51
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permukiman Kumuh 2.1.1 Pengertian Permukiman Kumuh Kota pada awalnya berupa permukiman dengan skala kecil, kemudian mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi, dan budaya serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Namun yang terjadi dengan kota-kota di indonesia adalah bahwa pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana kota dan peningkatan pelayanan perkotaan. Bahkan yang terjadi justru sebagai kawasan perkotaan mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi menciptakan permukiman kumuh. sebagian penghuni kota berprinsip sebagai alat mencari penghasilan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian prisip mereka harus hemat dalam arti yang luas, yaitu hemat mendapatkan lahan, pembiayaan pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan, termasuk dalam mendapatkan bahan dan sisitem strukturnya (Sobirin, 2001:41). Akibatnya, muncul permukiman kumuh di beberapa wilayah kota yang merupakan hal yang tidak dapat dihindari, yaitu tidak direncanakan oleh pemerintah tetapi tumbuh sebagai proses alamiah.Dalam berbagai literatur dapat dilihat berbagai kriteria dalam menentukan kekumuhan atau tidaknya suatu kawasan permukiman. Menurut studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitektur, Institut Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

rumah kumuh

  • Upload
    asty

  • View
    99

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

rumah kumuh

Citation preview

Page 1: rumah kumuh

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Permukiman Kumuh

2.1.1 Pengertian Permukiman Kumuh

Kota pada awalnya berupa permukiman dengan skala kecil, kemudian

mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk, perubahan

sosial ekonomi, dan budaya serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah

sekitarnya. Namun yang terjadi dengan kota-kota di indonesia adalah bahwa

pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana

kota dan peningkatan pelayanan perkotaan. Bahkan yang terjadi justru sebagai

kawasan perkotaan mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi menciptakan

permukiman kumuh. sebagian penghuni kota berprinsip sebagai alat mencari

penghasilan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian prisip mereka harus hemat

dalam arti yang luas, yaitu hemat mendapatkan lahan, pembiayaan pembangunan,

pengoperasian dan pemeliharaan, termasuk dalam mendapatkan bahan dan sisitem

strukturnya (Sobirin, 2001:41).

Akibatnya, muncul permukiman kumuh di beberapa wilayah kota yang

merupakan hal yang tidak dapat dihindari, yaitu tidak direncanakan oleh pemerintah

tetapi tumbuh sebagai proses alamiah.Dalam berbagai literatur dapat dilihat berbagai

kriteria dalam menentukan kekumuhan atau tidaknya suatu kawasan permukiman.

Menurut studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitektur, Institut

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 2: rumah kumuh

Teknologi Sepuluh November, Surabaya (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999 :8-9),

untuk menentukan kekumuhan suatu kawasan, dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu :

1. Kondisi bangunan atau rumah,

2. Ketersediaan prasarana dasar dan lingkungan,

3. Kerentanan status penduduk, dan

4. Berdasarkan aspek pendudukung, seperti tidak tersedianya lapangan kerja

yang memadai, kurangnya tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan sosial

dan dapat dikatakan hampir tidak ada fasilitas yang dibangun secara bersama

swadaya maupun non swadaya oleh masyarakat. Berdasarkan kriteria tersebut

maka studi tersebut menentukan tiga skala permukiman kumuh, yaitu tidak

kumuh, kumuh dan sangat kumuh.

Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan

Arsitek tersebut, Laboratorium Permukiman, Jurusan Arsitektur ITS, Surabaya

(Rudiyantono, 2000:8), hanya menentukan dua standart permukiman kumuh, yaitu :

1. Ditinjau dari keadaan kondisi rumahnya, yang antara lain dilihat dari stuktur

rumahnya, pemisahan fungsi ruang, kepadatan hunian/rumah dan bangunan

dan tatanan bangunan.

2. Ditinjau dari ketersediaan prasarana dasar lingkungan, seperti pada air bersih,

sanitasi, ketersediaan fasilitas tempat ibadah, pendidikan, kesehatan, dan

sarana ekonomi, ada tidaknya ruang terbuka di luar perumahan. Studi ini tidak

mempertimbangkan kriteria non fisik seperti kerentanan status penduduk

untuk melihat tingkat tingkat kekumuhan permukiman.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 3: rumah kumuh

Johan Silas, seorang pakar dalam bidang arsitektur dan permukiman kumuh

(Titisari dan Farid Kurniawan, 1999:8), menjelaskan bahwasanya kriteria pokok

untuk menentukan permukiman kumuh/marjinal adalah: bila berada di lokasi yang

ilegal, dengan keadaan fisiknya yang sub standrat; penghasilan penghuni amat rendah

(miskin), tak dapat dilayani berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya

oleh publik (kecuali yang berkepentingan). Berdasarkan kriteria Silas tersebut, aspek

legalitas juga merupakan kriteria yang harus dipertimbangkan untuk menentukan

kekumuhan suatu wilayah selain buruknya kondisi kualitas lingkungan yang ada

Permukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya permukiman

berasal dari kata housing dalam bahasa inggris yang artinya adalah perumahan dan

kata human settlement yang artinya adalah permukiman. Perumahan memberikan

kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan.

Perumahan menitikberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu house dan land

settlement. Permukiman memberikan kesan tentang pemukiman atau kumpulan

pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman

menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia

(human). Dengan demikian perumahan dan permukiman merupakan dua hal yang

tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya saling

melengkapi (Kurniasih,2007).

Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah

laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 4: rumah kumuh

kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas

yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan (Kurniasih,2007).

Menurut UU No. 4 pasal 22 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman,

dimana permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni antara lain

karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkan atau tata ruang,

kepadatan bangunan yang sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan

penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak

terlayani prasarana lingkungan yang memadai, membahayakan keberlangsungan

kehidupan dan penghuninya.

Masrun (2009) memaparkan bahwa permukiman kumuh mengacu pada aspek

lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu

lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk

baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin

dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan

bahwa para penghuninya benar-benar dalam lingkungan yang sangat

membahanyakan kehidupannya. Pada umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-

ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi

sarana dan prasarana dasar, seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik,

fasilitas pendidikan, ruang terbuka / rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan

perbelanjaan.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 5: rumah kumuh

Khomarudin (1997) lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan

sebagai berikut :

1. Lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per Ha),

2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah,

3. Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah standar,

4. Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan,

5. Hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diatur

perundang undangan yang berlaku.

Gambaran lingkungan kumuh, (Khomarudin,1997) adalah sebagai berikut :

1. Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya

berdesakan,

2. Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni,

3. Rumah hanya sekedar tempat untuk berlindung dari panas dan hujan,

4. Hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah bukan milik penghuni,

5. Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan,

6. Prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan),

7. Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan),

8. Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non-formal,

9. Pendidikan masyarakat rendah.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 6: rumah kumuh

Menurut Sinulingga (2005) ciri-ciri kampung/permukiman kumuh terdiri dari :

1. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan

menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80

jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang

dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan

perlindungan terhadap penyakit.

2. Jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya,

kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang

sudah bersinggungan satu sama lain.

3. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-

jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan

tergenang oleh air.

4. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya

yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah.

5. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur

dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.

6. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umunya

tidak permanen dan malahan banyak sangat darurat.

7. Pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih

merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 7: rumah kumuh

Menurut UNCHS ( 1982; dalam Sochi, 1993) ciri – ciri permukiman kumuh ini

antara lain :

1. Sebagian besar terdiri atas rumah tua (rusak) pada bagian lama suatu kota (

semula didirikan dengan ijin),

2. Sebagian besar penghuninya merupakan penyewa,

3. Di beberapa tempat ada rumah bertingkat pemilik yang sekaligus

menyewakan beberapa rumah kumuh,

4. Kepadatan rumahnya tinggi,

5. Ada yang berasal dari proyek perumahan yang kurang terpelihara, dan

6. Ada yang dibangun oleh sektor informal, dengan sewa murah untuk

menampung migran ekonomi lemah yang datang dari desa.

Permukiman kumuh dipilah atas tiga macam berdasarkan asal atau proses

terjadinya, yaitu (Sutanto, 1995):

A. Kumuh bangunan (created), daerah hunian masyarakat ekonomi lemah

dengan ciri fisik :

1. Bangunan mudah dipindah,

2. Dibangun dengan bahan seadanya,

3. Sebagian besar dibangun sendiri oleh penghuni (kumuh sejak awal).

B. Kumuh turunan (generated);

1. Rumah – rumah yang semula dibanguan dengan ijin, pada bagian kota yang

lama, kondisinya semakin memburuk sehingga menjadi rumah kumuh,

2. Desa lama yang terkepung oleh pemekaran kota yang cepat,

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 8: rumah kumuh

3. Banguan dan prasarana merosot oleh kurangnya pemeliharaan.

C. Kumuh dalam proyek perumahan (in project housing);

1. Kelompok proyek perumahan yang disediakan oleh badan pemerintah bagi

masyarakat ekonomi lemah,

2. Rumah – rumah diperluas sendiri oleh penghuni dengan pemeliharaan sangat

jelek yang mengakibatkan kemerosotan jasa prasarana.

