Upload
dinhthuy
View
411
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI DALAM AKSELERASI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN
Malang, 13 Desember 2005
Penyunting:
Ketua : Ir. Pudji Santoso, MS (Ahli Peneliti Madya)
Anggota : Dr. Mat Syukur (Ahli Peneliti Utama) Dr. Tri Sudaryono (Peneliti Muda) Ir. Yuniarti, MS (Ahli Peneliti Madya) Ir. Zainal Arifin, MP
Penyunting Pelaksana :
Dra. Endang Widajati Prayitno Surip
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
Bogor, 2006
Penerbitan buku ini dibiayai dari:
DIPA BPTP JAWA TIMUR TA. 2006
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
Jalan Tentara Pelajar 10 Bogor
Telp. : (0251) 351277
Fax. : (0251) 350928
e-mail : [email protected]
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI DALAM AKSELERASI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN
Penyunting : Ir. Pudji Santoso, MS
Dr. Mat Syukur
Dr. Tri Sudaryono
Ir. Yunarti, MS
Ir. Zainal Arifin, MP
Penyunting Pelaksana : Dra. Endang Widajati
Prayitno Surip
Diterbitkan oleh : Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian
ISBN : 979-3450-09-6
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
iii
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
MAKALAH UTAMA
STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PEDESAAN DI WILAYAH
SENTRA PRODUKSI PERTANIAN
Djoko Said Damardjati
1
PENGEMBANGAN PERTANIAN INDUSTRIAL DENGAN PENDEKATAN
AGRIBISNIS (Konsep dan Implementasinya)
Tahlim Sudaryanto
12
DUKUNGAN TEKNOLOGI PASCA PANEN DALAM PENGEMBANGAN
AGROINDUSTRI PEDESAAN
Harijono
28
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS MANGGA PODANG URANG
Suhardjo
50
PENGELOLAAN JAGUNG VARIETAS SUMENEP
Sukarno Rusmarkam
62
SISTEM MANAJEMEN KLASTER UKM AGRIBISNIS “SEBUAH UPAYA
PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI PEDESAAN” BERBASIS HORTIKULTURA
DI JAWA TIMUR
Moeljo Kurniawan
83
AGRIBISNIS HORTIKULTURA DI PEDESAAN, PENGALAMAN PRAKTIS
Wilopo K.
94
MEMBANGUN IMAGE BISNIS HORTIKULTURA
Djoko Sudibyo
96
MAKALAH POSTER
TANAMAN PANGAN
KERAGAAN HASIL DAN KELAYAKAN DALAM INTRODUKSI TEKNOLOGI
VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI KABUPATEN
BANTUL, DIY
Sugeng Widodo
105
PENGARUH PUPUK KANDANG BABI DAN BIO URINE KELINCI TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG
I Ketut Kariada
113
STATUS HARA LAHAN SAWAH SEBAGAI DASAR REKOMENDASI
PEMUPUKAN P UNTUK PADI DI KALSEL
Aidi Noor dkk
122
PERBAIKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN PADI MELALUI
PEMUPUKAN AN-ORGANIK SPESIFIK LOKASI
Sodiq Jauhari dkk
129
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
iv
PENGARUH JARAK TANAM DAN PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK
TERHADAP PERTUMBUHAN & PRODUKSI UBI KAYU
Endang Iriani dkk
135
UJI KELAYAKAN SISTEM USAHATANI TEKNOLOGI SONIC BLOMPADA
AREAL PERBANYAKAN TANAMAN PADI SAWAH
Hairil A dkk
142
POTENSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI BERUKURAN BIJI BESAR
Rohmad Budiono dkk
150
PENGKAJIAN TEKNIK TANAM PADI DI SAWAH TADAH HUJAN
Zainal Arifin dkk
156
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN MELALUI SISTEM TANAM SISIP
JAGUNG DAN PEMUPUKAN NITROGEN DALAM SATU KESATUAN POLA
TANAM DI SAWAH TADAH HUJAN
Zainal Arifin
162
PENGKAJIAN USAHATANI JAGUNG SECARA TERPADU BERBASIS
KONSERVASI AIR DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN
E.P. Kusuminderawati dkk
169
PENGKAJIAN EFISIENSI PENGELOLAAN SUT LAHAN SAWAH GUNA
MENGATASI SENJANG PRODUKSI PADI LOKASI SPESIFIK
Al. Gamal Pratomo dkk
177
UJI ADAPTASI VARIETAS PADI UNGGUL
T. Purbiati dkk.
188
HORTIKULTURA
ANALISIS FINANSIAL USAHATANI BUNGA POTONG KRISAN DI KEC PAKEM
KAB. SLEMAN
Hano Hanafi dkk
194
ANALISIS KELAYAKAN USAHA DODOL SALAK PONDOH DALAM
MENDUKUNG AGROINDUSTRI RUMAH TANGGA DI KABUPATEN SLEMAN
DIY
Sugeng Widodo dkk
200
ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHATANI TERONG DAN LABU/WALUH
DI LAHAN LEBAK KALIMANTAN SELATAN (KASUS DI DESA SUNGAI DARAT
TENGAH KAB. HULU SUNGAI UTARA)
Rismarini Zuraida
210
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
v
PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK DARI GAMBUT DAN ENCENG GONDOK
PADA TANAMAN SAYURAN DAN PADI DI KABUPATEN MAGELANG
Endang Iriani dkk
218
RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KENTANG TERHADAP
EFEKTIVITAS PUPUK KALIUM MAJEMUK (ZK PLUS)
Al Gamal Pratomo dkk
228
KAJIAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG
P.E.R Prahardini dkk
236
KARAKTERISASI KESEMEK JUNGGO DAN POTENSI PENGEMBANGANNYA
Baswarsiati dkk
254
KARAKTERISASI BEBERAPA SIFAT PLASMA NUTFAH DURIAN DI
KABUPATEN.KEDIRI
Baswarsiati
263
ADAPTASI CALON VARIETAS MELON HASIL PERSILANGAN 3 GALUR
M. Sugiyarto
275
PENGEMBANGAN MODEL USAHATANI KONSERVASI POLA STRIP
CROPPING TANAMAN KENTANG SECARA PARTISIPATIF DI LAHAN KERING
DATARAN TINGGI
M. Soleh dkk.
282
PENGARUH KONSENTRASI INSEKTISIDA DELTAMETRIN 28 EC TERHADAP
ULAT BUAH TOMAT PADA TANAMAN TOMAT
Harwanto dkk.
294
LC 50 INSEKTISIDA SPINOSAD 120G/L DAN METOKSIFENOZIDA 100 G/L
TERHADAP S. EXIGUA STRAIN PROBOLINGGO PADA BAWANG MERAH
Harwanto dkk.
301
INOVASI TEKNOLOGI DAN KELEMBAGAAN PERBIBITAN BAWANG MERAH
BERSERTIFIKAT
Cahyati Setiani, dkk.
310
PETERNAKAN
PENGGUNAAN CAMPURAN DEDAK HALUS + IKAN ASIN DALAM PAKAN
KOMERSIAL TERHADAP PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO
Ahmad Subhan dkk.
320
PROSPEK PENGUSAHAAN TERMAK ITIK MA DI SENTRA PRODUKSI KAB.
TANAH LAUT
Eni Siti Rohaeni dkk
325
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
vi
PERKEBUNAN
KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK DAN PEMANGKASAN TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL DAUN NILAM
Joko Susilo dkk.
331
AGROINDUSTRI
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA VIRGIN COCONUT OIL (VCO) DI DESA
BANARAN KABUPATEN KULON PROGO D.I. YOGYAKARTA
Subagiyo dkk
337
KELAYAKAN FINANSIAL INDUSTRI PENGOLAHAN KACANG GARING DI
KABUPATEN KEBUMEN
Nur Hidayat dkk.
344
PENGARUH PENAMBAHAN STARTER DAN UREA SEBAGAI SUMBER N PADA
PRODUKSI NATA DE COCO
Dian Adi A Elisabeth dkk.
354
INOVASI TEKNOLOGI DAN PERMODALAN DALAM AKSELERASI
PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI METE
Cahyati Setiani, dkk.
359
PENGKAJIAN PENGARUH BEBERAPA VARIETAS JAGUNG TERHADAP MUTU
TORTILA
Suhardjo dkk.
369
APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN TORTILA JAGUNG PADA SKALA
INDUSTRI RUMAH TANGGA PETANI.
Yuniarti dkk
375
PENGKAJIAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI TEPUNG KASAVA
Suhardi dkk.
385
PERBAIKAN MUTU NUTRISI KERUPUK BERBASIS TEPUNG UBIKAYU
DENGAN TEPUNG KACANG TUNGGAK
Suarni dan Yuniarti
396
PEMANFAATAN BUAH JERUK SIAM SEBAGAI PRODUK OLAHAN SARI BUAH
Wayan Trisnawati dkk.
401
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
vii
SOSIAL EKONOMI ANALISIS DAN KEBIJAKAN
DAMPAK PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN TORTILA JAGUNG
DI KABUPATEN BOJONEGORO
P. Santoso dkk.
407
EVALUASI DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN
PADI SECARA TERPADU (KASUS DI WILAYAH PROGRAM PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS PADI TERPADU DI KABUPATEN BLITAR DAN
BOJONEGORO)
P. Santoso dkk.
414
ALTERNATIF MODEL LEMBAGA PEMBIAYAAN UNTUK PENGEMBANGAN
PERTANIAN DI JAWA TIMUR
Purwanto dkk.
425
ZONA AGROEKOLOGI (ZAE)
ANALISIS PEMANFAATAN INFORMASI IKLIM UNTUK PENGELOLAAN
TANAMAN KENTANG DI PENGALENGAN JABAR
Moh. Ismail Wahab.
441
LAMPIRAN
JADWAL ACARA SEMINAR 453
SUSUNAN PANITIA DAN PENYUNTING 454
DAFTAR PESERTA 456
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
1
STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PERDESAAN
DI WILAYAH SENTRA PRODUKSI PERTANIAN
Djoko Said Darmadjati*)
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Selama ini kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih banyak
diperoleh dari produk segar (primer) yang relatif memberi nilai tambah kecil dan belum
mengandalkan produk olahan (hilir) yang dapat meberikan nilai tambah lebih besar,
walaupun pada akhir-akhir ini ekspor produk olahan telah semakin besar. Dengan
mengekspor produk primer, maka nilai tambah yang besar akan berada di luar negeri,
padahal sebaliknya bila Indonesia mampu mengekspor produk olahannya, maka nilai
tambah terbesarnya akan berada di dalam negari.
Belajar dari kelemahan tersebut, sejak Pelita VI pembangunan pertanian
dilakukan melalui pendekatan agribisnis yang pada hakekatnya menekankan pada tiga
hal, yaitu : (1) Pendekatan pembangunan pertanian reorientasi dari pendekatan produksi
ke pendekatan bisnis, dengan demikian sejak aspek usaha dan pendapatan menjadi dasar
pertimbangan utama, (2) Pembangunan pertanian bukan semata pembangunan sektoral,
namun juga terkait dengan sektor lain (lintas/inter-sektoral), (3) Pembangunan pertanian
bukan bukan pengembangan komoditas secara parsial, melainkan sangat terkait dengan
pembangunan wilayah, khususnya perdesaan yang berkaitan erat dengan upaya
peningkatan petani.
Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan (hilir)
jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan
diarahkan pada pada pengembangan produk, dan bukan lagi pengembangan nilai tambah
produk melalui pengembangan agroindustri yang berdaya saing.
Untuk itu, salah satu strategi pembangunan pertanian ke depan adalah
pengembangan agroindustri perdesaan, yang merupakan pilihan strategis dalam
peningkatan pendapatan dan sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Selama ini
masyarakat perdesaan cenderung menjual produk dalam bentuk segar (primer), karena
lokasi industri umumnya berada di daerah urban (semi urban). Akibatnya nilai tambah
produk pertanian lebih banyak mengalir ke daerah urban, termasuk menjadi penyebab
terjadinya urbanisasi.
Dari berbagai kajian, potensi agroindustri sebagai salah satu sumber devisa cukup
baik, namun hal ini tergantung dari kemampuan bersaing dan memanfaatkan setiap
peluang pasar dunia. Apabila pengolahan hasil pertanian dikembangkan lebih baik, maka
perbaikan pendapatan petani dapat dilakukan. Namun demikian kenyataan yang ada
saat ini masih belum seperti yang diharapkan. Umumnya hasil pertanian masih dijual
dalam bentuk segar, walaupun telah dilakukan kegiatan penanganan pasca panen dan
pengolahan, tetapi masih terbatas aktivitas pada tahap tertentu misalnya : pencucian
(washing), pembersihan (cleaning), pengkelasan (grading) dan pembungkusan (packaging).
„
__________________ *) Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
2
Keseluruhan tahapan proses kegiatan pasca panan dan pengolahan tersebut dilakukan
dengan teknologi yang masih relatif sangat sederhana dan dengan peralatan yang belum
memenuhi standar yang disyaratkan bagi perlakuan pasca panen dan pengolahan hasil
pertanian khususnya produk pertanian yang berkarakter sangat sensitif/perishable.
Keadaan ini, sudah tentu tidak mampu menghasilkan suatu produk bermutu
sesuai dengan permintaan pasar atau Standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah
dibakukan bagi komoditas pertanian tertentu. Persoalan ini bertambah ringan karena
masyarakat belum memiliki kesadaran mutu khususnya dikalangan masyarakat paling
bawah.
Mengingat agroindustri pedesaan sebagai pilar strategis pembangunan pertanian,
maka sangat rasional jika hal tersebut dijadikan sebagai suatu gerakan nasional yang
melibatkan seluruh lembaga pertanian dan non pemerintah, para pakar lembaga
masyarakat serta praktisi bisnis untuk percepatan pembangunan agroindustri
pedesaan.
Pengembangan agroindustri pedesaan, diarahkan bagi terwujudnya sistem
pengolahan yang terintegrasi dengan sentra-sentra produksi. Oleh karena itu,
pembinaan pengolahan hasil pertanian skala kecil merupakan suatu terobosan dalam
rangka percepatan tumbuh kembangnya unit-unit industri pengolahan hasil pertanian
di perdesaan dengan maksud terbentuknya agroindustri perdesaan yang memenuhi
akala ekonomi.
Untuk terwujudnya hal tersebut, diperlukan upaya yang terpadu dan
berkelanjutan mulai dari perencanaan sistem, pembinaan sistem, penyediaan
peralalatan dan mesin, demonstrasi, pelatihan, kerjasama kemitraan dan pengendalian
(monitoring dan evaluasi serta pendampingan yang berkelanjutan. Dengan demikian,
upaya pengembangan agroindustri perdesaan perlu dilakukan sesegera mungkin.
Agroindustri perdesaan, sesungguhnya merupakan suatu gerakan ekonomi kerakyatan.
Hal ini bukan saja dikarenakan besarnya keterlibatan rakyat didalamnya, namun akan
langsung menyentuh problem dasar yang akan dihadapi masyarakat pertanan pada
umumnya berkarakteristik : rendahnya pendapatan, kurangnya kesempatan kerja dan
lemahnya posisi tawar terhadap ekonomi kota dan usaha besar. Mengingat basis
ekonomi rakyat sebagian besar bergantung kepada sektor pertanian, maka program ini
sudah sepantasnya menjadi ikon pembangunan pertanian guna dikembangkan secara
maksimal, menyeluruh dan berkesinambungan. Berkembangnya agroindustri
perdesaan, hanya akan tercapai melalui proses penumbuhan budaya industri pada
seluruh masyarakat di perdesaan. Pada wilayah-wilayah yang mayoritas masyarakat
hidup dari pertanian, pengembangan budaya industri tentunya barbasis pada budaya
bertani yang secara turun-temurun mereka jalankan.
KERAGAAN AGROINDUSTRI
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa terjadinya krisis
moneter dipertengahan tahun 1997 hanya berpengaruh temporer terhadap jumlah
(unit) usaha agroindustri baik sekalah menengah, besar, kecil maupun skala rumah
tangga. Industri skala menengah dan besar pada tahun 1996 sampai dengan 1998
terjadi penurunan jumlah dari 5.608 unit menjadi 5.357 unit. Industri skala kecil
menurun dari 91,992 unit menjadi 52.524 unit. Demikian juga industri skala rumah
tangga menurundari 963.210 unit menjadi 719.668 unit. Setelah itu jumlah unit-unit
usaha skala menengah-besar, kecil dan rumah tangga menunujukkan kenaikan yang
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
3
konsisten pada tahun 2000, berturut-turut menjadi 5.612 unit, 82.430 unit, dan 828.140
unit.
Dilihat dari total outputnya, maka krisis ekonomi hampir tidak punya
dampak terhadap agroindustri. Hal ini tercermin dari data yang menunjukkan
bahwa total output terus mengalami pertumbuhan yakni sebesar Rp. 59.667 milyar
(1996), Rp. 68.660 milyar (1997), Rp. 111.802 milyar (1998), Rp. 126.552 milyar
(1999) dan Rp. 145.392 milyar (2000). Hal ini menunjukkan kinerja positif pada
agroindustri, namun dalam menghasilkan hat tersebut, terjadi suatu hubungan
”impersonal eksploitatif” akibat dari tidak seimbangnya kekuatan bisnis antara
kutub hulu yang serba gurem dengan kutub hilir yang serba kuat (konglomerat).
Kekuatan-kekuatan tersebut berupa monopsonistik yang dapat menekan harga yang
diterima petani produsen dan kekuatan monopoli yang dapat meningkatkan harga
bagi konsumen.
Agroindustri pedesaan merupakan salah satu roda penggerak dan
pendongkrak ekonomi pedesaan. Berkembangnya industri pedesaan terutama
industri pengolahan hasil pertanian diharapkan dapat menyerap hasil-hasil di
pedesaan akan berhadapan dengan berbagai kendala. Kendala utama yang sering
dihadapi agroindustri perdesaan selain permodalan dan pasar adalah teknologi.
Teknologi merupakan aspek yang sangat penting dalam pengolahan hasil pertanian.
Dengan teknologi, proses pengolahan hasil pertanian dapat dilakukan secara
efisien. Selama ini telah tersedia berbagai teknologi pengolahan hasil pertanian,
namun demikian penerapan teknologi pengolahan hasil pertanian tersebut masih
kurang intensif terutama pada industri skala kecil/rumah tangga di perdesaan.
Teknologi pengolahan hasil pertanian yang telah tersedia sampai saat ini
antara lain teknologi proses (pengecilan ukuran, pemotongan, pencampuran,
pemisahan, pengawetan dan sebagainya), teknologi pengemasan dan teknologi
penyimpanan. Teknologi pengolahan hasil pertanian tersebut selama ini belum
dimanfaatkan secara optimal.
Alih teknologi pengolahan hasil pertanian sudah banyak dilakukan, namun
masih sebatas pada sosialisasi dan apresiasi teknologi pengolahan hasil pertanian.
Demikian pula bimbingan teknis penerapan teknologi pengolahan hasil pertanian,
juga sudah banyak dilakukan namun masih sebatas pada pelatihan-pelatihan
teknologi pengolahan hasil pertanian.
Pengolahan hasil pertanian pada industri skala kecil/rumah tangga mulai dari
pemilihan dari baku, pengolahan, sampai penyimpanan, umumnya masih dilakukan
secara sederhana dengan menggunakan teknologi sederhana sehingga produk yang
dihasilkan mutunya masih rendah dan kurang kompetitif. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan industri perdesaan yang mampu menghasilkan produk-produk olahan
yang bermutu dan memiliki daya saing maka perlu dikembangkan cara-cara
pengolahan hasil pertanian yang berorientasi Good Manufacturing Practices (GPM).
Selain itu, untuk menjamin mutu produk yang dihasilkan perlu diterapkan Hazards
Analysis Critical Control Point (HACCP). Dengan menerapkan GPM dan HACCP
pada industri pengolahan di perdesaan diharapkan dapat meningkatan mutu dan
nilai tambah secara ooptimal sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan
pada perekonomian perdesaan.
Sasaran tahun 2009 diharapkan ada peningkatan jumlah tenaga kerja yang
bergerak dibidang industri pengolahan hasil pertanian meningkat sebesar 20%
dibandingkan tahun 2002 atau sebesar 1.884.012 orang.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
4
Adapun secara keseluruhan jumlah tenaga kerja di bidang industri
pengolahan hasil pertanian (tenaga kerja produksi dan non produksi) mengalami
penurunan. Pada tahun 2001 jumlah tenaga kerja di kelompok produksi sebanyak
1.350.548 orang dan pada tahun 2002 tinggal 1.318.681 orang. Sementara itu pada
kelompok non produksi, tahun 2001 memiliki tenaga kerja sebanyak 1.593.451 orang
dan pada tahun 2002 mencapai. 1.570.010 orang. Seiring dengan peningkatan
jumlah industri yang bergerak dibidang pengolahan hasil pertanian, pada tahun
2004 diharapkan juga terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja.
Sedangkan nilai tambah untuk industri pengolahan primer hasil pertanian
pada tahun 2000 sebesar Rp. 65.019.905 juta dan pada tahun 2004 meningkat
sebesar Rp. 78.023.886 juta.
Penggambaran jumlah usaha tenaga kerja dan total output, industri skala
menegah dan besar; industri skala kecil dan industri skala rumah tangga tahun
1996 sampai dengan tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah usaha, tenaga kerja dan total out[put dari industri skala menegah
dan besar, industri skala kecil, dan industri skala rumah tangga tahun
1996-2000 N
o. Skala usaha/kegiatan 1996 1997 1998 1999 2000
1. Industri skala menengah dan
besar
a. Jumlah usaha (unit)
b. Tenaga kerja (orang)
c. Total output (milyar Rp.)
5.608
810.221
48.199
5.554
791.393
56.578
7.262
1.389.128
94.568
7.446
1.378.668
107.897
7.461
1.420
-
2. Industri skala kecil
a. Jumlah usaha (unit)
b. Tenaga kerja (orang)
c. Total output (milyar Rp.)
81.892
639.533
4.407
91.922
780.136
6.479
52.524
402.558
6.592
67.214
521.157
7.466
82.430
594.923
8.319
3. Industri skala rumah tangga
a. Jumlah usaha (unit)
b. Tenaga kerja (orang)
c. Total output (milyar Rp.)
930.904
1.886.775
6.601
963.210
1.794..794
5.603
719.668
1.487.256
10.642
789.901
1.645.003
11.189
928.140
1.722.711
11.218 Sumber Biro Pusat Statistik (BPS) 2000
PERMASALAHAN DAN PERSPEKTIF PENGEMBANGAN
AGROINDUSTRI PERDESAAN
1. Lambatnya pengembangan agroindustri Perdesaan
Proses industrialisasi perdesaan di Indonesia sangat lambat kalau tidak mau
dikatakan gagal sama sekali. Hal ini terlihat antara lain dari semakin senjangnya
ekonomi desa kota. Dualisme ekonomi desa telah mengakibatkan kota menjadi pusat
segala galanya dan ekonomi perdesaan hanyalah pendukung ekonomi perkotaan.
Dalam jangka panjang apabila dualisme ekonomi desa kota tidak dapat
diatasi maka dapat dipastikan akan muncul masalah lain yang lebih rumit, seperti
urbanisasi, besar-besaran rusaknya kultur asli bangsa seperti gotong royong dan
kekeluargaan, kriminalitas yang meningkat serta yang tidak kalah pentingnya
semakin senjangnya pendapatan dalam masyarakat. Masyarakat kaya pemilik
modal akan semakin kaya sementara penduduk miskin semakin bertambah besar.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
5
2 Keterbatasan informasi dan penerapan teknologi pengolahan
Penerapan teknologi pengolahan hasil pertanian saat ini hanya dinikmati oleh
sebagian kecil masyarakat, hal ini disebabkan antara lain karena keterbatasan
informasi tentang teknologi tersebut dan perhatian pemerintah terhadap
peningkatan nilai tambah selama ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan
upaya produksi hasil pertanian. Sehingga perkembangan penanganan pasca panen
dan pengolahan hasil hingga dewasa ini masih berjalan lambat dan masih belum
sesuai dengan harapan. Hal ini terlihat dari lambatnya perkembangan penggunaan
teknologi dan penerapan di lapangan. Dampak yang terlihat antara lain masih
tingginya tingkat kehilangan hasil pasca panen, mutu hasil olahan yang masih
rendah, tingkat efisiensi dan efektifitas hasil masih rendah, nilai jual kurang
kompetitif dan penampakan hasil (keragaan hasil) belum memuaskan (terutama
masalah kemasan, dan pelabelan). Lambatnya penyerapan penerapan teknologi
pengolahan hasil tersebut berimplikasi pada agroindustri perdesaan yang kurang
berkembang. Faktor penyebabnya antara lain: faktor teknis, sosial dan ekonomi.
a. Teknis
Dalam segi teknis beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain:
√ Tingkat pengetahuan dan kesadaran petani akan pentingnya penerapan
teknologi pengolahan hasil masih sangat rendah.
√ Kurangnya tenaga yang terampil (Technical Skill) dalam mengoprasikan
alat mesin pengolahan.
√ Dukungan perbengkelan dalam perbaikan, perawatan dan penyediaan
suku cadang alat mesin masih rendah karena kemampuan permodalan
bengkel alsintsn masih lemah dan kesulitan dalam memperoleh
permodalan.
√ Introduksi beberapa teknologi belum sesuai dengan kebutuhan petani dan
belum bersifat lokal spesifik.
√ Belum memadainya infrastruktur seperti jalan yang memadai sehingga
menyulitkan petani/kelompok tani dalam memasarkan produk olahannya.
√ Penyebaran alat dan mesin pengolahan masih terbatas.
√ Kurangnya tenaga pembina yang terampil dalam bidang pengolahan
dibanding tenaga pembina pada kegiatan-kegiatan pra panen.
b. Sosial
Dalam segi sosial beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain:
√ Introduksi teknologi pengolahan pada daerah-daerah yang padat
penduduknya ada kecenderungan menimbukan gesekan/friksi sosial.
√ Kebiasaan petani dalam melakukan kegiatanpengolahan secara tradisional
menyulitkan dalam penerapan teknologi yang baik dan benar.
√ Daerah-daerah tertentu yang mempunyai budaya pengolahan hasil yang
teknologinya diterima secara turun temurun, sehingga mereka sering
mempunyai sifat tertutup terhadap introduksi teknologi baru.
√ Terbatasnya kemempuan akses informasi masyarakat tentang teknologi
pengolahan.
√ Rendahnya ketrampilan yang dimiliki.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
6
c. Ekonomi
Dari segi ekonomi beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain :
√ Daya beli petani terhadap alsin untuk pengolahan rendah, sehingga
permintaan alat dan mesin juga relatif rendah.
√ Harga alsin pengolahan relatif tinggi sehingga tidak terjangkau.
√ Belum tersedianya skim kredit khusus untuk pengadaan alsin untuk usaha
pengolahan hasil.
√ Lemahnya kelompok usaha agroindustri perdesaan mengakses pasar.
TUJUAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PERDESAAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan agroindustri pedesaan
adalah : “Meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan melalui upaya
peningkatan nilai tambah dan daya saing hasil pertanian”. Untuk wewujudkan
tujuan tersebut, maka pengembangan agroindustri perdesaan diarahkan kepada :
1. Pengembangan kluster industri, yakni industri pengolahan yang terintregrasi
dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya.
2. Pengembangan industri pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang
didukung oleh industri pengolahan skala menengah dan besar.
3. Pengembangkan industri pengolahan yang memiliki daya saing tinggi untuk
dapat meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan pasokan dalam negeri.
Agar pengembangan agroindustri menjadi lebih akseleratif, terpadu dan
berkelanjutan, maka diperlukan sebuah kerja besar yang dikemas dalam Gerakan
Industrialisasi Pertanian di Perdesaan (GERINDA 2020) yang merupakan
perwujudan terbentuknya agribisnis modern yang berkerakyatan dengan bertumpu
kepada high technology, SDM bermutu tinggi, usaha padat modal, unit bisnis yang
tangguh dan derajat kompatibilitas antar sub sistem agribisnis yang tinggi.
Secara umum Gerinda 2020 akan dicirikan dengan tumbuhnya industri di
kalangan masyarakat desa khususnya pelaku yang berusaha di sektor pertanian.
Budaya industri tersebut tetap dinafasi oleh semangat sosial yang tinggi serta
memiliki berperspektif gender. Gerinda 2020 pada intinya memiliki tujuan dan
sasaran sebagai berikut :
√ Meningkatkan nilai tambah hasil pertanian yang dinikmati oleh keluarga
dalam masyarakat perdesaan.
√ Meningkatkan kesempatan kerja baik bagi laki-laki maupun perempuandi
perdesaan yang sekaligus mencegah arus urbanisasi.
√ Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani melalui
penciptaan sumber pendapatan tambahan dalam rumah tangga petani.
√ Menjadikan proses pembelajaran bagi perkembangan industrialisasi
perdesaan yang diawali dengan industrialisasi pertanian.
√ Membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh
industri pengolahan hasil pertanian sebagai trigger dan prasarat bagi
pembangunan ekonomi wilayah.
√ Mendorong pengembangan sektor pertanian on farm melalui penyediaan
bahan baku dan alternatif pasar yaitu industri pengolahan di perdesaan
sekaligus memanfaatkan secara optimal produk utama dan by product hasil pertanian.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
7
√ Mendorong terwujudnya ekonomi kerakyatan sebagai prasarat ketahanan
ekonomi nasional melalui peningkatan daya beli, usaha-usaha produktif
dan kesempatan kerja sehingga mempersempit kesenjangan desa kota.
√ Menyediakan kesempatan kerja yang sebanyak-banyaknya bagi angkatan
kerja di pedesaan baik laki-laki maupun perempuan dalam bidang industri
kecil dan rumah tangga pengolahan dan pemasaran.
√ Mendorong berkembangnya ”Workshop” industri penunjang di perdesaan
yang menghasilkan alat-alat panen, pasca panen dan alat-alat pengolahan
serta komponen pendukung lainnya.
STRATEGI DAN KEBIJAKAN
Pengembangan agroindustri di perdesaan merupakan pilihan tepat dan
strategis untuk dapat menggerakkan roda prekonomian dan pembedayaan ekonomi
masyarakat perdesaan. Hal ini, memungkinkan karena adanya kemampuan yang
tinggi dari agroindustri dalam penyerapan tenaga kerja, mengingat sifat industri
pertanian yang padat karya dan bersifat massal. Industri pertanian yang berbasis
pada masyarakat tingkat menengah dan bawah ini merupakan sektor yang sesuai
untuk menampung banyak tenaga kerja dan menjamin perluasan berusaha
sehingga akan efektif dalam upaya meningkatkan perekonomian di perdesaan.
Faktor kunci yang perlu diperhatikan dalam mendukung pengembangan
agroindustri perdesaan di masa yang akan datang antara lain adalah sebagai
berikut.
1. Strategi
Agroindustri merupakan salah satu pendekatan baru dalam pembangunan
pertanian dan perdesaan untuk menjamin peran pertanian sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi perdesaan yang diandalkan. Oleh karena itu, upaya
revitalisasi pertanian melalui agroindustri perdesaan lebih darahkan pada
perubahan struktur ekonomi perdesaan dalam menghadapi berbagai perubahan
strategis yang dihadapi baik di pasar domistik maupun internasional.
Beberapa kunci tantangan strategis yang diprioritaskan adalah :
√ Kebutuhan untuk memperkuat dan memperluas basis pertumbuhan
produktivitas pertanian dengan mempercepat inovasi teknologi yang tidak hanya
dibatasi pada sejumlah komoditi tertentu.
√ Kebutuhan terhadap kebijakan dan kelembagaan yang tepat untuk mengakses
manfaat globalisasi dan leberalisasi ekonomi, sekaligus mengurangi resiko
kemungkinan munculnya dampak negatif.
√ Kebutuhan memperbaiki akses masyarakat perdesaan terhadap aset produktif
dan kesempatan kerja demi percepatan pertumbuhan pendapatan dan
mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
√ Perubahan yang cepat dari pola konsumsi masyarakat dan urbanisasi serta
√ Perubahan politik, termasuk kebijaksanaan pembangunan yang berkaitan
dengan demokrasi dan desentralisasi.
2. Penataan kembali agroindustri perdesaan
Strategi pembangunan pertanian dan perdesaan adalah kombinasi
peningkatan produktivitas pertanian dan investasi pelayanan sosial di satu sisi,
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
8
dengan perbaikan hubungan dan keterkaitan antara wilayah perdesaan dengan
industri pengolahan hasil pertanian, dan pusat pertumbuhan di sisi yang lain.
Strategi ini, mengidentifikasikan anam skala prioritas yang perlu
diemplementasikan secara konisten dengan dukungan otoritas pemerintah pusat
maupun daerah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat dalam hal :
√ Percepatan pembangunan sumberdaya manusia dan kewirausahaan.
√ Memperkuat modal sosial melalui desentralisasi, gerakan kolektif dan
pemberdayaan masyarakat
√ Revitaslisasi produktivitas pertanian berspektrum luas melalui peningkatan
penerapan teknologi dan diversivikasi.
√ Mendukung agribisnis dan sistem usahatani dan industri pertanian yang
berkemampuan daya saing.
√ Meningkatkan menajemen sumber daya alam
Prasyarat berkembangnya industrialisasi perdesaan adalah diperlukan
adanya suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal
agribisnis dalam suatu alur produk melalui mekanisme non pasar, sehingga
karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan
preferensi masih sangat terbatas. Dalam penambahan alsin terebut perlu
memperhatikan jenis alsin yang secara teknis dan ekonomis layak untuk
dikembangkan serta kondisi sosial juga memungkinkan. Dalam pengembangan alsin
tersebut pemerintah diharapkan dapat menyediakan fasilitas kridit alsin dengan
tingkat suku bunga rendah dan persyaratan lunak.
d. Aspek kelembagaan
Dalam penanganan pasca panen/pengolahan hasil, pelaku pasca panen
(petani/kelompok tani), usaha yang bergerak dalam pasca panen, dan industri
pengolahan hasil primer, perlu ditata dan diperkuat sebagai komponen dari sistem
perekonomian di perdesaan terutama di bidang teknologi alsin dan manajemen
usaha agar mereka mampu meraih nilai tambah.
e. Aspek sumberdaya manusia
Peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) diarahkan untuk
peningkatan sikap, pengetahuan, ketrampilan dan pengembangan kewirausahaan
manajemen serta kemampuan perencanaan usaha. Mutu SDM yang baik
diharapkan dapat meningkatkan penggunaan alsin dan areal yang dapat ditangani
akan bertambah. Peningkatan mutu SDM dapat ditingkatkan melalui
pelatihan/kursus, kerjasama dengan lembaga pelatihan seperti perguruan tinggi,
magang di perusahaan yang telah maju. Pelatihan alsintan dilakukan kepada
petugas, perbengkelan, pengelola alsintan dan petani.
f. Aspek permodalan
Kelembagaan yang menangani pasca panen/pengolahan hasil pada umumnya
lemah dalam permodalan. Untuk itu perlu diupayakan adanya skim pembiayaan
khusus untuk alsin pasca panen/pengolahan hasil dengan persyaratan yang mudah,
suku bunga rendah dan dapat dijangkau oleh masyarakat.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
9
AGENDA DAN PROGRAM
Sesuai dengan permasalahan dan perspektif masa depan agroindustri
perdesaan, agenda dan program lima tahun kedepan adalah sebagai berikut :
1. Perluasan kesempatan kerja
Agenda pertama dan utamadari agroindustri perdesaan adalah perluasan
kesempatan kerja khususnya di perdesaan. Dalam agenda tersebut program utama
yang perlu dilakukan adalah Program Penumbuhan Agroindustri Perdesaan di
sentra produksi sebagai berikut :
1. Fasilitas penerapan teknologi dan sarana pengolahan hasil pertanian disentra-
sentra produksi pertanian
2. Mengembangkan infrastruktur penunjang di perdesaan seperti listrik, jalan akses
dan sarana komunikasi serta penyediaan air bersih untuk olahan.
3. Mengembangkan akses permodalan untuk usaha agroindustri perdesaan.
Strategi penumbuhan dan pengembangan antara lain dengan meningkatkan
fasilitas oleh pemerintah, pengembangan sistem permodalan melalui lembaga bank
dan non bank, revitalisasi kemitraan usaha antara usaha pengolahan
keci/menengah dan pengolahan besar.
2. Peningkatan nilai tambah
Agenda untuk peningkatan nilai tambah produk pertanian dilakukan baik
terhadap produk segar maupun produk olahan hasil pertanian dengan program
utama yaitu Peningkatan Penerapan Teknologi dan Pengembangan Produk.
Program ini dilaksanakan melalui upaya-upaya antara lain :
1. Peningkatan penerapan teknologi proses dan sarana pengolahan hasil.
2. Diversivikasi produk olahan dan produk ikutannya.
3. Peningkatan teknologi kemasan dan pelabelan.
Nilai tambah untuk industri pengolahan primer hasil pertanian pada tahun
2000 sebesar Rp. 65.019.905 juta dan pada tahun 2004 diharapkan meningkat
sebesar 20% atau sebesar Rp. 78.023.886 juta.
3. Peningkatan daya saing
Agenda pengembangan daya saing dilaksanakan melalui (1) Program
Peningkatan Mutu dan Standarisasi, (2) Program Pengembangan Pemasaran
Program peningkatan mutu dan standarisasi dilakukan melalui upaya-upaya
antara lain :
1. Penyusunan dan penerapan standar (SNI dan standar lainnya), meliputi
perumusan dan penerapan standar, sosialisasi serta pembinaan.
2. Penerapan sistem jaminan mutu (akreditasi, lembaganya, sertifikasi,
sertifikasi sistemnya, dan pembinaan teknis, penerapan dan
pengawasannya).
3. Peningkatan pengawasan mutu produk hasil pertanian untuk menjamin
keamanan pangan bagi konsumen baik di dalam negeri maupun luar
negeri.
Program pengembangan dan pemasaran antara lain meliputi upaya-upaya:
1. Peningkatan akses pemasaran dari para pelaku usaha
2. Pengembangan kelembagaan pemasaran
3. Peningkatan market inteligence dan informasi pasar
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
10
4. Peningkatan promosi hasil pertanian baik pasar domistik maupun
internasional
5. Pengendalian impor bagi produk-produk strategis yang banyak melibatkan
petani kecil
6. Perlindungan bagi produk spesifik dalam negri.
Peningkatan daya saing akan terlihat apabila neraca perdagangan produk
pertanian yang berbeda pertanian yang berada pada nilai surplus. Melelui program
tersebut diharapkan tahun 2009 ekspor hasil pertanan baik dalam bentuk segar
maupun olahandapat ditingkatkan rata-rata 20% per tahun.
Nilai ekspor komoditas pertanian pada pariode krisis (1998-1999) sebesar US
$ 4.582 juta kemudian meningkat menjadi US$ 5.033 juta pada periode pasca krisis
(2000 – 2003).
Sedangkan untuk nilai impor komoditas pertanian mulai dari periode krisis
sampai pasca krisis terus menunjukkan penurunan meskipun volume impor secara
keseluruhan menngalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum
sektor pertanian terus mengalami pertumbuhan. Surplus neraca perdagangan pada
tahun 2002 dan 2003 jauh lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Diharapkan daya saing produk pertanian pada tahun-tahun ke depan dapat
semakin dipacu lagi dengan pengimplementasian pengembangan pemasaran
tersebut di atas.
4. Pemberdayaan usaha
Agenda ini bertujuan dalam rangka menjamin keberlanjutan usaha industri
pengolahan hasil pertanian di perdesaan dan memberikan dampak ekonomi maupun
sosial yang positif baik bagi pelaku usaha yang bersangkutan maupun
lingkungannya. Program yang perlu dilakukan dalam agenda ini yaitu : (1) Program
Pengembangan infrastruktur publik dan (2) Program peningkatan produktivitas dan
kesejahteraan sosial.
Termasuk dalam program infrastruktur publik antara lain penyediaan air
bersih, peningkatan kapasitas jalan, pelabuhan serta sarana dan prasarana
komunikasi; sedangkan program peningkatan produktivitas mencakup antara lain
revitalisasi sarana pengolahan sumberdaya manusia, penerapan upah yang layak
(UMR), pengelolaan lingkungan, dll.
Pada tahun 2009 diharapkan industri sekala kecil dan menengah akan
mengalami pertumbuhan sebesar 20% dibandingkan tahun 2000 yakni dari 8.600
menjadi 10.062 unit usaha.
5. Modernisasi alat dan mesin pengolahan
Dalam upaya pengembanagn alsintan untuk mendukung agroindustri di
perdesaan, ditempuh strategi sebagai berikut :
1. Memanfaatkan organisasi tata kerja yang terdedia untuk segera
menerbitkan peraturan perundangan dan peraturan pelaksanaan yang
kondusif untuk pengembangan alsintan.
2. Meningkatkan kompetensi SDM aparat dan petani pengguna alsin.
3. Meperkuat kelembagaan alsintan dan kelembagaan yang terkait untuk
mendukung agroindustri di pedesaan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
11
4. Mengembangkan jejaring (networking), sinergi (sharing) dan pengalaman
(outsourcing) dalam mewujudkan sistem standarisasi termasuk pengujian
dan sertifikasi, serta pengawasan secara efektif, efisien, trasparan, dan
konsisten melaksanakan komitmen.
5. Mengembangkan dan mengoptimalkan pemanfaatan alsintan serta
mendukung tumbuhnya industri alsin pengolahan di dalam negeri.
Pada garis besarnya program di bidang alat dan mesin merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari program peningkatan ketahanan pangan dan
pengembanagan agroindustri perdesaan.
Berdasarkan kebijakan tersebut disusunlah program sebagai berikut :
1. Peningkatan kerjasama dengan instansi terkait serta penyiapan perangkat
peraturan pelaksanaan.
2. Fasilitasi penyusunan dan penerapan standar termasuk pembinaan,
pengujian, sertifikasi alat dan mesin pengolahan.
3. Peningkatan kerjasama dan komunikasi dengan Asosiasi Produsen
Alsintan, Bengkel/pengrajin Asosiasi Komoditi serta Asosiasi
Petani,/Pengusaha.
4. Pengguna alsintan dalam pengebangan alsintan dan optimalisasi
pemanfaatan alsintan serta usaha pelayanan jasa alsintan oleh
masyarakat.
5. Peningkatan kerjasama dengan pusat-pusat pendidikan dan penelitian
serta sumber lainnya untuk meningkatkan kompetensi SDM aparatur
maupun petani.
PENUTUP
Pengembangan agroindustri perdesaan di tanah air selama ini dinilai balum
dapat mengimbangi tuntukan dengan potensi yang tersedia, melalui agroindustri
perdesaan dipandang sebagai pilihan tepat dan strategis. Disadari pula bahwa
pengembangan agroindustri perdesaan merupakan tugas yang sangat berat dan
multi dimensional sehingga diperlukan partisipasi seluruh lembaga pemerintah dan
non pemerintah, para pakar, lembaga masyarakat serta para praktisi dibidang
pertanian dan sarana pendukungnya.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
12
PENGEMBANGAN PERTANIAN INDUSTRIAL
DENGAN PENDEKATAN AGRIBISNIS
Konsep dan Implementasinya
Tahlim Sudaryanto*)
PENDAHULUAN
Diawali oleh liberalisasi sistem moneter dunia dengan runtuhnya nilai tukar
tetap Bretton Woods pada tahun 1973 (Argy, 1981), diperkuat oleh deregulasi
perdagangan dan investasi internasional dalam naungan GATT yang disepakati
pada tahun 1994, dan ditopang dengan kuat oleh revolusi teknologi telekomunikasi,
transportasi dan turisme (Triple-T Revolution), maka dewasa ini kita menyaksikan
munculnya arus globalisasi yang merusak dengan kuat dan cepat ke seluruh negara
di dunia ini (Ohmae, 1995; Kuncoro Jakti, 1995). Globalisasi ekonomi adalah suatu
proses semakin terintegrasinya perekonomian dunia. Mau tidak mau, suka atau
tidak, agribisnis dan pembangunan sektor pertanian kita pun tidak akan dapat
menghindarkan diri dari arus globalisasi tersebut.
Bersamaan dengan globalisasi perekonomian tersebut terjadi pula perubahan
besar pada preferensi konsumen terhadap produk-produk pertanian. Dalam pada
itu, bioteknologi berkembang pula menuju arah yang sama. Mengingat semua
perubahan fundamental tersebut akan berlangsung dengan cepat maka perlu segera
menyusun dengan cermat strategi dasar agribisnis dan pembangunan pertanian.
Untuk itu diusulkan industrialisasi pertanian sebagai salah satu alternatifnya, yang
akan diuraikan lebih lanjut berikut ini.
Sesungguhnya ide tentang industrialisasi pertanian sudah ada dalam benak
para perencana pembangunan pertanian. Hal ini terbukti dari adanya satu kalimat
dalam naskah Repelita VI yang mengandung istilah industrialisasi pertanian, yaitu
pada halaman 81: “Pembangunan pertanian Repelita VI sebagai tahap awal PJP-II
diarahkan sebagai peletakan dasar untuk meningkatkan sumber daya manusia,
menumbuhkan sikap kemandirian, dan mengembangkan pertanian yang mengarah
pada industrialisasi pertanian” (Departemen Pertanian RI, 1994). Sejak tahun 2000,
utamanya sejak Dr. Bungaran Saragih menjadi Menteri Pertanian, pembangunan
pertanian secara formal dilaksanakan dengan strategi pengembangan sistem dan
usaha agribisnis. Namun, hingga kini belum pernah menemukan uraian yang jelas
tentang makna industrialisasi pertanian maupun operasionalisasi pembangunan
sistem dan usaha agribisnis tersebut. Oleh karena itulah, pada kesempatan ini ada
baiknya kita mendiskusikan tentang implementasi pemngembangan agribisnis.
FENOMENA GLOBALISASI
Globalisasi Agribisnis
Perpaduan antara komersialisasi usahatani dan modernisasi teknologi
membuat perolehan dan harga sarana produksi maupun produk pertanian semakin
tergantung pada kondisi pasar dunia.
________________
*) Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Analisis Kebijakan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
13
Apabila kita sepakati bahwa komersialisasi dan penggunaan teknologi mutakhir
adalah dua ciri utama modernisasi pertanian, dan modernisasi pertanian
merupakan arah pembangunan pertanian yang kita tempuh, maka tidak dapat
dielakkan lagi, semakin kita memacu pembangunan pertanian maka semakin besar
pula ketergantungan sektor agribisnis pada pasar dunia. Jelaslah bahwa
ketergantungan sektor agribisnis pada pasar dunia adalah salah satu proses normal
yang mesti dipandang sebagai kesempatan untuk lebih memacu pembangunan
pertanian. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan memasuki pasar global
(Simatupang, 1995; Pack, 1992; Choi, 1983; Feeder, 1982) ialah: (1) Peningkatan
volume pertanian; (2) Harga jual produk yang lebih tinggi; (3) Harga sarana produk
yang lebih murah; (4) Ilmu pengetahuan dan teknologi; (5) Modal investasi; (6)
Peningkatan efisiensi akibat realokasi sumber daya dan dorongan persaingan
(efisiensi-x). Keenam aspek inilah sesungguhnya yang mendasari strategi
pertumbuhan dorongan ekspor (export led growth) yang berhasil diterapkan oleh
Jepang dan negara-negara industri baru (New Industrial Countries = NICS), seperti
Korea dan Taiwan. Saya melihat, inilah yang mendasari strategi pembangunan
pertanian dengan pendekatan agribisnis yang sedang kita coba terapkan dalam
beberapa tahun terakhir.
Sudah barang tentu, ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi agar
dapat meraih manfaat sebesar-besarnya dari keterbukaan pasar dunia tersebut.
Saya membagi persyaratan tersebut dalam dua kelompok, yaitu syarat keharusan
dan syarat kecukupan. Syarat keharusan yang mesti dipenuhi ialah, komoditas yang
dihasilkan memiliki keunggulan kompetitif. Dari segi keragaan akhir (performance)
keunggulan kompetitif didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempertahankan
dan meningkatkan pangsa pasar secara menguntungkan dan berkelanjutan (Porter,
1985; Martin, Westgren and Van Duren, 1991). Secara operasional Keunggulan
Kompetitif didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada
waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik
maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang
ditawarkan pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos
penggunaan (opportunity cost) sumber daya (Cook dan Bredahl, 1991; Sharples and
Milham, 1990). Dari definisi ini paling tidak ada dua aspek penting yang patut kita
catat. Pertama, keunggulan komparatif (menghasilkan barang yang lebih murah
dari pesaing) tidak menjamin teraihnya keunggulan kompetitif. Di samping
keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif sangat ditentukan oleh kemampuan
untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai dengan keinginan
konsumen. Hal ini berarti bahwa agribisnis dan pembangunan pertanian yang
berorientasi pada peningkatan produksi dan dengan harga serendah mungkin
(cheap production oriented) sudah tidak sesuai dengan dinamika pasar mutakhir.
Dalam era globalisasi usaha produksi komoditas pertanian (agribisnis) haruslah
diorientasikan pada konsumen (consumer oriented agribusiness). Kedua,
keunggulan kompetitif merupakan hasil interaksi dari tiga tingkatan pasar yaitu
pasar internasional dari produk, pasar domestik dari produk dan pasar sarana
produksi. Dengan perkataa lain, keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian,
merupakan hasil resultan dari rantai agribisnis secara vertikal mulai dari perolehan
sarana produksi, usahatani, pemasaran domestik dan pemasaran internasional.
Oleh karena itu, koordinasi vertikal petani-agribisnis antara-agribisnis hilir
sangatlah diperlukan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
14
Globalisasi Peraturan Perdagangan
Kesepakatan GATT tak lain ialah aturan tentang tarif dan perdagangan
global. Dengan sendirinya, setiap peraturan pemerintah mestinya tidak
bertentangan dengan aturan GATT tersebut. Secara umum kesepakatan GATT
dapat dibagi menjadi dua aspek besar yaitu: (1) liberalisasi perdagangan global, dan
(2) regulasi transfer hak milik intelektual (teknologi).
Liberalisasi perdagangan global merupakan implikasi dari peraturan tentang
penghapusan proteksi, hambatan perdagangan dan praktek perdagangan yang tidak
adil. Hal ini berarti kebijaksanaan pemerintah yang bersifat protektif seperti
dukungan harga, subsidi, tarif dan kuota mesti dihapuskan. Di samping itu,
pemerintah harus pula melakukan deregulasi dan debirokratisasi dalam seluruh
sektor perekonomian. Praktek bisnis yang dapat merugikan pengusaha negara lain,
seperti dumping dan subsidi ekspor, harus pula dihapuskan. Secara singkat
liberalisasi perdagangan global menimbulkan paling tidak tiga implikasi besar
terhadap agribisnis dan kebijaksanaan pembangunan pertanian nasional.
1. Agribisnis domestik harus dapat hidup mandiri tanpa bantuan subsidi dan
proteksi pemerintah.
2. Agribisnis domestik harus siap menghadapi persaingan terbuka dengan
perusahaan luar negeri.
3. Instrumen kebijakan pembangunan pertanian harus disesuaikan dari yang
bersifat bantuan dan proteksi langsung (subsidi, dukungan harga, tarif kuota)
ke yang bersifat fasilitator dan bimbingan (pembangunan prasarana, riset,
penyuluhan, informasi pasar).
Regulasi tentang hak milik intelektual menyebabkan transfer teknologi
pertanian antar-negara semakin sulit dan membutuhkan biaya khusus (mahal).
Pada masa yang akan datang, masyarakat agribisnis kita hampir dapat dipastikan
akan mengalami kesulitan jika masih harus menggantungkan diri pada teknologi
dan ilmu pengetahuan terapan yang berasal dari luar negeri. Tampaknya tidak ada
pilihan lain, masyarakat agribisnis kita sudah harus mulai dan terus memperkuat
upaya-upaya penelitian dan pengembangan sendiri. Hal ini sudah barang tentu
bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan murah. Oleh karena itu, saya melihat
perlunya kerja sama yang erat antara masyarakat agribisnis dengan lembaga-
lembaga penelitian pemerintah, khususnya dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Penelitian dan Pengembangan merupakan satu bidang
kerja sama strategis antara pemerintah dan masyarakat agribisnis yang harus
segera diwujudkan dengan intensif sebagai bagian dari program pembangunan
pertanian jangka panjang dalam era globalisasi.
Globalisasi Nilai Sosial dan Humanisasi Pasar
Fenomena globalisasi ketiga yang dinilai sangat berpengaruh terhadap
dinamika agribisnis dan pembangunan pertanian ialah kepedulian terhadap hak
azasi manusia dan lingkungan hidup. Perlindungan hak azasi manusia dan
lingkungan hidup tidak lagi merupakan urusan dalam negeri suatu negara tetapi
sudah merupakan kepentingan seluruh umat manusia. Perlindungan terhadap hak
azasi manusia dan lingkungan hidup di suatu negara diamati dengan cermat baik
oleh negara-negara lain maupun oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Kita mengamati bahwa di Indonesia pun LSM yang bergerak dalam perlindungan
hak azasi manusia dan lingkungan hidup berkembang sangat cepat dan memiliki
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
15
hubungan yang luas dengan lembaga-lembaga internasional. Dengan demikian,
perlakuan perusahaan maupun pemerintah terhadap hak azasi manusia dan
lingkungan hidup di negara kita semakin sangat transparan secara global dan
senantiasa dalam pengamatan cermat masyarakat dalam maupun luar negeri.
Di samping semakin diterima sebagai nilai universal, perlindungan terhadap
hak azasi manusia dan lingkungan hidup juga dikaitkan langsung dengan
pemasaran (perdagangan global). Produk yang dihasilkan oleh perusahaan atau
negara yang melanggar hak azasi manusia atau merusak kesehatan dan kelestarian
lingkungan hdiup akan mengalami ancaman pemboikotan atau sanksi ekonomi dari
masyarakat internasional. Fenomena global yang mengaitkan perlindungan
terhadap hak azasi manusia dan lingkungan hidup dengan pemasaran suatu produk
saya sebut sebagai humanisasi pasar.
Kiranya jelas bahwa pasar modern yang bersifat humanistik sangat berbeda
dengan pasar tradisional yang bersifat atomistik. Pada pasar tradisional yang
bersifat atomistik, mekanisme pasar berjalan secara mekanistik tanpa ada kaitan
dengan nilai-nilai sosial seperti perlindungan terhadap hak azasi manusia dan
lingkungan hidup. Dengan perkataan lain, pasar atomistik tersebut tidak sensitif
terhadap nilai-nilai sosial sehingga tidak sesuai dengan perubahan zaman.
Di samping dari segi kandungan nilai sosial, asas humanistik juga berbeda
dari pasar atomistik dalam hal cara mengevaluasi suatu produk. Pada pasar
atomistik (tradisional), suatu produk hanya dievaluasi dari atribut yang
dikandungnya secara langsung. Sedangkan pada pasar humanistik (modern), suatu
produk dievaluasi baik dari segi atribut yang dikandungnya (produk akhir), dari
proses serta material pembuatannya, maupun dari segi cara penanganannya sejak
dari hulu (petani) hingga hilir (agroindustri/ eksportir). Dengan perkataan lain, pada
pasar humanistik, kegiatan agribisnis vertikal mulai dari hulu hingga hilir
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam menentukan keberhasilan
pemasaran suatu komoditas. Misalnya, jika usahatani ubi kayu (agribisnis hulu)
mengganggu kelestarian alam maka ekspor gaplek (agribisnis hilir) akan menderita
sanksi ekonomi dari masyarakat internaional. Oleh karena itu, agar usahanya dapat
berhasil maka tidak ada pilihan lain, eksportir gaplek haruslah melakukan
koordinasi dengan seluruh pelaku agribisnis yang ada pada alur vertikalnya hingga
ke hulu (usahatani ubi kayu). Dengan perkataan lain, globalisasi nilai-nilai sosial
yang diikuti oleh humanisasi pasar mengharuskan pengusaha agribisnis kita untuk
menganut strategi koordinasi vertikal hulu-hilir.
PERUBAHAN FUNDAMENTAL PREFERENSI KONSUMEN
Seiring dengan peningkatan pendidikan, khususnya peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang kesehatan, preferensi konsumen terhadap
komoditas pertanian mengalami perubahan besar (Streeter, Sonka, and Hudson,
1991; Barkema, 1993; Drabenstott, 1994). Kalau dulu (tradisional), atribut utama
yang mencirikan preferensi konsumen hanyalah jenis, kenyamanan, stabilitas harga
dan nilai komoditas, maka dewasa ini terdapat kecenderungan bahwa konsumen
menuntut tambahan atribut produk yang lebih rinci, seperti: kualitas (komposisi
bahan baku), kandungan nutrisi (lemak, kalori, kolestrol dan sebagainya),
keselamatan (kandungan adaptif, pestisida dan sebagainya), aspek lingkungan
(apakah produk tersebut dihasilkan dengan usahatani dan proses pengolahan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
16
produk yang tidak mengganggu kualitas dan kelestarian lingkungan hidup). Dengan
perkataan lain, dewasa ini, pada umumnya konsumen tidak lagi membeli komoditas,
tetapi membeli produk. Sebagai contoh, dewasa ini konsumen pada umumnya tidak
lagi sekedar membeli daging ayam (komoditas), melainkan daging ayam dengan
kandungan serat yang tinggi, kandungan lemak rendah, bebas antibiotik dan bebas
Salmonella.
Kiranya perlu dicatat bahwa perubahan preferensi konsumen dari komoditas
ke produk tidak hanya berlangsung di negara-negara maju (luar negeri) tetapi juga
di dalam negeri. Di samping itu, sebagian dari atribut produk tersebut merupakan
keharusan yang ditetapkan oleh hukum/ peraturan negara konsumen (biasanya
atribut yang berhubungan dengan kesehatan manusia). Oleh karena itu saya
melihat, perubahan preferensi konsumen ke arah atribut yang lebih banyak dan
rinci akan berlangsung terus dan meluas dengan cepat pula, seiring dengan
globalisasi. Ohmae (1995) menyebut proses konvergensi preferensi konsumen global
tersebut sebagai californiaization of taste.
Perubahan preferensi konsumen ke arah atribut produk yang lebih banyak
dan rinci menimbulkan dua implikasi penting terhadap agribisnis: Pertama, strategi
pemasaran tradisional yang berdasarkan konsep manipulasi preferensi konsumen
(preference manipulation) tidak efektif lagi dan harus diganti dengan strategi baru
yang disebut dengan pemenuhan preferensi konsumen (preferenc discovery). Hal ini
berarti produsen (agribisnis) harus mampu mengungkap secara rinci atribut
tersebut dari produk yang diinginkan konsumen dan selanjutnya menyesuaikan
produk yang dihasilkan dengan atribut tersebut. Kedua, penentuan atribut produk
yang beragam dan rinci menuntut adanya konsistensi atau jaminan kualitas produk
dari proses produksi pada seluruh tahapan kegiatan agribisnis mulai dari hulu
(petani) hingga hilir (agroindustri/eksportir). Dengan sendirinya struktur agribisnis
pola tradisional yang mengandalkan koordinasi tak langsung melalui kekuatan
pasar (harga) tidak akan mampu untuk menjamin kualitas produk sesuai dengan
keinginan konsumen. Kualitas produk pertanian hanya dapat dijamin melalui
koordinasi institusional dan atau melalui pengembangan jaringan teknologi
informasi. Bentuk organisasi usaha yang sesuai untuk itu ialah koordinasi vertikal
mulai dari agribisnis hulu (petani) hingga agribisnis hilir (agroindustri/eksportir).
PERUBAHAN FUNDAMENTAL DALAM BIDANG TEKNOLOGI
Californiaization perubahan preferensi konsumen jelas akan menimbulkan
perubahan fundamental terhadap sifat permintaan konsumen, yaitu dari barang
yang paling murah (the cheapest) ke barang yang paling berharga (the best). Sudah
barang tentu, para pelaku agribisnis pun akan menyesuaikan strategi produksinya
sesuai dengan perubahan permintaan konsumen tersebut. Untuk itu, permintaan
agribisnis terhadap teknologi pun akan mengalami perubahan fundamental, yaitu
dari teknologi produksi (production technology) dengan ciri utama maupun
menghasilkan barang secara murah dan massal, ke teknologi produk (product technology) dengan ciri utama mampu menghasilkan barang secara murah dan
dengan kualitas yang tinggi seperti yang diinginkan konsumen.
Didorong oleh perubahan fundamental preferensi konsumen tersebut maka
dewasa ini juga sedang berlangsung perubahan fundamental dalam teknologi yang
berhubungan dengan agribisnis. Secara umum perubahan teknologi tersebut dapat
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
17
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) bioteknologi dan (2) teknologi informasi.
Kemajuan bioteknologi akan memungkinkan dilakukannya rekayasa hasil-hasil
pertanian sesuai dengan atribut yang diinginkan konsumen dengan presisi yang
tinggi. Sebagai contoh, dengan bioteknologi, para ilmuan akan mampu mengubah
gen sehingga ternak dapat mengkonversi pakan menjadi daging yang mengandung
lebih banyak serta dan sedikit lemak. Bioteknologi akan dapat mengubah gen
sehingga ayam dapat menghasilkan telur dengan kandungan kolesterol yang rendah
(Drabenstott, 1994). Dengan bioteknologi, akan dapat menghasilkan produk-produk
pertanian melalui usahatani organik.
Kita tahu bersama, penelitian bioteknologi umumnya membutuhkan biaya
sangat besar dan memerlukan sejumlah tenaga peneliti yang berkeahlian tinggi dan
khusus. Pada pengusaha kita belum sanggup melaksanakannya. Oleh karena itu,
penelitian bioteknologi ini haruslah dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian
pemerintah, khususnya oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Pimpinan Departemen Pertanian sangat antisipatif dalam hal ini. Sejak tahun 1994,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, telah memiliki Balai Penelitian
Bioteknologi Tanaman Pangan dan Pusat Penelitian Bioteknologi Perkebunan.
Mudah-mudahan pada masa yang akan datang akan dibentuk pula Balai/Pusat
Penelitian Bioteknologi Peternakan dan Perikanan. Keberhasilan pertanian kita
pada masa mendatang sangat ditentukan oleh keberhasilan kita dalam penelitian
dan pengembangan bioteknologi.
Teknologi lainnya yang sangat menentukan wujud dan dinamika agribisnis,
yang berarti juga pembangunan pertanian pada masa mendatang, ialah teknologi
informasi. Kalau bioteknologi merupakan faktor kunci yang memungkinkan produk-
produk pertanian dapat dihasilkan sesuai dengan rincian atribut yang yang dituntut
konsumen, maka teknologi informasi merupakan wahana yang memungkinkan
disampaikannya informasi tentang rincian atribut yang dikehendaki konsumen
tersebut kepada seluruh jaringan agribisnis yang terkait, mulai dari penghasil
sarana produksi, usahatani hingga industri pengelolaan atau eksportir. Dengan
perkataan lain, teknologi informasi merupakan salah satu faktor perekat yang
menyatukan jaringan agribisnis dengan konsumen.
Dari uraian di atas kiranya jelas bahwa arah perubahan fundamental pasar
(konsumen) komoditas pertanian konvergen dengan arah perubahan fundamental
teknologi. Perpaduan perubahan pasar dan teknologi inilah yang akan menentukan
arah dan dinamika agribisnis dan pembangunan pertanian di seluruh dunia dalam
era globalisasi. Saya melihat dalam waktu dekat akan muncul Revolusi Pertanian
III (setelah berlandaskan pada bioteknologi dan teknologi informasi tersebut). Oleh
karena didasarkan pada teknologi tinggi, maka sudah pasti Revolusi Pertanian III
terrsebut akan jauh lebih sulit diadopsi oleh negara-negara yang sedang
berkembang, termasuk Indonesia. Menyadari akan hal ini semua harus bekerja
lebih keras untuk tidak ketinggalan dalam menguasai kedua jenis teknologi
tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
18
KELEMAHAN STRUKTUR DAN PERILAKU AGRIBISNIS SAAT INI
Struktur agribisnis kita saat ini dapat digolongkan sebagai tipe dispersal.
Struktur agribisnis dispersal dicirikan oleh tiadanya hubungan organisasi fungsional
diantara setiap tingkatan usaha. Jaringan agribisnis praktis hanya diikat dan
dikoordinir oleh mekanisme pasar (harga). Hubungan diantara sesama pelaku
agribisnis praktis bersifat tidak langsung dan impersonal. Dengan demikian setiap
pelaku agribisnis hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan tidak menyadari
bahwa mereka saling membutuhkan. Bahkan hubungan diantara pelaku agribisnis
cenderung berkembang menjadi bersifat eksploitatif yang pada akhirnya menjurus
ke kematian bersama.
Lebih ironisnya lagi, pola agribisnis dispersal tersebut diperburuk pula oleh
berkembangnya asosiasi pengusaha horizontal (usaha sejenis) yang bersifat asimetri
dan cenderung berfungsi sebagai kartel. Sifat asimetri terlihat dari tiadanya asosiasi
para pelaku agribisnis yang efektif di tingkat hulu (petani), sedangkan asosiasi
pelaku agribisnis di tingkat hilir (industri pengolahan, pedagang/eksportir)
sangatlah kuat. Hal inilah yang membuat organisasi usaha dalam sektor agribisnis
cenderung berperan sebagai sebuah kartel yang memililki kekutan monopsonistik
maupun kekuatan monopolistik. Kekuatan monopsonistik akan menekan harga
yang diterima oleh petani, sedangkan kekuatan monopolistis akan meningkatkan
harga yang dibayar konsumen. Dengan demikian, asosiasi pengusaha agribisnis
horizontal di tingkat hilir yang mengarah pada kartel cenderung merugikan petani
produsen maupun konsumen, tidak efisien, serta menurunkan produksi agregat
(anti pertumbuhan).
Tiadanya ikatan institusional, asosiasi pengusaha yang bersifat asimetri,
kemampuan bisnis yang tidak berimbang (kutub hulu, yaitu petani, bersifat serba
gurem; sedangkan kutub hilir, yaitu agroindustri dan eksportir, bersifat serba kuat)
ditambah pula sifat intrisik permintaan dan penawaran komoditas dualistik (Bell
and Tai, 1969). Struktur agribisnis yang bersifat dualistik inilah yang menyebabkan
munculnya masalah transmisi (pass through problems) dalam agribisnis
(Simatupang, 1995). Pass through problems ini terdiri dari empat aspek strategi: (1)
Terjadinya transmisi harga yang tidak simetris, yang dicirikan oleh penurunan
harga ditransmisikan dengan cepat dan sempurna ke petani, sedangkan kenaikan
harga ditransmisikan dengan lambat dan tidak sempurna (Simatupang, 1989;
Simatupang dan Situmorang, 1988); (2) Informasi pasar, termasuk preferensi
konsumen, ditahan dan bahkan dijadikan alat untuk memperkuat posisi
monopsonistik atau monopolistik oleh agribisnis hilir (Bell and Tai, 1969; Wharton
1962); (3) Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki atau yang dapat diperoleh
agribisnis hilir tidak ditransmisikan ke agribisnis hulu (petani); dan (4) Modal
investasi yang relatif lebih banyak dimiliki oleh agribisnis hilir tidak disalurkan
dengan baik dan bahkan cenderung digunakan untuk mengeksploitasi agribisnis
hulu (Stifel, 1975; Wharton, 1962).
Pass through problems tersebut di atas jelas sangat menghambat
pembangunan pertanian. Secara lebih tegas lagi, inilah masalah utama yang
dihadapi bila pembangunan pertanian dilaksanakan dengan pendekatan agribisnis
seperti yang kita jalankan saat ini. Dengan perkataan lain, struktur agribisnis
dispersal tidak kondusif bagi pembangunan pertanian dengan pendekatan
agribisnis.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
19
Hubungan impersonal-eksploitatif dan tiadanya asosiasi agribisnis vertikal
tentu akan menyebabkan kualitas produk (komoditas) pertanian tidak dapat
disesuaikan dan dijamin seperti yang diinginkan oleh konsumen. Hal ini kiranya
sangat jelas karena: (1) Informasi tentang karakteristik produk yang diinginkan
konsumen tidak sampai dengan cepat dan tepat ke seluruh tingkatan agribisnis
mulai dari hilir hingga ke hulu (petani); (2) Kegiatan setiap tahapan agribisnis tidak
terpadu secara vertikal sehingga kualitas produk akhir yang dihasilkanpun tidak
dapat dijamin; (3) Pasar cenderung terdistrosi sehingga tidak ada insentif untuk
meningkatkan mutu produk. Jelaslah bahwa struktur agribisnis dispersal tidak
sesuai dengan tuntunan perubahan fundamental dalam pasar global saat ini, lebih-
lebih pada masa mendatang. Kiranya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa
inilah salah satu yang menyebabkan daya saing agribisnis Indonesia pada umumnya
masih lemah.
Dari segi transfer teknologi (modernisasi), struktur agribisnis dispersal juga
tidak baik. Sesuai dengan relungnya (niche) pada rantai agribisnis, yang paling
mengetahui dan akses terhadap perkembangan teknologi modern adalah kelompok
agribisnis yang berada pada kutub hilir (eksportir/ agroindustri). Kutub hulu
(petani) berada di pedesaan sehingga kurang akses terhadap informasi maupun
pasokan teknologi modern. Oleh karena itu, apabila struktur agribisnis vertikal
tidak terkoordinasi dengan baik maka modernisasi teknologi pertanian pun akan
semakin lambat. Di samping itu, akan muncul pula dualisme kemajuan teknologi
pada sektor agribisnis yang ditunjukkan oleh perbedaan tingkat kemajuan teknologi
yang sangat kontras pada kedua kutub alur agribisnis vertikal: kutub hulu (petani)
tetap menggunakan teknologi tradisional, sedangkan kutub hilir (agroindustri) telah
menggunakan teknologi mutakhir. Secara singkat dapatlah disimpulkan bahwa
struktur agribisnis dispersal tidak sesuai dengan kebutuhan modernisasi teknologi
agribisnis, apalagi pada era bioteknologi mendatang, yang sangat diperlukan untuk
meningkatkan daya saing.
Dari uraian di atas kiranya jelas bahwa struktur agribisnis dispersal tidak
kondusif, baik untuk kehidupan dan perkembangan agribisnis (mikro) maupun
untuk pembangunan pertanian secara umum (makro). Oleh karena itu, sebelum
terlambat, kita harus sudah mulai merubah struktur agribisnis tersebut. Dalam
hubungan ini diusulkan suatu pola baru, yaitu struktur agribisnis industrial, dan
upaya untuk menuju itu disebut industrialisasi pertanian.
INDUSTRIALISASI SEBAGAI STRATEGI MASA DEPAN
Perlu ditekankan bahwa pengertian industrialisasi pertanian yang diusulkan
sangatlah berbeda dari pengertian umum (populer) yang menganggap industrialisasi
pertanian sebagai suatu proses yang dicirikan oleh semakin intensifnya penggunaan
alat-alat mekanis dalam sektor pertanian (mekanisasi pertanian) dan semakin
berkembangnya industri pengolahan hasil-hasil pertanian (Breimyer, 1962; Moore
and Dean, 1972). Sebaliknya, pengertian industrialisasi pertanian yang diusulkan
ialah suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal
agribisnis dalam satu alur produk melalui mekanisme non pasar, sehingga
karakterisik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan
preferensi konsumen akhir (Council on Food, Agricultural and Resource Economics,
1994). Dengan demikian industrialisasi pertanian ialah suatu proses transformasi
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
20
struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Berbeda dengan pola
dispersal, dalam agribisnis pola industrial, setiap perusahaan agribisnis tidak lagi
berdiri sendiri atau bergabung dalam asosiasi horisontal, tetapi memadukan diri
dengan perusahaan-perusahaan lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha
yang ada pada satu alur produk vertikal (dari hulu hingga hilir) dalam satu
kelompok usaha yang selanjutnya disebut sebagai Unit Agribisnis Industrial (UIA).
Adapun karakteristik utama dari UIA tersebut adalah sebagai berikut: (1)
Lengkap secara fungsional. Seluruh fungsi yang diperlukan dalam menghasilkan,
mengolah dan memasarkan produk pertanian hingga ke konsumen akhir (alur
produk vertikal) dapat dipenuhi; (2) Satu kesatuan tindak. Seluruh komponan atau
anggota melaksanakan fungsinya secara harmonis dan dalam satu kesatuan tindak;
(3) Ikatan langsung secara institusional. Hubungan diantara seluruh komponen atau
anggota terjalin langsung melalui ikatan institusional (non pasar); (4) Satu kesatuan
hidup. Kelangsungan hidup dan perkembangan setiap komponen atau anggota
saling tergantung satu sama lain; dan (5) Kooperatif. Setiap komponen atau anggota
saling membantu satu sama lain demi untuk kepentingan bersama.
Sedangkan indikator kemampuan akhir (performance) yang dipenuhi ialah:
(1) Mampu menyesuaian dan menjamin kualitas (mutu) produk pertanian yang
dipasarkan seperti spesifikasi karakteristik yang diinginkan oleh konsumen akhir
(quality assurance); (2) Mampu mengadopsi teknologi paling mutakhir pada seluruh
fungsi (proses) transformasi produk pada alur vertikal, mulai dari usahatani hingga
industri pengolahan (modernisasi); (3) Mampu tumbuh berkembang secara
berkelanjutan atas kemampuan sendiri (kemandirian progresif); (4) Mampu
mengantisipasi, mengabsorbsi, dan menyesuaikan diri terhadap konjungtur ekonomi
(tangguh); dan (5) Mampu menghadapi persaingan yang ketat di pasar dunia
(memiliki keunggulan kompetitif).
Agribisnis industrial dengan karakteristik seperti tersebut di atas tentu
sangat sesuai dengan tuntutan perubahan fundamental pasar dan teknologi global.
Oleh karena itulah, industrialisasi pertanian merupakan strategi yang tepat untuk
agribisnis dan pembangunan pertanian pada PJP-II dalam era globalisasi.
IMPLEMENTASI UNIT INDUSTRIAL AGRIBISNIS
Berdasarkan bentuk organisasinya, UIA dapat digolongkan menjadi dua pola
yaitu: (1) pola integrasi vertikal, dan (2) pola koordinasi vertikal (Simatupang, 1995).
Pada pola integrasi vertikal, seluruh fungsi yang terdapat dalam satu UIA
dilaksanakan oleh satu perusahaan (diversifikasi usaha vertikal) atau oleh beberapa
perusahaan yang tergolong dalam satu induk usaha (holding company). Sedangkan
pada pola koordinasi vertikal, fungsi-fungsi atau cabang-cabang usaha yang terdapat
dalam satu UIA dilakukan oleh beberapa perusahaan yang pemiliknya dan
manajemennya terpisah satu sama lain, namun strategi implementasi usahanya
terkoordinasi secara harmonis, sehingga dapat disebut sebagai sebuah kuasi
organisasi internal (Simatupang, 1995; Lee and Naya, 1988; Sporleder, 1992). Dari
kedua pola UIA tersebut, yang sudah mulai berkembang di Indonesia dalam beberap
tahun terakhir ialah pola integrasi vertikal. Namun hal ini praktis masih hanya
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan konglomerat terkemuka seperti Indofood
Group dalam industri makanan berbasis terigu; Bimoli Group dalam industri
minyak goreng; Cipendawa Group dalam usaha peternakan ayam ras dan Dharmala
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
21
Group untuk industri amoniak. Pola integrasi vertikal ini memang sangat cocok
untuk tujuan pertumbuhan yang tinggi dan perolehan devisa, namun kurang efektif
tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pemerataan pendapatan. Lebih
daripada itu, pola integrasi vertikal praktis tidak akan menyentuh para petani kecil
yang masih mendominasi sektor pertanian kita saat ini. Oleh karena itu, pola ini
tidak dianjurkan untuk ditumbuh-kembangkan secara luas di Indonesia.
Melihat kondisi struktur perekonomian Indonesia yang masih terlalu
memberatkan sektor pertanian (Simatupang, 1991) dan sektor pertanian yang masih
didominasi oleh petani kecil, maka dari segi kepentingan nasional pola UIA yang
mesti dijadikan sebagai prioritas ialah pola koordinasi vertikal. Dalam hal ini, yang
bertindak sebagai inisiator dan sekaligus koordinator dan motivator ialah pengusaha
skala menengah-besar yang bergerak pada agribisnis hilir (agroindustri atau
eksportir). Dengan lebih konkrit, demi untuk mempertahankan kehidupan (survival) dan mendorong petumbuhan usahanya dalam era globalisasi, para pengusaha
agroindustri dan eksportir perlu melakukan koordinasi dengan agribisnis hulu
hingga ke petani dalam satu wadah kuasi organisai internal.
Walaupun barangkali cukup ideal, dilihat dari kepentingan pembangunan,
namun pengembangan UIA Pola Koordinasi Vertikal tidak akan berhasil jika
dilakukan melalui kebijakan pemerintah yang bersifat memaksa. UIA Pola
Koordinasi Vertikal tersebut memang menjanjikan keuntungan bagi para anggota-
anggotanya, dan bahkan harus dilakukan demi untuk kelangsungan hidup mereka
(Simatupang, 1995; Barry, Sonka dan Lajili, 1992; Sporleder, 1992; Brand, Kinnucan
and Warman, 1988; Hurt, 1994; Drabenstott, 1994). Hal ini khususnya benar
mengingat berbagai perubahan fundamental yang terjadi pada perekonomian dunia
saat ini dan lebih-lebih pada masa mendatang. UIA Pola Koordinasi Vertikal
tersebut merupakan suatu persekutuan bisnis strategis (strategic business alliance)
yang sangat diperlukan agribisnis untuk dapat hidup dan berkembang dalam era
globalisasi. Dengan demikian, pengembangan UIA Pola Koordinasi Vertikal
merupakan strategi bisnis dalam era globalisasi dan konsisten pula dengan strategi
pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis yang kita laksanakan dalam
beberapa tahun terakhir.
Dengan pemikiran bahwa sesungguhnya (potensial) UIA Pola Koordinasi
Vertikal itu memang bermanfaat bagi para pelaku agribisnis, maka yang harus
dibenahi ialah faktor-faktor yang menjadi penghalang perkembangannya. Dalam
kaitan ini, saya melihat “hanya” ada dua persoalan pokok yaitu: (1) Para pengusaha
menengah-besar yang bergerak dalam usaha agroindustri, perdagangan besar atau
ekspor hasil-hasil pertanian kita (yang mestinya bertindak sebagai koordinator)
belum menyadari bahwa koordinasi vertikal itu bermanfaat bagi mereka; dan (2)
Ada hambatan struktural yang menyebabkan potensi manfaat koordinasi vertikal
tersebut tidak dapat direalisir.
Masalah utama terutama disebabkan oleh sifat para pengusaha menengah-
besar kita yang masih cenderung bersifat sebagai pedagang dan mengejar laba
sebesar-besarnya dalam jangka pendek. Dengan bersifat sebagai pedagang, mereka
kurang memperhatikan pengembangan produk. Karena mengejar laba sebesar-
besarnya dalam jangka pendek, mereka tidak begitu memperhatikan kehidupan dan
perkembangan agribisnis hulu. Dalam kaitan ini sudah saatnya Departemen
Pertanian melakukan reorientasi sasaran penyuluhannya dari petani ke pengusaha
agribisnis hilir.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
22
Masalah kedua terutama disebabkan oleh adanya distorsi pasar karena
adanya kekuatan monopsonistik/monopolistik. Kekuatan
monopsonistik/monopolistik ini mungkin sekali diperoleh oleh atau diperkuat
dengan adanya asosiasi agribisnis hilir yang berfungsi sebagai kartel maupun dari
fasilitas (kebijakan) pemerintah. Dalam kaitan ini, sudah saatnya pemerintah
mengendalikan kegiatan asosiasi agribisnis hilir sehingga tidak menjurus ke
praktek kartel. Di samping itu, deregulasi dan debirokratisasi mesti dilanjutkan
sehingga tidak ada lagi perusahaan agribisnis hilir yang memperoleh kekuatan
monopsonistik maupun monopolistik karena fasilitas atau peraturan pemerintah.
UAI dapat dihela oleh suatu perusahaan besar. Perusahaan besar ini dapat
bergerak dalam bidang produksi input berkandungan teknologi, pemasaran atau
pengolahan hasil usahatani. Perusahaan besar penghela inilah yang amat
menentukan pertumbuhan UAI secara berkelanjutan.
Luas dan kedalaman keterkaitan antar perusahaan atau jejaring rantai nilai
(value chain) diupayakan sebesar mungkin. Sasarannya ialah memperoleh nilai
tambah sebesar-besarnya melalui pengembangan usaha terdiversifikasi seluas
mungkin, efisien, dan padu-padan dalam satu jaringan rantai pasok. Jenis usaha
dikembangkan seluas mungkin melalui diversifikasi berspektrum luas : horizontal,
vertikal, temporal dan fungsional.
Diversifikasi horizontal merujuk pada konfigurasi ragam usaha berdasarkan
lokasi spasial. Pada tingkat usahatani, diversifikasi horizontal dapat berupa antar
pola tanam secara spasial. Jika berupa usaha-usaha yang berkelompok homogen
menjadi suatu klaster (cluster), maka diversifikasi horizontal dapat dipandang
sebagai konfigurasi dari klaster-klaster elemen pembentukan sistem agribisnis
tersebut.
Diversifikasi vertikal merujuk pada ragam usaha berdasarkan relasi input-
output langsung. Pada usahatani primer, diversifikasi vertikal merujuk pada pola
usahatani komoditas ganda (multiple cropping) yang saling berkaitan melalui input-
output masing-masing. Salah satu contohnya ialah pola integrasi tanaman-ternak.
Usaha jasa alat dan mesin pertanian pra maupun pasca panen, usaha pasca panen
dan pengolahan hasil usahatani juga termasuk dalam diversifikasi vertikal.
Diversifikasi temporal merujuk pada ragam usaha menurut waktu. Termasuk
dalam hal ini adalah konfigurasi tanam dan panen menurut waktu pada usahatani
primer maupun usaha pengolahan hasil pertanian.
Diversifikasi fungsional merujuk pada ragam usaha menurut varietas atau
tipe produk dalam komoditas yang sama. Salah satu contohnya ialah pola
pertanaman padi dengan beragam varietas pada satu hamparan lahan usahatani.
Pada tingkat perusahaan, termasuk usahatani, strategi diversifikasi usaha
spektrum luas dapat bermanfaat untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya
maupun untuk mengurangi resiko usaha. Pada usahatani, optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal) melalui diversifikasi tanaman atau ternak
pada dasarnya adalah juga intensifikasi pemanfaatan sumberdaya. Oleh karena itu,
usahatani yang dikembangkan pada UIA ialah ”Sistem Usahatani Intensifikasi
Diversifikasi (SUID= Farming System Intensification Diversification). Sistem
integrasi tanaman – ternak (crop-livestock system = CLS) yang diusahakan secara
intensif merupakan salah satu contoh populer SUID. Oleh karena sasaran UIA
adalah usahatani keluarga skala kecil, maka usahatani yang akan dikembangkan
adalah pola usaha SUID-Keluarga yang mengintegrasikan kegiatan rumah tangga,
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
23
usahatani dan kegiatan non-usahatani (Gambar 1). Rancang operasional usaha
SUID-Keluarga di susun antara lain dengan kondisi agroekosistem maupun tatanan
sosial-ekonomi setempat.
Gambar 1. Kerangka dasar usaha SUID-Keluarga
Diversifikasi usaha spektrum luas merupakan kunci dalam pengembangan
sistem agribisnis yang memiliki keterkaitan usaha luas dan panjang. Semakin luas
dan panjang jejaring usaha pencipta nilai tambah, semakin besar pula total nilai
tambah langsung maupun efek ganda (multiplier effect) yang dapat dibangkitkan
UIA. Selain itu, sistem agribisnis diversifikasi spektrum luas akan dapat
menjadikan UIA sebagai cikal-bakal basis ekonomi (local economic base) setempat.
Cakupan luas spasial Prima Tani ditentukan oleh lokasi spasial dari semua
elemen terkait dalam sistem agribisnis (UAI), bukan batasan administrasi
pemerintahan. Faktor penentunya ialah volume hasil produksi usahatani untuk
memenuhi skala ekonomi minimum terbesar diantara seluruh usaha terkait dalam
UAI (patut diduga usaha ini adalah pabrik pengolahan hasil usahatani atau pakan
ternak). Konfigurasi tiap jenis usaha dapat berbentuk kelompok atau klaster atau
dapat pula tersebar, tergantung pada potensi ekonomi ”aglomerasi” serta sifat
perusahaan. Barangkali yang paling tepat dibangun dalam konfigurasi klaster
ialah usahatani, usaha pasca panen atau pengolahan hasil usahatani dan usaha
kerajinan/perbengkelan alat dan mesin pertanian. Kerangka umum keterkaitan
kelompok usaha dalam UAI dapat ditunjukkan secara sederhana seperti pada
Gambar 2.
Usaha Ternak
Usaha Tanaman Rumah Tangga Usaha Non-Pertanian
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
24
Keterangan:
SUID = Sistim Usahatani Intensifikasi Diversifikasi
KPJA = Klaster Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian
KPJI = Klaster Pelayanan Jasa Input
KPPH = Klaster Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Usahatani
Gambar 2. Kerangka Umum Sistem dan Usaha Agribisnis UAI
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian di muka disimpulkan bahwa dalam era globalisasi, kunci
keberhasilan pembangunan pertanian terutama terletak di tangan para pengusaha
yang bergerak dalam agribisnis hilir (agroindustri dan eksportir) dan bukan di
tangan petani. Departemen Pertanian perlu lebih meningkatkan upaya pembinaan
bagi pengusaha agribisnis hilir, dengan sasaran utama pada pengembangan Unit
Agribisnis Industrial Pola Koordinasi Vertikal. Unit Agribisnis Industrial adalah
wadah kuasi organisasi internal para pelaku agribisnis dalam satu rantai agribisnis
vertikal. Pembentukan unit agribisnis industrial tersebut merupakan inti dari
industrialisasi pertanian yang dipandang strategi agribisnis yang sangat tepat
dalam era globalisasi. Jika ini dapat dilakukan maka tujuan untuk meningkatkan
pendapatan petani dan pertumbuhan sektor pertanian dalam era globalisasi yang
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
25
sedang dan akan terus berlangsung dengan cepat akan dapat pula dicapai dengan
lebih baik. Dengan demikian industrialisasi pertanian tersebut juga merupakan
strategi pembangunan pertanian nasional dalam era globalisasi.
Implementasi Unit Agribisnis Industrial adalah pengembangan ”Sistem
Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID= Farming System Intensification Diversification).
DAFTAR PUSTAKA
Arty, V. 19881. The Postwar International Money Crisis: An Analysis. George Allen
& Unwin. London.
Barkema. A.D. 1993. Reaching Consumers in the Twenty – First Century: The Short
Way Around the Barn. American Journal of Agricultural Economics
75(5):1126-1131.
Barry, P.J. S.T. Sonka, and K. Lajili. 1992. Vertical Coordination, Financial
Structure, and The Changing Theory of the Firm. American Journal of
Agriculture Economics 74(5):1219-1225.
Bell, P.F. and J. Tai. 1969. Markets. Middlemen and Technology. Malayan Economic
Review, Vol.14, April.
Brand, A., H. Kinnucan and M. Warman. 1988. Economic Effects of Increased
Vertical Control in Agriculture; The Case of the U.S. Egg Industry. Bulletin
No.592, Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University, USA.
Breimyer, H.F. 1962. The Three Economics of Agriculture. Journal of Farm
Economics. 44(3):679-716.
Choi, K. 1983. Theories of Comparative Economic Growth. Iowa State University
Press, Ames, USA.
Cook, M.L. and M.E. Bredahl. 1991. Agribusiness Competitiveness in the 1990‟s:
Discussion. American Journal of Agricultural Economics 73(5): 1472-1473.
Council on Food, Agricultural and Resource Economics. 1994. Agricultural
Industrialization: What Roles for Government Policy? Abstract in American
Journal of Agricultural Economics 76(5):1232.
Departemen Pertanian RI. 1994. Repelita VI Pertanian. Jakarta.
Drebenstott, M. 1994. Industrialization: Steady Current or Tidal Wave?. Choice 4th
Quarter: 4-8.
Feeder, G. 1982. On Export and Economic Growth. Journal of Development
Economics 12:59-73.
Hurt, C. 1994. Industrialization in the Park Industry. 4th Quarter: 9-13.
Kuntjoro-Jakti, D. 1995. Perencanaan Ekonomi Nasional Menghadapi Tantangan
Globalisasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 17 Juni 1995. Jakarta.
Lee, C.H. and S. Naya. 1988. Trade in East Asian Development With Comparative
Reference to Southeast Asian Experience. Economic Development and
Cultural Change. 36(3):S123-S152.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
26
Martin, L., R. Westgren, and E. van Duren. 1991. Agribusiness Competitiveness
Across National Boundaries. American Journal of Agricultural Economics.
73(5):1456-1464.
Moore, C.V. and G.W. Dean. 1972. Industrialized Farming. In A.G. Ball and E.O.
Heady (Eds.). Size, Structures and Future in Farms, CARD, IOWA State
University Press, Ames, IOWA. USA.
Ohmae, K. 1995. The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies.
McKinsey Company Inc. The tree Press, New York.
Pack, H. 1992. Technology Gaps Between Industrial and Developing Countries: Are
There Dividends for Latecomers. Proc. Ann. Conf. Dev. Ec. World Bank:283-
392.
Porter, M. 1985. Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior
Performance. Macmillan Co. New York.
Sharples, J. and N. Milham. 1990. Long-run Competitiveness of Australian
Agriculture. Foreign Agricultural Economic Report No.243. Economic
Research Service, U.S. Department of Agriculture, Washington, D.C.
Simatupang, P. 2005. Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi
Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor
Simatupang, P. 1995. Pengembangan Ekspor Sebagai Pemacu Pertumbuhan Sektor
Pertanian: Pass Through dan Koordinasi Vertikal Sebagai Faktor Kunci.
Makalah disampaikan pada Temu Wicara Dampak Kaitan Kebelakang
(Backward Linkages) Industri Pengolahan Ubikayu Terhadap Besarnya
Kesempatan Kerja, Pendapatan Tenaga Kerja dan Nilai Tambah yang
Tercipta dari Kegiatan Ekspor, Cipanas, 9-10 April 1995. Biro Pengkajian
Ekonomi dan Keuangan, Departemen Keuangan.
Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor
Pertanian. Jurnal Agro Ekonomi 11(1):37-56.
Simatupang, P. 1991. The Development of the Manufacturing Sector in Indonesia.
Seminar Report, AARD in the 1990‟2 and Beyond, Volume Two: Detailed
Proceedings, p.47-72. Agency for Agricultural Research and Development,
Ministry of Agriculture, Indonesia.
Simatupang, P. 1989. Integrasi Harga Ubikayu dan Gaplek di Lampung. Forum
Statistik 8(1):21-28.
Simatupang, P. dan J. Situmorang, 1988. Integrasi Pasar dan Keterkaitan Harga
Karet Indonesia dengan Singapura. Jurnal Agro Ekonomi 7(2): 12-29.
Simatupang, P. dan B. Isdijoso. 1992. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap
Nilai Tukar Sektor Pertanian: Landasan Teoritis dan Bukti Empiris.
Ekonomi dan Keuangan Indonesia. 40(1):33-48.
Sporleder, T.L. 1992. Managerial Economics of Vertically Coordinated Agricultural
Firms. American Journal of Agricultural Economics 74(5): 1226-1231.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
27
Stiffel, L.D. 1975. Imperfect Competition in a Vertical Market Network: The Case of
Rubber in Thailand. American Journal of Agricultural Economics. 57(4):632-
640.
Streeter, D.H., S.T. Sonka and M.A. Hudson. 1991. Information Technology,
Coordination and Competitiveness in the Food and Agribusiness Sector.
American Journal of Agricultural Economics. 73(5):1465-1471.
Wharton, C.R. 1962. Marketing, Merchandising, and Money Lending: A Note on
Middlemen Monopsony in Malaya. Malayan Economic Review, 7(2):24-44.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
28
DUKUNGAN TEKNOLOGI PASCA PANEN DALAM
PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PEDESAAN
Harijono*)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pertanian telah memainkan peran yang sangat strategis didalam
menjaga momentum pertumbuhan di sektor-sektor yang lain sejak Indonesia
merdeka hingga saat ini. Dibandingkan sektor industri dan jasa, pertumbuhan
sektor pertanian adalah lebih kecil dan sumbangannya pada Produk Domestik Bruto
juga semakin kecil, tetapi pada kenyataannya tidak kurang dari 40% penduduk
Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Artinya sektor
ini masih tetap strategis sebagai suatu entry point untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara umum. Oleh karenanya pembangunan sektor pertanian
seharusnya bersifat strategis karena keberhasilannya dapat menekan kemiskinan
dan kesenjangan pendapatan antar penduduk.
Pengalaman pahit beberapa waktu yang lalu mengajarkan bahwa sektor
pertanian dan usaha mikro telah menjadi penyelamat Indonesia dari keterpurukan
ekonomi. Krisis moneter pada tahun 1997-98 memicu kenaikan yang tajam suku
bunga bank sehingga banyak usaha di sektor riil, terutama manufaktur dan jasa
konstruksi, terpuruk. Pekerja yang terkena PHK di sektor itu banyak yang masuk
ke usaha mikro. Disamping usaha mikro ternyata usaha agroindustri skala besar
(BUMN) memetik lonjakan keuntungan usaha yang sangat tajam. Kementerian
PBUMN menyebutkan total laba sebelum pajak untuk BUMN agroindustri
melonjak dari 0,9 triliun rupiah menjadi 4,4 triliun rupiah (Harijono, 1999).
Walaupun tidak sehebat krisis 1997-1998, kenaikan harga BBM di atas 100%
baru-baru ini juga telah memicu kenaikan laju inflasi yang saat saat ini hampir
mendekati 20%. Sektor riil sudah banyak mengeluh karena suku bunga pinjaman
bank meningkat, upah buruh meningkat, harga barang-barang modal meningkat
sementara daya beli masyarakat menurun. Sementara itu angka pengangguran
terbuka saat ini mencapai 11,6 juta atau 10,8% dari total angkatan kerja sekitar 106
juta jiwa, Angka ni diperkirakan terus membengkak karena laju pertumbuhan
angkatan kerja jauh melampaui laju penambahan lapangan kerja. Dengan kondisi
semacam itu amat sulit bagi sektor riil manufaktur dan jasa untuk menyediakan
tambahan lapangan kerja, justru sebaliknya yang terjadi.
Langkah pemerintah untuk melakukan revitalisasi pertanian, perikanan dan
kehutanan (RPPK) merupakan hal yang sudah sepatutnya dilakukan. Disamping
untuk mengatasi berbagai permasalahan pelik dan mendasar yang dialami sektor
ini, RPPK akan memberi harapan terbukanya lapangan kerja yang berspektrum
luas, serta menyediakan kebutuhan bahan pangan yang cukup dan bahan industri
yang memadai baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor, serta peningkatan
pendapatan masyarakat pertanian.
________________ *) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
29
Oleh sebab itu revitalisasi sektor ini harus disambut dengan baik oleh masyarakat
pelaku bisnis, industri dan lembaga pemerintah di sektor ini.
Fakta menunjukkan bahwa impor berbagai komoditas pertanian cukup tinggi,
Masih ada sederet masalah yang lain seperti ketergantungan konsumsi pangan pada
komoditas tertentu, persaingan pasar ekspor yang makin ketat karena munculnya
pemain baru negara Asia pasca perang, misalnya Vietnam, makin tingginya
persyaratan mutu dan keamanan pangan atas komoditas pertanian dan olahannya
yang diterapkan oleh negara-negara tertentu seperti Eropa Bersatu (EU), lahirnya
pakta perdagangan regional (AFTA, APEC) dan dunia (WTO), dan masih adanya
praktek subsidi pertanian oleh negara-negara maju.
Sementara itu kapasitas pertanian Indonesia di bagian hulu (budidaya),
terutama di Jawa, mengalami penurunan yang besar akibat adanya susut lahan
(kuantitas dan kualitas), rusaknya sumberdaya alam-lingkungan (SDAL) serta
infrastruktur utama (sumber air, kualitas air, jaringan irigasi) serta kelembagaan
dan SDM penyuluhan. Hal itu masih dipersulit oleh tidak konsistennya kebijakan
antar departemen akibat lemahnya koordinasi dan tarik-ulur kelompok
kepentingan, yang langsung maupun tidak langsung, memukul usaha sektor
pertanian.
Seiring dengan upaya peningkatan kapasitas sektor pertanian di bagian hulu,
maka juga perlu diupayakan pemberdayaan usaha/kegiatan off-farm agrobisnis dan
agroindustri untuk memperoleh nilai tambah dalam rangka meningkatkan
pendapatan masyarakat pertanian. Peluang untuk pengembangan usaha
agroindustri sangat menjanjikan, baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri
maupun ekspor. Sebagai contoh, pasar domestik untuk produk pangan sangat besar
karena jumlah dan pertumbuhan penduduk serta perubahan pola konsumsi. Belum
lagi peluang ekspor yang sebenarnya masih terbuka luas, walaupun persaingan
memang semakin ketat. Perubahan tata pemerintahan tersentralisasi menjadi
otonom pada daerah tingkat II sebenarnya melahirkan peluang yang menarik bagi
yang siap memanfaatkan keunggulan komparatif daerah.
Namun, ancaman akan semakin besar dengan semakin leluasa masuknya
produk olahan agroindustri akibat pemberlakuan aturan AFTA, APEC, WTO. Di
satu sisi, hadirnya produk olahan agroindustri mancanegara dapat menguntungkan
konsumen, namun hal itu merupakan genderang pertanda dimulainya persaingan
yang makin ketat untuk usaha agroindustri domestik agar lebih efisien dan
memberi jaminan mutu..
Dalam rangka memenangkan persaingan sehingga usaha agroindustri
domestik menjadi raja di negeri sendiri, maka berbagai hal perlu dibenahi.
Peningkatan kapasitas agroindustri, terutama usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM), masih dihadapkan pada berbagai persoalan seperti lemahnya SDM,
teknologi, organisasi dan manajemen, disamping lemahnya akses permodalan dan
pasar serta kebijakan yang kurang kondusif/memihak. Dalam hal permodalan,
misalnya, langkah-langkah yang diambil oleh negara seperti di Thailand dan China
kelihatan lebih mengesankan karena di sana ada bank khusus untuk melayani
sektor pertanian.
Dari sisi ketersediaan teknologi pasca panen berupa piranti keras dan lunak
sebenarnya tidak ada persoalan, tetapi masalah sebenarnya lebih pada lemahnya
kemampuan akses teknologi oleh pelaku UMKM agroindustri. Di sini letak
pentingnya peranan lembaga intermediasi (pemerintah, LSM) dalam melakukan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
30
peningkatan akses dengan menggalang pihak terkait, termasuk dalam hal
penyiapan SDM agroindustri untuk mengelolanya. Saat ini sebenarnya kebijakan
otoritas moneter sudah cukup memadai dalam memfasilitasi pengembangan usaha
agrobisnis dan agroindustri (Harijono dan Sudarminto, 2005). Persoalannya terletak
pada kurangnya informasi dan keengganan saling menghubungi antara para pelaku
UMKM agro, aparat pembina di daerah, dan kalangan perbankan atau lembaga
keuangan selaku penyedia modal.
II. BEBERAPA PERMASALAHAN MAKRO SEKTOR PERTANIAN
2.1 Impor Komoditas Pertanian, Subsidi Usahatani & Perdagangan
Indonesia dengan penduduk sekitar 210 juta jiwa dengan tingkat
pertumbuhan penduduk sekitar 1% per tahun merupakan pasar yang potensial, baik
bagi industriawan pangan domestik maupun bagi asosiasi petani dan industri
pangan manca negara. Sebagai negara agraris yang besar dengan sumberdaya alam
dan hayati (SDAH) yang kaya ternyata ironis sekali karena masih harus impor
berbagai komoditas pertanian, seperti beras, jagung, gula, gandum, kedelai, kacang
tanah, sayuran dan buah-buahan serta daging dan tepung ikan (Tabel 1). Jumlah
impor gandum mengalami peningkatan yang besar dalam satu dekade, dari 2,2 juta
ton pada tahun 1991 (Suryana dan Budianto, 1998) menjadi sekitar 3,6 juta ton pada
tahun 2000 (Pramudya dan Budijanto, 2001). Pada tahun 2000, total nilai impor 8
komoditas pangan mencapai sekitar 1,7 milyar USD dan lebih dari 0,5 milyar USD
diantaranya merupakan nilai impor gandum.
Negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa memberikan skema
perlindungan kepada petani. Subsidi kepada petani dilakukan mulai dari usahatani
hingga pemasaran hasilnya. Selain itu, peranan asosiasi petani dan produsen
makanan atau minuman di AS sangat kuat. Misalnya, dalam hal persaingan usaha
minyak makan. Loby asosiasi petani dan produsen makanan olahan di AS
memainkan peran penting dalam kampanye negatif untuk mengurangi masuknya
minyak kelapa sawit di AS. Korsel juga demikian, dalam rangka melindungi petani
beras, pemerintah Korsel mengajukan moratorium terhadap aturan pembatasan
impor beras untuk jangka waktu 10 tahun sejak 1995. Rencananya, WTO akan
melakukan lanjutan pertemuan Putaran Doha bulan Desember 2006 di Hongkong.
Dapat dilihat bahwa di dalam WTO, kekuatan tawar negara-negara maju itu
memungkinkan mereka „terhindar‟ dari aturan WTO untuk melakukan pembatasan
impor komoditas pertanian tertentu.
Subsidi ekspor diberikan dalam bentuk pinjaman lunak, kredit berbunga
rendah berjangka panjang, bagi pengimpor komoditas pertanian dari negara maju.
Sebagai contoh, pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Pertanian
(USDA) telah lama memberi kredit semacam itu untuk mengekspor kelebihan
produksi pertaniannya, termasuk gandum. Pada tahun 2001 besarnya kredit ini
mencapai 650 juta USD (Pramudya dan Budijanto, 2001). Amerika Serikat dan Uni
Eropa dikabarkan memberi subsidi langsung ke petani dan subsidi ekspor yang
besarnya mencapai 300 milyar USD atau lebih dari 2.400 triliun rupiah per tahun
(Kompas, 15 September 2003). Sementara itu pemerintah negara-negara
berkembang tentu akan sangat kesulitan melakukan langkah serupa untuk
melindungi petaninya. Ketimpangan itu diangkat sebagai bahan penolakan negara-
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
31
negara berkembang yang tergabung dalam Aliansi 33 atas Draft Pertanian yang
diajukan negara-negara maju dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di
Cancun, Meksiko pada bulan September yang lalu sehingga akhirnya gagal
mencapai kesepakatan (Kompas, 16 Oktober 2003). Sulit bagi Indonesia untuk
mencapai swasembada komoditas pertanian apabila tidak ada skema kebijakan
yang adil bagi sistem usahatani dan perdagangan hasil-hasil pertanian.
2.2 Pertumbuhan Penduduk, Pangan dan Lahan Pertanian
Ketergantungan konsumsi pada komoditas beras sebagai makanan pokok
telah memberi tekanan yang berat pada setiap rezim pemerintahan. Tambahan
beras yang harus disediakan untuk setiap 1 persen kenaikan jumlah penduduk
Indonesia diperkirakan mencapai 180.000 ton/tahun dengan asumsi jumlah
penduduk 210 juta jiwa dan tingkat konsumsi hanya 90 kg/kapita/tahun. Apabila
dapat dicetak sawah baru berkualitas I yang dapat dipanen 3 kali @ 6 ton GKG atau
setara dengan 12 ton beras per hektar dalam setahun, maka setiap 1% kenaikan
jumlah penduduk diperlukan sekurangnya 15.000 ha sawah baru. Padahal,
pencetakan sawah baru membutuhkan biaya untuk pengembangan infrastruktur
yang tidak sedikit. Tingkat konsumsi pangan penduduk Indonesia disajikan pada
Tabel 2.
Angka ini baru untuk memenuhi kebutuhan beras, belum untuk komoditas
pangan dan keperluan yang lain. Sementara itu konversi lahan pertanian menjadi
area industri dan pemukiman terjadi di mana-mana, khususnya di kota dan
kawasan sekitarnya. Alih fungsi lahan pertanian di Jawa mencapai 13.400 ha/tahun,
sedangkan secara nasional mencapai 35.000 ha/tahun (Kompas, 9 Desember 2005).
Menurut Soenarno (2003), konversi lahan pertanian menjadi di Pantura Jawa saja
mencapai 20%. Dalam suatu berita di harian nasional dikabarkan bahwa 610.596 ha
sawah telah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian (Kompas, 17 Mei 2004).
Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki Land-Man Ratio (LMR) atau rasio
ketersediaan lahan pertanian per kapita yang rendah, yaitu hanya 362 m2/kapita.
Angka itu jauh dibawah Thailand (1.870 m2/kapita) maupun Vietnam yang
mempunyai LMR sebesar 1.300 m2/kapita (Sumarno, 2004). Sementara itu degradasi
kualitas lahan pertanian Indonesia akibat sistem budidaya intensif sudah pada
tahap mengkhawatirkan sehingga berbagai kalangan menyerukan agar praktek
pertanian organik digalakkan di tanah air.
Pada tahun 2025 diperkirakan penduduk Indonesia mencapai 273,7 juta jiwa
(Kompas, 3 Agustus 2005), maka tantangan sektor pertanian akan semakin besar.
Gambaran betapa makin besarnya tantangan yang harus dihadapi berkenaan
dengan penyediaan pangan bagi penduduk Indonesia diberikan oleh Soenarno
(2003). Ketersediaan pangan pada tahun 2035 perlu ditingkatkan dua kali lipat
karena jumlah penduduk Indonesia saat itu diperkirakan akan mencapai 400 juta
jiwa. Kalau laju pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan dengan baik, sementara
daya dukung sektor pertanian domestik menurun, maka ketergantungan pada
komoditas pertanian impor akan semakin meningkat.
2.3 Kerusakan SDAL dan Infrastruktur Irigasi
Kerusakan daerah-daerah tangkapan air di bagian hulu akibat penebangan
hutan telah menimbulkan berbagai akibat langsung berupa banjir dan tanah longsor
di banyak tempat di Indonesia. Dampak jangka panjangnya adalah semakin
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
32
susutnya volume air untuk irigasi. Selain itu, kualitas air sungai, terutama di Jawa,
juga banyak menurun akibat cemaran industri dan limbah rumah tangga.
Total irigasi sawah di Indonesia mencapai 8,6 juta ha, kira-kira 53%
diantaranya (4,9 juta ha) menjadi tanggungajawab pemerintah pusat, sekitar 1,28
juta ha oleh pemerintah provinsi dan sisanya kira-kira 2,39 juta ha oleh pemerintah
kabupaten/kota. Daerah-daerah yang selama ini mempunyai kontribusi yang besar
sebagai produsen komoditas pertanian umumnya ditunjang oleh jaringan irigasi
yang baik, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan.
Namun, jaringan irigasi dari waduk, dam dan bendungan diperkirakan mengalami
degradasi 30-40% (Wawa, 2005). Hal ini antara lain disebabkan oleh kurangnya
perawatan akibat rendahnya anggaran dari pemerintah pusat, provinsi maupun
kabupaten. Menurunnya kualitas jaringan irigasi ini berdampak pada makin
luasnya lahan pertanian yang tidak produktif pada musim kemarau.
Penurunan kapasitas jaringan irigasi, dan kualitas air sungai juga
mempengaruhi potensi budidaya air tawar dan air payau. Kalau hal ini terjadi terus,
maka volume produksi ikan air tawar makin berkurang, input produksi untuk
budidaya udang akan makin mahal karena harus menyediakan instalasi pemurnian
air. Daerah muara sungai yang tercemar oleh ion logam dari berbagai limbah
industri memunculkan masalah keamanan pangan pada hasil laut golongan kerang-
kerangan. Pengawasan yang lemah terhadap pembuangan limbah industri elektro-
plating, pengecoran logam dan tailing dari pertambangan emas (rakyat maupun
industri besar) dan pertambangan lainnya yang dampaknya mempengaruhi kualitas
air perairan teluk seperti di Buyat, diperkirakan menjadi penyebab tingginya
kandungan ion-ion logam berbahaya pada perairan tertentu. Bebebrapa kali media
massa memberitakan mengenai kandungan ion-ion logam berat yang semakin
meningkat di beberapa sungai besar di Jawa dan Kalimantan. Kandungan ion-ion
logam berat di perairan utara Surabaya dilaporkan melebihi ambang batas,
sementara itu ancaman Minamata juga terjadi di Barito, Kalimantan, akibat limbah
penambangan emas yang dilakukan oleh rakyat (Kompas, 21 Juni 2005).
2.4 Kebijakan Sektor Pertanian
Salah satu penyebab berfluktuasinya gairah usahatani adalah kebijakan
harga komoditas pertanian. Tingkat harga komoditas pertanian yang tidak layak
merupakan disinsentif bagi usahatani, maka dari itu upaya memacu peningkatan
produksi harus diimbangi dengan rangsangan harga yang layak. Namun apabila
tidak berhati-hati, kenaikan harga komoditas pertanian domestik dapat menjadi
penarik masuknya komoditas serupa dari negara-negara maju yang berharga lebih
rendah karena diusahakan dengan sistem subsidi. Upaya pembatasan impor
dengan peningkatan bea masuk, sebagaimana yang diterapkan untuk gula, ternyata
tidak cukup efektif menangkal masuknya komoditas ini melalui jalur ilegal karena
pintu masuk perairan yang terjaga rapi masih terbatas. Petani domestik cenderung
dirugikan dengan masuknya komoditas impor dari negara maju yang berharga lebih
murah karena adanya subsidi dan proteksi.
Kebijakan untuk menjamin ketersediaan SAPRODI dengan harga yang layak
dan pada saat yang tepat juga menjadi faktor penentu majunya usahatani. Lagu
yang selalu terdengar rutin setiap tahun adalah kelangkaan SAPRODI pada saat
musim tanam tiba sehingga ada sementara kalangan yang meminta agar dilakukan
tata ulang distribusi pupuk. Belum lagi kesulitan dalam memperoleh dukungan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
33
modal. Disamping itu jaminan lain untuk kesejahteraan petani sangat minim atau
tidak ada. Persoalan perlunya pembenahan kebijakan sektor pertanian ini sudah
lama ditunggu oleh kalangan pelaku di sektor ini, adakah hari esok menjadi lebih
baik ?
Jika kebijakan sektor pertanian tidak juga membaik, maka pendapatan petani
akan mengalami stagnan. Gambaran mengenai kondisi ekonomi petani tertuang
dari hasil survei BPS 2004-2005. Dari 8 propinsi yang sudah disurvei, 14-26%
mengaku keadaan ekonomi rumahtangganya menurun dan hanya 17-30% yang
meningkat, sedangkan sebagian besar mengalami stagnan. Sebagai contoh, sekitar
55% petani Jawa Timur merasa tidak ada perubahan ekonomi dibandingkan tahun
sebelumnya, 25% mengalami penurunan dan hanya 20% merasa mengalami
perbaikan ekonomi rumahtangganya (Kompas, 28 Juli 2005).
2.5 Booming Angkatan Kerja Usia Lanjut
Pada tahun 2025 diperkirakan penduduk Indonesia lanjut usia (lansia)
mencapai jumlah 23 juta jiwa atau meningkat lebih dari 100% dibandingkan kondisi
tahun 2005 yang sebesar 11,2 juta jiwa (Kompas, 2005). Sektor pertanian, terutama
di Jawa, banyak ditinggalkan oleh kaum muda karena dianggap tidak memberi
harapan jaminan hidup yang memadai, tidak sebanding dengan beratnya pekerjaan.
Kebanyakan kaum muda di pedesaan lebih memilih bekerja sebagai buruh industri
atau bangunan yang dianggap lebih „bergengsi‟ dan lebih memberi jaminan
kepastian usaha. Dengan kata lain sektor pertanian pada bagian hulu (budidaya)
mengalami aging SDM, sedangkan SDM muda sektor pertanian melakukan
urbanisasi.
Walaupun persoalan ketenagakerjaan dapat digantikan oleh kehadiran alat-
alat mekanisasi pertanian, tidak pelak regenerasi SDM sektor pertanian merupakan
masalah yang serius dan perlu mendapatkan pemecahannya. Salah satu upaya yang
perlu digalakkan adalah mendorong usaha/kegiatan off-farm di pedesaan.
2.6 Keamanan Pangan Komoditas Pertanian
Lahirnya UU Pangan No. 7 tahun 1996 merupakan tantangan tersendiri pada
sistem usahatani. Penggunaan pestisida yang tidak rasional pada praktek budidaya
tanaman, pengawetan pakan ternak, residu pestisida dan antibiotik pada susu segar
merupakan persoalan keamanan pangan yang perlu mendapatkan perhatian dan
pembenahan.
Persoalan serupa juga ditemukan pada tahapan pasca panen beberapa
komoditas pertanian. Baru-baru ini ditayangkan di media massa elektronik
mengenai kandungan formalin pada ikan segar dan praktek penggunaan formalin
dijumpai juga pada pengolahan ikan seperti pemindangan dan ikan asin. Beberapa
tahun lalu juga terungkap penggunaan pestisida untuk mengusir lalat pada saat
penjemuran ikan asin. Belum lagi masalah dampak cemaran ion-ion logam yang
melalpaui ambang batas yang diijinkan terhadap keamanan konsumsi biota laut
tertentu.
Beberapa klaim bermunculan pada ekspor komoditas pertanian, misalnya
kopi karena kandungan ochra toxin, racun dari jamur Aspergillus sejenis afla-toxin.
Klaim juga datang dari Uni Eropa untuk sop buntut kalengan dari Indonesia karena
mengandung zat pewarna tertentu.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
34
III. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PEDESAAN (UMKM AGRO)
Sistem agroindustri dapat terdiri dari beberapa sub-sistem, yaitu: (a) produksi
penyediaan bahan baku, (b) sub-sistem pengolahan, dan (c) sub-sistem pemasaran.
Pada setiap sub-sistem diperlukan kelembagaan pendukung, baik berupa industri
lain maupun kelembagaan jasa dan per-dagangan. Oleh sebab itu agroindustri
mempunyai keterkaitan usaha ke belakang dan ke depan yang luas
(Wirakartakusumah, 1998) dan memungkinkan perlibatan SDM dari masyarakat
agraris yang kebanyakan masih unskilled hingga SDM yang modern yang
berpendidikan tinggi dan skilled.
Keterkaitan ke belakang, agroindustri mutlak membutuhkan pasokan bahan
baku yang ajeg, jumlah dan mutu, dan tepat waktu dan untuk itu keberadaan
usahatani penghasil komoditas primer. Pada sub-sistem produksi bahan baku perlu
didukung usaha SAPRODI (pupuk anorganik dan organik, pestisida, bibit/benih).
Keterkaitan ke depan, produk yang dihasilkan oleh agroindustri memerlukan
dukungan distribusi dan pemasaran. Spektrum kualifikasi tenaga kerja yang dapat
mengisi agroindustri dan bidang usaha terkait sangat luas, mulai dari yang
unskilled labor sampai yang skilled, bahkan yang terspesialisasi. Oleh sebab itu
melalui penumbuhan dan pengembangan agroindustri yang bertahap maka akan
sekaligus terjadi pemberdayaan masyarakat setempat secara bertahap dan
terhindar dari cultural shock dan marjinalisasi.
Pengembangan agroindustri di suatu daerah dalam jangka panjang dapat
memberikan manfaat dan dampak yang menggembirakan seperti : (1)
Menumbuhkan perekonomian desa; (2) Menciptakan lapangan kerja baru bagi
masyarakat; (3) Meningkatkan pendapatan masyarakat; (4) Meningkatkan nilai
tambah produk pertanian; dan (5) Menambah dirversifikasi pangan.
3.1 Penyerapan Tenaga Kerja
Pada puncak masa krisis ekonomi (1997-1998) sektor pertanian harus
menampung limpahan tenaga kerja yang terkena PHK dari sektor lainnya
(Harijono, 1999). Pada masa krisis tercatat adanya kenaikan keuntungan dari 0,9
trilyun rupiah (1997) menjadi 4,4 trilyun rupiah pada tahun 1998 pada usaha
agrobisnis yang dikelola BUMN. Melemahnya nilai tukar rupiah ternyata dapat
mendorong perkembangan agribisnis, terutama untuk ekspor.
Gambaran penyerapan tenaga kerja dapat dilihat dari perkembangan
agroindustri pangan. Jumlah perusahaan agroindustri pangan menengah dan besar
meningkat dari 5.375 unit usaha dengan serapan tenaga kerja langsung (tidak
termasuk yang terserap di bidang usaha terkait) sebanyak 540.923 orang pada
tahun 1998 menjadi 5.612 unit usaha dengan jumlah tenaga kerja langsung 836.000
orang pada tahun 2000. Pada kurun waktu yang sama untuk agroindustri pangan
sebagai usaha kecil dan rumah tangga (UKM), menurut GAPPMI (2001) dalam
Susanto (2001) meningkat lebih tinggi yaitu dari 52.524 unit usaha dengan jumlah
tenaga kerja sebanyak 1.889.816 orang (1998) menjadi 82.430 unit usaha
menampung tenaga kerja bagi 2.317.634 orang pada tahun 2000 (Tabel 3).
Jika disimak lebih jauh, ternyata agroindustri pangan skala rumah tangga
dan skala kecil yang paling banyak menyerap tenaga kerja (80-85%) dan sisanya
oleh agroindustri pangan skala menengah/besar. Wirakartakusumah (1998)
mengemukakan bahwa kualitas SDM yang berkarya di bidang agroindustri pangan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
35
masih rendah. Tidak kurang dari 76,1% tenaga kerja di bidang ini hanya lulusan
SLTA ke bawah dan hanya 2,66% yang sarjana. Proporsi itu tidak jauh berbeda
dengan tingkat pendidikan angkatan kerja nasional yang menunjukkan bahwa
72,73% angkatan kerja adalah tamatan SD ke bawah. Gambaran yang serupa boleh
jadi akan dijumpai pada agroindustri non-pangan.
3.2 Peluang
Peluang Pasar Domestik : Perubahan Pola Konsumsi & Penyediaan Makanan
Peluang untuk mengembangkan agroindustri, bidang pangan khususnya,
masih dan akan selalu berkembang secara dinamis, antara lain seiring dengan
perubahan pola konsumsi makanan masyarakat, cara penyediaan makanan untuk
keluarga, pertumbuhan penduduk.
Perubahan-perubahan gaya hidup akibat pendidikan, peningkatan
pendapatan dan pengaruh budaya asing, telah mendorong pada perubahan
konsumsi makanan. Hal ini melahirkan peluang-peluang baru bagi industri pangan,
misalnya makanan cepat saji, makanan fungsional, makanan dan minuman
probiotik. Semakin besarnya jumlah perempuan yang masuk ke sektor publik dan
pertumbuhan industri dipandang sebagai sebagian unsur penyebab semakin
besarnya peluang bergerak di bidang industri pangan cepat saji dan industri jasa
boga (food services).
Laporan studi Wulan dkk (2004) di Jawa Timur menunjukkan bahwa telah
terjadi pergeseran pola konsumsi antar generasi, bahkan perubahan pola konsumsi
tampak hanya dalam selang waktu 5 tahun. Perubahan pola konsumsi pada
kelompok anak-anak dan remaja yang sedang berlangsung membuka peluang untuk
pengembangan industri pengolahan pangan bagi kelompok ini seperti snack,
makanan cepat saji. Bermain bersama di kalangan anak-anak dan remaja sudah
banyak didominasi oleh perangkat elektronik, mereka kurang bergerak dan
kebanyakan „ditemani‟ oleh makanan kudapan (snack).
Hendromartono (1997) menyatakan bahwa kemajuan di bidang sosial-
ekonomi masyarakat telah ikut mengubah perilaku konsumsi pangan. Selera
terhadap produk teknologi pangan lokal dan tradisional mulai mengalami
pergeseran ke arah makanan global/internasional. Tingkat konsumsi lemak dan
protein hewani naik, sedangkan sumber energi dari karbohidrat kompleks akan
berkurang. Darmojo (1997) mengamati bahwa kasus gizi lebih yang meningkatkan
resiko terhadap terjadinya penyakit jantung koroner tidak saja dialami oleh mereka
yang tinggi pendapatannya dan pendidikan rendah. Kenyataan menunjukkan
bahwa golongan masyarakat yang berpendidikan tinggi sekalipun dapat mengalami
kasus gizi lebih dan obesitas.
