Santri Terdidik

Embed Size (px)

Citation preview

SANTRI TERDIDIK DAN KEBANGKITAN ISLAM DI INDONESIADr. Sukamto

2

3

4

ENLIGHTENMENTmengubah paradigma, mencerahkan pikiran, & memberkati bangsa

5

ENLIGHTENMENTMerupakan sebuah kelompok belajar komunitas muda Kristen yang bersifat independen. ENLIGHTENMENT diharapkan dapat menjadi sebuah lembaga pengkajian teologi kontekstual untuk memfasilitasi orang-orang percaya dalam mengekspresikan nilai dan imannya di tengah-tengah berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat; sekaligus berfungsi sebagai wadah untuk pengembangan daya nalar dan wawasan para calon pemimpin Kristen.

Dr. Sukamto dosen Dinamika Politik Islam di Indonesia dan Sejarah Perjumpaan Islam Kristen pada Institut Teologi Indonesia (INTI) Bandung. Alamat kontak: [email protected] atau www.amossukamto.blogspot.com

6

SANTRI TERDIDIK DAN KEBANGKITAN ISLAM DI INDONESIADr. Sukamto

ENLIGHTENMENT Bandung 20087

SANTRI TERDIDIK DAN KEBANGKITAN ISLAM DI INDONESIA1. PendahuluanSeperti di bagian-bagian dunia Islam lainnya, kebangkitan Islam di Indonesia sudah terjadi sejak akhir tahun 1970-an, tetapi baru nampak secara nyata ke permukaan pada akhir tahun 1980-an dan 1990-an. Kebangkitan Islam di Indonesia bukan hanya terjadi pada sisi spiritualitas tetapi juga merambah ke semua bidang kehidupan, baik politik, ekonomi maupun budaya. Jika dilihat dari cakupan wilayah, kebangkitan tersebut bukan hanya terjadi di perkotaan, tetapi juga di daerah-daerah yang dulunya merupakan kantongkantong kejawen.1 Hefner, misalnya, menyatakan bahwa: . . . para antropolog dan wartawan melaporkan bahwa Islam normatif membuat kemajuan besar di daerahdaerah yang pernah menjadi basis nasionalisme sekuler, sementaraHefner menyatakan bahwa usaha meningkatkan pendidikan tinggi juga dibarengi program yang mengesankan, yaitu pembangunan infrastruktur yang disponsori Departemen Agama, yang fokus utamanya adalah membangun Masjid, mushola, dan madrasah terutama di daerah-daerah yang komitmen keislamanya masih lemah. Pembangunan masjid di Jawa Timur dan Jawa Tengah menampakkan peningkatan yang pesat. Di Jawa Timur jumlah masjid meningkat dari 15.374 buah pada tahun 1973 menjadi 17.750 buah pada tahun 1979, pad tahun 1984 meningkat menjadi 20.648 buah, dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 25.655 buah (2001:215). 81

kejawen mengalami penurunan (2001:156 bnd. Kim 1998b; Pranowo 1993). Daerah-daerah yang dulunya mengalami konversi ke Hindu dan Kristen pada masa 1990-an mulai banyak yang kembali ke Islam.2 Hasil penelitian Habib (2004:106-107) di Jawa Timur, di sebuah desa yang bernama Sumberwedi, menunjukkan bahwa orang Kristen yang mayoritas pada tahun 1970 menempati posisi kedua pada tahun 1980 dan terus mengalami penurunan sampai tahun 1998.TABEL 1 DINAMIKA AGAMA DI DESA SUMBERWEDI JAWA TIMUR 1970-1998 AGAMA 1970 Islam 647 Pantekosta 988 Katholik 1 Hindu 66 Budha Jumlah 1702 (Habib 2004:106-107) 1980 1652 267 1 1920 1990 2590 92 11 2683 1998 3010 45 3055

Hal yang sama juga dilaporkan oleh para peneliti dari Yayasan PERCIK di Salatiga: di daerah Karangjoso pada masa Sadrach, prosentase pemeluk Agama Kristen dan Islam adalah 90% banding 10%, tetapi pada tahun 2002, prosentase ini berbalik (Renai 2002:192-196). Tulisan ini memberi perhatian khusus pada fenomena kebangkitan Islam di kalangan Muslim urban. Kebangkitan Islam di kalangan ini telah menghasilkanPeralihan dari Hindu ke Islam bisa dilihat dalam studi Beatty (2001) yang dilakukan di daerah Banyuwangi. 92

kelas menengah baru (middle class) yang banyak berpengaruh bagi perkembangan pengaruh Islam di semua segmen kehidupan masyarakat Indonesia.

