21
1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 1 REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS TYRANNY (A Study of The Decisions Made by MA No. 65/P/HUM/2018 and by MK No. 30/PUU-XVI/2018) Sirajuddin dan Febriansyah Ramadhan Magiter Hukum Univ. Widyagama Malang dan Magister Hukum FHUB Malang Jl. Borobudur 35 Kota Malang & Jl. Veteran Kota Malang E-mail : [email protected] [email protected] ABSTRAK Keadaan yang tentu tidak diharapkan, ketika lembaga perwakilan sebagai identitas demokrasi, kemudian kehilangan jiwa dan nafasnya, lebih parah lagi penghilangan tersebut dilakukan dengan cara-cara hukum yang juga dijamin oleh demokrasi dan konstitusi. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai anak kandung reformasi, yang lahir pada amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar 1945, hadir dalam sistem perwakilan dalam rangka mewakilkan secara murni kedaerahan, hal ini dimaksud agar DPD hadir sebagai bandul penyeimbang (check and balances) dalam internal DPD. Pada hari ini, ternyata anggota DPD banyak berafiliasi dengan partai politik, hingga Mahkamah Agung (MA) melalui putusanNo 65/P/HUM/2018, membatalkan peraturan larangan mencalon bagi anggota DPD, jika ia masih menjabat/pengurus partai politik, dimana larangan ini diatur dalam Peraturan KPU, yang merupakan tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 30/PUU-XVI/2018. Artinya terjadi penafsiran berbeda antara putusan MK dan MA, dalam melihat fenomena banyaknya anggota DPD yang bergabung ke partai Politik, yang berhujung pada kekacauan dalam kelembagaan DPD. Itulah salah satu konsekuensi adanya dualisme pengujian peraturan perundang- undangan, yang berhujung adanya celah hukum dan memberikan kesempatan adanya tirani keterwakilan. Maka dari itu, tulisan ini memiliki dua rumusan masalah. Pertama, Bagaimana analisis hukum dan pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018, yang berhujung pada tirani keterwakilan? Kedua, Bagaimana gagasan sistem pengujian undang-undang di masa mendatang, dalam rangka menciptakan harmonisasi hukum dan kepastian hukum? Untuk menjawab kedua rumusan masalah ini, tulisan ini menggunakan penelitian yuridis normatif/doktrinal. 1 Dipublikasikan Jurnal Hukum KENEGARAAN Volume 2, Nomor 1, tahun 2019, diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Provinsi Jawa timur

REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

  • Upload
    vokiet

  • View
    226

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

1

DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/20181

REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS TYRANNY

(A Study of The Decisions Made by MA No. 65/P/HUM/2018 and by MK No. 30/PUU-XVI/2018)

Sirajuddin dan Febriansyah Ramadhan

Magiter Hukum Univ. Widyagama Malang dan Magister Hukum FHUB Malang Jl. Borobudur 35 Kota Malang & Jl. Veteran Kota Malang

E-mail : [email protected] [email protected]

ABSTRAK

Keadaan yang tentu tidak diharapkan, ketika lembaga perwakilan sebagai identitas demokrasi, kemudian kehilangan jiwa dan nafasnya, lebih parah lagi penghilangan tersebut dilakukan dengan cara-cara hukum yang juga dijamin oleh demokrasi dan konstitusi. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai anak kandung reformasi, yang lahir pada amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar 1945, hadir dalam sistem perwakilan dalam rangka mewakilkan secara murni kedaerahan, hal ini dimaksud agar DPD hadir sebagai bandul penyeimbang (check and balances) dalam internal DPD. Pada hari ini, ternyata anggota DPD banyak berafiliasi dengan partai politik, hingga Mahkamah Agung (MA) melalui putusanNo 65/P/HUM/2018, membatalkan peraturan larangan mencalon bagi anggota DPD, jika ia masih menjabat/pengurus partai politik, dimana larangan ini diatur dalam Peraturan KPU, yang merupakan tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 30/PUU-XVI/2018. Artinya terjadi penafsiran berbeda antara putusan MK dan MA, dalam melihat fenomena banyaknya anggota DPD yang bergabung ke partai Politik, yang berhujung pada kekacauan dalam kelembagaan DPD. Itulah salah satu konsekuensi adanya dualisme pengujian peraturan perundang-undangan, yang berhujung adanya celah hukum dan memberikan kesempatan adanya tirani keterwakilan. Maka dari itu, tulisan ini memiliki dua rumusan masalah. Pertama, Bagaimana analisis hukum dan pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018, yang berhujung pada tirani keterwakilan? Kedua, Bagaimana gagasan sistem pengujian undang-undang di masa mendatang, dalam rangka menciptakan harmonisasi hukum dan kepastian hukum? Untuk menjawab kedua rumusan masalah ini, tulisan ini menggunakan penelitian yuridis normatif/doktrinal.

1 Dipublikasikan Jurnal Hukum KENEGARAAN Volume 2, Nomor 1, tahun 2019, diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Provinsi Jawa timur

Page 2: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

2

Kata Kunci: Dualisme Pengujian, Tirani Keterwakilan dan Putusan MK dan MA.

Abstract

An unexpected situation happens when a representative institution as a democratic identitif loses of its soul and breath. The condition is worsened due to the fact that the loss is made through legal ways which are assured by democracy and constitution. Regional Representative Council (DPD), as the biological child of reformation was born from the third ammenmend of the 1945 Constitution. The existence of the Regional Representative Council (DPD) serves as the check and balances in its internal organization. At present, it turns out that there are man members of DPD who are affiliated with political parties. As a result the Supreme Court (MA) through its decision No. 65/P/HUM/2018 abrogates the regulation forbiding the candidacy of the members of DPD if one still holds or manages a political party, where the abrogation is stipulated in the regulation made by the General Election Commission (KPU). The abrogation is also the follow-up of the Decision of te Constitution Cour (MK) No. 30/PUU=XVI/201). It means that a different interpretation between the decisions made by MK and MA in has happened in understanding the phenomenon where many members of DPD joining in political parties that ends in the chaos of the DPD institution. It is one of the consequences of the dualism of testing the regulation where it may result in legal loophole and give opportunities to the existence of the representativeness tyranny. As a result, this present article has two problems. The first is how the legal analysis and judge’s considerations of the Decision made by MK No.30/PUU-XVI/2018) and by MA No. 65/P/HUM/2018 ends in the representativeness t tyranny. The second is how the idea of the system of review future regulations is made to create a legal harmony and certainty. To asnwer the two questions, this writing made use of juridical, normative/doctrinal research design. Key words: Review dualism, representativeness tyranny and MK and MA decisions.

I. Pendahuluan Verba ita sint intelligenda, ut res magis valeat quam pereat. Adagium yang

lahir sejak zaman Romawi kuno ini, mengisyaratkan bahwa kata-kata harus dimengerti demikian, sehingga maknanya dipertahankan dan bukan dihancurkan.2 Adagium ini mengamanahkan untuk penegasan dari suatu itikad atau bahkan moral untuk menghindarkan penggunaan dari, atau pemahaman teks secara sewenang-wenang. Adagium tersebut, juga memberikan isyarat kepada kita, untuk tidak membaca aturan hukum secara parsial, melainkan dapat membacanya secara holisitik. Jika hal itu dilakukan, niscaya tidak terjadi penyelundupan/pemelintiran aturan, dan ketertiban hukum serta kelembagaan akan tentu tercapai.

