45
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes, pada tahun 2007 jumlah rumah sakit di Indonesia sebanyak 1.319 yang terdiri atas1.033 RSU dengan jumlah kunjungan ke RSU sebanyak 33.094.000, sementara data kunjungan ke IGD sebanyak 4.402.205 (13,3 % dari total seluruh kunjungandi RSU), dari jumlah seluruh kunjungan IGD terdapat 12,0 % berasal dari pasien rujukan. Pelayanan pasien gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan pertolongan segera yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan, atau pelayanan pasien gawat darurat memegang peranan penting yang sangat penting (Time saving is life saving) bahwa waktu adalah nyawa. Salah satu indikator mutu pelayanan berupa respon time atau waktu tanggap, hal ini sebagai indikator proses untuk mencapai indikator hasil yaitu kelangsungan hidup. 1 Pertolongan gawat darurat melibatkan dua komponen utama yaitu pertolongan fase pra rumah sakit dan fase rumah sakit. Kedua komponen tersebut sama pentingnya dalam upaya pertolongan gawat darurat. Pertolongan gawat darurat memiliki sebuah waktu standar pelayanan yang dikenal dengan istilah waktu tanggap (respon time) yaitu maksimal 5 menit. Waktu tanggap gawat darurat 1

Respon Time

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Respon Time

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes, pada

tahun 2007 jumlah rumah sakit di Indonesia sebanyak 1.319 yang terdiri atas1.033

RSU dengan jumlah kunjungan ke RSU sebanyak 33.094.000, sementara data kunjungan ke

IGD sebanyak 4.402.205 (13,3 % dari total seluruh kunjungandi RSU), dari jumlah

seluruh kunjungan IGD terdapat 12,0 % berasal dari pasien rujukan.

Pelayanan pasien gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan

pertolongan segera yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan

kecacatan, atau pelayanan pasien gawat darurat memegang peranan penting yang

sangat penting (Time saving is life saving) bahwa waktu adalah nyawa. Salah satu

indikator mutu pelayanan berupa respon time atau waktu tanggap, hal ini sebagai

indikator proses untuk mencapai indikator hasil yaitu kelangsungan hidup.1

Pertolongan gawat darurat melibatkan dua komponen utama yaitu

pertolongan fase pra rumah sakit dan fase rumah sakit. Kedua komponen tersebut

sama pentingnya dalam upaya pertolongan gawat darurat. Pertolongan gawat

darurat memiliki sebuah waktu standar pelayanan yang dikenal dengan istilah

waktu tanggap (respon time) yaitu maksimal 5 menit. Waktu tanggap gawat darurat

merupakan gabungan dari waktu tanggap saat pasien tiba di depan pintu rumah

sakit sampai mendapat respon dari petugas instalasi gawat darurat dengan waktu

pelayanan yang diperlukan pasien sampai selesai proses penanganan gawat

darurat.1,2

Dari beberapa penelitian sehubungan dengan waktu tanggap (respon time)

penanganan gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di beberapa rumah

sakit, di dapatkan rerata waktu tanggap di IGD RS. Cipto Mangunkusumo kurang

lebih delapan menit. Adapun di RSUD. Bantul didapatkan rerata waktu tanggap

baik kasus bedah maupun non bedah di Instalasi Gawat Darurat RSUD Bantul

adalah 10 menit.3,4

Waktu tanggap tersebut harus mampu dimanfaatkan untuk memenuhi

prosedur utama dalam penanganan kasus gawat darurat yaitu Airway, Breathing,

Circulation dan Disability. Airway berarti penanganan pada saluran nafas yang

terhambat karena kecelakaan atau penyakit. Breathing berarti penanganan terhadap

1

Page 2: Respon Time

kemampuan paru-paru dalam memompa keluar-masuk udara. Circulation yang

berarti penanganan terhadap kemampuan jantung untuk memompa darah dan

disability yang berarti penanganan terhadap kemungkinan terjadinya cacat

permanen akibat kecelakaan.1,5,6

Waktu tanggap pelayanan dapat dihitung dengan hitungan menit dan sangat

dipengaruhi oleh berbagai hal baik mengenai jumlah tenaga maupun komponen-

komponen lain yang mendukung seperti pelayanan laboratorium, radiologi,

farmasi, dan administrasi. Waktu tanggap dikatakan tepat waktu atau tidak

terlambat apabila waktu yang diperlukan tidak melebihi waktu rata-rata standar

yang ada. Salah satu indikator keberhasilan penanggulangan medik penderita

gawat darurat adalah kecepatan memberikan pertolongan yang memadai kepada

penderita gawat darurat baik pada keadaan rutin sehari-hari atau sewaktu bencana.

Keberhasilan waktu tanggap sangat tergantung kepada kecepatan yang tersedia

serta kualitas pemberian pertolongan untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah

cacat sejak di tempat kejadian, dalam perjalanan hingga pertolongan rumah sakit. 1,5,6

I.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang, maka dirumuskan masalah:

“ Bagaimana gambaran respon time penanganan trauma di IGD RS Labuang Baji

Makassar Januari 2013”

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan Umum :

Mengetahui gambaran respon time penanganan trauma di IGD RS Labuang Baji

Makassar Januari 2013

Tujuan Khusus :

1. Mengetahui gambaran tenaga medis yang dibutuhkan pada respon time

penanganan trauma di IGD RS Labuang Baji Makassar Januari 2013

2. Mengetahui gambaran fasilitas medis di IGD pada respon time penanganan

trauma di IGD RS Labuang Baji Makassar Januari 2013

3. Mengetahui gambaran kinerja tenaga dokter pada respon time penanganan

trauma di IGD RS Labuang Baji Makassar Januari 2013

2

Page 3: Respon Time

I.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi tempat penelitian

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi tenaga

kesehatan yang bertugas di IGD RS.Labuang Baji Makassar, sehingga dapat

meningkatkan pengetahuan dalam penanganan trauma.

2. Manfaat bagi institusi pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau

masukan untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan respon time

penanganan trauma di IGD.

