Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Entrepreneuship masyarakat Lamongan di Jakarta terkonstruksi dalam sebuah dialektika bukan karena faktor lingkungan sosial budaya yang bersifat ekslusi sosial. Melainkan motivasi dalam mobilitas sosial
climbing untuk mentransformasi status sosial (achieved status) di masyarakat secara vertikal. Konklusi ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan para informan yang berwirausaha dalam sektor kuliner. Temuan ini menunjukan bahwa lingkungan sosial budaya hanya memberi implikasi terhadap kesadaran diskursif pada pola migrasi masyarakat Lamongan ke Jakarta.
RELIGIUSITAS DAN ENTREPRENEURSHIP Masyarakat Migran
Muhammad Ainun Nasikh
Cinta Buku Media
RELIGIUSITAS DAN ENTREPRENEURSHIP MASYARAKAT MIGRAN
Penulis : Muhammad Ainun Nasikh Editor : Imam Zaki Fuad Desain Sampul : Nur Nukmah Layout : Nounna
Penerbit Nama Penerbit : Cinta Buku Media Alamat : Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No.8 Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan Hotline CBMedia 0858 1413 1928 e_mail: [email protected] All rights reserverd Hak cipta dilindungi Undang-Undang Cetakan: Ke-1 Juni 2016 ISBN: 978-602-6902-31-3
iii
Kata Pengantar
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirahi>h. Puji dan syukur Alhamdulillah
peneliti haturkan kepada Allah ta‘a>la> atas segala rahmat, hidayah,
dan lindungan-Nya. Berkat semua nikmat dan anugerah-Nya
peneliti dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan tema
“Religiusitas dan Entrepreneurship Masyarakat Migran”. Meskipun
dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangannya. Oleh
sebab itu, saran dan kritik yang membangun dari para guru besar
yang memberikan banyak pengetahuan kepada peneliti serta teman-
teman mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta senantiasa peneliti harapkan guna perbaikan. Tesis ini
merupakan hasil penelitan penulis sebagai persyaratan
menyelesaikan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Gagasan dalam pengerjaan research ini berawal dari keinginan
peneliti untuk mengungkapkan fenomena sosial kewirausahaan
masyarakat pedesaan di Jakarta. Secara sederhana, peneliti berusaha
untuk menggali nilai-nilia lokal dan motivasi masyarakat pedesaan
dalam berwirausaha dan berkompetisi agara survive di Jakarta
sebagai kota terbesar di Indonesia. Peneliti awalnya mengkaji
kewirausahaan masyarakat pedesaan sebagai problem solving pengangguran. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti
berharap semoga tesis ini tidak hanya memberikan manfaat secara
akademis. Tetapi juga manfaat secara praktis sebagai kontribusi
peneliti dalam pengembangan masyarakat.
Penyelasaian dalam pengerjaan tesis ini tidak akan terealisasi
tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti
mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan motivasi dan saran dalam upaya penyelesaian tesis ini.
Pertama kepada bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA sebagai rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah,
iv
sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, beserta jajaran pengurus dan pimpinan, Prof. Dr. Didin
Syaefuddin, MA, dan Dr. JM. Muslimin, MA, juga kepada seluruh
civitas akademik dan Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN
Jakarta. Terlebih pegawai yang selalu memberikan kenyamanan dan
kemudahan dalam pelayanan kampus. Kepada mas Arif Mahmudi
dan mas Adam, mbak Vemy dan mbak Ima, pak Imron, pak Teguh,
pak Zul, pak Anin serta pegawai Sps lainnya.
Kedua kalinya, Prof. Dr. M Bambang Pranowo, MA yang
dengan penuh kesabaran dan ketekunan memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada peneliti. Sehingga disela-sela kesibukannya,
beliau banyak menyempatkan waktu buat peneliti. Atas semua ilmu
dan pengorbanan yang beliau berikan, peneliti mengucapkan banyak
terima kasih kepada Prof. Dr. M Bambang Pranowo, MA
jazakumullahu ahsana jaza khoiron katsi>ro>. Tidak lupa para dosen
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah memberikan banyak
wawasan dan pengetahuan selama perkuliahan, Prof. Dr. Azyumardi
Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA,
Prof. Dr. Usep Abdul Matin, MA, Prof. Dr. Abdul Chair, MA, Prof.
Dr. Abdul Mujib, Prof. Dr. Ahmad Rodhoni MM, Prof. Dr. Zulkifli,
MA, Prof. Dr. Masri Mansoer MA, Prof. Dr. Abudin Nata, MA,
Prof. Dr. Muhammad Zuhdi, MA serta para dosen yang telah
memberikan banyak ilmu kepada peneliti.
Ketiga, peneliti ucapkan rasa terima kasih tak terhingga
kepada kedua orang tua. Bapak Sunadji dan Ibu Siti Fatimah atas
segala jerih payah dan kasih sayangnya dalam membesarkan dan
mendidik peneliti sampai saat ini. Peneliti berharap semoga mampu
memberikan kebahagiaan dan kebanggaan bagi kedua orang tua
kelak. Kepada saudara peneliti, Nurul Khasanah, Zahratun Nisak
dan Ahmad Thoriq Hidayatulah, serta Fitri Citra dan bu Yuyun
yang telah memberikan motivasi untuk terus berkarya bagi agama
bangsa dan kedua orang tua.
Keempat, peneliti ucapkan terimakasih banyak kepada senior,
teman, dan sahabat seperjuangan di Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama kepada Bapak Daminto
Danansuryo sahabat karib peneliti yang telah memberikan banyak
nasehat dan motivasi kepada peneliti selama kuliah di Sps UIN
v
Jakarta. Kang Sansan Ziaul Haq yang setia menemani peneliti
keliling Jakarta n makan nasi pecel. Teman-teman SPS, bang Jaky
dan bang Choky sebagai teman setia di quite room, bang Iredo Fani
Reza, mas Novairi Husaini, Oja Rosalinda yang baik hati, pak
Zulkarnain as-Samarinda yang murah senyum, mas Irham yang
menemani peneliti keliling Jakarta, pak Munjin, pak Asep Saifullah,
Rahmad Hidayat, pak Bahrudin yang memberikan banyak
pengetahuan pada peneliti, mas joe Yudril yang ringan tangan pada
teman-teman, Fahmi Majid dan Firmansyah, Saipul dan Sairul, Pak
Tony dan Atok Islami, Hengky, mbak Yanti, Sonia, Fitria Anwar,
ust Munif Sulaiman, Jon Hafidz, Didik, Dadan, gus Rabitul Umam
dan Zainul Mun’im, bu Rahmi dan bu Ramlah, pak Kombes Yahya
Agil, pak Saifudin Herlambang, pak Zulkifli, pak Mu’thi, bu
Uswatun, pak Aiz, Suhendra, Widya, mbak Rista, Dewi, bang
Sahlan, dll.
Sahabat-sahabat di kosan yang selalu berbagi kebahagiaan
dan canda tawa bersama (Fadhil Marjan yang keren n suka
menolong, mas Nawir, mas Okha Putra dan Akmal Gunawan yang
membuat penulis selalu tertawa di kosan, Pak Amril dan Pak
Rahman Muhahalli yang sering memberi nasehat kepada peneliti,
mas Rof’il, Salman, dan Hulaimi, buya Isya, Syahir, Ghifar, Goldi,
Tarmiji dan Zainul). Semoga Allah mengabulkan cita-cita kita
semua agar menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa, dan
bangsa. Amiin ya robbal alamiinn.
Wassalamu Alaikum. Wr. Wb.
Peneliti
Muhammad Ainun Nasikh
vi
vii
Abstrak
Tesis ini menyimpulkan entrepreneuship masyarakat
Lamongan di Jakarta terkonstruksi dalam sebuah dialektika bukan
karena faktor lingkungan sosial budaya yang bersifat ekslusi sosial.
Melainkan motivasi dalam mobilitas sosial climbing untuk
mentransformasi status sosial (achieved status) di masyarakat secara
vertikal. Konklusi ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan para
informan yang berwirausaha dalam sektor kuliner. Temuan ini
menunjukan lingkungan sosial budaya hanya memberi implikasi
terhadap kesadaran diskursif pada pola migrasi masyarakat
Lamongan ke Jakarta.
Berdasarkan temuan selama penelitian, tesis ini sependapat
Mc Clelland (1961), yang menyimpulkan perilaku kewirausahaan
ditentukan oleh motivasi berprestasi (need of achievement) yang
mendukung perkembangan suatu masyarakat. Penelitian ini juga
sependapat dengan Philipp Koellinger (2008), Wacquant (1992),
yang menjelaskan perilaku kewirausahaan bukan ditentukan oleh
lingkungan sosial budaya. Temuan ini diperkuat oleh Bambang
Pranowo (2009), yang mendeskripsikan adanya interaksi masyarakat
Jawa dengan pasar disertai dengan intensitas kepemilikan lahan.
Memberikan implikasi pada aktivitas ekonomi berskala makro yang
menyebabkan kemajemukan profesi masyarakat Jawa. Lebih lanjut,
Robert W. Hefner (2000), menyimpulkan bahwa kebudayaan Jawa
tidak konta dengan sistem perdagangan dan kewirausahaan.
Sementara itu, peneliti tidak sependapat dengan Davidsson
(1995), Paul Tracey dan Nelson Phillips (2007), yang
mengidentifikasi pandangan mengenai korelasi antara nilai-nilai
budaya dan perilaku kewirausahaan. Penjelasan terbentuknya
perilaku kewirausahaan didasarkan atas asumsi masyarakat yang
mengajarkan nilai-nilai kewirausahaan akan banyak orang yang
menjadi wirausaha. Pendapat ini diperkuat oleh Koentjaraningrat
(2007), yang mendefinisikan adanya warisan budaya priayi menyebabkan masyarakat Jawa bekerja sebagai pegawai pegawai
negeri sipil (PNS). Dalam sektor kewirausahaan, masyarakat Jawa
viii
mempunyai etos kerja yang rendah karena warisan budaya priayi yang menyebabkan enggan untuk berwirausaha.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif
(descriptive research) yang menjelasan maksud dari sebuah
fenomena sosial (taxonomic research). Jenis data dalam penelitian
ini berasal dari data primer dan sekunder dan dianalisis untuk
mendapatkan hasil penelitian yang valid, reliable dan objektif.
Lokasi dalam penelitian ini adalah Jakarta. Sedangkan yang menjadi
objek penelitian adalah masyarakat Lamongan yang secara ekslusif
berwirausaha dalam sektor kuliner. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sosiologi, ekonomi, dan antropologi
yang dianalisis dengan teori kewirausahaan dan transformasi sosial.
Kedua teori tersebut merupakan preposisi yang digunakan untuk
mendeskripsikan fenomena sosial.
Kata Kunci : Migrasi, entrepreneurship, status sosial, budaya.
ix
Pedoman Transliterasi Arab-Latin Ala-LC Romanization Tables
1. Konsonan
Initial Romanization Initial Romanization
ḍ ض omit ا
ṭ ط b ب
ẓ ظ t ت
‘ ع th ث
gh غ j ج
f ف }h ح
q ق kh خ
k ك d د
l ل dh ذ
m م r ر
n ن z ز
sس s ه،ة h
w و sh ش
y ي ṣ ص
1. Vokal
x
Seperti halnya bahasa Indonesia, vokal dalam bahasa Arab
meliputi: vokal tunggal [monoftong] dan vokal rangkap [diftong].
a. Monoftong
Tanda Nama Huruf Latin
ــــ Fath}ah a
Kasrah i ــــ
ــــ D}ammah u
b. Diftong
Tanda dan
Huruf Nama Gabungan Huruf
ــــ ي Fath}ah dan Ya ay
ـــــ و Fath}ah dan Wawu aw
2. Maddah
Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda
ــــــــ ــىـــــ ـا Fath}ah dan Alif atau
Ya a>
ــــ ي Kasrah dan Ya i>
ـــــ و D}ammah dan Wawu u>
3. Ta Marbut}ah
Ta Marbut}ah yang berharakat sukun (mati) dan diikuti kata
lain [dalam istilah bahasa Arabnya posisinya sebagai mud}a>f], maka
transliterasinya t. Akan tetapi, apabila tidak diikuti dengan kata lain
atau bukan sebagai posisi mud}a>f, maka menggunakan h. Contoh:
Kulli>yat al-A<da>b ك لية اآلد اب al-Bi>’ah الب يـئ ـــــــــــــــة
xi
Daftar Isi
Kata Pengantar ......................................................................... iii
Abstrak ..................................................................................... vii
Transliterasi ............................................................................. ix
Daftar Isi .................................................................................. xi
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Permasalahan .................................................................. 17
1. Identifikasi Masalah ....................................................... 17
2. Pembatasan Masalah ....................................................... 19
3. Rumusan Masalah ........................................................... 19
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................. 19
D. Tujuan Penelitian ............................................................ 29
E. Manfaat Penelitian .......................................................... 29
F. Metode Penelitian ........................................................... 30
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ...................................... 30
2. Waktu Penelitian ............................................................ 33
3. Tahap Penelitian ............................................................. 34
4. Sumber Data ................................................................... 36
G. Sistematika Penulisan ..................................................... 38
BAB II
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama
Dalam Diskursus Ilmu Sosial
A. Diskursus Migrasi ........................................................... 41
1. Kajian Teori Migrasi ....................................................... 44
2. Migrasi dalam Perspektif Islam ....................................... 49
xii
B. Entrepreneurship dalam Diskursus Ilmu Sosial ............... 53
1. Landasan Teori Entrepreneurship ................................... 55
2. Pendekatan Teori Perubahan Sosial ................................ 69
C. Entrepreneurship dalam Perspektif Islam ........................ 77
BAB III
Gambaran Umum Daerah Asal
Masyarakat Lamongan
A. Islam di Lamongan ......................................................... 81
1. Sejarah Penyebaran Islam di Lamongan .......................... 88
2. Akulturasi Islam di Lamongan ........................................ 94
3. Transformasi Sosial Tradisi Keagamaan ......................... 106
B. Deskripsi Wilayah Kabupaten Lamongan ....................... 110
1. Kondisi Geografis ........................................................... 115
2. Sistem Mata Pencaharian Penduduk ............................... 116
3. Tingkat Pendidikan Masyarakat ..................................... 121
C. Kondisi Sosial Masyarakat Lamongan ............................ 125
BAB IV
Migrasi dan Entrepreneurship
Masyarakat Lamongan di Jakarta
A. Motif Migrasi Masyarakat Lamongan ke Jakarta ............ 135
1. Faktor Kondisi Geografis ................................................ 145
2. Faktor Sosial Budaya ...................................................... 149
3. Faktor Ekonomi .............................................................. 156
B. Fase Migrasi Masyarakat Lamongan ............................... 163
C. Konstruksi Entrepreneurship ........................................... 176
1. Latar Belakang Berwirausaha ......................................... 182
2. Pola Manajemen Kewirausahaan ..................................... 209
D. Problem dalam Berwirausaha .......................................... 214
E. Filosofi Berwirausaha ..................................................... 217
xiii
BAB V
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan
A. Pola Interaksi Sosial Masyarakat Lamongan di Jakarta ... 227
B. Korelasi Agama dengan Wirausaha ................................. 232
C. Ekspresi Keagamaan Masyarakat Lamongan di Jakarta .. 240
D. Entrepreneurship dan Diferensasi Sosial Keagamaan ...... 248
E. Kontribusi Masyarakat Lamongan
dalam Mereduksi Pengangguran ...................................... 257
BAB VI
Penutup
Kesimpulan .............................................................................. 271
Saran ........................................................................................ 273
Daftar Pustaka .......................................................................... 275
Glosarium ................................................................................. 289
Indeks ....................................................................................... 291
Biografi Penulis ........................................................................ 293
xiv
1
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ekonomi yang disebabkan kompetisi usaha
telah membawa implikasi terhadap kehidupan masyarakat.1
Pembangunan ekonomi suatu negara menyebabkan terjadinya
perubahan budaya.2 Problem kultural adalah hambatan yang berasal
dari masyarakat yang disebabkan oleh rendahnya etos kerja.
Eksistensi kebutuhan baru yang sengaja diciptakan manusia
memberikan dampak pada aspek transformasi sistem mata
pencaharian. Koentjaraningrat (2009), menyatakan mayoritas
masyarakat pedesaan secara general bermata pencaharian sebagai
petani (peasant communities) dan nelayan (fishing communities).3
Kondisi geografis dimana entitas masyarakat tinggal dapat
1 Pasar bebas sering dianggap tidak siap untuk mengatasi masalah sosial
seperti bahaya lingkungan, ketimpangan, masalah kesehatan, pengangguran,
kejahatan, dan sebagainya). Karena pasar dianggap tidak memiliki kapasitas untuk
memecahkan masalah sosial, tanggung jawab ini biasanya diserahkan kepada sektor
publik. Lihat, Alex Nicholls, eds. Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable Social Change, (New York: Oxford University Press, 2006), 72.
2 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University of Chicago Press, Source: Economic Development and Cultural Change, Vol. 58, No.
4 (July 2010), 609-641. 3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2009), 217. Orang desa biasanya bekerja sebagai petani karena mentalias mereka adalah petani. Sementara orang perkotaan biasanya bekerja
sebagai buruh, pedagang dan pegawai serta berwirausaha. Mereka mempunyai
motivasi yang lemah untuk menjadi wirausahawan. Lihat juga, Koentjaraningrat,
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangnan (Jakarta: PT Gramedia, 2008), 37.
2 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
mengkonstruk sistem mata pencaharian. Masyarakat yang tinggal di
daerah pesisiran secara umum bermata pencaharian sebagai nelayan.
Asumsi ini di dasarkan pada ketersediaan sumber daya alam yang
berasal dari laut. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah
pegunungan yang bermata pencaharian sebagai petani.
Masyarakat Indonesia pada dasarnya mempunyai kesempatan
yang sama untuk bermobilitas sosial, terutama dalam aspek
ekonomi. Keterbatasan lahan pertanian serta tuntutan untuk
meningkatkan status sosial dapat menjadi stimulus terhadap
transformasi sistem mata pencaharian suatu masyarakat. Manusia
sebagai mahluk utilitarian mempunyai kecenderungan berpikir
secara rasional ketika mengadopsi resiko. Kalkulasi pendapatan
sebagai media meningkatan status sosial menjadi pertimbangan
yang penting bagi masyarakat desa dalam mengambil opsi dalam
bekerja.
Masyarakat Jawa secara umum menempatkan status sosial
bukan hanya berdasarkan indikator kekayaan atau akumulasi materi.
Status sosial pada aspek pemerintahan adalah pertimbangan penting
yang membentuk orientasi kerja masyarakat Jawa. Berbeda dengan
masyarakat Cina yang menempatkan status sosial berdasarkan
akumulasi kekayaan. Pola kehidupan sosial dalam bentuk stratifikasi
sosial masyarakatnya di tentukan oleh kinerja mereka dalam
menghimpun kekayaan. Pola kehidupan masyarakat Jawa
membentuk suatu tatanan sosial yang menyebabkan sebagian besar
masyarakatnya berorientasi pola kerja di pemerintahan yang dikenal
dengan budaya priayi atau ambtenaar. Sistem priayi di Jawa
menurut Denys Lombard (1990), tidak selamanya diwariskan oleh
ayah kepada anak-anak mereka. Kebudayaan priayi berkembang dari
abad ke-17 dan diwariskan sampai saat ini.4
4 Denys Lombard, Le Carrefour Javanais (Paris: E>cole des Hautes E>tudes en
Sciences Sociales, 1990), 103. Diterjemahkan oleh, Winarsih Partaningrat Arifin
Pendahuluan I 3
Namun bahan-bahan etnografis menunjukan bahwa
kebudayaan Jawa tidak menolak perdagangan. Keakraban
masyarakat Jawa dengan pasar tidak mengherankan ketika
pedagang-pedagang yang berasal dari Jawa dengan mudah
membedakan transaksi yang bersifat sosial dan ekonomi. Orang
Jawa terlibat perdagangan namun tidak dalam akumulasi kekayaan,
mereka adalah pengusaha yang bukan kapitalis.5 Perubahan sosial
suatu masyarakat yang menilai status sosial bukan di dasarkan pada
aspek pendidikan atau jabatan dapat membentuk pola kehidupan
yang baru. Orientasi masyarakat yang pada awalnya bekerja sebagai
pegawai negeri sipil atau pemerintahan secara gradual dapat
tereduksi. Prestasi pada aspek akademisi mengalami degradasi
ketika masyarakat menghadapkan pencapaian pengetahuan dan
status sosial dalam dunia kerja tidak lagi menjadi sebuah indikator
yang intens.
Reifikasi sosial yang menjadi sebuah indikator ketika menilai
status sosial individu ditengah-tengah masyarakat ditentukan oleh
eksistensi materi. Feneomena pola kehidupan materialisme dapat
merubah sistem berpikir (mindset) masyarakat yang terdiri dari
entitas-entitas individu. Aspek prestasi dalam pendidikan dan status
kepangkatan dalam dunia kerja tidak lagi menjadi sebuah nilai yang
vital. Pemaknaan status sosial terhadap individu pada fase yang
demikian ditentukan oleh akumulasi kekayaan semata.
Alih profesi dianggap sebagai sebuah opsi yang tepat sebagai
mekanisme dalam meninkatkan income guna memenuhi kebutuhan
hidup. Masyarakat pedesaan tidak lagi memandang bahwa bekerja
sebagai petani ataupun nelayan dapat meningkatkan kekayaan
mereka secara massif. Ketiadaan lahan pertanian menjadi faktor
dkk, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama), 103. 5 Robert W. Hefner, Eds. Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam
Kapitalisme Asia Baru (Jakarta: PT. Pustakan LP3ES, 2000), 303-304.
4 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
yang dapat merubah pola sistem mata pencaharian masyarakat.
Aktivitas individu yang tidak mempunyai lahan pertanian pada
umumnya bergantung pada sektor yang lain. Untuk memenuhi
kebutuhan hidup, mereka pada umumnya bekerja sebagai buruh tani
dan serabutan.
Kewirausahaan merupakan diantara opsi yang memberikan
ekspektasi besar dalam akumulasi kekayaan. Profesi yang demikian
banyak membeikan ketidakpastian dalam upaya menghimpun
kekayaan. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih enggan
untuk memilih profesi sebagai seorang wirausaha. Diantara faktor
yang menghambat terbentuknya perilaku entrepreneur adalah
dikarenakan sikap individu yang tidak ingin berkompetisi.6
Termasuk konsep etos kerja nerima ing pandum (menerima segala
pemberian apa adanya).7
Pada kasus tertentu, jenis pekerjaan yang demikian dianggap
menjanjikan serta tidak membutuhkan sebuah legalitas pendidikan
dalam kontinuitasnya. Keberhasilan dalam berwirausaha memang
menjadi harapan semua orang. Meskipun tidak semuanya menuai
keberhasilan sebagaimana yang diharapkan.8 Golongan masyarakat
yang tidak mempunyai pendidikan yang layak secara umum
mengambil opsi bekerja pada sektor non formal yang tidak
membutuhkan gelar secara akademisi. Pertimbangan yang penting
pada sektor entrepreneur bukan ditentukan oleh hanya reproduksi
dunia pendidikan semata. Masyarakat yang tidak mempunyai
pendidikan yang layak senantiasa termotivasi untuk berwirausaha
ketika ingin memperbaiki kehidupan ekonominya. Diantara mereka
6 Willy Arafah. Esensi Lingkungan Bisnis dan Entrepreneurship (Jakarta:
Univaersitas Trisakti, 2010), 27. 7 Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa: Penelitian, Perbandingan, dan
Pemaknaan Budaya (Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2015),
136. 8 Kasmir, Kewirausahaan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 30.
Pendahuluan I 5
bahkan banyak yang eksis ketika menjalankan usaha di berbagai
sector di kota-kota besar di Indonesia.
Masyarakat migran dari golongan bawah mayoritas belajar
kewirausahaan dari pendidikan kewirausahaan pada tempat mereka
magang atau bekerja. Pola pendidikan yang demikian secara aktif
banyak memproduksi wirausahawan kelas kaki lima yang bergerak
dalam berbagai sektor perekonomian. Termasuk dalam sektor
kuliner yang dianggap tidak membutuhkan banyak keterampilan dan
modal untuk menjalankan usaha. Eksistensi usaha kecil yang
terdapat di kota-kota besar diharapakan memberikan kontribusi
dalam mengurangi jumlah pengangguran.
Masyarakat Lamongan merupakan di antara sekian banyak
kelompok migran yang terdapat di Jakarta. Secara umum, jenis
usaha kuliner menjadi orientasi masyarakat Lamongan dalam
mendirikan usaha. Opsi sektor kuliner merupakan jenis usaha yang
menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat Lamongan yang
bermigrasi ke-kota-kota besar di Indonesia. Sektor kewirausahaan
yang di jalankan oleh masyarakat Lamongan telah memberikan
dampak yang intens dalam mengurangi jumlah pengangguran di
kota-kota besa di Indonesia seperti Surabaya dan Jakarta.
Berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya yang
berorientasi sebagai priayi yang berorientasi sebagai pegawai
negeri.9 Meskipun bekerja sebagai priayi membawa seseorang untuk
bergaul dengan bebagai lapisan masyarakat. Pandangan hidup
diukur berdasarkan banyaknya teman dalam sistem kehidupan
masyarakat Jawa (blater) yang menjadi sebuah filosofi.10
Masyarakat Lamongan mempunyai perbedaan dengan masyarakat
Jawa pada orientasi kerja sebagai wirausaha. Dalam bahasa Jawa
9 Niels Murder, Petualangan Seorang Antropolog di Jawa (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), 156. 10 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,
Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1993), 158-157.
6 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
ada sebuah akronim untuk menggambarkan motivasi masyarakat
Lamongan dalam mengembangkan semangat kewirausahaannya
yakni: bondo nekat atau bonek sebagai ungkapan yang mempunyai
arti modal nekat dalam mengawali segala sesuatu.
Fenomena kewirausahaan masyarakat Lamongan menjadi
sebuah kajian yang unik bagi peneliti. Ditengah berbagai program
pemerintah atau swasta untuk mendirikan perguruan tinggi yang
memberikan pengajaran dan skill. Kewirausahaan masyarakat
pedesaan mempunyai peran yang tidak kalah penting dalam upaya
mereduksi problem sosial pengangguran. Metode pembelajaran yang
diterapkan kewirausahaan masyarakat pedesaan khususnya
masyarakat Lamongan adalah learning by working, yakni bekerja
sambil belajar.
Latar belakang kebudayaan merupakan diantara faktor yang
menyebabkan dan membentuk perilaku masyarakat. Budaya
masyarakat yang menilai perilaku atau status sosial bukan
ditentukan oleh faktor kekayaan mampu membentuk suatu
masyarakat yang hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
sehari-hari. Masyarakat yang demikian ini biasanya bersifat
sederhana dan membentuk suatu tatanan kehidupan sosial yang
teratur. Para pemuda atau penduduk dapat merasa nyaman ketika
menempati kampung halamannya. Sistem kehidupan yang dibangun
bukan di dasarkan pada akumulasi kekayaan semata. Melainkan dari
aspek menjalankan nilai dan tatanan sosial secara holistic.
Setiap masyarakat pada dasarnya mempunyai peran yang
sama dalam memperbaiki sistem mata pencahariannya. Mereka bisa
menjadi petani dan pedagang sesuai dengan potensi yang mereka
miliki. Faktor geografis hanyalah sebagian kecil diantara beberapa
sebab yang mempengaruhi. Budaya ambtenaar yang diwariskan oleh
Belanda sampai saat ini masih dijalankan oleh masyarakat Jawa.
Sebagian besar mereka mempunyai motivasi untuk bekerja sebagai
pegawai pemerintahan atau yang dikenal dengan budaya priayi.
Pendahuluan I 7
Situasi ekonomi yang kurang baik disertai dengan minimnya
kemampuan mengembangkan karir pada akhirnya menyebabkan
masyarakat desa bermigrasi ke-kota. Krisis ekonomi ketika
dihadapkan pada perubahan sosial masyarakat tidak lagi menjadi
hambatan dalam mengingkatkan kemapanan dalam kehidupan.
Kebutuhan individu yang meningkat pada akhirnya membawa
implikasi berupa perubahan sosial, yakni fase dimana masyarakat
semakin individualis dan mementingkan aspek materi.
Situasi lokal masyarakat yang tidak nyaman serta kehidupan
perkotaan yang dianggap memberikan peluang yang menjanjikan
menjadikan push and pull antara pedesaan dengan perkotaan.
Masyarakat desa mempunyai asumsi bahwa kehidupan yang mereka
jalankan di desa tidak lagi baik. Kontrol sosial yang kuat disertai
peluang yang minim mengakibatkan masyarakat desa bemigrasi ke
kota-kota besar. Dengan adanya kontrol yang kuat menyebabkan
ruang gerak masyarakat desa terasa sempit dan tidak leluasa dalam
mengembangkan karirnya sebagaimana di kota-kota besar.
Dalam kehidupan, manusia mempunyai kebutuhan yang
bersifat materiil dan non materiil atau jasmani dan rohani.
Kebutuhan materiil erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan
yang bersifat jasmaniah sebagai sarana dalam melanjutan
kelangsungan hidup. Makan dan minum serta berbabagai sarana
kebutuhan lain sengaja diperjuangakan manusia guna
melangsungkan kehidupannya. Sementara kebutuhan yang bersifat
rohani ataua batiniah biasanya erat kaitannya dalam upaya untuk
meningkatkan status sosialnya. Kebutuhan ini lebih bersifat pada
upaya pemuasan nilai dan nama dalam kehidupan masyarakat.
Kelompok individu menetapkan berbagai indikator khusus yang
menjadi tolok ukur tinggi rendahnya status sosial seseorang.
Perubahan sosial dalam masyarakat desa erat kaitannya
dengan sistem mata pencaharian yang berhubungan dengan kondisi
alam. Termasuk beralihnya mata pencaharian yang awalnya dari
8 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
petani pada sektor yang lain. Masyarakat yang mempunyai lahan
yang sedikit mensiasati penambahan kebutuhannya dengan mencari
kerja sampingan. Berdagang merupakan pekerjaan yang erat
kaitannya dengan kalangan ibu-ibu. Sedangkan bertani identik
dengan pekerjaan yang dilakukan oleh kalangan laki-laki.11
Adanya perubahan kondisi musim menyebabkan petani
mengalami ketergantungan yang tinggi dengan alam. Mereka hanya
mengandalkan mata pencahariannya dalam sektor pertanian semata
tanpa tergantung dengan mencari sumber pendapatan yang lain.
Para antropolog mengkaji tentang cara hidup manusia dengan
mengumpulkan data mengenai proses ekonomi atas budaya lokal.12
Termasuk dalam kegiatan sistem mata pencaharian masyarakat yang
tergantung dengan kondisi alam.
Budaya masyarakat desa yang masih berorientasi pada
pegawai dengan gaji bulanan yang stabil serta rendahnya kualitas
etos kerja masyarakat. Mengakibatkan meningkatnya jumlah
pengangguran dan menimbulkan problem sosial seperti kemiskinan,
kriminalitas dan masalah-masalah sosial lainnya.13
Pengangguran
merupakan problem sosial yang merugikan serta menimbulkan
berbagai dampak negatif.
Ketidaksesuaian antara skill dengan dunia kerja terkadang
menyebabkan kinerja kerja yang kurang efektif. Sebuah kondisi
dihadapkan dengan pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang dan
keahlian yang tidak berkorelasi. Sebuah koreksi bagi kalangan
sarjana ataupun catatan penting bagi para pemerintah. Sebab sarjana
11 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2009), 95. 12 Beni Ahmad Sebani, Pengantar Antropologi (Bandung: Pustaka Setia,
2012), 46. 13 Alex Nicholls, eds. Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable
Social Change, (New York: Oxford University Press, 2006), 322.
Pendahuluan I 9
mempunyai modal penting berupa Sumber Daya Manusia (SDM)
yang berkualitas.14
Orientasi masyarakat untuk menjadi pegawai dengan gaji
bulanan yang stabil menjadi faktor penyebab terjadinya fenomena
sosial yang demikian.15
Mindset masyarakat yang merasa lebih
bergengsi bilamana bekerja pada sebuah perusahaan besar ataupun
instansi pemerintahan daripada membuka lapangan kerja baru dari
awal. Adanya warisan budaya yang lebih berorientasi pada
keinginan untuk menjadi pegawai lebih tinggi daripada keinginan
untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Sebagaimana yang terjadi
pada masyarakat pedesaan yang berorientasi pada pekerjaan yang
menjamin kemapanan hidup daripada berhadapan dengan resiko
yang tidak pasti. Mayoritas masyarakat desa menjual tanah dan
ternaknya agar anak-anak mereka diterima bekerja dalam instansi
pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta.
Menurut Engelen, Thalmann, dan Brettel (2014), faktor
budaya berperan secara efektif memajukan orientasi kewirausahaan
suatu masyarakat. Terutama budaya nasional yang ditandai dengan
individualisme yang kuat. Sedangkan budaya yang bersifat hierarkis
umumnya meenjadi penghalang orientasi kewirausahaan.16
Namun
Mc Clelland (1961), menekankan kewirausahaan ditentukan karena
kebutuhan prestasi (need of achievement). Termasuk motivasi untuk
meningkatkan status sosial.
14 Hans Westlund and Roger Bolton, “Local Social Capital and
Entrepreneurship,” Small Business Economics, Special Issue on Entrepreneurship, Firm Growth and Regional Development in the New Economic Geography. Vol. 21, No. 2, (Sep, 2003), 77-113.
15 Hongbin Li, Lei Li, Binzhen Wu and Yanyan Xiong, “The End of Cheap Chinese Labor,” The Journal of Economic Perspectives, Vol. 26, No. 4 (Fall 2012),
57-74. 16 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,
Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:
Springer International Publishing, 2015), 25.
10 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Koentjaraningrat (2007), mendefinisikan adanya warisan
budaya priayi menyebabkan sebagian besar masyarakat Jawa
memilih bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau Pegawai
Negeri Sipil (PNS) serta pegawai perkantoran.17
Mayoritas jabatan
dalam struktur suatu instansi pemerintahan baik pusat maupun
daerah banyak didominasi oleh orang-orang Jawa. Peneliti dalam hal
ini menemukan seorang yang merantau ke Singkawang Kalimantan
Barat karena merasa lebih tertarik bekerja dalam sektor
pemerintahan daripada membuka usaha.18
Kondisi yang demikian
banyak terjadi pada masyarakat Jawa Tengah dan Timur.19
Masyarakat Jawa yang membedakan antara golongan priayi
yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan
golongan yang disebut wong cilik yang terdiri dari petani, tukang-
tukang dan pegawai kasar lainnya. Suatu kelemahan pembangunan
masyarakat pedesaan di Jawa adalah sikapnya yang pasif terhadap
hidup. Kesukaan mereka terhadap kebatinan, penilaian tinggi
terhadap sikap nerima ing pandum, dan tetap tabah dalam hal
penderitaan menjadi penghambat dalam kemajuan mereka.20
Masyarakat di Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang tinggal
disebuah pedesaan hampir seluruhnya bekerja dalam peasant
communities dengan bekeja sebagai petani dengan berorientasi
menjadi pegawai negeri (kebudayaan priayi) di kota-kota
administratif.21
17 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 2007), 392. 18 Wawancara dengan seorang pegawai pemerintahan di Singakawang
Kalimantan Barat pada Pertengahan April 2013. 19 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangnan (Jakarta: PT
Gramedia, 2008), 37. 20 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 2007), 350. 21 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2009), 220.
Pendahuluan I 11
Begitu pula masyarakat Indonesia khususnya masyarakat
Jawa yang tinggal di daerah pesisiran mayoritas bekerja sebagai
nelayan yang masuk dalam kategori fishing communities. Tidak bisa
di kesampingkan bahwa kondisi geografis turut berperan serta
dalam membentuk adanya diferensiasi budaya. Kebudayaan yang
ada dalam masyarakat pedesaan tentu berbeda dengan kebudayaan
yang ada dalam masyarakat perkotaan. Sebagai analisis
memanfaatkan kerangka integratif usaha kecil. Perhatian diberikan
pada sosial, budaya yang menjadi aspek yang mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh bagaimana seorang wirausaha beroperasi dalam
lingkungan politik dan ekonomi mereka.22
Bentuk konkrit dari wirausaha adalah kemampuan yang
dimiliki oleh seseorang untuk melihat dan menilai kesempatan-
kesempatan membuka usaha. Kelaziman dan keunikan dari
membuka usaha merupakan sikap dalam menganalisis peluang
kemungkinan menjalankan usaha.23
Mengumpulkan sumber daya
yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat guna
mendatangkan keuntungan dalam rangka meraih profit.
Kewirausahaan disebut sebagai watak seseorang yang didasarkan
pada perilaku untuk melihat peluang guna mewujudkan ide-idenya.24
Seorang entrepreneur secara insting mampu melihat dan
menciptakan peluang kerja yang kemudian direalisasikan menjadi
sesuatu yang lebih bernilai secara materiil dan sosial.
Banyaknya anggota masyarakat yang membuka dan
menciptakan lapangan pekerjaan diharapkan mampu untuk
22 Sarah Turner, Indonesia's Small Entrepreneurs Trading on the Margins
(London: Routledge Curzon, 2003), 10. 23 Patrick J. Murphy and Susan M. Coombes, “A Model of Social
Entrepreneurial Discovery,” Journal of Business Ethics, Vol. 87, No. 3 (Jul., 2009),
325-336. 24 Sukamdani Sahid Gitosarjono, Bisnis dan Kewirausahaan Syariah: Upaya
Menuju Kesejahteraan Umat Islam (Bogor: Sekolah Tinggi Agama Islam Terpadu
Modern Sahid, 2012), 26.
12 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
meminimalisir pengangguran. Krisis moneter yang terjadi pada
tahun 1997 telah menyebabkan banyak pengangguran dimana-
mana.25
Pasca reformasi, kecenderungan antara produksi dan
kebutuhan tidak ada.26
Suatu negara dikatakan sejahtera bilamana
sebagian besar masyarakatnya membuka usaha guna meningkatkan
produktivitas. Perubahan sosial ditentukan oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal lebih disebabkan karena adanya kalangan
individu yang menghendaki adanya perubahan tersebut. Sedangkan
faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar masyarakat
tersebut. William Oughburn berpendapat bahwa perubahan sosial
disebabkan karena kondisi primer seperti georgafis ekonomis dan
sebagainya.27
Kelompok entrepreneur merupakan agent of change dalam
suatu masyarakat. Sebagai ilustrasi adalah kelompok entrepreneur
memainkan peranan penting dalam berbagai kebijakan filantropi
sosial. Bagi negara-negara berkembang, kelompok entrepreneur
memiliki kontribusi dalam mengelola sumber daya alam maupun
sumber daya manusia.28
Fenomena sosial yang demikian
menyebabkan pemerintah melakukan kebijakan khusus dalam
institusi pendidikan. Lembaga pendidikan kemudian dibentuk tidak
hanya berorientasi pada penciptaan lulusan yang hanya mencari
kerja semata. Namun lebih ditekankan agar mampu untuk
25 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama di Tangan Elit
Penguasa (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 132. 26 Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial Dalam Teori Makro: Pendekatan
Realitas Sosial (Bandung: Alfabeta, 2005), 121. 27 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), 306. 28 David Schultz, “Blue-Collar Teaching in a White-Collar University,”
Journal of Public Affairs Education, Vol. 18, No. 1 (WINTER 2012), 67-86.
Pendahuluan I 13
menciptakan pekerjaan baru dengan menganalisis peluang yang ada
di masyarakat.29
Industri mikro mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
sesuai dengan daya beli masyarakat.30
Home industri yang hanya
memproduksi barang dalam skala kecil setidaknya mampu
menampung tiga sampai enam karyawan sekitar. Barang yang
mereka hasilkan terkadang tidak kalah dengan kualitas produk yang
dihasilkan oleh pabrik yang berskala besar.31
Eksistensi home
industri diharapkan mempunyai andil guna menjaga nilai kearifan
lokal dengan tetap mempekerjakan kalangan masyarakat sekitar
atau anggota keluarga. Nilai gotong-royong menjadi sebuah hal
yang biasa bagi masyarakat yang mempunyai banyak anggotanya
yang terjun dalam bidang home industri.
Masyarakat yang membuka usaha tidak terlepas dari perilaku
yang mendesain mereka untuk membuka usaha. Kasus ini
memberikan gambaran umum bahwa seorang entrepreneur tidak
hanya dibentuk oleh institusi pendidikan yang hanya berorientasi
pada penciptaan lapangan kerja semata. Melainkan kemampuan
sikap internal berkomunikasi dalam bentuk kerja sama tim secara
interdisipliner.32
Paul Tracey and Nelson Phillips (2007),
menyatakan peran pendidikan wirausaha memberikan kontribusi
29 Thomas A. Bryer and Daniel Seigler, “Theoretical and Instrumental
Rationales of Student Empowerment Through Social and Web-Based
Technologies,” Journal of Public Affairs Education National Association of Schools of Public Affairs and Administration, Vol. 18, No. 3 (SUMMER 2012),
429-448. 30 Briana Cummings, “Benefit Corporations: How to Enforce a Mandate to
Promote the Public Interest,” Columbia Law Review, Vol. 112, No. 3 (APRIL 2012), 578-627.
31 Wawancara dengan Seorang Perajin sandal dari Lamongan Sandal di daerah Waru Sidoarjo Pertengahan 2014.
32 Eli Jones, James A. Roberts and Lawrence B. Chonko, “Motivating Sales Entrepreneurs to Change: A Conceptual Framework of Factors Leading to
Successful Change Management Initiatives in Sales Organizations,” Journal of Marketing Theory and Practice, Vol. 8, No. 2, (Spring, 2000), 37-49.
14 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
penting mengembangkan pola berpikir dalam mendirikan usaha.
Lebih lanjut mereka menjelaskan entrepreneur banyak diproduksi
oleh melalui pendidikan dalam pengelolaan usaha dan metode
menganalisis usaha. Dengan demikian, hal itu dimasukkan sebagai
perspektif dari sarjana terkemuka yang terjun di lapangan.
Pandangan ini menyimpulkan pendidikan kewirausahaan
berpengalaman lebih banyak menciptakan pengusaha sukses. Sebab
pendidikan memberikan inovasi dan testing kepada sarjana untuk
menganalisis peluang dalam mendirikan usaha.33
Masyarakat yang tinggal di sebuah kampung terkadang
mempunyai insting berwirausaha yang tidak kalah dengan
masyarakat perkotaan maupun sarjana. Sebagai ilustrasi
menjamurnya pedagang kuliner di Jakarta yang berasal dari Madura,
Lamongan, Wonogiri, Padang, Solo dan sebagainya. Mereka
mempunyai insting berwirausaha diakibatkan oleh orientasi yang
sederhana. Fakta di lapangan menunjukan bahwa banyak kalangan
masyarakat yang tidak dibekali keterampilan berwirausaha.
Mempunyai insting wirausaha yang baik dan mampu melihat
peluang dalam masyarakat dengan melakukan aksi secara konkrit
tanpa banyak pertimbangan.
Pranata sosial seperti pendidikan pada dasarnya memainkan
peran penting dalam menghasilkan manusia-manusia yang
berkualitas (Ins>a<n al-ka<mi}l) di masa depan. Kasuistik tertentu
menunjukan tidak selamanya pendidikan kewirausahaan mampu
untuk menghasilkan kelompok entrepreneur muda. Sebagai contoh
adalah serbuan warung pecel lele dan soto Lamongan ke segenap
penjuru nusantara. Peneliti dalam hal ini tidak hanya menjumpai
pedagang Lamongan yang hanya berjualan di Surabaya atau Jawa
33 Paul Tracey and Nelson Phillips, “The Distinctive Challenge of
Educating Social Entrepreneurs: A Postscript and Rejoinder to the Special Issue on
Entrepreneurship Education,” Academy of Management Learning & Education, Vol. 6, No. 2 (Jun, 2007), 264-271.
Pendahuluan I 15
Timur. Melainkan di sebagian besar kota besar yang terdapat di
Kalimantan dan berbagai daerah di Indonesia seperti Jakarta.
Urbanisasi masyarakat desa telah merubah sistem mata pencaharian
dari petani menjadi wirausaha.34
Tanpa dibekali dengan keahlian dalam bidang berwirausaha di
daerah perantauan, khususnya di Jakarta. Evolusi sosio kultural
meliputi seluruh komponen dalam suatu masyarakat yang mana
perubahan awal tersebut diakibatkan oleh adanya perubahan sistem
yang diwali oleh sebuah komponen yang berdampak pada komponen
yang lain.35
Bambang Pranowo (2009), menyatakan adanya tingkat
frenkuensi yang terkait dengan pasar yang disertai dengan tingkat
kepemilikan lahan. Hal itu mengakibatkan terjadinya kegiatan-
kegiatan berskala besar yang pada akhirnya menyebabkan
kemajemukan pekerjaan masyarakat Jawa.36
Menurut Spencer dan Madinus (1974), metode pengasuhan
anak masyarakat desa lebih konservatif dan otoriter. Fenomena ini
disebabkan oleh perilaku tradisional yang sangat memegang peranan
dalam mempersiapkan anak dalam menuju kedewasaan. Orang tua
hanya mengajarkan pengalaman yang telah dialaminya kepada anak-
anaknya.37
Keunikan berbeda justru terjadi di Lamongan yang
banyak memproduksi entrepreneur jalanan yang sering ditemui di
Jakarta. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah
34 Chee-Beng Tan and Yuling Ding, “Rural Urbanization and Urban
Transformation in Quanzhou, Fujian,” Canadian Anthropology Society, Vol. 50,
No. 2 (2008), 215-227. 35 Stephen K Sanderson, Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 64-65. 36 Kelaziman yang diistilahkan oleh Lambros Comitas (1973: 157-1573),
sebagai “kemajemukan pekerjaan” (occupational multiplicity). Bagi warga desa,
tidak ada garis batas yang tegas antara kegiatan yang berorientasi desa dengan yang
berorientasi pasar. Lihat, Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2009), 66. 37 Nanat Fatir Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung: Gunung
Djati Press: 1999), 33.
16 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
pendidikan tinggi dapat lebih sukses mencetak entrepreneur
dibanding pendidikan kewirausahaan pedesaan masyarakat
Lamongan? Peneliti sementara ini menyimpulkan bahwa antara pola
kehidupan sosial masyarakat Lamongan dengan pranata pendidikan
mempunyai kesamaan diantara keduanya. Yakni memproduksi
wiraswata yang mengurangi jumlah pengangguran dalam
masyarakat. Hanya saja keduanya mencetak agent of change dengan
caranya masing-masing sesuai dengan metode yang mereka
terapkan.
Pranata pendidikan mentransformasikan ilmu pengetahuan
sesuai dengan bentuk kurikulum yang telah diterapkan.38
Sedangkan
masyarakat pedesaan mencetak kalangan wirausaha dikarenakan
pengaruh oleh pola kehidupan dan adat istiadat masyarakat yang
bersangkutan untuk menjaga nilai-nilai lokal yang ada. Baik antara
instansi pendidikan dan konsep pendidikan yang ditawarkan oleh
masyarakat pedesaan mempunyai kesamaan. Yakni mencetak
manusia-manusia yang mempunyai kualitas sumber daya manusia
yang baik. Pasalnya pencarian kekayaaan bukan hanya karena
motivasi kerja. Melainkan karena tugas dan dorongan sosial yang
tumbul dari suatu masyarakat.39
Sebagian ahli menyatakan kewirausahaan merupakan bakat
yang dibawa seseorang sejak mereka lahir dan karenanya dapat
diajarakan.40
Anggapan tersebut tidaklah benar, sebab pengertian
kewirausahaan bukanlah bakat yang dibawa oleh manusia sejak
lahir. Melainkan berkaitan erat dengan pengetahuan dan tindakan
38 Stefano Zamagnisource, “Filosofia The Economy of Communion Project
as a Challenge to Standard Economic Theory,” Revista Portuguesa De Filosofia, T.
70, Fasc. 1 (2014), 44-60. 39 Max Weber, The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism
(Yogyakarta: Jejak, 2007), 9. 40Sukamdani Sahid Gitosarjono, Bisnis dan Kewirausahaan Syariah: Upaya
Menuju Kesejahteraan Umat Islam (Bogor: Sekolah Tinggi Agama Islam Terpadu
Modern Sahid, 2012), 25.
Pendahuluan I 17
yang dilakukan. Pengertian kewirausahaan merupakan definisi yang
dijelaskan oleh para ahli. Mereka mendefinisikan sesuai dengan
perspektif mereka masing-masing. Terkadang manusia yang
dibesarkan dalam lingkungan kewirausahaan tidak mampu untuk
tumbuh menjadi seorang wirausahawan. Sebagai contoh tentang
pendirian pranata yang berorientasi pada dunia usaha tidak
selamanya mencetak lulusannya untuk menjadi saudagar yang
suksess.
Kondisi masyarakat Lamongan bilamana dilihat dari
perspektif sosiologis yang tinggal dalam sebuah daerah yang udik
bisa dikatakan sulit untuk menghasilkan para wirausahawan.
Mereka biasa hidup erat kaitannya dengan alam seperti pertanian
dan peternakan. Masyarakat Lamongan bisa dikatakan tidak
mempunyai pendidikan berwirausaha sebagaimana yang
diedukasikan oleh pranata-pranata sosial yang berorientasi
menciptakan wirausahawan. Merupakan hal yang unik bilamana
masyarakat Lamongan banyak yang memutuskan diri untuk menjadi
seorang wirausahawan berupa soto dan berbagai jenis usaha yang
lainnya.
Masyarakat Lamongan yang hidup didaerah yang tandus
seakan-akan mereka merasa dibesarkan untuk menjadi penjual soto
atau pecel lele. Bahkan peneliti menemukan kasus bahwa sebagian
dari mereka adalah masih dalam tataran pendidikannya yang rendah.
Salah seorang penjual soto yang suksess peneliti temui mempunyai
pendidikan yang hanya lulusan SMP. Perubahan sosial memberikan
dampak berupa perubahan sistem mata pencahariannya
masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti
sengaja mengangkat tentang migrasi dan kewirausahaan masyarakat
Lamongan di Jakarta untuk proses Identifikasi lebih lanjut.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
18 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Migrasi yang terjadi di Jakarta telah membawa dampak sosial
terhadap masyarakatnya. Masalah yang dihadapi pemerintah Jakarta
terjadi pada beberapa aspek, termasuk dalam aspek ekonomi yang
dihadapi para migran ketika memutuskan untuk hijrah ke Jakarta.
Sebuah studi menunjukkan tingkat pengangguran terus mengalami
kenaikan dari waktu kewaktu.41
Meningkatnya angkatan kerja
disertai minimnya lapangan pekerjaan membawa implikasi berupa
problem sosial. Guna mengatasi jumlah pengangguran yang terus
mengalami kenaikan. Maka dibutuhkan lapangan pekerjaan baru
dalam jumlah besar.
Suatu negara dikatakan sejahtera apabila mempunyai minimal
2% entrepreneur dari keseluruhan jumlah penduduknya. Indonesia
diperkirakan mempunyai entrepreneur mencapai 400 ribu atau
sekitar 0,18% dari keseluruhan penduduk. Jumlah ini masih jauh
dari hitungan angka yang membutuhkan sekitar 4,4 juta
entrepreneur agar mencapai angka 2%.42
Dengan mengkaji beberapa aspek yang berkorelasi antara
kewirausahaan masyarakat Lamongan di Jakarta. Peneliti dalam ini
mengidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
a. Paradigma para tokoh terhadap faktor-faktor yang
mengkonstruk kewirausahaan suatu masyarakat.
b. Perspektif para sosiolog tentang pengaruh agama dan budaya
terhadap sistem mata pencaharian masyarakat Jawa.
c. Kecenderungan masyarakat Lamongan beralih profesi dari
petani menjadi wirausaha.
d. Korelasi migrasi masyarakat Lamongan ke Jakarta dengan
perilaku kewirausahaan.
41 Badan Pusat Statistik, Diolah dari SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja
Nasional), tahun 2013-2014. 42 Lie Shi Guang, Rahasia Suksess Pebisnis Tionghoa (Yogyakarta: CV
Andi Offset, 2010), 10.
Pendahuluan I 19
2. Pembatasan Masalah
Fokus kajian dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang
masalah dan identifikasi masalah adalah untuk mengetahui perilaku
migrasi serta korelasinya dengan kewirusahaan masyarakat
Lamongan di Jakarta. Adapun yang menjadi subjek utama dalam
penelitian ini adalah masyarakat Lamongan yang secara eksplisit
membuka usaha kuliner di Jakarta.
Kewirausahaan dalam beberapa definisi disebut sebagai watak
seseorang yang didasarkan pada perilaku untuk melihat peluang
guna mewujudkan ide-idenya.43
Misalnya, konsep sosiologis yang
mendefinisikan peran sosial yang digunakan untuk memahami
perilaku entrepreneur yang dipandu oleh norma-norma sosial.44
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, peneliti merumuskan masalah
tentang faktor apa yang menyebabkan masyarakat Lamongan
berwirausaha di Jakarta? Guna memperjelas rumusan masalah secara
eksplisit agar tidak mengalami generalisasi dalam pembahasan dari
tema utama, peneliti mengajukan beberapa pertanyaan secara lebih
spesifik sebagai berikut: Pertama bagaimana masyarakat Lamongan
mengkonstruksi sistem berwirausaha? Kedua, bagaimana relasi
agama dengan kewirausahaan masyarakat Lamongan?
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian tentang entrepreneurship masyarakat Lamongan di
Jakarta selama ini belum dibahas oleh kalangan akademisi maupun
mahasiswa manapun. Penelitian tentang perilaku berwirausaha
masyarakat Lamongan di Jakarta masih baru yang disebabkan
43 Sukamdani Sahid Gitosarjono, Bisnis dan Kewirausahaan Syariah: Upaya
Menuju Kesejahteraan Umat Islam (Bogor: Sekolah Tinggi Agama Islam Terpadu
Modern Sahid, 2012), 26. 44 Norman Walzer, eds. Entrepreneurship And Local Economic
Development (New York: Lexington Books, 2009), 10.
20 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
perubahan sosial di Lamongan dalam beberapa tahun terakhir.
Perubahan sosial di Lamongan telah menyebabkan beralihnya
profesi sebagian besar masyarakatnya yang awalnya bertani dan
nelayan menjadi wirausaha.
Meskipun penelitian ini masih tergolong baru, terdapat
beberapa penelitian yang sesuai dengan tema penelitian ini,
meskipun memiliki perbedaan antara tema dengan objek dengan
penelitian. Ada beberapa penelitian terdahulu yang membahas
tentang entrepreneurship masyarakat migran. Sebagai relevansi
dengan tema, peneliti mengambil sumber yang berasal dari buku-
buku serta jurnal baik terbitan lokal maupun internasional yang
kredibel sesuai dengan tema penelitian.
Diantaranya adalah Sarah Turner dalam bukunya Indonesia's
Small Entrepreneurs: Trading on the margins. Buku ini menjelaskan
tentang keberadaan usaha kecil di Indonesia dalam bidang
perdagangan serta bagiamana kelompok usaha kecil menjalankan
usahanya agar memperoleh laba. Studi usaha kecil di negara
berkembang masih sering dibingkai dalam sektor informal dengan
pendekatan teoritis atau paradigma industri yang lebih luas.45
Buku
ini menjelaskan potensi penggunaan kerangka kerja baru dalam
sektor usaha kecil menengah (UKM). Kerangka kerja digunakan
untuk memeriksa organisasi dan operasi usaha kecil di negara-
negara berkembang untuk mencapai pemahaman yang lebih besar
dari tingkat mikro kegiatan usaha kecil masyarakat bawah pada
berbagai skala. Karya Sarah Turner ini mengeksplorasi hubungan
sosial-ekonomi dan budaya yang membuat hidup bagi pengusaha
kecil di Makassar Sulawesi Selatan di Indonesia.46
45 Sarah Turner, Indonesia's Small Entrepreneurs Trading on the Margins
(London: Routledge Curzon, 2003), 39. 46 Sarah Turner, Indonesia's Small Entrepreneurs Trading on the Margins
(London: Routledge Curzon, 2003), 189.
Pendahuluan I 21
Penerapan kerangka kerja baru penelitian ini mengungkapkan
keragaman fleksibilitas tenaga kerja, jaringan dan klaster gaya
antara jenis usaha yang diteliti dan kendala yang mereka hadapi
untuk pertumbuhan ekonomi. Analisis dimulai dengan pemeriksaan
dinamika internal ditemukan untuk mengeksplorasi dinamika
perubahan sosial. Usaha kecil di negara-negara berkembang telah
diidentifikasi oleh Sarah Turner dalam penelitiannya ini.
Dalam perspektif Sarah Turner, Indonesia merupakan negara
berkembang yang mempunyai jumlah pengusaha dalam skala mikro
yang besar. Sektor usaha kecil di negara ini cukup besar dan
beragam dalam berbagai macam sektor. Kebanyakan karya terbaru
pada usaha kecil di Nusantara telah dieksplorasi perusahaan besar di
Jakarta. Sarah Turner menyajikan bentuk cluster industri kecil dan
rumahan di Jawa yang menekankan pada unsur-unsur budaya lokal,
karena berusaha untuk memberikan pemahaman yang lebih besar
dari kegiatan tingkat mikro yang melibatkan usaha kecil dan
interaksi usaha kecil dalam berbagai skala. Kekurangan dalam
penelitian ini adalah Sarah Turner lebih memfokuskan kajiannya
pada aspek usaha kecil. Tanpa memberikan perbandingan secara
komparatif sebagai sebuah mekanisme dalam studi penelitian
ilmiah.47
M Lutfi Abdul Malik (2007-2008), dalam disertasinya di
Universitas Indonesia tentang Etos Kerja, Pasar dan Masjid:
Transformasi Sosial Keagamaan dalam Mobilitas Ekonomi
Kemasyarakatan. Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan
masyarakat Gu Lakudo sebagai salah satu etnis yang cukup berhasil
dalam sektor perdagangan di Kota Bau-Bau Sulaewsi Tenggara.
Temuan utama dalam disertasi ini adalah bahwa pandangan Islam
tentang spirit dalam menjalankan ekonomi selaras dengan etika
Protestan Max Weber. Dalam konteks tersebut, masyarakat Gu
47 Sarah Turner, Indonesia's Small Entrepreneurs Trading on the Margins
(London: Routledge Curzon, 2003), 155.
22 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Lakudo menjalankan aktivitas perdagangan yang dilatarbelakangi
motivasi agama. Haji Abdul Syukur merupakan tokoh yang
menanamkan nilia-nilai agama dalam perubahan sosial masyarakat
Gu Lakudo.48
Masyarakat Gu Lakudo pada awalnya enggan untuk merantau
sebagaimana masyarakat Sulawesi umumnya. Secara sosio-historis,
mereka tidak mampunyai akar yang kuat untuk merantau. Tradisi
merantau masyarakat Gu Lakudo mulai terbentuk pada awal abad
ke-20. Kehidupan perekonomian yang baik kemudian mendorong
anggota masyarakat lainnya untuk pergi merantau. Pedagang yang
tidak mempunyai alat transportasi untuk berdagang akan
menumpang kapal orang Binongko dari Kepulauan Wakatobi. Pasca
merantau, masyarakat Gu Lakudo banyak yang menuai suksess di
tiga kota di Sulawesi Tenggara seperti: Bau-Bau, Raha dan
Kendari.49
Bagi peneliti, research ini mempunyai banyak kelebihan
sebagai rujukan awal. Diantaranya adalah mengenai kesesuaian
antara tema penelitian dengan tesis penliti. Selain itu, peneliti
banyak memaparkan data secara deskriptis dengan mewawancarai
objek di lapangan. Meskipun demikian, penelitian M Luthfi Malik
terdapat beberapa kekurangan mengenai penjelasan secara spesfik
jenis perdagangan masyarakat Gu Lakudo agar lebih mudah
dipahami oleh pembaca pada umumnya.
Lance Castles (1967), dalam penelitiannya tentang Tingkah
Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus.
Research ini menjelaskan tentang perilaku kewirausahaan
48 M Luthfi Malik, Etos Kerja, Pasar, dan Masjid: Transformasi Sosial
Keagamaan dalam Mobilitas Ekonomi Kemasyarakatan (Jakarta: LP3ES, 2003),
113-115. 49 M Luthfi Malik, Etos Kerja, Pasar, dan Masjid: Transformasi Sosial
Keagamaan dalam Mobilitas Ekonomi Kemasyarakatan (Jakarta: LP3ES, 2003),
160-161.
Pendahuluan I 23
masyarakat Kudus dalam memproduksi rokok.50
Sejarahwan
menyimpulkan bahwa kebiasaan merokok sudah lama ada di
Indonesia sejak zaman kerajaan. Sejak tahun 1624 tembakau sudah
diisap oleh raja-raja Jawa di Mataram.51
Klobot yang merupakan
daun jagung merupakan bahan baku yang digunakan untuk
membungkus rokok. Adanya bunyi kretek-kretek kemudian
memunculkan adanya penamaan rokok kretek.
Dalam buku ini Lance Castle memaparkan korelasi antara
perilaku keagamaan dengan sistem perdagangan yang terjadi pada
masyarakat Kudus. Integrasi antara agama dengan perilaku
kewirausahaan dan perdagangan kemudian memunculkan ungkapan
pada masyarakat Kudus dengan istilah jigang yang bermakna ngaji
dan berdagang. Perdagangan dan perilaku kewirausahaan ini
kemudian memunculkan sebuah kompetisi dengan masyarakat
Cina.52
Namun penelitian Castle tentang industri kretek di Kudus
kurang menjelaskan secara rinci awal mula pengambilalihan sektor-
sektor industri di Kudus oleh Cina secara mendalam.
Philipp Koellinger (2008) dalam penelitiannya yang berjudul
“Why are Some Entrepreneurs More Innovative Than Others”
menyatakan bahwa kemampuan melihat peluang merupakan hal
yang terpenting dalam menjalankan usaha. Kemampuan dalam
menjalankan usaha ditentukan kemampuan motivasi individu.
50 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The
Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait,
Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 72.
51 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait, Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 59.
52 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait,
Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 139.
24 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Dalam contoh kasus sering ditemuinya menunjukan banyak keluaran
pendidikan tinggi yang berstatus sebagai pengangguran. Pertanyaan
yang mendasar diantaranya adalah mengapa beberapa wirausahawan
lebih kompetitif dari yang lainnya.53
Philipp Koellinger lebih lanjut
mengumpakan beberapa individu mempunyai analisis yang tepat
dalam melihat peluang.
Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan bahwa
kreativitas merupakan komponen terpenting dalam menjalankan
usaha. Analisis yang digunakan dalam penyusunan literatur ini
adalah komponen-komponen yang digunakan dalam membangun
usaha. Dari hasil temuannya, Philip Koelllinger lebih menekankan
bahwa kemampuan melihat peluang merupakan faktor yang muncul
dalam diri setiap individu. Tanpa memberikan faktor-faktor lain
yang menjelaskan temuannya dalam penelitian. Dalam kasus
tertentu ia menjumpai pengangguran yang berstatus sosial tinggi.
Karena tidak mampu menggali potensi yang terdapat dalam diri
mereka.
Selanjutnya adalah Polona Tominc dan Miroslav Rebernik
(2007), dalam jurnalnya yang membahas tentang “Growth
Aspirations and Cultural Support for Entrepreneurship: A
Comparison of Post-Socialist Countries”. Mereka menjelaskan
keberadaan usaha kecil telah membantu pemerintah dalam
pertumbuhan ekonomi dan memecahkan masalah pengangguran.54
Termasuk Penelitiannya ini menjelaskan peran penting usaha kecil
dalam meminimalisir jumlah pengangguran. Wirausahawan kecil
mengawali usahanya dengan menggunakan modal sosial (social
capital) melalui koneksi.
53 Philipp Koellinger, “Why are some entrepreneurs more innovative than
others,” Small Business Economics, Vol. 31, No. 1, Special Issue: International
Issues in Entrepreneurship (June, 2008), 21-37. 54 Polona Tominc and Miroslav Rebernik, “Growth Aspirations and
Cultural Support for Entrepreneurship: A Comparison of Post-Socialist Countries,”
Small Business Economics, Vol. 28, No. 2/3 (Mar, 2007), 239-255.
Pendahuluan I 25
Modal sosial berupa aktor yang menjalankan usaha dalam
berbagai skala yang terhubung dalam jaringan usaha. Modal dalam
arti ekonomi biasanya identik dengan mata uang yang bersifat
materiil. Dengan mengandalkan koneksi dari teman atau konsumen,
modal sosial dapat dianalisis. Dalam kondisi tertentu, modal sosial
terkait dengan budaya dan norma tertentu yang menghasilkan
sebuah kombinasi baru. Modal sosial merupakan fenomena endogen
dalam arti hubungan yang bervariasi antara satu sama lain. Polona
Tominc dan Miroslav Rebernik
dalam penelitian ini lebih
memfokuskan peran penting modal sosial sebagai elemen utama
dalam membuka usaha.55
Paul Tracey dari University of Warwick dan Nelson Phillips
dari Imperial College London dalam penelitiannya yang berjudul
“The Distinctive Challenge of Educating Social Entrepreneurs: A
Postscript and Rejoinder to the Special Issue on Entrepreneurship
Education”. Dalam penelitiannya ini, mereka menjelaskan peran
pendidikan berwirausaha memberikan kontribusi penting untuk
mengembangkan pola berpikir dalam mendirikan usaha. Lebih lanjut
mereka menjelaskan entrepreneur banyak diproduksi oleh lembaga
pendidikan dalam pengelolaan usaha dan metode menganalisis
usaha. Dengan demikian, hal itu dimasukkan sebagai perspektif dari
sarjana di lapangan yang mana pendidikan kewirausahaan telah
berpengalaman dalam menciptakan banyak pengusaha sukses. Sebab
edukasi memberikan inovasi dan testing kepada sarjana untuk
menganalisis peluang dalam mendirikan usaha.56
55 Hans Westlund and Roger Bolton, “Local Social Capital and
Entrepreneurship.” Small Business Economics, Special Issue on Entrepreneurship, Firm Growth and Regional Development in the New Economic Geography Vol. 21,
No. 2, (Sep, 2003), 77-113. 56 Paul Tracey and Nelson Phillips, “The Distinctive Challenge of
Educating Social Entrepreneurs: A Postscript and Rejoinder to the Special Issue on
Entrepreneurship Education,” Academy of Management Learning & Education, Vol. 6, No. 2 (Jun, 2007), 264-271.
26 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Sumber kajian pustaka yang berikutnya berasal dari karya
Alex Nicholls dalam bukunya Social Entrepreneurship: New Models
of Sustainable Social Change. Nicholls merupakan dosen pertama
dalam kewirausahaan sosial yang ditunjuk di Inggris. Penelitian dan
pengalaman mengajarnya di berbagai mata pelajaran yang berpusat
pada isu-isu sosial dan etika. Nicholls memiliki latar belakang di
bidang pemasaran ritel. Dalam buku ini, Nicholls menjelaskan
kewirausahaan sosial bersifat dinamis dan berkembang sebagai
fenomena yang bergerak yang diartikulasikan pada pendekatan
organisasi yang berbeda.
Lebih lanjut, dalam buku ini Nicholls menekankan pentingnya
kewirausahaan sebagai sarana mengatasi krisis. Sampai saat ini
pemahaman tentang lapangan kerja tetap terbatas pada studi kasus
dan analisis instrumental efisiensi dan operasional praktik.
Meskipun lokasi teoritis kewirausahaan memiliki peran dalam studi
bisnis dengan preferensi metodologis. Contoh yang spesifik dari
praksis yang inovatif sering disematkan oleh profil dari pengusaha
yang bergerak dalam bidang sosial. Pendekatan seperti itu telah
membantu meningkatkan profil dari bidang penelitian, belum
menawarkan banyak di jalan serius teoritis wacana.57
Sumber kajian pustaka berikutnya dari Bambang Pranowo
dalam bukunya Memahami Islam Jawa yang merupakan disertasinya
selama perkuliahan di Australia. Pada awalnya beliau memilih
penelitian tersebut sebagai sanggahan terhadap Clifford Geertz,
yang mengklasifikasikan masyarakat Jawa kedalam tiga kategorisasi
yakni: santri, abangan dan priayi. Peneliti dalam hal ini melihat
adanya korelasi antara tema penelitian dengan buku karya Bambang
Pranowo. Terutama dalam sistem mata pencaharian masyarakat
Jawa yang dijelaskan secara mendetail.
57 Alex Nicholls, Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable
Social Change, (New York: Oxford University Press, 2006), 103.
Pendahuluan I 27
Dalam penelitian tersebut, Bambang Pranowo menjelaskan
sistem mata pencaharian masyarakat Jawa dalam berbagai macam
sektor. Desa Tegalroso yang menjadi objek penelitian Bambang
Pranowo merupakan desa yang dihuni oleh mayoritas masyarakat
Jawa sebagaimana masyarakat Lamongan yang didominasi oleh
masyarakt Jawa. Lebih lanjut Bambang Pranowo menjelaskan
tentang sistem mata pencaharian penduduk desa Tegalroso dalam
sektor perdagangan. Sistem mata pencaharian penduduk desa
Tegalroso dijelaskan dalam buku ini tidak sepenuhnya tergantung
pada sektor pertanian.
Bambang Pranowo menjelaskan secara detail sistem
perdagangan dan pertanian masyarakat desa Tegalroso. Dalam
artian mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau setengah
jadi yang prosesnya berawal dari hulu kehilir dengan menjualnya
kepasar sampai pada pengelolaan keuangan penduduk. Luasnya
lahan yang dimiliki oleh petani berpengaruh terhadap aktivitas di
pasar yang melahirkan hubungan yang relatif konstan antara desa
dan pasar.58
Penelitian ini mempunyai beberapa kekurangan seputar
kerangka teori yang dibangun.
Penelitian berikutnya adalah disertasi Nanat Fatah Natsir
yang telah dibukukan dengan tema Etos Kerja Wirausahawan
Muslim. Buku ini pada awalnya merupakan disertasi sebagai tugas
akhir dalam perkulihan S3 di Universitas Padjajaran Bandung
dengan tema Pengaruh Pola Pemahaman Etika Kerja Islam
Terhadap Tingkah Laku Kewirausahaan (Suatu Studi di Kalangan
Pimpinan dan Buruh Perusahaan Muslim di Tasikmalaya, Jawa
Barat). Pusat perhatian dalam penulisan buku ini adalah tentang
dimensi etika kerja Islam dalam perspektif kegiatan ekonomi.
Hasil penelitian ini mendukung teori Mc Clelland (1961) yang
menghubungkan tingkah laku kewirausahaan dengan pengasuhan
58 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2009), 79.
28 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
anak dalam pola pemahaman keagamaan orang tua. Di samping itu
mendukung teori Weber (1930) yang menghubungkan tingkah laku
kewirausahaan dengan kepercayaan agama terutama Protestan.
Meskipun dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada ranah etos
kerja wirausahawan muslim. Nanat Fattah Natsir tidak memberikan
gambaran secara rinci tentang faktor motivasi dan demotivasi dalam
membentuk etos kerja.59
Selanjutnya adalah penelitian serta jurnal-jurnal ilmiah
terbitan lokal maupun internasional yang berkorelasi dengan tema
penelitian. Diantaranya disertasi Mochtar Naim di University of
Singapore yang membahas Merantau Pola Migrasi Suku
Minangkabau. Buku ini mengulas tentang tradisi merantau yang
terjadi pada masyarakat Minangkabau. Faktor ekonomi dan sosial
merupakan faktor utama yang menyebabkan migrasi masyarakat
Minang.60
Disertasi ini mempunyai banyak kontribusi dalam
memahami perilaku merantau masyarakat Minang. Meskipun
demikian, penelitian ini mempunyai beberapa kekurangan.
