31
BAB. I PENDAHULUAN Pada awal tahun 1960 demam rematik dan komplikasi utamanya penyakit jantung valvuler, merupakan masalah besar di seluruh dunia. Selama dekade akhir 1960 dan 1970 penyakit ini hampir menghilang di Amerika Serikat dan Eropa Barat, walaupun penyakit ini terus tidak mereda di negara-negara yang sedang berkembang. Namun, pemunculan kembali demam rematik yang tercatat di Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir tahun 1990 telah menekankan ancaman sekuele nonsupuratif faringitis streptokokus grup A ini. Munculnya kembali demam rematik di Amerika Serikat juga telah menekankan kembali perlunya pengertian yang lebih baik dari patogenesisnya sehingga cara-cara kesehatan masyarakat dan cara- cara pencegahan lain dapat lebih efektif. (1) Demam rematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan masalah penting bagi negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, India, Afrika, bahkan di beberapa negara di benua Amerika. Hanya di beberapa negara saja demam rematik sudah sangat sedikit di temukan seperti di negara-negara Skandinavia. Insiden yang sebenarnya sangat sukar ditentukan, karena penyakit ini bukan merupakan penyakit yang harus dilaporkan, serta tidak adanya keseragaman dalam kriteria diagnosis. Di negara-negara yang sudah maju insiden demam rematik, baik berupa serangan pertama maupun serangan ulangan telah menurun 1

Reumatik Heart Disease

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sdfggddszxxccv

Citation preview

BAB. I

PENDAHULUAN

Pada awal tahun 1960 demam rematik dan komplikasi utamanya penyakit jantung

valvuler, merupakan masalah besar di seluruh dunia. Selama dekade akhir 1960 dan 1970

penyakit ini hampir menghilang di Amerika Serikat dan Eropa Barat, walaupun penyakit ini terus

tidak mereda di negara-negara yang sedang berkembang. Namun, pemunculan kembali demam

rematik yang tercatat di Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir tahun 1990 telah

menekankan ancaman sekuele nonsupuratif faringitis streptokokus grup A ini. Munculnya

kembali demam rematik di Amerika Serikat juga telah menekankan kembali perlunya pengertian

yang lebih baik dari patogenesisnya sehingga cara-cara kesehatan masyarakat dan cara-cara

pencegahan lain dapat lebih efektif.(1)

Demam rematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan masalah penting bagi

negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, India, Afrika, bahkan di beberapa

negara di benua Amerika. Hanya di beberapa negara saja demam rematik sudah sangat sedikit di

temukan seperti di negara-negara Skandinavia.

Insiden yang sebenarnya sangat sukar ditentukan, karena penyakit ini bukan merupakan

penyakit yang harus dilaporkan, serta tidak adanya keseragaman dalam kriteria diagnosis.

Di negara-negara yang sudah maju insiden demam rematik, baik berupa serangan

pertama maupun serangan ulangan telah menurun dengan tajam dalam 30-40 tahun terakhir ini.

Di negara-negara yang mencatat demam rematik dan penyakit jantung rematik, pada umumnya

dilaporkan 10-30 kasus baru setiap 10.000 penduduk setiap tahun. Di bagian Ilmu Kesehatan

Anak FKUI – RSCM Jakarta antara tahun 1970-1973 didiagnosis 180 penderita demam rematik

dan penyakit jantung rematik dari sejumlah 1549 kasus yang dirujuk.(2)

Frekuensi serangan demam rematik akut pascainfeksi streptokokus grup A saluran

pernapasan atas mendekati 3% individu dengan infeksi yang tidak diobati atau tidak cukup

diobati. Gambaran ini sangat konstan dan kadang-kadang dilaporkan frekuensi yang lebih rendah

yang mungkin menggambarkan inklusi pengidap streptokokus grup A. Demikian pula beratnya

penyakit serta angka kematian juga telah berubah, perbaikan yang terus menerus dalam kedaan

1

sosialekonomi, higiene, penggunaan obat anti streptokokus, serta mungkin perubahan yang

terjadi pada kuman itu sendiri telah menurunkan angka kejadian demam rematik. (1,2)

Keterlibatan jantung dan endokardium rematik merupakan manifestasi demam rematik

yang paling penting. Lesi katup mulai sebagai veruka kecil yang tersusun dari fibrin dan sel

darah sepanjang tepi salah satu katup jantung atau lebih. Katup mitral paling sering terkena,

kemudian katup aorta; manifestasi jantung sisi kanan jarang. Ketika radang mereda, veruka

cendrung menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Dengan serangan demam rematik

berulang, veruka baru terbentuk dekat veruka sebelumnya, dan endokardium mural dan korda

tendinae menjadi terlibat. (1)

BAB. II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Demam rematik adalah proses radang akut yang didahului oleh infeksi streptococcus β-

haemolitycus grup A di tenggorokan dan mempunyai ciri khas yaitu cenderung kambuh.

