Upload
nguyenthuan
View
244
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANPUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIKDAN TENAGA KEPENDIDIKAN MATEMATIKAYOGYAKARTA
PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Asmidi
SEPULUH STRATEGI DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKASyahlan
PENDEKATAN DIFFERENTIATED INSTRUCTION (DI) DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN AKTIVITAS MATEMATIKA
SISWA KELAS XI MIPA-2 DI SMAN 1 KOBA Nelly Yuliana
PENGGUNAAN LEMBAR KERJA SISWA BERBASIS NILAI KONTROL DAN NILAI RASIONALISME
PADA PEMBELAJARAN PEMODELAN MATEMATIKAArvin Efriani, Nyimas Aisyah, dan Indaryanti
REASONING AND PROOF DALAM MODEL PEMBELAJARAN RECIPROCAL MATERI TRIGONOMETRI SISWA SMA
Afin Nur Latifa, M.Pd.
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA BERBASIS PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
UNTUK MEMFASILITASI KEMAMPUAN KONEKSI SISWA SMP/MTsLussy Midani Rizki, Risnawati, dan Zubaidah Amir MZ
Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
PPPPTK MATEMATIKA - KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
IDEAL MATHEDUINDONESIAN DIGITAL JOURNAL
OF MATHEMATICS AND EDUCATION
moo rN
2017
4
ISSN 24078530
SUSUNAN REDAKSIJURNAL IDEAL MATHEDU VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2017
PPPPTK MATEMATIKA
Penanggung jawab : Kepala Subag TU dan RT
Harwasono, S.Kom., MM
Redaktur : Cahyo Sasongko, S.Sn.
Penyunting/Editor : 1. Marfuah, S,Si.,M.T.
2. Muh. Tamimuddin H, M.T.
3. Muda Nurul Khikmawati, S.Kom,. M.Cs.
4. Dr. Sumardyono, M.Pd.
5. Wiworo, S.Si., M.M.
6. Dra. Th. Widyantini, M.Si.
7. Drs. Rachmadi Widdiharto, M.A.
8. Untung Trisna Suwaji, S.Pd., M.Si.
9. Adi Wijaya, S.Pd.,M.A.
10. Fadjar Noer Hidayat, M.Ed.
11. Hanan Windro Sasongko, S.Si.
12. Sigit Tri Guntoro, S.Si., M.Si.
13. Drs. Agus Suharjana, M.Pd.
14. Joko Purnomo, M.T.
15. Drs. Marsudi Raharjo, MSc.Ed.
16. Dra. Puji Iryanti, Msc.Ed.
17. Ratna Herawati, M.Si.
18. Sumaryanta, M.Pd.
19. Sri Wulandari Danoebroto, S.Si.,M.Pd.
20. Jakim Wiyoto, S.Si.
Desain Grafis dan Layout : 1. Cahyo Sasongko, S.Sn.
2. Victor Deddy K, S.Si.
3. Muhammad Fauzy
Sekretariat : 1. Nur Hamid, S.Kom.
2. M. Pujiastuti
3. Lestari Budi Atik, A.Md.
4. Sri Kurniasih
3. Dewi Katmolowati
Alamat redaksi : PPPPTK Matematika
Jl. Kaliurang km.6, Sambisari, Depok, Sleman, D.I.Y.
Telp. (0274) 885725, 881717
Fax. (0274) 885752
Website. idealmathedu.p4tkmatematika.org
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
349
PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
Asmidi
SMPN 1 Sukadana, Sukadana, Kabupaten Kayong Utara; [email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan problem posing dalam
pembelajaran matematika pada materi segitiga dan segiempat. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif-eksploratif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII/A
SMPN 3 Sukadana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa problem posing dalam
pembelajaran matematika dapat melatih siswa dalam berpikir kreatif. Banyaknya soal
yang dibuat siswa dalam kegiatan problem posing pada materi segitiga dan segiempat
terbagi menjadi tiga tipe soal. Tipe yang pertama adalah soal yang memiliki
karakteristik sama, tipe yang kedua adalah soal yang memiliki karakteristik berbeda,
dan tipe yang ketiga adalah soal yang tidak biasa. Proses membuat soal dilakukan siswa
dengan mengumpulkan informasi-informasi yang ada, kemudian dikonstruksi menjadi
soal. Untuk proses menjawab soal, siswa mengolah informasi yang telah diketahui.
Kata kunci. Problem Posing, Pembelajaran Matematika
Abstract. This study aimed to describe the problem posing in mathematics at the
triangles and rectangles material. This study is a descriptive-exploratory research. The
subjects in this study were students of class VII/A SMPN 3 Sukadana. The results
showed that the problem posing in mathematics could train the students in creative
thinking. The number of questions that the students made in the activities of problem
posing on the triangles and rectangles material were divided into three types of matter.
The first type is a matter which has the same characteristics, the second type is a matter
which has different characteristics, and the third type is about the unusual one. The
process of making the questions done by the students by collecting the existed
information then was constructed to become questions. To answer the questions,
students processed the information that had already known.
Key Words. Problem Posing, Mathematics Learning
1. Pendahuluan
Pembelajaran matematika yang dilakukan sebagian guru masih dengan menjelaskan materi
pelajaran, menyajikan contoh soal sekaligus cara menyelesaikannya, dan memberikan soal
untuk dikerjakan siswa. Guru belum memberikan perhatian yang serius terhadap berpikir
kreatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Bahar & Maker (2011) bahwa guru di tingkat dasar
dan menengah belum menyadari pentingnya berpikir kreatif dan pemecahan masalah dalam
matematika. Siswa kurang diberikan kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide dan gagasan
yang dimilikinya dalam menyelesaikan masalah matematika. Siswa akan selalu bergantung
pada cara penyelesaian yang telah diberikan guru. Hal ini menyebabkan siswa kurang kreatif
dalam menyelesaikan masalah matematika. Dacey (dalam Piaw, 2011) menyatakan bahwa
sebagian besar siswa sekolah menengah kurang kreatif.
Kreativitas dalam belajar matematika sangat penting dimiliki siswa agar mereka tidak mudah
menyerah dalam menyelesaikan masalah matematika. Hal ini sejalan dengan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
350
Pehkonen (1997) yang menyatakan bahwa kreatif merupakan bagian penting untuk
melakukan matematika. Siswa yang kreatif selalu berupaya untuk mencari berbagai alternatif
penyelesaian masalah apabila menemukan kesulitan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam pembelajaran
matematika adalah dengan problem posing. Silver (1997) menyatakan bahwa salah satu
kegiatan yang dapat mengembangkan kreativitas siswa adalah kegiatan pengajuan masalah
(problem posing). Istilah problem posing berasal dari bahasa inggris yaitu dari kata
“problem” yang artinya masalah dan kata “pose” yang artinya mengajukan. Silver (1994)
menyatakan problem posing merupakan aktivitas yang meliputi merumuskan soal-soal dari
hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-
kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut serta menentukan penyelesiannya.
Sejalan dengan itu, Bonotto (2006) menyatakan problem posing merupakan aktivitas siswa
untuk mengonstruksi masalah mereka sendiri.
Problem posing dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan meminta siswa
untuk membuat soal. Dalam membuat soal, siswa diberikan informasi-informasi sebagai
dasar untuk mengajukan soal. Informasi yang diberikan kepada siswa dapat berupa gambar
atau berbentuk cerita. Hal ini sejalan dengan Lin (2004) yang menyatakan bahwa
pembentukan soal didasarkan atas konteks, cerita, informasi atau gambar yang diketahui.
Kegiatan problem posing sangat penting diterapkan dalam pembelajaran matematika. Hal ini
telah banyak diungkap peneliti seperti (Silver, dkk, 1996; Cho & Abramovich, 2008; Xia,
dkk, 2008; Bonotto, 2010). Silver, dkk (1996) menyatakan bahwa problem posing sangat
penting dalam disiplin matematika dan dalam sifat pemikiran matematika. Cho &
Abramovich, (2008) menyatakan bahwa problem posing merupakan aktivitas pedagogik
yang penting dalam pembelajaran matematika. Xia, dkk (2008) menyatakan bahwa problem
posing merupakan komponen penting dalam kurikulum matematika. Bonotto (2010)
menyatakan bahwa pentingnya kegiatan problem posing dalam matematika sekolah.
Berdasarkan paparan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana
problem posing dalam pembelajaran matematika”.
2. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-eksploratif yang bertujuan untuk
mendeskripsikan problem posing dalam pembelajaran matematika pada materi segitiga dan
segiempat. Subjek dalam penelitian ini adalah 28 siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sukadana.
Subjek penelitian belum pernah mengikuti pembelajaran problem posing. Data yang
dipaparkan dalam penelitian ini adalah 3 siswa dari 28 siswa kelas VII SMP Negeri 3
Sukadana. Ketiga siswa terdiri dari siswa yang kemampuannya rendah yaitu NAG, siswa
yang kemampuannya sedang yaitu LF, dan siswa yang kemampuannya tinggi yaitu TOM.
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrumen utama dan
perangkat pembelajaran, serta instrumen pendukung. Prosedur penelitian dilakukan sebagai
berikut: 1) menyusun instrumen penelitian, 2) memvalidasi instrumen penelitian,
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
351
3) menentukan subjek penelitian, 4) mengumpulkan data penelitian, dan 5) menganalisis
data.
Data yang telah terkumpul dianalisis dengan langkah-langkah: 1) mereduksi data dilakukan
dengan menyeleksi, memfokuskan, dan menyederhanakan semua data mentah dan kasar
yang diperoleh, 2) penyajian data dilakukan dengan menyajikan hasil reduksi data secara
naratif sehingga memungkinkan penarikan kesimpulan dan keputusan pengambilan tindakan,
dan 3) penarikan kesimpulan dilakukan dengan memberikan simpulan terhadap hasil
penafsiran dan evaluasi.
3. Hasil
Kegiatan problem posing dilakukan siswa dengan cara membuat soal sekaligus selesaiannya
berdasarkan informasi yang diketahui. Berikut ini informasi yang diberikan kepada siswa.
Gambar 1. Informasi
Gambar 1 merupakan segiempat yang terbentuk dari dua segitiga yaitu ABC dan ACD.
Informasi yang diketahui adalah AB = 3 cm, BC = 4 cm, CD = 12 cm, AD = 13 cm,
CAD = 650, dan ACB = 55
0. Berdasarkan informasi tersebut, siswa diminta untuk
membuat soal sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan sifat-sifat segitiga, keliling, dan
luas segitiga sekaligus selesaiannya. Berikut ini hasil pekerjaan beberapa siswa.
3.1. Problem Posing pada Subjek NAG
Berdasarkan informasi yang diberikan, NAG mampu membuat 2 soal yang berkaitan dengan
sifat-sifat segitiga. NAG juga mampu menyelesaikan kedua soal tersebut dengan benar.
Berikut ini adalah gambar soal sekaligus selesaiannya yang dibuat NAG.
Gambar 2. Soal yang dibuat NAG
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
352
Berdasarkan gambar 2, NAG membuat soal nomor 1 yang berkaitan dengan sifat-sifat
segitiga berdasarkan informasi yang diketahui dari ABC yaitu besar ABC adalah 900 (atau
sudut siku-siku) dan besar ACB adalah 550. Soal nomor 2 yang dibuat NAG berkaitan
dengan sifat-sifat segitiga berdasarkan informasi yang diketahui dari ADC yang diketahui
yaitu besar ACD adalah 900 (atau sudut siku-siku) dan besar CAD adalah 65
0. Kedua soal
yang dibuat oleh NAG adalah soal yang memiliki karakteristik sama karena soal tersebut
memiliki tujuan yang sama, hanya situasinya yang berbeda.
Untuk mengetahui proses berpikir NAG dalam membuat soal, berikut ini cuplikan
wawancara dengan NAG.
Peneliti :” Bagaimana cara kamu membuat soal tentang besar sudut BAC?”
Siswa :”Saya mengamati segitiga ABC.”
Peneliti :”Apa yang kamu amati dari segitiga tersebut sehingga dapat membuat soal?”
Siswa :”Dari segitiga ABC, saya amati bahwa sudut ABC adalah sudut siku-siku, besar
sudut ACB sama dengan 550, dan sudut BAC belum diketahui. Karena sudut BAC
belum diketahui, maka saya buat soal berapakah sudut BAC.”
3.2. Problem posing pada subjek LF
Berdasarkan informasi yang diberikan, LF mampu membuat 4 soal yang berkaitan dengan
keliling dan luas segitiga. LF juga mampu menyelesaikan keempat soal tersebut dengan
benar. Berikut ini adalah gambar soal sekaligus selesaiannya yang dibuat LF.
Gambar 3. Soal yang dibuat LF
Berdasarkan gambar 3, LF membuat soal nomor 1 yang berkaitan dengan keliling segitiga
berdasarkan informasi yang diketahui dari ADC yaitu AD = 13 cm, AC = 5 cm, dan
CD = 12 cm. Soal nomor 2 yang dibuat LF berkaitan dengan keliling segitiga berdasarkan
informasi yang diketahui dari ABC yaitu AB = 3 cm, BC = 4 cm, dan AC = 5 cm. Soal
nomor 3 yang dibuat LF berkaitan dengan luas segitiga berdasarkan informasi yang
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
353
diketahui dari ADC yaitu AC = 5 cm yang merupakan sisi alas dan CD = 12 cm sebagai
tinggi segitiga. Soal nomor 4 yang dibuat LF berkaitan dengan luas segitiga berdasarkan
informasi yang diketahui dari ABC yaitu AB = 3 cm yang merupakan sisi alas dan
BC = 4 cm sebagai tinggi segitiga. Keempat soal yang dibuat oleh LF adalah soal yang
memiliki karakteristik berbeda karena soal tersebut memiliki tujuan yang berbeda.
Untuk mengetahui proses berpikir LF dalam membuat soal, berikut ini cuplikan wawancara
dengan LF.
Peneliti :” Bagaimana cara kamu membuat soal tentang luas segitiga ADC?”
Siswa :”Dengan melihat sisi-sisi segitiga ADC yang sudah diketahui.”
Peneliti :”Apa yang kamu ketahui tentang sisi-sisi segitiga tersebut sehingga
dapat membuat soal?”
Siswa :”Segitiga ADC memiliki sisi alas AC sama dengan 5 cm dan sisi tinggi CD sama
dengan 12 cm. Dari kedua sisi tersebut sudah bisa dicari luasnya.”
3.3. Problem Posing pada Subjek TOM
Berdasarkan informasi yang diberikan, TOM mampu membuat 6 soal yang berkaitan dengan
keliling dan luas segitiga. TOM juga mampu menyelesaikan keenam soal tersebut dengan
benar. Berikut ini adalah gambar soal sekaligus selesaiannya yang dibuat TOM.
Gambar 4. Soal yang dibuat TOM
Berdasarkan gambar 4, TOM membuat soal nomor 1 yang berkaitan dengan luas segitiga
berdasarkan informasi yang diketahui dari ABC yaitu AB = 3 cm yang merupakan sisi alas
dan BC = 4 cm sebagai tinggi segitiga. Soal nomor 2 dibuat yang TOM berkaitan dengan
penyelesaian masalah keliling bangun ABCD berdasarkan informasi yang diketahui yaitu
AB = 3 cm, BC = 4 cm, CD = 12 cm, dan AD = 13 cm. Soal nomor 3 yang dibuat TOM
berkaitan dengan luas segitiga berdasarkan informasi yang diketahui dari ADC yaitu
AC = 5 cm yang merupakan sisi alas dan CD = 12 cm sebagai tinggi segitiga. Soal nomor 4
yang dibuat TOM berkaitan dengan keliling segitiga berdasarkan informasi yang diketahui
dari ADC yaitu AC = 5 cm, CD = 12 cm, dan AD = 13 cm. Soal nomor 5 yang dibuat TOM
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
354
berkaitan dengan keliling segitiga berdasarkan informasi yang diketahui dari ABC yaitu
AB = 3 cm, BC = 4 cm, dan AC = 5 cm. Soal nomor 6 yang dibuat TOM berkaitan dengan
penyelesaian masalah luas bangun ABCD berdasarkan informasi yang diketahui dari luas dua
buah segitiga yaitu luas ABC = 6 cm2 dan luas ADC = 30 cm
2. Keenam soal yang dibuat
oleh TOM adalah soal yang memiliki karakteristik berbeda karena soal tersebut memiliki
tujuan yang berbeda. Dari enam soal, ada dua soal yang dibuat TOM berbeda dari siswa
lainnya seperti soal nomor 2 dan 6 yang bersifat kebaruan.
Untuk mengetahui proses berpikir TOM dalam membuat soal, berikut ini cuplikan
wawancara dengan TOM.
Peneliti :” Bagaimana cara kamu membuat soal tentang luas ADCB?”
Siswa :”Setelah saya menemukan luas segitiga ABC dan luas segitiga ADC, kemudian
saya mengamati segiempat ABCD. Saya pikir luas segiempat ABCD bisa dibuat
soal.”
Peneliti :”Bagaimana kamu mencari luasnya?”
Siswa :”Tinggal dijumlahkan luas segitiga ABC dengan luas segitiga ADC.”
4. Pembahasan
Problem posing dalam pembalajaran matematika pada materi segitiga dan segiempat
dilakukan dengan meminta siswa untuk membuat soal sekaligus penyelesaiannya. Pengajuan
masalah (problem posing) dalam pembelajaran, intinya meminta siswa untuk mengajukan
soal atau masalah (Siswono, 2004). Untuk membuat soal, siswa disajikan gambar segitiga
dan segiempat sebagai informasi. Dari gambar yang disajikan, siswa akan diminta untuk
mengamati dan menghimpun informasi yang telah diketahui dan informasi yang belum
diketahui. Informasi yang belum diketahui nantinya akan dijadikan dasar sebagai dasar untuk
membuat soal. Adapun informasi yang telah diketahui nantinya akan dijadikan dasar untuk
menyelesaikan soal yang telah dibuat.
Kegiatan membuat banyaknya soal sekaligus selesaiannya dalam problem posing akan
memunculkan kreativitas siswa. Menurut Silver (1997), ada tiga komponen utama yang
dinilai dalam kreativitas menggunakan TTCT adalah kefasihan (fluency), fleksibilitas
(flexibility), dan kebaruan (novelty). Kefasihan (fluency) yaitu mampu dan lancar dalam
mengajukan banyak soal sekaligus menyelesaikannya, fleksibilitas (flexibility) yaitu mampu
mengajukan soal yang berbeda-beda dan dapat menyelesaikannya, kebaruan (novelty) yaitu
mampu mengajukan soal yang berbeda (tidak biasa dibuat oleh siswa pada tingkat
pengetahuannya). Adapun kreativitas siswa dalam kegiatan membuat soal sebagai berikut.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
355
Subjek 1 : NAG
Diagram 1. Subjek NAG
Diagram 1 menunjukkan bahwa NAG membuat soal nomor 1 hanya berdasarkan informasi
sudut. Soal nomor 2 yang dibuat NAG juga hanya berdasarkan informasi sudut. Soal yang
dibuat NAG hanya memanfaakan informasi sudut segitiga saja. NAG tidak memanfaatkan
informasi sisi-sisi segitiga, baik sebagai informasi utama maupun sebagai informasi
pendukung. Kedua soal yang dibuat NAG memiliki tujuan dan karakteristik yang sama
sehingga kreativitas NAG tergolong lancar.
Subjek 2: LF
Diagram 2. Subjek LF
Diagram 2 menunjukkan bahwa LF membuat soal nomor 1 hanya berdasarkan informasi
sisi-sisi. Soal nomor 2 yang dibuat LF juga hanya berdasarkan informasi sisi-sisi. Pada soal
nomor 3, LF membuat soal berdasarkan sisi-sisi sebagai informasi utama dan sudut sebagai
informasi pendukung untuk menentukan luas segitiga. Pada soal nomor 4, LF juga membuat
soal berdasarkan sisi-sisi sebagai informasi utama dan sudut sebagai informasi pendukung
untuk menentukan luas segitiga. Soal yang dibuat LF sudah memanfaaatkan dua informasi
yang berbeda yaitu sisi-sisi sebagai informasi utama dan sudut sebagai informasi pendukung.
segitiga
sisi-sisi sudut
soal 1 soal 2
lancar
segitiga
sisi-sisi sudut
soal 2 soal 3
lancar dan fleksibel
soal 4 soal 1
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
356
Keempat soal yang dibuat LF memiliki tujuan dan karakteristik yang berbeda sehingga
kreativitas LF tergolong lancar dan fleksibel.
Subjek 3: TOM
Diagram 3. Subjek TOM
Diagram 3 menunjukkan bahwa TOM membuat soal nomor 1 berdasarkan sisi-sisi sebagai
informasi utama dan sudut sebagai informasi pendukung. Soal nomor 2 yang dibuat TOM
hanya berdasarkan informasi sisi-sisi. Pada soal nomor 3, TOM membuat soal berdasarkan
sisi-sisi sebagai informasi utama dan sudut sebagai informasi pendukung. Pada soal nomor 4,
TOM membuat soal hanya berdasarkan informasi sisi-sisi. Pada soal nomor 5, TOM juga
membuat soal hanya berdasarkan informasi sisi-sisi. Soal nomor 6 dibuat TOM berdasarkan
sisi-sisi sebagai informasi utama dan sudut sebagai informasi pendukung. Soal yang dibuat
TOM sudah memanfaaatkan dua informasi yang berbeda yaitu sisi-sisi sebagai informasi
utama dan sudut sebagai informasi pendukung. Keenam soal yang dibuat TOM memiliki
tujuan dan karakteristik yang berbeda. Ada soal yang tidak biasa dibuat TOM yaitu soal 2
dan soal 6. Berdasarkan hal tersebut kreativitas TOM tergolong lancar, fleksibel, dan
memiliki sifat kebaruan.