Diantaranya kerangka teori yang dibangun untuk menganalisis data.
Adapun jurnal internasional diantaranya adalah Chee Beng
Tan dan Yuling Ding yang membahas tentang “Urbanisasi
Masyarakat Pedesaan dan Transformasi Masyarakat Urban di
Quanzhou, Fujian”. Dalam jurnal ini Chee Beng Tan dan Yuling
Ding mengkaji tentang berubahnya sistem mata pencaharian
masyarakat migran di perkotaan. Terutama beralihnya sistem mata
pencaharian masyarakat desa dari petani menjadi wirausaha.61
Jurnal
ini mempunyai kekurangan yang disebabkan kecenderungan penulis
59 Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:
Gunung Djati Press), 154. 60 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1984), 249. 61 Chee-Beng Tan and Yuling Ding, “Rural Urbanization and Urban
Transformation in Quanzhou, Fujian,” Canadian Anthropology Society, Vol. 50,
No. 2 (2008), 215-227.
Pendahuluan I 29
yang menitiberatkan pada sebuah aspek. Industrialisasi merupakan
aspek utama yang menjadi penekanan penulis dalam jurnal ini.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan penjelasan diawal, peneliti
ingin mengungkapkan beberapa fenomena sebagai berikut:
a. Konstruksi sistem berwirausaha masyarakat Lamongan di
Jakarta.
b. Faktor yang menyebabkan masyarakat Lamongan menjadi
wirausaha.
c. Relasi agama dengan kewirausahaan masyarakat Lamongan.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian yang berasal dari bahasa Inggris research terdiri
dari dua suku kata re yang berarti kembali dan search mencari.
Secara harfiah penelitian diartikan sebagai sebuah usaha untuk
mencari kembali sehingga temuan berstandar ilmiah dan sampai
akhirnya membangun suatu pengetahuan.62
Penelitian pada
hakikatnya merupakan sebuah usaha untuk mengungkap setiap
realita yang ada dalam sebuah masyarakat. Karena itu penelitian
ilmiah selalu dimulai dengan sesuatu yang ingin diketahui.63
Penyusunan kerangka teori merupakan langkah penting dalam
suatu penelitian ilmiah. Sebab teori merupakan suatu bangunan
yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan yang diteliti.
Teori bisa dikatakan sebagai hubungan sistematis atas gejala dengan
pengkhususan variabel dengan maksud menjelaskan dan
memprediksikan gejala tersebut. Teori adalah konstruk untuk
memahami dan menyampaikan informasi mengenai objek dan
62 Muhammad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan
Kuantitatif (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 9. 63 Suyanto Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Pendekatan
Alternatif (Jakarta: Kencana Media Group, 2007), 33.
30 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
peristiwa.64
Penelitian yang dilakukan oleh kalangan akademisi
maupun para ahli dapat memberikan dua manfaat secara umum,
yakni manfaat teoritis dan manfaat secara praktis.
F. Metode Penelitian
a. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
dilandaskan pada analisis dan konstruksi atas fenomena sosial
kewirausahaan masyarakat Lamongan di Jakarta. Peneliti dalam hal
ini melakukan analisis dan konstruksi secara metodologis, sistematis
dan konsisten. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kebenaran
sebagai salah satu manifestasi hasrat manusia untuk mengetahui apa
yang dihadapi dalam kehidupan.65
Penentuan metodologi penelitian
digunakan sebagai strategi pemecahan masalah, karena pada tahap
ini mempersoalkan bagaimana masalah-masalah penelitian tersebut
dipecahkan dan ditemukan jawabannya.66
Penelitiffan sosiologis merupakan proses pengungkapan yang
di dasarkan pada penggunaan konsep-konsep dasar yang dikenal
dalam sosiologi sebagai ilmu. Dalam penelitian sosiologi dikenal
beberapa konsep dasar seperti interaksi sosial, kelompok sosial,
kebudayaan, perubahan sosial dan sebagainya.
Metode penelitian digunakan sebagai alat uji data dan analisa
untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid, reliable dan
objektif.67
Munculnya istilah “Metodologi Penelitian Sosial” adalah
sebagai konsekuensi adanya distingsi antara apa yang dinamakan
64 Muhammad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan
Kuantitatif (Jakarta: Rajawali Press, 2008), 65. 65 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 202), 410. 66 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), 31. 67 Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 32.
Pendahuluan I 31
“Ilmu Pengetahuan Alam” dan “Ilmu Pengetahuan Sosial” sebagai
pembedaan antara “social sciencies” dengan “natural sciencies”
yang dikenal di negara-negara Barat.68
Seorang peneliti harus
menyusun suatu teori baru dengan menggunakan model induktif
pemikiran atau logika.69
Hasil penelitian sosiologi dapat
dimanfaatkan oleh ilmu-ilmu sosial lainnya.70
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif
yang menjelaskan maksud dari sebuah fenomena yang terjadi dalam
suatu masyarakat. Meneliti merupakan mencari data untuk diteliti
dengan menggunakan instrument penelitian.71
Kata kunci dari
penggunaan metode-metode penelitian kualitatif adalah terjadinya
pergeseran yang cukup berarti dalam aspek ontologi, epistimologi
dan metodologi ilmu pengetahuan. Metode kualitatif berpikir secara
historis, interaksional dan struktural.72
Pendekatan merupakan cara pandang dalam melihat sesuatu
dengan landasan berpikir asumsi tertentu.73
Pemahaman mengenai
dasar teori dan pendekatan dari penelitian kualitatif sangatlah
penting untuk memahami distingsi antara metode penelitian
kualitatif dengan kuantitatif. Dari hal tersebut dapat dipahami
mengapa penelitian kualitatif mengajukan research questions yang
68 Soerjono Abdurrahman, Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan
Penerapan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), 39. 69 Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: CV Alfabeta,
2005), 89. 70 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 202), 411. 71 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung:
Alfabeta, 2008), 31. 72 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001), 80. 73 Damsar dan Indrayati, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana
Media Prenada Group, 2009), 35.
32 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
berbeda. Penelitian kualitatif mencari jawaban atas kehidupan sosial
yang menjadi objek penelitian.74
Studi kasus merupakan pendekatan dalam penelitian yang
penelaahannya dilakukan secara intensif, mendalam dan
komprehensif terhadap sebuah kasus secara mendalam. Studi kasus
dilakukan terhadap individu atau kelompok seperti yang dilakukan
oleh ahli antropologi, sosiologi dan psikologi sosial.75
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sosiologi, ekonomi dan antropologi. Peneliti menggunakan
pendekatan sosiologi digunakan untuk mengetahui dampak
perubahan sosial terhadap kewirausahaan masyarakat Lamongan di
Jakarta. Pendekatan ekonomi di dasarkan untuk mengungkap lebih
dalam aspek kewirausahaan masyarakat Lamongan di Jakarta.
Sedangkan pendekatan antropologi digunakan untuk mengetahui
perkembangan migrasi dan sistem mata pencaharian masyarakat
Lamongan.
Landasan kerangka yang dibangun untuk menganalisis dalam
penelitian ini adalah teori korelasi kewirausahaan dan budaya
Davidsson dan need of achievement Mc Clelland. Selain itu peneliti
menggunakan teori perubahan sosial sebagai bahan pendukung
untuk menganalisis masyarakat Lamongan saat ini. Teori
merupakan sebuah preposisi yang digunakan untuk menggambarkan
suatu gejala. Proposisi-proposisi yang dikandung dan membentuk
teori terdiri atas hubungan sebab akibat. Didalam teori terkandung
konsep teoritis yang berfungsi menggambarkan realita dunia
sebagaimana yang diobservasi.76
74 Bagong Suyanto, Sutinah, Eds. Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2007), 168. 75 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), 22. 76 Bagong Suyanto, Sutinah, Eds. Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2007), 34.
Pendahuluan I 33
Penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran
tentang suatu masyarakat atau kelompok tertentu.77
Metode
kualitatif deskriptif peneliti anggap sesuai dengan tema penelitian
tersebut yang bermuara pada suatu tindakan. Tendensi tradisional
dan konvensional dalam penelitian sosial yang menjadi “pseudo-
objektif” yang menyembunyikan nilai-nilai dalam pendekatan
partikuler. Adanya nilai-nilai partikuler itu diharapkan memberi
tempat kajian yang amat sadar difokuskan pada penduduk agar
menjadi perantara (agen) perubahan.78
Sebab seorang agent of
change tidak sekedar mencapai status sosial, namun ia harus dapat
menjalankan harapan-harapan masyarakat.
Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa seseorang
dapat menjalankan peranannya apabila memiliki status dalam
masyarakat. Termasuk status sosial yang dimiliki oleh kelompok
entrepreneurship dalam meningkatkan status sosialnya. Sebaliknya
penelitian dalam pengelompokkan berbagai jenis penelitian
digolongkan dalam apa yang dinamakan dengan penelitian sosial.79
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama beberapa bulan terhadap
masyarakat Lamongan yang membuka usaha kuliner di Jakarta.
Sebagai tambahan guna mendapatkan data yang lebih konkrit.
Peneliti kembali melakukan research yang berkorelasi dengan
kewirausahaan dalam beberapa bulan sampai mendapatkan data
yang utuh sebagai hasil penelitian. Adapun penentuan waktu
penelitian adalah berikut:
77 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian
Bidang Kesejahteraan Sosial san Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008), 35. 78 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001), 81. 79 Soerjono Abdurrahman, Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan
Penerapan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), 3.
34 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
1. Pra-studi lapangan
2. Studi lapangan
3. Pembuatan laporan penelitian
c. Tahap Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian sosial, terdapat tahapan-
tahapan standar yang harus dipenuhi oleh peneliti:80
1. Pemilihan dan analisis masalah penelitian
2. Penentuan strategi dan pemecahan masalah atau penentuan
metodologi penelitian yang digunakan
3. Pengumpulan data
4. Penyusunan hasil penelitian
Penelitian deskriptif (descriptive research) juga disebut
sebagai penelitian taksonomi (taxonomic research) yang merupakan
penelitian dengan mendeskripsikan.81
Penelitian ini dimaksudkan
untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sebuah fenomena sosial
dengan mendeskripsikan masalah yang diteliti.82
Rincian dalam
penelitian meliputi beberapa tahap antara lain sebagai berikut:
a. Tahap Pendahuluan
Pada tahap ini, peneliti melakukan penelitian awal terlebih
dahulu guna mendapat gambaran umum dari tema dan lokasi
penelitian.
b. Tahap Penelitian Lapangan
Dalam tahap ini, peneliti melakukan prosedur sesuai dengan
aturan yang berlaku untuk melakukan penelitian. Peneliti
80 Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta:
Lembaga penelitian UIN Jakarta Press, 2006), 139. 81 Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta:
Lembaga penelitian UIN Jakarta Press, 2006), 13. 82 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), 20.
Pendahuluan I 35
mulai melakukan penggalian data sesuai dengan fenomena
yang diteliti.
c. Tahap Analisis Data
Pada tahap ini peneliti menganalisa data yang peneliti peroleh
sebagai bahan penelitian. Analisis tersebut digunakan agar
data yang diperoleh peneliti dari setiap informan benar-benar
valid. Analisa data merupakan upaya mencari dan menata
secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan
lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang
kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagi temuan bagi
orang lain.83
Validitas digunakan untuk menjelaskan ilmiah
atas fenomena yang sedang dikaji.84
d. Tahap Penyusunan Hasil Laporan
Pelaporan dalam penelitian menggunakan bentuk lisan dan
tulisan. Langkah-langkah yang perlu untuk diikuti dalam
proses penyusunan laporan adalah: mengidentifikasi sasaran
laporan, mengembangkan susuan karangan, dan mengikuti
prosedur tertentu untuk ditinjau oleh orang yang menjadi
subjek penelitian.85
Prinsip penyajian data dalam penelitian
kualitatif adalah dalam bentuk uraian kata-kata dan
penjelasan langsung yang di dapatkan dari para informan.86
83 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan
Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik dan Realisme Metaphisik: Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 104.
84 Marianne W. Jorgensen, Louise J. Phillips, Analisis Wacana Teori dan Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 315.
85 Robert K Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 169.
86 Bagong Suyanto, Sutinah, Eds. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2007), 173.
36 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Tahap akhir dari proses hasil dari pelaksanaan penelitian ini
merupakani semua data yang peneliti peroleh dikumpulkan,
dan dianalisis agar data yang peneliti peroleh benar-benar
valid. Setelah itu kemudian disusun dan ditulis oleh peneliti.
d. Sumber Data
Sumber data merupakan objek penelitian yang memberikan
informasi kepada peneliti yang meliputi data primer dan sekunder.
Data primer adalah sumber data pokok yang langsung didapatkan
dari informan yang bersangkutan. Data primer tersebut bisa berasal
dari informasi melalui wawancara terhadap masyarakat Lamongan
yang membuka usaha kuliner di Jakarta. Adapun daftar nama
informan yang berhasil peneliti himpun antara lain sebagai berikut:
Tabel 1.1
Daftar Nama Informan
No Nama Lokasi Keterangan
1 Arif Pesanggrahan Wirausaha
2 Suliyanto Pasar Senen Wirausaha
4 Khozin Lebak Bulus Wirausaha
5 Fatoni Lebak Bulus Wirausaha
6 Aziz Pasar Senen Wirausaha
7 Kiswanto Kebayoran Wirausaha
8 Supii Cengkareng Wirausaha
9 Darkono Kebon Jeruk Wirausaha
10 Lukman Kebayoran Karyawan
11 Adib Grogol Karyawan
12 Tosin Tebet Karyawan
13 Suhud Lamongan Kuli
14 Ramelan Lamongan Kuli
15 Masdi Lamongan Tokoh Masyarakat
16 Maselan Lamongan Kuli
Pendahuluan I 37
17 Suhartini Pondok Indah Wirauasaha
18 Suminto Ciputat Wirauasaha
19 Hadi Tanah Abang Wirauasaha
20 Adi Ciputat Wirauasaha
21 Nur Wahid Ciputat Wirauasaha
Data sekunder merupakan sumber data tambahan yang tidak
langsung didapatkan peneliti dari informan yang bersangkutan. Data
sekunder diambil dari hasil dokumentasi, sumber tertulis dalam
sebuah penelitian, laporan pemerintah Kabupaten Lamongan, jurnal,
koran, majalah kewirausahaan, tesis, disertasi buku-buku terbitan
lokal maupun internasional dan lain-lain.87
Content analysis atau dinamakan dengan kajian isi untuk
menarik kesimpulan yang valid atas sebuah buku atau dokumen.88
Cara sederhana yang digunakan untuk membangun sebuah
keyakinan dalam penelitian adalah dengan membandingkan dengan
teks-teks yang lain.89
Analisa data harus disesuaikan dengan judul
penelitian. Pembuatan klasifikasi termasuk bentuk analisa pada
tingkat pertama yang digunakan untuk menguji tingkat orisinalitas
data.90
Content analysis berangakat dari aksioma bahwa studi
tentang proses dan isi komunikasi itu merupakan dasar bagi semua
87 Lexy J Moeleng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), 113. 88 Lexy J Moeleng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), 163. 89 Marianne W. Jorgensen, Louise J. Phillips, Analisis Wacana Teori dan
Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 268. 90 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian
Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008), 93.
38 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
ilmu sosial. Content analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi
suatu pesan komunikasi.91
G. Sistematika Penulisan
Suatu laporan penelitian umumnya dibagi dalam lima atau
enam bab.92
Sebelum menulis bab laporan, ada bagian pendahuluan
yang memberikan gambaran umum tentang tema penelitan.
Sistematika penulisan dalam bab penelitian ini dibagi menjadi enam
bab sesuai pedoman akademik.93
Peneliti dalam hal ini
menggunakan panduan dari Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hiayatullah Jakarta.94
Bab I mengkaji tentang pendahuluan yang berisi latar
belakang masalah, permasalahan yang meliputi: identifikasi
masalah, pembatasan masalah, serta rumusan masalah. Sub bab
berikutnya dalam pendahuluan ini adalah penelitian terdahulu yang
relevan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan konteks perdebatan akademik, kerangka
teori yang hendak dibangun oleh peneliti. Sebagai acuan yang
memberikan gambaran dasar tentang pandangan beberapa teori dari
para ahli dalam mengkaji migrasi dan entrepreneurship dalam
diskursus ilmu sosial.
91 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan
Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 49.
92 Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 52.
93 Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Pengkajian Islam 2011-2015 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011). 94 Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan
Notes Karya Ilmiah 2014 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014).
Pendahuluan I 39
Dalam bab ini, peneliti menjelaskan tentang beberapa aspek
yang berkorelasi dengan kerangka teori dalam perdebatan akademik.
Pertama, deskripsi tentang migrasi dan migrasi dalam sudut
pandang Islam. Kedua entrepreneurship yang meliputi: diskursus
entrepreneurship dan pendekatan teori perubahan sosial. Ketiga,
entrepreneur dalam perspektif Islam.
Bab III merupakan kajian pokok penelitian yang menyajikan
temuan-temuan awal di lapangan. Kajian dalam bab ini menjelaskan
gambaran umum masyarakat Lamongan. Sebagai temuan awal
dalam penyusunan tesis ini. Terdapat beberapa sub bab yang
menjadi pembahasan peneliti dalam hal ini. Pertama sejarah
Kabupaten Lamongan yang meliputi: islamisasi di Lamongan,
akulturasi Islam di Lamongan. Kedua deskripsi wilayah Kabupaten
Lamongan yang menguraikan tentang kondisi geografis, sistem
mata pencaharian penduduk, tingkat pendidikan masyarakat.
Ketiga, kondisi sosial serta kehidupan masyarakat Lamongan saat
ini.
Bab IV yang terbagi menjadi enam sub judul untuk
menjelaskan analisis sesuai dengan temuan peneliti dalam
penggalian data. Pokok bahasa dalam bab ini terdiri daru beberapa
sub bab. Pertama, motif migrasi masyarakat Lamongan ke Jakarta.
Kedua, fase migrasi masyarakat Lamongan ke Jakarta. Ketiga,
konstruksi entrepreneurship masyarakat Lamongan. Keempat,
problem dalam berwirausaha dan yang terakhir adalah filosofi dalam
berwirausaha.
Bab V yang menerangkan tentang entrepreneurship dan
ekspresi keagamaan masyarakat Lamongan. Sebagimana pada bab
sebelumnya, bab ini terdiri dari beberapa sub judul yang
menjelaskan tentang aspek kewirausahaan dan keagamaan
masyarakat Lamongan. Pertama, pola interaksi sosial masyarakat
Lamongan di Jakarta. Kedua, relasi antara agama dengan wirausaha.
Ketiga, ekspresi keagamaan masyarakat Lamongan di Jakarta.
40 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Keempat, entrepreneurship dan stratifikasi sosial keagamaan.
Kelima, kontribusi masyarakat Lamongan dalam mereduksi
pengangguran.
Bab VI merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran
yang dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
Termasuk format yang digunakan peneliti dalam penganggalian data
berupa wawancara.
41
Bab II
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama
dalam Diskursus Ilmu Sosial
A. Diskursus Migrasi
Aktivitas migrasi atau yang lebih dikenal dengan perpindahan
penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain telah lama dikenal
dalam kehidupan manusia. Migrasi telah dimulai sejak zaman
manusia purba yang dikenal dengan istilah nomaden atau berpindah-
pindah. Perpindahan manusia tentu disebabkan karena berbagai
macam faktor yang mengharuskan mereka untuk bermigrasi. Secara
tidak langsung, migrasi telah membawa pengaruh besar bagi budaya
dan peradaban dunia.1
Termasuk perpindahan manusia dalam
aktivitas ekonomi dari desa ke kota.
Migrasi telah merubah kondisi lingkungan dan kehidupan
suatu masyarakat. Sementara itu, langkah yang dibuat dalam
pemahaman ilmiah dan sistematis antara hubungan dengan alam,
populasi dan lingkungan dalam pekerjaan. Namun, tidak sampai
tahun 1960-an, protes yang berkembang terhadap lingkungan dan
polusi datang bersama-sama dalam pemikiran terfokus tentang
interelasi dari aktivitas manusia dan lingkungan alam.2
Keseimbangan antara jumlah penduduk dengan lahan pertanian
mereka sebut opium population. Teori ini dikembangkan oleh Plato
dan Aristoteles bahwa opium population tidak hanya ditentukan
1 Natalis Pigay, Migrasi Tenaga Kerja Internasional: Sejarah, Fenomena,
Masalah dan Solusinya (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), 12. 2 Tony Manzi, Karen Lucas, Tony Lloyd-Jones and Judith Allen, Eds.
Social Sustainability in Urban Areas: Communities, Connectivity and the Urban Fabric (London: Earthscan, 2010), 6.
42 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
oleh lahan pertanian, tetapi harus di seimbangkan dengan
pengembangan keamanan.3
Kaitan terpenting antara kota dengan desa adalah migrasi
penduduk secara permanen dan sementara. Migrasi permanen terjadi
ketika suatu penduduk tinggal dalam sebuah perkotaan lebih dari
enam bulan.4
Riset sosiologis menunjukan bahwa migrasi
merupakan indikator sintesis bagi transformasi sosial.5 Fenomena
urban (urban phenomena) terjadi melalui proses perpindahan
domisili. Yakni perpindahan penduduk dari desa ke kota. Karena
daya tarik kota yang menyediakan berbagai macam fasilitas dan
kemungkinan masa depan. Masyarakat yang berdatangan dari
pedesaan kemudian banyak yang berdatangan ke kota untuk mecari
sesuatu yang tidak mereka dapatkan di desa.6
Kasus di Asia
Tenggara dapat dibedakan dua pola utama urbanisme berkaitan
dengan pembentukan negara. Pertama kota-kota dagang yang
umumnya terletak di daerah pesisir. Kedua kota-kota pedalaman
yang menjadi pusat pemerintahan raja-raja.7
Kota merupakan produk sosiokultural, perilaku dan gaya
hidup manusia yang selalu berubah dari waktu ke waktu yang
sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi penduduknya.
Semakin besar kotanya, semkain kompleks masalah yang
3 T. Widodo, Sosiologi Kependudukan: Kajian Teoritis dan Empiris
Perspektif Sosiologi Kependudukan (Surakarta: Lembaga Pengembangan
Pendidikan UNS, 2011), 25. 4 Riwanto Titrisudarmo, Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1997), 52. 5 Mustafa O. Attir, Burkart Holzner dan Zhedek Suda, Directions of
Change: Modernization Theory, Research, and Realities (Colorado: Westview Press, 1981). Diterjemahkan oleh. Hartono Hadikusumo,Sosiologi Modernisasi: Telaah Kritis Tentang Teori, Riset dan Realitas (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989),
252. 6 Huriyuddin, Pergeseran Kultural di Kampung Urban: Studi di Kampung
Pintuair Bekasi Selatan (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 1997), 39. 7 Hans Dieter Evers dan Rudiger Korf, Urbanisme di Asia Tenggara: Makan
dan Kekuasaan Dalam Ruang Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), 49.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 43
dihadapinya.8 Migrasi menjadi sebuah interaksi yang terjadi antara
desa dengan kota.9
Stenson dan Watt (1999), mendeskripsikan
pedesaan yang ideal dari kota yang penuh polusi di Inggris
ditentukan oleh arah masyarakatnya. Kaum urban berusaha untuk
melawan kehidupan kota yang penuh dengan masalah, konflik,
kejahatan, dan polusi. Atkinson (2006), menjelaskan awal model
perkotaan yang tercerahkan terkait dengan London yang
mempelopori perkembangan kota di Eropa.
Perkembangan hukum yang disertai dengan kebijakan untuk
mengatur kota yang terpinggirkan mungkin mengancam masyarakat
perkotaan kelas menengah. Awal tahun 1990-an pelaku sektor
swasta mendukung perkembangan perkotaan. Meskipun upaya
sebagian besar tidak berhasil karena sikap pemerintah yang
konservatif untuk mendorong perusahaan-perusahaan swasta.
Stenson dan Edwards (2001), menyatakan banyak kota di AS dan
Inggris sejak tahun 1970 memiliki lembaga negara nasional dan
lokal untuk memperbaiki kondisi wilayahnya. Buruh yang baru
datang diberikan solusi oleh negara dengan memberikan kebebasan
yang terkait dengan pasar.10
Platteau dan Abraham (2002), mendefinisikan kaum urban
cenderung untuk menegakkan praktik redistributif yang ketat.
Dimana individu yang diperkaya secara sosial terdorong untuk
berbagi dengan seluruh masyarakat. Tidak hanya kehidupan sehari-
hari, tetapi juga hasil yang dibedakan dari kerja keras mereka.
Dalam studi ini, mereka menunjukkan bahwa konservatisme
8 Eko Budihardjo, Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah Urban Menjadi
‘Human Zoo’ (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2014), 196-197. 9 Cucu Nurhayati, Sosiologi Perkotaan (Tangerang Selatan: v v UIN Jakarta
Press, 2013), 94. 10 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance
Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,
2007), 40.
44 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
masyarakat dalam bentuk perlawanan terhadap kebijakan
ekonomi.11
1. Kajian Teori Migrasi
Migrasi mempunyai arti yang sangat luas sesuai dengan
konteks yang dimaksud. Pengertian migrasi dimaknai sebagai
perpindahan penduduk dari desa ke kota. Migrasi selanjutnya
didefinisikan sebagai sebuah proses terbentuknya kehidupan
perkotaan yang berbeda dengan kehidupan pedesaan dalam konteks
ekonomi, sosial dan perilaku masyarakatnya. Paul Knox (1994),
menjelaskan pengertian migrasi sebagai sebuah perubahan ekonomi
yang dimotori oleh manusia.12
Kota sebagai pusat pemerintahan serta perdagangan barang
dan jasa tidak banyak menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok
yang diproduksi oleh alam. Komoditas utama perkotaan banyak
disuplai oleh desa yang merupakan tulang punggung perkotaan.13
Desa yang mempunyai lahan yang luas dan sumber daya alam yang
melimpah memberikan pasokan bahan-bahan mentah pada kota-kota
besar. Komoditas yang dihasilkan masyarakat desa tidak hanya yang
berhubungan dengan alam. Melainkan juga barang-barang produksi
kerajinan yang terdiri dari tembikar, pandai besi, tukang kayu, dan
sebagainya.14
11 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does
Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University Of Chicago Press, Source: Economic Development And Cultural Change, Vol. 58, No.
4 (July 2010), 609-641. 12 Sugiono Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi: Proses Perkembangan
Peradaban dan Wadah Ruangnya Menuju Ruang yang Manusiawi (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013), 24. 13 Ashok Parthasarathi, “Rural Industrialisation Programme: Looking at
Khadi and Village Industries Commission,” Economic and Political Weekly, Vol.
40, No. 44/45 (Oct. 29 - Nov. 4, 2005), 4763-4767. 14 S. S. Solanki, “Sustainability of Rural Artisans,” Economic and Political
Weekly, Vol. 43, No. 19 (May 10 - 16, 2008), 24-27.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 45
Peran desa yang mempunyai sumber daya alam yang
melimpah sangat penting bagi penyangga kehidupan masyarakat
perkotaan. Tipologi kehidupan masyarakat perkotaan yang sangat
heterogen dimana mayoritas penduduknya menghabiskan waktunya
pada aktivitas yang tidak berkorelasi dengan alam. Baik pada masa
klasik atau modern, masyakat perkotaan menjalankan sistem mata
pencaharian yang tidak identik dengan alam. Pola kehidupan
masyarakat perkotaan lebih berhubungan dengan aktivitas
perdagangan dan perkantoran. Hubungan antara pertanian dan non
pertanian sebagai bentuk hubungan antara desa dengan kota dan
transisi agraria di era industri.15
Program ini telah membawa
kemajuan dengan pada kota dan desa.
Unit usaha yang dijalankan masyarakat kota identik dengan
kegiatan yang mengolah sumber daya alam yang merupakan
komoditas utama sebagai pemasok bahan mentah. Kesenjangan
antara desa dan kota menyebabkan masyarakat desa melakukan
migrasi kekota.16
Peningkatan populasi dan kegiatan ekonomi yang
berkaitan dengan sektor pertanian. Murdoch (2003),
menghubungkan dengan gerakan untuk meningkatkan wisatawan
dan investasi perkotaan untuk wilayah pedesaan yang dianggap
berasal dari putaran perkotaan pedesaan.17
Banyaknya angkatan kerja muda menjadikan desa sebagai
pamasok tenaga kerja ke kota-kota besar. Minimnya infrastruktur
yang terdapat dalam sebuah pedesaan menjadi penghambat bagi
15 Jonathan Rigg, Suriya Veeravongs, Lalida Veeravongs and Piyawadee
Rohitarachoon, “Reconfiguring Rural Spaces and Remaking Rural lives in Central
Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008), 355-381.
16 Jonathan Rigg, Suriya Veeravongs, Lalida Veeravongs and Piyawadee Rohitarachoon, “Reconfiguring Rural Spaces and Remaking Rural lives in Central
Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008),
355-381. 17 Lise Herslund, “Rural diversification in the Baltic countryside: a local
perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-59.
46 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
masyarakat desa untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Sarana
dan prasarana yang lengkap pada sebuah perkotaan besar menjadi
sebuah motivasi utama bagi masyarakat desa yang ingin
melanjutkan jenjang pendidikannya.
Meningkatnya mobilitas sirkuler dan peningkatan
keterlibatan penduduk desa dalam kegiatan non pertanian telah
banyak diperdebatkan. Proses tersebut diakibatkan oleh
marginalisasi penduduk pedesaan akibat program pembangunan
pedesaan di masa Orba. Program pembangunan desa yang dimulai
dari pelita I telah menciptakan kapitalisasi pedesaan. Situasi
semacam ini telah menjadi seleksi alam yang ampuh bagi penduduk
desa. Proses marginalisasi penduduk desa menyebabkan mereka
keluar dari desa dengan mengadu nasib di kota.18
Diversifikasi pertanian dalam beberapa daerah masih
terhubung ke sektor pertanian. Kendala yang dihadapi adalah
mengintegrasikan tenaga kerja desa ke perkotaan.19
Masyarakat desa
yang mempunyai karir dalam bidang akademisi yang baik akan terus
melanjutkan pendidikannya sampai jenjang yang lebih tinggi.
Keinginan yang demikian merupakan bentuk upaya untuk
meningkatkan status sosial di masyarakatnya. Tingginya gengsi
bagi masyarakat desa yang di eksternalisasikan dan di
implementasikan dalam bentuk kerja keras di kota-kota besar.
Mereka enggan untuk kembali lagi kekampung halamannya selama
belum mempunyai karir yang baik di kota-kota besar.
Teori transisi demografi klasik yang dikemukakan oleh Frank
Notestein (1945-1953) menekankan tingkat kesuburan tanah
18 Abdul Haris dan Nyoman Adika, Dinamika Kependudukan dan
Pembangunan di Indonesia dari Perspektif Makro ke Realitas Mikro (Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002), 218-219. 19 Lise Herslund, “Rural diversification in the Baltic countryside: a local
perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-59.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 47
berpengaruh pada tingkat urbanisasi.20
Perubahan sosial dalam
bidang pekerjaan telah mengakibatkan terjadinya migrasi.
Sebagimana yang terjadi pada Amerika Utara dan Eropa pada abad
kesembilan belas dan dua puluh yang mengalami migrasi akibat
terjadinya arus industrialisasi. Kehidupan perekonomian
masyarakatnya telah mengalami perubahan dari pertanian menuju
pada industrialisasi. Landale, Nancy. S dan Avery Guest (1985),
mengemukakan teori yang mempengaruhi seseorang karena variable
sebagai berikut:21
a. Individu, dan karakteristik keluarga
b. Karakteristik lokasi: perumahan, pekerjaan, lingkungan
sekitar
c. Kontrak sosial
d. Peluang dalam menjangkau lokasi
e. Pertimbangan untuk pindah
Teori materialisme dikembangkan oleh Karl Marx dan
Frederich Engels yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk
ditentukan oleh kondisi sosial dan ekonomi yang khas. Golongan
buruh cenderung memperbanyak anak untuk bekerja mendapatkan
upah.22
Oleh karena itu, migrasi merupakan fenomena yang terjadi
pada setiap negara. Karena banyak variabel yang mempengaruhi.
Individu yang menghadapi sebuah masalah akan berpikiran untuk
pindah atau menatap di daerah asalnya. Everet S Lee (1976),
20 Tim Dyson, “The Role of the Demographic Transition in the Process of
Urbanization,” Population and Development Review, Vol. 37, Demographic
Transition and Its Consequences (2011), 34-54. 21 T. Widodo, 103. 22 T. Widodo, Sosiologi Kependudukan: Kajian Teoritis dan Empiris
Perspektif Sosiologi Kependudukan (Surakarta: Lembaga Pengembangan
Pendidikan UNS, 2011), 29.
48 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
menyatakan faktor yang menentukan migrasi antara lain sebagai
berikut:23
a. Faktor yang terdapat di daerah asal
b. Faktor yang terkait dengan daerah tujuan
c. Faktor intervensi rintangan
d. Faktor personal atau individu
De Boeck dan Plissart (2004), telah membuat kontribusi yang
cukup besar dalam upaya untuk membaca urbanisme Afrika dan
teori perkotaan keranah intelektual.24
Teori demografi terbagi
menjadi dua bagian, yakni: Teori primer yang dirumuskan untuk
menerangkan kecenderungan demografis, yakni variabel-variabel
feritilitas, migrasi, dan mortalitas. Teori sekunder dirumuskan untuk
menjelaskan hubungan variabel yang secara tidak langsung terkait
dengan materi kependudukan, tetapi inklusif dalam kependudukan.
Contoh:
a. Mortalitas individu dipengaruhi oleh usia (teori primer)
b. Pendapatan berpengaruh terhdapa kesehatan penduduk (teori
sekunder).25
Teori gelombang perpindahan suku bangsa di jaman pra-
sejarah di Asia Tenggara selama ini didominasi oleh pedapat-
pendapat dari Kern dan Heine-Geldern yang mengemukakan bahwa
penduduk Kepulauan Nusantara sekarang ini berasal dari Asia
Tenggara.26
23 T. Widodo, 102. 24 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and
Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 10. 25 T. Widodo, 23. 26 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1984), 57.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 49
2. Migrasi dalam Perspektif Islam
Kajian tentang migrasi merupakan hal yang menarik bagi
kalangan sosiolog maupun akademisi. Mereka berusaha
mengungkap keterkaitan antara desa dan kota yang menyebabkan
migrasi masyarakat. Migrasi sejak lama telah di implementasikan
oleh Nabi Muhammad melalui peristiwa hijrahnya. Para sejarahwan
menyatakan bahwa hijrah dimaknai sebagai peristiwa penting yang
dialami oleh ummat Islam. Kehidupan Nabi Muhammad berubah
ketika beliau memutuskan untuk hijrah dari Mekkah menuju
Madinah.
Motivasi yang melatarbelakangi hijrahnya Nabi Muhammad
tidak terjadi secara instan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Everet S Lee, ada beberapa fenomena yang menyebabkan suatu
masyarakat atau individu memutuskan untuk melakukan migrasi.
Faktor tersebut dikarenakan yang terjadi di daerah asalnya maupun
faktor yang menjadi penarik di daerah perkotaan. Peneliti dalam hal
ini menyamakan antara hijrah dengan migrasi yang berorientasi
pada perbaikan kehidupan yang lebih baik. Termasuk dalam mencari
kebutuhan hidup sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran sebagai
berikut:
واذكروا الله فضل من واب ت غوا الرض ف فان تشروا الصلة قضيت فإذا ]10/اجلمعة[( 10) ت فلحون لعلكم كثريا الله
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah :
10)27
27 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya:
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul (Bandung: Al-Hilal, 2010), 554.
50 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Tingginya arus mobilitas sosial memunculkan adanya
stratifikasi dalam sistem pembagian kerja dengan ikatan solidaritas
organik. Perkembangan pesat yang terjadi di kota-kota besar telah
memicu mobilitas sosial masyarakat pedesaan untuk melakukan
migrasi ke kota-kota besar semacam Jakarta dan Surabaya dan
sebagainya. Banyaknya lapangan kerja yang ada pada kota-kota
besar menjadi faktor utama masyarakat desa melakukan migrasi di
kota-kota besar.
Redfield (1947), menyatakan bahwa terdapat kontradiksi
antara masyarakat desa dengan kota. Masyarakat desa masih
bersikap pasif dalam menerima kebudayaan baru yang masuk.28
Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman dalam (T.L Smith dan
P. E. Zhop, 1970) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi
dasar sebagai penentuan antara desa dan kota. Ia membedakan
karakteristik desa dan kota berdasarkan beberapa hal antara lain di
karenakan mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan
penduduk, lingkungan, diferensiasi sosial, stratifikasi sosial,
interaksi sosial, dan solidaritas sosial. 29
Sistem pembagian kerja pada masyarakat tradisional masih
terbilang sederhana. Berbeda dengan masyarakat modern yang
mengenal lebih jauh sistem pembagian kerja secara terperinci dan
mapan yang lebih kompleks. Emile Durkheim lebih lanjut
menjelaskan bahwa solidaritas antara masyarakat perkotaan berbeda
dengan masyarakat pedesaan. Ikatan solidaritas yang dibangun oleh
masyarakat pedesaan bersifat gemeinschaft yang berorientasi pada
ikatan kekeluargaan. Solidaritas yang dibangun oleh masyarakat
desa merupakan solidaritas mekanik yang belum mengenal sistem
28 Norman Long, An Introduction to the Sociology of Rural Development
(London: Tavistock Publication Limited, 1977). Diterjemahkan oleh, Tim
Penerjemah Bina Aksara, Pengantar Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: PT
Bina Aksara, 1987), 46. 29 Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2010), 40.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 51
pembagian kerja yang secara terperinci dan mapan. Sistem
pembagian kerja masyarakat kota yang kompleks dijelaskan dalam
Al-Quran sebagai berikut:
( 39) ت علمون وف فس عامل إن مكانتكم على اعملوا ق وم يا قل Artinya: Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu akan mengetahui. (Az-Zumar : 39).
30
Masyarakat desa yang sebagian besar didominasi oleh
masyarakat holtikultura menggantungkan sistem mata
pencahariannya pada mengelola tanah. Intensitas hujan dan jenis
tanah berpengaruh pada heterogenitas tanaman yang dibudidayakan
para petani. Sedangkan masyarakat desa yang secara geografis
terletak dipesisiran bekerja dalam sektor fishing communities yakni
sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya dengan
mencari ikan. Adanya pelarangan mencari ikan dengan
menggunakan bom peledak dapat berpengaruh pada ekosistem laut
yang menjadi komoditas.
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa manusia bekerja sesuai
dengan tugas dan peran mereka masing-masing. Termasuk dalam
pengertian keadaan disini ialah tabiat dan pengaruh alam sekitarnya.
Sebagaimana dalam surat Al-Isra’ Ayat 84 sebagai berikut:31
( 84) سبيل أهدى هو بن أعلم ف ربكم ته شاكل على ي عمل كل قل
30 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya:
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul (Bandung: Al-Hilal, 2010), 462.
31 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul (Bandung: Al-Hilal, 2010), 290.
52 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Artinya: Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalan-Nya. (Al-Isra’: 84).
32
Sistem peralatan hidup terbilang sederhana dalam aktivitas
membajak sawah dengan menggunakan binatang ternak. Sektor
pertanian dan perladangan masyarakat desa masih menggunakan
alat-alat sederhana untuk mengelola sawah-sawah dan pekarangan.
Masyarakat tradisional masih memanfaatkan kapak batu dan
berbagai jenis benda-benda yang terbuat dari batu sebagai sistem
peralatan hidup. Suatu perubahan kecil yang terjadi pada
masyarakat desa secara mencolok adalah penggunaan alat-alat
pertanian. Pada masa ini masyarakat desa menggunakan peralatan
modern untuk mengolah tanah dan sawah mereka.
Salisbury (1962), misalnya membahas tentang beralihnya
penggunaan kapak batu dengan kapak besi di kalangan penduduk
Papua New Guinea yang mempersingkat waktu dalam kegiatan
produksi pertanian.33
Masyarakat yang dalam kategori solidaritas
organik mempunyai ikatan yang lebih didasarkan pada sistem
pembagian kerja yang berorientasi pada keuntungan ekonomi,
berbeda dengan masyarakat pedesaan yang didasarkan pada
solidaritas mekanik yang belum mengenal sistem pembagian kerja
secara kompleks. Ikatan kekeluargaan mempunyai peranan yang
penting dalam masyarakat yang masih bersifat gemeinschaft.
Interaksi sosial yang terjadi pada masyarakat kota bersifat
gesseleschaft yakni pola ikatan masyarakat patembayan yang
didasarkan atas tawar-menawar secara rasional. Konstruk solidaritas
32 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya:
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul (Bandung: Al-Hilal, 2010), 290
33 Norman Long, An Introduction to the Sociology of Rural Development (London: Tavistock Publication Limited, 1977). Diterjemahkan oleh, Tim
Penerjemah Bina Aksara, Pengantar Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: PT
Bina Aksara, 1987), 32.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 53
masyarakat kota didasarkan atas pola pembagian kerja yang bersifat
heterogen. Ikatan yang dibentuk oleh masyarakat kota dalam bentuk
solidaritas organik yang didasarkan atas pembagian ikatan kerja
secara kompleks. Diversifikasi sistem mata pencaharian pedesaan,
bagaimanapun telah diidentifikasi sebagai karakteristik daerah
pedesaan Asia.34
Pola migrasi antara pedesaan dan perkotaan daerah telah
berubah dari orang yang meninggalkan daerah pedesaan juga
melibatkan orang perkotaan untuk datang ke beberapa daerah
pedesaan (Champion 1998). Kehidupan perkotaan dan pedesaan
telah terhubung pada beberapa daerah untuk aktivitas ekonomi.35
Kasus ini menunjukkan bahwa desa yang berfungsi sebagai sebuah
hinterland tidak selamanya menjadi pemasok kebutuhan yang
terpusat pada komoditas-komoditas yang diproduksi oleh alam.
B. Entrepreneurship dalam Diskursus Ilmu Sosial
Kewirausahaan dalam ruang kajian sosiologi masuk dalam
kategori fenomena sosial sebagai problem solving pengangguran.
Sejak lama para sosiolog telah mengkaji berbagai macam teori guna
memberikan solusi atas problem sosial yang demikian. Diantara
mereka ada yang menjadikan sosiologi sebagai ilmu praktis dan
akademis. Yakni memberikan kontribusi secara langsung maupun
tidak langsung dalam mengatasi problem sosial pengangguran.
Sosialisme merupakan produk dari perubahan-perubahan sosial yang
mengubah masyarakat Eropa di akhir abad kedelapan belas dan
sembilan belas.
34 Jonathan Rigg, Suriya Veeravongs, Lalida Veeravongs and Piyawadee
Rohitarachoon, “Reconfiguring Rural Spaces and Remaking Rural lives in Central
Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008),
355-381. 35 Lise Herslund, “Rural diversification in the Baltic countryside: a local
perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-59.
54 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Kata entrepreneurship berasal dari basaha Perancis yang
mempunyai arti “between taker” atau “go between” yang diartikan
sebagai seseorang yang beraktivitas dalam dunia usaha dan berani
mengambil resiko dari setiap kegiatan wirausaha yang dijalankan.36
Definisi wirausaha menurut Scarborough, Zimmerer, dan
Wilson (2009) adalah seorang yang menciptakan bisnis baru dengan
mengambil resiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan
dan pertumbuhan yang mengidentifikasi peluang sehingga sumber
daya tersebut dapat dikapitalisasi.37
Sosiologi ekonomi didefinisikan sebagai pendekatan
sosiologis yang diterapkan pada fenomena ekonomi. Adapun yang
dimaksud dengan pendekatan sosiologis adalah konsep-konsep,
variabel-variabel, teori-teori, dan metode yang digunakan dalam
sosiologi untuk memahami kenyataan sosial, termasuk di dalamnya
kompleksitas aktivitas yang berkaitan dengan ekonomi.38
Bilamana komunisme didasarkan pada gagasan bahwa
ekonomi dan politik harus dipisahkan, maka inti pokok dari
sosialisme adalah menyarankan agar kedua bidang tersebut harus
diintegrasikan. Prinsip utama dari sosialisme bukanlah semata-mata
bahwa produksi itu harus dipusatkan di tangan negara, akan tetapi
bahwa peran negara itu harus seluruhnya memainkan peran ekonomi
di dalam masyarakat sosialis, pengelolaan atau tata pelaksanaan
ekonomi harus menjadi tugas dasar negara. Jika komunisme yang
berusaha keras untuk sejauh mengkin menghindari pengumpulan
36 Willy Arafah. Esensi Lingkungan Bisnis dan Entrepreneurship (Jakarta:
Univaersitas Trisakti, 2010), 2. 37 Franky Slamet, Hetty Tunjungsari dan Mei Le, Dasar-dasar
Kewirausahaan: Teori dan Praktik (Jakarta: PT Indeks, 2014), 3. 38 Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), 14.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 55
kekayaan biasanya cenderung pada kehidupan bagaikan fakir
(ascetic), maka sebaliknya doktrin-doktrin sosialis.39
1. Landasan Teori Entrepreneurship
Sosiologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan berusaha
untuk mendalam berbagai fenomena dan realitas sosial. Munculnya
sebuah teori tidak hanya ditekankan karena perkembangan
pemikiran dan keilmuan manusia. Faktor perubahan sosial dan
adanya problem sosial pada akhirnya memunculkan teori sebagai
penyelesaian permasalahan sosial.
Oleh karena itu, banyak faktor yang mempengaruhi
perkembangan teori sosiologi. Diantara faktor yang berpengaruh
adalah permasalahan sosial yang melatarbelakangi munculnya
perkembangan teori sosiologi klasik. Teori sosiologi klasik muncul
karena problem sosial yang berawal dari revolusi politik di Perancis,
revolusi industri di Inggris, kemunculan kapitalisme, sosialisme,
feminisme serta pengaruh sosial lainnya. Teori kelembagaan adalah
perspektif yang sangat relevan dalam studi jaringan.
Mengingat kebutuhan keterlibatan beberapa bentuk lembaga
baik pemerintah dan sektor swasta sebagai pemain utama. Teori
pertukaran sosial, di mana teori jaringan sosial didirikan
memandang penting hubungan dalam sistem jaringan. Ahuja (2000),
menggunakan teori jaringan sosial dalam analisisnya menemukan
bahwa jumlah ikatan langsung dan tidak langsung mempengaruhi
kemampuan untuk berinovasi. Keterkaitan untuk bekerja pada
jaringan sosial adalah modal sosial.
Teori kewirausahaan yang dirangkum Kandasaami dan Wood
(1996) meliputi berbagai perspektif: sosial budaya, populasi
ekologis, ekonomi, psikologis, geografis dan last but not least
39 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis
karya-karya Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), 119.
56 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
(terakhir tapi bukan yang akhir), seperti dibahas diatas.40
Dalam
perspektif mereka, semua mempengaruhi lingkungan pribadi
entrepreneur.41
Teori psikologi ketiga mengenai wirauasha adalah
yang dikemukakan oleh Hagen (1962) yakni kepribadian kreatif.
Seorang wirausaha mempunyai kemampuan untuk memcahkan
masalah secara kreatif.42
Davidsson (1995) mengidentifikasi pandangan yang disebut
sebagai legitimasi sosial. Pandangan yang terakhir ini
mengasumsikan bahwa variasi dalam kewirausahaan didasarkan
pada perbedaan nilai dan keyakinan antara penduduk secara
keseluruhan dan potensi berkembang pada setiap individu. Benturan
nilai antara kelompok yang mendorong potensi wirausaha dari
organisasi rata-rata yang bekerja secara mandiri. Penelitian Lynn
(1991) membandingkan empat teori psikologis pertumbuhan
ekonomi yang telah dijelaskan dalam etos kerja Weber, Schumpeter
serta Mc Clelland bahwa motivasi berprestasi merupakan faktor
pendorong berkembangnya suatu masyarakat.43
Menurut Castells (1998), ketidakrataan dan ketidaksetaraan
tidak hanya terlihat pada skala ini. Dia berpendapat globalisasi
hanya menciptakan hubungan yang tak terduga melalui pola migrasi
dan menciptakan elit global dengan gaya hidup yang sama di setiap
40 Mukesh Sud, Craig V. Van Sandt and Amanda M. Baugous, “Social
Entrepreneurship: The Role of Institutions,” Journal of Business Ethics, Vol. 85,
Supplement 1: 14th Annual Vincentian International Conference on Justice for the Poor: A Global Business Ethics (2009), 201-216.
41 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward
Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 217. 42 Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:
Gunung Djati Press, 1999), 35. 43 Sjoerd Beugelsdijk and Roger , “Entrepreneurial Culture and Economic
Growth: Revisiting McClelland's Thesis,” The American Journal of Economics and Sociology, Vol. 67, No. 5 (Nov., 2008), pp.915-940.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 57
kota besar dunia. Pada saat yang sama menghasilkan sebuah tenaga
kerja urban dan lokal yang ada di bagian bawah pasar tenaga kerja di
setiap kota dunia. Gagasan mereka dikecualikan dari arus mikro
ekonomi terkait dengan globalisasi.44
Emile Durkheim (1859-1917), merupakan sosiolog Perancis
dengan teorinya solidaritas sosial. Solidaritas merupakan suatu
bentuk integrasi sosial dalam konstruk consensus diantara
masyarakat. Pondasi utama dalam konstruk solidaritas diantara
anggota masyarakat didasarkan atas ikatan kerja dan perbedaan
sistem mata pencaharian diantara anggota masyarakatnya.
Pada masyarakat gemeinschaft, konstruk solidarias mekanik
akan membentuk integrasi sosial diantara entitasnya secara utuh.
Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang mempunyai
heterogenitas diatara warganya. Solidaritas mekanik didasarkan
pada ikatan yang dibangun atas persamaan dengan ikatan emosional
yang kuat. Masyarakat kota yang mengalami perkembangan dalam
dunia industri akibat pengaruh dari modernisasi mengkonstruk
solidaritasnya yang didasarkan pada distingsi sistem pekerjaan yang
terbagi secara heterogen.
Pola kehidupan yang demikian kemudian memberntuk sebuah
akomoadasi yang didasarkan pada sistem timbal balik (take and
give) yang saling menguntungkan antara satu sama lain. Solidaritas
demikian lebih berorientasi pada sebuah consensus untuk mencapai
ikatan yang didasarkan atas bentuk sistem pembagian kerja yang
sangat kompleks akibat heterogenitas mata pencaharian
penduduknya. Sistem demikian berlaku pada masyarakat perkotaan
yang bervariatif.
Praktek yang paling umum ditemukan dalam jaringan
solidaritas berdasarkan keluarga. Hoff dan Sen (2006),
mengembangkan model yang menunjukkan bagaimana redistribusi
44 David Held, Eds. A Globalizing World? Culture, Economics, Politics
(New York: Routledge, 2004), 36-37.
58 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
dalam seperti jaringan sering dikenakan pada anggota yang lebih
mungkin merugikan efek pada pendapatan. Dalam hal ini, kelompok
kerabat mengambil tindakan kolektif untuk memblokir pintu keluar
oleh beberapa anggota, meskipun kelompok sebagai keseluruhan
akan memperoleh keuntungan dari migrasi mereka jika mereka akan
terus berkontribusi pada sistem solidaritas.45
Pengangguran bagi
masyarakat gemeinschaft merupakan fenomena sosial yang
menurunkan status sosial dimasyarakat. Entrepreneur merupakan
solusi dalam meminimalkan jumlah pengangguran.
Herbert Spencer (1820-1903) merupakan sosiolog Inggris
dengan teori Evolusi dan perkembangan manusia. Dalam perspektif
Spencer, manusia senantiasa mengalami perkembangan dan dan
perubahan dalam kurun waktu yang relatif lama. Perkembangan
tersebut lebih didasarkan karena ketidaksesuaian antara pola-pola
kehidupan yang lama.46
Masyarakat sebagai sebuah entitas yang
terdiri dari elemen-elemen kecil senantiasa berubah sesuai dengan
tuntutan kehidupan. Perkembangan kehidupan manusia pada
akhirnya menyebabkan berubahnya sistem mata pencaharian.
Termasuk dalam sistem mata pencahariannya yang awalnya
terkait dengan alam. Untuk memenuhi kebtuhannya, manusia harus
senantiasa bekerja keras dan tidak boleh menganggur. System mata
pencaharian kehidupan masyarakat senantiasa mengalami
perkembangan yang disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Entrepreneur menjadi bagian manusia dalam
memperbaiki sistem mata pencahariannya. Yakni berubahnya
system mata pencaharian masyarakat dari petani menjadi wirausaha.
45 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does
Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University of Chicago Press, Source: Economic Development and Cultural Change, Vol. 58, No.
4 (July 2010), 609-641. 46 Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial dalam Teori Makro: Pendekatan
Realitas Sosial (Bandung: Alfabeta, 2008), 28.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 59
Karl Marx (1818-1883) adalah sosiolog Jerman dengan
teorinya tentang konflik antar kelas borjuis dan proletar. Keinginan
kuat dari Marx adalah menciptakan manusia tanpa adanya kelas
sosial. Kaum borjuis senantiasa semena-mena terhadap kaum
proletar. Diantara dengan penggunaan teknologi mesin dalam
produksi pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengangguran yang
tinggi.
Kaum buruh merupakan kelompok yang senantiasa
mengalami penindasan dari kaum borjuis. Kedua istilah tersebut
dalam bahasa Al-Quran kemudian disempurnakan oleh Ali Syari’ati
sebagai representasi dari kaum mustad afin yang diwakili oleh kaum
buruh (prolatar) serta mutrafi>n yang diwakili oleh kaum borjuis.
Pertentangan kelas, menciptakan masyarakat tanpa adanya kelas
sosial. Sebagai bentuk protes mereka ingin membuka usaha karena
tidak ingin mengalami sebuah alienasi. Kaum buruh yang merasa
teralienasi akhirnya memutuskan untuk berdiri sendiri dengan
memilih berwirausaha.
Max weber (1864-1920) adalah sosiolog Jerman dengan
konsep etika prostestan.47
The protestant ethic and the spirit of
capitalism hanyalah fragmen yang menyediakan bagi Weber untuk
bergerak karean kontribusinya bagi sosiologi agama.48
Argumen
singkat yang dibangun oleh konsep ini sebagai ajaran bahwa
seseorang semakin kaya semakin disayang tuhan. Termasuk dalam
usaha dan kerja keras dengan menghindari diri dari menganggur.
Memahami teori rasionalisasi Weber tidak hanya menjelaskan
konsep tatanan kehidupan (lebensordnung) secara sosiologis dengan
47 Max Weber, The Sociology of Religion. Diterjemahkan oleh, Yudi
Santoso, Sosiologi Agama (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 552. 48 Max Weber, The Sociology of Religion. Diterjemahkan oleh, Yudi
Santoso, Sosiologi Agama (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 19.
60 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
bantuan aktualisasi nilai (wertverwirklichung) yang berasal dari
wilayah filsafat.49
Rasionalitas kognitif instrumental terlembagakan dalam
kegiatan ilmiah. Realitas estetis praktis terlembagakan dalam
kegiatan seni. Realitas moral praktis etika persaudaraan yang
dilembagakan di dalam agama keselamatan tidak selaras dengan
manusia spesialis maupun manusia yang mencari kesenangan.
Implementasi atas kontribusi Weber dalam sosiologi agama pada
akhirnya mengambangkan semangat kapitalisme di Eropa.
Semangat kapitalisme dijadikan sebagai motivasi kaum
protestan untuk mengembangkan sayapnya dalam bentuk
berwirausaha. Migrasi masyarakat Eropa pada abad kedua puluh
merupakan bagian dari implementasi semangat kapitalisme Max
Weber. Pandangan semangat inilah yang memberikan sebuah asumsi
kepada kaum protestan untuk berwirausaha. Asumsi dasar
memberikan pemahaman semakin kaya seseorang, maka semakin
disayang oleh Tuhan.
Teori sosiologi modern merupakan hasil pengembangan dari
aliran-aliran sosiologi klasik. Konsep yang hendak dibangan oleh
kajian ini berbeda dengan teori sosiologi klasik yang lebih
menekankan pada aspek praktis yang berangkat dari realitas sosial.
Teori sosiologi modern lebih menekankan pada penggunaan aspek
akademis. Ada beberapa tokoh utama yang mengkontruk teori
sosiologi klasik antara lain sebagai berikut:
Talcott Parsons (1902-1979) dikenal sebagai sosiolog
Amerika dengan konsep struktural fungsional. Suatu sistem dalam
masyarakat akan berjalan bilamana setiap elemen menjalankan tugas
sesuai dengan fungsi dan peranan mereka masing-masing. Tujan
49 Theories des Kommunikativen Handels, Band I: Handlungstrationaltat
Und Gesselschaftliche Rationalisierung (Suhrkamp Verlag, 1981), Penerjemah
Nurhadi, jurgen Habermas, Teori Tindakan Komulatif I Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006), 234.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 61
dijalankannya sistem adalah agar tercapai sebuah goal dalam bentuk
consensus. Pengangguran sebagai problem sosial akan menghambat
berjalannya sebuah sistem. Diperlukan adanya semangat
kewirausahaan sebagai sebuah solusi dalam memperkecil
pengangguran. Peter L Berger (1929) merupakan sosiolog Amerika
dengan konsep dialektika manusia dengan masyarakat melalui tiga
tahap yang saling berintegrasi dalam mengkonstruk suatu
kebudayaan.
Adapun ketiga tahap tersebut dalam bentuk internalisasi,
eksternalisasi dan objektivasi. Internalisasi merupakan peresapan
atau pemasukan kembali realitas oleh manusia dan
mentransferkannya dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam
struktur-struktur kesadaran subjektif. Internalisasi bisa didapatkan
dari media massa, masyarakat atau teman sebaya.
Eksternalisasi adalah suatu pencurahan atau perwujudan dari
internalisasi kedalam bentuk tindakan-tindakan tertentu. Sedangkan
objektivasi adalah tahap dimana sebuah perilaku sosial menjadi
sebuah budaya baru dan diyakini secara bersama-sama. Manusia
merupakan mahluk yang dinamis serta menuju kearah yang lebih
baik. Pengangguran dalam kajian teori ini lebih disebabkan karena
individu tidak mampu mengeksternalisasikan kemampuannya.
Setiap masyarakat yang terus berjalan dalam sejarah pasti akan
mengalami masalah dalam hal pengalihan makna-makna
objektivasianya dari satu generasi ke generasi lainnya.
Teori tingkah laku kewirausahaan dikemukakan oleh Mc
Clelland (1961), yang mengenalkan motif psikologi perantara yaitu
kebutuhan prestasi (need of achievement).50 Rangkaian sebab akibat
Weber yang menghasilkan tingkah laku wirausaha diperluas oleh Mc
Clelland adalah nilai-nilai ideologi, peran keluarga, kebutuhan
50 Sjoerd Beugelsdijk and Roger , “Entrepreneurial Culture and Economic
Growth: Revisiting McClelland's Thesis,” The American Journal of Economics and Sociology, Vol. 67, No. 5 (Nov., 2008), pp.915-940.
62 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
berprestasi, dan tingkah laku berwirausaha.51
Dalam sebuah studi di
43 negara, mereka menyajikan data empiris untuk mendukung
kesimpulan bahwa daya saing adalah satu-satunya sikap yang
menjelaskan variasi seluruh populasi, pendukung terbaik
sebagaimana yang dijelaskan Schumpeter.52
Sosiolog Perancis Bourdieu (1989) menyebutkan
terbentuknya mindset wirausaha disebabkan reproduksi melalui
pendidikan. Dengan kondisi tersebut hal yang menjadi perhatiannya
di Perancis adalah pengakuan status sosial. Dimensi budaya berguna
dan relevan untuk memiliki pandangan yang komprehensif
mengenai perbedaan perilaku antara akademisi dengan masyarakat
pada suatu negara. Penelitian dari Iribarne (1993) telah dimasukkan
kedalam bukti tiga logika perilaku kunci antara orang-orang yang
bekerja di internal yang sama di perusahaan nasional pada tiga
negara yang berbeda: Perancis, Amerika Serikat dan Belanda.
Logika ini bisa menjelaskan keanekaragaman kewirausahaan sikap
dan perilaku di negara-negara tersebut. Prancis memiliki orientasi
kewirausahaan terlemah dan Belanda tampaknya memiliki budaya
kewirausahaan kuat.53
Thomas Zimmerer (2001) menjelaskan bahwa faktor
pendorong pertumbuhan kewirausahaan adalah pendidikan
kewirausahaan.54
Pihak universitas berperan menjadi pemberi
informasi tentang kesempatan kerja atau memberikan pendidikan
51 Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:
Gunung Djati Press, 1999), 34. 52 Terrence E. Brown and Jan Ulijn, eds. Innovation, Entrepreneurship and
Culture: The Interaction Between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward Elgar Glensanda House, 2004), 183.
53 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward
Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 226-227. 54 Yohnson, “Peranan Universitas Dalam Memotivasi Sarjana Menjadi
Young Entrepreneurs,” Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Vol. 5, No. 2,
September 2003: 97 – 111.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 63
kewirausahaan dengan menyediakan wadah bagi mahasiswanya
dalam menerapkan ilmunya dengan mendirikan bisnis kecil di lokasi
universitas. Peran universitas sebagai pencetak entrepreneur sangat
menentukan wirausahawan muda yang mampu bersaing secara
kompetitif. Dalam beberapa negara Eropa seperti Perancis, konteks
sosial dan pendidikan masih memainkan peran besar dalam
membentuk sikap dan perilaku berwirausaha masyarakatnya.55
Douglas A. Gray (1996) menyarankan untuk memulai usaha
sejak dini termasuk pada waktu masih kuliah.56
Membuka usaha
pada masa muda akan membentuk karakter entrepreneur yang
tangguh. Adanya pengalaman dalam menjalankan usaha menjadikan
seseorang semakin jeli dan teliti untuk melihat peluang sebagai
pertimbangan dalam mengembangkan usahanya di kemudian hari.
Lebih lanjut Paul Tracey and Nelson Phillips (2007), pendidikan
kewirausahaan merupakan kata kunci utama berupa bangunan
konseptual bagi para siswa guna mengembangkan potensinya.57
Karl Marx dan Max Weber memperdebatkan peran budaya
dalam merangsang pertumbuhan dalam aktivitas ekonomi.58
Teori
tingkah laku kewirausahaan adalah diantara teori yang menyatakan
tentang terbentuknya perilaku kewirausahaan. Teori psikologi
pertama dikemukakan oleh Schumpeter (1961) bahwa seorang
55 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The
Interaction between Technology, Progress and Economic Growth (USA: Edward
Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 232. 56 Yohnson, “Peranan Universitas Dalam Memotivasi Sarjana Menjadi
Young Entrepreneurs,” Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Vol. 5, No. 2,
September 2003: 97 – 111. 57 Paul Tracey and Nelson Phillips, “The Distinctive Challenge of
Educating Social Entrepreneurs: A Postscript and Rejoinder to the Special Issue on Entrepreneurship Education,” Academy of Management Learning & Education, Vol. 6, No. 2 (Jun, 2007), 264-271.
58 Thomas M. Begley and Wee-Liang Tan, “The Socio-Cultural Environment for Entrepreneurship: A Comparison between East Asian and Anglo-
Saxon Countries,” Journal of International Business Studies, Vol. 32, No. 3 (2001),
537-553.
64 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
wirausaha adalah pembina perubahan. Adapun faktor-faktor yang
membantu pengembangan kewirausahaan adalah lingkungan yang
sesuai dan intuisi dalam memandang fakta secara esensial.59
Teori sosiologi pertama mengenai wirausaha diambil dari
pemikiran Weber (1958) yang menghubungkan wirausaha dalam
konteks sistem kepercayaan agama, terutama protestan. Dalam
sistem Weber, energi entrepreneur yang kuat berasal dari
pengadopsian kepercayaan religius yang berasal dari luar.
Menurutnya Hinduisme, budhisme dan islam tidak mendorong
timbulnya kewirausahaan.60
Mead (1928) dan Benedict (1946) adalah antropolog klasik
yang melakukan studi masyarakat Asia yang mendasarkan sanksi
budaya lebih pada rasa malu dari perasaan bersalah. Sementara
masyarakat Barat mempunyai kompleksitas individu yang tinggi.
Seikap malu sebagai sanksi sosial eksternal, sedangkan rasa bersalah
untuk internal yang pribadi keyakinan tepat dan salah.61
Lin (1936), menekankan bahwa di Asia Timur, status sosial
adalah dasar untuk sistem Konfusian sebagai sistem sosial sebagai
tujuan dari kerja untuk meningkatkan kedudukan sosial sesuai
kelompok melalui pembentukan anggota. Mianzi dapat diakuisisi
dalam tiga cara utama: 1) pekerjaan dari tinggi tingkatan sosial, 2)
prestasi dan pengaruh, dan 3) tekanan keluarga. Godsell dan
Redding (1991), memberikan pilihan lingkungan dapat
59 Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:
Gunung Djati Press, 1999), 34. 60 Nanat Fatah Natsir, 36. 61 Thomas M. Begley and Wee-Liang Tan, “The Socio-Cultural
Environment for Entrepreneurship: A Comparison between East Asian and Anglo-
Saxon Countries,” Journal of International Business Studies, Vol. 32, No. 3 (2001),
537-553.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 65
mempengaruhi tiga aspek tersebut. Entrepreneurship harus menarik
untuk sejauh itu memungkinkan orang untuk memperoleh mianzi. 62
Mianzi lebih relevan untuk kewiraswastaan menjadi motivasi
dalam berwirausaha. Karena hal tersebut berkaitan dengan status
sosial, prestasi, dan keberhasilan dalam bisnis. Seorang kelurga akan
kehilangan status sosial bilamana gagal dalam menjalankan usaha.63
Oleh karena itu, kewirausahaan sangat penting bagi pertumbuhan
ekonomi dan kemakmuran masyarakat dimana mereke beroperasi
dan menjalankan usahanya.64
Jaeger dan Kanungo (1990) telah menemukan bahwa banyak
model organisasi dan perilaku termasuk asumsi yang mendasari
tentang kapitalisme dan etos kerja Protestan yang tidak berlaku di
banyak negara. Sebagian besar berasal dari karya Max Weber yang
menulis tentang pengaruh etika Calvanist pada semangat
kewirausahaan. Pertanyaan apakah entrepreneurship adalah budaya
di seluruh dunia yang sama. Dengan demikian, portabilitas teori
kewirausahaan di seluruh kultur batas negara dapat diatasi.65
Oleh karena itu hubungan sosial, pertukaran sosial, jaringan
sosial dan komunitas praktek semua aspek penting untuk
menganalisis proses yang terlibat dalam membangun sebuah usaha.
Pertukaran merupakan sarana untuk berbagi pengetahuan,
khususnya dalam daya saing dalam arti komersial. Transfer
pengetahuan menyediakan berbagi pengetahuan. Polanyi (1966),
62 Thomas M. Begley and Wee-Liang Tan, “The Socio-Cultural
Environment for Entrepreneurship: A Comparison between East Asian and Anglo-
Saxon Countries,” Journal of International Business Studies, Vol. 32, No. 3 (2001), 537-553.
63 Thomas M. Begley and Wee-Liang Tan, ……. 537-553. 64 H. Kevin Steensma, Louis Marino and K. Mark Weaver, “Attitudes
Toward Cooperative Strategies: A Cross-Cultural Analysis of Entrepreneurs,”
Journal of International Business Studies, Vol. 31, No. 4 (4th Qtr., 2000), 591-609. 65 Anisya S. Thomas and Stephen L. Mueller, “A Case for Comparative
Entrepreneurship: Assessing the Relevance of Culture,” Journal of International Business Studies, Vol. 31, No. 2 (2nd Qtr, 2000), 287-301.
66 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Nonaka dan Takeuchi (1994) adalah penggerak utama dari proses
kolaborasi. Kolaborasi kemudian membawa dengan ekonomi yang
terkait dengan berbagai akses untuk saling melengkapi.66
Menurut
Chell (1996), lingkungan eksternal menyediakan aturan yang
memandu perilaku berusaha. Jeffress (1991), menjelaskan
kewirausahaan didefinisikan sebagai inisiator dan agen perubahan.
Sebagai sumber daya yang langka yang dapat dipengaruhi oleh
faktor sosial, ekonomi dan politik. Ashcroft (1999), juga
menunjukkan beberapa kategori faktor sosial, budaya, politik,
administrasi, hukum, dan ekonomi yang mempengaruhi seorang
individu terhadap kewirausahaan, atau jika tidak ada dapat
mengurangi atau menghilangkan kemungkinan masuk
kewirausaha.67
Engle, Schlaegel, dan Dimitriadi (2011), menekankan
pentingnya faktor kelembagaan sebagai bahan yang lebih penting
dari yang formal. Faktor ini mencakup norma-norma budaya dan
sosial tersosialisasikan pada masyarakat. Kebudayaan nasional telah
dieksplorasi sebagai suatu hal untuk melukiskan kewirausahaan.
Linan dan Fernandez Serrano (2014) misalnya, membandingkan
tingkat kewirausahaan diantara negara-negara Uni Eropa. Mereka
berpendapat bahwa dengan integrasi Eropa, kebijakan dan peraturan
antar negara telah banyak dibakukan. Sehingga melukiskan
kewirausahaan tidak muncul karena perbedaan lingkungan
kelembagaan formal, namun karena perbedaan spesifik budaya.
66 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,
2006), 204. 67 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,
2006), 145.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 67
Studi mereka menggunakan dimensi nilai budaya Schwartz
(1994), menyimpulkan bahwa perbedaan budaya (embeddedness vs
autofikasi, hierarki vs egalitarianism, dan di bawah penguasaan vs
harmoni) memiliki signifikansi dalam mempengaruhi
kewirausahaan.68
Peter L Berger dan Thomas Luckman
menyimpulkan bahwa masyarakat sebagai suatu proses yang
berlangsung dalam tiga fase dialektis, yakni internalisasi,
eksternalisasi dan objektifikasi yang pada akhirnya akan membentuk
realitas sosial.69
Meskipun sangat sulit melihat hubungan yang erat antara
kondisi ekonomi dengan budaya. Ideologi budaya mencerminkan
kondisi-kondisi materiil dan hubungan-hubungan ekonomi dalam
kehidupan manusia yang riil.70
Welter (2011), menyimpulkan
konteks lingkungan sosial sekitar individu terikat memiliki
pengaruh pada perilaku dan tindakan seseorang.
Sementara Hayton dan George (2002), Pinillos dan Reyes
(2011) menjelaskan struktur nilai sosial yang membentuk budaya
akan memainkan peran penting dalam menentukan kewirausahaan
anggota masyarakat. Namun demikian, mekanisme melalui efek
inisial yang diberikan mempunyai peran yang jauh lebih jelas.
Davidsson, (1995), lebih menekankan pengaruh kultur suatu
masyarakat berperan penting dalam membentuk perilaku
kewirausahaan.71
Yakni perilaku yang berorientasi pada ekspansi
68 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,
Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:
Springer International Publishing, 2015), 38. 69 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta
Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 106. 70 Doyle Paul Johnson, Sociological Theory Classical Founders and
Contemporary Perspectives. Diterjemahkan oleh M. Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1988), 135.
71 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship, Regional Development ……. 54.