2. Munculnya Santri Terdidik-Kelas Menengah Muslim di PerkotaanDi tingkat kelas menengah pada tahun 1980-an dan 1990-an Islam mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Latif (2005:580) mengatakan: Tahun 1980-an dan 1990-an merupakan masa panen raya bagi inteligensia Muslim Indonesia dari berbagai gerakan. Bukan hanya jumlah inteligensia Muslim yang memiliki kualifikasi-kualifikasi pendidikan tinggi mencapai tingkatan yang belum pernah ada sebelumnya, melainkan juga jumlah mereka yang meraih gelar pasca-sarjana dari luar negeri, terutama dari pusat-pusat studi Barat, juga lebih besar dibandingkan dengan periode mana pun dalam sejarah Indonesia. Fakta ini sangat berbeda dengan masa 1950-an dan awal 1960-an. Pada tahun-tahun 1950-an dan awal 1960-an universitas-universitas negeri di Indonesia biasanya menjadi benteng bagi kelompok nasionalisme sekuler, sedangkan komunitas santri adalah faksi yang lemah di organisasi-organisasi mahasiswa (Hefner 2001:218). Bahkan seorang Nurcholish Madjid mengatakan bahwa Pada tahun 1950-an kalau ada mahasiswa sholat ia diejek teman-temannya . . . (Nasution, dkk., 1990:35). Hal ini menjadi berbeda ketika pada akhir tahun 1970-an berkembang dengan cepat gerakan ibadah kampus yang diberi nama10

Gerakan Salman (Hefner 2001:218). Gerakan ini mulanya dikembangkan di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada awal tahun 1980-an gerakan ini menjadi ciri kehidupan kampus hampir di setiap universitas di Indonesia (Hefner 2001:219) misalnya: Institute Pertanian Bogor (IPB) dengan AlGhifari, dan Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan Shalahuddin-nya (Marijan 1998). Gerakan ini membangkitkan kesadaran Islam di tengah-tengah lingkungan anak-anak muda khususnya mahasiswa dan di lingkungan kelas menengah di perkotaan (Howell 2001:710). Di sisi lain menurut Nurcholish Madjid, sejak awal 1980-an telah terjadi ledakan intelektual Islam yang disebabkan oleh karena pada tahun 1950. kurikulum agama dimasukkan dalam sekolah umum. Banyak kalangan santri yang kemudian memasukkan anakanak mereka ke sekolah umum. Hal ini menyebabkan terjadinya lonjakan jumlah santri yang masuk universitas sekitar tahun 1962 dan 1963. Enam atau tujuh tahun kemudian, mereka menjadi boom sarjana Islam yang pertama (Nasution, dkk., 1990:35). Dawam Rahardjo mengatakan bahwa pada tahun 1980-an bermunculan penyandang Ph.D., seperti Amien Rais, Kuntowijoyo, dan Yahya Muhaimin yang memiliki komitmen kuat terhadap Islam (Nasution, dkk., 1990:35). Berkat pendidikan modern yang mereka peroleh, mereka mampu mengembangkan kecakapan intelektual dan profesional mereka. Hal ini melahirkan suatu proses yang disebut embourgeisement atau priyayisasi kaum santri (Anwar 1994:33). Pada tahun 1980-an para lulusan ini menduduki jabatan menengah di birokrasi, mereka melakukan perubahan dari dalam dan mendorong terjadinya islamisasi di kalangan birokrat (Anwar 1994:33). Gelombang umat Islam yang belajar ke luar negeri menurut Marwah Daud Ibrahim telah mengubah image Islam. Islam itu11

universal, sangat terbuka dan kosmopolit; image yang baru tidak lagi identik dengan Islam yang sarungan dan fanatik (Nasution, dkk., 1990:31). Seperti yang dikatakan oleh Anwar (1994:74): Bertahap namun pasti, predikat atau olok-olok yang ditujukan kepada kalangan santri sebagai kaum sarungan, atau tesis Wertheim yang pernah mengemukakan bahwa kaum muslimin Indonesia tidak lebih dari majority with a minority complex gugur dengan sendirinya. Hasil observasi Schwarz (1994:74) menyatakan bahwa No longer is Islam seen as the opiate of the uneducated and economically deprived.3