2 Budiono Kusumohamidjojo. Teori Hukum Dilema Antara Hukum dan Kekuasaan. Bandung: Penerbit Yrama Widya. 2016. Hlm. 246

Page 3: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

3

Realita berkata lain, momentum Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan serentak di tahun 2019, banyak mengandung masalah. Salah satunya, para calon Anggota DPD yang tidak memahami secara holistitik kedudukan Dewan Perwakilan Daerah menurut konstitusi (UUD 1945), yang berasal dari utusan daerah, dan dipilih melalui jalur perseorangan/independen, dan bukan melalui jalur partai politik. Namun beberapa oknum calon DPD, menggunakan pengujian peraturan undang-undang sebagai celah melanggengkan kebutuhannya. Potensi ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sebagai dampak dari adanya dualisme pengujian peraturan perundang-undangan kembali terjadi. Hal ini dipicu oleh Putusan MA yang membatalkan dua Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), yakni PKPU No. 26/2018 tentang Pencalonan Anggota DPD, serta PKPU No. 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD. Sementara pada saat ini di MK terdapat empat permohonan uji materi terhadap UU Pemilu, yakni terkait ambang batas pencalonan presiden, masa jabatan wakil presiden, dana kampanye dan pengertian citra diri dalam kampanye.3

Fenomena tersebut, tidak hanya terjadi pada saat ini, jika kembali kita melihat jarum sejarah, problem dualisme itu juga terjadi pada 10 tahun silam. Saat itu, MA memutus bahwa peraturan perundang-undangan di bawah UU bertentangan dengan UU, akan tetapi MK membuat tafsir berbeda dari pendapat MA. Kasus seperti ini terjadi dalam tafsir terhadap Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Ketentuan dalam UU 10/2008 yang menjadi dasar pengujian Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 dalam judicial review MA dimaknai berbeda oleh MK, maka Putusan MA kehilangan legalitas dan tidak relevan lagi diterapkan. Kalau Putusan MK dapat menganulir Putusan MA, berarti kedudukan MK lebih tinggi dari MA. Padahal dalam struktur ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, MA dan MK ditentukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang memiliki kedudukan sejajar. Karena itulah, secara hukum, Putusan MA dan Putusan MK berada pada posisi yang setara sehingga tidak dapat saling menganulir.

Permasalahan yang terjadi dalam perbedaan putusan ini, salah satu faktornya karena perbedaan pandangan hakim. Hakim MK dalam menganalisa perkara cenderung mendalami isi maksud aturan tersebut, sedangkan hakim MA cenderung menggunakan penafsiran secara sistematik yang merujuk terbatas pada undang-undang semata. Brian Z. Tamanaha memisah, dua jenis hakim dalam memutus, yakni formalisme dan realisme hukum. Formalisme dalam mencari jawaban yakni dengan menelusuri teks-teks hukum secara hati-hati, sedangkan realisme lebih melihat hukum pada senyatanya yang didasarkan pada perkara, dan bagaimana selayaknya diselesaikan, serta tidak terikat teks. 4 Pemecehan kedua pemikiran hakim dan putusannya, juga terjadi dalam konteks MA dan MK.

Berbicara tentang berbagai putusan hukum serta peraturan, maka tidak bisa dilepaskan dari teori legisprudensi (legisprudence) sebagai alternatif penyelesaian masalah legislasi di Eropa. Bagi Wintgens, sebagai tokoh yang memperkenalkan teori ini, legisprudence merupakan teori hukum yang menggunakan legislasi dan regulasi sebagai obyek kajiannya. Selama ini, teori

3 Lihat harian Kompas tanggal 15 November 2018. 4 Muji Kartika Rahayu. Sengketa Mazhab Hukum. Sintesis Berbagai Mazhab dalam Pemikiran Hukum. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Hlm. 50

Page 4: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

4

hukum didominasi dari pandangan Kelsen yang membedakan antara politik dan hukum. Legislasi merupakan pembentukan norma yang diwarnai oleh proses politik. Oleh karenanya, pembentukan legislasi tidaklah bisa dijadikan obyek dalam teori hukum. Teori legisprudensi memperlebar bidang kajian teori hukum, tidak hanya berkutat pada putusan peradilan tetapi juga “... to include the creation of law by the legislator”.5

Dalam teori legisprudensi, judicial review menjadi salah satu jawaban atas persoalan banyaknya peraturan perundang-undangan yang berkualitas rendah. Pengadilan yang memiliki kewenangan judicial review dapat menilai kelayakan peraturan perundang-undangan, dari sisi formal maupun materialnya. Putusan pengadilan akan memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan yang akan disusun berikutnya. Selain sarana uji kelayakan peraturan, tidak idealnya saran pengujian, justru berakibat negatif, dan dimanfaatkan sebagai celah hukum. Ketidak idealan yang dimaksud, salah satunya dengan adanya dua sarana pengujian di Indonesia. Kewenangan Pengujian peraturan perundang-undangan sendiri, masih berada pada 2 (dua) lembaga yudisial, yakni MK yang berwenang melakukan pengujian undang undang (UU) terhadap Undang Undang Dasar (UUD) 1945, sementara MA berwenang melakukan pengujian Produk peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. 6

Adanya dualisme pengujian peraturan perundang-undangan tersebut menjadi salah satu kritik substansial terhadap hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945, karena berpotensi menimbulkan ketidakdilan dan ketidakpastian hukum, bahkan menurut Feri Amsari, dualisme pengujian peraturan perundang-undangan tersebut merupakan konsep yang aneh karena tidak bersesuaian dengan yang umumnya berlaku dalam teori ketatanegaraan yang ada, dan tentu saja berbeda pula dengan konsep yang dianut oleh berbagai negara yang menganut judicial review, sehingga sangat berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan tersendiri sebagai implikasi adanya dualisme pengujian tersebut.

Solusi sementara untuk mengatasi dampak negatif dari dualisme pengujian peraturan peraturan perundang-undangan selama ini telah diantisipasi dengan pengaturan dalam Pasal 55 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK yang berbunyi : “pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”

Sejak pemilihan umum tahun 2004 terdapat beberapa perbedaan dengan pemilu sebelumnya yang pernah dilakukan di Indonesia. salah satu perbedaan tersebut adalah pemilu tidak hanya memilih anggota DPR dan DPRD yang merupakan calon anggota legislatif yang berasal dari Partai politik, akan tetapi juga memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan calon perseorangan. Dimulai pada Pemilu tahun 2019, pelaksanaan Pemilihan Umum,

5 Bisariyadi. Persoalan Judicial Review Dalam “Dua Atap. Dimuat dalam Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-4 – Penataan Regulasi di Indonesia. Hlm. 949 6 Ibid.

Page 5: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

5

yang di dalamnya juga melakukan pemilihan terhadap DPD, dilaksanakan secara serentak antara Pemilihan legislatif dan eksekutif. Hal ini merupakan implikasi dan amanat dari putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Harus dipahami, keserentakan Pemilu ini banyak memiliki implikasi, yaitu terpecahnya konsentrasi pemilih dalam memilih peserta-peserta Pemilu. Hal ini rasanya sangat dimanfaatkan oleh para calon untuk beramai-ramai mengenyampingkan aspek kualitas. Untungnya, melalui PKPU, menegaskan larangan mantan narapidana dan anggota partai politik mencalonkan menjadi DPD. Walaupun kedua PKPU itu dimentahkan oleh Mahkamah Agung, setidaknya publik juga teredukasi untuk melihat secara kritis menggunakan ratio dan nuraninya.