2.1.2 Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh

Menurut Khomarudin, 1997 penyebab utama tumbuhnya permukiman kumuh

adalah sebagai berikut :

1. Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat

berpenghasilan rendah,

2. Sulit mencari pekerjaan,

3. Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,

4. Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,

5. Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta

disiplin warga yang rendah,

6. Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.

Menurut Arawinda Nawagamuwa dan Nils Viking (2003:3-5) penyebab

adanya permukiman kumuh adalah:

1. Karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak

terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat,

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 9: rumah kumuh

2. Karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan

tidak tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang

tinggi, sarana prasarana yang tidak terencana dengan baik.

Menurut mereka keadaan kumuh tersebut dapat mencerminkan keadaan ekonomi,

sosial, budaya para penghuni permukiman tersebut. Adapun ciri-ciri kawasan

permukiman kumuh dapat tercermin dari :

1. Penampilan fisik bangunannya yang makin kontruksi, yaitu banyaknya

bangunan-bangunan temporer yang berdiri serta nampak tak terurus maupun

tanpa perawatan,

2. Pendapatan yang rendah mencerminkan status ekonomi mereka, biasanya

masyarakat kawasan kumuh berpenghasilan rendah,

3. Kepadatan bangunan yang tinggi, dapat terlihat tidak adanya jarak antara

bangunan maupun siteplan yang tidak terencana,

4. Kepadatan penduduk yang tinggi dan masyarakatnya yang heterogen,

5. Sistem sanitasi yang miskin atau tidak dalam kondisi yang baik,

6. Kondisi sosial yang tidak dapat baik dilihat dengan banyaknya tindakan

kejahatan maupun kriminal,

7. Banyaknya masyarakat pendatang yang bertempat tinggal dengan menyewah

rumah.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 10: rumah kumuh

2.1.3 Karakteristik Permukiman Kumuh

Karakteristik permukiman kumuh, (Silas,1996) adalah sebagai berikut :

1. Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata

6 m²/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani

karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman

yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.

2. Permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat

mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas

keterjangkauan) baik membeli atau menyewa.

3. Manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga

murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi.

2.1.4 Faktor Penyebab Pertumbuhan Permukiman Kumuh

Dalam perkembangannya pertumbuhan permukiman kumuh ini dapat disebabkan

oleh beberapa faktor. Menurut Constantinos A.Doxiadis (1968), disebutkan bahwa

pertumbuhan permukiman kumuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

- Growth of density (pertambahan penduduk)

Dengan adanya pertambahan jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan

adanya pertambahan jumlah keluarga, maka akan membawa masalah baru.

Secara manusiawi mereka ingin menempati rumah milik mereka sendiri.

Dengan demikian semakin bertambahlah jumlah hunian yang ada di kawasan

permukiman tersebut yang menyebabkan pertumbuhan perumahan

permukiman.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 11: rumah kumuh

- Urbanization (Urbanisasi)

Dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan menyebabkan arus migrasi

desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota. Kaum urbanisasi yang

bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang membuka usaha di pusat kota,

tentu saja memiliki untuk tinggal di permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini

juga akan menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan

pusat kota.

2.2 Urbanisasi

2.2.1 Pengertian

Pengertian urbanisasi ini sangatlah sulit untuk mendefinisikannya. Yaitu harus

dengan pertimbangan-pertimbangan karena sangat multisektoral dan kompleks.

Menurut Bintarto (1983:9-10) pengertiannya dapat dilihat dari beberapa sektor,

misalnya :

1. Dari segi Demografi, urbanisasi ini dilihat sebagai suatu proses yang

ditunjukkan melalui perubahan penyebaran penduduk dan perubahan dalam

jumlah penduduk dalam satu wilayah.

2. Dari segi ekonomi, urbanisasi ini dilihat dari perubahan struktural dalam

sektor mata pencaharian. Ini dapat dilihat pada banyaknya penduduk desa

yang meninggalkan pekerjaan di bidang pertanian beralih bekerja menjadi

buruh atau pekerja yang sifatnya non-agraris di kota.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 12: rumah kumuh

3. Dari sudut pandang seseorang ilmuwan perilaku (behavioral scientist)

urbanisasi dilihat dari segi pentingnya atau sejauh mana manusia itu dapat

menyesuaikan diri terhadap situasi yang berubah-ubah baik yang disebabkan

oleh kemajuan teknologi maupun dengan adanya perkembangan baru dalam

kehidupan.

2.2.2 Perkembangan Kota dan Urbanisasi

Secara teoritis pembangunan berarti menciptakan perbaikan dan meningkatkan

kualitas, baik infrastruktur fisik maupun kehidupan sosial. Namun dalam proses dan

implementasinya, pembangunan di perkotaan seringkali melahirkan dampak ikutan

baru yang menimbulkan problema, antara lain masalah migrasi terutama urbanisasi.

Ada beberapa pendapat mengenai penyebab migrasi khususnya urbanisasi. Organisasi

Buruh Sedunia (ILO) berpendapat bahwa kota memberi kesempatan kerja lebih

banyak daripada desa (Darrundono, 2007). Keputusan bermigrasi merupakan suatu

respon terhadap harapan tentang penghasilan yang lebih baik, yang akan diperoleh di

tempat tujuan (kota) dibandingkan dengan yang diterima di tempat asal yakni desa

(Todaro dan Smith, 2004).

Lebih lanjut, Douglass dalam Darrundono (2007) berpendapat bahwa perbedaan

yang mencolok antara upah buruh di desa dengan di kota merupakan salah satu

penyebab mengalirnya penduduk pedesaan ke kota. Sedangkan De Soto dalam

Darrundono (2007) menyatakan bahwa tidak menjadi soal benar atau salah, penduduk

membuat keputusan untuk bermigrasi karena mereka yakin bahwa migrasi akan

memberi manfaat pada mereka.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 13: rumah kumuh

Menurut Anharudin (2004), migrasi merupakan salah satu yang mewarnai

dinamika kependudukan dan berdasarkan arah persebarannya proses migrasi dapat

terjadi secara terpaksa, spontan dan terencana. Mobilitas penduduk karena terpaksa

(migran terpaksa) terjadi karena beberapa faktor, antara lain akibat bencana alam dan

atau tragedi sosial seperti konflik bersenjata atau akibat dari situasi-situasi rawan

lainnya. Sedangkan mobilitas penduduk secara spontan (migran spontan) terjadi

secara alamiah atas inisiatif pelakunya dengan dorongan (motif) perbaikan ekonomi,

namun apabila terjadi secara tidak terkendali dapat menimbulkan masalah-masalah

baru seperti okupasi (pendudukan) lahan yang melahirkan permukiman liar (tidak

sesuai dengan peruntukannya).

Reverstain, pelopor teori migrasi (Sinulingga, 2005) mengatakan bahwa migrasi

terdiri dari dua jenis, yaitu migrasi permanen dan migrasi sementara. Migrasi

permanen adalah perpindahan penduduk yang berakhir pada menetapnya migran pada

tempat tujuannya, sedangkan migrasi non permanen/sementara adalah perpindahan

penduduk yang tidak menetap pada tempat tujuan migran, tetapi kembali ke tempat

asal atau berpindah ke lain tempat. Migran non-permanen hanya tinggal untuk

sementara waktu di kota (bisa dalam hitungan minggu atau bulan) tetapi datang dan

pergi dalam jangka waktu tertentu. Karena sifatnya yang sementara dan masih

berorientasi ke desa/daerah asalnya (dalam arti pendapatan yang diperoleh di kota

dibawa pulang ke desa), pada umumnya migran non-permanen kurang

memperhatikan kondisi lingkungan tempat tinggalnya selama berada di kota (Haning

dan Mita, 2005).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 14: rumah kumuh

Bilsborrow dalam Sinulingga (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor

kontekstual atau kemasyarakatan perlu diperhitungkan dalam menjelaskan fenomena

niat bermigrasi. Faktor-faktor tersebut meliputi karakteristik daerah asal dan tujuan,

kesempatan kerja, tingkat upah, tanah dan sistem pemilikannya, ikatan keluarga,

sistem warisan, jaringan transportasi dan komunikasi, akses terhadap berbagai

fasilitas dan pelayanan, faktor iklim, program pemerintah, dan lain-lain.

Tekanan arus urbanisasi yang melonjak begitu cepat menimbulkan akibat

terhadap pengaturan tata ruang kota, yang pada umumnya kurang menguntungkan

kelompok masyarakat miskin. Pola pengembangan kota yang konsentrik dan

memusat, bukan hanya menyebabkan kelompok masyarakat miskin makin terdesak

ke daerah pinggiran kota, tetapi seringkali mereka juga harus berpuas diri dengan

minimnya berbagai fasilitas publik, jauh berbeda dengan warga kota yang

ekonominya lebih maju. Luas tanah yang terbatas di perkotaan umumnya dikuasai

oleh orang kaya dan pemerintah kota setempat.

