Upload
hoanghanh
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Nilai-nilai Keagamaan
1. Pengertian Nilai
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dan budi, selalu dituntut
untuk berjuang dan berfikir kreatif dalam memilih antara baik dan buruk
berdasarkan nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya. Menurut
Purwahadiwardoyo (1965: 97) sumber nilai yang menjadi landasan kehidupan
manusia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Nilai illahiah, merupakan nilai yang diperintahkan oleh Tuhan melalui
para Nabi dan Rasulnya. Nilai ini mengandung kemutlakan dan kebenaran
bagi kehidupan manusia
b. Nilai insaniah, merupakan nilai yang tumbuh dan berkembang sesuai
kesepakatan manusia, serta hidup dan berkembang dari peradaban
manusia. Nilai-nilai insani akan melembaga menjadi tradisi-tradisi dan
norma-norma sosial yang diwariskan secara turun temurun, serta mengikat
anggota masyarakat tertentu.
Encyclopedi Britanica (1998: 936), menyebutkan bahwa “value is a
determination or quality of an object which involves any short or apprication or
interest”, dengan perkataan lain nilai adalah kandungan atau kualitas dari suatu
objek yang di dalamnya terlibat banyak kepentingan dan diapresiasikan sesuai
dengan kebutuhan. Nilai secara umum akan berkaitan erat dengan kebaikan,
kendati keduanya memang tidak sama. Nilai lebih merujuk kepada sikap,
18
pendapat atau rasa seseorang terhadap sesuatu objek, sedangkan kebaikan itu
melekat pada objeknya.
Hartmann (1997: 45) yang menyebutkan nilai sebagai suatu “rasa kualitas”
yang melekat pada objek yang mengembannya. Rasa kualitas ini seperti
keindahan sebuah lukisan atau kegunaan sebuah peralatan. Dalam bukunya yang
berjudul filsafat nilai, Frondizi (2001: 8) mengatakan bahwa nilai merupakan
kualitas yang tidak nyata, dimana nilai suatu objek merupakan sifat, kualitas atau
sui generis yang dimiliki objek tersebut.
Moslow dalam Gobel (1994: 154) menyebutkan nilai-nilai utama adalah
nilai-nilai luhur yang didambakan oleh orang-orang yang mengaktualisasikan diri
sebagai being values berupa hasil pengalaman puncak mereka tentang kebenaran,
keindahan, keseluruhan dan dikotomi transendensi sebagai transformasi atas hal-
hal yang bertentangan menjadi satu kesatuan.
Selanjutnya Rokeach (1973: 5) dalam bukunya the nature of human
values, mengatakan beberapa hal yang berkaitan dengan nilai yaitu:
“A value is an enduring belief that a particular and spesific mode of conduct (being courogous, honest, loving, obedient, etc), or a state of existence (peace, equality, freedom, pleasure, happiness) is personally or socially desirable and preferable to an opposite or converse”.
Suatu nilai adalah sebuah keyakinan, suatu cara bertindak yang spesifik,
atau suatu keadaan akhir dari eksistensi secara pribadi atau sosial yang lebih
diingini. Sedangkan Djahiri (1966: 23) yang mengatakan bahwa nilai merupakan
seperangkat ide, gagasan, serta sesuatu yang berharga menurut standar logika,
estetika, etika, agama dan hukum yang menjadi orientasi motivasi dalam
19
berprilaku dan bersikap, maka nilai yang dianut dapat dijadikan standar dalam
mengukur suatu motivasi.
Menurut Bartens dalam Paul Suparno (2002: 76) nilai merupakan sesuatu
yang menarik bagi kita, yang kita cari, menyenangkan sebagai sesuatu yang
disukai dan diinginkan. Selanjutnya Kohlberg (1976) dalam Frondizi (2001: 43)
menyatakan bahwa nilai terbagi dalam dua kelompok yaitu instrumental dan nilai
intrinsik.
Nilai instrumental merupakan nilai yang dianggap baik, karena bernilai untuk sesuatu yang lain. Nilai ini terletak pada konsekuensi-konsekuensi pelaksanaanya, dalam upaya untuk mencapai nilai yang lain. Jadi, nilai instrumental dapat dikategorikan sebagai nilai yang bersifat relatif dan subjektif. Sedangkan nilai intrinsik ialah nilai yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain, melainkan untuk nilai di dalam dan dari dirinya sendiri. Nilai intrinsik bersifat objektif dan menjadi pusat dalam hirarki nilai yang terkandung di dalam kodrat manusia. Nilai-nilai tersebut di tempa secara utuh dalam suatu kerangka pengalaman dan ditetapkan dalam pilihan tindakan seseorang.
Pengelompokan bentuk nilai akan dipengaruhi juga oleh orientasi
seseorang terhadap konsep suatu nilai. Djahiri (1966: 54) mengatakan bahwa
bentuk nilai dapat muncul dari beberapa landasan orientasi yaitu logik, etik dan
estetik, misalkan nilai rasional (landasan logik), nilai sentimentil (landasan
estetik) dan nilai moral (landasan etik). Sedangkan menurut Hasan (1986: 57)
nilai dapat dikelompokan dalam empat bentuk, yaitu:
1. Nilai etis yaitu nilai yang mendasari orientasinya pada ukuran baik dan
buruk.
2. Nilai pragmatis yaitu nilai yang mendasari orientasinya pada keberhasilan
dan kegagalannya.
20
3. Nilai effek-sensorik yaitu nilai yang mendasari orientasinya pada situasi
menyenangkan atau menyedihkan.
4. Nilai religius yaitu nilai yang mendasari orientasinya pada pahala dan dosa
atau halal dan haram.
Setiap individu tidak akan menganut bentuk nilai dan standar moral yang
sama terhadap suatu objek atau realita. Walaupun demikian, apapun yang terjadi
individu tersebut akan berusaha menjadi yang terbaik dalam pilihan dan ketetapan
sikapnya. Winecoff (1988) dalam Manan (1995: 3) menggambarkan kaitan nilai
dengan elemen-elemen lain yang terlibat dalam perubahan tingkah laku individu
sebagai berikut:
Dalam bukunya Revolusi Harapan ia mengatakan bahwa konfigurasi nilai
dapat berwujud kebenaran apabila nilai logika, moral dan agama yang
dikandungnya memberi kepuasan rasa intelek dan mengandung manfaat yang
hakiki.
Nilai beararti perwujudan keadaan manusia sebagai makhluk berakal budi
yang menunjukkan harkat martabatnya. Dengan tingkat kesadaran nilai inilah
harkat martabat manusia tetap luhur atau sebaliknya. Adapun tujuan dan fungsi
nilai adalah sebagai berikut:
Keyakinan atau kepercayaan
Informasi baru (stimulus)
sikap
Perilaku baru Nilai dan maksud
nilai Standar moral
21
a. Manusia sebagai makhluk pribadi, sebagai subyek diri-sendiri dengan
identitasnya yang unik dan mandiri, yang mempunyai kehendak, perasaan
dan pikiran (pilihan nilai) sendiri, yang dapat berbeda dengan pribadi lain.
b. Manusia sebagai makhluk sosial, sebagai bagian dari keluarga dan
masyarakatnya, bangsa dan negaranya. Dalam kebersamaan ini manusia
mewarisi nilai kebersamaan, solidaritas kelompok dan kebangsaan.
c. Manusia sebagai makhluk susila (makhluk sosial) yang secara kodrat
memiliki kesadaran akal-budi, berupa malu dan kehormatan diri,
kesadaran moral (tanggung jawab kepada Tuhan dan kebenaran,
kemanusiaan).
2. Moral
a. Pengertian Moral
Moral berasal dari bahasa latin mors/moralis artinya adat istiadat,
kebiasaan, cara dan tingkah laku yang berkaitan dengan aktivitas manusia.
Istilah moral dalam kamus filsafat (1995: 145) ialah segala sesuatu yang
berkaitan dengan aktivitas manusia yang dipengaruhi oleh kesadaran dan
dipandang sebagai baik atau buruk dan benar atau salah sesuai dengan kaidah.
Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1988: 123) ialah moral
memiliki dua pengertian yaitu:
a. Serangkaian ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti dan susila.
22
b. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah dan berdisiplin sebagaimana terungkap dalam perbuatan.
Lakoff (1996: 32) mengatakan bahwa moral merupakan suatu pandangan
baik dan buruk yang telah diterima umum. Moral juga menyangkut kondisi mental
psikologis seseorang yang melatarbelakangi perilaku, sikap, kewajiban, penilaian,
akhlak, budi pekerti, sopan santun dan susila. Poespoprodjo (1999: 67)
mengatakan bahwa moral tidak lain adalah tanggapan terhadap suatu peraturan
yang dalam aplikasinya akan menjadi ketetapan perbuatan (prescibed action),
tugas dan kewajiban (duty and obligation), dan tanggung jawab dirinya (moral
obligation-responsibility).
Keyakinan tentang moral menurut Poespoprodjo (1999: 65) merupakan suatu
bentuk pandangan normatif, ajaran-ajaran, ceramah, khotbah, patokan, kumpulan
peraturan dan ketetapan lisan maupun tulisan tentang bagaimana harus berprilaku
dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Moral adalah tuntunan keharusan
bagi perorangan, kelompok, bangsa serta moral tidak pernah independen ia
ditentukan oleh nilai dan norma lain.
Selain itu istilah moral mengandung makna integritas pribadi manusia,
yakni harkat dan martabat seorang pribadi. Derajat kepribadian seorang manusia
amat ditentukan oleh moralnya. Moral pribadi seperti predikat dan “atribut”
kemanusiaan seseorang. Moral adalah inti dan nilai kepribadian. Bahkan moral
bermakna integritas dan identitas manusia. Secara praktis sehari-hari, istilah moral
ialah kepribadian seseorang, citra pribadi manusia.
23
Sedangkan menurut Marzuki Umar Sa’abah (2001:230) mengatakan bahwa
moral diartikan sebagai adat istiadat, kebiasaan, tata cara kehidupan yang dapat
diterima oleh masyarakat dimana ia hidup. Di dalam islam perilaku seseorang
dinilai bermoral apabila terdapat dua aspek, dimana dua aspek itu adalah aspek
normatif yaitu pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan
bathil, diridhoi dan dikutuk Allah Swt. Sedangkan dilihat dari aspek operatif yaitu
sesuatu yang menjadi standarisasi perilaku manusia.
Pengertian lain juga dikemukakan oleh Franz Magnis suseno dalam bukunya
etika dasar masalah-masalah pokok filsafat moral, dikatakan bahwa moral adalah
kata moral selalu mengacu pda baik-buruknya manusia sebagai manusia, yang
merupakan tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan
seseorang. Adapun Batasan dan Makna Moral itu sendiri adalah sebagai berikut:
a. Menurut New Webster’s Dictionary, dijelaskan : Kata moral, berasal
dari istilah Latin Mos, moris, mores = tingkah laku. Moral sebagai kata
benda, mengandung makna :
(1) Prinsip-prinsip benar dan salah mengenai tingkah laku dan
karakter.
(2) Pendidikan tentang ukuran tingkah laku yang baik.
Morale, berarti sikap mental, seperti terdapat dalam kesatuan militer,
misalnya : keberanian mengemukakan pendapat, kepatuhan pada
atasan, disiplin tinggi.
Moralis, berarti :
(1) seseorang yang mengajar moral;
24
(2) seorang penulis atau pengajar etika;
(3) seorang pribadi yang mencerminkan tingkah laku dan kepribadian
yang selalu baik (ideal).
b. Menurut The New Oxford Illustrated Dictonary, di jelaskan :
Moral, sebagai kata sifat berarti :
(1) Berhubungan dengan karakter, tentang benar dan salah;
(2) Tingkah laku yang baik, mulia dan benar.
Moral, sebagai kata benda berarti pengajaran tentang baik dan buruk
yang diambil dari cerita-cerita binatang, cerita rakyat dan kebiasaan
dalam masyarakat.
Morale, sebagai kata benda, berarti sikap mental, seperti disiplin dan
kepatuhan yang lazim berlaku dalam kesatuan militer.
Moralisme, sebagai kata benda, berarti sistem morallitas, yakni
prinsip-prinsip tingkah-laku yang benar dibedakan dengan yang salah.
Moralis, kata benda, berart :
(1) seorang yang melakukan perbuatan yang baik;
(2) seorang pengajar moral.
c. Menurut Ensiklopedi Indonesia No. 4, dijelaskan : pengertian istilah
moral, moralis, moril, sebagai berikut :
(1) semangat atau suasana hati yang menjunjung tinggi tugas;
(2) yakin akan kebenaran mengenai apa yang dilakukan; oleh karena
itu berani menghadapi akibat yang terburuk sekalipun.
25
Moril, berarti batin, bukan benda : misalnya bantuan moril adalah
bantuan yang berupa sokongan batin, bukanberupa benda atau uang.
Dengan demikian dapat disimpulkan makna moral adalah sebagai
berikut:
(1) makna moral ialah berkenaan dengan sikap dan kepribadian
manusia, tingkah laku yang baik dan benar, sikap, semangat,
mental atau batin yang memancar dalam kepribadian;
(2) ajaran tentang norma tingkah laku (etika) yang berlaku dalam
suatu kehidupan manusia.
d. Tujuan dan Fungsi Moral
Moral adalah ukuran nilai dan norma dalam kehidupan pribadi dan sosial
manusia; moral ialah perwujudan kesetiaan dan keptuhan manusia dalam
mengemban nilai dan norma. Jadi, tujuan dan fungsi moral merupakan
pengalaman nilai dan norma, sekaligus sebagai perwujudan harkat-martabat
kepribadian manusia. Tegasnya, tujuan da fungsi moral terutama meliputi :
1. Menjamin tegaknya harkat dan martabat pribadi seseorang dan
kemanusiaan.
2. Menjamin kebahagiaan rohani dan jasmani manusia karena penunaian
fungsi moral tidak menimbulkan konflik-konflik batin, rasa menyesal,
perasaan berdosa atau kekecewaan.
3. Menjamin keharmonisan antar hubungan sosial pribadi, karena moral
memberikan landasan kepercayaan kepada sesama; percaya atas itikad
baik dan kebaikan setiap orang karena moralitasnya yang luhur.
26
4. Fungsi moral lebih-lebih memberikan motivasi kebaikan dan kebajikan
dalam tiap sikap dan tindakan manusia; manusia berbuat kebaikan dan
kebajikan didasarkan atas kesadaran kewajiban yang dilandasi moral
(Ketuhanan keagaamaan dan atau moral nasional/filsafat negara).
5. Moral memberikan wawasan masa depan baik konsekuensi dan sanksi
sosial dalam kehidupan di dunia yang selalu dipertimbangkan sebelum
bertindak; juga lebih-lebih konsekuensi tanggung jawab terhadap Tuhan
dalam kehidupan di akhirat.
6. Moral memberikan landasan kesabaran, untuk bertahan terhadap segala
dorongan naluri dan keinginan (nafsu); memberi daya tahan dalam
menunda atau menolak dorongan-dorongan yang rendah yang
mengancam harkat-martabat pribadi manusia.
e. Masalah Dekadensi Moral di Indonesia
Masalah moral, adalah suatu masalah yang menjadi perhatian orang di
mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju, maupun dalam masyarakat
yang masih terbelakang. Karena kerusakan moral seseorang mengganggu
ketentraman yang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak orang yang rusak
moralnya, maka akan goncanglah keadaan masyarakat itu. Apa yang
dimaksud dengan moral itu? Elizabeth Hurlock berkata dalam bukunya Child
Delepment:
“True morality is behaviour which Conforms to Social standars and whics is also carried out poluntarily by the individual. It comes with the transition from external to internal authority and Consiste of Conduct regulated from within. It is accompanied by a feeling of personal responsibility for the act. Added to this it involves giving primary
27
Considerations to the welfare of the group, while personal desires or gains are relegated to aposition of secondary importance.” Yang terpokok dari kutipan itu ialah, moralitas yang sungguh-sungguh itu
sebagai berikut :
1. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran masyarakat, yang timbul
dari hati sendiri (bukan paksaan dari luar).
2. Rasa tanggung jawab atas tindakan itu.
3. Mendahulukan kepentingan umum dari pada keinginan atau
kepentingan pribadi.
Jika kita ambil ajaran agama, misalnya agama Islam, maka yang terpenting
adalah akhlak (moral), sehingga ajarannya yang terpokok adalah untuk
memberikan bimbingan moral di mana Nabi Muhammad saw bersabda :
Sesungguhnya saya diutus oleh Tuhan adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Dan beliau sendiri memberikan contoh dari akhlak yang mulia itu di antara
sifat beliau yang terpenting adalah : benar, jujur, adil, dan dipercaya.
Dari manapun kita ambilkan definisi tentang moral, maka definisi itu akan
menunjukkan bahwa moral itu sangat penting bagi tiap-tiap orang, tiap
bangsa, bahkan ada seorang penyair Arab yang mengatakan bahwa ukuran
suatu bangsa, adalah akhlaknya. Jika mereka tidak berakhlak, maka bangsa itu
tidak berarti (berharga). Memang moral adalah sangat penting bagi suatu
masyarakat, bangsa dan ummat, kalau moral rusak, ketentraman dan
kehormatan bangsa itu akan hilang. Maka untuk memelihara kelangsungan
hidup secara bangsa yang terhormat, Indonesia perlu sekali memperhatikan
pendidikan moral bagi generasi yang akan datang.
28
Jika kita tinjau keadaan masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar
sekarang ini dengan dasar-dasar moral yang disebutkan di atas, maka akan kita
dapatilah bahwa moral sebagian anggota masyarakat telah rusak, atau mulai
merosot. Di mana kita lihat, kepentingan umum tidak lagi yang menjadi
nomor satu, akan tetapi kepentingan dan keuntungan pribadilah yang
menonjol pada banyak orang.
Kejujuran, kebenaran, keadilan dan keberanian telah tertutup oleh
penyelewengan-penyelewengan baik yang terlihat ringan maupun berat;
banyak terjadi adu domba, hasad dan fitnah, menjilat, menipu, berdusta,
mengambil hak orang sesuka hati, di samping perbuatan-perbuatan maksiat
lainnya.
