19
PENDAHULUAN Tuberkulosis dalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. 1 Mayoritas pasien yang terinfeksi M. tuberculosis merupakan TB paru, tetapi manifestasi awal pada sekitar 25% pasien dewasa terjadi pada TB ekstra paru terutama yang mempengaruhi kelenjar getah bening dan pleura. Di beberapa negara, TB merupakan penyebab utama efusi pleura. Persentase pasien TB dengan efusi pleura sangat bervariasi dari satu negara dengan negara lain. Di Burundi lebih dari 25% dari pasien TB dengan efusi pleura tuberkulosis, sementara itu di Afrika Selatan terdapat 20% dari pasien TB dengan efusi pleura tuberkulosis. Hal ini berbeda jauh dengan kejadian efusi pleura tuberkulosis di Amerika Serikat, dimana hanya dilaporkan 3-5% pasien TB dengan efusi pleura. Persentase yang lebih rendah di Amerika Serikat mungkin disebabkan oleh pelaporan yang kurang dari penyakit TB tersebut, karena hasil kultur cairan pleura pada pasien efusi di Amerika Serikat negatif. Penelitian di Malaysia, ditemukan efusi pleura TB sebanyak 31,5% krepitasi, 15,7% kolaps. 2,3 Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, gejala-gejala yang ditemukan adalah : batuk, sesak nafas, panas 1

RU Helta-Mita Edit

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: RU Helta-Mita Edit

PENDAHULUAN

Tuberkulosis dalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan

paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek

primer. 1

Mayoritas pasien yang terinfeksi M. tuberculosis merupakan TB paru, tetapi manifestasi

awal pada sekitar 25% pasien dewasa terjadi pada TB ekstra paru terutama yang mempengaruhi

kelenjar getah bening dan pleura. Di beberapa negara, TB merupakan penyebab utama efusi

pleura. Persentase pasien TB dengan efusi pleura sangat bervariasi dari satu negara dengan

negara lain. Di Burundi lebih dari 25% dari pasien TB dengan efusi pleura tuberkulosis,

sementara itu di Afrika Selatan terdapat 20% dari pasien TB dengan efusi pleura tuberkulosis.

Hal ini berbeda jauh dengan kejadian efusi pleura tuberkulosis di Amerika Serikat, dimana hanya

dilaporkan 3-5% pasien TB dengan efusi pleura. Persentase yang lebih rendah di Amerika

Serikat mungkin disebabkan oleh pelaporan yang kurang dari penyakit TB tersebut, karena hasil

kultur cairan pleura pada pasien efusi di Amerika Serikat negatif. Penelitian di Malaysia,

ditemukan efusi pleura TB sebanyak 31,5% krepitasi, 15,7% kolaps.2,3

Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, gejala-gejala yang ditemukan adalah : batuk, sesak

nafas, panas badan, penurunan berat badan, berkeringat malam hari, dan lemah badan.

Berdasarkan kepustakaan, infeksi pleura tuberkulosis biasanya memiliki gejala sakit yang

mendadak. Gejala lain yang timbul adalah batuk > 3 minggu, biasanya yang paling sering tidak

berdahak, dan nyeri dada, keringat malam, anoreksia, Kebanyakan dari pasien menunjukkan

gejala demam, tetapi 15% dari pasien dengan efusi pleura TB mengeluhkan tidak demam.

Pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan dan perasaan mudah lelah.2,9

Prinsip pengobatan TB adalah obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan. Di Indonesia, sejak tahun 1995 menggunakan strategi

DOTS dalam program penanggulangan TB melalui program Penanggulangan Tuberkulosis

(P2TB) nasional yang direkomendasikan oleh WHO. Rekomendasi WHO, dosis esensial lini I

OAT terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z) dan etambutol (E). selain itu

terdapat juga kombinasi dosis tetap (KDT) atau yang dikenal sebagai Fixed Dose Combination.

