26
Representasi Maskulinitas Modern dalam Iklan L’Oreal Men Expert (Kajian Semiotika Terhadap Iklan) Oleh: Septi Diah Prameswari 210000041 Kajian Media PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PARAMADINA 2

Representasi Maskulinitas Modern Dalam Ajang

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Representasi maskulinitas dalam iklan

Citation preview

Representasi Maskulinitas Modern dalam Iklan

L’Oreal Men Expert

(Kajian Semiotika Terhadap Iklan)

Oleh:

Septi Diah Prameswari

210000041

Kajian Media

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PARAMADINA

JAKARTA

2013

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Media merupakan salah satu sarana yang berperan dalam pencitraan maskulinitas.

Melalui berbagai media berbagai pihak berupaya memberikan gambaran mengenai konsep

maskulinitas. Hal itu seperti dilakukan Beynon (Nasir, 2007: 5) yang melakukan kajian

mengenai konsep maskulinitas melalui berbagai hal, terutama media. Berbagai media yang

dijadikan sebagai objek kajian mengenai maskulinitas diantaranya: karya sastra, media

cetak, media siar, media Visual dan Performatif, Autobiografi/Biografi dan

Dokumentasi, dan etnografi.

Konsep maskulinitas dalam perkembangan jaman juga mengalami perkembangan. Hal

itu seperti dikemukakan Beynon (Nasir, 2007: 2) yang melakukan kajian tentang

maskulin dalam bukunya Masculinities and Culture. Dalam buku ini, Beynon

menggambarkan sosok maskulin dalam setiap dekade.

Pada awal tahun 1980-an sosok maskulin yang muncul adalah pada figur-figur laki-

laki kelas pekerja dengan bentuk tubuh dan perilakunya sebagai dominator, terutama atas

perempuan. Citra laki-laki semacam ini memang kental dengan awal industrialisasi pada

masa itu, laki-laki bekerja di pabrik sebagai buruh berlengan baja. Laki-laki terlihat

sangat bapak, sebagai penguasa dalam keluarga dan sosok yang mampu memimpin

perempuan serta pembuat keputusan utama. Konsep maskulinitas semacam ini dinamakan

konsep maskulin yang tradisional dalam pandangan barat.

Maskulinitas merupakan isu gender yang tidak bisa terlepas dari feminitas. Gender

merupakan konstruksi sosial dan budaya di mana hal ini tidak terikat oleh sifat bawaan dari

lahir atau seksualitas. Menurut Helen McDonald, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah

sebagai berikut:

MEN are (should be) WOMEN are (should be)

Masculine Feminine

Dominant Submissive

3

Strong weak

aggressive passive

intelligent intuitive

rational emotional

Active (do things) Communicative (talk about things)

MEN like: WOMEN like:

Cars/technology Shopping/make up

Getting drunk Social drinking with friends

Casual sex with many partners Communited relationship

Perbedaan maskulin dan feminin pun menggiring anggapan umum bahwa karakteristik

maskulin lekat dengan laki-laki dan karakter ini dikaitkan dengan tiga sifat khusus yaitu

kuat, keras dan beraroma keringat. Secara sederhana laki-laki dilabeli sifat ‘macho”.

Sementara itu sifat perempuan diidentikan dengan sifat lemah, lembut, dan beraroma wangi

dan dikaitkan dengan sifat seorang “putri”.

Namun, ternyata maskulinitas yang merupakan produk budaya terus berkembang hingga

saat ini. Fenomena yang ada di tahun abad ke 21 ini adalah adalah munculnya sesuatu yang

khas dan semakin lama gejala kelelakian semakin penuh dengan terminologi-terminologi

baru. Homoseksual yang sudah berkembang semenjak dekade 80-an, sekarang bahkan

terminologi laki-laki sudah mengenal istilah metroseksual (Beynon, dalam Nasir, 2007: 5).