Yang dihinggapi oleh kemerosotan moral itu, tidak saja orang yang telah
dewasa, akan tetapi telah menjalar sampai kepada tunas-tunas muda yang kita
harapkan untuk melanjutkan perjuangan membela nama baik bangsa dan
negara kita. Belakangan ini kita banyak mendengar keluhan-keluhan orang
tua, ahli pendidik dan orang-orang yang berkecimpung dalam bidang agama,
sosial, anak-anak terutama yangs sedang berumur belasan tahun dan mulai
remaja, banyak yang sukar dikendalikan, nakal, keras kepala, berbuat
keonaran, maksiat dan hal-hal yang mengganggu ketentraman umum. Dalam
hal ini marilah kita bagi gejala-gejala yang menunjukkan kemerosotan moral
pada anak-anak muda kepada beberapa segi :
1. Kenakalan ringan :
29
Misalnya keras kepala, tidak mau patuh kepada orang tua dan guru, lari
(bolos) dari sekolah, tidak mau belajar, sering berkelahi, suka
mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan, cara berpakaian dan lagak-
lagu yang tidak peduli dan sebagainya.
2. Kenakalan yang menggannggu ketentraman dan keamanan orang lain :
Misalnya mencuri, memfitnah, merampok, menodong, menganiaya,
merusak milik orang lain, membunuh, ngebut dan lain sebagainya.
3. Kenakalan seksuil :
a. Terhadap jenis lain (Hetero-seksuil)
b. Terhadap orang sejenis (Homo-seksuil)
Kenakalan-kenakalan atau kerusakan-kerusakan moral yang disebutkan di
atas adalah di antara macam-macam kelakuan anak-anak yang
menggelisahkan orang tuanya sendiri dan juga ada yang menggelisahkan
dirinya sendiri. Tidak sedikit orang tua yang mengeluh kebingungan
menghadapi anak-anak yang tidak bisa lagi dikendalikan baik oleh orang tua
itu sendiri, maupun oleh guru-gurunya.
Bukanlah menjadi rahasia lagi bahwa nilai moral dalam masyarakat telah
goncang. Dalam cara berpakaian misalnya, kita mendengar di sana sini
banyaknya anak-anak muda yang berpesta ria di tempat-tempat khusus dengan
pakaian yang sangat minim, bahkan hampir populer istilah a.c.d (anti celana
dalam). Adanya istilah tersebut, menggambarkan dengan jelas bahwa apa
yang disuruhkan Tuhan untuk memelihara alat vitalnya tidak dipatuhi dengan
sengaja, bahkan ada club dan tempat di mana berkumpulnya laki-laki dan
30
perempuan sama-sama tidak berpakaian sama sekali, selama acara dan pesta
mereka berlangsung.
Bahkan belum lama ini muncul diberita bahwa sepasang perempuan dan
laki-laki sedang melakukan hubungan intim (hubungan suami istri) di sebuah
kamar hotel, dan yang lebih sangat memprihatinkannya lagi bahwa yang
melakukan hubungan perzinaan tersebut adalah anak yang masih duduk
dibangku sekolah. Dimana liburan sekolah dijadikan ajang untuk bersenang-
senang dalam hal yang negatif.
Lebih jauh lagi, di sana sini telah dibuat tempat manusia durhaka
melampiaskan hawa nafsunya, yang diberi nama yang indah misalnya Taman
Hiburan, Night Club dan sebagainya, yang dilayani dengan resmi oleh wanita
cantik, yang akan merayu melayani segala permintaan laki-laki, yang sekarang
dengan berani diperkenalkan istilah hostess.
Dengan melihat banyak kasus seperti yang dicontohkan diatas, dengan
prihatin kita terpaksa mengakui bahwa moral sebagian orang sekarang ini
mengalami kemerosotan, bahkan dapat dikatakan telah meninggalkan nilai
moral. Dimana nilai-nilai agama disana sudah tidak diperhatikan lagi bahkan
sudah dianggap mati (tidak ada).
f. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Merosotnya Moral
Faktor-faktor penyebab dari kemerosotan moral dewasa ini sesungguhnya
banyak sekali antara lain yang terpenting adalah :
1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam
masyarakat.
31
Keyakinan beragama yang didasarkan atas pengertian yang sungguh-
sungguh dan sehat tentang ajaran agama yang dianutnya, kemudian
diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran tersebut merupakan benteng
moral yang paling kokoh. Marilah kita ambil sebagai contoh ajaran Islam,
di mana yang menjadi ukuran bagi mulia atau hinanya seseorang adalah
hati dan perbuatannya, hati yang taqwa dan perbuatan yang baik.
Apa yang dimaksud dengan taqwa dalam ajaran Islam, dapat dibaca
dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang artinya sebagai berikut :
“Berbuat baik itu bukanlah menghadapkan mukamu ke arah Timur atau Barat, akan tetapi yang berbuat baik ialah orang yang : a. Percaya kepada Allah, Hari Akhirat, Malaikat, Kitab suci dan
Nabi-nabi (keimanan). b. Memberikan harta yang dicintai kepada kaum kerabat, anak yatim,
orang miskin, musafir yang kekurangan, orang minta-minta dan memerdekakan budak (moral+sosial).
c. Mendirikan salat/sembahyang (Pengabdian). d. Mengeluarkan zakat (sosial). e. Menepati janji yang telah dibuatnya (moral). f. Bersabar dalam kesusahan, penderitaan, dan kegentingan (moral).
Orang –orang itulah yang dikatakan benar dan merekalah yang dinamakan bertqwa.”
Inilah yang dimaksud dengan taqwa di dalam Islam. Selanjutnya
apabila jiwa taqwa telah tertanam dan bertumbuh dengan baik dalam
pribadi seseorang, maka dengan sendirinya ia akan berusaha pula mencari
pengertian tentang ajaran-ajaran Islam yang akan membimbingnya dalam
hidup. Ada larangan yang wajib diindahkannnya dan ada pula tugas yang
wajib dilaksanakan, di samping adanya anjuran-anjuran untuk
melaksanakan atau meningggalkan hal-hal tertentu. Semuanya itu
32
tersimpul dalam hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang mempunyai
sanksi.
Apabila keyakinan beragama itu, betul-betul telah menjadi bagian
integral dari kepribadian seseorang, maka keyakinannya itulah yang akan
mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaannya. Jika terjadi
tarikan orang kepada sesuatu yang tampaknya menyenangkan dan
menggembirakan, maka keimanannya cepat bertindak meneliti apakah hal
tersebut boleh atau terlarang oleh agamanya andaikata termasuk hal yang
terlarang, betapapun tarikan luar itu tidak akan diindahkannya karena ia
takut melaksanakan yang terlarang dalam agama. Akan tetapi, sudah
menjadi suatu tragedi dari dunia yang maju di mana segala sesuatu hampir
dapat dicapai dengan Ilmu Pengetahuan, maka keyakinan beragama mulai
terdesak. Kepercayaan kepada Tuhan tinggal sebagai simbol, larangan-
larangan dan suruhan-suruhannya tidak diindahkan lagi. Dengan
longgarnya perpegangan kepada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan
pengontrol yang ada di dalam diri. Dengan demikian satu-satunya alat
pengawas dan pengatur moral yang sisa adalah masyarakat dengan hukum
dan peraturannya. Biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat
pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu
datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang
disangka akan mengetahuinya maka dengan senang hati orang berani
melannggar aturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila masyarakat
itu banyak orang yang melakukan pelanggaran moral itu, dengan
33
sendirinya orang yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru dan
melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama.
Dan yang lebih berbahaya dalam hal ini adalah orang pandai yang tidak
beragama, akan dengan mudah menyesatkan, mengelabui dan membujuk
orang kepada perbuatan-perbuatan amoral. Maka untuk menjaga
keamanan dan ketentraman masyarakat perlu diadakan pengawasan yang
ketat dan hukum yang mempunyai sanksi-sanksi berat, serta petugas-
petugas keamanan yang millitant.
Tapi, jika setiap orang kuat keyakinannya kepada Tuhan mau
menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, maka tidak perlu polisi,
tidak perlu pengawasan yang ketat, karena setiap orang dapat menjaga
dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan
Tuhannya.
Semakin jauh masyarakat dari agama, semakin susah memelihara moral
orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena
semakin banyaknya pelanggaran-pelanggaran atas hak dan hukum.
2. Keadaan masyarakat yang kurang sehat.
Faktor kedua yang ikut mempengaruhi moral masyarakat ialah kurang
stabilnya keadaan, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Kegoncangan
atau ketidakstabilan suasana yang melingkungi seseorang menyebabkan
gelisah dan cemas, akibat tidak dapatnya mencapai rasa aman dan
ketentraman dalam hidup.
34
Misalnya apabila keadaan ekonomi goncang, harga barang-barang naik
turun dalam batas yang tidak dapat diperkirakan lebih dahulu oleh orang-
orang dalam masyarakat, maka untuk mencari keseimbangan jiwa
kembali, orang terpaksa berusaha keras. Jika ia gagal dalam usahanya
yang sehat, maka ia akan menempuh jalan yang tidak sehat, disinilah
terjadinya penyelewengan-penyelewengan, pada mulanya karena
kebutuhan, tapi bisa bertumbuh menjadi keserakahan atau tamak.
Demikian juga dengan keadaan sosial dan politik, jika tidak stabil, akan
menyebabkan orang merasa takut, cemas dan gelisah, hal mana akan
mendorong pula kepada kelakuan-kelakuan yang mencari rasa aman
kadang-kadang menimbulkan kecurigaan, tuduhan-tuduhan yang tidak
beralasan, kebencian kepada orang lain, adu domba, fitnah dan sebagainya.
Hal ini semua mudah terjadi pada orang yang kurang keyakinannya
kepada agama, dan mudah menjadi gelisah.
3. Tidak terlaksananya pendidikan moral dengan baik.
Faktor ketiga yang juga penting, adalah tidak terlaksananya pendidikan
moral dengan baik, dalam rumah tangga, sekolah dan masyarakat.
Pembinaan moral, seharusnya dilaksanakan sejak si anak kecil, sesuai
dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum
mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-
batas dan ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Tanpa
dibiasakan menanamkan sikap-sikap yang dianggap baik buat
penumbuhan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu.
35
Juga perlu diingat bahwa pengertian tentang moral, belum dapat
menjamin tindakan moral. Maka moral bukanlah suatu pelajaran atau ilmu
pengetahuan yang dapat dicapai dengan mempelajari, tanpa membiasakan
hidup bermoral dari kecil dan moral itu tumbuh dari tindakan kepada
pengertian, tidak sebaliknya.
Di sinilah peranan ibu/bapak, guru dan lingkungan yang sangat penting.
Jika si anak dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang tidak bermoral
atau tidak mengerti cara mendidik, ditambah pula dengan lingkungan
masyarakat yang goncang dan kurang mengindahkan moral, maka sudah
barang tentu, hasil yang akan terjadi, tidak menggembirakan dari segi
moral.
4. Suasana rumah tangga yang kurang baik.
Faktor yang terlihat pula dalam masyarakat sekarang, ialah kerukunan
hidup dalam rumah tangga kurang terjamin. Tidak tampak adanya saling
pengertian, saling menerima, saling mrnghargai, saling mencintai diantara
suami istri.
Tidak rukunnya ibu dan bapak menyebabkan gelisahnya anak-anak,
mereka menjadi takut, cemas dan tidak tahan berada di tengah-tengah
orang tua yang tidak rukun. Maka anak-anak yang gelisah dan cemas itu
mudah terdorong kepada perbuatan-perbuatan yang merupakan ungkapan
dari rasa hatinya, biasanya mengganggu ketentraman orang lain.
Demikian juga halnya dengan anak-anak yang merasa kurang mendapat
perhatian, kasih sayang dan pemeliharaan orang tua akan mencari
36
kepuasan di luar rumah, seperti anak-anak yang kita sebutkan dalam
contoh-contoh di atas. Umumnya mereka datang dari rumah tangga yang
berantakan.
5. Diperkenalkannya obat-obat dan alat-alat anti hamil.
Suatu hal yang oleh sementara pejabat tidak disadari bahayanya
terhadap moral anak-anak muda adalah diperkenalkannya secara populer
obat-obatan dan alat-alat yang digunakan untuk mencegah kehamilan.
Seperti kita ketahui bahwa usia muda adalah usia yang baru mengalami
dorongan seksuil akibat pertumbuhan biologis yang dilaluinya, mereka
belum mempunyai pengalaman, dan jika mereka juga belum mendapat
didikan agama yang mendalam dengan mudah mereka dapat dibujuk oleh
orang-orang yang tidak baik (laki-laki atau perempuan jahat) yang hanya
melampiaskan hawa nafsunya.
Maka terjadilah umpamanya obat atau alat-alat itu digunakan oleh
anak-anak muda yang tidak terkecuali anak-anak sekolah atau mahasiswa
yang dapat dibujuk oleh orang yang tidak baik itu oleh kemauan mereka
sendiri yang mengikuti arus darah mudanya, tanpa kendali. Orang tidak
ada yang akan tahu, karena bekasnya tidak terlihat dari luar.
6. Banyaknya tulisan-tulisan dan gambar-gambar yang tidak
mengindahkan dasar-dasar moral.
Suatu hal yang belakangan ini yang kurang menjadi perhatian kita ialah,
tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, kesenian-
kesenian, dan permainan-permainan yang seolah-olah mendorong anak-
37
anak muda untuk mengikuti arus mudanya. Segi-segi moral dan mental
kurang mendapat perhatian, hasil-hasil seni itu sekedar ungkapan dari
keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnya tidak dapat dipenuhi begitu
saja. Lalu digambarkan dengan sangat realistis, sehingga semua yang
tersimpan di dalam hati anak-anak muda diungkap dan realisasinya terlihat
dalam cerita, lukisan atau permainan tersebut. Ini pun mendorong anak-
anak muda kejurang kemerosotan moral.
7. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu terluang.
Suatu faktor yang juga telah ikut memudahkan rusaknya moral anak-
anak muda, ialah kurangnya bimbingan dalam mengisi waktu terluang
dengan cara yang baik dan sehat. Umur muda adalah umur suka berkhayal,
melamunkan hal yang jauh. Kalau mereka dibiarkan tanpa bimbingan
dalam mengisi waktunya timbul dari mereka.
8. Kurangnya markas bimbingan.
Terakhir perlu dicatat bahwa kurangnya markas bimbingan dan
penyuluhan yang akan menampung dan menyalurkan anak-anak ke arah
mental yang sehat. Dengan kurangnya atau tidak adanya tempat kembali
bagi anak-anak yang gelisah dan butuh bimbingan itu, maka pergilah
mereka berkelompok dan menggabung kepada anak-anak yang juga
gelisah. Dari sini akan keluarlah model kelakuan yang kurang
menyenangkan.
38
3. Nilai-nilai Agama Islam
Arti kata islam itu sendiri adalah Islam secara etimologis berasal dari tiga
akar kata yaitu Salam artinya damai atau kedamaian, Salamah artinya
keselamatan, Aslama artinya berserah diri atau tunduk patuh. Pengertian lain Al-
Islam memiliki beberapa arti diantaranya yaitu yang pertama, dari kata Aslama-
Yuslimu-Islaman, berarti memelihara dalam keadaan selamat, damai dan
sejahtera (QS. Al-Maidah :16). Yang kedua, dari kata Salima-Yaslamu, berarti
menyerah diri, taat, patuh dan tunduk.
Dari pengertian yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa islam
mengandung arti berserah diri, tunduk, patuh dan taat sepenuhnya kepada
kehendak Allah itu melahirkan keselamatan, dan islam itu mengajarkan
perdamaian bagi umatnya dan dengan kedamaian tersebut, islam akan menjadi
petunjuk bagi manusia untuk memperoleh keselamatan dan kesejahteraan hidup di
dunia dan di akhirat.
Pengertian islam secara terminologis diungkapkan oleh ti Dosen
Pendidikan Agama Islam (PAI) UPI (2004: 32) bahwa “Islam adalah satu sistem
ajaran ketuhanan (agama) yang berasal dari Allah Swt disampaikan kepada umat
manusia melalui risalah yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw”. Pendapat lain
mengenai pengertian agama islam dikemukakan oleh M. Nur.A Hamid et.al yang
dikutip oleh A Zainuddin (1999: 14) bahwa:
Dinul Islam adalah peraturan atau ajaran yang berasal dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Untuk disebarluaskan kepada umat manusia yang berada di bumi, agar nereka mendapatkan petunjuk yang lurus dan benar guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
39
Islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia
digelarkan ke muka bumi, dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan
sempurna dalam Al-Quran yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-Nya
yang terakhir, yakni Muhammad ibn Abdullah, satu kaidah hidup yang memuat
tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual
maupun material.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa islam adalah agama yang
diturunkan Allah kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya, berisi hukum-hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia dan
manusia dengan alam semesta guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat.
Semua Rasul mengajarkan ke-Esaan Allah (Tauhid) sebagaimana dasar
keyakinan bagi umatnya. Sedangkan aturan-aturan pengamalannya desesuaikan
dengan tingkat perkembangan budaya manusia pada zamannya. Karena itu
diantara para rasul itu terdapat perbedaan dalam syari’at. Setelah Rasul-rasul yang
membawanya wafat, agama islam yang dianut para pengikutnya itu mengalami
perkembangan dan perubahan baik nama maupun isi ajarannya. Akhirnya islam
menjadi nama bagi satu-satunya agama, yaitu agama yang di bawa oleh Nabi
Muhammad Saw.
Agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah islam yang
terakhir diturunkan Allah kepada manusia. Karena itu tidak akan ada lagi Rasul
yang diutus ke muka bumi. Kesempurnaan ajaran islam yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad sesuai dengan tingkat budaya manusia yang telah mencapai
40
puncaknya, sehingga islam akan sesuai dengan budaya manusia sampai sejarah
manusia berakhir pada hari kiamat nanti.
Agama islam berisi ajaran yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
manusia, baik sebagai hamba Allah, individu, anggota masyarakat, maupun
sebagai makhluk dunia.
Secara garis besar nilai-nilai yang terkandung dalam agama islam
menyangkut tiga hal pokok yaitu:
a. Aspek keyakinan yang disebut Aqidah, yaitu aspek kredial atau keimanan
terhadap Allah Swt. Dan semua yang difirmankannya.
b. Aspek norma atau hukum yang disebut Syari’ah, yaitu aturan-aturan Allah
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan dengan
alam semesta.
c. Aspek perilaku yang disebut Akhlak, yaitu sikap-sikap atau perilaku yang
nampak dari pelaksanaan aqidah dan syari’ah.