Masalah gizi-lebih dan ancaman penyakit degeneratif juga melahirkan
peluang bagi agroindustri makanan fungsional (functional foods) seperti makanan
kaya serat-rendah kalori, virgin coconut oil (VCO), minuman probiotik, makanan
kaya antioksidan dsb nya. Konsumennya tidak sebatas kelompok usia dan jenis
kelamin tertentu, tetapi semua kalangan. Konsumennya bukan hanya para ibu, di
perkotaan, dari kalangan menengah ke atas yang masuk ke sektor publik dan telah
mencapai usia tertentu yang cenderung memperhatikan masalah penampilan, tetapi
juga para bapak yang memperhatikan masalah kesehatan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
36
Dewasa ini juga telah terjadi pergeseran dalam hal pola sajian makanan, baik
di masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Hal ini tidak terlepas oleh akibat
makin banyaknya perempuan masuk ke sektor publik (Wulan dkk., 2004). Mengutip
laporan BPS (1996), Jalal dan Atmojo (1998) mengemukakan bahwa porsi energi per
hari yang berasal dari konsumsi makanan jadi pada masyarakat perkotaan pada
tahun 1990 mencapai 146,73 kkal dan meningkat menjadi 225,98 kkal (1993) dan
sedikit menurun menjadi 214,25 kkal (1996). Di perdesaan angkanya berturut-turut
adalah 53,85; 97,27 dan 145,80 kkal. Porsi protein per hari yang berasal dari
makanan jadi untuk masyarakat perkotaan berubah dari 3,90 g (1990) menjadi 5,90
g (1993) dan sedikit meningkat lagi pada tahun 1996 menjadi 5,93 g. Sementara itu
untuk masyarakat pedesaan perubahan lebih besar, dari 1,06 g (1990), 1,97 g (1993)
menjadi 3,79 g pada tahun 1996.
Di Jawa Timur, data tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian Wulan dkk
(2004). Ada kecenderungan ketergantungan yang semakin besar dari masyarakat
terhadap ketersediaan makanan jadi. Makna yang dapat diambil dari kenyataan ini
adanya peluang bagi agroindustri pangan siap saji dan usaha jasa boga (food service).
Pertumbuhan penduduk yang masih mencapai sekitar 0,8% per tahun
memberikan peluang bisnis bidang pangan olahan untuk ibu hamil, menyusui dan
para bayi yang baru lahir. Jika Propinsi Jawa Timur berpenduduk sekitar 35 juta
orang, maka tiap tahun akan ada sekitar 300.000 ibu mengandung dan menyusui,
serta bayi dalam jumlah yang sama. Kelompok ini membutuhkan makanan yang
khusus dan muncullah banyak pangan olahan untuk ibu mengandung dan menyusui
serta para bayi. Untuk skala nasional, setiap tahun juga dilahirkan tidak kurang
dari 2 juta bayi sehingga terbuka peluang untuk pengembangan industri susu dan
makanan pendamping ASI (MP-ASI) .
Uraian di atas menunjukkan adanya peluang yang sangat menarik bagi
pengembangan agroindustri penghasil makanan dan minuman diet serta bentuk
pangan olahan instan. Peluang ini harus digarap dengan baik agar tidak didominasi
industri multinasional, yaitu dengan pemanfaatan sumberdaya pangan lokal yang
mempunyai keunggulan komparatif dan dapat diolah dengan teknologi tepat guna
yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan.
Di sisi lain, upaya pengembangan agroindustri non-pangan juga mempunyai
peluang yang tidak kalah menariknya. Sebagai contoh, agroindustri pakan untuk
menunjang pertumbuhan sub-sektor peternakan dan perikanan juga cukup
menjanjikan, serta pengembangan energi alternatif dan bahan bangunan telah
memberi „darah baru‟ untuk usaha pertanian non-pangan pada lahan marjinal.
Pertumbuhan permintaan akan daging, telur, susu, ikan dan hewan
peliharaan (burung) telah mendorong perkembangan yang menarik pada
agroindustri pakan ternak (ruminansia dan unggas) dan ikan. Mengingat pakan
ternak dan ikan terdiri dari banyak komoditas maka kenaikan permintaan pakan
akan ikut mendorong usaha tani penyediaan bahan bakunya.
Kenaikan harga minyak di pasar internasional dan makin sedikitnya ladang
minyak baru yang ditemukan di Indonesia telah melahirkan peluang baru bagi
usaha pengubahan biomassa atau hasil konversinya menjadi sumber energi yang
terbarukan. Usaha pengembangan bio-diesel dari minyak sawit dan minyak jarak
pagar (Jatropha curcas) disebut-sebut sebagai mempunyai potensi untuk substitusi
bahan bakar solar dan minyak bakar lainnya. Demikian juga dengan pengembangan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
37
bio-etanol dari bahan-bahan sumber karbohidrat yang murah (ubi kayu dll)
mempunyai peluang yang serupa.
Bahan-bahan bangunan seperti kayu mengalami kenaikan harga yang cukup
tinggi sehingga memerlukan alternatif penggantinya. Dalam hal ini bambu
mempunyai potensi sebagai pengganti kayu, misalnya saja untuk pembangunan
rumah tipe rumah sederhana sehat (RSH) agar tetap terjangkau oleh konsumen
pada segmen pasar tertentu. Agaknya upaya inovasi teknologi pada komoditas
bambu agar mempunyai daya tahan dan keluasan penggunaannya sebagai
pengganti kayu bagi perumahan masih sangat rendah.
Kenaikan harga minyak dunia juga akan menekan produksi karet sintetis
yang menggunakan minyak bumi sebagai bahan baku. Sebaliknya dapat mendorong
peningkatan permintaan bahan baku karet alami. Komoditas ini memang sudah
semakin langka di Jawa Timur maupun Malang Raya. Namun prospeknya cukup
menjanjikan.
Peluang Ekspor
Disamping perkembangan yang menarik untuk pemenuhan kebutuhan
pangan olahan bagi konsumen dalam negeri, ternyata perkembangan ekspor produk
agroindustri juga cukup menggembirakan. Menurut Susanto (2001), perkembangan
ekspor produk agroindustri sejak tahun 1998 sampai tahun 2000 memberi gambaran
yang menjanjikan. Pada tahun 1998, nilai ekspornya mencapai US$ 605 juta dan
pada tahun 1999 meningkat menjadi US$ 804 juta, dan menjadi US$ 779 juta pada
tahun 2000. walaupun mengalami penurunan dibandingkan tahun 2000, namun
nilai ekspor pada tahun 2000 masih lebih tinggi sekitar 27% dibandingkan pada
tahun 1998 (Tabel 4).
Perkembangan ekspor yang cukup baik tersebut terjadi paling besar pada
produk perikanan, disusul oleh produk kakao dan coklat olahan dan produk
buah/sayur. Namun seiring dengan itu, masih banyak dijumpai klaim penolakan
produk ekspor agroindustri. Berdasarkan laporan TIM Inter-departemen
BAPPENAS (1996) seperti dikutip oleh Wirakartakusumah (1998) terjadi 192 kasus
penolakan ekspor ke AS pada produk perikanan, sedangkan untuk produk kakao
dan coklat olahan mencapai 514 kasus. Lebih jauh dikemukakannya bahwa hal itu
terkait dengan masih rendahnya SDM yang bergerak di bidang agroindustri.
Peningkatan ekspor dari jenis olahan dari komoditas agro ini akan terkait dengan
upaya pembenahan dari aspek mutu. Perubahan peraturan yang terkait dengan
aspek tersebut (ISO, HACCP dll) di luar negeri harus selalu diikuti agar peluang
pasar ekspor tetap atau dapat ditingkatkan.
Jika pengembangan dan perbaikan tidak dilakukan secara terus-menerus
(kaizen) yang terjadi justru sebaliknya, pangan olahan luar negeri akan menyerbu
Indonesia. Peluang permintaan untuk pasar domestik diperkirakan bertambah
sejalan dengan jumlah penduduk yang besar, di atas 220 juta jiwa, dengan tingkat
pertumbuhan 0,8%. Dengan kondisi kepen-dudukan seperti itu menyebabkan
Indonesia bukan saja potensial sebagai sasaran pasar dari agroindustri pangan
domestik, tetapi oleh agroindustri dari mancanegara. Lebih-lebih jika terjadi
peningkatan pendapatan masyarakat.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
38
Potensi Sumberdaya Alam dan Hayati (SDAH)
Tidak perlu diragukan lagi bahwa Indonesia memiliki keragaman hayati yang
besar dan sebenarnya mempunyai limpahan karunia SDA yang baik. Kerusakan
lingkungan memang sudah terjadi di mana-mana, namun sebenarnya masih bisa
diperbaiki. Optimisme masih harus dimiliki untuk memanfaatkan berbagai potensi
sumber daya hayati dalama rangka memetik nilai tambah melalui input teknologi
yang relevan. Tidak dipungkiri bahwa banyak ahli dari manca negara yang telah
„mencuri‟ kesempatan untuk mengeksplorasi khasanah hayati Indonesia dengan
berbagai cara, dan kemudian paten temuan ilmiah dibukukan atas nama mereka.
Pada eksplorasi bahan-bahan aktif dan manfaatnya dari kekayaan SDH
Indonesia memang masih banyak kelemahan. Kelemahan yang paling mendasar
terletak pada rendahnya pendanaan untuk kegiatan semacam ini. Akibatnya hal itu
dilakukan oleh peneliti asing dan outcome dari kegiatan riset itu dinikmati oleh
negara-negara maju. Kebanyakan Indonesia hanya menjadi penjual bahan baku
atau hasil olahan sederhana yang nilai tambahnya sangat kecil
3.3 Kendala
Dalam pengembangan UMKM bidang agro akan dijumpai beberapa kendala,
antara lain: masalah teknologi, jaminan mutu, keamanan pangan dan dukungan
lembaga keuangan, kualitas sumberdaya manusia (SDM), koordinasi dan
sinkronisasi program kelembagaan, belum terciptanya iklim yang kondusif dan
infrastruktur pendukung pengembangan agrobisnis dan agroindustri. Secara umum,
permasalahan agroindustri hampir mirip dengan industri kecil yang lain,
sebagaimana tertera pada Tabel 5.
Teknologi
Pengembangan teknologi sangat terkait erat dengan kualitas SDM yang
terlibat dalam bidang agroindustri. Kebanyakan agroindustri pangan masih
berkutat pada produk-produk olahan pangan tradisional yang produknya pada
umumnya berukuran besar, penampilan kurang menarik, mempunyai daya simpan
yang pendek, mutu produksi tidak seragam, pengemasan, produktivitas rendah dan
kelemahan lainnya.
Sebagian besar SDM yang terlibat dalam UMKM agro sebagian besar
berpendidikan rendah. Kelompok masyarakat yang termarginalisasi ini mencari
tempat bergantung pada usaha kecil dengan penghasilan yang pas-pasan. SDM ini
memiliki ketrampilan yang umumnya rendah sehingga perlu pembinaan untuk
meningkatkan kemampuannya. Rendahnya kualitas SDM ini sebagai salah satu
sebab keenggenan dan ketidaktahuan kemana harus mencari dukungan teknologi
maupun pendanaan.
Upaya untuk melakukan reformat pada makanan tradisional yang masih
mempunyai pasar domestik yang besar harus senantiasa dilakukan untuk
mengatasi masalah-masalah itu. Hal seperti ini kemungkinan tidak senantiasa
mampu dilakukan oleh kalangan industri sendiri, terutama pada UMKM. Sungguh
nanti akan menjadi ironis apabila inovasi untuk pangan olahan tradisional justru
dikembangkan oleh perusahaan pangan multinasional dan masyarakat bangga
mengkonsumsinya.
Upaya inovasi untuk peningkatan daya terima terhadap makanan tradisional
juga perlu diiringi dengan inovasi teknologi untuk membuat makanan yang praktis,
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
39
cepat saji, awet dan trendy sehingga mengikuti selera konsumen. Pengembangan ini
dapat ditempuh dengan pemberdayaan masyarakat UMKM agro melalui
pendampingan dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti perguruan tinggi,
lembaga penelitian, LSM dsb nya jika dirasa ada keterbatasan dalam hal SDM
setempat. Kabupaten Malang dapat menempuh jalan ini agar peluang yang ada
segera dapat dimanfaatkan, karena membangun SDM membutuhkan waktu yang
lama.
Organisasi dan Managemen
UMKM agro pada umumnya belum memiliki bentuk usaha yang mampu
menghadapi perubahan dengan cepat, karena struktur organisasi internalnya masih
sederhana (mendekati organisasi lini) dan tidak memiliki job description yang jelas.
Seringkali tugas dan wewenang personilnya saling overlap misalnya manajer umum
(yang juga owner) merangkap jabatan sebagai controller dan kadang-kadang sebagai
pelaksana produksi. Bagian pemasaran, produksi atau keuangan diserahkan pada
anggota keluarga yang lain sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya internal
audit karena saling maklum (keluarga sendiri). Dalam kondisi ekstrim kebanyakan
UMKM agro menganut manajemen One-Man Show sehingga hanya bisa bertahan
paling lama satu generasi. Hal ini menjebak industri kecil agro masuk ke dalam
manajemen yang tidak profesional.
Jaminan Mutu
Saat ini telah banyak lahir konsep-konsep jaminan mutu sistem dalam
industri pangan, yang umumnya dikembangkan oleh negara-negara maju. Seperti
telah dikemukakan di atas, cukup banyak komoditas olahan pangan yang diekspor
mengalami klaim karena faktor mutu. Jika sistem jaminan mutu tidak mengikuti
pola yang diterapkan oleh negara pengimpor (ISO seri 9000, ISO seri 14000,
HACCP, GFP, GMP), maka peluang pasar ekspor akan di-manfaatkan oleh negara
berkembang lain seperti Thailand, Vietnam. Kemampuan mengembang-kan sistem
jaminan mutu seperti itu kebanyakan masih dikuasai oleh SDM dari industriawan
besar, sedangkan dari UMKM masih sangat terbatas.
Keamanan pangan
Keamananan pangan sebenarnya merupakan salah satu dari sisi mutu yang
harus mendapat perhatian. Saat ini banyak dijumpai praktek produksi pangan
olahan yang memprihatinkan, sehingga melanggar norma-norma produksi pangan
yang sehat. Penggunaan pemanis dan pewarna buatan, serta pengawet yang
melampaui batas, penggunaan bahan-bahan tambahan bukan untuk makanan
dalam proses produksi, merupakan sebagian dari penyimpang-an dalam praktek
produksi pangan olahan UMKM. Hal-hal seperti ini harus segera mendapat
pembinaan yang serius tapi bijaksana agar masyarakat luas sebagai konsumen
terlindungi haknya dan tidak dirugikan, serta dalam jangka panjang tidak
merugikan UMKM itu sendiri.
Aspek keamanan pangan lainnya adalah segi kehalalan. Pemberlakuan
sertifikasi halal pada produk olahan pangan dari impor sebenarnya dapat dijadikan
sebagai barrier non-tarif yang dibolehkan oleh aturan WTO, karena menyangkut
kepercayaan konsumen Indonesia yang mayoritas muslim dan hak itu harus
dilindungi. Sertifikasi halal untuk UMKM agroindustri domestik juga me-merlukan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
40
pendampingan. Kalau aturan itu mulai diberlakukan, maka UMKM domestik akan
menderita, sementara kalangan agroindustri multinasional yang ada di sini justru
sudah memilikinya.
Pemasaran
Keterbatasan jaringan pemasaran seringkali menjadi kendala yang berat bagi
UMKM bidang agro untuk berkembang. Produk UMKM agro yang masih
mengandalkan pasar tradisional untuk pemasaran produknya saat ini banyak
mengalami kesulitan. Pasar tradisional sudah semakin terdesak oleh pasar modern :
minimarket, supermarket, hypermarket, yang semakin banyak dan letaknya
semakin dekat dengan pasar tradisional. Konsumen kalangan menengah ke atas di
perkotaan semakin jarang ke pasar tradisional sehingga potensi penjualan produk
UMKM agro di pasar ini semakin kecil. Untuk masuk ke jaringan pasar modern
bukan saja dibutuhkan keahlian dalam penampilan produk, tetapi juga dalam hal
permodalan karena kebanyakan produk yang disetorkan tidak langsung dibayar
cash.
Keberpihakan/Dukungan Keuangan
Pengalaman panjang dan pahit yang terjadi pada sektor pertanian, khususnya
produksi pangan, dalam hal dukungan keuangan hendaknya dihindarkan terjadi
pada UMKM agro. Kesulitan mendapatkan modal dari lembaga keuangan
pemerintah menyebabkan banyak petani yang terjerat rentenir. Kalau hal serupa
terjadi pada UMKM agroindustri, maka sangat sulit bersaing dengan industri besar
sejenis dari dalam negeri yang mendapat fasilitas kredit murah, dan lebih-lebih dari
industri besar multinasional.
Upaya untuk melakukan inovasi produk, memodifikasi dan memperbaharui
teknologi produksi (peralatan dan infrastruktur) peningkatan volume produksi,
pembangunan SDM tentu membutuhkan tambahan modal. Keterbatasan modal
yang dimiliki tentu mengurangi peluang untuk menjadikan mereka lebih berdaya
hal ini disebabkan rendahnya aksesibilitas UMKM agro terhadap sumber
pendanaan formal serta tingginya bunga bank bagi pengadaan fasilitas dan
peralatan usaha.
Bagaimana dengan prospek pengembangan industri agro skala besar ? Fakta
menunjukkan bahwa kendala yang umumnya dijumpai oleh UMKM agro seperti
inovasi teknologi, jaminan mutu, keamanan pangan, pemasaran dan dukungan
bank/lembaga keuangan tidak dijumpai pada industri agro skala besar. Lihat
perkembangan plantation kelapa sawit, Industri Kacang Garuda, tambak udang
Dipasena (Lampung).
3.4 Pemberdayaan UMKM Agro
Hadirnya lembaga antara/mediator/pendampingan nampaknya sangat
diperlukan untuk memberdayakan UMKM agro baik untuk akses teknologi,
manajemen jaminan mutu, keamanan pangan, pemasaran maupun permodalan.
Sebaiknya ada satu lembaga yang tugasnya tidak semata-mata mengurusi
pemasaran produk tetapi juga pendampingan untuk penggunaan teknologi, jaminan
mutu dan keamanan pangan. Lembaga semacam ini memerlukan dukungan
finansial dari bank.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
41
Dukungan dan Akses Teknologi
Pengembangan teknologi pasca panen sampai saat ini di Indonesia maupun
perkembangan aplikasi dalam dunia agroindustri sudah sangat luas, terutama pada
agroindustri skala besar. Inovasi teknologi pada UMKM agro bukan tidak ada, tetapi
lebih terbatas, tidak seleluasa pada industri besar yang umumnya didukung oleh unit
R & D. Teknologi rekayasa kondisi ruang simpan, teknologi kemasan dan
pengemasan, teknologi pengolahan (fisik, kimiawi, biologis) boleh dikatakan tersedia.
Singkat kata, teknologi pasca panen tersedia dan bisa dibeli. Bahkan tidak sedikit
investor besar yang „membeli pabrik‟ dari manca negara untuk di relokasi ke
Indonesia, berikut SDM yang ahli sebagai konsultan atau pegawai. Pada UMKM agro,
persoalan sebenarnya lebih pada kemampuan akses teknologi inovasi yang kalah jauh
dari industri agro skala besar.
Membeli teknologi yang sudah built-up tanpa didukung oleh unit R & D akan
membuahkan ketergantungan pelaku agroindustri pada pemasok teknologi. Budaya
seperti ini bisa dijumpai pada industri multinasional. Setiap cabangnya di suatu
negara tidak mempunyai kewenangan untuk inovasi teknologi dan sangat tergantung
pada principal nya. Pertanyaannya : UMKM tidak mungkin mempunyai unit R & D
sehingga peran lembaga riset pemerintah dan PT dalam inovasi teknologi sangat
diperlukan. Yang banyak dirasakan saat ini net-working antar kelembagaan
pemerintah bidang riset di departemen dan lembaga riset di perguruan tinggi
pendidikan ini dirasakan masih belum bagus. Demikian juga hubungan antar personil
di bidang yang sama masih belum begitu luas. Ego antar masing-masing pihak perlu
dicairkan dan dijembatani. Banyak hasil penelitian dari kedua kelembagaan riset
pemerintah maupun perguruan tinggi yang tidak saling diketahui, lebih-lebih untuk
dimanfaatkan bersama.
Kalau disimak, keberhasilan politik beras di masa lalu tidak terlepas dari
„keberpihakan‟ pemerintah untuk mengintrodusir, memberi insentif, bantuan modal
dsb nya untuk menumbuhkan kepemilikan unit penggilingan padi (RMU, rice milling unit). Sampai sekarang masih dapat ditemui keberadaannya yang tersebar di
pedesaan. Bahkan sudah ada usaha inovasi dengan membuat mobile-RMU untuk
menjangkau pemakai jasa penggilingan di tempat-tempat terpencil.
Seandainya kebijakan politik beras diberlakukan pada komoditas lain, misalnya
jagung, dengan pola pendekatan dukungan teknologi serta akses teknologi serta
jaminan pasar yang baik, maka perkembangan UMKM agroindustri tidak akan kalah
dengan sektor manufaktur. Akibat politik beras, posisi komoditas pangan yang lain
menjadi agak terpinggirkan sehingga aspek-aspek yang terkait dengan pengembangan
agroindustri komoditas itu juga ikut terlupakan, termasuk didalamnya makin jarang
terjadi inovasi teknologi budidaya, penyimpanan maupun pengolahannya. Oleh sebab
itu, didalam pembangunan agroindustri pertanian memang dirasa perlu mengambil
fokus pada komoditas unggulan dan andalan. Hal ini akan membuat sumberdaya
pemerintah dan masyarakat juga akan terfokus dan menghasilkan capaian yang
sesuai harapan.
Komitmen dan peran pimpinan daerah amat diperlukan untuk itu karena
setiap daerah kemungkinan mempunyai komoditas unggulan dan andalan. Daerah-
daerah yang mempunyai agroekologi sejenis dapat mempunyai unit R & D secara
bersama atau difasilitasi oleh provinsi.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
42
Dengan demikian sumberdaya daerah yang terbatas dapat dimanfaatkan lebih
terarah, saling melengkapi dan saling memakmurkan.
Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki, akses terhadap teknologi baru
dalam pengolahan hasil pertanian seringkali menjadi masalah bagi UMKM apapun,
tidak hanya bidang agro. Di negara maju akses teknologi baru dapat dimungkinkan
karena di sana ada perusahaan (lembaga independen) yang menawarkan jasa
pengolahan untuk komoditas tertentu. Berdasarkan pengamatan pribadi pada tahun
1990, di Belanda sudah ada perusahaan yang menawarkan jasa
produksi/pengolahan/pembuatan Jam dan Jelly (selai roti). Pihak perusahaan
penyedia jasa penyediaan teknologi melayani produksi jam dan jelly sesuai dengan
resep yang disodorkan oleh pemakai jasa. Yang agak mencengangkan perusahaan
itu ternyata melayani pemakai jasa yang sangat beragam, baik untuk memenuhi
pasar domestik maupun ekspor. Lembaga semacam ini sedang tumbuh di tanah air
sehingga sebenarnya keterbatasan akses teknologi bisa diatasi dengan cara ini,
misalnya usaha jasa pembuatan bakso. Untuk industri kriya (souvenir dari
kayu/bambu, mebeler) sudah ada industri jasa semacam ini di Malang.
Jalan keluar yang lain adalah dengan membentuk usaha kelompok dalam
pengadaan peralatan/mesin dan teknologi (lembaga dimiliki oleh kelompok industri
sejenis) sehingga anggota kelompok dapat memanfaatkan sarana produksi secara
bersama. Hal ini akan membutuhkan perubahan kultur produksi pelaku UMKM
agro dan memang tidak mudah dilakukan. Jalan tengahnya adalah peningkatan
peran pemerintah dengan membentuk unit usaha jasa produksi yang bisa
dimanfaatkan oleh pelaku UMKM dengan tarif yang bersaing. Ini merupakan
insentif dalam mendorong pengembangan UMKM.
Analog dengan usaha jasa pengolahan/produksi, dalam masalah pemasaran
juga begitu. Diperlukan lembaga antara (broker) yang dapat memasarkan produk
UMKM bidang agro. Aturan main memang harus jelas dalam hal hak dan kewajiban
masing-masing pihak (pelaku UMKM) dan pengelola unit jasa pemasaran bersama.
Pemerintah, melalui dinas-dinas tertentu, sudah melakukan upaya semacam ini
dengan memperkenalkan pola Bapak-Anak angkat. Bapak angkat tidak harus
mempunyai usaha sejenis atau erat kaitannya dengan jenis usaha anak angkat. Pola
ini ada yang berhasil tetapi banyak yang gagal. Beberapa perguruan tinggi dan
lembaga swasta non-profit yang bergerak untuk pendampingan bagi UMKM kalau
ada jumlahnya masih sangat terbatas. Pola hubungan yang lebih berhasil biasanya
berupa hubungan komersial, dimana pelaku UMKM menyetorkan/titip ke usaha
bisnis (komersial) penjualan produk tertentu, sebagai contoh kudapan/camilan.
Persoalan yang sering dihadapi UMKM adalah sistem pembayarannya tidak cash. Penggalangan dengan pihak-pihak terkait (perguruan tinggi, LSM dll) yang
mempunyai SDM yang sesuai (teknologi, manajemen dll) untuk pendampingan
kiranya diperlukan. Di lingkungan perguruan tinggi ada beberapa program yang
ditujukan untuk pemberdayaan UMKM. Selain itu, perguruan tinggi juga
mempunyai kapasitas yang besar dalam penyediaan SDM dan perangkat research and development (R & D) sehingga dapat dilibatkan berperan-serta dalam
pemberdayaan UMKM, termasuk bidang agro. Iddle capacity di perguruan tinggi ini
dapat digalang oleh Pemda dan pihak terkait (pelaku usaha, penyandang dana)
dalam pemberdayaan UMKM. Networking semacam ini masih sangat terbatas.
Masing-masing pihak saling sungkan memulai, padahal sebenarnya saling
membutuhkan. Pelaku usaha dapat melakukan outsourcing dengan menggandeng
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
43
perguruan tinggi untuk kegiatan R & D dalam hal inovasi produk, inovasi teknologi
proses, jaminan mutu dan keamanan pangan, strategi pemasaran, pengembangan
usaha dll.
Pemberdayaan SDM
Mengingat tantangan yang dihadapi agroindustri pada era globalisasi ini
semakin kompleks, dibutuhkan suatu perencanaan sistem pendidikan dan pelatihan
SDM yang berorientasi pada upaya meningkatkan produktivitas dan kinerja serta
didukung sistem kompensasi yang adil dan bijaksana. Untuk memberdayakan SDM-
agro hambatan utama yang dihadapi adalah rendahnya pendidikan, keragaman
kultur usaha, masih dominannya budaya masyarakat agraris. Seperti telah
dikemukakan, sebagian besar SDM-agro berada pada kelompok masyarakat agraris
yang lemah dalam berbagai hal, termasuk lemah dalam hal akses terhadap faktor
produksi, distribusi, teknologi dan pemasaran.
Permasalahan lain yang dihadapi usaha di sektor pertanian secara umum
adalah sebagian besar berskala kecil, tersebar dan mempunyai keragamanan yang
besar dalam hal seperti komoditas, teknologi, pola budidaya dan manajemen usaha.
Untuk itu dibutuhkan pemberdayaan SDM-agro, terutama untuk menanamkan
budaya industri, bekerja dalam tim, pengelolaan kinerja SDM, perilaku dan motivasi
kerja, kelembagaan dan kepemimpinan, sistem kompensasi, sistem audit SDM,
pendidikan dan pelatihan teknologi dan manajemen serta perencanaan SDM.
Dukungan Kebijakan
Pengembangan agroindustri merupakan program pembangunan yang bersifat
lintas sektoral, sehingga untuk mewujudkannya dibutuhkan keterkaitan, dukungan
dan sinergi dengan pelaksanaan sektor-sektor pembangunan yang terkait. Dengan
mengetahui posisi dan peranan masing-masing sektor dapat dirumuskan
kebijaksanaan yang tepat agar program pembangunan agroindustri sekaligus
mampu mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional. Koordinasi
merupakan kata kunci, tanpa hal itu maka mustahil dicapai pengembangan sistem
agroindustri yang maju dan handal.
Contoh menarik adalah bagaimana industri penerbangan Thailand dalam
mendukung pengembangan usahatani dan industri makanan (tradisional). Apabila
berkesempatan naik Thai air, anda akan dilayani dengan makanan tradisional
tertentu, buah-buahan khas Thailand, dan pada saat selesai penerbangan kepada
setiap penumpang diberikan bunga anggrek hasil budidaya petani Thailand. Anda
bisa membandingkan dengan kepedulian industri penerbangan flag carrier terhadap
petani maupun industri Mamin domestik.
Untuk mewujudkan hal tersebut berbagai program perlu dikembangkan,
yaitu berupa pengembangan komoditas unggulan dan andalan, peningkatan nilai
tambah produk pertanian, pengembangan sistem pemasaran yang tidak terdistorsi,
penyediaan sarana transportasi dan distribusi produk, pengembangan kemitraan
dan restrukturisasi sistem dan kelembagaan pertanian dan agroindustri.
UMKM agro sebagai industri padat karya masih menghadapi berbagai
tantangan sehingga memerlukan dukungan kebijakan yang terkait dengan
lingkungan bisnis yang kondusif, termasuk untuk akses teknologi (proses, peralatan,
jaminan mutu dan keamanan pangan), pasar dan permodalan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
44
Dalam hal dukungan inovasi teknologi pasca panen, pemerintah seyogyanya
mempunyai pendekatan yang terarah. Beberapa usulan dapat disampaikan.
Pertama, menetapkan strategi dasar untuk memperbaiki sistem produksi dan
pemasaran makanan tradisional. Kenyataan menunjukkan bahwa peranan
makanan tradisional dalam pemenuhan zat gizi penduduk Indonesia masih sangat
besar. Wajar tentunya karena makanan tradisional mempunyai akar budaya yang
tidak mudah hilang begitu saja. Tetapi di sisi lain, apresiasi terhadap makanan
tradisional masih sebatas di lingkungan rumah tangga, belum bisa go international. Sementara itu terpaan dari masuknya makanan „modern/asing‟ telah bisa dirasakan
terutama pada kalangan keluarga menengah ke atas. Citra yang dibangun oleh
produsen makanan „modern/asing‟ telah membuat citra makanan tradisional
menjadi inferior di mata mereka. Hikmah positif yang bisa diambil dari „persaingan‟
itu adalah perlunya dukungan teknologi untuk perbaikan disain produk seperti
penampilan (ukuran, kemasan dll), jaminan mutu dan keamanan pangan,
kemudahan dalam penyiapan untuk konsumsi dan daya simpan serta yang tidak
kalah pentingnya adalah strategi pemasarannya, termasuk melibatkan sektor lain
untuk ikut terlibat, sebagaimana yang dilakukan manajemen Thai Air . Dengan
demikian yang semula memandang inferior makanan tradisional menjadi „kembali‟
menyukainya. Gerakan ACMI (Aku Cinta Makanan Indonesia) yang pernah
dicetuskan beberapa tahun lalu masih bersifat slogan dan sekarang sudah tidak lagi
bergema karena pergantian rezim pemerintahan. Kedua, pengembangan teknologi
pasca panen dengan pemanfaatan potensi bahan pangan setempat, seperti amanat
GBHN 1999. Potensi sumberdaya pangan lokal dapat digarap dan diolah dengan
cara-cara pengolahan tertentu agar tidak hanya diolah dengan teknologi tradisional.
Dengan pendekatan yang tepat, maka sumberdaya pangan lokal ini dapat disajikan
dalam bentuk olahan yang bergengsi, bermanfaat memenuhi kebutuhan gizi dan
kepentingan lainnya (Mamin kesehatan) yang aman dikonsumsi serta disesuaikan
bentuknya berdasarkan golongan usia dan kepentingan. Ketiga, penerapan
teknologi „canggih‟ untuk memperoleh bahan aktif yang mempunyai nilai tambah
tinggi. Untuk keperluan ini sebaiknya diupayakan kerjasama dengan kalangan
medis dan farmasi. Jangan sampai kasus yang menimpa buah Merah di Papua yang
lebih banyak dimanfaatkan oleh peneliti dan industri obat-obatan manca negar
terjadi pada komoditas lainnya. Keempat, diperlukan adanya lembaga jasa
konsultasi teknologi yang terpadu (tidak duplikasi) untuk UMKM yang dilengkapi
dengan layanan konsultasi untuk komoditas spesifik. Setiap komoditas dapat dibuat
pohon industrinya dan tersedia ahlinya untuk dijadikan nara sumber yang paham
dengan bisnis/industri praktis (bukan teoritis). Lembaga ini juga sekaligus dapat
menawarkan jasa pendidikan/pelatihan untuk SDM UMKM, jasa R & D dan jasa
produksi percobaan (experimental/pilot plant). Sementara ini masih terjadi duplikasi
dalam layanan semacam ini. Kalau lembaga ini masih terlalu birokratis, maka
pelayanannya tidak akan maksimal. Pemda diharapkan dapat memberikan
dukungan pendanaannya karena keberhasilannya dalam memberdayakan UMKM
agro secara tidak langsung akan menggerakkan perekonomian daerah.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
45
IV. PENUTUP
Sektor pertanian masih merupakan tumpuan dari sebagian besar penduduk,
terutama di pedesaan. Disamping perlu dilakukan revitalisasi kegiatan on-farm,
penggalakan kegiatan off-farm, terutama pemberdayaan agroindustri pedesaan
(UMKM agro) sangat diperlukan. Pengembangan agroindustri, terutama skala IKM,
akan dapat digunakan sebagai jembatan sosial yang aman bagi wilayah ini, agar
perubahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri dapat berjalan
baik dan tidak memarjinalkan warga pedesaan. UMKM agro yang berkembang
diharapkan akan menyerap tenaga kerja setempat sehingga keberhasilan
revitalisasi pertanian dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan dan
sekaligus akan berdampak pada peningkatan PAD.
Potensi SDAH Indonesia yang besar dan beranekaragam memungkinkan
setiap daerah untuk memanfaatkan keunggulan komparatifnya dalam
menggerakkan dan memberdayakan UMKM agro setempat. Peluang pasarnya
masih sangat terbuka dan bersifat dinamis sejalan dengan perubahan pola konsumsi
masyarakat, walaupun dihadapkan pada persaingan global. Pemberdayaan dan
pengembangan UMKM bidang agro memerlukan langkah-langkah pembinaan yang
tepat dan kerjasama dari berbagai pihak lain yang kompeten. Aspek pembinaannya
meliputi SDM, akses teknologi, pasar dan permodalan, serta organisasi dan
manajemen agar dapat memenangkan persaingan dengan produk manca negara.
Kepedulian terhadap sektor ini, terutama dalam pengembangan UMKM agro, baik
oleh pemerintah pusat maupun daerah, sangat menentukan karena akan
memberikan suasana usaha yang kondusif.
Beberapa pendekatan dapat dilakukan dalam rangka memberi dukungan
teknologi pasca panen bagi pemberdayaan agroindustri pedesaan, antara lain
menetapkan strategi dasar untuk memperbaiki sistem produksi dan pemasaran
makanan tradisional, pengembangan teknologi pasca panen dengan pemanfaatan
potensi bahan pangan setempat, penerapan teknologi „canggih‟ untuk memperoleh
bahan aktif yang mempunyai nilai tambah tinggi dan desk jasa konsultasi teknologi
yang terpadu (tidak duplikasi) untuk UMKM yang dilengkapi dengan layanan
konsultasi untuk komoditas spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005. Pemerintah
RI bekerjasama dengan WHO. DEPKES RI. Jakarta.
Darmojo, B. 1997. Peranan pola konsumsi makanan dan penyakit kardiovaskular.
Makalah pada Semiloka Pra-Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. FK-
UNAIR. Surabaya. 20 Oktober 1997. DEPKES RI.Jakarta.
Harijono. 1999. Pembangunan pertanian yang berkeadilan. Makalah pada
Simposium Nasional Inovasi Pertanian 1999. Pergerakan Demokrasi
Ekonomi Rakyat Indonesia. WTC, Surabaya. 24 – 25 Nopember 1999.
Harijono dan Sudarminto, S.Y. 2005. Prospek Dunia Usaha Sektor Agroindustri dan
Potensi Pembiayaannya oleh Perbankan di Daerah. Workshop Prospek
Dunia Usaha dan Potensi Pembiayaannya oleh Perbankan di Daerah. Bank
Indonesia Malang. 6 Desember 2005.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
46
Hendromartono, A.P. 1997. Gizi lebih obesitas dan penyakit degeneratif serta
penanggulangannya dengan pendekatan diitetik di rumah sakit. Makalah
pada Semiloka Pra-Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. FK-UNAIR.
Surabaya. 20 Oktober 1997. DEPKES RI.Jakarta.
Jalal, F. dan S.M. Atmojo. Gizi dan kualitas hidup, Agenda perumusan program gizi
Repelita VII untuk mendukung pengembangan sumber daya manusia yang
berkualitas. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Jakarta,
17-20 Pebruari 1998. pp : 221 - 254.
Pramudya, B. dan S. Budijanto. 2001. Penggalian Potensi Pangan Lokal untuk
Penganekaragaman Pangan. Makalah Utama pada Lokakarya Nasional
Pengembangan Pangan Lokal. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa
Timur. Surabaya, 13-14 Nopember 2001.
Soenarno. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan dalam rangka Pengembangan
Wilayah. MENKIMPRASWIL. Makalah pada Seminar Nasional
Agroindustri dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Brawijaya. Malang. 20 Maret 2003.
Sumarno. 2004. Lahan Pertanian Sebagai Penyangga Kehidupan Bangsa. Kompas, 2
April 2004.
Suryana, A. dan J. Budianto. 1998. Penawaran, Permintaan Pangan, dan Perilaku
Kebiasaan Makan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI.
LIPI. Jakarta. Serpong, 17-20 Februari 1998. pp: 147-187.
Susanto, T. 2001. Potensi dan pengembangan industri pangan lokal. Makalah pada
Lokakarya Nasional Pengembangan Pangan Lokal. Badan Ketahanan
Pangan Propinsi Jawa Timur. Surabaya. 13 – 14 Nopember 2001.
Welirang, F. 2000. Mengapa Kita Harus Segera Menganekaragmkan Makanan ?
Makalah Utama disampaikan pada Seminar Nasional Agroindustri.
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP-UB. Malang. 25 Nopember 2000.
Wirakartakusumah, M.A. 1998. Agroindustri pangan : Industri strategis unggulan.
Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Jakarta, 17-20
Pebruari 1998. pp : 112-146.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
47
Lampiran :
Tabel 1. Impor komoditas pangan utama tahun 1995 -2000 (000 Ton)
No Komoditas
Pangan
Tahun Impor
19951 19961 19971 19981 20002
01 Gandum 4.252,3 4.207,1 3.669,1 3.499,7 3.575,7
02 Beras3 3.014,2 1.090,3 405,9 5.782,9 550,5
03 Jagung 969,1 616,9 349,7 297,5 1.236,8
04 Kedelai 486,9 743,5 800,0 800,0 1.277,7
05 Daging 22,1 29,0 33,2 16,2 -
06 Telur 0,7 0,2 0,1 0,1 -
07 Susu 66,1 51,8 48,8 32,7 -
08 Tepung Ikan 128,9 126,8 116,7 115,2 -
09 Gula Pasir4 323,6 1.107,7 1.188,3 - 1.680,3 Sumber : (1) Deptan dalam Anonimous (2000); (2) Husodo (2001); (3) Welirang (2000); (4) P3GI dalam
Murdiyatmo (2001); - : tidak ada data
Tabel 2. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tahun 1993 - 2000
No Komoditas
Pangan
Konsumsi Pangan (kg/kapita/tahun)
1993 1996 1999
01 Terigu1 1,7 2,6 3,2
02 Beras3 116,40 111,50 133,002
03 Jagung1 5,90 2,90 3,80
04 Ubi kayu1 20,80 10,90 10,10
05 Ubi jalar1 5,60 3,00 2,90
06 Gula Pasir3 9,60 10,10 15,60
Sumber : (1) Susenas (1993, 1996, 2000 diolah) dalam Pramudya dan Budijanto (2001) ; (2)
Husodo (2001); (3) Soetrisno (1998)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
48
Tabel 3. Jumlah unit usaha dan serapan tenaga kerja agroindustri
Agroindustri 1998 1999 2000
Industri Menengah-Besar 5.375 5.459 5.612
Karyawan (orang) 540.923 509.666 836.000
Total Penjualan (milyar rupiah) 94.568 107.897 125.855
Nilai Tambah (milyar rupiah) 35.621 45.910 44.736
Industri Kecil 52.524 67.214 82.430
Karyawan (orang) 402.558 521.157 594.923
Total Penjualan (milyar rupiah) 6.592 7.466 8.319
Nilai Tambah (milyar rupiah) 1.702 2.085 2.204
Industri Rumah Tangga 719.668 789.901 828.140
Karyawan (orang) 1.487.258 1.645.003 1.722.711
Total Penjualan (milyar rupiah) 10.642 11.189 11.218
Nilai Tambah (milyar rupiah) 3.291 3.731 3.605
TOTAL 777.567 862.574 916.182
Karyawan (orang) 2.730.739 2.975.826 3.153.634
Total Penjualan (milyar rupiah) 111.802 126.552 145.392
Nilai Tambah (milyar rupiah) 40.614 51.726 50.545 Sumber : GAPMMI
Tabel 4. Nilai ekspor komoditas pertanian dan agroindustri(juta USD$)
No Uraian Barang 1998 1999 2000
1. Coklat olahan 120.5 126 106.3
2. Kerupuk udang 2.4 5.8 6.9
3. Buah / sayur olahan 113 219.6 187.7
4. Minuman olahan 14.9 20.8 24.5
5. Ikan olahan 219.7 199.5 219.1
6. Kopi olahan 2.1 0.9 0.4
7. Teh olahan 4.8 5.1 3.9
8. Gula pasir dan gula lainnya 0.9 4.4 3.5
9. Makanan olahan lainnya 126.9 221.3 226.9
Total Ekspor 605.2 804.4 779.2
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
49
Tabel 5. Permasalahan pada Industri yang berskala Kecil
Permasalahan
Bobot Permasalahan (%)
Pangan Sandang
& Kulit
Kerajinan
Umum
Kimia &
B. Bangn Logam
Rata-
rata
a. Teknologi 32,05 39,27 34,06 39,51 31,33 34,78
b. Pemasaran 20,19 25,03 18,11 10,39 22,00 19,39
c. Organisasi. &
Manajemen
20,51 16,89 16,93 13,58 14,01 17,02
d. Permodalan 16,27 16,67 11,78 16,14 13,58 23,33
e. Bahan Baku 8,01 4,05 6,30 15,43 11,33 7,80
f. Lain-lain 2,57 2,98 8,46 7,41 7,75 4,95
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 (dari berbagai sumber)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
50
PENGKAJIAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
BERBASIS MANGGA PODANG URANG
Suhardjo*), Gatot Kartono*), Sri Yuniastuti*), Pudji Santoso*), Kasmiati*), Al. Budijono*), Baswarsiati*) dan Yuniarti*)
ABSTRAK
Mangga Podang Urang merupakan komoditas unggulan Kabupaten Kediri,
Propinsi Jawa Timur, yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian Indonesia pada
tahun 2003. Buah mangga ini mempunyai keunggulan dalam warna kulit, ukuran,
aroma dan rasanya, yang disukai oleh konsumen, sehingga mempunyai peluang
untuk pasar Nasional maupun Intenasional. Namun produksi dan mutu buah
mangga Podang Urang masih rendah, karena petani belum menerapkan
pengelolalan kebun secara baik. Tujuan pengkajian ini adalah untuk memperoleh
pengelolaan kebun dan pengolahan hasil spesifik lokasi yang efisien, penguatan
kelompok tani untuk pengembangan agribisnis dan meningkatkan pendapatan
petani. Lokasi pengkajian adalah di desa Tiron, kecamatan Banyakan, kabupaten
Kediri. Metode pengkajian adalah “on farm research” dengan melibatkan peneliti,
penyuluh lapang, petani dan instansi terkait. Hasil pengkajian menunjukkan
bahwa kontribusi pendapatan dari usahatani mangga Podang terhadap total
pendapatan keluarga sebesar 7,95 %. Kontribusi pendapatan meningkat menjadi
51,37 % bila petani juga merangkap pedagang mangga. Telah terbentuk kelompok
tani dan telah mempunyai asset “power sprayer dan uang tunai sebesar Rp.363.250,-
.Produksi mangga meningkat sekitar 7-15 kg/pohon atau pendapatan meningkat
Rp.5.513,- s/d Rp.16.100,-/pohon. Buah klas A yang mulus (bersih, tidak kena getah)
dan berwarna kuning-merah sebanyak 11,31 % dan yang berwarna hijau-kuning
sebanyak 3,77 % dari total produksi. Buah berwarna hijau (umur 111 hari) sesuai
untuk pasar jarak jauh, yang mempunyai kadar asam 0,90 % dan PTT 8,00 % serta
daya simpan 8 hari pada suhu ruangan. Pemasaran ke Bali lewat agen pemasok
buah dapat memberikan tambahan keuntungan Rp150,-/kg. Produk olahan yang
akan dikembangkan adalah dodol dan permen. Sedangkan hasil penyambungan
pada kegiatan “super imposed” cukup baik, yaitu sambungan yang jadi sekitar 58,5-
100 %. .
Kata Kunci : Pengembangan, agribisnis, mangga, kultivar Podang Urang
ABSTRACT
Assessment on the development of agribusiness of Podang Urang mango.
Podang Urang mango was a main commodity in Kediri regency, East Java Province,
which was released in 2003 by Ministry Agriculture of Indonesia. This mango
variety showed good quality in size, skin colour, flavour and taste, that it has good
economic value for National and International market. One important problem in
agribusiness on Podang Urang mango was a low in quality and production, because
the farmers do not use good orchard management yet.
_________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
51
The aim of this assessment were to study the efficiency of locally specific of orchard
management and fruit processing, formation and empowering of farmer group in
agribusiness process and increased farmers‟ income. Assessment was conducted in
Tiron village, Banyakan distric, Kediri regency. Assessment was set as 0n Farm
Research, followed by researcher, field instructor, farmer and local government.
Activities were PRA, farmers‟ group empowering, farming system instruction and top
working for super imposed research. Result of this assessment showed that farmers
cooperator could increased mango production by 7-15 kg/tree or increased their
income around Rp.5,513 to Rp16,100.. Mango fruit number as grade A, which
yellowish-red, was only 11.31 % and which was yellowish green , was only 3,77 %
from total production. Mango fruit which was yellowish-green (111 days old) contain
acidity 0,90 %, TSS 8,00 % and storage life 8 days at ambient temperature. If
farmers sold to fruits agency, they would get profit about Rp.150/kg. Woman
farmers want to develop mango processing, especially “dodol” (a kind of sweet cake)
and candy. Result of top working research showed that number of successful grafts
was around 58.5 % to 100 %.
Key words : Development, agribusiness, mango, Podang Urang cv..
PENDAHULUAN
Tanaman mangga Podang di Kabupaten Kediri sebanyak 534.126 pohon dan
yang telah berpriduksi sebanyak 260.000 pohon (Diperta Kediri, 2001 dalam
Baswarsiati et al, 2003). Mangga Podang ini merupakan komoditas unggulan
Kabupaten Kediri, karena mempunyai warna dan bentuk yang menarik, rasa dan
aroma khas serta ukuran yang tidak terlalu besar (200-250 g/buah), sehingga punya
peluang pasar nasional dan ekspor yang tinggi (Baswarsiati et al., 2003). Mangga
Podang ini banyak ditanam di bukit-bukit atau pegunungan, sehingga disebut
dengan mangga Podang Gunung, yang pada tahun 2003 telah dilepas oleh Menteri
Pertanian dengan nama mangga Podang Urang. Mangga Podang tang ditanam di
bawah (dataran rendah), umumnya disebut dengan nama mangga Podang Lumut,
yang mutunya lebih rendah dari pada mangga Podang Urang.
Menurut Hofman (1996), mutu hasil pertanian sangat dipengaruhi oleh
kondisi pra panen yang mencakup lingkungan dan cara pembudidayaan. Faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi mutu hasil adalah tanah, ketinggian tempat,
curah hujan, suhu, kelembaban dan angin. Sedangkan cara pembudidayaan
meliputi pengolahan lahan, pemupukan, pemangkasan, penjarangan, pengairan,
penyemprotan untuk pengendalian hama dan penyakit, hormon, dll. Faktor-faktor
tersebut tidak diketahui seberapa besar bila berdiri sendiri pengaruhnya terhadap
mutu hasil, oleh karena masih dipengaruhi persyaratan tumbuh lainnya.
Program pengembangan hortikultura ke depan di wilayah Jawa Timur adalah
melalui penumbuhan sentra yang dilaksanakan melalui pendekatan sistem
agribisnis yang memposisikan petani sebagai wiraswasta (Diperta Prop. Jatim,
2003). Dalam sistem industri pertanian, beberapa subsistem sebagai suatu sistem
aliran sinambung dari suatu rangkaian usaha pertanian, yaitu usaha sarana
produksi, produksi pertanian, teknologi pasca panen, agroindustri, pemasaran dan
konsumen (Soekarto, 1985).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
52
Pada pengembangan hortikultura, utamanya buah-buahan, perlu dibentuk
agregat kebun milik petani guna menyamakan dalam manajemen (pengelolaan),
sehingga perlu adanya tenaga penyuluh lapang.. Hal ini dilakukan utamanya pada
kebun rakyat yang kepemilikannya kecil. Pengembangan hortikultura perlu
mengacu beberapa hal, yaitu (1) prinsip-prinsip penerapan skala ekonomi dalam
usaha, (2) penerapan ilmu dan teknologi maju, (3) pemberdayaan kelompok, (4)
pengembangan kemitraan, (5) penyediaan akses kredit, (6) penyediaan tenaga
professional lapangan dan (7) kerjasama antar sentra agribisnis. Untuk
keberhasilan dalam kegiatan ini diperlukan subsistem penunjang, yaitu
penelitian/pengkajian dan penyuluhan (Rasahan, 2000).
Masalah utama lambatnya pengembangan mangga di Jawa Timur salah
satunya disebabkan rendahnya produksi dan kualitas serta tidak adanya atau
belum optimalnya dukungan teknologi usahatani dan teknologi pengolahan.
Tercatat tanaman mangga Podang Urang pada umumnya sudah tua (umumnya
tanaman warisan orang tuanya), sehingga produksinya menurun, dari 281.948 kw
(1997) menjadi 106.165 kw (2001) (Baswarsiati et al., 2003) Padahal teknologi
usahatani dan pengolahan hasil pengkajian BPTP Jawa Timur (BPTP Jatim, 2002)
maupun lembaga penelitian (Poerwanto, et al., 2000 dan 2001) yang lain sudah
banyak tersedia, termasuk untuk mangga Podang Urang (Baswarsiati, et al., 2003).
Untuk mengatasi masalah melimpah dan harga murah pada musim panen raya
serta meningkatkan kegiatan agribisnis, perlu adanya dukungan agroindustri di
sentra produksi.
Pada umumnya petani hanya memiliki tanaman mangga sekitar 15-20
tanaman dengan cara penjualan secara tebasan atau buah masih di pohon. Kebun
mangga petani juga terletak secara terpencar. Keadaan ini membuat keuntungan
petani belum optimal, karena penjualan sendiri-sendiri, ditunjang dengan
produktivitas dan mutu rendah serta kurang efisien. Padahal tanaman mangga
Arumanis memberi kontribusi pendapatan pada petani di Pasuruan, Jawa Timur,
cukup besar, yaitu sekitar 19-31 % dari total pendapatannya (Suhardjo et al., 2000
dan 2001).
Adapun tujuan dari pengkajian ini (tahun pertama) adalah (1) Menerapkan
pengelolaan kebun secara baik mangga Podang Urang, (2) memperoleh paket
teknologi pengolahan berbahan baku mangga Podang Urang dan (3) menumbuh
kembangkan kegiatan agribisnis mangga Podang Urang lewat penguatan kelompok
tani serta meningkatkan pendapatan petani.
BAHAN DAN METODE
Metode Pengkajian
Pengkajian ini dilakukan dengan pendekatan metoda “on farm research”,
yaitu di tempat petani/produsen mangga/pengguna dengan melibatkan peneliti,
penyuluh, pengguna dan instansi terlait. Petani mangga Podang Urang yang
dilibatkan dalam pengkajian (petani kooperator) adalah 20 anggota dalam satu
kelompok tani. .
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
53
Lokasi pengkajian
Pengkajian dilakukan di sentra produksi mangga Podang urang, yaitu di desa
Tiron, kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri.
Pelaksanaan Pengkajian
a. Penentuan hamparan dan kelompok tani
Pelaksanaan pengkajian didahului dengan penentuan
hamparan/lahan/tempat lokasi serta sasaran kelompok tani pengkajian dengan cara
survai (PRA). Data yang dikumpulkan melalui wawancara dan data sekunder dari
kelompok tani, instansi terkait dan peninjauan lapang. Selain itu juga dilakukan
pemilihan anggota kelompok tani sebagai kooperator dalam pengkajian ini.
b. Pembinaan kelompok tani
Dalam pengembangan agribisnis mangga Podang Urang terlebih dahulu
dilakukan pembentukan/penguatan kelompok tani. Pengurus dan anggota
kelompok diarahkan untuk dapat bekerja sama dalam pengembangan agribisnis
mangga. Mereka yang umumnya melakukan pengelolaan tanaman mangganya
secara sendiri-sendiri, diharapkan dapat mengelola bersama-sama, baik dalam
penyediaan saprodi, pemeliharaan tanaman maupun dalam pemasaran hasilnya.
Dalam pengelolaan tanaman mangga Podang Urang ini dilakukan
kesepakatan teknologi yang akan dilaksanakan antara teknologi anjuran dari BPTP
dengan kemampuan petani (Tabel 1).
c. Percontohan pemeliharaan tanaman
Adapun kegiatan yang akan dikenalkan dalam pengelolaan tanaman mangga
Podang Urang (budidaya) adalah sesuai anjuran seperti terlihat pada Tabel 1. Untuk
percontohan ini digunakan sekitar 55 contoh pohon.
d. Penggantian kultivar
Melakukan penggantian mangga Podang Lumut dengan kultivar mangga
Podang Urang dengan metode “top working”. Penggantian masih berupa kajian,
sehingga dilakukan pada beberapa contoh pohon di dukuh Sumberbendo dan
Kaligayam yang mempunyai perbedaan tingg tempat.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan utamanya terhadap biaya input-output dan respon
dan tanggapan serta masukan petani terhadap model pengembangan yang
dikenalkan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
54
Tabel 1. Rakitan teknologi budiaya mangga Podang Urang
Komponen Teknologi Keterangan
1. Kultivar
2. Umur tanaman
3. Jarak tanam
4. Pemupukan
5. Pemangkasan
6. Pengendalian H & P
7. Induksi bunga (bila
perlu)
8. Panen
9. Pengolahan
10. Tanaman sela
Mangaga Podang Urang
> 50 tahun
Sesuai dengan yang ada di lapang
Pukan diberikan awal mu-sim hujan dan pupuk
organik ½ dosis awal dan ½ dosis akhir musim hujan.
Pukan 75-100 kg, 6 kg ZA atau Urea + 4 kg SP-36 + 4
kg per pohon
Setelah panen, dilakukan pemangkasan
pemeliharaan, dan membersihkan dari benalu.
Secara PHT (termasuk penggunaan metil eugenol)
Paklobutrazol 7,5 cc/l pada bulan Januari-Maret
Pemanenan buah dilakukan pada buah berwarna
hijau kekuningan dan kemerahan atau masak pohon,
sesuai tujuan pemasaran, dipetik pada tangkai buah
diatas absisi. Di bawa ke packing house, kemudian
dilakukan seleksi dan grading.
Buah mangga dikemas sesuai tujuan pemasaran,
dengan kemasan kayu atau karton. Buah yang telah
dikemas dipasarkan/didistribusikan sesuai tujuan.
Buah mutu rendah diolah menjadi salah satu produk
(jam, jeli, manisan, saribuah, dodol, leather fruit, dll),
di kemas plastik ukuran 0,08 mm
Kunyit / jagung / ketela pohon sesuai kesepakatan
Metode Analisis
Data hasil pengamatan yang diperoleh dilakukan analisis deskriptif dan
secara ekonomi mengenai usaha mangga secara anjuran tersebut dibanding dengan
petani diluar pengkajian dan penerimaan model agribisnis yang dikaji oleh petani
sasaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Lokasi
Lokasi utamanya adalah di dusun Sumberbendo, Desa Tiron, Kecamatan
Banyakan, Kabupaten Kediri. Sumberbendo terletak diketinggian 170 m dpl seluas
152 ha, yang terdiri dari 110 ha tegal dan pekarangan serta 42 ha sawah tadah
hujan. Terdapat tanaman mangga (Podang Urang dan Gadung/Arumanis) seluas 90
ha dari 80 petani pemilik. Tanaman mangga Podang Urang kebanyakan berasal dari
biji dan sudah berumur > 40 tahun. Sedangkan tanaman mangga
Gadung/Arumanis sekitar umur 8-10 tahun. Di lokasi ini terdapat 10 pohon induk
mangga Podang Urang yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian pada tahun 2003.
Di lokasi ini telah terbentuk Kelompok Tani dengan nama “Budidaya”.
Kelompok ini juga sudah mempunyai koperasi yang berbadan hukum dengan nama
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
55
yang sama, yaitu koperasi “Budidaya”. Koperasi ini mempunyai anggota 1.026
orang, yang kegiatannya masih berupa simpan pinjam yang dilakukan dalam
pertemuan bulanan. Namun yang hadir pada umumnya adalah para ibu-ibu petani.
Mereka umumnya menggunakan uang pinjaman hanya untuk keperluan yang
bersifat konsumtif. Koperasi ini mempunyai asset sebesar Rp.26.600.000,-.
Jarak dari Pusat pasar buah-buahan di Banyakan hanya sekitar 6 km,
utamanya untuk pasar mangga Podang Urang. Dengan demikian selama ini petani
tidak mengalami hambatan dalam memasarkan hasil panennya. Bahkan sebagian
besar dari petani tersebut menjadi pedagang mangga untuk pasar local. Mereka
menjadi pedagang mangga dari bulan Agustus s/d Januari.
Pasar Banyakan sudah terkenal untuk beberapa daerah penghasil utamanya
mangga Podang dan mangga Gadung/Arumanis, utamanya untuk daerah Jawa
Timur bagian barat, misalnya dari Nganjuk, Madiun, Jombang dan lain-lain.
Karena pemasaran yang menumpuk di pasar ini, pada musim panen raya harga
menjadi jatuh sampai lebih dari 50 %. Pada saat mangga sulit, harga mangga
Podang sekitar Rp.1.400,-/kg. Namun pada saat panen raya, apalagi ditambah
musim hujan sudah turun, harga menjadi sekitar Rp.600,-/kg. Musim panen
mangga Podang Urang adalah dari bulan Agustus/September s/d Desember/
Januari, sehingga panenan masih ada di musim penghujan.
Keragaan petani kooperator
Petani kooperator rata-rata mempunyai mangga Podang Urang sebanyak 24
pohon dengan tanaman yang telah berproduksi sebanyak 18 pohon. Mareka juga
mempunyai tanaman mangga Gadung. Pola usaha tanimya adalah tumpangsari
dengan kunyit atau ketela pohon atau jagung (Tabel 2).
Kontribusi pendapatan dari usahatani mangga Podang Urang relative rendah,
yaitu hanya sekitar 7,95 % dari total pendapatan keluarga. Namun pendapatan dari
usaha mangga menjadi besar setelah mereka juga merangkap menjadi pedagang
mangga, yaitu meningkat menjadi 51,37 % dari total pendapatan keluarga.
Sedangkan dari sawah dan tegal serta pekarangannya, secara keseluruhan memberi
kontribusi pendapatan sekitar 17,45 %. Kontribusi pendapatan lainnya adalah dari
buruh tani atau bangunan dan dari pertukangan sebesar 31,18 % dari total
pendapatan keluarga. (Tabel 3).
Tabel 2 . Pola usaha tani mangga
Jenis tanaman
mangga
Jumlah tanaman (pohon)
Pola usaha tani *) Telah
berproduksi
Belum
berproduksi
Jumlah
tanaman
1. Gadung
2. Podang
8
18
-
6
8
24
Tumpangsari
Tumpangsari
Jumlah
tanaman 26 6 32 -
Keterangan : *) Pola usaha tani : Mangga + Ketela pohon + Kunir
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
56
Tabel 3. Kontribusi usahatani mangga Podang terhadap pendapatan keluarga per
KK Selama setahun
S e k t o r Luas usahatani
(ha)
Pendapatan
(Rp.)
Persentase
(%)
1.Pertanian
a. Lahan sawah
b. Lahan tegal
c. Lahan pekarangan
d. Usahatani mangga Podang
2. Luar pertanian
a. Buruh tani/bangunan
b. Perdagangan *)
c. Pertukangan
0,25
0,50
0,15
0,20
-
-
-
735.650
699.375
775.000
1.006.500
450.000
5.500.000
3.500.000
5,81
5,52
6,12
7,95
3,55
43,42
27,63
T o t a l 1,10 12.666.525 100 *) Pedagang mangga
Pembinaan/pembentukan kelompok
Walaupun di Sumberbendo ini sudah ada kelompok tani, ternyata belum ada
bagian atau seksi yang mengkoordinis secara khusus dalam menangani usahatani
mangga Podang Urang. Dalam pengkajian ini dipilih 20 petani mangga Podang
Urang sebagai kooperator dengan kepemilikan sekitar 20.095 pohon mangga Podang
Urang atau sekitar 21 ha.
Petani kooperator ini dibina menjadi sebagai embrio sub seksi dari kelompok
tani “Budidaya” yang membidangi usahatani mangga Podang Urang. Oleh karena
itu di sub seksi ini dipilih seorang ketua, sekretaris dan bendahara, yang nantinya
melakukan koordinasi dalam kegiatan agribisnis mangga Podang Urang tersebut.
Setiap bulan minimal sekali melakukan pertemuan untuk membicarakan masalah
yang dihadapi dan kegiatan kedepan yang akan dilakukan.
Pembinaan utamanya ditujukan untuk melakukan pengelolaan kebun
mangga dan pemasaran serta pengolahan secara bersama. Untuk pengolahan,
terpilih 10 wanita tani sebagai kooperator. Khusus kegiatan pengolahan ini
dilakukan setelah ada panenan mangga Podang Urang.
Karena tanaman mangga yang keragaannya sangat tinggi dan kekar, maka
sub kelompok ini disediakan “power sprayer” guna pengendalian hama penyakitnya.
Untuk pengelolalan pompa ini, disepakati anggota sub seksi menyewa Rp.150,-
/pohon dan di luar anggota Rp.300,-/pohon untuk perawatan alat. Sedangkan untuk
tenaga operator harus menggunakan orang yang sudah ditetapkan dengan biaya
Rp.300,-/pohon. Sedangkan untuk obat dapat meminjam ke sub kelompok ini. Sewa
alat dan obat dapat dilakukan dengan system bayar setelah panen (“yarnen”).
Demikian pula pada pengkajian ini dilakukan bantuan pupuk dan kunyit kepada
kelompok. Anggota yang meminjam dapat membayar setelah panen kepada
kelompok.
Dalam pembinaan ini ikut serta dari BIPPK yang mempromosikan produk
olahan (dodol mangga Podang Urang) dalam suatu kegiatan “Gelar Promosi
Agribisnis” Kabupaten Kediri. Selain itu dari Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur
memberikan bantuan berupa alat panen sebanyak 500 buah, dengan harapan hasil
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
57
buah menjadi lebih meningkat mutunya. Dilokasi ini pada tahun 2004 juga ada
kegiatan pembinaan pelatihan pembuatan bokasi oleh suatu LSM kepada utamanya
ibu-ibu wanita tani.
Pada kegiatan pemasaran buah segar, telah dilakukan kerjasama atau
kemitraan dengan Cv. Mawan Segar Abadi” yang berdomisili di Batu, Malang,
untuk konsumen pasar swalayan. Pada tahun 2004 ini baru terealaisasi sebanyak
400 kg dengan tujuan pasar swalayan di Bali.
Produksi dan Mutu buah
Petani kooperator melaksanakan minimal pengendalian hama dan penyakit
pada tanaman mangga Podang-nya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan produksi antara 7-15 kg/pohon (Tabel 4). Bila dilakukan analisis biaya
tambahan yang diberikan, maka petani memperoleh peningkatan pendapatan
sekitar Rp.5.513,- sampai dengan Rp.16.100,- per pohon (Tabel 5).
Tabel 4. Poduksi mangga Podang Urang
No. Jumlah
pohon Produksi 2003 Produksi 2004 Keterangan
1. 12 8.33 kg/ph 16,67 kg/ph Tidak diperlakukan
2. 150 20 kg/ph 33,33 kg/ph Melakukan
penyemprotan
3. 100 25 kg/ph 40 kg/ph Melakukan
penyemprotan
4. 150 67 kg/ph 74 kg/ph Pupuk*) +
penyemprotan .*) Pukan 4 kg, urea 0,35 kg, SP-36 0,30 kg dan KCl 0,10 kg per pohon.
Tabel 5. Analisis tambahan biaya produksi mangga Podang Urang petani kooperator
No. Kenaikan
produksi (kg/ph) Harga Jual (Rp.)
Biaya
Perlakuan (Rp)
Keubtungan
(Rp)
1. 13,33 15.996 927 15.069
2. 15 18.000 900 16.100
3. 7 8.400 2887 5.513 Catatan : Harga mangga Rp1.200,-/kg
Petani/pedagang pada umumnya melakukan pemasaran secara campuran,
tidak melakukan pengkelasan (grading). Selain itu petani melakukan pemanenan
pada tingkat ketuaan yang maksimal (matang pohon). Pada tingkat kematangan
seperti ini bila dilakukan pengkelasan berdasar ukuran, diperoleh klas A 47 % dan
klas B 36 %. Sedangkan yang sudah lewat matang sekitar 5 % (Tabel 6).
Sedangkan dari buah mangga Podang Urang klas A yang sudah terseleksi
tertsebut, bila dilakukan seleksi lagi berdasar tingkat ketuaan dan kemulusan,
diperoleh yang matang, masih keras, berwarna kuning kemerahan ada sekitar 24,07
%, sedangkan yang kotor, kena getah sekitar 48,79 % (Tabel 7). Dengan demikian
dari produksi total, klas A yang matang optimal hanya 11,31 % dan yang hijau
sekitar 3,77 %. Padahal yang masih berwarna hijau ini yang disukai untuk
pengiriman jarak jauh.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
58
Tabel 6. Hasil seleksi berdasar ukuran dari sebanyak 1.533 kg buah mangga Podang
Urang hasil panenan pada tingkat ketuaan berdasar petani, Kediri, 2004.
No. K l a s Jmlh bh/kg Ukuran (P D)
(cm)
Bobot
(gram/bh)
Jumlah (%
bobot)
1. A 4 – 5 12 x 6,28 > 200 47
2. B 6 – 7 10,5 x 6,20 150 – 200 36
3. C > 7 10,0 x 6, 04 < 150 12
4. L e w a t M a t a n g - 5
Tabel 7. Hasil seleksi berdasar tingkat ketuaan dan kemulusan dari sebanyak 51kg
buah mangga Podang Urang klas A hasil seleksi berdasar ukuran, Kediri,
2004).
No. Kondisi buah Jumlah (%
bobot) Keterangan
1. Keras, kuning-merah dan
mulus
24,07 PTT 10 %, asam 0,71 %
2. Keras, hijau-kuning dan
mulus
8,02 PTT 8 %, asam 0,9 %
3. Keras, kuning-merah, kotor
tetapi bias dicuci
19,13 PTT 10 %, asam 0,71 %
4. Kotor getah dan lainnya 48,78 -
Pemasaran buah
Petani/pedagang pada umumnya hanya memasarkan ke pasar local
(Banyakan), sedangkan pemasaran ke luar daerah banyak dilakukan pedagang di
luar Sumberbendo, misalnya dari Banyakan. Pemasaran umumnya ke Yogyakarta,
Purwokerto, Semarang, Jakarta dan kota-kota di Jawa Timur. Untuk pemasaran
ini telah dilakukan pengemalan dengan kemitraan pemasok buah-buahan ke “super
market” yang ada di Batu, Malang. (CV. Mawan Segar Abadi) Pengiriman ke
Denpasar, Bali sebanyak 400 kg (3 kali pengiman). Untuk pengiriman ke Bali,
dikehendaki buah mangga Podang yang masih berwarna hijau kekuningan (umur
111 hari). Sifat buah pada umur ini mempunyai ketahanan simpan sampai 8 hari
pada suhu ruangan (Tabel 8). .
Tabel 8. Sifat buah mangga tingkat ketuaan hijau-kekuningan (umur 111hari)pada
penyimpanan suhu ruangan, Kediri, 2004.
No. Parameter 1 Hari Setelah
Penyimpanan
8 Hari Setelah
Penyimpanan
1. Kekerasan (kg) > 12 3,16
2. Kadar Padatan Terlarut Total (%) 8,00 16,00
3. Kadar asam (%) 0,90 0,24
4. Rasio PTT / asam 9,11 66,67
5 Susut bobot (%) - 6,84
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
59
Mangga Podang Urang bila di jual di pasar Banyakan rata-rata laku dengan
harga Rp.1.200,-/kg. Bila dilakukan kerjasama dengan pemasok buah yang ada di
Batu, Malang, ini, ternyata dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar sekitar
Rp.1.500,-/kemasan atau Rp.150,- / kg (Tabel 9).
Tabel 9. Analisis usaha pemasaran buah mangga Podang
Urang per kemasan (10 kg)
No. U r a i a n B i a y a
(Rp.)
1. Mangga 10 kg 12.000,-
2. Kemasan (karton) 3.000,-
3. Seleksi + mengemas 1.000,-
4. Transportasi ke Batu, Malang 2.500,-
Total 18.500,-
Harga buah 20.000,-
Tambahan pendapatan 1.500,-
Pembinaan pengolahan berbahan baku mangga Podang Urang
Pada pengkajian ini, untuk meningkatkan nilai tambah komoditas mangga
Podang Urang, utamanya buah dengan klas C, dikenalkan untuk diolah menjadi
berbagai produk. Produk yang dikenalkan adalah jeli agar, dodol dan permen.
Sebanyak 10 wanita tani dilibatkan dalam pembinaan ini, yang nantinya
diharapkan menjadi embrio agroindustri pedesaan.
Tabel 10. Hasil pengamatan organoleptik jeli agar, dodol dan permen dari
bahan baku mangga Podang Urang (skor).
No. Parameter Jeli agar Dodol Permen
1. Warna 2,8 4,0 3,6
2. Aroma 3,5 2,9 4,0
3. Tekstur 3,5 3,0 3,6
4. Rasa 3,5 3,0 2,4
5. Penerimaan teknologi Sedang Sedang Sedang
6. Keinginan Adopsi Ingin Ingin Ingin Catatan : Skor 1 = sangat tidak suka ; Skor 5 = sangat suka
Produk dodol wanita tani sudah bisa membuat, bahkan sudah dipromosikan
lewat instansi BIPPK Kabupaten Kediri. Namun mutu masih perlu diperbaiki,
utamanya dalam hal tekstur dan rasa. Pada pengenalan pengolahan ini, hal
tersebut (perbaikan tekstur dan rtasa dodol) dicoba untuk diperbaiki. Hasil
pengamatan secara oraganoleptik, mereka (wanita tani) mempunyai keinginan
untuk mengadopsinya (Tabel 10).
Temu Usaha
Pada akhir pengkajian, dilakukan pertemuan antara petani, pedagang,
pemasok buah-buahan pada “super market” di Denpasar Bali, Semarang dan
Makasar, yaitu CV. Mawan Segar Abadi. Pertemuan dimaksudkan untuk
menyamakan persepsi dalam melakukan standarisasi buah mangga Podang Urang,
mempertemukan antara petani, pedagang local dan kelompok tani dengan pedagang
yang lebih besar.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
60
Selain itu pertemuan juga dimaksudkan untuk mempromosikan produk
olahan berbahan baku mangga Podang Urang (jeli agar, dodol dan permen) buatan
kelompok wanita tani kepada para pedagang, yang diharapkan dapat membantu
dalam pemasarannya. Wanita tani yang merupakan sasaran pengkajian introduksi
pengolahan berbahan baku mangga Podang Urang menyatakan bahwa jeli agar
mempunyai rasa (skor 3,5) yang paling disukai dibanding dodol (skor 3,0) maupun
permen (2,4). Mereka juga mempunyai keinginan untuk mengadopsi dan
mengembangkan produk olahan ini, karena teknologinya tidak sulit. Namun dalam
temu usaha, dari 20 panelis yang ditanyakan tentang prospek kedepan bila
dipasarkan, mereka 75 % memilih dodol dan 25 % memilih permen. Jeli agar tidak
diminati karena karagenan dan juga kemasan plastik, salah satu bahan untuk
pengolahan ini tidak dijual dipedesaan. Selain itu daya simpan produk olahan ini
sangat pendek, bila tidak mempunyai kulkas (pendingin).
Ternyata para pedagang mempunyai respon utamanya pada pemasaran dodol
(75 %) dan permen (25 %). Untuk jeli agar mereka kurang mendapat tanggapan.
Penyambungan dewasa (top working)
Penyambungan dilakukan di Sumberbendo dengan ketinggian tempat sekitar
170 m dpl dan Kaligayam 60 m dpl. Sebagai batang bawah adalah mangga Podang
mutu rendah (mangga Podang Lumut) dan batang atas (entris) Pohon Induk dan
mangga Podang Urang yang tumbuh di Kaligayam.
Hasil pengamatan ”top working” menunjukkan bahwa hasil penyambungan
pada tanaman dewasa (“top working”) cukup berhasil, yaitu sambungan jadi
berkisar antara 58,5 – 100 %. Saat ini sambungan baru tumbuh dengan diameter
sekitar 9,2 - 13,9 mm (Tabel 11). Diiharapkan pada umur sambungan 2-3 tahun
sedah dapat berbuah, sehingga mutu buah dapat diamati.
Tabel 11. Hasil penyambungan pohon dewasa (“top working”) pada umur 2 bulan
setelah penyambungan
No. Tempat
Penyambungan
Jumlah
pohon Asal entries
Sambungan
jadi (%)
Diameter
tunas (mm)
1. Sumberbendo 4 Sumberbendo 81,7 13,9
2. Sumberbendo 3 Kaligayam 84,1 9,2
3. Kaligayam 3 Sumberbendo 100 9,5
4. Kaligayam 3 Kaligayam 58,5 9,2
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Petani kooperator umumnyai memiliki 75 % mangga Podang Urang dan 25 %
mangga Gadung/ Arumanis. Kontribusi pendapatan dari usahatani mangga
Podang Urang sebesar 7,95 % dan meningkat menjadi 51,37 % bila petani
merangkap menjadi pedagang mangga..
2. Sub kelompok tani mangga telah mempunyai aset “power sprayer” dan uang
tunai sebesar Rp.363.250,-.
3. 3.Produksi mangga Podang Urang meningkat sebesar 7-15 kg/pohon atau
peningkatan pendapatan sebesar Rp.5.513,- s/d Rp.16.100,-/pohon.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
61
4. Buah klas A yang mulus sebanyak 11,31 % berwarna kuning merah dan 3,77
% berwarna hijau-kuning dari total hasil panen. Buah yang hijau-kuning
(umur 111 hari) sesuai untuk pasar jauh, dengan kondisi kadar asam 0,90 %
dan PTT 8,00 % dan daya simpan 8 hari pada suhu ruangan.
5. 5, Telah terbentuk kerjasama dengan agen pemasok buah untuk “super
market”. Pemasaran lewat agen ini meningkatkan pendapatan sekitar
Rp.150,-/kg.
6. Produk olahan berbahan baku mangga Podang Urang yang ingin
dikembangkan oleh wanita tani adalah dodol dan permen.
7. Hasil penyambungan pada “super imposed” sebesar 58,5-100 % dengan jumlah
1-3 buah tunas per pohon..
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur 2002. Monograf Mangga, BPTP
Jawa Timur..
Baswarsiati, Yuniarti, M. Taufik, Y. Santoso, Pikit, Sdiswoto dan D.D. Kuncoro.
2003. Varietas Unggul Mangga Podang Urang. Petunjuk Teknis Rakitan
Tekno;ogi Pertanian. Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan BPTP Jawa
Timur.Diperta Prop. Jatim. 2000. Laporan Tahunan 2000. Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Timur. Surabaya.
Diperta Prop. Jawa Tomir. 2003. Progran Duinas Pertabiab Propinsi Jawa Toimur
tahun 2004. Makalah Sewindu BPTP Jawa Timur. Malang, 5 Juni 2003.
Hofman, P. J. 1996. Pre Harvest Effects on Postharvest Quality of Subtropical
Fruit. Proceedings : International Conference on Tropical Fruit. Kuala
Lumpur, Malaysia, 23-26 July 1996. Hal. 323-341.
Poewanto, R. , R. Hidayat, T. Sudaryono dan Baswarsiati. 2000. Pengembangan
teknologi Produksi buah mangga du luar musim. Laporan kerjasama
Proyek Pembinaan Pengembangan Agribisnis-Lemlit IPB.
Poerwanto, R. , R. Hidayat dan W. Guntoro. 2001. Pemantapan teknologi spesifik
lokasi melalui gelar teknologi komoditas mangga. Laporan kerjasama Pusat
Kajian Buah-buaha Tropika Lemlit IPB dengan PPPAH & Tan. Industri
Deptan.
Suhardjo, P. Santoso, M. Soleh, S. Yuniastuti T. Purbiati, B. Tegopatu, B. Siswanto,
B. Pikukuh, Al. Budijono, Sarwono, Handoko, Yuniarti dan A.R. Effendi.
2000. Pengkajian SUP mangga Arumanis Berbasis Ekoregional Lahan
Kering. Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTPKarang ploso,
Malang. Hal. 67-78.
Rasuhan, C. A. 2000. Kebijakan dan strategi pengembangan hortikultura
Inadonesia. Prosiding Seminar Nasional Hortikultura. Fak. Pertanian,
UPN Veteran Yigyakarta.
Soekarto, S.T. 1985. Peranan pasca panen menuju industri pertanian. Media
Teknologi 1 (1) : 9-14.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
62
PENGKAJIAN PENGELOLAAN VARIETAS JAGUNG LOKAL MADURA
S. Roesmarkam*), F. Arifin*), B. Pikukuh*), Handoko*), S. Zunaini*). S, Abu*) dan Robi‟in*)
ABSTRAK
Result of breeding activities was the varieties candidate of local corn, namely
Md 2-11, TL 2-132 and GL-2-28 These three varieties improved yield by 30%; 25% and
1% for Md 2-11, TL-2-132 and GL-2-28 respectively. The yield of Md 2-11 is 2.50 t/ha, TL 2-
132 is 3.20 t/ha and GL-2-28 is 4.09 t/ha With those yield, farmers got benefit by Rp.
2,402,500,-, Rp. 3,382,500,- and Rp. 4,308,500,- per ha, respectively for Md-2-11, TL-2-
132 and GL 2-28 or by B/C ratio 1.78, 2.39 and 2.36 .Although the three varieties gave
difference yield, but farmer did not want to grow GL 2-28 which gave higher yield,
because of these locally specific adaptation of each variety. From the farmers
discussion which was conducted at Guluk-Guluk, showed that responsibility of
farmers was so higher to these varieties and hoped that this seed production could be
certified.
Kata kunci : Jagung, lokal Madura
ABSTRACT
Breeding result of this activities are the varieties candidat of local corn, there
era Md 2-11, TL 2-132 and GL-2-28 These three varieties had increasing yield of 30%; 25%
and 1% for Md 2-11, TL-2-132 and GL-2-28 respectively. The yield of Md 2-11 is 2.50 t/ha,
TL 2-132 is 3.20 t/ha and GL-2-28 is 4.09 t/ha By these yield farmers get benefit Rp.
2,402,500,-, Rp. 3,382,500,- and Rp. 4,308,500,- per ha respectively for Md-2-11, TL-2-132
and GL 2-28 or by B/C ratio 1.78, 2.39 and 2.36 respectively .Although the three
varieties had difference yield, but farmer did‟n moved to plant GL 2-28 which a had
more yielding, because of these specific adaptation of every variety. From the farmers
meeting which and conducted in Guluk-Guluk, show that responsibility of farmers
are so higher to these varieties and whish just to realised and the seed can to be
certificated.
Key word : Corn, local Madura.
PENDAHULUAN
Jagung merupakan komoditas pangan kedua setelah padi di Jawa Timur,
dengan luas panen 1,3 juta ha dengan produksi sekitar 4,2 juta ton per tahun
(Diperta 2004). Ditinjau dari kegunaannya sekitar 30% untuk pangan dan 70%
untuk pakan ternak. Kepulauan Madura memiliki areal terluas (400.000 ha) dan
dan sebagian besar berada di Kabupaten Sumenep mencapai 151.879 ha (BPS Kab.
Sumenep,1997). Walaupun memiliki areal terluas namun karena produktivitas per
hektarnya rendah 1,4 t/ha, produksi total di Kabupaten Sumenep hanya sekitar
200.000 ton per tahun.
_________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
63
Rendahnya produktivitas tersebut selain dikarenakan lahan yang kesuburannya
rendah, curah hujan yang rendah juga karena petani menggunakan benih sendiri
yang tanpa seleksi serta jumlah tanaman dan jumlah
tongkol yang digunakan untuk benih tidak memenuhi syarat (minimal 20 tongkol
dari 400 tanaman) (Halleuer and Miranda, 1970).
Untuk mengganti varietas lokal dengan varietas unggul nasional mengalami
kesulitan karena varietas unggul nasional memiliki umur yang lebih dalam (paling
genjah 85 hari) sedang varietas lokal Madura berumur genjah paling lama 75 hari,
bahkan ada yang berumur 65 hari. Masalah umur ini menjadi alasan utama petani,
karena dengan umur yang genjah petani mampu melakukan pergiliran tanaman
dengan baik yakni padi-jagung-tembakau atau jagung-jagung-tembakau. Untuk itu,
sejak tahun 2003, BPTP Jawa Timur bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten
Sumenep melaksanakan seleksi jagung lokal setempat dengan tujuan utama adalah
meningkatkan potensi hasil dengan sifat-sifat lain terutama umur tanaman
diusahakan tetap.
Keberhasilan seleksi ditentukan oleh keragaman potensi hasil (diameter
tongkol, diameter janggel, panjang tongkol dan tinggi tanaman). Dengan memilih
tongkol yang besar dan panjang, diikuti oleh janggel yang kecil diharapkan diperoleh
varietas yang berpotensi hasil tinggi (Dahlan, 1988). Mengenai daya adaptasi dan
ketahanannya terhadap hama dan penyakit diharapkan tidak menjadi masalah,
karena material yang diseleksi berasal dari lokasi setempat.
Pertanaman jagung di tingkat petani di Kabupaten Sumenep pada umumnya
petani menggunakan benih dari pertanaman sendiri yang kualitasnya rendah (daya
tumbuh rendah, varietas campuran, dan berasal dari tongkol yang kurang
memenuhi syarat), Selain itu petani menanam jagung tanpa menggunakan jarak
tanam yang teratur, jumlah biji/lubang bisa mencapai 7 biji/lubang). Oleh sebab itu
banyak tongkol yang dihasilkan hampa (biji kosong). Pengolahan tanah cukup baik,
karena dilakukan saat musim kemarau (jauh sebelum masa tanam). Petani hanya
mengandalkan pupuk urea dan pupuk kandang dengan dosis dan waktu memupuk
yang kurang tepat. Pengendalian hama kurang dilakukan, sehingga kadang-kadang
banyak terserang hama Heliotis armigera yang menyerang bagian pucuk tongkol.
Tujuan pengkajian ini adalah :
1. Diperolehnya varietas lokal jagung Madura yang seragam, daya hasilnya
meningkat ≥ 25% dari materi asal, tetapi dengan sifat-sifat yang lain tetap.
2. Dengan diputihkannya varietas jagung lokal Madura, akan memudahkan
pelaksanaan pelabelan benih. Sehingga petani akan lebih mudah mendapatkan
benih yang bermutu.
MATERIAL ASAL DAN PELAKSANAAN SELEKSI
1. Tiga varietas lokal masing-masing berasal dari Kecamatan Talango,
Kecamatan Manding, dan Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep
Madura. Sebanyak 250 tongkol dari masing-masing varietas dipipil per tongkol
dan dibagi 2 kantong serta diberi nomor 1 s/d 250 dengan kode varietas
masing-masing, sebagai berikut :
Manding 1 -1 , Manding 1-2 Manding 1- 250
Manding 2 -1 , Manding 2-2 Manding 2 -250
Talango 1 -1 , Talango 1-2 Talango 1 - 250
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
64
Talango 2 – 1 , Talango 2-2 Talango 2 – 250
Guluk-guluk 1 - 1 ,guluk-guluk 1-2 Guluk-guluk 1 – 250
Guluk-guluk 2 – 1 ,guluk-guluk 2-2 Guluk-guluk 2 – 250
Kode angka di depan 1 (Manding 1-1 s/d 250 Talango 1-1 s/d 250 dan Guluk-
guluk 1-1 s/d 1-250) ditanam di KP Mojosari sedang kode angka di depan 2
(Manding2-1 s/d 2-250, Talango 2-1 s/d 2-250 dan Guluk-guluk 2-1 s/d 2-250) di
tanam di Talango. Untuk isolasi dilakukan isolasi waktu dengan senggang
waktu 2 minggu, yaitu minggu I ditanam di Manding, minggu III di Talango
dan minggu I bulan berikutnya di Guluk-guluk. Penanaman menggunakan
jarak tanam 70 cm x 15 cm, 1 tan/lubang, pemupukan sesuai anjuran dan
pemeliharaan secara intensif. Sifat-sifat tongkol material asal menunjukkan
bahwa berat tongkol, berat biji/tongkol, diameter tongkol dan diameter janggel
cukup bervariasi (Tabel 1), sehingga masih dimungkinkan diadakan seleksi
untuk meningkatkan hasil. Seleksi dilaksanakan bertahap yaitu saat
pertumbuhan awal dibuang tanaman yang tumbuh tidak normal, dan tanaman
diserang hama/penyakit. Tahap kedua dilakukan saat tanaman berbunga
dengan membuang tanaman yang berbunga jantan tidak normal, tanaman
yang tumbuh tidak normal baik yang sangat tinggi maupun terlalu pendek dan
tanaman yang sakit. Tahap ketiga dilakukan saat menjelang panen yaitu
dipilih baris-baris yang bagus sesuai dengan yang diinginkan dan dari baris
yang terpilih tersebut dipilih tanaman (tongkol) yang bagus. Tahap keempat
adalah pemilihan di gudang, dipilih tongkol-tongkol yang bagus (berisi penuh,
biji seragam dan sehat).
2. Hasil seleksi ditanam lagi di lokasi masing-masing (dari Talango ditanam di
Talango dan dari Mojosari ditanam di Mojosari). Penanaman hasil seleksi ini
bukan lagi tongkol per baris tetapi dilakukan baris per petak dengan ukuran
petak 4,8 m x 5 m, jarak tanam 60 cm x 15 cm, bertujuan selain untuk
observasi juga untuk perbanyakan benih. Penanaman 3 varietas tersebut tetap
menggunakan isolasi waktu dengan selang waktu 2 minggu seperti pada
pertanaman pertama.
3. Hasil benih dari petak-petak terpilih tersebut kemudian diuji di 3 kecamatan
yakni Talango, Manding dan Saronggi, Kabupaten Sumenep. Selain itu untuk
mengetahui cara budidaya maka dilakukan uji jarak tanam (6 perlakuan)
yakni:70 cm x 15 cm dengan 1 tanaman/lubang, (1) 70cm x 25 cm dengan 2
tanaman/lubang, (2) 50 cm x15 cm dengan 1 tanaman /lubang dan (3) 50 cm x
25 cm dengan 2 tanaman/lubang, (4) 60 cm x 15 cm dengan 1 tanaman /lubang
dan (5) 60 cm x 25 cm dengan 2 tanaman/lubang.
4. Hasil terbaik dari kegiatan 3, baik dari nomor terpilih maupun jarak tanam
optimal digunakan untuk melaksanakan kegiatan uji adaptasi (uji multi
lokasi). Kegiatan tersebut dilaksanakan di lokasi-lokasi asal dan dibandingkan
dengan varietas petani (varietas asal). Pengujian ini menggunakan rancangan
acak kelompok dengan 3 ulangan, ukuran petak 5 m x 4 m, jarak tanam sesuai
dengan populasi optimal pada kegiatan 3, pemupukan dan pemeliharaan
optimal.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
65
HASIL KEGIATAN SELEKSI
Material asal dan hasil seleksi pertama
Kondisi awal tongkol diterima cukup beragam baik panjang tongkol diameter
tongkol, jumlah butir biji/tongkol dan berat biji/tongkol (Tabel 1). Setelah biji ditanam,
baik di Talango maupun di Mojosari, terdapat keragaman yang cukup tinggi terutama
antar baris tanaman. Keragaman terlihat jelas pada tinggi tanaman, letak tongkol,
bentuk tongkol dan posisi daun (Tabel 1).
Tabel 1. Kondisi fisik tongkol jagung lokal Madura (varietas Manding, Talango dan
Guluk-guluk) yang diterima dari Diperta Kabupaten Sumenep, dibandingkan
dengan kondisi setelah diseleksi di Talango – Sumenep dan Mojosari-
Mojokerto 2003..
Varietas / parameter Tongkol awal Tongkol terpilih setelah seleksi
Talango Mojosari
1.Varietas Manding
-baris terpilih
- bobot tongkol (gr)
- bobot biji (gr)
- Diameter tongkol (cm)
- Panjang tongkol (cm)
- Jumlah biji/tongkol
- Umur panen (hari)
2. Varietas Talango
-baris terpilih
- bobot tongkol(gr)
- bobot biji tongkol(gr)
- Diameter tongkol (cm)
- Panjang tongkol (cm)
- Jumlah biji/tongkol
- Umur panen (hari)
3. Varietas Guluk-guluk
-baris terpilih
- bobot tongkol(gr)
- bobot biji (gr)
- Diameter tongkol (cm)
- Panjang tongkol (cm)
- Jumlah biji/tongkol
- Umur panen (hari)
-
13,42 (8,5-15,6)
10,97 (7,4-12,9)
2,42 (2,6-3,8)
5,84 (4,4-6,7)
115 (96-129)
-
-30,9 (25,8-38,3)
25,12 (22,1-31,3)
3,23 (2,4-4,1)
8,02 (7,3-8,5)
208 (198-231)
-
-
28,3 (24,6-31,4)
20,42
3,24
9,14
151
-
28 baris (238 tongkol)
35,26 (28,4-36,3)
20,44 (18,3-29,6)
3,34 (2,8-4,1)
7,20 (6,7-10,6)
140 (133-158)
67
37 baris (278 tongkol)
40,50 (35,4-56,2)
30,52 (28,4-36,7)
4,65 (3,9-5,1)
9,43 (8,8-10,2)
252 (240-263)
70
40 (346 tongkol)
34,66 (31,9-41,2)
28,34
3,27
11,64
174
73
16 baris(37 tongkol)
45,46 (37,6-51,8)
29,52 (26,5-41,4)
3,62 (2,9-3,9)
8,73 (7,9-15,6)
146 (141,151)
62
34 baris (105tongkol)
47,34 (41,2-56,3)
42,83 (39,2-51,3)
4,80 (4,1-5,3)
9,87 (9,2-10,4)
259 (243-269)
72
25 baris (110tongkol)
35,70 (33,6-43,7)
31,45
3,31
12,21
185
75
Dari Tabel 1 di atas menunjukkan tongkol hasil seleksi lebih berat, lebih besar
dan memiliki jumlah biji/tongkol lebih banyak dan lebih berat. Dari hasil ini
diperkirakan kondisi Manding mampu memberikan hasil sekitar 2,5 ton/ha, Talango
3,1 ton/ha dan Guluk-guluk 3,5 ton/ha.
Seleksi tahap pertama ini terpilih masing-masing di lokasi Talango untuk
varietas Manding 28 baris (238 tongkol), varietas Talango 37 baris (278 tongkol) dan
varietas Guluk-guluk 40 baris(346 tongkol), sedang di lokasi Mojosari terpilih untuk
varietas Manding 16 baris (180 tongkol), varietas Talango 20 baris (230 tongkol) dan
varietas Guluk-guluk 25 baris (110 tongkol). (Lampiran 1). Baris-baris yang terpilih di
lokasi Talango ternyata sama dengan baris-baris terpilih di lokasi Mojosari, sehingga
seleksi selanjutnya hanya dilakukan di Talango, sedang perbanyakan benih dilakukan
di Mojosari. Tongkol terpilih dari baris terpilih ditanam masing-masing dalam satu
petak.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
66
1. Seleksi tahap II
Penanaman baris per petak dilaksanakan di Talango pada MK-2 tahun 2003.
Pertanaman yang berasal dari tongkol hasil dari seleksi baris yang sama
menunjukkan bahwa tanaman terlihat lebih seragam, sedang antar petak terdapat
sedikit keragaman terutama tinggi tanaman. Dari pertanaman seleksi tahap II ini
dipilih 5 calon varietas terbaik yakni untuk varietas Manding, terpilih Md 2-2; Md 2-
3; Md 2-4; Md 2-8 dan Md 2-11 varietas Talango terpilih TL 2-66; TL 2- 122; TL 2-
132; TL 2-133 dan TL 2-150 sedang Guluk-guluk terpilih GL 2-28; GL 2-37; GL 2-
114; GL 2-124 dan GL 2-196 (Tabel 2).
2. Observasi daya hasil
Kegiatan ini dilakukan di 3 lokasi, yakni di Kecamatan Manding, Talango dan
Saronggi. Pertanaman di Talango gagal karena kekeringan. Hasil percobaan di
Kecamatan Manding menunjukkan bahwa varietas Manding memberikan
penampilan terbaik dibanding 2 varietas lain (tabel 3), sedang di Kecamatan
Saronggi kondisi ke 15 varietas agak tertekan karena kekurangan air dan serangan
hama, sehingga hasilnya sangat rendah (Tabel 3). Dari hasil percobaan di
Kecamatan Manding berkisar 2,1-2,75 kg per petak atau 1,4-1,8 t/ha untuk varietas
Manding, varietas Talango berkisar antara 1,86-2,43 kg/petak atau 1,24-1,68 t/ha,
sedang varietas Guluk-guluk 1,32-2,57 kg/petak atau 0,88-1,71 t/ha. Daya hasil di
Kecamatan Saronggi, guluk-guluk relativ paling baik, disusul varietas Talango dan
varietas Manding, masing-masing 1,93-2,7 kg/petak atau 1,29-1,83 t/ha untuk
varietas Guluk-guluk 1,88-2,34 kg/petak atau 1,25-1,56 t/ha untuk varietas Talango
sedang varietas Manding 1,05-1,72 kg/petak atau 0,7-1,15 t/ha.
Tabel 2. Beberapa sifat agronomi 5 varietas terpilih dari masing-masing varietas
(Manding, Talango dan Guluk-guluk) pada pertanaman 2 di Kecamatan
Talango 2003.
Kode varietas Tinggi
tanaman
Tinggi
tongkol (cm)
Jumlah
tongkol/petak
Bobot
tongkol/petak
(kg)
Hasil/petak
(kg)
Manding
Md 2-2
Md 2-3
Md 2-4
Md 2-8
Md 2-11
Talango
TL 2-66
TL 2-122
TL 2-132
TL 2-133
TL 2-180
Guluk-guluk
GL 2-28
GL 2-37
GL 2-114
GL 2-129
GL 2-196
89,2
93,3
87,4
86,6
82,4
108,3
115,4
140,3
151,6
126,7
118,7
123,4
109,8
162,3
122,3
55,7
73,4
57,2
49,3
47,4
62,3
65,7
75,7
78,2
69,4
67,6
69,2
57,4
79,3
58,9
258
306
288
294
318
276
278
270
338
362
288
276
252
306
252
5,04
5,58
5,45
5,10
5,70
7,08
7,68
7,44
7,20
7,22
7,50
7,80
10,80
11,10
4,30
3,93
4,35
4,25
3,98
4,45
5,52
6,00
5,80
5,62
5,63
5,93
6,16
8,53
8,77
7,35
Ukuran petak 4,2 m x 5,0 m, jarak tanam 60 cm x 20 cm.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
67
Tabel 3. Beberapa sifat agronomi jagung pada uji adaptasi 5 varietas terpilih dari
masing-masing varietas (Manding, Talango dan Guluk-guluk) di Kecamatan
Manding dan Saronggi. MK – 2003.
Varietas Tinggi
tanaman
Letak
tongkol
(cm)
Panjang
tongkol
(cm)
ø tongkol
(cm)
Bibit
tongkol (gr)
Hasil/ petak
Manding Saronggi
Md 2-2
Md 2-3
Md 2-4
Md 2-8
Md 2-11
123,02
127,29
122,26
118,07
121,09
56,84
62,13
59,21
53,37
55,84
8,32
8,47
8,62
8,03
8,54
3,00
3,02
2,99
2,99
3,02
28,78
30,78
32,84
27,33
30,00
2,50
2,45
2,10
2,75
2,31
1,31
1,12
1,54
1,72
1,05
TL 2-66
TL 2-122
TL 2-132
TL 2-133
TL 2-180
147,04
152,22
142,48
139,59
147,41
61,87
62,50
62,09
62,09
63,09
8,57
8,30
8,92
9,07
8,26
3,23
3,28
3,32
3,40
3,49
47,91
53,33
48,74
53,11
43,56
2,11
2,23
2,45
1,98
1,86
1,91
1,88
1,96
2,04
2,31
GL 2-28
GL 2-37
GL 2-114
GL 2-129
GL 2-196
145,66
137,66
137,87
142,89
136,27
55,70
57,50
56,76
57,78
52,33
9,39
9,73
10,50
10,26
10,48
3,36
3,33
3,44
3,48
3,39
57,22
57,56
55,56
59,67
53,11
1,32
1,69
1,71
2,46
2,57
2,25
2,41
2,15
1,93
2,74
Ukuran petak: 3m x 5m pertanaman kekeringan
Tabel 4. Keragaan 5 varietas terpilih pada uji daya hasil di Kecamatan Ganding 2004.
Varietas
Tinggi
tanaman
(cm)
Umur
(hari)
Panjang
tongkol
(cm)
Ø
tongkol
(cm)
Bobot
biji/tongkol
(gr)
Hasil/
petak
(kg)
Hasil
(t/ha)
Md 2-2
Md 2-3
Md 2-4
Md 2-8
Md 2-11
TL 2-66
TL 2-122
TL 2-132
TL 2-133
TL 2-180
GL 2-28
GL 2-37
GL 2-114
GL 2-129
GL 2-196
95,2
99,3
116,6
115,6
104,2
165,6
171,2
170,6
169,3
180,3
182,3
134,6
162,6
156,6
171,7
68
68
68
68
68
75
75
75
75
75
75
75
75
75
75
7,61 a
8,39 b
8,23 b
8,45 b
8,70 b
9,27
9,06 c
9,76
9,47
9,05 c
10,14
10,45
10,21
10,60
11,50
2,60 a
2,67 a
2,70 ab
2,65 a
2,80 b
3,13 cd
3,39 e
3,25 de
3,01 c
3,29 c
3,16 d
3,24 de
3,27 dc
3,15 d
3,60 f
25,69 a
26,49 ab
28,45 ab
29,22 ab
33,01 b
41,15 c
41,40 c
39,18 c
39,92 c
38,40 bc
41,68 c
43,70 c
44,09 c
42,53 c
55,31 d
2,46 a
2,65 ab
2,98 b
3,115 bc
3,59 cd
4,15 c
3,98 d
4,19 c
3,27 bc
3,47 c
5,75 g
5,46 g
5,50 g
5,20 f
5,50 g
1,640
1,766
1,986
2,077
2.393
2,766
2,653
2,793
2,180
2,313
3,833
3,640
3,666
3,466
3,666
BNT 5%
KK (%)
17,31
7,3
0,5572
2,0
0,1218
4,40
5,876
13,3
0,290
16,0
Ukuran petak 3m x 5m
Uji daya hasil yang dilaksanakan di Kecamatan Ganding pada MK-2004
menunjukkan bahwa varietas Manding memiliki tanaman pendek (100-115 cm),
berumur genjah (68 hari), bertongkol kecil dengan daya hasil berkisar 2,46-3,59 kg/ha
atau 1,62-2,08 t/ha. Disusul varietas Talango dengan tanaman lebih tinggi (165-180
cm) umur 75 hari ukuran tongkol agak besar dengan daya hasil antara 3,27-4,19
kg/petak atau 2,18-2,79 t/ha, dan terakhir varietas Guluk-guluk memiliki tinggi
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
68
tanaman dan umur hampir sama dengan Talango, namun ukuran tongkol lebih
panjang. Daya hasil dengan daya hasil 5,20-5,75 kg/petak atau 3,47-3,83 t/ha (Tabel 4).
3. Uji calon varietas
Kegiatan selanjutnya adalah menguji varietas yang telah diseleksi
dibandingkan dengan varietas petani yang tanpa diseleksi. Kegiatan dilaksanakan di
Kecamatan Ganding, Manding dan Talango, ditanam masing-masing pada tanggal 17
Maret, 21 Maret dan 5 April 2005. Pertanaman di Kecamatan Talango kurang
berhasil, karena lahannya bekas lahan tidur sedang di Kecamatan Manding hasilnya
tidak memuaskan karena kekeringan. Dari 2 varietas terbaik yang telah diseleksi,
masing-masing menunjukkan bahwa umur tanaman tidak berbeda antara varietas
yang telah diseleksi dengan varietas petani yakni 68 hari untuk varietas Manding, 75
hari untuk varietas Talango dan varietas Guluk-guluk. Daya hasil di Kecamatan
Ganding menunjukkan bahwa varietas MD 2-8 relatif berdaya hasil sama dengan
varietas petani, sedang MD 2-11 30% lebih tinggi dibanding varietas pertama. Untuk
varietas Talango TL 2-66 hasilnya lebih rendah (72,29%) sedang TL 2-132
memberikan hasil 25 % lebih tinggi daripada varietas petani, sedang untuk varietas
Guluk-guluk GL 2-28 memberikan hasil 1 % lebih tinggi dan GL 2-114 20,8 % lebih
rendah dari varietas pertama (Tabel 5). Namun dilihat dari keseragamannya varietas
yang telah terseleksi nampak lebih seragam.
Tabel 5. Keragaan 2 varietas terpilih dibanding dengan varietas asal pada percobaan
uji daya hasil di Kecamatan Manding dan Ganding tahun 2005.
Varietas
Tinggi
tanaman
(cm)
Umur
(hari)
Manding Ganding
Hasil
(t/ha)
%
terhadap
kontrol
Hasil
(t/ha)
%
terhadap
kontrol
Md 2-8
Md 2-11
Md petani
TL 2-66
TL 2-132
TL petani
GL 2-28
GL 2-114
GL petani
117,8
110,3
113,4
168,9
175,2
182,4
184,5
168,6
188,3
68
68
68
75
75
75
75
75
75
1,02
2,01
1,52
1,00
1,247
0,713
2,28
1,90
0,926
67,1
132,3
100,0
140,2
174,8
100,0
246,7
205,0
100,0
1,70
2,24
1,71
1,87
3,24
2,59
4,09
3,20
4,03
100,0
130,0
100,0
72,29
125,0
100,0
101
79,2
100 Keterangan : Keragaan pertanaman di Manding, banyak lubang yang kosong (tanaman mati) karena
dimakan ayam,dekat perkampungan. Data tinggi dan umur tanaman merupakan rata-rata
dari 2 lokasi.
Dari data hasil pada Tabel 5 menunjukkan bahwa Md 2-11 diperoleh hasil
2,29 t/ha per musim atau 33,67 kg/hari, sedang TL 2-132 memberikan hasil 3,24 t/ha
per musim atau 43,2 kg/hari sedang GL 2-28 memberikan hasil 4,09 t/ha per musim
atau 54,53 kg/hari. Daya hasil ini setara dengan hasil varietas Arjuna sebesar 4,3
t/ha per musim atau 47,78 kg/hari.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
69
4. Uji kelayakan hasil
Pengujian dilaksanakan di Kabupaten Sumenep dan Pamekasan terhadap
varietas Guluk-guluk dengan perlakuan pupuk. Dengan perlakuan pupuk komplit
(N, P dan K) mampu meningkatkan hasil sekitar 1 t/ha dibanding hanya dengan
pupuk urea saja yakni dari 2,35 t/ha menjadi 3,30 t/ha di Kabupaten Sumenep dan
dari 3,22 t/ha menjadi 4.24 t/ha di Kabupaten Pamekasan (Tabel 6). Untuk varietas
Manding yang dicoba oleh 5 orang petani seluas 2,0 ha di Kabupaten Sumenep
berdasarkan teknologi mereka dapat menghasilkan 2,31 t/ha, 2,41 t/ha, 2,03 t/ha,
2,37 t/ha dan 2,56 t/ha atau rata-rata 2,4 t/ha .
Tabel 6. Keragaman hasil varietas Guluk-guluk di Kabupaten
Sumenep dan Pamekasan dengan 5 perlakuan pupuk
yang berbeda, tahun 2004.
Dosis pupuk/ha Hasil t/ha
Sumenep Pamekasan
A = 200 kg
B = (200 + 100 + 100) kg
C = (300 + 100 + 100) kg
D = 200 NPK + 100 kg
2,35
3,05
3,30
3,25
3,22
3,67
4,24
4,01 Dikutip dari Suwono, 2004 (belum terbit).
- Jenis pupuk pada A , B dan C = Urea, SP-36 dan KCl.
- Jenis pupuk pada D = tablet NPK cornaled + Urea
6. Analisis usahatani jagung lokal Madura per hektar
Biaya usahatani di kelompokkan menjadi 3 kelompok yakni : 1. Saprodi
- Benih 20 kg/ha @ Rp. 3.000,- Rp. 60.000,-
- Pupuk Urea 150 kg/ha @ Rp. 1.250;- Rp. 187.500,-
SP-36 50 kg/ha @ Rp. 2.000,- Rp. 100.000,-
ZK 50 kg/ha @ Rp. 2.000 Rp. 100.000,-
- Obat-obatan 5 kg/ha @ Rp. 10.000 Rp. 50.000,-
Total saprodi Rp. 497.500,-
2. Tenaga kerja di lapang
- Pengolahan 1 kali bajak Rp. 150.000,-
- Tanam 5 orang @ Rp. 20.000,- Rp. 100.000,-
- Pemeliharaan (Menyiang,
pemupukan, pengendalian hama
penyakit)
Rp. 150.000,-
Panen Rp. 150.000,-
Jumlah Rp. 600.000,-
3. Tenaga gudang
Jemur dan pipil Rp. 100,-/kg
- Untuk Manding 2500 kg Rp. 250.000,-
- Untuk Talango 3200 kg Rp. 320.000,-
- Untuk Guluk-guluk4090 kg Rp. 409.000,-
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
70
Total biaya : Untuk Manding Rp. 497.500,- + Rp. 600.000,-+ Rp. 250.000,-
Rp. 1.397.500,-
Untuk Talango Rp. 497.500,- + Rp. 600.000,-+ Rp. 320.000,-
Rp. 1.417.500,-
Untuk Guluk-guluk Rp. 497.500,-+ Rp. 600.000,- + Rp. 409.000,-
Rp. 1.826.500,-
Keuntungan :
Untuk Manding Rp. 3.750.000,- - Rp. 1.347.500,-
Rp. 2.402.500 atau B/C ratio = 1,78
Untuk Talango Rp. 4.800.000,-- - 1.417.500
Rp. 3.382.500,- atau B/C ratio = 2,39
Untuk Guluk-guluk Rp. 6.135.000,- - 1.826.500,-
Rp. 4.308.500,- atau B/C ratio = 2,36
KESIMPULAN DAN SARAN
Varietas Manding yang terpilih (Md 2-11) mampu meningkatkan hasil 30 %
dibanding varietas Mading petani yang belum diseleksi dari 1,71 t/ha menjadi
2,24 t/ha. Bila Md 2-11 tersebut ditanam petani sendiri (5 sampel petani)
hasilnya berkisar 2,03-2,56 t/ha atau dengan rata-rata 2,4 t/ha.
Varietas Talango yang terpilih (TL 2-132) mampu meningkatkan hasil 25 %
lebih tinggi daripada varietas Talango petani yang tidak diseleksi dari 2,59
t/ha menjadi 3,24 t/ha.
Varietas Guluk-guluk yang terpilih (GL 2-28) hanya mampu meningkatkan
hasil 1 % dari 4,03 t/ha menjadi 4,04 t/ha, dan setelah dilakukan perlakuan
pemupukan lengkap NPK hasilnya dapat mencapai 4,24 t/ha di Kabupaten
Pamekasan.
Bila dibandingkan dengan rata-rata hasil di Kabupaten Sumenep (1,5 t/ha)
maka varietas Manding mampu meningkatkan hasil sebesar 49,3% varietas
Talango 116,3% dan varietas Guluk-guluk sebesar 172,6.
Ketiga varietas tersebut dapat diusulkan pemutihan dengan nama legendaris
Kabupaten Sumenep masing-masing adalah :
- Untuk varietas Manding dengan nama JOKO TOLE
- Untuk varietas Talango dengan nama ADI PODOE
- Untuk varietas Guluk-guluk dengan nama POTRE KONENG
Ucapan terima kasih kepada :
1. Abu dan Robi‟in sebagai teknisi BPTP yang melaksanakan pengamatan lapang
2. Ir. Husnul Rofiq staf Diperta Kabupaten Sumenep
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
71
Deskripsi Varietas Jagung Lokal Madura
Nama asal : Manding
Kode setelah diseleksi : Md 2-11
Asal : Kecamatan Manding Kabupaten Sumenep
Metode seleksi : ear to row di Kecamatan Talango Sumenep dan
KP. Mojosari-Mojokerto tahun 2003
Golongan varietas : varietas lokal Madura, bersari bebas.
Umur tanaman : Berbunga : 40-43 hari
: Panen : 65-70 hari
Hasil rata-rata : 2,336 t/ha
Potensi hasil : 2,56 t/ha
Batang :
warna : hijau
Tinggi : 1,00-1,5 m
Diameter : 1,0-1,75 cm
Tinggi letak tongkol : 50-75 cm
Ukuran tongkol : kecil (ø=3,02 cm, panjang= 8,7 cm)
Perakaran : cukup dalam
Biji :
Warna : kuning tua
Baris biji : lurus dan rapat
Jumlah baris per tongkol : 9-12 baris
Jumlah biji per tongkol : ± 115 butir
Bobot 1000 butir : 135,6 gram
Kerebahan : tahan
Ketahanan terhadap penyakit : agak tahan terhadap penyakit bulai
Anjuran tanam : jarak tanam 60 cm x 12,5 cm (1 tanaman/lubang)
Pemulia : Sukarno Roesmarkam, Fatkhul Arifin
Peneliti : Sri Zunaini Sa‟adah, Chusnurrofiq
Teknisi lapang : Robi‟in, Abu, Suryadi, Bambang H., Herunoto
Nama yang diusulkan : JOKO TOLE.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
72
Deskripsi Varietas Jagung Lokal Madura
Nama asal : Talango
Kode setelah diseleksi : TL 2-132
Asal : Kecamatan Talango Sumenep
Metode seleksi : ear to row di Kecamatan Talango Sumenep dan
KP. Mojosari, Mojokerto tahun 2003
Golongan varietas : varietas lokal Madura, bersari bebas.
Umur tanaman berbunga : 45-50 hari
Panen : 70-75 hari
Hasil rata-rata : 2,76 t/ha
Potensi hasil : 3,24 t/ha
Batang
warna : hijau
Tinggi : 150-190 m
Diameter : 2,1-2,4 cm
Tinggi letak tongkol : 75-90 cm
Bentuk tongkol : pendek dan gemuk
Ukuran tongkol
Panjang : ±9-10 cm
Diameter : 3,25 cm
Biji :
Warna : kuning
Baris biji : lurus
Jumlah baris per tongkol : 10-13 baris
Jumlah biji per tongkol : ± 140 butir
Bobot 1000 butir biji : 140,0 gram
Kerebahan : agak tahan
Ketahanan terhadap penyakit : agak tahan terhadap penyakit bulai
Anjuran tanam : jarak tanam 60 cm x 15 cm (1 tanaman/lubang)
Pemulia : Sukarno Roesmarkam, Fatkhul Arifin
Peneliti : Sri Zunaini Sa‟adah, Chusnurrofiq
Teknisi lapang : Robi‟in, Abu, Suryadi, Bambang H., Herunoto
Nama yang diusulkan : ADI PODEY
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
73
Deskripsi Varietas Jagung Lokal Madura
Nama asal : Guluk-guluk
Kode setelah diseleksi : GL 2-28
Metode seleksi : ear to row di Kecamatan Talango Sumenep dan
KP. Mojosari, Mojokerto tahun 2003
Golongan varietas : varietas lokal Madura, bersari bebas.
Umur tanaman berbunga : 45-50 hari
Panen : 75-78 hari
Hasil rata-rata : 4,01 t/ha
Potensi hasil : 4,24 t/ha
Batang :
warna : hijau
Tinggi : 175-200 m
Diameter : 1,5-2,0 cm
Tinggi letak tongkol : 135-150 cm
Ukuran tongkol:
Panjang : 12,21cm
Diameter : 3,31cm
Biji
Warna : kuning
Baris biji : lurus beratur
Jumlah baris per tongkol : 12-15 baris
Jumlah biji per tongkol : 174-185 butir
Bobot 1000 butir biji : 188,0 gram
Kerebahan : tahan
Ketahanan terhadap penyakit : agak tahan terhadap penyakit bulai
Anjuran tanam : jarak tanam 60 cm x 15 cm (1 tanaman/lubang)
Pemulia : Sukarno Roesmarkam, Fatkhul Arifin
Peneliti : Sri Zunaini Sa‟adah, Chusnurrofiq.
Teknisi lapang : Robi‟in, Suryadi, Bambang H., Herunoto
Nama yang diusulkan : POTRE KONENG
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
74
DAFTAR PUSTAKA
BPS. Kabupaten Sumenep, 1997. Kabupaten Sumenep Dalam Angka, Sumenep.
Dahlan,1988. Pembentukan dan produksi benih varietas bersari bebas dalam
Jagung. Puslitbangtan. Bogor.
Diperta, 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur, 2003.
Surabaya
Hallauer, AR and J.B. Miranda 1981. Quantitative Genetics In Maize Breedy.IDWA
State Press.USA
Roesmarkam S., F.Arifin, S. Z. Sa‟adah, Abu dan Robi‟in, 2003. Progress report
pemurnian jagung Madura. BPTP Jawa Timur. Malang.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
75
Tabel lampiran 1. Baris-baris terpilih hasil seleksi varietas Manding, Talango dan
Guluk-Guluk, di Kecamatan Talango, 2003.
No. Baris terpilih
Tinggi
tanaman.
(cm)
Jmlh tongkol
terpilih
Bobot
tongkol (gr)
Bobot biji
pipilan (gr)
Varietas Manding
1 Md 2 – 2 95 11 360 260
2 Md 2 – 3 97 3 115 97
3 Md 2 – 4 94 16 520 493
4 Md 2 – 6 105 14 510 358
5 Md 2 – 8 109 12 4 393
6 Md 2 – 11 113 15 550 420
7 Md 2 – 41 98 7 29 167
8 Md 2 – 53 112 8 28 193
9 Md 2 – 60 115 10 410 340
10 Md 2 – 71 107 5 190 127
11 Md 2 – 76 93 9 320 267
12 Md 2 – 82 97 6 210 180
13 Md 2 – 85 116 14 415 353
14 Md 2 – 86 105 6 198 160
15 Md 2 – 90 112 13 423 280
16 Md 2 – 97 102 8 225 169
17 Md 2 – 104 105 10 315 280
18 Md 2 – 129 107 4 120 76
19 Md 2 – 149 116 7 200 133
20 Md 2 – 163 113 3 100 46
21 Md 2 – 168 101 6 190 140
22 Md 2 - 179 93 3 105 52
23 Md 2 – 191 99 3 102 97
24 Md 2 – 194 100 5 158 87
25 Md 2 – 202 104 8 230 159
26 Md 2 - 215 108 4 150 93
27 Md 2 - 240 108 6 125 80
28 Md 2 – 243 117 4 190 133
Jumlah 238
Varietas Talango
1 TL 2 – 10 199 7 400 305
2 TL 2 – 15 150 9 550 415
3 TL 2 – 36 140 12 600 450
4 TL 2 - 44 150 12 600 474
5 TL 2 – 51 148 7 450 392
6 TL 2 – 53 169 14 850 710
7 TL 2 – 55 149 10 650 432
8 TL 2 – 66 165 4 750 194
9 TL 2 – 73 187 11 550 406 10 TL 2 – 77 169 7 350 219
11 TL 2 – 78 148 8 400 315
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
76
No. Baris terpilih
Tinggi
tanaman.
(cm)
Jmlh tongkol
terpilih
Bobot
tongkol (gr)
Bobot biji
pipilan (gr)
12 TL 2 – 87 167 7 300 203
13 TL 2 – 98 183 8 450 404
14 TL 2 – 105 150 8 400 301
15 TL 2 – 105 180 10 500 415
16 TL 2 – 113 180 9 400 304
17 TL 2 – 115 162 7 350 294
18 TL 2 – 119 168 11 550 435
19 TL 2 – 122 161 5 200 186
20 TL 2 – 132 151 6 250 193
21 TL 2 – 133 145 11 600 413
22 TL 2 – 148 138 8 400 294
23 TL 2 – 151 163 10 650 595
24 TL 2 – 153 143 7 500 431
25 TL 2 – 154 150 14 700 615
26 TL 2 – 162 155 9 500 413
27 TL 2 – 174 160 8 400 297
28 TL 2 – 178 155 7 350 274
29 TL 2 – 180 178 10 550 483
30 TL 2 – 184 148 9 500 416
31 TL 2 – 196 150 8 450 393
32 TL 2 – 197 176 7 450 401
33 TL 2 – 205 154 7 500 431
34 TL 2 – 210 172 9 450 400
35 TL 2 – 215 158 15 400 815
36 TL 2- 243 168 7 350 299
37 TL 2 - 245 155 10 450 365
Jumlah 278
Varietas Guluk-Guluk
1 GL 2 - 2 190 13 706 516
2 GL 2 - 12 155 7 485 405
3 GL 2 - 14 161 10 673 607
4 GL 2 - 15 134 10 684 613
5 GL 2 - 19 172 22 1342 1116
6 GL 2 - 20 146 12 863 744
7 GL 2 - 25 167 11 694 652
8 GL 2 - 28 184 11 695 654
9 GL 2 - 30 136 9 602 532
10 GL 2 - 37 172 11 715 643
11 GL 2 - 40 160 11 706 642
12 GL 2 - 54 145 9 683 619
13 GL 2 - 61 153 10 694 621
14 GL 2 - 66 147 11 752 693
15 GL 2 - 74 183 15 1015 986
16 GL 2 - 79 153 10 703 671
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
77
No. Baris terpilih
Tinggi
tanaman
(cm)
Jmlh tongkol
terpilih
Bobot
tongkol (gr)
Bobot biji
pipilan (gr)
17 GL 2 - 81 154 9 692 602
18 GL 2 - 92 158 8 614 543
19 GL 2 - 98 164 9 663 583
20 GL 2 - 114 190 20 1215 1134
21 GL 2 - 126 119 17 1124 981
22 GL 2 - 129 142 7 523 463
23 GL 2 - 134 152 8 563 496
24 GL 2 - 143 130 7 513 452
25 GL 2 - 150 160 8 517 506
26 GL 2 - 156 170 7 492 472
27 GL 2 160 127 8 564 503
28 GL 2 - 166 134 7 505 467
29 GL 2 - 179 147 8 573 504
30 GL 2 - 182 148 13 714 662
31 GL 2 - 196 149 20 1248 1189
32 GL 2 - 207 151 12 892 801
33 GL 2 - 211 158 12 863 792
34 GL 2 - 215 180 7 543 464
35 GL 2 - 217 171 8 574 504
36 GL 2 - 222 178 8 593 512
37 GL 2 - 226 167 9 602 567
38 GL 2 - 233 172 8 553 493
39 GL 2 - 243 190 13 716 664
40 GL 2 - 249 185 10 673 598
Jumlah 346
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
78
Tabel Lampiran 2. Analisis varian hasil (kg/petak) percobaan di Kecamatan Ganding,
tahun 2004.
