Upload
woelandika-poetri
View
33
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sdfggddszxxccv
Citation preview
BAB. I
PENDAHULUAN
Pada awal tahun 1960 demam rematik dan komplikasi utamanya penyakit jantung
valvuler, merupakan masalah besar di seluruh dunia. Selama dekade akhir 1960 dan 1970
penyakit ini hampir menghilang di Amerika Serikat dan Eropa Barat, walaupun penyakit ini terus
tidak mereda di negara-negara yang sedang berkembang. Namun, pemunculan kembali demam
rematik yang tercatat di Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir tahun 1990 telah
menekankan ancaman sekuele nonsupuratif faringitis streptokokus grup A ini. Munculnya
kembali demam rematik di Amerika Serikat juga telah menekankan kembali perlunya pengertian
yang lebih baik dari patogenesisnya sehingga cara-cara kesehatan masyarakat dan cara-cara
pencegahan lain dapat lebih efektif.(1)
Demam rematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan masalah penting bagi
negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, India, Afrika, bahkan di beberapa
negara di benua Amerika. Hanya di beberapa negara saja demam rematik sudah sangat sedikit di
temukan seperti di negara-negara Skandinavia.
Insiden yang sebenarnya sangat sukar ditentukan, karena penyakit ini bukan merupakan
penyakit yang harus dilaporkan, serta tidak adanya keseragaman dalam kriteria diagnosis.
Di negara-negara yang sudah maju insiden demam rematik, baik berupa serangan
pertama maupun serangan ulangan telah menurun dengan tajam dalam 30-40 tahun terakhir ini.
Di negara-negara yang mencatat demam rematik dan penyakit jantung rematik, pada umumnya
dilaporkan 10-30 kasus baru setiap 10.000 penduduk setiap tahun. Di bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI – RSCM Jakarta antara tahun 1970-1973 didiagnosis 180 penderita demam rematik
dan penyakit jantung rematik dari sejumlah 1549 kasus yang dirujuk.(2)
Frekuensi serangan demam rematik akut pascainfeksi streptokokus grup A saluran
pernapasan atas mendekati 3% individu dengan infeksi yang tidak diobati atau tidak cukup
diobati. Gambaran ini sangat konstan dan kadang-kadang dilaporkan frekuensi yang lebih rendah
yang mungkin menggambarkan inklusi pengidap streptokokus grup A. Demikian pula beratnya
penyakit serta angka kematian juga telah berubah, perbaikan yang terus menerus dalam kedaan
1
sosialekonomi, higiene, penggunaan obat anti streptokokus, serta mungkin perubahan yang
terjadi pada kuman itu sendiri telah menurunkan angka kejadian demam rematik. (1,2)
Keterlibatan jantung dan endokardium rematik merupakan manifestasi demam rematik
yang paling penting. Lesi katup mulai sebagai veruka kecil yang tersusun dari fibrin dan sel
darah sepanjang tepi salah satu katup jantung atau lebih. Katup mitral paling sering terkena,
kemudian katup aorta; manifestasi jantung sisi kanan jarang. Ketika radang mereda, veruka
cendrung menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Dengan serangan demam rematik
berulang, veruka baru terbentuk dekat veruka sebelumnya, dan endokardium mural dan korda
tendinae menjadi terlibat. (1)
BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Demam rematik adalah proses radang akut yang didahului oleh infeksi streptococcus β-
haemolitycus grup A di tenggorokan dan mempunyai ciri khas yaitu cenderung kambuh.
2
Penyakit jantung rematik adalah penyakit yang ditandai kerusakan pada katup jantung
akibat serangan karditis rematik akut yang berulang-ulang (4)
ETIOLOGI
Penyakit ini berhubungan sangat erat dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas oleh
streptokokus β- hemolitikus grup A.(2)
EPIDEMIOLOGI
Streptococus grup A timbul pada pejamu secara terbatas, lebih sering pada laki-laki
daripada wanita. Epidemiologi infeksi Streptokokus grup A menunjukkan perbedaan antara jenis
infeksi Streptokokus grup A (1) infeksi kulit, seperti pioderma dan impetigo lebih sering terjadi
pada anak usia prasekolah dan (2) infeksi tenggorok (faringitis), predominan pada anak usia
sekolah.
