Upload
m-daniel-fauzan
View
25
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Perlindungan hukum ynag dimaksud disini adalah perlindungan hukum bagi rakyat,
yaitu perlindungan hukum dari tindak pemerintahan atau tindakan administrasi Negara.
Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam arti dianut dan
diterapkan oleh setiap Negara yang mengedepankan diri sebagai Negara hukum. Namun,
seperti yang disebutkan Paulus E. Lotulung, masing-masing Negara memiliki cara dan
mekanismenya sendiri tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut, dan
juga sampai seberapa jauh perlindungan hukum tersebut diberikan.
Dengan tindakan pemerintah sebagai titik sentral, dapat dibedakan dua macam
perlindungan hukum, yaitu perlindungan hukum yang preventif, dan perlindungan hukum
yang represif. Dengan perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan
kesempatan (inspraak) pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
definitf. Dengan demikian perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk
menyeledaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi
tindakan pemerintah yang didasarkan atas kewenangan bebas, sehingga mendorong peerintah
harus bersikap hati-hati.
Tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan-tindakann yang berdasarkan
sifatnya menimbulkan akibt hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan hukum yang
dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan pemerintah
yang bersifat sepihak. Diakatak bersifata sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan
hukum pemertinhan itu tergantung pada kehendak sepihak dari pemerintah, tidak tergantung
pada kehendak pihak lain dan tidak diharuskan ada persesuaian kehendak.
Keputusan dan ketetapan sebagai instrument hukum pemerintah dalam melakukan
tindakan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap
warga Negara, apalagi dalam Negara hukum modern yang memberikan kewenangan yang
luas kepada pemerintah untuk mencampuri kehidupan warga Negara. Oleh karena itu
diperlukan perlindungan hukum bagi warga Negara terhadap tindakan hukum pemerintahan.
Perlindungan hukum terhadap warga negaradiberikan bila sikap tindak administrasi Negara
itu menimbulkan kerugian terhadapnya, sedangkan perlindungan terhadap administrasi
1
Negara itu sendiri dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum
baik tertulis maupun tidak tertulis.
2
BAB II
Rumusan Masalah
1. Sarana Perlindungan Hukum apakah yang diterapkan dalam hukum positif
Indonesia?
2. Badan –badan apa saja yang menangani perlindungan hukum bagi rakyat
Indonesia?
3. Asas-asas hukum administrasi apakah yang melandasi hukum acara PTUN?
4. Jelaskan aspek yang mendasari terjadinya problematik dalam penegakan dan
perlindungan hukum !
5. Mengapa warga Negara harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan
pemerintah?
3
BAB III
Pembahasan
1. Sarana Perlindungan Hukum yang diterapkan dalam hukum positif
Indonesia
A. Sarana Perlindungan Preventif
Sarana perlindungan hukum preventif ini di Indonesia belum ada pengaturan secara
khusus. Hal ini mungkin disebabkan belum adanya kodifikasi hukum administrasi
(umum); hukum administrasi materil masih bersidat sektoral, sehingga pengaturan
hukum acara administrasi pun menjadi beragam termasuk pengaturan sarana
perlindungan hukum preventif. Namun demikian secara umum atau apabila kita lihat
ketentuan Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN, disana diatur tentang upaya
Administratif yaitu keberatan dan banding administrative, untuk prosedur keberatan, hal
ini dapat kita kategorikan sebagai sarana perlindungan hukum preventif. Tetapi
bagaimana dengan banding administratif, hal ini kiranya perlu mendapatkan perhatian
kita bersama, oleh karena apabila banding administrasi yang dimaksudkan itu merujuk
kepada misalnya BAPEK atau P4D/P4P, maka hal itu tidak bias kita katakana sebagai
sarana perlindungan hukum preventif. Sebab, kedua badan tersebut termasuk badan
perlindungan hukum yang represif, karena menyelesaikan sengketa dan menguji
keabsahan suatu KTUN dengan menggunakan alat ukur peraturan perundang-undangan
maupun AUPB.
B. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Telah kita ketahui ada dua sistem hukum yaitu civil law system dan common law
system . system hukum yang berbeda, melahirkan perbedaan mengenai bentuk dan
jenis sarana perlindungan hukum bagi rakyat (represif). Negara dengan civil law
system mengakui ada dua set pengadilan, yaitu pengadilan umum(biasa) dan
pengadilan administrasi. Sedangkan Negara dengan common law system hanya
mengenal satu set pengadilan yaitu ordinary court.
2. Badan-badan yang menangani Perlindungan Hukum bagi rakyat Indonesia
Badan-badan yang menangani perlindungan hukum bagi rakyat yang kita kenal di
Indonesia adalah:
4
A. Peradilan Umum
Dasar hukum penyelenggaraan kekuaaan kehakiman yaitu Pasal 24 dan Pasal 25
UUD 1945, selanjutnya direalisasikan dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-
pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 10 ayat (1) dicantumkan 4 lingkungan
peradilan, yaitu:
Lingkungan Peradilan Umum
Lingkungan Peradilan Agama
Lingkungan Peradilan Militer
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
Yang dimaksud dengan Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Umum
adalah Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi
sebagai pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tertinggi adalah Mahkamah
Agung.pengertian tersebut terdapat dalam UU No.8 tahun 2004 tentang Peradilan
Umum.
Pengadilan Negeri berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota, sedangkan pengadilan
tinggi berkedudukan di ibukota Propinsi yang mempunyai wilayah hukum dalam wilayah
Propinsi. Dalam hal pembinaan teknis para hakim pengadilan negeri atau pengadilan
tinggi berada dibawah pembinaan Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi,
administrasi dan keuangan dibawah pembinaan Departemen Kehakiman.
Pengadilan Negeri dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden, sedangkan
Pengadilan Tinggi dibentuk dengan UU. Mengenai hakimnya baik Pengadilan Negeri
maupun Pengadilan Tinggi diangkat oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala
Negara aras usulan Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah
Agung, sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Pengadilan Negeri juga berwenang mengadili sengketa antara orang atau badan
hukum perdaa dengan badan atau pejabat TUN, akibat keputusan yang dikeluarkan oleh
BAdan atau Pejabat TUN, sedangkan keputusan tersebut tidak menjadi kompetensi
PTUN, dengan sendirinya ini akan menjadi kompetensi Peradilan Umum (PN). Hal ni
disamping karena sifat umum dari peradilan ini, juga karena pengadilan (hakim) tidak
boleh menolak menyelesaikan suaru perkara yang diajukan, sehingga Peradilan Umum
merupakan peradilan yang mempunyai kompetensi menyelesaikan semua sengketa atau
perkara yang tidak merupakan kompetensi perdilan khusus.
B. Peradilan Militer
5
Peradilan Militer ini mengadili pelanggaran terhadap KUHP, KUHP Militer dan
Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara. Peradilan Militer diatur dalam UU No.
31 Tahun 1997. Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi masyarakat, kompetensi
peradilan ini adalah menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angakatan Bersenjata Repunlik
Indonesia.
C. Peradilan Tata Usaha Negara
Pada tanggal 29 Desember 1986 dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN
sebagai pelaksanaan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970, dan kemudian baru dilaksanakan
dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991 tanggal 14 Januari 1991. Yang menjadi
pertimbangan diadakannya Peradilan TUN adalah:
Negara RI sebagai Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
bertujuan mewujudkan tata kehidupan Negara, dan bangsa yang sejahtera, aman,
tentram, serta tertib yang menjamin persamaan kedudukan masyarakat dalam
hukum, dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang serta
selaras antara aparatur dibidang tata usaha dengan para warga masyarakat.
Adanya kemungkinan terjadinya benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa
anatar badan atau pejabat TUN dengan warga masyarakat yang dapat merugikan
atau mengahambat jalannya pembangunan nsaional.
D. Peradilan Pajak
Pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan UU Perpajakan akan
menimbukan ketidakadilan bagi wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan sengketa
pajak antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang. Penyelesaiang senketa pajak
selama ini dilakukan oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP). Kemudian MPP diganti
dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) (UU No. 17 Tahun 1997). Pada
tahun 2002 dikeluarkan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang
mencabut UU No. 17 Tahun 1997 .