Kode I II III SUM Average
MD2-2 1.290 2.946 3.154 7.390 2.463
MD2-3 2.985 2.518 2.440 7.943 2.648
MD2-4 2.114 2.948 3.874 8.936 2.979
MD2-8 2.350 3.219 3.776 9.345 3.115
MD2-11 3.180 2.800 4.097 10.077 3.359
TL2-66 3.240 4.270 4.940 12.450 4.150
TL2-122 2.765 4.329 4.857 11.951 3.984
TL2-132 3.375 4.830 4.360 12.565 4.188
TL2-133 2.190 3.752 3.872 9.814 3.271
TL2-180 1.050 5.144 4.225 10.419 3.473
GL2-28 5.200 6.580 5.470 17.250 5.750
GL2-37 5.200 5.790 5.400 16.390 5.463
GL2-114 3.700 6.330 6.480 16.510 5.503
GL2-129 3.600 6.240 5.770 15.610 5.203
GL2-196 5.600 5.550 5.360 16.510 5.503
SUM 47.839 67.246 68.075 183.160
DB JK KT
UL 2 18.3055 9.1527
VAR 14 55.1766 3.9410
TOTAL 45 85.7028
ERROR 28 12.2207 0.4360
KK 16.0%
BNT 5% 0.29
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
79
Tabel Lampiran 3. Analisis varian panjang tongkol, tahun 2004.
Kode I II III SUM Average
MD2-2 7.43 7.40 8.00 22.83 7.61
MD2-3 7.84 8.92 8.40 25.16 8.39
MD2-4 7.72 8.56 8.44 24.72 8.24
MD2-8 7.94 8.58 8.84 25.36 8.45
MD2-11 8.40 8.32 9.38 26.10 8.70
TL2-66 8.66 9.72 9.44 27.82 9.27
TL2-122 9.00 9.40 8.78 27.18 9.06
TL2-132 10.28 9.72 9.28 29.28 9.76
TL2-133 8.98 9.28 8.88 27.14 9.05
TL2-180 8.56 9.62 9.08 27.26 9.09
GL2-28 9.18 10.54 10.70 30.42 10.14
GL2-37 9.40 11.08 10.88 31.36 10.45
GL2-114 10.68 9.86 10.10 30.64 10.21
GL2-129 10.48 10.22 11.10 31.80 10.60
GL2-196 10.70 12.00 11.80 34.50 11.50
SUM 135.25 143.22 143.10 421.57
DB JK KT
UL 2 2.7813 1.3907
VAR 14 46.9286 3.3520
TOTAL 45 55.9278
ERROR 28 6.2178 0.2221
KK 2.0%
BNT 5% 0.5572
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
80
Tabel Lampiran 4. Analisis varian diameter tongkol (cm), 2004.
Kode I II III SUM Average
MD2-2 2.61 2.47 2.73 7.81 2.60
MD2-3 2.41 2.86 2.73 8.00 2.67
MD2-4 2.70 2.66 2.75 8.11 2.70
MD2-8 2.52 2.56 2.88 7.96 2.65
MD2-11 2.70 2.95 2.76 8.41 2.80
TL2-66 2.97 3.32 3.10 9.39 3.13
TL2-122 3.28 3.36 3.54 10.18 3.39
TL2-132 3.48 3.19 3.08 9.75 3.25
TL2-133 3.63 3.25 3.14 10.02 3.34
TL2-180 3.23 3.36 3.29 9.88 3.29
GL2-28 2.86 3.39 3.22 9.47 3.16
GL2-37 3.13 3.32 3.26 9.71 3.24
GL2-114 3.30 3.26 3.26 9.82 3.27
GL2-129 2.93 3.30 3.21 9.44 3.15
GL2-196 3.30 3.61 3.38 10.29 3.43
SUM 45.05 46.86 46.33 138.24
DB JK KT
UL 2 0.1062 0.0531
VAR 14 3.9463 0.2819
TOTAL 45 4.5738 -
ERROR 28 0.5213 0.2221
KK 4.46%
BNT 5% 0.1218
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
81
Tabel Lampiran5. Analisis varian bobot biji/tongkol (gram), 2004.
Kode I II III SUM Average
MD2-2 26.80 21.28 29.00 77.08 25.69
MD2-3 23.88 29.20 26.40 79.48 26.49
MD2-4 29.00 26.40 29.96 85.36 28.45
MD2-8 26.20 29.60 31.86 87.66 29.22
MD2-11 31.80 32.00 35.24 99.04 33.01
TL2-66 31.64 46.20 45.60 123.44 41.15
TL2-122 39.44 39.16 46.00 124.60 41.53
TL2-132 37.64 42.30 37.60 117.54 39.18
TL2-133 44.00 40.56 35.20 119.76 39.92
TL2-180 28.00 48.20 39.00 115.20 38.40
GL2-28 33.04 48.80 43.20 125.04 41.68
GL2-37 35.90 50.60 44.60 131.10 43.70
GL2-114 43.26 39.80 49.20 132.26 44.09
GL2-129 37.00 43.80 46.80 127.60 42.53
GL2-196 51.82 64.20 49.90 165.92 55.31
SUM 519.42 602.10 589.56 1711.08
DB JK KT
UL 2 264.73008 132.36504
VAR 14 2720.40039 194.314316
TOTAL 45 3676.66928
ERROR 28 691.53881 24.6978
KK 13.0%
BNT 5% 5.8760
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
82
Tabel Lampiran 6. Hasil per petak, dan konversi ton/ha, serta prosentase terhadap
varietas petani di 2 lokasi. 2004.
Lokasi Manding % terhadap
VAR 1 2 3 SUM Average t/ha kontrol
MD2-8 0.80 1.90 1.90 4.60 1.53 1.02 67.1
MD2-11 2.75 3.20 3.10 9.05 3.02 2.01 132.3
MD-
PET 3.90 1.15 1.80 6.85 2.28 1.52 100
TL2-66 1.70 1.95 0.85 4.50 1.50 1.00 140.2
TL2-132 0.70 2.55 2.35 5.60 1.87 1.25 174.8
TL-PET 1.40 0.40 1.40 3.20 1.07 0.71 100
GL2-28 2.90 4.00 3.40 10.30 3.43 2.28 246.7
GL2-114 2.15 3.20 3.20 8.55 2.85 1.90 205
GL-PET 1.60 0.90 1.60 4.10 1.37 0.93 100
Lokasi Ganding
MD2-8 8.13 10.19 4.65 22.97 7.66 1.70 100
MD2-11 12.99 11.92 5.29 30.20 10.07 2.24 130
MD-PET 9.32 7.93 5.86 23.11 7.70 1.71 100
TL2-66 8.37 7.72 9.17 25.26 8.42 1.87 72.29
TL2-132 16.30 17.23 10.23 43.76 14.59 3.24 125
TL-PET 11.14 12.10 11.70 34.94 11.65 2.59 100
GL2-28 18.86 18.90 17.57 55.33 18.44 4.09 101
GL2-114 13.27 16.62 13.34 43.23 14.41 3.20 79.2
GL-PET 18.77 17.75 18.00 54.52 18.17 4.03 100
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
83
SISTEM MANAJEMEN KLASTER UKM AGRIBISNIS
“SEBUAH UPAYA PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI
PEDESAAN”BERBASIS HORTIKULTURA DI JAWA TIMUR
Moeljo Kurniawan*)
LATAR BELAKANG
A. Falsafah bisnis
Agribusiness that We live in. Agribisnis adalah tempat dimana kami hidup.
Secara lebih mendalam lagi dapat dimaknai sebagai : Agribisnis adalah lahan
kehidupan sekaligus pengabdian. Hidup dalam kebersamaan dan penuh
keharmonian. Dengan falsafah ini KLASTER UKM AGRIBISNIS CAPRINA
dibangun dan dikembangkan. Berupaya maju serta tumbuh bersama membangun
agribisnis dan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
B. Visi caprina
Terbangunnya suatu sistem agribisnis yang adil serta “efisien, profit, inovatif,
kompetitif, dan tumbuh berkelanjutan”.
Pemeran dan pelaku utama agribisnis adalah masyarakat petani kecil secara
luas. Mereka bekerja bersama dalam suatu jaringan klaster UKM agribisnis yang
efektif, efisien dan tumbuh berkelanjutan, berupa : pengembangan jaringan usaha
agribisnis mulai hulu sampai hilir dalam manajemen yang solid dan terintegrasi
untuk mencapai keberhasilan usaha yang berkelanjutan dan juga dapat menjawab
berbagai tantangan zaman yang semakin kompetitif dan mengglobal.
C. Tata nilai klaster ukm agribisnis
Membangun keharmonian hidup bersama secara langgeng dengan
menerapkan pola hidup berbagi peran, berbagi kontribusi dan berbagi manfaat
sesuai kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki. Menuju bentuk “urip guyub rukun seduluran toto sandang pangan pinuju sejahtera lahir- bathin”.
D. Tujuan
1. Mengembangkan jaringan pasar captive di berbagai lokasi yang mudah
diakses oleh UKM agribisnis untuk memantapkan pertumbuhan usaha secara
berkesinambungan.
2. Mempercepat peningkatan kapasitas dan kualitas SDM petani dan pelaku
home industri pangan pedesaan melalui berbagai upaya produktif.
3. Meningkatkan standar mutu, pengakuan sertifikasi mutu dan daya saing
aneka produk pertanian segar dan olahan milik UKM agribisnis pedesaan.
4. Melakukan inovasi dan kerjasama dengan berbagai pihak untuk
mempercepat peningkatan efektifitas dan efisiensi jaringan klaster UKM
agribisnis.
_________________ *) Pusat Pengembangan Klaster UKM Agribisnis CAPRINA – MALANG
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
84
SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER UKM AGRIBISNIS CAPRINA
KIAT SUKSES PENGEMBANGAN KLASTER UKM AGRIBISNIS
Layanan Dasar Utama
1. Layanan Pasar Captive dan PTC Pemasaran
Layanan pasar captive dan PTC Pemasaran yang telah ada berupa outlet
yang telah terbangun & dimiliki CAPRINA di Malang-Batu hingga saat ini bisa
dimanfaatkan sebagai penyerap produk yang dihasilkan home industri
pertanian/pangan pedesaan. Pada awalnya persentase produk yang masuk dari
home industri antara 50 – 70 % dari total produksi, beberapa home industri binaan
baru bahkan menjual sampai 100 % (menyerap semua produksi).
Melalui sarana pemasaran ini diberlakukan kuota pasar (pembatasan jenis
dan jumlah produk terkirim) dari home industri ke outlet untuk pembagian peran,
kontribusi dan manfaat. Pemberlakuan kuota pasar disesuaikan dengan
karakteristik ketersediaan bahan baku di setiap daerah (pola input luar rendah).
Klaster industri pedesaan (klaster apel, salak, nangka, pisang, ubi kayu, ubi jalar,
dll) mulai tumbuh secara terspesialisasi di beberapa daerah. Pola ini bertujuan juga
untuk mengupayakan peningkatan efisiensi usaha, pengendalian (kontinuitas
produksi, demand dan suplai pasar, stabilitas harga dan mutu produk) serta
pengendalian tingkat kompetitivenes produk di pasaran dalam jangka panjang.
Pengendalian kuota pasar dilakukan secara ketat untuk memberi kesempatan
kepada home industri pedesaan tumbuh sesuai karakteristik bahan baku yang
tersedia di sekitarnya. Pola ini juga untuk menghindari budaya “anut grubyuk” atau
ikut-ikutan memproduksi barang sesuai trend yang sedang terjadi. Penghargaan
terhadap inovasi, kreasi, dan semangat kerja yang tinggi perlu mendapatkan
apresiasi. Dalam jangka panjang langkah ini telah membangun semangat kerja
keras dan semangat kebersamaan.
Sarana pemasaran dan promosi ini juga memiliki fungsi lain yang sangat
penting, yakni sebagai PTC (Practical Training Centre) Pemasaran dan Quality Assurance. Sebuah sarana belajar sederhana dan murah serta efektif dan efisien
bagi pelaku home industri pedesaan, baik yang sudah lama maupun baru atau yang
akan memasuki dunia industri pertanian. Puluhan home industri baru berdiri dan
berkembang dengan sarana dan metode belajar ini. Pelaku home industri belajar
memahami perilaku pasar dari waktu ke waktu secara kontinu. Calon home industri
baru belajar dari kesuksesan sesamanya.
Kiranya sudah cukup layak kosa kata baru di dunia pertanian - “Sarana Pemasaran Pertanian”- mendapatkan apresiasi positif. Sebuah kosa kata yang kami
amanatkan kepada departemen pertanian atau departemen lainnya dan semoga
akan segera menjadi kosa kata baru di kampus-kampus pertanian, mendampingi
kosa kata terdahulu “Sarana Produksi Pertanian” yang telah lama belum ada
pasangan serasinya.
Kemudahan akses pasar captive ternyata adalah kata kunci pembuka utama
keberhasilan pengembangan home industri pertanian pedesaan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
85
2. Layanan Pembayaran/Perputaran Cepat (ROA Tinggi)
Layanan pembayaran cepat juga telah dikembangkan di outlet CAPRINA di
Malang-Batu. Hingga saat ini bisa dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran bagi
home industri pertanian pedesaan dalam mensikapi perilaku pasar. Bisa
dibayangkan jika pola konsinyasi jangka panjang masih dialami oleh home industri.
Mereka akan membutuhkan modal kerja yang besar. Belum lagi biaya distribusi
yang naik tajam akibat kenaikan harga BBM yang tajam dan biaya perjalanan serta
SDM penjualan. Efisiensi usaha ini akan rendah. Dan pada gilirannya akan
menurunkan daya saing usaha di sektor ini.
Adanya sarana pemasaran dan PTC pemasaran tidak akan efektif membantu
home industri pedesaan jika pola pembayaran masih dengan jatuh tempo yang
sangat lama. Sehingga kebutuhan modal bagi pelaku sektor ini menjadi besar.
Padahal problem ketersediaan dana menjadi salah satu elemen yang menjadi
problem utama sektor UKM agribisnis ini. Pola pembayaran cepat diterapkan dengan cara sederhana : mengirim dengan periode waktu yang pendek atau sering mengirim dan sesering mungkin mendapatkan pembayaran.
Pola pembayaran cepat ini akan meningkatkan perputaran modal (ROA
tinggi) dan selanjutnya akan meningkatkan keuntungan per satuan modalnya (ROI
tinggi). Pola ini telah berhasil meningkatkan likuiditas dan profitabilitas bagi home
industri pedesaan. Bagi pengelola outlet juga mendapatkan keuntungan berupa
produk yang selalu baru sehingga mutu produk menjadi tinggi. Nuansa berbagi
kontribusi dan manfaat antara pengelola outlet dan pelaku home industri nampak
nyata disini. Mutu produk yang tinggi akan mempengaruhi penjualan di outlet dan
pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan kepada pelanggan dan
selanjutnya akan meningkatkan omset penjualan. Hasilnya beberapa home industri
anggota klaster telah “Bankable” sehingga dipercaya untuk mendapatkan kucuran
pembiayan dari beberapa bank besar (al. Bank Jatim, Bank Mandiri, Bank BRI dan
Bank Danamon).
Efek positif berganda lainnya adalah berupa kemudahan dalam pengelolaan
usaha secara keseluruhan. Pembayaran kepada karyawan yang di pedesaan biasa
dilakukan secara harian atau mingguan dapat dengan mudah dipenuhi secara tepat
waktu. Jelas ini akan mempengaruhi semangat kerja dan pada gilirannya akan
berpengaruh terhadap mutu produk.
Layanan pembayaran cepat atau kemudahan pencairan dana/likuiditas
adalah kata kunci pembuka kedua untuk menjaga stabilitas mutu dan
meningkatkan performance keuangan home industri pedesaan.
3. Layanan Pembinaan Teknologi dan Mutu Produk
Pembinaan kepada home industri pada awalnya dilakukan oleh CAPRINA
langsung ke lokasi secara periodik. Pembinaan difokuskan pada pemilihan dan
pengendalian mutu bahan baku serta bahan pendukung, pemilihan bahan makanan
tambahan, pemilihan bahan dan disain kemasan, perbaikan formulasi, perbaikan
teknis proses, perbaikan tata letak home industri serta standar harga. Program ini
telah dilakukan selama 2-3 tahun.
Setelah standar mutu produk dan manajemen usaha sudah cukup baik.
Pembinaan dengan turun langsung ke lokasi mulai dikurangi. Penyebab lainnya
adalah sudah semakin banyak jumlah dan semakin luasnya sebaran wilayah home
industri binaan. Pola ini sudah kurang efektif dan efisien lagi.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
86
Pola baru mulai diterapkan yakni pola belajar dari sesamanya. Pola ini adalah
pola sederhana dalam pembinaan teknologi dan mutu produk. Pembinaan mulai
banyak dilakukan di outlet. Berupa memberikan kisah sukses pelaku home industri
kepada pelaku home industri lainnya yang kurang sukses atau yang masih calon.
Sering kali juga dilakukan kunjungan ke lokasi home industri anggota yang sudah
berkembang, sehingga dapat dijadikan sebagai lokasi PTC (Practical Training
Centre) atau tempat belajar bersama bagi home industri atau petani lain yang
kurang berkembang. Pola ini ternyata cukup berhasil untuk meningkatkan
performance produk dan manajemen usaha secara keseluruhan.
Sekarang CAPRINA telah memiliki jaringan PTC yang cukup banyak. PTC
aneka buah dan sayur olahan milik CAPRINA di Junrejo - Batu, PTC aneka pisang
olahan di Lumajang, PTC aneka apel olahan di Batu, dan masih banyak PTC-PTC
lainya sesuai karakteristik produk. Mereka ini pelaku home industri yang juga
memiliki kepedulian untuk menolong sesamanya dalam meraih kemajuan usaha.
Persayaratan keberhasilan 3 langkah tersebut di atas adalah sbb :
Syarat 3 langkah ini bisa berjalan dengan baik dan berhasil adalah jika
terdapat kerjasama yang harmonis antara pengelola klaster dengan anggota
jaringan. Pengelola klaster UKM agribisnis (pengelola jaringan) harus memiliki
karakter jujur dan dapat dipercaya (amanah) oleh anggota jaringan dalam menjaga
kuota pasar dan menjaga ketepatan waktu pembayaran yang telah disepakati
bersama. Faktor kunci lain yang sangat penting adalah tidak mengambil peran
(mengambil alih suplai produk) dari home industri setelah melihat keuntungan
yang besar/menggiurkan.
Syarat tambahan lainnya adalah pemahaman pengelola klaster terhadap arah
perkembangan pasar ke depan dan pemahaman akan perkembangan dan penerapan
teknologi proses serta standardisasi mutu produk yang dibutuhkan konsumen.
Persyaratan ini jika dipenuhi, maka akan membangun rasa percaya/trust
yang tinggi antara pengelola klaster dengan home industri jaringannya.
Selanjutnya akan menumbuhkan semangat kerja dan berprestasi yang nyaman.
Suasana demokratis, penuh persaudaraan dan kebersamaan serta dilandasi
rasa tanggung jawab yang tinggi ini mampu dijadikan sebagai “Forum Etika Bisnis”
yang disepakati antar pengelola dan sesama anggota. Berbagai peran, berbagi
kontribusi dan berbagai manfaat, telah menjadi semangat bersama untuk meraih
prestasi lebih baik di masa akan datang. Majunya usaha tidak boleh meninggalkan
budaya adiluhung, berupa menjaga persaudaraan dan kepercayaan serta membina
semangat dan suasana hidup “maju bersama dalam keharmonian”.
Layanan insentif penguat jaringan
1. Layanan Kendali Mutu Produk (Zero Return System)
Seberapapun besarnya penjualan produk tetapi jika memiliki tingkat
pengembalian yang tinggi sehingga produk kembali dalam keadaan rusak, maka
akan mengurangi tingkat keuntungan bahkan sering sampai menimbulkan
kerugian usaha. Sistem tingkat kembali nol (Zero Return System) adalah sistem
pembelian cash/putus berjatuh tempo tanpa ada produk kembali. Produk rusak
karena kesalahan outlet tidak dikembalikan ke home industri. Sistem ini akan
meningkatkan keberhasilan pemasaran produk home industri pedesaan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
87
Selanjutnya akan menjaga dan bahkan akan meningkatkan keuntungan home
industri. Sistem ini akan mendidik dan merangsang home industri untuk
meningkatkan mutu produk dan kemasannya.
2. Layanan Kemudahan Dukungan Keuangan (LKMA)
Layanan kemudahan dukungan keuangan melalui Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis (LKMA) baru akan dikembangkan. Telah tersedia dana awal berupa dana
abadi yang merupakan hibah dari pemerintah Belanda untuk mengembangkan
lembaga ini. Saat ini telah dilakukan persiapan dan pembinaan kader pengelola
lembaga keuangan ini. Insya Allah, jika semuanya lancar awal 2006 lembaga ini
akan berdiri dan beroperasi.
LKMA ini pada tahap awal akan memfokuskan diri menjadi lembaga
investasi pengembang agribisnis pedesaan, yang berperan mengumpulkan dana dari
anggota dan masyarakat. Dana yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk
beberapa kegiatan, antara lain :
Investasi penambahan outlet baru.
Peningkatan kapasitas produksi atau mutu home industri.
Pendirian unit home industri baru
Pendirian Unit Bisnis Bersama.
Pengembangan jaringan outlet baru bertujuan untuk memperluas penetrasi
pasar sehingga akan mempercepat pengembangan omset/kapasitas produksi home
industri pedesaan. Pengembangan pasar dimaksudkan juga untuk meningkatkan
jumlah home industri anggota. Efek berganda yang diharapkan adalah terjadinya
pengembangan paralel berupa pengembangan lembaga keuangan, peningkatan
jumlah outlet dalam jaringan serta peningkatan jumlah dan atau peningkatan
kapasitas produksi home industri.
Multiplier efek yang lainnya adalah terciptanya kolaborasi/kerjasama usaha
antara sarjana baru binaan klaster agribisnis CAPRINA (Anggota The Youth of
Agribisnis Club) dengan petani produsen bahan baku. Sebuah kolaborasi manis
yang akan membangun “Program Bangga Suka Kerja Di Desa”. Kembalinya
sumberdaya manusia terdidik, terlatih dan trampil ini ke pedesaan dengan bangga
serta penuh kesadaran yang tinggi diharapkan akan memberi nuansa baru bagi
pengembangan perekonomian dan pengembangan pertanian di pedesaan. Saat ini
telah dididik beberapa kader (alumni perguruan tinggi) untuk pengembangan home
industri pertanian pedesaan. Kerjasama juga dilakukan antara Pusat Pengembanga
Klaster UKM Agribisnis CAPRINA dengan UNISMA (UNIVERSITAS ISLAM
MALANG) melalui pengembangan Diploma 1 agribisnis spesialisasi : Teknis dan
manajemen industri pengolahan sari dan kripik buah.
Penggunaan dana yang terakhir adalah untuk pendirian Unit Bisnis
Bersama. Unit ini berada dibawah LKMA atau dapat berdiri sendiri. Unit ini akan
mengembangkan pola sederhana berupa “Program Beli Bersama”. Jaringan home
industri yang sudah ada dan berkembang merupakan pasar/pembeli potensial dan
rutin berupa aneka produk bahan baku dan bahan penunjang produksi, antara lain :
Minyak goreng, Gula
Bahan makanan tambahan
Plastik, Cup, Botol, Aluminium Foil
dll.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
88
Program ini tentu akan meningkatkan efisiensi dan sangat berpeluang untuk
mendapatkan keuntungan tambahan, karena membeli produk bersama dalam
jumlah besar dari pabrikan/produsen besar dan tentu dengan marjin yang lebih
menguntungkan.
3. Layanan Dukungan Peningkatan Kesejahteraan
Hasil usaha dari lembaga keuangan mikro agribisnis dan unit bisnis bersama
ini akan dikembangkan sampai taraf tertentu. Keuntungan yang didapatkan akan
digunakan untuk pemberian insentif bagi anggota jaringan klaster. Berupa dana
pembelian premi asuransi/berupa saham yang tidak boleh diambil sampai usia
tertentu. Besarnya dana ini dihitung sesuai jumlah kontribusi pembelian masing-
masing anggota. Hampir mirip dengan pola SHU dalam koperasi. Dana ini nantinya
akan dijadikan dana tunjangan hari tua atau dana kesejahteraan pensiun.
Penggunaan dana lainnya adalah untuk kegiatan pendidikan latihan atau dana
santunan kesehatan atau pendidikan keluarga anggota.
Program yang belum terlaksana adalah program ini. Menurut perkiraan
program ini akan terlaksana paling lama tahun 2007. Hal ini disesuaikan oleh
banyaknya jumlah anggota jaringan outlet baru yang berdiri serta banyaknya
jumlah home industri pedesaan yang bergabung menjadi anggota klaster.
“Modal Sosial Positif” berupa suasana hidup yang egaliter dan toleransi yang
tinggi, jauh dari kesan tamak/mementingkan diri sendiri, budaya hidup saling
membantu dan bekerja sama yang erat merupakan modal awal yang mahal yang
dimiliki jaringan klaster agribisnis CAPRINA ini. Persaudaraan dan kebersamaan
usaha yang telah terbangun cukup lama (3-4 tahun) ini dirasakan akan menjadi
jalan bagi munculnya keberkahan usaha serta membangun keberkahan hidup.
Semoga Allah SWT senantiasa berada di dalam sebuah jamaah usaha yang
menyenangkan seperti ini. Amien.
Adapun bagan sistem pengembangan jaringan klaster UKM agribisnis
CAPRINA sebagai berikut.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
89
PROSES PERJALANAN YANG TELAH DICAPAI
Sistem manajemen rantai suplai
Komponen rantai suplai terdiri dari :
1. Jaringan Trading House/Outlet
Jaringan trading house/outlet terdiri dari 2 model. Model pertama adalah
jaringan internal klaster dan model kedua adalah sister outlet. Terdapat 2 buah
jaringan outlet internal klaster, a.l :
a. Pusat Oleh – Oleh Khas Malang di Jl. Raya Tlogomas 45 Malang
b. Pusat Oleh – Oleh Khas Batu di Jl. Raya Diponegoro 86 Batu
Terdapat 4 buah sister outlet yang terdapat di Malang. Trading house yang
berjumlah 6 buah inilah yang menjadi lokomotif utama bagi tumbuh dan
berkembangnya bisnis anggota klaster UKM agribisnis ini. Disamping terdapat juga
pembeli besar rutin dari luar Malang dan beberapa outlet lain yang menjadi pasar
penopang bisnis anggota klaster.
Fungsi trading house/outlet ini ganda, antara lain :
Pertama sebagai pasar captive dan media promosi yang efektif bagi
pengembangan produk anggota. Kedua sebagai tempat diklat pemasaran dan Quality
Assurance atau Practical Training Center.
Ketersediaan jaringan outlet inilah yang menjadi faktor utama pemicu
pertumbuhan UKM agribisnis secara berkesinambungan tetapi sering terlupakan
dalam penganggaran pembuatan program/kebijakan pembangunan pertanian dan
UKM di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
90
Fungsi lain dari trading house/outlet ini yang tidak kalah penting adalah
sebagai pusat data perilaku konsumen. Banyak ragam informasi yang dapat
dikumpulkan dari jaringan trading house ini bagi anggota klaster. Antara lain :
Produk yang sangat dibutuhkan dan kurang dibutuhkan pelanggan.
Standar mutu produk dan kemasan yang dibutuhkan pelanggan.
Standar harga yang diterima pasar.
Data keragaan jenis, harga dan standar mutu produk pesaing.
Data perkembangan penjualan masing-masing jenis produk secara
periodik selama satu tahun.
Data “live” dan penting inilah yang sangat membantu sebagai modul
pelatihan tentang manajemen dan strategi pemasaran yang efektif dan efisien dalam
suatu pelatihan UKM. Anggota kami telah terlatih secara rutin dan bertahap
dengan data yang valid dan selalu “up to date” dari tahun ke tahun.
Motto PTC Pemasaran dan Quality Assurance adalah : Mampu melayani dan
mendidik anggota klaster secara murah, cepat dan tepat.
2. Jaringan Home Industri Pangan Pedesaan
Data perkembangan bisnis jaringan home industri pangan pedesaan, anggota
klaster UKM agribisnis Caprina sampai dengan akhir 2005 adalah sbb :
a. 107 home industri pangan pedesaan.
b. Memiliki 1.450 s/d 1.500 karyawan.
c. Menjadi pasar bagi 7.700 s/d 8.000 petani dan pedagang.
d. Jenis produk berkisar 105 produk (berupa produk aneka buah, sayur, ubi
olahan serta aneka camilan lainnya).
e. Lokasi home industri tersebar di beberapa daerah, antara lain : Kab/Kota.
Malang, Batu, Lumajang, Mojokerto, Kediri, Blitar, Bojonegoro, dan
Madiun.
f. Total omset bisnis anggota jaringan klaster UKM agribisnis CAPRINA
adalah sbb :
tahun 2002 berkisar 8 milyar per tahun.
tahun 2003 berkisar 11,5 milyar per tahun.
tahun 2004 berkisar 20,5 milyar per tahun.
tahun 2005 berkisar 24,5 - 25 milyar per tahun
Fungsi home industri pangan juga ganda. Disamping menjadi pasar dan
memberi nilai tambah bagi pelaku, tenaga kerja dan petani pedesaan. Juga mampu
sebagai PTC atau Practical Training Center aneka industri pengolahan buah, ubi
dan sayur. Banyak sesama petani dari berbagai daerah di tanah air berkunjung,
belajar, dan magang di beberapa home industri ini. Banyak mahasiswa dan sarjana
dari berbagai PT dari seluruh Indonesia juga belajar dari home industri ini. Model
belajar dari pengalaman sesamanya dan dengan cara yang sederhana ini adalah
metode belajar yang murah, efektif dan efisien. Pembangunan karater dan tata nilai
anggota klaster mulai terbangun dengan semangat kepedulian ini.
3. Jaringan Petani Produsen dan Pedagang Bahan Baku
Jaringan petani produsen bahan baku secara alami mulai terbangun hal ini
disebabkan : adanya kebutuhan pasar yang “captive”, rutin, dan berjangka panjang
dengan home industri pangan pedesaan. Beberapa kelompok petani dan pedagang
yang mendapatkan nilai tambah dari sinergi tersebut a. l. :
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
91
a. Kelompok petani apel di Malang dan Batu
b. Kelompok petani salak, nangka dan pisang di Malang dan Lumajang
c. Kelompok petani dan pedagang mangga dari Situbondo, Probolinggo
dan Pasuruan
d. Kelompok petani nanas dan blimbing di Blitar
e. Kelompok petani ubi jalar di Mojokerto
Saat ini terdapat perkembangan kapasitas dan kualitas petani secara alamiah
dan penting, berupa : transformasi dari petani budidaya menjadi petani industri.
Beberapa model yang sudah berkembang adalah :
Petani apel sekaligus pelaku home industri jenang/dodol dan sari apel
Petani salak sekaligus pelaku home industri jenang/dodol salak
Petani ubi jaar sekaligus pelaku home industri kripik ubi jalar
Petani kentang sekaligus pelaku home industri kripik apel
Proses terjadinya transformasi dan nilai tambah ini diakibatkan juga oleh
proses pembelajaran dan contoh perkembangan home industri pengolahan di
pedesaan. Pembinaan dari CV. Caprina kepada petani dengan memberi pasar
captive dan program inkubator wirausaha baru melalui PTC sangat efektif dan
efisien untuk merubah kapasitas dan kualitas SDM mereka.
4. Program Pembinaan Anggota Klaster UKM Agribisnis
Program pembinaan anggota UKM agribisnis selama ini dilakukan oleh CV.
Caprina secara mandiri dan tanpa dipungut pembayaran (gratis). Program ini
dimaksudkan untuk membantu mempercepat peningkatan kapasitas dan kualitas
SDM dan produk, serta penguatan kerjasama usaha klaster UKM agribisnis dalam
jangka panjang. Adapun model pola pembinaan sbb :
a. Pembinaan Pola Klinik Usaha
Kegiatan ini dilakukan di unit trading house/outlet CV. Caprina kepada
anggota klaster, secara personal dan “face to face”. Hal ini disebabkan
masing-masing anggota memiliki problem dan pola pengembangan yang
spesifik. Pola klinik ini sekarang berkembang menjadi “Practical Training
Centre” bidang Pemasaran dan Jaminan Mutu.
b. Pembinaan Pola Kunjungan Lapang
Kegiatan ini dilakukan oleh Caprina di lokasi UKM agribisnis berada. Fungsi
pola ini adalah untuk melihat dari dekat lokasi dan kondisi usaha secara
langsung sehingga problem yang dihadapi dan pola pengembangan usaha
yang akan ditempuh/dipilih semakin mudah untuk dicarikan model solusinya.
c. Pengawasan Standar Mutu Produk
Pembinaan ini dilakukan di unit packaging dan pengawasan mutu produk.
Anggota yang menyetorkan produk akan di grading ulang, dengan cek fisik,
rasa, bau, disain serta mutu bahan kemasan. Secara bertahap standar mutu
ditingkatkan. Dalam jangka panjang standar mutu produk UKM agribisnis
jaringan CAPRINA harus memenuhi standar tertentu (Bintang 1, Bintang 2
dan Bintang 3) sehingga secara bersama-sama nantinya akan memiliki
standar kualitas ekspor.
d. Pembinaan Inkubator Wira Usaha Baru (INWUB)
Pola ini dilakukan oleh CAPRINA untuk UKM Agribisnis yang baru.
Terutama petani atau kelompok petani pedesaan yang memiliki komoditi
unggulan lokal. Mereka akan dididik dan dibina mulai dari teori sampai
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
92
teknis dan manajemen usaha home industri pangan sesuai dengan
komoditinya masing-masing. Pola ini dkenal dengan nama program Inkubator
Wirausaha Baru.
5. Program Pengembangan SDM dan Anggota Jaringan Klaster UKM Agribisnis Baru
Anggota Jaringan klaster UKM Agribisnis yang ada sekarang mayoritas
berlatar belakang pendidikan SD-SLTA. Hanya sedikit SDM pengelola home
industri yang berijasah D3 atau Sarjana (10%). Kualitas SDM tersebut sangat sulit
untuk mempercepat pengembangan home industri pedesaan dalam jangka panjang.
Untuk tujuan tersebut dibentuklah The Youth of Agribusiness Club (YOA) pada akhir tahun 2003, yang beranggotakan mahasiswa dan sarjana baru dari
berbagai disiplin ilmu dan dari beberapa perguruan tinggi di Malang. Kegiatan club
ini difokuskan pada pelatihan teknis dan manajemen rantai suplai yang efektif dan
efisien serta kekhususan pada pengolahan produk pertanian berbasis aneka buah
dan sayur tropis olahan.
Dalam jangka panjang, program ini juga bertujuan untuk menjadikan home
industri model yang dikelola oleh para sarjana baru ini sebagai industri
penghela/pembina bagi industri kecil milik masyarakat yang berada disekelilingnya,
sehingga akan mempercepat proses pengembangan home industri pertanian di
pedesaan.
Sebagian SDM hasil pembinaan program ini telah menjadi manajer pengelola
unit home industri model aneka buah dan sayur tropis olahan milik CV. CAPRINA
di Junrejo – Batu. Sebagian yang lain mengelola unit home industri sendiri dan
menjadi anggota jaringan klaster agribisnis CAPRINA.
FAKTOR PENUNJANG KEBERHASILAN YANG BERKELANJUTAN
Bekerja sendiri tentu terasa kesepian kecuali akan bercita-cita menjadi
pertapa sakti. Bersinergi tentu merupakan jalan yang harus dilalui untuk meraih
perkembangan yang signifikan. CAPRINA telah berbuat tetapi hanya peran kcil
saja. Dunia pertanian begitu luas, dari puncak gunung sampai laut lepas. Meliputi
ribuan macam komoditi. Banyak daerah yang masih menunggu sumbangsih kita
semua. Sangat tidak mungkin bekerja sendirian tanpa melakukan kerjasama atau
bersinergi dengan pihak lain.
Terdapat beberapa pihak yang secara strategis sangat penting untuk
disinergikan. Pihak-pihak tersebut antara lain :
Pemerintah
Lembaga keuangan
Lembaga penelitian
Perguruan tinggi
Pengusaha agribisnis
Petani atau kelompok tani atau asosiasi petani
Kelompok-kelompok strategis ini harus saling bekerjasama dan bersinergi
secara baik sehingga akan memberikan dampak yang luas. Secara umum dapat
dikemukakan bahwa terdapat 3 kelompok besar yang harus bersinergi untuk
menghasilkan hasil yang gemilang. 3 kelompok tersebut adalah :
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
93
Yang memiliki kuasa : Pemerintah
Yang bisa : Peneliti dan Perguruan tinggi
Yang mengerti : Pelaku usaha agribisnis (petani, pedagang, industri)
Jika yang kuasa mau memahami yang mengerti dan yang bisa. Dan
sebaliknya, maka sesuatu menjadi berhasil guna. Tetapi jika yang mengerti sok bisa
dan sok kuasa atau sebaliknya, maka kegagalannya yang bisa kita raih.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
94
PENGELOLAAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN
Willopo Koeswardoyo*)
Pertanian di Indonesia, khususnya buah-buahan, sampai saat ini hanya
sebatas berproduksi apa adanya, sedangkan di beberapa negara, pertanian sudah
merupakan industri. Kalau pertanian sudah bisa menjadi sebuah industri, maka
tentunya akan bisa menghasilkan devisa bagi negara ini dalam jumlah yang cukup
signifikan. Pengertian yang dapat kita sederhanakan ialah ketersediaan produk
secara berkesinambungan dan terjadual. Tentunya dengan sangat memperhatikan
aspek kualitas. Untuk melangkah kesana, semestinya tidak hanya menjadi tugas
satu lembaga tertentu saja, tetapi justru menjadi tugas kita semua yang hadir disini.
Mengapa demikian? Karena butuh ketersediaan lahan pertanian, butuh petani yang
handal, butuh teknologi yang memadai, butuh pangsa pasar yang jelas, dan
akhirnya butuh permodalan yang cukup. Apabila semua kebutuhan itu dapat
disinergikan, niscaya pertanian kita akan menjadi sebuah industri, yang pada
akhirnya akan bisa bersaing di pasar internasional.
Ini semua bukan hanya sebuah wacana melainkan butuh kerja keras dari
semua pihak, dan butuh kerendahan hati untuk bisa menerima masukan baik
berupa kritik maupun saran dari semua pihak, khususnya dari pihak-pihak yang
memiliki kompetensi yang tinggi untuk memajukan wajah pertanian di Indonesia.
Berangkat dari semua hal diatas, khususnya untuk menjadikan pertanian
menjadi industri, kami sedang memulai untuk berindustri melon. Pasar yang
menjadi target adalah pasar lokal dan pasar ekspor.
Kendala:
A. Dari sisi petani
1. Pola pikir & sikap mental.
2. Ketersediaan lahan.
3. Teknologi budidaya (penanggulangan hama, dll).
4. Pangadaan pupuk dan benih unggulan.
5. Pendanaan.
B. Dari sisi pengusaha:
1. Kesinambungan penyediaan produk (pengaturan masa panen).
2. Membuat terobosan pasar.
3. Diversifikasi produk.
4. Kemasan
5. Teknologi pendinginan (cold chain).
6. Pendanaan.
________________ *)
PT. Nusantara Persada Hijau, Surabaya
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
95
Kendala Pasar (Khususnya Ekspor)
- Sarana untuk menginformasikan produk
- Pembandingan harga
- Kesinambungan produk
- Penjaminan kesamaan kualitas produk
- Sarana rantai pendingin (cold chain)
Yang Sudah Dilakukan:
1. Mengadakan pendekatan secara kultural kepada petani.
2. Bekerjasama dengan Dinas Pertanian Jawa Timur untuk informasi lahan
pertanian.
3. Bekerjasama dengan Dinas Pertanian Jawa Timur mengadakan seminar atau
pelatihan untuk membekali petani tentang pengetahuan produk.
4. Mencari informasi mengenai kebutuhan pasar domestik akan produk yang
diminati, salah satunya melalui jaringan supermarket yang ada.
5. Informasi akan pasar ekspor dapat dicari melalui media internet atau dengan
cara mengikuti pameran di luar negeri.
6. Membantu melakukan penerapan teknologi pendinginan apabila nantinya
ekspor ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut (reefer container).
7. Memberikan informasi kepada petani mengenai penggantian pupuk atau obat
dengan bahan dasar yang sama.
8. Mendampingi petani selama proses penanaman sampai pemanenan untuk
mempersiapkan petani supaya bisa mandiri.
9. Membuat Kemasan yang sesuai dengan produk.
10. Membantu pendanaan sebatas kemampuan.
Harapan:
a. Menjadikan Jawa Timur (Indonesia) sebagai salah satu pengekspor buah tropis
dengan harga dan kualitas yang dapat bersaing di pasar Internasional.
b. Merubah wajah pertanian di Jawa Timur supaya dapat tercipta iklim Agro Industri.
c. Kemudahan pendanaan dari sektor perbankan.
d. Jaminan dari Pemerintah mengenai peraturan (Regulasi).
e. ORA ET LABORA !!!
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
96
MEMBANGUN IMAGE BISNIS HORTIKULTURA
Djoko Soedibjo, lr, MM *)
A. Latar Delakang
Pada era otonomi daerah, untuk mensukseskan pembangunan dan
meningkatkan penghasilan masyarakat ekonomi lemah, khususnya pada
kabupaten-kabupaten dengan potensi ekonomi disektor pertanian, maka
peningkatan kesejahteraan petani sangat diutamakan oleh pemerintah,
karena dengan meningkatnya penghasilan masyarakat kecil (petani) yang
akhirnya juga akan meningkatkan Pendapatan Asli Pemerintah (PAD).
Di samping itu untuk menghadapi persaingan di era perdagangan bebas,
dimana pasar lokal kita sudah diserbu oleh berbagai komoditas impor dengan
tingkat yang sudah mulai mengancam produk lokal, maka Pemerintah berusaha
mendukung UKM/Petani dengan berbagai macam program dan fasilitas, yang salah
satunya adalah program pemberdayaan petani, agar petani dapat meningkatkan
daya saing dan penghasilannya. Narnun program tersebut hingga saat ini masih
pada tahap wacana artinya belum terdapat suatu program riil yang mampu
memberikan hasil sebagaimana diharapkan oleh semua pihak.
Dalam upaya memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan petani
nampaknya perlu suatu program secara simultan yang mengacu kepada
permasalahan yang dihadapi petani. Permasalahan utama yang dihadapi petani
pada semua komoditi hingga kini adalah masalah pasar dan tidak adanya jaminan
harga. Pada saat panen petani selalu mengeluh bahwa pasar untuk komoditii yang
dipanen tidak ada dan sulit dicari.
Konsekuensi yang harus diterima petani adalah kondisi harga yang sering
kali sangat tidak menguntungkan petani . Sedangkan masalah produktivitas dan
kualitas pada hakekatnya hanyalah sebagai akibat tidak adanya jaminan pasar dan
harga pada petani, sehingga petani tidak tertarik untuk meningkatkan
produktivitas maupun kualitas selama jaminan pasar dan harga tidak diperoleh
petani. Kondisi ini yang menyebabkan petani semakin tidak berdaya menghadapi
pasar dan persaingan dengan komoditi impor yang semakin hari semakin besar
proporsinya dalam menguasai pasar.
Permasalahan kedua adalah sistem pembayaran yang dilakukan hampir
seluruh pelaku pasar (pedagang) kepada petani yang tidak pernah membayar
secaratunai 100 % pada saat barang diterima. Cara pembayaran semacam ini
sangat membebani petani. Hal ini juga sebagai penyebab petani mengalami
kesulitan keuangan dan sulit untuk menerapkan teknologi maupun penanganan
budidaya secara tepat dan benar. Petani menjadi sulit untuk melakukan
pemupukan maupun penggunaan saprodi lainnya secara tepat waktu dan tepat
ukuran. Akibatnya hasil produksi menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan,
kontinuitas produksipun menjadi sangat sulit dipenuhi.
Menyelesaikan persoalan yang dihndapi petani tanpa dibarengi dengan upaya
menyelesaikan terhadap semua yang dihadapi oleh pelaku pasar (pedagang) juga
tidak akan memberikan hasil. Oleh karena itu sistem penyelesaiannya haruslah
secara simultan.
_________________ *)Direktur Utama PT. Sayur Mayur Indonesia ASPERTI Jatim
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
97
Pada dasarnya para pedagang juga mengalami beberapa permasalahan yang tidak
kalah rumitnya dengan para petani. Para pedagang se!a!u mengatakan bahwa pasar
masih sangat terbuka lebar (terutama pasar lokal), tetapi pedagang selalu
mengeluhkan bahwa produk sangat sulit diperoleh. Sering juga beberapa pedagang
menyatakan bahwa spesifikasi produk yang dihasilkan petani kurang sesuai dengan
yang mereka harapkan, selain masalah waktu/jadwal panen yang kurang tepat.
Tidak adanya jaminan pasokan baik kuantitas, kontinuitas maupun spesifikasi
produk merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh pedagang. Disamping
hal diatas, permasalahan keterbatasan permodalan yang dimiliki oleh pedagang
untuk perkulakan, disisi lain perputaran perdagangan yang begitu besar
menyebabkan, kebanyakan pedagang mengalami kesulitan untuk dapat membayar
secara tunai 100 % kepada para petani pemasok, walaupun hal ini juga dirasakan
akan merugikan pedagang itu sendiri, karena akan terancam kekurangan pasokan.
Menyikapi hal diatas maka nampaknya mendesak untuk segera melakukan
upaya bagainiana menyelesaikan permasalahan petani dan juga menyelesaikan
permasalahan pedagang secara simultan, sehingga bagi pelani akan meningkatkan
kesejahteraannya, bagi pedagang akan memberikan jaminan pasokan dan bagi
pemerintah akan meningkatkan PAD.
B. Permasalahan
Berdasarkan belakang yang diuraikan diatas, maka permasalahan baik yang
dihadapi oleh petani maupun pedagang adalah :
1. Bagaimana petani mampu menghaasilkan produk yang dapat diterima oleh
pasar dan bernilai tinggi
2. Bagaimana petani mampu menjaga kontinuitas baik secara kuantitas, kualitas
maupun kontinuitas sesuai dengan kebutuhan para pedagang
3. Bagaimana petani dapat berwawasan pasar, mampu untuk menembus
jaringan pasar dan mampu berinteraksi secara langsung dengan pedagang di
pasar
4. Bagaimana petani dapat melakukan penanganan budidaya secara tepat dan
benar
5. Bagaimana petani nantinya akan mampu memperoleh saprodi secara mudah,
murali, cepat dan tepat dengan sistim yang tidak memberatkan petani
6. Bagaimana petani nantinya mendapatkan jaminan pasar terhadap komoditi
yang dihasilkannya
7. Bagaimana petani dapat nienerima pembayaran secara tunai 100 % terhadap
produk yang diterima oleh pedagang
8. Bagaimana para pedagang yang berlokasi di Sentra produksi/Kabupaten dapat
meningkat pendapatannya, dapat lebih berperan dan mampu berkembang
serta dapat memberikan jaminan pasar dan pembayaran kepada petani di
wilayahnya.
C. Solusi yang Diharapkan
Diharapkan solusi dari permasalahan tersebut di atas haruslah mampu untuk :
1. Meningkatkan pendapatan petani sayuran di sentra produksi
2. Meningkatkan pendapatan pedagang besar diwilayah sentra produksi
3. Memberikan pendampingan baik teknologi maupun manajemen kepada
petani maupun kepada pedagang besar
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
98
4. Memberikan penjaminan untuk akses pasar di Pasar Induk Surabaya
5. Memberikan penjaminan pembayaran secara tunai 100% kepada petani
atas produk yang diterima oleh pedagang baik pedagang besar di daerah
maupun pedagang Besar di Pasar Induk Surabaya
6. Menyediakan Saprodi bagi petani dengan sistim pembayaran yang dapat
dilakukan setelah panen
7. Menumbuh kembangkan jenis/varietas-varietas baru yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi di pasar
8. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah bagi pemerintah
Adapun manfaat dari solusi tersebut adalah:
1. Meningkatkan kesejahteraan petani maupun pedagang
2. Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif dan akan
membangunimage terhadap bisnis hortikultura
3. Terwujudnya Potensi Pertanian di daerah sentra sebagai leading sector
perekonomian Daerah
4. Menjadikan Kabupaten sentra produksi sebagai percontohan untuk
pengembangan agribisnis hortikultura baik skala Jawa Timur maupun
nasionanal
D. Pola Pendampingan dan Mekanisme
Pola pendampingan dalam program ini melibatkan beberapa unsur, dimana
unsur-unsur tersebut masing-masing mempunyai fungsi dan peran untuk
mendukung seluruh aktivitas dalam pemberdayaan baik petani maupun pedagang
besar di daerah dan pedagang besar di Pasar Induk Surabaya. Adapun penjelasan
mengenai fungsi dan perannya masing-masing unsur adalah sebagai berikut :
1. Kelompok Petani Sayur
Kelompok petani ini merupakan salah satu subyek yang diberdayakan.
Untuk tahap awal akan dicoba pada petani yang maju dan mempunyai motivasi
untuk selalu inovatif. Pertimbangan dipilihnya petani inovatif ini diharapkan akan
menjadi percontohan dan nantinya akan ditiru oleh petani-petani yang lain.
Disamping itu petani inovatif ini nantinya juga dapat berfungsi sebagai
pembina/pendamping bagi petani disekitarnya. Dalam pelaksanaan budidaya
hortikultura (sayur, buah, empon-empon dan bunga, kelompok tani akan mengikuti
seluruh program yang telah ditetapkan oleh tim pendamping. Program tersebut
dimulai dari kegiatan awal berupa pengolahan lahan, penanaman, pemekliharaan,
pemanenan hingga sampai kegiatan pasca panen. Seluruh kegiatan ini oleh tim
pendamping akan dlbuatkan jadual yang detail dan seluruh kelompok tani binaan
diharuskan mengikuti jadual tersebut secara disiplin.
Jenis komoditi yang akan dibudidayakan juga harus mengikuti petunjuk dari
tim pendamping, sedangkan untuk kebutuhan bibit/benih, pupuk maupun obat-
obatan petani dapat memperoleh di unit toko saprodi sebagai unit bisnis dari Pusat
Pengembangan Teknologi Pertanian, dengan sistim pembayaran yang
dapatdilakukan pada akhir panen.
Dalam melaksanakan seluruh kegiatan budidaya ini, kelompok tani akan
didampingi oleh sub tim pendamping budidaya yang ditunjuk oleh tim
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
99
2. Sub Tim Pendamping Budidaya
Sebagai sub tim pendamping budidaya akan ditunjuk oleh Ketua Tim
Pendamping, yang didukung oleh petugas penyululi (PPL) dan beberapa petani
maju. Adapun peranan dan fungsi sub tim pendamping budidaya adalah
mendampingi dan nemberikan pengetahuan tentang teknologi budidaya sekaligus
pelatihan pada petani di lahan dimulai dari kegiatan persiapan lahan, penanaman,
pemelihaiaan, tehnik pemberian pupuk maupun obat-obatar sampai dengan
teknologi pasca panen secara benar.
Sub tim pendamping budidaya bertewajiban untuk membuatkan jadual dari
Sebagai sub tim pendamping budidaya akan ditunjuk oleh Ketua Tim
Pendamping, yarig didukung oleli petugas penyululi (PPL) dan beberapa petani
maju. Adapun peran dan fungsi sub tim pendamping budidaya adalah mendampingi
dan memberikan pengetahuan tentang teknologi budidaya sekaligus pelatihan
pada petani dilahan dimulai dari kegiatan persiapan lahan, penanaman,
pemelihaiaan, tehnik pemberian pupuk maupun obat-obatar sampai dengan
teknologi pasca panen secara benar.
Sub tim pendamping budidaya berkewajiban untuk membuatkan jadual dari
seluruh rangkaian kegiatan budidaya serta mengawasi dan mendampingi .petani
secara ketat dan disiplin, sehingga para petani binaan dapat dengan benar dalam
menerapkan seluruh teknologi yang diberikan. Oleh karena itu sebagai tenaga
pendamping budidaya akan ditempatkan dilokasi secara penuh/full time.
Pendampingan (Jan pengawasan secara terus menerus ini harus dilakukar
mengingat kebanyakan petani tidak pernah disiplin dalam menerapkan teknologi
yang pada akhirnya akan memberikan hasil yang kurang optimal.
3. Unit Usaha PPTP
Unit usaha PPTP secara struktural dibawah pengelolaan Pusat
Pemgembangan Teknologi Pertanian (PPTP) yang dipegang oleh seorang manager.
PPTP dalam pola pendampingan mempunyai peran sebagai unit pendukung,
pertama dalam pemaasaran hasil mulai penentuan panen, sortir, grading, packing
sampai menjual ke Pasar Induk PIKB Surabaya), kedua dalam penyediaan seluruh
kebutuhan saprodi maupun alat pertanian (alsintan) yang dibutuhkan oleh petani.
Unit usaha PPTP skaligus berfungsi sebagai unit bisnis yang menghasilkan
profit dari kegiatan pemasaran dan perdagangan saprodi maupun alsintan.
Dalam menjalankan kegiatan bisnis tersebut unit usaha PPTP mempunyai
struktur dibawahnya yaitu unit pemasaran hasil dan unit usaha pertokoan saprodi
dan alsintan. Kedua unit tersebut dikendalikan oleh masing-masing kepala unit.
Agar supaya unit usaha PPTP mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai
institusi pendukung maupun unit bisnis yang mampu menghasilkan profit, maka
akan didampingi oleh sub tim pendamping yang ditunjuk oleh ketua tim
pendamping sampai unit ini benar-benar mampu menjalankan seluruh aktivitas
bisnis dengan baik.
Laba bersih (Net Profil) yang dapat dihasilkan oleh Unit Usaha PPTP ini
sebagian akan digunakan untuk mengembalikan secara bertahap dana Pemerintah
Kabupaten Magetan dalam pendirian PPTP, sebagian lagi digunakan sebagai dana
untuk mernbiayai penelitian/riset yang dilakukan oleh Litbang PPTP dan kemudian
sisanya akan dibagi a) sebagai dana ditahan untuk pengembangan PPTP; b)
dikembalikan kepada Pemerintah Kabupaten sebagai PAD.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
100
4. Sub Unit Toko Saprodi dan Alsintan
Sub unit usaha ini secara struktural dibawah pengelolaan Unit Usaha PPTP
yang dipegang oleh seorang Kepala Unit Toko. Sub unit ini dalam pola
pendampingan mempunyai peran sebagai unit yang akan menyediakan seluruh
kebutuhan saprodi maupun alat pertanian yang dibutuhkan oleh petani. Sub Unit
ini sebagai unit bisnis harus menghasilkan profit dari kegiatan perdagangan saprodi
maupun alsinlan, yang dapat melayani petani binaan maupun petani lainnya.
Dalam menjalankan kegiatan bisnisnya sub unit usaha ini akan didampingi oleh sub
tim pendamping yang ditunjuk oleh ketua tim pendamping sampai unit ini benar-
benar mampu menjalankan seluruh aktivitas bisnis dengan baik. Bagi petani binaan
yang mengambil saprodi maupun alsintan ada sub unit toko lidak perlu untuk
membayar secara tunai didepan, tetapi akan dipotong secara sekaligus dari hasil
produksi yang dijual oleh sub unit pemasaran. Namun bagi petani diluar binaan
harus membeli secara tunai. Saprodi maupun alsintan yang diperdagangkan oleh
sub unit ini dengan harga yang tidak boleh melebihi harga pasar yang dijual oleh
toko lain, sehingga akan menguntungkan bagi petani binaan maupun petani diluar
binaan.
5. Sub Unit Pemasaran Hasil
Sub unit usaha ini secara struktural dibawah pengelolaan Unit Usaha PPTP
yang dipegang oleh seorang Kepala Unit Pemasaran hasil. Sub unit ini dalam pola
pendampingan mempunyai peran sebagai unit yang akan memasarkan seluruh hasil
produksi yang dihasilkan oleh petani binaan ke Pasar Induk Surabaya. Sub Unit ini
sebagai unit bisnis akan menghasilkan profit dari kegiatan pemasaran hasil yang
diproduksi oleh petani binaan maupun petani lainnya. Dalam menjalankan
kegiatannya sub unit Usaha ini akan merekrut pedagang- pedagang besar yang
sudah ada di wilayah Kabupaten atau Kecamatan untuk. dilibatkan dalam
memasarkan hasil produksi baik hasil produksi petani binaan maupun hasil
produksi petani diluar binaan, untuk diperdagangkan di Pasar Induk Surabaya.
Pedagang-pedagang ini akan dibina manajemen perdagangannya. Sub unit ini
juga akan didampingi oleh sub tim pendamping yang ditunjuk oleh ketua tim
pendamping sampai unit ini benar-benar mampu menjalankan seluruh aktivitas
bisnis dengan baik.
6. Penelitian dan Pengembangan (Litbang)
Sebagai unit penelitian dan pengembangan, maka Litbang ini akan
melaksanakan kegiatan penelitian dan pengkajian untuk selalu mengembangkan
teknologi-teknotogi maupun jenis/varietas baru yang nantinya akan disebarkan
kepada para petani di wilayah kabupaten.Scain melaksanakan kegiatan penelitian,
Litbang PPTP juga harus melakukan demoplot/percontohan sehingga petani
disekitarnya akan dapat mengikuti cara-cara yang dikerjakan oleh Litbang. Selain
tersebut diatas, litbang juga harus menemukan teknologi pasca panen secara baik
dan benar sainpai dengan teknik packing yang lebih menjamin secara kualitas.
Litbang juga harus menyediakan bibit/benih komoditas bernilai ekonomis tinggi
untuk kemudian dibeli oleh petani binaan maupun petani diluar binaan melalui sub
unit toko Saprodi. Dalam menjalankan kegiatannya, litbang akan dikendalikan oleh
seorang Kepala Unit Litbang, dengan beberapa orang staf yang mempunyai keahlian
dibidangnya atau pengalaman sebagai seorang peneliti. Apabila dimungkinkan,
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
101
maka litbang dapat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi ataupun Lembaga-
tembaga Penelitian Pertanian lain yang ada (misalnya BBTP Jawa Timur).
7. Pusat Pengembangan Teknologi Pertanian (PPTP)
Pusat Pengembangnn Teknologi Pertanian (PPTP) merupakan lembaga yang
menginduki seluruh kegiatan pendampingan sebagaimana diuraikan diatas. PPTP
secara tehnis adalah dibawah Dinas Pertanian Kabupaten. Namun agar supaya
dapat memberikan hasil yang maksimal, maka dalam unsur PPTP juga akan
melibatkan dinas-dinas lain seperti Dinas Koperasi, Dinas Perdagangan, Dinas
Perhubungan, Dinas Pekerjaan Umum, Bappekab, Perekonomian dan lain-lain.
Untuk efektivitas dan efsiensi maka sebaiknya. Lokasi PPTP berada di lokasi
sentra. Fasilitas yang harus dilengkapi di PPTP adalah Areal kantor baik untuk
kantor PPTP, Kantor Sekretariatan Tim Pendamping, Kantor Unit usaha PPTP,
Toko Saprodi, Kantor Litbang, Ruang Laboratorium, Gudang Saprodi dan Alsintan,
Kebun Percobaan/demoplot, Kebun pembenihan. Grading House dan Packing House,
dan lain-lain.
8. Tim Pendamping
Tim pendamping adalah sebuah tim baik dari PT SAMAI bersama-sama
dengan ASPERTI Jatim dan juga institusi lain yang memiliki profesionalisme
dibidang yang mendampingi petani (jalani hal teknologi budidaya, mendampingi
kelompok pedagang besar di daerah/kabupaten yang tergabung dalam unit
pemasaran hasil dan mendampingi pelaksana unit pertokoan saprodi dan
alsintan. Tim pendamping dikendalikan oleh seorang Ketua Tim Pendamping dan
mempunyai anggota yang masing-masing ketua Sub Unit pendamping budidaya,
ketua sub tim pendamping pemasaran hasil dan Ketua Sub Tim Pendamping
Pertokoan Saprodi dan Alsintan. Didalam pelaksanaannya anggota tim pendamping
dapat ditambah disesuai dengan kondisi kebutulian dilapangan.
Sebagai tim pendamping akan bekerja dengan batas waktu 5 tahun, dengan
pemikiran untuk jangka waktu 5 tahun tersebut diharapkan seluruh kegiatan sudah
dapat berjalan sempurna dan dapat dioperasionalkan sepenuhnya oleh tenaga lokal
ataupun warga Kabupaten. Namun apabila terdapat pertimbangan lain, maka
untuk jangka waktu 5 tahun tersebut dapat diperpanjang untuk 5 tahun kedua.
Dengan pertimbangan bahwa Pasar Induk di Surabaya yang dikerjasamakan
dengan PT SAMAI sebagai pasar tujuan kerjasamanya akan berjalan selama 20
tahun.
9. PT Sayur Mayur Indonesia (SAMAI)
PT Sayur Mayur Indonesia (SAMAI) merupakan per'usahaan yang selama ini
bergerak disektor perdagangan untuk komoditi hortikultura. PT SAMAI dalam
program pendampingan berperan sebagai penyedia stand di Pasar Induk Surabaya
yang dapat dipergunakan baik oleh kelompok pedagang Kabupaten maupun oleh
Unit Usaha Pemasaran hasil PPTP. Penyediaan stand di Pasar Induk Surabaya
oleh PT SAMAI dilakukan dengan prinsip kerjasama. Dengan demikian baik para
pedagang Kabupaten maupun Unit usaha pemasaran hasil PPTP akan memperoleh
jaminan pasar.
Selain itu PT SAMAI dalam kerjasama ini juga berperan sebagai penjamin
pembayaran secara tunai 100 % kepada petani, pedagang maupun unit usaha
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
102
pemasaran hasil PPTP terhadap produk yang diterima oleh pedagang grosir
anggota PT SAMAI di Pasar induk Surabaya. Dengan demikian maka pola
pendampingan ini akan mempunyai jaminan baik produksi, pasar hasil maupun
pembayaran secara tunai 100 %.
Pola pendampingan maupun arus perdagangan dengan pola dan mekanisme
sebagaimana telah diuraikan diatas, secara ringkas dapat dilihat pada diagram
sebagai berikut:
Gambar 1. Struktur organisasi pendampingan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
103
Gambar 2. Arus perdagangan, penjaminan pasar dan pembayaran
E. Kerjasama Institusi
Guna menjalankan program pola pendampingan ini dibutuhkan kerjasama
antara ASPERTI-Jatim, Pemerintah Kabupaten dan PT Sayur Mayur Indonesia.
ASPERTI-Jatim dalam kerjsama ini berperan sebagai tenaga pendamping dengan
menempatkan orang-orang anggota yang dianggap mumpuni didalam bidang
hortikultura untuk menjalankan tugas pendampingan. Pemerintah Kabupaten
dalam hal ini berpeian sebagai fasilisator dan menyediakan kebutuhan dana
untuk pendirian PPTP, dana pengadaan saprodi dan alsintan yang nantinya akan
dikelola oleh Unit Usaha PPTP dan biaya pendampingan. Sedangkan PT SAMAI
dalam pola pendampingan ini berperan dalam menyediakan stand di Pasar induk
Surabaya dengan sistim kerjasama dalam melakukan pembayaran secara tunai
100% kepada petani atau PPTP.
F. Kesimpulan
Berdasarkan pola pikir, ide dan gagasan yang didasarkan pengalaman praktis
dalam perdagangan hortikultura selama ini, maka sebagai upaya dalam
membangun bisnis hortikultura baik untuk skala Jawa Timur dan bahkan bila
mungkin dapat diperbesar dalam skala nasional, dapat kami simpulkan sebagai
berikut :
1. Permasalahan yang selama selama ini menyelimuti petani lebih banyak
disebabkan oleh masalah sistim tata niaga yang hingga sampai saat ini
keberpihakan pada petani masih sangat lemah.
2. Baik petani maupun para pedagang besar harus didukung baik dari sisi
Finansial maupun manajemen dengan pola pendampingan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
104
3. Pedagang harus ada penjaminan kontinuitas, kualitas maupun kuanlitas
pasokan sesuai yang dibutuhkan oleh pasar
4. Petani juga harus diberikan penjaminaan pasar, dalam hal ini menyangkut
jenis komoditas, kuantitas, kualitas sampai dengan harga.
5. Petani harus dapat meengakses secara mudah, cepat dan tepat terhadap
sumber teknologi maupun saprodi.
6. Pola pendampinghan secara tripartied yang melibatkan pemerintah,
Petani/pedagang dan institusi bisnis, dengan konsep profit oriented harus
dilakukan.
7. Pasar Induk sebagai tempat/wadah dalam menjalankan fungsi tata niaga
hortikultura mutlak harus segera diadakan dan baik petani/pedagang harus
mampu untuk mengakses-pasar induk tersebut dengan mudah dan tanpa
sedikitpun hambatan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
194
ANALISIS FINANSIAL BUNGA POTONG KRISAN DI KECAMATAN
PAKEM, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Hano Hanafi*), Tri Martini*), dan Masyhudi MF*)
ABSTRAK
Petani di wilayah Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman adalah petani kecil
yang kepemilikan lahannya rata-rata relatif sempit. Petani di wilayah tersebut
kebanyakan masih menanam padi sebagai komoditas pilihan, padahal pertumbuhan
dan produksi padinya kurang baik yaitu 2 – 3 ton per hektar GKP. Menurut peta
AEZ, lahan di ekosistem dataran medium antara 400 – 700 m dpl yang berada di
kaki Gunug Merapi ini cocok untuk ditanami berbagai komoditas hortikultura.
Usaha tani tanaman hias, khususnya bunga potong krisan merupakan salah satu
teknologi dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan lahan sawah secara lebih
efisien, berwawasan lingkungan dan agribisnis, yang perlu terus dikembangkan. Di
lain pihak dibandingkan dengan penanaman padi, komoditas krisan jauh lebih
menguntungkan karena tingginya nilai jual komoditas dan banyaknya peluang
pasar. Keberlangsungan usaha tani krisan dapat tercapai jika usaha tersebut
menguntungkan dan layak secara finansial. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Juni sampai dengan Oktober 2005 di rumah plastik Dusun Wonokerso, Kelurahan
Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta, dengan tujuan untuk mengetahui keuntungan dan kelayakan usaha
tani krisan di wilayah tersebut. Untuk menguji tingkat keuntungan dan kelayakan
usahatani krisan, digunakan analisis B/C rasio dan R/C rasio. Dari hasil
perhitungan diketahui bahwa dari total populasi tanaman sebanyak 2000 batang
yang ditanam pada luas areal 120 m2, pendapatan yang diperoleh sebesar Rp.
2.000.000,- per musim tanam (3 bulan). Analisis B/C rasio menunjukkan hasil
sebesar 1,05 yang berarti menguntungkan karena di atas 1, serta R/C sebesar 2,05
yang berarti usaha tani krisan layak untuk diusahakan petani di wilayah tersebut.
Kata Kunci : Keuntungan, kelayakan, usaha tani, budidaya krisan
ABSTRACT
The farmer at Pakem, Sleman district, is a small farmer having the small land
area, that usually grow rice. Rice production in that area was around 2 – 3 ton/ha.
Based on the zone of agro ecosystem, the land area of the medium land ecosystem are
suitable for horticulture crops. Ornamental crops, such as cut flowers of
chrysanthemum is one commodity introduced by Yogyakarta AIAT. Successful
farming system of ornamental can be reached if the financial analysis are profitable
and feasible. The objective of this study was to determine the financial analysis of
chrysanthemum agribusiness in the medium land of Sleman District. The
experiments was conducted in the medium land of Orchard Wonokerso,
Hargobinangun Village, District of Pakem Sleman, Province of Yogyakarta, at the
altitude of 400 – 700 above sea level. The study was conducted during the planting
season of 2005, from June to October.
_______________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
195
Research used the level of feasibility by the analysis incremental of benefit cost ratio
(B/C ratio) and revenue cost ratio (R/C ratio). From the economic analysis, it was
known that farmers’ income was Rp. 2.000.000,- in one planting season (3 months).
Incremental analysis B/C ratio resulted 1.05 that’s, it meant it was profitable to grow
cut flower of chrysanthemum and R/C ratio 2.05, that meant feasible to grow
chrysanthemum as cut flower in the medium land of Sleman District.
Key words: Profitable, feasible, agribusiness, cultivation, crysanthemum
PENDAHULUAN
Peningkatan produksi tanaman hias setiap tahunnya tidak kurang dari 20%,
sedangkan permintaan bunga krisan di Indonesia setiap tahun cenderung meningkat
dapat mencapai 25%. Pada tahun 1993 Indonesia mengekspor krisan 198,3 ton senilai
US $ 243.700 dengan negara tujuan Hongkong, Malaysia, Jepang, dan Singapura.
Dalam tahun yang sama impor Indonesia sebesar 3,8 ton senilai US $ 22.100 dari
Belanda dan Malaysia (BALITHI, 2004). Upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
para peneliti di Balai Penelitian Tanaman Hias melakukan penelitian secara
keberlanjutan dengan melakukan persilangan atau okulasi (Anonimus, 2003).
Bibit bunga potong krisan dari BALITHI telah dicoba dikembangkan di lokasi
pengkajian BPTP Yogyakarta yang bekerjasama dengan Kelompok Tani hasilnya
cukup adaptif dan memuaskan. Teknologi yang diterapkan adalah hasil penelitian
BALITHI dengan beberapa komponen teknologi tambahan yang spesifik lokasi di DIY.
Varietas tanaman krisan yang dikaji adalah Retno Dumilah dan Dewi Sartika.
Pengkajian budidaya bunga Krisan dikerjakan atas kerjasama kelompok petani di
daerah Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, dengan bimbingan dari peneliti,
penyuluh BPTP Yogyakarta, Pengusaha, Pemerintah Daerah, Dinas Pertanian,
BALITHI Cipanas.
Berdasarkan survei penanam bunga potong di Kecamatan Cangkringan, DIY
diperoleh informasi bahwa kebutuhan bunga potong krisan dan anthurium untuk
memasok salah satu hotel berbintang lima di Yogyakarta sebanyak 100 bunga potong
perminggu, dengan kualitas bunga ukuran besar. Sementara itu informasi dari pasar
bunga Kotabaru diketahui bahwa kebutuhan bunga anthurium sebanyak 100 bunga
potong per hari, dengan kualitas bunga ukuran standard (ukuran kecil Rp. 750,- ,
sedang Rp. 1.500,-, dan besar Rp. 2.500,-).
Bunga krisan (Chrysanthymum morifolium, Ram) sebagai bunga potong sangat
disenangi konsumen di Indonesia, karena keindahannya dan termasuk salah satu
komoditi utama tanaman hias disamping mawar, anggrek dan gladiol, keragaman
bentuk, warna dan mudah dirangkai serta memiliki kesegaran bunga cukup lama,
bisa bertahan sampai 3 minggu (Anonimus, 2003). Diantara tanaman hias yang telah
memiliki nilai komersial yaitu bunga mawar dan krisan, sehingga dikategorikan
sebagai komoditas unggulan. Menurut Dedeh et al., (1998) krisan umumnya
diperbanyak secara konvensional melalui perbanyakan vegetatif dengan cara
memisahkan anakan (varietas lokal) atau menyetek tunas ujung dari tanaman induk
yang ditempatkan dalam kondisi hari panjang (varietas introduksi). Pembungaan
dapat diatur dengan cara memodifikasi panjang hari sehingga didapatkan produksi
sepanjang tahun dan dapat diperbanyak dengan cara vegetatif (stek pucuk).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
196
Komoditas tanaman hias bunga potong yang berpotensi untuk dikembangkan
di Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain Krisan, Mawar, dan Anthurium.
Sementara ini di pasar bunga Kota baru, Yogyakarta masih mendatangkan bunga
dari luar kota seperti krisan dari Bandungan (Ambarawa), mawar dari Malang dan
anthurium dari kota Sukabumi. Komoditas tersebut selain bernilai ekonomi tinggi,
juga cukup populer di kalangan masyarakat Yogyakarta. Krisan atau seruni
(Chrysanthymum sp.) merupakan salah satu tanaman hias yang memiliki nilai
ekonomi lebih tinggi. Kegunaan krisan terutama sebagai bunga potong untuk
rangkaian bunga dan keperluan dekorasi ruangan.
Oleh karena itu, dalam rangka mendorong berkembangnya usaha agribisnis
tanaman hias dan mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih
baik, perlu kiranya dilakukan penelitian dan pengkajian tanaman hias di DIY.
Kegiatan tersebut sekaligus merupakan upaya menambah diversifikasi usahatani,
produktivitas lahan, dan meningkatkan pendapatan petani setempat, sehingga
upaya pemanfaatan potensi lahan di DIY dapat berkembang. Pengenalan teknologi
budidaya bunga potong krisan melalui kelompok tani tiada lain bertujuan untuk
mengetahui keuntungan dan kelayakan usahatani krisan di wilayah Kecamatan
Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2005 di
rumah plastik Dusun Wonokerso, Kelurahan Hargobinangun, Kecamatan Pakem,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Data primer dikumpulkan seperti
biaya input produksi dan output (hasil), termasuk biaya secara implisit maupun
eksplisit dari usahatani bunga krisan. Total populasi tanaman krisan sebanyak 2000
batang yang ditanam pada luas areal 120 m2. Untuk menguji tingkat keuntungan
dan kelayakan usahatani krisan, digunakan analisis B/C rasio dan R/C rasio. Data
hasil wawancara dengan beberapa anggota kelompok tani disajikan secara deskriptif
kualitatif.
Benefit-Cost Ratio (B/C rasio) adalah rasio penerimaan kotor sekarang dengan
jumlah pengeluaran untuk investasi awal dan biaya produksi yang dikeluarkan
setiap tahunnya. Kriteria keputusan yang digunakan adalah B/C rasio >1, apabila
B/C rasio < 1, maka usaha pertanian harus ditolak atau tidak perlu dilanjutkan
(Malian, 2004). Revenue Cost Ratio (R/C rasio) adalah perbandingan antara hasil
penjualan dibagi total biaya produksi. Jika suatu hasil usahatani diperoleh R/C rasio
> 1 maka usahatani sangat layak untuk dilanjutkan (Malian, 2004).
HASIL PENELITIAN
Prospek dan kebutuhan tanaman hias di Yogyakarta
Sebagai daerah tujuan wisata nomor 2 setelah Bali, Daerah Istimewa
Yogyakarta sering dikunjungi tamu, baik turis mancanegara maupun domestik.
Rangkaian bunga sebagai kalung penyambut para turis pun sering dibutuhkan oleh
agen-agen perjalanan wisata. Sambutan yang atraktif bagi turis, khususnya turis
mancanegara menjadi simbol keramahtamahan budaya Jawa, khususnya Karaton
”Ngayogyakarta Hadiningrat”. Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
keistimewaannya adalah propinsi bernuansa kerajaan, yang tidak pernah terlepas
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
197
dari upacara-upacara adat yang tidak terpisahkan dengan bunga. Kebutuhan bunga
dan tanaman hias di Yogyakarta, khususnya pada saat-saat tertentu (tahun baru,
natal, lebaran, upacara adat, peresmian kantor dan sebagainya) meningkat secara
tajam. Bahkan petani bunga di Yogyakarta terkadang tidak dapat memenuhi
kebutuhan pasar, sehingga harus didatangkan dari luar propinsi DIY. Pemasok
bunga potong di Yogyakarta kebanyakan berasal dari luar kota seperti krisan dari
Bandungan (Ambarawa), mawar dari Malang dan anthurium dari kota Sukabumi
(Tabel 1).
Tabel 1. Beberapa jenis bunga potong yang dijual di lokasi pasar bunga Kota Baru
Yogyakarta
No Jenis bunga Daerah asal pengirim Stok rata-rata
per hari (ikat)
Harga rata-
rata per
tangkai (Rp)
1 Krisan Bandungan, Ambarawa 40 (400 tangkai) 1500
2 Sedap malam Bandungan, Ambarawa 40 (400 tangkai) 2000
3 Mawar Malang 40 (400 tangkai) 2000
4 Anggrek Jakarta 40 (400 tangkai) 3000
5 Gladiol Malang 40 (400 tangkai) 500
6 Anthurium Sukabumi 40 (400 tangkai) 1000 Sumber: Data primer di olah
Hasil wawancara dengan beberapa pedagang bunga potong di lokasi pasar
bunga Kota Baru Yogyakarta, dijelaskankan bahwa penjualan yang ramai yaitu
pada bulan-bulan tertentu seperti hari raya Natal, tahun Baru dan hari besar.
Khusus untuk bulan besar (bulan Haji) bunga potong banyak terjual terutama
digunakan untuk acara pernikahan atau hajatan. Biasanya pada saat menghadapi
bulan Besar (bulan Haji) harga bungapun relatif ada kenaikan dan pada bulan-
bulan tertentu bunga potong seperti Krisan bisa terjual sebanyak 35 - 100 ikat per
hari (350 – 1000 tangkai). Rata-rata pedagang bunga potong di pasar bunga Kota
Baru membagi jenis bunga potong Krisan menjadi 3 klas, antara lain: klas A dengan
harga jual per ikat kurang lebih Rp12.500,-, klas B dengan harga per ikat kurang
lebih 9.000,-, selanjutnya klas C harga bunga perikat Rp. 6.000,- ( 1 ikat kurang
lebih berisi 10 tangkai bunga).
Analisis bunga potong krisan
Berdasarkan hasil analisis finansial bunga potong Krisan (Tabel 1), dapat
disimpulkan bahwa teknologi penggunaan rumah plastik yang relatif sederhana
dengan modal tetap Rp.600.000,- ditambah biaya rumah plastik per musim tanam
Rp. 40.000,-dan luas lahan 120 m2 dapat digunakan untuk bisnis budidaya bunga
potong Krisan yang cukup menguntungkan. Pengeluaran biaya produksi termasuk
biaya eksplisit (biaya tetap) Rp. 795.388,- ditambah biaya implisit termasuk tenaga
kerja keluarga Rp. 180.000,- sejumlah Rp.975.388,-. Hasil produksi dengan jumlah
tanaman 2000 batang dijual dengan harga per tangkai Rp. 1000,- diperoleh hasil
penjualan bunga Krisan sejumlah Rp. 2000.000,-. Pendapatan bersih (Rp. 2000.000,-
Rp. 975.388,-) = Rp. 1.024.612,-, diperoleh B/C rasio 1.05 dan R/C rasio sebesar
2.05 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa secara teori analisis finansial bunga
potong krisan menguntungkan dan layak untuk dikembangkan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
198
Tabel 2. Analisis finansial bunga potong krisan Dusun Wonokerso, Desa
Hargobinangun, Kec. Pakem, Kabupaten Sleman, 2005
No Tolok Ukur Satuan Harga
Satuan
Volume
(120 m2)
Jumlah (Rp)
(120 m2)
BIAYA EKSPLISIT (biaya tetap)
Pembuatan barang modal/rumah plastik (umur sampai dengan 5 tahun)
m2 5,000 120 600,000
Biaya rumah plastik per-musim tanam 40,000
Biaya Variabel
1 Stek berakar Krisan btg 200 2000 400,000
A. Pupuk Dasar
2 Pupuk Kandang (30 ton/ha) kg 250 360 90,000
3 Pupuk Urea (300 kg/ha) kg 1,100 3.6 3,960
4 Pupuk SP-36 (300 kg/ha) kg 1,600 3.6 5,760
5 Pupuk KCl (350 kg/ha) kg 1,900 4.2 7,980
Pupuk Susulan 1 (2,4,6 mst)
1 Pupuk Urea (15 kg/ha) kg 1,100 0.18 198
2 Pupuk KNO3 (60 kg/ha) kg 2,000 0.72 1,440
Pupuk Susulan 2 (8 mst)
1 Pupuk Urea (15 kg/ha) kg 1,100 0.18 198
2 Pupuk KNO3 (60 kg/ha) kg 2,000 0.72 1,440
3 Pupuk SP-36 (360 kg/ha) kg 1,600 4.32 6,912
1 Fertro-S (Pupuk Pelengkap Cair (2 x per-mg dosis 2 ml/ltr air per-m2)
ltr 50,000 0.25 12,500
2 Agrimex (Pestisida) btl 65,000 1 65,000
3 Confidor (Pestisida) bks 25,000 1 25,000
4 Dithane M-45 (Fungisida) bks 30,000 1 30,000
5 Trichoderma cair (Pestisida) btl 50,000 0.5 25,000
6 Biaya listrik penggunaan selama 40 hari 60,000
7 Biaya air penggunaan selama 80 hari 20,000
Total Biaya Eksplisit 795,388
BIAYA IMPLISIT (tenaga kerja keluarga)
1 Pengolahan tanah HOK 12,000 2 24,000
2 Penanaman dan pemupukan dasar HOK 12,000 2 24,000
3 Pemupukan susulan HOK 12,000 2 24,000
4 Perawatan (penyiangan, pe-lampu-an) HOK 12,000 2 24,000
5 Pemanenan HOK 12,000 2 24,000
6 Pengangkutan HOK 12,000 4 48,000
Biaya sewa tanah (Per-1000 m2/thn Rp.
400.000,-)
m2 120 12,000
Total Biaya Implisit 180,000
TOTAL BIAYA PRODUKSI (BIAYA EKSPLISIT + BIAYA IMPLISIT) 975,388
Produk bunga krisan tangkai 1,000 2000 2,000,000
Hasil Penjualan Bunga Krisan 2,000,000
Total Biaya Produksi 975,388
Pendapatan Bersih 1,024,612
B/C Ratio (Pendapatan Bersih : Total Biaya Produksi) 1.05
R/C Ratio (Hasil Penjualan : Total Biaya Produksi) 2.05
Sumber : Data primer diolah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
199
Sesuai dengan pendapat Malian, 2004 bahwa, kriteria keputusan yang
digunakan adalah B/C rasio >1 dan apabila B/C rasio < 1 maka usaha pertanian
harus ditolak atau tidak perlu dilanjutkan Revenue Cost Ratio (R/C rasio) adalah
perbandingan antara hasil penjualan dibagi total biaya produksi. Jika suatu hasil
usahatani diperoleh R/C rasio > 2 maka usahatani sangat layak untuk dilanjutkan
(Malian, 2004).
KESIMPULAN
Bunga potong krisan sangat berpeluang untuk dijadikan komoditas bisnis di
Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya untuk wilayah yang mempunyai
ketinggian 400 – 700 meter di atas permukaan laut, seperti daerah Kaliurang
dan sekitar wilayah kaki gunung Merapi.
Adaptasi teknologi pengembangan budidaya bunga potong krisan cukup efektif
dilaksanakan melalui kegiatan kelompok tani, sehingga para petani mendapat
pengetahuan dan belajar melalui praktek serta bimbingan dari peneliti,
penyuluh BPTP dan dinas terkait lainnya.
Secara finansial bunga potong krisan menguntungkan dan layak untuk
dikembangkan di tingkat petani sebagai komoditi yang mempunyai nilai
ekonomi cukup tinggi dengan B/C rasio 1.05 dan R/C rasio sebesar 2.05.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2003. Hasil-hasil unggulan. Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (P2KP3)/ARMP-II 1995 - 2002.
BALITHI, 2004. Buku Komoditas Nomor 6, Teknologi Agribisnis Tanaman Hias.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta.
Dedeh, S.B. dan Darliah. 1998. Perbaikan varietas dan pembibitan tanaman hias.
Inovasi Teknologi Pertanian, Seperempat Abad Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Buku 1.
Malian, H. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi
Pada Skala Pengkajian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian
Partisipatif. The Participating Development of Technology Transfer Project (PAATP). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
200
ANALISIS KELAYAKAN USAHA DODOLSALAK PONDOH DALAM
MENDUKUNG AGROINDUSTRI RUMAH TANGGA DI KABUPATEN
SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Sugeng Widodo*), Nur Hidayat*) dan Murwati*)
ABSTRAK
Panen raya salak pondoh terjadi pada bulan Nopember sampai dengan
Januari. Pada saat itu harga salak jatuh dibawah rerata Rp 3000/kg. Peluang ini
dimanfaatkan oleh sebagaian kelompok tani untuk membuat dodol salak. Upaya
diversifikasi telah lama dilakukan oleh petani salak, namun kenyataan
menunjukkan bahwa sebagian besar petani salak lebih suka menjual dalam bentuk
raw material, karena dengan menjual dalam bentuk ini telah menguntungkan.
Lokasi penelitian di lakukan di desa Donotirto, Kecamatan Turi Kabupaten Sleman,
merupakan sentral salak pondoh. Penelitian dilakukan tahun 2004 dengan metode
survai, dipilih secara sengaja 1 (satu) kelompok pengolah dodol dari 3 kelompok yang
masih aktif, jumlah responden dipilih secara simple random sapling yaitu 20 orang
pengolah dodol salak. Analisis usaha rentang waktu 5 (lima tahun) dilakukan
dengan melihat nilai R/C, B/C, NPV, IRR dan untuk melihat peluang, hambatan
dengan SWOT. Hasil penelitian menunjukkan : (1) profil kelompok pada usia
produktif (90%) dengan tingkat pendidikan SMP-SMA (92%), (2) untuk jangka
pendek usaha ini layak dengan indikator rasio RC>1, yaitu 1,49. (3) namun dalam
jangka panjang usaha dodol salak merugi dengan indikator nilai NPV (Net Present Value) negatif sebesar Rp 1.163.434,-; IRR aktual < IRR estimate; rasio BC < 1. (4)
sisi SWOT: langkah strategi adalah perbaikan teknologi pengolahan, diperbanyak
promosi, perbaikan kualitas dan standardisasi mutu, dan jalin mitra toko/swalayan
Kata Kunci : Kelayakan, dodol salak, agroindustri rumahtangga, SWOT
PENDAHULUAN
Sumberdaya alam dan manusia di pedesaan dinilai cukup dari segi kuantitas,
namun dalam pengorganisasian sumberdaya ekonomi, khususnya keorganisasian
ekonomi petani di pedesaan masih jauh dari memadai. Oleh sebab itu bisa
dimengerti jika berbagai jenis program pembangunan pertanian di pedesaan yang
selama diterapkan yang menekankan pada dimensi budaya material saja masih
belum memberikan dampak positif terhadap kebangkitan dan kemandirian
perekonomian pedesaan. Pembangunan ekonomi pedesaan akan mengarah pada
industrialisasi tidak bisa terhindarkan dan akan mempengaruhi dinamika aspek
kehidupan masyarakat pedesaan. Transformasi ini menimbulkan berbagai masalah
yang diakibatkan oleh kurangnya dukungan beberapa faktor utama yaitu : (1)
Sumberdaya manusia yang mendukung nilai-nilai masyarakat agroindustri
berorientasi pada mutu efisiensi dan produktivitas (Geertz dan Weber, 1962),
_______________
*) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
201
(2) dukungan institusi yaitu lembaga yang berfungsi sebagai fasilitator dari proses
produksi dan distribusinya (Han, 1996), (3) Teknologi yang mendukung usaha
pemenuhan standar mutu dan keamanan pangan (Sudarmaji, 1995).
Yogyakarta sudah cukup dikenal luas, termasuk komoditi hortikulturanya
yaitu salak Pondoh. Komoditi ini sudah memiliki pasar yang stabil dan nyata
memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga tani khususnya di
Kabupaten Sleman. Dengan sentuhan teknologi yang cukup sederhana, yaitu
dengan menjaga kelembaban tanah dan ketersediaan air, maka salak Pondoh dapat
berbuah sepanjang musim/tahun. Walaupun dapat berbuah sepanjang tahun,
namun panen raya pasti terjadi yaitu pada bulan Desember s/d. awal Februari. Pada
bulan-bulan tersebut, harga salak dipastikan akan jatuh pada titik terendah. Dari
permasalahan jatuhnya harga salak pada saat panen raya, maka beberapa
kelompok tani membuat berbagai diersifikasi usaha antara lain dodol salak, sirup
salak, keripik salak dll.. Perkembangan pesat salak Pondoh di Kabupaten Sleman,
menumbuhkan sentra-sentra agroindustri di pedesaan dengan basis utama adalah
tanaman salak.
Konstribusi sektor pertanian terhadap PDRB Daerah Istimewa Yogyakarta
mencapai 17,20 %, yang merupakan urutan kedua setelah sektor jasa yang memberi
konstribusi sebesar 19,4 % (BPS, 2004) dimana salak pondoh sebagai salah satu
penyumbang kontribusi terhadap daerah selain padi, dan ternak. Masyarakat DIY
sebagian besar tinggal di pedesaan dan bercorak agraris, dimana sektor pertanian
masih memegang peran penting dalam kehidupan, maka pembentukan masyarakat
industri perlu diprioritaskan pada sektor agroindustri. Agroindustri diharapkan
mampu memberikan sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus bagi
pemerataan hasil pembangunan. Agroindustri adalah industri yang mempunyai
kaitan erat dan langsung dengan pertanian. Apabila pertanian diartikan sebagai
proses yang menghasilkan produk pertanian di tingkat primer, maka kaitannya
dengan industri dapat kebelakang (backward linkage) maupun ke depan (foward linkage) (Maksum, 1999). Pengalaman menunjukkan dalam krisis ekonomi bahwa
agroindustri sebagai pioner yang didukung oleh sektor pertanian mampu membuat
bangsa ini survival tahan terhadap gonjangan krisis moneter yang melanda negeri
ini. Kegiatan agroindustri selama ini mampu menyerap tenaga kerja dan berperan
dalam pemerataan nilai tambah secara ekonomi, serta mempunyai efek ganda
(mulplier effect). Pengembangan pertanian di pedesaan merupakan salah satu ujung tombak
dalam perekonomian di Yogyakarta. Dengan tumbuhnya beberapa sektor
pengolahan hasil dipedesaan yang menunjang agroindustri maka dimungkinkan
untuk pembentukan model dalam perencanaan pembangunan pertanian di
pedesaan yang akhirnya akan terjadi perubahan culture dari struktur pertanian
tradisional menjadi pertanian maju dan ini ditopang dengan sarana dan prasarana
akses teknologi, infrastruktur memadai, pabrikan dan jaringan pasar.
Selama ini sudah cukup memadai hasil produksi tanaman pangan, palawija
dan hortikultura; namun dalam pengolahan hasil masih belum memadai.
Bagaimana mengubah dan memperbaiki yang sudah ada bentuk agroindustri di
pedesaan menjadi kuat dan berdaya saing tinggi. Cukup tersedia row material atau
bahan baku / bahan mentah saja. Dengan sedikit sentuhan teknologi dan pencarian
pasar serta jaminan harga yang menguntungkan akan memacu petani akan mampu
menaikkan nilai tambah atau added value dan akhirnya menarik minat petani
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
202
untuk mengusahakan dan meningkatkan agroindustri mulai dari skala
rumahtangga menjadi skala ekonomis dan akhirnya dapat digunakan sebagai salah
satu sektor yang mampu menopang perekonomian di wilayah tersebut.
METODOLOGI DAN ANALISIS DATA
Pendekatan :
Penentuan lokasi secara sengaja (purposive) yaitu daerah sentra penghasil
salak Pondoh dan merupakan salah satu daerah sentra agroindustri pedesaan yang
berkembang cukup baik yaitu Desa Donotirto, Kecamatan Turi Kabupaten Sleman
pada bulan September – Nopember 2004. Metode pengumpulan data melalui
wawancara terstruktur dan terbuka kepada pelaku agroindustri rumahtangga serta
informan kunci yaitu ketua kelompok. (2) Observasi langsung dengan pendekatan
kualitatif dengan menggunakan focus group discussion. Responden dipilih acak
sederhana (Simple random sampling) dengan metode Nasir (1988), yaitu 20
responden dalam satu kelompok pengolah dodol salak, yaitu Kelompok Gading Asih.
Pendekatan Analisis
Pendekatan analisis finansial dari sisi kelayakan usaha dengan melihat
rentang waktu usaha 5 (lima tahun), penerimaan, pengeluaran, pendapatan,
keuntungan dan rasio RC dan BC menggunakan kriteria (Soekartawi, 1995,
Kadariah, 1978, Gittinger, 1986)
a. Analisis Pendapatan Bersih Usaha
Keuntungan = Penerimaan Total – Biaya Total
Komponen biaya total terdiri dari biaya-biaya variabel (biaya tidak tetap) dan
biaya tetap. Biaya variabel adalah biaya yang secara total berubah secara
proporsional dengan perubahan aktivitas (Garrison dan Norren, 2001)
b. Analisis Finansial
Kriteria investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Net Present Value (NPV), Net B/C, dan IRR..
1. Net Present Worth atau Net Present Value (NPV) :
NPV adalah merupakan selisih antara benefit (penerimaan) dengan cost
(pengeluaran) yang telah dipresent valuekan.
Keterangan :
B = Manfaat penerimaan tiap tahun
C = Manfaat biaya yang dikeluarkan tiap tahun
t = Tahun kegiatan usaha (t = 1,2,...n)
i = Tingkat discount yang berlaku
nt
itt
tt
i
CBNPV
)1(
)(
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
203
Kriteria NPV yaitu :
1. NPV > 0, berarti usaha menguntungkan;
2. NPV < 0, usaha tidak menguntungkan
3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) :
Keterangan :
B/C = benefit cost ratio
i = tingkat bunga yang berlaku
t = jangka waktu usahatani
Kriteria Net B/C Ratio yaitu :
1. Net B/C Ratio > 1 berarti proyek dapat diterima/ dijalankan.
2. Net B/C Ratio < 1 berarti proyek tidak dapat diterima/ dijalankan.
3. Internal Rate of Returns (IRR) yaitu :
Keterangan :
Bt = Manfaat penerimaan tiap tahun
Ct = Manfaat biaya yang dikeluarkan tiap tahun
t = Tahun kegiatan usaha (t = 1,2,...n)
i = Tingkat bunga yang berlaku
Kriteria IRR yaitu :
1. IRR > Social Discount Rate berarti usaha layak
2. IRR < Social Discount Rate berarti usaha tidak layak
Analisis SWOT meliputi : kekuatan (Strength), peluang (Opportunity),
kelemahan (weakness) dan hambatan (Treath). Setelah diketahui faktor internal
dan eksternal dari profil usaha dan kelembagaannya dilakukan analisis pendekatan
kinerja dan langkah strategik dalam mengatasi usaha dan kelembagaan kedepan
dari hasil persilangan antara faktor internal dan eksternal dari SWOT untuk
mendapatkan jawaban dan langkah strategik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Daerah Penelitian
Letak strategis dan asebilitas ke kota cukup dekat wilayah jalur angkutan.
Jarak ke Ibukota di Sleman adalah sekitar 7 km, dan ke Ibukota Yogyakarta 20 km.
Jalan cukup baik dengan beraspal sampai pinggiran desa. Kondisi sosial budaya di
Desa Donotirto dengan luas 741 ha, dengan jumlah penduduk 1750 KK. Topografi
agak datar dan relatif subur. Selain itu desa ini merupakan salah satu sentra salak
nt
i
tnt
i
t iCtiBtCB11
)1/(/)1/(/
nt
tt
tt
i
CBIRR
1
0)1(
)(
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
204
pondoh, dimana 40% berasal dari Desa ini. Kondisi topografi berombak 3-8%, dengan
ketinggian tempat 300-600 m dpl. Kondisi profil pedesaan ini, memiliki krakteristik
spesifik agroindustri olahan salak baik bentuk keripik salak maupun dodol salak.
Desa ini merupakan salah satu sentra hortikultura salak pondoh selain desa
Bangunkerto. Namun selain sebagai sentra daerah salak, desa ini merupakan salah
satu lumbung padi di Sleman. Tipologi desa agroindustri pengolahan dan tanaman
pangan sangat kentara dengan dukungan sarana prasarana memadai sebagai salah
satu kawasan yang tumbuh dan berkembang kearah desa industrialisasi.
Perekonomian keluarga disokong dengan aktifitas ibu-ibu rumah tangga yang
ditopang dengan usaha sampingan home industri pengolahan hasil berbagai salak dan
hasil pertanian lainnya menjadi bahan jadi dan setengah jadi berupa berbagai produk
dodol salak, keriping salak, dan sirup salak. Kreativitas kelompok dalam
memanfaatkan tenaga untuk mengolah hasil bahan salak yang melimpah saat panen
raya menyebabkan harga salak jatuh. Oleh sebab itu dicarilah alternatif untuk
memanfaatkan salak yang relatif murah di musim panen raya yaitu sekitar bulan
Nopember s/d. Januari. Pada bulan-bulan normal dimana harga salak pondoh
menguntungkan sekitar Rp 2500,- s.d. Rp 5000,- per kg maka proses pengolahan salak
menjadi dodol dan hasil olahan lain tidak dilakukan. Hal ini karena dengan menjual
row material salak saja sudah menguntungkan. Hasil penelitian selama 5 (lima) tahun
terakhir dari berbagai sumber bahwa BEP salak pondoh adalah sekitar Rp 1.750 s.d.
Rp 2.100,- sehingga apabila harga row material salak pondoh dibawah harga BEP
maka akan dilakukan diversifikasi oleh ibu-ibu rmahtangga untuk diolah menjadi
dodol. Namun sebaliknya bila harga salak pondoh sudah diatas BEP maka tidak
dilakukan pengolahan salak pondoh.
Profil Responden
Berdasarkan kriteria penggolongan umur produktif Suryabrata (1983),
responden termasuk produktif (90%) dengan umur rerata 46 tahun, dengan umur
produktif diharapkan mudah dalam akses teknologi dan peningkatan usaha serta
inovasi teknologi. Berdasarkan jumlah tanggungan keluarga adalah 4,1 – 4,5 artinya
bahwa keluarga cukup ideal dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Pendidikan
sebesar 92% tamat SMP-SMA dengan rerata skor adalah 11,4. dan dapat
dikategorikan relatif cukup baik, hal ini berkaitan dengan proses pengambilan
keputusan. Petani sebagai pelaksana juga bertindak sebagai sebagai manajer dalam
usahanya, sehingga mau tidak mau petani selalu dihadapkan pada proses
pengambilan keputusan. Pada umumnya, dengan semakin tingginya tingkat
pendidikan seorang petani dia akan semakin mudah menerima dan mengadopsi
teknologi baru, dan sebaliknya dengan semakin rendah tingkat pendidikan maka
petani tersebut semakin sulit menerima dan mengadopsi teknologi baru yang
diperkenalkan.
Responden yang melakukan usaha pengolahan salak menjadi dodol salak 75%
dikerjakan oleh wanita dalam kelompok Gading Asih. Pada proses pengolahan dodol
membutuhkan waktu 6-9 jam/hari.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
205
KERAGAAN HASIL AGROINDUSTRI RUMAHTANGGA
Kelayakan Usaha
Dari hasil analisis finansial arus tunai usaha pengolahan salak menjadi dodol
salak menggunakan dasar pendekatan analisis investasi jangka panjang dan analisis
jangka pendek berdasarkan (Gittinger, 1986; Pujosumarto, 1998 dan Sukartawi, 1995),
dengan melihat sisi pendapatan (Revenue Cost Ratio), sedangkan analisis investasi
dengan melihat nilai Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV) dan Net Benefit Cost Ratio dengan alasan bahwa usaha ini memerlukan investasi peralatan,
modal dan tenaga terampil. Dengan pendekatan analisis ini diharapkan dalam jangka
panjang atau kedepan dapat dibuat perencanaan lebih baik.
Komponen perhitungan analisis terdiri dari (1) biaya investasi meliputi
peralatan dengan asumsi umur ekonomis peralatan 5 (lima) tahun, (2) biaya tetap
meliputi biaya maintenance, bunga bank, listrik, peralatan/bahan habis pakai, dan (3)
biaya variabel meliputi : salak (row material), gula jawa, ketan, tepung, kayu, BBM dll.
Hasil analisis disajikan pada tabel 1. Dalam proses produksi untuk menghasilkan
dodol salak telah digunakan bahan baku salak pondoh, dengan bahan pendukung :
gula pasir, gula jawa, tepung ketan, tepung jawa dll. Proses pertama adalah
pengupasan salak, pencucian salah dan pengirisan. Sehingga dihasilkan daging salak
siap untuk diproses menjadi dodol. Dalam satu kali proses produksi salak dibutuhkan
waktu sekitar 6 (enam) jam. Pada usaha yang dilakukan untuk pengolahan dodol
salak dilakukan, secara umum dilakukan bersama-sama dalam satu kelompok usaha.
Walaupun ada juga yang secara individual melakukan usaha ini yang dilakukan
dirumah masing-masing. Namun untuk kasus ini yang diuji adalah pada kelompok
usaha bersama-sama yang diwadahi dalam kelompok Gading Asih. Hasil analisis
finansial usaha agroindustri rumahtangga disajikan pada Tabel 1.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
206
Tabel 1. Analisis finansial arus tunai usaha pengolahan dodol salak di
Donotirto,Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. 2004.
Uraian
Tahun Efektif Mengolahan Dodol Salak
0 1 2 3 4 5
Total Penerimaan 0 9,600,000 9,600,000 9,600,000 9,600,000 9,600,000
4kg/hrx150hrx16000 0 9,600,000 9,600,000 9,600,000 9,600,000 9,600,000
(10 kg salak equiv 4 kg dodol)
Pengeluaran
1. Biaya Investasi 3,500,000 700,000 700,000 700,000 700,000 700,000
- nilai peralatan 5 th 3,000,000
- Promosi 500,000
2. Biaya tetap 0 350,000 365,000 381,500 399,650 419,615
- maintenance 0 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000
- listrik (per th naik 10%) 0 150,000 165,000 181,500 199,650 219,615
- Peralatan kerja/habis pakai 0 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000
- Bunga bank 12 %/th 0 100,000 100,000 100,000 100,000 100,000
3. Biaya variabel 0 8,750,000 8,750,000 8,750,000 8,750,000 8,750,000
- Salak 10 kgx1500x5 bln/th 0 2,250,000 2,250,000 2,250,000 2,250,000 2,250,000
- Gula pasir (2kgx 3500x5
bln/th) 0 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000
- Gula jawa (2kgx1250x5 bln/th) 375,000 375,000 375,000 375,000 375,000
- Tepung ketan (150
kgx6000)/th 600,000 600,000 600,000 600,000 600,000
- Tepung jawa (150 kgx4000)/th 400,000 400,000 400,000 400,000 400,000
- BBM/Kayu/th 450,000 450,000 450,000 450,000 450,000
- Plastik,kertas,kemasan 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000
- Tenaga kerja 3HOK/Hrx 0 3,375,000 3,375,000 3,375,000 3,375,000 3,375,000
7500x150 hr/th
Total Pengeluaran (eksplisit) 3,500,000 9,100,000 9,115,000 9,131,500 9,149,650 9,169,615
Total Pengeluaran implisit 6,425,000 6,440,000 6,456,500 6,474,650 6,494,615
Pendapatan bersih (3,500,000) 500,000 485,000 468,500 450,350 430,385
df 12% 1 0.892 0.792 0.711 0.635 0.567
Present Value (3,500,000) 446,000 384,120 333,104 285,972 244,028
Total PV positif (th1-5) 1,693,224
Total PV negatif (th 0) (3,500,000)
Net B/C ratio (F/G) 0.484
R/C
1.49
Aliran kas tahun ke-0 (3,000,000)
Aliran kas tahun ke-1 500,000
Aliran kas tahun ke-2 485,000
Aliran kas tahun ke-3 468,500
Aliran kas tahun ke-4 450,350
Aliran kas tahun ke-5 430,385
IRR estimate 12%
IRR aktual -8%
NPV - 1.163.434
Kesimpulan
TIDAK
LAYAK
Karena IRR estim >IRR akt
NPV Negatif
Sumber : Data Primer 2004.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
207
Hasil analisis pengolahan dodol salak menunjukkan bahwa, dilihat dari sisi
analisis investasi dengan total invesasi adalah Rp 3.000.000,-, selama 5 (lima) tahun
usaha pembuatan dodol salak ini memberikan nilai NPV negatif sebesar – Rp
1.163.434,- dan nilai tingkat pengembalian modal (IRR) yaitu IRR aktual negatif –
8% dibawah IRR estimate 12%. Sehingga berdasarkan kriteria ini usaha dodol salak
tidak menguntungkan atau merugi dalam waktu 5 tahun usaha. Dilihat dari sisi
rasio B/C juga memberikan nilai < 1,0 yaitu 0.48. Artinya bahwa usaha ini tidak
layak untuk diteruskan. Diduga bahwa ketidaklayakan usaha dodol salak ini
dipengaruhi oleh harga yang relatif rendah, kurang efisien dalam proses usaha dan
kualitas produk yang kalah bersaing dengan dodol lainnya dengan bahan baku non
salak. Hasil wawancara dengan pengusaha dodol salak, menunjukkan bahwa
sulitnya memasarkan hasil dodol ini sehingga usaha ini tidak berkembang dengan
baik. Selain itu bahwa petani menganggap bahwa dengan menjual row material
salak saja sudah menguntungkan, sehingga diversifikasi produk kurang
berkembang.
Namun bilamana analisis ini didekatkan dengan analisis usahatani dengan
pendekatan dari sisi Revenue Cost (R/C) dimana faktor modal, tenaga dan peralatan
tidak diperhitungkan maka usaha dodol salak menjadi layak dengan nilai R/C > 1,0
yaitu 1,49. Namun ini hanya bersifat jangka pendek, dalam jangka panjang maka
usaha ini tidak kompetitif.
Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threat)
Berdasarkan prospek dan peluang usaha dari sisi kelembagaan yang ada
dapat dikelompokkan kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan dalam industri
pengolahan pangan lokal. Dalam pengusahaan pengolahan hasil dilakukan secara
kelompok. Keragaan hasil analisis SWOT pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Faktor internal dan eksternal
Strength Weakness
SDM dan tenaga tersedia cukup
Bahan baku/raw material
melimpah dan tersedia setiap
musim
Infrastruktur memadai dan
aksebility ke kota dekat
Usia masih produktif
Modal
Pemasaran dan skala masih terbatas
Harga masih rendah
Skill dan Pengetahuan kurang dan
tidak merata
Teknologi masih sederhana
Kualitas dan kuantitas produk
Proses pembuatan terlalu lama
Terbatas peralatan
Opportunity Threat
Agrowisata dan pariwisata
berkembang pesat
Even pameran daerah dan
nasional cukup banyak sebagai
ajang promosi
Pasar domestik terbuka
(Swalayan, Mall)
Pesaing diluar kelompok mulai
banyak baik kelompok maupun
individu
Ketatnya persyaratan makanan
sehat (standarisasi POM Depkes)
Sumber : Analisis Data Primer (2004)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
208
Dari hasil survai tentang faktor internal dan eksternal yang berpengaruh
terhadap usaha dodol salak dilakukan langkah-langkah strategi kebijakan
berdasarkan SWOT dengan perkalian antara faktor internal dan eksternal, hasil
dan langkah strategi disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Langkah-langkah strategi kebijakan berdasarkan SWOT
X SSttrreennggtthh WWeeaakknneessss
OOppppoorrttuunniittyy Dengan kelompok yang ada
serta jumlah anggota cukup
memadai, perlu
peningkatan Skill, SDM
(pelatihan dll)
Peningkatan inovasi usaha
dan diversifikasi usaha
untuk memperluas atau
menigkatkan pasar
Perlu mencari pasar baru
dengan menjalin kerjasama
dengan supermarket
dengan meningkatkan
kualitas
KKeelleemmaahhaann mmooddaall ddaappaatt ddiitteekkaann
ddeennggaann ppeenniinnggkkaattaann mmiittrraa ddeennggaann
ppeeddaaggaanngg
KKeelleemmaahhaann wwaakkttuu tteerrllaalluu llaammaa ddaallaamm
pprroosseess ppeerrlluu mmeennccoobbaa ddeennggaann
mmeemmaannffaaaattkkaann tteekknnoollooggii iinnoovvaattiiff
KKuuaalliittaass rreennddaahh ddaappaatt ddiittiinnggkkaattkkaann
ddeennggaann ppeemmaannffaaaattaann tteekknnoollooggii
ppeennggoollaahhaann
TThhrreeaatt 11.. PPeenniinnggkkaattaann kkeelleemmbbaaggaaaann
yyaanngg aaddaa ddiikkeelloommppookk
ddeennggaann mmeennjjaalliinn kkeerrjjaassaammaa
ddeennggaann ssttaakkeehhoollddeerrss//
pprroodduusseenn ddiilluuaarr kkeelloommppookk
sseerrttaa mmeemmbbuuaatt ssttaannddaarr
hhaarrggaa bbeerrssaammaa yyaanngg ssaalliinngg
mmeenngguunnttuunnggkkaann..
2. AAddaannyyaa mmiittrraa aannttaarr
kkeelloommppookk ddaappaatt ssaalliinngg
bbeerrttuukkaarr iinnffoorrmmaassii ddaann
ppeemmaannffaaaattaann aajjaanngg pprroommoossii
PPeerrlluu ppeenniinnggkkaattaann sskkiillll ddeennggaann
ppeerrmmuunnttaaaann ddiinnaass tteerrkkaaiitt kkaaiittaannnnyyaa
tteekknnoollooggii ppeennggoollaahhaann hhaassiill ddaann
mmaannaaggeemmeenn
PPeerrlluu ppeenniinnggkkaattaann ssttaannddaarr mmuuttuu
yyaanngg ddaappaatt mmeemmeennuuhhii ppeerrmmiinnttaaaann
ppaassaarr lleebbiihh lluuaass
Sumber : Analisis Data Primer (2004)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
209
KESIMPULAN
Dari hasil analisis kelayakan finansial dan investasi serta analisis SWOT
dapat disimpulkan : (1). Dari sisi investasi jangka panjang usaha pengolahan dodol
salak tidak layak dengan B/C < 1,0 ; NPV negatif sebesar Rp. 1.163.434,- dan IRR
(-8%), artinya bahwa usaha ini selama 5 tahun investasi mengalami kerugian
sebesar Rp 1.163.434. (2) Namun bilamana analisis ini didekatkan dengan analisis
usahatani dengan pendekatan dari sisi Revenue Cost (R/C) dimana faktor modal,
tenaga dan peralatan tidak diperhitungkan maka usaha dodol salak menjadi layak
dengan nilai R/C > 1,0 yaitu 1,49. (3) Berdasarkan SWOT analisis, langkah strategi
a. Perbaikan teknologi pengolahan, b. diperbanyak promosi, c. perbaikan kualitas
dan standatdisasi mutu, dan d. jalin mitra toko/swalayan
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2004. Produk Domestik Regional Bruto Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Garrison dan Norren. 2001. Akutansi Manajerial Diterjemahkan oleh Totok Budi Santoso. Salemba Empat. Jakarta.
Geertz dan Weber. 1962. Agricultural Involution. Barkely. Univ. of California Press.
Gittinger, 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Eds (II). Universitas
Indonesia Press. Johns Hopkins. Jakarta. 579.
Han. 1996 A Study on Quality and Profitability of Fruit-Vegetables. Makalah
Seminar ASAE (Asian Society for Agricultural Economist).Denpasar, 6-9
Agustus 1996.
Kadariyah. 1988. Evaluasi Proyek Analsis Ekonomis. Edisi Kedua. LPFE – UI.
Jakarta.
Maksum, M. 1999. Transformasi Sosial Budaya Masyarakat Pedesaam
Menuju Masyarakat Agroindustri. P3PK Universitas Gajah Mada.
Nasir, M. 1988. Metode Pewnelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Pudjosumarto, M. 1998. Evaluasi Proyek, Fakultas Ekonomi Brawijaya Malang
Edisi Kedua. Liberty. Yogyakarta.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia. UI. Press. Hal
9-89
Sudarmaji, S. 1995. Microentreprise Development Facing the World safety
Standard. Makalah Seminar SEARCA SFA-P3PK, 30-31, 1995.
Suryabrata, 1983. Metode Penelitian. Rajawali. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
210
ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHATANI TERONG
(Solanum melongena, L) DAN LABU/WALUH (Cucurbita moschata)
DI LAHAN LEBAK KALIMANTAN SELATAN
(Kasus Desa Sungai Durait Tengah Kabupaten Hulu Sungai Utara)
Rismarini Zuraida*)
ABSTRAK
Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Kalimantan Selatan,
kebutuhan akan bahan pangan juga semakin meningkat, sementara itu penyediaan
akan bahan pangan semakin terbatas disebabkan semakin sempitnya lahan usaha
pertanian. Usahatani terong (Solanum melongena, L) dan labu merah (Cucurbita moschata). merupakan salah satu peluang dalam meningkat pendapatan petani.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan finansial usahatani
terong dan labu merah yang merupakan studi kasus di Desa Sungai Durait Tengah
Kecamatan Babirik Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan.
Wawancara dilakukan terhadap anggota kelompok Tani dengan mengggunakan
Metoda PRA dan di sertai daftar pertanyaan berstruktur. Data yang dikumpulkan
berupa data primer dan sekunder. Data primer adalah data usahatani selama satu
tahun sebelumnya yang dilakukan responden, sedangkan data sekunder merupakan
data penunjang yang dikumpulkan dari Kepustakaan dan instansi terkait. Hasil
penelitian menunjukan bahwa produtivitas terong mencapai 5 ton/ Ha dengan
tingkat penerimaan sebesar Rp 5.000.000,- dan total biaya yang dikeluarkan dalam
satu hektar terong sebesar Rp1.825.000,-, pendapatan bersih mecapai Rp 3.175.000,-
Untuk labu merah penerimaan mencapai Rp 4.900.000,- total biaya yang
dikeluarkan Rp 2.255.000,- pendapatan bersih yang diperoleh sebesar Rp 2.645 000,-
nilai R/C ratio masing-masing yaitu terong : 2,7 dan labu merah : 2,17. Dari hasil
tersebut menunjukkan bahwa usahatani terong dan labu merah layak diusahakan
karena nilai R/C ratio > 1.
Kata kunci : Usahatani, terong,labu , lebak
ABSTRACT
More people in South Kalimantan, need more food supply, while its’ supplies
become more limited, because of the decrease land for agriculture activities.
Eggplant and red pumpkins are several commodities to grow by farmers to earn their
living. The goal of this research was to know the feasibility farming of eggplant and
pumpkins, with a case study at Sungai Durait Tengah Village, Babirik district, Hulu
Sungai Utara, South Kalimantan was conducted on farmers’ using PRA method,
and questionaire. Data collected was considered as primer and secondary. The
primer data got from farmers during a year, to observe their farming system
activities and secondary data was collected from the reference and institutions
involved.
______________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
211
The result showed that productivity of eggplant reached 5 ton/ha, and giving income for
Rp 5.000.000,-, while the total costs of eggplant Rp 1.825.000,-/ha.Net revenue Rp
3.175.000,- for red pumpkins, giving income for Rp 4.900.000,- From the total costs Rp
2.255.000,- and total net revenue Rp 2.645.000,-, resulted R/C value of eggplant 2,7 and
red pumpkins is 2,17.
Key words : Farming, eggplant, red pumpkins, tidal land
PENDAHULUAN
Luas lahan lebak di indonesia diperkirakan antara 10,91 -14,70 juta ha (Widjaja -
Adhi, et al, 1992) diantaranya 3,4 juta ha di Kalimantan 5,7 juta ha di Sumatera, 5,2 juta
di Irian Jaya dan sisanya di Sulawesi. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk
di Kalimantan Selatan, kebutuhan akan bahan pangan juga semakin meningkat,
sementara itu penyediaan akan bahan pangan semakin terbatas karena berbagai
kendala, salah satunya adalah karena belum optimalnya dalam pengelolaan
sumberdaya lahan yang tersedia. lahan rawa lebak yang cukup luas tersedia di
Kalimantan Selatan, 600.000 Ha (Diperta Provinsi Kalimantan Selatan, 1989) dan
baru 75.359 Ha yang dimanfaatkan (Diperta Provinsi Kalimantan Selatan, 1995)
merupakan salah satu alternatif dalam usaha pengembangan tanaman pangan dan
peternakan guna memenuhi kebutuhan akan bahan pangan/ ternak tersebut sekaligus
dalam usaha pengelolaan sumberdaya lahan rawa lebak yang cukup potensial untuk
dikembangkan.
Saat ini di Kabupaten Hulu Sungai Utara lahan rawa potensial baru
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian/perkebunan hanya sekitar 86% dari lahan
yang ada (BPTP Kal Sel, 1997). Untuk sistem usahatani di desa Sungai Durait
komoditas yang dominan dikembangkan sebagai bahan pangan adalah padi, ubi alabio
,sayur-sayuran (Terong,labu/waluh, lombok), usahatani sayuran petani cepat
mendapatkan uang tunai dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi
pendapatan petani di daerah ini, dengan mengembangkan sayuran (terong dan
labu/waluh) di lahan rawa lebak tersebut akan memberi peluang usaha bagi petani
setempat untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan mereka.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian di lakukan di desa Sungai Durait Kabupaten Hulu Sungai Utara
provinsi Kalimantan Selatan pada bulan April 2005. Penelitian dilakukan dengan
observasi lapangan yang difokuskan pada permasalahan, hambatan dan peluang
pengembangan usahatani terong dan labu/waluh di lahan rawa lebak.
Metode pengumpulan data yaitu dengan metode PRA (Participatory Rural Apprisial), disertai wawancara terhadap responden dengan mengggunakan daftar
pertanyaan berstruktur. Pemilihan responden dilakukan secara acak sederhana dengan
asumsi bahwa penyebaran usahatani terong dan labu/waluh dilaksanakan secara
merata di seluruh desa.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer adalah
data usahatani terong dan labu/waluh selama satu musim tanam sebelumnya yang
dilakukan responden, sedangkan data sekunder merupakan data penunjang yang
dikumpulkan dari kepustakaan dan instansi terkait. Data yang dikumpulkan dianalisis
secara diskreptif dan analisis kelayakan Finansial (analisis biaya dan pendapatan).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
212
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lahan Rawa Lebak
Lahan rawa lebak mempunyai ciri yang spesifik yaitu adanya genangan air
(water logged) dengan ketinggian air dapat mencapai 200 Cm pada musim hujan
yang terjadi antara bulan Januari – Maret, dan mengalami kekeringan pada saat
musim kemarau yang terjadi antara bulan Juli – Sepetember. Di Desa Sungai
Durait penggenangan airnya tidak merata, sangat tergantung pada hidrotopografi
lebak itu sendiri, pola hujan dan ketinggian air sungai setempat. Bagian yang
hidrotopografinya lebih tinggi mempunyai jangka waktu penggenangan yang lebih
pendek, sedangkan yang lebih rendah mempunyai jangka waktu penggenangan
yang lebih panjang.
Sesuai dengan kondisi hidrotopografinya tersebut, lahan rawa lebak
dibedakan atas lebak dangkal/pematang, lebak tengahan dan lebak dalam. Lebak
dangkal mempunyai hidrografi relatif cukup tinggi dengan genangan air di musim
hujan kurang dari 50 cm selama 3 bulan, lebak tengahan mempunyai topografi lebih
rendah dengan genangan air di musim hujan antara 50-100 cm dalam waktu 3-6
bulan. Lebak dalam mempunyai topografi paling rendah dengan genangan air lebih
dari 100 cm dalam waktu lebih dari 5 bulan (Susanto, 1987).
Genangan air di lahan rawa lebak dipengaruhi oleh curahan hujan di hulu
sungai yang meluapinya maupun curahan air hujan di daerah sekitarnya, tetapi
tidak dipengaruhi oleh arus pasang surut daerah sekitarnya (Direktorat Rawa,
1986). Meningkatnya curah hujan akan diikuti dengan meluapnya air di lahan rawa
lebak, dan menurunnya curah hujan akan diikuti pula dengan menyusutnya air di
lahan rawa lebak tersebut (Anwar et al, 1992).
Pembagian lahan rawa lebak di Desa Sungai Durait didasarkan pada tinggi
dan lamanya genangan air, hal ini merupakan acuan dalam pemanfaatannya, yaitu
(1) Watun I = lebak pematang dengan tinggi genangan air 50 cm, (2) Watun II =
lebak tengahan dengan tinggi genangan air 50 -100 cm, (3) Watun III = lebak dalam
dengan tinggi genangan air 100 cm.
Kedatangan air di musim hujan di lahan rawa lebak sukar diprediksi, tetapi
secara tradisional masyarakat setempat mengetahuinya dengan melihat gejala
alam. Berdasarkan jenis tanahnya, tanah di desa Sungai durait didominasi oleh dua
jenis tanah, yaitu gambut (histosol) dan alluvial endapan sungai dengan lapisan pirit
pada bagian bawahnya atau berasosiasi dengan gambut dengan tingkat kemasaman
tanah cukup tinggi (pH 5).
