Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP
PERKEMBANGAN SOSIAL KEAGAMAAN ISLAM
DI INDONESIA PASKA REFORMASI
OLEH:
DR. M. AMIN NURDIN, MA
ISMATU ROPI, MA
PENERBIT
IDAYUS
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dipanjatkan kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmatnya
kepada kita semua. Salawat dan salam juga dihaturkan kepada Nabi Muahmmad
SAW yang telah memberikan bimbingan kepada kita semua.
Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim
terhadap perkembangan sosial kegamaan Islam di Indonesia paska-reformasi ini.
Penelitian ini merupakan bagian dari penguatan dan pengembangan kapasitas riset di
lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010-2011 dengan mendorong
dan memfasilitasi penelitian melalui Lembaga Penelitian UIN Jakarta. Oleh karena
itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah
atas segala bantuan yang diberikan sehingga penelitian ini bisa berjalan dengan
sebaik-baiknya.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian UIN
Jakarta dan semua staf di kantor Pusat Penelitian UIN Jakarta yang dengan tulus
memberikan bantuan teknis bagi penelitian ini, serta kepada berbagai pihak yang
membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
Secara khusus ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Jaenal Arifin, MA dan
Ismatu Ropi, MA sebagai anggota tim peneliti yang telah bersama-sama meneliti
literatur dan bacaan, melakukan penelitian lapangan ke beberapa daerah dan menulis
laporan akhir. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para narasumber yang
telah meluangkan waktu wawancara bagi kegiatan ini.
iii
Akhirnya sebagai ketua tim peneliti, semoga hasil penelitian kompetitif ini
memberi manfaat bagi kita semua dalam rangka memperbaiki kehidupan keagamaan
yang jauh lebih baik dan harmonis di negeri ini.
Ciputat, 15 Januari 2011
Dr. M. Amin Nurdin, MA
Ismatu Ropi, MA
iv
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Trbitan (KDT)
Nurdin, M. Amin dan Ismatu Ropi, 2011
Respon Kelompok Non-Muslim erhadap Perkembangan Sosial
Keagamaan Islam di Indonesia Paska Reformasi
Jakarta, CV. Idayus, 2011
ISBN : 979 8021 29 vii
Lay-ot dan Design Cover : Ali Ma’mun
Penerbit CV. Idayus
Copyright M. Amin Nurdin an Ismatu Ropi
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa
pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin foto copy, tanpa izin sah
dari pengarang copyright.
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang Masalah 1
Dukungan Terhadap Islamisme? 6
Islamisme dan Kelompok Minoritas 8
Hipotesis dan Perumusan Masalah 10
Tujuan Penelitian 11
Metodologi Penelitian 11
Sistematika Penulisan 13
BAB II PASANG SURUT HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
DI INDONESIA 14
Islam dan Negara: Tinjauan Umum 14
Memahami Islamisme 25
Konstitusi, Negara dan Pengelolaan Agama 32
Kebebasan Beragama dan Kelompok Mayoritas 49
BAB III ISLAMISME DAN RESPON KELOMPOK NON MUSLIM:
TOLERANSI DAN PLURALISME 53
Pandang Doktinal Terhadap Toleransi 54
Memudarnya Budaya Toleran? 63
Kelompok Non Muslim dan Toleransi 66
Pluralisme dan Dialog Umat Beragama 71
Pandangan Kelompok Non Muslim Tentang Pluralisme 76
vi
BAB IV ISLAMISME DAN RESPON KELOMPOK NON MUSLIM:
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA 82
Mencari Format Ideal Hubungan Agama dan Negara 82
Kelompok Non Muslim dan Hubungan Negara-Agama 102
Desentralisasi dan Penerapa Syariat Islam 106
Kelompok Non Muslim, Partai Politik dan Peraturan Daerah
Berlandaskan Syariat Islam 109
BAB V PENUTUP 114
Kesimpulan 114
Rekomendasi 117
Daftar Pustaka 119
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BALAKANG MASALAH
Penelitian ini secara umum mengkaji pandangan dan respon kelompok minoritas
agama di Indonesia tentang munculnya sikap dan prilaku Islamis di sebagian
kalangan Muslim di Indonesia terutama semenjak keruntuhan rezim otoritarian Orde
Baru pada akhir dasawarsa 1990an. Islamisme di sini dipahami sebagai ide tentang
keniscayaan hubungan antara agama dan negara. Sikap ini ditandai secara ‘negatif’
sebagai keinginan untuk menerapkan ‘ajaran Islam’ secara literal dan skriptural
keseluruhan aspek kehidupan seorang Muslim. Dalam prakteknya sikap Islamis
antara lain ditandai dengan merebaknya rasa intoleransi, penolakan terhadap
keberagaman dan pluralisme.
Dalam beberapa level tertentu, budaya Islamis ini juga memberikan kontribusi
bagi konflik-konflik yang berbasis agama. Selain itu, pada tataran yang sama sikap
Islamis ini juga menjadi ‘bagian utama’ dari gerakan penerapan syariat Islam di
beberapa kabupaten di tanah air pada pertengahan tahun 2000an. Pertanyaan dasar
yang diajukan di sini adalah apakah sikap dan prilaku Islamis ini berkaitan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam sendiri atau apakah ini merupakan
sublimasi dari keinginan untuk menegaskan jatidiri agama setelah sekian dasawarsa
Bab I Pendahuluan | 2
terpinggirkan pada masa rezim Orde Baru atau ia merupakan wajah ril dari Islam di
Indonesia.
Dalam konteks ini, paling tidak terdapat dua domain Islamisme yang
berkembang di dalam masyarakat Muslim Indonesia. Pertama, Islamisme dalam
bentuk sikap (attitude) yang ditandai dengan kecenderungan atau preferensi
masyarakat Muslim Indonesia terhadap pendefinisian ulang masalah-masalah yang
menyangkut ajaran-ajaran Islam seperti penerapan syariat Islam dalam kehidupan
keseharian. Kedua, pada tingkat tindakan (action) yang ditandai dengan adanya
agenda-agenda seperti penolakan terhadap kelompok minoritas atau agenda-agenda
atau pandangan-pandangan yang memberikan pengakuan terhadap eksistensial
mereka seperti berkembang dalam wacana toleransi dan pluralisme agama. Lebih
lanjut pada tingkatan yang lebih ekstrim, tindakan ini bias berbentuk penutupan atas
rumah ibadah yang ditengarai tanpa izin secara sepihak atau pengrusakan tempat-
tempat publik yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Salah-satu cara pandang memahami Islamisme di Indonesia adalah dengan
melihat sejauhmana faktor-faktor lokal pergumulan Islam di Indonesia dalam sejarah
memberikan kontribusi atas sikap dan prilaku itu. Ini berkaitan erat dengan
bagaimana umat Islam di Indonesia dalam beberapa level mengalami deprivasi
ketika rezim otoritarian memberikan ruang yang sangat terbatasi untuk gerakan Islam
sendiri.
Pada titik ini, ketika ruang publik untuk memainkan peran sebagai kelompok
mayoritas terbuka lebar, katarsis dari perasaan terpinggirkan tersebut menjadi sebab
utama bagi keinginan untuk menjadikan nilai-nilai Islam sebagai criteria penilai bagi
kehidupan sosial masyarakat dan kenegaraan. Pada titik ini pasang surut hubungan
Bab I Pendahuluan | 3
Islam dan negara terutama pada masa Orde Baru menjadi penting untuk didiskusikan
sebagai landasan awal memahami gerakan Islamisme itu sendiri.
Pada sisi lain, Islamisme juga merupakan budaya transnasional dimana
kecenderungan menegaskan diri sebagai Muslim menjadi bagian terpenting dari
pencarian identitas baru. Ini merupakan benturan peradaban sebagaimana yang
diungkap oleh Huntington dimana kelompok non-Muslim (dan Barat) diyakini oleh
sebagian kalangan Muslim selalu berupaya untuk menghegemoni negara-negara
Islam. Di sini perlu juga kemudian ditelaah sejauhmana gerakan transnasional Islam
memberikan warna bagi gerakan Islamis di tanah air.
Secara historis, sikap Islamis bukanlah hal yang baru di tanah air. Ia
mengalami proses metamorfosa yang sangat panjang dengan bentuk yang cukup
beragam. Awalnya ini merupakan bagian yang inheren dari apa yang disebut sebagai
kemunculan kesadaran Islam di kalangan kaum Muslimin di tanah air, utamanya
ketika represi negara terhadap gerakan politik Islam menjadi fitur utama yang terlihat
dalam kurun masa pemerintahan Orde Baru.
Pola gerakan ini bisa dilihat sebagai tindakan kolektif kaum Muslimin tertentu
dalam merespon model hubungan dan norma yang berkembang dalam masyarakat
vis-a-vis kesejatian ajaran Islam. Jadi ia menghubungkan secara kuat antara
pemahaman dan keyakinan dari suatu komunitas tertentu mengenai makna kehidupan
sosial seperti hubungan agama, masyarakat, dan negara yang terorganisir
berdasarkan sentimen dan solidaritas Islam.
Dalam konteks Indonesia, setting sosio-politik dan kultural memiliki imbas
langsung terhadap pola keberagamaan yang berkembang pada kurun tertentu.
Sebagaimana diketahui, sejak tampil ke puncak kekuasaan pada 1965, Pemerintah
Bab I Pendahuluan | 4
Orde Baru di Indonesia segara memberlakukan kebijakan politik dan ekonomi yang
berorientasi pada developmentalism yang lebih mengedepankan program-program
pragmatis yang berhubungan dengan kebutuhan hidup masyarakat umum seperti
pendidikan. Pendekatan pembangunan sosial ekonomi ini tentu saja sangat jauh
berbeda dengan pemerintahan sebelumnya (yakni rezim Orde Lama) yang lebih
menekankan pada partisipasi politik, baik dalam dan luar negeri, yang tidak
diimbangi dengan pembangunan kehidupan ekonomi yang stabil.
Ini seiring dengan kebijakan sosial Pemerintah Orde Baru yang lebih populis
seperti dalam kesehatan (puskesmas dan program keluarga berencana) dan
pendidikan, tetapi pada saat yang sama rezim sangat rigid dan tidak kompromi dalam
hak-hak politik masyarakat. Harus diakui bahwa kebijakan ini memang memberikan
akses utamanya kepada kaum Muslimin sebagai mayoritas di tanah air untuk
mendapatkan pendidikan lebih baik semakin terbuka lebar sehingga pada gilirannya
melahirkan kelas menengah santri baru (new middle class) yang secara langsung
terlibat dalam dunia birokrasi dan profesional.
Opsi pendidikan bagi para sarjana Muslim ini telah membuka kesempatan bagi
mereka untuk secara aktif bersentuhan langsung dengan masalah-masalah aktual
yang menjadi concern bagi masyarakat. Pada titik ini, pilihan artikulatif para sarjana
Muslim itu setelah mendapatkan pendidikan itu bisa berbeda, dan secara sederhana
dapat dikategorikan dalam dua kelompok.
Kelompok pertama secara moderat meminjam khazanah pengalaman tradisi
‘Barat’ sebagai pisau analisis bagi pemecahan masalah-masalah yang berkenaan
dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan bagi kelompok kedua, ‘kembali’ kepada
Bab I Pendahuluan | 5
khazanah Islam-lah yang dianggap juga mampu memberikan jawaban atas persoalan-
persoalan itu.
Genre model keberagamaan kelompok kedua sebagaimana yang akan
didiskusikan lebih lanjut pada Bab II pada gilirannya mendapat kesejatian sebagai
sebuah gerakan Islam baru terutama semenjak kejatuhan Orde Baru. Ia mengambil
bentuk yang lebih ril sebagai gerakan partai politik Islam dan organisasi-organisasi
massa yang menyuarakan secara gambling pentingnya penerapan syariat Islam di
tanah air. Dalam beberapa hal gerakan Islam ini juga memainkan peranan dalam
menyuarakan suara Islam di pentas internasional. Utamanya isu-isu yang berkenaan
dengan kepentingan umat Islam dunia seperti masalah Palestina sebagai misal. Hal
ini memang berkaitan erat dengan kebijakan-kebijakan politik terutama Amerika
terhadap umat Islam dunia yang mendapatkan momentum semenjak tragedi
penyerangan World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 yang
menewaskan lebih dari tiga ribu korban. Serangan terhadap Amerika Serikat ini
menjadi titik terpenting bagi memburuknya hubungan Islam-Barat dimana banyak
Muslim termasuk kelompok-kelompok moderat menganggap bahwa kebijakan
terhadap negara Muslim dan kaum Muslim yang dikeluarkan oleh negara-negara
Barat dianggap sangat tidak fair dan jauh dari kesan bersahabat.
Pada titik ini apa yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya terhadap
Afganistan dan Irak sebagai contoh yang sering dikutip untuk menjustifikasi
keangkuhan Barat terhadap negara-negara Islam. Ini disebabkan karena apa yang
dilakukan tentara Amerika di Aghanistan dan Irak juga dapat disaksikan secara
langsung oleh masyarakat Muslim yang berada di tanah air. Hal tersebut memberi
pengaruh terhadap pembentukan citra negatif Barat di mata masyarakat Indonesia
Bab I Pendahuluan | 6
secara umum dan umat Islam secara khusus. Karena itu, apa yang menjadi kegalauan
dan kepedihan orang banyak di negara lain atau umat Islam di tempat lain, juga
dirasakan sepenuhnya oleh umat Islam di Indonesia.
Pada titik ini, penyerangan terhadap Irak tidak semata-mata dilihat secara
politis tetapi juga merupakan penyerangan terhadap identitas religius (yakni Islam),
dan juga sebagai merupakan kelanjutan dari Perang Salib antara kaum Muslimin
dengan umat Kristani yang pernah terjadi dalam sejarah pada Abad Pertengahan. Di
sini idiom-idiom agama konvensional seperti jihad atau martir menjadi identitas
pembeda antara kaum Muslimin dan non-Muslimin, dan sofistikasi stereotif atas
Perang Salib masa lampau atau clash of civilization pada masa kini digunakan oleh
semua pihak sebagai rujukan untuk menilai sikap masyarakat Muslim terhadap Barat
dan sebaliknya. Dan dalam kadar tertentu kebijakan politik ini menjadi pupuk
penyubur bagi berkembangnya Islamisme dalam bentuk pemikiran dan gerakan di
dunia Islam termasuk di tanah air.
DUKUNGAN TERHADAP ISLAMISME?
Berkaitan dengan Islamisme ini, satu pertanyaan yang perlu diajukan adalah
sejauhmana mereka memperoleh tempat di masyarakat Muslim Indonesia?
Pertanyaan ini penting terutama untuk menjelaskan tingkat dukungan Muslim
Indonesia terhadap agenda-agenda yang selama ini diketengahkan kelompok salafi
radikal. Untuk itu, survey PPIM tentang Islam dan demokrasi sejak beberapa tahun
terakhir ini (2001 hingga 2006) penting diacu di sini. Satu hal yang perlu ditekankan
adalah, sebagaimana akan dijelaskan secara rinci di bawah bahwa dukungan Muslim
Bab I Pendahuluan | 7
Indonesia terhadap Islamisme memang memperlihatkan kecenderungan meningkat
signifikan.
Menyangkut isu negara Islam, misalnya, peningkatan tersebut bisa dijelaskan
sebagai berikut ini. Pada 2001, terdapat 57,8% responden yang mendukung gagasan
pemerintah Islam untuk negara Indonesia—yakni pemerintahan atas dasar ajaran-
ajaran al-Qur’an an al-Sunnah dan di bawah kepemimpinan ahli-ahli Islam (ulama
atau kyai). Prosentase tersebut meningkat menjadi 67,1% pada survey 2002 dan
selanjutnya 72,2% pada survey 2004 dan 2006. Begitu pula dalam hal “negara harus
mewajibkan pelaksanaan syari’at Islam bagi semua Muslim dan Muslimah”,
dukungan sebesar 61,4% pada survey 2001 naik menjadi 70,6% pada survey 2002
dan 75,5% pada tahun 2004 serta 82,8% pada survey 2006.
Melihat angka prosentase di atas tentu secara sederhana dapat disimpulkan
bahwa dukungan terhadap agenda-agenda Islamisme memang cenderung meningkat.
Hanya saja, perlu dicatat pula bahwa uniknya dukungan tersebut tidak serta merta
sejalan dengan tingkat dukungan yang diberikan terhadap organisasi-organisasi yang
selama ini menyuarakan agenda-agenda Islamisme seperti Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) atau Front Pembela Islam (FPI) ternyata cukup rendah. Sebab beberapa
temuan seperti dalam survey LSI (Lembaga Survey Indonesia) pada 2005
menunjukkan kenyataan yang berlawanan. Agaknya dukungan dan akseptabilitas
terhadap organisasi-organisasi mainstream yang secara kultural mewakili Islam
Indonesia selama beberapa dekade seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
jauh lebih tinggi dibanding dengan dukungan yang diberikan terhadap organisasi
yang mengusung agenda Islamisme itu.
Bab I Pendahuluan | 8
ISLAMISME DAN KELOMPOK MINORITAS
Jika survey di atas yang melihat dukungan yang terbatas terhadap sikap dan prilaku
Islamis dari organisasi-organisasi Islam mainsteam menjadi landasan dalam
memahami gejala ini, maka agaknya kekhawatiran kelompok non-Muslim yang
menjadi focus penelitian ini atas munculnya trend baru Islam yang kurang bersahabat
dengan mereka terlihat kurang mendapatkan justifikasi. Hanya saja harus
digarisbawahi pula, bahwa kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sebab, walaupun
kelompok Islamis ini relatif kecil dan tidak cukup signifikan namun gaung mereka
untuk bersuara atas nama umat Islam terdengar cukup keras dan ada kalanya mampu
mendapatkan simpati publik. Apalagi kelompok ini cenderung militan dan dalam
berbagai kesempatan menggunakan kekerasan demi mencapai tujuan mereka. Salah
satu bentuknya adalah pengrusakan terhadap rumah ibadah kelompok agama lain
walau dengan dalih dan alasan tertentu.
Karena itu kecenderungan untuk membenarkan prilaku kekerasan ini untuk
mencapai tujuan-tujuan bermotif agama tentu menjadi catatan kekhawatiran
tersendiri yang dirasakan oleh kelompok minoritas yang ada. Apalagi dalam kasus-
kasus tersebut, terlihat aparat negara melakukan praktek ‘pembiaran’ terhadap
pengrusakan yang dilakukan oleh kelompok Islamis ini. Dalam perspektif ini, dengan
konstelasi politik yang memperlihatkan ‘ketidakmampuan’ negara memperlihatkan
otoritasnya menjadi alasan yang sangat kuat bagi kelompok minoritas untuk terus
risau akan eksistensi dan masa depan mereka di tanah air ini.
Secara umum terlihat bahwa sikap dan gerakan Islamis dalam level tertentu
bermuara pada permusuhan (hostility) atau ketidaksetujuan (disapproval) terhadap
Bab I Pendahuluan | 9
perbedaan. Agaknya sangat tipis batas antara sikap sikap prasangka (prejudice) dan
stereotifikasi. Sebuah prejudice, paling tidak dalam bentuknya yang paling dasar,
adalah sebuah pandangan atau sikap, berdasarkan ketidaktahuan atau pengalaman
sederhana, yang berusaha menangkap makna yang kompleks. Biasanya sikap ini
akan berubah atau menjadi jauh berbeda jika orang yang memiliki pandangan tadi
menemukan realitas sebenarnya yang lebih sahih dan akurat.
Hanya saja dalam tahapan tertentu sikap ini tepat dipertahankan sebagai bagian
dari strategi untuk mendukung mimpi tentang masyarakat Islam atau negara Islam
ideal, sebuah harapan messianistik tentang terbentuknya sebuah negara yang
berlandaskan ajaran-ajaran Islam yang menawarkan sebuah “pembebasan dari masa
lampau dan harapan besar untuk masa depan”.
Karena itu pertanyaan lanjutan yang muncul adalah apakah kecenderungan
menyebarnya sikap-sikap dan gerakan Islamisme di kalangan umat Islam tanah air
berkorelasi negatif terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada? Hal ini
penting untuk dicermati mengingat terdapat kecenderungan yang sangat kuat bahwa
para Islamis tersebut cenderung percaya bahwa ajaran Islam-lah yang paling bisa
menyelesaikan semua persoalan ekonomi, sosial dan politikyang ada dan karena itu
keinginan untuk mendorong penerapan syariat Islam dan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat menjadi bagian terpenting dari mimpi besar
kelompok ini.
Padahal dalam tataran tertentu, ide tentang penerapan nilai-nilai Islam dalam
masyarakat plural di tanah air tentu bertabrakan dengan fakta sosial dan budaya
bahwa Indonesia dibangun pada semangat multi budaya dan dan multi agama. Pada
titik ini dipercaya bahwa masyarakat yang cenderung semakin Islamis akan memberi
Bab I Pendahuluan | 10
ruang bagi tumbuh dan berkembangnya sikap dan tindakan monolitik, vigilante
(main hakim sendiri) dan anti pluralisme.
HIPOTESIS DAN PERUMUSAN MASALAH
Jika memang sikap dan prilaku Islamis menjadi fitur baru dalam khazanah keislaman
di tanah air, maka secara teoritis hal tersebut tentu mendorong munculnya respon
dari kelompok-kelompok minoritas, utamanya kelompok-kelompok agama yang ada
di tanah air. Dengan memberikan perhatian utama terhadap eksistensi kelompok-
kelompok minoritas non-Muslim maka hipotesis utama dari penelitian ini adalah
terdapat kekhawatiran terhadap munculnya sikap dan prilaku Islamis ini.
Karena itu yang akan dilihat di sini adalah sejauhmana pandangan dari para
tokoh non-Muslim terhadap apa perkembangan situasi keagamaan seiring dengen
menguatnya kecenderungan dan prilaku Islamis dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara semenjak keruntuhan Orde Baru dan kemuncul Orde Reformasi.
Berdasarkan hipotesis umum itu maka permasalahan utama yang diangkat
dalam penelitian ini adalah bagaimana pandangan kelompok non-Muslim terhadap
perkembangan sosial keagamaan setelah era reformasi, bagaimana pandangan
mereka tentang sikap dan prilaku Islamisme dan apa implikasinya terhadap
hubungan antar umat beragama di Indonesia; serta bagaimana pemahaman mereka
tentang toleransi ideal harus dikembangkan oleh semua kelompok agama yang ada
untuk menjaga kerukunan kehidupan beragama di Indonesia, dan sejauhmana peran
yang bisa dimainkan oleh negara untuk menjaga kehidupan beragama yang baik.
Bab I Pendahuluan | 11
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian studi ini antara lain adalah pertama untuk memahami
sejauhmana perspektif pemikiran kelompok non-Muslim terhadap perkembangan
sosial kegamaan di Indonesia paska reformasi; dan kedua, adalah melihat
sejauhmana implikasinya terhadap hubungan antar-umat beragama di Indonesia
secara umum. Dengan melakukan pemetaan yang obyektif tentang pemikiran dan
harapan kelompok non-Muslim ini maka diharapkan terdapat pemecahan masalah
(problem solving) yang menguntungkan semua pihak dan bisa dilakukan secara
konsisten berupa rekomendasi untuk kemaslahatan bersama demi menjaga kehidupan
multi-agama dan multi-etnis di tanah air.
METODOLOGI PENELITIAN
Secara garis besar kegiatan utama yang akan dilakukan adalah penelitian kualitatif,
dengan menerapkan 2 (dua) pendekatan pengambilan sample dalam metodologi
yakni (1) review dokumen atau pengamatan; dan (2) wawancara/interview
(ethnographies studies).
Review dokumen ditujukan untuk mendapatkan data-data komprehensif
tentang pandangan para tokok non-Muslim terhadap sikap dan prilaku Islamis. kasus-
kasus dan regulasi-regulasi yang berkenaan dengan aliran keagamaan di tanah air.
Hal ini menjadi penting untuk mengukur tingkat interval geografis bagi kemunculan
gerakan ini. Penelitian ini menggunakan sumber data utama berupa: Analisis
dilakukakan melalui tulisan-tulisan tokoh-tokoh berbagai agama di media cetak dan
Bab I Pendahuluan | 12
elektronik dan pendapat dari tiga nara sumber, yaitu para pengambil kebijakan
agama, tokoh-tokoh agama, dan masyarakat berbagai agama.
Penelitian ini menggunakan metode sosial historis. Penelusuran terhadap
terhadap sejarah pemikiran kelompok non-Islam tidak terlepas dari analisis sejarah
masa lalu dan masa sekarang. Pembahasan penelitian ini merupakan suatu realita dan
prediksi terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa akan datang dengan
melihat kecenderungan-kecenderungan tersebut, lalu membuat kategorisasi persoalan
agar dapat dilakukan analisis.
Indept interview pada ketiga kelompok narasumber, yaitu pengambil kebijakan,
tokokh-tokoh agama, dan masyarakat antar agama. Metode ini digunakan agar para
narasumber dapat memberikan opininya secara pribadi secara lebih mendalam lagi
mengenai eksistensi umat Islam dengan berbagai warna-warna dan implikasinya
terhadap hubungan antar hubungan beragama. Kelompok yang diwawancarai terdiri
dari tokoh-tokoh agama yang ada di Jakarta dan sebagian di luar Jawa dan dipilih
secara random porposive. Begitu pula nara sumber masyarakat antar agama di
Jakarta dan di luar Jawa, khususnya rawan konflik agama.
Data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisa melalui tahap sebagai berikut:
pertama, pembuatan kategori data berdasarkan data tentang tulisan/buku yang ada
dan opini tokokh-tokoh agama. Kategorisasi ini dimaksudkan untuk mempermudah
analisis mengenai pendapat mereka dan implikasinya; kedua, melakukan content
analysis terhadap substansi dari opini-opini; ketiga mentabulasi data-data opini yang
diperoleh berdasarkan kelompok tema; dan keempat, menelusuri sejauh mana
implikasi pendapat mereka terhadap realita yang dihadapi.
Bab I Pendahuluan | 13
SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini akan mengikuti alur penulisan sebagai berikut: Bab I berisi
pendahuluan yang menjelaskan secara umum landasan awal tentang penelitian yang
antara lain latar belakang dan tujuan penelitian. Bab II mendiskusikan pandangan
teoritis tentang tema yang diangkat. Bab III mereview pandangan kelompok non-
Muslim tentang isu toleransi dan pluralism beragama di Indonesia. Lebih lanjut
pembahasan Bab IV akan difokuskan pada respon dan pandangan mereka tentang
agama dan negara agama yang ada dewasa ini, dan yang mereka harapkan secara
ideal untuk Indonesia di masa datang. Termasuk pada pada ini analisis tentang
respon mereka terhadap penegakan syariat Islam di tanah air dalam bentuk
pemberlakukan perda-perda syariat Islam di beberapa propinsi di Indonesia. Bab V
merupakan penutup berupa kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan dari
penelitian ini.
BAB II
PASANG SURUT HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
DI INDONESIA
ISLAM DAN NEGARA: TINJAUAN UMUM
Islamisme merupakan ‘anak kandung’ dari gelombang reformasi sosial politik yang
terjadi pada 1998 di tanah air yang memberikan kesempatan luas bagi setiap
kelompok dalam masyarakat untuk menyuarakan keinginan dan kecenderungan
politik yang berbeda-beda. Hal ini bisa terlihat dari munculnya sejumlah organisasi
keislaman baik yang secara eksplisit ingin mendirikan negara Islam atau
menyuarakan pentingnya syariah Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kecenderungan seperti ini tentu tak bisa bahkan tak mungkin ditemukan pada masa
Orde Baru.
Sebagaimana diketahui, sejak tampil ke puncak kekuasaan pada 1965,
pemerintahan Orde Baru memberlakukan kebijakan politik dan ekonomi yang
berorientasi pada apa yang kemudian disebut sebagai ’modernisasi’ dan
’pembangunan’(development). Menggantikan Orde Lama yang terlalu menekankan
pada partisipasi politik, Orde Baru mengetengahkan program-program yang
berorientasi pada persoalan-persoalan praktis yang secara langsung berhubungan
dengan kebutuhan hidup masyarakat. Perbaikan ekonomi dan peningkatan
pendapatan masyarakat menjadi sasaran utama program ekonomi Orde Baru. Oleh
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 15
karena itu, pada masa Orde Baru “ekonomi menjadi panglima”, menggantikan Orde
Lama yang menempatkan “politik sebagai panglima”.1
Dalam konteks ini, Orde Baru secara terencana mengembangkan pemikiran-
pemikiran tandingan (counter ideas) terhadap pemikiran Orde Lama. Dari sinilah
pemikiran tentang “deideologisasi”, “deparpolisasi”, dan “pragmatisme” muncul ke
permukaan sebagai wacana dominan dalam sistem sosial dan politik di Indonesia.
