28
Penatalaksanaan Rheumatoid Artritis Terkini M. Fuad, Mahriani Sylvawani Divisi Rheumatologi Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unsyiah/BPK RSU Zainoel Abidin Banda Aceh PENDAHULUAN Rheumatoid arthritis adalah Penyakit autoimmune yang mempengaruhi sendi. Di seluruh dunia, sekitar 1% dari populasi menderita penyakit ini, dengan prevalensi yang lebih tinggi pada orang keturunan Eropa atau Asia. 1 Rheumatoid arthritis dapat berkembang pada orang-orang dari segala usia, dengan typical usia saat kejadian pertama sekitar 55 tahun. Prevalensi rheumatoid arthritis meningkat jauh dengan bertambahnya usia, mempengaruhi sekitar 6% dari populasi kulit putih pada usia lebih dari 65 tahun. Di Amerika Serikat, risiko rheumatoid arthritis adalah 3,6% pada wanita dan 1,7% pada pria. Ada beberapa indikasi meningkatnya risiko rheumatoid arthritis dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada wanita. 2 Menurut sensus penduduk pada tahun 1980, di indonesia terdapat 16,3 juta orang (11%) yang berusia 50 tahun ke atas. Pada tahun 2000 diperkirakan jumlah penderita artritis reumatoid meningkat menjadi 9,99% dari seluruh penduduk Indonesia (22.277.700 jiwa) dengan umur harapan hidup 65-70 tahun, sedangakan pada usia di atas 18 tahun diperkirakan 0,1 sampai 0,3 persen dari jumlah penduduk. 3 1 Sari kepustakaan 2 ACC Supervisor Dr. Mahriani

Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

Penatalaksanaan Rheumatoid Artritis Terkini

M. Fuad, Mahriani Sylvawani

Divisi Rheumatologi Bagian Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Unsyiah/BPK RSU Zainoel Abidin Banda Aceh

PENDAHULUAN

Rheumatoid arthritis adalah Penyakit autoimmune yang mempengaruhi sendi. Di seluruh

dunia, sekitar 1% dari populasi menderita penyakit ini, dengan prevalensi yang lebih tinggi pada

orang keturunan Eropa atau Asia.1 Rheumatoid arthritis dapat berkembang pada orang-orang dari

segala usia, dengan typical usia saat kejadian pertama sekitar 55 tahun. Prevalensi rheumatoid

arthritis meningkat jauh dengan bertambahnya usia, mempengaruhi sekitar 6% dari populasi kulit

putih pada usia lebih dari 65 tahun. Di Amerika Serikat, risiko rheumatoid arthritis adalah 3,6%

pada wanita dan 1,7% pada pria. Ada beberapa indikasi meningkatnya risiko rheumatoid arthritis

dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada wanita. 2

Menurut sensus penduduk pada tahun 1980, di indonesia terdapat 16,3 juta orang (11%)

yang berusia 50 tahun ke atas. Pada tahun 2000 diperkirakan jumlah penderita artritis reumatoid

meningkat menjadi 9,99% dari seluruh penduduk Indonesia (22.277.700 jiwa) dengan umur

harapan hidup 65-70 tahun, sedangakan pada usia di atas 18 tahun diperkirakan 0,1 sampai 0,3

persen dari jumlah penduduk. 3

Menurut riset kesehatan dasar (riskesdas) 2007, prevalensi penyakit sendi secara nasional

30,3% berdasarkan keluhan penderita dan 14% berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan. Di

Nanggroe Aceh Darussalam dilaporkan prevalensi penyakit sendi 34,2% berdasarkan keluhan

penderita dan 23,1% berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan. Pada riset ini mengenai penyakit

sendi tidak di bagi secara lebih terperinci.4

Arthritis secara umum, dan rheumatoid arthritis khususnya, adalah penyebab umum dari

kecacatan. Lebih dari sepertiga pasien akhirnya mengalami gangguan aktivitas sehari hari karena

penyakit.5 Hilangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dimulai sejak awal

setelah onset penyakit, 80% dari pasien yang yang mengalami gangguan aktivitas sehari-hari

setelah 2 tahun, dan 68% setelah 5 tahun.6 Harapan hidup menjadi lebih pendek hingga mencapai

3 sampai 5 tahun dari harapan hidup populasi umum, terutama pada pasien dengan penyakit

ekstra-artikular dan mereka yang mengalami penyakit serius terkait efek samping pengobatan

1

Sari kepustakaan 2Divisi rheumatologi

ACC Supervisor

Dr. Mahriani Sylvawani,SpPD

Page 2: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

termasuk infeksi, tumor, dan toksisitas gastrointestinal dari obat yang digunakan untuk

mengobati rheumatoid arthritis.7 Selain itu, pasien dengan rheumatoid arthritis 50% mempunyai

risiko yang lebih besar terkena serangan jantung dan lebih dari 2 kali lipat mengalami

peningkatan risiko gagal jantung. 8,9,10

The American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism

(ACR/EULAR) 2010 membuat kriteria untuk rheumatoid arthritis untuk peningkatan pendekatan

diagnostik dan ketepatan pengobatan. Kriteria ini juga bertujuan untuk intervensi dini sehingga

meningkatkan hasil pengobatan, mencegah kerusakan sendi, dan membatasi penurunan

fungsional. 11

Tujuan dari tulisan ini adalah karena tingginya angka penderita rheumatoid arthritis pada

masyarakat dan besarnya komplikasi yang ditimbulkannya, sehingga diharapkan akan bertambah

pengetahuan kita dalam memberikan terapi pada penderita rheumatoid arthritis untuk mengontrol

peradangan yang mendasari penyakitnya. Pencapaian tujuan ini diharapkan akan mengurangi

rasa sakit, mengembalikan kualitas hidup penderita, dan pada akhirnya, kemandirian dan

kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari penderita. Tujuan utama jangka

panjang dari pengobatan adalah untuk mencegah kerusakan sendi dan mencegah komorbiditas

penyakit dan komplikasi pengobatan, termasuk penyakit jantung dan osteoporosis.