68 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
pasar atau kapitalisme. Sebagai contoh, teori neo-Darwin (atau
sintetis) yang lazim disebut evolusi biologi mengasumsikan seleksi
alam untuk menjelaskan kelangsungan hidup sebuah sistem
kehidupan.
Pembelajaran organisasi dan transfer pengetahuan telah
menjelajahi daya serap dan transfer pengetahuan secara mendalam.
Alasan untuk tingkat relevansi adalah bahwa teori kelembagaan
sudah menggabungkan publik atau kemitraan swasta sementara
teori pertukaran sosial tidak dibatasi oleh asumsi pertukaran
transaksi komersial dengan agenda saing dilampirkan. Bahkan, teori
pertukaran sosial cukup erat dengan komunitas praktek.72
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kultur membangun struktur yang
lebih mirip satu sama lain daripada untuk kontra non-kewirausahaan
mereka bagian di negara mereka sendiri.
Mc Grath (1992), membrikan dukungan yang ditemukan
untuk hipotesis mereka bahwa pengusaha, terlepas dari kebangsaan
atau latar belakang budaya. Berbagi prediktabilitas mampu menilai
berbeda yang dimiliki oleh individu yang memiliki mengikuti
kewirausahaan. Meskipun bukti ini untuk mengharapkan bahwa
pengusaha, seperti rekan-rekan manajerial mereka memantulkan
nilai-nilai dominan mereka budaya nasional. Redding (1980),
sementara mereka mungkin berbagi beberapa sifat universal, orang
lain mungkin menjadi budaya yang lebih spesifik. Sebagai contoh,
tidak seperti saha Amerika ideal entrepreneur dengan ditandai sikap
individu. Sementara bukti bahwa pengusaha di Asia mengandalkan
hubungan kekeluargaan dalam mengembangkan bisnis mereka.
Fakta ini diilustrasikan oleh pengusaha Cina di Asia Tenggara
dan berbagai bisnis dioperasikan secara bersama oleh pedagang
72 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,
2006), 203.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 69
Gujarat, Parsi, dan India.73
Oleh karena itu, sosial budaya dapat
mempengaruhi kinerja ekonomi dengan mengubah produksi
efektif.74
Meskipun kaya akan teori, beberapa penelitian empiris
menjelaskan faktor budaya yang relevan dengan entrepreneurship.
Peter L Berger (1991) berpendapat bahwa kewirausahaan dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi secara dinamis.
2. Pendekatan Teori Perubahan Sosial
Sosiolog modern banyak menaruh perhatian besar terhadap
perubahan sosial untuk menggambarkan kondisi sosial dimasa
depan. Perubahan sosial abad kedua puluh memasuki perkembangan
yang sangat pesat. Karena nilai-nilai, sikap-sikap, dan gaya hidup
orang dalam pekerjaan jasa secara kualitatif berbeda dari mereka
yang bekerja dalam sektor produksi.75
Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempunyai korelasi
yang kuat dengan sosiologi. Ilmu ini berasal dari bahas Yunani,
yaitu anthropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu.
Antropologi mempelajari manusia sebagai bentuk biologis dan
mahluk sosial. Antropologi mempunyai dua sisi holistik. Pertama
meneliti manusia pada setiap waktu dan setiap dimensi
kemanusiaannya. Kedua seluruh dimensi manusia yang integral dan
dilihat secara menyeluruh. Kajian ilmu ini lebih memfokuskan pada
penduduk sebagai masyarakat tunggal di daerah yang sama.
Meskipun ilmu ini identik dengan sosiologi. Bilamana sosiologi
lebih menitibertakan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya,
73 Anisya S. Thomas and Stephen L. Mueller, “A Case for Comparative
Entrepreneurship: Assessing the Relevance of Culture,” Journal of International Business Studies, Vol. 31, No. 2 (2nd Qtr, 2000), 287-301.
74 Hanming Fang, “Social Culture and Economic Performance,” The American Economic Review, Vol. 91, No. 4 (Sep, 2001), 924-937.
75 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1988), 23
70 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
maka antropologi menitiberatkan pada unsur budaya, pola pikir, dan
pola kehidupannya.76
Robert King Merton yang mengkaji antara realitas empiris
atau realitas objektif dan menyebabkan ruang kajiannya lebih
bersifat ke makro-objektif. Kajian sosialnya lebih bersikap
observable, dan bukan dalam posisi psokiologis. Robert K Merton
termasuk sosiolog yang masuk dalam kategori fakta sosial.
Perspektif demikian lebih disebabkan karena anggapannya bahwa
struktur sosial bersifat mengekang dan mempengaruhi individu
dalam berperilaku.77
Semantara Nikola Danilevsky (1869), menekankan kesatuan
etnik dan keunikan sistem kebudayaan yang mana pertumbuhan
kebudayaan didorong oleh adanya perkembangan menurut logika
internal dari prinsip utama. Kebudayaan akan berjalan melewati
beberapa fase yang mengalami kemajuan dan kemuduran.78
Perubahan suatu masyarakat pada dasarnya merupakan gejala sosial
yang tidak bisa dicegah.
Budaya menganut pandangan-pandangan dunia yang
bervariasi untuk melukiskan pandangan kaleidoskopik mengenai
sifat realitas. Sebagian dari konsep ini adalah fatalism, etika kerja,
reinkarnasi, sisu, konfusianisme, weltschamerz, dusha, dan
sebagainya. Konsep-konsep ini dianut oleh kelompok atau
komunitas tertentu pada suatu bangsa atau masyarakat. Namun
76 Beni Ahmad Sebani, 13. 77 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta
Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 37 78 John Scott, Social Theory: Central Issues in Sociology (London: SAGE
Publication Ltd, 2012). Diterjemahkan oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 66.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 71
konsep yang lebih penting adalah bersifat universal yang sangat
berbeda sifat dan esensinya yang menyangkut ruang dan waktu.79
Ilmu pengetahuan sosial merupakan hasil konstruksi dari
jamannya yang diawali dengan kekuatan sosial dan intelektual.80
Karya tiga tokoh sosiologi yang masuk dalam teori klasik adalah,
Emile Durkheim (1858-1917), dan dua orang Jerman, Karl Marx
(1818-1883) dan Max Weber (1864-1920). Ketiga tokoh tersebut
mempunyai konsep yang berbeda dalam menjelaskan berbagai
macam teori yang terhimpun dalam rumpun sosiologi klasik.81
Voluntarisme adalah konsep yang menjadi perdebatan dalam
paradigma teori sosial. Ritzer mengasumsikannya sebagai
interaksionisme simbolik yang masuk dalam kategori definisi sosial.
Namun Poloma menyatakan bahwa masalah utama bagi Parsons
sebagai ahli teori makro bukan terletak dari tindakan individu,
melainkan norma yang menjadi sebuah konsensus dalam sebuah
masyarakat.82
Kehidupan manusia pada dasarnya mengalami perubahan-
perubahan dari masa kemasa. Merupakan sebuah sunatul<ah jika
setiap manusia dan masyarakat akan mengalami perubahan baik
secara cepat maupun lambat. Perubahan secara lambat dikenal
sebagai evolusi yang berangsur-angsur dalam waktu yang relatif
lama. Berbeda dengan perubahan revolusi yang terjadi dalam waktu
yang relatif cepat. Pelaku tindakan (agency) yang diajukan oleh
Giddens didasari oleh Freud dalam tiga dimensi internal manusia,
79 Richard D. Lewis, Komunikasi Bisnis Lintas Budaya (bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2005), 51. 80 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2007), 21. 81 Pip Jones, Introducing Social Theory/ Pengantar Tori-teori Sosial dari
Teori Fungsionalisme hingga Postmodernisme (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010), 31. 82 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta
Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 24.
72 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
yakni: motivasi tak sadar (unconscious motive), kesadaran diskursif
(discursive unconscious), motivasi tdak sadar (discursive
consciousness).83
Komitmen dalam membangun teori sosiologi sebagai sebuah
instrumen yang dinyatakan secara sistematis dan saling
berhubungan secara logis dan didasarkan atas bukti empiris.84
Menurut Durkheim, masalah sentral dari eksistensi sosial adalah
masalah keteraturan bagaimana mencapai solidaritas sosial dalam
masyarakat. Bentuk solidaritas mekanik adalah sistem pembagian
kerja yang sangat sederhana.85
Peranan setiap indivdu mempunyai
banyak kesamaan dalam status sosialnya di masyarakat.
Perubahan sosial secara general disebabkan oleh adanya
faktor internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan oleh
adanya keinginan suatu masyarakat setempat untuk memperbaiki
kehidupannya. Pandangan masyarakat yang optimis untuk mencapai
sebuah kemajuan membawa dampak yang intens sebagai arus utama
dalam perubahan sosial. Keinginan masyarakat untuk memperbaiki
keadaan adalah motivasi utama yang mengarahkan terjadinya
perubahan sosial.
Kehidupan masyarakat yang tertutup (introvert)
mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang terjadi dalam
waktu yang relatif lama. Termasuk masyarakat yang konservatif
akan mengalami perubahan sosial dalam waktu yang lama.
Masyarakat pedesaan yang tinggal jauh dari perkotaan mengalami
kendala dalam akses dengan dunia luar. Terbatasnya akses dalam
83 I.B Wirawan, 307. 84 Doyle Paul Johnson, Sociological Theory Classical Founders and
Contemporary Perspectives. Diterjemahkan oleh M. Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1988), 33.
85 Pip Jones, Introducing Social Theory. Diterjemahkan, Pengantar Tori-teori Sosial dari Teori Fungsionalisme hingga Postmodernisme (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2010), 46.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 73
dunia modern dan digital akan menghambat kemajuan suatu
masyarakat yang memasuki kehidupan dan kemajuan.
Kalangan masyarakat desa yang terdiri dari golongan orang
tua cenderung menganggap adanya pengaruh dari dunia luar hanya
membawa dampak negatif. Kelompok orang tua akan memegang
teguh tradisi yang telah lama ada dengan mewariskan nilai-nilai
lokal yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Kaum muda
mempunyai pandangan yang berbeda dengan golonan orang tua.
Mereka lebih terbuka dalam menyikapi pengaruh dari luar yang akan
memberikan dampak yang konstruktif progresif.
Wilbert Moore menyimpulkan bahwa perubahan sosial tidak
hanya gejala yang terjadi pada masyarakat modern.86
Masyarakat
pedesaan juga mengalami perubahan sosial dalam waktu yang relatif
lama. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat desa lebih
bersifat latensi melalui beberapa fase. Masyarakat desa mengalami
perubahan sosial dalam beberapa aspek seperti, ekonomi, budaya,
norma dan adat istiadat termsauk dalam interaksi sosial diantara
mereka.
Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang terbuka dan tidak
mudah mengalami cultural lag. Mereka lebih terbuka dan bersikap
welcome dalam menerima pengaruh dari dunia luar. Akses yang
dimiliki oleh masyarakat kota lebih lengkap dibandingkan dengan
masyarakat desa. Auguste Comte (1798-1857) merupakan seorang
tokoh sosiologi yang memberikan banyak sumbangan dalam teori
perubahan sosial.87
Dia menyimpulkan ada tiga tahapan yang
mempengaruhi perubahan sosial, yaitu tahap fase teologis, metafisik
dan positivisme. Comte membagi sosiologi menjadi dau fragmen
yakni sosiologi statis yang mengacu pada struktur masyarakat dan
sosiologi dinamis yang mengacu pada perubahan masyarakat.
86 Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial dalam Teori Makro: Pendekatan
Realitas Sosial (Bandung: Alfabeta, 2008), 15. 87 Jacobus Ranjabar, 27.
74 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Kajian mengenai perubahan sosial telah menjadi pembahasan
yang unik diantara kalangan sosiolog yang ingin mengungkap
tentang fakta perubahan sosial dalam ranah realitas. Eksemplar para
tokoh sosiolog kemudian melahirkan sebuah teori yang digunakan
untuk menganlisis tentang perubahan sosial suatu masyarakat. Ada
bebera macam teori yang menjelaskan tentang perubahan sosial
sebagai berikut:88
a. Analisis Perkembangan Evolusi
Fokus kajian dalam teori evolusi menitibertkan pada aspek
perubahan sosial yang berlangsung dalam bebera fase yang cukup
lama. Objek utama dalam analisis perkembangan teori evolusi
adalah masyarakat pedesaan dan pedalaman yang masih bersifat
tradisional. Pola kehidupan mereka masih menggantungkan dirinya
dengan alam sekitar. Dimana alam merupakan instrumen utama
dalam kelangsungan kehidupan mereka.
Dalam teori evolusionisme dikenal dengan aliran
evolusionisme klasik E.B Taylor (1832) dan L.H. Morgan (1818-
1881). Ada empat anggapan dasar dalam teori ini, yakni:89
a. Manusia adalah bagian dari alam dan bekerja sesuai dengan
hukum alam.
b. Alam bergerak secara progresif dari sederhana menuju arah
yang lebih lengkap.
c. Hukum alam menguasai dan tidak mengalami perkembangan
sepanjang zaman.
d. Manusia di seluruh dunia mempunyai potensi yang sama.
Namun berbeda secara fundamental dalam perkembangan
intelegnsi dan pengalamannya.
88 Jacobus Ranjabar, 42. 89 Beni Ahmad Sebani, Pengantar Antropologi (Bandung: Pustaka Setia,
2012), 193.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 75
Pola evolusi sosial Spencer tentang kompleksitas sosial
didasarkan atas pembagian kerja serupa dengan Durkheim. Analisa
yang diberikan Spencer tidak terlalu jelas sebagaimana yang
digambarkan oleh Emile Durkheim dalam mengidentifikasi
pembagian kerja. Dikotomi yang demikian lebih didasarkan Spencer
sebagai manifestasi saja dalam hukum evolusi yang universial.90
b. Analisis Perkembangan Teori Revolusi
Berbeda dengan perubahan sosial secara evolusi, revolusi
dikaitkan sebagai perubahan sosial yang berlangsung secara cepat.
Dengan adanya penemuan-penemuan baru yang membawa implikasi
secara progress dan regress secara tidak langsung akan merubah
kehidupan suatu masyarakat. Motivasi dan keinginan kuat
masyarakat untuk maju sebagaimana yang terjadi pada masyaraka
lainnya. Masyarakat yang berusaha untuk mengejar
ketertinggalannya dengan akan mendorong mereka untuk
melakukan koreksi-koreksi terhadap warisan budaya lama.
Instrument yang demikian dianggap sebagai sesuatu yang tidak
relevan dan mampu untuk menjawab persoalan dalam sebuah
kehidupan yang lebih kompleks.
Problem-problem sosial dalam sebuah masyarakat
membutuhkan sebuah problem solving. Heterogenitas dan
kehidupan yang kompleks sebagai manifestasi dari adanya
perubahan yang membutuhkan problem solving. Sebagai ilustrasi
eksistensi agama Islam yang terlahir di dunia padang pasir dan
Jaziah Arab. Ketika bersinggungan dengan berbagai macam
kebudayaan dan kondisi geografis yang baru. Islam membutuhkan
sebuah adaptasi yang pada akhirnya akan menyebabkan sebuah
problem sosial.
90 Doyle Paul Johnson, Sociological Theory Classical Founders and
Contemporary Perspectives. Diterjemahkan oleh M. Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1988), 172.
76 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Kondisi masyarakat padang pasir tentu berbeda dengan
kondisi masyarakat bahari khususnya Indonesia. Problem sosial
yang demikian pada akhirnya memaksa kalangan ummat Islam
untuk menetapkan sebuah hukum baru yang dikenal dengan istilah
ushul fiqih, ijma’ qiyas dan maqasid sha>ri’ah. Sepeninggal nabi
tentu membutuhkan para ulama yang akan meneruskan dan
meluruskan hukum mereka.
Robert K Merton yang mengkaji antara realitas empiris atau
realitas objektif menyebabkan ruang kajiannya lebih bersifat ke
makro-objektif. Kajian sosialnya lebih bersikap observable, dan
bukan dalam posisi psokiologis. Robert K Merton termasuk sosiolog
yang masuk dalam kategori fakta sosial. Perspektif demikian lebih
disebabkan karena anggapannya bahwa struktur sosial bersifat
mengekang dan mempengaruhi individu dalam berperilaku.91
c. Analisis Perkembangan Teori Siklus
Tokoh dalam teori ini adalah Ibnu Khaldun dalam kitabnya
Muqaddimah yang berarti pembukaan. Fokus utama dari teori ini
adalah bahwa suatu masyarakat mengalami kemajuan dan
perkembangan serta kemuduran. Masalah perubahan budaya jauh
lebih kompleks daripada yang terdapat dalam perubahan model
budaya yang bersifat siklus dan linier. Teori perubahan siklus lebih
cocok dalam kebudayaan yang bersifat nonmaterial, sedangkan
model linier lebih sesuai dengan perubahan linier adalah materiil.92
Teori siklus ekonomi biasanya mengusulkan proses yang
umum, dimana item yang difokuskan untuk kemajuan alami melalui
tahap yang berbeda selama periode waktu (hidupnya). Pandangan
klasik terjadi melalui beberapa fase yang dimulai dengan kelahiran,
91 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta
Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 37 92 Doyle Paul Johnson, Sociological Theory ….. 119.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 77
dan melanjutkan eksponensial pertumbuhan melalui titik akibat dari
pertumbuhan, untuk periode jatuh tempo dan stabilitas. Dari dua
siklus yang paling penting adalah teori dalam studi manajemen,
siklus hidup produk dan siklus hidup organisasi. Siklus hidup tidak
dapat dilihat secara independen dari operasi usaha seluruh karena
ada sebab dan akibat di tempat kerja yang cukup.93
C. Entrepreneur dalam Perspektif Islam
Studi tentang Islam dan kewirausahaan penting artinya untuk
mengetahui peranan dan motivasi agama bagi penganutnya dalam
usaha peningkatan ekonomi.94
Sejarah telah mencatat kalangan
entrepreneur berperan penting dalam mengiringi dakwah Nabi
Muhammad SAW.95
Abdurrhaman bin Auf adalah salah satu contoh
entrepreneur suksess yang mampu menganalisa peluang yang
terdapat dalam masyarakat Arab. Ketika Nabi Muhammad
berhijrah, banyak kalangan masyarakat Muhajirin yang
meninggalkan harta benda mereka di Mekkah. Salah seorang
diantaranya adalah Abdurrahman bin Auf yang termasuk dalam
kelompok masyarakat Muhajirin.
Ketika para sahabat telah berkumpul di Madinah. Nabi
kemudian mempersaudarakan antara kaum Anshar dengan
masyarakat Muhajirin. Masyarakat Anshar sebagai tuan rumah
sedangkan masyarakat Muhajirin sebagai tamu. Salah seorang
sahabat yang dipersaudaran oleh nabi adalah Abdurrahman bin Auf.
Beliau ditawari oleh saudaranya dari kalangan masyarakat Anshar
93 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton: Edward Elgar Publishing Limited, 2006), 132.
94 Darwis Abdullah, Agama, Budaya dan Masyarakat: Ikhtisar Laporan Hasil-hasil Penelitian (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1980),
141. 95 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Entrepreneurship Kaum Sarungan
(Jakarta: Khalifa, 2010), 21.
78 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
segala macam kekayaan. Namun Abdurrahman bin Auf menolak dan
hanya meminta kepada sahabat tersebut agar ditunjukan dimana
letak pasar sebagai pusat perdagang dan perekonomian. Kemampuan
seperti ini adalah kemampuan dalam menganalisis peluang yang ada
di masyarakat yang menjadikannya sebagai salah seorang sahabat
terkaya.
Ilustrasi lain peranan kalangan entrepreneur dalam
menyelesaikan problem sosial adalah peranan penting Utsman bin
Affan dalam pembiayaan perang dan dakwah Islam yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW. Peran penting Khadijah dalam
membiayai perang dan dakwah nabi. Namun hal penting yang
terkadang di lupakan adalah profesi nabi Muhammad sebagai
seorang pedagang suksess yang tentu menjadi contoh bagi kalangan
ummatnya agar tidak menggantungkan diri sebagai pekerja. Namun
mampu menganalisis peluang dan menjadikan mereka sebagai
pencipta lapangan pekerjaan guna meminimalisir jumlah
pengangguran.
Sumber daya manusia yang banyak tapi tidak mempunyai
kualitas yang baik akan menjadi beban bagi suatu negara. Sementara
sumber daya manusia yang baik merupakan potensi bagi
pembangunan suatu bangsa, sumber daya manusia yang berkualitas
mempunyai dua potensi.96 Pertama, gagasan-gagasan, kreasi dan
konsepsi. Kedua, kemampuan dan keterampilan mewujudkan
gagasan-gagasan tersebut dengan cara produktif.
Masalah kualitas sumber daya manusia masih menjadi sebuah
perbincangan yang ramai dikalangan para pakar sosial. HIPIS atau
Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial pernah
mengadakan seminar dengan tema “kualitas manusia dalam
pembangunan” pada tahun 1984 di Palembang yang menyoroti
kualitas sumber daya manusia. Pada umumnya masih prihatin
96 Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia
(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 59.
Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 79
melihat bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia masih
kurang baik.97
Kegiatan ekonomi di sektor swasta adalah sumber kehidupan
suatu negara yang tidak dikelola oleh negara. Upaya yang dilakukan
oleh perusahaan adalah dengan menciptakan investasi modal yang
berlangsung dan inovasi guna meningkatkan keadaan sosial ekonomi
suatu negara. Meskipun komunitas ilmiah telah memperdebatkan
manfaat wirausaha untuk ekonomi. Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa start-up dan berwirausaha muda sangat penting untuk
penciptaan lapangan kerja dan memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Haitwanger, Jarmin, dan Miranda (2013) dalam penelitiannya yang
terbaru menegaskan bahwa wirausaha yang lebih muda
berkontribusi besar dalam penciptaan lapangan kerja.98
Kelompok
masyarakat yang membuka usaha dalam skala kecil maupun besar
menjadi sebuah solusi terhadap problem sosial pengangguran
sebagai upaya meminimalisir kemiskinan.
Tentunya menjadi sebuah pekerjaan yang penting bagi
kalangan dalam bidang akademisi. Khususnya bagi negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia yang membutuhkan banyak
lapangan pekerjaan. Solusi pendidikan keterampilan kerja
diharapkan agar tidak hanya menciptakan pengangguran terdidik
disaat lulusannya menjalani hidup dalam usia yang produktif.
Keberadaaan seorang entrepreneur sebagai pencipta lapangan kerja
baru diharapkan mampu untuk meminimalisir jumlah pengangguran
dalam suatu negara.
Diantara arah perubahan sosial dalam suatu masyarakat
ditentukan oleh keberadaan kelompok-kelompok entrepreneur.
97 Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia
(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 59. 98 Martha Garcia-Murillo, Jorge Andres Velez-Ospina and Patricia Vargas-
Leon, “The Techno-Institutional Leap and the Formation of New Firms,” Journal of Penn State University Pres, Vol. 3 (2013), 501-536.
80 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Wirausahawan yang terjun di berbagai industri setidaknya
membantu negara menambahkan pilihan pekerjaan bagi
masyarakatnya. Anggota masyakat yang mempunyai keahlian yang
masih minim akan mereka tampung dan dimanfaatkan tenaganya
untuk menjalankan kegiatan usahanya.
Indsutri rumah tangga adalah unit usaha dengan jumlah
pekerja antara satu samapai empat orang. Revrisond Baswir (1999)
mengidentifikasi industri rumah tangga mempunyai sifat yang tidak
formal dengan struktur organisasi yang sederhana.99
Seorang
entreprnenur diharapkan mampu untuk mengurangi jumlah
pengangguran dalam sebuah masyrakat dengan membawa kemajuan
bagi daerah yang mereka singgahi. Secara sederhaana, kelompok
masyarakat yang membuka usaha berkontribusi dalam bebera hal
sebagai berikut:
1. Meningkatkan Standar Ekonomi
2. Sebagai Penggerak Dalam Pembangunan Nasional
3. Menciptakan Lapangan Kerja Baru
Ditengah pencanangan program pemerintah yang bertujuan
untuk mengurangi jumlah pengangguran dalam masyarakat dan
berbagai seminar yang diadakan oleh berbagai lembaga swasta dan
pemerintah. Entrepreneur dalam aksi merupakan opsi yang tepat
untuk mengurangi permasalahan sosial terutama pengangguran.
Faktor yang menyebabkan belum kuatnya sektor swasta di negara-
negara dunia ketiga adalah kewirausahaan (entrepreneurship) yang
belum membudaya, lemahnya penguasaan masyarakat akan
manajemen, lemahnya permodalan dan berbagai macam faktor
ekonomi lainnya.100
99 Azwir Dainy Tara, Stategi Membangun Ekonomi Rakyat: Masa Sulit
Pasti Berlalu (Jakarta: Nuansa Madani, 2001), 51-52. 100 Ismail Nawawi, Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian
Konsep, Model, Teori dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi (Surabaya: CV. Putra
Media Nusantara, 2009), 14.
81
Bab III
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan
A. Islam di Lamongan
Sejarah Kabupaten Lamongan tidak terlepas dari adanya
pengaruh kerajaan-kerajaan di pulau Jawa. Khususnya Jawa Timur
yang pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan besar di
Nusantara seperti Kediri, Mataram Kuno, Singasari, Majapahit serta
Demak di Jawa Tengah. Kemunduran Majapahit pada tahun 1471
menyebabkan jaring-jaring kekuasaan Islam menyebar dari ujung
timur sampai barat dibawah kontrol kerajaan Demak. Agama Islam
menyebar di pesisir utara pulau Jawa menggantikan agama Hindu-
Budha.1 Lamongan sebagai sebuah kabupaten di pesisir utara pulau
Jawa tidak terlepas dari proses islamisasi yang terjadi pada tahap
awal.
Kerajaan Majapahit yang berdiri selama kurang lebih tiga
ratus tahun. Armada maritimnya yang kuat dan tersohor dikawasan
Asia Tenggara tidak menutup kemungkinan mengadakan kontak
dagang dengan dinasti Turki Utsmani yang berkuasa bersamaan
dengan Majapahit. Ditemukannya makam Siti Fatimah Binti
Maimun di Gersik, Jawa Timur. Mengindikasikan bahwa Islam telah
masuk ke Lamongan pada masa kerajaan Majapahit. Catatan
perjalanan Ibnu Batutah menerangkan bahwa ia singgah di Aceh
yang pada masa itu dipimpin oleh sultan Malik al-Zahir yang telah
beragama Islam.
Pada masa Majapahit, kegiatan pertanian tidak menjadi
sebuah aktivitas perekonomian yang diandalkan. Pertukangan dan
1 Abdullah Ubaid Mathraji, Warna Islam Indonesia: Ekspresi Umat Islam di
Indonesia (Tangerang: Pustaka Cendekia Muda, 2008), 159.
82 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
berbagai macam kerajinan menjadi sebuah kemajuan ekonomi pada
masa Majapahit. Pada abad ke-14 terdapat sebuah desa di
Lamongan yang menjadi sentra para pembuat kerajinan pandai besi.
Mereka ini tergabung dalam asosiasi pengusaha kecil yang membuat
aneka kerajinan dari bahan baku besi.2
Kedua ilustrasi diatas menjelaskan bahwa Islam telah masuk
ke-Nusantara pada masa kerajaan Majapahit belum mengalami
kemunduran. Meskipun masih menuai perdebatan yang panjang
diantara sejarahwan tentang awal mula kedatangan Islam. Tidak
memungkinkan orang-orang dari kalangan Arab, Persia dan India
telah menyebarkan Islam ke-Nusantara sejak abad pertama hijriyah.
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan awal mula
kedatangan Islam ke-Nusantara. Teori pertama di dasarkan pada
catatan Tionghoa dari dinasti Tang yang menyebutkan pembatalan
penyeranagn kerajaan Ho-Ling di bawah pemipinan Ratu Sima.
Kata Ta’Shin diidentikan dengan kalangan orang Arab keturunan
yang menetap di pesisir Sumatera. Pendapat ini banyak menua
silang pendapat tentang awal mula kedatangan Islam di Nusantara.
Namun sejarawan sepekat bahwa Aceh adalah tempat kedatangan
Islam pertama yang kemudian menyebar ke berbagai daerah.
Teori pertama yang mengatakan kedatangan Islam pada abad
pertama Hijriyah yang bertepatan pada tahun 7 M. Teori ini
dikemukakan oleh W.P Grenoeveldt, T.W. Arnold, Sayid Naquib al-
Attas, George Fadlo Hourani, J.C Van Leur, Hamka, serta Uka
Tjandrasasmita. Meskipun demikian, ada pula yang mengatakan
bahwa kedatangan Islam ke-Nusantara terjadi pada abad ke-13 M
2 Denys Lombard, Le Carrefour Javanais (Paris: E>cole des Hautes E>tudes en
Sciences Sociales, 1990). Diterjemahkan oleh , Winarsih Partaningrat Arifin dkk,
Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama), 34.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 83
yang dikemukakan oleh C. Snouck Hurggronje, J.P. Moquette, R.A.
Kern, Haji Agus Salim dan lain-lain.3
Pasca konflik antara Bani Umayyah dengan Ahlulbait terjadi
banyak eksodus secara besar-besaran. Mereka bermigrasi ke timur
jauh seperti India, Cina yang pada akhirnya sampai di Indonesia.
Oleh sebab itu, Islam yang pertama kali datang ke Indonesia adalah
yang dibawa oleh zurriyat Rasulullah atau keturunan Nabi
Muhammad Saw. Sebagai contoh adalah Syeikh Ahmad Subakir dan
Syeikh Abdul Ghafur an-Nasiyaburi yang merupakan ahlul bait yang
termasuk golongan awal yang datang ke-Jawa. Lalu berjumpa
dengan Ratu Sima, pemimpin dari kerajaan Kalingga dan berjumpa
dengan prabu Sri Adi Joyoboyo yang merupakan ratu kerajaan Daha
Kediri.4
Menurut Uka Tjandrasasmita, ada enam model penyebaran
Islam di Indonesia melalui beberapa saluran antara lain sebagai
berikut:5
a. Saluran Perdagangan
b. Perkawinan
c. Tasawuf
d. Kesenian
e. Politik
f. Pendidikan
M. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia 1200-2008
menegaskan bahwa proses islamisasi merupakan salah satu proses
3 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: PT Gramaedia,
2009), 12. 4 Husein Heriyanto dan Tim Across, Menguak Akar Spiritual Islam
Indonesia, Peran Ahlulbait Dalam Penyebaran Islam di Nusantara (Yogyakarta:
Rausyan Fikr Institute, 2013), 42. 5 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada Press, 2010), 201.
84 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
yang penting dalam perkembangan sejarah Indonesia. Dapat
dipastikan bahwa Islam sudah datang ke-Nusantara sejak awal
lahirnya. Berita yang bersumber dari Dinasti Tang tentang
kehadiran saudagar-saudagar Tanzi (Arab) ke Kalingga pada tahun
674 Masehi adalah petunjuk bahwa Islam sudah ada di Indonesia
sejak awal mula kelahirannya. Semangat penyebaran Islam
keberbagai daerah dimotivasi oleh hadis nabi Muhammad SAW
“Sampaikan dariku walau satu ayat”.
Di antara tokoh penting yang menyebarkan agama Islam
kenusantara adalah Walisongo yang berjumlah Sembilan. Terdapat
beberapa macam pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Wali
Songo antara lain:6
a. Pendekatan Teologis seperti yang dilakukan oleh Sunan
Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Ampel. Yang menjadi
objek dalam hal ini adalah kalangan rakyat bawah yakni
kalangan waisya dan sudra.
b. Pendekatan ilmiah seperti yang dilakukan oleh Sunan Giri
dalam melakuakn pengkaderan para da’i yang tersebar ke-
beberapa daerah di Nusantara seperti Bawean, Madura bahkan
sampai ke Maluku.
c. Pendekatan kelembagaan seperti yang dilakukan oleh Sunan
Kudus dan Sunan Gunungjati dengan mendirikan
pemerintahan, lembaga peribadatan masjid dan sebagainya.
d. Pendekatan kultural seperti yang dilakukan oleh Sunan
Kalijaga dan Sunan Bonang.
e. Pendekatan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan
Drajat di Lamongan dan Sunan Muria yang memilih hidup di
tengah kalangan rakyat jelata di pedesaan.
6 Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan
Zaman (Jakarta: Lantabora Press, 2003), 140-141.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 85
Dalam perkembangan sejarah, wajah umat Islam di Lamongan
tidaklah tunggal. Sebab umat Islam di Lamongan terbagi dalam
beberapa kelompok polarisasi beragam yang direpresentasikan oleh
kelompok keagamaan, organisasi sosial, politik dan sebagainya.7
Terdapat beberapa aliran Islam yang mewarnai kehidupan
masyarakat Lamongan baik pada masa dahulu maupun untuk
sekarang. Aliran yang lebih elektik adalah NU dan Muhammadiyah
yang mengaku menganut keempat madzab fiqih. Adapun yang
menjadi persamaan keyakinan Islam di Asia Tenggara adalah di
imaninya mazhab Syafi’i dalam bidang hukun fiqih atau
keagamaan.8
Agus Sunyoto menyatakan bahwa kebudayaan di Jawa
khsusunya dan di Indonesia pada umumnya telah berkembang pada
awal mula kelahiran Islam. Dari berbagai literatur sejarah yang
dihimpun dari beberapa sumber. Agus Sunyoto berkesimpulan
bahwa Islamisasi di pulau Jawa sudah berlangsung sejak zaman
kepemimpinan khalifah Islam dibawah kekuasaan Utsman Bin
Affan. Pada masa itu, sudah terjadi kontak sosial antara pedagang
pribumi dengan pedagang Arab. Perdagangan masyarakat Jawa
terjadi melalui kontak sosial dengan dunia luar termasuk dengan
pedagang Arab dan timur-tengah.
Pada abad ke-7 kapal dagang yang dibawa oleh rombongan
dari Nusantara berukuran tiga kali lipat besarnya dari kapal yang
dimilki oleh masyarakat Cina daratan. Mereka menganggap bahwa
kapal yang datang dari selatan jauh lebih besar dari pada kapal yang
dibuat oleh negaranya. Agus Sunyoto menyimpulkan dalam Atlas
Walisongonya bahwa penduduk Nusantara adalah masyarakat yang
7 Agus Muhammad, “Islam Nusantara di Tengah Gelombang Puritanisme,”.
Jurnal Tashwirul Afkar: Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan Islam Nusantara. Edisi No. 26 tahun 2008. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia (LAKPESDAM) Nahdlatul Ulama. Tebet, Jakarta Selatan. 8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan
Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 1998), 49.
86 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
sudah berperadaban maju jauh melebihi negara-negara
tentangganya.
Selain dikenal mempunyai keahlian berdakwah dalam
menyebarkan agama Islam ke pulau Jawa, walisongo yang terdiri
dari sembilan orang dalam sebuah perkumpulan dakwah dikenal
mempunyai berbagai keahlian dalam bidang mereka masing-masing.
Adapun keahlian yang dimiliki oleh Walisongo antara lain sebagai
berikut:
a. Sunan Kudus adalah seorang wali yag mempunyai keahlian
dalam membuat alat-alat pertukangan.
b. Sunan Gunungjati menurunkan tokoh-tokoh yang menjadi
raja-raja di Cirebon dan Banten. Strategi dakwahnya adalah
memperluas hubungan politik dengan penguasa Banten,
Cirebon dan Demak melalui pernikahan.
c. Sunan Kalijaga mengembangkan dakwah dengan seni dan
budaya. Beliau merupakan wali yang mempunyai keahlian
dalam mendalang dengan mengambil cerita pewayangan yang
kemudian di transformasikan dalam bentuk pewayangan.
d. Sunan Bonang mempunyai keahlian dalam bidang seni
arsitektur, tasawuf dan sastra serta kesaktian yang terkenal
luas dikalangan masyarakat Tuban. Beliau merupakan wali
yang menjadi guru dari Sunan Kalijaga.
e. Sunan Drajat di Lamongan yang merupakan wali yang dikenal
ahli dalam bidang ekonomi dan sosial. Beliau merupakan wali
yang piawai dalam berdagang dan mempunyai kepekaan
sosial yang tinggi. Ajaran yang ditekankan oleh Sunan Drajat
adalah anjuran untuk memberi kepada sesama. Nama asli
Sunan Drajat adalah Raden Qosim yang merupakan putra dari
Sunan Ampel dengan Dewi Candrawati dan merupakan adik
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 87
dari sunan Bonang yang mempunyai nama Raden Makdum
Ibrahim.9
f. Sunan Muria menciptakan tembang sinom dan kinanti yang
berisi nasehat tentang ketauhidan.
g. Sunan Giri dikenal sebagai wali yang sangat menjaga ajaran
agama dan sulit untuk berkompromi dengan tradisi lokal
masyarakat setempat. Sejarah mencatat dakwah yang
dilakukan oleh Sunan Giri berbagai daerah Nusantara
mencapai Banjar, Martapura, Pasir, Gowa, Buton, Sulawesi
Selatan, Nusa tenggara dan Maluku.
h. Sunan Ampel merupakan Walisongo tertua yang berperan
penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa dan
Nusantara. Melalui pesantrennya di Ampel Denta, sunan
Ampel mengkader santri-santrinya untuk menjadi juru
dakwah seperti Sunan Giri, Raden Fatah, Raden Qosim atau
sunan Drajat serta Sunan Bonang. Jejak dakwah Sunan Ampel
tidak hanya di Surabaya dan wilayah Majapahit. Melainkan
juga mencapai Sukadana di Kalimantan.
i. Sunan Maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai wali yang
mempunyai keahlian dalam mengobati orang. Beliau
merupakan wali yang dituakan oleh para wali lainnya selain
Sunan Ampel.
Masyarakat muslim Lamongan mulai terbentuk sejak awal
mula kedatangannya. Banyaknya pedagang yang datang dalam
menyebarkan agama Islam menyebabkan kalangan anggota
masyarakat muslim Lamongan mengalami polariasasi tersendiri
yang memberikan corak dan warna yang beragam. Banyaknya
kekayaan budaya masyarakat muslim Lamongan yang kemudian
9 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka
(Jakarta: Kencana, 2006), 48.
88 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
mengalami akulturasi dengan budaya yang sesuai dengan ajaran
Islam kemudian memberikan corak yang berbeda antara muslim
nusantara dengan muslim yang berada di daerah lainnya di negara-
negara muslim pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.
1. Sejarah Penyebaran Islam di Lamongan
Dalam hikayat lama yang diceritakan secara turun-temurun
oleh masyarakat pedesaan Jawa Timur seperti di Lamongan.
Diyakini bahwa tokoh penyebar agama Islam pertama kali di pulau
Jawa bukanlah sembilan wali yang dikenal dengan sebutan
Walisongo. KH Abdul Ghafur yang merupakan pengasuh dan
pendiri pesantren Sunan Drajat menuturkan Syeikh Subakir adalah
tokoh pertama kali yang menyenyebarkan Islam di pulau Jawa
sebelum kedatangan Walisongo.10
Hikayat ini banyak diyakini oleh
masyarkat Lamongan yang tinggal di pedesaan.11
Meskipun hikayat ini masih bersifat penuturan dari mulut-
kemulut di kalangan masyarakat pedesaan Lamongan. Tidak ada
salahnya untuk mengambil sebuah kesimpulan dari penuturan para
orang tua sebagai acuan atau kesimpulan dalam menganalisis
penyebaran Islam pertama kali ke pulau Jawa. Hal ini sebagai
sebuah studi komparasi atau kroscek sejarah peradaban masyarakat
Jawa pada masa itu.
10 KH Abdul Ghafur adalah pengasuh pondok Pesantren Sunan Drajat
Lamongan Jawa Timur yang senantiasa memberikan pengajian pada pukul 07.00-
08.00 pagi dan sore 16.00-17.00 di radio Persada. Dalam pengajiannya, ia sering menuturkan bahwa Syeikh Subakir adalah generasi Walisongo yang pertama.
Sumber, pengamatan peneliti. 11 Cerita mengenai Syeikh Subakir sebagai tokoh penyebar agama Islam
pertama kali ke pulau Jawa sebelum kedatangan Walisanga banyak dituturkan oleh
komunitas masyarakat pedesaan. Peneliti menemui banyak pesantren tradisional di
Jawa Timur yang menuturkan kiprah Syeikh Subakir sebagai generasi pertama dalam menyebarkan agama Islam ke pulau Jawa. Selama menimba ilmu di
pesantren Langitan Tuban, peneliti mendapat kisah yang demikian dari para ustadz
setempat. Termasuk dari beberapa santri yang berasal dari berbagai kota/kabupaten
di Jawa Timur yang meyakini hal demikian.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 89
Ketika Walisongo memposisikan diri mereka sebagai guru
yang mengajarkan ilmu hikmah pada masyarakat Jawa. Keberadaan
mereka diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Meskipun
terdapat beberapa tuduhan tentang penjatuhan kerajaan Majapahit
oleh Islam dan Walisongo yang membuat Islam dicela oleh kalangan
masyarakat abangan. Kekuasaan yang diberikan kepada Raden
Patah di Demak yang merupakan anak kandung dari kerajaan
Majapahit menimbulkan sebuah opini publik tentang perilaku tidak
tahu balas budi dengan penjatuhan Majapahit.12
Faktor lain yang menyebabkan Islam mudah diterima oleh
masyarakat Lamongan adalah karena Islam tidak memandang
adanya status sosial sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat
Hindu-Budha. Konsep diferensiasi sosial merupakan salah satu
ajaran yang diterapkan oleh Islam dengan mengakui persamaan
derajat. Sehingga penduduk Lamongan banyak yang tertarik untuk
menerima ajaran Islam. Proses islamisasi Walisongo tidak merusak
adat istiadat masyarakat lokal dan membatasi diri pada pola
perilaku esoteric yang hanya dimengerti oleh beberapa orang
tertentu sesuai dengan adat-istiadat tertentu.13
Jalur perkawinan dan perdagangan menjadi strategi
Walisongo dalam penyebaran Islam. Banyaknya pedagang yang
berasal dari Gujarat dan Arab memudahkan proses islamisasi Jawa.
Sehingga islamisasi di Jawa berlangsung secara damai dan bisa
menjadi percontohan untuk dunia. Oleh karena itu, penyebaran
agama Islam di Indonesia adalah fenomena unik dan berbeda dengan
penyebaran Islam di daerah lainnya. Fenomena ini disebabkan
karena Islam yang masuk di Indonesia terjadi secara damai tanpa
melalui peperangan yang penjang. Sedangkan penyebaran agama
12 Ramdhon, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), 54. 13 Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi
Dengan Orang-Orang Yang Berbeda Budaya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005), 18.
90 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Islam ke berbagai negara terjadi melalui peperangan yang panjang
dan melelahkan. Bahkan penyebaran Islam di Arab Saudi sana
terjadi melalui peperangan yang panjang antara Nabi Muhammad
saw dengan kaum kafir Quraisy.
Adapun faktor yang mendukung penyebaran Islam ke-
Nusantara selain dakwah yang dilakukan oleh Walisongo adalah
eksistensi kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Kerajaan-kerajaan
tersebut mempunyai andil besar dalam proses islamisasi Nusantara.
Kerajaan muslim pertama di Asia Tenggara adalah kerajaan
Samudera Pasai yang terletak di Aceh. Pada tahun 1500 mulai
terdapat banyak pedagang muslim yang menyebar di seluruh
wilayah di Asia Tenggara yang kemudian mendirikan beberapa
kerajan seperti Kesultanan Malaka (sebagian besar kepulauan
Melayu dan Sumatera), kerajaan Demak (Jawa Tengah, ujung
Selatan Kalimantan dan Sumatera Tenggara), Makassar (Sulawesi
dan pantai timur Kalimantan), Banten (Sumatera Selatan, pesisir
Jawa dan Jakarta) dan Brunei di Kalimantan Utara.14
Dalam konteks kesejarahan, keberadaan Walisongo di satu
sisi berkaitan erat dengan kedatangan muslim asal Champa yang
ditandai dengan kemunculan tokoh Sunan Ampel yang merupakan
sesepuh Walisongo. Disisi lain berkaitan juga dengan menguatnya
kembali unsur-unsur budaya Nusantara yakni agama Kapitayan yang
ditandai dengan pemujaan terhadap arwah leluhur dalam bentuk
tungkup atau punden. Walisongo kemudian berdakwah dengan
pendekatan al-muhafadotu ala qodimis sholih wal akhdu ala jadidil
ashlah.15 Syeikh Siti Jenar merupakan tokoh yang bersamaan dengan
datangnya Walisongo. Dia dikenal dengan nama Syeikh Lemah
Abang yang tahun kelahirannya sulit untuk dilacak. Pemikiran Siti
14 Neal Robinson, Pengantar Islam Komprehensif (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2001), 56. 15 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama Yang Mengungkap
Walisongo Sebagai Fakta Sejarah (Depok: Pustaka Iiman, 2012), 120.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 91
Jenar dianggap sebagai pemikiran liberal dan banyak menimbulkan
kontroversial yang mengakibatkan melawan Demak dan
Walisongo.16
Islamisasi yang terjadi di Indonesia khsusunya pulau Jawa
merupakan hal yang menarik. Sebab penyebaran Islam keberbagai
negara dilakukan melalui peperangan yang panjang dan melelahkan
dengan menaklukan dinasti-dinasti yang sedang berkuasa. Termasuk
penyebaran Islam ke berbagai negara di kawasan Timur-tengah
pasca wafatnya Nabi Muhammad. Sedangkan proses islamisasi yang
terjadi di Nusantara berlangsung secara damai tanpa adanya
peperangan yang panjang.
Sebagaimana yang terjadi pada berbagai daerah di Nusantara
dalam proses penyebaran Islam secara damai. Islamisasi di
Lamongan dikenal oleh kalangan masyarakat luas melalui peran
penting Sunan Drajat dalam berdakwah di Lamongan. Sunan Drajat
merupakan salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan Islam di
pulau Jawa. Beliau merupakan putra Sunan Ampel yang berasal dari
Ampel Denta Surabaya. Nama asli dari Sunan Drajat adalah Raden
Qosim yang sekarang diabadikan menjadi salah satu nama dari
sebuah lembaga pendidikan yang ada di Paciran-Lamongan.
Mengingat jasa yang diberikan oleh Sunan Drajat dalam penyebaran
Islam ke pulau Jawa pada umumnya dan di Lamongan pada
khususnya.
Beberapa penemuan menyebutkan bahwa masyarakat
Lamongan sebelum kedatangan Islam menganut agama Hindu-
Budha yang menjadi kepercayaan sebagian besar warganya. Kondisi
Lamongan pada masa pra kedatangan Islam menjadikan kabupaten
Lamongan sebagai salah satu palabuhan terbesar selain kabupaten
Tuban. Termasuk Kawasan Sedayu Gersik yang menjadi pelabuhan
dalam penggalangan kapal Majapahit.
16 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka
(Jakarta: Kencana, 2006), 59.
92 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Sunan Drajat merupakan anggota Walisongo yang diyakini
beberapa tokoh sejarah memainkan peranan penting dalam
penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Namun menurut penuturan
masyarakat Desa Banjaranyar kecamatan Paciran-Lamongan.
Penyebaran Islam pertama kali di Lamongan bukanlah dilakukan
oleh Sunan Drajat. Melainkan oleh Syeikh Banjar yang merupakan
seorang nelayan muslim yang berasal dari Banjarmasin Kalimantan-
Selatan.
Syeikh Banjar bagi masyarakat Lamongan pesisiran lebih
akrab dikenal dengan sebutan mbah Banjar. Cerita ini diperkuat oleh
penuturan KH Abdul Ghofur yang sekarang mengasuh pondok
pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan. Oleh
karena itu, merupakan ironi sejarah bahwa sekarang hampir tidak
ada kepustakaan yang bisa didapatkan dalam bahasa Jawa.
Khususnya bukti otentik yang mengulas tentang penyebaran Islam
di pulau Jawa.17
Sebelum kedatangan Syeikh Banjar, masyarakat Lamongan
masih menganut kepercayaan Hindu-Budha. Syeikh Banjar
merupakan seorang muslim yang berangkat dari Kalimantan besarta
para santrinya dan hendak mengunjungi Sunan Ampel atau sowan
dalam bahasa Jawa. Beliau berangkat dengan menaiki sebuah kapal
yang dibuat bersama para santrinya. Ditengah perjalan kapal yang
dinaiki oleh Syeikh Banjar pecah di tengah laut Jawa. Ada asumsi
dari masyarakat sekitar kalau kapal yang dinaiki oleh syeikh Banjar
sengaja di pecahkan oleh setan atau jin agar beliau batal sowan ke
Sunan Ampel di Surabaya.
Syeikh Banjar beserta santrinya kocar-kacir dan terdampar di
desa Jelak kecamatan Paciran. Masyarakat pesisir sekitar
mempercayai bahwa Syeikh Banjar ditolong oleh ikan cucut yang
kemudian dikeramatkan oleh masyarakat pesisiran Lamongan,
17 Niels Murder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan,
1985), 114.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 93
khususnya Paciran dan Berondong. Bentuk pengkeramatan tersebut
adalah melarang anggota keluarganya untuk memakan ikan tersebut
sebagai bentuk penghormatan atas jasa yang diberikan ikan cucut
dalam menyelamatkan Syeikh Banjar.
Ketika terdampar di desa Jelak, syeikh Banjar memutuskan
untuk berdakwah dan menetap di desa Jelak yang kala itu
masyarakatnya masih beragama Hindu-Budha. Lewat
kebijaksanaannya dalam berdakwah tanpa disertai dengan
kekerasan. Perjuangan Syeikh Banjar berhasil mengislamkan kepala
desa Jelak yakni mbah Mayang Madu. Seiring bertambanhnya
masyarakat pesisiran Lamongan yang memeluk agama Islam secara
cepat. Syeikh Banjar bersama mbah Mayang Madu berinisiatif
untuk mengajarkan agama Islam didesa Jelak dengan mendatangkan
guru tambahan.
Banyaknya para warga yang masuk Islam dan kurangnya
tenaga guru agama menyebabkan Syeikh Banjar kewalahan untuk
mendidik para santrinya. Beliau kemudian mengirim surat kepada
Sunan Ampel di Surabaya untuk mendatangkan guru tmabahan.
Sunan Ampel yang ketika itu masih berdakwah di Surabaya
menerima surat Syeikh Banjar dengan mengirimkan putranya yang
tak lain adalah Sunan Drajat yang dikenal dengan Raden Qosim.
Bersama Syeikh Banjar dan mbah Mayang Madu, Sunan
Drajat mengajarkan agama Islam dengan mendirikan sebuah
pesantren. Guna menarik hati masyarakat agar belajar Islam. Sunan
Drajat menggunakan media gendhing-gending atau gamelan sebagai
sarana efektif dalam berdakwah. Ketika gamelan dibunyikan,
banyak masyarakat pesisiran yang berdatangan untuk mengaji.
Namun ketika tidak dimainkan, banyak masyarakat yang tidak
berdatangan. Sehingga pesantren yang telah di dirikannya bersama
mbah Mayang Madu dan Syeikh Banjar menjadi sepi.
Melihat kondisi yang demikian, Sunan Drajat memberikan
fatwanya yang terkenal bagi masyarakat Lamongan pesisiran
94 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
“barang siapa yang belajar di pesantrenku. Semoga Allah
meninggikan derajatnya”. Atas fatwa itulah kemudian Raden Qosim
mendapat julukan Sunan Drajat sebagai bentuk penghormatan
masyarakat sekitar.
Secara kultur, masyarakat Lamongan bisa peneliti
kategorikan menerima seluruh budaya yang ada. Kehidupan
masyarakat muslim Lamongan yang majemuk menyebabkan mereka
mempunyai khazanah kebudayaan yang heterogen. Adanya beragam
kebudayaan tersebut merupakan corak yang memberikan warna
tersendiri bagi kalangan muslim Nusantara.
Sunan Drajat dan mbah Mayang Madu terus berdakwah
kepada masyarakatnya sampai Syeikh Banjar wafat. Sebagai
penghormatan atas jasa Syeikh Banjar menyebarkan agama Islam di
pesisir utara Lamongan. Desa Jelak kemudian diubah namanya
menjadi desa Banjaranyar yang berasal dari dua kata bahasa Jawa
yakni banjar dan anyar. Banjar bermakna Syeikh Banjar sedangkan
anyar adalah baru. Dinamakan Banjaranyar dikarenakan agamanya
baru yakni Islam dan tokoh yang menyebarkannya adalah orang
Banjar.
2. Akulturasi Islam di Lamongan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah
yang merupakan bentuk jamak dari “budhi” yang berarti budi atau
akal.18
Kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang
berhubungan dengan budi atau akal. Kata kebudayaan sendiri
berasal dari bahasa Latin, colere yang berarti mengolah dan
mengerjakan tanah pertanian. Dalam bahasa Arab.19
Kebudayaan
berasal dari kata al-Tsaqa>fah yang berarti perbaikan, penyesuaian
18 Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), 172 19 Yusran Razak dan Tim Penyusun. Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan
Pemikiran Sosiologi perspektif Islam, (Tangerang: Lembaga Sosilogi Agama,
2008), 137
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 95
dan perubahan. Pengertian ini kemudian dikembangkan oleh
masyarakat muslim sebagai bentuk penyesuaian dan perbaikan
pemikiran dan pengetahuan.
Secara terminologi, ada beberapa tokoh yang menjelaskan
tentang pengertian budaya. Paul B Horton mengartikan budaya
merupakan segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama
secara sosial oleh anggota masyarakat. Koentjaraningrat
menjelaskan bahwa keudayaan merupakan gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam sebuah kehidupan dan dijadikan miliki
bersama dengan belajar. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
menjelaskan bahwa kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan
karsa masyarakat.20
Istilah ini adalah bentuk pengertian yang umum
bagi komunintas masyarakat akademik. Sedangkan Pasurdi Supardi
mengemukakan kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang dijadikan untuk menjelaskan
dan memahami lingkungan agar dapat mendorong terwujudnya tata
kelakuan.
Akulturasi,21
merupakan perpaduan atau percampuran dua
unsur budaya berbeda yang menghasilkan sebuah budaya baru tanpa
menghilangkan nilai-nilai atau wujud dari budaya yang lama.
Sedangkan asimilasi,22
didefinisikan sebagai proses sosial yang
20 Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), 173 21 Akulturasi berasal dari kata “acculturation” yang berarti proses
pertemuan unsur-unsur dari berbagai kebudayaan yang berbeda, yang diikuti
percampuran unsur-unsur tersebut. Perbedaan antara unsur-unsur asing dengan
unsur yang asli masih nampak. Pengambilan unsur-unsur budaya tertentu tidak
menghilangkan unsur budaya yang asli. Akulturasi demikian dikenal dengan istilah akulturasi antagonistic. Lihat, Bisri Mustofa dan Elisa Vindi Maharani. Kamus Lengkap Sosiologi (Jogjakarta: Panji Pustaka, 2011), 12.
22 Asimilasi budaya “assimilation cultural” merupakan proses perubahan pola kebudayaan untuk menyesuaikan diri dengan mayoritas. Sehingga minoritas
akan mengikuti pola kebudayaan mayoritas. Kebudayaan yang terdapat dalam
kalangan masyarakat mayoritas akan menghilangkan unsur budaya kelompok
96 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
menyebabkan adanya perpaduan budaya yang berbeda yang mana
perpaduan budaya tersebut menyebabkan hilangnya wujud budaya
lokal karena disebabkan pengaruh budaya yang berasal dari luar.
Islam Nusantara bisa dikatakan sebagai Islam yang ramah dan
toleran terhadap budaya lokal dan tidak menganggapnya sebagai
sebuah sumber yang mengancam eksistensi Islam. Dalam berbagai
kasus dapat di saksikan masyarakat muslim Nusantara memiliki
toleransi yang tinggi terhadap adanya perbedaan. Fakta ini
merupakan sebuah kajian yang unik bahwa Islam Nusantara tidak
menentang adat istiadat yang tidak sepaham dengan ajaran Islam.
Namun lebih ditekankan untuk mendialogkan antara tradisi lokal
dengan nilai-nalai keislaman. Sebagai bentuk dialektika antara
Islam dengan budaya lokal yang menghasilkan sebuah akulturasi
budaya yang tercermin dari kehidupan masyarakat Indonesia sebagai
modal sosial dalam pembangunan ummat Islam dimasa
mendatang.23
Islamisasi di Lamongan tidak serta merta merusak tatanan
sosial kebudayaan yang telah lama ada. Karena dapat menambah
khazanah dan kebudayaan masyarakat muslim Indonesia secara
keterogen. Masyarakat Lamongan yang mayoritas beragama Islam
masih kental dengan tradisi dan budaya yang diwariskan oleh nenek
moyang mereka. Peranan Walisongo dalam penyebaran agama Islam
di pulau Jawa menjangkau hampir seluruh daerah dan kabupaten
yang ada didalamnya.
Wujud kebudayaan yang dihasilkan oleh masyarakat pesisir
tentu berbeda dengan masyarakat pegunungan. Faktor keberadaan
georgrafis tentu berpengaruh pada wujud kebudayaan dan sistem
peralatan hidup yang digunakan. Masyarakat yang tinggal didaerah
minoritas. Lihat, Bisri Mustofa dan Elisa Vindi Maharani. Kamus Lengkap Sosiologi, (Jogjakarta: Panji Pustaka, 2011),
23 Ismail Nawawi, Pembangunan Dalam Perspektif Islam: Kajian Ekonomi, Sosial dan Budaya (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009), 169.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 97
pegunungan menggunakan cangkul atau peralatan yang berkaitan
dengan mengolah tanah. Begitu juga dengan masyarakat yang
tinggal di pesisir yang mayotitas bekerja sebagai nelayan
menggunakan perahu atau peralatan yang erat kaitannya dengan
sistem mata pencaharian yang berhungan erat dengan laut.
Teori-teori mengenai perubahan-perubahan masyarakat sering
mempersoalkan perbedaan antara perubahan-perubahan sosial
dengan perubahan-perubahan kebudayaan. Perbedaan demikian
tergantung dari adanya perbedaan tentang pengertian masyarakat
dan kebudayaan.24
Oughburn mengatakan jika sebuah masyarakat
tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan
sebuah kebudayaan yang disebabkan oleh perubahan sosial.25
Maka
kehidupan masyarakat tersebut akan mengalami sebuah
ketertinggalan budaya dalam istilah cultural lag. Konsep ini
mengacau pada perubahan masyarakat yang masih tertinggal dengan
masyarakat lainnya yang yakni lag behind.26
Asimilasi terjadi karena golongan minoritas merubah sifat
khas dari unsur kebudayaannya dengan menyesuaikan diri dengan
golongan mayoritas. Sehingga lambat laun kelompok minoritas
kehilangan kepribadian kebudayaannya yang asli dan mengikuti
kebudayaan mayoritas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
perubahan identitas karena asimilasi dapat terjadi jika ada interaksi
antarkelompok berbeda yang menyebabkan kelompok mayoritas
mendominasi atas kelompok minoritas.
24 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), 308. 25 Perubahan Sosial adalah proses dimana terjadi perubahan struktur
masyarakat yang seubahan struktur masyarakat yang selalu berjalan dengan
perubahan kebudayaan dan fungsi suatu system social. Lihat Jacobus Ranjabar
“Perubahan sosial dalam teori makro pendekatan realitas sosial”. 26 Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT
Gramedia, 1988), 111
98 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Pandangan masyarakat Jawa yang menilai bahwa segala
sesuatu mempunyai kekuatan supranatural merupakan bentuk
sinkretisasi antara Islam dengan kebudayaan Hindu. Banyaknya
unsur tradisional yang dibuang, termasuk unsur yang memberikan
persentuhan antara Islam dengan budaya Jawa tradisional.
Memberikan peluang bagi terjadinya pertentangan antara muslim
Jawa yang saleh dengan sesama Jawa lainnya.27
Budaya juga ditentukan oleh konteks waktu yang
mempengaruhi pola lehidupan sebuah masyarakat. Namun demikian,
tradisi masih dianggap sebagai sebuah kontrol sosial yang berperan
penting terhadap sebuah masyarakat yang memberikan fungsi
sebagai sarana untuk:28
1. Membangun masa depan berdasarkan nilai-nilai secara turun
temurun atau local wisdom
2. Memberikan legitimasi atas sebuah tindakan dan perbuatan
terhadap pandangan hidup agar dapat digunakan untuk
mengikat anggotanya. Sebagai contoh anak muda anak
menggunakan ucapan yang lebih halus ketika berbicara
dengan orang tua. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan boso
kromo inggil.
3. Memberikan sebuah simbol atas identitas terhadap kelompok
tertentu dan memperkuat rasa primordial dan nasionalitas.
Sebagai contoh penggunaan blangkon oleh anak muda Jawa.
4. Memberikan tempat untuk keluhan dan pelajaran.
Sebagaimana sebuah tradisi masa lalu yang dibangun oleh
leluhurnya. Contoh dengan mengingat kejayaan kerajaan
Majapahit.
27 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama Di Tangan Penguasa
(Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 49. 28 Piotr Sztomska. Sosiologi Perubahan Sosial. (Jakarta: Prenada Media,
2004), 76
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 99
Pola kumunikasi dan interaksi yang dikonstruk Walisongo
dalam islamisasi pulau Jawa adalah dengan pendekatan kebudayaan.
Sistem nilai budaya berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi
segala tindakan manusia dalam hidupnya. Setiap individu
masyarakat sejak kecil telah diresapi nilai-nilai budaya
masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu telah berakar di dalam
mentalitas yang sukar diganti dengan yang lain dalam waktu yang
lain.29
Walisongo sebagai tokoh sental dalam keberhasilan Islamisasi
di pulau Jawa menekankan dengan menggunakan metode
pendekatan kebudayaan. Konsep yang demikian ini dikenal dengan
bil hikmah dan mauizah hasanah dengan pendekatan integratif.
Walisongo dikenal sebagai tokoh yang mampu membaur dengan
kalangan masyarakat pribumi. Terutama masyarakat Jawa yang
menjadi target utama dalam misi dakwah yang dijalankannya.
Walisongo berkesimpulan bahwa masyarakat Jawa masih memegang
teguh tradisi dan adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhurnya.
Sunan Drajat dalam menjalankan misi dakwahnya tidak serta
merta menggunakan jalur kekerasan ataupun paksaan kepada
penduduk Lamongan. Meskipun banyak tradisi masyarakat Jawa di
Lamongan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masalah-
masalah yang terjadi dalam suatu masyarakat bisa terjadi dalam
dunia dakwah yang terkadang sulit bahkan tidak mampu untuk
diselesaikan.30
Para wali termasuk Sunan Darajat melakukan
pendekatan secara bijaksana kepada penduduk Lamongan yang
masih menganut kepercayaan lama. Metode dakwah yang demikian
ini kemudian disambut dengan baik oleh masyarakat Lamongan.
Mereka menerima secara terbuka apa yang disampaikan oleh Sunan
29 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta : Uinversitas
Indonesia Press, 2010), 77. 30 Shonhaji Sholeh, Sosiologi Dakwah Perspektif Teoretik (Surabaya: IAIN
Sunan Ampel Press, 2011), 1.
100 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Drajat. Alasan yang demikian ini merupakan alternatif terbaik
dalam menyikapi masyarakat yang masih kental dengan warisan
budaya leluhurnya.
Penyebarannya Islam ke pulau Jawa tidak serta merta
diterima dengan baik oleh penduduk lokal. Terutama oleh kalangan
masyarakat yang masih menganggap bahwa datangnya Islam dapat
merusak tatanan yang ada dalam masyarakat Jawa yang menganut
tradisi Hindu-Budha. Bahkan diantara kalangan kerajaan ada yang
berkesimpulan bahwa datangnya para Walisongo adalah penyebab
dari runtuhnya kerajaan Majapahit yang sempat berkuasa dalam
menyatukan Nusantara.
Pandangan demikian terbilang unik dikalangan masyarakat
Jawa pada waktu itu. Kehidupan masyarakat Muslim Jawa yang
terletak di Kabupeten Lamongan Jawa Timur. Konteks pemaparan
yang peneliti sampaikan karena ingin mengangkat seputar
kehidupan masyarakat muslim Lamongan yang kental dengan hal-
hal mistik. Utamanya kaum abangan yang mendiami wilayah
pedesaan Lamongan yang masih udik.
Masyarakat Thai dan Jawa keduanya mempunyai inspirasi
kebudayaan Hindu, namun dalam menjalankan serta menafsirkan
inspirasi kebudayaan tersebut tampak banyak perbedaan.31
Islam
Nusantara merupakan bentuk keislaman yang memadukan antara
tradisi lokal dengan unsur keagamaan. Kedatangan Islam ke-
Nusantara tidak serta merta merusak tatanan sosial serta adat
istiadat masyarakat setempat. Al-Quran sebagai kitab suci
mengajarkan agar manusia menghargai adanya sebuah perbedaan.
Echols (1963), mendefinisikan Kejawen dalam bahasa Inggris
adalah Javaneseness, Javanism yang merupakan suatu cap deskriptif
31 Niels Murder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984), 30.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 101
bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai
hakikatnya Jawa yang mendefinisikan sebagai suatu kategori khas.32
Sunan Drajat dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang
ekonomi yang mengemban misi sosial dalam penyebaran agama
Islam Jawa. Diantara ajaran Sunan Drajat yang masih ada hingga
saat ini adalah perintah untuk memberi bukan untuk meminta.
Konsep lima ajaran pokok Sunan Drajat yang menjadi filosofi
masyarakat Jawa pada umumnya dan Lamongan pada khususnya.
Kelima ajaran pokok sunan Drajat antara lain sebagai berikut:
a. Wewehono teken marang wong kang wuto (memberikan
tongkat kepada orang buta)
b. Wewehono mangan marang wong kang luwe (memberi makan
pada orang yang lapar)
c. Wewehono busono marang wong kang wudo (memberi
pakaian pada orang yang tidak berbusana)
d. Wewehono iyupan marang wong kudanan (memberikan
tempat berteduh pada orang yang kehujanan)
Sebagai agama purikatif, Islam membutuhkan dukungan dan
cara berfikir rasional ilmiah. Tanpa adanya hal tersebut, tauhid
Islam bisa lumpuh terselubung dalam berbagai mitologi yang
bersifat kafarat. Konsep ajaran tauhid Islam menggariskan purifikasi
atau pendekatan konflik, yakni membedakan secara tegas antara
yang hak dengan yang batil.33
Walisongo dengan pendekatan budaya
dengan masyarakat lokal mampu untuk memadukan antara unsur-
unsur Hindu-Budha dengan keadaan masyarakat tanpa merusak
lokalitas yang ada.
32 Niels Murder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan,
1985), 16. 33 M Jandra. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, (Surakarta: Pusat Studi
Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah, 2003), 72-73
102 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Adanya budaya baru yang masuk pada suatu wilayah dapat
memperkaya khazanah budaya lokal yang ada. Diantara faktor yang
mempermudah adanya akulturasi budaya adalah sikap masyarakat
yang terbuka dan tidak menutup diri dengan dunia luar. Masyarakat
yang memandang perlu adanya sebuah interaksi sosial dengan dunia
luar yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
bersangkutan. Kelompok masyarakat seperti ini mudah untuk
menerima suatu ide pembaharuan dalam dalam komunitas mereka
masing-masing.
Begitu juga bahasa yang dugunakan oleh masyarakat yang
tinggal di daerah pegunungan dengan masyarakat yang tinggal di
lautan atau pesisiran. Adanya perbedaan letak geografis dapat
berpengaruh besar terhadap cara komunikasi yang digunakan oleh
masyarakat pesisiran dengan masyarakat pegunungan. Bahasa yang
digunakan oleh masyarakat pesisiran lebih keras dibandingkan
dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat pegunungan.
Kondisi alam yang tandus serta jangkauan yang semakin jauh
menyebabkan diferensiasi dalam pola komunikasi sosial. Termasuk
beberapa unsur kebudayaan yang dikelompokkan oleh Malinowski
sebagai berikut:34
1. Bahasa
2. Sistem Teknologi
3. Sistem Ekonomi/ Mata Pencaharian
4. Organisasi Sosial
5. Sistem Pengetahuan
6. Religi
7. Kesenian
34 Soerjono Soeanto. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), 178
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 103
Masyarakat yang konservatif sulit untuk menerima pengaruh
dari dunia luar. Mereka menganggap bahwa pengaruh dari dunia luar
hanya akan menimbulkan problem. Asumsi ini didasarkan bahwa
kebudayaan sendiri sudah cukup baik dan tidak memerlukan dunia
luar. Sebagai bentuk konsekuensi yang harus diterima oleh
masyarakat Jawa di Lamongan. Islam harus bisa berakulturasi agar
tidak mengalami penolakan oleh penduduk lokal. Perpaduan Islam
dengan budaya lokal di Lamongan kemudian melahirkan akulturasi
dalam beberap hal seperti:
1. Bahasa
Bahasa Arab adalah bahasa pokok yang terdapat dalam Al-
Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi
Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Sebagai agama yang
lahir di daerah Arabia, bahasa Arab menjadi bahasa yang mengakar
kuat dalam tradisi agama Islam. Kefashian dan ketegasan dalam
pelafalan ataupun pengucapan bahasa ini menjadi sangat penting
sekali.
Namun demikian lidah yang dimiliki oleh masyarakat
Indonesia terutama masyarakat Jawa masih belum fasih
sebagaimana lidah yang masyarakat Arab. Dialektik lidah
masyarakat Lamongan dengan bentuk Arab tertuang dalam
beberapa kosa-kata bahasa Arab dengan pelafalan Jawa antara lain
sebagai berikut:
1. Luhur (sholat zuhur)
2. Ngasar (sholat ashar)
3. Ngisak (sholat isya)
4. Sapar (bulan safar)
5. Mulud merupakan bentuk mauludan
6. Suboh (solat subuh)
7. Solikin berarti orang soleh
8. Slametan dari kata salamatan
104 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
9. Jawah (hujan) yang berasal dari kata ja’a rahmah
10. Janur (sejenis smbol dari daun kelapa ketika acara
pernikahan) dari kata ja’a nuurun (datangnya cahaya)
11. Apem (makanan sewaktu tahlilan) dari kata afwan yang
berarti memohon ampunan kepada Allah
Pelafalan yang diucapkan oleh masyarakat Jawa pada awalnya
tidak sesuai sabagaimana yang diucapkan oleh masyarakat Arab.
Proses Islamisasi yang dilakukan oleh Walisongo merupakan proses
Islamisasi yang memadukan antara bahasa Arab dengan dialektik
lidah orang Jawa. Termasuk proses pengucapan lidah masyarakat
Lamongan pada awal menerima Islam yang belum fasih dengan
kosa-kata bahasa Arab.
2. Adat Istiadat
Adat istiadat yang terdapat pada masyarakat Jawa sekarang
ini adalah perpaduan antara Hindu-Budha dan Islam yang
mengandung unsur-unsur sinkretisme atau kemistisan. Sebagai
masyarakat yang masih tradisional, masyarakat Lamongan memiliki
adat istiadat serta tradisi turun temurun sebagaimana masyarakat
Jawa pada umumnya. Bentuk tradisi tersebut antara lain:
a. Khataman
Khataman merupakan tradisi membacakan ayat-ayat dalam
Al-Qur’an dari awal sampai sampai khatam. Pembacaan Al-
Qur’an biasanya ditujukan bagi keluarga yang telah
meninggal dunia. Acara khataman seperti ini digelar di
rumah keluarga yang telah meninggal dunia dengan
mengundang santri atau ustadz untuk mengaji. Selain itu ada
juga khataman yang dilakukan oleh para warga dalam
sebulan sekali yang di laksanakan di masjid atau mushola
ketika ada sebuah acara tertentu seperti pengajian umum,
perayaan idul adha dan sebagainya.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 105
b. Slametan atau Tahlilan
Slametan merupakan tradisi mengirim doa untuk orang tua
atau keluarga yang dilakukan dengan mengundang tetangga
ataupun keluarga jauh. Slametan biasanya dilakukan mulai
dari satu sampai tujuh hari untuk mendoahkan bagi keluarga
yang telah meninggal dunia yang kemudian disebutTahlilan.