Begitu pula gagasan mengenai “program-oriented”, pembangunan-oriented”, dan
gagasan-gagasan lain yang serupa muncul sebagai ideologi baru pemerintah Orde
Baru untuk menggantikan gagasan-gagasan Orde Lama, dan sekaligus berperan
sebagai alat justifikasi akan keabsahan pemerintahan baru. Gagasan-gagasan pada
gilirannya membentuk satu kesadaran baru di kalangan masyarakat Indonesia,
khususnya di perkotaan, yang meyakini pentingnya proses perubahan Indonesia
menuju masyarakat modern. Kasus konkrit perubahan pemikiran ini antara lain
adalah memudarnya pemikiran ideologis dan politis serta meningkatnya
kecendrungan pragmatisme. Perubahan inilah yang kemudian ikut mempengaruhi
pola pemikiran keislaman kelompok menengah kota.2
Sebagaimana juga disinggung dalam Bab I, opsi kebijakan Pemerintah Orde
Baru dalam bidang pendidikan memberikan ruang bagi munculnya kelas menengah
santri baru (new middle class) yang secara langsung terlibat dalam dunia birokrasi
dan profesional yang pada gilirannya bersentuhan secara langsung dengan masalah-
1Lihat Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam:
Rekonstruksi Pemikiran Islam masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986). 2M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina,
1995), hal.121-129.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 16
masalah aktual yang menjadi concern bagi masyarakat. Secara sederhana, kelas
menengah santri baru ini juga memainkan peranan kunci dalam proses islamisasi dan
dalam beberapa hal memberikan konstribusi pada munculnya sikap dan prilaku
Islamis pada masa selanjutnya. Dalam konteks ini apa yang dipahami oleh para aktif
Muslim dari wacana Islamisasi dan Islamisme merujuk pada keinginan untuk
menghidupkan kembali masa-masa keemasan Islam.3 Pada titik ini, pilihan
artikulatif para sarjana Muslim itu bisa berbeda. Kelompok pertama secara moderat
meminjam khazanah pengalaman tradisi ‘Barat’ sebagai pisau analisis bagi
pemecahan masalah-masalah yang berkenaan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam
konteks ini, para aktifis Muslim seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo,
Abdurrahman Wahid dan Djohan Effendy dan lain memberi kontribusi penting
dalam pembentukan dan pengkayaan wacana keislaman dan keindonesiaan.
Dengan latarbelakang kesantrian yang kental—baik yang bersifat tradisionalis
maupun modernis—mereka tampil dengan gagasan-gagasan baru yang berbeda dari
pandangan-pandangan para aktifis Muslim sebelumnya. Modernisasi pendidikan dan
perubahan-perubahan sosial-politik dan ekonomi yang berlangsung sepanjang dasa
warsa 70-an dan 80-an, telah mempengaruhi dan membentuk pemikiran-pemikiran
mereka yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern dan pada saat yang sama
mendapatkan tempat dalam naungan negara yang cenderung represif dan otoritarian.
3Lihat teori mengenai fundamentalisme Islam dalam Martin E. Marty and R.
Scott Appleby (eds.), Fundamentalism Comprehended (Chicago and London: The
University of Chicago Press, 1995).
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 17
Di sini pandangan yang terpenting yang muncul dari kelompok pertama ini
menyangkut masalah orientasi politik. Berbeda dengan aktifis Muslim generasi
sebelumnya yang cenderung berorientasi pada simbol ikatan-ikatan formal politik
Islam, mereka lebih banyak menekankan substansi dan fungsionalisasi nilai-nilai
Islam dalam kehidupan Indonesia modern. Dalam konteks inilah, pernyataan
Nurcholish Madjid yang pernah memicu perdebatan panjang bisa dipahami. Dalam
salah satu artikelnya, Nurcholish Madjid menulis perlunya perubahan orientasi
gerakan Islam dari politik ke budaya, yang disitilahkan dengan “Islam Yes, Partai
Islam No.”4
Dengan pernyataan tersebut Nurcholish Madjid berpandangan bahwa
pergulatan Islam dalam dunia politik telah menghabiskan potensi intelektual Islam.
Akibatnya mereka tidak mampu terlibat dalam merencanakan perubahan-perubahan
sosial-politik yang jelas-jelas mensyaratkan penguasaan terhadap hal-hal yang
bersifat intelektualistik dan teknokratis yang memadai. Untuk itulah, gerakan Islam
harus diarahkan pada penguatan basis intelektual dan budaya, sehingga
memungkinkan kalangan Muslim dengan mudah memasuki kehidupan baru modern
di Indonesia.
Pada sisi lain, kesadaran baru Muslim juga melahirkan kelompok kedua kelas
menengah santri baru yang cenderung lebih tertarik dalam mengartikulasikan
gagasan ‘kembali’ kepada khazanah Islam, karena mereka yakin bahwa hanya Islam-
4Tentang pemikiran Nurcholish Madjid lihat dalam salah satu karyanya yang
terkompilasi dalam Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,
1987).
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 18
lah yang dianggap mampu memberikan jawaban atas persoalan-persoalan itu. Bagi
kelompok kedua ini, kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan
penyelesaian satu-satunya yang harus dilakukan kaum Muslim bila mereka ingin
mencapai kejayaan. Kehidupan Nabi Muhammad dan para Sahabat dianggap sebagai
model yang terbaik yang harus ditiru oleh segenap kaum Muslim. Penegasan
identitas keagamaan harus senantiasa diperbaharui berhadap-hadapan dengan
sekularisme dan materialisme yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Keyakinan keagamaan demikianlah yang dipegang oleh sebagian besar
kelompok awal ini dimana kembali ke khazanah Islam merupakan pilihan yang
terbaik karena diyakini bahwa hanya Islam yang memiliki pandangan hidup
komprehensif dan bersifat total.
Karena itu kembali kepada khazanah hukum Islam yang sesuai dengan al-
Qur’an, as-Sunnah harus dilakukan untuk membendung kecenderungan ideologi
sekuler dan materialistik yang menjadi ciri dari kebudayaan Barat. Betapapun banyak
dari kelompok ini pernah tinggal dan mengalami kehidupan kultur Barat, namun
posisi mereka, menggunakan istilah Ali Said Damanik, adalah jelas, yakni
nakhtalithu walakin natamayyazu (berinteraksi tanpa harus terkontaminasi).5 Di sini,
mereka merupakan enclave yang terus berkembang secara terukur dan terorganisir
dengan penuh perhitungan yang mencikali tumbuhnya sebuah sub-kultur baru yang
berbeda dengan sub-kultur yang telah ada pada masa sebelumnya.
5Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun
Gerakan Tarbiyah di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), hal. ix.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 19
Kecenderungan dan dorongan untuk menegakkan model Islam yang cenderung
skripturalis dari kelompok kedua ini memang mau tidak mau berhadapan muka
dengan represi yang begitu kuat yang dilakukan oleh Negara di bawah rezim Orde
Baru. Dalam rezim ini, kesempatan untuk menyuarakan ideologi yang berbeda atau
mobilisasi massa relatif terbatas sementara penetrasi negara terhadap bidang-bidang
publik termasuk kehidupan beragama sangat kuat. Ini ditandai dengan marginalisasi
tokoh-tokoh Muslim kenamaan yang dianggap beraliran keras, pemberhangusan
gerakan-gerakan ekstrem kanan; sebuah sebutan pejoratif bagi kelompok Muslim
yang vokal, dan larangan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah umum bagi para siswi,
serta birokratisasi yang ketat terhadap lembaga Islam yang ada termasuk, pada
gilirannya, kewajiban untuk menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi.
Di dunia pendidikan, sebagai misal, rezim ini juga menerapkan larangan yang ketat
bagi mahasiswa lewat metode-metode korporasi terhadap organisasi kemahasiswaan
melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 028/1974 tentang
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (dikenal dengan
NKK/BKK) yang mempersempit ruang dan memandulkan gerakan para aktifis
mahasiswa.
Dalam kurun rezim otoritarian seperti ini, pilihan yang terbaik yang bisa
dilakukan oleh para aktifis Muslim ini adalah melakukan proses internalisasi dan
konsolidasi ke dalam dengan melakukan kaderisasi dan rekruitmen yang hati-hati,
cermat dan terukur. Ini yang dianggap oleh Denny J.A. sebagai perubahan model
pengorganisasian dan kaderisasi, yang sebelumnya lebih mengandalkan mobilisasi
massa menjadi penataan kelompok-kelompok kecil seperti jamaah masjid dan
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 20
kelompok usroh dalam sistem sel networking sebagai bentuk diseminasi ideologi
alternatif vis-a-vis ideologi sekular represif yang diadopsi negara dan dianggap tidak
sesuai dengan ajaran Islam dan gagal dalam menjawab permasalahan yang kompleks
dalam masyarakat.6
Dalam perspektif yang sama, persepsi dan perlakuan bahwa negara tidak
memberikan ruang yang besar atas partisipasi kaum Muslimin di tanah air telah
menyemai ‘perasaan tidak adil’ bagi kelompok terdidik ini. Pada gilirannya, perasaan
ini memunculkan apa yang disebut sebagai deprivasi relatif, yakni perasaan berbeda
antara kelompoknya dengan kelompok lain, seperti perasaan ketertinggalan Islam
dibanding kelompok sosial-keagamaan lain, atau keadaan yang dialami sekarang
sangat buruk dibanding keadaan yang dipersepsikan lebih baik sebelumnya.
Perasaan ini dirasakan secara kolektif dan menjadi identitas pembeda semu
yang memicu keinginan yang lebih kuat untuk terlibat dalam gerakan untuk merubah
keadaan pada satu masa yang tepat. Menjadi jelas bahwa keterlibatan mereka dalam
gerakan-gerakan non-negara (non-government organization) dalam pendidikan,
kesehatan dan penyadaran hak-hak dan kewajiban masyarakat Muslim secara khusus
merupakan sublimasi atas langkanya, untuk mengatakan tidak mungkin, kesempatan
bagi mereka dalam mengambil peran struktural dalam pemerintahan untuk
memperjuangkan hak-hak masyarakat Muslim tanah air.
Dan harus dicatat pula bahwa ghirah keberagamaan yang terjadi pada kurun
waktu itu juga tidak terlepas dari suasana psikologis Dunia Islam secara umum,
6Denny J.A., Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an (Jakarta:
CV Miswar, 1990), hal. 51-53.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 21
yakni adanya keyakinan yang sedemikian kuat tentang Era Kebangkitan Islam
dengan masuknya tahun 1400 (abad ke-15) Hijriah yang jatuh tepat pada tahun 1980.
Apalagi setahun sebelumnya, masyarakat Dunia juga dihebohkan dengan Revolusi
Iran dimotori oleh Imam Khomeini dan para mullah Syiah yang berhasil mendongkel
kekuasaan Shah Reza yang dianggap sebagai sekuler dan pro-Barat.
Keyakinan milienaristik ini menjadi amunisi efektif bagi kaum Muslimin di
Indonesia, dan pada gilirannya, aspek psikologi sosial ini mampu menjadi daya
dorong yang kuat untuk kembali kepada tradisi yang mereka klaim sebagai ‘lebih
Islami’ atau ‘berdasarkan ajaran Islam’ untuk menjawab tantangan ke depan. Bahkan
dalam pidato pada sebuah muktamar di Jakarta, Sekretaris Jenderal Râbithah Alam
Islamî, Syaikh Âli al-Harakan, sempat menyebut Indonesia sebagai negara yang
diharapkan berperan penting dalam kebangkitan Islam ini.7 Al-Harakan malah
dengan sengaja mengganti kata Indonesia menjadi Andunisia yang secara kasat
pengucapan dekat dengan istilah Andalusia yang pernah mengukir tinta emas
peradaban unggul sejarah Islam. Jadi sekali lagi struktur politik otoritarian yang
represif dan suasana psikologis yang dirasakan bersama adalah variabel penting bagi
maraknya gerakan kontemporer Islam ini.
Namun harus digarisbawahi pula bahwa betapapun mereka begitu intens
menyuarakan keinginan untuk kembali ke khazanah tradisi Islam dan begitu kritis
terhadap ekses-ekses yang ditimbulkan dan proses modernisasi, bukan berarti mereka
7Lebih jauh lihat Alwi Alatas dan Fefrida Desliyanti, Revolusi Jilbab: Kasus
Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek 1982-1991 (Jakarta: Al-I’tishom,
2002), hal. 21-23.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 22
anti modernitas. Sebab, pada dasarnya mereka juga adalah ‘anak’ dari modernisasi
yang dilakukan Negara dengan kebijakan membuka akses yang besar bagi kaum
Muslimin untuk melanjutkan pendidikan di dalam dan di luar negeri. Karena itu,
dalam takaran tertentu para pemimpin gerakan ini juga dengan semangat
menyerukan keinginan untuk membawa kaum Muslimin ke arah masyarakat
industrial modern yang mengakar pada teknologi maju.
Hal ini tentu tidak mengherankan, sebab kebanyakan para aktifis itu memang
lulusan fakultas teknologi dan ilmu-ilmu alam seperti Universitas Indonesia (UI),
Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB) atau Institut
Pertanian Bogor (IPB) maupun universitas-universitas di Barat. Meminjam istilah
Bjorn Olav Utvik, “kalau ada bentuk pekerjaan yang sangat cocok dengan para
[aktifis] Muslim itu, maka itu adalah menjadi insinyur (if any one vacation is typical
for an Islamist, it is that of the engineer).”8
Lalu apakah aktifis Islam ini memang sejatinya menyuarakan keinginan untuk
kembali ke model Islam masa keemasan? Hal ini yang sering kali disalahpahami dari
gerakan mereka. Sebab, pilihan ideologi, institusi dan cita-cita yang perjuangkan
merefleksikan orientasi, karakter dan agenda yang sama sekali modern. Wacana
gerakan ini, yang dianggap aneh oleh kelompok yang berbeda dengan mereka,
sesungguhnya modern dan rasional, karena mereka mengadopsi bentuk
8Bjorn Olav Utvik, “The Modernizing Force of Islamism,” dalam John L.
Esposito dan François Burgat (eds.), Modernizing Islam: Religion in the Public
Sphere in Europe and the Middle East (New Brunswick New Jersey: Rutger
University Press, 2003), hal. 43-64.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 23
pengembangan diri, mobilitas sosial dan ekonomi dengan bahasa yang sepenuhnya
modern.
Meminjam istilah Foucault, apa yang mereka lakukan merupakan bentuk
technologies of self, yakni melalui pendidikan praktis mereka mengembangkan diri
dan kelompoknya secara swadaya, atau bantuan yang lain, sejumlah tindakan
terhadap diri mereka, ruh, pikiran, prilaku dan jalan hidup yang mampu
mentransformasikan diri mereka untuk mendapatkan kebahagiaan tertentu, kesucian,
kearifan, kesempurnaan dan keabadian, yang dalam hal ini adalah kemajuan Islam
dan masyarakat Muslim.9
Di sini peran para aktifis ini adalah berusaha memberikan jawaban atas
persoalan-persoalan sosial-ekonomi yang hangat dalam masyarakat dengan spektrum
yang bercirikan keagamaan yang modern. Hal ini, meminjam istilah Pierre Boudieu,
merupakan bentuk penerjemahan cultural capital sebuah masyarakat baru yang
muncul bukan sebagai suatu kebetulan. Sebab bagi para sarjana ini, Islam bukanlah
melulu agama yang berorientasi hanya sebatas nilai-nilai ketuhanan (theological
values) yang mengikat secara universal tapi bersifat impersonal melainkan juga
merupakan modal kultural (cultural capital) yang sifatnya adaftatif merespon
persoalan yang berkembang.10
9Michel Foucault, Technologies of Self: A Seminar with Foucault (London:
Tavistock, 1988) sebagaimana dikutip oleh Connie Carøe Christiansen, “Women’s
Islamic Activism: Between Self-Practices and Social Reform Efforts,” dalam John L.
Esposito dan François Burgat (eds.), Modernizing Islam, hal. 145-165. 10
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (London: Cambridge
University Press, 1977), hal. 147.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 24
Karena itu yang dilakukan oleh para aktifis ini adalah menyajikan sebuah
pandangan alternatif berdasarkan Islam dengan tidak sepenuhnya bergantung pada
kebudayaan dan pola pikir Barat. Kembali mengutip Utvik, apa yang menjadi
perhatian utama mereka adalah sebuah pencarian otentisitas kultural (cultural
authenticity) dan nasionalisme kultural (cultural nationalism) yang relatif bebas dari
hegemoni Barat.11
Pada saat yang sama, mereka memberikan tekanan yang sungguh-
sungguh pada regenerasi moral pada masyarakat sebagai persyaratan utama bagi
pengembangan kehidupan material, karena pada dasarnya mereka tidak menolak
akumulasi kapital dan model kehidupan duniawi yang makmur.
Bagi mereka, inilah yang menjadi kekurangan yang terpenting dalam
kebudayaan Barat yang cenderung materialistis tanpa memberikan perhatian yang
besar bagi kehidupan moral sebagai esensi dari kehidupan. Model penekanan
reformasi kehidupan moral ini merupakan epithet yang penting dalam gerakan
kontemporer di Dunia Islam secara umum. Ungkapan Yusuf Qardhawi, seorang
tokoh kharismatik gerakan ini menarik untuk dikutip.
Pada dasarnya, kemajuan yang mereka [Barat] tawarkan sarat dengan nilai-
nilai material. Mereka mampu menerobos ruang angkasa atau menciptakan
bom atom, tetapi mereka tidak mampu mencapai akhlak dan esensi manusia
yang oleh orang lain dirasakan sebagai kebahagiaan. Bagi kita, nilai-nilai
kemanusiaan yang diperoleh melalui hubungan harmonis antara ayah dan
anaknya, antara ibu dan anaknya, atau antartetangga merupakan esensi hidup.12
Maka bisa dipahami jika para aktifis Muslim ini sangat kritis dengan korupsi
yang terjadi dalam tubuh Pemerintah, termasuk juga dengan isu-isu kejahatan
11
Utvik, “The Modernizing Force of Islamism,” hal. 43-49. 12
Yusuf Qardhawi, Muslimah: Harapan dan Tantangan (Jakarta: Gema Insani
Press, 1994), hal. 46-47.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 25
ekonomi yang menghancurkan masyarakat banyak. Karena itu, jika mereka
menyerukan untuk kembali ke syariah Islam, pada awalnya mereka bukan
sepenuhnya sepakat dengan isu-isu syariah yang berkembang pada masa Islam
klasik, melainkan syariah yang telah dikodifikasi secara modern dalam teks hukum
yang dilakukan oleh orang-orang pilihan dan diaplikasikan dalam peradilan negara
ketimbang pengadilan agama. Di sini apa yang mereka perjuangkan yakni
mendirikan ‘negara Islam’ atau menerapkan syariah Islam dalam kehidupan
masyarakat mendapatkan pendasaran yang cukup logis.
Namun pada perkembangan memang terlihat bahwa gagasan tentang syariah
Islam yang dimunculkan oleh para aktifis inteletual ini menjadi berbeda ketika
kesempatan politik semenjak kejatuhan rezim Orde Baru untuk mengartikulasi
gagasan syariah Islam literal yang diangkat oleh berbagai kelompok Islamis justru
menjadi domain wacana publik yang terus diperbincangkan. Apalagi kemudian
semangat untuk menegakkan syariah Islam dan ajaran-ajaran agama dilakukan
dengan caa-cara represif yang mengedepankan kekerasan.
MEMAHAMI ISLAMISME
Dalam konteks perbedaan nomenklatur kelompok menengah muslim baru
sebagaimana dijelaskan secara sekilas di atas, aspek terpenting yang perlu ditekankan
dari kecenderungan kelompok kedua adalah dukungan mereka terhadapa sikap dan
prilaku Islamis yang mengambil bentuk dalam partai politik dan organisasi-
organisasi keagamaan. Sebagaimana akan ditunjukkan pada bagian selanjutnya
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 26
dalam bab ini, sikap dan prilaku Islamis cenderung menguat dan mengandung
potensi laten ekstrimitas yang membahayakan kehidupan yang multi budaya dan
agama di Indonesia.
Terhadap perkembangan di atas, sejumlah pertanyaan penting jelas
mengemuka. Dan salah satunya yang terpenting adalah apakah gerakan Islamis
tersebut bisa dianggap mewakili Islam Indonesia? Pertanyaan ini penting, karena
pemikiran dan gerakan Islam radikal pada dasarnya hanya disuarakan oleh
sekelompok kecil Muslim Indonesia. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU
dan Muhammadiyah, bisa dipastikan tidak memiliki agenda yang sama dengan
gerakan Islamis ini. Dan dalam beberapa hal kedua organisasi Islam, baik NU
maupun Muhammadiyah, ini justru secara tegas menentang beberapa agenda Islamis
seperti penerapan syariah Islam dan tindakan kekerasan atau terorisme yang
dilakukan atas nama agama.
Lalu apa sejatinya gerakan Islamis tersebut? Terdapat beberapa karakteristik
utama dari gerakan Islamis ini yang muncul dalam beberapa kurun terakhir.13
Pertama, kelompok ini berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup
yang komprehensif dan bersifat total, dan karena itu Islam tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan politik, hukum dan kemasyarakatan. Kedua, mereka seringkali
menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung
materialistik harus ditolak. Mareka juga meyakini bahwa masyarakat Muslim di
Indonesia telah gagal dan berpaling dari jalan lurus sesuai dengan ajaran Islam, dan
13
Jamhari dan Jajang Jahroni (ed.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004).
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 27
oleh karena itu kembali ke ajaran Islam dengan menerapkan syariah Islam menjadi
obsesi penting bagi gerakan ini. Ketiga, mereka percaya bahwa aspek
perorganisasian atau pembentukan kelompok-kelompok yang militan berkarakter
kuat dan terlatih diperlukan dalam membangun masyarakat yang baru di Indonesia.
Awalnya gejala ini oleh Roy disebut sebagai “neo-fundamntalisme radikal”
(radical neo-fundametalism) dimana upaya yang mereka lakukan lebih ditekankan
pada semacam upaya Islamisasi masyarakat melalui kekuatan individu-individu
dengan pendekatan penegakan syariah Islam tanpa diformulasikan dalam sebuah
negara Islam.14
Namun pada gilirannya, ideologisasi atas upaya penegakan syariaf
Islam menggiring mereka untuk menggulirkan kemungkinan penegakan negara Islam
sebagian wacana alternatif ideologi sebagaimana yang terjadi di tanah air pasca
keruntuhan rezim Orde Baru dan kegagalan pemerintah baru untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam kehidupan ekonomi dan
politik.
Kecenderungan sikap seperti diungkapkan di atas memang merupakan ciri
umum dari kelompok-kelompok Islamis di Indonesia. Melihat bahasa dan simbol
yang mereka gunakan, agak sulit memisahkan simbol agama dengan aksi yang
dilakukan. Dan yang lebih penting untuk ditekankan adalah bahwa beberapa
kelompok Islamis ini dengan secara sadar menggunakan kekerasan seperti
pengrusakan fasilitas-fasilitas milik kelompok lain yang dianggap bertentangan
dengan norma syariah Islam. Pada sisi yang sama mereka juga tidak segan untuk
14
Olivier Roy, The Failure of Political Islam (Massachusettes: Harvard
University, 1994).
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 28
melakukan aksi sepihak di luar jalur hukum jika mereka berpendapat bahwa suatu
kelompok masyarakat tidak mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Ini
terlihat dalam beberapa kasus penutupan rumah ibadah yang dianggap tidak memiliki
izin atau tidak mengikuti prosedur hukum yang berlakuk di negara ini.
Di sini kekerasan atas nama agama menjadi sangat luas dan bervariasi. Ia bisa
berbentuk yakni pertama kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok terhadap
individu atau kelompok, baik dari agama yang sama atau berbeda, yang didorong
motivasi keagamaan; kedua, kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok
dengan cara mengucilkan, mengintimidasi, atau mengusir kelompok lain yang
memiliki keyakinan agama yang dianggap menyimpang; dan ketiga, kekerasan
berupa perusakan atau penistaan terhadap objek atau simbol keagamaan seperti kitab
suci, nabi, dan tempat peribadatan.
Adalah penting untuk diungkap bahwa memang ada disparitas atas Islamisme
sebagai sebuat sikap (attitude) dan Islamisme sebagai prilaku (action) berkenaan
dengan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok lain di ruang publik. Dari
data survei yang dilakukan oleh PPIM pada 2004 sebagai misal menunjukkan bahwa
sikap Islamisme tidak secara otomatis menjadi pendorong utama bagi prilaku
Islamisme. Survei itu menunjukkan bahwa kesediaan seorang Muslim, sebagai
bagian dari sikap Islamisme, untuk merusak gereja yang tidak memiliki izin bekisar
pada 14,7%; mengusir kelompok Ahmadiyah 28,7%; merajam orang berzina 23,2%;
perang melawan non-muslim yang mengancam 43,5%; menyerang atau merusak
tempat penjualan minuman keras 38,4%; dan mengancam orang yangg dianggap
menghina Islam 40,7%.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 29
Lalu apakah angka-angka tersebut menunjukkan grafik yang sama dalam aksi?
Menarik dikemukakan bahwa angka-angka yang mengukur tingkat sikap Islamisme
tersebut tidak secara serta-merta berujung pada prilaku Islamisme. Data-data
menunjukkan tingkat keikutsertaan (participation) dalam prilaku Islamisme ternyata
sangat rendah. Sebab data juga menunjukkan bahwa hanya 0,1% menyatakan pernah
merusak atau membakar gereja yang didirikan tanpa izin; 0,6% mengusir kelompok
Ahmadiyah; 0,8% mengarak orang yang berzina; 3% perang melawan non-muslim
yang mengancam; 1% merusak tempat pelacuran; 1% merusak tempat yang menjual
minuman keras; dan hanya 1,3% mengancam orang yang dianggap menghina agama.
Di sini terlihat ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi orang untuk melakukan
tindakan Islamisme. Namun ini tidak berarti bahwa sikap Islamisme tidak memiliki
potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi sebuah tindakan yang bermotif
keagamaan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauhmana sikap dan prilaku
Islamisme ini terlembaga secara instutusional? Secara umum dapat disebutkan di sini
bahwa beberapa organisasi militan seperti Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) dan
Front Pembela Islam (FPI) bisa dimasukkan sebagai contoh dari gerakan yang
mengusung Islamisme di tanah air. Meski terdapat beberapa perbedaan, kedua
organisasi tersebut cukup konsisten melakukan perjuangan kaum salafi (manhaj
salafi) seperti dalam penerapan syariah Islam di Indonesia. Bagi tokoh-tokoh yang
ada dalam organisasi tersebut, adalah jelas bahwa syariah Islam adalah aturan-aturan
yang harus diberlakukan sebagaimana apa adanya tanpa harus ditafsirkan ulang. Cara
pandang ini mengasumsikan bahwa memang ajaran Islam bersifat lengkap, universal
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 30
dan menyeluruh; dan oleh karena itu ajaran Islam termasuk hukum Islam seperti
hudud dapat dan harus diberlakukan dimana saja dan kapan saja. Pandangan ini tentu
berbeda dengan apa yang diupayakan oleh beberapa pemikir Muslim kontemporer
yang mengsyaratkan pembacaan ulang atas teks-teks keagamaan dalam kaitannya
denga kehidupan sosial yang menjadi ranah dalam hudud itu sendiri.
