38
BAB I PENDAHULUAN Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air dan zat terlarut. Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan lainnya; jika salah satu terganggu, maka demikian pula lainnya. Karena cairan dan elektrolit yang menciptakan lingkungan intraseluler dan ekstraseluler bagi semua sel dan jaringan tubuh, maka ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi pada semua golongan penyakit. Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Sindroma klinis ini disebabkan oleh ketidak seimbangan antara kebutuhan oksigen dan pasokan oksigen ke jaringan. Terganggunya pasokan oksigen merupakan problem primer pada syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok obstruktif dan syok distributif. Syok diatasi dengan resusitasi cairan. Tujuan resusitasi cairan adalah untuk memperbaiki gangguan sirkulasi, sehingga kebutuhan oksigen jaringan dapat terpenuhi. 3

Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cinta anes bangedddd :)

Citation preview

Page 1: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

BAB I

PENDAHULUAN

Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan

tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air dan zat terlarut. Elektrolit adalah zat kimia

yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan.

Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan intravena (IV)

dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya

distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh.

Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan lainnya; jika salah satu

terganggu, maka demikian pula lainnya.

Karena cairan dan elektrolit yang menciptakan lingkungan intraseluler dan ekstraseluler bagi

semua sel dan jaringan tubuh, maka ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi pada

semua golongan penyakit.

Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi sehingga tidak dapat memenuhi

kebutuhan oksigen jaringan. Sindroma klinis ini disebabkan oleh ketidak seimbangan antara

kebutuhan oksigen dan pasokan oksigen ke jaringan. Terganggunya pasokan oksigen merupakan

problem primer pada syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok obstruktif dan syok distributif.

Syok diatasi dengan resusitasi cairan. Tujuan resusitasi cairan adalah untuk memperbaiki gangguan

sirkulasi, sehingga kebutuhan oksigen jaringan dapat terpenuhi.

3

Page 2: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI CAIRAN

A. Anatomi Cairan Tubuh

Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah

tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1

tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun

mengandung air sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase

jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-

60% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50 % berat badan. Hal ini terlihat pada

tabel berikut :

Usia Kilogram Berat (%)

3 bulan 80

6 bulan 70

1-2 tahun 59

11-16 tahun 58

Dewasa 58-60

Dewasa dengan obesitas 40-50

Dewasa kurus 70-75

Dikutip dari : Garner MW: Physiology and pathophysiology of the body fluid, St.Louis,

1981, Mosby.

Air adalah pelarut bagi semua zat terlarut dalam tubuh baik dalam bentuk suspensi

maupun larutan. Air tubuh total (TBW, total body water), yaitu persentase dari berat air

dibandingkan dengan berat badan total, bervariasi menurut jenis kelamin, umur dan

kandungan lemak tubuh. Air membentuk sekitar 60% dari berat seorang pria dan sekitar

50% dari berat badan wanita. Pada orangtua, TBW sekitar 45% sampai 50% dari berat

badannya. Karena lemak pada dasarnya bebas air, maka makin sedikitnya lemak akan

mengakibatkan makin tingginya persentase air dari berat badan orang itu. Sebaliknya,

jaringan otot memiliki kandungan air yang tinggi. Oleh karena itu dibandingkan dengan

orang kurus, orang gemuk mempunyai TBW yang relatif lebih kecil dibandingkan berat

badannya. Secara proporsional, wanita umumnya mempunyai lebih banyak lemak, dan lebih

sedikit otot jika dibandingkan dengan pria, sehingga kandungan airnyapun lebih kecil

dibandingkan dengan berat badannya. Orang yang lebih tua juga mempunyai persentase

4

Page 3: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

lemak tubuh yang lebih tinggi jika dibandingkan orang muda. Akhirnya TBW paling tinggi

pada bayi baru lahir, yaitu 75% dari berat badan totalnya. Persentase ini akan cepat menurun

sampai menjadi sekitar 60% pada akhir tahun pertama, dan kemudian berangsur-angsur

turun sampai mencapai proporsi orang dewasa pada usia menjelang dewasa.

Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen

intraselular dan kompartemen ekstraselular. Pada orang dewasa kira-kira 40%

berat badannya atau dua pertiga dari TBW-nya berada di dalam sel atau disebut sebagai

cairan intraseluler (ICF). Sisanya yaitu sepertiga TBW atau 20% dari berat badan, berada di

luar sel, disebut sebagai cairan ekstraseluler (ECF). Bagian cairan ekstraseluler dibagi lagi

menjadi bagian cairan interstitiel-limfe (ISF) yang terletak diantara sel (15%) dan cairan

intravaskuler (IVF) atau plasma (5%). Selain ISF dan IVF, sekresi khusus seperti cairan

serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna, membentuk sebagian kecil (1%

sampai 2% dari berat badan) dari cairan ekstraseluler yang disebut sebagai cairan

transeluler.

1. Cairan intra seluler

Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada

orang dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat

di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan

berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya

setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.

2. Cairan ekstraseluler

Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah

relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi

baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan

ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular

menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding

dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70

kg. Cairan ekstraseluler dibagi menjadi :

a. Cairan interstitial

Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial,

sekitar 11-12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk

dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran tubuh, volume

ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan

orang dewasa.

5

Page 4: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

b. Cairan intravaskuler

Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah

(contohnya volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa

sekitar 5-6L dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri

dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.

c. Cairan transeluler

Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu

seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular

dan sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume

cairan transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah

banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.

Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.

Elektrolit merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik.

Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan

anion dalam larutan adalah selalu sama.

1. Kation

Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation utama

dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding

sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.

2. Anion

Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-),

sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO43-).

Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama

maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak

mencerminkan komposisi cairan intraseluler.

1. Natrium

Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di dalam

mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter.12 Kadar

natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme:

a. Left atrial stretch reseptor

b. Central baroreseptor

c. Renal afferent baroreseptor

d. Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)6

Page 5: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

e. Atrial natriuretic factor

f. Sistem renin angiotensin

g. Sekresi ADH

h. Perubahan yang terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body Water)

Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat

berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan

keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl). Natrium

dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam dan

keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium (muntah, diare) sedangkan

pemasukkan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium.

Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari

cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari

dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat dipertahankan terjadilah

kegagalan sirkulasi.

2. Kalium

Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan penting di

dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh

sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat

berpindah adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel. Kadar kalium plasma

3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat

berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90

mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.

3. Kalsium

Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90% dikeluarkan lewat

faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada intake,

besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh

kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar (99%)

ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam

sel.

4. Magnesium

Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk pertumbuhan +10

mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.

5. Karbonat

Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil akhir

daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali bikarbonat

7

Page 6: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

yang akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat

penting peranannya dalam keseimbangan asam basa.

Zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh selain air dan elektrolit ada zat non elektrolit.

Zat non elektrolit merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam

cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.

B. Asupan dan Kehilangan Cairan dan Elektrolit pada Keadaan Normal

Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah oleh stres

akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada paru-paru,

kulit atau traktus gastrointestinal. Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-

rata sebanyak 2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan

kehilangan cairan rata-rata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml

kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.

Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu

1. Perubahan volume

a. Defisit Volume

Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling

umum. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat

muntah, penyedot nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat

berupa kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan,

peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang

cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada

kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan

ekstraselular yang berat terjadi.

Dehidrasi

Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari

natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau

hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering

terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10%

dari kasus.

1) Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama

dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium

besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen

ekstravaskular.

2) Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan

kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis).

8

Page 7: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air

yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen

intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan

penurunan volume intravaskular.

3) Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan

kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara

garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang

hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah

ke kompartemen intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume

intravaskular.

b. Kelebihan volume

Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic

(pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl

ataupun pemberian cairan intravena glukosayang menyebabkan kelebihan air)

ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis,

ataupun gagal jantung kongestif.9,10 Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika

terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.