Jangka waktu dalam slametan juga menjadi acuan para warga
untuk mengadakan slametan. Selanjutnya pada hari
keseratus dari tanggal kematian keluarga disebut dengan
istilah Nyatus. Berikutnya hari kesetahun sampai hari ke
tiga tahun yang disebut Nyewu. Perhitungan tanggal
kegiatan dilakukan dengan menggunakan tanggalan Jawa
sebagai bahan perhitungan.
c. Mithoni
Mithoni merupakan tanda syukur kepada Allah karena
dikaruniai. Acara ini dilakukan ketika usia kandungan ibu
hamil tujuh bulan.
d. Suroan (Tahun baru Hijrah)
Nama Suronan diambil dari bulan As-syura dalam kalender
Hijriyah atau Islam. Cara memperingatinya mencampur
antara doa-doa agama Islam dan laku-laku, tindakan-
tindakan yang biasa dijalankan dalam tradisi masyarakat
Jawa atau Kejawen.
e. Mauludan
Mauludan merupakan tradisi yang dilakukan warga untuk
memperingati hari kelahiran nabi Muhammad SAW. Acara
mauludan biasnya diisi pengajian dengan mendatangkan
para kiyai sebagai penceramah atau memberikan siramah
106 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
rohani. Selain itu, dalam acara mauludan juga dibacakan
ayat suci Al-Qur’an maupun sholawat kepada nabi.
f. Ziarah Kubur
Ziarah Kubur merupakan tradisi tahunan yang dilakukan
pada bulan puasa atau Ramadhan. Ziarah kubur biasanya
bertujuan untuk menengok dan membersihkan makam
orang tua maupun kerabat yang telah meninggal dunia.
Kegiatan ini dibarengi dengan mengirim doa untuk
keluarga yang sudah meninggal dunia.
3. Transformasi Sosial Tradisi Keagamaan Masyarakat
Lamongan
Gerakan pembaharuan Islam yang tersebar luas di kalangan
golongan pedagang di pusat-pusat perdagangan di Jawa antara tahun
1912 dan 1920 telah memfokuskan pada usaha-usaha membersihkan
Islam dari dogma-dogma Hindu dan animism dan memfokuskan
pada hal-hal yang berhubungan dengan moralitas. Ia juga
menkankan pada pentingnya ibadah haji di Mekkah. Sikap ini
menekankan pentingnya wiraswasta di dunia ketga.35
Santri dikenal sebagai kaum putihan yang taat dalam
menjalankan ajaran agama yang terpenagruh oleh konsep
kebangkitan Islam. Sedangkan kalangan abangan adalah kumpulan
petani yang kurang memahami ajaran Islam. Pola hubungan antara
santri dan abangan dalam bentuk interaksi disosiatif.36
Santri
bertindak secara rasional dalam mengejar kepentingan pribadi
sebagaimana mereka melakukan aktivitas ekonomi. Maka
35 Norman Long, Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: Bina Aksara,
1987), 88-89. Judul Asli An introduction to the sociology of rural development,
diterbitkan oleh Tavistock Publication Limited, London 1977. 36 Radin Fernando, “In the Eyes of the Beholder: Discourses of a Peasant
Riot in Java,” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 30, No. 2 (Sep, 1999), 263-
285.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 107
konsekuensi tertentu secara otomatis akan mengikuti dan
menentukan arah kehidupan mereka. Konsekuensi ini dapat
dimodelkan dan diprediksi dalam menetukan makna kebudayaan
yang mewarnai kehidupan masyarakat.37
Bentuk upacara keagamaan masyarakat Lamongan Jawa
Timur sebelum tahun 2000 dilaksanakan di sebuah pekuburan
umum. Pemakalah dalam hal ini mengambil data dari berbagai
penuturan yang disampaikan oleh para sesepuh daerah penelitian di
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan. Sebagian besar
masyarakat Lamongan masih mengadakan upara seperti demikian
ini hingga menjelang akhir dekade tahun 90-an. Bagaimanapun
perayaan upacara keagamaan yang demikian ini tidak sepenuhnya
ditinggalkan oleh masyarakat.
Di daerah pedesaan, utamanya yang terletak di pegunungan
bentuk upacara di pemakaman masih banyak diadakan oleh
masyarakat setempat. Mereka secara berbodong-bondong dengan
melakukan kegiatan gotong-royong bersama-sama mendatangi
makam atau kuburan umum. Ritual upacara keagamaan yang
demikian ini dikenal oleh masyarakat Lamongan dengan sebutan
nyadran. Tujuan dilaksanakan nyadaran adalah agar terbebas dari
gangguan dan bisikan roh jahat dan meminta keberkahan kepada
Allah SWT. Bilamana peneliti menanyakan kepada penduduk atau
sesepuh desa mengapa upacara demikian ini dilaksanakan di sebuah
kuburan umum.
Maka para sesepuh kebanyakan menjawab dengan tujuan
mengingatkan kepada manusia yang masih hidup dengan kematian.
Sebab dengan mengingat kematian manusia akan banyak beramal
sholeh. Tujuan latensi dari diadakan uapacara yang demikian ini
adalah untuk memberikan kiriman do’ah kepada para leluhur atau
37 John Scott, Social Theory: Central Issues in Sociology (London: SAGE
Publication Ltd, 2012). Diterjemahkan oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 85.
108 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
sesepuh yang telah mendahului atau keluarga yang telah meninggal
dunia. Alasan yang dikemukakan oleh para sesepuh desa terbilang
sangat sederahana dengan acuan bahwa dengan mengadakan
uapacara ini dikuburan maka akan mendekatkan yang masih hidup
dengan arwah keluarga yang telah meninggal dunia. Hal ini
mengindikasikan bahwa do’ah yang dibacakan dengan mendekatkan
diri pada pemakaman leluhur lebih mudah didengar dan dimengerti
oleh arwah yang bersangkutan.
Adapun yang menjadi dewa-dewa dalam pandangan
masyarakat Lamongan klasik adalah diyakini adanya sebuah
danyang-danyang. Mereka biasanya tinggal disebuah kuburan umum
atau pemakaman umum disetiap desa. Kebanyakan masyarakat juga
meyakini bahwa danyang tinggal di sebuah pohon-pohon besar yang
anker. Oleh karena itu masih banyak penulis jumpai pohon-pohon
besar yang ada di pemakaman umum di daerah peneliti.
Ketika komunitas santri mulai mendominasi kalangan
masyarakat Lamongan yang masih tradisional. Kebudayaan yang
ada kemudian mulai mengalami pergeseran dan perubahan sosial.
Budaya slametan dan sedekah bumi yang awalnya dilaksanakan di
kuburan umum atau pohon-pohon besar mulai bergeser. Perubahan
sosial kultural masyarakat Lamongan terjadi dengan semakin
banyaknya kaum santri yang mulai mendominasi. Kondisi yang
demikian kemudian menimbulkan sebuah konflik pada tahun 1980
antara kalangan santri dengan kalangan abangan.
Kalangan santri menilai bahwa sedekah bumi adalah kegiatan
yang berhubungan dengan setan dan bid’ah yang tidak sesuai
dengan ajaran agama Islam. Sedangkan kalangan kaum abangan
memandang bahwa mereka tidak menyenmbah setan atau kuburan
sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum santri. Kaum abangan
tetap berkeyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang
menjadi sesembahan dan tempat bergantung setiap mahluknya.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 109
Namun kedua belah pihak masih bersikukuh dengan pendapat yang
mereka kemukakan masing-masing.
Pro-kontra dikalangan para sesepuh masyarakat Lamongan
terjadi dengan semakin banyaknya isu pengakfiran diantara salah
satu pihak yang tidak setuju dengan alasan yang mereka kemukakan
masing-msaing. Kalangan santri tidak ingin bahwa agama Islam
menjadi tercampur baur dengan dengan tradisi yang berhubungan
dengan kesyirikan. Sementara kaum abangan juga tidak ingin tradisi
yang diwariskan oleh nenek moyang mereka menjadi hilang hanya
karena doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh kalangan santri.
Kalangan santri yang di dominasi oleh masyarakat
Muhammadiyah bersikap lebih memegang prinsip ajaran Islam
dalam menjalankan tradisi keagamaan. Sedangkan kalangan
abangan sebagian besar didominasi oleh masyarakat nasioanalis
yang berhaluan NU. Kedua belah pihak ini pernah mendatangkan
para tokoh-tokoh mereka sebagai bahan acaun atau sebagai penguat
untuk membuktikan dalil yang mereka kemukakan. Bahkan
masyarakat Muhammadiayah pernah mendatangkan salah seorang
tokoh ternama yang suka membid’ahkan tradisi kaum abangan.
Termasuk tradisi tahlilah yang mereka katakan tidak sesuai dengan
ajaran Islam.
Bilamana pengajian yang dilaksanakan oleh kaum
Muhammadiyah berlangsung dengan dihadiri oleh masyarakat
Muhammadiyah. Maka tema pengajian yang diangkat dalam setiap
even-event pengajian umum adalah tentang larangan melaksanakan
tahlilan. Bukti-bukti yang kuat berdasarkan hadis-hadis nabi
dikemukakan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Pengajian seperti
ini dalam pandangan masyarakat Lamongan saat ini adalah bentuk
pengajian yang berisi tentang pisoh-pisohan yang berarti saling
menyalahkan satu sama lain untuk mendukung teori atau dalil yang
mereka sampaikan.
110 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Sedangkan kaum abangan yang didominasi NU juga bersikap
kontra terhadap alasan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh
Muhammadiyah tentang pengharaman tradisi termasuk tahlilan.
Menyikapi perayaan tradisi seperti ini, kalangan NU abangan masih
bersikap longgar dan memandang tidak menentang ajaran Islam.
Masyarakat NU menandaskan bahwa ummat Islam adalah umat
yang satu dalam bidang akidah. Namun Islam tidak menafikan
unsur-unsur perbedaan dan keragaman dalam masyarakat.
Keberagamaan ini tetap dalam satu naungan tunggal yang dikenal
dengan sebutan tauhid.38
Mereka berkeyakinan bahwa yang mereka
kerjakan tidak berhubungan dengan kesyirikan atau menyekutukan
Allah. Sehingga mereka tetap menjalankan tradisi-tradisi yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Namun seiring dengan perkembangan waktu dan pro-kontra
yang terjadi dimasyarakat Lamongan, perayaan tradisi-tradisi mulai
mengalami pergeseran menjelang tahun 1995-an. Sebagai contoh
masyarakat Lamongan tidak lagi mengadakan upacara nyadran di
kuburan atau sebuah pohon besar. Meskipun sampai sekarang masih
ada beberapa daerah pedalaman yang masih menjalankan tradisi
yang demikian. Sehingga peneliti menjumpai banyak pohon-pohon
besar yang ada dikuran dan tidak di tebang sebagai bentuk simbolik
terhadap tradisi yang pernah di jalankan oleh nenek moyang mereka.
B. Deskripsi Wilayah Kabupaten Lamongan
Lamongan merupakan sebuah kabupaten di Jawa Timur yang
masuk kawasan Gerbangkertosusila yang di konversikan menjadi
Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan.
Kabupaten Lamongan terbagi menjadi beberapa sub daerah yang
memungkinkan untuk kegiatan bertani, berladang ataupun membuat
38 Gamal Al-Bana. Pluralitas Dalam Masyarakat Islam, (Jakarta: Mata Air
Publishing, 2006), 9
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 111
tambak. Wilayah Lamongan yang terletak di bagian utara
memungkinkan untuk kegitan nelayan.
Paciran dan Brondong merupakan dua kecamatan yang masuk
di Lamongan utara yang berbatasan dengan laut Jawa. Mayoritas
penduduk di daerah ini bekerja sebagai nelayan yang masuk dalam
kategori fishing communities. Adapun wilayah Lamongan yang
terletak di daerah tengah sebagian besar penduduknya bekerja
sebagai petani yang masuk dalam kategori peasant communities.
Wilayah selatan umumnya banyak ditumbuhi oleh hutan-
hutan jati. Penduduk setempat memanfaatkan daerah ini sebagai
sarana untuk kegiatan bercocok tanam dengan membuka sawah
yang masyarakat setempat menamainya dengan istilah persil
diantara hutan-hutan. Persil merupakan cara memanfaatkan hutan-
hutan dengan membersihkannya dengan dimanfaatkan untuk
ditanami jagung atau padi. Para petani biasanya meminta ijin
kepada perhutani untuk memanfaatkan lahan kosong tersebut.
Kabupaten ini telah ada sejak masuknya Islam ke pulau Jawa.
Luas wilayah Lamongan adalah 1.812,80 km2
yang terbagi menjadi
27 kecamatan. Untuk mengetahui jumlah kecamatan dan desa di
Lamongan perlu untuk menyimak tabel berikut:
Tabel 1.2
Jumlah Desa, Dusun, RW dan RT Tiap Kecamatan
Kecamatan Desa RW RT
01. Sukorame 9 23 114
02. Bluluk 9 64 164
03. Ngimbang 19 92 303
04. Sambeng 22 143 345
05. Mantup 15 119 270
06. Kembangbahu 18 97 355
07. Sugio 21 135 366
112 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
08. Kedungpring 23 116 386
09. Modo 17 131 296
10. Babat 23 127 394
11. Pucuk 17 77 270
12. Sukodadi 20 110 338
13. Lamongan 20 81 285
14. Tikung 13 75 247
15. Sarirejo 9 46 165
16. Deket 17 85 258
17. Glagah 29 94 233
18. Karangbinangun 21 185 264
19. Turi 19 73 249
20. Kalitengah 20 81 202
21. Karanggeneng 18 64 191
22. Sekaran 21 54 226
23. Maduran 17 35 162
24. Laren 20 100 266
25. Solokuro 10 50 217
26. Paciran 17 94 361
27. Brondong 10 57 60
Jumlah/Total 474 2.408 6.987
Sumber: Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan
Kabupaten Lamongan 2010.
Batas wilayah administratif Lamongan adalah sebelah utara
berbatasan dengan laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Gersik. Pada sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Sedangkan sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 113
Deskriprsi Kabupaten Lamongan sesuai dengan logo yang menjadi
lambang wilayah dan menggambarkan filosofi masyarakatnya
mempunyai makna simbolis sebagai berikut:39
a. Bentuk segi lima sama sisi pada lambang kabupaten
Lamongan tersebut dan gambar undak bertingkat lima yang
melambangkan sasar negara Pancasila yang merupakan
ideologi pemersatu bangsa Indonesia.
b. Bintang bersudut lima memancarkan sinar kearah penjuru
melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yakni pengakuan
terhadap kelima agama yang menjadi kepercayaan sebagian
besar masyarakat yang ada di Indonesia. Agama tersebut
meliputi Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Khonghucu.
c. Keris yang melambangkan kewaspadaan dan bahwa
Kabupaten Lamongan mempunyai latar belakang sejarah kuno
yang panjang.
d. Bukit atau gunung yang tidak berapi melambangkan bahwa
Kabupaten Lamongan memiliki daerah pegunungan yang di
dalamnya terkandung bahan-bahan yang penting untuk
pembangunan.
e. Ikan Lele melambangkan sikap hidup yang ulet tahan derita,
sabar tetapi ulet, bila diganggu ia berani menyerang dengan
senjata patilnya yang ampuh.
f. Ikan bandeng melambangkan potensi komoditi baru bagi
Kabupaten Lamongan yang penuh harapan di masa depan.
g. Air beriyak di dalam tempayan melambangkan bahwa air
selalu menjadi masalah di daerah ini, di musim hujan terlalu
banyak air dimusim kemarau kekurangan air.
39 Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan tahun 2012.
114 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
h. Tempayan batu melambangkan tempat air bersih yang dapat
diambil oleh siapapun yang memerlukan dan bahwa daerah
Lamongan memiliki latar belakang sejarah yang panjang.
i. Padi dan Kapas melambangkan kemakmuran rakyat dalam
arti kecukupan pangan, sandang dan lain-lainnya.
Masyarakat Lamongan yang tinggal di sekitar bengawan solo
tidak kekurangan air sebagai sarana irigasi sawahnya. Mereka
memperoleh suplai air sepanjang tahun dari bengawan solo.
Meskipun pada waktu musim kemarau yang panjang. Petani yang
tinggal di sekitar bengawan solo mampu menanam padi lebih dari
sekali dalam setahun. Selain bertani, para petani yang tinggal di
sekitar bengawan solo juga memanfaatkan sarana irigasi untuk
membuat tambak. Pasca dibangunnya Babat Barage yang
merupakan pintu penampungan air bengawan solo yang berada di
desa Kendal Kecamatan Sekaran. Cadangan air di sepanjang
bengawan solo kemungkinan besar tetap tersedia sepanjang tahun.
Berbeda dengan daerah sekitar bengawan solo, wilayah
Lamongan yang terletak di selatan kondisi alamnya tandus. Daerah
ini kurang subur untuk kegiatan bercocok tanam dan tidak
memungkinkan untuk pertambakan. Karena tidak terdapat sungai
besar seperti bengawan solo yang bisa dimanfaatkan untuk membuat
tambak ataupun mengairi sawah sepanjang tahun. Petani di daerah
ini masih mengandalkan sistem tadah hujan untuk mengairi
sawahnya.
Iklim merupakan instrument penting yang menentukan
kegiatan pertanian di wilayah ini. Masyarakat setempat melakukan
aktivitas bercocok tanam dengan menggantungkan iklim. Penelitian
mengenai iklim menjadi salah satu hal penghambat untuk produksi
pertanian dewasa ini harus dilakukan secara terperinci dan cermat,
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 115
baik dari segi tempat maupun waktu.40
Fenomena tersebut
disebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan.
1. Kondisi Geografis
Secara geografis, Kabupaten Lamongan terletak diantara
6’51’54”-7’23’06” Lintang Selatan dan 112’41”-112’33’12” Bujur
Timur. Lamongan sebagai kawasan yang terletak di utara pulau
Jawa mempunyai beberapa kontur tanah yang berbeda. Sebagian
kawasan pesisir berupa perbukitan. Di bagian tengah terdapat
dataran rendah, di bagian selatan terdapat pegunungan, dan di
bagian utara mengalir bengawan solo.41
Kondisi wilayah Lamongan
secara geografis termasuk daerah yang kurang subur untuk kegiatan
bercocok tanam. Pada waktu musim kemarau kondisi tanah sangat
tandus sekali bahkan sampai mengeras. Ragam tanaman yang cocok
pada waktu musim kemarau adalah yang tidak membutuhkan
banyak air untuk hidup. Tembakau dan jagung merupakan
komoditas tanaman yang menjadi andalan petani pada musim
kemarau.
Tanaman yang mereka kembangkan disesuaikan dengan
kondisi lingkungan serta musim dan intensitas curah hujan yang
turun. Sebab para petani menggantungkan hujan untuk mengairi
sawahnya. Dengan area pertanian yang terbilang luas, komoditas
pertanian yang dihasilkan oleh para petani dari sangat beragam.
Hasil pertanian yang dihasilkan juga tergantung dengan musim
panen. Berikut ini adalah tabel luas tanah menurut komoditas yang
dihasilkan.
Wilayah Lamongan terbagi menjadi beberapa sub daerah
pertanian atau pemukiman yang meliputi tanah sawah, tanah kering,
tanah bangunan atau pekarangan. Beberapa tanah tersebut memiliki
luas wilayah yang berbeda-beda dan dipengaruhi oleh luas tanah
40 Jurgen Hohnholz, Geografi Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan
(Jakarta: PT Karya Unipress, 1986), 36. 41 Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan tahun 2012.
116 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
yang digunakan dalam kegiatan bercocok tanam atau pembangunan
pemukiman. Untuk mengetahui luas wilayah tanah menurut jenis
penggunaannya, harus melihat tabel berikut ini:
Tabel 1.3
Ukuran Jenis Tanah
No Jenis Tanah Luas
1 Lahan Pertanian Sawah 23%
2 Lahan Non Pertanian 25%
3 Lahan Pertanian non sawah 52%
Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Lamongan tahun 2011.
Tanah sawah merupakan tanah yang digunakan untuk
menanam padi dan bersifat lembap. Tanah kering adalah tanah yang
tidak cocok untuk menanam padi karena tidak gambut atau cocok
sebagai penampungan air. Tanah kering digunakan untuk menanam
tembakau, jagung, ubi, ketela rambat dan sebagainya. Tanah
bangunan merupakan tanah yang digunakan untuk membuat tempat
pemukiman atau tempat tinggal. Sedangkan tanah pekarangan
adalah tanah yang digunakan untuk menanam tanaman yang mudah
untuk tumbuh. Tanah pekarangan umumnya terletak di dekat rumah
atau dikebun.
2. Sistem Mata Pencaharian Penduduk
Mayoritas penduduk Lamongan bekerja sebagai petani serta
nelayan. Mereka menggantungkan hidup dari kegiatan mengolah
sawah dan mencari ikan. Selain bekerja pada kedua sector tersebut,
masyarakat Lamongan juga banyak yang bekerja sebagai pedagang
kecil dan sektor lainnya. Mereka biasanya membuat toko pracangan
atau toko kecil yang menyediakan aneka kebutuhan rumah tangga
dan pupuk pertanian. Mereka menjual barang-barang tersebut karena
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 117
sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang di dominasi oleh para
petani.
Kondisi pertanian yang terletak di daerah yang masih
mengandalkan musim menjadi sebab yang mengakibatkan para
petani menanam tanaman dengan menyesuaikan musim. Intensitas
curah hujan mempengaruhi ragam tanaman yang dikembangkan.
Pada musim kemarau mereka menanam tanaman yang tidak
membutuhkan banyak air. Tembakau merupakan alternatif bagi
petani untuk dikembangkan pada musim kemarau. Namun pada
musim penghujan, para petani menanam tanaman yang
membutuhkan banyak air. Sebagai contoh, mereka menanam padi
yang menjadi komoditas unggulan bagi para petani. Meskipun
demikian, terdapat masyarakat Lamongan yang masih mencari kerja
sebagaimana yang terdapat dalam table berikut:
Table 1.4
Jumlah Pencari Kerja yang Terdaftar
Menurut Jenis Kelamin tahun 2011
No Bulan Laki-laki Perempuan Total
1 Januari 108 79 187
2 Februari 66 38 104
3 Maret 59 41 100
4 April 41 38 79
5 Mei 55 40 95
6 Juni 90 75 165
7 Juli 153 101 254
8 Agustus 55 51 106
9 September 82 75 157
10 Oktober 142 63 205
11 November 78 50 128
12 Desember 93 33 126
Total 1.022 684 1.706
2010 2.374 2.109 4.483
118 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
2009 2.374 2.109 4.483
2008 4.686 5.356 10.042
2007 4.071 2.757 6.828
2006 2.619 1.390 4.009
Sumber: Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmograsi
Kabupaten Lamongan tahun 2011.
Masyarakat di Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang
tinggal disebuah pedesaan hampir seluruhnya bekerja dalam peasant
communities dengan bekeja sebagai petani dengan berorientasi
menjadi pegawai negari (kebudayaan priyayi) di kota-kota
administratif.42
Begitu juga masyarakat Indonesia khususnya
masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pesisiran mayoritas bekerja
sebagai nelayan yang masuk dalam kategori fishing communities.
Para antropolog seharusnya membedakan satu kesatuan masyarakat
berdasarkan pada mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi
mereka berdasarkan pada beberapa kategori:43
1. Masyarakat berburu dan meramu (hunting and gathering
societies)
2. Masyarakat peternak (pastoral societies)
3. Masyarakat peladang (societies of shiffing cultivators)
4. Masyarakat nelayan (fishing communities)
5. Masyarakat petani pedesaan (peasant communities)
6. Masyarakat perkotaan kompleks (complex urban societies)
Mayoritas para penggarap sawah di Lamongan adalah orang
tua yang sudah berusia lanjut. Para pemuda lebih suka merantau
42 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi. (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2009), 220. 43 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi. (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2009), 217.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 119
keluar daerah daripada bekerja menjadi seorang petani. Motivasi
yang menyebabkan mereka merantau juga terkadang belum jelas.
Entah itu karena alasan gengsi maupun beratnya pekerjaan sebagai
seorang petani dengan hasil yang tidak sesuai dengan biaya yang
dikeluarkan.
Sedangkan para pemuda di Lamongan kebanyakan enggan
untuk melakukan pekerjaan sebagai seorang petani. Mereka
beranggapan bertani merupakan pekerjaan kasar dan berat serta
membutuhkan banyak tenaga. Namun hasil yang diperoleh tidak
sesuai dengan banyaknya modal yang dikeluarkan. Pada saat ini
jarang sekali pemuda yang mau bekerja sebagai petani. Meskipun
diantara mereka ada yang memiliki tanah garapan untuk kegiatan
bercocok tanam.
Konteks sosial dalam sistem pembagian kerja suatu
masyarakat kemudian melatarbelakangi munculnya konsep teori
solidaritas Emile Durkheim. Mekanisme pembagian kerja dalam
suatu masyarakat dapat memicu integrasi dan disintegrasi sosial.44
Dalam banyak contoh diferensiasi ekonomi dianggap sebagai
ancaman bagi struktur sosial yang bersifat tradisional dan sistem
solidaritas.45
Kalangan antropolog dan sosiolog masih
mempersoalkan apakah konsep-konsep, teori-teori, dan metodologi
ilmu ekonomi dapat diterapkan pada masyarakat non-industri.
Para ahli membagi dalam dua pendapat yang sebagian
menyatakan setuju sedangkan yang lain tidak sependapat. Firth
termasuk golongan ahli antropologi ekonomi yang menyatakan
bahwa pada dasarnya semua manusia sama dan terbebas dari kondisi
44 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta
Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 13. 45 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does
Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University of Chicago Press, Source: Economic Development and Cultural Change, Vol. 58, No.
4 (July 2010), 609-641.
120 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
tempat. Manusia dalam masyarakat sederhana, masyarakat
pedesaan, dan masyarakat industri mempunyai kesamaan terhadap
rangsangan-rangsangan ekonomi.46
Fragmentasi sistem kekerabatan masyarakat desa yang mata
pencahariannya ditentukan oleh kondisi geografis. Ekosistem
masyarakat holtikultura berpengaruh pada bentuk kerja sama
diantara penduduknya sesuai dengan konteks lingkungan.
Komponen suatu masyarakat akan menghimpun beberapa handai
taulannya untuk membantu mereka dalam kegiatan bercocok tanam.
Tipologi kerja sama secara gotong royong merupakan bentuk
simbiosis mutualisme. Yakni kedua belah pihak mempunyai inisiatif
serta empati yang di implementasikan dalam bentuk kooperasi agar
menguntungkan satu sama lain. Perintah untuk kerja sama guna
menguntungkan satu sama lain dijelaskan dalam Al-Quran sebagai
berikut:
قوى البر على وت عاونوا ث على ت عاونوا ول والت ]2/املائدة[ والعدوان ال
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Ma’idah : 2).
47
Pendekatan transaksional dalam sistem kerja sama dimulai
dengan menggariskan struktur kalkulasi ekonomi dan sistem
peralihan. Selanjutnya mengidentifikasi jenis-jenis transaksi yang
berhubungan dengan membandingkan dengan penduduk lain.
Antropolog sosial telah mulai sejak usaha Malinowski (1922) dan
lain-lain. Mereka mempunyai keinginan untuk menganalisa
bagaimana sistem yang demikian dipertukarkan dalam masyarakat
46 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta: Uinversitas
Indonesia Press, 2010), 174. 47 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya:
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul (Bandung: Al-Hilal, 2010), 106.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 121
agraris.48
Usaha ini mereka lalukan untuk menghitung untung rugi
dalam mekanisme cara kerjanya dalam mengelola sawah secara kerja
sama (cooperation). Efisiensi waktu dan biaya menjadi sebuah
motivasi yang pada akhirnya mengkonstruk model dialektika kerja
secara objektivikasi.
Minimnya difusi arus modernisasi pra-internalisasi termasuk
faktor lain yang menjadikan mereka mempunyai kepedulian sosial
yang kuat. Pada acara tertentu masyarakat desa akan bahu membahu
secara gotong royong dalam mencapai sebuah goal. Masyarakat desa
hidup secara paguyuban yang mengandalkan mata pencahariannya
dengan mengelola alam termasuk cause yang pada akhirnya
mengakibatkan mereka memiliki sebuah korelasi solidaritas yang
kuat.
3. Tingkat Pendidikan Masyarakat
Perkembangan dalam bidang pendidikan suatu daerah dapat
diketahui melalui sarana pendidikan, jumlah murid dan guru.
Adapun sekolah Taman Kanak-Kanak atau TK yang berstatus
negeri hanya ada dua. Masing-masing terdapat di Lamongan kota
dan yang lain di kecamatan Ngimbang. Pemerintah Lamongan
berupaya untuk meningkatkan pendidikan bagi semua lapisan
masyarakat. Termasuk bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus
dengan mendirikan Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan jenjang
SDLB, SMPLB dan SMALB.
Tingkat pendidikan masyarakat Lamongan sangat beragam
sesuai dengan kemampuan mereka dalam melanjutkan studi. Sarana
dan prasarana yang terdapat di Lamongan masih terbilang belum
memadai. Hal ini disebabkan karena pembangunan di Kabupaten
48 Norman Long, An Introduction to the Sociology of Rural Development
(London: Tavistock Publication Limited, 1977). Diterjemahkan oleh, Tim
Penerjemah Bina Aksara, Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: Bina Aksara,
1987), 148-149.
122 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Lamongan masih dalam perencanaan. Adapun jumlah murid yang
terdapat di Lamongan sesuai dengan tingkatannya dapat dilihat
dalam tabel berikut:
Tabel 1.5
Jumlah Murid di Sekolah
No Nama Sekolah Jumlah
1 SD Negeri 62.022
2 SD Swasta 2.552
3 SMP Negeri 26.202
4 SMP Swasta 397
5 SMU Negeri 8.541
6 SMU Swasta 10.029
7 SMK Negeri 3.282
8 SMK Swasta 16.225
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan tahun 2011.
Tipologi pendidikan masyarakat Lamongan di pedesaan pada
umumnya masih berorientasi pada pengelolaan tanah dan sumber
daya alam serta pada aspek spiritual dan moral. Bukan berorientasi
pada dunia usaha atau menciptakan lapangan pekerjaan
sebagaimana mindest dan budaya masyarakat perkotaan.
Masyarakat agraris mayoritas menggantungkan kehidupannya dari
pertanian. Tanah dibersihkan dan semua ditanami dengan tanaman-
tanaman baru yang mempunyai nilai jual dan dibersihkan dengan
menggunakan alat bajak untuk menggantikan tanaman yang baru.
Curah hujan juga berpengaruh pada kehidupan pertanian suatu
masyarakat.49
Pola kehidupan masyarakat pedesaan yang masuk dalam
kategori holtikultura mengelola ladang dengan ukuran kecil. Namun
49 Stephen K Sanderson, Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 98.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 123
masyarakat pertanian mengelolanya dengan ukuran besar dengan
menggunakan teknologi canggih dan alat pembajak.50
Kultur
masyarakat desa yang masih bergantung pada sektor pertanian dan
persawahan. Terkadang membuat pola pikir mereka masih monoton
dan susah untuk merubah mindset untuk membuka usaha.
Masyarakat Lamongan yang ingin melanjutkan jenjang
pendidikannya di universitas negeri biasanya memilih meninggalkan
Lamongan. Mereka biasanya memilih kampus-kampus negeri yang
terdapat di Jawa Timur seperti di Surabaya dan Malang. Terdapat
pula mahasiswa Lamongan yang menjadikan Jogja dan Jakarta
sebagai tujuan berikutnya. Kedua kota pelajar ini menjadi pilihan
ketika tidak menemukan jurusan sesuai di perguruan tinggi di Jawa
Timur. Sebagai kota kecil di Jawa Timur, Lamongan mempunyai
beberapa perguruan tinggi swasta. Adapun kampus swasta yang
terdapat di Lamongan dapat dilihat dari beberapa tabel dibawah ini.
Tabel 1.6
Jumlah Kampus Swasta di Lamongan
No Nama Kampus Dosen Mahasiswa Rasio
1 UNISLA 142 4.774 34
2 UNISDA LAMONGAN 101 3.512 35
3 AKPER LAMONGAN 48 280 6
4 ASTIKIP PGRI LAMONGAN 24 225 9
5 STIE KH AHMAD DAHLAN 21 377 18
6 STIKES MUHAMMADIYAH 93 1.309 14
7 STIT AL-FALAH 20 460 23
8 STAIM 34 133 4
9 STAI SUNAN DRAJAT 26 216 8
10 STIT MUHAMADIYAH 18 89 5
11 STIE MUHAMADIYAH 21 119 6
50 Syamsir Salam, Mengerti Sosiologi: Pengantar Memahami Konsep-
Konsep Sosiologi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 40.
124 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
13 Akademi Komunitas Negeri
Lamongan
- - -
Jumlah 568 11.574 21
2010 548 11.949 21
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan tahun 2011.
Setiap kelompok masyarakat mempunyai sistem pranata
secara formal dan informal yang diselenggarakan melalui berbagai
bentuk komunikasi sosial. Dalam masyarakat Jawa, pendidikan
humaniora mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan-
pernyataan yang simbolik merupakan bagian integral dari sistem
budaya.51
Awal tahun 1920-an, beberapa ahli antropologi amerika
mulai tertarik untuk mengkaji hubungan antara kebudayaan dengan
kepribadian. Fokus dalam kajian mereka adalah bahwa lingkungan
kanak-kanak akan membawa pengaruh dalam pembentukan dan
kedewasaan seorang anak.52
Para ahli ilmu sosial sampai sekarang banyak yang sependapat
bahwa kualitas manusia tidak hanya diukur dengan keilmuan dan
keahlian semata. Tetapi juga dari kualitas moral dan dan
kepribadian untuk mengembangkan kehidupan.53
Keluarga
mempunyai fungsi untuk mempersiapkan anak didiknya, seorang
ayah bertugas sebagai kepala rumah tangga guna mencari
kehidupan.54
Kiranya tidak salah bilamana ada ungkapan dari kitab
Dur<atu>n an-Na<sihi>n yang menyatakan bahwa etika dan moral
51 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta, 1999), 37. 52 T.O. Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006), 62. 53 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia
(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 37. 54 Syamsir Salam, Mengerti Sosiologi Pengantar Memahami Konsep-
Konsep Sosiologi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 132.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 125
dibentuk di sebuah pedesaan. Sedangkan pengetahuan dan
keterampilan dibentuk pada sebuah perkotaan besar.
Secara teoritik dan empiris, pendididikan merupakan sarana
yang sangat fungsional dalam upaya pembentukan manusia yang
berkualitas. Yakni mampu secara mandiri dan memberikan
dukungan bagi perkembangan masyarakat, dan berpengaruh dalam
peningkatan mutu kehidupan masyarakat.55
Pendidikan juga
diharapkan mampu untuk memberikan kontribusi terhadap
perkembangan ekonomi nasional.
Menurut Spencer dan Madinus (1974), metode pengasuhan
anak masyarakat desa lebih konservatif dan otoriter, hal ini
disebabkan oleh perilaku tradisional yang sangat memegang peranan
dalam mempersiapkan anak dalam menuju kedewasaan. Orang tua
hanya mengajarkan pengalaman yang telah dialaminya kepada anak-
anaknya.56
C. Kondisi Sosial Masyarakat Lamongan
Kondisi sosial masyarakat Lamongan pada saat ini merupakan
tahap peralihan dari tradisional menuju modern. Kebanyakan para
warga masih mempunyai tradisi tolong menolong diantara sesama.57
Jika dalam sebuah keluarga atau ada orang yang kesusahan. Maka
para warga akan membantu keluarga tersebut. Hal ini terlihat dari
kuatnya solidaritas diantara mereka untuk tolong menolong
terhadap orang yang terkena musibah. Sebagian masyarakat desa ini
juga memiliki sikap yang ramah terhadap orang lain. Sopan santun
juga menjadi hal yang sangat penting bagi para penduduk di desa
ini. Jika seseorang tak memiliki sopan santun. Warga
55 Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia
(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 162. 56 Nanaf Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:
Gunung Djati Press: 1999), 33. 57 Wawancara dengan Bpk Mustari kepala Desa tanggal 17 Juli 2014.
126 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
menganggapnya sebagi orang yang tidak berpendidikan. Meskipun
orang tersebut mampu meraih prestasi dalam bidang akademisi.
Beberapa sosiolog menyatakan bahwa perubahan sistem mata
pencaharian masyarakat dapat diidentifikasi melalui beberapa
faktor. Pertama dalam hal perubahan struktural mata pencaharian
(apa dan bagaimana mata pencaharian). Kedua, dalam hal konteks
geografis dimana mata pencaharian dikejar (yang mana mata
pencaharian). Ketiga, dalam hal konteks sosial, budaya, ekonomi
dan lingkungan atau dasar-dasar dari penghidupan yang dikejar
(mengapa mata pencaharian demikian). Masing-masing aspek desa,
studi telah mengalami perubahan yang tampaknya menjadi lebih
lebih dari inkremental.58
Tradisi gotong-royong masyarakat mulai luntur seiring
dengan berkembangnya modernisasi dan kompetisi ekonomi. Hanya
sebagian kecil masyarakat Lamongan yang masih meneruskan
tradisi gotong-royong. Mereka umumnya tinggal di daerah
pedesaaan yang terletak di pedalaman. Kebiasaan gotong-royong
terlihat dalam kegiatan bercocok tanam pada musim tanam maupun
musim panen.
Sebagai remunerasi keluarga yang merasa dibantu
memberikan dan menyiapkan makanan. Istilah kegiatan yang
demikian dalam bahas Jawa dikenal dengan ngirim yang bermakna
memberikan makanan bagi para pekerja di sawah. Simbiosis
mutualisme pada masyarakat desa mempunyai filosofi secara laten
berupa penerapan nilai-nilai kegotongroyongan dan kepedulian
terhadap sesama. Pekerja di sawah bekerja dengan semangat ketika
sebuah keluarga memberikan imbalan yang layak. Tindakan yang
demikian merupakan bentuk manifestasi sebagai rasa terima kasih
58Jonathan Rigg, Suriya Veeravongs, Lalida Veeravongs and Piyawadee
Rohitarachoon, “Reconfiguring Rural Spaces and Remaking Rural lives in Central
Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008),
355-381.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 127
yang terhadap keluarga yang memberikan pengertian atas kerja
kerasnya. Keluarga yang mempunyai rasa empati yang
tinggimemberikan makanan kepada para pekerja sehari tiga kali.
Tindakan demikian dimaksudkan sebagai sebuah pengejawantahan
serta sarana dalam mengimplementasikan kedermawanan.
Adapun waktu memberikan makan pada para kuli-kuli di
sawah tidak hanya sekali pada waktu pagi, melainkan siang dan sore
hari. Makanan yang mereka berikan ada waktu pagi adalah nasi
yang lengkap dengan lauk pauknya sebagai sarapan untuk
menambah tenaga bagi para pekerja. Pada waktu siang hari para
buruh sawah pulang dan makan siang di rumahnya masing-masing.
Mereka tidak membutuhkan makan banyak pada waktu siang hari,
yakni sebatas makanan ringan sebagai bahan camilan. Namun pada
sore hari, para pekerja mendapatkan makan sore berupa nasi lengkap
dengan lauk-pauknya. Buruh yang tidak mau ikut makan
membungkus makanan dengan menggunakan daun pisang atau daun
jati. Istilah yang demikian dalam bahasa Jawa dikenel dengan
sebutan mbuntel atau membungkus makanan untuk dibawa pulang
ke rumah.
Implementasi masyarakat gemeinschaft dalam bentuk gotong
royong tidak hanya pada musim tanam. Menjeleng musim penen,
masyarakat desa masih melakukan kegiatan yang demikian secara
paguyuban dengan bekerja sama satu sama lain. Model gotong
royong yang dalam bentuk kepekaan sosial merupakan manifestasi
nilia-nilai kekeluargaan yang diajarkan oleh orang tua mereka.
Sebagai perumpamaan menjelang musim panen tembakau yang
mereka tanam pada musim kemarau. Para pemuda memberikan
bantuan secara sukarela tanpa menunggu perintah dari orang tuanya
atau tetangga yang mengalami kesulitan.
Internalisasi nilai-nilai kepedulian sosial diantara masyarakat
desa mereka eksternalisasikan tidak hanya terbatas dalam sektor
agraris. Ketika suatu keluarga megalami musibah, para tokoh
128 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
masyarakat menyiarkan kepada seluruh penduduk desa. Tindakan ini
dilakukan agar warga sejenak menghentikan aktivitasnya di sawah
dan mendatangi keluarga yang bersangkutan. Tokoh masyakat
menyiarkan sebagai upaya untuk menghimpun warga di rumah
penduduk yang mengalami musibah. Secara sukarela mereka
berdatangan kerumah warga yang mengalami musibah sambil
membawa beras beberapa kilo. Istilah ini dalam bahas Jawa di kenal
dengan sebutan nylawat atau yang lebih populer ngelayat.
Menjelang musim kemarau, para petani menanam tanaman
yang tidak membutuhkan air dalam skala besar. Mereka mensiasati
kondisi demikian dengan diversitas tanaman yang tidak
membutuhkan banyak air sesuai dengan intensitas hujan. Berbeda
dengan daerah yang mempunyai sarana irigasi yang lancar serta
melimpah sepanjang tahun. Perubahan cuaca dan iklim tidak
memberikan efek yang intens bagi ragam tanaman yang hendak
dikembangkan di sawah.
Ragam jenis tanaman dapat mereka tanam sepanjang musim
tanpa mengenal kondisi cuaca pada masa itu. Istilah pekarangan
dalam masyarakat Jawa merupakan area yang terletak di dekat
rumah. Sawah tadah hujan hanya mampu untuk ditanami padi
setahun sekali.59
Tanah dibersihkan dengan menggunakan alat bajak
untuk menggantikan tanaman yang lama serta semua ditanami
dengan tanaman-tanaman baru yang mempunyai nilai jual. Kontek
curah hujan juga berpengaruh pada kehidupan pertanian suatu
masyarakat.60
Sebagian besar penelitian menyimpulkan curah hujan
digunakan untuk mengidentifikasi jenis tanaman dalam lingkungan
yang didominasi oleh daerah pertanian tadah hujan. Pendekatan
59 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2009), 59 60 Stephen K Sanderson, Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 98.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 129
yang berbeda menentukan banyak variasi dalam pola curah hujan,
tetapi sejauh mana petani dapat secara efektif memprediksi pola
curah hujan datang. Petani di Burkina Faso menggunakan berbagai
instrumen untuk meramalkan turunnya hujan.61
Berbeda dengan masyarakat Lamongan yang berdomisili di
pedalaman. Kehidupan materialisme telah menjadi fenomena sosial
sebagian besar masyarakat Lamongan saat ini. Kompetisi dalam
membangun rumah serta akumulasi kekayaan menjadi pemandangan
umum saat ini. Masyarakat yang mempunyai keterbatasan dalam
pencapaian ekonomi bahkan melakukan cara yang tidak biasa
dilakukan oleh masyarakat pedesaan.
Menjelang lebaran, terlihat sebuah pemandangan di beberapa
rumah berjejeran mobil sebagai upaya meningkatkan status sosial.
Kekayaan ini serta bukan karena pencapaian mereka selama di
perantauan. Melainkan karena sengaja meminjam sebagai sebuah
upaya dalam memamerkan kekayaannya di masyarakat.
Pengguanan alat-alat tradisional memberikan efek yang intens
tidak hanya terhadap produktivitas komoditi pertanian. Lamanya
waktu untuk membajak sawah dengan melibatkan banyak tenaga
membuat masyarakat desa saling bergotong-royong (cooperation)
dalam sistem pertanian. Kondisi ini terjadi pada masa tanam dan
pada masa panen yang dipengaruhi oleh keadaan musim sesuai
intensitas curah hujan. M.J Herskovits menyatakan bahwa
masyarakat adalah kelompok individu yang di organisasikan dengan
mengikuti cara hidup tertentu.62
Organisasi desa sebagai kelompok
di tingkat desa secara resmi diselenggarakan dengan status hukum.
Kasus ini membedakan mereka dari banyaknya lembaga desa
61 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does
Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University of Chicago Press, Source: Economic Development and Cultural Change, Vol. 58, No.
4 (July 2010), 609-641. 62 Beni Ahmad Sebani, Pengantar Antropologi (Bandung: Pustaka Setia,
2012), 137.
130 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
tradisional yang tidak memiliki status hukum. Peran tekanan sosial
organiasasi masyarakat pedesaan perlu dipertimbangkan.
Struktur kerja secara cooperation secara tidak langsung
mengikat penduduk desa dalam sebuah konsensus. Ikatan yang
dikonstruk oleh masyarakat pedesaan umumnya dalam tipologi
solidaritas mekanik berdasarkan homogenitas profesi dalam sistem
mata pencaharian. Mayoritas penduduk desa memilih profesi
menjadi seorang petani yang masuk kategori masyarakat
holtikultura. Klasifikasi yang demikian mengelompokkan mereka
dalam kategori pesant communities. Berbeda dengan masyarakat
yang berada di daerah pesisiran yang didominasi oleh nelayan
dengan sistem peralatan hidup erat kaitannya dengan aktivitas
mencari ikan. Konteks kondisi geografis suatu masyarakat pada
kasus tertentu mengklasifikasikan sistem mata pencaharian
penduduknya. Pekerjaan sebagai nelayan yang merupakan sistem
mata pencaharian masyarakat pesisiran pada akhirnya menempatkan
mereka dalam klasifikasi fishing communities.
Tren membangun rumah mewah, khususnya yang
menggunakan semen dan bata sekarang ini menjadu sebuah
pemandangan yang umum di Lamongan. Fakta sosial ini berbeda
pada tahun 90-an ketika masyarakat Lamongan masih menjunjung
nilai-nilai gotong-royong dan kesederhanaan. Pada saat ini, sangat
sedikti sekali menemui rumah yang masih terbuat dari kayu di
Lamongan. Meskipun dari nilai nominal, harga kayu lebih mahal
dari batu bata.
Masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan dalam
akumulasi ekonomi guna membangun rumah senantiasa bersikap
askesis. Tindakan ini dilakukan sebagai sebuah uapaya untuk
menunjukan sikap kesederhanaan di tengah-tengah masyarakat yang
lagi menggandrungi dunia. Sementara masyarakat yang tidak puas
dengan kehidupannya senantiasa mengeluarkan kata-kata yang
tegas. Terdapat sebuah ungkapan bagi masyarakat yang demikian
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 131
“omahku ditembok rayap” adalah sebuah ungkapan ketika seseorang
masih mepunyai rumah kayu ketika para tetangganya mempunyai
rumah tembok dari batu.
Beberapa pernyataan di atas menjelaskan bahwa kebudayan
tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan suatu masyarakat. Lebih
jauh lagi, perubahan kebudayaan menghasilkan pluralitas yang
semakin melebar dan juga sebaliknya. Terjadinya perubahan
kebudayaan juga mampu menghasilkan sebuah pola hidup yang
tidak dikenal kemudian menjadi sebuah kebiasaan yang belaku
dalam sebuah masyarakat yang dijadiakan pedoman hidup secara
bersama. Perubahan kebudayaan dalam perkembangannya
menghasilkan sebuah dampak yang berupa:63
1. Perubahan Progress
Merupakan perubahan yang menuju pada perbaikan. Dalam
artian suatu kebudayaan lebih maju lagi atau lebih canggih.
Perubahan ini mampu membawa dampak positif bagi sauatu
masyarakat. Contoh penggunaan teknologi canggih untuk
memudahkan kehidupan. Perubahan ini membawa dampak yang
negatif bagi kehidupan masyarakat Lamongan.
2. Perubahan Regress
Adalah perubahan yang membawa suatu kebudayaan pada
tatanan kemundurannya. Hal ini ditandai dengan semakin
banyaknya kemiskinan dalam masyarakat. Bentuk perubahan ini
adalah berkurangnya nilai gotong royong dan kebersamaan diantara
masyarakat.
Meskipun terjadi perubahan sistem kebudayaan dalam
masyarakat akibat kontak dengan budaya lain. Suatu sistem sosial
tetap terangkai menjadi sebuah sekumpulan sistem bilamana
dijalankan oleh beberapa orang. Kata sosial dalam korelasi dengan
63 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan Proses Relasi Antara
Manusia (Yogyakarta: Jalasutra 2009), 194.
132 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
sistem sosial merupakan sebuah kata yang mempunyai makna lebih
dari satu orang. Dengan demikian, sistem sosial merupakan sebuah
wadah atau sarana untuk berinteraksi sosial dalam pergulatan
hidup.64
Susunan golongan satu kota terutama ditentukan oleh fungsi
ekonominya yang kemudian berpengaruh pada struktur sosialnya.
Dengan adanya kota tiga golongan masyarakat dapat dilihat secara
jelas. Golongan pertama adalah pegawai dan mereka yang meniru
cara hidup pegawai (guru, dokter, dan sebagainya). Golongan kedua
adalah pedagang (wong dagang), diantaranya yang di dominasi oleh
kalangan santri. Golongan yang terakhir adalah golongan “orang
kecil” (wong cilik), yang terdiri dari buruh, pelayan rumah tangga
dan orang yang tidak mempunyai pekerjaan.65
Jika mengunjungi desa ini, jarang ditemukan pemuda yang
terlihat. Sebab sebagian besar mereka kebanyakan pergi
meninggalkan kampung halamannya. Kegiatan yang paling
mendominasi desa ini adalah kegiatan keagamaan. Jarang sekali
kegiatan sosial yang terlihat. Sedangkan mengenai kegiatan
keagamaan yang ada di Lamongan terbilang aktif karena
kebanyakan para remajanya banyak yang tidak mempunyai
kesibukan selain bersekolah dan mengaji. Para pemuda yang masih
sekolah juga terkadang suka nongkrong di masjid atau pinggir jalan.
Dalam segi budaya masyarakat Lamongan masih sangat
kental dengan budaya pedesaan yang moderen. Kaum muda yang
pergi merantau kebanyakan membawa tradisi modern dan bergaya
perkotaan. Jika mereka pulang mereka lebih suka menggunakan
logat kota daripada logat pedesaan Lamongan. Dari latar belakang
64 Trianto, Dimensi Transedental dan Transformasi Sosial Budaya, (Jakarta:
Lintas Pustaka Publisher, 2008), 53. 65 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The
Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait,
Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 87-88.
Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 133
budaya, dapat dilihat aspek budaya dan sosial yang berpengaruh
dalam kehidupan masyarakat. Kasmiran Wuryo Suryadi (1985:16)
berpendapat bahwa masalah pribadi manusia mengandung tiga unsur
pokok persoalan, yaitu manusia, pribadi dan perkembangannya.66
Efektivitas kiyai dalam kehidupan masyarakat Lamongan masih
memainkan peran utama guna menengahi semua kepentingan
masyarakat yang ada. Peneliti dalam hal ini mengibaratkan kiai
sebagai seorang wasit dalam dunia sepak bola. Seorang wasit harus
bersikap fair dengan tidak memihak salah satu tim yang sedang ikut
berkompetisi.
66 Ujianto Singgih Prayitno, Perubahan Sosial : Dinamika Perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Pusat
Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI Gedung
Nusantara I Lt. 2 bersama Publica Press, 2014), 100.
134 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
135
Bab IV
Migrasi dan Entrepreneurship
Masyarakat Lamongan di Jakarta
A. Motif Migrasi Masyarakat Lamongan ke Jakarta
Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia yang menjadi
pusat pemerintahan dan perekonomian. Sebagai kota metropolitan,
Jakarta pernah menjadi pusat perdagangan VOC ketika menguasai
wilayah Nusantara. Pada awalnya Jakarta bernama Sunda Kelapa
yang kemudian berubah nama Jayakarta dan terakhir menjadi
Jakarta. Disentralisasi pembangunan di Jakarta merupakan faktor
yang menjadi daya tarik bagi para migran di berbagai daerah.1 Kaum
migran dari berbagai daerah di Indonesia sampai saat ini menjadikan
Jakarta sebagai tujuan utama. Tidak semua kaum migran
mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan harapan
mereka.
Diantara mereka ada yang menuai kesejahteraan dan
penghidupan yang lebih baik. Sementara banyak pula pendatang
yang menjadi beban bagi pemerintah ibukota. Migrasi massif
masyarakat ke Jakarta meningkat terutama pasca lebaran. Keluarga
yang telah lama tinggal di Jakarta akan membawa sanak saudaranya
untuk mengadu nasib di ibukota. Tingkat kepadatan penduduk akan
mengalami kenaikan yang cukup drastis pasca lebaran.2 Sementara
1 Michael Malley, “Indonesia: Violence and Reform Beyond Jakarta,”
Institute of Southeast Asian Studies Affairs (2001), 159-174. 2 Gavin W. Jones, “Southeast Asian Urbanization And The Growth Of
Mega-Urban Regions,” Journal of Population Research, Vol. 19, No. 2 (September
2002), 119-136.
136 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
menjelang musim lebaran dan liburan, kondisi Jakarta akan terasa
sepi dan lengang karena ditinggal mudik oleh penduduknya.
Mayoritas penduduk Jakarta adalah kaum migran yang datang dari
berbagai daerah.
Kehidupan yang keras dan penuh dengan kompetisi dalam
multi bidang tidak menjadi hambatan bagi kaum migran. Dengan
tekad yang kuat, mereka menjadikan Jakarta sebagai destinasi
utama untuk memperbiki kehidupannya. Perputaran ekonomi dalam
skala besar di Jakarta disertai dengan banyaknya jenis pekerjaan
telah menjadi pertimbangan dan motivasi bagi kaum migran.
Mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan
skill dan potensinya di ibukota. Tergantung dengan kemampuan dan
keahlian yang dimiliki. Masyarakat yang berpendidikan tinggi dan
mempunyai keahlian yang memadai tidak akan mengalami banyak
hambatan dalam mencari pekerjaan. Sementara masyarakat yang
tidak mempunyai skill yang memadai akan menjadi kaum yang
termarjinalkan dan menempati daerah kumuh di pinggiran kota.
Pendatang yang termarjinalkan di ibukota akan memberikan
peluang meningkatnya jumlah kriminalitas. Penurunan jumlah
tenaga kerja menyebabkan kejahatan yang dilakukan kelompok
marjinal yang menuruti gaya hidup. Hancock (2006), menyarakan
beberapa kausus seperti tunawisma dan orang muda akan menyewa
tempat terlebih dahulu. Komposisi sosial masyarakat dalam kota
dengan cara yang tidak hanya melemahkan cita-cita komunitarian
retoris, tapi mempromosikan intoleransi. Pernyataan kebijakan
nasional dan lokal menekankan keuntungan yang akan diperoleh
untuk semua lapisan masyarakat.3
Slogan yang pernah dikampanyekan oleh pemerintah “siapa
suruh datang ke Jakarta” tidak menjadi alasan yang menghambat
3 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance
Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,
2007), 80.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 137
datangnya arus mobilisasi kaum migran di seluruh Indonesia.
Jakarta bagi sebagain besar masyarakat migran merupakan destinasi
utama daripada kota-kota lain di Indonesia. Banyaknya kaum
migran yang terkonsentrasi di Jakarta pada akhirnya membuat
ibukota Republik Indonesia ini menjadi kota terpadat pertama di
Indonesia dengan jumlah penduduk kurang lebih sembilan juta jiwa.
Kaum migran mempunyai anggapan bahwa fasilitas dikota
lebih lengkap daripada hidup di daerah terisolasi yang sulit untuk
meningkatkan kemakmuran rumah tangga. Sebagai bagian dari
upaya pemerintah dalam menatapkan kebijakan yang berbeda.
Kebijakan di perkotaan lebih terlihat yang bersaing dengan
pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan. Buruh dari berbagai
lapisan mengalami kekhawatiran atas sosial inklusi menandai
perubahan kebijakan dari pemerintah sebelumnya.4
Kehidupan di Jakarta yang kumuh dan penuh dengan
kemacetan menjadi sebuah pekerjaan rumah tangga pemerintah.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah guna memperbaiki
situasi dan kondisi yang terdapat di Jakarta. Diantaranya dengan
mencanangkan berbagai macam program pembangunan untuk
mengatasi kondisi yang demikian semrawut. Bagi kaum migran
yang mempunyai motivasi merantau yang tinggi, tidak menjadikan
problem demikian sebagai hambatan memperbaiki kehidupan.
Mereka senantiasa menjadikan hambatan sebagai sebuah tantangan
yang harus dihadapi untuk memperbaiki kehidupan ekonomi.
Dalam karya magisterialnya tentang kota miskin di Afrika,
John Iliffe (1987) menekankan bahwa dimensi kunci tentang orang
miskin adalah bahwa mereka tinggal di perkotaan dalam waktu
lama. Kemiskinan tampaknya menjadi sebuah dimensi kehidupan
4 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance
Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,
2007), 17.
138 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
perkotaan yang keras.5 Migrasi masyarakat pedesaan pada awalnya
dipengaruhi oleh motivasi untuk meningkatkan kehidupan ekonomi.
Metode untuk mengobservasi interaksi yang terjadi dalam suatu
masyarakat. Pembagian antara tradisional dan modern kadang-
kadang tampil dalam bentuk konseptual pedesaan kota-kota atau
penduduk kota mengenai perubahan sosial.
Redfield (1941-1947), menekankan ciri-ciri utama konsep
masyarakat migran. Konsep Redfield mempunyai kesamaan dengan
apa yang dinamakan Smelser sebagai masyarakat tradisional.
Riedfield menekankan aspek budaya sedangkan Smelser
menekankan pada aspek struktural.6 Sosiolog Martin Murray (2008),
menjelaskan kota metropolis selalu mengalami perubahan yang
karena intensitas kaum urban.7
Perkembangan migrasi dan
pembangunan suatu negara diciptakan secara identifikasi yang
melampaui orang-orang dari daerah desa. Mereka difasilitasi dan
dibina suatu ruang publik secara bersama.8
Achille Mbembe dan Sarah Nuttall (2008), mempertimbang
kan upaya besar selama beberapa dekade lalu di kota-kota Afrika
guna membaca kawasan kota urban. Pilihan Guyer tampaknya aneh
untuk studi perkotaan, mengingat bahwa untuk keseimbangan
pentingnya produktifnya karir. Dia telah merubah lensa antropologi
ekonomi, sejarah, dan hubungan tenaga kerja pedesaan. Dalam
5 Abdou Maliq Simone, “The Urban Poor and Their Ambivalent
Exceptionalities Some Notes from Jakarta,” Current Anthropology on behalf of
University of Chicago Press Wenner-Gren Foundation for Anthropological
Research, Vol. 56, No. S11, ( October 2015), S15-S23. 6 Norman Long, Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: Bina Aksara,
1987), 45. Judul Asli An introduction to the sociology of rural development,
diterbitkan oleh Tavistock Publication Limited, London 1977. 7 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and
Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 14. 8 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance
Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,
2007), 38.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 139
buku-bukunya, mereka mengutip sebagai upaya membaca kota
Afrika ke teori kontemporer dengan membahas literatur yang
berkaitan dengan teori perkotaan. Tapi setidaknya Guyer telah
membuat besar kontribusi untuk studi Afrika selama lebih dari tiga
puluh tahun.9
Jones (1984), menekankan tingkat migrasi yang rendah di
Asia Tenggara selama 30 tahun yang lalu. Fenomena ini masih
menggambarkan kebanyakan orang di wilayah ini tinggal di
pedesaan atau memiliki akar pedesaan dan kontak dengan kota
secara kuat. Fasilitas perkotaan yang lebih lengkap menjadi day
tarik bagi datangnya kaum urban. Di Jawa, pertanian budaya
menyediakan pemasukan yang lebih rendah dari pekerjaan di
kabupaten yang terletak lebih dekat dengan besar kota.10
Rendahnya
manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat pedesaan
menyebabkan mereka bermigrasi ke kota-kota besar. Kesempatan
memperbaiki kondisi ekonomi di kota lebih besar daripada di
pedesaaan.
Kota merupakan bagian dari antropocosmos, perbedaan
terhadap bagian lain dari human settlement adalah didasari oleh
aspek antroposnya, yaitu: karakter manusianya: kegiatan, perilaku,
budaya, dinamika kehidupan, dan sebaginya.11
Roy (2007)
menjelaskan bagaimana proses migrasi tersebut mungkin
9 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and
Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 9. 10 Gavin W. Jones, “Southeast Asian Urbanization And The Growth Of
Mega-Urban Regions,” Journal of Population Research, Vol. 19, No. 2 (September
2002), 119-136. 11 Sugiono Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi: Proses Perkembangan
Peradaban dan Wadah Ruangnya Menuju Ruang yang Manusiawi (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013), 21.
140 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas hidup bagi
penduduk tempat-tempat ini12
Keanekaragaman perkotaan dalam hal kekayaan, gaya hidup,
pendapatan, agama, dan etnisitas telah menciptakan potensi besar
yang bisa menimbulkan konflik sosial. Penelitian di Merseyside dan
Brixton di London menunjukkan manfaat dari pertumbuhan dan
migrasi ke kota sering gagal yang pada akhirnya meningkatkan
jumlah orang miskin. Perbedaan kelas di kota-kota ditandai dengan
pelebaran kesenjangan ekonomi yang bersinggungan dengan etnis,
ras, agama, dan penanda perbedaan usia.13
Sosiologi dan demografi merupakan dua disiplin ilmu.
Melalui kajian sosiologi kependudukan, seseorang dibimbing untuk
berpikir interdisipliner, ilmiah, analisis, sintesis, dan kritis.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi sosial antara
individu dengan kelompok, struktur sosial, proses sosal, dan
perubahan sosial. Demografi memberikan deskripsi atau data jumlah
golongan, kompisisi dan struktur penduduk.14
Sebagai ilustrasi di
Filipina, Thailand dan Jawa pada emat puluh tahun yang lalu banyak
terdapat pedesaan kecil. Mobilitas penduduk yang cepat disebabkan
kemajuan transportasi dan pembangunan telah merubah kehidupan
masyarakat pedesaan kecil secar dramatis. Dinamika migrasi dan
perubahan komposisi demografi penduduk di berbagi daerah di Asia
Tenggara termasuk kawasan pedesaan adalah karena tuntutan
12 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and
Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 14. 13 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance
Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,
2007), 41. 14 T. Widodo, Sosiologi Kependudukan: Kajian Teoritis dan Empiris
Perspektif Sosiologi Kependudukan (Surakarta: Lembaga Pengembangan
Pendidikan UNS, 2011), 14.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 141
kebutuhan ekonomi dan pergeseran sektoral masyarakat dari agrarsi
ke industri.15
Kota di negara Afrika melaporkan dengan beberapa bukti
yang tampaknya seperti asumsi yang masuk akal: banyak sekali
kaum migran Afrika yang tinggal di permukiman informal di kota-
kota dimana informalitas memainkan peran kunci seperti dalam
bidang ekonomi, politik, dan masyarakat. Satu juga dapat cukup
menyimpulkan bahwa ruang lingkup dan proporsi pemukiman
informal dan aktivitas sektor informal bervariasi di kota benua
Afrika. Seperti halnya hubungan antara kegiatan ekonomi
informal.16
Migrasi dalam masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah
merantau. Merantau merupakan fenomena sebagian besar
masyarakat di Indonesia. Budaya merantau identik dengan
masyarakat Minangkabau atau Minang yang dikenal gemar
merantau keberbagai daerah. Ketika memasuki usia remaja
masyarakat Minang akan merantau meninggalkan kampung
halamannya menuju daerah perantauan. Banyak orang beranggapan
bahwa masyarakat Minang merupakan suku bangsa di Indonesia
yang gemar merantau. Hampir di berbagai daerah di Indoesia
teruatama kota-kota besar terdapat masakan Padang yang menjadi
makanan khas Minang. Asumsi peneliti menyimpulkan bahwa
masyarakat Minang tersebar keberbagai daerah di Indonesia.
Diantara faktor yang mendorong masyarakat Minang untuk
merantau dikarenakan adat istiadat yang mengambil garis keturunan
keluarga dari seorang ibu. Istilah demikian lebih familiar dikenal
dengan matrilineal. Dalam sistem adat masyarakat Minang,
kedudukan seorang perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
15 Gavin W. Jones, “Southeast Asian Urbanization And The Growth Of
Mega-Urban Regions,” Journal of Population Research, Vol. 19, No. 2 (September
2002), 119-136. 16 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and
Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 78.
142 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Yakni dalam status kepemilikan harta pusaka yang di dominasi oleh
seorang istri dan diwariskan secara turun-temurun kepada pihak
perempuan. Seorang laki-laki tidak akan mendapatkan banyak
kekayaan ataupun warisan bilamana tidak merantau ke-daerah lain
untuk mengumpulkan kekayaan dari hasil jerih payahnya selama di
daerah perantauan.
Nilai-nalai dalam suatu masyarakat mempunyai pengaruh
yang lebih besar besar sebagai sebuah kontrol sosial. Dalam
bukunya yang berjudul The Coming Crisis Of Western Sociology
Gouldner mengkritik pemikiran dari Parsons karena pendiriannya
yang tidak kritis dan menerima status quo. Gouldner lebih jauh
mengatakan bahwa kebutuhan manusia tdiak hanya sekedar sebagai
sebuah sistem. Melainkan lebih dari itu yang berupa penanaman
nilai-nilai yang positif untuk mengubah struktur sosial.17
Untuk
mampu bertahan hidup masyarakat harus bisa memenuhi kebutuhan
kebutuhan dasar tertentu. Kalangan fungsional menyebutnya
sebagai functional prequisities. Antara lain kebutuhan makan
minum, kebutuhan distribusi, transmisi budaya, berkomunikasi dan
reproduksi.18
Selain masyarakat Minang, terdapat beberapa suku lain di
Indonesia yang dikenal suka merantau. Adapaun suku-suku lain
tersebut antara lain: suku Banjar yang berasal dari pulau
Kalimanatan, suku Manado dan Bugis yang berasal dari Sulawesi,
suku Batak yang berasal dari Sumatera, suku Bawean atau Boyan
yang berasal dari pulau Bawean Jawa Timur serta suku Madura yang
berasal dari pulau garam Madura. Kebiasaan bebarapa suku tersebut
untuk merantau disebabkan oleh faktor ekonomi dan kebudayaan
yang melakat pada masyarakatnya.
17 Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT
Gramedia, 1988), 52. 18 Amin Nurdin dan Ahmad Bashori. Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk
Memahami Konsep-Konsep Dasar, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2006), 35.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 143
Masyarakat Madura merantau biasanya disebabkan karena
kondisi lingkungan yang tandus dan gersang. Kondisi daerah yang
kurang produktif tidak memungkinkan untuk intensifikasi dan
ekstentifikasi pertanian atau perladangan. Guna memperbaiki
kondisi kehidupan, masyarakat Madura kemudian memutuskan
untuk merantau. Kondisi budaya masyarakat Madura yang religius
dengan slogan santrinya kuat pada akhirnya membentuk sebuah
dialektika baru. Seorang dapat meningkatkan status sosialnya di
masyarakat ketika berhasil di perantauan dan mampu
mengumpulkan uang untuk berhaji. Gelar haji adalah kebanggaan
khusus bagi masyarakat Madura.
Suku Sunda dan Jawa mayoritas lebih menetap di daerah
asalnya dan tidak suka merantau. Terdapat sebuah ungkapan yang
menggambarkan masyarakat Sunda dan Jawa secara spesisif dengan
anekdot “makan tidak makan yang penting ngumpul”. Pada
beberapa dekade yang lalu, ungkapan yang demikian memang tepat
untuk menggambarkan pola kehidupan masyarakat Sunda dan Jawa.
Kondisi alam dan budaya yang memadai masih memungkinkan
masyarakat Sunda dan Jawa untuk tetap mencari penghidupan di
kampung halamannya. Pergesaran budaya dan kondisi lingkungan
yang berubah pada akhirnya menyebabkan masyarakat Sunda dan
Jawa merantau sebagaimana masyarakat lainnya di Indonesia.
Masyarakat di Kabupaten Lamongan bisa dijadikan sebuah
ilustrasi untuk menggambarkan pola kehidupan merantau
masyarakat Jawa. Meskipun adat istiadat masyarakat Lamongan
berbeda dengan masyarakat Minangkabau. Tidak mengambil garis
keturunan dari ibu dalam sistem matrilineal sebagaimana
masyarakat Minang di Sumatera Barat. Meskipun struktur perantau
Minangkabau di Jakarta seperti di rantau lainnya bertolak belakang
dengan sistem matrilineal yang ada di kampung halaman mereka.
Sistem masyarakat Minangkabau di Jakarta yang terjadi antara
suami dan istri bersama-sama mengepalai rumah tangga. Tidak ada
144 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
dominasi yang dilakukan oleh istri terhadap suami sebagaimana
yang terdapat di kampung halaman mereka. Walaupun demikian,
rumah tangga mereka masih meneruskan kewajiban tradisional
dalam memberikan bantuan kepada kerabat mereka yang baru
datang dari kampung. Tradisi demikian pada akhirnya menyebabkan
meningkatnya jumlah perantau yang ada di Jakarta.19
Fenomena merantau telah menjadi kebiasaan sejak lama oleh
sebagian besar masyarakat di Kabupaten Lamongan. Tradisi
tersebut telah berlangsung secara turun-temurun dan tetap
dijalankan sampai sekarang oleh sebagian besar masyarakatnya.
Masyarakat Lamongan mempunyai anggapan tidak akan menuai
suksess bila tidak pergi meninggalkan kampung halaman. Filosofi
yang demikian kemudian diyakini oleh sebagian besar masyarakat
Lamongan dan menjadi sebuah kebiasaan secara turun temurun.
Masyarakat Lamongan yang pergi merantau terkadang pulang
beberapa kali dalam setahun. Namun terdapat juga masyarakat
Lamongan yang tidak kembali ke kampung halamannya dalam
beberapa tahun. Sebagaimana yang terjadi pada orang Kudus yang
pergi meninggalkan Kudus bisa dikatakan sebagai orang Kudus.
Sedangkan orang yang datang ke Kudus bisa dikatakan sebagai
orang Kudus yang mana hal ini berlaku bagi santri. Beberapa
diantara mereka akan kembali ke kampung halamannya pada waktu
lebaran.20
Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia sampai saat ini
masih menjadi tujuan utama migrasi masyarakat Lamongan.