Penting untuk memberikan perhatian khusus atas peran FPI dalam upaya
penegakan syariah Islam di Indonesia, sebab organisasi ini dalam tataran tertentu
memang telah menjadi kekuatan vigilante yang menisbikan peran agama dalam
menegakkan moralitas dalam masyarakat. Organisasi ini memang memainkan peran
yang jelas untuk merazia atau menutup penutupan secara paksa sejumlah tempat
hiburan (kafe, diskotik dan klub) di sejumlah daerah di tanah air dengan asumsi
bahwa tempat-tempat tersebut dianggap bertentangan dengan syariah Islam yang
mereka pahami.
Tentu penting disebut bahwa berbeda halnya dengan organisasi Islamis lain,
FPI memang menjadikan pemberlakuan syari’at Islam sebagai agenda utama yang
secara praktis termanifestasi dalam keinginan penegakan agenda amar ma’ruf nahyi
munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran). Sebab menurut
organisasi ini, Islam merupakan ajaran yang bersifat total. Islam menyediakan
seperangkat aturan yang bisa digunakan dalam kehidupan sepanjang zaman. Bagi
FPI Islam merupakan agama yang harus dipraktekkan dalam kehidupan
bermasyarakat oleh negara. Sebagai agama, syariah Islam wajib dijalankan oleh
setiap Muslim dan juga diproteksi oleh negara. Oleh karena itu, menurut FPI
pemberlakukan syariah Islam merupakan bagian dari hak sipil yang harus diberikan
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 31
negara untuk mencapai masyarakat Indonesia yang makmur dan damai. Kemerosotan
ekonomi dan krisis berkepanjangan di tanah air tak lain karena Pemerintah tidak mau
menerapkan syariah Islam dan lebih tertarik menerapkan sistem Barat yang sekular
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hanya saja, berbeda dengan organisasi Islamis yang lain, FPI semenjak awal
memang tidak menjadikan isu pendirian negara Islam sebagai hal yang utama.
Negara memang diperlukan untuk menjamin terlaksananya perintah syariah Islam.
Akan tetapi pada saat yang sama FPI beranggapan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai sesuatu yang harus tetap dipertahankan. Dengan kata lain,
organisasi ini lebih mengutamakan agenda syariah Islam dalam masyarakat yang
dirumuskan dalam bingkai ke-Indonesia-an. Bagi lembaga ini, penerapan syariah
Islam dan dukungan negara atas penegakan ajaran ini jauh lebih penting dari isu
negara Islam yang memicu kontroversi yang panjang di kalangan aktifis organisasi
Islam di tanah air.
Berbeda FPI, MMI secara ideologis merupakan gerakan yang berupaya
menegakkan manhaj salafi di tanah air. Dengan menegakkan syari’at Islam (tatbiq
al-syariah) sebagai agenda utama, organisasi ini memang secara cermat melakukan
konsolidasi sikap dan prilaku melalui pembentukan pribadi Muslim pada tingkat
individu, keluarga, maupun masyarakat. Pada titik ini MMI menganggap bahwa
pemberlakuan syariah Islam harus dilakukan melalui tiga tahap, yakni pertama
adalah tansiq al-fardi (penyamaan pada tingkat visi), kedua adalah tansiq al-amali
(penyamaan pada tingkat aksi), dan ketiga adalah tansiq al-nidhami (penyamaan
pada tingkat institusi).
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 32
Adalah penting untuk disebutkan bahwa memang beberapa aktifis yang
bergabung dalam MMI memiliki hubungan historis yang cukup kuat dengan Darul
Islam (DI) yakni sebuah gerakan separatis pada masa Orde Lama yang menjadi
prototipe gerakan Islam radikal di Indonesia. Oleh karena itu bagi sebagian kalangan,
aktifisme gerakan ini untuk pemberlakuan syariah Islam di tanah air merupakan
bagian dari upaya mewujudkan cita-cita negara Islam yang pernah gagal di
Indonesia. Dan memang, pada tahap terakhir proses pembentukan masyarakat
Muslim, MMI mensyaratkan adanya sebuah institusi yang memiliki kewenangan
untuk melaksanakan syariah Islam, dan itu adalah negara Islam.
KONSTITUSI, NEGARA DAN PENGELOLAAN AGAMA
Apakah nomenklatur mayoritas dan minoritas ada dalam konstitusi negara Indonesia,
dan sejauhmana kemudian negara secara normatif memberikan jaminan terhadap
kelompok minoritas itu? Sebelum mendiskusikan hal tersebut, ada baiknya diulas
sedikit masalah hak-hak kemanusiaan yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945). Sebagaimana diketahui, teks asli UUD 1945 (sebelum
amandemen) itu lebih merupakan ‘instrumen persatuan’ (instrument of unity) atau
‘simbol persatuan nasional’ (symbol of national unity) yang dibuat dalam konteks
sejarah paska-kolonialisme mendapatkan kemerdekaan dengan segala keterbatasan
yang ada pada masa itu.
Sebagaimana yang diketahui UUD 1945 juga memuat pasal yang berkenaan
dengan agama sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 29. Pada titik ini, Pasal 29 (1)
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 33
yang menyatakan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”,
sebenarnya merupakan prasyarat mutlak bagi “negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu” sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal
29 (2). Ini yang disebut sebagai 'karakter keterpisahan level (split-level character)
dalam praktek konstitusi, mengutip pendapat Garvey.15
Dengan kedua artikel itu,
walaupun dalam retorika dinyatakan bahwa kebebasan agama merupakan salah-satu
hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, pada hakekatnya hanya agama
yang memiliki konsep Ketuhanan Yang Maha Esa-lah yang mendapat perlindungan
konstitusional. Karena itu jika suatu kepercayaan yang tidak bisa memenuhi
prasyarat utama ini, maka ia dinyatakan bukan sebagai “agama”.
Pada gilirannya akan terlihat bahwa ide tentang Ketuhanan Yang Maha Esa
menjadi bagian terpenting dalam upaya negara mengelola kebebasan beragama.
Sebab konstitusi kita mensyaratkan Tuhan sebagai bagian terpenting dalam
beragama. Tuhan seperti apa? Tuhan yang diimbuhi (qualifying) dengan kata Yang
Maha Esa. Agaknya inilah satu-satunya bentuk dalam tradisi penulisan konstitusi
sekular di dunia yang menyebutkan secara eksplisit konsep keesaan Tuhan.16
Konsep
ini juga tidak semata-mata sebagai pengakuan bahwa negara memang bertuhan.
15
John H. Garvey, “An Anti-Liberal Arguments for Religious Freedom,”
Journal of Contemporary Legal Issues 7 (1996): h. 276-291. 16
Bandingkan dengan konstitusi di negara-negara dimana kaum Muslim adalah
mayoritas dalam Tad Stahnke and Robert C Blitt, “The Religion-State Relationship
and the Right to Freedom of Religion or Belief: A Comparative Textual Analysis of
the Constitution of Predominantly Muslim Countries,” Georgetown Journal of
International Law 36, 4 (2005): hal. 947-1078.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 34
Lebih dari itu, secara instititusional, ia pada gilirannya juga menjadi kriteria
pembatas bagi legalitas eksistensial sebuah agama. Di sisi lain, prinsip keesaan
Tuhan ini juga menjadi ‘penghalang’ (perseverence) bagi seseorang atau sekelompok
orang untuk meyakini Tuhan yang plural. Apalagi kalau tidak mengakui Tuhan.
Karena itu jika suatu sistem kepercayaan tidak bisa memenuhi prasayarat utama ini,
maka ia dinyatakan bukan sebagai ‘agama’, atau paling tidak ajarannya dianggap
‘menyimpang’ dari agama.
Konsekuensinya, jaminan yang diberikan negara dalam Pasal 29 UUD 1945
(yakni Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu)
harus dilihat dalam kerangka bahwa agama-agama ini secara prinsipal dan praktis
menerima proposisi Ketuhanan Yang Maha Esa dan berikut elemen yang menjadi
manifestasinya (yakni agama). Dalam logika ini, kebebasan tidak beragama agaknya
diyakini bertabrakan dengan prinsip dan praktek proposisi ini.
Lalu apa memang Ketuhanan Yang Maha Esa ini yang sejatinya diidamkan
oleh pendiri republik ini? Lebih jauh, apakah memang negara bersungguh-sungguh
dalam memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama sebagaimana yang
dinyatakan dalam UUD 1945 itu?
Untuk menjawab pertanyaan pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa itu,
ada baiknya mengutip pidato Sukarno pada Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau
Badan untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1
Juni 1945 sebagai berikut:
“Prinsip yang kelima kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 35
bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk
Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w.,
orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang
leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni
dengan tiada ”egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara
yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun
Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu?
Ialah hormat-menghormati satu sama lain…. Nabi Muhammad s.a.w. telah
memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati
agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid.
Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan
itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita,
ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang
luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan
berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia
Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!...”17
Dari pidato ini, betapapun Sukarno jelas menggunakan istilah Ketuhanan Yang
Maha Esa, namun secara prinsipal konsep ketuhanan yang ia bayangkan sangat
sederhana dan lugas. Ia hanya ingin negara yang akan didirikan itu berlandaskan
semangat keagamaan atau mengakui Tuhan.
Seperti Thomas Jefferson, ketika menulis traktat yang kemudian menjadi
amandemen konstitusi Amerika, Sukarno ingin negara Indonesia dibangun pada
semangat yang menjamin kebebasan warganya untuk percaya kepada Tuhan
(‘dimana hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri’) dan beragama secara leluasa. Ini
adalah kondisi dimana tiap orang ‘dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang
leluasa’ karena memiliki konsep ber-‘Tuhan secara kebudayaan’ tanpa merasa
paling benar karena ‘egoisme-agama’. Lebih jauh, esensi dari sikap menjalankan
17
Lihat pidato Sukarno dalam Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-
Undang Dasar 1945, vol 1 (Jakarta: Jajasan Prapantja, 1959).
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 36
agama ‘dengan cara yang berkeadaban’ itu dalam bayangan Sukarno adalah dengan
‘hormat-menghormati satu sama lain’ sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh
para Nabi sebelumnya sebagai bentuk ‘verdraagzaamheid’ (toleransi). Inilah dalam
pandangannya, berketuhanan ‘yang berkebudayaan, yang berbudi pekerti yang
luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain’.
Konsep Tuhan Yang Maha Esa yang begitu sederhana yang diungkap Sukarno
pada gilirannya menjadi berbeda ketika ia menjadi bagian dari ideologi negara
(yakni Sila Pertama Pancasila) atau menjadi bagian dari sumber terpenting bagi
penulisan hukum (yakni UUD 1945). Ini terutama terjadi sebagai bentuk ‘kompromi
politik’ yang menjembatani ganjalan ideologis antara kelompok Nasionalis dan
Muslim pasca penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Terlepas dari kontroversi kompromi tadi, memang telah menjadi salient
consensus di antara para politisi itu untuk tetap menjadikan agama sebagai elemen
dasar bagi politik negara baru ini. Yang membedakan adalah seberapa besar
porsinya. Di sini, sistem negara memang kelihatannya sekular, namun dalam
realitasnya keinginan untuk menjadikan sistem agama sebagai penafsir politik juga
tetap menjadi cita-cita dan harapan.
Dengan kata lain, keinginan untuk menampilkan agama dalam ruang publik
baik sosial dan politik yang lebih besar tetap menjadi mimpi laten sebagian aktifis
tadi. Ini terlihat ketika kuatnya kelompok Islam di parlemen berimbas pula pada
pemaknaan konsep ketuhanan yang jauh lebih komprehensif di luar imajinasi
sederhana Sukarno sebagai orang yang pertama kali mencetuskan kosa kata itu. Hal
yang sama pada gilirannya juga terjadi pada agama. Keduanya secara involusif
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 37
mengalami metamorfosa dimana pemaknaannya menjadi sedemikian dekat dengan
monotheisme (tauhid) Islam seiring juga dengan menguatnya pengertian yang tentu
dekat pula dengan konstruksi makna din dalam ajaran Islam, atau paling tidak dekat
dengan tradisi ‘agama sawami’ lain seperti Kristen. 18
Jika boleh dikatakan, inilah ‘kemenangan diam-diam’ (silent victory) para
politisi Muslim pada waktu itu yang berhasil mengubah kosakata arah negara baru
ini menjadi lebih dekat dengan doktrin teologi Islam. Inilah yang diungkap oleh
Beyer sebagai dominasi kelompok mayoritas dalam memberikan warna yang sangat
kental dalam perumusan hukum. Dan rumusan nilai atau hukum yang ekspresi dan
bentuknya diambil dari kelompok ini merupakan fenomena umum yang ditemukan di
berbagai belahan dunia.19
Dalam kaitannya ini, biasanya para aktifis itu menciptakan suatu model
definitif terhadap apa yang diyakini sebagai agama yang sah, dan dengan model ini
mereka kemudian ‘memaksa’ negara untuk melakukan ‘peminggiran’ atau
pembatasan terhadap institusi agama lain yang dianggap tidak sesuai dengan model
yang mereka tawarkan. Ini pada hakekatnya bukan hanya terjadi pada masa itu,
tetapi sejarah kembali berulang semenjak kelompok Islam menjadi kekuatan penting
dalam hukum dan politik pasca reformasi.
18
Jane Monig Atkinson, “Religion in Dialogue: The Construction of an
Indonesian Minority Religion,” American Etnologist 10, 4 (1983): hal. 686-7. 19
Peter Beyer, “Constitutional Privilege and Constituting Pluralism: Religious
Freedom in National, Global, and Legal Context,” Journal for the Scientific Study of
Religion 42, 3 (2003): hal. 333-339.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 38
Model yang lebih ‘halus’ dari proses bargaining ini adalah mengambil saripati
moralitas yang disandarkan pada ajaran agama tertentu tetapi membungkusnya
dengan bahasa yang lebih kelihatan sekular dan umum. Ini dalam level tertentu juga
terjadi di beberapa negara seperti Kanada dan Amerika.20
Hanya dalam konteks
Indonesia, hal ini cenderung ‘berlebihan’ dan ‘memalukan’. Ini kita jumpai dalam
pertarungan yang cukup melelahkan untuk meloloskan Rencana Undang-undang
Anti Pornografi beberapa waktu lalu.
Kembali kepada topik kebebasan beragama untuk menjawab pertanyaan kedua
yang disebutkan di atas. Apakah Pasal 29 UUD 1945 memang sepenuhnya
menjamin atas kebebasan beragama? Penting dijelaskan sebelumnya bahwa UUD
1945 itu yang secara prinsipal merupakan undang-undang sementara bagi negara
yang baru merdeka saja. Sebagaimana dinyatakan oleh Sukarno:
“[T]uan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar
Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan
pula, inilah revolutie grondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar
yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh tuan-tuan,
agar supaya kita ini hari bisa selesai dengan Undang-Undang Dasar ini.”
Selain karena sifatnya yang sementara tadi, UUD 1945 ini harus dilihat sebagai
‘instrumen persatuan’ (instrument of unity) atau ‘simbol persatuan nasional’ (symbol
of national unity) yang menengahi dua kutub pemikiran yang bertolakbelakang
mengenai bentuk negara yang dicita-citakan, yakni antara paham negara integralistik
(Sukarno dan) Supomo dengan paham negara non-integralistik (‘individualisme’ dan
20
Lori Beaman, “The Myth of Pluralism, Diversity and Vigor: The
Constitutional Privileging of Protestantism in the United States and Canada,” Journal
for the Scientific Study of Religion 42, 3 (2003): hal. 118-126.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 39
‘liberalisme’) Muhammad Hatta (dan Muhammad Yamin). Di sini, secara sederhana
dapat dikatakan bahwa paham negara integralistik mengandaikan sebuah sistem yang
berlandaskan negara kekeluargaan dimana individu dianggap bagian dari organ yang
lebur dalam negara, yang menurut Supomo adalah:
“[S]uatu pengertian tentang negara jang bersatu dengan seluruh rakjatnya, jang
mengatasi seluruh golongan jang ada dalam segala lapangan kehidupan. Prinsip-
prinsip jang dikandung dalam staatsidee KEKELUARGAAN adalah: prinsip
persatuan antara pimpinan dan rakjat dan prinsip persatuan dalam negara, dan
dalam hal ini seluruhnja dengan aliran ketimuran.”21
Secara substansial, dalam pandangannya, hakekat dari negara integralistik
adalah anti-individualisme, untuk tidak mengatakan anti ‘hak-hak dasar
kemerdekaan’ (yang secara umum lazim disebut dengan Hak Asasi Manusia),
mengaca pada pengalaman kegagalan beberapa negara di Eropa Barat yang diklaim
oleh Supomo terlalu mengedepankan hak-hak individu.
“ [D]asar susunan hukum negara Eropa Barat ialah perseorangan dan
liberalisme. Sifat perseorangan ini, yang mengenai segala lapangan hidup...
memisah-misah manusia sebagai seseorang dari masyarakatnja, mengasingkan
diri dari segala pergaulan jang lain. Seorang manusia dan negara yang
dianggap sebagai seorang pula, selalu segala-galanya itu menimbulkan
imperialisme dan sistem memeras... bahkan Eropa sendiri pada waktu sekarang
mengalami krisis rohani yang maha berat berhubung dengan jiwa rakyat Eropa
telah jemu kepada keangkara-murkaan, sebagai akibat semangat perseorangan
tersebut.”22
Oleh sebab itu, sebagaimana juga ditambahkan oleh Sukarno:
“[J]ika kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita pada paham
kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong royong dan keadilan
21
Yamin, Naskah, h. 116. Lebih jauh lihat diskusi tentang paham negara
integralistik yang ditulis dengan begitu memikat oleh Marsilam Simandjuntak,
Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur and Riwayatnya dalam Persiapan
UUD 1945 (Jakarta: Grafiti Press, 1994). 22
Yamin, Naskah, hal. 117.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 40
sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap paham individualisme dan
liberalisme daripadanja.”23
Jadi dapat dikatakan semenjak awal, paham negara integralistik adalah cermin
bagi penulisan UUD 1945 itu. Karenanya, betapapun undang-undang ini merupakan
hasil kompromi yang sangat panjang antara kedua kelompok yang berseberangan
tadi, namun tak dapat dibantah bahwa ia tersebut tetap didominasi oleh unsur-unsur
yang mengedepankan ‘kedaulatan negara’ ketimbang ‘kedaulatan rakyat’.
Karena itu, menjadi tidak aneh jika kita mendapati lebih banyak pasal yang
lebih menekankan ‘kekuasaan negara’ atau ‘kepentingan negara’ dibanding hak-hak
dasar kemanusiaan. Hanya ada tiga pasal yang berkenaan dengan ‘hak’ yang dimiliki
oleh warganegara dalam undang-undang ini: yakni pada Pasal 27 (tentang hak atas
pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan); Pasal 28 (tentang kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan) dan Pasal 29
(tentang kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agamanya
tersebut). Hal lain adalah tentang pendidikan (Pasal 31) serta tentang anak yakin dan
anak terlantar (Pasal 34) yang agak samar-samar sebagai sesuatu yang diklaim
warganegara kepada negara.
Lalu apa konsekuensinya bagi kebebasan dan hak beragama? Dalam konteks
ini, yang harus digarisbawahi adalah kelihatannya penulisan konstitusi pada waktu
itu tidak ‘sungguh-sungguh’ sedang berusaha memperjuangkan kebebasan beragama
dengan Pasal itu. Sebab semangat yang ada pada waktu itu sekali lagi memang
cenderung mengabaikan hak-hak individu dan dan kedaulatan rakyat. Oleh
23
Yamin, Naskah, hal. 79.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 41
karenanya, Pasal 29 tentang kemerdekaan memeluk agama dan beribadat sesuai
dengan agamanya tersebut harus dibaca semata-mata retorika politik yang
menyenangkan warganegara. Karena pada dasarnya ketiga pasal (yakni Pasal 27-29)
yang dicantumkan dalam UUD 1945 ini hanya sebatas, meminjam ungkapan
Sukiman Wirjosandjojo, sebagai “pendorong untuk membesarkan hati rakyat”.24
Jadi dalam perspektif ini Pasal 29 UUD 1945 pada kenyataan sejarah awalnya
memang tidak ditujukan untuk melindungi kemerdekaan beragama secara terencana.
Ini karena UUD 1945 ini memang secara fundamental tidak memberikan pengakuan
bagi hak-hak asasi manusia (apalagi hak-hak minoritas) karena kuatnya semangat
negara integralistik dalam pasal-pasal itu. Selain kuatnya kecenderungan paham
negara integralistik tadi, kelangkaan konseptual bagi perlindungan kebebasan agama
yang hakiki dalam UUD 1945 mungkin juga disebabkan karena memang diskursus
ini belum menjadi perhatian utama bagi para pemikir dan negarawan saat itu.
Kalaupun kemudian terdapat Pasal 29 yang mengatur hal tersebut, maka ini
diperlakukan dengan secara sepintas sesuai dengan semangat untuk menjaga
kepentingan negara (interest of the state) yang dianggap jauh lebih besar dan
penting.
Pada gilirannya, meminjam logika Nikholas Gvosdev, di sini itu terlihat
kepentingan politik negara juga dimana dalam konstitusi yang sama ditemukan
artikel-artikel yang di satu sisi memberikan jaminan kebebasan (yang tercermin
dalam ayat 2 Pasal 29), tapi di sisi lain juga memberikan prasyarat baru yang pada
24
Yamin, Naskah, hal. 325.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 42
ujungnya membatasi kebebasan itu sendiri (dalam ayat 1).25
Di sini terlihat adanya
korelasi antara interest of the state dengan ide kebebasan beragama yang dijamin
konstitusi itu sendiri.
Namun harus dicatat pula ‘tafsir’ tidak selalu monolitik dan sangat dinamis
sesuai dengan konstelasi perubahan politik dan kultur. Pada titik ini, kompetisi
kelompok-kelompok kepentingan (interest groups), baik dalam pemerintahan sendiri
(seperti politisi dari berbagai partai) maupun kelompok sosial (civil society)
mengandaikan adanya negosiasi, kompromi, konsesi dan bargaining yang terus
menerus.26
Sebagaimana distribusi kekuasaan yang terjadi senantiasa berubah dalam
hitungan waktu yang cepat, kecenderungan untuk membawa perubahan makna
semantik dalam konstitusi tertulis itu juga tidak dapat terhindarkan. Ini mendapat
momentum semenjak pendirian Kementerian Agama atau Departemen Agama, yang
pada awalnya diprakasai oleh Ahmad Soebarjo.
Selain menjadi institusi ‘watchdog’ bagi realisasi prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa tadi, Departemen ini memiliki misi utama memberikan bimbingan dan
bantuan dalam mempromosikan gerakan agama yang sehat’ (watching over
individual freedom, giving guidance and support so as to promote healthy religious
movement) seperti yang diungkap van Nieuwenhuijze.27
Tentu istilah gerakan
agama yang sehat mengacu pada tatanan dan pengertian yang ada dalam tradisi
25
Nikolas K. Gvosdev, “Constitutional Doublethink, Managed Pluralism and
Freedom of Religion,” Religion, State and Society 29, 2 (2001): hal. 81-90. 26
Michael Mann, The Sources of Social Power: The Rise of Classes and
Nation-States (Cambridge: Cambridge University Press. 1993). 27
C.A.O van Nieuwenhuijze, Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia (The
Hague and Bandung, EJ Brill, 1958), hal. 226.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 43
kelompok mayoritas tadi. Ini, dalam konteks Indonesia pada waktu itu, juga secara
implisit ditujukan sebagai penolakan atas eksistensi Aliran Kepercayaan, yang
semenjak awal juga menjadi ‘pekerjaan rumah’ yang tidak selesai bagi para aktifis
Muslim itu. Selain itu, ia juga menjadi breeding pot bagi perlawanan terhadap
ideologi atheisme komunis yang semakin memiliki pengaruh secara politik dan
sosial.
Karena itu, dalam perpektif yang berbeda, semenjak awal pendirian
Departemen ini juga menjadi perhatian beberapa kalangan agamawan minoritas
seperti Latuharhary dan Sidjabat. Bagi mereka, betapapun kelihatannya pendirian
kementrian ini seperti sebuah ‘konsesi’ untuk mengobati ‘luka’ kelompok Muslim
atas kekalahan mereka dalam perjuangan Piagam Jakarta dengan harapan
pemerintahan yang baru itu tetap mendapat dukungan dari umat Islam, namun tetap
saja pendirian departemen ini telah membuat perasaan umat agama lain menjadi
‘tidak nyaman’ dan waswas.28
Dan harus disebutkan di sini bahwa korban pertama dari kebijakan ini,
sebagaimana diungkap oleh Kroef, adalah umat Hindu dimana pada 1952 untuk
mendapatkan pengakuan resmi dari negara, Departemen Agama mensyaratkan
agama Hindu, selain memang harus dikenal di luar negeri (the religion in question
28
von Wendelin Wawer, Muslime und Christien in der Republik Indonesia
(Weisbaden: Franz Steiner Verlag, 1974), hal. 144-5; dan Bonar Sidjabat, Religious
Tolerance and the Christian Faith: A Study the Concept of Divine Omnipotence in
the Indonesian Constitution in the Light of Islam and Christianity (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1965), hal. 60.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 44
would have to enjoy recognized standing abroad), ia juga harus memiliki kitab suci
dan pendiri agama.29
Jika ditelaah dengan saksama maka semenjak awal memang telah terjadi
reduksi makna agama dan kebebasan beragama dalam konstitusi itu, yakni definisi
kebebasan beragama dalam UUD 1945 (baik sebelum maupun sesudah Amandemen)
diletakkan dalam bingkai konsep Tuhan yang diimbuhi (qualifying) dengan kata
“Yang Maha Esa”. Dalam perspektif ini, semenjak awal, konsep ini kelihatan gagal
memberikan proteksi terhadap hak-hak minoritas yang memiliki cara pandang
“berbeda” tentang siapa dan berapa bilangan Tuhan. Lebih jauh lagi, selain berdasar
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang diadopsi dari prinsip keesaan Tuhan
(tauhid) dalam Islam ini, dibangun pula konstruksi yang menjadi prasyarat bagi
pengakuan atas apa yang menjadi elemen agama, yang hal itu juga diadopsi dari
ajaran Islam tentang pengertian dan lingkup dîn.
Inilah yang pada gilirannya menjadi “dinding pembatas” yang mereduksi hak
dasar seseorang untuk meyakini agama dan menjalankan aktifitas sesuai dengan
keyakinan itu di negara. Dan dinding inilah yang menjadi sandaran utama bagi
negara dalam mengeluarkan berbagai regulasi-regulasi agama pada periode
selanjutnya. Pada gilirannya, ide hegemonisasi konsep Tuhan dan agama ini menjadi
“klop” dengan ide pendirian Departemen Agama di mana salah-satu misi utama dari
kementerian ini, selain “mengawasi kebebasan individu, memberikan bimbingan dan
bantuan dalam mempromosikan gerakan agama yang sehat” (watching over
29
Justus M. Van der, “Conflicts of Religious Policy in Indonesia,” Far Eastern
Survey 22, 10 (September 1953): hal. 123.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 45
individual freedom, giving guidance and support so as to promote healthy religious
movement), menjadi institusi “watchdog” bagi realisasi prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa tadi.7
Perhatian terhadap pengelolaan kehidupan beragama mulai kentara dengan
Penetapan Presiden No. 1/PnPs/1965 (juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969)
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang
ditandatangani oleh Sukarno pada tanggal 27 Januari 1965. Ide regulasi, baik
langsung maupun tidak langsung, berasal dari Seminar Hukum Nasional I Tahun
1963 yang salah satunya pembahasannya adalah masalah delik agama dalam KUHP.
Adalah Oemar Seno Adji yang menyatakan bahwa dalam reformasi hukum yang
akan datang, delik-delik agama dalam KUHP harus ditelaah secara mendalam.