Setiap musim hujan terjadi endapan lumpur kiriman dari daerah hulu dan
terjadi perkayaan hara tanah. Oleh sebab itu setiap terjadi musim hujan akan
berpengaruh terhadap kondisi hara tanah di lahan rawa lebak.
Beberapa tanaman selain padi, dapat dibudidayakan di lahan lebak dengan
menggunakan sistem sawah/hamparan ataupun sistem surjan atau
tembokan/guludan, diantaranya terong, labu merah, cabe, jagung.
Pada musim kemarau yang panjang sebagian lahan lebak (tengah dan dalam)
menjadi kering. Beberapa tanaman seperti labu merah ditanam besar-besaran
secara hamparan, mengingat lahan yang tersedia cukup luas.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
213
TEKNOLOGI BUDIDAYA USAHATANI TERONG DAN LABU/WALUH
DI LAHAN LEBAK
1. Teknologi Budidaya Terong
Benih dan Persemaian
Benih yang dipergunakan petani di lahan lebak benih yang bermutu, ini di
lihat petani dari bentuk, tidak berkeriput. Pada umumnya perbanyakan terong
dilakukan dengan biji, kebanyakan hanya membeli di toko, atau warung saprodi.
Sebelum ditanam benih perlu disemai yang memang diolah untuk
persemaian. Penyemaian biji sebaiknya disebar secara teratur agar tidak terlalu
berdekatan dan bertumpuk saat benih telah tumbuh. Bibit di tanam setelah
berumur 1,5 bulan sejak disemaikan atau kurang lebih berdaun empat helai.
Pengolahan Tanah
Pengolahan pada lahan lebak ini tidak terlalu sulit, untuk tanah yang diatas
hanya dibersihkan dari rumput/gulmanya. Terong hanya ditanam di tanah atas
yaitu pada tabukan/galangan.
Penanaman
Waktu tanam yang sering dilaksanakan ditingkat petani yaitu pada awal
musim kemarau (bulan Maret –April). Jarak tanam yang ada di petani tidak teratur,
ini karena keterbatasan lahan (hanya ditanam digalangan), penanaman terong
dilakukan pada lubang tanam berukuran lebar 20 Cm.
Pemupukan
Pemupukan hanya dilakukan 15 hari setelah tanam dan pemberiannya hanya
satu kali pemberian, ini sekaligus dengan penyulaman.
Penyiangan
Penyiangan dapat dilakukan bersamaan dengan pembubunan, Penyiangan
dilakukan tergantung banyaknya rumput yang ada, biasa juga dilakukan 10 hari-15
hari setelah tanam
Panen
Bila dirawat dengan baik maka umur tanaman dapat mencapai 6-7 bulan,
panen dilakukan bisa 8 kali pemetikan. Dengan demikian pemanenan dapat
dilakukan 4-5 bulan. Biasa panen dilakukan petani pada pagi hari.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
214
2. Analisis Finansial Usahatani Terong
Hasil analisis finansial (Tabel 1) menunjukan bahwa Penerimaan yang
diterima sebesar Rp. 5.000.000 dan total biaya yang dikeluarkan satu musim
pertanaman sebesar Rp. 1.825.000,-, pendapatan bersih yang dicapai Rp. 3.175.000,-
dengaan nilai R/C ratio : 2,7 (R/C ratio > 1). Melihat hasil analisis finansial
usahatani terong ini maka layak diusahakan petani, karena selisih yang diperoleh
dari hasil penjualan dan biaya produksi diperoleh sebesar Rp. 3.175.000,- dan nilai
R/C ratio merupakan nilai penerimaan yang diperoleh dari setiap rupiah biaya yang
dikeluarkan. Artinya dari setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan akan diperoleh
penerimaan sebesar Rp 2,7.
BEP (break event point) harga = Total Biaya/Total produksi
= 1.825.000,-/ 5.000 = Rp 365,- /kg
Artinya, titik impas usahatani terong telah tercapai pada tingkat harga Rp
365,-./Kg Apabila harganya kurang dari Rp 365,-/Kg berarti usahatani terong ini
tidak kembali modal.
Tabel 1. Analisis Finansial Usahatani Terong Dalam Satu Hektar di Desa Sungai
Durait Tengah Kab Hulu Sungai UtaraTahun 2005
No Uraian Jumlah Harga (Rp) Nilai
1 Penerimaan (kg) 5.000 1.000 5.000.000
2
Biaya :
Benih ( Grm)
Pupuk N,P,K (Kg)
Obat-obatan (kg)
Tenaga kerja (HOK)
Pengolahan tanah
Tanam
Pemeliharaan
Panen & Pasca Panen
80
20
32
35
75
30
30
1.000
6.000
10.000
15.000
6.000
6.000
6.000
80.000,-
120.000,-
320.000,-
525.000,-
420.000,-
180.000,-
180.000,-
3 Total Biaya - - 1.825.000,-
Pendapatan ( 1-2) - - 3.175.000,-
5 R/C Ratio - - 2,7
3. Budidaya Usahatani Labu/Waluh
Benih dan Persemaian
Benih yang dipergunakan petani di lahan lebak benih yang bermutu, benih
dipilih petani dari pertumbuhan sebelumnya, apabila pertumbuhan sebelumnya
baik ini dijadikan bibit untuk pertanaman akan datang.
Sebelum ditanam, benih perlu disemai. Tempat penyemai khusus diolah
tersendiri. Penyemaian biji disebar secara teratur agar tidak terlalu berdekatan dan
bertumpuk saat benih telah tumbuh. Bibit di tanam setelah berumur 1,5 bulan
sejak disemaikan, dipindahkan kelapangan .
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
215
Pengolahan Tanah
Pengolahan pada lahan lebak ini tidak terlalu sulit, gulma yang pada saat
musim kemarau menjadi kering dan pembersihannya hanya digulung, dan
tanahnya tidak perlu diolah/dicangkul karena tanahnya sudah gembur.
Penanaman
Waktu tanam yang sering dilaksanakan ditingkat petani yaitu pada awal
musim kemarau (bulan Maret –April). Jarak yang dilaksanakan petani tidak
teratur. Dan diberikan satu lobang satu tanaman.
Pemupukan
Pemupukan labu/waluh pada daerah penelitian hanya dilakukan 10-15 hari
setelah tanam dan pemberiannya hanya satu kali pemberian, ini sekaligus dengan
penyulaman, pabila ada yang tidak tumbuh.
Penyiangan
Penyiangan dilakukan tergantung banyaknya rumput yang ada, biasa juga
dilakukan 10 hari-15 hari setelah tanam, ini juga hanya rumput yang mengganggu
saja yang dibuang. Pada umumnya petani rumput-rumput kecil dibiarkan saja,
untuk memelihara tanah tetap lembab.
Panen
Bila dirawat dengan baik maka umur tanaman dapat mencapai 10 bulan,
panen dilakukan bisa mencapai 8 kali pemetikan. Dengan demikian pemanenan
dapat dilakukan 4-5 bulan. Biasa panen dilakukan petani pada pagi hari. Produksi
yang paling tinggi yaitu pada pemetikan yang ke 3 sampai ke 6.(Berat 1 biji labu
berkisar antara 10 kg- 20 kg).
4. Analisis Finansial Usahatani Labu
Hasil analisis finansial (Tabel 2) menunjukan bahwa Penerimaan yang
diterima sebesar Rp 4.900.000,-dan total biaya yang dikeluarkan satu musim
pertanaman sebesar Rp. 2.255.000,-, pendapatan bersih yang dicapai Rp. 2.645 000,-
dengaan nilai R/C ratio : 2,17 (R/C ratio > 1). Melihat hasil analisis finansial
usahatani labu ini maka layak diusahakan petani, karena petani mendapat
keuntungan sebesar Rp. 2.645 000,- dan nilai R/C ratio merupakan nilai penerimaan
yang diperoleh dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan, Artinya dari setiap Rp
1,00 biaya yang dikeluarkan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 2,17.
BEP ( break event point)Harga = Total Biaya/Total produksi
= 2.255.000,-/ 14.000 = Rp 161,-
Artinya, titik impas usahatani labu merah telah tercapai pada tingkat harga
Rp.161,-/kg
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
216
Tabel 2. Analisis finansial usahatani labu merah dalam satu hektar Di Desa Sungai
Durait Tengah Kab Hulu Sungai Utara Tahun 2005
No Uraian Jumlah Harga (Rp) Nilai (Rp)
1 Penerimaan (kg) 14.000 350 4.900.000
2
Biaya :
Benih
Pupuk N,P,K
Obat-obatan (kg)
Tenaga kerja (HOK)
Pengolahan tanah
Tanam
Pemeliharaan
Panen
60
50
25
35
30
30
40
3.000
6.000
10.000
15.000
10.000
10.000
10.000
180.000
300.000
250.000
525.000
300.000
300.000
400.000
3 Total Biaya - - 2.255.000
4 Pendapatan ( 1-2) 2.645 000
5 R/C Ratio
2,17
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHATANI TERONG DAN LABU
DI LAHAN RAWA LEBAK
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa usahatani terong dan labu di lahan
rawa lebak pada umumnya dan khususnya di Desa Sungai Durait Tengah
mempunyai prospek untuk dikembangkan karena menguntungkan ini terlihat dari
R/C ratio yang dicapai, dan memberi peluang untuk ditingkatkan lagi dengan
pengelolaan (pemeliharaan) yang lebih baik lagi, pemilihan benih yang bermutu
sesuai dengan agroekosistemnya. Meskipun potensi lahan lebak cukup besar untuk
dikembangkan, namun sementara ini petani di Desa Sungai Durait Tengah sering
dihadapkan pada masalah sosial ekonomi yang kurang mendukung, yaitu masalah
yang sangat krusial di tingkat petani, keterbatasan modal usaha dan posisi yang
lemah dalam pemasaran hasil sehingga harga sering ditentukan pihak pembeli.
Selain itu keterbatasan dalam jangkauan pemasaran sehingga bila masa tertentu,
harga cenderung menurun sehingga berpengaruh juga terhadap pendapatan petani.
Dengan keterbatasan modal usaha dan pemasaran, maka komitmen pemerintah
atau pihak swasta untuk bermitra dengan petani setempat dalam upaya
pengembangan sistem di lahan rawa lebak sangat diperlukan sehingga mampu
meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil serta pendapatan petani.
KESIMPULAN
1. Penerimaan usahatani terong mencapai Rp 5.000.000 dengan total biaya
sebesar Rp. 1.825.000,-pendapatan bersih sebesar Rp.3.175.000,- dengan nilai
R/C ratio : 2,7 , BEP (break event point ) harga Rp. 365,- /kg
2. Penerimaan dari usahatani labu merah/waluh mencapai Rp. 4.900.000,-dan
total biaya sebesar Rp.2.255.000,-pendapatan bersih sebesar Rp.2.645 000,-
dengan nilai R/C ratio: 2, 17 BEP (break event point ) harga Rp 161,-/kg
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
217
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Ek, A.R Marzuki, A. Saefuddin, A Asikin dan S, Partohardjono. 1992.
Potensi dan peluang pemenfaatan rawa lebak Sumatera Selatan bagi
pengembangan palawija dan hortkultura. Perakitan dan Pengembangan
Teknologi Sistem Usahatani Tanaman Pangan. Buku 2. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Jakarta
BPTP Kalimanatan Selatan 1997. Data Potensi Wilayah. Laboran Tahunan Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimanatan Selatan Banjarbaru,
Diperta Provinsi Kalimantan Selatan, 1989. Laporan dinas Pertanioan Tanaman
Pangan Provinsi Kalimantan Selatan Banjarbaru
Diperta Provinsi Kalimantan Selatan, 1995. Laporan dinas Pertanian Tanaman
Pangan Provinsi Kalimantan Selatan Banjarbaru
Widjaja-Adhi,IPG,Nugroho dan S Karama, Didi Ardi. 1992 Sumber Daya Lahan
Rawa Potens, Kebutuhan dan Pemanfaatan Dalam Rízala Pertemuan
Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak.
Cisarua, 3-4 Maret 1992.
Susanto,S 1987. Pemikiran Kearah Konsepsi Pengembangan Pengairan Dalam
Rangka Pengembangan Lebak. Simposium Pemanfaatan Daerah Lebak.
Facultas Pertanian UNSRI. Madang.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
218
PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK DARI GAMBUT DAN ENCENG
GONDOK PADA TANAMAN SAYURAN DAN PADI DI KABUPATEN
MAGELANG
Endang Iriani*), Cahyati Setiani*) dan Sodiq Jauhari*)
ABSTRAK
Saat ini dalam dunia pertanian, untuk meningkatkan produktivitas tanaman
tidak terlepas dengan penggunaan bahan kimia, baik untuk pupuk, maupun
pestisida dalam pengendalian hama penyakit dan gulma. Bahan kimia tersebut
pada umumnya adalah bahan beracun sehingga bila dipergunakan secara terus
menerus akan terjadi akumulasi yang bisa meracuni tanah, tanaman, udara, air dan
lingkungan hidup lainnya. Hal ini perlu terus dimonitor dan dikendalikan agar tidak
membahayakan produk pertanian dan lingkungan. Solusi yang terbaik adalah
menanam dengan sistem pertanian organik. Penambahan dan pengelolaan bahan
organik merupakan tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman untuk
meningkatkan atau mengoptimalkan manfaat pupuk sehingga efisiensinya
meningkat. Dengan pemberian bahan organik dapat menambah unsur hara makro
dan mikro dalam tanah yang diperlukan tanaman sehingga memberi media tumbuh
yang lebih baik. Gambut merupakan salah satu bahan organik yang dapat dijadikan
pupuk organik. Selain gambut, bahan organik yang berpotensi untuk dijadikan
pupuk antara lain yaitu enceng gondok dan kotoran ternak. Kotoran ternak (ayam,
sapi, kambing dan guano) selain sebagai bahan tambahan untuk pengomposan
gambut dan enceng gondok, juga berfungsi sebagai aktivator yang dapat
mempercepat pengomposan. Kajian aplikasi pupuk organik pupuk organik gambut
dan enceng gondok pada tanaman sayuran (tomat, buncis) dan padi dilakukan pada
lahan petani di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang pada MT 2004. Hasil
aplikasi menunjukkan, keragaan pertumbuhan dan hasil yang baik jika dibanding
dengan kebiasaan petani, pada tanaman tomat menambah produksi sebesar 31 %,
pada tanaman buncis menambah produksi sebesar 23% dan pada tanaman padi
menambah produksi sebesar 29%. Adanya tambahan input untuk pupuk organik
yang rata-rata diberikan sebesar 2 t/ha masih memberikan keuntungan.
Kata kunci : Pupuk organik, gambut, enceng gondok
ABSTRACT
Nowadays, in agriculture, to improve crops productivity, the use of chemical
substances is unavoidable, either for fertilizer or pesticides to control microbe and
weeds. Those chemical substance is commonly a poisonous materials so that if it is
continuously used, the accumulation could pollute soil, air, water and the other living
environment will be damaged, therefore it need to be continuously monitored and
controlled so that it will sustainable for agriculture products and environment.
________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
219
The best solution is the use organic agriculture system. Addition and management of
organic materials is good towards sustainable agriculture concepts, and will improve
the use of fertilizer. Application of organic materials can add macro and micro
chemical elements in the soil in which they are required by plants so it could provide
a better growing media. Peatmoss is one of the organic materials that can be used as
an organic fertilizer. Besides, a potential organic materials to be used as fertilizer
such as Water Hyacinth and manure. Manure can be obtained (chicken, cows, goat
and guana), besides as additional materials to compose Peatmoss and Water
Hyacinth also function as an activator that could enhanced composing. Applied
research on the use of organic fertilizer Peatmoss and Water Hyacinth on vegetable
plants (tomato, french beans) and rice was done in farmers’ land at Dukuh Sub-
district, Magelang Regency in 2004. The result showed the difference on growth and
yield compared with farmers’ method. It increased the production by 31 % on tomato,
23 % on french beans and 29% on rice plant. The use of organic fertilizer for
averagely 2 tons/hectare still gave reasonable benefit.
Key words: Organic fertilizer, peat moss, water hyacinth
PENDAHULUAN
Saat ini dalam dunia pertanian tidak terlepas dengan penggunaan bahan
kimia, baik untuk pupuk, pemacu pertumbuhan, perekat, serta pengendalian hama
penyakit dan gulma. Bahan kimia tersebut pada umumnya adalah bahan beracun
sehingga bila dipergunakan secara terus menerus akan terjadi akumulasi dan dapat
meracuni tanah, tanaman, udara, air dan lingkungan hidup lainnya. Dan tentunya
hal ini perlu terus dimonitor dan dikendalikan agar tidak membahayakan produk
pertanian dan lingkungan.
Salah satu solusi yang terbaik adalah menanam dengan sistem pertanian
organik. Berkembangnya suatu sistem budidaya organik tentu mempunyai
kelebihan maupun kekurangan apabila dibandingkan dengan sistem budidaya yang
non organik. Kelebihan dari digunakannya sistem pertanian organik antara lain
tidak menggunakan bahan kimia (pupuk dan pestisida) sehingga tidak
menimbulkan pencemaran lingkungan (tanah, air maupun udara) dan produk
mempunyai kualitas cita rasa lebih baik (Pracaya, 2002). Adapun kekurangannya
antara lain kebutuhan tenaga kerja lebih banyak, terutama untuk pengendalian
hama penyakit yang umumnya dilakukan secara manual. Apabila menggunakan
pestisida alami, perlu dibuat sendiri karena pestisida ini belum ada di pasaran.
Penampilan fisik tanaman organik biasanya kurang bagus (berukuran lebih kecil
dan daun berlubang) dibandingkan dengan tanaman yang dipelihara secara non
organik.
Salah satu produk yang berperan dalam menunjang sistem pertanian organik
adalah pupuk organik. Pupuk organik adalah bentuk akhir dari bahan organik
setelah mengalami pembusukan/pengomposan (Anonim, 1992). Pupuk organik
mempunyai kandungan massa homogin yang disebut humus. Humus adalah
senyawa organik tanah yang menyimpan nutrien tumbuhan dan berfungsi sebagai
penyangga dalam proses fisik, kimia dan biologi dengan kata lain humus merupakan
substansi yang sangat penting artinya bagi perbaikan struktur tanah (Mathur, 1994
dalam P3TPSLK dkk.,2004)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
220
Gambut merupakan salah satu bahan organik yang dapat dijadikan pupuk
organik. Secara alami gambut mengalami dekomposisi namun sangat lambat karena
kandungan C/N ratio yang tinggi. Selain gambut, bahan organik yang berpotensi
untuk dijadikan pupuk antara lain yaitu enceng gondok dan kotoran ternak. Kotoran
ternak (ayam, sapi, kambing dan guano) selain sebagai bahan tambahan untuk
pengomposan gambut dan enceng gondok, juga berfungsi sebagai aktivator yang
dapat mempercepat pengomposan.
Perkembangan bahan organik dalam sistem pertanian organik di Indonesia,
sudah dimulai pada tahun 1984 yaitu sekitar 4 hektar yang berada di daerah
Cisarua Bogor. Sekarang sistem pertanian organik ini telah banyak berkembang di
daerah dataran tinggi seperti Bandung, Wonosobo dll. Dalam rangka mencari
alternatif bahan organik yang bisa digunakan sebagai pupuk organik adalah dengan
memanfaatkan gambut dan enceng gondok sebagai pupuk organik untuk tanaman
sayuran maupun padi.
Dalam perkembangannya sekarang jenis tanaman yang ditanam secara
organik tidak terbatas hanya tanaman sayuran saja, tetapi telah diusahakan
tanaman buah, tanaman padi dan tanaman obat. Produk tanaman organik masih
terbatas dikonsumsi oleh orang-orang yang sadar akan kesehatan. Namun dengan
munculnya produk pertanian organik di setiap pameran dan ditunjang promosi
mengenai pentingnya kesehatan, tidak menutup kemungkinan di tahun mendatang
banyak orang yang beralih ke produk tanaman organik.
METODE PENGKAJIAN
Pengkajian budidaya tanaman sayuran (buncis, tomat) dan padi dengan
menggunakan pupuk organik dari gambut dan enceng gondok dilakukan di
lahan/hamparan yang terairi dari aliran dam parit di Desa Sumber, Kecamatan
Dukun, Kabupaten Magelang pada MT 2004. Usahatani tanaman yang diterapkan
menggunakan sistem penanaman semi organik, artinya dalam penanamannya
sebagai pupuk dasar digunakan bahan organik kompos dari gambut dan enceng
gondok dan selanjutnya penambahan pupuk kimia berdasarkan kebutuhan tanaman
di lapang dengan dosis sebagai berikut:
a. Buncis
Tabel 1. Penerapan teknologi budidaya pada tanaman buncis di Kec. Dukun, Kec.
Magelang. MT 2004.
Uraian Teknologi introduksi Pola petani
Varietas
Kebutuhan benih
Jarak tanam
Pupuk :
- Kompos gambut + enceng. gondok
- Pupuk kandang
- Urea
- SP- 36
- KCl
Vanili
20 kg/ha
30 x 50 cm
2 t/ha
-
100 kg/ha
50 kg/ha
100 kg/ha
Vanili
30 kg/ha
20 x 50 cm
-
4 t/ha
50 kg/ha
-
-
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
221
b. Tomat
Tabel 2. Penerapan teknologi budidaya pada tanaman tomat di Kec. Dukun, Kab.
Magelang. MT 2004.
Uraian Teknologi introduksi Pola petani
Varietas
Jarak tanam
Pupuk :
- Kompos gambut + enceng. gondok
- Pupuk kandang
- Urea
- SP- 36
- KCl
- NPK
Regina
40 x 50 cm
2 t/ha
-
200 kg/ha
150 kg/ha
100 kg/ha
-
Regina
40 x 50 cm
-
4 t/ha
50 kg/ha
-
-
200 kg/ha
c. Padi
Tabel 3. Penerapan teknologi budidaya pada tanaman padi di Kec. Dukun, Kab.
Magelang. MT 2004.
Uraian Teknologi
introduksi
Pola petani
Varietas
Jarak tanam
Pupuk :
- Kompos gambut + enceng. gondok
- Pupuk kandang
- Urea
- SP- 36
- KCl
Fatmawati
20 x 15 cm
2 t/ha
-
100 kg/ha
50 kg/ha
100 kg/ha
Fatmawati
20 x 15 cm
-
1 t/ha
500 kg/ha
50 kg/ha
-
Ada beberapa kriteria pertumbuhan yang biasa dijadikan sebagai tolok ukur
untuk pemberian atau penambahan pupuk an organik selama pertumbuhan yaitu :
pada tanaman tomat mulai umur sekitar 3 mst sudah mulai terbentuk batang
bercabang (pecah cabang) dan umur 35 hst sudah mulai berbunga, sehingga jika
pada umur-umur tersebut belum terlihat adanya pertumbuhan maka baru
ditambahkan pupuk kimia untuk memacu pertumbuhannya. Demikian juga untuk
pengendalian hama penyakit baru dilakukan dari hasil monitoring lapang jika
serangannya sudah mencapai ambang batas pengendalian dengan menggunakan
pestisida yang efektif dan dilakukan secara efisien. Parameter agronomis yang
diamati meliputi daya tumbuh, tinggi tanaman, umur berbunga (50%), umur panen
dan komponen produksi serta analisa ekonomi pada pola introduksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan agronomis dan komponen produksi
Keragaan agronomis tanaman buncis, tomat dan padi pada pengaruh
pemberian pupuk organik dari gambut dan enceng gondok tertera pada Tabel 4, 5
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
222
dan 6 di bawah ini. Secara visual bisa dilihat bahwa dari beberapa parameter yang
diamati menunjukkan adanya perbedaan pada produksi buncis yang dicapai, yaitu
pada perlakuan introduksi dengan memberikan pupuk kompos gambut + enceng
gondok sebanyak 2 t/ha memberikan hasil sekitar 0,45 t/ha lebih banyak yaitu 6,7
t/ha atau sekitar 23% dibanding pada pola petani yang mempergunakan pupuk
kandang sebanyak 4 t/ha diperoleh hasil 5,15 t/ha (Tabel 4). Perbedaan ini diduga
lebih disebabkan karena pupuk kompos sebagai bahan organik yang sifatnya sudah
siap unsur N untuk diserap tanaman. Lain halnya pada pupuk kandang masih
diperlukan waktu untuk mengalami proses dekomposisi sehingga efek terhadap
pertanaman belum secara langsung diserap tanaman. Menurut Wididana dan Higa
(1993 dalam Subhan et. al. 1998), bahwa bahan organik yang telah mengalami
dekomposisi sempurna, ketersediaan unsur haranya lebih mudah diserap oleh akar
tanaman.
Tabel 4. Keragaan agronomis tanaman buncis pada perlakuan introduksi dan pola
petani di Kec. Dukun Kab. Magelang 2004.
Uraian Teknologi introduksi Pola petani
- Daya tumbuh
- Umur berbunga
- Umur panen
- Produksi (7 X panen)
90,1 %
35 hst
55 hst
6,7 t/ha
86 %
35 hst
55 hst
5,15 t/ha
Tabel 5. Keragaan agronomis tanaman tomat pada perlakuan introduksi dan pola
petani di Kec. Dukun Kab. Magelang 2004.
Uraian Teknologi introduksi Pola petani
- Daya tumbuh
- Tinggi tanaman
- Umur berbunga
- Umur panen
- Jumlah buah/kg
- Produksi (11 X panen)
- Serangan penyakit virus keriting
89,2 %
110,5 cm
32 hst
55 hst
21
16,1 t/ha
40%
85 %
87 cm
36 hst
60 hst
11
14,2 t/ha
80%
Dari hasil pengkajian pada tanaman tomat menunjukkan bahwa dengan
pemberian pupuk kompos yang berasal dari gambut dan enceng gondok memberikan
rata-rata hasil yang lebih baik dari beberapa parameter yang diamati, dibanding
pada pola petani (Tabel 6). Dari parameter agronomis mulai daya tumbuh yang lebih
baik 89,2%, tinggi tanaman mencapai 110,5 cm dan umur berbunga serta umur
panen yang lebih cepat. Demikian juga terhadap komponen hasilnya yang meliputi
berat buah per kilogram (rata-rata 21 buah/kg) dan produksi buah per hektarnya
mencapai 16,1 t/ha dibanding pola petani yang mencapai 14,2 t/ha atau sebesar 31%
peningkatannya.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
223
Tabel 6. Keragaan agronomis tanaman padi pada perlakuan introduksi dan pola
petani di Kec. Dukun Kab. Magelang 2004.
Uraian Teknologi introduksi Pola petani
- Daya tumbuh
- Tinggi tanaman
- Jumlah anakan
- Umur panen
- Produksi
95%
108 cm
11 rumpun
105 hst
5,65 t/ha
95 %
104 cm
8 rumpun
106 hst
4,0 t/ha
Keragaan agronomis dan komponen hasil padi pada pemberian pupuk organik
dari bahan gambut dan enceng gondok tertera pada Tabel 6. Hasil penerapan
teknologi introduksi menunjukkan rata-rata hasil keragaan agronomis maupun
komponen hasil yang cukup baik dibanding pada perlakuan pola petani. Untuk
produksi gabah kering panen yang mengalami peningkatan sebesar 29% atau dari
4,0 t/ha menjadi 5,65 t/ha.
Secara umum penerapan pemanfaatn pupuk organik dari bahan gambut dan
enceng gondok mempunyai prospek untuk dikembangkan. Hal ini mengingat
semakin mahalnya harga pupuk anorganik dan semakin dirasakannya penurunan
produktivitas lahan sehingga pemberian bahan organik sangat dibutuhkan. Tanah
merupakan sistem hidup yang mengolah setiap pupuk yang diberikan dalam bentuk
tersedia atau tidak tersedia bagi tanaman. Pengatur utama atau kunci proses
tersebut adalah bahan organik tanah yang bertindak sebagai penyangga biologis
yang dapat mempertahankan penyediaan hara dalam jumlah berimbang untuk akar
tanaman.
Penambahan dan pengelolaan bahan organik adalah merupakan tindakan
perbaikan lingkungan tumbuh tanaman untuk meningkatkan atau mengoptimalkan
manfaat pupuk sehingga efisiensinya meningkat (Adiningsih.J.S., 1996). Dengan
pemberian bahan organik dapat menambah unsur hara makro dan mikro dalam
tanah yang diperlukan tanaman. Pupuk organik juga dapat memperbaiki daerah
perakaran tanaman, sehingga memberi media tumbuh yang lebih baik. Pupuk
organik juga dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah yang membantu
penyediaan unsur hara (Adiningsih.J.S., 1996; Arifin, et.al., 1998). Pemberian bahan
organik untuk semua jenis dengan dosis 5 ton/ha dengan selang satu musim
merupakan intensitas pemberian yang terbaik (Fauziati et. al. 1995).
Tanah yang miskin bahan organik akan berkurang daya menyangga dan
berkurang keefisienan pupuk karena sebagian besar pupuk hilang dari lingkungan
perakaran (Go Ban Hong, 1977 dalam Adiningsih, 1996). Sebagian besar tanah-
tanah di Indonesia telah diusahakan secara intensif berkadar bahan organik rendah
terutama apabila sisa panen diangkut ke luar. Oleh sebab itu tindakan perbaikan
lingkungan tumbuh dengan menambah bahan organik atau mengembalikan sisa
panen seharusnya menjadi kebijakan umum yang harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum berbagai jenis pupuk diberikan agar efisiensinya meningkat serta menjaga
kemantapan produksi tinggi dan melestarikan sumber daya tanah.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
224
ANALISA EKONOMI
Hasil penghitungan ekonomi usahatani dari ketiga komoditas yang diuji yaitu
buncis, tomat dan padi (Tabel 7, 8, 9) rata-rata menunjukkan adanya keuntungan
yang lebih tinggi pada perlakuan yang ditambah dengan pembelian kompos gambut
dan enceng gondok jika dibandingkan pada pola petani. Hal ini memberikan peluang
bahwa adanya tambahan input untuk pupuk organik yang rata-rata diberikan
sebesar 2 t/ha masih memberikan keuntungan yang berarti.
Tabel 7. Analisa ekonomi usahatani buncis pada penggunaan pupuk organik dari
gambut dan enceng gondok. Kec. Dukun, Kab. Magelang 2004 luasan :
1000 m2
N0 Uraian
Pola introduksi
Volume Harga satuan
(Rp)
Jumlah
(Rp)
a. Biaya Produksi
1. Tenaga kerja
- Pengolahan tanah
- Pembuatan bedengan
- Pemupukan dasar
- Tanam
- Pemupukan susulan
- Pemasangan ajir
- Penyiangan
- Pengendalian OPT
- Panen
2. Sarana Produksi
- Benih
- Pupuk
Urea
SP-36
KCl
Kompos
- Obat-obatan
Furadan
- Ajir
8 HOK
2 HOK
1 HOK
2 HOK
1 HOK
2 HOK
2 HOK
1 HOK
5 HOK
2 kg
10 kg
5 kg
10 kg
200 kg
2 kg
1 paket
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
7.500
1.500
1.750
2.000
200
10.000
70.000
80.000
20.000
10.000
20.000
10.000
20.000
20.000
10.000
50.000
15.000
15.000
8.750
20.000
40.000
20.000
70.000
Total Biaya 428.750
b. Penerimaan 670 kg 900 603.000
c. Pendapatan (b-a) - - 174.250
d R/C ratio - - 1,41
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
225
Tabel 8. Analisa ekonomi usahatani tomat pada penggunaan pupuk
organik gambut dan enceng gondok. Kec. Dukun, Kab. Magelang
2004 luasan : 1000 m2
N0 Uraian
Pola introduksi
Volume Harga
satuan (Rp)
Jumlah
(Rp)
a. Biaya Produksi
1. Tenaga kerja
- Pengolahan tanah
- Pembuatan bedengan
- Pemupukan dasar
- Tanam
- Pemupukan susulan
- Pemasangan ajir
- Penyiangan
- Pengendalian OPT
- Panen
2. Sarana Produksi
- Benih
- Pupuk
NPK pelangi
Pupuk daun
Kompos
- Obat-obatan
- Fungisida & insek
- Ajir
- Mulsa plastik
80 HOK
10 HOK
1 HOK
6 HOK
2 HOK
2 HOK
3 HOK
8 HOK
10 HOK
1 bks
40 kg
1 btl
200 kg
1 paket
1 paket
8 kg
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
50.000
3.000
30.000
200
210.000
70.000
160.000
800.000
100.000
10.000
60.000
10.000
20.000
30.000
80.000
100.000
50.000
120.000
30.000
40.000
210.000
70.000
128.000
Total Biaya 1.868.000
b. Penerimaan 1610 kg 1.600 2.560.000
c. Pendapatan (b-a) 692.000
d R/C ratio 1,37
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
226
Tabel 9. Analisa ekonomi usahatani padi pada penggunaan pupuk organik Dari
gambut dan enceng gondok. Kec. Dukun, Kab. Magelang 2004 luasan :
1000 m2
N0 Uraian
Pola introduksi
Volume Harga satuan
(Rp)
Jumlah
(Rp)
a. Biaya Produksi
1. Tenaga kerja
- Pengolahan
tanah
- Persemaian
- Tanam
- Pemeliharaan
- Panen
2. Sarana Produksi
- Benih
- Pupuk
Urea
SP-36
KCl
Kompos
7 HOK
1 HOK
5 HOK
6 HOK
8 HOK
5 kg
25 kg
10 kg
10 kg
200 kg
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
5.000
1.500
1.750
2.000
200
70.000
10.000
50.000
60.000
80.000
25.000
37.500
17.500
20.000
40.000
Total Biaya 410.000
b. Penerimaan 565 kg 1.200 678.000
c. Pendapatan (b-a) - - 268.000
d R/C ratio - - 1,65
KESIMPULAN
Hasil pengkajian pemanfaatan pupuk organik dari gambut dan enceng gondok
pada tanaman buncis, tomat dan padi dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Secara umum keragaan pertumbuhan agronomis pada komoditas yang diuji
buncis, tomat dan padi secara visual pertumbuhannya lebih baik jika
dibanding dengan kebiasaan petani
2. Komponen hasil yang dicapai pada komoditas yang diuji adanya pemberian
pupuk kompos dari gambut dan enceng gondok rata-rata menambah nilai
produksi dibanding pada pola petani. Pada tanaman tomat menambah
produksi sebesar 31 %, pada tanaman buncis menambah produksi sebesar 23%
dan pada tanaman padi menambah produksi sebesar 29%.
3. Pupuk organik dari bahan gambut dan enceng gondok merupakan bahan
organik yang berpotensi untuk dijadikan pupuk organik pada tanaman
sayuran dan padi
4. Adanya tambahan input untuk pupuk organik yang rata-rata diberikan sebesar
2 t/ha masih memberikan keuntungan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
227
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1992. Panduan Teknik Pembuatan Kompos dari Sampah. Teori dan
Aplikasi. Center for Policy and Implementation Studies. Jakarta.
Adiningsih, J.S. 1996. Peranan bahan organik dalam meningkatkan efisiensio
penggunaan pupuk dan produktivitas tanah. Prosiding Lokakarya Nasional
Efisiensi Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Arifin, M dan Pancadewi. 1998. Pengaruh pemberian bahan organik dan kelengasan
tanah terhadap ketersediaan N, P, K dan KTK pada tanah vertisol. Dalam
Sudaryono et. Al. (Eds) 1998. Prosiding seminar Nasional dan Pertemuan
Tahunan Komisariat Daerah. Himpunan Ilmu Tanah tahun 1998. HITI
Komda Jawa Timur.
Fauziati, N., R.S. Simatupang dan Hairunsyah. 1995. Peningkatan produktivitas
jagung di lahan kering melalui penggunaan bahan organik. Risalah seminar
Hasil Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitkabi. Malang.
Pracaya. 2001. Bertanam Sayuran Organik di Kebun, Pot dan polibag. Penerbit
swadaya. Jakarta. 112 hal.
P3TPSLK, TPSA, BPP Teknologi Jakarta, BPTP Jateng. 2004. Penuntun Pelatihan
Pemanfaatan Gambut Rawa Pening dan Enceng Gondok sebagai Bahan
Pupuk Organik. BPPT Jakarta.
Subhan dan A. A. Asandhi. 1998. Waktu aplikasi nitrogen dan penggunaan kompos
dalam budidaya kentang di dataran medium. J. Hort. 8(2):1077, 1998.
Puslitbanghort. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
228
RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KENTANG TERHADAP
EFEKTIFITAS PUPUK KALIUM MAJEMUK (ZK PLUS)
Al. Gamal Pratomo*) dan Zainal Arifin*)
ABSTRAK
Budidaya kentang pada umumnya dilakukan didataran tinggi dengan tingkat
pengolahan tanah yang sangat intensif dan penanaman berbaris searah lereng,
sehingga mempercepat degradasi lahan karena mudah terjadi pencucian hara dan
erosi tanah. Dengan hilangnya unsur-unsur hara termasuk unsur K menyebabkan
tanah menjadi tidak subur bagi tanaman kentang. Untuk menanggulangi kekahatan
K petani telah melakukan pemupukan dengan KCl atau ZK, tetapi kadang kala
ketersedian kedua pupuk tersebut langka dan harganya relatif mahal sehingga perlu
adanya pengganti pupuk tersebut, salah satunya adalah ZK Plus.. Tujuan
penelitian ini adalah mengkaji pengaruh dosis pupuk ZK-Plus terhadap
pertumbuhan dan produksi kentang. Penelitian dilakukan di Desa Bumiaji
Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Metode penelitian menggunakan rancangan acak
kelompok terdiri 13 perlakuan dengan 3 ulangan, luas plot tiapunit percobaan 100
m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk ZK Plus tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang utama
dan berat umbi per tanaman tetapi terhadap produksi per hektar dan berat umbi
konsumsi perlakuan pemupukan kentang dengan dosis 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 +
150 Kg ZK Plus/hektar memberikan hasil terbaik dan tidak berbeda nyata dengan
perlakuan dengan dosis 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 300 kg ZK Plus/hektar .
Pemupukan kentang dengan dosis 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 150 - 300 kg ZK
Plus/hektar dapat digunakan sebagai alternatif pemupukan pada tanaman kentang
dan dapat menjadi alternatif pengganti pupuk KCl yang umum digunakan petani.
Kata kunci : Kentang, Pemupukan ZK Plus, Produksi
ABSTRACT
Cultivation of potato plant was conducted in upland by using intensive soil
tillage and grown along sloppy region, that caused land degradation because of
nutrients leaching and land erosion. These lack of nutrient including K caused
infertile soil to grow potato. To solve lack of K, the farmer applied KCl or ZK, but the
supply of those fertilizer is frequently out of stock and the cost was expensive so it
was necessary to substitute with other fertilizer, one of them with ZK Plus. The aim
of this research was to know the effect of ZK plus fertilizer dosage to the growth and
yields of potato plant. Research was conducted at Bumiaji village, Bumiaji district,
Batu, using a randomized block design consisted of treatments and 3 replications,
100 m2 /plot. The result showed that application of ZK plus fertilizer was not
significantly different on plant height, numbers of main branches and bulb weight
per plant.
_________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
229
Fertilizer application at 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 150 kg ZK plus/hectare
resulted the highest yield but not significantly different with 1500 kg ZA + 280 kg
SP-36 + 300 kg ZK plus/hectare resulted the highest yield but not significantly
different with 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 300 kg ZK plus/hectare. The use of 1500
kg ZA + 280 kg SP-36 + 300 kg ZA plus/hectare could be used as an alternative
fertilizer for potato and also as substitute of KCl fertilizer which was commonly used
by farmers.
Key word : Potato, fertilization of ZK plus, production
PENDAHULUAN
Budidaya kentang (Solanum tuberosum L) pada umumnya dilakukan
didataran tinggi dengan tingkat pengolahan tanah yang sangat intensif dan
penanaman berbaris searah lereng, sehingga mempercepat degradasi lahan karena
mudah terjadi pencucian hara dan erosi tanah. Dengan hilangnya unsur-unsur hara
termasuk unsur K menyebabkan tanah menjadi tidak subur bahkan dapat
menyebabkan tanah mencapai status kahat bagi tanaman kentang.
Untuk menanggulangi kekahatan K yang sekaligus mempertahankan
kualitas dan kuantitas produksi kentang, para petani telah melakukan pemupukan
dengan KCl atau ZK dengan dosis 100 kg K2O/ha atau NPK (15-15-15) dengan dosis
1000 kg/ha, disamping pupuk ZA dan SP-36. Penelitian mengenai pemupukan
tanaman kentang telah banyak dilakukan (Nurtika dan Hekstra,1975; 1979;
Kusumo dan Sunarjono, 1992; Suwandi dan Fatchullah, 1994) dan dari rekomendasi
pemupukan kentang yang dikeluarkan Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang
adalah 300 kg N/ha, 100 kg/ha P2O5 dan 100 kg K2O/ha.
Pada saat ini ketersediaan pupuk KCl dan ZK kadang-kadang langka dan bila
tersedia relatif mahal harganya, sehingga untuk mengatasi kelangkaan pupuk K
mendorong pengusaha untuk memproduksi pupuk kalium, dan salah satunya
adalah pupuk Kalium Majemuk (ZK-Plus) dalam bentuk granule dengan kandungan
unsur hara yang tertera pada Tabel 1.
Kandungan hara makro yang banyak tersedia pada pupuk ZK-Plus adalah
unsur K (40.23%), S (15.79%), Ca (12.34%), Mg (5.64%), sedang kandungan unsur N
sangat kecil dan tidak terdapat unsur P, sehingga untuk aplikasi di lapang masih
memerlukan pupuk lain yang mengandung N dan P. Sejauh ini pengaruh pupuk
ZK-plus terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kentang masih belum dikaji
efektifitasnya, sehingga perlu dilakukan uji efektifitas pupuk Kalium Majemuk (ZK-
plus) terhadap tanaman kentang.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon pertumbuhan dan produksi
kentang terhadap efektifitas pupuk ZK-Plus.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
230
Tabel 1. Komposisi unsur hara ZK-plus granule
No Jenis Unsur Hara Jumlah
Kandungan
1. As ppm 0.5
2. Biuret % 2.14
3. B ppm 45
4. Cd ppm 5.18
5. K2O % 40.23
6. CaO % 12.34
7. Cl % 5.62
8. CO ppm 18.03
9. MgO % 5.64
10. Mn % 0.04
11. Hg ppm 1.37
12. Mo ppm 34.58
13. Na % 0.29
14. N % 1.08
15. Zn % 0.016
16. Sulfur % 15.79
17. Cu % 0.006
18. Pb ppm <5
19. P2O5 % 1.50 Sumber : PT. Sumperintending company of Indonesia
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di daerah sentra produksi kentang Jawa Timur di Desa
Bumiaji Kecamatan Bumiaji - Batu, mulai bulan Desember 2002 – Mei 2003. Bahan :
kentang varietas Granola , pupuk kandang, ZA, SP-36, KCl, pupuk ZK-Plus,
pestisida, herbisida dan pelengkap lainnya.
Rancangan : Rancangan Acak Kelompok (RAK) diulang 3 kali dengan unit
percobaan 100 m2.
Perlakuan :
A. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 0 kg ZK-Plus/hektar
B. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 50 ZK-Plus/hektar.
C. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 100 ZK-Plus/hektar.
D. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 150 ZK-Plus/hektar.
E. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 200 ZK-Plus/hektar.
F. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 250 ZK-Plus/hektar.
G. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 300 kg ZK-Plus/hektar
H. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 350 ZK-Plus/hektar.
I. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 400 ZK-Plus/hektar.
J. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 85 KCl/hektar.
K. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 170 KCl/hektar.
L. 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 255 KCl/hektar.
M. Kontrol (Tanpa pupuk).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
231
Aplikasi pupuk dilakukan dua kali yaitu 1/2 dosis pada saat tanam dan
sisanya 30 hari setelah tanam. Pemeliharaan tanaman meliputi: penyiangan
dilakukan 2 kali, yaitu pada umur 4 minggu dan 6 minggu . Pembumbunan
dilakukan 4 hari setelah penyiangan. Pengendalian hama dilakukan secara kuratif.
Parameter yang diamati tinggi tanaman, jumlah cabang utama per tanaman, jumlah
umbi per tanaman, berat umbi per tanaman, berat umbi konsumsi, berat umbi bibit,
berat umbi kril dan berat umbi per hektar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan tinggi tanaman memperlihatkan bahwa pada awal
pertumbuhan sebelum dilakukan pemupukan umur 21 hari setelah tanam,
pertumbuhan tinggi tanaman cukup bervariasi. Demikian pula setelah dipupuk
pertama, pertumbuhan tinggi tanaman tetap masih bervariasi, tetapi
peningkatannya cukup tinggi yaitu rata-rata lebih dari 10 cm pada tiap-tiap
perlakuan umur 35 hari setelah tanam. Tanaman mencapai tinggi optimal pada
umur 50 hari setelah tanam dengan tinggi tanaman kentang tanaman antara 36,97
cm – 43,03 cm, dan pertumbuan tinggi tanaman kentang mulai menurun setelah
tanaman berumur 65 hari setelah tanam (Tabel 2). Pertumbuhan tinggi tanaman
kentang ini lebih baik dibandingkan hasil penelitian Pratomo (2001) yang
menggunakan pupuk cair Lifofeed K dengan tinggi berkisar 30,98 cm – 35,60 cm.
Tabel 2. Pengaruh penggunaan pupuk Zk plus dan KCl terhadap tinggi tanaman
kentang.
Perlakuan*) Tinggi tanaman (Cm)
21hst 35 hst 50 hst 65 hst
A 15.23 ab 36.67 abcd 43.87 a 42.50 a
B 12.73 bc 32.50 d 41.93 ab 41.97 a
C 14.13 abc 39.30 a 43.03 a 40.56 ab
D 14.40 abc 33.90 cd 43.57 a 42.50 a
E 13.60 abc 36.13 abcd 41.93 ab 40.83 ab
F 14.40 abc 35.57 abcd 44.40 a 43.03 a
G 12.47 bc 35.00 abcd 43.30 a 42.50 a
H 11.37 c 35.56 abcd 38.57 bc 40.30 ab
I 13.57 abc 38.07 abc 43.03 a 41.40 a
J 14.70 ab 36.03 abcd 42.47 ab 41.13 ab
K 16.10 a 38.63 ab 43.57 a 41.93 a
L 14.13 abc 37.23 abcd 44.97 a 42.76 a
M 13.30 abc 33.60 cd 37.50 c 36.97 b
CV (%) 12.19 6.78 5.29 5.52 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak
berbedanyata pada uji Duncan 5 %
*). Rincian perlakuan seperti pada Bab Bahan dan Metode
Pengaruh penggunaan pupuk Zk plus dan KCl terhadap tinggi tanaman
kentang saat tanaman mencapai pertumbuhan optimal (umur 50 hari setelah
tanam) ternyata tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan
perlakuan yang tidak menggunakan pupuk ZK plus dan KCl, tetapi berbeda nyata
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
232
dengan perlakuan yang tidak dipupuk sama sekali (Tabel 2). Hal ini menunjukkan
pertumbuhan tanaman kentang lebih dipengaruhi oleh pemberian pupuk nitrogen
dan phospat dibanding pupuk kalium yang berasal dari ZK plus maupun KCl
Pertumbuhan tunas utama pada penlitian ini memperlihatkan bahwa mulai
dari pengamatan pertama pada umur 21 hari setelah tanam hingga mencapai tinggi
optimal pada umur 50 hari setelah tanam, tidak dipengaruhi oleh penggunaan
pupuk ZK Plus dan KCl (Tabel 3). Hal ini menunjukkan pertumbuhan tunas
kentang lebih dipengaruhi oleh faktor genetis dari pada lingkungan, karena
menurut Haris (1978) dan Gunadi (1996) bahwa jumlah cabang utama kentang lebih
dipengaruhi oleh ukuran umbi yang ditanam. Hasil penelitian Soleh dan Kasijadi
(1997); Rosiliani dkk (1998) menunjukkan bahwa pemberian pupuk pada tanaman
kentang baik P maupun NPK tidak berpengaruh terhadap jumlah cabang utama.
Demikian pula menurut Pratomo (2001), pemberian pupuk cair yang mengandung K
tinggi juga tidak berpengaruh terhadap jumlah cabang utama.
Tabel 3. Pengaruh penggunaan pupuk Zk plus dan KCl terhadap
jumlah tunas utama tanaman kentang.
Perlakuan*) Jumlah Tunas utama
21 hst 50 hst
A 1.96 a 1.83 a
B 2.46 a 2.26 a
C 2.16 a 2.16 a
D 2.56 a 2.46 a
E 2.33 a 2.16 a
F 2.70 a 2.60 a
G 2.13 a 2.03 a
H 2.53 a 2.53 a
I 2.30 a 2.30 a
J 2.13 a 2.06 a
K 2.26 a 2.20 a
L 2.36 a 2.30 a
M 2.30 a 2.20 a
CV (%) 18.22 18.39 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom sama
menunujukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5 %
*). Rincian perlakuan seperti pada Bab Bahan dan Metode
Pemberian pupuk ZK plus dan KCl tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap berat umbi per tanaman. Ini terlihat dengan tidak berbeda nyata antar
perlakuan yang menggunakan pupuk ZK Plus, KCl maupun yang tanpa pupuk sama
sekali (Tabel 4). Demikian pula terhadap jumlah umbi per tanaman, pemberian
pupuk ZK plus dan KCl dengan pemberian pupuk pupuk N dan P yang sama juga
tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Hanya ada beberapa perlakuan yang
menunjukkan beda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol yang tanpa
menggunakan pupuk. Tetapi terhadap berat umbi per hektar yang perhitungannya
berdasarkan berat panen per petak terlihat pemberian pupuk ZK plus ternyata
berpengaruh nyata. Dari penelitian ini produksi tertinggi dicapai pada perlakuan G
(penambahan 300 kg/ha ZK Plus) yaitu 16,4 ton/ha walaupun tidak berbeda nyata
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
233
dengan perlakuan D (penambahan 150 kg/ha ZK Plus) namun terhadap perlakuan
lainnya berbeda nyata. Produksi kentang dengan perlakuan G dan D ini masih lebih
baik dibandingkan rata-rata produksi nasional yang hanya mencapai 12,6 ton/ha
(Sahat dan Ashandi, 1994).
Tabel 4. Pengaruh penggunaan pupuk Zk plus dan KCl terhadap berat umbi per
tanaman, jumlah umbi per tanaman, berat umbi per hektar.
Perlakuan*) Berat Umbi per
tanaman (gr)
Jumlah Umbi per
tanaman
Berat umbi per
hektar (ton)
A 526 ab 7.67 abc 14.71 bc
B 465 ab 6.40 bc 13.06 cd
C 535 ab 8.90 ab 11.71 de
D 483 ab 7.50 bc 14.99 ab
E 533 ab 7.87 abc 12.95 cd
F 542 ab 7.17 abc 13.85 bc
G 582 a 9.37 a 16.42 a
H 523 ab 6.87 abc 11.12 e
I 604 a 7.46 a 13.84 bc
J 506 ab 6.40 bc 10.34 e
K 450 ab 6.67 bc 13.55 bc
L 459 ab 7.43 abc 13.43 bcd
M 361 b 6.17 c 8.15 f
CV (%) 18.29 18,34 17.32 Keterangan :Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom sama tidak berbedanyata pada uji
Duncan 5 %.
*). Rincian perlakuan seperti pada Bab Bahan dan Metode (Hal. 5)
Ukuran umbi merupakan salah satu pertimbangan dalam produksi kentang,
karena dengan semakin banyak umbi besar yang dihasilkan maka akan semakin
tinggi keuntungan yang didapat oleh petani. Sebaliknya meskipun bobot produksi
per hektarnya tinggi namun bila ukuran umbi yang dihasilkan kecil-kecil maka nilai
ekonominya juga rendah (Sahat, 1994). Hasil pengamatan terhadap ukuran umbi
(besar, bibit dan Krill) ternyata pemberian pupuk ZK plus dan KCl menunjukkan
perbedaan yang nyata antar perlakuan (Tabel 5). Perlakuan D (Penambahan 150
kg/ha ZK Plus) menghasilkan produksi umbi konsumsi terbanyak yaitu 11,75 ton/ha
atau 78,43 % dari produksi total per hektar, sedangkan perlakuan G (penambahan
300 kg/ha ZK Plus) menghasilkan produksi umbi bibit dan umbi krill terbanyak
yaitu masing-masing 4,14 ton/ha atau 25,33% dan 2,78 ton/ha .
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
234
Tabel 5. Pengaruh penggunaan pupuk Zk Plus dan KCl terhadap berat dan
prosentase umbi besar, sedang dan kecil.
Perlakuan*)
Berat dan Prosentase umbi
Besar
(ton/ha)
Prosentase
(%)
Bibit
(ton/ha)
Prosentase
(%)
Krill
(ton/ha)
Prosentase
(%)
A 9.96 b 67.53 bc 2.90 cde 19.90 abc 1.84 c 12.53 ef
B 8.44 bcd 64.60 bcd 2.85 cde 21.73 abc 1.78 c 13.67 cde
C 5.96 ef 50.97 e 2.97 bcd 25.40 a 2.77 a 23.63 a
D 11.75 a 78.43 a 2.41 bcde 16.17 c 0.57 h 3.76 h
E 8.73 bcd 67.33 bc 2.19 de 16.83 bc 1.70 cd 13.20 de
F 9.79 b 70.70 ab 2.74 bcd 19.80 abc 1.35 ef 9.47 fg
G 9.52 b 57.87 de 4.14 a 25.33 a 2.78 a 16.90 bc
H 7.39 cde 66.33 bcd 2.64 bcd 23.93 a 1.08 fg 9.47 fg
I 9.81 b 70.70 ab 2.89 bcd 21.10 abc 1.18 efg 8.53 g
J 7.11 de 68.83 bc 2.24 cde 21.63 abc 1.00 g 9.67 fg
K 9.08 bc 67.20 bc 3.02 bc 22.20 abc 1.45 de 10.60 efg
L 8.11 bcd 59.87 de 3.06 b 23.00 a 2.25 b 17.13 b
M 5.18 f 63.50 bcd 1.67 e 20.47 abc 1.30 ef 16.03 bcd
CV (%) 11.38 7.40 15.18 13.89 10.08 14.59
Keterangan :Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom sama menunujukkan tidak
berbedanyata pada uji Duncan 5 %
*). Rincian perlakuan seperti pada Bab Bahan dan Metode
Dari kualitas produksi umbi terlihat bahwa produksi perlakuan D
(penambahan 150 kg/ha ZK plus ) ternyata lebih baik dibandingkan perlakuan G
(penambahan 300 kg/ha ZK plus) yang berproduksi per hektarnya paling tinggi,
karena pada perlakuan D umbi konsumsi yang dihasilkan lebih banyak
dibandingkan perlakuan G. Sehingga perlakuan G (1500 kg ZA + 280 kg SP-36 +
300 kg ZK plus/hektar) dan D (1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 150 kg ZK plus/ hektar)
dapat disarankan untuk digunakan petani dan dapat menjadi alternatif pengganti
pupuk KCl yang umum digunakan petani.
KESIMPULAN
1. Penggunaan pupuk ZK plus tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang utama dan berat umbi per tanaman
kentang.
2. Pemupukan kentang dengan dosis 1500 kg ZA + 280 kg SP-36 + 150 - 300 kg
ZK plus/hektar dapat digunakan sebagai alternatif pengganti pupuk KCl yang
umum digunakan petani.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,1994. Program Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Dalam
Pelita VI. Rapat kerja Puslitbang Hortikultura. Solok, 17 - 19 November
1994.
Gunadi, N, 1996. Pengaruh Ukuran dan Dosis Benih Terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Kentang Asal Biji Botani. Jurnal Hort. VI(2): 139-155
Haris, P.M., 1978. The Potato Crop. The Scientific Basic For Improvement. Chapman
and Hill. London.
Kusumo, S. dan H. Sunarjono. 1992. Bertanam Sayuran. Proyek Pembangunan
Penelitian Pertanian Nusa Tenggara. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
235
Nurtika, N dan Hekstra, 1975. Pengaruh Pemupukan NPK Terhadap Produksi
Kentang, Kobis, dan Kacang Jogo. Bul.Penel. Hort. III (4): 33-45.
------------, 1979. Pengaruh Pemupukan NPK Terhadap Produksi Kentang var.
Eigenheimer. Bul.Penel. Hort. VII (9) : 11-18.
Rosliani, R.,N. Sumarni dan Suwandi, 1998. Pengaruh Sumber dan Dosis Pupuk N,P
dan K Pada Tanaman Kentang. Jurnal Hort. Vol 8 no.1: 988 – 999.
Pratomo, Al. G., 2001. Pengujian Penggunaan Pupuk Cair Lifofeed-K Guna
Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Kentang. Makalah
Disampaikan Pada Seminar Nasional Pemantapan Sektor Pertanian Dalam
Mendukung Otonomi daerah, tanggal 20 – 21 September 2001. Fak
Pertanian UNSOED, Purwokerto.
Sahat, S., 1991. Hasil-hasil Penelitian Sayuran Dataran Tinggi. Prosiding
Lokakarya Nasional Sayuran. Kerjasama Badan Litbang Pertaniaan,
AVRDC dan ATA 395. Lembang, Bandung.
----------, 1994. Hasil-hasil Penelitiaan Sayuran Dataran Tinggi. Dalam prosiding
Nasional Sayuran. Balai Penelitiaan Hortikultura Lembang. Bandung.
Asandhi AA., 1994. Evaluasi Hasil penelitian Kentang Dalam Pelita V. Proseding
Evaluasi Hasil Penelitian Hortikultura dalam Pelita V. Puslitbang
Hortikultura. Badan Litbang Pertanian, Segunung 27 – 29 Juni 1994 : 108 –
112.
Soleh, M. dan Kasijadi, F., 1997. Laporan Kerjasama Pengaruh Penggunaan Pupuk
Phospat Majemuk Super Phosphat (Sp – 35) Terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Kentang. Laporan Kerjasama BPTP Karangploso dengan PT. Abiflora
Citra Nusa.
Suwandi dan Deden Fatchullah, 1994. Pengaruh Langsung Pupuk Nitrogen Pelepas
Lambat (SRN/CDU) pada Tanaman Kentang. Jurnal Hort. IV (2) : 29
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
236
KAJIAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG
P.E.R. Prahardini*), Al. Gamal Pratomo*), Harwanto*), Suharjo*), Wahyunindyawati*), Endah R*), Titik Purbiati*) dan Siti Fatimah*)
ABSTRAK
Pengkajian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas benih kentang di
tingkat petani penangkar benih, meningkatkan partisipasi petani dan penyuluh dalam
kelompok tani perbenihan kentang dan meningkatkan pendapatan petani penangkar
benih. Pengkajian ini dilaksanakan di desa Gedog, kec. Senduro, kab. Lumajang
dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Desember 2004. Pengkajian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok, dengan 3 macam rakitan teknologi yaitu Rakitan
Teknologi Partisipatif, Rakitan Teknologi Anjuran I dan Rakitan Teknologi Anjuran II
dengan 6 petani kooperator sebagai ulangan. Pengamatan meliputi komponen
vegetatif dan produksi. Data keadaan sosial ekonomi petani setempat dikumpulkan
dengan metode wawancara dan data sekunder. Hasil kajian menunjukkan bahwa
anggota kelompok tani berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengkajian, persentase
tumbuh umbi bibit dari ke tiga rakitan teknologi mencapai 100%. Pertumbuhan
vegetatif sampai rakitan teknologi partisipatif menunjukkan perbedaan yang nyata
pada semua parameter pengamatan, kecuali jumlah cabang utama tidak berbeda
nyata dengan rakitan teknologi Anjuran II. Hama pertanaman pembibitan kentang
dijumpai 4 macam yaitu aphid, kutu putih, P operculella, dan L. huidobrensis dengan
kelimpahan populasi rendah dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar ke
–tiga rakitan teknologi yang dikaji. Produksi umbi tertinggi dihasilkan Rakitan
Teknologi Anjuran II (15,79 kg/ 4,5 m2 yang setara dengan 35 t/ha dengan R/C ratio
4,46) dan diikuti Rakitan Teknologi Partisipatif (11,44 kg/ 4,5 m2 setara dengan 25,42
t/ha dengan R/C ratio 3,01) dan Rakitan Teknologi Anjuran I (9,39 kg/ 4,5 m2 yang
setara dengan 20,88 t/ha dengan R/C ratio 1,70). Persentase umbi benih yang
diperoleh antara rakitan teknologi Partisipatif sama dengan Rakitan Teknologi
Anjuran II yang berkisar antara 68 – 80 %. Setelah 2 bulan penyimpanan benih
kentang tidak mengalami kerusakan baik oleh hama maupun busuk umbi namun
hanya kerusakan mekanis akibat pemanenan sekitar 0,05% – 0,1%. Dari hasil
pengkajian dapat disimpulkan bahwa Rakitan Teknologi anjuran II dapat digunakan
sebagai teknologi perbenihan kentang di Kab. Lumajang.
Kata kunci: Kentang, teknologi perbenihan, agribisnis, kelompok tani perbeniham
ABSTRACT
The aim of the assessment was to improve the potato quality seed in the farmers’
seed production, to raise the farmers’ participation and to increase farmers’ seed
production income. Assessment was conducted at Gedog village, Senduro, Lumajang
from January to December 2004, using a randomized block design with 3 technology
packages and 6 cooperator farmers as replication. Observation include vegetative and
production components. Socio economic data was collected by interviewing and
secondary data. ________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
237
Result showed that farmers’ cooperator were participate actively during the assessment.
Percentage of potato seed production reached 100% among the three technology packages
applied. Vegetative growth showed significantly different for all parameters of
observation, while the number of the main branches was not significantly different in
second recommendation technology package. There are four kinds of pests found : aphid,
mealy bug, P operculella, and L. huidobrensis with low abundance population and there
was significantly difference among the three technology packages. The highest bulb
production resulted from the second recommendation technology package (15,79 kg/ 4,5
m2 equal with 35 t/ha, R/C ratio 4,46), followed by the participative technology package
(11,44 kg/ 4,5 m2 equal with 25,42 t/ha, R/C ratio 3,01) and the first recommendation
technology package (9,39 kg/ 4,5 m2 equal with 20,88 t/ha, R/C ratio 1,70). Seed bulb
percentage, 68 – 80% from the second recommendation technology package, almost
similar with the participative technology package. After two month of storage, potato
seed was not damaged by pests or diseases but it showed mechanic damaged around
0.05 – 0.1%. The conclusion from this assessment stated that the second
recommendation technology package can be used for potato seed technology in
Lumajang regency.
PENDAHULUAN
Kebutuhan masyarakat terhadap komoditi sayuran, tampaknya terus meningkat,
terutama kentang dengan rata-rata peningkatan sebesar 3,6% – 5% per tahun sejak
tahun 1988 – 2010. Kentang menempati peringkat pertama dalam peningkatan
produksinya, secara Nasional pada tahun 2001 produksi kentang diperkirakan 831.000
ton (Anonymous, 2003). Kentang sangat memungkinkan digunakan dalam diversifikasi
makanan antara lain sebagai pengganti beras, bahan sayur (sup), memenuhi
permintaan konsumen makanan siap saji dan sebagai makanan ringan (keripik/ chip)..
Propinsi Jawa Timur mempunyai potensi penyediaan kentang untuk memenuhi
kebutuhan Nasional yang semakin meningkat. Berdasarkan penyebaran luas tanam
dan luas panen kentang dataran tinggi di Jawa Timur tersebar di 15 Kabupaten, dengan
kisaran luas tanam antara 3 ha – 2.570 ha dan kisaran luas panen antara 1 ha – 2.103
ha dengan produktivitas rata-rata 9,902 t/ha dan kabupaten Lumajang mempunyai
luas tanam kentang sekitar 56 – 100 ha dengan produktivitas 11,30 t/ha (Dinas
Pertanian Jawa Timur, 2000).
Beberapa hasil penelitian Sahat dan Sulaiman (1988), mengemukakan bahwa
tinggi rendahnya produksi kentang ditentukan oleh beberapa faktor antara lain:
penggunaan varietas unggul, penggunaan benih yang bermutu, intensitas serangan
hama dan penyakit, disamping itu ditentukan oleh pengelolaan agronomis: seperti
pemupukan, pengairan dan penggunaan jarak tanam (Asandhi, 1989).
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas tersebut adalah penggunaan benih
yang belum tepat. Benih kentang yang digunakan petani menggunakan benih secara
terus-menerus dari hasil panennya sendiri dan beberapa petani menggunakan benih
import. . Masing-masing asal benih mempunyai kelemahan. Benih yang dihasilkan
petani dari hasil sortasi mempunyai kelemahan mudah tertular penyakit, mengalami
masa dormansi dan terjadi reduksi hasil sebesar 10 – 90% setelah generasi ke tujuh
sedangkan benih yang berasal dari import ketersediaannya hanya pada bulan-bulan
tertentu, dan harga benih terlalu mahal juga dimungkinkan adanya hama dan penyakit
tular benih (Anonymous,2003).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
238
Hasil pengkajian perbenihan di lahan petani di Batu mampu meningkatkan
jumlah umbi benih dengan modifikasi jarak tanam dan ukuran umbi benih (Korlina,
dkk; 2002), sedangkan pengkajian di Kabupaten Lumajang menunjukkan bahwa
wilayah tersebut berpotensi untuk perbenihan kentang pada ketinggian di atas 1.500
m dpl dengan suhu rata-rata 18 – 22 C menggunakan teknologi perbenihan kentang
yang termodifikasi mulai dari varietas, asal benih, jarak tanam dan dosis pemupukan
(Prahardini, dkk., 2003), namun demikian keterkaitan petani sebagai penangkar benih
dan ketersediaan sarana/ prasarana perlu pendampingan dan pembinaan lebih lanjut.
Agribisnis perbenihan kentang merupakan suatu kegiatan yang berhubungan
dengan pengusahaan tanaman kentang untuk menyediakan benih kentang yang
bermutu di tingkat petani , hal ini terdiri dari suatu sub sistem yang melibatkan:
sumber daya alam, sumber daya manusia, ketersediaan teknologi, ketersediaan
saprodi, panen, pasca panen dan kebutuhan pasar (Supari, 1999 dan Kasijadi, 2004). Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran prioritas untuk dikaji dan
ditingkatkan produksinya. Hal ini disebabkan oleh karena potensial kentang sebagai
sumber karbohidrat alternatif pada diversifikasi makanan. Kebutuhan pasar baik di
dalam negeri maupun pasar luar negeri cenderung meningkat, hal ini disebabkan
karena pola makan masyarakat ekonomi menengah ke atas saat ini mengalami
perubahan, yaitu mengganti beras sebagai makanan pokok dengan sumber
karbohidrat yang lain, salah satunya yaitu kentang.
Propinsi Jawa Timur mempunyai potensi penyediaan kentang untuk memenuhi
kebutuhan Nasional yang semakin meningkat. Berdasarkan penyebaran luas tanam
dan luas panen kentang dataran tinggi di Jawa Timur tersebar di 15 Kabupaten,
dengan kisaran luas tanam antara 3 ha – 2.570 ha dan kisaran luas panen antara 1
ha – 2.103 ha dengan produktivitas rata-rata 9,902 t/ha (Dinas Pertanian Jawa Timur,
2000). Beberapa hasil penelitian Sahat dan Sulaiman (1988), mengemukakan bahwa
tinggi rendahnya produksi kentang ditentukan oleh beberapa faktor antara lain:
penggunaan varietas unggul, penggunaan bibit yang bermutu, intensitas serangan
hama dan penyakit, disamping itu ditentukan oleh pengelolaan agronomis: seperti
pemupukan, pengairan dan penggunaan jarak tanam (Asandhi, 1989).
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas tersebut adalah penggunaan
bibit yang belum tepat. Petani saat ini menggunakan bibit secara terus-menerus dari
hasil panennya sendiri dan beberapa petani menggunakan bibit import. Masing-
masing asal bibit mempunyai kelemahan. Bibit yang dihasilkan petani dari hasil
sortasi mempunyai kelemahan mudah tertular penyakit, mengalami masa dormansi
dan terjadi degradasi hasil setelah generasi ke tujuh sedangkan bibit yang berasal
dari import ketersediaannya hanya pada bulan-bulan tertentu dan harga bibit
terlalu mahal.
Tujuan pengkajian adalah untuk:
1. Meningkatkan jumlah benih kentang berkualitas di tingkat petani penangkar benih
2. Meningkatkan partisipasi petani dan penyuluh dalam kelompok tani perbenihan
kentang (di Kabupaten Lumajang)
3. Meningkatkan pendapatan petani penangkar benih kentang
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
239
MATERI DAN METODOLOGI
Lokasi dan Waktu
Lokasi pengkajian di desa Gedog Kec. Senduro Kab. Lumajang dengan zona
agroekologi II.b.y. (Saraswati, dkk; 2000). Waktu pelaksanaan pengkajian di lapang
dimulai pada bulan Maret – Desember 2004.
Prosedur Pelaksanaan
Pengkajian bersifat partisipatif, dimana petani, penyuluh, peneliti, dan Dinas
Pertanian Kabupaten Lumajang bekerja sama secara aktif. Pengkajian melibatkan 6
petani kooperator dengan menggunakan 3 rakitan tekbologi seperti disajikan pada
Tabel 1 yang ditanam pada lahan seluas 0,5 ha untuk masing-masing petani
kooperator.
Tabel 1. Susunan rakitan teknologi perbenihan kentang Uraian Rak. Tek. petani/ partisipatif Rak. Tek. Anjuran 1 Rak. Tek. Anjuran 2
1. Varietas Granola Lembang Atlantik Granola kembang
2. Asal Bibit G3 G3 G3
3. Jarak tanam 80 x 20 cm 70 cm x 25 cm 80 cm x 25 cm
4. Pengolahan Lahan Tanah diolah 2 kali sedalam 20 cm Tanah diolah sedalam 20 – 40 cm dibiarkan selama 1 1 2
minggu diratakan, dibuatat garitan-garitan dengan jarak 80
cm
5. Pemupukan/ha Pupuk kandang : 10 t/ha
Urea : 300 kg/ha
SP 36 : 300 kg/ha
KCl : 100 kg/ha
Bokashi : 4 t/ha
ZA : 500 kg/ha
NPK : 1.000 kg/ha
6. Aplikasi Pupuk Diberikan dua kali: saat tanam dan umur
1 bulan stl tanam
Bokashi : satu kali, 1 2 minggu sebelum tanam
ZA dan NPK diberikan: dua kali,
saat tanam dan
30 hari setelah tanam
7. Pengairan Tanpa pengairan Tanpa pengairan
8. Pengendalian H/P
9. Macam Insektisida
Proficur, Pylaram, Agriston, Dursban,
Furadan, Corzet, Agrep
Proficur, Pylaram, Agriston, Dursban, Furadan, Corzet,
Agrep
9.Takaran & Aplikasi Sesuai dosis anjuran Sesuai dosis anjuran
10. Penyiangan/
11. pengendalian gulma
Empat kali Disesuaikan dengan keadaan gulma
12. Pembumbunan/
pengguludan
Dua kali 4 kali : saat tanam dan 2,4,6 dan 8 mst
13. Panen Setelah daun menua Tanaman dipanen setelah daun menua dan berwarna
kekuningan sekitar 100 hst
Pemilihan lokasi.
Lokasi pembibitan kentang terletak pada ketinggian 1850 m dpl, lokasi harus
bebas dari penyakit: bakteri layu dan penyakit berbahaya liannya yang ditularkan
memalui tanah (Fusarium sp, Rhizoctonia solani, Verticillium dan bebas nematoda).
Isolasi lokasi
Isolasi lokasi diperlukan untuk menghindari penularan penyakit layu bakteri
dari pertanaman di sekitarnya. Jarak isolasi minimum 90 m dari pertanaman
kentang milik petani, sayur-sayuran dan buah-buahan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
240
Kultur teknis
Disekeliling tanaman kentang ditanam kubis sebanyak 3 – 5 baris sebagai
perangkap afid vector virus, jarak tanam 50 x 70 cm dan ditanam 2 minggu sebelum
tanaman kentang ditanam. Sebagai tanaman barier, ditanam tanaman jagung
sekeliling petak diluar kubis
Seleksi dan Inspeksi.
Seleksi menggunakan metode seleksi massa negatip yang ditujukan kepada
varietas yang menyimpang, tanaman yang diserang penyakit layu bakteri dan
tanaman yang kurang kekar dengan cara dicabut. Pembersihan terhadap tanaman
yang tidak dikehendaki ini dilakukan sejak awal stadia pertumbuhan sampai saat
panen.
Panen, Sortasi dan Grading.
Waktu panen diusahakan pada saat cuaca terang dan kering tidak lembab
apalagi hujan. Tanah yang menempel pada umbi harus harus terlepas dari kulit
umbi. Sortasi bertujuan untuk memisahkan umbi bibit yang cacat, busuk dan
terinfeksi oleh hama dan penyakit serta umbi krill (umbi bibit yang terlalu kecil).
Grading dilakukan untuk memisahkan umbi bibit berdasarkan klas yang
diinginkan.
Bahan Pengkajian
Bahan pengkajian yang digunakan antara lain: umbi bibit kentang var.
Granola lembang, Granola kembang dan Atlantik masing-masing varietas
merupakan Generasi ke 3 (G3), benih jagung, benih kobis sebagai tanaman border,
pupuk Urea, ZA, NPK majemuk, SP-36, KCl, pupuk bokashi dan pupuk kandang.
Pestisida berupa fungisida dan bakterisida serta bahan lainnya.
Pengumpulan Data
1. Data sumber daya manusia dan biofisik lahan dikumpulkan melalui
wawancara dan pengumpulan data sekunder yang dianggap perlu
2. Data pengkajian di lapang
- Persentase bibit tumbuh, diamati pada awal pertumbuhan
- Pertumbuhan vegetatif diamati pada umur 4, 6 dan 8 minggu setelah
tanam meliputi:
- Tinggi tanaman, mengukur tanaman dari permukaan tanah sampai titik
tumbuh tertinggi
- Jumlah cabang utama
- Lebar kanopi tanaman
- Serangan hama dan penyakit di lapang, dilakukan dengan sistem
skoring dan untuk mendapatkan tingkat serangan, penilaian dilakukan
sesuai dengan rumus Townsend dan Heuberger (Kaspers, 1967),
- Jumlah dan bobot umbi per tanaman
- Bobot umbi total per petak (gulud)
- Persentase umbi bibit / rumpun
- Analisis input/ output
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
241
METODE ANALISIS
Data pertumbuhan dan produksi dari hasil pengkajian dianalisis sesuai
dengan rancangan yang digunakan. Untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan
dan produksi antar rakitan teknologi menggunakan uji Duncan. Untuk mengetahui
tingkat keuntungan dari masing-masing rakitan paket teknologi usahatani yang
dikaji tersebut digunakan analisis input-output dan R/C ratio. Berdasarkan hasil
analisis tersebut kemudian disusun skala prioritas program pengembangan
selanjutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sumber daya manusia
Profesi penduduk di desa Gedog, kecamatan Argosari kabupaten Lumajang
didominasi petani (69,94%) dengan penggunaan waktu dari tenaga kerja yang
terlibat dalam usahatani pembibitan kentang di lokasi pengkajian sekitar 30 jam /
minggu (disajikan pada Tabel 2). Rincian jumlah penduduk di kec. Senduro Kab.
Lumajang sejumlah 3.790 terdiri dari 1.813 laki-laki dan 1.977 perempuan.
Tabel. 2. Profesi penduduk di Kecamatan Senduro
Macam Profesi Jumlah Penduduk
(orang)
Petani 785
Buruh tani 483
Pedagang/pengusaha 86
PNS/ABRI 7
Pensiunan 1
Lain-lain 451 Sumber: Senduro dalam angka. 2002
1.1. Sosial Ekonomi Anggota Kelompok Tani Perbenihan Kentang
Anggota kelompok tani berumur antara 38 – 54 tahun, dengan jumlah
anggota keluarga 4 – 5 orang. Rumah tinggal yang dimiliki petani merupakan
rumah milik sendiri, termasuk rumah permanen berdinding tembok, beratap
genting dan masing-masing rumah dilengkapi dengan prasarana sanitasi.
Pekerjaan utama dari masing-masing petani adalah di bidang pertanian
sebagai petani pemilik lahan. Masing-masing petani mempunyai luas lahan antara
1,5 – 3,0 ha. Tanaman yang diusahakan adalah tanaman hortikultura antara lain
kentang, kubis dan bawang daun. Kebiasaan yang dilakukan petani menanam
dengan pola kentang + bawang daun, kubis dilanjutkan kentang + bawang daun.
Disamping mengelola tanaman hortikultura, dua dari enam anggota kelompok tani
mempunyai ternak berupa kambing dan babi.
Pendapatan yang diperoleh petani dari usahatani hortikultura tersebut rata-
rata sebesar Rp. 6.000.000 - Rp. 12.000.000 per tahun, sedangkan pendapatan rata-
rata dari pemeliharaan hewan ternak sebesar Rp.350.000 - Rp. 700.000 per tahun.
Dari hasil wawancara dan pengisian quesioner dari usahatani kentang yang
dilaksanakan oleh petani, informasi yang dapat diperoleh seperti pada Tabel 3 sbb:
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
242
Tabel 3. Usahatani kentang yang dilakukan petani anggota kelompok Perbenihan
Kentang Putera Tengger di dusun Gedog, desa Argosari, Kecamatan
Senduro Kabupaten Lumajang
Komponen Hasil wawancara
Asal bibit Lokal, antar petani
Varietas HK
Macam Pupuk Urea, SP36 dan pupuk kandang
Perolehan modal Sendiri
Pembelian pupuk Dilakukan sendiri dengan membeli pupuk dari pasar
Pemasaran hasil Dijual kepada tengkulak
Harga jual kentang Rp. 1.500,- - Rp. 1.600,-/ kg
Kisaran hasil 9 – 11 t/ha
Varietas HK merupakan varietas kentang yang sudah bertahun-tahunsudah
ditanam di kec. Senduro dengan kisaran hasil yang masih relatif rendah, namun
umur panen relatif panjang sekitar 3,5 bulan dan sangat disukai konsumen.
Ketersediaan benih kentang varietas HK yang sehat dan berkualitas merupakan
salah satu kendala untuk meningkatkan potensi hasil tersebut.
Berdasarkan kondisi kesuburannya lahan pengkajian merupakan lahan
dengan kesuburan sedang. Dari kondisi kesuburan dan luasannya, dusun Gedok
desa Argosari merupakan tempat yang sesuai untuk perbenihan kentang. Hal ini
didukung pula oleh potensi sumber daya manusia yang ditunjukkan oleh partisipatif
aktif dari Kelompok Tani Perbenihan Kentang. Lokasi pengkajian merupakan
wilayah pengembangan khususnya kentang. Berdasarkan hasil diskusi dengan
kelompok tani, petani sangat memerlukan ketersediaan benih yang bermutu dengan
varietas yang sesuai dan dapat tersedia dengan kontinyu.
1.2. Dinamika Kelompok Tani
Kelompok tani perbenihan kentang telah dibentuk di dusun Gedog kecamatan
Senduro yang bernama kelompok perbenihan kentang Putra Tengger, terdiri dari
Ketua, Sekretaris, Bendahara, Seksi Pemasaran dan Seksi Saprodi. Pertemuan
Kelompok telah menentukan dan membahas tentang rencana kerja kelompok serta
hak dan kewajiban kelompok tersebut.
Pemilihan kelompok tani di dusun Gedog kecamatan Senduro tersebut
berdasarkan pada kondisi Agroekologi yang sesuai dan rekomendasi yang diberikan
oleh Penyuluh Lapang dari Dinas Pertanian kabupaten Lumajang. Setiap anggota
kelompok mempunyai semangat yang tinggi untuk meningkatkan pengetahuannya,
khususnya tentang teknologi perbenihan kentang. Pemahaman dari setiap anggota
kelompok tentang pentingnya penggunaan benih kentang yang berkualitas masih
sangat kurang, disamping itu mereka sudah terbiasa menggunakan benih yang
turun temurun.
Semangat dan kerjasama antar kelompok sangat tinggi, hal ini terlihat mulai
awal pelaksanaan pengkajian untuk menentukan rakitan teknologi partisipatif,
penentuan luas lahan, penentuan tanam serta kesiapan maisng-masing anggota
untuk saling membantu kelancaran pelaksanaan pengkajian. Di dalam diskusi
setiap anggota aktif mengemukakan pendapat dan keputusan diambil berdasarkan
kemufakatan bersama.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
243
Dalam pelaksanaan pengkajian ini kelompok tani memperoleh banyak
manfaat dengan melakukan pengkajian secara aktif secara bekerja dan berbuat.
Anggota kelompok tani Putra Tengger aktif mulai awal kegiatan sampai panen
dengan melakukan pertemuan dan diskusi kelompok. Dengan demikian diharapkan
kelompok tani perbenihan ini menjadi pionir kelompok perbenihan di wilayah
Lumajang dang sekitarnya.
Sentra perbenihan kentang di kabupaten Lumajang menghadapi beberapa
kendala antara lain: belum tersedianya benih dasar, kurangnya pemahaman
teknologi kurangnya permodalan, belum tersedianya gudang penyimpanan benih
dan kesulitan pasar. Dukungan yang diberikan untuk tumbuh dan berkembangnya
kelompok perbenihan kentang Putra Tengger ini antara lain oleh: Dinas Pertanian
Kabupaten Lumajang berupa SLPHT dan Lembaga Swadaya masyarakat Pidra
yang akan bersedia membantu kesulitan permodalan. Ketersediaan lahan dan
semangat kebersamaan anggota kelompok tani yang didukung oleh banyak instansi
terkait merupakan faktor yang mempercepat tumbuh dan berkembangnya kelompok
perbenihan kentang di Kabupaten Lumajang.
Anggota kelompok tani perbenihan kentang merupakan petani yang sudah
berpengalaman dalam budidaya kentang, namun belum pernah melakukan
penanaman khusus untuk perbenihan kentang. Modal dan ketersediaan benih dasar
merupakan kesulitan yang dirasakan kelompok tani untuk memulai usaha
perbenihan tersebut, disamping juga pemahaman tentang teknologi yang spesifik.
Sosialisasi teknologi perbenihan dilakukan secara rutin dalam pertemuan anggota.
Faktor pendukung yang menentukan keberhasilan usaha perbenihan kentang di
lokasi pengkajian adalah adanya semangat, kerjasama dan kekompakan antar
anggota kelompok tani. Disamping itu, aparat desa juga sangat mendukung
kegiatan perbenihan kentang tersebut. Hal ini terlihat dari antusias petani yang lain
untuk memperoleh benih dasar untuk dikembangkan menjadi benih sebar.
2. Sumber daya bio-fisik
Lokasi pengkajian terletak di dusun Gedog, desa Argosari kecamatan Senduro
kab. Lumajang. Terletak pada ketinggian 1.850 m diatas permukaan laut. Luas
wilayah kecamatan Senduro kab. Lumajang sebesar 91,8405 km2 yang berdasarkan
penggunaan lahannya dapat dibedakan menjadi tanah pekarangan /pemukiman
(229,0 ha); tanah tegal (791,0 ha); tanah hutan 9.005,5 ha dan lainnya 250 ha.
Lahan penanaman kentang merupakan lahan bukaan baru yang belum pernah
dibudidayakan dengan karakteristik lahan seperti pada Tabel 4.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
244
Tabel 4. Karakteristik lahan penanaman kentang di Dusun Gedog,
Desa Argosari, Kecamatan Senduro Kab.Lumajang
Karakteristik lahan Satuan
Ketinggian tempat 1.850 m diatas permukaan laut
Tekstur * Lempung berdebu
Drainase Baik
Jenis Tanah Regosol
Suhu rata-rata tahunan (o C) 18o - 22 o C
Mg (me/100 g) 0,34
K (me/100 g) 0,79
Tingkat lereng > 80 %
Na ((me/100 g) 1,14
Bulan kering (< 100 mm) < 3 bulan
Ca (me/100 g) 3,03
pH tanah* 5,8
C/N ratio* 9
KTK 20,05
Kand. Bakteri Pseudomonas 127.000 sel/ g tanah
Curah hujan tahunan 2.825,8 mm * Sumber: Hasil Analisis Tanah Lab. Ilmu Tanah Unibraw Malang
Luasan penanaman kentang di kecamatan Senduro , kabupaten Lumajang
menempati urutan ke – tiga setelah bawang daun dan kubis (Tabel 5). Sumber benih
kentang yang digunakan petani berasal dari hasil pertanamannya sendiri.
Tabel 5. Potensi sayuran di Desa Argosari,
Kecamatan Senduro kab. Lumajang
Jenis Sayuran Luasan (ha)
Bawang daun 425
Kubis 407
Kentang 157
Wortel 23
Bawang putih 19
Jumlah 1.031 Sumber: Senduro dalam angka. 2002
3.Kegiatan Pengkajian
3.1. Komponen Pertumbuhan Vegetatif
Penanaman kentang di lapang dapat dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2004
akhir, sehingga pada bulan Agustus 2004 (saat laporan tengah tahun ini dibuat)
tanaman memasuki pertumbuhan vegetatif (umur 2,5 bulan) dan panen
direncanakan bulan Oktober – Nopember 2003. Pengamatan awal meliputi
persentase tumbuh, tinggi tanaman, jumlah cabang utama dan lebar kanopi per
rumpun (Tabel 6).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
245
Tabel 6. Pengaruh Kajian Pengembangan Agribisnis Perbenihan Kentang terhadap
komponen pertumbuhan vegetatif pada umur 1 bulan setelah tanam.
Malang 2004
Perlakuan/Parameter
pengamatan
Persentase
tumbuh
(%)
Tinggi
tanaman
(cm)
Jml.
cabang
utama
Lebar kanopi
(cm) Jml. Daun
Ratek. Partisipatif 100 a 24,50 a 3,5 b 48,00 a 21,5 b
Ratek. Anjuran I 100 a 23,33 a 2,17 c 37,67 b 16,17 c
Ratek. Anjuran II 100 a 13,00 b 4,33 a 31,83 c 26,0 a Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata menurut Uji BNT
Pada pengamatan selanjutnya tanaman menunjukan pertumbuhan dan
perkembangannya seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengaruh kajian pengembangan agribisnis perbenihan kentang terhadap
komponen pertumbuhan vegetatif pada umur 2 bulan setelah tanam.
Malang 2004
Perlakuan/Parameter
pengamatan
Tinggi
tanaman (cm)
Jumlah
cabang
utama
Lebar
kanopi
(cm)
Jml. Daun
Ratek. Partisipatif 28,83 a 4,17 a 63,83 a 31,83 a
Ratek. Anjuran I 25,67 b 2,50 b 44,33 c 18,33 c
Ratek. Anjuran II 26,00 b 4,50 a 52,67 b 26,50 b Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata menurut Uji BNT
Pengkajian saat memasuki pertumbuhan vegetatif awal, cadangan makanan
dan kesehatan umbi bibit memegang peranan penting dalam menentukan
tumbuhnya bibit, disamping interaksi antara lingkungan tumbuh dan bibit tersebut.
Umbi bibit yang ditanam mampu beradaptasi dan tumbuh 100%. Hal ini
mengindikasikan bahwa varietas Granola kembang yang dikaji mampu tumbuh
dengan baik.
Pertumbuhan vegetatif tanaman yang diperoleh menunjukkan bahwa pada
umur 1 bulan setelah tanam, tinggi tanaman dan dan lebar kanopi rakitan teknologi
partisipatif lebih baik secara nyata dibandingkan dengan rakitan teknologi Anjuran
I dan Anjuran II. Namun jumlah cabang utama dan jumlah daun rakitan teknologi
Anjuran II lebih banyak secara nyata dibandingkan kedua rekitan teknologi yang
lain.
Memasuki pertumbuhan vegetatif umur 2 bulan setelah tanam, semua
parameter pertumbuhan vegetatif rakitan teknologi partisipatif tertinggi secara
nyata dibandingkan dengan kedua rakitan teknologi yang lain, kecuali jumlah
cabang utama tidak berbeda nyata dengan rakita teknologi Anjuran II.
Dari hasil tersebut terlihat bahwa perbedaan varietas menunjukkan
perbedaan keragaan pertumbuhan vegetatif sampai pada umur dua bulan setelah
tanam. Tampaknya sampai dengan pengamatan umur 1 - 2 bulan setelah tanam,
pertumbuhan tanaman memasuki pertumbuhan vegetatif, tanaman terkonsentrasi
membentuk batang daun dan akar, sedangkan pembentukan umbi masih belum
terjadi (Sumiaty, 1977 dalam Asandhi, dkk., 1985).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
246
3.2. Serangan Hama dan Penyakit
Kerapatan populasi hama, musuh alami, persentase serangan penyakit
selama satu musim tanam pada tiga varietas kentang yang akan di proyeksikan
sebagai bibit seperti tertara pada Tabel 8. Dari Tabel 8 dapat dijelaskan bahwa
selama pengamatan berlangsung di temukan empat jenis hama yang menyerang
tanaman kentang dan dua jenis musuh alami yaitu hama (aphid, kutu putih, P operculella, dan L. huidobrensis), musuh alami (predator C. humilis dan parasitoid
Opius sp). Sedangkan penyakit yang menyerang tanaman kentang ada dua yaitu
Layu fusarium dan P. infestans.
Tabel 8. Pengaruh kajian pengembangan agribisnis perbenihan kentang terhadap
kerapatan populasi hama, musuh alami, dan serangan penyakit kentang
selama satu musim tanam
Jenis
Serangga/Penyakit
Jenis Varietas
Ratek. Partisipatif Ratek.
Anjuran I
Ratek. Anjuran
II
Hama ekor/rumpun
Aphid 0.1 0.29 0.1
Kutu putih 1.94 1.64 0.04
P. operculella 0.06 0.01 0.04
L. huidobrensis 0.21 0.26 0.39
Musuh alami .ekor/rumpun
Predator
(C. humilis) 0.02 0.02 0
Parasitoid (Opius sp) 0 0 0.01
Penyakit %
Layu fusarium 1.71 0.86 0.14
P. infestans 0 3.21 0.21
Kerapatan tertinggi dari empat jenis hama tersebut diatas adalah kutu putih
(1,94 ekor) yang terdapat pada varietas Granola lembang. Sedangkan kerapatan
paling rendah yaitu 0,01 ekor untuk hama P. operculella terdapat pada varietas
Atlantik. Secara umum kerapatan populasi hama yang ada pada pembibitan
kentang rata-rata masih di bawah ambang ekonomi yang telah ada (Sastrosiswojo et al. 2003).
Persentase serangan penyait layu fusarium dan P. infestas secara umum dari
tiga rakitan teknologi yang dikaji tingkat serangannya relatif rendah. Serangan
tertinggi P. infestans yaitu 3,21 % pada Rakitan Teknologi Anjuran I (varietas
Atlantik), sedangkan persentase serangan terendah atau tidak ada serangan yaitu
pada dua Rakitan Teknologi Partisipatif dan Anjuran II (varietas Granola Lembang
dan Granola Kembang).
Rendahnya kerapatan populasi hama pada tempat pembibitan kentang
kemungkinan karena pengaruh aplikasi pestisida yang sangat intensip yaitu dua
kali aplikasi setiap minggu atau tergantung kondisi di lapangan misalnya populasi
hama berada di atas amabng ekonomi yang telah ada. Selain itu ada kemungkinan
lain yang menyebabkan populasi hama dapat terkendali yaitu kondisi
agroekosistem setempat. Hal yang paling menonjol terlihat bahwa vegetasi
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
247
tanaman di semua tempat pembibitan (petani) sangat beragam. Dengan
keragaman jenis tanaman yang tinggi pada suatu ekosistem peluang meledaknya
suatu hama tertentu pada lokasi tersebut sangat kecil. Altieri (1999) melaporkan
bahwa semakin tinggi diversitas suatu tanaman pada suatu tempat atau ekosistem
semua komponen kehidupan akan berjalan secara seimbang dan berkelanjutan.
3.3. Komponen Produksi
Pertummbuhan vegetatif tanaman kentang memasuki awal pembentukan
umbi pada umur 1,5 bulan yang dilanjutkan dengan pembesaran dan penuaan
umbi. Dalam hal ini produksi tanaman kentang merupakan interaksi antara faktor
genetis dan faktor lingkungan tempat tumbuhnya. Pengamatan produksi tanaman
dengan komponen jumlah umbi per rumpun, rata-rata jumlah umbi bibit per
rumpun dan rata-rata persentase umbi bibit per rumpun disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Pengaruh kajian pengembangan agribisnis perbenihan kentang terhadap
komponen produksi. Malang 2004
Perlakuan
Rata-rata
Jml.umbi/
rumpun
Rata-rata
Jml.umbi
bibit/rumpun
Rata-rata Persentase
umbi bibit/rumpun
(%)
Ratek. Partisipatif 9,47 b 6,47 a 68,61 ab
Ratek. Anjuran I 7,57 a 4,67 a 61,15 a
Ratek. Anjuran II 12,19 c 10,00 b 81,73 b Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata menurut Uji BNT
Dari Tabel 9 tampak bahwa rakitan teknologi Anjuran II mampu
menghasilkan jumlah umbi/ rumpun dan jumlah umbi bibit/ rumpun nyata lebih
tinggi dari kedua rakitan teknologi yang lain. Rakitan teknologi Anjuran II
menghasilkan kisaran rata-rata jumlah umbi 12,19 umbi/ rumpun, sedangkan
rakitan teknologi Partisipatif dan Anjuran I menghasilkan kisaran jumlah umbi
rata-rata 9,47 umbi/ rumpun dan 7,57 umbi/ rumpun. Rata-rata jumlah umbi bibit
yang dihasilkan rakitan teknologi Partisipatif sama dengan yang dihasilkan rakitan
teknologi Anjuran I, namun berbeda nyata dengan rakitan teknologi Anjuran II.
Rata-rata persentase umbi bibit/ rumpun yang dihasilkan dari rakitan teknologi
Anjuran II ternyata tidak berbeda nyata dengan rakitan teknologi Partisipatif.
Persentase jumlah umbi bibit (yaitu umbi yang berukuran lebih antara 30 – 60 g)
diperoleh dari perbandingan antara jumlah umbi bibit dengan jumlah total umbi.
Komponen produksi jumlah umbi/ rumpun merupakan pendukung tinggi
rendahnya hasil tanaman yang dinyatakan dengan bobot umbi, seperti yang
disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Pengaruh Kajian Pengembangan Agribisnis Perbenihan Kentang terhadap
komponen produksi. Malang 2004
Perlakuan Bobot umbi/rumpun (kg) Bobot umbi/ gulud (kg)
Ratek. Partisipatif 0,77 b 11,44 a
Ratek. Anjuran I 0,55 a 9,40 a
Ratek. Anjuran II 1,13 c 15,79 b Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata menurut Uji BNT
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
248
Dari Tabel 10 tampak bahwa rakitan teknologi Anjuran II mampu
menghasilkan komponen produksi yang nyata lebih tinggi dibandingkan rakitan
teknologi Partisipatif dan rakitan teknologi Anjuran I, hal ini ditunjukkan dari
bobot umbi per rumpun dan bobot umbi per gulud. Rakitan teknologi Anjuran II
mampu menghasilkan bobot umbi 1,13 kg/rumpun, kemudian diikuti rakitan
teknologi Partisipatif yang menghasilkan 0,77 kg/rumpun dan rakitan teknologi
Anjuran I yang menghasilkan 0,55 kg/rumpun, sehingga perkiraan hasil produksi
umbi dari ketiga rakitan teknologi tersebut berturut-turut diperoleh kisaran 35 t/ha,
25,42 t/ha dan 20,88 t/ha. Rakitan teknologi Partisipatif dan rakitan teknologi
Anjuran II ternyata masih mampu menghasilkan produksi umbi lebih tinggi dari
rakitan teknologi Anjuran I.
Dengan terlibatnya petani kooperator dalam pengkajian ini maka, anggota
kelompok tani memahami dan belajar dari kegiatan perbenihan ini tentang
teknologi menghasilkan benih kentang yang berkualitas, disamping itu anggota
mempunyai benih sumber yang berkualitas untuk bahan tanam pada musim
berikutnya. Ketersediaan benih sumber tersebut akan berdampak terbukanya
peluang pasar benih terutama untuk memenuhi kebutuhan petani kooperator itu
sendiri dan petani di sekitarnya. Agribisnis perbenihan kentang akan terlaksana
dengan ketersediaan benih sumber yang mampu memenuhi kebutuhan pasar.
Petani di sekitar lokasi pengkajian mulai menyadari pentingnya penggunaan benih
kentang yang berkualitas.
3.4. Pasca Panen
Produksi yang tinggi pada saat pra panen perlu diimbangi dengan
penanganan pasca panen yang memadai dengan mempertahankan kualitas hasil
yang tinggi. Gangguan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada tanaman
kentang tidak terbatas hanya di lapangan pertanaman akan tetapi sampai ke
gudang-gudang penyimpanan produksi setelah panen. Hasil pengamatan umbi
kentang setelah simpan pada tempat penyimpanan untuk ke tiga rakitan teknologi
seperti disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Pengaruh kajian pengembangan agribisnis perbenihan kentang terhadap
kerusakan umbi setelah satu bulan simpan. Malang 2004
Perlakuan/Parameter
pengamatan
Unit
Contoh
Rata-rata
Jumlah.
Contoh
(umbi)
Rusak oleh
hama
Phthorimaea operculella
Rusak
oleh
busuk
umbi
Rusak
fisik (%)
Rak. Tek. Partisipatif 9 103,44 0 0 0,05
Ratek. Anjuran I 2 151,5 0 0 0,10
Ratek. Anjuran II 7 136 0 0 0,11
Dari Tabel 11 tampak bahwa hasil umbi dari ketiga rakitan teknologi setelah
disimpan selama satu bulan ternyata bebas dari serangan hama gudang dan busuk
umbi, namun masih terlihat adanya kerusakan fisik umbi yang berkisar antara 0,05
– 0,11%.
Dari hasil komponen produksi tampak bahwa dalam rakitan teknologi
Anjuran II dengan penggunaan varietas Granola Kembang mampu memberi hasil
produksi umbi dan persentase umbi bibit yang lebih tinggi dibandingkan kedua
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
249
rakitan teknologi yang lain. Pembentukan dan pembesaran umbi sangat ditentukan
oleh ketersediaan kondisi mikro yang mendukungnya yang terdiri dari pemberian
pupuk, penggunaan jarak tanam dan pemeliharaan tanaman. Varietas Granola
Kembang memang merupakan salah satu varietas kentang yang mempunyai
produksi tinggi dan disukai petani (Susiyati, Prahardini dan Maksum, 2004). Hasil
yang sama juga dikemukakan oleh Prahardini, dkk (2004) bahwa dalam rakitan
teknlogi yang dikaji dengan menggunakan varietas Granola Kembang mampu
menghasilkan pertumbuhan vegetatif dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan
varietas yang lain. Ketersediaan benih dasar dari varietas Granola Kembang saat
ini masih belum banyak tersedia di Kabupaten Lumajang, hal ini masih
memerlukan tindak lanjut, sehingga kebutuhan petani dapat terpenuhi.
Rakitan teknologi Partisipatif masih memberikan keuntungan yang tinggi,
dengan komponen penggunaan benih kultur jaringan varietas Granola Lembang
masih mampu memberikan produksi umbi yang tinggi walaupun sama dengan yang
dihasilkan rakitan teknologi Anjuran I, namun karena persentase umbi bibit dan
harga jual yang lebih tinggi dibandingkan varietas Atlantik maka mampu
menghasilkan R/C ratio yang tinggi pula (Tabel 12). Tampaknya petani maupun
konsumen di kecamatan Senduro lebih menyukai kentang varietas Granola
Lembang dibandingkan varietas Atlantik.
3.4. Analisis Usahatani
Komponen biaya tertinggi dari ketiga rakitan teknologi tersebut adalah
komponen sarana produksi dengan biaya benih yang tertinggi, diikuti biaya tenaga
kerja. Rakitan teknologi Anjuran II mampu manghasilkan R/C ratio tertinggi yaitu
4,46 diikuti dengan rakitan teknologi Partisipatif dan Anjuran I masing-masing
dengan R/C ratio 3,01 dan 1,70. Biaya produksi yang tinggi pada rakitan teknologi
Anjuran II diimbangi dengan produksi umbi benih dan harga benih yang tinggi.
Rakitan Teknologi Partisipatif mampu memberikan R/C ratio lebih tinggi dari
Rakitan Teknologi Anjuran I, hal ini disebabkan produksi benih maupun konsumsi
yang dihasilkan juga lebih tinggi, disamping itu harga jual juga tinggi. Harga jual
berpengaruh pada penerimaan dan keuntungan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
250
Tabel 12. Analisis usahatani sederhana perbenihan kentang dataran tinggi .
Lumajang 2005. (Luasan 0,1 ha)
Komponen Rak. Teknologi
Partisipatif
Rak. Teknologi
Anjuran I
Rak. Teknologi
Anjuran II
1. Tenaga Kerja
Pengolahan tanah 263.000 263.000 263.000
Pembuatan guludan 263.000 263.000 263.000
Tanam 65.750 65.750 65.750
Pemupukan 50.000 50.000 50.000
Pembumbunan 90.000 180.000 180.000
Penyemprotan pest. 175.000 175.000 175.000
Panen 65.750 65.750 105.750
Pasca Panen 95.000 55.000 125.000
Jumlah 1.067.500 1.117 500 1.227.500
2. Sarana Produksi
Benih 1.500.000 1.350.000 1.500.000
Pupuk kandang 400.000 0 0
Bokashi 0 240.000 240.000
ZA 0 60.000 60.000
KCl 19.500 0 0
Urea 30.000 0 0
SP36 55.500 0 0
NPK 0 275.000 275.000
Proficur 60.000 60.000 60.000
Pylaram 27.500 27.500 27.500
Agriston 18.000 18.000 18.000
Dursban 36.250 36.250 36.250
Furadan 16.000 16.000 16.000
Corzet 55.000 55.000 55.000
Agrep 37.500 37.500 37.500
Mipcin 35.000 15.000 45.000
Curacron 25.000 20.000 40.000
Jumlah 2.290.250 2.209.750 2.419.750
Total input (Rp.) 3.357.750 3.327.250 3.647.250
Penerimaan Rp.)
Benih 12.208.000 7.662.000 18.417.000
Umbi konsumsi 1.260.000 1.338.150 1.490.900
Total output (Rp.) 13.468.000 9.000.150 19.907.900
Keuntungan (Rp.) 10.110.250 5.762.900 16.520.650
R/C Ratio 3,01 1,70 4,46
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
251
Harga jual kentang sebagai umbi konsumsi (Rp.1.750 – Rp. 2.000) sedangkan
harga jual umbi benih kentang (Rp. 5.000 – Rp.6.000), dengan demikian petani
kooperator akan memperoleh peningkatan pendapatan sebesar Rp. 3.250 – Rp 4.000/
kg umbi kentang. Pemilihan rakitan teknologi perbenihan yang tepat akan mampu
memperoleh keuntungan yang tinggi. Rakitan Teknologi Anjuran II dapat
digunakan sebagai teknologi perbenihan kentang di kecamatan Senduro Kabupaten
Lumajang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kondisi wilayah dan keberadaan kelompok tani merupakan modal awal
berkembangnya usaha agribisnis perbenihan kentang khususnya di Kabupaten
Lumajang
Ketersediaan modal dan benih dasar merupakan faktor kesulitan yang utama
Pertumbuhan vegetatif sampai dengan umur 2 bulan setelah tanam rakitan
teknologi partisipatif menunjukkan perbedaan yang nyata pada semua
parameter pengamatan, kecuali jumlah cabang utama tidak berbeda nyata
dengan rakitan teknologi Anjuran II.
Hama pertanaman pembibitan kentang dijumpai 4 macam yaitu aphid, kutu
putih, P operculella, dan L. huidobrensis dengan kelimpahan populasi rendah
dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar ke –tiga rakitan teknologi
yang dikaji
Petani kooperator memperoleh benih sumber berkualitas 60 – 80% umbi bibit/
rumpun, dengan peningkatan pendapatan Rp 3.250 – Rp. 4.000,-/ kg umbi
Produksi umbi tertinggi dihasilkan Rakitan Teknologi Anjuran II (15,79 kg/
4,5 m2) dengan R/C ratio 4,46, diikuti Rakitan Teknologi Partisipatif dan
Rakitan Teknologi Anjuran I (masing-masing 11,44 kg/ 4,5 m2 dan 9,39 kg/ 4,5
m2) dengan R/C ratio yang didapat masing-masing ; 3,01 dan 1,70).
Saran
Kelompok tani perbenihan yang sudah terbentuk perlu dukungan modal,
ketersediaan benih dasar hasil kultur jaringan dan sarana pendukung, sehingga
kebutuhan petani akan benih kentang bermutu terpenuhi. Sosialisasi penggunaan
bibit kentang kultur jaringan dengan paket teknologi yang sesuai dan
menguntungkan perlu diberikan kepada petani.
Penelitian masih perlu dilanjutkan untuk menumbuhkembangkan kelompok
tani perbenihan kentang secara kultur jaringan dan memonitor penggunaan bibit
secara benar di tingkat petani.
PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN
Prakiraan dampak dari hasil pengkajian ini adalah meningkatnya permintaan
benih kultur jaringan dari petani di sekitar yang bukan petani kooperator. Petani
kooperator yang mengikuti kegiatan pengkajian ini yang merupakan anggota
Kelompok tani Perbenihan merasa tertantang untuk meningkatkan
kemampuannya. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur dan Dinas Pertanian
Kabupaten Lumajang turut memberikan perhatian dalam memajukan perbenihan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
252
kentang di kecamatan Snduro dengan rencana dibangunnya Screen house
perbenihan di desa Argosari kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang dan
mengoptimalkan Laboratorium Kultur Jaringan yang dimiliki Dinas Pertanian
Kabupaten Lumajang dalam memperbanyak dan menghasilkan benih dasar
kentang secara kultur jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
Altieri AM. 1999. The ecological role of biodiversity in agroecosystems. Agric Ecosys
and Environ. 74: 19-31.
Asandhi, A.A; Sastrosiswojo, S; Suhardi; Abidin,Z dan Subhan. 1989. Kentang.
Badan Litbang Pertanian – Balai Penelitian Hortikultura Lembang.
Lembang.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Timur. 2000. Laporan Tahunan.
1999. Surabaya.
Duriat, A.S; A.K. Karyadi; M. Miura dan E. Sukarna. 1990. Pengaruh Tanaman
Pinggiran terhadap Kandungan Virus pada Umbi. Bul. Penel. Hort. Vol.
XIV (3): 94 – 108.
Karyadi,A.K. 1990. Pengaruh Jumlah dan Kerapatan Umbi Mini Kentang
Terhadap Produksi Umbi Bibit. Bul. Penel. Horti. Vol XX No 3. p. 90 –
97.
___________. 1997. Teknik Produksi Bibit Kentang dalam Prosiding Pertemuan
Aplikasi Paket Teknologi Pertanian.Deptan. Balitbangtan. Puslit Sosek
Pertanian. BPTP Lembang. Hal. 37 – 45.
Kaspers, H; 1967. Contribution to studies on the biology and control of apple mildew
(P. leucotricha Ell & Ev.) Salm Pfanzenschultsz. Nachricten. Bayer. 20 (4):
687 – 702.
Korlina, E; E.P. Kusumainderawati; A. Suryadi; E. Srihastuti dan S. Fatimah.
2001. Uji Adaptasi Rakitan Teknologi Pembibitan Tanaman Kentang.
Laporan Akhir. Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. BPTP
Karangploso. Malang. 13 hal.
Prahardini, P.E.R.; A.G. Pratomo; S. Roesmarkam; T. Purbiati; Harwanto;
Wahyunindyawati; S.Z. Sa’adah; S. Fatimah dan Subandi. 2004. Kajian
Teknik Produksi Pembibitan Kentang Dataran Tinggi. Laporan Akhir.
Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. BPTP Karangploso.
Malang. 29 hal.
Sahat, S, D.D. Widjajanto, I. Hidayat dam S. Kusumo. 1985. Pembibitan Kentang.
Balitsa Lembang. Hal 44 – 60.
Sahat, S dan Sulaiman H. 1988. Varietas Unggul Kentang. Bul. Penel. Horti. Vol
Xv No 3. p. 1 – 5.
Saraswati, D.P.; Suyamto,H; D. Setyorini dan Al.G. Pratomo. 2000. Zona
Agroekologi Jawa Timur. Buku I: Zonasi dan Karakterisasi sumberdaya
lahan wilayah Jawa Timur. BPTP Karangploso. 22 hal.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
253
Sastrosiwojo S. 2003. Perbaikan komponen teknolgi PHT pada tanaman kentang.
Jurnal Penelitian Hortikultura
Stuart, W. 1963. Seed Potatoes and How to Produce Them. Horticultural and
Pomological Investigation. USA.
Susiyati, P.E.R. Prahardini dan Maksum. 2004. Usulan Pelepasan Varietas
Kentang. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur. 20 hal.
Wattimena, G.A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Lab. Kultur Jaringan
Tanaman. PAU. Bioteknologi IPB Bogor. Hal 64 – 109.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
254
KARAKTERISASI KESEMEK JUNGGO (Diospyros kaki L.)
DAN POTENSI PENGEMBANGANNYA
Baswarsiati*), Suhardi*), D. Rahmawati*), Yuniarti*), Z. Arifin*), D.P. Saraswati*), M. Soegiyarto*)
ABSTRAK
Salah satu produk hortikultura spesifik lokasi yang hanya mampu tumbuh di
dataran tinggi seperti Batu adalah kesemek yang dikenal pula dengan nama
Persimmon (Diospyros kaki L.) . Kesemek Junggo memiliki beberapa keunggulan
terutama pada penampilan buahnya sangat menarik berwarna oranye bila telah
masak optimal, dan bila buah matang warna buah menjadi merah seperti buah
tomat dan buah menjadi lunak. Saat ini peluang pasar kesemek cukup tinggi
terutama untuk pangsa pasar ekspor ke Singapura, Thailand, Korea. Untuk
mengetahui beberapa potensi yang dimiliki kesemek Junggo maka dilakukan
karakterisasi sejak tahun 2003 hingga 2004 di sentra produksi kesemek Junggo-
Batu dan Tirtoyudo- Malang. Karakterisasi meliputi keragaan vegetatif dan
generatif tanaman kesemek, analisa fisik dan kimiawi buah, serta karakterisasi
lahan dan potensi keunggulan dan pengembangannya. Selain melakukan
karakterisasi di lapang juga dilakukan wawancara dengan informan kunci,
konsumen serta pedagang dan instansi terkait . Hasil kajian menunjukkan bahwa
buah kesemek Junggo memiliki ukuran besar sekitar 200-300 gram per buah, rasa
buah manis-sedikit kelat, kandungan air cukup, buah masak optimal rasanya
renyah (crispy) , daya simpan buah lebih dari 14 hari, produktivitas 400-500
kg/pohon/tahun . Keunggulan lain nya yaitu warna buah oranye mengkilat ,
kandungan gula 22,7 %, kandungan asam 0,07 % dan kandungan vitamin C 6,9
mg/100 g bahan. Potensi pasar kesemek asal Junggo-Batu yaitu sejak tahun 1983
telah diekspor ke Singapura. Volume ekspor buah kesemek asal Junggo yang
diperoleh dari satu dusun Junggo yaitu sekitar 30-40 ton / musim. Oleh karena
beberapa potensi keunggulan yang dimilikinya maka kesemek Junggo telah dilepas
oleh Menteri Pertanian menjadi varietas unggul nasional pada bulan Juli 2005.
Kata kunci : Diospyros kaki L., penampilan, keunggulan, potensi
ABSTRACT
One of locally specific product of horticulture which only able to grow in
upland like Junggo-Batu is persimmon ( Diospyros kaki. L) . Junggo persimmon has
some excellence characteristics, especially its’ fruit appearance is very attractive of
chromatic orange if they are optimally ripe, and the colour become red like tomato
and the texture is soft. Nowadays, the market share of persimmon is relatively good,
especially for export to Singapore, Thailand, Korea. To know the potency owned by
Junggo persimmon, study on the characteritation was done since 2003 till 2004 in
production centre, Junggo-Batu and Tirtoyudo.
________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
255
Besides, characteritation in spacious was also done by interviewing key persons,
consumers and also the related/relevant institutions and merchants
.Characterization cover vegetative and generative performance of persimmon trees,
analyse physical and chemical content, and also characterization of farming system
and the potency of development and excellence. The result showed that fruit of
Junggo persimmon in general having big size measure about 200-300 g/ fruit, sweet
taste , obstetrical, crispy texture at optimal ripe, 14 day of storage life, productivity
400-500 kg/trees . Other characteristics are orange gleamy colour , sugar content 22,7
%, sour content 0,07 % and vitamin content of C 6,9 mg/100 g. Market share of
persimmon originally from Junggo-Batu, since 1983 have already exported to
Singapura, averagely 30-40 ton / season. With all specific characterizations, Junggo
persimmon have been released by Minister of Agriculture, as one of national-
superior-varieties at July 2005.
Keyword : Diospyros kaki. L., appearance, excellence, potency
PENDAHULUAN
Salah satu produk hortikultura spesifik lokasi yang hanya mampu tumbuh di
dataran tinggi seperti Batu adalah kesemek yang dikenal pula dengan nama
Persimmon (Diospyros kaki L.). Kesemek berasal dari Cina dan Jepang , termasuk
famili Ebenaceae yang lebih dikenal dengan nama Chinese atau Japanese
persimmon kaki (Tao, 1988). Di Indonesia dikenal dengan nama kesemek atau buah
kaki, sama dengan di Malaysia atau buah samak. Tanaman ini banyak dijumpai di
daerah subtropis dan dataran tinggi daerah tropis.
Kesemek menyukai tanah yang kaya akan bahan organik dan kandungan air
dalam tanah yang cukup merupakan daerah yang baik untuk tumbuhnya. Di
daerah tropika umumnya dijumpai pada ketinggian di atas 1000 m dpl. Di Jawa
terutama tumbuh baik pada ketinggian 1000-1500 m dpl dengan curah hujan yang
tinggi ( Anonim, 1977; Singh, 1980). Kesemek lebih adaptif tumbuh pada daerah
beriklim sejuk dan lembab . Di dataran rendah kesemek tidak bisa berbunga atau
berbuah, kecuali kesemek hutan (D. hassellii) yang biasa tumbuh di dataran rendah.
Di Indonesia kesemek banyak dijumpai di Berastagi, Toba, Garut, Ciloto serta di
Jawa Timur di daerah Magetan, Malang-Tirtoyudo dan Batu ( Anonim, 1977 ).
Kesemek Junggo memiliki beberapa keunggulan terutama pada penampilan
buahnya sangat menarik berwarna oranye bila telah masak optimal, dan bila buah
matang warna buah menjadi merah seperti buah tomat dan buah menjadi lunak.
Ukuran buah besar sekitar 200-300 gram per buah, rasa buah manis-kelat,
kandungan vitamin C cukup tinggi, kandungan air cukup, buah optimal rasanya
renyah (crispy) , daya simpan buah lebih dari 14 hari, , produktivitas 400-500
kg/pohon/tahun .
Kesemek dapat digunakan untuk obat serta untuk industri kosmetik. Buah
yang belum masak dapat digunakan sebagai zat pewarna. Jenis kesemek yang tidak
berbiji warna buahnya kuning emas hingga merah jingga, keras berair dan rasanya
manis sedangkan yang berbiji berwarna gelap, lunak, berair dan rasanya kelat
(Anonim, 1977; Verheij and Coronel, 1992).
Kesemek merupakan tanaman yang berbentuk pohon dengan tinggi tanaman
antara 5 – 15 m. Daunnya bulat telur dengan bunga berwarna putih kekuningan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
256
Buah berbentuk bulat dengan bentuk pinggir seperti berbatas, bagian pangkal buah
datar dan nampak kelopak buah yang jelas pada ujungnya Warna buah muda hijau
kekuningan dan setelah matang menjadi merah jingga hingga merah menarik.
Daging buah tebal dan rasanya manis bila masak optimal dan rasa kelat
dapat dihilangkan dengan mencelupkan buah ke dalam air kapur. Buah yang telah
tua di pohon tidak dapat segera dimakan. Oleh petani atau pedagang biasanya
direndam dulu dalam air kapur lebih dari 48 jam untuk menghilangkan rasa asam
dan kelat dengan cara sederhana. Setelah diperam buah kesemek baru dapat
dimakan dalam keadaan segar atau disale. (Prabawati, 1985 ; Sunaryono, 1999).
Dewasa ini selain untuk kebutuhan dalam negeri buah kesemek juga
diekspor. Hal ini merupakan peluang pasar yang perlu dicermati. Seperti halnya
kesemek asal Junggo-Batu sejak tahun 1983 telah diekspor ke Singapura. Potensi
dan volume ekspor buah kesemek asal Junggo-Batu yang diperoleh dari satu dusun
Junggo yaitu sekitar 30-40 ton/ musim dengan pengiriman melalui pelabuhan udara
di Solo. Namun di pasar internasional seperti Singapura , buah kesemek Indonesia
mengalami persaingan ketat terutama dari negara eksportir lainnya yaitu Malaysia,
Jepang dan Israel. Menurut eksportir, buah kesemek asal Junggo-Batu lebih
disukai oleh konsumen Singapura dibandingkan buah kesemek dari Jawa Barat,
Magetan maupun dari Tirtoyudo- Malang karena rasa buah lebih manis, renyah,
kandungan air banyak, buah berukuran besar dan buah berwarna merah-jingga
menarik. Hingga saat ini eksportir masih kekurangan pasokan untuk memenuhi
permintaan ekspor (komunikasi pribadi dengan pedagang pengumpul untuk
memenuhi ekspor). Konsumen menghendaki buah kesemek yang memenuhi
persyaratan mutu, antara lain rasa sepetnya hilang sama sekali, manis, tektur buah
cukup keras, belum terlalu matang dengan penampilan buah menarik (Pecis et al, 1986).
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan karakterisasi varietas kesemek di lakukan sejak tahun 2003 hingga
tahun 2004 di Kabupaten Malang dan kota Batu.. Untuk melaksanakan
inventarisasi dan identifikasi varietas kesemek diperlukan pengamatan di daerah
sentra produksi maupun di wilayah pengembangan. Berbagai informasi berupa data
sekunder dikumpulkan dari instansi terkait, dan dilaksanakan wawancara langsung
dengan informan kunci maupun petani pemilik tanaman serta masyarakat
sekitarnya.
Cakupan Kegiatan
Cakupan kegiatan meliputi pengumpulan data sekunder di instansi terkait
serta wawancara dengan informan kunci, karakterisasi , identifikasi tanaman di
lapang, pengumpulan materi tanaman seperti daun, bunga dan buah serta
pengumpulan bibit tanaman untuk koleksi lebih lanjut.
Penelusuran data sekunder dilakukan di beberapa instansi terkait seperti
Diperta, BPP, Kecamatan dan Kelurahan. Selain itu dilakukan wawancara
langsung dengan pedagang pengumpul yang menjual hasil kesemek untuk ekspor
maupun untuk kota-kota besar di Indonesia. Dari hasil penelusuran data sekunder
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
257
dan wawancara akan diketahui keunggulan dan karakterisasi lebih mendalam dari
Identifikasi dilakukan dengan cara eksplorasi dengan mengamati secara langsung
pertanaman yang ada di lapang. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang kondisi
tanaman seperti produktivitas, kualitas , ketahanan terhadap hama dan penyakit
maupun cekaman lingkungan , ciri-ciri khusus dan keunggulan yang dimiliki maka
dilakukan wawancara dengan petani pemilik maupun petani di sekitarnya
Analisa Data
Dilakukan secara deskriptif sesuai dengan keragaan pertumbuhan tanaman
dan analisa fisik serta kimiawi buah. Antara varietas dibandingkan untuk menilai
varietas yang mempunyai keunggulan dibanding varietas lainnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil identifikasi kesemek Junggo dibandingkan kesemek asal Tirtoyudo-
Malang nampak bahwa kesemek asal Tirtoyudo-Malang lebih kecil ukuran
buahnya dibanding kesemek asal Junggo-Batu (Tabel 1). Selain itu rasa kesemek
Tirtoyudo kurang enak dan tidak renyah dibandingkan kesemek asal Junggo. Buah
kesemek dari Junggo lebih renyah (crispy) , lebih besar ukuran buahnya dan lebih
menarik tampilan kulitnya.
Tabel 1. Keragaan tanaman kesemek di Tirtoyudo dan Junggo. 2004.