3. IAIN (UIN) dan Munculnya Santri Terdidik-Kelas Menengah Muslim di PerkotaanSalah satu institusi pendidikan Islam yang sangat berperan bagi munculnya kelas menengah Muslim di Indonesia adalah Institut Agama Islam Negeri (IAIN). IAIN telah mampu menjadi center of excellent bagi pendidikan dan penelitian Islam di Indonesia. Pada tahun 1979 dan 1991, jumlah mahasiswa IAIN meningkat hampir empat kali lipat dari 28.000 menjadi 10.000 mahasiswa (Hefner 2001:214). Nakamura mencatat bahwa pada tahun 1993 jumlah seluruhLihat Howard M. Federspiel, Muslim Intellectuals and Indonesias National Development, Asian Survey XXXI:3 (March 1991):232-246; R. Murray Thomas, The Islamic Revival and Indonesian Education, Asian Survey XXVIII:9 (September 1988):897-914. 123

mahasiawa IAIN mencapai 103.000 orang (1993). Jumlah mahasiswa ini sangat memberi sumbangan yang sangat berarti bagi perkembangan Islam di Indonesia. Mutu pendidikan IAIN ditunjang dengan hadirnya para pengajar lulusan luar negeri yang menekuni bukan hanya studi agama, tetapi juga bidang studi sosiologi, sejarah, psikologi, dan lain sebagainya. Pada tahun 1999 misalnya: terdapat 128 tenaga pengajar IAIN Yogyakarta mengambil gelar master (37 dalam bidang studi Islam, 41 dalam bidang sosiologi, 9 dalam psikologi, 23 dalam pendidikan, 8 dalam hukum, dan 10 dalam bidang lain), dan 59 tengah mengambil program Ph.D (53 dalam bidang Studi Islam dan sisanya dalam bidang-bidang sosiologi, sejarah, dan bidang lain) (Jabali dan Jamhari, 2002:30). Peningkatan mutu akademik melalui pengembangan dosen IAIN ini terjadi di hampir semua IAIN. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:TABEL 2 JUMLAH PENGAJAR IAIN YANG BERGELAR DOKTOR TAHUN 1998/1999 No 1 2 3 4 5 IAIN Yogyakarta Jakarta Banjarmasin Surabaya Ujung Pandang 13 Total Ph.D 11 orang 36 orang 5 orang 17 orang 27 orang % 3,8 15,3 2,9 6,8 11

6 Padang 13 orang 7 Bandung 15 orang 8 Medan 16 orang (Jabali dan Jamhari, 2002:30-31)

5,5 4,5 7,4

Hadirnya jumlah pengajar yang bermutu ini telah mengangkat nama IAIN. Alumni IAIN tidak hanya bekerja sebagai juru syiar agama, tetapi memainkan peran yang sangat penting, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun bidang sosial lainnya di Indonesia.

4. Buah Kebangkitan Islam di IndonesiaKebangkitan Islam pada akhir tahun 1970-an dan 1980-an berdampak pada berbagai bidang kehidupan di Indonesia. Pada tahun 1971, tokoh pembaharu Islam seperti Tawang Alun, Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, dan Aswab Mahasin bergabung dengan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES); Abdurrachman Saleh, Mohammad Assegaff, dan Abdul Bari yang berlatar belakang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bergabung dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pada tahun 1983 muncul Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) P3M (Perkumpulan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). P3M adalah sebuah LSM yang menyatukan beberapa tokoh intelektual Islam baik dari Lembaga Studi Pembangunan (LSP) seperti Adi Sasono, LP3ES, dan Nahdatul Ulama (NU) (Latif 2005). Pada tahun 1987, berdiri Yayasan Wakaf Paramadina yang dibidani oleh Nurcholish Madjid yang disertai oleh beberapa penasehat dari kalangan birokrat seperti Rudini, Soepardjo Rustam, Ginandjar Kartasasmita, dan Ismail Saleh, serta beberapa pengusaha seperti Soedarpo Sastrosatomo dan Fahmi Idris. Yayasan ini juga melibatkan 10 sarjana bergelar14

