34
REFERAT R H I N O S I N U S I T I S Disusun oleh : Herviana C11.04.0045 Kurniati Dameria C11.04.0061 Ari Susanti C11.04.0113 Preseptor : Nur Akbar Aroeman, dr. SpTHT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER BAGIAN THT-KL

Rhino Sinusitis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

rhinofharingitis sinusitis

Citation preview

Page 1: Rhino Sinusitis

REFERAT

R H I N O S I N U S I T I S

Disusun oleh :Herviana C11.04.0045Kurniati Dameria C11.04.0061Ari Susanti C11.04.0113

Preseptor :Nur Akbar Aroeman, dr. SpTHT

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTERBAGIAN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

Page 2: Rhino Sinusitis

R H I N O S I N U S I T I S

Pendahuluan

Hidung merupakan organ penting yang menjadi salah satu pelindung

tubuh terhadap polutan lingkungan. Hidung mempunyai beberapa fungsi baik

sebagai indera penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan

paru-paru, serta memodifikasi bicara. Salah satu penyakit yang sering

mengenai hidung adalah sinusitis. Sinusitis merupakan radang mukosa sinus

paranasal. Sesuai anatominya sinus yang terkena dapat dibagi menjadi

sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.

Sinus maksila merupakan sinus yang sering terinfeksi.

Pada masa kanak-kanak sinus maksilaris dan ethmoidalis yang sering

terkena karena kedua sinus ini sudah terbentuk dari lahir. Sinus frontalis baru

berkembang pada usia sekitar 8 tahun dari sinus ethmoidalis anterior dan

terus berkembang hingga usia 25 tahun. Pada sekitar 20% populasi sinus

frontalis tidak ditemukan atau rudimenter sehingga tidak memiliki makna

klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi sekitar usia 8 sampai

10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau awal dua

puluhan. Berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal dan emosional dapat

mempengaruhi mukosa hidung dan sinus. Defisiensi gizi serta menurunnya

daya tahan tubuh dapat pula menjadi etiologi sinusitis. Perubahan faktor

lingkungan baik iklim, kelembaban serta polutan dapat menjadi predisposisi

infeksi.

Epidemiologi

Sinusitis merupakan salah satu penyakit yang sering mendorong

masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan baik di Amerika maupun negara

lainnya. Insidensi sinusitis di Amerika dilaporkan sekitar 135 per 1000

populasi per tahun. Sinusitis mempengaruhi kualitas hidup seseorang secara

signifikan dan menjadi salah satu alasan utama penggunaan antibiotik serta

Page 3: Rhino Sinusitis

produktivitas kerja yang menurun. Insidensinya di Indonesia belum diketahui

secara pasti.

Anatomi Sinus ParanasalSinus paranasal merupakan organ yang sulit dideskripsi karena

bentuknya yang bervariasi pada setiap individu. Terdapat empat pasang sinus

paranasal mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus

ethmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil

pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga di dalam

tulang. Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa

rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan

kecuali sinus sfenoid dan frontal. Sinus frontal berkembang dari sinus ethmoid

anterior pada anak yang berusia sekitar 8 tahun. Sinus sfenoid mulai

mengalami pneumatisasi antara usia 8-10 tahun dan berasal dari rongga

hidung bagian posterosuperior. Semua sinus mempunyai muara ke dalam

rongga hidung. Sinus maksila, ethmoid anterior dan frontal bermuara ke

meatus media dan sinus ethmoid posterior bermuara ke maetus superior.

Sinus sfenoid bermuara ke ressesus sfenoethmidalis.

Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar. Sinus ini memiliki

volume sekitar 6-8 ml saat lahir dan berkembang maksimal saat dewasa

hingga mencapai 15 ml. Sinus ini berbentuk segitiga dan dibatasi di bagian

anterior oleh permukaan fasial os maksila (fosa canina), bagian posterior

permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya dinding lateral rongga

hidung, dinding superiornya dasar orbita dan bagian inferiornya adalah

prosessus alveolaris serta palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah

superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui

infundibulum ethmoid. Secara klinis yang perlu diperhatikan dari sinus

maksila adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi

rahang atas yaitu premolar (P1, P2) molar (M1, M2) kadang-kadang gigi

taring (C) atau gigi molar M3. Bahkan akar gigi-gigi tersebut dapat menonjol

ke rongga sinus sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis 2) sinusitis

maksila dapat menimbulkan komplikasi ke orbita 3) ostium sinus maksila

terletak lebih tinggi dari dasar sinus sehingga drainase kurang baik.

Infundibulum merupakan bagian dari sinus ethmoid anterior bila terjadi

Page 4: Rhino Sinusitis

peradangan atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus

maksila dan menyebabkan sinusitis.

Sinus frontal terbentuk sejak bulan keempat fetus berasal dari sel-sel

resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum ethmoid. Sinus frontal kanan

dan kiri biasanya tidak simetris, dipisahkan oleh sekat berupa tulang yang

relatif tipis dari orbita dan fosa cerebri anterior sehingga infeksi dari sinus

frontal mudah menyebar ke daerah ini. Kurang lebih 15% orang dewasa

hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya

tidak berkembang. Sinus frontal biasanya tidak bersekat-sekat tapi berlekuk-

lekuk, tidak adanya gambaran lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen

menunjukkan adanya infeksi. Kurang lebih ukurannya adalah lebar 2,4 cm

tinggi 2,8 cm dan dalamnya 2 cm.