Karena menurutnya:
“[T]idakkah pengakuan sila ke-Tuhanan yang Maha Esa sebagai kausa prima
dalam Negara Pancasila, dengan Pasal 29 UUD 1945 yang harus menjadi dasar
dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, membenarkan bahkan mewajibkan
penciptaan delik-delik agama dalam KUHP?... Agama dalam kehidupan dan
kenyataan hukum kita merupakan faktor fundamental, dapatkan dimengerti
apabila faktor tersebut dapat digunakan sebagai landasan kuat dihidupkannya
delik-delik agama.”30
Agaknya pendapat hukum Oemar Seno Adji inilah kemudian yang mengilhami
munculnya Penetapan Presiden itu yang kemudian diadopsi dalam penulisan KUHP
Pasal 156 a). Lebih lanjut, regulasi ini juga harus dibaca dalam konteks konteks
30
Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Propeksi sebagaimana yang
dikutip oleh Sarwini, “Tinjauan Yuridis-Kriminologis terhadap RUU KUHP:
‘Kriminalisasi’ atas Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama,” Catatan
Seminar Kriminalisasi atas Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama oleh
Komnas HAM, ELSAM, PUSHAM Ubaya, KAHAM Undip dan PAHAM Unpad di
Surabaya tanggal 13 Desember 2005.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 46
sejarah sosial pada waktu itu dimana kontestasi kekuatan politik antara kelompok
agama, aliran kepercayaan dan komunisme dirasakan cukup mencemaskan. Potensi
konflik komunal berbasis kekuatan primordial ini memang sangat besar dan menjadi
bagian dari faktor penting yang memecah-belah persatuan bangsa.
Dalam kerangka sosial politik tadi, regulasi ini muncul. Dan dalam regulasi itu
pula kita mendapatkan penjelasan mengenai agama mana saja (yakni 6 agama besar:
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu) yang tidak hanya mendapat
‘bantuan-bantuan’ (yang agaknya merupakan dukungan yang bersifat moral dan
material terhadap lembaga keagamaan itu dalam fungsi sosial kesehariannya), tetapi
lebih jauh lagi mendapatkan ‘perlindungan’ selain untuk menjalankan aktifitas
keagamaan sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945, juga perlindungan
dari kejahatan penyalahgunaan dan penodaan. Dua bentuk layanan negara itu (yakni
‘bantuan’ dan ‘perlindungan’) agaknya mengingatkan kita pada konsep ‘list
cultuelle’ di Perancis dan the Law of Blasphemy dalam tradisi kerajaan Inggris.31
Lebih jauh, dengan semangat melindungi agama-agama yang dipeluk oleh
penduduk Indonesia dalam prakteknya Penetapan Presiden No. 1/PnPs/1965 juncto
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ini lebih dari sekedar regulasi untuk
melindungi agama dari penyalahgunaan dan penodaan tetapi juga menjadi secara
legal politis menjadi pijakan paling kuat untuk menguji otentitas dan eksistensi
31
Lihat T. Jeremy Gunn, “Under God but Not the Scarf: The Founding Myths
of Religious Freedom in the United States and Laïcité in France,” Journal of Church
and State 46, 1 (2004): hal. 7-24.; dan Javier Garcia Oliva, “The Legal Protection of
Believers and Beliefs in the United Kingdom,” The Ecclesiastical Law Society 9
(2007): hal. 66-86.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 47
agama. Kasus Konghucu adalah contoh awal. Setelah Pemberontakan PKI 1965
dimana kebanyakan orang-orang Cina dituduh terlibat dan diasosiasikan dengan
komunisme, maka semenjak itu pula Konghucu secara gradual dikeluarkan dari
‘definisi’ agama yang dipeluk secara de facto. Untungnya seiring dengan angin
reformasi, pengakuan terhadap eksistensi mereka secara de jure diakui kembali pada
tahun 2000.
Jika kita telaah secara saksama, karena sifatnya pencegahan atas penodaan
agama yang banyak memicu konflik sosial pada waktu itu (seperti kasus Ten Berge
pada tahun 1959 dan maraknya aliran kepercayaan dan kuatnya pengaruh
komunisme), dalam Penjelasan UU itu, dinyatakan bahwa agama yang “biasa dianut”
oleh rakyat Indonesia ada 6 (enam) yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha
dan Konghucu. Ada pernyataan lain yang juga termaktub dalam penjelasan UU ini
yang tidak pernah muncul dalam diskursus teori agama, yakni bahwa agama-agama
lain seperti Taoisme, Yahudi dan lain-lain juga mungkin diakui selama agama-agama
itu tidak melanggar hukum.
Karena itu logika bahwa hanya ada 6 agama yang diakui negara pada dasarnya
tidak cukup kuat. Hanya saja agama-agama yang disebut terakhir itu, bisa jadi tidak
mendapat bantuan dan perlindungan dari negara sebagaimana yang didapatkan oleh 6
agama 'resmi' itu. Uniknya, dalam perkembangan selanjutnyanya, definisi agama
mana yang diakui atau tidak ternyata begitu rentan ketika dihadapkan pada realitas
perubahan politik. Ini terlihat dari kasus Konghucu. Setelah Pemberontakan PKI
1965 di mana kebanyakan orang-orang Cina dituduh terlibat dan diasosiasikan
dengan komunisme, maka semenjak itu pula Konghucu secara gradual dikeluarkan
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 48
dari “definisi” agama yang biasa dianut tadi. Dan ini diperkuat dengan beberapa
regulasi khusus tentang agama ini, sampai kemudian seiring dengan angin reformasi,
pengakuan terhadap eksistensi mereka secara de jure diakui kembali pada tahun
2000.
Kebijakan politik ”identitas agama” sebagai bagian dari ”identitas
keindonesiaan” terus menguat seiring dengan menguatnya konsolidasi politik
otoritarian Orde Baru. Hal ini tak ubahnya seperti cek kosong (unpaid bill) yang
memberikan porsi yang sangat besar bagi rezim untuk meregulasi agama sampai ke
akar-akarnya. Meminjam istilah Foucoult, inilah apa yang disebut dengan
govermentalization of the state yakni negara begitu obsesif dengan manajemen
perbaikan diri (correct management) terhadap warganya sendiri. Singkat kata, pada
titik ini negara (rezim) tidak hanya pemain utama dalam proses legislasi, tapi pada
saat yang sama ia juga bertindak sebagai eksekutor sekaligus yudikator atas regulasi-
regulasi itu yang dibuat lebih massif. Sebagai gambaran umum saja, semenjak 1967
sampai 1995, sebagaimana yang terekam dalam buku Peraturan Perundang-
undangan Kehidupan Beragama Departemen Agama RI, terdapat paling tidak 110
(seratus sepuluh) aturan tentang agama dalam bentuk Undang-Undang, Surat
Keputusan atau Surat Keputusan Bersama, Instruksi, Surat Edaran,
Radiogram/Telegram, Pedoman Dasar yang ditandatangani oleh Presiden, Jaksa
Agung, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.8
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 49
KEBEBASAN AGAMA DAN KELOMPOK MAYORITAS
Selain konstitusi sebagaimana digambarkan di atas, hal lain yang penting
diperhatikan dalam kaitannya dengan kebebasan beragama ini adalah eksistensi
kelompok mayoritas.32
Sebagaimana diungkap oleh Beyer, eksistensi kelompok
mayoritas yang dominan memberikan warna yang sangat kental dalam perumusan
hukum negara dan pada gilirannya rumusan nilai atau hukum yang ekspresi dan
bentuknya diambil dari kelompok ini merupakan fenomena umum yang ditemukan di
berbagai belahan dunia.33
Dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, kelompok inilah yang kerap
menciptakan suatu model definitif terhadap apa yang diyakini sebagai agama yang
sah, dan dengan model ini mereka kemudian ‘memaksa’ negara untuk melakukan
peminggiran atau membatasi kebebasan terhadap institusi agama lain yang dianggap
32
Derajat suatu kelompok disebut sebagai mayoritas atau minoritas bisa dilihat
dari berbagai sisi. Pertama, dari sisi keanggotaan dan afiliasi. Contohnya, kaum
Muslimin di Indonesia adalah mayoritas dibanding dengan umat agama yang lain
seperti Kristiani. Kedua, dari sisi pengakuan legal negara, sebagai misal, eksistensi
agama-agama resmi yang diakui negara seperti yang terjadi di tanah air vis-à-vis
agama-agama murba di beberapa daerah. Di sini agama-agama resmi itu adalah
mayoritas dan agama murba itu adalah minoritas. Ketiga, dilihat dari sisi gerakan
pemikiran agama seperti agama mainstream dan new religious movement (NRM).
Taman Eden Lia Aminuddin atau Ahmadiyah adalah kelompok minoritas dalam
kalangan mainstream pemikiran Islam di Indonesia, sebagaimana Rajnesh dan
Brahma Kumaris dalam tradisi Hindu atau Gate to Heaven dan Scientology bagi
agama Kristen. Yang keempat dilihat dari perspektif gerakan sosial keagamaan baru
dan dalam konteks Indonesia JIL (Jaringan Islam Liberal) sebagaimana juga FPI
(Front Pembela Islam) sama-sama minoritas vis-à-vis mainstream gerakan Islam
Indonesia. 33
Peter Beyer, “Constitutional Privilege and Constituting Pluralism: Religious
Freedom in National, Global, and Legal Context,” Journal for the Scientific Study of
Religion 42, 3 (2003): hal. 333-339.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 50
tidak sesuai dengan model yang mereka tawarkan.34
Dan dalam beberapa kasus
ekstrem atau pada saat sebuah regim begitu lemah seperti pada masa transisi (seperti
yang terjadi di tanah air), kelompok dominan ini bisa menjelma menjadi ‘instutusi
negara bayangan’ (quasi-governing institution) yang lebih banyak mudharatnya
ketimbang memberikan pelayanan bagi semua.
Apa yang menyebabkan otoritas pilitik yang sah seperti negara kerap kali
memberikan preferensi terhadap kelompok mayoritas ini? Jawabannya, paling tidak
ada dua alasan. Pertama, regim yang berkuasa hampir bisa dipastikan memiliki
kaitan atau memang berasal dari kelompok mayoritas itu. Memang terjadi pula
sebuah regim muncul dengan menggunakan kekerasan (atau kudeta) dan tidak
mendapatkan legitimasi dari kelompok mayoritas, atau regim yang berasal dari
kelompok minoritas tetapi mendapatkan legitimasi dari mayoritas, namun hal ini
cukup jarang dan merupakan ‘pengecualian’. Karena kebanyakan regim itu berasal
dari mayoritas ini, maka konsekuensinya menjadi wajar jika kelompok itu meminta
imbalan jasa untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di berbagai level.
Kedua, regim yang berkuasa tentu mengharapkan legitimasi yang stabil dari
kelompok mayoritas bagi keberlangsungan otoritas politiknya. Dengan kata lain,
patronase dan legitimasi yang didapat dari kelompok mayoritas bukan hanya penting
untuk menjaga reputasi negara yang kredibel dalam waktu yang lama, tetapi juga
34
Lori Beaman, “The Myth of Pluralism, Diversity and Vigor: The
Constitutional Privileging of Protestantism in the United States and Canada,” Journal
for the Scientific Study of Religion 42, 3 (2003): hal. 118-126.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 51
untuk mempertahankan suasana yang stabil dalam melaksanakan program-program
yang direncanakan.
Jika kita turunkan dalam tataran dalam kehidupan beragama, model konsesi
dan tawar menawar ini sangat jelas terlihat ketika negara mengeluarkan berbagai
peraturan dimana hal itu tidak hanya sebagai merupakan manifestasi kepentingan
negara untuk mengatur masyarakat secara umum tetapi pada saat yang sama (dan
dalam tataran tertentu) ia juga mencerminkan kontestasi kontrol hegemoni yang
secara esensial merujuk pada kepentingan dan nilai-nilai kelompok mayoritas itu.
Karena itu, mengutip Gill, kelompok mayoritas biasanya lebih cenderung
mendukung banyaknya regulasi yang dikeluarkan pemerintah, sementara minoritas
kan bersikap sebaliknya. Bagi kelompok mayoritas, betapapun setiap regulasi secara
potensial mengintervensi kehidupan pribadi mereka, pada dasarnya regulasi itu tetap
dianggap penting untuk mempertahankan hegemoni dan kompetisi dengan kelompok
yang lain (minoritas) dimana dalam beberapa kasus regulasi itu digunakan sebagai
senjata yang efektif untuk mempertahankan hegemoni dan memonopoli kebenaran.35
Contoh yang bisa disebutkan di sini adalah betapapun kelompok mayoritas
secara teoritis setuju dengan ide kebebasan agama, namun mereka biasanya ‘diam’
dan mendukung beberapa kebijakan negara seperti pembatasan wilayah operasional
kelompok minoritas dalam menyebarkan agama, atau pembatasan izin bagi tenaga
dan bantuan dari missionaris asing, pembatasan pembangunan rumah ibadah bagi
kelompok minoritas ini. Dalam kasus-kasus tertentu, ketika kelompok ini berusaha
35
See Anthony Gill, “The Political Origins of Religious Liberty: A Theoretical
Outline,” Interdisciplinary Journal of Research on Religion 1 (2005): hal. 15.
Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 52
melindungi pandangan hegemonik dalam pasar bebas keberagamaan (free market of
religiousity), mereka juga menggunakan tangan besi negara untuk melarang
diseminasi ajaran dan praktek yang dianggap menyimpang dari pandangan agama
umum.
Inilah potret awal bagaimana pengelolaan kehidupan beragama terjadi pada
masa rezim Orde Baru. Penting untuk dicatat kemudian bahwa regulasi-regulasi ini
tetap menjadi bagian penting bagi negara mengatur kehidupan agama pada masa
pasca keruntuhan Orde Baru ini. Dan seiring dengan menguatnya posisi tawar
menawar kelompok Muslim di Indonesia, maka pertarungan untuk menjadikan nilai-
nilai Islam sebagai nilai utama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
menjadi fitur terpenting pada masa reformasi ini. Pada konteks inilah kemudian
pentingnya mendapatkan pandangan dari kelompok non-Muslim atas apa yang
sedang terjadi di negara ini.
Bab III
ISLAMISME DAN RESPON KELOMPOK NON MUSLIM:
TOLERANSI DAN PLURALISME
Pada bab ini dibahas temuan-temuan penelitian tentang pandangan kelompok non-
Muslim tentang toleransi dan pluralisme di tanah air. Ini penting mengingat berbagai
kekerasan bermotif agama terjadi secara sporadis di Indonesia. Hal ini tentu sangat
merisaukan dan harus menjadi persoalan bersama yang perlu secepatnya diselesaikan
secara terencana. Dalam konteks ini sikap toleransi antar kelompok dan agama
menjadi sangat penting untuk didiskusikan.
Toleransi dalam penelitian ini dipahami sebagai sikap dan prilaku untuk
menerima sebagian atau seluruhnya atas perbedaan baik yang berkaitan dengan suku,
rasa tau agama. Sikap dan prilaku toleran memiliki makna yang sangat penting dalam
masyarakat heterogen seperti di Indonesia. Semakin tinggi kadar kadar penerimaan
sebuah kelompok terhadap pandangan, sikap atau prilaku kelompok lain maka akan
semakin tinggi kepercayaan sosial (social trust) yang dibangun dan semakin rendah
kemungkinan terjadinya konflik dan kekerasan. Begitu juga sebaliknya, semakin
rendah kadar penerimaan suatu kelompok atas keberadaan dan nilai-nilai kelompok
lain maka semakin rendah kepercayaan sosial dan semakin tinggi kemungkinan
konflik dan kekerasan itu.
Secara teoritis toleransi yang baik tentu dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
nilai-nilai baik agama maupun adat dan komposisi mayoritas-minoritas. Beberapa
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 54
penelitian yang dilakukan oleh para ahli menyatakan bahwa semakin berimbang
komposisi antar-kelompok maka semakin besar kemungkinan sebuah sikap dan
prilaku toleran terjaga; dan semakin tinggi disparitas mayoritas-minoritas terjadi,
semakin rendah pula sikap dan prilaku toleran ini.
Tentu pula kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian di atas bukan berarti
berlaku secara universal kapan saja dan dalam konteks apa saja. Sebab, dalam
kaitannya dengan penerimaan terhadap kelompok lain, ajaran agama dalam kadar
tertentu tentu memberikan mendapat justifikasi yang sangat penting bagi terciptanya
sikap dan prilaku itu.
Untuk itu, dalam konteks normatif adalah penting melihat sejauhmana Islam
sebagai agama mayoritas di Indonesia memahami pluralism dan bagaimana
diseminasi nilai-nilai pluralism itu berkembang di tanah air. Penting untuk dijelaskan
pula bahwa pemaknaan Muslim atas ajaran Islam tentang toleransi juga mengalami
perkembangan sesuai dengan pengalaman historis mereka.
Selanjutnya akan dilihat pula bagaimana konstruksi social atas toleransi yang
berkembang semenjak kejatuhan rezim Orde Baru yang memberikan ruang bagi
berkembangnya sikap dan prilaku Islamisme yang terlihat kurang ‘toleran’. Respon
kelompok non-Muslim atas memudarnya sikap dan prilaku toleran ini akan juga
dibahas pada bab ini.
PANDANGAN DOKTRINAL TERHADAP TOLERANSI
Secara historis konsep toleransi dalam tradisi Islam memang berkaitan erat dengan
hubungan antara kaum Muslim dengan kaum Yahudi dan Kristen dan mengambil
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 55
bentuk beragam sejalan dengan pola hubungan sosial-politik pada masa tertentu.
Sebagai sebuah entitas agama baru, al-Qur’an mendefinisikan mereka sebagai non-
Muslim dan secara tegas membuat batas demarkasi dengan pernyataan ”untukku
agamaku dan untukmu agamamu” (QS 109: 6). Ayat serupa juga ditemukan di
beberapa tempat seperti pernyataan pada QS 2: 256 bahwa “sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar (agama Islam) daripada jalan yang sesat (agama non-Islam)”, dan
oleh karena itu “tidak ada paksaan dalam beragama.” Dalam konteks ini cukup jelas
bahwa ajaran Islam mengakui perbedaan teologis dengan agama-agama tersebut, dan
secara implisit tidak membenarkan pemaksaan atas nama agama.
Lebih dari sekadar teologis, al-Qur’an lebih jauh membuat perbedaan tegas
antara Muslim dan non-Muslim dalam kerangka hubungan sosial dan politik. Dalam
hal ini, non-Muslim dilihat memiliki potensi untuk tidak hanya berseberangan, tapi
juga tidak menerima secara penuh keberadaan kaum Muslim. QS 5: 51 misalnya
menekankan kaum Muslim untuk tidak “mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi yang
lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”. Begitu juga penting dikutip
ayat lain dalam QS 2: 120 yang bernada serupa: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani
tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:
‘sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika
kamu mengikuti kamauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka
Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Beberapa ayat al-Qur’an di atas jelas menyediakan kaum Muslim suatu ajaran
untuk bersikap tidak toleran terhadap pemeluk non-Islam, tepatnya Yahudi dan
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 56
Kristen. Paling tidak, ayat-ayat di atas membekali kaum Muslim untuk merumuskan
Yahudi dan Kristen sebagai komunitas keagamaan yang berbeda, dan selanjutnya
memiliki pandangan dan sikap sosial-politik berlainan.
Tentu saja, doktrin di atas harus dipahami dalam konteks historis Islam masa
awal, di mana usaha penyebaran Islam oleh Muslim dihadapkan pada pemeluk
Yahudi dan Kristen, yang saat itu telah berkembang sebagai agama yang sudah
mapan di Timur Tengah. Dan pengalaman historis antara Muslim dan non-Muslim—
di mana pertentangan dan konflik menjadi bagian penting di dalamnya—telah
memberi sumbangan penting menjadikan doktrin di atas berfungsi sebagai sumber
tumbuhnya pandangan dan sikap tidak toleran di kalangan Muslim. Demikianlah,
seperti dijelaskan Lewis,1 baik doktrin dan pengalaman sejarah telah menjadi
landasan penting yang mendasari kaum Muslim untuk tidak menerima Yahudi dan
Kristen sebagai bagian dari komunitas Islam. Dan ini antara lain menjadi pemicu
konflik sosial-keagamaan yang kerap kali terjadi di antara mereka.
Konsisten dengan historisitas doktrin di atas, al-Qur’an pada saat yang
bersamaan juga mengandung sejumlah ayat yang menekankan prinsip-prinsip
toleransi. Dan ini tentu saja berdasar pada sifat fluktuatif hubungan yang terjalin
antara Muslim dengan Yahudi dan Kristen. Jadi, sebagaimana halnya doktrin
intoleransi di atas, ajaran dalam al-Qur’an tentang toleransi memiliki basis historis
dalam hubungan Muslim dengan pemeluk non-Islam yang juga kerap diwarnai corak
hubungan harmonis. Salah satu isu istilah dalam al-Qur’an yang menekankan prinsip
toleransi adalah “ahli kitab” (ahl al-kitāb). Mengacu terutama pada kaum Yahudi dan
1Bernard Lewis, The Jews of Islam, (Princeton: Princeton University Press,
1985).
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 57
Nasrani, istilah ahli kitab digunakan al-Qur’an antara lain sebagai ungkapan peng-
hargaan yang tinggi, seraya menggambarkan konsistensi mereka berpegang pada
ketuhanan yang monotheistik. Hal itu bisa dilihat dari empat ayat dalam al-Qur’an.
Dalam QS 3: 64 diingatkan kepada ahli kitab agar berpegang “kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami (Muslim) dan kamu (ahli kitab),
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
tuhan selain Allah.”
Lebih lanjut, QS 3: 110 juga mengajak mereka kepada kalīmah sawā’ yakni
“menjadi umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli
Kitab beriman tentulah itu lebih baik bagi mereka.” Sementara dalam ayat yang lain,
al-Qur’an (3: 113) juga menggambarkan bahwa ahli kitab itu tidak sama, bahwa “di
antara ahli kitab ada golongan yang yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat
Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud
(sembahyang).” Dan keragaman ahli kitab ini selanjutnya dipertegas dalam ayat lain
dalam QS 3: 1999, di mana dikatakan “Sesungguhnya di antara ahli kitab itu ada
orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan
yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan
mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.”
Berbeda dari ayat-ayat yang menyuguhkan sikap dan pandangan intoleransi,
empat ayat yang baru saja dikutip jelas-jelas mendorong kaum Muslim untuk hidup
secara harmonis berdampingan dengan pemeluk agama non-Islam, tepatnya Yahudi
dan Kristen. Dan pesan al-Qur’an tersebut juga ditegaskan kembali dalam ayat lain
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 58
sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-
orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-
benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS 2: 62). Ayat ini, di samping empat ayat lain
yang dikutip di atas, mengindikasikan secara kuat bahwa Islam mengandung ajaran
inklusif, dan selanjutnya menjadi basis bagi toleransi keagamaan di kalangan
Muslim.
Dengan demikian, al-Qur’an mengandung ajaran yang menekankan baik
toleransi maupun intoleransi sekaligus. Dan manifestasi keduanya berlangsung
sejalan dengan pengalaman historis kedua pemeluk Islam dan non-Islam dalam
setting historis tertentu. Dalam satu periode tertentu, doktrin Islam tentang toleransi
ini berlaku efektif dalam praktik sosial-keagamaan Muslim. Namun, dalam suatu
periode yang lain, ajaran Islam yang tidak toleran bisa secara dominan mewarnai
persepsi dan hubungan kaum Muslim dengan non-Muslim. Dalam konteks inilah,
pernyataan Lewis yang mengalokasikan problem di sekitar hubungan Islan dengan
pemeluk agama lain menjadi penting diperhatikan, sebagaimana dikutip berikut ini:
In most tests of tolerance, Islam, both in theory and in practice, compares
unfavorably with Western democracies as they have developed during the last
two or three centuries, but very favorably with most other Christian and post-
Christian societies and regimes. There is nothing in Islamic history to compare
with the emancipation, acceptance, and integration of other believers and non-
believers in the West; but equally, there is nothing in Islamic history to
compare with the Spanish expulsion of Jews and Muslims, the Inquisition, the
auto da fé's, the wars of religion, not to speak of more recent crimes of
commission and acquiescence. There were occasional persecutions, but they
were rare, and usually of brief duration, related to local and specific
circumstances. … In modern times, Islamic tolerance has been somewhat
diminished. After the second Turkish siege of Vienna in 1683, Islam was a
retreating, not an advancing force in the world, and Muslims began to feel
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 59
threatened by the rise and expression of the great Christian empires of Eastern
and Western Europe. … In the present mood, a triumph of militant Islam
would be unlikely to bring a return to traditional Islamic tolerance - and even
that would no longer be acceptable to minority elements schooled on modern
ideas of human, civil, and political rights.2
Perubahan dan perkembangan persepsi Muslim terhadap pemeluk non-Islam,
di mana ia menjadi toleran dan tidak toleran, tampak dengan jelas pada wacana yang
berkembang di sekitar makna ahli kitab. Sebab proses historis yang dialami kaum
Muslim telah membuat makna ahli kitab menjadi sedemikian sempit, sehingga ia
jauh dari pesan inklusif dan universalis sebagaimana empat ayat dalam al-Qur’an
yang menegaskan hal tersebut.
Di sini, ahli kitab dipahami secara statis dan definitif, menutup kemungkinan
adanya perluasan makna itu sendiri. Ia menjadi cermin dari keberagamaan normatif-
idealistik yang mengukur tingkat keberagamaan dari aspek-aspek formal. Istilah ahli
kitab lebih berfungsi sebagai kriteria penilai bagi hubungan beragama yang secara
apologetis untuk digunakan menjustifikasi bahwa agama Islam telah memberikan
batasan-batasan yang menjadi kriteria pembenar dan pengesah bagi kaum Muslim
untuk mengambil jarak teologis dengan umat lain. Dengan kata lain, fenomena ahli
kitab digeneralisir sedemikian rupa sebagai sesuatu yang umum yang bisa diterapkan
dimana saja dan kapan saja; dan secara sah berlaku pada masyarakat Muslim di
tempat lain di dunia.3
Penyempitan makna tersebut disebabkan oleh keinginan kaum Muslimin pada
masa awal untuk meneguhkan jati diri mereka sebagai komunitas agama baru. Pada
2Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern
Response, (Oxford: Oxford Univerity Press, 2002), hal. 114. 3Ismatu Ropi, “Wacana Inklusif Ahl al-Kitab,” Paramadina 1, no. 1 (1999):
hal. 99-101.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 60
sebuah masa pembentukan dan transisi dalam konstelasi hubungan politik yang
cukup rumit ini, tipifikasi dianggap sebagai salah-satu cara yang cukup aman bagi
upaya peneguhan jati diri yang berwawasan sejarah. Inilah yang kerap disebut
sebagai “sakralisasi dan transendentalisasi sejarah duniawi”, di mana masalah sosial
dan politik dalam sebuah wacana budaya dan waktu yang sangat terbatas
ditransformasikan ke tingkat transendental suci dengan justifikasi ayat-ayat al-
Qur’an.
Oleh karena itu, bisa dipahami jika para sarjana Muslim klasik memiliki
persepsi ‘berlebihan’ tentang komunitas ahli kitab. Hal ini bisa dilihat dari klaim-
klaim stereotif yang menyatakan bahwa ahli kitab telah melakukan penyimpangan
atau perubahan (tahrīf) yang sangat signifikan terhadap kitab suci mereka, khususnya
yang berkenaan dengan keesaan Tuhan dan pandangan messianistik tentang
kedatangan Nabi baru yang diyakini oleh kaum Muslimin sebagai Muhammad Saw.4
Dalam kaitan inilah, penting mengungkapkan apa yang oleh Fazlur Rahman
disebut sebagai usaha sia-sia (exercise themselves fruitlessly) para sarjana penafsir
al-Qur’an ketika memahami makna sebenarnya yang dikandung dalam QS 2: 62 dan
QS 4: 69, yang memberi kemungkinan keselamatan bagi kaum beragama selain
kaum Muslimin. Menurut Rahman:
Mayoritas penafsir Muslim dengan sia-sia berusaha untuk menolak maksud
yang jelas yang dinyatakan dalam dua ayat al-Qur’an itu: bahwa mereka (orang
beriman), dari kaum apapun, yang percaya kepada Allah dan Hari Akhir serta
melakukan kebajikan akan memperoleh keselamatan. Mereka (para penafsir
itu) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Nasrani,
dan Shabi’in dalam ayat-ayat tersebut adalah mereka yang telah menjadi
“Muslim”. Suatu penafsiran ini jelas keliru sebab seperti yang termaktub dalam
4Andrew Rippin, “Interpreting the Bible Through the Qur’an”, dalam G.R.
Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef (eds.), Approaches to the Qur’an (London:
Routledge, 1993), hal. 249-256.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 61
ayat itu, orang-orang Muslim adalah yang pertama (disebut) di antara empat
kelompok “orang-orang yang percaya”. Atau para penafsir itu mengatakan
bahwa mungkin yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan
Shabi’in yang saleh sebelum kedatangan Nabi Muhammad. Ini malah
penafsiran yang lebih salah. Terhadap pernyataan orang-orang Yahudi dan
Nasrani yang berkata bahwa di akhirat nanti hanya mereka saja yang
memperoleh keselamatan, al-Qur’an menyatakan: “Sebaliknya! Yang berserah
diri kepada Allah dan melakukan kebajikan yang akan memperoleh pahala dari
Allah; tiada sesuatupun yang dikhawatirkan dan ia tidak akan sedih.5
Logika di balik pengakuan kebaikan universal bagi agama-agama lain, dengan
syarat mereka beriman kepada Tuhan, percaya pada Hari Akhir dan beramal saleh,
menurut Rahman, meletakkan kaum Muslimin duduk berdampingan dan sejajar
dengan umat agama lain dalam mencapai kebenaran.6 Bagi Rahman, kaum
Muslimin bukanlah satu-satunya, tapi hanya satu dari sekian banyak yang berlomba
menuju kebenaran (1983: 167).
Hal yang hampir sama juga pernah diisyaratkan oleh Muhammad Asad.7
Menurutnya, sesuai dengan al-Qur’an (QS 5: 48), untuk semua agama Tuhan telah
menyiapkan hukum suci yang berbeda (different divine law) dan jalan yang terbuka
(an open road). Salah-satu tema yang terpenting dari doktrin Islam adalah kelanjutan
sejarah yang berkaitan dari berbagai bentuk dan fase wahyu Ilahi, akan tetapi esensi
dari ajaran agama itu sendiri selalu identik, dan dapat dikatakan juga bahwa semua
agama memproklamirkan kepercayaan yang sama.
Lebih lanjut, sesuai dengan QS 2: 62, Asad mempercayai bahwa ahli kitab juga
akan mendapat ganjaran dari Tuhan sepanjang mereka tetap memegang teguh “ide
keselamatan” yang terdiri atas tiga elemen, yakni percaya kepada Tuhan, Hari Akhir,
5Lihat Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an (Bandung: Pustaka,
1983), hal. 239. 6Rahman, Tema-Tema Pokok, hal. 167.
7Muhammad Asad, This Law of Ours (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), hal.
153-154.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 62
dan berbuat kebajikan. Mereka dapat dianggap benar secara Qur’ani jika percaya
kepada keesaan dan keunikan Tuhan, sadar akan kewajiban terhadapNya dan hidup
sesuai dengan ajaran-ajaran agama.
Salah-satu prinsip fundamental dari ajaran Islam adalah setiap agama yang
mempercayai Tuhan sebagai focus point, walaupun berbeda dalam beberapa hal yang
menyangkut ajaran agama, harus dihormati dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Muslim memiliki kewajiban untuk menjamin setiap rumah ibadah yang
didedikasikan atas nama Tuhan, dan setiap upaya yang menghalangi para penganut
agama itu untuk mengagungkan Tuhan dalam rumah-rumah ibadat merupakan suatu
hal yang tercela menurut kacamata al-Qur’an.8
Dengan demikian, semangat al-Qur’an telah mengisyaratkan pluralitas di mana
setiap kelompok dipersilakan berlomba-lomba dalam mencapai kebenaran (fastabiqū
al-khayrāt). Jelas sekali, pernyataan khayrat yang ditulis dalam bentuk plural
mengandung arti bahwa ada berbagai bentuk kebaikan di dunia, termasuk di
dalamnya kebaikan atau kebenaran agama, dan untuk mendapatkannya setiap
kelompok haruslah berlomba dengan cara yang wajar dan terhormat. Inilah
sebenarnya yang menjadi elan vital dari konsep al-Qur’an tentang ahli kitab bagi
dunia kontemporer.
Cara pandang normatif Islam tentang toleransi tentu juga berkembang dalam
khazanah inteletualisme Islam di Indonesia. Beberapa cendikiawan Muslim
terkemuka seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah contoh yg
penting dikemukakan di sini. Bagi Nurcholish Madjid sebagai misal sikap toleransi
Islam memang berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam sendiri.
8Asad, This Law of Ours, hal. 154.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 63
Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah), dan cita-cita Islam sejalan dengan
cita-cita kemanusiaan pula. Menurut Nurcholish, secara etimologis istilah ‘Islam’
sendiri berarti sebuah kepasrahan kepada Tuhan yang karena itu ia percaya bahwa
setiap agama pasti mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Sikap ini pada ujungkan
akan mengantarkan pada penghargaan terhadap kelompok dan agama lain karena
setiap kelompok itu memiliki kesamaan sikap kepasrahan terhadap Tuhan.9
Hal yang sama juga diungkap oleh Abdurrahman Wahid yang melihat bahwa
universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam memang memberikan kesejatian
kepada semua kelompok agama yang ada. Menurutnya, inilah cita-cita toleransi
Islam yang memberikan jaminan pada semua kelompok dan warga berdasarakan
lima dasar jaminan utama yakni pertama, jaminan keselamatan fisik warga
masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum; kedua, jaminan
keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada rasa paksaan untuk
berpindah agama; ketiga, jaminan keselamatan atas keluarga dan keturunan;
keempat, jaminan keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum;
dan kelima bagi keselamatan untuk memilih profesi pekerjaan.10
MEMUDARNYA BUDAYA TOLERAN?
Bahwa pandangan ideal tentang toleransi menurut ajaran Islam di atas tentu
merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat yang heterogen di Indonesia.
9Nurcholis Madjid, “Beberapa Renungan tentang Keagamaan untuk Generasi
Mendatang,”dalam Ulumul Qur’an 1, IV (1993). 10
Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme
Peradaban Islam,” Budhy Munawar-Rachman, Kontektualisasi Doktrin Islam dan
Sejarah (Jakarta: Yayasan wakaf Paramadina, 1994), hal. 545-552.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 64
Sebab secara faktual sebuah kondisi toleran yang ideal dalam sebuah kurun tertentu
dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah kondisi politik pada masa
transisi di sebuah negara seperti yang terjadi di tanah air. Legitimasi yang lemah atas
otoritas pemerintah dan kuatnya kecenderungan mayoritas untuk menegaskan peran
dan nilai-nilainya dalam kehidupan bernegara menjadi fitur baru yang muncul
semenjak zaman reformasi di tanah air. Konflik bermotif keagamaan seperti yang
terjadi di Poso dan Maluku, menguatnya sentiment suku dan agama, dan kekerasan
terhadap kelompok-kelompok minoritas sebagaimana yang dialami oleh Ahmadiyah
merupakan antitesa dari sikap toleran yang diajarkan oleh ajaran Islam itu sendiri.
Data survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian melihat bahwa
terdapat peningkatan kecenderungan intoleransi pada masyarakat Indonesia secara
umum. Secara umum, hasil survei menunjukkan bahwa komunitas Muslim Indonesia
memperlihatan sikap yang kurang tidak toleran baik secara teologis maupun sosial.
Hal ini bisa dilihat dari besarnya jumlah responden yang menyatakan setuju dan
sangat setuju terhadap sejumlah peryataan berikut: setiap Muslim berkewajiban
dakwah terhadap orang non-Muslim atau kafir (73%), Muslim adalah sebaik-baiknya
umat dibanding yang lain (92,5%), anggota keluarga tidak boleh menikah dengan
non-Muslim (85,7%), anggota keluarga boleh menikah dengan non-Muslim, asal
non-Muslim itu masuk Islam terlebih dahulu (88%), kriteria utama bagi calon istri
atau suami bagi anak adalah ketaatan dalam menjalankan perintah agama Islam
(94,6%), tidak boleh mengucapkan salam (‘assalamualaikum’) dan selamat hari raya
(‘selamat natal’ misalnya) kepada orang non-Muslim (73,5%), orang-orang non-
Muslim tidak akan senang dengan Muslim sebelum orang Islam itu ikut agamanya
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 65
(61,6%), dan hanya agama Islam yang benar dan karena itu non-Islam harus masuk
agama Islam (58,7%).
Tentu dapat dilihat bahwa pandangan intoleransi teologis di atas memberi
justifikasi bagi hubungan sosial yang dibangun oleh sebagian umat islam dengan
kelompok agama atau etnis lain. Jika masalah menyangkut kepentingan sosial-politik
dan keagamaan kaum Muslim, tingkat toleransi juga terlihat cenderung kecil. Hal ini
tampak dari rendahnya dukungan responden misalnya terhadap hak non-Muslim
menjadi presiden di negeri ini. 74,9% menyatakan sikap menolak, hanya 6,5% yang
membolehkan non-Muslim menjadi presiden Indonesia. Tentu saja ini sama sekali
tidak mengherankan. Hal inin tentu bisa dipahami sebab sebagai mayoritas,
keinginan untuk mendudukkan seorang Muslim sebagai Presiden tetap menjadi
pilihan politik yang cukup kuat. Alasannya antara lain adalah bahwa jabatan presiden
memang sangat strategis dan menentukan kepentingan kaum Muslim dalam
kehidupan sosial-politik, budaya dan juga keagamaan di Indonesia.
Begitu pula sikap intoleransi atas beberapa isu sensitif juga terlihat dalam hal-
hal yang menyangkut kehidupan keagamaan di Indonesia yang selama ini kerap
menjadi akar persoalan dari berbagai konflik sosial di berbagai wilayah di Indonesia.
Isu-isu tersebut terutama berkenaan dengan hak keagamaan tepatnya menyangkut
praktik ritual non-Muslim di wilayah tempat tinggal mayoritas Muslim. Dalam hal
ini, hanya 20,1%, yang membolehkan orang non-Muslim mengadakan acara
kebaktian keagamaan di daerah atau tempat di mana responden tinggal. Sejalan
dengan itu, juga hanya 36,2% yang memboleh non-Muslim membangun tempat
ibadah di wilayah tempat tinggal.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 66
Lalu apakah sikap intoleransi di atas merupakan hal yang statis dan
mencerminkan cara pandang kaum Muslim di tanah air terhadap kelompok lain?
Menarik untuk diungkap bahwa terdapat banyak faktor yang menumbuhkan cara
pandang tersebut. Pengalaman sejarah diperlakukan secara tidak adil dalam
kehidupan bernegara pada masa Orde Baru, dan munculnya fenomena baru
Islamisme dalam satu dekade terakhir ini menyemai sikap dan prilaku tersebut.
Selain itu penting ditegaskan pula bahwa banyak aktifis Islam yang memang
semenjak awal memberikan pembatasan atas konsep itu yang membedakan antara
toleransi sosial dan toleransi teologis. Adakalanya memang pembagian dua domain
ini memang terlihat kabur dan karena itu penerapan konsep ini bergantung pada
berbagai faktor yang sifatnya kondisional.
KELOMPOK NON-MUSLIM DAN TOLERANSI
Disparitas cara pandang tentang toleransi kaum Muslim di Indonesia tentu memiliki
pengaruh yang sangat besar bagi eksistensi kelompok-kelompok agama non-Islam
yang ada. Dari wawancara dan penelusuran literatur yang dilakukan, secara umum
dapat disimpulkan bahwa hampir semua pemuka dan aktifis kelompok non-Muslim
cukup khawatir dengan kecenderungan peningkatan sikap intoleransi dalam
hubungan beragama di Indonesia.
Sebagian pemuka agama itu melihat bahwa menguatnya Islamisme yang
enggan menerima pemeluk agama lain pada posisi sejajar pada semua aspek
kehidupan merupakan salah-satu faktor bagi sikap dan prilaku intoleran. Ini
diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan solusi bagi
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 67
masalah-masalah sosial seperti rumah ibadah yang memiliki potensi konflik yang
sangat tinggi.11
Benny Susetyo juga melihat bahwa sikap aparat negara yang
membiarkan kekerasan atas agama terjadi seperti pengrusakan rumah ibadah atau
pengusiran suatu kelompok agama seperti yang terjadi di Lombok menjadi amunisi
yang efentif bagi tumbuhnya sikap dan prilaku intoleran itu.
Pandangan tentang hubungan Islamisme dan intoleransi di Indonesia juga
ditengarai oleh Stanley Rambitan, Pendeta Gereja Kristen Jawa yang juga menjadi
tenaga pengajar pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.12
Menurut Stanley, Islamisme
dalam beberapa hal mirip dengan fenomena fundamentalime dalam tradisi Kristen
dan juga terjadi pada beberapa agama besar yang ada. Tentu menurutnya terdapat
perbedaan karakter dalam gerakan-gerakan itu. Beberapa beberapa fundamentalisme
lebih menekankan pada pemahaman dan penerapan ajaran (doktrin) yang ditujuakn
pada kesalehan hidup dan mnjelma menjadi gerakan anti obat-obatan terlarang, anti-
aborsi, anti-korupsi dan anti-perang. Yang lain berbentuk militant dengan
membentuk kelompok bersenjata untuk mempertahankan diri dan ajarannya seperti
yang terjadi dalam kasus David Koresh di Waco Texas.
Stanley juga melihat bahwa fenomena fundamentalisme Kristen juga terjadi di
Indonesia. Ini muncul sebagi respon atas untuk berbagai faktor dan tampil dalam
bentuk-bentuk fanatisme ajaran dan praktek hidup yang radikal dalam hal
teologi/ajaran dan penekanan pada hidup puritan/pemurnian dan pietis/kesalehan.
Yang membedakan dengan gerakan Islamisme di tanah air adalah bahwa
11
Wawancara dengan Romo Benny Susetyo, Pr. di Kantor KWI Jakarta pada
20 September 2010. 12
Wawancara dengan Stanley Rambitan di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
pada, 9 Nov 2010.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 68
fundamentalisme Kristen Indonesia tidak bermuara pada pada pembentukan gerakan
militan yang memperkenankan kekerasan. Ia bukan geraka bersenjata dan juga tidak
anti-negara atau ingin mendirikan Negara baru dengan corak keagamaan.
Bagi Stanley, munculnya gerakan Islamisme di Indonesia seperti FPI dan HTI
memang cukup mengkhawatirkan karena gerakan-gerakan itu umumnya menyatukan
antara perjuangan keagamaan dan perjuangan sosial-politik. Ini menurutnya memang
dapat dimengerti karena ajaran Islam yang tidak memisahkan secara tegad antara
kehidupan keagamaan dengan kehidupan sosial politik. Namun problemnya adalah
ketika gerakan itu memaksakan sutau agenda tertentu ke dalam masyarakat Indonesia
dimana menurut Stanley kondisi masyarakatnya sangat plural. Ini terjadi bukan saja
dalam hubungan antar agama-agama, tapi dalam hubungan antar golongan di dalam
Islam sendiri. Pemaksaan ideologi dan perjuangan, apalagi dengan kekerasan seperti
yang sudah ditunjukkan oleh beberapa kelompok radikal itu tentu menimbulkan
gangguan sosial, keamanan dan kemanusiaan. Ini tentu adalah tragedi yang tidak
dikehendaki bangsa ini yang tentu tentu mengkuatirkan dan bahkan menakutkan jika
terus berlangsung.
Harapan agar budaya toleransi yang baik diungkap pula oleh Bhikku
Saddhaviro, kepala Vihara Ratana Graha di Jakarta.13
Ia menyatakan bahwa
keinginan untuk menegaskan nilai-nilai kelompok dalam wacana publik memang
merupakan suatu yang alamiah dalam sejarah kemanusiaan. Hanya saja hal tersebut
jangan sampai memaksakan kehendak masing-masing kelompok dan merasa paling
benar, karena akan menimbulkan kekerasan-kekerasan yang sebenarnya hal itu
13
Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro di Vihara Ratana Graha Jakarta Barat
pada 18 Nov. 2010.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 69
merugikan pada diri sendiri, berpikir untuk melakukan kekerasan itu saja sudah
merugikan dirinya sendiri. Sebab menurutnya hal itu justru bertentangan dengan
sudut pandang keluhuran, kemuliaan dari ajaran agama itu sendiri.
Menurut Bhikhu Saddhaviro, yang dibutuhkan untuk kebaikan bersama adalah
bagaimana anggota masyarakat atau bagian dari pada bangsa-bangsa di dunia ini bisa
berprilaku yang baik untuk membuat kesejahteraan, kedamaian, kebahagiaan dan itu
sebenarnya yang utama. Agaknya keinginannya tersebut dilandasi pada semakin
menguatnya intoleransi ini yang pada ujungnya berimbas pada hubungan yang
kurang harmonis antara mayoritas dan minoritas. Ia dengan tegas mengisyaratkan
kekhawatirannya dengan wacana negara Islam, sebagaimana yang diungkap sebagai
berikut:
“Harapan dari kami sebagai agama Buddha yang minoritas agar FPI dan HTI
tidak perlu mendirikan negara Islam. Kita ini yang minoritas tidak ada artinya
jika berhadapan dengan yang mayoritas. Karena itu menurut saya atau harapan
saya agar mayoritas hendaknya bisa melindungi yang minoritas, dan itu kan
bagian dari ibadah. Saya sering mendengar dalam ajaran Islam juga ada
semacam ajaran antara hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan
manusia dengan manusia termasuk melindungi manusia yang tidak berbuat
salah atau yang berbeda dari keyakinannya itu. Kalau dianggap kafir, dalam
pandangan Islam jenis kafir itu kan juga banyak macamnya. Seandainya
sampai ke paham yang ekstrem misalnya mengkafirkan orang lain yang
berbeda, namun dalam pandangan Islam kan ada kafir yang tidak sampai harus
dimusuhi walau beda kepercayaan karena tetap dianggap mempunyai perilaku
yang baik yang memberikan manfaat kepada banyak orang. Toleransi hanya
dalam hal keimanan karena tiap agama memiliki kepercayaan yang berbeda-
beda atau sudah memiliki acuan sendiri dari agamanya masing-masing.
Sejatinya toleransi bagaimana kemudian pikiran, perkataan dan perbuatan kita
yang dapat memberikan manfaat dalam kehidupan ini. Secara sederhana
toleransi memberikan kebebasan pada tiap pemeluk agama untuk menjalankan
kegiatan keberagamaannya tanpa merugikan orang lain, bahkan harus
memberikan manfaat bagi kehidupan keberagamaan itu sendiri tanpa adanya
konfrontasi antar agama. Semuanya bermuara pada sifat dan sikap yang
membawa dan menghasilkan kebaikan. Agama harus bisa membawa kesejukan
dalam keseharian tanpa memandang orang lain dalam hal agama, suku dan
tradisi. Kita harus memiliki niat bersama dalam hal kebajikan. Ironisnya kita
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 70
malah sudah menjadi Tuhan dengan menghukum dan menilai sendiri dan orang
lain.”14
Lalu apakah gerakan Islamis ini memang berakar di tanah air? Pada poin ini
menarik untuk kembali mengutip Stanley. Ia optimis bahwa gerakan-gerakan seperti
itu akan hilang dengan sendiri dikarenakan adanya penolakan masyarakat dan
menguatnya peran pemerintah kemudian dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang ada. Untuk itu, ia berharap agar umat beragama terus mendorong pemerintah
untuk mengambil peran yang tegas dalam menjaga toleransi kehidupan beragama di
tanah air sebab pada dasarnya gejala ini bersifat musiman saja.
Lebih lanjut, beberapa tokoh seperti Aritonang misalnya melihat bahwa
intoleransi ini sebenarnya juga dipicu oleh utamanya isu-isu lama seperti Kristeniasi
yang menjadi diskursus yang sangat kontroversial dalam relasi Islam dan Kristen di
tanah air.15
Beberapa responden yang diwawancarai juga menaruh perhatian pada sikap
intoleransi yang berlaku secara internal dalam kaitannya dengan gerakan Ahmadiyah
dalam Islam. Betapapun mereka cenderung menganggap hal tersbut sebagai bagian
dari diskursus internal kaum Muslim di tanah air, namun mereka juga sangat
menyesalkan sikap beberapa tokoh agama yang terlihat memberikan justifikasi bagi
pelakuan yang kurang baik terhadap mereka seperti pengrusakan masjid Ahmadiyah
dan pengusiran mereka dari rumah-rumah yang mereka miliki. Secara implisit
terdapat kekhawatiran di antara para aktifis dan pemuka agama non-Muslim itu
14
Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro. 15
Lihat Jan S. Aritonang, ”Dinamika Perkembangan Kristen [Protestan] di
Indonesiadalam Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia: Tantangan dan Peluang
Ditinjau dari Perspektif Historis,” makalah disampaikan pada acara seminar “Studi
Agama-agama: Belajar Bersama Kelompok Antar-Iman,” Manado, Sulawesi Utara
pada 19-22 November 2007.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 71
bahwa kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah bisa saja terjadi pada kelompok
mereka.
Oleh karena itu, beberapa aktifis itu seperti yang diungkap Romo Benny
misalnya dengan tegas menyerukan pentingnya peran pemerintah untuk turun tangan
menyelesaikan masalah ini secara adil dan bijaksana. Bagi para aktifis itu, apapun
dalih yang dikeluarkan oleh para Islamis ini dalam masalah yang berkenaan dengan
Ahmadiyah, kelompok yag terakhir ini tetap berhak mendapatkan jaminan
keselamatan dari negara karena mereka adalah juga warganegara yang sah. Oleh
karena itu mereka berhak untuk hidup di tanah air.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa betapapun Islamisme terlihat menguat
namun mereka tetap berharap bahwa hal ini tidak akan merusak hubungan antar
agama yang selama ini secara relatif terbangun dengan baik.
PLURALISME DAN DIALOG UMAT BERAGAMA
Sebab sebagai fakta deskriptif, pluralisme merupakan fakta alamiah sebagaimana
fakta-fakta lain seperti keragaman budaya, etnis atau jenis kelamin yang berbeda.
Agaknya dalam batas-batas tertentu, semua orang berakal paling tidak mengakui hak
tersebut, dan oleh karena kita tidak perlu mengutip ajaran agama untuk
menjustifikasi keragaman itu.
Karena itu pembicaraan tentang pluralisme agama tidak semata-mata sebagai
fakta sosiologis (social pluralism) sebagaimana pembicaraan tentang perbedaan
kelamin atau etnis. Terdapat perbedaan yang cukup kental bagaimana keragamanan
budaya/etnis dan keragamaan agama masing-masing dievaluasi. Sebab dalam
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 72
masyarakat modern sering kali muncul konsensus yang sopan tapi superfisial yang
menyatakan bahwa pluralisme/keragaman budaya adalah sesuatu yang asasi dan
memperkaya kehidupan manusia. Karena itu, dalam konteks ini, sikap dan tendensi
menganggap satu budaya atau etnis satu jauh ‘lebih baik’ dari yang lain bisa
dianggap sebagai rasis, problematis dan inappropriate dalam masyarakat yang begitu
majemuk dewasa ini.
Diskursus pluralisme agama jauh lebih kompleks dari penerimaan tentang
adanya perbedaan budaya sebagaimana yang dijelaskan di atas. Sebab, dalam
kenyataannya, umat beragama membangun dengan sengaja suatu keyakinan
chauvinistik bahwa agama mereka-lah yang lebih superior atau lebih baik dari yang
lain, dan keyakinan ini dianggap sebagai komponen penting dari komitmen
keberagamaan yang harus terus dijaga. Pada titik tertentu, ada kalanya ajaran agama
juga mengajarkan pandangan yang kurang bersahabat (hostility) dengan menyatakan
bahwa agama yang lain bukan hanya berbeda (different) tetapi juga menyesatkan
(demonic) atau, paling tidak, jauh lebih inferior.
Problem etis sebagaimana di atas, tentu bukan satu-satunya wajah agama,
sebab pada waktu yang bersamaan, agama juga berbicara tentang kebaikan (goodness
atau khayr) dan kebenaran (truth atau al-haq). Di sini ada perbedaan antara kebaikan
dan kebenaran itu. Dalam diskursus moral pluralism, teori kebaikan (goodness)
identik dengan perbincangan tentang kebahagiaan (seperti J.S. Mills), keindahan
(Schumacher) dan kebebasan (Isaiah Berlin) yang semuanya menjadi tujuan hidup
manusia.
Dalam tataran ini, apa yang dianggap baik, membahagiakan, indah atau bebas
tentu satu sama lain berbeda secara fondasional (foundational pluralism)
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 73
sebagaimana menurut Judith Jarvis Thomson dan G.E. Moore.16
Sebagai contoh,
menolong orang lain adalah ‘kebaikan’ dan ‘tepat waktu’ adalah juga ‘kebaikan’.
Kedua bentuk ‘kebaikan’ itu berbeda satu sama lain dan karena itu, kebaikan dalam
teori ini bersifat plural dan sederhana. Ini dalam bahasa agama dikenal istilah
fastabiq al-khayrat (berlomba dalam kebaikan-kebaikan) karena pada dasarnya ia
memiliki sifat yang plural, sederhana dan unanalyzable.
Dalam pembicaraan tentang pluralisme agama, betapapun kita tentu
membicarakan konsep kebaikan, namun secara prinsipal kita sebenarnya telah
bergeser kepada wacana tentang kebenaran (truth) dan inilah simpul yang terpenting
yang mungkin bisa ‘membelah agama. Sebab bagi para penganut agama, apa yang
diyakini sebagai kebenaran adalah tunggal dan absolut. Karena itu, pembicaraan
tentang pluralisme agama dalam konteks sejarah agama menjadi ahistoris dan
sebagai konsekuensi realitas pluralisme secara normatif adalah contradictio in
terminus dengan kebenaran itu sendiri. Yang ada hanyalah pluralisme kebaikan dan
bukan kebenaran. Dan kalaupun postulat kedua harus diterima maka ia
mengandaikan adanya satu ‘kebenaran hakiki’ di antara ‘kebenaran-kebenaran
palsu’. Pada titik ini, mengutip Decherf (2001), “yang sulit bagi mereka (para
agamawan) adalah menerima kenyataan bahwa ada keyakinan berbeda yang
dianggap menyimpang (supposedly erronous beliefs) dari kebenaran hakiki tadi”.
Karena itu, tak ada satupun agama dalam sejarahnya yang benar-benar mau
berbagi kebenaran dengan umat yang lain. Maka menjadi logis jika perjalanan
16
Judith Jarvis Thomson, “The Right and the Good,” Journal of Philosophy 94
(1997): hal. 273-98; dan G.E. Moore, Principia Ethica. Cambridge: Cambridge
University Press, 1983.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 74
sejarah agama-agama memang penuh dengan pertumpahan darah, kekerasan dan
hegemoni atas nama kebenaran tadi. Dan kalaupun ada rambu-rambu ‘toleransi’
dalam ajaran agama, maka ia biasanya cenderung normatif. Maksudnya, bahwa
rambu-rambu itu memang berkembang secara ideal tetapi dalam praktek sejarahnya
mungkin tidak (atau sedikit sekali) terjadi. Sebab secara teoritis, konsep toleransi
agama berada tepat di tengah antara indifferensi (keacuhan) dan ignoransi
(ketidakpedulian).
Dan seandainya sebuah institusi agama mengakui eksistensi yang lain, biasanya
hal itu didasarkan pada kepentingan sosiologis (dan politis) institusi yang
bersangkutan dan bersifat kondisional atau ad-hoc (yakni hanya berlaku untuk
komunitas itu dan bisa jadi sama sekali tidak berlaku untuk komunitas yang lain
dalam kelompok agama yang sama apalagi untuk bisa diterapkan bagi kelompok
agama lain).
Pada titik ini, hampir bisa dipastikan bahwa penghargaan terhadap pluralisme
secara otentik justru hanya bisa dilakukan dalam kondisi dimana sebuah nilai umum
(yang mungkin saja diderivasi dari segala unsur termasuk agama sendiri) dan
dijadikan sebagai kreateria bagi hubungan itu. Sebab dalam sebuah masyarakat atau
negara yang menjadikan agama sebagai basis penilai utama, maka secara teoritis,
pluralisme agama mungkin menjadi mustahil. Pluralisme yang ‘sehat’ bisa
berkembang dalam sebuah sistem sosial dimana agama tidak diperlakukan sebagai
entitas terpisah atau distinct17
dimana semua nilai baik agama, budaya, etnis dan
sebagainya diperlakukan seimbang dan proporsional.