3. Manfaat bagi peneliti

Penelitian ini sebagai sarana dalam mengembangkan dan mengaplikasikan

ilmu pengetahuan yang didapat selama pendidikan dengan kenyataan yang ada

di lapangan serta untuk menambah wawasan dalam pembuatan karya tulis

ilmiah.

3

Page 4: Respon Time

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tenaga medis

Tenaga medis adalah tenaga ahli di bidang kesehatan dengan fungsi utamanya

adalah memberikan pelayanan medis kepada pasien dengan mutu sebaik-baiknya

dengan menggunakan tata cara dan teknik berdasarkan ilmu pengobatan dan etik

yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan. 6

Yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan adalah:

A. Tenaga kesehatan sarjana

1. Dokter

2. Dokter gigi

3. Perawat

4. Bidan

5. Apoteker

6. Sarjana-sarjana lain dalam bidang kesehatan

B. Tenaga Kesehatan sarjana-muda, menengah dan rendah:

a. Dibidang farmasi : asisten-apoteker dan sebagainya;

b. Dibidang kebidanan: bidan dan sebagainya;

c. Dibidang perawatan: perawat, physio-terapis dan sebagainya;

d. Dibidang kesehatan masyarakat : penilik kesehatan, nutrisionis dan lain-

lain;

e. Dibidang-bidang kesehatan lain.

2. Apa yang dimaksud dengan IGD

Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah salah satu bagian di rumah sakit yang

menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang

dapat mengancam kelangsungan hidupnya. 5,6

Instalasi Gawat Darurat merupakan salah satu fasilitas terpenting dalam sebuah

rumah sakit. IGD merupakan tempat penanganan awal bagi pasien yang datang

dalam kondisi terancam nyawanya atau dalam keadaan darurat dengan kata lain

butuh penanganan dan pertolongan cepat dan tepat. Oleh karena IGD memiliki

4

Page 5: Respon Time

peran yang tidak kecil, maka dibutuhkan IGD dengan fasilitas dan segala aspek

yang dapat menunjang seluruh pasien gawat darurat yang datang, terutama IGD

dalam sebuah rumah sakit yang ramai akan pasien yang datang untuk mendapatkan

penanganan segera.

Dalam simulasi ini, kami ingin melakukan sistem pemodelan IGD agar

mendapatkan sistem IGD yang efisien dan efektif sehingga para pasien gawat

darurat yang datang dapat dengan segera mendapat pertolongan yang cepat dan

tepat. 6

3. Kinerja Tenaga Medis

Memberikan pelayanan sebagai berikut:

1.Diagnosis dan penanganan : Permasalahan pada A, B, C dengan alat- alat yang

lebih lengkap termasuk ventilator

2.Penilaian disability, penggunaan obat, EKG, defibrilasi

3.Observasi HCU/R. Resusitasi –ICU

4.Bedah cito

Sistem penanganan trauma

Kematian akibat trauma memperlihatkan distribusi trimodal

(Trunkey,1982). Pada satu kelompok kematian kematian terjadi dalam beberapa

detik setelah cedera, biasanya akibat cedera otak atau vaskular yang parah.

Walaupun beberapa pasien dari kategori ini dapat diselamatkan apabila tersedia

sistem transportasi darurat yang cepat, namun hanya pendidikan dan legislasi

mengenai berbagai masalah seperti pemakaian sabuk pengaman, menyetir dalam

keadaan mabuk, dan pemilikan senjata api yang akan memiliki dampak nyata.

Perawatan pasien trauma dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses

siklik yang berawal dari kejadian traumatik dan berlanjut melalui fase resusitasi,

operasi, perawatan intensif, perawatan intermediat, dan rehabilitasi. Sepanjang

siklus trauma, tugas perawat adalah mengidentifikasi dan menangani respons

manusia terhadap cedera. Selain keadaan fisiologi mereka yang sudah ada

sebelumnya, respons masing-masing pasien terhadap cedera juga dipengaruhi oleh

berbagai faktor perkembangan, sosial, ekonomi dan lingkungan. Dengan

memusatkan perhatian pada keunikan dari setiap orang, maka pendekatan

5

Page 6: Respon Time

penatalaksanaan yang bersifat “generik” dan sembrono dapat dihindari. Karena

alur tanggung jawab merawat pasien dari departemen gawat darurat ke ruang

operasi, unit perawatan intensif, dan bagian-bagian lain, perawat harus tetap

mempertahankan kontinuitas perawatan, berperan sebagai penasehat pasien,

memastikan bahwa kebutuhan masing-masing pasien terpenuhi.

Selama evaluasi segera pasien yang ditraumatisasi sangat penting

menentukan prioritas terapi. Pada hakekatnya penatalaksanaan pasien mencakup 1.

Evaluasi primer yg cepat 2. Resusitasi fungsi vital 3. Penilaian sekunder lebih

terinci dan 4. Pemulaan perawatan definitif.

I. Primary survey

Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan,

tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka parah, terapi

diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan

efisien. Pengelolaan penderita berupa primary survey yang cepat dan kemudian

resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan

ABC-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa

terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut: 8,9,10

A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (Cervikal spine control).

B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi

C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrhage control)

D: Disability, status neurologis

E: Exposure/ environmental control: buka baju penderita tetapi cegah hipotermi.

A. Airway

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi

pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,

fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.

Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan

sebagian, dan progresif atau berulang. Saat initial assesment pada airway, penderita

yang mampu berbicara memberi jaminan bahwa airwaynya terbuka dan tidak

dalam keadaan berbahaya. Oleh karena itu, tindakan awal yang paling penting

adalah dengan mengajak penderita berbicara dan memancing jawaban verbal.

6

Page 7: Respon Time

Suatu respon verbal yang positif dan sesuai menunjukkan bahwa airway penderita

terbuka, ventilasi utuh, dan perfusi otak cukup. Tanda-tanda objektif sumbatan

airway, yaitu:9,10

(1). Lihat (look) apakah penderita mengalami agitasi atau tampak bodoh. Agitasi

memberi kesan adanya hipoksia, dan tampak bodoh memberi kesan adanya

hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan kurangnya

oksigenasi dan dapat dinilai dengan melihat pada kuku dan kulit sekitar mulut.

Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot bantu pernafasan yang merupakan

bukti tambahan adanya gangguan airway.

(2.) Dengar (listen) adanya suara-suara abdorrmal. Pernafasan yang berbunyi (suara

nafas tambahan) adalah pernafasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring),

berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubunagn

dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau (hoarseness,

dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring. Penderita yang melawan dan

berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh

dianggap karena keracunan atau mabuk.

(3). Raba (Feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan apakah trakea berada ditengah.

Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh

kebelakang dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat segera

diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin-lift maneuver) atau dengan

mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw-thrust maneuver). Airway

selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal (oropharyngeal

airway) atau nasofaringeal (nasopharyngeal airway). Karena semua tindakan-

tindakan ini mungkin mengakibatkan pergerakan pada leher, maka perlindungan

terhadap servikal (cervical spine) harus dilakukan pada semua penderita. Servikal

harus dilindungi sampai kemungkinan cedera spinal telah disingkirkan dengan

penilaian klinis dan pemeriksaan foto rontgen yang sesuai. 8,9,10

B. Breathing dan Ventilasi

Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama untuk

pemberian oksigen pada penderita. Airway yang terbuka tidaka kan berguna bagi

penderita kecuali penderita juga bernafas dengan adekuat. Ventilasi mungkin

terganggu oleh sumbatan airway tetapi juga oleh gangguan pergerakan nafas atau

7

Page 8: Respon Time

depresi susunan saraf pusat. Tanda-tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat,

yaitu: 8,9,10

(1) Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang

adekuat. Tiap pernafasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) harus

dianggap sebagai ancaman oksigenasi penderita.

(2) Dengar (Listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau

tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau kedua hemitoraks merupakan tanda

akan adanya cedera dada.

(3) Gunakan pulse Oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi

oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi

yang adekuat.

Cara terbaik memberikan oksigen adalah dengan cara menggunakan masker

wajah yang melekat ketat dengan reservoir oksigen (tight-fitting oxygen reservoir

face mask). Cara lain misalnya kateter nasal, kanula nasal, masker nonrebreather

juga dapat meningkatkan konsentrasi oksigen yang dihisap.

C. Circulation dengan Kontrol Perdarahan

Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang mungkin dapat

diatasi denagan penanganan yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan

hipotensi pada penderita trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia,

sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang

cepat dari status hemodinamik penderita. Ada tiga temuan klinis, yakni tingkat

kesadaran, warna kulit, dan nadi. 8,9,10

(1) Tingkat Kesadaran

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan

mengakibatkan penurunan kesadaran.

(2) Warna kulit

Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan

ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat

dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.

(3) Nadi

Periksa pada nadi yang besar seperti a. femoralis atau a. karotis (kiri-kanan)

untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang cepat dan kecil

merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain.

8

Page 9: Respon Time

Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak

ditemukannya pulsasi pada arteri besar merupakan pertanda diperlukannya

resusitasi segera.

Lakukan kontrol perdarahan dengan tekanan langsung atau secara

operatif. Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line.

Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Besar arus tetesan infus yang

didapat tidak bergantung dari ukuran vena tetapi tergantung dari besar kateter

IV. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada lengan. Pada saat

memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk permintaan darah dan

pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk tes kehamilan pada semua penderita

wanita berusia subur. Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter

cairan kristaloid, sebaiknya Ringer Lactat. Bila tidak ada respon dengan

pemberian bolus kristaloid maka diberikan transfusi darah segolongan. Jangan

diberikan vasopresor,steroid atau Bicarbonas Natricus. Juga jangan terapi syok

hipovolemik dengan infus RL atau pemberian darah secara terus-menerus,

dalam keadaan ini harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan

perdarahan.8,9,10,11

D. Disability (Neurologic Evaluation)

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan

neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi

pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal. GCS (Glasgow

coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan

(outcome) penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi

atau/ dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak.

Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan

oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.6,8

E. Exposure

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya. Setelah pakaian dibuka,

pentingpenderita diselimuti agar tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut

hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah

dihangatkan.8

9

Page 10: Respon Time

II. Resusitasi

Setelah survei primer diselesaikan, maka tindakan resusitasi dimulai pada

semua pasien dengan trauma besar. Ia mencakup pemberian oksigen tambahan dan

pemasangan paling kurang dua jalur intravena berlumen besar. Pada waktu yang

sama, harus diambil sedikit contoh darah, sehingga bisa ditentukan golongannya

dan dicocok-silang serta dilakukan pemeriksaan kimia diagnostik dasar. Jika

diidentifikasi hipotensi, maka harus diantisipasi syok hipovolemik dan larutan

garam seimbang diberikan secara cepat. Pemantauan elektrokardiografi dilakukan

untuk mendeteksi timbulnya aritmia serta kateter urina dan sonde lambung harus

dipasang jika tak ada kontraindikasi.

Bila hipovolemia menyebabkan penurunan curah jantung dan perfusi tepi yang

tak adekuat, maka metabolisme aerobik pada tingkat sel jelas terganggu. Asidosis

laktat sebagai akibat metabolisme aerobik sel cepat terjadi. Di samping itu, cairan

ekstrasel hilang ke ruang intrasel karena pompa Na+ - K+ adenosin trifosfat (ATP)

gagal serta natrium dan air ekstrasel melintasi membran sel dalam pertukaran

dengan kalium. Hiperkalemia berikutnya dan kematian sel sering menyebabkan

kegagalan organ. Adanya asidosis metabolik yang parah berhubungan dengann

penurunan kontraktilitas myocardium, sehingga lebih memperburuk akibat

pengurangan aliran darah organ.

Karena perdarahan didefinisikan sebagai kehilangan akut volume darah yang

bersirkulasi normal, penting dokter mempunyai cara menilai volume darah yang

normal. Volume darah pada pria normal menunjukkan sekitar 7,2 persen berat

badan ideal. Pada kelompok usia pediatri, volume dara total bisa dihitung pada

sekitar 80 sampai 90 ml per kg berat badan ideal.