Ketiga aspek tersebut berdiri sendiri, tetapi menyatu membentuk
kepribadian yang utuh pada diri seorang muslim. Sesuai dengan yang
diungkapkan secara tegas dalam firman Allah yang artinya: “Wahai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah
kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata”.
(QS. Al-Baqarah: 208)
Antara aqidah, syari’ah dan akhlak masing-masing saling berkaitan.
Aqidah atau iman merupakan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk
melaksanakan syari’ah apabila syari’ah telah dilaksanakan berdasarkan aqidah
41
akan melahirkan akhlak. Oleh karena itu, iman tidak hanya ada di dalam hati,
tetapi ditampilkan dalam bentuk perbuatan. Dengan demikian aqidah merupakan
landasan bagi tegaknya berdirinya syari’ah dan akhlak perilaku nyata pelaksanaan
syari’ah.
1. Aqidah
a. Pengertian Aqidah
Menurut bahasa, akidah berasal dari bahasa arab; ‘aqada-ya’qidu-
uqdatan-wa’aqidatan, artinya ikatan atau perjanjian, maksudnya sesuatu yang
menjadi tempat bagi hati dan hati nurani terikat kepadanya. Aqidah adalah
konsep-konsep yang diimani manusia sehingga seluruh perbuatan dan
perilakunya bersumber pada konsepsi tersebut, aqidah islam tersebut
dijabarkan melalui rukun-rukun iman dan berbagai cabangnya seperti tauhid
uluhiyah atau penjauhan diri dari perbuatan syirik. Sedang menurut istilah
akidah adalah suatu pokok atau dasar keyakinan yang harus dipegang oleh
orang yang mempercayainya. Makna akidah secara etismologis ini akan lebih
jelas apabila dikaitkan dengan pengertian terminologisnya. Seperti
diungkapkan oleh Hasan Al-Bana dalam Majmu’ar-Rasaail yang dikutip oleh
Azyumardi Azra et al (2002: 117) yakni:
Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.
Pendapat lain mengenai pengertian aqidah dikemukakan oleh A Zainuddin
(1999: 49) yang mengemukakan bahwa: Aqidah Islam adalah pokok-pokok
42
kepercayaan yang harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim
berdasarkan dalil naqli dan aqli (nash dan akal).
Dari pengertian tersebut ada beberapa hal yang penting yang harus
diperhatikan dalam memahami aqidah secara lebih tepat dan jelas, yang
meliputi Pertama, setiap manusia memiliki fitrah untuk mengaku kebenaran
dengan potensi yang dimilikinya. Indra dan akal digunakan untuk mencari dan
menguji kebenaran, sedangkan wahyu menjadi pedoman untuk menentukan
mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya manusia
menempatkan fungsi masing-masing alat tersebut pada posisi yang
sebenarnya. Sejalan dengan hal ini Allah berfirman:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl: 78) ...Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjukan orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinnya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah: 15-16)
Kedua, keyakinan itu harus penuh tidak ada kesamaran dan keraguan.
Oleh karena itu, untuk sampai kepada keyakinan, manusia harus memiliki
ilmu sehingga ia dapat menerima kebenaran dengan sepenuh hati setelah
mengetahui dalil-dalilnya.
Ketiga, aqidah harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada
orang yang meyakininya. Untuk itu diperlukan adanya keselarasan antara
keyakinan lahiriah dan batiniah. Pertentangan antara kedua hal tersebut akan
melahirkan kemunafikan, sifat munafik ini akan mendatangkan kegelisahan.
43
Keempat, apabila seseorang telah meyakini kebenaran, maka
konsekuensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang
bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.
b. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Menurut Hasan Al-Banna yang dikutip Azyumardi Azra et.al (2002: 122)
ruang lingkup pembahasan aqidah meliputi:
a) Ilahiah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan ilah (Tuhan), seperti wujud Allah, nama-nama, sifat-sifat Allah
dan lain-lain.
b) Nubuwwah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai
kitab-kitab Allah, mukjizat dan sebagainya.
c) Ruhaniah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis, setan dan ruh.
d) Sam’iah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa
diketahui melalui sami, yakni dalil naqli berupa Al-Quran dan As-
Sunnah, seperti alam barzah, akhirat, azab kubur dan sebagainya.
Disamping ruang lingkup di atas, A Zainuddin (1999: 52) menyatakan
bahwa pokok-pokok aqidah itu adalah keimanan, maka aqidah di sini identik
dengan keimanan (kepercayaan), sedangkan unsur-unsur iman itu mencakup
rukun-rukun iman (arkanul iman). Sebagaimana dijelaskan dalam firman
Allah:
Hai orang-orang yang beriman, yakinlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, dan kepada kitab-kitab
44
yang diturunkan terdahulu. Barang siapa yang ingkar (kafir) kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa: 136)
c. Arkanul Iman
Seperti apa yang telah dijelaskan di atas bahwa pokok aqidah islam itu
adalah keimanan (kepercayaan), dan unsur-unsur iman itu mencakup rukun-
rukun iman. Rukun-rukun iman tersebut adalah sebagai berikut:
a. Iman kepada Allah
Iman kepada Allah artinya meyakini adanya Allah dengan sepenuh
hati tanpa adanya keraguan sedikitpun, karena Dialah yang kita sembah,
Yang Esa lagi Pencipta, yang pertama lagi permulaan, yang akhir tanpa
penghabisan, pemilik keagungan dan kesempurnaan.
Keyakinan kepada Allah Yang Maha Esa (tauhid) merupakan titik
pusat keimanan, karena itu setiap aktivitas seorang muslim senantiasa
dipertautkan secara vertikal kepada Allah Swt. Pekerjaan seorang muslim
yang dilandasi keimanan dan dimulai dengan niat karena Allah, akan
mempunyai nilai ibadah di sisi Allah. Sebaliknya pekerjaan yang tidak
diniatkan karena Allah tidak mempunyai nilai apa-apa.
Islam mengajarkan bahwa iman kepada Allah harus bersih dan murni,
menutupi setiap celah yang memungkinkan masuknya syirik
(mempersekutukan Allah). Masuknya paham-paham yang merusak tauhid
menyebabkan orang terjatuh syirik, dan syirik merupakan dosa yang besar
yang tidak akan diampuni Allah.
45
Tauhid adalah mengi’tikadkan bahwa Allah itu Esa, tidak ada sekutu
bagi-Nya. I’tikad ini harus dihayati, baik dalam niat, maupun dalam
maksud dan tujuan. Tauhid mencakup tujuh macam yaitu:
(1) Tauhid Zat
Tauhid Zat artinya mengi’tikadkan Zat Allah itu Esa, tidak
berbilang Zat Allah itu hanya dimiliki oleh Allah saja, yang selain-
Nya tidak ada yang memilikinya. Manusia yang terdiri dari atom
dan molekul tidak diberi pengetahuan tentang Zat Allah sehingga
Rasulullah menasihatkan : “pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan
pikirkan Zat Allah karena engkau akan hancur”. (H.R Abu Nuaim
dari Ibnu Umar)
(2) Tauhid Sifat
Tauhid Sifat adalah mengi’tikadkan bahwa tidak ada sesuatu pun
yang menyamai sifat Allah, dan hanya Allah saja yang memiliki
sifat kesempurnaan.
(3) Tauhid Wujud
Tauhid Wujud adalah mengi’tikadkan bahwa hanya Allah yang
wajib ada. Adanya Allah tidak membutuhkan kepada yang
mengadakan, berarti hanya Dia-lah yang abadi.
(4) Tauhid Af’al
Tauhid Af’al adalah mengi’tikadkan bahwa Allah sendiri yang
menciptakan dan memelihara alam semseta. Atas kehendak-Nya
pula sesuatu itu hidup dan mati, kemuliaan dan kehinaan, serta
46
kelapangan dan kesempitan rezeki (Al-Imran: 26-27); Allah sendiri
yang menetapkan apa yang akan terjadi dan apa yang tidak akan
terjadi (At-Taubah: 51); Dia pula yang memegang rahasia kapan
saat kehancuran alam semesta akan tiba (Lukman: 34); Maka
Allah-lah tempat bergantung (Al-Ikhlas: 2); dan kepada-Nya
tempat menyerahkan segala urusan (Al-Anfal: 44).
(5) Tauhid Ibadah
Tauhid Ibadah adalah mengi’tikadkan bahwa hanya Allah saja
yang berhak dipuja dan dipuji (Al-Fatihah: 2). Memuja dan memuji
selain Allah baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi-
sembunyi adalah bentuk perbuatan syirik.
(6) Tauhid Qasdi
Tauhid Qasdi adalah mengi’tikadkan bahwa hanya kepada Allah-
lah segala amal ditujukan. Setiap amal dilakukan secara langsung
tanpa perantara ditujukan untuk memperoleh keridhaan-Nya
semata.
(7) Tauhid Tasyri
Tauhid Tasyri adalah mengi’tikadkan bahwa hanya Allah-lah
pembuat peraturan (hukum) yang paling sempurna bagi makhluk-
Nya. Iman kepada Allah mencakup iman kepada seluruh firman-
Nya. Apabila seseorang telah beriman kepada Allah, maka ia
beriman kepada kitab-Nya, Malaikat-Nya, Rasul-Nya, hari kiamat
serta qada dan qadar. Dengan demikian, iman kepada Allah
47
menjadi awal dan pintu masuk iman kepada yang lainnya. Seorang
yang beriman senantiasa akan menjaga keakrabannya dengan
Allah. Mulutnya akan senantiasa dihiasi dengan ucapan yang
memelihara ikatannya dengan Allah, misalnya mengatakan “insya
Allah” untuk ucapan janji, “masya Allah” jika mendapatkan
kegagalan dalam berusaha, dan “innalillahi wa inna ilaihi raji’un”
jika terkena musibah atau mendengar ada orang yang meninggal
dunia atau dengan perkataan lain mulutnya akan senantiasa
berdzikir kepada Allah Swt.
Adapun Fungsi iman kepada Allah antara lain:
1. Menyadarkan manusia agar selalu ingat kepada Allah.
2. Menambah ketaqwaan kepada Allah, serta tawakal kepada-Nya,
ikhlas untuk melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi
semua larangan-Nya.
3. Percaya kepada yang gaib dan adanya wahyu dari-Nya, sehingga
terdorong untuk mempelajari dan mengamalkannya.
4. Dengan tulus ikhlas berusaha menafkahkan rezeki yang telah
diberikan-Nya sebagai bukti anugerah dari-Nya.
b. Iman kepada Malaikat
Iman kepada Malaikat Allah artinya mempercayai dengan sepenuh
hati bahwa Allah menciptakan makhluk gaib berasal dari Nur yang selalu
taat menjalankan perintah-perintah-Nya dan tidak pernah durhaka kepada-
Nya. Allah berfirman: “Mereka (para malaikat) takut kepada Tuhan yang
48
berkuasa atas mereka dan melaksanakan yang diperintahkan”. (QS. An-
Nahl: 50)
Ciri-ciri malaikat Allah adalah:
1. Mereka adalah makhluk yang selalu takut dan patuh kepada Allah.
2. Mereka adalah makhluk yang tidak pernah bernoda atau
bermaksiat.
3. Mereka adalah makhluk yang tidak pernah sombong dan selalu
bertasbih kepada Allah.
Adapun Fungsi iman kepada Malaikat antara lain:
1. Mempertebal iman kepada Allah bahwa Allah itu berkuasa
mencipta makhluk sesuai dengan kehendak-Nya.
2. Menyadarkan manusia agar selalu berhati-hati dalam segala
tingkah laku kehidupannya, sebab semua yang diucapkan dan
diperbuatnya senantiasa diawasi dan dicatat oleh para Malaikat-
Nya. Allah berfirman: “Tiada sutu ucapanpun yang diucapkan
melainkan ada didekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”.
3. Mendorong manusia untuk selalu meningkatkan amal yang baik
dan meninggalkan kejelekan sekecil apapun, karena amal tersebut
akan dipertanyakan dan dimintai pertanggungjawabannya.
c. Iman kepada Kitab-kitab-Nya
Iman kepada Kitab Allah artinya mempercayai dan meyakini bahwa
Allah telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para Rasul yang berisi
wahyu Allah agar isi dan kandungannya disampaikan kepada umat
49
manusia. Kumpulan wahyu itu ada yang berupa kitab dan ada yang disebut
shuhuf. Dasarnya adalah firman Allah Swt: “Wahai orang-orang yang
beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab
yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya”. (QS. An-Nisa: 136)
Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul itu adalah Taurat
kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud, Injil kepada Nabi Isa, dan
Al-Quran kepada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan shuhuf itu diturunkan
kepada Nabi Adam, Nabi Syits, Nabi Idris, Nabi Ibrahim dan Nabi Musa.
Adapun fungsi iman kepa Kitab-kitab Allah antara lain:
1. Sebagai ilmu pengetahuan, kita harus membaca dan mengetahui isi
kitab-kitab itu dan mengamalkan dalam bentuk perilaku kehidupan
sehari-hari.
2. Kita akan mengetahui hukum-hukum syara’ yang terkandung
didalamnya. Dengan demikian, kita harus melaksanakannya
dengan sebaik-baiknya sebagai perwujudan taat kepada Allah.
3. Menambah rasa aman diri manakala kita mengetahui isi dan
kandungan kitab Allah.
4. Menambah rasa percaya diri, takwa, dan sabar serta sebagai
pembersih jiwa dan rohani bagi pembaca dan pengamal ajaran
kitab Allah.
d. Iman kepada Rasul-rasul Allah
50
Beriman kepada Rasul-rasul Allah artinya mempercayai dan meyakini
dengan sepenuh hati bahwa Allah telah mengangkat dan memilih serta
mengutus beberapa utusan pilihan sebagai Rasul. Mereka diberikan wahyu
agar disampaikan kepada umatnya.
Adapun jumlah utusan Allah (Nabi dan Rasul) hanya Allah Yang
Maha Mengetahui. Yang wajib diketahui oleh kita sebagaimana dijelaskan
dalam Al-Quran adalah sebanyak 25 orang. Para Rasul ini selain diutus
menyampaikan risalah-Nya, juga diberi mukjizat dan ada yang bergelar
Ulul Azmi. Fungsi iman kepada Rasul-rasul Allah adalah:
1. Dengan diutusnya para Rasul Allah, berarti apa yang disampaikan
olehnya mengandung kebenaran mutlak dari Allah.
2. Menambah ketaatan kepada Allah, mendorong kita untuk selalu
menjalankan perintah dan menjauhi lerangan-Nya.
3. Mendorong kita untuk meneladani segala perilaku baik (teladan)
para Rasul Allah.
e. Iman kepada hari akhir
Iman kepada hari akhir adalah mempercayai dengan sepenuh hati
terhadap perubahan dahsyat yang terjadi pada alam semesta ini. Perubahan
itu merupakan tanda berakhirnya kehidupan dunia yang fana ini
dimulainya kehidupan diakhirat yang kekal.
Kehancuran total yang meliputi seluruh alam ini bukanlah suatu hal
yang mustahil. Kedahsyatan datangnya hari kiamat mampu
menghancurkan dan memporak-porandakan segala yang ada di permukaan
51
bumi ini. Pada hari itu adalah hari penghabisan dunia dan sebagai awal
kehidupan diakhirat.
Fungsi iman kepada hari akhir adalah:
1. Menyadarkan manusia betapa pentingnya hidup singkat di dunia
ini. Karena hidup di dunia merupakan tanaman amal yang akan
dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
2. Dengan beriman kepada hari akhir, hidup kita semakin optimis.
Jika kita bahagia di dunia, maka hidup kita akan tenang, jika hidup
kita tenang, maka kesempatan beribadah kita semakin bertambah.
3. Menumbuhkan sifat ikhlas beramal, sebab pengadilan Allah di
akhirat kelak adalah pengadilan yang adil, segala sesuatu akan
ditimbang dengan keadilan-Nya. Orang yang ikhlas adalah
mengharap ridha Allah semata.
4. Berlaku seimbang antara urusan dunia dan akhirat, sebab manusia
itu menginginkan kebahagiaan ganda di dunia dan di akhirat.
5. Menjauhkan diri dari perbuatan maksiat karena perbuatan maksiat
sekecil apapun akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
f. Iman kepada Qadha dan Qadar Allah
Beriman kepada qadha dan qadar Allah artinya mempercayai dan
meyakini sepenuh hati bahwa semua yang terjadi pada diri manusia dan
segala yang ada di dunia ini sudah ditentukan oleh Allah dan Allah-lah
yang menetapkan dan memutuskan baik-buruknya, menyenangkan dan
tidak menyenangkan atas kehendak-Nya.
52
Akan tetapi, manusia tidak boleh menyerah begitu saja menunggu
nasib tanpa berusaha, sebab Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha
manusia dan Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk
menentukan nasibnya sendiri.
Fungsi iman kepada qadha dan qadar Allah adalah:
1. Melatih diri untuk bersyukur dan bersabar. Artinya bersyukur
ketika mendapatkan anugerah dan bersabar ketika mengalami
musibah.
2. Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa. Artinya segala
keberhasilan dan kegagalan itu pada dasarnya dari Allah, maka
tatkala berhasil janganlah sombong dan ketika mengalami
kegagalan jangan berputus asa.
3. Mendorong sifat optimis dan giat bekerja sebab manusia itu tidak
tau takdir apa yang akan dialaminya.
4. Menciptakan jiwa yang tenang, artinya ia akan selalu merasa puas
dengan ketentuan Allah manakala ia telah berusaha dan
bertawakal.
d. Tujuan Aqidah Islam
Adapun yang menjadi tujuan dari Aqidah Islam antara lain:
1. Memupuk dan mengembangkan dasar keTuhanan yang ada sejak lahir.
Hal ini karena manusia adalah makhluk yang berkeTuhanan sejak ia
dilahirkan.
2. Memelihara manusia dari kemusyrikan
53
Untuk mencegah manusia dari kemusyrikan perlu adanya tuntutan
yang jelas tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kemungkinan manusia terperosok ke dalam kemusyrikan selalu
terbuka baik secara terang-terangan (syirik jaly), yakni berupa
perbuatan atau ucapan maupun yang bersifat tersembunyi (syirik
khafy) yang berada di dalam hati. Dengan mempelajari aqidah islam,
manusia akan terpelihara dari perbuatan syirik.