Laki-laki metroseksual adalah laki-laki yang berasal dari kalangan menengah atas,

mereka rajin berdandan, berpenampilan dandy berhiaskan anting dan juga tergabung

dalam komunitas yang terpandang dalam masyarakat. Laki-laki metroseksual semacam

socialite (orang-orang yang senang gaul bergengsi). Mereka pada umumnya harus

berpengetahuan luas, atau mereka yang disebut dengan laki-laki yang berbudaya. Laki-laki

4

metroseksual mengagungkan fashion, mungkin mirip dengan tipe maskulin yang ada di

tahun 1980-an, bahkan mungkin sama. Laki-laki metroseksual adalah orang-orang

yang peduli dengan gaya hidup yang teratur, menyukai detail, dan cenderung perfeksionis.

Laki-laki metroseksual berbeda dengan banci atau laki-laki normal, tapi sama saja laki-

laki. Metroseksual lebih condong kepada pilihan akan identitas kelelakian, terutama karena

tuntutan bahwa laki-laki metroseksual biasanya berada dalam kelas ekonomi menengah ke

atas yang mampu menghiraukan remeh-temeh gaya hidup mereka.

Makin banyak pria di kota-kota besar yang ingin mengubah penampilan menjadi lebih

menarik dengan cara menghabiskan uangnya untuk berolah tubuh ke fitness center maupun

ke salon. Perawatan tubuh yang umumnya hanya dilakukan kalangan perempuan dan

dianggap tabu bila dilakukan laki-laki, atau perawatan wajah yang dahulu identik dengan

wanita, sekarang juga banyak dilakukan kaum pria. Kini pria semakin nyaman dan mudah

mengekspresikan sisi-sisi feminin seperti wanita.

Penampilan diri yang menarik menjadi hal penting bagi kaum pria itu sehingga mereka

tidak ragu lagi melakukan perawatan diri, termasuk di salon. Pria metroseksual saat ini bebas

dalam mengekspresikan dirinya. Golongan pria ini pun terkesan menolak paham patriarki,

yang mempunyai anggapan bahwa pria haruslah seorang "lelaki", bukan perempuan. Ini

dipicu nilai-nilai baru yang mewarnai gaya hidup masyarakat, termasuk masyarakat

Indonesia terhadap laki-laki yang tinggal di perkotaan, yang cenderung berorientasi pada

nilai-nilai kebendaan. Artinya, telah terjadi pergeseran orientasi nilai budaya pada jenis

kegiatan, minat, maupun pendapat yang lebih mementingkan penampilan secara fisik,

glamour, dan sebagainya. Dengan demikian, mau tidak mau, dapat dipastikan bahwa

keberadaan gaya hidup tersebut menimbulkan kesan modern.

Para pria yang tinggal di kota besar menjadi bagian penikmat dari layanan salon atau

klinik kecantikan yang mulai menjamur di kota-kota besar, yang sebelumnya tempat para

wanita memanjakan diri. Pria makin peduli terhadap perawatan diri dan tidak malu pergi ke

salon untuk facial, manicure, atau pun berdandan untuk memperbaiki penampilan. Selain itu,

juga tertarik kepada dunia fashion. Karena itu, mereka selalu mengikuti perkembangan dunia

fashion terkini di majalah-majalah mode pria, selalu mengikuti tren, model rambut, baju, dan

celana, bahkan rela menghabiskan waktu untuk melakukan perawatan tubuh di salon-salon

kecantikan.

5

Karakter laki-laki metroseksual pun juga menjadi wacana baru sebagai counter

hegemony termadap hegemonic masculinity yang selama ini mendominasi dunia periklanan.

Kemunculan sosok laki-laki metroseksual dalam iklan ini tentu saja tidak otomatis

menghapus konsep sosok laki-laki maskulin dalam iklan. Wacana laki-laki metroseksual ini

menjadi wacana alternatif yang tergantung dari kuat lemahnya budaya patriarki dalam

sebuah masyarakat. Di sini media memegang peranan penting dalam penyebaran sebuah

wacana baru. Iklan bukanlah sekedar informasi mengenai produk tertentu melainkan sebuah

media yang menawarkan ideologi, gaya hidup dan imaji. Wernick (1991: 32) melihat iklan

sebagai media promosi budaya dan iklan sebenarnya merupakan sarana ekspresi ideologi dan

ekspresi simbolik budaya. Iklan dapat menjadi wacana dalam masyarakat karena iklan

bermain dalam dunia tanda dan bahasa, termasuk dalam wacana gender.