Pembatalan kedua aturan PKPU oleh Mahkamah Agung, setidaknya meninggalkan banyak permasalahan, PKPU yang melarang anggota partai menjadi calon DPD salah satunya. Putusan MK 30/PUU-XVI/2018, hadir sebagai judicial activism, yang melakukan purifikasi terhadap syarat menjadi calon DPD, tidak boleh masuk dalam jabatan struktural dalam partai politik. Tetapi, putusan itu dimentahkan oleh Mahkamah Agung, lalu membatalkan PKPU tersebut melalui Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018, ratio decidendi yang dikemukakan hakim dalam putusan MA tersebut, sangat prosedural/legalistik, yang beralasan putusan MK tidak dapat diberlakukan surut. Hikmah yang diambil dari fenomena ini, ternyata sistem ketatanegaraan kita, masih memiliki celah untuk dimasukkan kepentingan sektoral/individul dalam Pemilihan Umum, salah satunya celah adanya dualisme pengujian undang-undang. Dualisme pengujian ini berimplikasi pada hadirnya tirani keterwakilan teritorial (DPD), yang tentu menciptakan iklim yang tidak baik bagi demokrasi kita. Maka dari itu, dalam tulisan ini, akan dirumuskan dua masalah yang akan di paparkan dalam sub-bab berikutnya. II. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dalam tulisan ini akan dibahas:

1. Bagaimana analisis hukum dan pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018, yang berhujung pada tirani keterwakilan?

2. Bagaimana gagasan sistem pengujian undang-undang di masa mendatang, dalam rangka menciptakan harmonisasi hukum dan kepastian hukum?

III. Metode Penelitian

Untuk menjawab fokus permasalahan penelitian tersebut diatas, maka penelitian dilakukan melalui penelitian yuridis Normatif/Doktrinal (doctrinal research). Menurut Soetandyo Wignjosoebroto penelitian hukum doktrinal berkembang karena data hukum (peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan hukum positif) tidak selamanya tersusun secara lengkap untuk bisa menjawab seluruh persolan, maka usaha perlengkapannya dikerjakan dengan menemukan asas-asas umum dari data atauran-aturan yang ada (lewat proses induksi). Dengan demikian, sistem normatif positif yang berkembang tidaklah hanya terdiri-dari

Page 6: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

6

kaidah-kaidah positif melainkan juga terdiri dari asas-asas. 7 Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual adalah 2 (dua) pendekatan yang digunakan secara sinergis dalam penelitian ini, sehingga analisis bahan hukum menggunakan model analisis kualitatif.

IV. PEMBAHASAN

1. Analisis Hukum terhadap Perbedaan Putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Mengenai Syarat Pencalonan sebagai Anggota DPD

Penafsiran konstitusi merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar atau dapat disebut sebagai interpretation of the Basic Law.8 Penafsiran konstitusi merupakan hal yang tak terpisahkan dari aktivitas judicial review. Penafsiran konstitusi yang dimaksudkan disini adalah penafsiran yang digunakan sebagai suatu metode penemuan hukum (rechtsvinding) sebagaimana diungkapkan Harold J. Laski bahwa the court finds the law, but in finding it the court also make it.9 Praktek judicial review di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Bahwa desain ketatanegaraan modern Indonesia pasca amandemen UUD 1945 telah membedakan dua sistem peradilan yang terpisah dan memiliki kewenangan yang dibedakan secara tegas dalam konstitusi, maka ini menunjukkan sistem peradilan Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system).10

Sistem peradilan bifurkasi ini seharusnya menempatkan otoritas yudisial yang benar-benar berbeda satu dengan yang lainnya. Namun dalam prakteknya di Indonesia(das sein) keduanya tidak benar-benar berbeda (semu/psuedo), dimana MA merupakan pengadilan keadilan suatu tempat dimana setiap orang dapat memperoleh keadilan secara umum (court of justice), sedangkan MK merupakan pengadilan yang bersifat konstitusional dan ketatanegaraan (court of law), dimana setiap orang atau badan hukum dapat mempersoalkan peraturan perundangan yang melanggar hak-hak mereka dan bertentangan dan prinsip-prinsip konstitusi. Namun demikian kedua lembaga yudisial ini masih memiliki otoritas yang sama, yakni melakukan uji materi terhadap peraturan perundang-undangan. Hanya saja MA menguji peraturan perundangan di bawah UU terhadap UU, sedangkan MK UU terhadap UUD 1945. Kurang lebih 17 tahun paska amandemen UUD, ternyata pemisahan jalur undang-undang ini menimbulkan beberapa permasalahan.

Problematika judicial review kembali terulang dalam Putusan MK nomor 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan MA nomor 65/P/HUM/2018. Putusan MK

7 Soetandyo Wignyosoebroto., Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: Elsam dan Huma) hlm. 147-160 8 Albert H.Y. Chen, 2000. The Interpretation of Basic Law-Common Law and mainland Chinese Perspective, Hong Kong: Hong Kong Journal Ltd, hlm. 1 9 Harold J. Laski, 1941. A Grammar of Politics, London: George Allen & Unwin Ltd. hlm. 542 10 Agus Riewanto, Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Mahkamah Konstitusi Ri: Menuju Purifikasi Sistem Peradilan Bifurkasi. Dimuat dalam Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-4 – Penataan Regulasi di Indonesia. hlm. 935-936

Page 7: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

7

dalam ratio decidendi-nya menyatakan anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik sejak Pemilu 2019, 11 karena proses pendaftaran calon anggota DPD telah dimulai, dalam hal terdapat bakal calon anggota DPD yang kebetulan merupakan pengurus partai politik terkena dampak oleh putusan ini, KPU dapat memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Politik yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang bernilai hukum perihal pengunduran diri dimaksud. Dengan demikian untuk selanjutnya, anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan Pemilu-Pemilu setelahnya yang menjadi pengurus partai politik adalah bertentangan dengan UUD 1945,12 sedangkan Putusan MA dalam ratio decidendi-nya menyatakan putusan MK tidak dapat diberlakukan surut karena perubahan suatu aturan disertai dengan suatu kewajiban (yang sebelumnya belum diatur) pada saat tahapan, program, dan penyelenggaran pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang telah dilaksanakan dan sedang berlangsung dapat menimbulkan persoalan hukum baru.13 Putusan MA tersebut memberikan makna bahwa pengurus partai politik dapat mencalonkan sebagai anggota DPD pada Pemilu 2019.

