25

Click here to load reader

Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Satu dari Dua Orang Indonesia Menderita Anemia

Jakarta (Media) : Satu di antara dua orang penduduk Indonesia menderita anemia. Penyebab anemia atau yang biasa disebut kalangan awam dengan penyakit kurang darah, selain kekurangan gizi juga adanya penyakit yang merusak sel darah merah.

Menurut dr Syafrizal Syafei SpPD KHOM, konsultan hematologi onkologi medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo, dan RS Kanker Dharmais dalam acara seminar 'Indonesia Bebas Anemia' kemarin, di Jakarta, kekurangan gizi seperti zat besi banyak ditemukan di Indonesia.

"Bahkan penelitian yang dilakukan Fakultas Kedokteran Udayana di Bali menunjukkan 46% ibu hamil kena anemia. Secara umum di Indonesia sekitar 20% wanita, 50% wanita hamil, dan 3% pria kekurangan zat besi."

Sedangkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan dua miliar penduduk dunia terkena anemia. Tanda-tanda anemia antara lain kulit pucat, rasa lelah, napas pendek, kuku mudah pecah, kurang selera makan, dan sakit kepala sebelah depan. Namun, terkadang tidak ada keluhan bila pasien mengalami anemia ringan.

kriteria lain orang terkena anemia apabila hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari 13 g% untuk pria dan untuk wanita kurang dari 12 g%. Sedangkan anemia untuk anak usia 6 bulan - 5 tahun, kandungan Hb dalam darah kurang dari 11 g%. Anak usia 6-14 tahun kandungan Hb kurang dari 12 g%.

Fungsi zat besi sebagai pigmen pengangkut oksigen dalam darah. Sementara oksigen diperlukan untuk fungsi normal seluruh sel tubuh. Apabila darah kekurangan oksigen maka fungsi sel-sel di seluruh tubuh bisa terganggu.

Zat besi bersumber pada makanan bergizi seperti daging merah terutama hati, kuning telur, ikan, ayam, kacang merah, daun katuk, bayam, serta roti gandum.

"Sering kali asupan zat besi ini berkurang karena adanya makanan yang bisa menghambat penyerapan zat besi di dalam tubuh. Atau, pengelolaan makanan yang kurang baik," kata Syafrizal.

Teh dan kopi

Teh dan kopi merupakan sumber makanan penghambat asupan zat besi. Kebiasaan masyarakat setelah makan tidak dilanjutkan dengan minum air putih, jus buah, atau makan buah-buahan. Sebaliknya, mereka lebih suka mengonsumsi teh atau kopi.

Obat antibiotik seperti tetrasiklin, obat nyeri lambung, dan obat penahan rasa nyeri seperti obat rematik, juga menjadi penyebab terhambatnya asupan zat besi.

Page 2: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Kelompok berisiko tinggi terkena anemia di Indonesia adalah ibu hamil, ibu menyususi, dan anak-anak. Menurut Syafrizal, akibat anemia pada ibu hamil adalah bayi lahir cacat atau abortus, persalinan lama, perdarahan, shock, dan payah jantung. Sedangkan pada janin bisa menyebabkan kematian, cacat bawaan, prematur, dan cadangan zat besi kurang.

"Pada anak-anak, prestasi belajar juga terganggu karena pembentukan otak sejak kecil terhambat. Sekarang ini, anak-anak yang tidak lulus cukup tinggi salah satu penyebabnya anemia."

hasil penelitian yang dilakukan PT Merck Tbk di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara cukup tinggi. Menurut dr Risa Anwar Head of Medical Development PT Merck Tbk, di Jawa Timur dengan melibatkan 5.959 peserta tes darah di tiga kota, Kediri, Jombang, dan Mojokerto, 33% di antaranya anemia.

Sedangkan di Jawa Barat dengan peserta tes darah sebanyak 7.439 di tiga kota, Garut, Tasikmalaya, dan Cirebon, 41% di antaranya anemia.

Sedangkan di Sumatera Utara dengan peserta tes darah sebanyak 9.377 orang di tiga kota, Mdan, Pematang Siantar, dan Kisaran, 33% di antaranya anemia.

Penyakit lain menjadi penyebab anemia, menurut Prof DR Dr A haryanto Reksodiputro SpPD KHOM dalam makalah yang dibacakan Syafrizal, antara lain kanker, penyakit ginjal, gondok, gangguan pembentukan heme (pigmen pembentuk warna merah pada darah mengandung zat besi), penyakit infeksi kuman, telasemia, kelainan jantung, rematioid, kecelakaan hebat, meningitis, gangguan sistem imun, dan sebagainya.

Syafrizal menambahkan, penyakit kelainan jantung biasanya disebabkan defisiensi gizi. "Tapi, kini akibat narkoba, Penggunaan katub jantung buatan dalam persentase tertentu bisa menimbulkan anemia." (Nda/V-2)

http://www.depkes.co.id

Page 3: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Posted on October 8, 2007.

ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI PADA IBU HAMIL DI INDONESIA (EVIDENCE BASED)

Ridwan Amiruddin. Ermawati Syam. Rusnah.Septi Tolanda.Irma Damayanti

Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu negara. Kematian ibu dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya karena anemia. Penelitian Chi, dkk menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70% untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk mereka yang non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu.1Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain. Oleh karena itu anemia gizi pada masa kehamilan sering diidentikkan dengan anemia gizi besi Hal ini juga diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992, bahwa sekitar 70 % ibu hamil di Indonesia menderita anemia  gizi.2Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Dengan frekuensi yang masih cukup tinggi, berkisar antara 10% dan 20% (Prawirohardjo,2002). Badan kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75%, serta semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan.1,4Anemia defisiensi zat besi lebih cenderung berlangsung di negara yang sedang berkembang daripada negara yang sudah maju. Tiga puluh enam persen (atau sekitar 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara yang sedang berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang. 3Di Indonesia prevalensi anemia pada kehamilan masih tinggi yaitu sekitar 40,1% (SKRT 2001). Lautan J dkk (2001) melaporkan dari 31 orang wanita hamil pada trimester II didapati 23 (74%) menderita anemia, dan 13 (42%) menderita kekurangan besi.4Mengingat besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi zat besi pada wanita hamil dan janin, oleh karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup terhadap masalah ini.B.     Rumusan masalah

 DAFTAR PUSTAKA 

1.      http://www.bppsdmk.depkes.go.id. Faktor Resiko Kejadian Anemia pada Ibu Hamil. Akses 17 September 2007.2.      http://ridwanamiruddin.wordpress.com. Studi Kasus Kontrol Faktor Biomedis Terhadap Kejadian Anemia Ibu Hamil Di Puskesmas Bantimurung. Akses 17 September 2007.

3.      Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan : Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : EGC.

4.      http://library.usu.ac.id . Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa Praktek Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan. Akses 17 September 2007.5.     

http://bankdata.depkes.go.id . Profil Kesehatan Indonesia : Pencapaian Indonesia Sehat

Page 4: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

di Tahun 2001. Akses 23 September 2007.6.      Atmarita, Tatang S. Fallah. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.7.      http://www.skripsi-tesis.com. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Rendahnya Cakupan Fe Ibu Hamil di Kabupaten Bengkulu Selatan Propinsi Bengkulu Tahun 2003. Akses 17 September 2007. 

Page 5: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

STATUS GIZI IBU HAMIL SERTA PENGARUHNYA

TERHADAP BAYI YANG DILAHIRKAN

Pendahuluan

Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin  yang sedang dikandung.  Bila gtatus gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan  bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal.  Dengan kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil. 

Salah satu cara untuk menilai kualitas bayi adalah dengan mengukur berat bayi pada saat lahir. Seorang ibu hamil akan melahirkan bayi yang sehat bila tingkat kesehatan dan gizinya berada pada kondisi yang baik.  Namun sampai saat ini masih banyak ibu hamil yang mengalami masalah gizi khususnya gizi kurang seperti Kurang Energi Kronis (KEK) dan Anemia gizi (Depkes RI, 1996).  Hasil SKRT 1995 menunjukkan bahwa 41 % ibu hamil menderita KEK dan 51% yang menderita anemia mempunyai kecenderungan melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai resiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal.  Akibatnya mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, kematian saat persalinan, pendarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan (Depke RI, 1996).  Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya.

Selain itu juga akan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian bayi karena  rentan terhadap infeksi saluran pernafasan bagian bawah, gangguan belajar, masalah perilaku dan lain sebagainya (Depkes RI, 1998).

Kebutuhan Gizi pada Ibu Hamil

Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan.  Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk  pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu.  Sehingga kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna.

Bagi ibu hamil, pada dasarnya semua  zat gizi memerlukan tambahan, namun yang seringkali menjadi kekurangan adalah energi protein dan beberapa mineral seperti Zat Besi dan Kalsium.

Page 6: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Kebutuhan energi untuk kehamilan yang normal perlu tambahan kira-kira 80.000 kalori selama masa kurang lebih 280 hari.  Hal ini berarti perlu tambahan  ekstra sebanyak  kurang lebih 300 kalori setiap hari selama  hamil (Nasution, 1988).

            Energi yang tersembunyi dalam protein ditaksir sebanyak 5180 kkal, dan lemak 36.337 Kkal.  Agar energi ini bisa ditabung masih dibutuhkan tambahan energi sebanyak 26.244 Kkal, yang digunakan untuk mengubah energi yang terikat dalam makanan menjadi energi yang bisa dimetabolisir.  Dengan demikian jumlah total energi yang harus tersedia selama kehamilan adalah 74.537 Kkal, dibulatkan menjadi 80.000 Kkal.  Untuk memperoleh besaran energi per hari, hasil penjumlahan ini kemudian dibagi dengan angka 250 (perkiraaan lamanya kehamilan dalam hari) sehingga diperoleh angka 300 Kkal. 

