18
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DI INDONESIA (Telaah Kurikulum Pondok Pesantren, Menuju Arah Baru Pendidikan Islam di Era Globalisasi) Ali Mu`tafi Penulis adalah Dosen UNSIQ Jawa Tengah, Mahasiswa Program Doktor UIN Kalijaga Yogyakarta Abstrak Pendidikan adalah sebuah proses, sekaligus sistem yang bermuara pada pencapaian kualitas manusia tertentu yang dianggap dan diyakini sebagian kualitas yang idaman (desirable quality). Manusia sebagai hamba yang berperadaban tinggi, sudah barang tentu harus menjaga nilai-nilai dan karakteristiknya sebagai makhluk yang paling tinggi (the high quality). Pada era sekarang ini, keterbukaan informasi dan gencarnya proses transformasi nilai-nilai pendidikan Islam, pondok pesantren yang notabene sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia sangat diharapkan sekali mampu membentengi gerak dan perkembangan yang menyebabkan problematika global semakin membengkak, suasana kehidupan yang kini bersaing, ditambah dengan pluralitas kehidupan yang semakin kompleks. Ini juga terasa menimbulkan kekhawatiran bukan saja dikalangan pendidik, pejabat, dan pemerhati kehidupan, akan tetapi juga dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari kelas bawah sampai kelas atas, dari kota sampai ke berbagai penjuru pelosok desa. Problem yang saat ini masih dirasakan oleh lembaga pendidikan pesantren khususnya pesantren yang masih tradisional adalah kenyataan yang berada di lapangan adanya sikap kepentingan individu yang meninggalkan orientasi tujuan pendidikan baik secara umum maupun secara khusus, maka perlu adanya reorientasi pada tujuan. Keberadaan kurikulum bukan hanya memuat mata pelajaran, tetapi juga berbagai segi yang terkait dengan proses belajar mengajar, dan pedoman penyelenggaraan pendidikan yang lain seperti penilaian, bimbingan, sampai administrasi kurikulum serta manajemen institusi pendidikan itu sendiri Kata Kunci: Rekonstruksi, Sistem Pendidikan, Pesantren, Tradisional A. Pendahuluan Perkembangan dan kemajuan masyarakat yang semakin cepat, menuntut setiap lembaga pendidikan untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntunan zaman yang diusung oleh globalisasi, karena globalisasi merupakan sebuah keniscayaan, mau tidak mau harus kita hadapi, atau kita terlindas terbawa oleh arus perkembangan zaman. Karena bergulirnya arus ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh perkembangan peradaban dan kebudayaan, terlepas itu karena sisi positif teknologi atau justru sisi negatif perkembangan nuansa kehidupan itu sendiri. Yang jelas setiap terjadi suatu perubahan pasti akan mempunyai side effect (dampak) bagi penghuni bumi, terlebih manusia. Oleh sebab itu, pesantren yang diharapkan banyak kalangan penuh dengan kedisiplinan, intelektual, berbudaya dan memiliki susila, diharapkan mampu memberikan solusi dan antisipasi terhadap perkembangan transformasi yang semakin terbuka ini. Pada kenyataan masih terdapat pesantren yang menutup diri dari perkembangan zaman. Pesantren tersebut hanya mempelajari masalah keagamaan an sich. Kurikulum yang digunakan masih bersifat tekstual mempelajari kitab-kitab terdahulu (kitab kuning),

REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

  • Upload
    dodiep

  • View
    238

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149

REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK

PESANTREN TRADISIONAL DI INDONESIA

(Telaah Kurikulum Pondok Pesantren, Menuju Arah Baru

Pendidikan Islam di Era Globalisasi)

Ali Mu`tafi Penulis adalah Dosen UNSIQ Jawa Tengah, Mahasiswa Program Doktor

UIN Kalijaga Yogyakarta

Abstrak

Pendidikan adalah sebuah proses, sekaligus sistem yang bermuara pada pencapaian

kualitas manusia tertentu yang dianggap dan diyakini sebagian kualitas yang idaman

(desirable quality). Manusia sebagai hamba yang berperadaban tinggi, sudah barang

tentu harus menjaga nilai-nilai dan karakteristiknya sebagai makhluk yang paling

tinggi (the high quality). Pada era sekarang ini, keterbukaan informasi dan

gencarnya proses transformasi nilai-nilai pendidikan Islam, pondok pesantren yang

notabene sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia sangat diharapkan sekali

mampu membentengi gerak dan perkembangan yang menyebabkan problematika

global semakin membengkak, suasana kehidupan yang kini bersaing, ditambah

dengan pluralitas kehidupan yang semakin kompleks. Ini juga terasa menimbulkan

kekhawatiran bukan saja dikalangan pendidik, pejabat, dan pemerhati kehidupan,

akan tetapi juga dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari kelas bawah

sampai kelas atas, dari kota sampai ke berbagai penjuru pelosok desa.

Problem yang saat ini masih dirasakan oleh lembaga pendidikan pesantren

khususnya pesantren yang masih tradisional adalah kenyataan yang berada di

lapangan adanya sikap kepentingan individu yang meninggalkan orientasi tujuan

pendidikan baik secara umum maupun secara khusus, maka perlu adanya reorientasi

pada tujuan. Keberadaan kurikulum bukan hanya memuat mata pelajaran, tetapi juga

berbagai segi yang terkait dengan proses belajar mengajar, dan pedoman

penyelenggaraan pendidikan yang lain seperti penilaian, bimbingan, sampai

administrasi kurikulum serta manajemen institusi pendidikan itu sendiri

Kata Kunci: Rekonstruksi, Sistem Pendidikan, Pesantren, Tradisional

A. Pendahuluan

Perkembangan dan kemajuan masyarakat yang semakin cepat, menuntut setiap

lembaga pendidikan untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntunan

zaman yang diusung oleh globalisasi, karena globalisasi merupakan sebuah keniscayaan,

mau tidak mau harus kita hadapi, atau kita terlindas terbawa oleh arus perkembangan

zaman. Karena bergulirnya arus ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh perkembangan

peradaban dan kebudayaan, terlepas itu karena sisi positif teknologi atau justru sisi negatif

perkembangan nuansa kehidupan itu sendiri. Yang jelas setiap terjadi suatu perubahan

pasti akan mempunyai side effect (dampak) bagi penghuni bumi, terlebih manusia. Oleh

sebab itu, pesantren yang diharapkan banyak kalangan penuh dengan kedisiplinan,

intelektual, berbudaya dan memiliki susila, diharapkan mampu memberikan solusi dan

antisipasi terhadap perkembangan transformasi yang semakin terbuka ini.

Pada kenyataan masih terdapat pesantren yang menutup diri dari perkembangan

zaman. Pesantren tersebut hanya mempelajari masalah keagamaan an sich. Kurikulum

yang digunakan masih bersifat tekstual mempelajari kitab-kitab terdahulu (kitab kuning),

Page 2: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

150 | ISSN: 2356-2447-XIII

nahwu sharaf, fiqh, tauhid, dan lain sebagainya. Ditambah lagi kepemimpinan pesantren

"kyai" yang masih bersifat keturunan, hanya sebuah kharisma yang diunggulkan, tetapi

dalam hal manajemen pengelolaan pesantren masih tradisional. Bahkan menutup diri

dengan perkembangan dari luar. Arah dan tujuan proses pembelajarannya masih bersifat

kognitif, hanya pada substansi materi, tidak ada pada ranah afektif dan psikomotorik.

Berangkat dari latar belakang di atas, penulis mencoba merekonstruksi sistem

pendidikan pesantren yang masih tradisional kaitannya dalam hal kurikulum yang

digunakan pada pesantren tradisional. Penulis mencoba untuk menemukan konsep

kurikulum lembaga pendidikan pesantren. Apalagi pada era globalisasi ini, pesantren

merupakan salah satu aset pendidikan nasional, yang diharapkan dapat mencetak peserta

didik (santri) untuk bisa menghadapi era globalisasi yang merupakan sebauh keniscayaan.

