Upload
jane-framita
View
35
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PENDAHULUAN
Tuberkulosis dalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek
primer. 1
Mayoritas pasien yang terinfeksi M. tuberculosis merupakan TB paru, tetapi manifestasi
awal pada sekitar 25% pasien dewasa terjadi pada TB ekstra paru terutama yang mempengaruhi
kelenjar getah bening dan pleura. Di beberapa negara, TB merupakan penyebab utama efusi
pleura. Persentase pasien TB dengan efusi pleura sangat bervariasi dari satu negara dengan
negara lain. Di Burundi lebih dari 25% dari pasien TB dengan efusi pleura tuberkulosis,
sementara itu di Afrika Selatan terdapat 20% dari pasien TB dengan efusi pleura tuberkulosis.
Hal ini berbeda jauh dengan kejadian efusi pleura tuberkulosis di Amerika Serikat, dimana hanya
dilaporkan 3-5% pasien TB dengan efusi pleura. Persentase yang lebih rendah di Amerika
Serikat mungkin disebabkan oleh pelaporan yang kurang dari penyakit TB tersebut, karena hasil
kultur cairan pleura pada pasien efusi di Amerika Serikat negatif. Penelitian di Malaysia,
ditemukan efusi pleura TB sebanyak 31,5% krepitasi, 15,7% kolaps.2,3
Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, gejala-gejala yang ditemukan adalah : batuk, sesak
nafas, panas badan, penurunan berat badan, berkeringat malam hari, dan lemah badan.
Berdasarkan kepustakaan, infeksi pleura tuberkulosis biasanya memiliki gejala sakit yang
mendadak. Gejala lain yang timbul adalah batuk > 3 minggu, biasanya yang paling sering tidak
berdahak, dan nyeri dada, keringat malam, anoreksia, Kebanyakan dari pasien menunjukkan
gejala demam, tetapi 15% dari pasien dengan efusi pleura TB mengeluhkan tidak demam.
Pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan dan perasaan mudah lelah.2,9
Prinsip pengobatan TB adalah obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan. Di Indonesia, sejak tahun 1995 menggunakan strategi
DOTS dalam program penanggulangan TB melalui program Penanggulangan Tuberkulosis
(P2TB) nasional yang direkomendasikan oleh WHO. Rekomendasi WHO, dosis esensial lini I
OAT terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z) dan etambutol (E). selain itu
terdapat juga kombinasi dosis tetap (KDT) atau yang dikenal sebagai Fixed Dose Combination.
1
Kombinasi dosis tetap terdiri 3 atau 4 obat dalam 1 tablet yaitu terdiri dari rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg. 4,5,6
2
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki, 71 tahun, sudah menikah, tinggal di Likupang Barat, bekerja sebagai seorang
buruh bangunan, suku Minahasa, masuk rumah sakit tanggal 2 September 2012 dengan keluhan
utama batuk dan sesak nafas sejak 1 bulan yang lalu.
Batuk sejak satu bulan yang lalu, batuk kering namun kadang-kadang berlendir. Lendir encer dan
berwarna putih. Batuk darah tidak ada. Penderita tidak pernah berobat untuk menghilangkan
keluhan ini.
Sesak napas sejak 1 bulan yang lalu. Sesak napas timbul apabila penderita batuk hebat. Sesak
napas pada malam hari tidak ada, dan tidak tergantung posisi dan aktivitas. Nyeri dada saat sesak
tidak ada.
Panas badan sejak 1 bulan yang lalu. Panas naik turun. Panas sumer-sumer pada perabaan
Penderita biasanya panas pada sore hari.. Untuk menurunkan panas, kadang-kadang penderita
minum obat Parasetamol yang dibeli di warung. Beberapa saat setelah minum obat, panas turun
sampai normal pada perabaan. Menggigil sebelum panas tidak ada. Berkeringat banyak sesudah
panas tidak ada. Riwayat keluar darah dari gusi, hidung tidak ada.
Penurunan berat badan dialami penderita sejak 1 bulan yang lalu. Berat badan turun ± 2 kg.
Berkeringat banyak pada malam hari ada. Mual tidak ada, muntah tidak ada, nafsu makan
penderita biasa.
Buang air kecil penderita sering, sedikit-sedikit, terputus-putus dan terasa nyeri. Riwayat kencing
berpasir tidak ada. Warna kencing kuning jernih. Buang air besar penderita biasa.