Penegasan kembali dari ruang kota dalam teori sosial kritis sebagai
tujuan utama yang menggambarkan pada interpretasi dari tulisan-
19 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1984), 127. 20 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The
Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait,
Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 80.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 145
tulisan para teori perkotaan Henri Lefebvre dan Soja (1989),
peningkatan prestasi kaum migran terletak pada artikulasinya
dengan apa yang disebut dengan “dialektika sosio spasial” dimana
perkotaan merupakan ruang yang menyusun kembali sebagai produk
dari masyarakat yang menjadi tujuan sosial.21
Masyarakat
Lamongan menjadikan Jakarta sebagai destinasi mengembangkan
kehidupan dan memperbaiki kondisi ekonomi. Regenerasi dari
lingkungan yang tertekan pada gilirannya sebagai sebuah strategi
yang diadopsi oleh kelompok yang kurang beruntung dam
bergantung pada perilaku dan gaya hidup yang dianggap
bermasalah.22
Sistem kehidupan yang bebas di Jakarta lebih diminati oleh
masyarakat Lamongan daripada kehidupan yang monoton dengan
kontrol sosial yang ketat. Para pemuda Lamongan menjadikan
kondisi yang demikian sebagai peluang dalam mengembangkan
usaha. Mereka lebih membenci kehidupan yang kontrol sosialnya
ketat daripada kehidupan yang keras.23
Masyarakat Lamongan yang
hidup di Lamongan mempunyai perbedaan dengan yang hidup di
perkotaan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat
Lamongan menjadikan Jakarta sebagai tujuan utama. Faktor
tersebut meliputi kondisi geografis yang terdapat di Lamongan,
faktor sosial budaya yang disebabkan perubahan social, dan faktor
ekonomi.
1. Faktor Kondisi Geografis
Masyarakat Lamongan pada awalnya merantau ke Jakarta
bukan bekerja sebagai pedagang atau penjual soto sebagaimana
yang dapat disaksikan untuk saat ini. Generasi rantau masyarakat
21 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and
Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 24. 22 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance
Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,
2007), 70. 23 Wawancara dengan Khozin (Lamongan November 2014).
146 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Lamongan ke Jakarta banyak didominasi oleh masyarakat yang
berasal dari pedesaan khususnya yang wilayahnya sangat tandus.
Jarang sekali masyarakat Lamongan yang tinggal di perkotaan
Lamongan yang menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian
pergi meninggalkan kampung halaman mereka.
Fortier (2005), menjelaskan transnasionalisme Zanzibari
sebagai salah satu konsep umum dari geografi dari transnasional dan
diaspora masyarakat adalah rhizomatic. Yakni suatu jaringan yang
tidak teratur yang saling berhubungan. Dalam geografi ini, milik
mungkin melibatkan kedua lampiran dan gerakan. Hamilton (2007),
menganggap tema ini sebagai “koneksi” dan “mobility” sebagai
bagian dari circulatoriness geosocial dari diaspora masyarakat
Afrika.24
Myers dan Murray (2006), mengembangkan beberapa teori
neoliberal dan informal adalah sektor kewirausahaan.
Para petani hanya mampu menanam padi sekali dalam
setahun, yakni ketika musim penghujan tiba. Karena peranan
keadaan iklim untuk pertanian sangat penting.25
Pada waktu musim
kemarau dimanfaatkan oleh para petani untuk berladang serta
menanami sawahnya dengan tembakau atau tanaman yang tidak
membutuhkan banyak air. Petani yang menanam tembakau pada
musim kemarau menyiasatinya dengan membuat sumur di sekitar
sawahnya. Sumur tersebut biasanya dimanfaatkan airnya untuk
menyirami tembakau yang mereka tanam. Masyarakat Lamongan
mempunyai sebuah ungkapan untuk menggambarkan kondisi
geografis wilayahnya “nek udan kebanjiran, nek ketigo kepanasan”.
Ungkapan ini mempunyai arti ketika musim penghujan kebanjiran
dan ketika musim kemarau kepanasan.26
24 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and
Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 168-169. 25 Jurgen Honhholz, Geografi Pedesaan (Jakarta: PT Karya Unipress, 1986),
35. 26 Wawancara dengan Masdi (Lamongan, 2014).
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 147
Tidak bisa dikesampingkan bahwa kondisi geografis turut
berperan serta dalam membentuk diferensiasi budaya.27
Kebudayaan
masyarakat pedesaan tentu berbeda dengan kebudayaan yang ada
dalam masyarakat perkotaan. Portes (1997), Willis (2004) dalam
teori transnationality dapat didefinisikan sebagai status orang-orang
yang bergerak dengan mudah diantara budaya yang berbeda. Kaum
migran kebanyakan sering mengejar ekonomi, politik, dan
kepentingan budaya yang memerlukan kehadiran simultan.
Transnationality masih berlangsung saat beberapa kondisi tidak
membatasi. Gupta dan Ferguson (1992) melihat transnationality
sebagai semacam pengalaman 'bifocal' dimana kaum migran
berpikir baik lokal maupun global, dengan berbagai tingkat
keberhasilan. Riggs (1997), memberikan gambaran kekuatan
modernisasi telah menimpa daerah terpencil yang meresap ke
pedesaan yang berbasis pertanian. Hal itu sebagai sebuah pertanda
bahwa perkotaan telah menyerang pedesaan.28
Masyarakat di Kabupaten Lamongan yang tidak memiliki
sawah untuk bertani atau tambak untuk membudidayakan ikan, akan
mencoba mengadu nasib dengan merantau ke kota-kota besar di
Indonesia seperti Jakarat, Surabaya dan kota-kota besar lainnya
diluar pulau Jawa. Ketiadaan lahan pertanian inilah diantara faktor
utama yang menjadi penyebab perilaku merantau warga Lamongan.
Konsep bekerja keras dan menghindari sikap menganggur menjadi
motivasi utama masyarakat Lamongan ketika merantau. Ketiadaan
sawah menyebabkan mereka merantau daripada masih tetap
menganggur di kampung halamannya.
Para perantau dari Lamongan tidak hanya di dominasi oleh
orang-orang yang tidak mempunyai sawah. Mereka yang memiliki
27 Perkuliahan umum agama dan perubahan sosial oleh Prof. Bambang
Pranowo setiap Senin jam 08.00-10.00 SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28 Gavin W. Jones, “Southeast Asian Urbanization And The Growth Of
Mega-Urban Regions,” Journal of Population Research, Vol. 19, No. 2 (September
2002), 119-136.
148 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
tanah garapan untuk bercocok tanam terkadang enggan untuk
memilih profesi sebagai petani. Generasi muda di Lamongan tidak
lagi tertarik bekerja sebagai petani yang mereka anggap akan
menurunkan status sosialnya. Bekerja sebagaia petani secara
matematis dalam pandangan mereka tidak sesuai dengan harapan.
Banyaknya biaya dan tenaga yang harus dikeluarkan untuk bertani
serta minimnya hasil yang didapat ketika musim panen.
Menyebabkan masyarakat Lamongan memutuskan untuk merantau
dengan memilih profesi selain petani. Kondisi alam yang tandus
serta dorongan yang kuat untuk meninggalkan kampung halaman,
baik itu karena alasan gengsi ataupun menganggur guna mencari
penghidupan yang lebih baik. Menjadi salah satu alasan yang
menyebabkan perilaku merantau masyarakat Lamongan.
Jakarta sebagai kota metropolitan merupakan daerah
perkotaan besar dalam segi pembangunan ekonomi dengan letak
yang tak jauh dari Kabupaten Lamongan. Sarana dan prasarana di
Jakarta lebih baik dibandingkan dengan Lamongan. Lapangan
pekerjaan dikota terbesar di Indonesia ini juga sangat beragam.
Tergantung kemampuan dan skill yang dimiliki oleh masyarakat
migran dalam menentukan pekerjaannya. Mata pencaharian
penduduk kota Jakarta yang identik dengan non pertanian menjadi
pertimbangan utama masyarakat Lamongan yang tidak tertarik
bekerja sebagai petani. Tidak berhubungan atau atau mahluk hidup,
melainkan banyak bergaul dengan benda mati maupun mesin29
.
Kondisi tersebut memungkinkan para pemuda yang merantau ke
Jakarta beranggapan bahwa kehidupan di Jakarta akan lebih baik
daripada di Lamongan. Pemuda yang merantau ke Jakarta bekerja
dalam berbagai macam sektor perekonomian. Tergantung dari
kemampuan serta keterampilan yang mereka miliki.
29 Ruslan Prawiro, Kependudukan: Teori dan Fakta (Bandung: Alumni
1981), 165.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 149
2. Faktor Sosial Budaya
Membicarakan sebuah masyarakat tentu tidak dapat
dihindarkan dari pembicaraan mengenai sebuah kebudayaan. Kajian
antropologi pada sebuah masyarakat masih terfokus pada
masyarakat yang masih kuno. Sedangkan objek kajian masyarakat
modern lebih menjadi pembahasan sosiologi. Meskipun demikian
objek kajian antropologi terhadap perkembangan sebuah masyarakat
tidak melebihkan sosiologi.30
Dalam kehidupan suatu masyarakat,
sering terdengar kata budaya yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat setempat.
Kebudayaan identik dengan kajian antropologi yang
membahas tentang perkembangan kehidupan manusia yang berawal
dari taraf sederhana sampai ke perubahan dalam bentuk yang
kompleks. Auguste Comte,31
membagi perkembangan manusia
mengalami beberapa fase dalam kehidupannya sebagai berikut:
pertama tahap teologis yang merupakan ahap yang paling sederhana
dan dianggap bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan ghaib
diluar kemampuan manusia. Tahap ini masih bisa dikatakan sebagai
tahap yang tidak dapat dipakai dalam sebuah ilmu pengetahuan
modern. Contoh dalam kasus ini adalah ketika seorang sakit
dikaitkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan mistik.
Kedua tahap metafisik
30 Budiono Kusumohamidjojo. Filsafat Kebudayaan Proses Relasi Antara
Manusia, (Yogyakarta: Jalasutra 2009), 83 31 Auguste Comte merupakan sosiolog yang berasal dari Perancis dan
dianggap sebagai tokoh pendiri sosiologi. Karena memberikan nama pertama kali
dalam ilmu tersebut yaitu dari kata socius dan logos. Socius berarti teman atau
kawan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Meskipun dia tidak memberikan
penjelasan secara rinci tentang masalah-masalah apa yang terjadi dalam sosiologi. Tetapi dia mempunyai anggapan pokok bahwa sosiologi terdiri dari dua kata yakni
social statistic dan social dynamic. Kedua konsep tersebut merupakan pembagian
sosiologi yang sfiatnya pokok sekali. Lihat, Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 398.
150 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Tahap ini merupakan tahap peralihan dimana manusia masih
menghubungkan gejala sesuatu dengan hal-hal yang bersifat ghaib.
Namun tidak semua perkara didasarkan atas berlakunya sebuah
kekuatan ghaib karena manusia mulai menghubungkan dengan
sebab akibat. Sebagai contoh di Jawa ketika seseorang sakit dan
pergi ke dukun dikaitkan dengan kekuatan ghaib numun juga
dikaitkan dengan sebab akibat dengan menggunakan metode
penyebuhan alami dengan memanfaatkan tumbuhan untuk diramu
sebagai obat. Ketiga Tahap Positifis. Merupakan tahap dimana
manusia mulai menggunakan kajian ilmiah untuk memecahkan
suatu masalah. Tahap ini adalah tahap dimana ketika terjadi
perkembangan ilmu pengetahuan. Bilamana seseorang sakit, maka ia
akan pergi ke dokter dan diberi resep sesuai dengan aturan medis.
Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai dan sikap yang
diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui
usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam
pola-pola bahasa dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang
berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian
diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang yang
tinggal disuatu kawasan pada perkembangan teknis tertentu.
Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi
yang memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari.32
Perkembangan manusia dalam bentuk pmikiran dan
pengetahuan akan menyebabkan perkembangan suatu kebudayaan.
Perubahan pola perilaku yang berhubungan dengan kemampuan
serta pengetahuan manusi ketika menyikapi sebuah gejala sosial
yang ada. Sebab kemajuan pemikiran manusia atau masyarakat akan
32 Deddy Mulyana. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi
Dengan Orang-Orang Yang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005), 18.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 151
berpengaruh terhadap kebudayaannya.33
Termasuk dalam pola
kehidupan suatu masyarakat yang pada akhirnya menyebabkan
terjadinya perubahan perilaku sosial masyarakatnya.
Budaya materialisme yang kuat dan kompetisi yang tinggi
dalam bidang ekonomi merupakan faktor utama yang menyebabkan
masyarakat Lamongan memilih bekerja dengan meninggalkan
kampung halaman mereka. Para ibu-ibu terutama buruh tani akan
merasa bangga bilamana anak-anak mereka kerja di luar Lamongan.
Keluarga yang mempunyai anak remaja atau sudah dewasa dan tidak
menetap di kampung halamannya akan merasa bangga dengan
menceritakan keberhasilan anaknya perantauan. Meskipun
perkataan mereka tidak bias dibuktikan secara empiris dengan
adanya kepemilikian terhadap sesuatu.
Fenomena demikian menyebabkan para pemuda di Lamongan
untuk mengadu nasib dan berjuang keras di kota-kota besar. Mereka
yang telah suksess akan kembali ke kampung halamannya dalam
beberaapa kalai selama setahun dan memamerkan pencapaian
kekayaannya. Tindakan ini dilakukan untuk meningkatkan statsu
sosialnya di masyarakat terutama meningkatkan status ekonomi.
Diantara pencapaian masyarakat modern adalah kemampuannya
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengantarkan
manusia pada puncak peradabannya. Faktor modernisasi yag
mendekatkan manusia pada rasionalisasi sejatinya merupakan
bentuk kesadaran baru bagi manusia untuk melakukan moblitas
sosial.34
33 Perubahan kebudayaan yang dipicu oleh adanya discovery dan invention
mengikuti sebuah pandangan bahwa evolusi kebudayaan adalah sumber dari
perubahan kebudayaan. Lawannya adalah pandangan yang mengatakan bahwa difusionalisme yang meyakini bahwa suatu discovery dan invention tidak terjadi
dua kali. Melainkan hanya sekali dan menyebar kepada suatu masyarakat. Lihat
Budiono Kusumohamidjojo. Filsafat Kebudayaan Proses Relasi Antara Manusia
(Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 188. 34 Trianto. Dimensi Transedental dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta:
Lintas Pustaka Publisher, 2008), 109.
152 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Para pemuda yang telah suksess di daerah perantauan akan
menjadi pertimbangan sendiri keluarga di Lamongan. Khususnya
bagi kalangan ibu-ibu yang mempunyai anak gadis. Mereka bahkan
datang sendiri ke rumah pria untuk melamarkan anak gadisnya agar
dijadikan pendamping hidup. Pergeseran norma sosial yang
demikian kemudian memunculkan sebuah budaya baru di Lamongan
dalam adat pernikahan. Yakni perempuan melamar laki-laki, bila
ditolak oleh pihak laki-laki, maka keluarga tersebut secara tidak
langsung akan menurunkan status sosialnya di tengah masyarakat.
Dalam urusan mencari jodoh, prinsip bibit, bebet dan bobot
(kualitas fisik, kehartaan dan status) menjadi kriteria pokok.
Perkawinan dalam masyarakat Jawa biasanya sangat umum karena
ditentukan oleh status sosialnya. Kalangan priayi biasanya
menikahkan anaknya dengan sesama priayi. Mereka biasanya
mempunyai keengganan untuk menikahkan anaknya dengan
masyarakat yang berasal dari kelas bawah atau wong cilik.35
Seorang perantau yang jarang kembali ke kampung
halamannya akan mempunyai kebanggaan tersendiri. Meskipun
mereka tidak menuai suksess di perantauan Jakarta. Ketika seorang
pemuda tidak menuai suksess di perantauan, mereka akan
menceritakan pengalamannya secara mendalam kepada keluarga
atau tetangganya sebagai cara lain dalam meningkatkan status
sosialnya di kampung halaman. Para tentangga biasanya akan
menyambut dengan meriah bilamana ada seorang pemuda yang
selama beberapa tahun tidak pulang ke kampung halamannya.
Mereka akan memberikan sambutan yang antusias walaupun dalam
kenyataannya tidak mendapatkan apapun.
Kondisi yang demikian juga terjadi pada masyarakat
Minangkabau yang enggan untuk kembali ke kampung halamannya.
35 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,
Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1993), 186-187.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 153
Ketika mereka kembali ke kampung halamannya akan terasa
canggung. Sekarang badannya di kampung dan pikirannya di rantau.
Kampung halaman bagi mereka terasa sebagai sangkar dimana tidak
banyak hal yang mampu untuk dikerjakan dan maupun kesempatan
yang luas. Muhammad Amir, yang berasal dari Minangkabau
menyebutnya sebagai situasi psikologis “Minang complex” yang
berakar pada kehidupan sosial dan kebudayaan mereka. Mungkin
juga pada posisi yang lemah dari laki-laki dalam struktur
kekeluargaan matrilineal Minangkabau di mana merantau dijadikan
sebagai jalan keluarnya.36
Sementara seorang yang sering berinteraksi dengan
masyarakatnya cenderung dikesampingkan pergaulannya ditengah-
tengah masyarakat. Apapun tindakan yang mereka lakukan dalam
memberikan bantuan kepada tetangganya dianggap sebagai angin
lalu. Tidak memberikan dampak apapun seperti prestise yang
diterima oleh para perantau yang jarang kembali kekampung
halamannya. Pihak orang tua akan memberikan sambutan dan
simpati lebih kepada orang-orang yang telah lama merantau
dariapada yang berdiam diri di rumah. Norma dan nilai sosial
dianggap sesuatu yang tidak terlalu penting bagi sebagian besar
masyarakatnya.
Keluarga di Lamongan kebanyakan suka bergabung dan
membentuk kelompok dengan beberapa keluarga yang lebih suksess
di perantauan. Tindakan ini mereka lakukan agar anak-anak mereka
diajak kerja sama ataupun di pekerjakan ditempatnya di perantauan.
Sementara keluarga yang kondisi ekonominya kurang baik, lebih
cenderung dikesampigkan oleh kelompoknya. Sistem gotong royong
yang mereka berikan tidak bernilai apapun bila kondisi ekonominya
kurang baik atau sedang menempuh proses. Fenomena sosial yang
demikian kemudian memunculkan sebuah ungkapan diantara
36Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1984), 226.
154 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
masyarakat Lamongan “luweh abot duwit timbang dulur” yang
mempunyai makna lebih lebih mementingkan harta daripada
keluarga.37
Sebagai ekspresi kekecewaaan masyarakat yang merasa
dikesampingkan oleh beberapa keluarganya. Terbentuklah sebuah
ungkapan “wong liyo iso dadi dulur lan dulur iso dadi wong liyo”
peribahasa ini merupakan sebuah protes atau tanggapan atas
kekecewaan keluarga yang dikesampingkan oleh keluarga lainnya.38
Masyarakat yang termarjinalkan pada akhirnya bangkit dan
berusaha untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya di kota-kota
besar. Diantaranya adalah Jakarta yang menjadi tujuan utama
masyarakat Lamongan yang berusaha untuk memperbaiki kondisi
ekonomi dan meningkatkan status sosialnya.
Perjalanan Lamongan ke Jakarta yang tidak terlalu dekat dan
jauh melalui kereta api Surabaya Jakarta. Menjadikan Jakarta
sebagai sebuah magnet bagi masyarakat Lamongan dalam
mengekspresikan kemampuannya. Ruang gerak Jakarta yang lebih
luas dengan kontrol sosial yang longgar membuat masyarakat
Lamongan khususnya anak-anak muda menjadikannya
pertimbangan yang penting daripada Surabaya. Jakarta sebagai
sebuah kota terbesar di Indonesia secara tidak langsung akan
meningkatkan status dan gengsi bagi para penduduknya. Termasuk
bagi para kaum migran yang berasal dari Lamongan akan merasa
bangga bilamana bekerja di Jakarta.
Perspektif Max Weber lebih berguna, karena lebih terfokus
pada dimensi tindakan sosial. Penjelasan weber mengandung konsep
modernisasi, walaupun ia tidak menggunakan istilah tersebut.
Konsiderasi-konsiderasi yang dipersoalkan didapati dalam
bahasanya menganai pembangunan masyarakat. Dalam karya
Weber, pembangunan masyarakat secara kontinyu dapat dilihat
37 Wawancara dengan Kiswanto (Jakarta, Agustus 2015) 38 Wawancara dengan Adib (Lamongan Juli, 2015).
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 155
sebagai suatu perkembangan yang merupakan (peningkatan)
rasionalisasi dan kekecewaan (Entzauberung).39
Masyarakat kota yang tidak mempunyai kontrol sosial yang
kuat akan memberikan ruang gerak yang luas untuk
mengembangkan kreativitasnya. Generasi muda yang merasa
mempunyai banyak potensi akan memilih kota sebagai destinasi
utama dalam mengembangkan karirnya. Arnold Gehlen, seorang
antropolog dan filsuf Jerman, pernah mendefinisikan manusia
sebagai makhluk bebas lingkungan (Unwelt freies Wesen). Sifat
tersebut menyebabkan hubungan manusia bersifat labil.40
Tidak adanya sebuah keseimbangan antara generasi muda
dengan generasi tua terkadang menimbulkan sebuah konflik.
Menyikapi perubahan sosial kalangan orang tua merasa adanya
kemajuan terkadang bertentang dengan keraifan lokal yang ada.
Yakni menurunnya nilai-nilai sosial dan berkurangnya rasa gotong-
royong dengan pudarnya nilai sosial diantara warganya. Perubahan
sosial tidak selamanya menuju kearah progress namun juga kearah
regress disertai menurunnya kesetiaan pada nilai-nilai sosial
masyarakat.
Upaya yang dilakukan oleh orang tua adalah bersikap
konservatif dengan melindungi generasi muda dari pengaruh-
pengaruh luar. Kelompok anak muda yang melek dengan teknologi
bersikap lebih moderat dan tidak menganggap perubahan sosial
sebagai gajala yang mengarah pada sesuatu yang bersifat regress.
Guna menengahi adanya perspektif yang berbeda antara generasi
39 Mustafa O. Attir, Burkart Holzner dan Zhedek Suda, Directions of
Change: Modernization Theory, Research, and Realities (Colorado: Westview
Press, 1981). Diterjemahkan oleh. Hartono Hadikusumo,Sosiologi Modernisasi: Telaah Kritis Tentang Teori, Riset dan Realitas (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989),
184-185. 40 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES,
1988), 142.
156 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
muda dengan kalangan orang tua. Diperlukan mediasi yang akan
memberikan sebuah perspeltif diantara kedua belah pihak.
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan faktor utama penyebab terjadinya
migrasi yang mendukung setiap masyarakat untuk mengadu nasib di
daerah lain guna mencari penghidupan yang lebih layak. Sosiologi
memamdang ekonomi merupakan bagian integral dari masyarakat41
Istilah komunitas mengalami perkembangan pesat semenjak abad
ke-14 yang awalnya digunakan untuk menunjuk pada suatu
kelompok tertentu. Pada abad ke-16 komunitas telah mengandung
makna “kesamaan” dalam identitas atau ciri-ciri yang dimiliki oleh
sekelompok orang. Kelompok yang memiliki minat yang sama
dalam sebuah komunitas dinamakan dengan istilah community of
interest. Pada abad ke-18 istilah ini digunakan untuk menunjuk
suatu unit tempat tinggal tertentu.42
Pembagian kerja dan pertukaran merupakan merupakan dua
fenomena yang membawakan ahli ekonomi menjadi
menyombongkan sifat sosial dan ilmu pengetahuannya. Durkheim
mengkritik Tonnies tentang konsep geselleschaft yang
memperlakukan masyarakat dengan teori utilitariansime sebagai
sebuah timbunan atom yang bebas tanpa sebuah ikatan yang hanya
merupakan sebuah kesatuan bilamama terikat sepanjang adanya
pengaruh eksteren.43
Kehidupan masyarakat pedesaan pada dasarnya masih
bergantung dengan mengelola alam. Tanah dan sarana irigasi
41 Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), 46. 42 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), 141. 43 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis
Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Uinversitas Indonesia,
2007), 278.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 157
merupakan instrument pokok bagi kontinuitas kehidupan
masyarakat pedesaan. Kajian mengenai pola kehidupan masyarakat
desa merupakan bagian integral dari cabang ilmu sosiologi
pedesaaan.44
Sistem mata pencaharian hidup masyarakat desa
identik dengan mengolah tanah yang mereka manfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika masyarakat holtikultura
mengelola ladang dalam skala kecil, maka masyarakat agraris
mengelolanya dalam skala besar dengan menggunakan teknologi
canggih dan alat pembajak.45
Mayoritas model ekologi pedesaan
Jawa memandang tingkat kepadatan penduduk desa tegalan lebih
rendah daripada persawahan. Karena rendahnnya akses mereka pada
sumber air bersih yang mengakibatkan rendahnya produktivitas
pertanian.46
Perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam
penggunaan alat-alat modern dapat meningkatkan produktivitas
pertanian dan efisiensi waktu.47
Kesadaran petani akan penggunaan
teknologi mendorong mereka untuk berkompetisi dalam
memasarkan komoditinya di pasar.48
Pengertian desa secara umum lebih sering diidentikan dengan
kehidupan masyarakat yang hidup secara bercocok tanam atau
44 Sosiologi pedesaan dalam perpspektif John M. Gillette (1922: 6) adalah
cabang ilmu sosiologi yang secara sistematik mempelajari komunitas-komunitas
pedesaan guna mengungkapkan kondisi-kondisi serta kecenderungan-kecenderungannya dan merumuskan prinsip-prinsip kemajuan. Sedangkan menurut
Dwight Sanderson (1942: 10), sosiologi pedesaan adalah sosiologi tentang
kehidupan dalam lingkungan pedesaan. Lihat, Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 12-13.
45 Syamsir Salam, Mengerti Sosiologi Pengantar Memahami Konsep-Konsep Sosiologi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 40.
46 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009), 37.
47 Ashok Parthasarathi, “Rural Industrialisation Programme: Looking at Khadi and Village Industries Commission,” Economic and Political Weekly, Vol.
40, No. 44/45 (Oct. 29 - Nov. 4, 2005), 4763-4767. 48 Ashok Parthasarathi, “Rural Industrialisation Programme: Looking at
Khadi and Village Industries Commission,” Economic and Political Weekly, Vol.
40, No. 44/45 (Oct. 29 - Nov. 4, 2005), 4763-4767.
158 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
pertanian. Egon E. Bergel (1955: 121), mendefinisikan desa sebagai
kehidupan dan pemukiman yang dihuni oleh petani (peasant).49 Pola
kehidupan masyarakat desa pra-modernisasi masih bersifat
tradisional dengan menggunakan peralatan sederhana. Aktivitas
sehari-hari identik dengan mengolah alam yang masih
menitiberatkan pada penggunaan alat-alat tradisional. Penduduk
desa yang masih melestarikan lingkungan akan menjaga alamnya
secara baik. Beberapa daerah pedesaan bahkan enggan menggunakan
bahan-bahan kimia yang mereka anggap akan merusak lingkungan.
Pola kehidupan gemeinschaft tidak menjadi acuan utama
dalam kehidupan masyarakat desa. Pada beberapa macam aspek,
masyarakat desa tidak menjujung lagi adat istiadat yang terikat
pada sistem kehidupan masyarakat yang hidup sevara paguyuban.
Perubahan sosial yang berawal dari inovasi tidak selamanya
memebawa pada progress. Perbaikan tidak selamanya menyebabkan
adanya sebuah kemajuan yang membawa pada perbaikan sistem.
Pada sisi lain terjadinya regresi yang menyababkan berkurangnya
ikatan sosial diantara masyarakat desa.
Keterbatasan lahan pertanian disertai dengan pertumbuhan
pendudukan yang tinggi pada akhirnya akan memaksa manusia
untuk mencari sebuah solusi. Transisi penggunaan tenaga manusia
dengan menggunakan tenaga mesin pada akhirnya akan
menyebabkan pengangguran dimana-mana. Terbatasnya lahan
pertanian pada akhirnya akan menyebabkan petani beralih pekerjaan
dengan menjadi buruh.50
Kompetisi ekonomi yang terjadi pada masyarakat Lamongan
merubah sistem mata pencaharian penduduknya. Kelompok pemuda
49 Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2010), 29. 50 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,
2006), 10.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 159
dalam sebuah masyarakat desa tidak lagi meminati mata
pencaharian sebagai petani. Fenomena sosial yang demikian pada
akhirnya membawa implikasi terhadap minimnya tenaga kerja
dalam sektor agraris. Reifikasi sosial masyarakat Lamongan
merupakan indikasi bahwa achieved status diimplementasikan
dalam motivasi ekonomi. Teori migrasi didorong oleh keharusan
akumulasi kapitalis dengan bidang yang menyertainya menjadi
kepemilikan untuk menegaskan kembali kebutuhan mereka, Sebagai
platform untuk mungkin lebih eksplorasi eksperimental instansiasi
orang miskin di kehidupan perkotaan.51
Bagi masyarakat Lamongan, sistem mata pencaharian dengan
menggantungkan diri dari alam dianggap sebagai sebuah pekerjaan
yang tidak menjanjikan. Sementara hasil yang dinikmati tidak sama
dengan banyaknya biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk
mencukupi modal dalam melaksanakan kegiatan pertanian. Banyak
diantara masyarakat Lamongan yang kemudian enggan bekerja
sebagai seorang petani. Pemuda yang awalnya menggantungkan diri
dengan pertanian kemudian banyak yang memilih pekerjaan lain di
kota-kota besar seperti Jakarta.52
Perubahan sosial dengan beralihnya mata pencaharian
sebagian masyarakat Lamongan menyebabkan para petani
kekurangan tenaga untuk menggarap sawahnya. Fenomena sosial
tersebut terjadi ketika memasuki musim tanam dan musim panen.
Seorang petani merasa minder terhadap saudagar-saudagar yang
terdapat dari kota-kota besar apalagi dengan seorang pegawai atau
pamong praja, atau seorang guru serta pejabat-pejabat lainnya. Jika
petani mempunyai komoditas pertanian dalam jumlah lebih, mereka
akan menyekolahkan anak-anaknya untuk menjadi seorang guru
51 Abdou Maliq Simone, “The Urban Poor and Their Ambivalent
Exceptionalities Some Notes from Jakarta,” Current Anthropology on behalf of University of Chicago Press Wenner-Gren Foundation for Anthropological Research, Vol. 56, No. S11, ( October 2015), S15-S23.
52 Wawancara dengan Masdi (Lamongan 2104).
160 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
atau seorang pegawai negeri. Pola ini memberikan gambaran kepada
bahwa mobilitas sosial diatas merupakan upaya untuk menjauhi
pertanian dan sedapat mungkin bertautan dengan kota dan
pemerintah.53
Implementasi dari penyaduran nilai-nilai baru dalam
masyarakat pada akhirnya akan merubah sistem tatanan sosial
masyarakat Lamongan. Sistem perekonomian yang menjadi bagian
dari sebuah masyarakat dalam menjalankan pola kehidupannya akan
menerima dampak dari adanya perubahan sosial. Petani dan nelayan
sebagai sebuah pekerjaan masyarakat desa tidak selamanya menjadi
instrument utama untuk melangsungkan kehidupan.
Penyaduran nilai-nilai baru suatu masyarakat akan
memberikan imbas bagi berbagai aspek kehidupan yang diawali
dengan perubahan sistem mata pencaharian hidup. Oleh karena itu,
masyarakat pascra tradisional banyak yang berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan yang tidak identik dengan alam. Masyarakat
Lamongan yang pada awalnya didominasi oleh kalangan nelayan
dan petani tidak selamanya mempertahankan sistem mata
pencaharian yang demikian.
Genarasi muda pada saat ini enggan untuk meneruskan
pekerjaan orang tua mereka sebagai petani. Dominasi kehidupan
modern yang menuntut perbaikan penampilan hidup adalah faktor
utama yang menyebabkan masyarakat Lamongan enggan bekerja
sebagai petani atau nelayan. Mereka memutuskan bekerja di
berbagai macam sektor di perkotaan besar seperti Jakarta dan
sebagainya.54
Terbatasnya jumlah tenaga kerja yang menyebabkan para
petani di Lamongan kemudian mendatangkan tenaga kerja dari
daerah lain. Pada pihak lain, sistem kekerabatan masyarakat
53Niels Murder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1984), 61. 54 Wawancara dengan Suhud (Lamongan 2015).
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 161
pedesaan yang lebih mengutamakan masyarakat setempat membawa
dampak berupa masyarakat enggan untuk mendatangkan tenaga
kerja dari luar. Modernisasi yang menjadi gerakan global tidak
hanya melanda kehidupan masyarakat perkotaan yang megalami
perubahan progress. Dampak modernisasi terhadap seluruh aspek
kehidupan masyarakat kota telah menyebar pada masyarakat
pedesaan. Lingkungan yang jauh dari pusat-pusat modernitas tidak
selamanya menghambat kemajuan yang dicapai oleh masyarakat
desa. Beberapa kasus menunjukan pada dasa warsa terakhir
menunjukan tidak adanya distingisi yang jelas untuk membedakan
eksistentsi kehidupan masyarakat desa dengan kota.
Menurut Comte, ada tiga factor yang dapat menyebabkan
terjadinya perubahan sosial. Pertama rasa bosan yang berkaitan
dengan hierarki kebutuhan manusia. Kedua usia yaitu jika usia
manusia meningkat, maka kekuatan konservatifnya akan meningkat,
semakin berpengaruh dan memperlambat laju perubahan. Ketiga
demografi atau peningkatan jumlah penduduk.55
Evolusi sosio
kulural meliputi seluruh komponen dalam suatu masyarakat yang
mana perubahan awal tersebut diakibatkan oleh adanya perubahan
sisitem yang diwali oleh satu komponen yang berdampak pada
komponen yang lain.56
Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah
anggota suatu budaya dan penerima pesan adalah anggota budaya
lainnya dan budaya mempengaruhi orang ketika sedang
55 Ujianto Singgih Prayitno, Perubahan Sosial : Dinamika Perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Pusat
Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI Gedung
Nusantara I Lt. 2 bersama Publica Press, 2014), 27. 56 Stephen K Sanderson, Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 64-65.
162 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
berkomunikasi.57
Marx materialisme sejarah. Tipologi masyarakat
Marx didasrkan pada penelusuran perbedaan-perbedaan progresif
dari dari pembagian kerja. Sebagaimana dinyatakan olehnya dalam
Naskah-naskah 1844, maka perluasan pembagian kerja itu sama
artinya dengan pertumbuhan keterasingan dan pertumbuhan
kepemilikan pribadi.58
Solanki (2007), menitiberatkan pelatihan dalam sebuah
cluster mungkin terorganisir dengan asosiasi pemerintah lokal di
setiap cluster untuk memeberikan kontribusi dalam pembangunan
ekonomi pedesaan.59
Secara ringkas kota dipahami sebagai wilayah
yang mempunyai fungsi sosial yang kompleks, terdiri dari berbagai
suku bangsa yang disertai dengan adanya system pembagian kerja
secara jelas.60
Homogenitas sistem mata pencaharian digunakan
sebagai instrument utama penduduk desa dalam aktivitas mata
pecahariannya.
Emile Durkheim menyatakan bahwa solidaritas mekanik
merupakan ikatan sosial yang dikonstruk oleh sekelompok
masyarakat yang mempunyai kesamaan kerja. Sistem mata
pencaharian masyarakat desa yang homogen dijadikan landasan
pokok dalam membangun sebuah solidaritas yang kokoh. Rasa
empati dan kepekaan sosial yang tinggi diimplementasikan oleh
masyarakat desa dalam bentuk gotong royong dan sebuah konsensus
yang mengikat warganya. Konstruk teori yang dikemukakan oleh
Emile Durkheim termasuk dalam kategori paradigam fakta sosial.
57 Deddy Mulyana, dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya:
Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang yang Berbeda Budaya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 20.
58 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis karya-karya Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), 29. 59 S. S. Solanki, “Sustainability Of Rural Artisans,” Economic And Political
Weekly, Vol. 43, No. 19 (May 10 - 16, 2008), 24-27. 60 Cucu Nurhayati, Sosiologi Perkotaan (Tangerang Selatan: UIN Jakarta
Press, 2013), 7.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 163
Masyarakat terbentuk bukan sekedar karena adanya kontak sosial,
melainkan atas dasar kesadaran kelompok (collective
consciousness).61
B. Fase Migrasi Masyarakat Lamongan ke Jakarta
Sejarah pertama kali migrasi masyarakat Lamongan ke
Jakarat belum diketahui secara pasti. Dari beberapa sumber
khususnya yang berasal dari informan. Peneliti berusaha untuk
menguraikan sejarah awal mula migrasi masyarakat Lamongan ke
Jakarta yang terjadi sejak kemerdekaan Indonesia. Terdapat
beberapa fase yang diterangkan oleh para informan khususnya
orang-orang tua di Lamongan untuk menjelaskan sejarah migrasi
masyarakat Lamongan ke Jakarta.
Fenomena merantau masyarakat Lamongan secara massif
terjadi sekitar tahun 1965 ketika kondisi di Jawa Timur khususnya
Lamongan tidak lagi aman. Warga desa yang didominasi oleh
kalangan petani banyak yang menjadi target dari Partai Komunis
Indonesia atau PKI. Merasa daerah mereka kurang aman, para
anggota masyarakat Lamongan ini kemudian pergi meninggalkan
kampung halaman mereka. Destinasi utama masyarakat Lamongan
kala itu adalah kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan
Semarang.
Generasi enam lima ini dalam merantau masih terbatas pada
pulau Jawa dan kota-kota besar di Jawa. Belum berekspansi ke kota-
kota besar di luar pulau Jawa seperti Pontoanak, Palembang, Medan,
Makassar, Manado, dan sebagainya. Wilayah rantau mereka masih
terkonsentrasi di pulau Jawa dan belum menyasar wilayah di luar
pulau Jawa.
61 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta
Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 17.
164 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Salah seorang tokoh masyarakat Lamongan menuturkan
bahwa kondisi Lamongan di kala itu masih belum kondusif.
Kalangan abangan yang didominasi oleh kalangan petani banyak
yang memberikan simpati kepada kaum Komunis. Sementara
kalangan santri banyak yang memilih jalan untuk berkonfrontasi
dengan kalompok partai komunis. Lebih lanjut Masdi salah seorang
tokoh masyarakat yang peneliti wawancarai menuturkan bahwa
masyarakat Lamongan dikala itu terpecah menjadi dua kelompok
yang menolak dan mendukung partai komunis.62
Kelompok masyarakat yang mendukung partia komunis akan
cenderung patuh dan menuruti ajakan yang disampaikan oleh
pimpinan mereka. Diantaranya adalah dengan memasang stiker BTI
atau Barisan Tani Indonesia yang berlambangkan palu arit di setiap
pintu rumahnya. Tindakan ini mereka lakukan sebagai bentuk
kesetiaan kepada partai yang mereka anggap mampu untuk
memberikan kesejahteraan kepada mereka. Masyarakat abangan
yang didominasi petani dan nelayan adalah pendukung setia PKI
pada masa itu. Kehidupan yang susah dan rendahnya kualitas hidup
serta kepemilikian kekayaan atas beberapa kelompok adalah
motivasti utama kelompok ini cenderung memilih bekerjasam
dengan PKI.
Marwan salah seorang sesepuh yang peneliti temui
menuturkan bahwa PKI adalah kelompok yang menginginkan
terciptanya kepemilikan terhadap sesuatu secara merata. Oleh
karena itu, mereka memilih jalan berkonfrontasi dengan kalangan
masyarakat yang dianggap menguasai sektor perekonomian
khususnya orang-orang kaya yang mempunyai kekayaan lebih.
Dalam menjalankan aksinya, kelompok masyarakat komunis masuk
dalam berbagai macam sektor.63
62 Wawancara dengan Masdi (Lamongan, Agustus 2015). 63 Wawancara dengan Marwan (Lamongan, Juli 2014).
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 165
Berbeda dengan kelopok masyarakat abangan. Santri
merupakan kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan tindakan
yang dilakukan oleh partai komunis. Konfrontrasi dengan partai
komunis dianggap sebagai cara yang paling tepat dalam
menruntuhkan partai komunis. Kalangan masyarakat santri
tradisional di Lamongan banyak yang memahami PKI sebagai
sebuah ideologi yang dapat mengancam kebebasan beragama.
Kemampuan kiai dalam memiliki asset seperti sawah, tambak dan
sebagainya yang menjadi simbolisasi kekayaan oleh kaum komunis.
Dapat menjadi terancam ketika orang-orang komunis berkuasa dan
menjadikan kepemilikan pribadi secara kolektif.
Wariman menuturkan kelompok komunis dianggap tidak
memberikan kesempatan dalam mengembangkan ekonomi
masyarakatnya. Lebih lanjut, tindakan kepemilikan kolektif
masyarakat komunis mereka anggap sebagai bentuk ancaman
ekonomi. Tokoh masyarakat khususnya kalangan kiai yang
mempunyai lahan dan tambak yang luas akan melakukan protes atas
kepemilikan kolektif. Setiap masyarkat dibolehkan memiliki sesuatu
asalkan didapatkan dengan cara yang halal dan tidak melangggar
norma-norma agama.
Masyarakat Lamongan yang tidak menolak atau mendukung
partai lebih cenderung meninggalkan kampung halaman mereka
sendiri. Beberapa diantara mereka bahkan mengajak sanak
saudaranya untuk hijrah dari Lamongan menuju ke kota-kota besar
lainnya di Pulau Jawa. Tindakan ini mereka lakukan untuk
menghindari kekaucauan politik yang melanda kampung-kampung
mereka. Kota sebagai sebuah tempat yang aman untuk menghindari
kekacauan politik. Situasi yang terjadi pada tahun 1960-an
membuat kondisi yang tidak aman di Lamongan pada akhirnya
harus memaksa penduduknya beramai-ramai meninggalkan
kampung halaman mereka.
166 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Penduduk yang tidak mau meninggalkan kampung halaman
mereka kebanyakan memutuskan berkumpul di rumah kepala desa
ataupun kiai. Menjelang sore atau malam hari, mereka secara
beramai-ramai pergi meninggalkan rumah mereka dan menuju ke
rumah kepala desa atau kiai. Salah seorang saksi sejarah enam lima.
Sumi menuturkan bahwa masyarakat Lamongan kala itu dicekam
dengan ketakutan mendalam yang membuat mereka melakukan
aktivitas ekonomi secara bersama-sama. Ketika seorang santri
melintasi desa yang banyak didominasi oleh kalangan abangan.
Mereka akan membawa sebuah parang sebagai bentuk penjagaan
diri atas orang-orang komunis.
Lebih lanjut, Sumi menuturkan Djuraimi membawa sebuah
pedang ketika menjemput istrinya yang tinggal di kampung yang
didominasi oleh masyarakat abangan. Tindakan ini dilakukan
sebagai bentuk ancaman terhada orang-orang yang berafiliasi pada
partai komunis. Lebih lanjut Choirul Huda menuturkan bahwa
ketika menjadi santri. Banyak mayat-mayat yang mengapung di
sekitaran Bengawan Solo Langitan Tuban serta Babat Lamongan.
Peristiwa yang demikian merupakan puncak kondusifitas
masyarakat Lamongan yang tidak lagi aman.
Gelombang merantau masyarakat Lamongan yang kedua
terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an ketika situasi di Lamongan
sudah mulai kondusif. Masyarakat Lamongan yang merantau ke
Jakarta pada tahun 1980-an dan 1990-an banyak yang bekerja
sebagai kuli bangunan dan serabutan. Pada masa itu tidak terlalu
susah untuk mencari pekerjaan. Sukiman adalah salah seorang
perantau Lamongan ke Jakarta generasi 1980-an. Awalnya ia
merantau karena ajakan temannya yang terlebih dahulu bekerja
sebagai kuli kontrak di Cengkareng Jakarta Barat.
Pendidikan bagi generasi kedua ini dianggap tidak terlalu
diperhitungkan dalam dunia kerja. Mereka menyimpulkan bahwa
banyak pabrik-pabrik atau pengembang besar yang siap
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 167
menerimanya bekerja. Guna masuk kerja dalam perusahaan atau
kerja tetap. Diantaranya adalah Suhud yang pernah bekerja sebagai
kuli Ciputra yang pada awalnya diajak oleh temannya dari Sugio
Lamongan. Pria yang kini berusai sekitar 65 tahun ini kini menjadi
seorang petani dan menghabiskan masa tuanya di kampung
halamannya. Oleh karena itu, tidak semua orang Lamongan yang
merantau ke Jakarta menuai suksess sebagaimana harapan awal
mereka ketika merantau.
Rumilan merupakan contoh masyarakat migran yang pernah
tinggal di Jakarta dan tidak menuai suksess sebagaimana teman-
temannya.64
Kondisi sosial masyarakat Lamongan yang masih hidup
dalam kesederhanaan kala itu, tidak membuat kaum migran yang
berasal dari Lamongan merasa canggung untuk kembali ke daerah
asalnya. Masyarakat masih menerima orang-orang yang kembali
dengan baik. Tolok ukur keberhasilan di daerah perantauan tidak
menjadi pertimbangan yang penting. Bagi masyarakat Lamongan
yang bermigrasi ke Jakarta merasa tidak menjadikannya sebagai
problem karena masyarakat masih memegang nilai-nilai sosial yang
tidak membedakan status sosial dari aspek kekayaan semata.
Fase migrasi masyarakat Lamongan yang ketiga terjadi pada
tahun 1990-an yang mengawali migrasi secara massif. Motivasi
ekonomi adalah faktor kuat yang menyebabkan masyarakat
Lamongan bermigrasi ke Jakarta pada masa ini. Tekanan sosial
masyarakat mulai nampak pada masa 1990-an yang diawali dengan
semangat perbaikan dan peningkatan kualitas hidup. Dalam
pandangan mereka, mencari penghidupan yang layak tidak harus
menetap di kampung halamannya. Berdasarkan penuturan salah
seorang informan, Thohir yang pergi ke Jakarta sejak tahun 1994
awal mula merantau dikarenakan ingin memperbaiki kondisi
ekonomi. Jenis pekerjaan masyarakat Lamongan di Jakarta pada fase
ini masih tersebar pada bebarapa sector. Belum banyak masyarakat
64 Wawancara dengan Rumilan. (Lamongan, Agustus 2015).
168 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Lamongan yang membuka warung-warung sebagaimana yang
sekarang di setiap sudut kota Jakarta.
Kegiatan kewirausahaan masyarakat Lamongan masih
dijalankan oleh bebera orang Lamongan yang tertarik berjualan soto
dan pecel lele. Dari penuturan Thohir dapat disimpulkan bahwa fase
ketiga adalah fase peralihan masyarakat Lamongan dalam sistem
masyarakat Lamongan. Tidak hanya itu saja, kondisi sosial yang
terdapat di Lamongan juga mulai mengalami perubahan. Orang-
orang dikatakan suksess bilamana mampu memperbaiki kondisi
ekonominya di perantauan.
Fenomena perubahan sosial ini kemudian menyebabkan
sebagain besar masyarakat Lamongan yang bermigrasi ke Jakarta
lebih memilih menetap daripa kembali kekampungnya. Kondisi
kehidupan yang keras tidak menjadikan alasan bagi mereka untuk
menetap di Jakarta. Lestari adalah salah seorang yang merantau ke
Jakarta pada fase ini yang enggan kembali ke Lamongan. Regenerasi
dari lingkungan tertekan pada gilirannya menjadi strategi yang
diadopsi oleh kelompok yang kurang beruntung bergantung pada
pemberantasan perilaku dan gaya hidup dianggap bermasalah sosial
sebanyak sebagai anti sosial.65
Berbeda dengan beberapa fase sebelumnya. Gelombang
migrasi secara massif masyarakat Lamongan terjadi pada tahun
2000 sampai sekarang. Dalam konteks ini, laku rantau masyarakat
Lamongan tidak hanya dipengaruhi oleh motivasi ekonomi semata.
Perubahan sosial yang berdampak pada perilaku masyarakat
Lamongan pada akhirnya menyebabkan tradisi merantau
masyarakatnya menjadi sebuah budaya. Kehidupan materialisme
yang disertai dengan kompetisi ekonomi mebuat generasi muda di
Lamongan merasa tidak nyaman ketika dalam usia yang masih
65 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance
Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,
2007), 70.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 169
produktif tetap tinggal di kampungnya masing-masing. Tanpa
melanggar nilai-nilai dan norma-norma sosial, seorang pemuda akan
merasa malu dan tidak nyaman ketika glutek di kampungnya dalam
keadaan menganggur.
Norma-norma sosial berupa empati adalah sebuah kontrol
sosial secara laten yang mengikat semua warganya dalam bentuk
pengendalian perilaku sosial. Seorang dianggap menyimpang
bilamana mereka tidak memiliki kepedulian sosial terhadap warga
yang lain. Sanksi sosial yang diberikan oleh anggota masyarakat
lainnya adalah dalam bentuk rasa risih terhadap perilaku yang
dianggap tidak sesuai. Secara simbolik norma-norma sosial bentuk
aturan hukum yang bersifat memaksa warganya untuk patuh.
Tanpa adanya peraturan yang tertulis, anggota masyarakat
secara sukarela maupun terpaksa akan menyadari perannya masing-
masing. Sanksi sosial yang diberikan adalah bentuk pengucilan atau
rasa tidak nyaman dengan sikap yang tidak baik terhadap perilaku
yang menyimpang dari norma-norma sosial yang tidak tertulis.
Efektifitas sanksi dalam bentuk pengucilan dan tidak mau
menghargai satu sama lain terkadang lebih kuat daripada sanki
hukum dalam bentuk peraturan yang tertulis. Keberpatuhan yang
begitu kuat tidak lain karena masyarakat desa akan merasa malu dan
terkucil dari kelompoknya ketika mereka melanggar norma sosial.
Ketatnya norma sosial yang diberikan oleh anggota
masyarakat berupa kontrol sosial pada akhirnya menjadikan desa
sebagai penjara sosial bagi warganya. Rogers (1995), memfokuskan
kajiannya melalui kebijakan kesejahteraan negara termasuk pajak
progresif. Kota dianggap sebagai tempat bagi kaum migran untuk
menghindari pengucilan sosial yang terjadi pada masyarakat
pedesaan.66
Generasi muda yang lebih banyak berinteraksi dengan
66 Tony Manzi, Karen Lucas, Tony Lloyd-Jones and Judith Allen, Eds.
Social Sustainability in Urban Areas: Communities, Connectivity and the Urban Fabric, (London: Earthscan, 2010), 8.
170 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
dunia luar akan merasa tidak nyaman dengan begitu ketatnya
kehidupan masyarakat desa. Faktor yang disebabkan karena mereka
akan merasa terbatasi ruang geraknya. Anak-anak muda merasa
tidak bisa untuk mengembangkan kretifitasnya ketika menetap di
kampung halamannya. Tindakan yang mereka lakukan dengan
meninggalkan kampung halamannya dengan memilih berhijrah ke
kota-kota besar yang memberikan sebuah ruang gerak yang luas.
Masyarakat migran Lamongan generasi terakhir sangat
enggan untuk kembali kekampung halamnnya meskipun hidup
dalam kondisi perkonomian yang tidak baik di Jakarta. Mereka lebih
suka menghabiskan umurnya di kota-kota besar dengan bekerja
serabatan agar tetap bertahan hidup. Alasan utama mereka adalah
malu untuk kembali ke kampung halaman mereka. Ketatnya norma
sosial dan budaya materialisme yang melanda sebagian besar
masyarakat Lamongan menyebabkan para pemuda menjadikan
kampung halaman mereka sebagai penjara sosial. Mereka biasanya
kembali ke kampung halaman ketika memasuki usia empat puluh
tahun keatas dan memilih bekerja sebagai petani dan karyawan para
tengkulak. Adapun kelompok masyarakat yang gagal biasanya lebih
suka berdiam diri di rumah atau menetap di pesantren dari tiap-tiap
desa.
Ungkapan demikian kemudian banyak dimaknai oleh
kalangan orang tua dan anak-anak muda sebagai sebuah dorongan
untuk merantau ke daerah lainnya. Masyarakat selalu mengalami
perubahan dalam semua tingkatan kompleksitas internalnya. Pada
tingkatan makro terjadi perubahan ekonomi, politik dan kultur. Pada
tingkat mezzo terjadi perubahan kelompok, komunitas dan
organisasi. Pada tingkatan mikro terjadi perubahan interaksi dan
perilaku individual. Sebab masyarakat bukan hanya sekedar
kesatuan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait
bertingkat ganda. Pada masa dahulu fase lebih ditekankan pada
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 171
aspek sebab akibat dengan kini yang merupakan fase penyebab
perubahan fase berikutnya.67
Perubahan lingkungan telah menyebabkan adanya perubahan
dalam cara kerja antropologi. Ekspansi jalanan kebudayaan dapat
dilihat pada tiga tingkatan dimensinya yakni simbolik, evaluatif,
dan kognitif. Dimensi simbolik ditemukan dengan adanya berbagai
bentuk materi yang konkrit maupun abstrak yang menjadi tanda dari
adanya suatu nilai yang menunjukan sifat-sifat tertentu seperti
pakaian dan tempat tinggal dan praktik sosial. Dimensi evaluatif
lebih ditekankan dengan membangun sebuah nilai dan norma yang
berbeda dari yang berlaku secara umum. Dimensi kognitif dapat
dikaji dari penguasaan sistem pengetahuan dan cara pandang
kelompok yang membedakannya dengan kelompok yang lain.
Budaya jalanan bisa dikatakan sebagai budaya yang tumbuh dan
menyimpang dari induknya yang dianggap mapan sebagai pelepasan
diri dari budaya yang general.68
Orang tua di Lamongan lebih menyukai ketika setelah anak-
anak mereka lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) bekerja di luar
kampung halamannya daripada menetap di daerah asalnya. Mereka
mempunyai prestise yang tinggi pada keadaan dimana dalam usia
produktif masih menganggur. Fenomena yang demikian terjadi pada
sebagian besar masyarakat Lamongan yang menganggap bahwa
kondisi menganggur saat usia produktif merupakan sebuah aib bagi
keluarga. Kalangan orang tua merasa lebih terhormat ketika anak-
anaknya bekerja di luar kampung halamannya daripada bekerja di
kampung sendiri. Meskipun di luar kampung halamannya mereka
masih bekerja serabutan dalam berbagai sektor.
Bagi pemuda di Lamongan akan merasa malu bilamana tetap
tinggal di kampung halamannya meskipun tanpa melanggar norma-
67 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2004), 65. 68 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), 190.
172 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
norma sosial atau sebuah tindakan penyimpangan sosial. Kondisi
dalam keadaan menganggur diartikan sebagai aib atau tindakan
yang akan merendahkan harga diri keluarga. Mereka lebih memilih
memilih mengadu nasib di daerah lain daripada menganggur di
kampung halamannya. Mayoritas pemuda ketika lulus SMA atau
SMP lebih memilih mencari pekerjaan di berbagai sektor meskipun
tanpa disertai dengan perhitungan yang matang.
Struktur sosial bukan berubah karena pengaruh individu,
namun lebih ditekankan karena tuntutan dan kebutuhan sistem.
Konteks ini menjelaskan bahwa perubahan sosial terjadi bukan
karena orang mengingkarinya, melainkan karena evolusi.69
Pada
abad ke-19 mulai ada perhatian terhadap kemajuan kebudayaan
manusia. Evolusi kebudayaan merupakan perubahan kebudayaan di
dunia dari bentuk-bentuk sederhana menuju perubahan yang lebih
kompleks.70
Perubahan sosial masyarakat desa pada masa ini adalah
konsekuensi yang harus diterima karena kemajuan zaman yang
mengharuskan seseorang pemuda memiliki gengsi yang tinggi. Bisa
dikatakan bahwa masa ini merupakan masa dimana seorang pemuda
tidak lagi memelihara sapi atau kambing serta menghabiskan
umurnya disawah. Pekerjaan yang erat hubungannya dengan alam
tidak lagi menjadi sebuah hal yang diminati oleh masyarakat.
Perasaan bahwa kerja yang demikian merupakan sebuah kerja yang
akan menurunkan status seseorang pada masyarakat modern.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah
69 Pip Jones, Introducing Social Theory. Diterjemahkan, Pengantar Teori-
teori Sosial dari Teori Fungsionalisme Hingga Postmodernisme (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2010), 68. 70 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta: Uinversitas
Indonesia Press, 2010), 89.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 173
satu faktor yang harus diperhatikan dalam mampengaruhi proses
perubahan sosial.71
Globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang mengharuskan
orang untuk mengatur strategi bertahan hidup (survival srategy) dan
strategi pengumpulan kekayaan (accumulative strategy) bagi
berbagai kelompok dalam masyarakat sebagaimana yang dijelaskan
Featherstone, (1991) dan Hannerz (1996). Fenomena ini kemudian
menyebabkan perubahan karakter masyarakat desa dengan
melemahnya ikatan-ikatan tradisional. Peranan individu dalam
pengambilan keputusan lebih besar dibandingkan dengan peranan
institusi sosial.72
Perkembangan masyarakat merupakan hasil
interaksi yang produktif antara manusia dengan alam.73
Ada tiga
faktor yang mempengaruhi perubahan sosial, yaitu:74
a. Tekanan kerja dalam masyarakat
b. Keefektifan komunikasi
c. Perubahan lingkungan alam
Perubahan sosial dihubungkan dengan aktor individual yang
menunjukan bagaimana variable-variabel mikro mempengaruhi
variable makro. Hernes, (1976), menyatakan perubahan yang terjadi
dalam struktur sosial dalam kurun waktu tertentu yang meliputi
beberapa unsur. Termasuk interkasi antar individu dengan
71 Ujianto Singgih Prayitno, Perubahan Sosial: Dinamika Perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Pusat
Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI Gedung Nusantara I Lt. 2 bersama Publica Press, 2014), 40.
72 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 165.
73 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis karya-karya Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), 43. 74 Beni Ahmad Sebani, Pengantar Antropologi (Bandung: Pustaka Setia,
2012), 181.
174 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
kelompoknya.75
Perubahan sosial selanjutnya terjadi dengan
munculnya kelas menengah di kota-kota yang terdiri dari golongan
intelektual, pedagang, dan wirausaha. Golongan menengah
kebanyakan memusatkan perhatiannya pada masalah ekonomi dan
politik.76
Immanuel Castell dan Daniel Bell merupakan pionir dalam
teori perkembangan informasi masyarakat. Bell (1977) menekankan
indikasi utama dalam perkembangan masyarakat pasca industrial
adalah penemuan alat-alat yang mempercepat arus informasi.
Castell (1996) menekankan perkembangan informasi ditandai oleh
adanya kebudayaan virtual riil, yaitu sebuah sistem yang terangkum
dalam dunia maya. Perubahan ini kemudian menyebabkan sebuah
perubahan sikap dan perilaku suatu masyarakat.77
Ketika usia remaja para pemuda banyak yang merantau
keberbagai kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung, Palembang, Medan, Pontianak, Makassar dan sebagainya.
Para pemuda yang merantau kekota-kota besar seperti Jakarta dan
Surabaya kebanyakan karena ajakan dari teman ataupun sanak
saudara yang lebih dulu merantau. Namun ada juga yang merantau
karena inisiatif sendiri untuk mencari penghidupan yang lebih layak
atau sekedar ingin meninggalkan kampung halamannya. Tidak
semua masyarakat Lamongan yang pergi merantau menuai
kesuksesan. Banyak pula diantara mereka yang gagal dengan masih
bekerja sebagai tenaga kasar seperti kuli bangunan ataupun buruh
pabrik di perusahaan-perusahaan milik orang Cina. Namun mereka
75 Ujianto Singgih Prayitno, Perubahan Sosial : Dinamika Perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Pusat
Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI Gedung
Nusantara I Lt. 2 bersama Publica Press, 2014), 22. 76 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta, 1999), 26. 77 Rahma Sugiharti, Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial
Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2014), 39.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 175
masih lebih suka mencari penghidupan di daerah di kota-kota besar
daripada di daerah sendiri. Dengan banyaknya para pemuda yang
pergi merantau maka akan jarang ditemui pemuda di Lamongan,
khususnya di daerah pedesaan.
Sebagian besar pemuda di Lamongan lebih banyak memilih
merantau daripada melanjutkan pendidikan. Masyarakat Lamongan
beranggapan tidak akan menuai suksess bilaman tidak merantau.
Dalam pandangan sebagian masyarakatnya. Seorang anak ketika
memasuki usia remaja akan merasa malu ketika menganggur dan
tetap berada dikampung halamannya. Meskipun mereka tidak
melakukan tindakan penyimpangan sosial.
Masyarakat Lamongan menilai keberhasilan atau kualitas
keilmuan seseorang bukan ditentukan dari mana mereka belajar di
perguruan tinggi. Melainkan dari kesuksesan mereka dalam
mengumpulkan kekayaan di daerah perantauan. Tolok ukur
keberhasilan tersebut dibuktikan dengan membangun rumah,
membeli sawah, dan membeli sebuah mobil. Adanya perspektif
demikianlah yang menyebabkan pemuda termotivasi untuk memilih
bekerja dari pada melanjutkan belajar ke perguruan tinggi.78
Tanpa bekal keterampilan yang cukup pemuda di Lamongan
mempunyai semangat yang tinggi untuk hijrah meninggalkan
kampung halaman. Di Jakarta, mereka belajar secara otodidak
dengan mengawali karir dari bawah, yakni dengan ikut orang
terlebih dahulu sebelum membuka usaha sendiri. Masyarakat
Lamongan cenderung meremehkan seorang yang belajar sampai
perguruan tinggi yang tidak memiliki keterampilan. Sebab banyak
para pemuda yang tak melanjutkan pendidikannya mampu
bekompetsis dengan anak-anak lulusan perguruan tinggi terutama
dalam kewirausahaan. Faktor inilah yang kemudian menjadikan para
pemuda lebih memilih untuk mencari rizki dari pada mencari ilmu.
78 Wawancara dengan Lukman (Jakarta, April 2014).
176 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Sebagian pemuda, merantau memiliki makna tersendiri yakni
meningkan gengsi diantara pemuda lain dalam masyarakat. Sebab
mereka tidak berada dikampung halaman dalam keadaan
menganggur dan terlepas dari kontrol sosial masyarakatnya.
Meskipun dalam faktanya, mereka banyak bekerja sebagai tanaga
kasar ataupun kembali kekampung halaman dengan tidak membawa
hasil. Seiring dengan perkembangan zaman yang lebih maju serta
tuntutan untuk bersaing dalam dunia kerja. Mulai terdapat perantau
yang bertujuan untuk menimba ilmu pengetahuan di berbagai
macam perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang terdapat
di Jakarta. Para pemuda yang melanjutkan pendidikannya biasanya
memilih perguruan tinggi yang mengajarkan skill atau keterampilan
yang mereka butuhkan dalam dunia kerja. Namun perantau masih
didimonasi oleh para pemuda yang bekerja dalam berbagai sektor
dari pada belajar ke perguruan tinggi.
C. Konstruksi Entrepreneurship
Masyarakat Lamongan sebagaimana masyarakat Jawa pada
umumnya terdiri dari golongan wong cilik, wong sugih, wong pinter
dan wong pangkat. Klasifikasi yang demikian menyebabkan adanya
kemajemukan dalam kehidupan masyarakat Lamongan. Bukan
dalam pembagian sistem keagamaan masyarakatnya. Diferensiasi
sosial dalam suatu masyarakat ditentukan bukan karena tingkatan
strata atau status. Heterogenitas sistem pembagian pada masyarakat
majemuk tidak menyebabkan suatu masyarakat mengalami
fragmentasi dalam sistem kehidupan mereka. Mayoritas masyarakat
Jawa lebih menyukai pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil yang
mereka anggap mampu untuk meningkatkan status sosialnya.
Pegawai Negeri Sipil merupakan pekerjaan yang menjadi
kebanggaan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Status
seseorang secara horizontal dalam masyarakat Jawa terbagi menjadi
tiga golongan, yakni: wong cilik, wong sugih, wong pinter dan wong
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 177
pangkat. Masyarakat Jawa yang merantau keluar pulau Jawa karena
ingin bekerja sebagai pegawai pemerinthanan yang dianggap mampu
untuk meningkatkan status sosialnya. Keluarga pada masyarakat
Jawa bahkan rela menjual harta bendanya agar anak-anak mereka
diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pembiayaan
perjalanan dan keperluan selama menjalani tes agar menjadi
pegawai negeri sipil senantiasa disiapkan. Fenomena sosial
menunjukan masyarakat Jawa banyak yang mendominisi pekerjaan
dalam eselon maupun pemerintahan.
Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat atau Davidsson (1995), masyarakat Lamongan
kurang tertarik untuk bekerja dalam sektor pemerintahan.79
Kebudayaan priayi ini pernah mewarnai perjalanan masyarakat
Lamongan dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat ini, kebudayaan
tersebut mulai luntur dan kurang digemari sebagain besar
masyarakat Lamongan. Guna mendeskripsikan pola kehidupan
masyarakat Jawa tidak bisa digeneralisir. Sebab masyarakat Jawa
mempunyai kebudayaan yang berlaku secara heterogen. Yakni tidak
semuanya tertarik bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Motivasi
bergdagang yang tinggi adalah diantara faktor yang membuat
masyarakat Lamongan memutuskan untuk membuka usaha.
Penjelasan terbentuknya kewirausahaan masyarakat Lamongan
dalam kasus tersebut sesuai dengan teori tingkah laku
kewirausahaan dikemukakan oleh Mc Clelland (1961).80
Konsep makan tidak makan yang penting ngumupul bertolak
belakang dengan realita yang terjadi pada masyarakar Lamongan
pada saat ini. Orang tua di Lamongan yang tidak mempunyai
kemampuan membiayai anaknya untuk melanjutkan pendidikan
akan menyuruh anak-anaknya keluar dari kampung halamannya
79 Wawancara dengan Masdi (Lamongan 2014). 80 Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:
Gunung Djati Press, 1999), 34.
178 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
guna mengadu nasib di daerah lain. Tindakan ini dilakukan agar
anak-anak muda mereka tidak glutek atau menetap di kampung
halamannya yang mereka anggap tidak akan memberikan banyak
pembelajaran. Bagi orang tua di Lamongan pengalaman di daerah
perantauan adalah pengetahuan yang berharga.
Orang tua menjadikan tindakan anaknya yang tidak keluar
dari kampung halamannya sebagai beban mental. Masyarakat yang
anak-anaknya pergi merantau akan memberikan penilaian kurang
baik terhadap anak-anak muda yang masih berdiam diri di rumah
mereka masing-masing. Orang tua menyuruh anaknya belajar dalam
menjalankan usaha bukan dari sekolah atau perguruan tinggi.
Melainkan dari pengalamannya ikut berdagang masyarakat
Lamongan yang telah terlebih dahulu suksess. Jenis usaha yang
dijalankan oleh masyarakat Lamongan di Jakarta pada sektor
informal kelas kaki lima. Umumnya usaha yang dikelola adalah
warung dengan membuka soto dan pecel lele yang menjadi makanan
khas Lamongan.
Sikap memilih terhadap latar belakang keluarga yang
mengajak kerja sama menjadi pertimbangan yang sangat penting
bagi masyarakat Lamongan.81
Seorang keluarga bahkan rela anaknya
menganggur daripada ikut keluarga yang memaksanya bekerja keras
namun tidak diperhatikan. Sikap dikesampingkan menjadi
pertimbangan penting bagi masyarakat Lamongan dalam
mengikutkan sanak keluarganya di perantauan. Masyarakat
Lamongan sangat selektif dalam memilih orang yang akan
mempekerjaan anak-anak mereka. Hubungan kekeluargaan mereka
bisa renggang bilamana anak-anakanya ditelantarkan namun dipaksa
untuk bekerja keras.
Masyarakat Lamongan senantiasa membentuk sebuah pola
ikatan dengan kelurga jauh atau orang yang berasal dari luar desa
mereka. Pola sosial yang demikian dianggap sebagai sebuah
81 Wawancara dengan Marwan (Lamongan, 2014).
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 179
tindakan agar tidak menjatuhkan posisi keluarga di hadapan
keluarga yang lain. Yakni tidak menjadikan anak-anak mereka
sebagai buruh pada keluarga yang telah suksess terlebih dahulu.
Mitra dagang dan teman menjalankan usaha lebih disukai
masyarakat Lamongan daripada menjadikan anaknya sebagai
seorang buruh pada keluarga yang lain.
Cara mendidik anak-anak agar menjadi wirausahawan suksess
senantiasa dilakukan oleh masyarakat Lamongan dengan
menyuruhnya bekerja di warung-warung terlebih dahulu. Mereka
tidak suka jika anak-anak mereka bekerja di pabrik atau sebagai
pegawai toko biasa. Kalangan orang tua mempunyai sebuah
kesimpulan ketika anak-anak mereka bekerja pada warung orang-
orang Lamongan. Pak Tosin merupakan orang tua yang menyuruh
anaknya untuk bekerja ikut orang dalam bidang kuliner. Beliau
mengungkapkan “nek anaku kerja na pabrik gurong tentu iso gawe
pabrik, nek anaku kerja melu bakol soto. Mene iso buka usaha
dewe”. Ungkapan ini mempunyai sebuah arti ketika anak saya
bekerja di pabrik, belum tentu bisa mendirikan pabrik.82
Namun
ketika anak saya bekerja di warung maka suatu saat ia akan bisa
mendirikan usaha sendiri. Harapan membuka usaha sendiri dengan
pembelajaran di perantauan adalah sebuah tindakan yang dilakukan
oleh masyarakat Lamongan.
Setelah mengetahui seluk beluk dalam menjalankan usaha
kuliner, mereka akan memisahkan diri dengan atasannya dan
memilih membuka usaha sendiri. Suliyanto misalnya yang
merupakan salah seorang pedagang Soto Lamongan di kawasan
Jakarta Pusat mendapatkan pengalaman manajemen berwirausaha
selama ikut pedagang Lamongan yang lain di kota Kembang
Bandung. Selama menjadi karyawan, Suliyanto senantiasa belajar
manajemen dan cara memasak soto dan pecel lele Lamongan di
warung milik atasannya. Beberapa tahun setelah lama bekerja dan
82 Wawancara dengan bpk Tosin (Lamongan, 2014).
180 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
memahami konsep-konsep dalam menjalankan usahanya serta sikap
merasa teralienasi. Suliyanto akhirnya membuka usaha sendiri agar
bisa bebas dan leluasa dalam bekerja.83
Pergeseran sosial yang demikian merupakan sebuah fase
peralihan dalam konstruk sistem mata pencaharian penduduknya.
Anak-anak muda cenderung memaknai masa sekarang ini sebagai
sebuah masa ketika seorang tidak bekerja dengan menggembala sapi
atau kambing serta mencari ikan di laut. Kota sebagai sebuah sarana
yang mereka harapkan mampu untuk mengembangkan potensinya
dimasa depan. Mengolah hasil bumi dan laut, yakni ayam dan ikan
yang menjadi menu utama warung-warung Lamongan di Jakarta.
Mengolah bahan mentah menjadi masakan siap saji bagi
sebagian besar anak Lamongan adalah bentuk pekerjaan yang
mereka gemari. Tanpa dibekali dengan keterampilan memasak yang
memadai. Masyarakat Lamongan mampu untuk mendirikan usaha
warung-warung kaki lima dengan tenda khas Lamongan. Salah
seorang warga Lamongan yang telah enam tahun berjualan pecel lele
dan soto Lamongan menuturkan bahwa ia hanyalah lulusan SMP
dan tidak mempunyai keterampilan dalam bidang memasak atau
memasarkan barang.
