16
Vol. VI, Edisi 16, September 2021 Kebijakan Bantuan Subsidi Upah Tahun 2021 p. 8 ISO 9001:2015 Certificate No. IR/QMS/00138 ISSN 2502-8685 Catatan Atas Ketimpangan di Era Otonomi Daerah p. 12 Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan Baku (Studi Kasus Industri Rotan) p. 3

Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

Vol. VI, Edisi 16, September 2021

Kebijakan Bantuan Subsidi Upah Tahun 2021

p. 8

ISO 9001:2015Certificate No. IR/QMS/00138 ISSN 2502-8685

Catatan Atas Ketimpangan di Era Otonomi Daerah

p. 12

Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan Baku

(Studi Kasus Industri Rotan)p. 3

Page 2: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

2 Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id

PROGRAM BSU merupakan implementasi yang dilakukan pemerintah dalam melakukan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat melatarbelakangi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk melaksanakan program Bantuan Subsidi Upah (BSU). Salah satu tujuan program ini ialah untuk meningkatkan daya beli masyarakat khususnya bagi pekerja di wilayah PPKM level 3 dan 4. Dalam penyalurannya diperlukan pengawasan yang tepat dan dilakukan evaluasi setiap minggu untuk memastikan BSU ini mampu memengaruhi daya beli masyarakat.

LAHIRNYA otonomi daerah merupakan bagian dari tuntutan reformasi setelah berakhirnya masa kekuasaan orde baru. Setelah dua dekade implementasi otonomi daerah, indikator pembangunan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Namun persoalan pemerataan baik antarindividu maupun antarwilayah belum selesai. Pada tahun 1996, gini rasio sempat menyentuh angka 0,36. Kemudian meningkat menjadi 0,385 pada 2020. Beberapa catatan menjadi penyebab masih tingginya tingkat ketimpangan di era otonomi daerah. Faktor tersebut antara lain: kebijakan desentralisasi fiskal yang belum optimal, pertumbuhan ekonomi belum inklusif, akses yang tidak merata terhadap infrastruktur dan lahan, perbedaan upah minimum regional, serta perbedaan aliran investasi antardaerah.

Kritik/Saran

http://puskajianggaran.dpr.go.id/kontak

Dewan RedaksiRedaktur

Dwi Resti PratiwiRatna Christianingrum

Ade Nurul AidaErvita Luluk Zahara

EditorMarihot NasutionRiza Aditya SyafriSatrio Arga Effendi

Penanggung JawabDr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E.,

M.Si.Pemimpin Redaksi

Rendy Alvaro

Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan Baku (Studi Kasus Industri Rotan) p.3

Kebijakan Bantuan Subsidi Upah Tahun 2021p.8

Catatan Atas Ketimpangan di Era Otonomi Daerah p.12

MAJOR Project Pengelolaan Terpadu UMKM merupakan amanat dari Undang-Undang Cipta Kerja juga sebagai upaya dalam mengintegrasikan kebijakan UMKM yang selama ini bersifat lintas sektoral atau kewilayahan. Artikel ini menjelaskan mengenai rumah produksi bersama serta tantangan yang dihadapi dalam penyediaan akses bahan baku dengan studi kasus pada salah satu bidang usaha yang membutuhkan teknologi tinggi, yakni industri rotan yang pemenuhan bahan bakunya berasal dari wilayah lain.

Page 3: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

3Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

Rumah Produksi Bersama:Tantangan Penyediaan Akses Bahan Baku

(Studi Kasus Industri Rotan)oleh

Adhi Prasetyo*)

Pemerintah menetapkan “Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural” sebagai

tema kebijakan fiskal dan RAPBN tahun 2022. Salah satu upaya pemulihan ekonomi terkait UMKM yang dilakukan oleh pemerintah adalah melalui peningkatan peran UMKM dengan menambahkan major project baru pada tahun 2022 yaitu Pengelolaan Terpadu UMKM. Pada tahap awal, pemerintah telah menentukan 5 provinsi sebagai pilot project pengelolaan terpadu UMKM pada Provinsi Aceh, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah membagi major project Pengelolaan Terpadu UMKM menjadi beberapa sub major project yang terdiri dari: (1) penyediaan akses bahan baku dan ruang atau alat produksi bersama; (2) kurasi dan standardisasi produk; (3) perluasan akses pasar dan kewirausahaan; (4) pendampingan SDM UMKM; (5) penyediaan akses pembiayaan; (6) regulasi dan pendataan UMKM.

Sebagai wadah Pengelolaan Terpadu UMKM, pemerintah mendirikan rumah produksi bersama, di mana di dalamnya terdapat beberapa sub major project. Sebagaimana telah diuraikan di bagian

atas, untuk nomor 1 hingga nomor 3 masuk ke dalam ruang lingkup pengembangan UMKM dari hulu hingga hilir. Sedangkan nomor 4 sampai dengan 6 merupakan aspek pendukung. Lebih lanjut, tulisan ini akan menjelaskan mengenai rumah produksi bersama serta tantangan yang dihadapi dalam penyediaan akses bahan baku dengan mengambil studi kasus pada salah satu bidang usaha yang membutuhkan teknologi tinggi, yakni furnitur rotan pada wilayah Jawa Tengah. Jawa Tengah sendiri merupakan satu-satunya pilot project yang pemenuhan bahan bakunya berasal dari wilayah lain.

