Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Universitas Indonesia
RUMAH TUO KAMPAI NAN PANJANG: KAJIAN NILAI-NILAI
BUDAYA DAN PEMANFAATANNYA
Dr. Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan, M.Si. dan Yoka Febriola S.Hum.
Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
[email protected], [email protected]
Abstrak
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang merupakan rumah tradisional Suku Minangkabau yang menunjukkan tingkat
kemahiran manusia masa lampau dalam seni bangunan. Rumah yang didirikan pada abad ke-16 ini masih
menunjukkan keaslian dan berdiri kokoh hingga saat ini. Nilai-nilai penting yang dimiliki berupa nilai-nilai budaya
yang tercermin dalam simbol-simbol menjadikan rumah ini layak menjadi cagar budaya tingkat provinsi.
Kata Kunci: Rumah Tuo Kampai Nan Panjang, Minangkabau, nilai-nilai budaya, cagar budaya.
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang: Study of Cultural Values and its Utilization
Abstract
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang is a traditional house of Minangkabau tribe thatshowed the building art skill level
of people from the past. The housewas established in 16th century and still shown its purity, stood firm until now.
The important values from this house was culture values that reflected in symbols, making this house worth to be a
cultural heritage in the provincial level.
Keyword: Rumah Tuo Kampai Nan Panjang, Minangkabau, Cultural values, cultural heritage.
Pendahuluan
Di Minangkabau dikenal bentuk bangunan tradisional
yaitu rumah gadang, yang merupakan hasil karya
nenek moyang, dibangun sesuai tradisi yang bersifat
turun-temurun dalam bentuk fisik bangunan, fungsi
atau kegunaan serta konstruksi dalam pengolahan dan
pemakaian bahan dan menjadi gambaran manusia
masa lampau dalam memenuhi kebutuhan primer
(Mutia, 2001: 18).
Rumah gadang dapat dianggap sebagai cagar budaya
karena merepresentasikan ide-ide, nilai-nilai, dan
kreativitas nenek moyang. Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang sebagai salah satu rumah gadang yang masih
memperlihatkan keasliannya yang dibangun pada
awal abad 16, dari sudut pandang signifikansi
budaya, bangunan ini memiliki nilai penting dalam
kajian sejarah, kebudayaan, dan bidang ilmu lainnya
(Izati, 2002: 12).
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang menjadi
perwakilan tipe rumah khas daerah Tanah Datar,
yaitu tipe gajah maharam. Selain itu, Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang memiliki Keunikan dari bentuk
pintu kamar yang oval, yang hanya ditemukan di
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013
2
Universitas Indonesia
satu-satunya rumah gadang di Sumatera Barat
sehingga menjadi salah satu alasan pemilihan topik
ini. Adanya nilai-nilai penting, perwakilan tipe rumah
gadang, dan keunikan pada bagian rumah, menjadi
alasan-alasan penting dilakukannya kajian terhadap
bangunan Rumah Tuo Kampai Nan Panjang.
Nilai-nilai penting yang dimiliki oleh bangunan
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang harus dilestarikan
karena nilai-nilai tersebut merupakan data arkeologi
yang dapat terus dimanfaatkan. Nilai-nilai penting
tersebut berupa nilai-nilai budaya yang tercermin
dalam simbol-simbol tertentu, seperti simbol
keyakinan, simbol teknologi lokal, simbol sosial,
maupun simbol filosofis. Menurut Dradjat (1995),
data arkeologi dikenal juga sebagai sumber daya
budaya mati karena sifatnya yang terbatas, tidak
dapat diperbaharui, tidak dapat dipindahkan, dan
mudah rapuh.
Keterbatasan data arkeologi menjadikan pelestarian
sebagai upaya mutlak untuk mempertahankan
keberadaannya dan pelestarian diatur secara legal
dalam undang-undang mengenai cagar budaya.
Menurut Price (1990) dalam Sulistyanto (2006),
upaya pelestarian cagar budaya pada dasarnya
merupakan cara untuk merepresentasi karya leluhur
masa lampau agar masyarakat sekarang dapat
memanfaatkannya Pemanfaatan tersebut hendaknya
memiliki daya guna bagi masyarakat karena dinilai
sebagai usaha untuk dapat memberikan perhatian
secara berkesinambungan terhadap keberadaan benda
tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian mengenai kajian pemanfaatan Bangunan
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang menggunakan
tahapan yang dapat diterapkan dalam jenis penelitian
manajemen sumber daya budaya yang dalam hal ini
terkait dengan pemanfaatan cagar budaya. Menurut
Fagan (2006: 121-127), tahapan tersebut adalah:
1. Rancangan penelitian;
2. Persiapan dana penelitian dan perlengkapan lain
yang menunjang penelitian; baik berupa peralatan
maupun literatur;
3. Pengumpulan data;
4. Analisis;
5. Penafsiran dan penyimpulan data, serta publikasi.
Seluruh tahap penelitian ini digunakan dalam proses
penelitian, namun dalam ada beberapa tahapan yang
menjadi fokus penelitian, yaitu pengumpulan data,
analisis, penyimpulan, serta publikasi dalam bentuk
artikel ilmiah.
Pada tahap pengumpulan data, digunakan data
laporan dan artikel mengenai nilai-nilai cagar budaya
dan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan pada
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang yang dibuat oleh
pengelola atau pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya
setempat. Pengumpulan data dilakukan melalui studi
kepustakaan berupa pengumpulan sumber-sumber
pustaka yang berhubungan dengan kebudayaan
Minangkabau, khususnya konsep bangunan, fungsi
rumah gadang, serta upaya pelestarian rumah
gadang. Dalam studi lapangan dilakukan deskripsi
mengenai bangunan, menyangkut bagian-bagian
bangunan, dan nilai-nilai cagar budaya pada
bangunan. Lalu diamati juga lingkungan dan
bangunan-bangunan rumah gadang lainnya untuk
dilihat sebagai pengayaan data tentang rumah
tradisional setempat. Pada studi lapangan, dilakukan
pengambilan dan pengumpulan foto-foto bangunan
dan lokasi sekitar bangunan serta pengumpulan peta
objek penelitian dan denah bangunan. Oleh karena
minimnya data mengenai sejarah bangunan,
dilakukan wawancara untuk mendapatkan keterangan
lisan dari narasumber.
Tahap kedua adalah pengolahan data berupa analisis.
kontekstual dan analisis khusus. Analisis khusus
merupakan analisis yang menitikberatkan pada ciri-
ciri fisik artefak, sedangkan analisis kontekstual
menitikberatkan pada hubungan antar data arkeologi
(Sukendar, dkk, 1999: 39-40). Dalam analisis khusus
dilakukan pengamatan berdasarkan jenis-jenis atribut
yang ada pada bangunan Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang, yaitu: atribut bentuk yang diamati adalah
bagian-bagian atau komponen bangunan, komponen
tersebut dideskripsikan dari bagian kaki, tubuh, dan
atap. Pada analisis atribut teknologi, diamati bahan
yang digunakan dalam pembuatan bangunan. Rumah
Tradisional pada umumnya dibuat dengan
menggunakan kayu, begitu juga dengan Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang. Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang secara umum menggunakan bahan dasar
kayu dari pohon yang sudah tua. Analisis gaya
dilakukan dengan mengamati berbagai macam ragam
hias pada bangunan,untuk melihat pengaruh-
pengaruh arsitektur asing. Pada Rumah Tuo Kampai
Nan Panjang, secara umum ragam hiasnya
merupakan ukiran lokal hasil kebudayaan
Minangkabau.
