portal imaging devices, Registrasi
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
ABSTRACT
A research on development of automatic 2D/2D image registration system for
digitally reconstructed radiographs (DRR) and electronic portal imaging devices
image (EPID) has been carried out to verify patient position in radiotherapy
treatment. Registration is done using two methods: rigid transformation and
mutual information. Implementations using rigid transformations yields X-axis
average translation (2,18±0,89) mm, Y-axis (1,18±0,59) mm as well as Z-axis
(2,08±0,9) mm while the average registration time which is (42.85±15.20) s.
Implementations using mutual information yields X-axis average translation
(2,27±0,8) mm,Y axis (1,89±0,65) mm as well as Z axis (0,94±0,59) mm while
the average registration time which is (2.85±0.54) s. We can conclude that there
is no significant difference in P value > 0.05 according to chi square test
corresponds to verification manual, semiautomatic fusion, rigid transformations,
and mutual information.
Keywords: radiotherapy, digitally recontructed radiographs, electronic
portal imaging devices, registration
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Radioterapi merupakan salah satu modalitas terapi yang efektif untuk
berbagai jenis kanker dengan memanfaatkan radiasi pengion dari luar tubuh
(radiasi eksternal) atau dengan memposisikan sumber radiasi dekat dengan target
(brakhiterapi)[1]
. Selain radiasi pengion dapat mematikan jaringan kanker, radiasi
juga dapat merusak jaringan sehat, sehingga terapi radiasi perlu diatur agar
diperoleh keakuratan tinggi.
Keberhasilan pengobatan kanker salah satunya tergantung pada
keakurasian dan keakuratan dari perencanaan yang dilakukan. Perencanaan
penyinaran yang tepat juga disertai dengan pelaksanaan penyinaran yang tepat
pula. Untuk menjaga kesesuaian antara perencanaan yang dilakukan dengan
penyinaran radioterapi maka verifikasi lokalisasi geometri penyinaran pasien
mutlak diperlukan. Verifikasi geometri lapangan penyinaran radioterapi dilakukan
karena adanya faktor ketidakpastian geometri yang diakibatkan baik set-up error
oleh radiation therapist maupun pergerakan pasien atau organ. Verifikasi posisi
pasien merupakan komponen yang sangat vital agar dapat memberikan hasil yang
baik dan keakuratan posisi pasien. Lebih lagi, ketika terapi radiasi menggunakan
teknik Intensity Modulated Radiotherapy Treatment (IMRT) posisi pasien
menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan [2]
.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Citra Digitally Recontructed Radiographs (DRRs) berasal dari data
volumetrik CT dengan menjumlahkan atenuasi tiap-tiap voksel sepanjang berkas
sinar yang melalui volume CT. DRR dapat dihitung dari data CT dan merupakan
citra dua dimensi (2D) yang dapat mensimulasikan citra sinar-X radiografi
konvensional ataupun citra fluoroskopi. Secara umum, komputasi DRR
merupakan suatu operasi penyimpanan volume, yang memungkinkan untuk
menggunakan semua bentuk algoritma penyimpanan volume dalam menghitung
sebuah DRR. Algoritma penyimpanan khusus tersebut seringkali disederhanakan
dikarenakan sifat-sifat khusus pada DRR [3]
.
Electronic Portal Imaging Device atau lebih dikenal dengan EPID
merupakan sebuah perangkat tambahan yang diintegrasikan pada perangkat
LINAC yang dapat menghasilkan citra 2-dimensi berkas sinar-X MV dengan
sistem elektronik/digital yang dapat langsung dilihat pada monitor komputer yang
dapat digunakan untuk verifikasi terapi. Keuntungan penggunaan EPID adalah
lapangan radiasi dan kondisi aktual pasien dapat divisualisasikan dan dikoreksi
dengan algorithma sistem komputer sebelum terapi diberikan. Namun, masalah
utamanya adalah rendahnya kualitas gambar yang dihasilkan karena penggunaan
energi tinggi (megavoltase), sehingga menyulitkan verifikasi [4]
.
Medical Image Registration (MIR), yakni suatu prosedur citra pemandu
(image guided) yang digunakan untuk mencocokan citra sebelum penyinaran dan
perencanaan terapi dengan citra yang diperoleh secara intraoperatif, serta
digunakan untuk menyelaraskan posisi pasien sebelum dilakukan terapi radiasi.
MIR memetakan citra portal sinar-X yang diperlukan sebelum (atau selama) terapi
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
radiasi terhadap citra DRR yang berasal dari data volumetrik CT. MIR meliputi
transformasi geometri yang memberikan parameter-parameter untuk digunakan
pada posisi meja pasien, sehingga dapat menyelaraskan dengan anatomi pasien
yang digunakan untuk proses perencanaan terapi [5]
.
Untuk kegiatan verifikasi geometri radioterapi dapat dilakukan dengan
secara manual, semiotomatis, maupun otomatis. Sebagian besar perangkat lunak
semiotomatis dan otomatis bersifat komersial dengan harga yang tidak murah.
Melihat pentingnya verifikasi posisi pasien dalam pengobatan radioterapi, maka
penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai pengembangan sistem
registrasi otomatis citra DRR terhadap citra EPID.
I.2 Ruang Lingkup
Penelitian ini dibatasi pada registrasi citra DRR dari TPS Radioterapi
Philips Pinnacle3
dengan citra EPID dari pesawat LINAC Elekta Synergy’s.
Metode registrasi yang digunakan dibatasi hanya untuk mutual information dan
rigid transformations yang implementasinya sudah dikembangkan pada ITK.
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Merancang dan membuat sistem registrasi otomatis citra DRR
terhadap citra EPID
2. Mengevaluasi keluaran sistem registrasi otomatis dalam bentuk nilai
pergeseran translasi ∆x , ∆y dan ∆z terhadap citra EPID dan DRR
dari 35 pasien.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu modalitas pengobatan penyakit kanker
bersama dengan modalitas - modalitas lain seperti pembedahan dan kemoterapi,
baik sebagai kombinasi ataupun sebagai modalitas yang berdiri sendiri. Semua
tindakan ini bertujuan untuk memperoleh hasil yang optimal berupa kematian
jaringan kanker sebanyak mungkin dan kerusakan minimal pada jaringan sehat.
Dengan perkembangan teknologi, teknik radioterapi juga berkembang dari
konvensional, 3D Conformal, Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT), Image
Guided Radiotherapy (IGRT), dan Stereotactic Radiosurgery[1]
.
Untuk keperluan penyelamatan jaringan normal di sekeliling volume target
tumor, diperlukan sebuah perangkat untuk membatasi lapangan radiasi. Dalam
perkembangannya, sistem manual blok digunakan untuk keperluan ini yang
umumnya menggunakan material seroben. Namun, sistem manual blok
membutuhkan waktu yang lama untuk perencanaanya sehingga perangkat berbasis
sistem blok elektronik yang dapat mengatur dengan sistem kontrol elektronik.
Perangkat ini dikenal dengan nama Multi-leaf colimmator (MLC).
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Gambar II.1 Komponen utama dari sebuah sistem LINAC [26]
Pada teknik 3D Conformal juga menggunakan MLC yang dapat
mengkolimasi radiasi yang keluar mengikuti kontur dari volume target tumor.
Selain itu, pada teknik 3D Conformal masih membutuhkan filter wedge untuk
mengatenuasi radiasi pada daerah yang dibutuhkan.
Intensity Modulated Radiation Theraphy (IMRT) merupakan salah satu
teknik modern dalam radioterapi yang menggunakan banyak lapangan radiasi
dalam penyinarannya dengan intensitas yang tidak seragam pada setiap arah
lapangan radiasi untuk mendapatkan distribusi dosis yang optimum.
Di sisi lain, MLC pada teknik IMRT digunakan untuk mengkolimasi dan
mengatenuasi radiasi yang keluar dari pesawat akselerator linear sesuai distribusi
dosis yang dibutuhkan. Perubahan intensitas radiasi pada pesawat akselerator
linear diatur dengan membuat beberapa segmen pada setiap lapangan radiasi yang
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
berbentuk target tumor dan batasan organ beresiko di sekitar tumor dibentuk
melalui MLC.[2]
Sampai saat ini, terdapat dua macam pergerakan MLC pada teknik IMRT
yaitu : dynamic MLC (sliding window) dan static MLC (step and shoot). Dynamic
MLC merupakan teknik MLC yang bergerak secara kontinu selama radiasi
berlangsung pada setiap arah sudut gantri, mempunyai waktu yang lebih singkat
dibandingkan metode static MLC. Metode static MLC merupakan metode dengan
MLC bergerak membentuk segmen ketika radiasi berhenti dan MLC berhenti
selama radiasi berlangsung untuk masing-masing sudut gantri dan MLC berhenti
selama radiasi berlangsung begitu seterusnya untuk masing-masing sudut gantri.
Gambar II.2 Prinsip IMRT menggunakan MLC [26]
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Efektifitas IMRT ini sangat tergantung pada akurasi pengaturan posisi
pasien dan imobilisasi dalam tatalaksana terapi radiasi. Lebih lanjut, akurasi
pengaturan posisi pasien diukur dan dikoreksi melalui mekanisme verifikasi
akurasi posisi pasien di pesawat radiasi dengan perencanaan radiasi. Verifikasi
dilakukan pada pesawat Linear Accelator (LINAC) dengan menggunakan Portal
film seperti Gammagrafi, EPID juga menggunakan CT yang berbasis Cone Beam
dengan modulasi kV atau MV[3,5]
.
II.2 Pesawat Radioterapi
Sejak dimulainya penggunaan radioterapi setelah Roentgen menemukan
sinar-X pada tahun 1895, teknologi produksi sinar-X pertama-tama menggunakan
berkas foton dan elektron dengan energi dan intensitas yang tinggi, kemudian
akhir-akhir ini menggunakan sistem komputer dan teknik pemberian radiasi
dengan sistem modulasi intensitas (intensity modulated). Selama 50 tahun
radioterapi digunakan, perkembangan teknologinya terbilang lamban dan hanya
berpusat pada tabung sinar-X, generator van de Graaff dan betatron. Penemuan
teleterapi 60
Co oleh H.E. Johns di Canada pada awal 1950an memberikan
terobosan besar akan pencarian foton berenergi lebih tinggi dan menempatkan
60Co sebagai bagian terdepan dalam radioterapi selama beberapa tahun.