3. Menghindarkan diri dari pengaruh akal yang menyesatkan
Manusia diberi kelebihan Allah berupa akal pikiran. Pendapat-
pendapat atau faham-faham semata-mata didasarkan atas akal manusia,
kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri. Oleh karena itu,
pikiran manusia perlu dibimbing oleh aqidah islam, agar terhindar dari
kehidupan yang sesat.
2. Syari’ah
a. Pengertian Syari’ah
Syari’ah atau syari’at menurut asal katanya berarti jalan menuju mata air.
Dari asal katanya itu syari’at Islam berarti jalan yang lurus ditempuh seorang
muslim. Sedangkan secara terminologis Azyumardi Azra et.al (2002: 167)
mengemukakan bahwa:
Syari’ah berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia dan mengatur hubungan antara manusia dengan alam semesta.
Pendapat senada dikemukakan oleh Toto Suryana et.al (1997: 107) bahwa:
54
Syari’ah ialah sistem norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Syari’ah merupakan aspek norma atau hukum dalam ajaran islam yang keberadaannya tidak terlepas dari aqidah islam. Oleh karena itu, isi syari’ah meliputi aturan-aturan sebagai implementasi dari kandungan Al-Quran dan As-Sunnah.
Sedangkan pendapat lain dikemukakan oleh Muslim Nurdin et.al (1993:
37) bahwa:
Syari’ah merupakan aturan atau undang-undang Allah tentang pelaksanaan dari penyerahan diri secara total melalui proses ibadah secara langsung kepada Allah maupun secara tidak langsung dalam hubungannya dengan sesama makhluk lainnya (muamalah) baik dengan manusia maupun dengan alam sekitarnya.
Sesuai dengan pengertian di atas, syari’ah mencakup seluruh aturan bagi
semua aspek kehidupan manusia sebagai individu, warga masyarakat dan
sebagai subjek alam semesta. Syariah mengatur hidup manusia sebagai
individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk dan patuh kepada Allah.
Ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk
pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syari’ah
islam. Esensi ibadah adalah penghambaan diri secara total kepada Allah
sebagai pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan manusia dihadapan
kemahaKuasaan Allah.
Syari’ah islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan
dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang shaleh. Keshalehan
individu ini mencerminkan sosok pribadi muslim yang tangguh.
Islam mengakui manusia sebagai makhluk sosial, karena itu syari’ah
mengatur tata hubungan antara manusia dengan manusia dalam bentuk
55
muamalah sehingga terwujud keshalehan sosial. Dalam hal ini Azyumardi
Azra et.al (2002: 168) mengemukakan bahwa:
Keshalehan sosial merupakan bentuk hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungan sosialnya sehingga dapat dilahirkan bentuk masyarakat yang marhamah atau masyarakat yang saling memberikan perhatian dan kepedulian diantara anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya yang dilandasi oleh rasa kasih sayang.
Pendapat lain dikemukakan oleh Toto Suryana (1997: 205) bahwa:
Keshalehan sosial merupakan suatu hubungan yang baik atas dasar kasih sayang terhadap sesama manusia yang menjadi ciri dari umat islam, karena salah satu misi yang dibawa oleh Nabi dan harus menjadi misi setiap muslim adalah memberi rahmat bagi sesama dan seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Dalam hubungannya dengan alam, syari’ah islam meliputi aturan yang
mewujudkan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan
mendorong untuk saling memberi manfaat sehingga terwujud lingkungan alam
yang makmur dan lestari
Syari’ah islam merupakan jalan yang benar dan dijadikan dasar bagi
kehidupan manusia. Demikianlah Allah menurunkan syari’at Islam kepada
manusia dengan lengkap sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk
Allah yang paling sempurna. Syari’at ini diturunkan kepada manusia untuk
dilaksanakan dalam kehidupan di dunia demi mencapai kebahagiaan yang
hakiki di dunia dan akhirat.
b. Ibadah sebagai Dimensi Syari’ah
Salah satu bagian dari syari’ah adalah ibadah. Ibadah artinya
menghambakan diri kepada Allah. Ibadah merupakan tugas hidup manusia di
dunia, karena itu manusia yang beribadah kepada Allah disebut “abdullah”
56
atau hamba Allah. Hidup seorang hamba tidak memiliki alternatif lain selain
patuh, taat dan berserah diri kepada Allah. Karena itu yang menjadi inti dari
ibadah adalah ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri secara total kepada
Allah Swt.
Ibadah merupakan konsekuensi dari keyakinan kepada Allah yang
tercantum dalam kalimat syahadat, yaitu “laailaaha illa Allah” (tiada Tuhan
yang patut disembah selain Allah. Ini berarti seorang muslim hanya beribadah
kepada Allah tidak kepada yang lain.
Tujuan ibadah membersihkan dan menyucikan jiwa dengan mengenal dan
mendekatkan diri serta beribadah kepada-Nya. Kedudukan ibadah di dalam
islam menempati posisi yang paling utama dan menjadi titik sentral dari
seluruh aktivitas muslim. Seluruh kegiatan muslim pada dasarnya merupakan
bentuk ibadah kepada Allah, sehingga apa saja yang dilakukannya memiliki
nilai ganda, yaitu nilai material dan spiritual. Nilai material adalah imbalan
nyata yang diterima di dunia, sedangkan nilai spiritual ialah ibadah yang
hasilnya akan diterima di akhirat. Aktivitas yang bermakna ganda inilah yang
disebut amal shaleh.
Ibadah terbagi ke dalam dua bagian yaitu terdiri dari ibadah khusus atau
ibadah mahdhah dan ibadah umum atau ibadah ghair mahdhah.
1. Ibadah khusus atau ibadah mahdhah, adalah bentuk ibadah langsung
kepada Allah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur dan ditetapkan
oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasulullah, karena itu pelaksanaan
ibadah ini sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh Rasulullah.
57
Penambahan dan pengurangan dari contoh yang telah ditetapkan
disebut bid’ah yang menjadikan ibadah itu batal atau tidak sah. Karena
itulah para ahli menetapkan satu kaidah dalam ibadah khusus yaitu
“semua dilarang”, kecuali yang diperintahkan Allah atau dicontohkan
oleh Rasulullah”. Macam-macam ibadah khusus adalah shalat
termasuk di dalamnya thaharah sebagai syaratnya, puasa, zakat dan
haji.
2. Ibadah umum atau ibadah ghair mahdhah, adalah bentuk hubungan
manusia dengan manusia atau manusia dengan alam yang memiliki
makna ibadah. Syari’at islam tidak menentukan bentuk dan macam
ibadah ini, karena itu apa saja bentuk kegiatan seorang muslim dapat
bernilai ibadah asalkan kegiatan tersebut bukan perbuatan yang
dilarang Allah dan Rasul-Nya serta diniatkan hanya karena Allah.
Untuk memudahkan pemahaman, para ulama menetapkan kaidah
ibadah umum yaitu “semua boleh dikerjakan, kecuali yang dilarang
oleh Allah dan Rasul-Nya”.
Ibadah baik umum maupun khusus merupakan konsekuensi dan
implementasi dari keimanan terhadap Allah Swt yang tercantum dalam dua
kalimat syahadat, yaitu “asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna
Muhammadar rasulullah”.
Syahadat pertama mengandung arti “tiada Tuhan yang patut diibadahi
selain Allah”, artinya segala bentuk ibadah ditujukan kepada Allah saja. Oleh
karena tugas manusia di dunia adalah beribadah, maka segala sesuatu yang
58
dilakukan manusia adalah ibadah. Syahadat kedua mengandung arti
pengakuan terhadap kerasulan Muhammad yang bertugas memberikan contoh
nyata kepada manusia dalam melaksanakan kehendak Allah. Dalam kaitan
ibadah (khusus) berarti bentuk-bentuk dan tata cara pelaksanaan ibadah yang
dikehendaki adalah telah dicontohkan Rasulullah.
3. Akhlak
a. Pengertian Akhlak
Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluq, artinya tingkah
laku, perangai, tabiat. Sedangkan menurut istilah, akhlak adalah kekuatan jiwa
yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan
direnungkan lagi. Sementara itu Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlak
yang dikutip Hamzah Ya’kub (1988:12) merumuskan pengertian akhlak
sebagai berikut:
Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam pebuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat. Sedangkan Toto Suryana et. Al (1997:188) menyatakan bahwa “akhlak
ialah pengetahuan yang menjelaskan tentang baik dan buruk, mengatur
perbuatan manusia, dan menentukan tujuan akhir dari usaha dan
pekerjaannya.”
Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada
diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan.
Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan
59
tersebut disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah. Sebaliknya apabila
buruk disebut akhlak buruk atau akhlakul mazmumah. Baik dan buruk akhlak
didasarkan kepada sumber nilai yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Disamping akhlak dikenal pula istilah moral dan etika. Moral berasal dari
bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan, moral selalu dikaitkan dengan
ajaran baik buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat
istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan buruknya
suatu perbuatan.
Pengertian etika menurut filsafat yang dikemukakan oleh Ya’kub
(1988:13) merumuskan sebagai berikut:
Etika ialah ilmu yang menyelidiki iman yang baik dan mana yang buruk dengan memperahatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Hal senada juga dikemukakan oleh Webster’s Dict (1988:12) yang
menyatakan bahwa “etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia, prinsip-
prinsip yang disusun tentang tindakan moral yang betul.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa etika merupakan
tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu.
Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena yang menjadi
standar baik dan buruk itu adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan
moral maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis.
Moral bersifat lokal atau khusus dan etika bersifat umum.
Perbedaan antara akhlak dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar
penentuan atau standar ukuran baik buruk yang digunakannya. Standar baik
60
dan buruk akhlak berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral
dan etika berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan yang dibuat oleh
masyarakat jika masyarakat menganggap suatu perbuatan itu baik maka baik
pulalah nilai perbuatan itu. Dengan demikian standar nilai moral dan etika
bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan
abadi.
Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada
dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari
keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata
sehari-hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana
disabdakan-Nya “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”
(H. R. Ahmad).
Secara umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya
adalah akumulasi dari akidah dan syarat yang bersatu secara utuh dalam diri
seseorang. Apabila aqidah telah mendorong pelaksanaan syariat maka akan
lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak merupakan perilaku yang
tampak apabila syariat Islam telah dilaksanakan berdasarkan aqidah.
b. Ciri-ciri Perbuatan Akhlak
Definisi manakah yang lebih tepat masih merupakan debaatble. Namun
dengan menelaah sejumlah karakteristik tentang akhlak sangat sulit untuk
menerima definisi yang luas. Di Indonesia dikenal luas bahwa ajaran Islam
terdiri atas tiga komponen, yaitu aqidah, syari’ah, dan akhlak. Jadi, akhlak
61
adalah salah satu komponen ajaran Islam. Ciri-ciri perbuatan akhlaki sebagai
berikut :
Pertama, akhlak merupakan suatu tindakan yang “baik”. Mungkin yang
menjadi pertanyaan adalah : apa dasar dan ukurannya suatu tindakan disebut
“baik”. Kaum Muslimin, khususnya para Ulama, akan sepakat bahwa segala
tinadakan yang didasarkan atas perintah dan larangan syara’ adalah baik.
(Perhatikan kembali definisi di atas). Malah lebih jauhnya, sebagaian besar-
(kalau tidak mau disebut) hampir seluruh-perintah dan larangan syara’ Islam
akan dipandang “baik” juga oleh agama-agama besar dunia. Tindakan-
tindakan seperti barikut ini : bertindak adil, berbakti kepada kedua orang tua,
berbuat baik kepada karib-kerabat, bersahabat dengan tetangga, menolong
orang yang kesusahan, rendah hati, sabar, pemaaf, menghindari “ma-lima”
(madat/minum khamar, main/berjudi, madon/berzina, maling/mencuri, dan
mateni/membunuh), melestarikan alam, tidak merusak lingkungan, dan
banyak lagi yang lainnya, yang merupakan ajaran syar’i, juga dipandang
tindakan-tindakan yang “baik” oleh agama-agama besar dunia. Ajaran-ajaran
syar’ demikian berarti merupakan moral atau etika universal.
Kedua, akhlak merupakan suatu tindakan “ikhtiari” yang patut dipuji.
Tindakan “Ikhtiari”, suatu tindakan yang digerakkan oleh “usaha” (keras)
harus dibedakan dari tindakan “alami” atau tindakan “biasa-biasa”, yakni
suatu tindakan yang digerakkan oleh impuls dan refleks. Tindakan-tindakan
seperti : memperlakkukan anak yatim dengan penuh kasih-sayang,
mengeluarkan infak di kala sempit (kekurangan) – dan terlebi-lebih di kala
62
lapang (berkecukupan), menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain
yang kesempatan, dan tindakan lainnya yang serupa merupakan tindakan-
tindakan ‘ikhtiari” dan patut dipuji.
Tetapi tindakan berikut ini : seorang ibu menyusukan bayinya, seorang
suami/ayah menafkahi istri dan anak-anaknya, seorang muzakki membayarkan
zakat, seorang dosen memberikan kuliah kepada mahasiswanya, dan tindakan
lainnya yang serupa-walaupun merupakan perbuatan yang baik dan tentunya
layak memperoleh pahala dari Allah SWT-sangat sulit untuk disebut
perbuatan akhlaki, karena lebih merupakan tindakan alami. Tindakan
menyusukan bayi tidak hanya terjadi pada manusia, tapi juga binatang pun
melakukannya. Kita pun tidak pernah mendengar pujian berikut : Ibu A hebat,
dia menyusui bayinya! Bapak B hebat, dia memberi nafkah kepada istri dan
anaknya! Bapak C yang kaya itu hebat, dia membayar zakat. Mengapa tidak
dipuji? Jawabnya, karena tindakan-tindakan alami demikian lebih merupakan
suatu kewajiban. Adalah kewajiban bagi seorang ibu untuk menyusukan
bayinya; adalah kewajiban bagi seorang suami/ayah untuk menafkahi istri dan
anaknya; dan adalah kewajiban bagi seorang muzakki untuk membayarkan
zakatnya!
Berbeda dengan seseorang yang dalam keadaan sempit tapi membantu
meringankan kesempitan orang lain, dia layak mendapat pujian. Kita sering
dengar : “Saya salut pada si D. Dia tidak hanya berinfak di saat lapang. Tapi
di saat sempit pun dia berinfak!” Demikian juga seorang kaya yang
mengeluarkan infak dan shadaqah di luar zakat dan kewajibannya lebih
63
merupakan tindakan ikhtiari yang patut dipuji, dan karenanya merupakan
tindakan akhlaki.
Ketiga, akhlak merupakan buah dari keimanan. Perumpamaan iman
dengan akhlak dapat diibaratkan pohon dengan buahnya. Jadi, tidak mungkin
ada buah kalau tidak ada pohonnya. Tidak mungkin muncul tindakan akhlaki
kalau tidak ada keimanan. Hadits-hadits yang dimulai dengan ungkapan “La
yu’ minu ahadukum … “ di atas tadi menunjukkan bahwa buah iman adalah
akhlak.
Persoalannya, mengapa ada orang yang berakhlak padahal mereka “tidak”
beriman?! Kata “tidak” sengaja diberi tanda kutip untuk menunjukkan masih
kontroversial. Di kalangan “awam” keimanan seseorang sering diukur dengan
peribadatan ritual, terutama shalat. Orang yang tidak shalat dinilai tidak
beriman atau kurang iman. Ketika berhadapan dengan orang yang berakhlak
tapi tidak shalat, orang “awam” menjadi bingung. Apakah akhlak terpisah dari
keimanan atau orang yang berakhlak itu sebenarnya tidak berakhlak-misalnya
pura-pura berakhlak-karena “ketiadaan” iman (tidak shalat)?! Persoalan
menjadi lebih pelik ketika menyaksikan orang-orang “kafir” (untuk menyebut
mereka yang tidak beragama Islam) tapi berakhlak. Bagaimana mungkin
orang “kafir” berakhlak?! Persoalan akan terjawab dengan membahas tema
fitrah, khususnya Muslim-Fithri.
Keempat, akhlak bersifat fithri. Akhlak-sebagai salah satu komponen
ajaran Islam-sebagaimana keimanan terpatri dalam hati setiap manusia. Ayat
Fa aqim wajhaka li-dini hanifa. Fithrat Allahi al-lati fathara al-nasa ‘alaiha.
64
(Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus. Fithrah Allah yang
mencintakan manusia atas dasar fithrah itu).16Juga hadits Kullu mauludin
yuladu ‘ala all-yumajjisanihi (Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Maka orang tuanyalah yang meyahudikannya, menasranikannya, atau
memajusikannya), menunjukkan bahwa dasar-dasar agama Islam dasar-dasar
keimanan, dasar-dasar peribadatan, dan dasar-dasar akhlak telah terpatri pada
hati manusia.
Untuk apa orang berakhlak kalau tidak ada iman! Sebagai tindakan pura-
pura? Mungkin, kalau tindakan akhlakinya itu hanya sekali-sekali saja,
sementara kebiasaannya justru tidak berakhlak. Persoalan akan semakin jelas
dengan membahas Muslim-Fitri. Dalam Teologi Islam istilah tersebut cukup
dikenal. Siapa yang dapat gelaran Muslim-Fitri, untuk pertama kalinya ialah
untuk menyebut orang-orang yang berakhlak padahal agama Islam (Nabi
Muhammad Saw) belum datang. Kemudian gelaran ini pun diberikan kepada
orang-orang yang berakhlak tapi da’wah Islam belum sampai pada mereka.
Mengapa mereka berakhlak, karena dasar-dasar ajaran Islam (fithrah) telah
terpatri pada hati mereka. Bila diperluas, bisa saja orang yang berakhlak tapi
tidak shalat atau tidak beragama Islam di masa sekarang ini adalah mereka
yang layak mendapat gelaran Muslim-Fitri karena da’wah Islam (yang benar)
belum sampai pada mereka! Wallahu a’lamu.