17
David W Machacek, “The Problem of Pluralism,” Sociology of Religion 64,
no. 2 (2003): hal. 145-161.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 75
Inilah yang disebut dengan value pluralism dalam teori politik liberal
kontemporer sebagaimana yang menjadi perhatian John Rawls atau William Galston.
Secara sederhana dapat dijelaskan di sini bahwa value pluralism melihat bahwa
setiap nilai baik dari moralitas, agama maupun filsafat adalah sangat absolut
(absolute depth). Yang harus ditemukan dalam pada ini adalah comprehensive
doctrines sebagai modus vivendi bagi hubungan nilai-nilai itu.18
Bagaimana sejatinya pluralisme di Indonesia? Menarik untuk didiskusikan
bahwa secara normatif memang pengakuan terhadap pluralisme agama bisa
ditemukan di dalam UUD 1945 dimana negara berkewajiban memberi jaminan bagi
setiap agama untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Namun dalam prakteknya, tentu ada kalanya politik pengakuan pluralisme itu
kehilangan pengaruhnya ketika kelompok mayoritas terus menerus berusaha untuk
menjadikan nilai-nilai mereka sebagai nilai yang diterapkan dalam kehidupan
bernegara. Ini akan terlihat pada kasus penerapan peraturan daerah yang berkenaan
dengan syariah Islam yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Dalam kaitan ini
adalah penting pula untuk menegaskan bahwa regulasi yang hegemonik seperti itu
tentu saja bukan saja mengancam pluralisme agama, tetapi pada prinsipnya memiliki
‘potensi’ mengancam kebebasan beragama.
Sikap Islamisme dalam hal yang berkenaan dengan pluralisme agama terlihat
pada fatwa kontroversial dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai
Sekularisasi, Pluralisme dan Liberalisme. Dalam fatwanya, MUI mendefinisikan
pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah
18
Robert B. Talisse, “Liberalism, Pluralism, and Political Justification,” The
Harvard Review of Philosophy XIII, no. 2 (2005): hal. 57-72.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 76
sama dan karena itu kebenaran setiap agama adalah relatif. Karana itu, setiap
pemeluk agama tak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar, sedangkan
agama lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua agama mengajarkan
akan masuk dan hidup berdampingan di syorga. Paham pluralisme agama yang
demikian itu dinilai oleh MUI bertentangan dengan ajaran Islam, maka dari itu haram
hukumnya paham pluralisme berkembang di Indonesia. MUI hanya membolehkan
pluralitas sejauh itu menyangkut keragaman masyarakat secara sosiologis bukan atas
dasar keragaman iman.
Apakah memang pluralisme sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran
Islam sebagaimana yang diungkap dalam fatwa MUI itu? Penting ditegaskan bahwa
semangat al-Qur’an tentang pluralisme memang mengalami pasang-surut sejalan
dengan perkembangan sejarah. Adalah penting untuk dilohat bahwa memori kolektif
di kalangan umat Islam yang selanjutnya diperkuat pengalaman sejarah yang pahit
dalam hubungan mereka dengan dunia Barat, membuat seolah-olah doktrin Islam
menjadi anti-pluralisme. Dari sinilah tumbuh persepsi bahwa agama Islam pada
dasarnya adalah tidak toleran dan anti pluralisme, yang selanjutnya melahirkan
konflik keagamaan sebagaimana yang diungkap oleh Huntington.19
PANDANGAN KELOMPOK NON-MUSLIM TENTANG PLURALISME
Kembali dalam konteks Indonesia, gerakan anti-pluralisme juga menjadi bagian dari
terpenting dari menguatnya Islamisme, dan oleh karena itu pandangan dan tanggapan
19
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization: Remaking of the World
Order (New York: Simon and Schister, 1997), hal. 210-212.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 77
dari para aktifis kelompok non Muslim juga mengemuka. Bikkhu Saddhaviro sebagai
missal melihat bahwa meredupnya penghargaan terhadap pluralisme beragama ini
juga tak lepas dari ketidakmampuan Negara untuk memainkan peran yang baik di
antara kelompok-kelompok agama yang ada. Sebagaimana yang diungkapkan:
“Seharusnya negara menyikapi dengan bijak dan harus terus menyadarkan
warganya akan pluralisme dan segala macam kemajemukan yang ada dalam
NKRI ini. Tapi ya negara kok tidak bijak dan bajik sehingga saya prihatin
terhadap apa yang menimpa saudara-saudara kita Jamaah Ahmadiyah itu,
kasihan mereka. Negara kok tidak melindungi.”20
Oleh karena itu, menurut Bhikku Saddhaviro, umat beragama harus secara
proaktif untuk memperkuat solidaritas berdasarkan semangat kemanusiaan dengan
secara bersama sekecil apapun mesti memulai mewujudkan ide-ide itu dengan
langkah konkret, misalnya jika ada bencana seperti saat ini, sekecil apapun
membantu entah tanpa melihat asal usul agama apakah itu Islam, Kristen, Hindu atau
Buddhis. Ini ungkapnya sangat penting ketimbang memperdebatkan secara doktrinal
atau konseptual apakah agama tertentu memiliki atau tidak pandangan-pandangan
yang berkenaan dengan pluralisme. Sebab, sesekecil bekerjasama antar pemeluk
agama yang berbeda untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial,
pendidikan, ekonomi dan hal-hal yang konkret lainnya tentu memiliki nilai yang jauh
lebih penting dari simbol-simbol agama. Sebagaimana yang dikatanya:
“Jangan sampai kita kerdil atau terhalang dalam berbuat kebaikan karena sekat-
sekat agama tertentu. Kita sudah tidak membutuhkan wacana atau seminar lagi,
melainkan kita butuh wujud konkret berupa gerakan atau aksi tanpa melihat
agama orang yang kita bantu. Kalau kemudian kita memperhitungkan agama
ini, orang itu agamanya itu, maka hanya akan merugikan diri kita sendiri
karena kesempatan untuk berbuat kebajikan malah terhalang karena sempit dan
kerdilnya pemikiran kita.”21
20
Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro. 21
Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro.
Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 78
Kekhawatiran tentang menguatnya anti-pluralisme juga tercermin dari
pandangan yang disampaikan oleh Stanley.22
Menurutnya, ada beberapa hal yang
bias dilakukan bersama agar penghargaan terhadap pluralisme tetap berkembang di
tanah air, yakni pertama, melibatkan seluruh komponen bangsa (atau suku, agama,
ras dan antar-golongan yang bias disebut dengan SARA dalam pengelolaan negara
secara optimal, mulai dari pembentukan ideologi, dasar dan undang-undang negara
(dan ini sudah terjadi ketika pembentukan negara Indonesia oleh para pendiri bangsa
(dengan adanya Pancasila dan UUD ’45), serta peratura-peraturan negara maupun
daerah. Kedua, membagi-bagikan berkat yakni kue-kue pembangunan yang dimiliki
negara kepada seluruh rakyat Indonesia secara adil dan berprikemanusiaan tanpa
membeda-bedakan latar-belakang SARA itu sendiri.
Jika hal itu dapat dilakukan secara optimal, maka menurut Stanley, hal itu tentu
dapat membangkitkan dan mempertahankan semangat nasionalisme yang kuat bagi
seluruh rakyat Indonesia, dan dengan itu persatuan kuat, bangsa kuat, kemakmuran
yang adil dan beradab tercapai sehingga bibit-bibit segregasi atau keinginan untuk
menjadikan nilai kelompok tertentu sebagai kriteria utama dalam kehiupan bernegara
akan sedikit demi sedikit dihilangkan. Dalam konteks ini, Stanley melihat bahwa
salah satu alasan kenapa kecenderungan untuk menegaskan sebuah simbol agama
dalam kehidupan bersama ini lebih karena banyak kebijakan yang kerap tidak
didasarkan pada pemenuhan kebutuhan bersama tetapi lebih sebagai keinginan untuk
mendapatkan legitimasi dari satu kelompok tertentu saja.
22
Wawancara dengan Stanley Rambitan.
Bab IV
ISLAMISME DAN RESPON KELOMPOK NON MUSLIM:
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
MENCARI FORMAT IDEAL HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
Sebagai mana yang telah dijelaskan pada Bab II bahwa semenjak berdirinya negara
ini kontestasi antara negara dengan agama sebenarnya belum dapat dikatakan selesai.
Secara teoritis terdapat persoalan yang cukup mendasar dalam UUD 1945 untuk
dijadikan landasan yang kuat bagi kebebasan beragama dan bagi hubungan ideal
yang dibangun menjembatani kepentingan negara (pemerintah) dan kepentingan
agama dalam kehidupan berbangsa. Hal ini penting ditekankan sebab dalam konteks
pembicaraan tentang kebebasan agama tidak bisa dilepaskan dari peran negara.
Di sini, kebebasan beragama bukan melulu sebagai natural right milik setiap
individu tapi suka atau tidak-suka juga merupakan given right yang diberikan oleh
negara sebagai otoritas politik. Maksudnya, walau memang secara teoritis, negara
adalah pemegang amanat rakyat dan berjuang untuk kepentingan dan keteraturan
bersama (order) sebagai bentuk kontrak sosial tapi ini juga, sebagai konsekuensinya,
mengandaikan negara berhak melakukan tindakan-tindakan dalam menjaga
keteraturan tadi yang pada gilirannya secara prinsipal mungkin bisa membatasi hak-
hak masyarakat itu sendiri termasuk di dalamnya yang berkenaan dengan agama.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 83
Karena itu, ada beberapa hal yang penting didiskusikan. Pertama, bagaimana
dan sejauhmana hukum internasional menjamin kebebasan beragama secara
normatif; yang kedua, bagaimana potret umum berbagai konstitusi negara ketika
membicarakan kebebasan agama, dan ketiga, sejauhmana kebebasan itu secara
praktis dipengaruhi oleh kondisi seperti konsep ranah publik (public sphere) dan
eksistensi kelompok mayoritas yang dominan.
Secara umum dalam sejarahnya dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip
kebebasan beragama (freedom of religion atau liberty of religion) berakar pada
konsep ‘kebebasan berpikir dan berkesadaran’ (liberty of thought and liberty of
conscience); sebuah frase yang muncul pertama kali dalam Perjanjian Westphalia
tahun 1648 yang menyudahi peperangan panjang atas nama agama di Eropa.1 Ide ini
terus berkembang dan mendapatkan kesejatian pada abad keduapuluh seiring dengan
munculnya negara-negara merdeka baru (new sovereign nations) sering dengan
konsep negara-bangsa (nation state). Dan pada gilirannya, kebebasaan beragama
menjadi identik sebagai hak asasi (natural) dan suci (divine) secara bersamaan.2
Di sini, pengakuan legal atas kebebasan beragama, baik secara prinsipal
maupun praksis, muncul sebagai bagian langsung maupun tidak langsung dari
ratifikasi perjanjian-perjanjian antar-negara. Studi yang dilakukan oleh Bates yang
1Penjelasan tentang sejarah diskursus kebebasan agama sebagai diktum
internasional dapat ditemui dalam laporan Arcot Krishnaswami tahun 1960, “Study
of Discrimination in the Matter of Religious Rights and Practice,” U.N.
Doc.E/CN.4/Sub.2 /200/Rev.1, U.N. Sales No. 6.XIV.2. Karya ini adalah salah-satu
bahan terpenting tentang kebebasan agama yang menjadi dokumen resmi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Laporan ini dicetak ulang dalam Tad Stahnke
dan J. Paul Martin, Religion and Human Rights: Basic Documents (New York:
Center for the Study of Human Rights Columbia University, 1998), hal. 2-54. 2James E. Wood, JR., “Religious Rights and a Democratic State,” Journal of
Church and State 46 (Autumn 2004): hal. 739-765.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 84
dilakukan lebih dari lima puluh tahun yang lalu menunjukkan bahwa semenjak pada
abad kesembilanbelas, beberapa negara berdaulat memasukkan klausula-klausula
tentang hak ekspresi keberagamaan (right of religious expression) ke dalam
perjanjian yang dibuat dengan negara-negara lain, baik yang bertradisi agama yang
sama (atau malah berbeda) dengan mereka.3
Sebagai contoh, Perjanjian Berlin (Treaty of Berlin) tahun 1878 antara Rusia
dengan Turki, yang dianggap sebagai ekspresi terpenting dalam perjanjian
international menyangkut kebebasan agama (the most important single expression of
international agreement for religious liberty), memasukkan klausula tentang hak
setara dan penghargaan bagi kelompok agama minoritas di kedua negara masing-
masing. Hal yang serupa juga termaktub dalam Pakta Umum tentang Kepemilikan
Amerika (General Act relating American Possessions) dan Perjanjian-Perjanjian
Minor (Minorities Treaties) tahun 1919-1923 setelah Perang Dunia I.4
Lebih jauh, argumen normatif tentang kebebasan agama secara lebih rinci tentu
ditemukan dalam dokumen-dokumen internasional seperti Deklarasi Universal PBB
tentang Hak Asasi Manusia (UN Declaration of Human Rights atau UNDHR) tahun
1948 yang diperkuat dengan beberapa instrumen internasional lain seperti UN
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1966 dan
Principles of the Helsinsi Final Act tahun 1975 yang dikuti dengan UN Declaration
on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on
3Lebih jauh lihat M. Searle Bates, Religious Liberty: An Inquiry (New York:
Harper and Brothers, 1945), hal. 476. 4Lihat Richard B. Lillich dan Hurst Hannum, International Human Rights
(Buffalo, New York: William S. Hein, 1995), hal. 324.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 85
Religion or Belief [untuk selanjutnya disebut Deklarasi Anti-Diskriminasi] tahun
1981.5
Inilah tonggak terpenting dalam hukum internasional semenjak Perang Dunia
II mengingat hampir semua negara di dunia menandatangani Deklarasi Universal
PBB itu dan lebih khusus ada 38 negara telah meratifikasi ICCPR, termasuk pula
beberapa negara yang terkenal sangat kaku (highly restrictive) sekalipun. Karena itu,
sebagaimana diungkap Padelford, “jaminan tentang kebebasan beragama merupakan
postulat yang diterima secara umum dalam hukum international dimana setiap negara
memiliki kewajiban untuk mencantumkan kebebasan beragama dalam wilayah
jurisdiksi hukum masing-masing.”6
Dalam dokumen dan instrumen internasional itu, sangat jelas dinyatakan bahwa
kebebasan agama adalah hak non-derogable (yakni hak yang tidak bisa
ditangguhkan) sebagaimana hak hidup atau hak mempertahankan diri. Kebebasan
agama dalam arti ‘bebas untuk meyakini dan memeluk satu agama tertentu’,
termasuk pindah dari satu agama ke yang lain, merupakan forum internum
(kebebasan internal) yang absolut dan tidak dapat dibatasi oleh apa dan apapun.
Lalu agama dan kepercayaan apa dan bagaimana yang diakui dan mendapat
perlindungan secara universal? Adalah penting diperhatikan bahwa tidak ada definisi
yang jelas dan mengikat tentang apa yang dimaksud dengan ‘agama’ (dan
5Paling tidak ada 39 dokumen internasional dalam bentuk Declarations, Bills,
Treaties, Covenants, Protocols, Agreements dan lain-lain yang berkenaan tentang
hak-hak atau kebebesan beragama sebagaimana ditemukan dalam Stahnke dan
Martin, Religion and Human Rights: Basic Documents. Diskusi lebih jauh untuk hal
ini lihat Natan Lerner, Religion, Beliefs and International Human Rights (Maryknoll,
New York: Orbis, 2000). 6Norman J. Padelford, International Guarantees of Religious Liberty (New
York: International Missionary Council, 1942) sebagaimana dikutip oleh Wood, JR.,
“Religious Rights,” hal. 740.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 86
‘kepercayaan’) dalam dokumen-dokumen itu karena sampai sekarangpun, tak ada
satu definisi-pun yang memuaskan semua pihak dalam hukum internasional (dan
juga dokumen-dokumen hak asasi manusia).7 Yang menjadi travaux préparatoires
hanya sepakat untuk memberikan perlindungan terhadap apapun model ekspresi
agama dan kepercayaan baik yang bersifat theistik, non-theistik maupun atheistik
(the expression ‘religion or belief’ shall include theistic, non-theistic and atheistic
beliefs). Tidak ada penjelasan tentang elemen-elemen agama maupun penyebutan
spesifikasi varian agama (seperti Islam, Kristen dsb).8
Apa yang dilindungi oleh hukum internasional tadi adalah ‘hak’ seseorang atau
kelompok untuk menganut dan pada saat yang sama juga ‘hak’ seseorang untuk tidak
menganut suatu agama dan kepercayaan; dan bukan pada apa dan bagaimana agama
dan kepercayaan diyakini dan dilaksanakan. Karena itu, sebagaimana diungkap
Gunn, cakupan kategori ini memang sangat umum. Apa yang menjadi concern di sini
adalah bukan agama atau kepercayaan apa yang boleh bebas dan dilindungi tapi
yang lebih substansial adalah bagaimana sebuah sistem kebenaran, kepercayaan, inti
7Lihat sebagai contoh review tentang hal ini dalam T. Jeremy Gunn, “The
Complexity of Religion and the Definition of ‘Religion’ in International Law,”
Harvard Human Right Journal 16 (2003): hal. 189-215. 8Dalam komentar ICCPR, berdasarkan kategori itu disepakati bahwa apa yang
dipahami sebagai agama mencakup adalah kepercayaan yang monotheistik,
politheistik, agnostik, free thought and animistik. Masuk pula dalam kategori ini
rasisme, Nazisme dan apartheid, walaupun pada perkembangannya tiga model
‘agama semu’ ini dikeluarkan dari penjelasan itu. Lihat Donna J. Sullivan,
“Advancing the Freedom of Religion or Belief Through the UN Declaration on the
Elimination of Religious Intolerance and Discrimination,” The American Journal of
International Law 82 (1988): hal. 487-520.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 87
dari identitas lingustik dan bahasa, serta bagian integral dari kehidupan politik
manusia ini, mendapat pengakuan dan perlindungan secara universal.9
Namun, harus dicermati bahwa hak untuk memeluk agama atau keyakinan tadi
tidak secara sejajar atau secara otomatis melahirkan hak untuk memanifestasikan (to
manifest) atau menyiarkan (to promote) agama itu secara publik. Inilah yang ‘sedikit
membedakan’ antara UNDHR dan ICCPR. Dalam ICCPR, betapapun manifestasi
agama merupakan bagian integral (de facto) dari hak-hak dasar manusia, tapi ia
adalah hak forum externum (kebebasan eksternal) yakni hak kondisional yang bisa
(dan mungkin) menjadi subyek pembatasan karena secara intrinsik menyangkut pula
hak-hak asasi orang lain.
Secara ekstrem bisa dicontohkan bahwa manifestasi keberagamaan satu
kelompok tertentu, seperti pengorbanan manusia (yang terjadi pada
agama/kepercayaan ‘primitif’) atau praktek ‘sati’ (yakni seorang istri terjun ke dalam
api yang membakar jasad suaminya yang meninggal dalam tradisi India kuno),
memang harus dilarang karena secara langsung terjadi pertentangan antara
manifestasi keagamaan dengan kewajiban negara untuk menyelamatkan dan
melindungi kehidupan dan hak hidup yang merupakan hak asasi warga yang lain.
Dan menurut Artikel 18 (3) ICCPR sebagai misal, pembatasan menjadi mungkin jika
(1) berdasarkan hukum; (2) untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban,
kesehatan, atau moralitas atau hak-hak fundamental dan kebebasan yang lain (to
protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and
9T. Jeremy Gunn, “Majorities, Minorities and the Rights of Religion and
Belief,” Helsinki Monitor 3 (1998): h. 38-44.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 88
freedoms of others); serta (3) hal itu dianggap penting untuk mencapai tujuan yang
dimaksud.10
Di sini jelas bahwa hanya negara sebagai institusi yang berhak untuk melakukan
pembatasan itu karena ia adalah pemegang otoritas politik dan hukum yang
mengatasi masyarakat. Hanya negara-lah yang berhak melakukan regulasi, dan
bukan kelompok dominan (sosial maupun agama) yang ada dalam negara itu. Dan
penting ditegaskan bahwa validitas regulasi negara atas nama ketertiban umum
(public order) atau moralitas, paling tidak, mensyaratkan antara lain bahwa (1)
regulasi itu diatur dalam hukum yang tidak diskriminatif; (2) ia berlaku untuk semua
kelompok dan individu secara ekual; (3) proporsional; dan (4) terdapat hubungan
yang langsung antara kebutuhan masyarakat banyak dengan kepercayaan yang
dibatasi tadi.11
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah negara-negara yang
menandatangani atau meratifikasi piagam-piagam internasional itu memang sejatinya
memperjuangkan kebebasan agama yang diamanatkan dalam dokumen-dokumen
tadi? Inilah hal cukup krusial dan pelik yang merupakan salah-satu indikator
terpenting yang mengukur kemampuan sebuah negara dalam memberikan pelayanan
dan perlindungan terbaik bagi warganya. Sebab, ketika negara gagal melindungi hak
ini, maka pada hakekatnya ia ‘gagal’ menjalankan fungsi yang diamanatkan dalam
kontrak sosial. Namun harus disaksamai pula bahwa negara adalah entitas politik
yang penuh kepentingan dan tawar menawar dengan kelompok sosial yang ada, dan
10
Karen Musalo, “Claims for Protection Based on Religion or Belief,
“International Journal of Refugee Law 16, no. 2 (2004): h. 165-226. 11
Lihat lebih jauh Martin Scheinin, “Freedom of Thought, Conscience and
Religion,” Studia Theologia 54 (2000): h. 5-18; dan juga Lerner, Religion, Beliefs
and International Human Rights, h. 131.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 89
ini merupakan karakter fundamental (asal-usul) negara sebagaimana diungkapkan
oleh Joel Migdal.
Dalam perspektif ini, kapasitas institusional dasar negara adalah untuk
melakukan penetrasi dan regulasi terhadap masyarakat melalui aturan-aturan dan
sumber daya yang diciptakan secara cermat. Dengan model dominasi inilah,
utamanya menggunakan mesin birokrasi (dan dalam beberapa kasus juga dengan
bantuan militer) yang sistematis, sebuah negara bisa dinyatakan sebagai kuat (strong
state) atau lemah (weak state). Semakin besar dominasi negara terhadap kelompok
sosial yang ada dan semakin kecil konsesi yang diberikan kepada mereka, semakin
kuat negara itu; sebaliknya semakin kecil dominasi yang dilakukan negara dan
semakin besar konsesi yang diberikan kepada kelompok itu, semakin lemah pula
negara.12
Harus diakui bahwa argumen tentang strong dan weak state ini tentu kurang
memadai mengingat bahwa negara yang kuat tidak secara otomatis ‘berhasil’ dalam
mengembangkan sayap otoritas politiknya karena model kekuasaan yang dimiliki
negara dan kelompok sosial itu sendiri tidak homogen dan sangat dinamis sesuai
dengan konstelasi perubahan politik dan kultur. Pada titik ini, kompetisi kelompok-
kelompok kepentingan (interest groups), baik dalam pemerintahan sendiri (seperti
politisi dari berbagai partai) maupun kelompok sosial (civil society) mengandaikan
adanya negosiasi, kompromi, konsesi dan bargaining yang terus menerus.13
Karena
itu, distribusi kekuasaan yang terjadi senantiasa berubah atau berbeda satu sama lain,
12
Lihat lebih jauh Joel S. Migdal, Strong Societies and Weak States (New
Jersey: Princeton University Press, 1988). 13
Michael Mann, The Sources of Social Power: The Rise of Classes and
Nation-States (Cambridge: Cambridge University Press. 1993).
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 90
sehingga pada gilirannya menghasilkan berbagai bentuk tata pemerintahan
(statehood) yakni: (a) pluralis, (b) elitis dan (c) korporatis, serta bentuk regim yang
secara tipologis bisa dibagi paling tidak menjadi: (1) demokratis liberal, (2) sosialis
atau komunis (dan paska komunisme), dan (3) regim otoriter, sebagaimana yang
diungkap oleh Alan Ball.14
Penjelasan sederhana tentang model dan sistem pemerintahan di atas mungkin
terlalu arbitrer dan subyektif. Maksudnya, tidak berarti bahwa negara pluralis dengan
demokrasi liberal (a+1) merupakan satu-satunya model pemerintahan terbaik bagi
masyarakat dalam pelayanan keamanan, ketertiban sosial, kebebasan dan
kemakmuran ekonomi. Hanya saja dalam takaran tertentu adalah mudah
menyimpulkan bahwa negara dengan model itu mungkin akan jauh lebih baik
daripada negara korporatis dengan regim otoriter (c+3). Dan dalam kaitan dengan
kebebasan beragama, beberapa studi menyimpulkan adanya hubungan yang kuat
antara bentuk regim negara dengan eksistensi kebebasan itu di satu sisi, dan antara
kebebasan beragama dengan munculnya berbagai regulasi yang berkenaan dengan
agama di sisi lain. Di sini, seperti diungkap Anthony Gill, dapat dikatakan bahwa
’semakin otoriter sebuah regim, semakin kecil kebebasan agama di negara itu;
semakin kecil kebebasan beragama dalam negara itu, semakin banyak pula regulasi
yang dikeluarkan’.15
Kembali ke masalah konstitusi negara berkenaan dengan kebebasan beragama.
Jika kita mencermati model dan sistem kenegaraan sebagaimana dijelaskan secara
14
Alan R. Ball, Modern Politics and Government (London: Macmillan, 1994),
h. 31-36. 15
Anthony Gill, “The Political Origins of Religious Liberty: A Theoretical
Outline,” Interdisciplinary Journal of Research on Religion 1 (2005): h. 3-35.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 91
sederhana di atas, maka dalam prakteknya, betapapun negara-negara itu (baik negara
yang bersifat demokratis atau otoriter; maupun pluralis atau korporatis sekalipun)
mungkin menyetujui ide umum tentang kebebasan beragama, mereka dalam takaran
tertentu juga melakukan proses redefinisi, modifikasi atau penyaringan (filtering)
untuk praktek kebebasan beragama di wilayah konstitusi masing-masing. Hal ini
akan terlihat ketika kita nanti mencermati artikel-artikel/pasal-pasal yang ada dalam
konstitusi negara-negara itu.
Memang harus dicatat bahwa ada beberapa konstitusi yang ditulis jauh sebelum
dokumen-dokumen internasional itu disahkan dan ditandatangani, sehingga masuk
akal jika konstitusi-konstitusi itu mungkin agak jauh dari ‘kesan’ melindungi
kebebasan agama karena mungkin diskursus ini bukan/belum menjadi perhatian
utama. Tetapi banyak pula konstitusi yang ditulis (atau direvisi) setelah ratifikasi
dokumen internasional itu namun tetap saja ide kebebasan beragama ‘diperlakukan’
dengan sangat hati-hati sesuai dengan semangat untuk menjaga kepentingan negara
(interest of the state) atau ada hal lain yang dianggap jauh lebih besar dan penting.
Jadi agak jelas kiranya bahwa ‘ruang pengecualian’ sebagaimana diatur dalam
dokumen-dokumen tadi merupakan loophole yang cukup meyakinkan bagi sebuah
negara atau regim untuk memberhangus atau paling tidak membatasi praktek
kebebasan agama dengan alasan misalnya untuk menjaga kohesi dan stabilitas sosial.
Pada gilirannya, sebagaimana dikemukakan oleh Nikholas Gvosdev, dalam
penulisan konstitusi masing-masing negara itu akan terlihat kepentingan politik
dimana dalam konstitusi yang sama sebagai misal ditemukan artikel-artikel yang di
satu sisi memberikan jaminan kebebasan, tapi di sisi lain juga memberikan prasyarat
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 92
baru yang pada ujungnya membatasi kebebasan itu sendiri.16
Di sini akan terlihat
adanya korelasi antara interest of the state dengan kebebasan beragama yang dijamin
konstitusi sebagaimana tergambar dalam model-model di bawah ini:
Kebebasan Beragama dan Kepentingan Negara: Sejajar tapi Tidak Sama
Model pertama adalah meletakkan artikel-artikel berkenaan tentang interests of
the state dengan artikel mengenai kebebasan agama secara primus interpares (sejajar
tapi yang satu lebih tinggi dari yang lain). Sebagai misal dapat ditemukan dalam
Konstitusi Vietnam dimana di satu sisi negara menjamin kebebasan beragama
(Artikel 70) tetapi pada saat yang sama menyatakan bahwa ‘setiap orang tidak boleh
menyalahgunakan keyakinan dan agama yang bertentangan dengan hukum dan
kebijakan-kebijakan negara’ (no one can misuse belief and religions to contravene
the law and the State policies).
