18
TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pada hematom subdural, darah berkumpul di dalam ruang yang potensial membesar di antara lapisan meningeal dura dan arachnoid. Hematom subdural dibagi menjadi hematom subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai dengan hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga. Pada hematom subdural kronis terjadi akumulasi darah pada ruang subdural secara perlahan dan progresif. Hal ini dapat menyebabkan kompresi pada hemisferium dan herniasi otak (Snell, 2006; Sjamsuhidajat, 2004; Delgado-López, 2009). Gambar 1. Perdarahan Subdural B. Anatomi 1. Kulit kepala

SDH Kronis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SDH Kronis

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pada hematom subdural, darah berkumpul di dalam ruang yang potensial

membesar di antara lapisan meningeal dura dan arachnoid. Hematom subdural

dibagi menjadi hematom subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai

dengan hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga,

dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga. Pada hematom subdural kronis

terjadi akumulasi darah pada ruang subdural secara perlahan dan progresif. Hal ini

dapat menyebabkan kompresi pada hemisferium dan herniasi otak (Snell, 2006;

Sjamsuhidajat, 2004; Delgado-López, 2009).

Gambar 1. Perdarahan Subdural

B. Anatomi

1. Kulit kepala

Kulit kepala terdiri atas lima lapisan, yaitu:

a. Kulit (Skin)

b. Jaringan ikat penyambung (Connective tissue)

c. Galea aponeurotika (Aponeurosis)

d. Jaringan ikat longgar (Loose areolar tissue)

e. Pericranium

Page 2: SDH Kronis

2. Cranium

Cranium merupakan tulang penyusun kepala. Terdapat dua bagian cranium,

yaitu neurocranium dan viscerocranium. Neurocranium terdiri atas calvaria dan

basis cranii. Bagian eksternal basis cranii terdiri atas arcus alveolaris os maxilla,

processus palatina os maxilla, os palatum, os sphenoidalis, vomer, temporal,

dan os occipital. Bagian internal basis cranii terdiri atas tiga fossa cranial, yaitu

fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior (Moore, 2002).

3. Meningen

Otak diliputi oleh tiga membran atau meninges, yaitu dura mater,

arachnoidea mater, dan pia mater. Paling luar, dura mater, mempunyai sifat yang

tebal dan kuat sehingga berfungsi untuk melindungi jaringan saraf yang ada di

bawahnya. Secara konvensional, dura mater digambarkan terdiri dari dua lapis,

yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan tersebut bersatu dengan

erat, kecuali pada garis-garis tertentu, tempat berpisah untuk membentuk sinus

venosus. Lapisan endosteal merupakan periosteum yang menutupi permukaan

dalam tengkorak. Lapisan endosteal melekat paling kuat pada tulang-tulang di

atas basis cranii. Lapisan meningeal adalah lapisan dura mater yang sebenarnya,

merupakan membran fibrosa yang kuat dan padat yang meliputi otak (Snell,

2006).

Arachnoidea mater merupakan membran impermeabel yang lebih tipis dan

meliputi otak secara longitudinal. Arachnoidea mater dipisahkan dari dura mater

oleh ruang potensial yaitu ruang subdural yang terisi oleh selapis cairan.

Ruangan di antara arachnoidea dan pia mater yaitu spatium subarachnoideum

diisi oleh cairan serebrospinalis. Pia mater merupakan suatu membran vaskular

yang melekat dengan erat serta menyokong otak (Snell, 2006).

4. Cerebrum

Cerebrum merupakan bagian terbesar otak dan terletak di fossa cranii

anterior dan media serta menempati seluruh cekungan tempurung otak.

Cerebrum terbagi menjadi dua bagian yaitu diencephalon yang membentuk inti

sentral dan telencephalon yang membentuk hemispherium cerebri.

Diencephalon dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu thalamus, subthalamus,

epithalamus, dan hypothalamus. Hemispherium cerebri merupakan bagian otak

2

Page 3: SDH Kronis

yang paling besar dan dipisahkan oleh fissura longitudinalis cerebri. Masing-

masing hemispherium terbagi menjadi lobus-lobus yang dinamakan sesuai

dengan tulang tengkorak yang ada di atasnya, yaitu lobus frontalis, parietalis,

temporalis, dan occipitalis (Snell, 2006).

