77
Kesaksian Perwira VOC Ketika Prahara 1740 di Tangerang Sebuah catatan perwira asal Jerman yang berkisah tentang amuk di Benteng Tangerang, yang diikuti pembantaian massal terhadap warga Cina di penjuru Batavia.

Sejarah VOC Artikel

Embed Size (px)

DESCRIPTION

VOC History national geographic articles

Citation preview

Page 1: Sejarah VOC Artikel

Kesaksian Perwira VOC Ketika Prahara 1740 di TangerangSebuah catatan perwira asal Jerman yang berkisah tentang amuk di Benteng Tangerang, yang diikuti pembantaian massal terhadap warga Cina di penjuru Batavia.

Page 3: Sejarah VOC Artikel

Desain penutup kepala multifungsi "10 Tahun National Geographic Indonesia" yang mengabadikan peristiwa pembantaian Cina di Batavia pada 1740, yang dinukil dari litografi karya Jacobus van der Schley (1715-1779) berjudul "Tableau de la Partie de Batavia, ou s'est fait proprement le terrible Massacre des Chinois, le 9 Octob. 1740" (Zulfiq Ardi Nugroho/National Geographic Indonesia)

Tangerang, menurut, Kopral Johann Heinrich Schröder, adalah tempat indah dengan latar pegunungan biru, tujuh jam dari Batavia. Dia menempati bastion yang nyaman di Benteng Tangerang bersama 80 serdadu Jawa, yang menurutnya membuat dirinya bagai pangeran kecil.

Schröder merupakan pria asal Nazza, kini Thüringen di Jerman, mulai bertugas sebagai awak VOC pada 1736 hingga 1744. Dia menerima titah dari Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier untuk menempati Benteng Tangerang sekitar akhir 1739 atau awal 1740. Sebagian rutinitasnya adalah bertemu penguasa setempat, setiap minggu mengirimkan laporan kepada Gubernur Jenderal, hingga bertanggung jawab atas pasokan makanan untuk serdadu dan kuda mereka.

Semua berjalan baik hingga awal Oktober 1740. Schröder bersaksi atas suara dentuman meriam yang dilancarkan oleh orang-orang Cina di Tangerang. Mereka mengepung dan menyerang dari luar gerbang, namun berhasil dipukul mundur. Schröder berkuda menuju kecamuk kerusuhan, namun pada akhirnya kembali lagi ketika dia menyadari bahwa dia pun harus mempertahankan posisinya sendiri. Sementara itu orang-orang Cina telah berhasil menguasai salah satu pos jaga dan merebut pabrik mesiu. Schröder  mengisahkan bahwa api telah berkobar-kobar di Tangerang.

Page 4: Sejarah VOC Artikel

"Ein Prospect des Forts Tangerang, dreij gute Stunden von Batavia gelegen" karya Heydt Johann Wolfgang pada 1744, empat tahun usai pecahnya pemberontakan orang-orang Cina. Heydt merupakan salah satu orang Jerman yang bersaksi atas pembantaian 1740 di Batavia. (Atlas Mutual Heritage)

Pemberontak Cina telah menyebar hingga ke kawasan sekitar dua belas jam dari Batavia. Mereka menyerang menggunakan tombak dan mengucapkan teriakan kebiadaban. Benteng VOC dibawah komando Schröder menembakkan meriam dengan kekuatan penuh sehingga membuyarkan para pemberontak dan meninggalkan mereka bergelimpangan di tanah.

Kendati orang-orang Cina jauh lebih banyak, demikian kisah Schröder, VOC memiliki keunggulan dalam jumlah persenjataaan. Selain itu, VOC menggunakan serdadu asli dari Jawa, Bugis, Bali, dan, Madura.

Schröder  menyaksikan bahwa orang-orang Cina membuat meriam yang terbuat dari pohon kelapa yang diperkuat dengan cincin besi. Namun, mereka hanya bisa menembakkan beberapa kali sebelum menjadi tidak berguna, ungkapnya.

Benteng VOC dibawah komando Schröder menembakkan meriam dengan kekuatan penuh sehingga membuyarkan para pemberontak dan meninggalkan mereka bergelimpangan di tanah.

Page 5: Sejarah VOC Artikel

Serangan di Batavia terjadi Minggu, 9 Oktober 1740, demikian ungkap Schröder . Keesokan paginya tampak semua rumah orang Cina di dalam tembok kota Batavia hangus terbakar. Mayat-mayat orang Cina bertaburan di jalanan, parit dan kanal. Mereka tewas dengan segala macam cara, hingga bunuh diri. Pada Selasa, 11 Oktober, sementara mayat-mayat itu mulai dibersihkan, orang-orang mulai merajalela untuk menjarah sisa-sisa barang yang tertinggal di rumah orang-orang Cina.

Begitu juga nasib rumah Kapitan Cina Ni Hoe Kong, yang menurut Schröder, kapitan itu bersekutu dengan para pemberontak dengan cara menyembunyikan mesiu di kediamannya.

Gustaaf Willem Baron von Imhoff, yang saat itu menjabat sebagai Dewan Hindia, turut memerangi pemberontak di pinggiran Batavia, baik siang maupun malam.Schröder juga mengungkapkan bahwa Imhoff juga menyediakan ternaknya untuk disembelih dan memasok anggur untuk mencukupi kebutuhan logistik serdadunya. Kelak, dia mengelak keterlibatan dalam pembantaian itu, dan menggantikan Valckeneir sebagai Gubernur Jenderal VOC.

Peta Kota Batavia yang diterbitkan oleh Homannischen Erben pada 1733 ini menampilkan

Page 6: Sejarah VOC Artikel

Kota Batavia dengan tembok kota dan pertahanan bentengnya, juga ilustrasi tentang warganya. (Rijksmuseum Amsterdam/Atlas of Mutual Heritage)

Mengapa orang-orang Cina memberontak?

 Salah satu sebabnya, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier melakukan kebijakan untuk mengirimkan kelebihan pengangguran itu ke Sri Langka karena di pulau tenggara India itu VOC juga mendirikan benteng dan kota persinggahan. Namun, terdapat desas-desus yang berkembang di Batavia bahwa orang-orang Cina yang dikirim dengan kapal ke Sri Langka itu dibunuh dengan menceburkan mereka ke laut lepas. Sebab lainnya, VOC menganggap komunitas Cina mulai mendominasi perekonomian dengan menjamurnya pengolahan gula tebu di pinggiran Batavia.

Komunitas Cina di pinggiran Batavia mulai resah dan mengancam untuk melakukan pemberontakan di kota. Mereka juga mendapat dukungan dari warga Cina dalam tembok kota, melengkapi diri dengan berbagai senjata. Di beberapa tempat, seperti Meester Cornelis—kini Jatinegara—telah dikuasai pemberontak Cina.

“Keegoisan dan keserakahan Gubernur Jenderal Valckenier,” demikian tuduhan Schröder tentang sosok yang bertanggung jawab atas kebiadaban di Batavia.

Pemandangan Fort Tangerang yang dilukis oleh Johannes Rach, seniman asal Denmark yang bertugas di VOC. Rach menyelesaikan karya ini sekitar 1770-an, beberapa dasawarsa setelah pemberontakan orang-orang Cina di Batavia dan sekitarnya. (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

Page 7: Sejarah VOC Artikel

Mary Somers Heidhues mengungkapkan kisah Schröder dalam “1740 and the Chinese Massacre in Batavia: Some German Eyewitness Accounts” dalam jurnal Archipel nomor 77 yang terbit pada 2009. Dia merupakan ahli sejarah asal Jerman, yang berminat dalam penelitian orang-orang Cina di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Mary menyelisik catatan Schröder yang berjudul Der Seefahrer. Oder: Joh. Heinrich Schröders, Fürstl. Sächsis. Gothais. Hauptmanns zu Natza Merkwürdige Reisen nach Ost-Indien und verschiedenen Orientalis. Inseln, darinnen nicht allein die warhaftigste Erzehlung des a. 1740 auf der Insel Java von den Chinesern erregten Aufstandes und Verwüstung der Stadt Batavia, sondern auch andere curiöse Merckdürdigkeiten aus dessen eigenhändigem Journal auf das treulichste erzehlet und zum Druck befördert.

Catatan yang diterbitkan oleh Christian Mevius di Leipzig dan Gotha pada 1749 itu berkisah tentang perjalanan Schröder di Hindia Timur, termasuk catatannya soal pemberontakan orang Cina di Jawa dan perusakan Kota Batavia.

“Garis besar peristiwa 1740 relatif umum telah diketahui,” ungkap Mary, “meskipun kontroversial.” Lantaran kurangnya dokumentasi, wacana yang muncul kerap seputar siapa yang harusnya bertanggung jawab atas pembantaian orang Cina di Batavia.

Kediaman Baron von Imhoff, yang dibangun pada 1730-an. Satu-satunya bangunan di Kalibesar Barat yang bersaksi atas peristiwa pembantaian orang Cina pada 9 Oktober 1740. Imhoff mengelak turut terlibat dalam pembantaian tersebut dan menjadi Gubernur Jenderal pengganti Adriaan Valckenier. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)Kisah Schröder “memberikan detail menarik yang belum tentu ditemukan dalam sumber-sumber lainnya,” ungkap Mary.

Page 8: Sejarah VOC Artikel

Mary mengutip sumber resmi yang menyebutkan terdapat 4.386 orang Cina di dalam tembok kota Batavia pada 1739. Sementara itu sejumlah 10.574 orang Cina yang bermukim di pinggiran Batavia. “Diperkirakan 10.000 Cina mati di tangan Belanda dan sebagian oleh pasukan pribumi,” ungkapnya.

Seluruh pasukan VOC di pinggiran Batavia ditarik pada awal musim hujan, November 1740. Sementara para pemberontak menyingkir ke arah timur.  Mary melanjutkan, para pemberontak berhasil berkumpul kembali dan memberikan perlawanan terhadap Belanda hingga ke pantai utara Jawa. Para pemberontak Cina mengancam kedudukan VOC di Rembang, Jepara, dan Semarang, dan segera menyulut keterlibatan dengan penguasa Jawa, Mataram.

Kisah Schröder “memberikan detail menarik yang belum tentu ditemukan dalam sumber-sumber lainnya,” ungkap Mary. Peristiwa Oktober 1740 merupakan “tragedi mengerikan yang dilakukan oleh kekuasaan kolonial yang lemah dan korup terhadap rakyatnya sendiri.”

(Mahandis Yoanata Thamrin)

Page 9: Sejarah VOC Artikel

Riwayat Kiprah Tabib Cina di NusantaraCatatan semasa tentang jalan setapak praktik ilmu kedokteran asal Negeri Tiongkok di Nusantara.

Peta Kota Batavia yang diterbitkan oleh Homannischen Erben pada 1733 ini menampilkan Kota Batavia dengan tembok kota dan pertahanan bentengnya, juga ilustrasi tentang warganya. (Rijksmuseum Amsterdam/Atlas of Mutual Heritage)

“Mereka membungkus dan mencekik leher pasien, dan mengguncang-guncangkannya ke bawah, sehingga darah mengalir ke bagian kepala,” ungkap Johann Jacob Saar (1625-1672). Kemudian “mereka menusuk dahi pasien, menempatkan secarik kain katun di atasnya dan mengikatkannya di sekitar kepala.”

Saar yang berasal dari Nuremberg, Jerman, merupakan salah satu pelancong Eropa awal yang memerhatikan pengobatan oleh tabib Cina di Batavia pada pertengahan abad ke-17. Selama 14 tahun, dia mengabdi sebagai serdadu VOC. Selama di Batavia, Saar menulis buku harian

Page 10: Sejarah VOC Artikel

yang kelak diterbitkan pada 1662. Buku Saar itu berjudul Ost-Indianische Funfzehen-Jährige Kriegs-Dienste, Und Wahrhafftige Beschreibung.

Pemeriannya tentang penyembuhan ala tradisi Cina itu mengundang rasa ngeri bagi orang Eropa—mungkin juga bagi dirinya sendiri. Betapa Saar menggambarkan praktik pengobatan kuno dengan cara mengeluarkan darah dari tubuh si pasien—bloodletting atau pembekaman. Pengobatan ini diyakini membuang darah kotor yang menyebabkan seseorang sakit. Selain mengeluarkan darah dari kepala, kadang para tabib itu mengambil darah dari lengan pasien. Intensitasnya bisa beberapa kali dalam setahun.

