28
KEANEKARAGAMAN CRUSTACEA DI KAWASAN HUTAN MANGROVE PANCER CENGKRONG KABUPATEN TRENGGALEK PROPOSAL Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Seminar yang dibina oleh Dr. Fatchur Rohman, M.Si Oleh: YOGA ADETYA GUMELAR 120342422500

Revisi Proposal

Embed Size (px)

Citation preview

1615

KEANEKARAGAMAN CRUSTACEA DI KAWASAN HUTAN MANGROVE PANCER CENGKRONG KABUPATEN TRENGGALEKPROPOSAL

Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahSeminaryang dibina oleh Dr. Fatchur Rohman, M.Si

Oleh: YOGA ADETYA GUMELAR120342422500

UNIVERSITAS NEGERI MALANGFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMJURUSAN BIOLOGIMei 2015BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut yang memiliki peran dan fungsi sangat besar. Secara ekologis mangrove memiliki fungsi yang sangat penting sebagai pelindung alami yang paling kuat dan praktis untuk menahan erosi pantai dan berperan untuk menjaga stabilitas garis pantai. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, mangrove dapat pula mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi. Vegetasi mangrove secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen. Hutan mangrove merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan mencari makan (feeding ground) bagi hewan-hewan yang hidup di daerah mangrove. Mangrove juga memiliki peran sebagai penyaring dan perangkap bahan pencemar (Pratiwi, 2009).

Fauna hutan mangrove di sebagian besar negara di dominasi oleh crustacea dan mollusca. Smith et al. dalam Priyadharsani (2008) menyatakan bahwa crustacea khususnya kepiting berperan sebagai posisi kunci di hutan mangrove. Fauna ini mempunyai peranan utama dalam menghancurkan bahan organik, yang lebih lanjut dipermudah oleh mikroflora, yang akhirnya melepaskan rangkaian unsur hara. Kepiting pemakan detritus yang menghancurkan serasah pada lingkungan hutan mangrove adalah spesies khas dari genera Sesarma dan Cardisoma. Sedang kepiting dari spesies Uca dan Ikan Tembakul (Macrophthalmus) biasanya mengekstraksi makanannya dari sedimen, dan Kepiting Bakau, Scylla serrata, adalah Scavenger atau pengais (Michelli et al. 1991 dalam Hamidy, 2010). Crustacea (kepiting) berperan dalam mineralisasi, mengubah balik bahan organik dalam perairan, juga dapat dijadikan sebagai ukuran produktivitas dan kualitas suatu perairan.

Ekosistem mangrove terletak di desa karanggandu kecamatan watulimo kabupaten trenggalek jawa timur. Kawasan mangrove pancer cengkrong dikelola oleh kelompok pokmawas KEJUNG SAMUDRA sampai saat ini telah mampu melakukan pembibitan, penanaman, perawatan dan pengolahan hasil mangrove meskipun belum sepenuhnya sepurna. Kawasan mangrove yang berasa di kawasan pantai cengkrong yang luasnya -+ 85 hektar dimanfaatkan sebagai daerah ekowisata mangrove sebagai upaya pemanfaatan di bidang pariwisata yang di dalamnya terdapat ekowisata perahu, pos pantau dan pemancingan ikan. Selain hal tersebut, mangrove (Sonneratia) dimanfaatkan sebagai bahan sirup mangrove. Kegiatan pengembangan pariwisata ini tidak sesuai dengan konservasi hutan mangrove karena tidak mengutamakan kepentingan kehidupan ekosistem mangrove melainkan kepentingan ekonomi yang tidak berbasis lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis ingin meneliti mengenai study komunitas crustacea di kawasan mangrove Pantai Timur Surabaya yang mulai mengalami kerusakan dengan judul penelitian Keanekaragaman Crustaceae Di Kawasan Mangrove Pancer Cengkrong Trenggalek.

1.2 Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, diantaranya:

1.2.1 Apa sajakah jenis Crustacea yang ditemukan pada zona Sonneratia caseolaris, zona Avicennia alba dan zona Rhizophora mucronata di Kawasan Mangrove pancer Cengkrong Trenggalek?

1.2.2 Bagaimana tingkat keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan Crustacea pada zonasi Sonneratia caseolaris, zona Avicennia alba dan zona Rhizophora mucronata di Kawasan Mangrove pancer Cengkrong Trenggalek?