2

Penyakit jantung rematik adalah penyakit yang ditandai kerusakan pada katup jantung

akibat serangan karditis rematik akut yang berulang-ulang (4)

ETIOLOGI

Penyakit ini berhubungan sangat erat dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas oleh

streptokokus β- hemolitikus grup A.(2)

EPIDEMIOLOGI

Streptococus grup A timbul pada pejamu secara terbatas, lebih sering pada laki-laki

daripada wanita. Epidemiologi infeksi Streptokokus grup A menunjukkan perbedaan antara jenis

infeksi Streptokokus grup A (1) infeksi kulit, seperti pioderma dan impetigo lebih sering terjadi

pada anak usia prasekolah dan (2) infeksi tenggorok (faringitis), predominan pada anak usia

sekolah.

Berdasarkan geografis dan pola musim, tonsillitis dan faringitis sering terjadi pada

suhu/iklim dingin. Impetigo bisa terjadi sepanjang tahun di negara tropis, sementara di negara

beriklim dingin lebih sering dibandingkan musim panas. Di negara tropis, streptococcus

haemolitycus grup C dan G lebih sering menimbulkan infeksi saluran nafas atas dari pada grup

A.(3)

FAKTOR PREDISPOSISI

Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam rematik dan

penyakit jantung rematik terdapat pada individu sendiri serta pada keadaan lingkungan.

Faktor-faktor pada individu :

1. Faktor genetik

Banyak demam rematik atau penyakit jantung rematik terjadi pada satu keluarga maupun

pada anak-anak kembar. Meskipun pengetahuan tentang faktor genetik pada demam

rematik ini tidak lengkap, namun pada umumnya disetujui bahwa ada faktor keturunan

pada demam rematik ini, sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan.

2. Jenis kelamin

3

Tidak ada perbedaan jenis kelamin terhadap infeksi demam rematik dan penyakit jantung

rematik meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada salah satu

jenis kelamin. Misalnya gejala khorea jauh lebih sering ditemukan pada wanita daripada

laki-laki. Pada orang dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral lebih sering didapatkan

pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada laki-laki.

3. Golongan etnik dan ras

Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam

rematik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibandingkan dengan orang kulit

putih. Tetapi berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua lingkungan tersebut

ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.

4. Umur

Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar

umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak umur 3-5 tahun dan sangat jarang

sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun.

5. Keadaan gizi dan lain-lain

Keadaan gizi anak serta adanya penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan

faktor predisposisi untuk timbulnya demam rematik.

Faktor-faktor lingkungan :

1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk

Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk ialah sanitasi lingkungan yang

buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian

untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang, pendapatan yang

rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain.

2. Iklim dan geografi

Demam rematik adalah penyakit kosmopolit. Penyakit ini terbanyak di daerah beriklim

sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis mempunyai insiden

yang tinggi. Di daerah yang letaknya tinggi agaknya insidens demam rematik lebih tinggi

daripada di dataran rendah.

3. Cuaca

4

Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas

bagian atas meningkat, sehingga insidens demam rematik juga meningkat.(2)

TRANSMISI

Mekanisme penyebaran Streptokokus dari satu orang ke orang lain dan dari satu bagian

tubuh ke bagian tubuh lain bervariasi menurut manifestasi klinis dari infeksinya.(3)

Transmisi pada tenggorok

Secara epidemiologik, penelitian pada penderita dengan infeksi Streptokokus tenggorok

menunjukkan bahwa penyebaran melalui udara (droplet nuklei, debu) dan lingkungan yang

tercemar (baju, tempat tidur) merupakan sebagian kecil dari proses penyebaran Streptokokus.

Kontak erat dengan individu terinfeksi dibutuhkan untuk transmisi Streptokokus faring

langsung secara droplet atau transfer fisik dari sekret respirasi yang berisi bakteri infeksi.

Penyebaran di dalam keluarga dan sekolah sering terjadi. Pasien infeksi aktif maupun infeksi

subklinis mungkin bisa menyebarkan infeksi. Pada umumnya penyebaran (oleh penderita karier)

terjadi 2 minggu pertama setelah bebas sakit, karier karena infeksi Streptokokus pada saluran

nafas dan sering menimbulkan penularan organisme. Makanan atau susu yang terkontaminasi

mungkin bisa menimbulkan infeksi streptokokus.