B. Pesantren Dalam Kontek Historis

Pondok pesantren merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, pondok dan

pesantren. Pondok dalam bahasa arab funduq yang berarti tempat singgah, sedangkan

pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang dalam pelaksanaan pembelajarannya

tidak dalam bentuk klasikal. Jadi pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam non

klasikal di mana peserta didik (santri) disediakan tempat singgah atau "pemondokan".

Kata santri berasal dari kata santri (manusia baik) dan tra (suka menolong). Sehingga

kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.1 Pendapat lain,

mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa jawa "cantrik", yang berarti seseorang

yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru pergi menetap. Pengertian terminologi

pesantren di atas mengindasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya

Indonesia. Dari sinilah Nurkholish Madjid berpendapat, secara historis pesantren tidak

hanya megandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia (indigenous).

Sebab memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada sejak pada masa

Hindu-Budha. Dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya. 2

Secara terminologis pondok pesantren berarti lembaga pendidikan agama Islam yang

di asuh oleh kyai yang memiliki kharismatik dengan menggunakan sistem asrama dan

dengan metode pembelajarannya berlangsung dalam bentuk wetonan, sorogan, dan,

hafalan, dengan masa belajar yang disesuaikan dengan banyaknnya kitab klasik yang

telah dipelajari oleh santri. Kalau kita lihat dari sistem pengajaran pesantren, memang

terdapat kemiripan dengan tata laksana pengajaran dalam ritual keagaman Hindu, di mana

terdapat penghormatan yang besar oleh santri kepada kyainya. Kyai duduk di atas kursi

yang dilapisi dengan bantal, dan para santri duduk bersila mengelilinginya. Dengan cara

begini timbul sikap hormat dan sopan oleh para santri terhadap kyai seraya dengan tenang

mendengarkan uraian-uraian yang disampaikan kyainya.3 sehingga peran kyai sangat

signifikan terhadap eksistesni sebuah pesantren.

1 A. Hamid, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan : Monografi, (Jakarta:

LEKNAS LIPI,, 1976), hal. 2. 2 Dawam Rahardjo, (ed), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, (Jakarta : P3M, 1985),

hal. 3. 3 Nurkholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta : Paramadina : 1997), hal.

22.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 3: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 151

Keberadaan sang kyai di lingkungan pesantren bak jantung bagi kehidupan manusia.

Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter disebabkan sang kyailah sebagai

perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan juga pemilik tunggal sebuah

pesantren. Sehingga banyak pesantren yang reputasinya turun, karena sang kyai tersebut

meninggal dan tidak ada penerus yang dapat menggantikannya.4 salah satu unsur yang

dominan dalam kehidupan sebuah pesantren, kyai mengatur irama perkembangan dan

kelangsungan kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, kharismatik,

dan ketrampilannya.5 Sehingga tidak jarang sebuah pesantren tanpa memiliki manajemen

pendidikan yang rapi dan teratur. Segala sesuatunya tergantung dari kebijakan kyainya.6

Sedangkan pada proses pembelajarannya ini berlangsung di masjid atau musholla,7

yang merupakan elemen kedua pada pondok pesantren. 8 Ada juga tempatnya langsung di

rumah sang kyai, untuk digunakan sebagai tempat aktivitas pembelajaran. Selain para

santri yang bermuqim di pondok, terdapat juga anak-anak dari masyarakat sekitar pondok

atau disebut dengan santi kalong, santri yang hanya mengikuti pengajian kepada kyai

setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Fakta diatas menunjukan bahwa

pesantren pada awal keberadaannya tidak bisa dilepas dari dukungan dan perhatian

masyarakat sekitar pondok. Sehingga perkembangan dan kemajuan pondok pesantren

tidak dapat dipisahkan dari perubahan kemajuan ekonomi masyarakat. Begitu juga

sebaliknya, perkembangan dan kemajuan ekonomi masyarakat, membawa pengaruh besar

terhadap perubahan dan kehidupan pondok pesantren.

C. Problematika Pesantren di Era Globalisasi

Seiring dengan pergeseran dalam tatanan masyarakat dari era industri menuju era

pasca industri, yang ditandai dengan meluasnya perkembangan informasi dan teknologi

yang sangat pesat. Hingga akhirnya hubungan antara manusia dari berbagai masyarakat di

dunia melampaui batas-batas rasional. Dengan di usung oleh globalisasi, seluruh tatanan

yang berada dalam masyarakat menjadikan tatanan global karena batas-batas wilayahnya

terekspos arus globalisasi. Apalagi era sekarang ini, di era respiritualisasi yang

menghadirkan a mint shift dalam masyarakat yang kini mengacu pada suatu transformasi

dan rekonsturksi. Terutama sekali dalam bidang pendidikan.9

4 Imam Badawi, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1993), hal. 90. 5 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hal.

49. 6 Mensikapi kondisi tersebut Mukti Ali pernah menyarankan agar dalam pesantren mesti ada suatu badan

atau yayasan yang bertugas antara lain : untuk mengurusi pendidikan dan pengajaran pondok pesantren dan

merencanakan serta melaksanakan manajemen pengembangan fisik dan keperluan pondok pesantren untuk menjamin kelangsungan dan peningkatan pondok pesantren. Lihat A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama

Dewasa Ini, (Jakarta : Rajawali Perss, 1981), hal. 23-24. 7 Masjid atau Musholla adalah sebagai pusat pendidikan Islam dalam tradisi pesantren yang merupakan

manifestasi universalisme dasar sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain berkesinambungan sistem

pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al-Quba didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi

Muhammad tetap terpancar dalam sistem pesantren. 8 Elemen-elemen pokok pesantren yang lain adalah : Kyai, santri, Masjid, Pondok, dan pengajaran kitab-

kitab Islam klasik. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Cet :

6, (Jakarta : LP3S, 1994), hal. 44. 9 Perkasa, Profesionalisme kurikulum Pasca Sarjana, PPs Universitas Sumatera Utara, Vol. II, No.4,

2001, hal. 6.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 4: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

152 | ISSN: 2356-2447-XIII

Di tengah perkembangan pendidikan yang semakin pesat, kebutuhan serta tuntutan

ilmu dan teknologi semakin meningkat. Tak terkecuali posisi pesantren yang sesuai

dengan fungsinya berada dalam posisi dilematis. Pertama pesantren tetap dalam posisi

ortodoksinya, yaitu menutup diri dari penngaruh luar yang dianggap akan mencemari

sebagai agen of moral force bagi masyarakatnya. Kedua pesantren di tuntut untuk selalu

mengikuti perkembangan zaman dan terbuka dari pengaruh luar. Hal ini akan berdampak

pada pergeseran nilai-nilai ortodoksi pesantren yang selama ini dijadikan landasan

kehidupannya.

Problem yang saat ini masih dirasakan oleh lembaga pendidikan pesantren khususnya

pesantren yang masih tradisional adalah kenyataan yang berada di lapangan adanya sikap

kepentingan individu yang meninggalkan orientasi tujuan pendidikan baik secara umum

maupun secara khusus, maka perlu adanya reorientasi pada tujuan. Keberadaan kurikulum

bukan hanya memuat mata pelajaran, tetapi juga berbagai segi yang terkait dengan proses

belajar mengajar dan pedoman penyelenggaraan pendidikan lain seperti penilaian, bim-

bingan, sampai administrasi kurikulum serta manajemen institusi pendidikan itu sendiri.