Keragaan Varietas Tirtoyudo Varietas Junggo
Tinggi tanaman (m) 10-13 12-18
Lingkar batang (cm) 50-75 90-105
Percabangan sejajar sejajar
Bentuk daun jorong jorong
Daun tebal tebal
Berat buah (gram) 80-100 170-210
Warna kulit buah muda hijau hijau
Warna kulit buah menjelang
masak
kekuningan kekuningan
Warna kulit buah masak kuning kemerahan kuning kemerahan
Kandungan gula (%) 18,8-21,2 22,7-23,2
Kandungan asam (%) 0,07-0,10 0,07-0,09
Kandungan vit. C mg/100 g 5,18-5,58 6,31-6,86
Kekhasan buah kesemek Junggo yaitu pada ukuran buah besar dan rasa
buah manis dan renyah (bila telah diperlakukan dengan perendaman dalam larutan
kapur), buah matang pohon berwarna merah (buah sudah lunak) sedang buah
muda berwarna hijau dan buah sebelum masak kekuningan (oranye) dan mengkilap.
Buah kesemek Junggo bila dibiarkan hingga masak dipohon maka akan berubah
warnanya menjadi merah dan buah menjadi lunak seperti tomat. Buah yang masak
pohon (telah over ripe) terasa sangat manis tanpa ada rasa kelat, lunak dan banyak
mengandung air (tidak renyah). Kemungkinan kondisi buah yang seperti ini dapat
dimanfaatkan untuk jelly .
Adapun berat buah kesemek Junggo sekitar 170- 210 gram/buah atau 5-6
buah per kilogram. Ukuran buah ini termasuk besar dan disukai oleh konsumen.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
258
Buah kesemek mempunyai lingkar buah sekitar 21-23 cm, lebar buah 7,5-8,5 cm
dan panjang buah sekitar 8-8,5 cm. Pada pangkal buah terdapat kelopak bunga yang
terdiri dari 4 kelopak. Pangkal buah agak cekung kedalam dan ditutupi dengan
kelopak bunga. Kelopak bunga berwarna hijau kecoklatan. Bagian ujung buah agak
meruncing sehingga bentuk buah secara keseluruhan menarik. Kandungan gula
pada buah 22,7 – 33,2 % , kandungan asam 0,07 – 0,09 % dan kandungan vitamin C
mg/100 gram sebanyak 6,31 – 6,86 %. dan kandungan tanin 3,85-3,93 mg/100 gram.
Buah kesemek Junggo tidak berserat dan tidak terdapat biji di dalam buah.
Penampilan Tanaman Kesemek Junggo
Penampilan tanaman kesemek Junggo nampak kekar dengan bentuk tajuk
elipsoid (seperti payung) . Rata-rata tanaman telah berumur puluhan tahun
bahkan lebih dari 75 tahun namun pertumbuhan tanaman masih tampak bagus.
Hal ini sangat berbeda dengan kesemek asal Tirtoyudo. Kemungkinan ini
disebabkan karena agroekologi yang agak berbeda yaitu di daerah Junggo rejim
kelembaban agak lembab sedangkan di Tirtoyudo agak kering. Selain itu kondisi
tanah di Junggo lebih subur karena petani sering melakukan pemeliharaan
tanaman sedangkan di Tirtoyudo kondisi tanah kurang subur.
Rata-rata tinggi tanaman kesemek 15-17 m dengan lingkar batang 71-96 cm.
Percabangan tanaman untuk umur tanaman produktif (lebih dari 20 tahun) dimulai
setelah 2 m dari tanah dan pososi percabangan tanaman sejajar. Sifat tanaman
kesemek yang merupakan ciri khusus bagi pertumbuhan tanamannya adalah
setelah panen buah maka tanaman mengalami gugur daun dan daun akan rontok
secara keseluruhan. Hal ini merupakan sifat tanaman kesemek untuk mempertahan
kan diri karena musim kemarau sehingga mengurangi penguapan tanaman.
Selanjutnya bersamaan dengan munculnya tunas atau daun baru maka tunas
akar/tunas anakan juga bersemi yaitu pada awal musim hujan. Posisi buah
kesemek muncul pada ujung cabang Kesemek berbuah setahun sekali. Panen buah
kesemek jatuh pada musim kemarau yaitu bulan April sampai awal Juli. Buah
paling banyak muncul di bulan Juni. Tanaman mulai berbuah umur 7-12 tahun dari
tunas akar. Umur panen buah 3-4 bulan setelah berbunga.
Daun kesemek berbentuk bulat telur, dengan permukaan daun berlilin,
bagian bawah daun terasa kasar (kasap). Warna daun permukaan atas hijau dan
bagian bawah lebih muda. Daun kesemek termasuk tebal namun jika daun dipetik
akan mudah layu atau kering. Ukuran daun kesemek yaitu panjang sekitar 14,5-18
cm dan lebar 11-14 cm. Dengan ukuran panjang dan lebar daun yang tidak terlalu
berbeda maka cenderung bentuk daun ke arah bulat telur. Adapun deskripsi secara
lengkap disajikan pada Tabel 2.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
259
Deskripsi varietas kesemek Junggo
Deskripsi Uraian
Tinggi tanaman : sekitar 15– 17 m
Lebar tajuk : 2,5-3,5 m
Lingkar batang : 71-96 cm
Kedudukan cabang : tegak sampai dengan miring
Percabangan : rapat, mulai ketinggian 2-3 m
Warna batang : coklat tua
Bentuk daun : bulat telur
Warna permukaan daun : hijau , mengkilap
Warna daun bagian bawah : hijau muda
Permukaan daun bawah : agak kasar (kasap)
Kedudukan daun : mendatar
Lebar daun : 11-14 cm
Panjang daun : 14,5-18 cm
Warna bunga : putih kekuningan
Bentuk buah : bulat agak terbentuk bidang empat sisi
Warna buah muda : hijau
Warna buah agak matang : merah kekuningan
Warna buah matang pohon : merah
Keadaan buah muda : keras
Keadaan buah agak matang : keras
Keadaan buah matang : lunak seperti buah tomat
Berat buah : 200-300 gram/buah
Panjang buah : 8-8,5 cm
Lingkar buah : 21-23 cm
Lebar buah : 7,5-8,5 cm
Rasa buah muda : kesat sedikit manis
Rasa buah matang : manis dan renyah
Rasa buah matang pohon : manis, segar, banyak air dan lunak
Tekstur daging buah : halus
Aroma buah matang : sedang
Kandungan gula (buahmatang) : 22,7 – 33,2 %
Kadar asam : 0,07-0,09 %
Kadar vitamin C/100 gram : 6,31-6,86 %
Kadar tanin : 3,80-3,93 %
Produksi /pohon/tahun : 200-300 kg
Keterangan : musim berbuah setahun sekali pada bulan April-
Juli dan mulai berbuah umur 8-10 tahun
_____________________________________________________________________________________
Potensi Produksi
Kesemek Junggo bila diperbanyak dari tunas akar akan berproduksi pada
umur sekitar 8-10 tahun sedangkan bila diperbanyak dari bibit hasil sambung dapat
berproduksi lebih cepat sekitar 5-6 tahun. Kesemek mampu berbuah setahun sekali
dan musim buah mulai bulan Mei hingga Juli . Produksi buah bisa mencapai 500-
600 kg/pohon untuk tanaman berumur 50-60 tahun (Dadang, 1998) namun rata-
rata produksi sekitar 200-300 kg/pohon/tahun. Setelah berbuah umumnya tanaman
kesemek menggugurkan daunnya hingga tanaman menjadi gundul dan pada musim
hujan mulai muncul tunas baru serta bunganya.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
260
Hingga saat ini populasi kesemek di dusun Junggo, desa Tulungrejo sekitar
1000 pohon, sedangkan di desa lainnya belum terdata dengan pasti. Demikian juga
jumlah tanaman kesemek yang berada di lereng-lereng gunung sebagai tanaman
konservasi juga belum terdata dengan pasti. Rata-rata tanaman kesemek yang ada di
Junggo sudah berumur lebih dari 75 tahun dan tanaman mampu berproduksi antara
200-300 kg per pohon.
Potensi Ekonomis
Kesemek Junggo mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan peluang
pasar ekspor serta perlu diperkenalkan di pasar swalayan . Dengan penampilan
warna buah yang menarik yaitu kuning kemerahan serta rasa buah yang manis dan
renyah maka dapat dimanfaatkan sebagai buah segar setelah hilang rasa kelatnya
karena perlakuan maupun olahan. Macam hasil olahan dari buah kesemek antara
lain selai, jam, manisan kering, buah yang dikeringkan .
Harga kesemek Junggo di tingkat petani sekitar Rp 3.000- Rp 3.500 per
kilogram sedangkan harga buah kualitas super untuk ekspor sekitar Rp 5.000,- - Rp
7.000,- per kilogram. Dengan rata-rata hasil tanaman 200 kg per pohon dan harga
buah dinilai Rp 3.000,- per kilogram maka pendapatan yang diterima petani kesemek
sekitar Rp 600.000 per pohon. Biaya panen dan pengepakan maupun pembersihan
buah bila akan diekspor serta biaya perendaman buah dalam kapur dibiayai oleh
pedagang sendiri. Karena kesemek hingga saat ini belum dipelihara oleh pemiliknya
secara intensif maka pemilik belum pernah mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan
tanaman. Untuk pasar ekspor maka pedagang pengumpul kesemek Junggo baru
mampu mengekspor sekitar 3-5 ton buah kualitas super per tahun sehingga
pemenuhan ekspor masih kurang. Sedangkan sisa buah lainnya dipasarkan ke
Malang, Surabaya, Porong , Solo dan sekitarnya.
Kesesuaian Agroekologi dan Wilayah Pengembangan
Kesemek Junggo membutuhkan tanah gembur, mudah meresapkan air yang
berlebihan tetapi juga mampu menahan air dengan jenis tanah andosol . Kesemek
dapat tumbuh di dataran tinggi dengan ketinggian tempat 1000 - 1500 m dari
permukaan laut dan suhu rata-rata harian 18 - 27 0 C yang termasuk dalam rejim
suhu sejuk dan rejim kelembaban agak kering.
Potensi pengembangan kesemek pada zona III by dengan elevasi > 700 m dpl ,
rejim suhu sejuk (isotermik) dan rejim kelembaban agak kering. Rejim kelembaban
agak kering bila mempunyai jumlah bulan kering antara 4 sampai dengan 7 bulan
dalam satu tahun. Fisiografi lereng bawah volkan, lereng > 8-15 dengan budidaya
umumnya untuk wanatani/budidaya lorong yang tanaman kesemek dapat
dimanfaatkan sebagai tanaman pokok (Saraswati et al, 2000).
Cara Budidaya
Kesemek diperbanyak dengan tunas akar. Pada akar ditemukan banyak mata
yang mampu bertunas dan tumbuh menjadi tanaman dewasa. Kelemahan
perbanyakan dengan tunas akar usia berbuah lama lebih dari 8 tahun. Karena itu
sebaiknya kesemek diperbanyak melalui sambungan. Sebagai batang bawah
digunakan bibit tunas anakan. Batang atasnya dari pohon dewasa yang dianggap
unggul. Batang bawah yang digunakan dapat berasal dari D. rosburhii yang
merupakan nenek moyang kesemek dan D discolor (bisbul) atau D. nigra (sawo hitam).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
261
Bibit sambungan baru siap dipindah ke lapangan setelah berumur 2 tahun. Untuk
mempercepat pertumbuhan maka bibit diletakkan di tempat bersuhu 20 – 25 0C dan
tidak terkena sinar matahari langsung.
Untuk membentuk tajuk tanaman maka batang kesemek perlu dipangkas
supaya pendek dan tumbuh kekar. Pemangkasan dilakukan setelah tanaman tumbuh
setinggi 1-1,5 m. Pemangkasan ujung batang utama sangat penting. Hal ini karena
kesemek selalu tumbuh memanjang hingga ketinggian 18 m meskipun ukuran batang
hanya 50 cm. Kesemek hanya berbunga setahun sekali , saat menjelang musim hujan
(Oktober-Januari), setelah istirahat 4-7 bulan pada musim kemarau. Selama
kekeringan ia menggugurkan daun. Tunas muda muncul begitu hujan turun.
Pengguguran daun perlu dilakukan sehingga hormon bunga terakumulasi, bila daun
tidak gugur dengan sendirinya maka sebaiknya tanaman digunduli (Sunarjono, 1999).
Pemanenan buah kesemek biasanya dilakukan saat buah belum masak (masih
hijau kekuningan, sepat dan keras). Buah akan masak sendiri selama penyimpanan
.Sebelum disimpan buah kesemek di Indonesia direndam dalam larutan kapur selama
3 x 24 jam untuk menghilangkan rasa kelat pada buah (mengurangi kadar tanin) .
Sehingga saat buah dikeringkan nampak buah seperti dibedaki. Perbandingan antara
jumlah buah dan kapur yaitu 100 kg buah membutuhkan kapur sebanyak 3-4 kg.
Buah kesemek yang akan diekspor tidak direndam dalam larutan kapur namun
ditetesi dengan KOH (Kalium Hidroksida) yang dikalangan pedagang dikenal dengan
soda abu. Satu tetes KOH cukup untuk satu buah dengan penetesan pada kelopak
bekas bunga yang masih menempel di ujung buah (Ito, 1978). Selanjutnya buah
digosok dengan kain bersih sehingga permukaan kulit buah lebih mengkilap. Buah
dikemas dalam kardus karton yang bersekat dan buah siap dikirim . Buah yang telah
ditetesi KOH yang semula keras dalam tiga hari akan menjadi empuk sedangkan
warna yang semula hijau berubah kuning kemerahan. Penampilan buah menjadi
bersih dan menarik dan layak ekspor (Suseno dan Dadang, 1998).
Selain beberapa cara di atas maka untuk menghilangkan rasa kelat (sepat)
pada buah kesemek dapat dilakukan dengan perlakuan air panas, pelapisan bahan
kimia , pembekuan, irradiasi dan perlakuan alkohol /etil alkohol (Ito, 1978).
Perlakuan 45 % alkohol yang disimpan selama 14 hari menghasilkan penurunan
kandungan tanin dan rasa sepat buah kesemek (Napitupulu, 1991). Pemakaian aliran
gas telah dikaji oleh IPPTP Berastagi dengan menggunakan CO 2 50 liter/jam secara
terus menerus selama empat hari. Buah yang dihasilkan tetap renyah dan manis
(sepat hilang) dan buah dapat disimpan selama 5 hari dengan kehilangan 14,4 %
berupa buah busuk 10 % dan 4,4 % susut bobot .
KESIMPULAN
Kesemek Junggo berpotensi untuk dikembangkan karena berpeluang untuk
mengisi pasar ekspor khususnya di Singapura, Korea maupun Thailand. Dengan
keterbatasan jumlah tanaman yang ada saat ini serta umur tanaman banyak yang
sudah tua maka perlu segera dilakukan penanaman baru . Pengembangan tanaman
baru telah diarahkan pada daerah lereng gunung sehingga berfungsi juga untuk
konservasi lahan. Diharapkan dengan adanya pengembangan tanaman maka tahun-
tahun mendatang jumlah permintaan yang semakin meningkat untuk pasar ekspor
dapat terpenuhi.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
262
DAFTAR PUSTAKA
Ito, Saburo. 1978. The Persimmon, In the Biochemistry of Fruits and Their Product.
Food Research Institute. England, 21 p.
Napitupulu, B. 1991. Perlakuan alkohol untuk menghilangkan rasa sepat buah
kesemek. Jurnal Hort. 1(4):14-17.
Pecis, E. Akaron Levi and R.B Erie. 1986. Deastringency of persimmon fruit by
creating. Journal of Food Science 1041. Vol 51(4).
Prabawati, S. 1985. Pengaruh perendaman air kapur terhadap sifat sensori dan
perubahan kimia buah kesemek. Lap Sub Balithorti Pasarminggu, Jakarta
Selatan.
Tao, R. H. Murayana, A. Sugiura. 1988. Plant regenaration from callus cultured of
Japanese persimmon. Hort Science 25(6):1055-1056.
Saraswati, D.P, Suyamto, D. Setyorini dan A.G. Pratomo. 2000. Zona Agroekologi
Jawa Timur. Brosur BPTP Jawa Timur.
Singh,A. 1980. persimmon. Fruit fisiology and production. Kalyani Publishes .
New Delhi
Sugiura, A. R. Tao, H. Murayama and T. Tomana. 1986. In vitro propagation of
Japanese persimmon. Hort Science 21 (5):1205-1207.
Sunarjono, H. 1999. Kesemek memang harus berbedak. Trubus no 361. Th XXX.
Penebar Swadaya.
Suseno S. dan Dadang. 1998. Kesemek Taiwan vs Indonesia Trubus no 341. Th
XXX. Penebar Swadaya.
Verheij, E.W.M. and R.E. Coronell. 1992. Prosea (Plant Resources of South East
Asia) Edible Fruits and Nuts.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
263
KARAKTERISASI BEBERAPA SIFAT PLASMA NUTFAH DURIAN
DI KABUPATEN KEDIRI
Baswarsiati*), Yuniarti*), Suhardi*), Harwanto*), Diding Rahmawati*) dan M Soegiyarto*)
ABSTRAK
Komoditas hortikultura khususnya buah-buahan yang menjadi andalan dan
sangat banyak jenisnya di Indonesia antara lain durian. Durian dikenal sebagai raja
dari buah-buahan (King of Fruit). Saat ini durian lokal sedang diincar oleh
konsumen dalam negeri karena cukup banyak varietas unggulan daerah yang
mempunyai rasa manis, sedikit pahit, beraroma sedang hingga kuat , warna kuning
menarik , daging tebal dan produktivitas buah tinggi. Kegiatan karakterisasi
varietas durian di lakukan tahun 2003 hingga tahun 2004 di Kabupaten Kediri.
Untuk melaksanakan inventarisasi dan identifikasi varietas lokal durian diperlukan
pengamatan di daerah sentra produksi maupun di wilayah pengembangan.
Cakupan kegiatan meliputi pengumpulan data sekunder di instansi terkait serta
wawancara dengan informan kunci, eksplorasi , identifikasi tanaman di lapang,
pengumpulan materi tanaman seperti daun, bunga dan buah serta pengumpulan
bibit tanaman untuk koleksi lebih lanjut. Dari hasil kajian diperoleh 32 kultivar
durian di sentra produksi kabupaten Kediri walaupun belum seluruh kultivar yang
ada di lokasi tersebut dapat terkarakterisasi. Hal ini menunjukkan banyaknya
variabilitas kultivar durian karena petani umumnya menggunakan biji sebagai
bahan tanam . Variasi kultivar durian yang ada di kabupaten Kediri dapat dilihat
dari warna kulit buah, panjang dan keliling buah yang mencirikan bentuk buah,
berat buah, dan tebal kulit buah. Sedangkan untuk penampilan fisik buah serta
kualitas buah didukung dari pengamatan rasa buah, warna daging buah ,aroma
buah mulai dari sangat kuat, kuat , sedang maupun lemah. Juga rasa buah mulai
manis sekali , manis sedikit pahit, manis dan pahitnya banyak, maupun rasa
hambar. Dari hasil karakterisasi 32 kultivar durian diperoleh 2 kultivar unggulan
yaitu durian Gapu I dan Gapu II. Durian Gapu I memiliki rasa buah manis-legit,
warna buah kuning cerah, ukuran buah 2500-3000 gram, bentuk buah lonjong,
daging buah tebal, aroma buah sedang. Sedangkan durian Gapu II memiliki rasa
buah manis –legit, ukuran buah sedang (1500-2000 gram), daging buah tebal, biji
kempes dan aroma buah kuat.
Kata Kunci : Durian, karakterisasi, plasma nutfah
ABSTRACT
Horticulture commodity, especially fruit varied types in Indonesia for example
durio. Durio known as king of fruits ( King Of Fruit). For this time being, local
varieties, are mostly wanted by domestic consumers, for its’ sweet taste, a few/little
bitter, specific flavour , yellow attractive colour, thick flesh and high yielding.
Assessment on the characteritation cultivars was done in 2003 till year 2004 in
________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
264
Kediri. Inventarization and identification of local cultivars of durio, was done on
existing and in the extension region. Coverage of activities, including secondary
data collection in related institutions, interviewing key persons, exploration ,
identification of varied cultivars exist, characterization on lamellar crops, flowers
and fruit and also collecting seeds for further collection. Result of study found that
there were 32 cultivars of durio in production centre, Kediri, even the complete
characteritation was still on going. Varied cultivars of durio usually caused by
propagation using seeds. Variation of cultivar could be seen from colour of fruit
husk, long and circle fruit shape , heavy of fruit, and the skin depth fruit. While
physical appearance of fruit and also quality of fruit supported from perception
mealy-fruit, kernel colour ,flavour from very strong, strong , medium and no flavour.
Sweet taste , varied from a little bitter, sweet with bitter taste, and insipid. The
result of characteritation 32 cultivars of durio obtained by 2 pre-eminent cultivars
that is durio of Gapu I and Gapu II. Durio of Gapu I having sweet taste, yellow
colour, fruit size 2500-3000 g, ellipse fruit shape, thick kernel, strong flavour . Durio
of Gapu II having sweet taste , fruit weight 1500-2000 g, thick kernel, seedless and
strong flavour.
Key words : Durio, characteritation, germ plasm.
PENDAHULUAN
Permasalahan yang selalu muncul dalam pengembangan agribisnis buah-
buahan tropis di Indonesia yaitu tidak kontinyunya suplai buah, rendahnya kualitas
buah, dan sedikitnya suplai buah berkualitas, serta tingginya harga buah-buahan
Indonesia. Hal ini akan menyebabkan rendahnya daya saing buah-buahan
Indonesia di luar negeri , bahkan di dalam negeri (Manuwoto, 2000; Puslitbanghorti,
1997). Di antara permasalahan tersebut , masalah produktivitas dan kualitas buah
telah diketahui dikendalikan oleh faktor genetik Karenanya , pemuliaan buah-
buahan tropis perlu diutamakan untuk memperbaiki karakter tersebut . Salah satu
hal yang dapat mendukung perbaikan produktivitas dan kualitas yaitu menggali
keragaman kultivar buah-buahan tropis termasuk durian sehingga diperoleh calon
kultivar unggul tanaman buah-buahan tropis (Dirjen Bina Produksi Hortikultura,
2003).
Komoditas hortikultura khususnya buah-buahan yang menjadi andalan dan
sangat banyak jenisnya di Indonesia antara lain durian. Durian dikenal sebagai raja
dari buah-buahan (King of Fruit). Saat ini durian lokal sedang diincar oleh
konsumen dalam negeri karena cukup banyak varietas unggulan daerah yang
mempunyai rasa manis, sedikit pahit, beraroma sedang hingga kuat , warna kuning
menarik , daging tebal dan produktivitas buah tinggi. Sedangkan untuk konsumen
luar negeri menyukai durian yang tidak beraroma, rasa manis, sedikit pahit, daging
buah tebal dan warna daging kekuningan. Ragam varietas durian yang ada di
Indonesia sangat bervariasi dan cukup banyak durian yang tidak beraroma dengan
rasa manis. Sayangnya dari beberapa varietas tersebut umumnya tidak mampu
beradaptasi di agroekologi yang berbeda, sehingga hanya dapat berkembang di
lokasi asalnya (Paimin, 2003; Syariefa, 2003; Sadhani, 2003).
Nampaknya kecenderungan selera konsumen luar negeri saat ini terhadap
buah durian mengarah pada durian yang tidak beraroma. Dari kekayaan plasma
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
265
nutfah durian yang kita miliki , sebenarnya cukup banyak durian yang tidak
beraroma dan mempunyai rasa enak dan mutu buah unggul. Oleh karenanya
kriteria seleksi untuk tanaman durian dapat diarahkan pada pemenuhan konsumen
dalam negeri (durian beraroma dan rasa buah enak) serta pemenuhan konsumen
luar negeri (durian tanpa aroma dan rasa buah enak). Dari hasil kajian tahun 2002
diperoleh 15 kultivar durian di sentra produksi Ngantang-Malang, walaupun belum
seluruh kultivar yang ada di lokasi tersebut dapat terkarakterisasi. Hal ini
menunjukkan banyaknya variabilitas kultivar durian karena petani umumnya
menggunakan biji sebagai bahan tanam (Baswarsiati et al, 2002). Sedang hasil
karakterisasi di Kediri terdapat 30 lebih kultivar durian dengan unggulannya 2
kultivar yaitu durian Gapu I dan Gapu II.
Adapun tujuan dari karakterisasi durian ini untuk memperoleh data karakter
sejumlah kultivar durian yang ada di kabupaten Kediri serta keunggulan durian
dari kabupaten tersebut.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan karakterisasi varietas durian di lakukan sejak tahun 2002 hingga
tahun 2004 di Kabupaten Kediri. Untuk melaksanakan inventarisasi dan
identifikasi varietas lokal durian diperlukan pengamatan di daerah sentra produksi
maupun di wilayah pengembangan. Berbagai informasi berupa data sekunder
dikumpulkan dari instansi terkait, dan dilaksanakan wawancara langsung dengan
informan kunci maupun petani pemilik tanaman serta masyarakat sekitarnya.
Cakupan Kegiatan
Cakupan kegiatan meliputi pengumpulan data sekunder di instansi terkait
serta wawancara dengan informan kunci, karakterisasi , identifikasi tanaman di
lapang, pengumpulan materi tanaman seperti daun, bunga dan buah serta
pengumpulan bibit tanaman untuk koleksi lebih lanjut.
Pada tahun 2003 pernah dilakukan kontes buah durian di kabupaten Kediri.
Durian-durian yang mengikuti kontes dikarakterisasi lebih lanjut untuk mengetahui
lebih lengkap keragaan masing-masing varietas. Selanjutnya juga dilakukan
penelusuran data sekunder di beberapa instansi terkait seperti Diperta, BPP,
Kecamatan dan Kelurahan. Selain itu dilakukan wawancara langsung dengan
pedagang pengumpul yang menjual hasil durian dengan beragam varietas lokal.
Dari hasil penelusuran data sekunder dan wawancara akan diketahui sentra
produksi dari masing-masing varietas dengan keragaman varietas lokal yang
dimilikinya. Identifikasi dilakukan dengan cara eksplorasi dengan mengamati
secara langsung pertanaman yang ada di lapang. Untuk mengetahui lebih lengkap
tentang kondisi tanaman seperti produktivitas, kualitas , ketahanan terhadap hama
dan penyakit maupun cekaman lingkungan , ciri-ciri khusus dan keunggulan yang
dimiliki maka dilakukan wawancara dengan petani pemilik maupun petani di
sekitarnya
Analisa Data
Dilakukan secara deskriptif sesuai dengan keragaan pertumbuhan tanaman
dan analisa fisik serta kimiawi buah. Antara varietas dibandingkan untuk menilai
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
266
varietas yang mempunyai keunggulan dibanding varietas lainnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Di kabupaten Kediri terdapat lebih dari 50 ragam varietas durian . Pada
tahun 2003 terkarakterisasi 32 varietas durian yang di peroleh pada saat Kontes
Buah Durian di Kabupaten Kediri. Hasil kontes buah durian untuk juara I
merupakan unggulan buah durian dari Kediri yaitu milik bapak Suroto di desa
Gadungan, kecamatan Puncu, Kediri. Serta juara II milik bapak Najib di desa
Gadungan, kecamatan Puncu, Kediri. Hasil karakterisasi yang dilakukan pada
ragam varietas durian yang ada di kabupaten Kediri disajikan pada Tabel 1 dan
Tabel 2 .
Dari keragaan yang disajikan pada Tabel 1 nampak sangat bervariasi varietas
durian yang ada di kabupaten Kediri yang dapat dilihat dari warna kulit buah,
panjang dan keliling buah yang mencirikan bentuk buah, berat buah, dan tebal
kulit buah. Sedangkan untuk penampilan fisik buah serta kualitas buah didukung
dari pengamatan rasa buah, warna daging buah ,aroma buah mulai dari sangat
kuat, kuat , sedang maupun lemah. Juga rasa buah mulai manis sekali , manis
sedikit pahit, manis dan pahitnya banyak, maupun rasa hambar disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 1. Penampilan Fisik Buah 32 Varietas Durian Asal Kediri, 2004. No
Varietas
Berat
Buah (g)
Warna kulit buah Panjang
buah (cm)
Keliling
buah (cm)
Tebal Kulit
(cm)
1 2100 Hijau kecoklatan 22 53 1,14
2 1800 Coklat kehijauan 18 53 0,65
3 1550 Kuning 19 46 1,18
4 1350 Hijau tua 14,5 47 0,86
5 2075 Hijau 19 55 0,60
6 1400 Hijau 14 49 1,47
7 2200 Coklat 19 58 1,46
8 4300 Coklat 27 69 1,99
9 2050 Hijau kekuningan 17 54 1,20
10 2400 Coklat kehijauan 21 56 1,12
11 2575 Kuning 27 57 1,47
12 3250 Hijau 23,5 62 1,12
13 2125 Hijau 20 54 1,0
14 2175 Hijau kecoklatan 17 58 1,20
15 3300 Coklat kehijauan 24,5 62 2,15
16 1850 Coklat 18 50 0,67
17 2475 Hijau 25,5 55 1,64
18 3150 Coklat 24 62 1,30
19 2825 Hijau 28 55 1,39
20 2150 Hijau tua 23 49 0,96
21 4850 Hijau kecoklatan 27 71 1,34
22 3525 Hijau kekuningan 18 70 1,32
23 2175 Hijau kecoklatan 20 54 1,09
24 3250 Kuning Kehijauan 22 71 1,54
25 2350 Hijau 18 61 1,44
26 1150 Hijau 14,5 49 1,22
27 1650 Hijau 17,5 47 0.95
28 1950 Coklat 21 57 1,12
29 1525 Kuning 20 51 1,42
30 2600 Kuning kehijauan 20 63 1,24
31 2900 Coklat kehijauan 22 62 1,10
32 2750 Coklat kekuningan 21 60 1,16
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
267
Tabel 2. Penampilan Daging Buah 32 Varietas Durian Asal Kediri, 2004.
No
varietas
Aroma
Utuh
Warna
daging
Tebal
daging
Rasa
Daging
Tekstur
Daging
Kekerasan
daging
Daging
Mudah
dilepas/
tidak
Jumlah
1 40 10 10 40 40 40 20 180
2 40 35 10 30 40 10 20 165
3 40 10 35 30 40 10 20 165
4 40 10 10 30 40 40 20 170
5 50 35 35 30 40 10 20 210
6 40 10 35 10 40 40 20 175
7 50 10 35 40 40 40 20 185
8 40 35 35 10 40 40 20 190
9 40 35 35 30 40 10 20 210
10 20 35 35 30 40 40 20 220
11 20 10 10 10 40 10 20 120
12 40 35 35 40 40 40 20 250
13 29 35 35 30 40 40 20 220
14 20 10 35 10 40 10 20 175
15 20 35 50 40 40 10 30 255
16 20 35 35 10 40 40 20 170
17 50 35 35 30 40 10 20 220
18 40 40 35 30 40 40 20 245
19 20 10 35 10 40 10 20 145
20 40 35 35 30 40 10 20 210
21 20 35 50 50 40 40 30 265
22 40 35 50 30 40 40 20 255
23 20 35 35 40 40 40 20 230
24 40 35 35 30 40 10 20 210
25 50 35 35 40 40 40 20 260
26 20 35 35 30 40 40 30 230
27 40 35 35 40 40 40 20 250
28 20 40 10 30 40 40 20 200
29 40 40 10 40 40 40 20 230
30 20 40 50 40 40 40 20 270
31 20 35 35 30 40 40 30 230
32 20 40 35 30 40 40 20 195
Keterangan: Nilai penampilan daging buah
Aroma utuh : 10-20 = lemah, 21-30 = sedang, 31-40 = kuat, 41-50 = sangat kuat
Warna daging : 10-20=putih, 21-30=putih kekuningan,31-40= kuning, 41-50= sangat kuning
Tebal daging : 10-20=tipis, 21-30=sedang, 31-40 = tebal, 41-50 = sangat tebal
Rasa daging :10-20= tidak manis, 21-30=sedang , 31-40 = manis, 41-50 = sangat manis
Tekstur daging: 10-20 = kasar, 21-30= sedang, 31-40 = halus, 41-50 = sangat halus
Kekerasan daging : 10-20 = sangat lembek, 21-30= lembek, 31-40=sedang, 41-50 pulen
Daging mudah dilepas/tidak : 10-20 = agak mudah , 21-30= mudah, 31-40 = sangat mudah
Hasil inventarisasi dan karakterisasi varietas durian di Kabupaten Kediri
tahun 2004 memperoleh beberapa calon varietas unggul antara lain durian Gapu I
dan Gapu II yang berasal dari desa Gadungan-Puncu. Hasil pengamatan morfologi
tanaman untuk durian GAPU I dan GAPU II tertera pada Tabel 3. Keragaan pohon
induk tunggal dari kedua durian tersebut tidak jauh berbeda walaupun umur
tanaman cukup berbeda. Durian GAPU I berumur sekitar 25 tahun sedangkan
durian GAPU II berumur lebih dari 75 tahun.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
268
Tabel 3. Keragaan tanaman durian GAPU I dan GAPU II.
Keragaan Durian GAPU I Durian GAPU II
Tinggi tanaman (m) 15 17
Lingkar batang (cm) 73 95
Bentuk batang silindris silindris
Warna batang Coklat muda Coklat muda
Bentuk daun jorong jorong
Panjang daun (cm) 16,5-17,5 15-16,2
Lebar daun (cm) 5,5 – 6,5 5,2 – 5,5
Tepi daun rata rata
Ujung daun runcing runcing
Permukaan daun licin licin
Warna daun atas Hijau tua Hijau tua
Warna daun bawah Coklat coklat
Panjang tangkai daun
(cm)
3,1- 3,5 3,2-3,6
Bentuk buah Bulat telur Agak bulat
Ukuran buah Besar sedang
Duri buah Sedang Kecil
Selain karakteristik durian GAPU I dan GAPU II juga digunakan
pembanding varietas unggul durian Otong dan pembanding durian lokal seperti
yang tertera pada Tabel 4. Dibandingkan dengan durian lokal dan durian Otong
maka durian GAPU I lebih manis, ukurannya lebih besar, bagian yang dapat
dimakan lebih banyak dan daging buahnya memiliki tebal setara durian Otong .
Durian GAPU I mempunyai keunggulan warna dagingnya kuning, daging buah
punel, tidak berair, berserat halus dan banyak disukai konsumen yang tidak suka
rasa pahit (rasa alkohol) karena rasa buahnya manis sekali tanpa ada rasa pahit
sedikitpun (Tabel 3). Durian GAPU I juga memiliki kadar vitamin C yang tinggi.
Sedangkan durian GAPU II dagingnya sangat tebal, berbiji sangat kecil
(sering disebut durian “kempes”), aromanya kuat, rasanya sangat manis, punel
sedikit berair dan ukuran buahnya cukup, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil.
Keunggulan-keunggulan ini menyebabkan durian GAPU II banyak disukai dan
dicari konsumen. Dengan bagian yang dapat dimakan sebesar hampir 28% dan
rasa daging buah yang sangat manis (kadar gula 35 %) serta rasa beralkohol yang
proporsional.
Dibandingkan dengan durian Petruk dan durian Otong maka durian GAPU I
lebih manis, ukurannya lebih besar, bagian yang dapat dimakan lebih banyak dan
daging buahnya memiliki tebal setara durian Otong . Durian GAPU I mempunyai
keunggulan warna dagingnya kuning, daging buah punel, tidak berair, berserat
halus dan banyak disukai konsumen yang tidak suka rasa pahit (rasa alkohol)
karena rasa buahnya manis sekali tanpa ada rasa pahit sedikitpun (Tabel 3). Durian
GAPU I juga memiliki kadar vitamin C yang tinggi. Bila dibandingkan dengan
durian Petruk maka durian GAPU I memiliki ukuran buah yang lebih besar hingga
lebih dari 3 kilogram. Sedangkan durian Petruk berukuran hanya 1,0-1,5 kg per
buah, kulit buah tipis, daging buah kuning dan rasa manis –legit (Tabel 3). Durian
GAPU I berbeda dengan durian Petruk karena ukuran buah lebih besar, bentuk
buah oval dan teratur bentuknya, bentuk duri kerucut dengan ukuran besar dan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
269
teratur. Buah durian GAPU I dan II lebih mudah dibelah dibandingkan durian
Petruk. Sedangkan durian Petruk bentuk duri kerucut kecil, rapat, tajam dan buah
sukar dibelah. Dengan melihat data pada tabel 3 maka durian GAPU I dan GAPU
II berbeda dengan durian Petruk maupun Otong
Tabel 4. Karakteristik Durian GAPU I, GAPU II dibandingkan dengan
pembanding varietas Otong dan Petruk
Uraian Durian
“GAPU I”
Durian
“GAPU II” Durian Petruk Durian Otong
Bobot buah (gr) 3.300 2.350 1500 3500
Lingkar buah (cm) 66,5 56 43 67,5
Panjang buah (cm) 24,3 20 17 25,6
Bobot biji dan daging (gr) 1.325 850 550 1.245
Bobot kulit (gr) 1.975 1.500 950 1.875
Bobot biji (gr) 482.5 15 194 356
Bobot daging (gr) 842,5 815 356 899
Bagian yang dapat
dimakan (%)
25,53 34,66 23,73 20,22
Jumlah biji 21 22 11 23
Keadaan biji Biasa Kecil sekali
(kempes)
Biasa Biasa
Bobot daging
dibandingkan bobot (biji
+ daging) (%)
63,6 96,23 64,72
Warna kulit Kuning Kuning
kehijauan
Hijau
kekuningan
Kuning kecoklatan
Warna daging Kuning Kuning Kuning Kuning
Aroma Sedang Kuat Kuat Sedang
Rasa buah Manis sekali Manis sedikit
pahit
Manis legit,
sedikit
beralkohol
Manis
Rasa alkohol Tidak ada Sedikit terasa Sedikit terasa Sedikit terasa
Serat Halus Halus sedang Agak kasar
Kepunelan Punel,
kering
Punel, sedikit
berair
Punel, sedikit
berair
Punel, sedikit
berair
Tebal daging buah (mm) 9,5 14,5 6,5 9,75
Tebal kulit buah (mm) 6,56 5,23 11 8,45
Jumlah juring 5 5 5 5
Bentuk duri Kerucut dan
besar,
teratur,
mudah
dibelah
Kerucut
sedang dan
teratur,
mudah
dibelah
Kerucut kecil
dan rapat, agak
sukar dibelah
Kerucut kecil dan
rapat dan tajam ,
mudah dibelah
Kadar gula (%) 31,33 35 - -
Vitamin C (mgr/100 gr
bahan)
9,802 6,25 - -
Protein (%) 2,593 2,571 - -
Air (%) 62,894 68,229 - -
Lemak (%) 0,360 1,519 - -
Abu (%) 3,215 2,128 - -
Karbohidrat (%) 30,938 25,553 - -
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
270
Hasil uji preferensi konsumen terhadap durian GAPU I dan GAPU II selain
dilakukan secara langsung pada saat kontes buah durian , juga dilakukan oleh 11
orang panelis . Rata-rata hasil uji preferensi konsumen terhadap buah durian GAPU
I, II dan durian lokal sebagai pembanding ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata hasil uji preferensi konsumen terhadap buah durian GAPU I, II
dan durian lokal Tingkat kesukaan konsumen*
Parameter Durian GAPU I Durian GAPU II Durian “Tanpa Nama”
pengamatan Sangat
suka
Biasa/cu
kup suka
Tidak
suka
Sanga
t suka
Biasa/cu
kup suka
Tidak
suka
Sanga
t suka
Biasa/cu
kup suka
Tidak
suka
Ukuran buah V V V
Aroma buah V V V
Warna kulit V V V
Warna
daging buah
V V V
Tebal daging
buah
V V V
Rasa manis
daging buah
V V V
Kehalusan
daging buah
V V V
Tekstur
daging buah
V V V
Rasa
proporsional
(manis dan
pahit
/alcohol)
V V V
Rasa
keseluruhan
daging buah
V V V
*Jumlah panelis 11 orang.
Inventarisasi hama durian secara transek di Desa Gadungan, Kecamatan
Puncu dilakukan pada bulan April 2004. Pengamatan hama secara khusus di
lakukan pada kebun milik bapak Suroto dengan jumlah kepemilikan tanaman
durian sekitar 25 pohon
Tanaman durian yang sudah berbuah umumnya di serang oleh penggerek
batang atau ranting (Xyleutes leuconotus), penggerek buah/biji (Hypophereqea sp
dan Trirathaba sp), dan lalat buah (Bractosera sp) . Dari wawancara dengan petani
diketahui bahwa tanaman durian yang dimiliki setiap tahun terserang oleh hama
penggerek batang/ranting, penggerek buah, dan lalat buah. Petani durian selama
ini belum mengendalikan hama dan penyakit dengan pestisida ataupun metoda
pengendalian lainnya.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
271
Tabel 6. Hasil pengamatan jenis hama yang menyerang tanaman durian
Gadungan,Puncu 2004.
Tanaman
contoh
Jenis Hama Tingkat serangan
komplek (%) Penggerek
batang/ranting
Penggerek
buah/biji Lalat buah
1 + - - 1
2 + + - 5
3 - + + 2
4 + - - 2
5 - - - -
6 - - - -
7 - - - -
8 - - + 1
9 - - - -
10 - - - -
Jumlah 11
Rata-rata 1,1 Keterangan: + = ada serangan, - = tidak ada serangan
Adapun deskripsi varietas durian Gapu I dan Gapu II berturut-turut disajikan pada
Tabel 7 dan 8.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
272
Tabel 7. Deskripsi Varietas Durian Gapu I (Karakter Penciri)
Deskripsi Uraian
Asal tanaman : lokal Desa Gadungan, Puncu, Kediri
Bentuk batang : silindris
Warna batang : coklat keabu-abuian
Bentuk daun : jorong
Ukuran daun : panjang 16,5-17,5 cm; lebar daun 5,5-
6,5 cm
Tepi daun : rata
Ujung daun : runcing
Permukaan daun : rata
Warna permukaan daun atas : hijau tua
Warna permukaan daun bawah : coklat keperakan
Panjang tangkai daun : 6,57-7,05 cm
Bentuk bunga : bulat dalam tandan
Warna mahkota bunga : putih
Warna benangsari : putih kekuningan
Warna kelopak bunga : kehijauan
Jumlah bunga pertandan : 5-20 kuntum
Jumlah buah pertandan : 1-3 buah
Bentuk buah : bulat lonjong
Ukuran buah : lingkar buah 66,5- 70,20 cm, panjang buah
24,3-25,6 cm
Berat per buah : 3,30-3,55 kg
Panjang tangkai buah : 3,1 – 3,5 cm
Warna kulit buah masak : coklat kekuningan
Ketebalan kulit buah : 6,56 – 6,85 cm
Duri buah : kerucut besar, ujung runcing, tidak rapat
Kekerasan buah : lunak
Warna daging buah : kuning
Ketebalan daging buah : tebal
Rasa daging buah : manis sekali
Aroma buah : sedang
Jumlah juring per buah : 5 buah
Kandungan gula : 31,33-32,10 0 Brix
Kandungan vit C/100 g bahan : 9,802- 9,853 mg
Kandungan karbohidrat : 30,938-31,234 %
Kandungan Protein : 2,593 –2,602 %
Kandungan lemak : 0,36 –0,375 %
Kandungan abu : 3,215 –3,240 %
Kandungan air : 62,894 – 62,950 %
Hasil per pohon : 100-150 buah /th (300-350 kg/ph/th) umur
20 tahun
Identitas pohon induk tunggal : milik bapak Suroto, desa Gadungan,
kecamatan Puncu, kab. Kediri . No PIT
PIT/Dr/l 20/Jatim/35
Keterangan kelembaban : sesuai ditanam di dataran rendah, dengan
tinggi
_____________________________________________________________________________________
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
273
Tabel 8. Deskripsi Varietas Durian Gapu II (Karakter Penciri)
Deskripsi Uraian
Asal tanaman : lokal Desa Gadungan, Puncu, Kediri
Bentuk batang : silindris
Warna batang : coklat keabu-abuian
Bentuk daun : jorong
Ukuran daun : panjang 15-16,2 cm , lebar daun 5,2-5,5 cm
Tepi daun : rata
Ujung daun : runcing
Permukaan daun : rata
Warna permukaan daun atas : hijau tua
Warna permukaan daun bawah : coklat keperakan
Panjang tangkai daun : 5,60-7,05 cm
Bentuk bunga : bulat dalam tandan
Warna mahkota bunga : putih
Warna benangsari : putih kekuningan
Warna kelopak bunga : kehijauan
Jumlah bunga pertandan : 5-30 kuntum
Jumlah buah pertandan : 1-5 buah
Bentuk buah : bulat lonjong
Ukuran buah : lingkar buah 56-60,2 cm, panjang buah 20-
22,3 cm
Berat per buah : 2,35-2.55 kg
Panjang tangkai buah : 4,5-5,2 cm
Warna kulit buah masak : coklat kekuningan
Ketebalan kulit buah : 5,23-5,50 cm
Duri buah : kerucut sedang, ujung runcing, tidak
terlalu rapat
Kekerasan buah : lunak
Warna daging buah : kuning
Ketebalan daging buah : tebal
Rasa daging buah : manis sekali
Aroma buah : kuat
Jumlah juring per buah : 5 buah
Kandungan gula : 35 –36,2 0 Brix
Kandungan vit C/100 g bahan : 6,25-6,55 mg
Kandungan karbohidrat : 25,55-25,72 %
Kandungan Protein : 2,57- 2,78 %
Kandungan lemak : 1,519-1,623 %
Kandungan abu : 2,128-2,230 %
Kandungan air : 68,229-68.450 %
Hasil per pohon : 120-160 buah /th (350-400 kg/ph/th) umur
> 50 tahun
Identitas pohon induk tunggal : milik bapak Wajib, desa Gadungan,
kecamatan Puncu, kab. Kediri . No PIT
PIT/Dr/l 20/Jatim/36
Keterangan kelembaban : sesuai ditanam di dataran rendah, dengan
: tinggi
_____________________________________________________________________________________
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
274
KESIMPULAN
Dari hasil kegiatan ini dapat disimpulkan antara lain :
1. Pada sentra produksi durian di kabupaten Kediri terdapat keragaman
varietas dari durian yang bermutu tinggi hingga kurang bermutu.
2. Varietas durian Gapu I dan Gapu II merupakan varietas unggulan dari
kabupaten Kediri
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. Hasil lokakarya RUSNAS.
Pengembangan Buah-buahan unggulan Indonesia. PKBT , IPB.
Baswarsiati, M. Soegiyarto, Yuniarti, Suhardi. 2002. Pengkajian ragam kultivar
lokal hortikultura spesifik lokasi Jatim. Lap. Hasil Penelitian (belum
dipublikasi).
Diperta Propinsi Jawa Timur. 2001. Program Pengembangan Hortikultura Propinsi
Jawa Timur th 1999-2004.
Manuwoto, S. 2000. Pengembangan buah-buahan unggulan Indonesia. Pusat
Kajian Buah-buahan Tropika. IPB.
Paimin, F.R. 2003. Durian incaran berbagai daerah. Trubus , no XXXIV. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Poerwanto, R., dan S. Manuwoto. 2000. Kerangka Acuan Riset Unggulan Strategi
Nasional. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. IPB.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. 1997. Hasil-hasil Penelitian
1994-1997 Puslitbanghorti untuk pengkajian dan umpan balik. Rapat Kerja
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Denpasar.
Sadhani, B. 2003. Angkat pamor durian lokal. Trubus , no XXXIV. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Syariefa, E. 2003. Durian lokal diincar. Trubus , no XXXIV. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
275
ADAPTASI CALON VARIETAS MELON HASIL PERSILANGAN
3 GALUR MELON
M. Sugiyarto*), B. Tegopati*), Baswarsiati*), Sarwono*) dan Martono*)
ABSTRAK
Melon (Cucumis melo L) merupakan salah satu komoditas buah yang
digemari oleh mesyarakat karena mempunyai keunggulan dalam rasanya yang
manis, teksur daging buah lembut dengan warna berbeda dan mempunyai aroma
yang khas. Bagi petani, melon merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi tetapi
juga beresiko tinggi dalam kegagalan panen, sehingga tidak jarang terdapat buah
melon dengan kualitas rendah. Semua benih melon berasal dari import dan untuk
meningkatkan mutu buah serta mengurangi benih import dilakukan uji hasl
persilangan. Uji persilangan dilakukan di kebun BPTP Jawa Timur, sedang uji hasil
persilangan dilakukan di lahan Petani di Duwet, Kediri ditata dalam rancangan
acak kelompok. Pewarisan jala pada buah melon sangat ditentukan oleh induk
jantan, dengan demikian pada program pemuliaan untuk memenuhi melon berjala
harus memiliki galur yang berjaring sempurna. Gambaran pewarisan besar buah,
tampaknya sangat ditentukan oleh besar buah induk betina. Pewarisan warna
daging buah terlihat jelas, buah berdaging oranye bila disilangkan sebagai induk
betina maupun jantan maka keturunannya akan berdaging oranye. Pewarisan
warna daging buah tersebut belum diketahui secara pasti apakah secara dominan
atau karena sifat epistasis. Daya adaptasi masing-masing persilangan cukup baik
dan dapat bersaing dengan varietas lain yang telah dikembangkan oleh petani.
Kata kunci: pewarisan sifat, daya gabung, galur melon, kualitas
ABSTRAC
Melon (Cucumis melo L) was once of fruit with spesific tested, quality and
appearance of fruit. Melon have highly ekonomis, but with highly fall of harvested
becouse pest and diseases. Increasing of this characters with crossing each others.
Crossing was carried out at Malang of Research and Assessment Instalation for
Agriculture Technology, and test of agronomical characters was carried out at
farmers in Duwet vilage, Kediri. Heritability of net skin depend on female parent,
and for increasing net skin must be have the pure line with perfect net skin. The
heritability of fruit weight appeared by male, heritability of orange flash color
appeared dominance, all crossing with orange flesh color for male or female have
orange flesh color, but not appeared yet there dominant or epistasis. Variety
adaptations was goot and prospetif for development.
Key worth : Heritability, combining ability, line, melon
__________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
276
PENDAHULUAN
Melon (Cucumis melo L) merupakan salah satu komoditas buah yang
digemari oleh mesyarakat karena mempunyai keunggulan dalam rasanya yang
manis, teksur daging buah lembut dengan warna berbeda dan mempunyai aroma
yang khas. Bagi petani, melon merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi tetapi
juga beresiko tinggi dalam kegagalan panen, sehingga tidak jarang terdapat buah
melon dengan kualitas rendah. Produk melon berkualitas rendah sangat terkait
dengan teknik budidaya dan varietas yang ditanam. Varietas melon yang telah
berkembang semuanya berasal dari benih import dengan harga yang cukup tinggi,
mencapai 1/4 s/d 1/5 biaya produksi. Kekagalan panen terutama oleh adanya
serangan hama dan penyakit yang pengendaliannya kurang tepat.
Dalam rangka mengurangi ketergantungan benih import, maka diusahakan
untuk melakukan penelitian yang mengarah kepada perbenihan dan pengembangan
yang mengarah kepada perbaikan kualitas hasil. Penelitian telah dimulai dari
tahun 1996 dan sampai tahun 2002 telah diperoleh galur-galur keturunan ke tujuh.
Masing-masing galur yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan dalam
karakter, baik dalam bentuk dan ukuran buah, keberadaan jala, warna dan
kekerasan daging (Sugiyarto et al. 2001).
Di sentra produksi, varietas melon yang dikembangkan terutama varietas
Action dengan jala halus dan rapat, varietas lainnya adalah Glamour dan Monami
yang berdaging oranye, serta AG2 dengan kulit halus. Menurut petani kelebihan
Action adalah buahnya lebih berbobot dibanding yang lain. Sementara itu tuntutan
pedagang selain berbobot yang penting telah berwarna kuning, sehingga untuk
mencapai keseragaman warna para pedagang melakukan penyemprotan dengan
Etrel tiga hari sebelum dipanen.
Beberapa galur yang telah menunjukkan keseragaman mempunyai karakter
yang mirip dengan karakter melon yang telah berkembang. Hasil observasi
pendahuluan persilangan beberapa galur menunjukkan adanya pewarisan dan
penggabungan sifat-sifat dari induk yang dipersilangkan (Sugiyarto et al. 2001).
Beberapa galur terpilih adalah 7.1.2.A, 7.1.2B, dan 7.13.9, dan untuk memperbaiki
karakter-karakter yang diinginkan dan untuk mengetahui lebih jauh sifat-sifat
pewarisan perlu dilakukan persilangan antar galur dan uji daya hasil pada
agroekologi di sentra produksinya
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan varietas unggul F1 melon dan
menghasilkan melon persilangan 3 galur melon.
METODOLOGI
Salah satu sarana produksi utama dalam pengembangan melon adalah benih,
dan selama ini sangat tergantung pasokan dari impor hibrida yang harganya relatif
mahal. Sementara itu perbenihan melon di Indonesia belum tertangani. Untuk
itulah maka dilakukan usaha pemurnian varietas-varietas yang telah berkembang
agar diperoleh galur-galur murni.
Dari galur-galur murni tersebut dapat diperoleh dua keuntungan yaitu: 1) bila
ternyata karakter-karakter galur murni dapat bersaing dengan varietas yang
berkembang maka dapat langsung dikembangkan menjadi varietas baru.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
277
2). Dari galur-galur murni dapat pula dirancang untuk menghasilkan varietas
tertentu dengan sifat yang diinginkan melalui persilangan-persilangan.
Hasil penggaluran melon sampai dengan keturunan ke tujuh telah
menunjukkan tanda-tanda keseragaman karakter dalam galur. Untuk mengetahui
lebih jauh kemantapan karakter tersebut perlu dilakukan pengujian pada sentra
produksi sekaligus membandingkan dengan varietas yang telah berkembang. Selain
itu untuk mengetahui pewarisan karakter-karakter perlu dilakukan persilangan
antar galur. Hasil saling silang tersebut merupakan hibrida-hibrida dengan sifat-
sifat unggul tersendiri.
Kualitas melon yang berada di pasaran sangat bervariasi dan sebagian besar
kualitasnya belum memenuhi standart untuk masuk ke pasar Swalayan, oleh sebab
itu perlu dilakukan kajian untuk meningkatkan kualitas buah.
Pengkajian merupakan kegiatan lapang terdiri dari dua kegiatan, kegitan
pertama adalah persilangan 3 galur melon di kebun percobaan BPTP Jawa Timur,
sedang kegiatan kedua adalah uji hasil persilangan pada sentra produksi melon di
Kabupaten Kediri. Kegiatan lain adalah kajian pengaruh pupuk terhadap kualitas
buah. Persilangan beberapa galur dilakukan di kebun BPTP Jawa Timur dengan
menggunakan galur yang mempunyai karakter buah berjala halus dan rata, berjala
kasar dan rata, mempunyai buah besar, dengan warna daging buah yang berbeda
(putih kehijauan dan oranye), dirancang melalui rancangan diallel.
Data yang dikumpulkan meliputi tinggi, luas daun pada umur 15 dan 30 hari
setelah tanam, produksi dan karakter buah pada saat panen.
Analisis pembandingan antar galur dilakukan dengan analisis sidik ragam,
dan dilanjutkan melalui perbandingan kontras.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan tanaman melon secara keseluruhan terlihat normal, berbunga
pada umur antara 29 s/d 30 hari setelah tanam dan panen pada umur 70 hari
setelah tanam. Dalam usahatani melon panen pada umur 70 HST telah
menunjukkan pertumbuhan yang optimal, artinya gangguan hama dan penyakit
tidak berpengaruh pada pertanaman.
Rata-rata berat buah varietas 001 (2.21 kg) (Tabel 1) tidak berbeda dibanding
varietas 007 (2.24 kg) dan 008 (2.29 kg) sebagai pembanding, Varietas 002 (1.80 kg)
dan 003 (1.92 kg) mempunyai buah lebih kecil dibanding 001, 007 dan 008. Rata-rata
panjang buah semua varietas yang diuji tidak berbeda, sedang karakter diameter
buah terdapat perbedaan, tetapi diameter varietas 001, 002 tidak berbeda dibanding
007 dan 008, begitu pula untuk karakter tebal daging 001 (5.57 cm) tidak berbeda
dengan tebal buah daging varietas 007 (5.49 cm) dan 008 (5.46 cm)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
278
Tabel 1. Rata-rata umur tananam berbunga, panen dan ukuran buah persilangan 3
galur melon saat panen
Kode
Varietas
Umur tanaman (hari) Ukuran buah
Berbunga
(HST)
Panen
(HST) Berat (kg) Panjang (cm) Diameter (cm)
P1 x P1 29.7 cd 70 a 2.29 a 17.48 a 14.79 ab
P1x P2 29.3 d 70 a 2.11 a 17.18 a 14.45 abc
P1 x P3 30.0 bc 70 a 2.14 a 16.52 a 14.24 bc
P2 x P1 30.0 bc 70 a 2.27 a 17.38 a 13.67 c
P2 x P2 29.7 cd 70 a 1.91 b 16.76 a 15.09 a
P2 x P3 29.7 cd 70 a 1.80 b 16.84 a 14.66 ab
P3 x P1 30.7 a 70 a 1.70 b 17.28 a 15.09 a
P3 x P2 30.3 ab 70 a 1.92 b 16.67 a 15.22 a
P3 x P3 30.3 ab 70 a 1.74 b 16.62 a 15.12 a
Bnt 5 % 0.62 0.16 0.21 1.98 0.80
KK (%) 1.48 3.13 7.34 8.25 3.39
Keterangan: Angka – angka yang diiukuti huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
Unji Bnt 5%. HST: Hari setelah tanam
Persentase bagian buah yang bisa dimakan antara varietas 001 dan 002
masing-masing (80.17%) tidak berbeda dengan varietas 007 (79.82%) (Tabel 2).
Kadar gula yang ditentukan dengan Refraktometer antara varietas 001 (13.58 Brix)
dan 002 (13.3 Brix) tidak berbeda dibanding 007 (12.88 Brix) dan 008 (12.92 Brix).
Kondisi buah melon dengan Brix 12 atau lebih telah masuk pada standart buah
supermarked. (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata kadar gula, prosentase buah bisa dimakan dan daya simpan
kemurnian persilangan 3 galur melon.
Varietas
Buah bisa
dimakan
(%)
Kadar gula
(Brix)
Daya
simpan
(hari)
Tipe menyimpang
(%)
P1 x P1 80.17 cd 13.58 a 12.00 a 0.37 a
P1x P2 80.17 bc 13.35 ab 11.23 b 0.37 a
P1 x P3 81.34 ab 13.27 ab 10.67 c 0.37 a
P2 x P1 81.74 a 12.43 b 9.08 d 0.75 ab
P2 x P2 79.50 de 13.07 ab 11.33 b 0.20 a
P2 x P3 78.74 e 12.56 b 11.33 b 17.62 b
P3 x P1 79.82 cd 12.88 ab 11.37 b 0.12 a
P3 x P2 78.92 e 12.92 ab 11.33 b 0.25 a
P3 x P3 78.80 cd 12.89 ab 11.34 b 0.22 a
Bnt 5 % 0.95 0.97 0.22 0.56
KK (%) 5.00 5.00 1.10 2.32 Keterangan : Angka – angka yang diiukuti huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
Unji Bnt 5%.
Pewarisan jala (net) kulit buah memperlihatkan bahwa keturunan P1 dengan
jala jarang sebagai induk betina bila disilangkan dengan pejantan yang mempunyai
net lebih rapat, jala pada keturunannya mengalami kenaikan menjadi lebih rapat
(Tabel 3). Sebaliknya bila induk melon mempunyai jala rapat sebagai induk betina
disilangkan dengan induk jantan yang mempunyai jala lebih jarang maka kerapatan
jala keturunannya akan berkurang.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
279
Dalam hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pewarisan jala pada buah melon
sangat dipengaruhi oleh induk jantan, dengan demikian pada program pemuliaan
untuk memenuhi kebutuhan melon berjala rapat harus memiliki galur yang berjala
sempurna yaitu rapat dan tebal.
Tabel 3. Rata-rata ranking jala, berat buah dan tebal daging hasil persilangan 3
induk galur melon Kode varietas Rangking jala Berat buah (kg) Tebal daging (cm)
P1 x P1 1.53 2.29 a 5.02 a
P1x P2 3.07 2.11 a 4.73 ab
P1 x P3 2.13 2.14 a 4.79 ab
P2 x P1 2.8 2.27 a 4.74 ab
P2 x P2 3.07 1.91 b 4.63 b
P2 x P3 2.27 1.80 b 4.37 c
P3 x P1 2.28 1.70 b 4.23 c
P3 x P2 2.8 1.92 b 4.68 b
P3 x P3 1.53 1.74 b 4.67 b
Keterangan: rangking jala 1= 1-20%; 2= >20 - 40; 3 = >40 – 60; 4 = >60 – 80; 5 = >80%
Gambaran pewarisan besar buah, tampaknya sangat ditentukan oleh besar
buah induk betina, sebab apabila induk betina buahnya besar (P1) yang disilangkan
dengan pejantan buah lebih kecil (P2 dan P3) keturunannya mempunyai buah
berukuran lebih besar dari induk pejantan (P1 x P2 dan P1 x P3). Pewarisan besar
buah tersebut tidak sepenuhnya dominan, tetapi tampaknya adaptif, karena apabila
pejantan mempunyai ukuran lebih besar dari induk betina, ukuran buah
keturunannya dapat lebih besar atau lebih kecil dibanding induk betinanya.
Pewarisan ketebalan daging buah tidak begitu jelas, karena tebal daging buah
induk dan keturunannya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok atau
nyata, kecuali untuk induk P1 bahwa tebal daging keturunannya lebih tipis dari
induknya.
Gambaran pewarisan warna kulit buah tidak tampak jelas, karena dari ketiga
induk mempunyai sifat bahwa kulitnya akan berubah menjadi kuning atau dapat
mengalami kematangan bila sudah masak. Pada melon memang ada dua tipe yaitu
melon yang dapat mengalami kematangan (klimaterik) seperti melon Action dan Sky
Rocked, tetapi ada pula yang tidak dapat mengalami pematangan setelah dipetik
(non klimaterik) seperti Rock melon sehingga pemetikannya harus sudah betul-betul
tua. Masing-masing tipe mempunyai karakteristik tersendiri dan menentukan
bagaimana budidayanya. Untuk jenis klimaterik bila terjadi gagal panen masih bisa
matang dengan perlakuan tertentu, misalnya diperlakukan dengan Etrel dll, sedang
pada jenis non klimaterik bila terjadi gagal panen maka sulit pemasarannya karena
walau dietrel tidak akan dapat merubah penampilan maupun rasa.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
280
Tabel 4. Karakteristik buah hasil persilangan diallel 3 galur melon
Kode varietas Warna kulit Warna daging
0001 Hijau Oranye
0002 Hijau Oranye
0003 Kuning Oranye
0004 Hijau Oranye
0005 Kuning Putih
0006 Kuning Putih kekuningan
0007 Hijau Oranye
0008 Kuning Putih
0009 Hijau kuning Hijau kuning
Pewarisan warna daging buah terlihat jelas buah berdaging oranye bila
disilangkan baik sebagai induk betina atau jantan maka keturunannya akan
berdaging oranye. Pewarisan warna daging buah tersebut belum diketahui secara
pasti apakah secara dominan atau karena sifat epistasis. Perbedaannya adalah,
pada pewarisan dominan suatu saat bisa tidak dapat terlihat pengaruhnya karena
efeknya hanya pada satu allel, sedang pada pewarisan secara epistasis adalah warna
merah akan selalu menutupi warna lain walaupun sifat yang lain tersebut dominan
atau resesif.
Hasil adaptasi menunjukkan bahwa calon varietas dapat beradaptasi dengan
baik dan dapat bersaing dengan varietas yang telah beredar dipasaran.
KESIMPULAN
Hasil-hasil kajian memberikan gambaran yang dapat disimpulkan sebagai
berikut.
Pewarisan jala buah melon ditentukan oleh induk jantan
Pewarisan warna daging oranye dominan
Adaptasi masing-masing persilangan cukup baik
PRAKIRAAN DAMPAK
Hasil-hasil pengkajian pewarisan karakteristik buah berdampak pada para
pemulia agar dengan mudah merakit varietas baru sesuai dengan keinginan pasar.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
281
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2000. Renstra dan Kebijakan Pembangunan Daerah Jawa Timur Th
2001-2003.
Anonimous. 2000. Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Timur.
Camacho-Bustos, S. 1987. Managing Fruit-tree Nurseries. International Agricultural
Development Service 6 p.
Departemen Pertanian, 2001. Undang-undang RI Nomer 29 tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman.
Hadi S., dan Baran, W. 1995. Keterkaitan dunia pendidikan tinggi dengan industri
perbenihan dalam penyediaan pangan nasional. Prosidin Seminar Sehari
Perbenihan menghadapi Tantangan Pertanian Abad XXI. Keluarga benih Vol
VI (1): 25-34
Hardiyanto. 1988. Plasma Nutfah dan Pemanfaatannya dalam Pembentukan Kebun
Bibit Dasar dan Bibit Induk buah-buahan. Paper disajikan pada kursus
teknik pembibitan dan pengelolaan pembibitan buah-buahan tanggal 4-11
April 1988. Sub Balithorti Tlekung. Malang 16 p.
Kuswanto, H., 1994. Produksi dan distribusi benih. Forum komunikasi dan antar
peminat dan ahli benih. Balitas, Malang.
Lippert, L.F., and P.D. Legg. 1972a. Appearance and quality charactters in musk
melon fruit evaluated a ten cultivar diallel cross. J. Amer. Soc. Hortic. Sci.
97:84-87.
Lippert, L.F., and P.D. Legg. 1972b. Diallel analysis for yield and maturity
characeristik in muskmelon cultivars.J. Amer. Soc. Hortic. Sci. 104:100-101.
Nandpuri, K.S., S. Singh, and T.Lal. 1974. Study on the comparattive performance of
FI hybrids and their parents in muskmelon. Punjab Agric. Univ.J. Res. 11:230-
238.
Pearson, O.H.1983. Heterosis in Vegetables Crops. In: Frankel, R. (ed). Heterosis:
Reappraisal of Theory and Practice. Pp. 138-188. Monographs on Theorical
and Aplied Genetics 6. Springer-Verlag, Berlin-Heidelberg-New York-Tokyo.
Purnomo, S. 1988. Varietas Buah-buahan: Potensi dan Prospeknya. Rapat
Pemantapan Penelitian Buah-buahan. Dalam Repelita V. Sub Balai
Penelitian Hortikultura Malang.
Rismunandar. 1986. Mengenal tanaman buah-buahan . Sinar Baru. Bandung. 109 hal
Scoot. M.A. 1987. Management of hard nursery stock plant to achive high yields of
quality cuttings. Hort. Science. 22(5):738-741.
Steward, B. 1990. Evaluasi Pelaksanaan Program Kebun Bibit Desa. Proyek
Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah DAS Brantas Jawa Timur. 87
hal.
Wijaya, M. Reza dan E. Tuherkih. 1994. Pengelolaan pembibitan tanaman buah.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Winarno, M. 1990. Teknik perbanyakan cepat buah-buahan tropik.Puslitbang
Hortikultura, Jakarta
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
282
PENGEMBANGAN MODEL USAHATANI KONSERVASI
POLA STRIP CROPPING TANAMAN KENTANG SECARA PARTISIPATIF
DI LAHAN KERING DATARAN TINGGI.
Muchamad Soleh*) , Zaenal Arifin*), dan Gamal Pratomo*)
ABSTRAK
Perbaikan budidaya tanaman kentang di lahan kering dataran tinggi dengan
penanaman pada guludan miring 45o diantara pertanaman lorong (strip cropping)
rumput Setaria , serta penggunaan pupuk organik (bokasi) merupakan teknologi
yang murah dan sangat efektif mengendalikan erosi, serta mampu meningkatkan
produksi. Namun dalam pengembangannya sangat perlu didukung oleh partisipasi
petani (kelompok tani). Tujuan pengkajian mengembangkan usahatani kentang
yang efektif dan efisien melalui model usahatani konservasi pola strip Cropping.
Mendapatkan alternatif model kelembagaan petani dalam mendukung pengelolaan
tanaman kentang. Lokasi Desa Argosari (2000 m dpl), Senduro, Lumajang.
Teknologi yang di uji banding adalah teknologi usahatani konservasi kesepakatan,
dengan teknologi petani. Pembinaan kelompok tani “Argo Tani” secara intensif
(kesadaran berkelompok, dan penguatan kelompok). Waktu 2004. Teknologi
(kesepakatan) varietas Granola Australi, pemupukan (200 kg Urea + 300 kg ZA +
200 kg SP36 + 200 kg KCl) per ha, dan bokasi 5 t/ha, ditanam pada guludan miring
450 disertai strip tanaman setaria dengan jarak 5 m setiap panjang lereng ternyata
memberikan hasil lebih tinggi 24,04% daripada teknologi petani pada umur panen
81 HST. Produk yang tinggi tersebut didukung oleh lebih banyaknya umbi besar
yang mencapai 75,81%. R/C rasio penggunaan teknologi kesepakatan mencapai
1,89%, sedangkan R/C rasio teknologi pembanding (petani) mencapai 1,33%.
Sehingga teknologi ini efektif dan efisien untuk usahatani kentang di lahan kering
dataran tinggi .Model kelompok tani yang tepat belum dapat ditetapkan sebab
kelompok tani yang ada masih dalam tahap pembinaan awal. Sudah muncul
kesadaran berkelompok untuk menyelesaikan keperluan bersama utamanya dalam
masalah pertanian. Dari bagi hasil yang ada kelompok mempunyai modal dana
sebesar Rp. 2.400.000 dan umbi bibit sebanyak 600 kg yang akan dipakai sebagai
modal awal. Model kelompok partisipatif mempunyai peluang untuk dikembangkan
mengingat lokasi yang cukup terpencil sehingga mereka butuh kerjasama yang erat..
Informasi yang disampaikan pada temu lapang cukup efektif namun masih
diperlukan pengembangan informasi seperti demoplot dan pelatihan.l
Kata kunci: Konservasi, kentang, kelompok tani, lahan kering dataran tinggi.
ABSTRACT
Improvement on the culture technique of potato in 45˚ sloopy – high land,
using strip cropping pattern with Setaria, and the use of manure, proved to be
effective to control erosion, and also increase production. But, in the further
development, it is need to be supported by farmers’ group.
_________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
283
The aim of an effective and efficient farming sytem of potato could be done through
conservation system strip cropping pattern, and to obtain an alternative model on
farmer’s group. Assessment was conducted at Argosari village ( ± 9000 m above sea
level ), Senduro, Lumajang. As comparation, agreed technology and farmers’ method.
Supervising farmers’ group intensively ( how to build and empowering farmers’ group
). Agreed technology consisted of the use of Granola Australia Var, fertilization ( 200
kg of Urea + 300 kg of ZA + 200 kg of SP-36 + 200 kg KCl ) / Ha, bokashi (
decomposed manure ) 5 t/Ha, grown at 45º of sloopy area ; using Setaria as strip crop
of every 5 m of sloopy length, proved to give higher yield by 24,04 % compared to
farmers technology, at 81 days after planting, performed by more or less ( 75,81 % ) of
big bulbs. R/C ratio of agreed technology reached 1,89 %, while farmers’ method 1,33
%. So that, this technology proved to be effective and efficient in farming system of
potato in upland region. The best farmers’ group performance was difficult to
determined, as it still in initiation stage, farmers’ group obtained seed capital Rp
2.400.000 and 600 kg of tuber seeds. Participation of farmers’ group proved to be
furtherly developed, as their spread of location. And furtherly, during field day,
farmers still need a demoplot and training.
Keywords : Konservation, potato, farmers, group, dryhigh land.
PENDAHULUAN
Dewasa ini kentang tidak saja dianggap sebagai tanaman sayuran, namun
telah merupakan bahan pangan yang penting (Abidin, Z.,dkk, 1991). Di daerah
tropis tanaman kentang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran
tinggi pada elevasi diatas 1000 m dpl (Knott, J.E. and J.R. Deanon. 1967; Sahat, J.
1994), seperti misalnya desa Argosari, Kec. Senduro, Lumajang yang berada pada
ketinggian <1300 m dpl. Desa ini memiliki potensi yang besar untuk pengembangan
tanaman kentang. dimana: (1). Agroekologi (iklim, tanah) medukung (2). Petani
telah berpengalaman menanam kentang (3). Motivasi petani dan respon aparat
tinggi, (4) Memiliki lahan pekarangan/pemukiman seluas 229,00 ha, tegal 791,00 ha,
petani 785 orang dan buruh tani 483 (Saraswati, D.P. dkk, 2000; Anonim, 2001).
Rata-rata produktivitas kentang di kawasan ini masih rendah yaitu antara 7
t/ha s/d 9 t/ha. Disamping produksinya rendah kualitasnyapun kalah bersaing
dengan produk kentang dari daerah lain. Beberapa faktor penyebabnya adalah
petani Argosari banyak mengusahakan tanaman kentang pada kelerengan 15% s/d
30%, tanpa mengindahkan kaidah koservasi tanah dan air yaitu berupa penanaman
kentang pada guludan searah lereng. Kondisi demikian memperparah terjadinya
erosi (Erfandi, D., dkk. 1992; Haryati, U., dkk 1999), dampak lanjutnya terjadi
pengurasan unsur hara serta penurunan tingkat produktifitas tanah (Pakpahan
dkk., 1992), kondisi ini telah terjadi di kawasan Argosari. Hal tersebut tampak dari
hasil analisa tanah, dimana harkat C organik, N, P, dan K dalam posisisi sangat
rendah/kurang (Soleh, dkk, 2003). Disisi lain kelompok tani yang ada kurang
mendukung kegiatan usahatani. Kegiatan pertanian umumnya diselesaikan secara
individu, kelompok lebih bersifat sosial.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas tanaman kentang di kawasan
desa Argosari telah tersedia rakitan teknologi hasil pengkajian selama dua tahun
oleh BPTP Jawa Timur didesa ini berupa (1) Model usahatani konservasi pola strip
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
284
kroping untuk tanaman kentang dimana tanaman kentang ditanam pada guludan
miring 45o dan setiap 5 m jarak lereng diberi tanaman rerumputan sebagai strip,
ternyata mampu menekan erosi sampai 40% dan kenaikan produksi kentang sebesar
30% dibandingkan tanaman kentang yang ditanam dengan cara guludan searah
lereng. (2). Penggunaan pupuk rasional berdasarkan hasil analisa tanah dan
kebutuhan tanaman. (3) penggunaan pupuk organik berupa bokasi yang lebih efektif
dan efisien untuk daerah dataran tinggi. (4) Penggunaan bibit yang berkualitas..
Pengembangan budidaya tanaman sayuran di lahan kering dataran tinggi
khusus di kawasan Argosari dengan penanaman kentang pada guludan miring 45o
diantara pertanaman strip seperti rumput Setaria serta penggunaan pupuk organik
merupakan teknologi yang murah dan sangat efektif mengendalikan erosi, mampu
meningkatkan produksi dan bila didukung oleh kelompok tani yang kuat akan mampu
meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan..
TUJUAN
1. Mengembangkan usahatani kentang yang efektif dan efisien melalui model
usahatani konservasi pola strip Cropping.
2. Mendapatkan alternatif model kelembagaan petani dalam pengelolaan tanaman
kentang.
3. Mengkomunikasikan hasil penelitian/pengkajian.
BAHAN DAN METODA
Waktu dan tempat.
Pengembangan Model Usahatani Konservasi Pola Strip Cropping tanaman
kentang secara Partisipatif di Lahan Kering Dataran Tinggi dilaksanakan pada 2004,
di desa Argosari, Kec. Senduro, Kab. Lumajang. Pada tahap awal ini pengembangan
dipusatkan di dukuh krajan (2000 m dpl)
Masukan teknologi Pengembangan Model Usahatani Konservasi Pola Strip
Cropping tanaman kentang secara Partisipatif di Lahan Kering Dataran Tinggi
disampaikan pada Tabel 2. Rakitan teknologi ini merupakan hasil kesepakatan antara
peneliti (top down) dan para petani kentang (bottom up) sebagai petani kooperator
yang akan melaksanakan kegiatan di lapang.
Tabel 1. Rakitan teknologi pengembangan
Uraian Pilihan komponen teknologi
Varietas Granula Australia terpilih dalam kesepakatan.
Bibit G4.
Arah guludan Miring 450
Strip croping Rumput Setaria (kesepakatan). Diterapkan untuk setiap 5 m s/d 10 m
panjang lereng.
Pupuk (200 kg Urea + 300 Kg Za + 200 Kg SP36 + 200 Kg KCl) per ha.
Arak tanam Antara bibit 25 Cm. Antar gulud 70 Cm (kesepakatan)
Bokasi 5 t/ha setara 1 kg/ 5 m panjang gulud.
Sebagai pembanding dilaksauakan pula penanaman dengan teknologi budidaya
petani seperti pada tabel 3 berikut.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
285
Tabel 2. Rakitan teknologi petani
Uraian Pilihan komponen teknologi
Varietas Lokal (HK)
Bibit Tak terdeteksi
Arah guludan Searah lereng .
Strip croping Tanpa strip tanaman
Pupuk (200 Kg Za + 300 kg NPK) per ha.
Arak tanam Antara bibit 25 Cm. Antar gulud 70 Cm (kesepakatan)
Bokasi 1 t/ha setara 0,2 kg/ 5 m panjang guludan.
Guludan pada teknologi konservasi pola strip cropping dan guludan pada
teknologi tanam searah lereng disampaikan pada Gambar 1a, dan Gambar 1b
berikut.
SRIP CROPPING
ARAH GULUDAN
ARAH GULUDAN
STRIP CROPPING
ARAH GULUDAN
STRIP CROPPING
Gb 2 a Gb 2 b
Gambar 2 a : Guludan pada teknologi konservasi pola strip cropping.
Gambar 2 b : Guludan pada teknologi tanam searah lereng.
Dalam pengembangan ini terlibat 17 petani kooperator, dimana setiap petani
melaksanakan aplikasi teknologi kesepakatan dan teknologi petani sendiri. Setiap
petani kooperator dianggap ulangan.
Pengumpulan data melalui “farm record keeping” pada seluruh
responden/petani kooperator, meliputi:
1. Produktivitas usahatani.
2. Penggunaan sarana produksi dan tenaga kerja.
3. Aspek permodalan dan pemasaran hasil.
4. Biaya produksi, penerimaan dan pendapatan.
Data pertumbuhan dan produksi dianalisis dengan nilai peningkatan
produktivitas melalui T test pada tingkat kepercayaan 95%. Juga dilakukan
perhitungan dan keuntungan bersih.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
286
Prosedur pelaksanaan .
a. Pada tahap awal dilakukan apresiasi dan sosialisasi hasil hasil pengkajian
yang dilakukan di desa Argosari 2 th sebelumnya.
b. Penetapan petani kooperator, lokasi pengkajian dan hamparan. Hamparan
yang dipilih memenuhi kriteria kemiringan 20 sampai 30 %. Petani kooperator
adalah anggota kelompok.
c. Penentuan paket teknologi. Paket teknologi bersifat spesifik lokasi meliputi
pilihan varietas, Arah guludan pupuk organik, pupuk anorganik. Teknologi
yang diterapkan / dikembangkan berdasarkan kesepakatan anggota kelompok
tani dengan peneliti bottom up” dan “top down”.
d. Pelaksanaan Lapang dan pengumpulan data. Pelaksanaan pengkajian
dilapang dilakukan oleh petani yang dibimbing dan dikawal oleh
peneliti/penyuluh/teknisi/PPL, dan aparat terkait yang diketuai oleh peneliti.
e. Temu lapang. Untuk penyebaran informasi dilaksanakan temu lapang pada
saat setelah panen dan data terkumpul.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Profil Desa Argosari.
Desa Argosari berada pada sebelah selatan lereng G. Bromo dan sebelah
tenggara lereng G. Semeru. Terdiri dari 5 pedukuhan, yaitu (1) dukuh Argosari 1800
m s/d 2200 m dpl sebagai dukuh krajan, (2) dukuh Pusung Duwur 1800 m s/d 2000
m dpl, (3) dukuh Bakalan 1500 m dpl s/d 1700 m dpl (4) dukuh Gedog 1500 m s/d
1800 m dpl, dan (5) dukuh Penampungan 1200 m s/d 1500 m dpl. Dari hasil
beberapa kali diskusi bersama dalam sosialisasi dan apresiasi hasil pengkajian th
2002 dan th 2003 bersama Dinas, aparat setempat dan kelompok tani telah
ditetapkan bahwa untuk pusat pengembangan teknologi usahatani konservasi pola
strip cropping tanman kentang – pakan ternak ini diawali dari dukuh krajan Desa
Argosari yaitu dukuh Argosari, dimana terdapat kelompok tani “Argo Tani”
Luas wilayah desa Desa Argosari 91, 8405 km2. Antara dukuh telah
dihubungkan dengan jalan batu sepanjang 5,0 km dan jalan tanah sepanjang 2,0
km. Topografi berbukit bergelombang dengan tingkat kelerengan antara 15% s/d
45%. Jarak desa dengan ibukota kecamatan 20 km telah dihubungkan dengan jalan
beraspal.
Pola tanam yang dominan dikawasan desa ini adalah tanaman kentang, kobis
dan bawang daun ditanam pada mulai awal musim penghujan (September-
Oktober). Rata rata tanaman bawang daun ditanam tumpang sari dengan kentang
maupun kobis. Setelah kentang dan kobis dipanen (Januari) bawang daun masih
tetap dibiarkan tumbuh sampai saatnya dipanen. Selanjutnya pada bulan Februari
s/d Mei kentang dan kobis ditanam pada lokasi lain bukan di tempat tanaman yang
sama.. Sedangkan pada musim kemarau masih terdapat penanaman kentang dan
kobis ditambah Jagung, namun luasnya sudah berkurang. Pilihan penanaman
kentang, maupun kobis tergantung modal yang ada. Lima tahun yang lalu kawasan
Argosari krajan merupakan pusat produksi bawang putih (Petani Argosari, 2004)
namun sekarang hanya beberapa petani yang menanam.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
287
Secara umum hampir semua komoditas produksinya rendah. Beberapa hal
penyebab adalah rendahnya tingkat kesuburan tanah, meskipun sebenarnya tanah
tanah jenis Andosol dan Latosol dengan solum tebal yang mendominasi kawasan ini
asalnya adalah tanah yang subur. Gambaran tingkat kesuburan tanah disampaikan
pada Tabel 4 sebagai hasil analisa contoh tanah dukuh Argosari.
Tabel 3. Hasil analisis tanah lokasi pengembangan di dukuh Argosari, desa
Argosari, Senduro, Lumajang . 2004
Analisis tanah Kandungan Tekstur
Tekstur (%) :
Pasir
Debu
Liat
Klas tekstur
46
48
6
-
Lempung berpasir
Harkat
C-Organik (%) 1,73 Rendah
N-Total (%) 0,28 Rendah
C/N 11 Sedang
P-Olsen (mg.100g-1) 12,45 Kurang (untuk kentang)
K (me/100g) 0,66 Kurang
Sumber: BPTP Jawa Timur 2004.
Pertumbuhan dan produksi tanaman.
Pertumbuhan tanaman.
Secara umum pertumbuhan tanaman kentang di 17 petani kooperator
tumbuh cukup baik/normal. Namun ada 3 petani yang tanamannya tumbuh
dibawah rata rata dan ternyata kondisi tanaman yang demikian itu diikuti oleh
produksi yang rendah. Serangan penyakit busuk daun yang umumnya menyerang
pada musim penghujan dapat ditanggulangi dengan baik, meskipun begitu masih
terdapat serangan busuk daun dan layu bakteri kurang 4%.
Dari faktor pertumbuhan yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, dan lebar
tajuk tanaman kentang teknologi partisipatif dan teknologi petani senduro,
lumajang MH 2004, pada saat tanaman Granula Australi berumur 60 hari setelah
tanam (Tabel 6) berikut.
Tabel 4 Rata rata tinggi tanaman, jumlah cabang, lebar tajuk dan persentase
serangan busuk daun dan bakteri layu pada tanaman kentang teknologi
kesepakatan dan teknologi petani saat tanaman Granula umur 70 HSE,
Senduro, Lumajang 2004
Teknologi
Tinggi
tanaman.
(cm)
Jumlah
cabang
(batang)
Lebar
tajuk
(cm)
Serangan
Busuk daun
(%)
Serangan layu
bakteri (%)
Partisipatif 40,06 b 2,64 a 68,38 a 2,74 a 1,89 a
Petani 38,55 b 2,66 a 68, 18 a 2,58 a 1,70 a
Angka yang didampingi huruf yang sama selajur tidak berbeda nyata pada uji T test (0,05)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
288
Panen kentang Granola Australia yang ditanam pada teknologi kesepakatan
dan kentang HK dilaksanakan bersamaan yaitu pada saat Granola Aus. berumur
antara 81 hari setelah tanam dan varietas HK yang ditanam dengan teknologi
petani berumur 110 hari setelah tanam. Hal ini terjadi karena memang varietas HK
ditanam 30 hari lebih awal dari penanaman varietas Granula.
Melalui ubinan (4 m x 5 m ), hasil umbi yang diperoleh dipilah menjadi 3 klas
yaitu: (1). umbi kecil ukuran < 30 gr per umbi disebut klas C, (2) umbi sedang
ukuran antara 30 s/d 60 gr per umbi disebut klas B dan (3) umbi besar ukuran > 60
gr per umbi klas A. Dari hasil ubinan tersebut disamping dihitung bobot per klas
juga dihitung jumlah dan persentasenya. Untuk bobot dan persentase bobot hasil
kentang umbi besar, sedang dan kecil disampaikan pada Tabel 7, sedangkan jumlah
umbi beserta persentasenya menurut klas besar umbi disampaikan pada Tabel 8
berikut.
Tabel 5. Bobot dan persentase hasil kentang Besar, Sedang, dan Kecil, Argosari,
Senduro Lumajang, 2004
Teknologi
Hasil bobot umbi berdasarkan klas
Total
Umbi besar
(> 60 gr)
per umbi
Klas A
(t/ha)
Umbi sedang
(30 gr s/d 60 gr)
per umbi
Klas B
(t/ha)
Umbi kecil
(< 30 gr
per umbi
Klas C
(t/ha)
Partisipatif 11,81 b
(75,81 %)
2,43 a
(16,02%)
1,24 a
(8,17 %)
15,17 b
Petani 8.82 a
(72,11%)
2,25 a
(18,39%)
1,16 a
(9,48 %)
12,23 a
Selang
produksi
33,90% 8,9 % 6,90% 24,04%
Angka yang didampingi huruf yang sama selajur tidak berbeda nyata pada uji T test (0,05)
Tabel 8. Jumlah dan persentase jumlah hasil kentang umbi besar, sedang dan kecil
Argosari, Senduro, Lumajang 2004
Teknologi
Hasil jumlah umbi berdasarkan klas per plot
ubinan (4m x 5 m)
Total Umbi besar
(> 60 gr)
per umbi
(umbi)
Umbi sedang
(30 gr s/d 60 gr)
per umbi
(umbi)
Umbi kecil
(< 30 gr
per umbi
(umbi)
Partisipatif 189,00 b
(47,00%)
94,00 a
(24,54%)
109,00 a
((24,86%)
393,00 b
Petani 151,00 a
(43,774)
88,99 a
(25,51%)
106,00 a
(30,72%)
345,00 a
19,86% 6,81% 2,83%
Angka yang didampingi huruf yang sama selajur tidak berbeda nyata pada uji T test (0,05)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
289
Setelah dihitung berbagai biaya dan dianalisa R/C rasionya ternyata
penggunaan teknologi konservasi pola strip cropping untuk tanaman kentang dan
pakan ternak ternyata pola ini memberikan R/C rasio lebih tinggi daripada pola
petani.Hasil perhitungan dan analisa usahatani dua model tersebut disampaikan
pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Analisis usahatani kentang teknologi partisipatif dan teknologi petani MH
2004, Argosari, Senduro-Lumajang,2004
Kegiatan Teknologi petani Teknologi Partisipatif
Biaya produksi. (Rp/ha) 9.891.735,- 10.955.445
Hasil kentang klas A + B (kg/ha) (8820 +2250) 1181 +2430)
Pendapatan (Rp/ha) 12.366.000,- 20.211.000.-
R/C rasio 1,33 1,89
Temu lapamg.
Informasi pengembangan teknologi usahatani konservasi pola strip cropping
ini disampaikan kepada petani lain melalui temu lapang. Dari hasil diskusi dalam
temu lapang dapat ditarik umpan balik sebagai berikut:
1. Teknologi usahatani konservasi pola strip cropping tanaman kentang dan
tanaman pakan ternak cukup direspon oleh petani sebab mampu memberikan
hasil umbi yang lebih dari teknologi konvensional yang dilakukan petani.
2. Varietas Granola Australia menunjukkan kelebihannya, yaitu umur panen
cukup pendek (80 HST) dengan hasil cukup bagus, sedangkan diketahui untuk
varietas HK pada umur 80 HST belum menghasilkan umbi yang besar.
3. Kanopi granola Australia relatif tidak terlalu lebat sehingga memungkinkan
tumpangsari dengan bawang daun yang juga ditanam pada awal musim
penghujan, apalagi umurnya pendek yang sangat memungkinkan
pertumbuhan bawang daun mencapai optimal.
4. Untuk penguatan kelompok dalam hal modal sangat diharapkan masuknya
Lembaga Keuangan dalam kelompok.
PEMBAHASAN
Pertumbuhan tanaman dan produksi.
Tinggi tanaman, jumlah cabang, dan lebar tajuk kentang HK maupun
Granula Australia pada saat tanaman Granula Australia berumur 70 HST tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata (Tabel 6).Padahal kedua varietas tersebut
memiliki umur yang berbeda yaitu Granula Australia berumur 70 HST sedang HK
berumur 100 hari karena memang tanaman HK pada teknologi petani ditanam 30
hari lebih dahulu. Dengan tidak berbedanya pertumbuhan tanaman tersebut
memperlihatkan. Bahwa Granula Australia memilikit kecepatan tumbuh yang lebih
dari HK, ini berarti Granula Australia lebih efektif pertumbuhannya hal ini diduga
teknologi yang diterapkan untuk Granula Australia (teknologi kesepakatan) lebih
efektif dari teknologi petani termasuk penggunaan varietas baru. Ada yang menarik
dari pertumbuhan kedua varietas ini. Meskipun dari 3 komponen pertumbuhan
tersebut tidak berbeda namun penampilan pertumbuhan varietas HK tampak lebih
rimbun. Dari pengamatan marpologis tanaman terlihat bahwa daun kentang HK
lebih lebar dan lebih tebal, serta jumlah daun per rumpun lebih banyak
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
290
dibandingkan dengan varietas Granola Aus. Dedaunan varietas Granola Aus. tidak
terlalu lebar, dan ramping. Dengan kanopi yang tidak rimbun tersebut memberi peluang
penetrasi cahaya matahri lebih merata ke lembar lembar dedaunan, sehingga
fotosintesis dapat lebih optimal. Optimalnya pertumbuhan yang disertai optimalnya
fotosintesis ternyata diikuti oleh produksi umbi yang optimal pula.
Hal ini tampak bakwa produksi umbi kentang pada teknologi kesepakatan lebih
tinggi 24,04% daripada teknologi petani (Tabel 7). Ada hal yang sangat menarik dari
hasil yang diperoleh dalam penerapan teknologi partisipatif ini yaitu, dengan umur
panen hanya antara 81 s/d 85 HST ternyata hasil umbi besar cukup dominan yaitu
mencapai 75,81%, hal ini tidak mungkin dicapai oleh varietas HK pada umur yang
sama. Dari pengalaman petani Varietas HK pada umur 80 s/d 90 HST belum
menghasilkan umbi yang layak dipanen. Rata rata umur HK minimum dipanen pada
umur 120 HST, bahkan untuk mencapai hasil maksimal tidak jarang dipanen pada
umur 150 HST. Dari persentase umbi besar yang dicapai oleh Granola Aus. banyak
ditemui umbi yang memiliki bobot lebih 100 gr per umbi (Klas A+). Diperolehnya hasil
umbi besar yang demikian ini di duga disebabkan oleh guludan miring mampu
memberikan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman termasuk
perkembangan umbi. Dibandingkan dengan penanaman pada guludan searah lereng,
dengan guludan yang miring tidak terjadi aliran air permukaan yang deras, sehingga
tidak terjadi erosi yang berlebihan sehingga berbagai unsur hara yang disediakan
melalui pemupukan juga tidak hilang, atau terkumpul dibagian terendah dari guludan
bila guludannya searah lereng. Dengan guludan miring juga tidak terjadi genangan air
diantara guludan seperti bila dipergunakan guludan sabuk gunung. Dengan tidak
tergenangnya air diantara guludan maka oksigen dalam tanah yang sangat diperlukan
oleh akar untuk sistem penyerapan unsur hara menjadi cukup tersedia. Dengan cukup
tersedianya unsur hara, oksigen serta kelembaban disekitar perakaranmaka
penyerapan unsur hara menjadi optimal (Soepardi,1983), maka proses pembentukan
umbi menjadi maksimal (Knott, J.E. and J.R. Deanon. 1967), ditambah keadaan
pertumbuhan tanaman cukup sehat karena serangan OPT rendah. Kondisi ini
merupakan faktor pendukung mengapa pada umur relatif muda yaitu 80 HST varietas
Granola Aus. telah memiliki hasil umbi yang besar besar. Dari hasil yang ada, tampak
bahwa teknologi kesepakatan berupa model Usahatani konservasi pola strip cropping
untuk tanaman kentang dan pakan ternak cukup menarik bagi petani kooperator
bahkan juga petani kentang yang lain. Apalagi setelah informasi pemberian pupuk
antara teknologi partisipatif dan teknologi petani disampaikan pada mereka, dimana
ternyata penggunaan pupuk oleh petani sebesar (200 kg Urea + 200 kg ZA + 100 kg SP
36 + 300 NPK per ha) lebih mahal dari penggunaan pupuk pada teknologi partisipatif
yaitu (200 kg Urea + 300 kg ZA + 200 kg SP36 + 200 kg KCl) per ha. Disisi lain diperoleh
manfaat lain dari tanaman setaria yang ditanam sebagai strip tanaman dalam sistim
ini. Disamping rumputnya mampu menahan erosi lebih parah, serasahnya dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan bunga rumput dapat dijual pada upacara
keagamaan di G. Bromo yang lokasinya hanya berjarak 3 km dari desa.
Petani selalu dilibatkan dalam pengkajian dari sejak awal kegiatan sampai akhir
kegiatan 2004. Di awal pengkajian petani (kelompok tani Argotani) dilibatkan dalam
beberapa keputusan seperti penetapan teknologi kesepakatan, pada saat pengkajian
petani dilibatkan dalam pengamatan, bahkan mereka diminta untuk menjadi
pengamat, termasuk pada saat panen. Dengan berbagai kegiatan tersebut dan mereka
menyaksikan sendiri hasil yang ada tampak respon petani yang cukup besar.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
291
Di akhir panen dimana dengan kesadaran yang tinggi para petani kooperaior
tidak sulit untuk menepati janjinya yaitu melaksanakan bagi hasil 50% milik petani
penggarap (kooperator). 30% milik kelompok dan 20% diberikan rekan mereka yang
kurang beruntung. Dewasa ini kelompol mereka telah memiliki dana sebesar Rp.
2.400.000,- ditambah umbi calon bibit yaitu umbi ukuran sedang (30 gr s/d 60 gr) per
umbi sebesar 600 kg. Managemen hasil milik kelompok tani ini selalu dipantau
pemanfaatannya oleh fihak Dinas/PPL
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dalam hal ini terus mendampingi
kelompok untuk lebih eksis karena masih terdapat beberapa kegiatan atau program
dalam rangka penguatan kelembagaan. Telah disetujui beberapa program yaitu
berupa iuran oleh anggota yang nantinya menjadi embrio simpan pinjam..
Pertemuan bulanan setiap tanggal 7 yang diputuskan mereka merupakan wahana
yang perlu dimanfaatkan secara optimal oleh berbagai fihak yang berkepentingan
dalam pengembangan kelompok tani Argotani.
Temu lapang yang dihadiri oleh 132 tamu yang terdiri dari para petani
anggota kelompok tani Argotani dan kelompok lain termasuk KTNA dan peneliti,
penyuluh dari dinas terkait memberi gambaran terinformasikannya kegiatan
pengembangan model usahatani konservasi pola strip cropping tanaman kentang
dan pakan ternak. Dari diskusi di temu lapang terungkap bahwa model strip
cropping dengan penanaman kentang pada guludan miring 450 tidak memberatkan
petani dalam pembuatannya. Malah setelah terbentuk guludan miring
memudahkan petani untuk membawa beban di ladangnya jika harus naik keatas.
Misalnya saat membawa air untuk penyemprotan, saat menyemprotan dan saat
membawa pupuk atau melakukan pemupukan, mereka dapat berjalan menyusur
miring daripada jika menggunakan guludan searah lereng dimana mereka harus
berjalan tegak lurus keatas saat bekerja.
Hasil pengkajian yang cukup menarik dan memberi harapan dalam
peningkatan produksi, menambah pendapatan petani dan ramah lingkungan,
terutama peluang varietas Granola Aus. dapat ditumpangsarikan dengan tanaman
bawang daun saat penanaman musim penghujan diperkirakan pengembangan
teknologi konservasi vegetatif ini cukup baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil kegiatan pengembangan model usahatani konservasi pola strip
cropping tanaman kentang dan pakan ternak di desa Argosari, Senduro, Lumajang
2004, dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
1. Teknologi partisipatif (kesepakatan) dengan mempergunakan varietas
Granola Australia, pemupukan sebesar (200 kg Urea + 300 kg ZA + 200 kg
SP36 + 200 kg KCl) per ha, dan pupuk bokasi 5 t/ha, ditanam pada guludan
miring 450 disertai strip tanaman setaria dengan jarak 5 m setiap panjang
lereng ternyata memberikan hasil lebih tinggi 24,04% daripada teknologi
petani pada umur panen 81 HST. Produk yang tinggi tersebut didukung oleh
lebih banyaknya umbi besar yang mencapai 75,81%. R/C rasio penggunaan
teknologi kesepakatan mencapai 1,89%, sedangkan R/C rasio teknologi
pembanding (petani) mencapai 1,33%. Sehingga teknologi ini efektif dan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
292
efisien untuk usahatani kentang di lahan kering dataran tinggi Senduro,
Lumajang.
2. Model kelompok tani yang tepat bagi petani masih belum dapat ditetapkan
sebab kelompok tani yang ada masih dalam tahap pembinaan awal. Tetapi
tampaknya model koperasi bersama mempunyai peluang untuk
dikembangkan mengingat lokasi yang cukup terpencil sehingga mereka butuh
kerjasama yang erat untuk masuk kesistem agribis yang tepat.
3. Informasi yang disampaikan pada temu lapang cukup efektif namun masih
diperlukan pengembangan informasi seperti adanya demoplot, pelatihan,
sekolah lapang, studi banding, dll.
Saran
Pengkajian pengembangan yang melibatkan banyak petani kooperator ini
merupakan kegiatan yang baru tahun pertama sehingga masih terdapat
pelaksanaan teknologi konservasi yang belum sempurna, sehingga untuk itu
diperlukan penyuluhan dan contoh teknologi konservasi yang tepat untuk setiap
petak atau blok penanaman. Hal ini dapat ditempuh melalui contoh yang benar
dilokasi pengembangan.
Pembinaan kelompok tani diperlukan lebih intensif baik pembinaan
administrasi maupun pembinaan teknik pertanian dan upaya peningkatan modal
baik melalui penguatan iuran maupun masuknya lembaga keuangan ke kelompok
mereka.
DAFTAR PUSTAKA.
Anonim, 2001. Kecamatan Senduro dalam angka.
Anonim. 2002. Propinsi Jawa Timur Dalam Angka.Sub Sektor Tanaman Pangan.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Timur.
Abidin, Z., R.E. Suriatmaja, L.H. Dibyantoro, dan O.S. Setiawan, 1991. Pemantauan
tataguna lahan dalam hubungannya dengan perluasan areal pertanian
sayuran. Buletin Penelitian Hortikultura. XXI (1) : 25-36.
Erfandi, D., A. Dariah dan H. Suwardjo. 1992. Pengaruh Alley cropping terhadap
erosi dan produktifitas Haplorthox Citayam. Dalam Prosiding Pertemuan
Teknis Penelitian Tanah. Bidang konservasii tanah dan air. Bogor, 22-24.
Agustus 1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agriklimat, Bogor. 53 – 78.
Haryati, U., N.L. Nurida, H. Suganda dan U. Kurnia. 1999. Pengaruh arah bedengan
dan tanaman penguet teras terhadap erosi dan hasil kubis (Brassica
oleracea) di dataran tinggi Dieng. Dalam. Prosiding Seminar Nasional
Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Lido- Bogor, 6-8 Desember 1999.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 411-427.
Knott, J.E. and J.R. Deanon. 1967. Vegetable Production Growth in East Asia. Univ.
of Philipines. Collect of Agriculture Los Banos. Laguna.
Kasijadi, F. 2001. Model pemberdayaan petani lahan sawah melalui pengembangan
kelompok tani dengan Cooperative Farming. Balai pengkajian teknologi
Jawa Timur.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
293
Pakpahan, A., N. Syafaat, A. Purwoto, H.P. Saliem dan G.S. Hardono. 1992.
Kelembagaan lahan konservasi tanah dan air. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Sahat, J. 1994. Hasil-hasil penelitian sayuran dataran tinggi. Dalam prosiding
Lokakarya Nasional Sayuran. Balai Penelitian Hortikultura Lembang,
Bandung.
Saraswati, D.P., Suyamto. H., D. Setyorini, Al.G. Pratomo. 2000. Zona agroekologi
Jawa Timur. Buku I: Zonasi dan karakterisasi sumberdaya lahan wilayah
Jawa Timur. BPTP Karangploso. 22 hal.
Soleh, M., Arifin,Z., Gamal,A.P., Pudji,S., dan Gede,N. 2002. Pengkajian Sistem
Usahatani Tanaman Sayuran Untuk Konservasi di Lahan Kering Dataran
Tinggi Berlereng. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Belum
diterbitkan.
Soleh, M., Arifin,Z., Gamal,A.P., Pudji,S., dan Gunawan E. 2003. Pengembangan
Model Sistem Usahatani Konservasi Kentang dan Kobis secara Partisipatif
di Lahan Kering Dataran Tinggi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jawa Timur. Belum diterbitkan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
294
PENGARUH KONSENTRASI INSEKTISIDA DELTAMETRIN 28 EC
TERHADAP ULAT BUAH TOMAT Helicoverpa armigera Hubn.
PADA TANAMAN TOMAT
Harwanto*), Sarwono*), D. Rahmawati*), L. Rosmahani*)
ABSTRAK
Ulat penggerek buah tomat, H. armigera adalah hama utama pada tanaman
tomat. Serangga hama ini bersifat polipag dengan ditunjukkan banyaknya tanaman
inang antara lain tomat, kedelai, kapas, tembakau, sorgum, jagung dan lain
sebagainya. Selama ini, pada umumnya petani dalam mengendalikan serangga
hama tersebut masih mengandalkan insektisida kimia. Upaya untuk
meminimalisasi terjadinya resistensi hama maka perlu alternatif insektisida baru
yang belum pernah diuji kemanjurannya. Salah satu insektisida baru yang belum
diketahui tingkat efektivitasnya terhadap H. armigera pada tanaman tomat adalah
Deltametrin 28 EC. Percobaan dilakukan di Desa Tegalgondo, Kec. Karangploso,
Kab. Malang, mulai bulan Maret hingga Juli 2003. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), di ulang sebanyak 4 kali.
Perlakuan yang dicoba ada 4 tingkat konsentrasi yaitu 0,25, 0,50, 1,00, dan 2,00 ml/l
air. Insektisida pembanding adalah Deltametrin 2,5 EC dengan konsentrasi 2,00 ml/l
air, dan yang terakhir adalah kontrol (tanpa insektisida). Hasil percobaan
menunjukkan bahwa, insektisida Deltametrin 28 EC konsentrasi 1,00 - 2,00 ml
secara konsisten mampu, menekan populasi H. armigera, menekan intensitas
serangan pada buah tomat, dan dapat menekan kehilangan hasil buah tomat. Pada
konsentrasi 1,00 – 2,00 ml insektisida Deltametrin 28 EC sama efektifnya dengan
insektisida pembanding Deltametrin 2,5 EC dengan konsentrasi 2,00 ml terhadap
penekanan populasi ulat buah, intensitas serangan dan kehilangan hasil. Perlakuan
yang dicoba dari konsentrasi 0,25 ml hingga 2,00 ml tidak menimbulkan gejala
phitotoksis pada tanaman tomat.
Kata kunci: Tomat, konsentrasi, Deltametrin, H. armigera
ABSTRACT
Caterpillar borer of tomato, H. armigera is tha main pest on tomato crop. This
pest insect have the character of polypag shown by the numbers of host crops for
example tomato, soybean, cotton, tobacco, sorgum, and maize. For this time being ,
in general farmers still rely on chemical insecticide to control pests. An effort to
suppress the resistence of pests towards pesticides was still in progress, as an
alternative new insecticide was still searching. One of the new insecticide which is
effective towards H. armigera on tomato is Deltametrin 28 EC. The trial was
conducted at Desa Tegalgondo, Kec. Karangploso, Kab. Malang, starting from
March until July 2003. The trial using a randomized block design (RBD), with four
replications, with the treatment, the concentration of insecticide used 0,25, 0,50, 1,00,
and 2,00 ml/water l, with the control using Deltametrin 2,5 EC at the concentration
of 2,00 ml/water l, and with no insecticide.
_________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
295
Result showed that, Deltametrin insecticide 28 EC at 1,00 - 2,00 ml, could depress
the population H. armigera on tomato and loss of production. The concentration of
1,00 - 2,00 ml Deltametrin 28 EC proved to be effective, almost similar to
Deltametrin 2,5 EC at 2,00 ml to suppress fruit caterpillar population, intensity and
loss of yield. The concentration of 0,25 ml till 2,00 ml did not show a toxicity on
tomato.
Keyword : Tomato, concentration, Deltametrin, H. armigera
PENDAHULUAN
Salah satu komoditas hortikultura unggulan yang mempunyai potensi
produksi tinggi dan mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting adalah tomat.
Oleh karena itu banyak petani yang mengusahakan setiap musim tanam.
Disamping itu, tomat mempunyai kisaran agroekosistem yang cukup luas mulai dari
dataran tinggi sampai dataran rendah, baik pada musim hujan maupun kemarau.
Petani pada umumnya dalam berusahatani tanaman tomat masih banyak
menghadapi kendala dan masalah yang silih berganti dari waktu ke waktu. Salah
satu kendala utama yang dapat menyebabkan menurunnya tingkat produksi tomat
adalah adanya serangan hama penggerek buah tomat, Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Nuctuidae).H. armigera merupakan hama polipag, hal ini
ditunjukkan oleh banyaknya tanaman inang, seperti tomat, kedelai, kapas,
tembakau, sorgum, jagung dll. (Anonim, 1997).
Secara visual di lapangan gejala serangan H. armigera sangat mudah untuk
dikenali yaitu adanya lubang gerekan pada buah dan disertai kotoran disekitarnya.
Telur diletakkan secara terpencar-pencar 1 – 2 butir pada bagian pucuk tanaman
atau kelopak kuncup bunga, masa telur kurang lebih 4 hari, selanjutnya telur
menetas. Larva yang baru menetas sekitar instar 1 biasanya langsung memakan
cairan daun atau bagian tanaman yang lain, kemudian pada instar berikutnya
menyerang bagian generatif tanaman yang lain seperti buah. Masa hidup larva 16-
19 hari dan mengalami 6 instar, selama masa larva dapat merusak buah muda,
larva berpupa di dalam tanah masa pupa 10-12 hari (Bonifacio et al., 1976).
Serangga dewasa berupa kupu berumur 10-12 hari, sehingga perkembangan telur
sampai menjadi imago berkisar antara 40-47 hari.
Pada pertanaman tomat larva H. armigera mula-mula menyerang daun,
kemudian menggerek kuncup bunga dan buah. Perkembangan dari telur sampai
imago berkisar antara 48-75 hari. Ngengat betina menyimpan telurnya pada bunga
tomat yang belum mekar. (Metcalf, et. al. 1962). Ulatnya menyerang pada saat buah
tomat masih muda, sehingga kalau sudah tua tampak berlubang-lubang dan
buahnya busuk karena terinfeksi penyakit. Serangga dewasa aktif terbang pada
malam hari cukup jauh, seekor serangga betina mampu bertelur 600-1000 butir.
Kehilangan hasil dan tingkat serangan akibat H. armigera pada musim kemarau
dapat mencapai 56,9 – 80 % (Zuraida 1978) dan 56,9 % (Setiawati, 1985). Usaha
pengendalian H. armigera pada buah tomat yang biasa dilakukan oleh petani adalah
aplikasi insektisida. Untuk mengatasi masalah ulat buah tomat nampaknya masih
diperlukan pemakaian insektisida dengan teknik aplikasi yang bijaksana, sehingga
dapat mengurangi terjadinya resisten terhadap hama sasaran. Pola pergiliran
insektisida perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya resistensi hama terhadap
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
296
insektisida tertentu. Insektisida Deltametrin 28 EC merupakan racun kontak yang
cara kerjanya dapat secara kontak maupun perut. Tujuan pengujian insektisida ini
adalah untuk mengetahui tingkat kemanjuran terhadap hama ulat penggerek buah
tomat H. armigera dan sebagai bahan pergiliran pengendalian.
METODE PENELITIAN
Percobaan dilaksanakan di Desa Tegalgondo, Kec. Karangploso, Kab. Malang,
mulai bulan Maret – Juli 2003. Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 4 ulangan. Varietas tomat yang digunakan adalah
Permata. Ukuran petak 4 x 7 m, jarak tanam 50 x 50 cm. Perlakuan yang diuji
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan uji kemanjuran insektisida Deltametrin 28 EC terhadap hama
ulat penggerek buah tomat, H. armigera
No Perlakuan Konsentrasi formulasi
ml/l
1. Deltametrin 28 EC 0,25
2. Deltametrin 28 EC 0,50
3. Deltametrin 28 EC 1,00
4. Deltametrin 28 EC 2,00
5. Deltametrin 2,5 EC 25 g/l(insektisida
pembanding)
2,00
6. Tanpa insektisida (kontrol) -
Persiapan tanam meliputi pengolahan tanah dibajak 2 kali kemudian tanah
digemburkan, dibuat guludan ukuran 0,75 m x 0,5 m. Pembibitan tomat dilakukan
dengan cara menanam biji ke dalam polibag kecil ukuran diameter 5 cm dengan
tinggi 20 cm.yang telah diisi dengan tanah, pasir dan pukan sapi dengan
perbandingan 1:1:1. Umur bibit kurang lebih 18 hari dipindahkan ke lapang.
Pupuk kandang sapi yang sudah matang 20-30 ton/ha diberikan pada saat tanam,
pupuk N (125 kg Urea/ha dan 300 kg Za/ha) P2O5 (250 SP 36/ha) dan K2O (200 kg
KCl/ha). Aplikasi insektisida Deltametrin 28 EC menggunakan semprotan punggung
semi otomatis dengan volume penyemprotan rata-rata 700-800 l/ha.
Penanggulangan penyakit tanaman tomat disemprot dengan fungisida tembaga
hidroksida 77%
Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh per petak bersih (100
tanaman) yang ditetapkan secara sistematis bentuk U (U-shape). Peubah yang
diamati terdiri atas:
1. Populasi ulat H. armigera diamati setiap minggu mulai umur 30 hari setelah
tanam (HST) hingga panen buah
2. Kerusakan buah tomat dihitung dengan cara menggunakan rumus sebagai
berikut:
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
297
a
P = --------- x 100%
b
P = intensitas serangan (%)
a = jumlah buah yang terserang
b = jumlah buah yang diamati
3. Produksi
Pengamatan buah tomat dilakukan setiap minggu sekali dengan cara
menghitung dan menimbang tiap sampel tanaman
Data pengamatan yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan untuk
mengetahui tingkat perbedaan antar perlakuan di uji dengan BNT 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Populasi ulat penggerek H. armigera pada buah tomat
Pengaruh insektisida Deltametrin 28 EC terhadap populasi ulat penggerek
buah tomat tidak menunjukkan perbedaan nyata, kecuali pada pengamatan pada
hari ke 62 setelah tanam ( Tabel 2 ).
Tabel 2. Rata-rata populasi ulat penggerek H. armigera pada buah tomat.
Perlakuan Populasi H. armigera ekor/tanaman pada HST *)
35 42 49 56 62 Rerata
Deltametrin 28 EC
0,25 ml/l
0,07 a 0,10 a 0,07 a 0,0 a 0,07 a 0,06
Deltametrin 28 EC
0,50 ml/l
0.07 a 0,27 a 0,07 a 0,05 a 0,0 a 0,09
Deltametrin 28 EC
1,00 ml/l
0.03 a 0,12 a 0,05 a 0,03 a 0,0 a 0,05
Deltametrin 28 EC
2,00 ml/l
0,10 a 0,15 a 0,05 a 0,0 a 0,02 a 0,06
Deltametrin 2,5 EC
2,00 ml/l
0,10 a 0,03 a 0,05 a 0,03 a 0,0 a 0,04
Tidak dikendalikan 0,03 a 0,05 a 0,07 a 0,0 a 0,67 b 0,16
BNT 5 % 0,16 0,37 0,11 0,14 0,20 *) HST: hari setelah tanam
**) Angka yang diikuti huruf sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%
Rata-rata populasi ulat penggerek tomat di lapang pada petak perlakuan yang
dikendalikan dengan insektisida Deltametrin 28 EC pada pengamatan umur 62 HST
berkisar antara 0,00 – 0,07 ekor per tanaman, sedangkan pada petak yang tidak
dikendalikan 0,67 ekor per tanaman, dan menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal
ini mengisyaratakan bahwa pengaruh dari insektisida Deltametrin 28 EC yang
disemprotkan pada buah tomat tiap minggu sekali selama 7 kali aplikasi efektif
untuk menekan perkembangan populasi ulat dilapang. Selain itu sifat dari
insektisida Deltametrin 28 EC adalah racun kontak dan lambung sehingga apabila
mengenai jasad sasarannya atau menyerang buah tomatnya maka hama tersebut
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
298
akan mati. Hasil penelitian Setiawati (2000), bahwa rata-rata populasi pada
tanaman tomat yang dikendalikan dengan insektisida sejak dini yaitu 21 hari
setelah tanam sebanyak 0,02 ekor per buah
2. Intensitas serangan ulat penggerek H. armigera pada buah tomat
Pengaruh insektisida Deltametrin 28 EC terhadap intensitas serangan ulat
penggerek H. armigera pada buah tomat menunjukkan perbedaan nyata Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata intensitas serangan ulat penggerek buah H. armigera pada tomat.
Perlakuan Intensitas serangan ( % ) pada minggu ke …
1 2 3 4 5 6 7 Rata-
rata
Deltametr
in 28 EC
0,25 ml/l
1,75 a 3,53 ab 3,21 a 6,47 a 4,67 b 1,87 a 1,65 a 3,31
Deltametr
in 28 EC
0,50 ml/l
1,48 a 0,81a 8,65 b 7,72 a 1,52 ab 1,50 a 1,90 a 3,37
Deltametr
in 28 EC
1,00 ml/l
1,53 a 2,15 ab 3,94 ab 9,62 a 0,82 a 3,02 a 1,06 a 3,16
Deltametr
in 28 EC
2,00 ml/l
0,61 a 2,32 ab 3,49 a 1,90 a 0,55 a 0,70 a 0,5 a 1,44
Deltametr
in 2,5 EC
2,00 ml/l
0,53 a 2,86 ab 7,66 ab 3,02 a 3,33 ab 0,67 a 0,83 a 2,7
Tidak
dikendalik
an
2,12 a 4,04 b 13,7 c 34,03 b 9,82 c 7,69 b 8,67 b 11,44
BNT 5 % 0,15 2,87 4,76 20,03 3,52 3,80 4,7 Angka yang diikuti huruf sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%
Pada awal sebelum dilakukan aplikasi dengan insektisida, tingkat serangan
ulat penggerek buah tomat tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa
kondisi dan keadaan serangan yang ada di lapang sudah merata dan homogen pada
semua petak perlakuan. Selanjutnya setelah dilakukan 7 (tujuh) kali aplikasi
dengan insektisida Deltametrin 28 EC dengan konsentrasi 0,25 ml/l sampai
dengan 2,00 ml/l , tampak berpengaruh nyata terhadap tingkat serangan ulat
penggerek buah tomat, bahkan sudah setaraf dengan insektisida Deltametrin 2,5
EC yang merupakan insektisida pembanding. Hasil pengamatan tingkat serangan
nampak bahwa insektisida Deltametrin 28 EC konsentrasi 1,00 ml hingga 2,00 ml
konsisten menekan serangan lebih rendah dan sebanding dengan insektisida kontrol
Deltametrin 2,5 EC. Insektisida Deltametrin 28 EC bersifat racun kontak dan
lambung apabila disemprotkan pada tanaman tomat sewaktu buah masih muda
dapat melindungi buah dari serangan ulat penggerek H. armigera. Menurut
Setiawati (1995), insektisida berbahan aktif deltametrin 0,2% merupakan cara yang
terbaik untuk mengendalian ulat penggerek buah tomat H. armigera dan dapat
menghemat penggunaannya sebesar 60% serta hasil panen tetap tinggi.
Keefektivan insektisida Deltametrin 28 EC pada beberapa level konsentrasi
terhadap serangan ulat penggerek buah tomat disajikan pada Tabel 4.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
299
Tabel 4. Efktivitas insektisida Deltametrin 28 EC terhadap serangan ulat penggerek
buah tomat H. armigera.
Perlakuan Rata-rata serangan
H. armigera (%) Efektivitas (%)
Deltametrin 28 EC 0,25 ml/l 3,31 71,06
Deltametrin 28 EC 0,50 ml/l 3,37 70,54
Deltametrin 28 EC 1,00 ml/l 3,16 72,38
Deltametrin 28 EC 2,00 ml/l 1,44 87,41
Deltametrin 2,5 EC 2,00 ml/l 2,7 76.40
Kontrol 11,44 -
Semua tingkatan konsentrasi insektisida Deltametrin 28 EC yang diuji efektif
menekan serangan ulat penggerek buah tomat H. armigera di atas 70 % atau setaraf
dengan insektisida pembanding Deltametrin 2,5 EC, bahkan pada Deltametrin 28
EC dosis tinggi 2,00 ml/l mampu menekan hingga 87,41 %. Dengan demikian
insektisida Deltametrin 28 EC dapat digunakan sebagai pengendalian ulat
penggerek buah tomat H. armigera. Prijono (2004) mengemukakan bahwa
insektisida dikatatakan efektif atau manjur apabila tingkat efektifitasnya lebih dari
50 %. Selanjutnya, insektisida dikatakan efektif apabila memenuhi enam unsur
tepat yaitu jenis, mutu, sasaran, dosis dan konsentrasi, waktu, dan cara dan alat
aplikasi (Dit Lin Hortikultura, 2004).
3. Produksi
Pengaruh perlakuan insektisida Deltametrin 28 EC terhadap hasil buah
tomat berbeda nyata dibandingkan kontrol Tabel 5. Tanaman tomat yang di
kendalikan dengan insektisida Deltametrin 28 EC hasilnya cukup tinggi dari pada
tanaman tomat sebesar 10,19 t/ha tidak berbeda dengan Deltametrin 28 EC 1,00 ml
dan setara dengan insektisida pembanding Deltametrin 2,5 EC 2,0 ml/l 10,70 t/ha.
Tabel 5. Rata-rata hasil buah tomat per pohon pada berbagai perlakuan Deltametrin
28 EC.
Perlakuan Jumlah buah Bobot buah (kg)
Deltametrin 28 EC 0,25 ml/l 8,73 b 0,30 ab
Deltametrin 28 EC 0,50 ml/l 8,95 b 0,325 ab
Deltametrin 28 EC 1,00 ml/l 12,40 bc 0,416 bc
Deltametrin 28 EC 2,00 ml/l 13,63 c 0,489 c
Deltametrin 2,5 EC 2,00 ml/l 13,54 c 0,514 c
Kontrol 4,00 a 0,22 a
BNT 5% 4,41 0,13
4. Fitotoksisitas insektisida
Tanaman tomat yang disemprot dengan insektisida Deltametrin 28 EC pada
semua tingkatan konsentrasi insektisida yang di uji secara fisual tidak
menunjukkan gejala fitotoksis.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
300
KESIMPULAN
1. Insektisida Deltametrin 28 EC konsentrasi 1,00 - 2,00 ml mampu menekan
populasi penggerek buah tomat, H. armigera, menekan intensitas serangan pada buah tomat serta menekan kehilangan hasil.