Disebutkan dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 bahwa Pengadilan Pajak adalah
badan peeradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
penanggung jawab yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Kompetensi dari
pengadilan pajak adalah memeriksa permohonan banding atas keputusan keberatan dan
gugatan yang diajukan oleh Wajib Pajak (Pasal 31). Dengan kompetensi yang demikian
ini berarti Pengadilan Pajak selain melaksanakan fungsi badan yudisial, juga fungsi
6
badan administratif. Putusan Pengadilan Pajak bersifat final, artinya merupakan putusan
akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 77). Namun demikian berdasarkan
Pasal 89, terhadap putusan Pengadilan Pajak tersebut masih dapat ditempuh peninjauan
kembali yang diajukan kepada Mahkamah Agung.
E. Upaya Administratif
Tidak semua KTUN dapat langsung digugat melalui Peradilan TUN. Terhadap
KTUN yang dilandasi norma dasarnya mengatur adanya upaya administratif, terlebih
dahulu sebelum saluran peradilan, harus ditempuh jalur Ipaya Administratif. Hal ini
dapat dilihat pada Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004:
1. Dalam hal suatu badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenan oleh
atau berdasarkab peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administraitif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang bersedia.
2. Pengadilan baru berwewenang memeriksan memutus, dan menyelesaikan
sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Bagi KTUN yang tidak tersedia upaya administratif, gugatan langsung diajukan ke
Pengadilan TUN (Pasal 51 ayat 3). Dalam SE. Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991
tanggal 9 Juli 1991 dinyatakan bahwa dalam upaya admnistratif yang tersedia hanya
berupa Keberatan, maka gugat diajukan ke Pengadilan TUN tidak ke PT.TUN.
Ada dua upaya administratif, yaitu :
Keberatan => apabila penyelesaian dilakukan oleh instansi yang sama yaitu
Badan atau Pejabat yang mengeluarkan KTUN
Banding administratif => apabila penyelesaiannya dilakukan oleh instansi
atasan atau instansi lain
dalam bidang kepegawaian istilah keberatan disamakan dengan pengertian banding
(administratif) : Pasal 15 PP No. 30 Tahun 1980 menentukan PNS dijatuhi salah satu jenis
hukum disiplin (Pasal 6 ayat 3 dan 4), hukuman disiplin berat, dapat mengajukan keberatan
kepada atasan dari pejabat yang berwenang menghukum dalam jangka waktu 14 hari.
Padahal atasan yang berwenang menghukum tersebut sebenarnya melaksanakan prosedur
banding administraif , karena menurut Pasal 21 PP tersebut berwenang memperkuat atau
mengubah hukuman tersebut.
7
Khusus apabila tejadi penghukuman PNS golongan IV kebawah yang berupa
pemberhantian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri (Pasal 6 ayat 4c), maka PNS
tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian
(BAPEK). Karena Pasal 15 ayat 2 hanya menyebutkan salah satu jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 4c dan 4d. dengan demikian walaupun
seorang pegawai golongan IV ke bawah pernah menempuh jalur keberatan (banding
administratif) kepada atasan (dari) pejabat yang berwenang menghukum seperti yang
dimungkinkan dalam Pasal 15, tetapi karena ia dijatuhi hukuman pemberhentian tidak
hormat tau pemberhentin dengan hormat tidak dengan kehendak sendiri maka ia masih
mungkin mengajukan keberatan (banding administratif kedua) kepada BAPEK. Jadi
untuk PNS golongan IV kebawah berarti dua kali kemungkinan upaya administratif yang
berupa banding administratif. Karena Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) masih
berupa instansi pemutus penyelisih sengketa TUN masih dirasa tidak mencerminkan
keadalian maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi TUN dan masih terbuka
jalan untuk kasasi dan peninjauan kembali.
Badan banding administratif dalam bidang perburuhan adalah Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat (P4P). Badan ini mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa ketenagakerjaan.
