Upload
devi-permatasari
View
94
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PENGEMBANGAN EVALUASI DAN PROSES PEMBELAJARAN FISIKA:SCIENTIFIC LITERACY
Makalah
OLEH:ELMA RAFIKA, S.Pd
14175015/2014MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA
DOSEN PEMBIMBING:Prof. Dr. Festiyed, MS
Dr. Djusmaini Djamas, M.Si
MAGISTER PENDIDIKAN FISIKAFAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
pengembangan evaluasi dan proses pembelajaran Fisika dengan judul ”Scientific Literacy”.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak menemui kendala. Namun berkat
bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu khususnya
dosen pembimbing mata kuliah pengembangan evaluasi dan proses pembelajaran Fisika, ibuk
Prof. Dr. Festiyed,M.S dan ibuk Dr.Hj.Djusmaini Djamas, M.Si.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan.
Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini
untuk kedepannya. Semoga makalah ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Padang, 19 Maret 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Perumusan Masalah.......................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................3
D. Manfaat Penulisan.........................................................................................................3
BAB II KAJIAN TEORI........................................................................................................4
A. Literasi Sains.................................................................................................................4
B. PISA..............................................................................................................................6
C. Dimensi Literasi Sains...................................................................................................8
D. Perkembangan literasi (reading, mathematical, scientific literacy) pada PISA 2000-2003-2006......................................................................................................................9
E. Komponen dan aspek dalam literasi sains...................................................................11
F. Karakteristik dan contoh soal scientific literacy.........................................................12
G. Literasi Sains Hasil PISA 2006...................................................................................17
BAB III PENUTUP..............................................................................................................21
A. Kesimpulan..................................................................................................................21
B. Saran............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan sains saat ini menunjukkan bahwa ilmu sains
memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Berkembangnya ilmu
pengetahuan yang sangat pesat membuat para guru tidak mungkin lagi untuk mengajarkan
semua fakta dan konsep kepada siswa, sehingga penyelenggara pendidikan harus
menjamin terjadinya kesesuaian dengan kebutuhan manusia di masa depan. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan membekali siswa dalam belajar berdasarkan kemampuan
berpikirnya.
Pendidikan sains disekolah diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam
menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada
kurikulum 2013 menyebutkan bahwa sains berkaitan dengan cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan
suatu proses penemuan. Hal ini sejalan dengan firman-Nya:
Artinya: Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin
Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
(Ibrahim, 14: 1).
Hakikat pembelajaran Sains (Puskur, 2003) adalah pembelajaran yang mampu
merangsang kemampuan berfikir siswa meliputi empat unsur utama (1) sikap: rasa ingin
tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang
menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA
bersifat open ended; (2) proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah;
metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan,
1
evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan; (3) produk: berupa fakta, prinsip, teori,
dan hukum; (4) aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam proses pembelajaran IPA keterlibatan keempat unsur ini, diharapkan
dapat membentuk peserta didik memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan
metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru
Namun pembelajaran sains yang selama ini terjadi di sekolah belum
mengembangkan kecakapan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Padahal pengajaran sains dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
adalah pengajaran yang mengajarkan siswa bagaimana belajar, bagaimana mengingat,
bagaimana berfikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka (Nur, 2005). Pengajaran sains
merupakan proses aktif yang berlandaskan konsep konstruktivisme yang berarti bahwa
sifat pengajaran sains adalah pengajaran yang berpusat pada siswa (student centered
instruction). Untuk menilai apakah IPA diimplementasikan di Indonesia, kita dapat
melihat hasil literasi IPA anak-anak Indonesia. Hal ini mengingat arti literasi sains/IPA
(scientific literacy) itu sendiri yang ditandai dengan kerja ilmiah, dan tiga dimensi besar
literasi sains yang ditetapkan oleh PISA, yaitu konten IPA, proses IPA, dan konteks IPA.
Berikut akan dibahas lebih lanjut tentang Literacy Science, dimana tulisan ini bertujuan
untuk menambah pengetahuan kita bersama dan untuk melengkapi tugas mata kuliah
evaluasi pembelajaran fisika.
Pendidikan IPA atau pendidikan sains pada hakekatnya merupakan upaya
pemahaman, penyadaran, dan pengembangan nilai positif tentang hakekat sains melalui
pembelajaran. Sains pada hakekatnya merupakan ilmu dan pengetahuan tentang
fenomena alam yang meliputi produk dan proses. Pendidikan sains merupakan salah satu
aspek pendidikan yang menggunakan sains sebagai alat untuk mencapai tujuan
pendidikan umumnya yakni tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan sains
khususnya, yaitu untuk meningkatkan pengertian terhadap dunia alamiah (Amien, 1992:
19-20).
Untuk menilai apakah IPA diimplementasikan di Indonesia, kita dapat melihat hasil
literasi IPA anak-anak Indonesia. Hal ini mengingat arti literasi sains/IPA (scientific
literacy) itu sendiri yang ditandai dengan kerja ilmiah, dan tiga dimensi besar literasi
sains yang ditetapkan oleh PISA, yaitu konten IPA, proses IPA, dan konteks IPA.
2
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka perumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
1. Perkembangan literasi (reading, mathematical, scientific literacy) pada PISA 2000-
2003-2006?
2. Komponen dan aspek dalam literasi sains?
3. Karakteristik dan contoh soal scientific literacy?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk menjelaskan:
1. Perkembangan literasi (reading, mathematical, scientific literacy) pada PISA 2000-
2003-2006.
2. Komponen dan aspek dalam literasi sains
3. Karakteristik dan contoh soal scientific literacy
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dalam pembuatan makalah ini adalah:
1. Dapat dijadikan pengalaman dan bekal ilmu pengetahuan bagi pembaca khususnya
untuk tenaga pendidik kedepannya.