Berdasarkan geografis dan pola musim, tonsillitis dan faringitis sering terjadi pada
suhu/iklim dingin. Impetigo bisa terjadi sepanjang tahun di negara tropis, sementara di negara
beriklim dingin lebih sering dibandingkan musim panas. Di negara tropis, streptococcus
haemolitycus grup C dan G lebih sering menimbulkan infeksi saluran nafas atas dari pada grup
A.(3)
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam rematik dan
penyakit jantung rematik terdapat pada individu sendiri serta pada keadaan lingkungan.
Faktor-faktor pada individu :
1. Faktor genetik
Banyak demam rematik atau penyakit jantung rematik terjadi pada satu keluarga maupun
pada anak-anak kembar. Meskipun pengetahuan tentang faktor genetik pada demam
rematik ini tidak lengkap, namun pada umumnya disetujui bahwa ada faktor keturunan
pada demam rematik ini, sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan.
2. Jenis kelamin
3
Tidak ada perbedaan jenis kelamin terhadap infeksi demam rematik dan penyakit jantung
rematik meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada salah satu
jenis kelamin. Misalnya gejala khorea jauh lebih sering ditemukan pada wanita daripada
laki-laki. Pada orang dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral lebih sering didapatkan
pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada laki-laki.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam
rematik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibandingkan dengan orang kulit
putih. Tetapi berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua lingkungan tersebut
ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
4. Umur
Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar
umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak umur 3-5 tahun dan sangat jarang
sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun.
5. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi anak serta adanya penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan
faktor predisposisi untuk timbulnya demam rematik.
Faktor-faktor lingkungan :
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk ialah sanitasi lingkungan yang
buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian
untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang, pendapatan yang
rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain.
2. Iklim dan geografi
Demam rematik adalah penyakit kosmopolit. Penyakit ini terbanyak di daerah beriklim
sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis mempunyai insiden
yang tinggi. Di daerah yang letaknya tinggi agaknya insidens demam rematik lebih tinggi
daripada di dataran rendah.
3. Cuaca
4
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas
bagian atas meningkat, sehingga insidens demam rematik juga meningkat.(2)
TRANSMISI
Mekanisme penyebaran Streptokokus dari satu orang ke orang lain dan dari satu bagian
tubuh ke bagian tubuh lain bervariasi menurut manifestasi klinis dari infeksinya.(3)
Transmisi pada tenggorok
Secara epidemiologik, penelitian pada penderita dengan infeksi Streptokokus tenggorok
menunjukkan bahwa penyebaran melalui udara (droplet nuklei, debu) dan lingkungan yang
tercemar (baju, tempat tidur) merupakan sebagian kecil dari proses penyebaran Streptokokus.
Kontak erat dengan individu terinfeksi dibutuhkan untuk transmisi Streptokokus faring
langsung secara droplet atau transfer fisik dari sekret respirasi yang berisi bakteri infeksi.
Penyebaran di dalam keluarga dan sekolah sering terjadi. Pasien infeksi aktif maupun infeksi
subklinis mungkin bisa menyebarkan infeksi. Pada umumnya penyebaran (oleh penderita karier)
terjadi 2 minggu pertama setelah bebas sakit, karier karena infeksi Streptokokus pada saluran
nafas dan sering menimbulkan penularan organisme. Makanan atau susu yang terkontaminasi
mungkin bisa menimbulkan infeksi streptokokus.
Transmisi per-Anal
Penularan lewat anal diketahui bila ada kejadian luar biasa infeksi streptokokus karena
kurangnya kebersihan lingkungan. Beberapa peneliti mengatakan bahwa karier melalui rektal
atau anal lebih banyak dari pada oral.(3)
PATOGENESIS
Meskipun pengetahuan tentang penyakit ini serta penelitian terhadap kuman
Streptokokus hemolyticus grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme terjadinya
demanm rematik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam
rematik termasuk dalam penyakit autoimun.(2)
5
Tidak ada penjelasan yang lengkap mengenai predileksi tempat masuknya Streptokokus
grup A ke dalam tubuh atau kemampuan protein tipe M yang menimbulkan faringitis, tonsilitis
atau impetigo/pioderma. Pada infeksi primer tenggorok adalah kerusakan dari epitel faring.
Untuk hal ini Streptokokus grup A harus bersaing dengan flora di faring, dan bersama
Streptococcus alfa hemolytic atau Streptococcus viridians berkoloni Streptokukos grup A di
tenggorok menghasilkan bacteriocin like substance, substansi inilah yang menimbulkan infeksi
saluran nafas. Pencegahan hubungan koloni bakteri di saluran nafas atas oleh streptokokus grup
A tidak jelas. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengaruh bacteriocin like substance
mungkin menimbulkan kelainan minimal pada keadaaan tertentu.
