99

stkipsiliwangi.ac.idstkipsiliwangi.ac.id/wp-content/uploads/2015/01/Full-Semantik-15.pdf · pada sebuah puisi adalah nilai-nilai yang tampak berdasarkan hasil pengkajian pada unsur-unsur

Embed Size (px)

Citation preview

1|

PENGKAJIAN PUISI MELALUI PEMAHAMAN NILAI-NILAI ESTETIKA DAN

ETIKA UNTUK MEMBANGUN KARAKTER SISWA

Yusida Gloriani

Universitas Kuningan

Pos-el:[email protected]

Abstrak

Melalui eksplorasi bahasa yang khas dalam puisi, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang

optimal. Nilai estetik adalah nilai yang berdasar pada keindahan. Selain nilai-nilai estetika, di dalam

puisi pun terdapat pula pemikiran, ide/gagasan, emosi, bentuk, kesan, dan pesan yang ingin

disampaikan pengarang. Dengan demikian, dapat kita temukan nilai-nilai etika yang ingin

disampaikan pengarang melalui keindahan bahasa pada puisinya. Nilai-nilai etika berkaitan dengan

aturan-aturan yang harus dijalani manusia dalam kehidupannya. Manusia harus memiliki perilaku

sesuai norma-norma, baik norma agama maupun norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Di

sekolah, guru bahasa dan sastra Indonesia dapat memanfaatkan karya sastra, diantaranya puisi.

Dengan mengajak siswa untuk sering membaca dan mengkaji nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika

pada puisi, maka perasaan halusnya akan tersentuh dengan keindahan atau nilai estetika. Pesan-pesan

moral atau nilai-nilai etik pada puisi akan berdampak pada pikiran kritis siswa dalam menjalani

kehidupan dengan baik, lurus, dan benar.

Kata-kata kunci : nilai-nilai estetika, nilai-nilai etika, puisi, pendidikan karakter.

Abstract

Through exploration distinct language in the poem, the author will show it optimally. Aesthetic value

is a value based on beauty. In addition to aesthetic values, in any poem there are also thoughts, ideas ,

emotions, shapes, sounds and the message. Thus, we can find ethical values to be conveyed through

the beauty of the language of the author of the poem. Ethical values relating to the rules that must be

followed by man in his life. Humans must have the appropriate behavioral norms, both religious

norms and norms in society. At school, Indonesian language and literature teachers can take advantage

of literary works, including poetry. By inviting students to frequently read and examine the aesthetic

values and ethical values in poetry, it will be touched with the feeling of delicate beauty or aesthetic

value. Messages moral or ethical values in poetry will have an impact on students' critical thinking in

life with a good, straight, and true.

Key words: aesthetic values, ethical values, poetry, character education.

2|

PENDAHULUAN

Puisi adalah karya sastra yang merupakan pernyataan perasaan yang imajinatif,

yaitu perasaan yang direkakan. Perasaan dan pikiran penyair yang masih abstrak

dikonkretkan melalui kata-kata. Puisi merupakan sarana untuk mengonkretkan peristiwa-

peristiwa yang telah direkam dalam pikiran dan perasaan penyair. Pengonkretan intuisi

dilahirkan melalui kata-kata indah dan bermakna yang dilakukan dengan prinsip efektif

dan efisien.

Penyair memilih dan mengolah kata sedemikian rupa, sehingga menjadi rangkaian

kata-kata yang indah dan menarik. Penyair pun memilih kata setepat-tepatnya dengan

memperhatikan unsur bunyi, melakukan penyeimbangan antara unsur yang satu dengan

unsur yang lainnya, agar tercipta suatu keharuan yang menimbulkan sebuah kontemplasi

dalam diri pembaca puisi.

Seorang pembaca puisi harus mampu menikmati dan memaknai puisi yang

dibacanya. Pembaca puisi harus dapat menghubungkan imajinasinya dengan intuisi

penyair. Pembaca puisi harus memahami hal-hal khusus yang dipergunakan untuk

membantu dirinya dalam memahami makna puisi.

Puisi adalah karya sastra yang memiliki unsur-unsur keindahan atau estetis. Puisi

adalah fenomena yang bernilai keindahan sehingga pembaca diharapkan dapat

memahami dan mengungkap keindahan itu didalamnya. Keindahan adalah ciptaan

pengarang atau penyair dengan seperangkat bahasa yang digunakannya. Keindahan yang

diciptakan pengarang adalah keindahan yang penuh dengan imajinasi. Melalui eksplorasi

bahasa yang khas dalam puisi, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang

optimal.

Karya sastra, dalam hal ini puisi merupakan karya imajinatif yang menggunakan

bahasa sebagai media dan memiliki nilai estetika yang dominan. Estetika karya sastra

dapat kita lihat dari struktur bahasa yang digunakan. Eksplorasi bahasa khas yang

ditampilkan pengarang pada puisi diantaranya dapat dilihat pada pemilihan dan

pembentukan kata serta penggunaan variasi gaya bahasa. Nilai-nilai estetika dalam puisi

dapat kita amati dari beberapa hal, diantaranya unsur bahasa dan bentuk atau penampilan.

Jika diklasifikasikan nilai-nilai estetika itu meliputi keindahan literer yang membentuk

satu keutuhan, keselarasan, dan membentuk kepaduan makna.

Nilai estetik adalah nilai yang berdasar pada keindahan. Ilmu yang mempelajari

nilai estetik disebut estetika. Nilai estetika ini sangat penting bagi manusia karena dengan

3|

keindahan akan memberikan warna dalam kehidupan manusia. Dengan demikian

manusia akan merasakan kedamaian dan kenyamanan dalam warna-warni kehidupan.

Sudah menjadi kodrat bagi manusia bahwa manusia itu menyukai hal-hal yang indah,

bagus, tertata rapih. Manusia pada umumnya tidak suka dengan hal-hal yang kotor,

berantakan, tidak indah dipandang mata, estetika dirasakan dan dinikmati dengan

viasualisasi manusia.

Selain nilai-nilai estetika, di dalam puisi pun terdapat pula pemikiran,

ide/gagasan, emosi, bentuk, kesan, dan pesan yang ingin disampaikan pengarang. Dengan

demikian, dapat kita temukan nilai-nilai etika yang ingin disampaikan pengarang melalui

keindahan bahasa pada puisinya. Nilai-nilai etika berkaitan dengan aturan-aturan yang

harus dijalani manusia dalam kehidupannya. Manusia harus memiliki perilaku sesuai

norma-norma, baik norma agama maupun norma yang berlaku dalam masyarakatnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian nilai etik adalah nilai untuk

manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran; nilai yang berhubungan dengan

akhlak; nilai yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan atau

masyarakat. Ilmu yang mempelajari nilai etik disebut dengan etika. Nilai etika ini sangat

penting bagi manusia karena disitulah letak kemanusiaan seorang manusia. Binatang

tidak akan pernah memiliki atau mempertimbangkan nilai etik. Nilai kejujuran, nilai

keberanian atas kebenaran, dan kesungguhan di dalam menjalani kehidupan ini hanya

akan dimiliki oleh manusia. Sedangkan binatang hanya menjalani segala kodratnya tanpa

pernah berpikir untuk melakukan perubahan atau memperbaiki dirinya, karena binatang

tidak dibekali dengan akal dan pikiran.

Peserta didik sebagian besar waktunya berada dalam lingkungan sekolah, maka

proses pembelajaran dapat dilakukan melalui lingkungan sekolah. Pembinaan etika dapat

dilakukan dan diaplikasikan pula dalam pembelajaran sastra di sekolah. Cara yang dapat

dilakukan misalnya dengan melihat secara jujur kehidupan masyarakat di lingkungannya

masing-masing, dan membuat laporan atau pernyataan secara jujur mengenai

pandangannya tentang kehidupan masyarakat di lingkungannya dikaitkan dengan etika,

lalu dikomentari pada saat pembelajaran apresiasi sastra berlangsung. Pada saat

pembelajaran, guru dapat berdiskusi dengan peserta didik tentang budaya sekolah,

bagaimana menanamkan kesederhanaan, kejujuran, keberanian, percaya diri, dan

integritas. Kegiatan membaca puisi indah pun dapat menyentuh hati nurani mereka. Ini

semua merupakan pembelajaran penanaman nilai-nilai karakter. Hal ini mungkin tidak

bisa dirasakan dampaknya saat ini tapi mempunyai dampak dan pengaruh di masa depan.

4|

NILAI-NILAI ESTETIKA PADA PUISI

Nilai-nilai estetika dalam tulisan ini lebih difokuskan pada aspek yang

menyebabkan karya sastra (puisi) menjadi indah dan menarik. Menurut Endraswara

(2003, hlm.69) kajian estetik hanya memfokuskan pada aspek yang menyebabkan karya

sastra menjadi indah dan menarik. Menurut Wellek & Warren, pendekatan estetik dalam

penelitian adalah kajian sastra yang memfokuskan bidang kajiannya pada unsur intrinsik

yang menarik dan menyenangkan. Asumsinya bahwa karya sastra dipandang sebagai

karya seni yang memiliki unsur keindahan. Berdasarkan hal itu bahwa nilai-nilai estetik

pada sebuah puisi adalah nilai-nilai yang tampak berdasarkan hasil pengkajian pada

unsur-unsur intrinsik karya sastra puisi yang menyebabkan puisi memiliki keindahan.

Keindahan atau estetika dalam karya sastra begitu penting keberadaannya, karena pada

hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa sebagai

medianya dan memiliki nilai estetik yang dominan. Estetika karya sastra dapat kita lihat

dari struktur bahasa yang digunakan seperti bentuknya, penyusunan alur, konflik-konflik,

humor, dan sebagainya. Shanon Ahmad menyatakan bahwa di dalam puisi terdapat

pemikiran, ide, emosi, bentuk, dan kesan. Dengan demikian dapat dimungkinkan bahwa

melalui unsur-unsur tersebut sebuah karya sastra dapat diidentifikasi konsep estetisnya.

Dalam puisi, seorang apresiator atau pembaca puisi dapat memanfaatkan bantuan

stilistika yaitu ilmu tentang gaya jika ingin memahami nilai-nilai estetika pada puisi.

Puisi sebagai bagian dari sastra sering mengalami perkembangan, dari segi bentuk

maupun isi atau tema-temanya. Pada sastra Indonesia lama kita mengenal bentuk-bentuk

seperti mantra, bidal, pantun, syair dan yang lainnya. Kemudian muncul bentuk-bentuk

puisi baru yang dipengaruhi puisi-puisi barat sekitar tahun 1930-an, misalnya soneta,

kwatrain, terzina, stanza, dan sebagainya. Setelah itu, pada tahun 1945, Chairil Anwar

sebagai penyair garda depan saat itu memproklamasikan bentuk puisi yang lebih baru

yang sering kita kenal dengan bentuk puisi bebas. Lalu pada tahun 1973 kita dikagetkan

dengan munculnya puisi-puisi dengan bentuknya yang aneh dan ganjil menurut ukuran

Indonesia yakni puisi kontemporer. Puisi Kontemporer adalah bentuk puisi yang berusaha

lari dari ikatan konvensional puisi itu sendiri (Waluyo, 1987, hlm.19). Puisi kontemporer

terbagi atas beberapa jenis seperti puisi puisi konkret, puisi mbeling, dan puisi mantra.

Puisi konkret (poems for the eye) diartikan sebagai puisi yang bersifat visual, yang dapat

dihayati keindahannya dari sudut penglihatan.

5|

Seiring dengan perkembangan bentuk-bentuk puisi Indonesia tersebut, nilai-nilai

estetika dalam puisi pun mengalami perubahan. Misalnya, puisi-puisi tahun 1920-an dan

1930-an, keindahan puisi dapat kita nikmati dari pilihan kata dan rimanya yang sangat

rapi serta penggunaan gaya bahasa perbandingan dan perumpaan yang begitu

mendominasi. Puisi tahun 1945-an atau puisi-puisi Chairil Anwar dan kawan-kawan

sangat bebas mengekspresikan gagasannya melalui pilihan kata yang mudah dipahami

serta penggunaan gaya bahasa yang simbolis dan hiperbol. Kemudian puisi tahun 1960-

an adalah puisi yang kritis dengan kondisi zaman sehingga muncullah puisi-puisi

demonstrasi atau puisi-puisi kritik sosial sehingga banyak menggunaan kata-kata kritikan

sosial dan kata-kata yang bermakna politik. Demikian juga gaya bahasa yang banyak

digunakan adalah gaya bahasa sindiran dan perumpamaan. Tahun 1970-an puisi

kontemporer menggebrak perpuisian Indonesia dengan hadirnya puisi-puisi yang sangat

berani, baik dalam penggunaan bahasa maupun bentuk, seperti muncul jenis puisi

konkret, puisi mbeling, puisi prosais dan jenis-jenis puisi lainnya.

Agar pemahaman tentang nilai-nilai estetika pada puisi lebih dapat dimengerti,

mari kita coba perhatikan nilai-nilai estetika pada beberapa contoh puisi di bawah ini.

1. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada rima dan pilihan kata

a. Pantun Muda

...

Piring putih piring bersabun

Disabun anak orang Cina

Memutih bunga dalam kebun

Setangkai saja yang menggila

...

b. Bahasa, Bangsa (Muh.Yamin)

...

Selagi kecil berusia muda,

Tidur si anak di pangkuan bunda,

Ibu bernyanyi, lagu dan dendang,

Memuji si anak banyaknya sedang,

...

c. Padamu Jua (Amir Hamzah)

...

Engkaulah kandil kemerlap

6|

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

...

d. Doa (Amir Hamzah)

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?

Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah

menghalaukan panas payah terik,

...

Kutipan puisi-puisi di atas memiliki rima yang sangat rapih dan indah. Pada

contoh pantun muda, kita dapat melihat keindahannya dari rima akhir yang berpola a-

b-a-b. Pada puisi Bahasa, Bangsakita temukan pula rima akhir yang rapi berpola a-a-b-

b. Pada puisi Padamu jua,kita temukan keindahannya dalam menggunakan rima

aliterasi konsonan k,l dan p (kaulah, kandil, kemerlap, pelita, gelap, pulang, perlahan,

selalu). Pada puisi Doa,kata-kata yang dipilih Amir Hamzah begitu menyentuh

perasaan, dia memanggil Tuhannya dengan kata kekasihku. Rima aliterasi s pada senja

samar sepoi dan bunyi ppada panas payah memberikan keindahan bunyi yang khas.

2. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada pilihan kata dan gaya bahasa

Aku (Chairil Anwar)

Kalau sampai waktuku

kumau tak seorang kan merayu

tidak juga kau

tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

...

Gadis Peminta-minta (Toto Sudarto Bachtiar)

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil

7|

Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka

Tengadah padaku, pada bulan merah jambu

Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa.

...

Perempuan (Upita Agustine)

Yang membentang sajadah di belakang suaminya

Yang memberi air hidup darah dagingnya

Yang mengalunkan dendang dalam tangis anak-anaknya

Yang membisikkan dongeng sebelum tidur

Yang melafaskan doa bagi turunannya

Perhiasan suaminya

...

Tuhan Telah Menegurmu (Apip Mustopa)

Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan

lewat perut anak-anak yang kelaparan

Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan

lewat semayup suara adzan

Tuhan telah menegurmu dengan cukup menahan kesabaran

lewat gempa bumi yang berguncang

deru angin yang meraung-raung kencang

hujan dan banjir yang melintang pukang

adakah kaudengar?

Chairil Anwar pada puisi Akubanyak menggunakan pilihan kata yang spontan,

ekspresif, tetapi tetap menampilkan keindahan bunyi misalnya: kalausampai waktuku,

kumau tak seorang kan merayu, tidak juga kau (rima asonansi a,u dan aliterasi

k)mendominasi barisan puisi tersebut. Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya

terbuang, selain bunyi-bunyi indah sengau m,n,dan ng, penggunaan gaya bahasa

hiperbola pun turut memberikan aspek estetika pada puisi tersebut.

Pada puisi Gadis Peminta-minta, Toto Sudarto dengan gaya bahasa

eufeumismenya menggambarkan sosok seorang pengemis muda. Gadis kecil

8|

berkaleng kecil, Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka sangat menyentuh perasaan.

Berbeda pada puisi Perempuan,untuk menambah nilai estetikanya Upita

menggunakan gaya bahasa pengulangan pada setiap awal baris puisinya itu dengan

mengulang-ulang kata Yang... . Sebaiknya Apip Mustopa, dalam puisi Tuhan Telah

Menegurmu, dia menggunakan gaya bahasa pengulangannya di awal yaitu pada kata

Tuhan telah menegurmu... .

3. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada permainan kata dan bunyi bahasa

a. Shang Hai (Sutardji Calzoum bachri)

Ping di atas pong

Pong di atas ping

Ping ping bilang pong

Pong pong bilang ping

Mau pong?bilang ping

Mau-mau bilang pong

Ya pong ya ping

Ya ping ya pong

... dst.

b. O (Sutardji Calzoum Bachri)

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau

resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian

raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian

mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai

siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siariasu siakalian siasiasia

waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas

duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai

oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O.....

Kedua puisi Sutardji di atas memiliki karakter yang sama, yaitu kedua-duanya

menampilkan keindahan/estetika puisi dari permainan kata dan permainan bunyi

bahasa. Pada puisi Shang Hai,kata ping dan pong dijadikan kata penting dalam

permainan bunyi bahasanya, seolah-olah bunyi ping dan pong mewakili kosakata Cina

yang ada hubungannya dengan judul puisi diatas yaitu Shang Hai. Pada puisi O,

9|

Sutardji mempermainkan kata duka, resah, ragu, mau, siasia, waswas, duhai, dan o,

menggabungkannya dengan kata-kata lain sehingga ketika kedua puisi diatas

dibacakan, seperti orang membacakan mantra. Itulah diantaranya kekuatan puisi-puis

Sutardji

4. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada bentuk/tata wajah/ tipografi

a. Tragedi Winka dan Sihka (Sutardji Calzoum B.)

kawin

kawin

kawin

kawin

kawin

ka

win

ka

win

ka

win

ka

win

ka

winka

winka

winka

sihka

sihka

sihka

sih

ka

sih

ka

sih

ka

sih

ka

sih

sih

sih

sih

sih

sih

ka

Ku

b. Di

10|

Betul

kau pasti

sedang menghitung

berapa nasib lagi tinggal

sebelum fajar terakhir kau tutup

tanpa seorangpun tahu siapa kau dan

di

Kau

Maka kini

lengkaplah sudah

perhitungan di luar akal

tentang sesuatu yang tak bisa siapapun

menerangkan kata pada saat itu kau mungkin sedang

di

Betul

Kan

?

7 4

(Noorca Marendra)

Pada puisi Tragedi Winka dan Sihka, Sutardji Calzoum Bachri ingin

menggambarkan secara grafis tentang peristiwa yang menyedihkan, menyakitkan,

memilukan dalam sebuah biduk perkawinan (pernikahan). Melalui tipografinya, dia

memberikan efek indah, bercerita tragedi perkawinan dengan bentuk puisi yang zig-

zag atau berliku.

Demikian juga Norrca Marendra dengan puisinya di atas menampilkan nilai

estetikanya melalui tipografi yang membentuk pohon cemara (pohon natal). Dia

berupaya memilih kata dengan cermat sehingga mampu menuangkan gagasannya

melalui kata-kata yang disusun sehingga membentuk sebuah pohon. Kedua puisi di

atas termasuk puisi konkret, yaitu puisi yang mementingkan keindahan visualisasi

dibandingkan makna.

NILAI-NILAI ETIKA PADA PUISI

11|

Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa nilai-nilai etika yaitu nilai untuk

manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran; nilai yang berhubungan dengan

akhlak; nilai yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan atau

masyarakat atau nilai baik dan buruk. Nilai etika ini sangat penting bagi manusia karena

disitulah letak kemanusiaannya. Manusia dapat dikatakan berperikemanusiaan jika

manusia tersebut beretika, berakhlak, mampu membedakan benar atau salah sesuai

dengan norma-norma, baik norma agama maupun norma masyarakat.

Pada umumnya penyair menyampaikan pesan yang berupa nilai-nilai etika dalam

puisinya. Nilai-nilai etika itu yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur, moral atau akhlak,

perilaku baik dalam kehidupan. Penyair dalam menyampaikan nilai-nilai etis itu bisa

berupa cerita, penggambaran, ajakan, larangan, peringatan, permohonan, bahkan kritikan.

Nilai-nilai itu untuk dipahami kemudian direnungkan (kontemplasi) sehingga

menemukan keharuan yang mendalam, dan merupakan cerminan dari nilai-nilai

kehidupan yang dianut. Nilai-nilai yang diyakini oleh individu tersebutlah yang

mendasarinya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan/perilaku.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang nilai-nilai etika dalam puisi, mari kita coba pahami

puisi-puisi berikut.

1. Tuhan, Mabukkanlah Aku (Anshary, terj. Abdul Hadi WM)

Tuhan, mabuklah aku

Dengan anggur cinta-Mu

Rantai kaki erat-erat

Dengan belenggu perhambaan

Kuraslah seluruh isi diriku

Kecuali cinta-Mu

Lalu cerai daku

Hidupkan lagi diriku

Laparku yang Maha pada-Mu

Telah membuatku

Berlimpah karunia

Untuk memahami puisi di atas, kita mulai dari judul. Kita akan tahu bahwa penyair

sedang berkomunikasi dengan Tuhannya. Bait pertama si aku menginginkan

Tuhannnya untuk mengikatnya erat-erat dalam belenggu perhambaan, artinya si aku

12|

benar-benar ingin melakukan semua perintah Tuhannya. Bait kedua merupakan

alasan mengapa si aku benar-benar ingin melakukan perintah Tuhannya, karena si

aku sadar jika dia benar-benar melaksanakan perintah Tuhannya, maka si aku akan

memperoleh karunia yang berlimpah.

Jika kita renungkan makna puisi tersebut, kita akan menemukan beberapa pesan

penyair yang berupa nilai-nilai luhur, yaitu: (1) si aku sadar sebagai seorang hamba

Tuhan memiliki kewajiban untuk beribadah pada Tuhannya; (2) si aku sadar bahwa

ketika seorang hamba selalu ingat perintah Tuhan, maka Tuhan pun akan selalu

mengingatnya; (3) si aku sadar bahwa segala sesuatu yang dilakukan pasti akan ada

balasannya, contohnya jika si aku selalu beribadah maka Tuhan akan selalu

memberikan karunianya yang tak terhingga.

2. Kucari Jawab (J.E.Tatengkeng)

Di mata air, di dasar kolam,

kucari jawab teka-teki alam

Di kawan awan kian kemari,

di situ juga jawabnya kucari

Di warna bunga yang kembang‟

kucari jawab, penghilang bimbang

Kepada gunung penjaga waktu,

Kutanya jawab kebenaran tentu

Pada bintang lahir semula,

Kutangis jawab teka teki Allah

Ke dalam hati, jiwa sendiri,

Kuselam jawab! Tiada tercerai

Ya, Allah yang Maha – dalam,

Berikan jawab teka-teki alam

13|

O, Tuhan Yang maha – tinggi,

Kunanti jawab petang dan pagi

Hatiku haus „kan kebenaran,

Berikan jawab di hatiku sekarang

Untuk mengkaji nilai-nilai etika pada puisi Kucari jawab di atas, maka kita coba

pahami dulu makna yang terkandung dalam puisi tersebut dengan menjawab

pertanyaan “jawaban atas pertanyaan apa yang dicari penyair?” Ternyata penyair

mencari jawaban atas sebuah „kebenaran‟. Hal tersebut terdapat pada bait terakhir

hatiku haus „kan kebenaran. Untuk mencari „kebenaran‟ itu, penyair mencoba

membaca beberapa kejadian atau peristiwa alam, yaitu mata air yang ada di dasar

kolam, sekawanan awan yang kian kemari, bunga yang berkembang, gunung, bintang,

sampai bertanya ke kedalaman hati. Akhirnya karena belum juga memperoleh

jawaban yang memuaskan dari alam, maka penyair pun menyeru Allah, Tuhan Yang

Maha.

Nilai-nilai luhur yang dapat kita renungkan dari puisi di atas diantaranya yaitu: (1)

alam semesta ini tidak berdiri dengan sendirinya, tetapi ada yang menciptakan dan

menjaganya; (2) dengan membaca dan mengkaji beberapa peristiwa alam, maka kita

akan semakin yakin bahwa ada yang mengatur di balik semua peristiwa itu; (3) untuk

mencari sebuah kebenaran tentang sebuah keyakinan, maka perlu upaya untuk

mendapatkan jawabannya.

3. Ada Kau dan Aku tanpa Mereka (Yudhistira adinugraha)

ada daun membisikkan keresahan

ada ranting merapuhkan harapan

ada dahan menggoyahkan ketabahan

ada bunga mengembangkan nestapa

ada angin meniupkan kesunyian

ada unggas mengepakkan napas kita

ada cuaca dan mega

ada dingin dan gerimis

ada debu dan matahari

14|

ada nyanyian atau isak tangis

ada kata-kata atau kebisuan

ada rasa cinta atau kebencian

ada hama atau kesuburan

ada rumah-rumah atau reruntuhan

ada kau dan aku, tanpa mereka

ada jarak yang lebar

ada batas yang tegas

ada luka

ada luka yang luka

ada yang tersentuh tak bisa menyentuh

ada yang mendengar tak terdengar

ada yang tak tahu semua itu ada

Untuk memahami makna yang terkandung pada puisi Ada Kau dan Aku tanpa Mereka,

kita telusuri kata-kata konkret atau kata-kata kunci pada puisi tersebut. Jika pada sebuah

paragraf ada kalimat utama, maka pada baris-baris puisi kita akan menemukan kata-kata

konkret. Jika pada paragraf kita mengenal paragaraf induktif dan deduktif, maka pada

puisi pun kita dapat mengkajinya dengan mencari kata kuncinya apakah berada di awal

baris atau di akhir baris.