Faktor pertama yang menyebabkan kurangnya kemampuan pesantren dalam

mengikuti dan menguasai perkembangan zaman terletak pada lemahnya visi dan tujuan

yang di bawa dalam pendidikan pondok pesantren. Relatif sangat sedikit pesantren yang

mampu secara sadar merumuskan tujuan pendidikan serta menuangkannya dalam

tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Kondisi ini menurut Nurkholis Madjid lebih

disebabkan oleh adanya kecenderungan visi dan tujuan pesantren diserahkan pada proses

improvisasi yang dipilih sendiri oleh seorang kyai arau bersama-sama dengan para

pembantunya.10 Akibatnya hampir semua pesantren adalah merupakan hasil usaha

individual atau pribadi (individual enterprise), karena dari pancaran kepribadian

pendirinyalah dinamika pesantren itu akan terlihat.11

Bahkan Zamakhsyari Dhofier mensinyalir kebanyakan kyai yang berada di Jawa

beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di

mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and

authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren.12 Oleh sebab itu kebijakan serta

kewenangan berada pada kekuasaan otoritas kyai. Sehingga hampir tidak ada rumusan

secara tertulis tentang kurikulum, tujuan dan sasaran pendidikan pesantren, kecuali hanya

pada bergantung pada segala keputusan seorang kyai.

Sebenarnya dampak dari otoritas kyai mempunyai dampak yang negatif bagi

pesantren dan perkembangannya menuju arah yang lebih baik. Hal ini didasarkan dari

latar belakang seorang kyai yang juga mempunyai banyak keterbatasan dan kekurangan.

Salah satu keterbatasannya tercermin dalam kemampuan mengadakan responsi pada

perkembangan masyarakat. Misalkan contoh seorang kyai yang kebetulan tidak dapat

membaca dan menulis huruf latin, mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menolak

10 Yasmadi, Modernisasi Pesantren : Kritik Nurkholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional,

Cet : 1, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), hal. 72. 11 Nurkholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, hal. 6. 12 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet :6, (Jakarta :

LP3ES, 1994), hal. 73.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 5: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 153

atau menghambat dimasukkan pengetahuan baca tulis latin ke dalam kurikulum pesantren.

Atau seorang tokoh pesantren yang tidak mampu lagi mengikuti dan menguasai

perkembangan zaman mutakhir lebih cenderung untuk menolak mengubah pesantrennya

mengikuti perkembangan zaman.

Kecenderungan dalam kurikulum yang diberikan pesantren hanya dalam satu bidang

kajian keilmuwan seorang pemimpin pesantren. Tidak ada aspek dalam pengembangan

keilmuwan yang dipelajari di pesantren. Akibatnya tidak mengherankan bila pada

gilirannya pesantren hanya akan melahirkan produk (out put) pesantren yang dianggap

kurang siap dalam mewarnai kehidupan modern yang saat ini kita rasakan bersama.

Dalam segi kemampuannya pun sangat terbatas. Apalagi dalam proses pembelajarannya

telah mengabaikan aspek afektif, dan psikomotorik, yang berdampak negatif pada out put

pesantren itu sendiri. Lebih jauh Nurkholis Madjid mengemukakan sebagai berikut :

Pengajian adalah kegiatan penyampaian materi pengajaran oleh seorang kyai kepada para

santrinya. Tetapi dalam pengajian ini ternyata segi kognitifnya tidak diberi penekanannya.

Terbukti dengan tidak adanya sistem kontrol berupa test atau ujian terhadap penguasaan santri

pada bahan pelajaran yang diterimanya. Di sini para santri kurang diberi kesempatan

menyampaikan ide-idenya, apalagi untuk mengajukan kritik bila menemukan kekeliruan dalam

pelajaran, sehingga daya nalar dan kreatifitas berfikir mereka agak terlambat.13

Memang disadari bahwa pada pesantren ada pengawasan yang ketat. Tetapi itu hanya

menyangkut tata norma atau nilai, seperti perilaku peribadatan khusus dan morma-norma

muamalat tertentu. Sedangkan bimbingan dan norma belajar supaya cepat pintar dan cepat

selesai, boleh dikatakan hampir tidak ada. Jadi pendidikan pesantren itu titik tekannya

bukan pada aspek afektif dan psikomotorik, tetapi justru pada aspek kognitif an sich.

Bagaimana santri mau dan menyadari nilai-nilai ajaran Islam dan menginternalisasikan

pada dirinya, kemudian mau dan mampu mewujudkan dalam perilaku kehidupannya. 14

Tujuan pendidikan yang terasa masih kental akibat pengaruh dan sikap non-

kooperatif dengan kaum kolonial yaitu pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk

mempertahankan tradisi-tradisi Islam serta menyebarkannya. Sehingga berimplikasi pula

terlambatnya pesantren-pesantren mengadakan pembaharuan dan perubahan. Kemudian,

faktor yang menyebabkan lemahnya visi dan tujuan pendidikan pesantren adalah

penekanan yang terlalu berlebihan terhadap satu aspek disiplin keilmuwan tertentu.

Dengan kata lain telah terjadi penyempitan orientasi kurikulum dalam lingkungan

pendidikan pesantren tradisional.

D. Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren Tradisional

Usaha untuk mencari paradigma baru pendidikan tidak pernah berhenti sesuai dengan

perkembangan dan tuntunan zaman yang terus menerus berubah. Meskipun demikian

tidak berarti bahwa pemikiran mencari paradigma baru pendidikan itu bersikap reaktif dan

defensif. Upaya pencarian paradigma baru pendidikan itu harus mampu membuat konsep

yang mengandung nilai-nilai dasar strategis yang proaktif dan antisipatif, harus mampu

13 Nurkholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, hal. 23. 14 Muhammad Rofangi, Posisi Kyai dalam Pengembangan Tradisi Pesantren, (Jakarta: Pustaka Pelajar,

1998), hal. 174.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 6: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

154 | ISSN: 2356-2447-XIII

mempertahankan nilai-nilai dasar yang benar-benar diyakini untuk terus dipelihara serta

dikembangkan. Apalagi dalam kehidupan yang modern sekarang. 15

Sistem pendidikan pesantren yang jelas akan melahirkan pemikiran, karya intelektual

dan ketrampilan kreatif sebagai jawaban terhadap problem masyarakat serta mampu

memberikan arah perubahan yang berorientasi masa depan sehingga menghasilkan sebuah

format pendidikan pesantren yang diharapkan relevan dengan tuntutan era globalisasi.

Berikut ini ada beberapa alternatif yang penulis tawarkan kaitannya dengan rekonstruksi

pendidikan pesantren tradisional, telaah kurikulum pesantren menuju arah baru

pendidikan Islam di era globalisasi.

1. Reorientasi Visi, Misi Sistem Pendidikan Pesantren

Menurut Azzumardi Azra, perubahan bentuk dan isi pendidikan Islam Indonesia

tidak lepas dari tekanan dan tuntutan zaman. Lembaga pendidikan Islam harus memiliki

visi keislaman, kemoderenan, dan kemanusiaan agar compatible dengan perkembangan

zaman.16 Oleh sebab itu dalam rangka rekonstuksi pemikiran ke depan, pertama-tama

yang harus difahami bahwa pendidikan adalah suatu sistem, yaitu pendidikan yang terdiri

atas faktor-faktor yang berhubungan dan saling membantu satu sama lain.

Faktor-faktor yang berhubungan itu antara lain, peserta didik, pendidik, ide serta cita-

cita pendidikan, lingkungan dan alat-alat pendidikan. Sebagai sistem yang berada pada

pola kehidupan sosial budaya pendidikan mempunyai sifat terbuka, artinya pendidikan

sensitif terhadap tuntutan-tuntutan yang semakin meningkat dari lingkungannya dan

menyampaikan hasil transformasi kepada lingkungan. Perlu juga adanya diskusi dan

analisis secara mendalam dengan menelaah berbagai faktor serta rekonstruksi yang

sifatnya memberikan wawasan peningkatan kualitas pengetahuan dan pengalaman agama

Islam dikalangan peserta didik (baca : santri).

