sejarah sastra.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Sering berkelana ke Eropa Barat sudah terdapatkan, maka interpretasipekankembangsebagaimana dilakukan oleh Pradopo sebagai tempat pekerja seks sangatkecil kemungkinan untuk terjadi. Sebab secara totalitas pemaknaan puisiCathedrale deChartesoleh Pradopo mungkin akan sangat jauh berbeda jikalau ia sebelumnya sudahmempelajari sisi historis penciptaan karya dan penciptanya: bahwapekan kembangdidalam puisi tersebut bukanlahpasar kembang-nya Yogyakarta sebagaimana telahdisinggung oleh Hardjana (1994: 46 49).Contoh lain di dalam metode kritik historis misalnya analisis terhadap gaya tulisHemingway yang menggunakan kalimat-kalimat yang efektif sehingga mudah dicernadan kebiasaan Hemingway menulis dengan tema kesendirian dan kekalahan manusiamenghadapi hidup di dalam karya-karyanya (bdk. Burgess, 1978: 116; High, 2000: 147;Kennedy, 1993: 76) dapat dirunut balik kepada riwayat hidup Hemingway yang pernahbekerja sebagai wartawan dan pernah ikut perang. Implikasi dari pengetahuan akan sisihistoris Hemingway dan kronologis karya-karyanya akan menjadikan interpretasi karyaHemingway yang berjudulThe Old Man and The Seamenjadi tidak tepat jikalau dikaitkandengan napas optimisme.The Old Man and The Seajustru niscaya diinterpretasi dengantotalitas karya ciptaan dan kehidupan Hemingway yang mengakhiri hidup dengan bunuhdiri yang tragis. Interpretasi yang mungkin muncul adalah bahwa Santiago, tokoh utamadi dalamThe Old Man and The Sea, pada akhirnya [pasti selalu] kalah melawan hidup.Sebagai penutup tulisan ini dapatlah dikatakan bahwa tugas dalam analisis suatukarya sastra dengan metode kritik historis (historical criticism) sebenarnya adalahmencermati sejarah munculnya suatu karya dan menandai suatu bagian dari sejarahtersebut yang relevan dengan kelahiran suatu karya, menimbang kekhasan dari setiapkarya, kekhasan setiap pengarang, menuju suatu analisis yang interpretasinya diyakinilebih mendekati kebenaran (Colie dalam Thorpe ed., 1967: 25-26). Metode kritik historismemang diniatkan bukan seperti metodereception aestheticsyang membebaskan

interpretasi kepada resepsi subjek pembaca sebab metode ini berusaha mencari tahubagaimana sebuah karya diciptakan dan diniatkan pada saat penciptaan. Kritik historispada dasarnya, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, berusaha menempatkankarya pada letak yang seharusnya sehingga akan tampil warna asli dari karya tersebutdan lalu nilai karya akan tampak lebih jelas (Shipley, 1962: 87) dan bukan bersandar dariresepsi bebas pembaca. Oleh sebab itulah, metode kritik historis lebih kerap dipakai didalam studi interpretasi skriptur.DAFTAR PUSTAKABurgess, Anthony. 1978.Ernest Hemingway and His World. New York: CharlesScribners Sons.Colie, Rosalie L. 1967. Literature and History dalam Thorpe, James (ed.).Relations ofLiterary Study ;Essays on Interdisciplinary Contributions. New York: ModernLanguage Association of America.Dewanto, Nirwan. 12 April 2012.Situasi Chairil Anwar. Diakses 13 Juni 2012, pukul 9:54(GMT +7) dari:http://jalantelawi.com/2012/04/situasi-chairil-anwar/#fn-ref-07Hardjana, Andr. 1994.Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama.High, Peter B. 2000.An Outline of American Literature (ninteenth impression). New York:Longman Inc.Jassin, H.B. 1983.Pengarang Indonesia dan Dunianya. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.Kennedy, X.J. 1983.An Introduction to Fiction (third edition). Toronto: Little, Brown &Company Ltd.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1988.Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik SastraIndonesia Modern. Yogyakarta: PD. Lukman._____________________. 1994.Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.Shipley, Joseph T. (ed). 1962.Dictionary of World Literature. New Jersey: Littlefield,Adams & Co.Wellek, Ren dan Austin Warren. 1970.Theory of Literature 3rd Edition. New York:Harcourt, Brace & World, Inc.Sastra dan Sejarah by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.iBandingkan dengan kajian intertekstualitas.iiBandingkan dengan sosiologi sastra.iiiMeskipun Sitor Situmorang adalah berbudaya Batak, namun ketika melihat konteks bahasa dansastra Indonesia pada saat itu dapatlah dikatakan bahwa sastrawan Indonesia sejaman SitorSitumorang (dan Chairil Anwar) masih terikat kuat dengan budaya sastra Indonesia yang masihbelum terlalu jauh meninggalkan sastra Melayu.

Our Dreams (ArdhyNa) Berbagi Ilmu itu sangat menyenangkan. untuk itu berbagilah. Kalian akan merasakan indahnya berbagi :)Minggu, 29 Desember 2013Sejarah sastra Wellek & Waren BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang Sastra adalah sebuah kegiatan kreatif, yang berhubungan dengan sebuah karya seni. Kemudian apa perbedaan antara sastra dan studi sastra ? pertanyaan tersebut seperti umum sering didengar tetapi perlu pemahaman yang cukup untuk memahaminya. Jika sastra adalah sebuah kegiatan kreatif, maka studi sastra adalah cabang ilmu pengetahuan yang mencoba mempelajari tentang sastra. Dari definisi tersebut terlihat antara sastra dan studi sastra memiliki hubungan yang cukup erat. Tetapi dalam sejarah perkembanganya terdapat semacam kebingungan dan pengaburan khususnya dalam hal memahami sastra dengan studi sastra. Sejumlah teoritikus menolak mentah mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu, teoritikus yang lain mengambil kesimpulan yang kurang lebih sama skeptisnya. Menurut mereka, sastra tidak bisa ditelaah sama sekali. Sastra boleh di baca, dinikmati, dan diapresiasi, untuk selebihnya, yang bisa dilakukan adalah mengumpulkan berbagai macam informasi tentang karya sastra. untuk mencoba memahami studi sastra seorang penelaah harus mempelajari suatu periode, aliran, atau kesusastraan tertentu kemudian mencari kekhususan, ciri ciri khas, dan kualitas tertentu yang membedakanya dengan periode, aliran, atau kesusastraan yang lain karena pada dasarnya tidak ada persoalan benar atau salah dalam sastra, yang lebih tepat adalah lebih mendalam atau tidak.Untuk menggali kedalaman sastra tentu kita harus memahami objek studi sastra yang kongkrit sifatnya yaitu karya sastra. setiap karya sastra pada dasarnya bersifat umum sekaligus bersifat khusus. Artinya adalah setiap karya sastra mempunyai ciri ciri yang khas, tetapi juga mempunyai sifat sifat yang sama dengan karya seni yang lain. Usaha menguraikan ciri ciri khas karya sastra hanya dapat dilakukan secara universal jika didasarkan pada suatu teori sastra, dan salah satu teori yang kami anggap cocok untuk mencoba menggali kedalaman sastra adalah teori apresiasi sastra yang akan kami uraiakan pada makalah ini, karena pada dasarnya pemahaman dan apresiasi adalah syarat yang harus dipenuhi untuk mengembangkan pengetahuam dan pemikiran terhadap karya sastra.

B. Rumusan Masalah1. Apa pengertian sastra dan studi sastra ?2. Bagaimana studi sastra dengan pendekatan intrinsik ?3. Bagaimana studi sastra dengan pendekatan ekstrinsik ?C. Tujuan1. Untuk mengetahui pengertian sastra dan studi sastra 2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan studi sastra dengan pendekatan intrinsik 3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan studi sastra dengan pendekatan ekstrinsik

.