Keuntungan Cobalt 60, diantaranya adalah memiliki aktivitas yang cukup tinggi
(≈200 Ci/g), paparannya besar dan kontinu dengan dua puncak energi, yaitu 1,3
dan 1,7 MeV. Namun, pengembangan LINAC yang berkembang dalam lima
generasi yang semakin canggih dalam perkembangannya, hampir menyingkirkan
penggunaan Cobalt dalam radioterapi, dan akhirnya menjadi sumber terapi radiasi
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
yang paling banyak digunakan dalam radioterpi modern. Dengan desain LINAC
yang terpadu dan efisien menawarkan kegunaan yang serbaguna dalam radioterapi
dengan adanya isosentris dan dapat digunakan untuk terapi berkas elektron dan
sinar-X MV dengan jangkauan energi yang lebar. Pada LINAC, radioterapi yang
menggunakan sinar-X dan elektron juga dilakukan dengan tipe akselerator
lainnya, seperti betatron dan mikrotron. Jenis partikel eksotik lainnya, seperti
proton, neutron, ion-ion berat dan meson-p negatif, semuanya dihasilkan melaui
akselerator khusus, yang terkadang juga digunakan untuk radioterapi, namun
kebanyakan radioterapi modern dilakukan menggunakan LINAC atau cobalt
teleterapi. Berkas sinar-X untuk keperluan klinis memiliki jangkauan energi 10
kVp dan 50 MV dan dihasilkan ketika elektron dengan jangkauan energi kinetik
maksimum 10 keV dan 50 MeV diperlambat ketika mengenai target logam yang
khusus. Sebagian besar energi kinetik elektron tersebut berubah menjadi panas
dan hanya sebagian kecil energi saja yang diapancarkan dalam bentuk sinar-X,
yang terbagi menjadi dua: sinar-X karakteristik dan sinar-X bremsstrahlung[3]
.
II.2.1 Linear Accelerator
Pesawat LINAC pada mulanya dikembangkan dari teknologi radar
gelombang mikro saat Perang Dunia II. Tabung Klystron ditemukan di Stanford,
sebuah sumber tenaga mikro untuk radar dan kemudian menjadi suatu yang sangat
berharga di dunia medik saat ini. Pada akhir tahun 1940, Klystron bertenaga tinggi
dan prinsip-prinsip gelombang mikro digabungkan untuk merancang dan
membangun Linear Accelerator untuk penelitian fisika dan kemudian radiografi
industri. Pada tahun 1956, Henry Kaplan bekerjasama dengan fisikawan dari
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Stanford merancang sebuah alat yang diberi nama Linear Accelerator dan alat ini
digunakan sebagai alat medis dan telah berhasil menyembuhkan penyakit kanker
pada seorang pasien berumur dua tahun. Linear Accelerator atau yang biasa
disingkat LINAC, merupakan akeselerator partikel yang digunakan untuk
mengakselerasi partikel seperti electron, proton, atau atom berat lain dalam bentuk
lintasan yang lurus. Partikel bermuatan disimpan di salah satu sisi, kemudian
diberikan medan listrik dari perbedaan potensial yang sangat tinggi, sehingga
partikel mengalami percepatan dan melepaskan energi.
Prinsip kerja pesawat akselator linier medik terjadi pada komponen utama
pesawat ini, yaitu stand dan gantry yang terlihat pada Gambar II.3 dan dijelaskan
pada blok diagram fungsional Gambar II.4. Stand adalah komponen yang
tertancap pada lantai, sedangkan gantri terhubung pada stand dan dapat berputar
dengan sumbuh horisontal stand. Electron gun berupa trioda sebagai sumber
elektron yang ditembangkan ke tabung pemercepat. Sumber elektron berasal dari
emisi termoik dari katoda yang dipanasi oleh filamen. Elektron yang ditembakkan
berenergi awal sekitar 12 keV. Arus elektron yang ditembakkan ke tabung
pemercepat tidak kontinu, melainkan dalam bentuk gugusan-gugusan elektron.
Klystron atau Magnetron menghasilkan gelombang mikro yang dikirim ke tabung
pemercepat (accelerator structur) melalui pemandu gelombang (wave guide).
Fungsi gelombang mikro yang dihasilkan sekitar 300 MHz dengan panjang
gelombang 10 cm. Pemandu gelombang ini mengarahkan perjalanan gelombang
mikro dan mengatur kecepatannya. Pemandu gelombang terangkai dengan
sirkulator (circulator), yaitu alat yang berfungsi mencegah gelombang mikro
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
kembali dari tabung pemercepat ke Klystron atau Magnetron. Sirkulator akan
membuat gelombang mikro dari Klystron atau Magnetron dapat diteruskan ke
tabung pemercepat, dan gelombang mikro yang dipantulkan oleh tabung
pemercepat disalurkan ke penyerapan gelombang mikro. Dengan demikian
Klystron atau Magnetron dapat bekerja dengan stabil dan terhindar dari
kerusakan.
Gambar II.3 Prinsip kerja pesawat linear akselator [3]
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Gambar II.4 Diagram skematik LINAC modern generasi kelima[3]
Tabung pemercepat terdiri dari rongga yang dihampakan. Untuk
mempertahankan tingkat kehampaan yang tinggi, pada ujung tabung pemercepat
dipasang pompa hampa yang selalu bekerja sekalipun pesawat tidak pergunakan.
Rongga ini dirancang sedemikian rupa, sehingga komponen utama medan listrik
yang ditimbulkan berdiri akan sejajar dengan sumbuh tabung pemercepat. Medan
listrik diperoleh dari resonansi gelombang-gelombang mikro dipergunakan untuk
mempercepat elektron. Agar pemercepat elekron dapat dicapai semaksimal
mungkin, rongga-rongga pada permulaan lintasan mempunyai jarak tempuh yang
lebih kecil dari pada akhir lintasan. Karena setelah melewati rongga elektron
mencapai energi yang tinggi sehingga mempunyai kecepatan yang mendekati
kecepatan cahaya, maka rongga-rongga berikutnya mempunyai ukuran yang
sama, dimana pertambahan energi elektron sebagian besar digunakan untuk
pertambahan massa. Pada akhir lintasan, elektron yang telah dipercepat memiliki
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
energi tinggi. Untuk tabung pemercepat yang diberi tegangan 6 MV, akan
menghasilkan berkas elektron dengan energi 6 MeV [8,9,23]
.
II.2.2 Proses Terjadinya Berkas
Electron gun yang berupa trioda menembakkan elektron ke tabung
pemercepat. Ke dalam tabung pemercepat tersebut diijeksikan gelombang mikro
yang dibangkitkan oleh Klystron atau Magnetron yang disalurkan melalui
pemandu gelombang (wave guide). Gelombang mikro ini akan menghasilkan
medan elektromagnet sehingga dapat mempercepat partikel elektron. Sirkulator
(circulator) yang terangkai dengan pemandu gelombang akan mencegah
kembalinya gelombang mikro ke Klystron atau Magnetron. Hasil pemercepat
elektron berupa elektron berenergi tinggi dari tabung pemercepat dilewatkan ke
magnet pembelok (bending magnet). Bending magnet akan membelokkan elektron
biasanya sebesar 270°. Pada bending magnet elektron dengan energi yang sedikit
lebih tinggi atau lebih rendah dari yang dikehendaki akan dibelokkan sedemikian
rupa sehingga energi dan lintasannya dapat sesuai kembali dengan yang
dikehendaki. Sedangkan elektron dengan penyimpangan energi agak besar akan
dihilangkan oleh sebuah filter celah mekanis. Dengan demikian dapat dicapai
pemfokusan yang sanngat baik dari berkas elektron serta energi yang
monokromatis.
Setelah mengalami pembelokkan, berkas elektron berenergi tinggi yang
keluar dari bending magnet dapat langsung digunakan. Namun demikian, untuk
mendapatkan distribusi dosis yang rata pada daerah penyinaran elektron-elektron
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
tersebut perlu dilewatkan pada lapisan penghambur. Lapisan penghambur primer
dipilih bahan logam berat untuk menghasilkan sudut hambur yang cukup besar
dan seminim mungkin menghasilkan sinar-X. Setelah melewati lapisan
penghambur primer, kerataan pada radiasi belum dapat dicapai, karenanya
dipasanglah lapisan penghambur sekunder yang terbuat dari bahan dengan nomor
atom rendah yang berfungsi meratakan daerah radiasi dengan jalan penyerapan.
Ketebalan lapisan penghambur sekunder tidak sama, ditengahnya lebih tebal
daripada tepi. Dengan demikian berkas elektron di tengah akan diserap lebih besar
dan kerataan dapat diperoleh. Bila yang dikehendaki berkar foton (sinar-X), maka
elektron-elektron berenergi tinggi tersebut ditumbukkan pada target seperti pada
Gambar II.4. Pada target yang terbuat dari logam berat tipis ini terjadi
Bremsstrahlung. Efisiensi dari produksi sinar-X tergantung pada nomor atom
target dan tegangan yang diberikan.
Efisiensi = 9 x 10 -10
ZV (II.1)
Dengan Z adalah nomor atom target dan V adalah tegangan yang
diberikan. Elektron-elektron yang melewati target diserap oleh penyerap karbon
dan aluminium. Penggunaan bahan dengan nomor atom rendah untuk penyerap
elektron mempunyai keuntungan bahwa sinar-X yang lewat akan diperkeras
secara optimum dan pembentukan neutron dangat kecil sehingga dapat diabaikan.
Berkas elektron ataupun berkas foton yang mempunyai kerataan yang
dikehendaki, kemudian melewati susunan bilik ionisasi. Setelah itu sinar-X akan
melalui kolimator yang dapat diatur ukuran lapangannya sesuai dengan
kebutuhan, sedangkan untuk elektron dibutuhkan aplikator elektron [1,3]
.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
II.2.3 Electronic Portal Imaging Device
Electronic Portal Imaging Device atau lebih dikenal dengan EPID
merupakan sebuah perangkat tambahan yang diintegrasikan pada perangkat
LINAC yang dapat menghasilkan citra 2-dimensi berkas sinar-X MV dengan
sistem elektronik/digital yang dapat langsung dilihat pada monitor komputer yang
digunakan untuk verifikasi terapi. Keuntungan penggunaan EPID, yaitu lapangan
radiasi dapat dimunculkan dan dikoreksi dengan suatu sistem komputer sebelum
terapi diberikan dan memungkinkan penentuan posisi yang akan dilakukan lebih
cepat dan akurat. Format digital dari EPID tersebut memberikan sejumlah
keuntungan dibandingkan film radiografi : tidak memerlukan waktu untuk
pemrosesan film, data dapat diakses dari komputer manapun, dan analisis
kuantitatif dapat dilakukan dengan cepat. Namun, masalah utamanya adalah
rendahnya kualitas gambar yang dihasilkan karena penggunaan energi tinggi
(megavoltase), sehingga menyulitkan verifikasi[4]
.