2. Membantu mahasiswa memahami tentang penilaian yang baik dan benar dalam
pembelajaran dan mengaplikasikannya dalam pembelajaran di sekolah
3
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Literasi Sains
Literasi IPA (scientific literacy) didefinisikan sebagai kapasitas untuk
menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan
berdasarkan fakta untuk memahami alam semesta dan membuat keputuan dari perubahan
yang terjadi karena aktivitas manusia (OECD, 2003). Menurut Suhendra Yusuf (2003),
literasi sains penting untuk dikuasai oleh siswa dalam kaitannya dengan bagaimana siswa
dapat memahami lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, dan masalah-masalah lain yang
dihadapi oleh masyarakat moderen yang sangat bergantung pada teknologi dan kemajuan
serta perkembangan ilmu pengetahuan.
Literasi sains terbentuk dari 2 kata, yaitu literasi dan sains. Secara harfiah literasi
berasal dari kata Literacy yang berarti melek huruf/gerakan pemberantasan buta huruf
(Echols & Shadily, 1990). Sedangkan istilah sains berasal dari bahasa inggris Science yang
berarti ilmu pengetahuan. Pudjiadi (1987) mengatakan bahwa: “sains merupakan
sekelompok pengetahuan tentang obyek dan fenomena alam yang diperoleh dari pemikiran
dan penelitian para ilmuwan yang dilakukan dengan keterampilan bereksperimen
menggunakan metode ilmiah”.
Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk
mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam
rangka memahami serta membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang dilakukan
terhadap alam melalui aktivitas manusia (PISA, 2000). Literasi sains menurut National
Science Education Standards (1995) adalah:
Scientific literacy is knowledge and understanding of scientific concepts and
processes required for personal decision making, participation in civic and cultural
affairs, and economic productivity. It also includes specific types of abilities.
Literasi sains yaitu suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan proses
sains yang akan memungkinkan seseorang untuk membuat suatu keputusan dengan
pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal kenegaraan, budaya dan
pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya kemampuan spesifik yang dimilikinya.
Literasi sains dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi
kebutuhan masyarakat (Widyatiningtyas, 2008).
4
Antara sains dan teknologi saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Penemuan
dalam sains memungkinkan pengembangan teknologi, dan teknologi menyediakan
instrument yang baru lagi yang memungkinkan mengadakan observasi dan eksperimentasi
dalam sains. Hurd dalam tulisannya yang berjudul “A Rationale for Science, Technology,
and Society Theme in Science Education”, mengutip pendapat Price yang menyatakan
teknologi yang tinggi berdasarkan sains, sains modern ditunjang oleh penemuan teknologi
(Hurd, 1985 : 98, dalam buku Hakekat pendekatan science and society dalam
pembelajaran sains). Pada abad ke-20 ini, pengembangan sains sangat ditunjang oleh
penemuan teknologi (Fischer, 1975:77). Pengembangan atau inovasi teknologi diarahkan
untuk kesejahteraan manusia. Masalah yang dihadapi masyarakat akan lebih mudah
ditanggulangi dengan menggunakan hasil teknologi. Walaupun demikian, teknologi
mempunyai keterbatasan. Artinya, penerapan suatu teknologi di lingkungan kita akan
menimbulkan dampak negatif selain dampak positif. Dengan demikian hendaknya
perubahan pendidikan sains harus merefleksikan atau mengarahkan kepada hubungan
antara sains dan teknologi dengan masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupan
sehari-hari.
Menurut Widyawatiningtyas (http://educare.e-fkipunla.net), Literasi dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis, atau kemampuan
berkomunikasi melalui tulisan dan kata-kata. Literasi sains (scientific literasi), dapat
diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat.
Literasi teknologi, dapat diartikan sebagai kemampuan melaksanakan teknologi yang
didasari kemampuan identifikasi, sadar akan efek hasil teknologi, dan mampu bersikap
serta mampu menggunakan alat secara aman, tepat, efesien dan efektif. Adapun literasi
sains dan teknologi (literasi sains dan teknologi untuk semua orang yang diusulkan untuk
pendidikan dasar di Indonesia), dapat diartikan sebagai kemampuan menyelesaikan
masalah dengan menggunakan konsep-konsep sains, mengenal teknologi yang ada beserta
dampaknya di sekitar, mampu menggunakan produk teknologi dan memeliharanya, kreatif
membuat produk teknologi sederhana, dan mampu mengambil keputusan berdasarkan
nilai.
Pada dasarnya literasi sains meliputi dua kompetensi utama. Pertama, kompetensi
belajar sepanjang hayat, termasuk membekali siswa untuk belajar di sekolah yang lebih
lanjut. Kedua, kompetensi dalam menggunakan pengetahuan yang dimilikinya utnuk
memenuhi kebutuhan hidupnyayang dipengaruhi perkembangan sains dan teknologi.
5
Secara harfiah literasi berasal dari “Literacy” (dari bahasa inggris) yang berarti melek
huruf atau gerakan pemberantasan buta huruf. Kata sains berasal dari “Science” (dari
bahasa inggris) yang berarti ilmu pengetahuan. Salah satu indikator keberhasilan siswa
menguasai berpikir logis, berpikir kreatif, dan teknologi dapat dilihat dari penguasaan
Literasi Sains siswa dari Program PISA. PISA (Programme for International Student
Assesment) mendefinisikan literasi sains sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan
sains, mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti,
dalam rangka mengerti serta membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang terjadi
pada alam sebagai akibat manusia (Witte, 2003).
Literasi sains atau scientific literacy didefinisikan PISA sebagai kapasitas untuk
menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan untuk
menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu
membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam. Literasi sains
dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa,
apakah meneruskan mempelajari sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan
tuntutan warganegara, bukan hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu
kompetensi umum bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada
pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan teknologis. Definisi yang digunakan dalam PISA tidak
termasuk bahwa orang-orang dewasa masa yang akan datang akan memerlukan cadangan
pengetahuan ilmiah yang banyak. Yang penting adalah siswa dapat berpikir secara ilmiah
tentang bukti yang akan mereka hadapi.