Perbedaan esensial antar kedua putusan tersebut terjadi karena pandangan hakim. Hakim MK dalam melakukan penafsiran secara holistik, yang didasarkan atas interpretasi historis menurut sejarah undang-undangnya (wetshistorisch) dan sejarah hukumnya (rechtshistorisch).14 Hal ini terlihat ketika Hakim MK berangkat dari sejarah pembentukan DPD yang dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD.15 Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat yang lebih luas. Yang satu merupakan cerminan representasi politik di DPR (political representation), sedangkan yang lain mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation) di DPD.16 Berbeda hal nya dengan penafsiran hakim MA, Hakim MA dalam melakukan penafsiran, terbatas pada interpretasi sistematis yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. 17 Hal ini terlihat kala Hakim Agung berlandaskan pada pasal 47 UU MK18 dan Pasal 5 huruf d dan pasal 6 ayat 1

11 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018, hlm. 50 12 Ibid, hlm. 51 13 Lihat putusan Mahkamah Agung Nomor 65/P/HUM/2018, hlm. 44 14 Jazim Hamidi, 2005. Hermeneutika Hukum, Yogyakarta: UII Press. Hlm. 54 15 Jimly Asshidiqie, 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Hlm. 189 16 Ibid, hlm. 189-190 17 Jazim Hamidi, Op Cit. Hlm. 54 18 Pasal 47 UU MK menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum

Page 8: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

8

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).19

Putusan MA apabila dipahami secara legal formal dirasa sudah tepat, akan tetapi akan menjadi kekeliruan apabila dipahami secara materilnya. Meskipun ketentuan pasal 47 UU MK secara limitatif telah mengatur bahwa putusan MK tidak berlaku surut (non retroaktif), akan tetapi dalam teori legisprudensi, judicial review yang dilakukan MK, merupakan jawaban atas persoalan banyaknya peraturan perundang-undangan yang berkualitas rendah. Pengadilan yang memiliki kewenangan judicial review dapat menilai kelayakan peraturan perundang-undangan, dari sisi formal maupun materialnya. Disinilah peran hakim dalam melakukan penemuan hukum (rechtvinding), sehingga melalui penafsiran hakim dalam putusan tersebut bersifat lex specialis sedangkan ketentuan pasal 47 UU MK bersifat lex generalis, yang dapat dikesampingkan. Pengenyampingan yang dilakukan hakim MK pun, dalam rangka upaya mewujudkan konstitusi yang hidup (the living constitution), dalam rangka menjawab problem ketatanegaraan (seperti banyaknya anggota DPD yang menjadi fungsionaris partai politik). Dapat pula dikatakan, penafsiran hakim MK merefleksikan tipologi hukum yang bersifat responsif. Nonet dan Selznick mengungkapkan sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat.20 Lebih lanjut Nonet dan Selznick mengemukakan bahwa tipe hukum responsif mempunyai dua ciri yakni: a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; b) pentingnya watak kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya. Maka tujuan yang ingin dicapai adalah dengan melakukan purifikasi kelembagaan DPD sebagai representasi secara teritorial. Pemberlakuan putusan MK yang bersifat retroaktif pertama kali terjadi terhadap Putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008 dalam pengujian UU Pemilu Legislatif. Bahkan hal itu tidak hanya terjadi pada putusan MK, akan tetapi terjadi pula pada MA terhadap Putusan MA Nomor 15P/HUM/2009 dalam pengujian Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumpulan Hasil Pemilu yang berlaku secara retroaktif.

Judicial Review yang dilakukan oleh hakim konstitusi lebih ideal jika dibandingkan dengan hakim agung. Hal ini dapat dilihat dalam persyaratan menjadi hakim konstitusi dan hakim agung. Berikut perbandingan syarat menjadi Hakim Konstitusi dan Hakim Agung.

Ps. Hakim MK dalam UU MK Ps. Hakim Agung dalam UU MA

15 Ayat 1: Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai

7 A. hakim karier 1. warga negara Indonesia; 2. bertakwa kepada Tuhan Yang

19 Pasal 5 UU P3 menyatakan dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: dapat dilaksanakan serta pasal 6 UU P3 menyatakan Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: ketertiban dan kepastian hukum. 20 A. Mukthie Fadjar, 2014. Teori-Teori Hukum Kontemporer. Malang: Setara Press. Hlm. 55

Page 9: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

9

berikut: a. memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela;

b. adil; dan c. negarawan yang

menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

Ayat 2: seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: a. warga negara Indonesia; b. berijazah doktor dan

magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;

c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;

d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;

e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;

f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan

h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara

Maha Esa; 3. berijazah magister di bidang

hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;

4. berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;

5. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;

6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi;

7. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim A. Hakim Non Karier 1. memenuhi syarat

sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka 4, dan angka 5;

2. berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun;

3. berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan

4. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Page 10: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

10

Hak uji materil yang dimiliki oleh dua lembaga negara dalam kekuasaan kehakiman, dengan kompetensi dan komposisi kemampuan hakim yang berbeda menimbulkan disparitas dari putusan hakim, antara putusan hakim Mahkamah Konstitusi dengan putusan Hakim Mahkamah Agung. Hal tersebut dilandasi oleh perbedaan syarat untuk menjadi hakim mahkamah Agung dan hakim Mahkamah konstitusi. Yaitu sifat kenegarawan dan memahami konstitusi.

Adanya unsur kenegarawan serta menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, menjadi landasan utama bagi seseorang untuk dapat diangkat sebagai hakim Mahkamah Konstitusi adalah untuk menciptakan adanya keseimbangan dan keselarasan hakim Konstitusi dengan tugas dan wewenang yang diserahkan secara kelembagaan kepada Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut Jimly Assidiqie menyatakan adanya sifat kenegarawan dan memahami konstitusi bagi calon hakim konstitusi adalah mengingat keududukan Mahkamah Konstitusi sebagai peradialn kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tata negara yang wajib dalam dalam konsepsi negara hukum. Janedri M Ghafar memaknai kata kenegarawan adalah larangan merangkap menjadi jabatan negara lainnya, anggota partai politik, pengusaha, advokat, atau pegawai negeri oleh seorang hakim konstitusi. Oleh karena itu perwujudan syarat negarawan berarti menanggalkan ikatan pekerjaan atau profesi lainnya sehingga dapat fokus mengawal tugas-tugas mulia di Mahkamah Konstitusi.

Lebih lengkap Muktie fadjar menjelaskan adanya sifat kenegarawan hakim Mahkamah Konstitusi adalah untuk meneguhkan negara hukum yang susunannya diatur sebaik-baiknya dalam peraturan perundang-undangan sehingga segala kekuasaan alat pemerintahan diatur oleh hukum. Sehingga dengan menggunakan perbaikan terhadap suatu bunyi hukum menggunakan jalur yudisial. Begitupun dengan proses untuk melakukan judicial review untuk melakukan koreksi terhadap suatu peraturan perundang-undangan harus dilakukan oleh orang yang memiliki landasan pemahaman terhadap penyelenggaraan negara dan memahami konstitusi.21

Hak Uji materil peraturan perundang-undangan bertujuan untuk menciptakan harmonisasi peraturan dari staat ground gezets sampai dengan peraturan yang paling rendah. Baik constitutional review ataupun pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, adanya hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan adalah untuk menilai pelaksanaan kaidah konstitusi (UUD) yang dalam istilah hukum tata negara disebut sebagai constitutioneele geschil atau constitutional disputes.22 Atas dasar demikian akan lebih tepat permasalahan konflik antara norma di adili oleh ahli ketatanegaraan atau dalam hal ini yang memahami konstitusi.