Kelima, akhlak bersifat “ta’abbudi”. Misi utama kenabian adalah untuk
menyempurnakan akhlak. Sabda Nabi Saw : Innama bu’itsu li utammina
65
makarima al-akhlaqi. Jadi, apa karena didorong oleh kesadaran akan
keimanannya yang tinggi atau oleh fitrahnya yang kuat, seseorang melakukan
tindakan akhlaki-padahal sangat berat-kalau bukan untuk menyembah Allah
Yang Maha Esa?! Bisa saja karena riya. Tapi tindakan berpura-pura biasanya
temporer dan kasuistik.
Keenam, akhlak merupakan moral dan etika universal. Ajaran Islam-
termasuk tentunya akhlak-merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia
karena memang sesuai dengan fitrah insani (Hudan li al-nas). Seluruh ajaran
akhlak Islam-khususnya yang menyangkut prinsip-prinsipnya, bukannya yang
bersifat teknis-terbukti diterima di mana pun dan kapan pun. Kalau pun ada
yang berbeda biasanya bersifat teknis. Misalnya, berbakti kepada ibu-bapak.
Di kebanyakan peradaban, menampar ayah merupakan tindakan tercela. Tapi
pada Suku Amish, seorang anak laki-laki berumur 10 tahun yang berani
menampar pipi ayahnya mendapat pujian. Kenapa? Karena Suku Amish
adalah suku perang. Kalau seorang anak sudah berani menampar ayahnya,
terlebi-lebih ia akan berani memukul telk musuhnya. Tapi-karena tidak sesuai
dengan fitrah-dewasa ini tidak ada anak Suku Amish yang melakukan
tindakan demikian.
Ketujuh, pelanggaran terhadap akhlak akan dikutuk masyarakat.
Tindakan-tindakan anti-akhlaki, terutama yang berhubungan dengan
kemasyarakatan atau bersentuhan dengan orang lain, akan dikutuk oleh
masyarakat. Misalnya : ucapan kasar terhadap orang tua, perkataan buruk
terhadap tetangga, tidak memberikan pertolongan terhadap orang yang terkena
66
musibah, membuat kegaduhan di saat orang sedang tidur nyenyak di malam
hari, kikir, sombong, dan banyak lagi tindakan anti-akhlaki lainnya akan
dikutuk oleh masyarakat.
Kedelapan, pelanggaran terhadap akhlak akan dikutuk hati-nurani.
Seorang hakim yang menerima suap atau seorang pejabat yang korupsi di satu
sisi dapat membahagiakan istri dan anak-anaknya. Dengan uang (haram) yang
diraihnya, istri dan anak-anak mereka dapat memenuhi segala kebutuhan dan
keinginannya. Dari luar, keluarga hakim dan pejabat tersebut mungkin tampak
bahagia. Tapi, hati-nurani sang hakim dan sang pejabat (jika istri dan anak-
anaknya tidak mengetahuinya) akan mengutuk habis-habisan tindakan suap
dan korupnya itu. Pertanyaan mungkin muncul : mengapa para hakim
penerima suap dan para pejabat yang korup tidak segera bertaubat, tapi malah
lebih gila lagi menerima suap dan berkorup-ria? Jawabnya, nafsu-serakah
itulah yang mendominasi kepribadiaannya. Seorang Fir’aun dan Qarun saja
pada akhir hayatnya menyesali segala perbuatan anti-akhlakinya. Hanya,
sayang sekali terlambat.
Contoh cukup populer di Barat adalah Thomas Grissom. Ia seorang
Fisikiawan berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hampir 15 tahun ia
bekerja dengan penuh semangat dalam usaha pengembangan dan
pembangunan generator neutron. Sedemikian besar semangatnya sehingga ia
nyaris lupa akan tujuan benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan
dan menghasilkan senjata-senjata nuklir. Lama kelamaan hati nuraninya
gelisah terutama setelah membaca karya sejarawan tersohor, Arnold Toynbee,
67
A Study of History, khususnya kalimat berikut : “Bila orang mempersiapkan
perang, sudah ada perang.” Pada saat itulah Grissom sadar bahwa ia sedang
memberikan bantuan kepada suatu perang nuklir yang mampu memusnahkan
sebagian besar permukaan bumi. Ia lalu membicarakan kegelisahan batinnya
dengan istrinya. Ia pun membicarakan konsekuensi-konsekuensi finansial bila
berhenti bekerja di Laboratorium Nasional Amerika. Dia akhirnya
memutuskan berhenti, kemudian bekerja sebagai dosen dengan penghasilan
jauh lebih kecil.
c. Faktor yang Memperkuat dan Memperlemah Akhlak
Akhlak seseorang bisa kuat ataupun lemah tergantung pada faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Faktor yang memperkuat akhlak dapat diidentifikasi
sebagai berikut :
1. mantapnya keimanan. Tidak diragukan lagi bahwa mantapnya
keimanan seseorang akan memperkuat akhlaknya. Para Nabi dan
orang-orang saleh sudah terbukti merupakan teladan-teladan akhlak.
Hanya saja sepanjang sejarah sangat sedikit kaum Mu’minin yang
memiliki kualifikasi demikian. Kebanyakan keimanan manusia adalah
‘yazidu wa yanqushu” (naik-turun); artinya, perlu pembinaan terus
menerus.
2. terbimbing oleh seorang guru yang saleh. Seorang guru yang saleh
terbukti mampu mengalahkan sagala faktor yang melemahkan
tindakan akhlaki atas bimbingan gurunya yang saleh, Umar bin Abdul
Aziz mencapai ketinggian akhlak dan menjadi pemimpin yang sejajar
68
dengan “Khulaf al-Rasyidin; padahal baik ayahnya, keluarga besarnya,
ataupun lingkungan pergaulannya adalah istana yang jauh dari akhlak
Islam.
3. memiliki pengetahuan agama yang cukup dan benar. Pengetahuan
agama terbukti memperkokoh keimanan, sekaligus peribadatan dan
akhlak. Dalam titik ekstrim kita bisa membandingkan akhlak kaum
Santri (berbekal pengetahuan agama yang cukup dan “benar”) dengan
Preman (berbekal pengetahuan agama yang minim). Tesis S2 Adelina
Hasyim di UPI (1988 masih bernama IKIP Bandung) tentang tindakan
pelanggaran etis menyebutkan, bahwa siswa SMU lebih banyak
melakukan pelanggaran etis ketimbang siswa Madrasah Aliyah.
Mengapa demikian? Jawabannya, karena di Madrasah Aliyah lebih
banyak dibekalkan pengetahuan agama ketimbang di SMU.
1. memiliki falsafah hidup yang baik, yang sesuai dengan substansi,
ajaran Islam. Jasa Descartes-filsuf Perancis abad pertengahan-di bidang
pencerahan pemikiran merupakan realitas sejarah. Tema sentral
filsafatnya “cogito ergo sum” (saya berpikir, karena itu saya ada) bukan
saja menjadi bahan falsafah hidup yang ia jalankan. Ia tidak melakukan
suatu tindakan sebelum memikirkannya secara baik. Malah dalam
beragama pun ia jalani setelah terlebih dahulu mengadakan studi kritis
dan komparatif. Walau tidak sempat mengkaji ajaran Islam-mungkin
karena faktor lingkungan saat itu, tapi ia sempat mencetuskan
pemikiran, bahwa mungkin ada satu agama dan madzhab pemikiran
69
keagamaan yang lebih baik ketimbang agama Katolik yang ia anut.
Secara kebetulan ia menunjuk agama dan madzhab pemikiran
keagamaan yang dianut oleh suatu bangsa Muslim di Timur Tengah. Di
sekitar kita mungkin pembaca pun menemukan orang semacam
Descartes kecil. Ia mungkin disebut-sebut tidak beragama hanya karena
tidak mengamalkan ritus-ritus formal Islam, terutama shalat. Tapi ia
berakhlak (Islami), paling tidak diukur dari karakter pribadi dan
hubungannya dengan sesama.
2. memiliki lingkungan pergaulan yang baik. Betapa banyak pemuda
pedesaan yang religius menjadi buruk akhlaknya karena berpindah ke
kota dan bergaul dengan para pemuda yang berakhlak buruk. Zakiah
Daradjat dalam bukunya Psikologi Agama mengungkap seorang
Kalimantan yang religius menjadi peminum khamar setelah tinggal di
Jakarta, karena kawan-kawan sepekerjaannya banyak yang minum
khamar.
3. visioner. Seseorang yang memiliki wawasan ke depan akan
mempertimbangkan segala sikap dan tindakannya. Ia tidak akan
terjebak dengan perilaku anti-akhlaki karena akan merusak citra
dirinya, sekaligus merusak masa depannya.
4. memiliki pekerjaan dan aktivitas “kredensial”. Pekerjaan menjadi
guru, misalnya saja, cukup dihormati oleh masyarakat dan
mendatangkan penghasilan yang lumayan. Pekerjaan sejenis ini cukup
memperkuat tindakan-tindakan akhlaki. Berbeda dengan pekerjaan
70
kotor, menjadi “germo” misalnya. Pekerjaannya sendiri sudah
merupakan anti akhlaki, dan di luar itu tindakan-tindakannya pun
cenderung anti akhlaki.
5. terpenuhinya kebutuhan pokok. Terpenuhinya kebutuhan pokok cukup
membuat tentram diri dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Dengan tentramnya jiwa, maka tindakan-tindakan akhlaki pun-atau
sekurang-kurangnya tindakan biasa tidak sulit untuk dilakukan.
Sedangkan faktor yang memperlemah akhlak sebagai berikut :
4. Hidup mewah. Kehidupan mewah cenderung membuat lupa diri.
Dalam Al-Qur’an dan Sejarah Islam terungkap bahwa para penantang
kenabian adalah mereka yang hidup mewah.
5. Miskin. Hadits Nabi Saw yang menyatakan “Kadza al-faqru ayyakuna
kufran” (seakan-akan kefakiran itu mendekati kekufuran) memang
terbukti. Betapa banyak orang yang berperilaku anti akhlaki adalah
mereka yang memang hidupnya miskin. Mereka cenderung berkata
kasar, bertindak beringas, emosional, mudah kawin-cerai, gampang
bertengkar dan berkelahi, dan tindakan-tindakan anti akhlaki lainnya.
6. Lingkungan pergaulan yang buruk. (Baca kembali Faktor yang
Memperkuat Akhlak, bagian “Lingkungan Pergaulan yang Baik” di
atas).
7. Menganggur. Sekalipun keluarganya kaya (baca : berkecukupan), para
pengangguran cenderung berperilaku anti akhlaki. Zat-zat adiktif yang
sangat berbahaya dan cenderung menimbulkan perilaku anti-akhlaki-
71
banyak dikonsumsi oleh para pengangguran yang kaya. Terlebih
pengangguran yang miskin, karena tindakan-tindakan anti akhlakinya
justru digerakkan oleh kemiskinannya.
8. Minim pengetahuan agama. (Baca kemballi Faktor yang Memperkuat
Akhlak, bagian “Memiliki Pengetahuan Agama yang Cukup dan
Benar” di atas).
9. Negatif thinking. Dalam buku Beyond Psycology disebutkan betapa
besarnya peran “berpikir positif” dalam sukses hidup seseorang.
Sementara mereka yang “berpikir negatif” cenderung merusak diri dan
anti akhlaki. Mereka yang berpikir “negatif” bukan hanya akan
berprasangka buruk terhadap orang lain, malah mereka akan
berprasangka buruk pula terhadap dirinya sendiri.
Bagaimanakah fitrah seseorang yang lurus dapat menumbuhkan perilaku
akhlaki, dan bagaimana pula tumbuhnya perlaku anti akhlaki atau tidak
berakhlak, dapat digambarkan sebagai berikut :
(1) (2) (3)
BERAKHLAK BERAKHLAK TIDAK BERAKHLAK
Sadar Teistik Tidak sadar Hidup mewah,
Shalat, dll Teistik Hidup miskin
FITRAH FITRAH FITRAH
72
(diadaptasi dari buku Islam Doktrin dan Dinamika Umat karangan Tim Dosen PAI
UPI, 2004: 145)
Gambar (1) menunjukkan bahwa fitrah yang secara potensial akan
menumbuhkan perilaku akhlaki menjadi kenyataan, karena faktor-faktor
penguatnya sangat dominan, yang dalam hal ini kesadaran Teistik (kesadaran
beragama). Orang seperti dalam Gambar (1) ini memiliki keimanan yang
mantap, memiliki bekal pengetahuan agama yang cukup dan benar, di bawah
bimbinngan seorang guru (atau beberapa guru) yang saleh, dan hidup di
lingkungan orang-orang berakhlak.
Gambar (2) menunjukkan bahwa fitrah yang lurus memang
menumbuhkan perilaku akhlaki, walau (tampak) tidak memiliki kesadaran
Teistik. Kita menyaksikan betapa banyak orang yang berperilaku akhlaki,
padahal kesan yang tampak pada orang itu tidak menunjukkan adanya
kesadaran beragama. Kita akan menemukan tipe (2) ini pada orang-orang yang
memiliki falsafah hidup yang baik, yang sesuai dengan substansi ajaran Islam,
mereka yang memiliki lingkungan pergaulan yang baik, orang-orang yang
visioner, mereka yang memiliki aktivitas dan pekerjaan kredensial, dan
mereka yang terpenuhi kebutuhan pokoknya.
Gambar (3) menunjukkan bahwa pertumbuhan fitrah terhalang oleh
faktor-faktor yang memperlemah tindakan akhlaki, sehingga mereka
menampilkan perilaku anti-akhlaki. Misalnya orang-orang yang hidup mewah
atau sangat miskin.
d. Jenis-jenis Akhlak
73
Menurut objek atau sasarannya terdapat akhlak terhadap Allah, akhlak
kepada manusia dan akhlak kepada lingkungan.
1. Akhlak Kepada Allah
a. Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk
menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim
beribadah membuktikan ketundukan dan kepatuhan terhadap
perintah Allah. Berakhlak kepada Allah dilakukan melalui media
komunikasi yang telah disediakan antara lain ibadah shalat.
b. Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai
situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam
hati. Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan
ketentraman hati sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah
“ingatlah dengan zikir kepada Allah akan menentramkan hati”
(Q.S Ar-Ra’d: 38).
c. Berdoa kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a
merupakan inti dari ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan
keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan
akan keMahakuasaan Allah atas segala sesuatu. Kekuatan do’a
dalam ajaran islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus
kekuatan akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a
merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh
dalam aktivitas hidup setiap muslim. Orang yang tidak berdo’a
adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai
74
manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong suatu
perilaku yang tidak disukai Allah.
d. Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada
Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu
keadaan. Tawakal bukanlah menyerah kepada keadaan, sebaliknya
tawakal mendorong orang untuk bekerja keras karena Allah tidak
menyia-nyiakan kerja manusia. Setelah bekerja keras apapun
hasilnya akan diterimanya sebagai sesuatu yang terbaik bagi
dirinya, tidak kecewa atau putus asa.
e. Tawdhu kepada Allah dengan rendah hati dihadapan Allah.
Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah yang
Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kau hidup dengan angkuh
dan sombong, tidak mau mamaafkan orang lain, dan pamrih dalam
melaksanakan ibadah kepada Allah swt. Nabi bersabda:
Sedekah tidak mengurangi harta dan Allah tidak menambah salam kehormatan pada seseorang yang memberi maaf dan tidak seorangpun yang tawadhu secara ikhlas kepada Allah, melainkan dia dimuliakan Allah. (H.R Muslim)
2. Akhlak Kepada Manusia
Akhlak kepada manusia dibagi menjadi tiga yaitu akhlak kepada diri-
sendiri, akhlak kepada ibu bapak dan akhlak kepada keluarganya.
a. Akhlak kepada diri-sendiri
1. Sabar
Sabar adalah perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai
hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang
75
menimpanya. Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah,
menjauhi larangan dan ketika ditimpa musibah dari Allah. Sabar
melaksanakan perintah adalah sikap menerima dan melaksanakan
segala perintah tanpa pilih-pilih dengan ikhlas. Sedangkan sabar
dalam menjauhi larangan adalah berjuang mengendalikan diri untuk
meninggalkannya. Sabar terhadap musibah adalah menerima
musibah apa saja yang menimpa dengan tetap berbaik sangka kepada
Allah serta yakin bahwa ada hikmah dalam setiap musibah itu.
2. Syukur
Syukur adalah sikap berterima kasih atas pemberian nikmat
Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan
dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah
memuji Allah dengan bacaan hamdalah, sedangkan syukur dengan
perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan
nikmat Allah sesuai dengan keharusannya, seperti bersyukur diberi
penglihatan dengan menggunakannya membaca ayat-ayat Allah.
3. Tawadhu
Tawadhu yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang
dihadapinya, orang tua muda, kaya atau miskin. Sikap tawadhu
muncul dari kesadaran akan hakikat dirinya sebagai manusia yang
lemah dan serba terbatas yang tidak layak untuk bersikap sombong
dan angkuh di muka bumi
b. Akhlak Kepada Ibu Bapak
76
Akhlak kepada ibu bapak adalah berbuat baik kepada keduanya
(birrul walidain) dengan ucapan dan perbuatan. Allah mewasiatkan
agar berbuat baik kepada kedua ibu bapak sebagaimana firman-Nya:
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan payah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Nya dan kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. (Q.S Lukman: 14) Dalam ayat di atas Allah menyuruh manusia untuk berbakti kepada
ibu bapak dengan cara mengajak manusia untuk menghayati
pengorbanan yang dilakukan kedua ibu dan bapak. Berbuat baik
kepada ibu bapak dapat dibuktikan dalam bentuk perbuatan antara lain:
menyayangi dan mencintai ibu bapak sebagai bentuk terima kasih,
bertutur kata sopan, lemah lembut, menaati perintahnya dan lain-lain.
c. Akhlak Kepada Keluarga
Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkan rasa kasih
sayang diantara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk
komunikasi-komunikasi yang didorong oleh rasa kasih sayang yang
tulus akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga.
3. Akhlak kepada Lingkungan Hidup
Misi agama islam adalah mengembangkan rahmat bukan hanya kepada
manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan hidup. Misi tersebut tidak
terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di muka bumi,
yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan, mengelola dan
77
melestarikan alam. Berakhlak kepada lingkungan hidup adalah menjalin
dan mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya.