B. PISA
Programme for International Student Assessment (PISA) merupakan usaha
kolaboratif antar negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-Operation and
Development) untuk mengukur hasil sistem pendidikan pada prestasi belajar siswa yang
berusia 15 tahun. Asesmen ini tidak sekedar terfokus pada sejauh mana siswa telah
menguasai kurikulum sekolah, tetapi melihat kemampuan siswa untuk menggunakan
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Orientasi ini mencerminkan perubahan tujuan kurikulum, yang semakin mengarah pada
apa yang dapat dilakukan siswa dengan materi yang telah dipelajari di sekolah.
PISA pertama kali dilaksanakan tahun 2000 di 32 negara (termasuk 28 anggota
OECD) menggunakan tes tertulis. Kemudian 11 negara lainnya menyelesaikan kegiatan
6
yang sama pada tahun 2002. PISA 2000 mensurvei kemampuan membaca, literasi sains
dan matematika, dengan fokus pada membaca. PISA kedua, dilaksanakan pada tahun 2003
di 41 negara, menilai kemampuan membaca, literasi sains dan matematika, dan problem
solving, dengan fokus pada literasi matematika. PISA ketiga, dilakukan pada tahun 2006
yang diikuti oleh 57 negara yang terdiri dari semua negara OECD (30) dan 27 negara
partnernya untuk menilai kemampuan yang sama, dengan fokus pada literasi sains.
PISA 2003 dan 2006 ditambah dengan kuesioner siswa, latar belakang keluarga dan
sekolah. Data yang terkumpul digunakan untuk menjelaskan perbedaan faktor sosial,
kultural, ekonomi, dan pendidikan dengan prestasi siswa. Analisis data yang telah
dilakukan berdasarkan kuesioner tersebut, antara lain:
1. Perbedaan antar negara terkait dengan hubungan antara faktor-faktor pada tingkat
siswa (misalnya jenis kelamin dan latar belakang sosial) dengan prestasi siswa;
2. Perbedaan terkait dengan faktor-faktor pada level sekolah dan prestasi siswa antar
negara;
3. Perbedaan proporsi varians prestasi siswa antar sekolah dan antar negara;
4. Perbedaan antar negara dalam hal sejauh mana sekolah menyumbang pada pengaruh
faktor-faktor pada level siswa dengan prestasi siswa;
5. Perbedaan sistem pendidikan dan konteks nasional yang terkait dengan perbedaan
prestasi siswa antar negara;
6. Melalui linking ke PISA 2000, dapat diketahui perubahan pada hubungan antar
variabel di atas.
Prestasi negara Indonesia dalam asesmen internasional tersebut masih
memprihatinkan. Skor rerata Indonesia selalu berada di bawah skor rerata negara anggota
OECD (500). Meskipun demikian, prestasi negara Indonesia cukup menggembirakan
karena Indonesia mengalami peningkatan kinerja secara siginifikan mulai tahun 2000
sampai dengan 2006 dalam membaca, yaitu 22 poin. Kinerja matematika 2006 mengalami
peningkatan 31 poin lebih tinggi dari PISA 2003. Sedangkan pada bidang sain, self
efficacy siswa Indonesia masih tergolong sangat rendah.
PISA merupakan survei yang pelaksanaannya membutuhkan banyak sumber daya,
secara metodologi sangat kompleks, dan membutuhkan kerjasama yang intensif dengan
stakeholders. Data PISA memberi banyak informasi yang berharga, oleh karena itu sangat
disayangkan jika data yang diperoleh dari PISA tidak dianalisis dan dimanfaatkan untuk
introskepsi dan koreksi terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Melalui penelitian ini,
7
dikaji data prestasi siswa dan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi siswa tersebut dari
dokumen hasil PISA.
C. Dimensi Literasi Sains
1. Content Literasi Sains
Dalam dimensi konsep ilmiah (scientific concepts) siswa perlu menangkap sejumlah
konsep kunci/esensial untuk dapat memahami fenomena alam tertentu dan
perubahan-perubahan yang terjadi akibat kegiatan manusia. Hal ini merupakan
gagasan besar pemersatu yang membantu menjelaskan aspek-aspek lingkungan fisik.
PISA mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mempersatukan konsep-konsep
fisika, kimia, biologi, serta ilmu pengetahuan bumi dan antariksa (IPBA).
2. Process Literasi Sains
PISA (Programme for International Student Assessment) mengases kemampuan
untuk menggunakan pengetahuan dan pemahaman ilmiah, seperti kemampuan siswa
untuk mencari, menafsirkan dan memperlakukan bukti-bukti. PISA menguji lima
proses semacam itu, yakni: mengenali pertanyaan ilmiah (i), mengidentifikasi bukti
(ii), menarik kesimpulan (iii), mengkomu-nikasikan kesimpulan (iv), dan
menunjukkan pemahaman konsep ilmiah (v).
3. Context Literasi sains
Konteks literasi sains dalam PISA (Programme for International Student
Assessment) lebih pada kehidupan sehari-hari daripada kelas atau laboratorium.
Sebagaimana dengan bentuk-bentuk literasi lainnya, konteks melibatkan isu-isu yang
penting dalam kehidupan secara umum seperti juga terhadap kepedulian pribadi.
Pertanyaan-pertanyaan dalam PISA 2000 dikelompokkan menjadi tiga area tempat
sains diterapkan, yaitu: kehidupan dan kesehatan (i), bumi dan lingkungan (ii), serta
teknologi (iii).
PISA menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni
proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains merujuk pada proses
mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti
mengi-denifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di
dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains,
mengenal bukti apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal
kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang ada.