Yudhistira memulai puisi di atas dengan menyuguhkan baris-baris penjelas, ada daun

membisikkan keresahan/ ada ranting merapuhkan harapan/ ada dahan menggoyahkan

ketabahan/ ada bunga mengembangkan nestapa, dst., demikian dari mulai bait pertama

sampai bait ke-tiga. Pada bait ke-empat baru kita menemukan makna yang berbeda

dibandingkan bait satu sampai tiga yaitu ada jarak yang lebar/ada batas yang tegas/ada

luka/ada luka yang luka// ada yang tersentuh tak bisa menyentuh/ada yang mendengar

tak terdengar/ada yang tak tahu semua itu ada.

Ada Kau dan Aku tanpa Mereka, menimbulkan pertanyaan siapa kau, siapa mereka

pada puisi itu? Kata-kata itu kita temukan pada akhir baris ketiga setelah penyair

memaparkan kata-kata penjelas mulai bait satu sampai tiga. Kita bisa mengatakan

bahwa kau adalah orang terdekat dengan aku, sedangkan mereka adalah semua objek

yang ada pada bait-bait di atas misalnya, daun, ranting, dahan, bunga, angin, unggas,

15|

cuaca,dsb. Mengapa tanpa mereka? Karena ada luka, ada luka yang luka, yang

mengakibatkan „ada yang tersentuh (tapi) tak bisa menyentuh/ada yang mendengar

(tapi) tak terdengar/ada yang tak tahu (bahwa) semua itu ada‟.

Nilai-nilai etik yang bisa kita renungkan dari puisi di atas diantaranya yaitu: (1)

makhluk hidup yang diciptakan Tuhan bukan hanya manusia, tetapi ada makhluk lain,

artinya kita harus saling menjaga keseimbangan sesama makhluk; (2) Tuhan

menciptakan makhluk selalu berpasangan; (3) hidup adalah pilihan, ada baik ada buruk,

ada positif ada negatif; (4) apa yang kita inginkan belum tentu semuanya dapat

terwujud, karena Tuhan memberikan apa yang dibutuhkan makhluknya bukan apa yang

diinginkan makhluknya.

MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK

Tujuan pengajaran sastra adalah agar: (1) siswa/peserta didik dapat menikmati dan

memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti,

serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;(2) siswa/peserta didik

dapat menghargai dan membanggakan karya sastra Indonesia sebagai khazanah budaya

dan intelektual manusia Indonesia.

Berdasarkan tujuan pengajaran sastra di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa akhir

dari pengajaran sastra selain peserta didik memperoleh pengetahuan/wawasan tentang

sastra, maka sastra pun harus dapat digunakan sebagai media untuk memperhalus budi

pekerti, sehingga mereka pun mampu menghargai dan bangga dengan hasil karya sastra

dan budaya Indonesia.

Pengertian budi pekerti sangat luas, mencakup apa yang disebut dengan

perilaku/perbuatan yang baik atau akhlakul karimah, atau karakter. Karakter adalah

sifat-sifat manusiawi yang harus selalu dijaga, dipupuk, jangan sampai dirusak dengan

hal-hal yang tidak berguna. Untuk menjaga, memupuk dan menumbuhkan karakter

diperlukan sebuah upaya. Pelaksanaan pendidikan karakter merupakan misi yang sangat

penting dalam mengembangkan moral dan intelektual peserta didik. Menurut Yoyo

Mulyana “pendidikan karakter bukanlah hanya sekedar menumbuhkan seperangkat

perilaku, tetapi juga mengaitkan antara mengembangkan kebiasaan berpikir, bersikap,

dan bertindak” (2011, hlm.1). Melalui pendidikan karakter akan terpola cara berpikir,

cara bersikap dan cara bertindak atau berperilaku peserta didik.

Untuk menumbuhkan atau membangun karakter peserta didik yang berani, jujur,

bertanggung jawab, dapat dipercaya, pantang menyerah, rajin, percaya diri, tidak mudah

16|

putus asa, maka dibutuhkan kerjasama yang baik antara orang tua di rumah dengan guru

di sekolah serta masyarakat di lingkungan sekitarnya.

Di sekolah, guru bahasa dan sastra Indonesia dapat memanfaatkan karya sastra,

diantaranya puisi. Dengan mengajak siswa untuk sering membaca dan mengkaji nilai-

nilai estetika dan nilai-nilai etika pada puisi, maka perasaan halusnya akan tersentuh

dengan keindahan atau nilai estetika. Pesan-pesan moral atau nilai-nilai etik pada puisi

akan berdampak pada pikiran kritis siswa dalam menjalani kehidupan dengan baik,

lurus, dan benar.

SIMPULAN

Pengkajian dan pemahaman nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika pada puisi

merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan guru dalam pembelajaran apresiasi

sastra untuk menumbuhkan atau membangun karakter peserta didiknya. Sifat dan

perilaku baik yang telah ada dalam diri manusia pada umumnya harus selalu dijaga dan

dipupuk agar dapat selalu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap berani karena benar, percaya diri, jujur, bijaksana, bertanggung jawab,

menghargai orang lain adalah sikap baik yang harus selalu ditumbuhkembangkan dalam

diri individu peserta didik. Puisi merupakan salah satu media yang baik untuk

menumbuhkembangkan perilaku dan sikap-sikap tersebut karena puisi merupakan karya

seni yang imajinatif dan sarat dengan pesan-pesan moral. Pesan-pesan moral itulah

merupakan nilai-nilai etis yang dapat direnungkan dan diimplementasikan dalam

kehidupan mereka sehari-hari.

Daftar Pustaka

Aminudin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.

Semarang: IKIP Semarang Press.

Hasanuddin WS. 2002. Membaca dan Menilai Sajak (Pengantar Pengkajian dan

Interpretasi). Bandung:Angkasa

Mulyana. Yoyo. 2011. Pembelajaran bahasa dan Sastra Indonesia dalam Paradigma

Membangun Karakter Pribadi dan Bangsa (Prosiding Seminar Nasional). Padang:

Sukabina Press.

Prodopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada

UniversityPress.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

17|

Silaswati, Diana. 2011. Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter dalam Mata

Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui Kegiatan Pembelajaran Apresiasi Puisi

(Prosiding Seminar Nasional). Padang: Sukabina Press.

Teeuw, A. 1984. Karya Sastra sebagai Struktur: Strukturalisme dalam Sastra dan Ilmu

Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Waluyo, Herman J..1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:Erlangga

18|

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI’’

KARYA A.A NAVIS

Nofiyanti

STKIP Siliwangi

Pos-el:[email protected]

Abstrak

Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat

kepada pembacanya, karena karya sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk

berbuat baik dan mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma atau sering juga

dinamakan “amanat”. Dengan demikian sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral. Pesan moral

tersebut merupakan petunjuk tentang berbagai masalah kehidupan seperti, tingkah laku, sopan santun

dalam pergaulan, dan sebagainya. Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik yang ada pada cerpen

“Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis ini adalah sebuah karya sastra (cerpen) yang menarik dan

baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik pembangunnya, selain itu dalam cerpen ini dapat

dijadikan sebagai bahan pembelajaran khususnya dalam pembentukan pendidikan karakter. Karena

dalam cerpen tersebut mengandung nilai-nilai moral.

Kata kunci : Pendidikan karakter, Cerpen, Robohnya Surau kami

Abstract

Short stories as one type of literary works can provide benefits ideas to the reader, because good

literary works always give the message to the reader to do well and invites them to uphold norms or

often also called "Amanat". Thus literature is considered as a means of moral education. The moral

message is an indication of the variety of life issues such as, behavior, manners, and so on. Based on

the analysis of existing intrinsic element in the short story "Robohnya Surau Kami" by AA Navis is a

literary work (short stories) are attractive and interactive. Inthe intrinsic elements the reader can

recognize the moral value of the story which is related with learning materials, especially in the

formation of character education.

Keywords: character education, Short Story, Robohnya Surau Kami

PENDAHULUAN

Karya sastra merupakan hasil dari daya cipta, karsa manusia yang dimana mengandung

nilai seni yang tinggi. Dalam penciptaan karya sastra, seorang seniman/ penyair tidak

menciptakannya hanya asal-asalan. Melainkan membutuhkan usaha yang keras baru bisa

menghasilkan sebuah karya yang bermutu. Selain itu, banyak aspek yang dipertimbangkan

dalam pembuatan karya sastra. Misalnya aspek keindahan, nilai guna/manfaat. Karya sastra

berfungsi sebagai gambaran kehidupan manusia dari generasi ke generasi lain dan dari satu

zaman ke zaman berikutnya. Seorang penulis yang baik akan berusaha mendekati kehidupan

dengan menghasilkan karya sastra yang bermakna. Dengan karya sastra pembaca akan

memperoleh pemikiran dan pengalaman-pengalaman yang sangat bermanfaat bagi

kehidupannya. Oleh sebab itu banyak sekali karya sastra yang mencerminkan kehidupan

masyarakat di sekitar kita

19|

Melalui karya sastra dapat diketahui eksistensi kehidupan suatu masyarakat di suatu

tempat pada suatu waktu meskipun hanya pada sisi-sisi tertentu. Kenyataan ini tidak dapat

dipungkiri, bahwa sastra merupakan cerminan dan ekspresi tentang kehidupan dan pengarang

mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup, walaupun pada sisi lain harus

diakui sastra bersifat otonom yang tidak mesti dihubungkan dengan realitas. Karya sastra

terlahir dari pandangan hidup suatu masyarakat. Karena pengarang bagian dari masyarakat di

dalam karya sastra yang dihasilkan terkandung pula nilai-nilai yang dianut oleh masyarakt

tertentu. Dengan demikian, terdapat hubungan yang tidak langsung antara pengarang dan

pembaca. Melalui karya sastra seorang pengarang bermaksud menyampaikan informasi,

gambaran atau pesan tertentu kepada pembaca. Sesuatu yang disampaikan itu biasanya

merupakan gagasan tentang kehidupan yang ada disekitar pengarang. Cerpen adalah salah

satu contoh diantara sekian banyak karya sastra saat ini.

Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat

memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman

pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang

perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang

universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta

kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan,

sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Suryadi (2007, hlm.54), cerita pendek

adalah sebuah narasi fiksi yang panjangnya sekitar 500 sampai 10.000 kata dan lebih fokus

daripada novelet, apalagi novel. Karena cerita yang disajikan dalam cerita pendek ini

tergolong singkat, biasanya cerita pendek hanya menceritakan kejadian yang tunggal, dengan

karakter yang tunggal, atau hanya beberapa. Berangkat dari realitas imajinatif, suatu cerita

pendek merupakan penceritaan yang dilakukan pengarang terhadap sesuatu hal. Di dalam

cerita pendek ini terkandung permasalahan yang muncul, perkembangan dari permasalahan

yang terjadi dan biasanya disertai pengakhiran terhadap permasalahan itu. Kekreatifan

seorang pengarang cerita pendek dengan sendirinya terletak pada kepekaan terhadap

permasalahan, cara yang dipakai untuk mengangkat dan merangkai permasalahan itu ke

dalam cerita, keahlian dalam menjaga runtutan cerita tentang permasalahan itu serta

kecerdikan dalam mengakhiri cerita yang dihadirkannya.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengembangkan, menyuburkan, dan

mengakarkan pendidikan karakter adalah mengoptimalkan pembelajaran apresiasi sastra di

sekolah. Melalui pembelajaran apresiasi sastra yang optimal, siswa didik akan dibawa pada

situasi pembelajaran yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan, menilai, menemukan,

20|

dan mengkonstruksi materi ajar yang mereka terima sesuai dengan pengalaman belajar yang

mereka temukan. Salah satu materi pembelajaran apresiasi sastra yang penting dan strategis

untuk menumbuhkembangkan pendidikan karakter adalah cerpen. Melalui pembelajaran

apresiasi cerpen yang optimal, siswa didik secara tidak langsung akan mendapatkan nutrisi

dan gizi batin yang akan mampu memberikan imbas positif terhadap perkembangan

kepribadian dan karakter mereka. Dengan cerpen, hati dan perasaan anak-anak akan terlibat

secara intens dan emosional ke dalam teks cerpen yang mereka pelajari, sehingga kepekaan

nurani mereka menjadi lebih tersentuh dan terasah. Dengan cara demikian, tanpa melalui pola

instruksional dan indoktrinasi yang monoton dan membosankan, anak-anak secara tidak

langsung akan belajar mengenal, memahami, dan menghayati berbagai macam nilai

kehidupan, untuk selanjutnya mereka aplikasikan dalam ranah kehidupan nyata sehari-hari.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis cerpen karya A.A Navis ini dengan

menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik,

yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur karya satra dari dalam. Pendekatan

struktural bertujuan memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur

karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural

merupakan hubungan antar unsur yang bersifat timbal balik, saling menentukan,

mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Membaca cerpen

berupa nilai-nilai dalam hal ini adalah nilai pendidikan karakter yang digunakan sebagai

cermin atau perbandingan dalam kehidupan. Sedangkan dipilihnya cerpen karya A.A. Navis

karena cerpen robohnya surau kami memiliki keistimewaan yaitu terletak pada teknik

penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis

menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara

tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta.

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI”

KARYA A.A NAVIS

Pendidikan karakter, cerpen, cerpen robohnya surau kami, pendekatan struktural

merupakan dasar dalam kajian teori ini. Oleh karena itulah, untuk memperjelas dasar-dasar

tersebut, berikut ini diuraikan mengenai teori keempat hal tersebut.

1. Cerpen

Berangkat dari realitas imajinatif, suatu cerita pendek merupakan penceritaan yang

dilakukan pengarang terhadap sesuatu hal. Di dalam cerita pendek ini terkandung

permasalahan yang muncul, perkembangan dari permasalahan yang terjadi dan biasanya

21|

disertai pengakhiran terhadap permasalahan itu. Kekreatifan seorang pengarang cerita pendek

dengan sendirinya terletak pada kepekaan terhadap permasalahan, cara yang dipakai untuk

mengangkat dan merangkai permasalahan itu ke dalam cerita, keahlian dalam menjaga

runtutan cerita tentang permasalahan itu serta kecerdikan dalam mengakhiri cerita yang

dihadirkannya.

Menurut Suryadi (2007, hlm.54), cerita pendek adalah sebuah narasi fiksi yang

panjangnya sekitar 500 sampai 10.000 kata dan lebih fokus daripada novelet, apalagi novel.

Karena cerita yang disajikan dalam cerita pendek ini tergolong singkat, biasanya cerita

pendek hanya menceritakan kejadian yang tunggal, dengan karakter yang tunggal, atau hanya

beberapa. Begitu pun Nurgiyantoro (1994, hlm.10), menurutnya sesuai dengan namanya,

cerita pendek merupakan cerita yang pendek. Pendek dalam arti, cerita ini dapat dibaca dalam

sekali duduk, dalam waktu antara setengah sampai dua jam.Selanjutnya berkenaan pengertian

cerita pendek di atas, dapat diketahui unsur-unsur yang membangun cerpen. Adapun unsur

intrinsik yang membangun cerpen adalah tema, alur, tokoh/ penokohan, latar, gaya, sudut

pandang dan amanat.

2. Pendidikan karakter

Cerpen sebagai sebuah karya sastra di dalamnya mengandung nilai-nilai sastra seperti

digambarkan menurut Darma (1981, hlm.6) bahwa karya sastra yang baik selalu memberi

pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Pesan ini dinamakan “moral”. Sering juga

dinamakan “amanat”. Maksudnya sama, yaitu sastra yang baik selalu mengajak pembaca

untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Dengan demikian sastra dianggap sebagai

sarana pendidikan moral. Pesan moral tersebut merupakan petunjuk tentang berbagai masalah

kehidupan seperti, tingkah laku, sopan santun dalam pergaulan, dan sebagainya. Pesan moral

yang bersifat praktis merupakan petunjuk yang dapat ditampilkan atau ditemukan modelnya

dalam kehidupan nyata. Hikmah yang diperoleh pembaca dalam karya sastra selalu dalam

pengertian baik. Jika karya sastra menampilkan isi dari tokoh yang kurang terpuji, tidak

berarti pengarang atau penulis menyarankan pembacanya untuk bersikap dan bertindak

demikian, tetapi ditampilkan agar tidak diikuti dan ditiru oleh pembaca.

Berkaitan dengan nilai moral di atas, Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan

panduan dalam mengidentifikasi nilai moral. Menurut Miskawaih (1994, hlm.46-50)

menyatakan bahwa indikator moral dimaksud dalam kajian ini adalah prinsip-prinsip moral

yang menentukan kriteria benar salahnya sesuatu teori. Standar nilai moral seperti yang

dikemukakan adalah sebagai berikut ini.

22|

No. Kategori moral Bentuk Karakteristik

1. Kearifan a. Pandai

b. Ingat

c. Berpikir

d. Kejernihan

e. Ketajaman/

kekuatan otak

Cepat mengambil kesimpulan

Menetapkan gambaran tentang

apa yang diserap oleh jiwa

Upaya mencocokan objek-objek

yang dijajaki oleh jiwa untuk

menyimpulkan apa yang

dikehendaki.

Kesiapan jiwa untuk berpikir

dan menyimpulkan apa yang

dikehendaki

Kemampuan jiwa untuk

merenungkan

pengalaman yang telah lewat

2. Kesederhanaan a. Rasa malu

b. Tenang

c. Sabar

d. Dermawan

e. Integritas

f. Puas

g. Loyal

Tindakan menahan diri untuk

tidak melakukan hal-hal yang

tidak senonoh

Kehati-hatian menghindari

celaan dan hinaan

Kemampuan untuk menguasai

diri ketika dilanda gejolak nafsu

Tegarnya diri terhadap

gempuran hawa nafsu, tidak

terjebak oleh kenikmatan

duniawi.

Menyedekahkan harta

seperlunya kepada yang berhak.

Kebajikan jiwa yang membuat

seseorang mencari harta dijalan

yang benar.

Tidak berlebihan dalam makan,

minum dan berhias

23|

h. Berdisiplin

i. Optimis

j. Kelembutan

k. Anggun

l. Berwibawa

m. Wara

Sikap jiwa yang tunduk kepada

hal-hal terpuji

Bersemangat dalam mencapai

kebaikan

Kondisi jiwa yang menilai

segalanya dengan benar dan

mentaatinya dengan benar

Keinginan melengkapi jiwa

dengan moral mulia

Lembut hati sampai ke jiwa dari

watak yang bebas dari

kegelisahan

Ketegaran jiwa dalam

menghadapi tuntutan duniawi

Pencetakan diri agar senantiasa

berbuat baik untuk mencapai

kesempurnaan jiwa

3. Keberanian a. Kebesaran

jiwa

b. Tegar

c. Ulet

d. Tenang

e. Tabah

Meninggalkan persoalan-

persoalan yang penting dan

yang tak penting serta mampu

menanggung kehormatan/

kehinaan

Kepercayaan diri dalam

menghadapi hal-hal yang

menakutkan

Bersungguh-sungguh

Kesiapan jiwa dalam

menghadapi nasib baik dan

nasib buruk, sekalipun

kesulitanya menyertai kematian

Kebajikan jiwa membuat

24|

f. Menguasai

diri

g. Perkasa

seseorang mencapai ketenangan

jiwa

Tidak mudah dirasuki bisikan-

bisikan yang mendorongnya

melakuakan kejahatan

Tidak mudah dilanda marah

Kemampuan mengendalikan diri

dalam menghadapi situasi-

situasi gawat

Kemampuan melakukan

pekerjaan-pekerjaan besar

dengan harapan memperoleh

reputasi baik.

4. Keadilan a. Bersahabat

b. Bersemangat

c. Sosial

d. Silahturahmi

e. Memberi

imbalan

f. Baik dalam

bekerjasama

g. Kejelian

dalam

memutuskan

persoalan

Cinta yang tulus,

memperhatikan orang,

memperhatikan masalah-

masalah sahabatnya

Berupaya seragam dalam

pendapat dan keyakinan

Bergotong royong

Berbagi kebaikan duniawi

kepada kerabat dekat

Membalas kebaikan dengan

kebaikan yang sama atau lebih

Mengambil dan memberi dalam

berbisnis dengan adil, sesuai

kepentingan dari pihak-pihak

yang bersangkutan.

Tepat dan adil dalam

25|

h. Cinta

i. Beribadah

/taqwa

memutuskan persoalan tanpa

diringi rasa menyesal dan

mengungkit-ungkit

Mengharapkan cinta dari

mereka yang dianggap puas

dengan cara hidup yang

dicapainya, juga dari mereka

yang dianggap orang-orang

mulia dengan cara bermanis

muka serta melakukan

perbuatan-perbuatan yang

mengundang simpati mereka

Mengagungkan asma Ilahi

Taala, memuji-Nya, patuh dan

tunduk pembela-Nya.

Standar nilai moral yang dikemukakan oleh Miskawaih selaras dengan nilai-nilai

moral pancasila sebagai acuan kehidupan bangsa Indonesia. Sesungguhnya nilai moral itu

berakar dalam sifat manusia itu sendiri. Kosasih (1999, hlm.130-131) menemukan beberapa

nilai moral yaitu (a) keberanian, (b) Ketaqwaan, (c) kesatriaan, (d) kesetiaan, (e)

persahabatan, (f) hormat pada orang tua, (g), kasih sayang orang tua terhadap anak, (h)

kesabaran, (i) kemanusiaan, (j) kedermawanan, (k) kesederhanaan, (l0 kepemimpinan.

Selanjutnya berkenaan dengan standar nilai moral diatas, menurut Rahmanto (1988,

hlm.24) menjelaskan bahwa dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat

diungkapkan sehubungan dengan pembentukan karakter siswa. Pertama, pengajaran sastra

hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam dibandingkan dengan pelajaran-

pelajaran lainnya. Sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita

mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti misalnya: kebahagiaan,

kebebasan, kesetiaan, kebanggaan diri sampai pada kelemahan, kekalahan, keputusasaan,

kebencian, perceraian dan kematian. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya

sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjukkan hal mana yang

bernilai dan mana yang tak bernilai. Kedua, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan

26|

bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang anatara lain

meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian dan penciptaan.

3. Pendekatan struktural dalam menganalisis cerpen

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik

fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya bagaimana

keadaan peristiwa-peristiwa, plot, penokohan dan tokoh, latar, sudut pandang, dengan

demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi

dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah

kemenyeluruhan. Selanjutnya berkaitan dengan pendekatan struktural di atas, menurut

Nurgiyantoro (2010, hlm.37), adapun langkah-langkahdalam menerapkan teori strukturalisme

adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasikan unsur-unsur instrinsik yang membangun karya

sastra secara lengkap dan jelas meliputi tema, tokoh, latar dan alur; 2) Mengkaji unsur-unsur

yang telah diidentifikasi sehingga diketahui bagaimana tema, tokoh, latar, dan alur dari

sebuah karya sastra; 3) Mendeskripsikan fungsi masing-masing unsur sehingga diketahui

tema, tokoh, latar, dan alur dari sebuah karya sastra; 4) Menghubungkan masing-masing

unsure sehingga diketahui tema, tokoh, latar, dan alur dalam sebuah karya sastra; 5) Demikian

dapat disimpulkan bahwa dalam analisis karya sastra, dalam hal ini cerpen, dapat dilakukan

dengan terlebih dahulu mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan kemudian

menghubungkan antar unsur instrinsik yang bersangkutan.

4. Telaah cerpen “ Robohnya SurauKami” karya A.A Navis dengan menggunakan

pendekatan struktural

Unsur intrinsik pada cerpen “Robohnya Surau Kami‟ karya A.A Navis

1) Tema adalah makna cerita, gagasan sentral atau dasar cerita. Dalam karyanya

pengarang bukan hanya ingin bercerita, namun ada sesuatu yang ingin disampaikan

kepada pembaca. Sesuatu yang ingin dikatakannya ini bisa masalah kehidupan,

pandangan hidupnya tentang kehidupan ini atau kornentar tentang kehidupan ini.

Tema cerpen Robohnya Surau Kami terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah

mendengar bualan Ajo Sidi. Dibuktikan pada kutipan berikut:

“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya

keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin

cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah

Subhanahu Wata‟ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan

aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku

27|

pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada

umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug

membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku

bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah”

kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ”

Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku

dikatakan manusia terkutuk.”

Gambaran tersebut di tegaskan kembali pada kutipan sebagai berikut.

“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau

takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan

kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu

kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal

engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan

mereka sedikitpun.”

2) Alur adalah struktur naratif bagi sebuah cerita dan harus dapat menjalankan tugasnya

dalam menyelaraskan gagasan hingga menjadi kesatuan yang bulat dan jelas didalam

aspek pengisahan suatu cerita. Sebuah cerita akan berhasil apabila didukung oleh

peristiwa-peristiwa yang disusun dalam rangkaian sebab akibat, karena kewajarannya,

kejadian-kejadian dalam cerita itu menjadi hidup dan dapat diterima akal.

Alur yang dipakai dalam cerpen Robohnya Surau Kami yaitu alur maju dan mundur,

dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh

tokoh Aku kisah tersebut diceritakan, dan juga menceritakan tentang sebab

meninggalkan seorang kakek penjaga surau dan kemudian menceritakan kembali

lanjutan kisah tersebut.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan

menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua….

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang

memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah

meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak

dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahny. Dan besoknya, ketika Aku mau

turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang

meninggal?” Tanyaku kaget.

“Kakek.

“Kakek?”