Pada keadaan terjadinya impetigo, Streptokokus grup A harus berkompetisi dengan flora
bakteri lokal, terjadinya peningkatan Streptokokus grup A pada kulit melalui lemak kulit dan
secara invitro akan menimbulkan keadaan infeksi, mungkin juga masuknya Streptokokus grup A
bisa dilawan oleh barier kulit terhadap terjadinya infeksi. Masuknya Streptokokus grup A pada
jaringan mungkin dibantu oleh bakteri lain yang ada di jaringan tersebut.
Kerusakan terhadap leukosit dan jaringan sel yang dihasilkan dari produk toksin, dan
menyebarkan infeksi mungkin ditandai oleh enzim spesifik yang menyerang asam hialuronik dan
fibrin. Protein M merupakan komponen permukaan dari strain virus, adalah anti fagosit dan juga
berisi bahan sitotoksik yang ditunjukkan dari antibody non spesifik. Beberapa substansi
Streptokokus (erythrogenic atau toksin pirogenik dan peptidoglikan) mempunyai endotoksin.
Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap pertahanan dini melawan Streptokokus
grup A (sebelum adanya antibodi) masih sedikit diketahui, antibodi spesifik terhadap protein M
menambah besarnya fagositosis, biasanya diketahui sekitar 6-8 minggu dari awal infeksi.(3)
Streptokokus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel; yang
terpenting di antaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase,
difosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease serta streptococcal erythrogenic toxin. Produk-
produk tersebut merangsang timbulnya antibodi. Demam rematik diduga merupakan akibat
kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis
tentang adanya reaksi silang antibodi terhadap streptokokus dengan otot jantung yang
6
mempunyai susunan antigen mirip antigen streptokokus; hal inilah yang menyebabkan reaksi
autoimun.(2)
Sebagian besar penyebaran Streptokokus grup A pada kelenjar limfe regional terutama
pada faring dan tonsil. Bisa timbul sebagai underlying disease pada penyakit leukemia atau
keganasan lainnya dan bakteremia.(3)
RESPON IMUNOLOGIK
Komponen seluler maupun ekstraseluler produk dari Streptokokus grup A yang bersifat
antigenik ditemukan dalam jumlah besar dalam tubuh penderita setelah terinfeksi, yang
menggambarkan respon kompleks imun.
Kedua respons imun humoral dan selular masih diteliti. Respons imun humoral pada
manusia ditunjukkan adanya komponen somatik dari sel Streptokokus. Hal yang penting adalah
adanya antibodi terhadap karbohidrat Streptokokus grup A yang secara serologik menimbulkan
reaksi silang dengan glikoprotein dari katup jantung dan antibodi terhadap komponen protein
dari dinding sel/ membran sel Streptokokus grup A yang bereaksi silang dengan sarkolema otot
jantung.
Antibodi terhadap protein M (antibodi spesifik) penting karena hal ini adalah dasar dari
imunitas/ proteksi melawan reinfeksi dari tipe serologi yang sama. Tipe antibodi spesifik
mungkin ditransfer melalui plasenta dari ibu kepada janin, perkembangan antibodi ini akan
dihambat oleh terapi penisilin segera setelah infeksi.