Berdasarkan hasil wawancara siswa diperoleh informasi bahwa proses pembuatan soal
dilakukan siswa dengan mengamati dan memfokuskan perhatiannya pada suatu bagian
gambar. Setelah itu, siswa mengidentifikasi informasi yang ada berdasarkan informasi
tersebut, kemudian siswa mengonstruksinya menjadi soal. Untuk proses menjawab soal,
siswa mengerjakannya dengan mengolah beberapa informasi yang telah diketahui.
5. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa problem posing
dalam pembelajaran matematika pada materi segitiga dan segiempat merupakan kegiatan
yang dilakukan siswa dengan membuat soal sebanyak-banyaknya berdasarkan informasi
yang diberikan. Soal tersebut juga harus diselesaikan oleh siswa itu sendiri. Kegiatan
segitiga
sisi-sisi sudut
soal 3 soal 4
lancar, fleksibel, dan memenuhi sifat kebaruan
soal 5 soal 2 soal 6 soal 1
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
357
problem posing dalam pembelajaran matematika dapat melatih siswa dalam berpikir kreatif.
Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif akan mampu menyelesaikan masalah
matematika.
Soal-soal yang dibuat siswa dalam kegiatan problem posing dapat digolongkan menjadi tiga
tipe soal, yaitu: 1) soal yang memiliki karakteristik sama, 2) soal yang memiliki karakteristik
berbeda, dan 3) soal yang tidak biasa. Proses membuat soal dilakukan siswa dengan
mengumpulkan informasi-informasi yang yang ada, kemudian dikonstruksi menjadi soal.
Proses menjawab soal dilakukan siswa dengan mengolah informasi yang telah diketahui.
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian, saran bagi guru matematika di SMP yaitu agar
melatih berpikir kreatif siswa melalui pembelajaran problem posing.
Daftar Pustaka
Bahar, A.K. & Maker, C.J. 2011. Exploring the Relationship between Mathematical Creativity and
Mathematical Achievement. Asia-Pacific Journal of Gifted and Talented Education, Volume 3,
Issue 1, 2011
Bonotto. (2006). Extending Students’ Understanding of Decimal Numbers vis Realistic Mathematical
Modeling and Problem Posing, Proceeding 30th Conference of The International Group for the
Psychology of Mathematics Education, 2 193 – 200, Prague, Czech Republic, July 16-21, 2006
Bonotto. 2010. Engaging Students in Mathematical Modelling and Problem Posing Activities. Journal
of Mathematical Modelling and Application 2010, Vol. 1, No. 3.
Cho & Abramovich. 2008. On Mathematical Problem Posing by Elementary Pre-teachers: The Case
of Spreadsheets. Spreadsheets in Education (eJSiE): Vol. 3: Iss. 1, Article 1.
Lin, P. 2004. Supporting Teachers On Desingning Problem-Posing Tasks As A Tool Of Assessment
To Understand. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the
Psychology of Mathematics Education Students’ Mathematical Learning, 2004 Vol 3.
Pehkonen, E. 1997. The State-of-Art In Mathematical Creativity. Zentralblatt fur Didaktik der
Mathematik (ZDM) – The International Journal on Mathematics Education. (online),
(http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a1.pdf), diakses 23 Februari 2015.
Piaw, C.Y. 2011. Hindrances to Internal Creative Thinking and Thinking Styles of Malaysian Teacher
Trainees in the Specialist Teachers’ Training Institute. Procedia Social and Behavioral Sciences
15 (2011) 4013–4018.
Silver, E. A. (1994). On mathematical problem posing. For the Learning of Mathematics, Vol. 14, No.
1 (Feb., 1994), pp. 19-28
Silver, E. A. dkk. (1996). Posing Mathematical Problems: An Exploratory Study. Journal for
Research in Mathematics Education, Vol. 27, No. 3 (May, 1996), pp. 293-309.
Silver, E. A. 1997. Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving
and Problem Posing. Zentralblatt fur Didaktik der Mathematik (ZDM) – The International
Journal on Mathematics Education. (online), (www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a3.pdf),
diakses 16 Februari 2015.
Siswono, T. 2004. Identifikasi Proses Berpikir Kreatif Siswa dalam Pengajuan Masalah (Problem
Posing) Matematika Berpandu dengan Model Wallas dan Creative Problem Solving (CPS).
Buletin Pendidikan Matematika Volume 6 Nomor 2, Oktober 2004.
Xia, dkk. 2008. Research on Mathematics Instruction Experiment Based Problem Posing. Journal of
Mathematics Education December 2008, Vol. 1, No. 1, pp.153-163.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
358
SEPULUH STRATEGI DALAM PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIKA
Syahlan
Pendidikan Matematika FKIP-UISU, Medan, [email protected]
Abstrak. Salah satu tujuan dalam pembelajaran matematika adalah agar siswa mampu
menyelesaikan permasalahan. Masalah yang diajukan tidak hanya terbatas pada masalah
rutin, tetapi dapat berupa masalah tidak rutin. Masalah tersebut menjadi tantangan bagi
siswa untuk dipecahkan. Masalah tidak rutin menjadi sulit diselesaikan karena tidak
dapat diselesaikan menggunakan konsep dan prinsip matematika yang umum. Dalam
menyelesaikan masalah diperlukan strategi yang tepat dengan mengombinasikan segala
konsep dan prinsip matematika yang dikuasai siswa. Melalui artikel ini diharapkan guru
maupun siswa akan memiliki pemahaman sehingga dapat memilih diantara 10 strategi
yang sesuai dalam pemecahan masalah matematika.
Kata Kunci: Strategi, Masalah Matematika, Pemecahan Masalah
1. Pendahuluan
Kehidupan menawarkan dua hal yang berlainan, yaitu suka atau duka. Kedukaan umumnya
disebabkan oleh adanya masalah yang dihadapi. Masalah haruslah dihadapi dengan bijak dan
harus diselesaikan dengan cara yang baik. Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang
bertujuan untuk membantu siswa menghadapi dunia nyata. Oleh karena itu, pembelajaran
matematika tidak dapat terlepas dari kegiatan pemecahan masalah. Pembelajaran seharusnya
dikaitkan dengan upaya dan melatih siswa untuk berpikir dalam memecahkan masalah.
Idealnya, pembelajaran matematika seharusnya menawarkan masalah untuk diselesaikan
sebagai latihan bagi siswa dalam membangun dan mengembangkan kemampuan kognitif
siswa.
Pemecahan masalah merupakan salah satu dari lima tujuan pembelajaran matematika.
Menurut NCTM (2000), ada lima tujuan yang menjadi fokus dalam kemampuan belajar
matematika, yaitu 1) kemampuan pemecahan masalah, 2) kemampuan penalaran dan
pembuktian, 3) kemampuan koneksi, 4) kemampuan komunikasi, dan 5) kemampuan
representasi. Masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab dengan baik. Pertanyaan
yang diajukan dapat berupa pertanyaan rutin maupun pertanyaan tidak rutin. Melalui
masalah, siswa diajak untuk berpikir dan mencari sebab-sebab masalah itu timbul.
Berdasarkan sebab-sebab yang ada sebagai informasi awal, siswa harus berupaya untuk
menyelesaikan masalah sebagai akibatnya. Ada 10 cara yang dapat dipilih siswa dalam
memecahkan masalah matematika yang dihadapi. Artikel ini menawarkan berbagai strategi
yang efektif dalam menyelesaikan masalah matematika sehingga siswa dapat dengan bijak
memilih cara yang tepat.
Masalah merupakan hal yang selalu kita hadapi. Berbagai kejadian terkadang menjadi
masalah yang harus diselesaikan dengan segera. Demikian pula dalam belajar, berbagai
masalah disajikan kepada siswa untuk diselesaikan dalam upaya membelajarkan siswa.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
359
Tidak setiap pertanyaan dapat disebut sebagai masalah dan tidak semua masalah yang
diberikan akan dapat membelajarkan siswa. Masalah yang dimaksud adalah pertanyaan atau
soal yang tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan aturan-aturan perhitungan biasa
(prosedur rutin). Masalah yang dapat membelajarkan siswa adalah masalah yang
memberikan tantangan kepada siswa yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin
yang telah diketahui oleh siswa.
Masalah dalam matematika haruslah menantang, perlu adanya suatu prosedur baru yang
memerlukan pengorganisasian pengetahuan yang dimiliki siswa selama ini. Artinya bahwa
siswa harus dapat mengombinasikan segala konsep yang telah diketahuinya dan yang terkait
masalah, lalu membentuk suatu konsep baru sehingga masalah yang diberikan dapat
dipecahkan. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Cooney (Budhayanti, dkk, 2008)
bahwa “suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan
adanya tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah
diketahui oleh si pelaku”.
Soal cerita merupakan salah satu bentuk masalah yang sering disajikan dalam pembelajaran
matematika. Siswa ditantang untuk memahami masalah tersebut sehingga siswa dapat
mengumpulkan informasi-informasi yang dibutuhkan, seperti: apa yang diketahui dan apa
yang menjadi masalah. Melalui informasi tersebut, siswa akan dapat menentukan konsep
yang cocok maupun konsep yang berkaitan dengan masalah untuk dapat merencanakan
penyelesaiannya menggunakan model matematika. Hasilnya, model yang dibuat akan
membantu siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka yang dimaksud dengan masalah dalam matematika
adalah suatu pertanyaan yang menggugah kita sehingga menjadi tertantang untuk
menyelesaikannya menggunakan segenap pengetahuan (konsep dan prinsip matematika)
yang telah dimiliki sebagai dasar dalam membentuk konsep baru hingga dapat diselesaikan.
2. Proses Pemecahan Masalah Matematika
Masalah yang diberikan harus mampu diamati dari berbagai sudut pandang sehingga akan
dapat diketahui prinsip dari masalah itu. Polya (1975: 6) mengungkapkan bahwa pemecahan
masalah merupakan kegiatan yang dilakukan dengan mengubah cara pandang seseorang
terhadap masalah untuk mengidentifikasi masalah dan selanjutnya memutuskan cara
penyelesaian masalah. Menurutnya, solusi yang diberikan tidak hanya merupakan jawaban
untuk memecahkan masalah tetapi juga memuat prosedur yang harus dilakukan untuk
mendapatkan jawaban. Untuk itu, pemberi jawaban harus memberikan langkah-langkah
penyelesaiannya secara detail.
Ada empat tahap yang harus dilakukan siswa untuk menyelesaikan masalah yang diberikan,
yaitu: 1) memahami masalah (understanding the problem), 2) merencanakan cara
penyelesaiannya (devising a plan), 3) melaksanakan rencana yang telah dibuat (carrying
out the plan), 4) melihat kembali seluruh proses yang dilakukan (looking back) (Polya, 1975:
6-14). Untuk melaksanakan keempat tahap penyelesaian masalah ini dibutuhkan ketelitian
dan kesabaran, yakni pada setiap tahap yang dilakukan diperlukan refleksi sehingga
menjadikannya semacam siklus. Misalkan setelah memahami masalah, akan melanjutkannya
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
360
dengan membuat rencana dengan memilih strategi penyelesaian. Ketika gagal membuatnya,
maka kembali kepada masalah dan mencari informasi tambahan yang relevan untuk dapat
mendukung penerapan strategi tersebut agar dapat digunakan.
Tahap pertama yang harus dilakukan siswa adalah menentukan hal-hal yang diketahui
dengan tepat dan apa yang harus diselesaikan. Untuk itu, siswa terkadang perlu
mempresentasikan masalah tersebut ke dalam bentuk gambar, tabel, maupun notasi
matematika. Selain itu, mengetahui apa yang harus diselesaikan membantu siswa
mengetahui arah yang menjadi tujuan penyelesaian masalah tersebut sehingga memudahkan
siswa membuat rencana penyelesaian dengan menetapkan strategi yang tepat.
Tahap kedua yang harus dilakukan adalah mencari alternatif jawaban yang mungkin dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada tahap ini, kreativitas, pengetahuan
terkait masalah, mental belajar, dan konsentrasi siswa sangat dibutuhkan untuk menentukan
berbagai cara penyelesaian masalah. Ada lima cara yang dapat digunakan dalam mencari
cara penyelesaian masalah, yaitu 1) mencoba-coba (guess and check), 2)
membuat/menemukan pola (look for pattern), 3) membuat dan menyusun daftar secara
sistematis (make a systematic list), 4) membuat dan menggunakan gambar maupun model
(make and use a drawing or model), 5) mempertimbangkan/meniadakan suatu kemungkinan
yang dapat terjadi (eliminate possibilities) (Sheffield dan Cruikshank, 1996: 35).
Pemilihan strategi ini umumnya disesuaikan dengan masalah yang diajukan. Beberapa cara
lebih efektif dibandingkan cara yang lain pada suatu masalah. Namun pada masalah lainnya,
cara tersebut malah tidak dapat digunakan. Oleh karena itu harus jeli dalam memilih strategi
yang tepat dan cocok digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah. Dalam hal meniadakan
suatu kemungkinan, ada tiga cara yang dapat diterapkan. Menurut Sheffield dan Cruikshank
(1996: 37), cara tersebut adalah 1) menyelesaikan masalah secara mundur/dari belakang
(working backwards), 2) menyelesaikan masalah secara langsung (acting out the problem),
dan 3) mengubah cara pandang terhadap masalah (changingyour point of view).
Tahap ketiga adalah melaksanakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Tahap ini
cukup mudah dilaksanakan karena yang dibutuhkan hanyalah kesabaran. Prosedur yang telah
ditetapkan dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku sesuai dengan konsep algoritma
matematika sehingga masalah yang diajukan telah benar-benar terselesaikan. Peran guru
pada tahap ini sangat penting dalam membantu siswa menyelesaikan masalahnya. Berbagai
pertanyaan dapat diajukan guru untuk membantu siswa menemukan arah penyelesaian
masalah dengan benar dan juga sebagai upaya untuk memberikan umpan balik kepada siswa.
Alternatif penyelesaian masalah yang dibuat siswa belum tentu merupakan konsep yang
formal. Untuk itu pada tahap terakhir (keempat) ini, siswa diajak untuk melakukan
penyelidikan terhadap semua prosedur penyelesaian masalah yang dibuat. Berdasarkan hal
tersebut, siswa akan dapat menghubungkan konsep-konsep yang diketahuinya dengan
konsep lain sebagai pengetahuan yang baru serta dapat mengembangkan kemampuan mereka
dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Keempat langkah proses penyelesaian
masalah oleh Polya dapat dipresentasikan dalam bentuk diagram berikut.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
361
Memahami Masalah
Membuat Strategi
Melaksanakan Strategi
Melihat Kembali
Gambar 1. Langkah proses pemecahan masalah oleh Polya
3. Strategi Pemecahan Masalah Matematika
Langkah kedua dalam memecahkan masalah adalah merencanakan strategi yang efektif.
Banyak strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah, diantaranya adalah
menyelesaikan masalah secara mundur/dari belakang (working backwards), menyelesaikan
masalah secara langsung (acting out the problem), dan mengubah cara pandang terhadap
masalah (changing your point of view) seperti yang diungkapkan Sheffield dan Cruikshank
(1996: 37) dalam bukunya. Selain itu, menurut Posamentier (2009) dalam bukunya
mengungkapkan bahwa pada tingkat dasar (grades 3-6) ada 9 strategi yang dapat digunakan,
sedangkan untuk tingkat menengah (grades 6-12). Posamentier (1998) menyatakan
ada 10 strategi yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah. Sepuluh strategi
pemecahan masalah tersebut diuraikan sebagai berikut.
3.1. Menyelesaikan Masalah Secara Mundur/dari Belakang
Masalah rutin umumnya dimulai dari konsep awal dan siswa ditugaskan menyelesaikannya.
Lalu bagaimana jika sebaliknya(diberikan jawaban akhirnya untuk mendapatkan nilai-nilai
awalnya)?Untuk menyelesaikan masalah seperti ini siswa dapat menyelesaikannya secara
terbalik pula, dimana siswa bergerak mundur ke belakang untuk mendapatkan hasil-hasil
awalnya.
Contoh masalah 1:
Ibu mempunyai 10 apel, 15 jeruk dan 20 pisang yang akan disajikan dalam beberapa piring
dengan komposisi yang sama. Berapa piring yang harus disediakan Ibu?
Alternatif solusi:
Masalah di atas, mensyaratkan bahwa dalam setiap piring harus diisi oleh 3 macam
buah(apel, jeruk, dan pisang) dan tidak boleh ada tersisa. Seandainya kita membagikannya
dalam piring, kita akan kesulitan menentukan dengan tepat banyak piring yang harus
disediakan. Untuk itu, kita harus menyelesaikannya secara terbalik. Kita perlu membagi
setiap jenis buah ke dalam beberapa bagian dalam jumlah yang sama, sehingga diketahui:
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
362
Apel sejumlah 10 disajikan dalam 2 × 5 piring = 5 × 2 piring
Jeruk sejumlah 15 disajikan dalam 3 × 5 piring = 5 × 3 piring
Pisang sejumlah 20 disajikan dalam 2 ×10 piring = 4 × 5 piring = 5 ×4 piring
= 10 ×2piring
Karena banyak piring yang sama untuk setiap jenis buah adalah 5 piring, maka diketahui
bahwa penyelesaian yang tepat adalah bahwa harus ada 5 piring yang harus disediakan
untuk disajikan, dan setiap piring harus diisi oleh 2 apel, 3 jeruk, dan 4 pisang.
3.2. Menemukan Pola
Matematika merupakan konsep yang teratur dan memiliki pola yang tetap. Sehingga
beberapa masalah matematika pastilah akan mengandung pola-pola yang kemudian dapat
dikembangkan menjadi konsep matematika yang utuh. Oleh karena itu, harus diteliti
permasalahannya dan menyatakan pola tersebut untuk membentuk konsep
matematikanya.
Contoh masalah 2:
Suhu di dalam kulkas sebelum dihidupkan 29 C. Setelah dihidupkan suhunya turun 3 C
setiap 5 menit. Berapakah suhu di dalam kulkas setelah 30 menit?
Alternatif solusi:
Permasalahan ini menyatakan bahwa setiap 5 menit suhu dalam kulkas turun 3 C.
Berarti setelah 10 menit suhunya turun menjadi 3 C + 3 C = 2 × 3 C.
Karena 10 menit = 2 × 5 menit, itu artinya bahwa setiap kelipatan 5 menit maka suhunya
turun sebanyak hasil kali kelipatan 5 menit dengan 3 C.
Atau dapat dinyatakan bahwa n × 5 menit = n × 3 C.
Dengan demikain, 30 menit = 6 × 5 menit = 6 × 3 C = 18 C.
Pada awalnya suhu kulkas adalah 29 C dan turun sebesar 18 C, maka
29 C – 18 C = 11 C.
Jadi setelah 30 menit suhunya adalah 11 C.
3.3. Mengubah Cara Pandang Terhadap Masalah
Suatu masalah dapat dipandang dari berbagai sudut pandang seseorang sehingga masalah
itu dikatakan bernilai relatif, dapat menjadi mudah atau sebaliknya dapat menjadi sulit.
Demikian pula halnya dengan masalah matematika. Jangan hanya terpaku pada satu
konsep saja sehingga tidak terjebak. Dengan mengubah sudut pandang, akan ditemukan
konsep lain yang tersembunyi yang memungkinkan untuk menyelesaikannya dengan
mudah.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
363
Contoh masalah 3:
Perhatikan gambar di samping!
Jika K, L, M, N merupakan titik tengah masing masing garis
AD, AB, BC, dan CD dari suatu persegi ABCD.Apabila luas
persegi ABCD adalah 6p2, berapakah luas persegi KLMN?
Gambar 2. Persegi ABCD
Alternatif solusi:
Jika diperhatikan, kita akan merasa sulit untuk menyelesaikan masalah ini apalagi jika kita
tidak menguasai Teorema Pythagoras untuk menghitung panjang sisi-sisi pada persegi
KLMN. Selain itu, kita juga harus menentukan panjang sisi persegi ABCD terlebih dahulu.
Tetapi jika kita memandang masalah dari sudut pandang lain, yaitu
dengan membagi bangun persegi tersebut menjadi beberapa bagian,
maka akan diperoleh seperti gambar di samping berikut ini.
Terlihat bahwa persegi ABCDterdiri atas 8 bagian dan persegi KLMN4
bagian sama besar sehingga perbandingan
ABCD : KLMN = 8 : 4 = 2 : 1.
Dengan demikian, luas persegi KLMN = × 6p2
= 3p2.
3.4. Menggunakan Analogi/Pengandaian Sederhana
Karena matematika merupakan konsep yang teratur dan memiliki pola yang tetap, dapat
digunakan pengandaian sederhana untuk mengungkapkan konsep yang umum dari konsep
yang khusus atau sebaliknya. Pengandaian dapat mengungkapkan pola khusus sehingga
memungkinkan membuat konsep yang umum.
Contoh masalah 4:
Suatu pekerjaan dapat diselesaikanoleh 32 pekerja dalam waktu 81 hari. Setelah dikerjakan
15 hari, pekerjaan itu dihentikan selama 18 hari. Jika kemampuan bekerja setiap orang sama
dan agar pekerjaan tersebut selesai sesuai jadwal semula, maka banyak pekerja tambahan
yang diperlukan adalah….
Alternatif solusi:
Andaikan bahwa banyaknya pekerjaan itu adalah hasil kali banyaknya pekerja dengan
banyaknya waktu yang ada, maka banyaknya pekerjaan adalah
n(Ps) = 32 × 81 = 2592.