3) Tokoh/ penokohan adalah tokoh dapat dijelaskan sebagai pelaku yang bertindak tau

beraksi yang berfungsi sebagai penggerak tema dan persoalan dalam sebuah karya

sastra. tokohlah yang berfungsi sebagai pengembang tema dan persoalan yang menjadi

pemikiran atau renungan pengarang. Selain manusia, tokoh juga boleh diisi oleh

binatang atau apa saja yang dapat menggerakkan suatu cerita. Sedangkan penokohan

28|

merupakan sifat-sifat atau keadaan yang digambarkan oleh pengarang melalui tokoh

ciptaannya. Penokohan ini boleh bersifat lahiriah seperti melukiskan bentuk badan

ataupun batiniah seperti menggambarkan sikap dan emosi.

a. Tokoh aku

Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya “tokoh aku” ini, kita

bisa mengetahui bahwa kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara

menggorok lehernya dengan pisau cukur. Pengarang menggambarkan tokoh ini

sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Dibuktikan pada kutipan sebagai

berikut.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo

Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan

kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku

tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”

“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan

istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa

sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

b. Tokoh kakek

Tokoh ini merupakan tokoh sentral. Tokoh ini digambarkan sebagai orang yang

mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang lain, pendek akal dan

pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.Penggambaran

watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cerita/bualan Ajo Sidi.

Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia

mudah termakan omongan Ajo Sidi, sehingga dia bisa membenahi kehidupannya

sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia lebih mengambil jalan pintas

yaitu memilih untuk bunuh diri.Gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu

mementingkan diri sendiri melalui ucapanya sendiri, dibuktikan pada kutipan seperti

berikut:

“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya

keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku…

c. Tokoh Ajo sidi

Tokoh ini sangat istimewa dan sangat berpengaruh. Tokoh ini tidak banyak

dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini. Secara jelas tokoh

ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku.

Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena

29|

Ajo sidi mampu mengikat orang-orang dengan bualanya yang aneh sepanjang hari,

siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena.

Dibuktikan pada kutipan berikut ini:

….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku

ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat

orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari”.

d. Tokoh Haji Saleh

Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Secara jelas terlihat watak tokoh ini

digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.

4) Latar adalah landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan

lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang yang diceritakan.

a. Latar tempat : Latar tempat yang ada dalam cerpen ini adalah: di kota, dekat pasar,

di surau, di akhirat, kolam, dan sebagainya. Dibuktikan pada kutipan:

“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan

menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri

jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah

Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima,

membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui

sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui

empat buah pancuran mandi.

b. Latar waktu

Latar waktu yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar

tempat, seperti tergambarkan pada kutipan sebagai berikut.

“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa

orang-orang yang sudah berpulang ….”

Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan

suatu kebencian yang bakal roboh ………

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek

“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….”

5) Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan

menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuangkan

makna dan suasanadapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Pada cerpen

ini pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan

dalam cerpen ini agama Islam, seperti kata garin, Allah Subhanau Wataala,

Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga,

Neraka, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-

30|

Mu, kitab-Mu, Malaikat, dan sebagainya. Majas yang digunakan dalam cerpen ini

diantaranya majas alegori, parabola, dan sinisme.

6) Sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana

untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk

cerita.

Cerpen Robohnya Surau Kami pengarang memposisikan dirinya dalam cerita ini

sebagi tokoh utama sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini

terasa pada bagian awal cerita, hal ini tergambarkan pada kutipan berikut ini:

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan

menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….

Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira

menerimaku, karena aku suka memberinya uang….

7) Amanat adalah suatu saran yang berhubungan ajaran moral tertentu yang bersifat

praktis yang dapat diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.

Amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar yang

terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah:

a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena

ada perbuatan kita yang kurang baik di hadapan orang lain. Amanat ini dibuktikan pada

kutipan:

“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam.

Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya,

ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal

kepada Tuhan .…”

b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja

baik dihadapan manusia tetapi belum tentu baik di hadapan Tuhan itu. Dibuktikan pada:

“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya

didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan

keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang

ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke

Mekkah….

c) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, dibuktikan pada kutipan:

“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka.

Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras.

Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja,

karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. …

d) Jangan mementingkan diri sendiri, karena hidup perlu bersosialisasi/ menjaga

silahturahmi dengan sesamanya. Dibuktikan pada bagian:

”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri.

31|

Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau

melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu

sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya.

5. Nilai – Nilai Pendidikan Karakter yang terdapat pada cerpen “Robohnya Surau Kami‟

karya A.A Navis

1. Taat beribadah/ taqwa, hal ini tergambarkan dalam ketaatan tokoh kakek dalam

beribadah,

2. Loyal, sikap jiwa yang tunduk kepada hal-hal terpuji, hal ini tergambarkan pada

ketakutan tokoh kakek melakukan sesuatu yang dapat merusak ibadahnya

3. Sabar, hal ini tergambarkan sifat sabar dan tawakal dari tokoh kakek

4. Ikhlas, tergambar dalam sifat ikhlas yang dimiliki tokoh kakek terlihat dalam

keredhoannya membantu mengasah pisau tanpa mengharapkan upah,

5. Wara, hal ini terlihat dalam tokoh haji Soleh yang selalu menghentikan larangan Allah

dengan tidak pernah berbuat jahat,

6. Larangan menyombongkan diri

7. Ulet, bersungguh-sungguh untuk berusaha di dunia dan di akhirat

8. Silahturahmi, Berbagi kebaikan duniawi kepada kerabat/ sesama, hidup harus

bersosialisasi jangan mementingkan diri sendiri/ persaudaraan dengan sesama/ saling

peduli dengan sesama

9. Tabah dan tenang, bisa menguasai diri, jangan cepat marah, kita harus tenang dalam

menghadapi masalah, sehingga tidak boleh untuk melakukan bunuh diri.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik yang ada pada cerpen “Robohnya Surau

Kami” adalah sebagai berikut: a) Tema: tema dalam cerpen ini adalah persoalan batin kakek

setelah mendengar bualan Ajo Sidi; b) latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat dan

latar waktu; c) alur yang ada dalam cerpen ini adalah alur maju dan mundur; d) tokoh yang

ada dalam cerpen ini adalah tokoh Aku, tokoh Kakek, tokoh Ajo sidi dan tokoh Haji Saleh; e)

gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen ini pengarang menggunakan kata-kata yang biasa

digunakan dalam bidang keagamaan (Islam) seperti kata garin, Allah Subhanau Wataala,

Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga,

Neraka, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, dan sebagainya;

f) sudut pandang yang digunakan cerpen Robohnya Surau Kami pengarang memposisikan

dirinya dalam cerita ini sebagai tokoh utama sebab secara langsung pengarang terlibat di

32|

dalam cerita; dan g) amanat yang ada dalam cerpen ini adalah jangan cepat marah, jangan

menyi-nyiakan apa yang kamu miliki, jangan sombong/ berbangga hati, dan jangan

mementingkan diri sendiri.

Cerpen “Robohnya Surau Kami karya A.A Navis” ini adalah sebuah karya sastra

(cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik

pembangunnya, selain itu dalam cerpen ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran

khususnya dalam pembentukan pendidikan karakter. Karena dalam cerpen tersebut

mengandung nilai-nilai moral.

Daftar Pustaka

Aminudin. (2004). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Badudu, J.S. (1984). Sari Kesustraan Indonesia 1. Bandung: CV Pustaka Prima.

Darma, Budi. (1981). Moral dalam sastra, Pidato Ilmiah. Surabaya. IKIP.

Djahiri, A. Kosasih. (1989). Teknik Pengembangan Program Pengajaran Pendidikan Nilai

Moral. Bandung: Lab. PMPKn. FPIPS IKIP Bandung.

Miskawaih, Ibn. (1994). Menuju Kesempurnaan Akhlak (terjemahan). Bandung: Mizan

Navis, A.A. (2010). Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Noor, Redyanto. (2004). Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fakultas Sastra

Universitas Diponegoro.

Nurgiyantoro, Burhan. (1998). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Rahmanto, B.(1988). Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

33|

BUDAYA KONTEKS TINGGI: STUDI KASUS BUDAYA INDONESIA DAN CHINA

Meli

Universitas Sun Yat-Sen, Guangzhou, Provinsi Guangdong, China

Pos-el: [email protected]

Abstrak

Diberlakukannya pasar bebas menyebabkan peran komunikasi lintas-budaya sangat penting. Dunia

sebagai pasar global membuat transaksi perekonomian menjadi tanpa batas ruang dan waktu. Untuk

itu dibutuhkan keterampilan komunikasi lintas-budaya yang efektif untuk dapat berhasil dalam

persaingan global. Perbedaan budaya memberikan tantangan yang unik dan sering mengakibatkan

kesalahpahaman. Komunikasi lintas-budaya ini penting karena dalam interaksi sosial sehari-hari,

paparan budaya yang berbeda tidak bisa dihindari. Di dalam komunikasi biasa antara dua orang,

adalah 35% komponen verbal, sedangkan 65% terjadi secara non-verbal (Ray L. Birdwhistell, 1969)

1). Negara Indonesia dan China termasuk negara yang berbudaya konteks tinggi, namun masih saja

ada beberapa faktor budaya di antara keduanya yang berbeda, yang juga menjadi ciri khas masing-

masing. Dalam artikel ini akan dijelaskan beberapa budaya khas, khususnya yang berkaitan dengan

komunikasi lintas budaya di antara keduanya yang memiliki persamaan ataupun perbedaan, baik

verbal maupun non-verbal.

Kata kunci: budaya konteks tinggi, China, Indonesia, komunikasi, lintas-budaya.

Abstract

Enactment of the free market lead role of cross-cultural communication is very important. The world

as a global market makes economic transactions become infinite space and time. That requires cross-

cultural communication skills effective to be able to succeed in global competition. Cultural

differences present unique challenges and often lead to misunderstandings. Cross-cultural

communication is important because in everyday social interaction, exposure to different cultures can

not be avoided. In the normal communication between two people, the verbal component is 35%, while

65% occurred in non-verbal (Ray L. Birdwhistell, 1969) 1). Indonesia and China is State, including

the cultural context of the high country, but still there are some cultural factors between the two are

different, which is also a characteristic of each. In this article will explain some typical culture,

particularly with regard to cross-cultural communication between the two which have similarities or

differences, both verbal and non-verbal.

Keywords: high-context culture, China, Indonesia, communication, cross-cultural.

PENDAHULUAN

Kerja sama di berbagai bidang antara negara Indonesia dan China makin hari makin erat.

Dalam hal penanaman modal asing, nilai investasi negara China di Indonesia semakin

meningkat, pada tahun 2011 bernilai 128,2 juta dolar AS, tahun 2012 bernilai 141 juta dolar

AS dan pada triwulan pertama tahun 2013 bernilai 60, 2 juta dolar AS.1 Dalam bidang

pendidikan, kian banyak orang Indonesia yang ingin belajar bahasa Mandarin (lihat

pertumbuhan jumlah pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan pada tabel 1) dan

1 Sumber: http://www.kemendag.go.id/ko/news/2013/05/03/-nilai-perdagangan-ri-china-ditargetkan-usd80-miliar, diakses 16

Juni 2013.

34|

sebaliknya makin banyak orang China ingin mempelajari bahasa Indonesia. Dalam hubungan

interaksi tersebut akan terjadi proses komunikasi baik verbal maupun non-verbal. Untuk dapat

memahami lawan bicara, ada baiknya kita juga mempelajari budaya dari lawan bicara kita.

Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindari kesalahpahaman.

Tahun Jumlah Peringkat

negara

2010 9.539 7

2011 10.957 7

2012 13.144 6

Tabel 1: Jumlah pertumbuhan pelajar Indonesia di China Tahun 2010-20122

Yang dimaksud dengan k orang China dalam tulisan di sini adalah orang China asli yang

lahir dan dibesarkan di negara China, yang sebagian besar penduduknya bersuku bangsa Han.

Yang dimaksud dengan kebudayaan China adalah kebudayaan China yang kebudayaannya

juga terus berkembang sejalan waktu dan karena politik pintu terbukanya telah membuat

sebagian kecil dari kebudayaannya mengadopsi budaya asing terutama dari barat. (tidak

termasuk orang dan kebudayaan China peranakan yang sudah mengasimilisasi kebudayaan

lokal Indonesia).

PEMBAHASAN

Budaya

"Budaya" dalam bahasa inggris “culture” berasal dari kata Latin “cultura”, yang dalam

arti luasnya adalah aktivitas interaksi manusia. Untuk mempelajari komunikasi lintas-budaya

kita harus mempelajari pengetahuan tentang budaya, lalu menggunakannya untuk

menafsirkan pengalaman perilaku sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pengetahuan ini

berbentuk nilai, perilaku yang tercipta serta pengaruh bersikap. Kebanyakan sarjana setuju

dengan karakteristik budaya yang disimpulkan oleh Richard M Hodgetts dan Fred Luthans di

bawah ini3:

1. Pelajaran. Budaya tidak diwariskan secara fisiologis, didapatkan dari proses belajar dan

pengalaman.

2. Berbagi. Manusia adalah bagian dari suatu kelompok, organisasi atau komunitas, bukan

individu tunggal tertentu.

3. Akumulasi lintas-budaya, dari generasi ke generasi.

2 Sumber : China Association for International Education (CAFSA). http://www.cafsa.org.cn, diakses 16 Juni 2013.

3 Hodgetts Richard M , Fred Luthans, " International Management: Culture Strategy and Behavior ", New York: Mc. Graw Hill,

2003- 5th

ed, hal:108.

35|

4. Simbolis. Dasar dari budaya adalah kemampuan manusia menggunakan simbol atau

sesuatu mewakili hal lainnya.

5. Ada pola. Berstruktur dan terpadu: perubahan pada satu bagian akan membawa

perubahan lainnya.

6. Adaptif. Budaya didasarkan pada kemampuan manusia untuk mengubah atau

menyesuaikan diri, tidak seperti proses adaptif hewan yang didorong sifat genetiknya.

Pola budaya

Pola budaya atau orientasi budaya pertama kali diperkenalkan Ruth Bennedict (1934), ia

mencatat bahwa budaya ditampilkan sesuai dengan cara hidup manusia, melalui identitas

budaya yang unik. Dia mengatakan bahwa sekelompok orang akan menciptakan konfigurasi

khusus dari budaya mereka dan membuat atribut budaya yang unik.

Pola budaya tidak bisa dilihat atau dialami, karena termasuk didalamnya adalah pikiran,

gagasan, dan bahkan filsafat kebijaksanaan manusia. Pola budaya biasanya terbentuk dari

nilai-nilai, keyakinan atau kepercayaan dan norma (aturan). Ada enam dasar perbedaan

budaya menurut DuPraw (2001)4, yaitu:

1. corak komunikasi yang berbeda;

2. sikap yang berbeda terhadap konflik;

3. pendekatan yang berbeda dalam menyempurnakan tugas;

4. corak pengambilan keputusan yang berbeda;

5. sikap yang berbeda dalam menyingkap sesuatu;

6. pendekatan yang berbeda dalam mengetahui sesuatu.

Keragaman budaya

Ada banyak perbedaan budaya pada komunikasi budaya. Mungkin yang paling penting

adalah budaya mempengaruhi pemikiran dan perilaku masyarakat. Berikut adalah beberapa

contoh cara berjabat tangan di beberapa negara (Richard M Hodgetts dan Fred Luthans, hlm.

109)

Amerika Serikat kuat

Asia lembut (bagi sebagian orang, jabat tangan bukan kebiasaan yang akrab

dan nyaman, pengecualian adalah negara Korea Selatan, yang biasanya

memiliki jabat tangan erat)

Inggris lembut

4 Liliweri, Alo, Prasangka & konflik: Komunikasi Lintas sektor masyarakat multikultur "prasangka dan konflik: masyarakat

multi-budaya, komunikasi antar budaya", Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara penerbitan, 2005. Hal:376.

36|

Perancis ringan dan cepat (tetapi tidak untuk atasan mereka), diulang pada saat

kedatangan dan keberangkatan

Jerman cepat dan tegas, diulang pada saat kedatangan dan keberangkatan.

Amerika latin sedang; sering diulang

Timur Tengah lembut; sering diulang

Sekarang kita bandingkan salah satu dimensi dalam orientasi hubungan budaya

“Trompenaars” yang membedakan budaya Indonesia dan China di bawah ini5:

Gambar 1

Dalam dimensi budaya hubungan netral dan emosional, dipetakan bahwa orang China

mempunyai orientasi yang emosional sedangkan orang Indonesia berorientasi netral. Orang

yang berorientasi budaya emosional akan mengekpresikan emosinya secara terbuka dan

alami, misal apabila sukses akan banyak tersenyum, berbicara keras ketika bersemangat.

Seperti yang dikemukan Bo Yang (Allen & Unwin, 1992, hlm. 44-45), orang-orang China

emosional, terlalu subyektif dan sering terpengaruh oleh suasana hati mereka. Orang China

membuat penilaian hanya berdasarkan kesan dan pengalaman mereka sendiri. Walaupun

China adalah negara besar, tapi masih banyak orang-orang China berpikiran sempit

Ketika orang yang berasal dari negara berlatar belakang budaya emosional berhubungan

dengan budaya netral, maka orang yang berbudaya emosional harus menyadari bahwa

kurangnya ekspresi dari orang berbudaya netral tidak berarti bahwa mereka tidak tertarik atau

bosan, sebaliknya yang berbudaya netral harus mencoba untuk dapat menanggapi lebih hangat

ekspresi emosional dari rekan berbudaya emosional.

Contoh kasus ketika di negara China dalam beberapa tahun ini mencuat kasus perebutan

hak atas Pulau Diaoyu dengan Jepang, seluruh masyarakat China menunjukkan emosinya

dengan sikap antipati terhadap orang Jepang, bahkan di beberapa kota terjadi penolakan dan

pemukulan terhadap orang Jepang. kebencian orang China terhadap orang Jepang dipicu pula

dengan peristiwa sejarah di masa lalu, di mana pada masa pendudukan Jepang tahun 1940-an

terjadi pembantaian terhadap orang China. Sebaliknya jika hal ini terjadi di Indonesia,

5 Hodgetts Richard M , Fred Luthans, " International Management: Culture Strategy and Behavior ", Mc. Graw Hill, 2003- 5

th

ed, hal:126,128,132.

37|

meskipun sebagian kecil masih terlibat konflik (missal dengan negara Malaysia), akan tetapi

sebagian besar masih memegang prinsip “diam adalah emas”.

Komunikasi

Komunikasi adalah salah satu disiplin ilmu tertua, baru berkembang akhir-akhir ini.

Orang Yunani Kuno menempatkan teori dan praktek komunikasi sebagai sesuatu yang

evaluatif. Sedangkan sekarang, arti komunikasi sudah bercampur aduk menjadi sesuatu yang

aktif, berkaitan dengan ilmu sosial, seni bebas dan karir. Sesuai dengan ilmu etimologi, kata

komunikasi berasal dari bahasa latin “communicatus, communis” yang berarti 'berbagi' atau

'menjadi milik umum' yang berarti, tujuan komunikasi adalah kesatuan dan kesamaan.

Terminologi untuk mengekspresikan komunikasi mengacu pada seseorang yang

menyampaikan informasi kepada orang lain dalam suatu proses. Jadi dalam pengertian ini,

komunikasi melibatkan manusia. Menurut Ruben dan Steward (1998, hlm. 16) interpretasi

komunikasi interpersonal adalah "proses yang melibatkan individu-individu baik secara

pribadi, dalam kelompok, organisasi, dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan

untuk beradaptasi dan pembentukan informasi dalam rangka beradaptasi satu sama lain."

Untuk memahami makna komunikasi, sarjana komunikasi sering mengutip paradigma

Harold Lasswell (1948). Dalam karyanya "The structure and function of communication in

society". Lasswell mengatakan, proses komunikasi sederhana adalah komunikator membuat

pesan, dan melalui media, komunikan menerima pesan tersebut yang kemudian

menyebabkan efek tertentu.

Perkembangan teknologi informasi dan navigasi turut mendorong kemajuan pasar global

modern. Zaman sekarang manusia dimungkinkan untuk melakukan segalanya tanpa batas

ruang antar negara dengan cepat dan efisien. Dunia telah menjadi pasar global dengan

berbagai budaya yang berbeda, Namun, budaya yang berbeda biasanya dapat menjadi

penghalang. Sehingga pada era globalisasi ini, keterampilan dan pemahaman komunikasi

lintas-budaya sangat penting. Komunikasi lintas-budaya adalah proses komunikasi antara

manusia dalam budaya yang berbeda (baik ras, etnis, atau sosial ekonomi),

SEPINTAS MENGENAI BUDAYA KONTEKS TINGKAT TINGGI DAN RENDAH

HCC DAN LCC

Antropolog Edward T. Hall (1976) mengusulkan sebuah teori tentang budaya konteks

tinggi dan rendah. Teori ini membantu kita untuk lebih memahami pengaruh kuat dari budaya

terhadap komunikasi. Menurut cara orang berkomunikasi, Hall telah membaginya menjadi

budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah. Budaya konteks tinggi (HCC ) memiliki

38|

tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam menyampaikan pesan, termasuk di dalamnya adalah

kebanyakan negara di Timur Tengah, Asia, Afrika, dan beberapa negara Amerika Selatan.

Pada budaya konteks tinggi pesan-pesan nonverbal memainkan peranan yang penting dan

kebanyakan makna sebuah pesan diinternalisasi oleh pendengar atau tergantung pada konteks.

Budaya ini menganggap penting ketidaklangsungan dalam pembicaraan karena pendengar

diharapkan untuk lebih tidak memerhatikan kode eksplisit dibandingkan makna yang

dipahami melalui petunjuk nonverbal dan konteks.

Sebaliknya, budaya konteks rendah, termasuk didalamnya sebagian besar negara-negara

di Amerika Utara dan Eropa Barat, makna ditemukan dalam kode atau pesan yang eksplisit.

Berbicara secara langsung dan apa adanya dianggap bernilai. Pendengar diharapkan

memahami makna berdasarkan hanya pada kata-kata yang digunakan pembicara. Berikut ini

adalah perbedaan latar belakang budaya yang mendasari budaya konteks tinggi dan rendah:

a. Struktur masyarakat

Budaya tinggi cenderung berstruktur feodal tinggi, budaya rendah mempunyai hubungan

yang lebih intim dan kesetaraan.

b. Penyampaian informasi

Budaya tinggi biasanya menggunakan ekspresi non-verbal, seperti alegori dan metafora,

memutar gaya bahasa sering tidak pada tujuannya langsung, tidak jelas. Gaya komunikasi

konteks tinggi mencerminkan hirarki sosial dan gaya hidup. Berbicara yang sopan dianjurkan

untuk menjaga keharmonisan masyarakat. dibandingkan budaya konteks rendah, orang dari

konteks budaya tinggi jarang berbicara, seperti pepatah filsuf China Laozi ”zhizhe bu yan,

yanzhe bu zhi”6 yang artinya kurang lebih adalah orang yang bijaksana tidak akan

sembarangan berbicara, karena orang yang sembarangan bicara adalah orang yang tidak

berwawasan.

Orang-orang dari budaya konteks rendah menggunakan nilai logika, fakta, benar-benar

jelas, pasti, dan hubungan kausal yang langsung sehingga mudah dimengerti, tidak

menggunakan kondisi yang kompleks dan sulit dimengerti. Informasi yang disampaikan

secara garis besar sudah cukup. Diam dipandang sebagai hal yang negatif, dan harus

dihindari.

c. Membangun hubungan antar personal

Budaya tinggi bersandar pada aspek hubungan, kolektivisme, intuitif dan kontemplasi.

Orang dalam budaya konteks tinggi diatur oleh intuisi dan perasaan. Kata-kata dianggap tidak

begitu penting sebagai konteks, yang termasuk didalamnya adalah nada bicara, ekspresi

6 Sumber: Kitab Dao De, Bab 56 (道德经,第五十六章:知者不言,言者不知)

39|

wajah, gerak tubuh, postur tubuh bahkan sejarah dan status keluarga. Bahasa yang beretorika

dan rendah hati serta sering meminta maaf adalah tipe orang dari budaya ini. Ini berarti bahwa

orang dalam budaya ini menekankan hubungan interpersonal. Mengembangkan kepercayaan

merupakan langkah penting yang pertama dalam setiap komunikasi dan hubungan. Budaya

konteks rendah lebih logis, linier, individualis, dan berorientasi pada tindakan.

d. Masalah legal dan etika yang berbeda

Budaya tinggi lebih menitikberatkan perhatian pada perjanjian lisan, sedangkan budaya

rendah pada kesepakatan tertulis. Dalam budaya konteks tinggi orang dinyatakan bersalah

sejak dari penangkapan oleh polisi sampai proses di pengadilan, sementara dalam budaya

rendah sebelum hakim di pengadilan menyatakan bersalah maka status hukum orang tersebut

tidak diumumkan.

e. Perbedaan dalam aspek-aspek sosial

Berdasarkan aspek sosial, dibagi menjadi empat bagian, yaitu: konsep materi, peran dan

status, kesopanan, serta konsep waktu, seperti di bawah ini:

a) Konsep materi.

Budaya konteks tinggi: mendapat pekerjaan lebih penting daripada bekerja secara efektif.

Budaya konteks rendah: berorientasi tujuan, materi berasal dari kemampuan individu.

b) Karakter dan status

Pada budaya konteks tinggi, menyapa atasan atau orang yang berkedudukan lebih tinggi

harus dengan hormat. Status sosial sangat penting, bahkan dalam hubungan di dalam dan

di luar pekerjaan. Hubungan antara atasan dan bawahan harus jelas, sering kali ada jarak.

Pada budaya konteks rendah, menyapa atasan tidak perlu dengan hormat, hubungan

antara atasan dan bawahan terbuka, tidak ada perbedaan. Di luar jam kerja, atasan dan

bawahan tidak membawa status pekerjaan mereka, bahkan bisa menjadi teman baik.

c) Kesopanan

Budaya konteks tinggi, mengirim hadiah kepada istri teman dianggap tidak pantas, tidak

sopan, apalagi bila mencium istri teman, akan dianggap sebagai hal yang buruk.

Budaya konteks rendah, hadiah kepada istri teman dianggap normal, beradab. mencium

istri teman dianggap sebagai ekspresi dari semangat dan persahabatan, adalah sesuatu

yang wajar dan normal.

d) Konsep waktu

Budaya konteks tinggi, sering tidak memandang pentingnya waktu, sehingga terlambat

adalah hal yang biasa.

40|

Budaya konteks rendah, waktu direncanakan sedemikian rupa agar bekerja secara efektif.

Waktu adalah hal yang sangat berharga.

KOMUNIKASI LINTAS-BUDAYA ANTARA INDONESIA DAN CHINA

Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah jelas bahwa konteks budaya Indonesia dan

China termasuk dalam negara yang berbudaya konteks tinggi, ada banyak komunikasi non-

verbal menjadi karakteristik kedua negara ini. Selain itu, ada efek yang berbeda pada budaya

dan kebiasaan masing-masing negara. Kita diharapkan menyadari kesamaan dan perbedaan

budaya dan adat istiadat dari kedua negara, sehingga hubungan komunikasi budaya antara

keduanya tidak akan menyebabkan benturan-benturan. Berikut ini akan dibahas beberapa

persamaan dan perbedaan tersebut:

a. Hubungan antara manusia

Ada banyak persamaan dalam aspek hubungan antar manusia dalam kebudayaan China

dan Indonesia. Ajaran Konfusiusme atau konghucu berasal dari Cina, adalah Konfusius (551-

479 SM) yang menyebarkannya. Konfusius mengajarkan sistem moral dan etika dalam

membangun hubungan yang ideal dengan keluarga dan negara. Sifat hubungan adalah

hubungan antara:

a. orang tua dan anak;

b. yang tua dan yang muda;

c. suami dan istri;

d. teman;

e. pemerintah dan warga.

Ajaran Konghucu berfokus pada kesetiaan kepada raja dan negara, moral dan berbakti

kepada orang tua. Selain itu, menekankan pada perilaku apa yang harus dilakukan dalam

kehidupan sehari-hari, seperti pembentukan masyarakat dan bagaimana metode pendidikan

yang baik. Indonesia adalah negara yang bersahabat. Masyarakat Indonesia (pernah

mendapatkan ajaran Budha dan Hindu kuno) bertutur kata lembut dan berbicara dengan

sopan. Dalam nilai-nilai tata kontrol ada banyak kesamaan, status manusia berdasarkan usia,

status/kelas sosial, dengan kata lain hubungan komunikasi manusia adalah vertikal. Selain itu

masyarakat Konghucu China dan tradisi budaya Indonesia sangat menganggap penting

keluarga. Meskipun dalam kondisi yang sulit, mereka tidak akan lupa berbakti pada orang tua.

Ada ungkapan bahasa Jawa yang mengatakan: mangan ora mangan ngumpul, yang berarti

bahwa beban kebahagiaan dan kesulitan ditanggung bersama-sama. Intinya di sini adalah

kebersamaan untuk menghadapi semua masalah kehidupan.

41|

Dalam hubungan pertemanan juga ada kesamaan, orang China dan Indonesia memandang

hubungan pertemanan lebih tinggi daripada negara-negara barat, ada pepatah mengatakan “Di

rumah Anda bersandar pada orang tua, dalam masyarakat Anda bersandar pada teman-teman”

Selain itu ada kesamaan dalam hal cara pandang terhadap posisi perempuan. Dalam

masyarakat Konfusius China, istri atau perempuan masih dianggap orang luar. Di Indonesia

juga, peran istri berada setelah teman. Dalam pekerjaan, masih banyak perusahaan yang lebih

mementingkan mencari pegawai pria daripada perempuan. Dalam hal keturunan juga

demikian, banyak pasangan lebih menginginkan anak laki-laki daripada perempuan.

Perbedaannya, hal ini di China diperburuk lagi dengan kebijakan satu anak dari pemerintah.

Hal ini menimbulkan banyaknya praktek aborsi. Mengetahui dan memberitahukan jenis

kelamin janin yang dikandung adalah hal yang ilegal dan melanggar hukum di China.

Ada perbedaan dalam membangun hubungan pertemanan yang baru. seperti yang

dikatakan Bo Yang (Allen & Unwin, 1992, hlm. 55), orang-orang China bersikap cemas,

mudah terpancing emosi, dan paranoid bahwa orang lain akan mengambil keuntungan dari

mereka. Hal ini membuat orang-orang China terlalu berhati-hati, defensive, dan waspada

terhadap orang lain. Berbeda dengan orang Indonesia yang bersifat terbuka terhadap orang

baru.

b. Etiket di tempat umum

Dalam hal ini, ada banyak perbedaan di antara keduanya. Di Indonesia, meludah di depan

umum, kentut, bahkan menguap adalah perilaku yang dinilai tidak tepat dan tidak sopan. Di

China hal ini dianggap biasa dan pemandangan ini sering terlihat. Ada fenomena di China,

jika ada pria dan wanita dewasa saling memegang tangan, berpelukan bahkan berciuman, itu

adalah wajar dan normal. Di Indonesia, sepasang kekasih yang berangkulan atau berciuman di

tempat umum akan dianggap masyarakat tidak sopan, bertentangan dengan aturan umum. Di

China, di banyak tempat ramai saling mendorong biasa terjadi. Namun, jika ini terjadi di

Indonesia, bisa menyebabkan kerusuhan.

Orang China terkenal paling berisik sedunia, adakalanya kita berpikir mereka sedang

bertengkar. Orang China berbicara dengan keras termasuk di tempat umum, hal ini

dikarenakan orang China secara alami merasa tidak aman, sehingga berprinsip makin keras

berbicara menunjukkan eksistensi dan kebenaran. Berbeda halnya dengan orang Batak

Indonesia, orang Batak berbicara keras dikarenakan sejarah faktor geografi tempat tinggalnya

di daerah pegunungan dan perumahan yang jauh satu sama lainnya, mengharuskan mereka

berbicara keras supaya terdengar, dan ini menjadi kebiasaan sampai sekarang.

42|

c. Cara makan

Pada umumnya, cara makan di keluarga Indonesia dan China dapat dikatakan hampir

sama. Saat makan, kita tidak boleh terlalu banyak bercakap-cakap, saat mengunyah tidak

mengeluarkan suara, berusaha untuk tidak membuat makanan di piring atau mangkuk menjadi

berantakan.

Di China, setiap orang menggunakan sumpit untuk makan, bisa menggunakan sumpit

mereka sendiri untuk mengambil lauk pauk ke piring makannya. Setelah selesai makan,

sendok dan sumpit ditaruh rapi di sisi mangkuk, jika sendok dan sumpit masih pada mangkuk

nasi atau sup, maka dianggap belum selesai. Orang Cina tidak akan mengubur sumpit atau

sendok ke dalam nasi, karena hal ini seperti memberikan hidangan kepada orang mati (dalam

keluarga Tionghoa Indonesia yang masih memasang dan menyembayangi leluhurnya, kita

dapat melihat adanya hidangan yang ditusukkan dupa). Jika tamu melakukan hal ini maka

akan dianggap tidak menghormati tuan rumah.

Di Indonesia, cara makan ada dua, pertama menggunakan sendok dan garpu, kedua

menggunakan tangan. Di Indonesia, orang menggunakan sendok untuk makan, di setiap

piring hidangan akan tersedia sendok khusus untuk mengambil hidangan ke piring makan,

kurang lebih sama dengan aturan makan kebiasaan negara barat, akan tetapi bila sudah selesai

makan, sendok dan garpu diletakkan terbalik menyilang di piring.

Kebiasaan undangan makan di China, pengundang akan datang dan duduk terlebih dahulu

untuk menunggu. Tamu penting akan dipersilakan duduk di tempat yang menghadap pintu

masuk. Tuan rumah biasanya akan mempersilakan tamu untuk memulai, seringkali

pengundang atau orang yang kedudukannya lebih rendah mengambilkan makanan untuk

tamunya. Di Indonesia, ada kebiasaan istri melayani suaminya sewaktu makan, seperti

mengambilkan nasi dan lauk. Jamuan makan diselingi acara bincang-bincang sehingga

biasanya memakan waktu yang sangat lama. Saling mengundang makan sering dilakukan,

sebagai bentuk untuk mempererat persahabatan bahkan hubungan kerja.

Tuan rumah berusaha semaksimalnya menjamu dan menemani tamu makan. Makanan

yang disediakan selalu berlebih, misal jumlah tamu lima orang, maka tuan rumah akan

menyediakan enam macam masakan ditambah sejenis sup (sebagai pembuka atau penutup).

Walaupun tuan rumah sudah merasa kenyang, tapi akan tetap menemani bersantap dan tidak

akan menaruh sumpitnya terlebih dahulu. Bila jamuan berakhir maka sebaiknya salah seorang

tamu mengakhirinya dengan mengangkat gelas minuman dan mengajak bersama-sama semua

43|

yang hadir untuk bersulang sambil mengucapkan sepatah dua kata ucapan terima kasih atau

harapan.

d. Undangan bertamu

Di China, jika orang diundang untuk mengunjungi rumah seseorang, maka orang tersebut

akan membawa bingkisan untuk dihadiahkan kepada tuan rumah, dan pada akhir kunjungan

tuan rumah juga akan memberikan sesuatu sebagai jawaban atas hadiah tersebut. Di

Indonesia, para tamu tidak ada keharusan membawa bingkisan, kalaupun membawa, tuan

rumah tidak perlu untuk memberi bingkisan balasan. Lain halnya, Ketika pesta ulang tahun

atau pernikahan ada kebiasaan pada orang Indonesia untuk memberikan kenang-kenangan

atau souvenir.

Ketika bertamu, orang Indonesia memiliki kebiasaan melepas alas kaki, terutama jika

Anda mengunjungi rumah yang terlihat sangat bersih, melepas alas sepatu berarti kita

menghormati perjuangan tuan rumah membuat rumahnya bersih. Di China, pemilik akan

memberikan alas kaki khusus untuk digunakan di dalam rumah, sehingga kaki tidak kotor.

e. Kebiasaan dengan orang yang kedudukannya lebih tua atau lebih tinggi

Hubungan kekeluargaan di antara rakyat Indonesia dan China memiliki konsep yang

sama, hubungan vertikal. Dalam hubungan kakak beradik, yang muda harus memanggil yang

lebih tua dengan sebutan kak, mas, mbak, kang, atau jie, ge7. Selain itu, saudara kembar

mempunyai kedudukan yang tidak sama, yang lahir pertama adalah kakak, mempunyai status

yang lebih tinggi daripada adik. Hubungan orang-orang dalam masyarakat dipandang sebagai

hubungan keluarga. Kita bisa melihat bahwa orang akan dipanggil kak, dik, kakek, nenek,

paman, bibi, atau yeye, popo, shushu, a yi8.

Baik orang Indonesia maupun orang-orang China sangat menghormati orang tua atau

orang yang kedudukannya lebih tinggi. Kita tidak bisa bicara sambil menatap langsung mata

orang tua kita, karena hal tersebut tidak sopan, dianggap sebagai suatu perlawanan atau

tantangan. Ketika kita ingin memberikan orang yang dituakan sesuatu atau hadiah, kita harus

menggunakan kedua tangan kita. Di China, dalam hal menjabat tangan, orang-orang muda

harus menunggu dulu undangan jabat tangan dari orang yang lebih tua atau yang

berkedudukan lebih tinggi. Sementara di Indonesia, yang jauh lebih muda menjulurkan tangan

terlebih dahulu. Kemudian, ketika orang-orang Indonesia berjalan mendahului orang yang

7 jie (Bahasa Mandarin): panggilan untuk yang dianggap sebagai kakak perempuan, ge: kakak laki-laki.

8 yeye (Bahasa Mandarin): kakek, popo: nenek , shushu: paman, a yi: bibi

44|

lebih tua maka biasanya orang yang lebih muda akan mengungkapkan rasa hormat tersebut

dengan membungkukkan badan.

f. Kebiasaaan dalam perilaku non-verbal

1) mengungkapkan perasaan

Ada kesamaan dalam pendekatan hubungan sosial orang Indonesia dan China, orang akan

berpura-pura menyukai hal-hal yang sebenarnya tidak disukainya. Dalam menanggapi

pembicaraan, orang Indonesia dan orang China sering mengatakan "ya" atau “‟em”, namun

itu tidak selalu berarti persetujuan, tetapi hanya mengacu pada "Saya mengerti situasi Anda,

saya mengerti apa yang Anda katakan, silakan lanjutkan ..." .

Dalam hal pola atau cara bepikir dan bercerita, terdapat perbedaan antara orang Indonesia

dan orang China. Orang Indonesia dalam bercerita atau menjelaskan sesuatu hal cenderung

menyukai beranjak dari hal-hal yang kecil berlanjut ke hal-hal yang lebih luas dan umum,

berawal dari masalah individu masing-masing kemudian berkembang pada isu-isu negara dan

nasional. Namun, orang-orang China tidak sama, kebalikannya yaitu dari hal-hal yang umum

menuju ke hal-hal yang khusus. Hal ini dapat terlihat pula dari kebiasaaan orang di kedua

negara ini dalam menuliskan alamat. Orang China menulis alamat, didahului nama negara,

provinsi, kabupaten/kota, nama jalan, nomor rumah, namun, di Indonesia, kita akan menulis

terlebih dahulu nama jalan, nomor rumah, kota, provinsi dan nama negara.

Kita mengakui bahwa warna merah mempunyai arti kekuasaan dan keberanian, tapi bagi

orang China selain arti di atas, warna merah mempunyai makna kehangatan, keuletan,

kekuatan, keberuntungan, cinta dan sebagainya. Untuk ini dalam berbagai acara formal

maupun non formal orang China suka menggunakan warna tersebut, contoh dalam acara

seminar atau jamuan pernikahan, orang China akan menaplaki meja dengan warna merah,

dalam menyambut tamu, akan dipasang banner/spanduk dengan warna dasar merah.

Penyambut tamu menggunakan baju nasional qipao yang berwarna merah juga.

Bagi orang China nama keluarga atau marga menjadi lebih penting, ini dapat terlihat dari

penulisan nama lengkapnya, diawali dengan nama marga, lalu nama khusus. Sedangkan bagi

kebanyakan orang Indonesa nama khusus lebih dikedepankan, dan ada kalanya hanya

mencantumkan nama saja sudah cukup, nama khusus ini bisa terdiri dari satu kata, dua

bahkan lebih dari tiga. Ketika pertama kali bertemu, orang China akan bertanya: Nin gui

xing? Mingzi zenme chenghu? (Marga Anda apa? Bagaimana cara saya memanggil Anda?)

Biasanya kita cukup mengetahui nama marga dari lawan bicara kita lalu menambahkan kata

45|

panggilan internasional Mr./Mrs. atau panggilan pak/ibu, misal Mr. Li, Pak Wang dan lain-

lain.

Masih ada kaitannya dengan nama, yaitu tanda tangan. Di Indonesia, hal resmi terutama

yang berkaitan dengan masalah bisnis dan hukum, tanda tangan mempunyai kekuatan hukum

untuk digunakan. Tanda tangan ini harus sama. Banyak orang yang membuat tanda tangan

berasal dari akronim nama mereka atau menggunakan gaya penulisan yang unik dan dapat

membedakannya dengan kepunyaan orang lain. Tanda tangan ini juga tercantum dalam

paspor. Namun, setelah tiba di China, tanda tangan ini tidak penting. Di China tanda tangan

tidak memiliki kekuatan formal, kita hanya perlu menuliskan nama lengkap kita. Jika ingin

lebih mempunyai kekuatan hukum, orang-orang China yang berbisnis biasanya mempunyai

stempel nama.

Dalam bertegur sapa, orang china mempunyai kebiasaan ketika bertemu akan bertanya

chifan le ma? (Sudah makan?) Ini bukan berarti mereka ingin tahu kegiatan Anda atau

meremehkan keadaan ekonomi lawan bicara. Negara China sejak dulu merupakan negara

agrikultur, namun sering tertimpa bencana dan masalah panen sulit terjamin

berkesinambungan. Oleh karena itu, sejak dulu masalah “perut” bagi orang China merupakan

masalah besar sehingga bila bertegur sapa, masalah “perut” ini menjadi hal penting untuk

ditanyakan, ini berarti menunjukkan perhatian. Sedangkan kebanyakan orang Indonesia

khususnya kaum muslim mengadopsi kebudayaan Arab. Padang pasir yang sulit air sebagai

tempat tinggal orang Arab, serta keluarga dan suku menjadi hal yang utama, namun sering

terjadi perang untuk memperebutkan sumber air tersebut. Jadi yang menjadi perhatian adalah

lingkungan yang aman dan damai. Oleh karena itu, kita sering mendengar kalimat sapaan

Assalam mualaikum salam damai dan dijawab wa‟alaykum salam damai besertamu juga.

b) dalam bentuk perilaku non-verbal menggunakan tangan

Perilaku nonverbal orang Indonesia dan China memiliki persamaan dan perbedaan adalah

sebagai berikut:

1) Di Indonesia dan di China, jari jempol yang menunjuk ke atas berarti 'baik' atau 'sudah

terlaksana' dan jempol yang menunjuk ke bawah, bila di China berarti 'menuju ke bawah'

atau „ada di bawah‟ sedangkan di Indonesia berarti “gagal”.

2) Di Indonesia dan China dalam penggunaan jari tengah berkonotasi seksual dan hal yang

tabu.

3) Di Indonesia penggunaan tangan kiri dalam segala hal berkonotasi tidak sopan, tidak

demikian halnya di China.

46|

4) Orang Indonesia menggunakan keseluruhan jari dan dua tangan dalam merepresentasikan

angka satu sampai sepuluh, sedangkan orang China hanya menggunakan satu tangan saja

(ada banyak versi, tapi tetap menggunakan satu tangan). Berikut ini adalah salah satu versi

gambar ilustrasi angka 1 sampai 10 dengan menggunakan satu tangan (gambar 2),

perhatikan terutama untuk angka 6 sampai 10.

Gambar 2

5) Jari telunjuk ke atas, di China berarti “satu”, juga bisa berarti “satunya” sepuluh, seratus,

seribu, dan seterusnya, Di Indonesia hanya berarti satu.

6) Jari kelingking, di China berarti “kecil”, “terburuk”, sedangkan di Indonesia selain berarti

„keci”l, jika dua orang mengulurkan jari kelingking, ini berarti undangan “perdamaian”

atau “pertemanan” bahkan “perjanjian”

7) Jari yang melambangkan angka 9 di China ketika di Indonesia mempunyai arti “hati orang

yang bengkok” atau “pelit”

8) Jari yang melambangkan angka 3 atau nol di China, ketika di Indonesia mempunyai

arti“OK”,”baik”,”setuju” (ini mendapat pengaruh dari kebudayaaan barat)

9) Di China memanggil orang adalah dengan menggunakan tangan dengan sisi telapak kanan

menghadap ke bawah lalu jari-jari tangan digerakkan ke depan dan ke belakang ini sama

dengan cara orang Indonesia memanggil. Akan tetapi jika telapak kanan menghadap ke

atas maka ini adalah cara untuk memanggil hewan atau anak kecil.

10) Di Indonesia, secara umum menunjuk sesuatu biasanya dengan menggunakan jari

telunjuk. Khususnya suku jawa, orang akan menunjuk dengan menggunakan ibu jari yang

sisi telapak tangannya menghadap ke atas, ke empat jari lainnya dilipat, suku betawi

menggunakan mulut yang agak dimonyongkan dan gerakan mata yang menuju arah yang

di maksud, sedangkan di China menggunakan jari telunjuk.

47|

11) Di Indonesia, jari telunjuk yang diletakkan di dahi menunjukkan “gila", tidak ada simbol

ini di China

12) Orang Indonesia akan menunjuk dirinya dengan meletakkan tangan di dada atau telunjuk

menunjuk ke dada, sedangkan orang-orang China akan menunjukkan jari telunjuk ke

hidung

13) Orang China jika ingin mengekpresikan tidak ada cukup uang maka akan menempatkan

jari telunjuk dan atau jari tengah dan ibu jari yang digesek-gesekan, sementara orang

Indonesia akan berpikir bahwa perilaku seperti ini adalah suatu penghinaan, memanggil

hewan seperti burung atau ayam. atau hal-hal yang dirasakan sangat sederhana.

14) Dalam hal berjabat tangan di Indonesia dan China mengandung arti keramahan dan

antusiasme. Selain berjabat tangan, di Indonesia kadang-kadang akan disertai mencium

atau menempelkan pipi. Ada kalanya di Indonesia, karena mayoritas penduduknya

Muslim, tidak diijinkan jika dua orang yang berbeda jenis kelamin saling bersentuhan

termasuk jabat tangan; mengangukkan kepala sudah cukup. Kadang-kadang setelah

berjabat tangan, beberapa orang menaruh tangannya di dada, atau di dahinya, ini sebagai

ungkapan rasa tulus, tidak hanya dari luar tapi juga dari hati.

15) Dalam berpamitan, pada umumnya orang China dan Indonesia akan melambaikan tangan

ke atas. Sering terlihat anak-anak di Indonesia berpamitan dengan orang tua, guru dengan

mencium punggung tangan orang tua dan gurunya.

SIMPULAN

Komunikasi antar manusia, dalam banyak hal, menekankan atau meniadakan kata-kata

cukup untuk mengungkapkan apa yang dimaksudkan. Kita belajar mengerti informasi yang

berbeda tersebut berdasarkan pengalaman. Yang kita bahas di atas adalah budaya Indonesia

dan China, walaupun sebagai negara-negara yang dikategorikan budaya konteks tinggi, kedua

negara memiliki kebiasaan dan adat istiadat yang sama dan berbeda. Juga dipaparkan adalah

mungkin terjadi jika kedua negara memiliki kebiasaan yang sama namun mengandung

perbedaan makna yang sangat jauh.

Setiap orang mungkin merasa kebiasaan dan kebiasaan negara lain lebih rendah atau

aneh. Namun, di dunia ini tidak ada standar budaya, juga tidak ada standar ras, atau standar

bahasa. Nilai-nilai dasar kehidupan di mana pun adalah sama. Mengapa kebiasaan dan adat

istiadat bisa berbeda? Ini dikarenakan cara manusia mengekspresikan dan mengungkapkan

ide-idenya menggunakan metode yang berbeda-beda. Jadi jika dalam berkomunikasi terjadi

kesalahpengertian, tidaklah penting untuk mencari siapa yang benar atau siapa yang salah,

48|

tetapi cobalah untuk mengerti satu sama lain, karena sebagian besar kesalahpahaman itu

timbul dari perbedaan budaya, atau karena kurangnya pemahaman budaya negara lain, dan

bukan karena unsur kesengajaan. Pepatah dalam bahasa Indonesia mengingatkan kita akan hal

ini: “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikan”. Dengan tulisan ini diharapkan dalam

hubungan personal antara orang Indonesia dan orang China, melalui pemahaman akan budaya

kedua belah pihak, kerja sama di antara keduanya dapat lebih dipererat dan lebih harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

Birdwhistell, R. (1970). Kinesics in context. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Bo Yang. (1992). The ugly chinaman and the crisis of chinese culture. In Renditions : A

Chinese English Translation Magazine, NO. 23 Spring 1985 published by the Chinese

Universityof Hong Kong. North Sydney : Allen & Unwin.

Hodgetts Richard M. & Fred Luthans. (2003). International management: culture Strategy

and behavior. New York: Mc. Graw Hill:.

Liliweri, Alo. (2005). Prasangka & konflik: komunikasi lintas sektor masyarakat multikultur

"prasangka dan konflik: masyarakat multi-budaya, komunikasi antar budaya.

Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara penerbitan.

Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

West, Richard & Lynn H. Turner. (2008). Pengantar teori komunikasi analisis dan aplikasi

(introducing communication theory: analysis and application). Edisi 3, Jakarta: Penerbit

Salemba Humanika.

Zhu, Licai. (1999). Aspect of intercultural communication – proceeding of china‟s 2nd

conference on intercultural communication (Beijing languange and culture university)”.

expressions of social interaction in Chinese and Arabic - A comparative approach edited

by Hu Wenzhong. Beijing: Foreign Language Teaching and Research Press.

胡文仲著《跨文化交际学概论》,北京:北京外语教学与呀牛出版社,2008。

http://zh.scribd.com/doc/32240065/Communicating-Across-Cultures, (Communicating

Across Cultures oleh I Gede Putu Anggara Diva, Bakrie School of Management) diakses 16

Juni 2013.

http://www.027art.com/fanwen/gonguanliyi/438788_2.html

(中国与外国手势含义有哪些不同) diakses 2 Juni 2013.

49|

http://www.cnblogs.com/mymma/archive/2013/02/11/2910125.html (指尖上的数学) diakses

2 Juni 2013.

50|

ANALISIS KESANTUNAN BAHASA DALAM ACARA

EXTRAVAGANZA

Reka Yuda Mahardika

STKIP Siliwangi

Email:[email protected]

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis pelanggaran terhadap maksim kesantunan yang dilakukan

oleh para pelawak dalam acara Extravaganza yang ditayangkan di Trans TV. Pisau analisis yang

digunakan adalah teori kesantunan yang dikemukakan oleh Geoffrey Leech. Kajian ini beroleh

kesimpulan bahwa frekuensi pelanggaran terhadap maksim kesantunan sering dan efektif digunakan

untuk memunculkan efek tawa.

Abstract

This study is aimed at analyzing the violation done by comedians towards the politeness maxim on

Extravaganza event broadcasted by Trans TV. The study employs politeness maxim theory put

forward by Geoffrey Leech. The result of this study reveals that the frequency of violations towards

politeness maxim is often and effectively used to bring out the effects of laughter

PENDAHULUAN

Mulutmu Harimaumu!

Peribahasa tersebut sudah tidak asing lagi didengar. Hampir semua penutur bahasa

Indonesia mafhum akan makna kebajikan yang tersirat, yaitu berhati-hatilah menggunakan

bahasa, santunlah dalam berbahasa. Salah berbahasa besar resikonya. Permusuhan,

perkelahian antar individu, perkelahian antar kampung, bahkan tindakan kriminal diluar nalar

manusia dapat terjadi karenanya.

Oleh karena menjadi begitu penting, kesantunan bahasa sering dikaji oleh para

bahasawan dunia. Akibat dari kajian tersebut, muncul teori-teori ihwal kesantunan bahasa.

Rambu-rambu kesantunan bahasa pun mulai banyak dijadikan pijakan penelitian dan

disosialisasikan dengan harapan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar

komunikasi berjalan lancar dan menenangkan.

Misalnya, kaitannya dengan kalimat perintah (imperatif) yang bertendensi tidak santun,

bahasawan memberikan rambu-rambu yang dapat diterapkan langsung dalam percakapan.

Seperti “maaf”, “tolong”, “berkenankah”, “bilakah”, dan lainnya. Kalimat, “Ambilkan buku

itu!” tentu memiliki efek tidak santun dibandingkan dengan, “Tolong ambilkan buku itu!“.

Rambu-rambu lainnya adalah adalah menggunakan tuturan tidak langung (indirect speech

act). Ketika akan memberikan perintah, gunakanlah kalimat berita atau tanya untuk

51|

mendapatkan implikatur yang diharapkan. Misalnya, alih-alih memberi perintah, “Ambilkan

makanan, saya lapar!”, dapat menggunakan, “Din, perutku kok lapar ya?” (Wijana, 1996).

Pandangan lain, diungkapkan dengan melihat kesantunan sebagai sebuah maksim

percakapan dan sebagai upaya penyelamatan muka (face). Muka merupakan manifestasi

penghargaan terhadap seorang individu masyarakat. Masyarakat lazimnya memiliki dua

muka, yaitu muka positif dan negatif. Muka positif merujuk pada keinginan untuk disetujui,

sedangkan muka negatif menunjuk pada keinginan untuk menentukan sendiri. Secara konsep

interpersonal, muka seseorang selalu dalam keadaan terancam, itulah sebabnya dalam hal ini

memerlukan prinsip kesantunan (Rahardi, 2005). Kaitannya dengan hal ini, Yule (1996)

memaparkan sebagai berikut.

“When we attempt to save another‟s face, we can pay attention to their negative face

wants or their positive face wants. A person‟s negative face is the need to be

independent, to have freedom of action, and not to be imposed on by others. ... A

person‟s positive face is the need to be accepted, even liked, by others, to be treated as

a member of the same group, and to know that his or her wants are shared by others.

In simple terms, negative face is the need to be independent and positive face is the

need to be connected.

Selain itu pandangan mengenai kesantunan dipaparkan pula oleh bahasawan seperti Yule

(1996), Brown dan Levinson, dan Leech (1993).

Konsep-konsep kesantunan bahasa yang dipaparkan oleh para bahasawan tentu saja dapat

digunakan dalam setiap bahasa, mengingat bahasa adalah entitas yang bersifat universal.

Namun demikian, patut dipahami bahwa terdapat parameter-parameter kesantunan yang harus

dikaji secara teliti serta batasan-batasan budaya yang membuat kesantunan bahasa lebih

bersifat relatif ketimbang mutlak absolut. Seperti diungkapkan oleh Yule (1996).

“It is possible to treat politness as a fixed concept, as in the idea of „polite social

behavour‟, or etiquette, within a culture. It is also possible to specify a number of

different general principles for being polite in social interaction within a particular

culture. Some of these might include being tactful, generous, modest, and sympathetic

towards other...”

Meski diciptakan untuk diterapkan, dalam beberapa konteks, kesantunan justru sengaja

dilanggar sebagai sebuah strategi untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam tuturan para pemain

Extravaganza yang akan dikaji, misalnya, humor terjadi justru karena kesantunan dilanggar.

Dalam arti, strategi yang mereka lakukan untuk menciptakan humor adalah dengan

menggunakan strategi ketidaksantunan bahasa.

52|

Makalah ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimanakah bentuk

pelanggaran maksim kesantunan Leech dalam acara Extravaganza serta bagaimanakah

ketidaksantunan bahasa dijadikan strategi dalam tuturan para pelawak Extravaganza. Fokus

pengamatan dibatasi pada acara humor Extravaganza dalam episode “Nonton Bareng”.

Adapun analisis dan pembahasan penulis batasi pada pelanggaran Prinsip Kesantunan (PS)

yang dikemukakan Leech (1993).

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode deskriptif, yakni penelitian

yang dilakukan semata-mata berdasarkan fakta yang ada, bersifat potret atau paparan seperti

apa adanya.

Data-data dari yang diteliti didapat melalui teknik rekam lewat media handycam. Alasan

peneliti melakukan teknik rekam karena data lisan sangat sulit didapat melalui teknik catat

langsung.

Setelah melakukan perekaman, data tersebut kemudian ditranskrip. Transkrip dilakukan

dengan mencatat kata demi kata yang mereka tuturkan dalam lembaran khusus analisis. Untuk

memperoleh bayangan tentang situasi tuturan humor, peneliti menuliskan konteks yang terjadi

saat tuturan itu diutarakan.

PRINSIP KESANTUNAN

Kesantunan bahasa sebagai sesuatu yang lazim diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

yang menjadi acuan dalam kajian ini, diambil dari teori yang dikemukakan oleh Leech (1993).

Berikut adalah penjelasannya.

1. Maksim Kebijaksanaan

(Kurangi kerugian orang lain).

[Tambahi keuntungan orang lain]

Dalam maksim kebijaksanaan, prinsip untuk mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri

dan memaksimalkan keuntungan pihak lain adalah suatu keniscayaan yang harus selalu

dijalankan agar tercipta hubungan yang harmonis satu sama lain.

2. Maksim Kedermawanan

(Kurangi keuntungan diri sendiri).

[Tambahi pengorbanan diri sendiri].

53|

Maksim kedermawanan mengharuskan pelaku petuturan untuk selalu senantiasa

mengurangi keuntungan yang akan diperoleh dirinya, supaya orang lain mendapatkan

keuntungan maksimal.

3. Maksim Penghargaan

(Kurangi cacian pada orang lain )

[Tambahi pujian pada orang lain].

Yang menarik dari maksim ini, adalah model implikatur pelanggaran yang

diakibatkannya. Dalam konteks situasi ragam informal khusus (humor), ketika keseriusan

sangat tidak diharapkan, pelanggaran model ini menjadi jurus ampuh untuk menghasilkan

tuturan yang tidak selaras/tidak lazim yang dapat menghasilkan kelucuan. Adapun substansi

isi dari maksim ini adalah diharapkan pelaku petuturan dapat mengurangi kecaman terhadap

orang lain. Kecaman itu sendiri sering kali lazim berupa ejekan, cacian, makian dan

sebagainya.

4. Maksim Kesederhanaan

(Kurangi pujian pada diri sendiri).

[Tambahi cacian pada diri sendiri].

Dalam maksim ini pelaku komunikasi diharuskan untuk selalu meminimalkan pujian dan

memaksimalkan cacian pada dirinya, sehingga ia akan dianggap sebagai orang yang bersifat

ramah, rendah hati, dan tidak sombong. Dalam budaya Indonesia, kesombongan (besar

kepala) adalah prilaku yang harus dihindari, karena dapat berakibat seseorang dijauhi dalam

kehidupan sosialnya.

5. Maksim Pemufakatan

(Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain).

[Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain].

Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan

atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Bila maksim ini ditaati oleh kedua belah pihak,

maka baik penutur maupun petutur akan dianggap sebagai orang yang berprilaku santun.

6. Maksim Simpati

(Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain).

[Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang].

Maksimalkan rasa simpati diri dengan orang lain dan minimalkan rasa antipati antara diri

dengan orang lain, adalah poin utama maksim ini. Diharapkan, dengan rasa simpati yang

begitu besar, seseorang bisa menjauhi rasa sinis dan ikut berempati terhadap perasaan orang

lain.

54|

PEMBAHASAN

Berikut adalah analisis pelanggaran kesantunan berbahasa dalam acara Extravaganza.

Judul Episode: Nonton Bareng.

Konteks Umum: Indra yang berperan sebagai tuan rumah, sedang menunggu kedatangan

dua orang temannya (Tora dan Ronald) untuk nonton bareng acara piala dunia. Dalam episode

itu berperan juga Aming (pembantu) yang kehadirannya selalu membuat tiga orang yang

sedang nonton bareng itu merasa tidak nyaman, Mieke (Pencuri) yang pintar memanfaatkan

situasi dan kondisi, dan Rudi Wowor bintang tamu dalam episode itu, yang berperan sebagai

Pak RT yang lugu dan polos.

1. Pelanggaran Maksim Kebijaksananaan

No. Data : 01

KONTEKS

.Piala dunia sudah dimulai. Seperti

biasa, agar suasana lebih asik dan

menarik, Ronald berpikir pasti selalu

ada cemilan ditengah-tengah suasana.

DATA

Ronald: “Camilannya mana

camilannya?” cemilan favorit gua,

udah disiapin belum?”

Indra: “Emang apaan?”

Ronald: “Kambing guling.”

Indra: “Busyet, emang lu kira

kawinan, woey! kita nonton bola!”

Tuturan ini masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM KEBIJAKSANAAN

karena bertendensi menambahi kerugian orang lain dan mengurangi keuntungan

orang lain.

Ketidaksantunan sebuah tuturan yang berimplikasi humor terlihat ketika Indra berusaha

sekali mengurangi keuntungan orang lain dan menambahi kerugian orang lain dengan tuturan

tidak langsungnya, “Cemilannya mana cemilannya? Cemilan favorit gua, udah disiapin

belum?”. Tuturan yang bertendensi memerintah dan menyusahkan tuan rumah itu bahkan

semakin diperparah dengan dimasukannya tuturan yang masuk ke dalam teori kejutan

(berlebih-lebihan), yang diutarakan Ronald dengan meminta cemilan berupa “kambing

guling”. Bisa dibayangkan, betapa repotnya si tuan rumah itu bila memang dia seorang yang

bijaksana dan dermawan, bila sekadar cemilan saja berupa “kambing guling”, bagaimana

sekiranya dengan makanan pokok? Tuturan hiperbolis dan tidak santun tersebut membuat

penonton di studio tertawa terbahak-bahak.

55|

No. Data : 02

KONTEKS

Konflik horizontal antara Aming dan

tiga orang yang sedang nonton, mulai

terjadi. Maka transaksi komunikasi

yang tidak wajar pun terjadi.

DATA

Aming: “Ya udah, Tuan. Tuan mau

minum apa?”

Indra: “Ga mau minum, udah masuk

kamar sana, tidur tidur tidur...”

Aming: “Dingin...”

Indra: “Heheh, dingin...gua males liat

lu kaya Kuntilanak, sono sono, gua

tonjok juga lu lama-lama lu.”

Tora: “Udah-udah nyalaian lagi.

tevenya „Ndra.”

Tuturan di atas masuk ke dalam MAKSIM KEBIJAKSANAAN karena

bertendensi menambahi kerugian orang lain dan mengurangi keuntungan orang

lain.

Aming dengan bijaksana berusaha memaksimalkan keuntungan lawan tuturnya dengan

tuturan, “Tuan mau minum apa?”. Ia rela dirinya susah dengan harapan tuannya merasa

senang. Tapi dengan dingin dan angkuh Indra justru menggunkan teori tak diharapkan,

membalas dengan tuturan yang merugikan lawan tuturnya. “Ga mau minum, udah masuk

kamar sana, tidur tidur tidur...!”. Aming tidak marah, justru dengan manja Ia berkata dengan

tuturan tidak langsung. “Dingin...!”. Karena merasa jengkel keinginannya tidak juga dipenuhi,

kemudian mengalirlah tuturan dari Indra berisi pelecehan yang sarat dengan pelanggaran

terhadap maksim bijaksana dan penghargaan, seperti, “...sono sono, Gua tonjok juga Lu lama-

lama Lu.” dan, “...lu kaya kuntilanak...”. Strategi ketidaksantunan bahasa di atas sangat lucu

karena mampu membuat penonton tertawa lepas dengan durasi cukup lama.

2. Melanggar Maksim Kedermawanan

Dalam konteks situasi pertuturan sesungguhnya, pelanggaran terhadap maksim

kedermawanan akan membuat si pelaku dicap sebagai orang yang tidak tidak tahu caranya

bagaimana menghormati orang lain, tidak tahu tahu sopan santun, dan selalu iri hati. Namun,

dalam konteks humor dimana ketidakselarasan komunikasi adalah tujuan utama, pelanggaran

terhadap maksim kedermawanan tidak terlalu berpengaruh terhadap citra diri atau face

56|

penutur maupun petutur. Berikut ini tuturan-tuturan dalam Extravaganza yang bisa

diklasifikasikan ke dalam tuturan yang melanggar maksim kedermawan.

No. Data : 03

KONTEKS

Komunikasi perihal uang jasa yang

harus dibayar Rudi kepada Ronald.

DATA

Rudi: “Wey...wey...katanya mau

nolongin saya,

bicarap....bicrap...ngobrol...ppp...”

Ronald : “Iyah, iyah, oke . tapi ga

murah, ada biayanya.”

Rudi : “Biayanya berapa?”

ANALISIS

Tuturan di atas masuk ke dalamMAKSIM KEDERMAWANAN karena

bertendensi menambahi keuntungan diri sendiri dan mengurangi pengorbanan

diri sendiri

Tuturan yang secara tersirat berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri bisa dilihat

dari tuturan yang dikemukakan Ronald, “Iyah, iyah, oke. Tapi ga murah ada biayanya”.

Tuturan ini diklasifikasikan ke dalam tuturan yang melanggar maksim kedermawanan, karena

Ronald yang sebelumnya berniat menolong Sheriff melepaskan anaknya yang diculik, malah

mengajukan biaya yang menurutnya bisa dibilang tidak murah, “...tapi ga murah, ada

biayanya”.

3. Melanggar Maksim Penghargaan

Ketika penghinaan dan pelecehan dituturkan, maka tuturannya masuk dalam tuturan yang

melanggar maksim penghargaan. Dikatakan demikian, karena maksim penghargaan menuntut

peserta pertuturan untuk selalu mengurangi cacian pada orang lain dan menambahi pujian

pada orang lain. Seperti tuturan-tuturan di bawah:

No. Data : 04

KONTEKS

Ronald, Tora, dan Indra yang sedang

berdebat sambil nonton bareng

dikejutkan oleh suara TV yang

menegurnya.

DATA

Teve: “Ehm, yang nonton teve harap jangan

ribut, terutama itu yang keriting ya!”

Indra: “He...he...mampus lu!”

Ronald: “Aku?”

Teve: “Iya kamu, kamu kalau mau ngobrol

57|

diluar aja!”

Indra: “Mampus lu, makanya jangan banyak

bacot!”

Teve: “Eh, kamu juga jangan ketawain temen

kamu ituh, gua kepret juga Lu!”

Ronald: “Waha..haa.ha.ha...wuuu...kepret aja

pak!”

Indra : “Eh, kalo bukan teve gua bantet lu!”

ANALISIS

Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM PENGHARGAAN karena

bertendensi menambahi cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang lain.

Dialog segitiga yang terjadi antara TV, Ronald, dan Indra itu bisa dikatakan sangat

menarik. Pertama terjadi sesuatu yang tidak biasa, yaitu ketika reporter bola TV yang biasa

melakukan monolog kali ini malah terlibat dialog. Dialog pertama adalah pelanggaran

terhadap maksim penghargaan yang dilakukan TV terhadap Ronald. TV menyebut Ronald

“keriting”, yang secara jelas bermaksud melecehkan atau memaksimalkan cacian kepada fisik

Ronald. Mendengar kawannya dihina TV, Indra malah memperparah cacian dengan berujar,

“...mampus Lu!”. Kata mampus bisa dikatakan sebagai bentuk kata yang sangat kasar dan

tidak sopan, karena bermakna konotasi negatif, yang biasanya kata itu ditujukan kepada

penjahat atau hewan. Pelanggaran terhadap maksim penghargaan terus-menerus terjadi dari

dialog ini. Terbukti dari banyaknya kata yang masuk ke dalam kata yang bernada

cacian/makian yang sangat kasar, seperti bacot, jepret, bantet. Kata-kata itu sangat dilarang

dikatakan pada saat situasi formal, karena bertendensi menimbulkan percikan-percikan

pertikaian. Namun, dalam konteks humor tuturan semacam itu bisa jadi sebagai strategi

mereka untuk melucu. Tuturan di atas mampu membuat penonton tertawa lepas terbahak-

bahak dengan durasi cukup lama.

No. Data : 05

KONTEKS

Tuturan komentator di TV yang selalu

tidak jelas, nampaknya membuat

bingung dan marah pemirsanya.

DATA

Teve: “Sebastian mengarahkan umpannya

kepada Ballack. Tendangan penjuru diarahkan,

melambung diterima oleh Ballack dia

mengarahkan bola kekanan, kekiri, kekanan,

58|

kekiri, kekanan, kiri, kanan, kiri, kiri, kanan kiri,

kiri, kanan, kiri kanan kiri.”

Tora: ”Woey ini sepakbola apa gerak jalan?”

Indra: “Iya goblok, yang jelas dong!”

ANALISIS

Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM PENGHARGAAN karena

bertendensi menambahi cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang lain.

Kata “goblok” sebagai kata cacian dalam konteks sehari-hari, yang bisa mengakibatkan

seseorang terlukai hatinya bila kata itu dialamatkan kepadanya, bisa jadi merupakan kata

“biasa” atau menurun kadar caciannya bila kata itu terjadi dalam konteks humor. Terbukti,

dengan banyak ditemukannya kata jenis ini dalam tiap jenis tuturan cacian. Salah satunya

adalah tuturan yang dikemukakan Indra di atas. Karena merasa kesal dipermainkan oleh

tuturan reporter bola dengan kalimatnya yang tidak masuk akal, kata pemakismalan cacian

itu langsung saja menyeruak keluar dari mulut Indra, “Iya goblok, yang jelas dong!”.

No. Data : 06

KONTEKS

Aming yang berperan sebagai

pembantu haus laki-laki, terkejut

senang setelah melihat banyak laki-laki

tampan disekeliling tuannya.

DATA

Aming: ”Tuan, tuan, kok ga bilang-bilang sih

ada cowo disini. Ini lucu lagi.”

Tora: “Apa Nyuk? pergi pergi, pergi sana, perg

sana!”

ANALISIS

Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM PENGHARGAAN karena

bertendensi menambahi cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang lain.

Aming sebenarnya telah berlaku santun dengan memaksimalkan pujian terhadap lawan

tuturnya. ia menyebut lawan tuturnya sebagai cowok lucu, terbukti dari tuturan, ”...ini lucu

lagi,”. Tetapi, tuturan santun yang dikemukakan Aming pada Tora malah dibalas sebaliknya.

Dengan angkuh dan takut-takut karena melihat penampilan fisik Aming, Tora membalas

tuturan Aming dengan tuturan langsung cacian memerintahkan Aming supaya pergi, “Apa

Nyuk? pergi, pergi...” seperti kita tahu, kata “nyuk” itu dalam bahasa sunda padan dengan

kata “kunyuk” atau dalam bahasa Indonesia berarti “sejenis monyet”. Sebuah tuturan yang

menganalogikan manusia dengan hewan adalah mutlak sebagai tuturan yang tidak santun.

59|

4. Melanggar Maksim Kesederhanaan

Pelanggaran terhadap maksim kesederhanaan secara terus-menerus akan membentuk

stigma kepada si pelaku sebagai orang yang sombong, bersikap anti sosial, dan bahkan yang

terburuk penutur seperti itu akan dijauhi lawan tuturnya. karena bagaimanapun bertransaksi

komunikasi dengan orang yang selalu melanggar maksim kesederhanaan akan sangat tidak

nyaman.

No. Data : 07

Konteks

Perdebatan sengit mengenai

karakteristik mental para penonton bola

di Indonesia terjadi antara Ronald

dengan Tora.

DATA

Ronald: ”Orang Indonesia tuh kalo liat

pertandingan internasional bisanya ngomentarin,

kalo disuruh main kaga bisa lu! pemaen

kampung sok jago!”

Tora: “Eh, dia kaga tau gini-gini dulu gua

pemimpin kesebelasan lu.”

Ronald: “Pemimpin, Kapten!”

ANALISIS

Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN PS dengan MAKSIM

KESEDERHANAAN karena bertendensi menambahi pujian pada diri sendiri dan

mengurangi cacian pada diri sendiri.

“Eh, Dia kaga tau gini-gini dulu gua Pemimpin kesebelasan lu,” adalah tuturan yang

dikemukakan Tora menjawab hinaan dan pelecehan yang dikemukakan Ronald, ” ...pemaen

kampung sok jago!”. Tuturan Tora di atas bisa dimasukkan ke dalam tuturan yang melanggar

maksim kesederhanaan karena tuturan itu secara tersirat bermaksud untuk memaksimalkan

pujian terhadap dirinya sendiri, bahwa hinaan yang dikemukakan Ronald itu salah alamat

karena Tora waktu jaman dulu sempat menjadi pemimpin/kapten kesebelasan, suatu posisi

dalam sebuah tim sepakbola yang sangat prestisius atau tidak mudah didapat oleh sembarang

orang. Tuturan di atas dikategorikan lucu, karena membuat penonton tertawa.

5. Pelanggaran Maksim Mufakat

Dalam konteks umum atau konvensional pelaku pelanggaran terhadap maksim ini akan

mendapat cap sebagai seorang yang tidak santun dan tidak berwawasan luas. Yang terburuk,

lawan tutur akan merasa enggan untuk berkomunikasi lagi dengannya.

60|

No. Data : 08

KONTEKS.

Transaksi komunikasi antara Aming

yang bersikeras melayani dan Indra

yang teguh pendirian tidak ingin

dilayani, berlangsung sengit.

DATA

Aming: “Tuan, ada yang bisa Inem Bantu?”

Indra: “Keliatannya sih, ga ada.”

Aming: “Ga apa-apa ga usah sungkan, kebetulan

Inem tuh sedang ngangur.”

Aming: “Gimana Tuan katanya mau dipijit? apa

tuan mau di creambath, di creambath Tuan! di

kasih cream terus di embat. Gimana tuan?”

Indra: “Gua mau, tapi engga mau sama lu. Pergi

lu!”

Aming: “Aduh tuan, rasanyamah sama tuan,

ah.”

Indra: “Rasanya sama gimana? pergi sono!”

ANALISIS

Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM MUFAKAT karena

bertendensi menambahi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan

mengurangi persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.

Pelanggaran terhadap maksim pemufakatan dari dialog di atas, kali pertama terlihat dari

respon dingin yang dikemukakan oleh Indra, “Keliatannya sih, ga ada,” atas pertanyaan yang

dikemukakan Aming, “Tuan ada yang bisa dibantu?” Dalam tuturan itu nyata terlihat bahwa

Indra berusaha memaksimalkan ketidaksesuaian dirinya dengan Aming. Pemaksimalan atas

ketidaksesuaian itu semakin dipertegas lagi dengan tuturan-tuturan Indra berikutnya atas

tawaran pelayanan yang dikemukakan Aming seperti, “Gimana Tuan katanya mau dipijit?

apa Tuan mau di creambath? Di creambath Tuan! Di kasih cream terus di embat. Gimana

tuan?” Indra kemudian menjawab, “Gua mau, tapi engga mau sama lu...”. Tuturan balasan

dari Indra tersebut bermaksud memaksimalkan ketidaksesuaian dengan Aming.

No. Data : 09

KONTEKS

Tora mengajak teman-temannya untuk

bertaruh kesebelasan manakah yang

akan menang. Namun serta-merta

DATA

Tora: “Woey wey ayo mulai, ayo mulai.

Tarohan taruhan. Gua Jerman gua Jerman. Kartu

kartu.”

61|

diinterupsi oleh Indra. Interupsi Indra

kemudian diinterupsi lagi oleh Ronald.

Indra: “E, eh, lu berdua apaan? Judi!”

Ronald: “Cuman dikit aja, gimana nih.”

Tora: “E liat tuh, udah tendangan penjuru tuh,

tendangan corner tuh corner.”

ANALISIS

Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MUFAKAT karena bertendensi

menambahi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan mengurangi

persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.

Tora mengajak taruhan kepada teman-temannya. “Taruhan taruhan. Gua Jerman gua

Jerman.” Mendengar Tora mengajak taruhan, Indra merasa tidak setuju, ia kemudian

mengingatkan dengan tuturan tidak langsung bahwa itu semua adalah judi, dan secara tersirat

Indra mengingatkan bahwa judi adalah perbuatan terlarang. Dengan mengikuti gaya Roma

Irama menyanyi, dengan kocak Indra berujar.” E, eh, lu berdua apaan? Judi...!” dan

tertawalah penonton mendengar tuturannya itu. Mendengar Indra tidak setuju taruhan, Ronald

langsung memotong dan menuturkan tuturan tidak langsung yang secara tersirat bahwa judi

sedikit atau kecil-kecilan tidaklah mengapa atau dilarang, “Cuman dikit aja, gimana nih”. Dari

tuturan-tuturan itu kita bisa menarik simpulan bahwa semua tuturan yang berhasil

diidentifikasi masuk ke dalam klasifikasi yang melanggar terhadap maksim pemufakatan

(memaksimalkan ketidaksesuaian antara diri dengan lain).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis pada terhadap acara humor Extravaganza produksi Trans TV

dapat diambil simpulan sebagai berikut:

1) Sebagian besar tuturan para pelawak Extravaganza melanggar maksim kesantunan,

terutama maksim kebijaksanaan dan penghargaan. Fakta dari hasil identifikasi tersebut

menunjukan bahwa Extravaganza dilihat dari strategi lawakan banyak mengandalkan

ketidaksantunan bahasa, sarat dengan cacian dan makian. Fakta ini semakin menguatkan

dugaan bahwa bila prinsip kesantunan dalam konteks lazim dipatuhi akan bisa

memelihara muka/face penutur dan petutur, namun bila disepakati dengan cara dilanggar

secara disengaja dan atau dalam kapasitas disertai dengan intensitas yang tinggi maka

humorlah yang terjadi.

