49
RELASI AGAMA DAN NEGARA (Negara Islam versus Negara Sekular dalam Perdebatan) Oleh: Nurrochman Religion is one thing and politics is another A. Prolog “Apa pendapatmu tentang perang salibku? Apakah Tuhan senang dengan pengorbananku?” tanya Raja Richard, raja Inggris yang berjuluk The Lion Heart kepada Robin Longstride, salah satu tentara terbaiknya yang malam itu kedapatan mabuk dan berkelahi dengan sesama tentara salib. Robin Longstride, pemanah terbaik dalam legiun itu menjawab dengan tatap mata nanar-sayu. Sepatah kalimat meluncur dari mulutnya, “Dia (Tuhan) tidak senang”. “Mengapa kau berkata demikian? Jelaskan!” Raja Richard murka demi mendengar jawaban itu. “Pembantaian di Acre yang mulia. Ketika kau memerintahkan kami menggiring 2. 500 laki-laki muslim, perempuan dan anak-anak bersama-sama, wanita muda yang merangkak di sela kakiku, dengan tangan terikat dia menatapku, tidak ada ketakutan dan kemarahan di matanya, yang ada hanya rasa kasihan, karena ia tahu, ketika engkau memberikan perintah dan pedang kami berayung memenggal kepala mereka, saat itulah ia kehilangan Tuhan, kita...semua...kehilangan...Tuhan”. Robin Longstride mengakhiri kalimat deklaratifnya dengan tersendat. Seolah mengamini, semua tentara yang menyaksikan kejadian itu menundukkan kepala. Itulah sepenggal adegan film Robin Hood garapan sutradara Ridley Scott. Bagaimana cerita si Robin Longstride, sang jago panah yang kemudian lebih masyhur dengan “nama panggung” Robin Hood, tentulah semua orang tahu. Cerita kepahlawanannya yang melegenda telah menjadi sedemikian ikonik. Bukan heroisme Robin Hood yang membuat saya berpikir ulang pasca menonton film tersebut. Jawaban Robin atas pertanyaan Raja Richard lah yang membuat saya terus berpikir dan bertanya, bahkan sampai sekarang. Apakah Tuhan senang melihat “persembahan” Raja Richard yang mendedikasikan hidupnya untuk mengibarkan bendera Salib ke seluruh penjuru dunia. Benarkah Tuhan membutuhkan “persembahan” semacam itu? Tersenyumkah Ia melihat pembantaian nyawa, yang mengatasnamakanNya?

Relasi Agama-Negara

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pancasila,kewarganegaraan,agama,negara,hubungan

Citation preview

Page 1: Relasi Agama-Negara

RELASI AGAMA DAN NEGARA

(Negara Islam versus Negara Sekular dalam Perdebatan)

Oleh: Nurrochman

Religion is one thing and politics is another

A. Prolog “Apa pendapatmu tentang perang salibku? Apakah Tuhan senang dengan

pengorbananku?” tanya Raja Richard, raja Inggris yang berjuluk The Lion Heart kepada Robin Longstride, salah satu tentara terbaiknya yang malam itu kedapatan mabuk dan berkelahi dengan sesama tentara salib. Robin Longstride, pemanah terbaik dalam legiun itu menjawab dengan tatap mata nanar-sayu. Sepatah kalimat meluncur dari mulutnya, “Dia (Tuhan) tidak senang”. “Mengapa kau berkata demikian? Jelaskan!” Raja Richard murka demi mendengar jawaban itu. “Pembantaian di Acre yang mulia. Ketika kau memerintahkan kami menggiring 2. 500 laki-laki muslim, perempuan dan anak-anak bersama-sama, wanita muda yang merangkak di sela kakiku, dengan tangan terikat dia menatapku, tidak ada ketakutan dan kemarahan di matanya, yang ada hanya rasa kasihan, karena ia tahu, ketika engkau memberikan perintah dan pedang kami berayung memenggal kepala mereka, saat itulah ia kehilangan Tuhan, kita...semua...kehilangan...Tuhan”. Robin Longstride mengakhiri kalimat deklaratifnya dengan tersendat. Seolah mengamini, semua tentara yang menyaksikan kejadian itu menundukkan kepala.

Itulah sepenggal adegan film Robin Hood garapan sutradara Ridley Scott. Bagaimana cerita si Robin Longstride, sang jago panah yang kemudian lebih masyhur dengan “nama panggung” Robin Hood, tentulah semua orang tahu. Cerita kepahlawanannya yang melegenda telah menjadi sedemikian ikonik. Bukan heroisme Robin Hood yang membuat saya berpikir ulang pasca menonton film tersebut. Jawaban Robin atas pertanyaan Raja Richard lah yang membuat saya terus berpikir dan bertanya, bahkan sampai sekarang. Apakah Tuhan senang melihat “persembahan” Raja Richard yang mendedikasikan hidupnya untuk mengibarkan bendera Salib ke seluruh penjuru dunia. Benarkah Tuhan membutuhkan “persembahan” semacam itu? Tersenyumkah Ia melihat pembantaian nyawa, yang mengatasnamakanNya?

Perang Salib, yang oleh generasi sekarang hanya bisa ditelusuri jejak kengeriannya melalui catatan sejarah, film dan artefak-artefak masa lalu yang tersisa, tidak bisa dimungkiri erat kaitannya dengan konsep “negara agama”, yang diyakini sebagai konsep ideal, setidaknya bagi dunia kala itu. Konsep “negara agama” menghendaki adanya integrasi agama dan sistem politik dalam sistem pemerintahan sebuah negara. Sekilas, tidak ada yang salah dari upaya mengintegrasikan agama ke dalam sistem politik atau lebih jauh lagi menjadikan hukum agama sebagai hukum negara. Bukankah setiap agama mengajarkan kebaikan?

Mungkin benar bahwa semua agama mengandung nilai moral-etika yang bisa disifati sebagai sistem moral yang universal. Namun demikian, kenyataan itu tidak lantas menjadikan agama sebagai “sesuatu” yang ideal sebagai dasar negara. Fakta sejarah menyuguhkan cerita bagaimana negara-negara yang menjadikan agama sebagai dasar sistem hukumnya cenderung mengarah pada negara yang otoriter, dan tidak ramah

Page 2: Relasi Agama-Negara

terhadap perbedaan. Masalah paling potensial yang dihadapai oleh “negara agama” adalah keanekaragaman warganegara. Secara sederhana, negara hadir dalam konteks memberikan satu ruang sosial bagi anggotanya (baca: warganegara). Konsep tentang negara muncul sebagai jawaban dari persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di era kebudayaan tradisional yang menginginkan satu bentuk kehidupan yang lebih terorganisasi, lebih menjamin keterpenuhan hak dasarnya sebagai manusia. Mengacu pada hal ini, sebuah negara idealnya ada dalam kerangka untuk memberi perlindungan terhadap warganegaranya, terlepas dari status dan latarbelakangnya.

Konsep mengenai negara sendiri mengalami dinamika, dan perkembangan, seiring dengan perubahan zaman. Sejarah masyarakat Eropa dari era klasik sampai era kontemporer memperlihatkan satu dinamika yang menarik, bagaimana agama dan negara yang pada awalnya menjadi satu kesatuan tidak terpisahkan, menjadi dua hal yang terseparasikan, dewasa ini. Dinamika hubungan negara dan agama juga terjadi di dunia Islam. Isu mengenai hubungan agama dan negara dalam lingkup Islam, sebenarnya merupakan isu klasik. Sebagaimana diketahui, Nabi Muhammad semasa hidupnya menjalankan peran ganda sebagai pemimpin spiritual di satu sisi sekaligus pemimpin politik di sisi yang lain. Posisi ini acapkali menimbulkan kerancuan lantaran segala ucap dan perilaku Nabi Muhammad dipahami sebagai “ajaran Islam”. Sebagian besar umat Islam kala itu nampak kesulitan untuk membedakan posisi Nabi Muhammad, kapan ia dipahami sebagai Nabi yang maksum, dan kapan ia diposisikan sebagai seorang manusia biasa. Pasca wafatnya Nabi, masyarakat muslim Madinah yang merupakan masyarakat plural menghadapi persoalan tentang siapa yang berhak menggantikan Nabi Muhammad. Tugas sebagai pengganti Nabi Muhammad merupakan tugas yang tidak mudah, lantaran semasa hidupnya, Nabi Muhammad menjalankan dua peran sekaligus yang tidak mungkin bisa ditiru oleh penerusnya. Tarik menarik kepentingan yang melibatkan banyak pihak (muslim anshar, muslim muhajirin, golongan ahlul bait) menjadi cikal bakal perdebatan seputar sistem politik dalam Islam. Suksesi kepemimpinan dari Nabi Muhammad ke khalifah Abu Bakar merupakan satu bukti nyata bahwa tradisi Islam tidak mengenal sistem monarki.

Debat panjang mengenai “apakah Islam mengajarkan (mewajibkan) umatnya untuk mendirikan negara dengan bentuk atau sistem tertentu” nampaknya akan tetap menjadi isu yang populer di kalangan intelektual Islam. Dalam kurun waktu yang tidak bisa diprediksikan, akan ada sejumlah kalangan dalam Islam yang berpegang teguh pada pandangan bahwa umat Islam mengemban kewajiban untuk mendirikan sebuah negara dengan satu sistem tertentu, yakni sistem yang diyakini dititahkan langsung oleh Tuhan. Di samping itu, kalangan Islam yang mengehendaki adanya pemisahan yang jelas mengenai otoritas negara dan otoritas agama juga akan semakin kukuh eksistensinya. Paruh awal abad ke-21 ini, dunia Islam mengalami perubahan arah politik yang sangat signifikan. Merebaknya revolusi di sejumlah besar negara Islam di Timur Tengah yang menumbangkan penguasa-penguasa otoriter yang acapkali berlindung di balik “konsep negara Islam” telah menghadirkan wajah baru bagi sistem perpolitikan dunia Islam. Masyarakat Islam dewasa ini nampaknya lebih cenderung pada sistem perpolitikan Barat yang memberikan batasan yang jelas mengenai otoritas agama dan otoritas politik. Masa kejayaan sistem kekhalifahan beberapa abad yang lampau nampaknya sudah mulai dilupakan oleh kaum muslim, karena mereka sadar romantitisme masa lalu tidak akan mengubah keadaan umat Islam kekinian yang tengah terpuruk. Sebaliknya, ada upaya untuk memberikan satu tafsir yang baru mengenai konsep

Page 3: Relasi Agama-Negara

negara yang dimaui oleh Islam. Tulisan ini akan mengupas isu hubungan agama dan negara dalam perspektif Islam. Pembahasan akan dimulai dengan menelusuri jejak-jejak sistem politik di masa klasik, sampai era modern, apa saja dinamika yang terjadi dalam rentang sejarah yang begitu panjang itu. Selanjutnya, pembahasan akan diarahkan untuk menyusun satu jawaban mengenai bagaimana sebenarnya pandangan Islam mengenai negara. Adakah sumber-sumber tekstual maupun tradisi Nabi Muhammad yang bisa dijadikan satu inspirasi bagi umat Islam yang hidup di era modern ini untuk mengembangkan satu sistem politik yang sesuai dengan “semangat” zaman.

B. Atheistik, Teokrasi dan Sekuleristik: Berbagai Pandangan Mengenai Agama dan Negara Sampai detik ini, tidak ada satu pun definisi mengenai agama yang dapat

“memuaskan” semua pihak: pihak yang percaya bahwa agama adalah “sesuatu” yang berasal dari Tuhan, dan pihak lainnya yang meyakini bahwa pada dasarnya semua agama adalah hasil dari kebudayaan manusia semata. Pihak pertama mendefinisikan agama sebagai seperangkat ajaran, tata nilai dan aturan-aturan yang berasal langsung dari Tuhan dan disampaikan kepada manusia melalui rasul-rasul yang dipilihNya. Pihak kedua, meyakini bahwa agama hanyalah hasil dari kreasi manusia yang tidak ada sangkut pautnya dengan “sesuatu” di luar kebudayaan manusia itu sendiri. Pihak kedua yang kebanyakan terdiri atas kaum atheis dan agnostik, meyakini bahwa ajaran-ajaran yang dikandung agama merupakan hasil ciptaan manusia sebagai hasil dari interaksinya dengan realitas sosial. Islam, dalam pandangan para atheis atau agnostik adalah seperangkat ajaran yang disusun oleh Muhammad. Bahkan, seorang pengkaji agama yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang “dibuat” oleh Nabi Muhammad, menyebut Islam dengan istilah Mohammadenism (paham tentang Muhammad) yang berarti setara dengan pemikiran manusia seperti halnya marxisme, leninisme, soekarnoisme, soehartoisme dan sejenisnya.

Menganggap semua agama adalah hasil konseptualisasi manusia tentu bukan hal yang sepenuhnya tepat. Para pengkaji agama sendiri telah membagi agama ke dalam dua kelompok, yakni agama samawi dan ardhi. Agama samawi, atau agama langit, merujuk pada agama-agama dalam rumpun agama Abrahamik (Yahudi, Nasrani dan Islam) yang diyakini berasal dari Tuhan. Agama-agama Ibrahim, dalam hal ini memiliki seperangkat bukti yang sulit dibantah bahwa ajaran-ajaran yang dikandungnya berasal dari Tuhan. Bukti-bukti (tak terbantahkan) itu antara lain adanya konsep tentang Tuhan yang jelas, adanya kitab suci, adanya konsep kenabian serta didukung dengan komunitas yang besar sebagai satu indikasi diterimanya agama tersebut di tengah masyarakat. Sedangkan agama ardhi adalah agama yang bukan berasal dari Tuhan, melainkan hasil dari olah pikir manusia. Ajaran-ajaran dalam agama ardhi lebih banyak merupakan konsepsi manusia mengenai kehidupan dan alam semesta. Jika agama samawi hanya merujuk pada tiga agama saja, maka tidak demikian untuk agama ardhi. Diyakini oleh banyak kalangan bahwa jutaan agama ardhi berkembang dari era tradisional sampai era modern sekarang ini. Sebagian besar di antaranya memang sudah punah dan hanya beberapa saja yang masih bertahan, meski jumlah pengikutnya tidak bisa menyamai apalagi melampaui pengikut agama samawi.

Agama, dalam perkembangan selanjutnya, kian masuk dalam kehidupan manusia, bahkan menjadi satu kebutuhan pokok manusia. Dalam lingkup agama samawi (kecuali Yahudi) semua pemeluk mengemban kewajiban untuk tidak hanya menjalankan ritual dan ajaran sebagaimana disyariatkan dalam kitab suci, melainkan juga diwajibkan untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Setiap pengikut Islam dan Nasrani, dengan demikian diberi

Page 4: Relasi Agama-Negara

kewajiban untuk mengIslamkan atau menasranikan kelompok lain. Konsep dasar ini yang diyakini menjadi cikal bakal munculnya konsep negara agama, di mana sebuah negara dibangun berdasar satu ajaran agama tertentu. Di masa awal perkembangan agama, tidak bisa dipungkiri bahwasannya agama membutuhkan satu komunitas pengikut yang solid, terintegrasi dan hidup di bawah sistem yang mapan. Singkatnya, pada level sejarah tersebut, agama membutuhkan sebuah “eksistensi”, di mana salah satunya direpresentasikan dalam membentuk negara agama. Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai bagaimana “negara agama” muncul, berkembang lalu menemukan titik jenuhnya, ada baiknya untuk mengetahui varian-varian negara dalam konteks wacana relasi negara-agama.