Adanya iklan-iklan di media khususnya televisi yang sering menampilkan pria-pria ideal

menurut media memberikan dorongan bagi pria untuk melakukan seperti apa yang terlihat

dalam media tersebut. Kecenderungan media menampilkan figur pria ideal dan yang disukai

perempuan adalah pria-pria yang berotot, wangi, rapi, berkulit halus, dan sejenisnya.

Isu gender ini dilakukan secara masif oleh media, sehingga secara perlahan-lahan nilai

ini menjadi nilai yang diakui dan menyebar dalam masyarakat. Akhirnya, tidak hanya

perempuan yang menjadi sasaran iklan seperti yang dahulu dipercayai oleh banyak orang

karena perempuan mudah dipengaruhi, tapi sekarang laki-laki pun menjadi sasaran iklan

karena gaya hidup konsumtif tidak lagi hanya identik dengan perempuan.

Sekarang ini banyak sekali ditemui iklan-iklan produk yang ditujukan untuk laki-laki

yang berhubungan dengan penampilan fisik misalnya, pembersih wajah khusus laki-laki,

deodoran khusus laki-laki hingga susu untuk membentuk otot bagi laki-laki. Sehingga dari

banyaknya iklan-iklan yang tersebut dan ditonton oleh masyarakat luas, gaya hidup pria

metroseksual tidak hanya menjadi fenomena di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan

lainnya tapi juga terlihat di kota-kota kecil lainnya. Sehingga hal ini menumbuh suburkan

produk-produk fashion termasuk produk kecantikan khusus untuk pria, seperti halnya sabun

pembersih wajah yang membuat kulit wajah bersih dan lembut. Salah satu contohnya adalah

L’Oreal Men Expert.

L’Oreal merupakan sebuah merek yang menawarkan seluruh aspek kecantikan, mulai

dari produk perawatan kulit dan tata rias sampai dengan produk perawatan, pewarnaan dan

6

penataan rambut. L’Oreal dikenal sebagai simbol kecantikan wanita Paris yang diwujudkan

oleh wanita-wanita terglamor di dunia, seperti Laetitia Casta, Eva Longoria, Doutzen Kroes

dan Claudia Schiffer.1 Di tahun 2000-an, L’Oreal mengeluarkan produk perawatan khusus

laki-laki, yaitu L’Oreal Men Expert. Produk ini dikhususkan untuk perawatan kulit

berjerawat, memutihkan kulit dan mengatasi semua masalah kulit seperti berminyak,

komedo, khusus bagi laki-laki.

Dalam artikel ini, akan dilakukan pengkajian semiotik terhadap salah satu iklan cetak

produk L’Oreal Men Expert yang beredar di Indonesia. Iklan ini menarik untuk diteliti karena

lewat gambar-gambar tersebut, banyak laki-laki muda yang tertarik memakai produk tersebut

dan mengubah gaya hidupnya dalam perawatan diri. Laki-laki yang awalnya tidak

mempedulikan masalah kebersihan dan kecantikan wajah akhirnya tertarik untuk

mempercantik wajahnya layaknya perempuan. Selain itu, gambaran-gambaran yang ada

dalam iklan produk-produk semacam ini, di mana menonjolkan gambar maskulinitas seorang

laki-laki yang saat ini dianggap menarik sedikit banyak telah menanamkan ideologi baru

mengenai konsep maskulinitas itu sendiri. Jika konsep maskulinitas dulu adalah maskulinitas

yang bertolak belakang dengan feminitas, Namun maskulinitas modern adalah yang semakin

mendekati feminitas.