ETIOLOGI

Walaupun faktor penyebab maupun patogenesis Rheumatoid arthritis sebenarnya hingga

kini tetap belum diketahui dengan pasti, faktor genetik seperti produk kompleks

histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR) dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga

berperanan dalam timbulnya penyakit ini. Selain itu faktor hormon, imunologi, dan faktor-faktor

infeksi mungkin memainkan peran penting. Faktor sosial-ekonomi, psikologis, dan faktor gaya

hidup dapat mempengaruhi hasil akhir penyakit.12,13

PATOGENESA

Patogenesis Rheumatoid arthritis dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada

pada membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut, antigen akan diproses oleh antigen

presenting cell (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel dendritik

atau makrofag dan semuanya mengekspresi determinan Human leukocyte antigen-heterodimer

2

Page 3: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

(HLA-DR) pada membran selnya. Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan

oleh CD4+, suatu subset sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Untuk memungkinkan

terjadinya aktivasi CD4+, sel tersebut harus mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang

terdapat pada permukaan membran APC. Proses aktivasi CD4+ ini juga dibantu oleh interleukin-

1 (IL-1) yang disekresi oleh monosit atau makrofag. Pada tahap selanjutnya, antigen, determinan

HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC dan CD4+ akan membentuk suatu

kompleks antigen trimolekuler. Kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi

reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oleh CD4+ akan

mengikatkan diri pada reseptornya dan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel

tersebut. Prolifersi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam

lingkungan tersebut.12,13

Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresikan berbagai limfokin lain

seperti interferon-A , tumor necrosis factor β (TNF-β), IL-3, IL-4 (B-cell differentiating factor,

granulocytel macrophage coloni stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang

bekerja merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B untuk memproduksi antibody.

Produksi antibody oleh sel B ini juga dibantu oleh IL-1, IL-2, IL-4 yang disekresi oleh CD4+

yang telah teraktivasi. Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan

akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas kedalam ruang sendi.

Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan menyebabkan aktivasi sistem

komplemen dan membebaskan komplemen C5a. Komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik

yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga menarik lebih banyak sel PMN yang

memfagositir kompleks imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi mast cells dan

pembebasan radikal oksigen, leukotriene, enzim lisosomal, prostaglandin, collagenase dan

stromelysin yang semuanya bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan

seperti erosi rawan sendi dan tulang.12,14,15

Radikal oksigen dapat menyebabkan terjadinya depolimerasi hyaluronate sehingga

mengakibatkan terjadinya penuurunan viskositas cairan sendi serta juga merusak jaringan

kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Walupun leukotrien LTB diketahui menyebabkan

terjadinya migrasi dan aggregasi netrofil yang kuat, akan tetapi peranan LTB pada patogenesis

AR belum dapat dijelaskan secara pasti. Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang

kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan

3

Page 4: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

TNF-β. Akan tetapi karena PGE2 juga menghambat sekresi IL-2 dan A-interferon, PGE2 juga

memiliki efek anti inflamasi.12,16,17

Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T kedalam membran

sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling bersifat

destruktif pada patogenesis Rheumatoid arthritis. Pannus merupakan jaringan granulasi yang

terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang berproliferasi dan jaringan

mikrovaskular. Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta

tulang sehingga dapat menghancurkan strukur persendian. Jika proses pembentukan pannus

tidak terhenti baik karena pengobatan atau terjadinya remisi spontan, proses ini akan

menyebabkan terjadinya ankilosis.Pembentukan pannus juga mengakibatkan terjadinya

peningkatan ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang merupakan tempat

perlekatan sel mononukleus pada sel endotel mikrovaskular. Ekspresi ICAM-1 pada sel endotel

kapiler sinovial mengakibatkan terjadinya peningkatan adhesi sel mononukleus pada endotel

kapiler. Walaupun pada AR terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan adhesi sel

mononuklear, tidak semua subset sel T mengalami migrasi dari kapiler sinovial. Hanya fenotip

sel T tertentu saja yang keluar dari kapiler sinovial yaitu subset CD4+, CD45RO, dan

CD29.12,16,17

Peristiwa diatas menunjukkan bahwa pengenalan antigen AR terjadi setelah subset sel T

tersebut meninggalkan thymus. Terdapatnya reseptor MHC Class II seperti HLA-DR, DQ dan

DP pada permukaan sel T bersama dengan adanya very late antigen type 1 (VLA-1)

menunjukkan bahwa aktivasi dan proliferasi sel T terjadi secara lokal. Dari penemuan ini dapat

disimpulkan bahwa aktivasi sel T mungkin di cetuskan oleh suatu antigen yang tidak diketahui,

APC atau kompleks peptida trimolekuler dalam ruang sendi yang mengakibatkan terjadinya

sinovitis pada Rheumatoid arthritis. 12,16,17

Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat

dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada Rheumatoid arthritis, antigen atau

komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses destruksi sendi

akan berlangsung terus. Berlangsung terusnya destruksi persendian pada Rheumatoid arthritis

kemungkinan juga disebabkan karena terbentuknya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah

suatu autoantibodi terhadap epitope fraksi Fc yang dijumpai pada 70 sampai 90 % pasien

Rheumatoid arthritis. Bagaimana suatu imunoglobulin dapat berubah sifatnya menjadi antigen ,

4

Page 5: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

hal ini belum dapat diterangkan dengan jelas. Faktor reumatoid juga dapat berikatan dengan

komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus.