Tes antibodi seperti anti streptolisin O/ASO adalah tes antibodi terhadap streptokokus
yang banyak dipakai. Karena Streptolisin O juga dihasilkan oleh streptokokus grup C & G maka
tes ini tidak spesifik untuk Streptokokus grup A. Respons anti streptolisin O lemah pada
penderita impetigo dan pioderma Streptokokus. ASTO merupakan antibody yang paling dikenal
dan paling sering digunakan untuk indicator terdapatnya infeksi Streptokokus. Lebih kurang 80%
penderita demam rematik/penyakit jantung rematik akut menunjukkan kenaikan titer ASTO ini. (2,3)
Tes antideoksiribonuklease B (Anti Dnase B) dan anti hialuronidase lebih dipercaya, baik
untuk infeksi kulit maupun infeksi tenggorok. Anti Dnase misalnya dapat menetap beberapa
7
bulan dan berguna untuk penelitian terhadap penderita yang menunjukkan gejala korea sebagai
manifestasi tunggal demam rematik, saat kadar antibodi lainnya sudah normal kembali. Tes
antibodi lainnya yaitu Streptozyme agglutination test adalah antibodi aglutinasi dari etritrosit
yang dilapisi dengan campuran antigen Streptokokus ekstraselular.(2,3)
Titer respons imun diukur dengan tes streptozim yang ditunjukkan dalam minggu 1 atau
10 hari setelah onset infeksi, yang mana titer antibodi terhadap streptolisin O timbul 3-6 mggu
dan anti Dnase B timbul dalam 6-8 minggu. Pada tahun 1980, tes ini tidak digunakan lagi.(3)
JANTUNG
Baik perikardium, miokardium dan endokardium dapat terkena. Miokarditis dapat ringan
berupa infiltrasi sel-sel radang, tetapi dapat berat sehingga terjadi dilatasi jantung yang dapat
berakibat fatal. Keterlibatan jantung pada demam reumatik dapat mengenai setiap komponen
jaringannya. Proses radang selama karditis akut paling sering terbatas pada endokardium dan
miokardium, namun pada pasien dengan miokarditis berat, perikardium dapat juga terlibat.
Beberapa pada penyakit kolagen lain seperti lupus eritematosus sistematik atau artristis
reumatoid juvenil (pada kedua penyakit ini serositas biasanya ditunjukkan oleh perikarditis),
pada demam reumatik jarang ditemukan perikarditis tanpa endokarditis atau miokarditis.
Perikaditis pada pasien reumatik bisanya menyatakan adanya pankarditis atau perluasan proses
radang.(5)
Dengan berlanjutnya radang, perubahan eksudatif dan proliferatif menjadi lebih jelas.
Stadium ini ditandai dengan perubahan edematosa jaringan, disertai oleh infiltrasi selular yang
terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan beberapa granulosit. Fibrinoid, bahan granular
eusinofil ditemukan tersebar di seluruh jaringan dasar. Bahan ini meliputi serabut kolagen
ditambah bahan granular yang berasal dari kolagen yang sedang berdegenerasi dalam campuran
fibrin, globulin, dan bahan-bahan lain. Jaringan lain yang terkena oleh proses penyakit, seperti
jaringan sendi, dapat menunjukkan fibrinoid; hal ini dapat juga terjadi dalam jaringan yang
sembuh pada pasien penyakit kolagen lain.(1)
8
Pembentukan sel Aschoff atau benda Aschoff diuraikan oleh Aschoff pada tahun 1940,
menyertai stadium di atas. Lesi patognomonis ini terdiri dari infiltrat perivaskular sel besar
dengan inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling pusat fibrinoid yang
avaskular. Beberapa sel mempunyai inti banyak, atau mempunyai ’inti mata burung hantu’
dengan titik-titik dan fibril eksentrik yang menyebar ke membran inti, atau mempunyai susunan
kromatin batang dengan tepi gigi gergaji dan nukleus kisi-kisi atau lingkaran yang melilit. Sel-sel
yang khas ini disebut monosit Anitschkow.
Bila peradangan berlanjut, timbullah benda Aschoff yang kelak dapat meninggalkan
jaringan parut diantara otot jantung. Benda Aschoff dapat ditemukan pada setiap daerah
miokardium tetapi paling sering ditemukan dalam jaringan aurikular kiri. Benda Aschoff
ditemukan paling sering dalam jaringan miokardium pasien yang sembuh dari miokarditis
reumatik subakut atau kronik. Sel Aschoff dapat tampak dalam fase akut; mungkin pasien ini
menderita karditis kronik dengan kumat demam reumatik. Jarang sel Aschoff ditemukan dalam
jaringan jantung pasien tanpa riwayat demam reumatik.(2)
Bila berlangsung lama dapat berakibat terjadinya adesi perikardium visceral dan parietal.
Endokarditis merupakan kelainan terpenting, terutama peradangan pada katup-katup jantung.
Semua katup dapat terkena, tetapi katup jantung kiri (mitral dan aorta) yang paling sering
menderita, sedangkan katup trikuspid dan pulmonal jarang sekali terkena.(2)
Mula-mula terjadi edema dan reaksi selular akut yang mengenai katup dan korda tendine.