Dalam upaya penyesuaian sistem pendidikan nasional, pengembangan pendidikan

Islam ke depan menuntut adanya penegasan visi, misi, dan tujuan pendidikan pesantren itu

sendiri. Visi, misi dan tujuan itu ditempatkan sebagai pemandu dan pedoman, ke mana

arah pendidikan pesantren akan di bawa dalam konteks perubahan dan dinamika

masyarakat modern.17 visi pendidikan pesantren adalah terciptanya sistem pendidikan

Islam yang islami, populer, berorientasi pada peningkatan mutu, kualitas, dan kesatuan.

Aspek lain yang menjadi perhatian adalah karakter islami pada pendidikan pesantren

sebagai identitas utama yang tercermin dalam kurikulum, metodologi pembelajaran, dan

perilaku islami. Seluruh komponen pendidikan mulai dari pemimpin pesantren, tenaga

pengajar, iklim serta budaya pesantren, santri. Peluang untuk melakukan reorientasi dan

reposisi pendidikan pesantren saat ini begitu luas dan terbuka. Umat Islam diberi

kesempatan untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikannya dari predikat kelas dua

menjadi sejajar dengan pendidikan umum lainnya.

15 Manfred Ziemek, Pesantren Islamische Bildung Im Sozialen Wandel, Frankfut/M. (IKO), 1986, hal.

107-108. 16 Azzumardi Azra, Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran, Riau Pos, 28 Juli 2002. 17 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hal. 223.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 7: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 155

Dewasa ini, peradaban dunia secara keseluruhan berada dalam tatanan global yang

secara mendasar di topang oleh perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan

informasi. Semuanya ini membuat dunia semakin global dan sempit karena mudahnya di

jangkau.18 Apalagi berbicara mengenai soal pendidikan. Pendidikan adalah satu-satunya

jalan yang harus ditempuh oleh manusia secara keseluruhan dalam menghadapi era global.

Lebih khusus lagi pendidikan pesantren harus mempunyai visi yang baru. Keluaran

pesantren tidak hanya bisa ilmu keagamaan saja, tetapi keilmuwan modern yang saat ini

berkembang juga harus dikuasai santri. Karena bagaimana pun santri akan dihadapkan

pada perkembangan zaman yang selalu berubah. Oleh karenannya dunia pendidikan

pesantren harus membekali santrinya dan out put pesantren untuk selalu siap berkembang

(ready to delelopment), siap didik (ready to leraning), dan siap latih (ready to train).19

Globalisasi adalah hal yang tidak dapat dihindari dan memang untuk tidak perlu

dihindari. Persoalannya adalah bagaimana menampilkan visi pendidikan Islam khususnya

pesantren dalam kancah global tersebut. Agar pendidikan Islam dapat berperan dalam

masyarakat global. Oleh karenanya marilah kita mencermati dan merenungkan kembali

filsafat, teori, dan kurikulum pendidikan Islam sekarang. Karena variabel tersebut

merupakan substansi yang harus ada dalam kegiatan pendidikan, yang akan memberikan

arah dan model macam apa yang diinginkan oleh pendidikan itu sendiri.

Pendidikan juga harus didasarkan pada filsafat pendidikan. sehingga pelaksanaannya

dapat terarah dan sistematis. Filsafat pendidikan Islam antara lain akan mengungkapkan

persoalan tentang hakikat Tuhan, hakikat manusia, dan tujuan pendidikan. Sementara itu

teori pendidikan akan memberikan arahan bagaimana kewajiban manusia kepada Tuhan-

nya, apa tugas dan kewajiban serta tujuan hidup manusia, menentukan tujuan pendidikan,

konsep tentang pembawaan dan pengaruh lingkungan dalam pendidikan, kurikulum yang

menjadi standar dan cara mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan konsep yang

diputuskan. Metodologi mendidik dan mengajar, bagaimana penunjang proses belajar

mengajar, lingkungan dan iklim pendidikan yang cocok, model evaluasi, dan lain-lain.

Pada aspek kurikulum, sampai saat ini masih saja selalu dihadapkan pada kesulitan

untuk mengintegrasikan dua kutub paradigma keilmuwan dualistik. Pada satu sisi

berhadapan dengan subyek "sekuler", disatu sisi berhadapan dengan subyek "keagamaan".

Tetapi pada umumnya pendidikan Islam saat ini khususnya pendidikan di pesantren

banyak didominasi oleh subyek ”keagamaan”. Sementara pengkajian terhadap jenis-jenis

sains alam masih terasa amat kurang. Padahal kalau dilihat dengan terminologi filsafat

Islam, Tuhan menurunkan al-Qur`an ke dalam dua bentuk, al-Qur`an yang tertulis

(recorder qur`an), yaitu lembaran wahyu yang ditulis dalam mushaf al-Qur`an, dan al-

Qur`an yang terhampar (created qur`an), yaitu alam semesta, jagat raya, atau kosmologi.20

Kategori-kategori sains-sains di atas, apabila dibuat skema kira-kira sebagai berikut :

18 Akbar S. Ahmed, Islam in The of Postmodernity, an Article in Islam, Globalization, and

Postmodernity, (London : Routledge, 1994), hal. 1-2. 19 Ali Maksum, Luluk Tunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-

Modern : Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita. (Yogyakarta : IRCiSoD, 2004), hal. 279. 20 Sayyed Hossein Nasr, The EncounterMan and Nature : the Spiritual Crisis of Modern Man, London :

Unwin Paperbacks, 1968, hal. 95. Lihat Ali Maksum, Luluk Tunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal,

hal. 285.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 8: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

156 | ISSN: 2356-2447-XIII

Sain Ketuhanan

Sains Manusia Sains Kosmologi

Ketiga kutub tersebut merupakan satu kesatuan, dan dari padanya diharapkan dapat

diperoleh pengertian, penghayatan, dan pengalaman ke arah terbentuknya "intelektualisme

muslim", yakni pribadi utuh bisa menyatukan kutub tersebut.

Lembaga pendidikan Islam baik yang masih tradisional maupun yang sudah modern

perlu mengintegrasikan antara subyek-subyek keagamaan dengan subyek-subyek sekuler

dalam satu paket pembelajaran (kurikulum). Dengan terintegrasinya ketiga paradigma

ilmu tersebut, maka akan tercipta kualitas peserta didik (santri) yang mempunyai kekuatan

"3 H", yaitu Head (aspek kognitif dan kecerdasan otak), Heart (aspek afektif dan

kecerdasan emosi dan spiritual), dan Hand (aspek psikomotorik dan kecakapan teknis)

dapat diwujudkan.

Berangkat dari pola integratif yaitu menyatukan arti kehidupan akhirat dan dunia,

maka pendidikan umum pada hakikatnya adalah pendidikan agama juga, begitu juga

sebaliknya. Idealnya tidak terjadi persoalan ambivalensi dan dikotomik dalam orientasi

pendidikan Islam. A. M. Saefuddin mengajukan formula pemikiran kreatif untuk dapat

mengintegrasikan secara padu. Perpaduan itu harus terjadi proses pelarutan, dan bukan

sekedar proses pencampuran biasa. Perbedaan antara proses pelarutan dan proses

percampuran secara sederhana dapat dilihat sebagai berikut : 21

Proses Pelarutan Proses percampuran

Ket erangan :

A : Materi pendidikan agama

U : Materi pendidikan umum

X : Perpaduan A & U, berbeda secara substantif

maupun formatif dengan A maupun U

Y : Hasil percampuran antara A dan U

Secara substantif/formatif tidak ada perbedaan

Antara A & semula dengan A & U dalam Y

21 A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran : Landasan Islamisasi, (Bandung : Mizan, 1991), hal. 114.

A U

X

B A

Y

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 9: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 157

Kurikulum pendidikan Islam selanjutnya dapat disusun berdasarkan wawasan ilmu

pengetahuan yang telah terintegrasi tersebut. Hal ini akan membawa konsekwensi-

konsekwensi tertentu terhadap struktur, tujuan, pendekatan, materi, dan institusi

pendidikan yang dipersiapkan.