1. Negara Atheis Negara atheis adalah negara yang tidak mengakui eksistensi agama, baik agama samawi maupun ardhi. Atheisme sendiri merupakan paham yang berkeyakinan bahwa kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan adalah kepercayaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Singkatnya, mereka tidak percaya Tuhan itu ada. Negara atheis, tidak memasukkan agama sebagai salah satu pertimbangan dalam setiap peraturan maupun kebijakannya. Biasanya, atheisme tumbuh dalam negara yang menganut sistem komunisme-sosialisme yang dikembangkan dari ajaran filsafat materialisme historis Karl Marx. Tidak hanya menafikan eksistensi agama dan Tuhan, negara-negara atheis juga acapkali membatasi atau bahkan melarang warganegaranya melakukan aktivitas yang berhubungan dengan agama. Di masa Uni Sovyet misalnya yang dikenal sebagai simbol negara komunisme-sosialisme, pemerintah dengan tegas mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang gerak “agama”. Salah satu contohnya adalah adanya aturan penundaan atau pembatalan kenaikan pangkat bagi pengawai negeri di zaman Uni Sovyet manakala ketahuan datang ke Gereja. Di masa sekarang, ketika kedigdayaan Uni Sovyet runtuh terpecah ke dalam banyak negara, negara atheis yang secara terang-terangan “memusuhi” agama menjadi sulit untuk dilihat secara jelas. Rusia, sebagai negara pecahan Uni Sovyet yang paling besar, meski dalam banyak hal masih mewarisi ideologi Uni Sovyet, tidak secara terang-terangan memusuhi agama. Hal ini nampak dari adanya geliat keberagamaan di Rusia. Gereja-gereja Katolik dan Protestan mulai bermunculan, umat Nasrani pun tidak lagi harus sembunyi-sembunyi untuk mengekspresikan kepercayaan agama mereka. Tidak hanya Nasrani, agama Islam pun menampakkan geliat yang sama, berkembang tanpa intervensi dari pihak negara. Sebagai sebuah konsep, “negara atheis” sempat pula mewarnai sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Adalah PKI (Partai Komunis Indonesia) yang di era 1960-an menjadi kendaraan politik dari sejumlah kalangan yang menginginkan Indonesia menjadi negara komunis, yang tidak memberikan ruang. Namun, nampaknya sejarah berkata lain. Tragedi demi tragedi kemanusiaan yang sampai sekarang masih abu-abu dan tidak pernah terungkap secara jelas menghentikan langkah PKI dalam mengkomuniskan Indonesia. Dalam konteks global, negara atheis yang benar-benar “anti Tuhan” mungkin hanya tinggal artefak konsep belaka. Sejumlah negara yang berhaluan komunis-sosialis, umumnya tetap memberikan kebebasan bagi warganegaranya untuk beragama meski tidak mensupport secara penuh.

Page 5: Relasi Agama-Negara

2. Negara Teokrasi Negara teokrasi merujuk pada negara di mana kekuasaan agama dan kekuasaan politiknya digabung, dilaksanakan dalam satu sistem yang didasarkan pada agama tertentu, dan dijalankan oleh satu pemangku kekuasaan yang berwenang mengurusi urusan agama sekaligus urusan politik. Sebagaimana dikemukakan di atas, konsep negara agama muncul dalam rangka merespon kebutuhan umat beragama untuk membentuk sebuah komunitas masyarakat berbasis pada kesamaan agama, di mana agama menjadi dasar bagi sistem sosial yang dikembangkan di dalamnya. Di antara tiga agama, Islam bisa dikatakan sebagai agama yang paling banyak mengendorse berdirinya negara agama atau negara bercorak teokratis. Sebagian besar negara di wilayah Arab merupakan negara agama di mana Islam (syariah) dijadikan dasar bagi UU dan peraturan yang dikeluarkan oleh negara. Dalam negara teokrasi, berkembang satu anggapan bahwa pemimpin (raja, kaisar dan lainnya) merupakan orang pilihan yang memiliki kualitas-kualitas tertentu di atas rata-rata manusia biasa sehingga ia berhak menjadi “penyambung lidah Tuhan” di muka bumi. Dalam konteks negara teokrasi, seorang pemimpin cenderung disakralkan lantaran diyakini sebagai “utusan” Tuhan. Berdasar pada anggapan tersebut, maka tidak mengherankan apabila negara teokrasi biasanya tumbuh dengan kecenderungan mengarah pada satu kondisi di mana penguasa menjalankan kekuasaannya secara otoriter dan anti kritik. Kuatnya kepercayaan bahwa “suara raja adalah suara Tuhan” menjadikan rakyat enggan (baca: takut) untuk melancarkan kritiknya terhadap penguasa.

3. Negara Sekuler Negara sekuler adalah sebuah negara yang mengenal sistem pembagian kekuasan antara kekuasaan agama di satu sisi dengan kekuasaan agama di sisi yang lain dalam sistem pemerintahannya. Mazhab sekuler ini muncul sebagai salah satu tawaran pemikiran reneissance, satu paket dengan gagasan demokrasi, gender dan isu-isu civic values lainnya. Sekulerisme yang menghendaki adanya garis batas yang jelas antara agama dan negara tidak bisa dipisahkan dengan kemandegan peradaban manusia sebagai akibat dari dominasi agama -kala itu Gereja Katolik- ke dalam segala bidang kehidupan. Dominasi agama di semua lini kehidupan itu telah membawa dampak tidak sehat pada peradaban manusia. Dalam bidang ilmu pengetahuan, dominasi agama telah menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Kerja ilmiah yang dilakukan para ilmuwan dalam menyingkap rahasia-rahasia alam dan kehidupan acapkali dicibir oleh kalangan agamawan. Walhasil, temuan-temuan ilmiah pun hanya berakhir mentah di depan para penguasa gereja yang memeluk erat teks dan menjadikannya sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang final. Bahkan, kala itu aktivitas ilmiah seringkali disamakan dengan sihir, dan para ilmuwan pun disebut sebagai iblis yang mengajarkan kesesatan. Masa kelam itu juga memakan korban nyawa. Setidaknya ada dua nama ilmuwan besar di abad skolastik, yakni Galileo Galilei dan Copernicus yang harus mati ditiang gantungan karena penemuan ilmiahnya yang dianggap menentang otoritas Gereja Katolik. Di bidang politik, “bersatunya” negara dan agama langsung maupun tidak

Page 6: Relasi Agama-Negara

langsung telah membidani lahirnya rezim-rezim yang menjalankan kekuasaan dengan tangan besi. Sebagaimana kepercayaan yang berkembang di negara teokrasi, raja atau pemimpin adalah “utusan” Tuhan yang wajib ditaati, sikap menentang raja diartikan sebagai penentangan terhadap kekuasaan Tuhan. Legitimasi ketuhanan (divine legitimation) itulah yang kemudian menjadi katalisator bagi otoritarianisme atas nama agama. Kondisi chaotic yang melanda peradaban masyarakat Eropa di Abad pertengahan itulah yang menjadi rahim bagi lahirnya reformasi sosial, atau belakangan dikenal dengan istilah reneissance, di mana salah satu agendanya adalah memisahkan kekuasaan gereja dan kekuasaan negara. Para pengusung paham sekulerisme, mengendaki adanya sterilisasi dunia “politik” dari intervensi agama. Agama, dalam pandangan mazhab sekulerisme merupakan urusan privat masing-masing individu yang (idealnya) bebas dari intervensi negara. Isu utama dalam agama adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, oleh karena itu fitrah agama adalah sakral, bersifat pribadi dan kemungkinan besar sangat subyektif. Sementara negara lebih merupakan urusan duniawi yang memerlukan ketebukaan dan lebih bersifat profan. Paham sekulerisme menghendaki kedua unsur penting dalam kehidupan manusai tersebut berdiri secara terpisah tanpa saling mengintervensi.Namun, dalam perkembangan selanjutnya, dikenal dua model sekulerisme. Pertama adalah sekulerisme yang menghendaki pemisahan antara agama dan negara secara penuh tanpa memberikan celah sedikitpun bagi keduanya untuk saling “bertegur sapa”. Model kedua adalah model sekulerisme yang lebih ramah, yakni sekulerisme yang masih memberikan ruang bagi agama dan negara untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Model sekulerisme yang menyerupai hubungan simbiosis-mutualisme ini berangkat dari pandangan bahwa agama, tidak bisa dipungkiri merupakan satu sumber nilai, norma dan etika yang sangat kaya dan bisa dijadikan dasar dan inspirasi bagi hubungan sosial dalam sebuah negara.

C. Dinamika Konsep Negara Islam dalam Sejarah Masyarakat IslamSepanjang sejarah, konsep mengenai sistem politik dalam Islam menjadi tema yang

tidak kunjung selesai diperbincangkan. Nabi Muhammad, sebagai pembawa risalah agama Islam sebenarnya telah mengenalkan prinsip dasar mengenai corak politik Islam. Namun demikian, jika ditilik secara detail, ia tidak dengan secara jelas menyebut sistem politik seperti apa yang ideal bagi dunia Islam di masa depan. Walhasil, berbagai ulama melakukan ijtihad sendiri untuk menafsirkan ayat dan hadist yang bertemakan politik dan menyusun argumen yang tidak bisa dimungkiri kerap menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam. Sebagian ulama berkeyakinan bahwa umat Islam memiliki kewajiban untuk membangun negara Islam dengan mengadopsi sistem khilafah Islamiyyah yang bercorak monarkis. Umumnya, sebagian besar ulama yang mengusung ide mengenai negara Islam tidak sepenuhnya memiliki legitimasi secara tekstual untuk dijadikan dasar bagi pemikiran mereka. Gagasan mereka mengenai Khilafah Islamiyyah lebih banyak berangkat dari romantisisme atas masa lalu dunia Islam yang bergelimang kejayaan.

Memperbincangkan konsep negara Islam tidaklah mudah, terlebih ketika konsep itu harus diletakkan dalam bingkai sejarah Islam yang sangat panjang. Lantaran tidak bisa

Page 7: Relasi Agama-Negara

dielakkan lagi bahwa memperbincangkan negara Islam adalah juga melacak jejak sejarah Islam dari awal yakni era kepemimpinan Nabi Muhammad sampai ke era sekarang. Konsep tentang negara islam harus diakui tidaklah muncul seketika, melainkan lahir dari proses evolusi yang panjang dan dilatarbelakangi oleh beragam konteks sejarah. Untuk itu penting bagi generasi Islam kekinian untuk kembali melacak kemunculan konsep negara Islam agar tidak terjebak pada kesalahpahaman mengenai konsep negara Islam yang hampir selalu identik dengan model negara teokrasi, serta tidak larut dalam utopia romantisisisme. Secara sederhana proses evolusi konsep negara Islam dapat dipetakan ke dalam tiga tahap, yakni kemunculan konsep negara Islam pada masa Rasulullah, perkembangan negara Islam pasca rasulullah dan negara Islam di era modern, era di mana dunia Islam tidak bisa mengisolasi diri dari pengaruh kebudayaan lainnya terutama dunia Barat yang dalam banyak hal memiliki prinsip yang berseberangan.

Islam turun pertama kali di Mekkah, yang kala itu merupakan kota besar dan pusat transaksi ekonomi. Bukan sebuah kebetulan mengapa Islam pertama kali diturunkan di tengah pusat kegiatan ekonomi, yang ramai oleh hiruk-pikuk masyarakat yang tidak hanya bekerja untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya, namun juga mengejar prestise di tengah masyarakat yang tengah mabuk oleh keduniaan. Adalalah Muhammad, pemuda belia yang dipilih Tuhan sebagai penyampai ajaran Islam. Sebelum menerima wahyu dari Tuhan, Muhammad dikenal sebagai pribadi yang santun, jujur namun juga memiliki kegelisahan yang mendalam atas kondisi masyarakat di sekelilingnya. Malam-malamnya ia habiskan untuk menyepi di gua hira’. Di gua yang gelap lagi sempit itulah ia melarikan semua kegelisahannya. Ia lari dari keriuhan masyarakat yang menggelisahkannya, untuk kemudian menyendiri, merenung dan berpikir mencari jalan keluar atas krisis sosial yang tengah menjangkiti masyarakat kota Mekkah. Meski menjadi pusat perdagangan, Mekkah tidak bisa dikatakan sebagai kota yang beradab (civilized). Masyarakat Mekkah hidup dengan tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan. Peperangan antarsuku menjadi satu hal yang lumrah sebagai jalan untuk menguji siapa yang lebih superior dibanding lainnya. Supremasi satu kelompok atas kelompok lainnya lebih banyak ditunjukkan melalui cara-cara yang tidak manusiawi. Di bidang ekonomi, terjadi ketimpangan di mana hanya segelintir kalangan yang menguasai perdagangan di Mekkah. Sistem ekonomi yang oligarkis ini telah melahirkan ketidakadilan yang memilukan Muhammad. Suku Quraisy (meski Muhammad lahir dari keturunan suku Quraisy) adalah suku yang paling dominan dan menguasai hampir semua aspek kehidupan.

Namun meski lebih memilih untuk menyepi di gua hira’, Muhammad tidak lantas menjadi seorang pasifis. Jauh sebelum ia menjadi Nabi lalu Rasul, ia adalah dikenal sebagai aktivis sosial yang gigih membela kaum tertindas. Ia adalah salah satu dari sekian banyak penggagas lahirnya organisasi Hilf al Fudul, sebuah organisasi yang berkomitmen membela kaum kecil yang tertindas. Penting untuk dicatat bahwa kala itu, di Mekkah dan Jazirah Arab pada umumnya, belum dikenal istilah pemerintahan yang sah apalagi terbentuk sebuah negara. Masyarakat Arab, meski dalam banyak bidang telah menunjukkan capaian yang luar biasa, namun pada bidang sosial-politik mereka belum seperti bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Tidak mengherankan apabila sejumlah penutur sejarah tidak menyebut-nyebut sistem pemerintahan masyarakat Arab klasik, lantaran masyarakat Arab Klasik kala itu memang belum mengenal sistem pemerintahan. Masyarakat Arab hidup dengan sistem kesukuan yang terpisah-pisah satu sama lain. Bahkan sebagian dari mereka masih hidup di

Page 8: Relasi Agama-Negara

gurun pasir secara nomaden. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Arab klasik hidup tanpa mengenal sistem kerajaan atau semacamnya. Bahkan, sebagaimana dituturkan oleh para pengkaji sejarah Arab Klasik, masyarakat Arab kala itu tidak mengenal kosakata raja. Kata “malik” yang dikenal masyarakat Arab kala itu adalah sebutan untuk raja dari bangsa lain.

Segera setelah mendapatkan wahyu di gua hira dan diangkat menjadi Nabi, Muhammad segera menjelma menjadi sosok yang penting di tengah masyarakat Arab. Sebelumnya, Nabi Muhammad bisa dibilang tidak mendapat perhatian dari masyarakat Arab, terutama kalangan elitnya. Hal ini wajar lantaran ia hanyalah seorang pedagang miskin yang tidak memiliki pengaruh apa-apa. Namun setelah mendeklarasikan diri sebagai pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad segera mendapat perhatian dari kalangan elit Mekkah, meski bentuk perhatian itu berkebalikan dari apa yang diharapkan oleh Nabi Muhammad.

Misi Nabi Muhammad dalam menyebarkan agama Islam mendapat tentangan dari kalangan elit Quraisy. Latar belakang Nabi Muhammad yang datang dari kalangan kelompok bawah menjadi alasan yang paling sering dilontarkan para petinggi suku Quraisy yang merupakan saudagar-saudagar kaya. Elitisme yang kental di masyarakat Quraisy kala itu menyebabkan tidak diterimanya gagasan-gagasan baru yang muncul dari kalangan masyarakat bawah, tidak terkecuali agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Selain itu, kemunculan Nabi Muhammad dengan ajaran Islamnya dianggap sebagai satu ancaman serius bagi status quo yang berkuasa kala itu. Islam yang dibawa Nabi Muhammad memiliki karakter sebagai agama yang egaliter, tidak membeda-bedakan manusia dari status sosial yang disandangnya, berbanding terbalik dengan paradigma sosial kaum Quraisy yang menempatkan status sosial di atas segala-galanya. Teologi egaliter yang diusung Nabi Muhammad tidak pelak telah melahirkan permusuhan secara terbuka antara dia dan para elit kaum Quraisy. Sejarah kemudian mencatat bagaimana misi keislaman Nabi Muhammmad harus berhadapan dengan kekejaman kelompok Quraisy. Berbagai perlakuan tidak manusiawi yang diterima Nabi Muhammad dan para pengikutnya memaksa Nabi untuk hijrah ke Madinah, wilayah subur yang terletak 300 mil di utara Makkah.