2. Perubahan konsentrasi

a. Hiponatremia

Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi,

iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan

timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia

(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah,

third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat

diterapi dengan restriksi cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140-

X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg. Koreksi hiponatremia yang

sudah berlangsung lama dilakukan secara perlahan-lahan, sedangkan untuk

hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan

dapat menggunakan rumus :

Na= Na1 – Na0 x TBW

Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)

Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan

Na0 = Na serum yang actual

TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)

b. Hipernatremia

9

Page 8: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,

letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan

(diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang,

asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5%

dekstrose dalam air sebanyak :

{(X-140) x BB x 0,6}: 140.12

c. Hipokalemia

Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari

cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium

tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan

EKG (QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot

skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi

faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida

sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium

klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia

berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat). Rumus untuk

menghitung defisit kalium:

K = (K1 – K0) x 0,4 x BB

K = kalium yang dibutuhkan

K1 = serum kalium yang diinginkan

K0 = serum kalium yang terukur

BB = berat badan (kg)

d. Hiperkalemia

Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau

obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin,

diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia,

kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi

untuk hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit,

sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.

3. Perubahan komposisi

a. Asisdosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)

Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan

ventilasi alveolar. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat

10

Page 9: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi

abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan.

Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi

endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene

trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting.

b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)

Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang

dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi

sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk

mengkoreksi masalah yang mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia,

penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang

terjadi.

c. Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)

Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan

bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus

kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah

peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok,

diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol.

Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi

bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah

kompensasi alkalosis respirasi digunakan.

d. Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)

Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat

dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah

adalah hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang

digunakan adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium.

Koreksi alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH,

PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.

C. Patofisiologi Cairan Tubuh

Tiga kategori umum dari perubahan yang menjelaskan abnormalitas cairan tubuh

adalah: volume, osmolalitas, dan komposisi. Meskipun gangguan-gangguan pada ketiga hal

ini saling berhubungan, tapi sesungguhnya masing-masing merupakan bagian yang terpisah.

Ketidakseimbangan volume terutama mempengaruhi cairan ekstraseluler (ECF) dan

menyangkut kehilangan atau bertambahnya natrium dan air dalam jumlah yang relatif sama,

sehingga berakibat kekurangan atau kelebihan volume ECF. Misalnya, kehilangan cairan

11

Page 10: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

ECF isotonik yang mendadak, seperti yang terjadi pada diare, diikuti dengan penurunan

yang bermakna pada volume cairan intraseluler (ICF). Cairan tidak akan berpindah dari ICF

ke ECF selama osmolalitas pada kedua kompartemen tetap sama. Gangguan volume ECF

umumnya diketahui dari gejala dan tanda klinis.

Ketidakseimbangan osmotik terutama mempengaruhi ICF dan menyangkut

kehilangan atau bertambahnya natrium dan air dalam jumlah yang relatif tidak seimbang.

Jika hanya air saja yang hilang, atau bertambahnya air yang berasal dari ECF, maka

konsentrasi partikel-partikel yang aktif secara osmotik akan berubah. Ion natrium

merupakan 90% dari partikel-partikel yang aktif secara osmotik pada ECF, dan umumnya

mencerminkan osmolalitas dari kompartemen cairan tubuh. Jika konsentrasi natrium pada

ECF menurun, maka air berpindah dari ECF ke ICF (menyebabkan pembengkakan sel)

sampai tercapainya kembali keseimbangan osmolalitas pada kedua kompartemen.

Sebaliknya jika konsentrasi natrium pada ECF naik, maka air akan berpindah dari ICF ke

ECF (menyebabkan pengkerutan sel), sampai tercapai kembali keseimbangan osmolalitas

pada kedua kompartemen. Gangguan osmotik umumnya berkaitan dengan hiponatremi dan

hipernatremi, sehingga nilai natrium serum penting untuk mengenali keadaan ini.

Kekurangan volume ECF atau hipovolemia didefinisikan sebagai kehilangan cairan

tubuh isotonik, yang disertai kehilangan natrium dan air dalam jumlah yang relatif sama.

Kekurangan volume isotonik seringkali disalahartikan sebagai dehidrasi.

Kekurangan volume cairan adalah keadaan yang umum terjadi pada berbagai

keadaan dalam klinik. Keadaan ini hampir selalu berkaitan dengan kehilangan cairan tubuh

melalui ginjal atau diluar ginjal. Penurunan volume cairan lebih cepat terjadi jika kehilangan

cairan tubuh yang abnormal disertai dengan penurunan asupan.