Dari pemaparan di atas bagaimana pendidikan Islam khususnya pesantren dapat

berperan dalam kancah kompetisi global tersebut? maka pendidikan Islam diharapkan

tampil dengan nuansa sebagai berikut:

a. Menampilkan Islam yang lebih ramah dan sejuk sekaligus menjadi pelipurlara

bagi kegerahan hidup manusia modern.

b. Islam yang toleran terhadap manusia secara keseluruhan agama apapun

dianutnya. Sebab Islam adalah agama rahmatan lil `alamin, mendatangkan

kebaikan dan kedamaian untuk semua.

c. Menampilkan visi Islam yang dinamis, kreatif, dan inovatif, sehingga bisa

membebaskan umat Islam dari belenggu-belenggu taqlid buta.

d. Menampilkan Islam yang mampu mengembangkan etos kerja, etos politik, etos

ekonomi, etos ilmu pengetahuan, dan etos pembangunan.

e. Menampilkan revavilitas Islam dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih

berorientasi "ke dalam" (inward oriented), yakni membangun kesalehan intrinsik

dan esotoris, dari pada intensifikasi " ke luar" (outward oriented) yang bersifat

ekstrinsik dan eksetoris, yakni kesalehan formalitas.

Dari serangkaian analisis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konstruks

pemikiran pendidikan Islam yang berwawasan masa depan perlu diarahkan pada

peningkatan daya jawabnya terhadap problem kehidupan kontemporer, dan tetap

berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran al-Qur`an dan as-Sunnah. Kepekaan menangkap

perkembangan kekinian menjadikan pendidikan Islam responsif terhadap kemajuan, Islam

tidak saja secara probability berproaktif menjawab tantangan modernitas, tetapi Islam

lahir memang untuk memberi arah dan nilai bagi perubahan-perubahan, bahkan di tuntut

tampil sebagai pioner bagi jalannya proses perubahan modernisasi. Sehinga lahir seperti

reformasi, modernisasi Islam, neo-modernisasi, post-modernisasi atau reaktualisasi

pemikiran Islam. Sementara dengan tetap berpegang teguh kepada sumber otentik Islam

tersebut, maka pendidikan Islam akan mempunyai ruh dan kekuatan moral dalam

menghadapi setiap perubahan yang ditimbulkan oleh arus globalisasi. Dengan demikian

out put pendidikan Islam khususnya di kalangan pesantren akan peka terhadap perubahan

dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran agama.

2. Rekonstruksi Kurikulum Pendidikan Pesantren

Salah satu aspek dalam merekonstruksi pendidikan pesantren tradisional adalah

mengenai kurikulum. Kurikulum pesantren tradisional yang diwakili oleh kitab kuning,

hanya lebih menekankan pada bidang fiqh, teologi, tasawuf, dan bahasa. Fiqh ini pun

hanya sebatas pada satu mazhab yang kebanyakan di Indonesia adalah madzhab Syafi`i

dan tidak memberikan ruang pada mazhab yang lain. Penunggalan kajian fiqh misalnya,

hanya menganut salah satu mazhab yang berakibat membelenggu kreativitas berfikir dan

membuat sempitnya pemahaman atas elastisitas hukum Islam.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 10: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

158 | ISSN: 2356-2447-XIII

Kemudian dalam teologi yang dikembangkan pesantren pada umumnya berkutat

pada aliran asy`ariyah. Dibanndingkan dengan aliran mu`tazilah yang kurang tampak

mendapatkan porsi nalar secara maksimal. Kajian sufisme menjadi sebuah identitas

tersendiri bagi dunia pesantren. Dengan konsep sufisme al-Ghozali sebagai sentralnya.

Praktek-praktek sufisme ini terlihat dalam aneka perilaku dan ibadah rutinitas formal. 22

Selain itu juga fanatisme dalam bermazhab dan pada ajaran-ajaran sufisme dalam

menimbulkan semangat mencapai kebahagiaan "duniawi" kuramh diperhatikan. Sehingga

konsekwensinya perekonomian dalam dunia pesantren menjadi "tidak menentu".

Kajian kebahasaan dalam kurikulumnya hanya dalam aspek kognitif. Sementara

aspek afektif, psikomotorik kurang diperhatikan. Kecerdasan pada dunia nahwu sharaf

tidak dapat dinamifestasikan dalam praktek sosial yang efektif. Hal itu disebabkan

penekanannya ditujukan semata-mata pada hafalan (tahfidz) an sich, dan tidak ada usaha

bagaimana menerapkan kemampuan itu dalam struktur verbal kongkret. Begitu juga

dengan pembelajaran al-Qur`an yang hanya bertujuan untuk dihafal tanpa adanya suatu

usaha untuk mendalami kandungannya.

Keadaan kurikulum yang demikian terutama dalam fiqh, teologi, dan tasawuf, dapat

memberikan sebuah konsekwensi pada eksklusivisme pondok pesantren dari pemikiran

lain. Apalagi konsekwensi yang paling besar adalah adanya pembenaran pemahaman

dirinya sendiri, sehingga menyalahkan pendapat orang lain yang berbeda. Bahkan ajaran

Islam hanya dipahami senagai ajaran yang menyangkut fiqh, teologi dan tasawufnya.

Implikasi dari eksklusivisme ini terwujud dalam tiadanya budaya kritis, analitis, dan

reflektif, dalam tradisi pesantren. Usaha untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi

"kebenaran-kebenaran" yang mengakar di dunia pesantren menjadi tabu. Akibatnya tidak

ada kajian analisis atau meninjau ulang pola pikir ijtihad ulama dahulu ketika berhadapan

dengan perkembangan kontemporer.

Di sisi lain pesantren yang merasa "anti" terhadap kajian ilmu filsafat, disebabkan

karena tampak dikhawatirkan akan mendestruksi pemahaman-pemahaman yang selama ini

dianutnya. Hingga akhirnya sistem pendidikan pesantren tradisional hanya berfungsi

sebagai penerima (receivers) pemikiran Islam klasik secara apa adanya (taken for

granded).

Dari permasalahan di atas kaitannya dengan kurikulum yang ada pada pesantren

tradisional, menurut pengamatan penulis sangat tidak mungkin untuk bisa diterapkan

dalam kancah kehidupan global saat ini. Harus adanya perbaikan untuk merekonstruksi

ulang kajian terhadap kurikulum yang selama ini membuat pesantren kecenderungannya

menjadikan umat Islam jumud (stagnan) dalam pemikiran keislamannya. Kita harus

mengingat kejayaan umat Islam di masa lalu yang dapat memberikan kontribution of

knowledge dalam keilmuwan di dunia.

4. Dari Tradisi Menuju Transformasi Keilmuwan Pesantren

Upaya dalam mengembangkan tradisi keilmuwan di pesantren terus saja dilakukan.

Sejumlah upaya semisal perubahan dan penyesuaian kurikulum pesantren terus mulai

22 Sa`id Aqil Siradj et al, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren,

(Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), hal. 212.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 11: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 159

dilakukan. Pembenahan internal pesantren dengan melakukan perbaikan infrastruktur dan

program-program pengembangan intelektual pun mulai dilakukan. 23

Tradisi keilmuwan pesantren yang berpijak pada kajian kitab kuning merupakan

suatu keunikan sekaligus keistimewaan pesantren. Kitab kuning yang konon menjadi

penyebab kebekuan umat Islam hendaknya tidak mengerdilkan nyali pesantren untuk terus

berperan dalam transformasi keilmuwan. Seharusnya, tradisi tersebut cukup melimpah

menjadikan kualitas akademik pesantren bisa terus dikembangkan. Upaya semisal

kontekstualisasi (tasyriq) kitab kuning dengan membenturkan realitas kekinian.

Sebagaimana dikalangan sejumlah alumni pesantren telah berhasil menyemarakkan

gelombang intelektual yang relatif massif. Hanya dengan cara demikian, kekayaan

tradisional dapat terus digelorakan dan dibunyikan dalam lingkungan budaya yang jauh

berbeda dengan masa lalu.