4. Misi Agama Islam Sebagai Petunjuk dalam Kehidupan
Selaras dengan arti dan makna etimologisnya agama islam melalui
semua ajaran-ajaran yang disampaikannya mengandung tiga misi, sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Tim Dosen PAI (2004: 32) yaitu:
a. Mengajar manusia untuk tunduk patuh (aslama) pada aturan-aturan Allah (submission to the will of God) dalam menjalani kehidupannya di dunia.
b. Membimbing manusia untuk menemukan kedamaian dan dalam menciptakan kedamaian.
c. Memberikan jaminan kepada manusia untuk mendapatkan keselamatan dan terbebas dari bencana hidup baik di dunia maupun di akhirat.
Pendapat lain mengenai misi agama islam dikemukakan oleh A.
Zainuddin (1999: 17) yakni sebagai berikut:
a. Agar manusia senantiasa beriman Iman menempati posisi tertinggi karena menuntun manusia untuk merealisasikan segenap ajaran Allah. Iman mencakup tiga hal pokok, yaitu keyakinan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan (amal).
b. Agar manusia tetap Islam Agama islam mengajarkan manusia agar senantiasa dalam kondisi Islam, yakni taat, patuh dan tunduk serta berserah diri kepada-Nya dengan landasan Iman yang kokoh.
c. Agar mampu berbuat ihsan (baik) Iman sebagai landasan utama, Islam sebagai bentuk ketaatan atau sikap untuk berbuat dan beramal dan ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan.
Misi agama Islam tersebut pada dasarnya mengarah kepada satu tujuan
pokok, yakni kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan
di akhirat.
78
Sekalipun sebutan Islam sebagai nama agama hanya berlaku secara
eksklusif bagi sistem ajaran ketuhanan yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad saw, namun misi ajaran agama Islam seperti disebutkan di
atas adalah juga misi ajaran keTuhanan yang disampaikan oleh para Nabi
dan Rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu,
semua ajaran Allah bagi umat manusia yang disampaikan oleh semua Nabi
dan Rasul, pada hakikatnya adalah tauhidullah (sekalipun tidak disebut
dengan nama Islam). Dengan demikian para Nabi dan Rasul dalam Al-
Quran menyebut dirinya muslim dan menyuruh umatnya agar menjadi
muslim sampai mati. Allah berfirman dalam Al-Quran yang terjemahnya:
Ibrahim berwasiat dengannya (yaitu dengan islam), Ya’kub: “Wahai anak-anaku sesungguhnya Allah telah memilihkan untukmu suatu agama (yang benar), maka janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan muslim (dalam tunduk, patuh pada ajaran Allah)”. (Q.S Al-Baqarah: 132)
Untuk membimbing manusia dalam meniti dan menata kehidupan agar
senantiasa berada dalam ketaatan, Allah menurunkan agama islam sebagai
pedoman yang harus dijadikan referensi dalam menetapkan setiap
keputusan dengan jaminan ia akan terbebas dari segala kebingungan dan
kesesatan. Firman Allah yang terjemahannya:
Nanti akan Aku berikan kepadamu petunjuk (dalam menempuh kehidupan). Siapa yang mengikuti petunjuk-Ku tersebut, niscaya mereka tidak akan rasa khawatir dan takut (dalam kehidupan) dan tidak akan bersedih hati (Q.S Al-Baqarah: 38)
Hidayah berarti petunjuk yang diberikan Allah kepada makhluk hidup
agar mereka sanggup menghadapi tantangan kehidupan dan menemukan
solusi (pemecahan) bagi persoalan hidup yang dihadapinya. Hidayah
79
merupakan alat bantu yang diberikan oleh Allah kepada makhluk hidup
untuk mempermudah menjalani kehidupannya. Sesuai yang dikemukakan
oleh Tim Dosen PAI (2004: 33) ada empat tingkat hidayah yang diberikan
oleh Allah kepada manusia yaitu:
a. Hidayah Ghariziyah (bersifat instinktif), disebut juga hidayah
firiyyah, yaitu petunjuk yang diberikan oleh Allah swt bersamaan
dengan kelahiran berupa kemampuan jadi dalam menghadapi
kehidupan sehingga sanggup untuk survive (bertahan hidup).
b. Hidayah Hissiyah (bersifat indrawi), yaitu petunjuk berupa
kemampuan indra dalam menangkap citra lingkungan hidup
sehingga ia dapat menentukan lingkungan mana yang sesuai
dengannya ( kemampuan adaptif) sehingga menemukan
kenyamanan dalam menghadapi kehidupan (secara fisikal).
c. Hidayah Aqliyah (bersifat intelektual), yaitu petunjuk yang
diberikan Allah berupa kemampuan berpikir sehingga mampu
mengolah segala informasi yang ditangkap melalui indra. Dengan
kemampuan ini manusia memiliki kemampuan mengembangkan
ilmu pengetahuan, memanipulasi dan merekayasa lingkungan
untuk menciptakan kemudahan, kesejahteraan dan kenyamanan
hidupnya.
d. Hidayah Diniyah (berupa ajaran agama), yaitu petunjuk yang
diberikan Allah berupa ajaran-ajaran praktis untuk diterapkan
dalam meniti kehidupan secara komunal sehingga manusia
80
mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan hakiki dan ketenangan
batin dalam menjalani kehidupannya.
Hidayah yang pertama dan kedua di atas (ghariziyah dan hasiyah)
diberikan juga kepada binatang dengan fungsi yang sama. Dalam tahap
tertentu dan pada jenis tertentu, bahkan binatang mendapatkan hidayah
yang lebih tinggi, dalam arti kemampuan indrawi binatang tersebut lebih
peka daripada kemampuan indrawi manusia. Sementara hidayah yang
ketiga dan keempat (aqliyah dan diniyah) hanya diberikan kepada
manusia. Dengan kedua jenis hidayah inilah manusia berbeda dengan
makhluk hidup lainnya hidayah aqliyah (kemampuan intelektual) manusia
berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan binatang (demikian
pula dengan jin dan malaikat). Hidayah diniyah (petunjuk agama),
manusia dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari malaikat sekalipun.
Hidayah-hidayah ini merupakan alat bantu bagi manusia untuk
mempermudah menjalani kehidupan sehingga diperoleh kemampuan
melanjutkan kehidupan (survival), keluasan, kepuasan (comfort) dan
kenikmatan lahir batin dalam kehidupan.
Bagi manusia, hidayah ghariziyah (instinktif) merupakan alat bantu
sementara, hidayah hissiyah (indrawi) alat bantu mediatif (antara),
hidayah aqliyah (intelektual) alat bantu pengembangan dan hidayah
diniyah (agama) alat bantu penyempurnaan, yaitu mencapai kebahagiaan
hakiki.
81
Agama islam dalam kedudukannya sebagai hidayah bagi kehidupan
manusia di dunia, Tim Dosen PAI UPI (2004: 35) merumuskan peran dan
fungsi agama islam adalah sebagai berikut:
a. Pemberi makna bagi perbuatan manusia
b. Alat kontrol bagi rasa dan emosi
c. Pengendali bagi nafsu yang berkembang
d. Pemberi reinforcement (dorongan) terhadap kecenderungan berbuat baik pada manusia
e. Penyeimbang bagi kondisi psikis yang berkembang
4. Moralitas Agama Islam
Berbicara mengenai moralitas Islam, Maududi lebih banyak
mengemukakannya. Karena menurut dia Islam dipandang sebagai sistem, yaitu
sistem sosial, sistem politik, sistem ekonomi dan sistem moral.
Maududi (1965: 26) mengemukaka mengenai moralitas Islam:
“Baik dan buruk (jahat) bukanlah bikinan yang harus dicari-cari. Semua itu adalah realitas-realitas yang cukup dikenal dan bersamaan itu cukup dipahami oleh semua orang. Perasaan tentang baik dan jahat itu adalah intern dalam watak manusia sendiri. Sebab itulah maka dalam terminologi Al-Quran yang baik dinamakan Al Ma’ruf (sesuatu yang sudah diketahui) dan yang buruk atau yang jahat itu diberi nama al Munkar (sesuatu yang diingkari, yang ditolak). Dengan kata lain, al ma’ruf itu dikenal sebagai disukai oleh setiap manusia dan al munkar sebagai tidak digemari oleh setiap manusia.
Maududi lebih memandang Islam secara sistem. Mulai dari sistem sosial,
sistem politik, sistem ekonomi dan sistem moral dalam arti baik dan buruk
merupakan realitas dari kehidupan manusia. Baik dan buruk itu adalah sifat dan
watak manusia.
82
Kenyataan ini telah disebutkan oleh Al-Quran ketika Ia mengatakan;
“...lalu Tuhan menunjukan kepadanya (kesadaran) kejahatan dan (kesadaran)
kebaikannya”. (Asy syams 91:8)
Masih menurut Maududi (1965: 90) sasaran tindakan moral adalah:
“konsepsi Islam tentang alam dan kedudukan manusia seperti tersebut di atas
menentukan sasaran sebenarnya dan mutlak yang harus menjadi tujuan dari segala
usaha manusia, yaitu mencari keridhaan Allah”.
Dari sasaran itu mempunyai sanksi di balik moralitas Islam. Konsepsi
Islam tentang alam dan kedudukan manusia di dalamnya juga menyediakan sanksi
yang harus terletak di balik setiap hukum moral, yaitu cinta dan takut kepada
Allah, rasa tanggung jawab di hari pengadilan (akhirat) dan janji kebahagiaan dan
balasan dalam kehidupan akhirat nanti.
Lebih lanjut Maududi menyebutkan bahwa Islam menetapkan bagi
manusia suatu sistem hidup yang didasarkan atas segala sesuatu yang baik dan
bebas dari segala yang buruk (jahat). Ia menyeru manusia bukan saja untuk
mengerjakan dan menyuruh marufat (kebaikan), melainkan juga untuk mencegah
dan menghapuskan munkarat (kejahatan), dan supaya memerintahkan berbuat
yang baik-baik dan melarang berbuat jahat-jahat, amar ma’ruf nahi munkar.
Sesungguhnya nilai-nilai moral telah berakar dalam sifat manusia itu
sendiri. Meskipun ada kecenderungan hewaninya, manusia karena sifatnya ingin
memiliki kualitas-kualitas tertentu untuk memelihara martabat kemanusiannya.
Seluruh eksponen prinsip-prinsip moral seperti yang sudah dirancang oleh para
Rasul dan ahli-ahli filsafat, semuanya hanya untuk menyelamatkan seluruh
83
manusia dan bukan untuk keuntungan kelompok tertentu dan rusaknya kelompok
lainnya.
Sementara menurut Muslim Nurdin et. Al (1993: 212) mengemukakan
“pandangan Islam tentang kriteria moral adalah harus dalam aspek: (1)
memandang martabat manusia, (2) mendekatkan manusia dengan Allah”.
Pertama, martabat manusia kita mengetahui bahwa rasa harga diri adalah
perasaan sejati manusia. Kita merasa senang jika kita memberikan amal, bertindak
toleran, sederhana dan tekun bekerja. Sedangkan, sifat munafik, menjilat,
cemburu dan sombong akan menghina diri sendiri bila kita melakukannya.
Semuanya merupakan perasaan batin kita sendiri, tanpa terikat pada ajaran atau
kebiasaan dan tradisi yang ada pada masyarakat tertentu. Islam mengutuk keras
sifat-sifat itu dan melarang keras mengembangkannya.
Merendahkan hati dalam arti menghormati orang lain, mengakui prestasi
mereka dan bukan dalam pengertian memalukan diri sendiri untuk tunduk pada
kekuatan juga merupakan sifat yang mulia dan sesuai dengan martabat manusia.
Kualitas seperti ini dipunyai oleh mereka yang selalu bisa mengendalikan diri dan
tidak egois (self centered), serta dengan realistis mengakui hal-hal baik dalam diri
orang lain dan menghormatinya.
Kedua, mendekatkan manusia dengan Allah swt. Manusia muslim terlepas
dari keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari tindakan dan kebiasaannya,
selalu mampu untuk mengetahui apakah tindakan atau sifatnya akan menjaga
martabat manusia, dan apakah akan membentukannya dalam perjalanan
84
mendekatkan diri kepada Allah swt. Sebaliknya, tindakan manusia itu selama ini
merendahkan martabat manusia, dan menjauhkan diri dari Allah swt.
B. Pemahaman Nilai Moral Keagamaan Pada Remaja
1. Pengertian Remaja
Sebenarnya sampai sekarang belum ada kata sepakat antara para ahli ilmu
pengetahuan tentang batas umur bagi remaja. Karena hal itu bergantung
kepada keadaan masyarakat dimana remaja itu hidup, dan bergantung pula
kepada dari mana remaja itu ditinjau. Dari segi pandangan masyarakat
misalnya, akan terlihatlah bahwa semakin maju suatu masyarakat, semakin
panjang masa remaja itu, karena untuk diterima menjadi anggota masyarakat
yang bertanggung jawab diperlukan kepandaian tertentu dan kematangan
sosial, yang meyakinkan. Lain halnya dengan masyarakat desa yang masih
sederhana, yang hidup dari hasil tani, menangkap ikan atau berburu, masa
remaja itu sangat pendek, bahkan mungkin tidak ada, atau tidak jelas, karena
anak dapat langsung berpindah menjadi dewasa apabila pertumbuhan
jasmaninya sudah matang, dia pun langsung dapat dihargai dan sanggup
memikul tanggung jawab sosial. Pada masyarakat terbelakang seperti itu,
dapat dikatakan bahwa masalah remaja tidak ada.
Berbicara tentang pandangan berbagai ahli tentang masa remaja pun tidak
ada persatuan hukum, maka usia remaja adalah di atas 12 tahun dan dibawah
18 tahun serta belum pernah menikah. Artinya apabila terjadi suatu
85
pelanggaran hukum dari seorang dalam usia tersebut maka hukuman baginya
tidak sama dengan orang dewasa.
Jika kita berbicara dari segi Psikologi, maka batas usia remaja lebih
banyak bergantung kepada keadaan masyarakat di mana remaja itu hidup.
Yang dapat ditentukan dengan pasti adalah permulaannya, yaitu puber
pertama atau mulainya perubahan jasmani dari anak menjadi dewasa kira-kira
umur akhir 12 atau permulaan 13 tahun. Akan tetapi akhir masa remaja itu
tidak sama, pada masyarakat desa, di mana setiap anak telah ikut bekerja
dengan orang tuanya ke sawah, ke ladang, menangkap ikan dan sebagainya, si
anak cepat dapat ikut aktif dalam mencari rezeki, keterampilan dan ilmu
pengetahuan untuk tidak sukar mencapainya, maka segera setelah
pertumbuhan jasmaninya tampak sempurna, maka ia diberi kepercayaan dan
tanggung jawab sebagai seorang dewasa, dia telah dapat menikah, dengan
demikian masa remajanya berakhir, mungkin sekali umurnya baru 15 atau 16
tahun. Pada masyarakat yang lebih maju sedikit, di mana perlu sedikit ilmu
pengetahuan formil yang didapat di sekolah dan keterampilan sosial tertentu,
maka umur tersebut diperpanjang sampai 18 tahun. Dalam masyarakat yang
maju, biasanya banyak persyaratan yang diperlukan agar seseorang dapat
diterima sebagai seorang dewasa yang mampu diberi tanggung jawab. Untuk
itu perlu perpanjangan masa remaja sampai umur kira-kira 21 tahun, pada
umur tersebut diperkirakan telah terjadi kematangan dari segala segi.
Menurut Dr. Kartini Kartono mengatakan bahwa masa remaja disebut pula
sebagai masa-penghubung atau masa-peralihan antara masa kanak-kanak
86
dengan masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar
dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rokhaniah dan jasmaniah,
terutama fungsi seksual. Yang sangat menonjol pada periode ini adalah
kesadaran yang mendalam mengenai DIRI SENDIRI, dengan mana anak
muda mulai meyakini kemauan, potensi dan cita-cita sendiri. Dengan
kesadaran tersebut ia berusaha menemukan jalan hidupnya dan mulai mencari
nilai-nilai tertentu seperti, kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan, keindahan dan
sebagainya.
Pada saat pertumbuhan ini anak muda atau pubescens (12-17) pada
umumnya mengalami satu bentuk krisis, berupa kehilangan keseimbangan
jasmani dan rohani. Kadang kala harmoni fungsi-fungsi motoriknya juga
terganggu. Sehingga dengan kejadian tadi pubescens sering tampak kaku,
canggung tidak sopan dan kasar tingkah lakunya.
Dalam bidang agama, para Ahli Jiwa Agama menganggap bahwa
kemantapan beragama biasanya tidak terjadi sebelum umur 24 tahun, maka
dari segi itu remaja mungkin diperpanjang sampai umur 24 tahun.
Bagaimanapun caranya kita memandang remaja dan dari segi apapun kita
nilai, namun satu hal dapat kita simpulkan bahwa “remaja” adalah masa
peralihan dari anak menjelang dewasa. Semakin maju suatu masyarakat,
semakin banyak syarat yang diperlukan untuk menjadi dewasa, semakin
panjang masa yang diperlukan untuk mempersiapkan diri dengan berbagai
pengetahuan dan keterampilan dan semakin banyak pula masalah yang
87
dihadapi oleh remaja itu, karena sukarnya memenuhi syarat-syarat dan
sebagainya.
2. Ciri-ciri masa remaja (anak puer)
Anak puer disebut pula sebagai Anak Besar, yang tidak mau dianggap
“kanak-kanak dan anak kecil”, namun belum bisa meninggalkan pola
kekanak-kanakannya. Ciri paling menonjol pada usia ini adalah: rasa harga-
diri yang makin menguat. Tidak ada periode kehidupan manusia yang secara
psikis begitu positif kuat daripada periode pueral ini. Energi yang keluar
berlimpah-limpah memanifestasikan diri dalam bentuk keberanian, keriangan,
kericuhan, perkelahian, dan olok-olok atau saling mengganggu. Pada anak
laki-laki. Biasanya ditampilkan dengan sikap yang ketus, cerewet dan tertawa
“ngikik-ngikik” tanpa sebab-sebab penting.
Aktivitas anak hampir seluruhnya diarahkan keluar, dan ditampilkan
dalam macam-macam prestasi. Anak puer ini mempunyai keinginan yang
menggebu-gebu untuk menarik perhatian orang lain pada dirinya, juga timbul
dorongan kuat untuk menguasai anak lain. Ada hasrat untuk berprestasi tinggi,
melebihi anak lain. Dia merasa mampu melakukan apapun juga, sehingga
condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri.