Awal penyebaran penyembuhan ala tradisi Tiongkok ke penjuru Asia Tenggara konon bermula ketika ekspedisi Cheng Ho pada awal abad ke-15.

“Ketika kondisi mengkhawatirkan, mereka bukan lagi menggunakan kepala, melainkan memakai  tanduk sebagai alatnya,” ungkap Saar. “[Setelah tanduk dipanaskan] mereka meniup kedalam rongga tanduk dan melekatkannya dengan cepat ke tubuh pasien. Ketika kulit telah terangkat, mereka menusuknya dengan lanset.”

Awal penyebaran penyembuhan ala tradisi Tiongkok ke penjuru Asia Tenggara konon bermula ketika ekspedisi Cheng Ho pada awal abad ke-15. Setidaknya 180 tabib ikut serta dalam ekspedisi yang diyakini berpengauh dalam pengobatan, perawatan kesehatan, hingga peralatan medis di sepanjang rutenya. Mereka yang direkrut merupakan para tabib swasta terkemuka dan pegawai medis dari Taiyi Yuan, sebuah akademi ilmu kedokteran kekasiaran yang sohor.

Kendati demikian, catatan paling awal tentang praktik tabib Cina di Jawa baru terungkap pada beberapa dekade jelang berakhirnya masa Dinasti Ming, atau sekitar awal abad ke-17.

Tersebutlah seorang bernama Equa. Dia adalah seorang Cina yang telah dikristenkan dan secara resmi ditunjuk sebagai tabib oleh kantor Gubernur VOC pada 1635. Sebutan resminya, Meester Isaac. Gubernur Jenderal Anthony van Diemen memberikan hak kepada Equa untuk menempati tanah di tepian timur Kanal Buitenkaaimansgracht, di luar tembok kota, sekitar aliran Kali Ciliwung di Jalan Jayakarta pada masa kini.

 

Page 11: Sejarah VOC Artikel

Spinhuis, rumah pembinaan bagi perempuan jalang di Batavia pada abad ke-17. Johan Nieuhof menggambarkan rumah binaan yang tidak memiliki jendela kecuali di sisi timurnya yang menghadap kastel. Sebelah kanannya merupan Rumah Sakit Cina, yang merawat orang miskin yang sakit dan sekaligus panti jompo. Lokasinya kini di sekitar Jalan Tiang Bendera I, Jakarta Kota. Kini, kanal di depannya telah berubah menjadi permukiman padat. (Johan Nieuhoff (1618-1672), Atlas of Mutual Heritage and the Koninklijke Bibliotheek, the Dutch National Library /Wikimedia)

Pada 1640, VOC memberikan izin kepada komunitas Cina di Batavia dalam menghimpun dana untuk pembangunan Rumah Sakit Cina untuk fakir miskin, Yangji Yuan. Enam tahun kemudian, Rumah Sakit itu selesai dibangun. Pengelolanya dua orang Cina, salah satunya Meester Isaac Equa, dan dua orang Belanda beserta sekretaris pribadi. Awalnya, bangunan itu sederhana karena berstruktur bambu. Sekitar 1661 dan 1667 berdinding batu bata, kemudian diperbesar pada 1729.

Rumah Sakit Cina itu berlokasi di dalam tembok kota, sebelah barat Kanal Rhinocerosgracht. Kini, kanal itu telah berganti dengan permukiman padat, sedangkan tapak bekas Rumah Sakit Cina itu menempati salah satu petak di Jalan Tiang Bendera I.

Kini, kanal itu telah berganti dengan permukiman padat, sedangkan tapak bekas Rumah Sakit Cina itu menempati salah satu petak di Jalan Tiang Bendera I.

Page 12: Sejarah VOC Artikel

Sekitar 1680-an, Nicolaus de Graaff (1619-1688) memberikan pemerian tentang Rumah Sakit Cina di Batavia. Graff, lelaki kelahiran Alkmaar, Belanda, memiliki keahlian bedah di kapal VOC, seniman lukis, dan penulis kisah perjalanan. Setidaknya dia telah melakukan perjalanan dari Belanda ke Hindia Timur sebanyak lima kali. Catatan tentang pengamatannya yang mendalam seputar kehidupan Batavia baru diterbitkan pada 1701—setelah dia wafat—dalam Oost-Indise Spiegel.

Graaff mengungkapkan bahwa letak Rumah Sakit Cina dan panti jompo itu bersebelahan dengan Spinhuis, tempat rehabilitasi para pelacur. Bangunan itu merupakan “tempat tinggal yang nyaman bagi orang sakit, anak yatim dan orang-orang yang tidak mampu menjaga diri mereka sendiri,” ungkap Graff. “Halaman depannya menyenangkan untuk menghibur orang sakit.”

“Semua orang Cina yang akan menggelar pementasan teater, kembang api, pernikahan, atau upacara pemakaman; mereka diwajibkan untuk membayar sejumlah uang untuk rumah ini,” ungkap Graff. Kemudian dia menambahkan, “Banyak orang Cina kaya memberikan hadiah sebagai tanda kemurahanhatinya atau mengingatnya dalam wasiat mereka.”

"Het gezigt van het Spinhuys met het Seneese Hospitaal staande op de Spinhauys Gragt af te zien van de hoek aan de terse Straat". Sketsa oleh Johannes Rach yang diselesaikan oleh asistennya. Inilah rupa rumah pembinaan bagi perempuan jalang dan di sebelahnya dengan atap menjulang adalah bekas Rumah Sakit Cina pada akhir abad ke-18 di Batavia. Lokasinya sekitar Jalan Tiang Bendera. (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

Penuturan lain berasal dari Johann Wilhelm Vogel (1657-1723), seorang kelahiran Ernstroda, Jerman, yang pernah menjadi pegawai VOC dan bermukim di Batavia pada akhir

Page 13: Sejarah VOC Artikel

abad ke-17. Dalam jurnal perjalanannya yang baru diterbitkan pada 1812, Leben und Schicksale des berühmten Reisebeschreibers Johann Wilhelm Vogel, dia juga menyaksikan kehadiran para tabib Cina di kota itu.  “Di antara mereka terdapat para dokter Cina yang sungguh baik, yang terutama memahami denyut nadi dan analisis dalam mendiagnosa penyakit pasien dan menyembuhkannya.”

Salah seorang pemilik pabrik arak dan juga seorang tabib sohor di Batavia adalah Tjoebitia, yang menetap di Batavia sejak 1690-an. Kedekatannya dengan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (menjabat 1704-1709) telah membawa Tjoebitia melawat ke Belanda selama 1709-1711. Hasil percakapannya dengan seorang perwira Belanda yang berkait dengan tradisi pengobatan dan sejarah Cina, kini tersimpan di Leiden dan Amsterdam.   

Tidak hanya tabib lelaki, tabib perempuan pun berkiprah di Batavia pada awal abad ke-18. Tabib perempuan itu merupakan istri dari letnan Cina di Batavia, yang menjadi dokter pribadi keluarga Gubernur Jenderal Matheus de Haan selama 30 tahun. Sayangnya, nama tabib perempuan itu lenyap dari catatan sejarah.

François Valentijn (1666-1727), seorang naturalis dan pegawai VOC yang sohor dengan buku Oud en Nieuw Oost-Indiën. Valentijn mengungkapkan perkenalannya dengan seorang tabib mahsyur dan Kapitan Cina di Ambon, Lim Thiangko. “Dia pernah membantu bayi yang urinnya berdarah,” ungkapnya. “Dan juga menyembuhkan seorang wanita berumur lima puluhan, yang telah tuli selama delapan belas tahun.” Valentijn juga memuji Lim, “Dokter Cina ini kadang mampu melakukan hal-hal yang luar biasa, berkat pengetahuan mereka yang tak hanya dalam pengobatan tetapi juga dalam farmakope.”

Tidak hanya tabib lelaki, tabib perempuan pun berkiprah di Batavia pada awal abad ke-18.

Johannes Rach (1720-1783), pelukis dan pegawai VOC asal Denmark pernah berdinas di Batavia selama 19 tahun hingga wafatnya. Dia membuat lukisan di atas kertas yang menunjukkan tampak depan Spinhuis atau rumah pintal dan Rumah Sakit Cina yang sudah tak berpenghuni lagi. Selepas huru-hara pembantaian orang Cina di Batavia pada 1740, mereka dilarang untuk memasuki atau tinggal di dalam tembok kota. Rumah sakit dibiarkan kosong selama beberapa dekade. Jelang kebangkrutan VOC, komunitas Cina mendirikan Rumah sakit di luar tembok kota.

Kisah riwayat pengobatan Cina di Nusantara tersebut merupakan nukilan dari penelitian Claudine Salmon dan Myra Sidharta. Mereka mengungkapkan sejarah pengobatan tradisi Cina dan perkembangannya di Indonesia dalam “Traditional Chinese Medicine and Pharmacy in Indonesia - Some Sidelights”, terbit dalam jurnal Archipel volume 74, 2007. Keduanya menjumpai tantangan lantaran sungguh sedikit sumber pengetahuan tentang praktik tabib-tabib Cina di Nusantara. “Dokter Belanda tidak menaruh banyak perhatian untuk ilmu kedokteran dan farmasi Cina di koloni mereka,” tulis mereka. “Akibatnya kita harus bergantung pada berbagai tinggalan catatan pelancong Eropa atau para pejabat Belanda.”

Pengobatan lewat tradisi Cina ibarat sejarah yang berlanjut, kendati mengalami pasang-surut selama periode Orde Lama dan Orde Baru. Pada 1962, sembilan tabib Cina dikirim ke Indonesia untuk merawat Presiden Soekarno. Tahun berikutnya, tabib Cina di Indonesia mendirikan pusat pengobatan akupuntur di Jakarta, dan Surabaya pada 1965.

Page 14: Sejarah VOC Artikel

Ketika Orde Baru, segala sekolah dan perkumpulan Cina dihapus. Hubungan diplomatik dengan Tiongkok pun sementara ditutup. Namun, Yayasan Akupunktur Umum Jakarta Indonesia justru meretas asa pada 1968, dan kemudian diikuti di beberapa kota. Pada 1975, Ikatan Naturopatis Indonesia (IKNI) berdiri di Jakarta dengan anggota 125 tabib. Sampai dengan 2006, lembaga ini memiliki sekitar 1.400 tabib—hampir separuhnya perempuan.

“Perlu dicatat,” tulis Salmon dan Sidharta, “bahwa kebangkitan kembali minat dalam pengobatan Cina merupakan fenomena yang tidak terbatas pada Asia.”  

(Mahandis Yoanata Thamrin)

Page 15: Sejarah VOC Artikel

Salatiga, Lelakon Tinggalan Kota Garnisun di Pinggang MerbabuPersinggahan yang kerap terlewat itu menawarkan keanggunan dan semangat pelestarian pusaka penanda identitas kota.

Pemandangan Fort Hersteller berjudul "Het gezigt van Salatiga Leggende op het Eyland Groot Yaava Aan de Noord Oost Zyde". Sketsa oleh Johannes Rach, gambar diselesaikan oleh asistennya. Jalan menuju benteng digambarkan jalan utama dengan kesibukan masyarakat sekitarnya. Sebelah kiri tampak rumah penduduk, sedangkan sebelah kanan merupakan komplek rumah mmewah untuk pejabat pemerintah dengan seorang penjaga berdiri di sudut jalan. (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

Keteplak...keteplok...keteplak...keteplok... Bagong, kuda penarik dokar yang saya tumpangi, meniti malam bergerimis di tangsi militer tua tanpa penerangan jalan. Veteran Ngeblok, demikian warga Kota Salatiga menjuluki seruas jalan itu lantaran dihuni para legiun pensiunan tentara. Sepinya malam membuat tengara sepatu Bagong kian membahana. Kalau boleh diumpamakan, perjalanan malam itu lebih mirip latar film horor Indonesia 1980-an.