Banyaknya pekerjaan selama 15 hari adalah
n(P1) = 32 × 15 = 480.
Karena pekerjaan dihentikan selama18 hari, maka sisa tenggat waktu adalah
81 – 15 – 18 = 81 – (15 + 18) = 81 – 33 = 48 hari
sedangkan banyak pekerjaan yang tersisa adalah
2592 – 480 = 2112
K
D N C
M
B L A
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
364
sehingga jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan adalah
2112 : 48 = 44 orang pekerja.
Jadi pekerja tambahan yang diperlukan adalah selisih jumlah pekerja sebelum dan sesudah
libur, yaitu 44 – 32 = 12 orang.
3.5. Menggunakan/Mempertimbangkan Kondisi yang Ekstrim
Beberapa masalah yang terjadi terkadang lebih mudah dipahami jika kita
mengasumsikannya dalam kondisi paling ekstrim (jika perlu meniadakan kondisi tersebut).
Misalkan saja suatu hal yang terjadi dianggap berada pada kondisi awal (pada titik nol)
atau bahkan dapat juga dianggap sebagai kondisi yang mustahil. Dengan
mengasumsikannya secara demikian, permasalahan tersebut dapat diselesaikan.
Contoh masalah 5:
Sebuah mobil bergerak dengan kecepatan tetap 55 km/jam. Sebuah mobil lain tepat berada
km di belakangnya. Tepat setelah 1 menit kemudian, mobil kedua menyusulnya.
Berapakah kecepatan mobil kedua tersebut?
Alternatif solusi:
Jika kita mengamati masalah tersebut, kita hanya dapat menemukan informasi yang kurang
berarti, yaitu bahwa mobil pertama bergerak tetap 55 km/jam.Mobil kedua berapa km
dibelakangnya dan setelah 1 menit mobil kedua menyusul mobil pertama.Kita tidak
mungkin menyatakan kecepatan mobil kedua berdasarkan informasi yang diperoleh di
atas.Untuk itu, kita perlu mengasumsikan masalah tersebut dalam kondisi yang
ekstrim.Karena mobil pertama bergerak tetap (konstan), kita dapat mengasumsikan bahwa
mobil itu bergerak dengan kecepatan 0 km/jam.Berdasarkan informasi kedua dan ketiga,
kita dapat menyatakan bahwa mobil kedua mampu bergerak sejauh km dalam waktu
1 menit. Itu artinya bahwa kecepatan mobil kedua adalah
km/menit atau
30 km/jam.Kecepatan mobil kedua pastilah 30 km/jam lebih cepat dari mobil pertama
sehingga kecepatan mobil kedua adalah 85 km/jam (30 km/jam + 55 km/jam).
3.6. Membuat Gambaran
Masalah yang terjadi dapat diilustrasikan dalam bentuk lain seperti gambar, grafik,
maupun tabel untuk mempermudah kita menentukan penyelesaiannya. Dengan bantuan
gambar, grafik, maupun tabel, kita dapat menyusun pola yang tepat sehingga informasi
yang diperoleh lebih berarti.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
365
Contoh masalah 6:
Untuk melindungi kebunnya dari hewan liar, Pak Karto membuat pagar kawat di sekeliling
kebunnya yang berbentuk persegi. Seandainya luas kebun Pak Karto adalah 64 m2 dan
setiap 1 meter dipasangi tiang pagar penyangga kawat, berapa banyak tiang yang
diperlukan Pak Karto untuk memagari kebunnya?
Alternatif solusi:
Beberapa informasi yang diketahui adalah bahwa kebun Pak Karto berbentuk persegi
dengan luas 64 m2 sehingga diketahui bahwa panjang sisi kebun tersebut adalah 8 m.
Karena hendak dipasangi tiang di sekeliling kebun, maka keliling kebun Pak Karto adalah
4 × 8 meter atau sama dengan 32 meter. Lalu, benarkah bahwa banyak tiang yang
diperlukan adalah 32 buah? Untuk membuktikannya, kita dapat mengilustrasikan masalah
tersebut dalam bentuk gambar sebagai berikut.
X X X X X X X X
X X
X X
X X
X X
X X
X X
X X X X X X X X
Gambar 3. Kebun Pak Karto
Dengan demikian, diketahui bahwa banyak tiang yang dibutuhkan untuk memagari kebun
Pak Karto adalah 28 buah tiang, bukan 32 buah tiang.
3.7. Melakukan Ujicoba (trial-error)
Beberapa masalah dalam kehidupan sehari-hari dapat diselesaikan dengan melakukan
ujicoba, seperti misalnya membuat warna tertentu dengan menggunakan campuran warna
dasar. Strategi ini mungkin bukan termasuk dalam prosedur matematika, tetapi konsep
seperti ini dapat digunakan untuk memecahkan masalah tertentu yang penyelesaiannya
membutuhkan waktu yang lama jika diselesaikan secara matematika atau jika
penyelesaiannya menjadi lebih rumit. Ujicoba yang digunakan haruslah menggunakan
pemikiran yang baik.Setelah melakukan ujicoba, jika hasilnya gagal, dapat melalukan
ujicoba lainnya hingga dapat diselesaikan.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
366
Contoh masalah 7:
Pada saat ujian, Tuti diberikan 20 soal pilihan ganda. Jika Tuti menjawab benar diberikan
skor 5, jika menjawab salah diberikan skor (-2), dan jika tidak menjawab diberikan skor 0.
Jika diketahui skor Tuti adalah 44 dengan beberapa soal yang tidak dijawab, berapakah
banyak soal yang tidak dijawab Tuti?
Alternatif solusi:
Seandainya kita menggunakan konsep matematika, kita dapat mengasumsikan bahwa ada
tiga variabel yaitu soal dijawab dengan benar (x), soal dijawab tetapi salah (y), dan soal tidak
dijawab (z)sehingga dengan menggunakan konsep aljabar diperoleh:
x+y+z =20
5x –2y +0z =44
Bagaimana kita dapat menyelesaikan permasalahan tersebut?
Umumnya, untuk menyelesaikan bentuk persamaan linier tiga variabel diperlukan
3 persamaan linier. Karena kita hanya mempunyai 2 persamaan di atas, maka perlu strategi
lain untuk memecahkannya. Lakukan percobaan untuk menentukan hasil-hasilnya sebagai
berikut.
1) Ambil kemungkinan dimana jika jumlah soal benar × 5 menghasilkan skor lebih
besar dari 44, misalkan 10.
2) Tentukan jumlah soal salah × (−2) menghasilkan skor 44.
3) Tentukan banyak soal yang tidak dijawab.
Tabel 1. Uji Kemungkinan Jawaban Ujian Tuti
Jumlah Benar
× 5
Jumlah Salah
× (−2)
Tidak dijawab
× 0 Skor total
10 × 5 = 50 3 × (−2) = −6 20 – (10+3) = 7 44
11 × 5 = 55 ** ** **
12 × 5 = 60 8 × (−2) = −16 20 – (12+8) = 0 44
** ** ** **
Berdasarkan ujicoba tersebut, diketahui bahwa ada dua kemungkinan yang dapat dijadikan
jawabannya, yaitu bahwa soal yang tidak dijawab Tuti ada 7 soal atau tidak ada satupun soal
yang tidak dijawab. Karena pada soal dinyatakan bahwa ada soal yang tidak dijawab Tuti,
maka banyak soal yang tidak dijawab Tuti ada 7 soal.
3.8. Mempertimbangkan Segala Kemungkinan
Strategi ini hampir sama dengan prinsip yang digunakan dalam kegiatan ujicoba (trial and
error). Perbedaannya adalah ketika terdapat kemungkinan lain yang dapat dijadikan
jawaban, maka kita harus melakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan tersebut seperti
yang terdapat pada contoh masalah 6 dan 7. Perlu mempertimbangkan kemungkinan-
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
367
kemungkinan tersebut sehingga dapat menyatakan dengan pasti solusi yang tepat dari
permasalahan tersebut.
Contoh masalah 8:
Jika pembilang dan penyebut suatu pecahan ditambahkan 1, maka pecahan itu menjadi
.
Adapun bila masing-masing pembilang dan penyebut dikurangi 1, maka pecahan itu menjadi
. Apakah bilangan pecahan yang dimaksud?
Alternatif solusi:
Misalkan kita nyatakan bahwa bilangan pecahan tersebut adalah
.
Dari masalah diperoleh informasi bahwa:
dan
Ini berarti bahwa pecahan
dan
merupakan bentuk pecahan yang paling sederhana
sehingga pecahan yang senilai dari
dan
adalah
dan
Karena pecahan tersebut mengalami dua operasi yaitu ditambah 1 dan dikurangi 1, maka
hasil dari operasi tersebut pastilah berselisih 2. Diantara kedua pecahan yang memiliki
selisih 2 pada pembilang dan penyebutnya adalah
dan
sehingga:
dan
sehingga diperoleh a = 3 dan b = 7.
Jadi pecahan yang dimaksud adalah
.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
368
3.9. Mengorganisir Data
Suatu masalah umumnya disertai oleh beberapa informasi penting yang menuntun kita pada
jawaban yang dikehendaki.Salah satu strategi yang dapat kita gunakan adalah mengorganisir
data tersebut, mengolahnya, dan menyatakannya sebagai suatu kesimpulan yang pasti.
Contoh masalah 9:
Anto, Budi, dan Doni sama-sama menggemari renang. Anto berenang setiap 4 hari sekali,
Budi berenang setiap 5 hari sekali, dan Doni berenang setiap 7 hari sekali. Jika pada tanggal
3 Agustus 2015 mereka sama-sama berenang, tanggal berapakah mereka akan sama-sama
berenang kembali?
Alternatif solusi:
Karena Anto berenang setiap 4 hari sekali, Budi berenang setiap 5 hari sekali, dan Doni
berenang setiap 7 hari sekali, maka kita dapat menyatakannya dalam bentuk kelipatan
persekutuan terkecil dari 4, 5, dan 7, yaitu:
Anto = {4, 8, 12, 16, 20, 24, 28, 32, …, 140, …, 280, …}
Budi = {5, 10, 15, 20, 25, 30, …, 140, …, 280, …}
Doni = {7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, …, 140, …, 280, …}
Karena paling cepat mereka bertemu 140 hari kemudian, dimana bulan Agustus berjumlah
31 hari, bulan September berjumlah 30 hari, bulan Oktober berjumlah 31 hari, bulan
Nopember berjumlah 30 hari, dan Desember berjumlah 31 hari, sehingga totalnya ada
153 hari.
Setelah dikurangi 3 hari, diperoleh bahwa sampai akhir bulan Desember ada 150 hari.
Karena paling cepat mereka bertemu 140 hari kemudian, maka mereka akan bertemu pada
tanggal 21 Desember 2015.
3.10. Menggunakan alasan logis
Terkadang suatu masalah memiliki banyak kemungkinan jawaban. Tidak semua jawaban
tersebut dapat dinyatakan sebagai jawaban karena alasan yang logis. Untuk itu, kita harus
mempertimbangkan kemungkinan jawaban yang ada berdasarkan alasan yang logis seperti
yang telah kita lakukan pada saat menyelesaikan masalah 8 di atas.
Perhatikan contoh masalah 8 di atas:
Ketika kita melihat banyaknya kemungkinan pecahan senilai dari
dan
, kita harus melihat
kemungkinan tersebut dengan menggunakan alasan logis bahwa setelah ditambah 1
menjadi
dan setelah dikurangi 1 menjadi
. Ini berarti bahwa pembilangnya bernilai
di antara pembilang pecahan senilai dari
dan
. Demikian pula untuk penyebutnya. Dengan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
369
demikian, dapat kita simpulkan bahwa bilangan pembilang tersebut berada diantara pecahan
senilai dari
dan
dimana selisih keduanya adalah 2.
Pecahan senilai dari
dan
yang mungkin adalah
dan
sehingga kita akan memperoleh
pecahan
sebagai jawaban karena 3 berada di antara 2 dan 4.Demikian pula 7 berada
di antara 6 dan 8.
4. Kesimpulan
Strategi yang tepat memungkinkan kita mencapai tujuan secara efisien. Dalam memecahkan
masalah matematika, kita membutuhkan strategi yang tepat sehingga permasalahan dapat
diselesaikan dengan baik dan mudah. Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Masalah bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi sesuatu yang harus dihadapi dan
diselesaikan dengan bijak.
2. Masalah matematika memungkinkan kita untuk melatih cara berpikir kita melalui
tahapan-tahapan pemecahan masalah, mulai dari: a) memahami masalah, b)
merencanakan strategi yang tepat, c) melaksanakan strategi yang telah
dibuat/direncanakan, dan d) memeriksa kembali apakah masalah telah benar-benar dapat
diselesaikan.
3. Dalam menyelesaikan masalah, ada 10 alternatif strategi yang dapat digunakan sehingga
hasilnya efisien, yaitu: a) menyelesaikan masalah secara mundur/dari belakang, b)
menemukan pola, c) mengubah cara pandang terhadap masalah, d) menggunakan analogi
sederhana, e) menggunakan/mempertimbangkan kondisi ekstrim, f) membuat gambar, g)
melakukan ujicoba (trial and error), h) mempertimbangkan segala kemungkinan yang
ada, i) mengorganisir data, dan j) menggunakan alasan logis.
Daftar Pustaka
Budhayanti, Baskoro, Roostanto, dan Simanullang. 2008. Pemecahan Masalah Matematika; Bahan
Ajar Cetak. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
NCTM.2000. Principles and Standards for School Mathematics. Virginia: NCTM, Inc.
Polya, G. 1975. How to Solve It: a New Aspect of Mathematical Method. Diperbarui oleh Conway,
John, H. 2004. Princeton: Princeton Science Library.
Posamentier, A. S. dan Krulik, S. 1998. Problem Solving Strategies for Efficient and Elegant
Solutions Grades 6-12: A Resource for the Mathematics Teacher. Calofirnia: Hawker
Brownlow Education.
Posamentier, A. S. dan Krulik, S. 2009. Problem Solving in Mathematics Grade 3-6: Powerful
Strategies to Deepen Understanding. Corwin, A Sage Company.
Sheffield, L. J. dan Cruikshank, D. E. 1996.Teaching and Learning; Elementary and Middle School.
New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
370
PENDEKATAN DIFFERENTIATED
INSTRUCTION (DI) DALAM MENINGKATKAN
HASIL BELAJAR DAN AKTIVITAS
MATEMATIKA SISWA KELAS XI MIPA-2 DI
SMAN 1 KOBA
Nelly Yuliana
SMA Negeri 1 Koba, Bangka Tengah, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan menerapkan
pendekatan Differentiated Instruction (DI), sebagai salah satu alternatif pendekatan
pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar
matematika siswa pada materi matriks. Subyek dalam penelitian ini adalah peserta didik
kelas XI.MIPA-2 SMAN 1 Koba yang berjumlah 30 siswa. Instrumen yang digunakan
terdiri dari tes hasil belajar, lembar observasi, dan wawancara. Berdasarkan analisis data
dari hasil tes akhir dan temuan-temuan selama penelitian tindakan ini, dapat
disimpulkan bahwa terjadi kenaikan nilai tes hasil belajar dari siklus 1 senilai 0,67 atau
sebesar 28% pada nilai tes hasil belajar siklus 2. Kemudian rata-rata persentase aktivitas
belajar yang semula hanya sebesar 75,63% pada siklus 1 naik menjadi 95,46% pada
siklus 2. Selain itu, peserta didik merespon positif penerapan DI selama pembelajaran.
Hal ini terungkap saat diadakan wawancara kepada siswa. Siswa merasakan aktivitas
belajar yang menyenangkan dengan pengelompokkan siswa yang berbeda-beda.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan DI dalam pembelajaran
matematika dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa kelas XI
MIPA-2 di SMAN 1 Koba.
Kata Kunci. Differentiated Instruction, hasil belajar, aktivitas belajar.
1. Pendahuluan
Kurikulum 2013 berfokus kepada aktivitas Mengamati, Menanya, Mencoba, Menganalisis
dan Mengkomunikasikan (5M) dan juga menekankan pada pendekatan kooperatif yang
menuntut pengelompokkan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Biasanya guru pada
tiap pertemuan pembelajaran akan mengelompokkan siswa secara acak, hanya menentukan
jumlah tiap kelompok, misalnya berjumlah 4 atau 5 orang. Biasanya menggunakan urutan
absen atau posisi duduk terdekat dengan komposisi random terdapat siswa laki-laki dan
perempuan dalam satu kelompok. Beberapa keluhan yang dialami penulis dan beberapa
guru yang mengajar di SMAN 1 Koba, yaitu berupa masalah-masalah yang timbul dalam
pengelompokkan tersebut. Beberapa diantaranya adalah siswa mengeluhkan ada anggota
kelompok yang tidak dapat bekerja sama. Hal ini disebabkan antara lain karena kemampuan
siswa yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, minat yang berbeda, latar belakang yang
berbeda. Tidak jarang masalah perbedaan tersebut menghambat proses pembelajaran
khususnya dalam tahapan mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan. Ada guru yang
mensiasatinya dengan mengelompokkan ke dalam satu kelompok siswa-siswa yang dianggap
akan menjadi masalah, yaitu siswa-siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rendah, minat
belajar rendah, dan cenderung mengganggu proses pembelajaran. Bermain-main,
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
371
mengganggu aktivitas temannya, bahkan membuat aktivitas sendiri di luar pembelajaran
yang berlangsung. Diharapkan dengan dikelompokkan dengan sesama mereka yang
memiliki persamaan, siswa-siswa itu dituntut mau dan harus mau berpikir untuk
menyelesaikan tugas yang telah diberikan guru. Terkadang pula pada kelas yang berbeda,
siswa yang dikelompokkan seperti itu akan protes dan mengatakan anggota di kelompok
mereka tidak dapat diandalkan dan mereka tidak dapat bekerja sama, bahkan tidak ingin
melanjutkan proses belajar jika kelompok tersebut dipertahankan.
Secara alamiah, seorang siswa terlahir dengan memiliki perbedaan individual masing-
masing. Siswa memiliki kemampuan awal yang berbeda, serta dari mana ia berasal yaitu
latar belakang keluarga dan kebuadayaannya. Menurut Howard Garner kecerdasan seorang
individu dapat dibagi menjadi delapan kecerdasan, yaitu visul, audio, kinestetik,
Logis/matematis, verbal, interpesonal, intrapesonal dan naturalis. Perbedaan individual
lainnya adalah kesiapan siswa dalam belajar. Siswa berasal dari sekolah pada jenjang
sebelumnya berbeda-beda. Di SMAN 1 Koba biasanya menjadi tujuan siswa SMP dari
hampir seluruh wilayah Kabupaten Bangka Tengah. Biasanya siswa yang berasal dari SMPN
1 Koba memiliki kesiapan belajar yang lebih tinggi dari pada siswa yang berasal dari SMP
lainnya. Kenyataan tersebut secara tidak langsung pada kalangan siswa sendiri membuat
perbedaan sendiri. Siswa yang berasal dari SMP lainnya terlihat minder dan merasa lebih
memiliki kemampuan yang rendah. Aktivitas belajar menjadi berbeda, siswa yang memiliki
kesiapan belajar lebih baik terlihat lebih aktif dalam pembelajaran.
Selain aktivitas siswa yang terganggu dengan berbagai perbedaan individual yang ada, hasil
belajar siswa juga menunjukkan hasil yang tidak terlalu memuaskan. Rata-rata nilai Ujian
Akhir Sekolah (UAS) semester 2 siswa kelas X MIPA 2 hanya sebesar 2,24 nilai ini jauh
dibawah KKM yaitu . Hanya terdapat 7 orang siswa yang tuntas sesuai KKM, artinya
ketuntasan klasikal kurang dari 70%. Kondisi yang dipaparkan di atas menuntut solusi
berupa suatu cara atau trik atau pendekatan pembelajaran yang dapat mengakomodir
perbedaan individu tersebut dan dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa.
Differentiated Instructions (DI) diklaim sebagai suatu pendekatan yang dapat menjadikan
perbedaan individual sebagai dasar perencanaan pembelajaran. DI adalah suatu pendekatan
yang membedakan instruksi berdasarkan perbedaan-perbedaan individual siswa. Dalam
pendekatan ini justru perbedaan-perbedaan individual siswa tersebut dijadikan kekuatan
siswa untuk membantu mempermudah pemahaman dalam pembelajaran. Penelitian berkaitan
dengan penerapan DI ini dilakukan Ellis et al pada tahun 2007, hasilnya menyebutkan
bahwa secara keseluruhan kinerja siswa meningkat, begitu pula dengan interaksi antar siswa
dalam pembelajaran. Siswa merasa nyaman bekerja satu sama lain dalam kelompok,
berpartisipasi aktif dan tetap fokus, serta nyaman dalam mengajukan pertanyaan. Penelitian
lainnya dilaksanakan Chamberlin dan Powers (2010) yang menyebutkan bahwa siswa yang
mendapat pembelajaran dengan pendekatan DI mengalami peningkatan kemampuan
pemahaman matematis yang lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas
tentang penerapaan pendekatan Differentiated Instructions (DI) dalam meningkatkan hasil
belajar matematika dan aktivitas belajar siswa kelas XI MIPA 2 di SMAN 1 Koba. Rumusan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
372
masalah dalam PTK ini adalah: “Bagaimanakah penerapan pendekatan DI dapat
meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar matematika siswa kelas XI MIPA 2 di
SMAN 1 Koba?”. Sejalan dengan permasalahan, maka penelitian ini bertujuan untuk
menelaah bagaimana penerapan pendekatan DI dalam meningkatkan hasil belajar dan
aktivitas siswa kelas XI MIPA 2 di SMAN 1 Koba.