Rumah Produksi BersamaSalah satu tantangan yang dihadapi oleh UMKM adalah kemampuan produksi untuk menghasilkan produk yang memiliki daya saing, khususnya guna meningkatkan kontribusi ekspor produk UMKM yang masih berada di angka 13,7 persen. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya meningkatkan peran UMKM melalui pengembangan sentra-sentra kawasan serta pengintegrasian data UMKM. Data ini dibutuhkan agar program pengembangan UMKM nasional menjadi terpadu dan tajam. Dalam rangka pengembangan sentra-

AbstrakMajor Project Pengelolaan Terpadu UMKM merupakan amanat dari

Undang-Undang Cipta Kerja juga sebagai upaya dalam mengintegrasikan kebijakan UMKM yang selama ini bersifat lintas sektoral atau kewilayahan. Artikel ini menjelaskan mengenai rumah produksi bersama serta tantangan yang dihadapi dalam penyediaan akses bahan baku dengan studi kasus pada salah satu bidang usaha yang membutuhkan teknologi tinggi, yakni industri rotan yang pemenuhan bahan bakunya berasal dari wilayah lain. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat mengetahui bagaimana tantangan serta rekomendasi dalam penyediaan akses bahan baku rotan.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

Page 4: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

4 Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

sentra kawasan yang berbasis unggulan daerah potensial ekspor nasional untuk masuk dalam rantai pasok, pemerintah mendirikan rumah produksi bersama. Rumah produksi bersama ini ditujukan bagi UMKM yang membutuhkan peralatan modern namun tidak sanggup untuk membelinya. Adapun dibentuknya rumah produksi bersama dengan tujuan: (1) menjamin kepastian ketersediaan pasokan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan industri; (2) memangkas mata rantai produksi, sehingga memperkuat daya saing produk Indonesia di pasar internasional; (3) meningkatkan produksi, standardisasi, dan perizinan; (4) meningkatkan efisiensi melalui mekanisasi; dan (5) meningkatkan skala usaha sehingga dapat masuk rantai pasok, pasar dalam dan luar negeri.

Adapun pengelolaan produk UKM dalam satu kawasan sentra/klaster UMKM yang terintegrasi dari hulu ke hilir diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk. Nantinya UMKM

tersebut bisa menggunakan rumah produksi bersama ini dalam rangka meningkatkan kualitas produksinya serta membantu dalam hal pemasarannya. Pendirian rumah produksi bersama merupakan tindak lanjut dari major project Pengelolaan Terpadu UMKM melalui sinergitas dengan pemerintah daerah (pemda), K/L terkait, off taker BUMN, BUMD, dan swasta dengan Kementerian Koperasi dan UKM sebagai leading sector. Berkenaan dengan sinergitas dengan pemda dan K/L terkait, contoh bentuk kerja sama dengan para stakeholder dapat dilihat pada tabel 1.

Pada tahap awal pendirian rumah produksi bersama, Kementerian Koperasi dan UKM beserta Kementerian Perindustrian akan melakukan pemetaan terhadap klaster atau sentra UKM yang produk unggulannya menjanjikan untuk diekspor. Selanjutnya Kementerian Koperasi dan UKM melalui sinergitas bersama pemda dan K/L

Tabel 1. Sinergitas K/L dalam Rumah Produksi Bersama

Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM

Page 5: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

5Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

Tantangan Penyediaan Akses Bahan Baku Industri RotanIndonesia sebagai penghasil rotan terbesar di dunia, memiliki beberapa daerah yang terkenal sebagai sentra industri rotan. Guna mengoptimalkan potensi tersebut, pada tahap awal industri rotan yang terletak pada Kabupaten Sukoharjo terpilih sebagai lokasi pilot project rumah produksi bersama. Pemilihan tersebut dilandasi dengan pertimbangan terdapat sekitar 213 UKM di sentra rotan serta para pengrajin mampu mengekspor kerajinan rotan mencapai 100-120 kontainer per bulan. Adapun untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, para pengrajin mendatangkan dari Kalimantan dan Sulawesi. Terkait dengan penyediaan akses bahan baku, penulis mencoba menyampaikan beberapa permasalahan yang kemungkinan menjadi tantangan pada rumah produksi bersama di Jawa Tengah yang terbagi menjadi beberapa kelompok besar antara lain:

Pertama, jenis bahan baku tersedia. Di Indonesia terdapat delapan marga rotan, terdiri atas kurang lebih 306 spesies yang telah teridentifikasi. Menurut Baharuddin dan Taskirawati (2009) sebanyak kurang lebih 50 jenis rotan diantaranya telah dipungut, dipakai, diolah, dan diperdagangkan sejak lama oleh penduduk Indonesia. Dari delapan marga rotan terdapat dua marga rotan yang bernilai ekonomi tinggi yaitu calamus dan daemonorops sedangkan untuk jenis bahan baku rotan lainnya para pengrajin kurang bergairah untuk memanfaatkannya. Dengan demikian pemanfaatan jenis rotan masih terbatas pada jenis-jenis tertentu, dan terbuka peluang untuk memanfaatkannya apabila terjadi kelangkaan bahan baku.