Riwayat minum obat paket selama 6 bulan tidak ada. Riwayat sakit asam urat ada, sejak 3 tahun
lalu, tidak terkontrol. Riwayat sakit darah tinggi, kencing manis, jantung, dan ginjal tidak ada.
Hanya penderita yang sakit seperti ini di dalam keluarga
Riwayat kontak dengan saudara atau kerabat yang memiliki keluhan seperti ini disangkal.
Riwayat merokok dan minum minuman beralkohol ada, sejak 30 tahun yang lalu, namun
sekarang penderita sudah tidak merokok dan minum minuman beralkohol.
3
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 86 kali/menit, reguler, isi cukup, frekuensi
pernafasan 24 kali/menit, tipe torakoabdominal, suhu 36,90 C (aksila). Berat badan50 kg, tinggi
badan 165 cm, indeks massa tubuh 18,36 (normal).
Kulit warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit tidak ada, tidak sianosis ,
tidak ada scar, keringat dalam batas normal telapak tangan dan kaki tidak pucat, pertumbuhan
rambut normal. Tidak ada pembesaran KGB pada daerah aksila, leher, inguinal dan
submandibula serta tidak ada nyeri pada penekanan.
Bentuk kepala oval, simetris, ekspresi wajah tampak sakit sedang, warna rambut hitam, tidak ada
deformitas pada kepala. Mata tidak eksoftalmus dan endoftalmus, palpebra tidak edema,
konjungtiva palpebra tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil kedua mata bulat isokor, reflek
cahaya normal, pergerakan mata ke segala arah baik. Hidung bagian luar tidak ada kelainan,
septum dan tulang-tulang hidung dalam perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun
perdarahan, pernapasan cuping hidung tidak ada. Telinga tidak ada tophi, tidak ada nyeri tekan
processus mastoideus pendengaran baik. Tonsil tidak ada pembesaran, lidah tidak pucat, gusi
tidak berdarah, faring tidak ada kelainan. Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP
(5+0)cmH20, kaku kuduk tidak ada.
Pada pemeriksaan regio thoraks didapatkan bentuk dada normal. Pada inspeksi paru, tampak
ekspansi simetris statis dan dinamis, stem fremitus paru kiri sama dengan kanan, perkusi sonor
pada semua lapangan paru, suara pernapasan vesikuler, terdapat rhonki di kedua apeks, wheezing
tidak ada. Pada pemeriksaan fisik jantung, iktus kordis tidak terlihat dan tidak teraba, batas
jantung kiri linea mid clavicularis sinistra ICS V, batas jantung kanan linea parasternalis dekstra
ICS III, heart rate 86 kali/menit, bising tidak ada, gallop tidak ada.
Perut tampak datar, palpasi lemas, ada nyeri tekan epigastrium, nyeri tekan suprapubik tidak ada,
nyeri ketok costovertebra angel tidak ada, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor kulit
menurun, pekusi timpani, bising usus normal.
Pada ekstremitas superior et inferior didapatkan eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan
normal, tidak ada nyeri sendi, tidak edema, jaringan parut tidak ada , pigmentasi normal, acral
hangat, jari tabuh tidak ada, turgor kembali cepat. Ada tofi MTP I dekstra et sinistra.
4
Hasil pemeriksaan penunjang pada saat masuk rumah sakit leukosit: 10.200/mm3, Eritrosit:
434.000/mm3, Hemoglobin: 12,1 g/dL, Hematokrit: 33,3%, Trombosit: 197.000/mm3; Malaria
(-), GDS: 124 g/dL, Ureum: 31, Kreatinin:1,0, Natrium:127, Kalium: 3,13, Klorida: 91,3. Hasil
urinalisa, warna kuning jernih; Berat Jenis 1,020, pH 5, Leukosit tidak ada, limfosit tidak ada,
nitrit tidak ada, protein tidak ada, glukosa tidak ada, keton tidak ada, urobilinogen tidak ad,
bilirubin tidak ada, darah tidak ada.
Pada foto thoraks, pada tampak sudut kostofrenikus dektrs tumpul, dan kesan efusi pleura
dekstra minimal, jantung dalam batas normal. Kesan elektrokardiogram : sinus takikardi.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang penderita
didiagnosa kerja dengan Suspek TB. Paru + Efusi Pleura Unilateral ec Suspek TB Paru +
Elektrolit Imbalans (Hiponatremia, hipokalemia) + Suspek obstruksi saluran kemih.