doktor. Paramadina menjadi petunjuk bahwa Islam bukan sesuatu yang jauh dari pejabat pemerintah, pengusaha, inteletual dan kalangan atas lainnya (Tempo 8 Desember 1990, halaman 34). Dalam kaitan dengan negara, sejak tahun 1980-an pemerintah menjadi lebih akomodatif terhadap kepentingan Islam. Bahtiar Effendy (1998:273) menggolongkan sikap akomodatif tersebut ke dalam empat kelompok yaitu: (1) akomodasi struktural, (2) akomodasi legislatif, (3) akomodasi infrastruktural, (4) akomodasi cultural. Akomodasi struktural ditandai dengan direkrutnya tokoh-tokoh Muslim ke dalam lembaga eksekutif maupun legislatif Negara. Pada periode tahun 19831988, beberapa tokoh inteligensia Muslim memainkan peranan penting dalam Dewan Pengurus Pusat Golkar (DPP Golkar); mereka adalah Akbar Tandjung, K.H Tarmudji, Ibrahim Hasan, Anang Adenansi, dan Qudratullah (Latif 2005). Dalam bidang politik, setelah kurang lebih tiga puluh tahun politik Islam di Indonesia terpinggirkan, maka sejak tahun 1990-an politik Islam memainkan peran yang sangat dominan, ditandai oleh munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sejak tahun 1992, beberapa posisi strategis dalam Kabinet Pembangunan yang semula dipegang oleh orang Kristen mulai diganti dengan orang-orang Islam, misalnya jabatan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Masyarakat menilai warna pemerintah dan parlemen menjadi semakin hijau. Dalam bidang legislatif tanda-tanda kebangkitan Islam terlihat dari disahkannya Undang-undang Pendidikan Nasional pada tahun 1989, diberlakukannya Undangundang Peradilan Agama pada tahun 1989, diijinkannya penggunaan jilbab di sekolah-sekolah pada tahun 1991. Kebangkitan tersebut juga15

berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung mengakomodasi aspirasi umat Islam. Dua kelompok agama (aliran kepercayaan dan Kristen) yang dianggap sebagai ancaman bagi umat Islam menjadi sasaran yang dirugikan dari kebijakankebijakan tersebut. Kebijakan yang ditujukan kepada kelompok Aliran Kepercayaan misalnya adalah Keputusan No. 4 tahun 1978, tertanggal 11 April 1978 yang menegaskan bahwa Departemen Agama tidak bertanggung jawab mengurus Aliran Kebatinan/Kepercayaan dan dianggap bukan sebagai agama. Aliran kepercayaan juga dilarang untuk melakukan pencatatan pernikahan yang tertuang di dalam Surat Menteri Agama (No: B/5943/78, tertanggal 3 Juli 1978). Pada tanggal 21 September 1978 Jaksa Agung mengeluarkan Surat. Keputusan (No. 089/J.A/9/1978) yang berisi tentang larangan pengedaran/penggunaan surat kawin yang dikeluarkan oleh Yayasan Pusat Srati Darma Yogyakarta. Keputusan-keputusan ini dikeluarkan untuk mempersulit, dan secara eksplisit tidak mengakui eksistensi kehidupan aliran kepercayaan di Indonesia. Ini merupakan perubahan-perubahan yang sangat mendasar bagi posisi aliran kepercayaan di Indonesia. Kebijakan yang ditujukan kepada kelompok Kristen adalah beberapa keputusan Menteri: Keputusan Menteri Agama No. 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama dan Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri. Pada tahun 1979, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri membuat keputusan bersama (No. 1 tahun 1979) tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Dalam bidang infrastruktural, pemerintah Soeharto melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, sejak16

tahun 1970-an telah membangun 400-an masjid dan mengirim 1000 dai ke daerah-daerah terpencil, terutama di daerah transmigrasi (Tempo, 8 Desember 1990:35). Menurut laporan Hefner, jumlah masjid di Jawa Timur meningkat dari 15.374 pada tahun 1973 menjadi 25.655 pada tahun 1990. Demikian juga di Jawa Tengah, antara tahun 1980 dan 1992 jumlah masjid meningkat menjadi dua kali lipat dari 15.685 menjadi 28.748 (Hefner 2001). Dalam bidang ekonomi, pemerintah juga mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991. Dan dalam bidang kultural, pengaruh Islam terlihat dari diterimanya istilah-istilah Arab sebagai salam resmi para pejabat pemerintah ketika memulai pidato dan sambutan.

5. KesimpulanKebangkitan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kebangkitan intelektual para pengikutnya. Munculnya santri terdidik di Indonesia telah memberi warna baru bagi Islam di Indonesia. Memeluk Islam tidak lagi identik dengan keterbelakangan, sebaliknya memeluk Islam menjadi kebanggaan bagi para pemeluknya. Munculnya santri terdidik juga berdampak secara menyeluruh bagi kehidupan Islam di Indonesia, yang tidak hanya menyentuh sisi spiritualitas tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Kekuatan Islam telah menjadi sebuah kekuatan yang diperhitungkan di semua ranah kehidupan bangsa Indonesia.