Konsep semiotika yang akan digunakan dalam mengamati iklan ini adalah dengan

menggunakan teori Rolland Barthes mengenai makna konotatif dan denotatif yang tergambar

dalam visualisasi iklan tersebut. Teori ini digunakan karena menurut Rolland Barthes dalam

memaknai tanda dilakukan atas dua tingkatan yaitu konotasi dan denotasi tanpa

mengesampingkan mitos yang melekat di dalamnya. Sedangkan metode semiotik yang akan

digunakan yakni pemaknaan interpretatif pada data-data yang terdapat dalam iklan cetak

L’Oreal Men Expert dengan memfokuskan pada narasi, layout, warna, gesture dan

pemaknaan terhadap visualisasi tanda dalam iklan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1 http://www.loreal.co.id/_id/_id/our-brands/consumer-products.aspx?, diakses tanggal 2 April 2013

7

“Bagaimana representasi maskulinitas modern dalam iklan L’Oreal Men Expert yang

beredar di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang serta identifikasi masalah yang telah dipaparkan diatas,

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

Gambaran maskulinitas modern dalam iklan L’Oreal Men Expert yang beredar di

Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Penelitian Akademis

Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah keilmuan,

serta konsep dan teori mengenai gambaran konstruktivisme maskulinitas modern di media.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dokumen akademik yang berguna dan acuan

bagi civitas akademika.

1.4.2 Manfaat Penelitian Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat lebih memantapkan penguasaan

keilmuan Peneliti, yang dipelajari selama mengikuti program perkuliahan program studi Ilmu

Komunikasi dengan peminatan Kajian Media di Universitas Paramadina.

1.5 Visualisasi Iklan

8

9

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Pengertian Komunikasi

Menurut Littlejohn (2002: 7) komunikasi merupakan suatu proses pemindahan

(transmisi) informasi. Sedangkan menurut Lasswell (Mulyana, 2008: 69) menjelaskan

komunikasi secara lebih rinci dengan menjawab pertanyaan berikut: Who Says What in

Which Channel to Whom with What Effect? Secara sederhana komunikasi menurut Lasswell

memiliki 5 unsur, yaitu (Mulyana, 2008: 69-71):

- Sumber (source) sering disebut dengan pengirim (sender), penyandi (coder),

komunikator (communicator), pembicara (speaker), atau originator. Sumber adalah

pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber

boleh jadi individu, kelompok, organisasi atau pun suatu perusahaan.

- Pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan

merupakan seperangkat simbol verbal atau non verbal yang mewakili perasaan, nilai,

gagasan atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai tiga komponen, yaitu: makna,

simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna dan bentuk atau organisasi

pesan.

- Saluran atau media, yakni alat atau wahana yang digunakan sumber untuk

menyampaikan pesannya kepada penerima.

- Penerima (receiver), sering juga disebut sasaran/tujuan (destination), komunikate

(communicatee), penyandi-balik (decoder), atau khalayak (audience), pendengar

(listener), penafsir (interpreter), yakni orang yang menerima pesan dari sumber.

- Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut,

misalnya penambahan pengetahuan, terhibur, perubahan sikap, perubahan keyakinan,

perubahan perilaku, dan sebagainya.

2.2 Pengertian Komunikasi Massa

Menurut Wright dalam Severin & Tankard (2007: 4), komunikasi massa mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut:

10

- Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar, heterogen, dan

anonim.

- Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai

sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sikapnya sementara.

- Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang

kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar.

2.3 Pengertian Iklan dan Kajian Semiotika

Jika melihat fungsi dan tujuannya, sebenarnya iklan adalah salah satu bentuk

komunikasi. Hal ini dapat dilihat dari definisi iklan menurut Arens, bahwa “Iklan adalah

struktur informasi dan susunan komunikasi nonpersonal yang biasanya dibiayai dan bersifat

persuasif, tentang produk – produk (barang, jasa dan gagasan) oleh sponsor yang

teridentifkasi melalui berbagai macam media. Sedangkan menurut Philip Kotler, Gary

Amstrong (Kotler, 2006: 147) berpendapat bahwa: “Periklanan adalah setiap bentuk

penyajian dan promosi bukan pribadi yang dibayar mengenai gagasan, barang atau jasa oleh

sponsor yang teridentifikasi”.