Sedangkan hakim Mahkamah Agung baik dari jalur karir dan jalur non karir mengedepankan syarat sebagai praktisi hukum untuk menjadi syarat

21 H.F. Abraham Amos, 2007, katastropi hukum dan Quo vadis sistem politik peradilan di Indonesia analisa sosiologis kritis terhadap prosedur peenrapan dan penegakan hukum di indonesia, Rajawali pers, Jakarta, Hlm 226 22 Soimin, 2013, Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, Yogyakarta, UII Press, hlm 134

Page 11: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

11

utama hakim Mahkamah Agung karena sifat dari Mahkamah Agung sebagai court of justice yang memiliki sistem peradilan yang bertingkat. dimana kedudukan Mahkamah Agung dijadikan sebagai puncak pencarian keadilan (the last resort of justice keeping), secara umum memiliki fungsi untuk mengungkap kebenaran, pengungkapan fakta, kontruksi penentuan kebenaran atas suatu perbauatan yang dilakukan oleh subyek hukum yang melakukan pelanggaran terhadap hukum. Sehingga kedudukan Mahkamah Agung dapat dipahami sebagai Garda penegakan keadilan (Pseudo justice guardian). Namun dalam Praktiknya Mahkamah Agung sebagai embrio keadilan yang mandul (impoten) dengan diberikan kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan-perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan judicial review merupakan kewenangan yang sifatnya relatif limitatif dan tidak bersifat absolut, karena terbatas pada pengujian peraturan dibawah undang-undang (non organik=fakultatif = lex inferiority). Namun sistem penafsiran yang digunakan dan kemampuan yang dimikili oleh Hakim Agung yang tidak seimbang dengan permasalah ketatanegaraan menjadikan putusan yang dikeluarkan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, dengan menggunakan sistem penafsiran yang terbatas tekstual dan struktur atau menafsirkan dengan menggunakan mekanisme gramatikal, tanpa mendalami dan menjiwai Konteks dari perkara yang diputus. 23

Perbedaan syarat antara hakim agung dan MK, dapat menjadi salah satu alasan, mengapa sering kali terjadi perbedaan penafsiran dalam menyelesaikan beberapa masalah ketatanegaraan. Dari sudut pandang electoral laws, spirit yang terkandung dalam sistem pemilihan DPD, adalah jalur perseorangan. Artinya, DPD diharapkan murni tidak terlibat dalam konflik kepentingan dari partai politik, sehingga DPD murni membawa kepentingan daerah. Sepanjanga periode 2014-2019, terbukti kurang lebih dari 70 anggota DPD telah berafiliasi pada partai politik tertentu, dan 10 di antaranya menjabat fungsionaris partai.24 Dalam batas penalaran yang wajar, selain bertentangan dengan spirit UUD, masuknya anggota DPD ke dalam partai politik, tentu akan menghambat kinerja dan memecah konsentrasi DPD, dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya. Keadaan ini seolah memperparah problematika DPD baik secara normatif dan praktik. Secara normatif, DPD memiliki kelembagaan yang serba dilematis, yakni

23 Benny K Harman, 1997, Konfigurasi Politik dan kekuasaan kehakiman di Indonesia, elsam, jakarta, hlm 229 24 https://nasional.kompas.com/read/2017/04/03/14222941/anggota.dpd.yang.bergabung.di.parpol.seharusnya.tak.masuk.struktur.partai

Page 12: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

12

1. Kewenangan yang dimiliki oleh DPD. Kewenangan DPD tidak cukup signifikan dilihat dari gagasan pembentukannya dan DPD memang didesain lebih rendah dari DPR bahkan dikatakan sebagai embel-embel DPR.25

2. Rumusan dalam Pasal 7C UUD 1945 hanya memberi jaminan bahwa hanya DPR yang tidak bisa dibubarkan oleh Presiden sehingga DPD bisa dikatakan Presiden berhak untuk membubarkannya, karena tidak ada jaminan yang tegas dan eksplisit dalam UUD dan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa hanya pertimbangan DPR yang diperlukan oleh Presiden ketika menyatakan perang, damai dan dalam membuat perjanjian internasional. Dan penulis kira ada banyak pasal-pasal lain dalam UUD 1945 dan perubahannya yang bersifat diskriminatif terhadap keberadaan DPD.26

Dan beberapa permasalahan lainnya yang melilit kelembagaan DPD. Tidak lain, satu-satunya cara dalam melakukan reformasi kelembagaan DPD adalah melalui amandemen UUD 1945, agar terciptanya DPD sebagai strong bicameral. Namun untuk sampai pada reformasi tersebut, tentunya DPD secara internal harus menunjukan integritas, kualitas, dan prestasi secara kelembagaan. Hal itu untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi tersebut, dan menjadi pendorong dalam amandemen UUD selanjutnya. Pintu utama dalam melakukan pembenahan, adalah dengan mentaati secara konsisten Putusan MK. Juru kunci ada pada KPU, hendaknya KPU tetap konsisten taat dan patuh pada putusan MK, untuk tidak meloloskan siapapun yang masih menjabat atau bergabung di partai politik. Putusan MK adalah terjemahan langsung kehendak konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan, sehingga jika hal itu, ditaati, kita mampu untuk memberantasa tirani keterwakilan dalam lembaga perwakilan di Indonesia.

2. Membentuk Sistem Pengujian Perundang-Undangan Satu Atap pada Mahkamah Konstitusi

Law is a mode of giving particular sense to particular things in particular places/ things that happen, that fail to, things that might (Hukum adalah suatu cara untuk memberikan arti tertentu kepada hal - hal tertentu, di tempat - tempat tertentu/hal -hal yang terjadi, hal - hal yang mungkin terjadi).27 Pendapat Benjamin Nathan Cardozo yang dikutip oleh Achmad Ali tersebut, merefklesikan kita, bahwa sesungguhnya hukum selalu memberikan peranannya pada suatu hal tertentu sesuai dengan kondisi suatu kejadian yang harus dilindungi oleh hukum. Pun kedudukan hukum sebagai cita - cita maupun harapan seluruh masyarakat harus mampu menyelesaikan seluruh urusan dan kebutuhan masyarakatnya, dan sesungguhnya hukumlah yang

25Baca A. Mukthie Fadjar. 2003. Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, Malang: In-TRANS hal. 83 - 92 26 Lihat Agus Haryadi, 2002. “Bikameral Setengah Hati” Tulisan Artikel dalam Harian Kompas tanggal 15 Mei 2002 27 Achmad Ali, 2015. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang - Undang (Legisprudence). Jakarta. Prenamedia Group. Hlm. 448

Page 13: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

13

memimpin dalam penyelenggaraan negara sesuai dengan prinsip “the Rule of Law, and not of Man.28

Salah satu unsur perlindungan hukum yakni adanya lembaga peradilan. Peran Pengadilan sebagai sebuah lembaga penentu keadilan selain harus mempertimbangkan kemanfaatan hasil dari sebuah putusan seperti yang dikatakan oleh Holmes bahwa The prophecies of what the courts will do in fact, and nothing more pretentious, are what I mean by the law (yang dianggap sebagai hukum adalah ramalan tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan didalam kenyataannya, dan tidak ada yang lebih penting daripada itu),29 juga substansi putusan tersebut sebagai landasan dan hukum yang harus dilaksanakan, baik putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi atau MK sebagai Court Of Law maupun Mahkamah Agung atau MA sebagai Court Of Justice. Namun tidak dapat dipungkiri masih adanya keraguan bagi kalangan ahli hukum dari segi kelembagaan MA dalam menguji perundang - undangan di bawah Undang - Undang terhadap Undang - Undang.