Sinus ethmoid bentuknya paling variatif dari semua sinus paranasal

dan akhir-akhir ini dianggap penting karena menjadi fokus infeksi bagi sinus-

sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuknya seperti piramid dengan ukuran

dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian

anterior serta 1,5 cm di bagian posterior. Sinus ethmoid berongga-rongga

terdiri-dari sel-sel berjumlah antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Sel-sel sinus

ethmoid anterior biasanya lebih kecil dan lebih padat dibandingkan di bagian

posterior sinus. Berdasarkan letaknya sinus ethmoid dibagi menjadi sinus

ethmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus ethmoid

posterior yang bermuara di meatus superior. Atap sinus ethmoid yang disebut

fovea ethmoidalis berbatasan dengan lamina cribosa. Dinding lateral sinus

adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus ethmoid dari

rongga orbita. Bagian belakang sinus ethmoid posterior berbatasan dengan

sinus sfenoid.

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid yang terpisah menjadi dua oleh

sekat septum intersfenoid. Ukurannya kurang lebih tinggi 2 cm, dalamnya 2,3

cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7, 5 ml. Sebelah

superior dibatasi fossa cerebri media dan kelenjar hipofise, sebelah inferior

atap nasofaring, lateralnya dibatasi sinus cavernosus dan arteri carotis interna

(sering tanpak sebagai indentasi) dan sebelah posterior terdapat fossa cerebri

posterior di daerah pons.

Page 5: Rhino Sinusitis

Sampai saat ini belum ada kesepakatan pendapat mengenai fisiologi

sinus paranasal bahkan ada pendapat sinus-sinus ini tidak mempunyai fungsi

apapun. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus adalah

sebagai pengatur kondisi udara, penahan suhu, membantu keseimbangan

kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara dan

membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.

Gambar 1. Paranasal SinusesDiambil dari : www.octc.kctcs.edu

Page 6: Rhino Sinusitis

Gambar 2. Schematic representation of the lateral wall of the nasal cavity,

with the turbinates removed to expose the sinus ostia.

Diambil dari Adult Rhinosinusitis Diagnosis and Management –

January 1, 2001 - American Family Physician

Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal

Fungsi hidung adalah :

Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior lalu naik ke atas

setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring

sehingga aliran udara membentuk arkus atau lengkungan. Pada ekspirasi,

udara masuk melalui koana kemudian mengikuti jalan yang sama seperti

udara inspirasi. Tetapi di bagian depan udara memecah, sebagian melalui

nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran

dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

Alat pengatur kondisi udara (air conditioning)

Mucous blanket atau palut lendir melakukan pengaturan kelembaban

udara. Sedangkan fungsi pengaturan suhu dimungkinkan karena

banyaknya pembulh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka

dan septum yang luas sehingga radiasi berlangsung optimal. Dengan

demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 370 C.

Page 7: Rhino Sinusitis

Penyaring udara

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan

bakteri yang dialkukan oleh : rambut (vibrissae) oada vestibulum nasi,

silia, mucous blanket, dan enzim. Debu dan bakteri akan melekat pada

mucous blanket dan partikel-partikel besar akan dikeluarkan dengan

refleks bersin. Mucous blanket akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan

silia. Enzim lysozyme akan menghancurkan beberapa jenis bakteri.

Indra penghidu

Indra penghidu diatur oleh adanya mukosa olfaktorius pada atap

rongga hidung, konka uperior, dan sepertiga bagian atas septum. Partikel

bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan mucous blanket

atau bial menarik nafas dengan kuat.

Resonansi suara

Sumbatan pada hidung dapat menyebabkan resonansi berkurang atau

hilang sehingga suara terdengar sengau (rinolalia).

Membantu proses bicara

Hidung membantu proses pembentukkan kata-kata. Kata dibentuk oleh

lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukkan konsonan nasal (m, n,

ng) ronga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole tertutup untuk

aliran udara.

Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan

menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu

menyebabkan sekresi air liur, lambung, dan pankreas.

Fungsi sinus paranasal adalah :

Sebagai pengatur kondisi udara (air conditoning)

Sebagai penahan suhu (Thermal Insulators)

Page 8: Rhino Sinusitis

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi

orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah

Membantu keseimbangan kepala

Membantu resonansi suara

Sebagai peredam perubahan tekana udara

Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena

mukus ini kelaur melalui meatus media.

Definisi Rinosinusitis

Rinosinusitis lebih tepat jika disebut dengan istilah sinusitis karena

membran mukosa hidung dan sinus saling berhubungan dan akan mengalami

hal yang sama jika terkena penyakit. Sinusitis jarang tanpa disertai rinitis.

Rinitis adalah peradangan pada membaran mukosa hidung.

Sedangkan sinusitis adalah peradangan yang melibatkan satu atau lebih

sinus paranasal. Biasanya diiringi infeksi virus pada saluran nafas atas atau

reaksi alergi. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan

bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Jadi rinosinusitis

adalah peradangan membran mukosa hidung dan sinus paranasal.