            Kebutuhan  energi pada trimester I meningkat secara minimal. Kemudian sepanjang trimester II dan III kebutuhan energi terus meningkat sampai akhir kehamilan.  Energi tambahan selama trimester II diperlukan untuk pemekaran jaringan ibu seperti penambahan volume darah, pertumbuhan uterus, dan payudara, serta penumpukan lemak.  Selama trimester III energi tambahan digunakan untuk pertumbuhan janin dan plasenta.

            Karena banyaknya perbedaan kebutuhan energi selama hamil, maka WHO menganjurkan jumlah tambahan sebesar 150 Kkal sehari pada trimester I, 350 Kkal sehari pada trimester II dan III.  Di Kanada, penambahan untuk trimester I sebesar 100 Kkal dan 300 Kkal untuk trimester II dan III.  Sementara di Indonesia berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI tahun 1998 ditentukan angka 285 Kkal perhari selama kehamilan.  Angka ini tentunya tidak termasuk penambahan akibat perubahan temperatur ruangan, kegiatan fisik, dan pertumbuhan.  Patokan ini berlaku bagi mereka yang tidak merubah kegiatan fisik selama hamil.

            Sama halnya dengan energi, kebutuhan wanita hamil akan protein juga meningkat, bahkan mencapai 68 % dari sebelum hamil.  Jumlah protein yang harus tersedia sampai akhir kehamilan diperkirakan sebanyak 925 g yang tertimbun dalam jaringan ibu, plasenta, serta janin.  Di Indonesia melalui Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI tahun 1998 menganjurkan penambahan protein 12 g/hari selama kehamilan.  Dengan demikian dalam satu hari asupan protein dapat mencapai 75-100 g (sekitar 12 % dari jumlah total kalori); atau sekitar 1,3 g/kgBB/hari (gravida mature), 1,5 g/kg BB/hari (usia 15-18 tahun), dan 1,7 g/kg BB/hari (di bawah 15 tahun).

            Bahan pangan yang dijadikan sumber protein sebaiknya (2/3 bagian) pangan yang bernilai biologi tinggi, seperti daging tak berlemak, ikan, telur, susu dan hasil olahannya.  Protein yang berasal dari tumbuhan (nilai biologinya rendah) cukup 1/3 bagian.

 Kenaikan volume darah  selama kehamilan akan meningkatkan  kebutuhan Fe atau Zat Besi.  Jumlah Fe pada bayi  baru lahir kira-kira 300 mg dan jumlah yang diperlukan ibu untuk mencegah anemia akibat meningkatnya volume darah adalah 500 mg.  Selama kehamilan seorang ibu hamil menyimpan zat besi kurang lebih 1.000 mg termasuk untuk

Page 7: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

keperluan janin, plasenta dan hemoglobin ibu sendiri.  Berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1998, seorang ibu hamil perlu tambahan zat gizi rata-rata 20 mg perhari.  Sedangkan kebutuhan sebelum hamil atau pada kondisi normal rata-rata 26 mg per hari (umur 20 - 45 tahun).

Gizi Kurang pada Ibu Hamil

Bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil akan menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun  janin, seperti diuraikan berikut ini.

<!–[if !supportLists]–>1.           <!–[endif]–>Terhadap Ibu

Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu antara lain: anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit infeksi.

<!–[if !supportLists]–>2.           <!–[endif]–>Terhadap Perslinan

Pengaruh gizi kurang terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum waktunya (premature), pendarahan setelah persalinan, serta persalinan dengan operasi  cenderung meningkat.

<!–[if !supportLists]–>3.           <!–[endif]–>Terhadap Janin

Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan kegururan , abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati dalam kandungan), lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR)

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui status gizi ibu hamil antara lain memantau pertambahan berat badan selama hamil, mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA), dan mengukur kadar Hb.  Pertambahan berat badan selama  hamil sekitar 10 - 12 kg, dimana pada trimester I pertambahan kurang dari 1 kg, trimester II sekitar 3 kg, dan trimester III sekitar 6 kg. Pertambahan berat badan ini juga sekaligus bertujuan memantau pertumbuhan janin. Pengukuran LILA dimaksudkan untuk  mengetahui apakah seseorang menderita Kurang Energi Kronis (KEK), sedangkan pengukuran kadar Hb untuk mengetahui kondisi ibu  apakah menderita anemai gizi.

Gizi yang baik diperlukan  seorang ibu hamil agar pertumbuhan janin tidak mengalami hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan bayi dengan berat normal.  Dengan kondisi kesehatan yang baik, system reproduksi normal, tidak menderita sakit, dan tidak ada gangguan gizi pada masa pra hamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi lebih besar dan lebih sehat daripada ibu dengan kondisi kehamilan yang sebaliknya.  Ibu dengan kondisi kurang gizi kronis pada masa hamil sering melahirkan bayi BBLR, vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi, terlebih lagi bila ibu menderita anemia.

Page 8: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Anemia pada Ibu Hamil

Anemia dapat didefinisikan sebagai kondisi dengan kadar Hb berada di bawah normal.  Di Indonesia Anemia umumnya disebabkan oleh kekurangan Zat Besi, sehingga lebih dikenal dengan istilah  Anemia Gizi Besi.  Anemia defisiensi besi merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi selama kehamilan.  Ibu hamil umumnya mengalami deplesi besi sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolisme besi yang normal.  Selanjutnya mereka akan menjadi anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun sampai di bawah 11 gr/dl selama trimester III. 

Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak.  Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin  didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, anemia pada bayi yang dilahirkan, hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal secara bermakna lebih tinggi.  Pada ibu hamil yang menderita anemia berat dapat meningkatkan resiko morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur juga lebih besar.

Resiko BBLR pada Ibu Hamil

Di Indonesia batas ambang LILA dengan resiko KEK adalah 23,5 cm hal ini berarti ibu hamil dengan resiko KEK diperkirakan akan melahirkan bayi BBLR.  Bila bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) akan mempunyai resiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan, dan gangguan perkembangan anak. Untuk mencegah resiko KEK pada ibu hamil sebelum kehamilan wanita usia subur sudah harus mempunyai gizi yang baik, misalnya dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm.  Apabila LILA ibu sebelum hamil  kurang dari angka tersebut, sebaiknya kehamilan ditunda sehingga tidak beresiko melahirkan BBLR.

Hasil penelitian Edwi Saraswati, dkk. di Jawa Barat (1998) menunjukkan bahwa KEK pada batas 23,5 cm belum merupakan resiko untuk melahirkan BBLR walaupun resiko relatifnya cukup tinggi.  Sedangkan ibu hamil dengan KEK pada batas 23 cm mempunyai resiko 2,0087 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai LILA lebih dari 23 cm.

Sebagaimana disebutkan di atas, berat bayi yang dilahirkan dapat  dipengaruhi oleh status gizi ibu baik sebelum hamil maupun saat hamil.  Status gizi ibu sebelum hamil juga cukup berperan dalam pencapaian gizi ibu saat hamil.  Penelitian Rosmeri (2000) menunjukkan bahwa  status gizi ibu sebelum hamil  mempunyai pengaruh yang bermakna  terhadap kejadian  BBLR.  Ibu dengan status gizi kurang (kurus) sebelum hamil mempunyai resiko 4,27 kali untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai status gizi baik (normal).

Hasil penelitian Jumirah, dkk. (1999) menunujukkan bahwa ada hubungan kadar Hb ibu hamil dengan berat bayi lahir, dimana semakin tinggi kadar Hb ibu semakin tinggi berat badan bayi yang dilahirkan.  Sedangkan penelitian Edwi Saraswati, dkk. (1998)

Page 9: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

menemukan bahwa anemia pada batas 11 gr/dl bukan merupakan resiko untuk melahirkan BBLR. Hal ini mungkin karena belum berpengaruh terhadap fungsi hormon maupun fisiologis ibu.

Selanjutnya pada analisa bivariat anemia batas 9 gr/dl atau anemia berat ditemukan secara statistik tidak nyata melahirkan BBLR. Namun untuk melahirkan bayi mati mempunyai resiko 3,081 kali. Dari hasil analisa multivariat dengan memperhatikan  masalah riwayat kehamilan  sebelumnya menunjukkan bahwa ibu hamil  penderita anemia berat mempunyai resiko untuk melahirkan BBLR 4,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak menderita anemia berat.

Penutup

Ibu hamil merupakan kelompok yang cukup rawan gizi.  Kekurangan gizi pada ibu hamil mempunyai dampak yang cukup besar terhadap proses pertumbuhan janin dan anak yang akan dilahirkan.  Bila ibu hamil mengalami kurang gizi maka akibat yang akan ditimbulkan  antara lain: keguguran, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, dan bayi lahir dengan BBLR.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa pengaruh gizi kurang terhadap kejadian BBLR cukup besar pada ibu hamil, apalagi kondisi gizi ibu sebelum hamil buruk.  Masalah gizi kurang pada ibu hamil ini dapat dilihat dari  prevalensi Kekurangan Energi Kronis (KEK) dan kejadian anemia.

Untuk memperkecil resiko BBLR diperlukan upaya mempertahankan kondisi gizi yang baiik pada ibu hamil.  Upaya yang dilakukan berupa pengaturan konsumsi makanan, pemantauan pertambahan berat badan, pemeriksaan kadar Hb, dan pengukuran LILA sebelum atau saat hamil.

Daftar Pustaka

Depkes RI. Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat. 1992.  Pedoman Pelayanan Kesehatan Prenatal di Wilayah Kerja Puskesmas.  Jakarta.

Depkes RI. Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat. 1996.  Pedoman Penanggulangan Ibu Hamil Kekurangan Enargi Kronis.  Jakarta.

Depkes RI. 1997.  Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995.  Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.  Jakarta.

Saraswati, E. 1998.  Resiko Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK) dan Anemia untuk melahirkan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).  Penelitian Gizi dan Makanan jilid 21.

Page 10: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Jumirah, dkk. 1999. Anemia Ibu Hamil dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Serta Dampaknya pada Berat Bayi Lahir di Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan.  Laporan Penelitian.  Medan

Kardjati, S. 1999. Aspek Kesehatan dan Gizi Anak Balita. Yayasan Obor Indonesia.  Jakarta.