8
Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk
memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui akitivitas
manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak secara khusus membatasi cakupan konten sains
hanya pada pengetahuan yang menjadi materi kurikulum sains sekolah, namun termasuk
pula pengetahuan yang dapat diperoleh melalui sumber-sumber lain. Konsep-konsep
tersebut diambil dari bidang-bidang studi biologi, fisika, kimia, serta ilmu pengetahuan
bumi dan antariksa, yang terkait pada tema-tema utama berikut: struktur dan sifat materi,
perubahan atmosfer, perubahan fisis dan perubahan kimia, transformasi energi, gerak dan
gaya, bentuk dan fungsi, biologi manusia, perubahan fisiologis, keragaman mahluk hidup,
pengendalian genetik, ekosistem, bumi dan kedudukannya di alam semesta serta
perubahan geologis.
D. Perkembangan literasi (reading, mathematical, scientific literacy) pada PISA 2000-
2003-2006
Pada tahun 2000, Indonesia ikut-serta dalam penelitian PISA (Programme for
International Student Assessment), suatu studi internasional yang diikuti oleh 42 negara di
bawah koordinasi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
yang diharapkan akan menjadi survey yang bersifat reguler dan berkesinambungan. Hasil
studi PISA berupa informasi tentang profil pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi
siswa di Indonesia di antara bangsa-bangsa di dunia dapat dimanfaatkan sebagai
bandingan dalam perumusan kebijakan dalam peningkatan mutu pendidikan dasar kita,
khususnya dalam menentukan ambang batas bawah (tresh-hold) dan batas ambang ideal
(benchmark) kemampuan dasar membaca, matematika, dan sains di akhir usia wajib
belajar. Selain itu, dari studi PISA ini dapat diperoleh sekumpulan indikator kontekstual
tentang demografi siswa, sekolah, dan variabel lainnya yang mempengaruhi pengetahuan,
keterampilan, dan kompetensi siswa.
PISA bertujuan meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun
dalam membaca (reading literacy), matematika (mathematics literacy), dan sains
(scientific literacy). Penelitian yang dilakukan PISA meliputi tiga periode, yaitu tahun
2000, 2003, dan 2006. Pada tahun 2000 penelitian PISA difokuskan kepada kemampuan
membaca, sementara dua aspek lainnya menjadi pendamping. Pada tahun 2003 aspek
matematika akan menjadi fokus utama kemudian diteruskan aspek sains pada tahun 2006.
Melalui program tiga tahunan ini diharapkan kita dapat memperoleh informasi
9
berkesinambungan tentang prestasi belajar siswa sebagai upaya untuk mengetahui tingkat
kualitas pendidikan dasar Indonesia di dalam lingkup internasional. Data yang
dikumpulkan dalam PISA terdiri atas tiga kelompok besar, yaitu kelompok pengetahuan,
latar belakang siswa, dan latar belakang sekolah. Data yang diperoleh dari kelompok
pengetahuan adalah data kemampuan aspek membaca, matematika, dan sains sebagaimana
terdapat di dalam kurikulum sekolah (curriculum focused) serta bersifat lintas-kurikulum
(cross-curricular elements).
Aspek membaca bertujuan untuk untuk mengetahui kemampuan siswa dalam
memahami bacaan (understanding), menggunakan (using) dan mengidentifikasi
(identifying) informasi yang ada di dalam bacaan, dan merefleksi serta mengevaluasi
bacaan (reflecting on written text). Aspek matematika bertujuan untuk mengetahui
kemampuan siswa dalam mengidentifikasi, memahami, dan menggunakan dasar-dasar
matematika yang diperlukan siswa dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Aspek sains
bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mengidentifikasi masalah dalam
rangka memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta menggunakan pengetahuannya
untuk memahami berbagai fenomena alam dan perubahan yang terjadi pada lingkungan
kehidupan.
Sementara itu, untuk mendukung data dari ketiga aspek tersebut, PISA juga
menggali informasi tentang latar belakang siswa, yaitu demografi siswa, latar belakang
status sosial dan ekonomi, harapan dan keinginan siswa di masa yang akan datang, serta
motivasi dan disiplin siswa. Data kemudian dilengkapi dengan latar belakang sekolah
untuk menggali informasi tentang aspek demografi sekolah, organisasi sekolah, keadaan
guru dan karyawannya (staffing patterns) serta prasarana pembelajaran (instructional
practices) dan iklim pembelajaran.
Hal ini sejalan dalam firman-Nya:
10
Artinya: 118. Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak
(langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?"
Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka
itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan
Kami kepada kaum yang yakin.
Pelaksanaan studi PISA dilakukan oleh suatu konsorsium internasional yang
diketuai oleh Australian Council for Educational Research (ACER) dan terdiri atas
lembaga testing yang terkenal di dunia yaitu The Netherlands National Institute for
Educational Measurement (CITO) Belanda, Educational Testing Service (ETS) Amerika
Serikat, Westat Amerika Serikat, dan National Institute for Educational Research (NIER)
Jepang. PISA diikuti oleh 42 negara, mulai dari negara maju seperti Amerika Serikat,
Australia, Kanada, Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Swedia, dan Swiss, sampai pada
negara berkembang seperti Brasil, China, Cile, Meksiko, dan Indonesia.
E. Komponen dan aspek dalam literasi sains
Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu
pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti
serta menerangkan kesimpulan (Rustaman et al., 2004). PISA (2000) menetapkan lima
komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu:
1. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah,
seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains.
2. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini
melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab
pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk
memperoleh bukti itu.
3. Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan
menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya
mendasari kesimpulan itu.
4. Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat
kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia.
11
5. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan
menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa yang telah
dipelajarinya.