1

Page 2: RU Helta-Mita Edit

Kombinasi dosis tetap terdiri 3 atau 4 obat dalam 1 tablet yaitu terdiri dari rifampisin 150 mg,

isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg. 4,5,6

2

Page 3: RU Helta-Mita Edit

LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki, 71 tahun, sudah menikah, tinggal di Likupang Barat, bekerja sebagai seorang

buruh bangunan, suku Minahasa, masuk rumah sakit tanggal 2 September 2012 dengan keluhan

utama batuk dan sesak nafas sejak 1 bulan yang lalu.

Batuk sejak satu bulan yang lalu, batuk kering namun kadang-kadang berlendir. Lendir encer dan

berwarna putih. Batuk darah tidak ada. Penderita tidak pernah berobat untuk menghilangkan

keluhan ini.

Sesak napas sejak 1 bulan yang lalu. Sesak napas timbul apabila penderita batuk hebat. Sesak

napas pada malam hari tidak ada, dan tidak tergantung posisi dan aktivitas. Nyeri dada saat sesak

tidak ada.

Panas badan sejak 1 bulan yang lalu. Panas naik turun. Panas sumer-sumer pada perabaan

Penderita biasanya panas pada sore hari.. Untuk menurunkan panas, kadang-kadang penderita

minum obat Parasetamol yang dibeli di warung. Beberapa saat setelah minum obat, panas turun

sampai normal pada perabaan. Menggigil sebelum panas tidak ada. Berkeringat banyak sesudah

panas tidak ada. Riwayat keluar darah dari gusi, hidung tidak ada.

Penurunan berat badan dialami penderita sejak 1 bulan yang lalu. Berat badan turun ± 2 kg.

Berkeringat banyak pada malam hari ada. Mual tidak ada, muntah tidak ada, nafsu makan

penderita biasa.

Buang air kecil penderita sering, sedikit-sedikit, terputus-putus dan terasa nyeri. Riwayat kencing

berpasir tidak ada. Warna kencing kuning jernih. Buang air besar penderita biasa.

Riwayat minum obat paket selama 6 bulan tidak ada. Riwayat sakit asam urat ada, sejak 3 tahun

lalu, tidak terkontrol. Riwayat sakit darah tinggi, kencing manis, jantung, dan ginjal tidak ada.

Hanya penderita yang sakit seperti ini di dalam keluarga

Riwayat kontak dengan saudara atau kerabat yang memiliki keluhan seperti ini disangkal.

Riwayat merokok dan minum minuman beralkohol ada, sejak 30 tahun yang lalu, namun

sekarang penderita sudah tidak merokok dan minum minuman beralkohol.

3

Page 4: RU Helta-Mita Edit

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos

mentis. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 86 kali/menit, reguler, isi cukup, frekuensi

pernafasan 24 kali/menit, tipe torakoabdominal, suhu 36,90 C (aksila). Berat badan50 kg, tinggi

badan 165 cm, indeks massa tubuh 18,36 (normal).

Kulit warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit tidak ada, tidak sianosis ,

tidak ada scar, keringat dalam batas normal telapak tangan dan kaki tidak pucat, pertumbuhan

rambut normal. Tidak ada pembesaran KGB pada daerah aksila, leher, inguinal dan

submandibula serta tidak ada nyeri pada penekanan.

Bentuk kepala oval, simetris, ekspresi wajah tampak sakit sedang, warna rambut hitam, tidak ada

deformitas pada kepala. Mata tidak eksoftalmus dan endoftalmus, palpebra tidak edema,

konjungtiva palpebra tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil kedua mata bulat isokor, reflek

cahaya normal, pergerakan mata ke segala arah baik. Hidung bagian luar tidak ada kelainan,

septum dan tulang-tulang hidung dalam perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun

perdarahan, pernapasan cuping hidung tidak ada. Telinga tidak ada tophi, tidak ada nyeri tekan

processus mastoideus pendengaran baik. Tonsil tidak ada pembesaran, lidah tidak pucat, gusi

tidak berdarah, faring tidak ada kelainan. Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP

(5+0)cmH20, kaku kuduk tidak ada.