Verifikasi pengobatan radioterapi melibatkan perbandingan portal image
yang diperoleh selama fraksi pengobatan dengan citra referensi yang dihasilkan
sebelum memulai pengobatan. Kadang-kadang, portal image pertama juga
disetujui digunakan sebagai citra referensi. Sementara portal image dibentuk oleh
sinar megavoltage yang digunakan untuk mengobati pasien, citra referensi
dibentuk oleh kilovoltage (misalnya, film simulasi), megavoltage, atau DRR. Hal
ini berlaku umum bahwa kualitas gambar yang diperoleh dengan menggunakan
sinar-X megavoltage secara inheren lebih buruk daripada yang diperoleh dengan
sinar-X kV. Selain itu, penurunan kontras subjek (misalnya, diferensial atenuasi
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
antara tulang atau udara dan jaringan lunak) oleh peningkatan energi berkas sinar-
X, dan faktor lainnya yang berpengaruh pada rendahnya kualitas citra portal. Hal
tersebut meliputi kinerja reseptor, hamburan sinar-X karena ketebalan pasien,
ukuran sumber sinar-X, noise dalam sistem mata-otak manusia, dan (secara tidak
langsung) posisi dari reseptor citra.
Pengembangan EPID dimulai pada tahun 1950, dengan teknologi yang
belum matang untuk komersialisasi dan digunakan secara luas sampai tahun
1980. Amorf Silikon (aSi) EPID yang populer saat ini, pada awalnya
dikembangkan oleh peneliti di Universitas Michigan dan Xerox PARC pada tahun
1987. EPID secara komersial diperkenalkan pada tahun 2000 oleh Varian Medical
Systems (Palo Alto, CA) sebagai "Portal Visi AS500". Baik aS500 maupun
penggantinya aS1000, menggunakan detektor tidak langsung beresolusi tinggi.
Cahaya yang dipancarkan dari interaksi sinar-X yang datang dengan sebuah pelat
logam di atasnya dan membentuk gambar dari hasil sintilasi materi. Keuntungan
utama dari pendekatan yang menggunakan detektor langsung adalah besarnya
peningkatan efisiensi kuantum secara berutan.
Detektor tersebut mempunyai empat komponen utama seperti pada
Gambar 2.5. Komponen pertama adalah bagian luarnya yang terbuat dari plastik
yang di dalamnya terdapat plat tembaga pipih, dengan tebal 1 mm. Bagian ini
berguna pada pencitraan berorde MV untuk menyerap foton-foton sinar-X dan
mengeluarkan recoil electrons. Bagian ini juga membantu untuk meningkatkan
efisiensi sistem pencitraan secara menyeluruh, dengan melindungi bagian-bagian
lain yang ada di bawahnya (termasuk layar sintilasi) dari radiasi hambur.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Komponen kedua adalah layar fosfor terletak di bawah plat tembaga. Pada EPID
yang dipakai dalam penelitian ini, yang digunakan adalah layar sintilasi Lanex
Fast B, yang terbuat dari fosfor Gadolinium Oxysulfide (Gd2O2S:Tb) dengan
tebal 0.4 mm. Layar fosfor tersebut menyerap recoil electrons yang berasal dari
plat tembaga dan mengubahnya menjadi cahaya tampak. Komponen ketiga
terletak dibawah layar fosfor yaitu gelas substrat setebal 1 mm yang menyimpan
matriks 1024 x 768 piksel. Matrix tersebut merupakan citra sensitif yang
membentuk lapisan sistem fotodioda, dengan tebal 1.5 μm. Setiap piksel terdiri
dari sebuah fotodioda n-i silikon (Si n-i-photodiode) untuk menggabungkan
cahaya yang datang menjadi muatan dan sebuah film transistor tipis (thin film
transistor /TFT) berfungsi sebagai saklar dengan tiga terminal untuk pembacaan
muatan yang tersimpan. Komponen terakhir adalah perangkat elektronik
tambahan, yang menggerakkan TFT switches dan membaca muatan yang
ditangkap. Gate drivers memberikan daya pada gate lines selama waktu
akumulasi muatan pada data lines untuk pembacaan elektronik. Ketika tegangan
diberikan ke gate line, semua TFTs pada baris itu menjadi transparan dan muatan
ini kemudian ditransfer ke saluran data. Setiap baris terbaca secara berurutan, dan
ketika satu baris terbaca TFT pada baris berikutnya akan menjadi transparan.
Eksternal Charge Sensitive Amplifier (CSA) mencatat data muatan. Untuk
membentuk satu frame gambar, pembacaan secara berurutan dari semua baris
diperlukan [6]
.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Gambar II.5 Komponen penampang dari EPID [27]
Gambar II.6 Skema diagram blok dari EPID [28]
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
a b
Gambar II.7 a. Linear accelerator dengan Electronic Portal Imaging Device (EPID)
dan b. Citra EPID
II.3. Pencitraan Radioterapi
Pencitraan medis merupakan bagian yang sangat penting dalam proses
perencanaan terapi yang dapat menampilkan dan memproses secara digital,
sehingga kita dapat menghasilkan citra dengan akurasi detil yang tinggi.
Pencitraan merupakan sarana yang penting dalam verifikasi geometri radioterapi.
Secara garis besar terbagi atas dua citra, yakni citra acuan dan citra target. Citra
acuan merupakan geometri perencanaan lapangan radiasi dengan posisi relatif
terhadap anatomi internal atau anatomi acuan, seperti tulang atau penanda buatan
(marker)[1]
.
EPID
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
II.3.1 Computed Tomography Scanning
CT Scan (computed tomography scanning) merupakan modalitas
pencitraan dominan pada radioterapi serta sebagai dasar untuk pembentukan
DRR. Prinsip dasar CT scan mirip dengan perangkat radiografi yang sudah lebih
umum digunakan. Kedua perangkat ini sama-sama memanfaatkan intensitas
radiasi terusan setelah melewati suatu obyek untuk membentuk citra atau gambar.
Perbedaan antara keduanya adalah pada teknik yang digunakan untuk memperoleh
citra dan pada citra yang dihasilkan. Tidak seperti citra yang dihasilkan dari
teknik radiografi, informasi citra yang ditampilkan oleh CT scan tidak overlap
(tumpang tindih) sehingga dapat memperoleh citra yang dapat diamati tidak hanya
pada bidang tegak lurus berkas sinar, citra CT scan dapat menampilkan informasi
tampang melintang obyek yang diinginkan. Oleh karena itu, citra ini dapat
memberikan sebaran kerapatan stuktur internal obyek sehingga citra yang
dihasilkan oleh CT scan lebih mudah dianalisis daripada citra yang dihasilkan
oleh teknik radiografi konvensional. Dari berbagai CT scan yang ada di pasaran,
data set CT yang dihasilkan biasanya berbentuk data Digital Imaging and
Communications in Medicine (DICOM) [13,20]
.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Gambar II.8 Mesin CT Scan
II.4. Perencanaan Radioterapi
Perencanaan radioterapi adalah alur pasien radioterapi yang akan membuat
keputusan medis apakah pasien untuk perlu dilakukan terapi ataupun tidak,
adapun kemungkinan pasien akan mendapatkan suatu kombinasi dengan bedah,
kemoterapi, radioterapi ataupun modalitas lainnya seperti hyperthermia dan
phototherapy. Jika pada akhirnya radioterapi menjadi suatu pilihan, maka terdapat
tahapan-tahapan, sebelum pada akhirnya penyinaran dilakukan. Seperti terlihat
pada gambar alur pemeriksaan radioterapi.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Gambar II.9 Diagram skematik alur pasien radioterapi
Pasien yang menerima suatu paket terapi radiasi harus memiliki suatu
informasi penyakit pasien selengkap-lengkapnya sehingga dapat ditentukan target
volume yang akan diradiasi, dan juga dapat menentukan jaringan sekitar untuk
diberikan pembatasan dosis pada organ yang beresiko. Informasi dapat diberikan
dalam bentuk diagnostik x-ray, CT-Scan, ataupun MRI yang memberikan
informasi anatomi dari pasien, hal ini disebut tumor lokalisasi.
Tujuan dari pemilihan teknik penyinaran yaitu untuk mendesain sinar
radiasi ataupun perencanaan sinar sehingga distribusi dosis yang diabsorbsi sesuai
dengan dengan yang dibutuhkan pasien sehingga tujuan untuk mendapatkan dosis
maksimum pada target volume dan dosis seminimal mungkin pada jaringan sehat
dapat tercapai.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Pada radiasi terapi eksternal selalu meradiasi setiap jaringan searah berkas
sinar di atas ataupun di bawah volume target. Faktor lain yang perlu diperhatikan
dalam penentuan teknik penyinaran yaitu set-up serta pelaksanaan penyinaran dan
juga kenyamanan pasien.
Komputer yang dilengkapi dengan perangakat lunak TPS digunakan untuk
perencanaan radioterapi, perencanaan ini ditentukan untuk mengetahui distribusi
dosis yang akan diterima pasien sebelum dilakukan penyinaran pada pasien.
Dalam proses perencanaan di TPS akan ditentukan energi radiasi, luas lapangan,
jumlah lapangan radiasi, arah penyinaran, perhitungan MU dan asesoris yang
digunakan. Perencanaan radioterapi bersifat individual untuk masing-masing
pasien yang akan diterapi.
Proses pembuatan perencanaan radioterapi terdiri dari beberapa tahap.
Sebelum dilakukan perencanaan, terlebih dahulu diambil data citra CT-Scan
pasien dan memastikan posisi pasien akan selalu sama pada setiap hari
penyinaran. Selanjutnya pada citra CT-Scan pasien ditentukan target tumor dan
organ beresiko di sekitarnya. Ketepatan penentuan target, organ beresiko dan
jumlah dosis yang akan diberikan, kemudian dilakukan proses perencanaan di
TPS [1,8]
.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
II.4.1 Treatment Planning System (TPS)
Treatment Planning System (TPS) merupakan perangkat lunak yang
digunakan untuk menggambarkan dan menghitung distribusi dosis yang akan
diberikan ke pasien. TPS sebelumnya hanya digunakan menghitung distribusi
dosis pada satu arah penyinaran dengan dua dimensi, selanjutnya TPS dapat
digunakan untuk menghitung dengan banyak lapangan. Lebih lanjut, pada IMRT
untuk melakukan perhitungan lapangan radiasi yang intensitasnya berbeda pada
masing-masing arah yang berbeda.