Hemat penulis, disinilah peran pesantren sesungguhnya untuk merawat akar

tradisinya sekaligus pada saat yang sama mengkontekstualisasikan dalam situasi kekinian.

Sebagimana kaidah yang harus di pegang: al-mukhafazah ala al-qadim ash shalih wa al-

akhdz bi al-jadid al-ashlah (membina budaya-budaya klasik yang baik dan terus menggali

budaya-budaya yang baru yang lebih konstruktif). Kaidah ini merupakan legalitas yang

kuat atas segala upaya rekonstruksi. Kebebasan membentuk model pesantren merupakan

keniscayaan, asal tidak lepas dari bingkai al-ashlah (lebih baik). Ketika dunia pesantren

diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekwensi dari kemajuan dunia modern,

maka aspek al-ashlah menjadi kata kunci yang harus dipegang. Pesantren modern berarti

pesantren yang selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntutan zaman, berwawasan masa

depan, selalu mengutamakan prinsip efektifitas, efisiensi, dan sejenisnya. 24

Untuk melakukan transformasi pendidikan pesantren, akar tradisi hendaknya terus

dikelola sedemikian rupa sembari pada saat yang sama dibenahi secara bertahap.

Sebagaimana diketahui, desakan akan transformasi keilmuwan pesantren tidak melulu

atas desakan internal, akan tetapi juga desakan eksternal pun juga akan dapat

mempengaruhinya. Namun demikian proses transformasi pesantren tidak serta merta

secara radikal diubah, melainkan dilakukan dengan secara bertahap. Karena sebagaimana

yang dikatakan seorang penyair Islam terkenal Sahal Mahfudh, jika kita bertindak secara

radikal dalam perubahan pesantren, maka akan menghilangkan dinamika positif itu

sendiri.25 Tentu saja kita bisa melakukan peubahan dan penyesuaian sehingga pesantren

tidak asing lagi bagi masyarakat sat ini. Meminjam prinsip-prinsip manajerial, perubahan

itu dipolakan dengan mengikuti prinsip SMART: Spesifikasi (tertentu), Measurable,

(terukukur), Aktivities (sarat aktivitas), Realistic (realitis), dan Time Schedule (terencana

dalam ukuran waktu). Artinya dalam proses perubahan harus diperhatikan adalah adanya

target tertentu yang terukur dan sesuai dengan kemampuan pelaku perubahan, disamping

aktifitas-aktifitas kongkrit yang direncanakan secermat mungkin dan itu mungkin untuk

dilakukan.

23 Amin Haedari, Masa Depan Pesantren: dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas

Global, (Jakarta : IRD Press, 2004), hal. 173. 24 Sa`id Aqil Siradj et al, Pesantren, hal. 217.

25 Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna, (Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999), hal. 39.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 12: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

160 | ISSN: 2356-2447-XIII

Dengan upaya semacam ini, perubahan dan pembenahan, termasuk dalam

pembenahan kualitas keilmuwan pesantren dapat diupayakan secara maksimal. Hingga

akhirnya pesantren dapat menembus terobosan-terobosan baru terkait dengan era

globalisasi ini, perlu adanya perbaikan kurikulum terpadu, gradual, dan bersifat buttom up

(tidak top down), kurikulum yang bersifat dinamis, adaptif, kreatif, inovatif, responsif

untuk dapat menumbuhkan minat (potensi) peserta didik (santri). Artinya penyusunan

kurikulum tidak lagi didasarkan pada konsep plain for student but plain by student.

3. Kurikulum Pesantren yang Ideal

Pesantren adalah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.

Dalam era gloal ini, pesantren tradisional harus dapat melakukan pembaharuan,

khususnya aspek kurikulum dan metode pembelajarannya yang ada di pesantren. Karena

fungsi kurikulum pada dasarnya adalah menyediakan program pendidikan. Menurut

Robert S. Zaus, fungsi kurikulum adalah "shaping the individual selves, determining what

men become". Oleh karenanya kurikulum harus bersifat anticipatory, dapat meramal

kejadian di masa depan. Bagaimana dan akan menjadi apa seorang peserta didik

direncanakan dalam kurikulum. Karena masa kini juga harus berorientasi ke masa depan

agar relevan dengan perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat. Pesantren di

tuntut melakukan kontekstualisasi, progresif tanpa harus mengorbankan watak aslinya.

Pengembangan kurikulum di pesantren, paling tidak ada tiga hal yang harus

dilakukan oleh lembaga pendidikan pesantren sebagai langkah bijak dalam menghadapi

era globalisasi dan informasi sekarang ini. Yaitu :

a. Pesantren harus tetap sebagai lembaga pengkaderan ulama, tetapi ulama yang

piawai di bidang keilmuwan Islam dan memiliki kemampuan di bidang ilmu

pengetahuan umum dan teknologi.

b. pesantren tetap sebagai lembaga khusus dalam pengkajian keislaman. Pesantren

perlu membakukan kurikulum keislaman ini dengan mengikuti kurikulum

negara-negara Timur Tengah dengan metodologi modern.

c. pesantren harus menerapkan kurikulum ilmu pengetahuan umum serta

ketrampilan di bidang teknologi sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. 26

Sejalan dengan alternatif di atas, pendidikan pesantren agar tetap berada dalam peran

agama sebagai fungsi sublimatif (mensucikan) dan fungsi integratif (memberi keutuhan),

sehingga pendidikan pesantren perlu berorientasi kepada kebutuhan hidup beragama,

mewujudkan konsep rahmatan lil`alamin serta berorientasi nilai Islam dari subjektif-

normatif ke nilai objektif empiris dan berorientasi keterpaduan wawasan agama dengan

ilmu. (pengokohan imtaq dan penguasaan Iptek). 27 meminjam bahasa yang digunakan

oleh Nurkholis Madjid adalah menciptakan suatu sistem pendidikan yang memiliki

keterpaduan antara unsur keislaman, keindonesiaan, dan keilmuwan. Sehingga menjadi

centre of excellent di rantau Asia Tenggara. Dalam upaya pengembangan ini dapat

26 Syarnubi Som, Diskriminasi Institusi Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam

Concienci, Vol. II No. 1, Program PPs Raden fatah Palembang, 2002, hal. 68. 27 Achmadi, Reformasi Pendidikan Agama Islam dalam Era Reformasi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

2000), hal. 154-161.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 13: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 161

direalisasikan dalam bentuk peningkatan dan pengembangan sekolah, kursus-kursus,

kejuruan di lingkungan pesantren. Dalam pencapaian hasilnya dapat meraih tiga aspek

sekaligus kognitif, afektif, dan psikomotorik. Atau dengan kata lain intelektualitas,

moralitas, dan profesionalitas.

Sehingga apabila konsep kurikulum pembaharuan dalam pesantren tersebut dapat

diaplikasikan, maka pendidikan pesantren dapat eksis dalam kancah global. Santri siap

selalu menghadapi era global. Bahkan mungkin bisa menjadi pelopor dalam kancah

globalisasi ini.

E. Modernisasi Pendidikan Pesantren

Pesantren di Indonesia pada perkembangannya mengalami kemajuan yang pesat.

Modernisasi paling awal dari sistem pendidikan di Indonesia, harus diakui, tidak

bersumber dari kalangan kaum muslim sendiri. Sistem pendidikan modern pertama kali

yang ada pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam, justru diperkenalkan

oleh kolonial Belanda. Ini bermula dengan perluasan kesempatan bagi pribumi dalam

paruh kedua abad ke-19 untuk mendapatkan pendidikan. Pemerintah Belanda dengan

mendirikan volkschoolen, sekolah rakyat (SR), atau sekolah desa (nagari) dengan masa

belajar 3 tahun, dibeberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun

1871, terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang, dan

menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 siswa. 28

Tetapi dalam perkembangannya sekolah desa yang didirikan pemerintah Belanda

sangat mengecewakan. Banyak sekolah yang tidak mencapai tujuan yang dicita-citakan

dengan banyaknya angka putus sekolah dan mutu pelajaran yang amat rendah. Di sisi lain

banyak kalangan pribumi khususnya daerah jawa mengalami resistensi yang kuat terhadap

sekolah-sekolah tersebut. Di balik itu semua terdapat tujuan untuk "memBelandakan"

anak-anak mereka (Jawa). Tetapi berbeda dengan respon yang baik terhadap sekolah desa.