Suliyanto menuturkan bahwa pengalaman membuatnya
mempunyai kemampuan berjualan soto Lamongan di sekitaran pasar
senen Jakarta Pusat. Baginya pengalaman merupakan sekolah untuk
kalangan orang-orang yang mengalami keterbatasan dana untuk
melanjutkan jenjang pendidikanya. Ajis seorang pedagang soto
Lamongan di Cengkareng Jakarta Barat menuturkan. Para pemuda
di Lamongan yang tidak mampu untuk melanjutkan jenjang
pendidikannya akhirnya banyak yang memutuskan untuk berjualan
soto dan pecel lele. Kondisi yang demikian sebagai sarana dalam
menerobos untuk memperbaiki kehidupan ekonomi.84
83 Wawancara dengan Suliyanto (Jakarta, Agustus 2015). 84 Wawancara dengan Ajiz (Lamongan, Agustus 2015).
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 181
Pedagang soto dan pecel lele Lamongan tidaklah di dominasi
oleh kalangan santri sebagimana dalam penelitian Clifford Geertz di
Mojokuto. Masyarakt Lamongan meyakini konsep berdagang bukan
karena latar belakang sosial keagamaan.85
Arif, seorang wirausaha
Lamongan di Pesanggrahan Jakarta Selatan. Pria paruh baya ini
telah berjualan dari tahun 1989 dan memulai usaha bersama istrinya.
Setiap manusia pada dasarnya mempunyai kesempatan yang
sama menjadi wirausaha tergantung keuletan dan tanggung
jawabnya. Menurut Arif, tidak berkah bilamana seorang santri yang
seharusnya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat
malah memilih berjulan soto dan pecel lele. Lebih lanjut ia
menuturkan “pernah suatu ketika keluarga saya yang lulusan
pesantren dan perguruan tinggi meninggalkan posisinya sebagai
ustad dan memilih berjualan soto dan pecel lele. Namun apa yang
terjadi justru kehidupannya berantakan. Sehingga ia sowan ke kiai
dan diberi nasehat agar kembali mengajar lagi. Sebab tidak baik
bagi seorang ustad bilamana meninggalkan tugasnya mengajar di
masyarakat malah memilih berjualan soto dan pecel lele.”86
Konsep kewajiban dan tanggung jawab sosial menurut Talcott
Parsons adalah dengan menjalankan tugas sesuai dengan peran
masing-masing. Individu merupakan bagian dari komponen
masyarakat yang bekerja sesuai dengan perannya. Masyarakat
muslim abangan bertugas untuk mengelola tanah dan menjalankan
ekonomi. Santri yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas
diaharapkan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Sementara priayi yang mempunyai tugas mengatur pemerintahan
mempunyai peranan untuk memperbaiki kondisi sosial suatu
masyarakat.
85 Wawancara dengan Arif (Jakarta, November 2015). 86 Petikan wawancara dengan Arif (Jakarta, September 2015).
182 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
1. Latar Belakang Berwirausaha
Keberhasilan bisnis orang Cina di perantauan Asia Tenggara
memberikan sebuah pemahaman apakah peranan nilai-nilai dan
budaya serta struktur sosial memberikan pengaruh terhadap perilaku
berwirausaha mereka. Seperti halnya catatan kinerja negara-negara
Asia Timur dengan warisan budaya Konfusius yang digambarkan
memberikan pengaruh pada budaya berwirausaha masyarakat Cina.
Orang Cina lebih berwatak wirausaha dibandingkan dengan
penduduk pribumi Asia Tenggara pada umumnya.87
Godelier (1996),
menyatakan perubahan lanskap masyarakat yang berasal dari agraris
menjadi masyarakat yang berorientasi pada pasar dengan
pertimbangan rasionalisasi yang berbeda dan logika yang berbeda.88
Pekerjaan dalam bidang kewiraswastaan berkaitan dengan
penggabungan antara sumber-sumber baik yang berupa benda
maupun bukan kedalam kombinasi baru yang menguntungkan.89
Problem yang sering dihadapi oleh wirausaha dari desa adalah sering
terlantar dan kekurangan modal dalam menjalankan usahanya.90
Kaum Cina Asia Tenggara terutama sekali, menghadapi tekanan
besar yang ditentukan karena dua faktor: kepercayaan internasioanal
terhadap xinyong (kepercayaan) seperti perakat yang mengikat
transaski perdagangan, dan guanxi (hubungan pribadi) sebagai alat
untuk mereduksi biaya transaksi dalam bisnis yang dilakukan dalam
87 Robert W. Hefner, Eds. Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam
Kapitalisme Asia Baru (Jakarta: PT. Pustakan LP3ES, 2000), 179. 88 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), 176. 89 Norman Long, An Introduction to the Sociology of Rural Development
(London: Tavistock Publication Limited, 1977). Diterjemahkan oleh, Tim
Penerjemah Bina Aksara, Pengantar Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: PT
Bina Aksara, 1987), 175. 90 S. S. Solanki, “Sustainability of Rural Artisans,” Economic and Political
Weekly, Vol. 43, No. 19 (May 10 - 16, 2008), 24-27.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 183
berbagai situasi di mana perlindungan hukum untuk pelaksanaann
kontrak sering tidak dapat diandalkan.91
Warisan budaya pada suatu masyarakat terkadang
memberikan pengaruh bagi individu yang ada di dalamnya.
Kewirausahaan masyarakat Cina misalnya dikarenakan warisan
budaya yang mengkonstruk perilaku berwirausaha mereka. Budaya
berbasis malu mengarahkan warganya pada dimensi sosial dari
keberhasilan dan kegagalan menjalankan usaha. Peningkatan status
seseorang ditentukan keberhasilan atau kegagagalan menjalankan
usaha. Masyarkat Cina lebih bersifat kolektif dan mengenali
keanggotaan kelompoknya. Mereka merasa bangga ketika berhasil
menjalankan usaha. Kecenderungan dipandang sebagai generalisasi
untuk masyarakat kolektif Cina seperti di Asia Timur yang berbeda
dengan masyarakat Barat yang individualis.92
Masyarakat Wajo
misalnya berhasil dalam mengembangkan usaha antara lain sebagai
berikut:93
a. Peranan agama yang dianut oleh masyarakat Bugis Wajo
(Islam) yang berintegrasi dengan sistem budaya
Panngaderreng, memberi pedoman dalam bertindak dalam
menjalankan motivasi berwirausaha. Karena mereka
berpandangan bahwa bumi dan langit diciptakan Tuhan
sebagai sumber rejeki bagi mahluknya.
91 Robert W. Hefner, Eds. Market Cultures, Society and Morality in the
new Asian Capitalism (Colorado: Westview Press, 1998). Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru (Jakarta: PT. Pustakan
LP3ES, 2000), 181. 92 Thomas M. Begley and Wee-Liang Tan, “The Socio-Cultural
Environment for Entrepreneurship: A Comparison between East Asian and Anglo-
Saxon Countries,” Journal of International Business Studies, Vol. 32, No. 3 (2001),
537-553. 93 Darwis Abdullah, Agama, Budaya dan Masyarakat: Ikhtisar Laporan
Hasil-hasil Penelitian (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1980),
143-144.
184 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
b. Peranan ekonomi yang diberikan sejarah kepada orang Bugis
Wajo semenjak Puang ri Manggalluntung abad 15 sampai
dewasa ini.
c. Peranan lembaga yang demokratis dalam pelapisan
masyarakat Bugis Wajo, baik zaman pemerintahan swapraja
atau masa pemerintahan otonomi daerah yang memungkinkan
mobilitas sosial secara vertikal dan horizontal.
d. Kekayaan alam “Tana Wajo” relatif kaya sebagai anugerah
tuhan sebagai pulaung untuk berkembang.
e. Peran warisan kebudayaan “Triwangsa” Yakni Battempola,
Talotenreng, dan Tua yang diakui oleh orang Bugis Wajo
dalam membentuk watak perilaku berwirausaha mereka.
Masyarakat Lamongan yang mewarisi budaya priayi masih
menjadikannya sebagai sebuah pedoman untuk meningkatkan status
sosialnya.94
Berbeda dengan masyarakat Cina, pencapaian status
masyarakat Jawa ditentukan oleh posisi mereka pada sebuah
instansi pemrintahan atau perusahaan. Budaya berdasarkan strata
sosial pada sebuah instansi inilah yang menyebabkan masyarakat
Jawa berorientasi kerja pada posisi sosial. Bukan pada akumulasi
kekayaan sebagaimana masyarakat Barat dan Cina. Meskipun
kebudayaan ini mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat
Lamongan.
Kewirausahaan masyarakat Lamongan terbentuk bukan
karena faktor budaya priayi. Motivasi berprestasi individu menjadi
faktor utama yang menyebabkan masyarakat Lamongan
berwirausaha untuk menjadi saudagar yang suksess. Konsep
kontruksi kewirausahaan masyarakat Lamongan sesuai dengan etos
kerja Weber, Schumpeter serta Mc Clelland. Menurut mereka
94 Wawancara dengan Edi Purwanto warga Lamongan yang migrasi dan
bekerja sebagai Pegawai Negeri,(Singkawang, April 2013).
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 185
motivasi berprestasi merupakan faktor pendorong berkembangnya
suatu masyarakat.
Bentuk koreksi yang diberikan oleh masyarakat Lamongan
terhadap sebuah sistem kebudayaan yang telah lama ada adalah
dengan membangun sebuah usaha kecil yang memungkinkan mereka
akan terbebas dari alienasi. Kekebasan dalam berekspresi dalam
menikmati hidup merupakan motivasi yang pada awalnya hanya
dimiliki oleh sekelopok individu masyarakat Lamongan.95
Proses
dialektikan yang demikian kemudian menyebar kepada kalangan
luas seiring dengan pencapaian-pencapaian dalam ekonomi.
Masyarakatnya yang mempunyai kesadaran secara consensus
mempengaruhi mereka untuk mendirikan sebuah usaha.
Implementasi dari sebuah consensus ini merupakan bagian dari
adanya difusi dari beberapa masyarakat Lamongan yang berdiaspora
ke berbagai wilayah dikota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
William Oughburn berpendapat bahwa perubahan sosial disebabkan
karena kondisi primer seperti geografis, ekonomis dan sebagainya.96
Perubahan kebudayaan disebabkan banyaknya tradisi dan
bentrokan antara tradisi yang satu dengan lainnya. Benturan antara
sebuah tradisi telah banyak dikaji oleh para pakar antropolog dan
sosiolog. Cepat atau lambat sebuah tradisi akan mengalami
perubahan yang disebabkan oleh fragmen-fragmen masa lalu yang
disahkan menjadi tradisi bila berbenturan dengan realitas dan
ditunjukan sebagai sesuatu yang tidak berguna.97
Masyarakat modern atau post-industrial mengalami
perubahan sosial bukan hanya dipicu oleh adanya modal
kapitalisme. Melainkan dipengaruhi oleh dominannya ilmu
pengetahuan, pendidikan dan adanya revolusi teknologi informasi
95 Wawancara dengan Fatoni (Lamongan, Juli 2015). 96 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 202), 306. 97 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2004), 73.
186 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
yang kemudian melahirkan kapitalisme dalam sebuah masyarakat.98
Suatu perubahan terhadap pandangan kerja akan berdampak pada
perubahan terhadap pandangan belajar.99
Weber berusaha untuk menonjolkan daya tarik yang
berdasarkan pemilihan (Wahlverwandschaft) antara Calvinisme atau
tepatnya antara jenis-jenis tertentu dengan kepercayaan-
kepercayaan Calvinisme dengan etika ekonomi dan kegiatan
kapitalisme modern. Segi yang menojol dalam karya tersebut adalah
adanya upaya untuk menonjolkan sebuah rasionalisasi kehidupan
ekonomi. Hal ini menunjuk pada sebuah hubungan kausal untuk
menjadikan sebuah sebab-akibat.100
Sistem komunikasi verbal dan
nonverbal membedakan antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya. Budaya memberikan identitas terhadap kelompok yang
akan membedakan dengan kelompok lainnya.101
Budaya reaktif bersifat entrovert, kelompok budaya reaktif
bersifat mendengar sebelum mereka bertindak. Mereka dikenal
sebagai pendengar yang baik dan kemudian memutuskan untuk
menjalankan aksinya sendiri. Budaya reaktif dapat ditemukan di
Jepang, Cina, Taiwan, Singapura, Turki dan Finlandia.102
Setiap
orang mempunyai suatu sistem pengetahuan dari budayanya berupa
realitas yang tak pernah dipersoalkan lagi (Schutz, 1970). Realitas
ini menyediakan skema interpretatif bagi seseorang untuk
98 Rahma Sugiharti, Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial
Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2014), 59. 99 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES,
1988), 267. 100 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis
Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Universitas Indonesia,
2007), 162. 101 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya:
Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang yang Berbeda Budaya (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2005), 58. 102 Richard D. Lewis, Komunikasi Bisnis Lintas Budaya (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2005), 42.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 187
menafsirkan tindakannya dan tindakan orang lain. Sistem makna
kultural antara lain merupakan aturan budaya (cultural rules) dan
tema nilai (value themes).103
Ciputra (2009), mengemukakan fakta bahwa kebanyakan
generasi muda Indonesia tidak dibesarkan dalam budaya
entrepreneur. Melainkan dalam budaya pegawai atau pekerja.
Mereka lahir dari kalangan pegawai negeri, petani, nelayan, buruh,
hingga pekerja serabutan. Entrepreneurship tidak ada dalam
pendidikan keluarga, tidak mengherankan jika setelah dewasa
mereka memiliki pola pikir mencari kerja dan tidak dalam pola
menciptakan lapangan kerja.
Aspek pendidikan yang rendah tidak menjadi hambatan bagi
masyarakat Lamongan untuk berwirausaha. Wirausahawan yang
berasal dari Lamongan mungkin bisa dikatakan tidak mempunyai
keahlian dalam bidang entrepreneur sebelum mengelola usahanya.
Sebagai masyarakat yang berasal dari sebuah pedesaan yang belum
maju di Jawa Timur. Masyarakat Lamongan mempunyai insting
yang kuat untuk berwirausaha. Tradisi entrepreneur yang berasal
dari pedesaan juga terjadi pada masyarakat di berbagai daerah
seperti Cina, Solo, Madura dan tentu saja Padang. Oleh karena itu,
pengalaman dalam menjalankan usaha secara implementasi bisa
dikatakan sebagai bentuk pendidikan entrepreneur secara aksi dan
otodidiak. Yakni menjalanakan bisnis hanya dengan bermodalkan
kemauan serta ketekunan untuk berhadapan dengan berbagai macam
resiko yang tidak pasti.
Pendidikan entrepreneur masyarakat pedesaan bisa dikatakan
kontras dengan pendidikan entrenpeneur yang sedang diterapkan
oleh pranata pendidikan yang hanya berorentasi pada bisnis dengan
membuka usaha. Masyarakat Lamongan yang berasal dari kampung
103 Deddy Mulyana, dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya:
Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang yang Berbeda Budaya (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2005), 178-179.
188 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
di Jawa Timur mampu untuk melawan mitos dengan merubah
kebiasaan lama. Bahkan mereka berjualan pecel lele yang mana bagi
sebagian besar masyarakat Lamongan adalah hewan yang mereka
keramatkan karena telah berjasa dalam menyelematkan tokoh-tokoh
Lamongan.
Budaya mitos atau pengkeramatan pada sesuatu masih terjadi
pada berbagai kalangan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Sebagai perumpamaan adalah bagi masyarakat Kudus maupun
Bromo Probolinggo yang mengkeramatkan sapi. Meskipun Kudus
mempunyai aspek keislaman yang kuat, kota ini bisa dikatakan
reformis Islam kurang berhasil dalam meperbaiki sistem
kepercayaan masyarakat Kudus. Banyak praktek peninggalan Hindu
yang sampai saat ini masih dijalankan oleh sebagian besar
masyarakat Kudus. Diantaranya adalah mereka tidak menyembelih
sapi bagi sebagian besar masyarakat Kudus bagian barat.104
Sapi
adalah hewan yang mereka keramatkan sehingga tidak mereka
konsumsi apalagi untuk keuntungan ekonomis sebagaimana
masyarakat Lamongan pada umumnya. Masyarakat Lamongan yang
sebagian besar didominasi oleh kalangan masyarakat Jawa tidak
menggantungkan mata pencahariannya dengan bekerja pada sebuah
instansi pemerintahan dan perusahaan sebagaimana mayoritas
masyarakat Jawa pada umumnya.
Selama melakukan research, peneliti mengkalisifikasikan
wirausaha masyarakat Lamongan menurut strata pendidikannya.
Pedagang soto Lamongan yang berusia empat puluh tahun keatas
kebanyakan didominasi oleh lulusan Madrasah. Sementara pedagang
yang berusia dibawah empat puluh tahun mempunyai pendidikan
SMA. Mereka lebih memilih bekerja dariapada melanjutkan jenjang
104 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The
Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait,
Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 102.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 189
pendidikannya. Masyarakat Lamongan lulusan SMA tidak
mempunyai akses untuk masuk dalam dunia kerja yang menuntut
ijazah sarjana.
Tingkat pendidikan yang rendah disertai dengan keterbatasan
untuk melanjutkan ke-jenjang yang lebih tinggi. Merupakan diantara
variabel yang berpenagruh dalam membentuk perilaku
kewirausahaan masyarakat Lamongan. Terbatasnya akses memilih
pekerjaan formal pada akhirnya memaksa mereka untuk bekerja
pada sektor non-formal. Sektor kuliner menjadi pilihan bagi
beberapa warga yang bermigrasi ke kota-kota besar.
Selama menjadi karyawan, masyarakat Lamongan senantiasa
belajar kepada majikannya sebagai sebuah pengalaman baru di
daerah urban. Konsep “dodolan kaleh sinau” yang bermakna bekerja
sambil belajar senantiasa diterapkan oleh masyarakat Lamongan
yang saat ini telah membuka usaha sendiri.105
Orientasi
menghimpun kekayaan bukanlah motivasi utama bagi masyarakat
Lamongan sebelum membuka usaha sendiri. Mereka umumnya lebih
berorientasi pada menjalankan usaha sebagai bekal pengetahuan
untuk mengetahui seluk-beluk berwirausaha. Sebagai seorang yang
telah membuka usaha selama lima tahun, Rofiq tidak serta merta
menjadikan merantau sebagai motivasi utamanya dalam
mengumpulkan kekayaan. Pengalamannya bekerja pada warung
Lamongan di Jakarta Timur telah menjadikannya sebagai seorang
wirausaha kelas kaki lima.106
Dalam beberapa kasus, peneliti menemui penjual soto yang
tendanya bertuliskan Lamongan yang tidak hanya dijalankan oleh
orang Lamongan. Namun orang yang berasal dari luar Lamongan
seperti Solo di sekitaran Stasiun Pasar Senen Jakarta Pusat. Pada
awalnya masyarakat Lamongan memakai identitas bukan Lamongan
105 Wawancara dengan Khozin (Lamongan, November 2014). 106 Wawancara dengan Rofiq, pengusaha pecel lele di Pondok Labu
(November 2015).
190 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
sebagaimana yang terjadi pada penjual soto Lamongan yang berada
di Jalan Sumenep Jakarta.107
Pedagang soto yang demikian
kebanyakan di dominasi oleh kalangan orang tua yang mempunyai
usia diatas empat puluh tahun. Yakni generasi pedagang yang hijrah
ke Jakarta sebelum tahun 2000. Pemilihan lokasi merupakan
pertimbangan yang penting dalam menjalankan usaha.108
Trotoar
dan emperan rumah adalah tempat yang menjadi tujuan masyarakat
Lamongan dalam menjalankan usahanya.
Surabaya pada masa itu merupakan kota yang menjadi ikon
Jawa Timur dan menjadi kebaggaan sebagain besar masyarakatnya.
Pedagang Lamongan memakai identitas Surabaya dikarenakan lebih
familiar dan mudah untuk dikenal oleh sebagian besar masyarakat
Jakarta. Sehingga trend soto Surabaya pada tahun 2000-an masih
mendominasi Jakarta khususnya di sekitaran jalan-jalan besar yang
dipadati oleh banyak kendaraan bermotor.
Generasi pedagang tahun 2010 keatas lebih cenderung
menggunakan identitas Lamongan sebagai nilai jual yang mereka
anggap lebih familiar. Mereka pada umumnya anak-anak yang hanya
lulusan SMA dan tidak mempunyai peluang yang besar untuk masuk
dalam dunia kerja secara formal. Sehingga mereka kemudian
membuka usaha sendiri dengan teman-teman di perantauannya. Hal
ini dikarenakan Lamongan sudah menjadi kota yang mulai
berkembang dan tersohor di Indonesia. Era ini dimulai dengan
kepemimpinan Masfuk yang menjabat sebagai bupati di Lamongan.
Berkat tangan dinginnya dalam mengembangkan Persela yang
merupakan tim sepak bola kebanggaan masyarakat Lamongan.
Dengan seringnya Persela mengikuti sepak bola dan masuk
media nasional. Kepercayaan diri di kalanagn pemuda masyarakat
107 Kisah Soto Lamongan 'menaklukkan' Jakarta
file:///D:/ENTREPRENEURSHIP/LAMONGAN/Kisah%20Soto%20Lamongan%2
0'menaklukkan'%20Jakarta%20-%20BBC%20Indonesia.htm 108 Franky Slamet, Hetty Tunjungsari dan Mei Le, Dasar-dasar
Kewirausahaan: Teori dan Praktik (Jakarta: PT Indeks, 2014), 128.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 191
Lamongan meningkat dan menjadi sebuah kebanggaan tersendri
bagi warganya. Para pemuda Lamongan kemudian banyak
menjalankan usahanya dengan memakai identitas Lamongan.
Bahkan diantara mereka terdapat sebuah warung tenda khas
Lamongan yang memberikan nama warung LA yang berasal dari
singkatan supporter Lamongan LA Mania yang berarti Lamongan
Asli.109
Kefanatikan para pemuda masyarakat Lamongan dalam tim
sepak bola. Diantara mereka kemudian ada yang menjalankan
warung dengan memakai nama identitas Joko Tingkir yang konon
menjadi ikon supporter Lamongan.110
Dalam kompetisi sepak bola
pernah terjadi bentrok antara tim Lamongan dengan Surabaya yang
mengakibatkan lima supporter Surabaya tewas.
Banyak pedagang Lamongan di Surabaya khususnya warung-
warung yang memakai identitas Lamongan dirazia oleh kelompok
supporter Surabaya Bonek yang dalam akronim Jawa berarti berarti
bondo nekat atau modal nekat. Kejadian ini berlangsung pada tahun
2011 ketika peneliti masih kuliah di Surabaya. Pedagang-pedang
yang memakai nama Lamongan dirusak oleh kalangan supporter
Surabaya sebagai bentuk protes atas tewasnya supporter Persebaya.
Bahkan peneliti banyak menjumpai poster atau spanduk-spanduk
yang berisi profokasi terhadap orang Lamongan.
Salah seorang penjual soto asal Glagah Lamongan yang
membuka warung di Nginden Semolowaru beberapa bulan tidak
memakai atribut Lamongan ketika kejadian ini. Di sekitar rumah
sakit Dr Soetomo Surabaya seorang ibu yang berjualan bakso dan
soto Lamongan mengalami razia dan pencoretan kata-kata
Lamongan di warungnya.111
109 Wawancara dengan Adib (Lamongan Agustus, 2015). 110 Wawancara dengan pedagang soto Lamongan (Jakarta, Januari, 2016). 111 Wawancara dengan Rokan (Surabaya sekitar 2011).
192 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Kejadian yang demikian justru membuat para pemuda malah
enggan untuk memakai nama identitas Surabaya sebagai nama yang
menjual dalam menjalankan usahanya kulinernya. Peneliti dalam hal
ini tidak menjadikan fenomena protes yang dilakukan oleh supporter
Surabaya sebagai faktor utama yang membuat pemuda Lamongan
enggan untuk memakai nama Surabaya. Sebab Surabaya masih
menjadi kota number one di Jawa Timur dan pusat perekonomian di
Indonesia timur.
Proses dialektika yang seperti ini kemudian merubah
kebiasaan orang Lamongan yang awalnya bekerja sebagai tenaga
kerja menjadi pencipta lapangan kerja. Dengan merubah sistem
kultur lama, mereka bekerja di kota besar dengan mendirikan usaha
atau membuka lapangan pekerjaan. Masyarakat pedesaan
kebanyakan cenderung mengajarkan banyak hal kepada anak
turunnya sesuai dengan pengalaman yang pernah mereka alami.
Sebagaimana dalam bidang pengelolaan tanah dan sesuatu yang
berhubungan dengan masalah etika dan moralitas. Para ahli ilmu
sosial sampai sekarang banyak yang sependapat bahwa kualitas
manusia tidak hanya diukur dengan keilmuan dan keahlian semata.
Tetapi juga dari kualitas moral dan dan kepribadian untuk
mengembangkan kehidupan.112
Terjadi sebuah pergeseran antara kehidupan masyarakat
Lamongan pada dekade 80-an dengan yang terjadi sekarang. Pada
masa dekade 80-an sebagian besar mereka datang ke kota dengan
memlih bekerja sebagai buruh. Sedangkan pada masa ini mulai
bergeser menjadi seorang pedagang soto Lamongan yang tersebar
hampir di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Peneliti dalam hal
ini tidak hanya menjumpai soto Lamongan di Jawa saja. Melainkan
di Kalimantan dan Sumatera bahkan sampai Papua. Kondisi yang
112 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia
(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 37.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 193
demikian tergolong sebagai sesuatu yang unik ketika mereka
berangkat dengan modal nekat dalam bahasa Jawa bondo nekat.
Masyarakat Lamongan yang mengkeramatkan ikan lele yang
dianggap sangat berjasa dalam menyelematkan adipati Surajaya
malah memilih berjualan pecel lele. Kasus ini menunjukan bahwa
mitos hewan yang dikeramatkan tidak lagi menjadi sebuah nilai
yang ditaati oleh warganya. Berbeda degan masyarakat Tengger di
Probolinggo atau Kudus yang tidak menyembelih sapi dikarenakan
alasan ketaatan pada leluhur mereka. Masyarakat Lamongan justru
mementingkan sisi ekonomis bila dibandingkan dengan sisi mistis.
Terjadi sebuah dialektika antara unsur mistis dan dengan nilai-nilai
ekonomis. Modernisasi yang telah tersebar merata di pedesaan tidak
serta merta menyebabkan penundukan keberagamaan dan
tradisionalitas.113
Penurunan lapangan kerja di sektor pertanian adalah masalah
semua negara.114
Proses pengembangan ide dari setiap generasi
mendefinisikan penelitian dan pengembangan sebagai karya kreatif
yang dilakukan secara sistematis untuk meningkatkan bekal
pengetahuan, termasuk pengetahuan manusia, budaya dan
masyarakat.115
Specht (1993), menunjukkan kategori faktor secara
umum yaitu: ekonomi, sosial, politik, dan pembangunan
infrastruktur dimana faktor-faktor tertentu dapat dikelompokkan.
Sebagai contoh faktor ekonomi yang rmasuk dalam ketersediaan
modal, resesi dan pengangguran.116
113 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2009), 278. 114 Lise Herslund, “Rural diversification in the Baltic countryside: a local
perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-59. 115 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,
2006), 37. 116 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases
194 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Guna membentuk karakter entrepreneur mahasiswa, maka
diterapkan sebuah strategi pembelajaran yang melibatkan antara
kurikulum dengan aksi. Strategi pembelajaran secara kurikulum
adalah pembelajaran dalam bentuk memberikan teori tentang
pentingnya bewirausaha. Sedangkan strategi aksi adalah
kemampuan untuk menerapkan antara teori dengan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial. Program pemerintah
dalam bentuk memberikan pinjaman kepada masyarakat yang belum
mempunyai modal akan menjadi insting baru bagi para anggota
masyarakat yang berkeinginan untuk menciptakan lapangan
pekerjaan. Program seperti ini kemudian banyak diikuti oleh
kalangan bank swasta maupun pemerintah dengan memberikan
pinjaman dan cicilan yang ringan kepada angota nasabahnya.
Program tersebut tentu berkontribusi penting dalam upaya
pengentasan kemiskinan. Baik secara struktural yang diakibatkan
oleh kebijakan pemerintah yang kurang tetap maupun kemiskinan
secara kultural yang di akibatkan oleh pola kehidupan masyarakat
yang mempunyai daya saing atau motivasi yang rendah dalam dunia
kerja. Konsep kewirausahaan yang ditawarkan oleh pemerintah
harus sesuai dengan norma-norma dalam menjalankan usaha.117
Pola
pikir masyarakat yang masih terbelakang tentunya menjadi
perhatian penting bagi pemerintah dalam upaya mengatasi
kemiskinan secara kultural. Pemberian bantuan semata tanpa
disertai dengan sosialisasi yang tepat malah akan mendatangkan
problem baru dalam sebuah masyarakat yang disebabkan oleh etos
kerja yang rendah.
Indonesai adalah negara yang mempunyai banyak potensi dan
sumber daya alam yang melimpah termasuk jumlah penduduk yang
(Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,
2006), 146. 117 Sebastian Köhn, “Entrepreneurship and the Right of the Child to a
Nationality in an Era of Migration,” The Annual Meeting American Society of
International Law), Vol. 106 (March 2012), 67-69.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 195
banyak. Negeri ini mempunyai banyak potensi yang harus segera
dikembangkan oleh masyarakatnya. Sumber Daya Manusia (SDM)
yang banyak tapi tidak mempunyai kualitas yang baik akan menjadi
beban bagi pembangunan suatu negara. Sedangkan sumber daya
manusia yang baik merupakan potensi penting bagi pembangunan
suatu bangsa. Sumber daya manusia yang berkualitas mempunyai
dua potensi.118
Pertama adalah gagasan-gagasan, kreasi dan
konsepsi. Kedua kemampuan dan keterampilan mewujudkan
gagasan-gagasan tersebut dengan cara produktif.
Sebagai solusi efektif dalam meningkatkan SDM adalah
membentuk mahasiswa yang berkarakter entrepreneur.
Pembentukan program jurusan yang seperti ini dapat secara efektif
mengurangi tingkat lulusan pencari kerja dan meningkatkan kualitas
lulusan agar mampu untuk mencetak lapangan kerja yang
berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi bagi suatu negara.
Harapan kampus yang mencetak entrepreneur adalah membentuk
perilaku entrepreneur untuk mendesain dirinya menjadi seorang
pencipta lapangan kerja.
Pengelolaan bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau
barang jadi akan memberikan nilai jual yang lebih. Sebuah kayu Jati
bilamana dibiarkan dalam sebuah hutan hanya akan menjdi sebuah
kayu bakar yang tidak mempunyai nilai jual secara ekonomis. Air di
sebuah pegunungan yang memiliki tingkat kejernihan yang tinggi
hanya akan menjadi air minum biasa bilamana tidak diolah dan
dikelola secara baik. Begitu pula dengan lahan sawah tidak akan
produktif bilamana dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya dan tidak
dikelola secara baik hanya akan menjadi sesuatu yang mubazir.
Sementara definisi identitas profesional dan histori yang
konsekuensi sosiologis telah menghasilkan karakteristik penting
118 Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia
(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 59.
196 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
bahwa profesi merupakan konstruksi sosial atau budaya dan sangat
dipengaruhi oleh konteks nasional.119
Pemerintah mengharapkan para sarjana yang baru lulus
mempunyai kemampuan mendirikan bisnis baru meskipun
berukuran kecil namun membuka kesempatan pekerjaan bagi banyak
orang. Pihak universitas sebagai tempat mendidik lulusannya
bertanggung jawab dalam mendidik untuk melihat peluang bisnis
serta mengelola bisnis tersebut dengan memberikan motivasi untuk
mempunyai keberanian menghadapi resiko. Perusahaan besar di
kota-kota metropolitan termasuk dalam kategori menghadapi
sebuah ketidakpastian dalam menjalankan kegiatan usaha. Resiko
perusahaan besar adalah ketika tidak sesuainya antara pendapatan
dengan jumlah profit yang dihasilkan.120
Menyikapi ilustrasi diatas maka diperlukan banyak penulisan
tentang kewirausahaan agar semakin banyak orang mengetahui
dunia kewirausahaan. Penulisan karya ilmiah tentang kewirausahaan
lebih difokuskan pada tugas universitas guna memotivasi para
sarjana menjadi entrepreneur yang didukung data penelitian. Namun
yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana pihak universitas
mampu mencetak wirausahawan muda. Peranan universitas
dijelaskan oleh beberapa pendapat para pakar ekonomi dan sosial.
Konstruk masyarakat modern merepresentasikan
institusionalisasi dan rasionalitas instrumental diatas semua. Dalam
sebuah kasus, masyarakat akan bertindak secara efisiensi dan penuh
dengan perhitungan, bukan karena alasan emosi atau tradisi, atau
119 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The
Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward
Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 81. 120 Kristian Behrens, Gilles Duranton, and Frédéric Robert-Nicoud,
“Productive Cities: Sorting, Selection, and Agglomeration,” Journal of Political
Economy, Vol. 122, No. 3 (June 2014), 507-553.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 197
kesetiaan pada pemikiran yang sempit.121
Dagmara Stoerring dan
Bent Dalum (2007), menekankan kondisi wilayah tidak menjadi
pengaruh yang dominan dalam pembentukan sistem mata
pencaharian masyarakat. Kondisi geografis tidak memberikan
pengaruh yang signifikan, dalam arti yang bahwa kewirausahaan
merupakan kegiatan lokal setiap masyarakat. Namun, tidak pasti
seberapa besar kemungkinan itu adalah bahwa klaster berwirausaha
akan dikembangkan melalui lulusan universitas menjadi wirausaha
sukses.122
Perbedaan sebagian karakter sosial perliaku kewirausahaan
secara personal dapat dijelaskan melalui latar belakang historis arus
migrasi mereka. Dalam beberapa kasus terjadi migrasi dari daerah
pedesaan ke-perkotaan terjadi di negara-negara yang mengalami
kendala dalam sistem upah. Masuknya masyarakat desa ke kota-
kota adalah untuk kesempatan kerja yang lebih baik. Kecenderungan
ini telah mengakibatkan peningkatan usia rata-rata penduduk di
daerah adalah pedesaan. Kondisi ini dapat menjelaskan varian
signifikan demografis tidak berpengaruh dalam konstruk perilaku
kewirausahaan.123
Rogers (1995) memahami karakteristik mekanisme dan
implikasi difusi inovasi harus dilakukan untuk pekerjaan yang
komprehensif. Studi multidisiplin bidang antropologi, sosiologi,
pendidikan, ekonomi industri, dan ulasan dari penelitian saat ini
umum dalam proses difusi. Rogers (1995) yang mengusulkan empat
unsur difusi sebagai:
121 Pip Jones, Introducing Social Theory. Diterjemahkan, Pengantar Tori-
teori Sosial dari Teori Fungsionalisme hingga Postmodernisme (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 119-120.
122 Philip Cooke and Dafna Schwartz, Eds. Creative Regions Technology, culture and knowledge entrepreneurship, (Canada: Routledge 2 Park Square, 2007),
141. 123 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,
Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:
Springer International Publishing, 2015), 171.
198 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
1. Inovasi
2. Komunikasi dari satu individu pada individu yang lain
3. Terjadi dalam suatu sistem sosial
4. Transpiresi dari waktu ke waktu
Variasi dalam elemen-elemen ini dapat mempengaruhi tingkat
difusi espektasi secara resmi dalam pengaturan organisasi.
Misalnya, pemecahan masalah kolektif (dalam keputusan adopsi
organisasi), norma dan budaya kelompok, peran dan jenis aktor,
kehadiran influencer yang dikenal sebagai agen perubahan, dan asal
inovasi dan pengaruh eksternal.124
Dengan demikian, banyak unsur
yang terlibat dalam difusi menyoroti signifikansi komunikasi dan
transfer pengetahuan. Namun, pemahaman adopsi sangat penting
untuk meningkatkan proses. Terutama sebagai adopsi inovasi
dikatakan penentu inovasi ini.125
Terutama budaya kewirausahaan
yang kuat.126
Sejumlah penelitian masa lalu diterapkan semacam
pendekatan evolusioner untuk analisis dinamis sistem logis, sosial
atau ekonomi semacam ini yang menekankan bahwa kewirausahaan
merupakan hasil seleksi alam.127
Dalam artian apakah budaya yang
124 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,
Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:
Springer International Publishing, 2015), 171. 125 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,
2006), 231. 126 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,
2006), 240. 127 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The
Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward
Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 245.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 199
diperlukan untuk membentuk perilaku baru dari menjanjikan ide
logis dan sejauh mana adalah bahwa masalah interaksi antara
teknologi, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan sosial.128
Pengertian ekonomi rakyat muncul sebab terjadinya kesenjangan
sosial ekonomi dalam masyarakat. Kesenjangan tersebut merupakan
pemilikan asset-aset ekonomi berupa sumber daya produksi dan
produktivitas antara yang kuat dengan yang lemah.129
Sebagai contoh dominasi wirausahawan dari pedesaan di
beberapa negara yang cenderung lebih proaktif daripada yang
perkotaan (Harding, 2006).130
Generasi muda mempunyai banyak
potensi yang digunakan untuk menetukan arah pembangunan bangsa
di masa depan dengan menjadi sosok entrepreneur dalam
pembangunan ekonomi.131
Sektor informal merupakan anak kandung perekonomian
Indonesia jauh sebelum Belanda datang. Sebagian kajain ilmiah ini
pertama kali diperkenalkan oleh Keith Hart pada tahun 1971 dalam
penelitiannya yang menjangkau tentang usaha-usaha kecil di luar
jangkaun pemerintah.132
Praktek merancang mekanisme untuk meningkatkan generasi
dalam bidang teori dan praktek yang disebut sebagai manajemen
pengetahuan. Kebutuhan manajemen pengetahuan muncul dari
128 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The
Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward
Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 12 129 Azwir Dainy Tara, Stategi Membangun Ekonomi Rakyat: Masa Sulit
Pasti Berlalu (Jakarta: Nuansa Madani, 2001), 3. 130 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,
Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:
Springer International Publishing, 2015), 174. 131 Muhammad Saroni, Mendidik dan Melatih Entrepreneur Muda:
Membuka Kesadaran Atas Pentingnya Kewirausahaan Bagi Anak Didik (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 71.
132 Azwir Dainy Tara, Stategi Membangun Ekonomi Rakyat: Masa Sulit Pasti Berlalu (Jakarta: Nuansa Madani, 2001), 80.
200 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
kegagalan standar akuntansi untuk sepenuhnya mengakui nilai
intelektual dan modal.133
Membuka usaha bukanlah perkara yang
mudah. Ada orang yang membuka usaha karena tidak ada pilihan
lain selain membuka usaha sendiri. Ada orang yang membuka usaha
sendiri karena pendidikan rendah yang membuat dia sulit mencari
pekerjaan. Ada juga orang yang terpaksa membuka usaha sendiri
karena terkena PHK dari perusahaannya. Sedangkan ada orang yang
membuka usaha sendiri karena lebih senang memilih usaha sendiri
daripada bekerja pada orang lain. Ada beberapa alternatif pilihan
usaha baru. Pilihan usaha ada tiga macam yaitu waralaba
(franchise).
Pada bagian ini, kami memberikan bukti prevalensi sistem
solidaritas pada masyarakat pedesaan Afrika dan konservatisme
dalam menolak diferensiasi ekonomi yang dapat merusak
solidaritas. Temuan utama mereka adalah lingkungan yang ditandai
dengan berisiko tinggi dan pasar kegagalan, lembaga masyarakat
sering memberikan anggota dengan cara mengalokasikan risiko
secara efisien. Mekanisme ini dapat mengambil berbagai bentuk,
seperti pertukaran hadiah, kredit timbal balik, pinjaman lahan, dan
tenaga kerja.134
Masyarakat Lamongan dalam memulai usaha senantiasa
diawali dengan akumulasi kekayaan di daerah perantauan sebagai
modal. Sedangkan masyarakat yang beulm mempunyai modal yang
cukup akan menjual ternak atau sawah sebagai modal usaha. Proses
konstruksi wirausaha masyarakat Lamongan mempunyai kesamaan
133 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation And Entrepreneurship In
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories And Cases (Northampton Massachusetts 01060 Usa: Edward Elgar Publishing Limited, 2006),
118. 134 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does
Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University Of Chicago Press, Source: Economic Development And Cultural Change, Vol. 58, No.
4 (July 2010), 609-641.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 201
dengan melamar kerja sebagai pegawai negei. Orang tua di
Lamongan bahkan menjual sebagian sawah dan ternak mereka
sebagai pembiayaan dalam memberikan dukungan secara materiil
kepada anak-anaknya.
Sektor usaha kuliner yang dijalankan oleh masyarakat
Lamongan dimulai dengan menyewa tanah sesuai dengan
kemampuannya. Guna menghindari sengketa lahan dengan pemilik.
Warga Lamongan yang membuka usaha di Jakarta terlebih dahulu
menanyakan status lahan agar mendapatkan kejelasan dan
kenyamanan dalam menjalankan usahanya. Pada awal memulia
usaha, masyarakat Lamongan senantiasa menjadikan keluarga inti
sebagai rekan kerjanya terlebih dahulu. Anak-anak muda yang masih
belum menikah senantiasa bermitra usaha dengan teman-teman
sebayanya di perantauan Jakarta yang berbeda kecamatan.135
Dalam menjalankan sebuah usaha, kebanyakan para warga
Lamongan menyewa lahan yang terdapat disamping trotoar jalan
raya. Salah seorang tokoh Lamongan menjelaskan bahwa insting
berjualan masyarakat Lamongan dikarenakan mereka tidak terlalu
suka dengan kerja ikut orang, yakni dengan menghabiskan waktunya
pada orang Cina. Motivasi ini juga peneliti temui dengan seorang
pedagang Lamongan di Pesanggrahan Jakarta Selatan. Kegagalan
awal dalam memulai usaha tidak menjadikan hambatan bagi
masyarakat Lamongan di Jakarta. Adanya kegagalan terkadang
membuat pelaku usaha lebih kreatif dan mencari solusi atas problem
yang sedang dihadapi.136
Pada awalnya masyarakat Lamongan hanya berjualan
sendirian bersama teman-temannya. Kemudian setelah mereka
suksess kemudian mengajak sanak saudanya untuk membantu
135 Wawancara dengan Arif (Jakarta, Desember 2015) 136 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban
Renaissance Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of
Bristol, 2007), 63.
202 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
aktivitas bisnisnya dalam menjalankan usaha sebagai partner.137
Meskipun mereka suksess secara ekonomi. Kebanyakan mereka
membangun rumah megah yang tidak bisa mereka tempati
dikarenakan menghabiskan aktivitasnya di kota-kota besar.
Marx mengharapkan agar karyanya dapat memberikan suatu
dasar untuk mengatasi praxis tertentu, dan bukan merupakan
sekedar penelitian akademis tentang masyarakat.138
The Protestant
ethic and the spirit of capitalism yang disebut Weber dalam bentuk
dua buah artikel panjang pada tahun 1904 dan 1905 menandai usaha
pertamanya untuk mengetengahkan secara pasti soal-soal ini pada
taraf umum. Beberapa ciri utama dari etos yang mewarnai perhatian
Weber di dalam bukunya tersebut sudah diungkapkan dalam
studinya mengenai buruh pertanian. Perbedaan menyolok antara
kondisi-kondisi kehidupan dan keadaan buruh terikat dengan buruh
harian, terletak pada pola sikap menerima pola-pola tradisional
tentang sikap hormat serta sikap perlindungan (patronage) di satu
pihak dan sikap indivisulaisme ekonomi di lain pihak. Akan tetapi
sikap individualisme ekonomi ini, jelas buka merupakan suatu hasil
dari keadaan-keadaan ekonomi para buruh harian semata-mata,
tetapi mengungkapkan suatu bagian dari suatu etik, yang dengan
sendirinya membantu meruntuhkan struktur tradisional lama dari
perusahaan-perusahaan pertanian besar.139
Beberapa penelitian yang menyatakan bahwa budaya Jawa
tidak mendukung untuk mengembangkan sikap berwirausaha.
137 Darcy W. Lear and Alejandro Sánchez, “Sustained Engagement with a
Single Community Partner,” American Association of Teachers of Spanish and
Portuguese, Vol. 96, No. 2 (June 2013), 238-251. http://www.jstor.org/stable/ 23608324. Accessed: 11/02/2015 04:4.
138 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Uinversitas Indonesia,
2007), 227. 139 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis
Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Uinversitas Indonesia,
2007), 153.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 203
Merupakan teori yang dibantahkan oleh perilaku empiris
kewirausahaan masyarakat Lamongan di Jakarta. Pencarian
kekayaaan bukan hanya karena motivasi kerja, melainkan juga
karena tugas dan dorongan sosial yang tumbul dari suatu
masyarakat.140
Seorang dikatakan sukses bukan karena mereka
berasal dari lulusan lembaga pendidikan tinggi ternama di Indonesia
ataupun luar negeri. Dari data lapangan yang peneliti kumpulkan
banyak lulusan perguruan tinggi di Lamongan yang tidak
mempunyai karir yang suksess dalam dunia kerja sebagaimana
masyarakat yang berpendidikan rendah.
Salah seorang lulusan Universitas Gajah Mada malah kalah
bersaing dalam dunia kerja bila dibandingkan dengan lulusan SMP
atau SMA. Mereka hanya mampu bekerja dalam bidang instansi
pemerintahan yang tidak mempunyai penghasilan yang tetap dengan
kualitas pembiayaan yang rendah. Hal ini tentu menjadi pelajaran
yang berharga bagi kualitas lembaga pendidikan untuk mampu
mencetak generasinya dalam segala bidang pendidikan.
Seorang lulusan perguruan tinggi bagi sebagian besar
masyarakat Lamongan yang masih berpendidikan rendah mereka
anggap mampu untuk menangani hal dalam sebagian besar bidang.
Mereka tidak mempedulikan asal usul atau status pendidikan yang
melekat pada diri mereka. Seorang sosiolog misalnya yang sudah S2
dituntut untuk bisa memperbaiki televisi. Meskipun tidak
mempunyai keahlian dalam bidang permesinan. Seorang
entreprnenur diharapkan mampu untuk mengurangi jumlah
pengangguran dalam sebuah masyarakat dengan membawa
kemajuan bagi daerah yang mereka singgahi. Ditengah pencanangan
program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi jumlah
pengangguran dalam masyarakat dan berbagai seminar yang
diadakan oleh berbagai lembaga swasta dan pemerintah.
140 Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Yogyakarta:
Jejak, 2007), 9.
204 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Entrepreneur dalam aksi merupakan opsi yang tepat untuk
mengurangi permasalahan sosial terutama pengangguran.
Kalangan orang tua yang berpendidikan rendah masih
mengesampingkan pentingnya nilai pendidikan di masyarakat.
Bekerja dengan berjualan seakan-akan bagi masyarakat Lamongan
memiliki nilai gengsi tersendiri. Tolok ukur kualitas keberhasilan
seseorang bukan ditentukan oleh tinggi rendahnya pendidikan atau
jenis pekerjaan. Melainkan karena kemampuan mereka dalam
mendirikan usaha dan mempekerjakan orang.
Dialektika yang demikian kemudian menjadi motivasti bagi
para pemuda yang datang dari kampung udik di Lamongan untuk
mendirikan berbagai macam usaha sesuai dengan kemampuan yang
mereka miliki. Termasuk berjualan soto meskipun tidak dibekali
dengan pengetahuan seputar kuliner. Mereka mampu untuk menjadi
pedagang soto yang suksess sebagaimana lulusan perguruan tinggi
yang orientasinya terpusat pada pengembangan bisnis.
Sebagai contoh peneliti menemukan seorang lulusan sekolah
SMA dan tidak memiliki kemampuan dalam bidang permesinan
justru meraih kesuksesan dengan bekerja sebagai teknisi dan
mendirikan sebuah usaha dalam bidang permesinan. Seorang
informan berikutnya yakni Andi yang tidak memiliki keahlian
kuliner sukses dalam bidang kulineristik termasuk ibu Anik yang
suksess dalam berjualan Soto dan sate di Kalimantan Barat sana.
Namun terdapat seorang sarjana lulusan UGM justru tidak mampu
mendirikan sebuah usaha dan memutuskan untuk menjadi guru
swasta di kampung halamannya.
Beberapa ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa tidak
selamanya lembaga pendidikan menjadi instrumen utama yang
mampu untuk mencetak lulusan yang mempunyai kualitas kerja
yang bagus sebagaimana orang-orang yang berpendidikan rendah.
Adanya tradisi berjualan kemudian diikuti oleh sebagian besar
masyarakat Lamongan generasi berikutnya yang seakan-akan
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 205
menjadi sebuah tradisi yang diwariskan secara turun temurun oleh
warganya.
Peneliti menjumpai banyak masyarakat Lamongan yang
menjual tanah dan ternaknya hanya sekedar sebagai modal usaha
dengan mendirikan warung soto atau pecel lele. Meskipun mereka
bisa dikatakan belum memiliki analisis yang kuat tentang
perkembangan bisnis yang akan mereka kelola. Dalam artian apakah
memperoleh keuntungan atau sebaliknya yakni tidak laku alias rugi.
Akar dalam pandangan masyarakat dalam kehidupan sosial yang
menekankan aturan yang paling mendasar dari kehidupan sosial,
yang bertujuan untuk mempromosikan antara orang-orang dari
semua strata sosial, budaya.141
Teori lain memusatkan perhatian pada aspek psikologis
perkembangan kapitalisem adalah teori yang diajukan oleh David
Mc Clelland (1976). Ia memusatkan perhatian pada masalah adakah
sindrom kepribadian universal yang mendahului setiap ledakan
perkembangan ekonomi yang pernah terjadi dalam sejarah.
Jawabannya adalah ada. Perkembangan ekonomi selalu dilakukan
dan merupakan hasil dari penyebaran motivasi untuk berprestasi
(kebutuhan untuk berprestasi). Motivasi tersebut menemukan jalan
keluarnya yang terbaik dalam aktivitas kewirausahaan. Masyarakat
dengan motvasi tingggi akan menghasilkan usahwan yang lebih giat
dan selanjutnya akan menghasilkan perkembangan ekonomi yang
lebih cepat.142
Pendekatan paling kuat tentang analisis kebudayaan meliputi
pembentukan sistem kebudayaan sebagai entitas spiritual dengan
sebuah otonomi, yang tak dapat dihilangkan dari tindakan-tindakan
141 Luca Crivelli And Benedetto Guisource, “Filosofia Do 'Economy of
Communion' Enterprises Deserve the 'Social' Label? A Comparative Discussionof
their Aims and Logic of Action,” Revista Portuguesa De Filosofia, T. 70, Fasc. 1
(2014), 28-43. http://www.jstor.org/stable/23785808. Accessed: 11/02/2015 04:44 142 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2004),
282.
206 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
individu yang mereka bentuk. Spirit kebudayaan dianggap
menggerakan dan memotivasi yang disosialiasasikan ke
dalamnya.143
Isu pokok dari kehidupan sosial terletak pada isi dan
konfigurasi dari hubungan hubungan sosial yang selalu berubah.
Proses perubahan itu dapat dirangsang oleh sistem ekonomi dan
politik.144
Wirausaha adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang
untuk melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis.
Mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk
mengambil tindakan yang tepat dan mengambil keuntungan dalam
rangka meraih sukses. Kewirausahaan juga bisa disebut sebagai
watak seseorang yang didasarkan pada perilaku untuk melihat
peluang guna mewujudkan ide-idenya.145
Argumen Weber didukung oleh Werner Sombart (1902), yang
melihat spirit kapitalisme sebagai semangat utama dalam
mendorong kesadaran akan perubahan ekonomi. Siprit ini kemudian
dikaitkan dengan kebudayaan dan agama.146
Semangat kapitalisme
Max Weber kemudian memberikan pengaruh pada semangat
mobilitas sosial (social mobility147
Koentjoroningrat mengemukakan
pandangannya bahwa etos merupakan watak yang tampak dari luar
143 John Scott, Social Theory: Central Issues in Sociology (London: SAGE
Publication Ltd, 2012). Diterjemahkan oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 53.
144 Niels Murder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan,
1985), 129. 145 Sukamdani Sahid Gitosarjono, Bisnis dan Kewirausahaan Syariah Upaya
Menuju Kesejahteraan Umat Islam (Bogor: Sekolah Tinggi Agama Islam Terpadu
Modern Sahid, 2012), 26. 146 John Scott, Social Theory: Central Issues in Sociology (London: SAGE
Publication Ltd, 2012). Diterjemahkan oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 128.
147 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 274.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 207
yang terlhat oleh orang lain.148
Etos berasal dari bahasa Yunani,
ethos, artinya ciri atau sifat, yang dimiliki oleh seseorang atau
kelompok suku bangsa.149
Dapat ditambahkan bahwa teori iklim yang dikemukakan oleh
para sosiolog akan berpengaruh terhadap etos kerja. Negara yang
berlokasi di daerah subtropik mempunyai iklim yang merangsang
warganya untuk bekeja lebih giat. Sementara negara yang terletak di
daerah khatulistiwa akan semakin kurang giat dalam bekerja dan
mereka akan cepat lelah. Namun hal ini dibantah oleh David C Mc
Clelland bahwa iklim tidak berpengaruh terhadap etos kerja.
Ternyata tidak semua negara yang terletak di mempunyai etos kerja
yang rendah.150
Potensi kognitif yang muncul secara konsisten yang
dirasionalisasikan akan berdampak luas terhadap masyarakat
tradisional.151
Pendidikan kewirausahaan adalah satu program
pendidikan yang menggarap aspek kewirausahaan sebagai bagian
penting dalam pembekalan kompetensi anak didik.152
Emile Durkheim (1885-1917) membahas sosiologi ekonomi
kurang komprehensif dan sistematis. Meskipun dalam bukunya The
Division of Labor in Society (1893) memberikan sumbangan
tersendiri bagi ekonomi. Bagi para ekonom, membandingkan kerja
merupakan sebuah sarana untuk memperoleh keuntungan dan
kesejahteraan secara efisien. Bagi Durkheim, pembagaian kerja
148 Koentjoroningrat, Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan
Ekonomi, (Jakarta: LIPI, 1980), 231. 149 Mochtar Bukhori, Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam Di
Indonesia, (Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta, 1994), 6. 150 Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2004), 41. 151 Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komulatif: Rasio dan Rasionalisasi
Masyarakat (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006), 269. 152 Muhammad Saroni, Mendidik dan Melatih Entrepreneur Muda:
Membuka Kesadaran Atas Pentingnya Kewirausahaan Bagi Anak Didik (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 45.
208 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
tidak hanya ditujukan untuk mencapai sebuah keuntungan secara
ekonomi. Lebih lanjut ia membandingkan bahwa pembagian kerja
mempunyai sebuah fungsi yang lebih luas. Sistem pembagian kerja
merupakan sarana utama dalam menciptakan kohesi sosial dan
solidaritas diantara anggota masyarakat.153
Dalam masyarakat Minangkabau jaringan hubungan dibentuk
oleh sistem kekerabatan matrilineal yang bermula dari hubungan
semande (ibu ayah yang sama), seperut (jaringan hubungan yang
muncul kerna sekelompok orang memiliki nenek yang sama),
senenek (merujuk pada suatu jaringan hubungan yang timbul karena
sekelompok orang mempunyai satu nenek buyut gaek), seninik
(berasal dari niniek yang sama), sekaum (semarga yang sama atau se
klan yang sama), dan sesuku (dari suku yang sama).154
Bourdie menjelaskna bahwa capital budaya didefinisikan
sebagai kepemilikan kompetensi kultural tertentu, atau seperangkat
pengetahuan kultural yang menyediakan bentuk konsumsi kultural
yang dibedakan secara khusus dan klasifikasi rumit dari barang-
barang kultural simbolis.155
Ada beberapa alasan banyak orang tua
yang tidak mengingnkan anaknya menjadi wirausaha antara lain
tidak jujur, sumber penghasilan tidak stabil. Pandangan ini
menjadikan orang banyak yang menyebabkan anaknya menjadi
insinyur, guru, pegawai negeri dan sebagainya. Budaya yang tidak
adaptif bisa dikatakan sebagai budaya yang sangat birokratis.
Orang-orangnya reaktif menolak resiko dan tidak sangat kreatif,
informasi tidak mengalir cepat dan mudah di seluruh organisasi.
Umumnya mereka belajar menjadi pedagang baik rumah
makan atau usaha yang lain dari pengalaman hidup yang mereka
153 Damsar dan Indrayati, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana
Media Prenada Group, 2009), 23. 154 Damsar dan Indrayati, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana
Media Prenada Group, 2009), 163-164. 155 Damsar dan Indrayati, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana
Media Prenada Group, 2009), 218
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 209
alami selama di daerah perantauan. Sebab mereka tidak belajar
sebagaimana anak-anak bisnis pada umumnya dengan menghadiri
seminar tentang kewirausahaan atau yang bersumber dari buku.
Masyarakat Lamongan ketika memasuki usia dewasa merasa
mempunyai insting berjualan dengan membuka rumah makan atau
usaha yang lainnya.
2. Pola Manajemen Kewirausahaan
Menurut Robert W Hafner, sistem perdagangan yang
dijalankan masyarakat Jawa tidak bersifat kapitalis dengan
akumulasi kekayaan semata. Asumsi ini di dasarkan pada beberapa
pengusaha Jawa yang tidak mewariskan kekayaannya secara turun-
temurun.156
Mereka adalah pengusaha yang bukan golongan
kapitalis. Kewirausahaan masyarakat Lamongan dibentuk melalui
Lamongan University yang memberikan beasiswa dan pembelajaran
langsung kepada para peserta didiknya. Beasiswa yang diberikan
umumnya RP. 900.000-1.200.000 yang disesuaikan dengan besar
kecilnya warung. Selain itu, terdapat pula warung-warung
Lamongan yang memberikan akomodasi kepada karyawannya.
Diantaranya yang dilakukan oleh Arief yang menyedikan kontrakan
gratis kepada seluruh karyawannya. Selain itu, mereka juga
memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti sabun cuci dan
sebagainya.157
Kewirausahaan sektor kuliner Lamongan muncul karena
adanya semangat kewirausahaan masyarakatnya. Sebagaimana
kewirausahaan distro Bandung dan aneka jaket kulit di Garut karena
semangat kewirausahaan masyarakatnya. Perkembangan media juga
memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Kalangan
156 Robert W. Hefner, Eds. Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam
Kapitalisme Asia Baru (Jakarta: PT. Pustakan LP3ES, 2000), 303-304. 157 Wawancara dengan Haji Arif di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Maret
2016.
210 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
orang tua di Lamongan banyak yang menyekolahkan anak-anak
mereka di Lamongan university yang mana akan menjamin
keterampilan mereka dalam mengembangan jiwa wirausaha.
Masyarakat Lamongan dalam mendirikan sebuah wirausaha
mampu bertahan dalam menghadapi krisis dan pembangunan
infrasruktur yang terkadang memberikan dampak pada omset.
Sementara itu, mereka menghadapi ancaman dari berbagai macam
pihak, termasuk preman dan trantib yang mengadakan pungutan
liar. Diantara faktor yang memotivasi masyarakat Lamongan
berwirausaha adalah karena kebebasan dalam menjalani kehidupan.
Sebab mereka tidak terikat dengan perusahaan yang membatasi
ruang gerak kehidupan mereka.
Tanpa adanya pembukuan mereka menjalankan usahanya
secara cermat dan tidak mengalami kendala dalam mengatur
sirkulasi dalam menjalankan usaha. Rata-rata orang Lamongan
membuka warungnya dari jam lima sore sampai jam dua belas
malam dengan rentan kerja delapan jam setiap harinya. Etos kerja
yang ditanamkan oleh masyarakat Lamongan adalah sebagai sebuah
upaya dalam melindungi generasinya dari pengaruh luar.
Masyarakat Lamongan bisa dikatakan tidak mempunyai jiwa
berdagang sebagaimana masyarakat Padang atau Cina yang
mewariskan budaya pedagangan kepada generasinya.
Pelajaran berdagang masyarakat Lamongan bukan karena
sistem budaya yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
Melainkan dari pengalaman yang menuntut mereka untuk menjadi
seorang pedagang. Budaya priayi yang menggolongkan masyarakat
dalam kelas sosial runtuh seiring dengan keruntuhan Orde Baru.
Transformasi sosial masyarakat Lamongan dalam orientasi kerja
tidak hanya tertuju pada pegawai negeri sipil atau eselon pada
perusahaan-perusahaan besar. Sebaimana yang terlihat dari peta
perpolitikan nasional saat ini, kaum pengusaha banyak
mendomianiasi dalam bursa pencalonan pemimpin. Sebut saja
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 211
Jokowi, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Hari Tanoesoedibjo, Surya
Paloh, Dahlan Iskan dan sebagainya.
Kemampuan untuk melihat peluang dalam mengembangkan
aktivitas kewirausahaan menjadi sebab kelangsungan aktivtas
kewirausahaan. Mereka biasanya memanfaatkan lahan-lahan kosong
yang terdapat di Jakarta. Umumnya mereka menyewa lahan tersebut
sesuai dengan kemampuan mereka dalam menyewa. Lahan-lahan
yang tidak produktif tersebut kemudian dimanfaatkan oleh
masyarakat Lamongan. Fenomena yang demikian secara tidak
langsung memberikan pengaruh dalam meningkatkan aktivitas
perekonomian. Masyarakat Lamongan dalam hal ini tidak hanya
memberikan kontribusi dalam mengurangi pengangguran.
Melainkan memberikan tambahan pemasukan bagi warga setempat
atau pemilik toko atau bengkel yang lahan mereka tidak digunakan.
Bagi masyarakat yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan
selama tinggal di daerah perantauan akan menjalankan aktivitas
usahanya dengan membeli tempat yang permanen. Mereka yang
belum mempunyai keuangan yang kurang akan menyewa lahan
sesuai dengan kemampuan mereka. Teori kewirausahaan
memandang bahwa dalam menjalankan usaha tidak mengenal latar
belakang suatu masyarakat. Pada dasarnya setiap individu
mempunyai kesempatan yang sama dalam menjalankan sebuah
usaha. Golongan usia produktif di Lamongan yang merasa di
kesampingkan di kampung halamannya akan berusaha untuk
meningkatkan status sosialnya dengan cara meningkatkan
kemampuan dalam akumualasi kekayaan di daerah perantauan.
Mereka umumnya di dominasi oleh lulusan Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
yang tidak mempunyai kenayamanan untuk menetap di kampung
halamannya. Opsi yang mereka adopsi adalah dengan memutuskan
diri untuk berhijrah ke Jakarta. Orientasi untuk hijrah pada awalnya
hanyalah sebuah dorongan yang timbul dari lingkungan dimana
212 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
mereka tinggal. Sementara kemampuan dalam menjalankan sebuah
usaha lahir selama mereka magang di warung-warung orang
Lamongan lainnya. keterampilan masyarakat Lamongan dalam
menjalankan usaha tidak hanya memfokuskan dalam bidang kuliner.
Beberapa anak muda yang berasal dari Lamongan bahkan berhasil
dalam menjalankan usaha dalam mekanik dan otomotif. Meskipun
mereka pada awalnya tidak mempunyai kemampuan dalam bidang
permesinan atau manajerial.
Opsi yang mereka adopsi terbaik selain dalam dunia
pendidikan atau pesantren dalam meningkatkan status sosial adalah
dengan mendirikan sebuah usaha. Masyarakat Lamongan yang
menyadari bahwa mereka tidak mempunyai kesempatan untuk
masuk atau bekerja di sebuah perusahaan-perusahaan besar atau
pegawai negeri sipil. Secara tidak langsung mengambil atindakan
dengan mencari penghasilan tanpa melibatkan ijazah. Seorang
pedagang Lamongan yang peneliti temui mengatakan bahwa alasan
utama mendirikan usaha adalah di karenakan tidak mempunyai
kesempatan berkarir dalam bidang pemerintahan. Adi Jaya memulai
usahanya ketika masih berumur 23 tahun dengan belajar
berwirausaha dari warung milik masyarakat Lamongan yang
menagajirinya dalam menjalankan usaha.158
Kemampuan memasak
dan mengelola keuangan ia dapatkan selama magang di warung-
warung milik orang Lamongan. Adi sekarang menyewa sebuah
warung dengan ongkos sebesar RP. 800.000 perbulan.
Pola kewirausahaan yang dijalankan masyarakat Lamongan
adalah dengan mendirikan warung yang berbeda dengan lokasi
dimana pada awalnya mereka belajar. Tindakan ini dilakukan untuk
menghindari rasa tidak enak dengan warga Lamongan yang telah
membesarkannya atau agar tidak terjadi persaingan dalam
menjalankan usaha. Kendala yang dihadapi oleh masyarakat
Lamongan dalam menjalankan usahanya adalah banyaknya preman
158 Wawancara dengan Adi di Ciputat Tangerang Selatan, Maret 2016.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 213
dan trantib yang terkadang meminta pungutan secara liar. Kasus ini
menunjukan bahwa pemerintah kurang melindungi usaha kecil.
Pertumbuhan kewirausahaan masyarakat Lamongan diawali
dengan banyaknya generasi Lamongan yang sukses dalam
berwirausaha. Problem kultural berupa budaya priayi tidak menjadi
sebuah hambatan bagi masyarakat Lamongan dalam memulai
usahanya. Motivasi utama mereka dalam menjalankan usaha
dikarenakan meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Sikap
engganan mereka untuk menjadi pegawai negeri atau pemerintahan
dikarenakan adanya persepsi yang menyatakan bahwa setinggi
apapun jabatanmu dalam sebuah pemerintahan atau perusahaan.
Kamu tetaplah menjadi seorang pegawai, dan sekecil apapun usaha
yang kamu jalankan. Status sosialmu adalah sebagai bos atau
pemimpin perusahaan. Dengan demikian dapat dicermati bahwa
masyarakat Lamongan berusaha untuk merubah status sosialnya
bukan berdasarkan jabatan atau posisi dalam sebuah perusahaan.
Melainkan dalam kemampuan dalam manajemen usahanya.
Nama termasuk indkator menjalankan usaha agar marketable
dan menjadi daya tarik bagi konsumen. Tempat yang strategis
menjadi sebuah opsi yang penting dalam menjalankan usaha.
Masyarakat Lamongan mempunyai anggapan bahwa tempat
menjadi sebuah pertimbangan penting dalam berwirausaha. Namun
kualitas masakan menjadi pertimbangan yang penting untuk
menjaring pelanggan. Diantara pedagang Lamongan bahkan
memilih lokasi yang strategis seperti di pusat kota Jakarta kawasan
Sudirman dan Thamrin serta belakang plaza Indonesia. Opsi ini
dilakukan untuk menjaring pembeli yang berasal dari kelas
menengan keatas dengan harga kelas rakyat. Peneliti menemui
seorang pedagang Lamongan yang mendirikan usaha di belakang
Plaza Indonesia dan warungnya ramai. Konsumen umumnya di
dominasi oleh pegawai-pegawai mal-mal yang enggan untuk makan
di restoran dalam mall yang harganya lebih mahal.
214 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Pedagang Lamongan berasumsi bahwa dengan menjual
makanan yang harganya lebih murah akan menarik minat konsumen.
Kepemilikan warung yang di dirikan oleh beberapa orang akan
meringankan dan mengurangi banyaknya beban yang dikeluarkan.
Masyarakat Lamongan yang berwirausaha tidak mempunyai latar
belakang keluarga yang berwirausaha. Mereka kebanyakan
dibesarkan dari daerah agraris yang mana orang tua mereka sebagian
besar bekerja sebagai petani. Faktor latar belakang keluarga tidak
menjadi hambatan dalam menjalankan aktivitas kewirausahaan.
Orang tua di Lamongan tidak menanamkan pendidikan
kewirausahaan kepada anak-anak mereka. Perilaku motivasi
berprestasi adalah diantara faktor yang menyebabkan masyarakat
Lamongan berwirausaha di Jakarta.
Espektasi pasar yang besar menjadi peluang untuk
menjalankan kegiatan kewirausahaan. Lingkungan sosial tidak
memberikan dampak dalam menjalankan usaha. Orang tua yang
bekerja sebagai pegawai biasanya mengharapkan anaknya untuk
bekerja sebagai pegawai. Bukan berwirausaha. Sementara orang tua
yang berprofesi sebagai wirausaha diyakini dapat menjadi panutan
(entrepreneurial role model) yang akan membentuk minat anak
untuk berwirausaha di masa depan. Motivasi berwirasusaha
masyarakat Lamongan di dasarkan karena mempunyai keinginan
untuk menikmati kebebasan dalam menjalani kehidupan. Mereka
bisa membuka warungnya kapan saja dan dimana saja tergantung
dengan kemampuan untuk menyewa lahan dan tempat mereka untuk
berjualan.
D. Problem dalam Berwirausaha
Jakarta sebagai kota metropolitan terbesar di Indonesia
mempunyai nilai plus dan minus bagi kaum urban. Tidak terkecuali
bagi masyarakat Lamongan yang menjadikan Jakarta sebagai kota
besar yang mempunyai prospek dalam mengembangkan usaha
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 215
kuliner khasnya, yakni soto Lamongan dan pecel lele. Para pedagang
Lamongan yang berjualan di Bali misalanya banyak yang
dideportasi pasca bom Bali yang dilakukan oleh Amrozi yang
berasal dari Lamongan. Andri Prastiyo salah seorang pedagang soto
Lamongan bersama temannya di Bali menuturkan kejadiannya
secara mendalam pada peneliti.159
Para pedagang ini kemudian
berjualan di daerah lain termasuk Jakarta dan Surabaya. Wilayah
Jakarta dan Surabaya terutama kota-kota besar di luar Jawa menjadi
destinasi utama masyarakat Lamongan dalam berwirausaha.
Masyarakat Lamongan yang berasal dari Glagah kebanyakan tidak
berjualan pecel lele karena mereka mengkeramatkan.
Eksistensi usaha kuliner masyarakat Lamongan di Jakarta
terkendala oleh pembangunan infrastruktur seperti jalan dan
jembatan. Konsumen atau pelanggan tetap umumnya enggan untuk
makan di warung masyarakat Lamongan yang disekitarannya di
bangun jembatan layang. Seorang pedagang Lamongan bernama
Arif menuturkan bahwa omsetnya mengalami penurunan akibat
pembangunan jalan Raya Cipadu Blok M yang menggangu arus lalu
lintas kendaraan. Baginya, membuka usaha bukanlah perkara yang
mudah. Ada orang yang membuka usaha karena tidak ada pilihan
lain selain membuka usaha sendiri. Ada orang yang membuka usaha
sendiri karena pendidikan rendah yang membuat dia sulit mencari
pekerjaan. Ada juga orang yang terpaksa membuka usaha sendiri
karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK dari
perusahaannya. Sedangkan ada orang yang membuka usaha sendiri
karena lebih senang memilih usaha sendiri daripada bekerja pada
orang lain.
Sector kuliner merupakan usaha yang menjanjikan bagi
sebagian entrepreneur yang menjalankan usahanya di Jakarta.
Banyaknya jumlah penduduk serta kesibukan mereka dalam
aktivitas perkantoran merupakan pangsa pasar tersendiri bagi kaum
159 Wawancara dengan Andri Prastiyo (Lamongan, Januari 2015).
216 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
migran yang mempunyai motivasi berwirausaha. Fenomena yang
demikian menjadi peluang tersensiri bagi pangsa pasar sektor
kuliner Lamongan. Masyarakat Jakarta yang mempunyai aktivitas
perkantoran yang padat pada umumnya menginginkan segala
sesuatu yang bersifat instan. Termasuk dalam bidang makanan.
Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di pedesaan yang
mempunyai waktu luang yang lebih banyak untuk memasak. Kaum
urban metropolitan mempunyai kesibukan yang padat dan
mengharuskan mereka untuk bergerak cepat.
Arif merupakan pedagang Lamongan yang berjualan di
Jakarta Selatan sejak 1990. Pria asal Karanggeneng ini awalnya
membuka usaha bersama istrinya. Kendala yang dihadapi selama
membuka usaha pecel lele adalah banyaknya preman yang meminta
uang tambahan dan makan secara gratis. Menghadapi kondisi yang
demikian, Arif mengajak dialog para preman tersebut dan
memberikan penjelasan dengan pendekatan tanpa disertai dengan
kekerasan.
