17
SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI FENOMENA BARU DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA MODERN Galuh Sakti Bandini, Teguh Prasetyo Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Susastra, FIB UI [email protected]. Abstrak Dilihat dari perkembangannya, sastra Indonesia identik dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai mediumnya. Beberapa kritikus, seperti Sapardi Djoko Damono pun memetakan sastra Indonesia sebagai sastra yang berbahasa Indonesia. Namun, tidak bisa dimungkiri pula bahwa sastra Indonesia, dalam perkembangannya, juga bersentuhan dengan berbagai bahasa di luar bahasa Indonesia, seperti Jawa, Betawi, Melayu Rendah, atau bahasa asing lainnya. Akhir-akhir ini, sastra indonesia dihadapkan dengan kemunculan sastra berbahasa Inggris yang ditulis oleh penulis berkewarganegaraan Indonesia, diterbitkan oleh penerbit Indonesia, dan dipasarkan di kalangan pembaca Indonesia. Hal ini merupakan gejala baru dalam kesusastraan Indonesia mutakhir. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibicarakan mengenai sastra berbahasa Inggris tersebut, yang masih menjadi hal baru di kancah kesusastraan Indonesia. Secara khusus, tulisan ini akan berfokus pada empat karya sastra berbahasa Inggris yang telah diterbitkan dan dipasarkan di toko buku, yakni Monsoon Tiger and Other Stories karya Rain Chudori, Stories for Rainy Days karya Naela Ali, Beats Apart karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya, serta The Book of Forbidden Feelings karya Lala Bohang. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, penulis melalui tulisan ini akan mengkaji kemunculan sastra berbahasa Inggris serta kedudukannya dalam kancah kesusastraan Indonesia. Penulis berkesimpulan bahwa sastra Indonesia berbahasa Inggris ini merupakan jenis memiliki tempat di dalam khasanah kesusastraan Indonesia Modern. Kata Kunci: Bahasa Inggris, Globalisasi, Sastra berbahasa inggris. PENDAHULUAN Perkembangan kesusastraan Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari fenomena kebahasaan di Indonesia. Sebab, bahasa itu sendiri merupakan medium dari sastra. Dari bahasa pula terlihat identitas budaya maupun ideologi yang ada dalam sastra tersebut. Sapardi Djoko Damono (1999) menyebutkan bahwa sebelum bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa persatuan dalam sumpah pemuda 1928, di wilayah yang saat ini disebut Indonesia, digunakan empat bahasa dominan dalam persuratkabaran (yang mungkin juga termasuk fiksi dalam surat kabar) secara luas, yakni Belanda, Melayu, Sunda, dan Jawa. Kemudian, dalam perkembangannya, kaum peranakan Tionghoa menulis surat kabar maupun fiksi pendek yang berdasarkan fakta surat kabar menggunakan langgam mereka yang khas, yang kemudian disebut sebagai bahasa Melayu Rendah atau Melayu Pasar (Damono, 1999: 8).

SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI FENOMENA BARU

DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA MODERN

Galuh Sakti Bandini, Teguh Prasetyo Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Susastra, FIB UI

[email protected].

Abstrak Dilihat dari perkembangannya, sastra Indonesia identik dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai mediumnya. Beberapa kritikus, seperti Sapardi Djoko Damono pun memetakan sastra Indonesia sebagai sastra yang berbahasa Indonesia. Namun, tidak bisa dimungkiri pula bahwa sastra Indonesia, dalam perkembangannya, juga bersentuhan dengan berbagai bahasa di luar bahasa Indonesia, seperti Jawa, Betawi, Melayu Rendah, atau bahasa asing lainnya. Akhir-akhir ini, sastra indonesia dihadapkan dengan kemunculan sastra berbahasa Inggris yang ditulis oleh penulis berkewarganegaraan Indonesia, diterbitkan oleh penerbit Indonesia, dan dipasarkan di kalangan pembaca Indonesia. Hal ini merupakan gejala baru dalam kesusastraan Indonesia mutakhir. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibicarakan mengenai sastra berbahasa Inggris tersebut, yang masih menjadi hal baru di kancah kesusastraan Indonesia. Secara khusus, tulisan ini akan berfokus pada empat karya sastra berbahasa Inggris yang telah diterbitkan dan dipasarkan di toko buku, yakni Monsoon Tiger and Other Stories karya Rain Chudori, Stories for Rainy Days karya Naela Ali, Beats Apart karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya, serta The Book of Forbidden Feelings karya Lala Bohang. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, penulis melalui tulisan ini akan mengkaji kemunculan sastra berbahasa Inggris serta kedudukannya dalam kancah kesusastraan Indonesia. Penulis berkesimpulan bahwa sastra Indonesia berbahasa Inggris ini merupakan jenis memiliki tempat di dalam khasanah kesusastraan Indonesia Modern.

Kata Kunci: Bahasa Inggris, Globalisasi, Sastra berbahasa inggris.

PENDAHULUAN

Perkembangan kesusastraan Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari fenomena

kebahasaan di Indonesia. Sebab, bahasa itu sendiri merupakan medium dari sastra. Dari

bahasa pula terlihat identitas budaya maupun ideologi yang ada dalam sastra tersebut.

