22
PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai sistem irigasi yang baik serta untuk mewujudkan peningkatan efektifitas, efisiensi, produktifitas dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi perlu dilakukan pembaharuan pengaturan Tugas Kelembagaan Irigasi di Kabupaten Madiun ; b. bahwa perda No. 5 tahun 2004 tentang Irigasi sudah tidak berlaku lagi karena terbitnya UU No. 7 tahun 2004 dan PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Irigasi. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 9) ; 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) ; 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) ; 4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1347) ; 5. Undang – undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4048) 6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 7. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377) ;

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN … · Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) ; 3. ... HIPPA/G-HIPPA/I-HIPPA

Embed Size (px)

Citation preview

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

SALINAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 7 TAHUN 2008

TENTANG IRIGASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MADIUN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai sistem irigasi yang baik

serta untuk mewujudkan peningkatan efektifitas, efisiensi, produktifitas dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi perlu dilakukan pembaharuan pengaturan Tugas Kelembagaan Irigasi di Kabupaten Madiun ;

b. bahwa perda No. 5 tahun 2004 tentang Irigasi sudah tidak berlaku lagi karena terbitnya UU No. 7 tahun 2004 dan PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Irigasi.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang

Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 9) ;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) ;

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) ;

4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1347) ;

5. Undang – undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4048)

6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

7. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377) ;

2

8. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389) ;

9. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548) ;

10. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438) ;

11. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258) ;

12. Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4138)

13. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4139)

14. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4593) ;

15. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4624)

16. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota ( Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4741) ;

18. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun Nomor 5 Tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun (Lembaran Daerah Tahun 1988 Nomor 05, Seri C );

19. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun Nomor 4 Tahun 1998 tentang Pedoman Pembentukan dan Pembinaan Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun (Lembaran Daerah Tahun 1998 Nomor 06, Seri C );

20. Peraturan Daerah Kabupaten Madiun Nomor 27 Tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pekerjaan Umum Pengairan (Lembaran Daerah Tahun 2000 Nomor 27, Seri C );

21. Peraturan Daerah Kabupaten Madiun Nomor 1 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

3

Daerah Kabupaten Madiun Tahun 2006 – 2009 (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 1, Seri E)

22. Peraturan Daerah Kabupaten Madiun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Madiun (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 1 Seri E) ;

Dengan Persetujuan Bersama,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MADIUN

dan BUPATI MADIUN

M E M U T U S K A N

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN TENTANG

IRIGASI

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan tugas Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Daerah adalah Kabupaten Madiun; 3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah; 4. Bupati adalah Bupati Madiun; 5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD, adalah

Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah;

6. Dinas adalah Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Kabupaten Madiun; 7. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah

yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

8. Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah Kabupaten Madiun dalam wilayah kerja kecamatan;

9. Air adalah semua air yang terdapat pada, diatas maupun dibawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah dan air hujan;

10. Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian dan kebutuhan lainnya yang meliputi irigasi permukaan, irigasi air bawah tanah dan irigasi pompa;

11. Sistem Irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi dan sumber daya manusia;

12. Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan;

4

13. Jaringan Irigasi Primer adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan utama, saluran induk/primer, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap, bangunan sadap, dan bangunan pelengkapnya.

14. Jaringan irigasi sekunder adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari saluran sekunder, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap, bangunan sadap dan bangunan pelengkapnya.

15. Jaringan Tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air di dalam petak tersier yang terdiri dari saluran pembawa yang disebut saluran tersier, saluran pembagi yang disebut saluran kwarter dan saluran pembuang berikut saluran bangunan turutan serta pelengkapnya termasuk jaringan irigasi pompa yang luas areal pelayanannya disamakan dengan areal tersier;

16. Daerah Irigasi adalah kesatuan wilayah yang mendapat air dari satu jaringan irigasi;

17. Petak Irigasi adalah petak sawah yang memperoleh air Irigasi; 18. Petak Tersier adalah kumpulan petak irigasi yang merupakan kesatuan dan

mendapatkan air irigasi melalui saluran tersier yang sama; 19. Penyediaan air irigasi adalah penentuan banyaknya air persatuan ruang dan

waktu saat pemberian air yang dapat dipergunakan untuk menunjang Pertanian serta kebutuhan lainnya;

20. Pembagian air Irigasi adalah penyaluran air dalam Jaringan Utama; 21. Pemberian air Irigasi adalah kegiatan menyalurkan air dengan jumlah tertentu dari

jaringan primer atau jaringan sekunder ke petak tersier; 22. Penggunaan air Irigasi adalah pemanfaatan air dilahan Pertanian; 23. Pertanian adalah kegiatan pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan

dan perikanan; 24. Pembuangan atau Drainase adalah pengaliran kelebihan air Irigasi yang sudah

tidak dipergunakan lagi pada suatu Daerah Irigasi tertentu; 25. Himpunan Petani Pemakai air yang selanjutnya disebut HIPPA adalah

kelembagaan Pengelola Irigasi yang menjadi wadah Petani Pemakai Air dalam satu Desa yang dibentuk oleh petani sendiri secara Demokratis, termasuk Kelembagaan Lokal Pengelola Air Irigasi;

26. Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut G-HIPPA adalah Gabungan beberapa HIPPA dalam wilayah satu sistem jaringan irigasi sekunder;

27. Induk Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut I-HIPPA, adalah Gabungan dari beberapa G-HIPPA dalam wilayah satu sistem jaringan irigasi primer;

28. Komisi Irigasi adalah wadah koordinasi dan komunikasi antara Pemerintah Daerah, HIPPA/G-HIPPA/I-HIPPA dan Lembaga terkait lainya dalam hal Pengelolaan Irigasi pada wilayah kerja Kabupaten Madiun;

29. Paguyuban HIPPA adalah, Gabungan dari induk-induk HIPPA di tingkat Kabupaten yang berfungsi sebagai wadah koordinasi;

30. Forum Koordinasi Daerah Irigasi adalah wadah Koordinasi dan Komunikasi informal dari dan antar pengguna air dan petugas Pemerintah Daerah pada suatu Daerah Irigasi yang bersifat Multiguna yang dibentuk atas dasar kebutuhan dan kepentingan bersama;

31. Pengelolaan Irigasi adalah segala usaha pendayagunaan air Irigasi yang meliputi Operasi dan Pemeliharaan, Pengamanan, Rehabilitasi dan Peningkatan Jaringan Irigasi;