Sejatinya kita bisa melancongi Salatiga dengan angkot, becak, dokar—atau jalan kaki karena pusat kota tak terlampau luas. Namun, seiring matahari terbenam, angkot-angkot pun turut

Page 16: Sejarah VOC Artikel

terbenam dari sudut-sudut kota. Yang perlu diingat, bahwa jalanan kota di pinggang Merbabu ini dihiasi tanjakan dan turunan, jadi pastikan kita menggunakan moda transportasi yang tepat. Pengalaman hari pertama, saya meluncur dengan becak yang tak terkendali di jalan menurun tengah kota!

Page 17: Sejarah VOC Artikel
Page 18: Sejarah VOC Artikel

Jantung Kota Salatiga. (Seni: Fredy Susanto, Kartografi: Warsono, National Geographic Traveler, edisi Mei 2012.)

Perkembangan Salatiga tidak bisa dilepaskan dari peran sebagai kota garnisun pada pertengahan abad ke-18. Usai Geger Pacinan, Gubernur Jenderal VOC Gustaf Willem Baron von Imhof melakukan ekspedisi melancong perdananya ke Semarang-Ungaran-Salatiga-Surakarta. Langkah berikutnya, jalur logistik militer itu diamankan dengan menempatkan garnisun dan pertahanan benteng. Belakangan, keberadaan benteng acap kali dihubungkan dengan kemunculan suatu kota, kawasan pecinan dan pasar.

Litografi kuno karya Joseph Jeakes, perupa asal Inggris yang masyhur awal abad ke-19, melukiskan keadaan Fort Hersteller di Salatiga. Jeakes menorehkan sebuah bangunan kokoh bermenara pengawas. Di depannya  terhampar tanah lapang menghijau. Nun jauh, terlihat latar  pegunungan Telomoyo di sisi barat daya kota ini. Namun Jeakes bukanlah orang pertama yang membuat lukisan benteng itu. Akhir abad ke-19, Johannes Rach, seorang seniman asal Denmark, membuat skesta pemandangan benteng yang menandai peradaban Kota Salatiga.

Tinggalan bagian tangsi militer Belanda, kini kawasan deretan rumah ini dihuni keluarga purnawirawan. Warga setempat menjuluki kawasan itu sebagai "Veteran Ngeblok". (Mahandis Y. Thamrin)

“Benteng di Salatiga dihancurkan oleh Belanda sendiri,” ungkap Eddy Supangkat, “Saya mengiranya benteng itu dulu di daerah yang sekarang kompleks batalyon Kostrad,” satu kawasan dengan Veteran Ngeblok. Supangkat adalah pemerhati bangunan kolonial di Salatiga yang juga penulis buku Salatiga Sketsa Kota Lama dan Galeri Salatiga.

Page 19: Sejarah VOC Artikel

Hingga hari ini, nasib bangunan-bangunan tua yang menjadi penanda zaman kota ini pun kian tergilas pembangunan kota. Menurut Supangkat dalam sepuluh tahun terakhir ini Salatiga kehilangan 77 bangunan tuanya. Jadi rata-rata dalam setahun 7 hingga 8 bangunan tua lenyap.

Atas kemirisan itulah Supangkat bertekad menyelamatkan sisa pesona kotanya melalui forum warga yang peduli benda cagar budaya. Dia juga bergiat menularkan kecintaan akan kotanya dengan membesut kaos-kaos yang membekukan keindahan Salatiga tempo dulu.

Rumah Khalwat Roncalli. Bekas istana Kwik Djoen Eng ini dibangun 1920. Kini dikelola para bruder FIC sebagai pusat spiritualitas Katholik untuk semua ordo. Lokasi: Jl. Diponegoro 90, Salatiga. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Salatiga, Lelakon Tinggalan Kota Garnisun di Pinggang Merbabu

Page 20: Sejarah VOC Artikel

GPIB Tamansari. Gereja mungil nan cantik itu dibangun 1823. Berdekorasi jendela gotik dan rumah lonceng di atas bangunan pintu masuknya. Lokasi: Jl. Jend. Sudirman 1, Salatiga. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kota terindah seantero Jawa Tengah. Demikian panggilan kesayangan untuk Salatiga, setidaknya sebelum runtuhnya imperium Hindia Belanda.  Tampaknya sebutan itu masih lekat di benak warga sebagai sesuatu yang terlalu indah untuk dilupakan–meski hingga kini tak satu pun penghargaan Adipura diraih kota ini. Banyak fasilitas publik tinggalan Hindia Belanda masih bermanfaat, seperti bangunan perkantoran pemerintah dan militer, rumah dinas, tempat ibadah, dan beberapa sekolah.

Jalan Diponegoro, seruas jalan utama dengan rumah-rumah tinggal awal abad ke-20 itu menunjukkan tilas permukiman Eropa. Ruas jalan lainnya yang menentukan denyut kota adalah Jalan Sudirman. Kedua ruas jalan ini bertemu di Bunderan Tamansari, jantung kota Salatiga, sekaligus sudut terindah karena kita dapat menikmati anggunnya Merbabu.

Di sekitar Bunderan Tamansari ada beberapa tempat menarik. Di hulu Jalan Sudirman, kita akan menjumpai GPIB Tamansari, sebuah gereja yang dibangun pada 1823.  Meskipun dihimpit sebuah mal, bangunan ini masih memesona dengan dekorasi jendela gotik dan rumah lonceng di atas bangunan pintu masuknya. Di dalamnya hanya tersisa beberapa bangku dari zaman kolonial. Namun, para pengurus gereja ini berusaha mempertahankan suasana interior gereja dengan membuat replika bangku-bangku tersebut.

Page 21: Sejarah VOC Artikel

Eddy Supangkat, pemerhati dan penggiat sejarah di Salatiga, berdiri di sisi belakang bekas rumah asisten residen, kini Rumah Dinas Walikota Salatiga. Di rumah inilah untuk pertama kalinya Soekarno bertemu dengan Hartini. Lokasi: Jl. Diponegoro 1, Salatiga. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia) (Mahandis Y. Thamrin)

Tepat di seberang gereja dan bunderan, tampak dua rumah indis yang berlatar Merbabu: satu rumah berpilar besi tempa dengan beranda luas dan rumah lainnya berpilar putih gaya tuskan. Kedua rumah yang dibangun sekitar pertengahan abad ke-19 ini dulunya rumah tinggal asisten residen, kini sebagai kompleks rumah dinas walikota Salatiga.

Sebuah inskripsi yang baru diresmikan pada 1997 oleh duta besar Prancis terpampang di teras rumah itu. Inskripsi itu menjadi pengingat bahwa penyair besar Prancis, Jean Nicolas Arthur Rimbaud (1854-91), pernah berjejak di Salatiga dari 2 sampai 15 Agustus 1876.

Dunia memang mengenal Rimbaud sebagai seorang penyair kampiun yang berpengaruh besar pada sastra modern, sekaligus pelancong yang sudah mengencani tiga benua. Singkat cerita, pemuda yang tak punya bakat di bidang militer itu mendaftar sebagai serdadu Hindia Belanda. Dia tercatat bergabung dengan batalion infanteri di Batavia, lalu bersama kesatuannya berlayar ke Semarang. Perjalanan berlanjut dengan kereta dari Kedungjati hingga Tuntang, lalu jalan kaki ke tangsi militer Salatiga. Sebagai seorang pelancong, tentunya Rimbaud terbiasa dengan perjalanan panjang ini.

Namun, kurang dari dua minggu di tangsi Salatiga, Rimbaud dikabarkan hilang saat apel. Memang tak ada informasi soal bagaimana cara sang penyair muda itu melarikan diri dari tangsi militer. Yang jelas, sekitar empat bulan kemudian dia telah berada di rumah keluarganya di Prancis. 

Page 22: Sejarah VOC Artikel

Rumah bergaya Hindia Baru yang berlokasi di seberang Rumah Dinas Walikota Salatiga ini pernah dihuni oleh Hartini Soewondo. Pada 1952 Soekarno melawat ke kota ini dan berjumpa dengan Hartini, kelak tahun berikutnya mereka menikah di Istana Cipanas. Hartini menjadi perempuan ke-4 yang dipinang oleh Si Bung itu. (Mahandis Y.Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kalau Rimbaud pernah bersyair “Love has to be reinvented, that is clear”, mungkin itulah yang dialami oleh Soekarno tatkala bersantap di rumah dinas walikota Salatiga, suatu siang pada 1952. Di rumah inilah si Bung Besar menemukan cintanya yang ke empat usai menyantap lodeh buatan seorang janda muda, Hartini. Dua tahun berikutnya si Bung pun meminang Hartini. Kelak, perkawinan ini pula menyebabkan Fatmawati hengkang dari istana.

Kebetulan rumah Hartini berada tak jauh dari rumah dinas walikota. Saya beranjak lalu menyeberangi Jalan Diponegoro untuk bertandang ke bekas rumah Hartini itu. Meskipun kini pemilik rumah bukan keluarga Hartini atau Soekarno, rumah yang berlanggam arsitektur era 1930-an itu hingga kini masih tampak asri seolah tak terpengaruh riuhnya dinamika kota.

Mungkin Salatiga telah ditakdirkan sebagai tempat persinggahan para pemuja keindahan, seperti Rimbaud dan Soekarno. Hanya saja, di Salatiga Rimbaud merasa sangat tak kerasan, sedangkan Soekarno merasa sangat kasmaran.

Page 23: Sejarah VOC Artikel

Salah satu santapan peranakan cina nan melegenda di Salatiga: Soto ESTO. Awalnya kedai soto ini buka di depan garasi perusahaan bis pertama di Salatiga, Eerste Salatigasche Transport Onderneming. Kini, kedai soto ESTO beralamat di Jl. Langensuko No.4, Salatiga. (Mahandis Y. Thamrin)

Page 24: Sejarah VOC Artikel

Genta kuno di klenteng tertua Salatiga, Hok Tek Bio. Meskipun permukiman Cina di Salatiga ditengarai sudah ada sejak akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19, pemugaran klenteng baru tercatat pada 1872 (Mahandis Y. Thamrin)

Suatu senja di pecinan yang memudar. Saya tertegun pada sebuah rumah sekaligus toko buah-buahan yang menurut saya berarsitektur unik, campuran Cina-Hindia-Eropa. Atapnya bergaya pelana khas Cina. Dekorasi fasad depannya berupa mosaik porselen yang mengapit tulisan ”Anno 1912” dan patung elang yang menatap tajam sembari mengepakkan sayapnya kepada siapa saja yang melintasi Jalan Semeru.

Di sinilah sepetak pecinan lama Salatiga, yang pada awalnya membangun peradaban di seberang utara tangsi militer, kini sekitar Jalan Ahmad Yani dan Jalan Sudirman. Tak heran pula apabila di Jalan Sudirman terdapat Pasar Kota Salatiga yang menggelumat sejak jelang subuh. Bayangkan, dari pasar sayuran hingga pasar loak tersedia di sini.  

Ketika menyusuri ruas Jalan Sukowati, saya menghentikan langkah tepat di depan klenteng tua Hok Tek Bio. Riuh cengceng, terompet cina, dan tambur berpadu.  Ternyata siluman kerbau hijau membuat huru hara di negeri Tong Tiauw: sebuah pertunjukan wayang potehi tengah digelar selama sebulan penuh untuk merayakan ulang tahun Kongco Ho Tek Tjin Sin atau Dewa Bumi.

Klenteng Hok Tek Bio merupakan salah satu tengara eksisnya pecinan di Salatiga. Kapan klenteng ini berdiri, belum ada yang bisa menjelaskan. Namun, yang pasti prasasti marmer beraksara Cina telah mengisahkan pemugaran klenteng ini pada 1872.

Page 25: Sejarah VOC Artikel
Page 26: Sejarah VOC Artikel

Salah satu toko oleh-oleh khas Salatiga di kawasan pertokoan pecinan abad ke-19. (Mahandis Y. Thamrin)

Berbicara soal pecinan dan klenteng Salatiga tak eloklah apabila tidak mencecap penganan enting-enting gepuk cap “Klenteng & 2 Hoolo”. Saya membeli beberapa bungkus sekedar untuk oleh-oleh. Kemasannya unik, dibungkus kertas roti dengan mengabadikan gambar klenteng Hok Tek Bio yang diapit dua hoolo atau botol arak Cina bertuliskan “Khoe”. Siapakah dia?

Khoe Tjong Hok, lelaki kelahiran Fukkian sekitar 1880, tinggal dan mengabdikan diri sebagai penjaga klenteng Hok Tek Bio sejak 1920-an. Dia membuat enting-enting gepuk di dapur klenteng dibantu anak-anaknya untuk dijual pikulan keliling Salatiga. Setelah Khoe Tjong Hok wafat pada 1971, dapur usahanya pindah ke seberang klenteng supaya tidak mengganggu kegiatan ibadah. Dapur itu kini menjelma deretan toko keluarga Khoe Tjong Hok yang menjadi pusat buah tangan khas Salatiga.

Di depan toko keluarga Khoe itu, kembali Bagong tampak termangu menanti perjalanan pelancong berikutnya. Seperti hari kemarin, dia mengajak berdokar ria mengelilingi Salatiga seraya melestarikan wahana tradisional. Barangkali, kota ini selalu menebarkan kesan mendalam bagi siapa saja yang pernah menyinggahinya. Soekarno pun pernah berujar, ”Suwe ora jamu. Jamu pisan jamu kapulaga. Suwe  ora ketemu. Ketemu pisan nang Salatiga.”

(Mahandis Yoanata Thamrin)

Page 27: Sejarah VOC Artikel

Serdadu VOC Asal Tanah MaduraPernah pada suatu masa, separuh lebih dari serdadu yang menjaga tembok Kota Batavia terdiri atas orang-orang Madura.

Peta Kota Batavia yang diterbitkan oleh Homannischen Erben pada 1733 ini menampilkan Kota Batavia dengan tembok kota dan pertahanan bentengnya, juga ilustrasi tentang warganya. (Rijksmuseum Amsterdam/Atlas of Mutual Heritage)

“Opas,” demikian tulis John Joseph Stockdale, “adalah serdadu asal Madura dan Sammanapp [Sumenep] yang selalu menanti para perwira Eropa, dan pada saat yang bersamaan mereka juga sebagai pelayan. Orang-orang Hindia ini pada dasarnya adalah pemberani dan cerdas.”

Stockdale (1770-1847) mengungkapkannya dalam Sketches, Civil and Military, of the Island of Java and Its Immediate Dependencies yang terbit pertama pada akhir 1811.  Inilah buku

Page 28: Sejarah VOC Artikel

berbahasa Inggris pertama yang berkisah tentang Jawa. Stockdale menyusun buku ini berdasar berita-berita tentang Jawa ketika Inggris tengah melakukan invasi ke pulau itu.

Beberapa bagian dari buku sohor itu mengisahkan peran orang-orang asal Madura dalam organisasi pengamanan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada paruh kedua abad ke-18.  Kongsi dagang Hindia Timur (VOC) merupakan perusahaan multinasional pertama di dunia yang mulai berdiri pada 1602—dan bangkrut pada 1799. Kongsi dagang ini istimewa lantaran mempunyai hak untuk bernegosiasi dengan negara manapun dan merekrut serdadu. Pos-pos perdagangannya terbentang dari Tanjung Harapan hingga Jepang.

Di Batavia, orang-orang Madura dan Sumenep berada dalam resimen di bawah komanda para pengeran mereka.

Sebuah garnisun yang menjaga tembok kota Surabaya, ungkap Stockdale, dipimpin oleh seorang berpangkat mayor yang sekaligus sebagai komandan seluruh serdadu Eropa dan Hindia. Sang mayor itu membawahi seratus serdadu Eropa—termasuk satu kompi resimen Württemberg yang merupakan tentara kontrakan asal Jerman. Selain itu, sang mayor juga membawahi enam kompi dari infantri asal Madura dan dua artileri asal Madura pula.

Ketika itu, pusat permukiman itu menjadi depot rekrutmen dengan para pangeran Madura dan Sumenep yang bekerja untuk kompeni. Tampaknya yang dimaksud Stockdale adalah Fort Belvidere, sebuah benteng kecil dengan lapangan arsenal di tepian Kalimas.

Sementara itu Stockdale juga memberikan pemerian tentang sebuah benteng VOC di Cirebon, yang dipersenjatai dengan empat kanon yang buruk. Kendati garnisunnya dikomandoi oleh seorang sersan dan dua kopral Eropa, seluruh awaknya hanya terdiri atas 15 serdadu asal Madura—itu pun dengan bedil yang seadanya.

Di Batavia, orang-orang Madura dan Sumenep berada dalam resimen di bawah komando para pengeran mereka. Garis pertahanan Kota Batavia terbentang dari muara Sungai Ancol sampai Sungai Angke. Di sebelah tembok kota terdapat beberapa bastion yang dikelilingi parit basah nan dalam dan lebar. Juga, terdapat benteng batu dengan empat bastion, Kastel Batavia, yang terletak di muara Kalibesar. Pertahanan lain yang turut menjaga pusat kota dari barat ke timur adalah Fort Angke di tepian Kali Angke, Fort Vijhoek di tepian Kali Grogol, Fort Rijswijk di tepian Kali Krukut, Fort Noordwijk di tepian Ciliwung. Selanjutnya, Fort Jacatra dan di ujung timur adalah Fort Ancol.

“Serdadu Eropa dan Hindia dipercaya untuk menjaga Batavia dan pos terluarnya,” ungkap Stockdale. Jumlah totalnya mencapai 4.540 orang. Sejumlah 3.300 atau lebih separuhnya adalah orang-orang asal Madura dan Sumenep.

Page 29: Sejarah VOC Artikel

"Vue de l'isle et de la ville de Batavia appartenant aux Hollandois, pour la Compagnie des Indes"(Universiteitsbibliotheek Vr?e Universiteit/Wikimedia Common)

Stockdale menulis perinciannya. Serdadu nasional dalam tiga batalion terdiri atas 2.400 orang. Namun, dari jumlah itu, 200 orang—termasuk perwira, bawahan, dan pelontar granat—merupakan orang-orang Eropa. Sementara, 2.200 sisanya adalah orang Madura dan Sumenep.

Dia melanjutkan pemeriannya, sejumlah 400 orang dari Madura dan Sumenep juga berperan sebagai infantri pemburu dalam batalion ke-1. Sebanyak 600 orang lainnya juga berada dalam artileri berat, dan 100 orang bertugas dalam kompi ke-1 artileri ringan.

Sementara, total serdadu asal Eropa lainnya, yang bertugas dalam kesatuan kavaleri dan serdadu tambahan, jumlahnya hanya 1.040 orang.

Demikianlah takdir orang-orang Madura pada akhir abad ke-18. Seabad sebelumnya, mereka pernah terlibat dalam pemberontakan terhadap sebuah wangsa di Jawa Tengah bagian selatan, dan juga bertempur sengit dengan VOC. Namun, selepas pemberontakan mereka yang gagal, VOC mulai terlibat dalam suksesi di Madura. Akhirnya, mereka menjadi garnisun sebuah kota dagang terbesar di Asia Tenggara, yang berkembang di bawah kongsi dagang asal Belanda itu. “Semua serdadu itu ditempatkan dalam keadaan lingkungan kota pesisir yang tidak sehat.”

Page 30: Sejarah VOC Artikel

Saksi Bisu Sejarah Bahari Era VOCDibangun tahun 1628 sebagai kantor dagang VOC, bangunan tersebut kemudian dijadikan gudang barang keperluan galangan kapal di Pulau Onrust.

Salah satu sisi bagian luar bangunan gedung Galangan VOC, di Jalan Kakap, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (30/1/2015). Gedung ini pada masa lampau pernah digunakan sebagai kantor pusat kegiatan perusahaan dagang Hindia Belanda, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). (Foto: Raditya Helabumi/KOMPAS)

Suatu hari di tahun 1997, Susilowati Then (66) diminta suaminya, Gustimego, membeli gudang dan tanah seluas 5.000 meter persegi.

Menurut rencana, gudang yang rusak dan hampir ambruk itu akan dirobohkan, dan di atas lahan tersebut akan dibangun deretan rumah toko alias ruko.

"Kami membeli gudang tersebut dari pemiliknya yang bermarga Panggabean. Selama itu mereka menggunakan gudang tersebut sebagai gudang yang penuh dengan drum-drum bahan kimia,” tutur Susilowati saat ditemui pada Sabtu (10/1) lalu.

Tak berapa lama setelah gudang dan lahan itu dibeli, Susilowati diberitahu petugas Suku Dinas Pariwisata Jakarta Utara yang mengatakan bahwa bangunan yang dibeli Susilowati adalah bangunan cagar budaya yang tak lain adalah Galangan Kapal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Sesuai ketentuan perundangan, Susilowati tidak boleh merobohkan bangunan tersebut.

Susilowati taat. Ia pun hanya membersihkan gudang dan menambal tembok di sana-sini seadanya. Selang tak berapa lama, Wali Kota Jakarta Utara kala itu, Subagyo (1997-2002),

Page 31: Sejarah VOC Artikel

mendesak Susilowati mengizinkan Festival Jakarta bisa digelar di galangan kapal tersebut. Menurut rencana, festival akan digelar pada Juli 1998.

Susilowati tak hanya mengizinkan festival digelar di sana, tetapi juga siap membiayai festival itu. Tidak ingin mengecewakan pengunjung acara, ia pun berniat merestorasi bangunan. ”Saya masih ingat, untuk membersihkan barang bekas, puing, dan sampah, saya membutuhkan enam truk yang mondar-mandir hampir sepekan,” kenangnya.

Ia lalu menyulap sebagian galangan kapal menjadi restoran dan galeri di lantai dua, serta kafe di lantai satu. ”Kala itu saya berpikir, momen Festival Jakarta bisa menjadi pembuka jalan memperkenalkan dan menghidupkan galangan kapal ini menjadi kawasan wisata,” tutur Susilowati.

Dengan rasa optimistis yang meluap, ibu lima anak dan 12 cucu ini pun menyiapkan 120 pekerja yang ia gaji dua bulan di muka. Namun, apa hendak dikata, Mei 1998 Jakarta dilanda amuk massa. Festival Jakarta pun urung digelar. Usaha Susilowati pun gulung tikar.

Meski demikian, Susilowati terus melanjutkan restorasi. ”Saya telanjur jatuh hati pada bangunan ini setelah enam bulan saya memilikinya,” katanya.

Kantor dagangAdolf Heuken dan Grace Pamungkas dalam bukunya, Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus Tahun (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000) menulis, bangunan milik Susilowati itu dibangun tahun 1628 sebagai kantor dagang VOC. Bangunan itu kemudian dijadikan gudang barang keperluan galangan kapal di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.

Lama-lama, gudang ini pun menjadi galangan kapal bagi kapal-kapal kecil yang tak tertampung di Pulau Onrust.

”Perubahan lain terjadi saat galangan kapal ini terbakar tahun 1721. Sebelum terbakar lantai duanya rata, tanpa selasar. Setelah terbakar, dibangunlah selasar,” ucap arkeolog dan pengamat Kota Tua Jakarta itu.

Candrian, yang mendampingi Susilowati, menambahkan, tahun 1978 Gubernur DKI Ali Sadikin membangun saluran penghubung yang kini populer disebut sebagai Kali Pakin. Akibat pembangunan saluran itu, sebagian bangunan galangan dipangkas.

Kecintaan Susilowati pada cagar budaya lambat laun membuat ia jatuh cinta pula pada seni dan budaya yang berkembang di Jakarta pada abad ke-18. ”Saya ingin suatu hari Galangan Kapal VOC ini bisa menjadi serambi budaya bagi kesenian, tradisi, dan budaya yang berkembang di Jakarta pada abad ke-18,” tuturnya.

Kurang peduliYang masih menjadi kegundahan Susilowati adalah sampai hari ini Pemerintah Kota Jakarta Utara ataupun Pemprov DKI masih kurang peduli terhadap semua usahanya itu.

Sejak galangan kapal menjadi miliknya dan selesai direstorasi, para petinggi DKI Jakarta datang silih berganti mengumbar janji hendak memperbaiki infrastruktur jalan dan penerangan, serta membuat rute kendaraan pariwisata. Mereka juga mengumbar janji

Page 32: Sejarah VOC Artikel

membantu meramaikan galangan kapal dengan bermacam kegiatan, serta akan ikut melestarikan cagar budaya tersebut.

Namun, janji tinggal janji. Susilowati harus menanggung perawatan Galangan Kapal VOC miliknya sendirian.