Lebih lanjut, pria paruh baya ini menjelaskan bahwa
menyelesaikan permasalahan tidak harus menggunakan sikap
kekerasan. Arif menuturkan dalam bahasa Jawa “ngalawan preman
ojo gawe okol, tapi gawe akal. Akal luweh kuat timbang okol”.
Ungkapan ini mempunyai makna dalam menyelesaikan
permasalahan tidak harus menggunakan kekerasan. Melainkan
menggunakan akal dengan pendekatan yang baik kepada setiap
orang yang hendak melakukan tindakan kekerasan.160
Masyarakat Jawa di Lamongan senantiasa menggunakan
hitung-hitungan Jawa sebelum memulia usahanya yang mereka
anggap penting. Namun beberapa informan yang peneliti temui
tidak serta merta menjadikannya sebagai acuan utama. Salah
seorang informan menjelaskan bahwa ia tidak mempunyai amalan
160 Wawancara dengan Arif (Jakarta, Desember 2015).
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 217
apapun dalam menjalankan usaha kecuali sholat lima waktu sehari
semalam dan menjadikan bekerja sebagai modal beibadah.
Pernah suatu ketika usaha milik warga Lamongan pada tahun
1990-an di datangi oleh kelompok preman dan mau mengacak-acak
jika telat membayar kepada mereka. Arif kemudian mendatangi
pimpinan preman tersebut secara baik-baik dan diajak ngomong
secara baik-baik. Arif menuturkan melalukan tindakan demikian
karena pada dasarnya manusia itu baik dan mereka akan menjadi
baik bilamana kita ajak ngomong baik-baik (pendekatan persuasif).
“Sekarang pimpinan preman tersebut sudah tiada dan saya ikut juga
mengantarkan jenazahnya ke pemakaman” ujar Arif.161
Menurut penuturan Haji Arif, hidup ini pada dasarnya
menebar kebaikan, sejahat apapun preman akan menjadi baik
bilamana sering kita dekati. Beliau menuturkan bahwa orang tuanya
abangan, bukan santri. Ia kemudian di pondokkan di pesantren
Langitan Tuban-Jawa Timur selama beberapa tahun di sana. Selama
menimba ilmu di pesantren Langitan, ia merasa tidak terlalu pintar
dibandingkan dengan santri-santri lainnya.
Sehingga sering membantu kiai Faqih di sawah bersama
santri-santri lainnya. Dalam mencapai keberhasilan, ia tidak
mengandalkan ilmunya di kemudian hari. Melainkan menempuh
jalan denga cara berbakti kepada kiainya dengan mengharapkan
do’ah. Sampai saat ini, Haji Arif masih sering berhubungan dengan
beberapa kiai di Langitan dan meminta wejangannya.
E. Filosofi Berwirausaha
Setiap kelompok masyarakat dalam suatu komunitas
mempunyai sebuah filosofi kehidupan yang menjadi pedoman bagi
para individu masing-masing. Sosiologi sebagai sebuah ilmu yang
mengkaji tentang masyarakat lebih tertarik pada cerminan kultur
realitas waktu ketimbang cerminan psikologisnya. Sosiologi
161 Wawancara dengan Arif (Pesanggrahan Jakarta, Maret, 2016).
218 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
memusaktkan perhatian pada simbol-silmbol khas nilai, norma dan
orietasi yang mengacu pada waktu bersama yang dimilki oleh
kelompok, komunitas dan unit sosial lainnya.162
Masyarakat Minang misalnya dalam merantau mempunyai
sebuah filosofi “dimana bumi dipijak disana langit dijunjung” yang
merupakan sebuah bentuk penghormatan kepada masyarakat di
setiap daerah yang mereka singgahi. Ketika merantau, masyarakat
Minang akan menghormati adat istiadat masyarakat setempat
dimana mereka tinggal dan menjalankan aktivitas kehidupannya.
Masyarakat Minang yang merantau dikenal sebagai masyarakat
yang sangat menghormati adat istiadat masyarakat setempat.
Masyarakat Lamongan yang merupakan bagian dari
masyarakat Jawa juga mempunyai sebuah filosofi tersendiri ketika
merantau. Adopsi filosofi yang demikian ini tak lain merupakan
bagian dari sebuah filosofi Jawa yang menjadi pedoman masyarakat
Lamongan ketika merantau. Sebagai kaum migran masyarakat
Lamongan senantiasa berpedoman pada nasehat orang tua mereka
yakni “urip na daerahe wong liyo gak sah neko-neko”163. Filosofi
yang demikian mempuyai makna bahwa hidup di daerah orang tidak
harus macam-macam yakni tidak menimbulkan keributan atau
menganggu ketentraman masyarakat sekitar. Pola interaksi
masyarakat Lamongan senantiasa membaur dengan masyarakat
dimana mereka tinggal di perantauan. Arif adalah salah seorang
warga Lamongan yang pernah warungnya didatangi oleh kelompok
preman.
Upaya yang dilakukan oleh Arif adalah melalui sebuah
mediasi dengan mengajak berkomunikasi kawanan preman yang
sengaja membuat kerusuhan diwarungnya. Filosofi penyelesaian
masalah yang dilakukan oleh Arif adalah “ngalahno okol nganggo
162 Piotr Sztomska, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media,
2004), 52. 163 Wawancara dengan Khozin (Jakarta, Desember 2015).
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 219
akal” ungkapan ini mempunyai sebuah makna mengalahkan orang
berotot tidak harus dengan pertengkaran. Tetapi dengan
menggunakan akal tanpa harus membalas dengan frontal terhadap
sekelompok oknum tersebut. Beliau mengajak ngomong dan
mendatangi secara baik-baik kelompok preman tersebut dan
menanyakan apa kemauannya. Oleh karena itu, masyarakat
Lamongan bilamana mengalami sebuah kasus diskomunikasi akan
menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan. Mereka
biasanya mendatangi kawanan kelompok yang merasa mengusik
ketentraman mereka dalam menjalankan usahanya.164
Fenomena demikian banyak dialamai oleh masyarakat
Lamongan di Jakarta dan Surabaya. Dari pembelajaran yang
diberikan oleh orang tuanya. Masyarakat Lamongan senantiasa
beradaptasi terlebih dahulu sebagai bentuk penyesuaian dengan
masyarakat setempat. Konsep ini diajarkan oleh orang tua di
Lamongan sebelum anak-anak mereka merantau“wong urip na
dunyo kudu iso tepo seliro”. Tepo seliro adalah ungkapan Jawa yang
melekat pada masyarakat Lamongan yang dimkanai sebagai
tindakan yang bisa menempatkan diri pada tempatnya.165
Meskipun
masyarakat Lamongan mempunyai latak belakang yang kasar dan
keras dikarenakan kondisi alamnya yang tandus. Mereka senantiasa
bersikap ramah dan meninggalkan statusnya di daerah asalnya di
Lamongan. Meskipun dalam menjalankasn usahanya masih terdapat
beberapa orang Lamongan yang masih memakai identitas Jawa
Timur sebagai atribut yang merekat di warungnya seperti
pemakaian Cak yang mempunyai makna sama dengan mas atau
abang dalam panggilan yang familiar pada sebagain besar
masyarakat Jakarta.
Namun sebagian besar pemuda Lamongan masih
menggunakan identitas ini secara formal dalam menjalankan
164 Wawancara dengan Suhud (Lamongan, 2014). 165 Wawancara dengan Maselan (Jakarta, September 2015)
220 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
usahanya di Jakarta. Anak-anak muda Lamongan sengaja
memperkenalkan istilah yang demikian agar lebih dikenal oleh
kalangan masyarakat Jakarta. Sebelum memulai usaha, mereka
senantiasa menanyakan status kepemilikan lahan yang akan
digunakan sebagai tempat untuk menjalankan usahanya. Tindakan
ini mereka lakukan agar mempunyai kejelasan dalam status
kepemilikan lahan tersebut.
Budaya Jawa yang menghargai orang lain senantiasa
diimplementasikan oleh masyarakat Lmaongan dengan tidak
semena-mena. Ungkapan ini dalam bahasa Jawa “adigang adigung
dan adiguna” yang dalam bahasa Jawa mempunyai makna
sewenang-wenang dalam setiap bertindak.166
Masyarakat setempat
akan menerima secara baik status pendatang yang menerapkan
filosofi yang demikian dalam merantau. Kondisi lingkungan yang
tandus tidak menjadikan watak masyarakat Lamongan kasar dan
keras. Meskipun pola komunikasi diantara masyarakat Lamongan di
Jawa Timur bersifat egaliter dengan pengaruh bahasa Surabaya yang
blak-blakan.
Bekerja keras untuk mencapai sebuah tujuan yang mereka
inginkan dalam menganggapai kemauannya. Pengaruh pesantren
Jawa-Timur senantiasa membentuk watak masyarakatnya yang
masih menjung tinggi konsep keberkahan. Yakni bertambahnya
kebaikan dalam hidup karena cara yang baik untuk mendapatkan
sesuatu. Filosofi kerja keras masyarakat Lamongan di perantauan
tergambar dengan sebuah ungkapan “sikil dadi sirah, sirah dadi
sikil”. Maknanya adalah bekerja keras.167
Filosofi ini ditambah
denga ungkapan “awan dadi bengi bengi dadi awan”. Kerja siang
malam atau tidak kenal waktu. Kebanyakan para pedanang
166 Wawancara dengan Ajiz (Jakarta, Januari 2015). 167 Wawancara dengan Darkono, seorang pedagang soto Lamongan di kerea
api Kertajaya (Lamongan-Jakarta Agustus, 2015).
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 221
Lamongan membuka warungnya pada malam hari atau sore hari
sampai pagi atau tengah malam.168
Sebagaimana yang peneliti jalaskan pada bab sebelumnya,
fenomena merantau masyarakat Lamongan tidak hanya disebabkan
oleh kondisi geografis atau motivasi ekonomi. Faktor budaya
masyarakat karena perubahan sosial masyarakatnya pada akhirnya
menyebabkan masyarakat Lamongan memilih merantau daripada
menetap di kampung halamannya. Mereka mempunyai sebuah
ungkapan untuk menggambarkan kondisi sosial masyarakat
Lamongan saat ini “luweh enak dadi kuli namahe wong liyo
tinimbang dadi bos na omahe dewe”. Ungkapan ini adalah bentuk
ekspersi penggambaran kondisi masyarakat Lamongan saat ini.169
Filosofi yang demikian mempunyai makna kebebasan dalam
menjalani aktivitas sehari-hari masyarakatnya. Kontrol sosial yang
kuat oleh orang tua dan beberapa pemuka agama yang membatasi
ruang gerak anak muda, menyebabkan masyarakat Lamongan lebih
menyukai bekerja di daerah pernatauan daripada di kampung
halamannya sendiri. Kebebasan dan ruang gerak mereka di daerah
asalnya akan terasa sempit dan tidak mempunyai keluasan dalam
mengembangkan bakat dan potentsinya. Faktor yang demikian
kemudan menjadi sbeuah dialektika yang dialami oleh sebagian
besar anak-anak muda Lamongan yang pada akhirnya menyebabkan
mereka lebih menyukai kerja di perantauan daripada di kampung
halaman mereka sendiri. Orang tua dan pemuka agama serta
kalangan yang lebih dekat dengan pesantren biasanya bersikap sinis
terhadap anak-anak muda yang tidak sependapat dengan kemamuan
mereka.
Pemuka agama dan orang tua di Lamongan masih menjadi
orang yang diutamakan dalam berbagai macam acara. Kualitas
keilmuan tidak menjadi pertimbangan yang penting bagi seseorang.
168 Wawancara dengan Supii (Lamongan, November 2014) 169 Wawancara dengan Khozin (Lamongan, November 2014).
222 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Peran dominan yang dimainkan oleh orang sepuh dan keluarag kiai
terkadang membatasi kalangan anak muda di Lamongan untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya. Para santri yang tidak
mendapatkan sebuah akses untuk mengembangkan bakatnya di
rumah lebih memilih untuk hijrah ke daerah lainnya. Mereka
beranggapan bahwa orang kampung mengetahui seluk-beluk
kehidupannya, termasuk kenakalannya sewaktu kecil. Asumsi
demikian menjadi sebuah dasar dan hambatan untuk
mengembangkan potensi di kampung halaman sendiri.
Mengembangkan bakat di perantauan terasa lebih bebas
daripada di kampung halaman sendiri. Daerah perantaua bagi
masyarakat Lamongan bukanlah tempat dimana penjara sosial
berada. Sementara kebanyakan orang tua di Lamonagn menyoroti
anak-anak muda dari segi pakaian dan penampilannya yang mereka
anggap sebagai tolok ukur akan perilaku seseorang. Anak-anak
muda lebih banyak yang memakai sarung ketika mengelilingi desa
mereka masing-masing. Jika keluar rumah biasanya mereka
memakau topi dan celana panjang atau kaos panjang yang
mencerminkan pakaian seorang santri. Mereka akan merasa malu
ketika memakai kaos oblong dan celana.
Teori penilaian sosial Sherif dan Hovland (1961) mencoba
menggabungkan sudut pandangan psikologi, psikologi, dan
antropologi dalam teorinya ini. Menurutnya orang membentuk
situasi penting bagi dirinya. Pembentkan situasi ini mencakup
faktor-faktor intern (sikap, emosi, motif, pengaruh pengalaman
masa lampau dan sebagainya), maupun eksternal (lingkungan
sekitar). Kontruk teori ini menyangkut tentang perilaku.170
Fenomena demikian akhirnya berdampak pada sebuah
tekanan sosial yang kuat sebagai bentuk tindakan untuk menjadikan
diri mereka sebagai seorang santri yang menjalankan norma-norma
170 Sarlito Wibowo, Teori-Teori Psikologi Sosial (Jakarta: CV Rajawali,
1984), 203.
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 223
sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Para pemuda biasnaya akan
tetap tinggal di dalam rumah bilamana tidak mempunyai keperluan
yang penting. Mereka akan menyuruh adik-adiknya yang masih
kecil untuk belanja atau membeli sesuatu yang dibutuhkan. Namun
wanita di Lamongan banyak yang memakai pakaian yang lebih
terbuka, kalangan anak pria biasanya lebih meras malu dari pada
wanita yang lebih blak-blakan.
Masyarakat Cina mempunyai filosofi air yang menjadikan
mereka mudah beradaptasi dimanapun. Ketika berdagang
masyarakat Cina mempunyai semangat untuk menghimpun
kekayaan secara tetap dengan keuntungan yang tidak seberapa.
Berbeda dengan orang Cina, masyarakat Lamongan yang merupakan
bagian dari masyarakat Jawa juga mempunyai sebuah filosofi dalam
menjalankan usahanya. Dalam berwirausaha harus senantiasa
memperhatikan etika. Pengertian etika adalah cara berhubungan
manusia dengan manusia lainnya.171
Adopsi filosofi Jawa senantiasa dipraktekkan oleh masyarakat
Lamongan dalam menjalankan usahanya. Diantara filosofi
berdagang yang dituturkan oleh Suhartini yang merupakan
masyarakat Lamongan adalah “bati sitik langganane akeh. Luweh
becik timbang bati akeh langganane sitik”. 172 Ungkapan ini
mempunyai makna bahwa dalam berdagang tidak hanya mengejar
keuntungan sesaat dan meninggalkan keuntungan jangka panjang.
Pedagang dari Lamongan senantiasa tidak memberikan harga
yang mahal kepada konsumen yang baru datang. Mereka senantiasa
mencari pelanggan dan meinggalkan keuntungan yang sesaat.
Tindakan ini diakukan agar para pembeli dating kembali dan tidak
kapok untuk makan lagi di warung milik orang Lamongan.
Kenyamanan dalam mencari penghidupan senantiasa
diimplementasikan oleh masyarakat Lamongan dalam menjalankan
171 Kasmir, Kewirausahaan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 23. 172 Wawancara dengan Suhartini (Jakarta, April, 2016).
224 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
usaha di Jakarta. Oleh karena itu, masyarakat Lamongan mayoritas
berwirausaha di luar kampung halaman mereka untuk kenyamanan
dalam menjalankan roda perekonomian. Kondisi yang demikian
berbeda dengan wirausahan di kampung Ledok Yogyakarta pada
tahun 2000 yang enggan untuk keluar dari kampung halamannya.
Mayoritas dari mereka lebih memilih untuk menjadi penyuplai
sayuran dan kebutuhan dasar pada sektor usaha kecil seperti warung
di kota-kota seperti Sleman dan Gunung Kidul.173
Kecenderungan dan kegemaran mereka bekerja secara mandiri
adalah pedoman untuk mencari penghidupan secara nyaman. Migran
Lamongan yang berwirausaha kebanyakan ingin terbebas dari
tekanan orang lain. Khozin salah seorang pedagang soto Lamongan
menuturkan “luweh enak usaha dewe timbang dadi kuline wong
liyo”.174 Dalam bahasa Indonesia, kalimat ini mempunyai arti lebih
nyaman membuka usaha sendiri daripada menjadi karyawan orang
lain.
Kompetisi sektor kuliner di Jakarta terus mengalami
intensitas kenaikan yang cukup ketat. Masyarakat Lamongan dalam
menanggapi banyaknya pedagang yang berasal dari berbagai daerah
tidak ambil pusing. Arif menuturkan bahwa bila berdagang harus
sama-sama laku dan melarang mendo’ahkan yang buruk pada
saingan dagang. Beliau senantiasa bersikap kompetitif dengan
memberikan pelayanan yang baik kepada para konsumen. Haji Arif
lebih lanjut menuturkan “wong tuku iku konco, dadi ojo sampek
gawe gelo konco.” Seorang pembeli adalah teman jangan sampai
kita mengecewakan teman.175
Keberhasilan dalam menjalankan usaha tidak hanya
ditentukan oleh lamanya waktu dalam mengelola usaha. Melainkan
173 Patrick Guinness, Kampung, Islam and State in Urban Java (Singapore:
National University of Singapore, 2009), 31. 174 Wawancara dengan Khozin (Lamongan, Agustus, 2015). 175 Wawancara dengan Arif (Jakarta, Desember, 2015).
Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 225
dari kesenangan selama bekerja. Fatoni yang pernah berjualan soto
Lamongan di sekitar rumah sakit Fatmawati menuturkan bahwa
berdagang seperti “dolang dodol karo mbolang. Ungkapan ini
mempunyai arti bermain sambil berdagang. Bekerja dengan sepenuh
hati tanpa disertai beban kehidupan akan menjadikan rejeki lancar.
Motivasi berwirausaha kuliner masyarakat Lamongan
senantiasa dihadapkan pada income yang tidak pasti. Adi salah
seorang penjual soto Lamongan di Jakarta Timur menuturkan
“dodol soto bayarane bendino, dadi karyawan bayarane sak ulan
pisan.”176 Berdagang soto hasilnya setiap hari dan menjadi karyawan
gajinya sebulan sekali. Orang-orang Lamongan yang nyaman
terhadap kerja sebagai wirausaha memaknainya sebagai kerja yang
memakai akal, bukan okol atau otot.
Berwirausaha adalah sikap dalam menerima takdir yang
berhadapan dengan sesuatu yang tidak pasti dalam artian untung
rugi. Meksipun demikian, konsep keberkahan senantiasa menjadi
control masyarakat Lamongan dalam menjalankan usahanya. Haji
Arif adalah seorang pedagang soto Lamongan yang suksess dan
mempunyai lima cabang warung. Konsep keberkahan senantiasa
menjadi pedomannya dalam menjalankan usaha, dia menuturkan
“dagang nek berkah rejekine turah. dagang nek olo rejekine
muspro”. 177 Pedagang yang jujur rejinya banyak, sementara
pedagang yang curang rejekinya akan hilang. Konsep ini sesuai
dengan ungkapan pedagang pecel lele Lamongan di kawasan Kebon
Jeruk Jakarta. Darkono yang menuturkan “wong becik rejekine
apek, wong olo rejekine soro”. Konsep kejujuran dan keberkahan
merupakan kontrol sosial yang kuat dalam aktivitas perokonomian
masyarakat Jawa.178
176 Wawancara dengan Adi (Jakarta, Maret, 2016). 177 Wawancara dengan Arif (Jakarta, Desember, 2015). 178 Wawancara dengan Darkono, seorang pedagang soto Lamongan Kebon
Jeruk (Lamongan-Jakarta Agustus, 2015).
226 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Filosofi rendah hati merupakan ajaran yang diwariskan oleh
orang tua kepada anak-anak mereka. Tata kelakuan dan kehidupan
ini kemudian menjadi sebuah tuntunan yang menjaga sikap dan
perilaku rendah hati. Termasuk dalam aktivitas perdagangan petuah
orang tua memberikan motivasi ekonomi “Nek rame ojo gumede.
Nek sepi ojo ngresulo” adalah konsep menerima hasil atas jerih
payah selama berdagang. Seorang pedagang tidak seharusnya
bersikap tinggi hati tatkala dagangannya untung banyak dan
mengeluh ketika sepi.179
Berwirausaha bagi masyarakat Lamongan yang memasuki
usia sepuh bisa dijadikan sebagai sarana dalam mengintrospeksi diri.
Tindakan ini dimaksudkan untuk mengetahui sebab yang
menjadikan usahanya tidak laku guna mencari sebuah solusi.
Aktivitas berwirausaha terkadang dimaknai sebagai tuntutan dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi. Haji Arif menuturkan bahwa pajak
manusia lebih banyak daripada yang lain. Sebab haji juga pajak
manusia yang harus dibayar kepada Tuhan dan zakat adalah pajak
yang dibebankan kita kepada anak-anak yatim.
Kreativitas yang terbentuk bukanlah sebuah kreativitas yang
dipelajari sejak mereka hidup dalam keadaan anak-anak yang hidup
dalam keadaan manja. Lebih menitiberatkan pada sebuah
pengalaman dan kemampuan dalam mengaplikasikan pengalamnnya
dalam tindakan nyata.180
Sebagai penjelasan sebelumnya, masyarakat
Lamongan mempunyai berbagai macam cluster usaha yang
kemudian menyebabkan adanya kemajemukan unit usaha
masyarakat Lamongan.
179 Wawancara dengan pedagang pecel lele Lamongan (Jakarta, Januari
2015). 180 Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2004), 212.
227
Bab V
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan
Masyarakat Lamongan
A. Pola Interaksi Sosial Masyarakat Lamongan di Jakarta
Interaksi sosial masyarakat Lamongan yang berdomisili di
perkotaan mempunyai distingsi dengan masyarakat yang berada di
pedesaan. Lingkungan sosial perkotaan yang bebas dan tidak
mempunyai kontrol sosial yang kuat dianggap sebagai sebuah sarana
dalam mengembangkan potensi. Pola interaksi masyarakat
Lamongan yang berdomisili di perkotaan di bentuk oleh warga yang
berasal dari desa atau daerah yang berbeda. Masyarakat Lamongan
senantiasa berinteraksi dengan masyarakat Lamongan yang berasal
dari sebuah perkampungan yang berbeda dengan yang lainnya.
Sangat jarang sekali peneliti temui masyarakat Lamongan yang
berinteraksi secara cooperation dengan sesama masyarakat
Lamongan yang berasal dari pedesaan yang sama.
Pola kehidupan masyarakat Lamongan biasanya berkaitan
erat dengan masyarakat Lamongan yang berasal dari daerah lain.
Konstruk solidaritas mekanik berlaku bagi masyarakat Lamongan
pada kasus yang demikian. Secara umum, mereka akan membentuk
sebuah interaksi sosial yang bersifat asosiatif dalam bentuk kerja
sama yang menguatkan satu sama lain. Tindakan ini dilakukan
untuk menghindari kontrol sosial yang begitu kuat. Masyarakat
Lamongan tidak tertarik membentuk pola ikatan kerja dengan
masyarakat Lamongan yang berasal dari sebuah pedesaan yang
sama. Kecenderungan orang Lamongan untuk menghindar dari
sesama komunitas yang berasal dari pedesaan yang sama.
228 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Motif yang demikian menjadi sebuah pertimbangan penting
dalam menjalankan aktivitas kehidupan mereka selama tinggal di
perkotaan besar seperti Jakarta. Apabila masyarakat bertemu
dengan sesama keluarga atau anggota masyarakat yang berasal dari
pedesaan yang sama. Tindakan yang mereka lakukan adalah dengan
menghindar agar bebas dalam mengembangkan karir selama tinggal
di Jakarta. Proses ketika meniti jalan kehidupan adalah sebuah fase
yang dilalui oleh seseorang untuk mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Mobilitas sosial masyarakat Lamongan selama tinggal di
Jakarta terjadi melalui sebuah pola interaksi sosial dengan
masyarakat yang berasal dari daerah yang berbeda.
Pemahaman nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh orang
tua mereka membentuk perilaku selama mereka tinggal di
perkotaan. Masyarakat Lamongan yang belum mencapai kemapanan
hidup dalam mobilitas sosial ekonomi lebih bersikap menghindar
dari masyarakat Lamongan yang berasal dari pedesaan yang sama.
Tingginya gengsi atau sikap tidak ingin menurunkan status sosial
adalah diantara faktor yang menyebabkan masyarakat Lamongan
berinteraksi secara demikian. Selama menjalani proses kehidupan
sebagai solusi memperbaiki kehidupan ekonomi. Menghindari diri
dengan bergaul dengan sesama komunitas yang berasal dari
perkampungan yang sama adalah upaya untuk menjaga status
sosialnya.
Kalangan orang tua dalam keluarga lebih bersikap selektif
terhadap anak-anak mereka selama tinggal di perkotaan besar di
Jakarta. Sikap yang enggan dilakukan oleh anak adalah pantang
untuk membantah pendapat dan saran yang dikemukkakan oleh
orang tua. Anggapan adanya sanksi magis berupa kuwalat
merupakan manifestasi sebuah kontrol sosial yang kuat untuk
mendorong anak agar memathui kedua orang tua. Struktur
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 229
pendidikan dimanifestasikan dalam bentuk interaksi sosial berupa
sopan-santun atau tata karma (unggah-ungguh).1
Tindakan yang dilakukan oleh orang tua adalah melarang
bergaul dengan sesama keluarga yang mempunyai keretakan sosial
karena faktor ekonomi atau status sosial. Sikap orang tua dalam
menjaga kewibawaan keluarga adalah bersikap sangat selektif
kepada anak-anaknya ketika bergaul atau berinteraksi sosial. Bentuk
penghormatan atau penghargaan tinggi yang diberikan oleh anggota
keluarga yang telah menetap di Jakarta adalah sebagai sebuah
magnet yang menjadi intensitas dalam mengkonstruk solidaritas
sosial. Sikap orang tua tidak membatasi pergaulan anak-anaknya
dengan sesama keluarga atau orang yang berasal dari pedesaan yang
sama ketika mereka merasa dihormati atau dihargai. Istilah ini
dalam bahasa Jawa disebut nguwongno wong atau menghargai dan
menghormati orang lain.
Perubahan masyarakat dalam bidang ekonomi dari pertanian
ke migrasi membawa transformasi pada bentuk dari tradisional
menuju ke modern. Struktur sosial secara langsung maupun tidak
langsung akan mengalami sebuah perubahan. Ngenger merupakan
sebuah mobilitas sosial kelas tradisional. Bentuk mobilitas sosial
terjadi pada masyarakat Jawa. Ngenger dimaknai sebagai sebuah
mobilitas sosial vertikal yang biasa dilakukan oleh oleh masyarakat
petani kepada sektor lain di Jawa. Migrasi merupakan sebuah
mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat yang lain dalam
upaya untuk merubah status dan struktur sosial.2
Akumulasi kekayaan atau pecapaian masyarakat Lamongan
dalam bidang ekonomi selama tinggal di Jakarta tidak menjadi
1 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,
Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1993), 100-101. 2 Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa: Penelitian, Perbandingan, dan
Pemaknaan Budaya (Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2015),
171-172.
230 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
sebuah kohesi sosial bagi masyarakat migran lainnya. Keluarga yang
belum mencapai kemapanan dalam kehidupan ekonomi tidak
menjadikan anak-anak mereka sebagai tenaga kerja. Upaya yang
dilakukan oleh orang tua adalah dengan menyuruh anak-anaknya
untuk bekerja kepada orang lain. Selama bekerja mereka mempunyai
kebebasan dan merasa tidak diperlakukan sebagai seorang karyawan
oleh keluarganya sendiri. Para orang tua di Lamongan lebih
menyukai ketika anak-anak mereka menjadi karyawan orang lain
daripada keluarga sendiri.
Salah seorang warga Lamongan menuturkan bahwa menjadi
karyawan orang lain lebih menyenangkan daripada menjadi
karyawan bagi keluarga sendiri. Dalam wawancara yang peneliti
lakukan Adib yang bekerja sebagai karyawan soto dan pecel lele
Lamongan menuturkan “bekerja pada orang lain lebih bebas
daripada bekerja ikut keluarga sendiri”.3 Dia lebih mengedepankan
status sosial daripada kebebasan dalam menjalankan usaha.
Sarana dan prasarana lengkap bilamana seorang yang tinggal
di Jakarta mampu untuk meningkatkan gengsinya. Seorang guru
yang tinggal di Lamongan masih kalah gengsinya dengan seorang
kuli yang tinggal di Jakarta. Eskalasi waktu mudik merupakan
sebuah tolok ukur yang menjadikan masyarakat Lamongan yang
tinggal di Jakarta jarang sekali pulang. Eksistentsi kereta cepat
Jakarta-Surabaya tidak menjadikan arus mudaik Lamongan Jakarta
berlangsung setiap beberapa bulan sekali. Keengganan pulang
adalah sebagai bentuk menghindari status sosial yang belum mapan
bagi masyarakat Lamongan.
Masyarakat migran yang mempunyai tingkat pendidikan
rendah kebanyakan bekerja di sektor informal yang tidak
membutuhkan kualifikasi tingkat pendidikan. Mereka
mengembangkan skill dan kemampuannya pada sektor informal
yang tidak mempunyai ijazah. Kerja serabutan pada umumnya
3 Wawancara dengan Adib, karyawan soto Lamongan.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 231
merupakan bentuk kerja yang diidamkan oleh kalangan migran yang
mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Golongan yang
demikian mengalami banyak kendala ketika melamar pekerjaan
dalam sebuah perusahaan yang lebih mementingkan aspek
pendidikan daripada skill. Masyarakat Lamongan yang mempunyai
tingkat pendidikan rendah bilamana datang ke kota-kota besar
karena inisiatif sendiri dan mempunyai motivasi berwirausaha.4
Berbeda dengan masyarakat Minang yang mempunyai sanak
saudara yang kemudian mereka mengajak sanak saudaranya untuk
ikut bergabung. Masyarakat Lamongan cenderung lebih suka
bergerak secara individual tanpa bantuan keluarga atau orang
sekampung. Alasan sosial merantau masyarakat Minang
dikarenakan tekanan adat atau merasa kaku dan tidak mempunyai
banyak kesempatan bila tetap tinggal di kampung halaman.
Angakatan tua tidak banyak memberikan kesempatan kepada
angkatan muda yang mengakibatkan banyak tanggung jawab sosial.5
Menurut Weber sebuah realitas sosial merupakan hasil dari
pengalaman hidup manusia. Weber mempunyai asumsi dasar
tentang manusia. Pertama, realitas sosial merupakan hasil dari
pemaknaan subjektif. Kedua adalah asumsi Durkheim bahwa
masyarakat merupakan realitas objektif sebagaimana sebuah fakta.6
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Lamongan
lebih menyukai berinteraksi dengan masyarakat Lamongan yang
berasal dari pedesaan atau perkampungan yang berbeda karena
kebebasan dalam menjalankan aktivitas, menghindari kontrol sosial
yang ketat, serta menghindari proses dalam meniti karir.
4 Wawancara dengan Suliyanto (Jakarta, Oktober 2015). 5 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1984), 249-250. 6 Geger Riyanto, Peter L Berger Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta:
LP3ES, 2009), 72.
232 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Tindakan tersebut dilakukan agar selama meniti karir tidak
diketahui oleh sesama warga yang berasal dari perkampungan yang
sama. Mereka biasanya berinteraksi sosial ketika sudah mencapai
kemapanan dalam di kota-kota besar. Masyarakat Lamongan lebih
menyukai ketika mendirikan usaha dengan orang yang berasal dari
luar desa atau perkampungan mereka. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan aktivitas selama di Jakarta tidak dibawa ke
kampung halaman. Selain itu, digunakan sebagai sarana dalam
menghindari gunjingan sosial ketika mereka kembali ke kampung
halaman mereka.
Pola perdagangan masyarakat Lamongan terbentuk dari
keluarga yang berasal dari seayah atau seibu. Sangat jarang mereka
membentuk wirausaha dari saudara yang sudah terpisah antara ayah
dan ibu. Pola yang terpisah biasanya menyebabkan kompetisi dalam
bidang ekonomi diantara keluarga. Pola yang demikian tidak hanya
terjadi dalam dunia kewirausahaan. Melainkan dalam bentuk
kompetisi pekerjaan yang lainnya.
B. Korelasi Agama dengan Wirausaha
Aspek keagamaan masyarakat Lamongan di Jakarta dibentuk
karena kesadaran individu untuk menjalankan kegiatan keagamaan.
Kondisi ini berbeda dengan kehidupan masyarakat Lamongan yang
berada di daerah asalnya. Kegiatan kegaamaan terdorong bukan
karena adanya kesadaran dari dalam. Melainkan kesadaran diskursif
yang mempengaruhi warganya untuk mengekspresikan aktivitas
keagamaan secara komunal. Agama bagi masyarakat Lamongan
yang tinggal di daerah asalnya merupakan bagian kontrol sosial
yang membentuk perilaku warganya. Namun bagi masyarakat
migran Lamongan di Jakarta, agama adalah sebuah kewajiban yang
bersifat personal.
Kalangan orang tua di Lamongan sebagaimana masyarakat
Jawa pada umumnya masih menekankan agar anak-anak mereka
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 233
bekerja pada sektor pemerintahan atau swasta daripada
berwirausaha. Adanya pendapatan yang stabil dengan gaji bulanan
yang tetap menjadi sebuah pertimbangan penting dalam orientasi
bekerja di pemerintahan atau swasta daripada berwirausaha dengan
dihadapkan dengan resiko yang tidak pasti. Berwirausaha hanya
menjadi sebuah alternatif ketika dihadapkan dengan kemungkinan
yang minim dalam menempuh karir di pemerintahan atau swasta
karena tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Kewirausahaan masyarakat Lamongan tidak hanya dibentuk
oleh motivasi berprestasi (need of achievement) untuk
meningkatkan status sosialnya ditengah masyarakat. Suatu
masyarakat mengalami perkembangan dan kemajuan ketika
ditengah-tengah masyarakat ada seorang tokoh atau beberapa tokoh
yang memberikan pengaruh. Pesan-pesan moral para tokoh agama
atau tokoh masyarakat membentuk pola kehidupan khusus yang
menentukan arah perubahan.
Masyarakat yang hidup dalam kebiasaan skeptis karena
peranan tokoh agama yang membentuk pola kehidupan yang
demikian. Orientasi dan motivasi kehidupan digambarkan sebagai
sesuatu yang menjauhi kehidupan dan kemewahan duniawi. Etos
kerja masyarakat yang pola kehidupannya pada pemberiaan yang
bersifat apa adanya dapat membentuk masyarakat yang pemalas dan
mempunyai etos kerja yang rendah. Bagi mereka orientasi
kehidupan didasarkan pada pola kehidupan sederhana dan apa
adanya.
Pola kehidupan skeptic masyarakat yang demikian masih
terjadi pada beberapa masyarakat Indonesia yang hidup di daerah-
daerah yang menjunjung tinggi nilai dan kehidupan yang sederhana.
Kompetisi ekonomi pada masyarakat yang demikian masih terjadi
secara longgar. Indikasi kebaikan dan pengakuan sosial bukan di
dasarkan pada reifikasi sosial yang berorientasi pada akumulasi
234 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
materi. Kesederhanaan dan menaati norma-norma dan nilai-nilai
sosial menjadi sebuah indikator dalam perilaku sosial
masyarakatnya. Mayoritas masyarakat yang hidup dalam
kesederhaan menjadi penyebab bagi para warganya untuk tetap
nyaman ketika menetap di kampung halaman mereka. Umumnya
mereka mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan nelayan
yang identik dengan meanfaatkan komoditas alam.
Sistem kehidupan masyarakat yang demikian umumnya
bermigrasi karena dorongan untuk mencari pengetahuan serta
mengembangkan karir di daerah tujuan. Status sosial ditentukan
bukan karena akumulasi kekayaan semata, melainkan dari
pengetahuan serta keterampilan yang mereka dapatkan. Pola migrasi
masyarakat ini karena dilatar belakangi oleh motivasi pendidikan
dan pengetahuan.
Budaya priayi pada masyarakat Jawa tidak menggolongkan
masyarakat kedalam strata sosial berdasarkan akumulasi kekayaan
semata. Namun berdasarkan peran mereka di masyarakat atau
pemerintahan. Peran priayi yang dijalankan oleh masayarakat Jawa
tidak hanya sebatas peran dalam aspek pemerintahan. Jabatan tinggi
dalam suatu perusahaan atau eselon menjadi prestise tersendiri bagi
mayoritas masyarakat Jawa. Ilustrasi yang demikian
menggambarkan bahwa pola struktur sosial masyarakat Jawa bukan
ditentukan oleh akumulasi kekayaan semata. Namun di dasarkan
pada peran dan kontribusi mereka di tengah masyarakat.
Perkembangan kedudukan seorang aristokrat diperkuat
dengan adanya tiga aspek yang mendasarinya. Adanya
perkembangan tersebut memperkuat kedudukan kaum aristokrat
yang memegang kendali pemerintahan. Karena adanya orientasi
untuk memegang teguh kepada status, tradisi dan prefigurasi.
Ketiga pokok orientasi tersebut berkaitan antara satu sama lain
serta adanya saling ketergantungan. Bagi kelompok yang mapan
kedudukannya, mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 235
kedudukan status sosialnya untuk lebih kuat. Sebuah asumsi logis
ketika status menjadi kritertia untuk suatu konservatisme.
Masyarakat tradisional mempunyai budaya yang mendukung kultus
serta simbol-simbol yang mendukung ekspresi dan gaya hidup
priayi.7
Namun bagi masyarakat yang asketis, pola kehidupan yang
didasarkan pada reifikasi sosial cenderung mengarah pada akumulasi
kekayaan. Individu serta entitas yang ada di dalamnya mengalami
sebuah gejolak atau cultural lag. Pada umumnya, masyarakat yang
demikian bermigrasi karena dilatarbelakangi oleh motivasi ekonomi.
Generasi muda ketika memasuki usia yang produktif memilih
meninggalkan kampung halamannya untuk memperbaiki kondisi
perekonomiannya. Umumnya mereka tidak nyaman untuk tinggal di
kampung halamannya.
Budaya yang menjadi sebauah sarana meningkatkan statsu
sosialnya menjadi alasan utama bermigrasi masyarakat yang
dmikian. Latar belakang kondisi sosial yang tidak didsarakan pada
penataan terhadap nilai-nilai dan norma-norma sosial. Masyarakat
menganggap bahwa keadaan tidak mempunyai pekerjaan (tuna
karya) adalah sesuatu yang dapat menurunkan status sosialnya di
tengah-tengah masyarakat. Pola kehidupan masyarakar pada tahun
sebelum memasuki abad kedua puluh masih bersisat skeptis.
Kesederhanaan dan akumulasi materi tidak menjadi pertimbangan
yang penting ditengah-tengah masyarakar. Mereka menilai ukuran
status sosial bukan ditentukan oleh kepemilikan materi. Namun
karena pola perilaku dalam mentaati nilia-nilai dan norma-norma
sosial di tengah masyarakat. Pada fase ini, masyarakat Lamongan
senantiasa hidup dalam kesederhanaan dan tidak menonjolkan
kekayaan.
7 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,
Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1993), 72.
236 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Para tokoh agama yang belum mempunyai kemapanan dalam
kehidupan ekonomi senantiasa menonjolkan kehidupan sederhana.
Metode pembelajaran yang demikian kemudian memberikan
pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat yang cenderung
berorientasi pada kesederhanaan. Sementara pada tahun 2000
keatas, pola kehidupan tokoh agama yang mempunyai kemapanan
dalam kehidupan ekonomi lebih menuruti gaya hidup yang mewah
dan kurang menonjolkan aspek kesederhanaan. Pengajian yang di
sodorkan ke masyarakat lebih berorientasi pada kemampuan dalam
pencapaian ekonomi senantiasa mereka angkat di permukaan umum
sebagai legitimasi bahwa seseorang yang mendekat kepada tuhan
diberikan kekayaan.
Ukuran kasih sayang tuhan kepada manusia pada dasarnya
merupakan konsep etika protestan yang dikemukakan oleh Max
Weber dalam spirit kapitalismenya. Bagi masyarakat yang
mempunyai kekayaan yang melimpah dan kemampuan dalam
pencapaian ekonomi yang mapan. Tentu konsep yang demikian
tidak menjadi soal bagi masyarakat yang mempunyai kemapanan
dalam hidup. Sementara bagi masyarakat yang belum mempunyai
kemampuan dalam kemapanan ekonomi bersikap sebaliknya.
Komunitas masyarakat yang mempunyai kehidupan ekonomu
yang baik senantiasa bersama masyarakat yang mempunyai
kemapanan. Termasuk juga yang dilakukan oleh para pemuka agama
yang cenderung hanya berkumpul dengan komunitas yang sama
dalam kemapanan. Masyarakat yang merasa termarjinalkan
cenderung untuk bekerja keras agar mempunyai status sosial yang
sama di tengah masyarakatnya. Upaya yang mereka lakukan adalah
dengan merubah pola kehidupan yang awalnya bergantung dengan
kondisi alam dengan merantau atau bermigrasi.
Masyarakat Lamongan mempunyai sebuah kepercayaan
bahwa pola kehidupan yang monoton di desa tidak benyak
mempengaruhi prospek kehidupannya. Dalam padangan sebagian
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 237
besar masyarakat Lamongan, pola kehidupan yang monoton hanya
menghambat kemajuan pola pikir dan kehidupan perekonomian.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat Lamongan yang merasa
tidak nyaman ketika tinggal di kampung halaman mereka adalah
dengan melakukan migrasi.
Jakarta merupaka kota metropolitan yang menjadi tujuan
utama masyarakat Lamongan. Gaya hidup yang bebas disertai
dengan kontrol sosial yang renggang menjadi pertimbangan
tersendiri bagi warga Lamongan. Pola kontrol sosial yang renggang
merupakan sebuah keleluasaan dalam mengembangkan karir di masa
depan. Ruang gerak yang bebas di perkotaan bisa menjadi sebuah
nilai tambah dalam mengembangkan kehidupan yang lebih baik di
Jakarta.
Sementara kehidupan yang monoton disertai dengan kontrol
sosial yang ketat dianggap sebagai hambatan dalam
mengembangkan aktivitas dimasa depan. Masyarakat senantiasa
menilai dan mengawasi aktivitas seseorang di pedesaan. Upaya yang
dilakukan oleh masyarakat dengan adalah dengan memberikan
kontrol sosial yang ketat. Fenomena ini memberikan gambaran
bahwa masyarakat pedesaan sukar untuk dipisahkan dengan
aktivitas pertanian. Bekerja sebagai petani memberikan nilai
tambah dalam benak sebagian masyarakat. Sebab aktivitas yang
demikian dilakukan secara bersamaan dengan warga masyarakat
lainnya.
Berbeda dengan masyarakat yang bekerja sebagai seorang
pedagang yang mengirimkan barang dagangannya keluar desa.
Steorotip yang diberikan masyarakat kemudian menimbulkan
sebuah anggapan yang kurang baik karena mereka tidak mengetahui
aktivitas yang dijalankan oleh pedagang. Kondisi yang demikian
diperparah dengan kehidupan pedagang yang belum mencapai
kemapanan dalam kehidupan ekonomi.
238 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Masyarakat desa yang mempunyai pekerjaan di kota
(forensen) memulai aktivitas di pagi hari dengan sistem pulang-
pergi dari desa ke kota. Istilah yang demikian dalam bahasa Jawa di
kenal dengan sebutan ngalong, yakni pulang-pergi dalam memulai
aktivitas bekerja. Selain sebagai hinterland atau penyangga
kehidupan masyarakat perkotaan, pola kehidupan masyarakat desa
juga memberikan kontribusi dalam penyangga aktivitas sosial
pemerintahan dan perekonomian. Eksistensi desa tidak hanya
memberikan kontribusi dalam bentuk sumber daya alam, melainkan
sebagai penyuplai kebutuhan masyarakat perkotaan dalam sector
pekerjaan.
Keberadaan usaha kecil yang dijalankan oleh masyarakat
Lamongan secara tidak langsung memberikan kontribusi dalam
mengurangi jumlah pengangguran di Jakarta. Adanya hambatan
yang dialami oleh sebagian besar pedagang kecil yang terdapat di
Jakarta. Tidak menjadi hambatan yang berarti bagi ekspansi usaha
sektor kuliner masyarakat Lamongan di Jakarta. Keberadaan
warung-warung milik warga lamongan di Jakarta juga mampu untuk
memberikan kontribusi dalam mengurangi problem sosial
pengangguran.
Pengangguran yang diakibatkan oleh minimnya lapangan
pekerjaan menjadi tanggung jawab penting bagi pemerintah dalam
upaya mengurangi problem sosial yang demikian. Warung-warung
Lamongan senantiasa menyerap jumlah tenaga kerja yang berasal
dari berbagai daerah atau sekitar tempat usaha yang mereka
jalankan. Mereka mampu menggaji karyawan RP. 900.000-
1.000.000 perbulan untuk setiap karyawan tergantung jumlah
pemasukan dan keuntungan yang di dapatkan.
Mangkraknya proyek yang dijalankan oleh pemerintah
terkadang memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap
kelangsungan usaha kecil di Jakarta. Arif merupakan diantara warga
Lamongan yang menjalankan usaha kuliner di Jakarta selatan.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 239
Adanya proyek jembatan layang yang digarap dalam waktu yang
lama oleh pemerintah memberikan dampak dalam omset bulanan.
Sebelum dibangunnya jembatan layang, Arif mampu memperoleh
pendapatan lima juta setiap malam dalam jumlah rata-rata. Namun
setelah dibangunnya jembatan layang yang tidak kunjung selesai,
jumlah pendapatannya rata-rata perarinya tiga juta rupiah per
malam. “saya sekarang hanya mampu mendapatkan keuntungan
sebesar tiga juta permalam. Pada waktu yang lalu saya sebelum
dibangunnya jembatan layang, saya bisa mendapatkan keuntungan
bersih sebanyak lima juta rupiah perhari”
Ketahanan usaha kecil dalam menghadapi hambatan dan
krisis ekonomi lebih kuat dibandingkan dengan usaha yang brskala
besar. Sector non-formal ini mampu bertahan ditengah terpaan krisis
ekonomi di Indonesia. Ketika usaha yang lain banyak yang gulung
tikar dalam menghadapi krisis, sector kuliner yang dijalankan
masyarakat Lamongan masih bertahan dalam kondisi apapun.
Ditengah program pemerintah dalam upaya mengurangi jumlah
pengangguran dengan menyedikan lapangan pekerjaan baru.
Entrepreneurship dianggap sebagai problem solving untuk
mereduksi pengangguran. Kaum migran yang bergerak dalam sektor
informal dengan mendirikan kewirausahaan dapat memberikan
kontribusi dalam memperkecil jumlah pengangguran. Keberadaan
masyarakat dari golongan bawah mereka tampung sebagai tenaga
kerja tanpa menekankan pada tinggi rendahnya aspek pendidikan.
Kondisi bekerja sebagai karyawan atau pegawai menjadi
problem kultural bagi masyarakat Lamongan lainnya. Mereka
memaknainya dengan anggapan bahwa bekerja menjadi wirausaha
mempunyai lebih banyak waktu luang dan kebebasan dalam
menjalani hidup. Sementara bekerja di sebuah perusahaan dan
pemerintahan hanya membatasi diri dengan aturan-aturan yang
berlaku. Pandangan ini diperkuat dengan fluktuasi income yang di
dapatkan dalam periode tertentu, yakni dengan pendapatan perhari.
240 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Wirausahawan Lamongan mempunyai sebuah asumsi bahwa bekerja
diperkantoran membatasi diri mereka.
Bila diperhatikan dengan seksama, masyarakat Lamongan
yang tinggal di Jakarta mempunyai tingkat perbedaan yang
mencolok dengan masyarakat Lamongan yang tinggal di pedesaan.
Mereka menjalankan peribadatan sebagai bentuk kewajiban yang
harus mereka penuhi termasuk sholat lima waktu. Sedangkan
masyarakat Lamongan yang tinggal di pedesaan dalam menjalankan
kegiatan keagamaan lebih dipengaruhi oleh kehidupan lingkungan
sekitarnya. Pola kehidupan masyarakat Jawa yang tinggal di
pedesaan mempunyai perbedaan dengan perkotaan. Masyarakat desa
pada umumnya menjadikan sarung sebagai idntitas untuk
menampilkan perilaku keagamaan. Yakni meningkatkan gengsinya
dengan pembawaan status santai dan berwibawa.8
C. Ekspresi Keagamaan Masyarakat Lamongan di Jakarta
Kalangan orang tua di Lamongan ketika menyuruh anak-anak
mereka bekerja sebagai karyawan di sektor kuliner lebih bersikap
seletif dan tidak sembarangan. Tindakan ini dilakukan agar anak-
anak mereka bisa terjaga dan terbimbing selama tinggal di kota-kota
besar. Biasanya orang tua menyukai jika anak-anak mereka ikut
pada orang Lamongan yang membuka warung-warung di Jakarta
yang mempunyai pemahaman dan penerapan agama yang baik. Dari
sini bisa terlihat bahwa orientasi yang dibangun bukan hanya pada
orientasi akumulasi kekayaan semata. Namun proteksi dari
pengaruh dunia luar yang membawa dampak negatif selama tinggal
di Jakarta.
8 Denys Lombard, Le Carrefour Javanais (Paris: E>cole des Hautes E>tudes en
Sciences Sociales, 1990). Diterjemahkan oleh , Winarsih Partaningrat Arifin dkk,
Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama), 156-157.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 241
Masyarakat yang tinggal di Lamongan berbeda dengan
masyarakat Lamongan yang tinggal di daerah perantauan.
Khususnya masyarakat Lamongan yang tinggal di daerah Jakarta
yang merupakan kota terbesar di Indonesia yang heterogen.
Masyarakat Lamongan yang berdomisili di daerah perantauan lebih
terbuka daripada masyarakat Lamongan yang tinggal di daerah
Lamongan asalnya.9 Umumnya etos kerja masyarakat Lamongan
yang tinggal di daerah perantauan lebih tinggi daripada mereka yang
tinggal di kampung halamannya.
Pualam merupakan organisasi sosial yang didirikan oleh
masyarakat Lamongan sebagai wadah perkumpulan dalam
menjalankan silaturrahmi. Paguyuban ini didirikan atas inisiatif
tokoh-tokoh Lamongan yang berada di daerah Jabodetabek (Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Menurut penuturan orang
Lamongan yang merantau lebih dari sepuluh tahun di Jakarta,
Pualam mengadakan silaturrahmi di antara warga Lamongan dalam
tempo setahun sekali atau ketika ada acara tertentu. Mereka
biasanya mengadakan acara ini di anjungan Jawa Timur Taman
Mini Indonesia Indah setelah hari raya.
Pualam terdiri dari pedagang soto, pecel lele dan berbagai
elemen masyarakat Lamongan yang bekerja dalam berbagai macam
sektor di Jakarta. Dalam acara yang diadakan oleh masyarakat
Lamongan biasanya dihadiri oleh ribuan migran yang berasal dari
Lamongan. Halal-bihalal adalah acara yang diadakan secara rutin
oleh warga Lamongan setiap tahunnya. Menurut penuturan Narsim,
Pualam mempunyai anggota tetap. Yakni masyarakat Lamongan
yang telah bekerja di daerah Jakarta dan sekitarnya selama lebih dari
sepuluh tahun.10
9 Wawancara dengan Ramelan (Lamongan, 2014). 10 Wawancara dengan Narsim, seorang pegawai ekspedisi dari Lamongan
yang menetap selama lima belas tahun di Jakarta.
242 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Formala atau Forum Mahasiswa Lamongan merupakan
organisasi yang didirikan untuk mewadahi kegiatan masyarakat
Lamongan. Kegiatan yang dijalankan oleh Formala adalah
berdiskusi dan kajian ilmiah diantara mahasiswa Lamongan. Pada
malam Jum’at mahasiswa Lamongan mengadakan kegiatan
manaqiban dan dziba’an yang diamalkan oleh sebagian besar
masyarakat Lamongan yang menganut aliran NU. Mahasiswa
Lamongan yang mempunyai aliran Muhammadiyah tidak ikut serta
dalam mengadakan kegiatan ini. Mereka lebih toleransi terhadap
mahasiswa NU.
Secara umum, komposisi antara NU dan Muhammadiyyah di
Lamongan tidak berbeda jauh sebagaimana daerah Jawa Timur pada
umumnya yang didominasi oleh kalangan NU. Selain kedua aliran
tersebut banyak juga aliran kejawen di Lamongan. Mereka
kebanyakan tinggal di daerah pegunungan dan pedalaman yang
didominasi oleh kalangan petani.
Kaum migran dari Lamongan yang tinggal di Jakarta
mempunyai cara yang berbeda dalam menjalankan aktivitas
keagamaannya. Kebanyakan mereka menjalankan peribadatan sesuai
dengan kemampuan mereka di Jakarta. Dalam artian tidak terlalu
mencolok sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Lamongan di
daerah asalnya.11
Masyarakat Lamongan di daerah asalnya
cenderung menjadikan aktivitas keagamaannya sebagai sebuah
ritual peribadatan yang terlembagakan. Tindakan ini dilakukan
sebagai upaya untuk meningkatkan statsus sosialnya, bukan
menjalankan aktivitas rohani secara esensi. Sikap ingin dihormati
adalah model persaingan diantara masyarakat yang ingin
menampilkan aktivitas keagamaan ke ruang publik.'12
11 Wawancara dengan Fatoni (Lamongan, Juli 2015). 12 Etan Diamond, Souls of The City: Religion and the Search for
Community in Postwar America (Bloomington: Indiana University Press, 2003),
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 243
Masyarakat Lamongan lebih suka bilamana mereka hidup
berdampingan dengan kumunitas masyarakat Lamongan yang
berbeda perkampungan atau kecamatan. Mereka kebanyakan
menjaga jarak dengan masyarakat yang berasal dari daerah atau
perkampungan yang sama. Tindakan ini lebih menguatkan diantara
mereka untuk bersolidaritas sosial yang pada akhirnya mengikat
masyarakat Lamongan.13
Perilaku sosial masyarakat migran berubah seperti terlihat
dari bentuk arsitektur rumah tinggal, pola hidup bertetangga,
apresiasi seni budaya, praktek ekonomi, sikap berorganisasi dan
berkelompok dan sebagainya. Menurut Nairun, orang pertama kali
yang membangun pagar adalah H Misbach pada tahun 1985, seorang
pendatang yang menetap sejak lama di Pintu Air Bekasi. Secara
ilustratuf, rumah tanpa pagar mempunyai banyak definisi
keterbukaan, kepercayaan sosial, kebersamaan dan rasa aman.
Namun rumah tanpa pagar mempunyai arti yang lain secara
negatif.14
Pola interaksi dengan masyarakat Lamongan yang berbeda
kecamatan lebih memudahkan mereka untuk bergerak secara leluasa
tanpa adanya sebuah kontrol sosial yang kuat diantara masyarakat
yang berasal dari pedesaan yang sama. Selama di daerah perantauan,
masyarakat Lamongan biasanya tidak mengandalkan pola hubungan
dengan mengandalkan masyarakat yang berasal dari pedesaan atau
keluarga yang sama. Jaringan wirausaha yang mereka bentuk
biasanya berkonstruk dari masyarakat Lamongan yang berasal dari
pedesaan atau perkampungan yang berbeda.15
Keluarga yang belum suksess dalam menjalankan usaha
menjalin mitra dengan teman atau kerabat yang berasal dari
13 Wawancara dengan Kiswanto (Lamongan, Agustus 2015) 14 Huriyuddin, Pergeseran Kultural di Kampung Urban: Studi di Kampung
Pintuair Bekasi Selatan (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 1997), 42. 15 Wawancara dengan Adib (Jakarta, September 2015).
244 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
pedesaan yang berbeda atau dari kecamatan yang jauh.16
Migrasi
masyarakat secara massif di kota-kota besar memunculkan kaum
proletar dengan kapasitas daya saing rendah.17
Kelompok migran
yang demikian didominasi oleh masyarakat yang tingkat
pendidikannya rendah dan tidak mempunyai banyak skill yang
memadai.
Kompetisi yang ketat di Jakarta pada akhirnya menimbulkan
sebuah seleksi alam secara ketat dalam bentuk kompetisi untuk
mencapai kemapanan hidup dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Menurut Charles Darwin, dunia merupakan sebuah kompetisi besar
yang menyebabkan makhluk hidup berkompetisi dalam mencapai
kehidupan yang lebih baik. Kaum migran yang terdiri dari berbagai
latar belakang masyarakat yang terkonsentrasi di kota-kota besar
pada akhirnya melakukan berbagai upaya dalam mencapai sebuah
tujuan hidup.
Kalangan orang tua Lamongan yang telah sukses dengan
mempunyai anak yang tingkat pendidikannya rendah
mengesampingkan aspek pendidikan dalam kehidupan mereka.
Motif pencapaian ekonomi merupakan alasan utama yang dijadikan
tolok ukur oleh kalangan orang tua di Lamongan sampai saat ini.
Tingkat pendidikan yang tinggi tanpa pencapaian ekonomi yang
matang hanyalah sebuah pencapaian yang tidak meningkatkan
status sosial. Masyarakat Lamongan yang demikian lebih berpikiran
pragmatis dalam memahami aspek pengetahuan dan pendidikan.
Bilamana seorang hanya mampu berteori tanpa memberikan sebuah
bukti yang konkrit menjadi gunjingan dan cemoohan tersendiri bagi
masyarakat Lamongan.
Kelompok masyarakat Lamongan yang tinggal di pesisiran
mempunyai sebuah filosofi yang unik dalam memandang dunia
16 Wawancara dengan Tosin (Jakarta, April 2015). 17 Cucu Nurhayati, Sosiologi Perkotaan (Tangerang Selatan: UIN Jakarta
Press, 2013), 52-53.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 245
pendidikan yang belum mampu menciptakan manusia secara
matang. Terutama kemapanan dalam pencapaian kehidupan
ekonomi. Filosofi masyarakat Paciran adalah “jangan mengajari ikan
untuk berenang” yang bermakna jangan mengajari orang yang sudah
berpengalaman dan merasakan pahit manisnya asam kehidupan.
Sementara masyarakat Lamongan yang tinggal di daerah
pegunungan mempunyai sebuah filosofi “jangan mengajari burung
untuk terbang” sebab pengalaman mereka dalam kehidupan lebih
lama.
Pengalaman sampai saat ini masih menjadi sebuah
pembelajaran hidup yang penting bagi sebagian besar masyarakat
Lamongan. Terutama pengalaman yang didapatkan di daerah
perantauan yang tidak terdapat di kampong halaman sendiri. Jakarta
sebagai sebuah kota besar tentu menjadikan penduduknya untuk
belajar dan memberikan pengalaman berharga tentunya. Komposisi
Jakarta yang multikultur menjadikannya sebagai sebuah kota
terpadat dan kompleks di wilayah Indonesia.
Adapun sebab berikutnya yang menjadikan Jakarta sebagai
tujuan utama masyarakat Lamongan adalah karena daya tariknya.
Infrastruktur yang lengkap serta merasa lebih gengsi bila hidup di
kota besar adalah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Lamongan
dalam meningkatkan status sosialnya. Selama beberapa tahun
mereka tinggal di Jakarta sampai mereka ingin kembali ke kampong
halaman mereka sendiri. Ketika seorang pemuda mempunyai rumah
di Jakarta, maka mereka enggan untuk kembali ke kampung
halamannya. Teori demikian lebih idntik dengan everet S. Lee yang
menjadikan motif migrasi yang disebabkan karena daya tarik kota
yang bersangkutan.
Pola kehidupan masyarakat Lamongan yang ada di pedesaan
dengan Jakarta mempunyai sebuah distingsi. Ritual peribadatan
antara masyarakat Lamongan yang tinggal di sebuah pedesaan
biasanya dalam bentuk control sosial. Sistem keagamaan
246 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
masyarakat Lamongan dalam menjalankan ibadahnya adalah karena
tuntutan lingkungan yang mereka tempati dan kontrol sosial yang
begitu kuat. Dalam menjalankan ritual keagamaan, masyarakat
Lamongan yang tinggal di pedesaan biasanya dipengaruhi oleh
tekanan yang berasal dari lingkungannya. Agama dalam hal ini
dijalankan sebagai bentuk pelepasan dari pengucilan sosial yang
terjadi di masyarakat. Mereka merasa menanggung malu ketika
tidak menjalankan aktivitas keagamaan di tengah-tengah
masyarakat. Generasi muda biasanya tidak mau bergaul dengan
kehidupan luar rumah dan memutuskan untuk menetap di rumah
mereka masing-masing. Tindakan ini dilakukan sebagai upaya untuk
menghindari sanksi sosial yang ada di tengan masyarakat.
Clifford Geertz (1960), menjelaskan bahwa masyarakat
muslim Jawa yang terbagi menjadi tiga kategorisasi bekerja dalam
bidang masing-masing.18
Santri bekerja sebagai pedagang, priayi
dalam pemerintahan serta abangan sebagai petani. Namun dalam
data yang peneliti temui justru berbeda dalam artian sedikit santri
yang bekerja sebagai pedagang. Kebanyakan mereka bekerja sebagai
petani yang menggarap sawah atau buruh di persawahan. Kaum
abangan malah banyak yang bekerja sebagai pedagang soto dan
membuka aneka usaha lainnya. Dalam sejarah, hubungan antara
priayi dengan kalangan rakyat jelata masih terpisah secara simbolik
maupun kultural.19
Kasus pada masyarakat Lamongan, menunjukan
tidak semuanya masyarakat Jawa mempunyai kecenderungan yang
demikian.20
18 Clifford Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press of
Glencoe, 1960), 228-232. 19 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama di Tangan Elit
Penguasa (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 269. 20 Adanya beragam ilustrasi diatas menunjukan betapa sulitnya membuat
sebuah generalisasi tentang tata aturan pembagian warisan budaya dalam
masyarakat Jawa. Lihat Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2009), 45.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 247
Trikotomisasi ini dalam sistem keagamaaan masyarakat Jawa
tentu kurang sesuai. Sebab masyarakat Jawa dalam menjalankan
sistem keagamaan tidak mengalami distingsi sebagaimana yang di
jelaskan oleh Clifford Geertz. Namun peneliti dalam hal ini akan
membahas dalam aspek sistem mata pencaharian berdasarkan
trikotomi tersebut.
Santri dan dalam perspektif Greetz (1960), mayoritas bekerja
sebagai seorang pedagang atau wirausahawan. Kaum abangan
identik dengan pekerjaan yang berkorelasi dengan alam sebagai
petani dan nelayan. Sementara kaum priayi lebih identik dengan
pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil yang menjamin kemapanan
hidup secara ekonomi di kota-kota besar. Pola keagamaan
masyarakat Lamongan di Jakarta dijalankan secara personal dan
sukarela tidak ada paksaan dalam menjalankan aktivitas keagamaan.
Mereka menjalankan ajaran agama dalam ruang publik secara
bersama-sama. Dalam penampilan, masyarakat Lamongan di
perkotaan biasanya lebih egaliter dan tidak monoton. Fenomena
yang demikian sangat berbeda dengan masyarakat Lamongan yang
berada di daerah asalanya. Mereka lebih menyukai menggunakaan
atribut keagamaan secara mencolok seperti menggunakan sarung
atau baju yang mencerminkan ekspresi keagamaan.
Masyarakat Lamongan memaknai agama di perkotaan sebagai
ajaran yang bersifat personal dan tidak di jalankan secara komunal.
Mereka lebih leluasa dalam menjalankan ajaran agama di perkotaan
daripada di pedesaan yang lebih bersifat terlembagakan. Diantara
masyarakat yang telah suksess menjalankan usaha ada yang
berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan seperti tarekat dan
berbagai majelis keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat
dimana mereka tinggal. Orang tua akan memarahi jika anak-anak
mereka meninggalkan sholat.
248 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
D. Entrepreneurship dan Diferensasi Sosial Keagamaan
Keruntuhan orde baru memberikan pengaruh pada pola
oreintasi kerja masyarakat Lamongan dalam meningkatkan status
sosialnya. Masyarakat Lamongan sebelum keruntuhan orde baru
menempatkan golongan priayi sebagai kasta sosial khusus. Budaya
priayi yang demikian kemudian membentuk pola interaksi dalam
kehidupan masyarakat. Seorang pegawai pemerintahan senantiasa
dihormati oleh kalangan masyarakat desa, golongan ini kemudian
disusul oleh kelompok kiyai atau pemuka keagamaan.
Dalam orde tradisional klasifikasi berdasarkan usia, pangkat
dan awu atau tali kekerabatan sangat menonjol karena hubungan
sosial terjalin secara teratur. Hierarki merupakan masa bagi dimensi
tradisional yang membentuk relasi antar individu dengan
masyarakat. pola hubungan yang demikian tidak hanya tampak
dalam bidang birokrasi atau kepangkatan sebagai orientasi dalam
mengukur status sosial. Stratifikasi sosial yang dibentuk juga
menyangkut jenis pekerjaan.21
Ascribed status adalah status yang dibawa sejak manusia
terlahir. Misalnya kedudukan seorang anak bangsawan menjadi
bangsawan.22
Achieved status merupakan kedudukan yang dicapai
oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini
tidak dicapai atas dasar kelahiran. Akan tetapi bersifat terbuka bagi
siapa saja.23
Misalnya seseorang dapat menjadi kaya dengan usaha
tertentu.
Sektor kuliner selama ini menjadi pilihan bagi sebagian besar
masyarakat Lamongan yang bermigrasi ke Jakarta. Keterampilan
21 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,
Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1993), 70. 22 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), 265. 23 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), 266.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 249
berdagang yang melekat pada masyarakat Lamongan selama ini
belum pernah diletili oleh kalangan ahli. Terutama yang berasal dari
kalangan luar seperti Lance Castle yang melakukan penelitian pada
industri kretek pada masyarakat Kudus atau Sarah Turner yang
melakukan penelitian pada sistem kewirausahaan mikro masyarakat
di Makassar Sulawesi Selatan. Hill (1995), memahami bagaimana
nilai-nilai sosial mempengaruhi pengusaha pribumi dapat
meminjamkan wawasan tentang bagaimana nilai-nilai dapat
menciptakan keunggulan kompetitif di tingkat masyarakat.24
Keterampilan masyarakat Lamongan dalam kegiatan usaha
kuliner bukanlah sebuah keahlian yang diwariskan secara turun-
temurun oleh orang tua mereka. Etos kerja yang dimiliki oleh
masyarakat Lamongan menyebabkan mereka menimba ilmu secara
otodidak di daerah perantauan. Sektor kuliner selama beberapa
terakhir ini menjadi minat sebagian masyarakat Lamongan.25
Teori tindakan Marxian berkenaan dengan tujuan dan
pembangunan struktur sosial di masyarakat, bentuk kehidupan sosial
adalah spirit yang dieksternalisasikan dalam sebuah tindakan yang
berlandaskan pada kesadaran-kesadaran kritis yang mengantarakan
mereka untuk mencapai sebuah tujuan bersama yakni pada reifikasi
sosial.26
Eksternalisasi ini merupakan sebuah pertentangan dengan
sikap alienasi yakni seorang individu hanya dijadikan sebagai
sebuah instrument oleh kelompok kapitalis untuk mencapai sebuah
kebebasan finansial.
Berbeda dengan pendapat yang mengemukakan bahwa
pencapaian status seseorang karena posisinya dalam sebuah instansi
24 H. Kevin Steensma, Louis Marino and K. Mark Weaver, “Attitudes
Toward Cooperative Strategies: A Cross-Cultural Analysis of Entrepreneurs,”
Journal of International Business Studies, Vol. 31, No. 4 (4th Qtr., 2000), 591-609. 25 Wawancara dengan Kiswanto (Lamongan, Juli, 2015). 26 John Scott, Social Theory: Central Issues in Sociology (London: SAGE
Publication Ltd, 2012). Diterjemahkan oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),116.
250 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
pemerintahan. Masyarakat Lamongan saat ini menilai stratifikasi
sosial bukan berdasarkan tinggi rendahnya pendidikan atau posisi
dalam sebuah pemerintahan. Kalangan orang tua memberikan
kedudukan yang tinggi bagi masyarakat Lamongan yang telah
berhasil dalam menjalankan usaha. Aspek materialisme dan sikap
menghindari alienasi yang kuat menyebabkan masyarakat
Lamongan mengesampingkan aspek pendidikan dan motivasi dalam
jenjang karir di pemerintahan.
Sebagaimana yang peneliti kemukakan di awal tentang
konstruksi kewirausahaan masyarakat Lamongan. Peneliti
menjelaskan bahwa mereka kebanyakan ikut orang di luar keluarga
atau dalam lingkup orang yang berasal kampung sendiri. Pelajaran
dan pengalaman secara otodidak inilah diantara faktor yang
melatarbelakangi perilaku kewirausahaan masyarakat Lamongan.
Keberhasilan menjalankan usaha merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan status sosial.
Darkono salah seorang penjual soto di kawasan Kebon Jeruk
Jakarta menuturkan ada kebanggaan tersendiri ketika memberikan
lapangan pekerjaan. Ukuran kewibawaan bukan hanya diukur oleh
nilai-nilai keagamaan maupun kapabilitas seseorang. Melainkan
oleh simbol-simbol duniawi seperti harta, jabatan.27
Orang Jawa
memandang dan mengalami kehidupan mereka sebagai suatu
keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolis. Oleh karena itu
kerangka berpikir tersebut tidak maklum dan akan kontras dengan
pertentangan yang mutlak dengan dialektik, atau bahkan relativisme
yang benar.28
Adanya perubahan sosial menyebabkan masyarakat
Lamongan berusaha untuk meningkatkan status sosialnya di
27 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama Di Tangan Penguasa
(Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 235. 28 Niels Murder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984), 52.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 251
masyarakat. Masyarakat Lamongan memandang bahwa status sosial
merupakan pengahargaan yang perlu diperjuangkan. Mereka tidak
mengenal adanya status sosial yang di bawa sejak mereka terlahir
sebagaimana masyarakat yang berkasta yang tersusun dalam bentuk
kasta sosial.
Guna mendapatkan status sosial yang lebih tinggi masyarakat
Lamongan perlu usaha keras untuk meningkatkan status sosialnya.
Reifikasi sosial meruapakan indicator dalam meningkatkan status
sosial masyarakat diantara anggotanya. Diantara cara untuk
meningkatkan ststus sosial adanya bekerja keras guna mencapai
kemapanan dalam kompetisi eknomi.29
Para pemuda di Lamongan merasa menanggung malu ketika
dalam usia produktif mereka masih tetap tinggal di kampung
halamannya. Bagi para pemuda di Lamongan, menganggur
merupakan sebuah aib yang menjatuhkan status sosial tidak hanya
bagi dirinya sendiri. Keluarga yang mempunyai anak yang masuk
dalam usia produktif merasa malu bila masih menganggung dan
tidak mempunyai pekerjaan.