1.2.3 Bagaimana perbandingan tingkat keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan Crustacea pada zonasi Sonneratia caseolaris, zona Avicennia alba dan zona Rhizophora mucronata di Kawasan Mangrove pancer Cengkrong Trenggalek?1.2.4 Bagaimana hubungan antara tingkat keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan Crustacea dengan kondisi factor fisika kimia di Kawasan Mangrove pancer Cengkrong Trenggalek?1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1.3.1 Mendeskripsikan jenis Crustacea yang ditemukan pada zona Sonneratia caseolaris, zona Avicennia alba dan zona Rhizophora mucronata di Kawasan Mangrove pancer cengkrong.1.3.2 Menganalisis tingkat keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan Crustacea pada zonasi Sonneratia caseolaris, zona Avicennia alba dan zona Rhizophora mucronata di Kawasan Mangrove Pancer Cengkrong Trenggalek.1.3.3 Menganalisis perbandingan tingkat keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan Crustacea pada zonasi Sonneratia caseolaris, zona Avicennia alba dan zona Rhizophora mucronata di Kawasan Mangrove Pancer Cengkrong Trenggalek.1.3.4 Menganalisis hubungan antara tingkat keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan Crustacea dengan kondisi faktor fisika kimia di Kawasan Mangrove Pancer Cengkrong Trenggalek.1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini sebagai berikut :1.4.1 Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat mengenai jenis dan keanekaragaman crustaceae di kawasan mangrove Pancer Cengkrong Trenggalek sehingga dapat mendukung program pemerintah daerah untuk mengembangkan konservasi mangrove di kawasan Pancer Cengkrong Trenggalek.1.4.2 Bagi pembacaPenelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa, antara lain meningkatkan kepekaan terhadap dampak pencemaran terhadap lingkungan khususnya ekosistem mangrove sehingga muncul kesadaran untuk membantu pelestarian hutan mangrove Pancer Cengkrong Trenggalek.

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Beberapa ruang lingkup dan batasan penelitian yang digunakan antara lain seperti di bawah ini.

1.5.1 Penelitian ini hanya membahas tentang identifikasi jenis crustacea dari jenis kepiting, perbandingan tingkat keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan crustacea (kepiting) serta hubungannya dengan factor kimia fisika pada hutan mangrove Pancer Cengkrong Trenggalek.1.5.2 Pengambilan sampel crustacea (kepiting) dilakukan pada 3 zona yaitu zonasi Sonneratia caseolaris, zona Avicennia alba dan zona Rhizophora mucronata di Kawasan Mangrove Pancer Cengkrong Trenggalek pada saat surut maksimal.1.5.3 Kondisi aspek fisika dan kimia yang diamati meliputi pH, suhu, dan intensitas cahaya menggunakan rapittest.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Kelas CrustaceaKelas Crustacea termasuk dalam filum Arthropoda. Kata Crustacea berasal dari bahasa Romawi crus yang berarti kulit keras, jadi Crustacea adalah hewan yang berkulit keras. Tubuh crustacea dapat dibedakan menjadi kepala, thorax dan abdomen. Tubuhnya beruas-ruas, dilapisi kultikula dan biasanya mengandung zat kapur. (Brusca 1990 dalam Astuti 2008).

Menurut Green dalam Astuti (2008) ,kelas Crustacea terdiri dari beberapa sub kelas sebagai berikut :2.1.1 BranchipodaAnggota tubuh biasanya filopodus, antenula sederhana dan tereduksi, mandibular tanpa palpus, maxilla tereduksi atau tidak ada. Contoh yang sangat dikenal adalah udang garam dan satu ordo yang benar-benar hidup di laut yaitu Cladocera

2.1.2 Chepalocarida

Karapaks kecil menutupi segmen pertama tubuh. Anggota tubuh tipe podomere : endopoda 3, eksopod 2, telur melekat dibawah somit ke 10 dari tubuh. Contoh : Hutchinsoniella2.1.3 Mystacocarida

Tidak memiliki karapaks, tubuh menyempit, antenula dan antenna berkembang baik, anggota tubuh bagian dada tereduksi menjadi sebuah podomer dengan setae di ujungnya, cauda rami kuat seperti cakar bersetae . Contoh : Derecheilocans2.1.4 Copepoda

Tidak memilki karapaks, antenula uniramus, mandibular memiliki palpus, memiliki 9 somit. Contoh : Calanus, Cyclops