32. Waduk adalah tempat atau wadah penampungan air di sungai, agar dapat digunakan sewaktu terjadi kekurangan air, baik untuk Irigasi maupun keperluan lainnya;

33. Waduk Lapangan atau Embung adalah tempat atau wadah penampungan air Irigasi pada waktu terjadi surplus air di sungai atau air hujan dan digunakan sewaktu-waktu terjadi kekurangan air;

5

34. Manajemen Aset Irigasi adalah kegiatan inventarisasi, audit, perencanaan, pemanfaatan dan pengamanan aset dan evaluasi;

35. Pembangunan Jaringan Irigasi adalah seluruh kegiatan penyediaan jaringan irigasi di wilayah tertentu yang belum ada jaringan irigasinya atau penyediaan jaringan irigasi untuk menambah luas areal pelayanan;

36. Operasi dan Pemeliharaan jaringan irigasi adalah kegiatan Pengelolaan air dan Jaringan Irigasi meliputi kegiatan penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, pembuangannya, secara tepat guna dan berhasil guna termasuk usaha mempertahankan kondisi Jaringan Irigasi agar tetap lestari dan berfungsi dengan baik;

37. Pengamanan Jaringan Irigasi adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kerusakan jaringan irigasi yang disebabkan oleh daya rusak air, hewan atau oleh manusia guna mempertahankan fungsi Jaringan Irigasi;

38. Rehabilitasi Jaringan Irigasi adalah kegiatan perbaikan jaringan Irigasi guna mengembalikan fungsi dan Pelayanan Irigasi seperti semula;

39. Peningkatan jaringan Irigasi adalah kegiatan perbaikan Jaringan Irigasi dengan mempertimbangkan perubahan kondisi lingkungan daerah Irigasi guna meningkatkan fungsi dan pelayanan irigasi;

40. Inventarisasi Daerah Irigasi adalah kegiatan pencatatan, pendataan fisik, kondisi, fungsi dan perubahan wilayah Jaringan Irigasi guna menunjang pelaksanaan pengelolaan irigasi;

41. Pejabat yang berwenang adalah pejabat Pemerintah Kabupaten Madiun yang berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan dibidang irigasi;

42. Kemandirian adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berdasarkan potensi yang memiliki dibidang teknis, keuangan, manajerial administrasi dan organisasi;

43. Pemberdayaan Himpunan Petani Pemakai Air adalah upaya untuk memfasilitasi Himpunan Petani Pemakai Air mengembangkan kemampuan sendiri dibidang teknis, keuangan, manajerial administrasi dan organisasi, secara mantap dapat mengelola Daerah Irigasi secara mandiri dan berkelanjutan dalam proses yang dinamis dan bertanggung jawab;

44. Pengurusan adalah usaha untuk melaksanakan dan menjaga agar sesuatu yang dilaksanakan dan dijaga tersebut, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai;

45. Pengaturan adalah usaha melakukan sesuatu, agar tujuan yang dicapai seefisien dan seefektif mungkin.

BAB II

TUJUAN DAN FUNGSI

Bagian Pertama Tujuan

Pasal 2

Irigasi diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan air yang menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan, serta untuk meningkatkan

kesejahteraan petani pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Bagian Kedua Fungsi

Pasal 3

Irigasi berfungsi mempertahankan dan meningkatkan produktifitas lahan untuk mencapai hasil pertanian yang optimal tanpa mengabaikan kepentingan lainnya.

6

BAB III

PRINSIP-PRINSIP PENGELOLAAN IRIGASI

Pasal 4

(1) Pengelolaan sistem irigasi bertujuan kemanfaatan air dalam bidang pertanian

dan kebutuhan lainnya; (2) Pengelolaan sistem irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diselenggarakan secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan, transparan, akuntabel, dan berkeadilan di seluruh daerah irigasi ;

(3) Untuk mencapai pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan Pemberdayaan HIPPA secara berkelanjutan dan kesinambungan.

(4) Pemberdayaan HIPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan atas anggaran Pemerintah Daerah bersama swadaya masyarakat.

Pasal 5

(1) Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan irigasi yang efektif dan efisien

serta dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat khususnya petani dan kebutuhan lainnya, pengelolaan Irigasi dilaksanakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan air permukaan dan air bawah tanah secara terpadu;

(2) Penyelenggaraan pengelolaan Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan prinsip satu sistem Irigasi satu kesatuan pengelolaan, dengan memperhatikan kepentingan pengguna di bagian Hulu, Tengah dan Hilir secara seimbang, adil dan merata;

(3) Penyelenggaraan pengelolaan Irigasi dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan agar dapat dicapai pemanfaatan Jaringan Irigasi yang optimal.

BAB IV

LEMBAGA PENGELOLA IRIGASI ( LPI )

Pasal 6

(1) Lembaga Pengelola Irigasi meliputi HIPPA/G-HIPPA/I-HIPPA, Pemerintah Daerah atau fihak lain yang kegiatannya berkaitan dengan Pengelolaan Irigasi sesuai dengan kewenangannya dalam Perencanaan, Pembangunan, Operasi dan Pemeliharaan, Rehabilitasi, Peningkatan dan Pembiayaan Jaringan Irigasi;

(2) Lembaga Pengelola Jaringan Irigasi di tingkat Desa / Tersier adalah HIPPA; (3) Lembaga Pengelola Jaringan Irigasi di tingkat Sekunder dan Primer adalah

Pemerintah Kabupaten bersama G-HIPPA dan I-HIPPA; (4) Beberapa Induk HIPPA pada Tingkat Daerah Irigasi, dibentuk Paguyuban

HIPPA di Tingkat Kabupaten; (5) Dalam rangka koordinasi Pengelolaan di Daerah Irigasi yang Jaringan

utamanya berfungsi Multiguna, dapat dibentuk Forum Koordinasi Daerah Irigasi.