Orang tua lebih suka mengirim anaknya keluar kampung
halamannya dariapada membiarkan anak mereka menganggur, yakni
meninggalkan kampung halamannya dalam bebarapa waktu agar
tidak menjadi bahan ejekan bagi kalangan orang tua lainnya.
Kebanyakan para ibu-ibu menceritakan berbagai macam prestasi
anaknya ketika tinggal di daerah perantauan. Meskipun dalam
prakteknya mereka mempunyai prestasi yang kurang terbukti.
Para wanita khususnya ibu-ibu yang tinggal di kampung
halamnanya akan menceritakan berbagai macam keberhasilan
anaknya terutama dalam prestasi ekonomi. Fenomena yang
demikian kemudian menjadi motivasi tersendiri bagi anak-anak
muda di Lamongan untuk mengadu nasib di kota-kota besar seperti
29 Wawancara dengan Arif (Jakarta, Januari, 2015).
252 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Jakarta, Surabaya, Jogja, Medan, Makassar, Kalimantan dan
sebagainya.30
Masyarakat Lamongan mempunyai perbedaan yang unik
dengan komunitas masyarakat Jawa pada umumnya. Kebudayaan
priayi yang menjadi pengungkapan keberhasilan masyarakat Jawa
dalam peningkatan status sosial kurang diminati oleh kalangan
masyarakat Lamongan. Pencapaian keberhasilan adalah ketika anak-
anak mereka mampu bekerja dalam dunia pemerintahan. Dengan
kata lain sebagai pegawai negari sipil, termasuk juga menduduki
posisi-posisi penting dalam suatu perkantoran atau pemerintahan.
Kalangan orang tua di Lamongan yang mayoritas masyarakat
Jawa mempunyai pandangan yang sebaliknya. Bekerja dalam
pemerintahan atau sebagai karyawan bagi meraka sama saja dengan
menjadikan diri mereka sebagai seorang buruh atau karyawan. Posisi
kerja yang demikian sama halnya dengan menjadikan mereka
sebagai seorang bawahan.31
Kalangan orang tua lebih merasa bangga bilamana anak-
anaknya bekerja dengan membuka usaha sendiri. Tipologi kerja
yang demikian menyebabkan mereka lebih leluasa atau bebes dalam
bergerak. Sebab mereka akan mempossikan dirinya sebagai seorang
atasan bukan menjadi seorang bawahan. Sebab kerja dengan menjadi
pegawai, termasuk pegawai pemerintahan akan menjadikan mereka
mengalami alienasi atau keterasingan. Dalam artian mereka bekerja
dengan mencurahkan segenap tenaga dan upayanya untuk untuk
kepentingan orang lain.
Meskipun mempunyai jumlah karyawan yang terbatas yang
terdiri dari dua atau tiga orang, kalangan orang tua atau anak muda
akan merasa bangga sebab mereka seakan-akan menjadi seorang
boss atau atasan. Anak-anak muda di Lamongan akan merasa
bangga bilamana meraka mampu mempekerjakan anak-anak muda
30 Wawancara dengan Supii (Lamongan, 2015) 31 Wawancara dengan Suwadi (Lamongan, 2014).
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 253
yang masih menganggur di kampung halamannya. Suatu
kebanggaan tersendiri bilamana mereka mampu untuk mengurangi
pengangguran di kampong halamannya. Termasuk ketika
memberikan gaji kepada para karawannya yang berasal dari desa
atau perkampungan yang sama.
Tinggi rendahnya suatu pendidikan bagi masyarakat pedesaan
di Lamongan bukan menjadi tolok ukur yang utama bagi kalangan
orang tua. Merupakan sebuah aib bilamana anak-anak muda yang
mempunyai pendidikan tinggi masih menganggur dan tidak
mempunyai pekerjaan yang tetap. Kompetisi dalam dunia ekonomi
telah merubah pola kehidupan masyarakat Lamongan.
Motivasi untuk mengumpulkan kekayaan secara tidak
langsung telah merubah gaya hidup masyarakat Lamongan. Pola
kehidupan yang pada awalnya berawal dari pedesaan tidak
selamanya tergantung pada sebuah lingkungan awal. Yakni
masyarakat desa pada dasarnya sukar untuk merubah gaya hidupnya
dengan menyesuaikan diri dengan masyarakat perkotaan.
Masyarakat desa yang melakukan migrasi atau merantu ke kota
selamanya tidak menjadi masyarakat yang terbelakang
Motivasi kuat masyarakat Lamongan yang mengadu nasib
mereka di perkotaan secara tidak langsung menjadikan mereka eksis
di perkotaan. Kehidupan di kota-kota besar sebagaimana Jakarta
dan Surabaya telah menjadi motivasi masyarakat Lamongan untuk
berkompetisi dengan masyarakat lainnya dalam meningkatkan
status sosial. Struktur pendidikan mempunyai kewibawaan yang
berfungsi sebagai faktor kunci dalam masyarakat, yakni sebagai
symbol status sosial.32
Masyarakat Jawa biasaya memandang status
sosial berdasarkan kepangkatan atau posisi dalam sebuah
pemerintahan atau perusahaan swasta. Ukuran kekayaan tidak
32 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,
Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1993), 187.
254 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
menjadi sebuah indikator dalam menempatkan status soaialnya.
Berbeda dengan masyarakat Lamongan yang menjadikan barometer
kekayaan sebagai sebuah instrument utama dalam penempatan
status sosialnya.
Pada zaman penjajahan terdahulu santri melakukan aktivitas
perdagangan sebagai bentuk protes terhadap kebudayaan priayi yang
dianggap sebagai antek-antek Belanda. Tjokroaminoto adalah tokoh
yang memelopori organisasi serikat dagang Islam yang menghimpun
para pedagang yang berasal dari kalangan santri. Masyarakat
Lamongan mengenal santi abangan dan priayi dalam bentuk
stratifikasi sosial, bukan dalam bentuk aspek keagamaan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam
trikotominya. Kalangan masyarakat abangan dianggap menempati
kasta sosial terendah dan santri serta priayi menempati strata sosial
tertinggi.
Kalangan abangan memberontok sebagai bentuk protes
terhadap masyarakat yang lebih menghargai kalangan santri
daripada abangan. Santri bersama kiyai dianggap sebagai golongan
khusus yang harus dihormati, sementara priayi dianggap sebagai
pembesar. Setelah kekalahan PKI pada 1965 kalangan abangan
banyak yang di marjinalkan oleh pemerintah. Termasuk kemampuan
mereka dalam akses untuk menduduki posisi strategis dalam bidang
pemerintahan. Kalangan marjinal ini tentu memiliih sektor swasta
sebagai garapan utamanya dalam mengakumulasi ekonomi guna
memenuhi kebutuhan hidupnya. Golongan ini adalah mereka yang
merasa dikesampingkan oleh masyarakatnya.
Meskipun sistem kasta dalam masyarakat Jawa telah runtuh
seiring dengan keruntuhan Majapahit dan masuknya Islam.
Golongan tertentu dalam sebuah masyarakat merasa masih di
kesampingkan dan menempati kasta sosial terendah. Mobiltas sosial
adalah sebuah upaya untuk meningkatkan status sosial masyarakat
Lamongan. Saluran mobilitas ini adalah menyasar dalam bidang
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 255
perdagangan. Tak jarang kalangan masyarakat Lamongan yang
berasal dari golongan abangan mempunyai tingkat religiusitas yang
lebih tinggi daripada santri. Golongan abangan yang telah suksess
dalam menjalankan usaha akan menunaikan rukun Islam yang
kelima, yakni berangkat haji. Diantara golongan abangan ini bahkan
ada yang menjadi donator tetap dalam pembiayaan masjid atau
musholla.
Penelitian ini sependapat dengan pernyataan Bambang
Pranowo bahwa dalam sistem keagamaan masyarakat Jawa tidak
terbagi secara trikotomi sebagaimana yang dikemukakan oleh
Clifford Geertz yang mana golongan santri dianggap sebagai
kelompok masyarakt Jawa yang taat dalam menjalankan ajaran
agama dan abangan serta priayi dianggap sebagai golongan yang
tidak taat menjalankan perintah agama. Kalangan masyarakat
abangan dalam konteks ini menunjukan tingkat religiusitas yang
lebih tinggi dariapada masyarakat santri yang mempunyai etos kerja
yang rendah. Trikotomi yang demikian hanya terjadi pada status
sosial, bukan dalam sistem keagamaan. Masyarakat Lamongan
berwirausaha untuk meningkatkan status sosial dalam beberapa
kasus.
Orientasi kewirausahaan masyarakat Lamongan tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor untuk meningkatkan status sosialnya dalam
akumulasi kekayaan semata. Ibadah haji adalah faktor lain yang
menjadi latar belakang masyarakat Lamongan dalam mendirikan
wirausaha. Status tokoh agama terutama kiyai dalam masyarakat
Jawa Timur masih menempati strata sosial tertinggi. Sebab
stratifikasi sosial yang demikian diberikan secara khusus kepada
orang-orang tertentu. Dalam masyarakat Indonesia, istilah kiyai
diberikan kepada masyarakat karean perannya bukan karean sekolah
atau tinggi rendahnya pendidikan yang dicapainya.
Masyarakat yang bukan termasuk golongan kiyai atau priayi
akan termotivasi untuk meningkatkan status sosialnya. Diantaranya
256 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
adalah dengan akumulasi kekayaan yang dianggap sebagai sarana
yang tepat dalam meningkatkan status sosialnya. Upaya yang
mereka lakukan yakni dalam menyempurnakan rukun Islam yang
kelima, yakni ibadah haji. Fenomena ini tidak hanya berlaku bagi
santri yang mempunyai pemahaman keagamaan yang bersifat
holistic. Golongan abangan yang dianggap sebagai golongan yang di
kesampingkan oleh kalangan santri akan termotivasi untuk berhaji
ketika menuai hasil dalam berwirausaha.
Sikap masyarakat terhadap individu yang telah menunaikan
haji dalam beberapa kasus dapat menjadi motivasi berhaji.
Menunaikan ibadah haji merupakan cara termudah bagi kalangan
masyarakat Lamongan untuk meningkatkan status sosialnya. Gelar
haji disematkan pada nama seseorang merupakan metode untuk
memperoleh persamaan dengan golongan priayi pada masyarakat
Jawa. Diantara beberapa pedagang yang peneliti wawancarai enggan
untuk menyebutkan langsung namanya. Mereka senantiasa
memberikan embel-embel haji di depan nama mereka. Tindakan ini
dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada penliti bahwa
informan tersebut telah menunaikan ibadah haji.33
Pedagang yang telah mencapai kemapanan dalam kehidupan
akan menjadi donator dalam pembangunan tempat ibadah dan
sarana keagamaan. Masyarakat yang telah mencapai kemapanan
dalam kehidupan ekonomi biasanya erat hubungannya dengan para
tokoh agama. Masyarakat yang belum mencapai kemapanan secara
ekonomi akan berusaha untuk meningkatkan status sosialnya
diantara masyarakat lainnya. Upaya ini dilakukan untuk
menghindari pengucilan diantara warga. Masing-masing warga
33 Wawancara dengan Hj. Suhartini pedagang tahu campur Lamongan di
Pondok Indah Jakarta selatan dan Hj. Arif di Pesanggrahan. Kedua warga Lamongan tersebut telah menuai suksess di Jakarta dan menunaikan ibadah haji.
Dalam wawancara dengan kedua orang tersebut. Mereka biasanya menyematkan
gelar haji di depan nama panggilan mereka. (Sumber: penelitian lapangan di Jakarta
Selatan, Maret 2016).
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 257
berusaha untuk menonjolkan diri agar eksistensi mereka diakui oleh
warga lainnya. Aktivitas yang demikian dilakukan sebagai opsi
untuk meningkatkan status sosialnya.
E. Kontribusi Masyarakat Lamongan dalam Mereduksi
Pengangguran
Kabupaten Lamongan termasuk kota yang banyak
memproduksi kalangan wirausahawan kelas kaki lima yang
menjalankan usahanya pada sektor kuliner. Eksistensi usaha yang
dikelola oleh masyarakat Lamongan secara tidak langsung
membawa perubahan sosial terhadap masyarakatnya. Daerah yang
banyak mempunyai sektor usaha kecil diharapkan mampu untuk
mengurangi jumlah pengangguran. Sebagai contoh DKI Jakarta
yang menjadi tujuan utama berwirausaha masyarakat Lamongan.
Kondsi wilayah yang gersang ditunjang dengan sarana dan prasarana
yang tidak memadai tidak menjadi hambatan bagi masyarakat
Lamongan untuk berkembang. Pemerintah sebagai pemangku
kebijakan publik hendakanya menjadikan masyarakat Lamongan
sebagai percontohan bagi daerah yang suksess dalam
mengembangkan sektor kewirausahaan.
Migrasi masyarakat Lamongan ke berbagai daerah di
Indonesia seperti Jakarta secara tidak langsung akan membawa
perubahan sosial terhadap daerah asal maupun daerah yang menjadi
tujuan kewirausahaannya. Diaspora masyarakat Lamongan secara
tidak langsung akan membawa implikasi berupa pemerataan
penduduk dan peningkatan ekonomi masyarakatnya. Eksistensi
pedagang Lamongan yang telah sukses diperantauan pada akhirnya
menjadi sebuah penarik bagi masyarakat Lamongan lainnya. Secara
beramai-ramai ingin mengikuti jejak seniornya dalam menjalankan
usaha.
Berbagai macam program pengentasan kemiskinan yang
dibentuk pemerintah tidak akan berjalan secara maksimal bilamana
258 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
masyarakat tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk membuka
usaha. Akibatnya banyak program pemerintah mangkrak dan tidak
mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat.
Minimnya lapangan pekerjaan disertai dengan bertambahnya
angkatan pencari kerja menyebabkan terjadinya pengangguran.34
Problem sosial yang demikian terjadi di berbagai negara termasuk
Indonesia yang mengalami peningkatan jumlah pengangguran setiap
tahun. Index nasional yang merupakan perbandingan antara jumlah
pengangguran dengan angkatan kerja menjadi tolok ukur dalam
pembangunan suatu negara adalah konteks sosial budaya kerja.35
Guna memperkecil pengangguran diperlukan lapangan kerja
baru dalam jumlah banyak. Sander Wennekers dan Roy Thurik
(1999) menjelaskan bahwa usaha kecil mempunyai peran yang
signifikan dalam meminimalisir jumlah pengangguran. Pada tahun
1980-an dan 1990-an usaha kecil berperan penting dalam
pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa yang meliputi Belanda,
Norwegia, Islandia, dan Swiss. Kelompok politisi dan lembaga
sosial Uni Eropa memiliki slogan bahwa usaha kecil mempunyai
peran penting dalam menyelamatkan kehidupan ekonomi suatu
negara.36
Kelompok masyarakat yang membuka usaha dalam skala
besar maupun kecil akan memberikan kontribusi dalam mengurangi
34 Dalam sebuah pemilihan model kerja, pengangguran didefinisikan
sebagai pekerja dengan pencari kerja. Dunia membedakan antara pekerja dengan
pengusaha yang bersifat determinan terhadap pekerja. Lihat, Andreas Wagener,
“Entrepreneurship and Social Security,” Finanz Archiv Public Finance Analysis, Vol. 57, No. 3 (2000). 284-315.
35 Terrence E. Brown and Jan Ulijn, eds. Innovation, Entrepreneurship and Culture: The Interaction Between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward Elgar Glensanda House, 2004), 81.
36 Sander Wennekers and Roy Thurik, “Linking Entrepreneurship and Economic Growth,” Journal Small Business Economics, Vol. 13, No. 1 (Springer:
1999), 27-55.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 259
jumlah pengangguran dan kemiskinan.37
Davidsson (1995),
mengidentifikasi pandangan mengenai korelasi antara nilai-nilai
budaya dan perilaku kewirausahaan. Penjelasan kewirausahaan
didasarkan pada gagasan jika masyarakat mengajarkan nilai-nilai
kewirausahaan, maka lebih banyak orang akan menjadi pengusaha.
Mc Clelland (1961) menyimpulkan bahwa perilaku kewirausahaan
bukan ditentukan oleh faktor sosial budaya, melainkan motivasi
setiap individu. Pendapat ini diperkuat oleh Philipp Koellinger
(2008) bahwa kemampuan dalam menjalankan usaha ditentukan
motivasi dan inovasi individu. Dalam contoh kasus sering
ditemuinya menunjukan banyak keluaran pendidikan tinggi yang
berstatus sebagai pengangguran.38
Meningkatnya jumlah pengangguran telah menimbulkan
problem yang dapat merugikan kehidupan suatu masyarakat.
Termasuk di kota-kota besar yang menjadi tujuan kaum urban.
Ketika lahan pertanian tidak lagi menjadi tempat yang prospek
untuk memenuhi kebutuhan. Masyarakat yang berasal dari pedesaan
memutuskan untuk pindah ke kota-kota dan mencari pekerjaan
selain bertani. Migrasi meningkat kuat ketika lahan pertanian
semakin kecil.39
Tim Dyson (2011), menekankan tingginya
37 Schumpeter mendefinisikan kewiraswastaan adalah bentuk baru sebagai
solusi dalam mengurangi jumlah kemiskinan. Kalangan pengusaha berperan dalam
penyelesaian problem sosial dalam bentuk mengurangi jumlah kemiskinan. Lihat,
Eli Gimmon and Jonathan Levie, “Instrumental Value Theory and the Human
Capital of Entrepreneurs,” Journal of Economic Issues, Vol. 43, No. 3 (September 2009), 715-732.
38 Philipp Koellinger, “Why are Some Entrepreneurs More Innovative than Others,” Small Business Economics, Vol. 31, No. 1, (June 2008), 21-37.
39 Elizabeth W. Lehrer and Robert L. Schooley, “Space use of Woodchucks
Across an Urbanization Gradient Within an Agricultural Landscape,” Journal of
Mammalogy, Vol. 91, No. 6 (December 2010), 1342-1349.
260 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
pendapatan ekonomi di kota dalam sektor non pertanian menjadi
faktor utama yang menarik orang-orang desa untuk berurbanisasi.40
Sebuah studi menunjukkan tingkat pengangguran terus
mengalami kenaikan dari waktu kewaktu.41
Institusi sosial seperti
pendidikan tinggi merupakan tempat untuk menyiapkan manusia
yang secara inovatif memberikan kontribusi secara riil terhadap
masyarakat.42
Problem sosial seperti pengangguran merupakan
tanggung jawab semua pihak tanpa terkecuali. Masyarakat pedesaan
yang masuk dalam tipologi gemeinschaft menilai perguruan tinggi
masih memproduksi manusia yang mempunyai keahlian secara
akademisi dan teori. Bukan dalam ranah aksiologi yang memberikan
kontribusi secara konkrit bagi perubahan sosial (social change),43
kearah yang lebih baik. Pendekatan daripada isu-isu sosial tertentu
dimana proses kewirausahaan digambarkan sebagai hal yang relevan
dalam perubahan sosial secara efektif dalam semua konteks.44
Problem sosial yang demikian diperparah dengan semakin
minimnya lapangan pekerjaan yang diperebutkan oleh lulusan
perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Output lembaga
pendidikan yang berjumlah ribuan orang tidak selamanya
mendapatkan pekerjaan secara layak sesuai dengan bidang keilmuan
40 Tim Dyson, “The Role of the Demographic Transition in the Process of
Urbanization,” Population and Development Review, Vol. 37, Demographic
Transition and Its Consequences (2011), 34-54. 41 Badan Pusat Statistik, Diolah dari SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja
Nasional), tahun 2013-2014. 42 Philipp Koellinger, “Why are Some Entrepreneurs More Innovative than
Others,” Small Business Economics, Vol. 31, No. 1, (June 2008), 21-37. 43 Wilbert Moore mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan
penting dalam struktur sosial yang berhubungan dengan pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Perubahan sosial bukanlah gejela masyarakat modern, melainkan
sebuah hal yang universal dalam pengalaman hidup manusia. Lihat, Jacobus
Ranjabar, Perubahan Sosial Dalam Teori Makro: Pendekatan Realitas Sosial (Bandung: Alfabeta, 2005), 15.
44 Alex Nicholls, eds. Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable Social Change (New York: Oxford University Press, 2006), 159.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 261
yang mereka tekuni. Terkadang antara jurusan dengan keterampilan
yang mereka geluti selama perkuliahan tidak sesuai dengan
pekerjaan yang mereka tangani. Sebagai contoh adalah seorang
lulusan teknik sipil yang bekerja sebagai tim SARS dalam
menanggulangi bencana alam dikarenakan tidak ada alternatif
pekerjaan lain.45
Peneliti dalam hal ini juga menjumpai lulusan
akuntansi negara yang bekerja menjadi seorang guru drum band
dalam sebuah sekolah di Sekolah Dasar (SD).46
Tidak tersedianya
jenis pekerjaan yang sesuai dengan bidang perkuliahan
menyebabkan fresh gradute lebih memilih bekerja seadanya
daripada menjadi pengangguran.47
Masalah dalam institusi pendidikan terkadang dihadapkan
dengan masalah sosial dan ekonomi.48
Terbatasnya lapangan
pekerjaan berimbas pada banyaknya pengangguran.49
Menyikapi
fenomena tersebut, lembaga pendidikan dan pemerintah telah
melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir jumlah
pengangguran. Di antaranya dengan menerapkan sistem ekonomi
45 Wawancara dengan alumni salah satu kampus ternama di Surabaya yang
merantau ke Jakarta dengan memutuskan untuk bekerja menjadi tim SARS. Beliau
memutuskan bekerja yang tidak sesuai dengan background-nya teknik sipil selama
menempuh pendidikan. Alasan utamanya yang dikemukakan adalah tidak adanya lapangan pekerjaan lain selain menjadi tim SARS. (Lamongan Juli 2014).
46 Wawancara dengan alumni kampus negeri di Jogjakarta yang memutuskan untuk bekerja sebagai guru drum band di sebuah SD di pedesaan
Lamongan. (Lamongan Agustus 2015). 47 Pengangguran merupakan problematika masyarakat sepanjang masa.
Manusia tradisional yang masih hidup dalam keadaan primitif sekalipun
membutuhkan aktivitas bekerja (lawan dari pengangguran) untuk memenuhi kebutuhan hisup. Kemunduran suatu masyarakat ditentukan oleh partisipasi
masyarakatnya dalam kerja. Lihat, Ali Murtadho, “Kajian Pengangguran Dalam
Perspektif Pemikiran Ekonomi Ibn Khaldun,” Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta Tahun, 2010.
48 Feargal Quinn, “Acquiring the 'Right' Skills,” Journal Studies: An Irish
Quarterly Review, Vol. 101, No. 402 (Summer 2012), 208-214. 49 Sander Wennekers and Roy Thurik, “Linking Entrepreneurship and
Economic Growth,” Small Business Economics, Vol. 13, No. 1 (Aug, 1999), 27-55.
262 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
kerakyatan yang menjangkau kalangan masyarakat kelas menengah
bawah. Polona Tominc dan Miroslav Rebernik (2007), menjelaskan
eksistensi usaha kecil mampu menyediakan lapangan kerja baru.
Beberapa penelitian telah membantu pemerintah dalam
pertumbuhan ekonomi dan memecahkan masalah pengangguran.50
Lebih lanjut Alex Nicholls (2006) menekankan pentingnya
kewirausahaan sebagai sarana mengatasi krisis.51
Pendirian program Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) menjadi prioritas utama pemerintah sebagai
solusi meminimalisir pengangguran. Program bantuan dalam bentuk
pinjaman modal kepada rakyat menengah bawah ini diharapkan
memberikan bantuan berupa pembiayaan kepada masyarakat yang
kekurangan modal membuka usaha. Termasuk memberikan
pelatihan kerja dengan mendirikan Badan Pekatihan Kerja (BLK).
Selain modal dalam bentuk pinjaman uang, modal sosial memainkan
peran penting dalam membuka usaha. Bourdieu dan Wacquant
(1992) menjelaskan bahwa modal sosial adalah kalkulasi dari
sumber daya yang aktual atau virtual, yang diperoleh dari individu
ke- individu atau kelompok berupa kepercayaan satu sama lain.52
Banyak pemberdayaan yang digunakan untuk meningkatkan
kualitas dalam sebuah masyarakat. Setiap teknik pemberdayaan
mempunyai karakteristik tersendiri sesuai dengan faktor-faktor
50 Polona Tominc and Miroslav Rebernik, “Growth Aspirations and
Cultural Support for Entrepreneurship: A Comparison of Post-Socialist Countries,” Small Business Economics, Vol. 28, No. 2/3 (Mar, 2007), 239-255.
51 Alex Nicholls, eds. Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable Social Change, (New York: Oxford University Press, 2006), 128.
52 Hans Westlund and Roger Bolton, “Local Social Capital and Entrepreneurship,” Small Business Economics, Special Issue on Entrepreneurship, Firm Growth and Regional Development in the New Economic Geography. Vol.
21, No. 2. (Sep, 2003), 77-113.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 263
setempat.53
Pelatihan dan pengenalan pasar menyediakan kerja yang
diperlukan dalam dunia modern guna menghindari masalah
pengangguran.54
Masyarakat merupakan mitra utama individu dalam sebuah
pergaulan sosial. Mereka menjadi pendukung dalam menciptakan
manusia-manusia yang terampil dengan menggunakan kemampuan
kontrol sosialnya. Oleh karena itu, lulusan perguruan tinggi tidak
seharusnya menganggur agar tidak menjadi bahan ejekan bagi
masyarakat.55
Krisis moneter yang terjadi pasca reformasi telah
membawa perubahan yang banyak di negeri ini. Krisis ini
menyebabkan banyak terjadi pengangguran dimana-mana.56
Berbagai usaha telah dilakukan oleh manusia untuk mengatasi
masalah sosial pengangguran. Dalam mengatasi masalah sosial tidak
perlu samata-mata melihat aspek sosiologis, tetapi juga aspek-aspek
lainnya. Sehingga diperlukan suatu kerja sama antara ilmu
pengetahuan kemasyarakatan pada khususnya untuk memecahkan
masalah sosial yang dihadapi.57
Pencapaian pembangunan suatu negara adalah memperkecil
jumlah pengangguran. Kalangan yang membuka usaha tidak
53 Ismail Nawawi, Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian Konsep,
Model, Teori dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi (Surabaya: CV. Putra Media
Nusantara, 2009), 152. 54 Philip Cooke and Dafna Schwartz, Eds. Creative Regions Technology,
culture and knowledge entrepreneurship, (Canada: Routledge 2 Park Square, 2007), 35.
55Muhammad Saroni, Mendidik dan Melatih Entrepreneur Muda: Membuka Kesadaran Atas Pentingnya Kewirausahaan Bagi Anak Didik (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), 182. 56 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama di Tangan Elit
Penguasa (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 132. 57 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), 440-441.
264 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
sepatutnya hanya berorientasi untuk melebarkan sayapnya semata.58
Kebijakan ekonomi membuat lebih mudah untuk mewujudkan
perubahan. Sementara kebijakan lingkungan memiliki dampak pada
permintaan negara untuk menciptakan produk-produk baru dan
dikembangkan secara modern di wilayah tersebut. Pelatihan tenaga
kerja yang mendasar untuk menyediakan tenaga kerja yang
diperlukan secara modern untuk menghindari masalah pengangguran
yang lebih parah.59
Kerja keras merupakan kewajiban yang telah diberikan
kepada ummat manusia di dunia. Bilamana mereka hidup dalam
keadaan menganggur, maka mereka menyalahi kodrat yang telah
diberikan oleh Tuhan.60
Dalam Webster World University
Dictionary dijelaskan bahwa etos ialah sifat dasar atau karakter
yang merupakan kebiasaan dan watak bangsa atau ras. Penguasaan
beberapa metode berpikir dan keterampilan bekerja menjadikan
mereka bersikap serba professional dan rasioanal. Tentunya akan
menggeser sikap terhadap perilaku tidak rasional budaya tertentu
pada masyarakat yang sebelumnya.61
Dodge dan Robbins (1992), menegaskan bahwa masalah
lingkungan eksternal lebih penting. Mereka mengusulkan empat
tahap yang digunakan untuk mengkategorikan usaha kecil dalam
konteks pembentukan, pertumbuhan awal, pertumbuhan, dan
58 Ismail Nawawi, Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian Konsep,
Model, Teori dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009), 99.
59 Philip Cooke and Dafna Schwartz, Eds. Creative Regions Technology, culture and knowledge entrepreneurship, (Canada: Routledge 2 Park Square, 2007),
35. 60 Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2004), 118. 61 Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia
(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 288.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 265
stabilitas.62
Bird (1989), mengusulkan faktor lingkungan dalam
konteks sosial yang meliputi: ekonomi, politik, dan teknis waktu
dalam lokasi, zeitgeist atau semangat zaman, serta lingkungan
budaya. Faktor pemilik meliputi: tujuan pemilik, kemampuan
operasional pemilik, kemampuan manajerial pemilik dan
kemampuan strategis pemilik. Specht (1993) menunjukkan kategori
faktor umum yaitu: sosial, ekonomi, politik, pembangunan
infrastruktur dimana faktor-faktor tertentu dapat dikelompokkan.
Sebagai contoh terbatasnya ketersediaan modal yang menyebabkan
pengangguran.63
Dalam konsep “gainful employment” seseorang di katakan
bekerja bilamana bekerja dalam sebuah pekerjaan tertentu dan
mendapatkan upah atau penghasilan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan atau keuntungan (Farooq, 1981; Shryock dan
Siegel, 1976).64
Dalam dunia ekonomi, bekerja biasanya dikaitan
dengan kegiatan yang menghasilkan uang atau produktif.65
Seseorang yang mempunyai aktivitas secara umum bisa
dikategorikan tidak menganggur. Pengangguran merupakan masalah
62 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,
2006), 145. 63 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in
Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,
2006), 145. 64 Riwanto Titirsudarmo, Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1997), 91. 65 Abdul Haris dan Nyoman Adika, Dinamika Kependudukan dan
Pembangunan di Indonesia dari Perspektif Makro ke Realitas Mikro (Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002), 150.
266 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
sosial yang dapat menyebabkan timbulnya dampak negatif seperti
kriminalitas.66
Implikasi utama dari pengangguran adalah dampak psikologis
(utilitas). Kesejahteraan yang negatif akan berkorelasi dengan
pengangguran dalam mencari pekerjaan.67
Menurunnya standar
kualitas hidup merupakan diantara dampak yang ditimbulkan oleh
pengangguran. Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh
pemerintah adalah dalam bentuk pelatihan kerja dengan orientasi
menyiapkan tenaga terampil. Efektivitas pelatihan dalam jangka
panjang tersebut adalah mungkin untuk memberikan evaluasi.68
Jatuhnya pendapatan rata-rata, ketidaksetaraan peningkatan,
pinjaman pemerintah yang lebih tinggi dan perubahan kebijakan
publik (terutama kebijakan sosial). Sebagai konsekuensi dari
prospek ekonomi yang negatif, harapan yang tinggi ditempatkan
pada sektor swasta sebagai salah satu agen utama untuk mengatasi
tantangan sosial pengangguran sebagai review dalam menanggapi
sektor swasta dan sektor publik.69
UMKM adalah unit usaha yang
berdiri sendiri dan dilakukan oleh perorangan atau badan usaha di
semua sektor.70
66 Steven Raphael and Rudolf Winter‐Ebmer, “Identifying the Effect of
Unemployment on Crime,” Journal of Law and Economics The University of
Chicago Law School, Vol. 44, No. 1 (April 2001), 259-283. 67 Andrew E. Clark, “Unemployment as a Social Norm: Psychological
Evidence from Panel Data,” Journal The University of Chicago Press on behalf of the Society of Labor. Vol. 21, No. 2 (April 2003), 323-351.
68 Michael Lechner and Conny Wunsch, “Are Training Programs More Effective When Unemployment Is High?,” Journal of University of Chicago Press on behalf of the Society of Labor Economists and the NORC, Vol. 27, No. 4
(October 2009), 653-692. 69 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,
Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:
Springer International Publishing, 2015), 75. 70 Tulus Tambuna, Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia Isu-isu
Penting (Jakarta: LP3ES, 2012), 11.
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 267
Masyarakat modern merupakan masyarakat utilitarian yang
rasional dimana segala sesuatu dipertimbangakan menurut
perhitungan akal secara wajar. Adapun efek negatif dari tingkat
pengangguran yang lebih kecil dirasakan oleh wanita daripada laki-
laki. Sedangkan efek dari kepuasan hidup tentang kewirausahaan
adalah positif bagi perempuan dan tidak ada untuk laki-laki.
Relevansi lembaga informal bahwa mereka memiliki asal-usul dan
dibentuk oleh kultur dengan hubungan sosial. Williamson (2000),
menggariskan modal sosial dan budaya sering terlihat transenden
untuk mendapatkan modal keuangan dan sumber daya lainnya yang
dibutuhkan untuk memulai usaha. Pendekatan kelembagaan dengan
teori yang luas mengulurkan janji untuk mengembangkan penelitian
kewirausahaan masa depan.71
Fenomena sosial yang mempengaruhi kewirausahaan sebagai
sebuah proses dialektika diantara masyarakat Lamongan.
Masyarakat yang telah suksess menjalankan sebuah usaha menjadi
daya tarik sendiri yang menyebabkan internalisasi diantara
masyarakat Lamongan yang lain. Bentuk enksternalisasi dalam
konstruk dialektika sebagaimana yang dijelaskan oleh Peter L
Berger adalah dalam bentuk trilogi dialektika dalam bentuk
objektifasi. Perubahan sosial yang demikian tidak hanya terjadi pada
masyarakat Lamongan yang tinggal di daerah perkotaan saja, daerah
pedesaan sebagai agen sosialisasi tidak luput dari dampak yang
ditimbulkan oleh adanya perubahan sosial.
Problem sosial dalam dunia kerja menjadi perhatian yang
tersendiri bagi kalangan akademisi. Mereka kemudian secara
beramai-ramai membuka prodi atau jurusan yang berorientasi pada
keinginan untuk mencetak entrepreneur atau membuka lapangan
kerja. Sebagai contoh adalah dengan dibukanya kampus yang
71 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,
Regional Development and Culture An Institutional Perspective (Switzerland:
Springer International Publishing, 2015), 4.
268 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
menyiapkan para peserta didiknya dengan membekali mereka
dengan keahlian kewirausahaan guna melihat peluang yang ada.
Termasuk mengelola sumber daya alam agar mempunyai nilai jual
yang lebih di masyarakat.
Pengangguran sebagai sebuah problem sosial membutuhkan
sebuah problem solving. Banyaknya masyarakat yang menganggur
akan menimbulkan sebuah problem sosial berupa kriminalitas dan
kenakalan remaja. Kelompok masyarakat yang menganggur bahkan
mudah untuk melakukan berbagai tindakan kriminalitas.
Pemberitaan di media cetak maupun elektronik menyebutkan
beberapa kasus kejahatan terjadi karena pengangguran. Motif utama
para pelaku kejahatan banyak didoimnasi oleh faktor ekonomi
dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sejaka lama pengangguran telah menjadi pboblem sosial yang
dikaji oleh beberepa pakar sosiologi guna memberikan problem
solving atas fenomena yang demikian. Sosiolog Perancis Augute
Comte telah membagi tahap pemikiran manusia dalam sebuah
trikotomisasi yakni: Pertama tahap teologis yang mendasarakan
bahwa manusia sama sekali manusia belum manjadi sebuah mahluk
yang utinilatitarain. Tahap yang demikian mengkaitan sesuatu yang
berasal dari kekuatan supranatural. Manusia dalam tahap ini dikatan
menganggur bilamaa tidak melakukan sebuah aktivitas yang akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pola pemahaman
yang didasarkan pada hubungan manusia dengan segala sesuatau
yang bersifat kosmologis tanpa melibatkan sebuah pemahaman yang
utuh dengan didasarkan sains.
Kedua tahap metafisik yang merupakan fase peralihan
dimana manusia masih menghubungkan gejala sesuatu dengan hal-
hal yang bersifat ghaib. Namun tidak semua perkara didasarkan atas
berlakunya sebuah kekuatan ghaib karena manusia mulai
menghubungkan dengan sebab akibat. Sebagai contoh di Jawa
ketika seseorang sakit dan pergi ke dukun dikaitkan dengan
Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 269
kekuatan ghaib numun juga dikaitkan dengan sebab akibat dengan
menggunakan metode penyembuhan alami dengan memanfaatkan
tumbuhan untuk diramu sebagai obat. Tahap kedua merupakan
lanjutan dari tahap pertama yakni tahap metafisik. Manusia dalam
fase ini mulai berpikir secara rasional tanpa meninggalkan sesuatu
yang bersifat teologis dan berhbungan dengan klenik. Upaya dalam
menyelesaiakan persoalan sosial senantiasa didasarkan atas sebuah
pemikran dengan tanpa meninggalkan sebuah klenik.
Sedangkan tahap yang terakhir merupakan tahap positifis
dimana manusia mulai menggunakan kajian ilmiah untuk
memecahkan suatu masalah. Tahap ini adalah tahap dimana ketika
terjadi perkembangan ilmu pengetahuan. Bilamana seseorang sakit,
maka ia akan pergi ke dokter dan diberi resep sesuai dengan aturan
medis. Pada fase yang terakhir, manusia mulai berpikir secara
rasional dengan mengedepankan akal pikiran secara utuh. Manusia
senantiasa menggunakan akal pikirannya untuk menyelesaikan
sebuah masalah.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan telah melakukan
berbagai upaya untuk mengatasi problem sosial yang demikian.
Diantaranya dengan memberikan berbagai macam pelatihan dan
keterampilan hidup untuk menyiapkan para warganya. De Clercq
dan Arenius (2006), menjelaskan tingkat pengangguran memiliki
korelasi yang kuat dengan kewirausahaan. Meskipun hubungan
antara kedua belum jelas karena pengangguran yang tinggi
mendorong penciptaan usaha baru.72
Kelompok entrepreneur dikatakan sebagai entitas dalam
sebuah masyarakat yang membuka usaha tanpa adanya sebuah
ikatan dengan pemerintah. Sektor yang mereka garap adalah sektor
swasta dengan terpisah dari sektor pemerintahan. Masyarakat yang
72 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,
Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:
Springer International Publishing, 2015), 37.
270 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
membuka usaha secara tidak langsung akan memberikan kontribusi
dalam mengurangi jumlah pengangguran. Banyaknya sektor usaha
yang mereka kerjakan secara langsung akan membutuhkan banyak
karyawan yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah
pengangguran.
Ekspansi KFC atau MC Donalisasi telah mampu untuk
menampung ribuan tenaga kerja dari berbagai negara. Masyarakat
desa yang membuka usaha dalam skala kecil bukan berarti tidak
mempunyai kontribusi dalam megurangi jumlah pengangguran.
Secara sedernaha mereka akan merekrut tenaga kerja yang
menganggur sesuai dengan pembiayaan yang mereka mampu untuk
menggaji karyawannya.
Pola kehidupan yang demikan bukan berarti
mengesampingkan pendidikan kewirausahaan. Masyarakat desa
yang mempunyai motivasi kerja yang tinggi tak jarang mampu
untuk mejadi seorang wirausahaan suksess di kota-kota besar.
Diantara mereka bahkan mampu untuk mempekerjakan masyarakat
kota yang masih menganggur.
Pengangguran dalam pemahaman lama dikategorikan sebagai
seorang yang tidak mempunyai pekerjaan dan mencukupi
kebutuhannya. Istilah ini dalam Islam dikenal dengan faki>r. Yakni
sesoerang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mampu untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya. Tentu pengertian ini di dasarkan
atas sebuah argument yang jelas. Termasuk dalam pengelompokkan
beberepa jenis umur yang dikatakan layak dengan kateori yang
demikian.
271
Bab VI
Penutup
A. Kesimpulan
Kajian studi dalam penelitian ini menyimpulkan, konstruksi
kewirausahaan masyarakat Lamongan terbentuk bukan karena
faktor sosial budaya. Melainkan motivasi berprestasi (need of
achievement) individu meningkatkan status sosialnya. Konsep
kewirausahaan masyarakat Lamongan sesuai dengan etos kerja
Weber, Schumpeter serta Mc Clelland. Menurut mereka, motivasi
berprestasi merupakan faktor pendorong berkembangnya suatu
masyarakat.
Secara spesifik, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
masyarakat Lamongan mengalami transformasi menjadi wirausaha.
Pertama motivasi untuk akumulasi kekayaan guna memperbaiki
kehidupan ekonomi. Kedua, masyarakat Lamongan mempunyai
sebuah filosofi yang diyakini oleh sebagian besar warganya bahwa
bekerja menjadi seorang wirausaha dapat meningkatkan status
sosialnya. Pandangan yang demikian kemudian mengalami difusi
yang menjadi penyebab transformasi sistem mata pencaharian
masyarakat.
Faktor selanjutnya yang menjadi penyebab masyarakat
Lamongan berwirausaha adalah adanya sikap untuk terbebas dari
alienasi. Kebebasan dalam berekspresi dalam menikmati hidup
merupakan motivasi yang pada awalnya hanya dimiliki oleh
sekelompok individu diantara masyarakat Lamongan. Proses
dialektika yang demikian kemudian menjadi objektivasi kalangan
luas seiring dengan pencapaian-pencapaian pada aspek ekonomi.
272 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Masyarakat yang mempunyai kesadaran diskursif mempengaruhi
mereka untuk menjadi wirausaha.
Kewirausahaan masyarakat Lamongan mempunyai relasi
dengan faktor keagamaan. Kelompok wirausahawan yang menuai
hasil akan melaksanakan rukun Islam yang kelima sebagai sarana
dalam meningkatkan status sosialnya. Penyematan gelar nama haji
adalah sebuah kebiasaan yang mereka lakukan. Masyarakat
Lamongan yang tinggal di Jakarta menjalankan aktivitas keagamaan
secara personal. Sedangkan masyarakat Lamongan yang berdomisili
di pedesaan menjalanakn aktivitas keagamaan secara komunal.
Sektor kuliner Lamongan mampu bertahan dalam menghadapi
krisis dan pembangunan infrasruktur yang terkadang memberikan
dampak pada omset. Hambatan dalam berwirausaha disebabkan
karena beberapa faktor seperti menghadapi ancaman dari berbagai
macam pihak, termasuk preman dan trantib yang mengadakan
pungutan liar.
Tanpa adanya pembukuan masyarakat Lamongan
menjalankan usahanya secara cermat dalam mengatur sirkulasi
omset atau pengeluaran. Rata-rata orang Lamongan membuka
warungnya dari jam lima sore sampai jam dua belas malam dengan
rentan kerja delapan jam setiap harinya. Pelajaran berdagang
masyarakat Lamongan bukan karena sistem budaya yang diwariskan
kepada generasi berikutnya. Melainkan dari pengalaman yang
menuntut mereka untuk menjadi wirausahawan.
Transformasi sosial masyarakat Lamongan dalam orientasi
kerja tidak hanya pada pegawai negeri sipil atau eselon pada
perusahaan-perusahaan besar. Kemampuan menganalisis peluang
dalam mengembangkan aktivitas kewirausahaan menjadi sebab
kelangsungan aktivitas kewirausahaan. Mereka biasanya
memanfaatkan lahan-lahan kosong yang terdapat di Jakarta dengan
menyewa sesuai dengan kemampuan. Lahan-lahan yang tidak
produktif tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat
Penutup I 273
Lamongan. Fenomena yang demikian secara tidak langsung
memberikan dampak dalam meningkatkan aktivitas perekonomian.
Pertumbuhan kewirausahaan masyarakat Lamongan diawali dengan
banyaknya generasi Lamongan yang sukses dalam berwirausaha.
B. Saran
Kabupaten Lamongan termasuk kota yang banyak
memproduksi kalangan wirausahawan kelas kaki lima yang bergerak
dalam sektor kuliner. Eksistensi usaha yang dikelola oleh
masyarakat Lamongan secara tidak langsung membawa perubahan
sosial terhadap masyarakatnya. Kondisi wilayah yang gersang
dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai tidak menjadi
hambatan bagi masyarakat Lamongan untuk berkembang.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan publik hendakanya
menjadikan pola pendidikan kewirausahaan masyarakat Lamongan
untuk mengembangkan sektor kewirausahaan.
Migrasi masyarakat Lamongan ke Jakarta secara tidak
langsung akan membawa perubahan sosial terhadap daerah asal
maupun daerah yang menjadi tujuannya kewirausahaan. Diaspora
masyarakat Lamongan secara tidak langsung akan membawa
implikasi berupa pemerataan penduduk dan peningkatan ekonomi
masyarakatnya. Kewirausahaan yang dijalankan oleh masyarakat
Lamongan diharapkan banyak menciptakan lapangan pekerjaan di
Jakarta. Eksistensi pedagang Lamongan yang telah suksess
diperantauan pada akhirnya menjadi sebuah magnet bagi
masyarakat Lamongan lainnya.
274 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
275
Daftar Pustaka
A. Buku :
Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Abdurrahman, Soerjono. Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Abdurrahman. Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Alex, Nicholls, eds. Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable Social Change. New York: Oxford University
Press, 2006.
Asifudin, Ahmad Janan. Etos Kerja Islami, Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2004.
Atkinson, Rowland and Helms, Gesa, Eds. Securing an Urban Renaissance Crime, Community, and British Urban Policy, Bristol: University of Bristol, 2007.
Badan Pusat Statistik, Diolah dari SAKERNAS (Survei Angkatan
Kerja Nasional), tahun 2013-2014.
Badroen, Faisal dkk. Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Kencana,
2007.
Brown, E Terrence and Ulijn, Jan eds. Innovation, Entrepreneurship and Culture: The Interaction Between Technology, Progress and Economic Growth, USA: Edward Elgar Glensanda
House, 2004.
Bryant Coralie and White Louise. Manajemen Pembangunan.
Jakarta: LP3ES, 1998.
Budihardjo, Eko. Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah Urban Menjadi Human Zoo, Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2014.
276 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Bukhori, Mochtar. Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta, 1994.
Bungin, Burhan. Metode Penulisan Sosial. Surabaya: Airlangga
University Perss, 2001.
Castles, Lance. Religion Politics and Economi Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry. Yale University, 1967.
Coen, Bruce J. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta,
1992.
Cooke, Philip and Schwartz, Dafna Eds. Creative Regions Technology, culture and knowledge entrepreneurship, Canada: Routledge 2 Park Square, 2007.
Cooke, Philip and Schwartz, Dafna. Creative Regions Technology, culture and knowledge entrepreneurship, Canada: Routledge
2 Park Square, 2007.
Dainy Tara, Azwir. Stategi Membangun Ekonomi Rakyat: Masa Sulit Pasti Berlalu, Jakarta: Nuansa Madani, 2001.
Damsar. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2011.
E. Brown, Terrence. Innovation, Entrepreneurship and Culture: The Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, USA: Edward Elgar Publishing Limited Glensanda
House, 2004.
Endraswara, Suwardi. Etnologi Jawa: Penelitian, Perbandingan, dan Pemaknaan Budaya, Yogyakarta: Center for Academic
Publishing Service, 2015.
Evers, Hans Dieter dan Korf, Rudiger. Urbanisme di Asia Tenggara: Makan dan Kekuasaan Dalam Ruang Sosial, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2002.
Farihah, Ipah. Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Geertz, Clifford. The Religion of Java, London: The Free Press of
Glencoe, 1960.
Daftar Pustaka I 277
Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis karya-karya Marx, Durkheim dan Max Weber, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Gitosarjono, Sukamdani Sahid. Bisnis dan Kewirausahaan Syariah Upaya Menuju Kesejahteraan Umat Islam, Bogor: Sekolah
Tinggi Agama Islam Terpadu Modern Sahid, 2012.
Guang, Lie Shi. Rahasia Suksess Pebisnis Tionghoa, Yogyakarta:
CV Andi Offset, 2010.
Hamidi, Jazim dan Lutfi, Mustafa. Entrepreneurship Kaum Sarungan, Jakarta: Khalifa, 2010.
Haris, Abdul dan Adika, Nyoman. Dinamika Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia dari Perspektif Makro ke Realitas Mikro, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam,
2002.
Hasan, Muhammad Tolhah. Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta: Lantabora Press, 2005.
Held, David. A Globalizing World? Culture, Economics, Politics (New York: Routledge, 2004.
Hine, Damian and Kapeleris, John. Innovation and Entrepreneurship in Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases, Northampton Massachusetts USA:
Edward Elgar Publishing Limited, 2006.
Hine, Damian Kapeleris, John. Innovation and Entrepreneurship in Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases, Northampton: Edward Elgar Publishing
Limited, 2006.
Huriyuddin. Pergeseran Kultural di Kampung Urban: Studi di Kampung Pintuair Bekasi Selatan, Jakarta: Badan Litbang
Departemen Agama RI, 1997.
Huriyuddin. Pergeseran Kultural di Kampung Urban: Studi di Kampung Pintuair Bekasi Selatan, Jakarta: Badan Litbang
Departemen Agama RI, 1997.
Ihromi, T.O. Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2006.
278 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Jones, Pip. Pengantar Teori-teori Sosial dari Teori Fungsionalisme Hingga Postmodernisme, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010.
Jurgen Habermas. Theories des Kommunikativen Handels, Band I: Handlungstrationaltat Und Gesselschaftliche Rationalisierung, Suhrkamp: Verlag, 1981.
K Yin, Robert. Studi Kasus: Desain dan Metode, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
Kartasapoetra. Sosiologi Umum. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Kasmir, Kewirausahaan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Kementrian Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemahnya: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul, Bandung: Al-Hilal, 2010.
Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta:
LP3ES, 1988.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangnan, Jakarta: PT Gramedia, 2008.
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: Uinversitas
Indonesia Press, 2010.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 2007.
Koentjoroningrat. Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi, Jakarta: LIPI, 1980.
Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta, 1999.
Lewis, Richard D. Komunikasi Bisnis Lintas Budaya Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2005.
Long, Norman. An Introduction to the Sociology of Rural Development, London: Tavistock Publication Limited,
1977.
Maliki, Zainuddin. Agama Priyayi: Makna Agama di Tangan Elit Penguasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.
Daftar Pustaka I 279
Manzi, Tony, Etc, Eds. Social Sustainability in Urban Areas: Communities, Connectivity and the Urban Fabric, London:
Earthscan, 2010.
Marianne W. Jorgensen, Louise J. Phillips. Analisis Wacana Teori dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship, Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland: Springer International
Publishing, 2015.
Moeleng, J Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.
Muhammad. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Social Lainnya. Bandung:
Rosdakarya, 2008.
Murtadho, Ali. Kajian Pengangguran Dalam Perspektif Pemikiran Ekonomi Ibn Khaldun, Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN
Jakarta Tahun, 2010.
Myers, Garth. African Cities Alternative Visions of Urban Theory and Practice, London: Zed Books Ltd, 2011.
Naim, Mochtar. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.
Natsir, Nanaf Fatir. Etos Kerja Wirausahawan Muslim, Bandung:
Gunung Djati Press: 1999.
Nawawi, Ismail. Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian Konsep, Model, Teori dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi, Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009.
280 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Niels Murder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984.
Niels Murder, Petualangan Seorang Antropolog di Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Nurhayati, Cucu. Sosiologi Perkotaan, Tangerang Selatan: UIN
Jakarta Press, 2013.
Patilima, Hamid. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: CV
Alfabeta, 2005.
Patrick Guinness. Kampung, Islam and State in Urban Java, Singapore: National University of Singapore, 2009.
Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Pengkajian Islam 2011-2015, Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan Notes Karya Ilmiah 2014, Jakarta: Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014.
Peris-Ortiz, Marta José and M. Merigó-Lindahl, Eds.
Entrepreneurship, Regional Development and Culture An Institutional Perspective, Switzerland: Springer
International Publishing, 2015.
Poloma, Margaret. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Grarfindo
Persada, 2004.
Pranowo, Bambang. Memahami Islam Jawa, Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2009.
Raharjo. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2010.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2007.
Ranjabar, Jacobus. Perubahan Sosial Dalam Teori Makro: Pendekatan Realitas Sosial, Bandung: Alfabeta, 2005.
Salam, Syamsir dan Aripin, Jaenal. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Lembaga penelitian UIN Jakarta Press, 2006.
Daftar Pustaka I 281
Salam, Syamsir. Mengerti Sosiologi Pengantar Memahami Konsep-Konsep Sosiologi, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Salim Agus. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006.
Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2001.
Sanderson, K Stephen. Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000
Saroni, Muhammad. Mendidik dan Melatih Entrepreneur Muda: Membuka Kesadaran Atas Pentingnya Kewirausahaan Bagi Anak Didik, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Sartono Kartodirjo, Sudewo, A. dan Hatmosuprobo, Suhardjo.
Perkembangan Peradaban Priayi, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993.
Scott, John. Social Theory: Central Issues in Sociology, London:
SAGE Publication Ltd, 2012.
Sebani Ahmad, Beni. Pengantar Antropologi,Bandung: Pustaka
Setia, 2012.
Singgih Prayitno, Ujianto. Perubahan Sosial: Dinamika Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Publica Press, 2014.
Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Social dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
Soetomo, Sugiono. Urbanisasi dan Morfologi: Proses Perkembangan Peradaban dan Wadah Ruangnya Menuju Ruang yang Manusiawi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Sugiharti, Rahma. Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2014.
282 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2008.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011.
Sutinah, Suyanto. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Pendekatan Alternatif Jakarta:Kencana Media Group, 2007.
Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada,
2004.
Titrisudarmo, Riwanto. Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Turner, Sarah. Indonesia's Small Entrepreneurs Trading on the Margins, London: Routledge Curzon, 2003.
Walzer, Norman, eds. Entrepreneurship And Local Economic Development, New York: Lexington Books, 2009.
Weber, Max. The Protestan Ethic nd The Spirit of Capitalism,
Yogyakarta: Jejak, 2007.
Weber, Max. The Sociology of Religion, Jogjakarta: IRCiSoD,
2012.
Widodo, T. Sosiologi Kependudukan: Kajian Teoritis dan Empiris Perspektif Sosiologi Kependudukan, Surakarta: Lembaga
Pengembangan Pendidikan UNS, 2011.
Wirawan, I.B. Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012.
B. Jurnal :
Arulampalam, Wiji Alison and etc, “Unemployment Persistence,”
Oxford Economic Papers, Vol. 52, No. 1, (Jan, 2000), 24-50.
Behrens, Kristian Gilles and etc.“Productive Cities: Sorting,
Selection, and Agglomeration,” Journal of Political
Economy, Vol. 122, No. 3 (June 2014), 507-553.
Beugelsdijk, Sjoerd and Roger , “Entrepreneurial Culture and
Economic Growth: Revisiting McClelland's Thesis,” The
Daftar Pustaka I 283
American Journal of Economics and Sociology, Vol. 67, No.
5 (Nov., 2008),915-940.
Bryer, A. Thomas and Seigler, Daniel. “Theoretical and
Instrumental Rationales of Student Empowerment Through
Social and Web-Based Technologies,” Journal of Public Affairs Education National Association of Schools of Public Affairs and Administration, Vol. 18, No. 3 (SUMMER
2012): 429-448.
Cummings, Briana. “Benefit Corporations: How to Enforce a
Mandate to Promote the Public Interest,” Columbia Law Review, Vol. 112, No. 3 (April 2012): 578-627.
Dyson, Tim “The Role of the Demographic Transition in the
Process of Urbanization,” Population and Development Review, Vol. 37, Demographic Transition and Its
Consequences (2011), 34-54.
E. Clark, Andrew. “Unemployment as a Social Norm: Psychological
Evidence from Panel Data,” Journal The University of Chicago Press on behalf of the Society of Labor. Vol. 21,
No. 2 (April 2003), 323-351.
Garcia-Murillo, Martha and Vargas-Leon, Patricia. “The Techno-
Institutional Leap and the Formation of New Firms,”
Journal of Penn State University Pres, Vol. 3 (2013), 501-
536.
Gimmon, Eli and Levie, Jonathan. “Instrumental Value Theory and
the Human Capital of Entrepreneurs,” Journal of Economic Issues, Vol. 43, No. 3 (September 2009): 715-732.
Herslund, Lise. “Rural diversification in the Baltic countryside: a
local perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-
59.
Herslund, Lise “Rural diversification in the Baltic countryside: a
local perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-
59.
284 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Herslund, Lise. “Rural diversification in the Baltic countryside: a
local perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-
59.
Jonathan Rigg, Suriya Veeravongs, Lalida Veeravongs and
Piyawadee Rohitarachoon, “Reconfiguring Rural Spaces and
Remaking Rural lives in Central Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008), 355-
381.
Jones, Eli James, A. Roberts and Chonko B, Lawrence. “Motivating
Sales Entrepreneurs to Change: A Conceptual Framework of
Factors Leading to Successful Change Management
Initiatives in Sales Organizations,” Journal of Marketing Theory and Practice, Vol. 8, No. 2, (Spring, 2000): 37-49.
Koellinger, Philipp. “Why are some entrepreneurs more innovative
than others,” Small Business Economics, Vol. 31, No. 1,
Special Issue: International Issues in Entrepreneurship
(June, 2008): 21-37.
Köhn, Sebastian. “Entrepreneurship and the Right of the Child to a
Nationality in an Era of Migration,” The Annual Meeting
American Society of International Law), Vol. 106 (March
2012), 67-69.
Lechner, Michael and Wunsch, Conny. “Are Training Programs
More Effective When Unemployment Is High?,” Journal of
University of Chicago Press on behalf of the Society of
Labor Economists and the NORC, Vol. 27, No. 4 (October
2009), 653-692.
Lehrer, W. Elizabethand Schooley, L. Robert. “Space use of
Woodchucks Across an Urbanization Gradient Within an
Agricultural Landscape,” Journal of Mammalogy, Vol. 91,
No. 6 (December 2010), 1342-1349.
Li, Hongbin, Li, Lei, Wu, Binzhen and Xiong, Yanyan. “The End of
Cheap Chinese Labor,” The Journal of Economic Perspectives, Vol. 26, No. 4 (Fall 2012): 57-74.
Daftar Pustaka I 285
Murphy, J Patrick and Coombes, M Susan. “A Model of Social
Entrepreneurial Discovery,” Journal of Business Ethics, Vol.
87, No. 3 (Jul, 2009): 325-336.
Parthasarathi, Ashok “Rural Industrialisation Programme: Looking
at Khadi and Village Industries Commission,” Economic and Political Weekly, Vol.
Parthasarathi, Ashok. “Rural Industrialisation Programme: Looking
at Khadi and Village Industries Commission,” Economic and Political Weekly, Vol. 40, No. 44/45 (Oct. 29 - Nov. 4,
2005), 4763-4767.
Quinn, Feargal. “Acquiring the 'Right' Skills,” Journal Studies: An Irish Quarterly Review, Vol. 101, No. 402 (Summer 2012):
208-214.
Raphael, Steven and Winter‐Ebmer, Rudolf. “Identifying the Effect
of Unemployment on Crime,” Journal of Law and
Economics The University of Chicago Law School, Vol. 44,
No. 1 (April 2001), 259-283.
Rigg, Jonathan etc. “Reconfiguring Rural Spaces and Remaking
Rural lives in Central Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008), 355-
381.
Schultz, David. “Blue-Collar Teaching in a White-Collar
University,” Journal of Public Affairs Education, Vol. 18,
No. 1 (Winter 2012): 67-86.
Solanki, S. S. “Sustainability of Rural Artisans,” Economic and Political Weekly, Vol. 43, No. 19 (May 10 - 16, 2008), 24-
27.
Solanki, S. S. “Sustainability of Rural Artisans,” Economic and Political Weekly, Vol. 43, No. 19 (May 10 - 16, 2008), 24-
27.
Sud, Mukesh, and etc. “Social Entrepreneurship: The Role of
Institutions,” Journal of Business Ethics, Vol. 85,
Supplement 1: 14th Annual Vincentian International
286 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Conference on Justice for the Poor: A Global Business
Ethics (2009): 201-216.
Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does
Community Conservatism Constrain Village
Organizations?,” The University of Chicago Press, Source: Economic Development and Cultural Change, Vol. 58, No. 4
(July 2010), 609-641.
Tominc, Polona and Rebernik, Miroslav. “Growth Aspirations and
Cultural Support for Entrepreneurship: A Comparison of
Post-Socialist Countries,” Small Business Economics, Vol.
28, No. 2/3 (Mar, 2007): 239-255.
Tracey, Paul and Phillips, Nelson. “The Distinctive Challenge of
Educating Social Entrepreneurs: A Postscript and Rejoinder
to the Special Issue on Entrepreneurship Education,”
Academy of Management Learning & Education, Vol. 6,
No. 2 (Jun, 2007): 264-271.
Wagener, Andreas. “Entrepreneurship and Social Security,” Finanz Archiv Public Finance Analysis, Vol. 57, No. 3 (2000): 284-
315.
Wang, Qingfang and Li, Wei. “Entrepreneurship, ethnicity and local
contexts: Hispanic entrepreneurs in three U.S. southern
metropolitan areas,” Geo Journal, Vol. 68, No. 2/3, (2007):
167-182.
Wennekers, Sander and Thurik, Roy. “Linking Entrepreneurship and
Economic Growth,” Journal Small Business Economics, Vol. 13, No. 1 (Springer: 1999): 27-55.
Westlund, Hans and Bolton, Roger. “Local Social Capital and
Entrepreneurship,” Small Business Economics, Special Issue on Entrepreneurship, Firm Growth and Regional Development in the New Economic Geography Vol. 21, No.
2, (Sep, 2003): 77-113.
William, Michael, Fortunato, Patrick, and etc. “Promoting Fair
Local Organizing for Broadband Delivery: Suggestions for
Community Level Action in Persistently Underserved
Daftar Pustaka I 287
Communities,” Journal of Information Policy, Vol. 3 (2013):
158-180.
Yohnson. “Peranan Universitas Dalam Memotivasi Sarjana Menjadi
Young Entrepreneurs,” Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Vol. 5, No. 2, September 2003: 97–111.
Zamagnisource, Stefano. “Filosofia The Economy of Communion
Project as a Challenge to Standard Economic Theory,”
Revista Portuguesa De Filosofia, T. 70, Fasc. 1 (2014): 44-
60.
288 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
289
Glosarium
Achieved Status : Status berdasarkan perjuangan dan usaha
Adaptation : Adaptasi
Aksiologi : Kegunaan ilmu
Akulturasi : Percampuran budaya tanpa menghilangkan
Unsur budaya yang lama
Akumulasi : Pengumpulan atau penimbunan
Alienasi : Keterasingan
Altruistik : Perhatian terhadap kesejahteraan orang
lain tanpa memperhatikan diri sendiri
Ascetisme Protestan : Ajaran bahwa orang perlu kaya dan tidak
takut pada kekayaan. Sebab kekayaan
tidak mendatangkan dosa.
Ascribed Status : Status bawaan
Asimilasi : Percampuran dua budaya dan yang asli
hilang
Asssigned Status : Status yang diberikan oleh masyarakat
Conscience Collective : Kesadaran bersama
Diametral : Pandangan para tokoh yang bervariasi
Divergen : Berpikir secara bercabang-
cabang/menyebar
Ekslusi sosial : Proses yang menghalangi kemajuan
individu atau kelompok disebabkan
rendahnya kualitas pendidikan atau
lingkungan
Eksplanasi : Adalah teks yang menerangkan atau
menjelaskan mengenai proses fenomena
alam maupun sosial
Eksponensial : Orang yang menerangkan atau
menafsirkan suatu teori.
Elaborasi : Penggarapan secara tekun dan cermat
290 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Empiris : Berdasarkan pengalaman dan kenyataan
melalui uji coba
Fenomenologi : Cabang ilmu filsafat yang mengkaji
manusia dan masyarakat sebagai sebuah
fenomena atau fakta
Forensen : Masyarakat desa yang bekerja di kota.
Gemeinschaft : Masyarakat paguyuban.
Geselleschaft : Ikatan lahir yang bersifat sebagai suatu
bentuk dalam pikiran belaka (imagination)
serta trukturnya bersifat mekanis
sebagaimana dapat diumpamakan dengan
sebuah mesin.
Hermeneutik : Ilmu yang mengkaji tentang interpretasi
makna atau hakikat dari segala sesuatu.
Hinterland : Daerah penyokong atau penyuplai
kebutuhan masyarakat kota.
Integrasi : Penyatuan
Introvert : Mendengarkan dan memasukan ide-ide
baru
Kesadaran Diskursif : Berkaitan dengan nalar dan bertindak
secara logis
Kesadaran Induktif : kesadaran dalam prosedur penarikan
kesimpulan (induksi) dari data-data yang
ada.
Kognitif : Berdasarkan pengetahuan
Koherensi : Tersusunnya uraian atau pandangan
sehingga bagian-bagiannya berkaitan satu
dengan yang lain.
Komunal : Berhubungan dengan rakyat atau secara
umum
Konservatif : Bersikap mempertahankan keadaan,
kebiasaan, dan tradisi yang berlaku.
Konvergen : Menuju satu titik pertemuan
Mobilitas Sosial : Perpindahan Status Sosial.
291
Indeks
A achieved status, 159 Agama, 11, 12, 16, 19, 22, 23, 35,
38, 41, 42, 49, 51, 52, 59, 77, 81, 94, 98, 101, 113, 120, 132, 144, 183, 188, 206, 232, 243, 246, 247, 251, 264
akumulasi, 271 Akumulasi, 229
B Bambang Pranowo, 8, 15, 26, 27,
128, 147, 157, 193, 247, 255
D Diaspora, 258, 273
E ekonomi, 271, 273 Ekonomi, 21, 22, 23, 29, 30, 31, 54,
80, 96, 102, 132, 144, 156, 188, 199, 207, 208, 209, 262, 263, 264
Eksistensi, 1, 5, 13, 215, 238, 257, 258, 273
entrepreneur, 11 Entrepreneur, 58, 77, 80, 199, 204,
208, 263 entrepreneurship, 19 Entrepreneurship, 1, 4, 8, 9, 14, 19,
24, 25, 26, 41, 53, 54, 55, 56, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 77, 135, 158, 176, 183, 187, 193, 194, 196, 197, 198, 199, 200, 227, 239, 248, 258, 259, 261, 262, 263, 265, 267, 270
I implikasi, 273 Implikasi, 266
Islam Jawa, 8, 15, 26, 27, 101, 128, 157, 193, 247
J Jakarta, 1, 3, 4, 5, 8, 10, 12, 14, 15,
17, 18, 19, 21, 22, 23, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 41, 42, 43, 50, 52, 54, 55, 67, 69, 70, 71, 72, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 87, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 97, 98, 99, 101, 102, 106, 110, 115, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 128, 132, 133, 135, 136, 137, 138, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 151, 152, 154, 155, 156, 157, 159, 160, 161, 162, 163, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 185, 186, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 195, 197, 199, 201, 202, 203, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 249, 250, 251, 252, 254, 257, 258, 261, 262, 264, 265, 266, 267, 272, 273
Jawa, 2, 3, 4, 5, 6, 10, 11, 14, 15, 18, 21, 22, 23, 26, 27, 81, 82, 83, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 94, 96, 98, 99, 100, 101, 103, 104, 105, 106, 107, 110, 111, 112, 115, 118, 123, 124, 126, 127, 128, 132, 139, 140, 142, 143, 144, 147, 150, 152, 157, 160,163, 165, 176, 177, 184, 187, 188, 190, 191, 192, 193, 203, 206, 209, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 223, 225, 229, 233, 234,
292 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
238, 240, 241, 242, 246, 247, 251, 252, 254, 255, 256, 269
K Kabupaten Lamongan, 37, 39, 81,
107, 110, 112, 113, 115, 116, 118, 122, 124, 143, 144, 147, 148, 257, 273
Koentjaraningrat, 1, 10, 95, 99, 118, 120, 172, 177
L Lamongan, 5, 6, 13, 14, 15, 17, 18,
19, 27, 29, 30, 32, 33, 36, 39, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 92, 93, 94, 96, 99, 100, 101, 103, 104, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 129, 130, 131, 132, 135, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 151, 152, 153, 154, 158, 159, 160, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 184, 185, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 235, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 261, 267, 271, 272, 273
M Masyarakat pedesaan, 3, 72, 73, 192,
260
Max Weber, 16, 21, 55, 59, 60, 63, 65, 71, 154, 156, 162, 173, 186, 202, 203, 207, 236
Mc Clelland, 9, 27, 32, 56, 61, 177, 184, 205, 207, 259, 271
Migrasi, 18, 28, 41, 42, 43, 44, 48, 49, 60, 135, 138, 141, 144, 153, 163, 229, 231, 244, 258, 260, 273
Motivasi berprestasi, 271
P pendidikan, 273 Pendidikan, 42, 47, 83, 121, 122,
124, 125, 140, 166, 187, 207 Pengangguran, 8, 58, 61, 238, 257,
262, 266, 268, 270 Priayi, 5, 152, 229, 235, 248, 254 produktif, 272
R Reifikasi sosial, 159
S sektor, 273 Sektor, 5, 21, 52, 189, 199, 201, 249,
270, 272 Solidaritas, 50, 57 Sosiolog, 62, 69, 138, 268
T Transformasi sosial, 211, 272
W wirausahawan, 273
Wirausahawan, 15, 24, 27, 28,
56, 62, 64, 80, 125, 177, 187,
240, 276
293
Biografi Penulis
Muhammad Ainun Nasikh yang akrab
dipanggil Nasikh atau Ainun, lahir di
Lamongan Jawa Timur pada 27 Januari
1990. Pendidikan pertamanya adalah MI
Tarbiayatul Aulad Desa Gunungrejo
Kedungpring dan belajar agama dari
ayahnya sendiri. Selepas itu, pada usia 12
tahun (2002) memutuskan hijrah dari
kampung halamannya guna melanjutkan
pendidikannya di SMP Negeri 2 Widang
Tuban sambil belajar ilmu agama di
Pesantren Langitan Widang Tuban Jatim yang diasuh oleh KH
Abdullah Faqih dan KH Ahmad Wahib.
Tamat dari SMP Negeri 2 Widang Tuban, penulis
melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Tuban sambil menetap di
pesantren lamanya guna memperdalam ilmu pengetahuan agama.
Selama menetap di pesantren, penulis aktif sebagai pengurus dan
guru bantu. Menjelang liburan pesatren, penulis menjadi tenaga
bantu mengaji di kampung halamannya dari tahun 2005-2011.
Pada tahun 2008, melanjutkan studinya di perguruan tinggi
IAIN Sunan Ampel Surabaya yang sekarang berubah nama menjadi
UIN sambil mengajar di lembaga pendidikan TPQ Hidayatullah
Wonokromo-Surabaya. Disamping itu, penulis bekerja sebagai
marketing sandal pada usaha yang penulis kelola. Pada tahun 2013,
penulis merantau ke Kalimantan Barat guna mendaftarakan diri
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kota Singkawang sambil
bekerja di sektor swasta bersama saudaranya.
294 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran
Menjelang bulan Ramadhan, penulis memutuskan untuk
kembali ke kampung halamannya sambil kembali nyantri di
Pesantren Sunan Drajat Lamongan Jawa Timur yang diasuh oleh
Prof. Dr KH Abdul Ghofur. Setelah menamatkan program S1-nya
dalam bidang Sosiologi di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Penulis
sempat bekerja kembali sebagai marketing di perusahaan swasta di
Surabaya. Saat ini penulis menempuh pendidikan S2 konsentrasi
Antropologi dan Sosiologi Agama di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta serta mengajar pada LBB di Bintaro Tangsel.