Selain analisis khusus, pada tahap ini juga dilakukan
analisis kontekstual. Satuan pengamatan adalah
lingkungan fisik di sekitar bangunan, hal ini untuk
mengetahui nilai-nilai budaya, dan kegiatan-kegiatan
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013
3
Universitas Indonesia
pemanfaatan pada bangunan. Analisis konstektual
menjadi dasar untuk mengevaluasi kegiatan-kegiatan
pemanfaatan yang telah dilakukan oleh masyarakat.
Pada tahap penyimpulan data, data yang telah diolah
dibandingkan dengan keadaan atau kondisi yang
ideal menurut literatur. Pemaparan keadaan ideal
menurut literatur yang sesuai dengan kondisi
Bangunan Rumah Tuo Kampai Nan Panjang,
dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai
nilai-nilai cagar budaya bangunan, fungsi bangunan,
dan kesimpulan mengenai upaya pemanfaatan cagar
budaya yang sejalan dengan upaya pelestariannya.
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang merupakan salah
satu rumah tertua di Minangkabau yang dibangun
sekitar abad ke-16. Rumah ini merupakan Kampai.
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang merupakan rumah
adat tradisional yang telah diwariskan secara turun-
temurun pada lima generasi suku Kampai. Rumah
Tuo Rumah Tuo Kampai Nan Panjang merupakan
rumah kaum yaitu tempat berkumpulnya suatu kaum
untuk melakukan berbagai aktivitas (Izati, 2002: 44).
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang dengan ukurannya
yang luas memberikan indikasi, bahwa rumah ini
juga memiliki fungsi adat, yaitu sebagai tempat
berlangsungnya berbagai peristiwa adat dan tempat
untuk menjamu masyarakat kaum lainnya. Pengaruh
sistem kekerabatan dalam konsep hunian masyarakat
Minangkabau juga terlihat pada fungsi Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang.
Nilai-Nilai Budaya Rumah Tuo Kampai
Nan Panjang.
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang masih
memperlihatkan keasliannya hingga saat ini padahal
rumah gadang lain di Nagari Balimbing yang
dibangun pada masa hampir bersamaan, sudah
banyak yang rusak. Bangunan ini pada awalnya
difungsikan sebagai tempat melangsungkan aktivitas
sehari-hari dan sebagai pusat kegiatan adat.
Dahulunya rumah ini dipakai sebagai tempat
musyawarah kaum adat. Adapun musyawarah yang
dilakukan di rumah gadang kaum terkait
permasalahan pengangkatan penghulu dan
penggadaian harta pusaka. Permasalahan
penggadaian harta pusaka dalam kehidupan
masyarakat kaum hanya dapat dilakukan pada tiga
perkara, yaitu ketika anak perempuan belum
bersuami, prosesi pemakaman anggota kaum, dan
rumah gadang sedang rusak. Selain itu, rumah
gadang berfungsi sebagai tempat melahirkan sosok
penghulu dan menjadi tempat proses pengangkatan
penghulu. Rumah Tuo Kampai Nan Panjang pada
masa dahulunya ditempati oleh anggota kaum Suku
Kampai dan rumah ini sama dengan rumah gadang
lainnya yaitu sebagai tempat kedudukan kaum
perempuan. Sistem matrineal yang dianut di
Minangkabau menjadikan rumah ini sebagai pusat
kedudukan kaum wanita keturunan Suku Kampai,
namun bukan berarti kaum laki-laki tidak memiliki
akses terhadap rumah gadang. Kaum laki-laki yang
diwarisi sako (gelar), segala sesuatu mengenai proses
pewarisan dan pengangkatannya dilakukan di rumah
gadang.
arsitektur bangunan-bangunan masa kini. Tiap-tiap
elemen dan bagian dari bangunan tradisional
memiliki fungsi konstruksi dan fungsi simbolis. Ada
bagian-bagian yang memiliki makna dalam
kehidupan sosial budaya masyarakat. Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang memiliki nilai-nilai budaya
yang mencerminkan aspek-aspek kehidupan
masyarakat nagari Balimbing. Adapun nilai-nilai
cagar budaya dapat di manfaatkan untuk kepentingan
agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan,
teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Nilai-nilai
tersebut tercermin pada bentuk bangunan, pola tata
ruang bangunan, dan komponen-komponen
bangunan.
Bentuk Rumah Gadang
Secara keseluruhan rumah gadang berbentuk perahu
meskipun kemudian ada tipe-tipe tertentu. Bentuk ini
sudah secara turun-temurun dihubungkan dengan
peristiwa kandasnya kapal Sri Maharajo Dirajo di
Minangkabau. Jika dikaitkan dengan kebudayaan,
bentuk perahu dapat dimaknai sebagai simbol
keyakinan, bahwasanya sebuah rumah tangga yang
akan mengarungi kehidupan dengan segala rintangan
dan halangan, sehingga biduk tersebut harus tangguh
dan kuat agar bertahan lama. Begitu juga dengan
Rumah Tuo Kampai, dengan konstruksinya masih
tetap kuat dan bertahan hingga saat ini.
Tata Ruang Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang.
Ruangan Rumah Tuo Kampai Nan Panjang dibagi
menjadi beberapa bagian berdasarkan kebutuhan
kaumnya. Penataan ruangan pada Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang terdiri atas penempatan ruang
utama, kamar, dapur, dan tempat aluang. Penataan
ruang masih sangat sederhana, dan disesuaikan
dengan fungsinya sebagai rumah kaum. Ruang dalam
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013
4
Universitas Indonesia
bangunan ini terdiri dari: Ruang utama merupakan
ruang lepas berbentuk persegi panjang yang dibatasi
oleh deretan-deretan tiang, dan menjadi pusat
berbagai aktivitas kaum.
Ruang Utama Rumah Tuo Kampai Nan Panjang
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2013)
Kamar terletak pada bagian belakang ruangan utama,
yaitu pada lantai yang ditinggikan. Kamar berjumlah
tujuh buah yang dibatasi masing-masing oleh tiang.