Apabila dilihat dari segi sejarah, yakni pada tanggal 15 Juli 1945, dalam sidang BPUPKI, sesungguhnya M. Yamin telah mengusulkan agar dibentuk suatu lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang bertugas sebagai lembaga yang membanding30Selanjutnya Soepomo, menolak usulan agar kekuasaan kehakiman diberi wewenang untuk mengawasi pembuat undang - undang. Apakah suatu undang - undang bertentangan dengan UUD atau tidak bukan soal yuridis tetapi soal politis dan dapat menimbulkan konflik yang tidak baik bagi negara Indonesia. Soepomo juga mempertimbangkan bahwa para ahli hukum Indonesia pada waktu itu sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam melakukan pengujian UU terhadap UUD. Oleh karena itu, persoalan tersebut belum waktunya dibicarakan bagi negara muda seperti Indonesia yang baru merdeka.31 Hingga pada perubahan ke-empat UUD NRI 1945 mencullah lembaga MK pada amandemen ke-empat tahun 2002. Kemudian, pada tahun 2003 MK telah resmi dibentuk dan menjalankan kewenangannya secara kelembagaan.

Jimly Ashidiqqie memberikan komentar, bahwa pembagian tugas di bidang pengujian peraturan (judicial review) atas peraturan perundang - undangan antara MA dan MK sama sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara MK dan MA. Kedepan memang harus dipikirkan kemungkinan mengintegrasikan seluruh sistem pengujian peraturan di bawah kewenangan MK.32 Sehingga tepat ketika menyatukan Pengujian Perundang - Undangan di MK dengan pembaharuan - pembaharuan pada proses Pengujian Perundang - Undangan.

Selain itu ada empat alasan yang menyebabkan pemisahan pengujian peraturan tersebut menjadi tidak ideal. Pertama, pemberian kewenangan

28 Ni'matul Huda, 2007. Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta. Hlm. 62 29 Azhary, 1995. Negara Hukum Indonesia - Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur - Unsurnya. Jakarta. UI Press. Hlm. 41 30 Kata “membanding” yang dipergunakan oleh M. Yamin, sama maknanya dengan pengertian “toetsing” atau “review” atau “menguji” 31 Sekretariat Negara RI, Materi Pokok Pendidikan Pancasila, Jakarta, 1993. Hlm. 305-306 32 Jimly Ashidiqqie, 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta. Diterbitkan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi HTN FH Universitas Indonesia. Hlm. 189

Page 14: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

14

pengujian (judicial review) materi undang - undang terhadap undang - undang dasar kepada MK yang baru dibentuk mengesankan bahwa hanya sebagian tambahan perumusan terhadap materi UUD secara mudah dan tambal sulam, seakan - akan konsepsi hak uji materiil peraturan yang ada di tangan MA tidak turut berpengaruh dengan hak uji yang diberikan kepada MK. Perumusan demikian terkesan kurang didasarkan atas pendalaman konseptual berkenaan dengan konsepsi uji itu sendiri secara komprehensif. Kedua, pemisahan kewenangan itu masuk akal untuk dilakukan jika sistem kekuasaan dianut masih didasarkan atas prinsip pembagian kekuasaan dan bukan prinsip kekuasaan yang mengutamakan check and balances sebagaimana yang dianut oleh UUD 1945 sebelum mengalami perubahan yang pertama dan kedua, UUD 1945 telah resmi dan tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan horizontal. Oleh karena itu, pemisahan antara materi undang - undang dan materi peraturan dibawah undang - undang tidak seharusnya dilakukan lagi. Ketiga, dalam praktik pelaksanaannya nanti, secara hipotesis dapat timbul pertentangan subtantif antara putusan MA dengan putusan MK. Oleh karena itu, sebaiknya sistem pengujian peraturan perundang - undangan dibawah konstitusi pertentangan subtantif antara putusan MA dengan putusan MK.

Oleh karena itu, sebaiknya sistem pengujian peraturan perundang - undangan dibawah konstitusi diintegrasikan saja di bawah MK. Dengan demikian, masing - masing Mahkamah dapat memfokuskan perhatian pada masalah yang berbeda. MA menangani persoalan keadilan dan ketidakadilan bagi warga negara, sedangkan MK menjamin konstitusionalitas keseluruhan peraturan perundang - undangan. Keempat, jika kewenangan pengujian materi peraturan di bawah UUD sepenuhnya diberikan kepada MK, tentu beban MA dapat dikurangi.33 Berikut, data yang penulis himpun melalu Web direktori MA dan MK tentang pengujian undang-undang:

Untuk mengurai dan membahas mengenai fenomena penanganan

perkara, akan digunakan pendekatan perbandingan dengan melihat pada praktek penanganan kasus judicial review di Mahkamah Konstitusi Austria (Verfassungsgerichtshof). Diantara kewenangan MK Austria, dua diantaranya

33 Jimly Asshiddiqie, 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta. Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI. Hlm. 40 - 41.

Tahun Judicial Review di

Mahkamah Konstitusi

Judicial Review di Mahkamah

Agung

2012 118 52

2013 109 76

2014 139 83

2015 141 72

2016 111 49

2017 102 78

2018 98 (akhir November) 51 (akhir November)

Page 15: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

15

adalah untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan menguji legalitas peraturan administratif (kebijakan). MK Austria menerima perkara antara 2000 hingga 3000 kasus setiap tahunnya. 90% dari kasus tersebut adalah berupa perkara dalam dua kewenangan yang disebutkan diatas. Di Austria, selain terdapat MK juga ada peradilan administrasi (bisa disamakan dengan PTUN). Dalam rangka menghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan antara MK dengan peradilan administrasi, MK menyusun kriteria khusus dalam memeriksa perkara judicial review yang benar-benar telah melanggar hak-hak warga negara yang dilindungi secara konstitusional. Pasal 144 Konstitusi Austria menyatakan “The Constitutional Court pronounces on rulings by an Administrative Court in so far as the appellant alleges an infringement by the ruling of a constitutionally guaranteed right”. Begitu pula, dalam Pasal 82 (4) UU mengenai MK Austria yang mengatur bahwa permohonan pemohon setidaknya memuat unsur argumen mengenai “the claim as to whether the applicant claims to be infringed in his rights by the contested findings in constitutionally guaranteed rights”. 34 Artinya, managemen perkara di Austria, selain adanya integrasi pengujian, juga menghindari betul adanya pertentangan adanya putusan pengadilan satu dengan yang lainnya.