3. Asas-asas hukum administrasi yang melandasi hukum acara PTUN
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai cirri khas yang tercermin
dalam azas-azas hukum yang melandasi hukum acara peradilan tata usaha Negara. Azas-
azas tersebut adalah :
a) Azas Praduga Rechtmatig (vermoeden van rechmatigheid = praesumptio iustae
causa). Azas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus
dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Berarti dengan adanya azas ini,
adanya gugatan tidak dapat menunda pelaksanaan suatu KTUN. Hal ini dimaksudkan
untuk dapat lebih memberikan jaminan kepastian hukum ataas suatu keputusan yang
dikeluarkan
b) Azas Pembuktian Bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda
dengan ketentuan Pasal 1865 BW, dimana kewajiban pembuktian berada pada pihak
8
penggugat. Azas ini dianut Pasal 107 UU No. 9 Tahun 2004, hanya saja masih
dibatasi ketentuan Pasal 100 ayat (1) yaitu ada 5 alat bukti:
1. Surat atau tulisan
2. Keterangan ahli
3. Keterangn saksi
4. Pengkuan para pihak
5. Pengetahuan hakim
Pasal 100 dan 107 adalah pasal yang keliru/tidak benar, karena menyamakan dengn
perkara pidana/perdata dalam hal alat bukti, padahal KTUN bukanlah alat bukti
melainkan obyek sengketa.
c) Azas keaktifan Hakim (Inquisitoir/dominus Litis). Keaktifan Hakim dimaksudkan
untuk mengimbangin kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha
Negara, sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Asas
Inguisitor dalam proses peradilan TUN, tampak pada kewenangan Hakim untuk
melakukan pemeriksaan sendiri tentang fakta-fakta yang diarahkan pada pengujian
kebenaran pembentukan Keputusan Administrasi yang bersifat konkrit, individual dan
final yang disengketakan, dengan demikian HAKIM TUN adalah dominus litis.
Penerapan azas ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63 ayat 1 dan 2,
pasal 80, 85. Asas Contradictor, dalam pemeriksaan sedapat mungkin dilakukan agar
pihak itu sama-sama memperoleh kesempatan untuk mempertahankan pendiriannya
dan menggandakan reaksi terhadap pendapat lawannya apabila dianggap perlu,
d) Azas keputusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “ erga omnes”. Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa Hukum public, dengan demikian putusan
Pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi par pihak yang
bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan Pasal 83 UU No. 9 Tahun 2004
tentang intervasi bertentangan dengan azas “erga omnes”. Jadi sebenarnya tidak perlu
lagi ada gugatan intervensi, karena keputusan PTUN akan mengikat semua pihak,
termasuk pihak ketiga yang berkeinginan untuk turut menggugat karena kepentingan
juga dirugikan.
Kehadiran PTUN melalui UU No. 9 Tahun 2004 yang sekarang diubah menjadi UU N0.
9 Tahun 2004 tidak hny melindungi hak individu teteapi juga melindungi hak masyarakat.
Untuk itu disamping melindungi hak individu sebagian besar isi UU No. 9 Tahun 2004
melindungi hak-hak masyarakat. Pasal-pasal yang menyangkut perlindungan hak-hak
masyrakat adalah :
9
Pasal 49 :
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa
tata usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang , keadaan bahaya, keadaan bencana alam , atau keadaan
luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
Pasal 55:
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu Sembilan puluh hari terhitung
sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara.
Pasal 67 (1) :
Gugatan tidak menunda atau mengahalangi keputusan tata usaha Negara serta
tindakan badan atau pejabat tata usaha Negara yang digugat.
4. Problematik Perlindungan Hukum Bagi Rakyat (PTUN)
Dalam perjalanan pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara, banyak mengalami
berbagai problem dalam rangka melaksanakan penegakan hukum dan perlindungan hukum
bagi warga terhadap penguasa atau pemerintah. Problematik ini pada dasarnya dapat dilihat
dari dau aspek yaitu :
1) Hukum Acara atau Prosedur Beracaranya
Ketentuan-ketentuan yng mengatur mengenai hukum acara (Pasal 53 s/d 132 UU
No. 9 Tahun 2004). Disatu pihak diatur secara mendetail sekali, missal tentang
pemeriksaan saksi dan pembuktian, akan tetapi dilain pihak ada beberapa bagian ang
diatur secra garis besarnya saja dan diserahkan pada pelaksanaan prakteknya yang
kadang-kadang sangat berbeda antara pengadilan yang satu dengan pengadilan yang
lain. Umpamanya tentang pemeriksaan proses perlawanan Pasal 62 ayat 4, atau ;
apabila dipandang perlu hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang
bersengketa dating mengahadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh
seorang kuasa hukumnya (Pasal 58); pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib dating
sendiri ke persidangan, eksekusi dan sebagainya(Pasal 93).