Perencanaan radioterapi 3D Conformal dan IMRT membutuhkan citra 3D
yang dihasilkan oleh perangkat CT. Pada metode perencanaan teknik IMRT ini
akan terlebih dahulu ditentukan jumlah dan arah penyinaran. Dan melalui citra
hasil CT scan digambar target tumor dan organ di sekitarnya yang beresiko,
penggambaran ini tergantung pada jenis kanker dan dengan memasukkan batasan
dosis pada target tumor dan organ beresiko yang ada di sekitarnya pada TPS pada
saat optimasi perhitungan dosis. Optimasi diharapkan untuk menghasilkan
intensitas yang tidak homogen pada penyinaran sehingga penyinaran sesuai
dengan distribusi dosis yang diharapkan. Melalui TPS ini diatur jumlah lapangan,
luas lapangan dan arah penyinaran serta pemberian intensitas radiasi yang
berbeda-beda lapangan penyinaran pada pesawat linear akselerator. Pada TPS
juga ditentukan energi radiasi yang digunakan. Sehingga melalui pengaturan ini
dapat memberikan dosis yang optimal pada target tumor dan seminimal mungkin
pada organ sehat [1,3]
.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Ada 2 faktor yang sangat berperan pada perencanaan terapi antara lain:
Simulasi atau lokalisasi daerah radiasi. Pelaksanaan simulasi ini
dilakukan di ruang simulator, di sini seolah-olah pasien dilakukan
radiasi. Untuk itu jarak sumber sinar ke kulit dan posisi pasien harus
sama, baik itu di ruang simulator maupun di ruang penyinaran.
CT Simulator sangat penting untuk perencanaan terapi dan merupakan
kebutuhan utama data imajing untuk 3 Dimension Radiation Therapy
Treatment Planning (3D RTTP/Perencanaan Terapi Tiga Dimensi).
Perencanaan CT Scan ádalah melokalisasi tumor dengan jumlah irisan
yang sangat banyak dan ketebalan 2–10 mm. Semakin tipis irisan
maka jumlah irisan akan semakin banyak dengan demikian kualitas
pencitraan dapat meningkat.
Proses pembuatan perencanaan radiasi terdiri dari beberapa tahapan.
Sebelum dilakukan perencanaan, terlebih dahulu diambil data CT scan pasien
yang dilengkapi alat immobilisasi untuk memastikan posisi pasien akan selalu
sama untuk setiap hari penyinaran. Selanjutnya, pada citra CT scan pasien
digambar target tumor dan organ beresiko di sekitarnya oleh dokter radioterapi.
Penggambaran target tumor dan organ beresiko tergantung pada jenis dan stadium
masing-masing kasus kanker. Ketepatan penggambaran target tumor akan
menentukan keberhasilan terapi pasien.
Selanjutnya pada TPS ditentukan parameter penyinaran seperti energi,
jumlah, arah, dan ukuran lapangan radiasi, pemakaian asesoris penyinaran seperti
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
MLC, blok, wedge, dan bolus. Setelah itu, dilanjutkan dengan kalkulasi dosis dan
evaluasi kurva isodosis. Metode inverse planning digunakan pada perencanaan
teknik IMRT. Metode ini dilakukan dengan menentukan jumlah dan arah
lapangan penyinaran yang terdiri dari beberapa segmen. Selanjutnya dimasukan
parameter batasan dosis pada target tumor dan organ beresiko di sekitarnya yang
ditentukan oleh dokter radioterapi pada bagian optimisasi di komputer TPS.
Optimisasi adalah proses untuk menentukan intensitas radiasi dari masing-masing
segmen untuk semua arah penyinaran radiasi yang sesuai dengan yang tujuan
ditentukan diawal. Proses optimisasi dilakukan dengan melakukan beberapa kali
iterasi. Jika diperlukan, dilakukan penambahan segmen pada setiap arah lapangan
radiasi dan dilakukan optimisasi ulang sampai tujuan dosis tercapai. Hasil akhir
dari proses optimisasi ini dihasilkannya intensitas yang tidak homogen pada
masing-masing arah penyinaran sesuai dengan distribusi dosis yang ingin dicapai
pada volume target dan organ kritis di sekitarnya.
- Optimisasi Inverse Planning
Proses optimisasi merupakan proses pencapaian distribusi dosis yang
diharapkan pada terapi dengan radiasi. Optimisasi pada perencanaan forward
dilakukan dengan penggunakan blok, MLC, wedge, tissue compensator ataupun
pembebanan pada masing-masing lapangan radiasi. Pada teknik IMRT
perencanaan dilakukan secara invers untuk menentukan intensitas masing-masing
segmen pada setiap lapangan radiasi.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Pada proses optimisasi dimasukkan data dosis preskripsi untuk target
tumor dan dosis toleransi pada organ beresiko di sekitar tumor. Parameter yang
dimasukkan berkaitan dengan dosis yang ingin dicapai pada dose volume
histogram (DVH), seperti dosis minimum beserta volumenya, dosis maksimum
beserta volumenya dan dosis rata-rata.
II.4.2. Digitally Reconstructed Radiographs (DRR)
Digitally reconstructed radiographs (DRR) adalah citra sinar-X artifisial.
Citra DRR berasal dari data volumetrik CT dengan menjumlahkan atenuasi tiap-
tiap voksel sepanjang berkas sinar yang melalui volume CT. DRR dapat dihitung
dari data CT dan merupakan citra dua dimensi (2D) yang dapat mensimulasikan
citra sinar-X radiografi konvensional ataupun citra fluoroskopi. Secara umum,
komputasi DRR merupakan suatu operasi penyimpanan volume, yang
memungkinkan untuk menggunakan semua bentuk algoritma penyimpanan
volume dalam menghitung sebuah DRR. Algoritma penyimpanan khusus tersebut
seringkali disederhanakan dikarenakan sifat-sifat khusus pada DRR.
Rekonstruksi volume adalah sebuah proses menyatukan volume CT
kompresasi sehingga dapat menghasilkan DRR. Volume hasil rekonstruksi
tersebut tersimpan dalam memori utama komputer dalam bentuk struktur data
sehingga dapat menghemat memori komputer. Nilai voksel pada volume CT
dinyatakan dalam bilangan CT (CT number) dalam satuan Hounsfield Units
(HU). Koefisien atenuasi bahan yang mengandung nilai tiap voksel dapat
dinyatakan dengan persamaan :
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
𝐶𝑇𝑛𝑢𝑚𝑏𝑒𝑟 = 1000 ∗ 𝜇𝑖 − 𝜇𝑤 𝜇𝑤 (II.2)
dengan 𝜇i adalah nilai atenuasi elemen volume jaringan (voksel) dan 𝜇𝑤 adalah
koefisien atenuasi linear air pada energi rata-rata berkas CT. Untuk menghasilkan
DRR kita dapat menghitung nilai atenuasi berkas energi tunggal pada material
anatomi yang berbeda-beda (contoh, tulang, jaringan otot, sel epitel, dsb) dengan
menggunakan hukum Beer-Lambert .
𝐼 = 𝐼0 ∗ 𝑒𝑥𝑝 − 𝜇 𝑖𝑥𝑖 ( II.3)
dengan I0 adalah intensitas awal sinar-X, 𝜇 adalah koefisien atenuasi linear pada
voksel bahan yang dilalui oleh sinar-X, x adalah panjang lintasan sinar-X dan i
adalah indeks voksel pada lintasan berkas sinar [10,11,18]
.
II.4.2.1Metode Ray Casting
Metode ray casting adalah suatu metode yang mencoba untuk mencari titik
potong sebuah sinar dengan semua obyek yang dikenainya dalam suatu layar.
Dalam komputasi DRR, obyek-obyek tersebut merupakan voksel volume.
Konsep dasar algoritma ray casting adalah mencari titik potong sebuah
sinar secara efisien dengan suatu layar yang terdiri atas sekelompok geometri
sederhana (geometry primitives). Sebuah sinar spesifik dapat dirumuskan:
𝑅𝑇 = 𝑂 + 𝑡𝐷 ( II.4)
dengan O adalah sinar asli dan D arah sinar tersebut. Dalam kasus khusus
komputasi DRR, sinar asli diperoleh dari data CT sinar-X asli ditempatkan di
sumber sinar-X dan arah sinar ditentukan dari piksel citra di mana nilai keabu-
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
abuannya (grayscale) perlu dihitung. Vokselnya dipertimbangkan sebagai
geometri sederhana yang berpotongan dengan sinar tersebut [5,18]
.
Gambar II.10 Metode ray casting [5]
Gambar II.11 Citra DRR dari TPS
II.5. Verifikasi Geometri Dalam Radioterapi
Verifikasi radioterapi merupakan suatu proses untuk menilai akurasi
radioterapi dengan membandingkan citra (atau data) portal radiasi dengan
perencanaannya (sebagai citra acuan). Jika portal radiasi oleh sinar megavoltase,
maka citra acuannya berupa simulasi film (kilovoltase) atau DRR.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Sebelum dilakukan penyinaran, pasien terlebih dahulu diverifikasi, akurasi
pengaturan pasien diukur dan dikoreksi melalui mekanisme verifikasi lapangan
radiasi dan berdasarkan anatomi (di pesawat radiasi) dengan perencanaan radiasi.
Dalam verifikasi geometri radioterapi secara umum, ada dua metode yang
digunakan, antara lain :
- Koreksi online, yakni verifikasi yang dilakukan segera sebelum terapi
radiasi diberikan. Koreksi kesalahan juga segera sebelum terapi. Waktu
verifikasi sebaiknya sesingkat mungkin (dalam beberapa menit) untuk
mengurangi variasi pergerakan pasien, sehingga citra yang dihasilkan
dapat mewakili posisi pasien yang sebenarnya. Koreksi online dapat
mengkoreksi set-up error secara harian (systematik dan random error).
- Koreksi offline, yakni verifikasi yang dilakukan setelah terapi radiasi
diberikan. Koreksi kesalahan dilakukan pada terapi selanjutnya (systematic
error). Tidak ada koreksi untuk random error. [3][21]
II.5.1 Kesalahan Set Up
Kesalahan set-up merupakan ketidaksesuaian posisi pasien pada
perencanaan dengan terapi sebenarnya. Penilaiannya dengan menghitung
pergesaran citra acuan dengan citra target baik pada isosenter maupun batas
lapangan radiasi. Informasi yang dihasilkan dapat berupa translasi dan rotasi
pergeseran. Umumnya terdiri atas kesalahan sistematis dan kesalahan acak.
Kesalahan sistematis terjadi pada tiap fraksi radiasi dengan pola yang sama,
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
biasanya sering dikaitkan dengan kesalahan pada waktu persiapan terapi radiasi.
Kemungkinan penyebabnya antara lain :
Perubahan posisi dan bentuk tumor. Dapat terjadi karena regresi atau
pertumbuhannya yang cepat, pengaruh dari organ sekitarnya seperti
pengisian buli dan distensi rektum.
Kesalahan pada waktu mengirim data citra dari TPS ke pesawat
radioterapi, karena adanya ketidaksesuaian laser antara computed
tomography (CT) dengan pesawat radiasi, indikator posisi longitudinal
meja CT, resolusi citra, algoritma margin, posisi tepi lapangan radiasi dan
multileaf collimator (MLC), lokasi isosenter, indikator source to surface
distance (SSD), akurasi sudut gantry dan collimator. Kesalahan ini
bersifat menetap dengan toleransi pergesaran ± 2 mm dan rotasi ± 1°.