Penyebab tersering kekurangan volume cairan adalah kehilangan sebagian dari

sekresi saluran cerna (total 8L/ hari). Kehilangan yang bermakna dapat terjadi pada muntah

yang berkepanjangan, penyedotan nasogastrik, diare berat, fistula, atau perdarahan. Karena

konsentrasi natrium pada cairan ini tinggi, maka kehilangan cairan ini merupakan gabungan

dari kekurangan natrium dan air. Sekresi lambung juga mengandung ion kalium dan

hidrogen dalam jumlah besar, maka kekurangan volume di atas sering disertai alkalosis dan

hipokalemia. Kehilangan sekresi saluran cerna bagian bawah, yang mengandung banyak

bikarbonat selain natrium dan kalium, sering mengakibatkan kekurangan volume cairan

yang disertai asidosis metabolik dan hipokalemia.

Penyebab-penyebab kekurangan volume cairan lain yang sering terjadi adalah

tersimpannya cairan pada cedera jaringan lunak, luka bakar berat, peritonitis atau obstruksi

saluran cerna. Terkumpulnya cairan di dalam ruang non ECF dan non-ICF disebut

12

Page 11: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

penempatan pada ruang ketiga. Yang dimaksud adalah distribusi cairan yang hilang ke

ruang tertentu dimana tidak mudah terjadi pertukaran dengan ECF. Pada prinsipnya cairan

menjadi terperangkap dan tidak dapat dipakai oleh tubuh. Penumpukan volume cairan yang

cepat dan banyak pada ruang-ruang seperti itu berasal dari volume ECF sehingga dapat

mengurangi volume sirkulasi darah efektif.

D. Cairan Intravena

1. Cairan Kristaloid

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).

Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap

pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok

anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.

Kriteria cairan kristaloid

a. Mengandung zat dengan Berat Molekul rendah (<8000 dalton)

b. Dengan atau tanpa glukosa

c. Tekanan onkotik rendah cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstraseluler

d. Efek volume interstisiel lebih baik daripada koloid

e. Lebih sering menyebabkan sembab perifer dibandingkan dengan cairan koloid

f. Potensial menyebabkan sembab paru sama dengan cairan koloid

g. Contoh: Ringer Laktat, NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%

Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)

ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit

volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30

menit. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit

larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru

serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila

seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian lain menunjukkan pemberian

sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu,

pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan

meningkatnya tekanan intra kranial.

Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih

banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid

sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel. Larutan Ringer

13

Page 12: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi

cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan

intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami

metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering

digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan

asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar

bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.

2. Cairan Koloid

Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma

substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang

mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini

cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh

karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada

syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan

kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar). Kerugian dari plasma expander

yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat

menyebabkan gangguan pada “cross match”.

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:

a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%)

Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk

membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain

mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.

Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali terdapat dalam

fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infuse

dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps

kardiovaskuler.

b. Koloid sintesis

1) Dextran

Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70

(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri

Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun

Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan

Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi

mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu

14

Page 13: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet

adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan

melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat

mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal

ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu

dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

2) Hydroxylethyl Starch (Heta starch)

Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-rata

71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian

500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam

waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat

menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase

( walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch)

mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali

volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya

sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan

tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk

resusitasi cairan pada penderita gawat.

3) Gelatin

Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-

rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:

a) modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)

b) Urea linked gelatin

c) Oxypoly gelatin

Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat.

Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan

urea linked gelatin.

3. Cairan Kombinasi

15

Page 14: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

BAB III

SYOK HIPOVOLEMIK

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan

metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang

adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang

serius seperti perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik),

infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak

terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat

respons imun (syok anafilaktik).

A. Etiologi

Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah dalam

pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif atau

kehilangan plasma darah.

Syok hipovolemik disebabkan oleh turunnya volume intravaskuler lebih dari 15-20%.

Perdarahan adalah penyebab tersering dari syok hipotensif tetapi defisit volume darah dapat

juga disebabkan oleh kehilangan protein plasma, garam, dan air. Keadaan-keadaan klinik

yang biasanya berkaitan dengan syok hipovolemik mencakup trauma, luka bakar, peritonitis,

pankreatitis, muntah berat, diare, fistula dan diuresis.

Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya

terjadi pada:

1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh

seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.

2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang

besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500–1000 ml perdarahan atau fraktur

femur menampung 1000–1500 ml perdarahan.

16

Page 15: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma

atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:

a. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.

b. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.

c. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.

B. Patofisiologi Syok

Proses patofisiologi yang umum pada syok dapat diterapkan pada syok hipovolemik.

Pada dasarnya kerusakan sel-sel diakibatkan oleh gangguan mikrosirkulasi akibat adanya

penurunan curah jantung. Mekanisme kompensasi mencakup otoregulasi pembuluh darah

organ dan adanya kenaikan pelepasan simpatoadrenal. Kenaikan katekolamin yang beredar

berakibat rangsangan terhadap debar jantung dan kontraktilitas serta vasokonstriksi.

Konstriksi terjadi di arteriole dan pembuluh vena kapasitans, sehingga ini merupakan upaya

untuk mengembalikan tekanan darah dan memelihara venous return. Vasokonstriksi pada

mulanya bermanfaat oleh karena darah dialirkan dari organ-organ yang kurang vital (kulit,

ginjal, usus) ke organ-organ yang lebih vital seperti otak dan jantung.

Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah

yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan.

Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme

anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam

laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam

klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis

adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera

dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan

prioritas utama.

Pada awal syok terjadi hiperventilasi karena adanya rangsangan terhadap kemoreseptor

dan adanya asidosis metabolik. Frekuensi pernapasan meningkat kadang-kadang sampai 3 kali

normal, tetapi volume tidal sering turun. Banyak ventilasi yang menjadi percuma oleh karena

aliran pembuluh paru menurun. Kenaikan ventilasi dead space dibarengi oleh kenaikan

ventilasi: ketidakseimbangan perfusi. Shunt yang sebenarnya meningkat kemudian, sebagai

akibat adanya edema paru dan atelektasis.

Sebagai akibat dari hipotensi dan hipovolemi cairan bergerak cepat ke dalam sirkulasi

dan ruang interstisiel. Vasokonstriksi lebih besar pada arterioral (prekapiler) dibandingkan

dengan tahanan (resistance vessels) venular (post kapiler) dari pada anyaman kapiler. Jadi

tahanan kapiler rata-rata menurun dan cairan berpindah ke ruang vaskuler dengan cara

osmosis.

17

Page 16: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

Proses yang sebaliknya terjadi pada syok akhir (late shock) ketika konstriksi naik,

sehingga cairan berpindah ke dalam ruang jaringan. Kehilangan cairan dari sirkulasi juga

didorong oleh berkumpulnya metabolit-metabolit zat vasoaktif yang menaikkan permeabilitas

kapiler. Hemokonsentrasi dan hipovolemi terjadi akibat kehilangan cairan intravaskuler.

Zat-zat vasoaktif yang dilepaskan ke dalam sirkulasi pada syok meliputi histamin, kinin,

dan prostaglandin. Sebagian kinin terjadi dari enzim-enzim proteolitik yang dilepaskan oleh

pemecahan lysosomes. Zat-zat vasoaktif bertanggung jawab terhadap vasodilatasi, kenaikan

permeabilitas kapiler dan efek-efek lain yang meluas terhadap otot-otot halus, jantung dan

mikrosirkulasi disebabkan oleh agregasi platelet dan eritrosit. Pengentalan ini menaikkan

viskositas, menurunkan aliran darah di pembuluh darah kecil dan bisa menjadi predisposisi

untuk DIC.

Penurunan perfusi jaringan menghambat metabolisme sel. Metabolisme anaerob

menyebabkan laktic asidosis, hiperglikemia, dan kegagalan sodium pump. Akibatnya sel-sel

rusak oleh influks Na dan air, dan K berdifusi keluar cairan ekstrasel.

Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan

menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah

jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian

pada beberapa organ:

a. Mikrosirkulasi

Ketika curah jantung menurun, tahanan vaskuler sistemik akan berusaha untuk

meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan

otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal.