Saat ia merasa ditinggalkan, Susilowati sempat berpikir ingin menjual bangunan bersejarah itu dan bisa beristirahat bersama anak-cucunya. ”Ya buat apa saya setiap tahun harus mengeluarkan PBB senilai Rp 110 juta dan setiap bulan membayar listrik sampai Rp 20 juta kalau kurang bermanfaat bagi publik?”

Ia mengaku tidak memiliki motif ekonomi lagi untuk menghidupkan galangan kapal miliknya. ”Saya sudah tua. Tidak lagi bermimpi banyak soal materi. Yang saya inginkan adalah keramaian budaya di sekitar galangan kapal ini,” ujarnya.

Galangan Kapal VOC tak bisa dipisahkan dengan sejumlah bangunan serta tempat cagar budaya di sekitarnya, yaitu Menara Syahbandar, Pasar Ikan Heksagon, Museum Bahari, serta Pelabuhan Sunda Kelapa.

Sayang, sampai sekarang lima cagar budaya nan-eksotis dan menyimpan banyak cerita menarik itu, kurang terhubung satu sama lain oleh infrastruktur yang layak. Sepenggal riwayat kota ini telah dilupakan....

(Windoro Adi, Kompas)

Page 33: Sejarah VOC Artikel

Beranda › Berita › Sejarah

2014 / November / 4 11:00

Losmen Lampu Merah dan Pelacuran di BataviaSaatnya gulungan arsip VOC berbicara tentang denyut losmen lampu merah di keremangan Batavia.

Spinhuis, rumah pembinaan bagi perempuan jalang di Batavia pada abad ke-17. Johan Nieuhof menggambarkan rumah binaan yang tidak memiliki jendela kecuali di sisi timurnya yang menghadap kastel. Pintu gerbangnya terbuat dari rel besi dengan jendela kayu berana geser. Di sinilah para perempuan itu dibina dengan berbagai kesibukan di bawah bimbingan beberapa pengasuh. Jika mereka lalai, pastilah kena cambuk. Lokasinya kini di sekitar Jalan Tiang Bendera, Jakarta Kota. Kanal di depannya telah berubah menjadi permukiman padat. (Johan Nieuhoff (1618-1672), Atlas of Mutual Heritage and the Koninklijke Bibliotheek, the Dutch National Library /Wikimedia)

Page 34: Sejarah VOC Artikel

“Jika Anda tidak bisa mengirimkan perempuan baik-baik yang pernah menikah, mohon kirimkan kami para perempuan muda,” tulis Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen dalam surat tertanggal 11 Mei 1620. “Dan kami berharap, hal itu akan menjadi lebih baik ketimbang pengalaman kami berkencan dengan perempuan yang lebih tua.”

Coen menyampaikan surat tersebut kepada para direktur VOC. Sebagai seorang pendiri Kota Batavia—koloni Kerajaan Belanda di Timur—Coen mendesak terpenuhinya persyaratan kebutuhan dasar bagi warga kota yang beradab. Dia dengan gemas melarang keras pergundikan, perzinahan, dan pelacuran. Kota yang beradab, demikian hemat Coen, harus dimulai dari warga yang beradab.

Sedikitnya jumlah warga perempuan di Batavia karena VOC memberikan aturan ketat dalam menerima pemukim baru. Namun selepas Coen, pada periode 1632-1669, maskapai dagang itu menghentikan migrasi perempuan ke Hindia Timur.

Lelaki yang mengencaninya beragam, dari budak hingga orang bebas. Tempat tinggalnya pun berpindah-pindah.

Dengan jumlah warga lelaki yang jauh melebih warga perempuannya, Batavia mengalami krisis sosial yang tak terelakkan: pelacuran yang merajalela. Peraturan Sang Gubernur Jenderal pun kandas dalam penegakan hukumnya. 

Hendrik E. Niemeijer, sejarawan asal Belanda yang telah menagrungi samudra arsip VOC di indonesia, mengungkapkan soal pelacuran di Batavia zaman VOC dalam Batavia : een koloniale samenleving in de zeventiende eeuw yang terbit pada 2005. Dua tahun silam, buku tersebut telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia—Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII.

Adriana Augustijn, perempuan mardijker atau budak yang telah dimerdekakan, tercatat sebagai salah satu pelacur di Batavia yang terjerat kasus hukum. Demikian, berkas yang merekam risalah pernyataan Adriana tertanggal 29 Agustus 1689. Kini, berkas lawas itu berada di ruang penyimpanan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Koleksi lembaga tersebut tentang arsip pemerintahan tertinggi selama 1602-1811—kalau direndeng—bisa mencapai sekitar 450 meter!

Orang-orang mardijker memang dikenal urakan di Batavia. Adriana, perempuan berkulit gelap, dilaporkan oleh para tetangganya sebagai perempuan yang bekerja dengan memanfaatkan tubuhnya. Lelaki yang mengencaninya beragam, dari budak hingga orang bebas. Tempat tinggalnya pun berpindah-pindah.

Di Batavia abad ke-17, pilihan menjadi pelacur atau gundik tampaknya lebih menjanjikan bagi para budak perempuan, ketimbang harus menjadi budak rumahan yang kerap jadi sasaran sumpah serapah sang nyonya majikan.

Berbeda dengan Adriana yang merupakan pelacur jalanan, Lysbeth Jansz bekerja menjual tubuhnya sebagai pelacur di losmen merah di luar tembok kota. Lysbeth merupakan perempuan asal Rotterdam dan sudah kerap didera hukuman, bahkan pernah dibuang di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Namun, Batavia tetap menjadi daya tarik baginya untuk kembali.

Page 35: Sejarah VOC Artikel

"Het gezigt van het Spinhuys met het Seneese Hospitaal staande op de Spinhauys Gragt af te zien van de hoek aan de terse Straat". Sketsa oleh Johannes Rach yang diselesaikan oleh asistennya. Inilah rupa rumah pembinaan bagi perempuan jalang dan rumah sakit Cina pada akhir abad ke-18 di Batavia, seabad setelah litografi Johan Nieuhof. Lokasinya sekitar Jalan Tiang Bendera. (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

Losmen-losmen lampu merah itu awalnya di dalam tembok kota, sekitar Kastel Batavia. Setiap saat serdadu-serdadu VOC dapat berkencan dengan perempuan pilihan mereka, tanpa harus membawa masuk ke dalam barak. Dalam perkembangannya, losmen itu pun tumbuh di luar tembok kota.

Akta risalah pernyataan tertanggal 8 dan 11 September 1682, yang kini tersimpan di ANRI, juga menunjukkan salah satu losmen merah yang sohor di Batavia. Losmen itu menawarkan keliaran yang bertajuk “De Berebijt”—artinya gigitan beruang.

Lokasinya di Jacatraweg, kini Jalan Pangeran Jayakarta, sebelah selatan tembok kota. Dari arsip zaman VOC itu Niemeijer mengungkapkan bahwa “De Berebijt” merupakan salah satu rumah bordil yang kerap rusuh karena menjadi ajang duel. Sejumlah losmen merah lainnya yang dimiliki mucikari Eropa dan Asia membuka praktik di sekitar Niewpoort, kini sekitar Jalan Pintu Besar Selatan.  

Mengapa pelacuran sulit dicegah dan justru menjamur di luar tembok Kota Batavia?

Tidak hanya pelacuran, tetapi juga pemerasan seksual telah terjadi di Batavia. Pada 1644, sebanyak lebih dari dua lusin warga Batavia terbukti menjadi germo. Mereka mendandani

Page 36: Sejarah VOC Artikel

para budak perempuan mereka bagai noni-noni terhormat, dan memaksa para budak itu untuk melacurkan diri.

Kasus pemerasan seksual juga diungkap oleh Leonard Blussé, sejarawan Belanda, dalam Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and Dutch in VOC Batavia. Blussé mengisahkan perkara seorang istri yang bersaksi kepada dewan pengadilan pada pertengahan 1625 karena hak-haknya sebagai perempuan justru lenyap setelah menikah. Sang istri mengadukan suaminya yang bejat. Demi imbalan uang, setiap hari sang suami memaksa dia dan budak perempuannya untuk melayani kebutuhan seks para lelaki Belanda.  

Mengapa pelacuran sulit dicegah dan justru menjamur di luar tembok Kota Batavia? Salah satu penyebabnya adalah sindikat antara pemilik losmen dan pegawai kehakiman yang korup dengan mengambil keuntungan dari bisnis lendir itu.

Tampaknya keberadaan losmen lampu merah yang disokong penegak hukum bukan hal baru di kawasan yang kelak menjadi Megapolitan Jakarta ini. Apakah kita sedang mewarisi keindahan negeri bebas korupsi di kaki pelangi?

Mahandis Yoanata Thamrin

Page 37: Sejarah VOC Artikel

Magnet Janda-janda Muda di Batavia Zaman KompeniDi dalam tembok Kota Batavia, banyak lelaki mendambakan janda ketimbang gadis dari keluarga elite sekalipun. Mengapa?

Lukisan keluarga Pieter Cnoll (sekitar 1625 - 1672) dan istrinya yang keturunan Eurosia, Cornelia van Nijenroode (1629-1692). Lelaki Jawa di latar belakang adalah budak mereka, Untung Surapati. Kelak ketika menjanda, Cornelia menikah lagi dengan J. Bitter, lelaki yang lebih muda sembilan tahun darinya. Pernikahan kedua tersebut dijalaninya dengan penuh kepahitan. (Lukisan karya J.J. Coeman (1665), Rijksmuseum Amsterdam.)

“Saya hendak memperbaiki segala keburukan akibat kekhilafan masa muda saya dan untuk membayar utang saya,” ungkap David van Lennep kala berjejak di Batavia pada akhir abad ke-18.

Kota itu awalnya sebuah kastel kecil di muara Ciliwung pada awal abad ke-17, dan berkembang menjadi kota perdagangan terbesar di Asia Tenggara, sekaligus permukiman orang-orang Eropa. Di sinilah Vereenigde Oost-Indische Compagnie —maskapai dagang Belanda di Hindia Timur—membangun markas besarnya.

Page 38: Sejarah VOC Artikel

Lennep bukan petinggi kompeni yang kaya, dia hanyalah seorang pegawai pada Mahkamah Pengadilan. Lantaran dera utang yang menggunung dan tak kunjung lunas, Lennep bercita-cita menikahi seorang janda kaya di kota ini.

Lennep menikahi sang janda kaya karena terangsang oleh hukum perkawinan Kota Batavia. Peraturannya mengatakan, semua harta milik istri—baik usaha sendiri maupun warisan—serta merta menjadi milik suaminya.

Bagi para lelaki yang menjadi pegawai kompeni di Batavia, seperti Lennep, perkawinan merupakan bagian dari menanam modal yang kelak mendatangkan keuntungan materi.

"Pada masa itu, ada anggapan bahwa perempuan yang telah menikah berkali-kali—dua hingga empat kali—bukan sesuatu yang fantastis."

Janda-janda muda lebih menawarkan kemungkinan yang lebih menarik untuk menumpuk kekayaan—atau setidaknya untuk hidup berkelimpahan. Para lelaki muda menilai mereka lebih matang dan punya tingkatan lebih tinggi, apalagi jika janda itu telah berkali-kali menikah, ketimbang gadis-gadis remaja kalangan elite di Batavia.

Pada masa itu, ada anggapan bahwa perempuan yang telah menikah berkali-kali—dua hingga empat kali—bukan sesuatu yang fantastis. Barangkali salah satu alasannya, rata-rata perempuan di Batavia mempunyai kecenderungan berusia lebih panjang ketimbang suami mereka. Lagipula, pada kenyataannya bagaikan suratan nasib: Hanya sekitar sepertiga lelaki pegawai kompeni yang bisa menjejakkan kembali ke tanah kelahiran.

Para nyonya punya keleluasaan berbisnis, lantaran para suami mereka yang bekerja sebagai pegawai VOC dilarang melakukan perdagangan pribadi. Peraturan ini diberlakukan sangat ketat sehingga para nyonya memainkan peranan penting dalam kiprah menimbun kekayaan. Mereka, nyonya-nyonya besar, terlibat langsung dalam jaringan bisnis dagang pribadi. Bahkan, tak sedikit yang menjadi makelar wisma mewah, sampai sebagai rentenir yang meminjamkan uang kepada orang-orang Cina di Batavia.

Page 39: Sejarah VOC Artikel

Lukisan cat minyak karya Andries Beeckman yang menggambarkan Kastil Batavia dilihat dari Kali Besar Barat. Di latar depan tampak kesibukan warga Batavia di pasar ikan sekitar 1656. Tampak lelaki Eropa yang beristri perempuan berkulit gelap, sementara seorang budak memayungi mereka. Inilah awal mula peradaban indis. (Tropenmuseum/Wikimedia)

Salah satu dari sekian kisah perempuan yang telah menikah beberapa kali dan sukses menjadi orang kaya adalah Maria van Aelst, janda yang ditinggal mati para suaminya.

Banyaknya lelaki peminat janda di Batavia telah melahirkan sebuah pemeo lawas: Jika perempuan itu merupakan janda seorang kaya, dia pun segera menghadapi sejumlah peminang—segera setelah suaminya dimakamkan.

Suami pertamanya Johan Libener, seorang pedagang senior di Batavia pada 1622. Suami keduanya Bartholomeus Cunst, warga terkemuka dan pengurus panti asuhan. Kemudian pada 1630, Anthony van Diemen, seorang Dewan Hindia yang kelak menjadi Gubernur Jenderal VOC, menikahi janda Maria itu.

Meski menjanda, Maria tetap berada di Batavia karena VOC memberikan tunjangan hidup kepada para janda sampai mereka pulang ke Belanda atau menikah lagi. Hindia Timur telah menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi para perempuan ketimbang harus pulang kampung. Di Batavia abad ke-17, para perempuan berpeluang meninggikan kedudukan sosial mereka atau meningkat ke kelas pendapatan yang lebih tinggi—kaya raya.   

“Mereka memanfaatkan kemauan baik dari suami mereka sehingga menyalahgunakan karunia yang diterimanya.”

Page 40: Sejarah VOC Artikel

Maria pun bergaya hidup mewah dan bagian dari masyarakat perempuan sosialita Batavia. Dia mendapat kesempatan menikmati wisma gubernur jenderal tinggalan suaminya dan diizinkan pulang ke Belanda dengan membawa semua peralatan rumah tangganya dalam jumlah yang besar.

“Mereka memanfaatkan kemauan baik dari suami mereka sehingga menyalahgunakan karunia yang diterimanya,” ungkap Jean Baptiste Tavernier, seorang pedagang batu permata dan pelancong asal Prancis yang singgah di Batavia pada abad ke-17. Mereka “mendorong suami-suami melakukan kejahatan besar dengan berkedok nama baik suami mereka.”

Sejumlah sejarawan memberikan berbagai label tentang perempuan Batavia. Ada yang menyebut mereka adalah perempuan bodoh dan pemalas, unsur kemegahan kota, hingga bagian dari peradaban indis di Hindia Belanda.

Apakah janda-janda muda di Batavia mudah begitu saja dipinang?

Belakangan berkas surat Lennep mengisahkan, tampaknya sang janda menyadari akal bulusnya sehingga perempuan itu menepis lamarannya. Dan, lelaki itu harus rela melanjutkan hidup dengan segunung utangnya.

“Sesungguhnya saya bermaksud berkorban untuk mencapai tujuan tersebut,” ungkap Lennep. “Namun, jahat kiranya untuk mengorbankan sesama manusia, dan terlebih jahat lagi menipu atau menghancurkan seorang perempuan yang sudah bersedia membagi nasib gemilangnya itu dengan diri saya.”   

(Mahandis Yoanata Thamrin. Sumber:Leonard Blusse, Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and Dutch in VOC Batavia; Jean Gelman Taylor, The Social World of Batavia: Europeans and Eurasians in Colonial Indonesia)

Page 41: Sejarah VOC Artikel

PERTEMPURAN 8 FEBRUARI 1686 (1)

Investigasi Terbunuhnya Kapten Tack di KartasuraBagaimana mungkin mantan budak asal Bali itu bisa menjebak dan menewaskan Komisaris Luar Biasa VOC, Kapten Fran?ois Tack?

Lukisan tradisional Jawa karya Tirto dari Gresik, Jawa Timur, yang menggambarkan terbunuhnya Kapten François Tack oleh Surapati di Kartasura (1686) di bawah Susuhunan Amangkurat II. Lukisan ini dibuat sekitar 1890-1900.Tack merupakan korban sandiwara persekongkolan. Prajurit Jawa yang diharapkannya membantu menyergap Surapati justru membelot dan berbalik melawannya. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

Angin monsun barat yang basah mengembangkan layar kapal-kapal di Sunda Kelapa, Batavia. Seorang komisaris luar biasa berpangkat kapten berangkat menyusuri Laut Jawa pada akhir 1685, usianya saat itu 36 tahun. 

Karier Kapten François Tack cukup brilian. Ketika usianya masih 23 tahun dia bertugas di perwakilan VOC di India, pangkatnya pun naik dari pembantu letnan menjadi calon perwira. Tiga tahun kemudian lelaki kelahiran Amsterdam itu dianugerahi pangkat kapten. Bersama seniornya, Tack turut berperan dalam penumpasan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa.

Sang komisaris luar biasa itu berlayar menuju Jawa dengan tujuan untuk menagih hutang Susuhunan Amangkurat II dan memadamkan laskar Bali yang memberontak kepada VOC. Juga, sekaligus menangkap dedengkotnya—Untung Surapati.

Page 42: Sejarah VOC Artikel

Surapati berasal dari Bali. Dia pernah menjadi budak keluarga pedagang di Batavia. Nama “Untung” dibubuhkan kemudian lantaran sejak ada budak lelaki itu di rumah, sang majikan kerap beruntung. Namun, tampaknya Surapati suka bermain api. Dia menjalin cinta dengan putri majikannya sehingga dia dijebloskan ke penjara. Lagi-lagi karena beruntung, dia bisa melarikan diri dari kurungan VOC.

Wadana atau halaman muka Babad Tanah Jawi yang disalin pada abad 19. Babad ini merupakan karya sastra dalam bentuk tembang yang berkisah tentang raja-raja mataram. Pada 1874-77, J.J. Meinsma menerjemahkan karya sastra ini. Terdapat gambaran orang Jawa tentang watak Kapten Tack yang tengah marah karena ulah Surapati: Sang Kapten itu melemparkan topinya ke tanah, menggigiti kumisnya, dan matanya memancarkan warna merah, sembari mengumpat-umpat. (Wikimedia Commons).

PADA JUMAT, 8 FEBRUARI 1686, antara pukul 10.00 hingga 11.00, Tack dan pasukannya telah sampai di Kartasura. Beberapa hari sebelumnya dua kompi telah bersiaga di sekitar keraton. Di sinilah Susuhunan Amangkurat II bertakhta di keraton yang baru didirikan sekitar empat tahun sebelumnya.

Serdadu Belanda telah bersiap-siap. Di loji VOC terdapat 150 serdadu, sementara sekitar 40 serdadu bersiaga di dekat keraton. Tack dengan semangat membara bergerak bersama sekitar tiga kompi menuju keraton dengan genderang bertalu-talu. Dia berbekal enam prajurit pelempar granat dan bintara artileri yang membawa tong kecil berisi mesiu dan peluru-peluru. Namun, kesalahan fatal Tack: Meninggalkan meriam, amunisi, dan serdadu tombak di loji.

Sementara itu di sekitar keraton terjadi kebakaran dahsyat. Permukiman para tukang, seniman, dan para abdi keraton sengaja dibakar oleh laskar Surapati, tampaknya aksi ini mendapat persetujuan dari Susuhunan.

Aksi sandiwara pembakaran—bangunan yang sejatinya tak berharga—dan amuk di keraton oleh laskar Surapati menunjukkan seolah Susuhunan pun mendapat perlawanan dari laskar Surapati. Tipu daya inilah yang memperdaya pasukan Tack. Sejauh ini dia belum meyakini tentang kerja sama antara Susuhunan dan Surapati.

Page 43: Sejarah VOC Artikel

DALAM KECAMUK PERANG, kompi-kompi VOC bergerak maju sembari menembak, sekaligus mendesak laskar Surapati yang berada di keraton. Sementara, serdadu-serdadu itu mendapat serangan dari rumah-rumah yang belum terbakar. Kali ini, Tack menghadapi pasukan petualang yang terlatih dengan senjata dan strategi sandiwara.

Strategi Surapati dan ketidakgamblangan sikap Susuhunan menyebabkan Tack berjalan menuju sebuah jebakan. Di alun-alun Kartasura, Tack dan pasukannya tidak pernah mengira akan mendapat perlawanan dahsyat dari laskar Surapati.

Kapten Tack menjadi tokoh legendaris. Tewasnya Sang Kapten di tangan laskar Bali dalam pertempuran di Kartasura menginspirasi kisah kepahlawanan Untung Surapati dalam budaya tutur dan babad di Jawa. Sebuah topeng di Jawa merepresentasikan karakter Tack. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

Dalam Babad Tanah Jawi, terdapat kisah tentang kemarahan Tack pada saat mendengar Surapati mengamuk. Sang Kapten itu melemparkan topinya ke tanah, menggigiti kumisnya, dan matanya memancarkan warna merah, sembari mengumpat-umpat—“Perdam-perdom.” 

Sementara, menurut arsip Belanda semasa, terjadi kebingungan dan kekacauan dalam pasukan VOC. Mereka menembak tanpa membidik, sementara untuk mengisi kembali senapannya perlu waktu. Dalam naungan asap nan gelap, padang-pedang laskar Surapati yang bermata gelap pun dengan mudah menetak mereka.

Dalam pertempuran di alun-alun itu Tack turun dari kudanya. Namun, setelah pengawalnya banyak yang tewas, dia pun bermaksud kembali ke kuda tunggangannya. Malangnya, sebelum kakinya menginjak sanggurdi, dia telah tewas terbunuh oleh laskar Bali yang membabi buta. Saat jenazah Tack ditemukan, terdapat 20 luka tusukan berat di tubuhnya.

TACK MERUPAKAN KORBAN sandiwara persekongkolan. Prajurit Jawa yang diharapkannya bakal membantu menyergap Surapati justru membelot dan berbalik melawannya. Jikalau Tack tidak gegabah dengan meninggalkan serdadu-serdadu tombaknya di loji VOC, barangkali kisahnya tak akan setragis ini. Saat itu bayonet hanya dikenal di Prancis, sehingga serdadu tombak sangat berperan di setiap pertempuran.

Page 44: Sejarah VOC Artikel

“Hanya Tuhan yang tahu, apakah serbuan itu terjadi bukan karena bantuan orang Bali yang mengikuti Sunan,” tulis Letnan Eygel, satu-satunya perwira penyintas pertempuran itu. 

Pertempuran Kartasura memakan korban tewas sebanyak 79 serdadu VOC dan satu serdadu dinyatakan hilang. Sementara di pihak Surapati, sekitar 50 orang Bali tewas. Sebanyak 20 luka berat, 15 diantaranya akhirnya tewas dan dimakamkan di tepian Bengawansolo.

Sang Letnan juga bersaksi, sekelompok orang Bali berbusana gelap dengan bersenjata tombak yang muncul dan menyergap serdadu VOC dari permukiman. Bagi serdadu-serdadu VOC yang tercerai-berai dan tak sempat mengisi kembali senapan mereka dengan peluru, demikian menurut Eygel, akhirnya mereka tewas terhunus tombak-tombak laskar Bali.

Peristiwa yang disaksikan Eygel tampaknya mirip dengan pemerian dalam Babad Tanah Jawi. Sunan, dalam babad tersebut, memerintahkan kepada Pangeran Puger, adiknya, untuk membantu Surapati dengan berhias mirip orang Bali. Babad berkisah juga, bahwa Puger berhasil menewaskan Kapten Tack dengan tombak pusaka Kiai Plered.

Arsip VOC dan berita dari Susuhunan menerangkan bahwa pertempuran itu selesai pada tengah hari. Kemudian, hujan pun turun dengan lebatnya. Sementara François Valentijn, seorang pegawai VOC yang saat kejadian tersebut baru bekerja setahun, mengisahkan Surapati merayakan kemenangan itu dengan berpawai keliling alun-alun. Hingga larut malam, suara gending kemenangan bergaung di Keraton Kartasura.

“Pembunuhan Kapten François Tack merupakan salah satu peristiwa yang paling mencolok dalam sejarah VOC,” ungkap Hermanus Johannes de Graff, seorang sejarawan yang berada di Indonesia pada 1926-50. Meskipun demikian, menurutnya, pukulan berat kekalahan VOC itu tidak sebanding dengan perhatian peneliti sejarah tentang topik Tack. “Patut disesalkan,” ungkapnya, “tempat mereka tewas tidak diabadikan dengan sebuah monumen, sekalipun sederhana saja.”

Di manakah makam Kapten François Tack? Hingga saat ini berkembang dua pendapat tentang lokasi makamnya: Jepara dan Batavia. Simak kisah selanjutnya tentang makam sejati Sang Kapten yang malang itu.

Mahandis Yoanata Thamrin

Page 45: Sejarah VOC Artikel

Selisik Makam Kapten Tack, Perwira VOC Abad Ke-17Lebih dari tiga abad silam, Francois Tack terbunuh di Pertempuran Kartasura menyisakan pendapat soal lokasi makamnya: Jepara atau Batavia?

Page 47: Sejarah VOC Artikel

Batu nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn, Sara Bessels, dan kedua anak mereka Pieter van Hoorn de Jonge dan Catharina van Hoorn de Jonge; dan sang menantu, François Tack. Tanda ukiran "HK No.26" menunjukkan bahwa nisan ini awalnya dari Hollandsche Kerk—kini Museum Wayang. Sejak 1844 nisan ini berada di Permakaman Kristen Kebonjahe yang saat ini menjadi Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Ini nisannya Pieter Janse van Hoorn,” ujar Lilie Suratminto kepada kami sembari menunjuk batu nisan berhias ukiran aneka lambang heraldik. Bertumpu pada prasasti di nisan tadi dia berujar, “Bersamanya dimakamkan istri dan kedua anaknya, juga Tack yang tewas di Kartasura.”

Lilie, lelaki ramah dengan kumis rapinya, merupakan pengajar bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Dia pernah melakukan penelitian untuk disertasinya tentang komunitas Kristen di Batavia masa VOC yang dilihat dari batu nisannya.

Pada suatu pagi nan cerah, Lilie bersama kami mengunjungi Museum Taman Prasasti di Jakarta Pusat. Museum terbuka ini bekas sehamparan tanah permakaman Kristen yang mulai digunakan sejak 1795 hingga 1976. Dahulu dikenal sebagai Kebonjahe Kober.

"Tuan François Tack dari Den Haag lahir 28 Mei 1649 wafat di Kartasura 8 Februari 1686." Tiga baris kata-kata di nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn yang mengungkapkan bahwa Sang Kapten nan malang itu dikebumikan di Batavia (Mahandis Y. Thamrin/NGI).

Hari itu, di nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn, kami menyelisik 28 baris prasasti berbahasa Belanda lama. Berikut ini kutipan tiga baris yang menarik karena berkait dengan Sang Kapten:

“D[en] H[eer] F[rançois] TACK UYT DEN HAAGH GEB[oren] 1649 28 M[...]Y [...] C[...]R[...]SOERA [...] FEB 1686.”

Beberapa patah kata dalam kutipan prasasti itu hilang karena ditimpa sebuah ukiran “HK No.26” yang dibuat pada saat proses pemindahan makam dari Hollandsche Kerk (HK) ke Kebonjahe pada awal abad ke-19. Lilie mencoba menerjemahkan dari rangkaian huruf yang tersisa, “Tuan François Tack dari Den Haag lahir 28 Mei 1649 wafat di Kartasura 8 Februari 1686.”

Page 48: Sejarah VOC Artikel

Saat ini terdapat dua pendapat tentang keberadaan makam Tack. Ada yang mengatakan bahwa Tack dimakamkan di Benteng Jepara, sementara pendapat lain meyakini bahwa raga Sang Kapten itu bersemayam di Batavia.

“Untuk membawa jenazah François Tack ke Batavia tentu terlalu jauh,” ungkap Lilie pada kesempatan lain. “VOC kemudian memutuskan untuk memakamkannya di loji—benteng—kompeni di Jepara.” Namun demikian, menurut Lilie, diduga pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704-1709) jenazah Tack dipindahkan dari Jepara untuk dimakamkan kembali ke Batavia. Buktinya, nama Tack terukir di sebuah nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn di Batavia.

Tampaknya, penjelasan Lilie telah mengakurkan dua pendapat tentang lokasi sejati makam Tack: Sang Kapten pernah dimakamkan di Benteng Jepara, kemudian dipindahkan ke Batavia. Di Benteng Jepara tinggalan Portugis itu VOC telah membangun cabang kantor dagangnya untuk kawasan Mataram yang perawatannya dibebankan kepada Keraton Kartasura.

Mengapa Lilie menduga pemindahan makam itu terjadi tatkala Joan van Hoorn berkuasa sebagai gubernur jenderal?

Sang Gubernur Jenderal, menurut pendapat Lilie, ingin menunjukkan kepada masyarakat tentang kepahlawanan Tack, saudara ipar laki-lakinya. Dengan demikian, menurutnya, Tack sudah sepantasnya dimakamkan secara terhormat di dalam Kruiskerk atau 'Gereja Salib' bersama keluarga orang tua Sang Gubernur Jenderal, Pieter Janse van Hoorn.

Peristiwa pemakaman ini ibarat politik pencitraan yang akan menaikkan pamor Sang Gubernur Jenderal, demikian menurut dugaan Lilie. Kelak, gereja itu pada awal abad ke-18 menjadi Hollandsche Kerk—bekas lahannya kini menjadi Museum Wayang.

“Pemakaman kembali dari Jepara ke Batavia itu biayanya sangat mahal,” ujarnya. Andai kata Tack bukan seorang adik ipar Sang Gubernur Jenderal, barangkali jasadnya tetap abadi di Benteng Jepara. Kalaupun dipindah ke Batavia —sebagai seorang yang hanya berpangkat kapten —mungkin makamnya berlokasi di halaman gereja, bukan di dalam lantai gereja.

Sekilas misi terakhir Kapten Tack. Pada akhir 1685, Tack dikirim dari Batavia ke Keraton Kartasura, Jawa Tengah, karena memanasnya perlawanan pemberontak Bali terhadap VOC. Sang dedengkot pemberontakan itu adalah Untung Surapati. Malangnya, pada 8 Februari 1686, dia dan pasukannya terjebak dalam kemelut pertempuran di sekitar Keraton Kartasura. Laskar Surapati pun berhasil membinasakan mereka. Tack tewas secara mengenaskan dengan 20 luka di sekujur tubuh.

Page 49: Sejarah VOC Artikel

Lambang heraldik keluarga Pieter Janse van Hoorn yang terukir megah di nisannya. Berbagai ikon melambangkan nama keluarga, profesi, atau asal-usul pemilik lambang. Dari ukiran nisan para pejabat VOC inilah terungkap wibawa mereka. Prasasti pada nisan-nisan VOC dapat merekonstruksi kehidupan sosio-historis warga Batavia (Mahandis Y. Thamrin/NGI).

Lalu siapakah sosok terhormat mertua Tack yang bernama Pieter Janse van Hoorn?

Awalnya, Pieter merupakan seorang pedagang mesiu di Batavia namun bangkrut. Kemudian, kembali lagi ke Batavia dan menjabat sebagai penasihat pajak, dewan kota Batavia, dan sederet jabatan bergengsi lainnya. Konon, dia bisa kembali ke Batavia lantaran sang istri, Sara Bessels, yang dikenal dekat dengan para pejabat VOC papan atas.

Nisan keluarga yang kami saksikan tersebut terbuat dari batu gunung atau blauwsteen, yang umumnya dipesan dari pantai selatan India. Prasasti pada nisan menunjukkan bahwa Tack dimakamkan bersama empat jenazah keluarga mertuanya.

Pieter Janse, sang ayah mertua, wafat pada Januari 1682, sedangkan Sara, sang ibu mertua, wafat pada Juli 1686. Di tempat yang sama dimakamkan pula Pieter van Hoorn de Jonge, anak lelaki sulung, dan Catharina van Hoorn de Jonge, putri bungsu mereka. Masing-masing wafat pada November 1680 dan Mei 1683.

Batu nisan juga merupakan ‘arsip penduduk’ masa lampau, demikian menurut Lilie, karena dari prasasti pada batu nisan itu kita dapat merekonstruksi struktur sosial dan budaya suatu masyarakat.

Simak kisah perjalanan panjang nisan Kapten François Tack dan keluarga mertuanya, dari Hollandsche Kerk sampai Permakaman Kristen Kebonjahe.

Mahandis Yoanata Thamrin

Page 51: Sejarah VOC Artikel

“Tuan François Tack dari Den Haag lahir 28 Mei 1649 wafat di Kartasura 8 Februari 1686.” Tiga baris kata-kata di nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn, pejabat VOC di Batavia, yang mengungkapkan bahwa Sang Kapten nan malang itu dikebumikan di kota itu. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Untuk membawa jenazah François Tack ke Batavia tentu terlalu jauh,” ungkap Lilie Suratminto, pengajar bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. “VOC kemudian memutuskan untuk memakamkannya sementara di loji [benteng] kompeni di Jepara.”

Tack dan perwira VOC lainnya tewas terbunuh secara tragis oleh laskar Untung Surapati di alun-alun Kartasura pada jelang tengah hari, 8 Februari 1686. Kemudian jasadnya diduga dimakamkan di Fort Japara, sebelum akhirnya dipindah ke Batavia.

Page 52: Sejarah VOC Artikel

Lukisan cat minyak karya Andries Beeckman yang menggambarkan Kastil Batavia dilihat dari Kali Besar Barat. Di latar depan tampak kesibukan pasar ikan sekitar 1656. Tampaknya, seperti inilah pemandangan Batavia tatkala François Tack menghuni kota ini (Tropenmuseum/Wikimedia).

Di Batavia, jasad Tack dikebumikan dalam satu ruangan kubur bersama dengan keluarga mertuanya—Pieter Janse van Hoorn, istri, dan dua anak mereka. Nama Tack tertoreh di permukaan nisan itu. Mereka dimakamkan di dalam Kruiskerk atau ‘Gereja Salib’. Gereja itu awalnya berdiri pada 1632, merupakan gereja pertama yang didirikan di luar Kastil Batavia. Kemudian gereja dibangun dan diperbesar lagi pada 1732 hingga 1736. Sejak saat itu namanya berganti menjadi Nieuwe Hollandsche Kerk atau ‘Gereja Belanda Baru’. Lokasi gereja itu di tepi timur Sungai Ciliwung, lahannya kini menjadi Museum Wayang.

Seperti gereja dalam tradisi Eropa, di lantai gereja tersebut dimakamkan tokoh-tokoh penting dan berjasa bagi Kota Batavia: para gubernur jenderal, dan sederet pejabat VOC lainnya. Sementara warga umum dimakamkan di halamannya. Nisan-nisan mereka umumnya berasal dari batu gunung yang dipesan di Coromandel, pantai selatan India. 

Sampai kini belum ditemukan arsip VOC soal kapan pemakaman kembali jasad Tack dari Jepara ke Batavia. Namun, Lilie menduga bahwa pemindahan makam itu terjadi pada masa Gubernur Jenderal Joan van Hoorn, saudara ipar Tack.

Kruiskerk atau Gereja Salib di Batavia pada abad ke-17 karya Johan Nieuhof (1618-1672). Gereja ini dibangun pada 1632, sebagai gereja pertama di luar Kastil Batavia. Tampak warga Batavia, berikut dengan perempuan dan budak yang membawa

Page 53: Sejarah VOC Artikel

parasol. Di gereja ini Kapten François Tack dikebumikan kembali di dalam makam keluarga mertuanya, Pieter Janse van Hoorn (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

“Pemindahan makam adalah hal lumrah waktu itu,” ungkap Lilie. “Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pun dulu dimakamkan di Stadhuis [Balai Kota] Batavia, baru kemudian dipindahkan ke dalam Kruiskerk.”

Sampai beberapa dekade gereja ini merupakan bangunan tertinggi di Batavia. Namun, serangkaian gempa—mungkin meletusnya Gunung Salak pada 1761 dan 1780—membuat kerusakan serius pada konstruksinya. Tak lama setelah itu dijual atas perintah Daendels, pada 1808, gereja itu dirobohkan.

Makam-makam di gereja itu—juga kerangka yang bersemayam di dalamnya—dibongkar untuk dipindahkan ke permakaman Kebonjahe. Kuburan di selatan Kota Batavia itu telah dibuka pada 1795, namun lokasinya yang jauh kerap menimbulkan gerutu warga Batavia.

Semua nisan yang dibongkar diberi nomor inventaris, tak terkecuali milik keluarga Pieter Janse van Hoorn—dan Tack. Nisan itu diberi ukiran kode “HK No.26”. Kode HK merupakan kependekan dari ‘Hollandsche Kerk’ sebagai asal nisan.

Lukisan karya Johannes Rach pada 1770 yang menunjukkan suasana Balai Kota Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta). Bangunan berkubah di sisi kanan merupakan Nieuwe Hollandsche Kerk, Gereja Belanda Baru, yang menggantikan Kruiskerk. Gereja ini dibongkar pada 1808. (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia/Wikimedia Commons)

“Tentu saja tidak semua  makam dipindahkan,” ungkap Lilie, “untuk keluarga yang tidak mengurus, maka hanya batu-batu nisan yang diangkat.” Sebagian nisan-nisan VOC yang tidak memiliki ahli waris, menurut Lilie, kemudian disimpan dalam sebuah gudang. “Batu nisan François Tack termasuk batu yang disimpan di dalam gudang.”

Batu-batu nisan itu umumnya berhias ukiran lambang-lambang heraldik nan elok dan prasasti yang berkisah soal sejarah sosial warga Batavia. Setelah beberapa dekade mendekam di gudang, Lilie berkisah, nisan-nisan itu ditemukan kembali oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen—komunitas warga Batavia yang menaruh perhatian pada seni dan ilmu pengetahuan. Kemudian pada 1844, dibangun aula gerbang utama di permakaman Kebonjahe, dan sejumlah nisan yang tak bertuan tadi dipajang di dinding depannya.

Permakaman Kebonjahe yang dahulu luasnya sekitar 5,5 hektare itu sejak 1977 diresmikan

Page 54: Sejarah VOC Artikel

menjadi Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat. Luasnya pun mengkerut hingga 1,3 hektare saja. Nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn dan menantunya, François Tack, menghias sayap kanan pada dinding halaman depan museum tersebut.

Nisan mereka berukirkan aneka lambang heraldik nan indah—bintang segi enam, helm bersayap, baju zirah, perisai dengan simbol nafiri—yang membisikkan kisah sejarah nan megah.

Page 55: Sejarah VOC Artikel

Selisik Makna "Maliabara" di YogyakartaSebuah tafsir tentang kearifan leluhur atas seruas marga sang raja yang menautkan antara Keraton dan Merapi.

Suasana Jalan Malioboro pada 1933. Lokasi foto ini sekitar depan Hotel Garuda sekarang. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

“Jalan raya itu telah ditata dan digunakan untuk keperluan upacara tertentu sekitar lima puluh tahun sebelum Inggris berkuasa di Jawa,” ungkap Peter Brian Ramsey Carey, “dan kemungkinan hal itu telah dikenal sebagai 'Jalan Maliabara' sejak awalnya.”

Peter B.R. Carey mengungkapkan hal tersebut dalam tulisannya Jalan Maliabara ('Garland Bearing Street'): The Etymology and Historical Origins of a much Misunderstood Yogyakarta Street Name yang terbit dalam jurnal  Archipel, Volume 27, 1984. Carey merupakan Emeritus Professor di Trinity College, Oxford, Inggris. Kini, dia juga menjabat sebagai Adjunct Professor di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

Suasana Jalan Malioboro di sebelah ujung utara. Kini, sebelah kiri adalah Jalan Abu Bakar Ali. Foto sekitar awal abad ke-20. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

Perdamaian Giyanti yang ditandatangani pada 22 Rabiulakhir 1680 dalam kalender Jawa, atau 12 Februari 1755, telah membagi kekuasaan Tanah Jawa menjadi Kasusunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Pembangunan bangunan inti Keraton Kasultanan Ngayogyakarta selesai pada 7 Oktober 1756, yang kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai hari jadi Kota Yogyakarta.

Bahasa Sansekerta telah berpengaruh dalam budaya dan sastra Jawa kuno. Carey menemukan sebuah petunjuk tentang asal nama Yogyakarta. Nama “Ngayogyakarta” rupanya berasal dari bahasa Sansekerta Ayodhya (bahasa Jawa: “Ngayodya”), demikian hemat Carey.  Dari penjelasan Carey tersebut, sepertinya kita harus menghormati kearifan pendiri kota ini dengan tetap melafalkan "Yogya" meskipun nama kota ini kerap ditulis sebagai "Jogja".

Page 56: Sejarah VOC Artikel

Ayodhya, menurutnya, merupakan  kota dari Sang Rama, seorang  pahlawan India dalam wiracarita Ramayana. Demikian juga dengan nama Jalan “Maliabara”—atau yang biasa ditulis sebagai Malioboro—Carey berpendapat istilah itu diduga diadopsi juga dari bahasa Sansekerta “malyabhara”.

Istilah Sansekerta “malya” (untaian bunga), “malyakarma” (merawat untaian bunga), “malyabharin” (menyandang untaian bunga)  menurut Carey dapat ditemukan dalam kisah Jawa kuno. Ketiganya bisa dicari dalam kitab Ramayana abad ke-9, kitab Adiparwa dan Wirathaparwa abad ke-10, dan juga Parthawijaya abad ke-14. Sayangnya, ungkap Carey dalam jurnal tersebut, istilah tersebut tampaknya tidak ditemukan dalam naskah kontemporer yang berkait dengan pendirian Keraton Ngayogyakarta oleh Mangkubumi pada pertengahan abad ke-18.

Namun, pada kenyataannya Jalan Maliabara menjadi rajamarga yang berfungsi sebagai jalan raya seremonial yang membelah jantung kota, menautkan hubungan sakral nan filosofis antara Keraton dan Gunung Merapi. Carey mencoba menengok tradisi dalam kota India dengan jalan raya utama yang membentang dari Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan. “Malioboro [Maliabara] membentang dari Selatan ke Utara,” ungkapnya, “dan kemungkinan sebagai rajamarga atau jalan sang raja.”

Sebagai jalan raya utama atau rajamarga,  segala upacara penyambutan tamu agung sejak gubernur lenderal di zaman Hindia Belanda sampai presiden di zaman sekarang selalu melintasi jalan bersejarah tersebut.

Sebuah penanda kota di Jalan Malioboro yang akrab dijuluki warga sebagai "Ngejaman" lantaran terdapat jam listrik. Foto awal abad ke-20. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

Penjelasan Carey dalam jurnal tersebut secara arif menegaskan kembali bahwa Maliabara bukan berasal dari nama “Marlborough” yang mengacu kepada sosok orang Inggris, John Churchill, First Duke of Marlborough (1650-1722). 

“Argumen yang pernah disampaikan beberapa pihak bahwa Keraton Yogyakarta mengganti nama jalan utama ibu kota mereka karena begitu terkesan dengan Inggris dan Letnan-Gubernur Thomas Stamford Raffles,” tulis Carey, “harus jelas ditolak sebagai alasan yang tidak masuk akal.”

Dari pemerian Carey tadi, tampaknya leluhur Kota Yogyakarta telah menahbiskan nama “Maliabara” dengan merujuk bahasa Sansekerta “malyabhara”. Mungkin kita bisa

Page 57: Sejarah VOC Artikel

menafsirkan makna sastrawinya sebagai “seruas marga sang raja dengan semarak untaian bunga-bunga”—keindahan yang sempurna.

Gemerlap Para Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOCGereja adalah ajang pamer kekayaan bagi para perempuan elite di dalam tembok Kota Batavia abad ke-17. Bagaimana lagak mereka?

Kruiskerk atau Gereja Salib di Batavia pada abad ke-17 karya Johan Nieuhof (1618-1672). Tampak warga Batavia, berikut dengan perempuan dan budak yang membawa parasol di depan gereja. Lokasinya kini ditempati bangunan Museum Wayang. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

Banyak cerita memikat tentang kehidupan dalam tembok kota Batavia. Salah satunya, kehidupan para perempuan indis di kota yang didirikan oleh Jan Pieterzoon Coen pada awal abad ke-17 tersebut.

Page 58: Sejarah VOC Artikel

Nicolas de Graaff pertama kali menyaksikan Kota Batavia pada akhir 1640. Setidaknya dia telah melakukan perjalanan dari Belanda ke Hindia Timur sebanyak lima kali. Dia merupakan ahli bedah di kapal VOC, seniman lukis, dan penulis kisah perjalanan. Tidak seperti pelancong lain yang mengisahkan keindahan dan kesyahduan Batavia dengan kanal-kanalnya, Graaff justru mengisahkan tentang perilaku perempuan di Batavia yang kadang terkesan memalukan. 

Tampaknya Graaff adalah fenomena. Catatan tentang pengamatannya yang mendalam seputar kehidupan perempuan di Hindia Timur baru diterbitkan pada 1701—setelah dia wafat—dalam Oost-Indise Spiegel.

Sudah menjadi tren saat itu di Batavia bahwa nyonya-nyonya elite punya kebiasaan unik saat beribadah di Kruiskerk—Gereja Salib yang bekas lahannya kini menjadi Museum Wayang. Mereka, para nyonya Belanda, maupun mestizo atau peranakan,  menjadikan gereja sebagai ajang pamer status sosial.

Pada abad itu, sangat sedikit perempuan Eropa yang hijrah ke Batavia. Para nyonya itu mengikuti kewarganegaraan suaminya yang asal Belanda. Jadi dalam tembok kota bayak ditemui perempuan asli Belanda, Indis, Kreol, dan Asia.

Mereka bukanlah para istri yang menerima apa adanya penghasilan suami, demikian menurut Graaff, melainkan para istri yang terlibat langsung dalam perdagangan atau perantara jual beli rumah atau pemberi pinjaman uang. 

Graaf mengisahkan perilaku para nyonya di Batavia yang memamerkan perhiasan mewah tatkala mereka pergi dan pulang dari gereja. Segala hal telah mereka siapkan lebih glamor ketimbang waktu lain, demikian menurut Graaff.

Selain berbusana dan bertakhtakan perhiasan mewah, Graaff juga mencatat bahwa nyonya-nyonya Batavia datang ke gereja yang diiringi budak lelaki dan perempuan mereka. Para budak membawa parasol berbodir dengan motif daun-daun yang memayungi majikan mereka selama perjalanan.

Lukisan cat minyak karya Andries Beeckman yang menggambarkan Kastil Batavia dilihat dari Kali Besar Barat. Di latar depan tampak kesibukan pasar ikan sekitar 1656 (Tropenmuseum/Wikimedia)

Jean Gelman Taylor, menulis tentang pamer kemewahan itu di dalam bukunya Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia yang diterbitkan oleh The University of

Page 59: Sejarah VOC Artikel

Wisconsin Press pada 1983. Menurut Taylor, yang seorang Guru Besar di University of New South Wales, kebiasaan pamer ini tidak berasal dari kalangan ningrat di negeri asal mereka, Belanda. Justru kebiasaan ini adalah pengaruh budaya Asia dan budaya Portugis, demikian hemat Taylor.

Graaf melukiskan dalam catatannya bahwa nyonya-nyonya itu ibarat putri raja yang manja dan selalu ingin dilayani dan dipenuhi segala kebutuhannya. “Bahkan sedotan yang jatuh di lantai, mereka memanggil para budak untuk mengambilnya,” demikian tulisnya. Malangnya, para budak kerap didera sumpah serapah atau hukuman cambuk apabila mereka bekerja lamban atau tak memenuhi pinta sang nyonya majikan.

Demikianlah, sepotong kehidupan sosial di sebuah kota yang kelak melahirkan Megapolitan Jakarta dengan segala keruwetan dan gengsi budayanya. Jikalau nyonya sosialita zaman VOC tampak eksis bersosialisasi di gereja, kini nyonya sosialita modern abad ke-21 tampak eksis bergaul di mal dan pusat berbelanjaan mewah.

Mahandis Yoanata Thamrin