Dari definisi di atas, jelas bahwa iklan memiliki fungsi utama menyampaikan

informasi tentang produk kepada massa (nonpersonal). Iklan menjadi penyampai informasi

yang sangat terstruktur, yang menggunakan elemen-elemen verbal dan nonverbal. Dalam

menjalankan fungsi komunikasinya ini, iklan memiliki berbagai keunikan, baik dalam

penyajian maupun isi iklan itu sendiri.isi dan model iklan selalu mengalami perubahan. Pada

awalnya iklan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada produk penyajian.

Visualisasi iklan lebih menekankan pada produk yang diiklankan itu sendiri. Mulai dari segi

fungsi, harga maupun kualitasnya. Perubahan isi dan model iklan ini dapat dilihat melalui

kajian Leiss, Kline dan Shut Jally yang mengidentifikasi sejumlah tahapan berbeda dalam

periklanan Amerika sepanjang abad ke-20 (Noviani, 2002: 23).

Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk memenuhi fungsi

pemasaran. Iklan adalah bentuk penyajian pesan yang dilakukan oleh komunikator secara

nonpersonal melalui media untuk ditujukan pada komunikan dengan cara membayar (Rendra

Widyatama, 2005: 13). Iklan memberikan informasi dan membujuk khalayak ramai agar

membeli produk yang ditawarkan. Iklan harus dapat mempengaruhi pemilihan dan keputusan

11

pembeli (Jefkins, 1997: 15). Iklan harus menarik dan diperlukan kreatifitas dalam

pembuatannya.

Untuk mengkaji iklan dengan perspektif semiotika, dapat dilakukan dengan mengkaji

tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik verbal

maupun yang berupa ikon. Rolland Barthes menganalisa iklan berdasarkan pesan yang

dikandungnya berupa:

a. Pesan linguistik, berupa semua kata dan kalimat dalam iklan

b. Pesan ikonik yang terkodekan, merupakan konotasi yang muncul dalam

visualisasi iklan yang hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda

yang lebih luas dalam masyarakat

c. Pesan ikonik yang tak terkodekan, berupa denotasi dalam visualisasi iklan

Pada dasarnya lambang dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan non verbal.

Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal. Lambang non verbal adalah bentuk dan

warna yang ditampilkan di dalam iklan, dan yang secara tidak langsung meniru rupa atas

bentuk realitas.

Gambar Peta Rolland Barthes:

1. SIGNIFIER

(PENANDA)

2. SIGNIFIED

(PETANDA)

3. DENOTATIVE SIGN (TANDA DENOTATIF)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTAVIF SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

2.4 Kajian Budaya dan Maskulinitas

12

Kajian Budaya menurut Barker adalah mengkaji kebudayaan sebagai "praktik-praktik

pemaknaan" dalam konteks kekuasaan sosial (Barker, 2005: 45). Dengan mengajukan

berbagai pertanyaan mengenai pemaknaan yaitu bagaimana peta-peta makna diciptakan

dalam kebudayaan yang kemudian menjadi sekumpulan praktik pemaknaan, melacak makna-

makna apa saja yang disirkulasikan, oleh siapa, untuk siapa, dengan tujuan apa, dan atas

kepentingan apa.

Bagi Barker menguraikan kajian budaya secara komprehensif berarti melakukan

kontruksi terhadap kajian budaya. Melakukan konstruksi dalam hal ini dimaknai

mereproduksi dan mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan kajian budaya, baik berupa teks-

teks tentang kajian budaya maupun teori-teori yang layak disebut sebagai kajian budaya atau

yang mempengaruhi kajian budaya.

Menurut Barker kajian budaya memberi perhatian khusus terhadap budaya (sebagai

bagian konsep kunci), dimana budaya sangatlah erat kaitannya dengan makna-makna sosial

yang dimunculkan lewat tanda yang disebut "bahasa". Bahasa berperan memberi makna pada

objek-objek material dan praktik sosial yang menjadi tampak bisa dipahami karena adanya

bahasa, dan proses produksi makna ini kemudian disebut dengan "praktik-praktik

pemaknaan" (Barker, 2005: 10).