10
Berdasarkan hal tersebut, maka dari segi hukum acara dapat dikemukakan
beberapa permasalahan atau problematika sebagai berikut :
Adanya gugatan yang diajukan lewat kantor pos, demikian pula proses
pemeriksaannya juga melalui pos. Apakah ini sah menurut undang-undang
yang berlaku? Hal ini dilakukan oleh beberapa PTUN , sebab karena wilayah
hukumnya sangat luas sekali
Tentang penerapan Pasal 54 ayat 4, dalam hal yang bagaimanakah seharusnya
gugatan dapat diajukan kepada pengadilan didalam wilayah hukum kediaman
tergugat? Problem yang sering timbul adalah bagi penggugat yang tidak
mampu untuk membayar transportasi ke wilayah hukum pengadilan ditempat
kedudukan tergugat.
Sanksi apakah yang dapat dijatuhkan dalam hal pihak Pejabat TUN tidak
bersedia mengahadiri siding, baik atas dasar Pasal 58 ataupun atas dasar Pasl
93. Kedua pasal itu tidak memberikan sanksi, tetapi dalam praktek hal
semacam itu terjadi.
Bagaimanakah seharusnya prosedur yang disebut pemeriksaan singkta itu
(Pasal 62 ayat 4) agar ada keseragaman diseluruh PTUN. Ada majelis hakim
yang mengharuskan adanya tanggapan dari kedua belah pihak untuk
dipertukarkan agar terpenuhi asas audiet alteram partem, tetapi juga majelis
hakim yang tidak melaksanakannya dan kemudian melanjutkannya dengan
pembuktian dan seterusnya kepada putusan.
Masalah eksekusi putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum
Mengenai penetapan penangguhan atau penundaan pelaksanaan KTUN (Pasal 67 ayat
2) sering digunakan oleh pejabat TUN untuk tidak mematuhinya adalah mengingat ketentuan
Pasal 115 UU No.9 Tahun 2004 yaitu : “Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap yang dpat dilaksanakan”.
Ketentuan pasal 67 ayat (2) menjadi problem dalam pelaksanaan perlindungan hukum
bagi masyarakat pencari keadilan, yang manajika ketentuan itu harus disamakan dengan
putusan akhir dari pengadilan, padahal pasal tersebut merupakan putusan sementara, yang
sifatnya penangguhan tindakan pelaksanaan KTUN, sebelum adanya putusan akhir. Dalam
hal penetapan penangguhan atau penundaan pelaksanaan KTUN oleh PTUN dilecehkan oleh
pejabat, tanpa adanya sanksi yang bias dijatuhkan oleh pengadilan.
11
Masalah eksekusi juga perlu mendapatkan perhatian dalam pemecahannya,
sebagaimana kita ketahui maslah eksekusi dalam Pasal 115 s/d 119 UU No. 9 Tahun 2004.
Pada Pasal 116 terdapat dua mcam jenis eksekusi :
a. Pasal 116 ayat (2), tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, hal ini bias disbut
“eksekusi otomatis”.
b. Pasal 116 ayat (3), Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf
c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
2) Substansi atau Hukum Materilnya
Selain problematik yang berkaitan dengan hukum acara juga masih terdapat
problematika yang menyangkut substansi atau segi hukum materil antara lain :
Dilihat dari pengertian “Pejabat Tata Usaha Negara” (Pasal 1 butir (2) UU No. 9
Tahun 2004 yaitu Badan atau PTUN adalah badan atau pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan perturan perundang-undangan
yang berlaku. Dari pengertian pasal tadi apakah dapat diperluas sehingga sampai
kepada badan swasta yang menjalankan tugas pelayanan umum dalam bidang
pemerintahan. Karena belum ada kesepakatan tentang hal ini maka ada sebagian
pengadilan menerima perluasan pengertian tersebut, sehingga lembaga swasta
dapat digugat di Pengadilan TUN, tetapi sebagian lagi pengadilan lainnya tidak
menerapkan perluasan itu. Dengan demikian yang menjadi problematik adalah
sejauh mana harus diartikan sebagai PejabatTUN.