Terbentuknya autoantibodi terhadap collagen type II baik yang bersifat native ataupun yang telah

mengalami denaturasi dapat pula mengekalkan terjadinya peradangan dengan mekanisme yang

sama.12,16,17

MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinis dari rheumatoid arthritis spesifik termasuk polyarthritis simetris dengan

pembengkakan sendi, terutama tangan dan kaki, meskipun salah satu sendi apendikular dapat

terkena. Pasien dengan rheumatoid arthritis riwayat kekakuan pagi hari yang berlangsung 1 jam

atau lebih. Karakteristik nodul subkutan dan manifestasi penyakit extra artikular termasuk

interstitial penyakit paru, vaskulitis, dan berbagai bentuk inflamasi penyakit mata yang

merupakan penanda penyakit yang parah. 18

DIAGNOSIS

Kriteria diagnostik Rheumatoid arthritis disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite

khusus dari American Reumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena kriteria tersebut

dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam klinik, komite tersebut

melakukan peninjauan kembali terhadap kriteria klasifikasi Rheumatoid arthritis pada tahun

1958.

Dengan kriteria tahun 1958 ini seorang di katakan menderita AR klasik jika memenuhi 7

dari 11 kriteria yang di tetapkan, definit jika memenuhi 5 kriteria, probable jika memenuhi 3

kriteria dan possible jika memenuhi 2 kriteria saja. Walaupun kriteria tahun 1958 ini telah

digunakan selama hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan

yang pesat mengenai Rheumatoid arthritis, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan

kriteria tersebut banyak dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat memasukkan jenis artritis lain

seperti spondyloarthropathy seronegatif, penyakit pseudo rheumatoid akibat deposit calcium

pyrophosphate dihydrate, lupus eritematosus sistemik, polymyalgia rheumatica, penyakit lyme

dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai Rheumatoid arthritis.

Pembagian rheumatoid arthritis sebagai classic, definite, probable dan possible, secara

klinis juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek sehari-hari,

5

Page 6: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

tidak perlu dibedakan penatalaksanaan Rheumatoid arthritis yang classic dari Rheumatoid

arthritis definite. Selain itu seringkali pasien yang terdiagnosis sebagai penderita Rheumatoid

arthritis probable ternyata menderita jenis artritis yang lain.

Pada tahun 1987 American Rheumatism Association membuat kriteria baru untuk

menegakkan diagnosis rheumatoid artritis dengan 7 poin kriteria dan harus didapati 4 atau lebih

kriteria berikut ini : 1) Kaku pagi hari selama paling sedikit 1 jam dan sudah berlangsung paling

sedikit 6 minggu. 2) Pembengkakan pada 3 sendi atau lebih selama paling sedikit 6 minggu. 3)

Pembengkakan pergelangan tangan, sendi metakarpofalang, atau interfalang proksimal selama 6

minggu atau lebih. 4) Pembengkakan sendi yang simetris. 5) Pemeriksaan radiologi tangan

menunjukkan perubahan khas artritis reumatoid, harus didapati erosi atau dekalsifikasi tulang

yang nyata. 6) Nodul reumatoid. 7) Serum faktor Reumatoid positif.

Walaupun peranan faktor reumatoid patogenesis rheumatoid artritis belum dapat

diketahui dengan jelas, dahulu dianggap penting untuk memisahkan kelompok pasien seropositif

dan seronegatif. Akan tetapi pada faktanya, faktor reumatoid seringkali tidak dapat dijumpai

dalam stadium dini penyakit atau pembentukannya dapat ditekan oleh disease modifying anti-

rheumatic drug (DMARD) 12,13

Pada tahun 2010 The American College of Rheumatology/European League Against

Rheumatism (ACR/EULAR) 2010 membuat kriteria untuk rheumatoid arthritis untuk

peningkatan pendekatan diagnostik dan ketepatan pengobatan. Kriteria ini juga bertujuan untuk

intervensi dini sehingga meningkatkan hasil pengobatan, mencegah kerusakan sendi, dan

membatasi penurunan fungsional. Dengan intervensi pada waktu yang tepat dan diagnosis akurat

mengurangi beban penyakit dan perkembangan rheumatoid arthritis, dengan hasil yang sangat

baik, dengan lebih banyak pasien mampu beraktivitas dan kurang perlu untuk operasi

rekonstruksi sendi daripada dekade sebelumnya. Harapan untuk pengelolaan penyakit telah

menjadi lebih ketat sebagai dampak dari pemahaman penyakit menjadi lebih baik dan perawatan

lebih baik. Pengharapan saat ini telah terjadi perubahan mendasar dalam pikiran rheumatolog

dan pasiennya, yang berharap remisi lengkap aktivitas penyakit atau mendekati remisi sebagai

tujuan pengobatan. 13

Klasifikasi "artritis-rheumatoid pasti" didasarkan pada ditemukan Synovitis setidaknya

pada 1 sendi, ketiadaan diagnosis alternatif yang lebih baik untuk sinovitis tersebut, dan dijumpai

6 skor atau lebih tinggi dalam 4 domain skor individu (Tabel 1). 11,19 Domain dan rentang nilai

6

Page 7: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

tersebut adalah sebagai berikut: jumlah dan lokasi sendi yang terlibat (0-5), kelainan serologi (0-

3), peningkatan respon fase akut (skor, 0-1), dan durasi symptom (2 tingkat, skor, 0-1).