Sapardi Djoko Damono (1999) menyebutkan bahwa sebelum bahasa Indonesia disepakati

sebagai bahasa persatuan dalam sumpah pemuda 1928, di wilayah yang saat ini disebut

Indonesia, digunakan empat bahasa dominan dalam persuratkabaran (yang mungkin juga

termasuk fiksi dalam surat kabar) secara luas, yakni Belanda, Melayu, Sunda, dan Jawa.

Kemudian, dalam perkembangannya, kaum peranakan Tionghoa menulis surat kabar maupun

fiksi pendek yang berdasarkan fakta surat kabar menggunakan langgam mereka yang khas,

yang kemudian disebut sebagai bahasa Melayu Rendah atau Melayu Pasar (Damono, 1999: 8).

Page 2: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

Mengenai langgam bahasa yang digunakan dalam sastra peranakan Tionghoa, Nio Joe

Lan (1962) menyebutnya sebagai bahasa yang berasal dari pergaulan kaum Tionghoa sehari-

hari. Bahasa ini dianggap sebagai bahasa yang tidak tinggi karena memang dituturkan oleh

kaum Tionghoa yang saat itu dimarginalkan oleh pendidikan pemerintahan Belanda. Karena

itu, mereka tidak dapat mengenyam pendidikan bahasa dengan baik. Meskipun demikian, ada

beberapa pengarang, salah satunya Lie Kim Hok, yang sempat belajar bahasa dan mengganti

beberapa kosakata yang dianggap kasar, seperti kowe ataupun Tjina. Namun, jumlah

pengarang yang demikian jumlahnya tidak signifikan sehingga secara umum bahasa dalam

sastra Melayu-Tionghoa ini dianggap rendah.

Bahasa Melayu Rendah yang digunakan oleh kaum peranakan Tionghoa dalam menulis

sastranya tersebut lebih dahulu digunakan oleh orang-orang Belanda dan pribumi (Sumardjo,

2004: 4). Misalnya saja, karya-karya yang ditulis oleh F. Wiggers, H. D. Wiggers, Pangemanann,

Kommer, Tirtoadisuryo, Haji Ukti, Marco Kartodikromo, hingga Semaoen1. Sastra-sastra

Melayu Rendah yang menggunakan bahasa Melayu Rendah ini kemudian dimarginalkan

karena ada politik bahasa dari pemerintah Hindia Belanda melalui Balai Pustaka (Damono,

2001). Dengan begitu, sastra Balai pustaka yang menggunakan bahasa Melayu Tinggi menjadi

sastra kanon pada masa itu.

Bahasa Balai Pustaka ini oleh Damono (2001) disebut sebagai bahasa yang kaku dan

diatur. Namun, bahasa ini pulalah yang kemudian menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia, yang

dikumandangkan lewat Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan. Semenjak itu, bahasa

yang cenderung digunakan dalam sastra Indonesia modern merupakan bahasa yang

dikembangkan Balai Pustaka dan diproklamasikan dalam Sumpah Pemuda. Karena itu, kritikus

besar Indonesia berkebangsaan Belanda, A. Teeuw, menandai Balai Pustaka sebagai tonggak

awal sastra Indonesia modern (dalam Damono, 2001).

Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama dalam

penggunaan bahasa di kesusastraan Indonesia modern, masih cukup banyak bahasa-bahasa

sehari-hari dari berbagai daerah di Indonesia yang turut dikembangkan dalam sastra. Bahasa

tersebut bercampur dan mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia dalam sastra. Sastra

1 Meskipun sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa ataupun peranakan Indo sama-sama disebut

dengan sastra Melayu Rendah, atau menggunakan bahasa Melayu Rendah, menurut Sapardi Djoko Damono

(2001), ada beberapa perbedaan dari segi kosakata dan sintaksis. Lebih lanjut, Nio Joe Lan (1962: 17), juga

mengatakan bahwa banyak kosakata sastra Melayu Tionghoa diambil dari kosakata bahasa Tionghoa seperti,

loteng, bihun, ketjap, taoge; juga sintaksis bahasanya dipengaruhi bahasa Tionghoa, seperti “saja punja buku”.

Page 3: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

dengan bahasa campuran seperti ini oleh Damono (1999) disebut sebagai sastra Hibrida.

Dalam catatan Ajip Rosidi (1988: 70), ada beberapa sastrawan Indonesia yang saat itu berpikir

dengan bahasa daerahnya lalu menterjemahkan karyanya dalam bahasa Indonesia sehingga

banyak sekali percampuran kosakata yang kurang dipahami atau tidak terdaftar dalam

kosakata bahasa Indonesia. Sastrawan itu, di antaranya Achdiat K. Mihardja, Pramoedya

Ananta Toer, Utuy T. Sontani, dan Trisnojyuwono. Tidak hanya itu, seiring modernisasi dan

globalisasi, masyarakat urban, seperti di Jakarta, pada perkembangannya juga turut

memasukkan langgam bahasa slang dan beberapa kosakata bahasa Inggris. Sastra yang

terdokumentasi menggunakan kata-kata demikian, pada perkembangannya, lebih banyak

disebut sebagai sastra populer karena karyanya banyak diminati masyarakat urban yang

menguasai pasar.

Namun demikian, dari seluruh perkembangan penggunaan bahasa dalam karya sastra

Indonesia modern tersebut dapat dilihat bahwa keseluruhannya masih dalam bingkai bahasa

Melayu, cikal-bakal bahasa Indonesia, ataupun bahasa Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu

pula, Sapardi Djoko Damono (1983), melalui tulisannya “Apakah Sastra Indonesia Itu?” sempat

mendeklarasikan bahwa kesusastraan Indonesia merupakan sastra yang ditulis menggunakan

bahasa Indonesia, oleh penulis berkewarganegaraan Indonesia, maupun ditulis dalam bahasa-

bahasa di Indonesia.