BAB V KOMISI IRIGASI

Pasal 7

(1) Dalam melaksanakan pengelolaan sistem irigasi partisipatif, Bupati membentuk

Komisi Irigasi yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati;

7

(2) Keanggotaan Komisi Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, unsur HIPPA / G-HIPPA / IHIPPA, dan unsur pemakai air untuk keperluan lainnya yang berkepentingan dalam pengelolaan irigasi;

(3) Pemerintah Daerah, HIPPA / GHIPPA / IHIPPA dan pemakai air lainnya wajib menjaga kelestarian Sumber Daya Air;

(4) Komisi Irigasi membatu Bupati dengan tugas : a. Merumuskan kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi Irigasi; b. Merumuskan pola dan rencana tanam pada daerah irigasi dalam Kabupaten Madiun; c. Merumuskan rencana tahunan penyediaan air irigasi; d. Merumuskan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi bagi

pertanian dan keperluan lainnya; e. Merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi; f. Memberikan pertimbangan mengenai izin alih fungsi lahan beririgasi.

BAB VI

WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB

Pasal 8

Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi meliputi : a. menetapkan kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengembangan dan

pengelolaan sistem irigasi di wilayah kabupaten berdasarkan kebijakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi nasional dan propinsi dengan memperhatikan kepentingan daerah ;

b. melaksanakan pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu daerah ;

c. melaksanakan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu daerah yang luasnya kurang dari 1.000 ha ;

d. memberi izin penggunaan dan pengusahaan air tanah di wilayah daerah untuk keperluan irigasi ;

e. menjaga efektifitas, efisiensi, dan ketertiban pelaksanaan pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang utuh dalam satu wilayah daerah

BAB VII

PARTISIPASI MASYARAKAT PETANI DAN PEMANFAAT LAINNYA DALAM PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI

Pasal 9

(1) Partisipasi masyarakat petani dan pemanfaat lainnya dalam pengembangan

pengelolaan sistem irigasi diwujudkan mulai dari pemikiran awal, pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan dan pengawasan dalam pembangunan, rehabilitasi, peningkatan, dan operasi / pemeliharaan ;

(2) Partisipasi masyarakat petani dan pemanfaat lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk sumbangan pemikiran, gagasan, waktu, tenaga, material, dan iuran ;

(3) Partisipasi masyarakat petani dan pemanfaat lainnya sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara perseorangan atau kelembagaan melalui HIPPA / G-HIPPA / I-HIPPA ;

(4) Partisipasi masyarakat petani dan pemanfaat lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas kemauan dan kemampuan masyarakat petani

8

serta semangat kemitraan / kemandirian dalam meningkatkan rasa memiliki tanggung jawab, guna kelanjutan sistem irigasi.

BAB VIII PEMBERDAYAAN HIMPUNAN PETANI PEMAKAI AIR

Pasal 10

Pemerintah Daerah bersama dengan Komisi Irigasi bekerjasama melakukan Pemberdayaan HIPPA, yang meliputi : a. Peningkatan kemampuan HIPPA melalui pelatihan, Bimbingan, Pendampingan

dan kerjasama Pengelolaan, yang dilaksanakan secara berkelanjutan ; b. Kegiatan memfasilitasi dalam bentuk penguatan kelembagaan HIPPA/G-

HIPPA/I-HIPPA sebagai Badan Hukum yang otonom dibidang irigasi, pertanian dan usaha ekonomi lainnya;

c. Apabila terjadi hambatan dalam kelembagaan HIPPA/G-HIPPA/I-HIPPA yang menyebabkan tidak berfungsinya lembaga dimaksud dalam Pengelolaan sistem Irigasi, maka Komisi Irigasi dapat membantu menyelesaikan masalah yang fasilitasnya dibantu oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pemberdayaan.

BAB IX

PENYEDIAAN AIR IRIGASI

Pasal 11

(1) Air Irigasi disediakan untuk mengairi tanaman pada petak-petak tersier dan dapat digunakan untuk keperluan-keperluan lainnya dalam suatu Daerah Irigasi;

(2) Apabila terjadi kebakaran atau bencana lainnya, air Irigasi diutamakan untuk penanggulangannya;

(3) Dalam penyediaan air irigasi pemerintah daerah mengusahakan secara optimal untuk penyediaan air, baik dalam Daerah Irigasi atau Antar Daerah Irigasi;

(4) Pada kondisi Air terbatas, Bupati setelah mendapat rekomendasi dari Komisi Irigasi membuat suatu aturan menyesuaikan dengan kondisi air yang ada dengan prinsip keadilan, berkesinambungan dan musyawarah;

(5) Pada Daerah Irigasi ditetapkan suatu Rencana Pola Tata Tanam, sesuai dengan ketersediaan air yang tersedia;

(6) Rencana Pola Tata Tanam sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Pemerintah Daerah;

(7) Pemerintah Daerah bersama HIPPA/G-HIPPA/I-HIPPA membuat daftar inventarisasi tanah sawah yang berhak atas air Irigasi dan persiapan pembagian air yang disusun menurut luas baku sawah pada Daerah Irigasi, meliputi : a. Tanah sawah dan kebutuhan lainnya yang mendapat layanan air Irigasi

sepanjang tahun sesuai ketersediaan air Irigasi; b. Tanah sawah dan kebutuhan lainnya yang mendapat air Irigasi tidak penuh

dalam satu tahun; (8) Daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Bupati setelah

mendapat Rekomendasi dari Komisi Irigasi; (9) Masa berlakunya Daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (8) maksimal 5

(lima) tahun dan sewaktu-waktu dapat ditinjau kembali ; (10) Pemegang izin pemakaian air suatu sumber air bagi keperluan usaha lain dapat

memanfaatkan air yang diperlukannya melalui saluran Irigasi yang ada, dengan syarat : a. Mengikuti sistem distribusi air yang telah ditetapkan untuk Daerah Irigasi

tersebut dengan tetap memperhatikan kebutuhan air untuk petani ; b. Ikut serta secara aktif memelihara Fungsi Jaringan Irigasi beserta

bangunannya.