Pada pemeriksaan regio thoraks didapatkan bentuk dada normal. Pada inspeksi paru, tampak

ekspansi simetris statis dan dinamis, stem fremitus paru kiri sama dengan kanan, perkusi sonor

pada semua lapangan paru, suara pernapasan vesikuler, terdapat rhonki di kedua apeks, wheezing

tidak ada. Pada pemeriksaan fisik jantung, iktus kordis tidak terlihat dan tidak teraba, batas

jantung kiri linea mid clavicularis sinistra ICS V, batas jantung kanan linea parasternalis dekstra

ICS III, heart rate 86 kali/menit, bising tidak ada, gallop tidak ada.

Perut tampak datar, palpasi lemas, ada nyeri tekan epigastrium, nyeri tekan suprapubik tidak ada,

nyeri ketok costovertebra angel tidak ada, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor kulit

menurun, pekusi timpani, bising usus normal.

Pada ekstremitas superior et inferior didapatkan eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan

normal, tidak ada nyeri sendi, tidak edema, jaringan parut tidak ada , pigmentasi normal, acral

hangat, jari tabuh tidak ada, turgor kembali cepat. Ada tofi MTP I dekstra et sinistra.

4

Page 5: RU Helta-Mita Edit

Hasil pemeriksaan penunjang pada saat masuk rumah sakit leukosit: 10.200/mm3, Eritrosit:

434.000/mm3, Hemoglobin: 12,1 g/dL, Hematokrit: 33,3%, Trombosit: 197.000/mm3; Malaria

(-), GDS: 124 g/dL, Ureum: 31, Kreatinin:1,0, Natrium:127, Kalium: 3,13, Klorida: 91,3. Hasil

urinalisa, warna kuning jernih; Berat Jenis 1,020, pH 5, Leukosit tidak ada, limfosit tidak ada,

nitrit tidak ada, protein tidak ada, glukosa tidak ada, keton tidak ada, urobilinogen tidak ad,

bilirubin tidak ada, darah tidak ada.

Pada foto thoraks, pada tampak sudut kostofrenikus dektrs tumpul, dan kesan efusi pleura

dekstra minimal, jantung dalam batas normal. Kesan elektrokardiogram : sinus takikardi.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang penderita

didiagnosa kerja dengan Suspek TB. Paru + Efusi Pleura Unilateral ec Suspek TB Paru +

Elektrolit Imbalans (Hiponatremia, hipokalemia) + Suspek obstruksi saluran kemih.

Terapi yang diberikan berupa tirah baring, IVFD Nacl 0,9% 14 gtt/menit, ceftriakson 1gr inj per

IV/12 jam, ambroksol tablet 30 mg per oral/8 jam, KSR tablet per oral/8jam, parasetamol tablet,

500 mg per oral/8 jam (kalau perlu). Rencana pemeriksaan yang akan dilakukan berupa

pemeriksaan sputum BTA dan konsultasi ke bagian bedah.

Prognosis pada penderita dubia et bonam.

Follow Up

Hari perawatan pertama penderita masih mengeluh batuk berlendir, warna putih, sesak masih

ada, namun sudah tidak panas, nyeri berkemih ada. Keadaan umum sedang, tanda vital dalam

batas normal, rhonki terdengar di kedua apeks. Diagnosis tidak ada perubahan, terapi lanjut.

Rencana pemeriksaan darah, elektrolit, ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid besok.

Hari perawatan kedua keluhan penderita sama, keadaan umum sedang, tanda vital dalam batas

normal. Hasil laboratorium: Leukosit: 6400/mm3, eritrosit:3,91x103/ mm3, Hemoglobin:10,5g/dl ,

Hematrokrit: 31,1 103/mm3, Trombosit: 194x 103/mm3 , protein total : 5,8 g/dl , GDS :

107mg/dl , Creatinin darah:0,9 mg/dl, Ureum darah: 37 mg/dl, as.Urat: 6,2mg/dl, albumin:

2,5g/dl, globulin3,3gr/dl, SGOT: 17 U/l, SGPT:18 U/l, total kolestrol: 74 mg/dl, HDL:8 mg/dl,

LDL : 52mg/dl, trigliserida: 72 mg/dl, Na:143 mmol/l, K:3,15mmol/dl, Cl:100,0mmol/l. Hasil

pemeriksaan sputum BTA : +/+/+. Diagnosis :Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Efusi Pleura

Dextra + suspek obstruksi saluran kemih. Terapi sama dengan hari sebelumnya. Rencana besok

mulai edukasi dan pemberian obat anti tuberkulosis.