Kedua, harga, posisi dan waktu tunggu bahan baku. Dari berbagai sentra, mayoritas pengrajin cenderung menggunakan bahan baku rotan jenis calamus dan daemonorops yang berasal dari Sulawesi dan Kalimantan. Dengan ketergantungan tersebut

terkait akan melihat potensi usaha, ketersediaan bahan baku, teknologi, sarana dan prasarana pendukung dari masing-masing klaster atau sentra UKM. Setelah dilakukan pemetaan, tentunya akan diketahui bentuk dukungan apa saja yang diperlukan serta bagaimana dukungan yang dapat diberikan oleh para stakeholder. Sebagai contoh, dalam hal penyediaan lahan rumah produksi bersama, dukungan perizinan, fasilitasi dan pendampingan serta ketersediaan penunjang sarana dan prasarana (infrastruktur jalan, listrik, air, dan sebagainya) akan dilakukan oleh pemda setempat. Kemudian terkait bahan baku akan mendapat dukungan dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selanjutnya, pada bagian teknologi dan digitalisasi akan menjadi domain Kementerian Komunikasi dan Informasi. Setelah itu pada aspek kelembagaan, para pelaku UMKM yang berada pada klaster atau sentra UKM yang dinilai siap dari aspek potensi usaha, ketersediaan bahan aku serta sarana dan prasarana akan didorong untuk bergabung membentuk koperasi. Dengan koperasi diharapkan para pelaku UMKM dapat memiliki manajemen yang kuat dan dikelola secara profesional. Lebih lanjut, UMKM dan koperasi yang memanfaatkan rumah produksi akan mendapatkan pendampingan serta difasilitasi baik dalam hal pembiayaan investasi, manajemen, digitalisasi, standardisasi produk, teknologi produksi dan pemasaran. Setelah itu, produk yang dihasilkan pada rumah produksi bersama diharapkan akan terserap oleh BUMN, BUMD maupun swasta untuk kemudian dapat diekspor ke luar negeri serta memenuhi pasar domestik melalui pasar offline dan marketplace dengan difasilitasi oleh Kementerian Perdagangan. Dengan adanya rumah produksi bersama para pelaku UMKM akan mendapatkan perlindungan, kemudahan, pemberdayaan dan kemitraan.

Page 6: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

6 Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

RekomendasiDi tengah upaya mendorong UMKM naik kelas, rumah produksi bersama diharapkan mampu menghasilkan produk yang memiliki daya saing. Dalam aspek penyediaan akses bahan baku terdapat beberapa poin yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah diantaranya: pertama, dukungan dari pemerintah terkait penelitian dan pengembangan agar dalam memproduksi kerajinan rotan, para pengrajin dapat menggunakan jenis rotan selain calamus dan daemonorops. Pengembangan bahan baku alternatif seperti rotan sintetis juga dapat dilakukan demi menjaga kelangsungan usaha industri rotan. Dengan demikian, keanekaragaman rotan dapat tetap terjaga serta mampu mencegah terjadinya kelangkaan bahan baku. Kedua, rumah produksi bersama dapat menjalin kerja sama terkait pemenuhan bahan baku dengan sentra penghasil rotan agar pengrajin dan petani rotan sama-sama mendapatkan harga yang terbaik. Selain itu, manajemen persediaan bisa diterapkan oleh rumah produksi bersama guna mengatasi waktu tunggu bahan baku. Di sisi lain, diperlukan penegakan hukum terhadap larangan ekspor rotan. Ketiga, pemerintah perlu meninjau kembali aspek legalitas yang disyaratkan dengan memberikan kemudahan serta pendampingan dalam hal pengurusan perizinan. Keempat, kata sinergi seringkali kali menjadi barang yang mahal di republik ini padahal kita semua mengerti bahwa itu merupakan kunci untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita bersama. Untuk itu diperlukan langkah serius dari setiap pihak dalam melakukan konsolidasi dan harmonisasi bagi program-program pemberdayaan koperasi dan UMKM di daerah, khususnya rumah produksi bersama.

tentu berpotensi menyebabkan kelangkaan bahan baku dan otomatis menyebabkan kenaikan harga, mengingat pengambilan bahan baku rotan masih bergantung sepenuhnya dari hutan di luar pulau tempat rumah produksi bersama yang membutuhkan waktu dalam proses distribusi. Di sisi lain, meskipun pemerintah sudah mengeluarkan larangan ekspor bahan baku rotan nyatanya di lapangan masih ditemukan penyelundupan. Hal ini tentu mengganggu kelangsungan produksi bahkan dapat menyebabkan proses produksi terhenti. Ketiga, legalitas bahan baku. Menurut Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia, salah satu yang membuat kinerja ekspor kerajinan rotan kurang optimal adalah masih adanya hambatan dalam hal proses pengurusan sertifikat, laik fungsi, serta berlakunya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (Antaranews, 2021).

Daftar PustakaAntaranews. 2021. Ekspor mebel dan kerajinan melonjak 35,41 persen di tengah pandemi. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/2303826/ekspor-mebel-dan-kerajinan-melonjak-3541-persen-di-tengah-pandemi

Bappenas. 2021. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rancangan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2022.

Baharuddin dan Taskirawati. 2009. Hasil Hutan Bukan Kayu. Buku Ajar. Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin.