9

BAB X POLA PEMBAGIAN AIR

Pasal 12

(1) Rencana pembagian air pada suatu Daerah Irigasi ditetapkan setiap tahun oleh

dinas dan disetujui oleh Komisi Irigasi; (2) Pada Daerah Irigasi yang penggunaan airnya multi guna ditetapkan setiap 6

(enam) bulan sekali sesuai dengan ketentuan pemberian air waktu musim hujan atau musim kemarau berdasarkan hasil musyawarah semua pengguna air dan pemerintah daerah melalui forum koordinasi daerah irigasi dan mendapatkan persetujuan komisi irigasi;

(3) Dalam hal persediaan atau keadaan air tidak mencukupi untuk pemberian air secara serempak ke seluruh jaringan irigasi, maka bupati melalui dinas yang ditunjuk bersama HIPPA/G-HIPPA/I-HIPPA dan pengguna lainnya mengadakan musyawarah untuk menetapkan prioritas pembagian air irigasi, sesuai dengan situasi dan kondisi serta merencanakan pembagian air berdasarkan azas keadilan dan keseimbangan ;

(4) Tanggal dan hari pelaksanaan gilir air irigasi disepakati bersama oleh forum koordinasi daerah irigasi dan mendapatkan persetujuan komisi irigasi ;

(5) Tanggal dan hari pelaksanaan gilir air irigasi disebarluaskan kepada fihak pengguna air 5 (lima) hari sebelum pelaksanaan gilir dimaksud ditetapkan ;

(6) Kelebihan air irigasi di suatu daerah irigasi dapat dimanfaatkan untuk keperluan tanaman diluar lahan yang telah ditetapkan dan atau untuk keperluan lainnya setelah mendapat izin dari komisi irigasi ;

(7) Apabila terjadi tangkis putus dan atau kerusakan yang lebih berat pada suatu jaringan irigasi, maka dinas yang berwenang untuk sementara mengurangi atau menghentikan penyaluran air irigasi pada jaringan yang rusak tersebut ;

(8) Pemberian air irigasi ke petak tersier harus di lakukan melalui bangunan bagi dan bangunan sadap yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah ;

(9) Untuk pencatatan pembagian dan pemberian air, bangunan bagi dan bangunan sadap sebagaimana dimaksud ayat (8) harus dilengkapi dengan alat pengukur debit air dan papan operasi ;

(10) Setiap jaringan irigasi dalam pembagian dan pemberian air secara tepat guna dan sesuai dengan tata tanam ditetapkan dalam 2 (dua) musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau.

BAB XI HAK GUNA AIR UNTUK IRIGASI

Pasal 13

(1) Hak guna air untuk irigasi berupa hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna

usaha air untuk irigasi ; (2) Hak guna pakai air irigasi diberikan untuk pertanian rakyat ; (3) Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan untuk keperluan pengusahaan

dibidang pertanian

Pasal 14

(1) Penggunaan air irigasi ditingkat usaha tani harus melalui saluran tersier dan kwarter pada tempat yang telah ditetapkan oleh HIPPA ;

(2) Untuk penggunaan air irigasi dalam suatu daerah irigasi I.HIPPA/G-HIPPA/HIPPA menunjuk petugas teknis di tingkat primer, tingkat sekunder dan tingkat tersier/kwarter;

10

(3) Bagi pengguna air irigasi selain untuk tanaman di suatu daerah irigasi harus mendapatkan persetujuan dari komisi irigasi;

(4) Penggunaan air untuk irigasi dan keperluan lainnya yang diambil langsung dari sumber air permukaan harus mendapat izin dari Bupati sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumber daya air

(5) Penggunaan air untuk irigasi dan keperluan lainnya yang diambil langsung dari cekungan air tanah harus mendapat izin dari Bupati sesuai dengan peraturan perundang – undangan, kecuali untuk keperluan rumah tangga ;

(6) Bagi pengguna air irigasi untuk tanaman industri atau bukan tanaman pangan, harus dimusyawarahkan bersama dengan HIPPA/G-HIPPA/I-HIPPA;

(7) Apabila debit air irigasi tidak mencukupi untuk keperluan tanaman dan keperluan lainnya, maka diatur secara musyawarah di tingkat komisi irigasi.

Pasal 15

(1) Pemegang hak guna usaha air yang akan melaksanakan pembangunan sistem

irigasi baru, atau peningkatan sistem irigasi yang sudah ada wajib mengajukan permohonan izin prinsip lokasi kepada Bupati sesuai kewenangannya;

(2) Bupati dapat menyetujui atau menolak permohonan izin prinsip lokasi air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemegang hak guna usaha air berdasarkan hasil pengkajian dengan memperhatikan ketersediaan air, kebutuhan air irigasi, aspek lingkungan, dan kepentingan lainnya;

(3) Dalam hal permohonan izin prinsip lokasi air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Pemegang hak guna usaha air dapat melaksanakan pembangunan sistem irigasi baru atau peningkatan sistem irigasi yang sudah ada;

(4) Hak guna pakai air untuk irigasi ditetapkan dalam bentuk keputusan Bupati sesuai kewenangannya yang dilengkapi dengan rincian daftar petak primer, petak sekunder, dan petak tersier yang mendapatkan air;

(5) Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan pada suatu sistem irigasi sesuai dengan luas daerah irigasi yang dimanfaatkan;

(6) Hak guna pakai air untuk irigasi dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh Bupati sesuai kewenangannya untuk mengkaji ulang kesesuaian antara hak guna pakai air untuk irigasi dengan penggunaan air dan ketersediaan air pada sumbernya;

(7) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) digunakan Bupati sebagai dasar untuk melanjutkan, menyesuaikan, atau mencabut hak guna pakai air untuk irigasi;

(8) Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan dalam bentuk keputusan Bupati sesuai kewenangannya dalam pengelolaan sumberdaya air, berdasarkan permohonan izin pengusahaan air untuk irigasi;

(9) Hak guna usaha air untuk irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diberikan untuk pelayanan tertentu setiap 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang

(10) Hak guna usaha air untuk irigasi dievaluasi setiap 3 (tiga) tahun oleh Bupati sesuai kewenangannya untuk mengkaji ulang kesesuaian antara hak guna usaha air untuk irigasi dengan penggunaan air dan ketersediaan air pada sumbernya

(11) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) digunakan Bupati sebagai dasar untuk melanjutkan, menyesuaikan, atau mencabut hak guna usaha air untuk irigasi

BAB XII INVENTARISASI DAERAH IRIGASI

Pasal 16

(1) Dinas terkait bersama HIPPA/G-HIPPA/I-HIPPA mengadakan inventarisasi di daerah irigasi, meliputi kegiatan pencatatan, pendataan fisik, kondisi dan fungsi

11

jaringan irigasi serta perubahan wilayah areal pelayanan dan lembaga pengelola irigasi;

(2) Daftar inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan oleh Bupati; (3) Daftar yang telah disahkan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku

selama 2 (dua) tahun; (4) Segala perubahan sebelum habis masa berlakunya daftar sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dilakukan setiap tahun dalam daftar tersendiri oleh dinas terkait bersama HIPPA/G-HIPPA/I-HIPPA dan selanjutnya dilaporkan kepada Bupati.