Hal yang serupa juga didapati dalam Konstitusi Cina (khususnya pada Bab II).
Setelah menguraikan hak-hak yang dilindungi oleh negara, Artikel 51 pada
Konstitusi itu juga menyebutkan bahwa ‘praktek kebebasan dan hak-hak
warganegara Cina tidak boleh bertentangan dengan kepentingan negara, masyarakat
dan kelompok, dan tidak boleh berada di atas kebebasan hukum dan hak-hak
warganegara yang lain’ (the exercise by citizens of the Poeple’s Republic of China of
their freedom and rights may not infringe upon the interests of the state, of society,
and of the collective, or upon the lawful freedoms and rights of other citizens). Lebih
16
Nikolas K. Gvosdev, “Constitutional Doublethink, Managed Pluralism and
Freedom of Religion,” Religion, State and Society 29, 2 (2001): h. 81-90.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 93
jauh dikatakan dalam Article 36 bahwa, ‘tak ada seorangpun yang boleh
mempergunakan agama untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ... berbenturan
dengan sistem pendidikan negara’ (no one may make use of religion to engage in
activities that … interfere with the educational system of the state). Apa sejatinya
yang dimaksud dengan sistem pendidikan negara itu? Dalam Artikel 19 disebutkan
bahwa sistem pendidikan negara berarti pendidikan sosialisme yang mengacu pada
Marxisme–Leninisme dan berdasarkan konsep atheis materialistik universal. Ini
secara implisit menunjukkan bahwa agama, yang percaya dengan eksistensi Tuhan
dan dunia spiritual, dianggap akan mengganggu sistem pendidikan negara yang
berorientasi pada diseminasi pandangan materialistik kepada anak didik.17
Contoh lain yang bisa disebutkan adalah Konstitusi Venezuela (Artikel 66) yang
menyatakan bahwa ‘praktek ibadah keagamaan harus berada di bawah pengawasan
badan penyelenggara negara tertinggi’ (worship shall be subject to the supreme
inspection of the National Executive) dimana ‘tidak seorangpun yang boleh
menggunakan kepercayaan atau praktek keagamaan untuk menghindari pelaksanaan
hukum’ (no one may invoke religious beliefs or disciplines in order to avoid
complying with the laws). Atau juga ditemukan dalam Artikel 24 (2) Konstitusi
Turki yang menyebutkan bahwa ‘ibadah, layanan dan acara-acara keagamaan harus
dilakukan secara bebas’ (acts of worship, religious services and ceremonies shall be
conducted freely) dengan catatan (sebagaimana dalam Artikel 13) ‘tidak melanggar
17
Lebih jauh tentang kebebasan beragama di Cina lihat antara lain Pitman B.
Potter, “Belief in Control: Regulation of Religion in China,” The China Quarterly
(2003): h. 317-337; Beatrice Leung, “China’s Religious Freedom Policy: The Art of
Managing Religious Activity,” The China Quarterly (2005): h. 894-913; and Eric R.
Carlson, “China’s New Regulation on Religion: A Small Step, Not a Great Leap,
Forward,” Brigham Young University Law Review 3 (2005): h. 747-797.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 94
integritas negara yang kukuh dengan batas teritori dan bangsa, dan tidak
membahayakan eksistensi Negara dan Republik Turki’ (of violating the indivisible of
the State with its territory and nation, of endangering the existence of the Turkish
State and Republic). Jika hal tersebut terjadi maka, ‘pemerintah memiliki perangkat
kekuatan legal yang utuh untuk mengikis kebebasan beragama’ (the government has
at its disposal powerful legal tools for diminishing religious freedom).18
Ambiguitas lain yang mengemuka adalah mengaitkan kebebasan beragama
dengan keamanan nasonal (national security) sebagaimana ditemukan dalam
Konstitusi Mongolia tahun 1992. Artikel 16 (15) secara jelas menyebutkan jaminan
hak kebebasan beragama, tapi dalam Artikel 19 (3) dinyatakan pula bahwa ‘dalam
pelaksanaan hak-hak dan kebebasan, seseorang tidak boleh membahayakan
keamanan nasional atau hak-hak dan kebebasan orang lain atau mengganggu
ketertiban umum’ (in exercising one’s rights and freedoms, one may not infringe the
national security or rights and freedoms of others or violate public order). Apa yang
dimaksud dengan keamanan nasional dan ketertiban umum dalam konstitusi itu tetap
tidak terdefinisikan dan kabur.
Ungkapan yang serupa juga ada dalam Konstitusi Singapura dimana negara
melindungi hak individual untuk melaksanakan atau menganut agama, namun
dikatakan pada bagian lain bahwa ‘Artikel dimaksud itu tidak memberikan
wewenang bagi suatu perbuatan yang akan bertentangan dengan hukum-hukum
umum yang berkenaan dengan ketertiban umum, keselarasan umum dan moralitas’
18
Tentang Turki lihat Mostafa Erdodan, “Religious Freedom in the Turkish
Constitution,” Muslim World 89, 3-4 (1999): h. 377-388.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 95
(this Article does not authorize any act contrary to any general law relating to public
order, public health or morality).
Atau dalam kasus Konstitusi Syria (Artikel 26) yang berlandaskan ajaran
Islam, kebebasan beragama berarti kebebasan untuk melakukan ibadah, dan dimana
negara berkewajiban untuk memberikan jaminan ‘kebebasan pelaksanaan ritus-ritus
keagamaan sepanjang tidak menggangu ketertiban umum’ (the freedom to hold any
religious rites, provided they do not disturb the public order).
Bahasa samar tentang ketertiban umum, moralitas dan yang sejenisnya juga
ditemukan dalam berbagai konstitusi seperti di Italia, Belanda, Denmark dan
beberapa negara lain. Belajar dari pengalaman konstitusi-konsitusi itu maka secara
umum dapat dikatakan bahwa ide tentang ketertiban umum dan moralitas ini
memang menjadi tema yang paling populer bagi beberapa negara (terutama bagi
negara-negara otoriter dan semi-otoriter) untuk memodifikasi ide dan praktek
kebebasan beragama.
Subordinasi Kebebasan Agama di Bawah Kepentingan Negara
Model kedua adalah pencantuman artikel/pasal yang menyangkut kebebasan agama
itu yang ‘bertabrakan’ dengan artikel/pasal lain yang menyangkut interests of the
State, dan dimana artikel/pasal tentang kebebasan negara secara praksis
tersubordinasi dalam artikel/pasal lain itu.
Contoh untuk model ini adalah Konstitusi Pakistan. Dalam Artikel 20
dikatakan bahwa ‘setiap warganegara mempunyai hak untuk meyakini,
melaksanakan dan menyebarkan agamanya’ (every citizen shall have the right to
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 96
profess, practise, and propagate his religion). Namun pada Article 27 juga
disebutkan bahwa ‘semua hukum yang ada harus sesuai dengan ajaran Islam yang
bersumber dari Alquran dan Assunah’ (all existing laws shall be brought into
conformity with the injunctions of Islam as laid down in the Holy Quran and
Sunnah). Di sini jelas bahwa barometer hak-hak kebebasan agama dalam Konstitusi
itu harus sesuai dengan kaidah dan pandangan konvensional hukum Islam mengenai
masyarakat non-Muslim.
Yang lain adalah Konstitusi Mesir. Dalam Artikel 46 dinyatakan bahwa
‘negara menjamin kebebasan beragama dan kebebasan mempraktekkan hak-hak
agama‘ (the State shall guarantee the freedom of belief and the freedom of practising
religious rights), namun pada sisi lain kebebasan ini dikontraskan dengan pernyataan
(sebagaimana dalam Artikel 2) bahwa Islam adalah agama negara... dan sumber
utama hukum adalah hukum Islam’ (Islam is the religion of the state … and the
principal source of legislation is Islamic Jurisprudence).19
Lebih lanjut, ada beberapa konstitusi yang membuat relasi unik antara
kebebasan beragama dengan keinginan untuk menghormati dan menjaga kebudayaan
atau tradisi nasional seperti dalam kasus Turkmenistan. Dinyatakan dalam Artikel 37
bahwa ‘pelaksanaan hak-hak dan kebebasan itu tidak dapat dipisahkan dari
keharusan individu dan warganegara melaksanakan kewajiban terhadap masyarakat
dan pemerintah. Setiap orang yang hidup dan berada dalam teritori Turkmenistan
diwajibkan untuk tunduk terhadap Konstitusi and hukum-hukum dan menghormati
19
Lebih detail tentang konstitusi di berbagai negara Muslim dunia dapat
ditemukan dalam Tad Stahnke and Robert C Blitt, “The Religion-State Relationship
and the Right to Freedom of Religion or Belief: A Comparative Textual Analysis of
the Constitution of Predominantly Muslim Countries,” Georgetown Journal of
International Law 36, 4 (2005): h. 947-1078.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 97
tradisi nasional bangsa Turkmenistan’ (the exercise of rights and freedoms is
inseparable from fulfillment by persons and citizens of their obligations before
society and the government. Everyone living in or located on the territory of
Turkmenistan is required to obey the Constitution and laws and respect the national
traditions of Turkmenistan).
Dalam Konstitusi Yordania, juga dinyatakan hal serupa bahwa ‘negara akan
melindungi kebebasan pelaksanaan ibadah dan ritus agama yang sesuai dengan
kebiasaan yang dilakukan di Kerajaan’ (the State shall safeguard the free exercise of
all forms of worship and religious rites in accordance with the customs observed in
the Kingdom) dan karena dalam Konstitusi negara ini (Artikel 2) juga menyebutkan
bahwa Islam adalah agama negara, maka secara implisit kebebasan itu bukan hanya
harus sesuai dengan tradisi kerajaan tetapi lebih spesifik lagi harus sesuai juga
dengan tradisi yang berkembang dalam Islam. Dalam kaitan ini, ketika agama (dalam
hal ini adalah Islam) dianggap sebagai bagian dari kebudayaan dan identitas
nasional, maka itu berarti bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok minoritas agama
lain atau para missionaris dapat dilarang dengan alasan bahwa kegiatan mereka
tersebut merupakan ‘ancaman’ bagi kebudayaan nasional. Karena pelarangan ini
adalah bentuk reservasi budaya dari inflitrasi tradisi luar yang mengancam maka
secara logis hal itu bukan dianggap sebagai bentuk penistaan terhadap kebebasan
beragama.
Di beberapa negara Barat yang dianggap maju hal yang sama juga terjadi.
Dalam Konstitusi Irlandia dikatakan bahwa atas nama ‘the Most Holy Trinity’ dan
kewajiban kepada ‘our Divine Lord, Jesus Christ’, kebebasan beragama dan praktek-
praktek keagamaan dalam Artikel 44 (2) yang dijamin kepada setiap warganegara
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 98
harus tunduk kepada ketertiban umum dan moralitas sesuai dengan semangat
penghormatan terhadap ‘the Most Holy Trinity’ dan ‘our Divine Lord’ tadi.
Karenanya, dalam Artikel 40 (6.1.i) pemerintah berhak untuk membatasi pandangan-
pandangan yang bisa berakibat kepada ‘penistaan ketertiban umum, moralitas atau
otoritas negara. Pemerintah juga berhak melarang ‘publikasi atau ucapan yang
menghina, membangkang atau hal lain yang menyimpang’ (publication or utterance
of blasphemous, seditious, or indecent matter).
Penyempitan Makna Kebebasan Beragama
Sedangkan model ketiga adalah negara membuat definisi dalam konstitusi tentang
kebebasan beragama dan/atau istilah agama yang lebih sempit dan jauh dari
pengertian umum istilah-istilah itu sendiri. Dalam Konstitusi Yunani, sebagai misal,
Artikel 13 (2) menyebutkan bahwa negara menjamin kebebasan beribadah tetapi
melarang usaha-usaha penyebaran agama karena itu bertentangan dengan kedudukan
Gereja Ortodoks sebagai agama resmi negara (Artikel 3). Contoh lainnya adalah
Konstitusi Turki dimana setiap orang memiliki hak kebebasan menganut agama dan
menjalankannya namun kebebasan itu hanya berlaku di tingkat individual saja dan
bukan institusi korporatif agama.
Hal yang agak unik ditemukan dalam Konstitusi Argentina, dimana
warganegara memiliki ‘hak yang bebas untuk menganut agama mereka’ (freely
profess their religion) (Artikel 14), hanya saja upaya-upaya yang dilakukan secara
pribadi oleh beberapa orang selama itu tidak mengganggu ketertiban atau moralitas
dan tidak merugikan pihak ketiga, dianggap sebagai bentuk penyerahan diri kepada
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 99
Tuhan (the private actions of men which in no way offend public order or morality,
nor injure a third party, are only reserved to God) (Artikel 19). Artikel ini
merupakan justifikasi bagi kegiatan-kegiatan missionarisme Katolik karena sesuai
dengan Konstitusi Argentina ini, Gereja Katolik adalah agama resmi negara (Artikel
2). Untuk itu kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan aktifitas religius gereja
dipahami sebagai bagian dari upaya pengabdian kepada Tuhan, dan bentuk
pengabdian ini harus didukung secara konstitusional.20
Penyempitan makna kebebasan beragama juga terdapat dalam Konstitusi
negara kita (Indonesia) dimana definisi tentang kebebasan beragama dalam UUD
1945 (baik sebelum maupun sesudah Amandemen) diletakkan dalam bingkai konsep
Tuhan yang diimbuhi (qualifying) dengan kata Yang Maha Esa. Pada titik ini, Artikel
29 (1) yang menyatakan bahwa ‘negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa’, merupakan prasyarat mutlak bagi ‘negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribabat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu sebagaimana yang dijelaskan pada Artikel 29 (2).
Dengan kedua artikel itu walaupun dalam retorika dinyatakan bahwa kebebasan
agama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia,
pada hakekatnya hanya agama yang memiliki konsep Ketuhanan Yang Maha Esa-lah
yang mendapat perlindungan konstitusioonal. Karena itu jika suatu kepercayaan yang
tidak bisa memenuhi prasayarat utama ini, maka ia dinyatakan bukan sebagai agama.
20
Untuk kasus Argentina, lebih jauh lihat Juan G. Navarro Floria, “Religious
Freedom in the Argentine Republic: Twenty Years after the Declaration on the
Elimination of Intolerance and Religious Discrimination,” Brigham Young University
Law Review 2 (2002): h. 341-352.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 100
Hal lain yang dapat ditemukan selain contoh di atas adalah penyempitan makna
agama itu sendiri. Dalam beberapa konstitusi ada kecederungan untuk
mengasosiasikan agama dengan sejarah atau kebudayaan yang telah berkembang
sedemikian lama di satu wilayah tertentu seperti Islam di Timur Tengah atau Gereja
Ortodoks di Eropa Timur. Contoh yang bisa disebutkan adalah Konstitusi Lithuania
tahun 1992 dimana kata ‘churches’ memiliki paling tidak 2 elemen penting yakni
‘societal support’ dan ‘cultural heritage’. Karena itu, ketika kata itu dikaitkan
dengan kebebasan beragama maka apa yang dilindungi oleh negara di bawah hukum
adalah ‘tradisi’ yang telah berkembang terus menerus selama lebih dari 300 tahun di
Lithuania. Jika ada tradisi lain yang baru berkembang atau kurang dari 300 tahun,
maka berdasarkan Artikel 43 (1), institusi-institusi itu akan mendapatkan
perlindungan jika memang ‘memiliki akar dalam masyarakat dan dimana ajaran dan
ibadahnya tidak bertentangan dengan moralitas atau hukum itu sendiri’ (provided
that they have a basis in society and their teaching and rituals do not contradict
morality or the law). Di sini, apa yang dipahami sebagai memiliki akar atau basis
dalam masyarakat ini tentu sangat umum dan multi-tafsir, dan pada gilirannya ini
membuka ruang negara untuk melakukan pembatasan bagi kemunculan baik agama-
agama konvensional seperti Islam, Hindu atau Buddha misalnya maupun gerakan
agama-agama baru (new religious movement) yang marak dewasa ini.
Dalam kaitan ini, menjadi penting pula untuk disebutkan bahwa beberapa
dokumen internasional seperti ICCPR dokumen memang membolehkan suatu negara
untuk mengadopsi tradisi agama yang dominan (dan/atau beberapa tradisi) sebagai
agama resmi negara (official or traditional state religion). Contoh mengenai hal
tersebut bisa ditemui dalam Konstitusi Sudan yang menjadi Islam sebagai agama
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 101
resmi negara, Yunani dan Bulgarian dengan Gereja Ortodoks Timur, Georgia dengan
Gereja Ortodoks Apostolik Autochepal, Argentina dengan Gereja Katolik. Thailand
adalah satu-satunya negara yang jelas-jelas mengakui Buddhisme sebagai agama
resmi tapi pada saat yang sama secara konstitusional mengakui hak agama-agama
lain untuk berkembang dan mendapatkan perlindungan yang sama sebagaimana yang
diberikan terhadap Buddhisme itu.
Lalu apa kaitannya model-model itu dengan pengelolaan agama terutama di
tanah air? Sebagaimana dijelaskan di atas, secara kategoris Indonesia dimasukkan
dalam kategori ketiga dalam hubungannya dengan negara dan kebebasan agama.
Artinya, semenjak awal peran negara dalam kehidupan beragama tentu sangat besar.
Ini tidak semata-mata bahwa negara mengakui agama tetapi juga bahwa negara juga
bertindak sebagai regulator bagi kehidupan beragama. Ini dibuktikan dengan
berdirinya Departemen atau Kementerian Agama sebagai lembaga negara yang
mengurusi hal-hal yang menyangkut kehidupan agama.
Pada gilirannya, dalam pengelolaan kehidupan beragama, negara juga
mengeluarkan beberapa kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung
membatasi kebebasan beragama itu sendiri. Ini terlihat semenjak dikeluarkannya
Penetapan Presiden No. 1/PnPs/1965 (juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969)
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.. Pada level ini,
akan terlihat adanya apa yang disebut sebagai ‘karakteristik keterpisahan level’
(split-level character) dalam praktek penyelenggaran pengaturan kehidupan
beragama. Pada titik ini, beberapa kasus penting mengindikasikan terdapatnya
kecenderungan kuat yang dilakukan oleh untuk melindungi kebebasan bagi mereka
yang mempercayai sebuah keyakinan agama secara tradisional saja. Tetapi tidak
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 102
untuk mereka yang memiliki perbedaan dengan pandangan traditional mainstream
itu.
Disparitas ini tentu dapat menjelaskan bahwa terdapat perlakuan ‘diskriminatif’
yang melanggar prinsip fairness (yakni resiprok) bagi mereka yang tidak menjadi
bagian dari komunitas agama tradisional. Karena memang pada hakekatnya ada
kecenderungan dalam argumen kebebasan beragama yang secara instrinsik
diasosiasikan dengan kegiatan-kegiatan peribadatan umat beragama semata, dan
(sekali lagi) tidak mencakup mereka yang tidak beragama secara tradisional.
Inilah yang membuat sebagian kalangan merasa bahwa negara secara sengaja
atau tidak juga memainkan peranan dalam praktek-praktek diskriminasi berdasarkan
agama sebagaimana halnya terjadi dalam beberapa kasus seperti pelarangan berbagai
kelompok dan ajaran yang dianggap menyimpang dari kepercayaan mainstream yang
ada di Indonesia. Kecederungan ini kemudian diperparah dengan munculnya sikap
dan prilaku Islamisme semenjak kejatuhan rezim Orde Baru yang sering kali
menggunakan atribut simbol-simbol agama mainstream dalam melakukan kekerasan
atas nama menjaga otentitas dan kemurnian agama. Dalam konteks inilah pandangan
para aktifis dan pemuka kelompok non-agama dalam penelitian ini diletakkan
sebagaimana yang dijelaskan pada bagian berikut ini.
KELOMPOK NON MUSLIM DAN HUBUNGAN NEGARA-AGAMA
Menurut Stanley, secara prinsipil negara tidak boleh mencampuri urusan internal
agama, khususnya dalam hal penentuan pokok-pokok ajaran sebagaimana yang
pernah terjadi dalam sejarah agama Kristen dimana akibat dari campur tangan ini
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 103
negara dengan mudah memberikan label sesat bagi kelompok atau ajaran yang
berbeda dengan apa yang menjadi kebijakan negara itu sendiri. Akan tetapi, Stanley
setuju bahwa Negara atau pemerintah berhak dan berwenang melakukan tindakan
tegas bagi mereka yang melakukan penodaan agama tertentu atau ketika pemahaman
atau ajaran dan praktek yang dilakukan umat beragama sudah mengarah kepada dan
atau sudah merupakan tindakan kriminal. Dalam kasus inilah, negara harus
melaksanakan tugasnya, yaitu mengamankan, mendamaikan dan mensejahterakan
dengan menegakkan hukum demi kemenusiaan. Di sini, negara berhak membawa
orang yang bersalah dan melanggar hukum untuk “go to cell” (yang merupakan
wewenang hukum negara) tapi tidak untuk “go to hell” (yang merupakan urusan
umat beragama).21
Stanley juga melihat bahwa hubungan yang ideal antara Negara dan agama
harus bersifat akomodatif dalam pengertian ada unsur-unsur agama yang dapat
diadopsi oleh negara. Pada titik ini ia menandaskan bahwa apa yang dipahami
sebagai unsure aadalah nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh agama sebagai
substansi, dan bukan pada simbol-simbol agama. Dengan itu maka Stanley percaya
bahwa di dalam menjalankan tugasnya, negara harus betul-betul memberikan
kebebasan bagi warganya untuk memiliki agama dan menjalankan ajaran agamanya,
agama apapun itu (termasuk aliran kepercayaan dan agama suku). Kelanjutan dari
itu, negara juga harus menjamin bahwa hak-hak beragama ini dapat dilaksanakan
oleh penganutnya secara bebas. Jaminan kebebasan beragama dari pemerintah ini
dapat berwujud dalam pengakuan dan penerimaan secara resmi agama-agama atau
21
Wawancara dengan Stanley Rambitan di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
pada 9 November 2010.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 104
umatnya yang menyatakan dirinya sebagai agama, dan yang beraktifitas sebagai
suatu organisasi agama. Selanjutanya, jaminan dari pemerintah terhadap kebebasan
beragama dapat menyangkut penyediaan fasilitas agama misalnya lahan untuk
pendirian tempat atau pusat kegiatan agama, keamanan dan kedamaian dalam
beragama, serta pembinaan umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut Stanley mengungkapkan bahwa pemberian kebebasan dan
penjaminan pelaksanaan kehidupan beragama oleh negara atau pemerintah kepada
masyarakat yang seturut dengan UUD 1945, tentu tidak memberikan kebebasan
sebebas-bebasnya. Seperti disinggung di atas, umat beragama di Indonesia sangat
banyak dan beragam. Indonesia adalah negara dengan masyarakat plural, sebab:
“Kebebasan mutlak bagi kelompok umat satu agama dapat menyebabkan
masalah jika itu dilakukan dengan tidak mngindahkan kaidah-kaidah sosial-
budaya dan hukum yang ada. Oleh karena itu, kaidah dan aturan yang ada itu
perlu mendapat perhatian dari umat beragama dan perlindungan dari negara.
Ketika kaidah dan aturan itu dilanggar maka di sini negara (masyarakat dan
pemerintah) harus bertindak secata tegas. Ini adalah wewenang negara, yang
melindungi masyarakat, hak-hak-asasi manusia, kemanusiaan yang universal
dan peradaban yang tinggi.”22
Pandangan yang sama juga diungkap oleh beberapa responden dimana
hubungan Negara dan agama harus diletakkan dalam bingkai dimana orang
beragama dapat mempraktekkan agama yang diyakini masing-masing, namun di sisi
lain umat beragama itu juga harus mematuhi segala peraturan negara yang telah
disepakati. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan oleh Bhikku Saddhaviro harus
disepakati pula bagaimana pengelolaan negara terhadap agama yang dapat membawa
kesejahteraan, kedamaian dan ketentraman hidup semua umat beragama
22
Wawancara dengan Stanley Rambitan.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 105
sebagaimana yang bisa dilakukan oleh negara Amerika dan beberapa Negara lain
yang sekuler. Sistem ini sangat penting sebab tanpa itu hubungan antara keduanya
tidak akan bias berjalan dengan baik. Ini mengandaikan, ungkap Bhikku Saddhaviro,
bahwa peraturan yang dibuat harus menjadi landasan bersama dimana negara harus
terus mengawal, membimbing dan mengarahkan warga negara untuk taat kepada
ajaran agama yang diyakini masing-masing. Pada kesempatan yang sama para
pemeluk agama juga diharapkan untuk taat dengan aturan Negara, dan dengan itu,
Bhikku Saddhaviro percaya bahwa sinergi ini tidak akan menimbulkan banyak
masalah yang mengganggu kehidupan bermasyarakat.23
Adalah penting untuk dijelaskan bahwa hampir semua responden tidak terlalu
khawatir dengan wacana pendirian negara Islam di Indonesia. Bagi mereka ide untuk
mendirikan negara Islam tidak akan mendapatkan dukungan dari semua orang
Muslim di Indonesia karena pada dasarnya menurut mereka ide tentang negara Islam
sendiri kurang memiliki landasan historis dan konseptual di negara ini. Lebih lanjut
Stanley sebagai misal mengatakan bahwa:
“Soal cita-cita mendirikan negara Islam di Indonesia (atau Khilafah Islamiyah
di daerah Asia/Tenggara), ini tidak mengkuatirkan. Hal ini karena, idealisme
demikian tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat Islam dan apalagi
masyarakat internasional. Idealisme seperti itu tidak mendapat dukungan
karena sudah tidak relevan untuk jaman globalisasi (dengan penekanan pada
rasionalisme, liberalisme dan humanisme) serta IPTek yang sudah sangat
merakyat di mana-mana, termasuk di Indonesia. Apalagi, contoh negara-negara
yang mencerminkan ideologi dan corak Islam yang kuat juga tidak ideal, di
mana masalah sosial-politik, ekonomi, dan kemanusiaan masih sangat
menonjol, seperti di Iran, Irak, Afganistan dan Pakistan.”24
23
Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro di Vihara Ratana Graha Jakarta Barat
pada 18 November 2010. 24
Wawancara dengan Stanley Rambitan.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 106
DESENTRALISASI DAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM
Secara umum ide tentang penerapan syariat Islam tidak semata-mata merupakan
eforia politik agama kelompok Islamis, tetapi juga merupakan unintended
consequence dari amandemen UUD 1945 yang dilakukan 4 kali. Memang dapat
diakui bahwa amandemen konstitusi itu membawa banyak perubahan dalam
konstruksi dasar hukum konstitusi kita dimana hak-hak individu (individual rights)
yang juga merupakan hak-hak asasi (human rights) mendapat perlindungan secara
maksimal. Hampir semua prinsip yang berkenaan dengan hak asasi manusia
(principles of human rights) dapat ditemukan dalam amandemen UUD 1945 ini
seperti hak untuk hidup (Pasal 28A), mendapat informasi (Pasal 28F), hak untuk
tidak disiksa dan mencari suaka (Pasal 28H), hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum serta untuk diperlakukan sama di hadapan hukum
(Pasal 28D) atau hak bebas dari diskriminasi atas dasar apapun (Pasal 28I). Karena
itu secara umum dapat dikatakan bahwa komitmen konstitusional bagi penegakan
hak-hak individu (individual rights) itu layak untuk diapresiasi.
Di sisi lain, UUD 1945 hasil amandemen ini juga memuat pasal yang
berkenaan dengan kebijakan desentralisasi yang memberikan porsi bagi daerah untuk
mengatur pemerintahannya sendiri sesuai dengan sumber daya yang dimiliki secara
ekonomis dan politis (Pasal 18). Tentu saja hal yang baru dari kebijakan
desentralisasi ini adalah bahwa pemerintah lokal memiliki daya tawar untuk
membuat kebijakan lokal yang independen dari pengaruh pemerintah pusat.