5

Page 6: RU Helta-Mita Edit

Hari perawatan ketiga, penderita mengeluh batuk, sudah tidak sesak, nyeri berkemih masih ada.

Keadaan umum :tampak sakit sedang, tanda vital dalam batas normal. Rhonki terdengar dikedua

apkes. Diagnosis :tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Efusi Pleura Dextra + Suspek obstruksi

saluran kemih. Terapi :edukasi pengobatan tuberculosis, IVFD NaCl 0,9% 14 gtt/menit

Ceftriaxon 1 gram per IV/12 jam dihentikan, dan dimulai pemberian obat Anti Tuberkulosis

(Rifampisin 450 mg 1-0-0; INH 300 mg 1-0-0; Vit B6 mg 1-0-0; Etambutol 500 mg 2-0-0;

Pirazinamid 500 mg 0-0-2) per oral, ranitidin inj per IV/12 jam, paracetamol Tablet 500 mg per

oral/8 jam (kp), ambroksol Tablet 30 mg per oral/8 jam, KSR 3x1 tablet dihentikan.

Hari perawatan keempat, penderita sudah tidak ada keluhan. Keadaan umum tampak cukup,

tanda vital dalam batas normal, rhonki terdengar di kedua apeks. Diagnosis sama dengan hari

kemarin. Terapi : IVFD Nacl 0,9% dihentikan, OAT Tuberkulosis (Rifampisin 450 mg 1-0-0;

INH 300 mg 1-0-0; Vit B6 mg 1-0-0; Etambutol 500 mg 0-2-0; Pirazinamid 500 mg 0-0-2) per

oral, paracetamol 3x500 mg tablet, ambroksol 3x1 tablet, Rencana penderita boleh rawat jalan

besok.

Hari perawatan kelima, penderita tidak ada keluhan. Keadaan umum baik, tanda vital dalam

batas normal. Diagnosis dan terapi sama dengan hari sebelumnya. Penderita boleh rawat jalan,

dan diberikan edukasi untuk patuh minum obat dan minggu depan kontrol ke poliklinik interna.

6

Page 7: RU Helta-Mita Edit

PEMBAHASAN

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi saluran napas bagian bawah yang

disebabkan oleh bakteri tuberculosis/TB (Mycobacterium Tuberculosis) tipe humanus dengan

ciri khas membentuk granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Efusi pleura adalah penimbunan

cairan didalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan

pleura. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu

penyakit. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah tuberkulosis, infeksi

paru nontuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah ada, infark

paru, serta gagal jantung kongestif. 7

Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, gejala-gejala yang ditemukan adalah : batuk, sesak

nafas, panas badan, penurunan berat badan, berkeringat malam hari, dan lemah badan.

Berdasarkan kepustakaan, infeksi pleura tuberkulosis biasanya memiliki gejala sakit yang

mendadak. Gejala lain yang timbul adalah batuk > 3 minggu, biasanya yang paling sering tidak

berdahak, dan nyeri dada, keringat malam, anoreksia, Kebanyakan dari pasien menunjukkan

gejala demam, tetapi 15% dari pasien dengan efusi pleura TB mengeluhkan tidak demam.

Pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan dan perasaan mudah lelah.2,9

Hasil pemeriksaan fisik yang menunjang diagnosis pada pasien adalah rata-rata pernapasan

yang cepat pada hari perawatan pertama, kedua, dan ketiga dan pada auskultasi terdengar bunyi

nafas tambahan berupa rhonki pada kedua paru di bagian apeks. Berdasarkan kepustakaan pada

pemeriksaan fisik pada TB paru dengan efusi pleura, kelainan yang didapat tergantung luas

kelainan struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak atau sulit sekali

menemukan kelainan.2,9 Pada pemeriksaan penunjang, hasil yang menunjang adalah kesan efusi

pleura dekstra pada foto thoraks dan test BTA (+) pada pemeriksaan sputum.