Jurnal Mitra Sains, Volume 5, Nomor 2, April 2017. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Rotan pada Mebel Rotan Palunesia Collection Team Kota Palu. Diakses dari http://mrtg.untad.ac.id/index.php/MitraSains/article/view/67

Page 7: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

7Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

Jurnal USU, 2013. Jenis Rotan, Produk Rotan Olahan dan Analisis Ekonomi pada Industri Pengolahan Rotan Komersial di Kota Medan. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/157164-ID-jenis-rotan-produk-rotan-olahan-dan-anal.pdf

Kementerian Koperasi dan UKM. 2021. Bahan Paparan Program Major Project

Pengelolaan Terpadu UMKM melalui Rumah Produksi Bersama.

Medco.id. 2021. Kemenkop UKM Mulai Bangun Rumah Produksi Bersama Tahun Ini. Diakses dari https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/0kp49AEk-kemenkop-ukm-mulai-bangun-rumah-produksi-bersama-tahun-ini

Page 8: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

8 Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

Pertengahan Juni 2021 tingkat kasus Covid-19 kembali tereskalasi, dengan ini pemerintah

mengambil kebijakan pengetatan pembatasan aktivitas masyarakat di awal semester II tahun 2021. Kebijakan PPKM berdampak pada operasional perusahaan dan jam kerja pekerja. Padahal saat ini dunia usaha sedang dalam tahap menuju recovery. Sehingga untuk mempertahankan daya beli masyarakat, maka pemerintah mengeluarkan Program Perlindungan Sosial (Perlinsos) berupa Bantuan Subsidi Upah (BSU).Bantuan Subsidi Upah (BSU) Tahun 2021BSU tahun 2021 merupakan program pemerintah berupa bantuan tunai yang diberikan untuk pekerja yang dirumahkan atau mengalami pengurangan jam kerja yang dianggarkan diluar Program Kartu Prakerja. Program ini dilaksanakan pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Kerja sama dan koordinasi ini bertujuan agar penerima BSU tidak sedang menerima Program Perlinsos lain seperti Kartu Prakerja, Program Keluarga Harapan (PKH),

dan Bantuan Pemerintah Usaha Mikro (BPUM). BSU ini berupa pemberian bantuan sebesar Rp1.000.000 per orang dalam 1 tahap untuk 2 bulan upah atau sebesar Rp500.000 per orang per bulan. BSU hanya dapat ditransfer ke rekening bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara).Tujuan dari BSU tahun 2021 adalah untuk membantu meringankan beban pengusaha agar dapat mempertahankan usahanya di masa pandemi Covid-19, khususnya di masa PPKM darurat. Bagi pekerja, BSU bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, menjaga tingkat kesejahteraan pekerja, dan menjaga kemampuan ekonomi selama masa pandemi Covid-19 terutama bagi pekerja yang bekerja di wilayah PPKM.Kriteria Penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU)Pada tahun 2020 pemerintah sudah menyalurkan BSU. Namun kriteria penyaluran BSU di tahun 2021 berbeda dengan BSU tahun 2020. Tabel 1 menunjukkan perbedaan kriteria penerima BSU tahun 2020 dan BSU tahun 2021.

Kebijakan Bantuan Subsidi Upah Tahun 2021oleh

Firly Nur Agustiani*)Martha Carolina**)

AbstrakProgram BSU merupakan implementasi yang dilakukan pemerintah dalam

upaya melakukan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat melatar belakangi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk melaksanakan program Bantuan Subsidi Upah (BSU). Dimana salah satu tujuan program ini ialah untuk meningkatkan daya beli masyarakat khususnya bagi pekerja di wilayah PPKM level 3 dan 4. Artikel ini akan menjelaskan pelaksanaan BSU tahun 2021, BSU ini diberikan kepada pekerja. Dalam penyalurannya diperlukan pengawasan yang tepat dan dilakukan evaluasi setiap minggu untuk memastikan BSU ini mampu mempengaruhi daya beli masyarakat.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

Page 9: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

9Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

Berdasarkan tabel 1, tidak semua pekerja yang terdampak pandemi Covid-19 mendapatkan BSU. Dasar dari penentuan kriteria penerima BSU tahun 2021 adalah sebagai berikut : (1) Penentuan nominal upah didasarkan pada hasil survei dan evaluasi yang dilakukan oleh Kemnaker, BPJS Ketenagakerjaan bersama Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang menunjukkan rata-rata penghasilan pekerja penerima BSU tahun 2020 sebesar Rp3.500.000 per bulan; (2) Dasar penentuan wilayah kerja penerima BSU hanya pada PPKM level 3 dan 4, dikarenakan wilayah PPKM level 3 dan 4 termasuk wilayah industri yang paling dibatasi jenis dan jam operasionalnya, sehingga pekerja di wilayah tersebut tentu paling merasakan dampak berkurangnya penghasilan atau pendapatan selama pandemi

Covid-19; dan (3) Sektor penerima BSU diutamakan yang bekerja di sektor usaha industri barang konsumsi, transportasi, aneka industri, properti, real estate, perdagangan, dan jasa, sektor ini mendapat BSU karena upah pekerjanya mengalami penurunan akibat PPKM, yang mana saat PPKM sektor ini dibatasi atau dilarang beroperasi. Sektor jasa pendidikan dan kesehatan dikecualikan karena sudah memiliki skema subsidi dan insentif sendiri.Mekanisme Penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) Tahun 2021Mekanisme penyaluran BSU tahun 2021 adalah sebagai berikut : (1) Kemnaker meminta data calon penerima BSU ke BPJS Ketenagakerjaan; (2) BPJS Ketenagakerjaan melakukan verifikasi data dan pengelompokan rekening sebelum diserahkan ke Kemnaker; (3)