Berbeda karakter dengan Makkah, Madinah bukanlah kota niaga. Penguni utama kota ini adalah suku Aws dan Khazraj yang diperkirakan berasal dari Yaman serta komunitas Yahudi yang terdiri atas Bani Nadir dan Bani Qurayyah. Momen kepindahan Nabi Muhammad dan pengikutnya ke Madinah selain untuk menghindari kekejaman pihak Quraisy juga atas permintaan masyarakat Madinah yang kala itu tengah tercerai berai oleh peperangan antasuku yang melibatkan suku Aws dan Khzraj. Komunitas Yahudi yang sebelumnya selalu menjadi penengah dalam setiap konflik yang muncul, nampak kewalahan mengatasi konflik tersebut, bahkan ada kecenderungan mereka berpihak ke salah satu kubu. Masyarakat Madinah membutuhkan seorang figur yang bisa menjadi juru runding di tengah pertentangan kedua suku tersebut. Nabi Muhammad dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah. Selain tengah dilanda perpecahan, masyarakat Madinah, sebagaimana pula masyarakat Mekkah, belum memiliki pemerintahan yang mengatur jalannya hubungan sosial. Tidak ada peraturan yang mengatur jalannya kehidupan sosial. Selain itu, Nabi Muhammad juga dihadapkan pada pluralitas masyarakat Madinah yang berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.

Demi membentuk sebuah masyarakat yang egaliter, adil dan damai, Nabi Muhammad menyusun satu perjanjian bersama yang berisi aturan dan larangan bagi komunitas-komunitas yang tinggal di Madinah. Perjanjian yang melibatkan komunitas

Page 9: Relasi Agama-Negara

Anshar, Muhajirin dan juga kelompok Yahudi tersebut kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam Madinah yang terdiri atas 47 klausul pasal tersebut pada intinya mengakui adanya kesetaraan hak dan kewajiban dari masing-masing komunitas yang berdiam di wilayah Madinah. Mengacu pada Piagam Madinah, semua pemeluk Islam, meski datang dari suku yang berbeda pada dasarnya merupakan satu komunitas. Pola relasi sosial yang ingin dikembangkan Nabi Muhammad melalui Piagam Madinah adalah pola relasi yang egaliter, di mana semua komunitas diwajibkan untuk saling menghormati, membantu melawan musuh, saling menasihati, serta menjunjung tinggi kebebasan beragama. Menariknya, meski memiliki kesempatan yang sangat luas untuk menjadikan Islam sebagai dasar hukum masyarakat Madinah atau menjadikan Islam sebagai agama wajib masyarakat Madinah, Nabi Muhammad justru mengambil pilihan sebaliknya. Ia membangun Madinah sebagai kota yang mengakomodasi kepentingan semua kelompok dan menjunjung tinggi prinsip kebebasan beragama. Ia tidak memaksa komunitas Yahudi untuk menanggalkan identitas mereka dan melebur ke dalam Islam, namun ia memberikan kesempatan pada komunitas Yahudi untuk setia dengan keimanan mereka.

Belakangan, banyak intelektual, baik dari Islam atau pun dari Barat beranggapan bahwa Piagam Madinah merupakan bentuk konstitusi yang menjamin kebebasan dan kesetaraan hak individu yang dikenal oleh umat manusia pertama kali. Jauh sebelum kemunculan konsep negara demokrasi di era modern, atau kemunculan deklarasi HAM Universal PBB yang mengakui kesetaraan hak manusia, Nabi Muhammad telah meletakkan dasar-dasar bagi tata relasi sosial yang berkeadaban. R. A. Nicholson, seorang peneliti Islam bahkan menyebutkan bahwa Piagam Madinah adalah satu bentuk upaya politik yang sangat jenius dari seorang yang bergelar Nabi. Ia menyebut Piagam Madinah sebagai buah pikiran yang tidak hanya jenius namun juga bijaksana. Nabi Muhammad, masih menurut Nicholson, tidak serta merta meruntuhkan mentalitas primordial dari suku-suku yang ada di Madinah kala itu, melainkan justru menggeser kekuasaan tersebut pada masyarakat. Dalam konteks ini, Montgomerry Watt, orientalis yang banyak menulis tentang Islam menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bukan merupakan penguasa tertinggi dari komunitas Madinah. Ditambahkan pula bahwa tidak tepat untuk mengatakan bahwa Madinah adalah sebuah negara, apalagi disebut sebagai negara Islam. Harus dipahami bahwa komunitas Madinah kala itu dikelola dengan sangat sederhana. Atau jika disebut sebagai negara, maka pengertiannya bukan seperti negara pada masa sekarang. Semua urusan dilaksanakan secara sukarela tanpa adanya birokrasi yang jelas sebagaimana menjadi ciri negara modern. Selain “belum terpikirkan” tidak dibentuknya birokrasi pada masyarakat Madinah lebih dilatarbelakangi oleh belum adanya kebutuhan masyarakat akan adanya birokrasi. Hal tersebut wajar lantaran masyarakat Madinah kala itu masih hidup secara sederhana. Di bidang ekonomi, masyarakat Madinah memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan memanfaatkan lahan-lahan subur yang mereka olah menjadi lahan pertanian korma. Di masa itu, tidak ada sistem kelas dalam masyarakat Madinah. Tidak ada kelompok kaya lantaran tidak ada kepemilikan secara pribadi. Tanah dikelola bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama pula. Di bidang politik, masyarakat Madinah masih mempertahankan sistem kesukuan di mana sang kepala suku dianggap sebagai pemimpin tertinggi mereka. Persoalan-persoalan kecil akan diselesaikan dalam internal suku tersebut. Nabi Muhammad hanya terlibat dalam urusan-urusan yang tidak bisa diselesaikan secara internal. Meski

Page 10: Relasi Agama-Negara

demikian, sekali lagi ditekankan bahwa dalam struktur masyarakat Madinah, Nabi bukanlah pemimpin tertinggi, melainkan sebagai penengah di antara komunitas-komunitas tersebut.

Sampai pada titik ini dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad tidak menjadikan Madinah sebagai negara Islam yang dilandasi ideologi Islam apalagi mempraktekkan hukum Islam yang didasarkan pada al Qur’an dan hadist. Dalam konteks masyarakat Madinah kala itu, membangun sebuah masyarakat yang egaliter dipandang jauh lebih penting tinimbang membentuk negara dengan corak “Islam”. Pada periode ini, yang dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah membaca realita masyarakat Madinah dan memberikan otonomi seluas-luasnya kepada suku-suku yang ada di Madinah kala itu. Nabi Muhammad memberikan ruang bagi komunitas yang berbeda suku dan agama untuk hidup berdampingan secara adil dan damai. Bahkan, tidak hanya kaum penganut agama Islam dan Yahudi, kaum pagan (penyembah berhala pun) diakui eksistensinya dan mendapat perlakuan yang sama.

Namun dalam perkembangannya, Piagam Madinah ternyata tidak cukup membendung potensi konflik di tengah masyarakat Madinah, terlebih ketika ada kelompok yang mulai mengingkari ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam piagam tersebut. Adalah kelompok Yahudi dan orang-orang muanfik seperti Abdullah bin Ubay yang sedari awal kurang suka dengan Nabi Muhammad lah pertama kali melanggar aturan sebagaimana disepakati dalam piagam. Akhirnya Nabi Muhammad pun mengambil keputusan dengan memisahkan sebagian kelompok Yahudi dari masyarakat Madinah. Selama kurun waktu ini pula, kepemimpinan Nabi Muhammad juga mendapat “serangan” dari para penentangnya terdahulu di Mekkah. Meski demikian, semakin kuatnya pengaruh Nabi Muhammad di Madinah yang dibuktikan dengan banyaknya dukungan baginya, baik dari kalangan Muslim maupun Yahudi, menjadikan Nabi Muhammad sebagai seorang yang sulit dikalahkan. Bahkan pada akhirnya Makkah yang sempat menolak keberadaannya bisa ditaklukkan kembali oleh Rasulullah.

10 Ramadhan tahun 8 H atau 1 Januari 630 M adalah hari bersejarah dalam perjalanan Islam, karena pada hari itulah Nabi Muhammad mengerahkan 10.000 tentara, jumlah yang sangat fantastis untuk ukuran saat itu, untuk menaklukkan Mekkah dan sampai di kota Mekkah sepuluh hari kemudian. Peristiwa monumental itu kemudian dikenal dengan istilah Fatkhul Makkah (pembukaan kota Makkah). Penaklukkan kota Mekkah itu pada akhirnya menyisakan satu drama yang mungkin tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah Islam. Mengetahui bahwa jumlah tentara yang dibawa Nabi Muhammad di luar batas kekuatan masyarakat Arab untuk melawannya, maka diutuslah Abu Sufyan seorang ahli diplomasi ulung. Akhirnya didapati sebuah kesepakatan bahwa Nabi Muhammad dan para pengikutnya tidak akan melakukan kekerasan pada warga Mekkah asalkan mereka diijinkan memasuki kota Makkah. Meski Nabi Muhammad menyerukan agar warga Makkah berada di dalam rumah dan meletakkan senjata mereka, kekerasan pun akhirnya tidak bisa dielakkan. 20 orang warga Mekkah tewas 3 orang dari pihak pengikut Nabi Muhammad. Sedangkan para pemfitnah yang sebelumnya gemar menghembuskan isu miring tentang Nabi Muhammad sebagian diberikan ampunan dan sebagian lagi dihukum mati. Segera setelah Mekkah berhasil ditaklukkan oleh Nabi Muhammad, warga Mekkah menyatakan baiat dan bersumpah setia menjadi pengikut Islam, bukan karena dipaksa atau takut, namun lebih karena simpati dengan kepribadian Nabi Muhammad. Peristiwa penaklukkan Mekkah menjadi satu babak baru dalam kepemimpinan Nabi Muhammad. Dengan bergabungnya warga Mekkah ke dalam komunitas Islam, yang kemudian juga disusul oleh suku-suku badui,

Page 11: Relasi Agama-Negara

menjadikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin besar di kawasan Jazirah Arab yang diakui oleh penduduk Jazirah Arab kecuali oleh komunitas Yahudi dan Nasrani.

Di sinilah sebenarnya embrio negara Islam mulai lahir untuk pertama kalinya. Namun demikian penting untuk dipahami bahwa negara Islam yang dimaksud bukan negara teokratik sebagaimana yang banyak dipahami belakangan ini. Negara yang dibangun Nabi Muhammad bukan negara Islam yang bercorak teokratis-monarkis. Nabi Muhammad, sebagaimana dikemukakan oleh Ali Asghar Engineer, bukanlah seorang ideolog yang membangun sebuah negara dengan ideologi tertentu, apalagi menjadikan Islam sebagai landasan hukum negara. Bisa dibilang, dalam konteks ini Nabi Muhammad menjalankan peran ganda di mana di satu sisi ia mengampu jabatan sebagai pemimpin politik namun di sisi lain ia juga merupakan pemimpin spiritual. Inilah yang acapkali sulit atau tidak dipahami oleh umat Islam kekinian. Sebagai pemimpin spiritual, segala ucap dan perilaku Nabi Muhammad merupakan sesuatu yang diwahyukan dari Allah. Namun ketika menjalani perannya sebagai pemimpin politik, ia tidak selalu mengandalkan wahyu. Memang di beberapa kesempatan, Nabi segaja menunggu wahyu sebelum mengambil sebuah keputusan. Namun tidak jarang ia mengambil keputusan tanpa dasar pewahyuan, dan hanya didasarkan pada pemikirannya sendiri atau masukan dari para sahabat. Inilah sebenarnya yang harus dipahami oleh masyarakat dunia Islam sekarang. Peran Nabi Muhammad sebagai penyampai risalah Islam dan sebagai pemimpin politik nyatanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar dan tidak bisa disamakan begitu saja.

Naskah pendirian negara Islam pertama itu sendiri, yakni naskah perjanjian yang dibuat Rasulullah sebagaimana telah dijelaskan di muka, tidak didasarkan atas wahyu Tuhan. Ia tidak serta merta menerapkan hukum Islam, bahkan hukum Islam itu sendiri diwahyukan jauh setelah “negara Islam” itu berdiri. Ayat-ayat Makkiyah, yakni ayat yang turun sewaktu Nabi Muhammad masih berada di Mekkah umumnya berisi “kecaman” terhadap elit Mekkah yang gemar menumpuk harta, sombong dan tidak percaya pada kehidupan akhirat. Tidak ditemui satu pun ayat Makkiyah yang berisi hukum Islam yang kemudian dijadikan landasan hukum negara teokrasi. Ayat-ayat yang berisi hukum Islam, seperti hukum pernikahan, perceraian, pewarisan, perdagangan dan lain sebagainya baru turun setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.

Sekali lagi ditekankan bahwa konsep negara Islam (versi Nabi Muhammad, bukan versi Arab Saudi) tidak muncul begitu saja, melainkan lebih sebagai bentuk respon dari situasi sosial yang mengemuka saat itu. Nabi Muhammad membentuk satu komunitas besar yang terdiri atas berbagai macam entitas yang berbeda satu sama lain tanpa menempatkan salah satunya lebih superior tinimbang kelompok lain. Tidak semua keputusan Nabi Muhammad, khususnya di bidang politik, selalu berdasarkan wayhu. Ada kalanya ia memutuskan melalui pemikirannya sendiri, nasihat sahabat-sahabatnya atau bahkan sekedar meneruskan apa yang telah mentradisi dalam masyarakat Arab kuno.

Setidaknya ada dua beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh masyarakat dunia Islam yang hidup di era modern ini, terkait dengan perbincangan mengenai konsep negara Islam. Pertanyaan itu antara lain, “apakah negara Islam selalu identik dengan negara teokrasi-monarkis?”, “Apakah Islam (al-Qur’an dan hadist) memerintahkan pada penganutnya untuk membentuk sebuah negara dengan sistem politik tertentu?”. Jawaban atas pertnyaan tersebut akan sangat tergantung pada bagaimana umat Islam kekinian membaca sejarah Islam di masa lalu, lantaran sepeninggal Nabi Muhammad wacana politik

Page 12: Relasi Agama-Negara

dalam dunia Islam bergulir bagaikan bola liar dan mengalami dinamika yang luar biasa. Kepergian Nabi Muhammad di usia yang belum lagi lanjut, adalah sebuah kehilangan besar bagi umat Islam kala itu. Bukan hanya kehilangan satu tokoh panutan, tempat segala pertanyaan akan menemui jawaban, melainkan juga kenyataan bahwa apa yang dibangun oleh Nabi Muhammad belum sepenuhnya bisa dikatakan sempurna. Dalam banyak hal, terutama dalam masalah politik, Nabi Muhammad tidak menyusun satu konsep yang detail, namun hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya semata. Inilah yang kelak menimbulkan multitafsir dan pertentangan di antara pengikutnya.

Wafatnya Nabi menjadi momentum berakhirnya model kepemimpinan ganda yang terbilang unik dalam sejarah peradaban manusia. Sebagaimana diketahui, semasa hidupnya, Nabi Muhammad menjalani perannya sebagai Nabi (pemimpin spiritual) di satu sisi dan peran politisnya di sisi yang lain. Doktrin Islam menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi pamungkas, itu artinya tidak ada risalah kenabian lagi setelahnya. Maka, pengganti Nabi Muhammad hanya mungkin menggantikan perannya sebagai pemimpin politik, bukan sebagai pemimpin spiritual. Fatalnya, Nabi Muhammad tidak pernah meninggalkan wasiat atau pesan pada para sahabatnya mengenai siapa yang berhak menggantikan dirinya atau mekanisme seperti apa yang idealnya dipakai untuk mencari pengganti dirinya. Nabi Muhammad wafat dengan meninggalkan sejutua pertanyaan bagi para sahabat mengenai siapa yang tidak hanya pantas, tapi berhak menggantikannya. Pada akhirnya semua pertanyaan itu harus berakhir ke dalam polemik berkepanjangan dan telah menimbulkan perpecahan di kalangan Islam sendiri. Harus diakui bahwa sejarah tentang politik hampir selalu identik dengan sejarah mengenai kekuasaan. Begitu pula yang terjadi di dunia Islam.