BAB IIPEMBAHASAN1. BAGIAN PERTAMA: DEFINISI DAN BATASAN1.1 SASTRA DAN STUDI SASTRASastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Hubungan sastra dan studi sastra menimbulkan beberapa masalah yang rumit. Jalan keluar yang pernah ditawarkan bermacam-macam. Sejumlah teoritikus menolak mentah-mentah bahwa telah sastra adalah ilmu, dan menganjurkan penciptaan ulang (second creation) sebagai gantinya. Seperti yang dilakukan oleh Walter Pater dan John Addington Syamonds. Walter Pater (penyair Inggris pada abad ke-19) mencoba memindahkan lukisan terkenal karya Leonardo da Vinci, Mona Lisa dalam bentuk tulisan. John Addington Syamonds (kritikus Inggris sezaman dengan Pater) mengulas karya sastra dengan gaya bahasa sastra yang berbunga-bunga. Bagi kita sekarang, kritik kreatif smacam itu sama dengan duplikasi yang mubazir, atau hanya merupakan terjemahan suatu karya seni menjadi karya seni yang lain, dan tiruan biasanya selalu lebih rendah mutunya. Teoritikus yang lain mengambil kesimpulan yang sama skeptisnya. Menurut mereka, sastra tidak bisa ditelaah sama sekali. Sastra boleh dibaca, dinikmati, dan diapresiasi. Selebihnya, yang bisa dilakukan adalah mengumpulkan berbagai macam informasi menngenai karya sastra. Sikap skeptic semacam ini, di luar dugaan, sudah menyebar. Salah satu gejalanya adalah penenkanan pada fakta-fakta di sekitar karya sastra, dan tak boleh ada usaha untuk mencari lebih jauh. Sayangnya, dikotomi antara telaah dan apresiasi semacam ini sama sekali tidak menjawab bagaimana mestinya studi sastra yang benar, yang memiliki kekhasan sastra dan sekaligus sistematis. Usaha yang dapat dilakukan untuk mendekati seni sastra adalah meniru metode ilmu-ilmu alam melalui studi sumber, asal, dan penyebab (metode genetic). Metode ini pada praktiknya membolehkan penelususran hubungan apa saja, asalkan kronologis sifatnya.. secara lebih ketat kausalitas ilmiah semacam ini dipakai untuk menjelaskan fnomena sastra dengan mengacu pada kondisi ekonomi, social, dan politik sebagai faktor penyebab. Sayang sekali transfer semacam ini sekarang sudah tidak lagi memenuhi harapan seperti yang ditawarkan semula. Banyak promoter studi ilmiah di bidang sastra mengaku gagal atau menjadi skeptis. Sisanya mengimpikan suskes di masa depan. tak heran bila LA. Richards berseloro bahwa ilmu syaraflah yang akan Berjaya di masa depan untuk mengatasi semua masalah sastra. Metode-metode dasar seperti induksi, deduksi, analisis, sintesis, dan perbandingan, sudah umum dipakai disetiap jenis ilmu pengetahuan yang sistematis, termasuk dalam studi sastra. Tetapi ada pemecahan lain yang muncul dengan sendirinya yaitu studi sastra memiliki metode-metode yang abash dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode ilmu-ilmu alam. Hanya orang yang berpikiran picik saja tidak mengakui sumbangan ilmu-ilmu budaya dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Jauh sebelum pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, sebenarnya filsafat, sejarah dan ilmu kenegaraan, teologi, dan bahkan fillologi telah mengembangkan metode-metode yang absah. Hanya perlu ditekankan di sini bahwa tujuan ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan ilmu-ilmu budaya. Adapun perbedaan antara keduanya menurut Wilhelm Dilthey adalah seorang ilmuwan melihat suatu peristiwa dari penyebabnya, sedangkan seorang sejarahwan mencoba memahami maknanya. Proses pemahaman ini bersifat individual bahkan subjektif. Perbedaan lainnya adalah para ahli ilmu pengetahuan alam membuat hukum-hukum yang bersifat umum, sedangkan sejarawan mempelajari fakta yang unik dan jarang terjadi. Di Perancis, A. D. Xenopol membedakan ilmu-ilmu alam dan sejarah. Ilmu-ilmu alam mempelajari fakta-fakta yang berulang, sedangkan sejarah mengkaji fakta-fakta yang silih berganti. Dalam mempelajari suatu periode, aliran, atau satu kesusatraan nasional tertentu, seorang ilmuwan sastra pasti akan mencari kekhususan, cirri-ciri khas, dan kwalitas tertentu yang membedakannya dengan periode, aliran, atau kesusatraan nasional yang lain. Akhirnya, perlu diingat bahwa setiap karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi individual dan umum sekaligus. Yang dimaksudkan dengan individual disini tidak sama dengan seratus persen unuk atau khusus. seperti setiap manusia yang memiliki kesamaan dengan umat manusia pada umumnya, setiap karya sastra mempunyai ciri-ciri yang khas, tetapi juga mempunyai sifat-sifat yang sama dengan karya seni yang lain. Ini tidak berarti bahwa pemahaman dan apresiasi tidak penting lagi. pemahaman dan apresiasi adalah syarat yang harus dipenuhi sebelum kita mengembangkan pengetahuan dan pemikiran terhadap karya sastra. Keahlian membaca memang sangat diperlukan dan menjadi dasar untuk membudayakan apresiasi sastra dalam masyarakat. Tetapi keahlian atau seni membaca tidak dapat mennggantikan studi sastra yang jangkaunnya melampaui apresiasi perorangan. Studi sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus menerus. 1.2 SIFAT-SIFAT SASTRASalah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau yang tercetak. Jadi, ilmuwan sastra dapat mempelajari, profesi kedoktteran pada abad ke-14, gerakan planet pada abad pertengahan atau ilmu sihir di Inggris dan New England. Edwin Greenlaw (teoritikus sastra Inggris) mendukung gagasan ini: segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam wilayah kita. Ilmuwan sastra tidak terbatas pada belles letters atau manuskrip cetakan atau tulisan dalam mempelajari sebuah periode atau kebudayaan, dan kerja ilmuwan sastra harus dilihat dari sumbangannya pada sejarah kebudayaan. Menurut teori Greenlaw dan praktek banyak ilmuwan lain, studi sastra bukan hanya berkaitan erat tapi identik dengan sejarah kebudayaan. Kaitan studi semacam ini dengan sastra hanya terletak pada perhatian terhadap hasil tulisan dan cetakan. Untuk mendukung teori ini, bisa saja dikatakan bahwa para sejarawan terlalu terpaku pada sejarah politik sejarah militer, sejarah ekonomi, dan mengabaikan masalah-masalah lain, sehingga ilmuwan sastra berhak menduduki kawasan tetangganya. Memang tak ada yang berhak melarang seoranh ilmuwan memasuki wilayah yang diminatinya dan mempelajari sejarah kebudayaan dalam arti luas, karena tentu banyak manfaatnya. Tapi akhirnya studi semacam ini bukan studi sastra lagi. ini bukan sekedar debat kursi soal terminology. Sebetulnya, studi yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan cenderung menggeser studi sastra yang murni sebab dalam studi kebudayaan, semua perbedaan dalam teks sastra diabaikan. Kriteri-kriteria luar masuk dalam wilayah sastra. Akibatnya, sastra akan dinilai berharga sejauh bermanfaat bagi disiplin lain. Menyamakan sastra dengan sejarah kebudayaan berarti menolak studi sastra sebagai bidang ilmu dengan metode-metodenya sendiri. Cara lain untuk memberi definisi pada sastra adalah membatasinya pada maha karya yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk ekspresi sastranya. Dalam hal ini, criteria yang diapakai adalah segi estetis, atau dinilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Diantara puisi lirik, drama, dan cerita rekaan, mahakarya dipilih berdasarkan pertimbangan estetis. Buku-buku lain dipilih karena reputasinya atau kecemerlangan ilmiahnnya, ditambah penilaian eseteis atas gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaian. Ini adalah cara yang lazim untuk berbicara tentang sastra. Dengan mengatakan bahwa ini bukan karya sastra, kita sekaligus menjatuhkan suatu penilaian. Demikian pula jika kita menggolongkan buku sejarah, filsafat, atau ilmu pengetahuan sebagai karya yang bernilai sastra. Nampaknya istilah sastra paling tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Memang ada sdikit kesulitan dalam menggunakan istilah ini. Tapi istilah lain, yaitu fiksi (fiction) dan puisi (poetry), terlalu sempit pengertiannya. Sedangkan istilah sastra imajinatif (imaginative literature) dan bellesletters (tulisan yang indah dan sopan, berasal dari bahasa Prancis, kurang lebih menyerupai pengertian etimologis dan susastra), agak kurang cocok dan bisa member pengertian yang keliru.Bahasa sastra penuh ambiguitas dan hominim (kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda artinya), serta memiliki kategori yang tak beraturan dan tak rasional seperti gender (jenis kata yang mengacu pada jenis kelamin dalam tata bahasa). Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Dengan kata lain, bahasa sastra sangat konotatif sifatnya. Bahasa sastra berkaitan lebih mendalam dengan struktur historis bahasa, serta menekankan kesadaran atas tanda. Bahasa sastra memiliki segi ekspresif dan pragmatis yang dihindari sejauh mungkin oleh bahasa ilmiah.Sifat-sifat khas sastra muncul paling jelas bila dilihat dari aspek referensialnya (acuan). Acuannya adalah dunia fiksi atau imjinasi. Karya sastra bukan objek yang sederhana melainkan objek yang kompleks dan rumit.1.3 FUNGSI SASTRASecara koheren fungsi dan sifat sastra tidak dapat dipisahkan. Fungsi puisi sesuai dengan sifat-sifatnya berfungsi paling tepat untuk dirinya sendiri. Manfaat kedua baru diperoleh jika fungsi utamanya habis. Pada setiap karya sastra, pasti ada juga beberapa hal yang tidak fungsional, meskipun tambahan itu dapat diterima berdasarkan alasan lain. Sastra berfungsi menghibur, dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Sejarah estetika dapat dilihat sebagai suatu dialektika. Tesis dan kontraktesisnya adalah konsep Horace Dulce dan utile: puisi itu indah dan berguna. Kalau dilihat secara terpisah, bahwa puisi menghibur (seperti jenis hiburan yang lain), bertentangan dengan pandangan bahwa puisi mengajarkan sesuatu (seperti buku teks).Formula Horace ini akan banyak membantu kalau cakupannya kita perluas sehingga meliputi berbagai gaya dan kecenderungan dalam sastra, misalnya dalam sastra romawi dan Renaisans. Segi manfaat sastra tidak terletak pada ajaran-ajaran moralnya. Le Bussu mengira Homer menulis Iliad untuk itu, bahkan Hegel juga menemukan hal yang sama dalam drama stragedi kesukaannya, Antigone bermanfaat dalam arti luas sama dengan tidak membuang-buang waktu, bukan sekedar kegiatan iseng, jadi, suatu yang perlu mendapat perhatian serius. menghibur sama dengan tidak membosankan, bukan kewajiban, dan memberikan kesenangan.Masalah penting lainnya adalah: apakah sastra mempunyai satu fungsi atau beberapa fungsi ? dalam bukunya Primer For Critics, George Boas menguraikan bermacam-macam tujuan sastra dan tipe kritik sastra. Pada bagian akhir buku The Use Of Poetry and The Use Of Criticism, T.S. mengeluh bahwa ragam puisi dan ragam fungsi puisi ternyata banyak sekali pada kurung waktu yang berbeda. Tapi ini harus dianggap sebagai perkecualian jika kita ingin memperlakukan sastra atau puisi secara serius, seharusnya, ada fungsi atau manfaat sastra yang hanya cocok untuk sastra sendiri.Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk membuktikkan bahwa manfaat dan keseriusan puisi terletak pada segi pengetahuan yang disampaikannya. Jadi, puisi dianggap sejenis pengetahuan. Aritoteles kurang lebih juga mengatakan hal yang sama dalam diktumnya yang terkenal bahwa puisi lebih filosofis dari segi sejarah, karena sejarah berkaitan dengan hal-hal yang telah terjadi, sedangkan puisi berkaitan dengan hal-hal yang telah terjadi, yaitu hal-hal yang umum dan yang mungkin. Tapi sekarang, puisi tidak lagi dibandingkan dengan sejarah yang seperti halnya-sastra juga sudah mulai nampak sebagai disiplin yang longgar. Lagi pula, sekarang lebih yang lebih tampil sebagai saingan sastra adalah ilmu pengetahuan. Maka yang hendak dibuktikan sekarang adalah bahwa sastra memberikan pengetahuan dan filsafat. Pada zaman neoklasik, Samuel Johnson masih menganggap bahwa puisi menyampaikan hal-hal yang umum, The grandeur of generality, sedangkan teoretikus abad ke 20 dari berbagai aliran (Bergson, Gilby, Ransom, Stace, drama Othello) bukan mengenai rasa cemburu secara umum, melainkan rasa cemburu Othello, cemburu yang khas yang dirasakan oleh seorang Moor jika mengawini gadis Venesial.Max Eatman (seorang teoretikus yang juga menulis puisi) menyangkal bahwa pada abad ilmu pengetahuan pikiran sastra adalah pikiran amatir tanpa keahlian tertentu dan warisan zaman prailmu-pengetahuan (prescientific) yang memanfaatkan sarana verbal untuk menciptakan (buka kebenaran. Menurut pendapatnya kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran diluar karya sastra, yaitu suatu pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Novelis tidak mempunyai jalam pintas. Dunia yang diciptakannya akan dikontrakkan dengan kebenaran ilmu dibidang ilmu sosial. Tapi menurut Eatman, mengarang dan pengarang terutama penyair mengira bahwa tugas utama mereka adalah menemukan dan menyampaikan pengetahuan. Padahal fungsi pertama penyair menurut pendapatnya, adalah membuat kita melihat apa yang sehari-hari sudah ada didepan kita dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah ketahui.Pendek kata, pertanyaan mengenai fungsi sastra sudah muncul sejak dahulu dunia barat, sejak Plato hingga sekarang ini bukan masalah yang diungkit oleh para penyair atau orang-orang yang suka puisi. Puisi, sebab untuk orang ini, ( meminjam kata-kata Ralph W. Emerson) Beauty is its own excuse for being. Masalah ini justru dikemukakan oleh para ahli moral, filsuf, negarawan wakil sebagai jumlah nilai atau penguasa nilai-nilai. Apa sih kegunaan puisi? Mereka bertanya dan meragukan fungsi sastra dalam dimensi social dan kemanusiaan. Karena ditantang, penyair dan pembaca (sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab) terpaksa secara moral dan intelektual memberi jawaban. Ini dilakukan dalam Ars Poetica, dalam Defense dan Apology (tulisan-tulisan pembelaan) untuk sastra, yang kurang lebih serupa dengan apologetics dibidang teologis. Menghadapi tantangan dan tuntunan untuk membuktikan fungsi, dengan sendirinya tulisan-tulisan pembelaan menekankan segi manfaat, bukan kenikmatan; dan dengan demikian menyangkut fungsi yang dikaitkan dengan hubungan Ekstrensik atau hubungan dengan hal-hal diluar sastra.