Dinding kamar bagian dalam terbuat dari papan,
sedangkan bagian luar terbuat dari tadie. Pintu kamar
menghadap ke ruang utama dan berbentuk oval. Pada
bagian depan pintu kamar terdapat hiasan geometris,
hiasan berupa garis-garis sejajar. Pada bagian depan
pintu kamar, terdapat hiasan menyerupai belah
ketupat dengan beberapa tingkatan yang bagian
tengahnya terdapat besi kecil. Kamar merupakan
simbol bagi wanita di Minangkabau, pembagian
kamar berdasarkan usia menunjukkan nilai sosial dari
sebuah kamar di rumah gadang. Bentuk pintu kamar
yang has hanya ditemukan di Rumah Tuo Kampai,
yaitu bentuk pintu oval. Bentuk pintu seperti ini
merupakan perwujudan nilai-nilai kebudayaan, yaitu
simbol kehati-hatian bagi seorang wanita yang telah
menikah. Jika seorang wanita telah menikah, maka
ia harus selalu menjaga kehormatannya dan
keluarganya. Hanya bagian kamar yang menunjukkan
rumah sebagai pusat kedudukan wanita.
Deretan Kamar dan Pintu Kamar Berbentuk Oval
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2013)
Dapur merupakan tempat pemenuhan kebutuhan
sehari-hari suatu kaum. Penempatan dapur
menunjukkan nilai-nilai sosial, yaitu mekanisme
kontrol mamak terhadap perekonomian kaum dan
sebagai lambang kekeluargaan. Rumah Tuo Kampai.
Masyarakat Minangkabau pada masa dahulunya
menggunakan tungku untuk memasak.Tungku untuk
memasak pada bangunan Rumah Tuo Kampai terdiri
atas susunan tiga buah batu dengan jarak yang sama
pada masing-masingnya. Ketiga batu tersebut tidak
dapat dipisahkan, sehingga harus dipakai bersamaan.
Ini menunjukkan simbol sosial, yaitu nilai-nilai
kepemimpinan antara ninik mamak, cadiak pandai,
dan alim ulama, yang dikenal dengan istilah tungku
tigo sajarangan. Niniak mamak sebagai pemimpin
dalam urusan adat dan orang yang dituakan dalam
kaum. Alim ulama adalah pemimpin dalam urusan
agama dan memiliki ilmu agama yang luas dan iman
sebagai penerang kehidupan. Cadiak pandai adalah
pemimpin yang memiliki pengetahuan dan wawasan
yang luas, serta arif dan bijaksana. Ketiga unsur
kepemimpinan ini dilambangkan dari fungsi tungku
tersebut, jika ada satu yang kurang maka segala
sesuatunya tidak akan berjalan sesuai harapan
masyarakat.
Di Rumah Tuo Kampai Nan Panjang terdapat dua
buah aluang, yang terletak di sisi kanan dan sisi
kiri pintu masuk. Aluang merupakan sebuah kotak
berbentuk persegi panjang sebagai tempat
menyimpan benda-benda milik kaum, seperti
perhiasan, pakaian adat, dan benda-benda pusaka.
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Aluang di Rumah Tuo Kampai
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2013)
Aktivitas masyarakat atau fungsi keseharian serta
fungsi adat pada Rumah Tuo Kampai Nan Panjang
dapat ditelusuri melalui tinggalan-tinggalan
materinya, berupa peralatan pendukung aktivitas
sehari-hari dan peralatan untuk upacara adat, di
antaranya ditemukan sisa-sia bangunan rangkiang,
lesung, wadah makanan dan gong. Gong dahulunya
difungsikan untuk sarana komunikasi dan sosial,
yaitu untuk memberitahukan masyarakat mengenai
suatu peristiwa yang terjadi yaitu berupa upacara-
upacara adat serta berita kematian.
Pada halaman depan Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang ditemukan pondasi sisa-sisa bangunan
rangkiang, yaitu sebagai tempat penyimpanan padi.
Bangunan rangkiang berbentuk bujur sangkar yang
diberi atap ijuk bergonjong. Bentuk rangkiang
menyerupai bangunan rumah gadang, dan tiang
penyangga sama tinggi dengan tiang rumah gadang.
Rangkiang memiliki pintu kecil dan tangga. Tangga
rangkiang bukan tangga permanen, sehingga dapat
dipindah-pindahkan. Rangkiang merupakan lambang
perekonomian kaum.
Selain rangkiang, pada halaman depan Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang juga terdapat sebuah lesung
(lesung). Lesung merupakan sebuah batu yang
ditanam di dalam tanah dan bagian tengahnya
dilubangi. Lesung berfungsi untuk menumbuk padi.
Lesung dilengkapi dengan sebuah kayu bulat
berukuran besar dan panjangyang disebut alu. Lesung
dan alu yang terdapat di Minangkabau sama halnya
dengan lesung dan alu yang terdapat di wilayah
lainnya di Indonesia. Namun ada kekhasan dari
lesung di Minangkabau, yaitu bahan pembuat dan
tata cara penggunaannya. Lesung di Minangkabau
terbuat dari bahan dasar batu yang bagian tengahnya
dilubangi, sedangkan di wilayah Jawa terbuat dari
kayu. Di Minangkabau penggunaan lesung diletakkan
dengan ditanam di tanah, sedangkan di Jawa
langsung digunakan.
Komponen Bangunan Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang
Komponen Rumah Tuo Kampai Nan Panjang pada
bagian kaki terdiri atas sandi, tiang, dan tangga.
Sandi merupakan batu kali berbentuk pipih yang
berfungsi sebagai pondasi bangunan rumah gadang.
Sandi menyiratkan nilai-nilai sosial, suatu
masyarakat akan selaras dan seimbang jika
pondasinya, berupa rasa saling menghormati dan
menghargai tercipta dengan baik.
Dalam kebudayaan Minangkabau, tiang dikenal
dengan nama tonggak. Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang memiliki empat puluh buang tonggak. Salah
satu keunikan dari tonggak-tonggak tersebut adalah
adanya penamaan tonggak tuo. Tonggak tuo
merupakan tonggak pertama yang didirikan dalam
pendirian rumah gadang yang dibuat dari kayu
pohon jua yang sudah tua dan berdaun lebat, hal ini
memiliki makna, bahwa dalam sebuah rumah gadang
harus ada yang dituakan sebagai tokoh panutan. Daun
yang lebat bermakna sebagai simbol kesuburan, agar
setiap kaum dapat berkembang dan jauh dari
kepunahan. Letak tonggak tuo yang berada di bagian
tengah mengandung makna atau pesan buat para
pemimpin agar tidak berat sebelah dan adil dalam
memutuskan berbagai perkara kaum. Tonggak tuo
pada Rumah Tuo Kampai Nan Panjang
menggambarkan sosok seorang pemimpinatau orang
yang dituakan. Tonggak-tonggak penyusun lainnya
diibaratkan sebagai anggota-anggota kaum.
Tangga terdapat pada bagian depan rumah gadang,
persis di depan pintu. Tangga dibuat dari bahan yang
mudah rusak sehingga diberi atap yang bagian
atasnya diberi gonjong. Tiang gonjong terbuat dari
empat buah kayu yang ditegakkan di atas sandi.