Abu Bakar yang bergelar as-shidiq menjadi khalifah pertama pengganti Rasulullah melalui proses pemilihan yang diwarnai dengan sejumlah pertentangan. Ia dipilih secara resmi dalam sebuah pertemuan, dua hari setelah Nabi wafat dan belum dimakamkan. Hal itu lantas menimbulkan ketidaknyamanan pada keluarga Nabi, utamanya Fatimah, putri tunggal Nabi. Fatimah merasa tidak dilibatkan dalam pembicaraan mengenai suksesi kepemimpinan pasca Nabi Muhammad wafat. Bahkan, Ali dan Utsman yang notabene merupakan menantu Nabi sama sekali tidak diajak bermusyawarah. Namun, pada dasarnya pembaiatan Abu Bakar sebagai khalifah tidak terencana dan lebih sebagai sebuah tindakan “penyelamatan”.

Khalifah kedua, yakni Umar bin Khattab mendapatkan keprcayaan menggantikan pendahulunya Abu Bakar melalui penunjukan langsung. Ketika Abu Bakar merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia mengumpulkan sahabat-sahabat terdekatnya untuk berkonsultasi mengenai siapa yang akan menggantikan dirinya. Nama Umar lah akhirnya tercetus dari mulut Abu Bakar. Meski mendapat tentangan dari salah satu sahabatnya, lantaran sifat Umar yang dikenal tempramental, namun akhirnya mayoritas menyetujui Umar sebagai khalifah kedua, menggantikan Abu Bakar. Umar, akhirnya diangkat sebagai khalifah dalam sebuah baiat terbuka di Masjid Nabawi.

Utsman bin Affan terpilih sebagai khalifah dengan mekanisme yang lebih rapi, yakni dipilih oleh semacam dewan formatur yang dibentuk langsung oleh Umar. Dewan formatur itu dibentuk oleh Umar pada saat tahun ke sebelas kepemimpinannya, tepatnya ketika ia mendapat luka yang sangat serius lantaran diserang oleh musuhnya, yakni Abu Luluah. Dikhawatirkan tidak akan bertahan lama, maka para sahabat mendesak Umar untuk menunjuk satu nama sebagai penggantinya. Namun umar menolak desakan tersebut. Alih-alih menunjuk nama sebagai penggantin dirinya, ia justru membentuk satu dewan yang

Page 13: Relasi Agama-Negara

nantinya akan memilih siapa yang berhak menggantikan dirinya. Ada pula desakan untuk menunjuk anaknya, yakni Abdullah bin Umar untuk menjadi khalifah. Namun sontak usulan tersebut ditolak oleh Umar. Bahkan belakangan Umar juga tidak memperkenankan anaknya tersebut dicalonkan oleh dewan formatur, meski namanya dimasukkan ke dalam salah satu anggota dewan namun tanpa hak suara. Akhirnya dipilihlah nama-nama yang masuk dalam keanggotaan dewan formatur, yakni Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Saad bin Abu Waqash, Abdurahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, serta Abdullah bin Umar. Dipilihnya mereka oleh Umar lantaran mereka berasal dari kelompok Muhajirin dan merupakan anggota suku Quraisy. Nabi pun pernah menyebut mereka sebagai calon penghuni surga sehingga tidak diragukan lagi moralitas dan keimanannya.

Sepeninggal Umar, pertemuan untuk menentukan siapa yang berhak jadi penggantinya pun digelar. Awalnya pertemuan berlangsung sangat alot. Muncul dua nama yang menjadi kandidat kuat pengganti Umar, yakni Ali dan Ustman. Dewan formatur pun terkesan bingun menentukan siapa yang paling berhak. Tidak ada kriteria yang jelas mengenai siapa yang pantas menjadi khalifah. Akhirnya, Abdurrahman bin Auf menguji keduanya dengan pertanyaan, “jika kalian menjadi khalifah, apakah kalian sanggup menjalankan tugas kekhalifahan sesuai dengan ajaran Islam?”. Ali secara diplomatis menjawab bahwa ia akan melaksanakan tugas khalifah sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya. Sedangkan Ustman menjawabnya dengan satu kata, “ya!”. Jawaban yang sederhana itu nyatanya mengantarkan Ustman ke tampuk penguasa tertinggi Islam kala itu. Di balik itu, Ali merasa bahwa pemilihan Ustman sebagai khalifah telah diskenariokan oleh Abdurrahman bin Auf. Ali mencium ada kepentingan Abdurrahman bin Auf dalam pengangkatan Ustman sebagai khalifah. Meski demikian, Ustman tetap diangkat sebagai khalifah, di usianya yang telah menginjak 70 tahun.

Dua belas tahun kemudian, Ali bin Abi Thalib naik ke tampuk kekuasaan setelah Ustman tewas terbunuh oleh pemberontak ketika tengah menunaikan shalat subuh. Terpilihnya Ustman sebagai pengganti Umar memang tidak mendapat dukungan penuh dari kalangan Islam. Sebagian kelompok yang meyakini bahwa Ali lah yang seharusnya menduduki jabatan khalifah memutuskan untuk menarik dukungannnya dan memberontak pada kekuasaan Ustman. Di tangan kelompok pemberontak inilah akhirnya kekuasaan sekaligus nyawa Ustman bin Affan harus berakhir. Kelompok pemberontak yang berhasil menggulingkan kekuasaan Utsman dengan jalan kekerasan lantas menyerahkan kekuasaan pada Ali bin Abi Thalib. Awalnya Ali menolak lantaran masih membutuhkan dukungan orang-orang yang selama ini memiliki pengaruh kuat di Madinah. Ia menilai, tanpa dukungan orang-orang tersebut mustahil kedudukannya dilegitimasi oleh masyarakat Islam. Meski pada akhirnya tokoh-tokoh senior menyatakan baiat pada kepemimpinan Ali, namun banyak tokoh lain yang justru menentang kepemimpinan Ali. Salah satu yang paling keras menentang adalah Muawiyyah Abu Sufyan, yang kala itu tengah menjabat gubernur Suriah dan dikenal sebagai keluarga dekat Ustman bin Affan. Belakangan, selain menolak untuk mengakui kepemimpinan Ali, Muawiyah juga menyusun satu kekuatan untuk merebut kekuasaan Ali melalui pemberontakan. Dalam banyak hal, Ali merupakan sosok yang mewarisi keteladanan Nabi, terutama dalam memimpin. Ia menjalankan pemerintahan yang adil dan egaliter. Budaya bermewah-mewahan, penumpukan kekayaan, pembagian wilayah kekuasaan dan harta rampasan perang pada saudara sendiri yang menjadi fenomena pada masa kepemimpinan Ustman tidak lagi diadopsi oleh Ali. Namun nampaknya sejarah

Page 14: Relasi Agama-Negara

menghendaki cerita yang lain. Kekuatan oposisi yang digalang oleh Muawiyyah kian kuat dan tidak dapat diantisipasi oleh Ali. Akhirnya, kekuasaan Ali pun tumbang oleh pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyyah. Belakangan, Muawiyyah menjadi satu tokoh sentral dalam perubahan arah sejarah Islam terutama dalam bidang politik. Dialah yang pertama kali membentuk negara Islam dengan corak monarkis, di mana suksesi kekuasaan tidak lagi dijalankan dengan sistem musyawarah melainkan ditentukan dari hubungan darah (keturunan).

Naiknya Muawiyyah sebagai penguasa tertinggi Islam sekaligus menandai berakhirnya era negara Islam republik atau negara Islam teo-demokrasi, yang digantikan dengan negara Islam monarkis. Jika ditilik dari sudut pandang sejarah, apa yang dilakukan oleh Muawiyyah dengan dinasti Umayyahnya tersebut secara jelas telah menyalahi ketentuan Islam. Semenjak kepemimpinan Rasulullah sampai empat khalifah penerusnya, tidak pernah dikenal istilah politik dinasti dalam Islam. Muawiyyah hadir dengan merusakan tatanan demokrasi yang sudah dibangun sebelumnya. Sejumlah sejarawan mencatat bahwa Muawiyyah adalah sosok politisi yang licin dan dikenal lincah dalam melakukan manuver politik. Ia dikenal sebagai ahli diplomasi ulung, namun tidak terlalu menguasai ilmu agama. Baginya, terpenting bukanlah penguasaan dalam teologi Islam, melainkan bagaimana bisa berkuasa dan mempertahankan kekuasaan tersebut. Tidak mengherankan jika dalam waktu yang singkat ia bisa menggalang dukungan penuh di kalangan masyarakat Islam. Pasca berhasil menggulingkan kekuasaan Ali dan membelokkan sistem politik ke arah monarkis yang ditunjukkan dengan mengangkat puteranya -Yazid- pada posisi Amirul Mukminin. Kekuasaan dinasti Umayyah kian jumawa manakala berhasil menumpas pemberontakan yang dimotori oleh cucu Nabi dari Ali bin Abi Thalib, Husayn. Selain Husayn, tercatat dua nama lain yang menginisiasi gerakan pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan Umayyah dan mengembalikan demokrasi sebagai sistem politik Islam. Namun lagi-lagi, pemberontakan itu harus berakhir di hadapan kekuatan dinasti Umayah yang sedemikian kuat.

Negara feodal-monarkis bentukan Muawiyah segera menjadi negara yang besar setelah melakukan ekspansi ke banyak wilayah. Dalam konteks ini, sejarahwan Philip K. Hitti menuturkan, “seratus tahun setelah kematian Muhammad, pengikutnya -yang dimaksud adalah Muawiyah- menjadi penguasa kekaisaran yang lebih luas di banding Romawi pada puncak kejayaannya. Sebuah kekaisaran dengan wilayah yang terbentang dari pantai Biscay ke wilayah Hindustan dan perbatasan China serta dari laut Aral sampai ke muara sungai Nil. Damaskus dijadikan sebagai ibu kotanya. Di jantung kota ini, sebuah taman di tata seperti hamparan mutiara, berdiri sebuah istana megah. Dari dalamnya bisa dilihat dataran subur yang membentang ke arah barat daya hingga ke gunung Hermont yang berselimutkan salju abadi. Yang membangunnya tiada lain adalah Muawiya. Di dalam ruang pertemuan terdapat sebuah tempat duduk di atas hamparan permadani yang penuh dengan renda-renda cantik dan merupakan singgasana khalifah. Dalam pertemuan resmi, di tempat itu juga sang khalifah duduk bersila dengan mengenakan jubah berjela-jela indah. Di sisi kanan berdiri para kerabat dari garis keturunan laki-laki dan di sisi kiri berdiri para kerabat dari garis kerurunan perempuan, berdiri sesuai usia. Para pembantu khalifah, seniman, utusan negeri asing berdiri paling belakang”.

Uraian Hitti di atas mengilustrasikan bagaimana dinasti Umayah telah sepenuhnya meninggalkan tradisi masyarakat Arab klasik yang diadopsi ke dalam sistem pemerintahan

Page 15: Relasi Agama-Negara

Nabi Muhammad. Kekhalifahan Islam awal sebagaimana diketahui belum mengenal lembaga kerajaan, apalagi pembedaan derajat dan pengelompokan kelas dalam masyarakat. Tradisi masyarakat Arab klasik yang erat dengan kehidupan keras di gurun pasir tidak mengenal gaya hedonisme kekuasaan sebagaimana diekspose oleh kekuasaan Muawiyah. Sebenarnya, gaya hedonis-elitis Muawiyah dalam “menikmati” kekuasaan ini sudah mulai nampak pada masa kekuasaan Ustman. Banyak sejarawan mencatat bahwa Ustman dikenal sebagai sosok yang suka memberikan keistimewaan pada para kerabatnya dengan cara mengangkatnya menjadi gubernur wilayah yang baru saja ditaklukkan. Semangat hedonis itu nampaknya diwarisi oleh Muawiyah. Bahkan, tidak hanya orang-orang dalam lingkaran kekuasaan Muawiyah saja yang menikmati berbagai macam kemewahan tersebut. Kelompok masyarakat kelas menengah-atas yang merupakan kelas baru dalam struktur masyarakat Arab pun turut serta hanyut dalam hedonisme itu. Dalam konteks ini Hitti menulis, “dengan semakin derasnya kekayaan yang mengalir, dua kota suci itu (Mekkah dan Madinah) kian luntur kesuciannya. Keduanya berkembang menjadi pusat kesenangan dan pemuasan nafsu duniawi, sekaligus menjadi rumah bagi musik dan lagu-lagu Arab yang tak ada kaitannya dengan Islam. Di kota Mekkah bahkan dibangun semacam klab yang banyak didatangi pelanggan. Di dalamnya, konon terdapat fasilitas untuk menggantungkan pakaian luar sebelum bermain catur, berjudi, atau hanya sekadar membaca. Sedangkan di Madinah, yang namanya biduan budak (qiyan) dari Persia dan Byzantium jumlahnya kian banyak. Puisi-puisi cinta berkembang sama pesatnya dengan perkembangan hal-hal yang lain. Rumah-rumah hiburan bermunculan di Madinah dan menampilkan para penyair sekelas al Faradzaq yang di kenal di seluruh negeri. Ketika para budak biduan itu memainkan musik dan menyanyikan lagu, para tamu yang merupakan saudagar kaya dan berjubah indah duduk bersandar tanpa alas kaki dan kursi sembari menikmati aroma rempah-rempah dan menyesap secangkir anggur merah dari Syria”.

Tidak semua pihak sependapat dengan gaya kepemimpinan Muawiyah. Sejumlah upaya untuk melakukan kudeta terhadap rezim Muawiyah sebenarya sempat dilakukan. Namun, semuanya gagal. Muawiyah membangun kekuatan rezimnya dengan berbagai macam cara, termasuk mengkooptasi banyak ulama agar mengeluarkan fatwa-fatwa yang mendukung kepentingan kekuasaannya. Salah satu fatwa yang terkenal kala itu adalah fatwa mengenai pemberontakan. Sejumlah ulama yang telah terkooptasi oleh kepentingan Muawiyah memfatwakan bahwa Islam mengharamkan adanya tindakan perebutan kekuasaan secara paksa (pemberontakan) terhadap sebuah rezim. Seburuk apa pun rezim yang tengah berkuasa, tindakan memberontak adalah tindakan yang menyimpang dari syariah. Tidak jarang, para ulama oportunis tersebut menukil ayat-ayat al Qur’an demi melegitimasi fatwa mereka.

Rentang sejarah perjalan Islam yang begitu panjang telah meninggalkan jejak-jejak yang acap kali terlalu kabur untuk dibaca oleh generasi sekarang. Apa yang diuraikan di atas adalah serpihan-serpihan kecil dari seluruh mozaik sejarah Islam yang sangat luas. Meski demikian, nampak jelas uraian di atas memberikan sebuah klarifikasi penting mengenai perdebatan tentang negara Islam, sebuah tema perdebatan yang mungkin tidak akan pernah selesai. Uraian di atas setidaknya memberikan pemahaman pada masyarakat Islam kekinian bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad pada dasarnya bukanlah membentuk satu negara Islam dengan sistem politik dan tata hukum yang jelas. Sebagai masyarakat yang tengah tumbuh, masyarakat Madinah belum memiliki seperangkat aturan politik dan hukum

Page 16: Relasi Agama-Negara

yang bisa dikategorikan sebagai “negara”. Masyarakat Madinah adalah masyarakat berkarakter plural yang berusaha disatukan oleh Nabi Muhammad melalui perjanjian Piagam Madinah. Tidak ada satu pun klausul dalam Piagam Madinah yang menyebut bahwa Islam menjadi landasan hukumnya, apalagi mewajibkan seluruh masyarakat Madinah untuk memeluk agama Islam. Masyarakat Madinah, sebagai prototipe masyarakat ideal Islam bentukan Nabi Muhammad tidak berciri “islami”, dalam artian terbentuk karena campur tangan Tuhan di dalamnya. Sepeninggal Rasulullah, citra masyarakat Islam sebagai komunitas teo-demokratis masih dipertahankan oleh keempat khalifah. Meski diwarnai dengan sejumlah pertentangan, suksesi kekhalifahan yang didasarkan pada prinsip “demokrasi” masih bertahan sampai pada khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib.