Terapi yang diberikan berupa tirah baring, IVFD Nacl 0,9% 14 gtt/menit, ceftriakson 1gr inj per
IV/12 jam, ambroksol tablet 30 mg per oral/8 jam, KSR tablet per oral/8jam, parasetamol tablet,
500 mg per oral/8 jam (kalau perlu). Rencana pemeriksaan yang akan dilakukan berupa
pemeriksaan sputum BTA dan konsultasi ke bagian bedah.
Prognosis pada penderita dubia et bonam.
Follow Up
Hari perawatan pertama penderita masih mengeluh batuk berlendir, warna putih, sesak masih
ada, namun sudah tidak panas, nyeri berkemih ada. Keadaan umum sedang, tanda vital dalam
batas normal, rhonki terdengar di kedua apeks. Diagnosis tidak ada perubahan, terapi lanjut.
Rencana pemeriksaan darah, elektrolit, ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid besok.
Hari perawatan kedua keluhan penderita sama, keadaan umum sedang, tanda vital dalam batas
normal. Hasil laboratorium: Leukosit: 6400/mm3, eritrosit:3,91x103/ mm3, Hemoglobin:10,5g/dl ,
Hematrokrit: 31,1 103/mm3, Trombosit: 194x 103/mm3 , protein total : 5,8 g/dl , GDS :
107mg/dl , Creatinin darah:0,9 mg/dl, Ureum darah: 37 mg/dl, as.Urat: 6,2mg/dl, albumin:
2,5g/dl, globulin3,3gr/dl, SGOT: 17 U/l, SGPT:18 U/l, total kolestrol: 74 mg/dl, HDL:8 mg/dl,
LDL : 52mg/dl, trigliserida: 72 mg/dl, Na:143 mmol/l, K:3,15mmol/dl, Cl:100,0mmol/l. Hasil
pemeriksaan sputum BTA : +/+/+. Diagnosis :Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Efusi Pleura
Dextra + suspek obstruksi saluran kemih. Terapi sama dengan hari sebelumnya. Rencana besok
mulai edukasi dan pemberian obat anti tuberkulosis.
5
Hari perawatan ketiga, penderita mengeluh batuk, sudah tidak sesak, nyeri berkemih masih ada.
Keadaan umum :tampak sakit sedang, tanda vital dalam batas normal. Rhonki terdengar dikedua
apkes. Diagnosis :tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Efusi Pleura Dextra + Suspek obstruksi
saluran kemih. Terapi :edukasi pengobatan tuberculosis, IVFD NaCl 0,9% 14 gtt/menit
Ceftriaxon 1 gram per IV/12 jam dihentikan, dan dimulai pemberian obat Anti Tuberkulosis
(Rifampisin 450 mg 1-0-0; INH 300 mg 1-0-0; Vit B6 mg 1-0-0; Etambutol 500 mg 2-0-0;
Pirazinamid 500 mg 0-0-2) per oral, ranitidin inj per IV/12 jam, paracetamol Tablet 500 mg per
oral/8 jam (kp), ambroksol Tablet 30 mg per oral/8 jam, KSR 3x1 tablet dihentikan.
Hari perawatan keempat, penderita sudah tidak ada keluhan. Keadaan umum tampak cukup,
tanda vital dalam batas normal, rhonki terdengar di kedua apeks. Diagnosis sama dengan hari
kemarin. Terapi : IVFD Nacl 0,9% dihentikan, OAT Tuberkulosis (Rifampisin 450 mg 1-0-0;
INH 300 mg 1-0-0; Vit B6 mg 1-0-0; Etambutol 500 mg 0-2-0; Pirazinamid 500 mg 0-0-2) per
oral, paracetamol 3x500 mg tablet, ambroksol 3x1 tablet, Rencana penderita boleh rawat jalan
besok.
Hari perawatan kelima, penderita tidak ada keluhan. Keadaan umum baik, tanda vital dalam
batas normal. Diagnosis dan terapi sama dengan hari sebelumnya. Penderita boleh rawat jalan,
dan diberikan edukasi untuk patuh minum obat dan minggu depan kontrol ke poliklinik interna.
6
PEMBAHASAN
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi saluran napas bagian bawah yang
disebabkan oleh bakteri tuberculosis/TB (Mycobacterium Tuberculosis) tipe humanus dengan
ciri khas membentuk granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Efusi pleura adalah penimbunan
cairan didalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan
pleura. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu
penyakit. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah tuberkulosis, infeksi
paru nontuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah ada, infark
paru, serta gagal jantung kongestif. 7
Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, gejala-gejala yang ditemukan adalah : batuk, sesak
nafas, panas badan, penurunan berat badan, berkeringat malam hari, dan lemah badan.