Salah satu yang merupakan masalah terbesar kota-kota di Negara Dunia Ketiga

saat ini adalah peruntukan ruang untuk permukiman kelompok masyarakat miskin,

dimana kesempatan kelompok ini untuk memperoleh akses tanah di perkotaan makin

terbatas bahkan nyaris tidak ada. Kemampuan penyediaan perumahan secara formal

(seperti real estate, perumahan swasta/pemerintah) hanya menyentuh golongan

menegah ke atas, sedangkan golongan berpendapatan rendah belum tersentuh dan

dibiarkan mencari jalan keluar sendiri. Menurut penelitian Dinas Perumahan DKI,

karya perancang dan arsitek diperuntukkan bagi golongan menengah dan tinggi,

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 15: rumah kumuh

orang miskin dibiarkan memikirkan nasib mereka sendiri (Darrundono, 2007). Oleh

karena rumah merupakan kebutuhan utama, maka pilihan kelompok masyarakat

miskin perkotaan adalah melakukan penyerobotan tanah untuk membangun tempat

tinggal di tanah-tanah kosong milik pemerintah atau swasta tanpa status yang jelas,

yang diistilahkan sebagai permukiman liar.

2.2.3 Faktor Yang Mendorong Proses Urbanisasi

Adapun faktor-faktor pendorong urbanisasi menurut Hammond (1979:70)

umunya berjumlah delapan dengan urutan sebagai berikut :

1. Kemajuan dalam bidang pertanian. Adanya mekanisme di bidang pertanian

yang mendorong dual hal: tersedotnya sebagian tenaga kerja agraris ke kota

untuk menjadi buruh industri, bertambahnya hasil pertanian untuk menjamin

kebutuhan penduduk yang hidupnya dari pertanian.

2. Industrialisasi, karena industri-industri tergantung kepada bahan mentah dan

sumber tenaga, maka pabrik-pabrik didirikan di lokasi sekitar bahan mentah

demi murahnya pengolahan.

3. Potensi pasaran, dengan berkembangnya industri ringan melahirkan kota-kota

yang menawarkan diri sebagai pasaran hasil diteruskan kepada kawasan

pedesaan. Kota-kota perdagangan tersebut lalu menarik pekerja-pekerja baru

dari pedesaan dan dengan begitu kota bertambah besar.

4. Peningkatan kegiatan pelayanan, dimana industri tersier dan kuarter tumbuh

dan meningkatkan perdagangan, taraf hidup dan memacu munculnya

organisasi ekonomi dan sosial.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 16: rumah kumuh

5. Kemajuan transportasi, bersama kemajuan komunikasi ini didorong majunya

mobilitas penduduk, khususnya dari pedesaan ke kota-kota di dekatnya.

6. Tarikan sosial dan kultural, dimana di kota banyak hal yang menarik dalam

hal hiburan.

7. Kemajuan pendidikan, tak hanya sekolah-sekolah yang menarik kaum muda

untuk pindah ke kota, juga media massa yang menyadarkan masyarakat akan

pentingnya pendididkan sebagai sarana untuk sukses dalam usaha.

8. Pertumbuhan penduduk alami, disamping penduduk kota bertambah oleh

masuknya urbanisasi, angka kelahiran di kota lebih tinggi dibanding di desa,

ini akibat kemajuan di bidang kesehatan.

2.2.4 Dampak Proses Urbanisasi

Kecepatan urbanisasi merupakan akibat dari lajunya pembangunan kota dan

sekitarnya anatra lain perluasan daerah industri maupun perdagangan di kota,

sehingga kesempatan kerja pun meningkat dan menarik tenaga kerja dari daerah di

sekitar kota tersebut. Menurut Bintarto (1983:35) jika diinventarisasi masalah-

masalah tersebut adalah :

1. Urbanisasi ini menyebabkan beberapa masalah dan problema-problema bagi

kota-kota yang jumlahnya tidak sedikit.

2. Kepadatan penduduk kota menimbulkan masalah kesehatan lingkungan,

masalah perumahan,

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 17: rumah kumuh

3. Pertambahan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesempatan dan

mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai, masalah pengangguran dan

gelandangan,

4. Penyempitan ruang dengan segala akibat negatifnya di kota karena banyaknya

orang, bertambahnya bangunan untuk perumahan, perkantoran, kegiatan

industri dan bertambahnya kendaraan bermotor yang terus membanjiri kota-

kota di negara berkembang,

5. Masalah lalu lintas, kemacetan jalan dan masalah parkir yang menghambat

kelancaran kota,

6. Industrialisasi di kota yang menimbulkan polusi udara, polusi air dan polusi

kebisingan.

Urbanisasi juga membawa dampak terhadap berbagai sektor kehidupan menurut

Bintarto (1983:36-37) dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Dalam sektor ekonomi, strutur ekonomi menjadi lebih bervariasa dari yang

bermodal kecil hingga besar.

2. Perkembangan dibidang pariwisata juga nampak meluas,

3. Dalam bidang pendidikan makin banyak diusahakan adanya pendidikan

kejuruan atau adanya program non gelar yang biasa dicapai dalam waktu yang

singkat tetapi sudah dapat mendatangkan penghasilan.

4. Selain itu juga adanya perluasan fisik kota kearah pinggiran kota yang

menimbulkan masalah baru mengenai batas administratif pertahanan dan

pemerintahan.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 18: rumah kumuh

5. Harga tenaga baik di kota maupun di daerah tepian kota cenderung naik.

6. Perubahan tata guna lahan menjadi masalah yang juga patut diperhatikan.

Banyak daerah hijau (green belts) telah menjai daerah industri atau daerah

permukiman. Hal ini akan menyebabkan adanya pencemaran udara, tanah

maupun air.

2.3 Permukiman Kumuh dan Liar

Secara umum, ada 2 (dua) faktor yang bertindak sebagai kekuatan pembangkit

dan menentukan kualitas serta ukuran sebuah permukiman termasuk permukiman

kumuh dan liar (Srinivas, 2007), yaitu :

1. Faktor Internal (Alami), berkaitan dengan kekuatan dan tekanan yang

disebabkan dari dalam permukiman dan dari pemukim itu sendiri seperti:

Agama/Etnik, Tempat/Lokasi Kerja, Tempat Asal, Bahasa, Lama Menetap di

permukiman, Modal dalam Perumahan (buruh, material lokal yang tersedia,

dll), Aktivitas Pembangunan atau Kehadiran penyewa.

2. Faktor Eksternal (yang disebabkan), dapat berasal dari luar permukiman

seperti Pemilik lahan, Keamanan tetap, Kebijakan Pemerintah kota atau Lama

menetap di kota.

Kedua faktor tersebut berperan bersama-sama dalam pertumbuhan permukiman

kumuh dan liar, melalui rangkaian tahap pembangunan yang menyatu. Tahap-tahap

ini menentukan hasil akhir, dalam pengertian bahwa dapat berupa sebuah rangkaian

kesatuan dengan satu tahap/proses yang tumpang tindih, atau sebagai tahap yang

berjalan paralel. Efek yang ditimbulkan dari tahap-tahap ini bersifat kumulatif dan

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 19: rumah kumuh

tidak berdiri sendiri. Di negara-negara di dunia, definisi dari permukiman kumuh dan

liar (slum and squatter settlement) memiliki variasi yang luas bergantung pada

keberagaman parameternya.

Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak memenuhi standar suatu

permukiman pada umumnya. Permukiman kumuh bukan hanya terdapat di daerah

pinggiran kota, tetapi dapat juga berada di tengah kota (yang disebut dengan

kampung kota). Permukiman kumuh ini disebut sebagai permukiman liar (illegal)

apabila berada di bangunan-bangunan atau tanah-tanah milik negara yang bukan

untuk permukiman seperti di pinggiran sungai, di bantaran rel kereta api, di bawah

jalan layang, di taman-taman kota dan lahan terbuka hijau lainnya.

Apabila ditinjau dari segi sosial dan ekonomi, permukiman kumuh memiliki ciri-

ciri khas (Suparlan, 2007) sebagai berikut :

1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.

2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruang-ruangnya

mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.

3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam

pengunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga

mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan

ekonomi penghuninya.

4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup

secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu

terwujud sebagai:

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 20: rumah kumuh

a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat

digolongkan sebagai hunian liar.

b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau RW.

c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW

atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar.

5. Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen.

Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat pendapatan yang

beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat permukiman

kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan

ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut. Sebagian besar penghuni

permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau

mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal.

Sedangkan permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu kawasan

permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik swasta

ataupun pemerintah tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari penguasa

yang membangun, didiami oleh orang yang sangat miskin yang tidak mempunyai

akses terhadap pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar sesungguhnya dimulai

sejak masa pembangunan yang diprakarsai negara Barat, sekitar kehadiran tulisan

Charles Abrams dan John Turner, terutama sekali sekitar Konferensi Habitat tahun

1976 di Vancouver, Canada (Srinivas, 2007).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 21: rumah kumuh

Abrams (1964) dalam Srinivas (2007) menggambarkan proses dari keliaran

sebagai suatu penaklukan daerah kota untuk tujuan perlindungan, yang didefinisikan

oleh 2 (dua) hal yaitu kekuatan hukum dan hukum kekuatan. Sedangkan Turner

(1969) dalam Srinivas (2007) memandang positif dengan menggambarkan

permukiman liar sebagai keberhasilan yang tinggi menyelesaikan masalah perumahan

di daerah kota di negara berkembang.