Ciri khas anak-anak puer ialah paling suka bermulut besar,
menyombongkan diri, beraksi/berlaga dan sesumbar, memamerkan kekuatan
sendiri. Anak-anak gadis juga ingin menonjolkan dirinya dengan jalan
menjadi centil, cerewet, ketus, sombong, banyak lagak, suka memakai baju-
88
baju yang bagus atau eksklusif dan sebagainya. Hal itu ditunjukan untuk
menarik perhatian orang lain pada dirinya.
Pada masa ini kecenderungan ambivalensi keinginan menyendiri dan
keinginan bergaul dengan banyak teman tetapi bersifat temporer. Adanya
ambivalensi antara keinginan bebas dari dominasi pengaruh orang tua dengan
kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tuanya. Penghayatan kehidupan
keagamaan sehari-hari dilakukan mungkin didasarkan atas pertimbangan
adanya semacam tuntutan yang memaksa dari luar dirinya.
Secara singkat dapat kita bagi masalah yang biasa dihadapi oleh para
remaja antara lain :
d. Pertumbuhan jasmani cepat
Biasanya pertumbuhan jasmani cepat terjadi antara umur 13-16 tahun
yang dikenal dengan remaja pertama (early adoles-cence). Dalam usia ini
remaja mengalami berbagai kesukaran, karena perubahan jasmani yang
sangat menyolok dan tidak berjalan seimbang. Remaja waktu itu
mengalami ketidakserasian diri dan berkurang keharmonisan gerak,
sehingga kadang-kadang mereka sedih, kesal dan lesu.
Pertumbuhan jasmani mencakup pula pertumbuhan organ dan kelenjar
seks, sehingga mereka merasakan pula dorongan-dorongan seksuil yang
belum pernah mereka kenal sebelum itu, yang membawa akibat kepada
pergaulan.
e. Pertumbuhan emosi
89
Sebenarnya yang terjadi adalah kegoncangan emosi. Pada masa
adolesen pertama, kegoncangan itu disebabkan oleh tidak mampu dan
mengertinya akan perubahan cepat yang sedang dilaluinya, di samping
kekurangan pengertian orang tua dan masyarakat sekitar akan kesukaran
yang dialami oleh remaja, waktu itu. Bahkan kadang-kadang perlakuan
yang mereka terima dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
menambah goncangnya emosi yang sedang tidak stabil itu.
f. Pertumbuhan mental
Menurut Alfred Binet seorang Psycoloog Perancis yang terkenal
dengan mental test-nya, bahwa kemampuan untuk mengerti hal-hal yang
abstrak baru sempurna pada umur ± 12 tahun. Sedangkan kesanggupan
untuk mengambil kesimpulan yang abstrak dari fakta yang ada kira-kira
mulai dari umur 14 tahun. Karena itu, tampak pada usia 14 tahun ke atas,
remaja seringkali menolak hal yang kurang masuk akalnya, dan
kadangkala menyebabkan mereka menolak apa yang dulu diterimanya.
Dari sini timbullah pula persoalan dengan orang tua atau orang dewasa
lainnya yang merasa seolah-olah remaja menjadi suka membantah atau
mengeritik mereka.
g. Pertumbuhan pribadi dan sosial
Masalah pribadi dan sosial itulah yang paling akhir pertumbuhannya
dan dapat dianggap sebagai persoalan terakhir yang dihadapi remaja
menjelang masuk kepada usia dewasa. Setelah pertumbuhan jasmani cepat
90
berakhir, tampaklah bahwa remaja telah seperti orang dewasa jasmaninya,
baik yang laki-laki maupun perempuan.
Akan tetapi dari segi sosial dan penghargaan serta kepercayaan yang
diberikan kepadanya oleh masyarakat biasanya belum sempurna, terutama
dalam masyarakat yang maju. Dalam banyak bidang, mereka belum
diajak, sehingga mereka masih memerlukan perjuangan untuk itu. Dalam
perjuanngannya itu, kadang-kadang remaja tidak sabar, sehingga bertindak
keras dan kasar dan kadang-kadang melanggar nilai yang dianut oleh
masyarakatnya, di sinilah timbulnya kelainan-kelainan kelakuan yang
biasa disebut nakal.
Sesungguhnya masih ada persoalan lainnya yang dihadapi oleh remaja
dalam pertumbuhannya itu, ada yang bersifat negatif dan ada pula yang
positif. Secara umum dapat kita mengatakan bahwa usia remaja adalah
usia peralihan dan persiapan, yang penuh dengan aneka kesukaran yang
menggoncangkan jiwa.
3. Remaja dan Agama
Suatu keadaan jiwa yang dapat kita perhatikan tentang remaja adalah
penuh kegoncangan. Keadaan seperti itu sangat memerlukan agama dan
membutuhkan suatu pegangan atau kekuatan luar yang dapat membantu
mereka dalam mengatasi dorongan dan keinginan baru yang belum pernah
mereka kenal sebelum itu. Keinginan dan dorongan tersebut seringkali
bertentangan dengan nilai yang dianut oleh orang tua atau lingkungan di mana
ia hidup.
91
Bagi remaja yang tidak beruntung untuk mempunyai orang tua yang
bijaksana dan mampu memberikan bimbingan beragama kepadanya waktu
kecil, maka usia remaja akan dilaluinya dengan lebih berat lagi, seperti banyak
ternyata dalam kasus kenakalan dan gangguan kejiwaan lainnya, yang pernah
kami temui dalam perawatan jiwa.
Lain halnya dengan remaja yang hidup dan dibesarkan dalam keluarga
yang aman tentram dan tekun beribadah serta lingkungan sosial dimana ia
hidup cukup menampakkan keyakinan kepada Tuhan, maka remaja akan agak
tenang dan dapat pula menerima keyakinan beragama dengan tenang.
Hanya saja hal itu perlu kita ingat bahwa pengertian remaja akan pokok
ajaran agama dipengaruhi oleh perkembangan pikiran yang sedang mereka
lalui. Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat-sifatnya merupakan
bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya, serta dipengaruhi
oleh perasaan dan sifat remaja itu sendiri. Keyakinan beragama pada remaja
merupakan interaksi antara dia dan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan
remaja akan kekuasaan Tuhan, akan menyebabkan melimpahnya tanggung
jawab atas segala persoalan kepada Tuhan, termasuk persoalan masyarakat
yang tidak menyenangkan, misalnya kekacauan, ketidakadilan, penderitaan,
kezaliman, persengketaan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat
dalam masyarakat, akan kecewa kepada Tuhan Yang maha Kuasa, yang
membiarkan semuanya itu terjadi. Jika kekecewaan remaja itu bertumpuk-
tumpuk, maka akan sangat kecewalah dia terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa
itu, bahkan kadang-kadang kekecewaan itu dapat menyebabkannya
92
memungkiri Tuhan sama sekali, agar ia dapat mengambil kesimpulan baru,
yaitu bahwa segala sesuatu terjadi dengan sendirinya dan berjalan tanpa ada
pengendalinya, maka mungkin saja ia kacau balau.
Jika remaja melihat keindahan alam dengan keharmonisan segala sesuatu,
di samping kehidupan keluarga dan lingkungan yang serasi dan aman tentram,
akan bertumbuhlah kekagumannya kepada Tuhan sebagai Pencipta Alam
dengan segala keindahan dan keserasiannya itu, dengan demikian
kepercayaannya kepada Tuhan akan bertambah.
Seorang remaja yang sangat kecewa dalam hidupnya, dapat saja
menentang Tuhan, karena merasa bahwa dia ditinggalkan Tuhan dalam
menghadapi kesukarannya. Kekecewaan remaja tidak hanya terjadi karena
masalah pribadinya, tapi banyak pula berhubungan dengan lingkungan di
mana ia hidup, terutama apabila tampak adanya perbedaan/pertentangan antara
nilai agama yang mereka pelajari dengan kelakuan orang dalam masyarakat,
terutama orang yang diannggapnya harus menjalankan agama itu, misalnya
orang tuanya sendiri, guru, para pemimpin ummat, mubaligh dan sebagainya.
Perbedaan tersebut menyebabkannya gelisah dan kadang-kadang
menyebabkannya benci kepada mereka, bahkan membuat mereka acuh tak
acuh kepada agama. Maka dapat diperkirakan, bahwa semakin merosotnya
moral orang dalam masyarakat, akan semakin gelisah para remaja, dan
semakin benci mereka kepada pemimpin agama, karena disangkanya bahwa
mereka itulah yang harus bertanggung jawab atas pembinaan moral
93
masyarakat, dan merekalah yang harus memberi contoh dan membimbing
masyarakat untuk hidup sesuai dengan ajaran agama.
Di antara problema remaja yang agak menonjol, adalah dorongan seks
yang mulai terasa pada usia remaja itu. Mereka kadang-kadang ingin
mengikuti dorongan tersebut, ingin mencari sasaran dengan jenis lain, tapi
mereka takut melakukannya karena agama melaranganya. Apabila terlakukan
oleh mereka pelanggaran susila, karena tidak mampu mengendalikan diri,
maka akan timbullah sesudah itu penyesalan, atau rasa dosa, hal ini sangat
menggoncangkan jiwa remaja, yang kadang-kadang membawanya jauh dari
agama, apabila pelanggaran tersebut sering dilakukannya.
Sebenarnya perasaan remaja terhadap Tuhan tidak tetap, kadang-kadang
sangat cinta dan percaya kepada-Nya, tapi kadang-kadang berubah menjadi
acuh tak acuh atau menentang, apabila mereka merasa kecewa, menyesal dan
putus asa, memang perasaan yang ambivalen terhadap agama adalah ciri khas
dari remaja.
Dalam pembinaan moral, terutama bagi remaja, agama sangat penting,
pembinaan itu terjadi melalui kebiasaan dan pengalaman hidup yang
ditanamkan sejak kecil oleh orang tua dengan jalan memberi contoh. Dan
pembinaan moral itu tidak mungkin dilakukan dengan jalan pengertian saja,
karena kebiasaan jauh lebih berpengaruh dari pengertian dan pengetahuan
tentang moral, apalagi pada orang yang sedang mengalami kegoncangan jiwa.
Berapa banyaknya remaja yang tahu dan sadar bahwa kelakuan mereka yang
94
nakal itu tidak baik, menghisap narkotik itu berbahaya, tapi mereka tetap tidak
sanggup menghindari kenakalan atau narkotik tersebut.
Memang benar, bahwa remaja akan berusaha keras untuk mempertahankan
harga dirinya dalam pandangan masyarakat, dia akan mencoba melawan
segala dorongan yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh
masyarakat. Akan tetapi ada kemungkinan kadang-kadang mereka lemah dan
dapat dikalahkan oleh dorongan dan bujukan luar. Karena itu benteng
keimanan yang ditanamkan sejak kecil dengan cara yang serasi akan dapat
membantu dalam menghadapi dorongan dan bujukan luar itu, apabila suatu
ketika dia dapat dikalahkan oleh dorongan dan keinginan yang salah, akan
timbullah sesudah itu rasa dosa dan penyesalan pada dirinya. Sehingga ia akan
berusaha memohon ampun kepada Tuhan dan mencoba lebih tekun beragama,
agar tidak terkalahkan sekali lagi. Disinilah letak peranan orang tua, guru dan
para pemimpin agama, yang dapat membantu remaja untuk mengatasi
kesukarannya tersebut dan dapat menerima mereka dengan segala kesalahan
dan keterlanjurannya itu. Seandainya kesalahan moral itu terjadi berulang-
ulang, karena pengaruh dari luar dan dorongan dari dalam, maka kepuasan
yang didapatnya dari perbuatan yang salah itu menjadi kenyataan, maka akan
berubahlah pandangannya terhadap kesalahan itu, dari takut dan cemas
menjadi puas dan gembira, dari sana akan mulailah keruntuhan moral remaja.
Lambat laun remaja yang seperti itu akan mengalami perkembangan baru
dalam agama, ia akan menjadi acuh tak acuh dan berani terang terangan
melanggar agama, dan selanjutnya akan menjauh dari agama. Maka waktu itu
95
akan dicarilah pegangan baru, filsafat atau kepercayaan baru yang dapat
membela kelakuannya yang salah itu, dan akan semakin jauh dari agama,
bahkan ia akan menentang para ulama dan pemimpin agama.
Suatu usaha penyelamat bagi remaja, adalah ketekunan menjalankan
agama, dan jauh sama sekali dari perbuatan salah terutama dalam pelanggaran
susila. Ketekunan menjalankan agama itu dapat dicapai dengan jalan latihan
yang terus menerus dan menghindarkannya dari godaan yang merusak.
C. Hubungan Pemahaman Nilai Agama dan Perilaku Moral
Hubungan pemahaman nilai agama dengan perilaku moral remaja sangat
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai agama sangat menentukan perilaku
seseorang manusia termasuk di dalamnya remaja. Remaja merupakan usia yang
transisi antara usia dewasa. Oleh sebab itu, usia ini sangat rentan dengan pengaruh
dari luar (masyarakat, sekolah). Dalam hal ini, pendidikan keluarga sangat
berpengaruh terhadap perilaku remaja. Pendidikan keluarga disini adalah
pendidikan agama karena pendidikan agama yang ditanamkan di masa kecil akan
membekas dalam hati anak-anak.
Dalam hubungan ini, pendidikan agama Islam dalam keluarga yang
diajarkan oleh syariat Islam adalah mulai dari kandungan sampai dewasa. Salah
satu didikan orang tua terhadap anaknya dalam buaian adalah tidak memakan
makanan yang haram dan tidak mempunyai sifat iri dengki kepada sesama
manusia.
96
Selain itu, yang tidak kalah berpengaruhnya kepada anak-anak adalah
masyarakat sekitar. Karena itu, setiap orang yang bergaul dengan masyarakat
yang kurang baik akan cenderung mengikuti atau terpengaruh oleh masyarakat
tersebut. Sehingga dapat dikatakan disini pergaulan dengan masyarakat sangat
dominan mempengaruhi perilaku moral remaja. Hal ini terbukti karena pergaulan
di masyarakat sangat lama dibanding dengan pendidikan di sekolah.
Pengaruh lain adalah pendidikan di sekolah-sekolah, sekolah merupakan
tempat berinteraksinya antara murid dengan guru. Akan tetapi, sekarang
kecenderungan orang islam banyak menyekolahkan ke sekolah-sekolah umum di
banding dengan sekolah agama, apalagi ada orang islam yang menyekolahkan
anaknya di sekolah kristen. Dengan demikian, sekolah sangatlah berpengaruh
terhadap perilaku moral seseorang terutama generasi muda disini dimaksudkan
remaja.
1. Hubungan dengan Diri Sendiri
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri disebutkan cara-caranya di
dalam ayat-ayat tentang takwa dan dicontohkan dengan keteladanan Nabi
Muhammad saw. Menurut Daud Ali (1998: 106) menyatakan:
Diantaranya dengan senantiasa berlaku: (1) sabar, (2) pemaaf, (3) adil, (4) ikhlas, (5) berani, (6) memegang amanah, (7) mawas diri dan (8) mengembangkan semua sikap yang terkandung dalam akhlak atau budi pekerti yang baik.
Karakter tersebut menunjukan pada pribadi masing-masing. Akan tetapi,
realitasnya akan berhubungan dengan orang lain, artinya ketika sikap adil itu
melekat pada diri sendiri tetapi berpengaruh pada orang lain.
97
Selain itu, menurut Muslim Nurdin, et. Al (1993: 230) “hubungan dengan
diri sendiri terbagi ke dalam: menjaga kesucian diri, menjaga makanan,
menjaga ksucian faraj (seksual), mengembangkan keberanian (syaja’ah),
mengembangkan kebijaksanaan, menjaga amarah sabar dan syukur.
a. Menjaga kesucian diri Allah menganugerahkan nafsu kepada manusia
tercipta dari ruh kemuliaan dan lumpur, maka tarik menarik di antara
yang saling berlawanan itu begitu kuat, sehingga diperlukan suatu
upaya mengaktualisasikan kesucian diri.
b. Menjaga makanan (minuman). Makanan dan minuman harus dijaga
kesuciannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia membutuhkan
makanan untuk kelangsungan hidupnya dan untuk pertumbuhan
badannya. Kriteria umum makanan dan minuman yang dihalalkan
adalah nilai “kebaikannya, seperti faedahnya, kelejatannya,
kebersihannya, dan kesuciannya.
c. Menjaga kesucian faraj (seksual). Ajaran Islam tidak melarang umat
manusia menikmati kesenangan seksual, malahan Islam sangat
mencela orang-orang yang tetap mempertahankan hidup membujang.
Akan tetapi, islam memberikan jalan mulia untuk menuju ke arah
kesenangan ini, yaitu dengan jalan menikah.
d. Mengembangkan keberanian (syaja’ah). Manusia memiliki potensi
amanah, sifat ini perlu dikembangkan agar menjadi sifat yang mulia
yaitu berani. Berbeda dengan tindakan keberanian yang tanpa
perhitungan atau keberanian untuk berbuat kesalahan. Syaja’ah adalah
98
keberanian untuk menyampaikan yang hak, membela kebenaran, dan
memberantas kepalsuan. Tindakan gegabah, atau berani tanpa
perhitungan untuk kesalahan, merupakan perbuatan negatif. Demikian
pula sifat pengecut, yaitu takut untuk menyampaikan yang hak, takut
membela kebenaran dan memberantas kebatilan merupakan perbuatan
tercela.
e. Mengembangkan kebijaksanaan. Islam menganjurkan umat manusia
agar mencari ilmu setinggi-tingginya. Berbagai ayat dan hadits Nabi
yang mengungkapkan keutamaan ilmu dan orang yang berilmu sudah
begitu detil. Diantara ayat tersebut adalah “Allah meninggikan derajat
orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat”.
Sebaliknya, Islam sangat mengecam tindakan bodoh dan jumud.
Dengan demikian, orang yang berilmu akan bertindak lebih bijaksana
dibandingkan dengan orang yang bodoh.
f. Marah merupakan gejala emosional yang muncul dari dalam diri
seseorang yang nampak ke permukaan dalam berbagai perwujudannya.