Kemudian terjadi vegetasi mirip veruka di tepi daun-daun katup. Secara mikroskopis vegetasi ini
berisi masa hialin. Bila menyembuh akan terjadi penebalan dan kerusakan daun katup yang dapat
menetap dan dapat mengakibatkan kebocoran katup. Perubahan-perubahan pada katup ini terus
berlanjut meskipun stadium akut sudah berlalu.(2)
MANIFESTASI KLINIS
Faringitis atau tonsilitis Streptokokus biasanya masa sakitnya pendek dan dengan periode
infeksi (12jam -4 hari). Sebanyak 30-50 % Infeksi adalah bentuk toksik dengan demam tinggi,
mual, muntah dan kolaps, umumnya terjadi pada 10 % penderita. Toksik yang ekstrim mungkin
lebih sering pada keadaan epidemi, terutama kejadian luar biasa karena makanan, onsetnya akut
9
dan mungkin ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, sakit kepala atau nyeri abdomen
(kebanyakan pada anak). Jaringan pada regio tonsil tampak meradang atau ditandai dengan
bengkak kemerahan. Eksudat pada 50-90% kasus biasanya timbul pada hari ke-2 dan
pembesaran kelenjar limfe servical anterior terjadi pada 30-60% penderita.
Manifestasi klinis timbul spontan pada 3-5 hari dengan berkembang penyulit otitis media,
sinusitis atau abses peritonsilar. Setelah infeksi Streptokokus disaluran nafas atas, periode laten
untuk nefritis akut adalah 10 hari, untuk demam reumatik akut adalah 18 hari. Pada bayi
manifestasi klinis infeksi streptokokus adalah demam, perjalanannya lebih panjang, dengan
demam yang ringan tapi kronik, pembesaran kelenjar limfe umum sementara peradangan pada
faring relatif sedikit.(3)
Manifestasi klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat dibagi
dalam 4 stadium:
Stadium I
Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-Streptococcus
hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak
jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik
sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar
getah bening submandibular seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan
dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada penderita
demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari sebelum
manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik.(2)
Stadium II
10
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan
permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea
yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.(2)
Stadium III
Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan
dalam gejala peradangan umum dan manifestasi spesifik (gejala mayor) demam
reumatik/penyakit jantung reumatik.(2)
Gejala peradangan umum
Biasanya penderita mengalami demam yang tidak tinggi tanpa pola tertentu anak menjadi
lesu, anoreksia, lekas tersinggung dan berat badan tampak menurun. Anak terlihat pucat karena
anemia akibat tertekannya eritropoesis, bertambahnya volume plasma serta memendeknya umur
erotrosit. Dapat pula terjadi epistaksis, bila banyak dapat memperberat derajat anemia.
Atralgia, rasa sakit disekitar sendi selama beberapa hari/minggu juga sering didapatkan,
rasa sakit akan bertambah bila anak melakukan latihan fisik. Gejala klinis lain yang dapat timbul
adalah sakit perut, yang kadang-kadang bisa sangat hebat sehingga menyerupai apendisitis akut
dan akan merespon cepat dengan pemberian salisilat.
Pemeriksaan laboratorium di dapatkan tanda-tanda reaksi peradangan akut berupa
terdapatnya C-reaktive protein dan leukositosis serta meningginya LED. Titer ASTO meninggi
pada kira-kira 80% kasus. Pada pemeriksaan EKG dapat dijumpai pemanjangan interval P-R
(blok AV derajat I). Ini penting untuk diagnosis dan dikelompokkan sebagai gejala minor. (2)
Gejala spesifik ( gejala mayor)
1. Karditis
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan
menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan sesudah fase akut,
11
cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah ditangani, dan
seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas dapat terjadi akibat komplikasi
bedah atau dari infeksi berikut yang menyebabkan endokarditis bakteri.
Karditis ini dapat menyebabkan kematian pada stadium akut (terdapat kira-kira pada 1%
kasus). Penyembuhan sempurna dapat diharapkan, namun tidak jarang menyebabkan kelainan
katup yang dapat menetap.
Perlu diingat bahwa bising Carey-Coombs pada karditis reumatik akut bukanlah akibat
stenosis mitral organik; bising ini sering menghilang pada fase penyembuhan. Stenosis mitral
yang sebenarnya terjadi beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah serangan akut. bising
Carey-Coombs terjadi karena sejumlah besar darah didorong melalui lubang katup ke dalam
ventrikel kiri selama fase pengisian, menghasilkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai bising
aliran (flow murmur).
Gejala-gejala dini karditis ialah rasa lelah, pucat, tidak bergairah dan anak tampak sakit
bisa sampai beberapa minggu meskipun belum ada gejala-gejala spesifik.