Kebutuhan energi untuk melaksanakan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi

tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya

sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi

iskemia yang sangat berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan

otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial pressure/ MAP) jatuh hingga ≤ 60

mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan

terganggu.

b. Neuroendokrin

Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor

tubuh. Kedua reeptor tersebut berperan dalam respon autonom tubuh yang mengatur

perfusi serta substrat lain.

c. Kardiovaskuler

18

Page 17: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

Tiga variabel seperti: pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan

kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung,

penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali dari volume sekuncup dan

frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada

akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat

bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan

curah jantung.

d. Gastrointestinal

Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan

absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati dalam usus. Hal

ini memacu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan

memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.

e. Ginjal

Gagal ginjal akut adalah salah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi

terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak

terjadi kini adalah nekrosis tubuler akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan

pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi.

Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air.

Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteiol aferen meningkat untuk

mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan

vasopresin bertanggungjawab terhadap menurunnya produksi urin.

C. Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non perdarahan atau

perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok.

Respon fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung

sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi

peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormon

stress serta ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan

cairan interstisiel, intraseluler dan menurunkan produksi urin.

Hipovolemia ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardia ringan dengan

sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang berbaring. Pada

hipovolemia sedang (20-40% dari volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia

lebih jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, Namun dapat

19

Page 18: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat maka

gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun drastis dan tak stabil walau dalam

posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke

susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat. Penurunan

kesadaran adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi

bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan yang memiliki

penyakit berat dimana kematian mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari

terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan resusitasi agresif dan cepat.

BAB IV

PENATALAKSANAAN SYOK HIPOVOLEMIK

A. Penatalaksanaan Secara Umum

1. Manajemen Airway

Kalau kesadaran berkabut/ menurun, jalan napas yang bebas harus diamankan.

Oksigen diberikan melalui suatu semi-rigid mask dengan laju aliran tinggi. Terapi

oksigen adalah keharusan pada semua penderita syok. Bila ventilasi tidak baik, intubasi

dan ventilasi terkontrol dilaksanakan. Kanula intravena yang besar dipasang dan

masalah primer diatasi dimana diperlukan (misalnya menghentikan perdarahan).

2. Prinsip Terapi Cairan

Jenis cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kekurangan cairan intravaskuler

akan tergantung pada situasi klinis. Secara umum, plasma diperlukan pada luka bakar,

peritonitis, dan obstruksi usus, sedangkan cairan kristaloid diperlukan pada kehilangan

cairan melalui kehilangan gastrointestinal, diuresis dan dehidrasi akibat berkeringat.

Darah dibutuhkan bila perdarahan melebihi 25% dari volume darah. Bila

kehilangan darah lebih sedikit ini dapat diatasi dengan cairan kristaloid atau plasma

ekspander oleh karena mekanisme kompensasi sangat efektif sampai hematokrit turun di

bawah 0,2. Cairan kristaloid terutama garam fisiologik merupakan suplemen yang

bermanfaat terhadap transfusi darah pada syok hemorhagik, tetapi dibutuhkan volume

yang setara dengan 3 kali volume darah yang hilang, oleh karena akan terjadi distribusi

ke jaringan, yang dapat meningkatkan risiko timbulnya edema paru. Karenanya larutan

koloid (plasma ekspander) sebaiknya digunakan dengan kristaloid. Hematokrit sebesar

0,3, yang optimal untuk transportasi oksigen, sebaiknya dipertahankan.

3. Monitoring

20

Page 19: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

Monitoring rutin harus meliputi debar dan irama jantung, tekanan darah, pernapasan,

keluaran urin, dan suhu. Penggantian cairan diawasi dengan CVP dan dimana ada

indikasi, dengan menentukan tekanan wedge kapiler paru. Hematokrit serial, gas darah,

dan penentuan kadar elektrolit membantu menilai manfaat terapi.