1.4 TEORI, KRITIK, DAN SEJARAH SASTRADalam wilayah studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Pertama-tama yang perlu dipilih adalah perbedaan sudut pandang pengarang yang berbeda yang mendasar kesusastraan dapat dilihat sebagai deretan karya yang sejajar atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari suatu proses sejarah. Selain itu, kesusastraan dapat dipelajari secara umum (melalui studi prinsip, kategori, dan criteria) atau secara khusus (melalui telaah langsung karya sastra). Teori sastra adalah suatu prinsip, kategori dan criteria, sedangkan studi karya-karya kongkret disebut kritik sastra (pendekatan statis) dan sejarah sastra. Adakalanya istilah kritik sastra dipakai untuk mencakup teori sastra. Tetapi kedua istilah ini sebaiknya dibedakan.Ada alasan lain untuk memisahkan sejarah sastra dari kritik sastra. Bahwa penilaian merupakan hal yang penting, tidak dapat disanggah. Tetapi dikatakan pula bahwa sjarah sastra mempunyai criteria dan standarnya sendiri, yaitu criteria dan nilai zaman yang telah lalu. Menurut ahli rekonstruksi sastra, kita harus masuk ke alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang kita pelajari. Kita harus memakai standar mereka dan berusaha menghilangkan segala prakonsepsi kita sendiri. Pandangan mengenai sejarah sastra semacam ini menuntut kemampuan simpati, empati dengan masa silam atau dengan selera masa silam. Karya sastra tidak bisa ditelaah, diuraikan kekhasannya, dan dinilai tanpa dukungan prinsip kritik sastra. seorang sejarawan sastra harus menjadi kritikus sebelum menjadi sejarawan sebaliknya, sejarah sastra sangat penting untuk karya sastra kalau kritik hendak bergerak lebih jauh dari sekedar pernyataan suka ke tidak suka. Seorang kritikus yang tidak peduli pada hubungan sejarah akan meleset penilaiannya. Ia tidak akan tahu apakah karya itu asli apa tiruan. Dan karena buta sejarah, ia cenderung salah dalam pemahamannya atas karya sastra. Kritikus yang tidak di bekali oleh pengetahuan sejarah sastra yang cukup, cenderung membuat tebakan yang sembrono, atau berpuass diri dngan pengalamannya membaca atau bertualang diantara maha karya dan umumnya, kritikus jenis ini enngan membicarakan karya kuno yang dianggapnya bagian para antikuarian (kolektor naskah kuno) dan filolog

1.5 SASTRA UMUM, SASTRA BANDINGAN, DAN SASTRA NASIONALIstilah sastra bandingan dalam prakteknya menyangkut bidang studi dan masalah lain. Pertama, istilah ini dipakai untuk studi sastra lisan, terutama cerita-cerita rakyat dan migrasinya, serta bagaimana dan kapan cerita rakyat masuk ke dalam penulisan sastra yang lebih artistic. Kedua, istilah sastra bandingan mencakup studi hubungan antara kedua kesusastraan atau lebih. Pendekatan ini dipelopori oleh kelompok ilmuan perancis yang disebut komparatistest, dipimpin oleh Fernand,.Ketiga, istilah sastra bandingan disamakan dengan studi sastra menyeluruh. Jadi, sama dengan sastra dunia. sastra umum. Atau sastra universal. Tetapi persamaan ini juga menimbulkan masalah. Disetiap kesusastraan nasional tentu ada masalah mengenai peran daerah dan kota dalam proses pertumbuhan sastra nasinal negeri yang bersangkutan. Kalau kita hendak membuat telaah yang objektif, kita harus dapat membedakan masalah asal-usul keturunan pengarang dan maslah sosiologis daerah dan latar, dan masalah yang berkaitan dengan pengaruh langsung dari latar daerah yang bersangkutan serta tradisi dan ragam sastra. Masalah kebangsaan menjadi semakin rumit kalau kita harus menempatkan karya sastra yang ditulis dalam satu bahasa yang sama ke dalam kelompok beberapa sastra nasional. Sastar universal dan satstra nasional sesungguhnya saling mempengaruhi. Konvensi Eropa yang dominan dimodifikasi disetiap Negara. Di tiap negara juga ada pusat-pusat pengaruh dan ada tokoh-tokoh besar yang sangant ekstrensik dan menonjol kepribadiannya sehingga mempengaruhi cirri sastra nasional untuk menggambarkan kaitan dan peran sastra nasional dan sastra universal, kita perlu mengetahui sejarah sastra secara menyeluruh.

2. BAGIAN KEDUA: PENELITIAN DAN PENDAHULUAN2.1 MEMILIH DAN MENYUSUN NASKAHAda dua tingkat kegiatan kesiapan. Pertama, menyusun dan meyiapkan naskah. Kedua, menentukan urutan karya menurut waktu penciptaan, memeriksa keaslian, memastikan pengarang naskah, meneliti karya keja sama dan karya yang sudah diperbaiki oleh pengarang dan penerbit.Dibidang sastra lisan, permasalahan berbeda. Kecerdikan dan keahlian diperlukan untuk membujuk penyanyi atau pendongeng berbakat untuk menunjukkan kebolehannya. Kegiatan pertama, yakni menyusun dan mengumpulkan naskah dalam bentuk manuskrip atau cetakan kemudian memulai proses editing atau kerja yang rumit, sehingga melibatkan interpretasi dan penelitian sastra. Mengedit manuskrip kuno berbeda dengan mengedit naskah cetakan. Kemudian proses menetapkan silsilah teks hal ini berbeda dengan kritik teks dan koreksi teks. Dalam menyusun kumpulan karya, masalah yang timbul adalah memilih bagian yang harus dimasukkan dan dikeluarkan. Urutan karya dan anotasi juga harus ditentukan. Anotasi naskah perlu dikaitkan dengan tujuan penerbitan suatu edisi. Setelah memilih dan menetapkan naskah, yang harus dilakukan dalam penelitian pendahuluan adalah memecahkan masalah waktu, keaslian, identitas pengarang dan perbaikan naskah yang pernah dilakukan pengarang terhadap naskah. Kronologi biasanya jelas diketahui melalui tahun penerbitan pada halaman judul.Masalah urutan waktu penciptaan semakin rumit dan kadang-kadang tidak mungkin dipecahkan dalam kasus manuskrip tak bertanggal. Yanglebih penting dari urutan waktu penciptaan adalah keaslian dan identitas pengarang. diperlukan penelitian stilistika dan sejarah yang lebih mendalam. Hampir setiap karya sastra modern kita ketahui pengarangnya. Tapi ada juga karya sastra anonym dan karya yang menggunakan nama samaran. Banyak pengarang yang keaslian karyanya dipertanyakan kembali. Kesulitan yang terjadi kalau kita harus menentukan pengarang dari karya tradisional yang selalu seragam gayanya, apalagi jika tanpa dukungan bukti luar sama sekali. Dalam kasus keaslian dan identitas pengarang, yang penting adalah pembuktian. Untuk itu perlu dukungan paleografi, Bibliografi, linguistik dan sejarah. Penentuan tanggal penciptaan tidak menyelesaikan masalah kritik sastra.