2. Kajian Teori
2.1 Differentiated instruction (DI)
Differentiated instruction (DI) adalah cara untuk menyesuaikan instruksi kepada kebutuhan
siswa dengan tujuan memaksimalkan potensi masing-masing pembelajar dalam lingkup yang
diberikan (Tomlinson, 2000). DI adalah suatu proses yang dilalui dimana guru meningkatkan
pembelajaran dengan cara menyesuaikan karakteristik siswa untuk instruksi dan penilaian.
Lebih lanjut Harta (2011) mengatakan DI dapat disebut sebagai pendekatan sistematis untuk
isi, proses, dan produk yang berfokus pada pembelajaran bermakna atau gagasan yang kuat
untuk semua siswa. Uraian di atas menunjukkan bahwa DI berbasis pada guru dan berpusat
kepada siswa. Guru memegang peran penting untuk merencanakan pengajaran sehingga
dapat disesuaikan dengan karakteristik siswa. Secara khusus DI dalam pembelajaran
matematika dikatakan Cox (2012) sebagai cara yang memiliki kekutan untuk memastikan
bahwa setiap siswa belajar.
Seperti kita ketahui bahwa setiap siswa adalah unik oleh karena itu dapat dipastikan di
dalam satu kelas terdapat siswa-siswa yang berbeda dalam banyak aspek. Biasanya di kelas-
kelas regular atau heterogen dapat dipastikan kita dapat menemukan siswa yang beragam.
Namun di kelas homogen juga kita tetap akan menemukan keragaman pula. Oleh karena itu
guru yang memegang peran penting dalam proses pembelajaran hendaknya memperhatikan
perbedaan-perbedaan tersebut sebagai dasar pembuatan DI, guna mengakomodir perbedaan
siswa.
Ada beberapa cara dalam membuat DI diantaranya adalah yang dikemukakan Good (dalam
Butler, 2008) yaitu dengan menggunakan (1) Teacher Based Method, yaitu berdasarkan
kurikulum, isi, proses, dan produk. (2) Student Based Method, yaitu berdasarkan kesiapan
belajar, minat dan gaya belajar siswa. Metode yang berbasis guru menjadikan kurikulum
sebagai salah satu faktor untuk membuat DI kedalam tiga komponen, yaitu isi, proses dan
produk.
2.2 Multiple Intelligences Howard Garner
Untuk mengatasi beragam cara bahwa siswa belajar dan gaya belajar mereka, kita dapat
merujuk kepada Multiple Intelligences Howard Gardner yang berupa delapan kecerdasan
untuk menyediakan kerangka kerja. Multiple Intelligences Howard Garner mendorong kita
untuk meneliti sikap kita terhadap belajar matematika sehingga setiap siswa dapat belajar di
lingkungan yang lebih santai. Kecerdasan yang dimaksud di sini adalah kecerdasan visual,
verbal, logis, ritmik/auditori, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
373
Mengutip pernyataan Chatib (2011) bahwa ranah-ranah dalam Multiple Intelligences
Approach tersebut sangat mungkin untuk berkembang bergantung pada prosedur aktivitas
yang dirancang guru. DI adalah pendekatan yang berbasis guru. Kemampuan merancang
instruksi aktivitas khususnya dengan membedakan proses siswa bekerja artinya dapat
mengembangkan multiple intelligences siswa itu sendiri. Ini artinya secara tidak langsung
mengatakan pendekatan DI memang dapat menjadikan perbedaan siswa sehingga beralih
menjadi kekuatan siswa dalam mengembangkan dirinya.
2.3 Hasil Belajar
Belajar adalah suatu proses yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya (Slameto: 2010). Sedangkan hasil merupakan sesuatu yang
diadakan (dibuat, dijadikan, dan sebaginya), oleh usaha (KBBI).
Menurut Mulyasa dalam Mappeasse (2009), hasil belajar merupakan prestasi belajar siswa
secara keseluruhan, yang menjadi indikator kompetensi dasar dan derajat perubahan perilaku
yang bersangkutan. Terdapat tiga ranah kompetensi yang dikembangkan dalam pembelajaran
yaitu ranah afektif, kognitif, dan psikomotor. Sehingga hasil belajar dapat dimaknai sebagai
perubahan prestasi belajar siswa dalam ranah afektif, kognitif dan psikomotor.
2.4 Aktivitas Belajar
Selama melakukan proses belajar, siswa akan melakukan berbagai aktivitas. Hamalik (2001)
menuliskan bahwa pengajaran yang efektif adalah pengajaran yang menyediakan
kesempatan belajar sendiri dan aktivitas sendiri. Terdapat berbagai aktivitas yang dilakukan
selama belajar, contohnya mengamati, bertanya secara lisan, melakukan eksperimen,
menganalisis, mengomunikasikan dan lain sebagainya.
Berikut ini adalah indikator yang menyatakan aktivitas belajar menurut Diedrich (dalam
Hamalik, 2001).
Tabel 1. Indikator Aktivitas Belajar
No Kegiatan Indikator
1. Visual Membaca, melihat gambar, mengamati eksperimen, demontrasi, pameran,
mengamati orang lain bekerja, atau bermain.
2. Lisan Mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian,
mengajukan pertanyaan, memberikan saran mengemukakan pendapat,
berwawancara, diskusi.
3. Mendengarkan Mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi
kelompok, mendengarkan suatu permainan instrumen musik, mendengarkan
siaran radio.
4. Menulis Menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, membuat sketsa atau
rangkuman, mengerjakan tes, mengisi angket.
5. Menggambar Menggambar, membuat grafik, diagram, peta, pola.
6. Metrik Melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat
model, menyelenggarakan permainan (simulasi), menari, berkebun.
7. Mental Merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor,
menemukan hubungan-hubungan, membuat keputusan.
8. Emosional Minat, membedakan, berani, tenang dan sebagainya.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
374
2.5 Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian terkait penggunaan pendekatan DI ini memaparkan hasil yang beragam.
Penelitian Ellis et al. (2007) menyebutkan bahwa secara keseluruhan kinerja siswa
meningkat, begitu pula dengan interaksi antar siswa dalam pembelajaran. Siswa merasa
nyaman bekerja satu sama lain dalam kelompok, berpartisipasi aktif dan tetap fokus, serta
nyaman dalam mengajukan pertanyaan. Terdapat pula penelitian Chamberlin dan Robert
(2010) yang menyebutkan bahwa siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan DI
mengalami peningkatan kemampuan pemahaman matematis yang lebih baik.
Salah satu penelitian berkenaan dengan penerapan pendekatan DI yang dilakukan di
Indonesia dilaksanakan Yuliana (2013). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa penerapan
pendekatan Differentiated Instruction dapat memberikan kontribusi pada peningkatan
kemampuan pemahaman matematis siswa. Jadi dengan berbagai hasil penelitian yang telah
dilakukan di atas, maka memilih DI sebagai pendekatan pembelajaran sangatlah tepat.
3. Metodologi Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini mengambil subyek penelitian sejumlah 30 siswa terdiri
dari 8 siswa laki-laki dan 22 siswa perempuan dikelas kelas XI MIPA 2 di SMAN 1 Koba
tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian ini dilakukan selama satu bulan, yaitu pada bulan
Agustus 2015 selama 8 jam pelajaran. PTK akan dilaksanakan di SMAN 1 Koba, Jl. Raya
Arung Dalam Koba Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Adapun hipotesa tindakan dalam PTK ini adalah “Pendekatan DI dapat meningkatkan hasil
belajar dan aktivitas belajar siswa kelas XI MIPA 2 di SMAN 1 Koba”.
Variabel tindakan dalam penelitian ini adalah pendekatan DI. Sedangkan variabel masalah
dalam penelitian ini adalah hasil belajar dan aktivitas belajar siswa. Adapun Langkah-
langkah utama dalam tindakan yang akan dilaksanakan pada siklus I sebagai berikut:
Perencanaan, tahap ini merupakan tahap pengumpulan informasi awal tentang perbedaan
individual siswa. Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan awal untuk melihat
kesiapan siswa dalam belajar, angket untuk menentukan Multiple Intelegences Howard
Garner, profil belajar siswa, minat serta latar belakang siswa. Pengumpulan data awal ini
dilakukan pada minggu keempat bulan April, sebelum PTK rencana tindakan dilaksanakan.
Berdasarkan data perbedaan individual inilah, pembelajaran dirancang. Guru membuat RPP
kemudian data tersebut juga dijadikan dasar untuk membuat LKS dan bahan ajar.
Pelaksanaan, pada tiap pertemuannya penerapan DI dilakukan berdasarkan perbedaan
individual siswa.
Observasi dilakukan dalam PTK ini untuk mengamati aktivitas belajar berupa peran aktif
siswa dalam menyelesaikan masalah kelompok, kemampuan kerjasama dalam kelompok,
dan tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah kelompok. Data diperoleh dengan
menggunakan instrumen tes dan non tes. Tes yang dilakukan untuk mengukur capaian hasil
belajar siswa. Sedangkan instrumen non tes berupa lembar observasi untuk menilai aktivitas
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
375
belajar siswa. Instrumen non tes lainnya yang digunakan adalah wawancara. Data yang telah
diperoleh, kemudian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis secara kuantitatif
digunakan statistik deskriptif untuk mendeskripsikan nilai rata-rata hasil belajar siswa
setelah dilaksanakannya pendekatan DI. Kriteria keberhasilan yang gunakan dalam
penelitian ini untuk hasil belajar siswa adalah nilai rata-rata kelas matematika siswa kelas XI
MIPA2 pada akhir siklus, secara klasikal minimal 2,67 (KKM). Persentase siswa yang telah
mencapai ketuntasan secara klasikal pada masing-masing siklus minimal 75%. Sedangkan
aktivitas siswa pada akhir siklus minimal 85% terukur dalam lembar observasi dari peran
aktif siswa dalam menyelesaikan masalah, kerjasama dalam kelompok, dan tanggung jawab
dalam menyelesaikan masalah dalam kelompok.
4. Pembahasan
Penelitian tindakan kelas yang dilakukan selama dua siklus pada materi Matriks.
Pelaksanaan penelitian berjalan dengan lancar, meskipun banyak diselingin jam belajar yang
tidak efektif. Hal ini disebabkan adanya kegiatan perayaan 17 Agustus yang diselenggarakan
oleh pemerintah daerah. Namun dengan perbaikan perancanaan yang disesuaikan, maka
penelitian tidak terganggu. Berikut disajikan disain penelitian yang telah disesuaikan dengan
kondisi siswa pada awal pembelajaraan.
Tabel 2. Outline Rancangan Pembelajaran dengan DI
Pertemuan Jam Dasar DI DI Formasi kelompok Penilaian
1 2 Profil Belajar Membedakan
pengelompokkan Sesuai profil belajar siswa
(Individu, berpasangan,
kelompok kecil atau
kelompok besar)
Hasil LKS
2 2 Kesiapan
belajar
Tugas berjenjang Sesuai kesiapan belajar. Tes
formatif
3 2 Gaya Belajar Membedakan LKS
sesuai dengan Gaya
Belajar (Visual,
Vreading, atau
Kinestetik)
Sesuai gaya belajar PR
4 2 Membedakan
proses
LKS dengan soal
terbuka
Pengelompokan pilihan
siswa sendiri
PR
Berikut ini adalah rangkaian skenario pembelajaran dengan menggunakan pendekatan DI:
a. Guru menyampaikan materi pembelajaran (secara garis besar) kemudian
memberikan kesempatan siswa untuk bertanya.
b. Guru memberikan permasalahan yang harus diselesaikan siswa yang dibedakan
menurut pendekatan DI pada outline perencanaan (membedakan pengelompokkan,
tugas berjenjang, membedakan LKS sesuai gaya belajar atau LKS dengan soal
terbuka)
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
376
c. Siswa dalam kelompok DI mengerjakan pemasalahan yang diberikan guru menurut
pendekatan DI yang digunakan.
d. Guru meminta siswa (perwakilan siswa dalam kelompok) untuk mempresentasikan
hasil penyelesaian permasalahan. Siswa lainnya memperhatikan dan bertanya
apabila tidak/kurang memahami materi yang disajikan dalam presentasi.
e. Guru memfasilitasi jalannya diskusi kelas selama presentasi sesuai dengan materi
dan tujuan pembelajaran.
f. Guru bersama-sama siswa menyimpulkan materi pembelajaran dan memastikan
seluruh siswa mendapatkan kompetensi yang sama meskipun menggunakan
LKS/pengelompokkan yang berbeda.
Setelah pembelajaran Matriks selama dua siklus dilakukan, kemudian diadakan tes
untuk siklus 1 dan siklus 2, maka didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 3. Rekapitulasi Nilai Tes Siklus 1 dan Siklus 2
Kategori Nilai Tes Siklus 1 Nilai Tes Siklus 2
Jumlah 71,74 91,90
Rata-rata 2,39 3,06
Jumlah siswa tuntas 9 23
Persentase ketuntasan 30 76,67
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah nilai tes siklus 1 sebesar 71,74
dengan rata-rata 2,39. Nilai rata-rata ini jauh di bawah KKM yang sebesar 2,67. Jumlah
siswa yang tuntas hanya 9 orang dengan persentase 30% ketuntasan klasikal. Sedangkan
untuk siklus 2 diketahui bahwa jumlah nilai tes sebesar 91,90 dengan rata-rata sebesar 3,06.
Nilai ini di jauh di atas KKM. Terjadi kenaikan 0,67 atau sebesar 28% dari rata-rata siklus 1.
Pada siklus 2 jumlah siswa yang tuntas sebanyak 23 orang atau 76,67% ketuntasan klasikal.
Secara lebih jelas, data nilai tes tiap siklus disajikan dalam diagram batang di bawah ini:
0
1
2
3
4
siklus 1 siklus 2
Rata-rata Tes Per-Siklus
Rata-rata Tes
Gambar 1. Digram Batang Rata-rata Nilai Tes Per-siklus
Berdasarkan kenaikan nilai rata-rata dari siklus 1 ke siklus 2, dapat dikatakan bahwa
penerapan pembelajaran dengan pembelajaran DI dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Tidak hanya hasil belajar yang terlihat ada peningkatan, dari segi aktivitas belajar juga
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
377
ditemukan hasil yang hampir serupa. Aktivitas belajar selama siklus 1 dan siklus 2
terangkum dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Observasi Aktivitas Belajar Siswa
No. Aspek Siklus 1
(%)
Siklus 2
(%)
1 Peran aktif siswa dalam menyelesaikan permasalahan 74.44 95
2 Kerjasama dalam kelompok 76,22 95,83
3 Tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah
dalam kelompok
76,22 95,56
Rata-rata Persentase 75,63 95,46
Tabel 3 di atas memberikan informasi bahwa peran aktif siswa dalam menyelesaikan
permasalahan sudah cukup baik pada siklus 1 yaitu sebesar 74,44%. Hasil ini juga tidak jauh
berbeda dengan aspek kerjasama serta tanggung jawab dalam kelompok yang memperoleh
persentase yang sama yaitu 76,22%. Namun nilai ini menjadi semakin baik pada siklus
kedua. Hal ini terlihat dari peningkatan persentase peran aktif siswa menjadi 95%. Kemudia
kerjasama menjadi 95,56%, dan tanggung jawab menjadi 95,56. Dari data ini terlihat jelas
bahwa pendekatan DI dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran.
Fakta ini pula ditelusuri guru dengan cara melakukan wawancara kepada beberapa siswa
yang menonjol aktivitasnya dalam pembelajaran. Siswa mengatakan bahwa dengan adanya
bermacam jenis kelompok, merekaa tidak jenuh dan dapat berdiskusi dengan teman yang
berbeda. Siswa juga mengatakan bahwa praktek penyelesaian soal dengan memindahkan
post it sangat menyenangkan. Mereka dapat mengingat letak elemen matriks yang
dipindahkan. Terdapat pula siswa yang masih merasa kesulitan dengan tugas berjenjang
yang diberikan guru. Padahal selama proses pelaksanaan tugas berjenjang, guru
memfasilitasi diskusi kelompok yang kurang siap belajar. Namun kesiapan belajar siswa
yang berbeda ternyata masih belum dapat disiasati sepenuhnya dengan membedakan
tingkatan tugas ini. Siswa masih menemui kesulitan memahami tugas berikutnya secara
mandiri. Permasalahan ini akan menjadi pertimbangan dalam perancangan penerapan DI
selanjutnya.
5. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa penerapan pendekatan DI dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas
XI MIPA2 di SMAN 1 Koba. Ini terlihat dari nilai rata-rata akhir siklus secara klasikal
sebesar 3,06 dengan KKM 2,67. Pembelajaran dengan pendekatan DI juga dapat
meningkatkan aktivitas belajar siswa. Khususnya untuk aspek peran aktif, kerjasama dan
tanggung jawab. Peningkatan ini terlihat dari rata-rata persentase setiap aspek sebesar
95,46%. Adapun saran bersadarkan simpulan penelitian ini; pembelajaran dengan
menerapkan pendekatan DI hendaknya menjadi alternatif pilihan pendekatan pembelajaran
matematika. Penerapan pendekatan DI pada penelitian ini terbatas kepada materi matriks.
Jadi diperlukan penelitian lebih lanjut pada materi matematika lainnya.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
378
Daftar Pustaka
Butler, M & Van Lowe, K. (2010). “Using Differentiated Instruction in Teacher Education”.
International Journal for Mathematics Teaching and Learning. [Online]. Tersedia:
http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/default.htm
Chamberlin, M. T. & Robert, P. (2010). “The Promise of Differentiated Instruction for Enhancing the
Mathematical Understandings of College Students”. An International Journal of the IMA,
29, (3), 113-139. Abstrak. [Online]. Tersedia: http://www.eric.ed.gov.
Chatib, M. (2011). Gurunya Manusia. Bandung: Kaifa Learning.
Cox, J. T. (2012). Differentiating Mathematics Instruction so Everyone Learns. White Paper. STEM.
Ellis, D. K., Ellis, K. A., Huemann, L. J., & Stolarik, E. A. (2007). Improving Mathematics Skills
Using Differentiated Instruction with Primary and High School Students. Chicago. Saint
Xavier University & Pearson Achievement Solutions, Inc. Proyek Penelitian Tindakan,
Tesis. Tidak Diterbitkan.
Hamalik, Oemar. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Puspa Swara.
Harta, I. (2011). Differetiated Instrucstion: What, Why and How?. Yogyakarta: SEAMEO for Qitep in
Mathematics. Tidak Diterbitkan.
Mappeasse, Muhamad Yusuf. (2009). “Pengaruh Cara dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar
Proggrammable Logic Controller (PLC) Siswa Kelas III Jurusan Listrik SMK Negeri 5
Makasar”. Jurnal MEDTEK. Volume 1 Nomor 2.
Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Tomlinson, C.A. (2000). What is Differentiated Instruction?. Alexandria: Association for Supervision
and Curriculum Development.
Yuliana, Nelly. (2013). Pengaruh Pendekatan Differentiated Instruction (DI) Terhadap Kecemasan
Matematika (Math Anxiety), Peningkatan Kemampuan Pemahaman, dan Penalaran
Matematis Siswa SMK. UPI Bandung. Tesis. Tidak Diterbitkan.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
379
PENGGUNAAN LEMBAR KERJA SISWA
BERBASIS NILAI KONTROL DAN NILAI
RASIONALISME PADA PEMBELAJARAN
PEMODELAN MATEMATIKA
Arvin Efriani1)
, Nyimas Aisyah2)
, Indaryanti3)
1) FKIP UNSRI, Jl. Srijaya Negara, Palembang; [email protected] 2) FKIP UNSRI, Jl. Srijaya Negara, Palembang; [email protected]
3) FKIP UNSRI, Jl. Srijaya Negara, Palembang; [email protected]
Abstrak. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengetahui (1) proses pembelajaran
pemodelan matematika menggunakan LKS berbasis nilai kontrol dan nilai rasionalisme
dan (2) hasil belajar siswa setelah menggunakan LKS pada pembelajaran pemodelan
matematika di SMP N 13 Palembang. Siswa kelas VIII.2 dengan jumlah siswa 37 orang
menjadi subjek penelitian. Data dikumpulkan dengan menggunakan observasi, tes, dan
wawancara, yang meliputi (1) data aktivitas siswa selama proses pembelajaran dan data
aktivitas siswa menggunakan LKS, serta (2) data hasil belajar siswa setelah
mengerjakan soal tes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas siswa pada saat
proses pembelajaran dengan rata-rata sebesar 82,58 yang berkategori baik dan aktivitas
siswa menggunakan LKS dengan rata-rata sebesar 88,31 yang berkategori sangat baik.
Sementara hasil tes siswa memiliki rata-rata sebesar 75,84 yang berkategori baik.
Kata Kunci. Nilai Matematika, Nilai Kontrol, Nilai Rasionalisme, Pemodelan
Matematika
Abstract. This descriptive research aims to find out (1) the process of learning
mathematics modeling using student’s worksheet based on control and rationalism
value and (2) the student learning outcomes after using of student’s worksheet in
learning mathematics modeling at SMP N 13 Palembang. The subject is 37 students of
VIII.2. The data research are the data of (1) student activities during learning process
and using student’s worksheet and (2) learning outcomes after the test. The result shows
that the student’s activities while the learning process have average 82.58 which is
marked as a good score and the student's activities using student's worksheet have
average 88.31 which is marked as a very good score. The result of student's test score
have average 75.84 which is marked as a good score.