Menurut Wernick (1991:32) iklan tidak hanya media yang sekedar digunakan untuk

menginformasikan sebuah produk tertentu. Menurutnya, iklan merupakan media promosi

budaya dan sebenarnya iklan merupakan sarana ekspresi ideologi dan ekspresi simbolik

budaya. Iklan dapat menjadi wacana yang terus berkembang dalam masyarakat karena iklan

menggunakan tanda dan bahasa dalam publikasinya. Lewat tanda dan bahasa ini, masyarakat

bebas menginterpretasikan maknanya sesuai dengan imaji dan pengalamannya. Termasuk

dalam representasi maskulinitas dalam iklan yang ditunjukan lewat tanda dan bahasa yang

dikemas sedemikian rupa. Untuk mengungkap representasi maskulinitas ini, kerangka

berpikir yang digunakan adalah ideologi dominan atau patriarki yang mayoritas dianut oleh

masyarakat Indonesia.

Iklan menampilkan sebuah stereotype tentang maskulinitas laki-laki yang

digambarkan oleh Wood dalam Fowles (1996: 208), “active, advenurous, powerful, sexually

aggressive and largely uninvolved in human relationship.” Maskulinitas erat hubungannya

dengan “otot” sebagai tanda kelelakian. Pandangan ini disebutkan oleh Media Awareness

13

Network yang mengidentifikasikan karakteristik maskulinitas. Hal ini diungkapkan juga oleh

Wibowo (2004: 161-162) yang menyebutkan dominasi kesan maskulinitas pada iklan yang

merajai Indonesia dipenuhi oleh gaya para pria berotot. Menurutnya, akar stereotype pria

maskulin yang berotot dapat dilihat melalui tradisi Yunani yang kemudian dilanjutkan

dengan tradisi Romawi untuk akhirnya diserap dalam budaya modern. Unsur maskulinitas

dalam budaya Yunani ini dikembangkan melalui perwujudan dewa dan tokoh mitos mereka

yang tampan, gagah, “berotot”, perkasa serta pandai.

2.3 Metrosexual: Maskulinitas Model Baru

Budaya merupakan bentukan dari masyarakat yang dapat berubah seiring berjalannya

waktu. Begitu juga dengan sebuah konsep mengenai maskulinitas yang mulai bergeser di

masyarakat. Konsep baru mengenai maskulinitas ini pada dasarnya merupakan upaya

counter-hegemoni untuk meninggalkan budaya patriarki yang dominan. Hal ini pun terlihat

dalam mayoritas iklan-iklan sekarang yang memposisikan laki-laki sebagai subjek seksual.

Iklan menciptakan standar baru masyarakat untuk laki-laki yakni sebagai sosok yang agresif

sekaligus sensitif, memadukan antara unsur kekuatan dan kepekaan sekaligus. Laki-laki

macho yang “berotot” tidak lagi terpakai, digantikan oleh sosok laki-laki kuat dan tegar di

dalam tapi lebut di permukaan. Karakter ini yang disebut laki-laki metroseksual.

Dalam The Urban Dictionary disebutkan beberapa definisi alternatif mengenai

metroseksual yaitu:

- A modern man who has adopted what was traditionally perceived as feminine traits

- A straight urban man male eager to embrace and/or show off his feminine side,

especially when it comes to pricy haircuts, designer suits and skin care product

- Tricky word for a guy who is actually straight, but everyone thinks he is gay because

he is very much in touch with his feminine side

Sementara, menurut Flocker dalam The Metrosexual Guide to Style, mendefinisikan

metroseksual sebagai laki-laki trendsetter di abad 21, yang normal (tidak gay), urban,

mempunyai kepekaan estetika tinggi, menghabiskan banyak waktu dan uang demi

penampilan dan rajin berbelanja untuk hal itu, mempunyai keinginan untuk memunculkan sisi

femininnya.