Begitu juga Payne (1977) dalam Srinivas (2007) menyatakan permukiman liar

dalam pandangan menyeluruh dari pertumbuhan kota di negara ketiga dengan sifat

yang tidak dapat dihindarkan. Patrick McAuslan (1986) dalam Purnawan (2004)

menyatakan sebutan permukiman liar sebenarnya tidak mengandung suatu

kecenderungan kriminal, tetapi hanya menunjukkan hubungan antara kelompok orang

dan perumahan di atas tanah tertentu, maksudnya seorang permukiman liar adalah

seorang yang menempati sebidang tanah, sebuah rumah, atau sebuah bangunan tanpa

kekuatan hukum. UN Habitat (2003) dalam Darrundono (2007) menyatakan bahwa

permukiman liar merupakan produk kebijakan yang gagal, tata pemerintahan yang

buruk, korupsi, peraturan yang berbelit-belit, pasar pertanahan yang tidak berfungsi,

sistem keuangan yang tidak jelas, dan kemauan politik yang lemah. Pada dasarnya

ada 3 (tiga) karakteristik yang dapat menolong dalam mendefinisikan permukiman

liar (Srinivas, 2007) yaitu :

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 22: rumah kumuh

1. Karakteristik Fisik :

Suatu permukiman liar, karena memiliki status illegal maka infrastruktur dan

pelayanan (baik jaringan maupun sosial) yang ada tidak memadai atau berada pada

tingkat minimum, seperti penyediaan air, sanitasi, listrik, jalan dan drainase, sekolah,

pusat kesehatan, tempat perbelanjaan, dll. Sebagai contoh, penyediaan air untuk

setiap rumah tangga dapat dikatakan tidak ada, atau pipa umum yang tersedia sedikit,

sehingga pemukim mempergunakan jaringan kota atau pompa tangan sendiri bahkan

menyediakan jaringan informal untuk menyediakan air di tempat. Hal serupa berlaku

untuk jaringan listrik, drainase, fasilitas toilet/kamar mandi/WC, dll dimana kecilnya

ketergantungan pada saluran formal pemerintah.

2. Karakteristik Sosial :

Kebanyakan rumah tangga permukiman liar termasuk ke dalam kelompok

berpenghasilan rendah, baik bekerja sebagai buruh bergaji maupun dalam usaha-

usaha sektor informal lain yang bervariasi. Tetapi terdapat juga rumah tangga

berpenghasilan lebih tinggi seperti penghasilan pekerjaan bergaji atau pekerjaan

paruh waktu. Permukiman liar umumnya didominasi oleh migran, baik desa-kota atau

kota-kota. Namun banyak juga dari generasi kedua atau generasi ketiga pemukim liar

tersebut.

3. Karakteristik Legal :

Ini merupakan karakteristik kunci yang menggambarkan suatu permukiman liar

yakni ketiadaan hak milik terhadap lahan yang dipergunakan untuk membangun

rumah. Hal ini dapat terjadi pada lahan kosong milik pemerintah atau umum, di

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 23: rumah kumuh

sebidang tanah seperti bantaran rel kereta api, atau tanah rawa-rawa. Kemudian ketika

lahan tersebut tidak dipergunakan oleh pemiliknya, maka diambil oleh pemukim liar

untuk membangun rumah.

2.3.1 Karakteristik Pemukim Kumuh dan Liar

Menurut Anharudin (2005), Permukiman Liar adalah penduduk yang

memiliki masalah illegal karena bermukim di areal-areal yang ditetapkan sebagai

zona bebas okupasi seperti bantaran sungai atau rel kereta api, cagar alam (budaya),

lahan konservasi (jalur hijau dan atau zona penyangga). Sedangkan Kelompok

Marginal Kota yakni kelompok urban kota yang mendiami wilayah-wilayah kumuh

dan miskin dan kelompok lain yang rentan dan malang (vulnarable and disadvantage

people), yang sewaktu-waktu harus mengalami dampak permukiman kembali akibat

proyek pembangunan infrastruktur perkotaan. Proyek-proyek pembangunan prasarana

fisik (jalan raya, waduk, saluran irigasi, dermaga, dll) karena menggunakan lahan

besar menyebabkan pemerintah mengadakan perubahan penggunaan tanah, air dan

sumber daya alam lainnya. Asian Development Bank (ADB) menyebut kelompok ini

sebagai Orang-orang yang Terkena Dampak (OTD) (Anharudin, 2005). Secara

umum, penduduk menjadi liar dapat disebabkan oleh 2 (dua) faktor (Srinivas, 2007),

yaitu :

a. Faktor Internal, meliputi :

1. Kurangnya asset jaminan,

2. Kurangnya asset tabungan dan keuangan lainnya

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 24: rumah kumuh

3. Pekerjaan dengan gaji harian/penghasilan rendah, (yang dalam beberapa

kasus merupakan semi permanen atau sementara).

b. Faktor Eksternal, meliputi :

1. Harga lahan dan pelayanan perumahan yang tinggi,

2. Ketidakperdulian dan antisipasi sebagian pemerintah dalam membantu

mereka,

3. Tingginya standar bangunan yang ‘pantas’ dan peraturan penguasa,

4. Undang-undang perencanaan dan penzoningan yang berat sebelah.

Sebab-sebab di atas mengakibatkan tidak adanya pilihan terhadap rumah tangga

berpenghasilan rendah sehingga menjadi liar di lahan kosong. Keliaran dilakukan

baik oleh “penguasa kumuh” atau benar-benar berawal dari suatu kelompok kecil/inti

permukiman liar. “Penguasa kumuh” mengambil sebidang lahan kosong,

membaginya lagi dan menjualnya kepada beberapa rumah tangga untuk membangun

rumah. Pelayanan seperti penyediaan air atau listrik disediakan oleh yang

bersangkutan atau oleh kelompok permukiman liar tersebut dan biasanya dilakukan

bersama-sama.

Kelompok inti permukiman liar merupakan jumlah kecil keluarga yang

mendiami sebidang lahan kemudian membangun tempat perlindungan darurat dan

sementara. Bangunan dapat ditingkatkan menjadi permanen atau tambahan keluarga

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 25: rumah kumuh

dapat bergabung pada kelompok ini, bergantung pada tingkat ancaman pengusiran

(Srinivas, 2007).

Sedangkan menurut Patrick McAuslan (1986) dalam Purnawan (2004), kehadiran

permukiman liar dalam prakteknya ada beberapa macam:

1. Massa permukiman liar yang diorganisir,

2. Keluarga-keluarga secara sendiri-sendiri menetap di atas tanah yang mereka

anggap tidak ditempati dengan atau tanpa izin kepada mereka,

3. Permukiman liar yang didasarkan pada transaksi resmi ortodoks, yaitu

permukiman membeli sebidang tanah dari seorang penjual yang memiliki

tanah itu, tetapi tidak mempunyai persetujuan yang sah mengenai pembagian

tanah untuk membangun rumah di atasnya, atau yang sebenarnya tidak

mempunyai hak, baik untuk memiliki atau menjual tanah itu kepada siapa

pun. Berbekal sedikit sumber finansial, keterampilan dan akses lain, serta

adanya kebebasan nyata untuk mendiami lahan kosong illegal telah memberi

kemungkinan bagi mereka untuk membangun tempat-tempat perlindungan

darurat (Srinivas, 2007).

Selain dicirikan oleh pemilihan lokasi tempat tinggal yang kumuh, permukiman

pada umumnya terkonsentrasi pada berbagai jenis pekerjaan di sektor informal,

cenderung mendominasi pekerjaan-pekerjaan sebagai penjual makanan dan minuman

(baik diproduksi sendiri maupun diambil dari orang lain), penjual rokok dan

sejenisnya. Pada umumnya mereka menjual dagangannya secara berkeliling atau

menggunakan 'lapak' sebagai pedagang kaki lima. Jenis pekerjaan lain yang cukup

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 26: rumah kumuh

banyak dilakukan adalah pekerjaan sebagai pemulung, kuli bangunan dan pekerja

kasar lainnya.

Terkonsentrasinya mereka pada pekerjaan-pekerjaan di sektor informal ini adalah

karena sektor ini sangat mudah dimasuki, meski oleh mereka yang tidak memiliki

keterampilan atau pendidikan formal. Sektor informal menyediakan berbagai barang

dan jasa (misalnya tenaga kerja kurang terampil/kurang terdidik un tuk kebutuhan

pembangunan fisik kota), bahkan sebagian bisa mendukung keberlangsungan

kehidupan sektor formal (Suparlan, 2007).

Suko Bandiyono (2007) menyatakan, meskipun tinggal di permukiman liar,

namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga

(RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya

telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga

turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Walaupun merupakan

sumberdaya manusia asal pedesaan berkualitas rendah, namun mereka telah menjadi

bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan jasa tenaga

kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah tangga, yang terutama sangat

diperlukan bagi usaha formal maupun masyarakat golongan menengah ke atas, baik

sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai

distributor komoditi pabrikan.

Menurut Oscar Lewis (Wan, 2006) permasalahan yang terdapat di permukiman

kumuh dan liar sangat kompleks. Pada permukiman tersebut tercipta suatu kehidupan

yang tidak nyaman yang mengakibatkan munculnya budaya kemelaratan seperti

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 27: rumah kumuh

apatisme, serba curiga, perasaan yang didominasi angan-angan tinggi tanpa

kenyataan, putus asa, ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada hari

ini, yang kesemuanya ini disosialisasikan dari generasi ke generasi.