Keywords. Mathematics Value, Control value, Rationalism value, Mathematical
modeling
1. Pendahuluan
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern,
mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia
(Depdiknas, 2006). Tetapi, matematika dianggap sebagai suatu mata pelajaran yang tidak
menarik, kering, sukar dan membosankan jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain
seperti bahasa, sastra, olahraga dan juga sains (Ali, 2005). Hal itu mengakibatkan siswa
malas untuk belajar matematika. Pada hakikatnya, matematika memuat nilai-nilai dan cara
menyampaikannya memunculkan dan memancarkan nilai-nilai yang secara aktif
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
380
berdampingan dengan pembelajaran di sekolah (Sugiatno, 2009). Oleh karena itu, dalam
pembelajaran matematika, siswa seharusnya tidak hanya memperoleh pengetahuan melalui
mata pelajaran tetapi secara tidak langsung dididik melalui nilai-nilai yang ada di dalam
pembelajaran (Othman, 2014).
Pendekatan pengajaran yang memunculkan nilai matematika dalam pembelajaran akan
menjadikan pengajaran lebih berkesan, menarik, bermakna dan berguna kepada pelajar
karena nilai matematika akan membangkitkan rasa keindahan terhadap matematika,
membangkitkan pemahaman terhadap matematika dalam kehidupan, dan dapat membantu
pelajar menguasai kekuatan matematika dengan lebih baik (National Council of Teachers of
Mathematics, 1989). Namun, karena keterbatasan guru dalam memahami nilai menyebabkan
jarangnya nilai tersebut dapat terealisasi dalam pembelajaran. FitzSimons, Seah, Bishop &
Clarkson (2001) menyatakan bahwa guru-guru belum banyak yang memahami nilai
matematika yang diterapkan dalam pembelajaran, sehingga nilai ini jarang dimunculkan
dalam pembelajaran di kelas.
Menurut Bishop (2008) ada tiga jenis nilai dalam pembelajaran matematika yaitu nilai
pendidikan umum, nilai pendidikan matematika, dan nilai matematika. Bishop (2008) telah
mengidentifikasi tiga pasang nilai matematika yang saling melengkapi yaitu ‘rasionalisme’
dan ‘objektisme’, ‘kontrol’ dan ‘kemajuan’, serta ‘keterbukaan’ dan ‘misteri’. Nilai kontrol
adalah nilai yang berhubungan dengan kekuatan pengetahuan matematika dan sains melalui
peraturan, fakta, prosedur dan kriteria yang telah ditetapkan. Sedangkan nilai rasionalisme
adalah nilai yang menekankan argumen, penalaran, analisis logis, dan penjelasan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa nilai kontrol dan nilai rasionalisme penting
untuk dimunculkan dalam pembelajaran karena dengan dimunculkannya nilai dalam
pembelajaran akan membangkitkan rasa keindahan dan memahami makna matematika.
Untuk memunculkan nilai dalam pembelajaran matematika digunakanlah pemodelan
matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat Martin dalam Leung (2006) menyatakan bahwa
“showed how values could enter into the mathematical modelling process”. Pembelajaran
dengan pemodelan matematika dapat dijadikan sebagai salah satu pembelajaran dalam
menjembatani konsep matematika yang abstrak dengan permasalahan dunia nyata.
Ang (2006) mendefinisikan pemodelan matematika sebagai “representing real world
problems in mathematical terms in an attempt to understand and find solution to the
problems.” Maksudnya, dalam pemodelan matematika, masalah dunia nyata disajikan
sebagai model matematika menggunakan simbol-simbol matematika. Proses ini digambarkan
oleh Ang (2006) dengan skema yang disajikan pada Gambar 1 berikut.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
381
Gambar 1 Skema Proses Pemodelan Matematika (Ang, 2006)
Untuk menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan Standar Proses dalam Permendiknas
nomor 41 tahun 2007 perlu digunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang mengoptimalkan
kegiatan pembelajaran (Pariska, 2012). Berdasarkan pengamatan peneliti di SMP Negeri 13
Palembang, pelajaran matematika sudah menggunakan LKS, yang dibeli dari penerbit. LKS
ini hanya fokus pada ranah kognitif saja dengan bentuk soal pilihan ganda dan uraian.
Sedangkan untuk memunculkan nilai-nilai pada LKS dibutuhkan langkah-langkah dalam
proses pengerjaan. Oleh karena itu, dibutuhkan LKS yang tidak hanya memunculkan ranah
kognitif tetapi juga ranah afektif dengan memunculkan nilai yang ada dalam pembelajaran.
Berdasarkan hasil tes awal yang dilakukan peneliti di SMP Negeri 13 Palembang hanya
39,02% siswa yang tuntas KKM pada materi persamaan garis lurus. Adapun permasalahan
yang dialami siswa ketika mengerjakan soal tes persamaan garis lurus di antaranya adalah
kurang teliti dalam memahami soal, kebingungan dalam memilih rumus yang digunakan,
keliru dalam menentukan letak sumbu x dan sumbu y, kesalahan dalam menggambar grafik,
kekeliruan dalam membaca grafik, tidak memberikan argumentasi dalam menyelesaikan
permasalahan dan kebanyakan siswa hanya bisa mengerjakan soal sesuai dengan contoh
yang diberikan. Untuk mengajarkan materi persamaan garis lurus dan grafiknya, guru dapat
mengaktifkan siswa dalam pembelajaran. Salah satu cara pembelajarannya adalah siswa
belajar dalam kelompok untuk menyelesaikan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) tentang
pengertian persamaan garis lurus (Dhohruri, 2011).
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan tujuan: (1) mengetahui proses
pembelajaran pemodelan matematika menggunakan LKS berbasis nilai kontrol dan nilai
rasionalisme di SMP Negeri 13 Palembang dan (2) mengetahui hasil belajar siswa setelah
menggunakan LKS berbasis nilai kontrol dan nilai rasionalisme pada pembelajaran
pemodelan matematika. Penelitian dilakukan selama 4 kali pertemuan di kelas VIII.2 SMP
Negeri 13 Palembang semester ganjil tahun 2015 yang terdiri dari 37 orang siswa.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berupa observasi, tes dan wawancara.
Observasi dilakukan dengan tujuan untuk melihat aktivitas siswa selama proses
pembelajaran dan aktivitas siswa menggunakan LKS. Observasi dilakukan selama proses
pembelajaran berlangsung yaitu sejak awal kegiatan sampai guru menutup pelajaran.
Observasi untuk melihat aktivitas siswa selama proses pembelajaran pemodelan ini
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
382
menggunakan lembar observasi yang memuat indikator nilai kontrol dan nilai rasionalisme
pada pembelajaran pemodelan matematika. Sedangkan observasi untuk melihat aktivitas
siswa menggunakan LKS dilihat dari hasil diskusi pekerjaan siswa menggunakan LKS.
Tes digunakan untuk memperoleh data dari hasil belajar siswa setelah menggunakan LKS
berbasis nilai kontrol dan nilai rasionalisme pada pembelajaran pemodelan matematika. Tes
dilakukan setelah tiga kali pertemuan menggunakan LKS yang terdiri dari 4 soal berbentuk
uraian yang dikerjakan selama 60 menit. Hasil tes dianalisis secara deskriptif. Selanjutnya,
untuk mendapatkan nilai tes akhir dilakukan dengan cara menjumlahkan skor dari semua
jawaban siswa, lalu skor tersebut dikonversikan menjadi nilai dalam rentang 0-100.
0 (1)
Kriteria penilaian nilai kontrol dan nilai rasionalisme serta hasil belajar siswa seperti pada
tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Nilai Kontrol dan Nilai Rasionalisme serta Hasil Belajar
Nilai Kategori
85,0 - 100 Sangat baik
70,0 - 84,9 Baik
55,0 - 69,9 Cukup
40,0 - 54,9 Kurang
0 - 39,9 Sangat kurang
(Modifikasi Arikunto, 2012)
Wawancara dilakukan setelah tes. Hal ini untuk mengetahui hasil belajar siswa secara
mendalam terkait dengan indikator hasil belajar. Wawancara yang dilakukan adalah
wawancara semiterstruktur secara face to face antara peneliti dengan beberapa siswa untuk
mengetahui nilai kontrol dan nilai rasionalisme pada proses pembelajaran.
3. Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24 Oktober 2015 sampai tanggal 4 November 2015
di SMP Negeri 13 Palembang. Penelitian untuk 1 KD berlangsung selama 4 kali pertemuan,
3 kali proses pembelajaran dan 1 kali tes. Proses pembelajaran dilakukan berdasarkan RPP
yang telah dibuat sesuai dengan nilai kontrol dan nilai rasionalisme pada pembelajaran
pemodelan matematika.
Pada pertemuan pertama, kedua dan ketiga peneliti membagikan LKS yang telah dibuat.
LKS dikerjakan secara berkelompok terdiri dari 3 sampai 4 siswa. LKS yang dibagikan
memuat masalah kehidupan sehari-hari. Saat proses pengerjaan LKS menggunakan lima
tahapan pemodelan matematika yang harus diselesaikan siswa secara sistematis bersama
anggota kelompoknya. Langkah-langkah pembelajaran pemodelan matematika yang
dilakukan setiap pertemuan pada dasarnya sama, yang berbeda adalah pada materi
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
383
pembelajaran dan permasalahannya. Pelaksanaan pembelajaran dalam penelitian ini di
deskripsikan seperti berikut.
Pertemuan pertama mengenai materi gradien. Saat proses pembelajaran siswa diberikan
permasalahan berupa volume bak air mandi bertambah dengan seiring waktu dan saat
penggunaan LKS diberikan permasalahan bensin yang digunakan dengan seiring waktu.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut digunakanlah tahap pemodelan. Pada tahap
memahami masalah, siswa dilatih untuk memahami permasalahan kehidupan sehari-hari
dengan menuliskan apa yang diketahui dan ditanya yang menandakan adanya nilai kontrol.
Pada tahap landasan berpikir, siswa diminta memprediksi dari permasalahan yang diketahui
saat proses pembelajaran yaitu “apakah bak akan terisi penuh sebelum aliran air mati” dan
saat penggunaan LKS yaitu “cukupkah dengan bensin 40 L jarak Palembang-Pagaralam
dapat ditempuh?” yang menandakan adanya nilai rasionalisme. Selanjutnya, siswa dilatih
untuk membuat pemodelan dari permasalahan dan kemudian menyelesaikan permasalahan
dengan menggunakan pemodelan yang telah diperoleh. Pada tahap terakhir siswa membuat
kesimpulan dengan menghubungkan apa yang diprediksi.
Pertemuan kedua mengenai materi menggambar grafik. Peneliti tidak memberikan
permasalahan baru, hanya saja melanjutkan dari permasalahan pada pertemuan pertama
sehingga pada tahap memahami masalah siswa tidak dituntut untuk memahami
permasalahan lagi, tetapi mengingatkan permasalahan pada pertemuan pertama. Setelah
siswa diminta mengingat permasalahan pada pertemuan pertama, Peneliti meminta siswa
memprediksi grafik yang akan terbentuk pada permasalahan tersebut yang menandakan
adanya nilai rasionalisme. Selanjutnya, untuk tahap membuat persamaan, siswa tidak perlu
memodelkan kembali persamaan yang dibuat dikarenakan permasalahan yang diberikan
sama sehingga siswa langsung menuliskan persamaan yang ada, kemudian menyelesaikan
persamaan dengan menggambarkan grafik yang menandakan adanya nilai kontrol.
Selanjutnya, siswa menyimpulkan bagaimana gambar grafik dari permasalahan tersebut
dengan menghubungkan dari prediksi yang dibuat. Hal ini menandakan adanya nilai
rasionalisme.
Pertemuan ketiga mengenai materi persamaan garis lurus. Saat proses pembelajaran,
Peneliti tidak memberikan permasalahan hanya mengingatkan permasalahan pertemuan
pertama dengan menegaskan persamaan yang didapat bahwa persamaan tersebut adalah
persamaan garis lurus dan menunjukkan gradiennya. Selanjutnya saat penggunaan LKS,
siswa diberikan permasalahan baru yaitu “Tarif Taxi”. Seperti pertemuan sebelumnya, siswa
diminta memahami masalah dengan menuliskan apa yang diketahui dan ditanya, kemudian
memprediksi apakah “Biaya tarif taxi dari Bukit Siguntang ke Bandara lebih dari
Rp.100.000?” yang menandakan nilai rasionalisme. Setelah itu, siswa membuat persamaan
dan menyelesaikan persamaan tersebut yang menandakan nilai kontrol. Tahapan terakhir
yaitu membuat kesimpulan dari permasalahan yang menandakan nilai rasionalisme .
Observasi untuk melihat aktivitas siswa selama proses pembelajaran pemodelan
menggunakan lembar observasi yang memuat indikator nilai kontrol dan nilai rasionalisme.
Indikator nilai kontrol di antaranya: (1) siswa dapat mengerjakan soal kehidupan sehari-hari,
(2) siswa memprediksi penyelesaian permasalahan, (3) siswa menggunakan aturan/rumus
dalam menyelesaikan soal. Indikator nilai rasionalisme di antaranya: (1) siswa memberikan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
384
argumentasi dari jawaban yang diberikannya, (2) siswa menggunakan grafik/tabel/diagram
untuk menyederhanakan permasalahan, dan (3) siswa menarik kesimpulan dari penyelesaian
masalah matematika. Berikut ini hasil observasi yang telah peneliti lakukan dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Skor Hasil Observasi Proses Pembelajaran
Nilai Pert 1 Pert 2 Pert 3 Rata-rata
Kategori Pert Nilai
Rasional
isme
Indikator 1 78,37 86,48 97,30 87,38 82,88
Baik Indikator 2 75,68 81,08 89,19 81,99
Indikator 3 70,27 78,37 89,19 79,27
Kontrol Indikator 1 72,97 81,08 86,48 80,17 82,27 Baik
Indikator 2 64,86 81,08 89,19 78,37
Indikator 3 86,48 83,78 94,59 88,28
Rata-rata 82,58 Baik
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata proses pembelajaran selama 3 kali pertemuan
sebesar 82,58 dikategorikan baik (Tabel 1). Hal ini berarti proses pembelajaran pemodelan
matematika menggunakan LKS berbasis nilai kontrol dan nilai rasionalisme sudah
diterapkan dengan baik. Nilai rasionalisme pada proses pembelajaran diperoleh rata-rata
sebesar 82,88 yaitu pada indikator memberikan argumentasi sebesar 87,38, pada indikator
menggunakan grafik/tabel sebesar 81,99, pada indikator membuat kesimpulan sebesar 79,27.
Nilai kontrol pada proses pembelajaran diperoleh rata-rata sebesar 82,27 yaitu pada indikator
mengerjakan soal kehidupan sehari-hari sebesar 80,17, pada indikator memprediksi sebesar
78,37, pada indikator menggunakan aturan/rumus sebesar 88,28.
Selain itu, data hasil observasi didapatkan dari hasil penggunaan LKS. Dari hasil observasi,
peneliti menganalisis dengan cara menghitung banyaknya checklist indikator yang muncul
per tahap ketika menggunakan LKS. Data hasil observasi penggunaan LKS selama 3 kali
pertemuan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Skor Hasil Observasi Penggunaan LKS
Tahap Pertemuan Rata-
rata
Kategori
1 2 3
Memahami masalah 100 - 100 100 Sangat Baik
Landasan Berpikir 90,59 63,33 95,24 89,09 Sangat Baik
Membuat Persamaan 60 100 100 92 Sangat Baik
Menyelesaiakan Persamaan 52 96,92 100 86 Sangat Baik
Membuat Kesimpulan 50 80 85 71,67 Baik
Rata-rata 70,52 85,06 96,04 88,31 Sangat Baik
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata penggunaan LKS selama 3 kali pertemuan
sebesar 88,31 dikategorikan “sangat baik”. Hal ini berarti penggunaan LKS dalam proses
pembelajaran sudah diterapkan dengan sangat baik.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
385
Analisis data tes hasil belajar diperoleh dari hasil pengerjaan tes yang diberikan pada
pertemuan terakhir (5 November 2015) yang diikuti oleh 37 siswa. Hasil belajar siswa
setelah dianalisis dan dikonversikan dapat dilihat pada tabel 4 berikut.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Hasil Belajar Siswa
Nilai Siswa Kategori Frekuensi Rata-Rata
85,0 - 100 sangat baik 11 29,72
70,0 - 84,9 Baik 14 37,83
55,0 - 69,9 Cukup 9 24,32
40,0 - 54,9 Kurang 3 8,1
0 - 39,9 sangat kurang 0 0
Rata-rata Baik 75,84
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa rata-rata hasil belajar siswa secara keseluruhan adalah
75,84 yang dikategorikan “baik”. Dengan demikian penggunaan LKS berbasis nilai kontrol
dan nilai rasionalisme pada pembelajaran pemodelan matematika dalam penelitian ini secara
umum sudah “baik”.
Berikut ini cara peneliti menganalisis jawaban siswa untuk memperoleh data tentang hasil
belajar.
Soal no. 1
Diketahui sebuah garis yang melalui titik A (-2, 3) dan titik B( 5, -8). Untuk menentukan
gradiennya, Deni menggunakan cara sebagai berikut.
Benarkah penyelesaian yang dilakukan Dedi? Jelaskan!
Gambar 2. Jawaban Siswa untuk Soal Nomor 1 yang Berkategori Sangat Baik
Memberikan
tanggapan benar
dalam jawaban
Memberikan alasan
benar dalam jawaban
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
386
Pada Gambar 2 di atas, jawaban siswa meliputi kedua deskriptor pada indikator. Siswa
memberikan argumentasi dari jawaban yang diberikannya. Gambar 2 sudah terlihat jawaban
siswa memberikan tanggapan dengan benar bahwa jawabannya salah dan alasan benar yaitu
tempat x2-nya salah yang berarti siswa sudah tahu bahwa peletakan x2 dan x1 tersebut terbalik
tidak sesuai dengan rumus gradien pada dasarnya. Selanjutnya, peneliti mewawancarai siswa
dengan tujuan untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana siswa memberikan argumentasi dari
jawaban yang diberikan dalam menyelesaikan tes. Berikut wawancara yang dilakukan
peneliti dengan salah satu siswa yang hasil belajarnya “sangat baik”.
Peneliti : “Mengapa salah?”
Siswa : “Ini (menunjukkan soal)”
Peneliti : “Salah dimananya?”
Siswa : “Ini, terbalik”
Peneliti : “Mengapa terbalik?”
Siswa : “x1 di sini dan x2 di sini, jadi terbalik”
Peneliti : “Jadi seharusnya, bagaimana?”
Siswa : “5 – (2) “
Peneliti : “Jadi bagaimana kesimpulannya?”
Siswa : “salah”
Dari dialog antara peneliti dengan siswa di atas, terlihat bahwa siswa mampu memberikan
tanggapan dan alasan yang tepat. Siswa mampu menunjukkan kesalahan pada soal nomor 1
dan mampu juga memberikan jawaban benar dari soal nomor 1.
Selain itu, peneliti juga menganalisis jawaban siswa untuk nomor 1 berkategori “kurang”.
Adapun jawabannya seperti berikut.
Gambar 3. Jawaban Siswa untuk Soal nomor 1 yang Berkategori Sangat Kurang
Pada Gambar 3, jawaban siswa tidak memenuhi indikator memberikan argumentasi dari
jawaban yang diberikannya. Siswa memberikan tanggapan salah dalam jawaban dan alasan
salah dalam jawaban. Pada alasan, terdapat kekeliruan dalam mensubsitusikan nilai ke dalam
rumus yang ada yaitu seharusnya , sehingga didapatkan hasil yang salah juga.
Memberikan
tanggapan salah
dalam jawaban
Memberikan alasan
salah dalam jawaban
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
387
Karena indikator tidak muncul, maka peneliti melakukan wawancara dengan tujuan untuk
mengetahui apakah siswa tersebut memang salah memberikan argumentasi dalam
menyelesaikan permasalahan. Adapun wawancaranya seperti berikut :
Peneliti : “Mengapa jawaban ini benar?”
Siswa : “Karena y2y1 per x2x1”
Peneliti : “Coba tuliskan dulu”
Siswa : “Nah salah bu”
“Benar kan bu rumusnya?”
Peneliti : “Iya benar, Waktu dimasukkan jadi?”
Siswa : “Nah salah berarti”
Peneliti : “Jadi jawabannya?”
Siswa : “Salah”
Peneliti : “Salah dimana?”
Siswa : “Harusnya x2 dulu baru x1”
Berdasarkan wawancara di atas, ternyata siswa mampu memberikan argumentasi dengan
menunjukkan hasil jawaban yang tepat, berbeda dengan hasil pekerjaan yang dilakukan saat
tes. Pada saat tes siswa keliru meletakkan x1 dan x2 tetapi ketika diwawancarai siswa dapat
menyelesaikannya dengan benar tanpa ada kekeliruan.
Bishop (2001) menyatakan bahwa “consider how would you respond to the following
question and how your value influence your decision”. Hal ini memiliki arti bahwa apapun
tanggapan dari jawaban siswa akan mempengaruhi nilai dari keputusannya. Berdasarkan
hasil wawancara, ternyata siswa mampu memberikan tanggapan dan alasan dengan tepat
sehingga indikator memberikan argumentasi dari jawaban yang diberikan muncul.
Berdasarkan tes hasil belajar secara keseluruhan, diperoleh rata-rata sebesar 75,84 dengan
kategori “baik”. Hasil belajar dengan kategori “sangat baik” rata-rata sebesar 29,72, kategori
“baik” rata-rata sebesar 37,83, kategori “cukup” rata-rata sebesar 24,32, dan kategori
“kurang” rata-rata sebesar 8,1.