14

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Penulis dengan judul Representasi

Maskulinitas Modern dalam Iklan L’Oreal Mens Expert ini akan menggali mengenai unsur

semiotika dalam iklan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Taylor dan Bogdan

menjelaskan pendekatan kualitatif sebagai suatu cara mengumpulkan data deskriptif

berdasarkan kata-kata yang keluar dari seseorang dan behavior yang muncul (Hernanto,

2008).

Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud dengan penelitian kualitatif

adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung

pada pengamatan pada manusia pada kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-

orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya.”

Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada

kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik

pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil

penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Ciri-ciri penelitian kualitatif antara lain mendasarkan diri pada kekuatan narasi, studi

dalam situasi alamiah, menggunakan analisis induktif, ada kontak personal langsung,

perspektif holistic, perspektif dinamis, orientasi pada kasus unik, serta menjadikan peneliti

sebagai instrument kunci (Hernanto, 2008).

Pertimbangan penulis menggunakan penelitian kualitatif ini sebagaimana yang

diungkapkan oleh Lexy Moleong:

1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan

kenyataan ganda

2. Metode ini secara tidak langsung terdapat hubungan antara peneliti dan responden

3. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan manajemen pengaruh

bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi

15

3.2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian kualitatif pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan

teknik pengambilan data melalui analisa gambar dan narasi menggunakan kajian semiotika

Barthes. . Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran

atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenahi fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antara fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005).

3.3. Objek Penelitian

Objek pada penelitian ini adalah pesan yang akan di teliti melalui analisi isi pesan yang

dimaksud berupa gambar, tagline, kalimat, layout dalam isi iklan atau keseluruhan isi pesan

(Ghazali: 2009). Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah visualisasi gambar dan teks

dalam iklan L’Oreal Mens Expert.

3.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah salah satu iklan cetak terbaru L’Oreal Mens

Expert dengan bintang iklan Nicholas Saputra.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk

mengumpulkan data. Data dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu data primer dan

sekunder.

3.5.1. Data Primer

Pengambilan data primer dilakukan peneliti melalui studi pustaka dan observasi guna

memperoleh data secara langsung yang diperoleh dari sumber peneliti. Teknik yang

digunakan adalah Teknik Dokumentasi. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data-data

tentang perkembangan iklan di Indonesia dan perkembangan konsep maskulinitas dan

metroseksual. Data tersebut dapat diperoleh dengan kepustakaan yang ada baik berupa buku,

artikel, internet dan bahan tertulis lainnya untuk melengkapi data penelitian.

3.5.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam

sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat pribadi, buku harian, notulen rapat perkumpulan,

sampai dokumen-dokumen resmi dari berbagai instansi. Data sekunder juga dapat berupa

16

majalah, buletin, publikasi dari berbagai organisasi, lampiran-lampiran dari badan-badan

resmi seperti kementrian-kementrian, hasil-hasil studi, tesis, hasil survey, studi historis, dan

sebagainya. Peneliti menggunakan data sekunder ini untuk memperkuat penemuan dan

melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui studi pustaka.

3.6. Teknik Analisis Data

Dalam sebagian besar penelitian kualitatif, analisis data tidak dilakukan dalam satu

tahap saja, setelah data terkumpul. Analisis data merupakan proses sistematis yang

berlangsung secara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data (Daymon 2008:545-

548). Analisis data kualitatif berkaitan dengan :

1. Reduksi data : Memilah-milah data yang tidak beraturan menjadi potongan-

potongan yang lebih teratur dengan mengkoding, menyusunnya menjadi

kategori (memoing), dan merangkumnya menjadi pola dan susunan yang

sederhana.

2. Interpretasi : Mendapatkan makna dan pemahaman terhadap kata-kata dan

tindakan para partisipan riset, dengan memunculkan konsep dan teori (atau teori

berdasarkan generalisasi) yang menjelaskan temuan.

