Upload
dinhkien
View
220
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
SAROTAMA
(Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono dalam Mendidik Calon Dalang
yang Berbudi Pekerti, Studi Deskriptif tentang Proses Pendidikan Dalang
untuk Anak-Anak di Padepokan Seni Sarotama di Desa Ngringo, Kecamatan
Jaten, Kabupaten Karanganyar)
Yestha Fajar Pahlevi
Chatarina Heny
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
In the past, shadow puppet or Wayang known as an effective medium in
both transmitting a message and teaching the values of noble character to the
audiences especially in Indonesia. However, today's condition forces Dalang, the
puppet master to take advantage of the Wayang performances becomes more tend
as a entertaining shows rather than a guide of life. Based on this terms, Mudjiono,
one of the Wayang activists in Solo try to maintain the character building aspects
of the Wayang performances by creating Padepokan Sarotama, an informal
Dalang school that educate the early age to become the next generations Dalang.
Padepokan Sarotama now lies in Ngringo villages, Njaten, Karanganyar, Central
Java. Mudjiono hopes that his efforts would answer the needs of Wayang
performances according to the today's society without eliminate the elements of
character buildings.
This documentary movie consists of 3 sections separated in 5 sequences.
The first section is the Opening section that consist of sequence 1 and 2, then the
Content sections is in sequence 3, and Concluding sections that consist of
sequence 4 and 5. The Opening section describes the history and development of
the Wayang in general, and the purpose of Padepokan Sarotama's establishment.
Content section contains opinions and views on the system and methods of
teaching in the Padepokan Sarotama in 3 viewpoints, the founder, the participant,
and the experts. The concluding section describe the expectations, hope, and the
means of the Sarotama's name.
Padepokan Sarotama expected to be an alternative solutions in developing
the Wayang performance of the new approach by conducting the Dalang from the
educational aspect. Since the introduction of traditional arts like Wayang from the
early ages are not only effective in improving the culture and traditional
cognition, but also in building a moral character for its participants.
Keywords: Wayang Performances, Dalang school, Sarotama, Character building
2
Pendahuluan
Kehidupan masyarakat Indonesia seakan tidak pernah lepas dari wayang.
Disebutkan dalam penggalan buku seri Indonesian Heritage dalam bab tentang
Performing Arts bahwa begitu banyak jenis wayang yang pernah hidup atau
masih bertahan hidup di Indonesia. Semenjak awal diciptakan, pertunjukan
wayang kulit merupakan sebuah bentuk komunikasi yang artinya proses
menyampaikan pesan dari komunikator yang dalam hal ini disebut sebagai dalang
kepada audiens yang merupakan para penonton dari pertunjukan wayang. Melalui
serangkaian pemaknaan audiens akan simbol-simbol tertentu, pesan-pesan dalam
pertunjukan wayang tersebut diselipkan melalui plot-plot cerita, dialog-dialog
antar tokoh pewayangan dalam suatu peristiwa dan dalam tembang-tembang yang
diiringi oleh gamelan sebagai musik latarnya. (Hastjarjo, 2012)
Pertunjukan wayang dianggap berhasil bila fungsinya sebagai tuntunan
dan tontonan dapat tersajikan secara seimbang. Artinya, tidak ada yang menonjol
salah satu. Tuntunan, mengarah pada fungsi paedagogis (pendidikan), sedangkan
tontonan, menunjuk pada arah sebagai sosok karya seni yang mengandung nilai
estetis. Pengamat pedalangan STSI Surakarta, Bambang Murtijasa mengatakan
bahwa seluruh cerita wayang itu sendiri merupakan tuntunan budi pekerti. Dengan
kata lain, ruh wayang adalah budi pekerti. Tuntunan budi pekerti terdapat dalam
keseluruhan misi pakem wayang sehingga eksistensi wayang sekarang dan
mendatang sangat tergantung dari kelangsungan muatan nilai budi pekerti yang
diejawantahkan dalam lakon yang dibawakan dan dipagelarkan oleh sang dalang.
(Yuliantoro, 2012)
Namun pada masa kini, unsur tontonan cenderung semakin mendominasi
pertunjukan wayang. Tuntutan kebutuhan masyarakat di era modern mendorong
terjadinya pergeseran makna dan tujuan dari pagelaran wayang dari ketika awal
mula diciptakan. Jika dahulu wayang digunakan untuk sebagai media pemujaan,
ekspresi sastra, dan dakwah, kini wayang cenderung beralih pada konteks hiburan
dan media pengangkat status sosial. Salah satu bentuk hiburan yang populer
disisipkan dalam rangkaian pagelaran wayang adalah adanya bagian limbukan.
Dimana dalam sesi tersebut dilakukan atraksi-atraksi hiburan, humor dan dagelan
3
yang seringkali tanpa sedikitpun membahas mengenai konten lakon yang sedang
dipagelarkan sebelumnya. Hal tersebut juga terlihat ketika pagelaran wayang
mempertontonkan interaksi antara sinden dan dalang yang terjadi seolah-olah
tanpa batasan. Bahkan, seringkali sang dalang dengan para sinden menggunakan
guyonan yang sifatnya porno, jorok, dan terkadang melintasi batas-batas
kesopanan dalam norma masyarakat. Nilai-nilai budi pekerti seolah menjadi
diabaikan dan hanya menjadi tempelan-tempelan demi mengejar formalitas.