2.4 Karakteristik Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Secara umum rumah tangga permukiman kumuh dan liar termasuk ke dalam

kelompok berpenghasilan rendah, walaupun terdapat juga rumah tangga

berpenghasilan lebih tinggi. Karakteristik masyarakat berpenghasilan rendah ini

memberi pengaruh yang signifikan terhadap preferensi bermukim mereka.

2.4.1 Golongan Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah (GMBR)

Pengertian kemiskinan tidak dapat dinyatakan secara tepat karena merupakan

satu istilah yang subjektif. Namun biasanya kemiskinan dikaitkan dengan kekurangan

pendapatan, kesusahan dan ketidakmampuan individu dan isi rumah untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari.

Menurut Poerwadarminta (1976) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007),

kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang berarti “tidak berharta-benda”. Dalam

pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi

ketidakmampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi

ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Menurut Nasikun

(1995) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), kemiskinan adalah sebuah fenomena

multiaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di

dalam kondisi kekurangan pangan, sandang dan papan.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 28: rumah kumuh

Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap

berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat

memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar

tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari

itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang

rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan

pengap.

Hal senada juga dinyatakan oleh Oscar Lewis dalam Simanihuruk (2003),

bahwa kemiskinan bukanlah semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi saja,

tetapi juga kekurangan dalam ukuran budaya dan kejiwaan dimana di dalamnya

terkandung proses sosialisasi corak kebudayaan dari generasi tua ke generasi

berikutnya, yang mana ini disebut juga budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan ini

akan tumbuh pada kondisi masyarakat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Sistem ekonomi uang, buruh, upahan dan sistem produksi untuk keuntungan.

2. Tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga

tidak terampil.

3. Rendahnya upah buruh.

4. Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi

sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa

pemerintah.

5. Sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 29: rumah kumuh

6. Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan

penumpukan harta kekayaan dan adanya sikap hemat serta adanya anggapan

bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau

pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.

Kondisi kemiskinan tercermin dari distribusi pendapatan golongan masyarakat

berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti makanan,

kesehatan, pendidikan, transportasi, perumahan, ibadah, dan sebagainya. Selama ini

berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk makanan

terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran

kesejahteraan sebuah rumah tangga. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran

makanan yang lebih besar mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan

rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi

pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin

sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan

persentase pengeluaran untuk non makanan. Bagi masyarakat miskin di perkotaan,

persentase pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk makanan yaitu sebesar

73,5%, sedangkan pengeluaran untuk perumahan 8,43%, transportasi 2,48%,

pendidikan 2,4% dan pengeluaran untuk listrik 3,3% (Badan Pusat Statistik Republik

Indonesia, 2010).

Charles Booth dalam Mohammad, KA (2000) juga menyatakan bahwa konsep

kekurangan, kemiskinan dan peminggiran sosial sangat berkaitan erat. Ini disebabkan

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 30: rumah kumuh

karena dalam kemiskinan bukan hanya mengalami kekurangan dari aspek

pendapatan, peluang-peluang dalam ekonomi, dan sebagainya tetapi juga harus

mengalami peminggiran dari aspek sosial. Kemiskinan dapat menyebabkan tekanan

dalam jiwa, disebabkan tekanan terhadap masalah harian seperti kehidupan yang terus

menerus tidak nyaman, masalah kekurangan kebutuhan dasar, dan sebagainya.

Tekanan ini terkadang mengakibatkan terjadinya keruntuhan moral yang melahirkan

masalah-masalah sosial yang lain. Berdasarkan pandangan tersebut, diisyaratkan

bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, melainkan bersifat

kompleks karena mempunyai berbagai dimensi yang berbeda serta memiliki

kontribusi banyak faktor, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman,

kecermatan dan kehati-hatian.

Namun, Koenraad Verhagen (1996) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007),

mengatakan bahwa kita cenderung melebih-lebihkan kemiskinan dan melupakan apa

yang mereka miliki. Orang-orang miskin bukanlah orang-orang yang “tidak

memiliki” (havenot). Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat

kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi

yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Dari

sudut pandang ekonomi mereka adalah orang-orang yang memiliki sedikit” (have-

little) tetapi di sisi lain orang-orang miskin memiliki kekayaan budaya dan sosial.

Gunawan dan Sugiyanto (2007) mengemukakan, bahwa dalam konteks

penanggulangan kemiskinan, mereka tidak hanya didekati sebagai objek (gejala yang

diamati), tetapi harus dipandang sebagai subjek atau pelaku yang dikelompokkan

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 31: rumah kumuh

dalam Golongan Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah (GMBR). Mereka adalah

pelaku yang berperan sepenuhnya untuk menetapkan tujuan, mengendalikan sumber

daya, mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya.

Oleh karena itu, dalam kerangka memahami potensi keluarga miskin, paling

tidak terdapat tiga bentuk potensi yang diamati, yakni:

A. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Tinjauan tentang kemampuan

dalam memenuhi kebutuhan akan dilihat dari aspek:

1. Pengeluaran keluarga,

2. Kemampuan menjangkau tingkat pendidikan dasar formal yang ditamatkan

(human capital).

3. Kemampuan menjangkau perlindungan dasar (security capital).

B. Kemampuan dalam pelaksanaan peran sosial. Tinjauan tentang kemampuan

peran sosial akan dilihat dari:

1. Peran dalam bidang ekonomi (dilihat dari kegiatan utama dalam mencari

nafkah).

2. Peran dalam bidang pendidikan (pelaksanaan ibadah atau membimbing

keluarga, menanamkan nilai dan norma; mendorong pendidikan keluarga,

mengerjakan kegiatan kerumahtanggaan, mengasuh anak dan mendampingi

anak belajar).

3. Peran dalam bidang perlindungan (melindungi keluarga, turut memecahkan

masalah keluarga dan turut serta memelihara kesehatan keluarga).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 32: rumah kumuh

4. Peran dalam bidang kemasyarakatan (kunjungan keluarga, rekreasi, dan

kegiatan lain yang berkaitan dengan kelembagaan).

C. Kemampuan dalam menghadapi permasalahan.

Tinjauan tentang kemampuan dalam menghadapi permasalahan, akan dilihat

dari upaya yang mereka lakukan untuk mempertahankan diri dari tekanan ekonomi

dan non ekonomi. Dari hasil penelitian yang dilakukan (Gunawan dan Sugiyanto,

2007) menunjukkan bahwa peran sosial yang dilaksanakan oleh keluarga fakir miskin

lebih banyak bersifat intern, artinya lebih banyak terkonsentrasi dalam urusan

keluarga. Kepala keluarga lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk mencari

nafkah, pendidikan dan perlindungan keluarga. Pelaksanaan peran sosial

kemasyarakatan kurang terintegrasi dalam kehidupan keluarga. Mereka tidak begitu

aktif untuk melakukan kunjungan keluarga, rekreasi, dan kegiatan lain yang berkaitan

dengan kelembagaan. Namun, terungkap cukup banyak strategi yang dipergunakan

keluarga fakir miskin dalam menghadapi permasalahannya, antara lain:

1. Optimalisasi sumber daya manusia (SDM)

Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan

penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang

dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain melakukan aktivitas sendiri,

memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk

memperoleh penghasilan, termasuk mengerahkan anak yang masih duduk di bangku

sekolah. Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran ekonomi ini akan memupuk

kemampuan anak untuk membaca peluang ekonomi.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 33: rumah kumuh

Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses

uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak

anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang

seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga

dalam peran ekonomi. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif

rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai

suatu jebakan kemiskinan.

2. Penekanan/pengetatan pengeluaran.

Penekanan/pengetatan pengeluaran merupakan strategi yang bersifat pasif,

yaitu mengurangi pengeluaran keluarga misalnya pengeluaran biaya untuk sandang,

pangan, biaya sosial, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari

lainnya. Dalam kerangka penekanan/pengetatan pengeluaran, seringkali mereka

mengabaikan kebutuhan pelayanan untuk kesehatan. Walaupun mereka telah

mempunyai kartu sehat dari Dinas Kesehatan. Pengurangan pengeluaran biaya

kesehatan lebih banyak dilakukan, karena kesehatan tidak menjadi prioritas utama

mereka. Perhatian mereka lebih terfokus kepada kegiatan yang berhubungan dengan

pencarian nafkah.

3. Pemanfaatan jaringan.

Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya yang ditempuh

oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang

dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan

lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini terlihat

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 34: rumah kumuh

jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga,

mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, bahkan ada

yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya. Relasi mereka tidak hanya

sebatas bidang ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain, misalnya dalam

peningkatan mental spiritual. Kegiatan ini merupakan strategi yang bersifat aktif

untuk memperoleh dukungan emosional.

2.4.2 Preferensi Bermukim

Turner (1969) dalam Yunus (2000) mengemukakan bahwa ada 4 (empat)

macam dimensi yang bergerak paralel dengan mobilitas tempat tinggal yaitu :

1. Dimensi Lokasi, mengacu pada lokasi tertentu pada suatu kota yang dianggap

paling cocok untuk tempat tinggal sesuai dengan kondisi diri. Kondisi diri ini

lebih ditekankan pada penghasilan dan siklus kehidupan, sehingga lokasi

dalam konteks ini berkaitan erat dengan jarak terhadap tempat kerja.

2. Dimensi Perumahan, dikaitkan dengan aspirasi terhadap macam/tipe

perumahan. Turner membatasi aspek perumahan ini pada aspek

”penguasaan”, yang juga selalu dikaitkan dengan penghasilan dan siklus

kehidupan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah akan memilih menyewa

atau mengontrak saja daripada berangan-angan untuk memiliki rumah, karena

kemampuan itulah yang paling sesuai dengan tingkat penghasilannya.

3. Dimensi Siklus Kehidupan, membahas tahap-tahap peningkatan kemandirian

dalam kehidupan, dimana semua kebutuhan hidup ditopang oleh penghasilan

sendiri. Secara umum, makin lanjut tahap siklus kehidupan maka makin tinggi

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 35: rumah kumuh

penghasilan, sehingga kaitannya dengan dimensi lokasi dan dimensi

perumahan menjadi semakin jelas.

4. Dimensi Penghasilan, menekankan pembahasan pada besar kecilnya

penghasilan yang diperoleh persatuan waktu, dengan asumsi bahwa makin lama

menetap di kota maka makin mantap pekerjaannya sehingga makin tinggi pula

penghasilan yang diperoleh persatuan waktu tertentu.

Lebih lanjut Turner (1968) menyatakan bahwa terdapat kaitan antara kondisi

ekonomi dengan tingkat prioritas kebutuhan perumahan pada setiap manusia. Bagi

masyarakat golongan berpenghasilan rendah, terdapat 3 tingkat prioritas kebutuhan

perumahan yaitu :

1. Faktor jarak menjadi prioritas utama,

2. Faktor status lahan dan rumah menjadi prioritas kedua, dan

3. Faktor bentuk dan kualitas rumah menjadi prioritas ketiga.

Menurut Panudju (1999), dalam menentukan prioritas kebutuhan rumah,

masyarakat golongan berpenghasilan rendah cenderung meletakkan prioritas utama

pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat yang dapat memberikan

kesempatan kerja. Tanpa kesempatan kerja yang dapat menopang kebutuhan sehari-

hari, sulit bagi mereka untuk dapat mempertahankan hidupnya. Status pemilikan

rumah dan lahan menempati prioritas kedua, sedangkan bentuk maupun kualitas

rumah menjadi prioritas terakhir. Yang terpenting bagi mereka adalah tersedianya

rumah untuk berlindung dan istirahat dalam upaya mempertahankan hidupnya.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 36: rumah kumuh

Begitu juga Jo Santoso (2002) dalam Kurniasih (2007) mengungkapkan bahwa

rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah adalah :

1. Dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk

mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal.

2. Kualitas fisik rumah dan lingkungan, tidak penting sejauh masih dapat

menyelenggarakan kehidupan.

3. Hak-hak penguasaan khususnya hak milik atas tanah dan bangunan, tidak

penting. Yang penting adalah tidak diusir atau digusur, sesuai dengan cara

berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah fasilitas.

Menurut Urban Poor Consortium (2007), rakyat bergerak mencari nafkah dan

tempat bermukim yang sesuai dengan kemampuan mereka untuk bekerja mencari

nafkah. Gerakan semut yang mencari sumber-sumber gula seperti ini, seharusnya

diterima sebagai kenyataan sosial yang tak terelakkan. Sebagaimana diungkapkan

oleh Suparlan (2007) bahwa permukiman kumuh dan liar yang umumnya merupakan

masyarakat yang berpenghasilan rendah, memiliki beraneka ragam mata pencaharian

dimana sebagian besar di sektor informal.

Hal ini telah memungkinkan bagi mereka untuk dapat hidup sebagai sebuah

komunitas yang mandiri karena telah memungkinkan untuk dapat saling menghidupi

dalam batas-batas tertentu. Kegiatan-kegiatan mereka di sektor informal telah

menyebabkan bahwa rumah bukan hanya sebagai tempat untuk beristirahat, sebagai

ruang untuk kegiatan-kegiatan pribadi dan keluarga, tetapi rumah juga merupakan

tempat bekerja. Bahkan bukan hanya rumah saja, tetapi juga ruang-ruang terbuka

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 37: rumah kumuh

(halaman rumah atau lapangan terbuka) dimanfaatkan untuk tempat kegiatan bekerja,

mempersiapkan produk-produk kerja atau sebagai tempat penyimpanan/ gudang.

2.5. Tekanan Lingkungan

Tekanan lingkungan (environment pressures) adalah suatu kondisi lingkungan

yang menerima beban yang terlalu besar, yang disebabkan fisik, sosial, ekonomi,

akibatnya menimbulkan persoalan-persoalan lingkungan, baik secara fisik, sosial

maupun psikologis (Setiawan, 1995). Kota (lingkungan) yang padat dan semrawut

akan menghasilkan jiwa warganya yang sakit. Jiwa sakit menghasilkan kelalaian,

sifat malas, dan rasa tidak peduli terhadap sesama yang berdampak datangnya

musibah penyakit bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya (Supriatna,

2005).

Tekanan lingkungan sangat berkaitan dengan daya dukung lingkungan

(carrying capacity). Menurut Sumarwoto (1989) daya dukung adalah kemampuan

sebidang lahan untuk mendukung kehidupan. Dari konsep tersebut bahwa daya

dukung berkenaan dengan kemampuan suatu lingkungan untuk mendukung

kehidupan. Kedua pengertian tersebut sangat bersifat fisikalis, yaitu berkenaan

dengan ukuran kemampuan lingkungan mendukung sejumlah populasi. Permukiman

sebagai suatu lingkungan, dengan manusia sebagai penghuni rumah dan berbagai

kebutuhan yang melekat padanya. Oleh sebab itu daya dukung lingkungan tidak

matematis sifatnya. Meskipun demikian lingkungan memiliki keterbatasan, jika

pemanfaatan dan populasi yang dapat didukung oleh lingkungan telah melewati batas

kemapuannya, akan terjadi berbagai ketimpangan. Indikator terjadinya tekanan

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 38: rumah kumuh

lingkungan adalah timbulnya perasaan tidak enak, tidak nyaman, kehilangan orientasi

atau kehilangan keterikatan dengan suatu tempat tertentu.

2.5.1.Penyebab Terjadinya Tekanan Lingkungan

Tekanan lingkungan (environment pressures) yang disebabkan oleh faktor

ekonomi meliputi kemampuan seseorang untuk memperoleh hunian yang memenuhi

syarat. Kemampuan tersebut berupa pendapatan atau penghasilan yang diperlukan

untuk menentukan jenis hunian yang diinginkan. Maksudnya semakin baik ekonomi

seseorang maka semakin baik pula kualitas hunian yang dapat dibeli atau disewa.

Faktor sosial adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi atau berinteraksi

dengan lingkungan tempat tinggal dengan latar belakang sosial yang ada sehingga

pendidikan yang diperoleh, status sosial yang dipakai untuk menempatkan diri di

lingkungannya, norma, kultur, serta adat istiadat. Faktor fisik terutama menyangkut

dimensi tempat, kepadatan, serta suasana suatu ruanagan atau tempat (warna, susunan

perabot), serta unsur lingkungan ruangan diantaranya suara, temperature dan

pencahayaan (Setiawan, 1995).

2.5.2. Akibat Tekanan Lingkungan

Tekanan lingkungan bila dibiarkan secara terus menerus akan menyebabkan

munculnya stress pada manusia (Setiawan, 1995). Persoalan-persoalan lingkungan

fisik yang timbul berupa menurunnya kualitas lingkungan yang disebabkan oleh

kepadatan, sarana dan prasarana yang tidak ada/memadai, dan menurut teori stress

lingkungan, ada dua elemen dasar yang menyebabkan manusia bertingkah laku

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 39: rumah kumuh

terhadap lingkungan. Elemen pertama adalah stressor dan elemen kedua stress itu

sendiri. Stressor adalah elemen lingkungan (stimuli) yang merangsang individu

seperti kebisingan, suhu udara dan kepadatan. Stress (ketegangan, tekanan jiwa)

adalah hubungan antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan dalam diri sendiri.

Sehingga apabila secara individual mengalami gangguan, akibat tekanan

lingkungan yang terlalu besar maka menyebabkan interaksi antar manusia dan

lingkungan tidak berjalan secara baik dan optimal yang menimbulkan perilaku yang

tidak wajar atau patologi sosial (Sarwono, 1995). Para sosiologi mendefinisikan

patologi sosial adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan,

stabilitas lokal, pola ketinggalan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup

rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal (Kartono, 1999).

Dengan situasi lingkungan urban Indonesia perkembangan dan perubahan

yang begitu cepat, diperkirakan bahwa lingkungan-lingkungan perumahan di daerah

urban (permukiman kumuh) di Indonesia berada dalam situasi tekanan lingkungan.

Keadaan ini perlu mendapat perhatian serius. Studi-studi yang komprehensif

mengenai tekanan lingkungan di daerah perkotaan Indonesia perlu dilakukan, untuk

memberikan masukan bagi upaya-upaya perbaikan dan revitalisasi lingkungan

perkotaan (Setiawan, 1996).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 40: rumah kumuh

2.6 Perubahan Lingkungan Permukiman Kearah Kekumuhan

2.6.1 Fenomena Kekumuhan Lingkungan Permukiman

Seiring dengan pertumbuhan kehidupan manusia baik ekonomi, sosial

maupun budaya maka manusia berkeinginan untuk memiliki kehidupan dan status

yang lebih baik yaitu dengan mengadakan perubahan-perubahan, seperti gaya hidup

dan bentuk hunian yang mereka tinggali.

Pertumbuhan berarti pula berubah baik bentuk dan ukurannya. Tidak dimungkinkan

pertumbuhan ukuran dengan tidak menyebabkan perubahan bentuk fisiknya

(Doxiadis, Constantinos A., 1981 : 26).

Dengan bertambahnya jumlah penghuni rumah dan dengan bertambahnya

penghasilan mereka membuat ruang-ruang baru. Perubahan hunian ini akan merubah

wajah suatu hunian. Hal ini akan berpengaruh pada penyediaan fasilitas sarana

prasarana lingkungan yang harus bertambah juga jika jumlah permukiman bertambah.

Selain hal tersebut di atas, faktor kemiskinan juga sangat berpengaruh pada kualitas

lingkungan fisik permukiman. Karena dana yang terbatas dan hanya cukup untuk

memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, maka masyarakat kurang mampu tidak dapat

memperbaiki maupun memelihara bangunan rumah hunian mereka. Yang akan

berakibat pada kekumuhan lingkungan permukiman.

Menurut Constantinos A. Doxiadis dalam bukunya An Introduction To The

Science Of Humman Settlements (1969: 25) menyebutkan bahwa mempelajari tentang

kawasan Perumahan Permukiman tidak hanya mempelajari area terbangun dan area

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 41: rumah kumuh

terbuka saja tetapi juga fungsi dari kawasan tersebut. Oleh karenanya dalam

mempelajari tentang perumahan permukiman atau fungsinya, kita juga harus

mengetahui hubungan kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar di luar kawasan

tersebut dan mengetahui jalur transportasi yang menghubungkan kawasan tersebut

dengan kawasan lainnya. Karena aktifitas disekitar kawasan permukiman juga sangat

mempengaruhi fungsi dari permukiman.

2.6.2 Bentuk Perubahan Lingkungan Permukiman Kearah Kekumuhan

Ada dua pendekatan dalam menangani lingkungan kumuh ini menurut Drs.

Komarudin, MA (1997: 85) yaitu:

1. Penggunaan/pemindahan teknologi (technological transfer) dan

2. Penangannan sendiri (self reliant technology)

Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut diatas ada sebelas hal sulitnya

menangani masalah lingkungan permukiman ini:

1. High rise building (bangunan tinggi) yang akan ditangani oleh penghuni yang

tergusur, memerlukan biaya yang besar karena biaya yang digunakan bukan

hanya untuk membangun kamar tidur saja.

2. Peremajaan lingkungan kumuh, yang merupakan proyek yang besar (large

project). Jadi harga dipertimbangkan dengan matang dan harus dipikirkan

masak-masak karena menyangkut banyak orang yang akan digusur atau

dimukimkan kembali,

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 42: rumah kumuh

3. Adanya dualisme antara peremajaan lingkungan dengan penataan lingkungan.

Penghuni rumah kumuh biasanya masih lebih senang tinggal di rumah

kumuhnya daripada di rumah sewa bertingkat (rusunawa).

4. Banyak peremajaan lingkungan kumuh yang tidak melalui survey sosial

(social survey) tentang karakteristik penduduk yang akan tergusur.

5. Banyak peremajaan lingkungan kumuh yang kurang memperhatikan

kelengkapan lingkungan seperti taman, tempat terbuka, tempat rekreasi,

sampah, pemadam kebakaran dan tempat bermain anak. Karena hal tersebut

memerlukan biaya besar.

6. Tenaga yang bergerak di dalam program peremajaan lingkungan kumuh tidak

profesional.

7. Penggusuran (squater clearance) sering diartikan jelek, padahal pemerintah

berusaha meremajakan lingkungan dan memukimkan penduduk ke

lingkungan yang lebih baik.

8. Keterbatasan lahan (land shortage). Dalam melaksanakan peremajaan

lingkungan kumuh harus memilih lokasi yang tepat dan disesuaikan dengan

tujuannya dan konsumen yang akan menempati.

9. Belum kuatnya dana pembangunan perumahan (no housing finance).

10. Perlu lingkungan hidup yang baik (the nice environment).

11. Perlu diciptakan kebersamaan antar warga.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 43: rumah kumuh

2.6.3 Strategi Penanganan Permukiman Kumuh

Bentuk-bentuk penanganan permukiman kumuh yang telah dilaksanakan ada

beberapa bentuk antara lain:

1. Perbaikan Permukiman

Kondisi perumahan kampung digolongkan sebagai perumahan marginal, tidak

memenuhi standar yang berlaku. Namun penghuninya, sesungguhnya tidak

bersifat pasif terhadap lingkungan perumahannya, Moris (1977: 4). Secara

sadar atau tidak, penghuni memberi tanggapan terhadap tempat tinggalnya

dengan mengerahkan segenap sumber daya (fisik, sosial, ekonomi) guna

memenuhi kebutuhan rumah yang sesuai norma. Ada usaha yang dapat

dilakukan penghuni terhadap rumahnya, yaitu:

1. Usaha memenuhi kebutuhan ketika penghuni merasakan kekurangan pada

rumahnya. Bentuk tindakan dapat berupa pindah rumah juga dapat berupa

perubahan atau penambahan terhadap rumahnya. Jadi penghuni secara

aktif menimbulkan perubahan terhadap keadaan rumahnya atau

diistilahkan sebagai housing adjustment (Moris, 1977: 80).

2. Usaha penghuni sebagai tanggapan atas tekanan akibat berbagai

kekurangan pada rumah, dengan cara melakukan perubahan pada dirinya

tanpa merubah rumahnya. Dalam hal ini penghuni bersifat pasif atau

diistilahkan sebagai housing adaptation.

2. Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 44: rumah kumuh

Menurut UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, peningkatan

kualitas permukiman dapat berupa kegiatan-kegiatan, perbaikan atau pemugaran,

peremajaan dan pengelolaan/pemeliharaan yang berkelanjutan. Program peningkatan

kualitas perumahan dan permukiman yang selama ini menjadi perhatian pemerintah

adalah kawasan perumahan dan permukiman yang termasuk kategori kawasan

kumuh, yang ditandai antara lain dengan kondisi prasarana dan sarana yang tidak

memadai baik secara kualitas dan kuantitas, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang

rendah, kondisi sosial budaya masyarakat, dan kondisi lingkungan yang rawan

bencana, penyakit dan keamanan (Dirjen Cipta Karya, 1999).

Dalam UU Nomor 4 tahun 1992 tentang “Perumahan dan Permukiman”

ditegaskan bahwa penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas

manfaat, adil, dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri

sendiri, ketergantungan, dan kelestarian lingkungan hidup. Penataan perumahan dan

permukiman bertujuan:

1. Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia,

dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat,

2. Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan

sehat, aman, serasi, dan teratur,

3. Memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang

rasional.

4. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang-

bidang lain.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 45: rumah kumuh

Bentuk-bentuk perbaikan lingkungan permukiman berdasarkan PU. Cipta

Karya, terdapat beberapa bentuk usaha pelaksanaan perbaikan permukiman, yaitu

sebagai berikut :

1. Pemugaran rumah, diartikan pengembalian keadaan fisik seperti semula,

2. Program Perbaikan Kampung (KIP); KIP merupakan program yang bertujuan

untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan penghijauan masyarakat melalui

perbaikan lingkungan secara fisik. Tujuan utamanya adalah perbaikan

kesehatan lingkungan kampung. Komponen dasarnya adalah perbaikan

infrastruktur kawasan seperti jalan kendaraan, jalan setapak, saluran drainase,

MCK dan sebagainya,

3. Perbaikan lingkungan kawasan pasar (MIP); perbaikan lingkungan kawasan

pasar adalah perbaikan permukiman disekitar pasar, yang dilakukan sebagai

akibat dari tambahan beban yang diterima masyarakat sekitar pasar karena

tidak memiliki sarana pendukung seperti saluran drainase, tempat parkir,

tempat sampah, los-los yang tidak teratur serta tidak memenuhi syarat/kurang

berfungsi. Pasar dan masyarakat pasar adalah satu kesatuan yang saling

membutuhkan baik yang positif maupun negatif,

4. Pembangunan perumahan; merupakan salah atau bentuk peremajaan kota

dengan cara membangun perumahan melalui penataan kampung kumuh

secara fisik agar dapat menampung lebih banyak penghuni atau pihak lain

yang membutuhkan. Keuntungan dari program ini adalah relatif cepat dan

segera terlihat hasilnya,

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 46: rumah kumuh

5. Konsolidasi lahan; merupakan kegiatan terpadu untuk menata kembali pola

kepemilikan tanah di suatu wilayah yang kurang/tidak teratur,

6. Pengembangan lahan terkendali; merupakan upaya penataan lanjut dalam

rangka pengembangan tata ruang kota, khususnya bagian wilayah kota secara

lebih implementatif, bila perlu melalui pemindahan/pengembangan daerah

pinggir kota. Secara umum pengembangan lahan terkendali bertujuan untuk

mendorong iklim partisipasif dalam pembangunan dengan melibatkan potensi

dan keinginan masyarakat terutama swasta, pengusaha kecil dan konsumen,

7. Pembangunan rumah susun; membangun lingkungan hunian secara

keseluruhan dengan tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik

secara fisik maupun fungsional dan keuntungan ekonomisnya.