Penggabungan lebih spesifik anti-citrullinated protein antibodi (ACPA) serologi tes, yang

memiliki spesifisitas tinggi (>90%) dan sensitivitas sedang (~60%) untuk rheumatoid arthritis.

Faktor rheumatoid juga dapat digunakan sebagai serologi penanda penyakit, meskipun memiliki

spesifisitas rendah (<70%), dengan pembanding sensitivitas ACPA, yang meningkat menjadi

sekitar 80% pada penyakit yang sudah lama.18,19

Penerapan kriteria baru memfasilitasi rujukan lebih awal pasien dengan inflamasi arthritis

untuk rheumatolog dan diagnosis lebih dini rheumatoid arthritis. Sebagai contoh, pasien dengan

kekakuan di pagi hari, satu pergelangan tangan bengkak, dan positif tes ACPA pada minggu ke 6

atau kurang dengan konsentrasi protein C-reaktif yang abnormal [CRP] memenuhi kriteria untuk

arthritis, dan modifikasi terapi harus dimulai.18

Pada beberapa pasien dengan arthritis dini, pemeriksaan klinis tidak dapat dibuktikan

adanya sinovitis, khususnya pada mereka dengan uji seronegative untuk penyakit ini. Lebih

lanjut teknik pencitraan seperti ultrasonografi resolusi tinggi dan magnetik resonansi imaging

dapat digunakan. Identifikasi sinovitis, edema tulang, dan erosi tulang yang tidak jelas pada

pemeriksaan klinis dapat menegakkan diagnosis awal ketika temuan klinis tidak mendukung

untuk diagnosis. 18-19

7

Page 8: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

Table 1. ACR/EULAR 2010 kriteria klasifikasi rematoid arthritis 11,18

Variable a Nilai Target populasi yang harus diuji: Pasien yang memiliki setidaknya 1 sinovitis klinis pasti (pembengkakan) b Pasien dengan sinovitis tidak bisa dijelaskan dengan penyakit lain c

Klasifikasi kriteria untuk RA (skor berbasis algoritma: jumlahkan skor kategori A-D, jumlah skor 6/10 diperlukan untuk klasifikasi pasti.d

A) Keterlibatan bersama e

1 sendi besarf 0 2-10 sendi besar 1 1-3 kecil sendi (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) g 2 4-10 kecil sendi (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3 Lebih 10 sendi, Termasuk setidaknya 1 sendi kecil h 5B) temuan serologi (setidaknya diperlukan satu hasil tes untuk klasifikasi) i

RF dan ACPA negatif 0 RF dan ACPA positif rendah 2 RF dan ACPA positif tinggi 3C) Fase akut reaktan (setidaknya satu hasil tes yang diperlukan untuk klasifikasi) j

CRP dan LED normal 0 CRP dan LED tidak normal 1D) Durasi gejala (minggu) k

Kurang 6 minggu 0 Lebih 6 minggu 1

a ACPA = anti-citrullinated protein antibody; ACR = American College of Rheumatology; CRP = C-reactive protein; LED = laju endap darah; EULAR= European League Against Rheumatism; RA = rheumatoid arthritis; RF = rheumatoid factorb Kriteria untuk klasifikasi pasien baru. Selain itu, pasien dengan penyakit erosif khas RA dengan riwayat yang memenuhi dari kriteria 2010 diklasifikasikan sebagai memiliki RA. Pasien dengan lama penyakit termasuk orang dengan penyakit aktif(Dengan atau tanpa pengobatan) berdasarkan data yang tersedia secara retrospektif, sebelumnya telah memenuhi kriteria tahun 2010 harus diklasifikasikan sebagai memiliki RA.c. diagnosa Diferensial bervariasi antara pasien dengan temuan klinis yang berbeda, dapat mencakup kondisi seperti lupus eritematosus sistemik, Psoriatic arthritis, dan asam urat. Jika tidak jelas diagnosis diferensial yang relevan untuk dipertimbangkan, harus berkonsultasi seorang rheumatologist ahli.d. Walaupun pasien dengan skor < 6/10 tidak diklasifikasikan sebagai memiliki RA, status mereka dapat ditinjau kembali, dan mungkin terpenuhi kriteria secara kumulatif dari waktu ke waktu.e. Keterlibatan sendi mengacu pada setiap sendi bengkak atau pada pemeriksaan, yang dapat dibuktikan oleh bukti pencitraan sinovitis. sendi interphalangeal distal, sendi carpometacarpal pertama, dan sendi metatarsophalangeal pertama. Kategori distribusi sendi diklasifikasikan sesuai dengan lokasi dan jumlah sendi yang terlibat, dengan penempatan dalam kategori tertinggi pada pola keterlibatan bersama.f. sendi besar termasuk bahu, siku, pinggul, lutut, dan pergelangan kaki.g sendi kecil termasuk sendi metacarpophalangeal, sendi interphalangeal proksimal, sendi metatarsophalangeal kelima,jempol interphalangeal sendi, dan pergelangan tangan.h. Dalam kategori ini, setidaknya salah satu sendi kecil yang terlibat harus bersama, sendi lainnya dapat mencakup kombinasi besar dan sendi kecil dan sendi lain tidak secara khusus tercantum di tempat lain (misalnya, temporomandibular, acromioclavicular, sternoklavikularis sendi).i. Negatif mengacu pada nilai-nilai satuan internasional yang kurang dari atau sama dengan nilai terendah untuk uji laboratorium, dan positif mengacu ke unit internasional nilai-nilai yang lebih tinggi dari 3 kali nilai normal atau lebih untuk uji laboratorium, Ketika informasi RF hanya tersedia sebagai positif atau negatif, hasil positif harus dinilai sebagai positif rendah untuk RF.j normal atau abnormal ditentukan oleh standar laboratorium lokal.k Laporan diri pasien dari durasi tanda atau gejala sinovitis (misalnya, nyeri, pembengkakan) sendi yang terlibat di saat penilaian, tidak dalam status pengobatan.