Perkembangan ini tentunya tak terlepas dari peranan dalang sebagai sentral
dalam pagelaran wayang. Oleh karena itu peran dalang menjadi sentral dalam
pagelaran wayang. Tak hanya sebagai sumber penyampai pesan, dalang juga
memiliki andil besar dalam proses penyusunan pesan. Proses pemikiran sang
dalang akan nampak dari performa dalang dalam mementaskan pagelaran wayang,
dan pada akhirnya menjadi salah satu indikator utama apakah pesan dalam cerita
atau lakon yang dibawakan dapat tersampaikan atau tidak kepada para audiens.
Disini, peran dalang menjadi lebih daripada seorang seniman atau penyampai
cerita saja, namun lebih pada seorang pemikir dan figur publik yang menjadi
sumber rujukan mengenai nilai-nilai yang terkandung dan dilanggengkan dalam
kehidupan sosial.
Perkembangan pagelaran dalang pada masa kemudian sangat bergantung
pada proses kelahiran para dalang. Disinilah proses pendidikan mengambil peran
yang sangat penting. Pendidikan dalam arti luas bukanlah sebuah proses tunggal
atau kegiatan rutin yang dilakukan di kelas-kelas, melainkan proses panjang yang
berkesinambungan melalui interaksi dengan lingkungan yang berujung pada
proses pembentukan identitas diri seorang manusia.
Kondisi tersebut membuat Mudjiono meluangkan waktunya mendirikan
Padepokan Seni Sarotama sebagai wadah untuk berkreasi dan menjadi ajang
belajar bagi anak-anak yang berminat dan ingin mempelajari seni pedalangan.
Masa kanak-kanak selain merupakan masa yang efektif untuk memulai
memberikan penanaman pendidikan budi pekerti, juga dianggap masa yang paling
baik untuk memulai pengenalan dan pembinaan tentang kesenian. Karena pada
usia 12-14 tahun, anak sudah mulai memiliki kesadaran yang mendalam mengenai
4
dirinya sendiri. Di usia ini anak mulai meyakini kemauan, potensi, dan cita-cita.
Mengidera dan mencerna segala realitas yang ada di sekitarnya dan mengkajinya
secara sederhana berdasarkan nilai-nilai yang dipelajari baik di sekolah maupun
masyarakat. Dengan kesadaran tersebut sang anak berusaha menemukan jalan
hidupnya dan mencari nilai tertentu, seperti kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan,
dan sebagainya. (Kartono, 1990: 139-148)
Sejalan dengan proses pembangunan karakter anak, kegiatan berkesenian
tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan budaya dengan tujuan
melakukan kaderisasi dalang, mempelajari kesenian merupakan salah satu
aktivitas yang baik bagi proses pengembangan kepribadian manusia khususnya
anak-anak. Karena dalam kesenian tradisional banyak terkandung nila-nilai luhur,
seperti budi pekerti, sopan santun, kebijaksanaan, dan sebagainya yang dapat
menjadi sumber pembelajaran. Melalui kesenian, anak selalu didorong untuk
berimajinasi dan mengenal nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dengan cara
yang menyenangkan.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam tugas akhir ini adalah : “Bagaimana gambaran
tentang upaya yang dilakukan Mudjiono dalam mencetak calon dalang muda yang
berbudi pekerti melalui Padepokan Seni Sarotama di Desa Ngringo, Kecamatan
Jaten, Kabupaten Karanganyar dalam format film dokumenter?”
Tujuan
Menunjukkan pentingnya pendidikan kesenian dalang yang dilakukan
sejak dini dengan tujuan untuk mencetak calon-calon dalang yang mengerti akan
nilai-nilai budi pekerti seperti yang dilakukan Mudjiono melalui padepokan Seni
Sarotama. Sehingga diharapkan mereka mampu menjadi jawaban atas akibat
perubahan zaman dalam pagelaran wayang di masa mendatang.
5
Tinjauan Pustaka
1. Komunikasi dan Kebudayaan
“Tanpa komunikasi, kebudayaan apapun akan mati…”. Cuplikan
pendapat John Fiske dalam bagian pengantar bukunya berjudul ”Cultural And
Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komperehensif” di atas
dengan jelas menggambarkan betapa penting peran komunikasi dalam
kehidupan manusia (Fiske, 2004). Terlebih dalam dunia modern, komunikasi
tidak hanya sekedar mendasari segala macam interaksi sosial yang dilakukan
manusia di seluruh di seluruh dunia, teknologi komunikasi yang kini
berkembang begitu pesat membuat tidak ada satu masyarakat di era modern
yang mampu bertahan tanpa komunikasi (Rakhmad, 1991: 7).
Terdapat keterkaitan yang erat antara unsur-unsur budaya dan
komunikasi dalam membangun relasi dan kehidupan bersama pada sebuah
struktur sosial. Hal ini membuat studi komunikasi kemudian selalu melibatkan
studi tentang kebudayaan dan berintegrasi sebagai suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Sebagaimana dikemukakan C. Kluchkohn kebudayaan
diwariskan melalui suatu proses belajar dan bukan secara biologis. Oleh
karenanya, kebudayaan merupakan pola tingkah laku yang dipelajari dan
disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses pelanggengan
budaya tersebut jelas tidak akan bisa dilakukan tanpa adanya proses
komunikasi. Ia menyebutkan, seara umum terdapat tiga proses dalam
mempelajari kebudayaan, antara lain;
1. Proses belajar kebudayaan yang berlangsung sejak lahir hingga mati, yaitu
dalam kaitanya dengan pengembangan perasaaan, hasrat, emosi dalam
rangka pembentukan kepribadian; sekarang dikenal sebagai proses
internalisasi.