BAB XIII

OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI

Pasal 17

Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dilaksanakan sesuai adat istiadat dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku ;

Pasal 18

(1) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi

wewenang dan tanggung jawab pemerintah, pemerintah propinsi atau pemerintah Kabupaten Madiun sesuai kewenangannya ;

(2) HIPPA dapat berperan serta dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya ;

(3) HIPPA dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder

(4) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder dilaksanakan atas dasar rencana tahunan operasi dan pemeliharaan yang disepakati bersama secara tertulis antara pemerintah, HIPPA, dan pengguna jaringan irigasi di setiap daerah irigasi ;

(5) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab HIPPA.

(6) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi milik badan usaha, badan sosial, atau perseorangan menjadi tanggung jawab pihak yang bersangkutan.

Pasal 19

Apabila HIPPA tidak mampu melaksanakan pemeliharaan jaringan irigasi yang menjadi hak dan tanggung jawabnya yang mengalami kerusakan berat, Pemerintah dapat memberikan bantuan dan/ atau dukungan fasilitas berdasarkan pengajuan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian.

Pasal 20

(1) Sebagai usaha pengamanan jaringan irigasi dan drainase beserta bangunan-bangunannya, Bupati menetapkan garis sempadan pada jaringan irigasi untuk mendirikan bangunan.

(2) Garis sempadan pada jaringan irigasi untuk mendirikan bangunan, diukur dari tepi atas samping saluran atau dari kaki tangkis luar saluran atau bangunannya dengan jarak : a. 5 (lima) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan

4 m3 /detik atau lebih; b. 3 (tiga) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1

sampai 4 m3 /detik;

12

c. 2 (dua) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan kurang dari 1 m3 /detik;

(3) Garis sempadan pada jaringan irigasi untuk mendirikan pagar, diukur dari tepi atas samping saluran atau dari luar kaki tangkis saluran atau bangunannya dengan jarak : a. 3 (tiga) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf a ; b. 2 (dua) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf b ; c. 1 (satu) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf c. (4) Dinas bersama HIPPA/G-HIPPA/I-HIPPA menetapkan waktu dan bagian-bagian

irigasi yang harus dikeringkan untuk keperluan pemeriksaan dan atau perbaikan;

(5) Waktu pengeringan diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) minggu sebelum pelaksanaan pengeringan.

(6) Pengeringan yang lebih dari 2 (dua) minggu setiap musim, hanya dapat dilaksanakan dalam keadaan darurat dengan persetujuan HIPPA/G-HIPPA/I-HIPPA;

(7) Dinas setelah mendapatkan rekomendasi komisi irigasi berhak menghentikan untuk sementara waktu atau mengurangi penyaluran irigasi, apabila karena dengan sengaja pemakai air ternyata tidak memelihara dengan baik jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawabnya.

BAB XIV

REHABILITASI, PEMBANGUNAN DAN PENINGKATAN JARINGAN IRIGASI

Pasal 21

(1) Rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan urutan prioritas kebutuhan perbaikan irigasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya setelah memperhatikan pertimbangan komisi irigasi ;

(2) Rehabilitasi jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dan persetujuan desain dari Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya ;

(3) Pengawasan rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 22

(1) Rehabilitasi jaringan irigasi yang mengakibatkan pengubahan dan/atau

pembongkaran jaringan irigasi primer dan sekunder harus mendapatkan izin dari Bupati ;

(2) Rehabilitasi Jaringan Irigasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dengan luasan cakupan areal kurang dari 1000 ha;

(3) Pengubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi tersier harus mendapat persetujuan dari HIPPA ;

Pasal 23

(1) Pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan rencana induk

pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai dengan memperhatikan rencana pembangunan pertanian, sesuai adat istiadat dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku ;

(2) Pembangunan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dan persetujuan desain dari Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya;

13

(3) Pengawasan pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.

Pasal 24

(1) Setiap pembangunan jaringan irigasi dilengkapi dengan pembangunan jaringan

drainase yang merupakan satu kesatuan dengan jaringan irigasi yang bersangkutan ;

(2) Jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk mengalirkan kelebihan air agar tidak mengganggu produktifitas lahan ;

(3) Kelebihan air irigasi yang dialirkan melalui jaringan drainase harus dijaga mutunya dengan upaya pencegahan pencemaran agar memenuhi persyaratan mutu berdasarkan peraturan perundang – undangan.

Pasal 25

(1) Peningkatan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan rencana induk

pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai dengan memperhatikan rencana pembangunan pertanian sesuai adat istiadat dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku ;

(2) Peningkatan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dan persetujuan desain dari Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya;

(3) Pengawasan peningkatan jaringan irigasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.

Pasal 26

(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam

rehabilitasi, pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder ;

(2) HIPPA/GHIPPA/IHIPPA dapat berperan serta dalam rehabilitasi, pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya berdasarkan persetujuan dari Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumber daya air ;

(3) Rehabilitasi, pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab HIPPA ;

(4) Apabila HIPPA tidak mampu melaksanakan rehabilitasi, pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi tersier yang menjadi hak dan tanggung jawabnya, Pemerintah Daerah dapat membantu rehabilitasi, pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi tersier berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian ;

(5) Badan usaha, badan sosial, perseorangan, atau HIPPA/GHIPPA/IHIPPA bertanggung jawab dalam rehabilitasi jaringan irigasi yang dibangunnya.

Pasal 27

(1) Pengubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi primer dan sekunder yang mengakibatkan perubahan bentuk dan fungsi jaringan irigasi primer dan sekunder harus mendapat izin dari Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya ;

(2) Pengubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi tersier harus mendapat persetujuan dari HIPPA.

14

Pasal 28

(1) Pembangunan dan / atau peningkatan jaringan irigasi dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengembangan lahan pertanian beririgasi sesuai dengan rencana dan program pengembangan pertanian dengan mempertimbangkan kesiapan petani setempat ;

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB XV

PEMBIAYAAN

Pasal 29

(1) Pembiayaan pengembangan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah ;

(2) Pembiayaan pengembangan jaringan irigasi tersier menjadi tanggung jawab HIPPA ;

(3) Pembiayaan pengembangan bangunan-sadap, saluran sepanjang 50 meter dari bangunan-sadap, boks tersier, dan bangunan pelengkap tersier lainnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah ;

(4) Apabila HIPPA tidak mampu membiayai pengembangan jaringan irigasi tersier yang menjadi tanggung jawabnya, Pemerintah Daerah dapat membantu pembiayaan pengembangan jaringan irigasi tersier, berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian.