2. Tingkat efektifitas insektisida Deltametrin 28 EC konsentrasi 1,00 – 2,00 ml
sama dengan insektisida pembanding Deltametrin 2,5 EC pada konsentrasi
2,00 ml dalam menekan populasi ulat buah, intensitas serangan, dan
kehilangan hasil.
3. Pada konsentrasi 0,25 ml hingga 2,00 ml insektisida Deltametrin 28 EC tidak
menimbulkan gejala fitotoksis pada daun tomat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim , 1989. Pengendalian Serangga Kapas Secara Terpadu. Balitas. Badan
Litbangtan.Malang-Indonesia. Edisi Khusus No. 4/IV (1989) hal. 123.
Anonim, 1997. Budidaya dan Pasca Panen Tomat. Departemen Pertanian. Badan
Litbangtan. BPTP. Biromaru-Sulawesi Utara. Hal. 23-24.
Bonifacio, B. and Hermandez B, 1976. Pest and Diseases of Tomato and other
Solanaceous Plants. Asia Edition. Hal. 1-7.
Direktur Perlindungan Hortikultura. 2004. Kebijakan pengendalian OPT dan
penggunaan pestisida pada komoditi hortikultura. Makalah Pertemuan
Apresiasi Perlindungan Hortikultura. Surabaya, 11 – 12 Oktober 2004. 6
halaman.
Metcalf, C.L. and W.P. Flint, 1962. Destructive and Useful Insect. Mc Graw Hill.
Book Company, Inc. New York. San Francisco –Toronto- London.
Prijono D. 2004. Pedoman umum pengujian efikasi insektisida/akarisida. Makalah
Protokol Uji Efikasi Insektisida. Yogyakarta, 3 – 4 September 2004. 4
halaman.
Setiawati, 1985. Kerusakan dan Kehilangan Hasil Buah Tomat Akibat Serangan
H.armigera Hubn. {Lepidoptera: Noctuidae). Bul. Penel. Hort. Vol. XIX No. 4
1990.
Setiawati . W., A. Somantri dan A.S. Duriat, 2000. Pengaruh Kepadatan Populasi
dan Waktu Infestasi H. armigera Hubn. Terhadap Kehilangan Hasil Buah
Tomat dan Upaya Pengendaliannya. Jurnal Hortikultura vol. 10. no. 2-
2000 .
Badan Litbangtan. Pusat Penelitian Hortikultura dan Aneka Tanaman. Jakarta-
Indonesia. Hal. 112-120.
Zubaida, 1978. Daur Hidup dan Pembiakan H. armigera Hubn. Di Laboratorium.
Skripsi. FIFA UNPAD. Bandung.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
301
LC50 INSEKTISIDA SPINOSAD 120 g/l DAN METOKSIFENOZIDA 100 g/l
TERHADAP Spodoptera exigua STRAIN PROBOLINGGO
PADA BAWANG MERAH
Harwanto*), Sarwono*), Luki Rosmahani*), Diding Rachmawati*)
ABSTRAK
Bawang merah merupakan komoditas unggulan di Jawa Timur terutama di
daerah Probolinggo, Malang, dan Nganjuk. Dari tahun ke tahun perkembangan
areal pada tiga wilayah tersebut berfluktuatif. Salah satu faktor penyebabnya
adalah tingginya serangan hama ulat bawang merah Spodoptera exigua. Pengujian
LC50 insektisida Spinosad 120 g/l dan Metoksifenozida 100 g/l di laksanakan di
Laboratorium Hama Penyakit BPTP Jawa Timur, mulai bulan Agustus hingga
Nopember 2004. Rancangan yang dipergunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang di ulang tiga kali. Perlakuan yang di coba adalah lima tingkat
konsentrasi insektisida Spinosad 120 g/l dan Metoksifenozida 100 g/l (2,0, 1,5, 1,0,
0,75, 0,5 ml/l) dan kontrol. Metode aplikasi yang digunakan ada dua yaitu secara
residu dan secara kontak. Tingkat mortalitas di amati pada 6 jam setelah aplikasi
(JSA), 24 JSA, 48 JSA, dan 72 JSA. Untuk menentukan nilai LC50 data di analisis
dengan metode analisis probit. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai LC50
insektisida Spinosad 120 g/l terhadap ulat daun bawang S exigua pada 72 JSA
diaplikasikan secara residu adalah 1,86 ml dan yang diaplikasikan secara kontak
adalah 0,71 ml. Nilai LC50 insektisida Metoksifenozida 100 g/l terhadap ulat daun
bawang S. exigua pada 72 JSA diaplikasikan secara residu adalah 1,99 ml dan yang
diaplikasikan secara kontak adalah 1,59 ml. Insektisida Spinosad 120 g/l lebih
efektif mematikan ulat S. exigua dibandingkan dengan insektisida
Metoksifenozida 100 g/l baik diaplikasikan secara residu maupun secara kontak.
Nilai LC50 insektisida Spinosad 120 g/l yang diaplikasikan secara residu maupun
kontak selalu lebih rendah dibandingkan dengan insektisida Metoksifenozida 100
g/l.
Kata kunci : Allium zepa, LC50, insektisida, Spodoptera exigua
ABSTRACT
Shallot is the main commodity in East Java, especially in Probolinggo,
Malang, and Nganjuk. From year to yearplanting area at the three region are
fluctuate. One of the problem is severe attack of caterpillar S. exigua. Fied test of
LC 50 Spinosad insecticide 120 g / and l of Metoksifenozida 100 g / l was conducted at
the Pest Disease Laboratory of East Java AIAT, starting from August until
November 2004, using a complete randomized design ( RCD) which Three
replications, with five concentration of insecticide as treatment, namely Spinosad 120
g/l and of Metoksifenozida 100 g/l ( 2,0, 1,5, 1,0, 0,75, 0,5 ml / l) and control. Two
application method used were residue and contact. Mortality was counted six hours
after application (HAA), 24 HAA, 48 HAA, and 72 HAA. To determine value of LC 50
data in analysis was done using method probability analysis.
_________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
302
Result showed that the use of LC 50 Spinosad insecticide 120 g / l to leaf caterpillar
of S exigua at 72 HAA application by residue was 1,86 mls, while contact method
resulted 0,71 ml.The use of LC50 Metoksifenozida 100 g / l towards leaf caterpillar
S. exigua at 72 JSA application using residue was 1,99 ml, while contact method was
1,59 ml. Insecticide Spinosad 120 g/l proved to be more effective to be used.
Keyword: Allium zepa, LC50, insecticide, Spodoptera exigua
PENDAHULUAN
Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan yang
ada di tiga kabupaten di Jawa Timur yaitu Probolinggo, Malang, dan Nganjuk.
Perkembangan areal pada tiga wilayah tersebut dari tahun ke tahun menunjukkan
pola yang naik turun. Pada tahun 2000 tercatat bahwa tiga wilayah sentra yang
ada di Jawa Timur seperti tersebut di atas masing-masing luas areal tanamnya
berturut-turut adalah 7.884 ha, 4.574 ha, dan 4.169 ha, dari luas total di Jawa
Timur 22.130 ha (Dipertan Jatim, 2001).
Luas areal yang fluktuatif dari tahun ke tahun tampaknya sangat terkait
dengan beberapa faktor penyebab antara lain kondisi iklim, harga, dan serangan
organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Seperti kita ketahui bersama bahwa
usahatani bawang merah merupakan usahatani sayuran yang beresiko tinggi,
karena banyaknya kendala yang harus di hadapi dalam rangka menyelamatkan
produksi.
Salah satu kendala utama yang sering dihadapi oleh petani pada setiap
musim tanam adalah tingginya serangan hama dan penyakit (Moekasan 1998).
Hama tanaman bawang merah yang sering mengakibatkan kegagalan panen adalah
ulat daun bawang, S. exigua (Rosmahani 1997; Moekasan 1998).
Serangan OPT yang hampir terjadi setiap musim tanam mendorong petani
untuk menggunakan pestisida dalam tindakan pengendalian. Hal tersebut didasari
oleh suatu anggapan bahwa pestisida merupakan teknologi garansi untuk
menyelamatkan usahataninya. Terlihat dari perilaku petani dalam
mengaplikasikan insektisida yang cenderung terus meningkat dalam frekuensi,
dosis, dan komposisi (campuran) yang digunakan.
Akibat dari perilaku tersebut di atas secara otomatis biaya usahatani juga
semakin meningkat dan pada gilirannya usahatani bawang merah yang
dilaksanakan oleh petani menjadi tidak efisien. Koster (1990) melaporkan bahwa
biaya pengendalian OPT pada bawang merah mencapai 30 – 50 % dari total biaya
produksi. Selain biaya tinggi yang tidak kalah pentingnya adalah terjadinya
pencemaran lingkungan, residu pestisida yang tinggi pada hasil produksi,
resistensi, dan resurgensi (Moekasan 1998; Dit Lin Hortikultura 2004).
Dalam upaya meminimalkan dampak negatif dari penggunaan pestisida
yang kurang bijaksana dalam hal ini memperkecil residu pestisida pada hasil
pertanian khususnya produk hortikultura, oleh karena itu penggunaan pestisida
harus dilakukan dengan cara enam tepat yaitu tepat jenis, tepat mutu, tepat
sasaran, tepat dosis dan konsentrasi, tepat waktu , dan tepat cara dan alat aplikasi
(Dit Lin Hortikultura 2004).
Sesuai dengan prinsip pengendalian hama terpadu (PHT) yang tertera dalam
Undang-Undang No 12 th 1992, penggunaan pestisida merupakan alternatif
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
303
terakhir dalam pengendalian hama, walaupun demikian perlu diperhatikan tingkat
efektivitas dan selektivitasnya terhadap serangga hama target.
Pengujian insektisida Spinosad 120 g/l dan Metoksifenozida 100 g/l bertujuan
untuk mengetahui LC50 ulat bawang merah S. exigua.
METODE PENELITIAN
Pengujian LC50 insektisida Spinosad 120 g/l dan Metoksifenozida 100 g/l di
laksanakan di Laboratorium Hama Penyakit BPTP Jawa Timur, mulai bulan
Agustus hingga Nopember 2004. Rancangan yang dipergunakan adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) yang di ulang tiga kali. Perlakuan yang di coba secara rinci
tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan tingkat konsentrasi insektisida Spinosad 120 g/l dan
Metoksifenozida 100 g/l terhadap S. exigua pada bawang merah.
No. Perlakuan Konsentrasi ml/l
1. Spinosad 120 g/l 2.0
2. Spinosad 120 g/l 1.5
3. Spinosad 120 g/l 1.0
4. Spinosad 120 g/l 0.75
5. Spinosad 120 g/l 0.5
6. Metoksifenozida 100 g/l 2.0
7. Metoksifenozida 100 g/l 1.5
8. Metoksifenozida 100 g/l 1.0
9. Metoksifenozida 100 g/l 0.75
10. Metoksifenozida 100 g/l 0.5
11. Kontrol 0
Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman bawang merah yang di
tanam di polibag. Ukuran polibag, tinggi 25 cm dengan diameter 18 cm. Media yang
digunakan adalah tanah, pupuk kandang, dan pasir dengan perbandingan 1: 1: 1.
Setiap polibag merupakan suatu unit perlakuan. Pemeliharaan tanaman
disesuaikan dengan petunjuk teknis budidaya bawang merah.
Alat yang dipergunakan untuk aplikasi insektisida adalah penyemprotan
tangan (hand sprayer). Metode aplikasi dalam pengujian ini ada dua yaitu metode
kontak dan residu.
a. Metode Residu
Daun bawang merah yang bersih dicelupkan insektisida sesuai perlakuan dan
dikering anginkan. S. exigua instar 2 – 3 sebanyak 15 ekor dimasukkan dalam
sangkar yang telah terisi tanaman bawah merah yang telah diperlakukan.
Pengamatan mortalitas dilakukan pada 6 JSA, 24 JSA, 48 JSA, 72 JSA.
b. Metode Kontak
Penyemprotan secara langsung dilakukan pada ulat S. exigua instar 2-3.
sebanyak 15 ekor sesuai dengan perlakuan. Kemudian setelah disemprot ulat
dimasukkan pada kurungan yang sudah terisi bawang merah. Kurungan terbuat
dari plastik yang bagian atasnya ditutup dengan kain kasa. Pengamatan mortalitas
dilakukan pada 6 JSA, 24 JSA, 48 JSA, 72 JSA.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
304
Tingkat mortalitas ulat yang di uji dari dua metode tersebut di atas akan
digunakan sebagai variabel untuk mengetahui tingkat LC50 dan LC95. Data
dianalisis dengan metode probit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aplikasi Secara Residu
Tingkat mortalitas insektisida uji terhadap S. exigua pada bawang merah
dengan metode aplikasi secara residu seperti tertera pada Tabel 2 dan Gambar 1.
Secara umum tingkat mortalitas ulat S. exigua yang diperlakukan dengan berbagai
konsentrasi dari dua insektisida yang di uji menunjukkan pola yang hampir sama
yaitu mortalitas ulat S. exigua semakin meningkat sejalan dengan lamanya waktu
pengamatan.
Tabel 2. Pengaruh insektisida Spinosad 120 g/l dan Metoksifenozida 100 g/l terhadap
mortalitas ulat S. exigua pada bawang merah aplikasi secara residu
Jenis
Insektisida Konsentrasi
Mortalitas Ulat S. Exigua (%)
6 jam 24 jam 48 jam 72 jam
Spinosad 120 g/l 2.0
1.5
1.0
0.75
0.5
0
19.96
19.96
15.52
8.87
2.22
0
33.26
33.26
17.74
11.09
6.65
0
39.91
35.48
24.39
17.74
11.09
0
55.43
37.69
28.82
19.96
11.09
0
Metoksifenozida
100 g/l
2.0
1.5
1.0
0.75
0.5
0
15.52
13.30
8.87
2.22
2.22
0
24.39
24.39
15.52
8.87
4.43
0
37.69
33.26
19.96
13.30
6.65
0
46.56
42.12
24.39
17.74
6.65
0
Dari dua insektisida yang di uji tampaknya insektisida Spinosad 120 g/l
tingkat mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan insektisida Metoksifenozida
100 g/l. Kecuali konsentrasi 0,5 ml/l pada 6 JSA tingkat mortalitasnya sama yaitu
2,22 % (Spinosad 120 g/l dan Metoksifenozida 100 g/l). Pada tingkat konsentrasi
yang lain yaitu 0,75 s/d 2,0 ml/l insektisida Spinosad 120 g/l mortalitasnya selalu
lebih tinggi dibandingkan dengan insektisida Metoksifenozida 100 g/l. Mortalitas
tertinggi pada konsentrasi tertinggi insektisida Spinosad 120 g/l adalah 55,43 %,
sedang untuk hal yang sama insektisida Metoksifenozida 100 g/l yaitu 46.56 %.
Dari Tabel 2 dan Gambar 1 mengisyaratkan bahwa insektisida Spinosad 120
g/l lebih baik atau lebih efektif menekan perkembangan ulat S exigua dibandingkan
dengan insektisida Metoksifenozida 100 g/l yang di aplikasikan secara residu.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
305
Gambar 1. Perkembangan mortalitas ulat S. exigua setelah di aplikasi secara residu
Hubungan konsentrasi, mortalitas, dan waktu pengamatan pada dua jenis
insektisida uji terhadap ulat sasaran dalam rangka untuk mengetahui nilai LC50
dan LC95 tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan konsentrasi dan mortalitas waktu pengamatan 6 jam, 24 jam, 48
jam dan 72 jam terhadap ulat S. exigua pada bawang merah secara residu
Insektisida/Waktu
Pengamatan
a + GB b + GB LC50
(sk 95%)(ml)
LC95
(sk 95%)(ml)
Tracer
6 jam 3.81 + 0.12 1.61 + 0.55 5.52 58.17
24 jam 4.08 + 0.10 1.94 + 0.49 2.97 20.89
48 jam 4.29 + 0.95E-01 1.64 + 0.45 2.69 26.94
72 jam 4.42 + 0.94E-01 2.16 + 0.45 1.86 10.76
Prodigy
6 jam 3.50 + 0.14 1.82 + 0.65 6.62 52.93
24 jam 4.90 + 0.11 1.69 + 0.52 4.42 41.14
48 jam 4.15 + 0.10 2.01 + 0.48 2.67 17.62
72 jam 4.31 + 0.98E-01 2.31 + 0.47 1.99 10.30 a = intercep, b = kemiringan, GB = galat baku, sk= selang kepercayaan
Dari Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa lama pengamatan berpengaruh
terhadap nilai LC50 dan LC95 yang di peroleh. Semakin pendek/singkat waktu
pengamatan nilai LC yang di peroleh semakin besar, terjadi sebaliknya semakin
lama waktu pengamatan nilai LC yang di perlukan semakin sedikit. Artinya tingkat
mortalitas ulat sangat dipengaruhi besar kecilnya tingkat konsentrasi. Nilai LC50
untuk insektisida Tracer 120 SC pada pengamatan 6 JSA – 72 JSA adalah 5,52 –
1,86, sedang insektisida Metoksifenozida 100 g/l adalah 6,62 – 1,99.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6jm 24jm 48jm 72jm
Waktu Pengamatan (jam)
Rata
-rata
Mort
alit
as (
eko
r)
T2 T1.5 T1 T0.75
T0.5 P2 P1.5 P1
P0.75 P0.5 Kontrol
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
306
Berdasarkan nilai LC yang di peroleh memberikan petunjuk bahwa
insektisida Spinosad 120 g/l lebih baik dibandingkan dengan insektisida
Metoksifenozida 100 g/l dalam hal mematikan serangga hama uji, karena dengan
konsentrasi yang lebih rendah tingkat kematian yang diperoleh sama dengan
konsentrasi yang lebih tinggi.
Aplikasi Secara Kontak
Tingkat mortalitas ulat S. exigua yang di aplikasi secara kontak dengan
insektisida Spinosad 120 g/l dan Metoksifenozida 100 g/l tertera pada Tabel 3 dan
Gambar 2. Dari Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa aplikasi insektisida Spinosad 120
g/l dan Metoksifenozida 100 g/l secara kontak tampaknya dapat menyebabkan
mortalitas ulat S. exigua lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi secara residu.
Terlihat bahwa pada pengamatan 6 JSA persentase kematian ulat S. exigua dari
konsentrasi rendah ke tinggi untuk Spinosad 120 g/l antara 22,22 s/d 55,56 %,
sedangkan untuk Metoksifenozida 100 g/l antara 2,22 s/d 22,22 %. Nilai mortalitas
tersebut memberikan gambaran bahwa aplikasi dengan metode kontak lebih baik
dibandingkan dengan aplikasi metode residu.
Tabel 4. Pengaruh insektisida Spinosad 120 g/l dan Metoksifenozida 100 g/l terhadap
mortalitas ulat S. exigua pada bawang merah aplikasi secara kontak
Jenis Insektisida Konsentrasi Mortalitas Ulat S. Exigua (%)
6 jam 24 jam 48 jam 72 jam
Spinosad 120 g/l 2.0
1.5
1.0
0.75
0.5
0
55.56
48.89
48.89
28.89
22.22
0
60
55.56
51.11
37.78
33.33
0
73.33
68.89
55.56
40
37.78
0
93.33
88.89
60
44.44
40
0
Metoksifenozida
100 g/l
2.0
1.5
1.0
0.75
0.5
0
22.22
22.22
17.18
8.89
2.22
0
37.78
28.89
28.89
22.22
11.11
0
46.67
37.78
33.33
26.67
15.56
0
55.56
48.89
37.78
33.33
26.67
0
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
307
Gambar 2. Perkembangan mortalitas ulat S. exigua setelah di aplikasi secara
kontak
Mortalitas ulat S. exigua pada pengamatan berikutnya yaitu 24 JSA s/d 72
JSA menunjukkan pola yang sama seperti pada aplikasi secara residu yaitu semakin
lama pengamatan mortalitas semakin meningkat. Pada pengamatan yang terakhir
(72 JSA) mortalitas ulat S. exigua yang di aplikasi Spinosad 120 g/l dari konsentrasi
rendah ke tinggi berkisar 40 – 93,33 %, sedangkan untuk Metoksifenozida 100 g/l
dengan konsentrasi yang sama berkisar 26,67 – 55,56 %.
Secara umum insektisida Spinosad 120 g/l lebih efektif menekan
perkembangan ulat S. exigua dibandingkan dengan insektisida Metoksifenozida
100 g/l yang di aplikasikan secara kontak. Berdasarkan nilai mortalitas dari
masing-masing insektisida ternyata aplikasi secara kontak keefektivitasnya
hampir dua kali lipat lebih efektif untuk Spinosad 120 g/l terhadap Metoksifenozida
100 g/l.
Hubungan konsentrasi, mortalitas, dan waktu pengamatan pada dua jenis
insektisida uji terhadap ulat sasaran dalam rangka untuk mengetahui nilai LC50
dan LC95 tertera pada Tabel 5. Berdasar pada Tabel 5 dapat dijelaskan bahwa
aplikasi secara kontak lebih cepat mematikan ulat S. exigua dibandingkan dengan
aplikasi secara residu. Hal ini tampak jelas dari nilai LC yang di peroleh dari dua
insektisida yang di uji. Aplikasi secara kontak nilai LC50 dan LC95 lebih rendah
dibandingkan dengan aplikasi secara residu. Artinya aplikasi secara kontak lebih
efektif mematikan ulat S. exigua dibandingkan dengan aplikasi secara residu.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
6jm 24jm 48jm 72jm
Waktu Pengamatan (jam)
Ra
ta-r
ata
Mo
rta
lita
s (
eko
r)T2 T1.5 T1 T0.75T0.5 P2 P1.5 P1P0.75 P0.5 Kontrol
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
308
Tabel 5. Hubungan konsentrasi dan mortalitas waktu pengamatan 6 jam, 24 jam, 48
jam dan 72 jam terhadap ulat S. exigua pada bawang merah secara kontak
Insektisida/Waktu
Pengamatan
a + GB b + GB LC50
(sk 95%)(ml)
LC95
(sk 95%)(ml)
Tracer
6 jam 4.75 + 0.87E-01 1.52 + 0.41 1.48 17.89
24 jam 4.25 + 0.85E-01 1.20 + 0.40 1.16 27.19
48 jam 5.12 + 0.86E-01 1.73 + 0.41 0.85 7.62
72 jam 5.45 + 0.94E-01 3.10 + 0.47 0.71 2.42
Prodigy
6 jam 3.86 + 0.11 1.73 + 0.54 4.56 40.64
24 jam 4.31 + 0.93E-01 1.28 + 0.44 3.43 65.44
48 jam 4.50 + 0.89E-01 1.41 + 0.42 2.27 33.06
72 jam 4.72 + 0.86E-01 1.38 + 0.41 1.59 24.94 a = intercep, b = kemiringan, GB = galat baku, sk= selang kepercayaan
Berdasarkan nilai LC yang diperoleh dari dua insektisida yang di uji, aplikasi
secara kontak untuk insektisida Spinosad 120 g/l tampaknya secara konsisten lebih
baik dibandingkan dengan insektisida Metoksifenozida 100 g/l. Hal tersebut
didasarkan pada waktu pengamatan dan konsentrasi yang sama nilai LC50 yang
diperoleh berbeda. Insektisida Spinosad 120 g/l nilai LC50 antara 1,48 – 0,71 dan
insektisida Metoksifenozida 100 g/l antara 4,56 – 1,59.
KESIMPULAN
o Nilai LC50 insektisida Spinosad 120 g/l terhadap ulat daun bawang S exigua
pada 72 JSA diaplikasikan secara residu adalah 1,86 ml dan yang diaplikasikan
secara kontak adalah 0,71 ml
o Nilai LC50 insektisida Metoksifenozida 100 g/l terhadap ulat daun bawang S. exigua pada 72 JSA diaplikasikan secara residu adalah 1,99 ml dan yang
diaplikasikan secara kontak adalah 1,59 ml
o Insektisida Spinosad 120 g/l lebih efektif mematikan ulat S. exigua
dibandingkan dengan insektisida Metoksifenozida 100 g/l baik diaplikasikan
secara residu maupun secara kontak.
o Nilai LC50 insektisida Spinosad 120 g/l yang diaplikasikan secara residu
maupun kontak selalu lebih rendah dibandingkan dengan insektisida
Metoksifenozida 100 g/l.
DAFTAR PUSTAKA
Direktur Perlindungan Hortikultura. 2004. Kebijakan pengendalian OPT dan
penggunaan pestisida pada komoditi hortikultura. Makalah Pertemuan
Apresiasi Perlindungan Hortikultura. Surabaya, 11 – 12 Oktober 2004. 6
hal.
Dipertan Propinsi. 2001. Laporan Tahunan th 2000. Finey OJ. 1971. Probit
Analysis. 3rd ed. Cambridge Univ Press.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
309
Koster WG. 1990. Explorating survey on shallot in rice based cropping system in
Brebes. Bul. Penelitian Hortikultura (18): 19-30 (Edisi Khusus).
LeOra Software. 1987. POLO – PC. Berkeley: LeOra Software
Moekasan TK. 1998. Status resistensi ulat bawang merah S. exigua strain bribes
terhadap beberapa jenis insektisida. Jurnal Hortikultura. 9: 913 – 918.
Pedigo L. 1989. Conventional insecticides. Entomologi and pest management. Iowa
State University. 359 – 341 p.
Rosmahani L, Korlina E, Baswarsiati, Kasijadi F. 1998. Pengkajian tekniki
pengendalian terpadu hama dan penyakit penting bawang merah tanam di
luar musim. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengkajian Sistem
Usahatani. BPTP Karangploso. 116 – 131.
Untung K. 1996. Pengelolaan Hama Terpadu. Gajahmada Press
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
310
INOVASI TEKNOLOGI DAN KELEMBAGAAN
PERBIBITAN BAWANG MERAH BERSERTIFIKAT
Cahyati Setiani*), Hairil Anwar*), Endang Iriani*), dan Teguh Prasetyo*)
ABSTRAK
Pengkajian mengenai Inovasi Teknologi dan Kelembagaan Perbibitan Bawang
Merah Bersertifikat dilakukan sejak tahun 2003 di Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah. Pengkajian dilakukan melalui beberapa tahap meliputi: a). pemurnian bibit
bawang merah varietas Bima dan Kuning, b). perbanyakan bibit bawang merah
yang telah dimurnikan, c). penyimpanan bibit bawang merah, dan d). pembentukan
kelembagaan perbibitan bawang merah bersertifikat. Bibit bawang merah varietas
Bima dan Kuning telah dimurnikan sertifikasi / berlabel biru dan telah diperbanyak
dengan hasil 8-10 ton/ha. Teknologi penyimpanan yang diintroduksikan telah
mampu mengurangi biaya tenaga kerja sebesar 15%. Kelompok tani yang dibentuk
bernama “Barokah” yang beranggotakan 11 orang petani dengan areal pertanaman
bibit bawang merah yang diusahakan kelompok seluas 4,9 ha. Permasalahan utama
yang dihadapi oleh kelompok tani adalah proses sertifikasi bibit memakan waktu
sekitar dua bulan, padahal modal anggota kelompok sangat terbatas dan
membutuhkan modal tunai untuk membayar biaya usaha perbibitan bawang merah.
Permasalahan tersebut telah dieleminir melalui kesepakatan antara kelompok
“Barokah” dengan Balai Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB) untuk mempercepat
proses persertifikasian selama satu bulan dan biaya operasional semua ditanggung
oleh kelompok “Barokah”. Selain itu juga dilakukan kerjasama dengan pihak
penyedia sarana produksi. Aturan main yang diterapkan oleh anggota dalam
melakukan pemupukan modal meliputi: a) iuran wajib untuk modal awal Rp.
50.000,- per anggota, b). simpanan wajib 50 kg bawang merah kering/anggota/musim
tanam, c). tabungan Rp. 10.000,-/kwintal. Diharapkan inovasi teknologi dan
kelembagaan perbibitan bawang merah yang bersertifikat dapat berperan dalam
meningkatkan produksi bawang merah dan mempercepat agribisnis industrial di
pedesaan.
Kata kunci: inovasi teknologi, kelembagaan, perbibitan, bawang merah, bersertifikat
ABSTRACT.
Assessment on Technology Innovation and farmers group of certified seeds of
shallot was carried out in 2003 in Brebes regency, Central Java. The study was
carried in several stages, including: a) purifying seeds of shallot for Bima and
Yellow varieties, b) doubling of purified seeds of shallot, c) storage of shallot seed,
and d) build farmers group of certified seeds of shallot. Bima and Kuning varieties
of shallot have been purified to have certification / blue labeled and expanding with
output of 8 – 10 ton / ha. The introduced storage technology was capable to decrease
labour cost by 15%. The farmers’ group founded named “Barokah” that consisting of
11 farmers with the planting area 4.9 ha.
_________________
*) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
311
The main problem faced was the process of certification for seeds takes two months,
whereas they had very limited, even to pay shallot seeds. The problem solved by the
agreement between “Barokah” and Balai Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB) to
shorten certification process. The rule of playing implemented by members in capital
raising among other things: a) contribution for obligation at the beginning was
Rp.50,000 per member, b) obligation saving for 50 kg of dried shallot per member per
planting season, c) saving of 10.000 / 100 kg . It was supposed that the technology
innovation and farmers group of certified seeds of shallot could play role in increasing
production of shallot and speed up seeds production as agribusiness in rural area.
Keywords: Technology innovation, institutional, seedling, shallot, certificate
PENDAHULUAN
Kenyataan di lapang mengindikasikan bahwa sampai saat ini, ketersediaan
bibit bawang merah bermutu dan bersertifikat masih sangat terbatas. Seringkali bibit
bawang merah yang digunakan berasal dari hasil panen sendiri dan atau melakukan
seleksi dari bawang merah konsumsi (Setiani et al., 2004). Lebih lanjut dikatakan oleh
Sarjana et al (2003), bahwa dalam sistem penyediaan bibit bawang merah, belum ada
produsen bibit bawang merah yang berupaya untuk mendapatkan pengakuan mutu
bibit melalui sertifikasi. Demikian pula dalam proses produksi untuk menghasilkan
bibit yang berkualitas, petani penangkar atau produsen bibit belum sepenuhnya
mengacu pada prosedur memproduksi bibit yang direkomendasikan.
Kondisi tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan
produktivitas usahatani bawang merah. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir
produktivitas bawang merah mengalami penurunan 0,96% / tahun dengan rata-rata
produktivitas sekitar 8,60 ton/ha ± 0,59 (BPS, 1993-2002 dan Dipertan 2003). Menurut
Sarjana et al (2003), faktor degradasi potensi genetik varietas yang dikembangkan dan
kejenuhan lahan merupakan penyebab utama penurunan produktivitas bawang
merah (Sarjana et al., 2003).
Ditinjau dari sudut peluang agribisnis, usaha perbibitan bawang merah cukup
prospektif. Sasaran produksi bawang merah yang ingin dicapai di Jawa Tengah
sebesar 362.384 ton pada tahun 2003 (Dipertan, 1999), dan untuk menghasilkan
produk tersebut dibutuhkan bibit sekitar 50.000 – 57.000 ton per tahun. Jumlah ini
belum memperhitungkan permintaan dari luar propinsi.
Pertanyaannya adalah bagaimana cara menangkap peluang tersebut ?. Ada dua
hal yang perlu dilakukan yaitu inovasi teknologi dan kelembagaan. Menurut
Binswanger dan Ruttan dalam Syahyuti (2003) menyatakan bahwa kelembagaan
merupakan faktor utama yang menghasilkan teknologi dan teknologi yang baik hanya
dapat dapat dihasilkan dari suatu manajemen kelembagaan yang baik pula. Pada sisi
sebaliknya, Asturo Israel (1990) dalam Syahyuti (2003) melihat bahwa teknologi
tertentu harus dilayani oleh kelembagaan tertentu pula.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas telah dilakukan pengkajian mengenai
inovasi teknologi dan kelembagaan perbibitan bawang merah bersertifikat sejak tahun
2003. Tujuan pengkajian adalah untuk menghasilkan dan membentuk kelembagaan
perbibitan bawang merah bersertifikat. Hasil pengkajian diuraikan pada malakah ini.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
312
METODE PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan di sentra produksi bawang merah Jawa Tengah yaitu di
Desa Klampok, Kecamatan Wanasari yang berada di wilayah Kabupaten Brebes.
Luas panen bawang merah di Jawa Tengah pada tahun 2003 mencapai 30.043 ha,
dengan produksi 245.415 ton. Kawasan sentra produksi bawang merah terbesar di
Jawa Tengah adalah di Kabupaten Brebes dengan luas panen mencapai 21.729 ha
(72,33% dari luas panen Jawa Tengah) dan produksi 185.882 ton (75,74% dari total
produksi Jawa Tengah).
Studi dilakukan menggunakan pendekatan partisipatif dan koordinatif yang
didesain untuk menghasilkan dan membentuk kelembagaan perbibitan bawang
merah bersertifikat. Pengkajian dilakukan melalui beberapa tahap meliputi: a).
pemurnian bibit bawang merah varietas Bima dan Kuning (tahun 2003), b).
perbanyakan bibit bawang merah yang telah dimurnikan (2004), c). penyimpanan
bibit (2004), dan d). membentuk kelembagaan perbibitan bawang merah
bersertifikat (2005).
Ruang lingkup pengkajian mencakup: a). inventarisasi dan karakterisasi
pelaku perbibitan bawang merah bersertifikat, b). diskusi terfokus secara partisipatif
untuk mengorganisir kelembagaan perbibitan bawang merah bersertifikat, c).
implementasi kelembagaan perbibitan bibit bawang merah bersertifikat, dan d).
pengamatan kelayakan kelembagaan perbibitan bawang merah bersertifikat.
Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi: karakter pelaku perbibitan
bawang merah, teknologi perbibitan bawang merah, input-output produksi bibit
bawang merah, sertifikasi, serta organisasi dan aturan main perbibitan bawang
merah. Data dan informasi dikumpulkan melalui survey, pertemuan, dan
pengamatan langsung di lapang. Sumber data dan informasi diperoleh dari pelaku
pasar bibit bawang merah serta dari hasil penelitian terdahulu. Data dan informasi
dianalisis secara teknis, ekonomi, dan sosial menggunakan alat statisitik yang
sesuai.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Perbibitan Bawang Merah Bersertifikat
Potensi Biofisik
Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di
Jawa Tengah selama tahun 1993-2003 merupakan potensi bagi pengembangan
perbibitan bawang merah bersertifikat. Pada Gambar 1. ditunjukkan bahwa luas
panen bawang merah di Jawa Tengah berkisar 23.535,6 ha (+6.786,59) per-tahun,
dengan produksi sekitar 200.258,65 ton (+50.353,95). Secara rata-rata luas panen
meningkat rata-rata 8,51% per-tahun dan produksi meningkat rata-rata 7,01% per-
tahun.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
313
Gambar 1. Perkembangan luas panen , produksi, produktivitas bawang
merah di Jawa Tengah 1993-2003
Selain itu, potensi biofisik pengembangan perbibitan bawang merah juga
dapat ditunjukkan melalui kecocokan kondisi agroklimat. Daerah yang cocok untuk
bawang merah di dataran rendah mempunyai karakteristik sebagai berikut: (i)
ketinggian tempat < 300 m.dpl, (ii) jenis tanah alluvial dan regosol, (iii) tipe iklim
menurut klasifikasi Oldeman C3 = 5-6 bulan basah dan 4-6 bulan kering, D3 = 3-4
bulan basah dan 4-6 bulan kering, E3 = 3 bulan basah dan 4-6 bulan kering.
Menurut Sumarni dan Rosliani (1995) pada jenis tanah alluvial akan dihasilkan
bawang merah dengan mutu yang bagus yaitu bentuk umbinya bulat, keras, dan
kulitnya merah violet yang mengkilap.
Potensi Ekonomi
Dari sudut ekonomi, pengembangan perbibitan bawang merah bersertifikat
dapat ditinjau dari permintaan dan tingkat produktivitas. Permintaan bawang
merah yang tinggi dan rendahnya produktivitas merupakan potensi ekonomi bagi
pengembangan perbibitan bawang merah bersertifikat. Permintaan bawang merah
pada tahun 2000 di Indonesia sejumlah 557.983 ton dengan dasar perhitungan
konsumsi per kapita (kg/tahun) sebesar 1,87 ; 2,10; dan 1,94 masing-masing untuk
pedesaan, perkotaan dan Indonesia. Pasokan permintaan tersebut 38,05%
diantaranya berasal dari jawa Tengah.
0
50
100
150
200
250
300
350
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003Ls panen
Produksi ton
produktivitas t /ha
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
314
Namun demikian, sebetulnya permintaan lebih dari perhitungan tersebut, karena
permintaan untuk hotel dan industri serta restoran belum diperhitungkan.
Berdasarkan hasil survey, rata-rata produktivitas petani sampel adalah 8,643
kg/ha + 3.526 kg, dengan tingkat keragaman yang relatif sangat tinggi (> 20%).
Tingkat produktivitas tersebut relatif lebih baik dibanding rata-rata Jawa Tengah
(8,17 ton/ha).
Tabel 1. Analisis usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes
Indikator Luas lahan Produktivitas
(Kg/Ha) Total Biaya Biaya /Kg TR/TC
Rata-rata 0.32 8,643 7,044,971 3,043 1.09
Max 1.00 15,000 18,611,000 6,348 2.06
Min 0.10 4,000 2,947,300 1,778 0.61
STDEV 0.25 2,767 4,419,563 1,100 0.44
KV 315.88 173.54 264.17 208.57 188.16 Keterangan : n=22, TR = Total Revenue, TC = Total Cost, KV = Koefisien Variasi, STDEV = Standar
Deviasi
Berdasarkan rata-rata TR/TC menunjukkan bahwa pada saat dilakukan studi
sebagian petani menderita kerugian. Kinerja usaha tersebut dapat terjadi karena
produksi rendah dan penggunaan obat-obatan (biaya) yang sangat intensif. Kondisi
ini merupakan potensi bagi pengembangan perbibitan bawang merah bersertifikat,
karena salah satu persyaratan kelulusan bibit bawang merah adalah bebas dari
hama penyakit, sehingga dapat mengeleminir biaya.
Potensi Sumberdaya Manusia
Berdasarkan hasil survey di lapangan terhadap 25 orang petani di Kabupaten
Brebes, petani bawang merah yang termasuk katagori petani gurem sebesar 12%
dan petani kecil sebesar 68%. Walaupun jumlah petani yang termasuk katagori
petani gurem dan petani kecil persentasenya besar, namun mereka hanya
menguasai pangsa area sebesar 3,14% dan 37,20%. Sebaliknya petani besar yang
persentasenya relatif kecil, justru menguasai pangsa area. Artinya mereka
mempunyai kekuatan pasar lebih besar karena suplai yang dihasilkannya relatif
lebih tinggi. Adapun struktur petani di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas usahatani, jumlah petani dan konstribusinya terhadap luas total
bawang merah di Kabupaten Brebes, 2004
Katagori petani
Kabupaten Brebes
Petani responden Luas areal usahatani
jumlah % Luas (ha) Pangsa area (%)
Petani gurem
(<0,2 ha)
Patani kecil
(0,2 - < 0,5 ha)
Petani sedang
(0,5- <1,0 ha)
Petani besar
(>1 ha)
3
17
2
3
12
68
8
12
0,575
6,8
2,89
8
3,14
37,20
15,81
43,85
Total 25 100 18,275 100
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
315
INOVASI TEKNOLOGI PERBIBITAN BAWANG MERAH
BERSERTIFIKAT PEMURNIAN BIBIT
Bawang merah varietas Bima dan Kuning merupakan varietas yang banyak
dikembangkan di daerah sentra produksi bawang merah, utamanya di Kabupaten
Brebes. Jaminan kemurnian varietas tersebut diragukan sebagai akibat prosedur
pembibitan yang dilakukan kurang optimal. Untuk itu dalam rangka melestarikan
sumberdaya hayati dan plasma nutfah serta meningkatkan produktivitas bawang
merah, kegiatan pemurnian bawang merah telah dilakukan pada tahun 2003.
Adapun keragaan produksi, bentuk, dan warna dari varietas Bima dan Kuning
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Keragaan produksi, bentuk, dan warna umbi bawang merah berdasarkan
varietas
Uraian Varietas
Bima Kuning
Warna umbi
Bentuk biji
Bentuk umbi
Produksi
Merah muda
Bulat, gepeng, berkeriput
Lonjong
9,9 ton/ha
Merah gelap
Bulat, gepeng, berkeriput
Bulat, ujung meruncing
6-14,4 ton/ha Sumber: Hairil et al, 2004
Permunian varietas Bima dan Kuning dilakukan melalui jaringan penelitian
dan pengkajian (Litkaji) antara Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) Lembang dengan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah. Berdasarkan surat
keterangan yang dikeluarkan oleh Balitsa Lembang menyebutkan bahwa hasil yang
diperoleh, masing-masing varietas memiliki tingkat kemurnian yang tinggi (> 90%).
Pada musim kemarau (MK) 2003 dihasilkan bibit bawang merah varietas Bima
sebanyak 300 kg dan varietas Kuning sebanyak 500 kg. Sedangkan pada musim
hujan (MH) 2003 dihasilkan bibit varietas Bima sebanyak 410 kg dan varietas
Kuning sebanyak 210 kg. Bibit tersebut merupakan hasil seleksi dan pemurnian
bawang merah atas pengawasan pemulia dari Balitsa Lembang dengan kelas bibit
SS sebagai bibit sumber.
Perbanyakan Bibit
Pada TA. 2004 dilakukan perbanyakan bibit terseleksi dari klas bibit FS dan
ES, sehingga diperoleh bibit bawang merah terseleksi dengan klas bibit SS.
Komponen teknologi budidaya yang dilakukan meliputi: penggunaan bahan organik,
pemupukan berimbang, serta pengendalian hama penyakit secara terpadu (PHT).
Selain itu dilakukan penyertifikatan benih/bibit oleh Balai Pengawasan Sertifikasi
Benih (BPSB).
Dari luas lahan 5000 m diperoleh produksi umbi pada MK 2004 sebanyak
4.329,5 kg umbi basah dan setelah proses pengeringan (pasca panen) mengalami
penyusutan menjadi 4.224,6 kg. Berdasarkan hasil pemeriksaan di lapang oleh
petugas BPSB, diperoleh hasil dari lima sampel tanaman yang diambil
menunjukkan bahwa pada fase vegetatif, campuran varietas lain atau off type pada
bibit bawang merah yang ditanam sebanyak 1,4 atau 0,7 % pada varietas Bima dan
1,2 atau 0,3% pada varietas Kuning. Pada fase generatif (menjelang panen), CVL
yang ditemui masing-masing sebanyak 1,0 atau 0,3%. CVL tersebut meliputi: daun
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
316
berwarna hijau muda dan berukuran kecil pada varietas Bima, sedangkan CVL pada
varietas Kuning menunjukkan warna daun hijau tua dan bentuk lebih lonjong.
Secara ekonomi teknologi perbanyakan bibit bawang merah yang
diintroduksikan dibandingkan teknologi yang biasa diterapkan petani memberikan
penerimaan yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah (Tabel 4). Biaya
produksi dengan menggunakan pola introduksi adalah sebesar Rp.2.933,-/kg
sedangkan dengan pola petani Rp. 2.984
Tabel 4. Analisa usahatani bibit bawang merah
No. Parameter Pola Penerapan Teknologi
Introduksi Petani
1.
2.
3.
4.
Biaya produksi (Rp/kg)
Penerimaan (Rp/ha)
Keuntungan kotor (Rp/ha)
Titik impas produksi (kg/ha)
2933
31.650.000
70.800
10.314
2984
31.620.000
163.000
10.485
Penyimpanan Bibit
Proses penyimpanan bibit di gudang juga sangat menentukan tingkat kualitas
bibit yang dihasilkan dan penyimpanan yang tidak sempurna akan mendatangkan
kerugian akibat susut bobot yang tinggi. Menurut Ryal and Lipton (1972) dalam
Musaddad dan Sinaga (1994), penurunan mutu bawang merah selama di
penyimpanan diakibatkan kerusakan mekanis, fisiologis dan mikroorganisme yang
dicirikan dengan penurunan kadar air, tumbuhnya tunas, pelunakan umbi,
tumbuhnya akar dan busuk. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa bibit bawang
merah yang disimpan dengan cara diasapi pada musim kemarau mengalami
penyusutan sebesar 22%, sedangkan yang tidak diasapi penyusutan yang terjadi
sekitar 17%.
Inovasi Kelembagaan
Kelembagaan perbibitan bawang merah yang dibentuk, mengacu pada saran
Soelaiman dalam Syahyuti (2003), yaitu: a). tidak merubah struktur, posisi, dan
peran tokohnya; b). Pendekatan dengan pola partisipatif; c). Melibatkan ketokohan
institusi bersangkutan; dan d). Penyusunan modelnya berlandaskan pertimbangan
ilmiah, praktis sesuai situasi, kondisi, serta penyaluran para petugas di lapangan.
Struktur organisasi perbibitan bawang merah bersertifikat merupakan bagian
dari kelompok “Tani Makmur” yang sudah ada sebelumnya. Organisasi yang
dibentuk bernama “Barokah” yang beranggotakan 11 orang petani dengan areal
pertanaman bibit bawang merah yang diusahakan kelompok pada tahap pertama
seluas 4,9 ha. Pembagian kerja dilakukan secara sederhana, yaitu terdiri dari
Pembina (Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan Kabupaten Brebes), Penasehat
(Ketua Kelompok Tani Makmur merangkap anggota), Koordinator (petani sekaligus
tokoh masyarakat), dan Anggota. Sebenarnya secara “tekstual” ada ketua, sekretaris
dan bendahara, namun secara “fatual” peran tersebut digantikan oleh koordinator
dengan alasan lebih efisien karena wilayah kerjanya masih dapat tertangani.
Keputusan ini dilakukan melalui proses partisipatif dalam forum pertemuan yang
dihadiri oleh semua anggota.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
317
Tujuan organisasi adalah mengelola usaha perbibitan bawang merah
bersertifikat dan tujuan ini juga merupakan tujuan dari semua anggota. Hal ini
disebabkan pembentukan maupun perekrutan anggota berdasarkan pada tujuan
yang sama. Hubungan antar anggota bersifat face to face group yang saling
mengenal secara mendalam dan personal. Kondisi ini memudahkan untuk
melakukan musyawarah dalam menghadapai setiap permasalahan yang ada.
Permasalahan utama yang dihadapi adalah proses sertifikasi bibit memakan waktu
sekitar dua bulan, padahal modal anggota kelompok sangat terbatas dan
membutuhkan modal tunai untuk membayar biaya usaha perbibitan bawang merah.
Permasalahan tersebut telah dieleminir melalui kesepakatan antara kelompok
”Barokah” dengan BPSB, sertifikasi akan dipercepat maksimal 1 bulan dengan biaya
operasional ditanggung oleh kelompok ”Barokah”.
Modal (finansial) merupakan prasyarat krusial bagi berjalannya organisasi
dalam mengembangkan usaha perbibitan bawang merah. Penguatan modal
organisasi dilakukan melalui: a) iuaran wajib untuk modal awal Rp. 50.000,- per
anggota, b). simpanan wajib 50 kg bawang merah kering/anggota/musim tanam, c).
tabungan Rp. 10.000,-/kwintal.
Secara konseptual kelembagaan perbibitan bawang merah bersertifikat terdiri dari
kelembagaan produksi dan pemasaran. Pada kelembagaan produksi peran BPSB
sebagai pejabat sertifikasi dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) sebagai
sumber teknologi sangat menentukan keberhasilan usaha produksi perbibitan
bawang merah yang bersertifikat. Pada tahap lanjutan peran tersebut akan
berkurang seiring dengan peningkatan kemampuan organisasi dalam melakukan
usaha perbibitan. Model kelembagaan produksi perbibitan bawang merah
bersertifikat dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Model kelembagaan produksi bibit bawang merah bersertifikat
Bibit bawang merah varietas Bima dan Kuning yang dihasilkan pada
kelembagaan produksi kemudian dipasarkan. Permasalahan yang dihadapi dalam
tataniaga perbibitan bawang merah mencakup tiga hal, yaitu: (1) rendahnya harga
panen raya, (2) distribusi keuntungan yang tidak merata, dan (3) kekuatan pasar
yang tidak seimbang. Untuk mengatasi permasalahan senjang harga perlu
dioptimalkan penjadwalan tanam sehingga produksi dapat sesuai dengan
permintaan pasar. Peran Dinas Perdagangan sebagai fasilitator terutama dalam
memberikan informasi pasar (permintaan).
Balit/BPTP
BPSB/Dinas Himpunan
penyimpanan
bibit/anggota
Himpunan
penangkar
bibit/anggota S
A
P
R
O
D
I
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
318
Berkaitan dengan permasalahan marjin keuntungan yang diterima
penangkar paling kecil, alternatif yang dapat disarankan adalah pasar lelang. Pada
pasar lelang petani (penangkar) dapat bertemu langsung dengan pembeli
(pedagang). Pada pasar lelang dibuat transaksi yang mencakup harga dan jumlah
serta kualitas barang. Kesepakatan yang ada perlu dijamin oleh produk hukum yang
mengatur sangsi bila terjadi pelanggaran kesepakatan. Dinas Perdagangan berperan
sebagai fasilitator yang mempertemukan antara petani (produsen) dan pedagang.
Adapun model kelembagaan pemasaran bibit bawang merah bersertifikat disajikan
pada Gambar 3.
Gambar 3. Model kelembagaan pemasaran bibit bawang merah bersertifikat
KESIMPULAN DAN SARAN
Pengembangan usaha perbibitan bawang merah bersertifikat melalui inovasi
teknologi, sangat prospektif ditinjau dari potensi biofisik, permintaan yang
tinggi (557.983 ton/tahun), produktivitas mengalami penurunan (degradasi
genetik) 0,96% / tahun.
Pengembangan usaha perbibitan bawang merah bersertifikat melalui inovasi
kelembagaan juga sangat prospektif ditinjau dari sumberdaya manusia.
Struktur petani bawang merah yang termasuk petani gurem (<0,2 ha) dan
petani kecil (0,2 - < 0,5 ha) sekitar 54%dengan pangsa area yang dikuasai
sekitar 35,54%, sisanya dikuasai oleh petani sedang (0,5 - < 1,0 ha) dan besar
(> 1 ha). Usahatani bawang merah dengan skala usaha < o,6 ha cenderung
tidak efisien.
Permunian varietas Bima dan Kuning dilakukan melalui jaringan penelitian
dan pengkajian (Litkaji) antara Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) Lembang
dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah.
Berdasarkan surat keterangan yang dikeluarkan oleh Balitsa Lembang
menyebutkan bahwa hasil yang diperoleh, masing-masing varietas memiliki
tingkat kemurnian yang tinggi (> 90%).
Secara ekonomi teknologi perbanyakan bibit bawang merah yang
diintroduksikan dibandingkan teknologi yang biasa diterapkan petani
Dinas perdagangan
Konsumen
Pedagang/anggota
Himpunan
penangkar/anggota
Himpunan
penyimpan/anggota
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
319
memberikan penerimaan yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah. Biaya
produksi dengan menggunakan pola introduksi adalah sebesar Rp.2.933,-/kg
sedangkan dengan pola petani Rp. 2.984,-.
Bibit bawang merah yang disimpan dengan cara diasapi pada musim kemarau
mengalami penyusutan sebesar 22%, sedangkan yang tidak diasapi penyusutan
yang terjadi sekitar 17%.
Telah dibentuk organisasi perbibitan bawang merah bersertifikat dengan nama
”Kelompok Barokah” yang beranggotakan sejumlah 11 orang. Struktur organisasi
melibatkan Dinas Perdagangan dan Dinas Pertanian Kabupaten Brebes, serta
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah sebagai pembina
teknologi.
Kegiatan utama organisasi tersebut adalah melakukan usaha agribisnis perbibitan
bawang merah bersertifikat mulai dari produksi bibit sampai pemasaran. Aturan
main yang disepakati meliputi: penangkaran bibit bawang merah dilakukan semua
anggota, pemasaran bibit dikelola oleh anggota yang ditunjuk, iuran wajib anggota
Rp. 50.000,- digunakan untuk modal awal, simpanan modal setiap musim tanam
sebesar 50 kg bawang kering/anggota, insentif pemasaran Rp. 10.000,- / kwintal.
Diharapkan inovasi teknologi dan kelembagaan perbibitan bawang merah yang
bersertifikat dapat berperan dalam meningkatkan produksi bawang merah dan
mempercepat agribisnis industrial di pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah, 1993-2002. Jawa Tengah Dalam Angka
Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah.1999. Kebutuhan Teknologi dalam Rangka
Mendukung Program Unggulan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura. Materi APTEK Paket Rekomendasi Sub Sektor Tanaman
Pangan.Bandungan
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Jawa Tengah, 2003.
Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura.
Hairil A, Endang Iriani, Dede Juanda, 2004. Laporan Tahunan. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Ungaran
Musaddad, D., dan R.M. Sinaga. 1994. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu
Bawang Merah. Bulletin Hortikultura Vol.XXVI No.2. Balitsa Lembang
Sarjana, Seno Basuki, Muryanto, Dian M., Kendriyanto, Sularno, Samijan dan Tri
Reni P., 2003. Laporan Pemantauan Indikator Pembangunan Pertanian Jawa
Tengah. BPTP Jawa Tengah
Setiani C., E. Iriani, D Juanda, dan T Prasetyo.2004. Tataniaga Bawang Merah di
Jawa Tengah. Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi jawa Tengah.
Semarang
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
105
KERAGAAN HASIL DAN KELAYAKAN DALAM INTRODUKSI
TEKNOLOGI VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI LAHAN SAWAH
IRIGASI KABUPATEN BANTUL, DIY.
Sugeng Widodo*) dan Rob Mudjisihono*)
ABSTRAK
Produktivitas padi lahan sawah di DIY secara umum mengalami penurunan,
namun untuk kabupaten Bantul secara rerata masih diatas rerata nasional yaitu
antara 5.5 – 7.0 t/ha GKP. Peningkatan produktivitas padi seyogyanya diimbangi
dengan peningkatan pendapatan. Oleh sebab itu selain produktivitas, alternatif
lainnya adalah efisiensi penggunaan input untuk menekan biaya namun tetap
memiliki produktivitas tinggi. Salah satu alternatif ini adalah penerapan teknologi
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan memanfaatkan varietas unggul baru.
Penelitian dilakukan di Desa Canden, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul di MK
2004. Digunakan dua varietas padi aromatik Sintanur dan Batang Gadis serta satu
varietas padi non aromatik IR-64. Pemupukan berimbang dilakukan dengan takaran
pupuk Urea berkisar 200-300 kg/ha; pupuk SP-36 50 kg/ha; pupuk KCl 50 kg/ha.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, (1) varietas Sintanur yang dipanen pada
umur panen 90 hst rata-rata 7.000.82 t/ha GKP (n=11), untuk varietas Batang
Gadis yang dipanen pada umur 95 hst rata-rata 6.600.57 t/ha GKP (n=11).
Rendahnya hasil gabah untuk varietas Batang Gadis disebabkan karena serangan
hama sundep 10-20%,. (2) kelayakan usahatani berdasarkan rasio R/C ketiga
varietas layak dengan indikator R/C > 1,0. yaitu antara 1,95 – 2,14, (3) dari sisi rasio
BC hanya varietas Sintanur layak dengan indikator B/C 1,14, (4) berdasarkan
kelayakan teknologi, hanya varietas Sintanur yang layak dengan indikator nilai
MBCR >2,0 yaitu 3,80 sehingga dapat disimpulkan bahwa varietas Sintanur dapat
direkomendasikan untuk dikembangkan di DIY.
Kata Kunci : VUB Padi, Lahan Sawah, Produksi, Kelayakan
PENDAHULUAN
Menghadapi perdagangan bebas AFTA pada tahun 2003 dan meninjau kondisi
perdagangan beras saat ini, pemerintah menghadapi tantangan tidak hanya
meningkatkan produksi beras, namun aspek kualitas beras menjadi tuntutan
konsumen dari dalam dan luar negeri. Hal ini terbukti dengan masuknya beras
impor yang berkualitas sama dengan beras dalam negeri, namun harganya lebih
murah, sehingga persaingan bertambah ketat. (Sovan, 2002)
Beras merupakan komoditi strategis dan potensial dalam mendukung
ketahanan pangan di Indonesia. Oleh sebab itu berbagai upaya dilakukan oleh
pemerintah untuk mempertahankan atapun meningkatkan produktivitas sehingga
mampu menjaga ketahanan pangan dan sekaligus kestabilan politik. _________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
106
Walaupun kita menyadari permasalahan komplek yang terjadi dalam dunia
perberasan di tanah air, dengan kebijakan-kebijakan yang tidak populer dengan
impor beras, namun kebijakan ini justru merusak dan merugikan produsen yaitu
petani secara umum. Kondisi sekarang ini sebenarnya insentif harga gabah yang
terjadi dipasaran sudah cukup menjanjikan, dengan harga rerata diatas Rp 2.000,-
/kg/GKP kualitas baik, sehingga petani diuntungkan Dengan latar belakang kondisi
perberasan sekarang ini akan menumbuhkan iklim yang sehat bagi usahatani lahan
sawah, seperti yang terjadi di Kabupaten Bantul. Serangkaian penelitian di
Kabupaten Bantul sejak tahun 2000-2004 tentang berbagai teknologi yang diuji di
lahan sawah, memberikan peluang besar dengan produktivitas rerata mencapai 7-8
t/ha GKP (Mudjisihono et al. 2004a), sedangkan produktivitas ditingkat petani
masih 30% dibawah hasil penelitian. Hal ini merupakan suatu peluang bagi petani
untuk mengadopsi teknologi tersebut, melalui peran serta pemerintah daerah dan
bimbingan petugas penyuluh dan peneliti.
Potensi hasil varietas-varietas unggul padi sawah telah mencapai titik jenuh,
terbukti dengan rata-rata produksi padi persatuan luas telah melandai. Dengan
memperhatikan mutu gabah/beras yang mengarah kepada permintaan pasar, baik
domestik maupun internasional, maka pengenalan varietas padi unggul baru
aromatik diharapkan dapat meningkatkan harga jual beras yang dihasilkan
(Mudjisihono et al, 2004b).
Wilayah kabupaten Bantul sudah mengembangankan Varietas Unggul Baru
(VUB), VUTB, PTB maupun teknologi pengelolaan tanaman secara terpadu (PTT).
Petani sudah merasakan keuntungan adanya teknologi yang dikembangkan oleh
Balitpa dan BPTP DIY.
Walaupun secara umum kondisi perpadian di Kabupaten Bantul cukup baik,
namun permasalahan yang terjadi dilapang masih terjadi antara lain : iklim yang
sulit diramal dengan tepat (misalnya mundurnya musim hujan dan musim kemarau
yang panjang), eksplorasi serangan hama dan perubahan fungsi lahan yang sulit
untuk dikendalikan. Berbagai kebijakan pemerintah daerah yang sangat kondusif
dilakukan antara lain Peningkatan Mutu Intensifikasi (PMI) dan Perluasan Areal
Tanam (PAT) Padi. Melalui kebijakan ini, ditargetkan terjadi peningkatan produksi
beras di Kabupaten Bantul sebanyak 61,48 kuintal per hektar pada luasan areal
tanam 500 hektar (Anonimus, 2004).
METODOLOGI
Lokasi Penelitian dlakukan di Desa Canden, Kecamatan Jetis, Kabupaten
Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada MK 2004
bulan Maret - Juni 2004. Penentuan lokasi dilakukan secara ‖purposive sampling‖
dengan alasan lokasi merupakan salah satu sentra penghasil padi potensial di
kabupaten Bantul. Selain itu persyaratan teknis terpenuhi dalam penerapan
teknologi yang akan diuji. Penelitian melibatkan 33 petani dalam unit hamparan
pengujian (UHP). Pendekatan metode penelitian adalah OFCOR (Onfarm Client Oriented Research) (Harrinton 1989, dan Merril-Sand and Allistar, 1988). Teknologi
yang diuji adalah varietas Aromatik (Sintanur dan Batang Gadis) dan varietas Non
Aromatik (IR 64), sedangkan pemupukan berimbang dengan kombinasi pupuk Urea
berkisar 200-300 kg/ha; SP-36 50 kg/ha; dan KCl 50 kg/ha.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
107
Pendekatan analisis usahatani dari sisi penerimaan, keuntungan, rasio R/C,
rasio B/C (Soekartawi, 1995), sedangkan untuk menguji kelayakan finansial dengan
mengggunakan Ratio Marjinal Penerimaan Kotor atas Biaya Variabel (Marginal Benefit Cost Ratio= MBCR). Pendekatan MBCR berdasarkan Kriteria Malian (2004)
tentang kelayakan teknologi baru. Kelayakan MBCR dapat dirumuskan sbb:
Penerimaan kotor (B) – Penerimaan kotor (P)
MBCR =---------------------------------------------------------------------
Total biaya (B) – total biaya (P)
dimana :
B = teknologi baru
P = teknologi petani
MBCR < 2 teknologi tidak layak
MBCR > 2. teknologi layak untuk direkomendasikan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan hasil introduksi varietas padi
1. Varietas Sintanur
Hasil pengujian varietas Sintanur di MK tahun 2004 dengan kombinasi
pemupukan berimbang dengan takaran pupuk Urea berkisar 200-300 kg/ha; SP-36
50 kg/ha; dan KCl 50 kg/ha menunjukkan bahwa varietas Sintanur yang dipanen
pada umur panen 90 hst rata-rata menghasilkan 7.000.82 t/ha GKP (n=11). Hasil
produksi lebih baik dibandingkan dengan varietas Batang Gadis dan IR 64 (Tabel 1).
Berdasarkan analisis mutu hasil, varietas Sintanur memiliki persentase
kotoram rerata 10,03% cukup baik. Kadar air basah rerata 27,05 termasuk kriteria
baik. Untuk gabah hampa bervariasi antara 5,64% – 30,05%, namun secara rerata
memiliki gabah hampa 15,04%. Untuk gabah bernas rerata sebesar 84,96%, dan hal
inipun termasuk criteria cukup baik. Dengan 5 indikator untuk penentuan kualitas
gabah yang dihasilkan saat panen, varietas Sintanur dapat dikategorikan baik, dan
hal ini ditunjukkan bahwa harga pasaran ditingkat petani relatif lebih baik
dibandingkan dengan varietas Batang Gadis maupun IR 64 dengan selisih harga
antara Rp 50-Rp 125,-/kg lebih tinggi Sintanur.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
108
Tabel 1. Data hasil panen ubinan varietas Sintanur pada Unit Hamparan
Pengkajian (UHP) lokasi desa Canden, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul,
MK 2004
No. Nama Ubinan
(kg)
Hasil
(t/ha)
%
kotoran
Density/
liter
ka.
Basah
Berat
1000
butir
(gr)
Gabah
hijau
(%)
Gabah
hampa (%)
Gabah
bernas (%)
1 Adi Paijan 3.80 6.08 10.00 545.29 25.87 25.80 14.77 10.86 89.14
2 Jopairo 4.50 7.20 4.00 557.06 25.85 27.40 17.23 16.47 83.53
3 Karto Suwito 4.00 6.40 8.33 525.61 26.05 28.30 21.93 20.41 79.59
4 Marmukri 4.70 7.52 9.09 523.44 25.73 26.60 19.57 17.45 82.55
5 Mugo Utomo 4.80 7.68 3.57 555.10 25.29 26.80 10.19 16.47 83.53
6 Rukijan/rusdi utomo 4.40 7.04 11.76 536.39 24.64 28.50 8.86 22.22 77.78
7 Sajiyo 5.30 8.48 11.11 526.37 25.97 27.00 10.57 7.99 92.01
8 Sarijan 4.00 6.40 10.00 540.42 25.04 27.70 14.43 12.24 87.76
9 Suparman 4.80 7.68 16.67 526.38 25.39 26.30 10.19 30.05 69.95
10 Swiantoro 4.40 7.04 16.67 547.74 25.03 26.60 15.67 5.65 94.35
11 Tuminah/ Joyo Utomo 3.40 5.44 9.09 552.16 26.07 26.60 15.44 5.64 94.36
Rata-rata 4.37 7.00 10.03 539.63 25.54 27.05 14.44 15.04 84.96
Std 0.51 0.82 3.99 12.13 0.46 0.80 3.99 7.18 7.18
Tabel 2. Data hasil panen ubinan varietas Batang Gadis pada Unit Hamparan
Pengkajian (UHP) lokasi Desa Canden, kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul,
MK 2004
No. Nama ubinan
(kg)
Hasil
(t/ha)
%
kotoran
Density/
liter
ka.
Basah
berat 1000
butir (gr)
Gabah
hijau
(%)
Gabah
hampa (%)
Gabah
bernas
(%)
1 Hadi sagiyo 4.70 7.52 12.50 515.71 23.77 24.70 17.06 19.28 80.72
2 Jokarso 4.00 6.40 9.38 545.39 26.69 22.60 13.99 22.86 77.14
3 Jowarno/ Wagirah 3.50 5.60 6.25 546.39 23.96 22.50 14.45 18.43 81.57
4 Karto Suwito 4.00 6.40 13.89 546.03 25.01 24.30 10.40 16.62 83.38
5 Reksonadi 4.60 7.36 7.32 543.76 26.69 24.70 15.82 19.84 80.16
6 Sardi Utomo 4.40 7.04 13.51 531.71 25.34 22.50 5.29 29.22 70.78
7 Suharjono 3.70 5.92 7.14 545.17 23.72 22.60 11.57 17.75 82.25
8 Suwarno 4.00 6.40 5.88 535.74 24.37 22.90 13.79 16.10 83.90
9 Towiharjo 4.40 7.04 8.33 530.05 24.84 22.70 10.20 25.17 74.83
10 Wardi 3.90 6.24 6.25 538.85 26.35 23.50 15.26 18.45 81.55
11 Warto 4.20 6.72 21.21 542.55 25.00 21.70 10.96 23.67 76.33
Rata-rata 4.13 6.60 10.15 538.30 25.07 23.15 12.62 20.67 79.33
Std 0.35 0.57 4.50 9.04 1.05 0.96 3.19 3.88 3.88
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
109
2. Varietas Batang Gadis
Hasil pengujian varietas Batang Gadis dengan kombinasi pemupukan
berimbang dengan takaran pupuk yang sama seperti varietas Sintanur yaitu Urea
berkisar 200-300 kg/ha; SP-36 50 kg/ha; dan KCl 50 kg/ha menunjukkan bahwa
varietas Batang Gadis yang dipanen pada umur 95 hst rata-rata menghasilkan
6.600.57 t/ha GKP (n=11) lebih rendahnya hasil gabah untuk varietas Batang Gadis
disebabkan karena sebagian serangan hama sundep 10-20%. Hasil produksi dan
analisis mutu hasil disajikan pada tabel 2.
3. Varietas IR 64
Dalam penelitian ini varietas IR 64 yang merupakan varietas non aromatik
dan sangat dominan dan disukai oleh petani setempat masih memberikan hasil
produksi cukup tinggi. Takaran pupuk yang diberikan adalah sama dengan varietas
Sintanur dan Batang Gadis. Hasil produksi rata-rata yang dicapai adalah 6.17 0.6
t/ha GKP (n=11). Produksi IR 64 ditingkat penelitian masih cukup baik dimana
hama dan penyakit relatif dapat ditekan/dikendalikan. Namun secara umum
varietas IR 64 yang masih digemari oleh petani setempat produksi rerata secara
umum ditingkat petani 20-30% dibawah hasil penelitian yaitu antara 4,85 – 5,90
t/ha GKP. Hal ini disebabkan karena varietas IR 64 ditingkat petani memang sudah
menunjukkan kerentanannya terhadap hama dan penyakit disamping menurunnya
hasil tersebut akibat petani yang menanam terus menerus. Keragaan hasil dan
analisis mutu hasil disajikan pada tabel 3.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
110
Tabel 3. Data hasil panen ubinan varietas IR-64 pada Unit Hamparan Pengkajian
(UHP) lokasi desa Canden, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, MK 2004
No. Nama ubinan
(kg)
Hasil
(t/ha)
%
kotoran
Density/
liter
ka.
Basah
berat
1000
butir
(gr)
Gabah
hijau
(%)
Gabah
hampa (%)
Gabah bernas
(%)
1 Isdiyanto 3.80 6.08 12.82 555.64 23.51 24.90 13.11 25.04 74.96
2 Jinem 3.50 5.60 7.50 549.79 23.50 26.50 9.70 15.52 84.48
3 Murtiyem 3.20 5.12 14.29 530.37 26.10 24.40 16.12 17.27 82.73
4 Parto 4.20 6.72 5.88 552.56 23.56 27.90 12.28 10.39 89.61
5 Ponijo 3.90 6.24 5.88 538.39 23.34 25.70 20.91 14.01 85.99
6 Rio 4.00 6.40 8.70 538.05 23.72 25.20 9.23 12.64 87.36
7 Robi 4.60 7.36 10.00 536.90 26.43 23.70 18.75 20.86 79.14
8 Sugiwarno/minar 3.80 6.08 7.69 531.08 24.96 25.70 12.69 12.43 87.57
9 Tarjo 3.50 5.60 7.14 515.47 24.51 24.20 15.41 6.32 93.68
10 Tuginem 3.70 5.92 5.56 540.75 23.36 26.40 7.22 30.74 69.26
11 Wito 4.20 6.72 7.14 538.06 24.10 26.40 10.43 11.42 88.58
Rata-rata 3.85 6.17 8.42 538.82 24.28 25.55 13.26 16.06 83.94
Std 0.37 0.60 2.73 10.78 1.05 1.17 4.00 6.73 6.73
Dilihat dari analisis mutu, persentase kotoran varietas IR 64 adalah 8,42 %
relatif lebih baik dibandingkan dengan varietas Sintanur dan Batang Gadis rerata
10%. Sedangkan dilihat dari sisi gabah hijau varietas IR 64 memiliki gabah hijau
rerata 13,26%, ini juga lebih baik dibandingkan dengan varietas Sintanur (14%),
namun dibawah varietas Batang Gadis dengan persentase gabah hijau rerata
12,62%. Begitu pula dilihat dari gabah hampa cukup baik yaitu 16,06% lebih baik
dibandingkan dengan Batang Gadis (20,67%) namun lebih rendah dibandingkan
dengan varietas Sintanur (15,05%).
ANALISIS USAHATANI
Pendekatan analisis usahatani yang dilakukan dengan melihat sisi
penerimaan, pengeluaran baik implisit dan eksplisit, kelayakan usahatani (R/C dan
B/C) dan kelayakan teknologi dengan melihat nilai MBCR (Marginal Benefit Cost Ratio) pada pengujian introduksi varietas Aromatik (Sintanur dan Batang Gadis).
Penerimaan adalah perkalian antara hasil gabah dengan harga. Untuk harga
gabah kering pungut (GKP), ada perbedaan yaitu untuk IR 64 dan Batang Gadis
rerata Rp 1.200,-/kg, sedangkan untuk varietas Sintanur sedikit lebih baik yaitu Rp
1.250 – Rp 1.325,-/kg. Biaya implisit yaitu biaya yang benar-benar dikeluarkan dalam
usahatani padi yang dilakukan meliputi tenaga kerja luar dan tenaga kerja keluarga
(pengolahan tanah sampai dengan panen), sewa lahan, sarana produksi, dan biaya
lainnya (pajak, air, selamatan), dan penyusutan alat, sedangkan biaya eksplisit yaitu
semua biaya yang dikeluarkan dalam usahatani padi, kecuali tenaga keluarga dan
lahan. Hasil analisis usahatani padi disajikan pada tabel 4.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
111
Tabel 4. Analisis Usahatani, R/C dan B/C Rasio pada introduksi teknologi
varietas unggul baru (VUB) per hektar di Desa Canden, Kecamatan Jetis,
Kabupaten Bantul, DIY. MK 2004
Varietas
Produksi
(t/ha)
GKP
Biaya Penerimaan
kotor
(Rp)
Keuntung
an (Rp)
Indikator
Kelayakan MBCR VUB
terhadap IR 64 Implisit
(Rp)
Ekplisit
(Rp)
Total
(Rp) R/C B/C
IR 64 6.17 2900250 875000 3775250 7404000 3628750 1.96 0,9
6
-
Batang
Gadis
6.60 3150000 898000 4048000 7920000 3872000 1.95 0,9
6
1,89
Sintanu
r
7.00 3250000 925000 4175000 8925000 4750000 2.14 1.1
4
3,80**
**) Layak
Dari hasil analisis usahatani pada ketiga varietas yang diuji ternyata varietas
Sintanur paling baik dibandingkan dengan varietas Batang Gadis dan IR 64 dengan
indikator : keuntungan Rp 4.740.000,-/ha sedangkan untuk varietas IR 64 sebesar
Rp 3.628.750, dan Batang Gadis sebesar Rp 3.872.000. Dilihat dari sisi kelayakan
usaha ketiga varietas yang diuji layak dari sisi rasio R/C yaitu > 1,0 yaitu antara
1,95-2,14. Namun untuk kelayakan usaha dari sisi rasio B/C hanya varietas
Sintanur yang layak dengan nilai BC > 1,0 yaitu 1,14, sedangkan varietas IR 64 dan
Batang Gadis 0,96 (Tabel 4). Hasil yang sama juga didapatkan dalam pengujian
varietas di Kabupaten Sleman, dimana varietas Sintanur dan Cimelati lebih baik
dibandingkan dengan VUB Ciherang, Cigeulis, Bondoyudo dan Towuti (Mudjisihono
et al. 2004a; Widodo, et al., 2005)
Dilihat dari nilai Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) dengan menggunakan
kriteria kelayakan (Malian 2004), dimana introduksi teknologi yang diuji varietas
Aromatik (Sintanur dan Batang Gadis) terhadap varietas non Aromatik (IR 64),
dengan asumsi varietas IR 64 dianggap sebagai kontrol atau perlakuan petani yang
biasa dilakukan di wilayah penelitian, ternyata hanya varietas Sintanur layak
dengan indikator nilai MBCR > 2,0 yaitu 3,80 (Tabel 4).
KESIMPULAN
Dari keragaan hasil, analisis kelayakan usahatani dan kelayakan teknologi
dapat disimpulkan :
1. Varietas Sintanur yang dipanen pada umur panen 90 hst rata-rata 7.000.82
t/ha GKP (n=11), untuk varietas Batang Gadis yang dipanen pada umur 95 hst
rata-rata 6.600.57 t/ha GKP (n=11) rendahnya hasil gabah untuk varietas Batang
Gadis disebabkan karena serangan hama sundep 10-20 %.
2. Berdasarkan kelayakan usahatani dari sisi rasio R/C ketiga varietas layak dengan
indikator R/C > 1,0. yaitu antara 1,95 – 2,14
3. Dari sisi rasio B/C hanya varietas Sintanur layak dengan indikator B/C 1,14.
4. Sedangkan berdasarkan kelayakan teknologi, juga hanya varietas Sintanur yang
layak dengan indikator nilai MBCR >2,0, yaitu 3,80, sehingga dapat
direkomendasikan bahwa Sintanur terbaik dan dapat direkomendasikan untuk
dikembangkan di DIY.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
112
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2004. Laporan Hasil Kegiatan Introduksi Varietas Unggul Padi Sawah di
Bantul. Kerjasama Pemda Bantul dengan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Yogyakarta. 2004.
Harrington, L.W., M.D. Read, D.P. garity, J. Wolley and R. Trips., 1989. Approaches to On-Farm Client Oriented Research: Similarities, Differences and Future Direction. Paper for International Workshop on Development in Procedures
for FSR/OFR, Bogor, El Batan, Mexico.
Malian, A.H, 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi
pada Skala Pengkajian. Malkalah Pelatihan Analisis Finansial dan
Ekonomi bagiPengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah.
Bogor, 29 November – 9 Desember 2004
Merril-Sands, D and J Mc. Allistar, 1988). Strengthening The Integration of On-Farm Client Oriented Research and Experiment On-Station Research in National Agric. Research Systems (NARS): Management Lesson from Nine
Country Case Studies, ISNAR, OFCOR Comparative Study No. 1 The
Hague.
Sovan M, 2002. Peranan Penanganan Pasca Panen Untuk Menurunkan Kehilangan
Hasil. Makalah pada workshop Kehilangan Hasil Pasca Panen. Jakarta.
Agus Setyono, Iwan Juliardi, Reki Hendrata, Teguh Santosa, D. Riyanto, Arlyna B.P,
Sugeng Widodo, Sarjono, T.K. Nugroho, Mahargono K dan M. Mustofa.
2004a. Laporan Hasil Pengkajian Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah
Dataran Rendah D.I.Yogyakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Yogyakarta. unpublished.82 Hal.
Mudjisihono, R., A. Setyono, Sugeng Widodo, B. Sudaryanto, S. Rahayu, Mulyadi, T.
Santoso, Suharno, Mahargono dan T. Kristianto Nugroho. 2004b. Laporan
Hasil Pengkajian Pola Penanganan Pasca Panen Tanaman Padi di
Kabupaten Bantul. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta-
PAATP Jakarta.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia. UI. Press. Hal 9-89
Widodo, S., Heni P dan R. Mudjisihono. 2005. Keragaan dan Hasil Kelayakan
Introduksi Varietas Unggul Baru Padi Di Lahan Sawah Irigasi Kabupaten
Sleman DIY. Dalam Seminar Nasional Denpasar Bali. 2005. (dalam proses terbit)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
113
PENGARUH PUPUK KANDANG BABI DAN BIO URINE KELINCI
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG
I Ketut Kariada*) dan Al. Gamal Pratomo**)
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pupuk kandang babi dan pupuk
organik cair (bio urine kelinci) terhadap pertumbuhan dan hasil jagung QPM.
Pengkajian ini dilandasi oleh semakin pentingnya aspek kelestarian lingkungan
dalam pembangunan pertanian setelah semakin merebaknya penerapan teknologi
revolusi hijau sejak tahun 1970-an. Pupuk organik merupakan salah satu pilihan
dalam mensubstitusi kebiasaan para petani yang menggunakan pupuk kimia seperti
NPK. Kelinci selain dagingnya dapat dikonsumsi, air kencingnya sering digunakan
untuk memupuk tanaman pangan/sayuran di tingkat petani. Bio urine ini diduga
menggandung zat yang mampu mendorong percepatan pertumbuhan tanaman.
Pemeliharaan kelinci juga tidak banyak membutuhkan persyaratan sehingga mudah
dilakukan petani. Sementara itu di daerah pedesaan di Bali hampir seluruh
masyarakat memiliki ternak babi. Limbah babi yang berupa pupuk kandang sering
dibakar atau dibuang ke selokan sehingga sering menimbulkan permasalahan
lingkungan. Beberapa penelitian pupuk kandang babi pada jagung juga
menunjukkan hasil yang baik. Oleh karena itu dalam penelitian ini dikaji
penggaruh pemberian pupuk kandang babi yang ditambahkan bio urine kelinci
terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Penelitian dilaksanakan di tanah Latosol
Desa Mambang Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan Bali pada MT
2005. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4
perlakuan diulang 5 kali. Perlakuan terdiri dari P1 = dosis pupuk kandang babi 3
t/ha; P2 = dosis pupuk kandang babi 4 t/ha; P3 = dosis pupuk kandang babi 5 t/ha
dan P4 = dosis pupuk kandang babi 6 t/ha. Seluruh perlakuan diaplikasikan pada
saat tanam. Urine kelinci yang telah diencerkan 10 kali langsung disiramkan pada
sekitar akar tanaman jagung setiap satu minggu sekali hingga tanaman berumur 50
hst. Lahan yang digunakan adalah milik petani dan sebelumnya digunakan untuk
penanaman padi. Parameter yang diamati adalah : tinggi tanaman, diameter
tongkol, panjang tongkol, bobot panen tongkol basah dan bobot pipilan kering. Hasil
pengkajian menunjukkan bahwa perlakuan P4 (dosis pukan babi 6 t/ha dan
pemberian bio urine kelinci) memberikan hasil yang tertinggi yaitu 5.70 t/ha dan
hasil terendah pada perlakuan P1 (dosis pukan babi 3 t/ha dan bio urine kelinci)
yaitu 4.97 t/ha. Pupuk kandang babi dan bio urine kelinci yang tidak perlu dibeli di
pasar ternyata dapat mensubstitusi penggunaan pupuk an-organik.
Kata kunci : Pupuk kandang babi, bio urine kelinci, jagung, QPM, hasil.
_______________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali **) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
114
ABSTRACT
The role of pig manure and bio urine of rabbit to the growth and yield of QPM
maize. Research was conducted on latosol soil of Mambang village subdistrict of
Selemadeg Timur, Tabanan during dry /planting season of 2005. The purpose of
research was to understand the effect of pig manure and bio urine of rabbit to the
growth and production of QPM. This research was subjected to the important of
sustainable development of agriculture environmental friendly because since 1970’s
decade the application of chemical fertilizers has been widely developed which finally
decrease the quality of resources such as soil. While bio urine from rabbit was not
difficult to find out, every farmer can take care of it which its meat can also be
consumed for people. This bio urine is predicted to contain good and enough nutrients
to support the growth of maize. During this time, many farmers have applied bio
urine of rabbit and can produced good vegetables. While at rural areas of Bali, most
people own 2-3 pigs. Pig manure was often burnt or threw away to river which was
finally producing bad water quality. Some research on application of pig manure on
crops have been reported good result for future development. A randomized block
design was used and there were four treatments and five replications, i.e. P1 : 3 t/ha
pig manure, P2 : 4 t/ha, P3 : 5 t/ha and P4 : 6 t/ha. All application was also given bio
urine of rabbit once every week until 50 days after planting. Parameter analyzed was
plant height, shoot diameter, length of shoot, weight of shoot and weight of seed per
ha. Statistical data analysis showed that treatment P4 produced the highest yield
5.70 t/ha and the lowest result was P1 4.97 t/ha. Economic analysis was also done
and treatment P4 still provide benefit with B/C ratio = 1 or R/C ratio 1.99. Pig
manure and bio urine of rabbit where these fertilizers are not marketed can be used
to substitute the widely used of chemical fertilizers in Bali.
Key words : Pig manure, bio urine of rabbit, QPM maize, yield.
PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun semakin bertambah, yang
diindikasikan dengan bertambahnya tingkat pertumbuhan penduduk secara
nasional berkisar 1.6 % per tahun. Untuk daerah Bali, peningkatan kepadatan
penduduk diprediksi sekitar 0.7 % per tahun yang berasal dari pertumbuhan
penduduk lokal dan pendatang dalam kurun waktu 1990 s/d 1995 (Anonimous,
1996). Besarnya jumlah penduduk tersebut di atas berindikasi positif terhadap
meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat dan pencari kerja. Dengan demikian
maka kewajiban sektor pertanian harus mampu meningkatkan produktivitas
pangan secara menyeluruh. Mulai dekade 1970-an peningkatan produktivitas ini
dilakukan dengan menerapkan teknologi ―green revolution‖ yang lebih
mengedepankan peran input-input pertanian an-organik untuk memacu
produktivitas. Dalam kurun waktu tersebut kajian tentang dampak negatif dalam
jangka panjang dari aplikasi bahan-bahan an-organik yang diterapkan terutama
pada lahan-lahan irigasi belum banyak dibahas. Namun, diprediksi bahwa kondisi
lahan-lahan sawah khususnya di Bali saat ini telah mengalami kerusakan yang
sangat serius (Adnyana, 2000) dengan indikasi terjadinya penimbunan residu unsur
P yang sangat tinggi serta residu bahan-bahan kimia akibat penggunaan pestisida
kimiawi. Hal ini membutuhkan penanganan yang sangat serius dalam waktu yang
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
115
lama. Di lain pihak adanya, akhir-akhir ini isu globalisasi sangat bergema dimana
keamanan pangan merupakan salah satu topik yang dihembuskan terkait dengan
aspek pertanian ramah lingkungan. Dalam berbagai hal maka komponen organik
dalam pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi topik bahasan utama.
Salah satu solusi yang umum digunakan dalam memperbaiki keadaan lahan
pertanian dan produktivitas tanaman adalah dengan mengembalikan bahan-bahan
organik tanah yang telah terkuras dan menerapkan pemberian pupuk organik baik
dalam bentuk cair maupun padat. Berbagai jenis pupuk organik yang terdapat
dalam lingkungan masyarakat pedesaan adalah kotoran maupun urine ternak yang
secara tradisional masyarakat telah mengenal dengan baik penerapannya di lahan
untuk meningkatkan produksi pertanian. Secara hakiki, pupuk organik
sesungguhnya berperan dalam memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi tanah.
Salah satu pupuk organik yang masih berpotensi besar dan belum banyak
diaplikasikan petani Bali adalah limbah ternak babi serta bio urine dari ternak yang
diketahui mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro cukup banyak.
Limbah kotoran babi ini sering dibuang ke kali ataupun dibakar sehingga
menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain kotoran babi, banyak petani yang
menerapkan urine ternak kelinci atau sapi sebagai pupuk cair. Air kencing ini
diduga mengandung unsur hara yang baik sebab mampu merangsang pertumbuhan
dengan baik. Mengingat limbah babi dan bio urine kelinci ini ditengarai mempunyai
kandungan unsur makro dan mikro yang baik bagi tanaman maka perlu dilakukan
pengkajian terhadap peluang pemanfaatan pupuk organik padat dan cair sebagai
alternatif pengganti pupuk kimiawi NPK.
Beberapa pengkajian terhadap pupuk kandang babi telah dilakukan dan
menghasilkan produksi tanaman jagung secara signifikan dan mampu menekan
pemanfaatan pupuk an-organik (kimia) hingga 50 % (Kamandalu dan Dana, 2005),
serta pengujian pada tanaman ketela pohon dan ketela rambat menunjukkan hasil
yang berbeda sangat nyata dibanding dengan cara petani (Raiyasa, et. al., 2004).
Dalam tulisan ini dibahas peran pupuk kandang babi dan bio urine kelinci yang
diperlakukan pada tanaman jagung QPM terhadap beberapa parameter agronomi
tanaman jagung.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian pupuk kandang babi dan bio urine kelinci pada tanaman jagung
QPM dilakukan pada lahan petani di Dusun Mambang Tengah Kecamatan
Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan Bali. Sasaran dari pengkajian ini adalah
diperolehnya dosis pupuk kandang babi yang sesuai sehingga dapat diterapkan oleh
masyarakat petani di pedesaan. Dalam kajian ini digunakan tanaman jagung QPM.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dimana
terdapat 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan terdiri dari : P1- dosis pupuk
kandang babi 3 t/ha; P2-dosis pupuk kandang babi 4 t/ha; P3-dosis pupuk kandang
babi 5 t/ha; dan P4- dosis pupuk kandang babi 6t/ha. Seluruh perlakuan
diaplikasikan pada saat tanam. Selanjutnya bio urine kelinci dengan pengenceran
10 kali (berdasarkan kebiasaan / pengalaman petani) diberikan setiap satu minggu
sekali disekitar tanaman hingga tanaman berumur 50 HST. Jarak tanam jagung
QPM yang digunakan adalah 40 x 80 cm dan setiap lubang berisi 2 tanaman
sehingga kerapatan tanaman adalah 62.500 per ha. Penanaman jagung QPM
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
116
dilakukan pada MT. 2005 (Juni – Oktober 2005). Lahan yang digunakan adalah
milik petani dan sebelumnya digunakan untuk penanaman padi. Adapun parameter
yang diamati meliputi aspek agronomi tanaman jagung yaitu rata-rata tinggi
tanaman, panjang tongkol, lingkar tongkol, bobot tongkol dan bobot pipilan kering.
Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis
sidik ragam. Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka
dilanjutkan dengan uji BNT 5 % (Gomez dan Gomez, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu pola tanam di lahan irigasi/lahan sawah adalah budidaya tanaman
jagung setelah panen padi atau dalam musim kemarau. Dalam aplikasinya para
petani sudah biasa melakukan budidaya jagung dengan menerapkan pupuk an-
organik. Namun demikian apabila dilihat besarnya potensi pengembangan
peternakan di tanah air dimana sumber pakan ternak sebagian besar berasal dari
jagung maka pengkajian dan pengembangan tanaman jagung QPM adalah sangat
mendukung agribisnis peternakan. Limbah ternak berupa pukan babi, ayam, sapi,
kelinci, kuda apabila dikelola dengan baik dapat digunakan sebagai pupuk organik
dan memberikan manfaat secara holistik dalam agribisnis jagung, sehingga
diharapkan limbah ternak khususnya pukan babi dapat bermanfaat sebagai
alternatif substitusi pupuk an-organik. Dari kajian ini telah dilakukan pengamatan
secara intensif di lapangan agar pertumbuhan dan produksi jagung menjadi baik.
Pertumbuhan jagung pada umur 30 HST dan 60 HST umumnya membutuhkan
energi pertumbuhan yang lebih banyak yaitu pada fase pertumbuhan awal, saat
pembungaan serta saat pembentukan buah (Tabel 1).
Tabel 1. Pengaruh pupuk kandang babi dan bio urine kelinci terhadap tinggi
tanaman jagung pada umur 30 HST dan 60 HST
Perlakuan 30 HST 60 HST
P1 67.10 a 152.60 a
P2 62.00 a 161.40 a
P3 70.80 a 187.60 a
P4 62.40 a 176.00 a *) huruf pada kolom yang sama yang tidak berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji BNT
(P<0,05)
Dari data tersebut di atas terlihat bahwa tinggi tanaman jagung baik yang
berumur 30 HST maupun 60 HST tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan
bahwa faktor lingkungan masih memberikan pengaruh seperti adanya keterbatasan
sumberdaya air ataupun pupuk organik akan bereaksi dengan baik apabila tersedia
kelembaban yang cukup baik. Selain itu faktor keterbatasan air juga mengakibatkan
terhambatnya difusi unsur hara N, P dan K yang mengakibatkan reaksi dalam
pupuk kandang babi belum optimal, sementara unsur P di dalam tanah juga dapat
terjerap membentuk Al-P, Fe-P maupun occluded-P. Rata-rata tanaman tertinggi
pada umur 30 HST adalah pada perlakuan P3 yaitu 70.8 cm dan terendah terdapat
pada perlakuan P2 yaitu 62 cm, dan pada umur 60 HST tanaman tertinggi pada
perlakuan P3 yaitu 187.6 cm dan terendah pada perlakuan P1 yaitu 152.6 cm.
Pupuk kandang babi merupakan salah satu pupuk organik yang mempunyai
kadar unsur hara yang baik. Menurut Raiyasa, et. al. (2004), kadar unsur kimia
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
117
pupuk kandang babi antara lain : C-organik 43.34 % (sangat tinggi), N-total 1.27 %
(sangat tinggi), P-tersedia 890.46 ppm (sangat tinggi), dan K-tersedia 429.58 ppm
(sangat tinggi). Dengan C/N ratio yang tinggi maka akan mampu menjadi sumber
energi bagi mikroorganisme yang akhirnya dapat meningkatkan aktivitas
mikroorganisme tanah. Sementara itu dengan adanya tambahan urine dari kelinci
maka diharapkan ada tambahan unsur hara yang dapat di absorpsi oleh tanaman.
Anonimous (1998) menyebutkan bahwa bio urine kelinci adalah sangat kaya dengan
unsur hara seperti Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Kandungan unsur hara pada urine kelinci
Uraian Urine kelinci segar
N-total (%) P2O5 (%)
Urine Kelinci
- Kelinci penggemukan muda
- Kelinci sedang menyusui
- Kelinci dewasa
1.0 – 1.3
1.0 – 1.3
1.0 – 1.3
0.05
>0.02
0.08
Kotoran Kelinci
- Kelinci penggemukan muda
- Kelinci sedang menyusui
- Kelinci dewasa
1.5 – 1.7
1.2 – 1.5
1.2 – 1.5
2 - 5
5 - 7
2 - 4 Sumber : Anonimous, 1998.
Selain itu pemberian pukan babi dan bio urine kelinci ke dalam tanah dapat
memperbaiki sifat-sifat fisik tanah (memperbaiki struktur porositas, permeabilitas
tanah dan, meningkatkan kemampuan untuk menahan air), sifat kimia
(meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap kation sebagai sumber hara
makro dan mikro, dan pada tanah masam dapat menaikkan pH dan menekan
kelarutan Al dengan membentuk kompleks Al-organik), dan sifat biologi tanah
(meningkatkan aktivitas mikroba tanah dan sebagai sumber energi bagi bakteri
penambat N dan pelarut fosfat) yang membantu dalam menggemburkan tanah.
Hasil pengamatan produksi tanaman jagung memperlihatkan bahwa
pengaruh pemberian pukan babi dan bio urine tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata antar perlakuan (Tabel 3). Produksi pipilan kering tertinggi diperoleh pada
perlakuan P4 yaitu pemberian pukan babi 6 t/ha serta bio urine pengenceran 10 kali.
Produksi tertinggi jagung ini karena pupuk kandang babi juga mengandung unsur
makro dan mikro sehingga dapat memenuhi kebutuhan jagung saat membentuk
tongkol. Demikian pula dengan panjang tongkol semakin panjang sesuai dengan
besarnya perlakuan dosis yang diberikan dan memberikan hasil yang semakin
meningkat juga baik untuk bobot tongkol maupun bobot pipilan kering.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
118
Tabel 3. Pengaruh pupuk kandang babi dan bio urine kelinci terhadap rata-rata
diameter, panjang, bobot tongkol panen dan bobot pipilan kering
Perlakuan Diameter
tongkol (cm)
Panjang
tongkol
(cm)
Bobot tongkol
panen (gr)
Bobot pipilan
kering (t/ha)
P1 15.3 a 17.6 a 158 a 4.97 a
P2 16.1 a 17.4 a 156 a 5.06 a
P3 15.7 a 18.8 a 169 a 5.31 a
P4 15.4 a 19.5 a 176 a 5.70 a
*) huruf pada kolom yang sama yang tidak berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0,05)
Anonimous (2005) menunjukkan bahwa pupuk kandang mengandung
berbagai unsur hara dimana secara umum pupuk padat mengandung lebih rendah
N, P dan K bila dibandingkan dengan pupuk cair (bio urine). Dengan demikian
maka adanya tambahan pupuk cair dari bio urine kelinci mampu memberikan
tambahan unsur N pada pupuk kandang babi. Indikasinya adalah dengan semakin
meningkatnya dosis pupuk kandang babi yang diberikan bobot pipilan kering
semakin meningkat secara linier. Produksi terendah diperoleh perlakuan P1 karena
pada dosis yang lebih rendah ini kadar N sebagai pembentuk jaringan tanaman
lebih rendah dan unsur N pada pupuk kandang (padat) lebih sulit diserap oleh
tanaman karena N terdapat dalam bentuk protein yang harus didekomposisi
terlebih dahulu oleh mikroorganisme. Sementara pupuk cair dari bio urine kelinci
akan lebih mudah diserap oleh tanaman jagung. Pada Tabel 4. disajikan kandungan
unsur hara pada pupuk kandang babi (Anonimous, 2005)
Tabel 4. Kandungan unsur hara pada pupuk kandang babi
No. Unsur hara
Yang dikandung
Pupuk kandang babi
Padat
(per mil)
Pupuk cair
(per mil)
Total
(per mil)
Total
(%)
1. Bahan kering 200 34 234 23.4
2 Air 800 966 1.766 176.6
3 Nitrogen 8 8.4 16.4 1.64
4. N yang mudah
diisap
0.8 8.4 9.2 0.92
5. Asam fosfor 8.0 1.8 9.8 0.98
6. Kalium 5.0 8.0 13 1.3
7. Kalsium 0.5 0.1 0.6 0.06
8. Magnesium 0.2 0.8 1.0 0.1
9. Sulfur 0.6 2.7 3.3 0.33 *) Sumber : Anonimous, 2005
Berdasarkan data di atas ini maka kadar unsur hara pupuk kandang babi
mempunyai potensi yang baik untuk diaplikasikan pada tanaman jagung. Unsur
hara yang dikandung ini sangat sesuai dengan kebutuhan tanaman jagung yang
membutuhkan kation-kation makro maupun mikro seperti di atas walaupun juga
perlu diberikan tambahan unsur hara ke dalam tanah. Berdasarkan hal ini maka
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
119
pemberian bio urine kelinci dilakukan sebagai tambahan nutrisi tanaman agar
diperoleh produksi yang baik. Komposisi unsur yang dikandungnya juga sangat
berimbang sehingga ketersediaan unsur hara yang siap diabsorpsi oleh akar pada fase
generatif dan pembentukan tongkol akan terpenuhi terutama pada saat fase-fase
absorpsi nitrogen dalam pembentukan akar, batang dan daun (Soepardi, 1974). Kadar
N memberikan efek yang sangat cepat menstimulir pertumbuhan pada fase vegetatif
yang juga merupakan unsur pengatur absorpsi kalium (K) dan phosphor (P). Sejalan
dengan pendapat ini, Miller (1972) menyatakan tanaman menyerap N dalam bentuk
NO3 dan NH4 untuk membentuk asam amino dan protein serta jaringan tanaman
yang menduduki komposisi 1-4 % bobot kering tanaman. Pupuk kandang babi sebagai
bahan organik dapat menyediakan bahan-bahan asam amino dan protein yang siap
membangun jaringan pertumbuhan tanaman dimana kadar total N yang
dikandungnya adalah 1.6 % (sangat tinggi) serta masih terdapat tambahan N-total
dari bio urine kelinci 1 – 1.3 % (sangat tinggi). Walaupun pupuk kandang babi
memberikan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan akan tetapi ada
kecenderungan produksi meningkat terus karena proporsi dari perlakuan P1, P2, P3
dan P4 terus mengalami peningkatan produksi.
Hasil yang dicapai pada pengkajian ini hampir berimbang dengan hasil yang
pernah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan perlakuan pupuk organik
kascing dan kimia (dosis 5 t/ha kascing dan rustika yellow 100 kg/ha) yang diberikan
secara bertahap pada AEZ yang sama yaitu 6.13 t/ha (Kariada. Dana dan. Aribawa,
2005). Hasil yang lebih tinggi ini dicapai karena tanaman dapat beradaptasi dengan
baik serta adanya perbaikan teknologi budidaya pertanian organik yang mampu
memperbaiki kondisi biologi tanah yang selama ini kondisi tanah telah disebut sakit
(Adnyana, 2000). Selain itu, kondisi lahan di wilayah pengkajian relatif menerima
suhu yang optimal yaitu berkisar 27-30o C yang sangat baik bagi pembentukan
tongkol.
Analisis ekonomi jagung QPM dalam pengkajian ini menunjukkan bahwa
perlakuan P4 (dosis pupuk kandang babi 6 t/ha dan bio urine kelinci pengenceran 10
kali memberikan nilai B/C ratio = 0.99 dan R/C ratio = 1.99 yang berarti masih layak
memberikan keuntungan apabila dilakukan usaha tani (Tabel 5).
Tabel 5. Analisis usaha tani pengkajian pupuk kandang babi dan bio urine kelinci
pada tanaman jagung QPM di lahan sawah irigasi di Desa Mambang TA
2005.
URAIAN P1 P2 P3 P4
*Sewa lahan (Rp/ha) 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000
*Bibit jagung QPM (Rp/ha) 60.000 60.000 60.000 60.000
*TK (mengolah tanah, membumbun, tanam ) 800.000 800.000 800.000 800.000
Total Biaya input (Rp/ha) 3.860.000 3.860.000 3.860.000 3.860.000
Produksi jagung per hektar (pipilan kering) (t/ha) 4,97 5,06 5,31 5,70
Nilai produksi (harga jual pipilan kering) (t/ha) 6.709.500 6.831.000 7.168.500 7.695.000
Keuntungan (Rp/ha) 2.849.500 2.971.000 3.308.500 3.835.000
Analisis B/C 0,74 0,77 0,86 0,99
Analisis R/C ratio 1,74 1,77 1,86 1,99
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
120
Dari data tersebut di atas ternyata budidaya jagung QPM masih memberikan
keuntungan bila dilihat dari nilai R/C ratio >1 yang menunjukkan usaha tani ini
layak dilakukan. Keuntungan yang diperoleh adalah masing-masing untuk
perlakuan P1 (Rp. 2.849.500), P2 (Rp. 2.971.000), P3 (Rp. 3.308.500), dan P4 (Rp.
3.835.000) per Ha.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan yaitu : (a)
perlakuan pupuk kandang babi dengan dosis 6 ton/ha dan bio urine kelinci
pengenceran 10 kali memberikan rata-rata hasil jagung QPM yang terbaik. Produksi
yang dicapai mencapai 5,70 t/ha diikuti oleh perlakuan P3, P2 dan P1 yaitu masing-
masing 5,31 t/ha, 5,06 t/ha dan terendah 4,97 t/ha. Potensi pupuk kandang babi dan
kelinci di masyarakat Bali adalah sangat tinggi sehingga diharapkan dapat
mensubstitusi peran pupuk an-organik NPK yang semakin mahal. Dengan
menerapkan pupuk kandang babi dan bio urine kelinci maka satu langkah
pengamanan lingkungan sudah dapat dilakukan dengan murah karena pupuk
kandang babi dan bio urine kelinci tidak perlu dibeli akan tetapi tinggal mengambil
saja di kandang. Dengan demikian maka akan memungkinkan untuk melakukan
efisiensi pemupukan di tingkat usaha tani. Disarankan agar dilakukan pengkajian
yang lebih mendalam lagi terhadap peran pupuk kandang babi ini serta
mengembangkan kelinci di tingkat masyarakat karena dapat memberikan nilai gizi
dan ekonomi bagi masyarakat pedesaan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
121
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1996. Laporan Tahunan. Statistik Pertanian Tanaman Pangan Tahun
1996. Dinas Pertanian prop. Bali.
Anonimous 1998. Rabbit Manure Fertilizer Values. Fertilizer Values Of Some
Manures. Countryside & Small Stock Journal. September – October. P.75
Anomimous 2005. Pengantar Ilmu Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas
Udayana.
Adnyana, I. M., 2000. Masalah Kesuburan Tanah Pada Lahan Sawah Di Bali.
Makalah Paket Teknologi Tentang Pemanfaatan Pupuk Alternatif. Jurusan
Tanah Faperta UNUD. Denpasar.
Gomez, A.K. Dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian
Pertanian. UI-Press. Jakarta. 698 Hlm.
Kamandalu, A.A.N.B. Dan IGK Dana Arsana. 2005. Pengaruh Pemberian Pupuk
Organik Terhadap Produktivitas Varietas Jagung Bersari Bebas Di Lahan
Sawah Irigasi (Kasus Di Subak Sungsang, Tibubiyu, Kecamatan
Kerambitan, Tabanan, Bali). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Bali.
Kariada I. K., I. G. Komang Dana Dan I.B. Aribawa, 2005. Pengaruh Kombinasi
Pemberian Pupuk Organik Kascing Dengan NPK Secara Bertahap
Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Jagung Qpm. BPTP Bali.
Miller, F.P. 1972. Fertilizers And Our Environment. The Fertilizer Hand Book. The
Fertilizer Institut New York. Pp. 24-46.
Raiyasa, I.M., Suprio Guntoro, I. N. Triagastia, I. N. Adijaya, I.A. Parwati,
Suharyanto, Dan W. Trisnawati. 2004. Laporan Akhir Pengkajian
Agribisnis Babi Berbasis Tanaman Pangan. BPTP Bali.
Soepardi, G. 1974. Sifat Dan Ciri-Ciri Tanah 3. Terjemahan H.O. Buckman Dan
N.C. Brady. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Faperta IPB Bogor.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
122
STATUS HARA P LAHAN SAWAH SEBAGAI DASAR REKOMENDASI
PEMUPUKAN P UNTUK PADI DI KALIMANTAN SELATAN
Aidi Noor*), Rina D. Ningsih*) dan Rismarini Zuraida*)
ABSTRAK
Lahan sawah tadah hujan dan irigasi di Kalimantan Selatan seluas 180.528
ha mempunyai potensi sebagai sumber produksi beras. Dalam usaha peningkatan
produksi padi sawah dan mutu beras tidak bisa dilepaskan dari peranan
penggunaan pupuk kimia seperti N, P, K. Sampai saat ini rekomendasi pemupukan
untuk padi sawah masih bersifat umum, tidak berdasarkan status hara dalam tanah
dan kebutuhan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status hara P
tanah di lahan sawah irigasi di Kalimantan Selatan di empat kecamatan yaitu
Haruyan, Telaga Langsat, Angkinang dan Jaro. Hasil analisis tanah menunjukkan
status hara P (ekstraksi HCl 25%) di Kecamatan Haruyan dalam kategori rendah (<
20 mg P2O5/100g) ,sedang (20-40 mg P2O5/100g), tinggi (>40 mg P2O5/100g) berturut-
turut 34.5%, 50.0% dan 15.5%. Status hara P di Kecamatan Telaga Langsat dalam
kategori rendah, sedang, tinggi berturut-turut 62.9% dan 29.4% dan 7.7 %. Status
hara P di Kecamatan Angkinang dalam kategori rendah, sedang, tinggi berturut-
turut 56.2% dan 29.9% dan 13.9%. Status hara P di Kecamatan Jaro dalam kategori
rendah, sedang, tinggi berturut-turut 15.9%, 45.0%, dan 39.1%. Apabila rekomendasi
pemupukan P berdasarkan status hara tanah (rendah = 100 kg SP-36/ha, sedang =
75 kg SP-36/ha, tinggi = 50 kg SP-36/ha) dibandingkan rekomendasi pemupukan
secara umum (100 kg SP-36/ha), maka pemupukan berdasarkan status hara P tanah
dapat menghemat penggunaan pupuk SP-36 di empat kecamatan sebesar 230.65 ton
per musim tanam.
Kata kunci : Hara fosfat, rekomendasi pupuk, lahan sawah, padi
PENDAHULUAN
Lahan sawah tadah hujan dan irigasi di Kalimantan Selatan seluas 180.528
ha (Diperta, 2001) mempunyai potensi sebagai sumber produksi beras. Dalam usaha
peningkatan produksi padi sawah dan mutu beras tidak bisa dilepaskan dari
peranan penggunaan pupuk kimia seperti N, P, K. Sampai saat ini rekomendasi
pemupukan untuk padi sawah masih bersifat umum yaitu Urea sekitar 200-250
kg/ha, SP-35 sekitar 100 kg/ha, dan KCl sekitar 100 kg/ha, tanpa melihat kesuburan
tanah atau ketersediaan unsur hara tersebut di dalam tanah.
Pemberian pupuk P dan K belum berdasarkan kaidah uji tanah, dimana
jumlah pupuk yang diberikan pada tanah untuk tanaman tertentu tidak
berdasarkan kandungan hara dalam tanah dan kemampuan tanah menyediakan
hara untuk berproduksi secara optimal. Mengingat semakin mahalnya bahan baku
untuk membuat pupuk maka perlu diperhatikan dosis dan cara pemupukan yang
tepat dengan efisiensi yang tinggi.
________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
123
Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang harus memperhatikan kadar
unsur hara di dalam tanah, jenis dan mutu pupuk, serta keadaan pedo-agroklimat
dan produksi optimal. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan
menguntungkan jika rekomendasi pemupukan dilandasi oleh kegiatan uji tanah
atau analisis tanah berdasarkan metodologi yang tepat dan teruji (Tim Uji Tanah,
1999).
Secara umum uji tanah adalah suatu kegiatan analisis kimia yang sederhana,
cepat, murah, tepat dan dapat diulangi untuk menduga ketersediaan unsur hara
tertentu dalam tanah, apakah dalam keadaan kahat, normal, atau berlebih sehingga
dapat digunakan sebagai dasar rekomendasi pemupukan. Disamping itu uji tanah
dapat pula digunakan dalam usaha mencegah dan memantau pencemaran
lingkungan misalnya oleh tindakan pemupukan yang tidak tepat (Rochayati et al., 2000). Pada dasarnya program uji tanah terdiri dari (1) pengambilan contoh tanah
yang benar dan dapat mewakili lokasi yang dimintakan rekomendasinya, (2) analisis
kimia di laboratorium dengan metode yang tepat, (3) interpretasi hasil analisis, dan
(4) penyusunan rrekomendasi pemupukan (Adiningsih et al., 2000).
Dengan mengetahui status hara tanah, diharapkan penyusunan rekomendasi
pemupukan akan tepat dosis sesuai dengan kebutuhan tanaman. Pada lahan-lahan
dengan kandungan hara yang cukup tidak perlu diberikan lagi atau hanya sedikit
untuk mengimbangi hara yang terangkut oleh tanaman, sehingga jumlah dan
distribusi pupuk bisa dialokasikan pada lahan-lahan yang memang memerlukan
karena kandungan haranya yang rendah, sehingga diharapkan efisiensi
pemupukan untuk padi di lahan sawah akan meningkat.
Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi status hara P di beberapa
lokasi lahan sawah Kalimantan Selatan sebagai dasar rekomendasi pemupukan P.
MATERI DAN METODOLOGI
Kegiatan inventarisasi status hara P tanah sawah dilaksanakan pada tahun
2003-2004 di Kecamatan Haruyan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kecamatan
Telaga Langsat Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kecamatan Jaro Kabupaten
Tabalong.
Prosedur pelaksanaan kegiatan berdasarkan petunjuk teknis yang telah
disusun oleh Sofyan dan Suryono (2002). Pemetaan status hara P tanah dilakukan
dalam 4 tahap kegiatan yaitu : (1) persiapan, (2) pengambilan contoh tanah di
lapang, (3) analisis tanah di Laboratorium, (4) pengolahan data dan pembuatan peta
serta penyusunan rekomendasi pemupukan.
Untuk mengetahui status hara P tanah dilakukan survey pengambilan contoh
tanah komposit. Contoh tanah diambil dengan menggunakan sistem Grid setiap
jarak sekitar 500 m di lapang (tergantung keragaman lahan sawah) untuk contoh
komposisit. Setiap satu contoh tanah yang diambil untuk dianalisis mewakili luas
lahan sawah 25 ha. Contoh tanah komposit terdiri dari 10 contoh tanah individual
(sub contoh) pada kedalaman 0-20 cm, setelah dicampur secara homogen diambil
contoh seberat kurang lebih ½ kg dan dimasukkan kedalam kantong plastik dan
selanjutnya dianalisis di laboratorium.
Hasil analisis P (metode HCl 25%) dilaboratorium diplot ke dalam peta dasar
pada lokasi yang bersangkutan dan diberi warna yang sesuai. Status P rendah (0-20
mg P2O5/100g) tanah berwarna merah, status P sedang (20-40 mg P2O5/100g) tanah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
124
warna kuning dan status P dan K tinggi (> 40 mg P2O5/100g) tanah warna hijau.
Pembuatan peta akhir status hara P dan K sakala 1:50.000 dilakukan dengan
komputerisasi/aplikasi GIS yang dibuat dari peta sementara skala 1:50.000.
Peta status hara tanah skala 1:50.000 dapat digunakan sebagai pedoman
untuk anjuran dosis pupuk P berdasarkan status hara P tanah rendah, sedang, dan
tinggi. Berdasarkan hasil penelitian uji tanah telah diperoleh anjuran dosis pupuk
SP-36 berdasarkan status hara tanah rendah, sedang, dan tinggi berturut-turut
adalah 100, 75 dan 50 kg/ha/musim tanam. (Setyorini et al, 1995; Adiningsih, 2003)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar hara P dan K tanah sawah
Kadar hara P tanah sawah (metode HCl 25%) di empat kecamatan yang
dianalisis di laboratorium menunjukkan kadar hara P sangat bervariasi dari rendah
sampai tinggi. Kadar hara P tanah di kecamatan Telaga Langsat berkisar antara
5,3-112,2 mg/100 g P2O5 dan kadar hara K berkisar antara 3,3-52,6 mg/100 g K2O,
sedangkan di Kecamatan Angkinang kadar hara P tanah berkisar antara 3,0-118,8
mg/100 g P2O5 dan kadar hara K berkisar antara 5,1-49,9 mg/100 g K2O.
Kadar hara P dalam tanah bervariasi dari suatu tempat ke tempat lainnya
tergantung pada sifat-sifat tanah, air dan pengelolaan tanah dan tanaman. Dalam
tanah P merupakan hara tidak mobil, sebagian terikat oleh partikel tanah, sebagian
oleh P organik dan hanya sedikit dalam bentuk tersedia bagi tanaman. Efisiensi
pupuk P umumnya sangat rendah, hanya 10-15% dari jumlah pupuk P yang
diberikan (Barber, 1976). Ketersediaan P di dalam tanah ditentukan oleh susunan
mineral primer dan sekunder, pH, jumlah ion dan senyawa Al, Fe, Mn, bahan
organik, suhu dan kelembaban tanah (Tisdale et al., 1985; Havlin et al., 1999). Pada
sawah yang tergenang, ketersediaan fosfat meningkat karena terjadi reduksi ferri
fosfat menjadi ferro fosfat yang lebih larut dan merupakan sumber utama P tersedia.
Setelah pengeringan ketersediaan P umumnya menurun karena pengikatan oleh liat
atau hidroksida aluminium dan perubahan pH (Chang, 1976).
Pengetahuan mengenai status hara P di dalam tanah dan dinamika
perubahan yang terjadi sangat penting, sehingga untuk pelaksanaan pemupukan
yang tepat sesuai dengan kebutuhan tanaman pada suatu lokasi tertentu diperlukan
data-data kadar hara tersebut di dalam tanah. Rekomendasi pemupukan
hendaknya diperoleh berdasarkan hasil-hasil penelitian uji tanah untuk suatu jenis
tanah dan tanaman tertentu pada lokasi yang spesifik.
Luas lahan sawah berdasarkan status hara P
Berdasarkan peta status hara P skala 1:50.000 diketahui luas lahan sawah
beradasarkan status hara P tanah masing-masing di empat kecamatan disajikan
pada Tabel 1.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
125
Tabel 1. Luas lahan sawah berdasarkan status hara P
No. Kecamatan Status Hara P (ha) Jumlah
(ha) Rendah (ha) Sedang (ha) Tinggi (ha)
1. Haruyan 1.221
(34.5%)
1.768
(50.0%)
547
(15.5%)
3.536
2. Telaga Langsat 919
(62.9%)
429
(29.4%)
112
(7.7%)
1.460
3. Angkinang 2.131
(56.2%)
1.133
(29.9%)
527
(13.9%)
3.791
4. Jaro 140
(15.9%)
396
(45.0%)
345
(39.1%)
881
Jumlah 4.411 3.726 1.531 9.668
Dari Tabel 1 diketahui status hara P di Kecamatan Haruyan adalah sebagai
berikut status hara P rendah (< 20 mg P2O5/100 mg tanah) seluas 1.221 ha (34,5%),
status hara P sedang (20-40 mg P2O5/100 mg tanah) seluas 1.768 ha (50,0%), status
hara P tinggi (>40 mg P2O5/100 mg tanah) seluas 547 Ha (15,5%)
Dari total lahan sawah di Kecamatan Telaga Langsat diketahui status hara P
rendah (< 20 mg P2O5/100 mg tanah) seluas 919 Ha (62,9 %), status hara P sedang (20-
40 mg P2O5/100 mg tanah) seluas 429 ha (29,4%), status hara P tinggi (>40 mg
P2O5/100 mg tanah) seluas 112 ha (7,7 %). (Tabel 2). Dari hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa status hara P lahan sawah di Kecamatan Telaga Langsat masih
didominasi dengan kadar hara P yang rendah dan masih sangat sedikit termasuk
tinggi.
Dari total lahan sawah di Kecamatan Angkinang diketahui status hara P
rendah (< 20 mg P2O5/100 mg tanah) seluas 2.131 ha (56,2 %), status hara P sedang
(20-40 mg P2O5/100 mg tanah) seluas 1.133 ha (29,9%), status hara P tinggi (>40 mg
P2O5/100 mg tanah) seluas 527 ha ( 13,9 %).
Adanya perbedaan status hara P dalam tanah menunjukkan bahwa dosis
pemupukan yang diberikan untuk mendapatkan hasil optimum akan berbeda-beda
pula sesuai dengan status hara tanah yang bersangkutan. Dari hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa status hara P lahan sawah di Kecamatan Haruyan, Angkinang
dan Telaga Langsat umumnya berada pada status rendah, sedangkan pada
Kecamatan Jaro status hara P sedang (45.0%) dan tinggi (39.1%) lebih tinggi
dibandingkan yang rendah (15.9%). Pada Kecamatan Haruyan, Telaga Langsat dan
Angkinang diperlukan dosis pupuk P yang lebih besar dibandingkan kecamatan Jaro
yang umumnya status P sudah mengarah sedang-tinggi sehingga dosis pupuk P yang
diperlukan lebih rendah.
Pemberian pupuk yang berlebihan pada status hara yang tinggi tidak akan
memberikan respon dalam peningkatan hasil, sebaliknya kekurangan pemberian
pupuk akan menyebabkan tanaman tidak akan menghasilkan secara optimal. Hasil
penenelitian Supardi et al. (1996) di beberapa lokasi lahan sawah di Kalimantan
Selatan seperti di Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin dan Pelaihari
menunjukkan pemupukan SP-36 dengan dosis 100-125 kg/ha memberikan respon
yang berbeda-beda, pada Status P rendah peningkatan hasil mencapai1 3-77%, status
P sedang peningkatan hasil lebih rendah yaitu 0-22%, dan status P tinggi malah
terjadi penurunan hasil 8-11%.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
126
Hasil ini menunjukkan bahwa pada status hara tinggi diperlukan pupuk yang
lebih sedikit, tetapi pada keadaan status hara P yang rendah diperlukan pupuk yang
lebih banyak. Dengan demikian pada tanah-tanah yang kahat hara P sangat
diperlukan pemberian pupuk P. Unsur hara P diperlukan tanaman sejak awal
pertumbuhan terutama dalam menunjang pertumbuhaan akar, anakan,
pembungaan dan pemasakan biji. Kekurangan P menyebabkan tanaman tumbuh
kerdil, daun berwarna hijau tua, anakan sedikit, malai serta gabah sedikit dan
sering tidak menghasilkan gabah. (Makarim et al., 2003).
Kebutuhan pupuk P berdasarkan status hara tanah
Selama ini dimasyarakat berkembang pengertian bahwa pemupukan
berimbang adalah pemupukan yang menggunakan pupuk majemuk NPK.
Pengertian ini kurang tepat karena pemupukan berimbang adalah menyediakan
semua zat hara yang cukup sehingga tanaman padi mencapai hasil tinggi dan
bermutu serta meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu dosis pupuk yang
diberikan harus sesuai dengan kandungan hara atau status hara tersebut di dalam
tanah dan kebutuhan untuk tanaman. Pada tanah yang kandungan haranya tinggi
tidak perlu diberikan atau diberikan sedikit untuk mengganti hara yang diambil
oleh tanaman, dan yang rendah diberikan lebih banyak. Dengan demikian dosis
pupuk yang diberikan tidak disamaratakan tetapi harus spesifik lokasi.
Kebutuhan pupuk P untuk masing-masing Kecamatan Hsruyan, Angkinang,
Telaga Langsat dan Jaro dapat dihitung berdasarkan status hara dalam tanah
untuk padi sawah menurut dosis rekomendasi dari hasil penelitian uji tanah pada
(Tabel 2).
Tabel 2. Kebutuhan pupuk P berdasarkan status hara lahan sawah
No. Kecamatan Pupuk SP-36 (t/musim)
Jumlah Rendah 1) Sedang 1) Tinggi 1)
1 Haruyan 122,10 132,60 27,35 282,05
2 Telaga Langsat 91,85 32,16 5,61 129,62
3 Angkinang 213,08 84,97 26,35 324,40
4 Jaro 14,00 29,70 17,25 60,95
Jumlah 441,03 279,43 76,56 797,02
1) Dosis pupuk berdasarkan status hara P Rendah = 50 kg SP-36/ha, Sedang = 75 kg SP-36/ha, Tinggi = 100
kg SP-36/ha.
Dari Tabel 2 menunjukkan keperluan pupuk apabila berdasarkan status hara
P dari pemetaan skala 1:50.000 di kecamatan Haruyan 282,05 to per musim tanam,
Telaga Langsat dan Angkinang untuk pupuk SP-36 masing-masing adalah 129,62
dan 324,40 ton per musim tanam dan Jaro 60.95 ton per musim tanam dengan total
pada empat kecamatan sebesar 736.22 ton. Rekomendasi pemupukan P
berdasarkan peta status hara ini lebih rendah dibandingkan dosis pupuk
berdasarkan rekomendasi umum (100 kg SP-36/ha) tanpa melihat kadar hara dalam
tanah yaitu sebesar 797.02 ton SP-36. Dari hasil ini menunjukkan bahwa pemberian
pupuk apabila diterapkan sesuai dengan dosis berdasarkan status hara tanah di
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
127
empat kecamatan akan menghemat penggunaan pupuk SP-36 sebesar 966,80-
797,02 = 169,78 ton per musim tanam atau setara dengan Rp. 280.137.000,- (harga
SP-36 = Rp 1.650/kg).
Dengan diketahuinya dosis pupuk yang diperlukan untuk padi sawah
diharapkan tidak terjadi lagi kelebihan ataupun kekurangan pemberian pupuk
yang berakibat pemupukan menjadi tidak efisien. Dengan pemupukan yang sesuai
dengan kebutuhan tanaman diharapkan produksi padi akan meningkat dan
pendapatan petani juga akan bertambah. Dengan diketahuinya keperluan jumlah
pupuk yang tepat untuk setiap musim tanam pada setiap kecamatan akan
memudahkan untuk perencanaan pemerintah daerah dalam penyediaan dan
distribusi pupuk untuk petani.
KESIMPULAN
Status hara P (ekstraksi HCl 25%) di Kecamatan Haruyan dalam kategori
rendah (< 20 mg P2O5/100g), sedang (20-40 mg P2O5/100g), tinggi (>40 mg P2O5/100g)
berturut-turut 34.5%, 50.0%, 15.5%. Status hara P di Kecamatan Telaga Langsat
dalam kategori rendah, sedang, tinggi berturut-turut 62.9%, 29.4%, 7.7 %. Status
hara P di Kecamatan Angkinang dalam kategori rendah, sedang, tinggi berturut-
turut 56.2%, 29.9%, 13.9%. Status hara P di Kecamatan Jaro dalam kategori
rendah, sedang, tinggi berturut-turut 15.9%, 45.0%, 39.1%.
Apabila rekomendasi pemupukan P berdasarkan status hara tanah (Rendah =
100 kg SP-36/ha, Sedang = 75 kg SP-36/Ha, Tinggi = 50 kg SP-36/ha) dibandingkan
rekomendasi pemupukan secara umum (100 kg SP-36/ha), maka pemupukan
berdasarkan status hara P tanah dapat menghemat penggunaan pupuk SP-36 di
empat kecamatan sebesar 169,78 ton per musim tanam atau setara dengan Rp.
280.137.000,-.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, J.S., D. Santoso, D. Setyorini dan D. Nursyamsi. 2000. Program
pembinaan uji tanah : Studi Korelasi dan Kalibrasi Uji Tanah. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Adiningsih, J.S. 2003. Peningkatan Produktivitas dan Mutu Produk Pertanian
Melalui Pemupukan Berimbang. Disampaikan pada Sosialisasi Lembaga
Pupuk Indonesia dan Program Pemupukan Berimbang di Propinsi Jawa
Barat, Jawa Tengah/DIY, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan,
Lampung dan Kalimantan Selatan pada bulan Februari, Maret dan April
2003. Lembaga Pupuk Indonesia.
BPS. 2001. Survey Pertanian : Luas lahan menurut penggunaannya di Propinsi
Kalimantan Selatan. Badan Pusat Statistik. Propinsi Kalimantan Selatan.
Barber, S.A. 1976. Efficient fertilizer use. Amer. Soc. Of Agron. Spec. Publ. No. 26.
Chang. 1976. Phosphorus in submerged soil and phosphorus nutrition and
fertlization of rice. p : 93-116. In The Fertility of Paddy Soils and Fertilizers
Application for Rice. ASPAC Food and Fertilizer Technology Center.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
128
Havlin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale and W.L. Nelson. 1999. Soil Fertility and
Fertilizer. Sixth Ed. Prentice-Hall, Inc. New Jersey. 499 pp.
Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih S. dan A. Abdulrahman. 2003.
Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara
Terpadu. Dapartemen Pertanian. Pusat Penelitian Tanaman Pangan.
Bogor.
Rochayati, S., D. Setyorini, dan A. Kasno. 2000. Rekomendasi Pupuk Berdasarkan
Taraf Kecukupan Hara (Sufficiency Level). Pembinaan Pengembangan
program Uji Tanah, Ciawi, 25 Sept-21 Okt 2000.
Setyorini, D., A. Kasno, IGM. Subiksa, D. Nursyamsi, Sulaeman dan J.S. Adiningsih.
1995. Evaluasi Status P dan K Tanah Sawah Intensifikasi sebagai Dasar
Penyusunan Rekomendasi Pemupukan P dan K di Sumatera Barat,
Sumatera selatan, dan Kalimantan Selatan. Pembahasan Laporan Paket
Teknologi Hasil Penelitian ARMP-I, Cisarua.
Sofyan, A. dan J. Suryono. 2002. Petunjuk Teknis Pembuatan Peta Status P dan K
Lahan Sawah Skala 1:50.000 serta Percobaan Pemupukan. Badan Litbang
Pertanian. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Supardi, A., IGM. Subiksa, IPG. Widjaya-Adhi, dan J. Sri Adiningsih. 1996.
Tanggap padi sawah terhadap pemupukan N, P, dan K pada tanah-tanah di
Kalimantan Selatan. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi
Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Cisarua, 26-28 September 1995.
Buku III : Bidang Kesuburan dan Produktivitas Tanah. Puslittanak.
Tim Uji Tanah. 1999. Laporan Kegiatan Pemantapan Program Uji Tanah dan
Analisis Tanaman di BPTP. Kerjasama Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat dengan ARMP-II- Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Tisdale S.L., W.L. Nelson, and J.D. beaton. 1985. Soil Fertility and Fertlizers 4 th ed.
Macmillan Publishing Company, New York.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
129
PERBAIKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN PADI MELALUI
PEMUPUKAN AN-ORGANIK SPESIFIK LOKASI
Sodiq Jauhari*) dan Hairil Anwar*)
ABSTRAK
Produksi beras dewasa ini masih bertumpu pada potensi lahan irigasi. Untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi pemupukan perlu di tetapkan
rekomendasi pemupukan yang tepat guna. Teknologi pemupukan dengan
menggunakan bahan an organik (pupuk kimia) ternyata dapat melipatgandakan
hasil. Anjuran penggunaan pupuk kimia sesuai rekomendasi akhir–akhir ini tidak
dapat dipenuhi oleh petani. Tingginya harga pupuk kimia yang tidak seimbang
dengan harga jual produksi pertanian, menjadi kendala utama. Perbaikan sistem
usahatani tanaman padi melalui pemupukan an-organik spesifik lokasi mempunyai
tujuan diperolehnya informasi dosis dan cara pemupukan an-organik yang tepat
dan efisien. Paket pemupukan padi sawah dilakukan dalam hamparan SUT , MK
2002 di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah (Juni s/d
Oktober 2002) pada lahan petani seluas 2.000 m². Rancangan pengujian
menggunakan acak kelompok diulang tiga kali dengan enam paket pemupukan,
yaitu : 1). Kompos 2000 kg/ha + urea 300 kg/ha, 2). Urea 300 kg/ha + SP-36 75 kg/ha
+ KCl 50 kg/ha. 3). NPK Tablet 500 kg/ha, 4). Mixon Prima 250 kg/ha + Urea 300
kg/ha, 5). Posfat Super 150 kg/ha + Urea 350 kg/ha, 6). Kontrol (Perlakuan petani :
Urea 250 kg + SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Pengamatan meliputi jumlah
anakan produktif, tinggi tanaman, hasil gabah kering panen (ubinan), bobot gabah
kering giling (GKG), persen hampa dan kadar air saat panen umur 90 hst. Hasil
pengkajian menunjukkan penggunaan NPK tablet memberikan 8 cm lebih tinggi
daripada tanpa penggunaan KCl terhadap tinggi tanaman dan menaikkan hasil
GKG 21,19% dari pada perlakuan 1,2,4 dan 5. Cara Pemberian NPK tablet
menaikkan hasil GKG sekitar 25% daripada penggunaan pupuk tunggal yang
disebar. Jumlah malai produktif maupun prosen gabah hampa tidak dipengaruhi
oleh perlakuan yang diberikan.
Kata kunci : Teknologi. Budidaya tanaman padi. Pupuk An-Organik
PENDAHULUAN
Produksi beras dewasa ini masih bertumpu pada potensi lahan irigasi. Untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi pemupukan perlu di tetapkan
rekomendasi pemupukan yang tepat guna. Teknologi pemupukan dengan
menggunakan bahan anorganik (pupuk kimia) ternyata dapat melipatgandakan
hasil. . Anjuran penggunaan pupuk kimia sesuai rekomendasi akhir –akhir ini tidak
dapat dipenuhi oleh petani. Tingginnya harga pupuk kimia yang tidak seimbang
dengan harga jual produksi pertanian, menjadi kendala utama. Ketidak mampuan
menyediakan saprodi sesuai anjuran tersebut berakibat menurunkan hasil.
Disamping rendahnya efisiensi pupuk karena dalam aplikasi yang salah.
_________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
130
Menurut Murayama (1979, dalam Setyobudi 1995) pupuk urea yang ditebarkan
mempunyai kepekaan yang tinggi untuk hilang, baik melalui pencucian nitrifikasi
maupun limpasan. Penggenangan secara diskontinyu yang tidak tepat ternyata
dapat menurunkan serapan N oleh tanaman sampai 40% serta mengurangi
ketersediaan N dalam tanah.
Peranan bahan organik dalam memperbaiki produktifitas tanah sangat
tergantung pada tingkat dekomposisi dan jenis bahan organik. Kesesuaian antara
tingkat dekomposisi dengan kebutuhan tanaman perlu diperhatikan sehingga
efektifitas bahan organik lebih baik (Widati, et al., 1999). Banyak dilaporkan oleh
para peneliti bahwa dewasa ini sudah terjadi ketidak seimbangan hara bagi
tanaman. Pergeseran tatanan hara dalam tanah dapat diakibatkan penggunaan
rekomendasi pupuk yang bersifat umum, peningkatan takaran dan macam pupuk
kimia yang digunakan maupun penggunaan varietas unggul umur genjah. Nurjaya
et al., (1999). mengemukakan bahwa penambahan salah satu unsur hara dalam
tanah dapat menyebabkan unsur hara lain menjadi kekurangan, sedangkan
penanaman bibit unggul disertai pemupukan takaran tinggi menyebabkan unsur
hara mikro makin terkuras. Karama et al., (1990) menyatakan bawa akibat
pemberian pupuk TSP terus menerus akan menyebabkan gejala kekurangan Zn.
Penggunaan P lebih dari 20 tahun membentuk lapisan padat diatas lapisan tapak
baja. (Jo, 1990 dan Uwasawa et al., 1990 dalam Karama et al., 1990). Pemberian
unsur hara K yang tinggi dapat menekan ketersediaan Mg (Adiningsih et al., 1989).
Sumberdaya lahan sawah irigasi perlu dijaga kelestarianya, ditempuh
melalui kontinuitas irigasi, pola tanam, pemupukan maupun penurunan biaya
produksi. Untuk mengetahui biaya produksi yang paling murah salah satu caranya
melalui penurunan takaran dan macam pupuk yang diberikan berdasarkan kondisi
setempat. Guna memecahkan permasalahan tersebut perlu dikaji beberapa paket
teknologi pemupukan an-organik berdasakan spesifik lokasi.
METODOLOGI PENELITIAN
Paket pemupukan padi sawah dilakukan dalam hamparan SUT, MK 2002 di
Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah (Juni s/d Oktober
2002) pada lahan petani seluas 2.000 m². Bahan penelitian meliputi benih padi
Widas (5 kg), pupuk organik majemuk/kompos (200kg), Urea (50kg), SP-36 (25kg), K
CL (25 kg), NPK Tablet (25 kg), Mixon Prima (25 kg) dan Fospat Super (25 kg). Alat
yang digunakan adalah timbangan lapang maupun timbangan analitik, tali, label
dan ATK. Pelaksanaan penelitian dimulai dari pengolahan tanah sampai siap
tanam kemudian ploting sebanyak 18 plot. Bibit ditanam pada umur 25 hst 2-3
batang per rumpun, dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Pupuk dasar P dan K diberikan
bersamaan tanam sedangkan Urea diberikan setelah umur 2 minggu . Rancangan
pengujian menggunakan acak kelompok diulang tiga kali dengan enam paket
pemupukan, yaitu : 1). Kompos =2000 kg/ha + Urea =300 kg/ha, 2). Urea= 300 kg/ha
+ SP-36= 75 kg/ha + KCl= 50 kg/ha. 3). NPK Tablet= 500 kg/ha, 4). Mixon Prima
=250 kg/ha + Urea= 300 kg/ha, 5). Fosfat Super= 150 kg/ha + Urea= 350 kg/ha, 6).
Kontrol ( Perlakuan petani) : Urea =250 kg + SP-36 =100 kg/ha dan KCl =100 kg/ha.
Pengamatan meliputi jumlah anakan produktif, tinggi tanaman, hasil gabah kering
panen (ubinan), bobot gabah kering giling (GKG), persen hampa dan kadar air saat
panen umur 90 hst.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
131
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan, varietas Widas mempunyai karakteristik :
umur 115 – 125 hst, tinggi 90 – 117 cm, jumlah anakan 17 – 20 batang, tekstur nasi
pulen. Hasil persilangan Sentani dan Singkarak ini dilepas tahun 1999,
mempunyai potensi hasil 5 – 7 t/ha, dapat ditanam pada musim kemarau (MK) dan
musim hujan (MH) pada ketinggian dibawah 600 m dpl.
Tabel 1. Pertumbuhan dan hasil ubinan padi varietas Widas pada pengujian
pemupukan di Kecamatan Juwiring, Klaten
N0 Perlakuan Tinggi tanaman
(cm)
Jumlah malai
produktif per
rumpun
(batang)
Berat ubinan
( kg/6,25 m²)
1 Kompos 2000 kg/ha + Urea
300 kg/ha
88,06 ab 20,67 3,93 ab
2 Urea 300 kg/ha + SP-36 75
kg/ha + KCl 50 kg/ha.
88,44 ab 15,78 3,72 a
3 NPK Tablet 500 kg/ha 93,47 a 21,66 4,67 b
4 Mixon Prima 250 kg/ha +
Urea 300 kg/ha
85,28 b 15,33 3,97 ab
5 Fosfat Super 150 kg/ha +
Urea 350 kg/ha,
86,25 b 14,89 3.88 ab
6 Kontrol ( Perlakuan petani)
: Urea 250 kg + SP-36 100
kg/ha dan KCl 100 kg/ha.
91,77 ab 17,44 4,54 ab
Rerata 88,88 17,63 4,12
Simpangan baku 5,06 4,09 0,53
LSD (5%) 6,79 9,63 0,86
CV (%) 3,96 28.29 10,80 Keterangan: Pada kolom sama di ikuti oleh huruf yang sama , tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
pada taraf uji LSD 5%.
Rata-rata tinggi tanaman yang dicapai varietas Widas di tempat pengujian
ternyata lebih rendah 1 cm dengan deskripsi varietas (90 – 117 cm). Keadaan
lingkungan, sifat genetik/pewarisan dan interaksinya akan memperagakan hasil
yang ada. Penggunaan pupuk NPK tablet terbukti memberikan tinggi tanaman 8
cm lebih tinggi dari pada Mixon Prima dan Fosfat Super. Unsur K sangat diperlukan
untuk pemanjangan sel yang berfungsi memperluas jaringan permukaan tanaman.
Luas permukaan tanaman padi penting untuk kegiatan fisiologis seperti kegiatan
penerimaan radiasi matahari dan transpirasi. Penggunaan NPK Tablet juga
memberikan jumlah anakan produktif sampai 21,66 batang per rumpun ( 1,66
batang per rumpun lebih tinggi dari deskripsi varietas Widas. Meskipun demikian
tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya , tetapi ada kecenderungan linier
antara pertumbuhan dan hasil.
Koefisien keragaman anakan produktif relatif lebih tinggi (28,2%). Penyebab
angka ini adalah besarnya standar deviasi 23% disamping faktor terbentuknya
anakan maupun faktor serangan hama penyakit, Pertumbuhan jumlah anakan dan
terbentuknya malai juga dipengaruhi oleh pewarisan genetik, segregasi inisial sel
dan sebagainya.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
132
Hasil ubinan gabah kering panen (GKP) tertinggi ada pada perlakuan 3 dan
terendah pada perlakuan 2 dengan perbedaan hasil 25,5%. Perlakuian 3
mempunyai persentase hampa terendah sehingga bobot gabah kering giling (GKG)
paling tinggi (Tabel 1). Cara pemberian pupuk dengan dibenamkan ternyata dapat
meningkatkan hasil. Hal ini sejalan apa yang dikemukakan oleh Rochayati dan
Adiningsih (1990) bahwa efisiensi pemupukan N yang tertinggi pada Urea tablet
yang dibenamkan. Penggunaan Urea tablet lebih menguntungkan dibanding Urea
prill baik pada tanah regosol Klaten maupun Grumusol Ngawi. Penggunaan pupuk
Urea tablet Klaten dapat menghemat 180 kg/ha Urea selama 2 kali tanam (MH dan
MK) dan memperoleh gabah kering giling (GKG) 8.89 kg/ha lebih tinggi dibanding
penggunaan Urea prill (Tabel 2) Penggunaan Urea briket di Ngawi dapat
menghemat 186 kg/ha Urea selama 2 kali musim (MH dan MK) dan memperoleh
gabah kering giling (GKG) sekitar 8,81 kg/ha lebih tinggi dibanding Urea prill.
Tabel 2. Kadar air saat panen, prosentase hampa dan bobot gabah kering giling pada
padi varietas Widas di Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten
N0 Perlakuan Kadar air saat
panen (%)
Kadar gabah
hampa (%)
Berat bersih
GKG (t/ha)
1 Kompos 2000 kg/ha + Urea 300
kg/ha
23,01 a 9,41 5,0867 ab
2 Urea 300 kg/ha + Sp-36 75
kg/ha + KCl 50 kg/ha.
22,46 ab 8,53 5,0167 ab
3 NPK Tablet 500 kg/ha 21,65 b 6,92 6,3200 a
4 Mixon Prima 250 kg/ha + Urea
300 kg/ha
21,71 b 9,62 5,1500 ab
5 Fosfat Super 150 kg/ha + Urea
350 kg/ha,
21,84 b 10,45 4,6700 b
6 Kontrol (Perlakuan petani :
Urea 250 kg + SP-36 100 kg/ha
dan KCl 100 kg/ha.
21,64 b 9,53 6,1133 ab
Rerata 22,05 9,08 5,3930
Simpangan baku 0,62 2,03 0,8200
LSD (5%) 0.96 4,88 1,4392
CV (%) 2,25 27,85 13,8200 Keterangan: Pada kolom sama di ikuti oleh huruf yang sama , tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
pada taraf uji LSD 5%.
Prosentase kadar air saat panen adalah jumlah berat air dalam gabah dibagi
total berat gabah basah. Berat air didapatkan dari sampel gabah yang dioven pada
suhu 105ºC sampai berat kering tetap (lebih dari 3 jam). Persen air pada gabah
untuk perlakuan kompos ternyata paling tinggi dibanding perlakuan tanpa
penggunaan kompos. Pertumbuhan tanaman akibat peranan kompos menjadi lebih
baik. Peranan kompos dalam tanah seperti perbaikan sifat fisik (kepadatan tanah,
struktur, aerasi, pengikatan air dsb), perbaikan kesuburan (menaikkan KTK,
penambahan unsur hara mikro dan makro dari hasil dekomposisi organik oleh
bakteri). Dengan pengurangan kepadatan tanah maka perkembangan perakaran
tanaman menjadi lebih meluas dan panjang, sehingga jangkauan serap unsur hara
oleh akar lebih banyak. Selain itu kompos juga menyediakan unsur hara yang lebih
lengkap meskipun dalam jumlah yang sedikit. Persen kadar air gabah yang tinggi
menggambarkan tingkat kemasakan biji belum sempurna. Indikator ini juga
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
133
berkaitan dengan umur tanaman padi, bahwa penggunaan kompos dan Urea
ternyata memperpanjang umur tanaman.
Hasil analisis statistik terhadap persentase hampa tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata dengan rata-rata kehampaan sekitar 9,08% dan mempunyai
nilai koefisien keragaman 27%. Tingginya koefisien keragaman banyak disebabkan
oleh beberapa faktor terjadinya kehampaan. Translokasi asimilat ke ruang palea (sink) yang kurang lancar, gagal penyerbukan ,serangan hama dan penyakit dapat
memperbesar terjadinya kehampaan.
Marjuki (1990) mendefinisikan bahwa produk adalah apa yang diberikan
individu tumbuh kepada manusia dan hasil adalah jumlah produk yang didapat
tiap satuan luas yang ditanami. Produksi adalah produk yang didapat di suatu
wilayah selama periode tertentu. Hasil GKG rerata adalah 5,39 t/ha, sedangkan
hasil tertinggi dicapai pada perlakuan 3 dan terendah pada perlakuan 5. Hasil
rendah pada perlakuan 5 juga diikuti rendahnya tinggi tanaman dibanding pada
perlakuan 5 (Tabel 1 ). Perbedaan hasil diduga akibat pemberian pupuk KCl pada
perlakuan 3, sedangkan perlakuan 5 tidak diberikan KCl, disamping cara pemberian
pupuk yang dibenamkan pada perlakuan 3. Paket perlakuan 1,2,4 dan 5 yang
dicobakan mempunyai rata-rata hasil GKG yang lebih rendah dari perlakuan 6
(kontrol), yaitu sebesar 18,52%. Perbedaan ini banyak disebabkan oleh perbedaan
takaran pemberian pupuk . Perlakuan 1,2,4 dan 5 apabila dibandingkan dengan
perlakuan 3 maka mempunyai selisih hasil GKG sebesar 21,19%.
KESIMPULAN
Penggunaan NPK tablet memberikan 8 cm lebih tinggi dari pada tanpa
penggunaan KCl terhadap tinggi tanaman dan menaikkan hasil GKG 21,19% dari
pada perlakuan 1,2,4 dan 5. Cara Pemberian NPK tablet menaikkan hasil GKG
sekitar 25% dari pada penggunaan pupuk tunggal yang disebar (prill). Jumlah malai
produktif maupun prosentase gabah hampa tidak dipengaruhi oleh perlakuan yang
diberikan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
134
DAFTAR PUSTAKA
Karama, AS, A.R. Marjuki dan I.Manwan. 1990. Penggunaan pupuk organic pada tanaman pangan.Proc.Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian . Bogor.
Marjuki, A.S. 1990. Pengantar Ilmu Pertanian dan Permasalahannya . Andi Offset.
Yogyakarta.
Nurjaya, Sri Widati dan A. Kasno. 1999. Penilaian keseimbangan hara tanah sawah melalui analisis daun tanaman padi menggunakan metode DRIS. Proc.
Seminar Nasional. Sumberdaya Lahan. Buku 3. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Setyobudi, D. 1995. Pengaruh tingkat pupuk N terhadap pertumbuhan dan hasil padi kultivar Ciliwung pada berbagai jangka waktu penggenangan air .
Dalam analisis Iklim untuk pengembangan agribisnis. Buku 2. Perhimpi.
Yogyakarta.
Soepartini, M., Didi Ardi S., W. Hartatik dan D. Styorini. 1990. Status kalium tanah sawah dan tanggap padi sawah terhadap pemupukan kalium. Proc.
Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor.
Sri Rochayati dan Adiningsih, S., 1990. Efisiensi penggunaan pupuk pada tanah sawah. Proc. Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan pupuk V. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
Widati, S., E. Santoso, Maryam dan Sobowo. 1999. Pengaruh inokulasi mikroba dekompuser terhadap perombakan jerami di rumah kaca. Proc. Seminar
Nasional. Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Wijaya Adi, H. Soewarjo dan M. Soepartini. 1987. Proc. Lokakarya Nasional.
Efisiensi penggunaan pupuk II. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
135
PENGARUH JARAK TANAM DAN PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI UBI KAYU
Endang Iriani*), Sularno*) dan Hairil Anwar*)
ABSTRAK
Ubi kayu (Manihot esculenta. Cranz) merupakan bahan makanan pokok ke
tiga setelah padi dan jagung. Produksi rata-rata nasional tergolong masih rendah
yaitu 12 t/ha, sementara potensinya mencapai 30-40 t/ha. Beberapa faktor penyebab
rendahnya produksi adalah rendahnya kualitas bibit, teknik budidaya belum
optimal, tingkat kesuburan tanah yang beragam. Salah satu upaya perbaikan
teknologi adalah penggunaan bahan organik dan pengaturan jarak tanam
diharapkan sebagai alternatif teknologi dalam upaya peningkatan produksi.
Kegiatan dilakukan di kebun IPPTP Ngemplak. Rancangan yang digunakan adalah
RAK Faktorial yang diulang 4 kali. Sebagai perlakuan faktor pertama adalah pupuk
organik terdiri dari 1) pupuk anorganik, 2) pupuk kandang + anorganik, 3) pupuk
fine kompos + anorganik, sedang jarak tanam yang digunakan adalah a) 50 x 50 cm,
dan b) 100 x 50 cm. Varietas ubi kayu yang digunakan Adira-4. Dosis pupuk yang
diberikan adalah Urea 200 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCl 100 kg/ha, pupuk kandang 10
t/ha dan fine compos 2 ton/ha. Hasil pengkajian menunjukkan dari dua perlakuan
jarak tanam untuk semua parameter pertumbuhan dan produksi hasil terbaik
dicapai pada jarak tanam 100 x 50 cm, sedang pengaruh penambahan pupuk
kandang dan fine kompos pada jarak tanam 100 x 50 cm memberikan peningkatan
hasil masing-masing sebesar 33,0 t/ha dan 35,95 t/ha, sedang tanpa pemberian
pupuk organik menghasilkan 30,38 t/ha pada jarak tanam yang sama.
Kata kunci : Jarak tanam, pupuk organik, ubi kayu
ABSTRACT
Cassava (Manihot esculenta) is the third main food after rice and corns. The
Average of National Production is still low, namely 12 ton per hectare, while its
potency reaches 30-40 ton per hectare. Causes of its low production is the low seed
quality, the technique of cultivation which is not optimal yet, the various fertilization
level of soil. One of well effort for such technology is the use of organic materials and
the setting of planting distance which is suppossed to be as an alternative of
technology in the effort of production improvement. This activity is performed in
IPPTP plantation of Ngemplak. The design was set in a randomized block design
with four times of replication. As the first factor treatment was the fertilizer of
inorganic material which consists of 1) inorganic fertilizer 2) manure + inorganic
fertilizer 3) fertilizer of fine compost + inorganic. Whereas the planting distance
which used was a) 50 X 50 cms, b) 100 X 50 cms. The variety of casava used was
Adira-4. The fertilizer dossage used was Urea of 200 kgs/hectare, TSP of 100
kgs/hectare, KCl of 100 kgs/hectare, Manure Fertilizer of 10 tons/hectare and fine
compost of 2 tons/hectare.
_________________
*) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
136
The result of this research showed that, from the two treatment of planting distance for
all parameter of the best growth and production result, could be reached by planting
distance of 100 X 50 cms. But the influence of organic material, in fact, the addition of
manure fertilizer and fine compost at the planting distance of 100 X 50 cms gave the
hope to the improvement of each result with the production of 33.0 tons/hectare at the
manure fertilizer addition and 35.95 tons/hectare at the fine compost addition. While
the planting without the giving of organic material produced only 30.38 tons/hectare at
the same planting distance.
Key words : Planting distance, organic fertilizer, cassava
PENDAHULUAN
Ubi kayu (Manihot esculenta Cranz) merupakan komoditas substitusi makanan
pokok sebagian masyarakat Indonesia. Disamping potensinya sebagai komoditas
ekspor, juga merupakan bahan pangan, atau selingan sehari-hari dan dapat diolah
menjadi makanan ringan berupa kue dan sebagainya. Potensi ubikayu sebagai bahan
baku industri mampu memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap nilai
ekonomis (Lingga, 1986 dalam Rubiyo, dkk., 1998).
Sekitar 70% hasil ubikayu dihasilkan untuk makanan keluarga, dapat
dipahami mengapa penggunaan varietas ubikayu lokal masih sangat tinggi 66%
(Hartoyo, 1991). Dikatakan oleh Widodo dan Sumarno (1991), ubikayu sebagai salah
satu komoditas tanaman pangan, mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan
komoditas lainnya, selain sebagai bahan pangan, ubikayu juga digunakan sebagai
bahan baku industri pakan ternak. Ditinjau dari sisi agronomis, ubikayu kurang
mempunyai musuh alami, dan tegar dalam menghadapi keragaman lingkungan.
Tanaman ubi kayu dibudidayakan di Indonesia seluas 1,2 juta hektar/tahun.
Hasil rata-rata nasional ubi kayu di tingkat petani masih rendah yaitu 12 t/ha,
sementara dari hasil penelitian dapat mencapai 40 t/ha. Melihat kesenjangan hasil
tersebut peningkatan hasil rata-rata nasional sebesar 30 t/ha tidak akan sulit dicapai
apabila faktor-faktor kendala rendahnya produksi dapat diatasi (Hartoyo, 1992).
Beberapa faktor penyebab rendahnya hasil ubikayu di tingkat petani antara
lain adalah : rendahnya kualitas bibit akibat penyimpanan dan pemeliharaan bibit
yang kurang baik, tingkat kesuburan tanah yang beragam dan iklim yang tidak
menentu, teknik budidaya yang belum optimal, serangan hama dan gulma dan harga
jual yang kurang menarik.
Pada umumnya petani dalam budidaya ubikayu hanya dilakukan sebagai
sampingan sehingga pemberian pupuk yang diberikan biasanya hanya pupuk
kandang bahkan masih banyak yang tanpa dipupuk. Jenis tanah yang dominan
sebagai sentra produksi ubikayu adalah di lahan Mediteran, Podsolik Merah Kuning,
Grumosol dan Latosol. Umumnya tanah ini kurang subur, oleh karena itu diperlukan
perbaikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman
(Wargiono dkk, 1996).
Upaya untuk meningkatkan produksi ubi kayu di tingkat petani sudah
banyak dilakukan terutama oleh Balai Penelitian antara lain yaitu dengan
terciptanya varietas-varietas unggul baru. Varietas unggul yang bermutu
merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam berusahatani disamping teknologi
budidaya yang tepat juga sangat mendukung produksi yang akan dicapai.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
137
Salah satu upaya perbaikan teknologi adalah penggunaan bahan organik dan
pengaturan jarak tanam yang diharapkan sebagai alternatif teknologi dalam upaya
untuk peningkatan produksi ubi kayu.
METODOLOGI
Pengkajian pengaruh jarak tanam dan penggunaan bahan organik terhadap
pertumbuhan dan produksi ubikayu dilakukan di kebun IPPTP Ngemplak, dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial yang diulang 4 kali. Sebagai
perlakuan, faktor pertama adalah jarak tanam yaitu a) 50 x 50 cm, dan b) 100 x 50
cm, sedang sebagai faktor kedua adalah pemberian pupuk terdiri dari 1) pupuk
anorganik, 2) pupuk kandang + pupuk anorganik, 3) pupuk fine kompos + pupuk
anorganik. Dosis pupuk anorganik yang diberikan adalah Urea 200 kg/ha, TSP 100
kg/ha, KCl 100 kg/ha, sedang bahan organiknya adalah pupuk kandang 10 t/ha dan
fine kompos 2 ton/ha. Varietas ubi kayu yang ditanam adalah Adira-4 dengan stek
ubi kayu sepanjang 20 cm yang ditanam ditengah guludan. Dalam persiapan lahan,
tanah diolah sampai gembur dan dibuat guludan-guludan dengan jarak antar
guludan adalah 80 cm. Waktu pemberian pupuk adalah 2 kali yaitu pertama 50%
diberikan sebagai pupuk dasar pada waktu tanam dan kedua 50% diberikan pada
umur 2 bulan setelah tanam (hst).
Parameter yang diamati adalah data agronomis meliputi tinggi tanaman,
panjang stek, dan diameter stek pada umur 60 hst dan data agronomis maksimum
(sampai panen) diamati tinggi tanaman, panjang batang, dan diameter batang
maksimum serta komponen produksi. Selanjutnya data teknis untuk membedakan
hasil antar perlakuan dilakukan analisis sidik ragam dengan uji beda nyata terkecil
pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengkajian menunjukkan perlakuan jarak tanam tidak memberikan
pengaruh yang nyata pada rata-rata tinggi tanaman ubi kayu umur 6 bulan,
sebaiknya pada perlakuan pemupukan diperoleh perbedaan tinggi tanaman secara
nyata (Tabel 1)
Tabel 1. Keragaan tinggi tanaman ubikayu pada umur 6 bulan pada perlakuan
jarak tanam dan pemupukan
Perlakuan
Jarak Tanam
Pemupukan
Rerata A
( cm )
B
( cm )
C
( cm )
50 X 50 143,5 160,3 153 153,3 p
100 X 50 147,8 154,3 164 155,4 p
Rerata 145,6 a 157,3 b 158,5 b Keterangan :
Angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama menunjukkan beda nyata
a. Pupuk anorganik
b. Pupuk kandang + pupuk anorganik
c. Pupuk fine kompos + pupuk anorganik
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
138
Tetapi adanya perlakuan pemupukan menunjukkan beda nyata. Pada
perlakuan pupuk kandang + pupuk anorganik dan fine kompos + pupuk anorganik
memberikan pertumbuhan lebih tinggi dibanding pada perlakuan yang hanya diberi
pupuk anorganik.
Keragaan panjang stek pada tanaman umur 6 bulan tertera pada Tabel 2.
Jika dilihat dari pengaruh jarak tanam terhadap panjang stek ternyata rata-rata
panjang stek pada jarak tanam 100X50 cm diperoleh hasil lebih panjang sekitar 7,6
cm (75,4 cm), dibanding pada jarak tanam 50X50 cm yaitu hanya 67,8 cm. Sedang
jika dilihat dari perlakuan pemberian pupuk, secara statistik tidak menunjukkan
beda nyata.
Tabel 2. Keragaan panjang stek ubikayu umur 6 bulan pada perlakuan jarak tanam
dan pemupukan
Perlakuan
Jarak Tanam
Pemupukan
Rerata A
(cm)
B
(cm)
C
(cm)
50 x 50 68,93 67,43 67,2 67,8 p
100 x 50 74,75 76,6 74,97 75,4 q
Rerata 71,80 a 72 a 71,1 a Keterangan :
Angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama menunjukkan beda nyata
a. Pupuk anorganik
b. Pupuk kandang + pupuk anorganik
c. Pupuk fine kompos + pupuk anorganik
Perlakuan pemupukan ternyata tidak berpengaruh terhadap diameter batang
ubi kayu pada umur 6 bulan sedangkan perlakuan jarak tanam 100 x 50 cm
diperoleh peningkatan sekitar 2, 84 mm diameter batangnya dibanding pada jarak
tanam 50 x 50 cm (Tabel 3).
Tabel 3. Diameter batang ubikayu pada umur 6 bulan pada perlakuan jarak tanam
dan pemupukan
Perlakuan
Jarak Tanam
Pemupukan
Rerata A
(mm)
B
(mm)
C
(mm)
50 x 50 17,2 16,7 17,2 17,03 p
100 x 50 19,5 20,9 19,2 19,87 q
Rerata 18,4 a 18,8 a 18,5 a Keterangan :
Angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama menunjukkan beda nyata
a. Pupuk anorganik
b. Pupuk kandang + pupuk anorganik
c. Pupuk fine kompos + pupuk anorganik
Secara umum untuk parameter pertumbuhan (tinggi tanaman, panjang stek
dan diameter batang) pada umur 6 bulan sifatnya masih bisa berkembang karena
umur tanaman belum optimal, sehingga faktor-faktor lingkungan masih besar
pengaruhnya terhadap pertumbuhannya.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
139
Tabel 4. Keragaan tinggi tanaman ubikayu maksimum (umur 10 bulan) pada
perlakuan jarak tanam dan pemupukan
Perlakuan
Jarak Tanam
Pemupukan
Purata A
( cm )
B
( cm )
C
( cm )
50 X 50 245,1 243,4 253,9 247,47 q
100 X 50 223 236,5 232,8 230,77 p
Purata 234,1 a 239,9 a 243,4 b Keterangan :
Angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama menunjukkan beda nyata
a. Pupuk anorganik
b. Pupuk kandang + pupuk anorganik
c. Pupuk fine kompos + pupuk anorganik
Perlakuan jarak tanam 100 x 50 cm dan pemupukan fine kompos + pupuk
anorganik memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman maksimum pada umur
10 bulan (Tabel 4). Hal ini diduga, dengan jarak tanam yang cukup memberikan
keleluasaan bagi akar tanaman dalam menyerap makanan dalam tanah. Dengan
pemberian pupuk fine kompos ternyata lebih baik dibanding perlakuan yang lain,
karena diduga kompos yang diberikan sudah dalam kondisi siap diserap oleh
tanaman sehingga tidak menunggu dekomposisi. Lain halnya pada pupuk kandang
harus melalui proses dekomposisi terlebih dahulu sebelum diserap akar tanaman.
Tabel 5. Panjang stek maksimum (10 bulan ) ubi kayu pada perlakuan jarak tanam
dan pemupukan
Perlakuan
Jarak Tanam
Pemupukan
Rerata A
(cm)
B
(cm)
C
(cm)
50 x 50 120,6 124,6 123,7 122,97 p
100 x 50 125,1 124,6 133,7 127,8 q
Rerata 122,85 a 124,6 b 128,7 c Keterangan :
Angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama menunjukkan beda nyata
a. Pupuk anorganik
b. Pupuk kandang + pupuk anorganik
c. Pupuk fine kompos + pupuk anorganik
Perlakuan jarak tanam maupun pemberian pupuk sangat mempengaruhi
terhadap panjang stek tanaman ubi kayu pada umur 10 bulan (Tabel 5). Dengan
jarak tanam 100 x 50 cm dan pemupukan fine kompos + anorganik memberikan
hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Untuk diameter batang pada saat panen ternyata pada jarak tanam yang
cukup yaitu 100 x 50 cm memberikan perbedaan yang nyata dibanding pada
perlakuan jarak tanam 50 x 50 cm (Tabel 6), sedang pada pemberian pupuk yang
berbeda ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap diameter batangnya. Tidak
berbedanya diameter batang pada berbagai perlakuan pemupukan diduga lebih
disebabkan oleh sifat genetis dari varietas yang digunakan yaitu Adira 4 yang
mempunyai diameter maksimum sekitar 19,5 – 21 mm.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
140
Tabel 6. Diameter batang ubikayu maksimum (10 bulan) pada perlakuan jarak
tanam dan pemupukan
Perlakuan
Jarak Tanam
Pemupukan
Rerata A
(mm)
B
(mm)
C
(mm)
50 x 50 20,6 18,5 19,4 19,5 p
100 x 50 21,2 22,3 21,5 21,7 q
Rerata 20,9 a 20,4 a 20,5 a Keterangan :
Angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama menunjukkan beda nyata
a. Pupuk anorganik
b. Pupuk kandang + pupuk anorganik
c. Pupuk fine kompos + pupuk anorganik
Perlakuan jarak tanam 100 x 50 cm memberikan hasil yang lebih tinggi yaitu
33,23 ton/ha dibanding pada perlakuan jarak tanam 50 x 50 cm yang diperoleh 32,41
ton/ha (Tabel 7). Demikian juga pada perlakuan pemberian pupuk kompos + pupuk
anorganik hasilnya tertinggi yaitu 33,95 ton/ha, sedang dengan pemberian pupuk
kandang + pupuk anorganik hasilnya cenderung meningkat yaitu mencapai 33,0
ton/ha dan hasil terendah diperoleh pada perlakuan yang hanya menggunakan
pupuk anorganik sebesar 30,38 ton/ha ubi kayu.
Tabel 7. Produksi ubi kayu (ton/ha) pada perlakuan jarak tanam dan pemupukan
Perlakuan
Jarak Tanam
Pemupukan
Rerata A
ton/ha
B
ton/ha
C
ton/ha
50 x 50 29,12 31,84 33,28 32,41 p
100 x 50 30,9 34,17 34,62 33,23 q
Rerata 30,38 a 33,0 ab 33,95 b Keterangan :
Angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama menunjukkan beda nyata
a. Pupuk anorganik
b. Pupuk kandang + pupuk anorganik
c. Pupuk fine kompos + pupuk anorganik
Dengan pemberian bahan organik baik berupa pupuk kandang maupun
pupuk kompos hasilnya lebih baik dibanding kalau hanya diberi pupuk anorganik.
Keuntungan menggunakan pupuk organik adalah mempertahankan kesuburan
fisik, kimia dan biologi tanah. Hal ini dikatakan oleh Sarief (1985). bahwa dengan
adanya pemberian bahan organik akan memperbaiki struktur tanah, menambah
banyaknya kegunaan air untuk tanaman, karena tanah dapat memegang air, dan
memperbaiki aerasi dan drainase serta merangsang pertumbuhan akar.
KESIMPULAN
1. Perlakuan jarak tanam untuk semua parameter pertumbuhan maksimum
pada umur 10 bulan yairu tinggi tanaman, panjang stek dan diameter batang
yang terbaik dicapai pada jarak tanam 100 x 50 cm.
2. Pengaruh pemberian bahan organik dengan penambahan pupuk kandang dan
fine kompos pada jarak tanam 100 x 50 cm memberikan peningkatan hasil
ubikayu masing-masing dengan produksi 33,0 t/ha pada penambahan pupuk
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
141
kandang dan 35,95 t/ha pada penambahan fine kompos, sedangkan bila tanpa
pemberian bahan organik menghasilkan 30,38 t/ha pada jarak tanam yang
sama.
DAFTAR PUSTAKA
Hartoyo, K., 1991. Teknologi untuk meningkatkan hasil ubikayu. Balittan Malang.
Hartoyo, K., 1992. Pertumbuhan dan produktivitas beberapa klon singkong pada dua
altitude yang berbeda. Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun
1992. Balittan Malang.
Rubiyo, D. Sahara dan G. Kartono, 1998. Prospek ubikayu pada lahan kering di
Sulawesi Tenggara. Pross. Sem. Nas dan Pertemuan Tahunan Komda HITI
1998. Balitkabi Malang.
Sarief, E.S. 1985. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. CV. Pustaka
Buana. Bandung 182 hal.
Wargiono, J., E. Tuherkih dan N. Haryani, 1996. Teknik Budidaya ubikayu dalam
Brewbaker, J.L. and Glover. WO.
Widodo, Y., dan Sumarno. 1991. Kegiatan penelitian ubi-ubian di Balittan Malang.
Kemajuan dan permasalahannya. Pros. Pengembangan ubi-ubian di wilayah
Indonesia Bagian Timur. Puslitbangtan p 113-119.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
142
UJI KELAYAKAN SISTEM USAHATANI TEKNOLOGI SONIC BLOOM
PADA AREAL PERBANYAKAN TANAMAN PADI SAWAH
Hairil A*), dan T.R. Prastuti*)
ABSTRAK
Produksi padi di Jawa Tengah dari tahun ke tahun telah melandai (leveling off). Upaya untuk meningkatkan hasil, perlu dilakukan dukungan inovasi teknologi
dalam akselerasi pengembanganya melalui perbanyakan benih padi bermutu,
ataupun padi unggul tipe baru (PTB) yang di integrasikan dengan pemberian Sonic
Bloom. Teknologi Sonic Bloom, salah satu komponen teknologi alternatif yang saat
ini cukup efektif untuk meningkatkan produksi. Konsep teknologi ini merupakan
perpaduan antara aplikasi nutrisi melalui daun disertai pemberian gelombang suara
berfrekuensi tinggi, sehingga mampu meningkatkan metabolisme tanaman. Tujuan
kegiatan ini untuk mengetahui kelayakan teknologi Sonic Bloom secara teknis
maupun ekonomis pada agribisnis perbenihan padi melalui pendekatan
pengelolahan tanaman terpadu.Pengkajian dilakukan di Balai Benih Utama (BBU)
Banyudono, Kab. Boyolali seluas 1 hektar. Teknologi yang diterapkan merupakan
perpaduan PTT dan penerapan teknologi Sonic Bloom. Unit suara yang digunakan
adalah tipe M1 dan nitrisi Sonic Bloom dengan konsentrasi 2 cc / liter air. Aplikasi
nutrisi di lakukan mulai pemeraman benih, dipersemaian umur 15 hari setelah
sebar (hss) dan dipertanaman umur 15, 30, 45 dan 60 hari setelah tanam (hst).
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa teknologi Sonic Bloom dapat meningkatkan
hasil mencapai 3,1% per hektar dibandingkan teknologi petani (kontrol). Kemudian
secara ekonomis masih memberikan tambahan pendapatan dengan nilai MBCR
mencapai 1,87 dan 2,83.
Kata kunci : Pembenihan, padi, teknologi sinic bloom.
PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas strategis yang masih perlu mendapat prioritas
penanganan dalam pembangunan pertanian dewasa ini. Untuk mencukupi
kebutuhan pangan lebih dari 200 juta jiwa penduduk yang sebagian besar
mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok bukan merupakan pekerjaan yang
mudah. Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sepanjang
tahun, sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, dengan tingkat
pertumbuhan + 2% per tahunnya.
Rata-rata hasil padi di Jawa Tengah hingga tahun 2003 masih berkisar 6
ton/ha gabah kering giling. Apabila dibandingkan dengan potensi hasil ditingkat
penelitian, masih terdapat kesenjangan hasil sekitar 2 ton/hektarnya. Salah satu
alternatif teknologi yang dapat mengakselerasi kesenjangan produksi adalah
penerapan teknologi tepat guna seperti penggunaan teknologi sonic bloom pada
perbanyakan benih padi melalui model pengelolaan tanaman terpadu (PTT).
__________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
143
Benih merupakan salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan
budidaya suatu tanaman, tinggi rendahnya produktifitas dan kualitas hasil
diantaranya ditentukan oleh mutu benih baik genetik, fisiologik maupun fisik.
Selain itu menurut Soegito, el al (1995 cit, Kuswanto, 1997) benih merupakan salah
satu sarana yang harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, bermutu dan
berkualitas, sehingga mampu memberikan hasil yang optimal sesuai dengan potensi
hasilnya. Oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan beras yang terus menerus
meningkat, perlu diupayakan terobosan teknologi sistem usahatani yang mampu
memberikan nilai tambah, meningkatkan pendapatan dan efisiensi usaha.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan pada areal perbanyakan benih padi di kebun Balai
Benih Utama (BBU) Banyudono, kabupaten Boyolali. Dalam kegiatan ini sistem
usaha taninya menggunakan komponen PTT yang dipadukan dengan penggunaann
unit suara tipe M dan nutrisi sonic bloom. Alat unit suara ini bisa digunakan hanya
pada areal pertanaman seluas maksimal 2 hektar. Pengoperasiannya dimulai saat
perendaman benih selama 12 jam dengan cara mencampurkan nutrisi sonic bloom
kedalam benih padi dengan konsentrasi 1 cc/liter air, dilakukan di ruangan gelap.
Kemudian benih di diperam selama 12 jam dengan posisinit suara dalam kondisi
menyala/bunyi. Untuk di pertanaman, unit suara harus dinyalakan setiap hari
dengan ketentuan yaitu, pada pagi hari dimulai pukul 05.00 sampai 09.00 WIB dan
sore hari dimuali pukul 16.00 sampai 20.00 WIB selama suhu udara masih dibawah
30OC.
Pada persemaian, aplikasi nutrisi sonic bloom dilakukan pada umur bibit 15
hari, sedangkan di pertanaman, aplikasi dilakukan sebanyak 4 kali, mulai umur
tanam 15,30, 45 dan 60 hari setelah tanam (HST). Konsentrasi nutrisi sonic bloom
yang diaplikasikan sebanyak 2cc/liter air setiap kali penyemprotan. Pada Tabel 1.
dapat dilihat rakitan komponen teknologi yang diterapkan pada kegiatan
perbanyakan benih padi sawah.
Tabel 1. Rakitan teknologi pada uji kelayakan teknis dan ekonomis teknologi Sonic
Bloom pada perbanyakan padi sawah di Boyolali, 2002
Komponen Teknologi Teknologi
Sonic bloom Sonic bloom petani Kontrol
Varietas Sintanur Sintanur Sintanur
Jarak tanam (cm) 20 x 20 20 x 20 20 x 20
Jumlah benih (kg/ha) 10 28 28
Kompos 2000 - -
Urea 300 300 300
SP-36 150 150 150
KCl 100 100 100
Pengendalian ZA 75 75 -
Pengendalian
gulma/penyiangan
Ladak 2x Ladak 2x Ladak dan
manual
Prosesing benih Ada Tidak ada Tidak ada
Pengendalian OPT PHT PHT PHT
Panen Sabit Sabit Sabit
Nutrisi sonic bloom 1,2 ltr 1,2 ltr -
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
144
Variabel yang diamati meliputi data agronomis, komponen hasil, dan
kelayakan ekonomis (analisa usaha tani) dengan membandingkan antar pola petani
pelaksana teknologi sonic bloom dengan pola petani biasa (kontrol). Nilai
keuntungan diperoleh dari perbandingan keduanya, dengan perhitungan
berdasarkan Margin Benefit and Cast Ratio (MBCR) dengan rumus :
X1 – X2
MBCR = --------------
Y1 – Y2
Keterangan :
X1 = Pendapatan dengan menggunakan sonic bloom
X2 = Pendapatan tanpa menggunakan sonic bloom
Y1 = Total biaya dengan menggunakan sonic bloom
Y2 = Total biaya tanpa menggunakan sonic bloom
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penerapan teknologi sonic bloom di areal Kebun benih Banyudono,
menunjukkan bahwa secara visual mengalami perbedaan anatra perlakuan sonic
bloom dengan kontrol terutama pada komponen hasil, seperti pada jumlah gabah per
malai dan gabah isi per malai. Sedangkan pada jumlah anakan dan tinggi tanaman
kelihatannya tidak mengalami perbedaan yang signifikan pada masing-masing
perlakuan. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan (kekurangan
air) selama 2 minggu sejak tanaman berumur 2 hari setelah tanam sampai umur
tanaman 15 hari setelah tanam, sehingga mengakibatkan kondisi pertumbuhan
tanaman kurang baik (tidak prima) seperti tersaji pada gambar 1. Menurut Hairil
A., et al, (2002) bahwa teknologi sonic bloom akan dapat memberikan dampak yang
positip pada tanaman, apabila tidak terjadi gangguan-gangguan fisiologis seperti
mengalami kekeringan, kekurangan hara dan serangan hama penyakit serta
gangguan fisiologis lainnya yang dapat berakibat hasil benih tidak optimal.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
145
Berdasarkan hasil pengamatan khususnya pada komponen hasil dapat dilihat
pada gambar 2, bahwa penerapan teknologi sonic bloom menunjukkan peningkatan
yang cukup berarti, pada panjang malai dan jumlah gabah per malai berkisar 8,75%,
sedang pada jumlah gabah isi per malai mencapai 20,78%. Pada jumlah gabah
hampa per malai mengalami penurunan jumlah kehampaannya hingga 33,75%. Hal
ini berarti pemberian nutrisi yang dipadukan dengan alat suara sonic bloom sangat
berpengaruh dalam menstimulir pertumbuahn tanaman lebih efektif, dan mampu
merangsang kemampuan genetik sel pembawa sifat daya adaptasi terhadap
lingkungan tumbuh. Selain hal tersebut diatas ternyata perpaduan antara nutrisi
sonic blom dan alat suara sonic bloom, juga masih mampu menghasilkan panen yang
baik dibandingkan kontrol walaupun faktor lingkungan (iklim) kurang baik. Hal
ini disebabkan adanya sinergisme antara alat suara dengan nutrisi sonic bloom
dapat meningkatkan metabolisme sel tanaman sesuai dengan pendapat Bistok, et al, 2002 bahwa nutrisi sonic blom mampu memberikan pengaruh baik terhadap
pertumbuhan tanaman utamanya dalam pengaruh proses metabolesme sel
tanaman.
Menurut Haerudin, T., et al, (1993) komponen hasil dipengaruhi oleh faktor
genetik, seperti berat 1000 butir, panjang malai dan faktor lingkungan lainnya,
sehingga perlu dicermati dalam memanfaatkan faktor tersebut agar sesuai dan
adaptabel dengan sifat genetis yang diharapkan dapat muncul. Pada tabel 2 terlihat
bahwa penerapan teknologi sonic bloom dapat diindikasi lebih baik dari pembanding
(kontrol), dengan penambahan hasil berkisar rata-rata 300 kg/ha atau dengan kata
lain menaikkan produksi sampai 3,1% setiap hektarnya.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
146
Tabel 2. Komponen hasil uji kelayakan teknis dan ekonomis di Kebun Benih
Banyudono, Kabupaten Boyolali, MT 2002 pada varietas Sintanur
Komponen hasil Perlakuan
Sonic bloom + PTT Kontrol (petani)
Panjang malai (cm) 23,4 22,1
Jumlah gabah/malai 135 127
Gabah isi/malai 119 104
Gabah hampa/malai 16 23
Bobot 1000 butir (gr) 27,2 27,5
Hasil (ton/ha) 6,9 6,0
Dari analisa kelayakan ekonomis diperoleh hasil berbeda nyata kedua
perlakuan, seperti pada tabel 3. Hal ini membuktikan bahwa penerapan teknologi
sonic bloom dapat memberi tambahan pendapatan petani, walaupun biaya yang
dikeluarkan untuk pengadaan nutrisi sonic bloom dan sewa alat (unit suara M1)
cukup tinggi.
Berdasarkan hasil pengamatan nilai keuntungan atau MBCR yang diperoleh
masing-masing perlakuan adalah 2,883; 1,87; dan 0,03. Pada sonic bloom benih vs
sonic bloom petani, sonic bloom benih vs kontrol dan sonic bloom petani vs kontrol.
Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan tambahan akibat penggunaan teknologi
sonic bloom adalah : 2,83 x Rp.1.277.000 = Rp. 3.615.325; 1,87 x Rp. 1.277.000 = Rp.
2.388.925; dan 0,03 x Rp. 1.277.000 = Rp. 38.325.
Jadi tambahan keuntungan benih sebesar Rp. 3.615.325 – Rp. 1.277.500 = Rp.
2.337.825 dan Rp. 388.925 – Rp. 1.277.500 = Rp. 1.111.425, sedangkan pada
perlakuan pengelolaan petani mengalami kerugian sebesar p. 38.325 – Rp.
1.277.600 = Rp.- 1.239.175. Hal ini disebabkan faktor kondisi tanah yang kurang
sehat dan pada areal tersebut terjadi gejala serangan hama sundep dari beluk.
Menurut Yulianto, et al, 2002 bahwa pertanaman padi yang dikelola untuk benih
diberi pupuk organik sebanyak 2 ton/ha agar ketersediaan hara dapat memenuhi
jkebutuhan tanaman, bahkan menurut Sunendar, K dan A.M. Fagi (2000) dalam A.
Karim Makarim, et al. (1999) bahwa ketersediaan hara (bahan organik) dalam tanah
dapat meningkatkan aktivitas mikroba tanah dan berperan sebagai sumber pupuk
Kalium (K). Adapaun uraian finansial pengelolaan benih padi baik menggunakan
teknologi sonoic bloom maupun tanpa penggunaan teknologi sonic bloom dapat
dilihat pada lampiran 1.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
147
Tabel 3. Analisis kelayakan ekonomis pada tanaman padi di Kebun Benih
Banyudono, Kabupaten Boyolali, MT 2002
Komponen hasil
Perlakuan
Sonic bloom +
PTT Sonic bloom Pola Petani
Hasil (t/ha) 8,84 8,40 8,09
Pendapatan per hektar (Rp) 12.500.000 11.000.000 8.100.000
Biaya produksi per hektar (Rp) 6.712.500 5.393.500 5.488.250
Keuntungan yg diperoleh (Rp) 5.787.500 5.606.500 2.611.750
MBCR
SB benih vs SB petani 1,83
SB benih vs kontrol 1,87
SB petani vs kontrol 0,03
Dari analisa kelayakan ekonomis diperoleh hasil berbeda nyata antara kedua
perlakuan, seperti pada Tabel 3. Hal ini membuktikan bahwa penerapan teknologi
sonic bloom dapat memberi tambahan pendapatan petani, walaupun biaya yang
dikeluarkan untuk pengadaan nutrisi sonic bloom dan sewa alat (unit suara M1)
cukup tinggi.
KESIMPULAN
1. Teknologi, dipadukan pada perbanyakan benih padi teknologi sonic bloom
dapat dengan ketentuan bahwa daerah pengujian bukan daerah gangguan
fisiologi, dan bukan daerah endemis hama/penyakit, agar dicapai hasil yang
optimal.
2. Teknologi sonic bloom dapat diintroduksi pada tanaman padi walaupun dicapai
kurang maksimal, namun demikian masih menambah keuntungan yang relatif
tinggi dengan nilai MBCR mencapai 2,83 pada sonic bloom benih vs sonic
bloom petani, 1,87 pada sonic bloom benih vs kontrol dan 0,03 pada sonic bloom
petani vs kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
A. Karim Makarim, S. kartaatmadja, J. Soejitno, Soetjipto, Parttohadjono, Suwarno.
1999. Tangguh kemajuan teknologi Produksi Tanaman Pangan Konsep dan
Strategi Peningkatan Produksi Pangan. Simposium Penelitian Tanaman
Pangan IV Pusbalitbang, Bogor, 22 – 24 November, 308 hal.
Bistok H.S., N. Widyawati, H. Kuswanto, d. Setyowati B., E. Lisbeth S., dan L.
Limantara. 2002. Aplikasi Sonic Bloom Pada Tanaman Gandum (Triticium
aestivum, I). Fakultas Pertanian UKSW Salatiga. 18 hal.
Haerudin Taslim, S. Partohardjono dan Djunainah, 1993. Bercocok Tanam padi
Sawah, Padi Buku 2, Puslitbang, Badan Litbang Pertanian, Bogor. 13 hal.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
148
Hairil A., Prastuti T. R., Choliq A., Yulianto, Iriani E., Pradoto dan Pratomo (2002).
Uji Kelayakan Teknis dan Ekonomis eknologi Sonic Bloom Pada Areal
Pengelolaan Tanaman Terpadu di Kabupaten Sragen. Laporan Pengkajian
BPTP Jawa Tengah, 11 hal.
S. Kartaatmadja dan Achmad M. Fagi (2000). Pengelolaan Tanaman Terpadu
Konsep dan Penerapan. Puslitbang, Badan Litbang Pertanian, 15 hal.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
149
Lampiran 1. Analisa kelayakan usaha tani padi di Kebun Benih Banyudono
Kabupaten Boyolali, MT 2002
Uraian (1 ha) Sonic bloom
benih
Sonic bloom
petani Kontrol
1. Benih Sintanur 37.500 105.000 105.000
2. PUPUK 2.500.000 1.000.000 1.110.000
- kandang 1.500.000 - -
- Urea 560.000 560.000 560.000
- Sp-36 240.000 240.000 240.000
- KCL 200.000 200.000 200.000
- ZA - - 110.000
- Ponska - - -
3. Pestisida 169.000 530.000 530.000
4. Nutrisi sonicbloom 977.500 977.500 -
5. Sewa alat sonic bloom 300.000 300.000 -
6. Tenaga Kerja 1.910.250 985.000 932.500
- Penggali tanah 320.000 320.000 320.000
- Semai 40.000 40.000 40.000
- Tanam 280.000 280.000 280.000
- Pemupukan 22.500 22.500 22.500
- Penyiangan 210.000 210.000 210.000
- Penyemprotan OPT 112.500 112.500 60.000
- Penyemprotan Sonic Bloom
- Panen Bawon - -
7. Lain-lain
- Sewa lahan - - -
- Pajak - - -
- Iuaran air - - -
8. TOTAL BIAYA 5.894.250 3.785.000 2.677.500
9. PRODUKSI (kg) 5.984.000 6.096.000 6.071.000
10. PENDAPATAN 14.960.000 8.991.600 8.954.725
11. KEUNTUNGAN 9.065.750 5.206.600 6.277.225
12. SELISIH
13. B/C RATIO 2,54 2,37 3,34
14. MBRC PTT
MBRC Sonic Bloom
MBRC PTT Sonic Bloom
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
150
POTENSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI
BERBIJI BESAR
Rohmad Budiono*), Rusmiyanto*), dan Sri Yuniastuti*)
ABSTRAK
Kedelai berdaya hasil tinggi dan berukuran biji besar penting untuk
memenuhi kebutuhan industri berbahan baku kedelai.Delapan varietas kedelai
[Bromo, Argo Mulyo, Mahameru, Burangrang, GC-98-50, KDL H1 (kedelai hitam),
Hwai Lien, dan Moket (varietas lokal)] diuji di Nganjuk pada lahan sawah (MK
2002) dan lahan tegal (MP 2002). Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan
rancangan acak kelompok tiga ulangan. Ukuran petak yang digunakan adalah 4 x 5
m dengan jarak tanam 35 X 15 X 20 cm (jajar legowo), dua biji per lubang. Pupuk
Urea 50 kg, SP36 75 kg, dan KCl 75 kg per ha, seluruhnya diberikan saat tanam.
Pemeliharaan tanaman dilakukan secara intensif. Parameter yang diamati adalah
jumlah buku subur, umur berbunga (hst), umur panen (hst), tinggi tanaman (cm),
jumlah cabang, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, dan hasil/ha. Hasil
penelitian menunjukkan rata-rata hasil kedelai di lahan sawah adalah 2,41 t/ha dan
di lahan tegal sebesar 2,21 t/ha. Varietas Argo Mulyo, GC-98-50, dan Hwai Lien
dengan rata-rata hasil berturut 2,58, 2,51, dan 2,42 t/ha berpotensi dikembangkan di
lahan sawah. Di lahan tegal varietas Argo Mulyo, Mahameru, GC-98-50, KDL H1
(kedelai hitam), dan Hwai Lien mempunyai hasil lebih tinggi dibanding varietas
lainnya. yang mempunyai rata-rata hasil lebih tinggi dari rata-rata hasil lahan
sawah, sedangkan di lahan tegal terdapat lima varietas (Argo Mulyo, Mahameru,
GC-98-50, kedelai hitam, dan Hwai Lien) yang mempunyai hasil lebih tinggi dari
rata-rata hasil lahan tegal. Berdasarkan potensi hasilnya yaitu varietas Argo Mulyo,
GC-98-50, dan Hwai Lien sesuai untuk diusahakan di lahan sawah maupun tegal.
Terpilihnya varietas yang adaptif di lahan sawah maupun tegal diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan industri, khususnya kedelai berbiji besar yang selama ini
masih impor.
Kata kunci : Kedelai, potensi hasil, biji besar
ABSTRACT
The potency of several large size soybean varieties. High yielding and large
size soybean is very important in fulfilling the raw material needs of soybean base
industry in Indonesia. Eight varieties of soybean i.e. Bromo, Argo Mulyo,
Mahameru, Burangrang, GC-98-50, KDL H1 (black soybean), Hwai Lien and Moket
(local variety) were tested in Nganjuk, in wet land (in the 2002 dry season) and dry
land (in the 2002 rainy season). A randomized complete block design with three
replications was used in this trial. The plot size used was 4 × 5 meters with plant
spacing of 35 × 15 × 20 cm (jajar legowo), two seeds per hole. The fertilizers used in
this experiment were 50 kg Urea, 75 kg SP-36 and 75 kg per ha and applied at the
planting time. The plant management has been conducted intensively.
_______________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
151
The parameter that observed were numbers of fertile node, flowering age, harvesting
age, plant height, number of branches, number of filled pod, number of empty pod and
yields (t/ha).The results showed that the average yield of soybean planted in wet land
was 2,41 t/ha while in dry land was 2,21 t/ha. Argo Mulyo, GC-98-50 and Hwai Lien
varieties yielded 2.58, 2.51 and 2.42 t/ha, respectively and they were potential to be
developed in wet land. In the dry land, Argo Mulyo, Mahameru, GC-98-50, KDL H1
(black soybean) and Hwai Lien varieties gave higher yield compared to other varieties.
Argo Mulyo and GC-98-50 were selected because of their high yielding potency both in
rice field and in dry land.
Key words : Potency, soybean, large seed
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan komoditas pangan utama ketiga setelah padi dan jagung.
Permintaan kedelai untuk konsumsi, pakan ternak dan bahan baku industri dari
tahun ke tahunterus meningkat. Peningkatan kebutuhan kedelai tidak seimbang
dengan produksinya Sumarno (1999) mengemukakan bahwa masalah utama
penyebab kekurangan produksi kedelai adalah luas panen yang belum memadai,
masih rendah daripada kebutuhan. Sedangkan upaya peningkatan produksi dengan
cara intensifikasi pada areal yang telah ada kurang memberikan tambahan produksi
karena kurangnya tindakan nyata di lapangan. Oleh karena itu, upaya pencukupan
produksi kedelai harus ditekankan pada penambahan areal panen baru.
Budidaya tanaman kedelai di lahan sawah biasanya dilakukan pada musim MK
I setelah tanaman padi, hal ini dimungkinkan karena ketersediaan air pada musim
itu masih berlebih atau dikenal dengan budidaya basah. Varetas kedelai yang
memungkinkan untuk dibudidayakan di lahan sawah adalah Wilis dan Argomulyo,
karena memiliki sifat tahan rebah (Sumarno, 1986 dan Adi Sarwanto, 2001).
Lahan kering (tegal) merupakan sumberdaya alam yang dapat digunakan
sebagai alternatif pengganti lahan sawah yang arealnya semakin berkurang. Areal
lahan kering di Indonesia cukup luas yaitu sekitar 70 juta hektar (Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, 1995), sehingga perluasan arel tanam komoditas pertanan
termasuk kedelai ke lahan kering (tegal), cukup besar. Namun demikian, usaha
pertanian di lahan kering mempunyai faktor-faktor penghambat, yaitu rendahnya
kesuburan, kondisi air yang sangat tergantung pada hujan, serta beberapa jenis lahan
dengan kondisi topografi yang berombak sampai berbukit. Untuk mengatasi faktor
penghambat tersebut, maka perlu diterapkan teknologi pertanian yang tepat dan
mudah diadopsi petani.
Pendekatan masalah yang dapat dilakukan salah satunya adalah melalui
teknologi produksi diantaranya penggunaan varietas yang cocok untuk daerah
tertentu dengan biaya murah dan sesuai dengan kondisi petani yang pada umumnya
berlahan sempit. Witjaksono dan Dahya (1998) mengemukakan bahwa penerapan
teknologi di lahan kering (tegal) akan berhasil apabila telah mempertahankan
beberapa hal yaitu sistem usahatani, jenis komoditas, waktu tanam yang tepat (sesuai
ketersediaan air), mengembangkan pola pertanaman yang baik, serta kondisi sosial
ekonomi dan budaya petani.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
152
Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh beberapa varietas kedelai
berukuran biji besar yang mampu beradaptasi dan berproduksi optimal pada lahan
sawah dan atau tegal.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Nganjuk pada lahan sawah (MK 2002) dan lahan
tegal (MP 2002). Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak
kelompok tiga ulangan. Perlakuan adalah 8 varietas kedelai yaitu [Bromo, Argo
Mulyo, Mahameru, Burangrang, GC-98-50, KDL H1 (kedelai hitam), Hwai Lien, dan
Moket (varietas lokal)] varietas kedelai yaitu Ukuran petak yang digunakan adalah
4 x 5 m dengan jarak tanam 35 X 15 X 20 cm (jajar legowo). Benih kedelai ditanam
dengan cara ditugal dua biji per lubang. Pupuk yang digunakan adalah Urea 50 kg,
SP-36 75 kg, dan KCl 75 kg per hektar, seluruhnya diberikan saat tanam.
Pemeliharaan tanaman dilakukan secara intensif. Parameter yang diamati adalah
jumlah buku subur, umur berbunga (hst), umur panen (hst), tinggi tanaman (cm),
jumlah cabang, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, dan hasil/ha (kg).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa lokasi, varietas dan interaksi
varietas dengan lingkungan berpengaruh terhadap jumlah buku subur, umur
berbunga, unmur panen, tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong isi, jumlah
polong hampa dan hasil/hektar (Tabel 1). Hal tersebut mengindikasikan bahwa
perbedaan hasil dan penampilan beberapa karakter yang diamati antar genotipe
yang diuji disebabkan oleh perbedaan lingkungan. Dari delapan karakter yang
diamati, hanya karakter jumlah cabang dan jumlah polong hampa yang tidak
dipengaruhi baik oleh lokasi, genotipe maupun interaksi keduanya, artinya di kedua
lokasi, kedua karakter tersebut tidak berbeda.
Tabel 1. Pengaruh lokasi, varietas dan interaksi lokasi dengan varietas terhadap
jumlah buku subur, umur berbunga, unmur panen, tinggi tanaman, jumlah
cabang, jumlah polong isi, jumlah polong hampa dan hasil/hektar
Karakter Lokasi Galur Lokasi x Galur
Jumlah buku subur ** ** **
Umur berbunga ** ** **
Umur panen ** ** **
Tinggi tanaman ** ** **
Jumlah cabang tn tn tn
Jumlah polong isi ** ** **
Jumlah polong hampa tn tn tn
Hasil/hektar ** ** **
Keterangan : KK = Koefisien keragaman
** = berbeda nyata pada P = 0,01
Hasil biji di lahan tegal berkisar antara 1627 kg/ha hingga 2480 kg/ha dengan
rata-rata hasil sebesar 2204,58 kg/ha. Dari delapan genotipe yang diuji, terdapat
lima genotipe [Argo Mulyo, Mahameru, GC-98-50, KDL H1 (kedelai hitam), dan
Hwai Lien] yang mempunyai hasil biji diatas rata-rata semua genotipe dan hasil biji
kelima genotipe tersebut secara statistik tidak berbeda nyata berdasarkan hasil uji
BNT 5% (Tabel 2).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
153
Di lahan sawah, hasil biji kedelai mempunyai kisaran antara 2208 kg/ha
hingga 2581 kg/ha dengan rata-rata sebesar 2414 kg/ha. Berbeda dengan lahan
tegal, di lahan sawah dari delapan genotipe yang diuji hanya terdapat dua genotipe
yang mempunyai hasil di atas rata-rata semua genotipe yaitu Argo Mulyo dan GC-
98-50, masing-masing dengan rata-rata sebesar 2581 kg/ha dan 2512 kg/ha.
Tabel 2. Hasil dan komponen hasil delapan varietas kedelai berukuran biji besar.
Nganjuk, MK 2002
Genotipe Hasil biji (kg/ha) Jumlah polong isi Jumlah polong hampa
LT LS LT LS LT LS
Bromo 2038 c 2395 b 43,67 ab 36,5 1,9 1,4
Argo Mulyo 2373 ab 2581 a 52,57 a 30,2 1,4 1,2
Mahameru 2270 abc 2395 b 40,67 bc 28,4 1,7 1,1
Burangrang 1627 d 2395 b 37,87 bc 30,9 2,2 1,8
GC-98-50 2480 a 2512 ab 43,40 ab 34,9 1,3 1,0
Kedelai hitam 2343 ab 2405 b 30,20 c 31,0 1,1 0,7
Hwai Lien 2338 ab 2421 b 31,33 c 32,7 1,3 1,0
Moket (lokal) 2167 bc 2208 c 35,87 bc 35,7 1,2 1,3
Rata-rata 2204,58 2414 39.45 32.50 1.5 1.2
BNT (5%) 266,5 137,1 11,29 tn tn tn
KK (%) 6,90 3,24 16,34 10,37 52,32 57,93
Keterangan : LT = Lahan Tegal LS = Lahan Sawah
Secara umum, rata-rata hasil kedelai di lahan sawah (2414 kg/ha) lebih besar
dibandingkan lahan tegal (2204,58 kg/ha). Hal tersebut disebabkan oleh kondisi
lingkungan sawah lebih mendukung pertumbuhan tanaman kedelai dibandingkan
lahan tegal. Abdurachman et al. (1998) menyatakan bahwa tingkat efisiensi
usahatani tanaman pangan di lahan kering masih rendah. Peningkatan efisiensi
usahatani di lahan kering (tegal) dapat dilakukan melalui penerapan teknologi tepat
guna. Dari delapan genotipe yang diuji, terdapat dua genotipe yaitu Argo Mulyo dan
GC-98-50 yang mempunyai hasil tinggi baik di lahan tegal maupun lahan sawah.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa kedua genotipe tersebut mempunyai
kemampuan adaptasi yang baik di kedua lingkungan. Sedangkan genotipe yang
mempunyai kemampuan adaptasi kurang baik adalah Burangrang, dimana di lahan
tegal mempunyai hasil biji paling rendah (1627 kg/ha) dan di lahan sawah
menunjukkan hasil biji relatif lebih baik (2395 kg/ha).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
154
Tabel 3. Keragaan beberapa karakter dari delapan varietas kedelai berukuran biji besar.
Nganjuk, MK 2002.
Genotipe 1 2 3 4 5
LT LS LT LS LT LS LT LS LT LS
Bromo 14,8 ab 12,1 38,0 a 38,0 a 86,0 b 84,7 ab 44,3 ab 57,5 a 2,3 1,7
Argo Mulyo 17,2 a 12,0 34,7 d 34,7 d 80,0 d 78,7 f 44,9 ab 49,6 b 2,0 2,1
Mahameru 15,5 ab 11,7 38,3 a 38,3 a 85,0 bc 85,3 a 44,2 abc 58,8 a 2,3 1,4
Burangrang 13,9 b 12,2 34,3 d 34,3 d 80,7 d 79,0 ef 43,8 bc 56,5 a 2,0 2,0
GC-98-50 15,6 ab 12,4 37,7 ab 37,7 ab 90,3 a 84,0 b 47,6 ab 57,7 a 2,2 2,2
Kedelai hitam 11,1 cd 11,6 34,7 d 34,7 d 82,7 cd 79,7 e 48,5 a 47,0 b 1,8 1,7
Hwai Lien 13,3 bc 12,5 37,0 bc 37,0 bc 80,7 d 82,7 c 47,9 ab 56,3 a 2,2 2,1
Moket (lokal) 10,3 d 13,2 36,7 c 36,7 c 80,0 d 81,7 d 39,7 c 48,9 b 1,4 1,6
Rata-rata 13.96 12.21 36.4 36.4 83.2 82.0 45.1 54.0 2.0 1.9
BNT (5%) 2,43 tn 0,89 0,89 3,21 0,76 4,65 5,38 tn tn
KK (%) 9,93 7,24 3,12 1,41 2,21 0,53 5,88 5,69 19,72 18,97
Keterangan : 1 = jumlah buku subur LT = Lahan Tegal
2 = umur berbunga LS = Lahan Sawah
3 = umur panen
4 = tinggi tanaman
5 = jumlah cabang
KESIMPULAN
1. Varietas Argo Mulyo, GC-98-50, dan Hwai Lien dengan rata-rata hasil
berturut 2,58, 2,51, dan 2,42 t/ha berpotensi dikembangkan di lahan sawah.
2. Varietas Argo Mulyo, Mahameru, GC-98-50, kedelai hitam, dan Hwai Lien
mempunyai hasil lebih tinggi dari rata-rata hasil lahan tegal.
3. Varietas Argo Mulyo dan GC-98-50 terpilih berdaya hasil tinggi baik di lahan
sawah maupun tegal.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
155
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., K. Nugroho, dan A.S. Karama. 1998. Optimalisasi Pemanfaatan
Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Program Gema Palagung 2001. p1—
11. Dalam Sudaryono, M. Sudarjo, Y. Widodo, Suyamto H., A.A. Rahmiana,
dan A. Taufiq (Eds.) Prosiding Seminar Nasionla dan Pertemuan Tahunan
Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun 1998.
Adisarwanto,T. dan Suhartina. 2001. Respon kedelai terhadap kondisi tanah jenuh
air pada berbagai fase pertumbuhan. Penelitian Pertanian. 20:88-93
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1995. Statistik Sumberdaya Lahan. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Sumarno. 1999. Strategi Pengembangan Produksi Kedelai Nasional Mendukung
Gema Palagung 2001. p7-22. Dalam Novianti Sunarlim, D. Pasaribu, dan
Sunihardi (Eds.) Strategi Pengembangan Produksi Kedelai. Prosidng
Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional, Bogor, 16 Maret
1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan
Litbang Pertanian.
Sumarno. 1986. Response of soybean (Glycine max L. Merr) genotypes to continuous
saturated culture. Indonesia J. of Crop. Sci. (2): 71-78
Witjaksono, J. dan Dahya. 1998. Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Tanaman
Pangan Pada Lahan Kering di Sulawesi Tenggara. p283—289. Dalam
Sudaryono, M. Sudarjo, Y. Widodo, Suyamto H., A.A. Rahmiana, dan A.
Taufiq (Eds.) Prosiding Seminar Nasionla dan Pertemuan Tahunan
Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun 1998.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
156
PENGKAJIAN TEKNIK TANAM PADI DI SAWAH TADAH HUJAN
Zainal Arifin*) dan Al Gamal Pratomo*)
ABSTRAK
Sawah tadah hujan yang menggantungkan sumber pengairan berasal dari
curah hujan diperlukan pengelolaan tanaman dalam satu kesatuan pola tanam
berdasarkan peluang curah hujan, diantaranya dengan perbaikan teknik tanam
padi. Teknik tanam padi gogorancah yang penanamannya lebih awal sehingga
mempercepat waktu panen dibanding teknik tanam padi transplanting (semai
basah), memberi peluang pengelolaan tanaman berikutnya yang lebih baik.
Pengkajian ini bertujuan mengetahui teknik tanam padi yang efisien dan
meningkatkan produksi padi. Pengkajian usahatani padi gogorancah maupun padi
transplanting dilakukan di Desa Tempuran, Kecamatan Ngluyu, Kabupaten
Nganjuk pada MH 2004/2005 seluas 5 hektar. Perlakuan teknik tanam padi meliputi
penanaman padi secara gogorancah, padi secara transplanting semai basah dan padi
secara transplanting semai kering. Sebagai ulangan adalah petani peserta sebanyak
10 orang. Biaya produksi dalam usahatani padi gogorancah lebih tinggi 13%
dibanding padi transplanting semai basah, namun hasil gabah yang diperoleh
mencapai 5.562 kg/ha GKP (meningkat 648 kg/ha GKP) dengan keuntungan Rp.
3.644.500,-. Disamping hasil gabahnya meningkat, panen padi gogorancah lebih
awal 10 hari terhadap padi transplanting semai kering dan 28 hari terhadap padi
transplanting semai basah, sehingga mengurangi resiko kekurangan air untuk
pertanaman berikutnya berdasarkan peluang curah hujan.
Kata kunci : Teknik tanam, usahatani padi, sawah tadah hujan
ABSTRACT
Rainfed low land that depend upon the irrigation resources from rainfall
required crop management in one unity of cropping pattem based on rainfall
condition. Among other things, was the improvement of technical planting of gogo
rancah that earlier planted that could accelerate harvest time than transplanting
and give better opportunity for the next crop management. This assessment aimed to
know about technical planting of rice efficiency and to increase rice production.
Assessment was conducted at Tempuran Village, Ngluyu Subdistrict, Nganjuk
Regency on wet season 2004/2005 in 5 hectare. The treatments consisted of gogo
rancah planting, transplanting from wet bed and transplanting from dry bed. 10
farmers as replication, production costs of gogo rancah farming system resulted 13%
higher than transplanting from wet bed, but the yield reached 5.562 kg/ha of dry
grain (increase 648 kg/ha) with the benefit Rp.3.644.500,-. Besides, gogo rancah
could be harvested 10 days earlier compared to transplanting from dry bed, so that
reduced the risk of lack of water for the next planting based on rainfed land
condition.
Key word : Technique of plant, rice farming, rainfed lowland
____________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
157
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan produktivitas lahan diantaranya melalui penerapan teknologi
spesifik lokasi berdasarkan potensi sumberdaya domestik dengan memperhatikan
aspek lingkungan. Sawah tadah hujan yang mempunyai sumber pengairan berasal
dari curah hujan dimana pada musim hujan sering mengalami kelebihan air,
sedangkan di musim kemarau terjadi defisit air, diperlukan teknologi usahatani
konservasi untuk meningkatkan produktivitas lahannya diantaranya dengan teknik
pengolahan tanah yang tepat, cara tanam (gogorancah atau pesemaian kering),
penggunaan pupuk organik, pemulsaan, penggunaan varietas genjah yang toleran
kekeringan, serta pengelolaan air secara efisien.
Wilayah yang tergolong defisit air dengan pola penyebaran curah hujan
bervariasi merupakan kendala bagi keberhasilan pengelolaan usahatani padi sawah
yang memungkinkan terjadinya kekeringan di awal pertumbuhan atau menjelang
pembungaan. Dengan adanya keterbatasan air di sawah tadah hujan maka upaya
peningkatan produksi padi tidak perlu mengorbankan pertanaman berikutnya,
tetapi pengelolaannya perlu dilakukan secara sistematis dalam satu kesatuan pola
tanam yang berorientasi pengelolaan air. Salah satu usaha peningkatan produksi
padi di daerah dengan keterbatasan air adalah dengan pengelolaan padi secara
gogorancah maupun secara transplanting dengan pembibitan menggunakan
pesemaian kering.
Teknik tanam gogorancah memungkinkan penanaman padi sawah dan
palawija dalam rotasi setahun, meskipun di sawah tadah hujan yang tanahnya
berat. Padi gogorancah dalam pola tanam padi gogorancah-padi walik jerami-
palawija di lahan sawah tadah hujan mempunyai prospek yang cukup baik serta
secara biologis dan sosial ekonomi mempunyai kelayakan untuk dikembangkan lebih
lanjut (Leksono et al, 1984). Meskipun demikian terdapat sedikit permasalahan
dalam penanaman gogorancah yaitu membutuhkan biaya penyiangan gulma yang
lebih tinggi dibandingkan cara tanam pindah. Menurut Taslim et al. (1989), padi
gogorancah memerlukan tenaga atau biaya yang cukup besar untuk penyiangan
antara 40-50% dari biaya produksi. Namun demikian, sistem gogorancah dapat
meringankan pekerjaan dan keperluan tenaga tanam serta memajukan waktu
panen.
Penggenangan tanaman padi gogorancah biasanya dilakukan pada stadia
pertumbuhan vegetatif aktif sekitar umur 40-50 hari setelah tanam. Pada saat ini
curah hujan sudah cukup tinggi (lebih dari 200 mm) untuk penggenangan yang
mengubah tanah dari keadaan oksidatif ke reduktif (Taslim et al., 1989). Padi
gogorancah mempunyai potensi produksi yang tinggi seperti padi sawah serta cepat
menyesuaikan diri dari keadaan kering ke keadaan basah (tergenang) (Suardi dan
Haryono, 1984). Disamping itu, keuntungan dari penanaman padi secara
gogorancah diantaranya tidak mudah terserang penyakit mentek dan produksinya
lebih tinggi daripada padi gogo maupun sawah (Hasmosoewignyo, 1962).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
158
Tujuan
Mengetahui teknik tanam padi yang efisien dan meningkatkan produksi padi
METODOLOGI PENELITIAN
Lahan pengkajian terletak di Desa Tempuran, Kecamatan Ngluyu, Kabupaten
Nganjuk pada MH 2004/2005 seluas 5 hektar. Perlakuan teknik tanam padi meliputi
penanaman padi secara gogorancah, padi secara transplanting semai basah dan padi
secara transplanting semai kering. Sebagai ulangan adalah petani peserta sebanyak
10 orang.
Pengamatan tanaman padi meliputi :
a. Tinggi tanaman
b. Jumlah anakan dan jumlah malai per rumpun
c. Panjang malai
d. Jumlah gabah isi dan hampa per malai
e. Bobot 1000 butir gabah isi
f. Hasil gabah kering panen (GKP)
g. Analisis ekonomi (input-output)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fisiografi Lokasi Pengkajian
Lokasi pengkajian merupakan sawah tadah hujan dengan agroekologi Alf.
3.1.2.1 dan tekstur tanah tergolong liat berdebu dengan tipe iklim menurut Oldeman
adalah iklim D3 dan curah hujan 1.553 mm/tahun (Gambar 1). Dengan demikian,
lokasi pengkajian merupakan daerah defisit air karena distribusi dan intensitas
curah hujan sangat rendah sehingga mempengaruhi pola tanamnya.
Gambar 1. Pola curah hujan selama 5 tahun (Tahun 2000 – 2004)
di Kecamatan Ngluyu, Kabupaten Nganjuk
0
50
100
150
200
250
300
350
Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
CH (mm)
0
2
4
6
8
10
12
14
16HH
CH
HH
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
159
Usahatani Padi
Penanaman padi secara gogorancah dapat dilakukan lebih awal yaitu pada
saat terjadi 2-3 kali hujan dengan kondisi tanah dalam keadaan kapasitas lapang,
sehingga pada awal bulan Nopember dilakukan penanaman langsung dengan biji
secara gogo. Demikian halnya dengan padi transplanting semai kering, waktu
penebaran benih padi hampir bersamaan dengan penanaman padi gogorancah
(Tabel 1). Biaya penyiangan secara manual dan penggunaan herbisida dari
pertanaman padi gogorancah lebih tinggi dibanding teknik tanam padi transplanting
semai basah maupun semai kering yaitu mencapai 23%, sedangkan padi
transplanting semai kering sebesar 10% dan padi transplanting semai basah sebesar
9% dari total kebutuhan tenaga kerja usahatani padi. Biaya produksi dari usahatani
padi gogorancah mencapai Rp. 3.308.000,- (meningkat 13%), namun hasil gabah
yang diperoleh lebih baik yaitu mencapai 5.562 kg/ha GKP (meningkat 648 kg/ha
GKP) dibanding usahatani padi transplanting semai kering maupun semai basah.
Keuntungan yang diperoleh dari usahatani padi gogorancah mencapai Rp.
3.644.500,-, sedangkan usahatani padi transplanting semai kering sebesar Rp.
3.243.000,- dan usahatani padi transplanting semai basah sebesar Rp. 3.260.800,-,
dimana ketiga teknik tanam dalam usahatani padi secara finasial layak karena
mempunyai B/C ratio diatas 1.
Tabel 1. Analisis usahatani padi gora dan padi sawah (semai kering dan semai
basah) di lahan sawah tadah hujan, Desa Tempuran, Kec. Ngluyu, Kab.
Nganjuk, MH 2004/2005
Kegiatan
Teknik tanam padi
Gogorancah Transplanting
(semai kering)
Transplanting
(semai basah)
fisik nilai (Rp/ha) fisik nilai (Rp/ha) fisik nilai
(Rp/ha)
Tenaga Kerja
(HOK/Ha) (x Rp.000)
- Persiapan lahan 24 360 32 480 30 450
- Pesemaian - - 6 90 8 120
- Penanaman 20 280 17 240 17 240
- Pemupukan 10 150 5 60 5 60
- Penyiangan 35 490 14 196 12 180
- Panen 70 993 62 876 63 878
- Prosesing 6 85 6 85 6 85
Saprodi (kg; l/ha)
- Benih 50 150 40 120 40 120
- Pupuk : Bokashi 1.000 300 1.000 300 1.000 300
Urea 250 300 250 300 250 300
SP-36 50 70 50 70 50 70
KCl 50 80 50 80 50 80
- Herbisida 2 50 - - - -
Biaya produksi 3.308 2.897 2.883
Hasil (kg/ha) : 5.562 6.952,5 4.912 6.140 4.915 6.143,8
Keuntungan 3.644,5 3.243 3.260,8
B/C ratio 1,10 1,12 1,13
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
160
Keuntungan dari teknik tanam padi transplanting semai kering adalah biaya
penyiangan lebih sedikit dibanding teknik tanam padi gogorancah serta waktu
panennya lebih awal dibandingkan teknik tanam padi transplanting semai basah.
Namun kelemahan padi transplanting semai kering adalah pada saat bibit padi
telah waktunya untuk tanam pindah ke lapang menjadi tertunda karena distribusi
dan intensitas hujan yang rendah dan belum bisa dilakukan pengolahan tanah
secara sempurna sampai terjadi pelumpuran, sehingga umur bibit menjadi tua
(umur 40 hari) pada saat kondisi iklim memungkinkan untuk tanam pindah di
lapang. Perbedaan waktu panen padi gogorancah dengan padi transplanting semai
kering sekitar 10 hari, sedangkan jarak waktu tanam antara padi gogorancah
dengan padi transplanting semai basah sekitar 56 hari sehingga panen padi
gogorancah lebih awal 28 hari dibanding padi transplanting semai basah. Panen
padi gogorancah yang lebih awal memberikan keuntungan dalam pengaturan waktu
tanam untuk pertanaman berikutnya sesuai peluang curah hujan yang ada,
sehingga resiko kekeringan pada pertanaman berikutnya di musim kemarau dapat
teratasi (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh teknik tanam padi terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan
hasil serta perbedaan waktu panen di lapang, Desa Tempuran, Kec. Ngluyu,
Kab. Nganjuk, MH 2004/2005.
Variabel Padi
Gogorancah
Padi Transplanting
(semai kering)
Padi Transplanting
(semai basah)
1. Tinggi tanaman (cm) 89,80 78,65 91,47
2. Jumlah anakan per
rumpun
16,76 16,25 17,42
3. Jumlah malai per
rumpun
14,60 14,70 14,65
4. Panjang malai (cm) 24,11 23,25 24,07
5. Jumlah gabah isi per
malai
83,67 81,20 80,39
6. Jumlah gabah
hampa per malai
7,80 8,65 9,60
7. Bobot 1000 butir
gabah isi (g)
31,07 30,40 30,80
8. Hasil gabah
(kg/ha GKP)
7.416
6.549
6.553
9. Umur panen (hari) 120 110 90
10. Perbedaan waktu
panen terhadap padi
gogorancah (hari)
- 10 28
Tinggi tanaman padi gogorancah dan padi transplanting semai basah hampir
sama, kecuali padi transplanting semai kering tinggi tanamannya lebih rendah yang
disebabkan pada awal pertumbuhan tanaman di lapang sempat mengalami stagnasi
karena kekeringan. Jumlah anakan dan malai per rumpun, panjang malai, jumlah
gabah isi dan hampa per malai serta bobot 1000 butir gabah isi dari masing-masing
teknik tanam padi hampir sama, kecuali hasil gabah dari teknik tanam padi
gogorancah mengalami peningkatan sekitar 12% dibandingkan teknik tanam padi
transplanting semai kering maupun semai basah. Selain hasil gabahnya meningkat,
dengan menerapkan teknik tanam padi gogorancah waktu panennya lebih awal
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
161
sekitar 10 hari terhadap teknik tanam padi transplanting semai kering dan 28 hari
terhadap teknik tanam padi transplanting semai basah, sehingga mengurangi resiko
kekurangan air selama pertumbuhan tanaman berikutnya yang didasarkan pada
peluang curah hujan.
KESIMPULAN
Penerapan teknik tanam padi gogorancah membutuhkan tambahan biaya
produksi sekitar 13% dibanding padi transplanting semai basah, namun hasil gabah
yang diperoleh mencapai 5.562 kg/ha GKP (meningkat 648 kg/ha GKP) dengan
keuntungan Rp. 3.644.500,-. Selain hasil gabahnya meningkat, padi gogorancah
dapat di panen lebih awal 10 hari terhadap padi transplanting semai kering dan 28
hari terhadap padi transplanting semai basah sehingga memungkinkan penanaman
tanaman berikutnya lebih baik didasarkan peluang curah hujan.
DAFTAR PUSTAKA
Leksono, S., Adisarwanto dan B. Sulistiyono, 1984. Prospek pengembangan pola
tanam padi gora-padi walik jerami-palawija pada lahan tadah hujan di
Madura. Risalah Lokakarya Teknologi dan Dampak Penelitian Pola Tanam
dan Usahatani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Taslim, H., S. Partohardjono, dan D. Suardi, 1989. Teknik bercocok tanam padi
gogorancah. Dalam Ismunadji et al. (eds). Padi Buku 2. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman pangan Bogor. p : 507-521.
Suardi, D. dan S. Haryono, 1984. Penampilan beberapa varietas padi yang ditanam
sebagai padi sawah, gogorancah dan gogo. Penelitian Pertanian. Balai
Penelitian Tanaman Pangan Bogor. 4(2) : 51-56.
Hasmosoewignyo, 1962. Menaikkan produksi sawah tadah hujan. Jawatan
Pertanian Jakarta. 108p.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
162
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN MELALUI SISTEM TANAM
SISIP JAGUNG DAN PEMUPUKAN NITROGEN DALAM SATU
KESATUAN POLA TANAM DI SAWAH TADAH HUJAN
Zainal Arifin*)
ABSTRAK
Peningkatkan produktivitas lahan sawah tadah hujan diperlukan pengelolaan
tanaman dalam satu kesatuan pola tanam secara sistematis didasarkan peluang
curah hujan diantaranya melalui sistem tanam sisip (relay planting) yaitu
mempercepat waktu tanam di lapangan sehingga panennya menjadi lebih awal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem tanam sisip jagung dan
pemupukan nitrogen yang efisien terhadap pertumbuhan dan hasil jagung.
Penelitian dilakukan di lahan sawah tadah hujan Desa Tempuran, Kecamatan
Ngluyu, Kabupaten Nganjuk pada MK II tahun 2004 yang dirancang menggunakan
acak kelompok faktorial dengan 3 kali ulangan dalam petakan berukuran 4 m x 2
m, yaitu faktor I (sistem tanam sisip jagung ) terdiri dari a) tanam jagung setelah
panen jagung pertama, b) tanam sisip jagung 10 hari sebelum panen jagung pertama
(tanam biasa), dan c) tanam sisip jagung 10 hari sebelum panen jagung pertama
(cara transplanting), sedangkan faktor II (pemupukan N) terdiri dari a) 100 kg/ha
Urea + 100 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl, b) 200 kg/ha Urea + 100 kg/ha SP-36 + 100
kg/ha KCl, dan c) 300 kg/ha Urea + 100 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan sistem tanam sisip jagung 10
hari sebelum panen jagung pertama (cara transplanting) diperoleh hasil jagung
pipilan kering sebesar 1.295 kg/ha (meningkat 26%) dibandingkan waktu tanam
jagung setelah panen jagung pertama (cara tanam langsung). Disamping itu, dengan
sistem tanam sisip jagung pada pertanaman jagung pertama (cara transplanting)
waktu panennya 24 hari lebih awal dibandingkan jagung yang ditanam setelah
panen jagung pertama.
Kata kunci : Sistem tanam sisip, pemupukan nitogen, pola tanam, sawah tadah hujan
ABSTRACT
The increasing of rainfed lowland productivity required crop management in
one unity of cropping pattern systematically based on the rainfed condition through
relay planting system i.e. by accelerating the planting time so that the harvesting
could be done earlier. This research aimed to know about relay planting system of
maize and efficiently nitrogen fertilizing toward yield and growth of corn. Research
was conducted on rainfed lowland at Tempuran Village, Ngluyu Subdistrict, Nganjuk
Regency in 2nd dry season 2004, using a factorial randomized block design, 3
replications, plot size 4 m x 2 m.
_________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
163
Factor I (relay planting) consist of a) planting after 1st corn harvested, b) relay
planting 10 days before 1st corn harvesting (transplanting), and factor II (nitrogen
fertilizing) consist of a) 100 kg/ha of Urea + 100 kg/ha of SP-36 + 100 kg/ha of KCl, b)
200 kg/ha of Urea + 100 kg/ha of SP-36 + 100 kg/ha of KCl, and c) 300 kg/ha of Urea
+ 100 kg/ha of SP-36 + 100 kg/ha of KCl. The result of this research showed that
relay planting system of corn 10 days before 1st corn harvesting (transplanting)
obtained dry grain yield 1.295 kg/ha (increase 26%) than planting time after 1st corn
hasrvesting (direct planting), Besides, with the relay planting system on the 1st corn
(transplanting), harvest time was 24 days earlier than corn that planted after 1st
corn harvesting.
Kata kunci : Relay planting system, nitrogen fertilizing, cropping pattern, rainfed lowland
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan tanaman jagung di sawah tadah hujan sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan air terutama pada musim kemarau. Kekurangan air pada fase tumbuh
dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi tidak normal dan
menurunkan hasil. Kebutuhan air untuk tanaman jagung setiap harinya sangat
tergantung kepada umur tanaman dan keadaan lingkungan dimana tanaman
tersebut tumbuh (Robin dan Rhoades, 1958). Menurut Sutoro et al. (1989), air
merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman
karena berfungsi sebagai pelarut hara di dalam tanah serta berperan dalam
translokasi hara dan fotosintesis di dalam tanaman. Demikian halnya kebutuhan
hara bagi tanaman jagung berbeda menurut umur, susunan organ tanaman, dan
jenis varietasnya. Untuk meningkatkan produktivitas lahan diperlukan pengelolaan
tanaman dalam satu kesatuan pola tanam secara sistematis diantaranya melalui
sistem tanam sisip (relay planting) yaitu mempercepat waktu tanam di lapangan
sehingga panennya lebih awal. Menurut Effendi (1971, dalam Yuwariah et al., 1991),
teknologi tanam sisip ini meniadakan masa tenggang antara panen tanaman
sebelumnya dengan penanaman tanaman berikutnya, karena sistem tanam ini
merupakan sistem bercocok tanam pada sebidang tanah yang terdiri dari penyisipan
baik benih atau bibit yang ditanam diantara jarak tanam tanaman utama, sebelum
tanaman utama di panen.
Teknologi bertanam sisip dapat diterapkan dengan memberikan peluang
kepada masing-masing komoditas untuk tumbuh dan memberikan hasil maksimal
dengan memperhatikan peta agroklimat yang bersangkutan. Sistem tanam sisip
dalam pertanaman utama sebaiknya dilakukan pada saat menjelang panen (masak
fisiologis) karena sudah tidak lagi membutuhkan air untuk proses biologisnya, dan
bahkan mengurangi kadar air tanaman sampai mencapai keadaan tanaman cukup
untuk di panen. Penanaman secara sisipan yang lebih awal diantara tanaman
utama diharapkan lengas tanah masih tersedia sehingga dapat digunakan untuk
pertumbuhan awal tanaman yang akan disisipkan. Lebih lanjut dijelaskan Rifin dan
Iskandar (1991) bahwa penyisipan tanaman jagung tidak hanya dapat memberikan
hasil yang baik, tetapi memperoleh efisiensi penggunaan air yang tinggi dan
meningkatkan intensitas tanam. Basuki et al. (1999) menambahkan, hasil penelitian
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
164
yang dilakukan di lahan kering menunjukkan bahwa sistem tanam sisip kacang
hijau dalam pertanaman jagung dapat meningkatkan intensitas tanam dan
produktivitas lahan sehingga pendapatan usahataninya meningkat.
Dalam sistem tanam sisip, kompetisi yang terjadi antar komponen tanaman
terhadap faktor-faktor tumbuh tidak sebesar yang terjadi pada sistem tumpangsari
sehingga diharapkan pengaruh iklim mikro yang terbentuk tidak memberikan efek
negatif yang terlalu besar bagi kedua tanaman tersebut (Yuwariah et al. 1991).
Dengan sistem tanam sisip diperlukan pengolahan tanah yang minimal diantara
tanaman utama serta perlu diketahui kebutuhan pupuk nitrogen yang efisien untuk
meningkatkan produksi jagung. Hasil penelitian Yuwariah et al. (1991)
menunjukkan, pertanaman sisip jagung dapat memanfaatkan sisa nitrogen di dalam
tanah yang belum digunakan oleh tanaman padi dan biasanya hilang setelah
tanaman padi di panen. Dengan demikian kisaran nitrogen yang diperlukan oleh
tanaman jagung sisip diduga akan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
nitrogen yang dibutuhkan oleh tanaman sama yang di tanam tanpa sisip.
Tujuan
Mengetahui sistem tanam sisip jagung dan pemupukan nitrogen yang efisien
terhadap pertumbuhan dan hasil jagung.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di lahan sawah tadah hujan Desa Tempuran,
Kecamatan Ngluyu, Kabupaten Nganjuk pada MK II tahun 2004. Penelitian
dirancang menggunakan acak kelompok faktorial dengan 3 kali ulangan dalam
petakan berukuran 4 m x 2 m, sebagai berikut :
Faktor I : Sistem tanam sisip jagung
a. tanam jagung setelah panen jagung pertama
b. tanam sisip jagung 10 hari sebelum panen jagung pertama (tanam
biasa)
c. tanam sisip jagung 10 hari sebelum panen jagung pertama (cara
transplanting)
Faktor II : Pemupukan nitrogen
a. 100 kg/ha Urea + 100 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl
b. 200 kg/ha Urea + 100 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl
c. 300 kg/ha Urea + 100 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl
A. Pelaksanaan di lapang :
1. Tanpa olah tanah dengan cara tanam secara tugal dan jarak tanam 75 cm x
20 cm diantara tanaman jagung utama (pertama).
2. Pupuk organik diberikan bersamaan pengolahan tanah minimum.
Pemberian pupuk anorganik sesuai perlakuan, dengan cara pemberian 1/3
bagian dosis pupuk N serta seluruh dosis pupuk P2O5 dan K2O diberikan 1
minggu setelah tanam, kemudian 2/3 bagian dosis pupuk N sisanya
diberikan setelah tanaman jagung berumur 5 minggu.
3. Penyiangan jagung disertai pembubunan umur 15 hst dan 28 hst
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
165
4. Pengairan sesuai kebutuhan tanaman yaitu bila tanaman mulai kelihatan
agak layu dilakukan penyiraman secara kocor sampai kondisi tanah dalam
kapasitas lapang.
B. Pengamatan :
1. Analisis tanah sebelum percobaan
2. Tinggi tanaman
3. Jumlah tongkol
4. Berat tongkol
5. Bobot 100 biji kering
6. Berat pipilan kering
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tanah di lokasi percobaan tergolong kurang subur dengan kandungan C-
organik, N-total, dan P dalam tanah tergolong sangat rendah, kecuali kandungan K
(Tabel 1). Klasifikasi iklim berdasarkan Oldeman, wilayah Kecamatan Ngluyu,
Kabupaten Nganjuk termasuk tipe iklim D3 (4 bulan basah dan 6 bulan kering)
dengan curah hujan 1.553 mm/tahun. Dengan demikian, lokasi pengkajian
merupakan daerah defisit air karena distribusi dan intensitas curah hujan sangat
rendah sehingga sangat mempengaruhi pola tanamnya.
Tabel 1. Analisis tanah di lokasi pengkajian sistem tanam sisip dan pemupukan
nitrogen di Kecamatan Ngluyu, Kabupaten Nganjuk, tahun 2004
Analisis Tanah Kandungan Harkat*)
Tekstur (%)
Pasir
Debu
Liat
Klas tekstur
46
7
47
-
Liat berdebu
pH H2O 7,6 Agak alkalis
C-Organik (%) 0,45 Sangat rendah
N-Total (%) 0,10 Rendah
C/N 4 Sangat rendah
P-Olsen (mg/kg) 4,36 Rendah
K (me/100 g) 1,46 Sangat tinggi Sumber : BPTP Jawa Timur
*) Lembaga Penelitian Tanah Bogor (1980)
Pengaruh sistem tanam sisip jagung dengan berbagai dosis pemupukan
nitrogen terhadap pertumbuhan jagung tidak terjadi interaksi yang nyata (Tabel 2).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
166
Tabel 2. Pengaruh sistem tanam sisip jagung dan pemupukan nitrogen terhadap
pertumbuhan jagung di sawah tadah hujan pada MK II tahun 2004
Perlakuan Tinggi tanaman
(cm)
Jumlah
tongkol/ ha
I. Pemupukan N
a.100kg/haUrea+100kg/haSP-36+100 kgKCl 162,78 a 51.117 b
b.200 kg/haUrea+100kg/haSP-36+100
kgKCl
163,67 a 54.339 ab
c.300 kg/haUrea+100kg/haSP-36+100 kgKCl 160,50 a 56.281 a
II. Sistem tanam sisip jagung
a. Tanam setelah panen jagung pertama 155,67 b 53.644 a
b. Tanam sisip 10 hari sebelum panen
jagung pertama
162,78 ab 52.700 a
c. Tanam sisip 10 hari sebelum panen
jagung pertama (cara transplanting)
169,50 a 55.281 a
CV (%) 5,83 7,71 Angka-angka dalam kolom sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji DMRT
pada taraf 0,05
Pemberian pupuk nitrogen dengan dosis yang ditingkatkan tidak
menunjukkan perbedaan tinggi tanaman jagung secara nyata, sedangkan waktu
tanam yang lebih awal dengan sistem tanam sisip jagung 10 hari sebelum panen
jagung pertama (cara transplanting) menunjukkan peningkatan tinggi tanaman
secara nyata dibandingkan penanaman jagung yang dilakukan setelah panen jagung
pertama. Meningkatnya tinggi tanaman jagung secara sisip 10 hari sebelum panen
jagung pertama disebabkan kelembaban tanah masih tinggi karena evapotranspirasi
jagung tertahan oleh kanopi jagung utama (pertama) dibanding apabila tanam
jagung setelah panen jagung pertama dalam kondisi kekeringan, meskipun seluruh
perlakuan dilakukan suplesi pengairan dari embung secara terbatas.
Jumlah tongkol per hektarnya meningkat secara nyata dengan penambahan
pupuk Urea sebanyak 200kg/ha-300kg/ha, namun perlakuan sistem tanam sisip
jagung antara 10 hari sebelum panen jagung pertama maupun tanam jagung setelah
panen jagung pertama tidak menunjukkan perbedaan jumlah tongkol per hektarnya
yang nyata.
Pengaruh sistem tanam sisip jagung dengan berbagai dosis pemupukan
nitrogen terhadap komponen hasil dan hasil jagung tidak terjadi interaksi yang
nyata (Tabel 3).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
167
Tabel 3. Pengaruh sistem tanam sisip dan pemupukan nitrogen terhadap hasil dan
komponen hasil jagung di sawah tadah hujan pada MK II tahun 2004
Perlakuan Berat tongkol
(kg/ha)
Bobot 100
biji (g) Hasil pipilan (kg/ha)
I. Pemupukan N
a.100kg/ha Urea + 100kg/ha
SP-36 + 100 kg KCl
5.628 a 27,49 a 4.175 a
b.200 kg/ha Urea + 100kg/ha
SP-36 + 100 kg KCl
6.433 a 27,71 a 4.649 a
c.300 kg/ha Urea + 100kg/ha
SP-36 + 100 kg KCl
5.410 a 27,46 a 4.130 a
II. Sistem tanam sisip jagung
a. Tanam setelah panen jagung
pertama
5.262 b 27,17 b 3.753 b
b. Tanam sisip 10 hari sebelum
panen jagung pertama
5.662 ab 27,58 ab 4.256 ab
c. Tanam sisip 10 hari sebelum
panen jagung pertama (cara
transplanting)
6.690 a 27,97 a 5.048 a
CV (%) 21,46 2,43 19,22 Angka-angka dalam kolom sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji DMRT
pada taraf 0,05
Pemberian pupuk urea yang ditingkatkan pada tanaman jagung tidak
menunjukkan perbedaan berat tongkol, bobot 100 biji kering maupun hasil pipilan
jagung secara nyata. Sebaliknya sistem tanam sisip jagung 10 hari sebelum panen
jagung pertama (cara tanam transplanting) menunjukkan perbedaan berat tongkol,
bobot 100 biji kering maupun hasil pipilan kering yang nyata dibandingkan waktu
tanam jagung yang dilakukan setelah panen jagung pertama. Perbedaan hasil
jagung pipilan kering dari sistem tanam sisip jagung 10 hari sebelum panen jagung
pertama (cara tanam transplanting) mencapai 1.295 kg/ha (meningkat 26%)
dibanding waktu tanam jagung yang dilakukan setelah panen jagung pertama.
Disamping itu, waktu tanam sisip jagung lebih awal 10 hari diantara tanaman
jagung secara transplanting yang panennya juga lebih awal 14 hari, sehingga waktu
panen dari jagung dengan sistem tanam sisip menjadi 24 hari lebih awal
dibandingkan jagung yang ditanam setelah panen jagung pertama dengan sistem
tanam biasa.
KESIMPULAN
Sistem tanam sisip jagung dan pemupukan nitrogen menunjukkan
peningkatan hasil jagung sebesar 1.295 kg/ha (meningkat 26%) apabila menerapkan
sistem tanam sisip jagung 10 hari sebelum panen jagung utama (cara transplanting)
dibanding waktu tanam jagung setelah panen jagung utama. Disamping itu, sistem
tanam jagung sisip pada pertanaman jagung pertama cara transplanting waktu
panennya 24 hari lebih awal dibandingkan jagung yang ditanam setelah panen
jagung pertama dengan cara tanam biasa.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
168
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, I., M. Zairin dan J.A. Gani, 1999. Tumpangsisip kacang hijau dan jagung
pada ekosistem lahan kering di Nusa Tenggara Barat. Simposium Penelitian
Tanaman Pangan IV, Bogor, 22-24 November 1999. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. p : 282-288.
Rifin, A dan Iskandar, S. 1991. Pengaruh tanam pindah (transplanting) terhadap
pertumbuhan dan hasil jagung. Dalam Mahmud et al. (eds.) Prosiding
Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus. Badan Litbang
Pertanian dan Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud, Jakarta. p : 349-363.
Yuwariah A.S.Y., Rudiman dan F. Rustama, 1991. Pertumbuhan dan hasil jagung
hibrida dan kalingga pada sistem tanam sisipan pada padi gogo dengan
populasi dan pemupukan nitrogen yang berbeda. Dalam Mahmud et al. (eds.) Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus. Badan
Litbang Pertanian dan Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud, Jakarta. p :
297-307.
Sutoro, I, Somadiredja dan S. Tirtoutomo, 1989. Pengaruh cekaman air dan reaksi
pemulihan tanaman jagung (Zea mays L.) dan sorgum (Sorghum bicolor L.
Moench) pada fase pertumbuhan vegetatif. Penelitian Pertanian. Balai
Penelitian Tanaman Pangan Bogor. 9(4) : 148-151.
Robin, J.S. and H.F. Rhoades, 1938. Iriigation of field corn in the west. USDA Leaflet
No. 440.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
169
PENGKAJIAN USAHATANI JAGUNG SECARA TERPADU
BERBASIS KONSERVASI AIR DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN
E.P. Kusumainderawati*) dan Z. Arifin*)
ABSTRAK
Ketersediaan air selama pertumbuhan tanaman sangat berpengaruh terhadap
produktivitas lahan dan keragaman komoditas yang diusahakan. Pengelolaan
usahatani ini pada spesifik lokasi lahan sawah tadah hujan di musim kemarau
dapat dilakukan dengan memanfaatkan embung sebagai suplesi air untuk
pengairan selama pertumbuhan tanaman. Penanaman jagung varietas Bisma secara
rapat telah dilakukan untuk memperoleh produktivitas jagung sayur, jagung pipilan
dan biomas untuk pakan ternak. Hasil pengkajian (MK 2004) di Desa Lembor,
Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa budidaya jagung
secara monokultur dengan jarak tanam rapat (75 cm x 10 cm) menghasilkan
produktivitas jagung yang lebih baik dengan keuntungan mencapai Rp. 3.996.000,-
dengan B/C ratio 1,23. Melalui cara panen muda dari sebagian populasi dengan
memperpanjang jarak tanam 75 cm x 10 cm menjadi 75 cm x 20 cm diperoleh biomas
(tebon) pakan ternak sebanyak 5.812 kg/ha, sehingga memberikan kontribusi
sebagai pakan ternak sapi terutama pada musim paceklik di musim kemarau,
sedang kotoran ternaknya dapat dikembalikan ke lahan sebagai pupuk organik.
Hasil jagung sayur dapat mencapai 1.790 kg/ha dan hasil panen biji tua dari sisa
populasi diperoleh jagung pipilan sebesar 4.817 kg/ha. Dengan cara petani
menggunakan 1 kali panen dari jagung dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm hanya
diperoleh jagung pipilan 5.666 kg/ha.
Kata kunci : Lahan sawah tadah hujan, usahatani jagung, produktivitas, pendapatan
ABSTRACT
Water supply during plant growth was really influenced land productivity and
performance of growing plants. Farming system in rainfed lowland during dry season
can be done by using water pond to irrigate the growing plant. Growing corn of
Bisma var in high density resulted corn as vegetable, dried grain and biomass for
forages. Result of dry season 2004 at Lembor Village, Brondong Subdistrict,
Lamongan Regency, showed that corn as monoculture plant spacing 75 cm x 10 cm
yielded higher yield, gave a return of Rp. 3.996.000,- with 1,23 of B/C ratio. Through
young harvested plants to create wider plant spacing (75 cm x 20 cm) yielding
biomass/forages by 5.812 kg/ha, in dry season, while its manure could be returned to
the soil as organic compound. Corn as vegetable reached 1.790 kg/ha and dried grain
corn as vegetable reached 1.790 kg/ha and dried grain reached 4.817 kg/ha, while
farmers’ method, once harvesting with 75 cm x 20 cm of plant spacing yield dried
grain of 5.666 kg/ha
Key word : Rainfed lowland, farming of corn, productivity, income
_____________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
170
PENDAHULUAN
Pada usahatani spesifik lahan kering teknik pengelolaan air dalam bentuk
embung (tandon air) selama musim penghujan merupakan alternatif teknologi yang
sesuai sebagai penampung air yang dapat dipergunakan petani pada musim
kemarau. Dengan adanya embung peluang untuk meningkatkan intensitas tanam
dan areal tanam lebih besar. Sehingga diperoleh peningkatan usahatani (Arifin, et al, 1999). Peningkatan keuntungan yang diperoleh dengan pemanfaatan embung
terbukti dari pengkajian yang dilakukan Yuniarti et al 2001. Dengan penambahan
biaya produksi untuk meningkatkan intensitas tanam (IP 200%) menjadi IP 300%
dengan menambahkan tanaman sayuran (kangkung + kanjang panjang) pada
musim kemarau dengan pemberian air embung diperoleh peningkatan keuntungan
sekitar Rp. 3.000.000,-. Hal ini menunjukkan bahwa disamping peningkatan
pendapatan usahatani, diperoleh juga penambahan protein nabati dari sayuran
serta peningkatan penggunaan sumberdaya manusia sebagai tenaga kerja di dalam
pengelolaan usahataninya. Menurut Arifin et al. (200) tanaman jagung hasil
pengairan dengan tujuan berupa jagung sayur disamping sisa biomas untuk pakan
ternak dapat lebih mengefisienkan ketergantungan ketersediaan air yang terbatas
di musim kemarau. Sehingga penanaman jagung dapat dilakukan dua kali yaitu
sebagai produk jagung sayur + biomas ditambah jagung tua sebagai panen akhir.
Limbah tanaman dari hasil tanaman jagung berumur muda mempunyai kandungan
protein yang lebih besar dengan serat kasar yang lebih rendah dibandingkan jerami
padi sehingga secara langsung bisa digunakan untuk pakan ternak (Arifin el al 2003). Hasil pengkajian dengan pengaturan interval penyiraman terhadap
penanaman secara monokultur menunjukkan bahwa untuk masa tanam MK II
(Juli-Oktober) diantara 3 komoditas (kangkung darat, jagung varietas hibrida C-7
dan semangka varietas hibrida Sun Flower) yang ditanam ternyata kangkung dan
jagung berhasil lebih baik dengan penyiraman interval 1 dan 3 hari
(Kusumainderawati et al, 2003).
Keberhasilan awal didalam sistem usahatani tanaman jagung jarak rapat di
lahan kering dengan sistem pemanenan bertahap dipandang perlu dikaji lagi dengan
memperhatikan pengadaan embung yang memadai terhadap luasan lahan yang
perlu diairi di musim kemarau. Tersedianya air yang cukup disamping kebutuhan
saprodi termasuk sarana benih dan pupuk organik (pupuk kandang) diharapkan
hasil panen tahap awal dari cara penjarangan dapat menghasilkan limbah biomas
yang penting sebagai pakan ternak sebagai penghasil pupuk organik lagi dan
meningkatkan intensitas produksi lahan sebagai sumber pendapatan petani
disamping ternak. Penelitian ini dilakukan pada lahan tadah hujan dengan suplesi
air dari embung di musim kemarau
Tujuan pengkajian ini adalah :
Mendapatkan teknologi usahatani jagung secara terpadu untuk
meningkatkan hasil secara berkelanjutan.
BAHAN DAN METODE
Kegiatan pengkajian bersifat ―on-farm research‖ di lahan petani Kabupaten
Lamongan disekitar embung pada musim kemarau (MK I), dengan memanfaatkan
embung untuk mengairi tanaman jagung seluas 1 hektar (0,5 hektar tanaman
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
171
dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm dan 0,5 hektar dengan jarak tanam rapat 75 cm x
10 cm/20 cm) (Tabel 1). Jarak tanam rapat dimaksudkan untuk menghasilkan
jagung sayur, biomas pakan ternak (tebon) dan biji. Pada saat tongkol tanaman
telah keluar rambut (± 56 hari) maka tanaman diperjarang secara berselang-seling
menjadi jarak tanam 75 cm x 20 cm dan sisa tanaman dibiarkan sampai panen biji
tua. Dari hasil penjarangan tanaman diperoleh jagung sayur dan biomas pakan
ternak.
Tabel 1. Usahatani jagung secara terpadu berbasis konservasi air di Desa Lembor,
Kecamatan, Brondong, Kabupaten Lamongan pada MK I 2004
No. Komponen
teknologi Teknologi petani
Teknologi perbaikan
Tanam biasa Tanam rapat
1. Pengelolaan
lahan
Minimum tillage Minimum tillage Minimum tillage
2. Varietas Hibrida (turunan) Bisma Bisma
3. Cara tanam Tugal Tugal Tugal
4. Pemupukan - Urea 350 kg/ha
- SP-36 150 kg/ha
- Bokashi 2 t/ha
- Urea 300 kg/ha
- SP36 100 kg/ha
KCl 100 kg/ha
- Bokashi 2 t/ha
- Urea 300 kg/ha
- SP36 100kg/ha
- KCl 100 kg/ha Bokashi
2 t/ha
5. Jarak tanam 65 cm x 15 cm 75 cm x 20 cm 75cmx10cm/75cmx20 cm
6. Pengairan
(Embung)
Kebiasaan Sesuai kebutuhan tanaman
7. Pemeliharaan
tanaman
Kebiasaan Optimal
8. Panen Biji - Biji
- Biomas pakan ternak
- Jagung sayur
A. Pelaksanaan di lapang :
1. Teknologi petani :
Pengelolaan tanah dan tanaman sesuai dengan kebiasaan petani.
2. Teknologi perbaikan :
a. Jagung Tanam Biasa
Pengolahan tanah minimum (minimum tillage).
Cara tanam tugal, dengan jumlah 1 tan./rumpun., jarak tanam 75 cm x 20
cm dengan tujuan keseluruhan tanaman dipanen tua.
Penyiangan jagung disertai pembubunan umur 15 hst dan 28 hst.
Cara pemupukan jagung : bokashi sebanyak 2 t/ha diberikan bersamaan
denga pengolahan tanah. 1/3 bagian dosis pupuk Urea serta seluruh dosis
pupuk SP 36 dan KCl diberikan 1 minggu setelah tanam, kemudian 2/3
bagian dosis pupuk Urea sisanya diberikan setelah tanaman jagung berumur
5 minggu.
Pengairan sesuai kebutuhan tanaman yaitu bila tanaman mulai kelihatan
agak layu dilakukan penyiraman secara kocor sampai kondisi tanah dalam
kapasitas lapang.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
172
b. Jagung Tanam Rapat
Pengolahan tanah minimum (minimum tillage).
Cara tanam tugal dengan jumlah 1 tanaman/rumpun., jarak tanam 75 cm x
10 cm (133.000 tanaman/ha), kemudian setelah tanaman berbunga (tongkol
keluar rambut) diperjarang untuk jagung sayur (baby corn), dan biomas
untuk pakan ternak (tebon) sehingga jarak tanam jagung yang tersisa
menjadi 75 cm x 20 cm (dibiarkan sampai panen tua).
Penyiangan jagung disertai pembubunan umur 15 hst dan 28 hst
Cara pemupukan jagung : bokashi sebanyak 2 t/ha diberikan bersamaan
pengolahan tanah. 1/3 bagian dosis pupuk Urea serta seluruh dosis
pupuk SP 36 dan KCl diberikan 1 minggu setelah tanam, kemudian 2/3
bagian dosis pupuk Urea sisanya diberikan setelah tanaman jagung berumur
5 minggu.