2) Dari observasi terhadap suara tawa penonton di studio dan pengalaman empiris pribadi

penulis, dapat disimpulkan semakin tidak santun tuturan akan menghasilkan kadar

62|

kelucuan semakin lucu, semakin pedas hinaan dan cacian pula berdampak terhadap makin

lucunya tuturan tersebut. Semakin santun berdampak pula terhadap makin tidak lucunya

tuturan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Penelope dan Stephen C. Levinson. Politeness: Some Universals in Language Use.

Cambridge: Cambridge University Press.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:

Erlangga.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Wijana, Dewa Putu. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Yule, George. 1996. Pragmatics. New York: Oxford University Press.

63|

MEMBURU “CINTA” DENGAN MANTRA:

ANALISIS PUISI MANTRA ORANG JAWA KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

DAN MANTRA LISAN

Heri Isnaini

STKIP Siliwangi Bandung

Pos-el: [email protected]

Abstrak

Cara penyebaran mantra tidak sama dengan cara penyebaran teks-teks lisan yang lain seperti dongeng

atau legenda. Pewarisan teks mantra berkaitan dengan laku mistik tertentu. Dengan kata lain, mantra

tidak dapat dipisahkan dengan unsur mistik yang melekat padanya. Sedangkan puisi adalah karya

sastra imajinatif yang bersifat konotatif karena banyak menggunakan makna kias dan makna lambang

atau dengan kata lain bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan

perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan sruktur

batinnya. Kemiripan antara kedua teks tersebut (puisi dan mantra) menimbulkan kesan bahwa

keduanya memiliki fungsi dan manfaat yang sama. Walaupun pada kenyataannya antara teks puisi dan

mantra sangatlah berbeda. Perbedaan yang paling mendasar adalah pada tradisi penyebarannya.

Mantra hidup dalam tradisi lisan, sedangkan puisi berkembang dalam tradisi tulisan. Kedua teks

tersebut akan disandingkan dan dibandingkan dalam keterkaitannya satu dengan yang lain.

Pembahasan kedua teks akan merujuk pada struktur teks, proses penciptaan, konteks penuturan, dan

fungsinya.

Kata kunci: puisi, mantra, struktur, konteks penuturan, fungsi

Abstract

How to spell deployment is not the same as how the spread of oral texts such as fairy tales or legends.

Inheritance spell text relating to certain “laku mistik”. In other words, the spell can not be separated

with mystical elements attached to it. While poetry is imaginative literature that is connotative

meanings for many uses allegory and symbolism, or in other words that poetry is a form of literature

that reveals the thoughts and feelings of the poet are imaginative and prepared with the concentration

of the physical structure and inner sructure. The similarities between the two texts (poems and

mantra) gave the impression that both have the same functions and benefits. Despite the fact that the

text of the poem and the mantra is very different. The most fundamental difference is in the tradition

spread. Mantra live in the oral tradition, while developing in the tradition of writing poetry. Both of

these texts will be juxtaposed and compared in relation to one another. The second discussion of the

text will refer to the structure of the text, the process of creation, the narrative context, and function.

Keywords : poetry, mantra, structure, narrative context, function

64|

PENDAHULUAN

Tulisan ini akan dibuka dengan dua buah teks berikut:

:

rasaku lebih tinggi

dari rasamu

ruhku lebih tinggi

dari ruhmu

kamaku lebih unggul

dari kamamu

(Damono, 2009a, hlm. 17)

Cep sida edan ora edan

Sida gendeng ora gendeng

Sida bunyeng ora mari-mari

Yen ora ingsun sing nambani

(Isnaini, 2007, hlm. 149)

Teks di atas menunjukkan larik-larik puisi pada teks puisi “Mantra Pengasihan 1” dan teks pada

mantra asihan Jaran Goyang. Puisi “Mantra Pengasihan 1” merupakan salah satu puisi pada buku

kumpulan puisi Mantra Orang Jawa karya Sapardi Djoko Damono, Larik-lariknya menggambarkan

teks unik yang mempunyai kemiripan dengan teks mantra dalam tradisi lisan. Kemiripan antara kedua

teks tersebut (puisi dan mantra) menimbulkan kesan bahwa keduanya memiliki fungsi dan manfaat

yang sama. Walaupun pada kenyataannya antara teks puisi dan mantra sangatlah berbeda. Perbedaan

yang paling mendasar adalah pada tradisi penyebarannya. Mantra hidup dalam tradisi lisan, sedangkan

puisi berkembang dalam tradisi tulisan.

Mantra merupakan salah satu jenis puisi lama yang disebarkan secara turun-temurun dari

generasi ke generasi. Cara penyebaran mantra tidak sama dengan cara penyebaran teks-teks lisan yang

lain seperti dongeng atau legenda. Pewarisan teks mantra berkaitan dengan laku mistik tertentu.

Dengan kata lain, mantra tidak dapat dipisahkan dengan unsur mistik yang melekat padanya. Waluyo

menyatakan (1987, hlm. 31) bahwa mantra selalu berhubungan dengan sikap spiritual manusia untuk

memohon sesuatu dari Tuhan/kekuatan gaib. Untuk mencapainya diperlukan kata-kata pilihan yang

berkekuatan gaib, yang oleh penciptanya dipandang mempermudah kontak dengan tuhan/kekuatan

gaib, dengan demikian apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh

tuhan/kekuatan gaib tersebut.

Sedangkan puisi adalah karya sastra imajinatif yang bersifat konotatif karena banyak

menggunakan makna kias dan makna lambang atau dengan kata lain bahwa puisi adalah bentuk karya

sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan

pengkonsentrasian struktur fisik dan sruktur batinnya (Waluyo, 1987, hlm. 25). Perbedaan lain antara

puisi dan mantra seperti yang dijelaskan oleh Junus (1983, hlm. 134) bahwa puisi dibentuk dari unsur

bahasa berupa kata (yang mempunyai arti) berdasarkan proses sintagmatik. Setiap kata adalah signifier

yang mempunyai referent dan signified. Sebuah puisi adalah “penjumlahan” referent dan signified dari

kata-katanya yang tentu saja dipengauhi oleh proses sintagmatik. Mantra sebaliknya adalah

keseluruhan yang utuh yang dirinya sendiri mempunyai signified. Tentu saja dalam hubungan ini

sengaja diabaikan signified suatu bentuk puisi yang dilihat dalam hubungan dengan puisi yang

65|

mendahuluinya. Dengan kata lain, teks mantra merupakan teks dengan kesatuan pengucapan bukan

kesatuan kalimat dan ada kecenderungan esoteris dalam kata-katanya, sedangkan puisi sebaliknya.

Pada buku Mantra Orang Jawa terdapat 64 teks puisi yang menyerupai teks mantra.

Walaupun pada penjelasan di atas terdapat perbedaan antara teks puisi dan mantra, tetapi pada buku

Mantra Orang Jawa penyair selalu menuliskan kata mantra atau kata yang bersinonim dengan kata

mantra seperti aji pada teks-teks puisinya. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk penelitian ini

karena teks puisi yang ditulis merupakan transformasi dari teks mantra yang dianggap `sakral` oleh

masyarakat yang memiliki tradisi mantra. …(mantra) dalam buku ini, saya telah menjadikannya puisi

dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu…”

(Damono, 2009, hlm. 1).

Rusyana, (1970, hlm. 11) mengklasifikasi mantra berdasarkan fungsi dan manfaat yang

tersirat di dalamnya. Menurutnya, mantra dapat dibagi ke dalam beberapa bagian: Asihan digunakan

untuk menguasai sukma (jiwa) orang lain; Jangjawokan dibaca (diamalkan) sebelum atau sesudah

melakukan sebuah pekerjaan tertentu; Ajian berfungsi untuk mendapatkan kekuatan pribadi; Singlar

digunakan untuk mengusir roh halus (setan); Rajah berguna untuk menolak bala, meruat, penangkal

mimpi buruk, dan sebagainya; dan Jampe untuk menyembuhkan penyakit. Di kalangan masyarakat

Jawa menurut Wardhana, (2003, hlm. 2-3) wujud mantra itu pada umumnya dikenali sebagai berikut:

1) mantra dalam wujud kata-kata atau puisi lisan dan yang hanya dihafal dalam batin disebut: Japa-

Mantra; Aji-Aji; Rapal; 2) mantra dalam wujud tulisan, misalnya yang tertulis pada kain; kertas; kulit;

kuku; dan lain sebagainya disebut: Rajah; 3)mantra yang kekuatannya ditanam pada suatu benda

disebut: Jimat; Aji-Aji. Misalnya pada batu akik; keris, tongkat, dan lain-lainnya.

Merujuk pada pengklasifikasian teks mantra dari Yus Rusyana maka ke- 64 teks puisi pada

buku Mantra Orang Jawa dapat dibagi menjadi 6 kategori berdasarkan fungsi dan manfaatnya. Teks

puisi yang berupa asihan adalah: (Mantra Agar Dikasihi,Masuk ke Jiwa Orang Lain, Mantra

Pengasihan 1, Mantra Pengasihan 2, Mantra Pengasihan 3, Mantra Pengasihan 4, Mantra Agar

Dicintai Selama-lamanya, Mantra Agar Mudah Menari Rizki dan Dicintai Orang, dan Mantra

Memerintah Orang). Teks puisi yang berupa Jangawokan adalah: (Mantra Sebelum Bersenggama 1,

Mantra Sebelum Bersenggama 2, Mantra Bersenggama, Mantra Duduk, Mantra Mandi 1, Mantra

Mandi 2, Mantra Mandi 3, Mantra Mandi 4, Mantra Mandi Tanggal 1 Hijriah, Mantra Mandi Malam

Jumat, Mantra Keselamatan Diri, Mantra Menjelang Tidur, Mantra Sebelum Bepergian, Mantra

Menyapih Anak, Mantra Mendirikan Rumah, Mantra Memperbaiki Rumah, dan Mantra Waktu

Makan). Teks puisi yang berupa ajian adalah: (Meredakan Api, Gosok Rasa, Aji Limunan, Mantra

Menguasai Orang, Keteguhan, Menghindari Peluru, Menggenggam Kilat, Bayang-bayang, Ngelmu,

Kekuatan, Mantra Agar Keinginan Kesampaian, Mantra Agar Pencarian Lancar 1, Mantra Agar

Mata Pencarian Lancar 2, Mantra Minta Bantuan Malaikat, Mantra Menamah Kekuatan, Mantra

Mendatangkan Kekayaan, Aji Jayabrana, Mantra Bangau Tong-tong, dan Mantra AgarUnggul

Bicara. Teks puisi yang berupa rajah adalah: (Mantra Pengusir Topan, Kidung, dan Mantra

66|

Kesempurnaan Diri). Teks puisi yang berupa Jampe adalah: (Mantra Sakit Sekujur Tubuh, Mantra

Sakit Encok, Mantra Sakit Bengkak, Mantra Menyembuhkan Sakit, dan Mantra Agar Dikaruniai

Anak). Sedangkan teks puisi yang berupa singlar adalah: (Bismillah, Ashhaduallahillahaillallah, Asal-

usul Manusia, Mantra Hari Lahir, Racun Kiblat Empat, Kidung Air, Mantra Sore Hari, Makna, Air,

Mantra Menghadap Gusti, dan Mantra Wewe Putih).

Dari beberapa pembagian mantra tersebut, teks yang akan diteliti adalah teks mantra asihan.

Hal ini dikarenakan hanya mantra asihan yang bersifat "menguasai" sukma (jiwa) orang lain untuk

meraih "cinta" dari seseorang yang diharapkan. Sehingga teks ini menjadi "primadona" sebagai teks

mantra yang banyak diamalkan. Dengan kata lain, mantra asihan adalah teks yang berisi permintaan

(doa) kepada tuhan atau kekuatan gaib dengan tujuan menguasai jiwa orang lain supaya menjadi

terpengaruh (menjadi cinta, sayang, rindu, dan lain-lain).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Larik-larik puisi “Mantra Pengasihan 1” merupakan contoh teks mantra asihan yang digunakan

(diamalkan) untuk menarik "hati" dan "cinta" lawan jenis (Rusyana, 1970, hlm. 11). Hal ini menjadi

sesuatu yang menarik untuk diteliti karena teks puisi yang ditulis merupakan transformasi dari teks

mantra yang dianggap `sakral` oleh masyarakat yang memiliki tradisi mantra. …(mantra) dalam buku

ini, saya telah menjadikannya puisi dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu dikait-kaitkan

dengan maksud penciptaannya dulu…” (Damono, 2009, hlm. 1).

Penjelasan tersebut mengantarkan kita pada sebuah anggapan bahwa mantra adalah teks yang

memiliki aspek magis tertentu meskipun teks itu sudah bertransformasi menjadi teks yang sama sekali

berbeda. Aspek magis itulah yang menjadikan mantra menarik untuk diteliti. Yaitu, mantra sebagai

sebuah teks puisi yang sangat eksotik, dahsyat, dan spiritual. Kita bisa mengenal bentuk-bentuk

pengucapan pada teks mantra dalam hubungannya dengan kekuatan alam. Selain itu, kita bisa melihat

pola sinkretisme budaya, yang tampak pada penggunaan istilah-istilah Allah, Muhammad, Bismillah,

Jibril, Shang Hyang Agung, Shang Hyang Widhi, atau kekuatan gaib lain yang banyak tersebar di

hampir semua teks mantra. Begitupun dengan teks mantra asihan yang ditulis oleh Damono “Mantra

Pengasihan 1”.

wahai si Capung Kencana

aku perintahkan kau

masuk ke gua garba Nuraini

(Damono, 2009a, hlm. 17)

Penggunaan kata “si Capung Kencana” adalah penyebutan untuk sesuatu kekuatan “gaib” yang

dipercaya dapat membantu terkabulnya keinginan yang tersirat di dalam maksud mantra tersebut.

67|

Yaitu meraih “cinta” seseorang. Penggunaan kata yang ditujukan untuk kekuatan “gaib” tersebut juga

terdapat pada teks mantra pada tradisi lisan.

Niat ingsun matek ajiku sang Setan Kober

Gelem kang sira kongkon

Ora gelem kang sira kongkon

Lebonana gua garbane si…binti…

(Isnaini, 2007, hlm. 63)

Pada mantra dalam tradisi lisan, penggunaan kata untuk menyebutkan sesuatu yang dianggap

“gaib” adalah hal yang sangat mutlak diperlukan. Hal ini disebabkan karena mantra adalah sebuah

komunikasi yang ditujukan untuk sesuatu yang dianggap dapat membantu terkabulnya permohonan si

pangucap mantra. Selain penyebutan tersebut, kita dapat melihat adanya “kesamaan” antara teks puisi

“Mantra Pengasihan 1” dengan teks mantra asihan Setan Kober. Penyebutan “Capung Kencana” vs

“Setan Kober” adalah penyebutan yang ditujukan untuk kekuatan “gaib” sebagai media komunikasi.

Komunikasi yang dilakukan oleh si pangucap mantra kepada sesuatu hal yang “gaib” adalah

komunikasi satu arah dengan tujuan supaya makhluk gaib itu mengabulkan permohonan si pengucap

mantra. Makhluk gaib tadi berubah dari sesuatu yang berkuasa menjadi sesuatu yang melayani

manusia (si pangucap mantra). Dengan begitu mantra diharapkan menjadi efektif dan mempunyai efek

dan akibat seperti yang diinginkan s pengucap mantra. Menurut Junus (1983, hlm. 133) untuk menjadi

efektif mantra setidaknya harus mempunyai unsur-unsur berikut:

1. Mantra harus terdiri dari rayuan dan perintah. Sesudah dirayu yang gaib itu diperintah untuk

melayani.

2. Mantra dibentuk secara puitis dengan tidak menggunakan kesatuan kalimat, tetapi suatu

expression unit (kesatuan pengucapan).

3. Yang dipentingkan dalam mantra adalah “keindahan bunyi” sehingga yang penting di dalamnya

adalah unsur bahasa yang kongkret, bunyi.

Lalu, apakah yang dituliskan oleh Damono adalah mantra asihan? Ataukah sebuah puisi yang

“imajinatif” dengan judul “Mantra Pengasihan”? Dalam bukunya, Damono mengatakan bahwa yang

ditulisnya adalah mantra yang berasal dari berbagai sumber, lisan dan tulis, yang umur dan asal-

usulnya tidak mungkin lagi ditelusuri (Damono, 2009a, hlm. 1). Dengan kata lain, teks yang ditulis

oleh Damono adalah mantra tapi dalam bentuk yang lain, yang sama sekali berbeda dengan teks

aslinya. Kalau saya boleh meminjam istilah Damono sendiri (2009b, hlm. 114) apa yang dilakukannya

adalah “alih wahana” atau mengubah dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain. Pengubahan

tersebut jelas sangat terlihat, misalnya dalam penggunaan media.

Mantra yang hidup dalam media tradisi lisan diubah menjadi media tertulis, dan pengubahan

mantra yang awalnya milik kolektif atau komunal menjadi mantra milik individu. Mantra yang semula

68|

adalah ekspresi kesusasteraan suatu kebudayaan yang disebarkan dan dirun-temurunkan secara lisan

dari mulut ke mulut (oral tradition) (Hutomo, 1991, hlm. 1) diubah menjadi ekspresi individu yang

disebarkan secara tertulis dan dalam bentuk cetakan (buku). Pengubahan-pengubahan tersebut jelas

akan menimbulkan “pengaruh” terutama dalam hal “kesakralan” mantra itu sendiri. Tapi seperti yang

dikatakan Damono “…saya telah menjadikannya puisi dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu

dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu. Namun, siapa tahu masih ada kekuatan

tersembunyi yang masih tersisa dalam puisi ini. Kalau memang demikian halnya, kita manfaatkan

sajalah…”(2009a, hlm. 1). Agaknya Damono sendiri masih “mempercayai” kekuatan pada teks mantra

yang ditulisnya. Memang, teks mantra adalah sebuah teks yang sudah ada sejak lama dalam

kebudayaan nenek moyang kita sehingga pengaruh “kekuatannya” tidak akan mudah diubah hanya

dengan transformasi pada teksnya. Karena menurut saya, “kekuatan” mantra justru ada pada

keyakinan masyarakat kita yang sudah memfosil selama bertahun-tahun dan dari generasi ke generasi.

Kekuatan mantra tersebut akan semakin diyakini oleh si pangucap ketika proses pengamalannya

disertai dengan laku mistik tertentu. Sehingga mantra yag diamalkan diharapkan dapat mempunyai

efek dan manfaat. Seperti efek “menarik lawan jenis” dan meraih “cinta” seseorang.

Mantra Pengasihan 3

ajiku sang leher, menolehlah

tolehlah hambaku

kusatukan ujung bulu mataku

kusatukan ujung alisku

kusatukan ujung rambutku

ruh dari ruhku

nyawa dari nyawaku

sukma dari sukmaku

tubuh dari tubuhku

blug! Mati, belum mati

jadi gila

belum gila tapi sempoyongan

:

takkan sembuh jabang bayi si Nuraini

kalau bukan aku yang mengobati

penuh belas penuh kasih

jabang bayi si Nuraini

menatapku

tajam menatapku

Asihan Si Naga Rante

Asihan aing si naga rante

nya tali paranti ranti

tunggal tali jadi-jadi

rek kentel hayang jadi hiji jeung si…

cunduk tiruk tali angkruk

burung badan burung leumpang balik deui

rusras ka badan aing

nangkarak mayang murag

muyukpuk kawas kapuk kaibunan

mangka welas mangka asih ka badan aing

(Rusyana, 1970, hlm. 36)

Asihan Jaran Goyang

Sun matek ajiku si Jaran Goyang

Tak goyang ing tengah latar

Upet-upetku lawe benang

Pet sabetaken gunung gugur

Pet sabetaken lemah bengkah

Pet sabetaken segara asat

69|

(Damono, 2009a, hlm. 20)

Pet sabetaken ombak gede sirep

Pet sabetaken atine si… binti…

Cep sida edan ora edan

Sida gendeng ora gendeng

Sida bunyeng ora mari-mari

Yen ora ingsun sing nambani

(Isnaini, 2007, hlm. 148-149)

Ketiga teks tersebut adalah teks mantra asihan. Pertama, adalah teks puisi “Mantra Pengasihan 3”

karya Sapardi Djoko Damono, sedangkan kedua dan ketiga adalah teks transkripsi dari teks mantra

dalam tradisi lisan “Asihan Si Naga Rante” transkripsi dari mantra asihan pada masyarakat Sunda dan

“Asihan Jaran goyang” transkripsi dari mantra pada masyarakat Pantura, Jawa Barat. Ketiganya

memiliki keunikan terutama dalam penggunaan bahasa. Perbedaan tersebut tidak dapat “mengingkari”

kesamaan dari ketiganya, yaitu sama-sama mempunyai maksud yang membuat orang lain “jatuh

cinta‟. Selain itu kita dapat melihat kecenderungan yang “sama” pada ketiga teks tersebut.

Selanjutnya, akan saya jelaskan sebagai berikut.

Pertama, terdapat unsur “gaib”. Unsur-unsur gaib tesebut biasanya terdapat pada judul atau pada

larik pertama. Contoh. “ajiku sang leher, menolehlah”; “Asihan aing si naga rante”; “Sun matek ajiku

si Jaran Goyang”. Unsur-unsur gaib ini memperlihatkan sesuatu yang dianggap “sakral” sehingga

mantra dipercaya mampu memberikan kekuatan yang dapat membantu si penguca mantra..

Kedua, adanya bagian rayuan dan bgian teks yang berisi perintah. Seperi penjelasan Junus (1983,

hlm. 133) bahwa perbedaan teks puisi dan mantra adalah ada tidakya bagian yang menyatakan rayuan

dan perintah tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa mantra adalah media komunikasi yang

dilakukan oleh si pengucap mantra kepada kekuatan “gaib” dengan tujuan memperoleh sesuatu yang

yang diharapkan. Komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi satu arah, kekuatan “gaib” akan

“menuruti” sesuatu yang diucapkan si pengucap mantra karena sudah diiming-imingi dengan

“rayuan”, bentuk “rayuan” dalam mantra lisan bisanya berupa laku mistik tertentu. Namun, kita juga

dapat melihat bentuk “rayuan” dalam teksnya. Perhatikan:

ajiku sang leher, menolehlah

tolehlah hambaku

kusatukan ujung bulu mataku

kusatukan ujung alisku

kusatukan ujung rambutku

(Damono, 2009a, hlm. 20)

Pada larik-larik tersebut, kita dapat melihat sebuah “rayuan” pada makhluk „gaib‟ tertentu.

“Rayuan” tersebut biasanya selalu diikuti dengan kata-kata memerintah. “//ajiku sang leher,

70|

menolehlah//tolehlah hambaku//” si pengucap mantra memberikan sebuah perintah pada nama gaib

“sang leher” untuk menoleh, kalimat perintah yang disebutkan diikuti dengan “rayuan”, “tolehlah

hambaku//kusatukan ujung alisku//kusatukan ujung rambutku//”. Rangkaian kata-kata tersebut adalah

“rayuan” yang hiperbolis. Hal ini dilakkan dengan harapan agar si pengucap mantra dapat dibantu

untuk meraih tujuan. Unsur “rayuan” juga terdapat pada teks mantra dalam tradisi lisan, seperti saya

contohkan pada teks berikut.

Sun matek ajiku si Jaran Goyang

Tak goyang ing tengah latar

Upet-upetku lawe benang

(Isnaini, 2007, hlm. 148)

Sun matek ajiku si Jaran Goyang `saya niat menggunakan asihan si Jaran Goyang` Tak goyang

ing tegah latar `digoyang di tengah latar/halaman` upet-upetku lawe benang `goyanganku seperti

benang`. Ketiga larik tersebut menunjukkan “rayuan” yang ditujukan pada kekuatan “gaib” Jaran

Goyang. Kemudian kita lihat larik-larik selanjutnya. Ada pengulangan yang hiperbolis. Pengulangan

kata pet sabetaken `pet, pukulkan`. Kata-kata tersebut diulang sebanyak lima kali yang mengandung

majas paralelisme anaphora karena kata-kata yang diulang berada di awal kalimat atau larik. Berikut

teksnya.

Pet sabetaken gunung gugur pet dipukulkan gunung hancur

Pet sabetaken lemah bengkah pet dipukulkan tanah membelah

Pet sabetaken segara asat pet dipukulkan laut surut

Pet sabetaken ombak gede sirep pet dipukulkan ombak besar hilang

Pet sabetaken atine si… binti… pet dipukulkan hatinya si… binti…

(Isnaini, 2007, hlm. 148-149)

Pengulangan kata-kata yang hiperbolis tersebut menekankan pada kata kerja sabetaken

`dipukulkan`. Penekanan kata kerja tersebut merupakan sebuah penegasan bahwa teks tersebut adalah

laku atau sebuah proses aktivitas, karena tidak bisa dipungkiri, pencptaan mantra asihan adalah

sebagai sebuah aktivitas (laku) yang mengharuskan si pengucap melakukan aktivitas dalam konteks

penuturannya yaitu sebuah laku mistik tertentu. Adapun laku mistik dalam pengamalan mantra asihan

Jaran Goyang ini adalah.