Perdarahan telah diklasifikasi menurut jumlah perdarahan akut yang dialami

oleh pasien. Perdarahan kelas I didefinisikan sebagai perdarahan sampai 15 persen

dari volume darah total yang bersirkulasi; kelas II suatu perdarahan akut 20 sampai

25 persen volume darah; Kelas III suatu perdarahan akut 30 sampai 35 persen

volume darah serta Kelas IV suatu perdarahan akut 40 sampai 50 persen volume

darah yang bersirkulasi.

10

Page 11: Respon Time

Keparahan perdarahan bisa diperkirakan dari gejala klinik yang ditampilkan.

Perdarahan kelas I biasanya dimanifestasikan oleh peningkatan sangat minimum

dalam kecepatan nadi. Dalam perdarahan Kelas II, denyut nadi akan lebih dari 100

dan pasien mulai menunjukkan takipne. Disamping itu, bisa memperlihatkan

peningkatan tekanan diastolik sekunder terhadap perluasan katekolamin yang

bersirkulasi dengan akibat penurunan dalam tekanan nadi. Perdarahan Kelas IV

disertai oleh takikardia jelas lebih dari 140 dengan tekanan darah sistolik kurang

dari 50 sampai 60 mm Hg. Kepucatan dan penurunan suhu permukaan bisa dinilai.

Perdarahan dalam Kelas I dan Kelas II bisa diterapi dengan pemberian larutan

garam seimbang. Larutan demikian diberikan supaya menginfus sekitar 3 unit

larutan kristaloid untuk setiap unit perdarahan. Perdarahan kelas III dan IV

memerlukan pemberian larutan garam seimbang dan darah lengkap untuk

memulihkan stabilitas hemodinamik.

Pemulihan volume darah yang bersirkulasi bisa dinilai dengan serangkaian

evaluasi tanda dan gejala klinik, yang mencakup frekuensi nadi, fekuensi

pernapasan dan tekanan darah; pemulihan curah urina adekuat; hilangnya asidosis

metabolik dan pemulihan volume yang adekuat tak segera dicapai, maka harus

dicurigai keadaan hipovelemia persisten. Dosis tes tantangan cairan yang terdiri

dari 200 ml larutan Ringer laktat diberikan dalam masa 10 menit sering

memperbaiki tanda vital dan menggambarkan menetapnya hipovolemia. Dalam

pasien anak, tantangan cairan demikian terdiri dari 20 sampai 40 ml per kg per jam

larutan Ringer laktat.

III. Secondary Survey

Secondary survey dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi

dilakukan dan ABC-nya penderita dipastikan membaik. Survei sekunder adalah

pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination), termasuk re-evaluasi

pemeriksaan tanda vital.8,9

A. Anamnesis

Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat

perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri dan

harus didapat dari petugas lapangan atau keluarga.

11

Page 12: Respon Time

Riwayat “AMPLE” perlu diingat:

A: Alergi

M: Medikasi (obat yang diminum saat ini)

P: Past illnes (penyakit penyerta)/ Pregnancy

L: Last meal

E: Event/environment (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

B. Pemeriksaan fisik

(1) Kepala

Survei sekunder mulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala dan

kepala harus diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Karena

kemungkinan bengkaknya mata yang akan mempersulit pemeriksaan yang

teliti, mata harus diperiksa akan adanya:7

a. Ketajaman visus

b. Ukuran pupil

c. Perdarahan konjungtiva dan fundus

d. Luka tembus pada mata

e. Dislocatio lentis

f. Jepitan otot bola mata

Ketajaman visus dapat diperiksa dengan membaca gambar Snellen,

membaca huruf pada botol infus atau bungkus perban. Gerakan bola mata

harus diperiksa karena kemungkinan terjepitnya otot mata oleh fraktur orbital.

(2) Maksilo-fasial

Trauma maksilofasial dapat menggangu airway atau perdarahan yang

hebat, yang harus ditangani saat survei primer. Trauma maksilofasial tanpa

gangguan airway atau perdarahan hebat, baru dikerjakan setelah penderita

stabil sepenuhnya dan pengelolaan definitif dapat dilakukan dengan aman.

Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada fraktur pada lamina

cribrosa. Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus melalui jalan oral.8,9

(3) Vertebra servikalis

Penderita dengan maksilofasial atau tarauma kapitis dianggap ada

fraktur servikal atau kerusakan ligamentous servikal, pada leher kemudian

dilakukan imobilisasi sampai vertebra servikal diperiksa dengan teliti. Tidak

adanya kelainan neorologis tidak menyingkirkan kemungkinan fraktur

12

Page 13: Respon Time

servikal, dan tidak adanya fraktur servikal hanya ditegakkan setelah ada foto

servikal, dan foto ini telah diperiksa dokter yang berpengalaman.9

Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Nyeri

daerah vertebra servikalis, emfisema subkutan, deviasi trakea dan fraktur

laring dapat ditemukan pada pemeriksaan yang teliti. Dilakukan palpasi dan

auskultasi pada arteri karotis. Adanya jejas daerah arteri karotis harus dicatat

karena kemungkinan adanya perlukaan pada arteri karotis. Penyumbatan atau

diseksi arteri karotis dapat terjadi secara lambat, tanpa gejala. Angiografi atau

Doppler Sonografi dapat menyingkirkan kelainan ini. Kebanyakan trauma

arteri besar daerah leher atau cedera karena sabuk pengaman dapat

menyebabkan kerusakan intima, diseksi dan trombosis.9,10

(4) Toraks

Inspeksi dari depan dan belakang akan menunjukkan adanya flail

chest atau open pneumothorax. Palpasi harus dilakukan pada setiap iga dan

klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada fraktur sternum.