Dalam konteks ini, pada prinsipnya, apa yang diamanatkan dalam kebijakan
desentralisasi itu menjadi semacam ‘pengakuan’ atas collective rights dalam bentuk
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 107
dan semangat yang agak berbeda. Memang sejatinya collective rights adalah hak-
hak yang bisa diusung oleh warganegara (atau kelompok) ketika ia menjadi bagian
dari kelompok tertentu yang ‘didefinisikan’ dalam aturan negara.25
Karena itu secara
teoritis collective rights biasanya ditujukan kepada kelompok minoritas, dimana hak-
hak yang bersifat pengecualian (circumstances) dan afirmatif ini identik dengan
minority rights atau hak-hak minoritas baik secara kultural, etnis maupun agama
untuk memproteksi atau mempertahankan eksistensi mereka.26
Hanya saja dalam kasus Indonesia, kebijakan desentralisasi ini (yang
diletakkan dalam konteks kabupaten) secara tidak sengaja telah menciptakan
enclave-enclave yang berafiliasi dalam etnis dan kelompok agama secara umum
bersifat homogen (dengan variasi yang tidak cukup signifikan). Pada
perkembangannya, dalam kehidupan keagamaan, enclave yang dihasilkan dari
kebijakan desentralisasi itu secara logis memunculkan regulasi yang pastinya
memihak kelompok mayoritas dalam enclave itu saja. Ini ditandai dengan semakin
maraknya kemunculan peraturan-peraturan daerah penegakan syariah Islam di
beberapa kabupaten di tanah air.
Jika kita kembali kepada unintended consequence dari kebijakan desentralisasi
tadi, maka jelas bahwa enclave dimana kelompok mayoritas (yang secara politis
25
Gary F. Bell, “Minority Rights and Regionalism in Indonesia: Will
Constitutional Recognition Lead to Disintegration and Discrimination?” Singapore
Journal of International and Comparative Law 5 (2001): h. 793-4. 26
Dalam prakteknya collective rights atau minority rights ini terdiri atas 2 (dua)
macam yakni hak-hak yang diajukan secara individual (individually exercised
minority rights) misalnya hak untuk mendapatkan pengajaran bahasa ibu bagi suku
aborigin di Kanada dan hak-hak yang diajukan secara kolektif (collectively exercised
minority rigths) seperti pemberlakuan hukum-hukum lokal sebagaimana terjadi di
Australia. Lihat pula Douglas Sanders, “Collective Rights,” Human Rights Quarterly
13 (1991), h. 368-386.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 108
memperjuangkan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok untuk masuk dalam ranah
regulasi) menjadi ancaman tersendiri bagi keberlangsungan kehidupan multikultur
bangsa ini ke depan. Lebih jauh lagi, enclave-enclave ini di beberapa tempat juga
diduga menjadi ladang subur bagi persemaian ‘campaign against heresy’, meminjam
istilah Olle,27
yakni ideologi anti toleran atas ajaran-ajaran atau kelompok yang
dianggap berbeda sebagaimana yang dilakukan terhadap Jemaah Ahmadiyah, Jemaah
Taman Eden Lia Aminuddin dan beberapa kelompok yang dianggap menyimpang
dari keyakinan mayoritas.
Munculnya enclave-enclave berdasarkan agama seiring dengan semangat
desentralisasi tadi mungkin saja hanya sebuah kebetulan. Namun jika disaksamai,
terlihat suatu pola yang cukup runtun dari apa yang disebut dengan the creeping
shariatisation di Indonesia dewasa ini. Secara politis, agak sulit rasanya untuk
memisahkan antara semangat penerapan syariah Islam di beberapa kabupaten dengan
munculnya kesadaran untuk melakukan penyerangan fisik atas mereka yang dituduh
sebagai ‘penoda agama’ seperti Ahmadiyah dan al-Qiyadah al-Islamiyah baru-baru
ini, atau memobilisir penolakan atas ideologi Islam yang liberal, plural dan sekular,
pengrusakan gereja-gereja yang dianggap ilegal, dan demontrasi RUU anti-
pornografi yang terjadi beberapa waktu lalu.
Secara teoritis, hampir bisa dipastikan bahwa penghargaan terhadap
multikulturalisme dan hak-hak minoritas secara otentik justru hanya bisa dilakukan
dalam kondisi dimana tidak ada satu nilai tertentu yang dijadikan sebagai basis
utama. Sebuah perjuangan hak-hak yang ‘sehat’ bisa berkembang dalam sebuah
27
John Olle, “The Campaign Against ‘Heresy’: State and Society in
Negotiation in Indonesia,” Paper presented to the 16th
Biennial Conference of the
Asian Studies Association of Australia in Wollonggong 26 June-29 June 2006.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 109
sistem sosial dimana satu nilai seperti agama tidak diperlakukan sebagai entitas
terpisah atau distinct tetapi seimbang dan sama.28
Inilah yang disebut dengan value pluralism dalam teori politik liberal
kontemporer sebagaimana yang menjadi perhatian John Rawls dengan konsep
comprehensive doctrine itu.29
Secara sederhana dapat dijelaskan di sini bahwa value
pluralism melihat bahwa setiap nilai baik dari moralitas, agama maupun filsafat
adalah sangat absolut (absolute depth). Yang harus ditemukan dalam pada ini adalah
comprehensive doctrines sebagai modus vivendi bagi hubungan nilai-nilai itu.30
KELOMPOK NON-MUSLIM, PARTAI POLITIK ISLAM DAN
PERATURAN DAERAH BERLANDASKAN SYARIAT ISLAM
Penting untuk ditegaskan bahwa kebanyakan dari para responden tidak terlalu risau
dengan fenomena munculnya berbagai partai politik Islam di pentas nasional. Bagi
mereka, pilihan artikulasi politik dengan membawa simbol agama merupakan hal
yang wajar dalam negara demokrasi. Di sini mereka percaya bahwa ketangguhan dan
kemampuan untuk bertahan sebuah partai politik akan ditentukan oleh
kemampuannya untuk melakukan kompromi-kompromi politik dengan kelompok-
kelompok lain dan kemampuan untuk melakukan konsolidasi secara konsisten. Oleh
karena itu, secara prinsipal mereka juga tidak terlalu risau dengan banyaknya partai
28
David W. Machacek, “The Problem of Pluralism,” Sociology of Religion 64,
no. 2 (2003): hal. 152-3. 29
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia Univeristy Press,
1996). 30
Robert B. Talisse, “Liberalism, Pluralism, and Political Justification,” The
Harvard Review of Philosophy XIII, no. 2 (2005): hal. 57-72.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 110
yang mengusung agenda-agenda Islamisme, dan dalam kenyataannya memang
agenda-agenda itu memang bersifat instan dan abstrak sebatas sebagai cara efektif
untuk mendapat dukungan dan tidak memiliki perangkat konseptual yang memadai.
Lain halnya dengan pandangan mereka tentang penerapan beberapa peraturan
daerah yang mengusung wacana Islamisme dan syariat Islam. Bagi mereka
munculnya peraturan ini bukannya mensegregasi masyarakat tetapi juga memiliki
potensi untuk terjadinya diskrimanasi layanan yang diberikan oleh pemerintah
terhadap semua warganegaranya.31
Kekhawatiran atas peraturan-peraturan ini juga diungkap oleh Stanley yang
secara tegas menyatakan bahwa:
“Soal perda-perda bercorak Islam/syariah, cukup mengkuatirkan karena
mengancam kebinekaan. Saya kuatir, bukan hanya karena saya sebagai seorang
Kristen, tapi juga sebagai warga masyarakat/negara. Sebagai seorang Kristen,
saya melihat Perda seperti itu sebagai kebijakan hukum yang diskriminatif;
bahwa ada hukum atau peraturan yang memperlihatkan dasar atau corak agama
Islam; jadi ada keberpihakan negara terhadap satu kelompok di dalam
masyarakat. Padahal negara dan hukum negara seharusnya tidak berdasar pada
atau memihak ke satu agama apa pun. Perda seperti itu dapat menimbulkan
kecemburuan bagi penganut agama lain. Ini dapat menyebabkan apatisme
bernegara dari umat agama yang berbeda. Sebagai warga negara, saya melihat
Perda seperti itu melanggar hukum atau UU atau peraturan di negara
Indonesia; bahwa seharusnya Perturan apapun yang dibuat dan diterapkan di
Indonesia seharusnya berdasar pada Pancasila dan UUD’45. Jika ada peraturan
yang tidak berdasar pada pancasila dan UUD’45 itu maka peraturan itu tidak
sesuai dengan dasar, ideologi dan konstitusi negara. Jadi perda-perda demikian
tidaklah konstitusional.”32
Hal yang sama juga diutarakan oleh Jans Aritonang yang melihat bahwa perda-
perda tersebut memiliki segregasi jangka panjang yang menodai cita-cita perjuangan
para pendiri bangsa ini. Bhikku Saddhaviro juga melihat bahwa perda-perda itu juga
31
Bertholomeus Bolong, “Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia: Prespektif
Gereja Katolik,” Al-Mawarid XVI (2006): hal 146-161 32
Wawancara dengan Stanley Rambitan.
Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 111
lebuih merupakan komoditas politik intan yang jauh dari semangat untuk mengakui
eksistensi kelompok lain dalam kehidupan berbaangsa yang multi etnis dan agama
seperti Indonesia.33
Lebih jauh ia mengatakan:
“[Perda-perda] iItu sangat berbahaya dalam konteks eksistensi keberadaan
agama-agama, termasuk menodai cita-cita para pendiri bangsa yang tentu
berpikir bukan hanya untuk kepentingan sendiri tapi berpikir jangka panjang.
Perda-perda syari’ah mengancam kebijakan nilai-nilai universal yang dulu
telah dirumuskan para para pendiri negara ini. Perda-perda itu tidak
mengakomodir semua kepentingan warga dan masyarakat bangsa Indonesia.
Tentu saja hasil dari perda-perda itu tidak semudah apa yang dibayangkan
meskipun mungkin telah dipersiapkan dengan matang dan sedemikian rupa,
karena jelas para pembuat perda-perda itu tidak mengakomodir semua
kebutuhan masyarakat Indonesia yang majemuk.Jika kita kembali kepada
teologi agama, Tuhan sendiri menciptakan manusia beraneka ragam. Kita—
secara bersama-sama—harus terus berusaha melakukan penyadaran kepada
saudara-saudara pembuat perda itu untuk tidak memaksakan kehendak karena
akan mengancam kebersamaan dan pluralism sebagai dasar-dasar bernegara
dan beragama di negeri ini.”
33
Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro
Bab V
PENUTUP
KESIMPULAN
Toleransi adalah sikap individu yang muncul ketika ia berhadapan dengan sejumlah
perbedaan dan bahkan pertentangan baik di tingkat sikap, pandangan, keyakinan dan
juga tindakan yang tumbuh di tengah masyarakat. Toleransi memiliki peran penting
untuk melihat tingkat kesadaran masyarakat hidup di tengah alam pluralis dan
heterogen sebagaimana dewasa ini.
Menarik untuk diungkap bahwa terdapat banyak faktor yang menumbuhkan
perbedaan cara pandang dalam hal toleransi ini di tanah air seperti pengalaman
sejarah diperlakukan secara tidak adil dalam kehidupan bernegara pada masa Orde
Baru, dan fenomena munculnya fenomena baru Islamisme dalam satu dekade
terakhir. Tentu perbedaan cara pandang tentang toleransi kaum Muslim di Indonesia
tentu memiliki pengaruh bagi pemahaman mereka terhadap eksistensi kelompok-
kelompok agama non-Islam.
Dari wawancara dan penelusuran literatur yang dilakukan, secara umum dapat
disimpulkan bahwa hampir semua pemuka dan aktifis kelompok non-Muslim cukup
khawatir dengan kecenderungan peningkatan sikap intoleransi dalam hubungan
beragama di Indonesia. Ini diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah untuk
Bab VI Penutup | 115
memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapai dim masyarakat sosial
seperti rumah ibadah yang memiliki potensi konflik yang sangat tinggi.
Beberapa tokoh non-Muslim menyoroti semakin berkembangnya pemaksaan
atas suatu nilai dan simbol dengan cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh beberapa
kelompok garis keras di tanah air, dimana kekerasan tersebut sebenarnya justru
bertentangan dengan sudut pandang keluhuran, kemuliaan dari ajaran agama itu
sendiri. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah umat beragama terus secara bersama-
sama mendorong pemerintah untuk mengambil peran yang tegas dalam menjaga
toleransi kehidupan beragama di tanah air.
Lebih lanjut, beberapa tokoh non-Muslim melihat bahwa intoleransi ini
sebenarnya juga dipicu oleh utamanya isu-isu lama seperti Kristeniasi dan perbedaan
nomenklatur keagamaan secara internal sebagaimana yang terjadi dalam kasus
Ahmadiyah. Betapapun mereka menganggap hal tersbut sebagai bagian dari
diskursus internal kaum Muslim di tanah air, namun mereka juga sangat
menyesalkan sikap beberapa tokoh agama yang terlihat memberikan justifikasi bagi
pelakuan yang kurang baik terhadap mereka seperti pengrusakan masjid Ahmadiyah
dan pengusiran mereka dari rumah-rumah yang mereka miliki. Sebab menurut
mereka, jika terjadi proses pembiaran politik maka terdapat gerakan-gerakan agama
baru yang dianggap menyimpang itu maka tida mentup kemungkinan jika kekerasan
yang sama juga bisa saja terjadi terhadap kelompok mereka.
Oleh karena itu, sekali lagi mereke dengan tegas menyerukan pentingnya peran
pemerintah untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini secara adil dan bijaksana.
Bagi para aktifis itu, apapun dalih yang dikeluarkan oleh para Islamis ini dalam hal
penyelesaian kasus-kasus internal keagamaan. Adalah penting untuk ditegaskan
Bab VI Penutup | 116
bahwa kelompok-kelompok kecil itu tetap berhak mendapatkan jaminan keselamatan
dari negara karena mereka adalah juga warganegara yang sah.
Gerakan anti-pluralisme menurut para tokoh non Muslim ini juga menjadi
bagian dari terpenting dari menguatnya Islamisme, dan sekali lagi ketidakmampuan
negara untuk memainkan peran yang baik di antara kelompok-kelompok agama yang
ada menjadi amunisi efektf bagi berkembagnya wacana itu. Solidaritas atas umat
beragama menjadi sangat penting untuk menghadapi gerakan anti pluralisme ini
demi kehidupan dan kemaslahatan bersama di tanah air. Sebab, sesekecil
bekerjasama antar pemeluk agama yang berbeda untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan sosial, pendidikan, ekonomi dan hal-hal yang konkret lainnya tentu
memiliki nilai yang jauh lebih penting.
Dalam hal hubungan ideal antara negara dan agama, beberapa aktifis kelompok
non-Muslim melihat bahwa secara prinsipil negara tidak boleh mencampuri urusan
internal agama, khususnya dalam hal penentuan pokok-pokok ajaran. Sebab label-
label yang diberikan agama, seperti sesat misalnya justru memicu konflik yang
berkepanjangan dalam masyarakat. Akan tetapi, beberapa tokoh tentu tetap setuju
jika negara atau pemerintah melakukan tindakan tegas bagi mereka yang melakukan
penodaan agama tertentu atau ketika pemahaman atau ajaran dan praktek yang
dilakukan umat beragama sudah mengarah kepada dan atau sudah merupakan
tindakan kriminal. Bagi mereka dalam kasus-kasus ini, negara harus melaksanakan
tugasnya dengan menegakkan hukum demi kemanusiaan. Di sini, negara berhak
membawa orang yang bersalah dan melanggar hukum untuk “go to cell” (yang
merupakan wewenang hukum negara) tapi tidak untuk “go to hell” (yang merupakan
urusan umat beragama).
Bab VI Penutup | 117
Karena itu yang hubungan yang ideal antara negara dan agama harus bersifat
akomodatif dalam pengertian ada unsur-unsur agama (tetapi bukan simbol-simbol
agama) yang dapat diadopsi oleh negara. Pada titik ini ia menandaskan bahwa apa
yang dipahami sebagai unsur adalah nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh agama
sebagai substansi agama.
Lebih lanjut, sebagaimana diungkap oleh beberapa responden dimana
hubungan negara dan agama harus diletakkan dalam bingkai dimana orang beragama
dapat mempraktekkan agama yang diyakini masing-masing, namun di sisi lain umat
beragama itu juga harus mematuhi segala peraturan negara yang telah disepakati.
Adalah penting untuk dijelaskan bahwa hampir semua responden tidak terlalu
khawatir dengan wacana pendirian negara Islam di Indonesia. Bagi mereka ide untuk
mendirikan negara Islam tidak akan mendapatkan dukungan dari semua orang
Muslim di Indonesia karena pada dasarnya menurut mereka ide tentang negara Islam
sendiri kurang memiliki landasan historis dan konseptual di negara ini.
REKOMENDASI
Berdasarkan beberapa temuan dalam penelitian ini, maka terdapat beberapa
rekomendasi yang bisa diajukan: Pertama, diperlukan sebuah strategi bersama untuk
mengeliminir munculnya budaya intoleransi dan anti-pluralisme yang cenderung
menguat dengan mendorong pemerintah untuk lebih bersikap tegas terhadap
kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan sebuah
kepentingan. Negara harus mampu memberikan jaminan bagi terciptanya kehidupan
keagamaan yang kondusif.
Bab VI Penutup | 118
Kedua, diperlukan kebijakan-kebijakan yang mampu mengawal kehidupan
keagamaan yang sehat dan fair dalam mengatur kehidupan keagamaan. Adalah fakta
bahwa beberapa kebijakan yang diambil oleh negara cenderung bersifat ad hoc dan
atas tekanan politis dari suatu kelompok dan bukan untuk menyelesaikan masalah
dalam waktu yang panjang.
Ketiga, diperlukan pula keterlibatan perguruan tinggi Islam yang secara
proaktif terlibat dalam pembuatan dan pengawasan kebijakan negara dalam
kehidupan keagamaan secara kontinum.
Daftar pustaka
Alatas Alwi dan Desliyanti, Fefrida. Revolusi Jilbab: Kasus Pelarangan Jilbab di
SMA Negeri Se-Jabotabek 1982-1991. Jakarta: Al-I’tishom, 2002.
Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam masa Orde Baru. Bandung: Mizan, 1986.
Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995.
Aritonang, Jan S. ”Dinamika Perkembangan Kristen [Protestan] di Indonesiadalam
Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia: Tantangan dan Peluang Ditinjau dari
Perspektif Historis.” makalah disampaikan pada acara seminar “Studi Agama-
agama: Belajar Bersama Kelompok Antar-Iman.” Manado, Sulawesi Utara
pada 19-22 November 2007.
Asad, Muhammad. This Law of Ours. Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980.
Atkinson, Jane Monig. “Religion in Dialogue: The Construction of an Indonesian
Minority Religion.” American Etnologist 10, 4 (1983): 686-699.
Ball, Alan R. Modern Politics and Government. London: Macmillan, 1994.
Bates, M. Searle. Religious Liberty: An Inquiry. New York: Harper and Brothers,
1945.
Beaman, Lori. “The Myth of Pluralism, Diversity and Vigor: The Constitutional
Privileging of Protestantism in the United States and Canada.” Journal for the
Scientific Study of Religion 42, 3 (2003): 118-126.
Bell, Gary F. “Minority Rights and Regionalism in Indonesia: Will Constitutional
Recognition Lead to Disintegration and Discrimination?” Singapore Journal of
International and Comparative Law 5 (2001): 793-804.
Beyer, Peter. “Constitutional Privilege and Constituting Pluralism: Religious
Freedom in National, Global, and Legal Context.” Journal for the Scientific
Study of Religion 42, 3 (2003): 333-339.
Bolong, Bertholomeus. “Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia: Prespektif Gereja
Katolik.” Al-Mawarid XVI (2006): 146-161.
Bourdieu, Pierre. Outline of a Theory of Practice. London: Cambridge University
Press, 1977.
Carlson, Eric R. “China’s New Regulation on Religion: A Small Step, Not a Great
Leap, Forward.” Brigham Young University Law Review 3 (2005): 747-797.
Christiansen, Connie Carøe. “Women’s Islamic Activism: Between Self-Practices
and Social Reform Efforts.” Dalam Esposito, John L dan Burgat, François
(eds.), Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere in Europe and the
Middle East. New Brunswick New Jersey: Rutger University Press, 2003.1
Daftar Pustaka dan Wawancara | 120
Damanik, Ali Said. Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan
Tarbiyah di Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.
Erdodan, Mostafa. “Religious Freedom in the Turkish Constitution.” Muslim World
89, 3-4 (1999): 377-388.
Floria, Juan G. Navarro. “Religious Freedom in the Argentine Republic: Twenty
Years after the Declaration on the Elimination of Intolerance and Religious
Discrimination.” Brigham Young University Law Review 2 (2002): 341-352.
Foucault, Michel. Technologies of Self: A Seminar with Foucault (London:
Tavistock, 1988).
Garvey, John H. “An Anti-Liberal Arguments for Religious Freedom.” Journal of
Contemporary Legal Issues 7 (1996): 276-291.
Gill, Anthony. “The Political Origins of Religious Liberty: A Theoretical Outline.”
Interdisciplinary Journal of Research on Religion 1 (2005): 1-15.
_______. “The Political Origins of Religious Liberty: A Theoretical Outline.”
Interdisciplinary Journal of Research on Religion 1 (2005): 3-35.
Gunn, T. Jeremy. “Majorities, Minorities and the Rights of Religion and Belief.”
Helsinki Monitor 3 (1998): 38-44.
_______. “The Complexity of Religion and the Definition of ‘Religion’ in
International Law.” Harvard Human Right Journal 16 (2003): 189-215.
_______. “Under God but Not the Scarf: The Founding Myths of Religious Freedom
in the United States and Laïcité in France.” Journal of Church and State 46, 1
(2004): 7-24.
Gvosdev, Nikolas K. “Constitutional Doublethink, Managed Pluralism and Freedom
of Religion.” Religion, State and Society 29, 2 (2001): 81-90.
Huntington, Samuel P. The Clash of Civilization: Remaking of the World Order.
New York: Simon and Schister, 1997.
J.A., Denny. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an. Jakarta: CV
Miswar, 1990.
Jamhari dan Jahroni Jajang (ed.). Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004.
Krishnaswami, Arcot. “Study of Discrimination in the Matter of Religious Rights
and Practice,” U.N. Doc.E/CN.4/Sub.2 /200/Rev.1, U.N. Sales No. 6.XIV.2.
Lerner, Natan. Religion, Beliefs and International Human Rights. Maryknoll, New
York: Orbis, 2000.
Leung, Beatrice. “China’s Religious Freedom Policy: The Art of Managing
Religious Activity.” The China Quarterly (2005): 894-913.
Lewis, Bernard. The Jews of Islam. Princeton: Princeton University Press, 1985.
_______. What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response.
Oxford: Oxford Univerity Press, 2002.
Daftar Pustaka dan Wawancara | 121
Lillich Richard B. dan Hannum, Hurst. International Human Rights. Buffalo, New
York: William S. Hein, 1995.
Machacek, David W. “The Problem of Pluralism.” Sociology of Religion 64, no. 2
(2003): 145-161.
Madjid, Nurcholish. “Beberapa Renungan tentang Keagamaan untuk Generasi
Mendatang.”Dalam Ulumul Qur’an 1, IV (1993).
_______. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
Mann, Michael. The Sources of Social Power: The Rise of Classes and Nation-States.
Cambridge: Cambridge University Press. 1993.
Marty, Martin E. and Appleby R. Scott (eds.). Fundamentalism Comprehended.
Chicago and London: The University of Chicago Press, 1995.
Migdal, Joel S. Strong Societies and Weak States. New Jersey: Princeton University
Press, 1988.
Moore, G.E. Principia Ethica. Cambridge: Cambridge University Press, 1983.
Musalo, Karen. “Claims for Protection Based on Religion or Belief. “International
Journal of Refugee Law 16, no. 2 (2004): 165-226.
Nieuwenhuijze, C.A.O van. Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia. The Hague
and Bandung, EJ Brill, 1958.
Oliva, Javier Garcia. “The Legal Protection of Believers and Beliefs in the United
Kingdom.” The Ecclesiastical Law Society 9 (2007): 66-86.
Olle, John. “The Campaign Against ‘Heresy’: State and Society in Negotiation in
Indonesia.” Paper presented to the 16th Biennial Conference of the Asian
Studies Association of Australia in Wollonggong 26 June-29 June 2006.
Padelford, Norman J. International Guarantees of Religious Liberty. New York:
International Missionary Council, 1942.
Potter, Pitman B. “Belief in Control: Regulation of Religion in China.” The China
Quarterly (2003): 317-337.
Qardhawi, Yusuf. Muslimah: Harapan dan Tantangan. Jakarta: Gema Insani Press,
1994.
Rahman, Fazlur. Tema-Tema Pokok al-Qur’an. Bandung: Pustaka, 1983.
Rawls, John. Political Liberalism. New York: Columbia Univeristy Press, 1996.
Rippin, Andrew. “Interpreting the Bible Through the Qur’an.” Dalam Hawting, G.R.
dan Shareef Abdul-Kader A. (eds.). Approaches to the Qur’an. London:
Routledge, 1993): 249-256.
Ropi, Ismatu. “Wacana Inklusif Ahl al-Kitab.” Paramadina 1, no. 1 (1999): 79-101.
Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. Massachusettes: Harvard University,
1994.
Sanders, Douglas. “Collective Rights.” Human Rights Quarterly 13 (1991): 368-386.
Daftar Pustaka dan Wawancara | 122
Sarwini. “Tinjauan Yuridis-Kriminologis terhadap RUU KUHP: ‘Kriminalisasi’ atas
Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama.” Catatan Seminar Kriminalisasi
atas Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama oleh Komnas HAM,
ELSAM, PUSHAM Ubaya, KAHAM Undip dan PAHAM Unpad di Surabaya
tanggal 13 Desember 2005.
Scheinin, Martin. “Freedom of Thought, Conscience and Religion.” Studia Theologia
54 (2000): 5-18.
Sidjabat, Bonar. Religious Tolerance and the Christian Faith: A Study the Concept of
Divine Omnipotence in the Indonesian Constitution in the Light of Islam and
Christianity. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1965.
Simandjuntak, Marsilam. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur and
Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945. Jakarta: Grafiti Press, 1994.
Stahnke, Tad dan Blitt, Robert C. “The Religion-State Relationship and the Right to
Freedom of Religion or Belief: A Comparative Textual Analysis of the
Constitution of Predominantly Muslim Countries.” Georgetown Journal of
International Law 36, 4 (2005): 947-1078.
Stahnke, Tad dan Martin, J. Paul. Religion and Human Rights: Basic Documents.
New York: Center for the Study of Human Rights Columbia University, 1998.
Sullivan, Donna J. “Advancing the Freedom of Religion or Belief Through the UN
Declaration on the Elimination of Religious Intolerance and Discrimination.”
The American Journal of International Law 82 (1988): 487-520.
Talisse, Robert B. “Liberalism, Pluralism, and Political Justification.” The Harvard
Review of Philosophy XIII, no. 2 (2005): 57-72.
Thomson, Judith Jarvis. “The Right and the Good.” Journal of Philosophy 94 (1997):
273-98.
Utvik, Bjorn Olav. “The Modernizing Force of Islamism.” Dalam Esposito, John L
dan Burgat, François (eds.), Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere
in Europe and the Middle East. New Brunswick New Jersey: Rutger University
Press, 2003.
Van der, Justus M. “Conflicts of Religious Policy in Indonesia.” Far Eastern Survey
22, 10 (September 1953): 123-142.
Wahid, Abdurrahman. “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban
Islam.” Dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.). Kontektualisasi Doktrin Islam
dan Sejarah. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994): 545-552.
Wawer, von Wendelin. Muslime und Christien in der Republik Indonesia.
Weisbaden: Franz Steiner Verlag, 1974.
Wood JR., James E. “Religious Rights and a Democratic State.” Journal of Church
and State 46 (Autumn 2004): 739-765.
Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Vol. 1.
Jakarta: Jajasan Prapantja, 1959.