Tangga sebagai tempat untuk naik dan turun rumah
menyiratkan simbol budaya berupa mufakat, artinya
dalam menyelesaikan suatu perkara harus
diselesaikan dari bawah. Jumlah tangga Rumah Tuo
Kampai adalah ganjil, yaitu tujuh buah, menyiratkan
simbol agama dalam kehidupan, bahwasanya dalam
kehidupan ini tidak ada yang genap karena genap
sama dengan kesempurnaan, sedangkan ganjil
dimaknai sebagai sesuatu hal yang masih belum
cukup, dan belum lengkap dalam kehidupan ini.
Jumlah anak tangga tujuh buah dapat juga dimaknai
sebagai simbol keturunan Suku Kampai. Lebar
masing-masing anak tangga juga memberikan suatu
nilai sosial dalam masyarakat yaitu nilai kekerabatan.
Masing-masing anak tangga memiliki jarang yang
agak rapat, hal ini menggambarkankan dekatnya
hubungan persaudaraan antar kaum.
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Komponen bagian tubuh bangunan terdiri atas pintu,
lantai dan bandua, jendela, dan dinding, Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang hanya memiliki satu pintu di
bagian depan bangunan. Pintu berada di bagian
tengah dan menghadap ke arah utaradan hiasan
garis-garis miring seperti yang ditemukan pada
jendela. Garis miring tersebut miring ke bawah
mengikuti lebar daun.
Lantai pada rumah gadang merupakan pembatas
bagian bawah rumah dengan bagian atas bangunan.
Lantai bangunan Rumah Tuo Kampai Panjang
terbuat dari bambu yang dibentuk menjadi bagian-
bagian kecil yang kemudian disusun secara
memanjang. Pada tingkatan lantai pertama Rumah
Tuo Kampai Nan Panjang terdapat ruang lepas.
Lantai kedua ditinggikan sekitar 22cm dengan papan,
bagian yang ditinggikan tersebut dikenal dengan
istilah bandua. Bandua atau sitindiah pada bangunan
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang memiliki nilai
yang berbeda dengan bandua pada rumah gadang
Koto Piliang. Bandua atau sitindiah adalah bagian
yang ditinggikan dan merupakan batas antara ruang
utama dengan ruang pribadi. Hal ini memberikan
makna adanya bagian-bagian rumah yang tidak
semua orang dapat memasukinya.
Dinding bangunan Rumah Tuo Kampai Nan Panjang
terbuat dari bahan kayu dan bambu atau tadie. Pada
bagian depan rumah sampai bagian dalam rumah
dindingnya terbuat dari kayu. Bambu hanya terdapat
pada bagian kiri, dan kanan bangunan. Dari bawah
jendela sampai ke bagian bawah bangunan, papan
dipasang secara horisontal atau memanjang.
Kemudian pada bagian bawahnya dipasang secara
vertikal. Antara papan horisontal dan vertikal,
dipasang lagi papan secara horisontal dengan
kedudukan lebih tinggi, dalam istilah di
Minangkabau dikenal dengan nama bandua ayam.
Pemasangan bandua ayam merupakan salah satu
wujud estetika, yaitu agar dinding lebih rapat.
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang memiliki jendela-
jendela yang terletak pada bagian depan bangunan, di
antara tiang-tiang bangunan. Jendela berbentuk
persegi panjang dengan hiasan melengkung pada
bagian tengah. Jendela menggunakan daun jendela
ganda. Bagian atas penutup jendela memiliki bentuk
seperempat lingkaran, sehingga ketika jendela
ditutup, bagian yang melengkung akan semakin
terlihat dengan bentuk setengah lingkarannya. Pada
daun jendela terdapat hiasan-hiasan pola geometris,
yaitu garis-garis miring-miring, yang akan
membentuk segitiga ketika daun jendela ditutup.
Pada bagian bawah jendela terdapat hiasan kayu-
kayu yang dipasang secara vertikal menyerupai pagar
dan bagian atasnya ditutup dengan sepotong kayu
yang diletakkan secara horizontal.
Komponen bagian atas bangunan yaitu atap, yang
merupakan ciri sebuah rumah gadang. Atap
bergonjong menyerupai bentuk kepala kerbau dengan
jumlah gonjong bervariasi. Tanduk kerbau dalam
arsitektur Minangkabau dikaitkan dengan legenda
yang pernah berkembang di masyarakat
Minangkabau mengenai adu kerbau antara kerbau
orang Jawa dengan kerbau orang Minang.
Kemenangan kerbau orang Minang, menjadikan
tanduk kerbau sebagai nilai sakral bagi masyarakat
Minangkabau. Hal menyiratkan nilai identitas bagi
masyarakat Minangkabau.
Pada bagian sebelah barat dan sebelah timur atap
terdapat bidang-bidang segitiga yang bagian
bawahnya diisi dengan hiasan flora dan fauna, yang
merupakan nilai-nilai estetika dalam seni bangunan.
Ukiran tumbuhan terdapat pada bagian papan yang
lebar, yaitu ukiran pucuak rabuang (pucuk rebung).,
yang memiliki nilai filosofis kehidupan, bahwa hidup
seseorang harus berguna sepanjang waktu seperti
tanaman bambu. Dalam hal ini setiap kehidupan
dalam masyarakat harus bermanfaat sepanjang masa,
di masa muda hingga masa tua. Hal ini diibaratkan
layaknya tanaman bambu, ketika muda saat menjadi
rebung dapat untuk dimakan, dan saat tua ketika
menjadi bambu, dapat digunakan sebagai lantai
rumah atau bahan bangunan.
(a) (b)
(a) Ukiran Pucuk Rabuang Pada Sisi Atap
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2013)
(b) Motif Pucuk Rabuang
(sumber : studiozet.blogsot.com)
Pada papan-papan kecil yang dipasang di bawah atap
terdapat ukiran itiak pulang patang (itik pulang sore).
Ukiran ini ditemukan pada bagian depan, belakang,
dan bagian tepi pinggir atap paling bawah. Ukiran
itiak pulang patang banyak terdapat pada bagian
dinding dan les plang atap rumah gadang. Makna
filosofis yang terkandung dalam ukiran itiak pulang
patang mencerminkan pola kehidupan masyarakat
Minangkabau. Penggambaran itik dalam motif ukiran
Minangkabau didasarkan pada falsafah hidup orang
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013
7
Universitas Indonesia
Minangkabau, "alam takambang jadi guru", dalam
hal ini, alam adalah panutan dan teladan kehidupan
bagi masyarakat Minangkabau.
Aspek kehidupan yang bersumber pada alam
dituangkan dalam berbagai bentuk ukiran, salah
satunya itiak pulang patang. Keunikan yang dapat
dilihat dari ukiran ini adalah pola bentuk motif
ukiran. Pola ukiran dimulai dari tengah dengan
bentuk dua ukiran yang bertolak belakang, satu ke
kiri dan satu lagi ke kanan. Hal ini dapat ditafsirkan
sebagai sifat orang Minang yang suka merantau dan
menyebar di seluruh pelosok negeri dalam mencapai
tujuan hidupnya. Garis pemisah yang terletak di
bagian tengah, merupakan lambang kampung
halaman sebagai pusat pertemuan kembali.