Rinosinusitis dapat dibagi menjadi 4 subtipe, yaitu : akut, akut rekuren,

subakut, dan kronik, tergantung dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Etiologi

Infeksi virus pada saluran nafas atas adalah prekursor tersering dari

rinosinusitis bakterialis, diikuti obtruksi sinus karena edema mukosa oleh

alergi inhalan dan faktor anatomi. Polusi udara, paling sering asap rokok

dapat merupakan faktor penyerta yang penting. Penyebab lain, namun jarang

adalah polip nasal (misalnya pada ”Trias Aspirin” yaitu alergi aspirin, asma,

Page 9: Rhino Sinusitis

dan polip nasal), edema mukosa yang berhubungan dengan hormonal akibat

kehamilan, efek samping obat (misalnya rinitis medikamentosa akibat

penggunaan dekongestan topikal atau kokain yang berlebihan, edema

mukosa akibat obat anti hipertensi oral, antiosteoporosis atau hormone

replacement sprays), serta disfungsi mukosilier akibat cystic fibrosis dan

defisiensi imun.

PATOGENESIS

Drainase keempat sinus paranasal (maxillary, ethmoid, frontal dan

sphenoid ke dalam cavum nasal. Sinus frontalis, maksilaris dan ethmoidalis

anterior mengalirkan sekretnya melalui kompleks osteomeatal pada meatus

media. Sedangkan drainase sinus ethmoidalis posterior dan sphenoid ke

meatus superior melalui recessus sphenoethmoidalis. Pada sinus maksilari

aktivitas mukosilier dalam mendrainase melawan gravitasi.

Beberapa penulis menggambarkan opasifikasi pada meatus media dan

inflamasi pada sinus yang berhubungan pada pasien dengan sinusitis kronik.

Peranan alergi, defisiensi imun, infeksi virus, dan kelainan struktural dapat

menginduksi obstruksi osteal sehingga terjadi stasis sekret, infeksi sekunder,

sintesis sitokin, dan infiltrasi leukosit. Lebih lanjut akan terjadi proses

inflamasi. Siklus ini akan terus berputar sehingga terjadi sinusitis kronik

apabila pengobatan inadekuat atau obstruksi tidak sembuh-sembuh. Pasien

dengan rinitis alergi dapat menjadi sinusitis dengan mekanisme sebagai

berikut :

Page 10: Rhino Sinusitis

Faktor predisposisi terjadinya sinusitis antara lain kelainan struktural

(septum deviasi, hipertrofi adenoid, nasal polip, atau bulosa konka), defisiensi

imun(IgG/ IgA deficiency), dan kelainan lain seperti cystic fibrosis, dismotilitas

silier, atau coryza akibat infeksi virus yang mengakibatkan mekanisme

penyaringan udara terganggu. Faktor-faktor tersebut mempermudah

peradangan sehingga terjadi edema mukosa dan remodeling yang

menghasilkan sumbatan pada jalan nafas. Obstruksi dapat mudahkan infeksi

sekunder oleh bakteri sehingga terjadi peningkatan produk inflamasi yaitu

sitokin dan infiltrasi leukosit. Edema mukosa, sumbatan osteal, peningkatan

dan akumulasi sekresi mukus dan atau penurunan aktivitas mukosilier dapat

menyebabkan sinusitis akut, kronik, maupun eksaserbasi akut pada sinusitis

kronik. Sumbatan pada ostium sinus mengakibatkan gangguan pertukaran

gas sehingga terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Hal ini mengaktifkan neutrofil

(peningkatan kemotaksis dan degrnulasi), proses peradangan semakin

bertambah dan pH semakin rendah sehingga gerakan silier semakin lambat.

Corpus alienum pada dewasa sering iatrogenik akibat pemasangan

selang nasotrakeal atau nasogastrik juga dapat menyebabkan sumbatan

langsung pada osteal, atau dengan menginduksi pembengkakan mukosa

bahkan sekret hidung dapat terdrainase balik ke arah sinus. Variasi anatomis

sinonasal menjadi penyebab sinusitis kronik masih kontroversial.

Produksi mukus meningkat

Terjadi kegagalan fungsi pembersihan dari mukosilier

Edema mukosa (dapat terjadi pada rhinitis alergi dan sinusitis)

Obstruksi jalan nafas

Stasis sekret

Infeksi sekunder

Infectious sinusitis

Page 11: Rhino Sinusitis

Faktor lainnya yang dapat menyebabkan sinusitis kronik adalah

resirkulasi mukus. Hal ini dapat terjadi pada pasien yang memiliki ostium

tambahan pada sinus maksilaris dimana mukus akan terdrainase keluar

menuju meatus media namun kembali masuk ke dalam sinus maksilaris

melalui ostium tambahan. Biasanya ostium tambahan ini berlokasi di inferior

kompleks osteomeatal.

Peranan Alergi Pada Rinosinusitis

Penyebab tersering sinusitis paranasal kronik di USA setiap tahunnya

adalah rinitis alergi. Rinitis alergi pada pasien dengan atopi bermanifestasi

sebagai bersin, hidung beringus, hidung tersumbat, gatal pada mata,

lakrimasi dan batuk. Pada beberapa kasus, gejala umum seperti kelemahan

tubuh (fatigue) mungkin akibat komplikasi dan berhubungan dengan efek

sitokin. Pasien juga mengeluh sulit tidur akibat alergi yang dideritanya. Rinitis

alergi dapat terjadi musiman (seasonal, hay fever, pollinosis) dan sepanjang

tahun (perennial).