4. Tindakan supportif

a. Terapi elektrolit dan asam basa

Kebanyakan problem asam basa pada syok hipovolemik membaik dengan spontan

bila dilakukan penggantian cairan dan perbaikan ventilasi. Asidosis metabolik berat

yang menetap merupakan tanda prognostik yang jelek dan merupakan indikasi/

pemberian bikarbonat. Gangguan elektrolit harus dikoreksi bersamaan dengan

pemberian cairan.

b. Obat-obat inotropik

Stimulan jantung diberikan bila keadaan syok tetap ada meskipun pemberian cairan

yang cukup, yang dinilai CVP dan PCWP, telah diberikan. Dopamin adalah obat

pilihan, dan diberikan dengan takaran 5-30 ug/kgBB/menit melalui infus.

c. Diuretik

Kalau oliguri tetap ada meskipun volume darah cukup, harus diberikan furosemid

10 mg iv. Bila tidak ada respon, harus dibedakan adanya kegagalan prerenal atau

nekrosis tubular akut dengan memberikan manitol dan dosis tinggi furosemid.

d. Steroid

Penggunaan kortikosteroid pada syok hipovolemik adalah kontroversial. Tidak ada

bukti-bukti yang kuat, Namun steroid dosis tinggi yang diberikan seawal mungkin

bermanfaat melalui efek vasodilatasi, inotropik, lysosime-stabilizing, dan efek

metabolisme seluler. Dosisnya adalah 150 mg hidrokortison/kg (atau ekivalennya),

diulangi setiap 4-6 jam selama 24-48 jam.

B. Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi keadaan hipovolemia yaitu

menanggulangi penyakit yang mendasari dan penggantian cairan yang hilang. Untuk

mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairan yang hilang

dari tubuh. Pada hipovolemia, cairan yang hilang berasal dari cairan ekstraseluler

(intravaskuler dan interstisium) oleh karena cairan yang hilang adalah cairan isotonik.

Dalam keadaan normal, osmolaritas cairan interstisium dan intravaskuler adalah sama, maka

penghitungan cairan yang hilang didasarkan pada persen berkurangnya plasma (cairan

intravaskular).

21

Page 20: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi

elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan

menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus

merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan

pasien.

Bila perdarahan sebaiknya diganti dengan darah juga. Bila persediaan darah tidak ada,

dapat diberikan cairan koloid atau cairan kristaloid seperti NaCl isotonis atau cairan ringer-

laktat. Cairan koloid tetap tertahan dalam intravaskuler, sedangkan cairan kristaloid akan

masuk sebanyak dua pertiganya ke cairan interstisium. Bila cairan keluar dari saluran

intestinal (diare atau muntah), jenis cairan pengganti dapat berupa NaCl isotonis atau ringer-

laktat. Pada diare lebih dianjurkan pemberian ringer-laktat oleh karena potensi terjadinya

asidosis metabolik pada diare berat.

Perlu diingat bahwa volume plasma adalah sebesar 6% dari berat badan orang dewasa.

Sebagai contoh, deplesi volume ringan (20%) pada orang dewasa seberat 60 kg, volume

cairan yang hilang sebesar 20% dari 3,6L adalah 0,72L (720mL). Kecepatan pemberian

cairan tergantung pada keadaan klinis yang terjadi. Pada deplesi volume yang berat,

kecepatan cairan diberi dalam waktu yang cepat hingga terjadi perbaikan takikardia dan

tekanan darah.

Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan

isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk

resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada

pasien kombustio 18--24 jam sesudah cedera luka bakar.

Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid,

koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan

cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan

reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat

berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.

Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan

hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis

yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam

jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik,

kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai

cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.

Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat

terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada

22

Page 21: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer

Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati

berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat

membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.

Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti

kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian.

Pada dehidrasi :

1. Tentukan defisit

2. Atasi syok

a. Cairan infus 20-40 ml/kg secepatnya

b. Dapat diulang

3. Sisa defisit

a. 50% dalam 8 jam pertama + maintenance

b. 50% dalam 16 jam berikutnya + maintenance

Pada Perdarahan

1. Tentukan Blood Loss (ada 3 cara)

Tabel 1

ESTIMASI BLOOD LOST

% EBV

GEJALA – TANDA

10 – 15 % minimal

15 – 25 % Preshock, akral mulai dingin

25 - 35 % Shock, perfusi menurun, T < 90, N > 120

> 35 – 50% Shock berat, perfusi sangat buruk, tensi tak

terukur, nadi tak teraba dan gangguan kesadaran

Tabel II

Class Lost EBV Tekanan Darah Nadi Tanda Lain

I < 15 %

(<10 ml/kg)

Masih normal

Hipotensi Postural +

< 100 Agak gelisah

Napas 14-20

II 15 – 30 %

(10-20 ml/kg)