2.7. Lingkup Penanganan Permukiman Kumuh

Sesuai dengan UU No. 4/1992 pasal 27, lingkup penanganan lingkungan

permukiman kumuh mencakup hal-hal sebagi berikut :

1. Perbaikan dan pemugaran

Secara konseptual, implementasi prinsip perbaikan dan pemugaran meliputi :

1. Revitalisasi adalah upaya menghidupkan kembali suatu kawasan mati,

yang pada masa silam pernah hidup, atau mengendalikan dan

mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang

dimiliki oleh sebua kota,

2. Rehabilitasi merupakan upaya mengembalikan kondisi komponen fisik

lingkungan permukiman yang mengalami degradasi,

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 47: rumah kumuh

3. Renovasi adalah melakukan perubahan sebagian atau beberapa bagian dari

komponen pembentukan lingkungan permukiman,

4. Rekontruksi merupakan upaya mengembalikan suatu lingkungan

permukiman sedakat mungkin dari asalnya yang diketahui, dengan

menggunakan komponen-komponen baru maupun lama,

5. Preservasi merupakan upaya mempertahankan suatu lingkungan

pemukiman dari penurunan kualitas atau kerusakan. Penanganan ini

bertujuan untuk memelihara komponen yang berfungsi baik dan mencegah

dari proses penyusutan dini (kerusakan), misalnya dengan menggunakan

instrument : ijin mendirikan bangunan (IMB). Ketentuan atau pengaturan

tentang : Koefisien Lantai Bangunan, Koefisien Dasar Bangunan, Garis

Sempadan Bangunan, Garis Sempadan Jalan dan Garis Sempadan Sungai .

2. Peremajaan

Peremajaan adalah upaya pembongkaran sebagian atau keseluruhan lingkungan

perumahan dan pemukiman dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana

dan sarana lingkungan perumahan dan pemukiman baru yang lebih layak dan sesuai

dengan rencana tata ruang wilayah. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk

meningkatkan nilai pemanfaatan lahan yang optimal sesuai dengan potensi lahannya.

3. Pengolahan dan pemeliharaan berkelanjutan

Pengolahan dan pemeliharaan berkelanjutan adalah upaya-upaya untuk

mencengah, mengendalikan atau mengurangi dampak negatif yang timbul, serta

meningkatkan dampak positif yang timbul terhadap lingkungan hunian.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 48: rumah kumuh

2.8 Program-program Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh

Untuk menata permukiman kota menjadi lebih teratur, rapi dan indah, dan

sehat telah diupayakan berbagai program penataan lingkungan dan permukiman

kumuh diberbagai kota di indonesia. Berbagai program dengan bernagai istilah telah

diimplementasikan di permukiman dengan tujuan yang sama untuk membuat

permukiman menjadi semakin tertata dan dilengkapi sarana prasarana dasar kota.

Program perbaikan lingkungan perkampungan atau yang sering dikenal dengan

kampung improvement program (KIP) telah lama diupayakan. Hingga saat ini

program tersebut masih tetap dilakukan dengan berbagai penyesuaian seiring dengan

perkembangan masyarakat perkotaan dan permukimannya.

Program perbaikan kampung di indonesia, pertama kali dilakukan pada tahun

1923 di Kota Surabaya. Dengan demikian, KIP sudah dilakukan pada waktu zaman

pemerintahan Belanda di Indonesia. Namun demikian terdapat perbedaan yang

mendasar antara KIP pada zaman pemerintahan Belanda dan KIP pada saat setelah

kemerdekaan. Pada zaman Belanda, KIP dilaksanakan untuk menangani politik etis

yang dilakukan oleh kaum oposisi di Parlemen Belanda. Tujuan lain adalah untuk

melindungi penduduk warga eropa yang umumnya tinggal didekat kampung dari

bahaya epidemi.

Jadi pada dasarnya, program ini hanya menangani aspek sanitasi kampung.

Sedangkan program perbaikan perbaikan lingkungan yang saat sekarang ini

dilaksanakan lebih menekankan pada pembangunan yang menyeluruh bagi penduduk,

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 49: rumah kumuh

khususnya penduduk miskin. pembangunan dalam hal ini mempunyai arti

membangun lingkungan fisik dan sakaligus manusianya (Silas, 1996: 8-9).

2.8.1 Kebijakan Umum Penyediaan Perumahan dan Permukiman di Kota

Sebagai Pengantar Pengembangan Kebijakan Permukiman

Untuk memahami dan merumuskan kebijakan masa depan, perlu lebih dahulu

memahami berbagai upaya pengembangan perumahan dan permukiman yang selama

ini telah dilaksanakan dengan memberikan evaluasi singkat. Akan nampak pula

bahwa kebijakan di bidang perumahan dan permukiman yang lalu dirumuskan

dengan mengedepankan kepentingan politik dari pada sektoral.

• Pola Pembangunan Perumahan Berimbang (1:3:6)

Gagasan ini muncul akibat maraknya pembangunan perumahan mewah dan super

mewah. Di samping itu ada desakan agar fisik swasta yang menikmati laba besar ikut

bertanggung jawab atas kesenjangan yang dirasakan masyarakat kecil. Namun dalam

kenyataan, kebijakan ini mudah diselewengkan dan lebih banyak memberi untung

pada pengembangan dari pada rakyat yang hendak dilayani.

• Taperum PNS

Untuk mendukung dan mempercepat pemenuhan permintaan perumahan bagi

masyarakat golongan bawah, PNS hendak ditangani secara tersendiri melalui

penggalangan sumberdana solidaritas mandiri, yaitu sesama PNS. Gagasan ini

sebenarnya baik, namun dalam pelaksanaannya belum efisien sehingga masih cukup

banyak PNS golongan bawah yang belum terlayani

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 50: rumah kumuh

• Kredit Triguna

Pola kredit ini hanya varian dari KPR biasa. Dalam pelaksanaannya pola kredit ini

sulit terralisasi sebab ada beberapa persyaratan dasar yang sebelumnya harus

dipenuhi seperti adanya serrtipikat tanah, izin mendirikan bangunan, jumlah yang

cukup besar, dukungan Pemda setempat.

• Pola Rumah Inti

Ini merupakan pola umum yang dikembangkan akhir tahun limapuluhan. Saat

pengadaan perumahan oleh rakyat sendiri diakui, agar pembangunan dapat lebih

tertib dan persyaratan dasar dipenuhi seperti air bersih, saluran pembuangan. Dimina

pemerintah diminta mengambil inisiatif dengan pembangunan dasar dari rumah yang

berupa inti untuk selanjutnya dikembangkan sendiri oleh pemilik penghuninya.

• Griya Pemula (Starter Housing)

Pada awalnya griya pemula dimasukkan untuk sekaligus memperbaiki kesalahan

rumah inti dan membantu pembangunan rumah oleh pelaku real-estate wong cilik

yang banyak dijumpai di kampung. Ketika skema perumahan ini diminta dukungan

kredit pemilikan rumah yang bersubsidi, oleh kalangan Bappenas gagasan ini

dianggap tidak jelas sehingga tidak mungkin didukung.

• Rumah Massal (mass housing)

Bentuk perumahan ini gencar dilakukan pada akhir tahun tujuhpuluhan saat ada

pendapatan tiban akibat embargo minyak bumi saat terjadi perang Arab-Israel. Dalam

pengadaan rumah, rumah massal merupakan alternatif yang tujuannya dapat

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 51: rumah kumuh

menghasilkan rumah dalam jumlah banyak,waktu singkat, biaya rendah dan mutu

terjaga. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah rumah yang tidak memenuhi

kebutuhan siapapun sehingga banyak yang dibongkar kembali atau tidak dapat

dimanfaatkan dengan baik.

2.8.2 Pemberdayaan Perumahan (KIP, P2BPK)

Permukiman yang menuju ke ciri kekotaan perlu menumbuhkan tiga kekuatan

yaitu Sumberdaya Manusia, Wadah dan Kesempatan. Yang termasuk dalam

sumberdaya manusia adalah kemampuan dalam kesatuan yang bertanggung jawab.

Wadah (facility) harus berarti berbagai saran untuk melaksanakan kehidupan dan

penghidupan. Ruang (space) mengandung pengertian tempat hunian yang produktif,

artinya yang mendukung dan merangsang proses pertumbuhan aspek sosial dan

ekonomi keluarga dalam lingkungan yang bermutu. Program perumahan seperti KIP,

P2BPK dan sejenisnya merupakan upaya untuk mendukung apa yang sudah dan

dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri. Dari berbagai program perumahn yang

dilaksanakan Indonesia, hingga kini KIP yang paling terkenal.

Penyediaan perumahan dan perbaikan lingkungan perumahan lewat berbagai

proyek yang telah dilaksanakan.

1. KIP dan KIP Komprehensif

2. P3KT

3. Peremajaan dengan subsidi silang.

4. Rumah Susun.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara