Upload
duongbao
View
401
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
1|
PENGKAJIAN PUISI MELALUI PEMAHAMAN NILAI-NILAI ESTETIKA DAN
ETIKA UNTUK MEMBANGUN KARAKTER SISWA
Yusida Gloriani
Universitas Kuningan
Pos-el:[email protected]
Abstrak
Melalui eksplorasi bahasa yang khas dalam puisi, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang
optimal. Nilai estetik adalah nilai yang berdasar pada keindahan. Selain nilai-nilai estetika, di dalam
puisi pun terdapat pula pemikiran, ide/gagasan, emosi, bentuk, kesan, dan pesan yang ingin
disampaikan pengarang. Dengan demikian, dapat kita temukan nilai-nilai etika yang ingin
disampaikan pengarang melalui keindahan bahasa pada puisinya. Nilai-nilai etika berkaitan dengan
aturan-aturan yang harus dijalani manusia dalam kehidupannya. Manusia harus memiliki perilaku
sesuai norma-norma, baik norma agama maupun norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Di
sekolah, guru bahasa dan sastra Indonesia dapat memanfaatkan karya sastra, diantaranya puisi.
Dengan mengajak siswa untuk sering membaca dan mengkaji nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika
pada puisi, maka perasaan halusnya akan tersentuh dengan keindahan atau nilai estetika. Pesan-pesan
moral atau nilai-nilai etik pada puisi akan berdampak pada pikiran kritis siswa dalam menjalani
kehidupan dengan baik, lurus, dan benar.
Kata-kata kunci : nilai-nilai estetika, nilai-nilai etika, puisi, pendidikan karakter.
Abstract
Through exploration distinct language in the poem, the author will show it optimally. Aesthetic value
is a value based on beauty. In addition to aesthetic values, in any poem there are also thoughts, ideas ,
emotions, shapes, sounds and the message. Thus, we can find ethical values to be conveyed through
the beauty of the language of the author of the poem. Ethical values relating to the rules that must be
followed by man in his life. Humans must have the appropriate behavioral norms, both religious
norms and norms in society. At school, Indonesian language and literature teachers can take advantage
of literary works, including poetry. By inviting students to frequently read and examine the aesthetic
values and ethical values in poetry, it will be touched with the feeling of delicate beauty or aesthetic
value. Messages moral or ethical values in poetry will have an impact on students' critical thinking in
life with a good, straight, and true.
Key words: aesthetic values, ethical values, poetry, character education.
2|
PENDAHULUAN
Puisi adalah karya sastra yang merupakan pernyataan perasaan yang imajinatif,
yaitu perasaan yang direkakan. Perasaan dan pikiran penyair yang masih abstrak
dikonkretkan melalui kata-kata. Puisi merupakan sarana untuk mengonkretkan peristiwa-
peristiwa yang telah direkam dalam pikiran dan perasaan penyair. Pengonkretan intuisi
dilahirkan melalui kata-kata indah dan bermakna yang dilakukan dengan prinsip efektif
dan efisien.
Penyair memilih dan mengolah kata sedemikian rupa, sehingga menjadi rangkaian
kata-kata yang indah dan menarik. Penyair pun memilih kata setepat-tepatnya dengan
memperhatikan unsur bunyi, melakukan penyeimbangan antara unsur yang satu dengan
unsur yang lainnya, agar tercipta suatu keharuan yang menimbulkan sebuah kontemplasi
dalam diri pembaca puisi.
Seorang pembaca puisi harus mampu menikmati dan memaknai puisi yang
dibacanya. Pembaca puisi harus dapat menghubungkan imajinasinya dengan intuisi
penyair. Pembaca puisi harus memahami hal-hal khusus yang dipergunakan untuk
membantu dirinya dalam memahami makna puisi.
Puisi adalah karya sastra yang memiliki unsur-unsur keindahan atau estetis. Puisi
adalah fenomena yang bernilai keindahan sehingga pembaca diharapkan dapat
memahami dan mengungkap keindahan itu didalamnya. Keindahan adalah ciptaan
pengarang atau penyair dengan seperangkat bahasa yang digunakannya. Keindahan yang
diciptakan pengarang adalah keindahan yang penuh dengan imajinasi. Melalui eksplorasi
bahasa yang khas dalam puisi, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang
optimal.
Karya sastra, dalam hal ini puisi merupakan karya imajinatif yang menggunakan
bahasa sebagai media dan memiliki nilai estetika yang dominan. Estetika karya sastra
dapat kita lihat dari struktur bahasa yang digunakan. Eksplorasi bahasa khas yang
ditampilkan pengarang pada puisi diantaranya dapat dilihat pada pemilihan dan
pembentukan kata serta penggunaan variasi gaya bahasa. Nilai-nilai estetika dalam puisi
dapat kita amati dari beberapa hal, diantaranya unsur bahasa dan bentuk atau penampilan.
Jika diklasifikasikan nilai-nilai estetika itu meliputi keindahan literer yang membentuk
satu keutuhan, keselarasan, dan membentuk kepaduan makna.
Nilai estetik adalah nilai yang berdasar pada keindahan. Ilmu yang mempelajari
nilai estetik disebut estetika. Nilai estetika ini sangat penting bagi manusia karena dengan
3|
keindahan akan memberikan warna dalam kehidupan manusia. Dengan demikian
manusia akan merasakan kedamaian dan kenyamanan dalam warna-warni kehidupan.
Sudah menjadi kodrat bagi manusia bahwa manusia itu menyukai hal-hal yang indah,
bagus, tertata rapih. Manusia pada umumnya tidak suka dengan hal-hal yang kotor,
berantakan, tidak indah dipandang mata, estetika dirasakan dan dinikmati dengan
viasualisasi manusia.
Selain nilai-nilai estetika, di dalam puisi pun terdapat pula pemikiran,
ide/gagasan, emosi, bentuk, kesan, dan pesan yang ingin disampaikan pengarang. Dengan
demikian, dapat kita temukan nilai-nilai etika yang ingin disampaikan pengarang melalui
keindahan bahasa pada puisinya. Nilai-nilai etika berkaitan dengan aturan-aturan yang
harus dijalani manusia dalam kehidupannya. Manusia harus memiliki perilaku sesuai
norma-norma, baik norma agama maupun norma yang berlaku dalam masyarakatnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian nilai etik adalah nilai untuk
manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran; nilai yang berhubungan dengan
akhlak; nilai yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan atau
masyarakat. Ilmu yang mempelajari nilai etik disebut dengan etika. Nilai etika ini sangat
penting bagi manusia karena disitulah letak kemanusiaan seorang manusia. Binatang
tidak akan pernah memiliki atau mempertimbangkan nilai etik. Nilai kejujuran, nilai
keberanian atas kebenaran, dan kesungguhan di dalam menjalani kehidupan ini hanya
akan dimiliki oleh manusia. Sedangkan binatang hanya menjalani segala kodratnya tanpa
pernah berpikir untuk melakukan perubahan atau memperbaiki dirinya, karena binatang
tidak dibekali dengan akal dan pikiran.
Peserta didik sebagian besar waktunya berada dalam lingkungan sekolah, maka
proses pembelajaran dapat dilakukan melalui lingkungan sekolah. Pembinaan etika dapat
dilakukan dan diaplikasikan pula dalam pembelajaran sastra di sekolah. Cara yang dapat
dilakukan misalnya dengan melihat secara jujur kehidupan masyarakat di lingkungannya
masing-masing, dan membuat laporan atau pernyataan secara jujur mengenai
pandangannya tentang kehidupan masyarakat di lingkungannya dikaitkan dengan etika,
lalu dikomentari pada saat pembelajaran apresiasi sastra berlangsung. Pada saat
pembelajaran, guru dapat berdiskusi dengan peserta didik tentang budaya sekolah,
bagaimana menanamkan kesederhanaan, kejujuran, keberanian, percaya diri, dan
integritas. Kegiatan membaca puisi indah pun dapat menyentuh hati nurani mereka. Ini
semua merupakan pembelajaran penanaman nilai-nilai karakter. Hal ini mungkin tidak
bisa dirasakan dampaknya saat ini tapi mempunyai dampak dan pengaruh di masa depan.
4|
NILAI-NILAI ESTETIKA PADA PUISI
Nilai-nilai estetika dalam tulisan ini lebih difokuskan pada aspek yang
menyebabkan karya sastra (puisi) menjadi indah dan menarik. Menurut Endraswara
(2003, hlm.69) kajian estetik hanya memfokuskan pada aspek yang menyebabkan karya
sastra menjadi indah dan menarik. Menurut Wellek & Warren, pendekatan estetik dalam
penelitian adalah kajian sastra yang memfokuskan bidang kajiannya pada unsur intrinsik
yang menarik dan menyenangkan. Asumsinya bahwa karya sastra dipandang sebagai
karya seni yang memiliki unsur keindahan. Berdasarkan hal itu bahwa nilai-nilai estetik
pada sebuah puisi adalah nilai-nilai yang tampak berdasarkan hasil pengkajian pada
unsur-unsur intrinsik karya sastra puisi yang menyebabkan puisi memiliki keindahan.
Keindahan atau estetika dalam karya sastra begitu penting keberadaannya, karena pada
hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa sebagai
medianya dan memiliki nilai estetik yang dominan. Estetika karya sastra dapat kita lihat
dari struktur bahasa yang digunakan seperti bentuknya, penyusunan alur, konflik-konflik,
humor, dan sebagainya. Shanon Ahmad menyatakan bahwa di dalam puisi terdapat
pemikiran, ide, emosi, bentuk, dan kesan. Dengan demikian dapat dimungkinkan bahwa
melalui unsur-unsur tersebut sebuah karya sastra dapat diidentifikasi konsep estetisnya.
Dalam puisi, seorang apresiator atau pembaca puisi dapat memanfaatkan bantuan
stilistika yaitu ilmu tentang gaya jika ingin memahami nilai-nilai estetika pada puisi.
Puisi sebagai bagian dari sastra sering mengalami perkembangan, dari segi bentuk
maupun isi atau tema-temanya. Pada sastra Indonesia lama kita mengenal bentuk-bentuk
seperti mantra, bidal, pantun, syair dan yang lainnya. Kemudian muncul bentuk-bentuk
puisi baru yang dipengaruhi puisi-puisi barat sekitar tahun 1930-an, misalnya soneta,
kwatrain, terzina, stanza, dan sebagainya. Setelah itu, pada tahun 1945, Chairil Anwar
sebagai penyair garda depan saat itu memproklamasikan bentuk puisi yang lebih baru
yang sering kita kenal dengan bentuk puisi bebas. Lalu pada tahun 1973 kita dikagetkan
dengan munculnya puisi-puisi dengan bentuknya yang aneh dan ganjil menurut ukuran
Indonesia yakni puisi kontemporer. Puisi Kontemporer adalah bentuk puisi yang berusaha
lari dari ikatan konvensional puisi itu sendiri (Waluyo, 1987, hlm.19). Puisi kontemporer
terbagi atas beberapa jenis seperti puisi puisi konkret, puisi mbeling, dan puisi mantra.
Puisi konkret (poems for the eye) diartikan sebagai puisi yang bersifat visual, yang dapat
dihayati keindahannya dari sudut penglihatan.
5|
Seiring dengan perkembangan bentuk-bentuk puisi Indonesia tersebut, nilai-nilai
estetika dalam puisi pun mengalami perubahan. Misalnya, puisi-puisi tahun 1920-an dan
1930-an, keindahan puisi dapat kita nikmati dari pilihan kata dan rimanya yang sangat
rapi serta penggunaan gaya bahasa perbandingan dan perumpaan yang begitu
mendominasi. Puisi tahun 1945-an atau puisi-puisi Chairil Anwar dan kawan-kawan
sangat bebas mengekspresikan gagasannya melalui pilihan kata yang mudah dipahami
serta penggunaan gaya bahasa yang simbolis dan hiperbol. Kemudian puisi tahun 1960-
an adalah puisi yang kritis dengan kondisi zaman sehingga muncullah puisi-puisi
demonstrasi atau puisi-puisi kritik sosial sehingga banyak menggunaan kata-kata kritikan
sosial dan kata-kata yang bermakna politik. Demikian juga gaya bahasa yang banyak
digunakan adalah gaya bahasa sindiran dan perumpamaan. Tahun 1970-an puisi
kontemporer menggebrak perpuisian Indonesia dengan hadirnya puisi-puisi yang sangat
berani, baik dalam penggunaan bahasa maupun bentuk, seperti muncul jenis puisi
konkret, puisi mbeling, puisi prosais dan jenis-jenis puisi lainnya.
Agar pemahaman tentang nilai-nilai estetika pada puisi lebih dapat dimengerti,
mari kita coba perhatikan nilai-nilai estetika pada beberapa contoh puisi di bawah ini.
1. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada rima dan pilihan kata
a. Pantun Muda
...
Piring putih piring bersabun
Disabun anak orang Cina
Memutih bunga dalam kebun
Setangkai saja yang menggila
...
b. Bahasa, Bangsa (Muh.Yamin)
...
Selagi kecil berusia muda,
Tidur si anak di pangkuan bunda,
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang,
Memuji si anak banyaknya sedang,
...
c. Padamu Jua (Amir Hamzah)
...
Engkaulah kandil kemerlap
6|
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
...
d. Doa (Amir Hamzah)
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah
menghalaukan panas payah terik,
...
Kutipan puisi-puisi di atas memiliki rima yang sangat rapih dan indah. Pada
contoh pantun muda, kita dapat melihat keindahannya dari rima akhir yang berpola a-
b-a-b. Pada puisi Bahasa, Bangsakita temukan pula rima akhir yang rapi berpola a-a-b-
b. Pada puisi Padamu jua,kita temukan keindahannya dalam menggunakan rima
aliterasi konsonan k,l dan p (kaulah, kandil, kemerlap, pelita, gelap, pulang, perlahan,
selalu). Pada puisi Doa,kata-kata yang dipilih Amir Hamzah begitu menyentuh
perasaan, dia memanggil Tuhannya dengan kata kekasihku. Rima aliterasi s pada senja
samar sepoi dan bunyi ppada panas payah memberikan keindahan bunyi yang khas.
2. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada pilihan kata dan gaya bahasa
Aku (Chairil Anwar)
Kalau sampai waktuku
kumau tak seorang kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
...
Gadis Peminta-minta (Toto Sudarto Bachtiar)
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
7|
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa.
...
Perempuan (Upita Agustine)
Yang membentang sajadah di belakang suaminya
Yang memberi air hidup darah dagingnya
Yang mengalunkan dendang dalam tangis anak-anaknya
Yang membisikkan dongeng sebelum tidur
Yang melafaskan doa bagi turunannya
Perhiasan suaminya
...
Tuhan Telah Menegurmu (Apip Mustopa)
Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan
lewat perut anak-anak yang kelaparan
Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan
lewat semayup suara adzan
Tuhan telah menegurmu dengan cukup menahan kesabaran
lewat gempa bumi yang berguncang
deru angin yang meraung-raung kencang
hujan dan banjir yang melintang pukang
adakah kaudengar?
Chairil Anwar pada puisi Akubanyak menggunakan pilihan kata yang spontan,
ekspresif, tetapi tetap menampilkan keindahan bunyi misalnya: kalausampai waktuku,
kumau tak seorang kan merayu, tidak juga kau (rima asonansi a,u dan aliterasi
k)mendominasi barisan puisi tersebut. Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya
terbuang, selain bunyi-bunyi indah sengau m,n,dan ng, penggunaan gaya bahasa
hiperbola pun turut memberikan aspek estetika pada puisi tersebut.
Pada puisi Gadis Peminta-minta, Toto Sudarto dengan gaya bahasa
eufeumismenya menggambarkan sosok seorang pengemis muda. Gadis kecil
8|
berkaleng kecil, Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka sangat menyentuh perasaan.
Berbeda pada puisi Perempuan,untuk menambah nilai estetikanya Upita
menggunakan gaya bahasa pengulangan pada setiap awal baris puisinya itu dengan
mengulang-ulang kata Yang... . Sebaiknya Apip Mustopa, dalam puisi Tuhan Telah
Menegurmu, dia menggunakan gaya bahasa pengulangannya di awal yaitu pada kata
Tuhan telah menegurmu... .
3. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada permainan kata dan bunyi bahasa
a. Shang Hai (Sutardji Calzoum bachri)
Ping di atas pong
Pong di atas ping
Ping ping bilang pong
Pong pong bilang ping
Mau pong?bilang ping
Mau-mau bilang pong
Ya pong ya ping
Ya ping ya pong
... dst.
b. O (Sutardji Calzoum Bachri)
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siariasu siakalian siasiasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O.....
Kedua puisi Sutardji di atas memiliki karakter yang sama, yaitu kedua-duanya
menampilkan keindahan/estetika puisi dari permainan kata dan permainan bunyi
bahasa. Pada puisi Shang Hai,kata ping dan pong dijadikan kata penting dalam
permainan bunyi bahasanya, seolah-olah bunyi ping dan pong mewakili kosakata Cina
yang ada hubungannya dengan judul puisi diatas yaitu Shang Hai. Pada puisi O,
9|
Sutardji mempermainkan kata duka, resah, ragu, mau, siasia, waswas, duhai, dan o,
menggabungkannya dengan kata-kata lain sehingga ketika kedua puisi diatas
dibacakan, seperti orang membacakan mantra. Itulah diantaranya kekuatan puisi-puis
Sutardji
4. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada bentuk/tata wajah/ tipografi
a. Tragedi Winka dan Sihka (Sutardji Calzoum B.)
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
b. Di
10|
Betul
kau pasti
sedang menghitung
berapa nasib lagi tinggal
sebelum fajar terakhir kau tutup
tanpa seorangpun tahu siapa kau dan
di
Kau
Maka kini
lengkaplah sudah
perhitungan di luar akal
tentang sesuatu yang tak bisa siapapun
menerangkan kata pada saat itu kau mungkin sedang
di
Betul
Kan
?
7 4
(Noorca Marendra)
Pada puisi Tragedi Winka dan Sihka, Sutardji Calzoum Bachri ingin
menggambarkan secara grafis tentang peristiwa yang menyedihkan, menyakitkan,
memilukan dalam sebuah biduk perkawinan (pernikahan). Melalui tipografinya, dia
memberikan efek indah, bercerita tragedi perkawinan dengan bentuk puisi yang zig-
zag atau berliku.
Demikian juga Norrca Marendra dengan puisinya di atas menampilkan nilai
estetikanya melalui tipografi yang membentuk pohon cemara (pohon natal). Dia
berupaya memilih kata dengan cermat sehingga mampu menuangkan gagasannya
melalui kata-kata yang disusun sehingga membentuk sebuah pohon. Kedua puisi di
atas termasuk puisi konkret, yaitu puisi yang mementingkan keindahan visualisasi
dibandingkan makna.
NILAI-NILAI ETIKA PADA PUISI
11|
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa nilai-nilai etika yaitu nilai untuk
manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran; nilai yang berhubungan dengan
akhlak; nilai yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan atau
masyarakat atau nilai baik dan buruk. Nilai etika ini sangat penting bagi manusia karena
disitulah letak kemanusiaannya. Manusia dapat dikatakan berperikemanusiaan jika
manusia tersebut beretika, berakhlak, mampu membedakan benar atau salah sesuai
dengan norma-norma, baik norma agama maupun norma masyarakat.
Pada umumnya penyair menyampaikan pesan yang berupa nilai-nilai etika dalam
puisinya. Nilai-nilai etika itu yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur, moral atau akhlak,
perilaku baik dalam kehidupan. Penyair dalam menyampaikan nilai-nilai etis itu bisa
berupa cerita, penggambaran, ajakan, larangan, peringatan, permohonan, bahkan kritikan.
Nilai-nilai itu untuk dipahami kemudian direnungkan (kontemplasi) sehingga
menemukan keharuan yang mendalam, dan merupakan cerminan dari nilai-nilai
kehidupan yang dianut. Nilai-nilai yang diyakini oleh individu tersebutlah yang
mendasarinya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan/perilaku.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang nilai-nilai etika dalam puisi, mari kita coba pahami
puisi-puisi berikut.
1. Tuhan, Mabukkanlah Aku (Anshary, terj. Abdul Hadi WM)
Tuhan, mabuklah aku
Dengan anggur cinta-Mu
Rantai kaki erat-erat
Dengan belenggu perhambaan
Kuraslah seluruh isi diriku
Kecuali cinta-Mu
Lalu cerai daku
Hidupkan lagi diriku
Laparku yang Maha pada-Mu
Telah membuatku
Berlimpah karunia
Untuk memahami puisi di atas, kita mulai dari judul. Kita akan tahu bahwa penyair
sedang berkomunikasi dengan Tuhannya. Bait pertama si aku menginginkan
Tuhannnya untuk mengikatnya erat-erat dalam belenggu perhambaan, artinya si aku
12|
benar-benar ingin melakukan semua perintah Tuhannya. Bait kedua merupakan
alasan mengapa si aku benar-benar ingin melakukan perintah Tuhannya, karena si
aku sadar jika dia benar-benar melaksanakan perintah Tuhannya, maka si aku akan
memperoleh karunia yang berlimpah.
Jika kita renungkan makna puisi tersebut, kita akan menemukan beberapa pesan
penyair yang berupa nilai-nilai luhur, yaitu: (1) si aku sadar sebagai seorang hamba
Tuhan memiliki kewajiban untuk beribadah pada Tuhannya; (2) si aku sadar bahwa
ketika seorang hamba selalu ingat perintah Tuhan, maka Tuhan pun akan selalu
mengingatnya; (3) si aku sadar bahwa segala sesuatu yang dilakukan pasti akan ada
balasannya, contohnya jika si aku selalu beribadah maka Tuhan akan selalu
memberikan karunianya yang tak terhingga.
2. Kucari Jawab (J.E.Tatengkeng)
Di mata air, di dasar kolam,
kucari jawab teka-teki alam
Di kawan awan kian kemari,
di situ juga jawabnya kucari
Di warna bunga yang kembang‟
kucari jawab, penghilang bimbang
Kepada gunung penjaga waktu,
Kutanya jawab kebenaran tentu
Pada bintang lahir semula,
Kutangis jawab teka teki Allah
Ke dalam hati, jiwa sendiri,
Kuselam jawab! Tiada tercerai
Ya, Allah yang Maha – dalam,
Berikan jawab teka-teki alam
13|
O, Tuhan Yang maha – tinggi,
Kunanti jawab petang dan pagi
Hatiku haus „kan kebenaran,
Berikan jawab di hatiku sekarang
Untuk mengkaji nilai-nilai etika pada puisi Kucari jawab di atas, maka kita coba
pahami dulu makna yang terkandung dalam puisi tersebut dengan menjawab
pertanyaan “jawaban atas pertanyaan apa yang dicari penyair?” Ternyata penyair
mencari jawaban atas sebuah „kebenaran‟. Hal tersebut terdapat pada bait terakhir
hatiku haus „kan kebenaran. Untuk mencari „kebenaran‟ itu, penyair mencoba
membaca beberapa kejadian atau peristiwa alam, yaitu mata air yang ada di dasar
kolam, sekawanan awan yang kian kemari, bunga yang berkembang, gunung, bintang,
sampai bertanya ke kedalaman hati. Akhirnya karena belum juga memperoleh
jawaban yang memuaskan dari alam, maka penyair pun menyeru Allah, Tuhan Yang
Maha.
Nilai-nilai luhur yang dapat kita renungkan dari puisi di atas diantaranya yaitu: (1)
alam semesta ini tidak berdiri dengan sendirinya, tetapi ada yang menciptakan dan
menjaganya; (2) dengan membaca dan mengkaji beberapa peristiwa alam, maka kita
akan semakin yakin bahwa ada yang mengatur di balik semua peristiwa itu; (3) untuk
mencari sebuah kebenaran tentang sebuah keyakinan, maka perlu upaya untuk
mendapatkan jawabannya.
3. Ada Kau dan Aku tanpa Mereka (Yudhistira adinugraha)
ada daun membisikkan keresahan
ada ranting merapuhkan harapan
ada dahan menggoyahkan ketabahan
ada bunga mengembangkan nestapa
ada angin meniupkan kesunyian
ada unggas mengepakkan napas kita
ada cuaca dan mega
ada dingin dan gerimis
ada debu dan matahari
14|
ada nyanyian atau isak tangis
ada kata-kata atau kebisuan
ada rasa cinta atau kebencian
ada hama atau kesuburan
ada rumah-rumah atau reruntuhan
ada kau dan aku, tanpa mereka
ada jarak yang lebar
ada batas yang tegas
ada luka
ada luka yang luka
ada yang tersentuh tak bisa menyentuh
ada yang mendengar tak terdengar
ada yang tak tahu semua itu ada
Untuk memahami makna yang terkandung pada puisi Ada Kau dan Aku tanpa Mereka,
kita telusuri kata-kata konkret atau kata-kata kunci pada puisi tersebut. Jika pada sebuah
paragraf ada kalimat utama, maka pada baris-baris puisi kita akan menemukan kata-kata
konkret. Jika pada paragraf kita mengenal paragaraf induktif dan deduktif, maka pada
puisi pun kita dapat mengkajinya dengan mencari kata kuncinya apakah berada di awal
baris atau di akhir baris.
Yudhistira memulai puisi di atas dengan menyuguhkan baris-baris penjelas, ada daun
membisikkan keresahan/ ada ranting merapuhkan harapan/ ada dahan menggoyahkan
ketabahan/ ada bunga mengembangkan nestapa, dst., demikian dari mulai bait pertama
sampai bait ke-tiga. Pada bait ke-empat baru kita menemukan makna yang berbeda
dibandingkan bait satu sampai tiga yaitu ada jarak yang lebar/ada batas yang tegas/ada
luka/ada luka yang luka// ada yang tersentuh tak bisa menyentuh/ada yang mendengar
tak terdengar/ada yang tak tahu semua itu ada.
Ada Kau dan Aku tanpa Mereka, menimbulkan pertanyaan siapa kau, siapa mereka
pada puisi itu? Kata-kata itu kita temukan pada akhir baris ketiga setelah penyair
memaparkan kata-kata penjelas mulai bait satu sampai tiga. Kita bisa mengatakan
bahwa kau adalah orang terdekat dengan aku, sedangkan mereka adalah semua objek
yang ada pada bait-bait di atas misalnya, daun, ranting, dahan, bunga, angin, unggas,
15|
cuaca,dsb. Mengapa tanpa mereka? Karena ada luka, ada luka yang luka, yang
mengakibatkan „ada yang tersentuh (tapi) tak bisa menyentuh/ada yang mendengar
(tapi) tak terdengar/ada yang tak tahu (bahwa) semua itu ada‟.
Nilai-nilai etik yang bisa kita renungkan dari puisi di atas diantaranya yaitu: (1)
makhluk hidup yang diciptakan Tuhan bukan hanya manusia, tetapi ada makhluk lain,
artinya kita harus saling menjaga keseimbangan sesama makhluk; (2) Tuhan
menciptakan makhluk selalu berpasangan; (3) hidup adalah pilihan, ada baik ada buruk,
ada positif ada negatif; (4) apa yang kita inginkan belum tentu semuanya dapat
terwujud, karena Tuhan memberikan apa yang dibutuhkan makhluknya bukan apa yang
diinginkan makhluknya.
MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK
Tujuan pengajaran sastra adalah agar: (1) siswa/peserta didik dapat menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti,
serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;(2) siswa/peserta didik
dapat menghargai dan membanggakan karya sastra Indonesia sebagai khazanah budaya
dan intelektual manusia Indonesia.
Berdasarkan tujuan pengajaran sastra di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa akhir
dari pengajaran sastra selain peserta didik memperoleh pengetahuan/wawasan tentang
sastra, maka sastra pun harus dapat digunakan sebagai media untuk memperhalus budi
pekerti, sehingga mereka pun mampu menghargai dan bangga dengan hasil karya sastra
dan budaya Indonesia.
Pengertian budi pekerti sangat luas, mencakup apa yang disebut dengan
perilaku/perbuatan yang baik atau akhlakul karimah, atau karakter. Karakter adalah
sifat-sifat manusiawi yang harus selalu dijaga, dipupuk, jangan sampai dirusak dengan
hal-hal yang tidak berguna. Untuk menjaga, memupuk dan menumbuhkan karakter
diperlukan sebuah upaya. Pelaksanaan pendidikan karakter merupakan misi yang sangat
penting dalam mengembangkan moral dan intelektual peserta didik. Menurut Yoyo
Mulyana “pendidikan karakter bukanlah hanya sekedar menumbuhkan seperangkat
perilaku, tetapi juga mengaitkan antara mengembangkan kebiasaan berpikir, bersikap,
dan bertindak” (2011, hlm.1). Melalui pendidikan karakter akan terpola cara berpikir,
cara bersikap dan cara bertindak atau berperilaku peserta didik.
Untuk menumbuhkan atau membangun karakter peserta didik yang berani, jujur,
bertanggung jawab, dapat dipercaya, pantang menyerah, rajin, percaya diri, tidak mudah
16|
putus asa, maka dibutuhkan kerjasama yang baik antara orang tua di rumah dengan guru
di sekolah serta masyarakat di lingkungan sekitarnya.
Di sekolah, guru bahasa dan sastra Indonesia dapat memanfaatkan karya sastra,
diantaranya puisi. Dengan mengajak siswa untuk sering membaca dan mengkaji nilai-
nilai estetika dan nilai-nilai etika pada puisi, maka perasaan halusnya akan tersentuh
dengan keindahan atau nilai estetika. Pesan-pesan moral atau nilai-nilai etik pada puisi
akan berdampak pada pikiran kritis siswa dalam menjalani kehidupan dengan baik,
lurus, dan benar.
SIMPULAN
Pengkajian dan pemahaman nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika pada puisi
merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan guru dalam pembelajaran apresiasi
sastra untuk menumbuhkan atau membangun karakter peserta didiknya. Sifat dan
perilaku baik yang telah ada dalam diri manusia pada umumnya harus selalu dijaga dan
dipupuk agar dapat selalu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap berani karena benar, percaya diri, jujur, bijaksana, bertanggung jawab,
menghargai orang lain adalah sikap baik yang harus selalu ditumbuhkembangkan dalam
diri individu peserta didik. Puisi merupakan salah satu media yang baik untuk
menumbuhkembangkan perilaku dan sikap-sikap tersebut karena puisi merupakan karya
seni yang imajinatif dan sarat dengan pesan-pesan moral. Pesan-pesan moral itulah
merupakan nilai-nilai etis yang dapat direnungkan dan diimplementasikan dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Daftar Pustaka
Aminudin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Hasanuddin WS. 2002. Membaca dan Menilai Sajak (Pengantar Pengkajian dan
Interpretasi). Bandung:Angkasa
Mulyana. Yoyo. 2011. Pembelajaran bahasa dan Sastra Indonesia dalam Paradigma
Membangun Karakter Pribadi dan Bangsa (Prosiding Seminar Nasional). Padang:
Sukabina Press.
Prodopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
UniversityPress.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
17|
Silaswati, Diana. 2011. Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter dalam Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui Kegiatan Pembelajaran Apresiasi Puisi
(Prosiding Seminar Nasional). Padang: Sukabina Press.
Teeuw, A. 1984. Karya Sastra sebagai Struktur: Strukturalisme dalam Sastra dan Ilmu
Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Waluyo, Herman J..1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:Erlangga
18|
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI’’
KARYA A.A NAVIS
Nofiyanti
STKIP Siliwangi
Pos-el:[email protected]
Abstrak
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat
kepada pembacanya, karena karya sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk
berbuat baik dan mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma atau sering juga
dinamakan “amanat”. Dengan demikian sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral. Pesan moral
tersebut merupakan petunjuk tentang berbagai masalah kehidupan seperti, tingkah laku, sopan santun
dalam pergaulan, dan sebagainya. Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik yang ada pada cerpen
“Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis ini adalah sebuah karya sastra (cerpen) yang menarik dan
baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik pembangunnya, selain itu dalam cerpen ini dapat
dijadikan sebagai bahan pembelajaran khususnya dalam pembentukan pendidikan karakter. Karena
dalam cerpen tersebut mengandung nilai-nilai moral.
Kata kunci : Pendidikan karakter, Cerpen, Robohnya Surau kami
Abstract
Short stories as one type of literary works can provide benefits ideas to the reader, because good
literary works always give the message to the reader to do well and invites them to uphold norms or
often also called "Amanat". Thus literature is considered as a means of moral education. The moral
message is an indication of the variety of life issues such as, behavior, manners, and so on. Based on
the analysis of existing intrinsic element in the short story "Robohnya Surau Kami" by AA Navis is a
literary work (short stories) are attractive and interactive. Inthe intrinsic elements the reader can
recognize the moral value of the story which is related with learning materials, especially in the
formation of character education.
Keywords: character education, Short Story, Robohnya Surau Kami
PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan hasil dari daya cipta, karsa manusia yang dimana mengandung
nilai seni yang tinggi. Dalam penciptaan karya sastra, seorang seniman/ penyair tidak
menciptakannya hanya asal-asalan. Melainkan membutuhkan usaha yang keras baru bisa
menghasilkan sebuah karya yang bermutu. Selain itu, banyak aspek yang dipertimbangkan
dalam pembuatan karya sastra. Misalnya aspek keindahan, nilai guna/manfaat. Karya sastra
berfungsi sebagai gambaran kehidupan manusia dari generasi ke generasi lain dan dari satu
zaman ke zaman berikutnya. Seorang penulis yang baik akan berusaha mendekati kehidupan
dengan menghasilkan karya sastra yang bermakna. Dengan karya sastra pembaca akan
memperoleh pemikiran dan pengalaman-pengalaman yang sangat bermanfaat bagi
kehidupannya. Oleh sebab itu banyak sekali karya sastra yang mencerminkan kehidupan
masyarakat di sekitar kita
19|
Melalui karya sastra dapat diketahui eksistensi kehidupan suatu masyarakat di suatu
tempat pada suatu waktu meskipun hanya pada sisi-sisi tertentu. Kenyataan ini tidak dapat
dipungkiri, bahwa sastra merupakan cerminan dan ekspresi tentang kehidupan dan pengarang
mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup, walaupun pada sisi lain harus
diakui sastra bersifat otonom yang tidak mesti dihubungkan dengan realitas. Karya sastra
terlahir dari pandangan hidup suatu masyarakat. Karena pengarang bagian dari masyarakat di
dalam karya sastra yang dihasilkan terkandung pula nilai-nilai yang dianut oleh masyarakt
tertentu. Dengan demikian, terdapat hubungan yang tidak langsung antara pengarang dan
pembaca. Melalui karya sastra seorang pengarang bermaksud menyampaikan informasi,
gambaran atau pesan tertentu kepada pembaca. Sesuatu yang disampaikan itu biasanya
merupakan gagasan tentang kehidupan yang ada disekitar pengarang. Cerpen adalah salah
satu contoh diantara sekian banyak karya sastra saat ini.
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat
memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman
pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang
perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang
universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta
kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan,
sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Suryadi (2007, hlm.54), cerita pendek
adalah sebuah narasi fiksi yang panjangnya sekitar 500 sampai 10.000 kata dan lebih fokus
daripada novelet, apalagi novel. Karena cerita yang disajikan dalam cerita pendek ini
tergolong singkat, biasanya cerita pendek hanya menceritakan kejadian yang tunggal, dengan
karakter yang tunggal, atau hanya beberapa. Berangkat dari realitas imajinatif, suatu cerita
pendek merupakan penceritaan yang dilakukan pengarang terhadap sesuatu hal. Di dalam
cerita pendek ini terkandung permasalahan yang muncul, perkembangan dari permasalahan
yang terjadi dan biasanya disertai pengakhiran terhadap permasalahan itu. Kekreatifan
seorang pengarang cerita pendek dengan sendirinya terletak pada kepekaan terhadap
permasalahan, cara yang dipakai untuk mengangkat dan merangkai permasalahan itu ke
dalam cerita, keahlian dalam menjaga runtutan cerita tentang permasalahan itu serta
kecerdikan dalam mengakhiri cerita yang dihadirkannya.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengembangkan, menyuburkan, dan
mengakarkan pendidikan karakter adalah mengoptimalkan pembelajaran apresiasi sastra di
sekolah. Melalui pembelajaran apresiasi sastra yang optimal, siswa didik akan dibawa pada
situasi pembelajaran yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan, menilai, menemukan,
20|
dan mengkonstruksi materi ajar yang mereka terima sesuai dengan pengalaman belajar yang
mereka temukan. Salah satu materi pembelajaran apresiasi sastra yang penting dan strategis
untuk menumbuhkembangkan pendidikan karakter adalah cerpen. Melalui pembelajaran
apresiasi cerpen yang optimal, siswa didik secara tidak langsung akan mendapatkan nutrisi
dan gizi batin yang akan mampu memberikan imbas positif terhadap perkembangan
kepribadian dan karakter mereka. Dengan cerpen, hati dan perasaan anak-anak akan terlibat
secara intens dan emosional ke dalam teks cerpen yang mereka pelajari, sehingga kepekaan
nurani mereka menjadi lebih tersentuh dan terasah. Dengan cara demikian, tanpa melalui pola
instruksional dan indoktrinasi yang monoton dan membosankan, anak-anak secara tidak
langsung akan belajar mengenal, memahami, dan menghayati berbagai macam nilai
kehidupan, untuk selanjutnya mereka aplikasikan dalam ranah kehidupan nyata sehari-hari.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis cerpen karya A.A Navis ini dengan
menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik,
yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur karya satra dari dalam. Pendekatan
struktural bertujuan memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur
karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural
merupakan hubungan antar unsur yang bersifat timbal balik, saling menentukan,
mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Membaca cerpen
berupa nilai-nilai dalam hal ini adalah nilai pendidikan karakter yang digunakan sebagai
cermin atau perbandingan dalam kehidupan. Sedangkan dipilihnya cerpen karya A.A. Navis
karena cerpen robohnya surau kami memiliki keistimewaan yaitu terletak pada teknik
penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis
menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara
tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta.
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI”
KARYA A.A NAVIS
Pendidikan karakter, cerpen, cerpen robohnya surau kami, pendekatan struktural
merupakan dasar dalam kajian teori ini. Oleh karena itulah, untuk memperjelas dasar-dasar
tersebut, berikut ini diuraikan mengenai teori keempat hal tersebut.
1. Cerpen
Berangkat dari realitas imajinatif, suatu cerita pendek merupakan penceritaan yang
dilakukan pengarang terhadap sesuatu hal. Di dalam cerita pendek ini terkandung
permasalahan yang muncul, perkembangan dari permasalahan yang terjadi dan biasanya
21|
disertai pengakhiran terhadap permasalahan itu. Kekreatifan seorang pengarang cerita pendek
dengan sendirinya terletak pada kepekaan terhadap permasalahan, cara yang dipakai untuk
mengangkat dan merangkai permasalahan itu ke dalam cerita, keahlian dalam menjaga
runtutan cerita tentang permasalahan itu serta kecerdikan dalam mengakhiri cerita yang
dihadirkannya.
Menurut Suryadi (2007, hlm.54), cerita pendek adalah sebuah narasi fiksi yang
panjangnya sekitar 500 sampai 10.000 kata dan lebih fokus daripada novelet, apalagi novel.
Karena cerita yang disajikan dalam cerita pendek ini tergolong singkat, biasanya cerita
pendek hanya menceritakan kejadian yang tunggal, dengan karakter yang tunggal, atau hanya
beberapa. Begitu pun Nurgiyantoro (1994, hlm.10), menurutnya sesuai dengan namanya,
cerita pendek merupakan cerita yang pendek. Pendek dalam arti, cerita ini dapat dibaca dalam
sekali duduk, dalam waktu antara setengah sampai dua jam.Selanjutnya berkenaan pengertian
cerita pendek di atas, dapat diketahui unsur-unsur yang membangun cerpen. Adapun unsur
intrinsik yang membangun cerpen adalah tema, alur, tokoh/ penokohan, latar, gaya, sudut
pandang dan amanat.
2. Pendidikan karakter
Cerpen sebagai sebuah karya sastra di dalamnya mengandung nilai-nilai sastra seperti
digambarkan menurut Darma (1981, hlm.6) bahwa karya sastra yang baik selalu memberi
pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Pesan ini dinamakan “moral”. Sering juga
dinamakan “amanat”. Maksudnya sama, yaitu sastra yang baik selalu mengajak pembaca
untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Dengan demikian sastra dianggap sebagai
sarana pendidikan moral. Pesan moral tersebut merupakan petunjuk tentang berbagai masalah
kehidupan seperti, tingkah laku, sopan santun dalam pergaulan, dan sebagainya. Pesan moral
yang bersifat praktis merupakan petunjuk yang dapat ditampilkan atau ditemukan modelnya
dalam kehidupan nyata. Hikmah yang diperoleh pembaca dalam karya sastra selalu dalam
pengertian baik. Jika karya sastra menampilkan isi dari tokoh yang kurang terpuji, tidak
berarti pengarang atau penulis menyarankan pembacanya untuk bersikap dan bertindak
demikian, tetapi ditampilkan agar tidak diikuti dan ditiru oleh pembaca.
Berkaitan dengan nilai moral di atas, Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan
panduan dalam mengidentifikasi nilai moral. Menurut Miskawaih (1994, hlm.46-50)
menyatakan bahwa indikator moral dimaksud dalam kajian ini adalah prinsip-prinsip moral
yang menentukan kriteria benar salahnya sesuatu teori. Standar nilai moral seperti yang
dikemukakan adalah sebagai berikut ini.
22|
No. Kategori moral Bentuk Karakteristik
1. Kearifan a. Pandai
b. Ingat
c. Berpikir
d. Kejernihan
e. Ketajaman/
kekuatan otak
Cepat mengambil kesimpulan
Menetapkan gambaran tentang
apa yang diserap oleh jiwa
Upaya mencocokan objek-objek
yang dijajaki oleh jiwa untuk
menyimpulkan apa yang
dikehendaki.
Kesiapan jiwa untuk berpikir
dan menyimpulkan apa yang
dikehendaki
Kemampuan jiwa untuk
merenungkan
pengalaman yang telah lewat
2. Kesederhanaan a. Rasa malu
b. Tenang
c. Sabar
d. Dermawan
e. Integritas
f. Puas
g. Loyal
Tindakan menahan diri untuk
tidak melakukan hal-hal yang
tidak senonoh
Kehati-hatian menghindari
celaan dan hinaan
Kemampuan untuk menguasai
diri ketika dilanda gejolak nafsu
Tegarnya diri terhadap
gempuran hawa nafsu, tidak
terjebak oleh kenikmatan
duniawi.
Menyedekahkan harta
seperlunya kepada yang berhak.
Kebajikan jiwa yang membuat
seseorang mencari harta dijalan
yang benar.
Tidak berlebihan dalam makan,
minum dan berhias
23|
h. Berdisiplin
i. Optimis
j. Kelembutan
k. Anggun
l. Berwibawa
m. Wara
Sikap jiwa yang tunduk kepada
hal-hal terpuji
Bersemangat dalam mencapai
kebaikan
Kondisi jiwa yang menilai
segalanya dengan benar dan
mentaatinya dengan benar
Keinginan melengkapi jiwa
dengan moral mulia
Lembut hati sampai ke jiwa dari
watak yang bebas dari
kegelisahan
Ketegaran jiwa dalam
menghadapi tuntutan duniawi
Pencetakan diri agar senantiasa
berbuat baik untuk mencapai
kesempurnaan jiwa
3. Keberanian a. Kebesaran
jiwa
b. Tegar
c. Ulet
d. Tenang
e. Tabah
Meninggalkan persoalan-
persoalan yang penting dan
yang tak penting serta mampu
menanggung kehormatan/
kehinaan
Kepercayaan diri dalam
menghadapi hal-hal yang
menakutkan
Bersungguh-sungguh
Kesiapan jiwa dalam
menghadapi nasib baik dan
nasib buruk, sekalipun
kesulitanya menyertai kematian
Kebajikan jiwa membuat
24|
f. Menguasai
diri
g. Perkasa
seseorang mencapai ketenangan
jiwa
Tidak mudah dirasuki bisikan-
bisikan yang mendorongnya
melakuakan kejahatan
Tidak mudah dilanda marah
Kemampuan mengendalikan diri
dalam menghadapi situasi-
situasi gawat
Kemampuan melakukan
pekerjaan-pekerjaan besar
dengan harapan memperoleh
reputasi baik.
4. Keadilan a. Bersahabat
b. Bersemangat
c. Sosial
d. Silahturahmi
e. Memberi
imbalan
f. Baik dalam
bekerjasama
g. Kejelian
dalam
memutuskan
persoalan
Cinta yang tulus,
memperhatikan orang,
memperhatikan masalah-
masalah sahabatnya
Berupaya seragam dalam
pendapat dan keyakinan
Bergotong royong
Berbagi kebaikan duniawi
kepada kerabat dekat
Membalas kebaikan dengan
kebaikan yang sama atau lebih
Mengambil dan memberi dalam
berbisnis dengan adil, sesuai
kepentingan dari pihak-pihak
yang bersangkutan.
Tepat dan adil dalam
25|
h. Cinta
i. Beribadah
/taqwa
memutuskan persoalan tanpa
diringi rasa menyesal dan
mengungkit-ungkit
Mengharapkan cinta dari
mereka yang dianggap puas
dengan cara hidup yang
dicapainya, juga dari mereka
yang dianggap orang-orang
mulia dengan cara bermanis
muka serta melakukan
perbuatan-perbuatan yang
mengundang simpati mereka
Mengagungkan asma Ilahi
Taala, memuji-Nya, patuh dan
tunduk pembela-Nya.
Standar nilai moral yang dikemukakan oleh Miskawaih selaras dengan nilai-nilai
moral pancasila sebagai acuan kehidupan bangsa Indonesia. Sesungguhnya nilai moral itu
berakar dalam sifat manusia itu sendiri. Kosasih (1999, hlm.130-131) menemukan beberapa
nilai moral yaitu (a) keberanian, (b) Ketaqwaan, (c) kesatriaan, (d) kesetiaan, (e)
persahabatan, (f) hormat pada orang tua, (g), kasih sayang orang tua terhadap anak, (h)
kesabaran, (i) kemanusiaan, (j) kedermawanan, (k) kesederhanaan, (l0 kepemimpinan.
Selanjutnya berkenaan dengan standar nilai moral diatas, menurut Rahmanto (1988,
hlm.24) menjelaskan bahwa dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat
diungkapkan sehubungan dengan pembentukan karakter siswa. Pertama, pengajaran sastra
hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam dibandingkan dengan pelajaran-
pelajaran lainnya. Sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita
mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti misalnya: kebahagiaan,
kebebasan, kesetiaan, kebanggaan diri sampai pada kelemahan, kekalahan, keputusasaan,
kebencian, perceraian dan kematian. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya
sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjukkan hal mana yang
bernilai dan mana yang tak bernilai. Kedua, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan
26|
bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang anatara lain
meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian dan penciptaan.
3. Pendekatan struktural dalam menganalisis cerpen
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik
fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya bagaimana
keadaan peristiwa-peristiwa, plot, penokohan dan tokoh, latar, sudut pandang, dengan
demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi
dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah
kemenyeluruhan. Selanjutnya berkaitan dengan pendekatan struktural di atas, menurut
Nurgiyantoro (2010, hlm.37), adapun langkah-langkahdalam menerapkan teori strukturalisme
adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasikan unsur-unsur instrinsik yang membangun karya
sastra secara lengkap dan jelas meliputi tema, tokoh, latar dan alur; 2) Mengkaji unsur-unsur
yang telah diidentifikasi sehingga diketahui bagaimana tema, tokoh, latar, dan alur dari
sebuah karya sastra; 3) Mendeskripsikan fungsi masing-masing unsur sehingga diketahui
tema, tokoh, latar, dan alur dari sebuah karya sastra; 4) Menghubungkan masing-masing
unsure sehingga diketahui tema, tokoh, latar, dan alur dalam sebuah karya sastra; 5) Demikian
dapat disimpulkan bahwa dalam analisis karya sastra, dalam hal ini cerpen, dapat dilakukan
dengan terlebih dahulu mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan kemudian
menghubungkan antar unsur instrinsik yang bersangkutan.
4. Telaah cerpen “ Robohnya SurauKami” karya A.A Navis dengan menggunakan
pendekatan struktural
Unsur intrinsik pada cerpen “Robohnya Surau Kami‟ karya A.A Navis
1) Tema adalah makna cerita, gagasan sentral atau dasar cerita. Dalam karyanya
pengarang bukan hanya ingin bercerita, namun ada sesuatu yang ingin disampaikan
kepada pembaca. Sesuatu yang ingin dikatakannya ini bisa masalah kehidupan,
pandangan hidupnya tentang kehidupan ini atau kornentar tentang kehidupan ini.
Tema cerpen Robohnya Surau Kami terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah
mendengar bualan Ajo Sidi. Dibuktikan pada kutipan berikut:
“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya
keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin
cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah
Subhanahu Wata‟ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan
aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku
27|
pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada
umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug
membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku
bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah”
kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ”
Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk.”
Gambaran tersebut di tegaskan kembali pada kutipan sebagai berikut.
“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau
takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan
kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal
engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan
mereka sedikitpun.”
2) Alur adalah struktur naratif bagi sebuah cerita dan harus dapat menjalankan tugasnya
dalam menyelaraskan gagasan hingga menjadi kesatuan yang bulat dan jelas didalam
aspek pengisahan suatu cerita. Sebuah cerita akan berhasil apabila didukung oleh
peristiwa-peristiwa yang disusun dalam rangkaian sebab akibat, karena kewajarannya,
kejadian-kejadian dalam cerita itu menjadi hidup dan dapat diterima akal.
Alur yang dipakai dalam cerpen Robohnya Surau Kami yaitu alur maju dan mundur,
dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh
tokoh Aku kisah tersebut diceritakan, dan juga menceritakan tentang sebab
meninggalkan seorang kakek penjaga surau dan kemudian menceritakan kembali
lanjutan kisah tersebut.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua….
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang
memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah
meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak
dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahny. Dan besoknya, ketika Aku mau
turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang
meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.
“Kakek?”
3) Tokoh/ penokohan adalah tokoh dapat dijelaskan sebagai pelaku yang bertindak tau
beraksi yang berfungsi sebagai penggerak tema dan persoalan dalam sebuah karya
sastra. tokohlah yang berfungsi sebagai pengembang tema dan persoalan yang menjadi
pemikiran atau renungan pengarang. Selain manusia, tokoh juga boleh diisi oleh
binatang atau apa saja yang dapat menggerakkan suatu cerita. Sedangkan penokohan
28|
merupakan sifat-sifat atau keadaan yang digambarkan oleh pengarang melalui tokoh
ciptaannya. Penokohan ini boleh bersifat lahiriah seperti melukiskan bentuk badan
ataupun batiniah seperti menggambarkan sikap dan emosi.
a. Tokoh aku
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya “tokoh aku” ini, kita
bisa mengetahui bahwa kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara
menggorok lehernya dengan pisau cukur. Pengarang menggambarkan tokoh ini
sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Dibuktikan pada kutipan sebagai
berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo
Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan
kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku
tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan
istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa
sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
b. Tokoh kakek
Tokoh ini merupakan tokoh sentral. Tokoh ini digambarkan sebagai orang yang
mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang lain, pendek akal dan
pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.Penggambaran
watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cerita/bualan Ajo Sidi.
Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia
mudah termakan omongan Ajo Sidi, sehingga dia bisa membenahi kehidupannya
sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia lebih mengambil jalan pintas
yaitu memilih untuk bunuh diri.Gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu
mementingkan diri sendiri melalui ucapanya sendiri, dibuktikan pada kutipan seperti
berikut:
“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya
keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku…
c. Tokoh Ajo sidi
Tokoh ini sangat istimewa dan sangat berpengaruh. Tokoh ini tidak banyak
dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini. Secara jelas tokoh
ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku.
Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena
29|
Ajo sidi mampu mengikat orang-orang dengan bualanya yang aneh sepanjang hari,
siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena.
Dibuktikan pada kutipan berikut ini:
….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku
ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat
orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari”.
d. Tokoh Haji Saleh
Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Secara jelas terlihat watak tokoh ini
digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.
4) Latar adalah landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang yang diceritakan.
a. Latar tempat : Latar tempat yang ada dalam cerpen ini adalah: di kota, dekat pasar,
di surau, di akhirat, kolam, dan sebagainya. Dibuktikan pada kutipan:
“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri
jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah
Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima,
membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui
sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui
empat buah pancuran mandi.
b. Latar waktu
Latar waktu yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar
tempat, seperti tergambarkan pada kutipan sebagai berikut.
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa
orang-orang yang sudah berpulang ….”
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan
suatu kebencian yang bakal roboh ………
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek
“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….”
5) Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuangkan
makna dan suasanadapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Pada cerpen
ini pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan
dalam cerpen ini agama Islam, seperti kata garin, Allah Subhanau Wataala,
Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga,
Neraka, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-
30|
Mu, kitab-Mu, Malaikat, dan sebagainya. Majas yang digunakan dalam cerpen ini
diantaranya majas alegori, parabola, dan sinisme.
6) Sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita.
Cerpen Robohnya Surau Kami pengarang memposisikan dirinya dalam cerita ini
sebagi tokoh utama sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini
terasa pada bagian awal cerita, hal ini tergambarkan pada kutipan berikut ini:
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira
menerimaku, karena aku suka memberinya uang….
7) Amanat adalah suatu saran yang berhubungan ajaran moral tertentu yang bersifat
praktis yang dapat diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.
Amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar yang
terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah:
a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena
ada perbuatan kita yang kurang baik di hadapan orang lain. Amanat ini dibuktikan pada
kutipan:
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam.
Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya,
ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal
kepada Tuhan .…”
b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja
baik dihadapan manusia tetapi belum tentu baik di hadapan Tuhan itu. Dibuktikan pada:
“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya
didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang
ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke
Mekkah….
c) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, dibuktikan pada kutipan:
“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka.
Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras.
Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja,
karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. …
d) Jangan mementingkan diri sendiri, karena hidup perlu bersosialisasi/ menjaga
silahturahmi dengan sesamanya. Dibuktikan pada bagian:
”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri.
31|
Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau
melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu
sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya.
5. Nilai – Nilai Pendidikan Karakter yang terdapat pada cerpen “Robohnya Surau Kami‟
karya A.A Navis
1. Taat beribadah/ taqwa, hal ini tergambarkan dalam ketaatan tokoh kakek dalam
beribadah,
2. Loyal, sikap jiwa yang tunduk kepada hal-hal terpuji, hal ini tergambarkan pada
ketakutan tokoh kakek melakukan sesuatu yang dapat merusak ibadahnya
3. Sabar, hal ini tergambarkan sifat sabar dan tawakal dari tokoh kakek
4. Ikhlas, tergambar dalam sifat ikhlas yang dimiliki tokoh kakek terlihat dalam
keredhoannya membantu mengasah pisau tanpa mengharapkan upah,
5. Wara, hal ini terlihat dalam tokoh haji Soleh yang selalu menghentikan larangan Allah
dengan tidak pernah berbuat jahat,
6. Larangan menyombongkan diri
7. Ulet, bersungguh-sungguh untuk berusaha di dunia dan di akhirat
8. Silahturahmi, Berbagi kebaikan duniawi kepada kerabat/ sesama, hidup harus
bersosialisasi jangan mementingkan diri sendiri/ persaudaraan dengan sesama/ saling
peduli dengan sesama
9. Tabah dan tenang, bisa menguasai diri, jangan cepat marah, kita harus tenang dalam
menghadapi masalah, sehingga tidak boleh untuk melakukan bunuh diri.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik yang ada pada cerpen “Robohnya Surau
Kami” adalah sebagai berikut: a) Tema: tema dalam cerpen ini adalah persoalan batin kakek
setelah mendengar bualan Ajo Sidi; b) latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat dan
latar waktu; c) alur yang ada dalam cerpen ini adalah alur maju dan mundur; d) tokoh yang
ada dalam cerpen ini adalah tokoh Aku, tokoh Kakek, tokoh Ajo sidi dan tokoh Haji Saleh; e)
gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen ini pengarang menggunakan kata-kata yang biasa
digunakan dalam bidang keagamaan (Islam) seperti kata garin, Allah Subhanau Wataala,
Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga,
Neraka, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, dan sebagainya;
f) sudut pandang yang digunakan cerpen Robohnya Surau Kami pengarang memposisikan
dirinya dalam cerita ini sebagai tokoh utama sebab secara langsung pengarang terlibat di
32|
dalam cerita; dan g) amanat yang ada dalam cerpen ini adalah jangan cepat marah, jangan
menyi-nyiakan apa yang kamu miliki, jangan sombong/ berbangga hati, dan jangan
mementingkan diri sendiri.
Cerpen “Robohnya Surau Kami karya A.A Navis” ini adalah sebuah karya sastra
(cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik
pembangunnya, selain itu dalam cerpen ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran
khususnya dalam pembentukan pendidikan karakter. Karena dalam cerpen tersebut
mengandung nilai-nilai moral.
Daftar Pustaka
Aminudin. (2004). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Badudu, J.S. (1984). Sari Kesustraan Indonesia 1. Bandung: CV Pustaka Prima.
Darma, Budi. (1981). Moral dalam sastra, Pidato Ilmiah. Surabaya. IKIP.
Djahiri, A. Kosasih. (1989). Teknik Pengembangan Program Pengajaran Pendidikan Nilai
Moral. Bandung: Lab. PMPKn. FPIPS IKIP Bandung.
Miskawaih, Ibn. (1994). Menuju Kesempurnaan Akhlak (terjemahan). Bandung: Mizan
Navis, A.A. (2010). Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Noor, Redyanto. (2004). Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fakultas Sastra
Universitas Diponegoro.
Nurgiyantoro, Burhan. (1998). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Rahmanto, B.(1988). Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
33|
BUDAYA KONTEKS TINGGI: STUDI KASUS BUDAYA INDONESIA DAN CHINA
Meli
Universitas Sun Yat-Sen, Guangzhou, Provinsi Guangdong, China
Pos-el: [email protected]
Abstrak
Diberlakukannya pasar bebas menyebabkan peran komunikasi lintas-budaya sangat penting. Dunia
sebagai pasar global membuat transaksi perekonomian menjadi tanpa batas ruang dan waktu. Untuk
itu dibutuhkan keterampilan komunikasi lintas-budaya yang efektif untuk dapat berhasil dalam
persaingan global. Perbedaan budaya memberikan tantangan yang unik dan sering mengakibatkan
kesalahpahaman. Komunikasi lintas-budaya ini penting karena dalam interaksi sosial sehari-hari,
paparan budaya yang berbeda tidak bisa dihindari. Di dalam komunikasi biasa antara dua orang,
adalah 35% komponen verbal, sedangkan 65% terjadi secara non-verbal (Ray L. Birdwhistell, 1969)
1). Negara Indonesia dan China termasuk negara yang berbudaya konteks tinggi, namun masih saja
ada beberapa faktor budaya di antara keduanya yang berbeda, yang juga menjadi ciri khas masing-
masing. Dalam artikel ini akan dijelaskan beberapa budaya khas, khususnya yang berkaitan dengan
komunikasi lintas budaya di antara keduanya yang memiliki persamaan ataupun perbedaan, baik
verbal maupun non-verbal.
Kata kunci: budaya konteks tinggi, China, Indonesia, komunikasi, lintas-budaya.
Abstract
Enactment of the free market lead role of cross-cultural communication is very important. The world
as a global market makes economic transactions become infinite space and time. That requires cross-
cultural communication skills effective to be able to succeed in global competition. Cultural
differences present unique challenges and often lead to misunderstandings. Cross-cultural
communication is important because in everyday social interaction, exposure to different cultures can
not be avoided. In the normal communication between two people, the verbal component is 35%, while
65% occurred in non-verbal (Ray L. Birdwhistell, 1969) 1). Indonesia and China is State, including
the cultural context of the high country, but still there are some cultural factors between the two are
different, which is also a characteristic of each. In this article will explain some typical culture,
particularly with regard to cross-cultural communication between the two which have similarities or
differences, both verbal and non-verbal.
Keywords: high-context culture, China, Indonesia, communication, cross-cultural.
PENDAHULUAN
Kerja sama di berbagai bidang antara negara Indonesia dan China makin hari makin erat.
Dalam hal penanaman modal asing, nilai investasi negara China di Indonesia semakin
meningkat, pada tahun 2011 bernilai 128,2 juta dolar AS, tahun 2012 bernilai 141 juta dolar
AS dan pada triwulan pertama tahun 2013 bernilai 60, 2 juta dolar AS.1 Dalam bidang
pendidikan, kian banyak orang Indonesia yang ingin belajar bahasa Mandarin (lihat
pertumbuhan jumlah pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan pada tabel 1) dan
1 Sumber: http://www.kemendag.go.id/ko/news/2013/05/03/-nilai-perdagangan-ri-china-ditargetkan-usd80-miliar, diakses 16
Juni 2013.
34|
sebaliknya makin banyak orang China ingin mempelajari bahasa Indonesia. Dalam hubungan
interaksi tersebut akan terjadi proses komunikasi baik verbal maupun non-verbal. Untuk dapat
memahami lawan bicara, ada baiknya kita juga mempelajari budaya dari lawan bicara kita.
Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindari kesalahpahaman.
Tahun Jumlah Peringkat
negara
2010 9.539 7
2011 10.957 7
2012 13.144 6
Tabel 1: Jumlah pertumbuhan pelajar Indonesia di China Tahun 2010-20122
Yang dimaksud dengan k orang China dalam tulisan di sini adalah orang China asli yang
lahir dan dibesarkan di negara China, yang sebagian besar penduduknya bersuku bangsa Han.
Yang dimaksud dengan kebudayaan China adalah kebudayaan China yang kebudayaannya
juga terus berkembang sejalan waktu dan karena politik pintu terbukanya telah membuat
sebagian kecil dari kebudayaannya mengadopsi budaya asing terutama dari barat. (tidak
termasuk orang dan kebudayaan China peranakan yang sudah mengasimilisasi kebudayaan
lokal Indonesia).
PEMBAHASAN
Budaya
"Budaya" dalam bahasa inggris “culture” berasal dari kata Latin “cultura”, yang dalam
arti luasnya adalah aktivitas interaksi manusia. Untuk mempelajari komunikasi lintas-budaya
kita harus mempelajari pengetahuan tentang budaya, lalu menggunakannya untuk
menafsirkan pengalaman perilaku sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pengetahuan ini
berbentuk nilai, perilaku yang tercipta serta pengaruh bersikap. Kebanyakan sarjana setuju
dengan karakteristik budaya yang disimpulkan oleh Richard M Hodgetts dan Fred Luthans di
bawah ini3:
1. Pelajaran. Budaya tidak diwariskan secara fisiologis, didapatkan dari proses belajar dan
pengalaman.
2. Berbagi. Manusia adalah bagian dari suatu kelompok, organisasi atau komunitas, bukan
individu tunggal tertentu.
3. Akumulasi lintas-budaya, dari generasi ke generasi.
2 Sumber : China Association for International Education (CAFSA). http://www.cafsa.org.cn, diakses 16 Juni 2013.
3 Hodgetts Richard M , Fred Luthans, " International Management: Culture Strategy and Behavior ", New York: Mc. Graw Hill,
2003- 5th
ed, hal:108.
35|
4. Simbolis. Dasar dari budaya adalah kemampuan manusia menggunakan simbol atau
sesuatu mewakili hal lainnya.
5. Ada pola. Berstruktur dan terpadu: perubahan pada satu bagian akan membawa
perubahan lainnya.
6. Adaptif. Budaya didasarkan pada kemampuan manusia untuk mengubah atau
menyesuaikan diri, tidak seperti proses adaptif hewan yang didorong sifat genetiknya.
Pola budaya
Pola budaya atau orientasi budaya pertama kali diperkenalkan Ruth Bennedict (1934), ia
mencatat bahwa budaya ditampilkan sesuai dengan cara hidup manusia, melalui identitas
budaya yang unik. Dia mengatakan bahwa sekelompok orang akan menciptakan konfigurasi
khusus dari budaya mereka dan membuat atribut budaya yang unik.
Pola budaya tidak bisa dilihat atau dialami, karena termasuk didalamnya adalah pikiran,
gagasan, dan bahkan filsafat kebijaksanaan manusia. Pola budaya biasanya terbentuk dari
nilai-nilai, keyakinan atau kepercayaan dan norma (aturan). Ada enam dasar perbedaan
budaya menurut DuPraw (2001)4, yaitu:
1. corak komunikasi yang berbeda;
2. sikap yang berbeda terhadap konflik;
3. pendekatan yang berbeda dalam menyempurnakan tugas;
4. corak pengambilan keputusan yang berbeda;
5. sikap yang berbeda dalam menyingkap sesuatu;
6. pendekatan yang berbeda dalam mengetahui sesuatu.
Keragaman budaya
Ada banyak perbedaan budaya pada komunikasi budaya. Mungkin yang paling penting
adalah budaya mempengaruhi pemikiran dan perilaku masyarakat. Berikut adalah beberapa
contoh cara berjabat tangan di beberapa negara (Richard M Hodgetts dan Fred Luthans, hlm.
109)
Amerika Serikat kuat
Asia lembut (bagi sebagian orang, jabat tangan bukan kebiasaan yang akrab
dan nyaman, pengecualian adalah negara Korea Selatan, yang biasanya
memiliki jabat tangan erat)
Inggris lembut
4 Liliweri, Alo, Prasangka & konflik: Komunikasi Lintas sektor masyarakat multikultur "prasangka dan konflik: masyarakat
multi-budaya, komunikasi antar budaya", Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara penerbitan, 2005. Hal:376.
36|
Perancis ringan dan cepat (tetapi tidak untuk atasan mereka), diulang pada saat
kedatangan dan keberangkatan
Jerman cepat dan tegas, diulang pada saat kedatangan dan keberangkatan.
Amerika latin sedang; sering diulang
Timur Tengah lembut; sering diulang
Sekarang kita bandingkan salah satu dimensi dalam orientasi hubungan budaya
“Trompenaars” yang membedakan budaya Indonesia dan China di bawah ini5:
Gambar 1
Dalam dimensi budaya hubungan netral dan emosional, dipetakan bahwa orang China
mempunyai orientasi yang emosional sedangkan orang Indonesia berorientasi netral. Orang
yang berorientasi budaya emosional akan mengekpresikan emosinya secara terbuka dan
alami, misal apabila sukses akan banyak tersenyum, berbicara keras ketika bersemangat.
Seperti yang dikemukan Bo Yang (Allen & Unwin, 1992, hlm. 44-45), orang-orang China
emosional, terlalu subyektif dan sering terpengaruh oleh suasana hati mereka. Orang China
membuat penilaian hanya berdasarkan kesan dan pengalaman mereka sendiri. Walaupun
China adalah negara besar, tapi masih banyak orang-orang China berpikiran sempit
Ketika orang yang berasal dari negara berlatar belakang budaya emosional berhubungan
dengan budaya netral, maka orang yang berbudaya emosional harus menyadari bahwa
kurangnya ekspresi dari orang berbudaya netral tidak berarti bahwa mereka tidak tertarik atau
bosan, sebaliknya yang berbudaya netral harus mencoba untuk dapat menanggapi lebih hangat
ekspresi emosional dari rekan berbudaya emosional.
Contoh kasus ketika di negara China dalam beberapa tahun ini mencuat kasus perebutan
hak atas Pulau Diaoyu dengan Jepang, seluruh masyarakat China menunjukkan emosinya
dengan sikap antipati terhadap orang Jepang, bahkan di beberapa kota terjadi penolakan dan
pemukulan terhadap orang Jepang. kebencian orang China terhadap orang Jepang dipicu pula
dengan peristiwa sejarah di masa lalu, di mana pada masa pendudukan Jepang tahun 1940-an
terjadi pembantaian terhadap orang China. Sebaliknya jika hal ini terjadi di Indonesia,
5 Hodgetts Richard M , Fred Luthans, " International Management: Culture Strategy and Behavior ", Mc. Graw Hill, 2003- 5
th
ed, hal:126,128,132.
37|
meskipun sebagian kecil masih terlibat konflik (missal dengan negara Malaysia), akan tetapi
sebagian besar masih memegang prinsip “diam adalah emas”.
Komunikasi
Komunikasi adalah salah satu disiplin ilmu tertua, baru berkembang akhir-akhir ini.
Orang Yunani Kuno menempatkan teori dan praktek komunikasi sebagai sesuatu yang
evaluatif. Sedangkan sekarang, arti komunikasi sudah bercampur aduk menjadi sesuatu yang
aktif, berkaitan dengan ilmu sosial, seni bebas dan karir. Sesuai dengan ilmu etimologi, kata
komunikasi berasal dari bahasa latin “communicatus, communis” yang berarti 'berbagi' atau
'menjadi milik umum' yang berarti, tujuan komunikasi adalah kesatuan dan kesamaan.
Terminologi untuk mengekspresikan komunikasi mengacu pada seseorang yang
menyampaikan informasi kepada orang lain dalam suatu proses. Jadi dalam pengertian ini,
komunikasi melibatkan manusia. Menurut Ruben dan Steward (1998, hlm. 16) interpretasi
komunikasi interpersonal adalah "proses yang melibatkan individu-individu baik secara
pribadi, dalam kelompok, organisasi, dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan
untuk beradaptasi dan pembentukan informasi dalam rangka beradaptasi satu sama lain."
Untuk memahami makna komunikasi, sarjana komunikasi sering mengutip paradigma
Harold Lasswell (1948). Dalam karyanya "The structure and function of communication in
society". Lasswell mengatakan, proses komunikasi sederhana adalah komunikator membuat
pesan, dan melalui media, komunikan menerima pesan tersebut yang kemudian
menyebabkan efek tertentu.
Perkembangan teknologi informasi dan navigasi turut mendorong kemajuan pasar global
modern. Zaman sekarang manusia dimungkinkan untuk melakukan segalanya tanpa batas
ruang antar negara dengan cepat dan efisien. Dunia telah menjadi pasar global dengan
berbagai budaya yang berbeda, Namun, budaya yang berbeda biasanya dapat menjadi
penghalang. Sehingga pada era globalisasi ini, keterampilan dan pemahaman komunikasi
lintas-budaya sangat penting. Komunikasi lintas-budaya adalah proses komunikasi antara
manusia dalam budaya yang berbeda (baik ras, etnis, atau sosial ekonomi),
SEPINTAS MENGENAI BUDAYA KONTEKS TINGKAT TINGGI DAN RENDAH
HCC DAN LCC
Antropolog Edward T. Hall (1976) mengusulkan sebuah teori tentang budaya konteks
tinggi dan rendah. Teori ini membantu kita untuk lebih memahami pengaruh kuat dari budaya
terhadap komunikasi. Menurut cara orang berkomunikasi, Hall telah membaginya menjadi
budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah. Budaya konteks tinggi (HCC ) memiliki
38|
tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam menyampaikan pesan, termasuk di dalamnya adalah
kebanyakan negara di Timur Tengah, Asia, Afrika, dan beberapa negara Amerika Selatan.
Pada budaya konteks tinggi pesan-pesan nonverbal memainkan peranan yang penting dan
kebanyakan makna sebuah pesan diinternalisasi oleh pendengar atau tergantung pada konteks.
Budaya ini menganggap penting ketidaklangsungan dalam pembicaraan karena pendengar
diharapkan untuk lebih tidak memerhatikan kode eksplisit dibandingkan makna yang
dipahami melalui petunjuk nonverbal dan konteks.
Sebaliknya, budaya konteks rendah, termasuk didalamnya sebagian besar negara-negara
di Amerika Utara dan Eropa Barat, makna ditemukan dalam kode atau pesan yang eksplisit.
Berbicara secara langsung dan apa adanya dianggap bernilai. Pendengar diharapkan
memahami makna berdasarkan hanya pada kata-kata yang digunakan pembicara. Berikut ini
adalah perbedaan latar belakang budaya yang mendasari budaya konteks tinggi dan rendah:
a. Struktur masyarakat
Budaya tinggi cenderung berstruktur feodal tinggi, budaya rendah mempunyai hubungan
yang lebih intim dan kesetaraan.
b. Penyampaian informasi
Budaya tinggi biasanya menggunakan ekspresi non-verbal, seperti alegori dan metafora,
memutar gaya bahasa sering tidak pada tujuannya langsung, tidak jelas. Gaya komunikasi
konteks tinggi mencerminkan hirarki sosial dan gaya hidup. Berbicara yang sopan dianjurkan
untuk menjaga keharmonisan masyarakat. dibandingkan budaya konteks rendah, orang dari
konteks budaya tinggi jarang berbicara, seperti pepatah filsuf China Laozi ”zhizhe bu yan,
yanzhe bu zhi”6 yang artinya kurang lebih adalah orang yang bijaksana tidak akan
sembarangan berbicara, karena orang yang sembarangan bicara adalah orang yang tidak
berwawasan.
Orang-orang dari budaya konteks rendah menggunakan nilai logika, fakta, benar-benar
jelas, pasti, dan hubungan kausal yang langsung sehingga mudah dimengerti, tidak
menggunakan kondisi yang kompleks dan sulit dimengerti. Informasi yang disampaikan
secara garis besar sudah cukup. Diam dipandang sebagai hal yang negatif, dan harus
dihindari.
c. Membangun hubungan antar personal
Budaya tinggi bersandar pada aspek hubungan, kolektivisme, intuitif dan kontemplasi.
Orang dalam budaya konteks tinggi diatur oleh intuisi dan perasaan. Kata-kata dianggap tidak
begitu penting sebagai konteks, yang termasuk didalamnya adalah nada bicara, ekspresi
6 Sumber: Kitab Dao De, Bab 56 (道德经,第五十六章:知者不言,言者不知)
39|
wajah, gerak tubuh, postur tubuh bahkan sejarah dan status keluarga. Bahasa yang beretorika
dan rendah hati serta sering meminta maaf adalah tipe orang dari budaya ini. Ini berarti bahwa
orang dalam budaya ini menekankan hubungan interpersonal. Mengembangkan kepercayaan
merupakan langkah penting yang pertama dalam setiap komunikasi dan hubungan. Budaya
konteks rendah lebih logis, linier, individualis, dan berorientasi pada tindakan.
d. Masalah legal dan etika yang berbeda
Budaya tinggi lebih menitikberatkan perhatian pada perjanjian lisan, sedangkan budaya
rendah pada kesepakatan tertulis. Dalam budaya konteks tinggi orang dinyatakan bersalah
sejak dari penangkapan oleh polisi sampai proses di pengadilan, sementara dalam budaya
rendah sebelum hakim di pengadilan menyatakan bersalah maka status hukum orang tersebut
tidak diumumkan.
e. Perbedaan dalam aspek-aspek sosial
Berdasarkan aspek sosial, dibagi menjadi empat bagian, yaitu: konsep materi, peran dan
status, kesopanan, serta konsep waktu, seperti di bawah ini:
a) Konsep materi.
Budaya konteks tinggi: mendapat pekerjaan lebih penting daripada bekerja secara efektif.
Budaya konteks rendah: berorientasi tujuan, materi berasal dari kemampuan individu.
b) Karakter dan status
Pada budaya konteks tinggi, menyapa atasan atau orang yang berkedudukan lebih tinggi
harus dengan hormat. Status sosial sangat penting, bahkan dalam hubungan di dalam dan
di luar pekerjaan. Hubungan antara atasan dan bawahan harus jelas, sering kali ada jarak.
Pada budaya konteks rendah, menyapa atasan tidak perlu dengan hormat, hubungan
antara atasan dan bawahan terbuka, tidak ada perbedaan. Di luar jam kerja, atasan dan
bawahan tidak membawa status pekerjaan mereka, bahkan bisa menjadi teman baik.
c) Kesopanan
Budaya konteks tinggi, mengirim hadiah kepada istri teman dianggap tidak pantas, tidak
sopan, apalagi bila mencium istri teman, akan dianggap sebagai hal yang buruk.
Budaya konteks rendah, hadiah kepada istri teman dianggap normal, beradab. mencium
istri teman dianggap sebagai ekspresi dari semangat dan persahabatan, adalah sesuatu
yang wajar dan normal.
d) Konsep waktu
Budaya konteks tinggi, sering tidak memandang pentingnya waktu, sehingga terlambat
adalah hal yang biasa.
40|
Budaya konteks rendah, waktu direncanakan sedemikian rupa agar bekerja secara efektif.
Waktu adalah hal yang sangat berharga.
KOMUNIKASI LINTAS-BUDAYA ANTARA INDONESIA DAN CHINA
Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah jelas bahwa konteks budaya Indonesia dan
China termasuk dalam negara yang berbudaya konteks tinggi, ada banyak komunikasi non-
verbal menjadi karakteristik kedua negara ini. Selain itu, ada efek yang berbeda pada budaya
dan kebiasaan masing-masing negara. Kita diharapkan menyadari kesamaan dan perbedaan
budaya dan adat istiadat dari kedua negara, sehingga hubungan komunikasi budaya antara
keduanya tidak akan menyebabkan benturan-benturan. Berikut ini akan dibahas beberapa
persamaan dan perbedaan tersebut:
a. Hubungan antara manusia
Ada banyak persamaan dalam aspek hubungan antar manusia dalam kebudayaan China
dan Indonesia. Ajaran Konfusiusme atau konghucu berasal dari Cina, adalah Konfusius (551-
479 SM) yang menyebarkannya. Konfusius mengajarkan sistem moral dan etika dalam
membangun hubungan yang ideal dengan keluarga dan negara. Sifat hubungan adalah
hubungan antara:
a. orang tua dan anak;
b. yang tua dan yang muda;
c. suami dan istri;
d. teman;
e. pemerintah dan warga.
Ajaran Konghucu berfokus pada kesetiaan kepada raja dan negara, moral dan berbakti
kepada orang tua. Selain itu, menekankan pada perilaku apa yang harus dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti pembentukan masyarakat dan bagaimana metode pendidikan
yang baik. Indonesia adalah negara yang bersahabat. Masyarakat Indonesia (pernah
mendapatkan ajaran Budha dan Hindu kuno) bertutur kata lembut dan berbicara dengan
sopan. Dalam nilai-nilai tata kontrol ada banyak kesamaan, status manusia berdasarkan usia,
status/kelas sosial, dengan kata lain hubungan komunikasi manusia adalah vertikal. Selain itu
masyarakat Konghucu China dan tradisi budaya Indonesia sangat menganggap penting
keluarga. Meskipun dalam kondisi yang sulit, mereka tidak akan lupa berbakti pada orang tua.
Ada ungkapan bahasa Jawa yang mengatakan: mangan ora mangan ngumpul, yang berarti
bahwa beban kebahagiaan dan kesulitan ditanggung bersama-sama. Intinya di sini adalah
kebersamaan untuk menghadapi semua masalah kehidupan.
41|
Dalam hubungan pertemanan juga ada kesamaan, orang China dan Indonesia memandang
hubungan pertemanan lebih tinggi daripada negara-negara barat, ada pepatah mengatakan “Di
rumah Anda bersandar pada orang tua, dalam masyarakat Anda bersandar pada teman-teman”
Selain itu ada kesamaan dalam hal cara pandang terhadap posisi perempuan. Dalam
masyarakat Konfusius China, istri atau perempuan masih dianggap orang luar. Di Indonesia
juga, peran istri berada setelah teman. Dalam pekerjaan, masih banyak perusahaan yang lebih
mementingkan mencari pegawai pria daripada perempuan. Dalam hal keturunan juga
demikian, banyak pasangan lebih menginginkan anak laki-laki daripada perempuan.
Perbedaannya, hal ini di China diperburuk lagi dengan kebijakan satu anak dari pemerintah.
Hal ini menimbulkan banyaknya praktek aborsi. Mengetahui dan memberitahukan jenis
kelamin janin yang dikandung adalah hal yang ilegal dan melanggar hukum di China.
Ada perbedaan dalam membangun hubungan pertemanan yang baru. seperti yang
dikatakan Bo Yang (Allen & Unwin, 1992, hlm. 55), orang-orang China bersikap cemas,
mudah terpancing emosi, dan paranoid bahwa orang lain akan mengambil keuntungan dari
mereka. Hal ini membuat orang-orang China terlalu berhati-hati, defensive, dan waspada
terhadap orang lain. Berbeda dengan orang Indonesia yang bersifat terbuka terhadap orang
baru.
b. Etiket di tempat umum
Dalam hal ini, ada banyak perbedaan di antara keduanya. Di Indonesia, meludah di depan
umum, kentut, bahkan menguap adalah perilaku yang dinilai tidak tepat dan tidak sopan. Di
China hal ini dianggap biasa dan pemandangan ini sering terlihat. Ada fenomena di China,
jika ada pria dan wanita dewasa saling memegang tangan, berpelukan bahkan berciuman, itu
adalah wajar dan normal. Di Indonesia, sepasang kekasih yang berangkulan atau berciuman di
tempat umum akan dianggap masyarakat tidak sopan, bertentangan dengan aturan umum. Di
China, di banyak tempat ramai saling mendorong biasa terjadi. Namun, jika ini terjadi di
Indonesia, bisa menyebabkan kerusuhan.
Orang China terkenal paling berisik sedunia, adakalanya kita berpikir mereka sedang
bertengkar. Orang China berbicara dengan keras termasuk di tempat umum, hal ini
dikarenakan orang China secara alami merasa tidak aman, sehingga berprinsip makin keras
berbicara menunjukkan eksistensi dan kebenaran. Berbeda halnya dengan orang Batak
Indonesia, orang Batak berbicara keras dikarenakan sejarah faktor geografi tempat tinggalnya
di daerah pegunungan dan perumahan yang jauh satu sama lainnya, mengharuskan mereka
berbicara keras supaya terdengar, dan ini menjadi kebiasaan sampai sekarang.
42|
c. Cara makan
Pada umumnya, cara makan di keluarga Indonesia dan China dapat dikatakan hampir
sama. Saat makan, kita tidak boleh terlalu banyak bercakap-cakap, saat mengunyah tidak
mengeluarkan suara, berusaha untuk tidak membuat makanan di piring atau mangkuk menjadi
berantakan.
Di China, setiap orang menggunakan sumpit untuk makan, bisa menggunakan sumpit
mereka sendiri untuk mengambil lauk pauk ke piring makannya. Setelah selesai makan,
sendok dan sumpit ditaruh rapi di sisi mangkuk, jika sendok dan sumpit masih pada mangkuk
nasi atau sup, maka dianggap belum selesai. Orang Cina tidak akan mengubur sumpit atau
sendok ke dalam nasi, karena hal ini seperti memberikan hidangan kepada orang mati (dalam
keluarga Tionghoa Indonesia yang masih memasang dan menyembayangi leluhurnya, kita
dapat melihat adanya hidangan yang ditusukkan dupa). Jika tamu melakukan hal ini maka
akan dianggap tidak menghormati tuan rumah.
Di Indonesia, cara makan ada dua, pertama menggunakan sendok dan garpu, kedua
menggunakan tangan. Di Indonesia, orang menggunakan sendok untuk makan, di setiap
piring hidangan akan tersedia sendok khusus untuk mengambil hidangan ke piring makan,
kurang lebih sama dengan aturan makan kebiasaan negara barat, akan tetapi bila sudah selesai
makan, sendok dan garpu diletakkan terbalik menyilang di piring.
Kebiasaan undangan makan di China, pengundang akan datang dan duduk terlebih dahulu
untuk menunggu. Tamu penting akan dipersilakan duduk di tempat yang menghadap pintu
masuk. Tuan rumah biasanya akan mempersilakan tamu untuk memulai, seringkali
pengundang atau orang yang kedudukannya lebih rendah mengambilkan makanan untuk
tamunya. Di Indonesia, ada kebiasaan istri melayani suaminya sewaktu makan, seperti
mengambilkan nasi dan lauk. Jamuan makan diselingi acara bincang-bincang sehingga
biasanya memakan waktu yang sangat lama. Saling mengundang makan sering dilakukan,
sebagai bentuk untuk mempererat persahabatan bahkan hubungan kerja.
Tuan rumah berusaha semaksimalnya menjamu dan menemani tamu makan. Makanan
yang disediakan selalu berlebih, misal jumlah tamu lima orang, maka tuan rumah akan
menyediakan enam macam masakan ditambah sejenis sup (sebagai pembuka atau penutup).
Walaupun tuan rumah sudah merasa kenyang, tapi akan tetap menemani bersantap dan tidak
akan menaruh sumpitnya terlebih dahulu. Bila jamuan berakhir maka sebaiknya salah seorang
tamu mengakhirinya dengan mengangkat gelas minuman dan mengajak bersama-sama semua
43|
yang hadir untuk bersulang sambil mengucapkan sepatah dua kata ucapan terima kasih atau
harapan.
d. Undangan bertamu
Di China, jika orang diundang untuk mengunjungi rumah seseorang, maka orang tersebut
akan membawa bingkisan untuk dihadiahkan kepada tuan rumah, dan pada akhir kunjungan
tuan rumah juga akan memberikan sesuatu sebagai jawaban atas hadiah tersebut. Di
Indonesia, para tamu tidak ada keharusan membawa bingkisan, kalaupun membawa, tuan
rumah tidak perlu untuk memberi bingkisan balasan. Lain halnya, Ketika pesta ulang tahun
atau pernikahan ada kebiasaan pada orang Indonesia untuk memberikan kenang-kenangan
atau souvenir.
Ketika bertamu, orang Indonesia memiliki kebiasaan melepas alas kaki, terutama jika
Anda mengunjungi rumah yang terlihat sangat bersih, melepas alas sepatu berarti kita
menghormati perjuangan tuan rumah membuat rumahnya bersih. Di China, pemilik akan
memberikan alas kaki khusus untuk digunakan di dalam rumah, sehingga kaki tidak kotor.
e. Kebiasaan dengan orang yang kedudukannya lebih tua atau lebih tinggi
Hubungan kekeluargaan di antara rakyat Indonesia dan China memiliki konsep yang
sama, hubungan vertikal. Dalam hubungan kakak beradik, yang muda harus memanggil yang
lebih tua dengan sebutan kak, mas, mbak, kang, atau jie, ge7. Selain itu, saudara kembar
mempunyai kedudukan yang tidak sama, yang lahir pertama adalah kakak, mempunyai status
yang lebih tinggi daripada adik. Hubungan orang-orang dalam masyarakat dipandang sebagai
hubungan keluarga. Kita bisa melihat bahwa orang akan dipanggil kak, dik, kakek, nenek,
paman, bibi, atau yeye, popo, shushu, a yi8.
Baik orang Indonesia maupun orang-orang China sangat menghormati orang tua atau
orang yang kedudukannya lebih tinggi. Kita tidak bisa bicara sambil menatap langsung mata
orang tua kita, karena hal tersebut tidak sopan, dianggap sebagai suatu perlawanan atau
tantangan. Ketika kita ingin memberikan orang yang dituakan sesuatu atau hadiah, kita harus
menggunakan kedua tangan kita. Di China, dalam hal menjabat tangan, orang-orang muda
harus menunggu dulu undangan jabat tangan dari orang yang lebih tua atau yang
berkedudukan lebih tinggi. Sementara di Indonesia, yang jauh lebih muda menjulurkan tangan
terlebih dahulu. Kemudian, ketika orang-orang Indonesia berjalan mendahului orang yang
7 jie (Bahasa Mandarin): panggilan untuk yang dianggap sebagai kakak perempuan, ge: kakak laki-laki.
8 yeye (Bahasa Mandarin): kakek, popo: nenek , shushu: paman, a yi: bibi
44|
lebih tua maka biasanya orang yang lebih muda akan mengungkapkan rasa hormat tersebut
dengan membungkukkan badan.
f. Kebiasaaan dalam perilaku non-verbal
1) mengungkapkan perasaan
Ada kesamaan dalam pendekatan hubungan sosial orang Indonesia dan China, orang akan
berpura-pura menyukai hal-hal yang sebenarnya tidak disukainya. Dalam menanggapi
pembicaraan, orang Indonesia dan orang China sering mengatakan "ya" atau “‟em”, namun
itu tidak selalu berarti persetujuan, tetapi hanya mengacu pada "Saya mengerti situasi Anda,
saya mengerti apa yang Anda katakan, silakan lanjutkan ..." .
Dalam hal pola atau cara bepikir dan bercerita, terdapat perbedaan antara orang Indonesia
dan orang China. Orang Indonesia dalam bercerita atau menjelaskan sesuatu hal cenderung
menyukai beranjak dari hal-hal yang kecil berlanjut ke hal-hal yang lebih luas dan umum,
berawal dari masalah individu masing-masing kemudian berkembang pada isu-isu negara dan
nasional. Namun, orang-orang China tidak sama, kebalikannya yaitu dari hal-hal yang umum
menuju ke hal-hal yang khusus. Hal ini dapat terlihat pula dari kebiasaaan orang di kedua
negara ini dalam menuliskan alamat. Orang China menulis alamat, didahului nama negara,
provinsi, kabupaten/kota, nama jalan, nomor rumah, namun, di Indonesia, kita akan menulis
terlebih dahulu nama jalan, nomor rumah, kota, provinsi dan nama negara.
Kita mengakui bahwa warna merah mempunyai arti kekuasaan dan keberanian, tapi bagi
orang China selain arti di atas, warna merah mempunyai makna kehangatan, keuletan,
kekuatan, keberuntungan, cinta dan sebagainya. Untuk ini dalam berbagai acara formal
maupun non formal orang China suka menggunakan warna tersebut, contoh dalam acara
seminar atau jamuan pernikahan, orang China akan menaplaki meja dengan warna merah,
dalam menyambut tamu, akan dipasang banner/spanduk dengan warna dasar merah.
Penyambut tamu menggunakan baju nasional qipao yang berwarna merah juga.
Bagi orang China nama keluarga atau marga menjadi lebih penting, ini dapat terlihat dari
penulisan nama lengkapnya, diawali dengan nama marga, lalu nama khusus. Sedangkan bagi
kebanyakan orang Indonesa nama khusus lebih dikedepankan, dan ada kalanya hanya
mencantumkan nama saja sudah cukup, nama khusus ini bisa terdiri dari satu kata, dua
bahkan lebih dari tiga. Ketika pertama kali bertemu, orang China akan bertanya: Nin gui
xing? Mingzi zenme chenghu? (Marga Anda apa? Bagaimana cara saya memanggil Anda?)
Biasanya kita cukup mengetahui nama marga dari lawan bicara kita lalu menambahkan kata
45|
panggilan internasional Mr./Mrs. atau panggilan pak/ibu, misal Mr. Li, Pak Wang dan lain-
lain.
Masih ada kaitannya dengan nama, yaitu tanda tangan. Di Indonesia, hal resmi terutama
yang berkaitan dengan masalah bisnis dan hukum, tanda tangan mempunyai kekuatan hukum
untuk digunakan. Tanda tangan ini harus sama. Banyak orang yang membuat tanda tangan
berasal dari akronim nama mereka atau menggunakan gaya penulisan yang unik dan dapat
membedakannya dengan kepunyaan orang lain. Tanda tangan ini juga tercantum dalam
paspor. Namun, setelah tiba di China, tanda tangan ini tidak penting. Di China tanda tangan
tidak memiliki kekuatan formal, kita hanya perlu menuliskan nama lengkap kita. Jika ingin
lebih mempunyai kekuatan hukum, orang-orang China yang berbisnis biasanya mempunyai
stempel nama.
Dalam bertegur sapa, orang china mempunyai kebiasaan ketika bertemu akan bertanya
chifan le ma? (Sudah makan?) Ini bukan berarti mereka ingin tahu kegiatan Anda atau
meremehkan keadaan ekonomi lawan bicara. Negara China sejak dulu merupakan negara
agrikultur, namun sering tertimpa bencana dan masalah panen sulit terjamin
berkesinambungan. Oleh karena itu, sejak dulu masalah “perut” bagi orang China merupakan
masalah besar sehingga bila bertegur sapa, masalah “perut” ini menjadi hal penting untuk
ditanyakan, ini berarti menunjukkan perhatian. Sedangkan kebanyakan orang Indonesia
khususnya kaum muslim mengadopsi kebudayaan Arab. Padang pasir yang sulit air sebagai
tempat tinggal orang Arab, serta keluarga dan suku menjadi hal yang utama, namun sering
terjadi perang untuk memperebutkan sumber air tersebut. Jadi yang menjadi perhatian adalah
lingkungan yang aman dan damai. Oleh karena itu, kita sering mendengar kalimat sapaan
Assalam mualaikum salam damai dan dijawab wa‟alaykum salam damai besertamu juga.
b) dalam bentuk perilaku non-verbal menggunakan tangan
Perilaku nonverbal orang Indonesia dan China memiliki persamaan dan perbedaan adalah
sebagai berikut:
1) Di Indonesia dan di China, jari jempol yang menunjuk ke atas berarti 'baik' atau 'sudah
terlaksana' dan jempol yang menunjuk ke bawah, bila di China berarti 'menuju ke bawah'
atau „ada di bawah‟ sedangkan di Indonesia berarti “gagal”.
2) Di Indonesia dan China dalam penggunaan jari tengah berkonotasi seksual dan hal yang
tabu.
3) Di Indonesia penggunaan tangan kiri dalam segala hal berkonotasi tidak sopan, tidak
demikian halnya di China.
46|
4) Orang Indonesia menggunakan keseluruhan jari dan dua tangan dalam merepresentasikan
angka satu sampai sepuluh, sedangkan orang China hanya menggunakan satu tangan saja
(ada banyak versi, tapi tetap menggunakan satu tangan). Berikut ini adalah salah satu versi
gambar ilustrasi angka 1 sampai 10 dengan menggunakan satu tangan (gambar 2),
perhatikan terutama untuk angka 6 sampai 10.
Gambar 2
5) Jari telunjuk ke atas, di China berarti “satu”, juga bisa berarti “satunya” sepuluh, seratus,
seribu, dan seterusnya, Di Indonesia hanya berarti satu.
6) Jari kelingking, di China berarti “kecil”, “terburuk”, sedangkan di Indonesia selain berarti
„keci”l, jika dua orang mengulurkan jari kelingking, ini berarti undangan “perdamaian”
atau “pertemanan” bahkan “perjanjian”
7) Jari yang melambangkan angka 9 di China ketika di Indonesia mempunyai arti “hati orang
yang bengkok” atau “pelit”
8) Jari yang melambangkan angka 3 atau nol di China, ketika di Indonesia mempunyai
arti“OK”,”baik”,”setuju” (ini mendapat pengaruh dari kebudayaaan barat)
9) Di China memanggil orang adalah dengan menggunakan tangan dengan sisi telapak kanan
menghadap ke bawah lalu jari-jari tangan digerakkan ke depan dan ke belakang ini sama
dengan cara orang Indonesia memanggil. Akan tetapi jika telapak kanan menghadap ke
atas maka ini adalah cara untuk memanggil hewan atau anak kecil.
10) Di Indonesia, secara umum menunjuk sesuatu biasanya dengan menggunakan jari
telunjuk. Khususnya suku jawa, orang akan menunjuk dengan menggunakan ibu jari yang
sisi telapak tangannya menghadap ke atas, ke empat jari lainnya dilipat, suku betawi
menggunakan mulut yang agak dimonyongkan dan gerakan mata yang menuju arah yang
di maksud, sedangkan di China menggunakan jari telunjuk.
47|
11) Di Indonesia, jari telunjuk yang diletakkan di dahi menunjukkan “gila", tidak ada simbol
ini di China
12) Orang Indonesia akan menunjuk dirinya dengan meletakkan tangan di dada atau telunjuk
menunjuk ke dada, sedangkan orang-orang China akan menunjukkan jari telunjuk ke
hidung
13) Orang China jika ingin mengekpresikan tidak ada cukup uang maka akan menempatkan
jari telunjuk dan atau jari tengah dan ibu jari yang digesek-gesekan, sementara orang
Indonesia akan berpikir bahwa perilaku seperti ini adalah suatu penghinaan, memanggil
hewan seperti burung atau ayam. atau hal-hal yang dirasakan sangat sederhana.
14) Dalam hal berjabat tangan di Indonesia dan China mengandung arti keramahan dan
antusiasme. Selain berjabat tangan, di Indonesia kadang-kadang akan disertai mencium
atau menempelkan pipi. Ada kalanya di Indonesia, karena mayoritas penduduknya
Muslim, tidak diijinkan jika dua orang yang berbeda jenis kelamin saling bersentuhan
termasuk jabat tangan; mengangukkan kepala sudah cukup. Kadang-kadang setelah
berjabat tangan, beberapa orang menaruh tangannya di dada, atau di dahinya, ini sebagai
ungkapan rasa tulus, tidak hanya dari luar tapi juga dari hati.
15) Dalam berpamitan, pada umumnya orang China dan Indonesia akan melambaikan tangan
ke atas. Sering terlihat anak-anak di Indonesia berpamitan dengan orang tua, guru dengan
mencium punggung tangan orang tua dan gurunya.
SIMPULAN
Komunikasi antar manusia, dalam banyak hal, menekankan atau meniadakan kata-kata
cukup untuk mengungkapkan apa yang dimaksudkan. Kita belajar mengerti informasi yang
berbeda tersebut berdasarkan pengalaman. Yang kita bahas di atas adalah budaya Indonesia
dan China, walaupun sebagai negara-negara yang dikategorikan budaya konteks tinggi, kedua
negara memiliki kebiasaan dan adat istiadat yang sama dan berbeda. Juga dipaparkan adalah
mungkin terjadi jika kedua negara memiliki kebiasaan yang sama namun mengandung
perbedaan makna yang sangat jauh.
Setiap orang mungkin merasa kebiasaan dan kebiasaan negara lain lebih rendah atau
aneh. Namun, di dunia ini tidak ada standar budaya, juga tidak ada standar ras, atau standar
bahasa. Nilai-nilai dasar kehidupan di mana pun adalah sama. Mengapa kebiasaan dan adat
istiadat bisa berbeda? Ini dikarenakan cara manusia mengekspresikan dan mengungkapkan
ide-idenya menggunakan metode yang berbeda-beda. Jadi jika dalam berkomunikasi terjadi
kesalahpengertian, tidaklah penting untuk mencari siapa yang benar atau siapa yang salah,
48|
tetapi cobalah untuk mengerti satu sama lain, karena sebagian besar kesalahpahaman itu
timbul dari perbedaan budaya, atau karena kurangnya pemahaman budaya negara lain, dan
bukan karena unsur kesengajaan. Pepatah dalam bahasa Indonesia mengingatkan kita akan hal
ini: “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikan”. Dengan tulisan ini diharapkan dalam
hubungan personal antara orang Indonesia dan orang China, melalui pemahaman akan budaya
kedua belah pihak, kerja sama di antara keduanya dapat lebih dipererat dan lebih harmonis.
DAFTAR PUSTAKA
Birdwhistell, R. (1970). Kinesics in context. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Bo Yang. (1992). The ugly chinaman and the crisis of chinese culture. In Renditions : A
Chinese English Translation Magazine, NO. 23 Spring 1985 published by the Chinese
Universityof Hong Kong. North Sydney : Allen & Unwin.
Hodgetts Richard M. & Fred Luthans. (2003). International management: culture Strategy
and behavior. New York: Mc. Graw Hill:.
Liliweri, Alo. (2005). Prasangka & konflik: komunikasi lintas sektor masyarakat multikultur
"prasangka dan konflik: masyarakat multi-budaya, komunikasi antar budaya.
Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara penerbitan.
Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
West, Richard & Lynn H. Turner. (2008). Pengantar teori komunikasi analisis dan aplikasi
(introducing communication theory: analysis and application). Edisi 3, Jakarta: Penerbit
Salemba Humanika.
Zhu, Licai. (1999). Aspect of intercultural communication – proceeding of china‟s 2nd
conference on intercultural communication (Beijing languange and culture university)”.
expressions of social interaction in Chinese and Arabic - A comparative approach edited
by Hu Wenzhong. Beijing: Foreign Language Teaching and Research Press.
胡文仲著《跨文化交际学概论》,北京:北京外语教学与呀牛出版社,2008。
http://zh.scribd.com/doc/32240065/Communicating-Across-Cultures, (Communicating
Across Cultures oleh I Gede Putu Anggara Diva, Bakrie School of Management) diakses 16
Juni 2013.
http://www.027art.com/fanwen/gonguanliyi/438788_2.html
(中国与外国手势含义有哪些不同) diakses 2 Juni 2013.
49|
http://www.cnblogs.com/mymma/archive/2013/02/11/2910125.html (指尖上的数学) diakses
2 Juni 2013.
50|
ANALISIS KESANTUNAN BAHASA DALAM ACARA
EXTRAVAGANZA
Reka Yuda Mahardika
STKIP Siliwangi
Email:[email protected]
Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis pelanggaran terhadap maksim kesantunan yang dilakukan
oleh para pelawak dalam acara Extravaganza yang ditayangkan di Trans TV. Pisau analisis yang
digunakan adalah teori kesantunan yang dikemukakan oleh Geoffrey Leech. Kajian ini beroleh
kesimpulan bahwa frekuensi pelanggaran terhadap maksim kesantunan sering dan efektif digunakan
untuk memunculkan efek tawa.
Abstract
This study is aimed at analyzing the violation done by comedians towards the politeness maxim on
Extravaganza event broadcasted by Trans TV. The study employs politeness maxim theory put
forward by Geoffrey Leech. The result of this study reveals that the frequency of violations towards
politeness maxim is often and effectively used to bring out the effects of laughter
PENDAHULUAN
Mulutmu Harimaumu!
Peribahasa tersebut sudah tidak asing lagi didengar. Hampir semua penutur bahasa
Indonesia mafhum akan makna kebajikan yang tersirat, yaitu berhati-hatilah menggunakan
bahasa, santunlah dalam berbahasa. Salah berbahasa besar resikonya. Permusuhan,
perkelahian antar individu, perkelahian antar kampung, bahkan tindakan kriminal diluar nalar
manusia dapat terjadi karenanya.
Oleh karena menjadi begitu penting, kesantunan bahasa sering dikaji oleh para
bahasawan dunia. Akibat dari kajian tersebut, muncul teori-teori ihwal kesantunan bahasa.
Rambu-rambu kesantunan bahasa pun mulai banyak dijadikan pijakan penelitian dan
disosialisasikan dengan harapan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar
komunikasi berjalan lancar dan menenangkan.
Misalnya, kaitannya dengan kalimat perintah (imperatif) yang bertendensi tidak santun,
bahasawan memberikan rambu-rambu yang dapat diterapkan langsung dalam percakapan.
Seperti “maaf”, “tolong”, “berkenankah”, “bilakah”, dan lainnya. Kalimat, “Ambilkan buku
itu!” tentu memiliki efek tidak santun dibandingkan dengan, “Tolong ambilkan buku itu!“.
Rambu-rambu lainnya adalah adalah menggunakan tuturan tidak langung (indirect speech
act). Ketika akan memberikan perintah, gunakanlah kalimat berita atau tanya untuk
51|
mendapatkan implikatur yang diharapkan. Misalnya, alih-alih memberi perintah, “Ambilkan
makanan, saya lapar!”, dapat menggunakan, “Din, perutku kok lapar ya?” (Wijana, 1996).
Pandangan lain, diungkapkan dengan melihat kesantunan sebagai sebuah maksim
percakapan dan sebagai upaya penyelamatan muka (face). Muka merupakan manifestasi
penghargaan terhadap seorang individu masyarakat. Masyarakat lazimnya memiliki dua
muka, yaitu muka positif dan negatif. Muka positif merujuk pada keinginan untuk disetujui,
sedangkan muka negatif menunjuk pada keinginan untuk menentukan sendiri. Secara konsep
interpersonal, muka seseorang selalu dalam keadaan terancam, itulah sebabnya dalam hal ini
memerlukan prinsip kesantunan (Rahardi, 2005). Kaitannya dengan hal ini, Yule (1996)
memaparkan sebagai berikut.
“When we attempt to save another‟s face, we can pay attention to their negative face
wants or their positive face wants. A person‟s negative face is the need to be
independent, to have freedom of action, and not to be imposed on by others. ... A
person‟s positive face is the need to be accepted, even liked, by others, to be treated as
a member of the same group, and to know that his or her wants are shared by others.
In simple terms, negative face is the need to be independent and positive face is the
need to be connected.
Selain itu pandangan mengenai kesantunan dipaparkan pula oleh bahasawan seperti Yule
(1996), Brown dan Levinson, dan Leech (1993).
Konsep-konsep kesantunan bahasa yang dipaparkan oleh para bahasawan tentu saja dapat
digunakan dalam setiap bahasa, mengingat bahasa adalah entitas yang bersifat universal.
Namun demikian, patut dipahami bahwa terdapat parameter-parameter kesantunan yang harus
dikaji secara teliti serta batasan-batasan budaya yang membuat kesantunan bahasa lebih
bersifat relatif ketimbang mutlak absolut. Seperti diungkapkan oleh Yule (1996).
“It is possible to treat politness as a fixed concept, as in the idea of „polite social
behavour‟, or etiquette, within a culture. It is also possible to specify a number of
different general principles for being polite in social interaction within a particular
culture. Some of these might include being tactful, generous, modest, and sympathetic
towards other...”
Meski diciptakan untuk diterapkan, dalam beberapa konteks, kesantunan justru sengaja
dilanggar sebagai sebuah strategi untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam tuturan para pemain
Extravaganza yang akan dikaji, misalnya, humor terjadi justru karena kesantunan dilanggar.
Dalam arti, strategi yang mereka lakukan untuk menciptakan humor adalah dengan
menggunakan strategi ketidaksantunan bahasa.
52|
Makalah ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimanakah bentuk
pelanggaran maksim kesantunan Leech dalam acara Extravaganza serta bagaimanakah
ketidaksantunan bahasa dijadikan strategi dalam tuturan para pelawak Extravaganza. Fokus
pengamatan dibatasi pada acara humor Extravaganza dalam episode “Nonton Bareng”.
Adapun analisis dan pembahasan penulis batasi pada pelanggaran Prinsip Kesantunan (PS)
yang dikemukakan Leech (1993).
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode deskriptif, yakni penelitian
yang dilakukan semata-mata berdasarkan fakta yang ada, bersifat potret atau paparan seperti
apa adanya.
Data-data dari yang diteliti didapat melalui teknik rekam lewat media handycam. Alasan
peneliti melakukan teknik rekam karena data lisan sangat sulit didapat melalui teknik catat
langsung.
Setelah melakukan perekaman, data tersebut kemudian ditranskrip. Transkrip dilakukan
dengan mencatat kata demi kata yang mereka tuturkan dalam lembaran khusus analisis. Untuk
memperoleh bayangan tentang situasi tuturan humor, peneliti menuliskan konteks yang terjadi
saat tuturan itu diutarakan.
PRINSIP KESANTUNAN
Kesantunan bahasa sebagai sesuatu yang lazim diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
yang menjadi acuan dalam kajian ini, diambil dari teori yang dikemukakan oleh Leech (1993).
Berikut adalah penjelasannya.
1. Maksim Kebijaksanaan
(Kurangi kerugian orang lain).
[Tambahi keuntungan orang lain]
Dalam maksim kebijaksanaan, prinsip untuk mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri
dan memaksimalkan keuntungan pihak lain adalah suatu keniscayaan yang harus selalu
dijalankan agar tercipta hubungan yang harmonis satu sama lain.
2. Maksim Kedermawanan
(Kurangi keuntungan diri sendiri).
[Tambahi pengorbanan diri sendiri].
53|
Maksim kedermawanan mengharuskan pelaku petuturan untuk selalu senantiasa
mengurangi keuntungan yang akan diperoleh dirinya, supaya orang lain mendapatkan
keuntungan maksimal.
3. Maksim Penghargaan
(Kurangi cacian pada orang lain )
[Tambahi pujian pada orang lain].
Yang menarik dari maksim ini, adalah model implikatur pelanggaran yang
diakibatkannya. Dalam konteks situasi ragam informal khusus (humor), ketika keseriusan
sangat tidak diharapkan, pelanggaran model ini menjadi jurus ampuh untuk menghasilkan
tuturan yang tidak selaras/tidak lazim yang dapat menghasilkan kelucuan. Adapun substansi
isi dari maksim ini adalah diharapkan pelaku petuturan dapat mengurangi kecaman terhadap
orang lain. Kecaman itu sendiri sering kali lazim berupa ejekan, cacian, makian dan
sebagainya.
4. Maksim Kesederhanaan
(Kurangi pujian pada diri sendiri).
[Tambahi cacian pada diri sendiri].
Dalam maksim ini pelaku komunikasi diharuskan untuk selalu meminimalkan pujian dan
memaksimalkan cacian pada dirinya, sehingga ia akan dianggap sebagai orang yang bersifat
ramah, rendah hati, dan tidak sombong. Dalam budaya Indonesia, kesombongan (besar
kepala) adalah prilaku yang harus dihindari, karena dapat berakibat seseorang dijauhi dalam
kehidupan sosialnya.
5. Maksim Pemufakatan
(Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain).
[Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain].
Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan
atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Bila maksim ini ditaati oleh kedua belah pihak,
maka baik penutur maupun petutur akan dianggap sebagai orang yang berprilaku santun.
6. Maksim Simpati
(Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain).
[Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang].
Maksimalkan rasa simpati diri dengan orang lain dan minimalkan rasa antipati antara diri
dengan orang lain, adalah poin utama maksim ini. Diharapkan, dengan rasa simpati yang
begitu besar, seseorang bisa menjauhi rasa sinis dan ikut berempati terhadap perasaan orang
lain.
54|
PEMBAHASAN
Berikut adalah analisis pelanggaran kesantunan berbahasa dalam acara Extravaganza.
Judul Episode: Nonton Bareng.
Konteks Umum: Indra yang berperan sebagai tuan rumah, sedang menunggu kedatangan
dua orang temannya (Tora dan Ronald) untuk nonton bareng acara piala dunia. Dalam episode
itu berperan juga Aming (pembantu) yang kehadirannya selalu membuat tiga orang yang
sedang nonton bareng itu merasa tidak nyaman, Mieke (Pencuri) yang pintar memanfaatkan
situasi dan kondisi, dan Rudi Wowor bintang tamu dalam episode itu, yang berperan sebagai
Pak RT yang lugu dan polos.
1. Pelanggaran Maksim Kebijaksananaan
No. Data : 01
KONTEKS
.Piala dunia sudah dimulai. Seperti
biasa, agar suasana lebih asik dan
menarik, Ronald berpikir pasti selalu
ada cemilan ditengah-tengah suasana.
DATA
Ronald: “Camilannya mana
camilannya?” cemilan favorit gua,
udah disiapin belum?”
Indra: “Emang apaan?”
Ronald: “Kambing guling.”
Indra: “Busyet, emang lu kira
kawinan, woey! kita nonton bola!”
Tuturan ini masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM KEBIJAKSANAAN
karena bertendensi menambahi kerugian orang lain dan mengurangi keuntungan
orang lain.
Ketidaksantunan sebuah tuturan yang berimplikasi humor terlihat ketika Indra berusaha
sekali mengurangi keuntungan orang lain dan menambahi kerugian orang lain dengan tuturan
tidak langsungnya, “Cemilannya mana cemilannya? Cemilan favorit gua, udah disiapin
belum?”. Tuturan yang bertendensi memerintah dan menyusahkan tuan rumah itu bahkan
semakin diperparah dengan dimasukannya tuturan yang masuk ke dalam teori kejutan
(berlebih-lebihan), yang diutarakan Ronald dengan meminta cemilan berupa “kambing
guling”. Bisa dibayangkan, betapa repotnya si tuan rumah itu bila memang dia seorang yang
bijaksana dan dermawan, bila sekadar cemilan saja berupa “kambing guling”, bagaimana
sekiranya dengan makanan pokok? Tuturan hiperbolis dan tidak santun tersebut membuat
penonton di studio tertawa terbahak-bahak.
55|
No. Data : 02
KONTEKS
Konflik horizontal antara Aming dan
tiga orang yang sedang nonton, mulai
terjadi. Maka transaksi komunikasi
yang tidak wajar pun terjadi.
DATA
Aming: “Ya udah, Tuan. Tuan mau
minum apa?”
Indra: “Ga mau minum, udah masuk
kamar sana, tidur tidur tidur...”
Aming: “Dingin...”
Indra: “Heheh, dingin...gua males liat
lu kaya Kuntilanak, sono sono, gua
tonjok juga lu lama-lama lu.”
Tora: “Udah-udah nyalaian lagi.
tevenya „Ndra.”
Tuturan di atas masuk ke dalam MAKSIM KEBIJAKSANAAN karena
bertendensi menambahi kerugian orang lain dan mengurangi keuntungan orang
lain.
Aming dengan bijaksana berusaha memaksimalkan keuntungan lawan tuturnya dengan
tuturan, “Tuan mau minum apa?”. Ia rela dirinya susah dengan harapan tuannya merasa
senang. Tapi dengan dingin dan angkuh Indra justru menggunkan teori tak diharapkan,
membalas dengan tuturan yang merugikan lawan tuturnya. “Ga mau minum, udah masuk
kamar sana, tidur tidur tidur...!”. Aming tidak marah, justru dengan manja Ia berkata dengan
tuturan tidak langsung. “Dingin...!”. Karena merasa jengkel keinginannya tidak juga dipenuhi,
kemudian mengalirlah tuturan dari Indra berisi pelecehan yang sarat dengan pelanggaran
terhadap maksim bijaksana dan penghargaan, seperti, “...sono sono, Gua tonjok juga Lu lama-
lama Lu.” dan, “...lu kaya kuntilanak...”. Strategi ketidaksantunan bahasa di atas sangat lucu
karena mampu membuat penonton tertawa lepas dengan durasi cukup lama.
2. Melanggar Maksim Kedermawanan
Dalam konteks situasi pertuturan sesungguhnya, pelanggaran terhadap maksim
kedermawanan akan membuat si pelaku dicap sebagai orang yang tidak tidak tahu caranya
bagaimana menghormati orang lain, tidak tahu tahu sopan santun, dan selalu iri hati. Namun,
dalam konteks humor dimana ketidakselarasan komunikasi adalah tujuan utama, pelanggaran
terhadap maksim kedermawanan tidak terlalu berpengaruh terhadap citra diri atau face
56|
penutur maupun petutur. Berikut ini tuturan-tuturan dalam Extravaganza yang bisa
diklasifikasikan ke dalam tuturan yang melanggar maksim kedermawan.
No. Data : 03
KONTEKS
Komunikasi perihal uang jasa yang
harus dibayar Rudi kepada Ronald.
DATA
Rudi: “Wey...wey...katanya mau
nolongin saya,
bicarap....bicrap...ngobrol...ppp...”
Ronald : “Iyah, iyah, oke . tapi ga
murah, ada biayanya.”
Rudi : “Biayanya berapa?”
ANALISIS
Tuturan di atas masuk ke dalamMAKSIM KEDERMAWANAN karena
bertendensi menambahi keuntungan diri sendiri dan mengurangi pengorbanan
diri sendiri
Tuturan yang secara tersirat berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri bisa dilihat
dari tuturan yang dikemukakan Ronald, “Iyah, iyah, oke. Tapi ga murah ada biayanya”.
Tuturan ini diklasifikasikan ke dalam tuturan yang melanggar maksim kedermawanan, karena
Ronald yang sebelumnya berniat menolong Sheriff melepaskan anaknya yang diculik, malah
mengajukan biaya yang menurutnya bisa dibilang tidak murah, “...tapi ga murah, ada
biayanya”.
3. Melanggar Maksim Penghargaan
Ketika penghinaan dan pelecehan dituturkan, maka tuturannya masuk dalam tuturan yang
melanggar maksim penghargaan. Dikatakan demikian, karena maksim penghargaan menuntut
peserta pertuturan untuk selalu mengurangi cacian pada orang lain dan menambahi pujian
pada orang lain. Seperti tuturan-tuturan di bawah:
No. Data : 04
KONTEKS
Ronald, Tora, dan Indra yang sedang
berdebat sambil nonton bareng
dikejutkan oleh suara TV yang
menegurnya.
DATA
Teve: “Ehm, yang nonton teve harap jangan
ribut, terutama itu yang keriting ya!”
Indra: “He...he...mampus lu!”
Ronald: “Aku?”
Teve: “Iya kamu, kamu kalau mau ngobrol
57|
diluar aja!”
Indra: “Mampus lu, makanya jangan banyak
bacot!”
Teve: “Eh, kamu juga jangan ketawain temen
kamu ituh, gua kepret juga Lu!”
Ronald: “Waha..haa.ha.ha...wuuu...kepret aja
pak!”
Indra : “Eh, kalo bukan teve gua bantet lu!”
ANALISIS
Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM PENGHARGAAN karena
bertendensi menambahi cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang lain.
Dialog segitiga yang terjadi antara TV, Ronald, dan Indra itu bisa dikatakan sangat
menarik. Pertama terjadi sesuatu yang tidak biasa, yaitu ketika reporter bola TV yang biasa
melakukan monolog kali ini malah terlibat dialog. Dialog pertama adalah pelanggaran
terhadap maksim penghargaan yang dilakukan TV terhadap Ronald. TV menyebut Ronald
“keriting”, yang secara jelas bermaksud melecehkan atau memaksimalkan cacian kepada fisik
Ronald. Mendengar kawannya dihina TV, Indra malah memperparah cacian dengan berujar,
“...mampus Lu!”. Kata mampus bisa dikatakan sebagai bentuk kata yang sangat kasar dan
tidak sopan, karena bermakna konotasi negatif, yang biasanya kata itu ditujukan kepada
penjahat atau hewan. Pelanggaran terhadap maksim penghargaan terus-menerus terjadi dari
dialog ini. Terbukti dari banyaknya kata yang masuk ke dalam kata yang bernada
cacian/makian yang sangat kasar, seperti bacot, jepret, bantet. Kata-kata itu sangat dilarang
dikatakan pada saat situasi formal, karena bertendensi menimbulkan percikan-percikan
pertikaian. Namun, dalam konteks humor tuturan semacam itu bisa jadi sebagai strategi
mereka untuk melucu. Tuturan di atas mampu membuat penonton tertawa lepas terbahak-
bahak dengan durasi cukup lama.
No. Data : 05
KONTEKS
Tuturan komentator di TV yang selalu
tidak jelas, nampaknya membuat
bingung dan marah pemirsanya.
DATA
Teve: “Sebastian mengarahkan umpannya
kepada Ballack. Tendangan penjuru diarahkan,
melambung diterima oleh Ballack dia
mengarahkan bola kekanan, kekiri, kekanan,
58|
kekiri, kekanan, kiri, kanan, kiri, kiri, kanan kiri,
kiri, kanan, kiri kanan kiri.”
Tora: ”Woey ini sepakbola apa gerak jalan?”
Indra: “Iya goblok, yang jelas dong!”
ANALISIS
Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM PENGHARGAAN karena
bertendensi menambahi cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang lain.
Kata “goblok” sebagai kata cacian dalam konteks sehari-hari, yang bisa mengakibatkan
seseorang terlukai hatinya bila kata itu dialamatkan kepadanya, bisa jadi merupakan kata
“biasa” atau menurun kadar caciannya bila kata itu terjadi dalam konteks humor. Terbukti,
dengan banyak ditemukannya kata jenis ini dalam tiap jenis tuturan cacian. Salah satunya
adalah tuturan yang dikemukakan Indra di atas. Karena merasa kesal dipermainkan oleh
tuturan reporter bola dengan kalimatnya yang tidak masuk akal, kata pemakismalan cacian
itu langsung saja menyeruak keluar dari mulut Indra, “Iya goblok, yang jelas dong!”.
No. Data : 06
KONTEKS
Aming yang berperan sebagai
pembantu haus laki-laki, terkejut
senang setelah melihat banyak laki-laki
tampan disekeliling tuannya.
DATA
Aming: ”Tuan, tuan, kok ga bilang-bilang sih
ada cowo disini. Ini lucu lagi.”
Tora: “Apa Nyuk? pergi pergi, pergi sana, perg
sana!”
ANALISIS
Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM PENGHARGAAN karena
bertendensi menambahi cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang lain.
Aming sebenarnya telah berlaku santun dengan memaksimalkan pujian terhadap lawan
tuturnya. ia menyebut lawan tuturnya sebagai cowok lucu, terbukti dari tuturan, ”...ini lucu
lagi,”. Tetapi, tuturan santun yang dikemukakan Aming pada Tora malah dibalas sebaliknya.
Dengan angkuh dan takut-takut karena melihat penampilan fisik Aming, Tora membalas
tuturan Aming dengan tuturan langsung cacian memerintahkan Aming supaya pergi, “Apa
Nyuk? pergi, pergi...” seperti kita tahu, kata “nyuk” itu dalam bahasa sunda padan dengan
kata “kunyuk” atau dalam bahasa Indonesia berarti “sejenis monyet”. Sebuah tuturan yang
menganalogikan manusia dengan hewan adalah mutlak sebagai tuturan yang tidak santun.
59|
4. Melanggar Maksim Kesederhanaan
Pelanggaran terhadap maksim kesederhanaan secara terus-menerus akan membentuk
stigma kepada si pelaku sebagai orang yang sombong, bersikap anti sosial, dan bahkan yang
terburuk penutur seperti itu akan dijauhi lawan tuturnya. karena bagaimanapun bertransaksi
komunikasi dengan orang yang selalu melanggar maksim kesederhanaan akan sangat tidak
nyaman.
No. Data : 07
Konteks
Perdebatan sengit mengenai
karakteristik mental para penonton bola
di Indonesia terjadi antara Ronald
dengan Tora.
DATA
Ronald: ”Orang Indonesia tuh kalo liat
pertandingan internasional bisanya ngomentarin,
kalo disuruh main kaga bisa lu! pemaen
kampung sok jago!”
Tora: “Eh, dia kaga tau gini-gini dulu gua
pemimpin kesebelasan lu.”
Ronald: “Pemimpin, Kapten!”
ANALISIS
Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN PS dengan MAKSIM
KESEDERHANAAN karena bertendensi menambahi pujian pada diri sendiri dan
mengurangi cacian pada diri sendiri.
“Eh, Dia kaga tau gini-gini dulu gua Pemimpin kesebelasan lu,” adalah tuturan yang
dikemukakan Tora menjawab hinaan dan pelecehan yang dikemukakan Ronald, ” ...pemaen
kampung sok jago!”. Tuturan Tora di atas bisa dimasukkan ke dalam tuturan yang melanggar
maksim kesederhanaan karena tuturan itu secara tersirat bermaksud untuk memaksimalkan
pujian terhadap dirinya sendiri, bahwa hinaan yang dikemukakan Ronald itu salah alamat
karena Tora waktu jaman dulu sempat menjadi pemimpin/kapten kesebelasan, suatu posisi
dalam sebuah tim sepakbola yang sangat prestisius atau tidak mudah didapat oleh sembarang
orang. Tuturan di atas dikategorikan lucu, karena membuat penonton tertawa.
5. Pelanggaran Maksim Mufakat
Dalam konteks umum atau konvensional pelaku pelanggaran terhadap maksim ini akan
mendapat cap sebagai seorang yang tidak santun dan tidak berwawasan luas. Yang terburuk,
lawan tutur akan merasa enggan untuk berkomunikasi lagi dengannya.
60|
No. Data : 08
KONTEKS.
Transaksi komunikasi antara Aming
yang bersikeras melayani dan Indra
yang teguh pendirian tidak ingin
dilayani, berlangsung sengit.
DATA
Aming: “Tuan, ada yang bisa Inem Bantu?”
Indra: “Keliatannya sih, ga ada.”
Aming: “Ga apa-apa ga usah sungkan, kebetulan
Inem tuh sedang ngangur.”
Aming: “Gimana Tuan katanya mau dipijit? apa
tuan mau di creambath, di creambath Tuan! di
kasih cream terus di embat. Gimana tuan?”
Indra: “Gua mau, tapi engga mau sama lu. Pergi
lu!”
Aming: “Aduh tuan, rasanyamah sama tuan,
ah.”
Indra: “Rasanya sama gimana? pergi sono!”
ANALISIS
Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM MUFAKAT karena
bertendensi menambahi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan
mengurangi persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Pelanggaran terhadap maksim pemufakatan dari dialog di atas, kali pertama terlihat dari
respon dingin yang dikemukakan oleh Indra, “Keliatannya sih, ga ada,” atas pertanyaan yang
dikemukakan Aming, “Tuan ada yang bisa dibantu?” Dalam tuturan itu nyata terlihat bahwa
Indra berusaha memaksimalkan ketidaksesuaian dirinya dengan Aming. Pemaksimalan atas
ketidaksesuaian itu semakin dipertegas lagi dengan tuturan-tuturan Indra berikutnya atas
tawaran pelayanan yang dikemukakan Aming seperti, “Gimana Tuan katanya mau dipijit?
apa Tuan mau di creambath? Di creambath Tuan! Di kasih cream terus di embat. Gimana
tuan?” Indra kemudian menjawab, “Gua mau, tapi engga mau sama lu...”. Tuturan balasan
dari Indra tersebut bermaksud memaksimalkan ketidaksesuaian dengan Aming.
No. Data : 09
KONTEKS
Tora mengajak teman-temannya untuk
bertaruh kesebelasan manakah yang
akan menang. Namun serta-merta
DATA
Tora: “Woey wey ayo mulai, ayo mulai.
Tarohan taruhan. Gua Jerman gua Jerman. Kartu
kartu.”
61|
diinterupsi oleh Indra. Interupsi Indra
kemudian diinterupsi lagi oleh Ronald.
Indra: “E, eh, lu berdua apaan? Judi!”
Ronald: “Cuman dikit aja, gimana nih.”
Tora: “E liat tuh, udah tendangan penjuru tuh,
tendangan corner tuh corner.”
ANALISIS
Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MUFAKAT karena bertendensi
menambahi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan mengurangi
persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Tora mengajak taruhan kepada teman-temannya. “Taruhan taruhan. Gua Jerman gua
Jerman.” Mendengar Tora mengajak taruhan, Indra merasa tidak setuju, ia kemudian
mengingatkan dengan tuturan tidak langsung bahwa itu semua adalah judi, dan secara tersirat
Indra mengingatkan bahwa judi adalah perbuatan terlarang. Dengan mengikuti gaya Roma
Irama menyanyi, dengan kocak Indra berujar.” E, eh, lu berdua apaan? Judi...!” dan
tertawalah penonton mendengar tuturannya itu. Mendengar Indra tidak setuju taruhan, Ronald
langsung memotong dan menuturkan tuturan tidak langsung yang secara tersirat bahwa judi
sedikit atau kecil-kecilan tidaklah mengapa atau dilarang, “Cuman dikit aja, gimana nih”. Dari
tuturan-tuturan itu kita bisa menarik simpulan bahwa semua tuturan yang berhasil
diidentifikasi masuk ke dalam klasifikasi yang melanggar terhadap maksim pemufakatan
(memaksimalkan ketidaksesuaian antara diri dengan lain).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis pada terhadap acara humor Extravaganza produksi Trans TV
dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1) Sebagian besar tuturan para pelawak Extravaganza melanggar maksim kesantunan,
terutama maksim kebijaksanaan dan penghargaan. Fakta dari hasil identifikasi tersebut
menunjukan bahwa Extravaganza dilihat dari strategi lawakan banyak mengandalkan
ketidaksantunan bahasa, sarat dengan cacian dan makian. Fakta ini semakin menguatkan
dugaan bahwa bila prinsip kesantunan dalam konteks lazim dipatuhi akan bisa
memelihara muka/face penutur dan petutur, namun bila disepakati dengan cara dilanggar
secara disengaja dan atau dalam kapasitas disertai dengan intensitas yang tinggi maka
humorlah yang terjadi.
2) Dari observasi terhadap suara tawa penonton di studio dan pengalaman empiris pribadi
penulis, dapat disimpulkan semakin tidak santun tuturan akan menghasilkan kadar
62|
kelucuan semakin lucu, semakin pedas hinaan dan cacian pula berdampak terhadap makin
lucunya tuturan tersebut. Semakin santun berdampak pula terhadap makin tidak lucunya
tuturan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Penelope dan Stephen C. Levinson. Politeness: Some Universals in Language Use.
Cambridge: Cambridge University Press.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Wijana, Dewa Putu. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
Yule, George. 1996. Pragmatics. New York: Oxford University Press.
63|
MEMBURU “CINTA” DENGAN MANTRA:
ANALISIS PUISI MANTRA ORANG JAWA KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO
DAN MANTRA LISAN
Heri Isnaini
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
Abstrak
Cara penyebaran mantra tidak sama dengan cara penyebaran teks-teks lisan yang lain seperti dongeng
atau legenda. Pewarisan teks mantra berkaitan dengan laku mistik tertentu. Dengan kata lain, mantra
tidak dapat dipisahkan dengan unsur mistik yang melekat padanya. Sedangkan puisi adalah karya
sastra imajinatif yang bersifat konotatif karena banyak menggunakan makna kias dan makna lambang
atau dengan kata lain bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan
perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan sruktur
batinnya. Kemiripan antara kedua teks tersebut (puisi dan mantra) menimbulkan kesan bahwa
keduanya memiliki fungsi dan manfaat yang sama. Walaupun pada kenyataannya antara teks puisi dan
mantra sangatlah berbeda. Perbedaan yang paling mendasar adalah pada tradisi penyebarannya.
Mantra hidup dalam tradisi lisan, sedangkan puisi berkembang dalam tradisi tulisan. Kedua teks
tersebut akan disandingkan dan dibandingkan dalam keterkaitannya satu dengan yang lain.
Pembahasan kedua teks akan merujuk pada struktur teks, proses penciptaan, konteks penuturan, dan
fungsinya.
Kata kunci: puisi, mantra, struktur, konteks penuturan, fungsi
Abstract
How to spell deployment is not the same as how the spread of oral texts such as fairy tales or legends.
Inheritance spell text relating to certain “laku mistik”. In other words, the spell can not be separated
with mystical elements attached to it. While poetry is imaginative literature that is connotative
meanings for many uses allegory and symbolism, or in other words that poetry is a form of literature
that reveals the thoughts and feelings of the poet are imaginative and prepared with the concentration
of the physical structure and inner sructure. The similarities between the two texts (poems and
mantra) gave the impression that both have the same functions and benefits. Despite the fact that the
text of the poem and the mantra is very different. The most fundamental difference is in the tradition
spread. Mantra live in the oral tradition, while developing in the tradition of writing poetry. Both of
these texts will be juxtaposed and compared in relation to one another. The second discussion of the
text will refer to the structure of the text, the process of creation, the narrative context, and function.
Keywords : poetry, mantra, structure, narrative context, function
64|
PENDAHULUAN
Tulisan ini akan dibuka dengan dua buah teks berikut:
:
rasaku lebih tinggi
dari rasamu
ruhku lebih tinggi
dari ruhmu
kamaku lebih unggul
dari kamamu
(Damono, 2009a, hlm. 17)
Cep sida edan ora edan
Sida gendeng ora gendeng
Sida bunyeng ora mari-mari
Yen ora ingsun sing nambani
(Isnaini, 2007, hlm. 149)
Teks di atas menunjukkan larik-larik puisi pada teks puisi “Mantra Pengasihan 1” dan teks pada
mantra asihan Jaran Goyang. Puisi “Mantra Pengasihan 1” merupakan salah satu puisi pada buku
kumpulan puisi Mantra Orang Jawa karya Sapardi Djoko Damono, Larik-lariknya menggambarkan
teks unik yang mempunyai kemiripan dengan teks mantra dalam tradisi lisan. Kemiripan antara kedua
teks tersebut (puisi dan mantra) menimbulkan kesan bahwa keduanya memiliki fungsi dan manfaat
yang sama. Walaupun pada kenyataannya antara teks puisi dan mantra sangatlah berbeda. Perbedaan
yang paling mendasar adalah pada tradisi penyebarannya. Mantra hidup dalam tradisi lisan, sedangkan
puisi berkembang dalam tradisi tulisan.
Mantra merupakan salah satu jenis puisi lama yang disebarkan secara turun-temurun dari
generasi ke generasi. Cara penyebaran mantra tidak sama dengan cara penyebaran teks-teks lisan yang
lain seperti dongeng atau legenda. Pewarisan teks mantra berkaitan dengan laku mistik tertentu.
Dengan kata lain, mantra tidak dapat dipisahkan dengan unsur mistik yang melekat padanya. Waluyo
menyatakan (1987, hlm. 31) bahwa mantra selalu berhubungan dengan sikap spiritual manusia untuk
memohon sesuatu dari Tuhan/kekuatan gaib. Untuk mencapainya diperlukan kata-kata pilihan yang
berkekuatan gaib, yang oleh penciptanya dipandang mempermudah kontak dengan tuhan/kekuatan
gaib, dengan demikian apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh
tuhan/kekuatan gaib tersebut.
Sedangkan puisi adalah karya sastra imajinatif yang bersifat konotatif karena banyak
menggunakan makna kias dan makna lambang atau dengan kata lain bahwa puisi adalah bentuk karya
sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
pengkonsentrasian struktur fisik dan sruktur batinnya (Waluyo, 1987, hlm. 25). Perbedaan lain antara
puisi dan mantra seperti yang dijelaskan oleh Junus (1983, hlm. 134) bahwa puisi dibentuk dari unsur
bahasa berupa kata (yang mempunyai arti) berdasarkan proses sintagmatik. Setiap kata adalah signifier
yang mempunyai referent dan signified. Sebuah puisi adalah “penjumlahan” referent dan signified dari
kata-katanya yang tentu saja dipengauhi oleh proses sintagmatik. Mantra sebaliknya adalah
keseluruhan yang utuh yang dirinya sendiri mempunyai signified. Tentu saja dalam hubungan ini
sengaja diabaikan signified suatu bentuk puisi yang dilihat dalam hubungan dengan puisi yang
65|
mendahuluinya. Dengan kata lain, teks mantra merupakan teks dengan kesatuan pengucapan bukan
kesatuan kalimat dan ada kecenderungan esoteris dalam kata-katanya, sedangkan puisi sebaliknya.
Pada buku Mantra Orang Jawa terdapat 64 teks puisi yang menyerupai teks mantra.
Walaupun pada penjelasan di atas terdapat perbedaan antara teks puisi dan mantra, tetapi pada buku
Mantra Orang Jawa penyair selalu menuliskan kata mantra atau kata yang bersinonim dengan kata
mantra seperti aji pada teks-teks puisinya. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk penelitian ini
karena teks puisi yang ditulis merupakan transformasi dari teks mantra yang dianggap `sakral` oleh
masyarakat yang memiliki tradisi mantra. …(mantra) dalam buku ini, saya telah menjadikannya puisi
dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu…”
(Damono, 2009, hlm. 1).
Rusyana, (1970, hlm. 11) mengklasifikasi mantra berdasarkan fungsi dan manfaat yang
tersirat di dalamnya. Menurutnya, mantra dapat dibagi ke dalam beberapa bagian: Asihan digunakan
untuk menguasai sukma (jiwa) orang lain; Jangjawokan dibaca (diamalkan) sebelum atau sesudah
melakukan sebuah pekerjaan tertentu; Ajian berfungsi untuk mendapatkan kekuatan pribadi; Singlar
digunakan untuk mengusir roh halus (setan); Rajah berguna untuk menolak bala, meruat, penangkal
mimpi buruk, dan sebagainya; dan Jampe untuk menyembuhkan penyakit. Di kalangan masyarakat
Jawa menurut Wardhana, (2003, hlm. 2-3) wujud mantra itu pada umumnya dikenali sebagai berikut:
1) mantra dalam wujud kata-kata atau puisi lisan dan yang hanya dihafal dalam batin disebut: Japa-
Mantra; Aji-Aji; Rapal; 2) mantra dalam wujud tulisan, misalnya yang tertulis pada kain; kertas; kulit;
kuku; dan lain sebagainya disebut: Rajah; 3)mantra yang kekuatannya ditanam pada suatu benda
disebut: Jimat; Aji-Aji. Misalnya pada batu akik; keris, tongkat, dan lain-lainnya.
Merujuk pada pengklasifikasian teks mantra dari Yus Rusyana maka ke- 64 teks puisi pada
buku Mantra Orang Jawa dapat dibagi menjadi 6 kategori berdasarkan fungsi dan manfaatnya. Teks
puisi yang berupa asihan adalah: (Mantra Agar Dikasihi,Masuk ke Jiwa Orang Lain, Mantra
Pengasihan 1, Mantra Pengasihan 2, Mantra Pengasihan 3, Mantra Pengasihan 4, Mantra Agar
Dicintai Selama-lamanya, Mantra Agar Mudah Menari Rizki dan Dicintai Orang, dan Mantra
Memerintah Orang). Teks puisi yang berupa Jangawokan adalah: (Mantra Sebelum Bersenggama 1,
Mantra Sebelum Bersenggama 2, Mantra Bersenggama, Mantra Duduk, Mantra Mandi 1, Mantra
Mandi 2, Mantra Mandi 3, Mantra Mandi 4, Mantra Mandi Tanggal 1 Hijriah, Mantra Mandi Malam
Jumat, Mantra Keselamatan Diri, Mantra Menjelang Tidur, Mantra Sebelum Bepergian, Mantra
Menyapih Anak, Mantra Mendirikan Rumah, Mantra Memperbaiki Rumah, dan Mantra Waktu
Makan). Teks puisi yang berupa ajian adalah: (Meredakan Api, Gosok Rasa, Aji Limunan, Mantra
Menguasai Orang, Keteguhan, Menghindari Peluru, Menggenggam Kilat, Bayang-bayang, Ngelmu,
Kekuatan, Mantra Agar Keinginan Kesampaian, Mantra Agar Pencarian Lancar 1, Mantra Agar
Mata Pencarian Lancar 2, Mantra Minta Bantuan Malaikat, Mantra Menamah Kekuatan, Mantra
Mendatangkan Kekayaan, Aji Jayabrana, Mantra Bangau Tong-tong, dan Mantra AgarUnggul
Bicara. Teks puisi yang berupa rajah adalah: (Mantra Pengusir Topan, Kidung, dan Mantra
66|
Kesempurnaan Diri). Teks puisi yang berupa Jampe adalah: (Mantra Sakit Sekujur Tubuh, Mantra
Sakit Encok, Mantra Sakit Bengkak, Mantra Menyembuhkan Sakit, dan Mantra Agar Dikaruniai
Anak). Sedangkan teks puisi yang berupa singlar adalah: (Bismillah, Ashhaduallahillahaillallah, Asal-
usul Manusia, Mantra Hari Lahir, Racun Kiblat Empat, Kidung Air, Mantra Sore Hari, Makna, Air,
Mantra Menghadap Gusti, dan Mantra Wewe Putih).
Dari beberapa pembagian mantra tersebut, teks yang akan diteliti adalah teks mantra asihan.
Hal ini dikarenakan hanya mantra asihan yang bersifat "menguasai" sukma (jiwa) orang lain untuk
meraih "cinta" dari seseorang yang diharapkan. Sehingga teks ini menjadi "primadona" sebagai teks
mantra yang banyak diamalkan. Dengan kata lain, mantra asihan adalah teks yang berisi permintaan
(doa) kepada tuhan atau kekuatan gaib dengan tujuan menguasai jiwa orang lain supaya menjadi
terpengaruh (menjadi cinta, sayang, rindu, dan lain-lain).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Larik-larik puisi “Mantra Pengasihan 1” merupakan contoh teks mantra asihan yang digunakan
(diamalkan) untuk menarik "hati" dan "cinta" lawan jenis (Rusyana, 1970, hlm. 11). Hal ini menjadi
sesuatu yang menarik untuk diteliti karena teks puisi yang ditulis merupakan transformasi dari teks
mantra yang dianggap `sakral` oleh masyarakat yang memiliki tradisi mantra. …(mantra) dalam buku
ini, saya telah menjadikannya puisi dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu dikait-kaitkan
dengan maksud penciptaannya dulu…” (Damono, 2009, hlm. 1).
Penjelasan tersebut mengantarkan kita pada sebuah anggapan bahwa mantra adalah teks yang
memiliki aspek magis tertentu meskipun teks itu sudah bertransformasi menjadi teks yang sama sekali
berbeda. Aspek magis itulah yang menjadikan mantra menarik untuk diteliti. Yaitu, mantra sebagai
sebuah teks puisi yang sangat eksotik, dahsyat, dan spiritual. Kita bisa mengenal bentuk-bentuk
pengucapan pada teks mantra dalam hubungannya dengan kekuatan alam. Selain itu, kita bisa melihat
pola sinkretisme budaya, yang tampak pada penggunaan istilah-istilah Allah, Muhammad, Bismillah,
Jibril, Shang Hyang Agung, Shang Hyang Widhi, atau kekuatan gaib lain yang banyak tersebar di
hampir semua teks mantra. Begitupun dengan teks mantra asihan yang ditulis oleh Damono “Mantra
Pengasihan 1”.
wahai si Capung Kencana
aku perintahkan kau
masuk ke gua garba Nuraini
(Damono, 2009a, hlm. 17)
Penggunaan kata “si Capung Kencana” adalah penyebutan untuk sesuatu kekuatan “gaib” yang
dipercaya dapat membantu terkabulnya keinginan yang tersirat di dalam maksud mantra tersebut.
67|
Yaitu meraih “cinta” seseorang. Penggunaan kata yang ditujukan untuk kekuatan “gaib” tersebut juga
terdapat pada teks mantra pada tradisi lisan.
Niat ingsun matek ajiku sang Setan Kober
Gelem kang sira kongkon
Ora gelem kang sira kongkon
Lebonana gua garbane si…binti…
(Isnaini, 2007, hlm. 63)
Pada mantra dalam tradisi lisan, penggunaan kata untuk menyebutkan sesuatu yang dianggap
“gaib” adalah hal yang sangat mutlak diperlukan. Hal ini disebabkan karena mantra adalah sebuah
komunikasi yang ditujukan untuk sesuatu yang dianggap dapat membantu terkabulnya permohonan si
pangucap mantra. Selain penyebutan tersebut, kita dapat melihat adanya “kesamaan” antara teks puisi
“Mantra Pengasihan 1” dengan teks mantra asihan Setan Kober. Penyebutan “Capung Kencana” vs
“Setan Kober” adalah penyebutan yang ditujukan untuk kekuatan “gaib” sebagai media komunikasi.
Komunikasi yang dilakukan oleh si pangucap mantra kepada sesuatu hal yang “gaib” adalah
komunikasi satu arah dengan tujuan supaya makhluk gaib itu mengabulkan permohonan si pengucap
mantra. Makhluk gaib tadi berubah dari sesuatu yang berkuasa menjadi sesuatu yang melayani
manusia (si pangucap mantra). Dengan begitu mantra diharapkan menjadi efektif dan mempunyai efek
dan akibat seperti yang diinginkan s pengucap mantra. Menurut Junus (1983, hlm. 133) untuk menjadi
efektif mantra setidaknya harus mempunyai unsur-unsur berikut:
1. Mantra harus terdiri dari rayuan dan perintah. Sesudah dirayu yang gaib itu diperintah untuk
melayani.
2. Mantra dibentuk secara puitis dengan tidak menggunakan kesatuan kalimat, tetapi suatu
expression unit (kesatuan pengucapan).
3. Yang dipentingkan dalam mantra adalah “keindahan bunyi” sehingga yang penting di dalamnya
adalah unsur bahasa yang kongkret, bunyi.
Lalu, apakah yang dituliskan oleh Damono adalah mantra asihan? Ataukah sebuah puisi yang
“imajinatif” dengan judul “Mantra Pengasihan”? Dalam bukunya, Damono mengatakan bahwa yang
ditulisnya adalah mantra yang berasal dari berbagai sumber, lisan dan tulis, yang umur dan asal-
usulnya tidak mungkin lagi ditelusuri (Damono, 2009a, hlm. 1). Dengan kata lain, teks yang ditulis
oleh Damono adalah mantra tapi dalam bentuk yang lain, yang sama sekali berbeda dengan teks
aslinya. Kalau saya boleh meminjam istilah Damono sendiri (2009b, hlm. 114) apa yang dilakukannya
adalah “alih wahana” atau mengubah dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain. Pengubahan
tersebut jelas sangat terlihat, misalnya dalam penggunaan media.
Mantra yang hidup dalam media tradisi lisan diubah menjadi media tertulis, dan pengubahan
mantra yang awalnya milik kolektif atau komunal menjadi mantra milik individu. Mantra yang semula
68|
adalah ekspresi kesusasteraan suatu kebudayaan yang disebarkan dan dirun-temurunkan secara lisan
dari mulut ke mulut (oral tradition) (Hutomo, 1991, hlm. 1) diubah menjadi ekspresi individu yang
disebarkan secara tertulis dan dalam bentuk cetakan (buku). Pengubahan-pengubahan tersebut jelas
akan menimbulkan “pengaruh” terutama dalam hal “kesakralan” mantra itu sendiri. Tapi seperti yang
dikatakan Damono “…saya telah menjadikannya puisi dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu
dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu. Namun, siapa tahu masih ada kekuatan
tersembunyi yang masih tersisa dalam puisi ini. Kalau memang demikian halnya, kita manfaatkan
sajalah…”(2009a, hlm. 1). Agaknya Damono sendiri masih “mempercayai” kekuatan pada teks mantra
yang ditulisnya. Memang, teks mantra adalah sebuah teks yang sudah ada sejak lama dalam
kebudayaan nenek moyang kita sehingga pengaruh “kekuatannya” tidak akan mudah diubah hanya
dengan transformasi pada teksnya. Karena menurut saya, “kekuatan” mantra justru ada pada
keyakinan masyarakat kita yang sudah memfosil selama bertahun-tahun dan dari generasi ke generasi.
Kekuatan mantra tersebut akan semakin diyakini oleh si pangucap ketika proses pengamalannya
disertai dengan laku mistik tertentu. Sehingga mantra yag diamalkan diharapkan dapat mempunyai
efek dan manfaat. Seperti efek “menarik lawan jenis” dan meraih “cinta” seseorang.
Mantra Pengasihan 3
ajiku sang leher, menolehlah
tolehlah hambaku
kusatukan ujung bulu mataku
kusatukan ujung alisku
kusatukan ujung rambutku
ruh dari ruhku
nyawa dari nyawaku
sukma dari sukmaku
tubuh dari tubuhku
blug! Mati, belum mati
jadi gila
belum gila tapi sempoyongan
:
takkan sembuh jabang bayi si Nuraini
kalau bukan aku yang mengobati
penuh belas penuh kasih
jabang bayi si Nuraini
menatapku
tajam menatapku
Asihan Si Naga Rante
Asihan aing si naga rante
nya tali paranti ranti
tunggal tali jadi-jadi
rek kentel hayang jadi hiji jeung si…
cunduk tiruk tali angkruk
burung badan burung leumpang balik deui
rusras ka badan aing
nangkarak mayang murag
muyukpuk kawas kapuk kaibunan
mangka welas mangka asih ka badan aing
(Rusyana, 1970, hlm. 36)
Asihan Jaran Goyang
Sun matek ajiku si Jaran Goyang
Tak goyang ing tengah latar
Upet-upetku lawe benang
Pet sabetaken gunung gugur
Pet sabetaken lemah bengkah
Pet sabetaken segara asat
69|
(Damono, 2009a, hlm. 20)
Pet sabetaken ombak gede sirep
Pet sabetaken atine si… binti…
Cep sida edan ora edan
Sida gendeng ora gendeng
Sida bunyeng ora mari-mari
Yen ora ingsun sing nambani
(Isnaini, 2007, hlm. 148-149)
Ketiga teks tersebut adalah teks mantra asihan. Pertama, adalah teks puisi “Mantra Pengasihan 3”
karya Sapardi Djoko Damono, sedangkan kedua dan ketiga adalah teks transkripsi dari teks mantra
dalam tradisi lisan “Asihan Si Naga Rante” transkripsi dari mantra asihan pada masyarakat Sunda dan
“Asihan Jaran goyang” transkripsi dari mantra pada masyarakat Pantura, Jawa Barat. Ketiganya
memiliki keunikan terutama dalam penggunaan bahasa. Perbedaan tersebut tidak dapat “mengingkari”
kesamaan dari ketiganya, yaitu sama-sama mempunyai maksud yang membuat orang lain “jatuh
cinta‟. Selain itu kita dapat melihat kecenderungan yang “sama” pada ketiga teks tersebut.
Selanjutnya, akan saya jelaskan sebagai berikut.
Pertama, terdapat unsur “gaib”. Unsur-unsur gaib tesebut biasanya terdapat pada judul atau pada
larik pertama. Contoh. “ajiku sang leher, menolehlah”; “Asihan aing si naga rante”; “Sun matek ajiku
si Jaran Goyang”. Unsur-unsur gaib ini memperlihatkan sesuatu yang dianggap “sakral” sehingga
mantra dipercaya mampu memberikan kekuatan yang dapat membantu si penguca mantra..
Kedua, adanya bagian rayuan dan bgian teks yang berisi perintah. Seperi penjelasan Junus (1983,
hlm. 133) bahwa perbedaan teks puisi dan mantra adalah ada tidakya bagian yang menyatakan rayuan
dan perintah tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa mantra adalah media komunikasi yang
dilakukan oleh si pengucap mantra kepada kekuatan “gaib” dengan tujuan memperoleh sesuatu yang
yang diharapkan. Komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi satu arah, kekuatan “gaib” akan
“menuruti” sesuatu yang diucapkan si pengucap mantra karena sudah diiming-imingi dengan
“rayuan”, bentuk “rayuan” dalam mantra lisan bisanya berupa laku mistik tertentu. Namun, kita juga
dapat melihat bentuk “rayuan” dalam teksnya. Perhatikan:
ajiku sang leher, menolehlah
tolehlah hambaku
kusatukan ujung bulu mataku
kusatukan ujung alisku
kusatukan ujung rambutku
(Damono, 2009a, hlm. 20)
Pada larik-larik tersebut, kita dapat melihat sebuah “rayuan” pada makhluk „gaib‟ tertentu.
“Rayuan” tersebut biasanya selalu diikuti dengan kata-kata memerintah. “//ajiku sang leher,
70|
menolehlah//tolehlah hambaku//” si pengucap mantra memberikan sebuah perintah pada nama gaib
“sang leher” untuk menoleh, kalimat perintah yang disebutkan diikuti dengan “rayuan”, “tolehlah
hambaku//kusatukan ujung alisku//kusatukan ujung rambutku//”. Rangkaian kata-kata tersebut adalah
“rayuan” yang hiperbolis. Hal ini dilakkan dengan harapan agar si pengucap mantra dapat dibantu
untuk meraih tujuan. Unsur “rayuan” juga terdapat pada teks mantra dalam tradisi lisan, seperti saya
contohkan pada teks berikut.
Sun matek ajiku si Jaran Goyang
Tak goyang ing tengah latar
Upet-upetku lawe benang
(Isnaini, 2007, hlm. 148)
Sun matek ajiku si Jaran Goyang `saya niat menggunakan asihan si Jaran Goyang` Tak goyang
ing tegah latar `digoyang di tengah latar/halaman` upet-upetku lawe benang `goyanganku seperti
benang`. Ketiga larik tersebut menunjukkan “rayuan” yang ditujukan pada kekuatan “gaib” Jaran
Goyang. Kemudian kita lihat larik-larik selanjutnya. Ada pengulangan yang hiperbolis. Pengulangan
kata pet sabetaken `pet, pukulkan`. Kata-kata tersebut diulang sebanyak lima kali yang mengandung
majas paralelisme anaphora karena kata-kata yang diulang berada di awal kalimat atau larik. Berikut
teksnya.
Pet sabetaken gunung gugur pet dipukulkan gunung hancur
Pet sabetaken lemah bengkah pet dipukulkan tanah membelah
Pet sabetaken segara asat pet dipukulkan laut surut
Pet sabetaken ombak gede sirep pet dipukulkan ombak besar hilang
Pet sabetaken atine si… binti… pet dipukulkan hatinya si… binti…
(Isnaini, 2007, hlm. 148-149)
Pengulangan kata-kata yang hiperbolis tersebut menekankan pada kata kerja sabetaken
`dipukulkan`. Penekanan kata kerja tersebut merupakan sebuah penegasan bahwa teks tersebut adalah
laku atau sebuah proses aktivitas, karena tidak bisa dipungkiri, pencptaan mantra asihan adalah
sebagai sebuah aktivitas (laku) yang mengharuskan si pengucap melakukan aktivitas dalam konteks
penuturannya yaitu sebuah laku mistik tertentu. Adapun laku mistik dalam pengamalan mantra asihan
Jaran Goyang ini adalah.
1) Puasa mutih (puasa yang hanya memperkenankan si pangamal makan nasi putih dan air putih saja
pada waktu berbuka) selama 6 hari.
2) Puasa pati geni (si pengamal tidak boleh makan dan tidak boleh minum serta tidak boleh tidur,
yang berarti mengunci diri atau bertapa) selama sehari semalam.
71|
3) Mantra asihan Jaran goyang dibaca sebanyak 7 kali setiap malam, selama menjalankan laku
mistik puasa tadi (Isnaini, 2007, hlm. 189-190)
Dengan kata lain, aktivitas laku mistik yang dilakukan menandakan bahwa mantra yang
diucapkan benar-benar mantra yang mempunyai kekuatan tertentu yang diharapkan dapat membantu
untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Di samping adanya kata-kata yang berupa “rayuan” dan
“perintah” yang hiperbolis, kita juga dapat melihat bahwa kata-kata tersebut menggambarkan sistem
proyeksi (angan-angan) dari pengucap mantra serta memberikan jalan yang dibenarkan masyarakat
agar dia dapat superior dari orang lain (Hutomo, 1991, hlm. 69-71).
Ketiga, mementingkan “keindahan bunyi” atau terasa ada permainan bunyi. Bunyi merupakan
unsur yang penting dalam mantra. Hal ini karena mantra bersifat expression unit (kesatuan
pengucapan). Artinya, teks mantra hanya dapat dipahami secara utuh bukan hanya bagian-bagian
terpisah dari unsur-unsurnya. Hal tersebut sesuai dengan denganciri-ciri puisi rakyat yang disebutkan
Dananjaja (2002, hlm. 46) bahwa kekhususan genre ini yaitu kalimatnya yang tidak berbentuk bebas
(free phase) melainkan terikat (fix phase). Maksud dari ciri tersebut adalah bentuk tertentu yang
biasanya terdiri dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan matra, panjang pendek kalimat,
suku kata, lemah tekanan suara, atau berdasarkan irama.
Contoh.
kalau matanya terbuka
goyangkan tubuhnya
kalau sedang tidur
bangunkan dia
satukan hati dan jantungnya
dengan hati dan jantungku
(Damono, 2009a, hlm. 16)
Pemanfaatan bunyi juga terlihat pada teks mantra dalam tradisi lisan, misalnya.
Ketemu turu tangekna `kalau dia tidur, bangunkan`
Ketemu tangi lungguhna `kalau dia bangun, dudukkan`
Ketemu lungguh adegna `kalau dia duduk, berdirikan`
Ketemu ngadeg mlakukna `kalau dia berdiri, berjalankan`
(Isnaini, 2007, hlm. 99)
Sutardji dalam beberapa puisinya memanfaatkkn unsur bunyi karena puisi yang diciptakannya
“mengikuti” teks mantra. Misalnya dalam puisi yang berjudul “Sepisaupi”
72|
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
1973
(Bachri, 2002, hlm. 70)
Selain dari pemanfaatan unsur bunyi dan bahasa, pada mantra juga kita akan menemukan
formula-formualik. Teori mengenai formula bahasa dikemukakan oleh Lord melalui teori formula-
formulaik. Lord memberikan batasan pada istilah formula dan formulaik, yaitu: Formula adalah
kelompok kata yang digunakan secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra (irama) yang sama
untuk mengungkapkan satu ide tertentu yang hakiki (Teeuw, 1994, hlm. 3). Formula (frasa, klausa,
atau larik) dalam puisi dihasilkan dengan dua cara, yaitu dengan mengingat frasa itu dan dengan
menciptakan melalui analogi frasa-frasa lain yang pernah ada (Badrun, 2003, hlm. 26). Sedangkan
formulaik yaitu larik atau separuh larik yang disusun atas dasar pola formula (Teeuw, 1994, hlm. 3).
Formula bahasa yang tampak dalam teks asihan Jaran Goyang di atas yaitu terdapatnya beberapa
pengulangan kata. Sebuah kata yang terbentuk dalam sebuah kalimat dalam setiap lariknya.
Pengulangan tersebut, dilakukan baik dengan perubahan atau secara konstan/tetap.
Perubahan dengan sebuah variasi, seperti pada larik ke-4 sampai dengan larik ke-8. Variasi
tersebut dinyatakan dalam bentuk frasa. Misalnya: pet sabetakan gunung gugur (larik ke-4), frasa pet
sabetakan lemah bengkah (larik ke-5), dan seterusnya. Frasa gunung gugur, lemah bengkah dan
seterusnya merupakan variasi. Dalam variasi larik-larik tersebut terjadi pengulangan yaitu berupa kata
pet sabetaken. Kata/frasa yang diulang dalam larik-larik tersebut memiliki fungsi, kedudukan, dan
peran yang sama. Jadi dengan kata lain kata/frasa tersebut merupakan formula untuk sebuah larik.
Keempat, ada sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh manusia, sesuatu yang misterius.
Kemisteriusan sesuatu dalam mantra tidak lepas dari sifat `sakral`nya. Mantra mempunyai logika
sendiri, seperti pada teks-teks lisan lainnya. Logika tersebut terpatri pada masyarakat pemiliknya.
Sehingga apapun yang menjadi syarat untuk tercapainya maksud, maka akan dilaksanakan. Walaupun
syarat tersebut tidak masuk akal. Seperti puasa mutih selama 6 hari. Sebetulya tidak ada hubungan
73|
dengan menarik perhatian lawan jenis atau mencari cinta seseorang, tetapi bagi pemilik kebudayaan
tersebut apa yang dilakukan adalah sesuatu yang “logis”.
wahai si Capung Kencana
aku perintahkan kau
masuk ke gua garba Nuraini
kalau matanya terbuka
goyangkan tubuhnya
kalau sedang tidur
bangunkan dia
satukan hati dan jantungnya
dengan hati dan jantungku
kalau gagal
biar dia gila
kalau tak gila
akan ngoceh terus
tak jelas juntrungnya
dan hanya aku
yang bisa menyembuhkan
:
rasaku lebih tinggi
dari rasamu
ruhku lebih tinggi
dari ruhmu
kamaku lebih unggul
dari kamamu
(Damono, 2009a, hlm. 16)
Teks tersebut hampir sama dengan teks mantra pada tradisi lisan seperti berikut.
Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober
Gelem kang sira kongkon
Ora gelem kang sira kongkon
Lebonana guwa garbane si… binti…
Kerik-keriken sikile
Lamun turu tangekna
Lamun tangi jagongna
74|
Lamun jagong adegna
Lamun ngadeg mlakukna
Karepna maring ingsun
Awan lan bengi si… binti…
Welas asih karo ingsun
Welas asih karna Alloh taala
(Isnaini, 2007, hlm. 63)
Dari beberapa larik pada teks di atas dapat terlihat ada kata-kata yang tidak masuk akal (tidak
logis) dan sesuatu yang tidak dapt dipahami oleh manusia, kata-kata tersebut sangat misterius sehingga
si pengucap mantra “dipaksa” untuk memahami sesuatu yang sebetulnya tidk dipahami. Misalnya,
wahai si Capung Kencana Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober
aku perintahkan kau Gelem kang sira kongkon
masuk ke gua garba Nuraini Ora gelem kang sira kongkon
Lebonana guwa garbane si… binti…
Dari kedua contoh tersebut kita dapat melihat bahwa ada sesuatu yang misterius. Misalnya
penyebutan kata /gua garba/ /guwa garba/. Menurut KKBI garba berarti tempat; perut (Pusat-Bahasa
& Depdiknas, 2008, hlm. 456). Berarti hal ini tidak logis secara harfiah tetapi sesuatu yang tidak logis
tersebut sebetulnya sesuatu yang menjadi inti `kesakralan` mantra itu sendiri.
Kelima, ada kecenderungan esoteris dari kata-katanya. Kata-katanya bersifat rahasia, terbatas, dan
bersifat khusus. Misalnya, penggunaan nama-nama yang mewakili kekuatan”gaib‟ merupakan contoh
kata-kata esoterik. Contoh: //Si Capung Kencana// //SangSetanKober// //Si Runcang Kembang//
//Mliwis Putih// //Si Naga Rante// //Si Jaran Goyang// adalah kata-kat khusus yang sifatnya terbatas
karena kata-kata tersebut tidak mudah dijumpai pada konteks kalimat yang “biasa”. Kata-kata tersebut
hanya ada pada teks mantra.
Teks mantra, seperti halnya juga teks-teks lisan lainnya tidak akan terlepas dari konteks, proses
penciptaan dan fungsi. Konteks pada teks-teks lisan dapat berupa konteks penuturan atau konteks
pertunjukkan. Menurut Malinowski dalam Badrun, (2003, hlm. 38) kata-kata dalam sebuah
percakapan hanya dapat dipahami kalau dikaitkan dengan konteks. Pemahaman konteks situasi saja
belum cukup untuk memahami kata-kata yang digunakan dalam percakapan tetapi juga harus
dibarengi dengan pemahaman konteks budaya.
Konteks situasi adalah lingkungan atau tempat peristiwa penuturan berlangsung. Konteks situasi
atau tempat berlangsungnya teks, menurut Halliday dalam Badrun, (2003, hlm. 38) mempunyai tiga
unsur yaitu medan yang menunjuk pada hal yang sedang dilakukan oleh pelibat yang di dalamnya
menggunakan bahasa sebagai unsur pokok. Pelibat menunjuk pada orang-orang yang terlibat, yaitu
75|
bagaimana sifat, kedudukan dan peran mereka. Sedangkan sarana merujuk pada bagian yang
diperankan bahasa. Konteks budaya adalah lingkungan budaya suatu daerah termasuk “peristiwa” dan
norma yang melatari penuturan.
Dengan kata lain konteks yang terjadi pada teks mantra asihan adalah konteks penuturan
sekaligus konteks pertunjukkan Konteks penuturan. Sehinga konteks yang terjadi adalah pembicaraan
mengenai sebuah peristiwa komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi di antara
unsur-unsur pendukungnya secara khusus pula. Artinya ada hubungan antara penutur, petutur,
kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan serta masyarakat
pendukungnya. Pada teks mantra asihan, konteks penuturan terdiri atas dua tahap, yaitu:
1. Penutur 1 (dukun) kepada pendengar (pengucap mantra)
2. Penutur 2 (penguca mantra) kepada (yang diharapkan/orang yang dituju)
Pada tahap pertama, dukun merupakan penutur yang menuturkan teks asihan kepada pendengar
(pasien). Peristiwa komunikasi khusus di antara keduanya ditandai dengan hubungan timbal-balik
antara penutur (dukun) dengan pendengar (pasien). Pada konteks penuturan tahap pertama ini, penutur
(dukun) menuturkan sekaligus menjelaskan teks mantra asihan kepada pendengar (pasien) beserta tata
cara laku mistik, waktu pengamalan, dan tujuan pengamalan. Semuanya dijelaskan oleh penutur
(dukun) kepada pendengar (pasien) pada saat penuturan (dukun) berlangsung. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada alur konteks penuturan tahap pertama berikut:
Pada konteks penuturan tahap kedua, yakni penutur (pengucap mantra) menuturkan teks mantra
asihan sekaligus menjalankan laku mistik tertentu dengan tujuan menguasai sukma (hati) orang lain
yang dituju. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan alur konteks penuturan tahap kedua
berikut:
Pengamal
- Menuturkan mantra
- Menjalankan Laku
Mistik
- Tujuan Bertutur
Yang diharapkan
Konteks Penuturan Tahap Kedua
Dukun
- Kesempatan
- Bertutur
- Tujuan Bertutur
- Laku Mistik
Pendengar/Pasien
Konteks Penuturan Tahap Pertama
76|
Pada konteks penuturan tahap kedua yang dilakukan oleh si pengucap mantra adalah
mengamalkan (menjalankan) laku mistik yang sudah ditentukan karena laku mistik merupakan bagian
integral yang tidak bisa dipisahkan dan merupakan syarat yang dapat menentukan berhasil tidaknya
mantra tersebut (Isnaini, 2007, hlm. 143-144).
Sedangkan proses penciptaan antara puisi lisan dan bukan lisan terdapat perbedaan. Pada puisi
tertulis terdapat perbedaan antara moment penciptaan dan moment pembacaan (pertunjukkan).
Sedangkan dalam puisi lisan kedua moment itu menjadi satu. Pengarang puisi lisan adalah penyair atau
penyaji.
Menurut Lord dalam Badrun, (2003, hlm. 43) proses penciptaan dalam puisi lisan terjadi pada
saat pertunjukan berlangsung. Dalam penciptaannya, seorang penyaji tidak menghafal rumus/formula
tertentu. Melainkan terjadi mengalir begitu saja. Faktor tertentu dalam menguasai puisi rakyat adalah
memahami formula dan membiasakan diri untuk mendengarkan puisi tersebut. Lord menyebutkan
bahwa Dalam puisi tertulis antara penciptaan dengan pembacaan terdapat perbedaan, perbedaan itu
tampak pada moment (saat) yang terjadi, namun dalam puisi lisan di antara keduanya tidak terdapat
perbedaan atau dengan kata lain menjadi satu.
Pada penelitian ini, proses penciptaan yang dimaksud adalah pembicaraan mengenai proses
kreatif penciptaan sebuah mantra. Artinya proses mencipta sesuatu (puisi lisan/mantra) oleh
masyarakat tertentu, baik dengan belajar, sistem pewarisan tunggal, atau tradisi lisan dari mulut ke
mulut oleh seluruh masyarakat pada kelompok dan daerah tertentu.
Pada mantra asihan terdapat dua tahap proses penciptaan. Pertama, proses penciptaan dari
penutur pertama (dukun). Kedua, proses penciptaan dari penutur kedua (pengamal). Untuk lebih
jelasnya perhatikan bagan proses penciptaan mantra asihan berikut:
Berdasarkan bagan dan analisis yang telah dilakukan serta dari beberapa data narasumber, mantra
asihan diperoleh dan diwariskan berdasarkan sistem pewarisan vertikal antara si empunya dengan si
pewaris. Artinya, mantra asihan biasanya diturunkan dari orang yang lebih tua ke orang yang lebih
muda (dari guru ke murid). Proses penciptaan dari penutur pertama (dukun) dilakukan dengan
terstruktur. Artinya, ada proses pembelajaran dalam sistem pewarisan asihan ini. Begitu pula proses
penciptaan dari dukun ke si pengamal juga dilakukan secara terstruktur. Salah satu indikasinya adalah
dalam sistem pewarisan ini, ada satu istilah yang sering disebut izazah, yang berarti proses pewarisan
mantra harus dilakukan dari guru ke murid (dari yang tua ke yang muda atau dari yang lebih
menguasai kepada yang awam) akibat pengaruh ketatnya sistem budaya. Bila mantra tidak diperoleh
berdasarkan sistem tersebut, maka mantra yang diamalkan itu tidak akan berhasil dan malah akan
mencelakakan si pengamalnya.
Pembicaraan fungsi dalam penelitian ini diartikan sebagai upaya memperoleh “manfaat” oleh
masyarakat yang terkait dengan unsur tersebut dari konteks kebudayaannya. Menurut bascom dalam
Danandjaja, (2003:19) fungsi folklor meliputi sistem proyeksi, yakni sebagai alat cermin angan-angan
suatu kolektif, sebagi alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, sebagai alat
77|
pendidikan anak, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
dipatuhi anggota kolektifnya.
Menurut Hutomo (1991:69-74), fungsi sastra lisan adalah sebagai berikut: (1) sebagai sistem
proyeksi, (2) untuk pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pemaksa
berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial, (4) sebagai alat pendidikan bagi
anak, (5) untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan masyarakat agar ia dapat lebih superior dari
orang lain, (6) untuk memberikan jalan kepada seseorang yang dibenarkan oleh masyarakat agar ia
dapat mencela orang lain, (7) sebagai alat untuk memperotes ketidakadilan dalam masyarakat, dan (8)
untuk melarikan diri dari himpitan hidup, atau dengan kata lain semata-mata hanya sebagai hiburan
saja.
Puisi lisan tentu saja memiliki fungsi masing-masing. Namun fungsi-fungsi tersebut bergantung
pada masyarakat pemilik tradisi lisan yang bersangkutan. Termasuk juga pada teks mantra asihan ada
fungsi yang ingin dicapai oleh si pengamal atau pengucap mantra. Misalnya, sebagai sistem proyeksi
atau angan-angan yang ingin dicapai serta sebagai jalan yang dibenarkan masyarakat agar ia dapat
lebih superior dari orang lain. Kedua fungsi ini sangat melekat pada teks mantra, walaupun tidak
menutup kemungkinan muncul fungsi-fungsi yang lainnya.
Akhirnya, kita bisa mengatakan bahwa teks mantra, khususnya mantra asihan adalah teks `sakral`
yang digunakan untuk menguasai “hati” orang lain, sehingga dapat memunculkan rasa “cinta”.
Transformasi pada teks mantra sepertinya tidak membuat `kesakralan` mantra dengan serta merta
hilang begitu saja. Hal ini disebabkan pada teks mantra ada kata-kata yang ditujukan untuk kekuatan
“gaib” tertentu yang diharapkan dapat membantu terwujudnya keinginan si pengucap mantra.
PENUTUP
Seperti yang sudah dibahas di atas, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa yang ditulisnya
adalah mantra yang berasal dari berbagai sumber, lisan dan tulis, yang umur dan asal-usulnya tidak
mungkin lagi ditelusuri. Dengan kata lain, teks yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono adalah
mantra tapi dalam bentuk yang lain, yang sama sekali berbeda dengan teks aslinya. Mantra yang hidup
dalam media tradisi lisan diubah menjadi media tertulis, dan pengubahan mantra yang awalnya milik
Leluhur
Dukun
Pengamal
Pewarisan
secara vertikal
dan
terstruktur
78|
kolektif atau komunal menjadi mantra milik individu. Mantra yang semula adalah ekspresi
kesusasteraan suatu kebudayaan yang disebarkan dan dirun-temurunkan secara lisan dari mulut ke
mulut (oral tradition) diubah menjadi ekspresi individu yang disebarkan secara tertulis dan dalam
bentuk cetakan (buku). Pengubahan-pengubahan tersebut jelas akan menimbulkan “pengaruh”
terutama dalam hal “kesakralan” mantra itu sendiri.
Puisi yang dibentuk dari unsur bahasa berupa kata (yang mempunyai arti) berdasarkan proses
sintagmatik. Setiap kata adalah signifier yang mempunyai referent dan signified. Sebuah puisi adalah
“penjumlahan” referent dan signified dari kata-katanya yang tentu saja dipengauhi oleh proses
sintagmatik menjadi semakin kontras dengan mantra. Penyandingan dan pembandingan keduanya
memiliki nilai kemenarikan tersendiri. Puisi dengan kekuatan bahasa kias dan figuratifnya
disandingkan dengan mantra yang kuat dengan unsur-unsur suprasegmentalnya.
Pembandingan dan penyandingan kedua teks tersebut dititikberatkan pada struktur, proses
penciptaan, konteks penuturan, dan fungsinya. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa kedua teks memiliki
kesamaan dan kemiripan pada satu sisi dan memiliki keunikan pada sisi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Bachri, S. C. (2002). O, amuk kapak. Jakarta: Horison.
Badrun, A. (2003). Patu mbojo: struktur, konteks pertunjukan, proses penciptaan dan fungsi.
Unpublished Disertasi, Universitas Indonesia, Depok.
Damono, S. D. (2009a). Mantra orang jawa. Ciputat: Editum.
Damono, S. D. (2009b). Sastra bandingan. Ciputat: Editum.
Danandjaja, J. (2002). Folklor Indonesia: gosip, dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafitipers.
Hutomo, S. S. (1991). Mutiara yang terlupakan. Surabaya: Hiski Jawa Timur.
Isnaini, H. (2007). Mantra asihan: struktur, konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi.
Unpublished Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Junus, U. (1983). Dari peristiwa ke imajinasi: wajah sastra dan budaya Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia.
79|
Pusat-Bahasa, & Depdiknas (Eds.). (2008). Kamus besar bahasa indonesia edisi keempat. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Rusyana, Y. (1970). Bagbagan puisi mantra sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore
Sunda.
Teeuw, A. (1994). Indonesia antara kelisanan dan keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Waluyo, H. J. (1987). Teori dan aplikasi puisi. Jakarta: Erlangga.
Wardhana, C. D. (2003). Seminar naskah nusantara. Unpublished Makalah. Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia.
80|
LAMPIRAN TEKS
Mantra Pengasihan 2
aku punya bunga
dari tanah seberang
disebut kembang pulut
aku pulut hati
si jabang bayi Nuraini
:
kasih sayangnya pun tumbuh
melihat diriku
lekat pada diriku
atas kehendak Allah
(Damono, 2009a, hlm. 18)
Asihan Si Runcang Kembang
Asihan aing si runcang kembang
mipir halis nyukang dina tarang sia
sidendang dina bulu mata sia
sageuy sia henteu melas henteu karunya ka
badan aing
(Rusyana, 1970, hlm. 37)
Asihan Setan Kober
Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober
Gelem kang sira kongkon
Ora gelem kang sira kongkon
Lebonana guwa garbane si… binti…
Kerik-keriken sikile
Lamun turu tangekna
Lamun tangi jagongna
Lamun jagong adegna
Lamun ngadeg mlakukna
Karepna maring ingsun
Awan lan bengi si… binti…
Welas asih karo ingsun
Welas asih karna Alloh taala
(Isnaini, 2007, hlm. 63)
Mantra Pengasihan 1
wahai si Capung Kencana
aku perintahkan kau
masuk ke gua garba Nuraini
kalau matanya terbuka
goyangkan tubuhnya
kalau sedang tidur
bangunkan dia
satukan hati dan jantungnya
dengan hati dan jantungku
Asihan Si Tarik Gadung
Asihan aing si tarik gadung
sataruk matak lalanjung sataun
salambar matak kelar sabulan
sasoek matak leweh sapoe
kejo asa catang bobo
tiis batan birit leuwi
deuk leumpang ngarampa jungjang
diluahkeun kuda bancana
reup angkeub jleg sorangan
81|
kalau gagal
biar dia gila
kalau tak gila
akan ngoceh terus
tak jelas juntrungnya
dan hanya aku
yang bisa menyembuhkan:
rasaku lebih tinggi
dari rasamu
ruhku lebih tinggi
dari ruhmu
kamaku lebih unggul
dari kamamu
(Damono, 2009a, hlm. 16)
(Rusyana, 1970, hlm. 37)
Asihan Mliwis Putih
Mlliwis Puith sira tak kongkon
Asupi jiwa ragane si jabang bayine…
Ketemu turu tangekna
Ketemu tangi lungguhna
Ketemu lungguh adegna
Ketemu ngadeg mlakukna
Yen wis teka mene kon nyenengi jiwa
ragane ingsun
(Isnaini, 2007, hlm. 99)
Mantra Pengasihan 3
ajiku sang leher, menolehlah
tolehlah hambaku
kusatukan ujung bulu mataku
kusatukan ujung alisku
kusatukan ujung rambutku
ruh dari ruhku
nyawa dari nyawaku
sukma dari sukmaku
tubuh dari tubuhku
blug! Mati, belum mati
jadi gila
belum gila tapi sempoyongan
:
takkan sembuh jabang bayi si Nuraini
kalau bukan aku yang mengobati
penuh belas penuh kasih
jabang bayi si Nuraini
menatapku
tajam menatapku
Asihan Si Naga Rante
Asihan aing si naga rante
nya tali paranti ranti
tunggal tali jadi-jadi
rek kentel hayang jadi hiji jeung si…
cunduk tiruk tali angkruk
burung badan burung leumpang balik deui
rusras ka badan aing
nangkarak mayang murag
muyukpuk kawas kapuk kaibunan
mangka welas mangka asih ka badan aing
(Rusyana, 1970, hlm. 36)
Asihan Jaran Goyang
Sun matek ajiku si Jaran Goyang
Tak goyang ing tengah latar
Upet-upetku lawe benang
Pet sabetaken gunung gugur
Pet sabetaken lemah bengkah
82|
(Damono, 2009a, hlm. 20)
Pet sabetaken segara asat
Pet sabetaken ombak gede sirep
Pet sabetaken atine si… binti…
Cep sida edan ora edan
Sida gendeng ora gendeng
Sida bunyeng ora mari-mari
Yen ora ingsun sing nambani
(Isnaini, 2007, hlm. 148-149)
83|
PENERAPAN MODEL MAPPING ACTIVITY (MA)
DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN
Yeni Rostikawati
STKIP Siliwangi Bandung
pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah proses
pembelajaran membaca pemahaman dengan menerapkan model Mapping Acivity (MA)? 2)
Bagaimanakah hasil pembelajaran membaca pemahaman setelah menggunakan model
Mapping Acivity (MA)? 3) Apakah model Mapping Acivity (MA) efektif dalam meningkatkan
kemampuan membaca pemahaman? Penganalisisan data dilakukan dengan menggunakan
rumus Chi-kuadrat untuk menguji normalitas data, rumus varian untuk menguji homogenitas
data, dan rumus uji t untuk membuktikan hipotesis. Adapun hasil pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa hipotesis kerja (Ha) diterima. Oleh karena itu, model Mapping Activity
(MA) efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas X
Administrasi Perkantoran 3 SMK Negeri 3 Bandung. Penelitian tentang penggunaan model
Mapping Activity dalam pembelajaran membaca pemahaman menambah variasi cara
mengajar yang dilakukan oleh guru. Guru dapat lebih kreatif dalam menerapkan pembelajaran
membaca yang sering dianggap membosankan oleh siswa. Selain itu, kegiatan mapping dapat
melatih kemampuan otak kanan siswa sehingga ingatan akan lebih panjang.
Kata kunci: pembelajaran, mapping activity, peningkatan, membaca pemahaman
ABSTRACT
The problems discussed in this study are: 1) What is the process of learning in reading comprehension
by applying the model Mapping Acivity (MA)? 2) How do the results of learning in reading
comprehension after Acivity Mapping model (MA)? 3) Does the model Mapping Acivity (MA) is
effective in improving reading comprehension? Analyzing data using Chi-squared formula to test the
normality of the data, the formula variants to test the homogeneity of the data, and the formula t test to
prove the hypothesis. The results of hypothesis testing showed that the working hypothesis (Ha) is
accepted. Therefore, the model Mapping Activity (MA) is effective in improving reading
comprehension class X Administrasi Perkantoran 3 SMK Negeri 3 Bandung. Research on the use of
models Mapping Activity in teaching reading comprehension add variety ways of teaching that is done
by the teacher. Teachers can be more creative in applying learning to read is often considered boring
by students. In addition, mapping activities can train the right brain abilities of students so that the
memory will be longer.
Keywords: learning, mapping activity, improvement, reading comprehension
84|
PENDAHULUAN
Pembelajaran membaca di sekolah memiliki peranan penting dalam meningkatkan
kemampuan membaca siswa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pembelajaran
membaca sejak jenjang TK (Taman Kanak-kanak) sampai Perguruan Tinggi. Pembelajaran
membaca di sekolah tentunya tidak hanya membuat siswa mampu mengucapkan kata-kata
dalam suatu bacaan, tetapi dapat memahami pesan penting dari bacaan tersebut. Oleh karena
itu, kemampuan membaca inilah yang akan menjadi bekal siswa setelah keluar dari
lingkungan sekolah. Kesadaran akan pentingnya menguasai keterampilan membaca ini
kurang diimbangi dengan minat dan kemampuan membaca siswa. Rendahnya kemampuan
membaca siswa ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya kelelahan fisik dan
mental, bosan, atau isi bacaan dianggap kurang menarik. Poin terakhir tersebut yang biasanya
menjadi alasan utama rendahnya minat baca siswa, sehingga berakibat pada rendahnya
kemampuan membaca.
Siswa cenderung lebih menggemari buku-buku komik ataupun fiksi sebagai bahan
bacaan karena menarik secara visual, sehingga alur cerita yang disajikan pun mudah dicerna
dan biasanya diingat dalam jangka waktu yang lama. Namun, sebaliknya dengan wacana-
wacana yang sifatnya nonfiksi, seperti wacana berita atau materi pelajaran di sekolah, siswa
cenderung sulit mengingat dan memahami pesan yang disampaikan. Hal tersebut wajar
terjadi karena wacana berita ataupun materi pelajaran di sekolah biasanya berbentuk teks
yang berisi fakta dan ide yang disajikan tanpa banyak gambar-gambar menarik. Tony Buzan
dalam bukunya Mind Map untuk Anak (2008, hlm. 11) menyatakan bahwa otak anak akan
jauh lebih mudah mengingat gambar dan warna, sehingga akan lebih bisa mengingat fakta
dan ide yang ada di dalam gambar dan warna tersebut. Melalui penggunaan gambar dan
warna berarti otak kanan pun ikut dilibatkan dalam memahami teks wacana.
Berkenaan dengan hal ini, peneliti akan bereksperimen dengan teknik Mind Map dalam
pembelajaran membaca pemahaman di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) merupakan sekolah yang mencetak lulusan-lulusan siap kerja,
sehingga proses pembelajarannya pun harus benar-benar mencetak sosok siswa yang
terampil, apalagi keterampilan berbahasa merupakan keterampilan yang wajib dikuasai di
setiap jenjang pendidikan, termasuk salah satunya adalah aspek membaca. Hal inilah yang
menjadi salah satu alasan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK).
Model Mapping Activity (MA) merupakan model pembelajaran yang beracuan pada
penggunaan teknik Mind Map yang dikembangkan oleh Tony Buzan. Tony Buzan (2008,
85|
hlm. 11) menyatakan bahwa mind map adalah diagram istimewa yang cara kerjanya sesuai
dengan cara kerja otak dan dapat membantu berpikir, membayangkan, mengingat, dan
merencanakan serta memilah informasi-singkatnya, mind map adalah alat sempurna untuk
membantu belajar dan mengulang pelajaran.
Intinya, mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak
dan mengambil infomasi ke luar dari otak. Buzan (2009, hlm. 5) mengibaratkan mind map
sama halnya seperti peta jalan yang akan menguntungkan dalam beberapa hal berikut.
1) Memberi pandangan menyeluruh pokok masalah atau area yang luas.
2) Memungkinkan kita merencanakan rute atau membuat pilihan-pilihan dan mengetahui ke
mana kita akan pergi dan di mana kita berada.
3) Mengumpulkan sejumlah besar data di satu tempat.
4) Mendorong pemecahan masalah dengan membiarkan kita melihat jalan-jalan terobosan
kreatif baru.
5) Menyenangkan untuk dilihat, dibaca, dicerna, dan diingat.
Mind map juga memungkinkan kita menyusun fakta dan pikiran sedemikian rupa
sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal. Hal ini berarti bahwa mengingat
informasi akan lebih mudah dan lebih bisa diandalkan daripada menggunakan teknik
pencatatan tradisional. Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model Mapping
Activity ini dibagi menjadi beberapa langkah, di antaranya: memperkenalkan mind map yang
baik; mengingatkan kembali rumus 5W+1H untuk menemukan gagasan pokok suatu bacaan;
dan menuangkan gagasan-gagasan utama dalam wacana menjadi mind map yang baik.
Sedangkan hakikat membaca pemahaman, Hodgson (dalam Tarigan, 2008, hlm. 7)
memberikan definisi bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan
oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media
kata-kata atau bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan
suatu kesatuan akan terlibat dalam pandangan sekilas dan agar kata-kata secara individual
akan dapat diketahui. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat maupun yang
tersirat tidak akan dipahami dan proses membaca tidak terlaksana dengan baik.
Membaca pemahaman termasuk ke dalam membaca telaah isi, karena dalam menelaah isi
suatu bacaan dituntut suatu ketelitian, pemahaman, kekritisan berpikir serta keterampilan
menangkap ide-ide yang tersirat dalam bacaan. Tarigan (2008, hlm. 58) mengungkapkan
bahwa yang dimaksud dengan membaca pemahaman adalah sejenis membaca yang bertujuan
untuk memahami:
1) standar-standar atau norma-norma kesastraan (literary standard);
86|
2) resensi kritis (critical review);
3) drama tulis (printed drama);
4) pola-pola fiksi (patterns of fiction).
Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan membaca
pemahaman ada beberapa hal yang ikut terlibat, yaitu pembaca, teks bacaan, dan isi pesan
bacaan. Dengan demikian, seorang pembaca dapat dikatakan mampu memahami teks bacaan
apabila mampu memahami pesan yang terkandung dalam konteks bacaan baik tersirat
maupun tersurat yang berupa gagasan pokok.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi
experiment). Penelitian eksperimen ini dilakukan untuk mencari hubungan sebab akibat
(hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti. Kedua faktor
tersebut adalah penerapan model Mapping Activity (MA) (sebagai faktor penyebab) dan
kemampuan membaca siswa (sebagai faktor akibat). Rancangan penelitian yang digunakan
adalah rancangan dengan teknik random kelas melalui Tes Awal-Tes Akhir pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol (The Randomized Pretest-Posttest Control Group Design).
Dalam rancangan ini peneliti melakukan teknik random kelas karena teknik penjodohan
terhadap subjek seperti yang dikemukakan dalam teori Syamsuddin dan Vismaia (2007, hlm.
163), tidak memungkinkan untuk dilakukan di lapangan.
Adapun teknik penelitian dilakukan beberapa tahapan penelitian, yaitu tahapan
pengumpulan data dengan teknik tes dan observasi. Tahapan kedua, pengolahan data, Data
kuantitatif terdiri atas data hasil pretes dan postes. Kedua data tersebut diteliti dan
ditabulasikan untuk mengetahui rata-rata dan standar deviasinya. Setelah itu dilakukan uji
normalitas dan homogenitas. Apabila data terbukti normal dan homogen, maka pengolahan
data dilanjutkan dengan uji-t atau t-test. Namun, apabila data tidak berdistribusi normal,
maka pengolahan data dilanjutkan dengan penghitungan statistika nonparametrik. Data
kualitataif hanya diperoleh dari kegiatan observasi. Data hasil observasi yang diperoleh dari
hasil pengamatan observer, diakumulasikan untuk mengetahui nilai total dan nilai rata-rata
yang diberikan observer. Selanjutnya, nilai tersebut diinterpretasikan dengan interval
penilaian, yaitu sebagai berikut.
3,5 – 4,0 = A (Amat baik)
2,5 – 3,4 = B (Baik)
1,5 – 2,4 = C (Cukup)
87|
0,5 − 1,4 = D (Kurang)
< 0,5 = E (Gagal)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Setelah instrumen tes dinyatakan valid dan reliabel oleh tim ahli, tahapan penelitian
selanjutnya adalah melakukan pretes (tes awal) dan postes (tes akhir) untuk mengetahui
kemampuan membaca pemahaman siswa pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol.
Hasilnya diketahui bahwa nilai terendah yang diperoleh oleh kelas eksperimen pada saat
pretes adalah 43, nilai tertinggi adalah 76, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 62,4. Dari
hasil pretes pada kelas eksperimen tersebut ada 7 orang yang berhasil dan 23 orang gagal.
Sedangkan hasil postes didapat nilai terendah 46, nilai tertinggi 88, dan diperoleh rata-rata
nilai sebesar 71,2. Dari hasil postes diketahui sebanyak 21 orang berhasil dan 9 orang gagal
berdasarkan pada KKM yang ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia
yaitu 67.
Tabel 4.1
Daftar Data Pretes-Postes Kelas Eksperimen
No. Subjek Nilai
Pretes Predikat
Nilai
Postes Predikat
1 Aas Rosmawati 56 kurang baik 70 cukup baik
2 Dian Ratna Sari 66 cukup baik 73 cukup baik
3 Esa Kartika Sari 62 cukup baik 70 cukup baik
4 Eva Fauziah Rozak 70 cukup baik 72 cukup baik
5 Fitria Widianingsih 70 cukup baik 86 baik
6 Gelsa Novita Rosa D. 76 baik 88 baik
7 Lia Mulyani 66 cukup baik 76 cukup baik
8 Marlya Rachmawati 63 cukup baik 66 cukup baik
9 Meilia Dewi Lestari 43 kurang baik 60 cukup baik
10 Nabila Rahmani 60 cukup baik 73 cukup baik
11 Nita Kusmayanti 50 kurang baik 66 cukup baik
12 Nita Susanti 56 kurang baik 66 cukup baik
13 Nurmalawati 66 cukup baik 70 cukup baik
14 Nurul Azizah R. 53 kurang baik 62 cukup baik
88|
Se
dangk
an
pada
kelas
kontro
l
diketahui bahwa nilai terendah yang diperoleh pada saat pretes adalah 52, nilai tertinggi
adalah 70, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 60,63. Dari hasil pretes pada kelas kontrol
tersebut ada 2 orang yang berhasil dan 28 orang gagal. Sedangkan hasil postes didapat nilai
terendah 56, nilai tertinggi 73, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 66,6. Dari hasil postes
diketahui sebanyak 14 orang berhasil dan 6 orang gagal berdasarkan pada KKM yang
ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67.
15 Parti 60 cukup baik 70 cukup baik
16 Puteri Junike 70 cukup baik 72 cukup baik
17 Ratnasari 46 kurang baik 46 kurang baik
18 Reni Rahayu 66 cukup baik 76 cukup baik
19 Risca Permatasari 76 baik 80 baik
20 Riska Ratna Juwita 60 cukup baik 66 cukup baik
21 Sani Nurnissa Juliani 70 cukup baik 70 cukup baik
22 Sarah Nur Asyifa 62 cukup baik 63 cukup baik
23 Sely Riani 60 cukup baik 72 cukup baik
24 Sinta Melati 63 cukup baik 76 cukup baik
25 Siti Marwah G. 72 cukup baik 83 baik
26 Ulfa Fauzia S. 63 cukup baik 70 cukup baik
27 Yuli Yanti 52 kurang baik 76 cukup baik
28 Yuli Yulianti 66 cukup baik 82 baik
29 Yulian Sundari 63 cukup baik 66 cukup baik
30 Yuliana 66 cukup baik 70 cukup baik
∑ Jumlah 1872 2136
Rata-rata 62.4 cukup baik 71.2 cukup baik
Keterangan:
90 – 100 : amat baik
75 – 89 : baik
60 – 74 : cukup baik
0 – 59 : kurang baik
89|
Tabel 4.2
Daftar Data Pretes dan Postes Kelas Kontrol
No. Subjek Nilai
Pretes Predikat
Nilai
Postes Predikat
1 Annisa Purwani 53 kurang baik 60 cukup baik
2 Arinta Ayudya Pratami 66 cukup baik 70 cukup baik
3 Astri Siami Permana S. 56 kurang baik 66 cukup baik
4 Desi Septiani 56 kurang baik 60 cukup baik
5 Devi Andriani 62 cukup baik 66 cukup baik
6 Emmy Norita 62 cukup baik 70 cukup baik
7 Fevi Supianti 63 cukup baik 66 cukup baik
8 Fifit Fitriani 63 cukup baik 70 cukup baik
9 Fuzy Fauziyyah 66 cukup baik 70 cukup baik
10 Ghesyana Wasis 63 cukup baik 64 cukup baik
11 Ghita Mandalaswari 50 kurang baik 70 cukup baik
12 Indri Dwi Lestari 50 kurang baik 56 kurang baik
13 Intan Mustikawati 53 kurang baik 66 cukup baik
14 Irma Ratnaningsih 62 cukup baik 62 cukup baik
15 Juwita Sari 66 cukup baik 70 cukup baik
16 Mega Lela Puspa 70 cukup baik 70 cukup baik
17 Meti Suryani 53 kurang baik 60 cukup baik
18 Mia Maya Ulfah 60 cukup baik 70 cukup baik
19 Nenti Kustani 63 cukup baik 70 cukup baik
20 Putri Pratiwi Mulyadi 60 cukup baik 66 cukup baik
21 Restu Fitria Ramdhani 66 cukup baik 67 cukup baik
22 Rina Oktavia 60 cukup baik 66 cukup baik
23 Rostika 63 cukup baik 66 cukup baik
24 Sari Sri Yanti 66 cukup baik 73 cukup baik
25 Shinta Yuliani Hikmah 52 kurang baik 60 cukup baik
26 Sinta Rahayu 60 cukup baik 66 cukup baik
27 Siti Nabila Nurul Aulia 63 cukup baik 70 cukup baik
28 Yarah Surya Dini 62 cukup baik 70 cukup baik
90|
Keterangan:
90 – 100 : amat baik
75 – 89 : baik
60 – 74 : cukup baik
0 – 59 : kurang baik
Pengujian persyaratan analisis data dilakukan dengan dua jenis pengujian yaitu uji
normalitas dan homogenitas data. Apabila data terbukti normal dan homogen, maka
pengujian hipotesis penelitian dapat dilanjutkan dengan menggunakan rumus t-test.
Uji normalitas data adalah uji yang dimaksudkan untuk menguji normal tidaknya sebaran
data yang akan dianalisis. Uji normalitas dilakukan berdasarkan penghitungan statistika
menggunakan rumus Chi-Kuadrat. Berikut adalah pemaparan mengenai perhitungan uji
normalitas data pretes-postes.
X2
hitung data pretes Kelas eksperimen : 8.50338 ≈ 8,503
X2
hitung data pretes Kelas kontrol : 8.29678 ≈ 8,297
Dari tabel harga kritik Chi-kuadrat diketahui bahwa dengan derajat kebebasan (dk = k-3),
diperoleh (dk) Kelas eksperimen : 6-3 = 3 dan (dk) Kelas kontrol : 7-3 = 4, harga X2
hitung
dalam interval kepercayaan 99% adalah X2 tabel Kelas eksperimen adalah 11,3 dan X
2 tabel
Kelas kontrol adalah 13,3.
Jika X2
hitung < X2 tabel maka data berdistribusi normal. Dari penghitungan di atas, diperoleh
nilai X2
pada Kelas eksperimen dan Kelas kontrol, yaitu: X2
hitung (8,503) < X2 tabel (11,3) dan
X2
hitung (8,297) < X2 tabel (13,3). Maka diketahui X
2 hitung < X
2 tabel di kedua Kelas, sehingga
dapat disimpulkan bahwa Kelas tersebut memiliki data pretes dengan distribusi normal.
Hasil penelitian terhadap dua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol
memperlihatkan perbedaan nilai rata-rata yang signifikan. Peningkatan nilai rata-rata pretes-
postes pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Nilai rata-rata
yang diperoleh kelas eksperimen pada hasil pretes sebesar 62,4, hasil postes sebesar 71,2.
29 Yolanda A.P. 60 cukup baik 66 cukup baik
30 Yuliani Setiawati 70 cukup baik 72 cukup baik
∑ Jumlah 1819 1998
Rata-rata 60.63 cukup baik 66.6 cukup baik
91|
Sedangkan nilai rata-rata hasil pretes pada kelas kontrol sebesar 60,63, hasil postes sebesar
66,6.
Perbedaan yang signifikan dari perolehan nilai rata-rata pretes-postes antara kelompok
eksperimen dengan kelompok kontrol dapat terlihat dari diagram batang berikut.
Gambar 4.1
Peningkatan Nilai Rata-Rata Pretes-Postes Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa
Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol
Berdasarkan diagram tersebut terlihat perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata
kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Walaupun pada kelas kontrol terjadi peningkatan
antara hasil pretes dengan postes, namun tidak sebesar peningkatan antara hasil pretes
dengan postes pada kelas eksperimen.
Nilai terendah yang diperoleh kelas eksperimen pada saat pretes adalah 43, nilai tertinggi
adalah 76, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 62,4. Hsil pretes pada kelas eksperimen
tersebut ada 7 orang yang berhasil dan 23 orang gagal. Sedangkan hasil postes didapat nilai
terendah 46, nilai tertinggi 88, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 71,2. Hasil postes
diketahui sebanyak 21 orang berhasil dan 9 orang gagal berdasarkan pada KKM yang
ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67.
Nilai terendah yang diperoleh oleh kelas kontrol pada saat pretes adalah 52, nilai tertinggi
70, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 60,63. Dari hasil pretes pada kelas kontrol tersebut
ada 2 orang yang berhasil dan 28 orang gagal. Sedangkan hasil postes didapat nilai terendah
56, nilai tertinggi 73, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 66,6. Dari hasil postes diketahui
92|
sebanyak 14 orang berhasil dan 16 orang gagal berdasarkan pada KKM yang ditetapkan
sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67. Walaupun masih ada siswa yang
tidak berhasil mencapai KKM pada saat postes (eksperimen dan kontrol), namun siswa yang
berhasil tetap mengalami peningkatan. Oleh karena itu, model Mapping Activity (MA) ini
dapat digunakan dalam pembelajaran membaca pemahaman karena dapat meningkatkan
kemampuan membaca pemahaman siswa.
Observasi dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan karena peneliti melakukan tiga kali
perlakuan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Observer hanya mengobservasi aktivitas
guru selama proses pembelajaran pada kelas eksperimen. Aspek-aspek yang dinilai meliputi
kemampuan membuka pelajaran, sikap pengajar dalam proses pembelajaran, penguasaan
bahan pembelajaran, proses pembelajaran, kemampuan menggunakan media, evaluasi, dan
kemampuan menutup pelajaran. Berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan oleh kedua
observer, menunjukkan bahwa guru sudah mampu menguasai proses pembelajaran dengan
menerapkan materi Mind Map dengan baik dan menyampaikannya kepada siswa.
Observasi terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran pun dilakukan untuk
mengetahui ketertarikan siswa terhadap penerapan model Mapping Activity (MA) selama
pembelajaran sehingga mereka dapat termotivasi untuk belajar terutama pembelajaran
membaca pemahaman. Ada beberapa aspek yang dinilai dalam format aktivitas siswa ini,
yaitu siswa menunjukkan sikap/rasa senang terhadap proses pembelajaran dengan
menggunakan model Mapping Activity (MA), siswa menyimak dengan baik penjelasan guru,
keaktifan bertanya dan menjawab selama proses pembelajaran, keantusiasan siswa
mengikuti pelajaran, siswa mengerjakan tugas dengan baik dan serius. Penilaian
menggunakan angka dengan kriteria yang sama seperti penilaian pada aktivitas guru.
Secara keseluruhan pembelajaran membaca pemahaman dengan menerapkan model
Mapping Activity (MA) dapat meningkatkan motivasi belajar siswa walaupun pada awalnya
sulit dimengerti oleh siswa, namun apabila guru terus menerus membimbing siswa dan
menerangkan langkah-langkah dengan teliti, maka sedikit demi sedikit siswa akan paham
dan menunjukkan respon yang baik.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pengolahan data hasil penelitian diketahui bahwa data pretes-postes kelas
eksperimen maupun kelas kontrol normal dan homogen berdasarkan taraf kepercayaan 99%.
Data pretes berdistribusi normal terbukti dari hasil perhitungan chi-kuadrat yang
menunjukkan bahwa X2
hitung < X2 tabel pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, yaitu X
2 hitung
93|
(8,503) < X2 tabel (11,3) dan X
2 hitung (8,297) < X
2 tabel (13,3). Sedangkan data postes
berdistribusi normal terbukti dari hasil X2
hitung (8,869) < X2 tabel (13,3) dan X
2 hitung (6,817) <
X2 tabel (11,3).
Homogenitas data pretes-postes pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol ditunjukkan
oleh varian data yang tidak jauh berbeda berdasarkan taraf kepercayaan 99% yang dibuktikan
oleh hasil perhitungan Fhitung ≤ Ftabel, yaitu 1,009 ≤ 3,16 pada kelas eksperimen dan Fhitung ≤
Ftabel, yaitu 1,6003 ≤ 3,16 pada kelas kontrol.
Hipotesis penelitian diterima karena hasil perhitungan membuktikan bahwa thitung ≥ ttabel.
Artinya, model Mapping Activity (MA) efektif diterapkan dalam pembelajaran membaca
pemahaman di kelas X SMK. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh nilai rata-rata hasil postes
pada kelas eksperimen lebih besar daripada nilai rata-rata hasil postes pada kelas kontrol
dengan beracuan pada parameter keberhasilan yang ditentukan oleh sekolah untuk mata
pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67.
Berdasarkan observasi terhadap proses pembelajaran, baik aktivitas guru maupun siswa
dapat dikatakan bahwa siswa SMK dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Hal
tersebut terlihat dari peningkatan keseriusan mereka saat mengikuti pembelajaran dari
pertemuan pertama sampai ketiga. Kemampuan siswa dalam menggambar mind map pun
terlihat ada peningkatan. Awal pertemuan mereka hanya mampu memahami langkah
pembuatan mind map sampai anak cabang dan memahami cara menemukan topik utama
dalam paragraf. Selanjutnya, pada pertemuan kedua dan ketiga, siswa mampu
mengembangkan mind map menjadi beberapa anak cabang sampai cucu cabang walaupun
masih ada beberapa siswa yang belum paham. Adapun kemampuan guru dalam
menyampaikan pengajaran di kelas berdasarkan observasi tergolong baik, sehingga dapat
mempengaruhi keefektifan proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan model
Mapping Activity (MA).
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memiliki beberapa saran untuk beberapa
pihak yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran dan dunia pendidikan. Saran pertama
ditujukan kepada pihak guru. Guru merupakan salah satu pihak yang memiliki peran penting
dalam mencetak generasi bangsa yang cerdas dan terampil. Oleh karena itu, seorang guru
harus memiliki wawasan luas, kemampuan yang memadai, terampil, dan kreatif dalam
mengemas pembelajaran. Kedua, saran untuk siswa. Siswa dapat memanfaatkan model
pembelajaran Mapping Acivity (MA) ini untuk mempermudah memahami suatu bacaan,
melatih otak supaya dapat memetakan isi bacaan dalam pikiran, sehingga dapat dengan
mudah memahami dan mengingat pesan-pesan penting yang disampaikan penulis dalam
94|
wacana yang dibaca. Ketiga, saran untuk peneliti maupun calon peneliti selanjutnya. Peneliti
berharap model pembelajaran Mapping Acivity (MA) ini dapat diujicobakan untuk
meningkatkan keterampilan berbahasa yang lain, seperti keterampilan berbicara dan
menyimak. Untuk keterampilan menulis, peneliti sudah sering menemukan penelitian yang
menggujicobakan Mind Map untuk keterampilan menulis.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2000). Manajemen penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.
Buzan, Tony. (2009). Buku pintar mind map. Alih bahasa Susi Purwoko Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Buzan,.Tony. (2004). Buku pintar mind map untuk anak agar anak lulus ujian dengan nilai
bagus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nurhadi. (2005). Membaca cepat dan efektif. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Nurgiyantoro, Burhan. (2009). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan sastra. Yogyakarta:
BPFE.
Sudjana. (2005). Metoda statistika. Bandung: Tarsito.
Tarigan, Henry Guntur. (2008). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung:
Angkasa.