Dalam melakukan analisis data di penelitian ini, peneliti menggunakan analisis

model Roland Barthes yang menggunakan dua tahap signifikan dalam melakukan

penganalisaan terhadap benda. Roland Barthes dalam melakukan kajian terhadap tanda

menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut. Tahap pertama tahap signifikasi denotasi,

dalam tahapan ini hubungan antara signifier dan signified dalam sebuah tanda pada

realitas eksternal, yaitu makna paling nyata dengan tanda. Sedangkan dalam tahap kedua,

tahap ini dinamakan tahap konotasi. Dalam tahap ini akan terjadi jika si penafsir akan

bertemu dengan emosi serta nilai-nilai kebudayaan yang ada (Sobur: 2009).

Dalam definisi lain, penanda (signifier) adalah citraan atau kesan mental dari sesuatu

yang bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan atau tanda. Sedangkan petanda

(signified) adalah konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda.

Adapun langkah-langkah untuk menganalisa tanda bekerja dalam penelitian ini

adalah langkah-langkah analisa berdasarkan peta Roland Barthes.

17

1. SIGNIFIER

(PENANDA)

2. SIGNIFIED

(PETANDA)

3. DENOTATIVE SIGN

(TANDA DENOTATIF)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTAVIF SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

3.7 Keabsahan Penelitian

Kriteria-kriteria untuk mengevaluasi keterpercayaan adalah :

1. Credibility (kredibilitas), Menurut Lincoln dan Guba (1985), suatu riset akan

kredibel jika orang-orang yang terlibat mengakui kebenaran temuan-temuan riset

dalam konteks sosialnya sendiri. Ada beberapa teknik untuk mencapai kreadibilitas

ialah teknik : teknik triangulasi, sumber, pengecekan anggota, perpanjangan

kehadiran peneliti dilapangan, diskusi teman sejawat, dan pengecekan kecakupan

referensi.

2. Transferability. Apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain.

Maksudnya adalah mempertimbangkan bagaimana prinsip atau model apapun yang

kemungkinan dimunculkan dalam riset ini, dapat diberlakukan untuk situasi sejenis

dimanapun gejala itu dianggap berlangsung. Penelitian ini, diharapkan dapat menjadi

acuan untuk penelitian lain.

3. Dependability (tingkat ketergantungan), Kredibilitas dan tingkat ketergantungan

berhubungan erat. Agar temuan riset dapat dikaitkan (dengan yang lain), maka

temuan tersebut harus konsisten dan akurat.

4. Confirmability (dapat dikonfirmasikan), Yaitu apakah hasil penelitian dapat

dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang

dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Agar riset dapat

18

dikonfirmasikan, peneliti harus mampu menunjukkan bagaimana data terkait dengan

sumbernya, sehingga pembaca dapat menetapkan bahwa kesimpulan dan penafsiran

muncul secara langsung dari sumber tersebut. Untuk memenuhi standar

confirmability, seluruh jawaban yang bersumber dari sebuah sumber putaka

dikonfirmasi dengan interpretasi dari sumber pustaka yang lainnya sehingga hasilnya

diharapkan menjadi obektif. Selain itu penggunaan sumber data sekunder berupa

website, surat kabar, majalah turut pula membantu konfirmasi data yang diperoleh

melalui sumber pustaka utama. Langkah lain untuk memenuhi standar

confirmability, adalah peneliti menyertakan lampiran interpretasi data yang berasal

dari beberapa sumber pustaka.

3.8 Keterbatasan Penelitian

Dalam setiap penelitian pasti ditemui kelemahan dan keterbatasan penelitian, begitu

pula dengan penelitian ini terdapat kelemahan dan keterbatasan penelitian yaitu : penelitian

ini menggunakan kajian semiotika di mana kajian ini adalah hasil interpretasi dari Penulis

yang berdasarkan sumber pustaka menjadi keterbatasan penulis. Hasil interpretasi penulis

hanya berdasar dari sumber-sumber pustaka yang penulis baca, sehingga banyaknya sumber

akan menentukan ketajaman analisis dari interpretasi semiotik ini.

19