Transmisi per-Anal

Penularan lewat anal diketahui bila ada kejadian luar biasa infeksi streptokokus karena

kurangnya kebersihan lingkungan. Beberapa peneliti mengatakan bahwa karier melalui rektal

atau anal lebih banyak dari pada oral.(3)

PATOGENESIS

Meskipun pengetahuan tentang penyakit ini serta penelitian terhadap kuman

Streptokokus hemolyticus grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme terjadinya

demanm rematik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam

rematik termasuk dalam penyakit autoimun.(2)

5

Tidak ada penjelasan yang lengkap mengenai predileksi tempat masuknya Streptokokus

grup A ke dalam tubuh atau kemampuan protein tipe M yang menimbulkan faringitis, tonsilitis

atau impetigo/pioderma. Pada infeksi primer tenggorok adalah kerusakan dari epitel faring.

Untuk hal ini Streptokokus grup A harus bersaing dengan flora di faring, dan bersama

Streptococcus alfa hemolytic atau Streptococcus viridians berkoloni Streptokukos grup A di

tenggorok menghasilkan bacteriocin like substance, substansi inilah yang menimbulkan infeksi

saluran nafas. Pencegahan hubungan koloni bakteri di saluran nafas atas oleh streptokokus grup

A tidak jelas. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengaruh bacteriocin like substance

mungkin menimbulkan kelainan minimal pada keadaaan tertentu.

Pada keadaan terjadinya impetigo, Streptokokus grup A harus berkompetisi dengan flora

bakteri lokal, terjadinya peningkatan Streptokokus grup A pada kulit melalui lemak kulit dan

secara invitro akan menimbulkan keadaan infeksi, mungkin juga masuknya Streptokokus grup A

bisa dilawan oleh barier kulit terhadap terjadinya infeksi. Masuknya Streptokokus grup A pada

jaringan mungkin dibantu oleh bakteri lain yang ada di jaringan tersebut.

Kerusakan terhadap leukosit dan jaringan sel yang dihasilkan dari produk toksin, dan

menyebarkan infeksi mungkin ditandai oleh enzim spesifik yang menyerang asam hialuronik dan

fibrin. Protein M merupakan komponen permukaan dari strain virus, adalah anti fagosit dan juga

berisi bahan sitotoksik yang ditunjukkan dari antibody non spesifik. Beberapa substansi

Streptokokus (erythrogenic atau toksin pirogenik dan peptidoglikan) mempunyai endotoksin.

Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap pertahanan dini melawan Streptokokus

grup A (sebelum adanya antibodi) masih sedikit diketahui, antibodi spesifik terhadap protein M

menambah besarnya fagositosis, biasanya diketahui sekitar 6-8 minggu dari awal infeksi.(3)

Streptokokus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel; yang

terpenting di antaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase,

difosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease serta streptococcal erythrogenic toxin. Produk-

produk tersebut merangsang timbulnya antibodi. Demam rematik diduga merupakan akibat

kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis

tentang adanya reaksi silang antibodi terhadap streptokokus dengan otot jantung yang

6

mempunyai susunan antigen mirip antigen streptokokus; hal inilah yang menyebabkan reaksi

autoimun.(2)

Sebagian besar penyebaran Streptokokus grup A pada kelenjar limfe regional terutama

pada faring dan tonsil. Bisa timbul sebagai underlying disease pada penyakit leukemia atau

keganasan lainnya dan bakteremia.(3)

RESPON IMUNOLOGIK

Komponen seluler maupun ekstraseluler produk dari Streptokokus grup A yang bersifat

antigenik ditemukan dalam jumlah besar dalam tubuh penderita setelah terinfeksi, yang

menggambarkan respon kompleks imun.

Kedua respons imun humoral dan selular masih diteliti. Respons imun humoral pada

manusia ditunjukkan adanya komponen somatik dari sel Streptokokus. Hal yang penting adalah

adanya antibodi terhadap karbohidrat Streptokokus grup A yang secara serologik menimbulkan

reaksi silang dengan glikoprotein dari katup jantung dan antibodi terhadap komponen protein

dari dinding sel/ membran sel Streptokokus grup A yang bereaksi silang dengan sarkolema otot

jantung.

Antibodi terhadap protein M (antibodi spesifik) penting karena hal ini adalah dasar dari

imunitas/ proteksi melawan reinfeksi dari tipe serologi yang sama. Tipe antibodi spesifik

mungkin ditransfer melalui plasenta dari ibu kepada janin, perkembangan antibodi ini akan

dihambat oleh terapi penisilin segera setelah infeksi.