2. Karena makhluk manusia dalah bagian dari suatu sistem sosial, maka
setiap individu harus selalu belajar mengenai pola-pola tindakan, agar
dapat mengembangkan hubunganya dengan individu-individu lain di
sekelilingnya. Proses itu kini lebih dikenal sebagai sosialisasi.
6
3. Proses enkulturasi atau pembudayaan yaitu seseorang harus mempelajari
dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya dengan sistem norma yang
hidup dalam kebudayaan (Poerwanto, 2005: 88).
Sedangkan menurut Panuju (1997: 59) kebudayaan merupakan output
dari proses sosial, sekaligus sebagai cara, acuan nilai dan memberi bentuk,
“cara” dan “proses”. Bentuk-bentuk kebudayaan ini selalu berubah seiring
dengan proses sosial. Proses ini bersifat dinamikal, sistematik, adaptatif,
berkesinambungan, transaksional, dan tidak mudah berganti. Peranan
komunikasi dalam proses tersebut adalah;
1. Bahwa komunikasi adalah saluran sosialisasi kebudayaan. Komunikasi
tidak sekedar hanya fenomena pertukaran informasi, pengiriman dan
penerimaan pesan. Lebih dari itu, komunikasi merupakan upaya mencapai
saling pengertian. Melalui proses sosialisasi inilah suatu kebudayaan
diturunkan dan kemudian disebarluaskan (diffussion)
2. Komunikasi menyebarluaskan ide-ide baru, (inovation) sehingga manjadi
nilai-nilai baru. Nilai-nilai ini bisa muncul dari kreativitas individu atau
konsensus kelompok dalam suatu masyarakat.
3. Komunikasi menyediakan kesempatan dan rentang waktu bagi anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru tersebut
(conditioning)
4. Komunikasi dengan sifat pengkondisian persepsi interpretasi, dan
preferensi, cenderung memperkuat kebudayaan yang telah ada
(reinforcement)
5. Komunikasi menyebabkan terjadinya transformasi kebudayaan (cultural
change). Menurut Bakelson dan Steiner, transformasi kebudayaan itu
terjadi secara perlahan-lahan dan gradual (Panuju, 1997: 59).
2. Pagelaran Wayang
Kesenian wayang dalam bentuk asli timbul sebelum kebudayaan Hindu
masuk Indonesia. Pertunjukan wayang adalah sisa-sisa upacara keagamaan
orang Jawa yaitu merupakan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
7
Terdapat beberapa sumber antara lain adalah Serat Centhini dan Serat
Sastramiruda. Menurut kedua serat tersebut, Wayang (yang berasal dari frasa
wewayangan, yang berarti “bayangan”) kali pertama diciptakan oleh Raja
Jayabhaya pendiri Kerajaan Kediri yang berpusat di Jawa Timur. Pada tahun
947 Masehi, Raja Jayabhaya memerintahkan para seniman kerajaan untuk
menggambar para leluhur Raja di atas daun lontar dan mengembangkan
menyadur cerita dari serat Mahabarata dan Ramayana. Kumpulan berbagai
gambar dan cerita tersebut lantas yang sekarang disebut Wayang Purwa (
Purwa yang berarti “permulaan”).
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1223, di bawah
pemerintahan Raden Pandji Rawisrengga yang juga bergelar Raja Suryamisesa
dari kerajaan Jenggala, wayang purwa kali pertama dipertunjukkan dengan
iringan gamelan berikut pakem-pakem tertentu dalam ceritanya. Setiap kali ada
acara penting di istana, diselenggarakan pertunjukkan wayang purwa dengan
Raja Suryamisesa sendiri sebagai dalangnya. Hingga pada jaman Majapahit,
bentuk wayang purwa kemudian digubah menjadi sebentuk gulungan.
Sehingga ketika pertunjukkan berlangsung, wayang gulungan tersebut harus di
beber. Istilah pertunjukan wayang jenis ini disebut dengan wayang beber.
Usai keruntuhan kerajaan Majapahit, bersamaan dengan ekspansi
kerajaan Muslim di Indonesia, Sultan Syah Alam Akbar yang berasal dari
kerajaan Demak (1475—1518M) memberikan instruksi untuk menggubah
tokoh-tokoh dalam wayang purwa menggunakan kulit kerbau. wayang purwa
kemudian dapat pula disebut sebagai wayang kulit. Pada masa ini pertunjukan
wayang purwa/kulit disempurnakan bentuk dan pagelarannya. Muncul teknik
pakeliran (dari kata kelir yang berarti "layar") pohon pisang untuk
menancapkan wayang, blencong sebagai penerangan, kotak alat penyimpanan
wayang dan cempala guna memukul kotak. Bentuk pagelaran ini semakin
disempurnakan pada masa Kerajaan Mataram pada abad ke-16 dan bertahan
hingga sekarang (Sukirno, 2009).
Pada masa sekarang, perubahan-perubahan bentuk wayang tejadi
namun secara umum tidak mematikan bentuk wayang yang lama.
8
kecenderungan yang ada justru semakin memperkaya bentuk dan jenis wayang
di Indonesia. Perubahan fungsi pagelaran wayang juga nampak semakin
menonjol. Jika pada masa tradisional, wayang dianggap sebagai intisari
kebudayaan masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun, tidak
sekedar sebagai tontonan, melainkan juga tuntunan bagaimana manusia harus
bertingkah laku dalam kehidupannya. Sebagai perwujudan ibadah dan
ungkapan religius masyarakatnya atau juga sebuah hukum alam yang Maha
teratur yang harus diketahui dan disikapi secara bijaksana dalam rangka
mencapai kehidupan yang sejati.