Dari hasil akhir proses sains ini, siswa diharapkan dapat menggunakan konsep-
konsep sains dalam konteks yang berbeda dari yang telah dipelajarinya. PISA memandang
pendidikan sains untuk mempersiapkan warganegara masa depan, yang mampu
berpartisipasi dalam masyarakat yang akan semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan
teknologi, perlu mengembangkan kemampuan anak untuk memahami hakekat sains,
prosedur sains, serta kekuatan dan keterbatasan sains. Termasuk di dalamnya kemampuan
untuk menggunakan pengetahuan sains, kemampuan untuk memperoleh pemahaman sains
dan kemampuan untuk menginterpretasikan dan mematuhi fakta. Alasan ini yang
menyebabkan PISA tahun 2003 menetapkan 3 komponen proses sains berikut ini dalam
penilaian literasi sains.
1. Mendiskripsikan, menjelaskan, memprediksi gejala sains.
2. Memahami penyelidikan sains
3. Menginterpretasikan bukti dan kesimpulan sains.
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah. (Q.S. Al-Ahzab/33: 15).
F. Karakteristik dan contoh soal scientific literacy
1. Karakteristik Soal Literacy Sains
a. Kemampuan Dasar yang Diukur
Kemampuan yang diukur dalam PISA adalah kemampuan pengetahuan dan
keterampilan dalam tiga domain kognitif, yaitu membaca, matematika, dan ilmu
pengetahuan alam. Untuk memperoleh data yang dimaksud, disusun dua kategori
bentuk soal, yaitu bentuk soal pilihan ganda yang memungkinkan siswa memilih salah
satu jawaban yang paling benar dari beberapa alternatif jawaban yang diberikan
12
(sebanyak 44.7% dari keseluruhan soal) dan bentuk soal uraian (constructed response)
yang menuntut siswa untuk dapat menjawab dalam bentuk tulisan atau uraian (sisanya
atau 55.3%). Kemampuan yang diukur itu berjenjang dari tingkat kesulitan yang
paling rendah kepada tingkat yang lebih sulit. Soal-soal yang harus dijawab pada
bentuk pilihan ganda dimulai dari memilih salah satu jawaban alternatif yang
sederhana, seperti menjawab ya/tidak, sampai kepada jawaban alternatif yang agak
kompleks, seperti merespons beberapa pilihan yang disajikan. Pada soal-soal yang
memerlukan jawaban uraian, siswa diminta untuk menjawab dengan jawaban yang
singkat dalam bentuk kata atau frase, kemudian jawaban agak panjang dalam bentuk
uraian yang dibatasi jumlah kalimatnya, dan jawaban dalam bentuk uraian yang
terbuka.
b. Sampel dan Variabel
Sebanyak 290 sekolah di Indonesia telah dijadikan sampel untuk studi ini, dengan
jumlah siswa dalam sampel ini sebanyak 7.355 siswa dari keseluruhan siswa yang
berusia 15 tahun dan berada dalam sistem pendidikan. Sekolah tersebut dipilih
berdasarkan status sekolah dan jenis sekolah, yang mencakup SLTP (38%), MTs
(27.6%), SMU (15.9%), MA (8.5%), dan SMK (9.7%). Data yang dikumpulkan
dalam PISA ini terdiri atas tiga kategori data, yaitu literasi siswa, latar belakang
siswa, dan latar belakang sekolah. Aspek literasi adalah aspek utama dari data yang
dikumpulkan yang terdiri atas pengetahuan dan keterampilan dalam membaca,
matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
c. Desain Tes Literasi Membaca
Soal-soal PISA yang didesain untuk mengukur literasi membaca dapat dibagi
menjadi tiga aspek utama, yaitu aspek struktur dan jenis wacana, aspek proses
membaca, dan aspek konteks pemanfaatan pengetahuan dan keterampilan membaca.
d. Struktur dan Jenis Wacana
Struktur dan jenis wacana di dalam PISA dibagi menjadi dua jenis yaitu struktur
wacana berkelanjutan (continuous texts) dan wacana tak-berkelanjutan (non-
continuous texts). Seperti telah dijelaskan di atas, wacana berkelanjutan adalah jenis
wacana yang terdiri atas rangkaian kalimat yang diatur dalam paragraf dalam bentuk
deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi atau injungsi; sementara wacana tak-
13
berkelanjutan adalah wacana yang dirancang dalam format matrik, termasuk di
dalamnya pengumuman, grafik, gambar, peta, skema, tabel, dan aneka bentuk
penyampaian informasi. Sementara jenis soal PISA juga mengukur tiga proses
membaca, yaitu kemampuan mencari dan menemukan informasi, kemampuan
mengembangkan makna dan menafsirkan isi bacaan, dan kemampuan melakukan
refleksi dan evaluasi terhadap isi bacaan dalam kaitannya dengan pengalaman sehari-
hari, pengetahuan yang sudah didapat sebelumnya, dan pengembangan gagasan dari
informasi yang diperolehnya Soal-soal itu berhubungan dengan konteks membaca
yang mencakup konteks membaca untuk kepentingan pribadi, untuk kepentingan
umum, untuk kepentingan bekerja, dan untuk kepentingan pendidikan.
Aspek struktur, proses, dan konteks membaca ini selanjutnya diwujudkan
dalam serangkaian wacana yang berjumlah 48 wacana. Sebanyak 141 soal kemudian
dikembangkan berdasarkan wacana tersebut. Tabel di bawah ini menunjukkan
distribusi soal berdasarkan kerangka kerja di atas, sementara Tabel berikutnya
menggambarkan peta soal untuk literasi membaca.
2. Contoh Soal Literasi Sains
Contoh soal 1 :
Unit: “Walking” (situation: personal)
Gambar di atas adalah sebuah jejak kaki seseorang yang sedang berjalan. Misalkan panjang
jarak langkah antar dua jejak kaki yang berdekatan adalah P, untuk pejalan kaki tersebut
diberikan formula n/P = 140 yang menyatakan hubungan antara n dan P dimana n = jumlah
langkah per menit dan P adalah panjang jarak dalam meter.