Konsep negara Islam yang murni teokratis-monarkis, di mana sistem suksesi kekuasaan dilakukan secara turun temurun baru dimulai pada kekuasaan Muawiyah. Diangkatnya sang anak, Yazid menjadi Amirul Mukminin adalah pembelokan sistem politik yang sangat berpengaruh pada dunia Islam kelak di kemudian hari. Muawiyah membangun satu imperium besar dengan meniru gaya aristokrasi Yunani-Romawi yang sebenarnya bertolak belakang dengan Islam. Islam sendiri sebenarnya tidak menyediakan aturan yang detail mengenai bagaimana sebuah negara dibangun dan dikelola. Nabi Muhammad hanya mengajarkan prinsip-prinsip dasar bermasyarakat dan bernegara. Namun, apa yang dilakukan Muawiyah dengan membangun jejaring politik dinasti dan mempraktekkan gaya hidup yang hedonis nyata-nyata telah menyimpang dari Islam. Tanpa menafikan jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan dan jasa-jasa lainnya, Muawiyah tidak disangsikan lagi telah mengenalkan konsep negara Islam yang di era modern ini justru membidani lahirnya tindakan intoleran, bahkan tindak pelanggaran HAM.

D. Negara dan Agama: Pandangan Para Ulama Sejarah Islam, dibagi ke dalam setidaknya dua fase, yakni klasik-pertengahan dan

modern. Masing-masing fase sejarah tersebut memiliki karakteristik yang khas, berbeda antara satu dan lainnya. Wacana mengenai relasi agama dan negara juga terbagi ke dalam tiga fase tersebut. Ulama-ulama yang hidup di era klasik memiliki pandangan yang khas, dan berbeda dengan pandangan ulama di era pertengahan apalagi modern. Perbedaan pandangan tersebut lebih didasarkan pada konteks zaman yang melatarbelakangi munculnya gagasan ulama tersebut. Sebagaimana diketahui, konteks sosio-politik dari masa ke masa pastilah berbeda dan melahirkan tantangan yang berbeda pula. Maka akan menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihindari manakala pemikiran yang disuguhkan dari masa ke masa pun berbeda. Masing-masing ulama, mengetengahkan pemikiran yang menurut mereka sesuai dengan kebutuhan pada masanya. 1. Pemikiran Negara dan Agama pada Masa Klasik-Pertengahan

Era Islam klasik dalam konteks ini merujuk pada masa kemunculan dinasti Abbasiyah sampai masa kehancurannya oleh serangan bangsa Mongol. Dinasti Abbasiyah yang membangun kerajaan Islam-nya setelah berhasil menggulingkan kekuasaan Umayah melalui pemberontakan. Selama berkuasa kurang lebih 500 tahun, dinasti Abbasiyah telah memberikan sumbangan yang luar biasa pada dunia Islam terutama di bidang ilmu pengetahuan, terutama pada 200 tahun pertamanya. Kesempatan dan dukungan yang diberikan negara pada para intelektual dan ilmuwan untuk mengembangkan pemikirannya telah melahirkan satu perkembangan yang luar biasa. Tercatat banyak temuan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang relatif baru dan sebelumnya belum

Page 17: Relasi Agama-Negara

pernah dikenal. Dalam bidang tata bahasa, para ahli bahasa menyusun tata bahasa Arab yang kemudian dikenal dengan ilmu nahwu-sharaf. Di bidang sastra, perkembangan ditunjukkan dengan semakin banyaknya kritik sastra. Di bidang ilmu hadist, masa ini merupakan masa di susunnya hadist-hadist Nabi Muhammad yang tersusun ke dalam dua kumpulan hadist, yakni shahih bukhari dan shahih muslim. Perkembangan yang signifikan juga terjadi dalam bidang hukum Islam (fiqh), yakni ditandai dengan munculnya banyak mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Adalah Khalifah al Makmun, generasi ke delapan dinasti Bani Abbas, khalifah yang paling memainkan peran sangat besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Al Makmun dikenal sebagai khalifah yang memiliki konsern yang sangat tinggi pada perkembangan ilmu pengetahuan. Melalui kewenangan yang ia miliki ia menginisiasi kontak langsung antara peradaban Islam dengan peradaban Yunani, terutama di bidang filsafat. Ia bahkan merasa perlu membentuk satu lembaga (dikenal dengan Bait al Hikmah) yang diisi oleh para intelektual yang bertugas menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Di masa khalifah al Makmun inilah persentuhan antara Islam dan kebudayaan Barat secara intens terjadi. Upaya al Makmun untuk meluaskan cakrawala ilmu pengetahuan Islam sampai pada wilayah peradaban Barat ini pada akhirnya berbuah manis. Ilmu pengetahuan Islam, terutama di bidang filsafat dan ilmu sosial lainnya berkembang sangat pesat. Era al Makmun ini kemudian melahirkan pemikir-pemikir Islam yang tidak hanya terinspirasi oleh gagasan para filosof Yunani. Tidak bisa dimungkiri bahwa masa ini merupakan masa puncak bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Dalam konteks ilmu politik (jinayah siyasah) muncul setidaknya enam nama pemikir yang gagasan-gagasannya cukup mewarnai pemikiran politik kala itu, yakni Ibn ‘Arabi, al Farabi, Mawardi, al Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun. Setidanya ada dua kesamaan gagasan di antara keenam pemikir tersebut. Pertama adalah adanya pengaruh pemikiran filsafat Yunani pada pemikiran mereka mengenai asal usul negara. Keenam pemikir tersebut nampaknya sangat dipengaruhi oleh konsep asal usul negara yang dikemukakan oleh Plato. Kedua adalah dukungan mereka terhadap sistem politik khilafah. Kecuali al Farabi semua sepakat bahwa sistem politik khilafah-kedinastian adalah yang paling sempurna dan cocok untuk masyarakat Islam. Untuk lebih jelasnya berikut akan dijelaskan pemikiran tokoh tersebut satu per satu. a. Ibn ‘Arabi

Hal paling pertama yang harus dipahami sebelum memahami konsep Ibn Arabi mengenai sistem politik Islam adalah bahwasannya karya Arabi yang membahas tentang sistem politik adalah karya yang diperuntukkan khusus untuk khalifah tertentu di masanya. Maka tidak akan mengherankan apabila ia tidak mempertanyakan keabsahan sistem politik khilafah, bahkan sebaliknya sangat mendukung. Selain itu, dinasti Abbasiyah pada masa Ibn Arabi terbilang tengah berada di puncak kejayaan sehingga tidak ada alasan baginya untuk mengkritik sistem pemerintahan kala itu.

Negara, dalam pandangan Ibn Arabi terbentuk atas interaksi sosial antarmanusia yang berdiam pada satu wilayah tertentu. Seturut dengan gagasan Plato, ia sepakat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Negara dalam wujudnya yang paling sederhana ada untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut. Kebutuhan negara

Page 18: Relasi Agama-Negara

akan seorang pemimpin adalah kebutuhan yang mutlak. Tanpa pemimpin, maka sebuah negara tidak akan bertahan dan menjalankan fungsinya dengan semestinya. Pemimpin, dalam pandangan Ibn Arabi sedianya datang dari kalangan kelas mulia. Derajat kemuliaan, menjadi syarat yang penting lantaran kepemimpinan membutuhkan satu otoritas dan kekuatan untuk menggerakkan subyek yang dipimpin. Sederhananya, seorang yang datang dari kelas biasa-biasa saja tentu tidak akan memiliki kekuatan untuk memerintah masyarakat.

Dari sekian banyak sistem politik, pilihan Ibn Arabi jatuh pada sistem monarki. Ia menolak sistem politik aristokrasi, oligarki, demokrasi apalagi demagogi. Ia menilai, semakin banyak pihak yang ikut campur dalam sebuah pemerintahan maka potensi kekacauannya akan jauh lebih besar. Sistem monarki, akan menjauhkan negara dari potensi keterpecahan dan kekacauan. Lebih lanjut menurut Ibn Arabi, hubungan antara agama dan negara sangatlah erat, bahkan ia menyebut raja sebagai hukum itu sendiri. Ia menyitir ayat al Qur’an yang mengatakan bahwa Allah telah memberikan kedudukan istimewa pada para raja dengan segala keutamaan, telah memperkokoh kedudukan mereka di bumi dan mempercayakan hamba-hamba pada mereka. Mengacu pada ayat tersebut Ibn Arabi berkeyakinan bahwa raja pada dasarnya merupakan utusan Tuhan. Ia mendasarkan pandangannya tersebut pada ayat-ayat al Qur’an antara lain Q.S. An An’am, 165 dan Q. S. An Nisa 59. Berangkat dari ayat tersebut, Ibn Arabi berkeyakinan bahwasannya dasar dari kepemimpinan raja adalah mandat dari Tuhan. Ibn Arabi mengajukan enam syarat bagi seseorang yang ingin menjadi raja. Pertama, ia harus merupakan anggota keluarga dari raja sebelumnya. Kedua memiliki aspirasi yang luhur. Ketiga berpandangan mantap dan kokoh. Keempat, tahan dalam menghadapi kesulitan dalam menjalankan tugas. Kelima, memiliki kekayaan yang besar, dan keenam memiliki pembantu-pembantu yang setia. Salah satu yang menarik adalah ia tidak mengharuskan seorang pemimpin berasal dari suku Quraisy sebagaimana disyaratkan oleh banyak pemikir lain. b. Al Farabi

Farabi dikenal sebagai pemikir Islam produktif yang tidak dekat dengan kekuasaan. Kenyatan ini memberikan keuntungan sekaligus kerugian pada gagasan-gagasannya. Di satu sisi ia bisa mengembangkan pemikiranya secara independen tanpa diintervensi oleh negara, namun di sisi yang lain ia tidak bisa menguji teorinya tersebut secara langsung lantaran ia tidak bergabung dalam struktur pemerintahan.

Nama al Faraby masyhur sebagai filosof Islam yang karyanya banyak dirujuk oleh para pemikir Islam kontemporer. Dalam bidang ilmu politik, al Madinah al Fadhilah adalah karya monumentalnya yang bahkan hingga sekarang masih banyak dikaji. Berbeda dengan Ibn Arabi yang hidup di masa kegemilangan dinasti Abbasiyah, Ibn Arabi harus hidup di tengah situasi yang kurang menguntungkan dengan banyaknya pemberontakan yang berupaya melemahkan kekuasaan Abbasiyah.

Konsep politik yang terkenal dari al Farabi adalah konsep negara utama (al madinah al fadilah) yang mirip dengan gagasan yang sebelumnya dikemukakan oleh Plato. Ia mengibaratkan negara seperti tubuh manusia yang terdiri atas anggota-anggota tubuh dan organ-organnya. Negara yang sehat, tidak ubahnya seperti tubuh manusia yang sehat. Seluruh organ tubuhnya dapat berfungsi dengan baik. Sebaliknya,

Page 19: Relasi Agama-Negara

negara yang tidak sehat serupa dengan tubuh manusia yang sakit, organ tubuhnya tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.

Ibn Arabi membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas. Kelas pertama adalah kelas utama, yakni kelas yang memiliki kedudukan paling tinggi dalam masyarakat. Masyarakat kelas mulia ini dicirikan dengan anggota masyarakatnya yang memiliki kemampuan tertentu yang sangat dibutuhkan dalam sebuah negara. Di bawah masyarakat mulia ini, terdapat kelas masyarakat yang berada satu tingkat di bawahnya. Tugas masyarakat kelas kedua ini adalah membantu tugas masyarakat kelas mulia. Begitu seterusnya sampai pada tingkat masyarakat paling rendah, di mana mereka tidak memiliki pembantu di bawahnya lagi. Pandangan ini diwarisinya dari Plato yang sebelumnya juga mengenalkan gagasan mengenai pembagian kelas dalam masyarakat. Aneh dan menariknya, Plato sendiri tidak pernah memberikan satu penjelasan yang logis mengenai dasar pemikirannya tersebut alih-alih menyebutnya sebagai “ketentuan Tuhan”.

Sesuai dengan teori pembagian kelas, Farabi berpandangan bahwa tidak semua kalangan bisa menjadi pemimpin. Hanya yang berasal dari kelas mulialah yang bisa menjadi pemimpin. Dalam konteks ini pula, Al Farabi mengemukakan satu gagasan yang kontroversial dengan mengatakan bahwa idealnya kepala negara harus ada dahulu sebelum rakyat yang akan dipimpinnya ada. Bagi Farabi pemimpin yang sempurna adalah pemimpin yang memiliki kualitas kesalehan sekelas nabi dan memilki kecerdasan serta kebijaksanaan setingkat filosof. Konsep ini dinilai banyak kalangan sebagai konsep yang ideal namun hampir tidak bisa diwujudkan. Ia mengajukan setidaknya 12 syarat untuk seseorang bisa menduduki jabatan sebagai raja. Pertama, sehat jasmaninya. Kedua, baik daya pemahamannya. Ketiga tinggi intelektualitasnya. Keempat, pandai mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya. Kelima, pecinta pendidikan dan suka mengajar. Keenam tidak rakus pada harta dan perempuan. Ketujuh jujur. Kedelapan berjiwa besar dan berbudi luhur. Kesembilan tidak terlalu berorientasi pada kesenangan duniawi. Kesepuluh adil. Kesebelas memilik integritas dan idealisme dalam menegakkan kebenaran, dan keduabelasnya adalah memiliki keberanian.

Jika tidak ada seorang pun di sebuah negara yang memenuhi kedua belas syarat tersebut, maka al Farabi membuka kemungkinan untuk dibentuk semacam presidum, di mana di dalamnya diisi orang-orang yang memiliki kecakapan sebagaimana disyaratkan. Presidium tersebut idealnya dipimpin oleh orang yang paling banyak memenuhi syarat dari kedua belas syarat yang disebutkan di muka. c. Al Mawardi

Al Mawardi hidup di zaman yang tidak lebih baik dari al Farabi. Kedigdayaan dinasti Abbasiyyah perlahan mulai meredup. Nama al Mawardi cukup terkenal di publik Indonesia karena karyanya berjudul “adabud dunya wa din” yang menjadi kajian wajib di beberapa pesantren. Selain karya tersebut, Mawardi juga menulis sejumlah karya salah satunya yakni al Ahkam al Sulthaniyyah yang berisi uraian mengenai sistem politik dan perangkat-perangkat dalam sebuah negara Islam. Dalam kitab ini, Mawardi tidak hanya berbicara hal-hal yang filosofis dalam sebuah negara dan kepemimpinan melainkan juga mengetengahkan pembahasan detailnya.

Page 20: Relasi Agama-Negara

Al Mawardi berpandangan bahwa sebuah negara mutlak memerlukan enam pilar agar tetap tegak. Pertama, adanya agama yang dihayati. Menurutnya, fungsi agama dalam negara adalah sebagai pengendali hawa nafsu baik bagi yang berkuasa maupun masyarakatnya. Kedua adanya penguasa yang berwibawa. Ketiga, keadilan yang menyeluruh. Mawardi membagi keadilan ke dalam tiga macam, yakni keadilan penguasa terhadap rakyatnya, keadilan rakyat terhadap pemimpinnya serta keadilan sesama rakyat. Keempat, keamanan yang merata. Kelima adanya tanah yang subur dan keenam adanya harapan atas kelansungan hidup.

Al Mawardi adalah salah satu pemikir politik Islam di era klasik yang sepakat dengan ide mempertahankan status quo. Dia berpandangan bahwa sistem politik khilafah yang diterapkan di dunia Islam adalah sistem politik yang sempurna dan cocok bagi dunia Islam. Dukungan terhadap sistem khilafah ini kian diperkuat dengan disyaratkannya seorang khilafah harus dari bangsa Arab khususnya dari suku Quraisy.