3. Film Dokumenter
Salah satu genre film yang memiliki daya argumentasi tentang
fenomena sosial yang terjadi di masyarakat adalah film dokumenter. Karena
film dokumenter menggunakan realitas sosial sebagai bahan mentah dalam
menyampaikan pesan-pesannya. Kemudian, perspektif peneliti yang sekaligus
menjadi sutradara atas fenomena yang dipilih memberikan nilai penting atas
tujuan yang ingin dicapai. Sebagaimana disampaikan Citra Dewi Utami, bahwa
film dokumenter merupakan narasi pembuat atas sebuah fenomena yang
sifatnya tidak mutlak dan terbuka untuk dinegosiasikan. Pemilihan sudut
pandang membutuhkan referensi untuk mengawali dan menguatkan
argumentasi secara visualnya (Utami, 2010).
John Grierson, seorang jurnalis sekaligus kritikus film adalah orang
yang kali pertama menyematkan istilah “documentary” melalui tulisanya di
harian New York Sun ketika membahas film berjudul Moana karya Flaherty,
seorang penambang asal utara Kanada yang juga kreator ”Nanook of The
North”. Pemrakarsa British Documentary Movement ini kemudian memberikan
definisi yang hingga kini masih relevan dipakai para pengamat dokumenter
generasi selanjutnya secara sederhana sebagai “the creative treatment of
actualities”. Dalam kondisi ini, film dokumenter merupakan realitas baru yang
disusun berdasarkan realitas-realitas rekaman yang didasari pemikiran-
pemikiran tertentu. Membatasi aktualitas dan realitas dalam lingkup perlakuan
9
kreatifitas ini sejalan dengan Aufderheide, yang menjelaskan bahwa
dokumenter merupakan potret kehidupan nyata, menggunakan kehidupan nyata
sebagai bahan bakunya, dibangun oleh seniman dan teknisi yang membuat
serangkaian keputusan-keputusan tentang kisah apa yang akan diceritakan
kepada audiensnya, dan untuk tujuan apa (Aufderhide, 2007: 2).
Metodologi
Dalam proses pengumpulan data, pembuatan film dokumenter ini
menggunakan metode studi pustaka, observasi dan wawancara. Studi pustaka
digunakan untuk mendapatkan data awal mengenai teori dan konsep dasar.
Metode observasi (observation research) dilakukan untuk melacak secara
sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait dengan persoalan-
persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat. Metode wawancara merupakan
alat pengumpulan data yang sangat penting yang melibatkan manusia sebagai
subjek (pelaku, aktor) sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk
diteliti. Kedua metode tersebut bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi
yang dibutuhkan dalam penyusunan tugas akhir (Pawito, 2007: 132).
Observasi dilakukan oleh peneliti selama satu bulan yakni pada bulan
Januari 2012 di Padepokan Seni Sarotama dan melakukan wawancara kepada
Mudjiono, pendiri sekaligus pengelola padepokan, Satriya dan Woro, siswa di
Padepokan Sarotama, berikut orang tua mereka, dan Arif Hartata, dosen, dalang,
sekaligus seorang pengamat pedalangan asal Klaten.
Deskripsi Lokasi: Padepokan Seni Sarotama
Padepokan Seni Sarotama merupakan sanggar seni yang didirikan oleh
Mudjiono, S. Kar. pada tahun 1993. Kemudian seiring bertambahnya anak didik,
Padepokan Seni Sarotama kemudian memperluas bidang latihannya seperti seni
tari, dan karawitan. Padepokan yang bertempat di Desa Ngringo, Kecamatan
Jaten, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah ini kemudian menjadi ajang
pendidikan untuk anak-anak yang ingin mengenal kesenian tradisional.
10
Tujuan pendidirian sanggar ini sejalan dengan nama Sarotama sendiri yang
diambil dari nama busur panah yang biasa dibawa oleh tokoh wayang Janoko,
"Ibaratnya, jika kita salah mengarahkan busurnya, maka anak ini akan meleset
dari tujuan, begitupun sebaliknya", jelas Mudjiono ketika diwawancarai pada 15
Maret 2013 lalu.
Gambar 1 Mudjiono
Sumber: Dokumen Pribadi
Padepokan ini menganut sistem kekeluargaan dalam melaksanakan proses
pendidikannya. Tidak adanya kurikulum tetap dikarenakan Mudjiono
berkeyakinan bahwa setiap anak memiliki pola perkembangannya masing-masing.
Konsep tersebut semata-mata didasari pengalamannya mengajari kesenian pada
anak selama bertahun-tahun. Itulah kenapa sistem kekeluargaan menjadi sistem
yang paling baik di sini". Pembiayaan untuk pengelolaan didapatkan melalui
sumbangan secara sukarela dari orang tua anak-anak didik tanpa dibatasi
nominalnya.
Selain itu, Mudjiono memiliki pandangan bahwa garapan wayang baru
yang kini sedang populer dianggap semakin menjauh dari etika dan tuntunan
pakem pedalangan. Model pagelaran yang terlalu vulgar dan mengutamakan
komedi dianggapnya tidak sesuai dengan etika budaya orang Jawa yang
menjunjung tinggi norma kesopanan. Kekhawatirannya atas semakin
terdistorsinya citra dalang di mata masyarakat ini juga yang mendorongnya
semakin getol merekrut para calon dalang untuk dididik menjadi bibit-bibit
dalang yang tidak hanya mampu melestarikan budaya tradisional, tapi juga
membangun budi pekerti dan mental bangsa Indonesia.