8

Page 9: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

Penilaian Aktivitas Penyakit

Evaluasi klinis rheumatoid arthritis harus meliputi penilaian kuantitatif aktivitas penyakit,

dan keputusan pengobatan harus bertumpu pada penilaian evaluasi rutin yang meliputi penilaian

dari laporan pasien termasuk nyeri, Penilaian terbaik dengan menggunakan Disease Activity

Score, dan dengan Quesioner Disability Index score. Dokter, perawat terlatih, atau asisten dokter

melakukan evaluasi global assessment. Penilaian ini dilakukan menggunakan visual skala

analog, baik dalam kertas atau format elektronik. Evaluator juga secara fisik memeriksa sendi

dan mengevaluasi jumlah kerusakan dan pembengkakan sendi berdasarkan hitungan DAS 28,

yang termasuk didalamnya sendi interphalangeal proksimal (pertama sampai kelima),

metacarpophalangeal (pertama sampai kelima), pergelangan tangan, siku, bahu, dan lutut, pada

kedua sisi tubuh. Secara rutin juga dinilai konsentrasi serum CRP, yang berguna sebagai

biomarker. Beberapa ahli lebih suka mengukur tingkat sedimentasi eritrosit karena tes sederhana,

lebih dapat diandalkan, dan tidak tergantung usia.20

Komposisi ukuran faktor-faktor individu harus digunakan untuk menentukan aktivitas

klinis penyakit. ukuran tersebut lebih sensitif terhadap perubahan dalam aktivitas penyakit

dibandingkan pemeriksaan diatas. Untuk menilai aktivitas Penyakit dan respon pengobatan

menggunakan Score (DAS28) yang direkomendasikan oleh EULAR. 18,19,20,

Target Terapi

Konsensus EULAR bahwa target utama dari terapi rheumatoid arthritis adalah remisi,

didefinisikan sebagai tidak adanya tanda-tanda atau gejala penyakit inflamasi aktif. Remisi

merupakan target yang realistis dan dapat dicapai di era saat ini, ketika memberikan target

strategi yang digunakan dan ketika penyakit ini didiagnosis dan diobati sejak dini. Pengobatan

dengan strategi kontrol ketat menggunakan nilai skor DAS28 tujuan yang diharapkan lebih

rendah dari 2,6, menyebabkan remisi klinis lebih cepat dan lebih sering daripada melakukan

pengobatan biasa pada saat ini. 18,19,21

ACR dan EULAR menerbitkan kriteria remisi. 11 Rheumatoid arthritis sekarang

didefinisikan sebagai pencapaian remisi dengan nilai SDAI 3.3 atau CDAI 2,8 pada minggu 14

atau radiografi adalah merupakan prediksi dari pada 1 tahun, terlepas dari terapi dengan

methotrexate (MTX) sendiri atau kombinasi dengan infliximab. 18

9

Page 10: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

Remisi tidak mungkin dapat dicapai pada semua pasien, khususnya mereka dengan

penyakit yang berat dan refrakter. Ada juga ketidakpastian tentang keabsahan kriteria remisi

dalam praktek klinis. Untuk mempermudah menilai remisi dapat dilihat table 2 dibawah ini. 18,19,20,

TABEL 2. Pengukuran aktivitas Penyakit a, b

Rekomendasi penjumlahan nilai pengukuran

SDAI = TJC + SJC + PGA + EGA + CRP

CDAI = TJC + SJC + PGA + EGA

Nilai batas aktivitas penyakit

Level absolute aktivitas penyakit

Index Remisi Rendah Sedang Tinggi

SDAI ≤ 3,3 ≤ 11 ≤ 26 >26

CDAI ≤ 2,8 ≤ 10 ≤ 22 >22

aCDAI = Clinical Disease Activity Index; CRP = C-reactive protein (mg/dL); EGA = Evaluator Global Assessment (0-100 mm); PGA = Patient Global Assessment (0-100 mm); SDAI= Simplified Disease Activity Index; SJC = No. of swollen joints using a 28-joint count; TJC= No. of tender joints using a 28-joint count.b pengukuran aktivitas penyakit dengan penjumlahan instrument aktivitas.SDAI untuk pasien dengan peningkatan acute-phase reactant, and untuk semua pengukuran lain menggunakan CDAI.