Seorang penderita rematik dikatakan menderita karditis bila ditemukan satu atau lebih tanda-
tanda berikut:
a) Bunyi jantung melemah dengan irama derap diastolik
b) Terdengar bising jantung yang semula tidak ada, yaitu berupa bising apikal, bising mid-
diastolik apikal atau bising diastolik basal; atau terdapat perubahan intensitas bising yang
semula sudah ada atau bertambahnya bising yang bermakna pada penderita yang tadinya
sudah pernah menderita demam rematik/penyakit jantung rematik.
Kardiomegali, terutama pembesaran ventrikel kiri pada foto rontgen dada pada penderita
tanpa demam rematik sebelumnya atau bertambahnya pembesaran jantung yang nyata
pada penderita yang pernah mengalami penyakit jantung rematik sebelumnya.
c) Perikarditis. Biasanya diawali dengan rasa nyeri disekitar umbilikus akibat penjalaran
nyeri bagian tengah diafragma. Tanda lainya ialah friction rub, efusi perikardial dan
kelainan pada EKG. Perikarditis jarang ditemukan sebagai kelainan tersendiri, biasanya
merupakan bagian dari pankarditis.
12
d) Gagal jantung pada anak-anak atau dewasa muda tanpa sebab yang lain. (2)
2. Artritis
Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun merupakan
manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak spesifik dan sering menyesatkan
diagnosis. Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada penjangkitan demam reumatik akhir-
akhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat pedekatan diagnosis yang berbeda.
Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi, ditandai oleh nyeri
yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak semua manifestasi ada, tetapi nyeri
pada saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau pasif biasanya merupakan tanda yang
mencolok. Intensitas nyeri dapat menghambat pergerakan sendi hingga mungkin seperti
pseudoparalisis.
Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia hanya terjadi nyeri ringan
tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang terutama adalah sendi
lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang kecil jarang terlibat.
Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis migrans). Proses radang
pada satu sendi dapat sembuh secara spontan sesudah beberapa jam serangan, kemudian muncul
artritis pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien, artritis sembuh dalam 1 minggu, dan
biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis demam reumatik berespons dengan
cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis rendah, sehingga perjalanan artritis dapat diperpendek
dengan nyata dengan pemberian aspirin.
Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali efusi. Meskipun tidak
berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan; ia harus benar-benar diperhatikan, baik yang berat
maupun yang ringan. Sebelum terburu-buru ke laboratorium untuk memikirkan ’skrining
kolagen’ yang lain, ia harus diperiksa dengan anamnesis yang rinci serta pemeriksaan fisis yang
cermat.
3. Korea
13
Korea ialah gerakan-gerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan sukar dikendalikan,
seringkali disertai kelemahan otot. Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak
disengaja dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini
lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara
atau sebagian oleh pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi yang
mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas. Gerakan-gerakan pada otot muka dapat menghebat
sehingga disebut society smile. Bila lidah dijulurkan terlihgat tremor. Yang khas ialah kelainan
pada waktu pemeriksaan refleks patela ialah tungaki yang perlahan-lahan kembali ke posisi
semula setelah patela diketuk. Ini terjadi bila gerakan korea terjadi bersamaan dengan waktu
patela dirangsang. Pasien korea biasanya tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam
waktu yang pendek.
Hipotonia akibat kelemahan otot menyebabkan posisi khas, berupa tangan yang lurus
sedangkan pergelangan tangan sedikit fleksi serta sendi metacarpofalangeal dalam hiperekstensi.