2.1.5 Ostracoda

Karapaks membentuk cangkang setangkup, memilki tidak lebih dari 5 pasang anggota tubuh di belakang mandibular, mandibular memiliki pupus. Contoh : Cythere, Eucypris.2.1.6 Branchiura

Tubuh memipih, karapaks besar menyatu dengan dada, sepasang mata majemuk, membentuk probobis, maksila pertama sering berbentuk pengisap, perut pendek, bilobus 4 pasang, kaki renang biramus. Contoh : Argulus2.1.7 Cirripedia

Karapaks membentuk mantel meliputi tubuh dan alat gerak, tidak memiliki antenna, hewan yanh berenangbebas biasanya memiliki 6 pasang alat gerak yang membentuk sirip memanjang yang berbulu, biasanya hermaprodit. Contoh : Conchoderma, Balanus2.1.8Malacastraca

Anggota tubuh terbagi dalam tiga tag mata yaitu 5 di kepala, 8 di dada, dan 6 di perut, sepasang mata bertangkai atau sesil, lubang kelamin betina di segmen dada ke 6, sedangkan jantan segmen dada ke 8. Contoh : PanaeusDi perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting

yang tergolong dalam keluarga Portunidae. Portunidae merupakan salah satu

family crustaceae yang mempunyai pasangan kaki jalan dan pasangan kaki

kelimanya berbentuk pipih dan melebar pada ruas yang terakhir dan sebagian

besar hidup di laut, perairan bakau dan perairan payau (Rosmaniar, 2008).2.2 Ekosistem MangroveHutan mangrove adalah hutan pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Macnae, 1968 dalam Sukardjo 1984). Hutan mangrove juga dapat diartikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang pada saat air pasang dan tidak tergenang pada saat air surut seperti laguna dan muara sungai dimana tumbuhannya memiliki toleransi yang tinggi terhadap kadar garam. Menurut Nybakken, 1988 mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan varietas komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa jenis pohon dan semak yang khas yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Ekosistem mangrove didominasi oleh tumbuhan dari jenis Rhizophora, Avicennia, Bruguiera, dan Sonneratia (Sukardjo, 1984)Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro (Pratiwi, 2009).Dalam Setyawan et al., 2003 disebutkan bahwa ekosistem mangrove merupakan kawasan ekoton antara komunitas laut dengan pantai dan daratan, sehingga memiliki ciri-ciri tersendiri. Komunitas ini sangat berbeda dengan komunitas laut, namun tidak berbeda tajam dengan komunitas daratan dengan terbentuknya rawa-rawa air tawar sebagai zona antara. Tomlinson (1986) dalam Setyawan (2003) mengklasifikasikan vegetasi mangrove menjadi: mangrove mayor, mangrove minor dan tumbuhan asosiasi. Tumbuhan mangrove mayor (true mangrove) sepenuhnya berhabitat di kawasan pasang surut, dapat membentuk tegakan murni, beradaptasi terhadap salinitas melalui peneumatofora, embryo vivipar, mekanisme filtrasi dan ekskresi garam, serta secara taksonomi berbeda dengan tumbuhan darat. Mangrove minor dibedakan oleh ketidakmampuannya membentuk tegakan murni, sedangkan tumbuhan asosiasi adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas dan dapat berinteraksi dengan mangrove mayor.Vegetasi mangrove terdiri atas pohon dan semak yang tergolong kedalam 8 famili. Sedikitnya pada hutan mangrove terdapat satu jenis tumbuhan sejati dominan yang termasuk ke dalam 4 famili yaitu Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus).

Rhizophora apiculata Sonneratia sp. Bruguiera cylindricaSecara umum vegetasi mangrove biasanya membentuk zonasi. Mulai dari zona yang dekat dengan laut sampai zona yang paling dekat dengan daratan.Menurut Giesen dkk dalam Sanjaya (2010), zonasi yang paling umum ada empat macam yaitu :

a) The Exposed Mangrove (zona terluar, paling dekat dengan laut). Secara umum zona ini didominasi oleh Sonneratia alba, Avicennia alba dan Avicennia marina.

b) Central Mangrove (zona pertengahan antara laut dan darat). Secara umum zona ini didominasi oleh jenis-jenis Rhizopora, kadang juga ditemui jenis Bruguiera.

c) The Rear Mangrove (back mangrove, areal yang paling dekat dengan daratan). Zona ini biasanya tergenangi oleh pasang tinggi saja. Seringkali didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera, Lumnitzera, Xylocarpus dan Pandanus sp.

d) Brackish Stream Mangrove (aliran sungai dekat mangrove yang berair payau). Pada zona ini sering dijumpai komunitas Nypa frutican dan kadang dijumpai Sonneratia caseolaris serta Xylocarpus granatum.