PERTANYAAN 1
Jika formula tersebut berlaku pada Agniti yang tengah berjalan dan ia membuat 70 langkah
per menit, berapa panjang jarak langkahnya? Tunjukkan cara kerjamu!
14
Contoh Soal 2 :
Unit: “Internet Relay Chat” (situation : personal)
Mark (berasal dari Sidney, Australia) dan Hans (berasal dari Berlin, Jerman) sering
berkomunikasi satu sama lain dengan “chat” melalui internet. Mereka harus log on via
internet pada waktu yang bersamaan untuk dapat berbincang.
Untuk dapat menemukan waktu yang tepat untuk chat/berbincang, Mark melihat diagram
waktu seluruh dunia dan menemukan bahwa
PERTANYAAN 1
Jika di Sidney menunjukkan pukul 7:00 pm, pukul berapakah di Berlin?
PERTANYAAN 2
Mark dan Hans tidak bisa chat antara pukul 9:00 am dan 4:30 pm di masing-masing wilayah
mereka, karena harus sekolah. Juga, dari pukul 11:00 pm sampai 7:00 am waktu setempat,
mereka juga tidak akan bisa chat karena saat itu adalah waktu tidur mereka.
Kapankah waktu yang tepat bagi Mark dan Hans untuk berbincang? Tulislah waktu lokal di
dalam tabel berikut
Contoh Soal 3 :
Unit: “Number Cubes” (situation: personal)
Di bawah ini adalah gambar dari dua buah dadu. Dadu adalah sebuah kubus bernomor spesial
di setiap sisinya yang mengikuti aturan sebagai berikut : jumlah titik di dua sisi yang
berlawanan selalu 7. Kamu dapat membuat dadu tersebut dengan memotong, melipat dan
menempelnya dengan kartu. Hal ini dapat dilakukan dalam banyak cara
15
PERTANYAAN 1
Pada gambar di bawah ini, kamu dapat melihat empat potongan yang dapat digunakan untuk
membuat dadu dengan titik-titik di setiap sisi-sisinya.
Yang manakah dari potongan-potongan tersebut yang jika dilipat dapat memenuhi aturan
bahwa jumlah titik di sisi-sisi yang berlawanan adalah 7? Untuk setiap potongan, tandai “Ya”
atau “tidak” pada tabel di bawah ini !
PotonganMemenuhi aturan bahwa jumlah titik pada sisi
berlawanan adalah 7?
I Ya/Tidak
II Ya/Tidak
III Ya/Tidak
IV Ya/Tidak
Bagaimana bentuk literasi sains serta penerapannya di kelas ini sejalan dengan firman-Nya:
16
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (An-
nisaa’, 4: 58).
G. Literasi Sains Hasil PISA 2006
Literasi Sains Hasil PISA 2006 Literasi matematika dan sains adalah aspek
pendidikan yang penting untuk memahami lingkungan, kesehatan, ekonomi dan masalah-
masalah lainnya yang dihadapi oleh masyarakat modern yang hidup di alam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hampir dapat dipastikan, kemampuan matematika dan sains
oleh para siswa mungkin akan memberikan implikasi bagi negara dan bangsa dalam
pengembangan teknologi dan untuk meningkatkan daya saing internasional pada
umumnya. Sebaliknya, kekurangan siswa-siswa di sekolah dalam literasi matematika dan
sains akan berakibat buruk bagi masa depan mereka menghadapi persaingan hidup di
masyarakat.
1. Tingkat Kemampuan Sains
Hasil survey memperlihatkan bahwa siswa-siswa dari Korea, Jepang, Hong Kong-
China, Finlandia, dan Inggris menduduki lima besar dengan skor rata-rata masing-masing
552, 550, 541, 538, dan 532. Siswa-siswa lainnya yang berada sama atau di atas skor rata-
rata 500 sebagai patokan skor internasional adalah siswa dari negara-negara Kanada, New
Zealand, Australia, Austria, Irlandia, Swedia, Ceko, Prancis, dan Norwegia. Sementara itu,
siswa dari Amerika Serikat, Jerman, Rusia, Denmark, dan Spanyol berada di bawah skor
internasional. Siswa-siswa Indonesia bersama-sama dengan Peru, Brasil, Albania, dan
Argentina berada pada kelompok lima terbawah dengan Macedonia berada satu poin di
atas skor 400. Dari 41 negara peserta PISA itu, siswa Indonesia menduduki peringkat ke-
38 dengan skor 393, di bawah Thailand (peringkat ke-32 dengan skor 436), tetapi di atas
Peru (333), Brasil (375), dan Albania (376).
Pada tingkat kemampuan ini, siswa Indonesia pada umumnya dinilai hanya akan
mampu mengingat fakta, istilah, dan hukum-hukum ilmiah serta menggunakannya dalam
menarik kesimpuulan ilmiah yang sederhana. Skor rata-rata 657 dicapai oleh lima persen
siswa terbaik dari negara-negara OECD, dengan skor tertinggi diraih oleh siswa Jepang
(688) dan Inggris (687) dan skor terendah diperoleh oleh Peru (481). Pada persentil ke-90
17
– atau 10 persen siswa terbaik dapat meraih skor 627 dan 25 persen dari pada siswa itu
memperoleh skor rata-rata 572. Seterusnya, pada persentil ke-25 para siswa mendapat skor
rata-rata 431, lebih dari 90 persen siswa mencapai skor 368 dan lebih dari 95 persen
memperoleh skor 332. Hong Kong-China adalah satu-satunya negara non-OECD yang
melampaui skor rata-rata OECD tersebut dengan skor 671, 645, 488, 426 dan 391 maisng-
masing untuk persentil ke-95, 90, 25, 10, dan ke-5.