Sistolik + tetap

Tek. Nadi menurun

Hipotensi postural

> 100 Agak gelisah

Napas 20 – 30

III 30 – 40 %

(20-30 ml/kg)

Sistolik turun > 120 Cap. Refill lambat

Oliguria

Gelisah, bingung

23

Page 22: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

Napas : 30 – 40

IV > 40 %

( >30 ml/kg)

Sistolik sangat turun >140 Kulit dingin keabu-

abuan

Anuria

Bingung lethargy

Sumber : Klasifikasi dari Stene-Gieseck (1991) & ACS (1993)

Tabel III

  KELAS I KELAS II KELAS III KELAS IV

Kehilangan darah sp > 750 cc

Sp 15% EBV

750 cc – 1500 cc

15-30 % EBV

1500- 2000 cc

30-40% EBV

> 2000 cc

> 40% EBV

Denyut nadi < 100 x/m > 100 x/m > 120 x/m > 140 x/m

Tekanan darah Normal Mulai menurun Sangat menurun Tak terukur

Tekanan nadi Normal Menurun Sangat menurun Sangat

menurun

Frequensi

pernapasan

14 – 20 20 – 30 5 – 15 > 40

Produksi urine

( ml/jam )

> 30 20 – 30 5 - 15 Tidak ada

Kesadaran Sedikit cemas Cemas Cemas-bingung

Kesadaran

mulai menurun

Lesu – coma

Replacement

therapy

Kristaloid Kristaloid Kristaloid +

darah

Kristaloid +

darah

Sumber : ATLS

2. Atasi Syok

a. Cairan infus 20-40 ml/kg secepatnya

b. Dapat diulang

24

Page 23: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

BAB V

SIMPULAN

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik

ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-

organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti

perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas

atau emboli paru (syo kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol (syok septik), tonus

vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respons imun (syok anafilaktik).

Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi keadaan hipovolemia yaitu

menanggulangi penyakit yang mendasari dan penggantian cairan yang hilang. Untuk mengetahui

jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairan yang hilang dari tubuh. Pada

hipovolemia, cairan yang hilang berasal dari cairan ekstraseluler (intravaskuler dan interstisium)

oleh karena cairan yang hilang adalah cairan isotonik. Dalam keadaan normal, osmolaritas cairan

interstisium dan intravaskuler adalah sama, maka penghitungan cairan yang hilang didasarkan pada

persen berkurangnya plasma (cairan intravaskular).

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan

kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan

fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek

terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien. Bila perdarahan sebaiknya

diganti dengan darah juga. Bila persediaan darah tidak ada, dapat diberikan cairan koloid atau

cairan kristaloid seperti NaCl isotonis atau cairan ringer-laktat.

25

Page 24: Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik

DAFTAR PUSTAKA

Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati, 2006. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI.

Fakultas Kedokteran Unpad. 2003. Protokol Tindakan Bedah. Bandung: Unpad Press.

Graber, M. A. 2003. Terapi cairan, Elektrolit dan Metabolik Ed.2. Jakarta: Farmedia.

Harnawatiaj, 2008. Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) pada Syok Hipovolemik dalam http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/16/terapi-cairan-intravena/.

Hartanto, Widya W. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

Kaswiyan, U. 2000. Terapi Cairan Perioperatif. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi. Bandung: Fakultas Kedokteran Unpad/ RS. Hasan Sadikin.

Latief, A.S., dkk. 2002. Petunjuk Praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan. Ed. Kedua. Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.

Leksana, E. 2004. Terapi Cairan dan Elektrolit. Semarang: Smf/bagian anestesi dan terapi intensif FK Undip.

Muhardi, Indro Mulyono, Adji Suntoro, O.E. Tampubolon. 1989. Syok Hipovolemik dalam Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit. Jakarta: FKUI. Hal:79-82.

Silvia A. Price, Orraine M. Wilson.1995. Gangguan Cairan dan Elektrolit dalam Patofisiologi konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sunatrio, S. 2000. Resusitasi cairan. Jakarta: Media Aesculapius.

Toni Ashadi, 2008. Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) pada Syok Hipovolemik dalam http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip/012001/sek-1.htm

26