(5) Pembiayaan pengembangan jaringan irigasi yang diselenggarakan oleh badan usaha, badan sosial, atau perseorangan ditanggung oleh yang bersangkutan ;

(6) Apabila terdapat kepentingan mendesak oleh daerah untuk pengembangan jaringan irigasi pada daerah irigasi lintas propinsi atau strategis nasional, tetapi belum menjadi prioritas nasional, Pemerintah Daerah dapat saling bekerja sama dalam pembiayaan ;

(7) Dalam hal terdapat kepentingan mendesak oleh Pemerintah Daerah untuk pengembangan jaringan irigasi pada daerah irigasi lintas kabupaten tetapi belum menjadi prioritas propinsi, pemerintah daerah dan pemerintah propinsi dapat saling bekerja sama dalam pembiayaan ;

Pasal 30

(1) Pembiayaan Pengelolaan Jaringan Irigasi dibebankan pada Pemerintah Daerah

dan pengguna air lainnya. (2) HIPPA / G. HIPPA / I. HIPPA berhak mengajukan usulan untuk mendapatkan

bantuan pembiayaan dari Pemerintah Daerah; (3) Prioritas alokasi pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi ditetapkan

berdasarkan prinsip keadilan dan transparan; (4) Jaringan Irigasi untuk Badan Usaha, Badan Sosial, Perorangan dan pemakai air

lainnya, pembiayaan Pengelolaan Jaringan irigasi menjadi tanggungjawab yang bersangkutan.

BAB XVI

KESINAMBUNGAN SISTEM IRIGASI

Pasal 31

(1) Pemerintah Daerah bersama HIPPA / G. HIPPA / I. HIPPA dan Pengguna air lainnya berkewajiban mempertahankan kesinambungan sistem irigasi dengan mewujudkan Kelestarian Sumber Daya Air;

15

(2) Untuk mewujudkan kelestarian Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud ayat (1), Pemerintah berkewajiban melakukan upaya Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS);

(3) Untuk menyelenggarakan sistem irigasi yang partisipatif, Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi pengembangan kapasitas HIPPA / G. HIPPA / I. HIPPA dalam hal Pengelolaan Irigasi;

(4) Setiap ada permohonan perubahan alih fungsi lahan beririgasi untuk kepentingan lain wajib mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah setelah mendapatkan rekomendasi dari Dinas terkait dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan.

(5) Apabila terjadi perubahan alih fungsi lahan yang melanggar sebagaimana dimaksud ayat (4), pemohon wajib memberikan kompensasi kepada Pemerintah Daerah yang nilainya setara dengan biaya investasi pembangunan Jaringan Irigasi, yang besarnya akan diatur berdasarkan Peraturan Bupati;

BAB XVII PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN

Pasal 32

(1) Pemerintah Daerah bersama Komisi Irigasi melaksanakan pengendalian dan

pengawasan terhadap HIPPA / G. HIPPA / I. HIPPA, Badan Usaha, Badan Sosial, Perorangan dan Pengguna Air Irigasi lainnya dalam pengelolaan irigasi;

(2) Untuk melaksanakan Pengendalian dan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah bersama Komisi Irigasi melaksanakan pembinaan teknis, Organisasi dan Keuangan sewaktu-waktu ;

(3) Untuk kepentingan pengendalian dan Pengawasan setiap pemanfaatan Air Irigasi dan Jaringan Irigasi, HIPPA / G. HIPPA / I. HIPPA, Badan Usaha, Badan Sosial, Perorangan dan Pengguna Air Irigasi lainnya wajib memberikan kesempatan kepada Petugas untuk mengadakan Pemeriksaan serta memperlihatkan data yang diperlukan.

BAB XVIII

LARANGAN – LARANGAN

Pasal 33

(1) Dalam rangka menjaga kelestarian air dan jaringan irigasi, dilarang : a. Mengambil Air Bawah Tanah dan air permukaan di jaringan Irigasi dengan

mempergunakan Pompa atau cara lain kecuali ada izin dari Dinas yang berwenang;

b. Mengambil bahan – bahan galian berupa pasir, kerikil, batu atau hasil lain dari Jaringan irigasi kecuali ada izin dari Dinas yang berwenang;

c. Menggembalakan atau menambatkan ternak dan menanam tanaman keras di dalam Daerah sempadan air saluran dan bangunan sesuai pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) ;

d. Membuang limbah padat dan cair di jaringan irigasi yang dapat berakibat menghambat aliran, merubah sifat air serta merusak bangunan Jaringan Irigasi.

e. Membuat galian atau membuat selokan sepanjang saluran irigasi dan bangunan pelengkapnya yang dapat mengakibatkan kerusakan pada Jaringan Irigasi;

f. Dengan sengaja menghalangi atau merintangi kelancaran jalannya air dengan jalan apapun;

g. Mengambil, merubah dan merusak bangunan dan bangunan pelengkap pada jaringan irigasi.

16

h. Mendirikan, dan ataupun membongkar bangunan-bangunan didalam, diatas maupun melintasi jaringan irigasi tanpa ijin dari Bupati atau pejabat yang berwenang.

(2) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, tidak

berlaku bagi perbaikan-perbaikan yang tergolong Pemeliharaan pada bangunan jaringan irigasi atau bangunan pelengkapnya;

BAB XIX KETENTUAN PIDANA

Pasal 34

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 33 dapat dikenakan ancaman pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

BAB XX KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 35

Penyidikan atas tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Peraturan Daerah ini dilakukan oleh pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Daerah dan atau Polri, sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 36

Dalam melaksanakan tugas penyidikan, para Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Peraturan Daerah ini, berwenang : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan

pemeriksaan; c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa identitas tersangka; d. Melakukan penyitaan benda dan atau surat; e. Memanggil orang untuk didengarkan dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi; f. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara; g. Mengadakan penghentian penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti setelah

mendapat petunjuk dari penyidik Polri bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik Polri memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut umum tersangka atau keluarganya;

h. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.

BAB XXI

KETENTUAN PENUTUP Pasal 37

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Madiun Nomor 5 Tahun 2004 tentang Irigasi di Kabupaten Madiun, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.