11
Sajian dan Analisa Data
1. Judul
SAROTAMA
2. Durasi
24 menit 16 detik
3. Audiens
Masyarakat umum
4. Lokasi
Padepokan Seni Sarotama, Laweyan, Klaten, dan beberapa lokasi di
sekitaran Kota Solo.
5. Film Statement
Kesenian tradisional wayang dikenal merupakan media yang efektif
dalam menyampaikan pesan juga nilai-nilai budi pekerti luhur kepada
masyarakat. Namun, kondisi masyarakat sekarang memaksa para dalang untuk
memanfaatkan pagelaran wayang menjadi lebih condong sebagai tontonan
daripada tuntunan sekalipun seringkali meninggalkan pakem-pakem berikut
ajaran mengenai budi pekerti yang tersimpan di dalamnya. Mudjiono, seorang
pegiat wayang berusaha mempertahankan nilai-nilai luhur dalam ajaran
wayang dengan mendirikan padepokan Sarotama, sebuah sanggar pendidikan
untuk dalang sejak usia dini. Diharapkan, upayanya tersebut akan mampu
menjawab kebutuhan masyarakatt masa kini tanpa perlu menghilangkan unsur-
unsur budi pekerti dalam pagelaran wayang.
Ringkasan Film
Film dokumenter ini terdiri dari 3 bagian yang terdiri dari 5 sekuen.
Bagian pertama adalah bagian Pembuka yaitu pada sekuen 1 dan 2, kemudian
bagian Isi/Konten yakni pada sekuen 3, kemudian bagian penutup pada sekuen
4 dan 5. Bagian pembuka menjelaskan mengenai perkembangan wayang
secara umum, dan alasan pendirian padepokan. Bagian isi/konten berisi
pendapat dan pandangan mengenai sistem dan metode pengajaran pada
12
padepokan sarotama. Bagian penutup berisi harapan dan penjelasan mengenai
nama Sarotama pada padepokan Sarotama. Adapun penjelasan isi tiap sekuen
adalah sebagai berikut:
Sekuen 1
Film dibuka dengan video teaser dan kolase potongan-potongan video
pagelaran wayang kemudian diakhiri dengan animasi judul film. Dalam film
dokumenter ini selain untuk menunjukkan judul film, video teaser digunakan
juga sebagai penarik perhatian, menciptakan rasa penasaran, dan memberi
waktu audiens untuk mempersiapkan diri sebelum menyimak konten yang
akan disampaikan film secara lebih dalam.
Sekuen 2
Pada sekuen 2, berisi penjelasan mengenai perkembangan pagelaran
wayang dalam lingkup sejarah dan fungsinya dari masa ke masa sekaligus
menjelaskan aspek kritis mengenai kondisi dunia pedalangan pada masa
sekarang serta alasan utama mengapa Mudjiono mendirikan sanggar
SAROTAMA. Pada sekuen ini, wawancara dilakukan pada Arif Hartata
sebagai pengamat wayang di wilayah Solo dan sekitarnya dan Mudjiono
sebagai pengelola sekaligus pendiri Padepokan Sarotama.
Sekuen 2 diawali oleh penjelasan Arif Hartata mengenai
perkembangan wayang dalam lingkup sejarah dan fungsinya;
"Teks wayang atau cerita wayang itu namannya itihasa, jadi
babon induknya bernama itihasa, itihasa itu ada adalah ramayana dan
mahabarata dari india. Itihasa ini yang salah satunya adalah
mahabarata itu digubah pada masa darmawangsa teguh kita bias lihat di
adi parwa jawa kuna itu sudah lain ceritanya sudah lain, disesuaikan
dengan kondisi alam indonesia. Begitu juga kita lihat kakawin arjuna
wiwaha sudah jawa sekali jadi bukan india. Nah mulai sejak itu mulai
ada pertunjukan-pertunjukkan wayang yang ceritanya itihasa tadi.
Kemudian wayang itu kemudian digunakan sebagai sarana ritual,
pemujaan pada nenek moyang lewat bayang-bayang. Karena dipercaya
ada roh leluhur para pitare yang hadir dalam bayang-bayang tadi.