Adanya kemungkinan titik singgung dengan kompetensi mengadili dari badan
peradilan lain, misalnya bidang perdata. Hal ini dapat dibaca pada pasal 2 huruf
a yaitu tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN menurut undang-undang
ini: Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, dalam hal ini
sering timbul persoalan atau permasalahan tentang bagaimana membedakan
12
antara ruang lingkup perdata dan ruang lingkup TUN, sekalipun sudah ada teori
melebur, dimana perbuatan hukum public itu melebur ke dalam hukum perdata.
Tentang penafsiran istilah “Kepentingan” dalam mengajukan gugatan.
Kepentingan yang bagaimana juga tidak begitu jelas.
Masalah Ganti Rugi Terbatas;
Pengadilan dapat mewajibkan pembayaran ganti rugi akibat dibatalkannyasuatu
Keputusan TUN, berdasarkan Pasal 97 ayat (10) jo. Pasal 120 UU No. 9 Tahun
2004 jo. PP No. 43 Tahun 1991 yangmenentukan jumlah ganti rugi yangterbatas,
yaitu minimum sebesar Rp. 250.000,- dan maksimum Rp. 5.000.000,-
Sering kali keputusan TUN yang dibatalkan itu menimbulkan kerugian materil.
Dalam hal ini penggugat bias mengambil sikap:
a. Menuntu juga ganti rugi dalam gugatannya, yang hanya dapat diajukan
maksimum Rp. 5.000.000,- walaupun mungkin kerugian senyatanya adalah
lebih besar dari jumlah Rp. 5.000.000,-
b. Tidak mengajukan tuntutan ganti rugi sama sekali dan mereservirnya untuk
diajukan dalam gugatan perdata di Pengadilan Negeri sesudah putusan TUN.
Masalah yang timbul :
a. Apakah untuk ganti rugi selebihnya dalam kasus a tersebut, pihak penggugat
otomatis bias mengajukan ke Pengadilan Perdata (pasal berapa yang menjadi
dasar gugatan tersebut)
b. Apakah Hakim Perdata harus menerima gugatan gantu rugi selebihnya
tersebut tanpa menilai lagi keabsahan/tidaknya Keputusan TUN yang sudah
diputuskan oleh Hakim TUN, ataukah Hakim Perdata tidak terikat dengan
Putusan Hakim TUN?
Selain masalah tadi permasalahan yang juga perlu dipikirkan adalah bahwa
hukum administrasi kita masih bersifat sektoral/bersifat khusus, oleh sebab itu
belum ada keseragaman persepsi dalam tindakan pemerintahan. Hal in juga yang
dapat menimbulkan permasalahan dalam menegakkan hukum dan perlindungan
hukum, oleh sebab itu memang dirasa perlu adanya undang-undang hukum
administrasi umum.
5. Alasan mengapa Warga Negara Harus Mendapat Perlindungan Hukum dari
Tindakan Pemerintah
13
Ada beberapa alas an mengapa warga Negara harus mendapat perlindungan hukum
dari tindakan pemerintah yaitu:
Pertama,karena dalam berbagai hal warga Negara dan badan hukum perdata
tergantung pada keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan pemerintah,
seperti kebutuhan terhadap izin yang diperlukan untuk usaha perdagangan,
perusahaan, atau pertambangan. Oleh karena itu, warga Negara dan badan
hukum perdata perlu mendapat perlindungan hukum, terutama untuk
memperoleh kepastian hukum dan jaminan keamanan, yang merupakan faktor
penentu bagi kehidupan dunia usaha.
Kedua, hubungan antara pemerintah dengan warga Negara tidak berjalan
dalam posisi sejajar. Warga negara merupakan pihak yang lebih lemah
dibandingkan pemerintah.
Ketiga, berbagai perselisihan warga Negara dengan pemerintah itu berkenaan
dengan keputusan dan ketetapan, sebagai insturmen pemerintah yang bersifat
sepihak dalam melakukan interensi terhadap kehidupan warga Negara.