3. BAGIAN KETIGA: STUDI SASTRA DENGAN PENDEKATAN EKSTRINSIK3.1 SASTRA DAN BIOGRAFIPenyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptaannya sendiri: Sang Pengarang. Itulah sebabnya penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra. Biografi hanya bernilai sejauh memberi masukan tentang pencintaan karya sastra. Tetapi biografi dapat juga dinkmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya, yang tentu menarik. Biografi dapat juga dianggap sebagai studi ang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Tiga sudut pandang ini perlu dibedakan yang relevan dengan studi sastra adalah yang pertama yang menganggap bahwa biografi menerangkan dan menjeskan proses penciptaan karya sastra yang sebenarnya. Sudut pandang yang kedua mengalihkan pusat perhatian dari karya ke pribadi pengarang. Sedang yang etiga memperlakukan biografi sebagai bahan unuk ilmu pengetahuan atau psikologi penciptaan artistik.Biografi adalah genre yang sudah kuno, tidak membedakan negarawan, jendral, arsitek,ahli hukum dan lain-lain. Tapi, dalam menghadapi penyair yang subjektif, kita tiak boleh lansung menyamakan pernyataan yang bersifat otobiografi dengan penggunaan motif yang sama dengan karya sastra. Karya sastra membentuk satu kesatuan dan berada pada tingkatan yang berbeda. Seandainya pun unsur biografi ada pada karya sastra, unsur itu sudah mengalami penyulapan dan yang tinggal adalah karya yang berdiri sendiri.Akhirnya kita terpaksa menganjurkan agar setiap interpretasi biografis dan pemakaian karya sastra untuk biografi harus selalu di uji dengan kritis, karena karya sastra bukanlah dokumen biografis. Bagaimana pun tetap ada hubungan, kesejajaran, dan kesamaan tidak langsung antara karya dan pengarangnya.kerangka biografi dapat membantu kita mempelajari masalah pertumbuhan, kedewasaan, dan merosotnya kreatifitas pengarang. Biografi juga mengumpulkan bahan untuk mnjawab masalah sejarah sastra seperti bacaan pengarang, persahabatan pengarang dengan sastrawan lain, perjalanannya, serta daerah dan ota-kota yang pernah dikunjungi dan ditinggalinya. Semua ini menjelaskan tradisi yang berlaku di daerah pengarang, pengaruh yang didapatkannya, dan bahan-bahan yang dipakainya dalam karya sastra.Meskipun demikan pendekatan tetap mempunyai dampak terhadap penilaian karya sastra. Tidak ada bukti bahwa biografi dapat menambah atau mempengaruhi penilaian kritik sastra. Kriteria ketulusan tidak dapat diartikan sejauh mana karya sastra patuh pada kejujuran biografis. Ini berarti mencari persamaan langsung antara pengalamandan perasaan pengarang didalam dan diluar karya sastra. Perasaan yang paling jujur dan mengebu-gebu banyak menghasilkan sajak-sajak remaja yang cengeng atau puisi dakwah yang bertele-tele.3.2 SASTRA DAN PSKOLOGIIstiah psikologi sastra mempunyai 4 kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yag kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pergunjingan. Sejak zaman Yunani, kejeniusan dianggap disebabkan oleh semacam kegilaan dari tingkat neurotik sampai psikosis. Penyair adalah orang yano kesurupan. Ia berbea dengan orang lain, dan dunia bawah sadar yang disampaikan karyanya dianggap berada dibawah tingkat rasional atau justru suprarasional. Pandangan freud tentang pengarang tidak tetap. Seperti tokoh-tokoh psikoogi Eropa yang lain, freud adalah orang yang sangat berbudaya dan mendapatkan dasar pendidikan austria yang menghargai karya yunani dan jerman klasik. Menurut freud:Seniman asal mulanya adalah seseorang yang lari dari kenyataan ketika untuk pertama kalinya ia tidak dapat memenuhi tuntutan untuk menyangkal pemuasaan insting. Kemudian dalam kehidupan fantasinya ia memuaskan keinginan erotik dan ambisinya. Tetapi ia dapat menemukan jalan untuk keluar dari dunia fantasi ini dan kembali ke kenyataan, dan dengan bakatnya yang istimewa, ia dapat membentuk fantasinya menjadi suatu jenis realitas baru, dan orang menerimanya sebagai bentuk perenungan hidup yang bernilai. Jadi, dengan jalan khusus ia menjadi sang pahlawan, raja, pencipta, tokoh favorit yang memang di impikannya, tanpa harus melalui jalan berputar untuk membuat perubahan nyata pada dunia luar.Penyair adalah pelamun yang diterima masyarakat. Penyair tak perlu mengubah kepribadiannya, ia boleh meneruskan dan mempublikasikan lamunannya. Salah satu kecndrungan yang lain yang ada pada seniman (terutama penyair) adalah stinestesia. Kecenderungan psikologis ini bersumber dari kebiasaan untuk tidak membedakan macam-macam penginderaan. Tetapi sekarang stinestesia sudah menjadi teknik sastra, semacam terjemahan metaforis, seperti ungkapan berlebihan sajak-sajak metafisis, suatu sikap estetis tertentu terhadap kehidupan.Setiap pembahasan modern tentang proses kreatif pasti menyorot peran alam bawah sadar dan alam sadar pengarang. Memang mudah mengkontraskan priode romantik dan priode ekspresionistis yang mengagungkan alam bawah sadar, dengan periode klasik dan ealistis yang menekankan intelegensia, komunikasi dan penyempurnaan teks. Tapi perbandingan seperti ini barang kali terlalu dilebih-lebihkan.Frase asosiasi ide adalah istilah yang kurang tepat untuk menggambarkan kecendrungan sastrawan terhadap bahasa. Selain hubungan asosiasi kata dengan kata yang lain ada juga asosiasi pikiran dengan objek. Kategori utama asosiasi semacam ini adalah kaitan antara tempat dan waktu, serta antara persamaan dan perbedaan. Jadi, pembicaraan tokoh bisa dianggap campuran dari tokoh tipe yang sudah ada dalam tradisi sastra, orang-orang yang diamati oleh pengarang, dan pengarang sendiri.Memang, kadang-kadang ada teori psikologi tertentu yang dianut pengarang secara sadar atau samar-samar oleh pengarang, dan teori ini cocok untuk menjelaskan tokoh dan situasi cerita. Tentu bisa dipertanyakan, apakan pengarang berhasil memasukkan psikologi ke dalam tokoh dan hubungan antar tokoh. Pernyataan pengarang bahwa ia mengetahui teori psikologi tertentu tidak cukup dan perlu dibuktikan. Untuk seniman-seniman tertentu, psikologi membantu mengentalkan kepekaan mereka pada kenyataan, mempetajam kemampuan pengamatan, dan memberi kesempatan untuk menjajaki pola-pola yang belum terjamah sebelumunya. Tapi psikologi itu sendiri baru merupakan suatu persiapan penciptaan. Dalam karya sastra, kebenaran psikologis baru mempunyai nilai artistik jika ia menambah koherensi dan kompleksitas karya. Dengan kata lain, jika kebenaran psikologis itu sendiri merupakan suatu karya seni.3.3 SASTRA DAN MASYARAKATSastra adalah institusi sosial yang mmakai medium bahasa. Teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Pembahasan hubungan sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari frasa de bonald bahwa sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengespresikan hidup. Hubungan yang bersifat deskriptif antara sastra dan masyarakat dapat dikalsifikasikan sebagai berikut :1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, institusi sastra.2. Isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dan berkaiatan dengan maalah sosial.3. Permasalahan pembaca dan dampak sosial karya satra.Karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial kita dapat mengumpulkan informasi tentang latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi pengarang. Pendekatan umum yang dilakukan terhaap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial. Sastra terjadi dalam konteks sosial, situasi sosial, memang menentukan kemungkinan inyatakannya nilai-nilai estetik, tapi tidak secra langsung menentukan nilai-nilai tersebut. Tetapi masalah satra dan masyarakat dapat diletakkan pada suatu hubungan yang lebih bersifat simbolik dan bermakna. Kita dapat emahami istilah-istilah yang 3.4 SASTRA DAN PEMIKIRANAda berbagai macam cara untuk menjabarkan hubungan sastra dengan pemikiran. Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus.jadi, sastra di anaisis utuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Mahasiswa sering di minta membuat ringkasan atauabstrak karya sastra untuk mencari geeralisasi semacam itu.meskipun sekarang ilmuan sudah jenuh mengorek-ngorek hal yang ilmiah dari karya sastra, sampai sekarang karya sastra masih sering di bahas sebagai karya filsafat sebaliknya, ada pandangan yang meragukan kandungan filsafat pada karya sastra. Pandangan ini di suarakan oleh George Boas. Boas mengatakan bahwa orang terlalu melebih-lebihkan kadar ilmiah puisi. Memang benar, banyak puisi yang terkenal karena filsafatnya, ternyata percuma berbicara tentang hal-hl yang umum. Pemahaman kita terhadap keunikan karya sastra akan kacau kalau kita meringkas karya sastra menjadi pernyataan-pernyataan doktrin. Lebih para lagi akibatnya kalau kita sekadar mengambil satu atau dua kalimat, atau bagian dari karya sastra, terlepas dari keseluruhan karya itu. Ini berarti kita merusak keutuhan karya dan memasukkan kriteria penilaian asing ke dalam karya sastra. Memang karya sastra dapat di anggap sebagai dokumen sejarah emikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran. Secara langsung atau melalui alusi-alusi dalam karyanya, kadang-kadang pengarang menyatakan bahwa ia menganut aliran filsafat tertentu, mempunyai hubungan dengan paham-paham yang dominan pada zamannya. Beberapa puluh tahun yang lalu, sekelompok ilmuan amerika menggambarkan studi hubungan sastrawan dengan pemikiran, dan menamakan metode mereka sejarah pemikiran. Menurutnya, metodenya berbeda dengan filsafat dalam dua hal. Yang pertama, studi filsafat hanya mencakup pemikir- pemikir besar, sedangkan kedalam sejarah pemikiran juga memasukkan pemikir pemikir yang kurang terkenal, termasuk penyair yang di lihatnya sebagai turunan dari pemikir. Yang kedua, sejarah filsafat mempelajari sitem-sistem besar, edangkan sejarah pemikiran menelusuri bagian dari sistem itu yakni motif- motif pribadi. Batasan ini secara umum kurang meyakinkan. Sejarah konsep-konsep filsafat, bagaimanapun juga harus di masukkan ke dalam sejarah filsafat. Mempelajari bagian-bagian pemikiran tanpa elihat dari keseluruhan sistem, sama seperti mempelajari sejarah sastra hanya dari sejarah puisi, diksi, atau pencitraan. Keduanya sama-sama berat sebelah. Sejarah pemikiran adalah suatu pendekatan khusus, yang memakai sastra hanya sebagai dokumen dan contoh saja. Meskipun demikian, sejarah pemikiran perl di sambut baik dengan peminat sejarah sastra. Sejarah pemikiran secara tidak langsung membantu pemahaman sastra.Lagi Manfaat pengetahuan sejarah filsafat bagi pemahaman karya sastra memang sangat besar. Lagi pula, sejarah sastra terutama di penuhi oleh pengarang-pengarang seperti pascal secara terus- menerus berisi masalah- masalah sejarah pemikiran. Kalau di lihat secara terpisah sejarah sastra zamannya, sejarah kritik memang merupakan bagian dari sejarah pemikiran estetika.Pada kesusastraan lain, studi pengaruh pemikiran mungkin lebih kaya lagi. Pada waktu gerakan simbolisme muncul di Rusia, sekelompok kritikus beraliran metafisi mengintrpretasikan karya sastra dari sudut padang filsafat mereka. Sejumlah metode yang berkembang di jerman mencoba memperhatikan keberatan-keberatan terhadap penekanan terhadap unsur ilmiah yang berlebihan dalam pendekatan filsafat. Rudolf unger mengatakan bahwa sastra bukanah filsafat yang di terjemahkan dalam bentuk pencitraan dan sajak, melainkan ekspresi suatu sikap yang umum terhadap suatu kehidupan. Penyair biasanya menjawab dengan cara yang tidak sistematis permasalahn yang juga merupakan tema-tema filosofis tetapi cara menjawabnya, bersifat puitis dan berbeda pada setiap situasi dan zaman.Hubungan yang padu antara filsafat dan sastra sering hanya merupakan ilusi saja. Hubungan yang padu dibuktikan atas dasar penelitian tentang idiologi sastra, pernyataan tentang tujuan penulisan, dan rencana- rencana yang tidak langung berkaitan dengan pencitraan karya sastra yang sebenarnya. Memang keraguan akan adanya integrasi tidak dapat membanta bahwa hubungan itu ada dan bahwa ada kemungkinan yang terjadi kesejajaran. Kesejajaran ini di ciptakan oleh kesamaan latar sosial dan kurung waktu tertentu, atau oleh kesamaan pengaruh pada sastra dan filsafat. Tetapi asumsi kesamaan latar sosial di sini dapat menyesatkan. Filsafat sering di anut oleh kelas tertentu yang bukan merupakan kelas sastrawan. Sastrawan sering mempunyai latar sosial yang berbeda dengan filsuf. Filsafat mempunyai sejarah dan dialektikanya sendiri, serta mempunyai aliran dan gerakan-gerakannya sendiri.Yang di maksud dengan pemikiran di sini bukan pemikiran yang di pakai hanya sebagai bahan mentah atau informasi. Permasalahan masuknya pemikiran dalam kesusastraan baru muncul kalau pemikiran mulai di wujudkan dalam tekstur karya sastra dan menjadi bagian dari karya sastra. Dalam sejarah sastra, kadang-kadang pemikiran menyala langsung dari wujud karya sastra. Tokoh dan adegan bukan saja mewakili melainkan mewujudkan pemikiran.