17

Daftar Pustaka:Anwar. M. SyafiI 1994 Membaca Dialektika Politik Akomodasi Islam dan Negara dalam Orde Baru. Bina Darma 12:46 (September):25-38. Beatty, Andrew 2001 Variasi Agama Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta: Murai Kencana. Habib, Achmad 2004 Konflik Antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa. Yogyakarta: LKiS. Effendy, Bahtiar 1998 Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina. Hefner, Robert W. 2001 Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: ISAI. Howell, Julia Day 2001 Sufism and the Indonesian Islamic Revival. The Journal of Asian Studies 60:3 (August):701-729. Jabali, Fuad dan Jamhari 2002 IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos. Kim, Hyung Jun. 1998b Unto You Your Religion and Unto Me My Religion: Muslim-Christian Relations in a Javanese Village's. Sojourn 13 (1):62-85.18

Latif, Yudi 2005 Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005. Marijan, Kacung 1998 Islamization of Java: From Hindu-Buddhist Kingdoms to New Order Indonesia. Jurnal Studi Indonesia 8, no. 2 (Agustus). Online. Internet. (http://psi.ut.ac.id). Akses 8 Mei 2002. Nasution, Amran, dkk. 1990 Setelah Boom Sarjana Islam. Tempo (8 Desember):34-37. Pranowo, M. Bambang 1993 Partai Politik dan Islamisasi di Pedesaan Jawa. Dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Saiful Muzani, ed. Hal. 178-195. Jakarta: LP3ES. Renai 2002 Jaringan Antar Peneliti. Renai 2, 3-4: 192196.

Schwarz, Adam 1994 A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Australia: Allen & Unwin.

19

Sukamto dilahirkan pada tanggal16 Juli 1968 di sebuah desa terpencil bernama Trisobo, wilayah Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan dasarnya di SDN Trisobo. Pendidikan menengah pertama ditempuh di SMPN Kebun Merbuh, Kendal; Kemudian melanjutkan di SMEA YPPM Boja, Kendal. Pendidikan Teologi ditempuh di STT PESAT, Salatiga (1987-1991) meraih Diploma 3 Misiologi; Institut Theologia Solo (INTHEOS) (1991-1992) meraih gelar Sarjana Theologia (S.Th.); Asian Center for Theological Studies and Mission (ACTS), Seoul Korea (1994-1996) dengan gelar Master of Divinity (M.Div.). Meraih gelar Doctor of Theology (Th.D) in Mission pada Konsorsium Program Pascasarjana Kristen (KPPK) bekerja sama dengan Fuller Theological Seminary, School of Intercultural Studies (SIS), dengan menulis disertasi Ketegangan Yang Tiada Pernah Berakhir: Pola Hubungan yang Mengubah dan Berubah Antara Islam dengan Kristen di Indonesia Dari Tahun 1966 sampai Tahun 2005. Menikah dengan Rinna Handajani pada tanggal 25 Agustus 1996 dikaruniai dua orang putri bernama Adilla Charisma Sukamtoputri dan Florencia Nuhoni Trah Utami. Mengajar di beberapa Sekolah Tinggi Teologi di Jawa Tengah (STT PESAT Salatiga; STT INTHEOS Solo; STT NUSANTARA Salatiga; STT EFATA Salatiga) dari tahun 1996-1999. Tahun 2000 hijrah ke Bandung bekerja bagi Institute for Community and Development Studies (ICDS). Tahun 2004 menjadi pengajar purna waktu di Institut Teologi Indonesia (INTI) Bandung. Sejak tahun 2006 menjabat Pembantu Rektor II. Menulis beberapa artikel populer yang dimuat di Majalah Bahana, misalnya: Sekuler Humanisme; Pendidikan dan Kaum Miskin; Gereja Korea Mundur di Tengah-tengah Kesuksesan; dan Ibadah dan Keadilan. Karya ilmiah 20

diterbitkan oleh Jurnal Pelita Zaman, Jurnal Studi Pembangunan dan Kemasyarakatan, dan Jurnal Transformasi. Menjadi co-editor dan penulis buku Misi Holistis, penulis buku Pendekatan Kuantitatif Untuk Penelitian Keagamaan dan Rahasia Keberhasilan Gereja di Korea.

21