Pernyataan Sapardi tersebut tentunya menegaskan bahwa sastra Indonesia

merupakan sastra yang sesuai dengan identitas dan ideologi bangsa, yakni menggunakan

bahasa Indonesia. Akan tetapi, di satu sisi, pernyataan tersebut akan menimbulkan

permasalahan baru dalam perkembangan kesusastraan Indonesia modern ketika globalisasi

menembus batas negara-bangsa melalui tuntutan berbahasa global, dalam hal ini bahasa

Inggris. Hal itulah yang mungkin dapat terlihat dalam fenomena kesusastraan Indonesia

dewasa ini.

Saat ini, telah terbit karya sastra yang ditulis oleh penulis Indonesia dan diterbitkan di

toko buku besar di Indonesia dengan menggunakan bahasa Inggris. Diterbitkannya buku-buku

tersebut di toko buku besar Indonesia mengindikasikan bahwa sasaran pembaca buku

tersebut adalah masyarakat Indonesia. Diterbitkannya sastra berbahasa Inggris yang ditulis

oleh penulis Indonesia oleh salah satu penerbit besar merupakan hal yang baru di dalam sastra

Indonesia, meskipun sebenarnya sastra berbahasa Inggris sudah ada sejak beberapa tahun

lalu dan diterbitkan secara independen. Hingga 2016 sendiri, Gramedia telah menerbitkan

Page 4: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

lima karya sastra berbahasa inggris, yaitu Monsoon Tiger and Other Stories karya Rain Chudori,

Stories for Rainy Days karya Naela Ali, Underground karya Ika Natassa, The Book of Forbidden

Feelings karya Lala Bohang, dan Beats Apart karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya2. Oleh

karena itu, timbul pertanyaan mengenai posisi sastra berbahasa Inggris ini dalam khazanah

kesusastraan Indonesia modern.

Tulisan ini, setidaknya, akan mencoba menelusuri penyebab munculnya karya sastra

berbahasa Inggris ini, serta memetakan kedudukannya dalam sastra Indonesia saat ini. Dalam

anggapan penulis, besar kemungkinan fenomena sastra berbahasa Inggris di Indonesia ini

disebabkan oleh adanya globalisasi. Globalisasi menciptakan sebuah masyarakat di Indonesia

yang menggunakan bahasa Inggris dalam keseharian, termasuk dalam menciptakan karya

sastra. Karena itulah sastra berbahasa Inggris layak dimasukkan dalam khasanah kesusastraan

Indonesia Modern.

BAHASA INGGRIS, GLOBALISASI, DAN SASTRA INDONESIA

Saat ini, bahasa Inggris sudah menjadi bahasa yang umum di sebagian besar negara di

dunia. Bahasa Inggris menjadi bahasa penghubung jika satu orang di satu negara ingin

berkomunikasi dengan orang di negara lain. Bahasa Inggris dapat dikatakan sudah menjadi

bahasa global karena dapat menghubungkan lebih banyak orang lintas negara dan bangsa

dibanding bahasa lain. Menurut Crystal (2003), seperempat penduduk dunia menggunakan

bahasa Inggris. Data itu diperoleh tiga belas tahun yang lalu, tentu saja saat ini jumlah ini terus

meningkat.

Akan tetapi, sebuah bahasa dapat menjadi bahasa global tidak hanya didasarkan pada

jumlah penuturnya, tetapi berdasarkan siapa penuturnya. Sebuah bahasa menjadi bahasa

internasional karena kekuatan (power) dari penuturnya. Begitu juga kasusnya dengan bahasa

Inggris. Proses bahasa Inggris menjadi bahasa internasional dijelaskan oleh David Crystal

dengan sangat baik:

2 Dalam makalah ini, hanya akan mengkaji empat karya sastra berbahasa Inggris saja, yakni yaitu

Monsoon Tiger and Other Stories karya Rain Chudori, Stories for Rainy Days karya Naela Ali, The Book of

Forbidden Feelings karya Lala Bohang, dan Beats Apart karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya. Sebab, novel

Underground karya Ika Natasha pada awalnya dicetak oleh penerbit independen di tahun 2010 sehingga konteks

karyanya juga berbeda.

Page 5: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

British political imperialism had sent English around the globe, during the nineteenth century, so that it was a language ‘on which the sun never sets’. During the tweentieth century, this world presence was maintaned and promoted almost single-handedly through the economic supremacy of the new American superpower. Economics replaced politics as the chief driving force. And the language behind the US dollar was English. (Crystal, 2003: 10)

Selain karena kekuatan yang dimiliki, sebuah bahasa dapat menjadi bahasa global

ketika bahasa tersebut memiliki peran khusus yang dikenali di setiap negara (Crystal, 2003: 3).

Peran khusus yang dimaksud adalah ketika bahasa tersebut menjadi bahasa kedua di suatu

negara. Selain menjadi bahasa kedua, suatu bahasa mendapat peran khusus ketika menjadi

bahasa resmi yang diajarkan di sekolah sebagai bahasa asing meskipun bahasa tersebut tidak

memiliki status yang resmi di dalam suatu negara (ibid: 4).