Dalam pandangan al Mawardi, kepemimpinan seorang raja tidak bisa lepas dari pengaruh agama di dalamnya. Menurutnya, raja atau khalifah adalah seseorang yang diangkat dan diberi kepercayaan oleh Allah untuk memimpin rakyat sebagai pengganti Nabi untuk mengamankan atau menjaga agama dan diberikan mandat politik sekaligus. Dengan demikian, Mawardi berpendapat bahwa peran yang dijalani oleh seorang khalifah hampir sama dengan peran yang dijalani oleh seorang nabi, yakni di satu sisi mengampu jabatan politis dan di sisi lain juga memainkan peran sebagai pemimpin spiritual.

Mawardi mensyaratkan adanya dua hal dalam pemilihan seorang pemimpin. Pertama, ahl ikhtiar, yakni semacam lembaga yang berwenang untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Anggota dari lembaga ini harus memenuhi sekurang-kurangnya tiga syarat, yakni adil, berilmu dan beriman serta memiliki wawasan luas yang membuatnya menjadi bijaksana. Kedua, ahl imamah yakni orang-orang yang potensial untukk menjadi pemimpin. Ahl imamah ini harus memenuhi tujuh syarat, yakni adil, berilmu, sehat secara jasmani dan rohani, utuh anggota badannya, wawasan luas dalam kepemimpinan, keberanian untuk melindungi rakyat dan tentunya sebagaimana disebut di muka, harus merupakan keturunan Quraisy.

Mawardi juga memperkenalkan dua mekanisme pengangkatan khalifah. Pertama, pemimpin dipilih oleh Ahl al Aqdi wa al Halli, atau disebut juga di muka sebagai al ikhtiar. Kedua, penunjukan langsung oleh pemimpin sebelumnya. Mekanisme suksesi yang dikemukakan oleh Mawardi ini mendapat respon beragam dari kalangan ulama. Sebagian kalangan menilai, suksesi kekuasaan akan sah manakala seorang pemimpin dipilih oleh al ikhtiar secara langsung. Sebagian lagi berpandangan sebaliknya. Pemimpin yang sah adalah pemimpin yang ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya. Sayangnya, Mawardi sendiri tidak menegaskan mekanisme mana yang paling ideal bagi masyarakat Islam. Hal ini menyiratkan satu kesan bahwa Mawardi cenderung berhati-hati dalam menentukan sistem mana yang paling ideal. Selain itu, dapat pula disimpulkan bahwa pada dasarnya Mawardi tidak menemukan satu bukti tekstual bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk membentuk satu negara dengan sistem pemerintahan tertentu.

Salah satu gagasan Mawardi yang terbilang revolusioner untuk ukuran zamannya adalah pendapatnya mengenai kemungkinan menggeser atau mengganti

Page 21: Relasi Agama-Negara

seorang khalifah manakala ia didapati menyimpang dari prinsip keadilan, kehilangan kesehatan jasmani dan rohaninya, kehilangan anggota tubuhnya atau kehilangan independensi dalam memimpin karena adanya tekanan-tekanan dari pihak tertentu. Dari keenam pemikir yang mewakili era Islam klasik, hanya seorang Mawardi yang memiliki gagasan demikian.

Selain gagasan mengenai pemakzulan khalifah, gagasan Mawardi lainnya yang juga tergolong revolusioner adalah gagasannya mengenai teori kontrak sosial. Berbeda dengan kecenderungan para pemikir lain, Mawardi berpandangan bahwa hubungan antara al ikhtiar dan imam (pemimpin) adalah hubungan yang didasarkan pada kontrak sosial yang melibatkan dua pihak secara setara dan dilakukan dengan sukarela. Kontrak sosial tersebut pada akhirnya akan melahirkan hak dan kewajiban yang sama bagi kedua belah pihak. Penting untuk diketahui bahwa Mawardi memperkenalkan gagasannya mengenai kontrak sosial pada abad ke XL. Di Eropa, teori kontrak sosial baru diperkenalkan pada abad ke XVI. d. Al Ghazali

Al Ghazali mungkin menjadi satu-satunya ulama yang paling populer di kalangan masyarakat muslim kekian. Meski tidak semua yang mengenal al Ghazali memahami pemikiran al Ghazali secara komprehensif. Sebagian kecil umat muslim kekinian memahami pemikiran al Ghazali secara utuh, lengkap dengan pemahaman mengenai evolusi pemikirannya yang memang acapkali menjebak. Selebihnya, hanya memahami al Ghazali secara sepotong-sepotong dan tidak menyeluruh. Sebagian besar kalangan dalam Islam selalu mengidentikkan al Ghazali sebagai ulama yang anti filsafat, merujuk pada karyanya Tahafut al Falasifah. Nyatanya, Tahafut al Falasifah hanyalah satu dari sekian banyak karyanya. Di Indonesia, al Ghazali dikenal melalui karyanya di bidang tasawuf yakni Ihya ‘Ulumuddin.

Al Ghazali memiliki konsep tentang asal-usul negara yang agak berbeda dengan apa yang sebelumnya dikemukakan oleh sejumlah pemikir. Menurutnya, keberadaan negara bukan semata untuk memenuhi kebutuhan manusia ketika hidup di dunia yang tidak mungkin bisa dipenuhi sendiri, melainkan juga sebagai aktualisasi nilai-nilai agama guna mempersiapkan kehidupan di akhirat nantinya. Negara, dalam pandangan al Ghazali tidak semata bersifat material belaka, namun juga bernuansa spiritual. Berdasar pada pemahaman itulah al Ghazali berpandangan bahwa pemilihan kepala negara idealnya tidak hanya didasarkan atas pertimbangan rasio belaka, namun juga harus memasukkan pertimbangan keagamaan.

Agama dan negara, dalam pandangan al Ghazali adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Keberadaan seorang pemimpin, tidak hanya menjadi kebutuhan negara, melainkan juga keharusan bagi agama. Sampai pada titik yang paling ekstrim, al Ghazali bahkan berujar bahwa agama dan raja ibarat dua anak kembar, agama adalah fondasi dari negara, dan raja adalah penjaganya. Bagi al Ghazali, raja adalah “bayangan” Tuhan di muka bumi yang wajib dihormati dan ditaati perintah-perintahnya. Terpilihnya seseroang menjadi raja, dalam pandangan al Ghazali, sebenarnya adalah bagian dari skenario Tuhan. Bagi orang-orang pilihan, Allah pada dasarnya telah mempersiapkan kerajaan-kerajaan untuk mereka pimpin. Meski demikian, al Ghazali tetap mengetengahkan syarat-syarat bagi calon pemimpin. Ia mengetengahkan setidaknya sepuluh syarat untuk dipenuhi, yakni dewasa, sehat

Page 22: Relasi Agama-Negara

rohani, merdeka (bukan budak), laki-laki, keturunan Quraisy, sehat indera penglihatan dan pendengarannya, kekuasaan yang nyata, hidayah, berilmu pengetahuan luas dan mendalam, bersikap wira’i (cenderung tidak tergiur dengan kemewahan duniawi). Sepintas, sepuluh syarat yang diajukan oleh al Ghazali tersebut mirip dengan syarat yang dikemukakan oleh Ibn Arabi.

Berbeda dari al Mawardi yang mengetengahkan detail mekanisme pemilihan khalifah, meski tidak memutuskan mana yang paling tepat, al Ghazali cenderung hanya mengemukakan pandangan politiknya mengenai hal-hal yang prinsipil. Ia juga tidak seberani al Mawardi yang mengenalkan gagasan pemakzulan (impeachment) khalifah manakala didapati menyimpang. Alih-alih demikian, ia justru berstatemen bahwa khalifah Abbasiyah yang kala itu berkuasa telah memenuhi sepuluh syarat yang dikemukakan olehnya.e. Ibn Taimiyah

Ibn Taimiyah dikenal sebagai ulama puritan yang memiliki agenda memurnikan ajaran Islam agar kembali pada ajaran Nabi Muhammad dan empat khalifah, baik dalam hal akidah, ibadah dan sistem politiknya. Tidak jarang, pemikiran-pemikirannya cenderung bernuansa radikal dan eksklusif. Jika tidak didudukkan dalam konteks yang tepat, pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah acapkali menimbulkan kesan bahwa Islam adalah agama yang eksklusif dan radikal. Maka tidak jarang jika banyak kelompok garis keras Islam menukil pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah meski kadangkala dengan tidak mengindahkan ruang dan waktu bagaimana gagasan tersebut muncul. Eksklusifitas pemikiran keislaman Ibn Taimiyah muncul sebagai reaksinya menyaksikan realitas kehidupan yang tidak berpihak pada kelompok kecil, seperti dirinya. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, masa kecil Ibn Taimiyah harus dilewati di tempat pengasingan. Dilahirkan di Haran, Suriah Taimiyah kecil harus pindah ke Damaskus guna menghindar dari kekejaman Tartar yang lima tahun sebelum kelahirannya berhasil menghancurkan Bagdad dan mengakhiri kedigdayaan dinasti Abbasiyah. Bisa dibilang, kejatuhan Bagdad oleh serangan bangsa Mongol adalah puncak dari krisis yang sebelumnya melanda dunia Islam di bawah dinasti Abbasiyyah. Sebelum luluh lantak oleh serbuan bangsa Mongol, dinasti Abbasiyah sebenarnya sudah rapuh dari dalam. Disintegrasi sosial, politik serta merosotnya moral para penguasa akibat terlena oleh kekayaan dan kemewahan yang menjadi buah manis dari kekuasaan telah menjadi kanker yang melemahkan dinasti Abbasiyah. Kedatangan Bangsa Mongol yang terkenal berbudaya barbar akhirnya menyudahi sejarah imperium Abbasiyah. Karut marut kondisi sosial itulah yang dihadapi secara langsung oleh Ibn Taimiyah. Namun di sisi yang lain, situasi yang kurang kondusif tersebut justru membentuk Ibn Taimiyah sebagai intelektual Islam yang revolusioner. Ia menghadirkan pemikiran-pemikiran yang melawan arus kecenderungan kala itu. Kejengahannya terhadap penyimpangan Islam, baik dalam persoalan ibadah mahdhah maupun ibadah sosial membentuknya menjadi ulama puritan, ulama yang menghendaki pemurnian ajaran Islam dan kembali kepada Islam sebagaimana diajarkan Nabi dan dipraktekkan oleh empat khalifah. Jika di era kekinian, dikenal istilah fundamentalisme untuk menyebut gerakan-gerakan pemurnian Islam yang tidak jarang diendorse oleh organisasi-organisasi radikal, maka puritanisme Ibn Taimiyah bisa jadi merupakan embrionya. Meski demikian, terlalu naif kiranya untuk

Page 23: Relasi Agama-Negara

mensejajarkan Ibn Taimiyah dengan para intelektual muslim fundamentalis lainnya, sebut saja misalnya Muhammad Abdul Wahab, sosok di balik gerakan Salafi-Wahabi. Ibn Taimiyah tidak disangsikan lagi merupakan intelektual multidispilin ilmu. Ia adalah ahli fiqih Mazhab Hanafi sekaligus ahli filsafat yang kritis. Pembaharuan-pembaruan pemikiran Islam yang ia tawarkan tidak bisa dimungkiri telah memberikan warna bagi dunia Islam, bahkan hingga era kekinian. Syaukani, ahli fikih abad pertengahan bahkan sampai menyebut Ibn Taimiyah adalah intelektual Islam paling besar setelah Ibn Hazm, pakar filsafat asal Andalusia, di zamannya.

Nama Ibn Taimiyyah layak disejajarkan dengan al Ghazali, meski dalam konteks Indonesia al Ghazali jauh lebih populer. Salah satu yang membedakan adalah tingkat kegelisahan yang mereka rasakan. Kegelisahan yang dirasakan al Ghazali lebih kental dengan nuansa pencarian kesejatian hidup yang bersifat pribadi. Hal ini bisa dilihat dari karya-karyanya yang evolutif, berkembang dari masa ke masa, bahkan kadang kala terdapat pertentangan di antara karya-karyanya sendiri. Perjalanan intelektual al Ghazali dimulai dari mempelajari hukum Islam, kemudian berbelok ke filsafat dan akhirnya berlabuh pada tasawuf. Sedangkan kegelisahan Ibn Taimiyah lebih dari sekedar kegelisahan pribadi. Ia gelisah melihat situasi dunia Islam yang jauh dari yang ia idealkan. Kegelisahan personal al Ghazali tertuang dalam karyanya yang terkesan “menyejukkan”, sebaliknya kegelisahan Ibn Taimiyah melahirkan pemikiran yang revolusioner. Dipenjara berkali-kali karena berseberangan dengan penguasa atau hanya karena berselisih pemahaman dengan para ahli fikih mazhab lain pun tidak bisa dihindari oleh Ibn Taimiyah.

Dalam bidang politik, pemikiran Ibn Taimiyah dapat dilacak dari karyanya, “al Siyasah al Syariah fi Islah al Ra’i wa al Rai’yah” (Politik Berdasarkan Syariah untuk Perbaikan “Gembala” dan “Penggembala”. Karya ini diketengahkan Ibn Taimiyah sebagai jawabannya atas kian rapuhnya bangunan moral sosial Islam, terutama oleh Perang Salib dan serangan bangsa Tartar yang meruntuhkan peradaban Islam. Tanpa risih, Ibn Taimiyah menuding para khalifah yang tidak becus dalam memilih orang yang tepat sebagai pembantunya sebagai biang keladi utama kemerosotan sosial masyarakat Islam. Kebobrokan moral para pemimpin, ditengarai Ibn Taimiyah sebagai penyebab utama mengapa dunia Islam berada pada situasi yang memperihatinkan. Untuk itu ia menyerukan agar umat Islam, terlebih lagi para pemimpinnya, untuk “kembali” pada ajaran Islam yang murni. Baginya, “Islam” adalah jawaban atas segala kemelut yang tengah dihadapi dunia Islam saat itu.

Inti dari pemikiran politik Ibn Taimiyyah adalah konsep amanat, yang sebenarnya ia adopsi dari al Qur’an. Ibn Taimiyah mengklasifikasikan amanat ke dalam dua definisi. Pertama, amanat adalah kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab negara atau pemerintah untuk mengelolanya. Pengelolaan amanat yang baik, menurut Ibn Taimiyah, dapat dilihat dari bagaimana kepala negara memilih para pembantunya. Kepala negara yang baik, dalam pandangan Taimiyah adalah kepala negara yang membagi kekuasaannya pada orang-orang yang memiliki kecakapan dalam memimpin dan memiliki integritas yang tidak diragukan. Kepala negara yang mengangkat pembantunya hanya berdasarkan perasaan suka, apalagi karena pertimbangan hubungan keluarga, dinilai Taimiyah sebagai pemimpin yang telah mengkhianati kepercayaan Tuhan. Ibn Taimiyah secara

Page 24: Relasi Agama-Negara

tegas tidak mentoleransi praktek nepotisme dalam pembagian kekuasaan atau pengangkatan pembantu-pembantu seorang kepala negara. Seorang kepala negara diharuskan bersikap obyektif dalam memilih siapa-siapa yang akan berada dalam lingkaran kekuasaannya. Secara eksplisit Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa seorang yang cakap secara intelektual dan memiliki kekayaan melimpah adalah sosok yang paling tepat untuk menjadi pembantu kepala negara. Meski pada akhirnya ia menyadari sulit untuk menemukan orang dengan klasifikasi yang demikian tersebut.

Kedua, amanat dimaknai sebagai pengelolaan kekayaan negara serta perlindungan harta milik rakyat. Negara dalam hal ini memiliki kewenangan untuk “memaksa” rakyatnya membayar apa yang telah ditentukan oleh kepala negara, semisal pajak, upeti dan semacamnya. Namun begitu juga sebaliknya, negara harus membelanjakan dana yang diterima dari rakyatnya untuk hal-hal yang tidak melanggar ketentuan Islam. Kepala negara harus sepenuhnya sadar bahwa harta tersebut bukan miliknya, melainkan hanya amanat atau titipan. Negara, dalam hal ini juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak milik pribadi tiap rakyatnya.