Menurut Imam Al-Ghazali:
“marah itu adalah nyala api yang bersumber dari api Allah, menyala berkobar-kobar menjulang tinggi sampai naik ke hulu hati, dan akhirnya muncul dalam bentuk gejala-gejala fisik perubahan raut muka, mata, telinga, sangat gugup, anggota badan gemetar, giginya gemerentak, jalan mondar mandir, lubang hidung mengecil dan membesar, mulut mengeluarkan kata-kata yang tidak terkendali”.
Gejala seperti itu bila menimpa kita sebagai muslim, haruslah dengan
cepat mengucapkan Astagfirullah, minta ampunan kepada Allah dan
membaca lafaz A’udzubillahi minasyaithanir rajim, saya berlindung
99
kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Apabila ia sedang
berdiri hendaklah ia duduk, jika sedang duduk hendaklah ia berbaring
dan jika betul-betul sadar, hendaklah ia mengambil air wudhu ini
mengikuti apa yang diajarkan Rasulullah. Kemarahan itu berasal dari
api, oleh karena itu ia harus segera didinginkan.
g. Sabar adalah sikap jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan terhadap
sesuatu, baik berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk
suruhan dan larangan maupun bentuk penerimaan terhadap perlakuan
orang lain, serta sikap menghadapi suatu musibah. Sabar dikategorikan
ke dalam empat hal yaitu: sabar terhadap Perintah Allah, sabar
terhadap larangan Allah, sabar terhadap perbuatan orang lain, sabar
menerima musibah. (Muslim Nurdin, et.al (1993: 230).
Manusia ditugaskan untuk beribadah kepada Allah, tunduk, patuh dan
taat kepada-Nya sebagai hamba berarti manusia harus menyerahkan
segenap jiwa raganya kepada kehendak Allah, tiada pilihan lain
baginya selain ketaatan dan kepatuhan.
Sabar terhadap larangan Allah adalah mengendalikan hawa nafsu yang
mendorong untuk melanggar larangan-Nya. Nafsu sesuai dengan
sifatnya adalah kekuatan sabar yang mendorong manusia bergerak
untuk mencari kenikmatan dan kepuasan. Sabar disini berarti
mengendalikan dan menekan perasaan dan keinginan, sehingga dapat
menyikapi setiap larangan Allah sebagai sesuatu yang wajar yang
harus dihindarkannya.
100
Manusia sebagai makhluk sosial yang berada di tengah-tengah
pergaulan dengan manusia lainnya setiap saat dihadapkan kepada sikap
dan perbuatan orang lain terhadap dirinya. Dalam kehidupan sehari-hari
adanya musibah yang menimpa seseorang merupakan Sunatullah,
karena ia merupakan konsekuensi dari kehidupan dunia, baik musibah
yang disebabkan oleh alam maupun musibah karena kelalaian manusia
sendiri.
h. Syukur adalah sikap dan perilaku yang menunjukan penerimaan
terhadap sesuatu pemberian atau anugerah dalam bentuk pemanfaatan
dan penggunaan yang sesuai dengan kehendak pemberinya. Syukur
kepada nikmat yang diberikan Allah adalah berterima kasih dalam
bentuk ucapan dan perbuatan yang diinginkan Allah Sang Maha
Pemberi.
2. Hubungan dengan Keluarga
Lembaga yang paling utama dan fundamental dari masyarakat adalah
kesatuan keluarga itu terjadi dari pertemuan (perkawinan) lelaki dengan
perempuan dan dari perhubungan mereka itu lahirlah satu angkatan baru, satu
generasi baru.
Keluarga adalah satu lembaga dimana satu generasi mempersiapkan
generasi berikutnya untuk berbakti kepada peradaban manusia dan untuk
melaksanakan kewajiban sosialnya dengan khidmat, jujur dan penuh
semangat.
101
Dalam hal ini, keluarga benar-benar dapat dikatakan sebagai sumber dari
kemajuan, perkembangan, kemakmuran dan peradaban manusia. Menurut
Islam bentuk yang benar dari hubungan diantara lelaki dan perempuan adalah
perkawinan (nikah), yaitu hubungan dimana tanggung jawab sosial dipegang
sepenuhnya oleh yang bersangkutan dan yang mengakibatkan lahirnya suatu
keluarga.
Oleh sebab itu, agama yang sarat dengan nilai-nilai moral yang luhur harus
dijadikan sebagai tolok ukur dalam membina dan mengatasi berbagai masalah
yang terjadi dalam keluarga. Pola asuh dan pandangan yang sebagian besar
diserahkan kepada pribadi yang didatangkan ke rumah-rumah untuk membina
mental, rohani dan watak anak-anak sudah selayaknya di ubah dan
dikembalikan sepenuhnya kepada pemimpin utama keluarga itu sendiri, yaitu
ayah dan ibu. Ayah dan ibu tidak boleh kalah perannya dengan guru atau
media lainnya yang ikut mendidik anak. Ibu dan ayah adalah perantara
seorang anak lahir ke dunia. Merawat dan mendidiknya sampai dewasa dan
mandiri. Karena itu islam menekankan kewajiban anak untuk berbakti kepada
ibu bapaknya seperti firman Allah:
“Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”. (QS. 31: 14)
Dari ayat tersebut, Allah menggambarkan penderitaan seorang ibu pada
saat mengandung, merawat dan mendidik anaknya sebagai isyarat agar anak
102
tidak melupakan jasa yang telah diberikan orang tuanya dan sebagai dorongan
untuk menghormati dan memuliakannya.
Kepentingan menghormati ibu dan bapak dikaitkan pula dengan nasibnya
dikemudian hari, yaitu kehidupannya diakhirat, sebagaimana Nabi
mengingatkan bahwa keridhaan Allah tergantung pada keridhaan ibu bapak.
Dengan demikian, kebencian Allah tergantung pada kebencian ibu bapak.
Bahkan lebih dekat lagi Nabi mengatakan bahwa ada dua jenis dosa yang
dilakukan seseorang yang siksanya akan di rasakan sejak masih berada di
dunia, yaitu dosa zina dan durhaka kepada kedua orang tua. Hal ini dijelaskan
dalam firman Allah swt:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya samapi berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan perkataan “ah” dan janganlah sekali-kali kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (QS. 17: 23)
Mengucapkan “ah” saja sudah tidak boleh, apalagi memperlakukan orang
tua lebih kasar lagi dari itu. Sering kali kita lupa kepada orang tua, lalu
mengurus, membantu orang tua, karena kesibukan atau tersita waktu karena
mengurus kecintaan kepada yang lainnya.
Dalam membangun keluarga yang sakinah, yang tidak kalah penting
adalah mendidik anak. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua yang paling
utama yang akan berpengaruh kuat dalam perkembangan anak pada masa-
masa selanjutnya. Orang tua mendidik anak dengan memperhatikan potensi
yang dimiliki anak. Oleh karena itu, peran orang tua dalam mendidik anak
dilakukan dengan cara membimbing, membantu atau mengarahkannya agar ia
103
mengenal norma dan tujuan hidup yang hendak dicapainya. Dalam hal ini,
orang tua yang paling berpengaruh kepada karakter anak yang ada dalam
keluarga tersebut. Karena pendidikan di sekolah-sekolah hanya beberapa jam
saja, sedangkan anak lebih banyak waktu di dalam keluarganya.
3. Hubungan dengan Masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial dimana kualitas kemanusiaannya
ditentukan oleh perannya dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan
manusia lainnya di tengah masyarakat. Untuk itu, Al-Quran menekankan
hubungan antara manusia dengan memuat lebih banyak ayat-ayat yang
berbicara tentang ibadah sosial, daripada yang bersifat ritual.
Islam menghendaki terciptanya masyarakat yang damai dimana interaksi
didalamnya diwarnai oleh kasih sayang (marhaamah). Oleh karena itu,
penekanan tingkah laku individu selalu dikaitkan dengan peranan sosialnya,
kualitas keimanan seseorang ditentukan oleh aktualisasinya dalam pergaulan
masyarakat (amal saleh).
Oleh sebab itu, keluhuran budi pekerti adalah salah satu konsekuensi nyata
adanya taqwa. Sedangkan taqwa itu mendorong seseorang ke arah tindakan-
tindakan yang diperkenankan atau diridhai Allah.
Syariat islam memberikan motivasi yang kuat kepada umat untuk
senantiasa menegakan keadilan di tengah masyarakat yang direalisasikan
dalam suatu timbangan manusiawi yang mampu menempatkan sesuatu sesuai
dengan keharusannya.
104
Mengaktualisasikan islam dalam hubungan sosial adalah menaburkan
rahmat dan kebaikan di tengah-tengah pergaulan hidup yang diawasi dengan
mewujudkan sikap mencintai sesama manusia yang merupakan bentuk nyata
kecintaan kepada Allah.
Mencintai dan merealisasikan dalam bentuk pengorbanan yakni
memberikan apa yang terbaik yang dimiliki secara tulus, agar dapat memberi
manfaat bagi lingkungan masyarakat sekelilingnya. Ketulusan ini hanya
mungkin ada dalam penyerahan dan penerimaan secara total terhadap
kebesaran Allah. Nabi bersabda: “hendaklah engkau beribadah kepada Allah
seolah-olah engkau melihatnya, kalaupun engkau tidak melihatnya Allah
melihat engkau”.
Dengan demikian, hubungan manusia dengan masyarakat adalah atas
dasar cinta sebagai manifestasi cinta kita kepada Allah. Al-Quran
memperingatkan orang-orang yang beriman dari mengutamakan kepentingan
dan hubungan sosial atas kepentingan agama, Allah berfirman:
“Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, peniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS. At-Taubah: 24)
Dari ayat tersebut islam membangun masyarakat atas dasar cinta dan
saling menolong. Dalam sebuah hadits:
“Perumpamaan orang-orang mukmin, dalam cinta, kasih sayang, kedekatan hubungan mereka, seperti satu badan. Jika ada anggota badan yang sakit, maka seluruh badan akan merespon dengan kesiagaan dan demam”. (HR Muslim)
105
Cinta, perasaan kasih sayang dan menyambung hubungan silaturahmi
membentuk dasar hubungan masyarakat muslim, tua atau muda, kaya atau
miskin dan pemimpin atau rakyat jelata. Ajaran islam mendukung konsep
sosialisme cinta dalam suatu komunitas masyarakat sehingga disebutkan
dalam sebuah hadits:
“Tidaklah kalian benar-benar beriman sehingga ia mencintai bagi saudaranya, seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR Bukhari Muslim. “Allah akan menolong hamba-Nya sepanjang hamba-Nya itu menolong saudaranya”. (HR Muslim)
Dengan demikian, hubungan masyarakat yang didasari atas cinta dan kasih
sayang karena Allah semata sangat penting untuk terus dipupuk dalam setiap
pribadi manusia.
D. Perilaku Moral Menurut Ajaran Islam
Jika kita mengambil ajaran agama islam, maka hal itu adalah akhlak
(moral), sehingga ajarannya yang terpokok adalah untuk memberikan bimbingan
moral. Nabi Muhammad Saw bersabda “sesungguhnya saya diutus oleh Tuhan
adalah untuk menyempurnakan akhlak”. (HR. Ahmad). Beliau sendiri
memberikan contoh dari akhlak yang mulia diantara sifat-sifat beliau yang
terpenting adalah : benar, jujur, adil dan dipercaya. Mengingat bahwa agama
secara konseptual dapat memberikan makna bagi kehidupan siapa saja khususnya
bagi remaja selama diyakini bahwa agama memiliki fungsi sosial dalam
kehidupan yang dinamis.
106
Dengan demikian perilaku yang harus dicerminkan oleh umat manusia
khususnya remaja yaitu perilaku yang sesuai dengan syariat islam dan prinsip-
prinsip ajaran islam yang telah dianjurkan dalam Al-Quran maupun Hadits.
Perilaku moral tersebut diantaranya sebagai berikut:
1. Bertutur kata yang baik, sopan dan benar, karena kebenaran itu memimpin
kepada kebaktian, sedangkan kebaktian membawa ke surga.
2. Tidak merasa ujub (bangga) terhadap dirinya sendiri dan tidak
bersandarkan kepada kekuatannya sendiri.
3. Selalu rendah hati (tawadhu), lapang dada, berjiwa mulia, sabar, tabah dan
teguh tidak menghabiskan waktu dengan sia-sia dan tidak mendahulukan
emosinya daripada akal.
4. Bergaul dengan teman yang baik dan berkarakter mulia, supaya bisa
berimbas (menyimpati) kebaikan dan karakter yang mulia tersebut.
5. Selalu menutup aurat seperti firman Allah: “Tuhan mengadakan pakaian
untuk manusia gunanya penutup aurat dan menjadi perhiasan”. Dengan
pakaian ini membedakan antara manusia dengan hewan. Disamping
perhiasan yang lahir untuk menutup aurat dan untuk perhiasan pakaian
batin, perhiasan untuk batin atau jiwa yaitu dengan bertaqwa kepada
Allah. Pakaian taqwa itu lebih berharga, kedua pakaian itu hendaklah
sama-sama dipakai. Tidak ada harganya pakaian lahir, kalau pakaian batin
dan jiwa tidak ada
6. Memperbanyak dzikir (mengingat) kepada Allah sebab dzikir kepada
Allah adalah benteng yang kokoh, melapangkan dada, menentramkan hati,
107
menghubungkan kita dengan Allah dan mengusir syaitan. “ingatlah hanya
dengan mengingat Allah hati menjadi tentram”. (Ar-Ra’da: 28)
7. Selalu membaca Al-Quran karena itu tali Allah yang kokoh jalan yang
lurus, cahaya yang memberi petunjuk dan kehidupan yang bergelora. Al-
Quran itu meluruskan hati dan memperbaiki jiwa.
8. Memelihara amalan-amalan fardhu dan memperbanyak amalan-amalan
sunnat. Dalam hadits qudtsi tersebut: “tidaklah hambaKu mendekatkan
diri kepadaKu lebih Aku sukai daripada (dengan) apa yang Aku wajibkan
atasnya dan senantiasa hambaku mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan-amalan sunnat sehingga Aku mencintainya”. Ibadah-ibadah
mempunyai pengaruh yang besar dalam membersihkan kotoran-kotoran
hati, memperbaiki jiwa dan meneguhkan pendirian atas kebenaran.
9. Selalu menjauhi hal-hal yang merusak selama ada jalan ke arah itu serta
tidak bersikap lunak dan baik terhadap pelaku-pelaku kebatilan dalam
soal-soal akidah dan syari’ah dan tidak merestui perbuatan sesat dan
merusak.
10. Selalu berbuat baik kepada orang tua, menghormati dan menghargainya
serta menghormati dan menghargai orang lain.
Dari contoh-contoh perbuatan yang sesuai dengan ajaran islam tersebut
diatas dapat diperkuat dengan sebuah keterangan yang terdapat dalam Al-Quran
Surat Al-Lukman yang artinya “wahai anaku! Laksanakanlah shalat dan
suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang
108
demikian itu termasuk perkara yang penting (31: 17)” selain itu “dan janganlah
kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah
berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membanggakan diri (31: 18), serta “dan sederhanakanlah
dalam berjalan dan lunakanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara
ialah suara keledai. (31: 19). Itulah ayat-ayat Al-Quran yang menyuruh kita agar
tetap rendah hati dan jangan sombong serta untuk selalu menjalankan amar
makruf nahi munkar.
Islam menggolongkan akhlak kedalam dua golongan yaitu, yang pertama,
akhlak Rabbani, berupa penyatuan hubungan dengan Allah dan kedalaman taqwa
kepada-Nya, seperti ikhlas bagi-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharap rahmat-
Nya, takut adzab-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, sabar dalam menerima cobaan-
Nya, ridho kepada qada-Nya, mencintai-Nya. Yang kedua, akhlak insan berupa
hubungan horizontal atas sesama manusia yaitu diantaranya saling menolong
sesuai dengan hadits “Allah akan menolong hamba-Nya sepanjang hamba-Nya
itu menolong saudaranya”. (HR Muslim)
Selain tolong menolong manusia juga diperintahkan untuk memberikan
makan kepada anak yatim sehingga bias merasakan keadaan anak yatim tersebut,
dengan adanya sikap empati maka manusia akan selalu bersyukur kepada Allah
atas semua nikmat yang telah diberikan kepadanya berupa kenikmatan yang tak
terhingga.
Islam juga mengajarkan kepada kita untuk selalu memupuk silaturahmi
antara sesama. Baik itu dalam hal pertemanan maupun pergaulan, kesemuanya itu
109
telah diatur tatacaranya dalam islam. Teman adalah tali yang mempunyai dua
ujung tak mungkin kita dapat menghubungkan dua orang yang tidak ada
hubungannya dengan kita. Terhadap kawan, kita harus memberi sebanyak kita
menerima toleransi, kasih saying, humor, kepedulian dan lain-lain. Manusia
berada di jalan seorang teman karib, karenanya setiap orang harus memperhatikan
dengan siapa ia berteman dan bergaul.
Orang-orang islam diharapkan tidak bergaul bebas dengan orang-orang
yang menganggap agama sebagai permainan. Jika muslim melihat kejahatan
dalam suatu kelompok, dan ia mampu melakukan sesuatu untuk memperbaikinya,
maka ia wajib melakukan sedapat mungkin. Kalau ia tidak dapat mengatasinya,
lebih baik menghindar dan menjauh. Ini sering diterapkan di sekolah atau dijalan-
jalan. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi “Dan tinggalkanlah orang-orang
yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau dan mereka
telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah mereka dengan Al-Quran itu
agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena
perbuatannya sendiri…” (QS 6: 70)
Itulah ayat yang menyuruh kita untuk mencari teman dan bergaul dengan
orang-orang yang tidak menjerumuskan kita ke dalam kenistaan atau dosa yang
akan mengantarkan kita ke dalam api nerakanya Allah. Kita harus bisa memilih
teman bergaul yang bias membuat kita selalu ingat kepada Allah (orang yang
baik-baik).
Dengan memperhatikan ajaran Al-Quran, nyatalah bahwa yang menjadi
pokok dalam kehidupan agama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
110
Esa. Dengan keimanan kita yang kuat kepada Allah, dan menjalankan syari’at
islam tentunya akan membentuk budi yang luhur, jujur dan benar dalam perkataan
dan tindakan, bisa mengontrol perilaku individu dan berpikir positif. Dengan
demikian akan terbentuklah manusia yang bermoral. Karena setiap orang yang
bermoral belum tentu berakhlak, akan tetapi setiap orang yang berakhlak pasti
bermoral.