Kontusio dan hematoma pada dinding dada mungkin disertai kelainan dalam

rongga toraks. Kelainan pada toraks akan disertai nyeri dan /atau dispnoe.9

Evaluasi toraks dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik termasuk

auskultasi disusul foto toraks. Bising nafas diperiksa pada bagian atas toraks

untuk menentukan pneumotoraks, dan pada bagian posterior untuk adanya

hemotoraks. Bunyi jantung yang jauh disertai tekanan nadi yang kecil

mungkin disebabkan tamponade jantung. Adanya tamponade jantung atau

tension pneumotoraks dapat terlihat dari adanya distensi pada vena jugularis,

walaupun adanya hipovolemia akan meniadakan tanda ini. Melemahnya

suara nafas dan hipersonor pada perkusi paru disertai syok mungkin satu-

satunya tanda akan adanya tension pneumotoraks, yang menandakan

perlunya dekompresi segera.9,10

(5) Abdomen

Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Diagnosis yang

tepat tidak terlalu dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi untuk

operasi. Pada saat penderita baru datang, pemeriksaan abdomen yang normal

tidak menyingkirkan diagnosis perlukaan intraabdomen, karena gejala

mungkin timbul agak lambat. Diperlukan pemeriksaan ulang dan observasi

ketat, kalau bisa oleh petugas yang sama. Diperlukan konsultasi ahli bedah.

13

Page 14: Respon Time

Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat diterangkan, kelainan

neurologis, gangguan kesadaran karena alkohol dan/atau obat dan penemuan

pemeriksaan fisik abdomen yang meragukan, harus dipertimbangkan

diagnostik peritoneal lavage (DPL), USG abdomen, atau bila keadaan umum

memungkinkan, pemeriksaan CT Scan abdomen dengan kontras. Fraktur iga

terbawah atau pelvis akan mempersulit pemeriksaan, karena nyeri dari daerah

ini pada palpasi abdomen.9

(6) Perineum/rectum/vagina

Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi dan

perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter

uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rektum,

prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding rektum dan

tonus musculus sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat

menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi. Juga harus dilakukan

tes kehamilan pada semua wanita usia subur.

(7) Muskuloskeletal

Ekstremitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur yang

kurang jelas dapat ditegakkan dengan memeriksa adanya nyreri, krepitasi

atau gerakan abnormal. Penilaian pulsasi dapat menentukan adanya

gangguan vaskular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa

disertai fraktur. Kerusakan ligamen dapat menyebabkan sendi menjadi tidak

stabil, kerusakan otot tendo akan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi

dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan kerusakan

saraf perifer atau iskemia (termasuk karena sindrom kompartemen).9

(8) Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan tingkat

kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik.

Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemeriksaan GCS.

Bila ada cedera kepala harus segera dilakukan konsultasi neurologis. Harus

dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran

perkembangan cedera intrakranial. Bila terjadi penurunan status neurologis

harus diteliti ulang perfusi, oksigenasi, dan ventilasi (ABCDE). Mungkin

diperlukan tindakan pembedahan atau tindakan lain untuk menurunkan

14

Page 15: Respon Time

peninggian tekanan intrakranial. Perlunya tindakan bedah bila ada

perdarahan epidural, subdural, atau fraktur kompresi yang ditentukan oleh

ahli bedah saraf.9

15

Page 16: Respon Time

BAB III

KERANGKA KONSEP

II1.1. Dasar pemikiran variabel penelitian

Beberapa faktor yang mempengaruhi Respon Time penanganan trauma

yaitu mengenai jumlah tenaga medis maupun komponen-komponen lain yang

mendukung seperti pelayanan laboratorium, radiologi, farmasi, dan administrasi

serta kecepatan dan kualitas tenaga medis dalam pemberian pertolongan pertama

pada pasien trauma.6,12

Jumlah Tenaga Medis

Jumlah tenaga medis merupakan aspek yang menunjang pelayanan pasien di

rumah sakit. Keadaan petugas yang kurang menyebakan penyelenggaraan

pelayanan tidak maksimal dan kurang memenuhi kepuasan pasien atas

pelayanan yang diberikan. Selain itu, akan mengalami kewalahan dalam

menjalankan tugasnya sehingga menurunkan tingkat kemampuan kerja. IGD

RSUD Haji merupakan instalasi gawat darurat bintang III yang harus

memiliki dokter spesialis empat besar (dokter spesialis bedah, penyakit

dalam, spesialis anak, spesialis kebidanan) yang siaga di tempat (on-site)

dalam 24 jam, dokter umum siaga di tampat (on-site) 24 jam. 6,12,13

Perhitungan tenaga keperawatan di ruang Gawat Darurat Menurut DepKes

2005 Rumus :

Rt2 jumlah px prhr X jmlh jam prwtn prhr + Loss day

Jam efektif prwt

LossDay : Jmlh hr minggu dlm1 thn + Cuti X Jmlh prwt

Jmlh hari kerja efektif

Fasilitas Medis IGD

Fasilitas merupakan sarana bantu bagi instansi dan tenaga kesehatan

dalam melakukan pelayanan kepada pasien di rumah sakit. Fasilitas dan

16

Page 17: Respon Time

penunjang yang harus tersedia selain ditentukan oleh kelas IGD rumah sakit

juga ditentukan oleh jumlah kasus yang ditangani.

Ketanggapan dan kinerja tenaga Dokter

Kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) berupa produk

atau jasa yang dicapai seseorang atau kelompok dalam menjalankan

tugasnya, baik kualitas maupun kuantitas melalui sumber daya manusia

dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang

diberikan kepadanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja terdiri dari

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal (disposisional) yaitu

faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang, misalnya kinerja

seseorang baik disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan

seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja

jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang

tersebut tidak memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki kemampuannya.