Gagasan integrasi pengujian peraturan perundangan di MK berangkat dari asumsi teoritis, bahwa peraturan perundangan adalah produk politik yang dibuat atas dasar kesepakatan politik para pembuatnya yang di dalamnya tidak menutup kemungkinan terdapat sejumlah kepentingan yang disembunyikan para pembuatnya agar menguntungkan diri pembuatnya dan golongan tertentu. Karena itu, pengujian materi produk perundangan harus dilakukan oleh pengadilan yang bukan merupakan pengadilan biasa (ordinary court), melainkan sebagai pengadilan politik (judicialization of politics). Dalam pandangan Alec Stone Sweet judicialization of politics diartikan sebagai berikut: “Judicialization of politics is the intervention of constitutional judges in legislative processes, establishing limits on law-making behavior, reconfiguring policymaking environments, and sometimes, drafting the precise terms of legislation. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa judicialization of politics adalah sebuah ekspansi dari lembaga kekuasaan kehakiman untuk mengadili perkara mengenai kebijakan publik yang memiliki unsur politis dalam rangka membatasi kewenangan cabang kekuasaan lain yang merepresentasikan mayoritas. Ekspansi ini merupakan sebuah konsekuensi logis akibat dianutnya paham supremasi konstitusi dan diinkorporasikannya hak asasi manusia di dalam konstitusi. 35

Polemik Pengujian Peraturan Perundang - Undangan tersebut didasarkan atas adanya dua kelembagaan (MA dan MK) dalam menguji peraturan perundang - undangan yang justru akan menimbulkan

34 Bisariyadi. Persoalan Judicial Review Dalam Dua Atap. Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN). Hlm. 962

35 Alec Stone Sweet, Governing with Judges: Constitutional Politics in Europe, (Oxford University Press, New York, 2002), hlm. 32 54. Dalam Agus Riewanto. Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Mahkamah Konstitusi RI: Menuju Purifikasi Sistem Peradilan Bifurkasi. Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN). Hlm. 939.

Page 16: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

16

permasalahan karena ketidaktegasan dan integralnya visi serta konsepsi hukum yang akan dibangun dalam kerangka pembaharuan hukum di Indonesia. Arah politik hukum, serta tujuan yang ingin dicapai, dalam adanya pengintegrasian sistem pengujian yang penulis kemukakan, adalah:

1. Menciptakan konsistensi perundang-undangan, dari derajat tertinggi hingga derajat terendah. Ketika konsistensi itu terwujud, maka dapat dimaknai terwujud harmonisasi hukum, 36 sehingga tidak membingungkan dalam implementasinya.

2. Aktualisasi spirit konstitusi dalam seluruh peraturan-perundang-undangan. Konstitusi Indonesia, bukanlah konsitutis semantik, yang hanya menjadi hiasan belaka. Konstitusi harus hidup dan tumbuh dalam seluruh lini peraturan. Hal itu terwujud ketika adanya integrasi pengujian.

3. Memberikan kemudahan masyarakat untuk mengakses keadilan, ketika hak nya direnggut oleh suatu aturan hukum. Akses itu, melalui pengujian pengujian di MK, karena hakim MK sebagai pengawal serta penerjemah rumusan HAM dalam konstitusi.

4. Mengurangi beban perkara pada MA, mengingat MK sebagai peradilan tertinggi.

5. Jika merujuk pada peraturan MA (MA) Nomor 1 tahun 2011, tentang Hak Uji Materi, sangat banyak problematika dalam hukum acaranya, terutama dalam akuntubalitas-keterbukaan publik dan eksekusi putusan. Maka dari itu, adanya pengujian satu atap, akan membuka ruang terhadap akuntabilitas publik, serta pembenahan dalam hukum acaranya, khususnya dalam eksekusi putusan.

6. Melakukan pembenahan terhapa sistem pengujian Perda, mengingat Pemerintah tidak lagi berwenang membatalkan Perda. Dalam hal ini, MK dapat melakukan pengujian terhadap Perda, dan melakukan penafsiran terhadap materi muatan Perda, yang dilihat melalui maksud dan kehendak dalam UUD yang berkaitan dengan Otonomi Daerah.

Penyatuan atap pengujian peraturan perundang-undangan ini, tentunya tidak dapat dilakukan, selain melakukan amandemen terhadap UUD saat ini. Amandemen dapat dilakukan dengan memperluas kewenangan MK, dalam pasal 24c UUD 1945, yang tidak hanya menguji undang-undang, melainkan seluruh peraturan perundang-undangan (hukum positif) di Indonesia. Kemudian, menghapus kewenangan MA untuk menguji peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang. Hal ini tentunya dapat dilakukan dengan

36 L.M. Gandhi yang mengutip pendapat Ten Berge dan De Waard, bahwa harmonisasi

hukum bertujuan untuk meningkatkan sebuah kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan, kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa meninggalkan aspek pluralisme (jika memang dibutuhkan). Hal tersebut di atas dilakukan dengan menyesuaikan peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum. Lihat L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif, (Jakarta: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 14 Oktober 1995). Dalam Dri Utari Christina Rachmawati. Judicial Review Dalam Perspektif Supremasi Konstitusi. Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN). Hlm. 1005.

Page 17: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

17

menumbuhkan political will para pemangku kewenangan amandemen UUD. Hal ini tentunya, sebagai upaya menciptakan iklim ketatanegaraan lebih baik, dan menghindari adanya celah hukum dan pembangkangan terhadap spirit konstitusi.

V. PENUTUP Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Fenomena anggota DPD menjadi partai politik, adalah suatu hal yang tidak sesuai dengan kehendak konstitusi. MK melakukan penafsiran dalam rangka purifikasi terhadap kelembagaan DPD, namun penafsiran itu dimaknai berbeda oleh Putusan MK yang membolehkan anggota parpol untuk menjadi calon anggota DPD dalam Pemilu 2019. Putusan MA merupakan celah hukum yang harus dibenahi. Putusan MA itu berbeda, dikarenakan adanya celah berupa jalur judicial review yang terbagi menjadi dua, ditambah lagi penafsiran yang dilakukan oleh hakim MA memiliki paradigma dan kapasitas yang berbeda dengan hakim MK, hal itu bisa dibuktikan melalui syarat-syarat untuk menjadi hakim MK dan MA. Hakim MK diharuskan menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, berbeda halnya dengan hakim MA. Sehingga hakim MA hanya melakukan penafsiran sistematis dan gramatikal terhadap undang-undang, tidak sampai pada maksud dan spirit dibalik undang-undang itu. Maka dari itu, KPU hendaknya konsisten mentaati putusan MK, yang melarang calon DPD yang berasal dari partai politik, hal ini dalam rangka menegakkan konstitusi dan memberantas tirani keterwakilan.

2. Pada masa mendatang, dalam konteks pembaharuan hukum, diperlukan adanya integrasi pengujian undang-undang yang dilakukan oleh satu kekuasaan kehakiman saja, yakni Mahkamah Konstitusi. Hal ini diadasarkan pada asumsi, bahwa setiap produk hukum adalah hasil dari kesepakatan politik, yang sering kali terselubung di dalamnya kepentingan yang disembunyikan oleh pembuatnya. MK hadir sebagai penguji yang menyeimbangkannya, sehingga mampu mengontrol serta mengembalikannya sesuai dengan kehendak konstitusi. Kajian politik hukum yang berorientasi pada tujuan, integrasi ini mampu menciptakan harmonisasi dan kepastian hukum yang bernafas konstitusi, sehingga mampu menghindari adanya kerancuan dalam implementasi setiap produk hukum.

Page 18: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

18

Daftar Pustaka

Buku:

Achmad Ali. 2015. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang - Undang (Legisprudence).

Jakarta. Prenamedia Group.