17

Pasal 38

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 39

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Madiun.

Diundangkan di Madiun pada tanggal 9 Juni 2008 SEKRETARIS DAERAH Ttd Ir. SUKIMAN, M.Si Pembina Utama Muda NIP 010 170 361 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MADIUN TAHUN 2008 NOMOR 6/E

Sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN HUKUM

S O E N T O R O , SH. Pembina

NIP 010 212 869

Disahkan di Madiun Pada tanggal 11 April 2008

BUPATI MADIUN

Ttd

DJUNAEDI MAHENDRA, SH, M.Si

18

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 7 TAHUN 2008

TENTANG IRIGASI

I. PENJELASAN UMUM

Peran sektor pertanian sangat strategis dalam perekonomian Nasional dan kegiatan pertanian tidak dapat terlepas dari air oleh sebab itu,Irigasi sebagai salah satu komponen pendukung keberhasilan pembangunan pertanian mempunyai peran yang sangat penting. Adanya perubahan tujuan pembangunan pertanian dari meningkatkan produksi untuk swasembada beras menjadi melestarikan ketahanan pangan meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesempatan kerja di pedesaan dan perbaikan gizi keluarga, serta sejalan dengan semangat demokrasi, desentralisai, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat perlu menetapkan kebijakan pengembangan dan pengelolaan sistem Irigasi.

Pengembangan sistem irigasi dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan mengutamakan kepentingan dan peran serta masyarakat petani dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan serta pelaksanaan pengembangan dalam pengelolaan sistem Irigasi. Untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut, dilakukan pemberdayaan HIPPA dan Dinas atau Instansi terkait di bidang Irigasi secara berkesinambungan, Untuk mewujudkan pengembangan dan pengelolaan sistem Irigasi dilaksanakan dengan pendayagunaan sumberdaya air yang didasarkan pada keterkaitan antara air hujan, air permukaan, dan air tanah secara terpadu dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan.

Pembangunan dan Pengelolaan sistem Irigasi dilaksanakan dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengembangan dan pengelolaan dengan memperhatikan kepentingan pemakai air irigasi dan pengguna jaringan irigasi di bagian hulu, tengah, dan hilir secara selaras pengembangan dan pengelolaan irigasi yang meliputi Instansi Pemerintah, HIPPA dan komisi irigasi

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 : Cukup jelas Pasal 2 : Cukup jelas Pasal 3 : Cukup jelas Pasal 4 : Ayat (1) : Cukup jelas Ayat (2) : - Yang dimaksud dengan “partisipatif “ adalah pengelolaan sistem irigasi

yang berbasis peran serta masyarakat petani. - Yang dimaksud dengan ‘’terpadu” adalah pengelolaan sistem irigasi

yang dilakukan dengan mengintegrasikan kepentingan antar sektor terkait.

- Yang dimaksud dengan ”berwawasan lingkungan hidup” adalah pengelolaan sistem irigasi memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan.

- Yang dimaksud dengan ”transparan dan akuntabel” adalah pengelolaan sistem irigasi yang dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan.

- Yang dimaksud dengan ”berkeadilan” adalah pengelolaan sistem irigasi yang dilakukan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan masyarakat pemakai air irigasi dari bagian hulu sampai dengan hilir.

Ayat (3) : Cukup jelas

19

Ayat (4) : Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) : Termasuk air permukaan yang di utamakan pendayagunaanya adalah air

hujan yang jatuh pada permukaan tanah. Ayat (2) : Yang dimaksud dengan ”Prinsip satu Irigasi satu kesatuan pengelola”

adalah bahwa dalam satu daerah irigasi yang mendapat pelayanan irigasi dalam satu sistem Irigasi yang terdiri dari jaringan primer, jaringan sekunder, dan jaringan tersier diterapkan satu perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

Ayat (3) : Cukupjelas

Pasal 6 : Cukup jelas Pasal 7 : Cukup jelas Pasal 8 : Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) : Pelaksanaan kegiatan pembangunan, peningkatan, operasi,

pemeliharaan, dan rehabilitasi, termasuk juga kegiatan perencanaanya. Ayat (2) : Cukup jelas Ayat (3) : Partisipasi masyarakat secara perseorangan dalam pengembangan dan

pengelolaan irigasi terbatas pada hal-hal yang tidak mempunyai dampak secara kolektif, misalnya dalam penggunaan rencana tata tanam, penyusunan pembagian air. Yang dimaksud perseorangan adalah subyek non badan usaha yang memerlukan air untuk usaha pertanian.

Ayat (4) : Cukup jelas Pasal 10 : Cukup jelas Pasal 11 : Cukup jelas Pasal 12 : Cukup jelas Pasal 13 :

Ayat (1) : Cukup jelas Ayat (2) : Yang dimaksud dengan ”pertanian rakyat” adalah budi daya pertanian

yang meliputi berbagai komoditi, yaitu pertanian tanaman pangan, perikanan, dan kehutanan yang di kelola oleh rakyat dengan luas tertentu yang kebutuhan airnya tidak lebih dari 2 liter per detik perkepala keluarga

Ayat (3) : Hak guna usaha air untuk Irigasi dimaksimalkan hanya untuk memenuhi kebutuhan air bagi lahan pertaniannya sendiri diluar pertanian rakyat.

Pasal 14 : Ayat (1) : cukup jelas Ayat (2) : cukup jelas Ayat (3) : cukup jelas Ayat (4) : Yang dimaksud penggunaan air irigasi yang diambil langsung dari

sumber air permukaan antara lain : pengambilan air irigasi langsung dari sungai, danau / waduk dan mata air sesuai kewenangannya.

Ayat (5) : Yang dimaksud penggunaan air irigasi yang diambil langsung dari cekungan air tanah antara lain meliputi : pengambilan air tanah dangkal dan air tanah dalam.

Ayat (6) : cukup jelas Ayat (7) : cukup jelas Pasal 15 : Cukup Jelas Pasal 16 : Cukup Jelas Pasal 17 : Cukup Jelas

20

Pasal 18 : Ayat (1) : Termasuk dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi

Primer,Skunder,dan tersier adalah kegiatan pengembangan jaringan irigasi dan konservasi air di daerah irigasi.