Peran khusus tersebut sudah dimiliki oleh bahasa Inggris. Bahasa Inggris menjadi

bahasa kedua di beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia, dan beberapa negara lainnya.

Bahasa Inggris di Indonesia juga sudah memiliki peran khusus, yaitu menjadi bahasa asing yang

wajib dipelajari di sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat atas. Hal yang

diharapkan dari pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah tentu saja agar masyarakat

Indonesia mengerti bahasa Inggris yang sudah menjadi bahasa Internasional. Dari pengajaran

bahasa Inggris di sekolah terlihat bahwa pemerintah Indonesia menganggap penting Bahasa

Inggris.

Dari penjelasan di atas, bahasa Inggris menjadi bahasa global karena ia memiliki

kekuatan dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain. Kekuatan tersebut disebabkan oleh politik

dan ekonomi yang berada di belakang bahasa tersebut. Akan tetapi, saat ini penyebaran

bahasa Inggris tidak lagi semata-mata karena politik, tetapi juga karena globalisasi. Saat ini,

bahasa Inggris sudah masuk ke dalam ranah internasional di bidang politik, bisnis, komunikasi,

hiburan, media, dan pendidikan. Sebagai contoh, PBB menggunakan bahasa Inggris sebagai

salah satu bahasa utama, begitu juga ASEAN.

Untuk melihat persebaran bahasa Inggris, dapat dilihat bagan yang dibuat oleh Braj

Kachru (dalam Crystal, 2003: 60) yang membagi persebaran bahasa Inggris menjadi tiga

bagian. Bagian pertama adalah inner circle yang merujuk pada negara-negara yang

menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Irlandia,

Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Bagian kedua adalah outer circle yang merujuk pada

Page 6: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

negara-negara yang tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, tetapi bahasa

kedua, seperti Singapura, India, dan lainnya. Bagian ketiga adalah expanding circle yang

merujuk pada negara-negara yang meskipun tidak memiliki sejarah kolonialisasi dengan

Inggris dan tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, tetapi memahami bahwa

bahasa Inggris penting dipelajari sebagai bahasa Internasional, beberapa contohnya adalah

Jepang, Cina, dan termasuk juga Indonesia.

Saat ini, globalisasi juga turut berperan dalam penyebaran bahasa Inggris, seperti yang

dikatakan Canagarajah (dalam Zentz, 2012: 19), globalisasi membuat batasan negara-bangsa

kabur dan memasukkan kepentingan untuk menggunakan bahasa Inggris bagi semua

komunitas. Menurut Zentz (2012), Globalisasi sendiri bagi beberapa akademisi berarti masa

ketika hegemoni Barat meningkat, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa

globalisasi adalah era ketika interkonetivitas antara individu, grup, dan negara-negara di dunia

meningkat. Globalisasi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya oleh media

dan internet.

Media dan internet yang semakin marak di era globalisasi inilah yang juga menjadikan

bahasa Inggris di Indonesia semakin menjamur penggunaannya. Bahasa Inggris kini tidak

hanya hadir si setiap sekolah, tetapi juga di televisi, radio, papan iklan, serta media sosial di

Internet. Keberadaan bahasa Inggris kini bukan lagi hal aneh. Bahkan bahasa Inggris dapat

muncul dalam percakapan. Di Indonesia, bahasa Inggris memiliki citra yang baik. Penuturnya

adalah orang-orang yang berpendidikan, baik ketika menggunakan bahasa inggris dalam

seluruh percakapan atau hanya menggunakan satu atau dua frasa bahasa Inggris (Sneddon

dalam Zentz, 2012: 154). Menurut Pennycook (dalam Zentz, 2012), kegiatan “Englishing”

menunjukkan usaha untuk menetapkan diri dan untuk dikenal oleh orang lain. Kegiatan

tersebut dibentuk oleh pendidikan yang tinggi, mobilitas, kekayaan, prestise, dan kontak

dengan dunia di luar batas negara Indonesia.

Bahasa Inggris pun kini telah menyentuh ranah sastra di Indonesia. Pada tahun 2016,

Gramedia, KPG dan POP3 menerbitkan lima buku sastra berbahasa Inggris yang penulisnya

merupakan orang Indonesia.4 Genre yang diterbitkan tersebut adalah prosa dan puisi.

Sebenarnya, sebelum Gramedia menerbitkan karya berbahasa Inggris tersebut, sudah ada

karya-karya berbahasa Inggris yang diterbitkan di Indonesia, tetapi biasanya diterbitkan oleh

3 Ketiganya berada dalam payung besar perusahaan Gramedia. 4 Selanjutnya disebut sastra berbahasa Inggris.

Page 7: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

penerbit independen. Contohnya saja novel Underground karya Ika Natassa yang diterbitkan

oleh Nulisbuku.com pada 2010. Selain itu, terdapat pula komunitas sastra di Indonesia yang

menggunakan bahasa Inggris dalam aktivitas literasinya, salah satu contohnya adalah Murmur

House yang juga menerbitkan antologi karya menggunakan bahasa Inggris.