Afan Gaffar. 2000. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Albert H.Y. Chen. 2000. The Interpretation of Basic Law-Common Law and mainland

Chinese Perspective, Hong Kong: Hong Kong Journal Ltd

Alec Stone Sweet. 2002. Governing with Judges: Constitutional Politics in Europe.

New York. Oxford University Press

A. Mukthie Fadjar. 2014. Teori-Teori Hukum Kontemporer. Malang: Setara Press.

__________. 2003. Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, Malang:

In-TRANS

Asfar, M. (Editor), 2002. Model-Model Sistem Pemilihan di Indonesia, Surabaya:

Pusdeham bekerjasama dengan Kemitraan

Azhary, 1995. Negara Hukum Indonesia - Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur -

Unsurnya. Jakarta. UI Press.

Bagir Manan. 2003. DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: FH UII

Press

Bambang Widjojanto, dkk (editor), 2002. Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi

Independen, Jakarta: Sinar Harapan

Benny K Harman. 1997. Konfigurasi Politik dan kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Jakarta. Elsam.

Budiono Kusumohamidjojo. 2016. Teori Hukum Dilema Antara Hukum dan

Kekuasaan. Bandung: Penerbit Yrama Widya.

H.F. Abraham Amos. 2007. Katastropi Hukum Dan Quo Vadis Sistem Politik

Peradilan Di Indonesia Analisa Sosiologis Kritis Terhadap Prosedur

Peenrapan Dan Penegakan Hukum Di Indonesia. Jakarta. Rajawali Pers.

Page 19: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

19

Harorld J. Laski, 1941. A Grammar of Politics, London: George Allen & Unwin Ltd.

Jazim Hamidi, 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press.

Jimly Asshiddiqie, 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,

Jakarta. Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI.

__________. 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta. Mahkamah

Konstitusi RI dan Pusat Studi HTN FH Universitas Indonesia.

__________.2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (jilid II), Jakarta: Konpres

_________.2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu

Populer.

MPR RI. 2000. Risalah Rapat Tertutup Buku II Tahun 2000. Jakarta: Sekretariat

Jenderal MPR

_________. 2003. Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara RI Tahun 1945,

Jakarta: Sekjend MPR RI

_________. 2004. Putusan MPR RI Sidang MPR RI Akhir Masa Jabatan Periode 1999-

2004, Jakarta : Sekjend MPR RI

Muji Kartika Rahayu. Sengketa Mazhab Hukum. Sintesis Berbagai Mazhab dalam

Pemikiran Hukum. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara

Ni'matul Huda, 2007. Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi.

Yogyakarta.

Rahmad Budiaji. 2003. “Pemilihan Umum Anggota DPD : Masalah dan Prospek”

dalam Sali Susiana (Penyunting), 2003. Pemilu 2004 : Analisis Politik, Hukum

dan Ekonomi, Jakarta: P3I Sekjen DPR RI

Sekretariat Negara RI. 1993. Materi Pokok Pendidikan Pancasila. Jakarta.

Sirajuddin, dkk, 2006. Membangun Konstituen Meeting, Mempertemukan

Kepentingan Daerah dengan Keterbatasan Wewenang DPD, Malang: MCW &

Yappika Jakarta

Soetandyo Wignyosoebroto. 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika

Masalahnya. Jakarta: Elsam dan Huma.

Soewoto Mulyosudarmo. 2004. Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan

Konstitusi, Malang: In-TRANS Bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar HTN

dan HAN Jatim

Soimin, 2013, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia,

Yogyakarta, UII Press.

T.A. Legowo, dkk, 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia : Studi dan

Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945, Jakarta: FORMAPPI

Tim PSHK. 2000. Semua Harus Terwakili, Jakarta: PSHK

Valina Singka Subekti. 2008. Menyusun Konstitusi Transisi : Pergulatan Kepentingan

dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta: RajaGrafindo

Persada

Jurnal/Makalah:

Page 20: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

20

Agus Riewanto. Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Mahkamah

Konstitusi Ri: Menuju Purifikasi Sistem Peradilan Bifurkasi. Dimuat dalam

Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-4 – Penataan

Regulasi di Indonesia.

Bisariyadi. Persoalan Judicial Review Dalam “Dua Atap. Dimuat dalam Prosiding

Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-4 – Penataan Regulasi di

Indonesia

Dri Utari Christina Rachmawati. Judicial Review Dalam Perspektif Supremasi

Konstitusi. Dimuat dalam Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata

Negara Ke-4 – Penataan Regulasi di Indonesia

Frank Faulner. 2005. “Menguatkan Demokrasi Perwakilan di Indonesia: Tinjauan

Kritis terhadap DPD” Artikel dalam Jurnal Hukum Jentera, edisi 8 Tahun III,

Maret 2005

Jimly Asshiddiqie, 2003. “Hubungan Kerja Antara DPD dengan Lembaga Negara

lainnya” Makalah yang disampaikan dalam “fokus Discussion Group”

tentang Kedudukan dan Peranan DPD dalam Sistem Ketatanegaraan RI,

diselenggarakan oleh Sekretariat Panitia Ad Hoc I BP MPR-RI bekerjasama

dengan Universitas Brawijaya dengan dukungan UNDP di Malang tanggal 27

Maret 2003

T. A. Legowo. 2007. “Pemilihan Umum dan Perwakilan Politik” Artikel dalam Jurnal

Hukum Jentera, Edisi 16 –tahun IV, April – Juni 2007

Peraturan Perundang-Undangan/Putusan Pengadilan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018

Putusan Mahkamah Agung Nomor 65/P/HUM/2018

Media Cetak:

Agus Haryadi, 2002. “Bikameral Setengah Hati”. Tulisan Artikel dalam Harian

Kompas tanggal 15 Mei 2002

Website:

Kompas. 2017. Anggota DPD yang Bergabung di Parpol Seharusnya Tak Masuk

Struktur Partai. URL:

https://nasional.kompas.com/read/2017/04/03/14222941/anggota.dpd.yang.be

Page 21: REVIEW DUALISM ENDING IN THE REPRESENTATIVENESS … file1 DUALISME PENGUJIAN YANG BERUJUNG TIRANI KETERWAKILAN: Kajian atas Putusan Mahkamah Agung No 65/P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah

21

rgabung.di.parpol.seharusnya.tak.masuk.struktur.partai.

PROFIL PENULIS

1. SIRAJUDIIN Adalah Dosen PNS Dpk. FH Universitas Widyagama Malang. Dilahirkan di Pungkit, Sumbawa, pada 22 Agustus 1975 melanjutkan studi pendidkan tinggi hukum dan lulus pada tahun 1997 di FH Universitas Widyagama Malang, S-2 di FH-Universitas Brawijaya dan S-3 di FH- Universitas Brawijaya. Aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah seperti mengajar dan penelitian, ia juga aktif di bidang kemasyarakatan seperti di Malang Coruption Watch (MCW) dan Anggota Pengurus Daerah (MWK) Muhammadiyah Kabupaten Malang. Sirajuddin juga aktif dalam menulis beberapa buku dan karya ilmiah lainnya.

2. FEBRIANSYAH RAMADHAN Adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Lahir di Surabaya, pada 17 Februari tahun 1994, menyelesaikan pendidikan dasar di SDS Bhakti Ibu Lampung (1999-2005), lalu melanjutkan di Pondok Modern Darussalam Gontor (2006-2013), S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (2014-2018).