Faktor Eskternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang

yang berasal dari lingkungan, seperti perilaku, sikap dan tindakan-tindakan

rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi.13,14,15

Ketanggapan dan kinerja tenaga medis berhubungan dengan aspek

kesigapan tenaga medis dalam penanganan dan pelayanan pasien di rumah

sakit. Terdapat beberapa indikator untuk minilai kinerja dokter yaitu, Seluruh

dokter memiliki privilege, kelengkapan jumlah dan jenis spesialis, memiliki

izin praktek yang syah, bersertifikat ATLS (IGD) mengikuti pelatihan teknis

20 jam setahun, ketepatan waktu pelayanan, time reponse pelayanan, time

Motion pelayanan, pelayanan sesuai protap dan standar mutu, menerapkan

program patient safety, jumlah pasien yang dilayani, kepuasan Pasien

terhadap dokter, besaran pendapatan yang dihasilkan dokter, tidak adanya

tuntutan terhadap dokter. 14

III.2. Kerangka konsep

17

Page 18: Respon Time

Ket :

: Variabel terikat (Dependen)

: Variabel bebas (Independen)

III.3. Definisi operasional

- Trauma

Trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada tubuh akibat pemajanan akut

tubuh kesuatu bentuk energi atau akibat ketiadaan suatu bahan esensial

misalnya oksigen dan panas. Walaupun jaringan memiliki elastisitas untuk

menyerap energi, namun apabila kemampuan tersebut terlampaui maka akan

terjadi cedera. Cedera dapat terbatas pada satu organ atau sistem, misalnya

pada kecelakaan lalu lintas yang banyak mengakibatkan cedera pada kepala,

dada, perut, dan tulang. (Shechy,1989)

- Respon time

Respon time yang dimaksud adalah merupakan gabungan dari waktu tanggap

saat pasien tiba di depan pintu rumah sakit sampai mendapat respon dari

petugas instalasi gawat darurat dengan waktu pelayanan yang diperlukan

pasien sampai selesai proses penanganan.

18

Respon Time Penanganan Trauma di

IGD

Jumlah Tenaga Medis

Fasilitas medis di IGD

Kinerja tenaga Dokter dalam pemberian pertolongan

Page 19: Respon Time

Kriteria Objektif: 2

Tepat : Waktu tanggap (respon time) dikatakan tepat waktu atau tidak

terlambat apabila waktu tanggap ≤ 5 menit

Terlambat : Waktu tanggap (respon time) dikatakan terlambat apabila

waktu tanggap > 5 menit

- Jumlah Tenaga Medis

Jumlah tenaga medis yang dimaksud adalah semua tenaga medis yang

bekerja di IGD RS. Labuang Baji Makassar.

Kriteria Objektif: 2,4

Cukup : Jumlah tenaga medis yaitu jumlah tenaga perawat 10 orang,

mempunyai 1 dokter umum dan 4 dokter spesialisasi yang siaga di IGD

(on-site) dalam 24 jam.

Tidak Cukup : Jumlah tenaga medis yaitu jumlah tenaga perawat < 10

orang, dokter umum dan 4 dokter spesialisasi tidak siaga di IGD dalam

24 jam.

- Fasilitas Medis di IGD

Fasilitas medis yang dimaksud adalah penyediaan peralatan medis, alat

medis, obat-obatan dan penyediaan fasilitas penunjang yaitu, ruang radiologi

dan ruang laboratorium yang ada di IGD RS Labuang Baji Makasaar.

Kriteria Objektif: 4

Cukup : ≥ 80% alat dan fasilitas medis tersedia di IGD

o Ventilator  Ambulatory

o Peralatan Resusitasi

o Rung tindakan medical

o Ruang observasi

o Ruang tindakan bedah minor

o Ruang tunggu yang nyaman

o Ambulans

Belum Cukup : < 80 % alat dan fasilitas medis tersedia di IGD

- Kinerja tenaga medis

19

Page 20: Respon Time

Yang dimaksud adalah kinerja tenaga medis dalam pemberian pertolongan

pertama pada pasien trauma di IGD RS. Labuang Baji Makassar. Indikator

yang digunakan dalam penilaian kinerja tenaga medis pada penelitian ini

adalah ketepatan waktu pelayanan dan pernah mengikuti pelatihan

kegawatdaruratan.

Baik : Ketanggapan dan kinerja baik, jika tepat waktu pelayanan

dan pernah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan.

Kurang : Ketanggapan dan kinerja kurang, jika tidak tepat waktu

pelayanan dan tidak pernah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan.

BAB IV

20

Page 21: Respon Time

METODE PENELITIAN

IV.1 Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian dengan rancangan deskriptif yang

dimaksudkan untuk mendeskripsikan data sebagaimana adanya. Data yang

diperoleh dari hasil survey ini selanjutnya akan digambarkan berdasarkan tujuan

penelitian yang akan dicapai.

IV.2. Subjek Penelitian

a. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah semua tenaga medis perawatan yang

bertugas di IGD RS. Labuang Baji Makassar dan semua data rekam medik

pasien (pasien trauma) yang dirawat di IGD RS Labuang Baji Makassar

Januari 2013

b. Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah tenaga medis perawatan yang bertugas di

IGD RS. Labuang Baji Makassar dengan semua data rekam medik pasien

(pasien trauma) yang dirawat di IGD RS Labuang Baji Makassar Januari 2013.

Metode sampling yang digunakan adalah total sampling yaitu semua populasi

dijadikan sebagai sampel.

c. Cara Pengambilan Sampel

Menetapkan seluruh populasi yang tercatat di IGD RS. Labuang baji Makassar

sebagai sampel, kemudian sampling dilakukan dengan cara mengambil seluruh

tenaga paramedis perawatan di IGD RS Labuang Baji selama periode

penelitian.

IV. 3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria Inklusi

Semua tenaga medis perawatan di IGD yang terdaftar

Tenaga medis perawatan yang berada di IGD RS Labuang Baji selama

periode penelitian.

Tenaga medis yang mengisi dan mengembalikan kuesioner penelitian

Data rekam medik pasien yang tertera keterangan waktu datang dan

waktu respon time

21

Page 22: Respon Time

b. Kriteria Eksklusi

Tenaga medis perawatan yang tidak berada di IGD RS Labuang Baji

selama periode penelitian.

Tenaga medis yang tidak mengisi dan mengembalikan kuesioner

penelitian

Data rekam medik pasien yang tidak tertera keterangan waktu datang

dan waktu respon time

IV.4 Teknik pengumpulan Data

Data Primer

Pengumpulan data diperoleh dengan teknik wawancara, menggunakan

kuesioner yang diisi langsung oleh responden dan 4 lembar check list yang

memuat daftar fasilitas medis yang harus tersedia di IGD.

Data sekunder

Pengumpulan data diambil dari data rekam medik pasien.

IV.5 Pengolahan Data

Data yang terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan perangkat

komputer dan kalkulator. Data hasil penelitian ini kemudian disajikan melalui

beberapa tahapapan yaitu:

1. Editing data dilakukan untuk memeriksa adanya kesalahan atau kekurang-

lengkapan data yang diisi oleh responden. Hal ini dapat dikerjakan dengan

memeriksa tiap lembar kuesioner pada waktu menerima dari pengumpulan

data.

2. Coding data dilakukan untuk memberi kode nomor jawaban yang diisi oleh

responden yang terdapat pada daftar pertanyaan. Hal ini dilakukan untuk

memudahkan peneliti dalam proses entry data pada pengolahan dengan

menggunakan komputer.

3. Entry data yang sudah dilakukan pengkodean dimasukkan kedalam komputer

dengan menggunakan program SPSS untuk dilakukan analisa data.

DAFTAR PUSTAKA

22

Page 23: Respon Time

1. Sucista A. 2011. Pembuatan aplikasi penentuan rute optimal menuju pelayanan

gawat darurat berbasis mobile. Skripsi. Stmik Amikom: Yogyakarta.

2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Tentang Standar

Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta.

3. Purnama DI. 2008. Evaluation of Obstetric Emergency Referral Cases at Dr. Cipto

Mangunkusumo Hospital January - December 2008. Skripsi. Jakarta.

4. Pranowo KT, Hendrik. 2006 Pengaruh waktu Penatalaksanaan Kegawatdaruratan

Medis terhadap Mutu Pelayanan di Instalasi Gawat Daurat Bantul. Skripsi.

Yogyakarta.

5. Haryatun N. 2008. Perbedaan Waktu Tanggap Tindakan Keperawatan Pasien

Cedera Kepala Kategori 1 – V di Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Moewardi:

Jawa Tengah.

6. Pratiwi A, Panggah W. 2008. Hubungan Beban Kerja Dengan Waktu Tanggap

Perawat Gawat Darurat Menurut Persepsi Pasien Di Instalasi Gawat Darurat RSU.

Pandan Arang Boyolali. Jawa Tengah.

7. Manuaba TW. Tindak bedah organ dan sistem organ payudara. In: R.

Sjamsuhidayat, Jong WD, editor. Buku ajar ilmu bedah. 2nd ed. Jakarta: EGC;

2005. p. 388- 401.

8. Driscoll P, David Skinner. Initial assessment and management Primary Survey

Peter Driscoll. available at

www.primarytraumacare.org/PTCmain/Training/pdf/PTCC_INDO.pdf

9. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. Edisi 7. Komisi Trauma “IKABI”

2004.

10. Dries D. Initial Evaluation of the Trauma Patient. Update on 2 January 2012,

available at http://www.medscape.com

11. Saanin S. Manajemen Penanganan Korban Bencana Tindakan Pada Pasien

Gawat-Darurat. Update on 29 th Desember 2011, available at

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery

12. Anjaryani WD. 2009. Kepuasan Pasien Rawat Inap Terhadap Pelayanan Perawat di

RSUD Tugurejo Semarang. Skripsi. Universitas Diponegoro: Semarang.

13. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Tentang Standar Instalasi

Gawat Darurat Rumah Sakit. Jakarta.

23

Page 24: Respon Time

14. Permana HP. 2007. Indikator Kinerja Rumah Sakit. Update on 26 th January 2012,

available at Indikator Kinerja RS-Hanna Subanegara.pdf.

15. Pranowo KT, Hendrik. 2006 Pengaruh waktu Penatalaksanaan Kegawatdaruratan

Medis terhadap Mutu Pelayanan di Instalasi Gawat Daurat Bantul. Skripsi.

Yogyakarta.

24

Page 25: Respon Time

Level IV

Memberikan pelayanan sebagai berikut:

1. Diagnosis dan penanganan : Permasalahan pada A, B, C dengan alat- alat yang lebih

lengkap termasuk ventilator

2. Penilaian disability, penggunaan obat, EKG, defibrilasi

3. Observasi HCU/R. Resusitasi –ICU

4. Bedah cito

Level III

Memberikan pelayanan sebagai berikut:

1. Diagnosis dan penanganan : Permasalahan pada A, B, C dengan alat- alat yang lebih

lengkap termasuk ventilator

2. Penilaian disability, penggunaan obat, EKG, defibrilasi

3. Observasi HCU/R. Resusitasi –ICU

4. Bedah cito

Level II

Memberikan pelayanan sebagai berikut:

1. Diagnosis dan penanganan : Permasalahan pada A: Jalan nafas (Airway problem) B:

Pernafasan (Breathing problem) dan C: Sirkulasi pembuluh darah (Circulation

problem)

2. Penilaian disability, penggunaan obat, EKG, defibrilasi

3. Bedah cito

Level I

Memberikan pelayanan sebagai berikut:

1. Diagnosis dan penanganan : Permasalahan pada A: Jalan nafas (Airway problem) B:

Pernafasan (Breathing problem) dan C: Sirkulasi pembuluh darah (Circulation

problem)

2. Melakukan Stabilisasi dan evakuasi

25

Page 26: Respon Time

Level IV Level III Level II Level I

Memberik

an pelayanan

sebagai

berikut:

5.Diagnosis dan

penanganan :

Permasalahan

pada A, B, C

dengan alat-

alat yang lebih

lengkap

termasuk

ventilator

6.Penilaian

disability,

penggunaan

obat, EKG,

defibrilasi

7.Observasi

HCU/R.

Resusitasi –

ICU

8.Bedah cito

Memberik

an pelayanan

sebagai

berikut:

1. Diagnosis dan

penanganan :

Permasalahan

pada A, B, C

dengan alat-

alat yang lebih

lengkap

termasuk

ventilator

2. Penilaian

disability,

penggunaan

obat, EKG,

defibrilasi

3. Observasi

HCU/R.

Resusitasi –

ICU

4. Bedah cito

Memberik

an pelayanan

sebagai

berikut:

1. Diagnosis dan

penanganan :

Permasalahan

pada A: Jalan

nafas (Airway

problem) B:

Pernafasan

(Breathing

problem) dan

C: Sirkulasi

pembuluh

darah

(Circulation

problem)

2. Penilaian

disability,

penggunaan

obat, EKG,

defibrilasi

3. Bedah cito

Memberika

n pelayanan

sebagai

berikut:

1. Diagnosis dan

penanganan :

Permasalahan

pada A: Jalan

nafas (Airway

problem) B:

Pernafasan

(Breathing

problem) dan

C: Sirkulasi

pembuluh

darah

(Circulation

problem)

2. Melakukan

Stabilisasi dan

evakuasi

Kualifikasi

26

Page 27: Respon Time

Tenaga

Dokter

Subspesialis

Semu

a jenis

on

call

- - -

Dokter Spesialis - 4

Besar

+ -

Anast

esi on

site

- (dr

Spesia

lis on

call)

- Bedah,

obgyn,

Anak,

Penyakit

Dalam on

site (dokter

spesialis

lain on call

- Anak,

Penyak

it

Dalam

on call

Bedah

,

obgyn

Dokter PPDS On

site

24

jam

On site 24

jam (Rs

Pendidikan

)

- -

Dokter Umum

(+Pelatihan

Kegawatdaruratan

) GELTS, ATLS,

ACLS dll

On

site

24

jam

On site 24

jam

On site

24 jam

On

site 24

jam

Perawat Kepala

S1,

DIII(+Pelatihan

Kegawat

Daruratan)

Emergency

Nursing, BTLS,

BCLS dll

Jam

kerja /

Diluar

jam

kerja

Jam kerja /

Diluar jam

kerja

Jam

kerja /

Diluar

jam

kerja

Jam

kerja /

Diluar

jam

kerja

Perawat

(+Pelatihan

On

site

On site 24 On site On

site 24

27

Page 28: Respon Time

Emergency

Nursing)

24

jam

jam 24 jam jam

Non Medis

Bagian Keuangan

Kamtlb (24 jam)

Pekarya (24 jam)

On

site

24

jam

On site 24

jam

On site

24 jam

On

site 24

jam

1. Pengertian – Pengertian 1. Pasien Gawat Darurat : adalah Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan

menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.

2. Pasien Gawat Tidak Darurat : adalah Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat, misalnya kanker stadium lanjut.

3. Pasien Darurat Tidak Gawat : adalah Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam nyawa dan anggota badanya, misalnya luka sayat dangkal.

4. Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat : adalah pasien yang datang dalam keadaan baik tidak mengancam nyawa dan anggota badannya, misalnya pasien dengan ulcus tropicum.

5. Kecelakaan (accident) adalah suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai faktor yang datangnya mendadak, tidak dikehendaki sehingga menimbulkan cedera (fisik, mental, social).

enis – jenis tindakan emergency

Tindakan penyelamatan jiwa pada pasien henti nafas dan henti jantung Penanganan serangan jantung / payah jantung, sesak nafas Penanganan akut abdomen Resusitasi cairan akibat dehidrasi / penanggulangan shock Penanggulangan pendarahan saluran cerna Penanggulangan penyakit stroke Penanggulangan trauma / kecelakaan Penanggulangan patah tulang, kelainan musculoskeletal Penanggulangan intotoksikasi obat / bahan lain Penanganan penyakit akut lainnya Pembedaan minor Penanggulangan bencana alam Penanganan keracunan massal

Tenaga medis

Dokter - dokter IGD memiliki latar belakang pendidikan :

PPGD (Penanggulangan Pasien Gawat Darurat) ACLS (Advance Cardiac Life Support)

28

Page 29: Respon Time

Serta pelatihan – pelatihan lain yang sangat diperlukan dalam menangani kasus – kasus gawat darurat.

Fasilitas :

IGD RS. Usada Insani memiliki sarana serta prasarana yang memadahi, berkapasitas 11 tempat tidur yaitu :

Ventilator Ambulatory Peralatan Resusitasi Rung tindakan medical Ruang observasi Ruang tindakan bedah minor Ruang tunggu yang nyaman Ambulans

IGD RS. usada Insani menerima pasien yang berobat baik pasien umum, asuransi dan pasien jaminan perusahaan

Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini

memberikan gambaran superfisial dari respon fisik terhadap cedera. Trauma juga

mempunyai dampak psikologis dan sosial dan dapat menyebabkan hilangnya

produktivitas seseorang. Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok

umur di bawah 35 tahun. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor

empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun, merupakan penyebab kematian utama.7

Trauma dpat didefinisikan sebagai cedera pada tubuh akibat pemajanan akut tubuh

kesuatu bentuk energi atau akibat ketiadaan suatu bahan esensial misalnya oksigen dan

panas (Shechy,1989). Walaupun jaringan memiliki elastisitas untuk menyerap energi,

namun apabila kemampuan tersebut terlampaui maka akan terjadi cedera. Cedera dapat

terbatas pada satu organ atau sistem, misalnya pada kecelakaan lalu lintas yang banyak

mengakibatkan cedera pada kepala, dada, perut, dan tulang.

Tidak seperti penyakit progresif, trauma adalah suatu kejadian akut. Dalam

beberapa detik, kondisi pasien trauma dapat bergeser dari keseimbangan relatif menjadi

stres fisiologis yang berat. Derajat stres bergantung pada faktor-faktor misalnya

keparahan cedera yang dialami, efektivitas usaha resusitasi, usia dan patofisiologi yang

29

Page 30: Respon Time

sudah ada sebelumnya (Richardson & Rodriguez, 1987). Anak, lansia, dan pasien yang

sudah mengidap penyakit lain dapat meninggal akibat stres dalam waktu yang lebih

cepat dan memiliki resiko mengalami komplikasi yang lebih besar. Di pihak lain tubuh

anak yang lebih besar dan orang dewasa muda yang sehat dapat melakukan kompensasi

lebih lama sehingga deteksi cedera yang samar menjadi lebih sulit.

30