Antara lain muncul di daerah Minangkabau, dengan indikasi banyak bermunculan surau-

surau yang merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam kemudian ditransformasikan

secara formal menjadi sekolah-sekolah nagari. Dengan merancang kurikulum sendiri

tanpa ada campur tangan dari pemerintah Belanda. Sehingga mendorong Belanda untuk

melakukan standarisasi kurikulum, metode pembelajaran, dan lain-lain.

Pendidikan Islam yang berkembang di daerah Minangkabau, selain mendapatkan

tantangan dari pendidikan Belanda, pendidikan tradisional Islam juga harus berhadapan

dengan pendidikan modern Islam. Dalam konteks pesantren, tantangan pertama datang

dari sistem pendidikan Belanda, sebagaimana yang dikemukakan di atas. Sebagaimana

yang pernah diungkapkan oleh Sutan Takdir Ali Sjahbana, bahwa sistem pendidikan

pesantren harus ditinggalkan atau setidaknya, ditransformasikan sehingga mampu

mengantarkan kaum muslim ke gerbang rasionalitas dan kemajuan. Jika pesantren tetap

dipertahankan, menurut Takdir, bisa mempertahankan keterbelakangan dan kejumudan

kaum muslim. Tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa pesantren tetap bertahan dalam

kesendiriannya.

28 Nurkholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren.., hal. xii.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 14: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

162 | ISSN: 2356-2447-XIII

Tantangan berikutnya yang semakin lebih merangsang pesantren adalah dengan

datangnya kaum reformis muslim yang menemukan momentumnya. Sejak awal abad 20

berpendapat bahwa untuk menjawab tantangan kolonialisme dan kristen diperlukan

reformasi pendidikan Islam. Dalam konteks inilah kita menyaksikan munculnya dua

bentuk kelembagaan pendidikan modern Islam. Pertama sekolah-sekolah umum model

Belanda tetapi di beri muatan pelajaran agama Islam. Kedua madrasah-madrasah modern

yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda.

Misalnya sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1909.

sedangkan pada model bentuk kedua, kita menemukan "sekolah diniyah" Zainuddin

Labay al-Yunusi, atau Sumatera Thawalib, atau madrasah yang didirikan al-Jami`atul al-

Khairiyah, dan juga madrasah yang didirikan organisasi al-Irsyad, organisasi

Muhammadiyah, NU dan lain-lain.

Kemudian bagaimanakah respon dari pendidikan tradisional pesantren Islam, seperti

surau yang ada di Minangkabau, dan pesantren yang ada di Jawa terhadap kemunculan

dan ekspansi sistem pendidikan modern Islam ini ? Karel Steenbrink dalam konteks surau

tradisional menyebutkan sebagai "menolak sambil mengikuti". Sedangkan dalam konteks

pesantren menyebutkan "menolak dan mencontoh". Dalam pandangan surau di

Minagkabau memandang terhadap kaum reformis adalah sebagai ancaman langsung

terhadap eksistensi dan kelangsungan surau. Untuk itu, dalam pandangan mereka, surau

harus mengadopsi pula beberapa unsur pendidikan modern yang telah ditetapkan kaum

reformis khususnya sistem klasikal dan perjenjangan. Perlu dicatat bahwa adopsi yang

dilakukan tanpa mengubah secara signifikan isi pendidikan surau itu sendiri.

Respon yang hampir sama juga dirasakan oleh pesantren di Jawa. Seperti kalangan

surau Minangkabau, komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan

kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama mereka juga mengikuti jejak langkah kaum

reformis untuk tetap bisa bertahan. Oleh karena itulah pesantren melakukan sejumlah

akomodasi dan "penyesuaian" yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung

kontiunitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi santri seperti sistem

perjenjangan, kurikulum, dan sistem klasikal yang diterapkan dalam pendidikan di

pesantren.

Pesantren yang pertama kali mengambil paling terdepan dan merambah bentuk

respon pesantren terhadap ekspansi pendidikan Belanda dan pendidikan modern Islam

adalah pesantren Mambaul Ulum yang terdapat di Surakarta. Pesantren yang didirikan

pada tahun 1906 oleh Pakubuwono ini merupakan perintis bagi penerimaan beberapa mata

pelajaran umum dalam pendidikan pesantren. Pesantren tersebut telah memasukkan mata

pelajaran membaca (tulisan latin), aljabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya. Rintisan

ini kemudian diikuti beberapa pesantren lainnya. Seperti pesantren Tebuireng misalnya

pada tahun 1916 mendirikan sebuah "madrasah salafiyah" yang tidak hanya mengadopsi

sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukkan beberapa mata pelajaran umum,

seperti berhitung, bahasa melayu, ilmu bumi, dan menulis dengan huruf latin ke dalam

kurikulumnya. Begitu juga dengan pesantren Rejoso di Jombang, yang mendirikan

madrasah pada tahun 1927, madrasah ini juga memperkenalkan mata pelajaran non

keagamaan dalam kurikulumnya.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 15: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 163

Respon yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam

pengalaman pondok modern Gontor. Pondok yang berdiri pada tahun 1926, pondok ini

selain memasukkan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga

mendorong para santrinya untuk mempelajari bahasa Inggris dan bahasa Arab. Selain itu

juga banyak kegiatan ekstrakulikuler seperti olahraga dan kesenian.

Deskripsi singkat di atas sedikit banyak menjelaskan bagaimana respon pesantren

dalam menghadapi berbagai perubahan di sekelilingnya. Dalam menghadapi smua

perubahan dan tantangan itu, para eksponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa

mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan pesantren yang

lebih modern. Tetapi sebaliknya lebih cenderung mempertahankan kebijaksanaan hati-hati

(cautious policy), artinya mereka menerima pembaharuan atau lebih dikenal dengan

modernisasi pendidikan Islam hanya dalam skala yang sangat terbatas, sebatas mampu

menjamin pesantren tetap bisa survive.

Namun penting dikemukakan, bahwa disisi lain, jumlah santri dipesantren-pesantren

besar terus mengalami pertambahan yang konstan. Pesantren-pesantren besar ini semakin

banyak menarik santri. Tidak hanya dari sekitar wilayah mereka, tetapi juga dari luar

Jawa. Termasuk diantara pesantren yang yang mengalami perkembangan semacam ini

adalah pesantren Tebuireng, pesantren Lirboyo, pesantren Tambakberas, pesantren al-

Asy`ariyyah Wonosobo, dan pondok pesantren modern Gontor. Sebagai bahan

perbandingan bahwa tercatat dalam departemen agama pada tahun 1955, terdapat 30.365

pesantren, dengan santri sejumlah 1.392.159 orang. Untuk tahun 1970, jumlah pesantren

sekitar 32.000 buah dengan sekitar 2 juta santri. Angka-angka ini menunjukkan bahwa

pendidikan pesantren mengalami ekspansi, meski berada di bawah sistem dan

kelembagaan pendidikan lainnya.

Setidaknya terdapat dua cara bagaimana pesantren bisa survive dalam

perkembangannya, pertama dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan

ketrampilan umum, kedua membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya

bagi kepentingan pendidikan umum. Banyak pesantren yang berbasis modern mendirikan

lembaga-lembaga seperti madrasah, sekolah umum, bahkan sampai membuka perguruan

tinggi dalam sebuah yayasan pesantren.