1) Puasa mutih (puasa yang hanya memperkenankan si pangamal makan nasi putih dan air putih saja

pada waktu berbuka) selama 6 hari.

2) Puasa pati geni (si pengamal tidak boleh makan dan tidak boleh minum serta tidak boleh tidur,

yang berarti mengunci diri atau bertapa) selama sehari semalam.

71|

3) Mantra asihan Jaran goyang dibaca sebanyak 7 kali setiap malam, selama menjalankan laku

mistik puasa tadi (Isnaini, 2007, hlm. 189-190)

Dengan kata lain, aktivitas laku mistik yang dilakukan menandakan bahwa mantra yang

diucapkan benar-benar mantra yang mempunyai kekuatan tertentu yang diharapkan dapat membantu

untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Di samping adanya kata-kata yang berupa “rayuan” dan

“perintah” yang hiperbolis, kita juga dapat melihat bahwa kata-kata tersebut menggambarkan sistem

proyeksi (angan-angan) dari pengucap mantra serta memberikan jalan yang dibenarkan masyarakat

agar dia dapat superior dari orang lain (Hutomo, 1991, hlm. 69-71).

Ketiga, mementingkan “keindahan bunyi” atau terasa ada permainan bunyi. Bunyi merupakan

unsur yang penting dalam mantra. Hal ini karena mantra bersifat expression unit (kesatuan

pengucapan). Artinya, teks mantra hanya dapat dipahami secara utuh bukan hanya bagian-bagian

terpisah dari unsur-unsurnya. Hal tersebut sesuai dengan denganciri-ciri puisi rakyat yang disebutkan

Dananjaja (2002, hlm. 46) bahwa kekhususan genre ini yaitu kalimatnya yang tidak berbentuk bebas

(free phase) melainkan terikat (fix phase). Maksud dari ciri tersebut adalah bentuk tertentu yang

biasanya terdiri dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan matra, panjang pendek kalimat,

suku kata, lemah tekanan suara, atau berdasarkan irama.

Contoh.

kalau matanya terbuka

goyangkan tubuhnya

kalau sedang tidur

bangunkan dia

satukan hati dan jantungnya

dengan hati dan jantungku

(Damono, 2009a, hlm. 16)

Pemanfaatan bunyi juga terlihat pada teks mantra dalam tradisi lisan, misalnya.

Ketemu turu tangekna `kalau dia tidur, bangunkan`

Ketemu tangi lungguhna `kalau dia bangun, dudukkan`

Ketemu lungguh adegna `kalau dia duduk, berdirikan`

Ketemu ngadeg mlakukna `kalau dia berdiri, berjalankan`

(Isnaini, 2007, hlm. 99)

Sutardji dalam beberapa puisinya memanfaatkkn unsur bunyi karena puisi yang diciptakannya

“mengikuti” teks mantra. Misalnya dalam puisi yang berjudul “Sepisaupi”

72|

sepisau luka sepisau duri

sepikul dosa sepukau sepi

sepisau duka serisau diri

sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi

sepisapanya sepikau sepi

sepisaupa sepisaupi

sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sampai pisauNya ke dalam nyanyi

1973

(Bachri, 2002, hlm. 70)

Selain dari pemanfaatan unsur bunyi dan bahasa, pada mantra juga kita akan menemukan

formula-formualik. Teori mengenai formula bahasa dikemukakan oleh Lord melalui teori formula-

formulaik. Lord memberikan batasan pada istilah formula dan formulaik, yaitu: Formula adalah

kelompok kata yang digunakan secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra (irama) yang sama

untuk mengungkapkan satu ide tertentu yang hakiki (Teeuw, 1994, hlm. 3). Formula (frasa, klausa,

atau larik) dalam puisi dihasilkan dengan dua cara, yaitu dengan mengingat frasa itu dan dengan

menciptakan melalui analogi frasa-frasa lain yang pernah ada (Badrun, 2003, hlm. 26). Sedangkan

formulaik yaitu larik atau separuh larik yang disusun atas dasar pola formula (Teeuw, 1994, hlm. 3).

Formula bahasa yang tampak dalam teks asihan Jaran Goyang di atas yaitu terdapatnya beberapa

pengulangan kata. Sebuah kata yang terbentuk dalam sebuah kalimat dalam setiap lariknya.

Pengulangan tersebut, dilakukan baik dengan perubahan atau secara konstan/tetap.

Perubahan dengan sebuah variasi, seperti pada larik ke-4 sampai dengan larik ke-8. Variasi

tersebut dinyatakan dalam bentuk frasa. Misalnya: pet sabetakan gunung gugur (larik ke-4), frasa pet

sabetakan lemah bengkah (larik ke-5), dan seterusnya. Frasa gunung gugur, lemah bengkah dan

seterusnya merupakan variasi. Dalam variasi larik-larik tersebut terjadi pengulangan yaitu berupa kata

pet sabetaken. Kata/frasa yang diulang dalam larik-larik tersebut memiliki fungsi, kedudukan, dan

peran yang sama. Jadi dengan kata lain kata/frasa tersebut merupakan formula untuk sebuah larik.

Keempat, ada sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh manusia, sesuatu yang misterius.

Kemisteriusan sesuatu dalam mantra tidak lepas dari sifat `sakral`nya. Mantra mempunyai logika

sendiri, seperti pada teks-teks lisan lainnya. Logika tersebut terpatri pada masyarakat pemiliknya.

Sehingga apapun yang menjadi syarat untuk tercapainya maksud, maka akan dilaksanakan. Walaupun

syarat tersebut tidak masuk akal. Seperti puasa mutih selama 6 hari. Sebetulya tidak ada hubungan

73|

dengan menarik perhatian lawan jenis atau mencari cinta seseorang, tetapi bagi pemilik kebudayaan

tersebut apa yang dilakukan adalah sesuatu yang “logis”.

wahai si Capung Kencana

aku perintahkan kau

masuk ke gua garba Nuraini

kalau matanya terbuka

goyangkan tubuhnya

kalau sedang tidur

bangunkan dia

satukan hati dan jantungnya

dengan hati dan jantungku

kalau gagal

biar dia gila

kalau tak gila

akan ngoceh terus

tak jelas juntrungnya

dan hanya aku

yang bisa menyembuhkan

:

rasaku lebih tinggi

dari rasamu

ruhku lebih tinggi

dari ruhmu

kamaku lebih unggul

dari kamamu

(Damono, 2009a, hlm. 16)

Teks tersebut hampir sama dengan teks mantra pada tradisi lisan seperti berikut.

Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober

Gelem kang sira kongkon

Ora gelem kang sira kongkon

Lebonana guwa garbane si… binti…

Kerik-keriken sikile

Lamun turu tangekna

Lamun tangi jagongna

74|

Lamun jagong adegna

Lamun ngadeg mlakukna

Karepna maring ingsun

Awan lan bengi si… binti…

Welas asih karo ingsun

Welas asih karna Alloh taala

(Isnaini, 2007, hlm. 63)

Dari beberapa larik pada teks di atas dapat terlihat ada kata-kata yang tidak masuk akal (tidak

logis) dan sesuatu yang tidak dapt dipahami oleh manusia, kata-kata tersebut sangat misterius sehingga

si pengucap mantra “dipaksa” untuk memahami sesuatu yang sebetulnya tidk dipahami. Misalnya,

wahai si Capung Kencana Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober

aku perintahkan kau Gelem kang sira kongkon

masuk ke gua garba Nuraini Ora gelem kang sira kongkon

Lebonana guwa garbane si… binti…

Dari kedua contoh tersebut kita dapat melihat bahwa ada sesuatu yang misterius. Misalnya

penyebutan kata /gua garba/ /guwa garba/. Menurut KKBI garba berarti tempat; perut (Pusat-Bahasa

& Depdiknas, 2008, hlm. 456). Berarti hal ini tidak logis secara harfiah tetapi sesuatu yang tidak logis

tersebut sebetulnya sesuatu yang menjadi inti `kesakralan` mantra itu sendiri.

Kelima, ada kecenderungan esoteris dari kata-katanya. Kata-katanya bersifat rahasia, terbatas, dan

bersifat khusus. Misalnya, penggunaan nama-nama yang mewakili kekuatan”gaib‟ merupakan contoh

kata-kata esoterik. Contoh: //Si Capung Kencana// //SangSetanKober// //Si Runcang Kembang//

//Mliwis Putih// //Si Naga Rante// //Si Jaran Goyang// adalah kata-kat khusus yang sifatnya terbatas

karena kata-kata tersebut tidak mudah dijumpai pada konteks kalimat yang “biasa”. Kata-kata tersebut

hanya ada pada teks mantra.

Teks mantra, seperti halnya juga teks-teks lisan lainnya tidak akan terlepas dari konteks, proses

penciptaan dan fungsi. Konteks pada teks-teks lisan dapat berupa konteks penuturan atau konteks

pertunjukkan. Menurut Malinowski dalam Badrun, (2003, hlm. 38) kata-kata dalam sebuah

percakapan hanya dapat dipahami kalau dikaitkan dengan konteks. Pemahaman konteks situasi saja

belum cukup untuk memahami kata-kata yang digunakan dalam percakapan tetapi juga harus

dibarengi dengan pemahaman konteks budaya.

Konteks situasi adalah lingkungan atau tempat peristiwa penuturan berlangsung. Konteks situasi

atau tempat berlangsungnya teks, menurut Halliday dalam Badrun, (2003, hlm. 38) mempunyai tiga

unsur yaitu medan yang menunjuk pada hal yang sedang dilakukan oleh pelibat yang di dalamnya

menggunakan bahasa sebagai unsur pokok. Pelibat menunjuk pada orang-orang yang terlibat, yaitu

75|

bagaimana sifat, kedudukan dan peran mereka. Sedangkan sarana merujuk pada bagian yang

diperankan bahasa. Konteks budaya adalah lingkungan budaya suatu daerah termasuk “peristiwa” dan

norma yang melatari penuturan.

Dengan kata lain konteks yang terjadi pada teks mantra asihan adalah konteks penuturan

sekaligus konteks pertunjukkan Konteks penuturan. Sehinga konteks yang terjadi adalah pembicaraan

mengenai sebuah peristiwa komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi di antara

unsur-unsur pendukungnya secara khusus pula. Artinya ada hubungan antara penutur, petutur,

kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan serta masyarakat

pendukungnya. Pada teks mantra asihan, konteks penuturan terdiri atas dua tahap, yaitu:

1. Penutur 1 (dukun) kepada pendengar (pengucap mantra)

2. Penutur 2 (penguca mantra) kepada (yang diharapkan/orang yang dituju)

Pada tahap pertama, dukun merupakan penutur yang menuturkan teks asihan kepada pendengar

(pasien). Peristiwa komunikasi khusus di antara keduanya ditandai dengan hubungan timbal-balik

antara penutur (dukun) dengan pendengar (pasien). Pada konteks penuturan tahap pertama ini, penutur

(dukun) menuturkan sekaligus menjelaskan teks mantra asihan kepada pendengar (pasien) beserta tata

cara laku mistik, waktu pengamalan, dan tujuan pengamalan. Semuanya dijelaskan oleh penutur

(dukun) kepada pendengar (pasien) pada saat penuturan (dukun) berlangsung. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada alur konteks penuturan tahap pertama berikut:

Pada konteks penuturan tahap kedua, yakni penutur (pengucap mantra) menuturkan teks mantra

asihan sekaligus menjalankan laku mistik tertentu dengan tujuan menguasai sukma (hati) orang lain

yang dituju. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan alur konteks penuturan tahap kedua

berikut:

Pengamal

- Menuturkan mantra

- Menjalankan Laku

Mistik

- Tujuan Bertutur

Yang diharapkan

Konteks Penuturan Tahap Kedua

Dukun

- Kesempatan

- Bertutur

- Tujuan Bertutur

- Laku Mistik

Pendengar/Pasien

Konteks Penuturan Tahap Pertama

76|

Pada konteks penuturan tahap kedua yang dilakukan oleh si pengucap mantra adalah

mengamalkan (menjalankan) laku mistik yang sudah ditentukan karena laku mistik merupakan bagian

integral yang tidak bisa dipisahkan dan merupakan syarat yang dapat menentukan berhasil tidaknya

mantra tersebut (Isnaini, 2007, hlm. 143-144).

Sedangkan proses penciptaan antara puisi lisan dan bukan lisan terdapat perbedaan. Pada puisi

tertulis terdapat perbedaan antara moment penciptaan dan moment pembacaan (pertunjukkan).

Sedangkan dalam puisi lisan kedua moment itu menjadi satu. Pengarang puisi lisan adalah penyair atau

penyaji.

Menurut Lord dalam Badrun, (2003, hlm. 43) proses penciptaan dalam puisi lisan terjadi pada

saat pertunjukan berlangsung. Dalam penciptaannya, seorang penyaji tidak menghafal rumus/formula

tertentu. Melainkan terjadi mengalir begitu saja. Faktor tertentu dalam menguasai puisi rakyat adalah

memahami formula dan membiasakan diri untuk mendengarkan puisi tersebut. Lord menyebutkan

bahwa Dalam puisi tertulis antara penciptaan dengan pembacaan terdapat perbedaan, perbedaan itu

tampak pada moment (saat) yang terjadi, namun dalam puisi lisan di antara keduanya tidak terdapat

perbedaan atau dengan kata lain menjadi satu.

Pada penelitian ini, proses penciptaan yang dimaksud adalah pembicaraan mengenai proses

kreatif penciptaan sebuah mantra. Artinya proses mencipta sesuatu (puisi lisan/mantra) oleh

masyarakat tertentu, baik dengan belajar, sistem pewarisan tunggal, atau tradisi lisan dari mulut ke

mulut oleh seluruh masyarakat pada kelompok dan daerah tertentu.

Pada mantra asihan terdapat dua tahap proses penciptaan. Pertama, proses penciptaan dari

penutur pertama (dukun). Kedua, proses penciptaan dari penutur kedua (pengamal). Untuk lebih

jelasnya perhatikan bagan proses penciptaan mantra asihan berikut:

Berdasarkan bagan dan analisis yang telah dilakukan serta dari beberapa data narasumber, mantra

asihan diperoleh dan diwariskan berdasarkan sistem pewarisan vertikal antara si empunya dengan si

pewaris. Artinya, mantra asihan biasanya diturunkan dari orang yang lebih tua ke orang yang lebih

muda (dari guru ke murid). Proses penciptaan dari penutur pertama (dukun) dilakukan dengan

terstruktur. Artinya, ada proses pembelajaran dalam sistem pewarisan asihan ini. Begitu pula proses

penciptaan dari dukun ke si pengamal juga dilakukan secara terstruktur. Salah satu indikasinya adalah

dalam sistem pewarisan ini, ada satu istilah yang sering disebut izazah, yang berarti proses pewarisan

mantra harus dilakukan dari guru ke murid (dari yang tua ke yang muda atau dari yang lebih

menguasai kepada yang awam) akibat pengaruh ketatnya sistem budaya. Bila mantra tidak diperoleh

berdasarkan sistem tersebut, maka mantra yang diamalkan itu tidak akan berhasil dan malah akan

mencelakakan si pengamalnya.

Pembicaraan fungsi dalam penelitian ini diartikan sebagai upaya memperoleh “manfaat” oleh

masyarakat yang terkait dengan unsur tersebut dari konteks kebudayaannya. Menurut bascom dalam

Danandjaja, (2003:19) fungsi folklor meliputi sistem proyeksi, yakni sebagai alat cermin angan-angan

suatu kolektif, sebagi alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, sebagai alat

77|

pendidikan anak, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu

dipatuhi anggota kolektifnya.

Menurut Hutomo (1991:69-74), fungsi sastra lisan adalah sebagai berikut: (1) sebagai sistem

proyeksi, (2) untuk pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pemaksa

berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial, (4) sebagai alat pendidikan bagi

anak, (5) untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan masyarakat agar ia dapat lebih superior dari

orang lain, (6) untuk memberikan jalan kepada seseorang yang dibenarkan oleh masyarakat agar ia

dapat mencela orang lain, (7) sebagai alat untuk memperotes ketidakadilan dalam masyarakat, dan (8)

untuk melarikan diri dari himpitan hidup, atau dengan kata lain semata-mata hanya sebagai hiburan

saja.

Puisi lisan tentu saja memiliki fungsi masing-masing. Namun fungsi-fungsi tersebut bergantung

pada masyarakat pemilik tradisi lisan yang bersangkutan. Termasuk juga pada teks mantra asihan ada

fungsi yang ingin dicapai oleh si pengamal atau pengucap mantra. Misalnya, sebagai sistem proyeksi

atau angan-angan yang ingin dicapai serta sebagai jalan yang dibenarkan masyarakat agar ia dapat

lebih superior dari orang lain. Kedua fungsi ini sangat melekat pada teks mantra, walaupun tidak

menutup kemungkinan muncul fungsi-fungsi yang lainnya.

Akhirnya, kita bisa mengatakan bahwa teks mantra, khususnya mantra asihan adalah teks `sakral`

yang digunakan untuk menguasai “hati” orang lain, sehingga dapat memunculkan rasa “cinta”.

Transformasi pada teks mantra sepertinya tidak membuat `kesakralan` mantra dengan serta merta

hilang begitu saja. Hal ini disebabkan pada teks mantra ada kata-kata yang ditujukan untuk kekuatan

“gaib” tertentu yang diharapkan dapat membantu terwujudnya keinginan si pengucap mantra.

PENUTUP

Seperti yang sudah dibahas di atas, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa yang ditulisnya

adalah mantra yang berasal dari berbagai sumber, lisan dan tulis, yang umur dan asal-usulnya tidak

mungkin lagi ditelusuri. Dengan kata lain, teks yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono adalah

mantra tapi dalam bentuk yang lain, yang sama sekali berbeda dengan teks aslinya. Mantra yang hidup

dalam media tradisi lisan diubah menjadi media tertulis, dan pengubahan mantra yang awalnya milik

Leluhur

Dukun

Pengamal

Pewarisan

secara vertikal

dan

terstruktur

78|

kolektif atau komunal menjadi mantra milik individu. Mantra yang semula adalah ekspresi

kesusasteraan suatu kebudayaan yang disebarkan dan dirun-temurunkan secara lisan dari mulut ke

mulut (oral tradition) diubah menjadi ekspresi individu yang disebarkan secara tertulis dan dalam

bentuk cetakan (buku). Pengubahan-pengubahan tersebut jelas akan menimbulkan “pengaruh”

terutama dalam hal “kesakralan” mantra itu sendiri.

Puisi yang dibentuk dari unsur bahasa berupa kata (yang mempunyai arti) berdasarkan proses

sintagmatik. Setiap kata adalah signifier yang mempunyai referent dan signified. Sebuah puisi adalah

“penjumlahan” referent dan signified dari kata-katanya yang tentu saja dipengauhi oleh proses

sintagmatik menjadi semakin kontras dengan mantra. Penyandingan dan pembandingan keduanya

memiliki nilai kemenarikan tersendiri. Puisi dengan kekuatan bahasa kias dan figuratifnya

disandingkan dengan mantra yang kuat dengan unsur-unsur suprasegmentalnya.

Pembandingan dan penyandingan kedua teks tersebut dititikberatkan pada struktur, proses

penciptaan, konteks penuturan, dan fungsinya. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa kedua teks memiliki

kesamaan dan kemiripan pada satu sisi dan memiliki keunikan pada sisi yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Bachri, S. C. (2002). O, amuk kapak. Jakarta: Horison.

Badrun, A. (2003). Patu mbojo: struktur, konteks pertunjukan, proses penciptaan dan fungsi.

Unpublished Disertasi, Universitas Indonesia, Depok.

Damono, S. D. (2009a). Mantra orang jawa. Ciputat: Editum.

Damono, S. D. (2009b). Sastra bandingan. Ciputat: Editum.

Danandjaja, J. (2002). Folklor Indonesia: gosip, dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafitipers.

Hutomo, S. S. (1991). Mutiara yang terlupakan. Surabaya: Hiski Jawa Timur.

Isnaini, H. (2007). Mantra asihan: struktur, konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi.

Unpublished Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Junus, U. (1983). Dari peristiwa ke imajinasi: wajah sastra dan budaya Indonesia. Jakarta: PT

Gramedia.

79|

Pusat-Bahasa, & Depdiknas (Eds.). (2008). Kamus besar bahasa indonesia edisi keempat. Jakarta:

Pusat Bahasa.

Rusyana, Y. (1970). Bagbagan puisi mantra sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore

Sunda.

Teeuw, A. (1994). Indonesia antara kelisanan dan keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Waluyo, H. J. (1987). Teori dan aplikasi puisi. Jakarta: Erlangga.

Wardhana, C. D. (2003). Seminar naskah nusantara. Unpublished Makalah. Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia.

80|

LAMPIRAN TEKS

Mantra Pengasihan 2

aku punya bunga

dari tanah seberang

disebut kembang pulut

aku pulut hati

si jabang bayi Nuraini

:

kasih sayangnya pun tumbuh

melihat diriku

lekat pada diriku

atas kehendak Allah

(Damono, 2009a, hlm. 18)

Asihan Si Runcang Kembang

Asihan aing si runcang kembang

mipir halis nyukang dina tarang sia

sidendang dina bulu mata sia

sageuy sia henteu melas henteu karunya ka

badan aing

(Rusyana, 1970, hlm. 37)

Asihan Setan Kober

Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober

Gelem kang sira kongkon

Ora gelem kang sira kongkon

Lebonana guwa garbane si… binti…

Kerik-keriken sikile

Lamun turu tangekna

Lamun tangi jagongna

Lamun jagong adegna

Lamun ngadeg mlakukna

Karepna maring ingsun

Awan lan bengi si… binti…

Welas asih karo ingsun

Welas asih karna Alloh taala

(Isnaini, 2007, hlm. 63)

Mantra Pengasihan 1

wahai si Capung Kencana

aku perintahkan kau

masuk ke gua garba Nuraini

kalau matanya terbuka

goyangkan tubuhnya

kalau sedang tidur

bangunkan dia

satukan hati dan jantungnya

dengan hati dan jantungku

Asihan Si Tarik Gadung

Asihan aing si tarik gadung

sataruk matak lalanjung sataun

salambar matak kelar sabulan

sasoek matak leweh sapoe

kejo asa catang bobo

tiis batan birit leuwi

deuk leumpang ngarampa jungjang

diluahkeun kuda bancana

reup angkeub jleg sorangan

81|

kalau gagal

biar dia gila

kalau tak gila

akan ngoceh terus

tak jelas juntrungnya

dan hanya aku

yang bisa menyembuhkan:

rasaku lebih tinggi

dari rasamu

ruhku lebih tinggi

dari ruhmu

kamaku lebih unggul

dari kamamu

(Damono, 2009a, hlm. 16)

(Rusyana, 1970, hlm. 37)

Asihan Mliwis Putih

Mlliwis Puith sira tak kongkon

Asupi jiwa ragane si jabang bayine…

Ketemu turu tangekna

Ketemu tangi lungguhna

Ketemu lungguh adegna

Ketemu ngadeg mlakukna

Yen wis teka mene kon nyenengi jiwa

ragane ingsun

(Isnaini, 2007, hlm. 99)

Mantra Pengasihan 3

ajiku sang leher, menolehlah

tolehlah hambaku

kusatukan ujung bulu mataku

kusatukan ujung alisku

kusatukan ujung rambutku

ruh dari ruhku

nyawa dari nyawaku

sukma dari sukmaku

tubuh dari tubuhku

blug! Mati, belum mati

jadi gila

belum gila tapi sempoyongan

:

takkan sembuh jabang bayi si Nuraini

kalau bukan aku yang mengobati

penuh belas penuh kasih

jabang bayi si Nuraini

menatapku

tajam menatapku

Asihan Si Naga Rante

Asihan aing si naga rante

nya tali paranti ranti

tunggal tali jadi-jadi

rek kentel hayang jadi hiji jeung si…

cunduk tiruk tali angkruk

burung badan burung leumpang balik deui

rusras ka badan aing

nangkarak mayang murag

muyukpuk kawas kapuk kaibunan

mangka welas mangka asih ka badan aing

(Rusyana, 1970, hlm. 36)

Asihan Jaran Goyang

Sun matek ajiku si Jaran Goyang

Tak goyang ing tengah latar

Upet-upetku lawe benang

Pet sabetaken gunung gugur

Pet sabetaken lemah bengkah

82|

(Damono, 2009a, hlm. 20)

Pet sabetaken segara asat

Pet sabetaken ombak gede sirep

Pet sabetaken atine si… binti…

Cep sida edan ora edan

Sida gendeng ora gendeng

Sida bunyeng ora mari-mari

Yen ora ingsun sing nambani

(Isnaini, 2007, hlm. 148-149)

83|

PENERAPAN MODEL MAPPING ACTIVITY (MA)

DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

Yeni Rostikawati

STKIP Siliwangi Bandung

pos-el: [email protected]

ABSTRAK

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah proses

pembelajaran membaca pemahaman dengan menerapkan model Mapping Acivity (MA)? 2)

Bagaimanakah hasil pembelajaran membaca pemahaman setelah menggunakan model

Mapping Acivity (MA)? 3) Apakah model Mapping Acivity (MA) efektif dalam meningkatkan

kemampuan membaca pemahaman? Penganalisisan data dilakukan dengan menggunakan

rumus Chi-kuadrat untuk menguji normalitas data, rumus varian untuk menguji homogenitas

data, dan rumus uji t untuk membuktikan hipotesis. Adapun hasil pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa hipotesis kerja (Ha) diterima. Oleh karena itu, model Mapping Activity

(MA) efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas X

Administrasi Perkantoran 3 SMK Negeri 3 Bandung. Penelitian tentang penggunaan model

Mapping Activity dalam pembelajaran membaca pemahaman menambah variasi cara

mengajar yang dilakukan oleh guru. Guru dapat lebih kreatif dalam menerapkan pembelajaran

membaca yang sering dianggap membosankan oleh siswa. Selain itu, kegiatan mapping dapat

melatih kemampuan otak kanan siswa sehingga ingatan akan lebih panjang.

Kata kunci: pembelajaran, mapping activity, peningkatan, membaca pemahaman

ABSTRACT

The problems discussed in this study are: 1) What is the process of learning in reading comprehension

by applying the model Mapping Acivity (MA)? 2) How do the results of learning in reading

comprehension after Acivity Mapping model (MA)? 3) Does the model Mapping Acivity (MA) is

effective in improving reading comprehension? Analyzing data using Chi-squared formula to test the

normality of the data, the formula variants to test the homogeneity of the data, and the formula t test to

prove the hypothesis. The results of hypothesis testing showed that the working hypothesis (Ha) is

accepted. Therefore, the model Mapping Activity (MA) is effective in improving reading

comprehension class X Administrasi Perkantoran 3 SMK Negeri 3 Bandung. Research on the use of

models Mapping Activity in teaching reading comprehension add variety ways of teaching that is done

by the teacher. Teachers can be more creative in applying learning to read is often considered boring

by students. In addition, mapping activities can train the right brain abilities of students so that the

memory will be longer.

Keywords: learning, mapping activity, improvement, reading comprehension

84|

PENDAHULUAN

Pembelajaran membaca di sekolah memiliki peranan penting dalam meningkatkan

kemampuan membaca siswa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pembelajaran

membaca sejak jenjang TK (Taman Kanak-kanak) sampai Perguruan Tinggi. Pembelajaran

membaca di sekolah tentunya tidak hanya membuat siswa mampu mengucapkan kata-kata

dalam suatu bacaan, tetapi dapat memahami pesan penting dari bacaan tersebut. Oleh karena

itu, kemampuan membaca inilah yang akan menjadi bekal siswa setelah keluar dari

lingkungan sekolah. Kesadaran akan pentingnya menguasai keterampilan membaca ini

kurang diimbangi dengan minat dan kemampuan membaca siswa. Rendahnya kemampuan

membaca siswa ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya kelelahan fisik dan

mental, bosan, atau isi bacaan dianggap kurang menarik. Poin terakhir tersebut yang biasanya

menjadi alasan utama rendahnya minat baca siswa, sehingga berakibat pada rendahnya

kemampuan membaca.

Siswa cenderung lebih menggemari buku-buku komik ataupun fiksi sebagai bahan

bacaan karena menarik secara visual, sehingga alur cerita yang disajikan pun mudah dicerna

dan biasanya diingat dalam jangka waktu yang lama. Namun, sebaliknya dengan wacana-

wacana yang sifatnya nonfiksi, seperti wacana berita atau materi pelajaran di sekolah, siswa

cenderung sulit mengingat dan memahami pesan yang disampaikan. Hal tersebut wajar

terjadi karena wacana berita ataupun materi pelajaran di sekolah biasanya berbentuk teks

yang berisi fakta dan ide yang disajikan tanpa banyak gambar-gambar menarik. Tony Buzan

dalam bukunya Mind Map untuk Anak (2008, hlm. 11) menyatakan bahwa otak anak akan

jauh lebih mudah mengingat gambar dan warna, sehingga akan lebih bisa mengingat fakta

dan ide yang ada di dalam gambar dan warna tersebut. Melalui penggunaan gambar dan

warna berarti otak kanan pun ikut dilibatkan dalam memahami teks wacana.

Berkenaan dengan hal ini, peneliti akan bereksperimen dengan teknik Mind Map dalam

pembelajaran membaca pemahaman di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) merupakan sekolah yang mencetak lulusan-lulusan siap kerja,

sehingga proses pembelajarannya pun harus benar-benar mencetak sosok siswa yang

terampil, apalagi keterampilan berbahasa merupakan keterampilan yang wajib dikuasai di

setiap jenjang pendidikan, termasuk salah satunya adalah aspek membaca. Hal inilah yang

menjadi salah satu alasan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK).

Model Mapping Activity (MA) merupakan model pembelajaran yang beracuan pada

penggunaan teknik Mind Map yang dikembangkan oleh Tony Buzan. Tony Buzan (2008,

85|

hlm. 11) menyatakan bahwa mind map adalah diagram istimewa yang cara kerjanya sesuai

dengan cara kerja otak dan dapat membantu berpikir, membayangkan, mengingat, dan

merencanakan serta memilah informasi-singkatnya, mind map adalah alat sempurna untuk

membantu belajar dan mengulang pelajaran.

Intinya, mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak

dan mengambil infomasi ke luar dari otak. Buzan (2009, hlm. 5) mengibaratkan mind map

sama halnya seperti peta jalan yang akan menguntungkan dalam beberapa hal berikut.

1) Memberi pandangan menyeluruh pokok masalah atau area yang luas.

2) Memungkinkan kita merencanakan rute atau membuat pilihan-pilihan dan mengetahui ke

mana kita akan pergi dan di mana kita berada.

3) Mengumpulkan sejumlah besar data di satu tempat.

4) Mendorong pemecahan masalah dengan membiarkan kita melihat jalan-jalan terobosan

kreatif baru.

5) Menyenangkan untuk dilihat, dibaca, dicerna, dan diingat.

Mind map juga memungkinkan kita menyusun fakta dan pikiran sedemikian rupa

sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal. Hal ini berarti bahwa mengingat

informasi akan lebih mudah dan lebih bisa diandalkan daripada menggunakan teknik

pencatatan tradisional. Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model Mapping

Activity ini dibagi menjadi beberapa langkah, di antaranya: memperkenalkan mind map yang

baik; mengingatkan kembali rumus 5W+1H untuk menemukan gagasan pokok suatu bacaan;

dan menuangkan gagasan-gagasan utama dalam wacana menjadi mind map yang baik.

Sedangkan hakikat membaca pemahaman, Hodgson (dalam Tarigan, 2008, hlm. 7)

memberikan definisi bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan

oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media

kata-kata atau bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan

suatu kesatuan akan terlibat dalam pandangan sekilas dan agar kata-kata secara individual

akan dapat diketahui. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat maupun yang

tersirat tidak akan dipahami dan proses membaca tidak terlaksana dengan baik.

Membaca pemahaman termasuk ke dalam membaca telaah isi, karena dalam menelaah isi

suatu bacaan dituntut suatu ketelitian, pemahaman, kekritisan berpikir serta keterampilan

menangkap ide-ide yang tersirat dalam bacaan. Tarigan (2008, hlm. 58) mengungkapkan

bahwa yang dimaksud dengan membaca pemahaman adalah sejenis membaca yang bertujuan

untuk memahami:

1) standar-standar atau norma-norma kesastraan (literary standard);

86|

2) resensi kritis (critical review);

3) drama tulis (printed drama);

4) pola-pola fiksi (patterns of fiction).

Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan membaca

pemahaman ada beberapa hal yang ikut terlibat, yaitu pembaca, teks bacaan, dan isi pesan

bacaan. Dengan demikian, seorang pembaca dapat dikatakan mampu memahami teks bacaan

apabila mampu memahami pesan yang terkandung dalam konteks bacaan baik tersirat

maupun tersurat yang berupa gagasan pokok.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi

experiment). Penelitian eksperimen ini dilakukan untuk mencari hubungan sebab akibat

(hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti. Kedua faktor

tersebut adalah penerapan model Mapping Activity (MA) (sebagai faktor penyebab) dan

kemampuan membaca siswa (sebagai faktor akibat). Rancangan penelitian yang digunakan

adalah rancangan dengan teknik random kelas melalui Tes Awal-Tes Akhir pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol (The Randomized Pretest-Posttest Control Group Design).

Dalam rancangan ini peneliti melakukan teknik random kelas karena teknik penjodohan

terhadap subjek seperti yang dikemukakan dalam teori Syamsuddin dan Vismaia (2007, hlm.

163), tidak memungkinkan untuk dilakukan di lapangan.

Adapun teknik penelitian dilakukan beberapa tahapan penelitian, yaitu tahapan

pengumpulan data dengan teknik tes dan observasi. Tahapan kedua, pengolahan data, Data

kuantitatif terdiri atas data hasil pretes dan postes. Kedua data tersebut diteliti dan

ditabulasikan untuk mengetahui rata-rata dan standar deviasinya. Setelah itu dilakukan uji

normalitas dan homogenitas. Apabila data terbukti normal dan homogen, maka pengolahan

data dilanjutkan dengan uji-t atau t-test. Namun, apabila data tidak berdistribusi normal,

maka pengolahan data dilanjutkan dengan penghitungan statistika nonparametrik. Data

kualitataif hanya diperoleh dari kegiatan observasi. Data hasil observasi yang diperoleh dari

hasil pengamatan observer, diakumulasikan untuk mengetahui nilai total dan nilai rata-rata

yang diberikan observer. Selanjutnya, nilai tersebut diinterpretasikan dengan interval

penilaian, yaitu sebagai berikut.

3,5 – 4,0 = A (Amat baik)

2,5 – 3,4 = B (Baik)

1,5 – 2,4 = C (Cukup)

87|

0,5 − 1,4 = D (Kurang)

< 0,5 = E (Gagal)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Setelah instrumen tes dinyatakan valid dan reliabel oleh tim ahli, tahapan penelitian

selanjutnya adalah melakukan pretes (tes awal) dan postes (tes akhir) untuk mengetahui

kemampuan membaca pemahaman siswa pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol.

Hasilnya diketahui bahwa nilai terendah yang diperoleh oleh kelas eksperimen pada saat

pretes adalah 43, nilai tertinggi adalah 76, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 62,4. Dari

hasil pretes pada kelas eksperimen tersebut ada 7 orang yang berhasil dan 23 orang gagal.

Sedangkan hasil postes didapat nilai terendah 46, nilai tertinggi 88, dan diperoleh rata-rata

nilai sebesar 71,2. Dari hasil postes diketahui sebanyak 21 orang berhasil dan 9 orang gagal

berdasarkan pada KKM yang ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia

yaitu 67.

Tabel 4.1

Daftar Data Pretes-Postes Kelas Eksperimen

No. Subjek Nilai

Pretes Predikat

Nilai

Postes Predikat

1 Aas Rosmawati 56 kurang baik 70 cukup baik

2 Dian Ratna Sari 66 cukup baik 73 cukup baik

3 Esa Kartika Sari 62 cukup baik 70 cukup baik

4 Eva Fauziah Rozak 70 cukup baik 72 cukup baik

5 Fitria Widianingsih 70 cukup baik 86 baik

6 Gelsa Novita Rosa D. 76 baik 88 baik

7 Lia Mulyani 66 cukup baik 76 cukup baik

8 Marlya Rachmawati 63 cukup baik 66 cukup baik

9 Meilia Dewi Lestari 43 kurang baik 60 cukup baik

10 Nabila Rahmani 60 cukup baik 73 cukup baik

11 Nita Kusmayanti 50 kurang baik 66 cukup baik

12 Nita Susanti 56 kurang baik 66 cukup baik

13 Nurmalawati 66 cukup baik 70 cukup baik

14 Nurul Azizah R. 53 kurang baik 62 cukup baik

88|

Se

dangk

an

pada

kelas

kontro

l

diketahui bahwa nilai terendah yang diperoleh pada saat pretes adalah 52, nilai tertinggi

adalah 70, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 60,63. Dari hasil pretes pada kelas kontrol

tersebut ada 2 orang yang berhasil dan 28 orang gagal. Sedangkan hasil postes didapat nilai

terendah 56, nilai tertinggi 73, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 66,6. Dari hasil postes

diketahui sebanyak 14 orang berhasil dan 6 orang gagal berdasarkan pada KKM yang

ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67.

15 Parti 60 cukup baik 70 cukup baik

16 Puteri Junike 70 cukup baik 72 cukup baik

17 Ratnasari 46 kurang baik 46 kurang baik

18 Reni Rahayu 66 cukup baik 76 cukup baik

19 Risca Permatasari 76 baik 80 baik

20 Riska Ratna Juwita 60 cukup baik 66 cukup baik

21 Sani Nurnissa Juliani 70 cukup baik 70 cukup baik

22 Sarah Nur Asyifa 62 cukup baik 63 cukup baik

23 Sely Riani 60 cukup baik 72 cukup baik

24 Sinta Melati 63 cukup baik 76 cukup baik

25 Siti Marwah G. 72 cukup baik 83 baik

26 Ulfa Fauzia S. 63 cukup baik 70 cukup baik

27 Yuli Yanti 52 kurang baik 76 cukup baik

28 Yuli Yulianti 66 cukup baik 82 baik

29 Yulian Sundari 63 cukup baik 66 cukup baik

30 Yuliana 66 cukup baik 70 cukup baik

∑ Jumlah 1872 2136

Rata-rata 62.4 cukup baik 71.2 cukup baik

Keterangan:

90 – 100 : amat baik

75 – 89 : baik

60 – 74 : cukup baik

0 – 59 : kurang baik

89|

Tabel 4.2

Daftar Data Pretes dan Postes Kelas Kontrol

No. Subjek Nilai

Pretes Predikat

Nilai

Postes Predikat

1 Annisa Purwani 53 kurang baik 60 cukup baik

2 Arinta Ayudya Pratami 66 cukup baik 70 cukup baik

3 Astri Siami Permana S. 56 kurang baik 66 cukup baik

4 Desi Septiani 56 kurang baik 60 cukup baik

5 Devi Andriani 62 cukup baik 66 cukup baik

6 Emmy Norita 62 cukup baik 70 cukup baik

7 Fevi Supianti 63 cukup baik 66 cukup baik

8 Fifit Fitriani 63 cukup baik 70 cukup baik

9 Fuzy Fauziyyah 66 cukup baik 70 cukup baik

10 Ghesyana Wasis 63 cukup baik 64 cukup baik

11 Ghita Mandalaswari 50 kurang baik 70 cukup baik

12 Indri Dwi Lestari 50 kurang baik 56 kurang baik

13 Intan Mustikawati 53 kurang baik 66 cukup baik

14 Irma Ratnaningsih 62 cukup baik 62 cukup baik

15 Juwita Sari 66 cukup baik 70 cukup baik

16 Mega Lela Puspa 70 cukup baik 70 cukup baik

17 Meti Suryani 53 kurang baik 60 cukup baik

18 Mia Maya Ulfah 60 cukup baik 70 cukup baik

19 Nenti Kustani 63 cukup baik 70 cukup baik

20 Putri Pratiwi Mulyadi 60 cukup baik 66 cukup baik

21 Restu Fitria Ramdhani 66 cukup baik 67 cukup baik

22 Rina Oktavia 60 cukup baik 66 cukup baik

23 Rostika 63 cukup baik 66 cukup baik

24 Sari Sri Yanti 66 cukup baik 73 cukup baik

25 Shinta Yuliani Hikmah 52 kurang baik 60 cukup baik

26 Sinta Rahayu 60 cukup baik 66 cukup baik

27 Siti Nabila Nurul Aulia 63 cukup baik 70 cukup baik

28 Yarah Surya Dini 62 cukup baik 70 cukup baik

90|

Keterangan:

90 – 100 : amat baik

75 – 89 : baik

60 – 74 : cukup baik

0 – 59 : kurang baik

Pengujian persyaratan analisis data dilakukan dengan dua jenis pengujian yaitu uji

normalitas dan homogenitas data. Apabila data terbukti normal dan homogen, maka

pengujian hipotesis penelitian dapat dilanjutkan dengan menggunakan rumus t-test.

Uji normalitas data adalah uji yang dimaksudkan untuk menguji normal tidaknya sebaran

data yang akan dianalisis. Uji normalitas dilakukan berdasarkan penghitungan statistika

menggunakan rumus Chi-Kuadrat. Berikut adalah pemaparan mengenai perhitungan uji

normalitas data pretes-postes.

X2

hitung data pretes Kelas eksperimen : 8.50338 ≈ 8,503

X2

hitung data pretes Kelas kontrol : 8.29678 ≈ 8,297

Dari tabel harga kritik Chi-kuadrat diketahui bahwa dengan derajat kebebasan (dk = k-3),

diperoleh (dk) Kelas eksperimen : 6-3 = 3 dan (dk) Kelas kontrol : 7-3 = 4, harga X2

hitung

dalam interval kepercayaan 99% adalah X2 tabel Kelas eksperimen adalah 11,3 dan X

2 tabel

Kelas kontrol adalah 13,3.

Jika X2

hitung < X2 tabel maka data berdistribusi normal. Dari penghitungan di atas, diperoleh

nilai X2

pada Kelas eksperimen dan Kelas kontrol, yaitu: X2

hitung (8,503) < X2 tabel (11,3) dan

X2

hitung (8,297) < X2 tabel (13,3). Maka diketahui X

2 hitung < X

2 tabel di kedua Kelas, sehingga

dapat disimpulkan bahwa Kelas tersebut memiliki data pretes dengan distribusi normal.

Hasil penelitian terhadap dua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol

memperlihatkan perbedaan nilai rata-rata yang signifikan. Peningkatan nilai rata-rata pretes-

postes pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Nilai rata-rata

yang diperoleh kelas eksperimen pada hasil pretes sebesar 62,4, hasil postes sebesar 71,2.

29 Yolanda A.P. 60 cukup baik 66 cukup baik

30 Yuliani Setiawati 70 cukup baik 72 cukup baik

∑ Jumlah 1819 1998

Rata-rata 60.63 cukup baik 66.6 cukup baik

91|

Sedangkan nilai rata-rata hasil pretes pada kelas kontrol sebesar 60,63, hasil postes sebesar

66,6.

Perbedaan yang signifikan dari perolehan nilai rata-rata pretes-postes antara kelompok

eksperimen dengan kelompok kontrol dapat terlihat dari diagram batang berikut.

Gambar 4.1

Peningkatan Nilai Rata-Rata Pretes-Postes Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa

Kelas Eksperimen dan Kelas

Kontrol

Berdasarkan diagram tersebut terlihat perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata

kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Walaupun pada kelas kontrol terjadi peningkatan

antara hasil pretes dengan postes, namun tidak sebesar peningkatan antara hasil pretes

dengan postes pada kelas eksperimen.

Nilai terendah yang diperoleh kelas eksperimen pada saat pretes adalah 43, nilai tertinggi

adalah 76, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 62,4. Hsil pretes pada kelas eksperimen

tersebut ada 7 orang yang berhasil dan 23 orang gagal. Sedangkan hasil postes didapat nilai

terendah 46, nilai tertinggi 88, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 71,2. Hasil postes

diketahui sebanyak 21 orang berhasil dan 9 orang gagal berdasarkan pada KKM yang

ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67.

Nilai terendah yang diperoleh oleh kelas kontrol pada saat pretes adalah 52, nilai tertinggi

70, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 60,63. Dari hasil pretes pada kelas kontrol tersebut

ada 2 orang yang berhasil dan 28 orang gagal. Sedangkan hasil postes didapat nilai terendah

56, nilai tertinggi 73, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 66,6. Dari hasil postes diketahui

92|

sebanyak 14 orang berhasil dan 16 orang gagal berdasarkan pada KKM yang ditetapkan

sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67. Walaupun masih ada siswa yang

tidak berhasil mencapai KKM pada saat postes (eksperimen dan kontrol), namun siswa yang

berhasil tetap mengalami peningkatan. Oleh karena itu, model Mapping Activity (MA) ini

dapat digunakan dalam pembelajaran membaca pemahaman karena dapat meningkatkan

kemampuan membaca pemahaman siswa.

Observasi dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan karena peneliti melakukan tiga kali

perlakuan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Observer hanya mengobservasi aktivitas

guru selama proses pembelajaran pada kelas eksperimen. Aspek-aspek yang dinilai meliputi

kemampuan membuka pelajaran, sikap pengajar dalam proses pembelajaran, penguasaan

bahan pembelajaran, proses pembelajaran, kemampuan menggunakan media, evaluasi, dan

kemampuan menutup pelajaran. Berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan oleh kedua

observer, menunjukkan bahwa guru sudah mampu menguasai proses pembelajaran dengan

menerapkan materi Mind Map dengan baik dan menyampaikannya kepada siswa.

Observasi terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran pun dilakukan untuk

mengetahui ketertarikan siswa terhadap penerapan model Mapping Activity (MA) selama

pembelajaran sehingga mereka dapat termotivasi untuk belajar terutama pembelajaran

membaca pemahaman. Ada beberapa aspek yang dinilai dalam format aktivitas siswa ini,

yaitu siswa menunjukkan sikap/rasa senang terhadap proses pembelajaran dengan

menggunakan model Mapping Activity (MA), siswa menyimak dengan baik penjelasan guru,

keaktifan bertanya dan menjawab selama proses pembelajaran, keantusiasan siswa

mengikuti pelajaran, siswa mengerjakan tugas dengan baik dan serius. Penilaian

menggunakan angka dengan kriteria yang sama seperti penilaian pada aktivitas guru.

Secara keseluruhan pembelajaran membaca pemahaman dengan menerapkan model

Mapping Activity (MA) dapat meningkatkan motivasi belajar siswa walaupun pada awalnya

sulit dimengerti oleh siswa, namun apabila guru terus menerus membimbing siswa dan

menerangkan langkah-langkah dengan teliti, maka sedikit demi sedikit siswa akan paham

dan menunjukkan respon yang baik.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pengolahan data hasil penelitian diketahui bahwa data pretes-postes kelas

eksperimen maupun kelas kontrol normal dan homogen berdasarkan taraf kepercayaan 99%.

Data pretes berdistribusi normal terbukti dari hasil perhitungan chi-kuadrat yang

menunjukkan bahwa X2

hitung < X2 tabel pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, yaitu X

2 hitung

93|

(8,503) < X2 tabel (11,3) dan X

2 hitung (8,297) < X

2 tabel (13,3). Sedangkan data postes

berdistribusi normal terbukti dari hasil X2

hitung (8,869) < X2 tabel (13,3) dan X

2 hitung (6,817) <

X2 tabel (11,3).

Homogenitas data pretes-postes pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol ditunjukkan

oleh varian data yang tidak jauh berbeda berdasarkan taraf kepercayaan 99% yang dibuktikan

oleh hasil perhitungan Fhitung ≤ Ftabel, yaitu 1,009 ≤ 3,16 pada kelas eksperimen dan Fhitung ≤

Ftabel, yaitu 1,6003 ≤ 3,16 pada kelas kontrol.

Hipotesis penelitian diterima karena hasil perhitungan membuktikan bahwa thitung ≥ ttabel.

Artinya, model Mapping Activity (MA) efektif diterapkan dalam pembelajaran membaca

pemahaman di kelas X SMK. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh nilai rata-rata hasil postes

pada kelas eksperimen lebih besar daripada nilai rata-rata hasil postes pada kelas kontrol

dengan beracuan pada parameter keberhasilan yang ditentukan oleh sekolah untuk mata

pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67.

Berdasarkan observasi terhadap proses pembelajaran, baik aktivitas guru maupun siswa

dapat dikatakan bahwa siswa SMK dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Hal

tersebut terlihat dari peningkatan keseriusan mereka saat mengikuti pembelajaran dari

pertemuan pertama sampai ketiga. Kemampuan siswa dalam menggambar mind map pun

terlihat ada peningkatan. Awal pertemuan mereka hanya mampu memahami langkah

pembuatan mind map sampai anak cabang dan memahami cara menemukan topik utama

dalam paragraf. Selanjutnya, pada pertemuan kedua dan ketiga, siswa mampu

mengembangkan mind map menjadi beberapa anak cabang sampai cucu cabang walaupun

masih ada beberapa siswa yang belum paham. Adapun kemampuan guru dalam

menyampaikan pengajaran di kelas berdasarkan observasi tergolong baik, sehingga dapat

mempengaruhi keefektifan proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan model

Mapping Activity (MA).

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memiliki beberapa saran untuk beberapa

pihak yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran dan dunia pendidikan. Saran pertama

ditujukan kepada pihak guru. Guru merupakan salah satu pihak yang memiliki peran penting

dalam mencetak generasi bangsa yang cerdas dan terampil. Oleh karena itu, seorang guru

harus memiliki wawasan luas, kemampuan yang memadai, terampil, dan kreatif dalam

mengemas pembelajaran. Kedua, saran untuk siswa. Siswa dapat memanfaatkan model

pembelajaran Mapping Acivity (MA) ini untuk mempermudah memahami suatu bacaan,

melatih otak supaya dapat memetakan isi bacaan dalam pikiran, sehingga dapat dengan

mudah memahami dan mengingat pesan-pesan penting yang disampaikan penulis dalam

94|

wacana yang dibaca. Ketiga, saran untuk peneliti maupun calon peneliti selanjutnya. Peneliti

berharap model pembelajaran Mapping Acivity (MA) ini dapat diujicobakan untuk

meningkatkan keterampilan berbahasa yang lain, seperti keterampilan berbicara dan

menyimak. Untuk keterampilan menulis, peneliti sudah sering menemukan penelitian yang

menggujicobakan Mind Map untuk keterampilan menulis.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. (2000). Manajemen penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka

Cipta.

Buzan, Tony. (2009). Buku pintar mind map. Alih bahasa Susi Purwoko Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Buzan,.Tony. (2004). Buku pintar mind map untuk anak agar anak lulus ujian dengan nilai

bagus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nurhadi. (2005). Membaca cepat dan efektif. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Nurgiyantoro, Burhan. (2009). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan sastra. Yogyakarta:

BPFE.

Sudjana. (2005). Metoda statistika. Bandung: Tarsito.

Tarigan, Henry Guntur. (2008). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung:

Angkasa.