Awalnya sebagai sarana ritual. Kemudian berlanjut-berlanjut sampai
pada masa islam, wayang digunakan sebagai media dakwah, kemudian
13
sampai pada masyarakat sekarang wayang itu digunakan sebagai sarana
mengangkat darjah social. Contoh orang desa berani menanggap pak
anom suroto wah kae wong sugeh hebat ya, begitu. Secara singkatnya
begitu sejarah perkembangan wayang. Mulai itu buat kepentingan sastra,
puja, dan kepentingan yang lain, dakwah dan yang lain." (Wawancara
Arif Hartata, pengamat pewayangan, Trucuk, Klaten, 28 Februari 2013)
Gambar 2 Arif Hartata
Sumber: Dokumen Pribadi
Proses perubahan fungsi pagelaran wayang dari waktu ke waktu
dijelaskan secara singkat dan padat oleh Arif Hartata. Selanjutnya narasumber
juga menyinggung aspek kritis melalui ungkapan tentang kehidupan para
dalang pada masa kini tersebut, sebagai berikut;
"Fenomena yang terjadi, ini dalang, saya bercerita apa adanya,
kehidupan dalang itu agak gimana gitu, sedikit menyimpang dari etika-
etika yang disepakati umum, misalkan hubungan mereka dengan para
biduan-biduan artinya yang bukan muhrimnya, dan itu dicontoh anak-
anak lho jangan salah, itu artinya ya, dalang itu ngudhal piwulang dalang
kan guru masyarakat yang jadi dalang itu ya jadi dalang sing apik, yang
bias member contoh lhawong dhalang yang diwulang ae ora iso ngewehi
contoh sing apik ya ditiru karo sing cah cilik-cilik." (Wawancara Arif
Hartata, pengamat pewayangan, Trucuk, Klaten, 28 Februari 2013)
Pernyataan Arif Hartata jelas menunjukkan adanya perubahan fungsi
pagelaran wayang yang merupakan implikasi dari perilaku dalang. Dalang
yang semestinya menjadi panutan tidak seharusnya melakukan hal yang
tercela dan melanggar norma kesopanan dan kesusilaan.
Pernyataan ini kemudian disusul dengan ungkapan keprihatinan dari
Mudjiono terhadap pola perkembangan pagelaran wayang dan hubungannya
dengan dalang pada masa sekarang. Keprihatinan tersebut menjadi alasan
14
mengapa Mudjiono mendirikan padepokan Sarotama tersebut. Hal tersebut
terungkap pada wawancara sebagai berikut:
"Seni itu fungsinya untuk dihayati tidak digunakan sekedar hura-
hura, kalau hura-hura nantinya menghalalkan dan membebaskan segala
cara akhirnya jadi seperti ini, masak ya seniman itu, ada tamu aja dijak
nyanyi, lha ini kan sudah, menurut saya ya, sopan santunnya sudah nggak
ada, ini makanya anak2 nuwun sewu, banyak yang tidak punya sopan,
unggah ungguh ya karena melihatnya ya sudah seperti itu. Memang
penggemarnya sudah generasi muda muda ini kalau diberi menu
pertunjukan yang ala dulu itu sudah ndak seneng,jadi sekarang itu
garapannya sudah jauh dari apa yah, tuntunan ya, pakem. Misalnya gini,
banyak dhalang yang keluar dari relnya itu karena apa, dhalang dengan
sinden itu bisa seenaknya, sinden dengan dhalang sudah begitu bebas, ini
padahal etika jawa ndak seperti itu, nah melihat dari kenyataan itu, saya
terus getol sekali, terus saya mendirikan sanggar ini." (Wawancara
Mudjiono, Pendiri Padepokan Sarotama, Njaten, Karanganyar, 16 Maret
2013)
Sekuen ditutup dengan cuplikan dokumentasi pagelaran wayang anak-
anak dari Padepokan Sarotama pada tanggal 9 Maret 2013 di Ds. Nggulon,
Kec. Kentingan, Surakarta.
Sekuen 3
Pada sekuen ini dijelaskan mengenai metode pengajaran dan konsep
yang digunakan oleh Mudjiono dalam sanggar Sarotama dalam mendidik para
calon dalang muda tersebut. Dijelaskan juga mengenai pengalaman dan
pandangan orang tua siswa yang telah mengikuti pendidikan di sanggar
Sarotama serta pandangan pengamat mengenai efektifitas metode tersebut
dalam mencetak calon dalang. Wawancara dilakukan pada Ali Martopo, orang
tua dari Satriya, dalang anak berusia 11 tahun salah satu murid di padepokan
Sarotama, Arif Hartata sebagai pengamat wayang di wilayah Solo dan
sekitarnya dan Mudjiono sebagai pengelola sekaligus pendiri Padepokan
Sarotama.
Pada sekuen 3 ini gambar diawali dengan suasana latihan di
Padepokan Sarotama. Diselingi wawancara mengenai pandangan, alasan, dan
metode yang digunakan Mudjiono dalam mendidik para dalang bocah dalam
15
padepokan Sariotama. Pandangan narasumber tergambar pada wawancara
yang dilakukan sebagai berikut:
"Saya melihat anak-anak itu sangat potensial, dan istilahya saya
njegur karena banyak anak muda yang belum ada wadah untuk bergerak,
kalau anaknya dhalang otomatis mengikuti jejak orang tuanya, pakdenya
atau keluarganya, lha tapi kalau bukan? Siapa? Salah satu contoh di
sanggar ini justru 80 persen bukan anak seniman, justru dari kalangan
mereka ada yang dari perusahaan batik, mungkin ada yang jual sate
ideran itu tho, dadi macem-macem. Ternyata mereka ada panggilan untuk
mencintai seni."(Wawancara Mudjiono, Pendiri Padepokan Sarotama,
Njaten, Karanganyar, 16 Maret 2013)
Kemudian penjelasan Mudjiono berlanjut dengan sistem pengajaran
dan metode yang digunakan untuk mendidik para calon dalang di padepokan
Sarotama;
"Di sini ndak ada sistem tahun ajaran ya, jadi setiap saat bisa
masuk, dan juga tidak ada sistem lulusan, jadi mungkin kelas 6 aja sudah
bisa lulus. Saya anggap lulus karena apa, karena mereka sudah mampu,
ndalang sudah, ee karena sudah kita tanamkan pakeliran itu kerangkanya
ni ini ini, pakemnya ini ini sudah secara vocabulary, apa ini unsur-unsur
pedhalangan sudah kita berikan jadi anak tinggal ceritanya ini tinggal
ganti aja intinya ini, kerangkanya sudah. Maka kelas 5 kelas 6 apalagi
smp sudah dengan sendirinya sudah memisah. Ya memang sistem kita,
sistem keluarga maka sistem bulanan pun tudak ada, ada yang ngasih
berapa terserah, tapi besar kecilnya ndak ada patokan itu, kita memang
ndak mematok itu..." (Wawancara Mudjiono, Pendiri Padepokan
Sarotama, Njaten, Karanganyar, 16 Maret 2013)
Gambar beralih pada Ali Martopo, orang tua dari Satriya, salah
seorang dalang anak yang belajar di Padepokan Sarotama. Ia menjelaskan
tentang pengalaman selama mengawal anaknya mengikuti pelatihan di
Padepokan Sarotama.