Perkembangan zaman semakin jauh, menuntut pula perkembangan pesantren lebih

terkondisikan menyesuaikan perubahan zaman. Dengan demikian pesantren diharapkan

tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisionalnya, tetapi juga dapat menjawab

tantangan sebuah zaman apalagi sekarang di era globalisasi yang sangat membutuhkan

orang-orang bukan hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga menguasai perkembangan

ilmu dan teknologi. Kurikulum yang harus dikembangkan di sebuah lembaga pesantren

tidak mengkaji ilmu keagamaan an sich, tetapi juga kurikulum yang memuat pesoalan

yang dihadapi umat dewasa ini. Realitas sosial kita saat ini tidak dapat dihindari. Kecuali

mempersiapkan peserta didik khususnya para santri yang terdapat di pesantren untuk bisa

menguasai perkembangan Iptek dengan didasari keagamaan yang sangat kuat.

Selain itu, pembaharuan (Tajdid) pesantren juga diarahkan untuk fungsioanalisasi

atau tepatnya refungsionalisasi pesantren sebagai salah satu pusat penting bagi

pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukannya yang

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 16: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

164 | ISSN: 2356-2447-XIII

khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada

masyarakat itu sendiri (people centered development) dan sekaligus sebagai pusat

pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nikai (value oriented development).

Dalam kaitannya gagasan itulah pesantren diharapkan tidak lagi sekedar memainkan

fungsi-fungsi tradisional, tetapi juga misalnya menjadi pusat penyuluhan kesehatan,

pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha

penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, dan lebih penting lagi menjadi pusat

pemberdayaan ekonomi masyarakat disekitarnya.

Dapat disimpulkan bahwa respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam

dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia

sejak awal abad pertama mencakup : pertama pembaharuan substansi atau isi pendidikan

pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan vocational, kedua pembaruan

metodologi, seperti sistem klasikal, perjenjangan, ketiga, pembaharuan kelembagaan

seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan, dan keempat

pembaharuan fungsi, dari semula hanya fungsi kependidikan, dikembangkan sehingga

mencakup fungsi-fungsi ekonomi.

F. Kesimpulan

Pendidikan Islam pesantren tradisional harus dan di tuntut melakukan transformasi

ke arah posisi dan peran yang lebih progresif dan dinamis. Pesantren sebagai lembaga

pendidikan Islam yang tertua agar tetap diakui eksistensinya perlu adanya melakukan

pembaharuan-pembaharuan terutama dalam aspek tentang kurikulum pembelajaran dan

aspek metodologi pengajaran yang selama ini dinilai masih bersifat tradisionalis dan

kurang mampu menjawab tantangan zaman di era globalisasi ini.

Tantangan besar bagi pesantren dalam mewujudkan sistem dan dasar secara filosofis,

bagaimana agar pengajaran yang ada di lembaga pesantren mampu teraktualisasi dalam

tataran teoritik dan empirik, sehingga proses pembelajaran pesantren akan terus bersifat

dinamis, kreatif, inovatif, dalam menjawab tantangan zaman yang semakin kosmopolit.

Sebagai langkah bijak dalam menghadapi era globalisasi ini, perlu adanya

rekontruksi pesantren yang harus mengarah pada 3 hal diantaranya : pertama, Pesantren

harus tetap sebagai lembaga pengkaderan ulama, tetapi ulama yang piawai di bidang

keilmuwan Islam dan memiliki kemampuan di bidang ilmu pengetahuan umum dan

teknologi. Kedua, pesantren tetap sebagai lembaga khusus dalam pengkajian keislaman.

Pesantren perlu membakukan kurikulum keislaman ini dengan mengikuti kurikulum

negara-negara Timur Tengah dengan metodologi modern. Ketiga, pesantren harus

menerapkan kurikulum ilmu pengetahuan umum serta ketrampilan di bidang teknologi

sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Perlu diperhatikan juga masalah : pertama,

orientasi keilmuwan perlu diperhatikan, kedua kurikulum pesantren dapat dikembangkan

dengan model tematis (maudhu`i), ketiga, kajian kitab kuning perlu adanya apresiasi agar

dapat mampu dikembangkan dengan bahasa kekinian, keempat, metodologi

pengajarannya tidak sebatas kognitif, tetapi juga aspek afektif, psikomotorik perlu

diperhatikan.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 17: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 165

Daftar Pustaka

A. Hamid, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan :

Monografi, LEKNAS LIPI, Jakarta : 1976.

Achmadi, Reformasi Pendidikan Agama Islam dalam Era reformasi (Telaah filsafat

pendidikan dalam Pendidikan Islam) : Demokratisasi dan Masyarakat Madani,

Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.

Ahmed, Akbar S. Islam in The of Postmodernity, an Article in Islam, Globalization,

and Postmodernity, London : Routledge, 1994.

Ali, A. Mukti.Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta : Rajawali Perss, 1981.

al-Nahlawi, Abdurrahman. Ushul al-Tarbiyah wa Asalibuha fi al-Bayt wa-al

Madrasah wa-al Mujtama, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979.

Azra, Azzumardi. Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran, Riau Pos, 28 Juli

2002.

Badawi, Imam. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya : al-Ikhlas, 1993.

Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, Edisi III, Yogyakarta : Rakesarasin,

1990.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet

:6, Jakarta : LP3ES, 1994.

Haedari, Amin. Masa Depan Pesantren : dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan

Kompleksitas Global, Jakarta : IRD Press, 2004.

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 1996.

Hossein Nasr, Sayyed. The EncounterMan and Nature : the Spiritual Crisis of

Modern Man, London : Unwin Paperbacks, 1968.

Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Cet :

2, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1997.

Kafrawi, Perubahan Sistem Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi

Kerja dan Pembinaan Persatuan Bangsa. Jakarta : Cemara Indah, 1978.

Madjid, Nurkholish. Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta :

Paramadina : 1997.

Mahfudh, Sahal. Pesantren Mencari Makna, Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999.

Maksum, Ali dan Luluk Tunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era

Modern dan Post-Modern : Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita.

Yogyakarta : IRCiSoD, 2004.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994.

Nasution, Asas-asas Pengembangan Kurikulum, Bandung : Jemmars, tt.

Nata, Abuddin (Ed). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga

Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Grasindo, 2001.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Page 18: REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/9.pdf · Nama Penulis tiap Artikel Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 149 REKONSTRUKSI

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

166 | ISSN: 2356-2447-XIII

Putra Daulay, Haidar. Peranan Pendidikan Pesantren dalam Pencapaian Tujuan

Pendidikan Nasional. Dalam Fitrah, Vol. 1, Padangsidimpuan, 1993.

Rofangi, Muhammad. Posisi Kyai dalam Pengembangan Tradisi Pesantren, dalam

Tim Penyunting, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren, Religiutas IPTEK, Cet :

1, Jakarta : Pustaka Pelajar, 1998.

Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran : Landasan Islamisasi, Bandung : Mizan, 1991.

Shofan, Moh. Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruksi Membongkar

Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, Yogyakarta : IRCiSoD, 2004.

Siradj, Sa`id Aqil et al, Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan

Transformasi Pesantren, Bandung : Pustaka Hidayah, 1999.

Syarnubi Som, Diskriminasi Institusi Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal

Pendidikan Islam Concienci, Vol. II No. 1, Program PPs Raden fatah Palembang, 2002.

Walidin, Warul. Reorientasi Kurikulum LPTK : Islam Future, dalam Jurnal Ilmiah,

PPs IAIN ar-Raniry Aceh, 2001.

Webster, Noah. Webster New Twententh Century Dictionary, UNABRID GE,

William Collins Publisher, 1980.

Yasmadi, Abdul Halim (Ed), Modernisasi Pesantren : Kritik Nurkholis Madjid

Terhadap pendidikan Islam Tradisional, Cet : 1, Jakarta : Ciputat Press, 2002.

Ziemek, Manfred. Pesantren Islamische Bildung Im Sozialen Wandel, Frankfut/M.

(IKO), 1986.

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1997.

Ali Mu`Tafi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren