64
RESPONSI KASUS ASFIKSIA NEONATORUM Oleh: UTAMI HANDAYANI (0802005154) MEY WULANDARI (0802005162) DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITRAAN KLINIK MADYA SMF ILMU KESEHATAN ANAK FK UNUD-RSUP SANGLAH DENPASAR JULI 2012 1

Responsi Kasus Asfiksia Neonatorum

Embed Size (px)

Citation preview

RESPONSI KASUS

ASFIKSIA NEONATORUM

Oleh:

UTAMI HANDAYANI (0802005154)

MEY WULANDARI (0802005162)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITRAAN KLINIK MADYA

SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FK UNUD-RSUP SANGLAH DENPASAR

JULI 2012

I. PENDAHULUAN

1

Di seluruh dunia, setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada tahun pertama

kehidupannya dan dua pertiganya meninggal pada bulan pertama. Dua pertiga dari

yang meninggal pada bulan pertama meninggal pada minggu pertama. Dua pertiga

dari yang meninggal pada minggu pertama, meninggal pada hari pertama. Penyebab

utama kematian pada minggu pertama kehidupan adalah komplikasi kehamilan dan

persalinan seperti asfiksia, sepsis dan komplikasi berat lahir rendah. Menurut hasil

riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian perinatal di

Indonesia adalah gangguan pernapasan (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis

neonatorum (12.0%).1

Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena

gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat

gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Perubahan pertukaran

gas dan transport oksigen selama kehamilan dan persalinan akan mempengaruhi

oksigenasi sel–sel tubuh yang selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan fungsi sel.

Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi ibu selama

kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan.

Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk, penyakit

menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung, dan lain-lain. Pada gangguan

yang terakhir ini pengaruh terhadap janin disebabkan oleh gangguan oksigenasi serta

kekurangan pemberian zat-zat makanan berhubungan dengan gangguan fungsi

plasenta.1

Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir

kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental

dan gangguan belajar. Asfiksia neonatorum adalah kegawat daruratan bayi baru lahir

berupa depresi pernapasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai

komplikasi.1

II. TINJAUAN PUSTAKA

2

2.1 Definisi

Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi baru lahir tidak bernafas

secara spontan, teratur, dan adekuat. Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi

multiorgan, kejang dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidosis metabolik. Bayi

yang mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko

disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama.

Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda : 2,3,4

1) Ikatan Dokter Anak Indonesia: Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas

secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir

yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.

2) WHO: Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan

teratur segera setelah lahir.

3) ACOG dan AAP: Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila

memenuhi kondisi sebagai berikut:

a) Nilai Apgar menit kelima 0-3

b) Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)

c) Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)

d) Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan

kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem

renal).

Atas dasar pengalaman klinis, Asfiksia Neonatorum dapat dibagi dalam :

1) Vigorous baby: skor APGAR 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat

2) Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang): skor APGAR 4-6 pada

pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari lOOx/ menit, tonus

otot kurang baik atau baik, sianosis, iritabilitas tidak ada 

3) Asfiksia berat: skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan fisis ditemukan' frekuensi

jantung kurang dari l00x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-

kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada

3

Asfiksia berat dengan henti jantung yaitu keadaan 2: 

1. Bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap.

2. Bunyi jantung bayi menghilang post partum.

2.2 Etiologi

Asfiksia neonatorum akan terjadi jika terdapat gangguan pertukaran gas atau

pengangkutan O2 dari ibu ke janin. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan,

persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia pada bayi baru

lahir merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama

kehamilan dan persalinan. memegang peran penting untuk keselamatan bayi atau

kelangsungan hidup yang sempurna tanpa gejala sisa.

Asfiksia neonatorum dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu 4,5:

1) Faktor neonatus

Lanjutan asfiksia intra partum; aspirasi cairan amnion, darah, meconium, dan

muntahan; imaturitas paru; kelainan jantung bawaan pada paru; anemia pada

fetus; retardasi pertumbuhan intra uterin; kehamilan lewat waktu; infeksi

fetus.

2) Faktor ibu

Hipoksia ibu karena anemia berat, penyakit paru kronis; menurunnya aliran

darah dari ibu ke fetus pada hipotensi karena perdarahan, preeklamsia,

eklamsia, diabetes militus; obat anastesi yang berlebih pada ibu.

3) Faktor plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi

plasenta. .Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada

plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.

2.3 Patofisiologi

2.3.1 Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir

4

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk

mengeluarkan karbon dioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin

dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir

seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi

pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang

bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.

Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber

utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,

dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan

oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli 2,4,6.

Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada

sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara

dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami

relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. Keadaan relaksasi

tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri

pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru

meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun.

Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis

dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri,

kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan

keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi

pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru

mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya

melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak

oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh6.

5

Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan

paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas

yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan

pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.

Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan

berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan4,6.

2.3.2 Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi

Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah

lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama

persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta

atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin.

Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan

nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing

seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke

dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan

menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik)6.

Selain itu kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di

paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga

terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Pada

beberapa kasus, arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi walaupun paru-paru

sudah terisi dengan udara atau oksigen (Persisten Pulmonary Hypertension

Newborn, disingkat menjadi PPHN)4,6.

2.3.3 Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal

Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-

parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan

6

insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan

menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol

pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri

sistemik tidak mendapat oksigen2.

Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada

organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung

dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen.

Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-

organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka

terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung,

penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan

berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi

jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan

organ tubuh lain, atau kematian.

Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih

tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak,

otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen;

bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot

jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot

jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta

sebelum dan selama proses persalinan, takipnu (pernapasan cepat) karena

kegagalan absorbsi cairan paru-paru dan sianosis karena kekurangan oksigen di

dalam darah4,6.

2.3.4 Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir mengalami gangguan di dalam

kandungan atau pada masa perinatal

Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital

pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode

7

awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer

(gambar 1)2. Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan

menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus

berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan

kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali

usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan harus diberikan untuk

mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen2.

Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer.

Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder sebagaimana

diperlihatkan dalam gambar di bawah ini (kecuali jika terjadi kehilangan darah

pada saat memasuki periode hipotensi). Bayi dapat berada pada fase antara apnu

primer dan apnu dan seringkali keadaan yang membahayakan ini dimulai sebelum

atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai berapa lama bayi

telah berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik tidak dapat

membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan yang

ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang

membahayakan itu6.

Gambar 1. Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apnu.1

Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu adalah

apnu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan apnu

sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam keadaan

apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai pernapasan.

8

Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir sebagian besar bayi

baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat cepat dalam hal

peningkatan frekuensi jantung 6,9.

Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak

memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang

membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah

jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan

obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi 6,9.

2.4 Gambaran Klinis4

Secara klinis, bayi baru lahir yang mengalami asfiksia akan menunjukkan gejala:

1) Pernafasan terganggu (distress pernafasan)

2) Bradikardi

3) Reflex lemah

4) Tonus otot menurun

5) Warna kulit biru atau pucat

2.5 Diagnosis

Penegakan diagnosis dapat ditegakkan melalui beberapa cara, yaitu:

2.5.1 Anamnesis

Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia

neonatorum, baik faktor neonates, faktor ibu, dan faktor plasenta. Anamnesis yang

kuat dan menunjukkan tanda-tanda asfiksia neonatus ini dapat membantu

menegakkan diagnosis.4

2.5.2 Pemeriksaan fisik

Asfiksia dapat terjadi selama periode intrauterine atau antepartum, durante partum

maupun post partum. Bila bayi mengalami asfiksia intrauterine berarti ia mengalami

kejadian gawat janin atau fetal distress. Penegakan diagnosis asfiksia durante atau

9

postpartum dapat ditegakkan dengan menentukan nilai APGAR score pada menit 1,

5, 10, dan 15.4

Cara menentukan skor APGAR7,8,9:

1. Bayi baru lahir diletakkan di bawah radiant heater

2. Pemeriksaan dilakukan pada menit pertama dan kelima setelah lahir

3. Bila penilaian menit ke-5 <7, penilaian dilanjutkan setiap 5 menit sampai

menit ke-20

4. Penilaian APGAR meliputi 5 kriteria (Tabel 1)

Tabel 1. Skor APGAR

Klinis 0 1 2

Detak jantung Tidak ada < 100 x/menit >100x/menit

Pernafasan Tidak ada Tak teratur Tangis kuat

Refleks saat jalan nafas

dibersihkan

Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin

Tonus otot Lunglai Fleksi ekstrimitas

(lemah)

Fleksi kuat

gerak aktif

Warna kulit Biru pucat Tubuh merah

ekstrimitas biru

Merah seluruh

tubuh

Nilai 0-3   : Asfiksia berat

            Nilai 4-6   : Asfiksia sedang

            Nilai 7-10 : Normal

Nilai APGAR diperhatikan pada menit ke-1 dan menit ke-5. bila nilai APGAR 5

menit  masih kurang dari 7, penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai

7. Nilai APGAR berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan 

10

menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30

detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. 9

2.5.3 Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium 2,3 :

1) Hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali

pusat:

2) PaO2 < 50 mm H2O

3) PaCO2 > 55 mm H2

4) pH < 7,30

Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan

penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa 3:

1) Darah perifer lengkap

2) Analisa gas darah sesudah lahir

3) Gula darah sewaktu

4) Elektrolit darah (kalsium, Natrium, Kalium)

5) BUN/SC

6) Laktat

7) Pemeriksaan thorax foto dan BOF tiga posisi

8) Pemeriksaan USG kepala

9) Pemeriksaan EEG

10) CT scan kepala

11

2.6 Tatalaksana

Prinsip tatalaksana bayi baru lahir yang mengalami asfiksia meliputi 5:

1) Segera dilakukan sesudah bayi lahir

2) Intervensi harus cepat, tepat, jangan sampai terlambat (jangan menunggu hasil

penilaian APGAR menit 1)

3) Pada dasarnya pada setiap bayi baru lahir kita harus melakukan penilaian

terhadap 5 hal : Apakah air ketuban tanpa meconium? Apakah bayi bernapas

atau menangis? Apakah tonus otot baik? Apakah warna kulit merah muda?

Apakah bayi cukup bulan?

Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur

perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di

dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila

terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan

satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan 8,9:

(1) Langkah awal dalam stabilisasi

(a) Memberikan kehangatan

Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan

telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi

seluruh tubuh.8 Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi

hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan

merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan seperti penggunaan

plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar panas pada bayi

kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan adalah alas penghangat8,9.

(b) Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya

Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu

agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan

mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan

ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa

endotrakeal.9

12

(c) Membersihkan jalan napas sesuai keperluan

Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia

aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi

adalah dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu

(intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari beberapa senter

menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang bermakna dalam

mencegah aspirasi mekonium.9

Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada

keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam

cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus

otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan

penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi

mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah pemasangan

laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter

penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis.

Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar,

pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa

mekoneum.10

(d) Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang

benar

Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan akan

memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah

posisi yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas

adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau

menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh atau

ekstremitas bayi.9

Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua

rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder, rangsangan

apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau

13

dua tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang

waktu yang berharga dengan terus menerus memberikan rangsangan taktil.9

(2) Ventilasi tekanan positif

(3) Kompresi dada

(4) Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander)

Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan

dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan

warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali,

dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya (bagan.2).7,8

Bagan 2. Diagram alur resusitasi neonatus

14

(5) Penilaian

Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu tidaknya resusitasi

lanjutan. Tanda vital yang perlu dinilai adalah sebagai berikut:

(1) Pernapasan

Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dan

dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil. Pernapasan yang

megap-megap adalah pernapasan yang tidak efektif dan memerlukan

intervensi lanjutan.9

(2) Frekuensi jantung

Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi jantung

dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian dikalikan 10 sehingga

akan dapat diketahui frekuensi jantung permenit.9

(3) Warna kulit

Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh. Setelah

frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada sianosis sentral

yang menandakan hipoksemia. Warna kulit bayi yang berubah dari biru

menjadi kemerahan adalah petanda yang paling cepat akan adanya pernapasan

dan sirkulasi yang adekuat. Sianosis akral tanpa sianosis sentral belum tentu

menandakan kadar oksigen rendah sehingga tidak perlu diberikan terapi

oksigen. Hanya sianosis sentral yang memerlukan intervensi.9

Terapi medikamentosa9 :

Epinefrin :

  Indikasi :

- Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan

ventilasi adekuat dan pemijatan dada

- Asistolik 

 Dosis :

15

- 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB)

 Cara : 

- IV atau endotrakeal

- Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu

.

Volume ekspander :

   Indikasi :

- Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan

tidak ada respon dengan resusitasi

- Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok.

Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan

pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat

  Jenis cairan :

- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)

- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah

banyak 

  Dosis :

- Dosis awal 10 ml/kg BB . IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang

sampai menunjukkan respon klini

- Bikarbonat :

   Indikasi :

- Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi.

Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik 

- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan

hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan

kimiawi

  Dosis :

- 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%)

Cara :

16

- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak

diberikan secaraintravena dengan kecepatan minimal 2 menit

  Efek samping :

- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat

merusak fungsi miokardium dan otak 

.

- Nalokson :

Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak menyebabkan

depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan

stabil

  Indikasi :

- Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan

narkotik 4 jam sebelum persalinan Jangan diberikan pada bayi baru

lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai pemakaiobat narkotika sebab

akan menyebabkan tanda with drawl tiba-tiba pada sebagian bayi

  Dosis :

- 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)

Cara :

- Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan im atau sc

Antibiotika

- Diberikan pada asfiksia berat, yaitu golongan ampisilin atau

aminoglikosid)

2.7 Komplikasi

Penyulit terpenting pada asfiksia neonatorum adalah 8:

Perdarahan dan oedema otak

Hipoksik iskemik ensefalopati (HIE)

NEC

GGA

17

Patofisiologi komplikasi pasca hipoksia

Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan dapat pula

terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada keadaan hipoksia akut

akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti otak, jantung, dan

kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan organ lain

seperti kulit, jaringan muskuloskeletal serta organ-organ rongga abdomen dan rongga

toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal.8

Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan resistensi vaskular

pembuluh darah otak dan jantung serta meningkatnya resistensi vaskular di perifer.

Hal ini dapat terlihat dalam penelitian lain oleh Akinbi dkk.(1994) yang melaporkan

bahwa pada pemeriksaan ultrasonografi Doppler ditemukan kaitan yang erat antara

beratnya hipoksia dengan menurunnya velositas aliran darah serta meningkatnya

resistensi jaringan di ginjal dan arteri mesenterika superior. Perubahan ini dapat

menetap sampai hari ke-3 neonatus. Perubahan resistensi vaskular inilah yang

dianggap menjadi penyebab utama redistribusi curah jantung pada penderita, hipoksia

dan iskemia neonatus. Faktor lain yang dianggap turut pula mengatur redistribusi

vaskular antara lain timbulnya rangsangan vasodilatasi serebral akibat hipoksia yang

disertai akumulasi karbon dioksida, meningkatnya aktivitas saraf simpatis dan adanya

aktivitas kemoreseptor yang diikuti pelepasan vasopresin. Redistribusi aliran darah

pada penderita hipoksia tidak hanya terlihat pada aliran sistemik tetapi juga terjadi

saat darah mencapai suatu organ tertentu. Hal ini dapat terlihat pada aliran darah otak

yang ditemukan lebih banyak mengalir ke batang otak dan berkurang ke serebrum,

pleksus khoroid, dan masa putih. Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan

oksigen untuk menghasilkan energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya

proses glikolisis anerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan

piruvat) menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya

pH darah sehingga terjadilah asidosis metabolik. Perubahan sirkulasi dan

metabolisme ini secara bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik

sementara ataupun menetap9.

18

Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat dibandingkan

dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor redistribusi aliran darah

terutama aliran darah otak, sehingga risiko terjadinya gangguan hipoksik iskemik dan

perdarahan periventrikular lebih tinggi. Demikian pula disfungsi jantung akibat

proses hipoksik iskemik ini sering berakhir dengan payah jantung. Karena itu tidaklah

mengherankan apabila pada hipoksia berat, angka kernatian bayi kurang bulan,

terutama bayi berat lahir sangat rendah yang mengalami hipoksia berat dapat

mencapai 43-58%.9

Disfungsi multi organ pada hipoksia/iskemia

Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat bervariasi

tergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan keadaan

hipoksia akut terjadi, masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal, serta faktor

lingkungan penderita termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa penelitian

melaporkan, organ yang paling sering mengalami gangguan adalah susunan saraf

pusat. Pada asfiksia neonatus, gangguan fungsi susunan saraf pusat hampir selalu

disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan failure). Kelainan

susunan saraf pusat yang tidak disertai gangguan fungsi organ lain, hampir pasti

penyebabnya bukan asfiksia perinatal.9,10

Sistem Susunan Saraf Pusat

Pada keadaan hipoksia aliran darah ke otak dan jantung lebih dipertahankan dari

pada ke organ tubuh lainnya, namun terjadi perubahan hemodinamik di otak dan

penurunan oksigenisasi sel otak tertentu yang selanjutnya mengakibatkan

kerusakan sel otak. Penelitian Yu, menyebutkan 8-17% bayi penderita serebral

palsi disertai dengan riwayat perinatal hipoksia. Salah satu gangguan akibat

hipoksia otak yang paling sering ditemukan pada masa perinatal adalah

ensefalopati hipoksik iskemik (EHI). Pada bayi cukup bulan keadaan ini timbul

saat terjadinya hipoksia akut, sedangkan pada bayi kurang bulan kelainan lebih

sering timbul sekunder pasca hipoksia dan iskemia akut. Manifestasi gambaran

klinik bervariasi tergantung pada lokasi bagian otak yang terkena proses hipoksia

dan iskemianya. 4,10

19

Pada saat timbulnya hipoksia akut atau saat pemulihan pasca hipoksia terjadi dua

proses yang saling berkaitan sebagai penyebab perdarahan peri/intraventrikular.

Pada proses pertama, hipoksia akut yang terjadi menimbulkan vasodilatasi

serebral dan peninggian aliran darah serebral. Keadaan tersebut menimbulkan

peninggian tekanan darah arterial yang bersifat sementara dan proses ini

ditemukan pula pada sirkulasi kapiler di daerah matriks germinal yang

mengakibatkan perdarahan. Selanjutnya keadaan iskemia dapat pula terjadi akibat

perdarahan ataupun renjatan pasca perdarahan yang akan memperberat keadaan

penderita. Pada proses kedua, perdarahan dapat terjadi pada fase pemulihan pasca

hipoksia akibat adanya proses reperfusi dan hipotensi sehingga menimbulkan

iskemia di daerah mikrosirkulasi periventrikular yang berakhir dengan

perdarahan. Proses yang mana yang lebih berperan dalam terjadinya perdarahan

tersebut belum dapat ditetapkan secara pasti, tetapi gangguan sirkulasi yang

terjadi pada kedua proses tersebut telah disepakati mempunyai peran yang

menentukan dalarn perdarahan tersebut.4,10

Sistem Pernapasan

Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita asfiksia neonatus

masih belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori mengemukakan bahwa

hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan iskemianya atau dapat pula

terjadi karena adanya disfungsi ventrikel kiri, gangguan koagulasi, terjadinya

radikal bebas oksigen ataupun penggunaan ventilasi mekanik dan timbulnya

aspirasi mekonium.10

Martin-Ancel (1995) dalam penelitiannya terhadap 72 penderita asfiksia, 19 bayi

(26%) di antaranya menderita kelainan pernapasan dan 14 bayi mernerlukan

tindakan ventilasi mekanik. Jenis kelainan pernapasan yang ditemukan pada

penilitiannya adalah sindroma aspirasi mekonium (6 penderita), hipertensi

pulmonal (3 penderita), perdarahan paru (4 penderita), dan sisanya menderita

transient respiratory distress of the newborn.10

20

Sistem kardiovaskuler

Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi miokardium yang

berakhir dengan payah jantung. Disfungsi miokardium terjadi karena menurunnya

perfusi yang disertai dengan kerusakan sel miokard terutama di daerah

subendokardial dan otot papilaris kedua bilik jantung. Pada penelitian terhadap 72

penderita asfiksia hanya 29% bayi yang menderita kelainan jantung. Kelainan

yang ditemukan bersifat ringan berupa bising jantung akibat insufisiensi katup

atrioventrikuler dan kelainan ekokardiografi khas yang menunjukkan iskernia

miokardium. Kelainan jantung lain yang mungkin ditemukan pada penderita

asfiksia berat antara lain gangguan konduksi jantung, aritmia, blok

atrioventrikuler dan fixed heart rate.10

Sistem urogenital

Pada sistem urogenital, hipoksia bayi dapat menimbulkan gangguan perfusi dan

dilusi ginjal serta kelainan filtrasi glomerulus. Aliran darah yang kurang

menyebabkan nekrosis tubulus dan perdarahan medula. Dalam penelitian terhadap

30 penderita asfiksia neonatus Jayashree G, dkk.(1991) menemukan disfungsi

ginjal pada 43 % bayi dengan gejala oliguria disertai urea darah >40 mg% dan

kadar kreatinin darah >1 mg%.34 Sedangkan Martin-Ancel, dkk. menemukan

42% dari 72 bayi penderita asfiksia menderita berbagai gangguan fungsi ginjal

yang tercermin dari pemeriksaan klinik dan laboratorium penunjang.10

Sistem gastrointestinal

Kelainan saluran cerna ini terjadi karena radikal bebas oksigen yang terbentuk

pada penderita hipoksia beserta faktor lain seperti gangguan koagulasi dan

hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel dinding usus. Gangguan fungsi yang

terjadi dapat berupa kelainan ringan yang bersifat sementara seperti muntah

berulang, gangguan intoleransi makanan atau adanya darah dalam residu lambung

sampai kelainan perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikans kolestasis dan

nekrosis hepar.10

21

Sistem audiovisual

Gangguan pada fungsi penglihatan dan pendengaran dapat terjadi secara langsung

karena proses hipoksia dan iskemia, ataupun tidak langsung akibat hipoksia

iskernia susunan saraf pusat atau jaras-jaras yang terkait yang menimbulkan

kerusakan pada pusat pendengaran dan penglihatan. Johns ,dkk. pada penelitian

terhadap 6 bayi prematur yang menderita kelainan jantung bawaan sianotik, 3

bayi di antaranya menderita retinopati. Retinopati yang ditemukan ternyata tidak

hanya karena peninggian tekanan oksigen arterial tetapi pada beberapa penderita

disebabkan oleh hipoksemia yang menetap. Selain retinopati, kelainan perdarahan

retina dilaporkan pula pada bayi penderita perinatal hipoksia. Penelitian Luna

(1995) yang memeriksa secara berkala (antara usia 1 sampai 36 bulan) ketajaman

dan lapangan penglihatan 66 bayi penderita asfiksia, menemukan bahwa nilai

ketajaman serta luas lapangan penglihatan bayi prematur lebih rendah dan lebih

sempit bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan normal. Gangguan ketajaman

dan lapangan penglihatan tersebut semakin nyata apabila bayi juga menderita

kelainan susunan saraf pusat seperti perdarahan intraventrikuler atau leukomalasi

periventrikuler. Penelitian jangka panjang dengan alat brainstem auditory evoked

responses yang dilakukan pada bayi dengan riwayat asfiksia, menemukan

gangguan fungsi pendengaran pada sejumlah bayi. Selanjutnya dari penelitian

tersebut dilaporkan bahwa kelainan pendengaran ditemukan pada 17,1% bayi

pasca asfiksia yang disertai gangguan perkembangan otak, dan 6,3% pada

penderita tanpa gangguan perkembangan otak.10

2.8 Prognosis

Tergantung pada apakah komplikasi metabolik, kardiopulmonal

(hipoksia,hipoglikemia,syok) dapat diobati, umur kehamilan bayi (paling jelek

preterm), tingkat keparahan encefalopati hipoksik iskemik, Apgar score rendah pada

menit ke-20, tidak ada respirasi spontan pada usia 20 menit, menetapnya tanda-tanda kelainan

22

neurologis pada usia 2 minggu dapat menyebabkan kematian atau defisit kognitif dan motorik yang

berat.10

BAB III

TINJAUAN KASUS

23

3.1 Identitas

Nama : Bayi Nurhayati

Tanggal lahir : 30 Juli 2012

Jenis kelamin : Laki- laki

Alamat : Jalan Belo Utara Desa Belo, Bima

Tanggal MRS : 30 Juli 2012 Pukul 09.43 WITA

Tanggal Pemeriksaan : 31 Juli 2012

3.2 Anamnesis (Heteroanamnesis – Ibu Pasien)

Keluhan utama

Bayi lahir spontan tidak langsung menangis

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien merupakan bayi laki-laki lahir di VK kebidanan RSUP Sanglah pada

tanggal 30 Juli 2012 pukul 08.32 WITA. Pada saat dilahirkan dikatakan bayi

tidak langsung menangis dan sempat kelihatan biru, kemudian diberi oksigen.

Dikatakan juga bahwa terdapat benjolan yang cukup besar pada kepala bayi,

luka pada wajah dan mata yang mungkin disebabkan karena proses persalinan

yang sulit dan dengan menggunakan forceps. Saat ini pasien dirawat intensif

di Ruang Cempaka Barat untuk observasi lebih lanjut terutama komplikasi

yang mungkin terjadi seperti kejang, penurunan kesadaran, dan perubahan

kondisi pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak Ada

Riwayat Pengobatan

Tidak Ada

24

Riwayat Sosial

Pasien merupakan anak pertama dari kehamilan pertama.

Riwayat Prenatal

- Antenatal Care (ANC) dikatakan teratur dan dilakukan setiap bulan di

bidan.

- Dikatakan pernah dilakukan USG (1 kali) di dokter spesialis

kandungan, dengan hasil tidak ada perdarahan dan tidak tampak

adanya kelainan.

- Hari pertama haid terakhir tanggal 27 Oktober 2011.

- Riwayat penggunaan obat sedasi, analgesi ataupun anastesi disangkal

oleh ibu

Riwayat Intranatal

- Ibu didiagnosis dengan G1P0000, dengan umur kehamilan 39- 40

minggu, pre eklamsia berat dan ketuban pecah dini stadium I (keluar

air).

- Pasien lahir tanggal 30 juli 2012 pukul 08.32 WITA .

- Ketuban pecah tanggal 30 juli 2012 pukul 00.00 WITA.

- Tidak ada riwayat perdarahan, gawat janin, dan demam.

- Dilakukan iduksi persalinan dengan menggunakan forceps, oleh

karena ibu didiagnosis pre eklampsia berat

Riwayat Penyakit Ibu

Demam saat kehamilan, hipertensi dalam kehamilan, anemia, diabetes

melitus, penyakit paru kronis, penyakit hati dan ginjal, penyakit kolagen dan

pembuluh darah, perdarahan, dan riwayat kematian neonatus sebelumnya

disangkal oleh ibu pasien.

Faktor Resiko Infeksi

25

Mayor Minor

Ibu demam (suhu>380c (-) Ketuban Pecah Dini >12 jam (+)

Ketuban Pecah dini >24 jam (-) Asfiksia (1’ <5 : 5’7 ) (-)

Konoamnionitis (-) BBLSR (-)

Fetal distress DJJ > 160 x/ menit (-) Umur kehamilan <37 minggu (-)

Ketuban hijau (-) Gemeli (-)

Keputihan (+)

Tersangka ISK (+)

Ibu demam >37,5 0c (-)

Skor minor : 3

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Present:

Aktifitas tonus refleks ATR : cukup

Tangis : merintih

Denyut jantung : 138 kali/menit

Nadi : 110 x/ menit

Respirasi : 34 x/ menit

Tax : 36,8 0c

Berat badan lahir : 3100 gram

Panjang badan lahir : 48 cm

Lingkar kepala : 33 cm

Lingkar dada : 33 cm

APGAR Score

1’ 5’

Appearance 0 1

Pulse 2 2

26

Grimace 1 1

Activity 2 2

Respiration 1 2

6 8

Status General:

Kepala : normocephali, ubun- ubun besar terbuka datar, ubun- ubun

kecil terbuka datar, terdapat cephal hematome dengan

diameter 10 cm pada regio parieto occipital, tidak terdapat

caput succedaneum, terdapat jejas berupa cekungan dalam

ukuran 1 cm x 2 mm dengan kedalaman 2 mm (berkurang/

menipis)

Mata : hematom pada regio periorbital kanan, hiperemi konjungtiva

pada mata kanan, tidak ada ikterus, refleks pupil positif pada

kedua mata, pupil isokor

THT : tidak ada nafas cuping hidung maupun sianosis

Leher : tidak ada pembesaran kelenjar

Thoraks

Cor : Inspeksi : tidak ada precordial bulging dan ictus cordis

Palpasi : teraba ictus cordis ICS IV MCL sinistra

Auskultasi : S1S2 normal reguler, tidak ada murmur

Pulmo : Inspeksi : bentuk normal, simetris saat statis dan dinamis,

tidak ada retraksi

Palpasi : gerakan dada simetris

Auskultasi : suara nafas bronkovesikuler

Abdomen : Inspeksi : tidak ada distensi, tidak tampak vena, tali pusar layu

Auskultasi : bising usus normal

Palpasi : hepar just palpable, lien tidak teraba

Genitalia : tidak ada rugal skrotum

Anus : ada

27

Ekstremitas : akral hangat pada keempat ekstremitas,tidak ada edema, tidak

ada sianosis, waktu pengisian kapiler > 3 detik, plantar

creases 2/3 anterior

Kulit : tidak ada sianosis maupun ikterus, kulit putih atau pucat

Kelainan bawaan: tidak ada

3.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Darah lengkap (30/07/2012)

Parameter Hasil Unit Remarks Normal

WBC 103/μL Normal 9,8- 34,00

#Ne 8,67 103/μL Normal 6-23,50

#Lym 5,58 103/μL Normal 2,50- 10,50

#Mo 0,76 103/μL Normal 0,00-3,50

#Eo 0,26 103/μL Normal 0,00- 2,00

#Ba 0,15 103/μL Normal 0,00- 0,40

RBC 4,91 106/μL Normal 4,00- 6,60

HGB 15,70 g/dl Normal 14,50-22,50

HCT 45,00 % Normal 45,00 – 67,00

MCV 91,60 fl Rendah 92,00- 121,00

MCH 31,90 pg Normal 31,00- 37,00

MCHC 34,90 g/dl Normal 29,00-36,00

RDW 21,30 % Tinggi 14,90-18,70

PLT 11,00 103/μL Rendah 140,00-440,00

b. Kimia Klinik

CRP : 0,10 mg/dL (nilai rujukan: 0,0- 5,00)

c. CT Scan Kepala irisan aksial:

28

Terdapat lesi pada falx cerebri posterior, brain edema, dan SCALP hematome pada

regio parieto occipital

3.5 Assessment

Neonatus cukup bulan (Sesuai masa kehamilan) dengan asfiksia sedang dan

perdarahan subarakhnoid.

3.6 Penatalaksanaan

a. Ketika baru lahir

Neonatus lahir

Evaluasi : neonatus cukup bulan (+), segera bernafas/menangis(-), tonus otot baik (+)

Letakkan dibawah radian t heater

Posisikan dalam sneffing posisition, suction dari mulut lalu hidung

Keringkan dan posisikan kembali neonatus mulai menangis, HR> 100x/ menit , kulit

sianosis

Berikan O2 flow aliran bebas dalam 10 lpm, tangis cukup, kulit kemerahan

Perawatan observasi/ suportif

b. Perawatan observasi/ suportif

1. Jaga kehangatan

2. Rawat tali pusat

3. Injeksi vitami K1 1 mg (IM)

29

4. Bolus NaCL 0,9% 30 ml

5. Observasi 6 jam

6. Puasa 6 jam

7. Pantau tanda vital

8. Pantau cephal hematom

9. Monitor : tanda vital, cairan masuk dan keluar, berat badan, dan tanda-tanda

distress napas

BAB IV

PEMBAHASAN

30

Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara

spontan dan teratur segera setelah lahir. Hal ini dapat terjadi oleh sebab yang

timbul baik pada kehamilan maupun persalinan atau segera setelah lahir. Asfiksia

akan bertambah buruk jika dilakukan pengelolaan yang tidak adekuat. Tindakan yang

diperlukan bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan

membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. Asfiksia disertai dengan hipoksia,

hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis.

Hipoksia dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan

ekstrauterin, keadaan inimerupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi

baru lahir. Frekuensi gangguan perdarahan pada bayi sebagai akibat hipoksia sangat

tinggi. Asidosis, gangguan vaskularisasi serta komplikasinya sebagai akibat langsung

dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir.

Kegagalan ini akan berlanjut menjadi sindrom gangguan pernapasan pada hari-hari

pertama setelah lahir.1

Penyelidikan Patologi Anatomi menunjukkan nekrose berat dan difus pada

jaringan otak bagi yang meninggal karena hipoksia.. Untuk menghindari atau

mengurangi kemungkinan tersebut di atas, perlu dipikirkan tindakan istimewa yang

tepat dan rasional sesuai dengan perubahan yang mungkin terjadi pada asfiksia.1

  Pasien ini dikatakan tidak segera menangis sewaktu lahir dan biru, kemudian

mendapat terapi oksigen. Hal ini merupakan salah satu tanda terjadinya hipoksia pada

bayi akibat kekurangan oksigen. Setelah dilakukan evaluasi dengan skor Apgar

didapatkan skor 6-8 yang dapat dikatakan bahwa bayi mengalami asfiksia sedang.

1. Diagnosis

Pasien Tinjauan Pustaka

Anamnesis Anamnesis

31

- Pasien dikeluhkan tidak

langsung menangis dan

sempat biru sesaat setelah

dilahirkan

- Dikatakan terdapat benjolan

yang cukup besar pada

kepala pasien, luka pada

wajah dan mata yang

kemungkinan disebabkan

karena proses persalinan

dengan forceps

- Pada saat intranatal ibu

mengalami preeklamsia berat

dan ketuban pecah dini

Pemeriksaan Fisik

- Tangis merintih

- Skor APGAR : 4-6

- Tidak menangis dan biru pada pasien

merupakan salah satu tanda hipoksia

awal yang mungkin disebabkan oleh

tidak adekuatnya oksigen oleh karena

sumbatan jalan pernafasan.

- Cidera yang terjadi pada pasien ini

merupakan salah satu komplikasi dari

tindakan persalinan dengan forceps.

Penggunaan forceps merupakan salah

satu faktor resiko terjadinya asfiksia

neonatorum.

- Preeklamsia pada saat proses kelahiran

juga dapat mengakibatkan terjadinya

asfiksia pada neonatus. Hipoksia yang

terjadi pada ibu juga akan hipoksia

pada bayi.

Pemeriksaan Fisik

- Tangis merintih dapat dipakai sebagai

tanda untuk kecurigaan terdapat

sumbatan atau permasalahan pada

jalan nafas atau sistem pernafasan.

- Skor apgar 4-6 (Mild-moderate

asphyxia)- Asfiksia sedang. Pada

pemeriksaan fisis akan terlihat

frekuensi jantung lebih dari 100/menit,

tonus otot kurang baik atau baik,

32

- Terdapat cephal hematome

dengan diameter 10 cm pada

regio parieto occipital

- Terdapat jejas berupa

cekungan dalam ukuran 1 cm

x 2 mm kedalaman 2 mm

(berkurang/ menipis)

- hematom regio periorbital

kanan, hiperemi konjungtiva

mata kanan

- Kulit pucat

sianosis, refleks iritabilitas tidak ada

- Merupakan salah satu tanda adanya

visceral congestion.

- Kemungkinan merupakan cedera

akibat penggunaan forceps. Mungkin

dapat juga terjadi perdarahan akibat

proses ini.

- Suatu edema yang terjadi akibat

obstruksi pembuluh darah balik dan

kongesti vena kapiler. Biasanya

ditemukan adanya dilatasi dan

pembuluh darah dan stasis darah,

ditemukan pada otak dan wajah.

Sedangkan hiperemi konjunctiva dapat

merupakan manifestasi petechiae

hemorrhage. Pecahnya vena kecil

akibat distensi yang mendadak atau

peningkatan tekanan intravaskular

yang menyebabkan terbentuknya

“tardive spot” dengan ukuran 1-2 mm,

lokasi yang paling sering terkena

adalah sklera dan konjunctiva.

- Kulit pucat merupakan salah satu

manifestasi klinis neonatus dengan

gejala asfiksia neonatorum.

33

Pemeriksaan penunjang

- Trombositopenia

- CT Scan: lesi pada falx cerebri

posterior, brain edema, dan SCALP

hematome pada regio parieto-

occipital

Kemungkinan terjadi penurunan Hb

paling sedikitnya sebesar 5 mg/ 100

ml, sehingga jaringan lunak dan kulit

(bibir dan kuku) mengalami defisiensi

oksigen yang ditandai dengan

perubahan warna menjadi biru.

Pemeriksaan penunjang

- Trombositopenia dapat terjadi akibat

perdarahan. Pada bayi ini terdapat

perdarahan subaraknoid, sehingga

dapat dicurigai terjadinya

trombositopenia akibat dari perdarahan

di daerah tersebut.

- Lesi yang ditemukan pada CT Scan

menunjukkan bahwa terjadi perdrahan

pada daerah kepala sebagai akibat dari

tindakan induksi persalinan akibat

pengunaan forceps. Edema otak dapat

terjadi karenan adanya perdarahan

yang luas pada daerah otak.

Diagnosis

Neonatus Cukup Bulan (Sesuai

masa kehamilan)

- Asfiksia sedang

- Cephal hematome

Diagnosis

Pasien ini merupakan neonatus cukup bulan (sesuai masa

kehalilan) yaitu berusia 37 minggu,

didiagnosis asfiksia sedang sesuai dengan

keadaan klinis yang sesuai kemudian dinilai

dengan Skor Apgar dengan nilai 4-6.

Sedangkan diagnosis perdarahan subaraknoid

ditegakkan melalui pemeriksaan CT Scan

34

dengan ditemukan adanya lesi pada falx

cerebri posterior, brain edema, dan SCALP

hematome pada regio parieto- occipital.

2. Penatalaksanaan

Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan kelangsungan

hidup bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul di kemudian

hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir

dengan memberikan ventilasi yang adekuat dan pemberian oksigen yang cukup.

Resusitasi Awal

Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat

dipilih dan ditentukan secara adekuat. Pada pemeriksaan atau penilaian awal

dilakukan dengan menjawab 4 pertanyaan:

1. apakah neonatus cukup bulan?

2. apakah air ketuban jernih?

3. apakah neonatus bernapas atau menangis?

4. apakah tonus otot neonatus baik atau kuat?

.

35

Bila semua jawaban ”ya” maka neonatus dapat langsung dimasukkan dalam prosedur

perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Neonatus dikeringkan, diletakkan

di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Pada

kausu ini terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas yaitu neonatus

tidak segera menangis, maka neonatus memerlukan satu atau beberapa tindakan

resusitasi berikut ini secara berurutan:

(1) langkah awal dalam stabilisasi

(a) memberikan kehangatan

Neonatus diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam

keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh neonatus dan

memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.

(b) memposisikan neonatus dengan sedikit menengadahkan kepalanya

Neonatus diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi

menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus

yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik

untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk

pemasangan pipa endotrakeal.

(c) membersihkan jalan napas sesuai keperluan

Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia

aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah

aspirasi adalah dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum

lahirnya bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari

beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang

bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium. Cara yang tepat untuk

membersihkan jalan napas adalah bergantung pada keaktifan neonatus dan

ada/tidaknya mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan

neonatus tidak bugar (neonatus mengalami depresi pernapasan, tonus otot

kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan

penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom

aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah

36

pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea,

kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut,

faring dan trakea sampai glotis. Bila terdapat mekoneum dalam cairan

amnion namun neonatus tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas

dilakukan seperti pada neonatus tanpa mekoneum.

(d) mengeringkan neonatus, merangsang pernapasan dan meletakkan pada

posisi yang benar

Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan

akan memberi rangsang yang cukup pada neonatus untuk memulai

pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan

pengeringan, neonatus belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil

dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan

menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas neonatus. Neonatus yang

berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua rangsangan,

sementara neonatus yang berada dalam apnu sekunder, rangsangan apapun

tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua

tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang

waktu yang berharga dengan terus menerus memberikan rangsangan taktil.

(2) ventilasi tekanan positif

(3) kompresi dada

(4) pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander)

37

38

Setelah neonatus stabil perawatan pasca resusitasi sebagai berikut:

1. Jaga kehangatan

Suhu bayi perlu dijaga karena bayi rentan mengalami hipotermi.

2. Rawat tali pusat

Tali pusat perlu dirawat dengan tujuan agar tali pusat tidak mengalami

infeksi.

3. Injeksi vitami K1 1 mg (IM)

Sebagai pencegahan perdarahan intrakranial

4. Bolus NaCL 0,9% 30 ml

Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai berikut: neonatus baru

lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon

dengan resusitasi, hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau

syok. Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil atau lemah, dan

pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.

Dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang

sampai menunjukkan respon klinis. Jenis cairan yang diberikan dapat berupa

larutan kristaloid isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat) atau tranfusi golongan

darah O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.

5. Observasi 6 jam

6. Puasa 6 jam

7. Pantau tanda vital, berat badan, dan cairan masuk atau keluar

Pemantauan tanda vital dan keseimbangan cairan penting dilakukan untuk

menilai konplikasi yang terjadi setelah asfiksia pada sistem seperti saraf,

kardiovaskular, paru, vaskuler, respirasi, metabolik, ginjal, dan

gastrointestinal

8. Pantau cephal hematom

Cephal hematome perlu dipantau terus supaya tidak terjadi perdarahan

kembali ataupun untuk menilai apakah ada komplikasi atau tidak.

39

BAB V

PENUTUP

Prognosis dari asfiksia neonaturum tergantung pada apakah komplikasi metabolik,

kardiopulmonal (hipoksia,hipoglikemia, dan syok) dapat diobati, umur kehamilan

bayi, tingkat keparahan encephalopati hipoksik iskemik, Apgar score rendah pada

menit ke-20, tidak ada respirasi spontan pada usia 20 menit, menetapnya tanda-tanda

kelainan neurologis pada usia dua minggu dapat menyebabkan kematian atau defisit

kognitif dan motorik yang berat. Pada pasien ini setelah dilakukan follow up beberapa

kali, secara klinis dan dari pemantauan tanda vital, pasien membaik. Selain itu, pada

menit ke delapan skor Apgar mencapai 8, menandakan adanya perbaikan pada

asfiksia pasien tersebut. Penanganan pada bayi yang tepat berupa resusiatasi awal dan

penangnan suportif juga membuat perkembangan bayi menjasi baik sampai saat ini,

Pada umumnya asfiksia sedang tidak menimbulkan komplikasi yang berat.

40

DAFTAR PUSTAKA

1. Pebcegahan dan Penatalakasanaan Asfiksia Neonatorum. Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. 2008

2. Leuthner SR, Ug D. Apgar Score and the definition of birth asphyxia. Pediatric Clinic N

Am 2004:51:737-45

3. IDAI. Asifiksia Neonatorum Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta.

Badan Penerbit IDAI;2004:272-276

4. McGuiver W. Perinatal Asphyxia. Clin Evid 2006;15:1-2

5. Misra PK, Thakur S. Perinatal mortality in rural India with special references to high risk

pregnancies. Journal of Tropical Pediatrics. 2004;33:242-252

6. Williams CE, Mallard C and Tan Gluckman PD. Pathophysiology of perinatal asphyxia.

Clin Perinatof 1993;20:305-23

7. IDAI-Perinasia, UKK-Perinatologi. Panduan resusitasi neonates. Edisi ke-6 . Juni 2006

8. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah

Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Asfiksia Neonatorum. Pedoman Pelayanan Medis

Kesehatan Anak 2011:401-403

9. Suradi R, Aminullah A, Kosim S. Pencegahan dan panatalaksaan afiksia neonatorum.

Health Technology Assesement Indonesia, Departmen Kesehatan Indonesia.2008

10. Martin AA, Gracia AA, Gaya F,dkk. Multiple organ involvement in perinatal asphyxia.

Journal Pediatric 2005;127:786-93

11. Yu VYH. Prognosis in infants with birth asphyxia. Academic Pediatric Singapore.

2000;35:481-86

41