Dalam konteks budaya dan adat Minangkabau,
banyak makna filosofis dan sosial yang terkandung
dalam ukiran Itiak Pulang Patang. Menurut Syayid
Sandi Sukandi, dkk (2006), ukiran itik pulang patang
memiliki makna mengenai tata pergaulan dalam
kehidupan, tatanan sistem pemerintahan. Dalam
sistem pemerintahan, keteraturan barisan itik yang
pulang ke kandang di sore hari, memberikan
pelajaran bagi seorang pemimpin untuk menciptakan
keselarasan dan keharmonisan dalam tatanan
pemerintahannya. Itik memiliki sifat selalu mengikuti
itik yang berada di depannya, ini menjadi simbol, itik
pertama disimbolkan sebagai mamak dan itik ke dua
adalah kemenakan yang pada akhirnya akan menjadi
mamak bagi itik ke tiga dan demikian selanjutnya.
Antara mamak dan kemenakan terdapat hubungan
yang bersinergis, karena segala pemerintahan mamak
nantinya akan turun ke kemenakan.
(a) (b)
(a)Ukiran itiak pulang patang pada les plang atap
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2013)
(b) motif itiak pulang patang
(sumber : puakmelayu.blogspot.com)
Pada bidang segitiga di sebelah barat dan sebelah
timur sisi atap, terdapat ukiran saluak laka. Motif
ukiran ini menempel pada sisi dinding bagian atas.
Ukiran saluak laka merupakan simbol sosial
mengenai kekerabatan, bahwasanya dalam kehidupan
masyarakat, kekuatan akan terjalin dari kesatuan
yang saling terikat sehingga akan terwujud kekuatan
bersama dalam menghadapi bermacam masalah.
Berbagai permasalahan dalam kaum selalu
diselesaikan dengan musyawarah sehingga serumit
apapun permasalahannya harus dicari jalan keluarnya
agar masalahnya tidak berbelit-belit dan cepat selesai.
(a) (b)
(a) Ukiran saluak laka pada bidang segitiga
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2013)
(b) motif saluak laka
(sumber:www.palantaminag.wordpress.com)
Pada bagian puncak atap rumah gadang terdapat
hiasan yang disebut gonjong. Gonjong utama Rumah
Tuo Kampai Nan Panjang berjumlah empat buah dan
satu gonjong tambahan untuk atap penutup tangga
Letak gonjong bertingkat sesuai dengan makna yang
terkandung di dalamnya. Hiasan gonjong bagian atas
berupa bunga di atas bulan, pada tingkat kedua
terdapat hiasan motif daun. Tingkatan paling atas dan
tingkat kedua dihubungkan dengan bulatan yang
makin keatas semakin mengecil. Pada gonjong
tingkat ketiga terdapat hiasan bergambarkan payung.
Gonjong tingkat ketiga dan keempat dihubungkan
dengan bulatan yang lebih besar. Gonjong tingkat
lima atau gonjong paling bawah terdapat bulatan
besar yang berfungsi untuk membalut ijuk.
Setiap bentuk dan tingkatan gonjong memiliki
maknanya masing-masing. Gonjong puncak terdapat
gonjong berbentuk bulan sabit dan bintang, ini
merupakan simbol kekuasaan Tuhan. Gonjong bagian
kedua terdapat motif bunga, yang melambangkan
kepemimpinan pemerintahan Minangkabau. Bulatan-
bulatan pada tingkat ketiga sampai bagian gonjong
terbawah merupakan simbol sosial mengenai
kerapatan adat, kedudukan masyarakat, dan nagari.
Dalam hal ini terdapat nilai-nilai religi yaitu
bahwasanya antara adat dan agama harus seiring dan
tidak boleh bertentangan. Pemaparan mengenai
bentuk, tata ruang, dan komponen Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang menunjukkan nilai-nilai
penting yang tekandung pada bangunan tersebut.
Nilai-nilai tersebut berupa nilai simbol keyakinan,
simbol teknologi lokal, simbol sosial, simbol
ekonomi, seni estetika, simbol identitas, dan nilai
filosofis.
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013
8
Universitas Indonesia
Pemanfaatan Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang.
Dalam penjabaran mengenai fungsi Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang pada abad ke-16 sampai abad
20 awal, bangunan ini difungsikan sebagai tempat
melakukan aktivitas sehari-hari suatu kaum dan
sebagai tempat kegiatan adat. Namun, seiring
banyaknya pembangunan pada masa sekarang, fungsi
tersebut mulai berubah. Dahulunya segala aktivitas
kaum dilakukan secara bersama-sama di rumah
gadang. Pada masa sekarang, mereka cenderung
mengadakan aktivitas sehari-hari maupun aktivitas
adat di rumah sendiri. Pada pertengahan abad 20,
rumah gadang mulai ditinggalkan oleh kaum, rumah
gadang hanya menjadi simbol semata. Tidak ada lagi
aktivitas yang dilakukan di rumah gadang, bahkan
rumah gadang mulai mengalami kerusakan karena
tidak ada lagi yang merawat.
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang dengan segala
kekunoan dan nilai-nilai pentingnya mulai dimakan
usia, kemudian pihak Badan Penelitian dan
Pelestarian Purbakala Sumbar dan Riau mengambil
alih perawatan rumah tersebut. Rumah Tuo Kampai
Nan Panjang terdaftar menjadi benda cagar budaya
tak bergerak dengan nomor inventaris 17/BCB-
TB/A/12/2012. Perawatan Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang sepenuhnya dilakukan di bawah naungan
BP3 Batusangkar dan beberapa keturunan Suku
Kampai. Kegiatan pemugaran terhadap Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang mulai dilakukan sejak tahun
1992 (Laporan Badan Purbakala: 2002). Pemugaran
telah dilakukan sebanyak tiga kali sesuai dengan
kaidah-kaidah pelestarian cagar budaya.
Perbedaan kepentingan dari berbagai macam elemen
masyarakat akan menghasilkan berbagai kepentingan
dengan sudut pandang berbeda, seperti kepentingan
pendidikan, kepentingan ideologi, dan kepentingan
ekonomi (Haryono, 2005: 15). Peran masyarakat
sangat penting dalam menentukan jenis tindakan
yang dapat mempertahankan keberlangsungan cagar
budaya. Jika masyarakat memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam cagar budaya, maka bentuk-bentuk
pemanfaatan dapat dilakukan sesuai dengan kaidah
pelestarian cagar budaya.
Kegiatan pemanfaatan cagar budaya dikelompokkan
dalam berbagai kategori menurut jenis-jenisnya.