Sastra berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh penerbit independen mengindikasikan

bahwa sastra berbahasa Inggris di Indonesia masih merupakan hal baru yang bertentangan

dengan arus utama yang didominasi oleh penerbit besar. Penerbitan sastra berbahasa Inggris

oleh penulis Indonesia di penerbit besar merupakan fenomena baru. Pada September 2015,

penerbit POP yang merupakan lini produk KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) menerbitkan

novel karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya—yang dicetak ulang pada Februari 2016. Masih di

tahun 2015, KPG menerbitkan kumpulan cerpen Rain Chudori yang berjudul Monsoon Tiger

and Other Stories. Pada Februari 2016, novel Ika Natassa berjudul Underground diterbitkan

ulang oleh Gramedia Pustaka Utama. Pada bulan Mei 2016, POP menerbitkan buku Naela Ali

yang merupakan cerita singkat yang dilengkapi dengan ilustrasi yang digambar oleh dirinya

berjudul Stories for Rainy Days. Masih ada Lala Bohang yang bukunya dicetak untuk kedua kali

pada Agustus 2016. Semua penerbit buku-buku sastra berbahasa Inggris berada di bawah

payung besar Gramedia, salah satu penerbitan dan toko buku terbesar di Indonesia. Akan

tetapi, penelitian ini tidak akan membahas karya Ika Natassa karena karyanya pernah

diterbitkan di penerbit lain sebelum di Gramedia.

SASTRA BERBAHASA INGGRIS DAN KEDUDUKANNYA DALAM KHAZANAH KESUSASTRAAN

INDONESIA MODERN

Telah disebutkan sebelumnya, tulisan ini mencoba melihat kecenderungan empat

karya sastra berbahasa Inggris, yakni Monsoon Tiger and Other Stories karya Rain Chudori,

Stories for Rainy Days karya Naela Ali, Beats Aparts karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya, dan

The Book of Forbidden Feelings karya Lala Bohang. Dari keempat karya tersebut, tiga karya

dapat dikategorikan sebagai prosa, yakni Monsoon Tiger and Other Stories, Stories for Rainy

Days, dan Beats Aparts; dan satu karya masuk kategori puisi, The Book of Forbidden Feelings.

Meskipun demikian, dari keempat karya sastra berbahasa Inggris tersebut, hanya satu karya

saja yang secara struktur dapat dikatakan konvensional, yakni Monsoon Tiger and Other

Stories karya Rain Chudori. Sementara, ketiga karya lainnya, Stories for Rainy Days, Beats

Page 8: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

Aparts, dan The Book of Forbidden Feelings disajikan cukup inovatif dengan memadukan

bentuk prosa liris dan gambar.

Monsoon Tiger and Other Stories merupakan karya salah satu pengarang muda

Indonesia, Rain Chudori, yang juga merupakan anak dari Leila S. Chudori, pengarang Indonesia

yang cukup dikenal. Buku ini merupakan kumpulan delapan cerpen. Kedelapan cerpen

tersebut dapat dikatakan sebagai cerita yang mengusung problematika anak muda urban

dengan kegelisahan, kegamangan, dan kebebasannya. Hampir seluruh ceritanya bercerita

mengenai kehidupan anak muda urban dengan kehidupan domestiknya, sosialisasinya dengan

kawan atau bahkan hubungan percintaannya. Latar dari cerpen-cerpen tersebut sebagian

besar berada di rumah ataupun taman yang identik dengan kehidupan urban. Hampir seluruh

latarnya tidak begitu jelas merujuk pada tempat dan waktu tertentu di kehidupan nyata,

hanya pada cerita “Taman Gajah” latar waktunya dapat diperkirakan berkisar pada tahun

1998, itu pun hanya dapat dilihat secara implisit. Sementara, tokoh-tokohnya merupakan

seorang anak muda dengan budaya dan identitas urban. Mereka selalu ditampilkan dengan

kegelisahan dan bersolilokui dengan penggunaan sudut pandang “aku”. Salah satu contoh

kutipan cerita pendek Rain Chudori dalam buku Monsoon Tiger and Other Stories sebagai

berikut.

Love is repertoire to our childhood. I was born in a white house with a roof that touech the sky, to a father who built and a mother who slept. Our bedrooms were quiet and endless, but that was how we established intimacy. The living room was rarely occupied, but there were always the hum of the radio and the sound of footsteps. It was always as if you arrived just after everyone had left. Though we never left the house, we bathed often and there were always warm, soapy water puddles on the tiled floor. We placed windows in every room, and though there were curtains, we never closed them. Speaking was not an ability we needed, loving even more so. We had found the ability to be safe and sound. We lived in a dollhouse, strong and rooted into our own wounds. (Chudori, 2016: 56)

Kutipan tersebut merupakan nukilan cerita dari cerpen “The Dollhouse”. Dalam

kutipan terlihat bahwa narator yang juga sebagai vokalisator adalah tokoh aku, yang

bersolilokui mendeskripsikan keadaan rumah dan keluarganya. Dari kutipan tersebut pula,

secara implisit, terlihat nada-nada kesepian dan kegelisahan hidup di keluarga urban, seperti

terlihat dalam penggunaan kata-kata “quiet”, “rarely occupied”, maupun “speaking … not …

Page 9: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

needed”. Bentuk cerita pendeknya pun dapat dilihat dalam bentuk paragraf yang konvensional

dan dapat dinikmati layaknya cerita pendek pada umumnya.