Berdasarkan hasil wawancara dari sepuluh siswa, terdapat delapan siswa yang mampu
menunjukkan jawaban sesuai dengan indikator hasil belajar. Soal nomor 1 sebanyak 30%
menjawab benar dan alasan benar. Soal nomor 2 sebanyak 10% menjawab benar dan alasan
benar. Soal nomor 3 sebanyak 20% menjawab benar sesuai dengan indikator yang dibuat dan
soal nomor 4 sebanyak 20%. Jadi sebanyak 80% siswa mampu menunjukkan jawaban sesuai
dengan indikator hasil belajar. Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penggunaan LKS berbasis nilai kontrol dan nilai rasionalisme pada pembelajaran pemodelan
matematika dapat dijadikan alternatif pembelajaran dengan menggunakan tahap-tahap
pemodelan matematika.
Walaupun hasil penelitian menunjukkan bahwa LKS berbasis nilai kontrol dan nilai
rasionalisme pada pembelajaran pemodelan matematika dapat dijadikan alternatif
pembelajaran, namun masih terdapat kelemahan dalam penelitian ini. Penelitian ini hanya
menggambarkan hasil belajar siswa setelah menggunakan LKS berbasis nilai kontrol dan
nilai rasionalisme pada pembelajaran pemodelan matematika tanpa membandingkan hasil
belajar siswa yang tidak menggunakan LKS berbasis nilai kontrol dan nilai rasionalisme.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
388
4. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa pada
saat proses pembelajaran dengan rata-rata sebesar 82,58 berkategori baik dan aktivitas siswa
menggunakan LKS dengan rata-rata sebesar 88,31 berkategori sangat baik. Begitu juga, hasil
tes siswa dengan rata-rata sebesar 75,84 berkategori baik.
Beberapa saran dari penelitian ini antara lain: penggunaan LKS berbasis nilai kontrol dan
nilai rasionalisme pada pembelajaran pemodelan matematika bisa dijadikan pilihan alternatif
guru, dikarenakan siswa dapat membangun sendiri pengetahuan sehingga hasil belajar siswa
dapat meningkat. Guru diharapkan dapat menggali argumentasi siswa karena siswa akan
memberikan argumentasi apabila ada umpan balik dari guru. Begitu juga, untuk setiap
permasalahan biasakan siswa menyimpulkan permasalahan sehingga siswa mengetahui apa
yang diperoleh dari permasalahan tersebut. Pada penelitian selanjutnya, dapat menggunakan
nilai kontrol dan nilai rasionalisme pada pembelajaran pemodelan matematika pada materi
lainnya atau menggunakan nilai matematika yang lain. Selain itu, kegiatan pembelajaran
pada RPP untuk lebih memperhatikan tiap-tiap langkah pembelajaran pemodelan matematika
sehingga tampak perbedaannya dengan pembelajaran biasa dan dapat menggunakan metode
penelitian eksperimen menggunakan variabel-variabel yang lainnya.
Daftar Pustaka
Ali, W. Z., dkk. 2005. Kefahaman Guru tentang Nilai Matematik. Jurnal Teknologi, 43(E) Dis. 2005:
45-62.
Ang, A. K. 2006. Mathematical Modelling, Technology and H3 Mathematics. The Mathematics
Educator,9 (2): 33 -47.
Arikunto, S. 2012. Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Bishop, A. J., FitzSimons, G., Seah, W. T., & Clarkson, P. 2001. Exploring Issues of Control Over
Values Teaching in the Mathematics Classroom. Kertas kerja dibentangkan di 2001 Annual
Conference of the Australian Association for Research in Education, Fremantle, Australia.
Bishop, A. J. 2008. Teacher’s Mathematical Values for Developing Mathematical Thinking in
Classroom: Theory, Research and Policy. The Mathematics Educator vol . 11 (½), 79-88. Jurnal
Monash Univerity, Melbourne Australia.
Depdiknas. 2006. Kurikulum tingkat satuan pendidikan : standar kompetensi matematika. Jakarta:
Depdiknas
Dhohruri, A. 2011. Pembelajaran Persamaan Garis Lurus di SMP. Yogyakarta: PPPPTK
Matematika.
FitzSimon, G., Bishop, A. J, Seah, W. T., & Clarkson, P. 2001. Beyond numeracy: Values in the
mathematics classroom. Australia: Values And Mathematics Project (VAMP).
Leung, F. K.-S., Graf, K.-D., & Lopez-Real, F. J. 2006. Mathematics Education in Different Cultural
Traditions a Comparative Study of East Asia and The West. United States of America: Springer
Science + Business media, Inc.
National Council of Teacher of Mathematics. 1989. Curriculum and Evaluation Standars for School
Mathematics. Reston VA: The Council.
Othman, N., dkk. 2014. Nilai Dalam Pengajaran Matematika di Institusi Pengajian Tinggi. E-jurnal
Penyelidikan dan Inovasi. Jilid 1 ISU II(2014) 56-68, e-ISSN 2289- 7909. Kolej Universiti Islam
Antarbangsa Selangor.
Pariska, I.S. dkk. 2012. Pengembangan Lembar Kerja Siswa Matematika Berbasis Masalah. Jurnal
Pendidikan Matematik, Vol 1 no (1) (2012): hal 75-80.
Sugiatno. 2009. Potensi Nilai Moral dalam Pendidikan Matematika. Jurnal cakrawala kependidikan,
Vol 7 no (2) tahun 2009.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
389
REASONING AND PROOF DALAM MODEL
PEMBELAJARAN RECIPROCAL MATERI
TRIGONOMETRI SISWA SMA
Afin Nur Latifa, M.Pd
SMA Negeri 1 Magetan, Ds.Sugihrejo RT.14 RW.03 Kawedanan Magetan, [email protected]
Abstrak. Penalaran dan pembuktian matematis merupakan cara yang kuat dalam
mengembangkan dan mengekspresikan pemahaman pada fenomena yang luas. Siswa yang
memiliki kemampuan bernalar dan berpikir secara analitis cenderung memperhatikan pola,
struktur, atau keteraturan baik di situasi nyata maupun dalam objek simbolis.
Namun,berdasarkan TIMSS kemampuan penalaran matematis siswa saat ini di Indonesia masih
tergolong rendah, sehingga guru harus dapat menekankan bahwa bernalar sangat penting untuk
dipelajari serta guru hendaknya menggunakan pembelajaran yang tepat untuk
mengembangkan kemampuan bernalar dan pembuktian siswaSMA. Fenomena yang berada
pada kurikulum 2013, trigonometri melibatkan siswa untuk bernalar dan pembuktian untuk
mendorong siswa memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi secara kritis, logis, dan
sistematis. Artikel ini menyajikan pemikiran teoritis dan pentingnya suatu pembelajaran yang
dapat mengembangkan kemampuan bernalar dan pembuktian siswa.
Kata kunci: penalaran dan pembuktian, reciprocal teaching, trigonometri.
1. Pendahuluan
Kemampuan penalaran merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa
(NCTM, 2000). Hal tersebut sesuai dengan salah satu tujuan kurikulum 2013 pada mata
pelajaran matematika di tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) yaitu siswa dapat
melakukan penalaran matematis. Hal tersebut menunjukkan bahwa penalaran matematis
sangat diperlukan oleh siswa SMA. Pembuktian merupakan keterampilan dasar untuk
seorang matematikawan, bagaimanapun keterampilan tersebut sulit untuk dipelajari oleh
beberapa siswa (Knapp, 2005). Knapp (2005) mengelompokkan kesulitan siswa menjadi dua
katagori, yaitu: (1) siswa berjuang untuk logika, bahasa, dan aturan pembuktian yang
ditentukan oleh suatu kelompok, dan (2) pengetahuan siswa tentang definisi, teorema,
heuristik dan kemampuan membuat contoh. Oleh karena itu, kemampuan penalaran dan
pembuktian sangat penting bagi siswa.
Banyak siswa yang kesulitan belajar penalaran, argumentasi, dan pembuktian matematis
(Heinze, 2006; Yang, 2010; Reiss, 2002). Kesulitan yang dialami oleh siswa di antaranya
adalah siswa sulit dalam menuliskan pembuktian secara formal, siswa kesulitan menuliskan
penalarannya secara sistematis, dan pengetahuan siswa tentang definisi dan teorema
matematika. Sehingga, penalaran dan pembuktian dalam pelajaran matematika harus
dikembangkan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ardiansyah (2015) yang menyatakan
bahwa kemampuan penalaran matematis perlu dikembangkan karena dapat melatih siswa
untuk lebih memahami materi matematika yang diajarkan. Namun, kenyataannya
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
390
kemampuan penalaran matematis siswa saat ini di Indonesia masih tergolong rendah yang
didasarkan assesmen yang dilakukan TIMSS pada tahun 2011 (OEDC, 2016).
Pembelajaran yang dapat mengakomodasi kesulitan siswa dalam belajar salah satunya adalah
reciprocal teaching (Garderen, 2004). Vygotsky (Meyer, 2014) menyatakan bahwa
reciprocal teaching berpijak pada teori konstruktivisme sosial, dimana siswa dituntut untuk
aktif berdiskusi dan menjelaskan hasil pekerjaannya dengan baik sehingga penguasaan
konsep dapat dicapai. Beberapa penelitian tentang reciprocal teaching yang dilakukan oleh
Ardiansyah (2015) dan Anggraeni (2012) menunjukkan bahwa reciprocal teaching dapat
meningkatkan penalaran matematis siswa.
Artikel ini akan menyajikan suatu kajian teori berdasarkan pendapat para ahli dan penelitian
terdahulu tentang mengembangkan penalaran dan pembuktian matematis siswa dalam
pembelajaran kooperatif tipe reciprocal pada materi trigonometri.
2. Kajian Teori
2.1. Penalaran dan Pembuktian
Pang (2009) berpendapat bahwa penalaran merupakan komponen utama dalam matematika
terutama dalam pemecahan masalah. Hal tersebut sesuai dengan NCTM (2000) yang
mengemukakan bahwa kemampuan penalaran merupakan bagian yang penting dalam
matematika. Sementara itu, Russefendi (2006) mengatakan bahwa matematika terbentuk
sebagai hasil pemikiran yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. Oleh karena
itu, matematika dan penalaran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Bieda (2013) mengatakan bahwa penalaran melibatkan proses untuk menggeneralisasi
kejadian matematis atau konjektur tentang hubungan matematis. Selanjutnya, Dhebora
(2003) mengatakan bahwa penalaran merupakan instrument penyelidikan untuk menemukan
dan bereksplorasi ide-ide baru dan berfungsi sebagai pembenaran atau pembuktian klaim
matematis. Sedangkan, Boesen (2010) mengatakan bahwa penalaran adalah membuat
pernyataan dan menemukan konklusi dalam menyelesaikan suatu masalah. Hal tersebut
menunjukkan bahwa penalaran merupakan proses berfikir yang menghasilkan
kesimpulan/dugaan dari suatu masalah yang bisa dinyatakan dalam bentuk kalimat atau
simbol (generalisasi), sehingga kebenaran proses membuat kesimpulan tersebut dapat
dipertimbangkan. Ketika yang dihadapi merupakan masalah atau ide matematika maka
penalaran/pembuktian tersebut dinamakan penalaran/pembuktian matematis (Sumarmo,
2012).
NCTM (2000) mengatakan bahwa pembuktian matematis merupakan suatu cara formal
mengekspresikan penalaran dan pembenaran. Pembuktian melibatkan pembenaran dugaan
matematis menjadi benar dalam rangka dugaan tersebut dapat berlaku, menggunakan
penalaran yang valid secara logis (Bieda, 2013). Pembuktian menurut Dhebora (2003) lebih
mengacu pada menguji kredibilitas suatu asumsi dari pada menetapkan kebenaran dari suatu
pernyataan. Sedangkan menurut Almeida (dalam Knapp, 2005) pembuktian melibatkan
proses menguji kebenaran, menjelaskan, mengkomunikasikan, mempengaruhi, dan
membangun pengetahuan atau kejadian baru dalam bentuk aksioma. Oleh karena itu,
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
391
pembuktian merupakan proses menguji dugaan/klaim/kesimpulan sehingga
dugaan/klaim/kesimpulan tersebut terbukti kebenarannya.
Penalaran dan pembuktian tidak dapat diajarkan dalam satu unit terpisah (NCTM, 2000). Hal
ini berarti bahwa dalam mengajarkan pembuktian juga harus diajarkan penalaran. Sehingga
siswa bisa mempertanggungjawabkan setiap proses yang dilakukan ketika membuktikan.
Sebagai contoh, “membuktikan identitas trigonometri”. Kadangkala mengembangkan
pembuktian diberikan melalui masalah (NCTM). Pada proses memperjelas penyelesaian
masalah melibatkan penalaran sebagai penguat hasilnya, selain itu dibutuhkan berbagai
strategi untuk memecahkan masalah, diantaranya adalah membuat tabel, gambar, atau
menyederhanakan permasalahan (Nelson Primary School, 2014).
Pengembangan penalaran dan pembuktian pada tingkat pengalaman yang sesuai harus
menjadi bagian terpenting dalam pembelajaran matematika untuk siswa di segala usia
(Stacey, 2009). Hal ini berarti penalaran dan pembuktian bisa diajarkan kepada siswa di
semua tingkat pendidikan. Standar penalaran dan pembuktian untuk pembelajaran di kelas
play group sampai di sekolah menengah atas (SMA) yang tercantum dalam NCTM (2000)
dalam kode Reasoning and Proof (RP) sebagai berikut.
1. Mengenali penalaran dan pembuktian sebagai bagian dasar matematika (kode RP1)
2. Membuat dan menginvestigasi konjektur matematis (RP2)
3. Mengembangkan dan mengevaluasi argumen dan pembuktian matematis (RP3)
4. Memilih dan menggunakan berbagai macam penalaran dan metode pembuktian (RP4)
Siswa sekolah menengah atas (SMA) harus bisa bernalar secara induktif dan deduktif dalam
melakukan penalaran dan pembuktian. Siswa harus melihat kelebihan dari pembuktian
deduktif untuk menetapkan hasil. Mereka harus bisa membuat argumen yang logis dan
membuat bukti formal yang bisa menjelaskan penalarannya secara efektif (NCTM, 2000).
Nelson Primary School (2014) menjelaskan bahwa penalaran induktif digunakan untuk
membangun generalisasi dari suatu pola dan untuk membuktikan generalisasi tersebut selalu
berlaku, maka dibutuhkan pembuktian deduktif. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas,
kempuan bernalar baik induktif maupun deduktif sangat penting bagi siswa SMA.
2.2.Reciprocal Teaching
Palinesar & Brown (dalam Slavin, 2008) menjelaskan bahwa pendekatan reciprocal teaching
didasarkan pada teori konstruktivis yang dapat meningkatkan keterampilan membaca dan
pemahaman pada siswa yang berkemampuan rendah. Pada proses reciprocal teaching terjadi
interaksi antara guru dan siswa yang saling bergiliran melakukan proses pembelajaran
(Oezkus, 2013). Reilly, dkk (2009) mendefinisikan reciprocal teaching pada matematika
sebagai strategi pembelajaran yang dapat membangun kemampuan pemecahan masalah dan
meningkatkan literasi matematika. Sedangkan Howard (2004) menyatakan reciprocal
teaching dirancang sebagai teknik diskusi kelompok yang bertujuan untuk memahami dan
mengingat suatu materi. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
reciprocal teaching merupakan suatu strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan
pemahaman siswa dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dengan
guru maupun teman kelompok dalam memahami suatu masalah atau materi.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
392
Cooper & Greive (2010) mengatakan bahwa reciprocal teaching terdiri dari empat langkah,
yaitu: menanya (questioning), mengklarifikasi (clarifying), merangkum (summarizing), dan
memprediksi (predicting). Adapun penjelasan dari empat tahap tersebut yaitu sebagai
berikut.
a. Menanya (Questioning)
Oczkus (2013) berpendapat bahwa klarifikasi membantu siswa memantau pemahaman
mereka sendiri. Hal ini dikarenakan saat mengklarifikasi mereka akan mengidentifikasikan
masalah yang mereka hadapi dalam memahami bagian-bagian dari teks atau mencari kata-
kata sulit. Hal yang sama diungkapkan oleh Doolittle, dkk (2006:107) bahwa:
“Clarifying involves the identification and clarification of unclear, difficult, or
unfamiliar asect of a text. These asect may include awkward sentence or passage
structure, unfamiliar vocabulary, unclear references, or obscure concept. Clarifying
provides the motivation to remidiate confusion through re-reding, theuse of context in
which thetext was written andor read, and the use of external resources (e.g,.
dictionary).”
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa klarifikasi dapat dengan
memahami kembali materi dengan menggunakan sumber-sumber lain yang relevan. Dengan
demikian, siswa akan lebih memahami materi dan mengembangkan penalarannya dari
permasalahan yang diberikan oleh guru.
b. Merangkum (Summarizing)
Rangkuman dibutuhkan untuk menyimpan data yang diperlukan dari data dengan
jumlah besar (Deshpande, 2013). Rangkuman dari penyimpanan data yang besar sangat
berguna untuk mereduksi data yang tidak digunakan berdasarkan informasi atau pengetahuan
yang diinginkan. Selanjutnya menurut Boch (2005), siswa diharapkan membuat catatan
ekstensif pada materi pembelajaran yang dipelajari untuk meyalurkan bagaimana pemikiran
dan pemahamannya. Rangkuman pemahaman siswa dengan sadar mengungkapkan dan
merefleksikan pemikirannya yang dapat dituliskan dalam media baik kertas, maupun media
lainnya (Ardiansyah, 2015). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa rangkuman merupakan bagian penting dalam proses belajar siswa untuk mengetahui
bagaimana pemikiran dan pemahaman siswa dari materi yang dipelajari yang dapat
dituliskan dalam berbagai media.
c. Memprediksi (Predicting)
Kegiatan memprediksi didasarkan pada fakta-fakta dari buku yang membawa siswa pada
kemungkinan yang akan datang selanjutnya (Oczkus, 2013). Berkenaan aktivitas prediksi,
Reilly,dkk (2009:185) mengatakan sebagai berikut.
“During the prediction stage the learner is required to predict the type of
mathematical questions they are being asked, what type of mathematical
operations they may be required to use and what their answer might look like.”
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
393
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan memprediksi
memberikan kesempatan siswa untuk menggunakan apa yang telah mereka pahami dalam
menyelesaikan suatu masalah. Pada saat memprediksi siswa melibatkan kemampuan
berpikir dan bernalar yang telah mereka miiliki.
Penalaran dan Pembuktian dalam Reciprocal Teaching
Tahapan pada reciprocal teaching dapat dimodifikasi untuk mengakomodasi siswa dalam
kesulitan belajar (Garderen, 2004). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah (2015)
modifikasi kegiatan reciprocal teaching yang revelan dengan indikator kemampuan
penalaran matematis. Kegiatan questioning memiliki hubungan dengan indikator
mengajukan pertanyaan dan memberikan alasan terhadap kebenaran solusi, kegiatan
clarifying memiliki hubungan dengan indikator menganalisis pernyataan dan memberikan
alasan terhadap kebenaran solusi, kegiatan summarizing memiliki hubungan dengan
indikator menganalisis pernyataan dan membuat kesimpulan logis, sedangkan kegiatan
predicting memiliki hubungan dengan indikator membuat kesimpulan logis. Berdasarkan
beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa reciprocal teaching dapat
dimodifikasi sehingga sesuai dan dapat mencapai tujuan pembelajaran.
Aktivitas questioning dimaksudkan untuk mendorong siswa mencari hal-hal yang belum
diketahui dari suatu materi atau permasalahan yang diberikan. Saat siswa mencari informasi
tentang materi atau permasalahan yang diperoleh, siswa cenderung menggunakan
kemampuan bernalarnya. Hal serupa dikemukakan oleh Parta (2009) bahwa saat membuat
pertanyaan siswa akan mensintesis pemikirannya selama pembelajaran berlangsung. Pada
saat siswa mendapatkan jawaban dari permasalahan yang didapat, siswa akan menguatkan
pemahaman mereka dengan mencari informasi dari sumber lain, ataupun mengklarifikasi
dengan pendapat teman kelompok. Pada tahap ini seseorang akan lebih temotivasi untuk
memahami dengan cara menganalisis suatu informasi.
Pada aktivitas summarizing, siswa menuangkan pemahaman yang telah diperoleh dengan
bahasa sendiri berdasarkan pemahamannya, sehingga kemampuan menganalisis atau
mengevaluasi suatu informasi dapat ditingkatkan (Ardiansyah, 2015). Hal yang sama
diungkapkan oleh Yang (2010) bahwa saat membuat rangkuman, siswa akan menghapuskan
informasi yang tidak begitu penting dan mengidentifikasi atau mengkonstruksi secara
keseluruhan yang dinyatakan ke dalam pernyataan utama. Rangkuman yang dibuat bertujuan
untuk membuktikan kepada pembaca bahwa kebenaran yang ingin disampaikan melalui
proses penalarn memang dapat diterima sebagai suatu yang logis. Berdasarkan beberapa
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam membuat kesimpulan
yang logis dapat ditingkatkan pada tahap summarizing.
Aktivitas predicting dimaksudkan untuk menuangkan hal-hal yang belum diketahui pada
pada langkah selanjutnya dan perlu penjelasan yang lebih detail yang dituangkan dalam
bentuk tulisan (Ardiansyah, 2015). Hal yang sama diungkapkan oleh Kim & Kasmer
(2007:359) bahwa prediction is a type of reasoning that can lead to a generalization of
pattern and also be derived from a generalization. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa predicting dapat mendorong siswa untuk menggunakan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
394
kemampuan bernalarnya pada permasalahan selanjutnya yang diberikan berdasarkan
pemahaman yang diperoleh dari tahapan sebelumnya.