Nasution, A.H., dkk.  1988.  Gizi untuk Kebutuhan Fisiologis Khusus. Terjemahan.  PT Gramedia.  Jakarta.

Pudiadi. 1997.  Ilmu Gizi Klinis pada Anak.  Fakultas Kedokteran UI.  Jakarta

Manik, R. 2000.  Pengaruh Sosio Demografi, Riwayat Persalinan dan Status Gizi Ibu terhadap Kejadian BBLR, Studi Kasus di RSIA Sri Ratu Medan.  Skripsi Mahasiswa FKM USU. Medan.

Sarimawar, D., dkk.  1991.  Faktor Resiko yang Mempengaruhi Anemia Kehamilan.  Buletin Penelitian Kesehatan.  Jakarta.

Page 11: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

PARTISIPASI IBU HAMIL TERHADAP KUNJUNGAN ANTERNATAL CARE DI PUSKESMAS PEMBANTU LUNG BATA

KOTA BANDA ACEH TAHUN 2007

Posted March 3rd, 2008 by maetette Anatomi dan Fisiologi

Mortalitas dan morbiditas wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar dan berkembang, menanggapi masalah kematian ibu yang demikian besar tahun 1989 untuk pertama kalinya ditingkat internasional diadakan konferensi tentang kematian ibu di Nairobu, Kenya, tahun 1994, diadakan pula International Conferene on Population and Development (ICPD) di Kairo, Mesir, yang menyatakan bahwa kebutuhan kesehatan reproduksi pria dan wanita sangat vital bagi pembangunan sosial dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Pelayanan kesehatan tersebut dinyatakan sebagai bagian intergral dari pelayanan dasar yang akan terjangkau oleh masyarakat. Didalamnya termasuk pelayanan kesehatan ibu yang berupaya agar setiap ibu hamil dapat melalui kehamilan dan persalinan dengan selamat. (Saifudin, 2003).Masalah kematian dan kesakitan ibu di Indonesia masih merupakan masalah besar. Angka kematian ibu (AKI) menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 adalah 373 per 100.000 kelahiran hidup, mengalami penurunan yang lambat, yaitu pada tahun 2002 adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Dan menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2003 adalah 307 per 100.000 (Anonymous 2003).Menurut Depkes RI (2005) kondisi derajat kesehatan di Indonesia ini masih memprihatinkan antara lain ditandai dengan masih tingginya AKI yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup dan mati bayi baru lahir 35 per 1000 (SDKI 2002/2003).Beberapa faktor yang melatarbelakangi resiko kematian adalah kurangnya partisipasi ibu yang disebabkan tingkat pendidikan ibu rendah, kemampuan ekonomi keluarga rendah, kedudukan sosial budaya yang tidak mendukung. Jika ditarik lebih jauh, beberapa perilaku tidak mendukung juga bisa membawa resiko. Sebanyak 16,6% perempuan menolak kehamilannya. Pasangan yang tidak ingin anak lagi (4,6%) atau menunda punya anak (4%). Upaya aborsi selalu menempatkan perempuan dalam situasi hidup dan mati. Selain jumlah anemia ibu hamil sangat tinggi (40%), rendahnya partisipasi dalam program Keluarga Berencana (KB) paska persalinan (19,1%) mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan, (Anonymous 2006 ).Dari seluruh ibu atau wanita pernah kawin yang di wawancarai pada survey ini menunjukkan bahwa lebih dari 45 % tidak tau jenis komplikasin kehamilan. Penggunaan fasilitas pelayanan untuk pemeriksaan kesehatan selama kehamilan, ditemukan lebih dari 83% wanita pemeriksa kesehatan selama kehamilan di fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah ataupun swasta angka masih lebih rendah dari target cakupan ANC yang di tetapkan oleh PROPENAS diharapkan menjadi 90% pada tahun 2004. Pemenfaatan fasilitas kesehatan sebagai tempat pemeriksaan kehamilan terendah di jumpai di kabupaten Sampang (78%) dan Cilacap (86%), sedangkan yang tertinggi di Jombang (96%). (Anonymous 2006 ).Pemerintah menetapkan, bahwa pelayanan antenatal yang tidak memenuhi standard minimal ‘5T’ ( mengukur tinggi badan dan berat badan, tekanan darah, tinggi fundus, imunisasi Toxoid, dan pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet ) belum dapat

Page 12: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

dianggap sebagai pelayanan antenatal. Data dari survei ini menunjukkan, baru sekitar 22% ibu yang melahirkan anak terakhir dalam 5 tahun sebelum survei menerima jenis pemeriksaan sesuai 5T. Selain itu, survei ini memberikan informasi tentang hal-hal yang didiskusikan berkaitan dengan pelayanan pada masa hamil dengan orang lain dan partisipasi suami ikut menerima istri untuk memeriksakan kehamilannya ke pelayanan kesehatan. Pada umumnya ( lebih dari 50% ) masalah yang di bicarakannya pada saat pemeriksan kehamilan adalah tentang penolongan persalinan dan tempat melahirkan. (Anonymous 2006 ).Komplikasi pada saat kehamilan, melahirkan dan pasca persalinan merupakan penyebab utama kematian wanita subur (23 %). Bagi wanita yang berumur 20-24 tahun, komplikasi tersebut merupakan penyebab kematian(40 %). Komplikasi obstetri yang sering adalah pendarahan, infeksi, eklamsia, abortus dan portus lama adalah (90 %). (Depkes RI, 2003).Sebagian besar kematian ini sebenarnya dapat dicegah melalui pelayanan antenatal yang mampu mendeteksi dan menangani kasus resiko tinggi secara memadai, pertolongan persalinan yang bersih dan aman, serta pelayanan rujukan kebidanan/perinatal yang terjangkau pada saat diperlukan (Depkes RI, 2003).Menurut Depkes RI (2003) komplikasi-komplikasi yang disebutkan diatas sebagian besar dapat dicegah, bila kesehatan ibu selama hamil selalu terjaga melalui pemerikasaan antenatal yang teratur dan pertolongan yang besih aman dalam Indonesia sehat 2010 ditargetkan penurunan AKI dan AKB. Salah satu caranya adalah meningkatkan mutu dan menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan ibu serta perinatal di tingkat pelayanan dasar dan pelayanan rujukan primer, dapat dilakukan dengan mengembangkan konsep Audit maternal-perinatal (AMP).Tujuan pelayanan ANC adalah menjaga agar ibu hamil dapat melalui masa kehamilannya, persalinan dan nifas dengan baik dan selamat. (Anonymous 2006).Profil NAD sasaran ibu hamil 2006 adalah 113.859 jiwa pada bulan Januari sampai Desember kunjungan (K1) mencapai 98.176 jiwa ( 86.23% ) sedangkan (K4 ) mencapai 86.698 jiwa ( 76,14% ). ( Dinkes prov NAD 2006 )Laporan Dinas Kesehatan Kota sasaran ibu hamil tahun 2006 adalah 5167 jiwa. Pada bulan Januari sampai Desember, kunjungan (K1) mencapai 4947 (95,78 %) sedangkan (K4) mencapai 4423 (85,60 %).Kunjungan ANC Januari sampai Desember 2006 sebanyak 280 orang, terdiri dari K1 ( 69,64% ), K4 ( 30,36% ) sedangkan kunjungan K1 sebanyak 102 orang ( 64,71% ) K4 ( 35,29% ) pada Januari sampai dengan April 2007. ( laporan puskesmas pembantu leungbata )Bedasarkan penomena di atas penulis ingin mengetahui partipasi ibu hamil terhadap kunjungan antenatal care di puskesmas pembantu leungbata Banda Aceh tahun 2007.

Page 13: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Malnutrisi, Keteledoran Sebuah Bangsa

Di tingkat nasional, alokasi anggaran investasi sosial, seperti kesehatan dan pendidikan, sering menjadi hal yang pertama dikorbankan dalam kondisi ekonomi sedang sulit. Sementara di tingkat rumah tangga, kesehatan dan pendidikan juga belum menjadi isu penting dan masih dikalahkan oleh pengeluaran untuk konsumsi rokok.

Lonjakan jumlah anak balita penderita gizi buruk dari 1,8 juta (tahun 2005) menjadi 2,3 juta (2006), seperti diungkapkan Unicef pekan lalu, tentu membuat kita bertanya-tanya. Mengapa kasus gizi buruk terus meningkat, padahal kemiskinan menurut pemerintah mengalami penurunan dan kesejahteraan masyarakat juga mengalami peningkatan sebagaimana tergambar dari peningkatan pendapatan per kapita masyarakat.

Di luar 2,3 juta anak balita gizi buruk ini, masih ada 5 juta lebih yang juga mengalami gizi kurang. Jumlah bayi berstatus gizi buruk dan gizi kurang ini sekitar 28 persen dari total bayi di seluruh Indonesia.

Dari total bayi berstatus gizi buruk dan gizi kurang ini, sekitar 10 persen berakhir dengan kematian. Dari angka kematian bayi yang 37 per 1.000 kelahiran, separuhnya adalah akibat kurang gizi. Dengan kenyataan seperti ini, kita semestinya tidak bisa lagi menutup mata.

Dilihat dari sebaran wilayahnya, dari 343 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen Kesehatan-Unicef tahun 2005, hanya delapan kabupaten yang memiliki prevalensi balita gizi buruk atau gizi kurang yang rendah (kurang dari 10 persen). Sebanyak 257 kabupaten/kota lainnya tergolong prevalensi tinggi dan 169 kabupaten/kota sangat tinggi.

Dari data Depkes juga terungkap masalah gizi di Indonesia ternyata jauh lebih serius dari yang kita bayangkan selama ini. Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya menghinggapi bayi atau anak balita, tetapi semua kelompok umur. Perempuan adalah kelompok paling rentan, di samping anak-anak.

Dari sekitar 4 juta ibu hamil, separuhnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya kekurangan energi kronis (KEK). Dari ibu hamil dalam kondisi seperti itu, rata-rata setiap tahun lahir 350.000 bayi yang lahir dalam kondisi berat badan rendah.

Untuk anak usia sekolah, dari 31 juta anak, 11 juta di antaranya bertubuh pendek akibat gizi kurang dan 10 juta mengalami anemia gizi. Untuk kelompok usia remaja, dari 10 juta remaja putri (15-19 tahun), sebanyak 3,5 juta mengalami anemia gizi.

Untuk wanita usia subur (WUS), dari 118 juta WUS, sebanyak 11,5 juta di antaranya juga mengalami anemia gizi. Kurang energi kronis juga dialami 30 juta orang dari kelompok usia produktif. Kurang gizi juga dialami lansia, dengan jumlah penderita anemia gizi sekitar 5 juta orang.

Page 14: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Angka-angka di atas menunjukkan, Indonesia masih belum merdeka dari kelaparan dan juga kemiskinan sebagai akar penyebab utama malnutrisi.

Tingginya prevalensi anemia gizi pada wanita dan anak-anak ini akhirnya menciptakan lingkaran setan. Wanita penderita gizi kurang akan melahirkan anak- anak dengan berat badan rendah yang rentan terkena infeksi dan kematian. Jika bertahan hidup, mereka tak akan mampu tumbuh dan berkembang secara optimal.

Mereka juga mengalami gangguan kecerdasan, dan mengakibatkan potensi putus sekolah juga menjadi tinggi. Pada usia dewasa, dia tidak produktif sehingga akhirnya hanya akan menjadi beban bagi keluarganya dan juga perekonomian.

"Maraknya kasus gisi buruk juga membuktikan ketahanan pangan masyarakat sebenarnya belum terwujud"

Karena kemiskinan dan gangguan kecerdasan akibat kurang gizi, lebih dari 50 persen anak perempuan di perkotaan dan lebih dari 80 persen anak perempuan di pedesaan tidak lagi bersekolah dan menikah muda.

Akibatnya, usia subur juga lebih lama dan jumlah anak yang dilahirkan lebih banyak. Ini mengakibatkan beban hidup mereka juga lebih berat dan semakin sulit bagi mereka untuk keluar dari perangkap kemiskinan.

Page 15: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Memutus Rantai Panjang Anemia

Selasa, 06/03/2007

KD atau kurang darah sering dikaitkan dengan kondisi lemah, letih, dan lesu akibat kurangnya kandungan zat besi di dalam darah.Tak hanya pada orang dewasa, anakanak bahkan balita pun bisa terkena anemia.

ANEMIAdefisiensi besi (ADB) atau kekurangan zat besi merupakan masalah yang mendunia. Survei kesehatan rumah tangga (KRT) 2004 menunjukkan ADB terjadi pada 39% balita dan 24% anak usia 5–11 tahun.

Menteri Kesehatan Dr dr Siti Fadilah Supari SpJP(K) mengatakan, di Indonesia jumlah penderita anemia yang berasal dari kelompok anak usia sekolah (6–18 tahun) mencapai 65 juta jiwa.

Bahkan, jika digabung dengan penderita anemia usia balita,remaja putri,ibu hamil, wanita usia subur, dan lansia, jumlah total mencapai 100 juta jiwa! ”Artinya, secara kasar bisa dikatakan bahwa satu di antara dua penduduk Indonesia menderita anemia,” kata Menkes dalam sambutan acara Kampanye Antianemia yang digelar di auditorium Departemen Kesehatan, Kamis (1/3) pekan lalu.

Dalam survei KRT juga terlihat angka kejadian anemia lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Jika anemia terjadi pada anak perempuan, dampaknya tidak hanya bagi anak tersebut melainkan juga generasi selanjutnya. Ini mengingat anak perempuan tersebut kelak akan mengandung dan melahirkan.

Bayangkan bila jutaan ibu penderita anemia melahirkan bayi yang juga menderita anemia, apa yang akan terjadi? Tentunya jika tak dihentikan, akan terjadi “rantai anemia”tak berkesudahan dan akan berdampak pada penurunan kualitas generasi penerus bangsa. Menurut kriteria WHO, seseorang dinyatakan mengalami anemia bila kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11 g/dl (anak usia < 6 tahun) atau kurang dari 12 g/dl (anak usia > 6 tahun dan wanita dewasa).

”Anemia bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak. Perkembangan berpikir juga bisa terganggu dan mudah terserang pe-nyakit,”ungkap Menkes. Pendapat yang sama dikemukakan spesialis anak dari Divisi Hematologi-Onkologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, Dr Djajadiman Gatot SpA(K).

Menurut dia, ADB bisa berakibat pada gangguan tumbuh kembang, gangguan kognitif (belajar) serta penurunan fungsi otot, aktivitas fisik dan daya tahan tubuh. ”Jika daya tahan tubuh menurun, maka risiko infeksi pun akan meningkat,” ujarnya. Anemia bisa terjadi saat masih bayi. Bila ini terjadi, tentunya bisa berdampak pada prestasi mereka saat usia prasekolah dan sekolah.