Ketiga karya sastra berbahasa Inggris lain, Stories for Rainy Days, Beats Aparts, dan The

Book of Forbidden Feelings5, disajikan dalam bentuk sastra yang lebih inovatif. Dua prosa,

Stories for Rainy Days, dan Beats Aparts berkecenderungan ditampilkan dalam bentuk bait

layaknya puisi yang ditampilkan dengan gambar. Stories for Rainy Days karya Naela Ali

merupakan kumpulan cerita-cerita sangat pendek yang dikombinasikan dengan gambar-

gambar yang mengilustrasikan cerita. Atau sebaliknya, cerita tersebut yang mendeskripsikan

gambar. Sebagian besar ceritanya bertema tentang percintaan dan gaya berceritanya

berbentuk solilokui, mirip dengan karya Rain Chudori. Hanya saja, cerita ini terkesan lebih

berwarna karena gambar, lebih populer, lebih pendek, dan beberapa ceritanya berbentuk

prosa liris.

Beat Aparts, karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya, merupakan sebuah novel yang

bercerita tentang seseorang yang bersenandung atau gelisah karena perselingkuhan. Namun,

di akhir cerita, pada akhirnya si tokoh Aku lebih memilih untuk bersama selingkuhannya. Sama

seperti karya Rain dan Naela Ali, sudut pandang dalam novel ini memakai sudut pandang

akuan. Selain itu, cerita ini juga disertai dengan foto di setiap babnya. Dalam hal ini, gambar

dan cerita terjuktaposisi dan bersanding membentuk cerita dengan estetika yang menarik.

Tidak hanya itu, yang cukup unik adalah seluruh pembabakan cerita dalam novel ini berbentuk

bait, prosa liris. Bentuk prosa liris sebenarnya bukan bentuk baru, Linus Suryadi A.G pernah

menyajikannya dalam Pengakuan Pariyem. Akan tetapi, prosa liris ini menunjukkan sesuatu

yang baru, yakni penyajian bentuk bait layaknya puisi konkret yang pernah digunakan dalam

karya-karya Sutarji, Remy Sylado, maupun Danarto.

Sementara itu, The Book of Forbidden Feelings merupakan sebuah puisi karya Lala

Bohang. Meskipun Lala Bohang tidak menyebutkan karyanya sebagai puisi, tetapi bukunya

tersebut dapat dilihat sebagai puisi karena dalam buku tersebut disajikan gambar dan tulisan

yang saling berkait-kelindan membentuk ekspresi puitik. Tulisan dan gambar tersebut

memang terlihat bercerita, tetapi dalam penyajiannya tidak terlihat adanya kelengkapan

unsur-unsur prosa, seperti alur, latar, maupun tokoh. Karena itulah, karya tersebut daoat

dikatakan sebagai sebuah puisi. Sastra berbentuk gambar dan tulisan yang disajikan menjadi

5 Kutipan ketiga karya tersebut dapat dilihat dalam Lampiran.

Page 10: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

satu dan membentuk ekspresi puitik tersebut tidak bisa dimungkiri sebagai sebuah inovasi

dalam bersastra seiring dengan kemajuan teknologi informasi saat ini—selain karena Lala

Bohang sendiri seorang desainer grafis. Hal itu sejalan dengan perkembangan sastra yang

dipaparkan Sapardi Djoko Damono. Damono (2014:180—181) memaparkan bahwa teknologi

tidak berniat memisahkan bunyi dan aksara (termasuk gambar), malahan menyandingkannya.

Aksara itu sendiri merupakan sebuah gambar mati yang dicoretkan pada kertas atau media

lainnya. Bentuk cetak puisi yang menyajikan sastra dan gambar sebenarnya pernah pula

dibuat oleh Joko Pinurbo dalam bukunya, Haduh, aku di-follow, yang merupakan terbitan

cetak dari kumpulan puisinya di Twitter. Dalam bukunya itu, puisi-puisi Joko Pinurbo seolah

bersanding bersama dengan gambar dalam menyampaikan imaji dan cerita.

Dari pemaparan singkat di atas, kecenderungan struktur maupun tema dari sastra-

sastra berbahasa Inggris di Indonesia tersebut tidaklah melenceng jauh dari sastra-sastra yang

juga berkembang saat ini. Jika memang terjadi inovasi dalam bentuknya, itu bukanlah hal yang

keluar batas. Sebab, perkembangan teknologi informasi memang membuat produksi dan

reproduksi sastra menjadi lebih mudah dan cepat. Karena itu pula, proses pengaruh dan

memengaruhi dalam bersastra juga sangat longgar. Dengan demikian, apakah sastra

berbahasa Inggris ini merupakan sebuah perkembangan baru dalam kesusastraan Indonesia

modern? Dalam menjawab pertanyaan ini penulis akan memperhatikan tiga hal sebagai

landasan.

Pertama, penulis mencoba merujuk kembali ke pernyataan Damono (1983: 131—132)

bahwa batasan untuk menyebut sastra sebagai sastra Indonesia dapat dilihat dari dua aspek,

(1) karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh penulis berkewarganegaraan

Indonesia; (2) karya sastra yang ditulis oleh Warga Negara Indonesia dalam bahasa-bahasa

yang ada di Indonesia. Melalui pernyataan Damono tersebut, dapat diambil dua kata kunci,

yakni Warga Negara Indonesia dan bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa di

Indonesia). Hampir senada dengan Damono, Pujiharto (2016: 288) dalam tulisannya,

Reorientation of Literary Study: From Indonesian Literature to Literature in Indonesia,

menyatakan bahwa sastra sebuah negara dapat ditentukan melalui dua aspek, yakni bahasa

negara tersebut ataupun batasan negara itu sendiri. Dari pernyataan Pujiharto tersebut dapat

ditambahkan satu kata kunci lagi, yakni batas kenegaraan. Dengan demikian, ada tiga kata

kunci penting, yakni WNI, negara, dan bahasa.