2.3 Ekosistem Mangrove CengkrongEkosistem mangrove di Pamurbaya meliputi Kecamatan Rungkut (daerah Kenjeran, Keputih Tambak, Cengkrong, Medokan) dan Gunung Anyar. Kondisi mangrove di daerah Pantai Timur Surabaya secara kualitatif berdasarkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove berada pada level buruk dimana penutupan mangrove dari Keputih hingga Gunung Anyar < 50%, dengan kerapatan < 1000 pohon/ha (Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2012)Kelurahan Cengkrong merupakan salah satu daerah kawasan mangrove yang berada di Pantai Timur Surabaya. Luas wilayah kelurahan Cengkrong adalah 650 Ha dengan jumlah penduduk 14.462 jiwa. Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Sukolilo, sebelah selatan kelurahan Medokan Ayu, sebelah barat kelurahan Penjaringansari dan sebelah timur berbatasan dengan selat Madura. Dari luas seluruhnya kelurahan Cengkrong, 200 Ha merupakan kawasan perumahan dan perdagangan, 450 Ha adalah kawasan RTH dan konservasi yaitu termasuk kawasan mangrove (Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2012). Kawasan mangrove Cengkrong memiliki 3 zonasi hutan mangrove yaitu zona Sonneratia caseolaris, zona Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. (Pradana, 2012)

Peta Jawa Timur

Peta Kota Trenggalek

Lokasi Kecamatan watulimo

Peta Kelurahan Cengkrong

Zonasi/dominasi jenis tumbuhan mangrove2.4 Faktor Fisika Kimia yang Mempengaruhi Keanekaragaman Crustacea2.4.1 CahayaSecara tidak langsung cahaya memberi pengaruh besar bagi hewan. Cahaya merupakan sumber energy untuk proses fotosentesis tumbuhan yang menjadi tumpuan hidup hewan karena menjadi sumber makanan (Romimobtarto dalam Astuti, 2008).

2.4.2 pH

pH merupakan intensitas keasaman suatu perairan, untuk pertumbuhan yang optimal dibutuhkan pH yang optimal pula. Sedangkan Tebbut (1992) dalam Astuti (2008) menyatakan bahwa pH hanya menggambarkan konsentrasi ion hydrogen. Sebagian besar biota akuatik sensitive terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8.5. Selain itu .Kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,50. Pendapat ini didukung oleh Walsh (1967) dalam Rosmaniar (2008) yang menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kisaran pH 6,5-7,0, sedang Toro (1987) mendapatkan kepiting bakau pada pH 6,16 7,50.2.4.3 Suhu

Daerah intertidal biasanya dipengaruhi oleh suhu udara selama periode yang berbeda, dan suhu ini memilki kisaran yang luas baik secara harian maupun musiman, kisaran ini dapat melebihi batas toleransi organisme. Jika pasang surut terjadi ketika suhu udara minimum atau ketika suhu udara maksimum batas letal dapat terlampaui dan organisme dapat mati (Nybakken,1992 dalam Astuti 2008). 2.4.4 SubstratAdanya substrat yang berbeda-beda yaitu pasir, batu, dan lumpur menyebabkan struktur komunitas di daerah intertidal juga berbeda-beda. Hal ini terkait dengan faktor ketersediaan oksigen, bahan organic serta kemampuan menahan gelombang air laut.

2.5 Kajian Indeks Keanekaragaman (H), Kemerataan (E), dan Kekayaan (R) Jenis

Keanekaragaman jenis (diversitas spesies) adalah ukuran heterogenitas populasi suatu komunitas. Diversitas spesies merupakan kombinasi antara kekayaan jenis (spesies richness) dan kemerataan jenis (evennes) atau ekuitabilitas spesies (Barbour et al. dalam Pratiwi, 2009). Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan suatu komunitas berdasarkan organisasi kehidupan yang dapat digunakan untuk menyatakan struktur suatu komunitas. Dikatakan keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyaknya spesies atau jenis sama atau hampir sama dengan kelimpahan spesies, sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies dan jika sedikit saja spesies yang dominan maka keanekaragamannya rendah. Keanekaragaman jenis digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas yaitu kemampuan suatu komunitas untuk tetap stabil walaupun ada gangguan terhadap komponen-komponennya.2.5.1Indeks Keanekaragaman Jenis (H) Shannon Wiener