Beberapa kegiatan yang sifatnya seremonial seperti
upacara kelahiran, pernikahan, dan pengangkatan
penghulu, menjadi salah satu fungsi yang masih
dapat dijumpai di Rumah Tuo Kampai Nan Panjang.
Kegiatan pemanfaatan dikelompokkan menjadi dua
kategori, yaitu pemanfaatan tetap dan pemanfaatan
temporer. Kegiatan tetap di Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang yaitu berupa jenis-jenis kegiatan yang
berlangsung setiap saat, sedangkan kegiatan
temporer, berupa jenis-jenis kegiatan yang
berlangsung di waktu-waktu tertentu saja, seperti
upacara-upacara adat.
Pemanfaatan tetap pada Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan
terhadap bangunan tersebut. Pemanfaatan dilakukan
dengan memberikan fungsi pada ruangan–ruangan
cagar budaya tersebut dengan fungsi baru pada
masa kini. Memberikan fungsi baru akan
menghasilkan perbedaan tata ruang dan pengaturan
fungsi ruang dari fungsi asli bangunan pada masa
lampau. Pemanfaatan tetap Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang yaitu sebagai museum kecil tempat
memamerkan benda-benda yang dulunya digunakan
dalam aktivitas sehari-hari dan aktivitas adat
masyarakat Suku Kampai. Bangunan rumah di
sebelah Rumah Tuo kampai Nan Panjang digunakan
sebagai kantor dan tempat tinggal penjaga cagar
budaya ini.
Koleksi yang dipamerkan di Rumah Tuo Kampai
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2013)
Pemanfaatan tetap Rumah Tuo Kampai Nan Panjang
sebagai fungsi keseharian sudah tidak memungkinkan
lagi karena bangunan semakin rapuh oleh faktor usia.
Kaum-kaum Suku Kampai sudah mendirikan
bangunan baru untuk mereka tempati, sehingga
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang dimanfaatkan
sebagai objek wisata oleh pemilik dan dinas terkait.
Setiap harinya banyak pengunjung yang bertandang
untuk melihat-melihat bangunan dan untuk
mengetahui sejarahnya.
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013
9
Universitas Indonesia
Foto 4.2. Pemanfaatan Wisata Sejarah
(Sumber: Foto milik Arisaskowigi, 2010)
Pada masa sekarang, rumah ini setiap malam
ditempati oleh seorang Bapak dan beberapa pemuda
nagari. Kadang-kadang mereka memanfaatkan waktu
malam untuk saling berbagi cerita dan nasehat-
nasehat hidup. Hampir tiap malam, para pemuda-
pemuda tersebut menjadikan Rumah Tuo Kampai
Nan Panjang sebagai tempat untuk berdiskusi
berbagai permasalahan kehidupan.
Selain kegiatan pemanfaatan yang bersifat tetap, di
Rumah Tuo kampai Nan Panjang terdapat juga
kegiatan yang bersifat temporer atau berkala.
Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan untuk
menghidupkan kembali fungsi adat dan penambahan
jenis pemanfaatan, di antaranya;
Pesta pernikahan di Minangkabau dikenal dengan
nama baralek. Berbagai rangkaian kegiatan acara
dilaksanakan selama beberapa hari. Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang kembali difungsikan sebagai
tempat melangsungkan kegiatan pernikahan.
Pernikahan yang berlangsung di Rumah Tuo Kampai
Nan Panjang adalah pernikahan keturunan Suku
Kampai. Namun mengingat kondisi bangunan yang
sudah semakin rapuh, Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang bukan menjadi tempat utama
berlangsungnya pesta perkawinan. Perkawinan
diselenggarakan di rumah utama yang ditempati
masyarakat.
Pesta perkawinan yang diselenggarakan di Rumah
Tuo Kampai Nan Panjang adalah pesta antar
keluarga, yaitu untuk menjamu para niniak mamak.
Adanya ketentuan adat yang mengatur, menyebabkan
pada masa-masa sekarang fungsi lama bangunan
kembali muncul. Setiap upacara adat, terutama
pernikahan dan batagak penghulu wajib dilaksanakan
di rumah gadang (Izati, 2002: 63). Jika masyarakat
suatu suku melangsungkan pesta pernikahan, segala
sesuatu yang mengatur acara tersebut dirumuskan
atau dilakukan pertemuan untuk merumuskan
berbagai kegiatan dan keperluan menyangkut acara.
Begitu juga halnya pada keturunan Suku Kampai,
ketika suatu pasangan telah selesai akad nikah di
masjid, mereka wajib memasuki rumah gadang,
karena jika tidak, secara adat pernikahan pasangan
tersebut belum sah.
Pelaminan Minangkabau di Rumah Tuo Kampai Nan Panjang
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2013)
Pemanfaatan dengan memberikan fungsi-fungsi baru
pada ruang juga ditemukan pada Rumah Tuo Kampai
Nan Panjang. Pada bagian ujung ruang dipasang
pelaminan Minangkabau. Pelaminan ini digunakan
sebagai tempat duduk pengantin ketika prosesi
upacara pernikahan di rumah ini. Selain sebagai
tempat duduk pengantin, pelaminan ini digunakan
sebagai objek fotografer, yaitu untuk berfoto dengan
menggunakan pakaian daerah Minangkabau.
Batagak penghulu merupakan upacara pengangkatan
panghulu atau pemimpin kaum di Minangkabau.
Peresmian pengangkatan panghulu dilaksanakan
dengan upacara adat. Upacara ini disebut malewakan
gala. Hari pertama adalah batagak gadang, yakni
upacara peresmian di rumah gadang yang dihadiri
para pemuka masyarakat. Penghulu yang baru
menyampaikan pidato, penghulu tertua memasangkan
deta dan menyisipkan sebilah keris tanda serah
terima jabatan. Akhirnya penghulu baru diambil
sumpahnya, dan ditutup dengan doa. Hari kedua
adalah hari perjamuan, dan penghulu baru diarak ke
rumah bakonya diringi bunyi-bunyian.
Upacara batagak penghulu, khususnya di Nagari
Balimbing, wajib dilaksanakan di rumah gadang.
Menurut masyarakat Balimbing, upacara
pengangkatan penghulu merupakan upacara adat
yang sangat penting, karena berkaitan dengan
pemerintahan dan perkembangan nagari di masa
berikutnya. Di Rumah Tuo Kampai Nan Panjang,
upacara batagak penghulu dilakukan dengan
kesepakatan warga kaum. Setiap rangkaian kegiatan
upacara, selalu dimulai dari rumah gadang.
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang dimanfaatkan
sebagai ruang pertemuan komunitas Suku Kampai.
Ketika ada suatu hal terkait rumah dan suku ini, maka
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013
10
Universitas Indonesia
dirumuskan di sini. Keturunan suku Kampai sudah
menyebar ke berbagai wilayah, sehingga untuk
menjaga keutuhan mereka membuat suatu komunitas.
Keberadaan komunitas Suku Kampai membuktikan
tingginya rasa cinta terhadap bangunan peninggalan
nenek moyang mereka. Melalui komunitas-komunitas
ini mereka mengembangkan dan memanfaatkan
warisan budayanya.