Bila hipotonia hebat, anak tidak dapat berdiri (korea paralitika). (2)
Inkoordinasi gerakan dapat jelas atau samar-samar; bila anak diminta untuk memungut
uang logam dilantai akan terlihat jelas inkoordinasi tersebut. Gangguan emosi hampir selalu ada,
bahkan sering merupakan tanda dini. Anak menjadi murung, mudah tersinggung, kelihatan
bingung atau bahkan menjadi maniak (korea insapiens). Pekerjaan sekolah menjadi mundur. (2)
4. Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada
penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam manifestasi mayor. Data kepustakaan
menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya terjadi pada lebih-kurang 5% pasien. Pada
literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan pada kurang dari 10% kasus. Ruam ini berupa
bercak-bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya berbatas tegas,
berbentuk bulat atau bergelombang, tanpa indurasi dan tidak gatal. Bila ditekan lesi akan
menjadi pucat. Tempatnya dapat berpindah-pindah, di kullit dada dan bagian dalam lengan atas
atau paha, tetapi tidak pernah terdapat pada kulit muka. Eritem marginatum sering menyertai
kelainan lainya terutama karditis. Tidak jelas arti eritem marginatum terhadap prognosis. (2)
14
5. Nodul subkutan
Nodul ini terletak dibawah kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran
antara 3-10 mm. Biasanya pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut
dan persendian kaki. Kadang nodul ditemukan pada kulit kepala dan di atas prosesus spinosus
vetrebra torakalis dan lumbalis. Ditemukannya nodul subkutan menunjukkan bahwa penyakit
sudah berjalan beberapa waktu lamanya. Nodul ini biasanya muncul sesudah beberapa minggu
serangan akut demam rematik dan sering dianggap sebagai tanda prognosis yang buruk, sebab
seringkali disertai karditis yang berat. (2)
Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan
jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan
gejala apa-apa. (2)
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung,
gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita
demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi
penyakitnya. (2)
DIAGNOSIS
Dr. T. Duchett Jones (1944) menyusun kriteria sistematik untuk menegakkan diagnosis demam
rematik. Kriteria ini kemudian direvisi pada tahun 1965 oleh The American Heart Association’s
Council on Rheumatic Fever and Congenital Heart Disease.
Manifestasi Mayor Manifestasi Minor
Karditis Poliartritis Korea Eritema marginatumNodulus subkutan
Klinis:- Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik- Artralgia- DemamLaboratorium:
15
- Reasi fase akut: * Laju endap darah (LED) meningkat * Protein C reaktif positif * Leukositosis- Pemanjangan interval P-R
Ditambah Bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya:- Kenaikan titer antibodi antisterptokokus: ASTO/antibodi lain- Biakan usap tenggorok positif untuk streptokokus grup A- scarlet fever yang baru saja terjadi
Terdapatnya 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor
menunjukkan kemungkinan besar suatu demam rematik. Terdapatnya bukti infeksi streptokokus
sebelumnya sangat menyokong diagnosis. Bila bukti ini tidak ada, diagnosis diragukan, kecuali
bila terdapat korea minor atau karditis yang menahun.(1,2,3,4)
DIAGNOSIS BANDING
Streptokokus grup A dapat ditemukan pada tenggorokan anak normal dan pada anak yang
klinis mempunyai salah satu agen ini (Corynebacterium diphtheria, gonokokus, Streptokokus
grup C dan G). Tes CRP hanya bermanfaat pada fase akut sakit. Karena kebanyakan infeksi
strepkokus masa sakitnya pendek sedangkan respons antibody timbulnya lambat, titer antibodi
streptokokus dipakai secara retrospektif dalam diagnosis infeksi streptokokus akut. Faringitis
karena virus mungkin tertutup oleh adanya streptokokus grup A.(3)
Tidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan laboratorium yang khas untuk demam
reumatik/penyakit jantung reumatik. Banyak penyakit lain yang mungkin memberi gejala yang
sama atau hampir sama dengan demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Yang perlu
diperhatikan ialah infeksi piogen pada sendi yang sering disertai demam serta reaksi fase akut.
Bila terdapat kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat infeksi Streptococcus sebelumnya
(yang sebenarnya tidak menyebabkan demam reumatik), maka seolah-olah kriteria Jones sudah
terpenuhi. Evaluasi terhadap riwayat infeksi Streptococcus serta pemeriksaan yang teliti terhadap
16
kelainan sendinya harus dilakukan dengan cermat agar tidak terjadi diagnosis berlebihan.
Reumatoid artritis serta lupus eritrmatosus sistemik juga dapat memberi gejala yang mirip
dengan demam reumatik. Diagnosis banding lainnya ialah endokarditis infektif. (1,2,3)
PENGOBATAN
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus segera dilaksanakan
setelah diagnosis ditegakkan. Dianjurakan menggunakan penisilin dosis biasa selama 10 hari,
pada penderita yang peka terhadap penisilin, dapat diganti dengan eritromisin. Pengobatan
terhadap streptococcus harus tetap diberikan meskipun biakan usap tenggorok negatif, karena
kuman masih mungkin ada dalam jumlah sedikit dalam jaringan faring dan tonsil. Penisilin tidak
berpengaruh terhadap demam, gejala sendi dan laju endap darah, tetapi insidens penyakit jantung
rematik menjadi lebih rendah dalam pengawasan selama 1 tahun.