"Dulu pertama dia (Satriya. pen) awalnya suka sama tari, terus
setelah ikut sanggar tari, dia lihat wayang kulit di televisi itu. Di tv kan,
itu kadang ada acara goro-goro itu, dia suka. Setelah dari televisi itu dia
nyuwun belajar ndalang. Lha terus karena saya nggak tahu dimana
tempatnya belajar ndalang ya saya cari-cari informasi ke temen-temen,
akhirnya ketemu saya disarankan untuk sowan pak mudji di Sarotama."
"Kalau harapan sih saya nggak pernah punya harapan anak jadi
dhalang gitu nggih, jadi karena dia punya minat sama bakat di situ ya,
saya mencoba memfasilitasi-lah, bagaimanapun kan itu kegiatan positif
16
nggih, dan itu juga sekarang kan anak-anak juga sudah, yang seneng
dengan seni tradisional kan sudah langka, saya anggap itu sebagai suatu
anugerah. Makanya ya sudah saya dorong aja masalah besok dia mau
jadi apa ya terserah dia." (Wawancara Ali Martopo, orang tua Satriya,
Laweyan, Solo, 02 April 2013)
Ali Martopo menunjukkan dukungan yang besar terhadap minat dan
bakat anaknya, Satriya tanpa harus memaksa. Sekuen 3 kemudian ditutup oleh
pandangan Arif Hartata mengenai metode pendidikan yang digunakan dalam
padepokan Sarotama sekaligus harapan Ali Martopo kepada Satriya dalam
konteks pendidikan dalang yang tengah ditempuhnya di Padepokan Sarotama.
Gambar 3 Satriya & Keluarga Ali Martopo
Sumber: Dokumen Pribadi
Arif Hartata mengungkapkan pandangan mengenai besarnya potensi
yang dapat dikembangkan oleh anak-anak didik di padepokan Sarotama. Hal
tersebut tergambar dalam wawancara sebagai berikut:
"Awalnya sih saya sarankan ikuti saja alur yang sudah ditempuh,
kedewasaan kan akan terpupuk. Saya yakin semakin dewasa semakin
dewasa mereka akan semakin mencari untuk menjadi dalang yang hawi
carito hawi sastro mardowo lagu, hangabehi-lah untuk semua yang
berhubugan dengan pedhalangan. Selama ini kan yang digodog betul kan
teknis di pakelaran, teknis-teknis, skill, coba sekarang tidak hanya itu, dia
mulai belajar teknik sastra, dramatik, itu kan pasti akan lebih baik, ora
mung perange lincah nganti ora ketok karena ada hal lain karena wayang
yang diakui sebagai seni tradisi adiluhung itu ora mung sabete, ora mung
dramane, tapi kan metafora-metafora sastranya yang unik, karena sastra
jawa itu kan unik dan luar biasa kalau menurut saya, cuma itu perlu digali
lagi dan diajarkan lagi kepada masyarakat". (Wawancara Arif Hartata,
pengamat pewayangan, Trucuk, Klaten, 28 Februari 2013)
17
Sedangkan harapan Ali Martopo terhadap Satriya menggambarkan
adanya dukungan yang positif terhadap proses pendidikan di padepokan
Sarotama yang tengah dilakukan oleh Satriya. Hal tersebut dapat digambarkan
melalui wawancara sebagai berikut;
"Kita sebagai orang tua tut wuri handayani saja. Kalau untuk
target sih saya nggak ada, yang penting anak ada kegiatan positif ya mau
tekun dengan bakatnya itu ya sudah monggo yang penting sejauh yang
kita bisa ya kita support. Tapi misalnya suatu saat dia bener-bener jadi
dhalang ya biar jadi dalang yang bisa jadi panutan, gitu."(Wawancara Ali
Martopo, orang tua Satriya, Laweyan, Solo, 02 April 2013)
Sekuen 4
Pada sekuen ini, dijelaskan mengenai harapan-harapan dari Mudjiono
terhadap anak-anak didiknya di Padepokan Sarotama nanti di masa depan
serta penjelasan mengenai makna nama "Sarotama" yang diangkatnya menjadi
nama Padepokan.