Tes antibodi seperti anti streptolisin O/ASO adalah tes antibodi terhadap streptokokus

yang banyak dipakai. Karena Streptolisin O juga dihasilkan oleh streptokokus grup C & G maka

tes ini tidak spesifik untuk Streptokokus grup A. Respons anti streptolisin O lemah pada

penderita impetigo dan pioderma Streptokokus. ASTO merupakan antibody yang paling dikenal

dan paling sering digunakan untuk indicator terdapatnya infeksi Streptokokus. Lebih kurang 80%

penderita demam rematik/penyakit jantung rematik akut menunjukkan kenaikan titer ASTO ini. (2,3)

Tes antideoksiribonuklease B (Anti Dnase B) dan anti hialuronidase lebih dipercaya, baik

untuk infeksi kulit maupun infeksi tenggorok. Anti Dnase misalnya dapat menetap beberapa

7

bulan dan berguna untuk penelitian terhadap penderita yang menunjukkan gejala korea sebagai

manifestasi tunggal demam rematik, saat kadar antibodi lainnya sudah normal kembali. Tes

antibodi lainnya yaitu Streptozyme agglutination test adalah antibodi aglutinasi dari etritrosit

yang dilapisi dengan campuran antigen Streptokokus ekstraselular.(2,3)

Titer respons imun diukur dengan tes streptozim yang ditunjukkan dalam minggu 1 atau

10 hari setelah onset infeksi, yang mana titer antibodi terhadap streptolisin O timbul 3-6 mggu

dan anti Dnase B timbul dalam 6-8 minggu. Pada tahun 1980, tes ini tidak digunakan lagi.(3)

JANTUNG

Baik perikardium, miokardium dan endokardium dapat terkena. Miokarditis dapat ringan

berupa infiltrasi sel-sel radang, tetapi dapat berat sehingga terjadi dilatasi jantung yang dapat

berakibat fatal. Keterlibatan jantung pada demam reumatik dapat mengenai setiap komponen

jaringannya. Proses radang selama karditis akut paling sering terbatas pada endokardium dan

miokardium, namun pada pasien dengan miokarditis berat, perikardium dapat juga terlibat.

Beberapa pada penyakit kolagen lain seperti lupus eritematosus sistematik atau artristis

reumatoid juvenil (pada kedua penyakit ini serositas biasanya ditunjukkan oleh perikarditis),

pada demam reumatik jarang ditemukan perikarditis tanpa endokarditis atau miokarditis.

Perikaditis pada pasien reumatik bisanya menyatakan adanya pankarditis atau perluasan proses

radang.(5)

            Dengan berlanjutnya radang, perubahan eksudatif dan proliferatif menjadi lebih jelas.

Stadium ini ditandai dengan perubahan edematosa jaringan, disertai oleh infiltrasi selular yang

terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan beberapa granulosit. Fibrinoid, bahan granular

eusinofil ditemukan tersebar di seluruh jaringan dasar. Bahan ini meliputi serabut kolagen

ditambah bahan granular yang berasal dari kolagen yang sedang berdegenerasi dalam campuran

fibrin, globulin, dan bahan-bahan lain. Jaringan lain yang terkena oleh proses penyakit, seperti

jaringan sendi, dapat menunjukkan fibrinoid; hal ini dapat juga terjadi dalam jaringan yang

sembuh pada pasien penyakit kolagen lain.(1)

8

            Pembentukan sel Aschoff atau benda Aschoff diuraikan oleh Aschoff pada tahun 1940,

menyertai stadium di atas. Lesi patognomonis ini terdiri dari infiltrat perivaskular sel besar

dengan inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling pusat fibrinoid yang

avaskular. Beberapa sel mempunyai inti banyak, atau mempunyai ’inti mata burung hantu’

dengan titik-titik dan fibril eksentrik yang menyebar ke membran inti, atau mempunyai susunan

kromatin batang dengan tepi gigi gergaji dan nukleus kisi-kisi atau lingkaran yang melilit. Sel-sel

yang khas ini disebut monosit Anitschkow.

            Bila peradangan berlanjut, timbullah benda Aschoff yang kelak dapat meninggalkan

jaringan parut diantara otot jantung. Benda Aschoff dapat ditemukan pada setiap daerah

miokardium tetapi paling sering ditemukan dalam jaringan aurikular kiri. Benda Aschoff

ditemukan paling sering dalam jaringan miokardium pasien yang sembuh dari miokarditis

reumatik subakut atau kronik. Sel Aschoff dapat tampak dalam fase akut; mungkin pasien ini

menderita karditis kronik dengan kumat demam reumatik. Jarang sel Aschoff ditemukan dalam

jaringan jantung pasien tanpa riwayat demam reumatik.(2)

           Bila berlangsung lama dapat berakibat terjadinya adesi perikardium visceral dan parietal.

Endokarditis merupakan kelainan terpenting, terutama peradangan pada katup-katup jantung.