Tingkat Keparahan Penyakit dan Prognosis

Klinisi harus menilai kemungkinan perkembangan penyakit dan komplikasi pada pasien

dengan rheumatoid arthritis. Pada diagnosis, berguna sebagai prediktor penyakit parah dan

prognosis buruk termasuk hasil tes darah untuk faktor rheumatoid dan/atau ACPA positive,

kecacatan yang lebih besar, peningkatan konsentrasi akut fase reaktan, dan dijumpai erosi sendi

pada radiografi. Dijumpai faktor rheumatoid, ACPA, atau alelnya merupakan risiko utama untuk

rheumatoid arthritis, Human leukocyte antigen-heterodimer consisting of a beta 1 chain, (HLA-

DRB1) tidak bermamfaat untuk memprediksi respon pengobatan saat ini. 18

Ada beberapa bukti bahwa alat prediksi klinis radiografi mungkin berguna dalam menilai

risiko perkembangan penyakit, namun, tidak disarankan penggunaannya dalam praktek klinis.

Peran panel biomarker yang tersedia secara komersial lebih berguna untuk memprediksi respons

pengobatan dan kemungkinan hasil yang buruk, strategi pengobatan yang baik akan

memperbaiki manajemen rheumatoid arthritis.18

10

Page 11: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

MANAJEMEN PENGOBATAN

Terapi non Farmakologi

Pertimbangan terapi nonfarmacologi adalah penting, untuk manajemen optimal

rheumatoid arthritis. Pendidikan pasien tentang pathophysiologi karakteristik penyakit,

keterampilan manajemen diri, dan prinsip-prinsip proteksi menyebabkan peningkatan kesehatan

fisik dan fungsional penderita. Terapi okupasi, menguntungkan untuk perlindungan dan

pengguanaan alat bantu orthotics, dan bebat, yang secara substansial dapat meningkatkan fungsi

dan mengurangi rasa sakit. 11,18,19 Mengurangi kelelahan yang berhubungan dengan rheumatoid

arthritis dan istirahat sendi selama periode peradangan tidak terkontrol akan mengurangi gejala

penyakit. Terapi Kognitif behavioral juga dapat bermanfaat bagi pasien kelelahan dengan

meningkatkan manajemen diri dan mengurangi rasa tak berdaya. program latihan dinamis yang

menggabungkan latihan aerobik dan pelatihan resistensi progresif meningkatkan kebugaran dan

kekuatan, membuat massa tubuh tanpa lemak, dan aman. Semua manajemen pendekatan kepada

pasien yang terbaik dilakukan oleh tim perawatan multidisipliner yang termasuk rheumatologist,

perawat fisik dan occupational terapis, psikolog, dan perawatan dokter umum terampil.18,22,23

11

Page 12: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

Pendekatan Pengobatan

Pasien yang baru didiagnosis rheumatoid arthritis pengobatan awal lebih baik dengan

monoterapi MTX (Gambar 1). Beberapa konsensus merekomendasi penggunaan kombinasi

(DMARDs) pada pasien,

Gambar 1. Pendekatan penatalaksanaan terkini diagnosis untuk rheumatoid arthritis (RA) selama 6 bulan follow-up. ACR/EULAR 2010= American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010 Classification Criteria for RA; CDAI = Clinical Disease Activity Index; CTLA4:Ig = cytotoxic T lymphocyte–associated antigen 4:immunoglobulin fusion protein; HCQ = hydroxychloroquine; LEF = leflunomide; MTX = methotrexate; Rx = prescription; SC = subcutaneous; SDAI = Simplified Disease Activity Index; SSZ = sulfasalazine; TNF = tumor necrosis factor.

Beberapa pendapat mengatakan MTX tidak bisa diandalkan atas dasar prediksi klinis,

pendapat lain mengingat praktisnya biaya menggunakan MTX sehingga mendukung terapi awal

dengan MTX atau kombinasi DMARDs atau agen biologis. Pada saat ini, MTX digunakan

sebagai terapi pada kebanyakan pasien kecuali ada kontraindikasi. Dosis awal untuk memulai

MTX adalah dengan dosis 15 mg / minggu bersama dengan asam folat 1 mg/hari. Dosis rendah

MTX diperlukan pada pasien tua dan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Suplemen asam

folat mengurangi kerusakan mucosa dan toksisitas gastrointestinal, dan kemungkinan

sitotoksisitas hati tanpa mengurangi efektivitas MTX. 18

Banyak uji klinis telah dilaporkan bermanfaat dengan terapi dosis tinggi prednison pada

terapi rheumatoid arthritis. Dua studi di Eropa, COBRA (Kombinasi Terapi Rheumatoid

Arthritis) dan BeSt (Behandel-Stratieën), ditemukan bahwa rejimen dosis tinggi prednison oral

12

Page 13: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

(60 mg, diturunkan menjadi 7,5 mg selama 6 minggu, kemudian berhenti setelah Minggu 12)

kombinasi dengan DMARDs konvensional lainnya menghambat perkembangan kerusakan sendi

pada penilaian radiografi, dan efek ini bertahan selama bertahun-tahun. Secara khusus, temuan