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sesitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2

fase yaitu immediate phase alergic reaction (reaksi alergi fase cepat) yang

berlangsung sejak kontak denga alergen sampai 1 jam setelahnya. Fase

lainnya yaitu late phase alergic reaction (rekasi alergi fase lambat) yang

berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah

pemaparan dan dapat berlansung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag

atau monosit yag berperan sebagai sel penyaji akan menangkap alergen

yang menempel pada permukaan mukosa hidung. Setelah diproses antigen

akan dibentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA

kelas II membentuk kompleks peptida MHC kelas II yang kemudian

dipresentasikan pada T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas

Page 12: Rhino Sinusitis

sitokin seperti IL-1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi

Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5,

dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit

B. Limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah

aka masuk ke dalam jaringna dan diikat oleh reseptornya di permukaan sel

mediator (sel mastosit, basofil) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses

ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama maka

kedua rantai IgE akan mengikat kedua rantai spesifik dan terjadi degranulasi

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia terutama

histamin. Selain histamin dikeluarkan juga mediator lainnya seperti

Prostaglandin D2, Leukotrien C4, Leukotrien D4, bradikinin, PAF, dan

berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF). Inilah yag disebut reaksi

alergi fase cepat.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin. Histamin juga

akan meyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi

dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain

adalah hdung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Histamin juga

merangsang mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran ICAM-1.

Pada reaksi alergi fase cepat sel mastosit juga akan melepaska

molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil

pada jaringan target. Proses ini akan terus berlanjut dan mencapai puncak 6-

8 jam setelah terpapar, ini disebut reaksi alergi fase lambat. Pada fase ini

terjadi penambahn jenis dan jumlah sel inflamasi di mukosa hidung serta

peningkatan sitokin pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperresponsif

hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator onflamasi dari

granulnya seperti ECP, EDP, MBP, dan EPO. Pada fase ini selain alergen,

iritasi oleh faktor non spesifik (asap rokok, bau yang merangsang, perubahan

cuaca, dan kelembapan udara) dapat memperberat gejala.

Page 13: Rhino Sinusitis

Manifestasi klinik suatu alergi tergantung 2 faktor, yaitu organ sasaran

(lokasi dan jenis) dan alergen penyebab (sifat, konsentrasi, dan cara masuk).

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :

- Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernafasan, misalnya

debu rumah, tungau, serpihan epitel, bulu binatang, serta jamur

- Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan

(susu, telur, udang, coklat, dll)

- Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya

penisilin, dan sengatan lebah.

- Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan

mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,

sehingga menimbulkan gejala campuran, misalnya debu rumah yang

memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang

secara garis besar terdiri dari :

- Respon primer, terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen. Reaksi ini

bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila antigen tidak

berhasil dihilangkan seluruhya, maka reaksi berlanjut menjadi respon

sekunder.

- Respon sekunder, reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3

kemungkinan ialah sistem imunitas seluler, humoral, atau keduanya

dibangkitkan. Bila antigen berhasil dieliminasi pada tahap ini reaksi

selesai, bila tidak berlanjut ke respon tersier.

- Respon tersier, reaksi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi dapat

bersifat semetara atau menetap tergantung daya tahan tubuh. Gell dan

Comb mengklasifikasikan reaksi ini menjadi 4 tipe :

- Tipe 1, reaksi anafilaksis

Page 14: Rhino Sinusitis

- Tipe 2, reaksi sitotoksik/sitolitik

- Tipe 3, reaksi kompleks imun

- Tipe 4, reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity)

DIAGNOSIS

Rinitis adalah suatu proses inflamasi yang terjadi pada mukosa hidung.

Terdapat dua tipe rinitis, yaitu rinitis alergika dan rinitis non alergika. Sinusitis

sering didahului dengan adanya rinitis. Gejala yang sering timbul pada

keduanya dapat berupa sumbatan hidung dan kehilangan daya penciuman.

Rinosinusitis adalah suatu proses inflamasi yang melibatkan satu atau

lebih sinus paranasalis yang biasanya terjadi setelah infeksi saluran nafas

atas yang disebabkan oleh virus atau reaksi alergi. Gejala primer yang sering

ditemukan pada pasien penderita rinosinusitis antara lain seperti di bawah ini

:

o Obstruksi hidung atau hidung rasa tesumbat

o Hidung meler dengan sekret yang purulen

o Post nasal drip, atu perasaan seperti ada lendir atau sekret di bagian

belakang hidung yang terasa sampai ke tenggorokan

o Rasa nyeri di muka atau gigi

o Sakit kepala

o Batuk-batuk

o Berkurangnya penciuman

o Rasa nyeri di daerah sinus Edema periorbital

o Halitosis atau bau mulut

o Otalgia atau juga bisa terdapat rasa seperti penuh di telinga

o Lemas / lesu, rasa cepat lelah

o Tenggorokan terasa kering

Sakit kepala merupakan salah satu gejala yang sering dikeluhkan oleh

penderita. Keterlibatan sinus cenderung melibatkan nyeri pada lokasi berikut :