Semua katup dapat terkena, tetapi katup jantung kiri (mitral dan aorta) yang paling sering

menderita, sedangkan katup trikuspid dan pulmonal jarang sekali terkena.(2)

            Mula-mula terjadi edema dan reaksi selular akut yang mengenai katup dan korda tendine.

Kemudian terjadi vegetasi mirip veruka di tepi daun-daun katup. Secara mikroskopis vegetasi ini

berisi masa hialin. Bila menyembuh akan terjadi penebalan dan kerusakan daun katup yang dapat

menetap dan dapat mengakibatkan kebocoran katup. Perubahan-perubahan pada katup ini terus

berlanjut meskipun stadium akut sudah berlalu.(2)

    MANIFESTASI KLINIS

Faringitis atau tonsilitis Streptokokus biasanya masa sakitnya pendek dan dengan periode

infeksi (12jam -4 hari). Sebanyak 30-50 % Infeksi adalah bentuk toksik dengan demam tinggi,

mual, muntah dan kolaps, umumnya terjadi pada 10 % penderita. Toksik yang ekstrim mungkin

lebih sering pada keadaan epidemi, terutama kejadian luar biasa karena makanan, onsetnya akut

9

dan mungkin ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, sakit kepala atau nyeri abdomen

(kebanyakan pada anak). Jaringan pada regio tonsil tampak meradang atau ditandai dengan

bengkak kemerahan. Eksudat pada 50-90% kasus biasanya timbul pada hari ke-2 dan

pembesaran kelenjar limfe servical anterior terjadi pada 30-60% penderita.

Manifestasi klinis timbul spontan pada 3-5 hari dengan berkembang penyulit otitis media,

sinusitis atau abses peritonsilar. Setelah infeksi Streptokokus disaluran nafas atas, periode laten

untuk nefritis akut adalah 10 hari, untuk demam reumatik akut adalah 18 hari. Pada bayi

manifestasi klinis infeksi streptokokus adalah demam, perjalanannya lebih panjang, dengan

demam yang ringan tapi kronik, pembesaran kelenjar limfe umum sementara peradangan pada

faring relatif sedikit.(3)

Manifestasi klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat dibagi

dalam 4 stadium:

Stadium I

            Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-Streptococcus

hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak

jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik

sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar

getah bening submandibular seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan

dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

            Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada penderita

demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari sebelum

manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik.(2)

Stadium II

10

            Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan

permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea

yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.(2)

Stadium III

Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik

demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan

dalam gejala peradangan umum dan manifestasi spesifik (gejala mayor) demam

reumatik/penyakit jantung reumatik.(2)

Gejala peradangan umum

Biasanya penderita mengalami demam yang tidak tinggi tanpa pola tertentu anak menjadi

lesu, anoreksia, lekas tersinggung dan berat badan tampak menurun. Anak terlihat pucat karena

anemia akibat tertekannya eritropoesis, bertambahnya volume plasma serta memendeknya umur

erotrosit. Dapat pula terjadi epistaksis, bila banyak dapat memperberat derajat anemia.

Atralgia, rasa sakit disekitar sendi selama beberapa hari/minggu juga sering didapatkan,

rasa sakit akan bertambah bila anak melakukan latihan fisik. Gejala klinis lain yang dapat timbul

adalah sakit perut, yang kadang-kadang bisa sangat hebat sehingga menyerupai apendisitis akut

dan akan merespon cepat dengan pemberian salisilat.

Pemeriksaan laboratorium di dapatkan tanda-tanda reaksi peradangan akut berupa

terdapatnya C-reaktive protein dan leukositosis serta meningginya LED. Titer ASTO meninggi

pada kira-kira 80% kasus. Pada pemeriksaan EKG dapat dijumpai pemanjangan interval P-R

(blok AV derajat I). Ini penting untuk diagnosis dan dikelompokkan sebagai gejala minor. (2)

Gejala spesifik ( gejala mayor)

1. Karditis

Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan

menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan sesudah fase akut,

11

cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah ditangani, dan

seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas dapat terjadi akibat komplikasi

bedah atau dari infeksi berikut yang menyebabkan endokarditis bakteri.

Karditis ini dapat menyebabkan kematian pada stadium akut (terdapat kira-kira pada 1%

kasus). Penyembuhan sempurna dapat diharapkan, namun tidak jarang menyebabkan kelainan

katup yang dapat menetap.

Perlu diingat bahwa bising Carey-Coombs pada karditis reumatik akut bukanlah akibat

stenosis mitral organik; bising ini sering menghilang pada fase penyembuhan. Stenosis mitral

yang sebenarnya terjadi beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah serangan akut. bising

Carey-Coombs terjadi karena sejumlah besar darah didorong melalui lubang katup ke dalam

ventrikel kiri selama fase pengisian, menghasilkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai bising

aliran (flow murmur).