Page 16: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Akibatnya, bisa terjadi gangguan konsentrasi, daya ingat rendah, kapasitas pemecahan masalah dan kecerdasan intelektual (IQ) yang rendah, serta gangguan perilaku. Anemia bisa disebabkan kondisi tubuh memerlukan zat besi dalam jumlah tinggi, seperti saat hamil,menyusui, masa pertumbuhan anak dan balita, serta masa puber. Atau ketika tubuh banyak kehilangan darah seperti saat menstruasi dan pada penderita wasir dan cacing tambang.

Mereka yang menjalankan diet miskin zat besi atau pola makan yang kurang baik juga rentan anemia. Sebab lainnya adalah terjadinya gangguan penyerapan zat besi dalam tubuh. ”Anemia pada anak bisa terjadi karena berkurangnya produksi sel darah merah, hilangnya sel darah merah akibat perdarahan serta adanya penghancuran sel darah merah atau hemolisis. Misalnya keracunan obat tertentu yang menyebabkan darah pecah sehingga kadar Hb menurun,” tutur Djajadiman Gatot.

Akibat anemia bisa berbeda- beda pada setiap tahap kehidupan. Pada anak, anemia bisa menghambat pertumbuhan fisik dan mentalnya.Pada masa remaja atau dewasa, anemia bisa menurunkan kemampuan dan konsentrasi serta gairah untuk beraktivitas.Sementara pada wanita hamil,anemia menyebabkan risiko pendarahan sebelum atau saat melahirkan, risiko bayi lahir dengan berat badan rendah atau prematur, cacat bawaan, dan cadangan zat besi bayi yang rendah.

Diagnosis dini diperlukan untuk menentukan pengobatan yang tepat. Kebanyakan orangtua terlambat membawa anaknya datang ke dokter, yaitu saat Hb-nya turun sampai 5-6 g/dl. ”Umumnya, mereka tidak menyadari anaknya anemia karena terlihat biasa saja dan tidak seperti anak yang sakit,” kata Djajadiman Gatot.

Asupan Gizi di Masa Tumbuh Kembang

SETIAP anak, tanpa memandang usia, jenis kelamin, agama dan status sosialnya berhak mendapatkan penghidupan yang layak, termasuk dalam hal kesehatan. Untuk menunjang tumbuh kembangnya, anak membutuhkan kasih sayang dan pemberian makanan bergizi.

”Anak bukanlah manusia dewasa berukuran kecil, jadi kebutuhannya juga berbeda,” ujar Direktur Bina Kesehatan Anak Depkes Rachmi Untoro MPh. Perhatian lebih juga diperlukan ketika seorang anak memasuki masa emas atau titik-titik kritis tumbuh kembangnya, yaitu mulai usia 0–15 tahun.

Pada usia 0–2 tahun terjadi pertumbuhan dan perkembangan otak yang pesat, yang akan menentukan kecerdasannya di kemudian hari. Memasuki masa remaja (usia 9–15 tahun), organ reproduksi anak mengalami proses pematangan dan terjadi perubahan hormonal yang bisa meningkatkan perilaku berisiko. ”Untuk memenuhi kebutuhannya, diperlukan investasi kesehatan, gizi dan pendidikan pada bayi, ibu dan balita. Ini penting, sebab kelak akan menentukan kualitas SDM suatu bangsa,” tuturnya.

Page 17: Satu Dari 2 Orang Indonesia Menderita Anemia

Sementara itu,Dr Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana mengungkapkan bahwa anemia merupakan masalah kesehatan besar yang selama ini terabaikan.Padahal, ini bisa berdampak negatif pada kualitas SDM. Berdasarkan data, indeks pembangunan manusia Indonesia berada pada urutan terendah di ASEAN. Salah satu penyebabnya adalah prevalensi anemia yang tinggi.

Karenanya,diperlukan penanggulangan sejak dini yang antara lain dilakukan melalui upaya kesehatan berbasis sekolah. ”Caranya adalah memobilisasi siswa untuk mau diperiksa kadar Hb-nya. Selain itu, pemeriksaan Hb juga jangan hanya pada ibu hamil, remaja juga perlu diperiksa,” ujarnya.

Dia menambahkan, prevalensi anemia siswi SD bisa meningkat pada usia remaja.Ini dikarenakan proses menstruasi dan pola makan anak remaja yang cenderung melakukan diet untuk menjaga bentuk tubuhnya. Upaya kesehatan berbasis sekolah juga bisa dilakukan melalui penyuluhan makanan sehat dan seimbang yang melibatkan orangtua siswa sehingga mereka bisa paham dan mau membuatkan atau memberikan makanan sehat bagi putra-putrinya di rumah.

”Pada hari di mana ada pelajaran olahraga, suruh anak membawa makanan dari rumahnya masing-masing. Setelah berolahraga dan mencuci tangan, mereka bisa saling bertukar makanan dengan teman-temannya yang lain. Ini untuk mengajarkan anak agar mau makan makanan yang bervariasi, seperti tahu, tempe, ikan dan sayuran,” saran Adi Sasongko. (inda susanti)