5. Batang otak

Batang otak dibentuk oleh medulla oblongata, pons, dan mesencephalon

serta menempati fossa cranii posterior di dalam tengkorak. Batang otak

mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai penyalur tractus ascendens dan

descendens yang menghubungkan medulla spinalis dengan berbagai pusat yang

lebih tinggi, pusat refleks penting yang mengatur control sistem respirasi dan

kardiovaskular serta berhubungan dengan kendali tingkat kesadaran, dan

mengandung nuclei saraf cranial III sampai XII (Snell, 2006).

6. Cerebellum

Cerebellum terletak di fossa cranii posterior dan di bagian superior ditutupi

oleh tentorium cerebelli. Cerebellum merupakan bagian terbesar

rhombencephalon dan terletak di posterior ventriculus quadratus, pons, dan

medulla oblongata. Cerebellum menerima informasi aferen yang berkaitan

dengan gerakan volunter dari cortex cerebri dan dari otot, tendon, dan sendi.

Cerebellum juga menerima informasi keseimbangan dari nervus vestibularis

dan mungkin juga informasi penglihatan dari tractus tectocerebellaris (Snell,

2006).

Gambar 2. Susunan Struktur Kepala

3

Page 4: SDH Kronis

C. Patogenesis

Perdarahan subdural disebabkan oleh trauma kapitis walaupun traumanya

mungkin tidak berarti sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Riwayat trauma

terdapat pada 75% kasus hematom subdural. Biasanya, penyebabnya adalah

pukulan pada bagian depan atau belakang kepala yang menyebabkan pergeseran

anteroposterior otak di dalam cranium. Perdarahan seringkali berasal dari bridging

veins karena tarikan ketika terjadi penggeseran rotatorik pada otak. Perdarahan

subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan

sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Oleh karena

perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang

terkumpul berjumlah hanya 100 – 200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti

karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5 sampai 7 hari hematom mulai

mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10 sampai 20 hari. Darah

yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Pada

daerah itu bisa terulang lagi perdarahan-perdarahan kecil dan pembentukan suatu

kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma) (Mardjono,

2008; Snell, 2006).

Gambar 3. Hematoma Subdural Akibat Pecahnya Bridging Veins

4

Page 5: SDH Kronis

Terdapat dua mekanisme yang berperan dalam terjadinya hematoma subdural

kronis (Plaha, 2008) :

1. Hematom subdural akut yang tidak dievakuasi dapat menyebabkan terjadinya

hematom subdural kronis. Pada hematom subdural akut yang telah matur akan

terbentuk membran yang melapisi bekuan darah. Perdarahan kecil yang berulang

dari struktur pembuluh darah baru pada membran dapat menyebabkan terjadinya

ekspansi hematom. Ekspansi hematom terjadi akibat adanya gradien osmotik

yang disebabkan oleh produk fibrinolitik pada hematom.

2. Pembentukan higroma subdural sekunder akibat trauma yang merobek membran

arachnoid kortikal sehingga menyebabkan masuknya cairan serebrospinalis ke

dalam ruang subdural. Ekspansi higroma lebih lanjut terjadi akibat adanya

perdarahan kecil berulang dari membran yang melapisi hematom. Adanya Beta–

trace protein, marker spesifik cairan serebrospinal, pada hematom subdural

mendukung hipotesis ini.

Gambar 4. Patogenesis Terjadinya Hematoma Subdural (Plaha, 2008)

5

Page 6: SDH Kronis

Darah yang berkumpul pada ruang subdural dapat memacu terjadinya respon

inflamasi. Dalam beberapa hari, fibroblas menginvasi bekuan darah dan

membentuk membran pada permukaan dalam (kortikal) dan luar (dural).

Pembentukan membran diikuti oleh pembentukan pembuluh-pembuluh darah

kapiler baru, fibrinolisis enzimatik, dan likuefaksi bekuan darah. Produk degradasi

fibrin bergabung dengan bekuan darah baru dan menghambat hemostasis.

Perkembangan hematom subdural kronis ditentukan oleh keseimbangan efusi

plasma dengan atau tanpa perdarahan ulang dari membran dan reabsorpsi cairan.

Ekspansi dari bekuan darah dapat terjadi melalui daya tarik osmotik darah terhadap

cairan serebrospinalis pada membran hematom yang semipermeabel. Tekanan

osmotik pada hematoma subdural dipertahankan oleh disintegrasi eritrosit menjadi

substansi onkotik (Greenberg, 2006).

Gambar 5. Perkembangan Hematom Subdural (Newel, 2004)

Modifikasi sel otot polos pada membran hematom bagian luar mempunyai

peranan dalam penyembuhan hematom. Sel otot polos memproduksi kolagen yang

dapat memperkuat dan mengurangi fragilitas membran. Struktur makrokapiler yang

disebut sebagai sinusoid pada membran luar hematom memiliki endothelial gap

6

Page 7: SDH Kronis

junction yang berperan dalam terjadinya kebocoran pembuluh darah sehingga dapat

menyebabkan ukuran hematom bertambah besar akibat perdarahan-perdarahan

kecil dan peningkatan aktivitas fibrinolisis. Endothelial gap junction terkadang

dapat dijembatani oleh platelet. Hal ini menyebabkan perdarahan-perdarahan kecil

berkurang sehingga dapat mengurangi ukuran hematom (Ethem, 2009).

Pasien lanjut usia memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hematom

subdural. Ruang subdural semakin lebar akibat terjadinya atrofi cerebri dan

bridging veins mudah robek akibat adanya peningkatan tekanan. Pada 25% kasus,

etiologi hematom subdural tidak dapat ditentukan. Terapi antikoagulan dan

antiplatelet dihubungkan dengan meningkatnya risiko hematom subdural spontan.

Studi retrospektif menunjukkan bahwa dari 123 pasien yang mengalami hematom

subdural spontan didapatkan 76% (93 pasien) sedang dalam terapi aspirin dan

warfarin. Faktor risiko hematom subdural lainnya yaitu koagulopati,

trombositopenia, dan alkoholism. Alkoholism dapat meningkatkan risiko terjadinya

hematom subdural karena dapat menyebabkan timbulnya penyakit hepar dengan

koagulopati dan trombositopenia sekunder (Karnath, 2004).

D. Gejala

Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi atau jauh

setelah mendapat trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan interval laten

dan bisa berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan adakalanya juga

bisa lebih dari dua tahun. Pada interval laten kebanyakan penderita hematoma

subdural mengeluh tentang sakit kepala. Di samping itu, timbul gejala-gejala yang

mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial berupa kesadaran yang

makin menurun, organic brain syndrome, hemiparesis ringan, hemihipestesia, dan

epilepsi fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema (Mardjono, 2008).

Hematom subdural akut berkaitan dengan cedera kepala hebat dan timbul dari

kombinasi robeknya bridging veins, putusnya pembuluh kortikal, dan laserasi

korteks. Evakuasi bedah dari bekuan dapat membawa perbaikan gejala akibat efek

massa. Defisit yang menetap sering menyertai perluasan cedera parenkim.

Hematoma subdural subakut berkaitan dengan letargi progresif, confuse, dan defisit

7

Page 8: SDH Kronis

neurologi fokal yang tampak setelah beberapa hari, dan dapat menghilang setelah

pengangkatan hematoma. Hematoma subdural kronis biasanya timbul akibat

robekan bridging vein karena cedera kepala minor dan seringkali tidak diketahui.

Hematom ini paling umum ditemukan pada pasien lanjut usia dengan atrofi otak

atau pada bayi. Perubahan status mental secara lambat dan progresif dengan atau

tanpa tanda fokal dapat terlihat. Drainase hematoma sering menghasilkan

pemulihan sempurna (Schwartz, 2000).

Gambar 6. Sistem Penentuan Derajat Defisit Neurologis pada Hematoma Subdural

E. Pemeriksaan penunjang

Pengenalan hematoma subdural yang akut dan kronik dapat dilakukan

berdasarkan gambaran CT scan. Hematom subdural yang akut berbentuk sebagai

bulan sabit dan batasnya berliku-liku, sedangkan hematoma subdural yang kronik

memperlihatkan kepadatan yang kira-kira sama dengan jaringan otak normal. Oleh

karena itu, sering hematoma subdural kronik luput dikenal. Adanya hematom

subdural kronik dapat diketahui melalui efek massa pada jaringan otak berupa

midline shift atau blunting sulci (Mardjono, 2008; Karnath, 2004).

8

Page 9: SDH Kronis

Densitas dan gambaran CT scan hematom subdural berubah sesuai dengan

perkembangan hematom. Terdapat tiga fase hematom subdural pada gambaran CT

scan, yaitu (Plaha, 2008):

1. Hiperdens pada fase akut

2. Isodens pada fase subakut

3. Hipodens pada fase kronik

Gambar 6. Gambaran CT scan Hematoma Subdural Kronik

F. Terapi

1. Terapi konservatif

Pasien yang asimptomatik dan gambaran hematom subdural yang minimal

perlu dilakukan pemantauan gejala klinis dan gambaran CT scan. Istirahat serta

pemberian diuretik osmotik dan kortikosteroid dapat dilakukan sebagai terapi

konservatif. Kortikosteroid dapat menghambat pembentukan membran yang

permeabel terhadap protein dan mengurangi ukuran hematoma subdural kronis

(Plaha, 2008; Ethem, 2009).

9

Page 10: SDH Kronis

2. Terapi operatif

Terapi operatif dalam penatalaksanaan hematoma subdural kronis terdiri

atas burrhole drainage, twist drill drainage, dan craniotomy. Hematom subdural

kronis paling sering dievakuasi dengan tindakan burrhole. Jumlah dan lokasi

burrhole bergantung pada ukuran dan lokasi hematoma yang dapat dilihat dari

gambaran CT scan. Membran yang melapisi hematom kemudian dibuka agar

terjadi drainase. Tindakan craniotomy dilakukan apabila terdapat substansial

solid pada hematom dan juga memungkinkan pengangkatan membran hematom

secara parsial pada pasien dengan hematoma subdural kronis yang persisten dan

berulang. Twist drill craniostomy merupakan terapi operatif yang kurang invasif

dimana celah pada tulang kepala berukuran kurang dari 5 mm. Akan tetapi,

proses irigasi sulit dilakukan bila melalui celah yang kecil (Plaha, 2008).

Gambar 7. Tindakan Craniotomy untuk Evakuasi Hematoma Subdural

10

Page 11: SDH Kronis

G. Prognosis

Angka mortalitas hematom subdural mencapai 30%. Prediktor untuk mortalitas

yang lebih tinggi pada pasien hematom subdural meliputi tingkat kesadaran dengan

GCS < 7, usia > 80 tahun, dan pembentukan hematoma secara akut. Adanya tanda

defisit neurologi fokal dan midline shift tidak berhubungan dengan peningkatan

mortalitas. Gambaran CT scan hematoma subdural yang isodens memberikan

prognosis yang positif, sedangkan gambaran hipodens memberikan prognosis yang

negatif. Hal ini karena gambaran isodens menunjukkan bahwa hematoma subdural

berlangsung dalam durasi yang pendek sehingga otak lebih mudah mengalami

ekspansi setelah drainase hematom dilakukan. Sekitar 25% pasien dengan subdural

hematom memerlukan tindakan operasi ulang karena terjadinya reakumulasi darah

pada ruang subdural (Karnath, 2004; Delgado-López, 2009).

11

Page 12: SDH Kronis

DAFTAR PUSTAKA

Delgado-López, Martín-Velasco, Castilla-Díez, Rodríguez-Salazar, Galacho-

Harriero, Fernández-Arconada. 2009. Dexamethasone treatment in chronic

subdural haematoma. Neurocirugia 20: 346-359.

Ethem, Mahmut, Tanju, Saim. 2009. Spontaneous resolution of a large chronic

subdural hematoma: a case report and review of the literature. Ulus Travma

Acil Cerrahi Derg 15(1):95-98.

Greenberg M.S. 2006. Handbook of Neurosurgery. New York: Thieme.

Karnath B. 2004. Subdural hematoma Presentation and management in older

adults. Geriatrics 59 (7): 18-23.

Mardjono M., Sidharta P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT Dian Rakyat.

Moore K.L., Agur A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins.

Newell D.W., Moore A.J. 2004. Neurosurgery Principles and Practice. London:

Springer.

Plaha P., Malhotra, Heuer, Whitfield P. 2008. Management of Chronic Subdural

Haematoma. ANCR 8 (5): 12-15.

Schwartz S.I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat R., de Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Snell R.S. 2006. Neuroanatomi Klinik Edisi 5. Jakarta: EGC.

12