           Gejala-gejala dini karditis ialah rasa lelah, pucat, tidak bergairah dan anak tampak sakit

bisa sampai beberapa minggu meskipun belum ada gejala-gejala spesifik.

Seorang penderita rematik dikatakan menderita karditis bila ditemukan satu atau lebih tanda-

tanda berikut:

a) Bunyi jantung melemah dengan irama derap diastolik

b) Terdengar bising jantung yang semula tidak ada, yaitu berupa bising apikal, bising mid-

diastolik apikal atau bising diastolik basal; atau terdapat perubahan intensitas bising yang

semula sudah ada atau bertambahnya bising yang bermakna pada penderita yang tadinya

sudah pernah menderita demam rematik/penyakit jantung rematik.

Kardiomegali, terutama pembesaran ventrikel kiri pada foto rontgen dada pada penderita

tanpa demam rematik sebelumnya atau bertambahnya pembesaran jantung yang nyata

pada penderita yang pernah mengalami penyakit jantung rematik sebelumnya.

c) Perikarditis. Biasanya diawali dengan rasa nyeri disekitar umbilikus akibat penjalaran

nyeri bagian tengah diafragma. Tanda lainya ialah friction rub, efusi perikardial dan

kelainan pada EKG. Perikarditis jarang ditemukan sebagai kelainan tersendiri, biasanya

merupakan bagian dari pankarditis.

12

d) Gagal jantung pada anak-anak atau dewasa muda tanpa sebab yang lain. (2)

2. Artritis   

Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun merupakan

manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak spesifik dan sering menyesatkan

diagnosis. Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada penjangkitan demam reumatik akhir-

akhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat pedekatan diagnosis yang berbeda.

            Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi, ditandai oleh nyeri

yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak semua manifestasi ada, tetapi nyeri

pada saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau pasif biasanya merupakan tanda yang

mencolok. Intensitas nyeri dapat menghambat pergerakan sendi hingga mungkin seperti

pseudoparalisis.

            Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia hanya terjadi nyeri ringan

tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang terutama adalah sendi

lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang kecil jarang terlibat.

Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis migrans). Proses radang

pada satu sendi dapat sembuh secara spontan sesudah beberapa jam serangan, kemudian muncul

artritis pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien, artritis sembuh dalam 1 minggu, dan

biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis demam reumatik berespons dengan

cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis rendah, sehingga perjalanan artritis dapat diperpendek

dengan nyata dengan pemberian aspirin.

            Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali efusi. Meskipun tidak

berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan; ia harus benar-benar diperhatikan, baik yang berat

maupun yang ringan. Sebelum terburu-buru ke laboratorium untuk memikirkan ’skrining

kolagen’ yang lain, ia harus diperiksa dengan anamnesis yang rinci serta pemeriksaan fisis yang

cermat.

3. Korea      

13

            Korea ialah gerakan-gerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan sukar dikendalikan,

seringkali disertai kelemahan otot. Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak

disengaja dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini

lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara

atau sebagian oleh pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi yang

mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas. Gerakan-gerakan pada otot muka dapat menghebat

sehingga disebut society smile. Bila lidah dijulurkan terlihgat tremor. Yang khas ialah kelainan

pada waktu pemeriksaan refleks patela ialah tungaki yang perlahan-lahan kembali ke posisi

semula setelah patela diketuk. Ini terjadi bila gerakan korea terjadi bersamaan dengan waktu

patela dirangsang. Pasien korea biasanya tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam

waktu yang pendek.

Hipotonia akibat kelemahan otot menyebabkan posisi khas, berupa tangan yang lurus

sedangkan pergelangan tangan sedikit fleksi serta sendi metacarpofalangeal dalam hiperekstensi.

Bila hipotonia hebat, anak tidak dapat berdiri (korea paralitika). (2)

            Inkoordinasi gerakan dapat jelas atau samar-samar; bila anak diminta untuk memungut

uang logam dilantai akan terlihat jelas inkoordinasi tersebut. Gangguan emosi hampir selalu ada,

bahkan sering merupakan tanda dini. Anak menjadi murung, mudah tersinggung, kelihatan

bingung atau bahkan menjadi maniak (korea insapiens). Pekerjaan sekolah menjadi mundur. (2)