"Saya punya cita-cita atau harapan ke depan, andaikata mereka
jadi seniman dhalang, ya jadilah seniman dhalang yang mengutamakan
ini akhlak. Jangan sampai larut kepada masyarakat pada umumnya,
seniman pada umumnya, karena apa, karena saya melihat, dhalang-
dhalang itu hampir semua hanya materi. Jarang sekali dhalang itu yang
ikut berpartisipasi, disamping nguri-uri, tapi bagaiman untuk
mengangkat apa, moral bangsa ini. Terutama benerasi penerus. Jadi
tidak semacam dicekoki elek-elek kono, ini kan sudah nggak pas, dhalang
yang menceritakan di pakeliran itu sudah sangat-sangat luar biasa kok,
cerita wayang itu saja mengandung filsuf yang luar biasa, pendidikan
yang luar biasa, itu saja dijalankan udah bagus, mengapa harus dengan
ini, maaf ini, ceritanya itu hilang, arah pedhalangan itu hilang, ya itu
tadi, sudah. Pelawak sudah ini, maka anak saya harapkan. Harapan ke
depan anak di sanggar ini menjadi satu generasi dalang yang
mengutamakan ini budaya bangsa yang adiluhung itu ya betul-betul
adiluhung itu ya dijunjung. Jangan adiluhung pas diucapkan
saja."(Wawancara Mudjiono, Pendiri Padepokan Sarotama, Njaten,
Karanganyar, 16 Maret 2013)
Harapan Mudjiono ini bisa jadi merupakan konklusi semua pesan film
yang hendak disampaikan, yakni tujuan dari upaya yang dilakukan oleh
Mudjiono selama ini. Karena film dokumenter ini bukan hendak
menggambarkan sebuah keberhasilan atau kegagalan suatu usaha, melainkan
18
menggambarkan sebuah proses dari upaya seseorang yang disertai harapan
untuk mencapai keberhasilan. Argumen-argumen dari narasumber lainnya
diambil dengan maksud memperkuat harapan dari Mudjiono tersebut.
Pada sekuen ini, gambar ditutup dengan rangkaian animasi teks yang
berisi makna nama Sarotama pada padepokan Sarotama yang pernah
diungkapkan Mudjiono pada salah satu surat kabar nasional.
"Sarotama diambil dari nama senjata panah yang dibawa oleh
tokoh wayang Janoko Ibaratnya siswa di sanggar ini adalah anak panah
yang apabila kita salah mengarahkan busurnya,maka anak juga akan
melesat ke arah yang salah..." (Mudjiono, KOMPAS 14 Maret 2013)
Sekuen 5
Pada sekuen 5 dimunculkan animasi crawling text atau teks yang
bergerak perlahan-lahan keatas yang berisi seluruh nama dan jabatan kerabat
kerja yang terlibat dalam produksi film dokumenter atau biasa disebut dengan
istilah Credit title
Kesimpulan & Saran
a. Kesimpulan
1. Perkembangan pagelaran wayang di Indonesia dari waktu ke waktu telah
mengalami perubahan baik segi bentuk, ragam, isi maupun fungsinya.
Perubahan zaman membuat kebutuhan manusia semakin berubah, dan hal
tersebut berpengaruh pada perkembangan pementasan wayang pada masa
kini cenderung ke arah tontonan atau hiburan daripada tuntunan.
2. Dalang sebagai penampil pagelaran wayang memiliki andil yang besar
dalam proses perkembangan pagelaran wayang yang terjadi pada masa
sekarang.
3. Upaya melakukan pendidikan dalang sejak dini seperti pada padepokan
Sarotama dapat menjadi alternatif masyarakat dalam melakukan upaya
melestarikan budaya tradisional khususnya Wayang, selain sebagai upaya
pendidikan moral dan budi pekerti
19
b. Saran
1. Karena perubahan zaman tidak mungkin dibendung, Masyarakat harus
sadar dan ikut berperan serta mengawal perubahan-perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat agar tidak menyimpang dari norma dan etika yang
sudah disepakati.
2. Masyarakat maupun pegiat seni tradisional harus mulai menganggap
pendidikan dalang sebagai penting dalam proses regenerasi dalang yang
pada akhirnya berpengaruh pada proses perkembangan pagelaran wayang
3. Masyarakat harus mulai mendorong dan mendukung kegiatan-kegiatan
sosial yang bertujuan menyelenggarakan upaya pendidikan kebudayaan
seperti yang dilakukan padepokan Sarotama agar proses regenerasi dalang
dan perkembangan wayang dapat berjalan tanpa menyimpang dari nilai
dan norma dalam masyarakat.
Daftar Pustaka
Aufderheide. (2007). Documentary Film, A very Short Introduction. Oxford
Univerity Press, New York
Citra Dewi Utami. 2010. Film Dokumenter Sebagai Media Pelestari Tradisi
Fiske, John. (2004). Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar
Paling Komperehensif. Yogyakarta: Jalasutra
Hastjarjo, Sri. (2012). Serat Sastra Miruda: a Javanese Perspective on the
Communicator Competency
Hofstede, Greets & McCrae, Robert R. 2004. Personality and Culture Revisited,
Linking Traits and Dimensions of Cultures
Kartono, K. (1990). Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan Anak). Bandung:
Mandar Maju.
Koentjoroningrat. (1989). Budaya Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia:
Jakarta
Mulyana, Deddy. (2001). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Panuju, Redi. (1997). Sistem Komunikasi Indonesia. Pustaka Pelajar; Jogjakarta.
Pawito, (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. LkiS: Yogyakarta
Purwanto, Ngalim. (2004). Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Rakhmat, Jalaluddin. (1991). Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Remaja
Rosdakarya: Bandung.
Septian Eko Yuliantoro. (2012). Penanaman Nilai-Nilai Budi Pekerti Pada Anak
Melalui Kesenian Tradisional
20
Sukirno. (2009). Hubungan Wayang Kulit dan Kehidupan Sosial Masyarakat
Jawa. Jurnal Brikolase Vol. 1