Tabel : PENGOBATAN INFEKSI BETA-STREPTOCOCCUS HEMOLYTICUS GRUP A
Jenis Cara pemberian Dosis Frekuensi/lama
pemberian
Penisilin benzatin G IM 1,2 juta UI 1 kali
Benzatin prokain IM 600.000 UI 1-2 kali sehari selama
10 hari
Penisilin V Oral 250.000 UI 3 kali sehari selama
10 hari
Eritromisin Ora 125-500 mg 4 kali sehari selama
10 hari
Tetrasiklin dan sulfa tidak dipergunakan untuk eradikasi streptococcus.
2. Obat anti-inflamasi
17
Yang dipakai secara luas adalah salisilat dan steroid; keduanya efektif untuk mengurangi
gejala demam, kelainan sendi serta fase reaksi akut.
TABEL : TERAPI ANTI-INFLAMASI PADA DEMAM REUMATIK/PENYAKIT JANTUNG
REUMATIK AKUT DI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FKUI-RSCM JAKARTA
Artritis Karditis ringan tanpa kardiomegali
Kardiomegali karditis berat, gagal jantung
1. Salisilat 100 mg/ kgbb/hari
2. Setelah 1 minggu turunkan menjadi 75 mg/kgbb/hari
3. Bila hasil laboratorium normal turunkan menjadi 50mg/kgbb/hari, teruskan minimal 6 minggu
1. Salisilat 100 mg/ kgbb/hari
2. Setelah 1-2 ,imgu turunkan menjadi 75 mg/kgbb/hari
3. Teruskan sampai 6-8 minggu (terapi total 12 minggu)
1. Prednison 2mg/kgbb/ hari(rata-rata 4 x 10 mg/hari)
2. Setelah 2 minggu turunkan menjadi 3mg/hari
3. Setelah 2 minggu turunkan menjadi 4 x 5 mg/hari
4. Setelah 2 minggu turunkan menjadi 3 x 5mg/hari. Mulai berikan salisilat.
5. Dosis prednisolon terus turunkan setiap minggu, salisilat berikan sampai 6-12 minggu.
3. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar
kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Tambahan vitamin dapat
dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal jantung.(2)
4. Istirahat dan mobilisasi
Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur. Untuk artritis
cukupdalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat dengan gagal jantung
dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara bertahap. (2)
PEDOMAN ISTIRAHAT DAN MOBILISASI PENDERITA DEMAM REUMATIK
/PENYAKIT JANTUNG REUMATIK AKUT
(Markowitz dan Gordis, 1972)
Artritis Karditis minimal Karditis tanpa Karditis
18
kardiomegali dengan
kardiomegali
Tirah baring 2 minggu 3 minggu 6 minggu 3-6 bulan
Mobilisasi
bertahap di
ruangan
2 minggu 3 minggu 6 minggu 3 bulan
Mobilisasi
bertahap diluar
ruangan
3 minggu 4 minggu 3 bulan 3 bulan atau
lebih
Semua kegiatan Sesudah 6-8
minggu
Sesudah 10
minggu
Sesudah 6 bulan Bervariasi
PROGNOSIS
Risiko terjadinya demam reumatik setelah infeksi Streptokokus pada saluran nafas atas
yang tidak diobati adalah 3 %. Penderita yang telah mendapat satu serangan demam reumatik
mempunyai resiko tinggi untuk kambuh terhadap infeksi Streptokokus grup A (15-50%).(3)
Lesi ringan dan sedang ditoleransi dengan baik. Banyak remaja dengan regurgitasi berat
tidak bergejala dan tahan terhadap lesi lanjut sampai pada dekade ke 3 dan ke 4. Penderita
dengan lesi kombinasi selama episode demam rematik akut mungkin hanya mengalami
keterlibatan aorta 1-2 tahun kemudian. (1)
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, R.E, Nelson, E. Waldo. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak vol. 2 Ed. 15. Jakarta:
EGC; 1999. hal 929-935
2. Hasan, Rusepno. Alatas, Husein. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid dua edisi
keempat. Jakarta: Bagian ilmu kesehatan anak FK UI, 1985. Hal. 734-752
3. Poorwo Soedarmo, Sumarno. Garna, Henri. Etc. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatri Tropis
Anak Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010. Hal 347-352
4. Mansjoer, Arif. Triyanti, Kuspuji. Etc. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI, 2001. Hal 451-453
20