Page 15: Rhino Sinusitis

Maksilaris : wajah depan ( pipi ) dengan penyebaran ke gigi,

orbita dan regio malar

Etmoidalis : interokular dengan penyebaran ke lokasi sinus

frontalis

Frontalis : dahi, interokular dan daerah temporal

Sfenoidalis : retro-orbita, menyebar ke arah verteks dan kadang

ke daerah mastoid

Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan sederhana oleh klinisi,

rinosinusitis dapat diklasifikasikan ke dalam empat subtipe, yaitu rinosinusitis

akut, subakut, akut rekuren dan kronik. Rinosinusitis akut memiliki onset ≤ 4

minggu hingga seluruh gejala muncul. Kebanyakan penyebabnya adalah

virus dimana gejala biasanya muncul dalam 5-7 hari dan dapat sembuh

sendiri. Rinosinusitis bakterial akut lebih sering berkembang menjadi kronik

atau meluas ke area orbita dan meningen. Gejala yang dapat ditemukan pada

rinosinusitis bakterial akut adalah sekret purulen yang memburuk setelah lima

hari atau menetap lebih dari 10 hari dengan atau tanpa gejala lainnya yang

tipikal untuk infeksi virus. Rinosinusitis akut rekuren adalah bila didapatkan 4

atau lebih episode sinusitis akut dalam 12 bulan dengan fase resolusi pada

tiap episode (masing-masing episode minimal 7 hari). Rinosinusitis subakut

pada dasarnya adalah kelanjutan infeksi akut dengan durasi lebih dari 4

minggu tapi kurang dari 12 minggu. Sedangkan rinosinusitis kronik adalah jika

gejala menetap selama lebih dari 12 minggu.

Classification of Adult Rhinosinusitis

Classification Duration History, examination Special notes

Acute Up to four weeks The presence of two or more Major signs and symptoms; one Major and two or more Minor signs or symptoms; or nasal purulence on examination*

Fever or facial pain/pressure does not constitute a suggestive history in the absence of other nasal signs and symptoms. Consider acute bacterial rhinosinusitis if symptoms worsen after five days, if symptoms persist for 10 days or with symptoms out of proportion to those typically associated with viral infection.

Subacute Four to <12 weeks Same Complete resolution after effective medical therapy.

Recurrent Four or more Same --

Page 16: Rhino Sinusitis

acute episodes per year with each episode of at least seven days' duration; absence of intervening signs and symptoms

Chronic 12 weeks or more Same Facial pain/pressure does not constitute a suggestive history in the absence of other nasal signs and symptoms.

*--See Table 2 for listing of Major and Minor signs and symptoms. Adapted with permission from Lanza D, Kennedy DW. Adult rhinosinusitis defined. Otolaryngol Head Neck Surg 1997;117(3 pt 2):S1-7. Table 1. Classification of Adult Rhinosinusitis

Diambil dari Adult Rhinosinusitis Diagnosis and Management - January 1, 2001 - American Family Physician

Pasien dengan rinosinusitis akan memberikan gejala yang bervariasi.

Gejala-gejala yang berhubungan dengan rinosinusitis diklasifikasikan menjadi

gejala yang termasuk ke dalam kriteria mayor dan kriteria minor. Hal ini

diharapkan dapat mempermudah para klinisi dalam mendiagnosa pasien.

Yang termasuk ke dalam kriteria mayor diantaranya adalah terdapatnya

sekret yang purulen, nyeri kepala, facial pain atau facial pressure, hidung

tersumbat, berkurang penciuman, dan demam untuk rinosinusitis akut.

Sedangkan yang termasuk ke dalam kriteria minor antara lain halitosis (bau

mulut), demam, kelemahan tubuh, sakit gigi, rasa penuh di telinga (clicking

noises), nyeri telinga, batuk, dan gelisah (pada anak-anak)

Kita dapat mencurigai ke arah sinusitis kronik apabila ditemukan 2 atau

lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor pada

anamnesis maupun pada pemeriksaan fisik selama 6-12 minggu. Beberapa

pasien dengan sinusitis kronik mengalami kekambuhan atau eksaserbasi akut

minimal 3-4 kali dalam setahun dan tiap episode berlangsung minimal 10 hari.

Signs and Symptoms Associated with the Diagnosis of Rhinosinusitis

Major Facial pain/pressure/fullness* Nasal obstruction/blockage Nasal or postnasal discharge/purulence (by history or physical examination) Hyposmia/anosmia Fever (in acute rhinosinusitis only)§

Minor Headaches Fever (other than acute rhinosinusitis) Halitosis Fatigue Dental pain Cough Ear pain/pressure/fullness

Page 17: Rhino Sinusitis

*--Facial pain/pressure alone does not constitute a suggestive history in the absence of another finding listed in the Major category.

§--Fever in acute rhinosinusitis alone does not constitute a suggestive history in the absence of another finding listed in the Major category.

Adapted with permission from Hadley JA, Schaefer SD. Clinical evaluation of rhinosinusitis: history and physical examination. Otolaryngol Head Neck Surg 1997; 117(3 pt 2):S8-S11. Table 2. Signs and Symptoms Associated with the Diagnosis of Rhinosinusitis

Diambil dari Adult Rhinosinusitis Diagnosis and Management - January 1, 2001 - American Family Physician

Gejala yang timbul pada rinosinusitis alergika berbeda dengan yang

tipe infeksiosa. Respon alergi biasanya ditandai oleh bersin, kongesti hidung,

rinore yang encer dan banyak, gatal pada hidung. Tidak ada demam dan

biasanya sekret tidak mengental ataupun menjadi purulen. Awitan gejala

timbul cepat setelah paparan alergen, gejalanya dapat berupa mata atau

palatum molle yang gatal dan berair. Pada rinosinusitis tipe alergika biasanya

ditemukan pola musiman atau berkaitan dengan alergen inhalan. Tipe

alergika ini umumnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan tipe

infeksiosa akibat virus. Penting juga ditanyakan riwayat asma atau alergi baik

pada penderita ataupun keluarga. Penegakkan diagnosis rinosinusitis tipe

alergika sangat tergantung dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,

termasuk pemeriksaan hidung, tes alergi/uji kulit.

Pemeriksaan Penunjang

Penegakkan diagnosa rinosinusitis dapt dibantu dengan pemeriksaan

penunjang. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan

diantaranya antara lain adalah :

Nasal endoscopy

Pemeriksaan ini menjadi pilihan pada pasien – pasien yang tidak

memberikan respon terapi yang baik dan pada pasien anak-anak denagn

anamnesa yang diragukan. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada

pasien dengan kecurigaan ke arah kelainan anatomi yang dengan

pemeriksaan rinoskopi anterior belum jelas.

Dengan pemeriksaan ini dapat juga diambil apus dari hiatus semilunaris

untuk pemeriksaan kultur terutama pada pada pasien yang tidak berespon

Page 18: Rhino Sinusitis

terhadap terapi inisial, pasien dengan kecurigaan penyebaran infeksi ke

luar sinus, atau pada pasien dengan rinosinusitis kronik.

Rontgen foto

Pada pemeriksaan ini posisi yang biasanya digunakan adalah posisi

waters dan caldwel. Dari hasil pemeriksaan radiologis dapat dilihat adanya

gambaran perselubungan opak atau adanya air fluid level yang terlihat

pada sinus maksilaris, frontal atau sphenoidalis. Namun pemeriksaan ini

tidak dapat menggambarkan keadaan pada seluruh sinus paranasalis,

maka di negara-negara yang sudah berkembang, pemeriksaan ini sudah

jarang dilakukan.

CT – SCAN

Pemeriksaan dengan CT-SCAN potongan koronal dengan jarak

potongan 4 mm, sekarang ini menjadi gold standard untuk pemeriksaan

penyakit atau gangguan pada sinus. Pemeriksaan ini dapat memeberi

gambaran keadaan seluruh sinus paranasalis, bahkan dapat

mengobservasi apabila terdapat abnormalitas dari kompleks osteomeatal.

Kelainan seperti polip nasal, septal spurs dan concha bullosa dapat

terlihat pada pemeriksaan CT-SCAN.

MRI

Pemeriksaan dengan MRI sangat sensitif terhadap perubahan pada

mukosa hidung, sehingga pemeriksaan ini sering memberikan hasil false

positive. Pemeriksaan MRI lebih sensitif untuk membantu diagnosa

sinusitis karena jamur. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi apabila

terdapat neoplasma/

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak diperlukan pada pasien-

pasien yang tidak mengalami komplikasi. Pada pasien yang dicurigai

penyebabnya adalah alergi, dapat dilakukan pemeriksaan terhadap kadar

serum IgEnya. Kadar eosinofil yang meninggi sering ditemukan dalam

sekret hidung dan pemeriksaan darah tepi.

Pemeriksaan kultur dari mukosa hidung atau sinus juga dapat dilakukan.

Kuman yang biasanya sering ditemukan pada rinosinusitis akut adalah

Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Sedangkan

Page 19: Rhino Sinusitis

pada infeksi kronis lebih sering ditemukan kuman-kuman dari spesies

stafilokokus terutama Stafilokokus aureus.

USG

Pemeriksaan USG memiliki sensitivitas yang sangat rendah dalam

membantu menegakkan sinusitis. Namun pada keadaan tertentu yang

tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang dengan

cara lain, seperti pada kehamilan, pemeriksaan ini dapat dijadikan pilihan.

Fiberoptic Rhinoscopy

Pemeriksaan ini memungkinkan pemeriksa untuk secara langsung

melihat kelainan pada struktur anatomi dari rongga hidung. Pemeriksaan

ini juga dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosa polip nasal,

sinusitis purulenta dan abnormalitas dari osteomeatal complex

Uji alergi/skin prick test

Pada penderita yang kita curigai ada faktor alergi yang mendasari

timbulnya penyakit, dapat dilakukan tes ini dengan tujuan untuk mencari

jenis alergennya.

KOMPLIKASI Otitis media

Polip

Angka kejadian polip hidung meningkat pada pasien dengan rinitis

alergika. Polip hidung seringkali terlihat di bagian atas hidung lateral

mengelilingi konka media. Polip hidung alrgi khas terlihat licin, lunak,

mengkilap dan berwarna kebiruan. Polip dapat timbul pada antrum maksilaris

dan regio etmoidalis, kemudian meluas ke dalam meatus superior dan media.

Polip dapat terjadi pada anak-anak namun lebih sering dijumpai pada

dewasa. Polip umumnya berasal dari penonjolan ke luar mukosa yang

menutup sinus etmoidalis dan maksilaris. Pembesaran mukosa yang

bertambah tersebut, membentuk massa yang bundar, lunak, basah, seperti

berdaging, yang semakin lama semakin panjang menjulur mulai dari sinus

sampai ke rongga hidung.

Osteomielitis

Page 20: Rhino Sinusitis

Penyebab tersering osteomielitis pada tulang frontalis adalah infeksi

sinus frontalis. Dapat ditemukan adanya nyeri tekan dahi, bahkan bisa sangat

berat. Namun komplikasi ni sangat jarang.

Komplikasi Intrakranial

Meningitis akut

Abses dura. Komplikasi ini seringkali mengikuti sinusitis

frontalis.

Abses otak. Setelah sistem vena dalam mukoperiosteum

sinus terinfeksi, dapat terjadi perluasan secara

hematogen ke dalam otak Kontaminasi substansi otak

dapat terjadi pada puncak suatu sinusitis supuratif yang

berat.

Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di

dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, dam

biasanya tidak berbahaya. Apabila kista ini terinfeksi, dapat berkembang

menjadi piokel, gejalanya menjadi lebih berat.