BeSt menunjukkan bahwa penambahan dosis tinggi terapi prednison dapat mengurangi dosis

terapi biologis lebih lanjut, dalam hal ini dengan infliximab. 18,24

Setelah 6 sampai 12 Bulan Pertama Penyakit

Dalam beberapa rekomendasi untuk pasien dengan penyakit aktif, dipertimbangkan

dengan terapi tunggal atau kombinasi obat DMARD secara terpisah dari pasien yang terjadi

perubahan respon biologis. Pada pasien yang menerima DMARD, baik terapi triple-DMARD

harus dimulai, menambahkan SSZ (sulfasalazine) dan HCQ (hydroxychloroquine) untuk

mengoptimalkan terapi MTX, atau inhibitor TNF atau CTLA-4: Ig (abatacept) harus

ditambahkan pada terapi MTX. Pada pasien yang menerima agen biologis tertentu harus

dihentikan pada permulaan triple-DMARD atau pengobatan menggunakan agen biologis

alternatif. Setiap pengobatan harus dievaluasi selama minimal 3 sampai 6 bulan untuk menilai

efektivitasnya. Gambar 2 dibawah ini merupakan panduan obat antara 6 sampai 12 bulan.18,25,26

Gambar 2. Pendekatan penatalaksanaan terkini diagnosis rheumatoid arthritis (RA) dari 6 bulan sampai 1 tahun. anti–IL-6R = anti-interleukin 6 receptor; CDAI = Clinical Disease Activity Index; CTLA4:Ig = cytotoxic T lymphocyte–associated antigen 4:immunoglobulin fusion protein; DMARD = disease-modifying antirheumatic drug; HCQ = hydroxychloroquine; mAb = monoclonal antibody; MTX = methotrexate; Rx = prescription; SC = subcutaneous; SDAI = Simplified Disease Activity Index; SSZ = sulfasalazine; TNF = tumor necrosis factor.

13

Page 14: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

Setelah 12 Bulan Penyakit

Setelah 1 sampai 2 tahun pertama, manfaat terapi kortikosteroid jangka panjang sering

sebanding dengan risiko, termasuk katarak, osteoporosis dan patah tulang, dan berpotensi,

penyakit kardiovaskular. Pada periode awal penyakit, terapi prednison memperbaiki gejala klinis

dan tidak mengubah jalannya perkembangan penyakit. Pedoman EULAR terbaru untuk

manajemen risiko kardiovaskular pada pasien dengan rheumatoid arthritis merekomendasikan

menggunakan dosis terendah prednisone. Rekomendasi terakhir 2010 untuk pencegahan

osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid, jelas tidak aman penggunaan dosis prednison yang

lama. Dengan demikian, di luar 1 sampai 2 tahun pertama penyakit, penggunaan prednison hanya

digunakan sebagai terapi jembatan untuk flare-up sambil menunggu efek nonbiologic dan terapi

biologis DMARD. Gambar 3 merupakan panduan untuk mengobati rheumatoid arthritis setelah

12 bulan.18,27,28,29

Gambar 3. pendekatan penatalaksanaan terkini diagnosis rheumatoid arthritis (RA) setelah sat tahun penyakit. Terapi DMARD digunakan bersama methotrexate (MTX) dan konvensional lain dari DMARD. Terapi biologic bersama pengobatan dengan tumor necrosis factor (TNF) inhibitors, abatacept, rituximab, tocilizumab, atau anakinra. anti–IL-6R = anti-interleukin 6 receptor; CDAI = Clinical Disease Activity Index; CTLA4:Ig = cytotoxic T lymphocyte–associated antigen 4:immunoglobulin fusion protein; HCQ = hydroxychloroquine; IL-1ra = interleukin 1 receptor antagonist; LEF = leflunomide; mAb = monoclonal antibody; Rx = prescription; SDAI = Simplified Disease Activity Index; SSZ = sulfasalazine.

14

Page 15: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

KESIMPULAN

Manajemen kontemporer rheumatoid arthritis menekankan diagnosis dini, pemantauan

kuantitatif aktivitas penyakit, dan terapi intensif untuk mencapai hasil terbaik bagi pasien.

Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk menghambat aktivitas penyakit, radang dan

mencapai remisi jangka panjang, yang idealnya akan berarti tidak adanya keluhan penyakit dan

kebutuhan obat minimal. Penerapan kriteria klasifikasi ACR / EULAR 2010 untuk rheumatoid

arthritis memfasilitasi diagnosis dini, yang sangat penting untuk probabilitas remisi klinis dengan

memodifikasi terapi. Pendekatan pengobatan adalah dengan menggunakan MTX ditambah

prednison sebagai pengobatan awal. Tiga bulan adalah waktu yang kritis di mana kita menilai

respon terhadap MTX dan mempertimbangkan langkah untuk strategi pengobatan kombinasi

lebih lanjut.

15

Page 16: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

KEPUSTAKAAN

1. Helmick CG, Felson DT, Lawrence RC, et al; National Arthritis Data Workgroup. Estimates of

the prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States.Part I. Arthritis

Rheum. 2008;58(1):15-25.

2. Crowson CS, Matteson EL, Myasoedova E, et al. The lifetime risk of adult-onset rheumatoid

arthritis and other inflammatory autoimmune rheumatic diseases. Arthritis Rheum. 2011;

63(3):633-639.

3. Addy S. Gambaran Pengetahuan keluarga tentang Artritis Reumatoid. 2009. Diunduh dari

http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=5030.(29 Agustus 2012)).

4. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan, Republik Indonesia, Des 2008: 110-112

5. Allaire S, Wolfe F, Niu J, Lavalley MP. Contemporary prevalence and incidence of work

disability associated with rheumatoid arthritis in the US. Arthritis Rheum. 2008;59(4):474- 480.