Berdasarkan kepustakaan, infeksi pleura tuberkulosis biasanya memiliki gejala sakit yang
mendadak. Gejala lain yang timbul adalah batuk > 3 minggu, biasanya yang paling sering tidak
berdahak, dan nyeri dada, keringat malam, anoreksia, Kebanyakan dari pasien menunjukkan
gejala demam, tetapi 15% dari pasien dengan efusi pleura TB mengeluhkan tidak demam.
Pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan dan perasaan mudah lelah.2,9
Hasil pemeriksaan fisik yang menunjang diagnosis pada pasien adalah rata-rata pernapasan
yang cepat pada hari perawatan pertama, kedua, dan ketiga dan pada auskultasi terdengar bunyi
nafas tambahan berupa rhonki pada kedua paru di bagian apeks. Berdasarkan kepustakaan pada
pemeriksaan fisik pada TB paru dengan efusi pleura, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak atau sulit sekali
menemukan kelainan.2,9 Pada pemeriksaan penunjang, hasil yang menunjang adalah kesan efusi
pleura dekstra pada foto thoraks dan test BTA (+) pada pemeriksaan sputum.
Berdasarkan kepustakaan, Pemeriksaan radiologi mempunyai nilai yang tinggi dalam
menegakkan diagnosis efusi pleura. Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan
membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada
bagian medial. Pada foto toraks terlihat perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung
atau datar, dan sudut kostofrenikus yang tumpul; cairan dengan jumlah yang sedikit hanya akan
7
memberikan gambaran berupa penumpulan sudut kostofrenikus. Cairan berjumlah kurang dari
100 ml tidak akan terlihat pada foto toraks yang dibuat dengan teknik biasa. Bayangan homogen
baru dapat terlihat jelas apabila cairan efusi lebih dari 300 ml.10
Rongga pleura dalam keadaan normal berisi cairan sekitar 10-20 mL yang berfungsi dalam
proses pernafasan. Efusi pleura merupakan akumulasi cairan yang melebihi volume normal yang
dapat menimbulkan gangguan, memberikan gejala klinis dan terdeteksi pada pemeriksaan klinis
dan radiologis. Akumulasi cairan pleura yang melebihi normal dapat disebabkan oleh produksi
berlebihan atau disebabkan oleh penurunan resorbsi oleh berbagai sebab di pleura, paru, maupun
penyebab lain.7
Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura disebabkan oleh :
1. Kenaikan tekanan hidrostatik
2. Penurunan tekanan koloid osmotik.
3. Peningkatan permeabilitas kapiler
4. Penurunan aliran limfe pada rongga pleura.
Efusi Pleura TB bisa terjadi tanpa gambaran radiologis yang nyata, hal ini mungkin
disebabkan oleh infeksi primer yang terjadi 6-12 minggu sebelumnya atau merupakan suatu
reaktivasi TB. Patogenesis dari efusi pleura TB diperkirakan berhubungan dengan pecahnya
fokus kaseosa subpleural di organ paru ke cavum pleura. Efusi pleura erat kaitannya dengan
reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas tersebut dimulai ketika protein dari
M .tuberculosis memasuki cavum pleura dan berintegrasi dengan sel T. Pemaparan ulang sel T
pada kompleks MHC kelas II yang dipresentasikan oleh APC, merangsang sel T CD4+ untuk
melakukan transformasi blast disertai pembentukan DNA dan proliferasi sel. Sebagian dari
populasi limfosit yang teraktivasi mengeluarkan berbagai mediator yang menarik makrofag.
Gambaran histologi yang tampak pada awal reaksi adalah akumulasi makrofag di daerah
perivaskular dalam waktu 12-72 jam, kemudian disusul oleh eksudasi sel mononuklear (MN) dan
polimorfonuklear (PMN). Makarofag merupakan Antigen Precenting Cell (APC) utama yang
berperan pada reaksi tersebut, walaupun ada juga sel-sel CD1+ yang membuktikan adanya
keterlibatan sel langerhans dalam reaksi ini. Sel-sel PMN segera meninggalkan tempat tersebut,
tetapi sel-sel MN tetap berada di tempat dan membentuk infiltrat yang sebagian besar terdiri atas
limfosit, monosit dan makrofag. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya eksudasi dan
meningkatnya permeabilitas membran sehingga terjadi akumulasi cairan pada cavum pleura.2
8
Penatalaksanaan efusi pleura tergantung dari kelainan patologi yang mendasarinya. Bila
jumlah cairannya sedikit, maka dilakukan pengobatan terhadap penyebab efusi pleura. Bila
jumlah cairannya banyak, perlu dilakukan drainase melalui torakosentesis.9 Fase inisial pasien
dengan efusi pleura TB primer adalah dengan memberikan regimen 6 bulan dimana, 2 bulan
pertama diberilkan isoniazid (INH), Rifampicin dan Pyrazinamid (Z). Fase kedua adalah dengan
memberikan INH dan rifampicin selama 4 bulan. Pengobatan yang direkomendasikan adalah
Directly Observed Treatment. Regimen selama 9 bulan dengan menggunakan INH dan
rifampisin juga efektif ketika mikroorganisme peka terhadap obat.2 Berdasarkan pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia, Pasien diberikan terapi anti
tuberkulosa sebagai berikut : Rifampisin 450 mg 1-0-0; INH 300 mg 1-0-0; Vit B6 mg 1-0-0;
Etambutol 500 mg 0-2-0; Pirazinamid 500 mg 0-0-2. Pengobatan ini diberikan selama 2 bulan
(fase intesif) dan akan dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4 bulan.
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Obat Dosis
(mg/Kg
BB/Hari)
Dosis yang
Dianjurkan
Dosis
Maks
(mg)
Dosis (mg)/BB (kg)
Harian
(mg/KgBB/
Hari
Intermitten
(mg/kgBB/
Kali
<40 40-
60
>60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai
BB
750 1000
International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease (IUALTD)
Tabel 2. Dosis Obat Antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap
9
Fase intensif
(2 bulan)
Fase lanjutan
(4 bulan)
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
(RHZE)
150/75/400/275
(RHZ)
150/75/400
(RHZ)
150/150/500
(RH)
150/75
(RH)
150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5
Tabel 3. Efek samping OAT pada orang dewasa
Obat-obatan Efek Samping Utama
1. Isoniazid Hepatitis (meningakt dengan umur, kelainan
fungsi hati, pecandu alkohol)
Neuropati perifer (hati-hati pada kasus DM,
uremia, malnutrisi)
2. Rifampisin Gangguan saluran cerna
Hepatitis
Interaksi obat
Rash
Gejala seperti flu
Kelainan darah
3. Pirazinamid Hepatitis
Rash
Nyeri sendi
Hiperurisemia
Gangguan saluran cerna
4. Etambutol Optic neuritis
5. Streptomisin (p.e) Ototoksik (hidari pada kasus >60 tahun)
Gangguan fungsi ginjal
6. Ciprofloksasin Gangguan saluran cerna
10
7. Ofloksasin Gangguan saluran cerna
Gangguan tidur, sakit kepala
8. Kanamisin Seperti streptomisin
Setelah hari perawatan ke-5, pasien diperbolehkan rawat jalan. Pasien diberikan edukasi
untuk kontrol kembali ke poliklinik penyakit dalam untuk evaluasi pengobatan, yaitu evaluasi
klinis. Evaluasi klinis dilakukan secara periodik, meliputi evaluasi terhadap respons pengobatan
dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
11
1. Price, Sylvia A. Dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta: EGC
2. Abrahamiam FM. Pleural Effusion. 2008. Available at : http://www.emedicine.com. Accessed
June 19, 2012
3. Soe Z, Shwe W, Moe S. 2011. A study on tuberculosis pleural effusion. Available at:
http://www.iomcworld.com/ijcrimph/pdf. accessed at: September 19 2012.
4. Aditama TY, Soepandi PZ, Syafrizal, Yusuf A. 2004. Penilaian keberhasilan Directly
Observed Therapy (DOTS) pada pengobatan TB paru di RS Persahabatan. J Respir Indo.
Jakarta
5. Dapartemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
6. Tirtana BT. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada pasien
tuberkulosis paru dengan resistensi obat tuberkulosis di wilayah Jawa Tengah. Semarang
7. Halim, Hadi. 2007. Penyaki-Penyakit Pleura dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II,
Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
8. Kresno SB. 2001. Reaksi hepersensitivitas tipe lambat. Dalam : Imunologi : Diagnosis dan
prosedur laboratorium. Edisi 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Isbaniyah F, et al. 2011. Pedoman diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
10. Kisworo B. Efusi Pleura Keganasan. Available at: http://www.kalbe.co.id. Accessed at
October 01, 2012
LAMPIRAN
12
Gambar 1. Foto Thoraks Penderita Saat Masuk Rumah Sakit(02 September 2012)
13