2.3. Tinjauan Materi Trigonometri
Trigonometri adalah salah satu bahasan matematika yang harus di pahami oleh siswa untuk
mengembangkan pemahaman matematikanya (Gur, 2009). Hal tersebut sependapat dengan
Ohrun (2003) yang mengatakan bahwa untuk sebagian besar siswa pada pendidikan tinggi,
trigonometri merupakan bagian analisis yang penting dalam bernalar. Kreativitas dan
pemahaman trigonometri penting dalam mengembangkan notasi/simbol dan metode dalam
matematika. Hal yang sama dikatakan NCTM (2000) bahwa jika siswa terlibat secara
ekstensif dalam manipulasi simbol matematika sebelum mereka mengembangkan dasar
konseptual yang benar maka mereka tidak akan bisa melakukan manipulasi yang lebih
(NCTM, 2000). Dengan demikian, pemahaman siswa dalam materi trigonometri sangat
penting sehingga siswa dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan trigonometri
dengan kemampuan manipulasi dan bernalarnya.
Materi trigonometri di SMA dalam kurikulum 2013 diawali dengan konsep dasar sudut pada
kesebangunan. Sudut-sudut yang bersesuaian memiliki besar sudut yang sama. Kemudian
materi selanjutnya yaitu perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku. Definisi pada
perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku digunakan untuk membuktikan
pernyataan-pernyataan yang terkait dengan memperhatikan proses bernalar siswa sehingga
siswa dapat mengembangkan kemampuan bernalar dan membuktikannya.
2.4. Penalaran dan Pembuktian pada Materi Trigonometri dalam Reciprocal
Teaching
Trigonometri merupakan salah satu salah satu materi dalam matematika yang dapat
membangun rasa ingin tahu sehingga siswa berkeinginan kuat untuk mengeksplorasi lebih
dalam materi ini (Moore, 2011). Pada kurikulum 2013, trigonometri melibatkan siswa untuk
bernalar dan pembuktian untuk mendorong siswa memiliki kemampuan berpikir tingkat
tinggi secara kritis, logis, dan sistematis. Dengan demikian, mengembangkan kemampuan
penalaran dan pembuktian dalam trigonometri merupakan tujuan penting dalam matematika.
Materi trigonometri yang bisa diberikan kepada siswa terkait dengan penalaran dan
pembuktian pada reciprocal teaching, dapat dilaksanakan sebagai berikut.
a. Questioning
Guru meminta siswa untuk mencari informasi mengenai perbandingan trigonometri,
sehingga siswa dapat memperoleh pemahaman materi.
b. Clarifying
Guru meminta siswa mengklarifikasi pemahaman yang diperoleh dengan membandingkan
berbagai sumber, atau dengan berdiskusi dengan teman kelompok. Kemudian guru
mengklarifikasi pemahaman siswa dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk
mengetahui pemahaman siswa dan proses bernalar siswa.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
395
a
b
c
C
B
A x
y
c. Summarizing
Guru meminta siswa merangkum apa yang telah mereka dapatkan pada lembar yang
diberikan oleh guru sehingga lebih menguatkan pemahaman siswa dan lebih
mengkonstruksi pemahaman konsep dan proses bernalar siswa.
d. Predicting
Guru memberikan permasalahan-permasalahan trigonometri yang memfasilitasi siswa untuk
memprediksi sehingga melibatkan penalaran dan pembuktian siswa. Masalah yang dapat
diberikan kepada siswa sebagai berikut.
Masalah .
Tunjukkan bahwa , kemudian tunjukkan dalam beberapa sudut
istimewa! Selanjutnya dengan menggunakan pernyataan di atas buktikan bahwa
Dalam masalah di atas, apabila dikaji berdasarkan standar penalaran dan pembuktian dari
NCTM maka masalah tersebut sudah memuat keempat standar. Standar reasoning and proof
poin 1 (RP1): Siswa mengenali masalah tersebut dan mulai menyusun strategi penyelesaian.
Dalam menunjukkan pernyataan siswa harus membuat dugaan dan menguatkan dugaan
tersebut menggunakan definisi yang diberikan. (RP2): Siswa membuat dugaan yang
digunakan kemudian diinvestigasi dengan menggunakan definisi yang diberikan. (RP3):
Siswa mengembangkan dan mengevaluasi pernyataan tersebut dengan mencoba dalam
beberapa sudut istimewa, selanjutnya siswa menemukan solusi permasalahan tersebut. (RP4)
: Untuk memperkuat pemahaman dan penalaran siswa, maka siswa memilih beberapa cara
untuk menujukkan permasalahan selanjutnya. Berikut uraian yang lebih detail dari masing-
masing standar.
a. RP1
Siswa mengenali bahwa untuk menunjukkan pernyataan tersebut siswa harus menyadari
bahwa melibatkan penalaran matematis. Solusi yang ditemukan harus disertai dengan
argumen yang kuat berdasarkan identitas trigonometri.
b. RP2
Siswa membuat membuat strategi dan dugaan matematis dari definisi trigonometri yang
diberikan.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
396
Kemudian dari teorema pythagoras kita peroleh
Sehingga
(
)
(
)
c. RP3
Untuk mengevaluasi pernyataan tersebut siswa mencoba dengan beberapa sudut istimewa,
sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan bernalar deduktifnya.
Untuk sudut , (
) (
√ )
Untuk sudut , (
√ )
(
√ )
Untuk sudut , (
√ )
(
)
dan seterusnya.
d. RP4
Untuk menguatkan pemahaman siswa dan mengembangkan penalaran deduktif, siswa
memilih beberapa cara untuk membuktikan permasalahan
Pertama, siswa dapat menggunakan pemahaman dari ruas kiri.
Ruas kiri 3 cos2A 2
( )
Ruas kiri = ruas kanan (terbukti)
Kedua, siswa dapat menggunakan pemahaman dari ruas kanan.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
397
Ruas kanan = 1 3sin2 A
( )
Ruas kanan = ruas kiri (terbukti)
Apabila siswa mampu membuktikan permasalahan tersebut maka siswa sudah mampu
bernalar secara deduktif. Setingkat SMA, apabila siswa mampu melakukan ini berarti
penalaran siswa tersebut dianggap sangat baik dan pembuktian siswa termasuk pembuktian
yang baik. Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari Styliandes & Styliandes
(2009:243) yaitu:
“Pembuktian yang baik/berkualitas itu memenuhi beberapa kriteria, diantaranya adalah
sebagai berikut.
a. Pembuktian tersebut benar
b. Pembuktian tertuju pada pertanyaan tertentu atau masalah yang diajukan
Pembuktian jelas, meyakinkan, dan logis. Pembuktian yang jelas itu memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: (a) pembuktian menggunakan bahasa, representasi, definisi, yang
dipahami orang lain yang membaca pembuktian tersebut; (b) pembuktian harus bisa
digunakan untuk meyakinkan keraguan; (c) pembuktian tidak memerlukan pembaca
untuk mempercayai pembuktian tersebut (sebagai contoh “kamu harus mempercayai
aku”; (d) pokok utama harus ditekankan; (e) jika dapat diterapkan didukung dengan
gambar, diagram, dan persamaan digunakan jika diperlukan; (f) pembuktian koheren;
(g) jelas, melengkapi kalimat yang digunakan; dan (h) pembuktian dapat digunakan
seseorang untuk menyelesaikan masalah yang sama.”
Berdasarkan uraian dan pendapat ahli di atas, menunjukkan bahwa apabila siswa dapat
menggunakan bahwa apabila siswa dapat membuktikan dengan benar dengan langkah-
langkah penalaran, maka siswa dianggap memiliki kemampuan penalaran dengan sangat
baik. Proses pembuktian tidak harus mengintervensi pembaca namun dapat dilakukan
dengan langkah-langkah tepat sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca.
3. Kesimpulan dan Saran
Penalaran dan pembuktian sudah seharusnya diajarkan di sekolah mulai tingkat playgroup
sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sudah seharusnya ada dalam kurikulum
matematika. Guru seharusnya memfasilitasi siswanya untuk terbiasa bernalar dan
membuktikan/membenarkan argumennya. Salah satu cara yang bisa dilakukan guru adalah
dengan merancang model pembelajaran yang dapat memfasilitasi proses bernalar dan
pembuktian siswa sehingga dapat menarik minat siswa. Model pembelajaran yang dapat
membantu siswa dalam bernalar yaitu reciprocal teaching yang sesuai dengan pendapat
Ardiansyah (2015). Selain itu guru juga memberikan persoalan yang menantang agar siswa
dapat mengembangkan kemampuan bernalarnya. Dengan demikian, rasa ingin tahu siswa
akan meningkat dan siswa akan tertantang menyelesaikan tugas tersebut.
Guru juga seharusnya terus memberikan motivasi kepada siswa karena siswa yang mampu
bernalar sangat dipentingkan dalam memahami matematika. Selain itu penalaran dan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
398
pembuktian juga membiasakan siswa untuk berfikir secara logis dan kritis dalam
menanggapi suatu kejadian dan masalah dalam matematika, sehingga dapat memberikan
alasan yang valid. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dalam NCTM (2000) bahwa
bagian dari keindahan matematika adalah ketika hal menarik terjadi, hal tersebut harus
didasarkan pada alasan yang baik.
Daftar Pustaka
Anggraeni, Y. 2012. Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP
Melalui Reciprocal. Jurnal Pendidikan Matematika: Sigma Didaktika. Bandung: APMI
FPMIPA UPI.
Ardiansyah, H. 2015. Penerapan Reciprocal Teaching untukMeningkatkan
PenalaranMatematisSiswapadaMateriRelasidanFungsiKelas XMIPA SMA Laboratorium
UM. Tesis PPs UM Malang: TidakDiterbitkan.
Boch, F. 2005. Note Taking and Learning: A Summary of Reasearch. The WAC Journal, (16): 101-
113.
Boesen, J. L. 2010. The Relation Between Types of Assessment Tasks and The Mathematical
Reasoning Students Use. Educational Studies in Mathematics, (75): 89-105.
Bieda, K. N., dkk. 2013. Reasoning-and-Proving Opportunities in Elementary
Mathematics Textbooks. United States: Michigan State University.
Cooper, T. & Greive, C. 2010. The effectiveness of the methods of reciprocal
teaching, As applied within the NSW primary subject Human Society
and its Environment: An exploratory study. TEACH pub Volume 3.
Deshpande, A. R. 2013. Text Summarixation Using Clustering Technique.
International Journal of Engineering Trends and Technology, 8(4): 3348-
3351.
Dhebora. L. 2003. The Teaching of Proof.
Doodittle, P. E, dkk. 2006. Reciprocal Teaching for Reading Comprehension in
Higher Education: A Strategy for Fostering The Deeper Understanding of
Text. International Journal of Teaching and Learning in Higher
Education, (17): 106-118.
Garderen, D. V. 2004. Reciprocal Teaching As a Comprehension Strategy For
Understanding Mathematical Word Problems. Reading & Writing
Quarterly, 20: 225-229 ISSN: 1057-3369: Taylor & Francis Inc.
Gur, H. 2009. Trigonometry Learning. New Horizons in Education, Vol.57, No.1,
May 2009. Balikesir University.
Heinze, Aiso, dkk. 2006. Learning to Prove with Heuristic Worked-out Examples.
Germany: Lehrstuhl Didaktik der Mathematik, Universitas Munchen.
Howard, J. B. 2004. Reciprocal Teaching. Elon University. NC: Project T2.
Kim, O. K.,& Kasmer, L. 2007. The effect of Using Prediction Questioning in
Middle School Algebra Classroom. (Online)
Knapp, J. A.2005. Learning to Prove in Order to Prove to Learn.Rizona State University.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
399
Meyer, K. 2014. Making meaning in mathematics problem-solving using the
reciprocal teaching approach. Literacy learning: the middle years (22) 5 :
1-10.
Moore, K. C. 2011. Coherence, Quantitative Reasoning and The Trigonometry of
Students. University of Georgia.
NCTM. 2000. Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: National Council of
Teachers of Mathematics.
Nelson Primary School 2014. Mathematical Fluency, Reasoning and Problem
Solving, (online). Diakses di http://nelson.richmond.sch.uk/wp-
content/uploads/2014/07/NPS-understanding-of-Mathematical-Fluency-
Problem-Solving-and-Reasoning.pdf
OECD. 2016. PISA 2015 Result in Focus: OECD Indicators. OECD Publishing.
Ohrun, N. 2003. Student’s Mistakes and Misconceptions on Teaching of
Trigonometry. Anadolu University Science Faculty Mathemathics
Department 26470.
Oczkus, L. 2013. Reciprocal Teaching: Powerful Hands-on Comprehension
Strategy. The Utah Journal of Literacy Vol 16 No 1 Spring 2013.
Pang, W. A. 2009. Analogical Reasoning Errors in Mathematics at Junior
Collage Level. Singapore.
Parta, I. N. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Inquiry untuk
Penghalusan Pengetahuan Matematika Calon Guru Melalui Pengajuan
Pertanyaan. Disertasi Tidak Diterbitkan. Surabaya: PPs UNESA.
Reilly, Y., Parsons, J., & Bortolot, E. 2009. Reciprocal Teaching in Mathematics.
Reiss, K., dkk. 2002. Reasoning and Proof in Geometry: Prerequeisites of Knowledge Acquisition in
Secondary School Students. Deutsche Forschungsgemeinschaft.
Russefendi, E.T. 2006. Pengantar kepada membantu guru mengembangkan
kompetensinya dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA:
perkembangan kompetensi guru. Bandung: Tarsito.
Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi standar Proses
Pendidikan. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Slavin, R. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media
Stacey, K.,& Vincent, J. 2009. Modes of Reasoning in Explanation Autralia Eight-grade Mathematics
Textbook.Springer Science + Business Media.
Styliandes, A.J & Styliandes, G. J. 2009. Proof constructions and evaluations. Springer Science +
Business Media.
Sumarmo, U. 2012. Proses Berpikir Matematik: Apa dan Mengapa
Dikembangkan. Bahan belajar matakuliah proses berpikir matematik
program S2 pendidikan matematika STKIP Siliwangi.
Yang, Y. F. 2010. Developing a reciprocal teaching/learning system for college
remedial reading instruction. Computer & Education 55 (2) 1193-
1201.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
400
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA
BERBASIS PENDEKATAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING UNTUK
MEMFASILITASI KEMAMPUAN KONEKSI
SISWA SMP/MTs
Lussy Midani Rizki1)
, Risnawati2)
, Zubaidah Amir MZ3)
1)UIN SUSKA RIAU, Jalan HR Soebrantas No 155 KM 15, Pekanbaru; [email protected] 2)
UIN SUSKA RIAU, Jalan HR Soebrantas No 155 KM 15, Pekanbaru; [email protected] 3) )
UIN SUSKA RIAU, Jalan HR Soebrantas No 155 KM 15, Pekanbaru; [email protected]
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menghasilkan LKS matematika
berbasis pendekatan Contextual Teaching and Learning yang valid, praktis, dan efektif
pada materi aritmatika sosial. Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan
dengan menggunakan model 4-D (Define, Design, Development, dan Disseminate).
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Pekanbaru. Subjek
penelitian ini adalah kelas VII-3 dan objek penelitian ini adalah lembar kerja siswa
berbasis pendekatan Contextual Teaching and Learning. Instrumen pengumpulan data
berupa angket dan soal tes yang memfasilitasi kemampuan koneksi. Teknik analisis data
yang digunakan adalah teknik analisis statistik deskriptif. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa berdasarkan uji validitas, LKS berbasis pendekatan Contextual Teaching and
Learning dinyatakan sangat valid dengan persentase tingkat kevalidan 83,72 %. Hasil
uji kepraktisan diperoleh bahwa LKS berbasis pendekatan Contextual Teaching and
Learning dinyatakan sangat praktis dengan persentase tingkat kepraktisan 89,94%.
Hasil uji keefektifan, diperoleh bahwa LKS berbasis pendekatan Contextual Teaching
and Learning dinyatakan sangat efektif dengan persentase keefektifan 86,49%. Dari
hasil tersebut mengidentifikasi bahwa lembar kerja siswa yang dikembangkan valid,
praktis, dan efektif.
Kata Kunci: Lembar Kerja Siswa (LKS), Pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL), Kemampuan Koneksi Matematis.
1. Pendahuluan
Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari di setiap jenjang pendidikan dari
tingkat SD sampai SMA bahkan perguruan tinggi. Matematika menjadi salah satu pelajaran
yang pokok karena mata pelajaran ini salah satu pelajaran yang masuk dalam Ujian
Nasional. Sebagai suatu mata pelajaran yang wajib diikuti oleh siswa tentunya ada standar
kemampuan yang ingin dicapai. Menurut NCTM (National Council of Teacher of
Mathematics) standar proses dalam pembelajaran matematika yaitu kemampuan pemecahan
masalah (problem solving), kemampuan penalaran (reasoning), kemampuan komunikasi
(communication), kemampuan membuat koneksi (connection), dan kemampuan representasi
(representation).
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
401
Kemampuan koneksi matematis merupakan kemampuan yang sangat penting karena akan
membantu penguasaan konsep yang bermakna dan membantu menyelesaikan tugas
pemecahan masalah melalui keterkaitan antarkonsep matematika dengan konsep dalam
disiplin lain. Koneksi atau keterkaitan tersebut bertujuan untuk membantu permbentukan
persepsi siswa, dengan cara melihat matematika sebagai bagian yang terintegrasi dengan
kehidupan.
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah berusaha meningkatakan kualitas pembelajaran
dengan mengadopsi berbagai pendekatan dalam pembelajaran. Salah satu pendekatan yang
dianjurkan menurut M.Nur (2013) adalah pendekatan kontekstual (Contextual Teaching
and Learning). Pendekatan CTL adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan isi
pelajaran dengan lingkungan sekitar siswa atau dunia nyata siswa, sehingga akan membuat
pembelajaran lebih bermakna (meaningful learning), karena siswa mengetahui pelajaran
yang diperoleh di kelas akan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan ini mempunyai ciri yang biasa dikenal dengan tujuh komponen CTL, yakni 1)
Construktivisme, 2) Inquiry, 3) Questioning, 4) Learning Community, 5) Modelling, 6)
Reflection, 7) Authentic Assesment. Pendekatan CTL ini dapat membantu guru untuk
menyusun perencanaan pembelajaran sesuai dengan tujuh komponen dan dapat digunakan
sebagai bahan ajar yang memfasilitasi siswa untuk mengkonstruk pengetahuan. Dengan
tujuh komponen tersebut, maka siswa akan melakukan kegiatan belajar seperti mencari,
mengolah, menghubungkan dan menemukan pengalaman belajar yang lebih konkret. Ini
berarti proses pembelajaran merupakan hal penting yang akan dilihat guru sebagai bentuk
pencapaian tujuan pembelajaran. Untuk memudahkan kegiatan tersebut, maka guru dapat
memfasilitasi dengan bahan ajar, salah satunya adalah dengan Lembar Kerja Siswa (LKS).
LKS merupakan suatu pedoman yang telah disusun sedemikian rupa sehingga memberikan
kesempatan kepada siswa untuk memperluas pemahaman materi yang menjadi tujuan
pembelajaran. Pedoman tersebut berisi kegiatan-kegiatan yang terarah dan aktif dan dapat
dijadikan penuntun bagi siswa dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Namun,
kebanyakan LKS yang beredar di pasaran belum sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai dan juga belum tersedia LKS yang dapat menunjang siswa dalam mengaitakan
konsep yang dipelajari dengan konsep sebelumnya. Apalagi dengan tampilan LKS yang
kurang menarik serta gaya bahasa yang sulit untuk dimengerti oleh siswa. Ini merupakan
kekurangan dari LKS yang dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran di sebagian besar
SMP/MTs di Pekanbaru.
Mencermati permasalahan yang dijumpai di sebagian besar SMP/MTs yang berada di
Pekanbaru tersebut, maka perlu adanya pengembangan LKS guna menciptakan proses
pembelajaran yang berarti dan sesuai dengan ketentuan kurikulum. Hal ini akan memberikan
kesempatan pada siswa untuk mengkonstruk pengetahuan dengan melakukan kegiatan
berpikir yang aktif.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti mencoba untuk melakukan suatu penelitaian
yang berjudul Pengembangan Lembar Kerja Siswa Berbasis Pendekatan Contextual
Teaching and Learning untuk Memfasilitasi Kemampuan Koneksi Matematis Siswa
SMP/MTs. Sehingga permasalahan pada penelitian ini adalah: 1) Bagaimana tingkat
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
402
validitas LKS berbasis pendekatan Contextual Teaching and Learning untuk memfasilitasi
kemampuan koneksi matematis siswa kelas VII SMP/MTs Pekanbaru? 2) Bagaimana tingkat
kepraktisan LKS berbasis pendekatan Contextual Teaching and Learning untuk
memfasilitasi kemampuan koneksi matematis siswa kelas VII SMP/MTs Pekanbaru? 3)
Bagaimana tingkat efektivitas LKS berbasis pendekatan Contextual Teaching and Learning
untuk memfasilitasi kemampuan koneksi matematis siswa kelas VII SMP/MTs Pekanbaru?
2. Metode
Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (research and development) dengan
model pengembangan yang peneliti gunakan ialah model 4D. Menurut Endang
Mulyatiningsih (2011: 195) model 4D merupakan singkatan dari Define (pendefinisian),
Design (perancangan), Development (pengembangan) and Dissemination (penyebaran) yang
dikembangkan oleh Thiagarajan. Namun peneliti tidak melakukan tahap dissemination
disebabkan oleh terbatasnya waktu, biaya dan tenaga. Subjek dalam penelitian adalah siswa
kelas VII-3 SMP Negeri 5 Pekanbaru. Sedangkan objek penelitian ini adalah pengembangan
LKS matematika berbasis Contextual Teaching and Learning untuk memfasilitasi
kemampuan koneksi siswa. Waktu penelitian sudah dilaksanakan pada semester ganjil tahun
ajaran 2016/2017.