4. BAGIAN KEEMPAT: STUDI SASTRA DENGAN PENDEKATAN INTRINSIK4.1 SASTRA DAN SENIHubungan sastra dengan seni rupa dan seni musik sangat beragam dan rumit. Kadang- kadang puisi mendapat inspirasi dari lukisan, patung, atau musik. Karya seni seperti halnya benda dan manusia sering menjadi tema dan objek puisi. Sebaliknya, sebagaimana sastra terutama lirik dan drama banyak memakai musik, sastra juga bisa menjadi tema seni lukis atau musik terutama seni suara dan musik program di samping masalh sumber dan pengaruh, inspirasi dan kerja sama, ada masalah lain yang lebih penting. Karya sastra sering menghasilkan efek yang sama dengan efek sebuah lukisan. Ada kalanya puisi menjadi mirip patung. Kesejajaran sastra dengan seni sering membuat orang merasa bahwa lukisan dan puisi tertentu menghasilkan suasana hati yang sama. Misalnya, oang merasa senang jika mendengar Minuet karya Mozart, dan membaca puisi Amacreontic. Tetapi kesejajaran semacam ini kurang bermanfaat untuk analisis yang tepat. Salah satu pendekatan lain adalah dengan mencari maksud dan teori seniman penciptanya. Pasti kita dapat menunjukkan kesamaan teori dan formula di balik dua karya seni yang berbeda. Jadi, teori dan maksud yang di sadari seniman sering berbeda- beda pada setiap cabang seni, dan tidak banyak membantu. Pendekatan yang lebih bermanfaat dari pendekatan melalui maksud pengarang adalah perbandingan karya seni berdasarkan latar sosial dan budaya yang sama. Kita dapat menguraikan latar belakang waktu, latar tempat, dan latar sosial karya seni dan sastra, dan menunjukkan adanya pengaruh- pengaruh yang sama pada kedua cabang seni itu.Akhirnya, kita di hadapkan ada masalah lain lagi. Pada satu waktu tertentu atau padakesusastraan nasional tertentu, satu atau dua cabang seni sangat produktif, sedangkan cabang seni lainnya gersang atau di penuhi karya tiruan atau turunan. Zaman keemasan sastra pada zaman elizabeth tidak di imbangi oleh kemajuan di bidang seni rupa dan jawaban bahwa seangat nasional zaman itu terkonsentrasi pada satu cabang seni saja tidak banyak memperjelas masalah tapi alasan ini tidak cukup untuk menerangkan perbedaan tingginya produktifitas sastra sekuler dengan rendahnya penciptaan dalam seni lukis. Tetapi, pertanyaan- pertanyaan ini membawa kita terlalu masuk ke dalam permasalahn sejarah sastra yang khusus.4.2 MODUS KEBERADAAN KARYA SASTRASebelum kita menganalisis karya satra, kita perlu mengajukan sebuah pernyataan epistemologis yang sulit mengenai keberadaan atau situs etismologis karya sastra. Apakah puisi yang sebenarnya itu? Dimana kita mencarinya? Bagaimana puisi itu hidup? Jawaban yang benar akan membuka jalan karya sastra dengan layak. Ini adalah jawaban pertama puisi merupakan sebuah artefak sebuah objek yang sama dengan lukisan yang sama dengan lukisan atau patung. Jadi, karya sastra bisa disamakan dengan garis hitam pada kertas putih, atau kertas kuno atau seperti puisi Babilon, tulisan yang ditatah pada batu bata. Tulisan merupakan cara menyalin karya sastra. Kalau kita menghancurkan semua cetakan buku sastra, mungkin saja karya satra tidak punah. Mungkin karya sastra itu tersimpann dalam tradisi lisan atau dalam ingatan orang. Tapi, kalau kita telah menghancurkan lukisan atau patung atau bangunan , berarti kita telah memusnahkan karya-karya seni tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa banyak karya sastra lenyap dan musnah karena tulisannya hilang. Sarana tradisi oral yang secara teoritis bisa dipakai untuk menyelamatkannya, ternyata gagal berfungsi atau terputus. Tulisan, terutama cetakan telah memungkinkan kemungkinan kesinambungan sejarah sastra, serta banyak meningkatkan keutuhan dan kesatuan karya sastra. Lagi pula, dalam periode-periode tertentu dalam sejarah puisi, lukisan grafis telah menjadi bagian dari puisi. Ideogram yang berbentuk gambar pada puisi Cina, menurut Ernest Fenollosa, merupakan bagian dari makna puisi. Pada tradisi barat, ada juga fungsi grafis misalnya puisi Altar atau Churchfloor karya George Herbert, dan puisi-puisi metafisik yang bisa disamakan dengan gongorisme di Spanyol, marinisme di Italia, dan puisi barat di Jerman. Jawaban kedua dalah urutan bunyi yang diucapkan oleh pembaca karya satra, sebagai inti dari karya sastra. Batasan ini disukai oleh deklamator, tetapi bukan batasan yang memuaskan. Setiap pembacaan puisi adalah penyajian puisi, tetpai bukan puisi iitu sendiri tingkatannya sama dengan penyajian musik oleh pemain musik. Asumsi bahwa puisi ada dalam pembacaan puisi, menghasilkan kesimpulan yang aneh: puisi tidak ada kalau tidak dibacakan, dan puisi selalu diciptakan kembali pada setiap pembacaan. Tetapi, yang penting disadari adalah bahwa pada setiap pembacaan puisi selalu muncul unsure-unsur yang melebihi puisi itu sendiri. Perbedaan gaya pengucapan, penekanan, tempo, dan tinggi rendah suara ditentukan oleh kepribadian pembaca, dan menunjukkan interpretasi pembaca terhadap puisi yang dibacanya. Jawaban ketiga merupakan jawaban yang paling umum kita dengar. Puisi adalah pengalaman pembacanya. Sebuah puisi tidak lebih dari proses mental masing-masing pembaca. Jawaban psikologis ini juga tidak memuaskan. Pengalaman membaca puisi ditentukan oleh kebiasaan yang bersifat individual, diwarnai oleh suasana hati dan persiapan pembacanya. Dengan sendirinya, pembaca yang kurang atau tidak berpengalaman tentu lebih banyak membuat diustorsi dan lebih dangkal pemahamannya. Jawaban keempat diajukan untuk megatasi masalah ini. Puisi adalah pengalaman penyair. Hanya dalam kurung, kita dapat menolak pandanmgan bahwa puisi adalah pengalaman penyair pada waktu tertentu sesudah ia menciptakan karya sastra, yaiu saat iya membaca ulang puisinya. Sekarang ia menjadi pembaca keryanya dan bisa melakukan kesalahan serta salah interpretasi sepeti pembaca lain. Alternative lain bahwa puisi merupakan pengalaman total (sadar dan tidak sadar) pada waktu penciptaan, juga tidak memuaskan. Teori ini mempunyai kekurangan karena meletakkan masalah pada suatu factor x yang masih merupakan hipotesis dan sulit diukur. Selain itu, puisis dianggap sebagai pengalaman subjektif yang sudah lewat. Pengalaman pengarang selama mencipta berhenti begitu puisi itu selesai diciptakan. Jawaban yang diakaitkan dengan psikologi perorangan atau sosial tidak dapat ditemukan. Puisi bukanlah pengalaman perorangan maupun gabungan pengalaman. Puisi hanya merupakakn suatu penyebab potensial dari pengalaman. Batasan yang dikaitkan dengan alam pikiran cenderung gagal karena tidak memperhitungkan ciri-ciri normative puisi dan kemungkinan salah interpretasi. Ahli linguistik modern sudah menganalisis bunyi potensial yang disebut fonem. Mereka juga menganalisis morfem dan sintagma. Analisis karya sastra juga mengahadapi masalah-masalah yang sama, yakni cara memecahkan unit makna dan sususnan tertentu yang berfungsi estetis. Unit makan, kalimat, struktur kalimat, semuanya mengacu pada objek, menyusun kenyataan imajinatif seperti pemandangan, interior rumah, toko, lakuan, pemikiran. Semua ini dapat dianalisis sedemikian rupa sehingga tidak tercampur dengan kenyataan empiris, dan tidak mengabaikan kenyataan bahwa kenyataan imajinatif itu berada dalam struktur linguistik. Tetapi, konsepsi sastra sebagai sistem norma yang berstratifikasi, tetapi tidak menjelaskan modus keberadaan sistem ini. Untuk memecahkan masalah ini dengan baik, kita harus menyelesaikan kontroversi antara nominalisme dan realisme, mentalisme, dan aliran behaviorisme. Dengan kata lain, kita harus menyelesaikan masalah epistemologi. Karya sastra tidak mempunyai status ontologisme tetapi karya sastra adalah sesuatu yang diciptakan pada suatu titik waktu dapat berubah dan musnah. Karya sastra dalam hal ini lebih menyerupai sistem bahasa, walaupun momen penciptaan dan lenyapnya lebih sulit dilihat dari bahasa karena karya sastra meruypakan ciptaan perorangan. Karya sastra bukanlah benda nyata, mental, atau ideal. Karya sastra adalah system norma dari konsep-konsep ideal yang intersubjektif. Konsep-konsep itu berada dalam ideology kolekktif dan berubah bersama ideology tersebut. Konsep-konsep itu hanya dapat dicapai melalui pengalaman mental perorangan yang didasarkan pada struktur bunyi kalimatnya. Kita belum membicarakan masalah nilai artistik. Tetapi, pembicaraan diatas seharusnya telah menyiratkan bahwa tidak ada struktur diluar norma dan nilai. Kita tidak dapat memahami dan menganalisis karya sastra tanpa menmgacu pada nilai-nilai. 