Page 11: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

Untuk kata kunci pertama dan kedua, dapat dijawab dengan jelas, seperti yang telah

disebutkan pada bahasan sebelumnya, bahwa para pengarang dari sastra berbahasa Inggris

ini merupakan Warga Negara Indonesia. Selain itu, buku ini juga diterbitkan di Indonesia dan

segmentasinya adalah pembaca Indonesia sehingga persebaran karyanya berpusat di

Indonesia.

Untuk menyesuaikan kata kunci ketiga, yakni bahasa di dalam Negara Indonesia,

penulis melihat bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang sudah sering digunakan di

Indonesia karena proses globalisasi dan peraturan pemerintah yang mewajibkan bahasa

Inggris dipelajari di sekolah—seperti disebutkan dalam bahasan sebelumnya. Selain itu, dapat

diketahui pula, pengarang sastra berbahasa Inggris yang telah disebutkan merupakan orang-

orang yang berpendidikan dan sering menggunakan bahasa Inggris dalam kesehariannya. Rain

Chudori merupakan founder komunitas sastra The Murmur House yang menggunakan bahasa

Inggris.6 Dia juga sudah sering menulis untuk berbagai media dalam bahasa Inggris. Naela Ali

merupakan ilustrator dan desainer grafis dan mempunyai brand sendiri untuk produk-produk

yang menggunakan karyanya, yaitu Asobi. Alanda Kariza merupakan seorang penulis dan

aktivis. Ia sudah menerbitkan delapan buku dan membentuk Indonesian Youth Conference.

Sementara itu, Kevin Aditya sering menulis di lamannya menggunakan bahasa Inggris dan

memfokuskan diri pada urban planning.7 Lala Bohang merupakan lulusan Universitas

Parahyangan jurusan arsitektur. Dia merupakan seniman dan ilustrator yang sering

berpartisipasi dalam berbagai pameran seni.

Para penulis tersebut memang sudah akrab dengan bahasa Inggris di dalam kehidupan

sehari-hari mereka. Selain itu, para penulis tersebut berada pada kisaran umur yang masih

relatif muda. Mereka adalah generasi yang sangat akrab dengan media sosial dan internet.

Jika melihat media sosial atau laman mereka, mereka sering sekali menggunakan bahasa

Inggris untuk mengungkapkan pikiran mereka.

Hal Kedua yang menjadi landasan penulis mempertimbangkan sastra berbahasa

Inggris tersebut dapat dimasukkan dalam khasanah kesusastraan Indonesia Modern adalah

karena penggunaan bahasa Inggris sendiri di dalam sebuah negara, terutama negara dunia

ketiga, sudah wajar dianggap sebagai medium saja. Hal ini merujuk pada penelitian Z. N. Patil

6 Untuk melihat tulisan-tulisannya, dapat masuk ke laman rainchudori.com 7 Laman Kevin Aditya adalah kevinaditya.com

Page 12: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

(2006) yang menyatakan bahwa terjadi pergeseran dalam penggunaan dan pemaknaan

bahasa Inggris. Bahasa Inggris tidak lagi sebagai representasi bahasa Barat atau bentuk

kanonisasi bahasa, tetapi menjadi medium yang wajar di penjuru dunia. Dalam hal ini,

penggunaan bahasa Inggris dalam sastra berbahasa Inggris bisa dilihat hanya sebagai media

untuk berkomunikasi dengan pengguna bahasa Inggris lain. Dengan demikian, sastra

berbahasa Inggris tersebut juga dapat diasumsikan sebagai upaya menuju ranah global—

termasuk berpartisipasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Masyarakat Ekonomi ASEAN resmi dijalankan pada 2015 berdasarkan Deklarasi ASEAN

di Bali pada 2003. Sehubungan dengan persiapan MEA, pada 2010, ASEAN membuat Master

Plan untuk konektivitas ASEAN yang mengingkatkan konektivitas regional di tiga bidang, yaitu

konektivitas fisik, konektivitas institusi, dan konektivitas antarmanusia yang diharapkan akan

mempermudah arus perdagangan dalam hal barang, jasa, dan investasi (Pomfret & Das, 2013:

280). Tujuan dari MEA ini adalah mengembangkan konektivitas dan mengurangi kesenjangan

pembangunan di antara negara ASEAN (ibid).

Agar sastra dari Indonesia dapat dinikmati oleh orang-orang di negara lain, bahasa

yang digunakan haruslah bahasa penghubung negara-negara tersebut. Bahasa penghubung di

ASEAN adalah bahasa Inggris. Oleh karena itu, penerbitan karya-karya sastra berbahasa Inggris

oleh penerbit besar di Indonesia dapat dilihat sebagai salah satu strategi pemasaran. Terlebih

lagi jika melihat tahun terbit karya-karya tersebut yang dimulai pada 2015 yang juga

merupakan tahun penerapan MEA. Karya-karya sastra berbahasa Inggris yang ditulis oleh

penulis Indonesia memang disebarluaskan di toko buku-toko buku besar di Indonesia, tetapi

penggunaan bahasa Inggris di dalam karya tersebut membuatnya lebih mudah dipasarkan

lintas-negara. Naela Ali dalam instagramnya menghadiahkan Stories for Rainy Days untuk

orang-orang yang me-repost gambar bukunya. Orang-orang yang dimaksud Naela Ali tidak

harus berasal dari Indonesia, tetapi worldwide. Hal ini dapat dilihat sebagai salah satu strategi

penulis dalam memasarkan karyanya. Karya-karya sastra berbahasa Inggris yang diterbitkan

oleh penerbit besar di Indonesia ini dapat dilihat sebagai hasil dari globalisasi melalui MEA dan

Internet.

Sementara, landasan ketiga untuk memasukkan sastra berbahasa Inggris ke dalam

khasanah kesusastraan Indonesia adalah pertimbangan karya sastra berbahasa Inggris itu

sendiri untuk diterima sebagai karya yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Seperti telah

disebutkan, karya sastra berbahasa Inggris ini secara struktur dan tema bukanlah karya yang

Page 13: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

di luar batas estetika sastra Indonesia itu sendiri. Tema-tema individualis dan bahaya

modernisasi dalam kesusastraan Indonesia bahkan sudah muncul dari awal kemerdekaan.

Sementara, dari segi struktur, karya sastra berbahasa Inggris ini cukup wajar mengingat

perkembangan teknologi informasi yang juga memengaruhi inovasi dalam berkarya. Karya-

karya Joko Pinurbo atau beberapa pengarang Indonesia kontemporer juga sudah

menampilkan juktaposisi tulisan dengan gambar dalam karyanya. Salah satu hal yang paling

penting, karya sastra berbahasa Inggris ini, yang segmentasi utamanya masyarakat Indonesia,

telah laris terjual di Indonesia. Bahkan, seperti telah disebutkan, beberapa karya sastra

berbahasa Inggris ini memasuki cetakan ketiganya hanya dalam tempo kurang dari satu tahun.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, sastra berbahasa Inggris yang ditulis oleh

penulis Indonesia dapat dikatakan masuk ke dalam khazanah sastra Indonesia karena

beberapa aspek. Pertama, penulis dari sastra berbahasa Inggris tersebut merupakan penulis

yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; karya sastra tersebut diterterbitkan dan memiliki

pasar utama di Indonesia; serta globalisasi membuat bahasa Inggris menjadi bahasa yang

lazim digunakan di dalam keseharian masyarakat Urban.

Kedua, penggunaan bahasa Inggris sebagai medium sastra tidak serta-merta

menjadikan sastra tersebut sebagai representasi bangsa Barat. Globalisasi menyebabkan

bahasa Inggris masuk ke dalam ranah sastra karena pengaruh globalisasi dari internet.

penggunaan bahasa Inggris dalam karya-karya sastra ini juga dapat dilihat sebagai salah satu

cara untuk berpartisipasi dalam MEA.

Ketiga, karya sastra berbahasa Inggris memiliki masyarakat pembaca di Indonesia.

karya-karya sastra berbahasa Inggris laris terjual hingga beberapa karya harus cetak ulang

untuk ketiga kalinya dalam tempo kurang dari setahun. Selain itu, struktur maupun tema di

dalam sastra berbahasa Inggris ini tidak jauh berbeda dengan sastra berbahasa Indonesia yang

terbit akhir-akhir ini. Inovasi bentuk dalam sastra berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh

penerbit besar ini dianggap wajar karena pengaruh perkembangan teknologi informasi saat

ini.

DAFTAR PUSTAKA Ali, Naela. 2016. Stories for Rainy Days. Jakarta: POP.

Page 14: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

Bohang, Lala. 2016. The Book of Forbidden Feeling. Jakarta: Gramedia.

Chudori, Rain. 2015. Monsoon Tiger and Other Stories. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Damono, Sapardi Djoko. 2001. “Sumbangan Sastra dalam Pengembangan Bahasa” dalam Meretas Tanah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya.

____________________. 1983. Kesusastraan Indoesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

____________________. 1999. Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus

____________________. 2014. Alih Wahana. Ciputat: Editum.

Crystal, David. 2003. English as Global Language. New York: Cambridge University Press.

Kariza, Alanda & Kevin Aditya. 2016. Beats Apart. Jakarta: POP.

Crystal, David. 2003. English as Global Language. New York: Cambridge University Press.

Nio, Joe Lan. 1962. Sastera Indonesia-Tionghoa. Jakarta: Gunung Agung.

Patil, Z.N. 2004. “On The Nature and Role of English in Asia” dalam www.linguistics-journal.com/2014/01/09/on-the-nature-and-role-of-english-in-asia/. Diunduh pada tanggal 17 Oktober 2016.

Pomfret, Richard & Sanchita Basu Das. 2013. “Subregional Zones and ASEAN Economic Community” dalam The ASEAN Economic Community: A Work in Progress. Singapura: ISEAS Publishing.

Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusastraan Melayu Rendah: Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.

Zentz, Lauren. 2012. Global Language Identities and Ideologies in an Indonesian University Context. Disertasi. Arizona: University of Arizona.

Rosidi, Ajip. 1988. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Jakarta: CV Haji Masagung.

Page 15: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

Lampiran 1. Novel Beats Apart

Page 16: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama

Lampiran 2. Stories for Rainy Days karya Naela Ali

Lampiran 3. The Book of Fobidden Feeling karya Lala Bohang

Page 17: SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama