24
112 faktor, meliputi faktor-faktor yang dapat mendukung perkembangan maupun faktor-faktor yang dapat menghambat proses perkembangan. Salah satu faktor yang dapat menghambat perkembangan pada masa kanak adalah adanya gangguan- gangguan perkembangan yang terjadi pada anak. Gangguan-gangguan perkembangan yang dapat terjadi pada masa kanak meliputi Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD), gangguan belajar (Learning Dis- abilities ), retardasi mental, dan autisme. Gangguan perkembangan yang menjadi sorotan dalam beberapa tahun belakangan ini adalah autisme. Hal ini sejalan dengan Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi Tri Kurniati Ambarini Fakultas Psikologi Universitas Airlangga ABSTRACT The siblings of autism were child with special situation, because of having siblings with autism. This situation gave some impact for the siblings of autism and their life. Concerning the siblings of autism can minimalize the negative impact causing by their autism siblings and maximalize their role in supporting the successful of the therapy for their autism siblings. This research used expalatories case studies as qualitative methods. Analysis of data used pattern matching and explanation building. Inference from this research is how siblings feld about their autism siblings not static but dyanamic, behavior that shown by sibling to their autism siblings are influenced by siblings character and having autism sibling give more effect to younger siblings. When the siblings take an active part in the therapy, their roles will support the successful of the therapy for their autism siblings Keywords: Siblings of autism, roles, therapy Masa kanak merupakan masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana individu tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Perkembangan pada anak yang terjadi pada masa ini terjadi dengan kemajuan yang pesat. Perkembangan yang terjadi meliputi perkembangan fisik, psikomotorik, kepribadian, moral dan perkembangan sosial. Proses perkembangan yang terjadi pada masa kanak dipengaruhi oleh banyak INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 © 2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 109

harapan yang terlebih dahulu dimunculkanoleh orangtua, kondisi keluarga, religiusitas,tingkat keparahan gangguan, serta pola-polainteraksi yang diberlakukan dalam keluargatersebut.

Berbicara mengenai pola interaksidalam keluarga, kesiapan yang dimiliki olehkeluarga N memang tidak dapat dilepaskandari karakteristik hubungan antar individudi dalamnya yang komunikatif, termasukdengan keluarga besar yang senantiasamemberikan dukungan terhadap persoalanyang mereka hadapi. Seperti yang jugaditegaskan oleh Hunt & Marshall (2005),bahwa karakteristik keluarga akanmempengaruhi reaksi keluarga terhadapkehadiran individu berkebutuhan khusus.Selain itu, keluarga N selalumengembangkan inisiatif untuk mencaritahu tentang kondisi calon anak selamadalam kandungan, sehingga mereka

memiliki informasi yang cukup sertapemahaman tentang keterbelakangan mentalyang dialami oleh anak yang akandilahirkannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Blacher(1984, dalam Heward, 2003) menemukanadanya 3 tahap penyesuaian yang padaumumnya ditunjukkan oleh para orangtuayang menjadi subjek penelitian, yaitu: (1)tahap dimana orangtua mengalami berbagaikrisis emosional, seperti shock,ketidakpercayaan, dan pengingkaranterhadap kondisi yang terjadi pada anaknya;(2) tahap ketika rasa tidak percaya danpengingkaran yang terjadi diikuti olehperasaan-perasaan dan sikap negatif sepertimarah, menyesal, menyalahkan diri sendiri,malu, depresi, rendah diri di hadapan oranglain, menolak kehadiran anak, atau menjadioverprotective; (3) tahap terakhir pada saatorang tua telah mencapai suatu kesadaran

4. Menciptakankesempatan untukbersosialisasi danberinteraksi

5. Mengembangkankemandirian

6. Kesabaran dalambekomunikasi danmemberikan penjelasan

Hal lain:1. Terhadap anak kandung

yang normal:a. Memberikan

pemahamanb. Memberikan contohc. Membangun

kebersamaan2. Terhadap orang lain:

Memberikanpemahaman

Tidak menerima kondisi anak Menerima kondisi anak

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

112

faktor, meliputi faktor-faktor yang dapatmendukung perkembangan maupunfaktor-faktor yang dapat menghambatproses perkembangan. Salah satu faktoryang dapat menghambat perkembanganpada masa kanak adalah adanya gangguan-gangguan perkembangan yang terjadi padaanak.

Gangguan-gangguan perkembanganyang dapat terjadi pada masa kanak meliputiAttention-Deficit/Hyperactivity Disorder(ADHD), gangguan belajar (Learning Dis-abilities), retardasi mental, dan autisme.Gangguan perkembangan yang menjadisorotan dalam beberapa tahun belakanganini adalah autisme. Hal ini sejalan dengan

Saudara Sekandung dari Anak Autis danPeran Mereka dalam Terapi

Tri Kurniati AmbariniFakultas Psikologi Universitas Airlangga

ABSTRACT

The siblings of autism were child with special situation, because of having siblings with autism.This situation gave some impact for the siblings of autism and their life. Concerning thesiblings of autism can minimalize the negative impact causing by their autism siblings andmaximalize their role in supporting the successful of the therapy for their autism siblings.This research used expalatories case studies as qualitative methods. Analysis of data usedpattern matching and explanation building. Inference from this research is how siblings feldabout their autism siblings not static but dyanamic, behavior that shown by sibling to theirautism siblings are influenced by siblings character and having autism sibling give more effect toyounger siblings. When the siblings take an active part in the therapy, their roles will supportthe successful of the therapy for their autism siblings

Keywords:Siblings of autism, roles, therapy

Masa kanak merupakan masa yangterpanjang dalam rentang kehidupan, saatdimana individu tidak berdaya dantergantung pada orang lain. Perkembanganpada anak yang terjadi pada masa ini terjadidengan kemajuan yang pesat.Perkembangan yang terjadi meliputiperkembangan fisik, psikomotorik,kepribadian, moral dan perkembangansosial. Proses perkembangan yang terjadipada masa kanak dipengaruhi oleh banyak

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006

© 2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Page 2: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006108

Tabel 1. Rangkuman Penerimaan Ketiga KeluargaTerhadap Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental

Karakteristik Keluarga:1. Kedua orangtua tidak

bekerja2. Hubungan Keluarga

yang KurangKomunikatif

Tidak ada informasi tentang kondisi calon anakdan tidak ada pemahaman tentang RM

KarakteristikKeluarga:1. Perpecahan pada

keluarga inti2. Hubungan Keluarga

yang KurangKomunikatif

Persepsi:1. Anak dengan keterbe-

lakangan mental bodohdan tidak mampubekerja

2. Anak dengan keterbe-lakangan mental tidakmemiliki kontribusiterhadap keluarga

3. Anak denganketerbelakanganmental akan lebihberguna dengan‘diberdayakan’ untukmengerjakanpekerjaan rumahtangga

Persepsi:Memiliki anak denganketerbelakanganmental akanmerepotkan danmemalukan bagikeluarga

Tidak menerima kondisi anak

Perlakuan:1. Membedakan perlakuan

dengan anggotakeluarga yang lain(cenderung bersifatnegatif)

2. Menutupi kondisi anakdari orang lain

Karakteristik Keluarga:1. Hubungan Keluarga yang

Komunikatif2. Adanya dukungan dari

keluarga besar

Ada informasi tentangkondisi calon anak dan adapemahaman tentang RM

Kesiapan menghadapikondisi calon anak

Persepsi:1. Anak adalah titipan

Tuhan2. Memiliki anak yang

menderitaketerbelakangan mentalbukan suatu musibah

Menerima kondisi anak

Perlakuan:1. Perlakuan yang sama

dengan anggotakeluarga yang lain

2. Tidak Menutupi atauMenyembunyikan dariOrang Lain

3. Mengembangkan keper-cayaan diri serta men-dorong bersosialisasidan berinteraksi

Ketidaksiapan menghadapi kondisi calon anak

Keluarga ‘H’ Keluarga ‘D’ Keluarga ‘N’

Perlakuan:1. Membedakan per-

lakuan dengananggota keluargayang lain (cenderungbersifat negatif)

2. Menyembuyikan anakdari orang lain

3. Meminimalkantanggung jawab

4. Membatasi interaksidengan anak

Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

113

semakin meningkatnya jumlah penyandangautisme.

Sekitar 15-20 tahun yang lalu, autismemasa kanak dianggap sebagai gangguanperkembangan yang sangat jarang terjadi.Hanya ditemukan 2-4 kasus diantara 10.000anak. Makin lama makin banyak anak yangmengalami gangguan perkembangan sepertiini. Saat ini, jumlah penyandang autismemasa kanak terus meningkat. Diperkirakanjumlah penyandang autisme adalah 15-20per 10.000 anak. Peningkatan penyandangautisme ini terdapat di seluruh dunia, malahkesannya di negara-negara maju makinbanyak penyandang autisme. Saat ini di In-donesia pun sudah banyak sekali ditemukankasus autisme. Diperkirakan di Indonesia,dari kelahiran 4,6 juta bayi tiap tahun, 9200dari mereka mungkin adalah penyandangautisme (Budhiman, 1998).

Menurut American Psychiatric Assosiation(1994, dalam Haaga & Neale, 1995),autisme merupakan gangguanperkembangan dalam rentang kehidupanyang mengganggu perolehan kemampuan-kemampuan penting dalam kehidupanindividu. Tiga hal yang dapatmenggambarkan beberapa gangguan yangterjadi adalah: 1) ketidakmampuan dalammelakukan interaksi sosial; 2)ketidakmampuan dalam komunikasi verbaldan non verbal dan dalam aktifitasberimajinasi; dan 3) ditandai denganterbatasnya minat dan aktifitas dan aktifitasstereotipik. DSM-IV menggolongkanautisme masa kanak sebagai gangguanperkembangan pervasif yang ditandai olehadanya kelainan dan/atau gangguanperkembangan yang muncul sebelum usia

3 tahun dan dengan ciri kelainan fungsidalam 3 bidang, yaitu interaksi sosial,komunikasi, dan perilaku yang terbatas danberulang.

Banyak sekali penelitian yang dilakukanuntuk memastikan apakah sebenarnya faktorpenyebab dari autisme. Penelitian di bidangneuro-anatomi, neurofisiologi, neurokimia,dan genetik pada penyandang autismemenemukan fakta adanya gangguanneurobiologis pada penyandang autisme.Autisme disebabkan oleh gangguan ataukelainan pada perkembangan sel-sel otakselama dalam kandungan. Saatpembentukan sel-sel tersebut, timbulgangguan dari virus, jamur, oksigenasi(perdarahan), keracunan makanan ataupuninhalasi (keracunan pernafasan), yangmenyebabkan pertumbuhan otak tidaksempurna (Haaga & Neale, 1995).

Penelitian lain yang pernah dilakukanjuga menemukan bahwa kelainan genetikmerupakan penyebab dari autisme,termasuk tubersclerosis, phenylketonuria,neurofibromatosis, fragile X syndrome, dansyndroma Rett. Penelitian yang dilakukanoleh Rodier (2000, dalam Herbert &Graudiano, 2002) menemukan bahwavariasi gen HOXA1 pada kromosom 7pada masa kehamilan juga dapatmenyebabkan autisme.

Bettelheim (1967, dalam Haaga &Neale, 1995) menganggap gangguan autistiksebagai persepsi negatif bayi terhadap reaksipenolakan dari orang tuanya. Sang bayimenemukan bahwa segala yangdilakukannnya tidak memiliki pengaruhapapun terhadap lingkungan di sekitarnya,sehingga anak autis membangun suatu

Tri Kurniati Ambarini

Page 3: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 107

Sebaliknya, sikap menerima terhadapkondisi dan kehadiran anak denganketerbelakangan mental yang tampak padakeluarga N memiliki keterkaitan denganfaktor-faktor:1. Hubungan keluarga yang komunikatif2. Adanya informasi tentang kondisi calon

anak dan pemahaman terhadapketerbelakangan mental

3. Kesiapan menghadapi kondisi calon anak4. Persepsi positif terhadap anak yang

terbelakang mentalAdapun perlakuan yang muncul dari

sikap menerima tersebut adalah:1. Kesamaan perlakukan terhadap anak

yang terbelakang mental dengan anak-anak lain yang normal dalam keluarga

2. Tidak adanya upaya untuk menutupi ataumenyembunyikan kondisi anak dari or-ang lain

Di samping keenam faktor di atas,sikap menerima terhadap kondisi dankehadiran anak yang terbelakang mentaldalam keluarga N juga tidak lepas dariadanya dukungan sosial dari keluarga besar.Mereka juga memiliki beberapa variasi laindalam perlakuan terhadap anak, yangseluruhnya bersifat positif bagiperkembangannya.

Keluarga yang kondusif, sepertikeluarga N, yang diantara anggota-anggotanya memiliki kedekatan emosionalserta sikap saling mendukung satu sama lain,merupakan lingkungan yang dibutuhkandalam meminimalkan hambatanperkembangan yang dialami oleh anak.Keluarga ini dapat memilih perlakuan yangtepat, khususnya dalam mengasuh danmendidik anak sesuai dengan karakteristik

kebutuhannya, sehingga treatmen yangdilakukan dapat berjalan dengan efektif danmencapai hasil yang optimal. Sementara itu,situasi dan kondisi keluarga H dan D yangkurang komunikatif, ditambah denganadanya permasalahan sosial-ekonomi dalamkeluarga yang tidak terselesaikan telahmenjadi faktor negatif yang tanpa disadarisemakin memperburuk hambatanperkembangan yang dialami oleh anak.

Jika penelitian Patterson & Leonard(1994, dalam Heward, 2003) memperolehhasil bahwa keberadaan anak yang memilikihambatan perkembangan akan membuathubungan antar pasangan (orangtua) menjadilebih kuat, dan beban emosional yangditanggung juga akan mempereratkebersamaan diantara anggota keluargayang lain, maka hasil ini memiliki kesesuaiandengan yang terjadi pada keluarga N.

Adapun faktor yang dinilaimempengaruhi kesesuaian tersebut tidak lainadalah kesiapan keluarga untuk menghadapikondisi N sejak sebelum N lahir. Kesiapaninilah yang tidak tampak pada keluarga Hmaupun D. Kesiapan dalam keluarga Nmenumbuhkan persepsi positif yangkemudian mendorong kedua orangtua untukberusaha membangun kebersamaan dalamkeluarganya, terutama dalam menciptakanlingkungan yang aman, toleran danmendukung bagi perkembangan N.Hasilnya, seluruh saudara kandung N punmengikuti sikap dan perilaku yangditunjukkan oleh orangtuanya. Powell &Gallagher (1993, dalam Hunt & Marshall,2005) dalam hal ini telah mengemukakanbahwa respon-respon saudara kandungtersebut akan ditentukan pula oleh sikap dan

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

114

benteng terhadap kekecewaan yangdirasakannya. Ferster (1961, dalam Haaga& Neale, 1995) berpendapat bahwaketiadaan perhatian orang tua, khususnyaibu, terhadap anak akan menghambatpembentukan penguatan pada anak. Orangtua tidak dapat menjadi reinforcer sehinggaia tidak dapat mengontrol perilaku anakyang akhirnya menyebabkan gangguanautistik. Kedua tokoh ini menyatakan bahwaorang tua berperan penting dalam terjadinyagangguan autisme.

Setelah seorang anak didiagnosamenderita autisme, maka penting untukselanjutnya mengetahui terapi yang efektifuntuk menangani anak tersebut. Autismemerupakan gangguan yang tidak bisadisembuhkan (not curable), namun bisaditerapi (treatable) (Budhiman, 1998). Melaluiterapi yang dilakukan, kelainan yang adadalam otak tidak bisa diperbaiki, namungejala-gejala yang ada dapat dikurangisemaksimal mungkin sehingga anak tersebutbisa bersosialisasi dengan anak lain.

Terdapat berbagai terapi yang dapatdigunakan untuk menangani anak autis, yaituterapi sensori-motor, psikoterapi, terapibiologis, terapi perilaku, dan farmakoterapi.Penelitian yang pernah dilakukanmenemukan beberapa terapi yang terbuktiefektif dalam menangani anak autis, yaituterapi perilaku, meliputi analisis aplikasiperilaku, LEAP (Learning Experiences: AnAlternative Program For Preschoolers and Par-ents), TEACCH (Treatment and Education ofAutistic and Related Communication HandicappedChildren), dan farmakoterapi (Herbert &Graudiano, 2002).

Beberapa program penanganan anak

autis yang menggunakan strategi intervensiatas dasar perilaku dan perkembanganmenunjukkan hasil yang menjanjikan dalampenanganan anak autis. Terapi perilaku yangpaling menjanjikan saat ini adalah terapianalisis aplikasi perilaku, dibandingkandengan terapi-terapi perilaku lainnya, sepertiLEAP dan TEACCH. Penelitian yangdilakukan oleh Lovaas (1987, dalam Herbert& Graudiano, 2002) menunjukkan hasil yangdramatis, dimana setelah dilakukan terapikurang lebih 2 tahun, sekitar 47 % anak autisdalam kelompok eksperimen memiliki skorIQ rata-rata dan dapat mengikutipendidikan pada tingkat pertama tanpamemerlukan dukungan khusus. Follow-upyang dilakukan oleh McEachlin, dkk. (1993,dalam Herbert & Graudiano, 2002)terhadap partisipan dari kelompokeksperimen dan kelompok yang diterapidengan kondisi ABA minimal (terapidiberikan 10 jam atau kurang setiap minggu)beberapa tahun kemudian menunjukkanadanya perbedaan skor IQ antara keduakelompok tersebut. Dari 9 orang anak yangmempunyai hasil paling bagus, 8 diantaranyadapat melanjutkan pendidikan pada kelasregular.

Keberhasilan dalam melakukan terapipada anak autis tentu saja dipengaruhi olehbanyak hal. Beberapa hal yangmempengaruhi keberhasilan terapi meliputiberat ringannya gejala, usia, kecerdasan,kemampuan berbicara dan berbahasa, danterapi yang intensif dan terpadu. Beberapaterapi yang harus dijalankan secara terpadumencakup terapi medikamentosa, terapiwicara, terapi okupasi, terapi perilaku danpendidikan khusus. Terapi formal dilakukan

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 4: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006106

oleh setiap keluarga. Sehingga karenanya Ntidak boleh diperlakukan dengan tidak baik.

Berdasarkan hasil penelitian ini,keluarga H dan D menunjukkan sikap danperilaku yang sama-sama tidak menerimakondisi anak yang terbelakang mental.Secara rinci kesamaan yang terdapat diantarakeduanya adalah pada:1. Faktor yang mempengaruhi munculnya

sikap tidak menerima:a. Hubungan antar anggota keluarga

yang kurang komunikatifb. Tidak adanya informasi tentang

kondisi anak dan tidak adanyapemahaman tentang keterbelakanganmental

c. Ketidaksiapan menghadapi kondisicalon anak

d. Persepsi yang cenderung negatif

terhadap anak yang terbelakang men-tal

2. Perlakuan terhadap anak yang mengalamiketerbelakangan mental:a. Membedakan perlakuan terhadap

anak yang terbelakang mental dengananak-anak lain yang normal dalamkeluarga. Perlakuan yang dimaksudcenderung bersifat negatif dan tidakmendukung bagi optimalisasiperkembangannya

b. Adanya upaya untuk menutupi ataumenyembunyikan kondisi anak dariorang lain

Dengan kata lain, sikap tidak menerimaterhadap individu yang mengalamiketerbelakangan mental pada keluarga Hdan D memiliki keterkaitan dengan keenamhal di atas.

Gambar 3. Alur Pola Penerimaan Keluarga N

Sebelum Kelahiran

Pengetahuantentang:

- KeterbelakanganMental

- Kemampuan Nmasih dapatdioptimalkanMengetahui

informasitentangkondisi

calon anakPersepsi:

- Anak adalahtitipan Tuhan

- Memiliki anakyang menderitaketerbelakanganmental bukansuatu musibah

Kesiapanmenghadapi

kehadiran Nmenyiapkan

lingkungan yangtoleran danmendukung

Menerimakondisi N

Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

115

antara 4-8 jam sehari. Seluruh keluarga harusterlibat untuk memacu komunikasi dengananak sejak anak bangun tidur pagi hinggamau tidur malam (Budhiman, 1998).Dawson dan Osterling (1997, dalamHerbert & Graudiano, 2002)mengidentifikasikan 6 faktor yangmempengaruhi keberhasilan terapi padaanak autis, yaitu: isi kurikulum, lingkunganpengajaran yang sangat mendukung,dampak pada rutinitas, yaitu bagaimanapengaruh terapi yang dilakukan terhadapkegiatan yang dilakukan sehari-hari,pendekatan fungsional pada perilaku yangbermasalah dan keterlibatan orang tuadalam terapi.

Berdasarkan sejumlah faktor yangmempengaruhi keberhasilan terapi tersebut,faktor peran keluarga sangatlahberpengaruh. Pemilihan terapi yangdianggap tepat ditunjang dengan terapisyang terlatih, tidak membuat peran keluargaberkurang dalam mendorong keberhasilanterapi yang dilakukan. Usaha dari orang tuadan keluarga untuk terus menerusmelakukan pendampingan pada anaksangat diperlukan, sehingga mereka terlibatsecara langsung dalam proses terapi anak.Orang tua sangat menentukanperkembangan anak dalam setiap aspek.Pengasuhan sehari-hari sangat memegangperanan penting pada perkembangan anakautis.

Peran keluarga tidak lepas dari peransaudara sekandung dari anak autis. Saudarasekandung tentunya merasakan dampakdengan mempunyai saudara yangmenyandang autis. Adanya anak autis dalamkeluarga dapat mempengaruhi kehidupan

anak lain dalam keluarga tersebut. Sulit bagisaudara sekandung membentuk hubunganyang memuaskan dengan saudara autisnya.Hal ini juga dapat menimbulkan rasa frustasibagi saudara sekandung dalam melakukansesuatu dengan saudara autisnya.

Naseef (2003) mengatakan bahwahubungan antara saudara sekandung ini tidaklepas dari pengaruh urutan kelahiran (birthorder). Birth order mempengaruhi peran yangdijalankan oleh saudara sekandung dari anakautis. Saudara sulung dari anak autismempunyai tanggung jawab lebih untuk ikutdalam pengasuhan saudara autis mereka.Apabila anak autis tersebut merupakan anaksulung, saudara sekandung dengan usia yanglebih muda dari anak autis dapat berperanlebih tua dari umur mereka. Saudarasekandung dengan usia yang lebih mudaakan kehilangan teman bermain yang “nor-mal” dan kehilangan model peran (role model).

Ketika saudara mereka didiagnosismenyandang autis, keluarga akanmemfokuskan perhatian dan waktu padaanak autis tersebut. Hal ini dapatmemunculkan perasaan tidak senang,kesalahpahaman, marah dan frustasi padasaudara sekandung dari anak autis. Saudarasekandung dari anak autis selalu dibayangioleh perhatian yang berlebihan terhadapsaudara autis mereka (Harris, 1994).

Sehubungan dengan sangat besarnyaperan keluarga, termasuk di dalamnya peransaudara sekandung, dalam mendorongkeberhasilan suatu terapi yang dilakukan bagianak autis, maka diperlukan penelitian untukmengungkap dampak yang terjadi padasaudara sekandung dari anak autis dankontribusi yang dapat diberikan saudara

Tri Kurniati Ambarini

Page 5: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 105

Sikap danperlakuan

yang ‘negatif’terhadap D

Tidakmenerimakondisi D

yang normal. Dikatakan oleh dokter, padacalon anak tersebut telah terjadi kelainankromosom yang menyebabkannyamengalami down syndrome. Karena kondisi ini,dalam perkembangannya setelah lahir nanti,selain memiliki bentuk fisik yang khas, calonanak tersebut akan mengalamiketerbelakangan mental. Oleh sebab itu,kedua orangtua N pun mulai memperdalampengetahuannya mengenai down syndrome dariberbagai sumber. Mereka kemudianmemahami bahwa meskipun terjadihambatan perkembangan dalam diri calonanak yang akan dilahirkan, namunkemampuan hidupnya masih dapatdioptimalkan untuk meminimalkankekurangan yang dimiliki.

Kedua orangtua N memiliki keyakinanyang kemudian ditularkan pada semua anak-anaknya bahwa bagaimanapun keadaannya,

Gambar 2. Alur Pola Penerimaan Keluarga D

anak adalah titipan Tuhan. Setiap orangtuayang mendapatkannya harus dapat merawatdengan sebaik mungkin. Bagi mereka,memiliki anak yang menderitaketerbelakangan mental bukanlah suatumusibah yang harus disesali atau bahkandisikapi secara negatif. Dengan demikian,mereka telah memiliki penerimaan terhadapkondisi N yang membawa pada kesiapanuntuk menghadapi kehadiran N sejaksebelum ia dilahirkan.

Kesiapan dalam diri ini ditindaklanjutidengan menyiapkan lingkungan yang tolerandan mendukung bagi kehidupan danperkembangan N nantinya, seperti denganmemberikan pemahaman pada anak-anakmereka yang lain serta pada orang-orang disekitar tempat tinggal mereka bahwa apayang terjadi dan akan tampak pada diri Nadalah sesuatu yang wajar dan dapat dialami

Sebelum Kelahiran Setelah Kelahiran

Tidakmengetahuiinformasi

tentang kondisicalon anak

Tidak memilikipengetahuan

tentangKeterbelakangan

Mental

Ketidak-siapan

menghadapikondisi D

PersepsiKeberadaan Dmerepotkandan memalu-

kan bagikeluarga

Karakter nenekyang keras

PandanganMasyarakat:Anak dengan

kelainanadalah aib

dalam keluarga

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

116

sekandung dalam mendorong keberhasilandari terapi yang dijalankan bagi anak autis.Pelaksanaan terapi di rumah turutmemberikan pengaruh bagi saudarasekandung. Pelaksanaan terapi di rumahakan lebih menyita perhatian seluruhkeluarga, khususnya orang tua, untuk anakautis. Saudara sekandung akan lebih sulituntuk mendapatkan perhatian orang tua. Halini dapat mempengaruhi perilaku darisaudara sekandung dan tentu saja perilakudari saudara sekandung dapatmempengaruhi proses pelaksanaan terapi.

Saudara SekandungMenurut definisi dari ensiklopedi

psikologi, hubungan saudara sekandung (sib-ling) adalah hubungan yang non-volunter danterdiri dari saudara laki-laki atau saudaraperempuan (T.I Moon, dalam Corsini,1984). Hubungan saudara sekandungmerupakan hubungan yang bertahan palinglama dan paling berpengaruh dalamkehidupan seseorang (Berkell, 1994, dalamHurlock, 2000). Hubungan saudarasekandung memberikan kesempatan bagi 2orang manusia sebuah kontak fisik danemosional yang terus menerus pada tahap-tahap kritis sepanjang kehidupan mereka.Hubungan yang permanen ini memberikesempatan bagi saudara sekandung untukmemiliki pengaruh yang amat besar antarasatu sama lain melalui interaksi longitudinal(Hapsari, 2001).

Sistem Saudara Sekandung(Sibling System)

a. Ukuran Keluarga (Family Size)

Sejalan dengan semakin besar ukurankeluarga, kesempatan untuk interaksi yangekstensif antara orang tua dan anak semakinmenurun, tetapi kesempatan untuk interaksiyang bervariasi antara saudara sekandungsemakin luas. Perilaku orang tua dalampengasuhan dan lingkungan dimana anakdibesarkan akan berubah sejalan dengansemakin bertambahnya jumlah anak didalam keluarga. Orang tua menjadi semakinmerasa tidak puas dengan hubunganperkawinan mereka dan peran orang tuamereka sejalan dengan semakin besarnyakeluarga (Hapsari, 2001). Dengan jumlahanak yang banyak, khususnya keluargadengan lebih dari 6 orang anak, perankeluarga menjadi lebih jelas, tugas-tugassehari-hari diberikan dan disiplin lebihotoriter dan keras, khususnya dalam halkontrol ibu terhadap anak perempuannya.Keluarga kecil adalah keluarga yang terdiridari 2 atau 3 orang anak (Hurlock, 2000).Biasanya saudara sekandung yang lebih tuadiberikan peran pengawas dan pendisiplinyang diterapkan oleh orang tua dalamkeluarga kecil (Wagner, dkk., 1985, dalamHurlock, 2000). Anak perempuan lebihsenang berperan dalam merawat danmenolong saudara sekandung merekadibandingkan anak laki-laki (Cicirelli, 1982,dalam Minnett, Vandell dan Santrock, 1983).

Orang tua dalam keluarga besarcenderung tidak dapat berinteraksi dengananak-anak mereka sedekat sebagaimanaorang tua dalam keluarga kecil, karenanyaterdapat sedikit kesempatan untuk overpro-tecting, pemanjaan, omelan terus menerus,atau pengawasan yang ketat pada anak. Hasildari hubungan ini terefleksi dalam

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 6: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006104

Gambar 1. Alur Pola Penerimaan Keluarga H

kehadiran anak yang memiliki kondisiberbeda dari anak-anak lain yang normal.

Setelah D lahir, nenek D yang memilikikarakter keras dihadapkan pada kenyataanbahwa anaknya (ibu D) pergi meninggalkanrumah dengan tiba-tiba, sehingga ia harusmerawat D seorang diri. D kemudiantumbuh berbeda dari anak-anak lain padaumumnya. Hingga umur 3 tahun ia masihbelum dapat berbicara maupun berjalan.Melihat hal tersebut dan karena ia jugamendengar masyarakat di sekitarnya banyakberanggapan bahwa anak dengan kelainanadalah aib dalam keluarga, maka lambat launnenek D menganggap keberadaan D yang“tidak normal” hanya merepotkan danmenjadi aib yang memalukan bagikeluarganya. Sikapnya yang tidak menerimakondisi D kemudian ditunjukkan melaluiberbagai perlakuan negatif terhadap D, dan

hal ini pun diikuti oleh kerabat mereka yangtinggal dalam rumah yang sama.

Kasus ketiga terdapat pada keluargaN. N adalah seorang perempuan, anak ke-2 dari 3 bersaudara. Ia mengalamiketerbelakangan mental kategori berat, yangsekaligus menderita down syndrome. Ciri mon-goloid sangat terlihat pada wajahnya. N lahirdan dibesarkan dalam keluarga yang antaranggotanya dapat berkomunikasi denganterbuka, saling peduli satu sama lain danmemiliki hubungan yang harmonis.

Pola penerimaan yang terdapat padakeluarga N telah muncul sejak sebelum Nlahir. Berdasarkan hasil konsultasi yang secararutin dilakukan dengan dokter yangmerawat kehamilan ibu N, kedua orangtuaN telah mendapatkan informasi bahwakondisi calon anak yang ada dalamkandungannya berbeda dari anak-anak lain

Sebelum Kelahiran Setelah Kelahiran

Tidakmengetahuiinformasi

tentang kondisicalon anak

Tidak memilikipengetahuan

tentangKeterbelakangan

Mental

Ketidak-siapan

menghadapikondisi H

Tidakmenerimakondisi H

Sikap &perlakuan

yangnegatif

terhadap H

Persepsi:

H Anak yangbodoh, tidakmampu bekerja

H tidak memilikikontribusiterhadap keluarga

H akan lebihberguna dengan‘diberdayakan’untukmengerjakanpekerjaan rumahtangga

Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

117

kemandirian yang tinggi, perilaku antisosial,dan kenakalan, namun rendahnya self-esteemdan prestasi akademik dari anak-anak yangberasal dari keluarga besar (Blake, 1989;Wagner, dkk., 1985, dalam Hurlock, 2000).Pada keluarga dimana orang tua melindungisecara berlebihan anak-anaknya akanmenumbuhkan ketergantungan yangberlebihan, kurangnya rasa percaya diri danfrustasi. Pada keluarga kecil, orang tuamampu mencurahkan waktu dan perhatianyang cukup pada tiap anak (Hurlock, 2000).

b. Interaksi Orang tua-Anakdan Birth Order

Dalam kasus dimana perbedaan terkaitdengan birth order, biasanya mempengaruhivariasi dalam interaksi dengan orang tua dansaudara sekandung terkait denganpengalaman hidup unik yang ditemukanoleh anak sesuai dengan posisi mereka dalamkeluarga.

Anak tertua merupakan anak tunggal,sampai dimana mereka diganggu dengankelahiran anak berikutnya, tidak harusmembagi cinta dan perhatian orang tuamereka dengan saudara sekandung lain.Besarnya gangguan yang dirasakan olehanak pertama tergantung dengan reaksi yangditunjukkan oleh orang tua. Kelahiran bayibaru biasanya menurunkan interaksi antarapasangan suami istri dan antara ibu dengananak tertua (Dunn, 1983; Taylor & Kogan,1973, dalam Marvin & Stewart, 1984).Berkaitan dengan kelahiran saudarasekandung, banyak anak pertama,khususnya anak laki-laki, menunjukkanmasalah emosional dan perilaku (Nadelman& Begun, 1982, dalam Marvin & Stewart,

1984). Masalah ini terkait dengantemperamen dari anak dan keadaanemosional ibu. Pada anak yang ibunyatertekan dan anak dengan temperamen yangsulit, mempunyai kesukaran yang lebih tinggiuntuk menyesuaikan dengan perubahansituasi dalam keluarga (Brody, Stoneman, &Burke, 1987; Stocker, Dunn, &Plomin,1989, dalam Marvin & Stewart, 1984). Halini tampaknya menyebabkan perubahanyang besar dalam interaksi antara ibu dananak. Ibu menjadi lebih negatif, memaksadan kaku serta kurang terlibat dalam interaksibermain dengan anak pertama setelah anakkedua lahir (Dunn & Kendrick, 1980, 1982,dalam Marvin & Stewart, 1984). Jika ibutetap memperhatikan kebutuhan anak tertuadan mendiskusikan perasaannya mengenaianak yang lebih muda dengan anak tertua,sibling rivalry tidak akan muncul (Bryant &Crockenberg, 1980; Howe &Ross, 1990,dalam Marvin & Stewart, 1984).Keterlibatan ayah dengan anak tertua jugadapat mencegah munculnya perasaan iri danperasaan digantikan terhadap saudarasekandung yang lebih muda.

Orang tua lebih terlibat dalam aktivitasyang dilakukan oleh anak pertamadibandingkan anak kedua. Merekamempunyai ekspektasi yang lebih pada anakpertama dan tekanan yang lebih untukmendapatkan keberhasilan dan menjalankantanggung jawab (Baskett, 1985; Cushna,1996; Hilton, 1967; Lasko, 1954; Rothbart,1971, dalam Marvin & Stewart, 1984).Orang tua juga menerapkan disiplin yanglebih ketat pada anak pertama. Hukumanfisik juga lebih sering diterima oleh anakpertama daripada anak yang lahir

Tri Kurniati Ambarini

Page 7: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 103

individu terbelakang mental dalamkeluarganya tersebut. Adapun pengumpulandata dalam penelitian ini dilakukan denganmetode wawancara, yaitu aktivitaspercakapan atau tanya jawab yang diarahkanuntuk mencapai tujuan tertentu(Poerwandari, 1998).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kasus pertama terdapat pada keluargaH. Ia merupakan penderita keterbelakanganmental ringan berjenis kelamin laki-laki. Iaanak ke-2 dari 5 bersaudara. Sejak H kecilorangtuanya tidak mengetahui bahwa Hmengalami keterbelakangan mental. Tidakada informasi yang diperoleh mengenaikemungkinan kondisi H setelah dilahirkan,baik dari dokter maupun petugas kesehatanyang merawat ibu selama kehamilan hinggasetelah persalinan. Sehingga tentang segalasesuatu yang terkait dengan keterbelakanganmental sendiri, kedua orangtua H tidakmemiliki pengetahuan dan pemahaman yangcukup.

Kurangnya pemahaman ini padaakhirnya menimbulkan ketidaksiapan bagiorangtua dan keluarga untuk menghadapikehadiran H dengan kondisinya yangberbeda. Sehingga begitu H lahir, mengalamibegitu banyak keterlambatan dankekurangmampuan dalam perkembangan-nya, orangtua dan anggota keluarga H yanglain memiliki persepsi bahwa H adalahseorang yang bodoh dan lemah secara sosial.

H dipandang tidak mampu melakukanapa-apa, sehingga tidak memiliki kontribusiapapun terhadap keluarga. H yang tidakdapat bekerja seperti orang normal tidak

dapat mengambil peran untuk ikutmembiayai kebutuhan keluarga sepertisaudara-saudaranya yang lain, sehingga“seolah-olah” ia menjadi tidak berguna.Anggota keluarga H kemudian memandangbahwa keberadaan H akan lebih bergunaapabila dapat “diberdayakan” sepertidengan mengerjakan tugas-tugas rumahtangga. Adanya persepsi tersebut, disadarimaupun tidak, menunjukkan bahwakeluarga H sebenarnya tidak menerimakondisi H yang mengalami keterbelakanganmental, sehingga yang terjadi kemudianadalah munculnya berbagai sikap danperlakuan yang kurang baik terhadap H,yang tentu saja semakin memperbesarhambatan yang dialami dan tidakmendukung agar perkembangannya berjalanke arah yang lebih optimal.

Kasus kedua adalah pada keluarga D.Ia penderita keterbelakangan mentalkategori sedang, berjenis kelaminperempuan, anak ke-2 dari 2 bersaudara.Kedua orangtuanya telah bercerai sebelumia dilahirkan, dan karena tidak tahan denganbeban hidup yang dialami, 2 minggu setelahmelahirkan ibu D pun pergi meninggalkanD yang masih bayi di tempat nenek,sehingga sejak lahir D tinggal dan dirawatoleh neneknya.

Selama D dalam kandungan, baik ibuD maupun nenek tidak memiliki perhatianyang cukup terhadap perkembangankandungannya, sehingga mereka tidakmengetahui informasi tentang kondisi calonanak yang akan dilahirkan serta tentangsegala sesuatu yang terkait denganketerbelakangan mental. Karena hal tersebut,mereka pun tidak siap menghadapi

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

118

belakangan. Sebaliknya, orang tua lebihkonsisten dan santai dalam menerapkandisiplin pada anak yang lahir belakangan, halini mungkin dikarenakan rasa percaya diriyang tumbuh dari pengalaman mengasuhanak.

c. Interaksi Saudara Sekandungdan Birth Order

Birth order berkaitan dengan munculnyavariasi dalam interaksi antara saudarasekandung. Anak tertua biasanya diharapkanmemegang tanggung jawab tertentu danmempunyai self-control terhadap saudarasekandung yang lebih muda yang telahmenggantikan mereka. Ketika anak tertuamerasa iri atau permusuhan, mereka akandimarahi atau dihukum oleh orang tuamereka, sebaliknya anak yang lebih mudacenderung dilindungi dan dibela. Anaktertua lebih dominan, kompeten, dan pintarmengganggu atau sebaliknya mengarahkandan mengajar anak yang lebih muda. Anakyang lebih tua selain menunjukkan perilakuantagonistik, seperti memukul, menendang,dan menggigit, juga memperlihatkanperilaku mengasuh terhadap saudarasekandung yang lebih muda (Abramovitch,Pelper & Corter, 1982; Abramovitch,Pelper, Corter & Stanhope, 1986; Berndt& Bulleit, 1985, dalam Marvin & Stewart,1984). Agresivitas dan dominansi lebihsering terjadi pada hubungan antara saudarasekandung dengan jenis kelamin samadibandingkan pada hubungan antarasaudara sekandung dengan jenis kelaminberbeda (Minnett, Vandell & Santrock,1983).

Anak tertua terfokus pada orang tua

sebagai sumber utama mereka dalam prosesbelajar sosial (social learning) di dalamkeluarga, sedangkan anak yang lebih mudamenggunakan orang tua dan saudarasekandung sebagai model dan guru (Sum-mers, 1987, dalam Minnett, Vandell &Santrock, 1983). Saudara sekandung yanglebih muda, bahkan bayi yang berusia 12bulan, biasanya melihat, mengikuti danmeniru saudara sekandung mereka yanglebih tua (Lamb, 1977; Samuels, 1977,dalam Minnett, Vandell & Santrock, 1983).Saudara sekandung yang lebih tuamemainkan peranan yang penting dalammemfasilitasi anak yang lebih muda dalammenguasai keterampilan tertentu dalamlingkungan (Lamb, 1977; Pelper, Corter, &Abramovitch, 1982, dalam Minnett, Vandell& Santrock, 1983). Ketika seorang anakmemasuki masa sekolah, peran anak yanglebih tua dalam mengajar menjadi lebih for-mal, 70% anak-anak melaporkan bahwamereka mendapatkan pertolongan darisaudara sekandung dalam mengerjakanpekerjaan rumah mereka, khususnya darikakak perempuan yang tampaknya lebihefektif sebagai instruktur akademikdibandingkan kakak laki-laki (Cicirelli, 1976,dalam Minnett, Vandell & Santrock, 1983).

Saudara sekandung juga dapatmenjadi sumber dalam mengatasi stressyang dihadapi oleh anak-anak (Conger, 1992;Hetherington, 1988; Hetherington &Clingempeel, 1992; MacKinnon, 1989,dalam Minnett, Vandell & Santrock, 1983).Anak-anak seringkali saling melindungidalam menghadapi stress ketika orangdewasa tidak ada. Anak laki-laki lebih sedikitdalam menerima dukungan dari saudara

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 8: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006102

sangat tergantung pada peran serta dandukungan penuh dari keluarga, sebab padadasarnya keberhasilan program tersebutbukan hanya merupakan tanggung jawabdari lembaga pendidikan yang terkait saja.Di samping itu, dukungan dan penerimaandari setiap anggota keluarga akanmemberikan “energi” dan kepercayaandalam diri anak dan remaja yang terbelakangmental untuk lebih berusaha meningkatkansetiap kemampuan yang dimiliki, sehinggahal ini akan membantunya untuk dapathidup mandiri, lepas dari ketergantunganpada bantuan orang lain. Sebaliknya,penolakan yang diterima dari orang-orangterdekat dalam keluarganya akan membuatmereka semakin rendah diri dan menarikdiri dari lingkungan, selalu diliputi olehketakutan ketika berhadapan dengan oranglain maupun untuk melakukan sesuatu, danpada akhirnya mereka benar-benar menjadiorang yang tidak dapat berfungsi secarasosial serta tergantung pada orang lain,termasuk dalam merawat diri sendiri.

Terdapat dua kemungkinan sikap yangakan dimunculkan oleh anggota keluargaterhadap individu yang terbelakang mental,yaitu menerima atau menolak. Secaranormatif, sebagian besar orang tentunyamenyatakan telah menerima keberadaanmereka, sebab bagaimanapun mereka telahditakdirkan menjadi bagian dari keluarga.Namun pada kenyataannya, respon“penerimaan” masing-masing individutidaklah selalu sama. Respon inilah yangnantinya akan menjelaskan apakah merekatelah benar-benar menerima atausebenarnya melakukan penolakan dengancara-cara dan perlakukan tertentu. Hal ini

juga akan menjelaskan tentang bagaimanapola sebuah keluarga untuk dapatmenyesuaikan diri dengan keberadaanindividu yang berbeda tersebut.

Dengan hasil yang diperoleh, penelitiberharap bahwa nantinya akan memperolehgambaran yang nyata tentang sikap sosialdalam masyarakat terhadap individu yangmengalami keterbelakangan mental. Haltersebut kemudian akan dijadikan dasaruntuk merancang suatu langkah dalammembantu mengoptimalisasikanperkembangan individu yang memilikikebutuhan khusus, terutama denganmenciptakan lingkungan keluarga yangkondusif dan penuh dukungan yangdibutuhkan bagi kelancaran proses belajardan aktivitas sosial mereka.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian kualitatifyang menggunakan metode studi kasus.Studi kasus merupakan sebuah metodepenelitian yang timbul dari keinginan untukdapat memahami berbagai fenomena sosialyang bersifat kompleks, dalam kontekskehidupan yang sebenarnya (Yin, 1994).Subjek penelitian terdiri dari 3 keluargadengan anak yang mengalamiketerbelakangan mental, dari taraf ringanhingga berat. Berbagai data tentang ketigakeluarga tersebut diperoleh dari wawancaraterhadap lima orang informan, yaitu merekayang dipandang memahami kondisi danberbagai hal yang ada pada masing-masingkeluarga dengan baik. Kelimanya meliputiorangtua, saudara kandung, saudara angkat,dan kerabat yang tinggal bersama dengan

Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

119

sekandung mereka dibandingkan anakperempuan. Anak laki-laki kadang-kadangmenghadapi sendiri krisis yang terjadi dalamkeluarga, sedangkan saudara sekandungperempuan menjadi saling melindungi.

Hubungan saudara sekandung berubahsejalan dengan bertambahnya usia. Ketikadewasa, kecemburuan pada saudara (siblingrivalry) dan pertentangan akan hilang dankedekatan khusus akan muncul di antarasaudara sekandung, dimana saudarasekandung berperan sebagai seseorang yangpaling dipercaya dan sumber dari dukunganemosional. Saudara sekandung juga lebihterbuka antara satu sama lain dalammembicarakan hal-hal yang berkaitandengan hubungan antar teman, masalahsosial, dan mengenai perasaan serta kegiatanseksual dibandingkan kepada teman atauorang tua (Cicirelli, 1976, dalam Minnett,Vandell & Santrock, 1983). Saudarasekandung perempuan kadang menjadilebih lebih dekat sepanjang kehidupan.

Hal yang telah dipelajari di dalamhubungan antar saudara sekandung dapatdibawa ke dalam situasi di luar keluarga,seperti ketika berinteraksi dengan teman danguru (Buhrmeister & Furman, 1987, dalamMinnett, Vandell & Santrock, 1983). Karenasaudara sekandung jarang digunakansebagai sasaran agresifitas dibanding orangtua, hubungan saudara sekandung dapatmenghadirkan keadaan yang penting dalammelatih perilaku agresif dan hubungansaudara sekandung yang berkonflik terkaitdengan perkembangan perilaku antisosialpada anak-anak. Bagaimanapun jugahubungan yang suportif dapat berkaitandengan peningkatan keterampilan sosial

khususnya pada anak-anak yang lebih muda(Buhrmeister & Furman, 1987;Hetherington, 1988; Hetherington &Clingempeel, 1992; Patterson, 1982;Richman, Graham, & Stevenson, 1982,dalam Minnett, Vandell & Santrock, 1983).

Saudara Sekandungdari Anak Autis

Ikatan antara saudara laki-laki dansaudara perempuan merupakan ikatanterpanjang yang pernah ada dan pengalamantersebut mempengaruhi perkembangansepanjang hidup. Seorang anak denganketidakmampuan akan menggangguharapan dan impian dari orang tua danmempengaruhi kehidupan anak lain didalam keluarga. Hidup berdekatan dengansaudara sekandung penyandang autismedapat menjadi sesuatu yang rewardingmaupun sesuatu yang memicu stress (Berkell,1994, dalam Hapsari, 2001). Dalampenelitiannya Galagher dan Powell (Berkell,1994, dalam Hapsari, 2001)menggambarkan hubungan antara saudarasekandung dengan anak autis sebagai suatukontinuum dengan hasil positif dan negatifpada masing-masing ujungnya. Perasaanyang dialami oleh saudara sekandungterhadap anak autis bukan merupakansesuatu yang statis tetapi berubah-ubah. Disatu waktu ia memiliki hubungan yangpositif dan menyenangkan dengan anakautis. Di lain waktu ia merasakan marah dantidak mengerti akan tingkah laku anak autistersebut. Anak normal dan anak autis yangbersaudara sekandung akan banyakmempengaruhi satu sama lain.

Tri Kurniati Ambarini

Page 9: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 101

terjadinya gangguan perilaku selama periodeperkembangan (Hallahan & Kauffman,1988). Prevalensi penderita keterbelakanganmental di Indonesia saat ini diperkirakantelah mencapai satu sampai dengan tigapersen dari jumlah penduduk seluruhnya(“Retadrasi mental”, 2004), dan jumlahtersebut dimungkinkan akan terusbertambah dari tahun ke tahun.

Masalah keterbelakangan mental,seperti dikemukakan oleh Budhiman (dalamSembiring, 2002), memang perlumendapatkan perhatian mengingat sejumlahtulisan sejak periode 1981 telahmengemukakan bahwa keterbelakanganatau retardasi mental merupakan masalahyang cukup besar di Indonesia, meskipuntetap diakui tidak ada data yang lengkap danpasti tentang jumlah mereka di negara ini.Ketidaklengkapan data tersebutdimungkinkan karena tidak semua penderitadapat tercatat. Selama ini pencatatan sebatasdilakukan pada penderita yang datangberobat atau memeriksakan diri, sertamereka yang terdaftar di sekolah luar biasa.

Terlepas dari bagaimanapun kondisiyang dialami, pada dasarnya setiap manusiamemiliki hak yang sama untuk memperolehkebahagiaan dalam hidupnya. Setiap orangberhak untuk tumbuh dan berkembangdalam lingkungan yang kondusif dansuportif, termasuk bagi mereka yangmengalami keterbelakangan mental. Akantetapi realita yang terjadi tidaklah selaludemikian. Di banyak tempat, baik secaralangsung maupun tidak, individuberkebutuhan khusus ini cenderung“disisihkan” dari lingkungannya. Penolakanterhadap mereka tidak hanya dilakukan oleh

individu lain di sekitar tempat tinggalnya,namun beberapa bahkan tidak diterimadalam keluarganya sendiri. Beragamperlakuan pun dirasakan oleh mereka. Mulaidari penghindaran secara halus, penolakansecara langsung, sampai dengan sikap-sikapdan perlakuan yang cenderung kurangmanusiawi. Padahal apa yang sebenarnyaterjadi dalam diri mereka hanyalah hambatanpada perkembangan intelektualnya (Werner,1987).

Anak dan remaja yang mengalamiretardasi mental tetap memiliki kemampuanlain yang masih dapat dikembangkan dandioptimalkan untuk membantunyaberaktivitas seperti orang normal, danmemberikan peran tertentu di masyarakatmeskipun terbatas. Individu yang mengalamiketerbelakangan mental masih dapatmempelajari berbagai ketrampilan hidupapabila orang-orang di sekitarnyamemberikan kesempatan dan dukunganyang dibutuhkan. Hal ini sejalan denganpernyataan Ismed Yusuf (dalam Sembiring,2002) bahwa masih ada bagian intelektualanak dengan keterbelakangan mental yangdapat dikembangkan dengan suatu tindakanatau penanganan khusus. Penanganan khususyang dimaksud ditujukan untukmengembangkan kemampuan intelektual-nya agar dapat mencapai kemampuanadaptasi yang juga optimal.

Keluarga dalam hal ini adalahlingkungan terdekat dan utama dalamkehidupan mereka. Heward (2003)menyatakan bahwa efektivitas berbagaiprogram penanganan dan peningkatankemampuan hidup anak dan remaja yangmengalami keterbelakangan mental akan

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

120

Saudara sekandung dari anak autismengalami banyak pengaruh positif daripengalaman hidup bersama-sama denganseorang penyandang autis. Mereka memilikipengertian yang mendalam terhadap kondisimanusia. Mereka juga memperlihatkankedewasaan dalam menangani situasi yangberhubungan dengan anak autis seperti bilaayah-ibu lebih memperhatikan anak autisbukan berarti orang tua mereka pilih kasihtetapi karena kondisi anak autis memangmembutuhkan perhatian ekstra. Selain itumereka juga menunjukkan kebanggaan dankeloyalan terhadap segala kemampuan yangdimiliki anak autis ini. Mereka berpikirmenjadi penyandang autisme tidakmenghalangi seorang anak untuk mencapaisuatu prestasi. Mereka juga memilikipenghargaan dan rasa syukur yangmendalam terhadap kesehatan yang merekamiliki (Meyer & Vadasy, 1996).

Pengaruh negatif juga dialami olehsaudara sekandung. Mereka biasanyamerasakan marah dan jengkel karenamemiliki saudara sekandung yang berbedadari anak normal lainnya. Hal ini jugadisebabkan karena mereka tidak mengertimengapa anak autis ini melakukan perilakuyang menakutkan seperti melukai diri sendiriatau menyerang orang lain, atau perilakuyang merugikan seperti menghancurkanmainan mereka, atau mengapa anak autisini tidak mau diajak bermain. Perasaannegatif lain yang mereka rasakan adalah irikarena anak autis ini menjadi pusat perhatian,dimanjakan, dilindungi berlebihan dandiizinkan untuk berprilaku yang apabila olehanggota keluarga lain tidak diperbolehkan(Podeanu-Czehotski, 1975; Bendor, 1990,

dalam Meyer & Vadasy, 1996). Mereka jugamerasa bersalah karena menyangka dirinyamenjadi penyebab kelainan autisme padaadik atau kakak mereka dan bertanyamengapa tidak dirinya saja yang mengalamikelainan autisme (Koch-Hattem, 1986,Meyer & Vadasy, 1996). Coleman (1990,Meyer & Vadasy, 1996) menemukan merekajuga merasakan tekanan untuk berprestasidalam bidang akademik, olahraga atauperilaku. Tetapi walaupun saudarasekandung mendapat pengaruh negatif darihidup bersama dengan anak autis,ditemukan bahwa saudara sekandung darianak autis tidak memiliki lebih banyakmasalah dalam penyesuaian diridibandingkan anak normal (Berkell, 1994,dalam Meyer & Vadasy, 1996).

Ketidakmampuan (disability) dapatmengganggu hal-hal normal dalamkehidupan keluarga dari saudara laki-laki atausaudara perempuan. Contohnya seoranganak berusia 3 tahun memanggil kakaknyayang berusia 6 tahun yang menderita autismedengan sebutan “bayi”. Dalam kasus ini,anak yang lebih muda berfungsi atauberperan pada level yang lebih tinggidaripada kakaknya dan cara dia melihatsesuatu berdasarkan atas kenyataan yang ada.Dia memerlukan pemahaman danperspektifnya perlu diganti.Ketidakmampuan (disability) menggangguurutan yang alami. Walaupun orang tua telahmenjelaskan mengenai ketidakmampuantersebut, anak tetap memanggil kakaknyadengan sebutan bayi. Hal ini akan berhentiketika anak yang lebih mudamengembangkan kapasitas intelektual untukmemahami konsep abstrak yang ada. Hal

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 10: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006100

dapat ditemui di berbagai tempat, dengankarakteristik penderitanya yang memilikitingkat kecerdasan di bawah rata-rata (IQdi bawah 75), dan mengalami kesulitandalam beradaptasi maupun melakukanberbagai aktivitas sosial di lingkungan.Penderita keterbelakangan mental memilikifungsi intelektual umum yang secarasignifikan berada di bawah rata-rata, danlebih lanjut kondisi tersebut akan berkaitanserta memberikan pengaruh terhadap

Penerimaan Keluarga Terhadap Individuyang Mengalami Keterbelakangan Mental

Wiwin HendrianiRatih HandariyatiTirta Malia Sakti

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

ABSTRACT

The aim of this study is to explore the family acceptance to the son/daughter who is mentallyretarded, as a step to help the optimalization process of exceptional children and youth’sdevelopment. The qualitative method is used here with three families as research subjects. Eachfamily has one mentally retarded child while the others children are normal. Many informa-tions of these families are taken by an interview procedure with five people being as informans.The informans are the person who understand to all condition of subject. They are consist ofparents, sibling, step sibling, and relative who lives with the family. The result of this researchshow that among three cases of family, only one of them which trully accept the mentallyretarded child. The acceptance in this research is related to several factors, such as: (1) Inter-action between family member; (2) The presence of information of child condition since prena-tal periode; (3) Level of understanding of mental retardation; (4) The readiness to face childcondition which is different from normal one; and (5) Perception about person who is mentallyretarded. This result also show that there are several variations of family reaction to thementally retarded child.

Keywords:family acceptance, mental retardation

Tidak semua individu dilahirkan dalamkeadaan normal. Beberapa di antaranyamemiliki keterbatasan baik secara fisikmaupun psikis, yang telah dialami sejak awalmasa perkembangan. Keterbelakangan men-tal adalah salah satu bentuk gangguan yang

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006

© 2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga 121

ini juga tidak menyenangkan bagi anak yanglebih muda karena ia merasa bahwa diaadalah anak tertua. Apa yang secara historissalah akan terlihat benar dalam peran yangdimainkan anak dalam keluarga. Bila orangtua sensitif akan hal ini, mereka dapatmembantu anak mereka untuk mengerti.Anak “normal” yang lebih muda kehilanganteman bermain yang “normal” dan modelperan (role model) dan hal ini bukanlah sesuatuyang mudah dipahami oleh anak. Karenaautisme, sulit bagi anak yang lebih mudauntuk menjalin hubungan yang memuaskandengan kakak laki-laki atau perempuannyayang memiliki gangguan. Misalnya, anak yanglebih muda yang ingin bermain dengansaudaranya mungkin menjadi kesal karenadiabaikan oleh saudaranya, ataupun karenasaudaranya yang tidak bisa bermain, ataupunia menghentikan permainan karena tantrumsaudaranya yang menakutkan (Naseef,2003).

Ketika orang tua mempunyai anakkedua yang “normal”, mereka biasanyamenjadi cemas akan kesehatanperkembangan anaknya tersebut. Ketikasaudara sekandung yang normal terlihatmirip dengan saudara sekandung yangmemiliki kekurangan (disability), makaterdapat rasa malu dan rasa takut bahwaada sesuatu yang salah atau bahkan sesuatutelah dipindahkan ke anak mereka.

Karakteristik Saudara Sekandungdari Anak Autis

Deskripsi karakteristik saudarasekandung dari anak autis seperti yangterdapat dalam Schubert (1996) adalahsebagai berikut :

1. Usia Prasekolah(Sebelum usia 5 tahun)

Anak-anak pada kelompok usia inibelum mampu mengemukakan perasaanmereka mengenai sesuatu, karena itu adakemungkinan mereka akan menunjukkanperasaan mereka melalui tingkah laku.Mereka tidak akan mampu memahamikebutuhan khusus saudara sekandung yangmenyandang autisme, tetapi mereka akanmemperhatikan perbedaan-perbedaantersebut dan berusaha mengajari saudaramereka. Anak-anak pada usia ini memilikikemungkinan untuk menyenangi saudarasekandung mereka karena mereka belumbelajar untuk menjadi judgemental, danperasaan mereka terhadap saudara autismereka akan sama selayaknya dengansaudara sekandung yang normal.

2. Usia Sekolah Dasar(Usia 6-12 tahun)

Anak-anak pada usia ini mulaiberkenalan dengan dunia luar dan mulaisangat menyadari adanya perbedaan antarasatu manusia dengan yang lainnya. Merekamampu memahami definisi dan penjelasanmengenai kebutuhan khusus saudarasekandung mereka dengan catatan semuadefinisi dan penjelasan tersebut disajikandalam istilah yang dapat mereka pahami.Mereka mungkin akan mengkhawatirkanbahwa gangguan autisme tersebut menular.Mereka mungkin akan mulai mencurigai adayang salah dalam diri mereka juga. Merekajuga akan mengalami rasa bersalah karenamenyimpan pikiran dan perasaan negatiftentang saudara sekandung mereka, sekaligus

Tri Kurniati Ambarini

Page 11: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 99

Asian Journal of Social Psychology, 5, 145-168.

Greenfield, P.M. (2000). Three approachesto the psychology of culture: Wheredo they come from? Where can theygo? Asian Journal of Social Psychology, 3,223-240.

Heine, S.J., Lehman, D.R., Markus, H.R., &Kitayama, S. (1999). Is there a universalneed for positive self-regard?Psychological Review, 106, 766-794.

Hui, C.H., & Triandis, H.C. (1986).Individualism-collectivism. A study ofcross-cultural researchers. Journal ofCross-Cultural Psychology, 17, 225-248.

Kurman, J. (2001). Self-enhancement. Is itrestricted to individualistic cultures?Personality and Social Psychology Bulletin,27, 1705-1716.

Magnis-Suseno, F. (1985). Etika Jawa.Jakarta: Gramedia.

Markus, H.R., & Kitayama, S. (1991). Cultureand the self: Implications for cognition,emotion, and motivation. PsychologicalReview, 98, 224-253.

Moghaddam, F.M. (1987). Psychology in thethree worlds. As reflected by the crisisin social psychology and the movetoward indigenous Third-Worldpsychology. American Psychologist, 42,912-920.

Mulder, N. (1984). Kebatinan dan hidup sehari-hari orang Jawa. Kelangsungan danperubahan kulturil. Jakarta: Gramedia.

Singelis, T.M. (1994). The measurement ofindependent and interdependent self-construals. Personality and SocialPsychology Bulletin, 20, 580-591.

Supratiknya, A. & Yeni Siwi Utami (2006).Penelitian pendahuluan tentang konstrual-diri mahasiswa Universitas Sanata Dharma.Laporan penelitian, tidakdipublikasikan.

Triandis, H.C., McCusker, C., & Hui, C.H.(1990). Multimethod probes ofindividualism and collectivism. Journalof Personality and Social Psychology, 59,1006-1020.

A. Supratiknya

122

merasa bersalah karena dirinya tidakmengalami gangguan.

Respon-respon tipikal yangdiperlihatkan anak-anak usia ini adalahmereka menolong secara berlebihan danbertingkah laku sangat baik atau sebaliknya,menjadi amat sangat tidak patuh untukmenarik perhatian orang tua. Sepanjangrentang usia sekolah ini, anak-anak akanmemiliki perasaan yang bertolak belakangmengenai saudara autis mereka. Hal yangsama juga ditemukan pada interaksi antarasaudara sekandung yang normal.

3. Remaja(Usia 13-17 tahun)

Remaja memiliki kemampuan untukmemahami penjelasan yang lebih terperincimengenai gangguan yang dialami olehsaudaranya. Mereka akan menanyakanpertanyaan yang detil dan provokatif. Tugasperkembangan pada masa remaja adalahmulai mencari jati diri di luar bagian darisuatu keluarga. Pada saat yang sama,konformitas dengan teman-temanpermainan sebaya juga amat penting. Olehkarena itu, bagi anak-anak di usia ini,memiliki saudara sekandung yang berbedamungkin akan menjadi sesuatu yangmemalukan di depan teman-teman ataupacar. Mereka merasa perasaannya terbagidua antara hasrat untuk mandiri dari keluargadengan mempertahankan hubungan yangkhusus dengan saudara sekandung. Merekamungkin akan kesal terhadap pemberiantanggung jawab dan mereka akan mulaimengkhawatirkan masa depan saudara autismereka tersebut.

Saudara sekandung (sibling) telah

menjadi fokus penelitian dan pelayananmengenai autisme dalam berbagai cara.Schriebman, O’neill dan Koegel (dalamdalam Meyer & Vadasy, 1996)mengembangkan metode tingkah laku yangmengajarkan saudara sekandung untukbekerja sama dengan saudara autis mereka.Keterampilan-keterampilan yang diajarkanini berupa kegiatan rutin sehari-hari seperticara menggunakan kamar mandi, memesanmakanan di restoran dan lain-lain.Keterampilan yang diajarkan saudarasekandung kepada penyandang autisme inidiharapkan dapat mereka generalisasikan kedalam setting lain. Misalnya, jika seorangpenyandang autisme telah dapatmenggunakan kamar mandi di rumahnya,diharapkan ia dapat menggunakan kamarmandi di tempat lain seperti sekolah. Jikaseorang penyandang autisme telah memilikiketerampilan untuk memesan makanan direstoran cepat saji tertentu, diharapkan iatidak kesulitan memesan makanan direstoran lain yang sejenis.

Permasalahan yang hendak dikajidalam penelitian ini adalah bagaimanapersepsi/penilaian saudara sekandungterhadap perilaku anak autis, bagaimanaperan saudara sekandung dalam prosesterapi bagi anak autis, bagaimana dampakterapi terhadap anak autis di rumah bagisaudara sekandung dan bagaimana dampakterapi di rumah oleh orang tua pada anakautis terhadap perhatian orang tua padasaudara sekandung.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 12: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200698

yang menarik garis batas kaku antara sifat-peran laki-laki dan perempuan.

SIMPULAN

Berdasarkan temuan-temuan di atas,kiranya dapat ditarik 2 kesimpulan utamasebagai berikut. Pertama, sebagai wargamasyarakat Timur atau non-Barat padaumumnya yang cenderung berorientasikolektivistik, ada indikasi bahwa secaraumum subjek dengan latar belakang etnikyang berlainan, meliputi Jawa, Tionghoa,Dayak, Batak, Sunda, Ambon, Bali, Betawidan Flores, memiliki konstrual-diri yanginterdependen. Beberapa ciri pentingnyaantara lain: (1) kesadaran bahwa secarafundamental manusia saling tergantung: diriadalah bagian dari sebuah jaringan relasisosial entah berupa keluarga, marga, suku,dan sebagainya; akibatnya (2) dirimendasarkan tingkah lakunya tidak padainner self-nya melainkan pada persepsinyatentang pikiran, perasaan, dan harapanorang-orang lain yang berada dalam jaringanrelasi sosial itu; dengan kata lain (3)keanggotaan dalam suatu kelompokmenjadi aspek sentral identitas diri. Namundi antara subjek dengan latar belakang etnikyang berlainan itu sendiri, kecenderunganmemiliki konstrual-diri interdependen inipaling nyata di kalangan subjek Jawa.Temuan ini bisa dijelaskan dari fakta bahwapenelitian ini dilakukan di Yogyakarta, salahsatu pusat masyarakat dan kebudayaan Jawa.Artinya, dalam penelitian ini subjek Jawamerupakan penduduk lokal sedangkansubjek non-Jawa merupakan pendatang.Kendati secara relatif sama-sama memiliki

konstrual-diri yang interdependen, namunkarena kelompok-kelompok etnik non-Jawa ini rela meninggalkan basis kulturalmereka untuk merantau ke Yogyakartasedangkan kelompok Jawa berada di dalambasis kultural mereka sendiri, bisa dipahamibahwa kelompok non-Jawa memiliki kadarinterdependensi lebih rendah dibandingkankelompok Jawa. Strategi pembandinganseperti ini bisa dibenarkan sebab seperti bisadisimpulkan dari pernyataan Brown &Kobayashi (2002), cara terbaik untukmenguji kecenderungan tertentu pada wargasuatu kebudayaan adalah dengan melakukanperbandingan antar warga yangbersangkutan, dalam hal ini antar sesamawarga budaya Indonesia.

Kedua, kendati ada indikasi bahwabaik secara umum maupun di lingkungankelompok subjek Jawa subjek perempuanmemiliki konstrual-diri yang lebihinterdependen dibandingkan subjek laki-laki,namun perbedaan ini tidak signifikan.Temuan ini bisa diinterpretasikan sebagaiindikasi kuat bahwa baik di lingkungankelompok Jawa maupun non-Jawa, subjekcenderung mulai melonggarkan diri dariikatan tradisi, khususnya dari kecenderungansex-typing tradisional yang menarik garis batastegas antara sifat laki-laki dan perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Brislin, R.W. (1970). Back translation forcross-cultural research. Journal of Cross-Cultural Psychology, 1, 185-216.

Brown, J.D. & Kobayashi, C. (2002). Self-enhancement in Japan and America.

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

123

studi kasus eksplanatoris, sesuai dengan tipepertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitianini berfokus pada pertanyaan-pertanyaan“bagaimana” dan “mengapa”, berkaitandengan luas kontrol peneliti terhadapperistiwa perilaku, dimana peneliti tidakdapat mengkontrol secara ketat peristiwaperilaku yang terjadi, sementara fokuspenelitian ini adalah pada peristiwakontemporer (kini) bukan historis.

Subjek PenelitianSubjek dalam penelitian ini adalah

saudara sekandung dari penderita autisme,dimana saudara autis mereka telah mengikutiterapi minimal selama 3 bulan.

Metode Pengumpulan DataPengumpulan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan metodewawancara da observasi. Penelitian inimenggunakan metode observasi untukmengamati perilaku atau keadaan subjekpenelitian ketika sesi konseling sedangberlangsung. Tujuan dilakukannya observasiadalah sebagai crosscheck terhadap hal-halyang diungkapkan oleh subjek penelitiansecara verbal. Teknik wawancara yangdigunakan adalah wawancara mendalamdengan pedoman umum.

Teknik Analisis DataTeknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknikpenjodohan pola (pattern matching) danpembuatan eksplanasi (expalantion building).Logika penjodohan pola (pattern matching)merupakan membandingkan pola yangdidasarkan atas empiri dengan pola yang

diprediksikan (atau dengan beberapaprediksi alternatif). Jika kedua pola ini adapersamaan, hasilnya dapat menguatkanvaliditas internal studi kasus yangbersangkutan (Yin, 2002). Setelah dilakukanpenjodohan pola, maka langkah analisis datadilanjutkan dengan melakukan pembuataneksplanasi untuk membuat penjelasanmengenai kasus yang bersangkutan.Prosedur pembuatan eksplanasi merupakanmetode yang relevan untuk studieksplanatoris (Yin, 2002).

Penjelasan dan analisis atas kasus dalampenelitian ini dilakukan baik untuk kasustunggal dari keempat kasus dalam penelitianini, maupun analisis lintas kasus, sehinggadiperoleh suatu inferensi penting mengenaisaudara sekandung dari anak autis danperan mereka dalam menunjang terapi yangdilaksanakan bagi saudara autis mereka.Pada analisis lintas kasus ini, akan dilakukananalisis terhadap keempat kasus yang adadikaitkan dengan rumusan masalahpenelitian. Analisis akan dibagi dalam limaaspek, yaitu bagaimana persepsi/penilaiansaudara sekandung terhadap perilaku anakautis, bagaimana pengaruh/dampakperilaku anak autis terhadap saudarakandung, bagaimana dampak terapiterhadap anak autis di rumah bagi saudarakandung, bagaimana dampak terapi dirumah oleh orang tua pada anak autisterhadap perhatian orang tua pada saudarasekandung dan bagaimana peran saudarakandung dalam proses terapi bagi anakautis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tri Kurniati Ambarini

Page 13: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 97

asumsi tentang stereotipe gender yangmenempatkan perempuan lebih tundukpada norma sosial dibandingkan lelaki,maka untuk menjawab pertanyaan tentangperbedaan konstrual-diri antara subjekperempuan dan lelaki tanpa memperhatikanetnisitas diajukan hipotesis: “subjekperempuan memiliki konstrual-diri yanglebih interdependen dibandingkan subjeklaki-laki”. Uji asumsi homogenitas variansdata konstrual-diri subjek laki-laki danperempuan secara keseluruhan menunjukkanbahwa asumsi ini masih terpenuhi (F174=4,972; p= 0,027). Selanjutnya uji hipotesismenunjukkan bahwa subjek perempuanmemiliki konstrual-diri yang lebihinterdependen (X= 73,92; SD= 7,087)dibandingkan subjek laki-laki (X= 72,19;SD= 8,876) seperti diprediksikan, namunperbedaan ini terbukti tidak signifikan (t174=1,437; p= 0,152).

Kendati lemah, diperoleh indikasibahwa cara konstrual diri subjek secarakeseluruhan masih sejalan dengan yangdiprediksikan bertolak dari asumsi-asumsibudaya yang berlaku, yaitu bahwa konstrual-diri subjek perempuan cenderung lebihinterdependen dibandingkan subjek laki-laki.Namun temuan berupa indikasi lemah itusendiri kiranya sejalan dengan temuansebelumnya bahwa tanpa memperhatikanetnisitas secara umum, subjek cenderungmulai melonggarkan diri dari ikatan tradisi,khususnya dari kecenderungan sex-typingtradisional yang menarik garis batas tegasantara sifat laki-laki dan perempuan.Akibatnya, kendati cara konstrual-diri subjekperempuan dan laki-laki berbeda sepertidiprediksikan, namun perbedaan itu tidak

signifikan.

Perbedaan Konstrual-diri SubjekPerempuan dan Laki-laki BeretnikJawa

Bertolak dari asumsi bahwa sebagaikelompok yang masih hidup dalam habituskulturalnya, subjek Jawa cenderung lebihterikat pada kolektivisme dan akar tradisilainnya, maka untuk menjawab pertanyaantentang perbedaan konstrual-diri antarasubjek perempuan dan laki-laki beretnikJawa diajukan hipotesis: “Di kalangan subjekberetnik Jawa, subjek perempuan memilikikonstrual-diri yang lebih interdependendibandingkan subjek laki-laki”. Uji asumsihomogenitas varians data konstrual-dirisubjek perempuan dan laki-laki Jawamenunjukkan bahwa asumsi ini masihterpenuhi (F129= 2,962; p= 0,088). Ujiperbedaan mean konstrual-diri subjekperempuan dan laki-laki Jawa menunjukkanbahwa subjek perempuan Jawa memilikikonstrual-diri yang lebih interdependen (X=74,50; SD= 7,723) dibandingkan subjek laki-laki Jawa (X= 73,14; SD= 9,098), namunperbedaan ini tidak signifikan (t129= 0,924;p= 0,357).

Jadi, hanya diperoleh indikasi lemahbahwa ada perbedaan cara konstrual-diriantara subjek perempuan dan subjek laki-laki Jawa seperti diprediksikan bertolak dariasumsi-asumsi kultural yang relevan.Temuan ini kiranya juga memberikan indikasibahwa subjek beretnik Jawa tidak pedulilaki-laki atau perempuan secara relatif jugamulai melonggarkan diri dari ikatan dengantradisi budaya mereka, khususnya merekatidak lagi mengikuti sex-typing tradisional

A. Supratiknya

124

1. Bagaimana Persepsi/Penilaian SaudaraSekandung Terhadap Perilaku AnakAutis

Hasil penelitian yang telah diperolehmenunjukkan bahwa saudara sekandungdari anak autis memiliki perasaan yangberubah-ubah terhadap saudara autismereka. Mereka merasa senang dengansaudara autis mereka dan di lain waktumereka merasa tidak senang dan marahterhadap saudara autis mereka. Merekasenang menghabiskan waktu bersamasaudara autis mereka, namun merekamerasa tidak senang apabila mendapatkanrespon yang tidak menyenangkan darisaudara autis mereka seperti dipukul ataupundiacuhkan. Menurut Galagher dan Powell(dalam Meyer & Vadasy, 1996) hubunganantara saudara sekandung dengan anak autismerupakan suatu kontinuum dengan hasilpositif dan negatif pada masing-masingujungnya. Perasaan yang dialami oleh saudarasekandung terhadap anak autis bukanmerupakan sesuatu yang statis tetapiberubah-ubah. Terdapat saat tertentudimana ia memiliki hubungan yang positifdan menyenangkan dengan anak autis dandi lain waktu ia merasakan marah dan tidakmengerti akan tingkah laku anak autistersebut. Anak normal dan anak autis yangbersaudara kandung akan banyakmempengaruhi satu sama lain.

Terdapat kesamaan karakteristiksaudara sekandung pada kasus I dan kasusIII, sedangkan kasus II memiliki kesamaandengan kasus IV. Pada kasus I dan II,saudara sekandung dari anak autis mulaisangat menyadari adanya perbedaan antarasatu manusia dengan yang lainnya dimana

mereka mampu memahami definisi danpenjelasan mengenai kebutuhan khusussaudara autis mereka namun apabila semuadefinisi dan penjelasan tersebut disajikandalam istilah yang dapat mereka pahami.Mereka sudah bisa menilai perilaku saudaraautis mereka dan mereka cenderung tidakmenyenangi perilaku-perilaku agresif sepertimemukul ataupun menendang. Merekasudah bisa menyatakan ketidak senanganterhadap perilaku saudara autis mereka.Respon-respon tipikal yang diperlihatkananak-anak usia ini adalah seperti menolongsaudara autisnya. Kesamaan karakteristik inidapat terjadi karena karena mereka memilikiusia dalam rentang yang sama, yaitu usiasekolah dasar antara usia 6-12 tahun.

Pada kasus II dan IV, saudarasekandung dari anak autis belum mampumengemukakan perasaan mereka mengenaisesuatu, karena mereka akan menunjukkanperasaan mereka melalui tingkah laku.Mereka belum mampu memahamikebutuhan khusus saudara sekandung yangmenyandang autisme, tetapi mereka sudahdapat memperhatikan perbedaan-perbedaan tersebut. Mereka terlihatmenyenangi saudara sekandung merekakarena mereka belum belajar untuk menjadijudgemental, dan perasaan mereka terhadapsaudara autis mereka sama selayaknyadengan saudara sekandung yang normal.Kesamaan karakteristik saudara sekandungpada kasus II dan IV terjadi karena merekamemiliki usia dalam rentang yang sama, yaituusia pra sekolah antara usia 0-5 tahun(Schubert, 1996).

2. Bagaimana Pengaruh/Dampak

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 14: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200696

aneka perbedaan, saling menerima dalamsuasana kebersamaan, kedamaian,persaudaraan, kekompakan, dan keselarasan.Ia juga harus menunjukkan hormat kepadaorang lain sesuai status dan perannya, tidakambisius dan bersaing, sebaliknya harusmerasa serba malu, tidak meninggikan-diri,melaksanakan aneka tugas-kewajibandengan tekun dan rendah hati, serta patuhdan setia kepada ingroup. Berarti, cirikebudayaan Jawa sesuai dengan cirikolektivisme seperti ditegaskan olehKagitcibasi (dalam Kurman, 2001), yaitumenekankan pentingnya kelompok sebagaisumber dukungan dan bimbingan dalambertingkah laku. Maka, sejalan denganbudaya Jawa yang cenderung kolektivistikkonstrual-diri subjek Jawa secara umumterbukti cenderung interdependen.

Perbedaan Konstrual-diri antaraSubjek Jawa dan Non-Jawa

Bertolak dari asumsi bahwa budayaJawa cenderung kolektivistik sertaberdasarkan evidensi bahwa konstrual-dirisubjek Jawa cenderung interdependen,untuk menjawab pertanyaan tentangperbedaan konstrual-diri antara subjek Jawadan non-Jawa diajukan hipotesis: “Subjekberetnik Jawa memiliki konstrual-diri yanglebih interdependen dibandingkan subjekberetnik non-Jawa.” Uji asumsi homogenitasvarians data subjek beretnik Jawa dan non-Jawa menunjukkan bahwa asumsi ini masihterpenuhi (F174= 4,398; p= 0,037).Selanjutnya uji perbedaan mean konstrual-diri antara subjek beretnik Jawa (X= 73,82;SD= 8,428) dan subjek beretnik non-Jawa(X= 70,89; SD= 6,354) menunjukkan

bahwa subjek Jawa memiliki konstrual-diriyang lebih interdependen dibandingkansubjek non-Jawa, dan perbedaan itu terbuktisignifikan (t174= 2,136; p= 0,034).

Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta,salah satu pusat masyarakat dan kebudayaanJawa. Sebagai kota yang memiliki banyakperguruan tinggi, Yogyakarta didatangi olehbanyak mahasiswa perantau yang berasaldari berbagai daerah lain di Indonesia, entahsebagai generasi pertama pendatang atausudah merupakan generasi kedua atau lebih.Maka populasi mahasiswa di Yogyakartapada umumnya atau pada masing-masingperguruan tinggi khususnya lazimnyaditandai oleh hadirnya mahasiswa denganlatar belakang etnik yang berlainan dariberbagai penjuru di Tanah Air, termasuketnik Tionghoa. Kendati sebagai sesamakelompok etnik di kawasan Asia Tenggarasemuanya tergolong ke dalam kategorikolektivistik, namun fakta bahwakelompok-kelompok etnik non-Jawa inirela meninggalkan basis kultural merekauntuk merantau ke Yogyakarta bisa dijadikandasar dugaan bahwa mereka memilikikecenderungan lebih independendibandingkan kelompok beretnik Jawa yangbertahan di dalam basis kultural merekasendiri. Temuan ini ternyata membuktikandugaan itu.

Perbedaan Konstrual-diri SubjekPerempuan dan Laki-laki tanpaMemperhatikan Etnisitas

Bertolak dari asumsi semua kelompoketnik di Tanah Air secara umum cenderungberorientasi kolektivistik dan secara relatifmemiliki konstrual-diri interdependen, serta

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

125

Perilaku Anak Autis Terhadap SaudaraKandung

Saudara sekandung tentunyamerasakan dampak dengan mempunyaisaudara yang menyandang autis. Adanyaanak autis dalam keluarga dapatmempengaruhi kehidupan anak lain dalamkeluarga tersebut. Sulit bagi saudarasekandung membentuk hubungan yangmemuaskan dengan saudara autisnya. Halini juga dapat menimbulkan rasa frustasi bagisaudara sekandung dalam melakukansesuatu dengan saudara autisnya.

Pada hubungan antara saudarasekandung dengan anak autis muncul polaperilaku agresifitas dan dominasi padasaudara kandung, kecuali pada kasus 1. Padakasus 1 pola perilaku tersebut tidak munculkarena saudara sekandung dalam kasus iniberjenis kelamin perempuan sedangkansaudara autisnya berjenis kelamin laki-laki.Perbedaan jenis kelamin tersebut membuatperilaku agresif dan dominansi cenderunguntuk tidak muncul. Agresifitas dandominansi lebih sering terjadi padahubungan antara saudara sekandung denganjenis kelamin sama dibandingkan padahubungan antara saudara sekandung denganjenis kelamin berbeda (Minnett, Vandell, &Santrock, 1983). Pada ketiga kasus lainnya,saudara sekandung dari anak autis dengananak autis memiliki jenis kelamin yang samasehingga agresivitas sering muncul sebabmereka lebih sering membalas perilakuagresif saudara autis mereka.

Pada saudara sekandung dari anakautis yang mempunyai usia lebih muda darianak autis, yaitu pada kasus II dan kasus IV,mereka kehilangan teman bermain yang

normal. Hasil penelitian memperlihatkanbahwa pola bermain saudara sekandungdengan anak autis di dalamnya tidak terjadikomunikasi dua arah. Komunikasi lebihbanyak dibangun oleh saudara sekandung,dimana saudara sekandung yang lebih mudaseringkali diacuhkan oleh anak autis ketikabermain. Mereka terlihat bermain bersama,namun sebenarnya mereka lebih padamemainkan permainan yang sama tetapibermain sendiri-sendiri. Disampingkehilangan teman bermain “normal”,mereka juga kehilangan “role model”. Saudarasekandung yang lebih muda dari anak autisseringkali mengikuti perilaku kakaknya.Mereka seringkali membuntuti kakaknyadari belakang, walaupun mereka seringkalidiabaikan. Ketidakmampuan (disabilities)yang dimiliki oleh saudara autisnyamengganggu hal-hal normal dalamkeluarga, dimana anak “normal” yang lebihmuda kehilangan teman bermain yang“normal” dan model peran (role model) danhal ini bukanlah sesuatu yang mudahdipahami oleh anak. Karena autisme, sulitbagi anak yang lebih muda untuk menjalinhubungan yang memuaskan dengan kakaklaki-laki atau perempuannya yang memilikigangguan. (Naseef, 2003).

Pada kasus II, pada saudara sekandungyang lebih muda dari anak autis, merekaberperan sebagai anak yang lebih tua danmenjalankan tanggung jawab yang biasanyadipegang oleh anak yang lebih tua dalamkeluarga. Anak yang lebih muda berfungsiatau berperan pada level yang lebih tinggidaripada kakaknya. Ketidakmampuan (dis-ability) yang dimiliki oleh anak autis dapatmengganggu hal-hal normal dalam

Tri Kurniati Ambarini

Page 15: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 95

yang lebih interdependen dibandingkansubjek non-Jawa? (d) Apakah subjekperempuan memiliki konstrual-diri yanglebih interdependen dibandingkan subjeklelaki, tanpa memperhatikan latar belakangetnik mereka? dan (e) Apakah subjekperempuan Jawa memiliki konstrual-diriyang lebih interdependen dibandingkansubjek lelaki Jawa? Berikut disajikan secaraberturut-turut jawaban atas rangkaianpertanyaan di atas berdasarkan hasil analisisdata yang relevan.

Konstrual-diri Subjek tanpaMemperhatikan Gender dan Etnisitas

Bertolak dari asumsi bahwa sebagaibagian dari masyarakat Timur semuakelompok etnik di Tanah Air secara umumcenderung berorientasi kolektivistik, makauntuk menjawab pertanyaan tentang carakonstrual-diri subjek secara umum diajukanhipotesis: “Tanpa memperhatikan genderdan etnisitas secara umum, subjek memilikikonstrual-diri yang bersifat interdependen”.Uji asumsi normalitas terhadap datakonstrual-diri subjek secara keseluruhantanpa memperhatikan gender dan etnisitasmenunjukkan bahwa asumsi ini terpenuhi(Z176= 0,871; p= 0,434). Uji perbedaan antaramean empirik dan mean teoretik sebagaiindikator kecenderungan umum konstrual-diri subjek secara keseluruhan menunjukkanbahwa mean empirik konstrual-diri subjek(Xe= 73,07; SDe= 8,036) lebih tinggi darimean teoretiknya (Xt= 72; SDt= 18), namunperbedaan ini tidak signifikan (t175= 1,773;p= 0,078). Jadi, ada indikasi bahwa secaraumum subjek cenderung memilikikonstrual-diri interdependen seperti

diprediksikan, namun indikasi ini lemah.Kendati lemah, hasil ini kiranya sejalandengan asumsi bahwa sebagai warga bangsaIndonesia yang merupakan bagian darimasyarakat budaya Timur umumnya danmasyarakat budaya Asia Tenggarakhususnya, subjek secara keseluruhancenderung memiliki konstrual-diri yanginterdependen.

Konstrual-diri Subjek Jawa tanpaMemperhatikan Gender

Uji asumsi normalitas terhadap datakonstrual-diri subjek beretnik Jawamenunjukkan bahwa asumsi ini terpenuhi(Z131= 0,823; p= 0,507). Uji perbedaan antaramean empirik dan mean teoretik sebagaiindikator kecenderungan umum konstrual-diri subjek Jawa secara keseluruhanmenunjukkan bahwa mean empirikkonstrual-diri subjek (Xe= 73,82; SDe=8,428) lebih tinggi dari mean teoretikkonstrual-diri mereka (Xt= 72; SDt= 18),dan perbedaan ini sangat signifikan (t130=2,478; p= 0,015). Jadi, ada evidensi bahwasubjek Jawa, baik laki-laki maupunperempuan, secara umum cenderungmemiliki konstrual-diri yang interdependen.

Kebudayaan Jawa tercermin dalampandangan hidup Kejawen yang menekankanantara lain: (a) kesatuan dan harmoni antaramanusia dengan alam dan masyarakat; dan(b) pengendalian diri. Pada tatarankemasyarakatan, sistem budaya itumenekankan 2 prinsip pengatur hubungansosial, yaitu rukun atau keselarasan sosial danhormat atau menghargai orang lain (Magnis-Suseno, 1985; Mulder, 1984). Menurutkedua prinsip itu, orang harus mengatasi

A. Supratiknya

126

kehidupan keluarga dari saudara laki-laki atausaudara perempuan. Ketidakmampuan (dis-ability) mengganggu urutan yang alami(Naseef, 2003). Hal ini tidak terjadi padakasus IV, karena orang tua mereka selaluberusaha agar anak-anaknya mengetahuiposisi mereka dalam keluarga. Merekamengajarkan pada anak-anak mereka, siapayang lebih tua ataupun yang lebih muda dansikap seperti apa yang harus ditunjukkan olehanak-anaknya berkaitan dengan posisinyatersebut.

Autisme yang diderita oleh saudaranyatidak terlalu mengganggu hubungan antarasaudara sekandung pada saudara sekandungyang berusia lebih tua dari anak autis. Padakasus I dan II, dengan memiliki saudarasekandung penderita autisme, merekadiharapkan oleh orang tua mereka untuk ikutmenjalankan tanggung jawab dalammengasuh dan mengajari saudara autismereka. Orang tua menjadi bersikapoverprotektif terhadap terhadap anaknyayang menderita autisme dan juga terhadapanaknya yang “normal”. Pada kasus II danIV, sikap orang tua yang khawatir terhadapanak autisnya berdampak kepada anak yag“normal”. Mereka tidak memperbolehkansaudara sekandung dari anak autis untukbermain di luar rumah karena saudara autismereka juga tidak boleh bermain di luarrumah. Kekhawatiran mereka akan terjadisesuatu bila anak autis mereka bermain diluar rumah juga terjadi pada anak mereka“normal”. Sikap overprotektif ini dapatterjadi dikarenakan ketika orang tuamempunyai anak kedua yang “normal”,mereka biasanya menjadi cemas akankesehatan perkembangan anaknya tersebut

(Naseef, 2003). Faktor lain yang ikutmendukung adalah ukuran keluarga darikedua kasus termasuk keluarga kecilsehingga terdapat kesempatan yang besarbagi orang tua untuk bersikapoverprotektif dan pengawasan yang ketatpada anak-anaknya dalam keluarga kecil(Blake, 1989; Wagner, dkk., 1985, dalamHurlock, 2000).

Hal ini tidak terjadi pada saudarasekandung dalam kasus I dan II yang jugaberada dalam keluarga kecil, karena merekaberusia lebih tua daripada saudara autismereka sehingga kekhawatiran orang tuatidak sebesar pada kasus II dan IV. Faktorlain yang ikut mendukung adalah pada kasusIII, saudara sekandung dari anak autisberjenis kelamin laki-laki sehingga orang tuamenganggap tidak akan terjadi apa-apapada anaknya.

Hasil penelitian dari keempat kasus,menunjukkan bahwa tidak terjadi masalahdalam penyesuaian diri pada saudarasekandung dari anak autis. Dari keempatkasus tersebut, masalah dalam penyesuaiandiri hanya terjadi pada kasus II, dimanasaudara sekandung dari anak autis inimenjadi anak yang sulit bergaul dengan anaklain dan ia hanya mau berbicara denganibunya saja. Hal ini tejadi pada saudarasekandung dalam kasus II karena orang tuamereka tidak memperbolehkan saudaraautisnya untuk bermain diluar rumah danini juga berdampak pada saudara sekandung,dimana ia setiap harinya selalu menghabiskanwaktu di dalam rumah dan tidak pernahbermain di luar rumah bersama anak lain.Hal ini tidak terjadi pada kasus I, III, danIV, sebab perlakuan orang tua mereka

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 16: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200694

diprediksikan, warga Amerika-Asia (n =208; X=4,91) lebih interdependendibandingkan warga Amerika-Kaukasia(n=49; X=4,37; p<0,01). Validitasprediktifnya diperiksa denganmenggunakan atribusi sebagai kriteria.Sebagaimana diprediksikan, wargaAmerika-Asia dan responden lain yangmemperoleh skor interdependen lebihtinggi cenderung melakukan atribusi padasituasi (X=4,73; SD=1,09) dibandingkanwarga Amerika-Kaukasia dan respondenlain yang memperoleh skor interdependenlebih rendah (X=4,35; SD=1,14) dancenderung melakukan atribusi internal. Jadi,bentuk asli skala ini dinilai memiliki reliabilitasdan validitas yang memadai.

Adaptasi skala ini dari Bahasa Inggriske dalam Bahasa Indonesia dilakukandengan menggunakan back translationtechnique atau teknik penerjemahan kembali(Brislin, 1970). Mula-mula 2 penerjemahbilingualis yang sudah akrab dengan alat inisecara independen menerjemahkannya dariBahasa Inggris sebagai bahasa sumber (sourcelanguage) ke Bahasa Indonesia sebagai bahasasasaran (target language). Hasil terjemahandalam Bahasa Indonesia didiskusikansampai disepakati sebagai bentuk finalterjemahan tahap pertama. Selanjutnya duabilingualis lain yang tidak akrab dengan alatini diminta menerjemahkan kembali bentukfinal terjemahan tahap pertama itu ke dalambahasa sumber secara buta (blind backtranslation), yaitu tanpa melihat versi alatdalam bahasa aslinya serta secara independenpula. Hasil terjemahan kembali jugadidiskusikan dengan para penerjemah yangbersangkutan sampai disepakati bentuk

terjemahan dalam bahasa sasaran yang palingsesuai dengan maksud aslinya. Hasilnyamerupakan bentuk semi-final adaptasidalam Bahasa Indonesia Skala Konstrual-diri yang siap diuji-cobakan untuk diperiksaciri-ciri psikometrik dan reliabilitasnya.

Lewat 5 kali uji-coba dan analisis item,akhirnya diperoleh bentuk final adaptasiSkala Konstrual-diri dengan ciri-ciri sebagaiberikut: (a) terdiri dari 18 item, meliputi 10item independen dan 8 item interdependen; (b)item-item skala ini memiliki koefisien korelasiitem-total sebagai indeks daya beda itemberkisar antara r ix=0,1774 sampairix=0,4173 (r129; 0,05=0,174); dan (c) sebagaikeutuhan skala ini memiliki koefisienreliabilitas konsistensi internal á=0,6749.

Analisis DataAnalisis data dalam rangka menjawab

rangkaian pertanyaan penelitian dilakukandengan teknik statistik yang relevan sesudahdidahului dengan pengujian aneka asumsiyang relevan untuk menentukan apakahpengujian perlu dilakukan dengan teknikstatistik parametrik atau nonparametrik.Semua uji signifikansi dilakukan pada tarafsignifikansi antara 0,05 dan 0,01.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rangkaian pertanyaan yang hendakdijawab dalam penelitian ini adalah: (a)Bagaimanakah konstrual-diri subjek tanpamemperhatikan gender dan latar belakangetnik mereka? (b) Bagaimanakah konstrual-diri subjek beretnik Jawa tanpamemperhatikan gender mereka? (c) Apakahsubjek beretnik Jawa memiliki konstrual-diri

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

127

terhadap saudara autis tidak terlaluberdampak pada anak mereka lainnya danorang tua mereka tetap dapatmemperhatikan kebutuhan mereka.

3. Bagaimana Dampak TerapiTerhadap Anak Autis Di RumahBagi Saudara Kandung

Orang tua selalu mengusahakandengan berbagai cara agar anaknya yangmenderita autisme dapat sembuh. Salah satujalan yang ditempuh oleh orang tua darikeempat kasus yang ada (kasus I, II, III danIV), adalah dengan memasukkan anaknyatersebut ke suatu pusat terapi, yaitu di TK“Citra Cendikia”, untuk mendapatkan terapiyang dapat membantu kesembuhan anakmereka. Agar terapi yang telah diberikan disekolah tersebut dapat berhasil dengan baik,maka pelaksanaan terapi tidak hanyadilakukan di sekolah saja. Terapis yangmenangani anak-anak mereka menyarankankepada orang tua agar meneruskanpemberian terapi di rumah.

Pemberian terapi di rumah melibatkansemua anggota keluarga yang berada dalamrumah tersebut, baik terlibat secara langsungmaupun tidak. Pemberian terapi di rumahsecara tidak langsung menimbulkantuntutan-tuntutan ataupun penyesuaian sikapdari anggota keluarga. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa pada saudarasekandung yang lebih tua dari anak autis,orang tua mengharapkan agar anak merekadapat ikut berperan membantu pemberianterapi bagi saudara mereka. Orang tua tidakpernah memaksakan anak mereka untukterlibat dalam pemberian terapi di rumah.Pada kasus I dan III, orang tua memang

mengharapkan agar anaknya dapat ikutmemberi terapi, namun mereka tidakmenuntut agar anak mereka harus terus ikutdalam pemberian terapi bagi saudaramereka. Orang tua tidak pernah memaksaanak mereka apabila mereka tidak mauataupun ketika mereka berhalangan. Hal inidapat terjadi pada saudara sekandung dalamkasus I dan III berkaitan dengan birth orderatau urutan kelahiran dimana merekamerupakan anak tertua dalam keluarga.Biasanya saudara sekandung yang lebih tuadiberikan peran pengawas dan pendisiplinyang diterapkan oleh orang tua dalamkeluarga kecil (Wagner, Schubert & Schubert,1985, dalam Hurlock, 2000). Tanggungjawab untuk mengasuh adik yang lebihmuda biasanya diberikan pada anak yanglebih tua.

Pada kasus I, saudara sekandung anakautis menjadi terbiasa terlibat dalampemberian terapi dan ia dengan senang hatiikut mengajari adiknya. Saudara sekandungpada kasus ini akan marah apabila ia tidakdilibatkan dalam mengajari adiknya. Padakasus III, saudara sekandung dari anak autishanya mau terlibat dalam terapi bila dimintaoleh ibunya. Terapi yang diberikan di rumahmempengaruhi saudara sekandung yanglebih muda dari anak autis dalam halpenguasaan keterampilan-keterampilantertentu. Melalui materi terapi yang diberikanbagi anak autis, secara tak langsung saudarasekandung yang lebih muda ikut menguasaimateri-materi tersebut. Pada kasus II, halini jelas sekali terlihat, dimana saudarasekandung dari anak autis menguasaiketerampilan-keterampilan yang telahdiajarkan oleh ibunya kepada saudara

Tri Kurniati Ambarini

Page 17: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 93

Bagaimanakah konstrual-diri subjekberetnik Jawa tanpa memperhatikan gendermereka? Apakah subjek beretnik Jawamemiliki konstrual-diri yang lebihinterdependen dibandingkan subjek non-Jawa? Apakah subjek perempuan memilikikonstrual-diri yang lebih interdependendibandingkan subjek lelaki, tanpamemperhatikan latar belakang etnik mereka?Apakah subjek perempuan Jawa memilikikonstrual-diri yang lebih interdependendibandingkan subjek lelaki Jawa?

METODE PENELITIAN

SubjekSubjek penelitian ini adalah mahasiswa

semester II tahun akademik 2004-2005 dari20 program studi yang berasal dari 7fakultas di sebuah PTS di Yogyakartadengan latar belakang gender (perempuanvs. lelaki) dan etnik (Jawa vs. non-Jawa)berlainan yang diasumsikan berpengaruhterhadap konstrual-diri mereka, apakahcenderung independen atau interdependen.Jumlah keseluruhan subjek adalah 176 orang,terdiri atas 86 lelaki dan 90 perempuan, sertaterdiri atas 131 Jawa (65 lelaki Jawa dan 66perempuan Jawa) dan 45 non-Jawa (21perempuan non-Jawa dan 24 lelaki non-Jawa). Subjek non-Jawa meliputi merekayang berlatar belakang etnik Tionghoa (15orang), Dayak (14 orang), Batak (8 orang),Sunda (3 orang), Ambon (2 orang), sertaBali, Betawi, dan Flores, masing-masing 1orang.

adalah Skala Konstrual-Diri (Self-ConstrualScale) karya Theodore M. Singelis (1994)yang sudah diadaptasikan ke dalam bahasaIndonesia (Supratiknya & Yeni Siwi Utami,2006). Skala ini bertujuan mengukurungkapan gagasan, perasaan dan tindakanyang mencerminkan konstrual-diriindependen dan interdependen. Item poolaslinya terdiri dari 45 item, 10 di antaranyadiambil dari skala serupa karya Cross &Markus (1991, dalam Singelis, 1994) danYamaguchi (1994, dalam Singelis, 1994),sisanya disusun sendiri oleh Singelis (1994).Item-item ditata secara acak sebagai sebuahskala tunggal. Responden dimintamengungkapkan kesetujuannya terhadapmasing-masing item dalam skala 7 butir jenisLikert (1=sangat tidak setuju; 7=sangat setuju).Makin tinggi skor total menunjukkankecenderungan konstrual-diri inter-dependen, sebaliknya makin rendah skor-total menunjukkan kecenderungankonstrual-diri independen. Lewat dua kalifaktor analisis akhirnya terpilih 24 item (12item untuk masing-masing faktor konstrual-diri) sebagai bentuk final skala. Validitas skaladiperiksa dari segi validitas muka, validitaskonstruk, dan validitas prediktifnya. Lewatexpert judgment item-item kedua subskaladipandang mengungkapkan gagasan,perasaan dan tindakan yang mencerminkankonstrual-diri sebagaimana dimaksudsehingga keduanya dinilai memiliki face validitydan content validity yang baik. Validitaskonstruk skala diperiksa denganmembandingkan skor responden Amerika-Asia (warga Amerika keturunan Asia,meliputi Jepang, Cina, Korea, dan Filipina)dan Amerika-Kaukasia. Seperti

Alat Pengumpul DataAlat pengumpul data penelitian ini

A. Supratiknya

128

autisnya. Kemampuan yang dimiliki olehsaudara sekandung dari anak autis padakasus II saat ini, yaitu berhitung, membaca,pengetahuannya akan warna dankemampuannya dalam mewarnai, didapatkarena keikutsertaannya dalam setiap terapi.Ibunya mengatakan bahwa saudarasekandung ini sampai sekarang belum dapatmenulis, karena ibunya belum pernahmengajari kakaknya menulis.

Hal ini dapat terjadi karena padasaudara sekandung yang lebih muda senangsekali mencontoh perbuatan saudara merekayang lebih tua sehingga dapat membantumereka menguasai keterampilan tertentu.Seperti yang dikatakan oleh Summers(1987, dalam Minnet, Vandell & Santrock,1983), anak tertua terfokus pada orang tuasebagai sumber utama mereka dalam prosesbelajar sosial (social learning) di dalamkeluarga, sedangkan anak yang lebih mudamenggunakan orang tua dan saudarasekandung sebagai model dan guru. Saudarasekandung yang lebih muda, bahkan bayiyang berusia 12 bulan, biasanya melihat,mengikuti dan meniru saudara sekandungmereka yang lebih tua (Lamb, 1977;Samuels, 1977, dalam Minnet, Vandell &Santrock, 1983). Saudara sekandung yanglebih tua memainkan peranan yang pentingdalam memfasilitasi anak yang lebih mudadalam menguasai keterampilan tertentudalam lingkungan (Lamb, 1977; Pelper,Corter, & Abramovitch, 1982, dalamMinnet, Vandell & Santrock, 1983).

4. Bagaimana Dampak Terapi DiRumah Oleh Orang Tua Pada AnakAutis Terhadap Perhatian Orang Tua

Pada Saudara SekandungTuntutan untuk meneruskan

pemberian terapi bagi anaknya yangmenderita autisme di rumah, tentunya akanmemerlukan waktu yang lebih dari orangtua mereka. Hal ini tentu saja akanberpengaruh terhadap bagaimana sikap danpembagian perhatian orang tua terhadapanak-anaknya yang lain.

Orang tua dari anak autis menyatakanbahwa tidak terdapat kesulitan yang berartidalam membagi waktu untuk anak-anakmereka. Pada umumnya, orang tua merekaselalu berusaha agar saudara sekandung ikutterlibat dalam proses terapi yangdilaksanakan di rumah, kecuali orang tuapada kasus IV, dimana ibu merekamenyatakan bahwa ia akan lebih mudahmemberikan terapi bila anaknya yang “nor-mal” tadi sedang tidur, sehingga tidak akanmengganggu konsentrasi anaknya yangmenderita autisme ketika terapi diberikan.

Saudara sekandung dari anak autispada kasus I dan II menyatakan bahwamereka tidak merasa bahwa perhatian or-ang tua terlalu dicurahkan kepada saudaraautis mereka. Pada kasus I, mengatakanbahwa perhatian orang tua kepadanyacukup dan ia tidak pernah merasa terganggudengan kehadiran saudara autisnya. Terapiyang diberikan di rumah bagi saudaraautisnya juga tidak menyita seluruh perhatianorang tuanya. Hal ini karena terapi yangdiberikan kepada saudara autisnya selalumelibatkan dirinya dan dilakukan sebagianbesar pada waktu-waktu dimana semuaanggota keluarga berkumpul bersama,sehingga ia tidak merasa diabaikan. Selainitu orang tuanya juga selalu siap membantu

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 18: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200692

menemukan dan mengekspresikan sifat-kemampuan pribadinya yang unik; (3) arahdan makna tingkah laku pribadi terutamaditentukan oleh pikiran, perasaan, dankeputusan sendiri; (4) pribadi merupakanpusat kesadaran, perasaan, penilaian, dantindakan yang bersifat utuh, unik, danterintegrasi; (5) motivasi dasar yangmenggerakkan tingkah laku pribadi adalahdorongan untuk “mengaktualisasikan diri”,“merealisasikan diri”, “mengekspresikananeka kebutuhan, hak, dan kemampuanyang bersifat unik”, serta “mengembangkananeka potensi yang khas”; dan (6) diri adalahpribadi yang otonom serta tidak tergantung.Menurut Markus & Kitayama (1991),konstrual-diri independen adalah khaskebudayaan Barat serta berakar pada tradisiCartesian tentang dualisme antara jiwa danbadan.

Ciri-ciri konstrual-diri interdependenadalah keyakinan bahwa: (1) secarafundamental manusia bersifat salingterhubung atau saling tergantung; (2) setiaporang wajib menjaga dan memeliharakesaling-tergantungan ini; (3) salingtergantung berarti: memandang diri sebagaibagian dari sebuah jaringan relasi sosial danmengakui bahwa tingkah laku seseorangditentukan, tergantung, dan diarahkan olehpersepsi orang itu tentang pikiran, perasaan,dan reaksi orang-orang yang berada dalamjaringan relasi itu; (4) komponen diri yangmenonjol pengaruhnya adalah komponendiri publik (public self); (5) tingkah lakuseseorang tidak ditentukan oleh duniabatinnya (inner self), melainkan oleh relasinyadengan orang lain. Menurut Markus &Kitayama (1991), konstrual-diri

interdependen berakar pada tradisi filsafatmonisme yang memandang pribadi sebagaiesensi dan tak terpisahkan dari semesta alam,serta yang lazim hidup dalam kebudayaan-kebudayaan Timur atau non-Barat.

Masyarakat Indonesia sebagai bagiandari masyarakat Asia atau masyarakat Timurpada umumnya diasumsikan berorientasikolektivistik. Memang belum banyakpenelitian empiris yang mengungkap hal ini.Berbagai penelitian terdahulu tentangindividualisme-kolektivisme yangmelibatkan warga masyarakat kolektivistikdi Asia lazimnya menggunakan subjek dariAsia Timur, seperti Jepang, Korea, dan Cina.Penelitian ini merupakan awal dari rangkaianpenelitian tentang psikologi kebudayaanpada berbagai kelompok masyarakat diTanah Air yang tergolong warga AsiaTenggara. Kendati sebagai bagian darimasyarakat budaya Timur diasumsikanbahwa berbagai kelompok masyarakatbudaya di Tanah Air secara umumberorientasi kolektivistik, namun sepertitersirat dalam pernyataan Triandis,McCusker & Hui (1990), kadar kolektivismemereka bisa berlainan. Manifestasinya, corakkonstrual-diri yang terbentuk pun tentu akanberlainan. Sebagai langkah awal, penelitianini bertujuan mengeksplorasi perbedaankecenderungan konstrual-diri di kalanganmahasiswa sebuah PTS di Yogyakartadengan memperhatikan gender dan latarbelakang etnik mereka, khususnya Jawaversus non-Jawa. Secara spesifik, rangkaianpertanyaan yang dicoba dicari jawabannyadalam penelitian ini adalah: Bagaimanakahkonstrual-diri subjek tanpa memperhatikangender dan latar belakang etnik mereka?

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

129

apabila ia memiliki kesulitan dalammenyelesaikan tugas-tugasnya.

Pada kasus II, selama pemberianterapi, saudara sekandung dari anak autis iniselalu ikut serta dalam terapi. Ia selalu dudukbersama-sama ibunya ketika terapidiberikan, sehingga sang ibu masih tetapdapat memberikan perhatian kepadanya.Dalam terapi ini saudara sekandung darianak autis malahan banyak membantuibunya dalam terapi, seperti memicupenjelasan-penjelasan lebih lanjut melaluipertanyaan-pertanyaan yang diajukannya.Selebihnya ia mungkin belum terlaluterganggu dengan masalah pembagianperhatian dari orang tuanya, sebab usianyayang baru 4,5 tahun membuat ia tidak terlalumemahami hal tersebut. Hal ini juga terjadipada kasus IV dimana anak belummemahami konsep dari pembagianperhatian yang adil. Pada kasus keempat,saudara sekandung belum merasa terganggudengan perhatian yang harus dicurahkan olehorang tuanya ketika terapi berlangsung. Halini karena ketika terapi dilaksanakan, iabiasanya sedang tidur, agar tidakmengganggu proses terapi. Selebihnyakarena terapi dilakukan sebagian besar diwaktu-waktu yang tidak khusus makasaudara sekandung dari anak autis inibiasanya ikut terlibat dan hal ini baginyatampak seperti bagian dari bermainbersama saudara autisnya dan ibunya.

Terdapat perbedaan pada kasus III,dimana saudara sekandung dari anak autismerasa bahwa terapi yang harusdilaksanakan di rumah menyita sebagianbesar perhatian dari orang tuanya. Ia merasabahwa semenjak orang tua mereka

mengetahui bahwa saudaranya menderitaautisme, perhatian orang tua lebih banyakterrcurahkan untuk saudara autisnya tersebut.Terlebih lagi ketika terapi dilaksanakan,dimana waktu terapi tersebut biasanyabersamaan dengan waktu ia belajar, yaitubiasanya di sore hari, maka terkadang iaharus mengalah untuk tidak ditemani belajaroleh ibunya. Namun ia tidak pernahmempermasalahkan mengenai perhatianorang tuanya yang terlalu diberikan kepadasaudara autisnya. Ia memahami mengapahal tersebut harus terjadi dan menurutibunya, ia tidak pernah menuntut kepadamereka untuk terlalu diperhatikan dan lebihmemilih untuk bersikap mengalah kepadakepentingan saudara autisnya.

Dari keempat kasus tersebut (kasus I,II, III, dan IV), terapi yang diberikan dirumah untuk anak autis pada umumnyatidak mengganggu perhatian orang tuakepada anak-anak lainnya. Hal ini dapatterjadi selama orang tua dapat dengan baikmembagi waktu untuk anak-anaknyatersebut, berusaha melibatkan saudarasekandung anak autis dalam proses terapinamun tidak memaksakan hal tersebut, danselalu berusaha untuk memeberikanpengertian kepada anak yang lain kenapa haltersebut harus terjadi.

5. Bagaimana Peran Saudara KandungDalam Proses Terapi Bagi Anak Autis

Keterlibatan atau peran saudarasekandung dalam terapi yang dilaksanakanbagi anak autis tampaknya dapat membantudalam menunjang keberhasilan dari tersebut.Pengalaman dari orang tua-orang tua yangmemiliki anak penderita autis menunjukkan

Tri Kurniati Ambarini

Page 19: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 91

mengutamakan integritas atau keutuhankeluarga; (2) diri dihayati dan dimaknaidalam kaitannya dengan ingroup; (3) perilakuditentukan oleh norma ingroup ; (4)mengutamakan hirarki dan harmoni dalamingroup; (5) mengutamakan keseragamandalam ingroup ; dan (6) melakukanpembedaan yang tajam antara ingroup danoutgroup . Sifat-sifat itu menimbulkankonsekuensi: (1) dalam sosialisasimengutamakan ketaatan dan kepatuhanpada kewajiban; (2) menekankan pentingnyapengorbanan-diri bagi ingroup ; (3)menekankan keseragaman dalam berpikir;(4) menekankan bentuk-bentuk perilakuyang mencerminkan hirarki, kehangatan,saling ketergantungan, saling memberikandukungan sosial, dan berorientasimenyelamatkan muka.

Konstrual-DiriPsikologi kebudayaan berasumsi

bahwa kebudayaan dan kepribadianberkaitan erat dan saling menentukan.Keduanya berinteraksi melalui mediumselfways dan konstrual-diri (Heine, dkk., 1999).Selfways adalah konsepsi tentang hakikat danmakna menjadi seorang pribadi yangdiyakini bersama oleh warga sebuahkomunitas beserta seluruh perangkatpraktek sosial, situasi dan pranata kehidupansehari-hari yang mencerminkan sekaligusmengukuhkan konsepsi itu. Jadi, selfwaysadalah cara berada, berpikir, merasa danbertindak yang secara khas dimiliki dandihayati oleh kelompok budaya tertentu.Pada aras individual, selfways melahirkankonstrual-diri, yaitu cara individu berpikir,merasa, dan bertindak sejalan dengan selfways

yang diyakininya.Menurut tipologi individualisme-

kolektivisme, ada dua kategori besar selfways,yaitu independent selfways (sejalan denganindividualisme) serta interdependent selfways(sejalan dengan kolektivisme) (Heine, dkk.,1999). Nilai-nilai yang menjadi inti selfwayskebudayaan individualistik adalahindependensi atau ketidaktergantungan,kebebasan, hak atau kesempatan untukmemilih, kecakapan pribadi (personalcompetence), kendali pribadi (personal control),tanggung jawab pribadi, ekspresi pribadi,keberhasilan, dan kebahagiaan. Sebaliknya,nilai-nilai yang menjadi inti selfwayskebudayaan kolektivistik adalah kesaling-tergantungan, kritik-diri (self-criticism) dankerja keras untuk memperbaiki diri, disiplin-diri dalam bentuk berusaha dengan tekundan tahan uji penuh pengendalian-diri demimeningkatkan kesaling-tergantungan denganingroup, penekanan pada kerangka acuaneksternal atau ketergantungan pada penilaianlingkungan sosial, menekankan rasa malu dansikap serba memohon maaf, sertamenekankan pengendalian dankeseimbangan emosi (Heine, dkk., 1999).

Sejalan dengan kedua macam selfwaysitu, ada dua kategori besar konstrual-diri,yaitu konstrual-diri independen sebagai padananindependent selfways dalam kebudayaanindividualistik, serta konstrual-diri interdependensebagai padanan interdependent selfways dalamkebudayaan kolektivistik (Markus &Kitayama, 1991). Ciri-ciri konstrual-diriindependen adalah keyakinan bahwa: (1)setiap pribadi secara inheren terpisah dariyang lain; (2) setiap pribadi wajib menjaditidak tergantung pada orang lain serta

A. Supratiknya

130

bahwa peran saudara sekandung dapatmembantu keberhasilan dari terapi. Sepertiyang dituturkan oleh orang tua dari anakautis dalam majalah Nakita yaitu denganbelajar bersama saudara sekandungnya, anakautis menjadi lebih cepat dalam meresponsesuatu. Melibatkan saudara sekandung akanmempercepat proses anak autis dalammempelajari sesuatu melalui proses menirudan belajar dari saudara sekandungnya.Saudara sekandung juga membantu dalamproses interaksi anak autis denganlingkungan (“Menangani anak autis”, 2002).

Perbedaan keterlibatan saudarasekandung dari anak autis akan membuatperbedaan dalam peran mereka menunjuangkeberhasilan terapi. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa semakin aktif saudarasekandung terlibat dalam pemberian terapimaka semakin banyak kemajuan yang akandicapai oleh anak autis. Peran saudarasekandung dalam menunjang keberhasilanterapi tidak lepas dari faktor-faktor lainnyayang berkaitan dengan saudara autis mereka,yaitu berat ringannya gejala autisme yang ada,usia saat saudara autis mereka didiagnosa,usia saat dimulainnya terapi, kecerdasan yangdimiliki, kemampuan berbicara danberbahasa dan jenis terapi yang didapatkanoleh saudara autis mereka.

Peran saudara sekandung dalam terapiselain dipengaruhi oleh faktor-faktor yangberkaitan dengan kondisi saudara autis, jugadipengaruhi faktor-faktor yang berkaitandengan saudara sekandung dari anak autisitu sendiri, yaitu jenis kelamin dari saudarasekandung dari anak autis, birth order atauurutan kelahiran dan usia saudara sekandung.Pada anak yang berusia lebih tua, saudara

sekandung dapat berperan dengan aktifmemberikan materi terapi bagi saudaraautisnya. Mereka dapat membantu saudaraautisnya dalam menguasai keterampilan-keterampilan tertentu. Hal ini sejalan denganyang dikatakan oleh Lamb (1977, dalamMinnet, Vandell & Santrock, 1983), Pelper,Corter, dan Abramovitch (1982, dalamMinnet, Vandell & Santrock, 1983) bahwasaudara sekandung yang lebih tuamemainkan peranan yang penting dalammemfasilitasi anak yang lebih muda dalammenguasai keterampilan tertentu dalamlingkungan. Pada saudara sekandung yangberusia lebih muda dari pada anak autisterlibat dalam terapi, namun tidak secaralangsung memberikan materi terapi.

Pada kasus I, perilaku yangdiperlihatkan oleh saudara sekandungmenunjukkan bahwa ia memiliki peran yangcukup besar dalam keberhasilan terapi bagisaudara autisnya. Keterlibatannya secaraaktif dalam pelaksanaan terapi di rumah bagisaudara autisnya ikut memperlancarpelaksanaan terapi tersebut. Kebiasaannyamengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadasaudara autisnya dapat membantu dalamproses pemahaman dan kebiasaannyameminta tolong kepada saudara autisnyauntuk mengambilkan barang-barang yangada di rumah dapat menambah kosakatadan pengetahuan saudara autisnya akanbenda-benda tersebut. Kesediaannyadalam membantu saudara autisnyamelakukan kegiatan sehari-hari sepertimemandikan dan memakaikan baju, dapatmembantu agar saudara autisnya tidak hanyamampu berinteraksi dengan ibunya saja,namun juga dengan orang lain. Keterlibatan

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 20: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200690

Individualisme-KolektivismeSalah satu titik persinggungan antara

kebudayaan dan psikologi adalah kajiantentang prinsip “deep structure of culture”(Greenfield, 2000). Menurut prinsip ini,setiap kebudayaan harus menyikapipersoalan yang menyangkut hubunganantara pribadi dan kelompok. Ada duaalternatif sikap dasar, yaitu memprioritaskanpribadi, atau sebaliknya memprioritaskankelompok. Jadi, prinsip ini mencerminkannilai-nilai yang diidealisasikan dalam sebuahmasyarakat budaya menyangkut apakahmemilih memaksimalkan ataumeminimalkan pertalian interdependenantara sang pribadi dan sesamanya. Padatataran kebudayaan, pilihan pada strategimaksimalisasi melahirkan kolektivisme,sedangkan pilihan pada strategi minimalisasimelahirkan individualisme. Maka individu-alisme dan kolektivisme menjadi salah satu“universal deep structure” atau “skeletonframework” yang berfungsi sebagai sejenisteori untuk memahami perbedaan budaya(cultural differentiation) antar berbagai bangsaatau kelompok masyarakat di dunia. Bagibangsa atau masyarakat tertentu, sekalipilihan atas strategi ini dilakukan--lazimnyasecara implisit, maka akan termanifestasikandalam berbagai aspek kehidupan danperilaku warga komunitas yangbersangkutan, baik sebagai kolektif maupunperorangan (Greenfield, 2000).

Kerangka kajian psikologi kebudayaanmenempatkan individualisme-kolektivismesebagai variabel kebudayaan dan variabelkepribadian sekaligus (Hui & Triandis, 1986).Pada taraf paling dasar, cara sang pribadimerasa, beremosi, berkeyakinan,

berideologi, dan bertindaklah yangmembentuk kecenderungan ke arahindividualisme atau kolektivisme. Padananindividualisme pada aras kepribadiandisebut idiosentrisme, sedangkan padanankolektivisme disebut alosentrisme (Triandis,dkk., 1990). Maka, corak individualistik-kolektivistik suatu masyarakat lebihditentukan oleh siapa yang menjadimayoritas di dalamnya, pribadi-pribadi yangberorientasi individualistik-idiosentrik atauyang berorientasi kolektivistik-alosentrik.

Triandis, dkk. (1990) secara lebih rincimengidentifikasikan ciri-ciri individualismedan kolektivisme. Menurut mereka,individualisme lazimnya dipicu olehkemakmuran (affluence), budaya yangkompleks, penghidupan yang bercorakberburu atau mengumpulkan makanan,migrasi, urbanisasi, dan persinggungandengan media massa. Kondisi itumelahirkan sifat-sifat: (1) cenderungmemisahkan diri secara emosi dari ingroup;(2) menempatkan kepentingan pribadi diatas kepentingan kelompok; (3) perilakuditentukan oleh sikap pribadi danpertimbangan untung-rugi; dan (4) mampumenerima konfrontasi. Sifat-sifat ituselanjutnya menimbulkan konsekuensi: (1)dalam sosialisasi menekankan pembentukansifat mandiri dan tidak tergantung; (2) tidakkesulitan membawa diri masuk ke dalamkelompok-kelompok baru; dan (3) mudahdihinggapi rasa kesepian.

Sebaliknya, kolektivisme lazim tumbuhdalam masyarakat agraris yangmengutamakan pembentukan keluarga-keluarga besar sebagai ingroup. Kondisi iniakan melahirkan sifat-sifat: (1)

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

131

saudara sekandung dalam mengajari saudaraautisnya ketika terapi dilaksanakan di rumah,seperti mengajari mewarnai, mengenalangka, huruf dan berbagai macam warna,tampaknya mempermudah saudara autisnyadalam proses belajar. Kebiasaannya untukmengajak saudara autisnya berbicara dapatmeningkatkan kemampuan saudara autisnyadalam berbicara dan berbahasa.

Pada kasus IV, saudara sekandung darianak autis tidak berperan secara aktif dalammemberikan terapi dan jarang dilibatkanoleh ibunya dalam terapi. Peran saudarasekandung ini lebih tampak dalam kegiatansehari-hari, dimana ia dan saudara autisnyabanyak menghabiskan waktu bersama, baikitu dengan bermain ataupun hanya sekedarmenonton televisi. Saudara sekandung darianak autis ini tak jarang mengajak saudaraautisnya berbicara ataupun mengajukanpertanyaan-pertanyaan tertentu. Peran darisaudara sekandung ini yang tampak jelasadalah dengan kehadirannya, membantusaudara autisnya dalam memahami konsepperan dan memahami mengenai aturan-aturan tertentu. Berkaitan dengan konsepperan, saudara sekandung dari anak autis inimembantu saudara autisnya mengenai peransebagai seorang kakak, dimana ia harusmenyayangi adiknya dan tidak boleh berlakukasar. Berkaitan dengan perannya dalammembantu saudara auitsnya dalammemahami aturan-aturan tertentu, saudarasekandung dari anak autis ini merupakansuatu batasan ketika saudara autisnya berlakukasar terhadapnya, maka ia akan dimarahiataupun mendapat hukuman dari orangtuanya. Pada kasus ini saudara sekandungtidak dapat berperan secara aktif dalam

pemberian materi terapi karena ia baruberusia 2,5 tahun, yaitu dalam usia prasekolah. Pada kasus II, saudara sekandungjuga tidak terlibat secara aktif dalammemberikan materi terapi, namun ia selaluikut selama pemberian terapi. Ketika prosesterapi berlangsung, saudara sekandung inilebih banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada ibunya mengenai materiterapi. Perilaku bertanya saudara sekandungtersebut memancing respon-respon lain dariibunya dan memancing respon dari saudaraautisnya dalam menanggapi materi terapiyang diberikan. Keikutsertaan saudarasekandung dalam terapi yang diberikanuntuk saudara autisnya, membuat iamenguasai materi-materi yang diberikanuntuk saudara autisnya seperti menghitung,membaca, dan pengetahuannya akanbermacam warna. Pada kasus III, saudarasekandung terlibat aktif dalam memberikanmateri terapi, namun keterlibatannya itu lebihbanyak disebabkan permintaan dari orangtuanya. Saudara sekandung tidakmenunjukkan sikap tertarik dan antusiasuntuk membantu memberikan materiterapi. Saudara sekandung pada kasus IIIini tertarik dan bersemangat untuk mengajariadiknya apabila hal tersebut merupakanhobinya.

Perbedaan peran saudara sekandungdalam terapi bagi saudara autisnya padakeempat kasus disebabkan oleh beberapahal. Pada kasus I dan III, dimana saudarasekandung merupakan anak yang lebih tuadari anak autis, perbedaan peran disebabkanoleh :1. Saudara sekandung pada kasus I

mempunyai jenis kelamin perempuan

Tri Kurniati Ambarini

Page 21: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 89

watak yang menonjol dari psikologimainstream tersebut adalah ketidak-peduliannya pada dimensi kebudayaan dariperilaku manusia dan cenderungmengabaikan perbedaan budaya antarmasyarakat di dunia (Greenfield, 2000).Tidak puas terhadap dominasi psikologimainstream di satu sisi dan di sisi lain didesakoleh kebutuhan untuk memahamimasyarakat dengan kebudayaan yangberaneka ragam, maka sejak dasawarsa1970-an muncul gerakan-gerakan dikalangan komunitas psikologi di dunia yangbertujuan mendalami kaitan antara psikologidan kebudayaan.

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

A. SupratiknyaFakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

ABSTRACT

The present study aims to explore the self-construal of students at a private higher learninginstitution in Yogyakarta with paying attention to their gender and ethnic background, namelyJavanese versus non-Javanese (Chinese, Dayakese, Batakese, Sundanese, Ambonese, Balinese,Betawinese, and Floresnese). The instrument was Skala Konstrual-diri (n = 18; á =0,6749), the Indonesian adaptation of the Self-Construal Scale developed by Theodore M.Singelis (1994). A total of 176 sophomores of 9 different ethnic background (131 Javaneseand 45 non-Javanese) from 20 study programs in 7 different faculties participated as subjects.The results led to two major conclusions. First, as members of Eastern collectivistic communi-ties, both Javanese and non-Javanese subjects in general tend to have an interdependent self-construal, but this tendency is significant only among the Javanese. Second, although there is atendency for female subjects in general to have a more interdependent self-construal than malesubjects, but the difference is not significant among both the Javanese and non-Javanese subjects.

Keywords:individualism; collectivism; independent self-construal; interdependent self-construal.