Dilihat dari data tersebut, siswa Indonesia belum mampu bersaing bahkan untuk sesama
negara di Asia apalagi dibandingkan dengan siswa dari negara OECD. Skor rata-rata siswa
Indonesia adalah 393. Pada persentil ke-95 ini, siswa dari Indonesia berada sedikit di atas
Peru (481) dengan skor 519, dan di bawah Brasil (531) dan Albania (531). Kemudian
berturut-turut pada persentil ke-75, 25, 10, dan 5, siswa kita mendapatkan skor 443, 343,
300, dan 274.
Dibandingkan dengan pesaing terdekatnya, Peru dan Brasil, siswa Indonesia
memperoleh skor sedikit lebih tinggi daripada siswa-siswa negara Amerika Latin tersebut,
masing-masing 393, 273, 221, dan 187 (Peru) dan 432, 315, 262, dan 230 (Brasil).
Sementara dibandingkan dengan Thailand, siswa Indonesia terpaut jauh, masing-masing
485, 386, 343, dan 315. Skor ini tentu jauh berada di bawah rata-rata siswa negara OECD,
masing-masing 572, 431, 368, dan 332. Variasi skor rata-rata untuk setiap negara cukup
besar – dari skor rata-rata siswa di Korea (552) dan skor rata-rata siswa di Peru (333).
Demikian pula, variasi kemampuan siswa yang ada di dalam satu negara, juga terlihat
malah sangat mencolok, misalnya siswa di Jepang memperoleh skor tertinggi 688,
terendah 391, dan skor rata-rata 550, atau siswa Korea yang memperoleh skor tertinggi
674, terendah 411, dan skor rata-rata 552, sedangkan siswa di Peru mendapatkan skor
tertinggi 481, terendah 187, dan skor rata-rata 333. Siswa Indonesia sendiri bervariasi dari
skor tertinggi 519, skor terendah 274, dan skor rata-rata 393.
Seperti juga pada literasi matematika, temuan variasi antarsiswa yang sangat lebar ini
menunjukkan bahwa sistem pendidikan di beberapa negara itu sangat beragam sehingga
menghasilkan siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang juga beragam – dari
siswa yang menghadapi kesulitan bahkan dalam menggunakan konsep dasar sains di Peru,
Brasil, Albania, dan Indonesia, sampai kepada siswa yang berprestasi sangat baik dalam
bidang sains di Korea, Jepang, Hong Kong-China, Finlandia, dan Inggris.
18
2. Pola Distribusi Literasi Sains
Secara keseluruhan, pola literasi sains ini serupa dengan pola literasi matematika, yang
juga menunjukkan korelasi yang sangat tinggi (0.85) di antara dua kemampuan dasar ini
bagi siswa-siswa dari negara OECD. Skor batas-bawah (treshhold) 627 dapat dicapai oleh
para siswa dari 16 negara OECD – termasuk Hong Kong-China yang bukan negara OECD
dengan skor 645, dan dua negara dari kategori GNP menengah, yaitu Republik
Cekoslovakia (632) dan Hungaria (629).
Pada distribusi bagian bawah, tiga perempat siswa dari 12 negara peserta PISA2000 –
terdiri atas 10 negara non-OECD termasuk di dalamnya 10 negara dengan GNP menengah
dan rendah – mencapai level kemampuan yang setara dengan kemampuan yang didapat
oleh 95 persen siswa dari tiga negara yang paling berprestasi.
Indonesia dan Thailand menunjukkan distribusi skor yang sangat kecil seperti yang
ditunjukkan oleh rentangan interquartile. Distribusi ini serupa dan konsisten dengan
temuan distribusi untuk membaca dan matematika. Rentangan interquartile sebesar 99 dan
100 seperti ditunjukkan oleh Indonesia dan Thailand itu jauh lebih kecil dibandingkan
rentangan rata-rata (141) untuk negara-negara OECD, dengan rentangan yang paling besar
(177) ditunjukkan oleh Israel (simpangan baku 125), yang juga konsisten dengan data dari
literasi matematika. Distribusi yang paling luas ditemukan di Israel dengan rentangan 407
poin yang memisahkan dua titik persentil ini. Dari sepuluh negara dengan distribusi
kemampuan yang paling luas dalam literasi sains, lima di antaranya juga menunjukkan
distribusi yang paling luas dalam literasi matematika, yaitu Argentina, Belgia, Jerman,
Israel dan Federasi Rusia.
3. Perbandingan Literasi Sains dan Membaca
Kebanyakan siswa dari negara-negara OECD memperoleh skor literasi sains dan
membaca yang relatif sama. Berikut ini adalah perbandingan kedua kemampuan: Siswa-
siswa yang mempertunjukkan kemampuan lebih baik dalam literasi sains dibandingkan
dengan literasi membaca adalah siswa dari negara-negara Austria (507, 519), Bulgaria
(430, 448), Cile (410, 415), Republik Cekoslovakia (492, 511), Hungaria (480, 496),
Jepang (522, 550), Korea (525, 552), FYR Macedonia (373, 401) dan Inggris (523, 532).
Siswa Indonesia berada dalam kelompok ini (367, 393). Siswa-siswa yang
memperlihatkan literasi membaca lebih baik daripada literasi sains adalah siswa dari
negara-negara Argentina (418, 396), Belgia (507, 496), Kanada (534, 529), Denmark (497,
19
481), Finlandia (546, 538), Islandia (507, 496), Irlandia (527, 513), Israel (452, 434) dan
Italia (487, 478).
4. Perbandingan Literasi Sains, Matematika, dan Membaca
Siswa dari beberapa negara secara meyakinkan berada di atas skor rata-rata negara-
negara OECD dalam ketiga kemampuan dasar: membaca, matematika, dan sains, yaitu
siswa dari Australia, Austria, Kanada, Finlandia, Jepang, Korea, New Zealand, Swedia,
Inggris, dan satu-satunya negara non-OECD, Hong Kong-China.
Literasi membaca siswa Indonesia (371) lebih baik sedikit dibandingkan dengan literasi
matematika (367), tetapi literasi sains yang paling baik (393). Pola yang sama juga terjadi
pada siswa dari Peru (327, 292, 333) dan Polandia (479, 470, 483).
Sementara itu, siswa Albania menunjukkan kecenderungan literasi matematikanya lebih
tinggi dari pada literasi sains dengan literasi membaca yang paling rendah (349, 381,376),
mirip dengan pola siswa Jepang (522, 557, 550) dan Hong Kong-China (525, 560, 541).
Sedangkan siswa Brasil lebih menguasai literasi membaca dibandingkan dengan literasi
sains, dengan literasi matematika yang paling rendah (396, 334, 375), sama seperti pola
siswa dari Amerika Serikat (504, 493, 499) dan Yunani (474, 447, 461).
Siswa dari Thailand cenderung lebih baik literasi sains daripada literasi matematik,
dengan literasi membaca yang paling rendah (431, 432, 436), serupa dengan pola siswa
dari Korea (525, 547, 552) dan Austria (507, 515, 519). Siswa dari Kanada adalah satu-
satunya pola yang menunjukkan literasi membacanya yang lebih tinggi daripada literasi
matematika, dengan literasi sains yang paling rendah (543, 533, 529). Kalau pada negara-
negara OECD variasi dalam rata-rata kemampuan siswa itu tergolong kecil untuk literasi
sains dan lebih kecil lagi dalam literasi membaca, tidak halnya dengan siswa peserta dari
negara non-OECD. Pada negara-negara ini, rentangan perbedaan yang jauh di antara siswa
yang memperoleh skor tertinggi dengan skor terendah justru terdapat dalam literasi
membaca dan literasi sains.
Kendati untuk negara-negara tersebut, termasuk untuk Indonesia, diperlukan penelitian
lebih lanjut tentang penyebab terjadinya variasi skor yang terlalu jauh itu, boleh jadi
proses pembelajaran matematika dan sains lebih berhubungan erat dengan materi yang
diajarkan di sekolah dan tidak berhubungan dengan kemampuannya membaca. Oleh
karena itu, kemungkinan besar, perbedaan sistem pendidikan dalam mengajarkan
matematika dan sains inilah yang lebih berperan daripada pengaruh kemampuan membaca
para siswa negara-negara berkembang ini.20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dalam makalah, maka dapat disimpulkan:
1. Literasi IPA (scientific literacy) didefinisikan sebagai kapasitas untuk menggunakan
pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan
fakta untuk memahami alam semesta dan membuat keputuan dari perubahan yang
terjadi karena aktivitas manusia.
2. PISA bertujuan meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun dalam
membaca (reading literacy), matematika (mathematics literacy), dan sains (scientific
literacy). Penelitian yang dilakukan PISA meliputi tiga periode, yaitu tahun 2000,
2003, dan 2006. Melalui program tiga tahunan ini diharapkan kita dapat memperoleh
informasi berkesinambungan tentang prestasi belajar siswa sebagai upaya untuk
mengetahui tingkat kualitas pendidikan dasar Indonesia di dalam lingkup internasional.
Data yang dikumpulkan dalam PISA terdiri atas tiga kelompok besar, yaitu kelompok
pengetahuan, latar belakang siswa, dan latar belakang sekolah.
3. PISA tahun 2003 menetapkan 3 komponen proses sains berikut ini dalam penilaian
literasi sains.
a. Mendiskripsikan, menjelaskan, memprediksi gejala sains.
b. Memahami penyelidikan sains
c. Menginterpretasikan bukti dan kesimpulan sains.
B. Saran
Pada pembelajaran di kelas, diharapkan guru dapat menggunakan pendekatan
proses sains untuk mengembangkan Scientific Literacy (reading, mathematical,
scientific literacy) serta komponen dan aspek-aspeknya dalam literasi sains.
21
DAFTAR PUSTAKA
I Made Alit Mariana dan Wandy Praginda (2009). Hakikat IPA dan Pendidikan IPA. http://www.p4tkipa.org/data/hakekatipa.pdf. Di akses 16 Maret 2011
Suhendra Yusuf (2008). Analisis Tes PISA. http://www.uninus.ac.id/data/data_ilmiah/Suhendra%20Yusuf%20%20Makalah%20untuk%20Jurnal%20Uninus.pdf. Diakses tanggal 13 Maret 2015
Hafis Muaddab (2010). Problem Dasar Pembelajaran Sains. http://hafismuaddab.wordpress.com/category/guru-dan-kurikulum/ Diakses tanggal 13 Maret 2015
Darliana. 2011. pendekatan fenomena mengatasi kelemahan pembelajaran ipa. http://www.p4tkipa.org/. Diakses tanggal 13 Maret 2015.
Diah harianti. 2007. Kajian kebijakan Kurikulum mata pelajaran ipa. Departemen Pendidikan Nasional. Diakses tanggal 13 Maret 2015.
Emiliannur. 2010. literacy science. http:// emiliannur .wordpress.com /. Diakses tanggal 13 Maret 2015
Irwandi Yogo Suaka . 2010. Peningkatan Literasi Sains dan Teknologi dalam Pendidikan dan Implementasinya dalam KTSP. http://www.blogger.com/. Diakses tanggal 13 Maret 2015
Masfrana Wijaya. 2011. Perkembangan Literasi. http://maspranaBlogspot.com/. Diakses tanggal 13 Maret 2015
Suhendra Yusuf. ________. Perbandingan gender dalam prestasi literasi siswa Indonesia. http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/. Diakses tanggal 13 Maret 2015
22