Keadilan sosial bisa dibilang menjadi tema sentral dalam pemikiran politik Ibn Taimiyah. Ia mengangankan negara Islam ideal yang bebas dari praktek nepotisme kekuasaan, korupsi dan penistaan terhadap rakyat. Abu Dzar yang merupakan sosok revolusioner dalam sejarah Islam klasik menjadi sosok yang diidolakan sekaligus menjadi inspirasi bagi pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah. Komitmen kepada keadilan, bagi Ibn Taimiyah adalah satu hal yang tidak bisa ditawar. Baginya, keberadaan pemerintah menjadi kebutuhan pokok yang tidak boleh alpa dalam kehidupan manusia. Sebobrok apa pun sebuah pemerintahan, menurutya, jauh lebih bagus tinimbang tidak ada pemerintahan sama sekali. Namun demikian, tugas untuk menegakkan keadilan di muka bumi adalah juga tugas manusia yang paling utama. Ia berujar bahwa kepala negara yang adil, meskipun ia bukan muslim, adalah jauh lebih baik daripada pemimpin yang tidak adil meskipun ia seorang muslim. Allah, seturut dengan keyakinan Taimiyah, lebih suka melihat negara kafir yang adil, daripada negara Islam yang tidak adil.f. Ibn Khaldun

Lahir di Tunisia, Afrika Utara pada tahun 732 H atau 1332 M, Ibn Khaldun tumbuh menjadi seorang intelektual Islam yang masyhur di dunia Islam. Karya-karyanya dalam bidang sejarah, sosiologi dan filsafat telah memperkaya khasanah keilmuan, tidak hanya dalam lingkup dunia Islam namun juga dunia luas. Ibn Khaldun menghabiskan hampir sepertiga hidupnya yang pertama di kawasan Afrika Barat Laut. Pada zaman itu, kawasan tersebut tengah dipanaskan dengan perebutan kekuasaan antardinasti yang menyebabkan masyarakatnya tidak merasakan stabilitas politik. Pergantian kekuasaan dari satu dinasti ke dinasti yang lainn dalam waktu yang relatif yang singkat menjadi satu hal yang lumrah saat itu. Realitas sosial-politik itulah yang menjadi latarbelakang dari kehidupan Ibn Khaldun, yang juga mewarnai karir intelektualnya. Sebagaimana dituturkan oleh para peneliti, Ibn Khaldun dikenal sebagai intelektual yang gemar berpindah-pindah loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain, kadang kala dengan cara sukarela namun tidak jarang pula dengan ppertiimbangan untung rugi bagi dirinya. Dalam konteks ini pula ia pernah dipenjara lantaran loyalitas gandanya pada dua dinasti.

Page 25: Relasi Agama-Negara

Sebagaimana lazimnya pemikir klasik, Ibn Khaldun masih beranggapan bahwa agama dan negara, adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dia berpendapat bahwa sebuah negara idealnya menjadikan agama sebagai dasar hukumnya. Hukum yang diambil dari ajaran agama, menurut Ibn Khaldun akan menjamin kesejahteraan manusia, tidak hanya di dunia melainkan juga di akhirat. Tidak berbeda dengan pemikir sebelumnya, ia juga mendukung sistem politik dinasti di mana pemimpin (imam atau khalifah) dipilih berdasar hubungan kekerabatan dengan pemimpin sebelumnya. Meski demikian, Ibn Khaldun tetap mensyaratkan adanya lembaga Ahl al Halli wa al Aqdi, yang berhak melakukan seleksi dan memilih siapa yang pantas menjadi khalifah. Bagi calon khalifah, Ibn Khaldun mewajibkan ia berpengetahuan luas, sehat badan dan utuh semua panca inderanya, dan berasal dari keturunan Quraisy.

Meski meyakini bahwa hukum yang didasarkan pada ajaran agama pasti jauh lebih baik dari hukum yang disusun berdasar akal manusia, Ibn Khaldun tetap mewanti-wanti para khalifah bahwa hal itu saja belum cukup untuk menjamin terciptanya tata kehidupan sosial yang harmonis antar warganegara. Kecakapan memimpin dan wibawa yang dimiliki oleh sang khalifah mutlak diperlukan dalam hal ini.

Salah satu teori sosial-politik yang terkenal dan kemudian selalu menjadi ikon bagi dirinya adalah teori Ashabiyah. Secara sederhana, ashabiyah dapat dimaknai sebagai “solidaritas kelompok”, meski frasa ini nampaknya masih terlalu sederhana untuk menjelaskan konsep ashabiyah tersebut. Pada intinya, Ibn Khaldun berpendapat bahwa semua manusia pastilah memiliki kebanggaan atas identitas, status dan segala macam hal yang melekat pada dirinya yang ia dapatkan secara turun temurun. Misalnya, orang Arab-Quraisy pastilah memiliki kebanggaan akan kearaban dan kequraisyan mereka yang membuat mereka merasa saling memiliki satu sama lain. Sense of belonging (perasaan saling memiliki) inilah yang dipandang Ibn Khaldun sebagai salah satu motivasi terbesar lahirnya sebuah komunitas yang di dalamnya terdapat jejaring hubungan sosial yang erat antaranggotanya. Uraian panjang lebar Ibn Khaldun mengenai teori ashabiyah kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, ashabiyah pada dasanya dimiliki setiap manusia dan menjadi karakter atau sifat dasar manusia. Dasar dari ashabiyah tersebut bisa bermacam-macam, antara lain hubungan darah, kesamaan wilayah tempat tinggal, persekutuan maupun hubungan yang bersifat hirarkis (antara penguasa dan rakyat misalnya). Ashabiyah akan melahirkan perasaan bahwa orang lain adalah juga bagian dari dirinya. Kedua, ashabiyah menjadi syarat mutlak berdirinya sebuah negara. Dalam konteks ini, Ibn Khaldun meragukan eksistensi sebuah negara yang terdiri atas bermacam-macam suku bangsa dan memiliki wilayah-wilayah yang tercerai berai dan tidak saling terhubung satu sama lain. Ibn Khaldun berpandangan bahwa masing-masing suku pastilah memiliki rasa solidaritas sosial (ashabiyah)nya masing-masing yang akan berbenturan jika disatukan dalam satu kekuasaan negara. Nampaknya Ibn Khaldun lebih memilih negara dengan corak homogen tinimbang negara heterogen yang terdiri atas beragam suku bangsa di dalamnya.

Ketiga, seorang kepala negara agar dapat menjalankan fungsinya sebagai kepala negara yang berkewajiban menjamin kemakmuran ekonomi dan stabilitas

Page 26: Relasi Agama-Negara

politik baik ke dalam maupun keluar haruslah memiliki kewibaaan yang besar dan kemampuan fisik yang memadai. Selain itu, ia (pemimpin) juga diharuskan memiliki dukungan baik yang bersifat politis maupun sekedar dukungan moral dari kelompok yang memiliki tingat ashabiyah tinggi. Artinya, hendaknya pemimpin dalam sebuah negara didukung oleh kelompok mayoritas di negara tersebut.

Keempat, ada dua syarat untuk menegakkan supremasi sebuah negara, yakni agama dan ashabiyah. Negara yang mendasarkan hukumnya pada agama dan didukung dengan ashabiyah yang kuat akan menjadi negara yang besar dan kuat. Di samping itu, Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa agama juga tidak akan bisa disebarkan secara luas tanpa dukungan Ashabiyah. Sejarah nampaknya membuktikan tesis Ibn Khaldun. Sebut salah satunya dalam kasus ajaran Wahabi yang disebarkan oleh Syekh Abdul Wahab. Sebagaimana diketahui ajaran ini menyebar dengan pesat bahwa menjadi corak Islam paling dominan di wilayah Arab setelah bersekutu dengan keluarga Abu Saud.

2. Pemikiran Agama dan Negara di Era Kontemporer Masa kontemporer dalam konteks ini ditandai dengan kejatuhan Bagdad oleh

serangan Bangsa Mongol yang terjadi pada abad ke 13 M. Invasi militer Bangsa Mongol ini sontak menghancurkan kekuasaan dinasti Abbasiyah yang kala itu memang tengah dilanda krisis sosial dan politik. Serangan bangsa Mongol ke Bagdad nyatanya tidak hanya meninggalkan keruskan maha dahsyat bagi peradaban Islam, melainkan juga telah mengakhiri eksistensi lembaga khalifah yang berlaku di dunia Islam selama ratusan tahun. Meskipun Abbasiyah sebagai simbol kekuasaan pusat telah tiada, namun hal itu tidak lantas menenggelamkan kekuasaan Islam secara keseluruhan. Setidaknya ada tiga kekuasaan Islam yang muncul pada abad ke 16 M yakni kerajaan Ustmaniyah yang berkuasa di wilayah Timur Tengah dan sebagian Eropa, kerajaan Safawi di wilayah Persia, dan kerajaan Mughal di anak benua India. Namun patut disayangkan bahwa di kurun abad ke 18 supremasi ketiga kerajaan tersebut mulai memudar. Setidaknya ada dua faktor yang disebut-sebut melatarbelakangi lunturnya supremasi tiga kerajaan Islam tersebut. Pertama, adanya persentuhan Islam dengan kebudayaan atau tradisi di luarnya, terutama pemikiran filsafat Yunani dan kebudayaan Persia yang menyebabkan tidak murninya lagi ajaran Islam. Dalam konteks ini muncul tudingan dari sejumlah ulama yang menyebut tasawuf sebagai biang dari kemunduran peradaban Islam. Ajaran tasawuf yang berorientasi pada spiritualitas dan cenderung mengabaikan kepentingan dunia ditengarai telah melemahkan jiwa masyarakat Islam.

Sebagai respon atas kemunduran peradaban Islam yang oleh banyak kalangan disebut sebagai akibat dari tidak terjaganya kemurnian ajaran Islam, muncul pemikiran dari sejumlah intelektual Islam yang agenda utamanya adalah “memurnikan” ajaran Islam, mengembalikan Islam pada karakter aslinya di zaman Rasulullah dan empat khalifah penerusnya. Gerakan puritanisasi Islam ini kemudian melahirkan sejumlah nama besar yang nantinya akan sangat berpengaruh pada perkembangan pemikiran Islam di era kontemporer. Di pedalaman Jazirah Arab muncul gerakan puritanisasi Islam yang dimotori oleh seorang ahli fikih bernama Syekh Muhammad Abdul Wahab yang hidup antara tahun 1703 sampai 1792 M. Gerakan yang kemudian dikenal dengan “Wahabi” ini berorientasi untuk mengajak umat Islam meninggalkan praktek keislaman yang mereka pandang menyimpang dari ajaran Islam. Terma “menyimpang” dalam ajaran Wahabi berarti tidak adanya sumber tekstual (al Qur’an

Page 27: Relasi Agama-Negara

dan hadist) yang bisa dijadikan landasan hukum bagi suatu perbuatan yang tergolong ibadah. Secara khusus, gerakan ini mengagendakan pembersihan tradisi sufisme yang dipandang banyak memasukkan unsur-unsur kebudayaan Persia dan filsafat Yunani ke dalam praktek-praktek spiritualnya dan menyebutnya sebagai bid’ah. Pelabelan bidah terhadap suatu praktek keislaman yang dipandang tidak ada sumber tekstualnya dalam Islam belakangan menjadi trademark dari gerakan wahabi. Dalam menjalankan misi puritanisasi Islamnya, gerakan wahabi tidak segan menggunakan cara-cara kekerasan. Penghancuran makam-makam ulama yang dianggap wali oleh para pengamal ajaran tasawuf, bahkan sampai pembunuhan para ulama yang berseberangan pendapat dengan kelompok wahabi menjadi cara yang lazim digunakan mereka, atas nama memurnikan ajaran Islam. Wahabi sebagai gerakan dan paham keislaman mulai menyebar dengan pesat dan dominan sebagai “warna” Islam di seantero Jazirah Arab setelah mereka menjalin persekutuan dengan Abu Saud yang kala itu merupakan kepala klan terbesar di Arab. Persekutuan inilah yang belakangan menjadi embrio lahirnya negara Arab Saudi yang secara politik mengacu pada model politik dinasti kekhilafahan dan secara teologi menganut “mazhab” wahabi yang cenderung tekstualis dan radikal.

Pembaharuan Islam nyatanya tidak hanya terjadi di wilayah Arab. Di anak benua India, kemunduran dinasti Mughal yang dibangun oleh anak cucu Jengis Khan yang telah masuk Islam, direspon oleh Syah Waliullah dengan proyek pembaharuan keislaman yang ia gulirkan. Semasa hidupnya, yakni tahun 1702 sampai 1762 M, Syah Waliullah gencar mengecam kebobrokan moral yang melanda kaum muslim, khususnya muslim India. Sejalan dengan Syekh Abdul Wahab, ia juga menuding tasawuf sebagai ajaran yang telah menyebabkan kemunduran peradaban Islam. Meski beragendakan puritanisasi Islam, cara yang ditempuh Waliullah tidak serupa dengan cara-cara kelompok wahabi. Syekh Waliullah cenderung menempuh cara-cara yang damai dan diplomatis untuk memurnikan ajaran Islam. Waliullah tidak serta merta mengecap kelompok sufi sebagai pelaku bidah, alih-alih mengadakan koreksi terhadap beberapa ajaran yang tidak sesuai dengan Islam.Cara-cara simpatik yang ditempuh oleh Waliullah ini kemudian bisa meniadakan konflik antara ulama fikih yang cenderung tekstual dengan para sufi yang cenderung memakai pendekatan intuitif. Singkatnya, di masa itu ada dua gerakan yang mengagendakan pemurnian ajaran Islam, namun memiliki karakter yang berbeda. Syekh Abdul Wahab dengan karakternya yang antikompromi dan Syekh Waliullah yang lebih kompromistis.

Namun demikian, harus diakui bahwa gerakan-gerakan puritanisme Islam tersebut ternyata tidak bisa sepenuhnya menyelamatkan Islam dari keterpurukan. Mungkin sedari awal, diagnosis sejumlah kalangan yang menyebut kemunduran Islam adalah semata-mata ekses negatif dari ajaran tasawuf adalah diagnosa yang kurang tepat. Lantaran pada dasarnya, kemunduran Islam pada dasarnya adalah akumulasi dari beragam persoalan yang melanda dunia Islam selama sekian lama. Belum juga bisa lepas dari kejumudan yang dilatari oleh faktor internal, pada abad ke 19 M dunia Islam harus menghadapi tantangan yang lebih berat lagi yakni adanya penetrasi kekuatan Barat (Eropa) yang mulai masuk ke dunia Islam. Gelombang kolonialisme-imperalisme Eropa agaknya tidak bisa dihindari oleh dunia Islam. Kala itu, hampir seluruh wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam berada di bawah kolinalisme Barat, dari Maroko yang berada di ujung barat sampai Indonesia yang berada di timur jauh, semua berada di bawah kendali bangsa Barat. Indonesia sendiri, sebagai bangsa muslim paling besar di dunia, harus merasakan tiga abad kekuasaan

Page 28: Relasi Agama-Negara

imperalisme Belanda. Meski pun pada akhirnya kolonialisme Barat atas dunia Islam dan dunia Timur secara keseluruhan sudah berakhir pada awal akhir abad ke 19 namun pada kenyatannya di bidang ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan, dunia Islam masih sangat jauh tertinggal oleh Bangsa Barat, bahkan dalam banyak hal masih sangat tergantung dengan Barat. Kondisi inilah yang melahirkan gerakan pembaharuan Islam gelombang kedua, pasca gerakan Wahabi dan gerakan Syekh Waliullah yang bercorak puritan. Ada tiga faktor yang melatari lahirnya gerakan pembaharuan di era pasca kolonialisme ini, yakni kenyataan bahwa puritanisasi terutama yang dilakukan oleh kelompok Wahabi tidak menjawab akar persoalan dalam kejumudan Islam, bahkan melahirkan sejumlah persoalan baru, salah satunya adalah merebaknya radikalisme dalam Islam, juga adanya kesadaran bahwa berakhirnya kolonialisme tidak lantas berarti bebasnya dunia Islam dari dominasi bangsa Barat.

Di era ini, pembaharuan pemikiran Islam melahirkan tiga nama besar dalam percaturuan pemikiran Islam, yakni Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ketiganya memiliki hubungan intelektual yang sangat erat. Al Afghani tidak lain merupakan guru dari Muhammad Abduh, sedangkan Rasyid Ridha berguru pada Abduh. Lantaran kedekatan intelektual inilah tidak mengherankan manakala terdapat kemiripan antara ketiga gagasannya. Meski belakangan, sepeninggal al Afghani, para penerusnya, Abduh dan Ridha memperlihatkan pergeseran pemikiran dari apa yang sebelumnya diwariskan al Afghani.

Riwayat hidup al Afghani dimulai pada tahun kelahirannya yakni 1838. Sebagian kalangan menyebutnya berasal dari wilayah Kabul Afganistan, sebagian yang lain menyebutnya berasal dari Persia. Al Aghani dikenal sebagai salah satu intelektual Islam al Azhar, salah satu universitas Islam termasyhur yang berpikiran moderat. Al Afghani meninggal pada bulan Maret 1897 setelah mengidap kanker selama bertahun-tahun. Sedangkan muridnya, Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 di Mesir. Pada umur 23 tahun, Abduh mulai menjadi murid al Afghani. Dari gurunya itulah, ia mengenal karya-karya para pemikir Barat, terutama di bidang filsafat dan politik. Bisa dibilang, Abduh adalah pengikut setia al Afghani, sebelum gurunya tersebut dipaksa hengkang dari Mesir karena gagasannya yang dipandang subversif bagi penguasa kala itu. Perjalanan hidup Abduh pun tidak jauh dari apa yang dialami sang guru. Diusir dari Mesir karena didakwa terlibat dalam gerakan makar, Abduh harus hidup di Paris sebagai tempat pengasingannya. Selama di pengasingan itulah, Abduh menjalin kontak dengan gurunya dan membentuk satu organisasi. Abduh wafat tahun 1905 dengan jabatan terakhir sebagai mufti (ulama) besar negara. Muhammad Rasyid Ridha, sebagai generasi terakhir “trio pembaharu” lahir parda tahun 1865 di Lebanon. Pertemuannya dengan gagasan pembaharuan yang digagas Al Afghani dan Abduh terjadi pertama kali ketika ia membaca majalah al Urwah al Wustqa. Namun keinginan keinginan Ridha tersebut harus berakhir dengan kekecewaan lantaran al Afghani sendiri kala itu tengah berada di penjara. Namun kekecewaan itu terbalas lantaran akhirnya Ridha pun bertemu dengan Abduh, tepatnya pada tahun 1882. Kolaborasi keduanya melahirkan jurna al Manar, yang menjadi corong pembaharuan pemikiran Islam kala itu. Menurut catatan sejarah, jurnal itu pula yang turut membentuk corak pemikiran Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kiai Ahmad Dahlan “bertemu” dengan jurnal tersebut ketika ia menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Sepeninggal Abduh, Ridha setia meneruskan proyek pembaharuan Islam yang dirintis sejak era al Afghani melalui jurnal

Page 29: Relasi Agama-Negara

al Manar. Proyek pembaharuan inilah yang kemudian dikenal luas dengan istilah Salafiyah. Namun belakangan, terma salafiyah sendiri memiliki pemahaman yang berbeda-beda, tergantung dari tokoh di baliknya. Salafiyah yang digagas oleh Afghani, Abduh dan Ridha, dalam hal ini jauh berbeda dengan gerakan salafiyah-wahabiyah yang dimotori oleh Abdul Wahab. Salafiyah Afghani, Abduh dan Ridha lebih bernuansa modernisasi Islam, membongkar tradisi Islam yang dipandang tidak visible untuk membawa Islam menuju kemajuan dalam bidang pemikiran, ekonomi dan politik. Salafiyah ala Afghani, Abduh dan Ridha terdiri atas tiga komponen utama. Pertama, keyakinan bahwa “back to Qur’an and Sunnah” adalah jawaban bagi krisis yang dialami dunia Islam. Kedua, seruan bagi dunia Islam secara luas untuk melawan dominasi kolonialis Barat. Ketiga, meski menyerukan untuk tidak tunduk oleh dominasi Barat, umat Islam diharapkan untuk bisa belajar dari Barat dalam bidang ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan.

Dalam perkembangannya, Salafiyah yang digawangi oleh al Afhani, Abduh dan Ridha berkembang menjadi tiga pemikiran yang berdiri sendiri. al Afghani lebih cenderung berorientasi pada gerakan politik. Ia lebih tepat disebut sebagai aktivis politik, tinimbang sebagai pemikir politik. Sementara Abduh dan Ridha merupakan pemikir-pemikir yang lebih banyak berwacana mengenai pembaharuan Islam daripada menginisiasi gerakan politik. Perbedaan kecenderungan itu bermuara pada perbedaan sikap mereka atas kekuasaan khalifah Ustmaniyah. Berbeda dengan Afghani yang mengambil jarak dengan kekhalifahan Ustmaniyyah dan bersikap menentang, Abduh dan Ridha bersikap sebaliknya. Menurut kedunya, khalifah Ustmaniyah adalah kekhalifahan yang sah dan tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Keduanya beranggapan bahwa meski bobrok dari dalam, masih ada harapan bagi khalifah Ustman untuk diperbaiki.

Dalam rangka misi pemurnian Islam, al Afghani membentuk sebuah organisasi Jamaah Islamiyyah atau dikenal pula dengan sebutan Pan-Islamisme. Organisasi tersebut dimaksudkan untuk menyatukan seluruh kekuatan umat Islam di seluruh dunia. Meski sepakat dengan gagasan al Afghani, pada kenyataannya pandangan Abduh dan Ridha mengenai Jamaah Islamiyah berbeda. Al Afghani memposisikan Jamaah al Islamiyah sebagai sebuah organisasi persatuan umat Islam, baik yang telah merdeka maupun yang masih memperjuangkan kemerdekaannya. Dua agenda penting Jamaah al Islamiyyah adalah menetang kolonialisme-imperialisme Barat dan menentang sistem pemerintahan absolut Ustmaniyah. Pada titik inilah, sebagaimana telah disebut di atas, al Afghani, Abduh dan Rihda berseberangan pendapat. Abduh sendiri meyakini bahwa rezim Ustmaniyah masih bisa dibenahi, sedangkan Ridha justru berpendapat bahwa Jamaah Islamiyah idealnya merupakan lembaga resmi bentukan rezim Ustmaniyah, dan berada langsung di bawah kendali Sultan Abdul Hamid II. Jika al Afghani hendak menempatkan Jamaah Islamiyah sebagai oposisi dari sistem kekhalifahan Ustmaniyah, maka Ridha justru sebaliknya. Ia ingin menjadikan Jamaah al Islamiyah sebagai benteng terakhir dari kekhalifahan Ustman. Sikap ini sekaligus menunjukkan keberpihakan Rasyid Ridha pada sistem politik khilafah.

Munculnya friksi antara al Afghani, Abduh dan Ridha nampaknya tidak bisa dihidari, meski pada dasarnya mereka berangkat dari satu titik yang sama, yakni agenda untuk mereformasi dunia Islam. Perbedaan cara dan strategi yang mereka tempuh seolah telah membentuk satu batas-batas intelektual yang sulit dikaburkan. Al Afghani dengan semangat aktivismenya beranggapan bahwa agenda reformasi dunia Islam hanya bisa dicapai dengan jalan revolusi sosial, berbasis pada kekuatan rakyat. Sementara bagi Abduh, evolusi dengan

Page 30: Relasi Agama-Negara

karakternya yang bertahap, adalah cara yang paling ideal untuk reformasi dunia Islam. Evolusi, menurutnya akan melahirkan perubahan yang dirasakan oleh semua lapisan masyarakat Islam, sedangkan revolusi kemungkinan besar hanya akan memberikan keuntungan bagi segelintir pihak, terutama pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kekuasaan. Lebih dari itu, Abduh menekankan pentingnya reformasi di bidang pendidikan sebagai salah satu pilar penting dalam agenda reformasi masyarakat Islam secara keseluruhan. Reformasi di bidang pendidikan diyakini Abduh akan menghasilkan masyarakat Islam yang sadar akan hak, kebebasan sekaligus tanggung jawabnya. Reformasi di bidang politik tanpa reformasi di bidang pendidikan dinilai Abduh sebagai tindakan yang sia-sia, lantaran tidak akan menghadirkan perubahan yang berarti.

Di antara ketiga tokoh Salafi (non-wahabi) tersebut, bisa dibilang Abduh adalah satu-satunya pemikir Islam yang corak pemikiran politiknya relatif paling maju dan memiliki konsepsi politik yang berbeda dengan para pemikir klasik. Ia sudah beranjak dari pendapat ulama klasik yang menganggap agama dan negara adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ia juga tidak lagi mengadopsi keyakinan para ulama klasik yang menempatkan raja sebagai cerminan Tuhan di muka bumi. Abduh, berupaya membongkar semua adagium tersebut untuk kemudian mengenalkan perspektif barunya. Menurut Abduh, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama. Artinya, Islam tidak mengenal kekuasaan satu kelompok atas kelompok lainnya yang didasarkan pada ajaran agama atau mandat dari Tuhan. Dalam pandangan Abduh, agama adalah wilayah privat manusia sehingga tidak dibenarkan bagi siapa pun untuk mencampuri urusan keagamaan orang lain, bahkan bagi penguasa sekalipun. Lebih lanjut Abduh menegaskan bahwa khalifah adalah lembaga sipil semata, bukan lembaga bentukan Tuhan (divine creation), yang dengan demikian tidak bernilai sakral. Sebagai lembaga yang profan, khalifah bertanggung jawab sepenuhnya pada rakyat, dan bis diberhentikan atas kehendak rakyat. Pandangan moderat Abduh ini terejawantahkan dalam sepak terjangnya dalam dunia politik praktis Mesir, terutama kala ia merumuskan dasar-dasar Partai Nasional Mesir pada tahun 1881. Pada butir V di sana disebutkan bahwa Partai Nasional Mesir bukanlah partai agama, melainkan partai politik yang keanggotaannya tidak hanya terbatas dari kelompok muslim, namun juga terbuka untuk kelompok Nasrani, Bahkan Yahudi. Abduh menyatakan bahwa dasar Partai Nasional Mesir yang ia susun tersebut merupakan cerminan dari esensi ajaran Islam mengenai kesetaraan hak manusia. Islam, menurutnya tidak mengenal pembedaan manusia berdasar agama dan suku bangsanya. Pandangan Abduh yang sekuleristik tersebut kemudian diwarisi oleh para muridnya. Salah satu yang kemudian masyhur sebagai penganjur sekulerisme dalam Islam adalah Ali Abdur Raziq. Mengenai pemikiran Ali Abdur Raziq dapat dilihat dalam bab tersendiri.

E. Epilog Tidak bisa dimungkiri bahwa sebagai sebuah wacana, relasi antara agama dan negara

berkembang dalam bingkai sejarah yang pelik. Masa Nabi yang digadang-gadang menjadi “masa percontohan” bagi umat Islam setelahnya nyatanya tidak bisa dikatakan sebagai prototipe ideal bagi dunia Islam kekinian. Perbedaan latar sejarah sosial-politik era Nabi Muhammad dan masa kekinian adalah kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Di masa Nabi, sistem sosial umat Islam masih sangat sederhana. Relasi vertikal antara “penguasa” dan “rakyat” jauh dari nuansa formal. Umat Islam bisa bertemu dengan Nabi Muhammad

Page 31: Relasi Agama-Negara

sebagai pemimpin umat Islam dengan sangat mudah. Nabi Muhammad tidak diposisikan dan memposisikan diri sebagai pemimpin yang eksklusif. Belum ada lembaga pemerintahan resmi layaknya negara modern. Keadaan itu masih berlanjut sampai era empat khalifah. Kesederhaan dan informalitas menjadi ciri khas para penguasa Islam kala itu. Bahkan, sebuah riwayat menuturkan bahwa suatu hari ada seorang nenek tua yang ingin bertemu dengan Khalifah Umar untuk mengadukan sesuatu. Lantaran tidak pernah bertemu dengan Umar, perempuan tua itu menghampiri seoarang laki-laki yang tengah sibuk memperbaiki sandalnya yang rusak. Tidak dinyana, laki-laki tersebut adalah khalifah besar Umar bin Khattab. Membayangkan kehidupan sosial semasa Nabi dan Khalifatullah sebagai kehidupan bernegara layaknya negara modern, lengkap dengan mekanisme pemerintahan dan lembaganya adalah sebuah kesalahan besar. Kala itu, komunitas Islam adalah komunitas yang baru saja terbentuk dan belum memiliki sistem sosial yang mapan, utamanya di bidang politik. Hal ini bisa dilihat dari pergantian pemimpin dari Rasulullah sampai khalifah terakhir yakni Ali yang tidak pernah menggunakan mekanisme yang sama.

Keadaan mulai berubah semenjak Muawiyah merebut kekuasaan dari khalifah Ali bin Abi Thalib. Muawiyah, kemudian membelokkan arah masyarakat Islam ke corak yang sama sekali berbeda dengan yang sebelumnya diteladankan oleh Nabi Muhammad. Entah dari mana dasarnya, ia membentuk satu negara dengan sistem politik dinasti, di mana suksesi kepemipinan lebih didasarkan pada hubungan kekeluargaan bercorak patriarkis. Sistem politik dinasti yang diterapkan oleh Muawiyah ini secara langsung telah mengasingkan masyarakat Islam dari identitas sejarahnya. Keterasingan itu kian lengkap manakala Muawiyah mengadopsi gaya kepemimpian penguasa-penguasa Romawi yang cenderung hedonistis, dan mengambil jarak dengan rakyat. Rakyat tidak bisa dengan mudah menemui khalifah, karena harus melewati birokrasi protokoler yang melelahkan. Gaya hidup mewah dan pembagian kekuasaan secara oligarkis berbasis pada hubungan famili menjadi corak yang dominan pada negara Islam yang dibentuk oleh kedinastian Muawiyah. Pola pemirintahan yang demikian ini bertahan hingga ratusan tahun bahkan berlanjut sampai dinasti Abbasiyah.

Krisis sosial-melanda dunia Islam yang dilatari oleh terjun bebasnya moral para khalifah Islam dan juga serangan dari luar memunculkan sejumlah pertanyaan mengenai sistem kekhalifahan di dunia Islam. Muncul sejumlah anasir dalam Islam yang menghendaki ditinjaunya kembali sistem politik dinasti dalam Islam. Terlebih ketika pasca kolonialisme, dunia Islam tidak juga menunjukkan geliatnya, suara-suara untuk mengakhiri sistem khilafah dan menggantinya dengan sistem demokrasi, yang itu artinya mengharuskan adanya pemisahan antara kekuasaan negara dan agama, kian nyaring terdengar. Desakan untuk mengadopsi sistem demokrasi nyatanya tidak hanya datang dari kalangan Barat, namun juga datang dari kalangan Islam sendiri. Sejumlah intelektual Islam yang berpandangan moderat meyakini bahwa integrasi agama dan negara dalam satu sistem yang saling berkelindan lebih sering menimbulkan persoalan. Di zaman modern seperti sekarang ini, di mana hubungan sosial yang melibatkan masyarakat dan negara idealnya berbasis pada penghargaan atas hak-hak dasar manusia, negara Islam monarkis dengan coraknya yang otoriter dan despotik nampaknya tidak lagi visible untuk mewujudkan tata kehidupan dunia Islam yang adil, sejahtera dan berkeadaban.

Pemisahan otoritas antara agama dan negara, menjadi satu kebutuhan umat Islam di era kekinian. Agama, hendaknya dijadikan landasan moral, bukan sebagai landasan hukum

Page 32: Relasi Agama-Negara

positif. Mekanisme suksesi kekuasaan hendaknya dilakukan berdasar prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan bagi tertampungnya aspirasi seluruh kelompok masyarakat. Begitu pula dalam masalah hukum. Hukum hendaknya disusun berdasar pertimbangan akal manusia dan dikerangkakan untuk menegakkan keadilan. Negara, harus dipahami dalam bentuknya sebagai perwujudan dari aktualisasi manusia yang tidak ada kaitannya dengan Tuhan.