Komplikasi pada orbita

Selulitis orbita

Abses sub periosteal

Abses orbita

Trombosis sinus kavernosus. Infeksi ini merupakan akibat

penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus

kavernosus. Secara patognomonik, trombosis sinus

kavernosus terdiri dari oftalmoplegia, kemosis

konjungtiva, gangguan penglihatan yang berat,

kelamahan, dan tanda-tanda meningitis.

PENATALAKSANAANPenatalaksanaan Umum

Tujuan utama pengobatan pada pasien dengan bacterial rhinosinusitis

adalah untuk mengintrol infeksi, menghilangkan edema mukosa dan

menghilangkan obstruksi dari sinus. Penatalaksanaan umum yang cukup

penting untuk dilakukan adalah mempertahankan status hidrasi pasien

Page 21: Rhino Sinusitis

dengan memperbanyak asupan cairan secara oral. Pada rinosinusitis tipe

alergika, dengan menghindari alergen penyebab dapat mengurangi angka

kekambuhan secara signifikan.

Penatalaksanaan umum dilakukan untuk menjaga atau menciptakan

suasana yang mendukung pada lingkungan sekitar hidung dan sinus

paranasal. Prinsip yang dianut adalah menjaga kelembaban dan kehangatan.

Untuk menjaga kelembaban, dapat diberikan saline nasal spray. Hal ini

membuat mukosa nasal menjadi lebih lembab, mengurangi kekeringan

mukosa dan mukus yang mengeras lebih mudah dibersihkan.

Pada rinosinusitis, pergerakan dari mukosilier terganggu, sehingga mukus

menjadi tebal dan mengering. Penghangatan dengan udara yang hangat,

diharapkan dapat membantu mengurangi gejala.

Penatalaksanaan khusus

Menurut hasil dari beberapa penelitian, pemberian obat-obat mukolitik dan

dekongestan oral seperti pseudoefedrin dianggap cukup berefek pada pasien

dengan obstruksi nasal atau sinus yang berat. Pada pasien tersebut dapat

pula ditambahkan dekongestan topikal, seperti phenylephrine dan

oxymethazoline, yang dapat diberikan selama tiga hari. Antibiotik oral

dianjurkan diberikan selama selama 7 sampai 14 hari, pada pasien dengan

rinosinusitis akut, akut rekuren atau subakut. Antibiotik yang dianjurkan oleh

FDA ( U.S. Food and Drug Administration ) untuk pengobatan rinosinusitis

akut antara lain amoksisilin-asam klavulanat, sefalosporin generasi

baru,makrolid dan florokuinolon.

Beberapa ahli lebih suka menambahkan pemberian terapi steoid oral

pada pasien dengan rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri atau

virus. Hal ini diharapkan dapat mengurangi edema pada jaringan sekitar ostia

sinus, sehingga dapat membantu melegakan jalan nafas pasien.Namun

pemberian steroid oral ini masih dianggap kontroversial oleh beberapa ahli.

Steroid topikal biasa diberikan pada pasien rinosinusitis subakut atau kronis

dengan gejala yang jelas, dan pada pasien yang dicurigai sensitif terhadap

inhalan. Namun pada pasien rinosinusitis akut, pemberian steroid topikal ini

relatif tidak efektif, karena kemampuan penetrasinya yang kurang,

sehubungan dengan adanya rinorrhea.

Page 22: Rhino Sinusitis

Pemberian mukolitik biasanya diberikan dengan tujuan untuk mengurangi

stasis dari mukus. Suatu dekongestan dapat diberikan secara tunggal atau

dikombinasikan dengan antihistamin H1 lokal atau per oral pada pengobatan

rinosinusitis alergika. Namun pada pasien dengan hipertensi, hendaknya tidak

diberikan obat-obat dekongestan yang bersifat vasokonstriktor, karena dapat

memperparah hipertensinya. Antihistamin H1 merupakan obat terpilih untuk

rinosinusitis alergika. Obat ini diturunkan dosisnya setelah lima hari

pemberian. Untuk mencapai efek maksimal, dapat diberikan kombinasi obat

topikal dan sistemik. Kortikosteroid juga dapat diberikan pada rinosinusitis

alergika. Dapat diberikan sistemik atau lokal, terutama untuk kortikosteroid

yang diabsorpsi buruk seperti beklometason. Medikasi lokal pada umumnya

lebih disukai karena efek kerjanya yang langsung serta resiko efek

sampingnya yang lebih rendah. Biasanya memerlukan waktu beberapa hari

sampai beberapa minggu untuk menjadi efektif.

Pada rinosinusitis tipe alergika dapat juga dilakukan Allergen Specific

Imunotherapy. Yaitu pemberian suntikan alergen spesifik kepada subjek

alergis dengan dosis meningkat bertahap dan interval waktu suntikan

diperpanjang bertahap. Tujuannya untuk memeodulasi sistem imun yang

pada penderita ini telah terganggu. Terapi ini dilakukan selama 3 sampai 4

tahun.