4. Eritema Marginatum

Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada

penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam manifestasi mayor. Data kepustakaan

menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya terjadi pada lebih-kurang 5% pasien. Pada

literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan pada kurang dari 10% kasus. Ruam ini berupa

bercak-bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya berbatas tegas,

berbentuk bulat atau bergelombang, tanpa indurasi dan tidak gatal. Bila ditekan lesi akan

menjadi pucat. Tempatnya dapat berpindah-pindah, di kullit dada dan bagian dalam lengan atas

atau paha, tetapi tidak pernah terdapat pada kulit muka. Eritem marginatum sering menyertai

kelainan lainya terutama karditis. Tidak jelas arti eritem marginatum terhadap prognosis. (2)

14

5. Nodul subkutan

Nodul ini terletak dibawah kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran

antara 3-10 mm. Biasanya pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut

dan persendian kaki. Kadang nodul ditemukan pada kulit kepala dan di atas prosesus spinosus

vetrebra torakalis dan lumbalis. Ditemukannya nodul subkutan menunjukkan bahwa penyakit

sudah berjalan beberapa waktu lamanya. Nodul ini biasanya muncul sesudah beberapa minggu

serangan akut demam rematik dan sering dianggap sebagai tanda prognosis yang buruk, sebab

seringkali disertai karditis yang berat. (2)                                  

Stadium IV

            Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan

jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan

gejala apa-apa. (2)

            Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung,

gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita

demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi

penyakitnya. (2)

DIAGNOSIS

Dr. T. Duchett Jones (1944) menyusun kriteria sistematik untuk menegakkan diagnosis demam

rematik. Kriteria ini kemudian direvisi pada tahun 1965 oleh The American Heart Association’s

Council on Rheumatic Fever and Congenital Heart Disease.

Manifestasi Mayor Manifestasi Minor 

Karditis Poliartritis Korea Eritema marginatumNodulus subkutan

Klinis:- Riwayat demam reumatik atau  penyakit jantung        reumatik- Artralgia- DemamLaboratorium:

15

-    Reasi fase akut: * Laju endap darah (LED) meningkat     * Protein C reaktif positif     * Leukositosis-    Pemanjangan interval P-R

Ditambah Bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya:-    Kenaikan titer antibodi antisterptokokus: ASTO/antibodi lain-    Biakan usap tenggorok positif untuk streptokokus grup A-    scarlet fever yang baru saja terjadi         

Terdapatnya 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor

menunjukkan kemungkinan besar suatu demam rematik. Terdapatnya bukti infeksi streptokokus

sebelumnya sangat menyokong diagnosis. Bila bukti ini tidak ada, diagnosis diragukan, kecuali

bila terdapat korea minor atau karditis yang menahun.(1,2,3,4)

DIAGNOSIS BANDING

Streptokokus grup A dapat ditemukan pada tenggorokan anak normal dan pada anak yang

klinis mempunyai salah satu agen ini (Corynebacterium diphtheria, gonokokus, Streptokokus

grup C dan G). Tes CRP hanya bermanfaat pada fase akut sakit. Karena kebanyakan infeksi

strepkokus masa sakitnya pendek sedangkan respons antibody timbulnya lambat, titer antibodi

streptokokus dipakai secara retrospektif dalam diagnosis infeksi streptokokus akut. Faringitis

karena virus mungkin tertutup oleh adanya streptokokus grup A.(3)

Tidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan laboratorium yang khas untuk demam

reumatik/penyakit jantung reumatik. Banyak penyakit lain yang mungkin memberi gejala yang

sama atau hampir sama dengan demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Yang perlu

diperhatikan ialah infeksi piogen pada sendi yang sering disertai demam serta reaksi fase akut.

Bila terdapat kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat infeksi Streptococcus sebelumnya

(yang sebenarnya tidak menyebabkan demam reumatik), maka seolah-olah kriteria Jones sudah

terpenuhi. Evaluasi terhadap riwayat infeksi Streptococcus serta pemeriksaan yang teliti terhadap

16

kelainan sendinya harus dilakukan dengan cermat agar tidak terjadi diagnosis berlebihan.

Reumatoid artritis serta lupus eritrmatosus sistemik juga dapat memberi gejala yang mirip

dengan demam reumatik. Diagnosis banding lainnya ialah endokarditis infektif. (1,2,3)

PENGOBATAN

1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A

Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus segera dilaksanakan

setelah diagnosis ditegakkan. Dianjurakan menggunakan penisilin dosis biasa selama 10 hari,

pada penderita yang peka terhadap penisilin, dapat diganti dengan eritromisin. Pengobatan

terhadap streptococcus harus tetap diberikan meskipun biakan usap tenggorok negatif, karena

kuman masih mungkin ada dalam jumlah sedikit dalam jaringan faring dan tonsil. Penisilin tidak

berpengaruh terhadap demam, gejala sendi dan laju endap darah, tetapi insidens penyakit jantung

rematik menjadi lebih rendah dalam pengawasan selama 1 tahun.