Berdasarkan kepustakaan, Pemeriksaan radiologi mempunyai nilai yang tinggi dalam

menegakkan diagnosis efusi pleura. Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan

membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada

bagian medial. Pada foto toraks terlihat perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung

atau datar, dan sudut kostofrenikus yang tumpul; cairan dengan jumlah yang sedikit hanya akan

7

Page 8: RU Helta-Mita Edit

memberikan gambaran berupa penumpulan sudut kostofrenikus. Cairan berjumlah kurang dari

100 ml tidak akan terlihat pada foto toraks yang dibuat dengan teknik biasa. Bayangan homogen

baru dapat terlihat jelas apabila cairan efusi lebih dari 300 ml.10

Rongga pleura dalam keadaan normal berisi cairan sekitar 10-20 mL yang berfungsi dalam

proses pernafasan. Efusi pleura merupakan akumulasi cairan yang melebihi volume normal yang

dapat menimbulkan gangguan, memberikan gejala klinis dan terdeteksi pada pemeriksaan klinis

dan radiologis. Akumulasi cairan pleura yang melebihi normal dapat disebabkan oleh produksi

berlebihan atau disebabkan oleh penurunan resorbsi oleh berbagai sebab di pleura, paru, maupun

penyebab lain.7

Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura disebabkan oleh :

1. Kenaikan tekanan hidrostatik

2. Penurunan tekanan koloid osmotik.

3. Peningkatan permeabilitas kapiler

4. Penurunan aliran limfe pada rongga pleura.

Efusi Pleura TB bisa terjadi tanpa gambaran radiologis yang nyata, hal ini mungkin

disebabkan oleh infeksi primer yang terjadi 6-12 minggu sebelumnya atau merupakan suatu

reaktivasi TB. Patogenesis dari efusi pleura TB diperkirakan berhubungan dengan pecahnya

fokus kaseosa subpleural di organ paru ke cavum pleura. Efusi pleura erat kaitannya dengan

reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas tersebut dimulai ketika protein dari

M .tuberculosis memasuki cavum pleura dan berintegrasi dengan sel T. Pemaparan ulang sel T

pada kompleks MHC kelas II yang dipresentasikan oleh APC, merangsang sel T CD4+ untuk

melakukan transformasi blast disertai pembentukan DNA dan proliferasi sel. Sebagian dari

populasi limfosit yang teraktivasi mengeluarkan berbagai mediator yang menarik makrofag.

Gambaran histologi yang tampak pada awal reaksi adalah akumulasi makrofag di daerah

perivaskular dalam waktu 12-72 jam, kemudian disusul oleh eksudasi sel mononuklear (MN) dan

polimorfonuklear (PMN). Makarofag merupakan Antigen Precenting Cell (APC) utama yang

berperan pada reaksi tersebut, walaupun ada juga sel-sel CD1+ yang membuktikan adanya

keterlibatan sel langerhans dalam reaksi ini. Sel-sel PMN segera meninggalkan tempat tersebut,

tetapi sel-sel MN tetap berada di tempat dan membentuk infiltrat yang sebagian besar terdiri atas

limfosit, monosit dan makrofag. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya eksudasi dan

meningkatnya permeabilitas membran sehingga terjadi akumulasi cairan pada cavum pleura.2

8

Page 9: RU Helta-Mita Edit

Penatalaksanaan efusi pleura tergantung dari kelainan patologi yang mendasarinya. Bila

jumlah cairannya sedikit, maka dilakukan pengobatan terhadap penyebab efusi pleura. Bila

jumlah cairannya banyak, perlu dilakukan drainase melalui torakosentesis.9 Fase inisial pasien

dengan efusi pleura TB primer adalah dengan memberikan regimen 6 bulan dimana, 2 bulan

pertama diberilkan isoniazid (INH), Rifampicin dan Pyrazinamid (Z). Fase kedua adalah dengan

memberikan INH dan rifampicin selama 4 bulan. Pengobatan yang direkomendasikan adalah

Directly Observed Treatment. Regimen selama 9 bulan dengan menggunakan INH dan

rifampisin juga efektif ketika mikroorganisme peka terhadap obat.2 Berdasarkan pedoman

diagnosis dan penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia, Pasien diberikan terapi anti

tuberkulosa sebagai berikut : Rifampisin 450 mg 1-0-0; INH 300 mg 1-0-0; Vit B6 mg 1-0-0;

Etambutol 500 mg 0-2-0; Pirazinamid 500 mg 0-0-2. Pengobatan ini diberikan selama 2 bulan

(fase intesif) dan akan dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4 bulan.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT

Obat Dosis

(mg/Kg

BB/Hari)

Dosis yang

Dianjurkan

Dosis

Maks

(mg)

Dosis (mg)/BB (kg)

Harian

(mg/KgBB/

Hari

Intermitten

(mg/kgBB/

Kali

<40 40-

60

>60

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35 750 1000 1500

E 15-20 15 30 750 1000 1500

S 15-18 15 15 1000 Sesuai

BB

750 1000

International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease (IUALTD)

Tabel 2. Dosis Obat Antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap

9

Page 10: RU Helta-Mita Edit

Fase intensif

(2 bulan)

Fase lanjutan

(4 bulan)

BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu

(RHZE)

150/75/400/275

(RHZ)

150/75/400

(RHZ)

150/150/500

(RH)

150/75

(RH)

150/150

30-37 2 2 2 2 2

38-54 3 3 3 3 3

55-70 4 4 4 4 4

>71 5 5 5 5 5

Tabel 3. Efek samping OAT pada orang dewasa

Obat-obatan Efek Samping Utama

1. Isoniazid Hepatitis (meningakt dengan umur, kelainan

fungsi hati, pecandu alkohol)

Neuropati perifer (hati-hati pada kasus DM,

uremia, malnutrisi)

2. Rifampisin Gangguan saluran cerna

Hepatitis

Interaksi obat

Rash

Gejala seperti flu

Kelainan darah

3. Pirazinamid Hepatitis

Rash

Nyeri sendi

Hiperurisemia

Gangguan saluran cerna

4. Etambutol Optic neuritis

5. Streptomisin (p.e) Ototoksik (hidari pada kasus >60 tahun)

Gangguan fungsi ginjal

6. Ciprofloksasin Gangguan saluran cerna

10

Page 11: RU Helta-Mita Edit

7. Ofloksasin Gangguan saluran cerna

Gangguan tidur, sakit kepala

8. Kanamisin Seperti streptomisin

Setelah hari perawatan ke-5, pasien diperbolehkan rawat jalan. Pasien diberikan edukasi

untuk kontrol kembali ke poliklinik penyakit dalam untuk evaluasi pengobatan, yaitu evaluasi

klinis. Evaluasi klinis dilakukan secara periodik, meliputi evaluasi terhadap respons pengobatan

dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

11

Page 12: RU Helta-Mita Edit

1. Price, Sylvia A. Dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi konsep klinis proses-proses

penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta: EGC

2. Abrahamiam FM. Pleural Effusion. 2008. Available at : http://www.emedicine.com. Accessed

June 19, 2012

3. Soe Z, Shwe W, Moe S. 2011. A study on tuberculosis pleural effusion. Available at:

http://www.iomcworld.com/ijcrimph/pdf. accessed at: September 19 2012.

4. Aditama TY, Soepandi PZ, Syafrizal, Yusuf A. 2004. Penilaian keberhasilan Directly

Observed Therapy (DOTS) pada pengobatan TB paru di RS Persahabatan. J Respir Indo.

Jakarta

5. Dapartemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

6. Tirtana BT. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada pasien

tuberkulosis paru dengan resistensi obat tuberkulosis di wilayah Jawa Tengah. Semarang

7. Halim, Hadi. 2007. Penyaki-Penyakit Pleura dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II,

Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

8. Kresno SB. 2001. Reaksi hepersensitivitas tipe lambat. Dalam : Imunologi : Diagnosis dan

prosedur laboratorium. Edisi 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

9. Isbaniyah F, et al. 2011. Pedoman diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.

Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

10. Kisworo B. Efusi Pleura Keganasan. Available at: http://www.kalbe.co.id. Accessed at

October 01, 2012

LAMPIRAN

12

Page 13: RU Helta-Mita Edit

Gambar 1. Foto Thoraks Penderita Saat Masuk Rumah Sakit(02 September 2012)

13