6. Sokka T, Kautiainen H, Pincus T, et al; QUEST-RA. Work disability remains a major problem in

rheumatoid arthritis in the 2000s: data from 32 countries in the QUEST-RA study. Arthritis Res

Ther. 2010;12(2):R42.

7. Gabriel SE, Crowson CS, Kremers HM, et al. Survival in rheumatoid arthritis: a population-based

analysis of trends over 40 years. Arthritis Rheum. 2003;48(1):54-58.

8. Lindhardsen J, Ahlehoff O, Gislason GH, et al. The risk of myocardial infarction in rheumatoid

arthritis and diabetes mellitus: a Danish nationwide cohort study. Ann Rheum Dis.

2011;70(6):929-934.

9. Nicola PJ, Crowson CS, Maradit-Kremers H, et al. Contribution of congestive heart failure and

ischemic heart disease to excess mortality in rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum. 2006;

54(1):60-67.

10. Nicola PJ, Maradit-Kremers H, Roger VL, et al. The risk of congestive heart failure in

rheumatoid arthritis: a populationbased study over 46 years. Arthritis Rheum. 2005;52(2):412-

420.

11. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, et al. 2010 Rheumatoid arthritis classification criteria: an

American College of Rheumatology/ European League Against Rheumatism collaborative

initiative. Arthritis Rheum. 2010;62(9):2569-2581.

12. Daud R. 2007. Artritis Reumatoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.

Jakarta: FKUI

13. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrisson’s Principles Internal Medicine 17th edition.

16

Page 17: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

14. Thomas.R, MacDonald.K.P.A, Pettit.A.R, Cavanagh.L.L, Padmanabha.J, and Zehntner.S.

Dendritic cells and the pathogenesis of rheumatoid arthritis J.Leukoc. Biol. 1999; 66: 286–92

15. Firestein G.S, Pathogenesis of rheumatoid arthritis: how early is early? Arthritis Research &

Therapy 2005, 7:157-159

16. Weissmann G, The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis Bulletin of the NYU Hospital for Joint

Diseases. 2006; 64(1 & 2): 12-15

17. Firestein G.S, Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis, in Rheumatoid Arthritis, Part

9; 1035-86

18. Davis.JM, and Matteson.EL, My Treatment Approach to Rheumatoid Arthritis Mayo Clin Proc.

2012;87(7):659-673

19. Smolen JS, Aletaha D, Bijlsma JW, et al; T2T Expert Committee. Treating rheumatoid arthritis to

target: recommendations of an international task force [published correction appears in Ann

Rheum Dis. 2011;70(8):1519] [published online ahead of print March 9, 2010]. Ann Rheum Dis.

2010; 69(4):631-637.

20. Crowson CS, Rahman MU, Matteson EL. Which measure of inflammation to use? A comparison

of erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein measurements from randomized clinical

trials of golimumab in rheumatoid arthritis [published correction appears in J Rheumatol.

2009;36(11): 2625]. J Rheumatol. 2009;36(8):1606-1610.

21. Schipper LG, Vermeer M, Kuper HH, et al. A tight control treatment strategy aiming for

remission in early rheumatoid arthritis is more effective than usual care treatment in daily clinical

practice: a study of two cohorts in the Dutch Rheumatoid Arthritis Monitoring registry. Ann

Rheum Dis. 2012; 71(6):845-850.

22. Barsky AJ, Ahern DK, Orav EJ, et al. A randomized trial of three psychosocial treatments for the

symptoms of rheumatoid arthritis. Semin Arthritis Rheum. 2010;40(3):222-232.

23. Lemmey AB, Marcora SM, Chester K, Wilson S, Casanova F, Maddison PJ. Effects of high-

intensity resistance training in patients with rheumatoid arthritis: a randomized controlled trial.

Arthritis Rheum. 2009;61(12):1726-1734.

24. Landewé RB, Boers M, Verhoeven AC, et al. COBRA combination therapy in patients with early

rheumatoid arthritis: long-term structural benefits of a brief intervention. Arthritis Rheum.

2002;46(2):347-356.

25. Genovese MC, Becker JC, Schiff M, et al. Abatacept for rheumatoid arthritis refractory to tumor

necrosis factor alpha inhibition [published correction appears in N Engl J Med.

2005;353(21):2311]. N Engl J Med. 2005;353(11): 1114-1123.

17

Page 18: Sari Kepustakaan RA 2012 Paska Presentasi

26. Schiff M, Keiserman M, Codding C, et al. Efficacy and safety of abatacept or infliximab vs

placebo in ATTEST: a phase III, multi-centre, randomised, double-blind, placebo-controlled

study in patients with rheumatoid arthritis and an inadequate response to methotrexate. Ann

Rheum Dis. 2008;67(8):1096- 1103.

27. van der Woude D, Young A, Jayakumar K, et al. Prevalence of and predictive factors for

sustained disease-modifying antirheumatic drug-free remission in rheumatoid arthritis: results

from two large early arthritis cohorts. Arthritis Rheum. 2009;60(8):2262-2271.

28. Saleem B, Keen H, Goeb V, et al. Patients with RA in remission on TNF blockers: when and in

whom can TNF blocker therapy be stopped? [published correction appears in Ann Rheum Dis.

2011;70(8):1520. Ann Rheum Dis. 2010;69(9): 1636-1642.

29. Peters MJ, Symmons DP, McCarey D, et al. EULAR evidencebased recommendations for

cardiovascular risk management in patients with rheumatoid arthritis and other forms of

inflammatory arthritis. Ann Rheum Dis. 2010;69(2):325-331.

18