Tabel : PENGOBATAN INFEKSI BETA-STREPTOCOCCUS HEMOLYTICUS GRUP A

Jenis Cara pemberian Dosis Frekuensi/lama

pemberian

Penisilin benzatin G IM 1,2 juta UI 1 kali

Benzatin prokain IM 600.000 UI 1-2 kali sehari selama

10 hari

Penisilin V Oral 250.000 UI 3 kali sehari selama

10 hari

Eritromisin Ora 125-500 mg 4 kali sehari selama

10 hari

Tetrasiklin dan sulfa tidak dipergunakan untuk eradikasi streptococcus.

2. Obat anti-inflamasi

17

Yang dipakai secara luas adalah salisilat dan steroid; keduanya efektif untuk mengurangi

gejala demam, kelainan sendi serta fase reaksi akut.

TABEL : TERAPI ANTI-INFLAMASI PADA DEMAM REUMATIK/PENYAKIT JANTUNG

REUMATIK AKUT DI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FKUI-RSCM JAKARTA

Artritis Karditis ringan tanpa kardiomegali

Kardiomegali karditis berat, gagal jantung

1. Salisilat 100 mg/ kgbb/hari

2. Setelah 1 minggu turunkan menjadi 75 mg/kgbb/hari

3. Bila hasil laboratorium normal turunkan menjadi 50mg/kgbb/hari, teruskan minimal 6 minggu

1. Salisilat 100 mg/ kgbb/hari

2. Setelah 1-2 ,imgu turunkan menjadi 75 mg/kgbb/hari

3. Teruskan sampai 6-8 minggu (terapi total 12 minggu)

1. Prednison 2mg/kgbb/ hari(rata-rata 4 x 10 mg/hari)

2. Setelah 2 minggu turunkan menjadi 3mg/hari

3. Setelah 2 minggu turunkan menjadi 4 x 5 mg/hari

4. Setelah 2 minggu turunkan menjadi 3 x 5mg/hari. Mulai berikan salisilat.

5. Dosis prednisolon terus turunkan setiap minggu, salisilat berikan sampai 6-12 minggu.

3. Diet

Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar

kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Tambahan vitamin dapat

dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal jantung.(2)

4. Istirahat dan mobilisasi

Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur. Untuk artritis

cukupdalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat dengan gagal jantung

dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara bertahap. (2)

PEDOMAN ISTIRAHAT DAN MOBILISASI PENDERITA DEMAM REUMATIK

/PENYAKIT JANTUNG REUMATIK AKUT

(Markowitz dan Gordis, 1972)

Artritis Karditis minimal Karditis tanpa Karditis

18

kardiomegali dengan

kardiomegali

Tirah baring 2 minggu 3 minggu 6 minggu 3-6 bulan

Mobilisasi

bertahap di

ruangan

2 minggu 3 minggu 6 minggu 3 bulan

Mobilisasi

bertahap diluar

ruangan

3 minggu 4 minggu 3 bulan 3 bulan atau

lebih

Semua kegiatan Sesudah 6-8

minggu

Sesudah 10

minggu

Sesudah 6 bulan Bervariasi

PROGNOSIS

Risiko terjadinya demam reumatik setelah infeksi Streptokokus pada saluran nafas atas

yang tidak diobati adalah 3 %. Penderita yang telah mendapat satu serangan demam reumatik

mempunyai resiko tinggi untuk kambuh terhadap infeksi Streptokokus grup A (15-50%).(3)

Lesi ringan dan sedang ditoleransi dengan baik. Banyak remaja dengan regurgitasi berat

tidak bergejala dan tahan terhadap lesi lanjut sampai pada dekade ke 3 dan ke 4. Penderita

dengan lesi kombinasi selama episode demam rematik akut mungkin hanya mengalami

keterlibatan aorta 1-2 tahun kemudian. (1)

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, R.E, Nelson, E. Waldo. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak vol. 2 Ed. 15. Jakarta:

EGC; 1999. hal 929-935

2. Hasan, Rusepno. Alatas, Husein. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid dua edisi

keempat. Jakarta: Bagian ilmu kesehatan anak FK UI, 1985. Hal. 734-752

3. Poorwo Soedarmo, Sumarno. Garna, Henri. Etc. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatri Tropis

Anak Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010. Hal 347-352

4. Mansjoer, Arif. Triyanti, Kuspuji. Etc. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media

Aesculapius FK UI, 2001. Hal 451-453

20

5. Behrman, R.E, Nelson, E. Waldo. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak vol. 2 Ed. 15. Jakarta:

EGC; 1999. hal 1644-1646

21