Pembagian wewenang dan tanggungjawab pemerintah / pemerintah propinsi / pemerintah kabupaten dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder : � Pemerintah : untuk DI dengan luas > 3000 ha, DI lintas

propinsi dan strategis nasional ; � Pemerintah Propinsi : untuk DI dengan luas 1000 – 3000 ha

dan DI lintas kabupaten/kota ; � Pemerintah Kabupaten : untuk DI dengan luas < 1000 ha.

Ayat (2) : Cukup Jelas Ayat (3) : Yang dimaksud dengan “melakukan pengawasan” adalah apabila

pelaksanaan operasi dan pemeliharaan tidak sesuai dengan yang telah disepakati dalam komisi irigasi, HIPPA dapat menyampaikan laporan dan / atau pengaduan kepada pejabat / petugas yang berwenang.

Ayat (4) : Kesepakatan yang di buat oleh pemerintah, HIPPA dan pengguna jaringan Irigasi memuat rencana tahunan operasi dan pemeliharaan, antara lain mengenai peraturan air irigasi bagian-bagian jaringan yang mendapat prioritas pemeliharaan dan waktu pemeliharaannya.

Ayat (5) : Cukup Jelas Ayat (6) : Cukup Jelas

Pasal 19 : Termasuk dalam tanggung jawab HIPPA adalah jaringan irigasi tersier, yang meliputi saluran pembagi yang disebut saluran kwarter dan saluran pembuang berikut saluran bangunan turutan serta pelengkapnya termasuk jaringan irigasi pompa yang luas areal pelayanannya disamakan dengan areal tersier.

Pasal 20 : Cukup Jelas Pasal 21 : Ayat (1) : Penetapan urusan prioritas kebutuhan perbaikan didasarkan pada tingkat

kerusakan pada jaringan irigasi, luas layanan yang terpengaruh akibat kerusakan keterbatasan pembiayaan, dan besarnya dampak yang timbul akibat penundaan perbaikan kerusakaan dam tersebut diperoleh dari hasil penelusuran jaringan Irigasi.

Ayat (2) : Cukup Jelas Ayat (3) : CukupJelas Pasal 22 : Cukup Jelas Pasal 23 : Cukup Jelas Pasal 24 : Ayat (1) : Yang dimaksud dengan “pembangunan jaringan irigasi” adalah

pembangunan baru pada lahan yang belum ada jaringan irigasi yang mencangkup pembangunan jaringan irigasi air permukaan dan jaringan irigasi air tanah

Ayat (2) : Izin pembangunan Irigasi menyangkut satu kesatuan dengan izin penggunaan air dari sumber air. Desain pembangunan jaringan Irigasi harus mencakup pedoman operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi

Ayat (3) : Cukup Jelas Pasal 25 : Cukup Jelas Pasal 26 : “Peningkatan jaringan irigasi” dalam ketentuan ini mencakup peningkatan

jaringan irigasi air permukaan dan jaringan irigasi air tanah, peningkatan jaringan irigasi ditujukan memperluas area pelayanan, meningkatkan

21

kapasitas saluran atau meningkatkan sistem Irigasi, antara lain dari sistem irigasi semi teknis ke teknis, dan dari irigasi sederhana ke teknis peningkatan jaringan irigasi dapat dilaksanakan secara parsial dan bertahap sesuai dengan kebutuhan.

Ayat (2) : Cukup Jelas Ayat (3) : Cukup Jelas

Pasal 27 : Ayat (1) : Pengembangan dam / atau pengembangan jaringan irigasi disebabkan

oleh peningkatan jaringan irigasi maupun sebagai dampak dari kegiatan lain, misalnya pembangunan jaringan pipa air minum, pembangunan jaringan pipa gas, atau pambangunan jembatan yang melintasi jaringan irigasi primer dan sekunder.

Ayat (2) : Cukup Jelas Pasal 28 : Ayat (1) : - Maksud ”dilakukan bersamaan” adalah agar pelaksanaan pembangunan

dam / atau peningkatan jaringan irigasi disesuaikan dengan rencana dan program pengembangan pertanian.

- Yang dimaksud ” pengembangan lahan pertanian beririgasi” antara lain pencetakan sawah beririgasi, lahan hortikultura, perkebunan dan / atau peternakan.

- Maksud ”kesiapan petani setempat” adalah penyelesaian pembangunan dan / atau peningkatan jaringan irigasi agar bertepatan dengan saat petani membutuhkan air dan siap melakukan budidaya dan pengelolaan hasil komoditi pertanian

Ayat (2) : Cukup Jelas

Pasal 29 : Ayat (1) : Pembiayaan pengembangan jaringan irigasi meliputi biaya perencanaan

dan biaya pelaksanaan konstruksi jaringan irigasi. Ayat (2) : Cukup Jelas Ayat (3) : Cukup Jelas Ayat (4) - Bantuan Pembiayaan pengembangan jaringan irigasi tersier dari

pemerintah dikoordinasikan sehingga dapat dihindari bantuan pembiyaan ganda.

- Yang dimaksud dengan ”prinsip kemandirian” adalah mencakup kemandirian dalam pembiayaan, kemampuan teknis, dan kelembagaan.

Ayat (5) : Cukup Jelas Ayat (6) : Cukup Jelas Ayat (7) : Cukup Jelas Pasal 30 : Cukup Jelas Ayat (1) : Cukup Jelas Ayat (2) : Cukup Jelas Ayat (3) : Cukup Jelas Ayat (4) : Cukup Jelas Pasal 31 : Ayat (1) : Kesinambungan sistem irigasi dapat berlangsung jika didukung dengan :

a. Keandalan air irigasi yaitu kondisi / keadaan dimana air irigasi dapat tersedia dalam jumlah, waktu, tempat, dan mutu sesuai dengan kebutuhan tanaman untuk menghasilkan produksi yang optimal. Keandalan irigasi merupakan keandalan sistem irigasi untuk menghadapi keadaan kekurangan dan kelebihan air yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi.

22

b. Prasarana irigasi yang baik adalah prasarana tersebut berfungsi sesuai dengan kebutuhan petani, penggunaan teknologi tepat guna, dan berwawasan lingkungan.

Ayat (2) : Cukup Jelas Ayat (3) : Cukup Jelas Ayat (4) : Cukup Jelas Ayat (5) : Cukup Jelas Pasal 32 : Cukup Jelas Pasal 33 : Cukup Jelas Pasal 34 : Cukup Jelas Pasal 35 : Cukup Jelas Pasal 36 : Cukup Jelas Pasal 37 : Cukup Jelas Pasal 39 : Cukup Jelas