Sumber : Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan, 2021 (data diolah)

Tabel 1. Perbedaan Kriteria Penerima BSU Tahun 2020 dan BSU Tahun 2021

Page 10: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

10 Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

setelah data diserahkan ke Kemnaker, Kemnaker melalui Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan (Barenbang Naker) melakukan check and screening (kesesuaian data, kelengkapan format data, duplikasi data) dan pemadanan data (penerima Kartu Prakerja, PKH, BPUM); (4) Data kemudian diserahkan ke Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI Jamsostek) Kemnaker (data yang lolos pengecekan (data sudah lengkap) akan diteruskan ke Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan data yang tidak lolos akan dikembalikan ke BPJS Ketenagakerjaan untuk dilakukan perbaikan; dan (5) Data yang lolos dan telah diserahkan ke KPA akan ditetapkan sebagai penerima BSU, kemudian KPA menyerahkan data tersebut ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk dilakukan proses transfer.Untuk mekanisme penyaluran BSU selanjutnya berada di bawah kewenangan Kemnaker, dana dari Kemnaker ditransfer ke rekening Kementerian Keuangan (Kemenkeu) lalu ditransfer ke bank-bank Himbara seperti: PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, dan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau Bank Syariah Indonesia (khusus wilayah Provinsi Aceh) untuk dikreditkan di rekening bank penerima BSU. Apabila penerima BSU memenuhi syarat dan tidak memiliki rekening Himbara, pihak perbankan secara kolektif membuatkan rekening menggunakan data yang terdaftar di Sistem Informasi Pelaporan Perusahaan (SIPP) Online BPJS Ketenagakerjaan. Pencairan BSU akan dilaksanakan secara bertahap berdasarkan data yang diterima Kemnaker dari BPJS Ketenagakerjaan.Realisasi Penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) Tahun 2021BSU mulai diberlakukan sejak diundangkannya Permenaker No. 16

Tahun 2021. Penyaluran BSU dalam menjaga daya beli masyarakat selama pelaksanaan PPKM darurat awalnya dianggarkan untuk 8,4 juta orang. Dimana setiap orangnya memperoleh Rp1.200.000 dalam sekali penyaluran. Dengan diperpanjangnya PPKM darurat, pemerintah menambah anggaran BSU menjadi Rp8,7 triliun. Dimana setiap penerima BSU mendapat Rp1.000.000 dalam sekali penyaluran.Penyaluran BSU dilaksanakan dalam 4 (empat) tahap, tahap I sebanyak 1 juta orang yang mulai disalurkan tanggal 2 Agustus 2021. Tahap II ditargetkan sudah mencapai 1,2 juta orang yang mulai disalurkan tanggal 19 Agustus 2021. Tahap III ditargetkan sudah mencapai 6,6 juta orang. Sedangkan tahap IV ditargetkan sudah tersalurkan kepada 8,78 juta orang. Realisasi penyaluran BSU per tanggal 10 Agustus 2021 mencapai Rp947,499 miliar kepada 947.499 orang, dan per tanggal 20 Agustus 2021 mencapai Rp2,09 triliun kepada 2.093.282 orang.Bhima Yudhistira (Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios)), menilai pemberian BSU ini tidak akan terlalu memengaruhi daya beli masyarakat. Hal ini dikarenakan penurunan aktivitas ekonomi lebih dalam dibanding bantuan pemerintah. Nilai BSU yang diberikan pun terlalu sedikit dan tidak mencukupi jika hanya Rp500.000 per bulan. Selain itu, tidak sedikit pekerja yang dirumahkan tanpa digaji selama PPKM darurat. Daftar Pustaka

RekomendasiDalam pelaksanaan BSU tahun 2021 perlu dilakukan pengawasan yang tepat saat proses penyaluran, dan dilakukan evaluasi setiap minggunya untuk melihat ada tidaknya perubahan status level PPKM dan daya beli masyarakat pada penerima BSU.

Page 11: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

11Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

Antaranews. 2021. Kemnaker mulai proses penyaluran BSU 2021 tahap II. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/2337582/kemnaker-mulai-proses-penyaluran-bsu-2021-tahap-ii pada tanggal 20 Agustus 2021 Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 Corona Virus Disease 2019 Di Wilayah Jawa Dan BaliInstruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro Dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 Di Tingkat Desa Dan Kelurahan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019Katadata. 2021. Kemenkeu Mulai Cairkan Bantuan Subsidi Upah Rp 1 Juta Tiap Pekerja. Diakses dari https://katadata.co.id/yuliawati/finansial/6112681265bdf/kemenkeu-mulai-cairkan-bantuan-subsidi-upah-rp-1-juta-tiap-pekerja pada tanggal 20 Agustus 2021Kementerian Ketenagakerjaan. 2021. BSU 2021 Diharapkan Dorong Pertumbuhan Ekonomi. Diakses dari https://kemnaker.go.id/news/detail/bsu-2021-diharapkan-dorong-pertumbuhan-ekonomi pada tanggal 21 Agustus 2021Kementerian Ketenagakerjaan. 2021. Cegah PHK, Pemerintah Luncurkan Bantuan Subsidi Upah Bagi Pekerja. Diakses dari https://kemnaker.go.id/news/detail/cegah-phk-pemerintah-