Kesenianadalah sarana hiburan masyarakat yang
dilakukan untuk mengiringi aktivas-aktivitas tertentu.
Di Minangkabau, kesenian seringkali dipakai untuk
mengiringi upacara-upacara atau aktivitas adat,
seperti pernikahan, khitanan, dan lain-lainnya. Dari
sudut pandang pariwisata, dengan memahami
karakter yang spesifik dari profil demografi serta
psikografi masing-masing segmen pasar
pengunjung cagar budaya sebagai wisatawan yang
berkunjung ke objek peninggalan sejarah, maka
strategi pemasaran untuk wisatawan harus
menerapkan strategi untuk berbagai segmen
wisatawan (Nuryanti, 2005: 19). Salah satu strategi
yang diterapkan pada untuk mengembangkan potensi
wisata Rumah Tuo Kampai Nan Panjang adalah
dengan kegiatan pagelaran seni, yaitu randai. Randai
merupakan seni pertunjukan sederhana yang lahir
dari tradisi-tradisi masyarakat dan dimainkan oleh
kalangan rakyat. Randai masih tetap hidup di tengah
masyarakat dan terus mengalami perkembangan.
Kegiatan Seni Randai di Nagari Balimbing
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2013)
Evaluasi Pemanfaatan Menurut
Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010,
dijelaskan bahwa:
“Pelestarian adalah upaya dinamis untuk
mempertahankan keberadaan cagar budaya
dan nilainya dengan cara melindungi,
mengembangkan, dan memanfaatkannya. Pelestarian
meliputi aspek pelindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan. Pelindungan merupakan upaya
mencegah dan menanggulangi cagar budaya dari
kerusakan, kehancuran, dan kemusnahan dengan
cara penyelamatan, pengamanan, zonasi,
pemeliharaan, dan pemugaran cagar budaya.
Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai,
informasi, dan promosi cagar budaya serta
pemanfaatannya melalui penelitian, revitalisasi, dan
adaptasi secara berkelanjutan serta tidak
bertentangan dengan tujuan pelestarian.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan cagar budaya
untuk kepentingan sebesar-besarnyakesejahteraan
rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian"
(Pasal 1 ayat 22-33).
Berdasarkan pemahaman mengenai peraturan
perundang-undangan tersebut, upaya-upaya
pelindungan telah dilakukan pada Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang. Upaya-upaya tersebut
dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya dan
masyarakat Nagari Balimbing. Upaya penyelamatan
berlangsung pada tahun 1992 melalui kegiatan
pemugaran, namun data pemugaran sudah tidak dapat
ditemukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Bapak Fauzan Amril dari Balai Pelestarian Cagar
Budaya Batusangkar, pemugaran pada tahun 1992
lebih ke penyelamatan bangunan secara umum dari
kerusakan dan kerapuhan.
Pemugaran kembali dilakukan pada tahun 2007,
dengan melakukan beberapa penggantian pada bagian
penutup kolong rumah gadang. Penggantian
dilakukan dengan menggunakan material yang sama
dengan material aslinya, dan tanpa merubah bentuk
aslinya. Melalui kegiatan pemugaran, keberadaan
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang dapat tetap
bertahan sampai saat ini. Balai Pelestarian Cagar
Budaya bersama masyarakat Suku Kampai dan
Masyarakat nagari Balimbing bekerja sama untuk
memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki oleh
bangunan ini. Berbagai kegiatan pemanfaatan terus
dikembang untuk menggali nilai-nilai dan potensi
yang ada. Misalnya potensi eksternal, dimanfaatkan
untuk penelitian, obyek wisata, maupun kegiatan
lainnya.
Kegiatan pemanfaatan Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan tentang Cagar Budaya, yaitu digunakan
untuk kesejahteraan rakyat. Meskipun bangunan
cagar budaya ini berada dibawah pengawasan Balai
Pelestarian Cagar Budaya, namun masyarakat tetap
memiliki akses untuk berbagai kegiatan pemanfaatan.
Masyarakat Suku Kampai kembali diberi wewenang
untuk menghidupkan kembali fungsi lama bangunan
sebagai bentuk pemanfaatan terhadap bangunan.
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013
11
Universitas Indonesia
Masyarakat luar tetap memiliki akses untuk
mendapat pengetahuan mengenai bangunan ini, untuk
berwisata sejarah, maupun sebagai objek seniman.
Berdasarkan penelitian di lapangan, secara umum
pemanfaatan Rumah Tuo Kampai Nan Panjang sudah
sesuai dengan kaidah yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Keikutsertaan
masyarakat dalam upaya pelestarian menunjukkan
tingginya harapannya masyarakat terhadap
keberadaan bangunan cagar budaya ini.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai analisis nilai-
nilai penting Rumah Tuo Kampai Nan Panjang,
bangunan ini memiliki nilai-nilai kebudayaan yang
tercermin dalam simbol keyakinan, simbol teknologi,
simbol sosial, simbol ekonomi, seni estetika, simbol
identitas, dan nilai filosofis. Nilai-nilai tersebut
sesuai dengan kriteria cagar budaya dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya. Nilai-nilai budaya tercermin dalam setiap
komponen dan penataan ruang pada bangunan yang
mengandung makna-makna kehidupan bagi
masyarakat Minangkabau.
Bentuk bangunan rumah gadang yang menyerupai
perahu dengan atap bergonjong menyiratkan nilai
teknologi lokal, yaitu tingginya tingkat peradaban
manusia masa lampau. Mereka membangun rumah
yang sarat dengan nilai-nilai budaya di dalamnya.
Atap ijuk pada bangunan Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang dengan usianya yang sudah ratusan tahun,
masih tetap kokoh dan mampu melindungi komponen
bangunan lainnya. Rumah tersebut dibangun tanpa
menggunakan paku, tapi mampu menampung
sejumlah orang dari masa awal berdirinya hingga saat
ini. Dengan keasliannya Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang ingin menunjukkan pada kita mengenai
tingkat kemahiran manusia masa lampau dalam seni
bangunan.
Komponen-komponen bangunan Rumah Tuo Kampai
Nan Panjang secara umum memiliki nilai-nilai
estetika, sosial, identitas, dan filosofis yang dapat kita
jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Mulai
dari sandi, tiang bangunan, tangga, dan bagian dalam
bangunan menyiratkan simbol-simbol yang menjadi
pedoman hidup orang Minang. Jumlah anak tangga
maupun jumlah kamar yang ganjil menjadi pelajaran
bagi masyarakat Balimbing, bahwa segala sesuatu
yang genap adalah kesempurnaan, dan kesempurnaan
hanya milik sang pencipta. Dengan demikian,
komponen-komponen bangunan yang berjumlah
ganjil memiliki makna bahwasanya sebagai manusia
kita masih memiliki kekurangan-kekurangan dalam
berbagai hal. Nilai-nilai yang dimiliki oleh bangunan
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang harus terus
dilestarikan. Pelestarian Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar
Budaya yang semata-mata hanya untuk berupaya
menyelamatkan keberadaan cagar budaya. Pelestarian
awal dilakukan dengan upaya pelindungan berupa
penyelamatan dan pemugaran. Pemugaran yang telah
dilakukan disesuaikan dengan kaidah-kaidah yang
ditetapkan. Tidak ada perubahan yang dilakukan pada
bentuk bangunan, karena pemugaran hanya
mengganti komponen-komponen yang rusak dengan
bahan atau material yang sama dengan yang
sebelumnya.