Keterangan:

H = Indeks keanekaragaman jenis Shannon Wiener

S = Jumlah spesies yang menyusun komunitas

pi= Rasio antara jumlah individu spesies dengan jumlah individu dalam komunitas (N)

Menurut Wilhm (1975) dalam Pratiwi (2009) kriteria Indeks Keanekaragaman dibagi menjadi 3, yaitu :

H < 1

= Keanekaragaman jenis rendah

1< H < 3 = Keanekaragaman jenis sedang

H > 3

= Keanekaragaman jenis tinggi2.5.2 Indeks Kemerataan (Evennes)

Bila nilai indeks kemerataan tinggi, menandakan kandungan setiap taxon (jenis) tidak mengalami perbedaan. Nilai indeks kemerataan adalah 0 1. Indeks Kemerataan ini dihitung berdasarkan rumus dari Pielou :

Keterangan :

E

= Indeks Kemerataan

H

= Indeks Keanekaragaman

H max

= Keragaman maksimum

S

= Jumlah jenis / marga

Menurut Odum (1993), besarnya Indeks Kemerataan jenis berkisar antara 0-1, dimana :

e > 0,6 = Kemerataan jenis tinggi

0,4 < e < 0,6= Kemerataan jenis sedang

e > 0,4= Kemerataan jenis

2.5.3 Indeks Kekayaan (Richness)Indeks kekayaan merupakan indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya nilai ini dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal tersebut. Indeks Kekayaan (Richness) dapat dirumuskan sebagai berikut:R = Keterangan:

N = jumlah total spesies

S = Jumlah jenis / margaBerdasarkan Magurran (1988) dalam Pratiwi (2009)R < 3,5 = kekayaan rendah

R = 3,5 - 5 = kekayaan sedang

R > 5

= kekayaan tinggiBAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif eksploratif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan keanekaragaman rustacean di kawasan mangrove Pancer Cengkrong Trenggalek, serta mengetahui kondisi aspek fisika-kimia atau kondisi abiotic yang akan dilaksanakan pada bulan Agustus sampai November 2014.

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh crustacean (kepiting) yang berada di kawasan mangrove Pancer Cengkrong Trenggalek. Sedangkan sampel dari penelitian ini adalah crustaceae yang berada pada plot sepanjang garis transek yang telah dibuat pada zonasi Sonneratia caseolaris, Avicennia alba dan Rhizophora mucronata.3.3 Instrumen Penelitian3.3.1 Alat Rol meter, tali rafia/tali tambang untuk plot 1 x 1 m dan 10 x 10 m, pinset, multiparameter, sekop, ember, turbidy, handrefracto.3.3.2 BahanFormalin 10%, plakon, plastic.3.4 Pengumpulan DataPengambilan data dilakukan di kawasan mangrove Pancer Cengkrong Trenggalek pada 3 zonasi yaitu zonasi Sonneratia caseolaris, Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Penelitian menggunakan 3 stasiun yaitu stasiun pertama berada di zonasi Sonneratia caseolaris , stasiun 2 di zonasi Avicennia alba dan stasiun 3 di zonasi Rhizophora mucronata.

(Letak pengambilan dat berdasarkan dominasi vegetasi mangrove)

Masing-masing stasiun dibuat line transect yang dibentangkan mulai dari batas daratan tumbuhnya mangrove sampai batas laut atau sungai dimana mangrove masih tumbuh. Pada masing-masing stasiun dibuat plot sepanjang garis transek dengan ukuran 10 x 10 m yang didalamnya berisi 5 plot dengan lebar 1 x 1 m. Jarak masing-masing plot transek 100 m. Crustasea yang ada dipermukaan substrat diambil dengan tangan (hand picking) dan Crustasea yang terdapat di dalam lubang diambil dengan cara menggali lubang tersebut dengan menggunakan sekop. Pengambilan sampel dilakukan pada saat air surut, sehingga memudahkan pengambilannya. Pengambilan data faktor fisik dan kimia dilakukan di tempat dengan menggunakan multiparameter untuk mengukur suhu, pH, serta intensitas cahaya (light).

(Gambaran umum pengambilan sampel) (Plot pengambilan sampel)

3.5 Analisa Data

Teknik analisis yang digunakan adalah:

3.5.1 Indeks Keanekaragaman Jenis

Keterangan:

H = Indeks keanekaragaman jenis Shannon Wiener

S = Jumlah spesies yang menyusun komunitas

pi= Rasio antara jumlah individu spesies dengan jumlah individu dalam komunitas (N)

Menurut Wilhm (1975) kriteria Indeks Keanekaragaman dibagi menjadi 3, yaitu :

H < 1

= Keanekaragaman jenis rendah

1< H < 3 = Keanekaragaman jenis sedang

H > 3

= Keanekaragaman jenis tinggi rendah

1. Indeks Kemerataan (Evennes)

Bila nilai indeks kemerataan tinggi, menandakan kandungan setiap taxon (jenis) tidak mengalami perbedaan. Nilai indeks kemerataan adalah 0 - 1. Indeks Kemerataan ini dihitung berdasarkan rumus dari Pielou :

Keterangan :

E

= Indeks Keseragaman

H

= Indeks Keanekaragaman

H max

= Keragaman maksimum

S

= Jumlah jenis / marga

Menurut Odum (1993), besarnya Indeks Keseragaman jenis berkisar antara 0-1, dimana :

e > 0,6 = Keseragaman jenis tinggi

0,4 < e < 0,6= Keseragaman jenis sedang

e > 0,4

= Keseragaman jenis

2. Indeks Kekayaan (Richness)Indeks kekayaan merupakan indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya nilai ini dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal tersebut.

R = Keterangan:

N = jumlah total spesies

S = Jumlah jenis / marga

Berdasarkan Magurran (1988) dalam Pratiwi (2009):

R < 3,5 = kekayaan rendah

R=3,5 - 5 = kekayaan sedang

R > 5

= kekayaan tinggi

DAFTAR PUSTAKABadan Lingkungan Hidup Kota Surabaya. 2012. Profil Keanekaragaman Hayati Kota Surabaya Tahun 2012. Surabaya

Hamidy, R. 2010. Struktur Dan Keragaman Komunitas Kepiting di Kawasan Hutan Mangrove Stasiun Kelautan Universitas Riau, Desa Purnama Dumai. Jurnal Ilmu Lingkungan. 2 (4): 81-91.

Irwan, D. 1997. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Jakarta : Bumi Aksara

Pradana, F. 2012. Pemanfaatan Strata Vertikal Vegetasi Mangrove Oleh Burung Di Cengkrong, Surabaya. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh NopemberPratiwi, R. 2009. Komposisi Keberadaan Krustaseae di Mangrove Delta Mahakam Kalimantan Timur. Pusat Penelitian Oseanografi, 13 (1): 65-76.Priyadarshani,S. 2008. Diversity of mangrove crabs in Kadolkele, Negomboeatuary, Sri Lanka. National Aquatic Resources Research and Development agency. 13 : 109-121.

Purnomo, H. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Lingkungan. Semarang : IKIP PGRI Semarang.

Rosmaniar. 2008. Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Serta Hubungannya dengan Faktor Fisik Kimiadi Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Sanjaya, W., dkk. 2010. Identifikasi Flora dan Fauna Mangrove Nusa Lembongan Dan Nusa Ceningan.(Online).(http://coraltrianglecenter.org/wp-content/uploads/2013/08/IDENTIFIKASI-FLORA-DAN-FAUNA-MANGROVE-Nusa-Penida-2010.pdf). Diakses pada 20 Januari 2014Setyawan, A. D., Winarno, K., Purnama, P. C. 2003. Ekosistem Mangrove di Jawa: 1. Kondisi Terkini. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. (Online), (http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id /D/D0402/D040211.pdf), diakses pada 2 Februari 2014.Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Surabaya. Usaha Nasional.

Sukardjo, S. 1984. Ekosistem Mangrove. Oseana Volume IX, Nomor 4 : 102-115, 1984. (Online), (www. oseanografi.lipi.go.id), diakses pada 3 Februari 2014.Ulum, M. 2012. Komposisi dan Kelimpahan Makrozoobenthos Krustasea di Kawasan Vegetasi Mangrove Kel. Tugurejo, Kec. Tugu, Kota Semarang. Journal Of Marine Research. 1 (2) : 243-251