4.3 EFONI, IRAMA DAN MATRAKarya sastra adalah urutan bunyi yang menghasilkan makna. Pada sejumlah karya sastra, stratum bunyi memang kadang-kadang kurang penting dan bahkan tidak terlihat fungsinya. Dalam banyak karya sastra, termasuk karya prosa, stratum bunyi menarik perhatian dan merupakan bagian integral untuk menghasilkan efek estetis. Dalam menganalisis efek bunyi, kita harus selalu mengingat dua prinsip penting yang sering dilupakan. Pertama-tama, kita harus membedakan penyajian puisi secara lisan dan pola suara puisi. Asumsi kedua yang umum adalaah bahwa bunyi harus dianalisis terpisah dari makna. Dilihat dari keutuhan karya sastra, asumsi ini keliru dan jelas salah tidak ada puisi musikal yang tidak bermakna. Kita tidak boleh melupakan bahwa efek bunyi berbeda dari suatu bahasa ke bahasa lainnya. Tiap bahasa mempunyai system fonetiknya sendiri. Jadi, tiap bahasa memiliki vokal-vokal yang bertolak belakang dan yang varalel, serta konsonan-konsoanan yang mirip. Perlu diingat pula bahwa efek bunyi tidak dapat dipisahkan dari makna dan nada setiap baris dan puisi. Hyal ini dapat dibuktikan melalu studi rima. Rima adalah suatu gejala yang sangat rumit. Sebagai pengulangan bunyi, rima mempunyai fungsi efoni meskipun mendasar, unsur bunyi seperti itu hanyalah merupakan suatu aspek dari rima. Yang lebih penting secara estetis adalah fungsi matra yang menandai berhentinya setiap baris puisi. Tapi yang penting diingat, rima mempunyai makna dan sangat terlibat dalam membentuk ciri puisi secara keseluruhan. Kata-kata disatukan, dipersamakan, dan dikontraskan oleh rima.Irama dan matra membawa masalah yang lain dari pengorkesan. Irama dan matra sudah dipelajari panjang lebar, dan berbagai buku ditulis tentang hal itu. Masalah irama bukan hanya terbatas pada sastra atau bahkan bahasa. irima merupakan gejala linguistik. Prosodi atau ilmu matra adalah bidang yang sudah banyak ditekuni. Banyak penelitian dilakukan dalam penelitian ini pada abad-abad terakhir. Dalam hubungan ini, kita cukup mmbahasa tipe-tipe utama dalam teori matra dan tipe-tipe gabungan. Tipe pertama yang paling tua disebut prosodi garafis. Tipe ini memakai tanda-tanda garafis untuk menandai matra panjang dan pendek, oleh suku kata bertekanan dan tidak bertekanan. Tipe kedua adalah teori music yang didasarkan pada asumsi bahwa matra dalam puisi sama dengan irama musik. Karenanya menurut tipe ini matra paling tepat disimbolkan dengan notasi musik. Teori matra ketiga deisebut matra akustik. Teori ini didasarkan pada penelitian objektif, dan sering memakai peralatan seperti osilograf yang dapat membuat rekaman dan memotret pembacaan puisi. Matra akustik telah berhasil meletakkan unsur-unsur membentuk matra secara jelas. Osilograf menunjukkan sekeras apa, selama apa dan dengan perubahan ada apa seorang deklamator membcakan sajak. 4.4 GAYA DAN STILISTIKAStudi bahasa sangat penting dalam studi puisi. Tetapi kita maksudakan dengan studi bahasa adalah studi hal-hal yang biasanya diabaikan dan disepelekan oleh ahli-ahli linguistic professional kecuali sejumlah masalah pengucapan yang diperlukan untuk sejarah matra dan rima. Ada dua sudut pandang dalam mempelajari bahasa karya sastra. Tapi, studi linguistic hanya bermanfaat untuk studi sastra kalau bertujuan memiliki efek estetis bahasa, kalau menjadi stilistika. Stilistika tidak lebih dari sekadar empresionisme belaka. Asumsi bahwa kita sudah mengenal dengan baik perbedaan dengan bahasa sehari-hari dan deviasi artistik pada periode-peroide awal kesusastraan tidaklah berdasar. Ada usaha-usaha untuk melihjat stilistika hanya sebagai suatu bagian dari linguistic. Tapi stilistika, tetap memiliki permasalahannya sendiri. Stilistika yang dilihat secara luas, meneliti semua teknik yang dipakai untuk tujuan ekspresif tertentu dan meliputi wilayah yang lebih luas dari sastra dan retorika. Semua teknik untuk membuat penekanan dan kejelasan dapat dimasukkan dalam wilayah stilistika. Dalam stilistika tradisional masalahnya biasa dijawab dengan sembarangan saja. Bentuk-bentuk diletakkan dalam dikotomi antara bentuk yang menguatkan dan bentuk yang melemahkan. 1. Berdasarkan kaitan kata dengan objek gaya dibagi menjadi gaya konseptual dan gaya indriawi, gaya ringkas dan gaya bertele-tele, merendahkan atau melebihkan, jelas atau kabur, tenang atau manggebu-gebu. 2. Berdasarkan hubungan antar kata, gaya bisa diklasifikasikan menjadi gaya tenang atau lepas, plastic atau musical, tak berwarna atau berwarna-warni.3. Berdasarkan kaitan kata dengan system total bahasa, gaya bisa dibagi menjadi gaya lisan atau tulisan, klise atau unik,.4. Berdasarkan hubungan kata dengan pengarangnya, ada gaya yang objektif dan yang subjektif.Stilistika dipakai untuk merekomendasikan gaya menengah tertentu yang menekankan kejelasan, ketepatan, dan mengarah ke disiplin pendidikan tertentu atau untuk mengagungkan bahasa tertentu. Stilistika bandingan nampaknya akan menjadi ilmu penting di masa depan. Manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis, membatasi lingkup bidang ini khusus untuk studi karya sastra dan kelompok karya yang dapat diuraikan fungsi dan makna estetisnya. Ada dua kemungkinan pendekatan stilistika. Yang pertama dimulai dengan analisis sistematis tentang system linguistic karya sastra dan dilanjutkan dengan innterpretasi tentang ciri-cirinya dilihat dari tujuan estetis karya tersebut sebagai makna total. Kedua, mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan system satu dengan system-sistem yang lain. Di sini metodenya adalah pengkontrasan. Kita mengamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal dan berusaha menentukan tujuan estetisnya. Metode analisis stilistika yang memperhatikan kekhasan gaya dan mempelajari kecenderungan yang membedakan gaya tersebut dari system linguistic yang mengelilinginya ada bahayanya. Kita cenderung menyimpulkan pengamatan yang terpisah-pisah, menyatukan beberapa contoh kecenderungan yang menonjol, dan lupa bahwa karya sastra merupakan kesatuan. Yang lebih baik adalah usaha menguraikan gaya secara lengkap dan sistematis sesuai dengan prinsip-prinsip linguistic.Analisis stilistika akan membawa keuntungan besar bagi studi sastra jika dapta menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra, dan jika dapat menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra dari keselurujhan unsurnya. Ilmuan-ilmuan Jerman juga mengembangkan pendekatan sistematis yang disebut Motiv und Wort. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi paralelisme antara kecenderungan linguistic dengan unsure isi. Memang, bagaimana pun hebatnya penelitian yang dilakukan, stilistika psikologis terbuka pada dua kelemahan. Banyak hubungan yang ditemukan yang tidak didasrkan pada kesimpulan dari bahan-bahan linguistic. Jadi, pendekatan psikologis Jerman Stilforschung harus diterapkan dengan hati-hati. Pendekatan ini sering mirip psikologis genetic tersamar, asumsi-asumsinya jelas sangat berbeda dari estetika Croce yang dipakai sebagai contoh. Dalam system Croce (yang bersifat monistik) tidak ada perbedaan antara keadaan pikiran dan ekspresi linguistic. Pemikirannya yang orisinal tentang implikasi proses terlalu dipaksakan sehingga semua perbedaan ajdi hilang. Padahal, seharusnya proses dan karya, isi dan bentuk, ekspresi dan gaya, harus dipisahkan dalam suatu ketegangan sementara, sampai keutuhan dapat dibuktikan. Sejarah seni telah menyusun beberapa gaya yang sudah diakui, seperti gaya klasik, gaya gotik, gaya renaisans, dan gaya Barok. Tampaknya, hal ini menarik peneliti untuk mengalihkan istilah-istilah itu ke bidang kesusastraan. Tetapi dalam menerapkannya, kita kembali berhadapan dengan masalah hubungan sastra dengan seni, paralelisme antarcabang seni, dan urutan-urutan periodisasi sastra peradaban.

4.4 CITRA, METAFORA, SIMBOL DAN MITOSSecara semantik, ke empat istilah ini memang saling bertumpang tindih; ke empatnya jelas menunjuk ke suatu titik perhatian yang sama. Mungkin unrutan ke empat istilah itu merngarah ke suatu titik temu dari dua buah garis, yang sama pentingnya untuk teori puisi. Yang pertama adalah keistimewaan indriawi atau unsur-unsur estetik dan indriawi yang menghubungkan puisi dengan music dan lukisan, serta membedakannya dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Yang kedua adalah perlambangan atau tropologi (khiasan) wacana tidak langsung yang berbicara dengan bahasa metonimia dan metafora yang membandingkan dua dunia, dan meyampaikan tema melalui pemindahan ari satu idiom ke idiom yang lain.Pencitraan adalah topic yang termasuk dalam bidang psikologi dan studi sastra. Dalam psikologi, kata citra berarti reprodeksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indriawi dan berdasarkan presepsi, dan tidak selalu bersifat visual. Dari pengertian pertama yang melihat pencitraan sebagai perwujudan kembali bekas-bekas pengindriaan, kita beranjak ek pengertian kedua, yaitu pencitraan sebagai analogi dan perbandingan.Yang pertama harus dicatat simbol selalu secara terus menerus menampilkan dirinya. Suatu citra dapat dibangkitkan melalui sebuah metafora. Tetapi jika citra itu terus menerus muncul sebagai suatu perwujudan yang mewakili sesuatu, citra pun menjadi simbol dan bahkan dapat menjadi bagian dari sistem simbolis, sistem yang mengandung mitos.mitos adalah istilah yang popular dalam kritik modern. Istilah ini mengacu danmeliputi wilayah makna yang penting, yang masuk dalam bidang agama, folklore, antropologi, sosiologi, psikoanalisis dan seni rupa.Seperti matra, pencitraan adalah salah satu komponen struktur karya sastra. Dalam skema kita, pencitraan adalah bagian dari stratum sintaksis dan stilistika. Pencitraan harus dipelajari bukan secara terpisah dari strata lain, melainkan harus dilihat dalam totalitas dan keutuhan karya sastra yang dipelajari.4.5 SIFAT DAN RAGAM FIKSI NARATIF Realitas dalam karya fiksi, yakni ilusi kenyataan dan kesan meyakinkan yang ditampikan kepada pembaca, tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari. Realisme dan naturalisme dalam drama atau novel adalah gerakan, kovensi, dan gaya sastra atau sastra filsafat seperti romantisme dan surealisme.fiksi menampilkan sesuatu yang khas, yang universal, seperti tipe orang pelit. Ada sebuah catatan tentang kata naratif. Dikaitksn dengan fiksi, kata ini meyiratkan perbedaan dengan fiksi yang dimainkan, yakni drama. Sebuah cerita, fable, memang dapat disajikan oleh beberapa orang atau diceritakan oleh seseorang pendongeng. Pola utama fiksi naratif adalah sifatnya yang mencakup semua unsur penceritaan : fiksi naratif menyela adegan dialog dengan uraian yang meringkas kejadian dalam cerita. Dalam bahasa inggris terdapat dua ragam fiksi naratif yang pertama disebut romance (romansa) dan yang kedua novel. Novel bersifat realistis, sedangkan romansa bersifat puitis dan epic (atau kita sekarang dapat meyebutnya bersifat sebagai mitos). Dua tipe ini, yang merupakan kutub-kutub yang bertentangan, menunjukkan bahwa novel berasal dari dua sumber yang berbeda. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi : surat, jurnal, biografi, sejarah. Sedangkan romansa merupakan kelanjutan dari epic. Romansa mungkin mengabaikan kepatuhan pada detil (misalnya dalam menyusun dialog yang mirip cara bicara orang dalam kenyataan). Kritikus yang menganalisis novel, umumnya membedakan tiga nusur pembentuk novel : alur, penokohan, dan latar. Masalah utama dalam metode naratif menyangkut hubungan pengarang dengan karyanya. Pengarang jelas absen dalam sebuah drama : ia menghilang di belakang layar. Tetapi seorang penyair epic menarasikan ceritanya seperti seorang pendongeng professional dan mewarnai narasinya dengan gaya penuturannya sendiri. Ada dua macam narasi yang merupakan defiasi dari ragam narasi epic:yang pertama dapat disebut narasi romantic-ironis. Narasi ini cenderung mendobrak ilusi bahwa yang disampaikan adalah kehidupan, bukan seni. Narasi ini menekankan sifat sastra tulisan.4.6 GENRE SASTRATeori genre adalah suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu atau tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu. Genre itu tidak bersifat tetap penambahan beberapa karya baru, kategori bergeser. Vietor menyarankan agar istilah genre tidak dipakai untuk kategori drama, epic, dan lirik, dan juga tidak untuk pembagian jenis secara historis menjadi tragedy dan komedi. Memang sebaiknya untuk ketiga kategori di atas, kita tidak memakai istilah genre, karena penerapannya lebih sulit dan sering tidak perlu. Tetapi istilah genre perlu diterapkan untuk pembagian jenis secara historis menjadi tragedy dan komedi. Pada abad ke-18 prosa dianggap terdiri dari dua spesies: novel dan romansa. Pembagian atas sebagian semacam inilah yang berada pada urutan kedua yang sebaiknya disebut sebagai genreSecara umum, konsepsi kita terhadap gendre harus bertolak dari sisi formalistis. Kita sebaiknya membuat genre berdasarkan jumlah suku kata atau bentuk daripada berdasarkan isinya (misalnya novel politik, novel tentang pekerja pabrik). Kita harus berfikir tentang jenis-jenis sastra, bukan klasifikasi isi yang juga bisa diterapkan pada karya nonfiksi.Salah satu nilai yang jelas dari pendekatan genre adalah kenyataan bahwa pendekatan itu memperhatikan perkembangan internal sastra. Beberapa topik penting teori genre, yang pertama menyangkut kaitan antara genre-genre primitf (sastra lisan dan sastra rakyat) dengan genre-genre sastra yang berkembang. Masalah yang lain, menyangkut kesinambungan genre-genre.Masalah genre jelas merupakan masalah inti sejarah sastra dan sejarah kritik sastra, serta kaitan antara keduanya. Masalah genre meletakkan masalah filosofis yang menyangkut kaitan antara kelas dan individu pengarang, serta kaitan antara satu orang dan banyak orang, dalam konteks sastra yang khusus. Masalah genre adalah masalah yang menyangkut sifat dari bentuk-bentuk sastra yang universal.4.7 PENILAIANKita perlu membedakan istilah nilai dari penilaian. Sepanjang sejarah, orang telah tertarik dan menganggap sastra lisan maupun cetakan bernilai positif. Tetapi kritikus dan filsuf yang membuat penilaian terhadap sastra, atau karya sastra tertentu, mungkin mengambil keputusan yang negative. Konsep tentang kemurnian adalah salah satu unsur analisis . kita dapat mulai dengan unsure yang lain, yaitu unsure susunan dan fungsi. Yang menentukan suatu karya sastra atau bukan sastra, bukanlah unsure-unsurnya, tetapi bagaimana unsure itu disatukan dan berfungsi.Sejumlah pembela sastra akan membantah bahwa secara estetis sastra dapat dianggap sebagai seni rupa. Selebihnya akan menolak konsep-konsep seperti nilai estetis dan pengalaman estetis, sejau istilah-istilah itu menyiratkan suatu kategori yang unik. Karya sastra adalah sebuah objek estetis, yang mampu membangkitkan pengalaman estetis. Kriteria kita adalah cakupan karya sastra: integritasi imajinatif dan besarnya bahan yang diintegrasikan.Jadi, perbedaan yang harus kita lihat adalah penilaian yang terbuka dan penilaian tersirat. Istilah ini tidak boleh di salah artikan sebagai penilaian sadar dan tidak sadar. Ada penilaian yang berdasarkan akal sehat, ada penilaian yang rasional dan penuh argument. Keduanya tidak bertentangan. Akal sehat tidak akan menghasilkan kritik sastra yang kuat kalau tidak menyiratkan suatu dasar pemikiran teoritis umum. Sebaliknya, suatu penilaian yang berdasarkan argument yang nyata jika menyangkut sastra tidak bisa diformulasikan kecuali melalui suatu akal sehat, yang berasal langsung dari kritikus itu sendiri atau dari acuan lain. 4.5 SEJARAH SASTRAKebanyakan sejarah sastra adalah sejarah social atau sejarah pemikiran dengan mengambil contoh karya sastra, atau impresi penilaian atas beberapa karya sastra yang ditaur kurang lebih secara kronologis. Pandangan sekilas atas sejarah historiografi sastra Inggris akan mendukung pendapat ini. Thomas Warton memberikan alasan untuk mempelajari sastra kuno. Katanya, sastra kuno dengan setia merekam keadaan zamannya dalam bentuk yang sangat indah dan ekspresif.Mengapa tidak ada dalam skala yang luas usaha untuk menulusuri evolusi sastra sebagai seni ? salah satu penghalangnya adalah kenyataan bahwa analisis-analisis karya sastra yang pernah dilakukan sebelumnya, tidak konsisten dan sistematis. Disatu pihak ada kriteria retorik yang sudah using, yang tidak memuaskan karena terlalu memperhatikan teknik-teknik yang dangkal. Dipihak lain, ada studi bahasa emotif yang mempelajari dampak sastra terhadap pembaca studi yang tidak mampu membuat korelasi langsung dengan karya sastra itu sendiri.Kesulitan lain adalah prasangka bahwa sejarah sastra tidak mungkin disusun, kecuali berdasarkan suatu penjelasan kausal yang berkaitan dengan kegiatan manusia. Kesulitan ketiga terletak pada seluruh konsepsi perkembangan seni sastra. Sedikit yang meragukan kemungkinan membuat sejarah internal seni lukis dan seni musik.Tetapi teoritikus yang mentah-mentah menolak bahwa sastra mempunyai sejarah, WiP. Keer mencoba membuktikan, misalnya, bahwa kita tidak membutuhkan sejarah sastra, karena objek-objek sejarah sastra selalu ada, bersifat abadi dan karenaya tidak mempunyai sejarah sama sekali. Seperti yang telah kita tunjukkan sebelumnya, sebuah karya sastra tidak akan bersifat tetap sepanjang sejarah. Memang ada suatu identitas mendasar dari struktunya yang tetap sama sepanjang zaman. Tetapi struktur ini bersifat dinamis. Tetapi kenyataan bahwa situasi sastra dalam kurun waktu berubah dibandingkan situasi sepuluh tahun atau seratus tahun yang lalu, belum cukup untuk membuat dasar evolusi sejarah sastra, karena konsep perubahan juga dapat diterapkan pada setiap gejala alam. Mungkin yang dapat disimpulkan hanyalah bahwa selalu terjadi pengaturan kembali susunan karya sastra, yang tidak dapat dimengerti dan mungkin tak bermakna Pembahasan mengenai evolusi sastra ini mau tidak mau terpaksa bersifat sastra. Kita telah berusaha membedakan evolusi sastra dan evolusi biologi dan bahwa evolusi sastra yang bukan merupaka suatu perkembangan yang seragam kearah suatu model yang abadi. Sejarah dapat ditulis dengan mengacu pada skema nilai yang beragam, dan skema ini harus ditarik dari sejarah itu sendiri.

BAB IIIPENUTUPAdapun kesimpulan dari makalah di atas adalah sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra adalah cabang ilmu pengetahuan . studi sastra dalam buku wellek dan warren ini dibagi atas pendekatan. Pendeekatan tersebut adalah pendekatan ekstrinsik dan pendekatan intrinsic.Pendekatan ekstrinsik adalah pendekatan yang berasal di luar karya sastra yang terdiri dari sastra dan biografi, sastra dan psikologi, sastra dan masyarakat, serta sastra dan pemikiran. Selain pendekatan ekstrinsik, dikenal juga adanya pendekatan intrinsic yaitu pendekatan yang terdapat di dalam karya sastra itu sendiri. Pendekatan intrinsic ini terdiri atas sastra dan seni, modus keberadaan karya sastra, efoni, irama, irama dam matra, gaya dan stilistika, citra, metafora, simbol, dan mitos, sifat dan ragam fiksi naratif, genre sastra, penilaian, sejarah sastra

Kafe Sastra Sabtu, 17 Desember 2011Nh. Dini; Sastra dan Totalitas BAB IISI

Diskusi Sastra di Bulan Bahasa bersama Nh. Dini

Mahasiswa Sastra Indonesia Undip mengadakan acara Diskusi Sastra bersama Nh. Dini tanggal 27 Oktober 2011 yang bertepatan pada bulan bahasa. Acara ini digelar di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran kediaman Nh. Dini-.Pokok-pokok yang dibahas dalam acara diskusi sastra tersebut adalah menempatkan pendidikan dan pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai pusat kegiatan guna menjadikan bahasa yang bermartabat. Memposisikan kembali pentingnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai wujud kesetiaan, kebanggaan, dan rasa patriotism pemakai bahasa. Menempatkan Sastra Indonesia sebagai kekayaan budaya bangsa yang patut dihargai dan dikembangkan sebagai potret jati diri bangsa. Cara mewujudkan hal-hal tersebut yaitu dengan cara melakukan koreksi terhadap penyimpangan penggunaan bahasa Indonesia dengan selalu mengingat bahwa itu adalah bahasa nasional dan resmi milik Negara, dan hal tersebut harus didukung juga oleh kalangan muda yang kelak akan melanjutkan generasi muda.Menempatkan pendidikan dan pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai pusat kegiatan guna menjadikan bahasa yang bermartabat. Mengapa hal itu perlu dilakukan ? karena sebagian besar pemuda Indonesia lebih bangga dengan penggunaan istilah-istilah asing dalam percakapan sehari-hari. Kata-kata serapan asing terutama bahasa Inggris semakin membludak di Indonesia. Hal tersebut mengesankan bahwa bahasa asing lebih bermartabat dan mempunyai tempat di hati bangsa Indonesia.Dalam diskusi kemarin, Nh. Dini juga menyinggung tentang penggunaan bahasa Indonesia dewasa ini yang mengikuti perkataan artis seperti perkataan, elo gue end, dan lain-lain dijadikan trend berbahasa, sehingga makin tenggelamnya eksistensi kata saya. Fenomena-fenomena semacam yang membuat Nh. Dini merasa prihatin. Bahasa adalah potret jati diri suatu bangsa, jika bahasanya saja sudah amburadul, bagaimana dengan bangsanya?... Oleh karena itu, kita harus memposisikan kembali pentingnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai wujud kesetiaan, kebanggaan, dan rasa patriotism pemakai bahasa. Bagaimana caranya? Mulailah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dari diri kita sendiri.Nh. Dini juga berbincang-bincang masalah menempatkan Sastra Indonesia sebagai kekayaan budaya bangsa yang patut dihargai dan dikembangkan. Sebagai orang yang telah berkiprah dan telah menghasilkan dari tulisan-tulisannya, beliau berpendapat bahwa Sastra Indonesia adalah kekayaan budaya bangsa yang patut dikembangkan. Beliau juga mengatakan bahwa beliau apresiatif tehadap sastrawan-sastrawan yang menuangkan kata-kata yang pantas dan tidak vulgar dalam karya sastra mereka. Dengan demikian sastra Indonesia dapat ditempatkan sebagai kekayaan budaya bangsa yang patut dihargai. Intinya, untuk mewujudkan hal-hal tersebut kita harus mengkoreksi terhadap penyimpangan penggunaan bahasa Indonesia dengan selalu mengingat bahwa itu adalah bahasa nasional dan resmi milik Negara. Kesadaran berbahasa dari dalam dirilah yang terpenting.

Biografi Nh. Dini

Sejarah hidupNH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, Nah, darah Bugisnya muncul".NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi sopir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di [[RRI]Semarang dalam acara Tunas Mekar.KarierPeraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, seperti komentar Putu Wijaya; 'kebawelan yang panjang.'Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa aneh. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk.Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus berkarya.Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita.Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang (kini 42 tahun) dan Pierre Louis Padang (kini 36 tahun). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis.Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan diManila, Filipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.Mantan suaminya masih sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri pernah ke Kanada ketika akan mengawinkan Lintang, anaknya. Lintang sebenarnya sudah melihat mengapa ibunya berani mengambil keputusan cerai. Padahal waktu itu semua orang menyalahkannya karena dia meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak. Karena itulah ia tak memperoleh apa-apa dari mantan suaminya itu. Ia hanya memperoleh 10.000 dollar AS yang kemudian digunakannya untuk membuat pondok baca anak-anak di Sekayu, Semarang.Dini yang pencinta lingkungan dan pernah ikut Menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah Lebong Hitam, tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman panjangnya bersama diplomat Perancis itu. la pernah jatuh bangun, tatkala terserang penyakit 1974, di saat ia dan suaminya sudah pisah tempat tidur. Kala itu, ada yang bilang ia terserang tumor, kanker. Namun sebenarnya kandungannya amoh sehingga blooding, karena itu ia banyak kekurangan darah. Secara patologi memang ada sel asing. Kepulangannya ke Indonesia dengan tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya, adalah suatu keberanian yang luar biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat ladang lain, sekalipun dia mantan pramugrari GIA, mantan penyiar radio dan penari. Tekadnya hidup sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi.Mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai penerbitan. Di samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok bacanya di Sekayu. Sebagai pencinta lingkungan, Dini telah membuat tulisan bersambung di surat kabar Sinar Harapan yang sudah dicabut SIUPP-nya, dengan tema transmigrasi.Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Tahun-tahun sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan.Tahun 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000.Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya. Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia yang semula menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran. Ia juga sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya jadi dokter atau pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun mempunyai pekerjaan lain.Dalam kondisinya sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya. Ia merasa beruntung karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan prinsip-prinsip hidup yang senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu pulalah NH Dini tidak mudah menerima tawaran-tawaran yang mempunyai nilai manipulasi dan dapat mengorbankan harga diri.Ia juga pernah ditawari bekerja tetap pada sebuah majalah dengan gaji perbulan. Akan tetapi dia memilih menjadi pengarang yang tidak terikat pada salah satu lembaga penerbitan. Bagi Dini, kesempatan untuk bekerja di media atau perusahaan penerbitan sebenarnya terbuka lebar. Namun seperti yang dikatakannya, ia takut kalau-kalau kreativitasnya malah berkurang. Untuk itulah ia berjuang sendiri dengan cara yang diyakininya; tetap mempertahankan kemampuan kreatifnya.Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnyaNH Dini sekarang tinggal di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran.

BAB IITANGGAPAN / APRESIASI

Nh. Dini merupakan sastrawan yang peduli terhadap seni dan bahasa. Totalitasnya terhadap bahasa dan sastra Indonesialah yang membuatnya terus menulis dan menulis. Kecintaannya terhadap bahasa dan sastra Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Kiprah beliau dalam dunia sastra sudah melanglangbuana bahkan sampai mancanegara.Karena kecintaan beliau terhadap bahasa dan sastra Indonesia membuat beliau prihatin. Prihatin atas pemakaian bahasa Indonesia sekarang yang mengikuti perkataan artis seperti perkataan, elo gue end, dan lain-lain dijadikan trend berbahasa, sehingga makin tenggelamnya eksistensi kata saya. Fenomena-fenomena semacam yang membuat Nh. Dini merasa prihatin. Beliau berkeinginan menempatkan pendidikan dan pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai pusat kegiatan guna menjadikan bahasa yang bermartabat. Dalam hal ini bermartabat di hati orang Indonesia, memposisikan kembali pentingnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai wujud kesetiaan, kebanggaan, dan rasa patriotism pemakai bahasa. Cara mewujudkan hal-hal tersebut yaitu dengan cara melakukan koreksi terhadap penyimpangan penggunaan bahasa Indonesia dengan selalu mengingat bahwa itu adalah bahasa nasional dan resmi milik Negara. Dan yang paling penting adalah kesadaran berbahasa yang baik dan santun dari diri sendiri. Selain itu, beliau juga menilai Sastra Indonesia sebagai kekayaan budaya bangsa yang patut dihargai dan dikembangkan sebagai potret jati diri bangsa. Dalam artian karya sastra yang dianggap kekayaan dan budaya bangsa Indonesia adalah karya sastra yang menggunakan bahasa yang baik dan benar sehingga dapat dijadikan potret jati diri bangsa.Menurut saya pribadi, beliau adalah orang yang tegas, tangguh dan mencerminkan wanita jawa yang anggun dan halus. Kreatifitas dan totalitasnya terhadap sastra Indonesialah yang mengantarkan beliau menjadi seseorang yang memang pantas dikagumi. Yang lebih membuat saya kagum adalah sampai usianya yang tergolong tidak muda lagi, beliau tetap peduli terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar.

TEORI STRUKTURALISME DALAM SASTRAOleh Salimudin1. Pendahuluan Teori sastra, khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu memberikan kemudahan dalam proses pelaksanaannya. Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan, mencerminkan kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami perkembangan. Dalam hubungan inilah diperlukan genre yang berbeda, dalam hubungan ini pula diperlukan teori yang berbeda untuk memahaminya.Hubungan karya sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya, minat masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin,memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme, yang telah berhasil untuk memasuki hampir seluruh bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara historis, perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu: formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itulah, pada bagian berikut juga akan dibicarakan prinsip-prinsip antarhubungan, strukturalisme semiotik, strukturalisme genetik, dan strukturalisme naratologi. 2.Pengertian StrukturalismeSecara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan dengan sistem. Definisi dan ciri-ciri sruktur sering disamakan dengan definisi dan ciri-ciri sistem. Secara etimologis struktur berasal dari kata structura (Latin), berati bentuk, bangunan, sedangkan sistem berasal dari kata systema (Latin), berarti cara. Struktur dengan demikian menunjuk pada kata benda, sedangkan sistem menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan sistem. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukan oleh mekanisme antar hubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur-unsur hanyalah agregasi.Sejak ditemukannya hukum-hukum formal yang berhubungan dengan hakikat karya sekitar tahun 1940-an, bahkan sejak formalisme awal abad ke-20, model analisis terhadap karya sastra telah membawa hasil yang gilang-gemilang. Bahasa sebagai sistem model pertama telah dieksploitasi semaksimal mungkin dalam rangka menemukan aspek-aspek estetikanya. Ciri-ciri kesastraan, cara-cara pembacaan mikroskopi, analisis intristik, dan sebagainya, yang secara keseluruhan mmberikan intensitas terhadap kedudukan karya sastra secara mandiri, karya sastra sebagai ergon, selama hampir setengah abad merupakan tujuan utama penelitian. Analisis Les Chats karya Baudelaire oleh Roman Jakobson dan Levi-Strauss, Sarrasine karya Balzac oleh Roland Barthes, dongeng-dongeng Rusia oleh Propp, dianggap sebagai puncak keberhasilan struk