Dengan telah dilakukannya pemugaran, kalau Rumah
Tuo Kampai Nan Panjang hanya dibiarkan saja tanpa
ada upaya apa pun tentu bangunan ini akan mudah
rusak. Dengan demikian dilakukan pemanfaatan
potensi-potensi yang dimiliki bangunan melalui
kegiatan-kegiatan tertentu. Sebagai salah satu rumah
tertua di Minangkabau yang masih mampu berdiri
kokoh, tentunya akan mengundang perhatian
masyarakat untuk mengetahui tentang bangunan ini.
Melalui upaya-upaya pemanfaatan tersebut, fungsi
lama Rumah Tuo Kampai Nan Panjang sebagai pusat
upacara adat kembali dihidupkan.
Pemanfaatannya yang dilakukan, berupa pemanfaatan
untuk kepentingan sosial, pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan pariwisata.
Pemanfaatan tetap sebagai objek wisata bersejarah,
dan sebagainya maupun pemanfaatan temporer untuk
berbagai kegiatan adat disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan. Seluruh kegiatan dalam rangka
pelestarian sebagai cagar budaya tidak hanya menjadi
tanggung jawab Balai Pelestarian Cagar Budaya,
namun seluruh masyarakat di wilayah nagari
Balimbing ikut berpartisipasi. Hal ini sesuai dengan
pasal-pasal dalam undang-undang dan berbagai
peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah.
Seluruh kegiatan pemanfaatan bangunan cagar
budaya Rumah Tuo Kampai Nan Panjang sudah
sesuai dengan peraturan-peraturan yang mengatur.
Masyarakat memiliki akses sepenuhnya untuk
memberikan memanfaatkan bangunan dengan tetap
menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Rumah Tuo Kampai Nan Panjang dimanfaatkan
untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan,
yaitu sebagai penelitian bagi berbagai disiplin ilmu,
seperti ilmu arkeologi, sejarah, antropologi, dan lain
sebagainya. Namun pemanfaatan utama bangunan ini
adalah untuk kepentingan kebudayaan. Kepentingan
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013
12
Universitas Indonesia
kebudayaan dalam artian kepentingan untuk berbagai
kegiatan adat dengan tetap memahami fungsi-fungsi
sosial bangunan sebagai bangunan rumah gadang
milik kaum. Dari penjabaran berbagai nilai-nilai
budaya bangunan Rumh Tuo Kampai Nan Panjang
serta upaya pelestarian yang disesuaikan dengan
aturan-aturan tertentu, menjadi karakteristik
tersendiri yang membuat Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang layak menjadi cagar budaya tingkat Provinsi.
Sebagai bangunan yang termasuk dalam kategori
living monument, Rumah Tuo Kampai masih
digunakan menjadi pusat berbagai upacara atau
kegiatan adat. Di lokasi bangunan Rumah Tuo
Kampai Nan Panjang yang berada, yaitu di salah
satu nagari tua di Minangkabau banyak terdapat
rumah gadang yang dibangun pada masa yang sama
dengan Rumah Tuo Kampai Nan Panjang, namun
pada umumnya mengalami kerusakan dan berada
diambang kehancuran. Untuk itu peran pemerintah
sangat diharapkan untuk menjaga kelestarian
bangunan Rumah Tuo Kampai dan bangun rumah
gadang lainnya di wilayah ini.
Hendaknya wacana pemerintah daerah mengenai
penetapan nagari Balimbing sebagai kawasan cagar
budaya segera direalisasikan sebelum keberadaan
rumah-rumah gadang ini semakin rapuh karena tidak
adanya upaya pelestarian dari berbagai pihak.
Masyarakat nagari Balimbing memiliki kepedulian
dan harapan yang tinggi terhadap kelestarian
bangunan-bangunan cagar budaya di wilayah mereka,
namun kepedulian dan harapan tersebut seperti tidak
mendapat perhatian dari pemerintah.
Kesimpulan penelitian ini bukan merupakan hasil
akhir, penelitian ini masih dapat dikembangkan untuk
menggali ilmu pengetahuan di bidang lain. Jika
penelitian ini terfokus pada nilai-nilai budaya dan
pemanfaatan, mungkin di lain waktu dapat
dikembangkan mengenai nilai-nilai sejarah, nilai
sosial, maupun lainnya. Tidak menutup kemungkinan
jika sutu saat penelitian ini dapat dikembangkan
sesuai tuntutan perkembangan dalam dunia
pendidikan. Semoga penelitian ini bermanfaat.
Daftar Acuan
Direktorat Jenderal Budaya dan Pariwisata. (2010).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang:
Cagar Budaya. Jakarta.
Dradjat, Hari Untoro. (1995). “Manajemen
Sumberdaya Budaya Mati”. Depok: Seminar
Nasional Metodologi Riset Arkeologi.
Fagan, Brian M. (2006). Archaeology: A Brief
Introduction. New Jersey: Pearson Prentice.
Haryono, Timbul. (2005). “Pengembangan dan
Pemanfaatan Aset Budaya Dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah”. Buletin Cagar Budaya. Jakarta:
Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan
Sejarah dan Purbakala, 14-16.
Hasan, Hasmurdi. (2004). Ragam Rumah Adat
Minangkabau: Falsafah, pembangunan, dan
kegunaan. Jakarta: Yayasan Citra Pendidikan
Indonesia.
Hasanadi, dkk. (2012). Inventarisasi Perlindungan
Karya Budaya Rumah Gadang di Provinsi Sumatera
Barat (Studi Kasus Rumah Gadang di Nagari
Sumpur, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten
Tanah Datar). Padang: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya.
Izati, Dkk. (2002). Rumah Tuo Kampai Nan
Panjang: Rumah Adat Tradisonal Minangkabau.
Sumatera barat: Museum Daerah Adityawarman.
Mutia, Riza. Dkk. (2001). Rumah Gadang Di Pesisir
Sumatera Barat. Sumatera Barat: Bagian Proyek
Pembinaan Permuseuman.
Sukendar, Haris. (1999). Metode Penelitian
Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional.
Sulistyanto, Bambang. (2006). Penerapan “Cultural
Resource Management”dalam Akeologi.Jakarta:Pusat
Penelitian danPengembanganArkeologi Nasional.
Rumah Tuo..., Yoka Febriola, FIB UI, 2013