Psikologi sebagai ilmu modern lahirdi Eropa pada penghujung abad ke-19,namun selanjutnya berkembang pesat diAmerika Serikat, terutama sejak parohkedua abad ke-20 hingga sekarang. Kendatiberakar dalam psikologi Eropa, namunpsikologi Amerika berhasil tumbuh dengancoraknya sendiri bahkan menjadi dominandan mengukuhkan diri sebagai “mainstreampsychology” (Moghaddam, 1987). Salah satu

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006

© 2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga132

dan pada kasus III mempunyai jeniskelamin laki-laki. Perbedaan jeniskelamin ini membuat sikap yangditunjukkan oleh saudara sekandungjuga berbeda, dimana anak perempuanlebih menunjukkan perilaku mengasuhdan merawat saudaranya. Sejalan denganyang dikatakan oleh Cicirelli (1982,dalam Minnet, Vandell & Santrock,1983) bahwa anak perempuan lebihsenang berperan dalam merawat danmenolong saudara sekandung merekadibandingkan anak laki-laki. Saudarasekandung pada subyek I juga lebihantusias ketika terlibat dalammemberikan terapi bagi adiknya dan iatidak senang apabila ia tidak dilibatkanketika mengajari adiknya. Sebagai anakperempuan, saudara sekandung padakasus I lebih kompeten dalammembantu adiknya menguasaiketerampilan-keterampilan tertentudibandingkan saudara sekandung padakasus III. Kakak perempuan yangtampaknya lebih efektif sebagaiinstruktur akademik dibandingkankakak laki-laki (Cicirelli, 1976, dalamMinnet, Vandell & Santrock, 1983).

2. Perbedaan peran saudara sekandungdalam kasus I dan III juga terjadiberkaitan dengan respon yangditunjukkan oleh saudara autis mereka.Pada kasus I, saudara autis tampakmenunjukkan sikap kooperatif terhadapsaudara sekandungnya ketika menerimamateri terapi, sedangkan pada kasus III,saudara autis menunjukkan sikap yangtidak kooperatif, dimana ia seringkalimenolak apabila diajari oleh kakaknya

dan hanya mau dengan ibunya. Sikapagresif yang ditunjukkan oleh saudaraautis terhadap saudara sekandung jugamembuat saudara sekandung tidakantusias untuk terlibat dalam pemberianterapi.

Kemajuan yang dicapai oleh anak autisdalam kasus I lebih cepat dibandingkan padakasus II, III, dan IV. Dimana dalam kurunwaktu 3 bulan setelah mengikuti terapi,saudara autis pada kasus ini telah mengalamikemajuan seperti berkurangnyahiperaktivitas, kemampuan berbicara danberbahasanya menjadi lebih baik, sudah bisamengenali huruf, angka dan warna denganbaik, kemampuan motoriknya meningkat,kemampuan dalam memahami meningkat,dan temper tantrumnya berkurang. Pada kasusIV, anak autis juga mengalami kemajuan yangdrastis, namun kemajuan tersebut baruterlihat ketika ia telah mengikuti terapi selamakurang lebih 1 tahun.

Kemajuan yang terjadi pada anak autispada kasus I didukung oleh keterlibatanseluruh anggota keluarga dalam terapi,termasuk di dalamnya peran saudarasekandung yang dengan aktif ikutmemberikan materi-materi terapi bagisaudara autisnya dan sehari-hari secara aktifberinteraksi dengan saudara autisnya.Kemajuan yang terjadi pada kasus IV lebihbanyak disebabkan karena peran ibu danlamanya terapi yang telah diikutinya. Anakautis yang paling lama mengalami kemajuanyaitu pada kasus II. Hal ini terjadi karenaminimnya keterlibatan semua anggotakeluarga dalam terapi, termasuk peransaudara sekandung yang tidak antusiasdalam memberikan materi terapi atau pun

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 22: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200688

www.kompas,com/ kompas-cetak/0204/01/nasional/radio6.htm.

Staub, E. (1989). The Root of Evil: The Originsof Genocide and Other Group Violence.New York: Cambridge UniversityPress.

Tetlock, P. E. (1983). Cognitive style andpolitical ideology. Journal of Personalityand Social Psychology, 41,207-212.

Unger R.K.(2002). Them and us: Hiddenideologies-difference in degree orkind? Analyses of Social Issue and PublicPolicy, 2, 1, 43-52(10).

Vala, J., Monteiro, M. B. & Leyens, J-P.(1988). Perception of violence as afunction of observer’s ideology andactor’s group membership. BritishJournal of Social Psychology, 27, 231-237.

Watson, D., Clark, L. A. & Tellegen, A.(1988). Development and validationof brief measures of positive andnegative affect: The PANAS scales.Journal of Personality and Social Psychology,54, 1063-1070.

Ideologi, Mortality Salience dan Kekerasan ‘Suci’: Analisis Model Struktural

133

berinteraksi sehari-hari dengan saudaraautisnya.

SIMPULAN

1. Perasaan yang dialami oleh saudarasekandung terhadap anak autis bukanmerupakan sesuatu yang statis tetapiberubah-ubah. Mereka merasa senangdengan saudara autis mereka dan di lainwaktu mereka merasa tidak senang danmarah terhadap saudara autis mereka.Mereka senang menghabiskan waktubersama saudara autis mereka, namunmereka merasa tidak senang apabilamendapatkan respon yang tidakmenyenangkan dari saudara autismereka seperti dipukul ataupundiacuhkan. Pola perilaku agresifitas lebihbanyak muncul pada hubungan antarasaudara sekandung dengan anak autisyang memiliki jenis kelamin berbeda.

2. Perilaku yang ditunjukkan oleh saudarasekandung terhadap anak autisdipengaruhi oleh karaktersitik yangdimiliki oleh saudara sekandung, yangmeliputi persepsi mereka terhadap anakautis, perilaku yang ditunjukkan merekaterhadap anak autis dan pemahamanakan kebutuhan-kebutuhan anak autis.Karakteristik terbentuk pada saudarasekandung tergantung dari usia saudarasekandung, dimana saudara sekandungpada usia sekolah sudah dapatmemahami kebutuhan-kebutuhankhusus dari saudara autis mereka danmereka sudah dapat menilai perilakusaudara autis mereka. Merekamenunjukkan respon tipikal yaitu

perilaku menolong. Pada saudarasekandung dari anak autis yang berusiapra sekolah, mereka menunjukkanperasaan mereka melalui perilakumereka, mereka cenderung menyenangisaudara autis mereka karena merekabelum belajar menjadu judgemental danmereka belum dapat memahamikebutuhan-kebutuhan khusus darisaudara autis mereka.

3. Saudara sekandung yang lebih mudadari anak autis kehilangan temanbermain yang normal, role model, dansebagian dari mereka berperan sebagaianak yang lebih tua daripada saudaraautis mereka . Mereka dapat kehilanganrole model yang normal karena padasaudara sekandung yang berusia lebihmuda dari anak autis menggunakansaudara autis mereka sebagai role modelmenguasai keterampilan tertentu.Teman bermain yang normal dapathilang karena ketika bermain bersama,tidak terjalin komunikasi antara saudarasekandung dengan anak autis. Haltersebut membuat anak kesulitan untukmenjalin hubungan yang memuaskandengan anak autis. Bagi saudarasekandung yang lebih tua dari anak autis,autisme yang diderita oleh saudaranyamempengaruhi kehidupan merekasebesar saudara sekandung yang berusialebih muda dari anak autis.

4. Saudara sekandung tidak mengalamimasalah penyesuaian diri apabila orangtua tetap dapat memperhatikankebutuhan-kebutuhan dari mereka dansikap yang ditunjukkan orang tuakepada anak autis tidak berdampak

Tri Kurniati Ambarini

Page 23: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 87

and self-esteem: Evidence thatincreased self-esteem reduce mortalitysalience. Journal of Personality and SocialPsychology, 72, 1, 24-26 .

Harmon-Jones, E., Greenberg, J.,Solomon, S. & Simon, L. (1997). Effectmortality salience on intergroupdiscrimination between minimalgroups. Eropean Journal of SocialPsychology, 26, 677-681.

Jainuri, A., Maliki, Z. & Arifin, S. (2003).Terorisme dan Fundamentalisme Agama.Malang: Bayu media Publishing.

Khadduri, M. (2002). Perang dan Damai dalamHukum Islam. Diterjemahkan olehKiswanto. Yogyakarta: TarawangPress.

Kramer, M. (2003).The moral logic ofHizballah. Origin of Ter rorism:Psychologies, Ideologies, Theologies, State ofMind. Edited by Reich, W. ;Washington. D. C.: The WoodrowWilson Center Press.

Lerner, M. J. (1980). The Belief in a Just World:A Fundamental Delution. New york:Plenium Press.

Moghaddam, F. M. & Marsella, A. J. (2004).Understanding terrorism: Psychological roots,consequences, and its inter ventios.Washington D. C. : APA.

Nielsen, M. E. (dicari 2004). Religion’s rolein terroris attack of September 11,2001. http://www.Psywww.com/psyrelig/fundamental.html.

Perlmutter, D. (dicari 2004). Sacred violence.From skanalon 2001: the reli gious

practices of modern satanist andterrorist. http://www.anthropoetics.ucla.edu/ap07202/skanalon.html.

Post, J. M.(2003). Terrorist psycho-logic:Terrorist behavior as a product ofpsychological forces. Origin ofTerrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies,State of Mind. Edited by Reich, W. ;Washington. D. C.: The WoodrowWilson Center Press.

Purnomo, A. (2004). FPI Disalahfahami.Jakarta: Mediatama Indonesia.

Pyszczynski, T., Solomon, S. & Greenberg,J. (2003). In The Wake of 9/11: ThePsychology of Terror. Washington D. C.:American Psychological Assosiation.

Rappoport, D. (1998). Sacred terror: acontemporary example from Islam.Origin of Terrorism: Psychologies, Ideologies,Theologies, State of Mind. Edited byReich, W. ;Washington. D. C.: TheWoodrow Wilson Center Press.

Ray, J. (1972). Militarism, authoritarianism,neuroticism and anti social behavior.Journal of Conflict Resolution, 16(3), 319-340.

Rosenblatt, A., Greenberg, J., Solomon, S.,Pyszczynski, T. & Lyon, D. (1989).Evidence for terror managementtheory I: The effect of mortalitysalience on reactions to those whoviolate or uphold the cultural value.Journal of Personality and Social Psychology,57, 4,681-690.

“Serangan Bom di Indonesia dan Filipina”.Kompas (1 April 2002). http://

Tutut Chusniyah

134

kepada saudara sekandung.5. Terapi yang dilaksanakan di rumah tidak

membuat orang tua kesulitan untukmembagi perhatian bagi anak-anaknnyayang lain. Terapi yang dilaksanakan dirumah menimbulkan dampak bagisaudara sekandung, yaitu :a. Pemberian terapi di rumah

membuat oleh orang tuamengharapkan saudara sekandungyang lebih tua dari anak autis untukikut terlibat dalam pemberian terapidan membantu dalam memberikanmateri terapi.

b. Pemberian terapi di rumah bagianak autis membantu saudarasekandung yang lebih muda darianak autis dalam menguasaiketerampilan-keterampilan tertentusesuai dengan materi terapi yangtelah diberikan oleh orang tuakepada saudara autis mereka.

6. Efektifitas peran saudara sekandungdalam terapi selain dipengaruhi olehfaktor-faktor yang berkaitan dengankondisi saudara autis, juga dipengaruhifaktor-faktor yang berkaitan dengankarakteristik saudara sekandung darianak autis itu sendiri, yaitu jenis kelamindari saudara sekandung dari anak autis,birth order atau urutan kelahiran dan usiasaudara sekandung. Saudara sekandungyang berusia lebih tua dari anak autisdapat berperan secara aktif pemberianterapi di rumah dibandingkan saudarasekandung yang berusia lebih muda darianak autis. Karakteristik sosial darisaudara sekandung anak autis berupapola interaksi dan komunikasi saudara

sekandung dengan anak autis jugaberpengaruh, dimana pada saudarasekandung yang setiap hari berinteraksidengan anak autis dan terjalinkomunikasi dua arah lebih mendukungterapi yang dilaksanakan.

7. Peran saudara sekandung dari anak autisakan menunjang keberhasilan terapi bagisaudara autisnya, apabila merekaberperan secara aktif danberkesinambungan dalam memberikanterapi bagi saudara autis mereka. Peransaudara sekandung dalam membantuanak autis menguasai keterampilan-keterampilan tertentu tidak hanya padasaat pemberian terapi di rumah, namunlebih besar apabila dilakukan di dalamkegiatan sehari-hari ketika mereka salingberinteraksi.

DAFTAR PUSTAKA

Budhiman, M. (1998), Juni. “PentingnyaDiagnosis Dini Dan PenatalaksanaanTerpadu Pada Autisme”. Makalah.Simposium Autisme Masa KanakFakultas Kedokteran UniversitasAirlangga, Surabaya.

Cosini, Raymond J. (1984). Encyclopedia ofPsychology. Vol. 3.Canada:John Wiley &Sons, Inc.

Haaga & Neale. (1995). Exploring AbnormalPsychology. New York: John Wiley &Sons, Inc.

Hapsari, Indri. (2001). Pengaruh SaudaraKandung dalam PerkembanganInteraksi Sosial Penyandang Autisme.Skripsi .Fakultas Psikologi Universitas

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 24: Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam ...journal.unair.ac.id/filerPDF/04 - Saudara Sekandung dari Anak Autis... · terpanjang dalam rentang kehidupan, saat dimana

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200686

DAFTAR PUSTAKA

Abi-Hashem, N. (2004). Peace and war inthe middle east: A psychological andsociocultural perspective. UnderstandingTerrorism: Psychological Roots, Consequencesand its Inter ventions. Edited byMoghaddam, F. & Marsella, A.,Washington D. C.: American Psychological Assosiation.

Adorno, T., Frenkel-Bruswik, E., Levinson,D., & Stanford, N.(1950). TheAuthoritarian Personality, New York:Harper.

Andre, C., & Velasquez, M. (dicari 1990).The just world theory. Issues in ethics,3, 3, http://www.scu.edu/ethics/publication/justworld.html.

Christie, D. J., Wagner, R. V., & Winter, D.D. N. (2001). Peace, Conflict and Violence.Peace of Psychology for 21 Century. NewJersey: Prentice-Hall. Inc

Clayton, C. J., Barlow, S. H., & Ballif-Spanvill,B. (1999). Principle of group violencewith focus on terrorism. CollectiveViolence. Edited by Hall, H. V. &Whitaker, L. C. Washington D. C.:CRCPress.

Cottam, M., Dietz-Uhler, B., Mastors, E.& Preston, T. (2004). Introduction topolitical psychology. Mahwa, NewJersey: Lawrence Erlbaum Associates,Inc.

Dalbert, C., Lipkus, I. M., Sallay, H. & Goch,I. (2001). A just and unjust world:Structure and validity of different

world beliefs. Personality and IndividualDifferences, 30, 561-577.

Farina, A., Chapnick, B., Chapnick, J. &Misiti, R. (1972). Political views andinterprepersonal behavior. Journal ofPersonality and Social Psychology, 22, 3,273-278.

Finkel, N. J. (2001). Not fair: The typology ofcommonsense unfair. Washington, D. C.:APA.

Firestone, R. (1999). Jihad: The Origin of HolyWar in Islam. New York: OxfordUniversity Press.

Greenberg, J., Solomon, S., Veeder, N.,Pyszczynsk, T., Kirkland, S. & Lyon,D. (1990). Evidence for terrormanagement theory II: The effectof mortality salience relations to thewho threaten or bolster the culturalworldview. Journal of Personality andSocial Psychology, 58, 2, 308-318 .

Greenberg, J., Simon, L., Pyszczynsk, T.,Solomon, S., Veeder, N. & Chatel, D.(1992). Terror management andtolerance: Does mortality saliencealways intensify negative reactions toother who threaten one’s worldview?Journal of Personality and Social Psychology,63, 2, 212-220 .

Hamblim, W. J. & Peterson, D. C. (dicari2004). Religion and violence: an unholycombination. http://www.meridianmagazine.com/ideas.html.

Harmon-Jones, E.; Simon, L.; Pyszczynsk,T.; Solomon, S. & McGregor, H.(1997). Terror management theory

Ideologi, Mortality Salience dan Kekerasan ‘Suci’: Analisis Model Struktural

135

Indonesia.

Herbert, Sharp & Gaudiano. (2002).Desember. Separating The Fact FromFiction In The Etiology AndTreatment Of Autism : A ScientificReview of The Evidence.[On-line].www.vaccinationnews.com/dailynews,diakses 27 April 2003

Hurlock, Elizabeth B & Dhama, Agus (Eds).(2000). Perkembangan Anak.(penerjemah Meitasari Tjandrasa &Musslichah Zarkasih). Jakarta:Penerbit Erlangga.

Harris, Sandra L.(1994). Siblings OfChildren With Autism: A Guide ForFa m i l i e s . [ O n - l i n e ] . M a r y l a n d :Woodbine House.www.autism_hbgpa.org. diakses tanggal 9Mei 2003.

Marvin, R.S., & Stewart, R.B. (1984). SiblingRelations: The Role of ConceptualPerseptive-Taking in The Ontogeny ofSibling Caregiving. Child Development,55, 1322-1332.

“Menangani Anak Autis”. (2002, Februari).Nakita.

Meyer, Donald & Vadasy, Patricia. (1996).Living With a Brother and Sister withSpecial Needs: A Book for Siblings.[On-line]. The Sibling Project(www.autism.com/sibshop.html,diakses tanggal 20 Mei 2003).

Minnett, A.M., Vandell, D.L., & Santrock,J.W. (1983). The Effect of SiblingStatus on Sibling Interaction: Influenceof Birth Order, Age Spacing, Sex ofChild, and Sex of Sibling. ChildDevelopment, 54, 1064-1072.

Naseef, R. (dicari 2003). Siblings ofChildren with Autism: Honoring theirP e r s p e c t i v e . [ O n - l i n e .www.specialfamilies.com/siblings&autism.htm. diakses 20 Mei 2003.

Schubert, D.T. (1996). Siblings Needs-HelpfulInformation For Parents .On-l ine] . (www.autism.org/sibl ing/sibneeds.htm1. diakses 9 Mei 2003)

Yin, Robert K.2002. Studi Kasus : Desain DanMetode. ed. Revisi. Jakarta:RajaGrafindo Persada

Tri Kurniati Ambarini