luncurkan-bantuan-subsidi-upah-bagi-pekerja pada tanggal 21 Agustus 2021Kementerian Ketenagakerjaan. 2021. Pusat Bantuan Kemnaker. Diakses dari https://bantuan.kemnaker.go.id/ pada tanggal 20 Agustus 2021 Kementerian Keuangan. 2021. APBN Kita. Juli 2021.Kontan. 2021. Besaran nilai BSU tahun ini dinilai tak cukup mengerek daya beli masyarakat. Diakses dari https://newssetup. kontan.co.id/news/besaran-nilai-bsu-tahun-ini-dinilai-tak-cukup-mengerek-daya-beli-masyarakat?page=all pada tanggal 28 Agustus 2021Kontan. 2021. Ini 3 perbedaan bantuan subsidi upah tahun 2021 dengan 2020. Diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/ini-3-perbedaan-bantuan-subsidi-upah-tahun-2021-dengan-2020 pada tanggal 20 Agustus 2021Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Gaji/Upah Bagi Pekerja/Buruh Dalam Penanganan Dampak Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Gaji/Upah Bagi Pekerja/Buruh Dalam Penanganan Dampak Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)

Page 12: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

12 Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

Lahirnya otonomi daerah merupakan bagian dari tuntutan reformasi setelah lengsernya Presiden

Soeharto pada 1998. Penyelenggaraan negara selama 32 tahun di bawah rezim kekuasaan orde baru cenderung sentralistik dan otoriter. Era reformasi hadir dengan mengubah pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dari sentralisasi wewenang menjadi desentralisasi (otonomi). Sehingga lahirlah Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan direvisi kembali dengan UU No 23 Tahun 2014) dan UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004). Otonomi daerah bertujuan agar pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola ekonomi dan keuangan daerah. Hal tersebut dimaksudkan agar pembangunan ekonomi terutama di daerah optimal serta dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Hal tersebut sesuai dengan sila ke-5 Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Setelah dua dekade implementasi otonomi daerah, variabel indikator pembangunan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Pasca krisis 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan positif dan mampu tumbuh hingga lebih dari 6 persen. Kemiskinan berkurang dari 17,47 persen (34,01 juta jiwa) pada 1996 menjadi 9,22 persen (24,8 juta jiwa) pada 2019. Per Maret 2021 angka kemiskinan kembali naik ke posisi 10,14 persen (27,5 juta jiwa) sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga mengalami peningkatan di mana pada 1996 sebesar 67,7 menjadi 71,92 pada 2020 (Dokumen KEM PPKF, 2022). Perkembangan indikator pembangunan yang menggembirakan tersebut, belum menyelesaikan persoalan pemerataan baik antarindividu maupun antarwilayah. Pada tahun 1996, gini rasio sempat menyentuh angka 0,36 kemudian turun menjadi 0,31 pada 1999. Setelah tahun 2000, gini rasio meningkat signifikan hingga mencapai angka 0,414 (2014). Setelah turun menjadi 0,380 (2019), gini rasio kembali naik menjadi 0,385 pada 2020. Meskipun menunjukkan tren

AbstrakLahirnya otonomi daerah merupakan bagian dari tuntutan reformasi setelah

berakhirnya masa kekuasaan orde baru. Setelah dua dekade implementasi otonomi daerah, indikator pembangunan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Namun belum menyelesaikan persoalan pemerataan baik antarindividu maupun antarwilayah. Pada tahun 1996, gini rasio sempat menyentuh angka 0,36. Kemudian meningkat menjadi 0,385 pada 2020. Beberapa catatan menjadi penyebab masih tingginya tingkat ketimpangan di era otonomi daerah. Faktor tersebut antara lain: kebijakan desentralisasi fiskal yang belum optimal, pertumbuhan ekonomi belum inklusif, akses yang tidak merata terhadap infrastruktur dan lahan, perbedaan upah minimum regional, serta perbedaan aliran investasi antardaerah.

Catatan Atas Ketimpangan di Era Otonomi Daerah

oleh Mujiburrahman*)Ade Nurul Aida**)

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

Page 13: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

13Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

penurunan sejak 2014, namun posisi gini rasio era otonomi daerah belum mampu mencapai titik terendah pada era sebelum otonomi daerah. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan besar pada daerah belum mampu mereduksi tingkat ketimpangan. Selama lebih dari dua dekade implementasi otonomi daerah, mengapa kebijakan desentralisasi fiskal tidak mampu mereduksi tingkat ketimpangan? Faktor apa saja yang memengaruhinya? Tulisan ini mencoba untuk menjawab apa yang menjadi penyebab meningkatnya ketimpangan di era otonomi daerah. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Belum Optimal Turunkan KetimpanganOtonomi daerah melalui desentralisasi fiskal yang tujuan utamanya untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan dan kesenjangan pelayanan publik di daerah belum mampu sepenuhnya mereduksi tingkat ketimpangan. Instrumen desentralisasi fiskal melalui dana perimbangan belum mendorong ketimpangan turun. Kajian yang dilakukan oleh INDEF (2017) menyebutkan bahwa ada korelasi positif antara dana transfer ke daerah dengan tingkat ketimpangan. Semakin tinggi dana transfer, angka indeks gini meningkat (ketimpangan melebar). Daerah-daerah yang mendapat alokasi dana transfer berupa Dana Alokasi Umum (DAU) menunjukkan tingkat ketimpangan tinggi selama periode 2006-2016. Namun demikian menurut INDEF, untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) menunjukkan hal sebaliknya. Kajian dampak desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan juga dilakukan oleh Dyah (2012) dan Zakaria (2013). Kedua penelitian tersebut menemukan fakta bahwa desentralisasi fiskal belum mampu mengurangi tingkat disparitas antar daerah. Selain itu, belanja daerah untuk pelayanan dasar pendidikan juga menunjukkan hubungan yang positif