Kesalahan set-up pasien. Penyebabnya karena perubahan posisi pasien
(misalnya, perubahan berat badan, rambut rontok).
Kesalahan acak terjadi pada tiap fraksi radiasi dengan pola yang
bervariasi. Berkaitan dengan kesalahan saat pemberian radiasi. Kemungkinan
penyebabnya antara lain :
Kesalahan set-up pasien. Penyebabnya karena perubahan posisi pasien
yang sukar diprediksi.
Pergerakan anatomi internal target, misalnya pernapasan.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Kesalahan acak ini dipengaruhi oleh sistem imobilisasi, kepatuhan pasien
dan protokol pelayanan. Dengan diterapkannya metode verifikasi online,
kesalahan acak ini dapat dikontrol [1,19]
.
II.6. Registrasi Citra
Registrasi citra adalah proses transformasi beberapa kumpulan data ke
dalam sebuah sistem koordinat. Registrasi citra merupakan proses penggabungan
dua gambar atau lebih dengan kondisi yang sama pada waktu yang berbeda, dari
sudut pandang yang berbeda, dan atau sensor (multimodalitas) yang berbeda.
Registrasi citra secara geometri akan mensejajarkan dua buah citra. Adanya
perbedaan antara beberapa citra dikeranakan perbedaan kondisi pencitraan.
Awalnya kegiatan registrasi citra dilakukan secara manual oleh seorang
expert. Salah satu tugas seorang expert dalam kegiatan registrasi citra adalah
menentukan titik koordinat yang berkorespondensi antara reference image dengan
sense image. Setelah itu, registrasi sense image ke reference image dilakukan
berdasarkan pasangan titik koordinat yang berkorespondensi tersebut. Namun
kegiatan ini sangat membutuhkan keahlian dari expert untuk menentukan
pasangan titik koordinat dan menghabiskan banyak waktu apabila citra-citra yang
akan diregistrasi berukuran besar atau jumlahnya banyak. Automatic Image
Registration merupakan prosedur otomatis yang membutuhkan sedikit atau tidak
ada pengawasan dari expert untuk melakukan registrasi citra. Otomatisasi
prosedur ini membutuhkan perubahan proses pencarian titik koordinat yang
berkorespondensi dari manual menjadi otomatis. Jadi dengan adanya prosedur ini
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
maka keuntungan yang diharapkan adalah waktu registrasi yang dibutuhkan
semakin sedikit, mengurangi human error yang mungkin terjadi serta
meningkatkan presisi akurasi posisi pasien.
Dalam verifikasi geometri radioterapi, citra target dan citra acuan
masingmasing memiliki dua komponen, yakni:
1) komponen anatomi,
2) portal radiasi.
Jika transformasi berdasarkan kesesuaian anatomi (tulang), maka
perbedaan posisi portal radiasi pada kedua citra merupakan kesalahan set-up. Jika
transformasi berdasarkan kesesuaian portal radiasi, maka perbedaan posisi
anatomi (tulang) pada kedua citra merupakan kesalahan set-up. Transformasi yang
terakhir ini dapat juga digunakan untuk menyesuaikan skala citra. Syarat
kesesuaian tersebut adalah posisi anatomi ataupun portal radiasi harus akurat.
Kualitas citra target yang rendah cukup menyulitkan dalam menentukan posisi
anatomi.
Metode berdasarkan landmark menggunakan deskripsi geometris untuk
menentukan transformasi citra target dengan citra acuan. Hasil transformasi yang
akurat didapatkan bila titik landmark ditempatkan secara tepat baik pada struktur
anatomi maupun marker radiopaque. Jumlah titik landmark acuan dapat tiga titik
ataupun lebih sesuai keperluan. Kombinasi dengan algoritma untuk mendeteksi
tepi obyek (canny edge detector, sobel edge detector) dapat meningkatkan
kemampuan metode ini dalam verifikasi[11,12,14]
.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
II.6.1 Mutual Information
Mutual information adalah salah satu konsep dalam teori informasi.
Penggunaan mutual information dalam registrasi citra sendiri tidak hanya
memenuhi kebutuhan pengguna akan otomatisasi tetapi juga memiliki
kompleksitas waktu yang cepat. Mutual information (MI) mengukur jumah
informasi yang terkandung dalam suatu variabel acak (intensitas gambar dalam
satu gambar) mengenai variabel acak lainnya (intensitas citra pada gambar
lainnya). Keuntungan utama menggunakan MI adalah bahwa bentuk sebenarnya
dari dependensi tidak harus ditentukan. Oleh karena itu, pemetaan yang kompleks
antara dua gambar dapat dimodelkan. Fleksibilitas ini membuat mutual
information cocok sebagai kriteria registrasi multi-modalitas. Mutual information
mencapai maksimum jika, untuk intensitas yang diberikan dalam gambar A,
ditemukan intensitas yang berbeda dalam gambar B. (Dengan kata lain, dua
intensitas yang berbeda dalam gambar A tidak sesuai dengan intensitas pada
gambar B.) Tidak ada pembatasan mengenai kombinasi intensitas. Keuntungan
dari metode ini adalah tidak tergantung pada lokalisasi landmark tunggal. Tidak
diperlukan interaksi pengguna. Hal ini dapat sepenuhnya otomatis dalam hal ini
tidak membuat asumsi dari bentuk fungsional atau hubungan antara intensitas
gambar dalam gambar yang akan diregistrasi.
Entropi merupakan salah satu pendukung utama dalam teori informasi.
Dari entropi didapatkan dua pendukung utama lainnya, yaitu entropi relatif dan
mutual information . Entropi adalah suatu pengukuran dari ketidakpastian atau
keacakan dari variabel acak. Relatif entropi adalah suatu pengukuran jarak antar
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
dua probabilitas. Sedangkan mutual information adalah jumah informasi yang
terkandung dalam suatu variabel acak mengenai variabel acak lainnya[15,22,24]
.
Mutual information didefinisikan sebagai entropi.
𝐻 𝐴 = − 𝑝𝐴 (𝑎) log 𝑝𝐴 𝑎 𝑑𝑎 (II.5)
menjadi entropi variabel acak A, H(B) entropi variabel acak B dan
𝐻 𝐴, 𝐵 = − 𝑝𝐵𝐴 (𝑎, 𝑏) log𝑝𝐴𝐵 𝑎, 𝑏 𝑑𝑎 𝑑𝑏 (II.6)
menjadi entropi gabungan A dan B. Jika A dan B independen, maka
𝑝𝐴𝐵 𝑎, 𝑏 = 𝑝𝐴(𝑎)𝑝𝐵(𝑏) (II.7)
dan
H(A,B) = H(A)+H(B). (II.8)
Namun, jika ada ketergantungan, maka
H(A,B) < H(A)+H(B). (II.9)
Perbedaan tersebut disebut Mutual Information : I(A,B)
I(A,B) = H(A)+H(B)−H(A,B) (II.10)
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
II.6.2 Rigid Transformations
Rigid Transformation didefinisikan sebagai transformasi geometris yang
mempertahankan semua jarak dan hanya melibatkan titik-titik dalam deskripsi
objek. Transformasi ini juga mempertahankan kelurusan garis (permukaan planar)
dan semua sudut tidak nol antara garis lurus. Masalah registrasi yang dibatasi pada
transformasi rigid, disebut registrasi rigid. Transformasi rigid sangat sederhana
untuk menentukan, dan ada beberapa metode untuk melakukannya. Dalam setiap
metode, ada dua komponen dasar yaitu translasi dan rotasi. Translasi adalah
transformasi paling sederhana yang dapat diterapkan pada suatu objek grafis.
Secara sederhana translasi adalah memindahkan objek grafis dari satu tempat ke
tempat lain tanpa mengubah tampilan dan orientasi. Untuk menghasilkan translasi
dari suatu objek grafis, kita menambahkan konstanta Tx pada koordinat x dan
konstanta Ty pada koordinat Y, formula ini diterapkan pada semua titik pada
objek yang akan ditranslasikan. Rotasi suatu image adalah memutar objek
terhadap titik tertentu di bidang xy. Bentuk dan ukuran objek tidak berubah.
Untuk melakukan rotasi perlu diketahui sudut rotasi 𝜃 dan pivot point (Xp,Yp)
atau titik rotasi dimana objek dirotasi. Nilai positif dari sudut rotasi menentukan
arah rotasi berlawanan dengan jarum jam dan sebaliknya nilai negatif akan
memutar objek searah jarum jam. Ada banyak cara untuk menentukan komponen
rotasi, di antaranya sudut Euler, parameter Cayley-Klein, quaternions, sumbu dan
sudut, dan matriks ortogonal.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
II.7. Insight Segmentation And Registration Toolkit (ITK)
ITK merupakan singkatan dari Insinght Segmentation and Registration
Toolkit adalah librari open-source untuk pengolahan citra baik 2D maupun 3D
khususnya untuk citra medis. ITK cukup bermanfaat untuk semua metode
pengolahan citra khususnya untuk segmentasi dan registrasi. Selain itu, berbagai
modul untuk filtering dan analisa secara numerik juga disediakan librari-librari
ITK. Beberapa metode segmentasi region base yang disediakan ITK: Connectedb
Threshold, Otsu Segmentation, Neighborhood Connected, Connected Confidence
dan lainnya. Dalam penelitian yang dilakukan, digunakan librari segmentasi untuk
pengolahan data citra medis. ITK diimplementasikan dalam bahasa pemrograman
C++. ITK merupakan librari yang cross-platform. ITK menggunakan CMake
untuk membangun dan mengatur proses konfigurasi. Walaupun dimplementasikan
dengan bahasa C++ ITK dapat juga diinterpretasikan dengan bahasa
pemrogramanlain seperti Tcl, Java, dan Python dengan menggunakan CableSwig.
Hal ini memungkinkan pengembang untuk membuat perangkat lunak
menggunakan berbagai bahasa pemrograman[15]
.
II.8. Qt
Qt (dibaca : kiut) dibuat pada tahun 1996 oleh perusahaan dari Swedia
yang bernama Trolltech. Qt memiliki sifat lintas platform maka developer dapat
membuat aplikasi yang berjalan pada platform Windows, Linux, dan Mac.
Dengan Qt kode yang sama dapat dijalankan pada target platform yang berbeda.
Qt dirancang untuk pengembangan aplikasi dengan C++. Oleh karenanya, Qt
berisi sekumpulan kelas-kelas yang tinggal dimanfaatkan saja, mulai dari urusan
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
antarmuka (user interface), operasi input ouput, networking, timer, template
library, dan lain-lain. Jika dibandingkan toolkit lain, Qt juga mudah untuk
dipelajari dan dipersenjatai dengan dokumentasi dan tutorial yang ekstensif dan
rinci.