Pada tahap validasi, LKS divalidasi oleh ahli materi dan ahli desain media pembelajaran
serta guru yang bersangkutan. Adapun validator LKS ini adalah Ibu Septika Khairinnisa,
M.Pd, Ibu Rena Revita, M.Pd, dan Bapak Margun, S.Pd. Setelah dinyatakan valid, kemudian
LKS diujicobakan pada kelompok kecil, diambil sebanyak 7 orang siswa kelas VII.
Selanjutnya LKS diujicobakan pada kelompok terbatas, diambil sebanyak 37 orang siswa
kelas VII-3 SMP Negeri 5 Pekanbaru. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui tingkat
kepraktisan LKS.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar validasi LKS, lembar uji
kepraktisan yakni angket respons siswa, dan soal tes. Teknik pengumpulan data yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik angket dan teknik tes. Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis kevalidan, analisis kepraktisan, dan analisis efektivitas.
3. Hasil dan Pembahasan
Penelitian pengembangan ini menghasilkan suatu produk berupa Lembar Kerja Siswa (LKS)
berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk memfasilitasi kemampuan koneksi
siswa kelas VII dengan materi pokok aritmatika sosial, dan model yang digunakan dalam
pengembangan produk ini adalah model pengembangan 4-D. Adapun tahapan-tahapannya
adalah sebagai berikut.
3.1 Define
Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran. Dalam
menentukan dan menetapkan syarat-syarat pembelajaran diawali dengan analisis tujuan dari
batasan materi yang dikembangkan bahan ajarnya berupa (LKS). Langkah-langkah dalam
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
403
tahap ini terdiri dari analisis kurikulum, analisis karakteristik siswa, analisis materi, dan
merumuskan tujuan.
3.1.1 Analisis Kurikulum
Pada tahap awal, peneliti mengkaji kurikulum yang berlaku pada saat itu. Dalam kurikulum
terdapat kurikulum yang ingin dicapai, analisis kurikulum berguna untuk menetapkan pada
kompetensi yang mana bahan ajar tersebut akan dikembangkan. Kurikulum yang digunakan
di sekolah yang dijadikan penelitian adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
3.1.2 Analisis Karakteristik Siswa
Adapun karakteristik siswa yang meliputi tingkat perkembangan kognitif siswa dan
keterampilan siswa baik secara individu maupun kelompok yang peneliti temui di SMP
Negeri 5 Pekanbaru adalah sebagai berikut: 1) Siswa kelas VII.3 SMP N 5 Pekanbaru
memliki karakteristik kemampuan belajar matematika yang cukup merata. 2) Siswa dapat
menyelesaikan masalah secara berkelompok. 3) Siswa hanya menghafal rumus tanpa
memahami konsep penggunaan rumus, sehingga sulit untuk menyelesaikan soal yang
beragam. 4) Siswa hanya mendengar penjelasan materi dari guru sehingga membuat siswa
kurang aktif dalam proses pembelajaran. 5) Siswa terbiasa menggunakan fasilitas belajar
yang disediakan dari sekolah yakni seperti wifi. Data-data tersebut menunjukkan bahwa
siswa kelas VII.3 SMP N 5 Pekanbaru memenuhi syarat sebagai subyek penelitian untuk uji
coba lapangan.
3.1.3 Analisis Materi
Pengembangan materi LKS dilakukan untuk menganalisis konsep. Berdasarkan analisis
standar kompentensi sesuai dengan kurikulum KTSP yaitu menggunakan bentuk aljabar,
persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel, dan perbandingan dalam pemecahan
masalah. Dari standar kompetensi tersebut dirumuskan menjadi kompetensi dasar yaitu
menggunakan konsep aljabar dalam pemecahan masalah aritmatika sosial yang sederhana.
Kemudian dirumuskan menjadi beberapa indikator pembelajaran.
3.1.4 Merumuskan Tujuan
Tujuan yang dirumuskan harus sesuai dengan indikator yang akan dicapai. Adapun tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1) Siswa mengidentifikasi
pengertian harga satuan dan harga keseluruhan barang berdasarkan harga pembelian. 2)
Siswa mampu menentukan harga satuan dan harga keseluruhan barang berdasarkan harga
pembelian. 3) Siswa mampu mengidentifikasi pengertian harga jual, harga beli, untung dan
rugi dalam kegiatan ekonomi. 4) Siswa mampu menghitung harga jual, harga beli, untung
dan rugi dalam kegiatan ekonomi. 5) Siswa mampu menentukan persentase harga jual, harga
beli, untung dan rugi dalam kegiatan ekonomi. 6) Siswa mampu mengidentifikasi pengertian
diskon, bruto, tara dan neto dalam kegiatan ekonomi. 7) Siswa mampu menentukan besar
diskon, bruto, tara dan neto dalam kegiatan ekonomi. 8) Siswa mampu mengidentifikasi
pengertian bunga tabungan dan pajak dalam kegiatan ekonomi. 9) Siswa mampu
menentukan dan menghitung bunga tabungan dan pajak dalam kegiatan.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
404
3.2 Design
Desain merupakan tahap yang dilakukan setelah melakukan analisis kurikulum, analisis
karakteristik siswa, analisis materi dan merumuskan tujuan. Dalam hal ini peneliti menyusun
empat LKS berbasis CTL yang disusun sesuai dengan kebutuhan siswa. Empat LKS yang
dirancang disampaikan dalam empat kali pertemuan dengan masing-masing alokasi waktu
menyesuaikan dengan jadwal belajar di SMP N 5 Pekanbaru. Struktur LKS yang
dikembangkan terdiri atas enam komponen yaitu judul, petunjuk belajar, kompetensi yang
ingin dicapai, informasi pendukung, tugas-tugas dan langkah-langkah kerja serta penilaian.
LKS ini dirancang sedemikian rupa sesuai dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning.
Proses perancangan LKS dimulai dari analisis tugas LKS. Hasil analisis tersebut yakni terdiri
dari struktur isi dan analisis proses informasi sesuai dengan pendekatan Contextual Teaching
and Learning. Adapun analisis tersebut akan dibahas berikut ini.
Analisis struktur isi bertujuan mencari informasi yang dapat membantu merancang LKS
yang akan dibuat. Hasil analisis ini memberikan pemahaman bahwa struktur LKS yang akan
dikembangkan terdiri atas enam komponen yaitu judul, petunjuk belajar, kompetensi yang
ingin dicapai, informasi pendukung, tugas-tugas dan langkah-langkah kerja serta penilaian.
LKS ini dirancang sedemikian rupa sesuai dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning. Dengan demikian maka siswa dapat menggunakan LKS untuk memudahkannya
dalam mengkonstruksi konsep atau pengetahuan.
Analisis struktur isi dijadikan landasan untuk merancang LKS yang akan dibuat baik dari
segi format maupun bagian-bagian LKS. Format LKS yang dipilih tidak lepas dari analisis
struktur isi. Adapun format LKS yang direncanakan adalah penggunaan kalimat yang
sederhana dan jelas, memberikan tempat jawaban untuk menuliskan jawaban hasil diskusi
LKS, penggunaan penomoran untuk memperjelas bagian LKS, dan penggunaan
kesederhanaan kepadatan halaman agar siswa dapat fokus melakukan langkah-langkah pada
LKS.
Dalam pemilihan format LKS bahasa harus diperhatikan. Bahasa dilihat dari tingkat usia.
Subyek dari pengembangan LKS ini ditujukan pada siswa sekolah tingkat SMP. Diketahui
bahwa mereka belum bisa memahami bahasa dengan tingkat tinggi. Maka, bahasa yang
digunakan harus sederhana dan dapat menuntun siswa ke pokok permasalahan.
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah rancangan LKS yang menyesuaikan dengan
tujuh komponen CTL. Adapun kriteria dalam perancangan LKS yakni menyesuaikan dengan
struktur isi dan format LKS. Tujuannya adalah agar melalui pendekatan CTL siswa dapat
menggunakan LKS sebaik-baiknya dengan urutan atau langkah-langkah guna mencari
penyelesaian suatu masalah. LKS yang dirancang memiliki tiga bagian pokok. Bagian awal
LKS berisikan cover dan petunjuk penggunaan LKS. Pada cover LKS memuat identitas
pengguna, judul LKS, nama LKS, kompetensi dasar, indikator, dan tujuan. Selain itu cover
juga diberikan gambar-gambar sesuai dengan judul LKS.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
405
Selanjutnya adalah bagian petunjuk penggunaan LKS. Bagian ini bertujuan mempermudah
siswa dalam mengerjakan LKS yang berkaitan dengan komponen CTL. Petunjuk
penggunaan LKS berisi informasi aturan pengerjaan LKS, tujuh komponen CTL dan
keterangan warna untuk setiap urutan pengerjaan LKS. Berikut merupakan gambar petunjuk
penggunaan LKS.
Hasil analisis informasi diperoleh bahwa bagian isi dirancang menyesuaikan dengan bagian-
bagian pada tahapan inkuiri yang merupakan bagian dari komponen CTL. Tahapan tersebut
secara berurutan yakni mengidentifikasi atau menemukan masalah, membuat hipotesis,
mencari data, menguji hipotesis, membuat kesimpulan dan mengerjakan soal penerapan.
Tahapan pertama adalah mengidentifikasi masalah. Tahapan ini siswa dilatih untuk
menemukan masalah berdasarkan cerita atau pernyataan yang disajikan di LKS. Tahapan ini
berupa aktivitas yang dimaksudkan untuk memunculkan konsep awal kepada siswa dan
mengarahkan pemikirannya pada materi yang akan dipelajari. Selain itu tahapan ini
merupakan tahap konstruktivisne yakni membangun pengetahuan siswa.
Selanjutnya tahap kedua adalah tahap membuat hipotesis. Tahapan ini berupa aktivitas yang
melatih siswa untuk merumuskan jawaban sementara terhadap identifikasi masalah pada
tahap pertama. Hipotesis yang dirumuskan dapat dengan memprediksi jawaban apa yang
sesuai untuk menjawab masalah. Namun tetap dalam konteks isi materi yang sedang
dipelajari.
Pada tahap ketiga yakni mencari data. Tahap ini melatih siswa untuk melakukan kegiatan
aktif. Ada dua komponen CTL yang termuat pada tahap ini yakni bertanya dan masyarakat
belajar. Aktivitas bertanya ini akan membantu siswa mengumupulkan jawaban-jawaban
berdasarkan hasil pengamatan di lapangan. Masyarakat belajar dapat berupa aktivitas sosial
berkaitan dengan mengumpulkan data-data untuk menjawab permasalahan sesuai dengan
hasil hipotesis.
Pada tahap keempat yakni menguji hipotesis. Hal ini dilakukan dengan menggunakan data
yang diperoleh dari tahap ketiga. Uji hipotesis dapat dilakukan dengan menghitung dan
mengimplementasikan perhitungan yang ada pada materi aritmatika sosial. Adapun
komponen CTL yang termuat pada tahap ini adalah pemodelan. Pemodelan dapat berupa
memodelkan rumus matematika yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan sebelumnya. Rumus-
rumus tersebut bukan hanya menggunakan rumus pada materi yang sedang dipelajari saja,
akan tetapi juga menggunakan gabungan beberapa rumus pada pokok bahasan aritmetika
sosial. Disinilah tampak konsep akan dikonstruksi.
Selanjutnya tahap kelima yakni kesimpulan. Tahap ini membantu siswa untuk
menyimpulkan hasil yang telah diperoleh berdasarkan tahapan yang telah dilakukan.
Kesimpulan dibuat berkaitan dengan isi hipotesis yang sudah dibuat pada tahap kedua. Di
sinilah letak komponen refleksi yang dapat melihat keterampilan siswa dalam mengelola
konsep yang telah diperoleh sesuai tahap-tahapan sebelumnya.
Tahapan terakhir yakni menyelesaikan soal penerapan. Tahapan ini melatih siswa untuk
menggunakan kesimpulan yang telah diperolehnya, baik itu dari segi konsep maupun
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
406
perhitungan yang melibatkan rumus-rumus untuk memperkuat pemahamannya. Aktivitas
pada tahap ini juga merupakan bagian dari komponen CTL yakni refleksi. Melalui refleksi
siswa dilatih untuk menyelesaikan soal-soal perhitungan berdasarkan konstruksi konsep yang
telah diperoleh sesuai dengan kelima tahapan sebelumnya. Soal penerapan yang diberikan
merupakan soal koneksi matematis yang diselesaikan dengan cara menghubungkannya
dengan konsep-konsep materi sebelumnya, maupun materi lain, ataupun dalam kehidupan
sehari-hari. Pada bagian penutup LKS dicantumkan poin penilaian untuk setiap tahapan
kegiatan pada LKS. Berikut ini merupakan salah satu produk hasil pengembangan lembar
kerja siswa berbasis pendekatan Contextual Teaching and Learning untuk memfasilitasi
kemampuan koneksi matematis siswa SMP/MTs.
Gambar 1. Produk hasil pengembangan
3.3 Development
3.3.1 Uji Validitas
LKS yang telah selesai dirancang kemudian divalidasi oleh validator ahli desain dan ahli
materi dengan menggunakan lembar validasi dan melalui diskusi. Validasi ini bertujuan
untuk mengetahui kevalidan LKS yang dibuat sudah layak atau tidak untuk digunakan atau
diuji coba terhadap siswa. Uji validasi oleh ahli materi bertujuan untuk mengetahui
kevalidan LKS yang dinilai dari aspek isi, materi, tujuan dan pendekatan CTL.Uji validasi
oleh ahli desain untuk mengetahui kevalidan LKS yang dinilai dari aspek format penulisan,
bahasa yang digunakan, kemasan atau tampilan LKS dan penempatan gambar. Hasil yang
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
407
diperoleh berupa kritik dan saran digunakan untuk merevisi atau memperbaiki LKS. Berikut
adalah hasil validasi secara ringkas.
Tabel 1. Hasil Validasi LKS berbasis CTL
No Aspek Nilai Validasi Kriteria
1. Petunjuk kerja 80% Valid
2. Pendekatan CTL 84,17% Sangat Valid
3. Kebenaran materi 82% Sangat Valid
4. Format Penulisan 85% Sangat Valid
5. Bahasa 86,67% Sangat Valid
6. Tampilan 82,67% Sangat Valid
Persentase Rata-rata 83,72% Sangat Valid
Berdasarkan hasil validasi tersebut, LKS matematika memenuhi kriteria sangat valid dengan
persentase rata-rata validitas 83,72%. Ini berarti LKS Matematika Berbasis Pendekatan
Contextual Teaching and Learning Pada Materi Aritmetika Sosial telah layak digunakan
dalam pembelajaran dan dapat digunakan pada uji kepraktisan.
3.3.2 Uji Kepraktisan
Uji kepraktisan dilakukan setelah proses validasi LKS telah selesai dengan minimal
berkategori valid. Uji kepraktisan dilakukan untuk mengetahui apakah LKS praktis atau
mudah digunakan oleh siswa sebagai pengguna. Uji kepraktisan dilakukan terhadap siswa
kelas VII-3 SMP Negeri 5 Pekanbaru yang telah mempelajari materi aritmatika sosial.
3.3.2.1 Uji Kepraktisan Kelompok Kecil
Uji coba kelompok kecil dilakukan untuk melihat apakah di dalam LKS masih ditemukan
kesalahan dan kekurangan yang ditemukan oleh siswa. Produk yang telah dikembangkan dan
dinyatakan valid diujicobakan terhadap kelompok kecil (7 siswa) melalui angket uji
kepraktisan LKS. Berikut adalah hasil penilaian uji kepraktisan pada saat ujicoba kelompok
kecil
Tabel 2. Hasil Uji Kepraktisan Kelompok Kecil
No Variabel Kepraktisan Nilai
Kepraktisan Kriteria
1 Minat siswa dan tampilan LKS 88,16% Sangat Praktis
2 Proses penggunaan 86,43% Sangat Praktis
3
Pendekatan Contextual Teaching and
Learning dan kemampuan koneksi
matematis siswa
91,43% Sangat Praktis
Rata-rata 88,13% Sangat Praktis
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
408
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa persentase keseluruhan dari penilaian siswa
dalam uji kepraktisan kelompok kecil adalah sangat praktis, dengan nilai kepraktisan
keseluruhan adalah 88,13%
3.3.2.2 Uji Kepraktisan Kelompok Terbatas
LKS berbasis CTL yang telah praktis saat ujicoba kelompok kecil, selanjutnya dilakukan
ujicoba kelompok terbatas kepada siswa kelas VII-3 yang berjumlah 37 siswa, setelah
menggunakan LKS siswa memberikan penilaian melalui angket uji kepraktisan LKS. Berikut
adalah hasil penilaian uji kepraktisan pada saat ujicoba kelompok terbatas.
Tabel 3. Hasil Uji Kepraktisan Kelompok Terbatas
No Variabel Kepraktisan Nilai
Kepraktisan Kriteria
1 Minat siswa dan tampilan LKS 89,73% Sangat Praktis
2 Proses penggunaan 89,46% Sangat Praktis
3 Pendekatan Contextual Teaching and
Learning dan kemampuan koneksi
matematis siswa
91,62% Sangat Praktis
Rata-rata 89,94% Sangat Praktis
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa persentase keseluruhan dari penilaian siswa
dalam uji kepraktisan kelompok besar adalah sangat praktis, dengan nilai kepraktisan
keseluruhan adalah 89,94%.
3.3.3 Uji Efektivitas
Analisis keefektifan dilihat dari persentase ketuntasan hasil belajar siswa. LKS dikatakan
efektif jika minimal persentase ketuntasan hasil belajar siswa melebihi 60%. Setelah siswa
mengikuti pembelajaran dengan menggunakan LKS berbasis CTL, selanjutnya siswa diberi
soal posstest berupa tes kemampuan koneksi matematis. Berikut ini merupakan hasil posstest
kemampuan koneksi siswa.
TABEL 4. Hasil Posstest Kemampuan Koneksi Siswa
No. Rentang Nilai Jumlah Siswa Kategori
1. 78-100 32 Tuntas
2. 0-77 5 Tidak Tuntas
Rata-rata 92,79 Tuntas
Berdasarkan tabel hasil tes kemampuan koneksi matematis siswa tersebut 32 dari 37 siswa
telah tuntas dalam pembelajaran atau dengan kata lain persentase ketuntasan siswa dalam
pembelajaran adalah 86,49% dengan nilai diatas KKM sekolah 78 dan nilai rata-rata 92,79.
Hal ini menunjukkan bahwa LKS efektif digunakan dan memberikan manfaat pada proses
pembelajaran.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 4 Nomor 6 Tahun 2017
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
409
4. Penutup
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian pengembangan LKS berbasis Contextual Teaching and Learning
(CTL) yang telah dilakukan dapat disimpulkan: 1) Hasil pengembangan LKS berbasis
pendekatan CTL untuk memfasilitasi kemampuan koneksi matematis siswa kelas VII SMP
Negeri 5 Pekanbaru dinyatakan sangat valid dengan persentase kevalidan 83,72%. 2) Hasil
pengembangan LKS berbasis pendekatan CTL untuk memfasilitasi kemampuan koneksi
matematis siswa kelas VII SMP Negeri 5 Pekanbaru dinyatakan sangat praktis dengan
persentase kepraktisan 89,94%. 3) Hasil Pengembangan LKS berbasis pendekatan CTL
untuk memfasilitasi kemampuan koneksi matematis siswa kelas VII SMP Negeri 5
Pekanbaru dinyatakan sangat efektif dengan persentase keefektifan 86,49%.
4.2 Rekomendasi
Beberapa rekomendasi yang peneliti berikan berdasarkan penelitian ini sebagai berikut: 1)
Kepada pembaca atau peneliti lain yang akan melakukan penelitian pengembangan LKS,
diharapkan untuk melakukan observasi awal dengan menganalisa kemampuan matematis
siswa sebelum menggunakan LKS dalam pembelajaran. 2) Kepada pembaca atau peneliti
lain yang akan melakukan penelitian pengembangan menggunakan LKS, untuk dapat
melakukan ujicoba pada lapangan yang lebih luas. 3) Kepada pembaca atau peneliti lain
yang akan melakukan penelitian pengembangan menggunakan LKS, untuk dapat melakukan
ujicoba dengan adanya kelas pembanding. 4) Kepada pembaca atau peneliti lain yang akan
melakukan penelitian pengembangan menggunakan LKS, untuk mengembangkan dengan
materi yang berbeda.
Daftar Pustaka
Van De Walle, John A. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah. Jakarta: Erlangga
Riyanto, Yatim. 2012. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Mulyatiningsih, Endang. 2011. Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Nur, M. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Depdiknas
Ahmad Fauzan. 2016. Diktat Modul 4 Evaluasi Pembelajaran (Program Pascasarjana Universitas
Negeri Padang) [tidak diterbitkan]
Utari Sumarmo, dkk. 2007. “Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa
SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”. Jurnal Educationist. Volume 1 Nomor 2
Redaksi Jurnal IDEAL MATHEDU PPPPTK Matematika menerima artikel/naskah jurnal yang terkait dengan pendidikan matematikaKetentuan penulisan dan untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi Redaksi
IDEAL MATHEDUPPPPTK MATEMATIKAIDEAL MATHEDU
PPPPTK MATEMATIKA