Oral Antibiotics Used in the Treatment of Acute Bacterial Rhinosinusitis

Antibiotic Dosage/frequency Calculated clinical efficacy (%)*

Cost†

Mild disease and no recent antibiotic use

Amoxicillin-clavulanate potassium (Augmentin)‡

500 mg every 8 hours, 875 mg every 12 hours§

91 $83.96 to 112.08

High dose (Augmentin XR) 2,000 mg every 12 hours§ - 112.08

Amoxicillin (Amoxil) 500 mg every 8 hours, 875 mg every 12 hours

88 7.35 to 8.77(8.25)

  High dose 1,000 mg every 8 hours - 14.70 to 17.54(16.50)

Cefpodoxime (Vantin)‡ 200 mg every 12 hours 87 118.48

Cefuroxime (Ceftin)‡ 250 mg or 500 mg every12 hours

85 108.53, 197.75

Cefdinir (Omnicef)‡ 300 mg every 24 hours 83 44.66

Page 23: Rhino Sinusitis

If beta-lactam allergic:

  TMP-SMX DS (Bactrim DS, Septra)

160 to 800 mg every 12 hours 83 6.64 to 27.76(38.85)

  Doxycycline (Vibramycin) 100 mg every 12 hours 81 5.00 to 27.36(97.13)

  Azithromycin (Zithromax) 500 mg on day 1, 250 mg on days 2 through 5

77 47.44

  Clarithromycin (Biaxin) 250 mg or 500 mg every12 hours

77 90.22, 90.22

  Telithromycin (Ketek) 800 mg every 24 hours 77 -

Moderate disease or recent antibiotic use

Gatifloxacin (Tequin) 400 mg every 24 hours 92 95.68

Levofloxacin (Levaquin) 500 mg every 24 hours 92 101.47

Moxifloxacin (Avelox) 400 mg every 24 hours 92 101.92

Amoxicillin-clavulanate (high dose)

2,000 mg every 12 hours§ 91 112.09

Ceftriaxone (Rocephin) 1 g every 24 hours 91 255.80||

Combination therapy¶ - - -

If beta-lactam allergic:

  Gatifloxacin, levofloxacin, moxifloxacin

As above As above As above

  Clindamycin (Cleocin) plus rifampin (Rifadin)**

150 to 450 mg every 6 hours, 300 mg every 12 hours

- 76.49 to 183.19 (154.21 to 370.38)

TMP-SMX = trimethoprim-sulfamethoxazole.*-Clinical efficacy based on calculation from the Poole Therapeutic Outcomes Model.15

†-Estimated cost to the pharmacist based on average wholesale prices in Red book. Montvale, N.J.: Medical Economics Data, 2004. Cost to the patient will be higher, depending on prescription filling fee. Cost is for 10 days of therapy, unless stated otherwise.

‡-Any benefit of these agents as initial therapy must be balanced against their much higher cost and concerns about increasing antibiotic resistance.

§-Based on amoxicillin component.

||-Cost is for five days of therapy, including injection fee.¶-Combination therapies include high-dose amoxicillin or clindamycin plus cefixime or high-dose amoxicillin or clindamycin plus rifampin.16

**-Provides coverage for Streptococcus pneumoniae but has no activity against Haemophilus influenzae.

Information from references 13 through 16.

Table 3. Oral Antibiotics Used in the Treatment of Acute Bacterial Rhinosinusitis Acute Bacterial Diambil dari : Rhinosinusitis in Adults Part II_ Treatment - November 1, 2004 - American Family Physician

Ancillary Treatment for Acute Bacterial Rhinosinusitis

Agent Dosage

Page 24: Rhino Sinusitis

Likely to be effective

Oral decongestants

  Pseudoephedrine (Sudafed) 60 mg every 6 hours or 120 mg every 12 hours

Topical decongestants*

  Oxymetazoline (Neo-Synephrine) 2 sprays every 12 hours

  Xylometazoline (Otrivin) 2 sprays every 8 hours

  Phenylephrine (Afrin) 2 sprays every 4 hours

Possibly effective

Topical anticholinergics

  Ipratropium (Atrovent) 0.06 percent 2 sprays every 6 hours

Antihistamines†

  Brompheniramine (Dimetapp) 8 to 12 mg every 12 hours

  Chlorpheniramine (Chlor-Trimeton) 8 to 12 mg every 12 hours

  Diphenhydramine (Benadryl) 25 to 50 mg every 6 hours

Guaifenesin (Hytuss)† 600 mg every 12 hours

Nasal corticosteroids Dosage varies‡

Hypertonic and normal saline nasal irrigation

Regimen varies

No proven benefit

Saline spray

Mist

Less sedating antihistamines

Zinc salt lozenges

Echinacea extract

Vitamin C

*-Although topical decongestants are effective, use must be limited to three days to avoid rebound congestion.

†-Often combined with an oral decongestant.

‡-Dosage varies by drug.

Information from references 26 through 48.

Table 4. Ancillary Treatment for Acute Bacterial RhinosinusitisDiambil dari : Rhinosinusitis in Adults Part II_ Treatment - November 1, 2004 - American Family Physician

Indications for Referral in Patients with Bacterial Rhinosinusitis

Findings of severe acute bacterial rhinosinusitis

ComplicationsPeriorbital cellulitisIntracranial abscessMeningitis

Page 25: Rhino Sinusitis

Cavernous sinus thrombosisPott's puffy tumor (infectious erosion of the ethmoid or frontal sinus)

Anatomic defects causing obstruction

Treatment failure after extended course of antibiotics

Frequent recurrences (more than three episodes per year)

Nosocomial infections

Immunocompromised host

Biopsy to rule out granulomatous disease, neoplasms, or fungal infections

Evaluation for immunotherapy of allergic rhinitis

Information from references 6 and 48.

Table 5. Indications for Referral in Patients with Bacterial RhinosinusitisDiambil dari : Rhinosinusitis in Adults Part II_ Treatment - November 1, 2004 - American Family Physician