Salah satu fitur pemrograman berorientasi objek adalah interface. Ketika
kita menginginkan suatu objek wajib mempunyai suatu tingkah laku baik variabel
yang tersedia (property) ataupun fungsinya. Kita dapat memanfaatkan interface.
Pada bahasa C++, khususnya Qt, kita dapat mendeklarasikan suatu interface
dengan memanfaatkan fitur virtual[16]
.
II.9. Visualization Toolkit (VTK)
Visualization Toolkit atau lebih dikenal dengan VTK adalah sebuah
library open-source dan tidak berbayar yang digunakan untuk keperluan
visualisasi 3D dimensi dengan pemrograman komputer grafis dan pengolahan
citra (image processing). VTK dikembangkan oleh Kitware Inc.
[http://www.kitware.com/ ]. Kitware Inc. menyediakan training dan dukungan
berbayar yang ditujukan bagi para pengembang VTK yang ingin belajar dengan
struktur yang lebih sistematis.
VTK terdiri atas class-class C++ dan beberapa lapisan untuk bahasa
pemrograman Java, Python, serta Tcl/Tk. VTK mendukung berbagai macam
algoritma visualisasi seperti: scalar, vector, tensor, texture, dan metode
volumetric, serta modeling tingkat lanjut seperti: implicit modeling, polygon
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
reduction, mesh smoothing, cutting, contouring, dan delaunay triangulation. VTK
bisa dijalankan pada platform sistem operasi Microsoft Windows XP, Linux, serta
platform Unix lainnya. VTK digunakan secara luas oleh berbagai komunitas
penelitian di seluruh dunia[17]
.
II.10 SPSS
SPSS adalah sebuah program komputer yang digunakan untuk membuat
analisis statistika. SPSS dipublikasikan oleh SPSS Inc. SPSS (Statistical Package
for the Social Sciences atau Paket Statistik untuk Ilmu Sosial) versi pertama dirilis
pada tahun 1968, diciptakan oleh Norman Nie, seorang lulusan Fakultas Ilmu
Politik dari Stanford University. Pada awalnya SPSS dibuat untuk keperluan
pengolahan data statistik untuk ilmu-ilmu social. Sekarang kemampuan SPSS
diperluas untuk melayani berbagai jenis pengguna (user), seperti untuk proses
produksi di pabrik, riset ilmu sains dan lainnya. Dengan demikian, sekarang
kepanjangan dari SPSS Statistical Product and Service Solutions. SPSS juga
digunakan oleh peneliti pasar, peneliti kesehatan, perusahaan survei, pemerintah,
peneliti pendidikan, organisasi pemasaran, dan sebagainya. Selain analisis
statistika, manajemen data (seleksi kasus, penajaman file, pembuatan data
turunan) dan dokumentasi data (kamus metadata ikut dimasukkan bersama data)
juga merupakan fitur-fitur dari software dasar SPSS. SPSS dapat membaca
berbagai jenis data atau memasukkan data secara langsung ke dalam SPSS Data
Editor. Bagaimanapun struktur dari file data mentahnya, maka data dalam Data
Editor SPSS harus dibentuk dalam bentuk baris (cases) dan kolom (variables).
Case berisi informasi untuk satu unit analisis, sedangkan variable adalah informasi
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
yang dikumpulkan dari masing-masing kasus. Hasil-hasil analisis muncul dalam
SPSS Output Navigator. Kebanyakan prosedur Base System menghasilkan pivot
tables, dimana kita bisa memperbaiki tampilan dari keluaran yang diberikan oleh
SPSS. Untuk memperbaiki output, maka kita dapat mmperbaiki output sesuai
dengan kebutuhan[29]
.
II.11 UJI CHI-KUADRAT
Teknik uji Chi-Kuadrat pertama kali diperkenalkan oleh Karl Pearson
yang umum dikenal oleh banyak orang adalah pengujian terhadap keterkaitan
antara dua buah variabel hasil perhitungan (count data), sehingga dasar pengujian
yang digunakan adalah selisi nilai proporsi dari nilai observasi dengan nilai
harapan. Ada pula yang mengasosiasikan uji chi-kuadrat sebagai pengujian untuk
melihat hubungan antara dua variabel kualitatif (kategorik). Umumnya keterkaitan
antara dua variabel kualitatif secara deskriptif ditampilkan dalam bentuk tabel
kontingensi (Cross Tabulation) yang digunakan untuk menguji keselarasan, di
mana pengujian dilakukan untuk memeriksa ketergantungan dan homogenitas.
Pada kedua prosedur tersebut selalu meliputi perbandingan frekuensi yang
teramati dengan frekuensi yang diharapkan bila hipotesis nol yang ditetapkan
benar[30]
.
𝜒2 = 𝑓0−𝑓𝑒
2
𝑓𝑒 (II.11)
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Dengan,
𝜒2: Nilai chi-kuadrat
𝑓𝑒: Frekuensi yang diharapkan
𝑓0: Frekuensi yang diperoleh/diamati
Dasar pengambilan keputusan yaitu berdasarkan perbandingan Chi-Square
Hitung dengan Chi-Square Tabel. Chi-Square Hitung dilihat pada output SPPS
sedang Chi-Square Tabel bisa dihitung pada tabel Chi-Square berdasarkan tingkat
signifikansi (𝛼) dan derajat kebebasan (db). Jika Chi-Square Hitung < Chi-Square
Tabel, maka Ho diterima. Sedang jika Jika Chi-Square Hitung > Chi-Square
Tabel, maka Ho ditolak. Disisi lain jika signifikansi Chi-Square Hitung >alpha,
maka Ho diterima dan sebaliknya.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fisika Medis dan
Biofisika, Departemen Fisika , FMIPA-UI pada bulan Februari-Juni tahun 2013
III.2 Alat dan Bahan
III.2.1 Alat
Dalam penelitian ini menggunakan Komputer Intel(R) Core-i3 CPU
2100, 3.10 GHz dengan memori RAM 8,00 GB dan memerlukan
beberapa perangkat lunak sebagai berikut:
a. Qt sebagai sebagai platform perancangan sistem
b. VTK (Visualization ToolKit) sebagai library untuk visualisai
c. ITK (Insight Segmentation and Registration Toolkit) sebagai
library untuk registrasi
III.2.2 Bahan
Penelitian ini menggunakan citra DRR yang digerenarasikan dari TPS
Radioterapi merek Philips Pinnacle3 dan citra EPID dari pesawat Linear
Accelerator (LINAC) merk Elekta Synergy’s yang merupakan data penelitian
sebelumnya (Susi, 2013)[25]
.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Gambar III.1 Pesawat LINAC Elekta Synergy’s dilengkapi dengan EPID dan Cone
Beam CT
III.3. Pembuatan Sistem Registrasi
Pada penelitian ini telah dibuat dua sistem registrasi secara otomatis yaitu
registrasi rigid transformations dan registrasi mutual information yang bersumber
dari library ITK (Insight Segmentation and Registration Toolkit) dan
diimplementasikan pada Qt Creator 4.8. Pembuatan sistem registrasi ini dibagi
menjadi dua tahap yaitu proses preregistrasi dan proses registrasi. Proses
preregistrasi mencakup proses penyeragaman ukuran, luas lapangan, penyesuaian
skala dan filter. Citra EPID yang dihasilkan pada pesawat Synergi S memiliki
ukuran citra yang seragam, yakni 10,12 x 10,12 inci (1024 x 1024 piksel) dan 16
bit. Di lain pihak, ukuran citra DRR bervariasi setiap pasien, sehingga perlu
penyeragaman ukuran DRR untuk memudahkan verifikasi. Selain itu, ukuran citra
paling besar DRR digunakan untuk penyeragaman ukuran, yakni (600 x 600
piksel), 16 bit. Selanjutnya untuk menyamakan ukuran DRR dengan EPID
EPID
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
ukuran kedua citra diubah menjadi 20,08 x 16,06 cm ( ± 0,02 cm) sesuai dengan
ukuran lapangan penyinaran. Kemudian citra DRR dengan EPID disamaan skala
antara berdasarkan penyesuaian portal radiasi antara kedua citra. Dengan
demikian posisi isosenter kedua citra masing-masing tepat berada pada pusat citra.
Untuk meningkatkan ketajaman citra digunakan filter unsharp mask dan enhance
contrast.
III.4 Alur Sistem Registrasi
Gambar III.2 Alur Registrasi
Secara garis besar alur sistem seperti bagan di atas dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Sistem menggunakan dua citra sebagai masukan, yaitu citra DRR dan
Citra EPID
2. Citra masukan akan diubah menjadi menjadi matriks agar mudah
dievaluasi
3. Optimisasi dilakukan untuk memaksimalkan mutual information dan rigid
transformation antara dua citra
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
4. Interpolasi merupakan proses menentukan nilai intensitas citra pada titik-
titik posisi antara citra DRR dan EPID
5. Transformasi citra dilakukan untuk mendapatkan posisi citra yang sesuai
6. Setelah citra teregistrasi, kemudian sistem akan melakukan identifikasi
nilai pergeseran citra (∆𝑋, ∆𝑌, ∆𝑍)
III.5. Perancangan Infrastruktur Sistem
Sistem ini dibuat dengan menggunakan Qt Creator 4.8 sebagai platform
utama. Rancangan infrastruktur dari sistem dapat dilihat pada Gambar 3.3. Sistem
dibagi menjadi beberapa kelas, dengan masing-masing kelas memiliki peran
tersendiri. ImageIO sebagai dasar pembaca dan penulis citra. ImageEditor
digunakan untuk melakukan scalling dan croping citra masukan. ImageRegister
digunakan untuk melakukan registrasi citra. Semua sistem ditangani oleh kelas
MainWindow.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Gambar III.3 Rancangan Infrastruktur Sistem
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
III.6 Evaluasi Hasil Registrasi Citra
Evaluasi dilakukan dengan menggunakan 35 pasien dengan diagnosis
kanker nasofaring yang masing-masing terdiri dari citra yang diambil proyeksi AP
(Antero-Posterior) dan Lateral DRR dan EPID, sehingga masing-masing pasien
menghasilkan 4 citra (2 citra proyeksi AP dan 2 citra proyeksi Lateral). Citra AP
(Antero-Posterior) menunjukkan sumbu XY, sedangkan citra lateral menunjukkan
sumbu YZ (Susi, 2013). Data yang digunakan sebanyak 140 citra kemudian
diregistrasi untuk mengetahui nilai pergeseran translasi ∆x , ∆y dan ∆z. Hasil
registrasi citra secara otomatis dibandingkan dengan verifikasi manual dan fusi
semiotomatis (Susi, 2013) kemudian dianalisis secara statistik menggunakan uji
chi-square. Uji chi-square berguna untuk menguji atau pengaruh dua variabel
nominal atau lebih dan mengukur kuatnya hubungan antara variabel yang satu
dengan variabel lainnya. Analisis ini dilakukan pada program SPSS 21.