dengan tingkat ketimpangan. Patut diduga bahwa belanja sektor pendidikan sesuai dengan mandatory spending 20 persen APBN belum optimal untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Alokasi anggaran untuk sektor pendidikan lebih besar untuk belanja rutin gaji guru. Pertumbuhan Ekonomi Masih Belum InklusifPertumbuhan ekonomi daerah yang tercermin dari produk domestik regional bruto (PDRB) juga menunjukkan situasi yang sama dengan DAU. Menurut kajian INDEF (2018), laju pertumbuhan PDRB berkorelasi positif dengan tingkat ketimpangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum inklusif atau belum berkualitas menurunkan tingkat ketimpangan termasuk juga kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang belum inklusif tersebut akan berdampak pada perlambatan pengurangan tingkat ketimpangan. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi masih relatif terkonsentrasi di Pulau Jawa. Efektif tidaknya desentralisasi adalah dengan semakin tersebarnya pusat perekonomian di berbagai daerah. Pusat pertumbuhan ekonomi tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa saja (Jawa sentris). Jika dilihat dari distribusi PDRB per wilayah, terlihat bahwa distribusi PDRB sebelum desentralisasi dan setelahnya tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Pulau Jawa masih memiliki kontribusi tertinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dibandingkan wilayah lainnya hampir mencapai 60 persen. Perbedaan Perlakuan Terhadap Upah Minimum Regional (UMR)Perbedaan upah minimum turut berkontribusi terhadap ketimpangan pendapatan. Upah minimum merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam menciptakan pemerataan pendapatan. Perbedaan upah minimum tersebut berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya tergantung

Page 14: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

14 Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

pada tingkat aktivitas perekonomian dan tingkat inflasi (harga barang dan jasa) di mana besarannya diatur dalam undang-undang atau yang dikenal dengan UMR. Menurut kajian yang dilakukan INDEF (2018), tingkat upah minimum berhubungan positif dengan tingkat ketimpangan. Upah minimum hanya diperuntukkan bagi pekerja formal dan pada sektor tertentu saja terutama manufaktur dan jasa. Sedangkan pekerja di sektor lain tidak mendapatkan UMR dan kemudian upahnya relatif berada di bawah UMR. Apabila upah minimum meningkat, maka hanya pekerja sektor formal saja yang kemudian merasakan dampaknya. Sedangkan kenaikan UMR bagi pekerja informal tidak akan berdampak bagi mereka, karena mereka tidak menerima upah seperti pekerja formal. Perbedaan perlakuan terhadap tingkat upah minimum tersebut berdampak pada meningkatnya tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia. Akses yang Tidak Merata Terhadap Infrastruktur dan LahanBelum meratanya pembangunan infrastruktur turut menjadi salah satu penyebab ketimpangan di era otonomi daerah di Indonesia. Kajian yang dilakukan oleh Oxfam (2017) menyatakan bahwa akses terhadap infrastruktur seperti jalan, jembatan, telekomunikasi dan listrik dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan. Hal tersebut dapat mendorong pengurangan ketimpangan ekonomi secara keseluruhan. Pembangunan infrastruktur yang terbatas masih dominan di kawasan timur Indonesia. Hal tersebut diakui oleh Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke berbagai daerah di kawasan timur Indonesia (Kompas, 2019). Infrastruktur jalan di wilayah pedesaan Indonesia Timur 57 persen berada dalam kondisi memprihatinkan. Padahal infrastruktur jalan di wilayah desa meliputi 80 persen dari total jaringan jalan di Indonesia (Oxfam, 2017). Kondisi jalan yang buruk di daerah pedesaan menyebabkan

terisolasinya para petani secara geografis sehingga mereka tidak dapat mengakses pasar yang lebih luas. Selain itu, mereka akan memperoleh harga yang rendah atas komoditas pertanian mereka. Faktor lain yang berkontribusi terhadap ketimpangan adalah kurangnya akses terhadap lahan. Pada umumnya, petani kecil di berbagai daerah menggarap rata-rata kurang dari 0,25 Ha lahan. Kajian yang dilakukan oleh Transpormasi Untuk Keadilan dan Profundo (dalam Oxfam, 2017) menemukan fakta bahwa hanya dengan 25 kelompok perusahaan besar menguasai 51 persen (dari 5,1 juta Ha) perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Konsentrasi kepemilikan lahan pada perusahaan besar maka konsekusensi nya adalah penumpukan kepemilikan lahan pada orang-orang kaya dan tidak terbagi secara merata. Akses terhadap lahan yang tidak merata akan mendorong terjadinya ketimpangan yang lebih luas. Perbedaan Aliran Investasi AntardaerahInvestasi menjadi instrumen penting untuk meningkatkan pembangunan ekonomi daerah untuk mengurangi tingkat ketimpangan. Investasi penting untuk meningkatkan ketersediaan cadangan modal. Investasi terutama yang bersumber dari asing dipandang signifikan karena akan memfasilitasi terjadinya transfer teknologi (Firdaus, 2012). Besar kecilnya investasi di suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk sumber daya manusia (SDM) dan ukuran pasar (PDRB). Investasi akan cenderung mengalir ke daerah dengan faktor ukuran pasar yang lebih besar, tingkat kemajuan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang lebih maju dan SDM yang berkualitas. Aliran investasi baik domestik maupun asing saat ini di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan fakta ketimpangan yang sangat signifikan. Aliran investasi asing dan domestik masih dominan dikuasai oleh daerah

Page 15: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

15Buletin APBN Vol. VI. Ed. 16, September 2021

RekomendasiBerdasarkan beberapa catatan di atas, maka penulis merekomendasikan beberapa hal: pertama, pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap kebijakan desentralisasi fiskal terutama dana DAU agar tidak semakin mempertajam ketimpangan. Perubahan paradigma daerah dalam memaknai desentralisasi tidak hanya berhenti pada fiskal saja, namun sampai pada desentralisasi ekonomi, sehingga akan mendorong kepala daerah untuk membangun perekonomian daerahnya dan bukan berlomba-lomba meningkatkan retribusi yang hanya berorientasi pada peningkatan fiskal. Kedua, pemerintah daerah perlu mendorong agar instrumen dana perimbangan DAU dan DAK tepat sasaran sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah yang berkualitas dan mampu mengurangi ketimpangan. Ketiga, pemerintah harus mendesain ulang skema upah minimum regional agar tidak terjadi perbedaan perlakuan upah yang diterima, terutama oleh pekerja nonformal. Keempat, pemerintah harus memastikan akses yang merata pada infrastruktur dan lahan terutama di kawasan Indonesia timur. Kelima, pemerintah perlu mendorong investasi ke daerah-daerah Pulau Jawa terutama daerah yang kaya akan SDA agar investasi tidak semata-mata menuju ke daerah di Pulau Jawa.

Pulau Jawa dengan tingkat aliran investasi lebih dari 70 persen, 30 persen sisanya tersebar di seluruh daerah lain di luar Jawa. Hal ini semakin memperlebar jurang ketimpangan antardaerah. Lima provinsi di Jawa mendapatkan aliran investasi domestik mencapai Rp918 triliun secara akumulatif sejak 2016. Sedangkan untuk penanaman modal asing (PMA) lebih dari USD50 miliar mengalir ke provinsi di Pulau Jawa. Temuan penelitian Firdaus (2017), menunjukkan bahwa investasi akan cenderung datang ke daerah-daerah yang sudah lebih dahulu maju dengan infrastruktur yang baik dan SDM yang memadai. Daerah yang sudah maju tersebut akan terus maju dan berkembang meninggalkan daerah kurang berkembang sehingga ketimpangan terus terjadi dan semakin melebar. Daftar PustakaDyah, SM. 2012. The Impacts of Fiscal Decentralization on Income Inequality in Indonesia. Diakses dari: https://core.ac.uk/download/pdf/144437007.pdf pada tanggal 22 Agustus 2021.Firdaus. M. 2017. Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia: Fakta dan Strategi Inisiatif.

Institute For Development of Economic and Finance (INDEF). 2018. Ketimpangan di Era Otonomi. Jakarta. Kementerian Keuangan. 2021. Dokumen KEM PKF 2022 Reformasi Birokrasi dan Reformasi Struktural. Diakses dari https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/kem-ppkf pada tanggal 20 Agustus 2021. Kompas. 2019. Jokowi Akui Ada Ketimpangan Pembangunan di Wilayah Timur Indonesia. Diakses dari : https://regional.kompas.com/read/2019/10/29/14105121/jokowi-akui-ada-ketimpangan-pembangunan-di-wilayah-timur-indonesia pada tanggal 22 Agustus 2021.Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. Diakses dari : http://mfirdaus.staff.ipb.ac.id/files/2017/10/ORASI_ILMIAH_GURU_BESAR-72dpi.pdf pada tanggal 18 Agustus 2021. OXFAM. 2017. Oxfam Briefing Paper. Diakses dari https://www.google.com/Zakaria, S. 2013. The Impact of Fiscal Decentralization toward Regional Inequalities in Eastern Region of Indonesia. Diakses dari: http://pws.npru.ac.th/chanokchone/data/files/6516-8527-1-PB.pdf pada tanggal 17 Agustus 2021.

Page 16: Rumah Produksi Bersama: Tantangan Penyediaan Akses Bahan

“Siap Memberikan Dukungan Fungsi Anggaran Secara Profesional”

Buletin APBNPusat Kajian AnggaranBadan Keahlian DPR RI

www.puskajianggaran.dpr.go.idTelp. 021-5715635, Fax. 021-5715635

Twitter: @puskajianggaranInstagram: puskajianggaran