Pembuatan keputusan dan ketetapan yang didasarkan pada kewenangan bebas
(vrijebevoegdheid) akan membuka peluang terjadinya pelanggaran hak-hak
warga Negara. Meskipun demikian, bukan berarti kepada pemerintah tidak
diberikan perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap administrasi
Negara itu sendiri dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar
menurut hukum.
14
BAB IV
Penutup
Kesimpulan
Perlindungan hukum bagi rakyat yaitu, perlindungan hukum dari tindak pemerintahan
atau tindakan administrasi Negara. Perlindungan hukum bagi rakyat terdiri atas perlindungan
hukum yang bersifat preventif dan perlindungan hukum yang bersifat represif. Perlindungan
hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan seblaiknya
perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Sarana perlindungan hukum preventif belum ada pengaturan secara khusus. Hal ini
mungkin disebabkan belum adanya kodifikasi hukum administrasi (umum); hukum
administrasi materil masih bersifat sektoral, sehingga pengaturan hukum acara administrasi
pun menjadi beragam termasuk pengaturan sarana perlindungan hukum preventif. Namun
demikian secra umum atau apabila kita lihat ketentuan Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004
tentang PTUN, disana diatur tentang Upaya Administratif yaitu keberatan dan banding
administratif, untuk prosedur keberatan, hal ini dapat kita kategorikan sebagai sarana
perlindungan hukum preventif.
Pengadilan Negeri juga berweanang mengadili sengketa antara orang ata ubadan
hukum perdata dengan badan hukum atau pejabat TUN, akibat keputusan yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat TUN, sedangkan keputusan tersebut tidak menjadi kompetensi
PTUN, dengan sendirinya ini akan menjadi kompetensi Peradilan Umum (PN). Hal ini
disamping karena sifat umum dari peradilan ini, juga karena bahwa pengadilan (hakim) tidak
boleh menolak menyelesaikan suatu perkara yang diajukan, sehingga Peradilan Umum
merupakan peradilan yang mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan semua sengketa
atau perkara yang tidak merupakan kompetensi peradilan khusus.
Kompetensi absolute PTUN, dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 9Tahun 2004 telah
diberikan batasannya dengan merumuskan pengertian sengketa Tata Usaha Negara yaitu :
“Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau Pejabat TUN baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan”.
Pengertian KTUN dirumuskan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 9 Tahun 2004 yaitu : “
Keputusan Tata Usaha Negara yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badab
15
atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Azas-azas hukum administrasi yan melandasi hukum acara peradilan tata usaha
Negara. Azas-azas tersebut adalah :
Azas Praduga Rechmatig (vermoeden van rechmatigeheid = presumption
iustae causa).
Azas pembuktian bebas
Azas keaktifan Hakim (inquistoir/dominus litis)
Azas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”
Pengadilan pajak adalah badan peradlian yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi wajib pajak atau penganggung pajak yan mencari keadlian terhadap sengketa pajak.
Kompetensi dari pengadilan pajak adalah memeriksa permohona banding atas keputusan
keberatan dan gugatan yang diajukan oleh wajib pajak.
Tidak semua KTUN dapat langsung digugat melalui PTUN. Terhadap KTUN yang
dilandasi norma dasarnya mengatur adanya upaya administratif terlebih dahulu sebelum
menempuh saluran peradilan, harus ditempuh upaya administratif. Upaya administratif adalah
upaya penyelesaian sengketa melalui jalur diluar pengdilan, yaitu jalur keberatan dan jalur
banding adminisratif. Untuk upaya keberatan diajukn kepada pejabat yang mengeluarkan
keputusan, sedangkan banding administratif diajukan kepada badan banding adminsitratif
yang ada/tersedia.
Dalam perjalanan pelaksanaan PTUN, banyak mengalami berbagai problem dalam
rangka melaksanakan penegakan hukum dan perlindugan hukum bagi warga terhadap
pemerintah. Problematik ini pada dasarnya dapat dilihat dari dua aspek yaitu hukum acara
atau prosedurperkaranya dan substansi atau hukum materilnya.
16