Citra Citra DRR Citra EPID Citra Registrasi Pergeseran
(mm)
AP
∆𝑥 = 2.48
∆𝑦 =0.22
LAT
∆𝑧 = -1.21
∆𝑦 = 0.26
Gambar III.4 Citra Hasil Registrasi
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
III.7 Diagram Alur Penelitian
Gambar III.5 Diagram alir penelitian
MULAI
PEMBUATAN SISTEM REGISTRASI
Registrasi Citra
Citra DRR
Citra Hasil
Registrasi
Citra EPID
KESIMPULAN DAN
SARAN
ANALISIS
Registrasi Rigid
Transformation
Registrasi Mutual
Information
Registrasi Citra
Citra DRR
Citra EPID
Citra Hasil
Registrasi
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Registrasi
Selama periode penelitian Februari 2013 sampai bulan Juni 2013 telah
dilakukan penelitian mengenai registrasi otomatis citra Digitally Recontructed
Radiographs (DRRs ) terhadap Portal Image ( citra EPID) untuk verifikasi posisi
pasien radioterapi secara otomatis.
Untuk mengevaluasi registrasi citra, The International Atomic Energy
Agency (IAEA) dan American Association Of Physicists In Medicine (AAPM)
merekomendasikan kombinasi obyektif dan visual. Bahkan AAPM membentuk
Task Gorup 132 untuk membahas teknik dalam registrasi citra, implementasi
klinis, akurasi dan kaitannya dengan jaminan mutu. Nilai pergeseran terhadap
sumbu X,Y, dan Z dimasukkan dalam dua kategori, yakni:
a. Untuk kategori ≤ 3 mm, yang berarti verifikasi tanpa koreksi
b. Untuk kategori > 3 mm, yang berarti verifikasi dengan koreksi
Pengolahan data koreksi geometri pada sumbu X, Y dan Z disajikan dalam
bentuk diagram perbandingan dan grafik boxplot.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Tabel 4.1 Nilai Pergeseran terhadap sumbu X, Y dan Z untuk registrasi rigid
transformation
Pasien Pergeseran terhadap sumbu (mm)
X (right-left) Y (superior-inferior) Z (anterior-posterior) t (s)
1 2.80 1.52 2.36 38.21
2 3.00 1.51 2.33 44.12
3 3.00 1.83 3.70 48.86
4 3.14 1.34 2.66 40.66
5 2.48 0.89 2.61 44.96
6 2.14 1.57 2.43 41.36
7 2.61 0.97 2.22 43.71
8 2.93 1.63 2.29 45.69
9 2.87 1.54 3.00 28.86
10 3.00 0.94 3.00 29.94
11 2.25 1.66 2.44 49.92
12 2.18 1.10 3.20 38.72
13 2.76 0.75 2.05 51.75
14 2.41 1.09 1.77 52.62
15 2.51 2.05 0 59.07
16 3.30 1.20 0 53.7
17 2.76 1.82 3.00 22.54
18 2.31 1.46 3.00 52.7
19 2.59 1.47 2.21 56.07
20 2.90 0.63 2.47 34.48
21 2.36 0 0 95.58
22 0 0 3.12 49.92
23 1.34 2.81 2.55 34.86
24 2.13 0.69 2.30 25.87
25 2.73 1.16 2.55 43.22
26 0 1.20 2.66 12.31
27 0.63 0.54 1.85 43.2
28 1.43 2.04 1.17 31.22
29 2.48 0.24 1.21 24.97
30 1.62 1.39 1.00 20.78
31 0.94 0.72 2.18 32.09
32 2.90 1.34 2.18 21.65
33 0.34 1.30 2.01 33.41
34 1.61 0.56 0.29 20.19
35 2.86 0.57 1.06 32.71
𝑡 = 42.85
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Tabel 4.2 Sebaran Nilai Pergeseran terhadap sumbu X, Y dan Z untuk registrasi
mutual information
Pasien Pergeseran terhadap sumbu (mm)
X (right-left) Y (superior-inferior) Z (anterior-posterior) t (s)
1 2.38 1.56 0.65 2.36
2 1.92 1.92 0.94 2.56
3 2.13 2.81 0.99 2.68
4 3.00 1.59 1.75 2.93
5 1.88 1.59 0.51 2.95
6 2.78 1.78 0.29 3.81
7 0.62 2.17 0.76 2.33
8 3.28 2.08 1.27 3.38
9 2.53 2.34 0.46 2.95
10 2.65 1.21 1.50 2.74
11 3.63 1.74 1.09 3.25
12 2.68 2.01 0.49 2.9
13 2.71 1.67 1.10 2.92
14 2.56 1.41 0.55 3.02
15 2.93 2.64 0.51 2.73
16 2.79 2.37 0.94 3.5
17 2.52 2.37 1.19 2.04
18 2.49 1.97 1.14 3.22
19 3.00 1.07 0.62 2.37
20 1.88 0 0 3.68
21 0 0.73 1.50 3.08
22 0.88 1.54 0.07 2.54
23 2.97 1.47 1.18 2.54
24 3.07 2.40 0.98 2.6
25 0.55 2.32 1.11 2.12
26 2.68 2.43 0.86 2.81
27 2.76 1.74 0.08 3.19
28 2.30 2.13 0.85 2.33
29 2.76 2.03 1.67 3.81
30 2.91 2.81 1.02 2.33
31 2.59 2.07 1.03 3.31
32 2.90 1.41 0.91 2.95
33 2.36 1.04 0 2.44
34 0 3.35 2.11 3.29
35 1.34 2.65 2.87 2.37
𝑡 = 2.85
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
IV.2 Impelementasi metode registrasi rigid transformations dan mutual
information terhadap sumbu X (right-left)
a b
a b
Gambar IV.1 Diagram perbandingan dan grafik boxplot (a) metode registrasi rigid
transformations dan (b) metode registrasi mutual information terhadap sumbu X
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Pada Grafik IV.1 terlihat pergeseran terhadap sumbu X pada 35 pasien
dengan metode rigid transformations didapatkan 2 pasien yang melebihi toleransi
3 mm, nilai rata-rata pergeseran pada sumbu X adalah (2,18±0,89 mm) dengan
pergeseran minimum 0,0 mm dan maksimum 3,3 mm. Untuk metode registrasi
mutual informations didapatkan 2 pasien yang melebihi toleransi 3 mm, nilai rata-
rata pergeseran pada sumbu X adalah (2,27 ± 0,8 mm) dengan pergseran minimum
0,0 mm dan maksimum 3,6 mm.
IV.3 Implementasi metode registrasi rigid transformations dan mutual
information terhadap sumbu Y (Supeior-Inferior)
a b
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
a b
Gambar IV.2 Diagram perbandingan dan grafik boxplot (a) metode registrasi rigid
transformations dan (b) metode registrasi mutual Information terhadap sumbu Y
Pada Grafik. IV.2 terlihat tabulasi pergeseran terhadap sumbu Y untuk 35
pasien. Pada metode registrasi rigid transformations tidak terdapat pasien yang
melebihi toleransi 3 mm, nilai rata-rata pergeseran adalah (1,18±0,59) mm dengan
pergeseran minimum 0,0 mm dan maksimum 2,8 mm. Di lain pihak, untuk
metode registrasi mutual information didapatkan 1 pasien yang melebihi toleransi
3 mm, nilai rata-rata pergeseran adalah (1,89±0,65) mm dengan pergeseran
minimum 0,0 mm dan maksimum 3,4.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
IV.4 Implementasi metode registrasi rigid transformations dan registrasi
mutual information terhadap ordinat Z (Anterior - Posterior)
a b
a b
Gambar IV.3 Diagram perbandingan dan grafik boxplot (a) metode registrasi rigid
transformations dan (b) metode registrasi mutual Information terhadap sumbu Z
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Pada Grafik IV.3 terlihat tabulasi pergeseran terhadap sumbu Z pada 35
pasien. Pada metode registrasi rigid transformations didapatkan 2 pasien yang
melebihi toleransi 3 mm, nilai rata-rata pergeseran adalah (2,08 ± 0,95 mm), data
minimum 0,0 mm dan maksimum 3,7 mm. Untuk metode registrasi mutual
information tidak terdapat pasien yang melebihi toleransi 3 mm, nilai rata-rata
pergeseran adalah (0,94 ± 0,59 mm), data minimum 0,0 mm, dan maksimum 2,9
mm.
IV.5 Hasil Analisis Statistik perbandingan Verifikasi Manual ,Metode Fusi
Semiotomatis, Metode Registrasi Rigid Transformations dan Metode
Registrasi Mutual Information
Tabel 4.3 Perbandingan verifikasi manual, metode fusi semiotomatis,
registrasi rigid trasformation dan registrasi mutual information terhadap
sumbu X
Metode
Verifikasi
Terhadap Sumbu X
Jumlah Verifikasi
tanpa koreksi
Verifikasi
dengan koreksi
Manual *[25]
33 2 35
Fusi Semiotomatis *[25]
32 3 35
Rigid Transformations 33 2 35
Mutual Information 33 2 35
Jumlah 131 9 140
Chi Square Hitung = 0,356
db = 3, Chi-Square Tabel = 7,814
Nilai Asymp.Sig = 0,94
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Gambar IV.4 Diagram perbandingan dari empat metode verifikasi terhadap sumbu X
Berdasarkan perbandingan Chi-Square Hitung dengan Chi-Square tabel,
dari hasil analisis diperoleh Chi-Square Hitung sebesar 0,356, sementara diketahui
nilai Chi-Square Tabel untuk 𝛼 = 5%, db = 3 sebesar 7,818. Karena Chi-Square
Hitung < Chi-Square Tabel maka Ho diterima. Dari hasil analisis diketahui nilai
signifikansi adalah 0,94 , dimana nilai tersebut lebih besar dari 𝛼 = 5%. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahawa untuk verifikasi manual, metode fusi,
registrasi rigid trasformations dan mutual information registrasi secara statistik
tidak ada perbedaan yang signifikan dari keempat meteode tersebut.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Tabel 4.4 Perbandingan verifikasi manual, metode fusi semiotomatis, registrasi rigid
trasformations dan registrasi mutual information terhadap sumbu Y
Metode
Verifikasi
Terhadap Sumbu Y
Jumlah Verifikasi
tanpa koreksi
Verifikasi
dengan koreksi
Manual *[25]
35 0 35
Fusi Semiotomatis *[25]
33 2 35
Rigid Transformation 35 0 35
Mutual Information 34 1 35
Jumlah 137 3 140
Chi Square Hitung = 3,747
db = 3, Chi-Square Tabel = 7,814
Nilai Asymp.Sig = 0,29
Gambar IV.5 Diagram perbandingan dari empat metode verifikasi terhadap sumbu Y
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Hal yang sama terjadi pada sumbu Y, hasil analisis menunjukkan bahwa
untuk verifikasi manual, metode fusi, registrasi rigid trasformations dan mutual
information registrasi tidak ada perbedaan signifikan secara statistik antara
keempat metode. Berdasarkan perbandingan Chi-Square Hitung dengan Chi-
Square tabel, dari hasil analisis diperoleh Chi-Square Hitung sebesar 3,747,
sementara diketahui nilai Chi-Square Tabel untuk 𝛼 = 5%, db = 3 sebesar 7,818.
Karena Chi-Square Hitung < Chi-Square Tabel maka Ho diterima. Dari hasil
analisis diketahui nilai signifikansi adalah 0,29 , dimana nilai tersebut lebih besar
dari 𝛼 = 5% dengan demikian Ho diterima.
Tabel 4.5 Perbandingan verifikasi manual, metode fusi semiotomatis, registrasi rigid
trasformation dan registrasi mutual information terhadap sumbu Z
Metode
Verifikasi
Terhadap Sumbu Z
Jumlah Verifikasi
tanpa koreksi
Verifikasi
dengan koreksi
Manual *[25]
34 1 35
Fusi Semiotomatis *[25]
34 1 35
Rigid Transformation 33 2 35
Mutual Information 35 0 35
Jumlah 136 4 140
Chi Square Hitung = 2,059
db = 3, Chi-Square Tabel = 7,814
Nilai Asymp.Sig = 0,56
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Gambar IV.6 Diagram perbandingan dari empat metode verifikasi terhadap sumbu Z.
Pada Tabel 4.5 menunjukkan hasil analisis bahwa untuk verifikasi
manual, metode fusi, registrasi rigid trasformations dan mutual information,
berdasarkan perbandingan Chi-Square Hitung dengan Chi-Square tabel, dari hasil
analisis diperoleh Chi-Square Hitung sebesar 2,059, sementara diketahui nilai
Chi-Square Tabel untuk 𝛼 = 5%, db = 3 sebesar 7,818. Karena Chi-Square Hitung
< Chi-Square Tabel maka Ho diterima. Dari hasil analisis diketahui nilai
signifikansi adalah 0,56 , dimana nilai tersebut lebih besar dari 𝛼 = 5% dengan
demikian Ho diterima.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
Hasil statistik pada penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan
signifikan antara metode manual, metode fusi, registrasi rigid trasformations dan
registrasi mutual information baik terhadap sumbu X, Y, maupun sumbu Z, dengan
toleransi pergeseran 3 mm. Namun secara deskriptif terdapat kecenderungan
metode registrasi secara otomatis menunjukkan koreksi verifikasi pada pasien
yang lebih banyak dibanding dengan metode manual dan semiotomatis.
Besarnya dosis yang diterima tergantung dari arah pergeseran. Jika arah
pergeseran makin mendekati organ beresiko maka dosis yang diterima juga
semakin besar, dan begitu sebaliknya.
IV.6 Running Time
Pengujian ini dilakukan untuk melihat kecepatan registrasi citra pada
kedua metode. Kecepatan registrasi citra menjadi standar yang harus dipenuhi
oleh sebuah sistem perencanaan radioterapi. Hasil registrasi menggunakan metode
mutual information memiliki waktu yang relatif singkat dalam proses registrasi
sedangkan untuk metode rigid transformations didapatkan waktu sedikit lebih
lama. Dari hasil analisis running time didapatkan waktu registrasi rata-rata untuk
metode mutual information yaitu (2,85±0.54) detik sedangkan waktu registrasi
rata-rata untuk metode rigid transformations yaitu (42,85±15,20) detik
IV.7 Uji Konsistensi Program
Uji konsistensi bertujuan untuk memastikan data keluaran tetap sama dan
benar dari program. Pengujian ini dilakukan pada salah satu dari data pasien dan
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
dilakukan sebanyak empat kali. Hasil uji konsistensi ditunjukkan Gambar IV.7 di
bawah ini.
Gambar IV.7: Grafik uji konsistensi pada sumbu x, y dan z
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
1 2 3 4
Nila
i Per
gese
ran
(m
m)
Metode Rigid Transformations
sumbu x
sumbu y
sumbu z
0
0.5
1
1.5
2
2.5
1 2 3 4
Nila
i Per
gese
ran
(mm
)
Metode Mutual Information
sumbu x
sumbu y
sumbu z
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan antara lain:
1. Telah dibuat sistem registrasi otomatis citra DRR terhadap citra EPID
2. Implementasi menggunakan sistem registrasi otomatis metode rigid
transformations didapatkan pergeseran rata-rata mm (2,18 ± 0,89 mm)
terhadap sumbu X , (1,18 ± 0,59 mm) terhadap sumbu Y dan (2,08 ±
0,9 mm) terhadap sumbu Z.
3. Implementasi menggunakan sistem registrasi otomatis metode mutual
information didapatkan pergeseran rata-rata mm (2,27 ± 0,8 mm) terhadap
sumbu X , (1,89 ± 0,65 mm) terhadap sumbu Y dan (0,94 ± 0,59 mm)
terhadap sumbu Z.
4. Berdasarkan hasil uji statistik verifikasi manual, fusi semiotomatis,
registrasi rigid transformations, dan mutual information tidak ada
perbedaan secara signifikan.
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
V.2 Saran
Saran untuk pengembangan selanjutnya:
1. Diharapkan ada penelitian untuk registrasi otomatis dengan menggunakan
perangkat keras tambahan Graphics Processing Unit (GPU) untuk
memaksimalkan kerja sistem
2. Untuk memberikan kemudahan dan memfasilitasi pengguna dalam
mengoperasikan sistem perlu dibuat antarmuka (interface)
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
DAFTAR PUSTAKA
1. Faiz M. Khan, The Physics of Radiation Therapy, Lippincott
Williams & Wilkins, 4th
edition. 2010
2. Booth JT, Zavgorodni SF, Set-up error & organ motion uncertainty: a
review.2011
3. Pedgorzak E.B., Radiation Oncology Physics: A Handbook for Teachers
and Students, IAEA, Vienna. 2005
4. Clinical Use of Electronic Portal Imaging : Report of AAPM Radiation
Therapy Committee Task Group 58. 2001
5. Osama Dorgham, High Speed 2D/3D Medical Image Registration. School
of Computing Sciences University of East Anglia.2008
6. , Characterization of a Varian aS1000 EPID Courtney Buckey
Diagnostic Imaging 2, Spring. 2010
7. Kristina D, Verifikasi Penyinaran IMRT Menggunakan Film Gafcromic.,
Fisika Medis FMIPA UI. 2011
8. P.Mayles, A.Nahum, and J.C. Rosenwald, Handbook of Radiotheraphy
Physics: theory and practice, Taylor&Francis Group, New York.2007
9. Peter Metcalfe, Tomas Kron, and Peter Hoban. The Pysics of
Radiotherapy X-Rays and Electrons. Medical Physics Publishing,
Madison, Wiconsin. 2007
10 Sutherland K, Ishikawa M, Bengua G, Ito YM, Miyamoto Y, Shirato H.
Detection of patient setup errors with a portal image - DRR registration
software application. J. Appl. Clin. Med. Phys.12(3):3492.2011
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
11 Yoon M, Cheong M, Kim J, Shin DH, Park SY, Lee SB. Accuracy of an
automatic patient-positioning system based on the correlation of two
edge images in radiotherapy. J Digit Imaging .24(2):322-30. Apr 2011
12 L.G. Brown, “A survey of image registration technique”. ACM Comput.
Surv., vol. 24.no 4, Dec. 1992
13. Mele S. Kalkulasi Dosis Paru Pada Perlakuan Radioterapi Booster untuk
Pasien Kanker Payudara Dengan Simulasi Monte Carlo.2012
14. Sharpe M, Brock KK. Quality assurance of serial 3D image registration,
fusion, and segmentation. Int J Radiat Oncol Biol Phys 2008.
15. Luis Ibanez, Will Schoeder, Lydia Ng. The ITK Software Guide Second
Edition Update for ITK version 2.4.2005
16. Erick Kurniawan , Membangun Aplikasi Mobile dengan Qt SDK. 2012
17. The Visualization Toolkit (VTK). http://www.vtk.org/.2013
18. Fisher and Stephen Laycock. Performance of a 2D-3D Image
Registration System using (Lossy) Compressed X-ray CT.2008
19. R. George& R. Mohan, Quantifying the effect of intrafraction motion
during breast IMRT planning and dose delivery. Medical Physics. 2003.
20. Ali Khamene, Peter Bloch, and WolfgangWein et.al. Automatic
registration of portal images and volumetric CT for patient positioning in
radiation therapy. Medical Image Analysis, 2006.
21. George K. Matsopoulos dkk, ESTERR-PRO: A Setup Verification
Software System Using Electronic Portal Imaging. International Journal
of Biomedical Imaging .2007
22. Maximilien Vermandel, Nacim Betrouni, Georges Palos, Jean-Yves
Gauvrit, Christian Vasseur, and Jean Rousseau. Registration, matching,
and data fusion in 2D/3D medical imaging: Application to dsa and mra.
Medical Image Computing and Computer-Assisted Intervention. 2003
Alfred Budiyono, Fisika Medis Unhas H211 09 270
23. ARIANTY D, Flatness dan Symmetry Berkas Foton 6 MV Pesawat
Akselerator Linier Medik. 2001
24. Ma Consuelo Bastida-Jumilla, DRR and Portal Image Registration for
Automatic Patient Positioning in Radiotherapy Treatment. Society for
Imaging Informatics in Medicine. 2011
25. SUSI NOFRIDIANITA, Verifikasi Akurasi Posisi Pasien IMRT Kanker
Nasofaring Dengan Registrasi Citra DRR/EPID. 2013
26. VARIAN Medical Systems. CLINAC linear accelerator
27 Matsumoto, Okumura, Asai, et al. Dosimetric Properties of an Amorphous
Silicon ElectricPortal Imaging Device. 2008
28 Menon, Sloboda. Quality Assurance Measurements of a‐ Si EPID
Performance. Medical Dosimetry. 2004
29 Trihendradi,Cornelius. Mudah Belajar Statistik dengan SPSS.Wahana
Komputer. 201
30 Usman, H. & R. Purnomo Setiady Akbar. Pengantar Statistika. Jakarta:
Bumi Aksara. 2000