Pengairan sesuai kebutuhan tanaman yaitu bila tanaman mulai kelihatan
agak layu dilakukan penyiraman secara kocor sampai kondisi tanah basah
dalam kapasitas lapang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi pengkajian di Kabupaten Lamongan, di Desa Lembor, Kecamatan
Brondong dengan agroekologi Alf 3.1.1.1 dengan klas tekstur liat (Tabel 2). Kondisi
tanahnya mempunyai kesuburan tergolong rendah yang ditandai dengan rendahnya
kandungan C-organik, N-total, dan P dalam tanah (Tabel 2).
Tabel 2. Analisis tanah di lokasi pengkajian sistem usahatani terpadu di Desa
Lembor, Kec. Brondong Kab. Lamongan
Analisis Tanah Lamongan
Kandungan Harkat *)
Tekstur (%)
Pasir
Debu
Liat
Klas tekstur
2
39
59
Liat
pH H2O 6,3 Agak masam
C-Organik (%) 1,28 Rendah
N-Total (%) 0,15 Rendah
C/N 9 Rendah
P-Olsen (mg.kg-1) 4,50 Sangat rendah
K (me/100 g) 0,55 Tinggi
Na (me/100 g) 0,96 Tinggi
Ca (me/100 g) 17,8 Tinggi
Mg (me/100 g) 4,33 Tinggi
KTK (me/100 g) 45,65 Sangat tinggi
Kejenuhan Basa (%) 52 Sedang Sumber : BPTP Jawa Timur
*) Lembaga Penelitian Tanah Bogor (1980)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
173
Pengkajian yang dilakukan di wilayah pertanian di Kecamatan Brondong,
Kabupaten Lamongan termasuk tipe iklim E4 (2 bulan basah dan 7 bulan kering)
dengan curah hujan 1.158 mm/tahun (Gambar 1), sehingga termasuk daerah defisit
air karena distribusi dan intensitas curah hujan sangat rendah dan sangat
mempengaruhi pola tanamnya. Hubungan curah hujan dengan tingkat pemanfaatan
lahan sawah tadah hujan menunjukkan bahwa penanaman padi umumnya hanya
dilakukan 1 kali yaitu 28.145 ha, sedangkan penanaman padi 2 kali hanya sebagian
kecil saja yaitu 3.002 ha. Penentuan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam di
sawah tadah hujan dipengaruhi oleh ketersediaan air yang hanya mengandalkan
dari curah hujan. Mengingat telah berkembangnya embung (tandon air) di sekitar
wilayah pengkajian yang dibangun oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat,
maka banyak yang memanfaatkan embung untuk mengairi tanaman di musim
kemarau. Embung yang berada disekitar lokasi mempunyai luas sekitar 5 hektar
dengan kedalaman 2,5 m.
Embung
Gambar 1. Pola penyebaran curah hujan dan pola tanam di sawah tadah hujan,
Desa Lembor, Kec. Brondong, Kab. Lamongan.
Jg Bisma Jg Bisma Padi Sawah
0
50
100
150
200
250
300
Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
CH (mm)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10HH
CHHH
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
174
Pengelolaan tanaman jagung varietas Bisma pada musim kemarau di
Kabupaten Lamongan membutuhkan suplesi pengairan yang berasal dari embung
untuk menjamin kelangsungan hidup tanaman jagung. Pemberian air untuk
mengairi tanaman dilakukan dengan cara penyiraman (kocor) sesuai kebutuhan
tanaman yaitu bila tanaman mulai kelihatan layu maka segera diairi sampai tanah
dalam kapasitas lapang (kondisi lembab dan tidak becek). Usahatani jagung (jarak
tanam 75 cm x 20 cm) yang tujuannya untuk menghasilkan jagung pipilan saja
diperoleh hasil biji tertinggi sebesar 5.666 kg/ha, sedangkan pertanaman jagung
secara rapat (75 cm x 10 cm) hanya diperoleh hasil biji 4.817 kg/ha (terjadi reduksi
hasil sebesar 15% dibanding jarak tanam biasa). Namun total nilai hasil dari jarak
tanam rapat lebih tinggi (Rp. 7.256.600,-) karena adanya nilai tambah dari jagung
sayur dan tebon pakan ternak serta biji, sehingga keuntungan usahatani jagung
mencapai Rp. 3.996.600,- dengan B/C ratio 1,23 (Tabel 3). Hasil jagung terendah
dijumpai pada pola petani yang menggunakan benih jagung lokal dengan
pemupukan yang hanya menggunakan Urea dan SP-36.
Tabel 3. Analisis usahatani terpadu jagung di lahan sawah tadah hujan, Desa
Lembor, Kec. Brondong, Kab. Lamongan, MK I 2004
Kegiatan
Pola Perbaikan Pola Petani
Jagung Sayur/Jagung
(75cmx10cm/75cmx20 cm)
Jagung
(75 cm x 20 cm)
Jagung
(75 cm x 20 cm)
fisik Nilai
(Rp/ha) fisik
nilai
(Rp/ha) fisik
nilai
(Rp/ha)
Tenaga Kerja (HOK/Ha) ..……………………… (x Rp.000) …………………………
- Persiapan lahan 15 300 15 300 15 300
- Penanaman 12 180 12 180 10 150
- Pemupukan 8 160 8 160 5 100
- Dangir/siang 15 265 15 265 12 240
- Pengairan 27 540 27 540 8 160
- Panen : Jagung Sayur
Biji
8
10
160
200
-
10
-
200
-
8
-
160
- Prosesing 12 240 12 240 8 160
Saprodi (kg/ha; ekor)
- Benih Jagung 35 280 25 200 30 36
- Pupuk : Pukan 2.000 200 2.000 200 2.000 200
Urea 300 375 300 375 350 437,5
SP-36 100 160 100 160 150 240
KCl 100 200 100 200 - -
Biaya produksi 3.260 3.020 2.183,5
Hasil (kg/ha) :
- jagung sayur 1.790 895 - - - -
- jagung pipilan 4.817 5.780,4 5.666 6.799,2 3.650 4.380
- bobot biomas 5.812 581,2 - - - -
Total nilai hasil 7.256,6 6.799,2 4.380
Keuntungan 3.996,6 3.779,2 2.196,5
B/C ratio 1,23 1,25 1.01
Pengakajian usahatani jagung secara terpadu di Kecamatan Brondong,
Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa dengan menerapkan jarak tanam rapat
(75 cm x 10 cm/20 cm) diperoleh total hasil setara jagung pipilan kering tertinggi
sebesar 6.047 kg/ha (meningkat 6,5% dibanding jarak tanam biasa) karena adanya
nilai tambah jagung sayur dan biomas pakan ternak (Tabel 4).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
175
Tabel 4. Pertumbuhan serta hasil jagung (Bisma) di Desa Lembor, Kec. Brondong,
Kab. Lamongan, MKI 2004
Variabel Jagung Sayur/Jagung
(75 cmx10 cm/75 cmx20 cm)
Jagung
(75 cm x 20 cm)
Tinggi tan. (cm) 149,0 144,3
Berat biomas jagung
sayur (kg/ha)
5.812 -
Berat 100 biji kering (g) 26,6 27,6
Hasil (kg/ha) :
- jagung sayur
- biji
1.790
4.817
-
5.666
Total hasil setara jagung
pipilan (kg/ha)
6.047 5.666
Keterangan : - Harga jagung sayur : Rp 500 ,-/kg
- Harga jagung pipilan : Rp 1200,-/kg
- Harga biomas jagung : Rp 100,-/kg
(pakan ternak)
KESIMPULAN
Usahatani jagung jarak tanam rapat 75 cm x 10 cm yang di panen muda dari
sebagian populasinya menjadi 75 cm x 20 cm merupakan teknologi usahatani
terpadu untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dengan memanfaatkan embung
untuk mengairi tanaman usahatani ini telah menghasilkan jagung sayur, jagung
pipilan dan biomas pakan ternak dengan keuntungan Rp. 3.996.600,--dan B/C ratio
1,23.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
176
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2003. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur.
Arifin, Z., IJ. Sasa dan A.M. Fagi 1999. Profil usahatani konservasi embung di sawah
tadah hujan. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Karangploso. 2(1) : 38-51.
Arifin. Z, Sumarno, F. Kasijadi, Suwono, Wahyunindyawati, S. Rusmarkam, B.
Tegopati,C. Ismail, M. Sugiyarto, R.D. Wijadi dan Suhardi, 2000. Pengkajian
Sistem Usahatani Jagung di Lahan Kering. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Pengkajian Teknologi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan
Berwawasan Agribisnis Malang, 8-9 Agustus 2000. Pus. Pen. dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian p.145-149.
Arifin. Z. E.P. Kusumainderawati, Istiqomah, M. Soleh, N. Hasan, Baswarsiati,
Sarwono, Yuniarti, B. Pikukuh, 2003. Spengembangan Model Pertanian
Terpadu Crop Fish Livestock System (CFLS) Berbasis Konservasi Air di
Lahan Sawah Tadah Hujan Lap. Hasil Pengkajian BPTP Jawa Timur 20
hal.
Kusumainderawati E.P., Z. Arifin, Baswarsiati, Sarwono, Yuniarti, N. Istiqomah,
Supii, 2003. Pengkajian SUP Konservasi Embung Menunjang Produktivitas
Lahan di Musim Kemarau. Lap. Hasil Pengkajian BPTP Jawa Timur.
Yuniarti, Z. Arifin, P. Santoso, E. Korlina, R. Hardianto, 2001. Analisis Mutu dan
Ketersediaan Gizi Sayuran Kangkung dan Kacang Panjang. Hasil
Pemanfaatan Embung di Lahan Kering. Pros. Seminar Nasional Horti.
Konggres Perhorti Malang, 7-8Nopember 2001. p.949-956.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
177
PENGKAJIAN EFISIENSI PENGELOLAAN SUT LAHAN SAWAH GUNA
MENGATASI SENJANG PRODUKSI PADA LOKASI SPESIFIK
Al. Gamal Pratomo*), Suwono*), F. Kasijadi*), G. Kartono*), D.P. Saraswati*), Sarwono*), Nasimun*), Wigati Istuti*), Ono Sutrisno*), dan LY. Krisnadi*)
ABSTRAK
Lahan sawah mempunyai keunggulan dapat mempertahankan produktivitas
lahan lebih baik dibanding lahan kering. Namun dengan adanya intensitas
pertanaman yang berlebihan tingkat produktivitas lahan sawah dapat mengalami
penurunan. Pada saat ini di beberapa daerah juga muncul suatu gejala stagnasi
pertumbuhan disertai klorosis pada pertanaman padi MK I, petani setempat
menyebut gejala semacam ini dengan nama ―asem-aseman‖. Pemberian pupuk urea
pada pertanaman semacam ini akan memperparah gejala serangan. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengkaji faktor pembatas pertumbuhan padi pada lahan sawah
bermasalah (lahan sawah sakit), mengkaji kelayakan rakitan teknologi sistem
usahatani pada lahan sawah guna mengatasi senjang produksi pada lahan sawah
bermasalah, mengkaji kesesuaian varietas /galur padi pada lahan sawah bermasalah.
Untuk mengetahui faktor pembatas pertumbuhan padi, sebelum pengkajian terlebih
dahulu dilakukan inventarisasi dan identifikasi penyebab dari gejala lahan sawah
sakit dibeberapa lokasi di Jawa Timur berdasarkan pengamatan lapang maupun
analisa unsur hara dari sampel tanah yang diambil. Kemudian dilakukan pengkajian
dengan perlakuan 4 rakitan teknologi dimana ulangannya adalah petani yang terlibat.
Pengkajian dilakukan di Desa Krai Kecamatan Yusowilangun Kabupaten Lumajang
pada bulan April – Desember 2004. Dalam areal pengkajian terdapat pengkajian
khusus (Super imposed trial) yang berupa uji varietas/galur yang toleran terhadap
lahan yang sakit. Dari hasil analisa tanah pada lahan sawah yang sakit ternyata
kandungan hara makro ( N, P dan K) relatip rendah hingga sedang demikian juga
dengan bahan organik dan unsur hara mikro seperti Zn dan SO4, sedangkan
kandungan Fe tinggi Hasil pengkajian terlihat bahwa dengan pemupukan 100 kg urea
+ 200 kg ZA + 50 kg Sp-36 + 50 kg KCl/ha memberikan produksi tertinggi yaitu rata-
rata 8,73 ton/ha GKP, hal ini menunjukkan pada lahan sawah yang sakitnya tidak
terlalu parah dengan pemupukan ZA pada pemupukan pertama sudah dapat
meningkatkan produktivitas lahan sawah tersebut. Sedangkan dari uji varietas
ternyata varietas Membramo memberikan produksi tertinggi yaitu 7,75 ton/ha GKP
diikuti varietas Sunggal 7,43 ton/ha GKP dan Cimelati 6,73 ton/ha GKP.
Kata kunci : Padi, lahan sawah sakit, produksi.
ABSTRACT.
Irrigated land have an advantage to show better land productivity than rainfed
land. However, by practising an exessive cropping intensity, productivity of irrigated
land could be decrease. Therefore, if it is necessery to apply a policy of balance
fertilizer to solve those problem, where addition of fertilizer was based on soil nutrients
avalaibility and also crop requirement it self.
____________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
178
Commonly, at several region has been appeared a stagnancy symptom followed by
chlorosis at MK I rice plantation, in site farmer called ―asem-aseman‖. That
irrigated land, was categorized as ―sick soil‖ or ―hungry soil‖ because there was
unbalanced soil nutrient and low content of organic material, that consequently
sometimes come out a poisonous gases for plant growth so that it caused an inequility
of productivities on ―sick irrigated land‖. The aim of this research was assessed
limiting factors of rice growth on marginal irrigated land (sick irrigated land), to
assess farming system sustainability of technology package on irrigated land in order
to solve inequility yields on marginal irrigated land (sick irrigated land), to assess
suitability of rice variety on marginal irrigated land (sick irrigated land). Firstly,
there was conducted inventarisation and characterization of sick irrigated land
symptoms in several locations in East Java both on field observation and nutrient
analysis of picked up soil sample, to evaluate limiting factors to rice growth on
marginal irrigated land before conduct main assessment. Furthermore, an
assessment using 4 packages, technology treatments, wich are farmers as
replications. Assessment was located at Krai village, Yosowilangun district,
Lumajang region, A super impossed trial of varieties test which are tolerant to sick
irrigated land was located in assessment. Soil analysis showed that macro nutrient
content (N,P,K) relativety low until moderate, and also organic material and micro
nutrients such as Zn and SO4, while Fe content was high and soil pH was relativity
normal, that is 6,8 – 7,4. Assessment result showed that fertilization using 100 kg
urea + 200 kg ZA + 50 kg SP-36 + 50 kg KCl/ha gave the highest yield, 8,73 ton/ha
GKP, indicated that at non severe sick irrigated land, aplication of ZA fertilizer at
the first fertility was satisfy enough to increase yields of that irrigated land. While,
result of varieties testing showed that Membramo varieties gave the highest yield
(7,75 ton/ha) GKP, followed by Sunggal varieties (7,43 ton/ha GKP) and Cimelati
(6,73 ton/ha GKP).
Key words : Rice, sick irrigated land, yields
PENDAHULUAN
Pengelolaan hara merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan budidaya
komoditas pertanian, kegiatannya dapat mencangkup perbaikan airase, pengolahan
tanah dan pemupukan. Lahan sawah mempunyai keunggulan dapat
mempertahankan produktivitas lahan lebih baik dibanding lahan kering. Namun
dengan adanya intensitas pertanaman yang berlebihan tingkat produktivitas lahan
sawah dapat mengalami penurunan. Pergiliran tanaman pada lahan di wilayah
pengairan tersedia sepanjang tahun berlangsung sangat ketat, sisa-sisa tanaman
sebagai sumber bahan organik tidak sempat dikembalikan ke petakan sawah.
Akibatnya kandungan bahan organik tanah semakin lama semakin menurun. Dari
segi lain penggunaan varietas unggul yang potensi hasilnya tinggi, umur pendek dan
respon terhadap permukaan akan terjadi pengangkutan unsur hara pada saat
panen. Oleh sebab itu pada daerah semacam ini terdapat pengurasan unsur hara
secara cepat (Ponnamperuma, 1977). Penurunan produktivitas lahan sawah
tersebut perlu pengelolaan lebih baik agar tidak menganggu kelestarian
swasembada beras (Adiningsih dan Soepartini 1995).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
179
Usaha mempertahankan swasembada beras mengalami beberapa hambatan,
salah satu diantaranya adalah munculnya gejala pelandaiaan peningkatan
produktivitas (leveling off). Penyebab gejala ini diantaranya adalah ketidak
seimbangan unsur hara dalam tanah akibat praktek pemupukan yang hanya
menekankan pada pupuk N saja. Untuk mengatasi masalah ini diterapkan
kebijaksanaan pemupukan berimbang yaitu pemberian pupuk yang didasarkan atas
ketersediaan unsur hara dalam tanah dan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman.
Dengan demikian rekomendasi pemupukan adalah spesifik lokasi. Konsep
pemupukan berimbang menekankan agar tanaman padi tidak hanya dipupuk N dan P
saja, tetapi perlu dipupuk dengan unsur hara lainnya sesuai kebutuhan tanaman dan
ketersediaannya dalam tanah (Fagi dan Makarim, 1990). Dalam perkembangannya
pemupukan berimbang diterapkan secara umum sehingga tingkat efisiensi
pemupukan menjadi rendah. Menurut Castro (1977) dalam suasana N dan P
berlebihan tanaman padi akan mengalami kekurangan unsur mikro Zn, sebab Zn
terikat dalam garam seng Amonium Fosfat yang tidak tersedia bagi tanaman.
Dewasa ini telah muncul suatu gejala stagnasi pertumbuhan disertai klorosis
pada pertanaman padi MK I di beberapa daerah, petani setempat menyebut gejala
semacam ini dengan nama ―asem-aseman‖. Gejala ini hanya muncul pada MK I
sedangkan pada MH maupun MK II pertanaman padi tidak mengalami gejala ini.
Pada awalnya gejala ini hanya muncul di Tuban, Jombang, Tulungagung dan
Lumajang. Perkembangan terakhir dilaporkan gejala ini telah muncul di Kediri,
Madiun, Situbondo, Nganjuk, Jember dan Pasuruan. Pemberian pupuk urea pada
pertanaman semacam ini akan memperparah gejala serangan. Menurut
Abdurachman, dkk (2001); Go Ban Hong (1998) tanah-tanah demikian termasuk
tanah yang sakit atau tanah lapar karena pada tanah tersebut telah terjadi ketidak
seimbangan unsur hara dan rendahnya bahan organik di dalam tanah sehingga dalam
kondisis tertentu dapat menimbulkan zat-zat yang bersifat racun bagi tanaman.
Kerugian akibat gejala ini diperkirakan cukup besar mengingat pertumbuhan
tanaman sangat tertekan (kerdil) dan proses fotosintesa terhambat sehingga
menyebabkan daun mengalami klorosis, pada daerah yang serangannya berat padi
menjadi puso. Hasil pengkajian di Jombang pada lahan sawah sakit yang menderita
asem-aseman produksinya menurun hingga 37% (Pratomo, dkk, 2002). Sedangkan di
Lumajang pada lahan sawah yang menderita asem-aseman hanya menghasilkan
gabah 0,3 ton/ha (Basyir, 1994).
Lahan sawah sakit ini pada umumnya terjadi pada lahan yang drainasenya
buruk/tergenang dan serangannya spot-spot tidak merata pada suatu hamparan yang
luas, waktunya pada musim kemarau pertama (MK I). Hal ini diduga pada musim
pertanaman MK I jerami sisa-sisa panenan musim penghujan belum terdekomposisi
sempurna sehingga menimbulkan asam-asam organik yang dapat menyebabkan
keracunan bagi tanaman padi. Selain itu pada tanah-tanah tergenang cenderung
kahat unsur Zn dan SO4. Menurut Soepartini dkk, (1994) tanah sawah yang diduga
kahat Zn semakin ke Indonesia Timur semakin meluas jumlahnya, untuk Jawa Timur
36% lahan sawahnya kahat Zn. Dari penelitian sebelumnya Lahan sawah yang
menderita stagnasi pertumbuhan dan kekuningan (lahan sawah sakit) umumnya
terjadi pada lahan yang drainasenya buruk dan selalu tergenang, dengan kandungan
hara makro (N, P dan K) bahan organik tanah dan hara mikro Zn relatif rendah
(Pratomo, 2002).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
180
Hingga saat ini petani belum mengetahui cara mengatasi permasalahan ini.
Dari hasil pengamatan di lapang ada beberapa petani mencoba mengatasi lahan
sawah sakit ini dengan cara mengundurkan waktu tanam (di Tuban) serta
pemberian abu dan ternyata dapat mengurangi keparahan gejala tanaman kerdil
ini. Berdasarkan hasil pengkajian di Jombang dan Probolinggo gejala ini dapat
dikurangi dengan penanaman secara tabela, pemupukan K hingga dosis 200 kg/ha
dan memperbaiki drainase bila memungkinkan (Suwono, dkk, 1999). Pemberian
pupuk NPK sesuai rekomendasi + pupuk ZnSO4 mampu meningkatkan produksi
gabah kering panen padi hingga 5,31 ton/ha di Kabupaten Jombang dan 5,6 ton/ha di
Kabupaten Tulungagung (Pratomo, dkk. 2003). Menurut Basyir (1994) tanaman
yang kerdil dan klorosis di Lumajang disebabkan kahat unsur mikro Zn, pada lahan
semacam ini pemberian urea saja hanya menghasilkan gabah 0,3 ton/ha dan bila
dipupuk urea yang dibarengi pupuk Zn dapat meningkatkan hasil gabah menjadi
6,31 ton/ha.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji faktor pembatas pertumbuhan
padi pada lahan sawah bermasalah (lahan sawah sakit), mengkaji kelayakan
rakitan teknologi sistem usahatani pada lahan sawah guna mengatasi senjang
produksi pada lahan sawah bermasalah (lahan sawah sakit), dan mengkaji
kesesuaian varietas /galur padi pada lahan sawah bermasalah (lahan sawah sakit).
BAHAN DAN METODE
Untuk mengetahui faktor pembatas pertumbuhan padi pada lahan yang
bermasalah sebelum pengkajian terlebih dahulu dilakukan inventarisasi dan
identifikasi penyebab dari gejala lahan sawah sakit dibeberapa lokasi yang terserang
baik berdasarkan pengamatan di lapang maupun analisa unsur hara dari sampel
tanah yang diambil. Kemudian dilakukan pengkajian yang berupa penerapan
beberapa alternatif paket teknologi usahatani yang dilakukan bekerjasama dengan
petani dan aparat terkait.
Dalam areal pengkajian terdapat pengkajian khusus (Super imposed trial)
yang berupa uji varietas/galur yang toleran terhadap lahan-lahan yang terjangkit
gejala asem-aseman yang diharapkan dapat mendukung perakitan teknologi dalam
mengatasi gejala asem-aseman.
Lahan-lahan yang terserang gejala asem-aseman diambil sampel tanahnya,
kemudian dianalaisa di Laboratorium untuk me.ngetahui kandungan hara dan
bahan organiknya yang menjadi pembatas pertumbuhan tanaman padi. Untuk
pengkajiannya dilakukan di Kabupaten Lumajang, hasil pengkajian dianalisis
statistik sederhana seperti uji beda hasil antar teknologi yang dikaji.
Prosedur Pelaksanaan
1. Lahan–lahan yang terkena gejala asem-aseman diinventarisasi dan
diidentifikasi faktor penyebabnya, baik faktor biotik maupun abiotik
kemudiaan diambil sampel tanahnya untuk dianalisa kandungan haranya,
guna mengetahui apakah ada faktor pembatas hara yang menyebabkan
stagnasi pertumbuhan tanaman padi.
2. Dilakukan uji rakitan teknologi dengan masing-masing rakitan seluas 0,25 ha
yang diulang 5 kali setiap perlakuan. Setiap ulangan dilakukan oleh petani
kooperator yang berbeda, dan digunakan rancangan acak kelompok.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
181
Tabel 1. Rakitan Teknologi yang dicobakan pada lahan sawah yang sakit.
Komponen Teknologi Rakitan
I II III IV
Varietas Membramo Membramo Membramo Membramo
Cara Tanam Petani Petani Petani Petani
Pemupukan
Urea
ZA
SP-36
KCl
ZnSO4
100 kg
200 kg
50 kg
50 kg
10 kg
100 kg
200 kg
50 kg
50 kg
-
-
300 kg
50 kg
50 kg
-
-
300 kg
50 kg
50 kg
10 kg
Pengendalian Hama
dan Penyakit
Intensif Intensif Intensif Intensif
Keterangan:
- Umur bibit 21 hari
- Aplikasi ZnSO4
- Disemprotkan 4 kali pada umur 14, 21, 28 dan 35 hari setelah tanam (0,5% ZnSO4 dengan larutan
semprot 200 l/ha)
- Diberikan sebagai pupuk dasar 10 kg/ha ZnSO4
Pengamatan Data
Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi identifikasi penyebab lahan
sawah menderita stagnasi pertumbuhan dan kekuningan (lahan sawah sakit), data
teknis/agronomis pertanaman dan data input/output usahatani penerapan teknologi
anjuran dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan pada pertanaman.
1. Identifikasi lahan meliputi :
Kondisi lahan
pH tanah.
Kandungan hara hara makro dan mikro tanah.
2. Data teknis/agronomis penerapan alternatif teknologi di areal pengkajian dan
di luar areal
- Tinggi tanaman dan jumlah anakan
- Serangan hama dan penyakit
- Jumlah malai/rumpun
- Presentase gabah hampa
- Hasil ubinan (2 m x 5 m) setiap perlakuan/petani kooperator
3. Data sosial Ekonomi
- Analisa masukan dan luaran serta analisis finansial untuk mengevaluasi
kelayakan ekonomi paket teknologi yang dikaji
- Masalah/hambatan dalam adopsi teknologi
- Umpan balik dari petani, penyuluh dan pedagang
Percobaan Super Imposed
a. Uji Adaptasi varietas/galur padi sawah toleran gejala ―asem-aseman‖
- Rancangan Acak Kelompok diulang 3 kali
- Ukuran petak : 5 x 6 m
- Perlakuan :
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
182
1. Gilirang
2. Sunggal
3. Fatmawati
4. IR. 64
5. Membramo
6. Kalimas
7. Cimelati
8. Ciherang
9. Cigelis
10. Cibogo
Respon terhadap perlakuan yang diamati
- Tinggi tan aman, jumlah anakan produktif
- Intensitas dan luas serangan asem-aseman
- Hasil per plot (kg) dan komponen hasil ( jumlah gabah /malai, jumlah gabah
isi/malai, presentase gabah hampa /malai dan bobot 1000 butir ).
- Intensitas serangan hama dan penyakit
- Penilaian petani.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pengamatan di lapang di beberapa kabupaten yang lahan
sawahnya menderita stagnasi pertumbuhan dan kekuningan (lahan sawah sakit)
ternyata sebagian besar terjadi pada lahan sawah yang drainasenya buruk dan
selalu tergenang. Daerah yang terserang terlihat spot-spot tidak merupakan satu
hamparan yang luas. Umumnya terjadi pada derah yang rendah atau cekungan,
ditepi galengan, rel kereta api maupun tepi jalan raya yang pembuangan airnya
tidak ada sehingga air selalu tergenang. Pada saat ini lahan-lahan sawah yang sakit
tersebut tidak hanya terjadi pada MK I saja melainkan juga pada musim-musim
penghujan maupun MK II, asal daerah tersebut tergenang cukup lama dapat
dipastikan akan muncul tanah-tanah yang sakit.
Hasil analisa tanah dari lahan-lahan sawah yang sakit ternyata kandungan
hara makro ( N, P dan K) relatip rendah hingga sedang, diseluruh lahan sawah yang
sakit kandungan SO4 sangat rendah hingga rendah, demikian juga dengan bahan
organik dan unsur hara mikro seperti Zn, sedangkan kandungan Fe tinggi dan pH
tanahnya relatif netral yaitu 6,5 – 7,4 (Tabel 2). Rendahnya kandungan bahan
organik di lahan sawah yang sakit dikarenakan petani di daerah pengkajian
umumnya tidak pernah memberi bahan organik ke dalam tanah, baik itu berupa
pupuk kandang maupun kompos sedangkan jerami yang merupakan salah satu
sumber bahan organik juga diangkut ke luar lahan untuk pakan ternak atau
dibakar. Untuk pemberian pupuk anorganik umumnya petani hanya memberi
pupuk N berupa urea dan sedikit petani memberi pupuk P sedangkan pemberian
pupuk K hampir tidak pernah diberikan demikian pula dengan pemberian pupuk
sulfat. Menurut Abdurachman, dkk (2001); Go Ban Hong (1998) tanah-tanah
demikian termasuk tanah yang sakit atau tanah lapar karena pada tanah tersebut
telah terjadi ketidak seimbangan unsur hara dan rendahnya bahan organik di dalam
tanah sehingga dalam kondisis tertentu dapat menimbulkan zat-zat yang bersifat
racun bagi tanaman.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
183
Melihat hasil analisa tanah dari lahan-lahan sawah yang sakit ternyata
seluruh lahan sawah yang sakit ternyata kekurangan unsur bahan organik, sulfat
dan Zn lebih dominan dibanding kekurangan unsur lainnya. Dari penampakan di
lapang tanah sawah yang sakit gejalnya memang seperti tanman padi kekurangan
Sulfat dan Zn dimana tumbuhnya kerdil dan terlihat kekuningan. Hal ini sejalan
dengan penelitian Pratomo, dkk (2003) dimana pada lahan yang sakit bila diberi
pupuk ZnSO4 memperlihatkan pertumbuhan yang baik dan berproduksi cukup
tinggi.
Tabel 2. Kandungan unsur hara tanah pada lahan sawah yang sakit di beberapa
kabupaten di Jawa Timur Macam
Analisa
Tuban Lumajang Mojokerto Jombang Tulungagung
Nilai Harkat Nilai Harkat Nilai Harkat Nilai Harkat Nilai Harkat
pH (H2O) 7,30 N 7,45 N 6,5 N 6,80 N 7 N
C Organik 2,59 Sd 3,89 T 2,21 Sd 1,28 R 2,23 Sd
N Total 0,21 Sd 0,37 Sd 0,17 R 0,15 R 0,24 Sd
C/N ratio 12,6 Sd 10,6 Sd 13 Sd 9,00 R 9,20 R
P Bray 1 9,16 Sd 11,8 T 11,8 T 12,13 T 11,92 T
K 0,26 R 1,12 T 0,44 Sd 0,44 Sd 0,56 Sd
Fe (ppm) 102,4 T 98,3 T 142 T 87,0 T 84,8 T
Mn (ppm) 195,7 T 287 T 204 T 73,18 T 244 T
Cu (ppm) 5,45 Sd 20,9 T 8,93 T 23,32 T 9,38 T
Zn (ppm) 1,58 Sd 1,47 Sd 1,84 Sd 0,84 R 1,39 Sd
SO4 (ppm) 63,48 R 60,4 R 67,9 R 26,30 SR 69,7 R
Ket : N = Netral Sr = Rendah R = Rendah Sd = Sedang T = Tinggi
Umumnya petani baru menyadari bahwa lahannya terserang asem-aseman
pada saat tanamannya tidak terlihat ―nglilir‖ (recovery) setelah beberapa hari
ditanam, dan pada saat diberikan pemupukan pertama pada umur 10 – 15 hari
setelah tanam, bukannya terlihat tumbuh subur melainkan tanaman terlihat kerdil,
kuning dan mengering seperti terbakar bahkan pada daerah yang serangannya
parah tanaman menjadi mati. Dari hasil pengamatan di lapang tanaman semakin
parah serangannya pada umur 21 hari setelah tanam, tetapi pada daerah yang
serangannya tidak terlalu parah tanaman dapat recavory setelah umur 45 hari
setelah tanam walaupun tidak terlihat normal.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa dengan pemberian ZnSO4 yang
diberikan bersamaan pupuk dasar dan disemprotkan ke daun ternyata dapat
mengurangi intensitas lahan sawah yang sakit. Ini terlihat pada perlakuan yang
diberi pupuk ZnSO4 (rakitan I dan IV) tanaman yang terserang maksimal hanya
48%, sedangkan pada lahan yang tidak diberi pupuk ZnSO4 (rakitan II dan III)
serangannya hingga 80% pada 3 mingu setelah tanam. Sedangkan setelah 8 minggu
setelah tanam terlihat lahan sawah yang sakit relaif sudah mulai kembali pulih dan
intensitas serangannya yaitu hanya 16% (Tabel 3) baik yang diberikan pupuk ZnSO4
maupun yang tidak. Hasil ini sejalan penelitian-penelitian sebelumnya dimana
dengan penmabahan pupuk ZnSO4 dapat mengatasi sawah-sawah yang sakit pada
awal-awal pertumbuhan yaitu umur 15 – 35 hari setelah tanam dan apabila
tanaman tersebut dapat bertahan maka gejala tanaman yang ditanam di lahan
sawah yang sakit tidak terlihat begitu jelas.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
184
Tabel. 3. Intensitas lahan sawah yang sakit di Kabupaten Lumajang
Perlakuan Intensitas lahan sawah
yang sakit 3 MST (%)
Intensitas lahan sawah
yang sakit
8 MST (%)
Rakitan I 44,0 c 8,6 c
Rakitan II 68,0 b 10 c
Rakitan III 80,0 a 16 a
Rakitan IV 48,0 c 13 b
KK (%) 11,58 14,12 Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata
pada uji Duncan 5%
Hasil pengkajian SUT di Kabupaten Lumajang memperlihatkan bahwa
pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakkan tidak menunjukkan adanya
perbedaan antar rakitan (Tabel 4.). Hal ini diduga bahwa pertumbuhan tinggi
tanaman dan perkembangan jumlah anakan lebih dipengaruhi oleh faktor genetis
varietas padi yang ditanam.
Tabel 4. Pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan pada berbagai rakitan di
lahan sawah yang sakit
Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan
20 Hst 50 Hst Saat panen 20 Hst 50 Hst Saat panen
Rakitan I 40,86 a 56,64 a 86,28 ab 13,82 a 21,62 a 17,76 a
Rakitan II 40,28 a 58,64 a 85,86 ab 13,40 a 21,84 a 18,22 a
Rakitan III 40,02 a 57,44 a 81,86 b 13,44 a 22,60 a 17,38 a
Rakitan IV 39,64 a 56,54 a 88,06 a 13,28 a 20,46 a 19,46 a
KK (%) 3,04 7,89 4,35 6.09 7,65 8,22 Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
Sedangkan hasil komponen produksi terlihat perlakuan rakitan III
menghasilkan gabah isi tertinggi tetapi tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata
untuk berat gabah 1000 butirnya. Untuk produksi gabah kering panen tertinggi
dicapai pada rakitan II yang menggunakan pupuk ZA dan Urea tanpa pemberian
ZnSO4, dimana pemberian pupuk pertamanya menggunakan pupuk ZA sedangkan
urea sebagai pupuk susulan (Tabel 5). Tingginya produksi pada perlakuan rakitan
II membuktikan bahwa pada lahan sawah yang kandungan Zn cukup maka tidak
perlu adanya penambahan pupuk ZnSo4 tetapi cukup hanya dipupuk dengan
menggunakan pupuk ZA pada pemupukan pertama yang dilakukan pada umur 21
hari setelah tanam. Ini terlihat pada lokasi pengkajian ternyata kandungan unsur
mikro Zn sudah cukup sedangkan kandungan sulfatnya kurang sehingga untuk
mengatasi hal ini cukup dipupuk dengan menggunakan pupuk ZA pada pemupukan
pertama.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
185
Tabel 5. Komponen produksi dan produksi gabah kering panen pada berbagai
rakitan percobaan di lahan sawah yang sakit
Perlakuan Jumlah gabah
isi
Jumlah gabah
hampa
Bobot 1000
butir (gram)
Produksi GKP
(ton)
Rakitan I 82,70 b 16,88 a 28,48 a 7,14 b
Rakitan II 85,98 ab 15,52 ab 28,44 a 8,73 a
Rakitan III 94,74 a 14,30 b 28,30 a 6,84 b
Rakitan IV 91,62 a 14,72 ab 28,12 a 7,32 b
KK (%) 6,94 10,59 1,34 9,50 Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
Untuk hasil pertumbuhan beberapa varietas yang dicoba pada lahan sawah
yang sakit terlihat bahwa pada awal pertumbuhan tinggi tanaman terlihat adanya
perbedaan yang nyata demikian pula pada pertengahan pertumbuhan maupun pada
saat panen. Sedangkan terhadap jumlah anakan juga terlihat adanya perbedaan
yang nyata mulai dari saat pertumbuhan hingga saat panen (tabel. 6). Berbeda
nyata antar varietas untuk tinggi tanaman dan jumlah anakan pada berbagai umur
pengamatan memperlihatkan bahwa faktor genetis pada masing-masing varietas
lebih dominan pengaruhnya dibandingkan faktor tanah maupun lingkungan dimana
padi itu ditanam. Ini terlihat dimana varietas Famawati yang mempunyai sifat
tanaman yang kokoh dan tinggi tetapi jumlah anakannya sedikit ternyata memang
menunjukkan tinggi tanaman yang teringgi dan jumlah anakannya juga
menunjukkan jumlah anakan yang paling sedikit.
Tabel 6. Pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan pada perlakuan uji
varietas di lahan sawah yang sakit
Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan
20 Hst 50 Hst Saat panen 20 Hst 50 Hst Saat panen
Gilirang 44,73 cde 60,93 ab 86,00 a 12.26 cd 22,73 c 12,53 ef
Sunggal 46.17 c 57,40 b 86.06 a 18.10 a 26,46 ab 19,83 a
Fatmawati 55,37 a 64,26 a 83.60 b 8.16 e 16,86 d 8.93 g
IR-64 42.26 e 48,53 c 79,20 c 16.10 ab 27,80 ab 11,26 f
Membramo 45.56 de 55,40 b 86.33 a 18,23 a 27,06 ab 19.60 a
Kalimas 51,97 b 61.73 ab 79.13 c 14,10 bc 22,40 c 15,46 bc
Cimelati 53,76 ab 59,53 ab 86,73 a 18,70 a 27,46 ab 13,90 de
Wera 47,06 c 57,73 b 70,26 d 16,07 ab 25,33 bc 16,46 bc
Cibogo 43,30 de 58,06 ab 83,93 b 10,93 d 27,86 ab 18,00 ab
Cigeulis 47,43 c 58.00 ab 86,46 a 18,10 a 29,33 a 17,06 bc
KK (%) 3,09 5,79 1,24 9,16 8,09 7,12
Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
Pada pengamatan komponen produksi terlihat bahwa Jumlah gabah isi
tertinggi dicapai varietas Fatmawati demikian pula dengan jumlah gabah
hampanya, varietas Fatmawati memang mempunyai panjang malai yang panjang
dengan bulir gabah hingga 300 butir tetapi kelemahannya bulir gabah hampanya
juga cukup tinggi, sehingga ini tidak menjamin bahwa bobot 1000 butir tidak
menunjukkan berat tertinggi dan varietas Kalimas yang memiliki bobot tertinggi
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
186
walaupun tidak berbedanyata dengan beberapa varietas lainnya. Sedangkan
produksi gabah kering tertinggi dicapai varietas Membramo dengan produksi 7,75
ton gabah kering panen Walaupun tidak berbedanyata dengan varietas Sunggal,
Cibogo, Wera dan Cigeulis (Tabel. 7) tetapi berbeda dengan varietas-varietas
lainnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Pratomo, dkk (2003) dimana varietas
Membramo memang relatif paling tahan pada lahan sawah yang sakit dan
menghasilkan produksi padi tertinggi.
Tabel 7. Komponen produksi dan produksi gabah kering panen pada uji varietas padi
di lahan sawah yang sakit
Perlakuan Jumlah gabah
isi
Jumlah gabah
hampa
Bobot 1000
butir (gram)
Produksi
GKP (ton)
Gilirang 131,23 b 52,83 b 28,36 abc 4,85 def
Sunggal 101,76 d 29,33 c 28,30 abcd 7,43 a
Fatmawati 165,96 a 60,53 a 28,60 ab 4,46 ef
IR-64 79,66 e 9,40 e 27,63 d 5,91 bcd
Membramo 98,30 d 18,60 d 28,40 abc 7,75 a
Kalimas 86,26 e 26,63 c 28,93 a 4,11 f
Cimelati 114,83 c 18,43 d 27,93 bcd 6,73 ab
Wera 77,86 e 6,26 e 27,96 bcd 6,64 ab
Cibogo 84,76 e 16,00 d 28,50 abc 5,39 cde
Cigeulis 104,10 d 18,20 d 27,80 cd 6,58 abc
KK (%) 5,81 8,01 1,34 11,22 Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
Pada lahan pengkajian juga dilakukan temulapang yang kesimpulannya
adalah sebagai berikut : Dari hasil temu Lapang dapat disimpulkan sebagai berikut:
(1). Dengan adanya komunikasi dua arah antara petani sebagai pengguna teknologi
dan peneliti maupun penyuluh BPTP JawaTimur selaku sumber teknologi, dapat
membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi petani dalam usaha
mengatasi tanah di lahan sawah yang sakit, (2). Para peneliti dan penyuluh serta
petugas tingkat kecamatan dan Kabupaten mendapat masukan yang berharga
guna menyempurnakan paket teknologi, maupun kebijakan –kebijakan yang
berkaitan dengan pertanian. (3). Kegiatan temu lapang dapat menambah wawasan
para petani peserta temu lapang. Respon dari petani temulapang sangat positif dan
mulai menggunakan pupuk ZnSO4 untuk musim tanam berikutnya.
KESIMPULAN
Lahan sawah yang menderita stagnasi pertumbuhan dan kekuningan (lahan
sawah yang sakit) umumnya terjadi pada lahan yang drainasenya buruk dan
selalu tergenang, dengan kandungan bahan organik, sulfat dan hara mikro Zn
relatif rendah.
Pemberian pemupukan 100 kg urea + 200 kg ZA + 50 kg Sp-36 + 50 kg KCl/ha
memberikan produksi tertinggi yaitu rata-rata 8,73 ton/ha GKP, dengan
setengah pupuk ZA diberikan pada pemupukan pertama sedangkan
pemupukan keduanya yaitu pupuk ZA dan pupuk Urea.
Varietas Membramo, Sunggal, Cimelati, Wera dan Cibogo relatif tahan pada
lahan sawah yang kahat sulfat..
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
187
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman A, D.A. Suriadikarta dan A. Sofyan, 2001. Masalah Tanah Sawah
―Sakit‖ dan Peningkatan Produktivitasnya. Apresiasi Teknis Program
Litkaji Sistem Usahatani Tanaman Ternak (Crop Animal System). Bogor 22
– 29 April 2001.
Basyir. A., 1994. Penelitian Pemupukan Padi Jangka Panjang. Hasil Paenelitian
Seralia, Balitan Malang, 45 - 55
Castro, R., U. 1977. Zinc Deffisiensi of Rice. IRRI. Research Peper Series No 9 IRRI
Manila.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Timur, 1998.
Laporan Tahunan 1998. Surabaya.
Go Ban Hong, 1998. Tanah Lapar. Berita HITI Volume 6 No. 17, hal, 11 – 12.
Pratomo. Al. G., Suyamto, dan Suwono, 2002. Usaha Pemupukan Guna Mengatasi
Tanaman Padi yang Menderita Stagnasi Pertumbuhan Dan Kekuningan
(Asem-aseman). Disampaikan dalam Seminar Nasional Pekan Padi
Nasional, Sukamandi.
Soepartini, M. Nurjaya, A. Kusno, S. Ardjakusuma, Moersidi S., dan J. Sri
Adiningsih. 1994. Status Hara P dan K Serta Sifat-sifat Tanah Sebagai
Penduga Kebutuhan Pupuk Padi Sawah di P. Lombok. Pemberitaan
Penelitian tanah dan Pupuk No. 12 : 23 – 35.
Sri Adiningsih. J, D. Setyorini dan T. Prihatini, 1995. Pengelolaan Hara Terpadu
Mencapai Produksi Pangan Yang Mantap dan Akrap Lingkungan. Pros.
Pert. Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Puslittanak, Cisarua Bogor, 10 – 12 Januari 1995.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
188
UJI ADAPTASI VARIETAS PADI UNGGUL BARU
Titiek Purbiati*), Sukarno Rusmarkam*) dan Abu*)
ABSTRAK
Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi
beberapa varietas padi unggul baru yang diuji adaptasikan. Pengkajian
dilaksanakan di lahan sawah Desa Ngijo- Karangploso, Kabupaten Malang, dimulai
bulan Mei tahun 2004 dengan agroekologi IV axi. Rancangan percobaan acak
kelompok dengan ulangan 3 kali. Sebagai perlakuan adalah 10 varietas: Batang
Gadis, Fatmawati, Cimelati, Bondoyudo, Digul, Sunggal, Cibogo, Cigeulis, Kalimas
dan Code. Percobaan menggunakan luasan petak per perlakuan 17 m x 1,5 m dan
bibit ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Hasil penelitian menunjukkan,
pertumbuhan vegetatif yang meliputi jumlah anakan dan jumlah malai per rumpun
paling banyak pada varietas Code serta berbeda nyata dengan varietas Fatmawati,
Bondoyudo dan Sunggal. . Varietas Fatmawati menghasilkan jumlah gabah isi per
malai, panjang malai dan berat 1000 butir paling tinggi dibandingkan dengan
varietas-varietas yang lain tetapi jumlah gabah hampanya juga paling banyak
(52,5%/malai). Kadar air dari sepuluh varietas yang diuji tidak berbeda (20% - 23%),
tetapi produksi gabah kering panen dan kering giling berbeda nyata. Potensi hasil
tertinggi adalah varietas Cimelati, Sunggal, Cibogo dan Code dengan produksi 7,38 -
8,56 t/ha gabah kering giling.
Kata kunci: Padi, varietas unggul, pertumbuhan vegetatif, produksi.
ABSTRACT
The goal of this asessment was to evaluate the vegetative growth and yields of
several new superior varieties of rice. Assessment was conducted on irrigated land at
village of Ngijo – Karangploso, regency of Malang, started from May to September
2004, in agroecological zone of IV axi, using a randomized block design, with 3
replications and block area of 17 m x 1,5 m with planting distance of 20 cm x 20 cm
as unit experiment. Ten varieties used were Batang Gadis, Fatmawati, Cimelati,
Bondoyudo, Digul, Sunggal, Cibogo, Cigeulis, Kalimas and Code. The vegetative
growth those were the biggest number of sprouts and panicles per colony were found
on variety of Code and significantly different compared to Fatmawati, Bondoyudo
and Sunggal. Fatmawati var. produced the highest number of seeds per panicle,
panicles length and weight of 1000 seeds compared to other varieties but it had the
biggest number of empty grains which reached 52,5%, water content of seed from ten
varieties evaluated were not different which were 20-23% but it produced dry grains
yield and dry grains mail are significant. Variety of Cimelati, Sunggal, Cibogo and
Code had the highest yield potency of 7.38 – 8.5 ton/ha dry grains mail.
Kata kunci: Rice, superior varieties, vegetative growth , yield
_________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
189
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan produksi padi salah satunya adalah melalui inovasi
teknologi varietas unggul baru. Varietas unggul baru selain untuk meningkatkan
potensi hasil tinggi juga perlu memperhatikan mutu produk yang dihasilkan
maupun terhadap faktor-faktor pengganggu yang lain. Menurut Baihaki (2004),
peningkatan produktifitas usahatani komoditi tanaman, 60%-65% ditentukan oleh
penggunaan benih/bibit unggul. Penggunaan varietas unggul telah memberikan
kontribusi yang besar terhadap produksi padi nasional dibandingkan dengan
komponen teknologi yang lain (Sembiring dan Wirajaswadi, 2001). Penggunaan
varietas padi unggul merupakan upaya untuk peningkatan produktivitas yang
murah dan mudah. Murah karena tidak diperlukan tambahan biaya sedangkan
mudah karena petani cukup mengganti varietas tanpa mengubah teknologi.
Sejak berkembangnya teknologi pemuliaan padi maka telah terjadi tuntutan
untuk membentuk varietas unggul baru. Kustiyanto (2001) menyatakan, varietas-
varietas unggul baru telah banyak dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Hal ini
bertujuan untuk menghasilkan varietas unggul berbasis agroekosistem dan spesifik
lokasi antara lain toleran terhadap naungan, suhu rendah, kekeringan dan tahan
hama penyakit padi.
Perkembangan varietas-varietas padi unggul, sejak tahun 1940 sampai
dengan tahun 2004 (bulan Maret) telah dilepas sebanyak 201 varietas unggul.
Produksi dan pelepasan varietas unggul baru komoditi padi paling tinggi dimulai
tahun 1981 sampai Maret 2004 dengan jumlah yang dilepas sebanyak 152 varietas
unggul atau 75,62% dengan produktifitas 6,3 varietas baru per tahun yang dilepas
(Baihaki, 2004).
Berdasarkan data Diperta Propinsi Jawa Timur terdapat 29 varietas unggul
padi yang telah menyebar, yaitu : IR- 64 (40,04%), Memberamo (3,53%) dan varietas
lain yang lain dibawah 3,0% (Diperta, 2004). Ternyata varietas IR- 64 masih
mendominasi di Jawa Timur dan varietas tersebut juga menjadi primadona daerah
Propinsi Bali dan NTB. Varietas IR- 64 sampai saat ini masih mendominasi areal
pertanaman padi di daerah Bali dan NTB (Kamandalu, Rubiyo dan Daradjat, 2003)
Untuk memperkenalkan dan mengembangkan varietas unggul baru maka
cara yang paling efektif adalah menguji adaptasikan varietas-varietas unggul baru
dan ditanam di lahan petani. Untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi
varietas unggul baru.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di lahan sawah Desa Ngijo- Karangploso, Kabupaten
Malang, dengan agroekologi IV axi dan ketinggian tempat 450 m d.p.l.
Pelaksanaannya dimulai bulan Mei 2004 sampai dengan September 2004.
Rancangan percobaan acak kelompok dan diulang 3 kali sebagai perlakuan
adalah 10 macam varietas padi unggul baru yaitu: 1) Batang Gadis, 2) Fatmawati, 3)
Cimelati, 4) Bondoyudo, 5) Digul, 6) Sunggal, 7) Cibogo, 8) Cigeulis, 9) Kalimas dan
10) Code. Bibit dari pesemaian kemudian dipindah dan ditanam dengan jarak tanam
20 cm x 20 cm. Luas petak tiap perlakuan adalah 17 m x 1,5 m.
Peubah yang diamati meliputi : 1) jumlah anakan per rumpun, 2) jumlah
malai per rumpun, 3) panjang malai, 4) jumlah gabah isi per malai, 5) jumlah gabah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
190
hampa per malai, 6) berat 1000 butir gabah, 7) Produksi gabah kering panen (t/ha),
dan 8) produksi gabah kering giling (t/ha).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan tanaman
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah anakan per
rumpun dan jumlah malai per rumpun pada varietas Code terdapat perbedaan
dengan varietas Fatmawati, Bondoyudo dan Sunggal. Jumlah anakan dan malai tiap
rumpunnya pada varietas Code menghasilkan paling banyak jika dibandingkan
dengan varietas-varietas yang lain (tabel 1).
Tabel 1. Uji adaptasi varietas padi unggul baru terhadap jumlah anakan dan jumlah
malai tiap rumpun
Varietas Rata-rata jumlah anakan
per rumpun
Rata-rata jumlah malai
per rumpun
Batang Gadis
Fatmawati
Cimelati
Bondoyudo
Digul
Sunggal
Cibogo
Cigeulis
Kalimas
Code
23,60 ab
19,53 c
23,80 ab
22,47 bc
24,20 ab
22,23 bc
24,10 ab
24,53 ab
25,53 ab
27,27 a
22,12 ab
18,10 c
22,37 ab
20,32 bc
21,88 ab
19,86 bc
22,38 ab
22,23 ab
22,95 ab
24,69 a
KK (%) 9,45 9,75 Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata
pada taraf 5% menurut uji BNT.
Varietas Code menghasilkan rata-rata jumlah anakan dan rata-rata jumlah
malai per rumpun paling banyak serta berbeda nyata dengan varietas Fatmawati,
Bondoyudo dan Sunggal, tetapi dengan varietas Batang gadis, Cimelati, Digul,
Cibogo, Cigeulis dan Kalimas tidak tidak terdapat perbedaan yang nyata.
Berdasarkan diskripsi varietas padi unggul baru dinyatakan bahwa varietas
Code memiliki jumlah anakan produktif yang banyak (Lesmana et. al., 2002).
Setelah dilakukan pengujian pada lahan yang berbeda agroekologinya,
menghasilkan jumlah anakan produktif yang paling banyak diantara varietas-
varietas yang diuji. Hal ini disebabkan, varietas Code lebih toleran pada lahan
sawah dengan ketinggian tempat sampai 500 m dpl, sedangkan pengujian
dilakukan pada lahan sawah dengan ketinggian tempat ± 450 m d.p.l.
Komponen hasil
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa komponen hasil yang meliputi
panjang malai, jumlah gabah isi tiap malai, jumlah gabah hampa tiap malai dan
berat 1000 butir gabah terdapat perbedaan yang nyata sedangkan kadar air gabah
tidak terdapat perbedaan nyata.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
191
Tabel 2. Uji adaptasi varietas padi unggul baru terhadap panjang malai , jumlah
gabah isi permalai, jumlah gabah hampa per malai, berat 1000 butir dan
kadar air
Varietas Panjang malai
(cm)
Jumlah gabah
isi per malai
Jumlah gabah
hampa per
malai
Berat 1000
butir (g)
Kadar air
(%)
Batang Gadis
Fatmawati
Cimelati
Bondoyudo
Digul
Sunggal
Cibogo
Cigeulis
Kalimas
Code
19,23 d
23,18 a
20,81 bc
20,33 bcd
20,71 bc
19,85 cd
20,20 bcd
20,29 bcd
21,02 b
21,25 b
59,76 c
96,95 a
60,20 c
59,54 c
43,12 d
72,19 bc
74,55 b
76,19 b
75,03 b
71,08 bc
33,04 cde
107,07 a
34,36 cd
27,36 efg
37,96 c
29,34 def
22,16 g
24,19 fg
32,80 cde
46,47 b
26,37 c
33,83 a
31,43 ab
30,10 abc
30,67 ab
29,43 bc
30,50 ab
27,80 bc
29,63 bc
31,07 a
21,27 a
21,40 a
21,03 a
22,03 a
20,03 a
21,17 a
21,70 a
20,93 a
23,13 a
21,97 a
KK (%) 3,30 10,93 10,05 7,87 97,83
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata
pada taraf 5% menurut uji BNT.
Varietas Fatmawati menghasilkan jumlah gabah isi per malainya paling
banyak diantara varietas-varietas yang lain, tetapi juga menghasilkan jumlah
gabah hampa paling banyak. Varietas-varietas lain yang jumlah gabah isinya lebih
banyak berturut-turut adalah Cigeulis, Kalimas dan Cibogo. Berat 1000 butir gabah
yang paling berat juga dihasilkan oleh varietas Fatmawati kemudian diikuti
varietas-varietas Code, Cimelati, Cibogo dan Digul.
Pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman merupakan proses yang
berkelanjutan dan mengarah ke karakteristik morfogenesis spesies. Kedua proses
tersebut dikendalikan oleh genotipe dan lingkungan (Gardner et. al., 1985). Varietas
Fatmawati, Cigeulis, Kalimas dan Cibogo menghasilkan jumlah gabah isi yang lebih
banyak karena sifat genotipe yang telah terbawa oleh varietas tersebut, selain itu
didukung oleh kondisi lingkungan pengujian yang sesuai. Jumlah gabah hampa
paling banyak pada varietas Fatmawati karena selain dipengeruhi serta faktor
nutriea dan air yang kurang mencukupi. Saat pengujian dosis pupuk yang diberikan
1,3 kg NPK/plot (25,5 m2) + 0,4 Urea /plot (25,5 m2). Hal ini kemungkinan cukup
untuk varietas lain tetapi kurang mencukupi untuk varietas Fatmawati yang
memiliki jumlah gabah paling banyak.
Menurut Gardner et. al. (1985) bahwa berlangsungnya pertumbuhan
terutama ditentukan oleh ketersediaan air dan unsur N. Varietas Fatmawati
kemungkinan peka terhadap kekurangan unsur N sehingga mempengaruhi
pengisian gabah.
Produksi
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa produksi gabah kering panen dan
gabah kering giling terdapat perbedaan yang nyata dari 10 varietas yang diuji.
Produksi gabah kering panen tertinggi adalah varietas Cimelati, dan berbeda nyata
dengan varietas Batang Gadis, Bondoyudo dan Digul, sedangkan untuk gabah
kering giling berbeda nyata dengan Batang Gadis, Fatmawati, Bondoyudo, Digul,
Cigeulis dan Kalimas (Tabel 3).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
192
Tabel 3. Uji adaptasi varietas padi unggul baru terhadap produksi
Varietas Produksi gabah kering
panen (t/ha)
Produksi gabah kering
giling (t/ha)
Batang Gadis
Fatmawati
Cimelati
Bondoyudo
Digul
Sunggal
Cibogo
Cigeulis
Kalimas
Code
6,96 cd
9,71 ab
10,43 a
8,02 bcd
6,09 d
9,58 ab
10,11 ab
8,48 abc
8,30 abc
9,91 ab
5,70 cd
6,60 bcd
8,56 a
6,25 bcd
4,99 d
7,47 ab
7,38 ab
6,61 bcd
6,23 bcd
7,43 ab
KK (%) 14,70 14,76 Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata
pada taraf 5% menurut uji BNT.
Varietas Cimelati menghasilkan gabah kering panen dan gabah kering giling
paling tinggi diantara varietas-varietas padi unggul baru yang diuji yaitu mencapai
10,4 t/ha gabah kering panen dan 8,5 t/ha gabah kering giling, selanjutnya diikuti
varietas Cibogo, Fatmawati,Sunggal dan Code yaitu mencapai 9 – 10,1 t/ha gabah
kering panen. Namun produksi gabah kering giling yang mencapai 7 t/ha lebih
hanya dihasilkan oleh varietas Sunggal, Cibogo dan Code.
Berdasarkan data diskripsi varietas padi unggul baru, potensi hasil pada
varietas-varietas Cimelati, Code, Sunggal dan Cibogo berkisar antara 6 – 8 t/ha
(Lesmana et, al., 2002). Hasil pengujian menunjukkan potensi hasil varietas
Cimelati, Sunggal, Code dan Cibogo yang diuji adaptasikan di lahan sawah pada
ketinggian tempat ± 450 m d.p.l tidak berbeda nyata yaitu mencapai 7 – 8,5 t/ha
gabah kering giling.
KESIMPULAN
Jumlah anakan dan jumlah malai per rumpun yang paling banyak dijumpai
varietas Code yaitu 27 anakan dan 24 malai per rumpun serta berbeda nyata
dengan varietas Fatmawati, Bondoyudo dan Sunggal.
Varietas Fatmawati menghasilkan jumlah gabah isi per malai, panjang malai
dan berat 1000 butir yang paling tinggi jika dibandingkan dengan varietas-
varietas yang lain tetapi jumlah gabah hampanya paling banyak yaitu 52,5%/
malai.
Kadar air dari sepuluh varietas yang diuji adaptasikan tidak berbeda nyata
yaitu sekitar 20 – 23%.
Potensi hasil tertinggi adalah varietas Cimelati, Sunggal, Cibogo dan Code
dengan produksi 7,38 – 8,56 t/ha gabah kering giling.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
193
DAFTAR PUSTAKA
Baihaki A., 2004. Mengantisipasi persaingan dalam menuju swasembada varietas
unggul. Makalah Simposium Peripi 2004. Balitro.
Diperta Jatim. 2004. Laporan tahunan Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur tahun
2004.
Gardner. P.G., R.B. Pearee and T.L. Mitchell. 1985. Physiology of crop plants. The
Iowa State University. Press. U.S.A. 428p.
Kustiyanto. B.,2001. Kriteria seleksi untuk sifat toleran cekaman lingkungan biotik
dan abiotik. Makalah penelitian koordinasi program pemuliaan pertisipatif
(Shuttle breeding) dan uji multilokasi. Sukamandi, 9-14 April 2001.
Kamandalu. AANB., Rubiyo dan Aan A Daradjat.2003. Keragaan galur harapan
padi sawah di dua lokasi di Bali dalam Kebijakan Perberasan dan Inovasi
teknologi padi. Suprihatno et. al., (Ed). Badan Litbang Pert. (p: 491-501).
Lesmana, O.S.Husni, M. Toha, Irsal Las. 2002. Diskripsi varietas unggul padi.
Balitpa. 54p.
Sembiring H., dan Wirajaswadi. 2001. Penampilan beberapa varietas unggul baru
padi di sentra produksi gogo rancah di Lombok Tengah. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian NTB (belum dipublikasi).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
320
PENGGUNAAN CAMPURAN DEDAK HALUS + IKAN ASIN DALAM
PAKAN KOMERSIAL TERHADAP PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO
Ahmad Subhan*) dan Eni Siti Rohaeni*)
ABSTRAK
Biaya pakan merupakan komponen terbesar dalam usaha peternakan itu
yaitu berkisar antara 60 – 70 % dari total biaya produksi. Sementara efisiensi
penggunaan pakan itik petelur di Indonesia masih sangat rendah. Faktor
penyebab rendahnya efisiensi penggunaan pakan antara lain: mutu genetik,
banyaknya pakan yang tercecer dan kebiasaan peternak memberikan pakan yang
lebih dari kebutuhan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
pencampuran dedak halus + ikan asin ke dalam pakan komersial itik B terhadap
produksi telur itik Alabio. Sebanyak 80 ekor umur 22 – 32 minggu dibagi empat
kelompok. Penelitian ini menggunakan rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
empat perlakuan yaitu penambahan campuran 0%,(RI), 15%(RII), 30%(RIII) dan
45% (RIV) ke dalam pakan komersial, perlakuan tersebut diberikan selama 10
minggu dan sebagai farameternya adalah konsumsi ransum, produksi telur,
konversi ransum, bobot telur dan analisa usaha (IOFC). Hasil penelitian
menunjukan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum dan bobot
telur. Analisa usaha menujukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan sejalan
dengan peningkatan persentase penambahan campuran hal ini dikarenakan harga
ransum turun dan telur yang dihasilkan bobotnya semakin besar .
Kata kunci : Campuran, pakan, itik Alabio, produksi telur dan analisa usaha
ABSTRACT
Feed cost is the biggest component in poultry, taking about 60% - 70% from
the total of production cost. Efficient use of feed to poultry is very low in Indonesia,
caused by genetic quality, losing feed in application and behavior of breeder to give
more than the need. The study was doing to know the effect of mixing of fine bran +
salted fish to commercial feed B duck in “pellet” form for egg production of Alabio
duck. It was consisted of 80 ducks, in age 22 – 32 weeks and arranged into 4 groups.
The study was arranged in a randomized complete design, with four treatments
being studied, i.e : mix added 0%, 15%, 30%, and 45% into commercial feed, that was
given for 10 weeks. Record were taken on : feed consumption, egg production, feed
conversion, egg weight, and economic analysis. Result showed that feed
consumption and egg weight are significant. Revenue are in line with feed addition
percentage, that it caused of the price of feed decrease and the egg weight produced
raised.
Key words : Mix, feed, Alabio duck, egg production and economic analysis.
____________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
321
PENDAHULUAN
Itik Alabio merupakan komoditas strategis dan unggulan di Kalimantan
Selatan. Populasinya tersebar di propinsi ini, dimana pada tahun 2003 sekitar 2,7
juta ekor dan khusus didaerah sentra sentra (Kabupaten Hulu Sungai Utara)
42,98% dari populasi itik di Kalimantan Selatan dengan kontribusi produksi telur
sebesar 47,5% (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan, 2004).
Untuk pengembangan menuju ke arah pola usaha agribisnis, masih
menghadapi beberapa kendala antara lain, bibit yang belum memenuhi standar
mutu, produk peternakan yang mudah rusak , pakan ternak yang relatif mahal dan
sistem kelembagaan yang belum berfungsi secara baik.
Motif dilakukannya pemeliharaaan itik Alabio umumnya untuk menghasilkan
telur, baik telur konsumsi maupun telur tetas. Untuk pengembangan usaha tersebut
perlu diperhatikan beberapa faktor diantaranya adalah faktor pakan. Pakan yang
diberikan sangat menentukan tingkat keberhasilan usaha itik yang dilakukan
secara komersial, kesalahan dalam penyajian dan pemberiannya akan berakibat
buruk terhadap produksi dan reproduksi bahkan terjadi kematian.
Biaya pakan merupakan porsi terbesar dari seluruh biaya produksi dalam
usaha peternakan itik, yaitu berkisar antara 50 – 70 % dari total biaya produksi.
Oleh karena itu harus diusahakan agar pakan yang diberikan ke ternak dapat
memberikan keuntungan yang diharapkan. Salah satu upaya yaitu dengan
memanfaatkan bahan-bahan pakan lokal. Sedang bahan pakan sumber energi
untuk itik Alabio yang saat ini banyak digunakan yaitu dedak. Dedak merupakan
limbah dari proses pengolahan gabah dan tidak dikonsumsi manusia sehingga tidak
bersaing dalam penggunaannya (Rasyaf, 1994).
Bahan pakan sebagai sumber protein yang diberikan peternak di daerah
sentra itik Alabio selama ini adalah berupa keong dan ikan segar yang dicincang
(Rohaeni, 1996). Namun karena ini semakin sulit diperoleh dan ketersediaannya
tergantung musim, maka perlu dicari bahan pakan lain sumber protein yang
mudah didapat dan selalu tersedia. Ikan asin/kering merupakan bahan pakan
unggas yang mengandung za-zat makanan yang cukup tinggi terutama protein.
Selain itu juga harganyanya relatif murah, ketersediaannya lebih kontinyu dan
mudah didapat oleh peternak dipelosok sekalipun.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh campuran dedak
halus + ikan asin dalam pakan komersial terhadap produksi telur itik Alabio.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Loktabat, Kecamatan Banjarbaru
Kabupaten Banjarbaru, Kalimantan Selatan selama sepuluh minggu. Ternak yang
digunakan yaitu itik Alabio betina berumur 22 minggu yang dibeli dari peternak di
daerah sentara pembibitan itik Alabio sebanyak 80 ekor. Rancangan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), pelakuan
yang diberikan 4 macan dengan 5 ulangan, setiap ulangan digunakan 4 ekor.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan analisa sidik ragam dan untuk melihat
perbedaan antar perlakuan digunakan Uji lanjutan Beda Nyata Jujur (Steel and
Torrie, 1989).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
322
Perlakuan yang yang digunakan, yaitu campuran dedak + ikan asin yang
dicampurkan kedalam pakan komersial Itik B dengan persentase : 0% (RI), 15% (RII),
30 (RIII), 45% (RIV). Susunan pakan perlakuan dan komposisi zat makan bahan
pakan ditampilkan pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Susunan pakan perlakuan untuk itik Alabio priode bertelur
Bahan pakan Perlakuan
RI RII RIII RIV
Pakan komersial (Itik B) 100 85 70 55
Dedak + ikan asin (kg) 0 15 30 45
Protein (%) 18 18 18 18
Metabolisme energi (Kcal/kg 2.800 2.679 2.558 2.437
Harga (Rp) 2.500 2.275 2.050 1.825
Tabel 2. Komposis zat makanan dari bahan pakan yang digunakan dalam perlakuan
Bahan pakan
Kandungan zat makanan
Protein
Kasar
(%)
Lemak
kasar
(%)
Serat
kasar
(%)
kalsium phospor Energi
Kcal/kg
Pakan komersial itik B 18 4,0 16,50 3,20 0,60 2.800
Ikan asin 47,90 8,32 1,58 4,64 2,35 3.798,32
Dedak halus 12 7,90 8,32 1,50 0,21 1.630
Campuran (dedak halus
+ ikan asin)
18 7,97 7,19 7,05 0,55 1.992,37
Parameter yang dilihat adalah rataan produksi telur, berat telur, jumlah telur
,konsumsi pakan, konversi pakan dan analisa ekonomi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pakan tidak memberikan
pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap produksi telur dan konversi pakan, namun
perlakuan ini memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0.01) terhadap konsumsi
pakan dan berat telur. Pakan perlakuan memberikan berat telur yang sangat besar
dibanding pakan kontrol.
Tabel 3. Keragaan Itik Alabio yang diberi pakan perlakuan
Variabel Perlakuan
RI RII RIII RIV
Produksi telur (%) 72,14 63,29 65,57 56,71
Berat Telur (gr) 56,13a 59,46b 59,20ab 62,35b
Konsumsi pakan (gr) 136,17a 140,11ab 146,70b 146,93b
Konversi pakan 3,31 3,90 3,80 4,04
Jumlah telur (butir) 1015 913 934 840
Jumlah pakan (gr) 190.632,6 196.852,4 205.246,2 205.538,2
Penjualan telur (Rp) 629.400 570.625 583.750 546.000
Biaya pakan (Rp) 476.581,5 447.839,2 420.745 375.107
IOFC (Rp) 132.418,5 122.785,8 163.005 171.693
Keuntungan kotor/ekor (Rp) 7.640 6.139 8.150 8.589
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda (P>0.05)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
323
Pada Tabel 3 terlihat bahwa produksi telur yang dihasilkan tidak nyata
dipengaruhi oleh penggunaan pakan campuran bahkan ada kecenderungan semakin
tinggi persentase penambahan kedalam pakan komersial produksi relatif semakin
menurun. Hal ini diduga adanya perubahan susunan zat makanan dalam pakan
komersial itik B karena penambahan dedak dan ikan asin. Dugaan ini dikuatkan
Wahju (1978) yang menyatakan bahwa komposisi zat-zat makanan dalam pakan
komersial (pakan pabrik) sudah mengandung zat-zat makanan yang cukup untuk
kebutuhan, baik untuk hidup pokok maupun produksi. Dengan demikian
penambahan campuran dedak + ikan asin tidak menghasilkan produksi telur yang
tinggi.
Rataan berat telur yang dihasilkan pada penelitian ini berpengaruh sangat
nyata (P<0.01) dengan penambahan dedak + ikan asin , dimana semakin besar
persentase campuran ditambahkan berat telur semakin tinggi, telihat pada
perlakuan RIV (penggunaan 45%) menghasilkan berat telur yang paling tinggi. Hal
ini dikuatkan dengan pernyataan Wasito dan Rohaeni, 2003), itik yang diberi
ransum komersial yang dicampur dengan dedak dan ikan asin dapat menghasilkan
telur yang besar (berat 60 – 70 gr).
Perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap konsumsi ransum,
seiring dengan meningkatnya penambahan campuran ke dalam pakan komersial.
Diduga peningkatan konsumsi dikarenakan penurunan kandungan energi dalam
pakan sejalan semakin meningkatnya presentase penambahan. Dugaan ini
dikuatkan juga pernyataan Wahju (1991) bahwa unggas yang diberi pakan dengan
kandungan energi yang semakin menurun akan meningkatkan konsumsi
pakannya.
Pada perhitungan income over feed cost (IOFC) telihat bahwa pada perlakuan
RIV menghasilkan nilai tertinggi (Rp 171.693), hal ini menunjukkan bahwa
campuran dedak halus + ikan asin sebesare 45% dalam pakan komersial dapat
diberikan pada itik Alabio petelur dibandingkan dengan hanya menggunakan 100%
pakan komersial, walaupun dari segi produksi tinggi tetapi telur yang dihasilkan
relatif kecil sehingga harga telur rendah. Beberapa asumsi yang digunakan dalam
perhitungan ini adalah harga yang berlaku pada saat penelitian yaitu harga telur
per butir dengan ukuran kecil (53 -56 gr) Rp 600, sedang (58 -60 gr) Rp 625 dan
besar (> 60 gr) Rp650.
Rendahnya pendapatan yang dihasilkan dikarenakan produksi telur belum
mencapai puncaknya , dimana masa puncak produksi telur itik Alabio terjadi pada
bulan keempat – kedelapan (Setioko dan Rohaeni, 2002)
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Penambahan campuran dedak halus + ikan asin ke dalam pakan komersial itik
B tidak berpengaruh terhadap produksi telur maupun konversi pakan, namun
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap berat telur dan konsumsi
pakan.
2. Ada kecenderungan semakin tinggi persentase campuran yang ditambahkan
kedalam pakan komersial maka Income Over Feed Cost yang dihasilkan
semakin tinggi.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
324
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan, 2004. Laporan Tahunan Dinas
Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru .
Rasyaf, M. 1994. Beternak Itik Komersial. Penerbit Yayasan Kanisius, Jogyakarta.
Rohaeni, E.S. 1996. Identifikasi dan aplikasi bahan pakan lokal untuk itik Alabio di
Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian IPPTP, Banjarbaru
Steel, R.G.D dan J.H. Torrie, 1989. Prinsip dan prosedur statistik suatu pendekatan biometrik. Gramedia, Jakarta.
Setioko, A.R. dan E.S. Rohaeni. 2002. Pemberian bahan pakan lokal terhadap
produktivitas itik Alabio. Pros Lokakarya Unggas Air : Pengembangan
Agribisnis Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru. Bogor, 6 – 7 Agustus.
Hlm. 129 – 138.
Wahju. J. 1978. Cara Pemberian Ransum dan Penyusunasn Ransum Unggas.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Wahju. J. 1991. Ilmu Nutrisi Unggas. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Wasito dan E. S. Rohaeni. 2003. Beternak Itik Alabio. Penerbit Yayasan Kanisius,
Yogyakarta. Cetakan ke V.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
325
PROSPEK PENGUSAHAAN TERNAK ITIK MA DI SENTRA PRODUKSI
KABUPATEN TANAH LAUT
Eni Siti Rohaeni*) dan Rismarini Zuraida*)
ABSTRAK
Itik MA merupakan itik hasil persilangan antara itik Mojosari dan Alabio. Itik
ini mulai dikenal masyarakat Kalimantan Selatan sekitar tahun 2003 yang dihasilkan
dari BPTU Pelaihari. Studi ini dilakukan dengan cara survei di daerah atau lokasi
dekat BPTU. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui prospek
pengusahaan itik MA di sentra produksi di Kabupaten Tanah Laut. Hasil studi
menunjukkan bahwa peternak mempunyai minat yang tinggi untuk memelihara dan
mengusahakan ternak itik MA baik sebagai itik potong maupun itik petelur. Skala
pemeliharaan berkisar antara 50-500 ekor/KK. Berdasarkan pengalaman peternak,
itik MA mempunyai daya tahan yang lebih baik dari pada itik Alabio karena
mortalitas rendah. Hasil analisis Finansial usaha diketahui bahwa pemeliharaan itik
MA sebagai itik potong yang dijual pada umur antara 2,5-3 bulan layak dan
menguntungkan untuk diusahakan serta mempunyai prospek untuk dikembangkan
karena pada pengusahaan 100 ekor itik MA tingkat penerimaan yang diperoleh
mencapai Rp 1.552.000,- dengan nilai R/C ratio yang mencapai 1,25 (R/C > 1) .
Kata kunci : Itik MA, prospek, Tanah Laut.
ABSTRACT
MA duck is a crossing between Duck of Mojosari and Alabio. This Duck begin to
be recognized by people of South Kalimantan in 2003, yielded from BPTU Pelaihari.
This study was done by survey nearby location or area of BPTU. The intention of this
activity was to know the prospect of culturing MA duck at the production centre in
Tanah Laut. Result of study showed that the breeder having high enthusiasm to look
after MA livestock as crosscut duck and also duck layer. Scale range from 50-500 tail /
KK. Based on breeder experience, MA duck have the better endurance from duck
Alabio because of low mortality. Result of financial analysis, it was known that the
conservacy of duck MA as crosscut duck sold age among 2,5-3 month was feasible, and
culturing 100 tail of duck MA gave profit around Rp 1.552.000,- with the value R/C
ratio 1,25.
Key word : MA duck, prospect, Tanah Laut
PENDAHULUAN
Populasi itik di Kalimantan Selatan termasuk besar, pada tahun 2003 sekitar
2,7 juta ekor (Dinas Peternakan Kalimantan Selatan, 2004). Itik yang berkembang
sebagian besar adalah itik Alabio, namun ada juga itik lain seperti itik Tegal, entok,
atau itik silangan lainnya yang dipelihara petani. Salah ternak itik yang mulai
dikenal di Kalimantan Selatan yaitu itik MA.
_________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
326
Peran ternak itik yang dipelihara oleh petani yaitu sebagai sumber protein
hewani baik dari telur dan daging dan sumber pendapatan. Produksi telur dan
daging yang dihasilkan di Kalimantan Selatan pada tahun 2003 masing-masing
sebesar 19.641.765 kg dan 650.556 kg. Jumlah telur yang dihasilkan dari ternak itik
memberikan kontribusi sebesar 53,80% dari produksi telur unggas yang ada sedang
produksi daging itik hanya dapat menyuplai sekitar 3,57% dari produksi daging
unggas (Dinas Peternakan Kalimantan Selatan, 2004). Data tadi menunjukkan
bahwa peran itik sangat dominan terutama sebagai penghasil telur.
Itik MA merupakan itik hasil persilangan antara itik jantan Mojosari dengan
itik betina Alabio. Itik ini mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan kedua
kelompok induknya (Setioko et al., 2004). Menurut Sumanto et al. (2001) meskipun
profil itik MA memperlihatkan pertumbuhan dan produksi telur yang lebih baik dari
kedua galur tetuanya atau dari itik lokal yang ada disekitarnya, namun kemantapan
produksi tampaknya masih belum stabil dan berapa biaya yang yang dikeluarkan
untuk memproduksi itik/ekor hingga siap bertelur. Selanjutnya dilaporkan bahwa
persepsi peternak terhadap itik MA yang berkembang di Cirebon yaitu : makan lebih
rakus dibanding itik lokal lain, tumbuh lebih cepat, lebih
Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Sumanto et al. (2001) bahwa itik MA
mampu berkembang dan memberikan hasil yang baik yaitu di daerah Brebes, Blitar
dan Cirebon. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Sumanto et al. (2004) bahwa
pengembangan itik MA di Blitar, brebes dab Cirebon layak untuk dikembangkan
karena nilai B/C lebih dari 1. Peternak itik MA di Blitar mendapatkan nilai B/C
berkisar antara 1,109-1,198 sedang di Brebes dan Cirebon lebih tinggi yaitu antara
1,552-1,561.
Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) di Pelaihari merupakan salah satu
instansi yang mempunyai mandat untuk melaksanakan pembibitan itik untuk
menghasilkan bibit unggul antara lain mengembangkan bibit niaga itik MA (Setioko
et al., 2004). Penelitian tentang itik MA di Kalimantan Selatan telah diteliti oleh
Balitnak bekerjasama dengan BPTU Pelaihari sejak tahun 2002 dan sekitar tahun
2004 mulai dipelihara peternak.
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui prospek pengusahaan itik MA di
sentra produksi di Kabupaten Tanah Laut.
BAHAN DAN METODE
Kegiatan ini dilakukan di desa atau daerah dekat dengan lokasi BPTU
Pelaihari yaitu di Kecamatan Tambang Ulang dan Bati-bati, Kabupaten Tanah
Laut. Metode yang dilakukan dengan cara survei dan wawancara terhadap
respondon peternak itik MA. Responden yang diwawancarai yaitu peternak yang
memelihara itik MA. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk dilihat
dan dibahas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeliharaan Itik MA
Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden diketahui bahwa peternak
mendapatkan itik MA dari BPTU dengan cara membeli. Peternak yang memelihara
itik MA beragam ada yang telah berpengalaman namun ada yang mencoba-coba
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
327
atau sebagai pemula. Pemeliharaan itik MA dilakukan secara intensif dengan
kandang yang sederhana.
Itik MA yang dipelihara oleh peternak terdiri atas 2 macam yaitu membeli itik
MA umur 1 minggu dan itik MA yang lebih besar yaitu yang berumur siap telur.
Untuk itik MA yang dibeli umur 1 minggu, pemeliharaan yang dilakukan yaitu
dalam kandang secara terkurung selama 2 minggu dengan diberikan lampu untuk
pemanas. Setelah itu pemeliharaan itik (umur di atas 3 minggu) dilakukan secara
kombinasi yaitu dikandangkan dan dilepas berpagar. Kandang yang disediakan
sederhana yaitu terbuat dari bambu, atap dari terpal atau rumbia. Peralatan
makan dan minum terbuat dari plastik dan kayu. Skala pemeliharaan itik MA
antara 100-500 ekor/KK, sebagian besar itik yang dipelihara adalah sebagai itik
potong dengan jenis seks jantan .
Pakan
Pakan yang diberikan adalah pakan campuran antara pakan komersial
dengan dedak. Pemberian pakan dilakukan 2-3 kali/hari yaitu pada pagi, siang dan
sore hari. Air minum disediakan secara ad libitum yang ditempatkan pada tempat
minum plastik. Pakan yang diberikan untuk itik umur 1-3 minggu adalah pakan
komersial (100%), setelah itu campuran antara pakan komersial dan dedak (selama
2 minggu) dengan perbandingan 2 bagian pakan komersial dan 1 bagian dedak.
Untuk itik umur di atas 1 bulan sampai dijual perbandingan pakan komersial dan
dedak masing-masing 50%, data pada Tabel 1.
Tabel 1. Susunan pakan untuk itik MA
No Uraian Kelompok umur itik
1-2 minggu 2-4 minggu > 1 bulan
1 Pakan Pakan komersial 2 bagan Pakan
komersial dan
1 bgn dedak
1 bgn pakan komersial
dan 1 bgn dedak
2 Harga/kg (Rp) 2.400 1.924 1.700
3 Total konsumsi
pakan (kg/ekor)
0,5 2,0 3,5
Berdasarkan informasi yang diterima dari responden diketahui bahwa pakan
yang diberikan baik dari segi kualitas dan kuantitas cukup baik. Harga pakan itik
selama pemeliharaan 2 minggu sebesar Rp 2.400/kg, dan 2 minggu berikutnya harga
pakan sebesar Rp 1.924/kg, dan itik di atas umur 1 bulan harganya Rp 1.700/kg.
Harga pakan semakin murah bila umur itik bertambah, hal ini karena adanya
pencampuran antara pakan komersial dengan dedak. Pakan yang digunakan hanya
2 macam yaitu pakan komersial dan dedak, tidak seperti yang dilaporkan oleh
Sumanto et al. (2001) pakan yang diberikan untuk itik MA di Kabupaten Cirebon
yaitu konsentrat 155, dedak, menir, jagung dan ampas tahu. Selanjutnya
dilaporkan Sumanto et al. (2001), semakin banyak bahan pakan yang digunakan
dan semakin besar ampas tahu yang digunakan harga pakan turun sekitar Rp
700/kg.
Tenaga kerja yang digunakan untuk memelihara itik MA adalah tenaga
keluarga, namun dalam analisis usaha tetap diperhitungkan. Pada umumnya yang
memelihara (memberi pakan dan minum) dilakukan oleh ibu/istri dan anak, kepala
keluarga mendapat tugas membeli pakan dan menjual ternak/produk serta
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
328
membersihkan kandang. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan
responden diketahui bahwa itik MA yang dipelihara sampai itik siap jual (uumur 3
bulan) kematiannya berkisar antara 2-6% dengan rataan 3%. Hasil penelitian yang
dilaporkan oleh Sumanto et al. (2001) dan Juarini et al. (2003) bahwa kematian itik
MA banyak terjadi pada umur < 1 bulan berkisar antara 3-7% dan dengan
bertambahnya umur itik maka tingkat kematian menurun menjadi < 1%.
Analisis Biaya dan Pengeluaran
Hasil analisis biaya dan pengeluaran yang dilakukan diketahui bahwa itik
MA layak dan menguntungkan untuk diusahakan. Skala pemeliharaan yang
dilakukan petani berkisar antara 100-500 ekor. Hasil analasis diketahui bahwa
penerimaan yang diperoleh dari pemeliharaan ternak itik MA sebagai itik potong
selama 3 bulan sebesar Rp 1.552.000 dan pendapatan yang diperoleh sebesar Rp
313.000 atau sekitar Rp 3.130/ekor/3 bulan dengan nilai R/C sebesar 1,25 (Tabel 2).
Beberapa asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini yaitu skala pemeliharaa
100 ekor, kematian 3%, harga pakan komersial Rp 120.000/zak (1 zak = 50 kg),
harga dedak Rp 1.000/kg, harga DOD jantan Rp 1.000/ekor, dan vitamin Rp
9.000/gelas. Hasil yang dilaporkan oleh Wibowo et al. (2001) bahwa itik MA/AM di
Kabupaten Blitar nilai R/C yang dihasilkan berkisar antara 1,11-1,29. Hasil
penelitin lain yang dilaporkan Juarini et al. (2001), itik Turi yang dibesarkan sampai
umur 35 hari dihasilkan nilai R/C sebesar 1,55 sedang bila dipelihara dari umur 35
hari sampai siap telur nilai R/C yang dihasilkan untuk pola pangonan 1,39 dan pola
terkurung 1,10. Hasil penelitian lain yang dilaporkan oleh Juarini et al. (2003)
bahwa itik MA yang dipelihara secara intensif sebagai penghasil telur mampu
menghasilkan nilai R/C antara 1,42-1,7. Pada penelitian yang dilaporkan oleh
Wibowo et al. (2003) bahwa usaha penetasan itik MA yang dilakukan petani
memberikan peluang dan prospek yang baik, hal ini ditunjukkan dengan nilai R/C
sebesar 1,71. Pada makalah ini berdasarkan analisis diketahui bahwa itik MA
jantan sebagai itik potong yang dipelihara di Kalimantan Selatan dihasilkan nilai
R/C tidak jauh berbeda dengan beberapa penelitian lain yang telah dilaporkan.
Berdasarkan analisis di atas terlihat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk
pakan sebesar 71,02% dari total biaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Scott dan
Dean (1991) bahwa biaya pakan merupakan biaya terbesar yang dikelurkan untuk
pemeliharaan ternak secara intensif yaitu berkisar antara 60-70%. Biaya lain yang
termasuk besar yaitu untuk tenaga kerja dan pembelian bibit masing-masing 12,1%
dan 8,07% (Tabel 2).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
329
Tabel 2. Analisis biaya dan pendapatan ternak itik MA sebagai ternak potong di
Tanah Laut
No Uraian Fisik
Nilai
(Rp) %
1 Biaya :
Bibit itik 100 ekor @ Rp 1.000 100.000 8,07
Pakan Pakan jadi 4 zak @ Rp
120.000
480.000 38,74
Dedak 400 kg @ Rp 1.000 400.000 32,28
Obat-obatan/vitamin 1 gelas @ Rp 9.000 9.000 0,73
Kandang dan alat 1 paket 50.000 4,04
Listrik 1 periode 50.000 4,04
Tenaga Kerja 5 HOK @ Rp 25.000 150.000 12,10
Total Biaya 1.239.000 100,00
2 Penerimaan :
Penjualan Itik 97 ekor @ Rp 16.000 1.552.000
3 Pendapatan ( 2-1) 313.000
4 R/C Ratio 1,25
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini yaitu :
1. Peternak mempunyai minat yang tinggi untuk memelihara dan
mengusahakan ternak itik MA baik sebagai itik potong maupun itik petelur.
2. Skala pemeliharaan berkisar antara 50-500 ekor/KK.
3. Berdasarkan pengalaman peternak, itik MA mempunyai daya tahan yang
lebih baik dari pada itik Alabio karena mortalitas rendah.
4. Hasil analisis usaha diketahui bahwa pemeliharaan itik MA sebagai itik
potong yang dijual layak dan menguntungkan untuk diusahakan serta
mempunyai prospek untuk dikembangkan karena pada pengusahaan 100 ekor
itik MA tingkat penerimaan yang diperoleh mencapai Rp 1.552.000,- dengan
nilai R/C ratio sebesar 1,25.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Peternakan Kalimantan Selatan. 2004. Buku Saku Peternakan Tahun 2004.
Banjarbaru.
Juarini, E., Sumanto, B. Wibowo, dan R. Matondang. 2001. Analisis ekonomi
pembesaran itik di DIY, Jatim dan Jabar. Prosiding Lokakarya Unggas Air. Bogor, 6-7 Agustus 2001. P. 146-156.
Juarini, E., Sumanto, dan B. Wibowo. 2003. Uji multilokasi bibit niaga itik petelur.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterinar. Bogor, 29-
30 September 2003. P. 507-512.
Scott, M. I., and W. F. Dean. 1991. Nutrition and Management of Duck. Publ. By
Scott of Ithaca. Cornell University. Ithaca, New York.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
330
Setioko, A. R., T. Susanti, L. H. Prasetya dan Supriyadi. 2004. Produktivitas itik
Alabio dan itik MA dalam sistem pembibitan di BPTU Pelaihari. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterinar. Bogor, 4-5 Agustus
2004. P. 563-568.
Sumanto, E. Juarini, B. Wibowo dan L. H. Prasetyo. 2001. Kinerja pembesaran itik
MA siap telur di pedesaan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterinar. Bogor 17-18 September 2001. P.661-669.
Sumanto, E. Juarini, B. Wibowo dan L. H. Prasetyo. 2004. Evaluasi pengembangan
itik MA di tingkat peternak : suatu analisis ekonomi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterinar. Bogor, 4-5 Agustus 2004. P.
628-633.
Wibowo, B., L. H. Prateyo, E. Juarini dan Sumanto. 2001. Analisis ekonomi
pembesaran itik petelur silangan AM dan AM di tingkat petani (Studi kasus
Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar). Prosiding Lokakarya Unggas Air. Bogor, 6-7 Agustus 2001. P. 213-221.
Wibowo. B., E. Juarini, Sumanto, B. Brahmantiyo, dan L. H. Prasetyo. 2003. Usaha
pembibitan itik di Kabupaten Blitar. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterinar. Bogor, 29-30 September 2003. P. 317-319.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
331
KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK DAN PEMANGKASAN
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL DAUN NILAM
Joko Susilo*), Dede Juanda JS*) dan Sudadiyono*)
ABSTRAK
Penanaman nilam di Indonesia merupakan perkebunan rakyat yang dikelola
secara tradisional, sehingga hasil yang diperoleh relatif rendah sekitar 1,20 ton daun
kering/ha/panen. Untuk lebih meningkatkan produksi nilam disamping pemberian
pupuk an-organik, perlu diperhatikan pemberian pupuk organik dan pemangkasan.
Dengan pemangkasan akan merangsang pembentukan tunas-tunas baru dan
meningkatkan biomassa daun kering. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, telah
dilakukan penelitian kajian penggunaan bahan organik dan pemangkasan terhadap
pertumbuhan dan hasil daun nilam di lahan kering. Penelitian di lakukan di Desa
Cacaban Lor, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, mulai bulan September-
Desember 2002. Rancangan yang dipakai RAK Faktorial. Faktor pertama dosis
penggunaan pupuk kandang (BO1= 0 ton/ha, BO2 = 2,5 ton/ha dan BO3 = 5,0 ton/ha).
Faktor kedua : pemangkasan (PO = tanpa pemangkasan dan P1 = pemangkasan umur
3 bulan). Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali. Parameter pengamatan
meliputi daya tumbuh, jumlah tunas, lebar kanopi, jumlah cabang utama dan berat
pangkasan daun segar, jumlah tanaman sampel yang diamati sebanyak 5
tanaman/perlakuan dan menggunakan analisis rata-rata. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa perlakuan tanpa pemangkasan memberikan daya tumbuh dan
tinggi tanaman yang paling baik, namun untuk jumlah jumlah tunas, lebar kanopi,
jumlah cabang utama dan produksi daun segar perlakuan pemangkasan memberikan
nilai yang lebih baik. Perlakuan pemupukan bahan organik 5 ton/ha memberikan
hasil yang lebih baik pada semua parameter. Pada kombinasi perlakuan
pemangkasan dan pemberian bahan organik 5 ton/ha memberikan hasil yang lebih
baik pada jumlah cabang utama dan produksi daun segar sebesar 2,56 kg/6 m².
Kata kunci : Bahan organik, pemangkasan dan daun nilam.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara penghasil minyak nilam terbesar (75%) di
dunia (Anon, 1988). Minyak nilam digunakan dalam berbagai industri seperti parfum,
kosmetik dan sabun. Eksport minyak nilam cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Hariyanto (1989) mengutip dari data BPS, tahun 1979, 1985, 1986 dan 1987
mengemukakan bahwa Indonesia mengekspor minyak nilam berturut–turut sebesar
383, 380, 736, dan 876 ton.
Nilam (Pogastemon cablin Benth) termasuk famili labiaceae tumbuh berupa
semak, dengan ketinggian ± 1 m, dapat tumbuh baik di dataran tinggi maupun
dataran rendah. Menurut Guenther (1952) di Indonesia terdapat tiga jenis nilam yaitu
P. cablin Benth yang biasa disebut nilam aceh, P. neynenus dikenal dengan nama
nilam jawa dan P. hortensis.
__________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
332
Penanaman nilam di Indonesia merupakan perkebunan rakyat yang dikelola
secara tradisional (Somaatmadja, 1985), sehingga hasil yang diperoleh relatif rendah
yaitu sekitar 1,20 ton daun kering/ha/panen (Tasaman dan Tarigan, 1988). Menurut
Wahid et.al., (1989) serapan hara oleh tanaman nilam cukup tinggi sehingga dalam
budidayanya pemberian pupuk sangat penting Pemberian pupuk 180 kg Urea, 70 kg
TSP dan 140 kg KCl pada tanah Latosol merah kecoklatan menghasilkan 1,3 ton
daun kering/ha/panen (Tasman dan Wahid, 1988). Pada tanah Podsolik coklat
kuning dengan dosis 120 kg N dan 60 kg P2O5/ha diperoleh hasil 1,75 ton daun
kering/ha/panen (Suharwidi dan Hutagalung, 1976), selanjutnya pemberian pupuk
120 kg N + 80 kg P2O5 dan 100 kg K2O/ha dihasilkan 4,06 ton daun
kering/ha/panen (Adiwiganda et.al., 1973).
Untuk lebih meningkatkan produksi nilam disamping pemberian pupuk an
organik, perlu juga diperhatikan pemberian pupuk organik dengan tujuan
pertumbuhan vegetatif biomassa daun yang dihasilkan akan lebih banyak, juga
diperlukan pemangkasan, untuk merangsang pembentukan tunas-tunas baru
sehingga meningkatkan biomassa daun kering.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, telah dilakukan kajian penggunaan
bahan organik dan pemangkasan terhadap pertumbuhan dan hasil daun nilam di
lahan kering.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Desa Cacaban Lor, Kecamatan Bener, Kabupaten
Purworejo dari bulan September-Desember 2002. Rancangan yang digunakan
adalah Acak Kelompok (RAK) Faktorial. Faktor pertama adalah dosis penggunaan
bahan organik (pupuk kandang) dengan tiga taraf (BO1 = 0 ton/ha; BO2 = 2,5 ton/ha
dan BO3 = 5,0 ton/ha) dan faktor kedua adalah pemangkasan dengan dua taraf (P0 =
tanpa pemangkasan; P1 = umur pangkas 3 bulan). Masing–masing perlakuan di
ulang 3 kali. Pengamatan dilakukan setiap dua minggu sekali dari saat tanam
sampai panen daun pertama, dengan parameter yang diamati meliputi : daya
tumbuh (%), tinggi tanaman, jumlah tunas (ruas), lebar kanopi, jumlah cabang
utama dan berat pangkasan daun segar. Jumlah tanaman sampel yang diamati
pada masing-masing perlakuan per ulangan sebanyak 5 tanaman atau sebanyak 90
tanaman, dengan ukuran plot : 2 x 3 m, sehingga jumlah tanaman per plot sebanyak
20 tanaman.
Jarak tanam 100 x 50 cm dan jarak antar bedengan/plot 50 cm. Sebelum
tanam dilakukan pengolahan tanah sebanyak 2 kali, yaitu pengolahan pertama
dengan cangkul kemudian digaru agar tanah menjadi gembur.
Penanaman nilam dilakukan pada musim hujan memakai stek yang telah
disemaikan terlebih dahulu (bibit) pada umur 3 bulan bibit siap dipindahkan ke
lapangan, 1 lubang tanam untuk 1 bibit ditanam miring 30-40º arah Timur-Barat.
Sebelum tanam, lubang tanam diberi pupuk kandang yang telah matang sesuai
dengan dosis perlakuan.
Pemupukan menggunakan Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis masing-masing
150 kg Urea, 50 kg SP-36 dan 75 kg KCl/ha. Pupuk SP-36 hanya diberikan pada saat
tanam. Urea dan KCl diberikan ¼ bagian pada umur 30 HST (Hari Setelah Tanam),
½ bagian pada 1 MSP (Minggu Setelah Panen) pertama dan ¼ bagian pada 1 MSP
kedua.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
333
Penyulaman dilakukan pada tanaman yang mati atau pertumbuhannya
tertekan dilakukan pada 1 BST (Bulan Setelah Tanam) yaitu pada saat sebelum
pemupukan pertama dilakukan.
Penyiangan dilakukan 2 kali, yaitu pada umur 2 bulan dan 3 bulan,
selanjutnya tanaman tidak perlu dilakukan penyiangan karena pada umur 4 bulan
tanaman sudah saling menutupi. Penyiangan dilakukan dengan cara mekanis
menggunakan cangkul dan kored. Tanaman nilam berumur 3 bulan, akan tumbuh
rimbun dan saling menutupi satu dengan yang lainnya, sehinga pemangkasan
dilakukan dengan memotong cabang yang berada dibagian atas (mulai dari cabang
tingkat tiga ke atas), karena daun yang terbanyak mengandung minyak adalah 3
pasang daun termuda.
Pembumbunan dilakukan untuk merangsang pertumbuhan. Pembumbunan
dilakukan dengan jalan menimbun tanah pada cabang-cabang yang ditinggalkan
setelah panen (biasanya 2 cabang), yang dekat ke tanah setinggi 10-15 cm, sehingga
nantinya akan terbentuk satu rumpun tanaman nilam yang padat dengan jumlah
anakan.
Hama yang menyerang tanaman nilam adalah ulat pemakan daun (Gryllidae
sp), menyerang daun yang masih muda sehingga daun menjadi bercabang-cabang,
juga dapat nenyerang daun tua. Ulat ini tidak mematikan tanaman hanya
mengakibatkan turunnya produksi sedangkan ulat penggulung daun (Pachyzanel stultalis) menggulung daun sambil memakan daun muda, sehingga menyebabkan
turunnya produksi. Untuk menanggulangi serangan hama tersebut dilakukan
dengan pemakaian jarak tanam yang teratur dan menjaga kebersihan kebun, secara
mekanis. Secara kimia dilakukan dengan menggunakan insektisida pada saat
tanaman berumur 20, 35, 50 dan 65 hari setelah tanam dengan insektisida
Hostathion 40 EC, Suracide 25 EC dan Sevin 85 SP dengan dosis 1-2 cc/ltr air.
Pemungutan hasil tanaman nilam sudah dapat dilakukan pada umur 6-8
bulan. Panen yang baik akan menghasilkan 5-20 ton daun basah/ha/panen atau
setara dengan 1-4 ton daun kering/ha/panen dengan kadar minyak 2,5-4,0%.
Pemetikan daun sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau menjelang malam,
dengan jalan memotong cabang dan daun tanaman, yaitu cabang tingkat dua ke
atas, sedangkan cabang pertama ditinggalkan untuk mempercepat pertumbuhan
tunas baru. Pemanenan dapat dilakukan berulang-ulang dan biasanya panen
berikutnya dilakukan 3-5 bulan sekali.
Sebelum dikeringkan, hasil panenan terlebih dahulu dipotong-potong
sepanjang 3-5 cm. Hasil panenan yang telah dipotong-potong dihamparkan di atas
lantai jemur atau rak bambu, hamparan daun jangan terlampau tebal karena akan
menyebabkan terjadinya penjamuran dan pembusukan daun dan berada di tempat
yang teduh Selama penjemuran daun harus dibolak-balik agar keringnya merata.
Daun dikeringkan sampai daun mempunyai kadar air 12% atau lebih rendah.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
334
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Biofisik Pengkajian
Lokasi pengkajian di Desa Cacaban Lor, Kecamatan Bener, Kabupaten
Purworejo yang termasuk kedalam Sub DAS Bogowonto Hulu, dengan batas wilayah
sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Desa Pekacangan, sebelah selatan
dengan Desa Cacaban Kidul, sebelah Barat dengan Desa Wadas dan sebelah Timur
dengan Desa Kalirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang.
Luas wilayah Desa Cacaban Lor 232,400 ha yang meliputi sawah dan tegalan
seluas 166,744 ha, pemukiman dan pekarangan seluas 54,0 ha, kolam 1,5 ha dan lain-
lain seluas 10,16 ha. Ketinggian tempat mencapai 400-500 m dpl (dari permukaan
laut), dengan topografi dari landai sampai bergelombang. Pola tanam utama pada
lahan sawah adalah padi – ketela rambat (ubi jalar)/bero – padi, pada pematang
sawah umumnya dimanfaatkan untuk ditanami kacang panjang sedangkan jenis
tanaman dominan yang diusahakan petani di lahan tegalan adalah jahe, kencur dan
tumpangsari ketela pohon dan jagung. Di lahan tersebut sebenarnya cocok untuk
ditanami tanaman sayuran seperti : terong dan kacang panjang.
Fase Pertumbuhan Tanaman Nilam sebelum Pemangkasan
Hasil dari pengamatan, daya tumbuh nilam yang paling baik (99-100%) adalah
tanaman nilam yang tidak mendapatkan perlakuan pupuk kandang. Ada
kemungkinan tanaman nilam yang diberi pupuk kandang, menjadi media yang
terbaik bagi tumbuhnya cendawan yang berada dalam tanah karena pupuk kandang
belum terdekomposisi secara sempurna, mati
Tabel 1. Rata-rata daya tumbuh, tinggi tanaman, jumlah tunas dan lebar kanopi
(umur 3 BST), Cacaban Lor 2002.
Perlakuan Daya tumbuh
(%)
Tinggi tanaman
(cm)
Jumlah tunas
(tunas)
Lebar kanopi
(cm)
P0 BO1 100,0 46,5 11,5 43,9
P0 BO2 94,8 50,0 11,3 45,9
P0 BO3 100,0 50,5 12,6 63,8
P1 BO1 98,7 42,7 13,0 46,7
P1 BO2 93,3 47,0 15,2 62,0
P1 BO3 82,5 50,1 14,8 49,1
Dari segi pertumbuhan (tinggi tanaman, lebar kanopi dan jumlah tunas)
menyebabkan peningkatkan tinggi tanaman secara nyata yaitu perlakuan P0BO2 dan
P1BO2 yaitu tanaman yang diberi pupuk kandang 2,5 ton/ha. Begitu juga untuk
parameter jumlah tunas dan lebar kanopi pada perlakuan dengan tanpa pangkas
dengan bahan organik 2,5 ton/ha (P0BO2) memberikan nilai terbaik, dibandingkan
perlakuan lainnya (Tabel 1) Hal ini disebabkan karena penggunaan pupuk kandang
terutama pada lahan-lahan kering yang tidak subur (lokasi pengkajian) serta
pemberian pupuk kandang pada tanaman jenis sukulen (berbatang basah dan
berdaun tebal), contoh nilam sangat respon terhadap pemupukan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
335
Tanaman yang diberi pupuk kandang menunjukkan pertumbuhan tinggi
tanaman yang lebih baik dibandingkan yang tidak di pupuk kandang. Hal ini
ditunjang oleh pandapat Wahid, et.al., (1989) mengemukakan bahwa tanaman nilam
dalam pertumbuhannya membutuhkan unsur hara yang cukup tinggi.
Jumlah cabang utama tanaman nilam tanpa pemberian pupuk kandang
dengan dosis rendah (BO1/BO2) lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman nilam
yang diberi pupuk kandang dosis tinggi (BO3). Hal ini disebabkan karena pupuk
berperan untuk mensuplai masukan ekstra esensial kedalam daur pertumbuhan
tanaman dan perombakan, yang dimaksudkan untuk mempertahankan atau
menaikkan level umum hasil tanaman (Sutrisno, 1989).
C. Pertumbuhan Setelah Pemangkasan dan Produksi
Pada perlakuan pemangkasan mempunyai jumlah cabang utama yang lebih
banyak dibandingkan dengan tanpa pemangkasan (PO) yaitu antara 20,2 – 24,4
tunas pada perlakuan tanpa pemangkasan dan 27,8 – 28,6 tunas pada perlakuan
pemangkasan Begitu juga dosis pupuk organik yaitu dengan tanpa pemberian bahan
organik 20,2 dan 27,8 cabang utama (tanpa pemangkasan dan pemangkasan),
sedangkan pada dosis pemberian bahan organik berkisar antara 24,4 – 28,6 jumlah
cabang utama (Tabel 2). Hasil penelitian Tasma dan Wahid (1988). pada tanah latosol
merah kecoklatan dan hasil penelitian Adiwiganda et, al., (1973) pada tanah podzolik
merah kuning menunjukkan bahwa tanaman dengan pemupukan memberikan
pengaruh yang nyata terhadap tinggi dan jumlah cabang, bobot kering batang,
cabang, dan daun tanaman nilam.
Tabel 2. Rata-rata jumlah tunas, lebar kanopi, produksi daun segar dan daun kering
(umur 6 BST), Cacaban Lor 2002.
Perlakuan Jumlah cabang utama (tunas) Produksi daun segar (kg)
P0 BO1 20,2 1,45
P0 BO2 21,5 1,75
P0 BO3 24,4 1,78
P1 BO1 27,8 1,90
P1 BO2 28,1 2,17
P1 BO3 28,6 2,56
Produksi daun segar pada kombinasi perlakuan pemangkasan dan pemupukan
(P1 BO3) memberikan hasil yang paling tinggi sebesar 2,56 kg/6 m², sedangkan pada
kombinasi perlakuan tanpa pemangkasan dan tanpa pupuk kandang (POBO1) hanya
mendapatkan produksi daun segar sebesar 1,45 kg/6 m². Pada tanaman yang dipupuk
dengan NPK rata-rata produksi basah adalah sebesar 1,75 kg/plot (8,27 ton/ha),
sedangkan kombinasi pemupukan NPK + dolomit produksinya 1,84 kg/plot (8,34
ton/ha). Pemberian nematisida furadan, bahan organik dan dolomit berpengaruh
terhadap populasi nematode, pH tanah maupun produksi daun basah (Mustika, I ; A.
Rahmat dan Suyanto, 1995).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
336
KESIMPULAN
- Perlakuan tanpa pemangkasan, memberikan daya tumbuh ( 98% vs 91,5 %)
dan tinggi tanaman (49 cm vs 47 cm) yang paling baik, namun untuk
parameter jumlah tunas, lebar kanopi, jumlah cabang utama dan produksi
daun segar, dengan perlakuan pemangkasan memberikan nilai yang lebih
baik.
- Perlakuan pemupukan bahan organik 5 ton/ha memberikan hasil yang lebih
baik pada hampir semua parameter pengamatan dibandingkan dengan tanpa
pemberian bahan organik maupun pemberian bahan organik 2,5 ton/ha.
- Kombinasi perlakuan pemangkasan dan pemberian bahan organik 5 ton/ha
(P1BO3) diperoleh jumlah cabang utama, dan produksi daun segar yang lebih
baik
DAFTAR PUSTAKA
Adiwiganda. Y. T., O. Hutagalung dan P. Wibowo. 1973. Percobaan Pemupukan
Tanaman Nilam pada Tanah Podsolik Coklat Kemerahan. Buletin BPP
Medan 4 (3) : 107-116.
Anonymous. 1988. Survei Inventarisasi Hama dan Penyakit Tanaman Minyak Atsiri
di Jawa Barat. Balittro. Bogor. 22 halaman (tidak dipublikasikan).
Guenther, E. 1952. The Essensial Oils. D. Van Nostrada Co. Inc. New York 2 nd ed.
III: 552-574 p.
Mustika, I; A. Rahmat dan Suyanto. 1995. Pengaruh pupuk, pestisida dan bahan
organiK terhadap pH tanah, populasi nematode dan produksi nilam. Media
Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri No. 15,
Pebruari 1995. ISSN : 0251-546X. Puslitbangtri. Badan Litbang Deptan.
Bogor.
Suharwidi dan O. Hutagalung. 1976. Pengaruh Interaksi antara Pemupukan, Jarak
Tanam dan Waktu Panen terhadap Produksi Daun Kering dan Kadar
Minyak Nilam di Bukit sintang. BPP Medan. Halaman 34.
Sutrisno, C. Toto. 1989. Pemupukan dan Pengolahan Tanah. CV. Armico. Bandung.
116.
Tasman dan P. Wahid. 1988. Pengaruh Mulsa dan pemupukan terhadap
pertumbuhan dan Hasil Nilam. Makalah pada Diskusi Minyak atsiri V,
tanggal 3-4 Maret 1986. Bogor. Halaman 36.
Wahid, P.M. Pandji L, E. Mulyono dan S. Rusli, 1989. Masalah pembudidayaan
tanaman nilam, serai wangi dan cengkeh. Makalah pada Diskusi Minyak
Atsiri V. Tanggal 3-4 Maret 1986. Bogor. Halaman.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
407
DAMPAK PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN
TORTILLA JAGUNG DI KABUPATEN BOJONEGORO
Pudji Santoso*), Suhardjo*) Yuniarti*) dan Rika Asnita*)
ABSTRAK
Pengkajian teknologi tortilla jagung ini telah dilakukan oleh BPTP Jawa Timur di
Desa Tulungrejo, kecamatan Trucuk, kabupaten Bojonegoro selama dua tahun yaitu
tahun 2000 dan 2001. Sedangkan pengkajian dampaknya dilakukan pada bulan
Agustus 2004 dengan metode wawancara. Pengkajian teknologi pengolahan tortilla
jagung diawali dengan introduksi teknologi pengolahan dengan alat manual (tahun
2000) kemudian dilanjutkan inovasi teknologi dengan menggunakan mesin (tahun 2001)
pada dua kelompok perajin wanita di lokasi tersebut. Pengkajian dampak
pengembangan teknologi tortilla jagung ini bertujuan ; ( 1) memperoleh informasi adopsi
teknologi pengolahan tortilla jagung dan (2) memperoleh informasi dampak
pengembangan teknologi pengolahan tortila jagung terhadap pendapatan usaha perajin
dan nilai komersialnya. Hasil evaluasi, menunjukkan, bahwa pengkajian pengolahan
tortilla jagung yang dilakukan oleh BPTP Jawa Timur selama dua tahun, telah dapat
mengalihkan teknologi pengolahan tersebut dari peneliti kepada pengrajin. Teknologi
pengolahan tersebut telah diadopsi oleh dua kelompok perajin dan telah berdampak
positip terhadap pendapatan perajin serta telah memberikan nilai komersial yang cukup
tinggi. Pendapatan dua kelompok perajin selama tahun 2004 adalah senilai Rp 54,9 juta
dengan nilai dampak sebesar Rp 109,8 juta serta dampak komersial sebesar Rp 97,9
juta.
Kata Kunci : Dampak teknologi, pengolahan dan tortilla jagung
ABSTRACT
Assessment on corn-tortilla processing technology was done by East Java AIAT at
Tulungrejo village, Trucuk district, Bojonegoro, regency during 2 years, in 2000 and
2001, while the assessment to study the impact was done in August 2004, using an
interview method. Assessment on corn tortilla processing was initiated by introducing
processing technology using manual method (in 2000), followed by technology innovation
using plain machine (in 2001) to two women farmer groups in the location. The aim of
this impact assessment were 1) to find the information on technology adoption of corn-
tortilla processing, 2) to find information on the impact of technology development of corn
tortilla processing to the income of women farmer and their commercial value. The result
showed that the assessment on corn tortilla processing technology done by East Java
AIAT for two years had already transferred those technologies from researchers to the
women farmer. Those processing technology had been adopted by the two groups of
women farmer and gave high commercial value. The profit for the two women farmer
groups during 2004 was Rp. 54,900,000.- with the impact value as much as Rp.
109,800,000.-, while the commercial impact was Rp. 97,900,000.-.
Key words: Technology impact, Processing, Corn tortilla. _________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
408
PENDAHULUAN
Jawa Timur merupakan daerah sentra produksi jagung di Indonesia, dimana
luas panen pada tahun 2001 mencapai 1,2 juta ha dengan produksi 3,6 juta ton
(Diperta, Propinsi Jawa Timur, 2002). Produk jagung ini digunakan untuk
kebutuhan pangan, pakan ternak dan bahan baku agroindustri pengolahan, dimana
kebutuhan setiap tahunnya meningkat. Meningkatnya kebutuhan jagung tersebut
diperkirakan karena meningkatnya untuk kebutuhan pakan ternak dan bahan baku
agroindustri pengolahan.
Dengan berkembangannya agroindutri pengolahan jagung, selain untuk
mendukung pengembangan komoditas yang bersangkutan, juga merupakan upaya
untuk meningkatkan nilai tambah produk primer yang sekaligus dapat mengubah
pertanian tradisional menjadi lebih maju dan dapat meningkatkan pendapatan
petani dan lapangan kerja di padesaan. Penanganan hasil lepas panen melalui
pengolahan jagung terutama pada saat panen raya, dimana harga produk rendah
sangat perlu dilakukan utnuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas yang
bersangkutan (Suhardjo, et al, 2002). Agroindustri jagung pedesaan ini layak dari
segi teknis dan ekonomis bila kapasitas produksinya cukup memadai (Tim Peneliti
Unibraw, 2001).
Produk jagung dapat diolah menjadi berbagai produk olahan dan salah satu
produk yang disukai oleh konsumen saat ini adalah tortilla. Proses pengolahan
produk ini cukup sederhana dan kemungkinan dapat diadopsi oleh perajin rumah
tangga pedesaan (Mudjisihono, et al, 1993). Pengkajian teknologi pengolahan torilla
jagung telah dilakukan oleh BPTP Jawa Timur di kabupaten Bojonegoro. Pengkajian
pengolahan tortilla ini dilakukan di desa Tulungrejo, kecamatan Trucuk yang
melibatkan dua kelompok wanita tani selama dua tahun berturut-turut, yaitu tahun
2000 dan 2001 (Suhardjo, et al, 2002).
Teknologi anjuran pengolahan tortilla jagung pada saat pengkajian menurut
BPTP Jawa Timur (2003) meliputi ;
1. Jagung dibersihkan, direndam dengan air kapur 3 % selama 24 jam.
2. Jagung direbus setengah matang.
3. Dicuci hingga bersih dengan menghilangkan kulit luar.
4. Direbus lagi sampai matang.
5. Ditambah garam 1,25 % dan bumbu lainnya.
6. Kemudian digiling menggunakan alat penggiling daging sampai lembut.
7. Dibuat lempengan-lempengan tipis menggunakan pemipih.
8. Dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah setengah kering dilakukan
pemotongan kecil-kecil ukuran sekitar 2 x 3 cm dan dikeringkan lagi.
9. Setelah kering digoreng dan dikemas untuk dipasarkan. Pengemasan
menggunakan plastik dengan ketebalan sekitar 0,08 mm.
Pengkajian ini bertujuan ; (1) memperoleh informasi adopsi teknologi
pengolahan tortilla jagung dan (2) memperoleh informasi dampak penerapan
teknologi pengolahan tortilla jagung terhadap produktivitas, pendapatan perajin
serta nilai komersialnya.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
409
BAHAN DAN METODE
Kajian ini merupakan evaluasi dampak pengkajian penerapan teknologi
pengolahan tortilla yang telah dilakukan pengkajian dan dibina BPTP Jawa Timur
di kabupaten Bojonegoro tahun 2000 dan 2001. Kedua kelompok tani tersebut
adalah kelompok tani “Makmur Asri” dan “Jaya Makmur” desa Tulungrejo,
kecamatan Trucuk.kabupaten Bojonegoro. Setelah dua tahun dilakukan pengkajian,
maka pada tahun 2004 dilakukan evaluasi adopsi dan dampaknya. Dengan
demikian respondennya yang diambil adalah kedua kelompok tani tersebut di atas.
Tingkat adopsi teknologi pengolahan tortilla jagung dilihat dari penerapan
teknologi yang dilakukan kedua kelompok tani tersebut. Sedangkan dampak
pengembangan teknologi pengolahan tortilla jagung dihitung berdasarkan kondisi
kelompok tani tersebut sebelum dan sesudah pengkajian dilakukan. Pengumpulan
data dilakukan dengan metode wawancara terhadap kelompok tani tersebut di atas
yang dilakukan pada bulan Agustus 2004. Data yang dikumpulkan meliputi ; (1)
karakteristik kelompok perajin, (2) adopsi teknologi pengolahan tortilla dan (3)
dampak teknologinya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Perajin
Di Bojonegoro :Kelompok wanita tani yang dibina oleh BPTP Jawa Timur ada
dua, yaitu kelompok tani “Makmur Asri” dan “Jaya Makmur” desa Tulungrejo,
kecamatan Trucuk. Sebelum tahun 2000 bidang usaha kelompok tani tersebut masih
terbatas dalam usaha simpan pinjam dan pengadaan sarana produksi pertanian.
Pengkajian tortilla jagung yang dilakukan oleh BPTP Jawa Timur diawali
pada tahun 2000 yang diawali dengan introduksi teknologi pengolahan tortila pada
kelompok wanita tani dengan alat pengolahan secara manual (Suhardjo, et al, 2001). Dari hasil pengkajian menunjukkan bahwa respon kedua kelompok tani
wanita tani tersebut cukup tinggi, nanum karena alatnya secara manual, maka
kapasitas produksi bahan baku yang diolah masih rendah, yaitu sekitar 1 kg
jagung/hari. Bahan baku utama tortilla tersebut adalah jagung BC-2 yang memang
banyak terdapat di desa desa Tulungrejo, kecamatan Trucuk, kabupaten Bojonegoro.
Pada tahun 2001 dilakukan inovasi teknologi dengan memperbaiki alat untuk
mengolah dengan menggunakan power mesin ((Suhardjo, et al, 2002).
Perkembangan selanjutnya lebih pesat, sehingga rata-rata mampu memproduksi 7 –
10 kg/proses. Pemasaran tortilla jagung awalnya dilakukan dari penawaran ketoko-
toko di wilayah setempat dengan cara dititipkan pada toko yang bersangkutan
dengan sistem pembayaran setelah tortilla laku, dan sekaligus ditawarkan dengan
tortilla yang baru. Penawaran tortilla ke toko-toko dilakukan tiap seminggu sekali.
Lama-kelamaan volume usaha tortilla semakin bertambah dan berkembang, baik
jumlah toko yang ditawarkan maupun daerah penjualannya. Hingga sekarang
daerah pemasarannya cukup luas, tidak hanya di pasar lokal, tetapi hingga
mencapai kota-kota besar, seperti Surabaya, Tuban, Denpasar dan Jakarta (Tabel 1)
Disamping ditawarkan sendiri oleh perajin, pemasarannya juga dibantu melalui
promosi oleh pemerintah daerah setempat dan BKP Tk I Jawa Timur. Pada saat itu
(tahun 2004) bahan baku jagung yang diproduksi sudah menjadi sekitar 30 – 40
kg/proses.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
410
Tabel 1. Volume dan daerah penjualan tortilla jagung yang dilakukan oleh kelompok
tani “Makmur Asri” dan Jaya Makmur” Desa Tulungrejo, Kecamatan
Trucuk, Bojonegoro, selama ahun 2004
Daerah penjualan Volume penjualan (kg) Persentase (%)
1. Bojonegoro
2. Tuban
3. Surabaya
4. Jakarta
5. Denpasar
7.500
4.500
1.500
750
750
50
30
10
5
5
Total 15.000 100
Adopsi Teknologi Pengolahan Tortilla Jagung
Adopsi teknologi merupakan suatu proses mental dan perubahan perilaku
baik yang berupa pengetahuan, sikap dan ketrampilan seseorang/kelompok, sejak
mengenalnya hingga memutuskan untuk menerapkannya (Roger dan Shomaker,
1981). Di lokasi pengkajian, teknologi pengolahan tortilla jagung tersebut telah
diadopsi oleh kelompok tani “Makmur Asri” dan “Jaya Makmur” yang dilibatkan
dalam pengkajian oleh BPTP Jawa Timur. Pada saat dilakukan pengumpulan data,
ternyata wilayah pasarnya sudah menjangkau kota-kota besar dengan volume
penjualan selama tahun 2004 sebesar 15.000 kg tortilla goreng (Tabel 1).
Bahan-bahan yang diperlukan untuk mengolahan jagung mentah menjadi
tortilla siap di pasarkan meliputi ; (1) jagung, (2) minyak tanah, (3) minyak goreng,
(4) kayu bakar, (5) bumbu dan (6) kantong plastik. Bumbu disini meliputi bawang
putih, penyedap masakan dan garam. Dalam 1 kali proses produksi kebutuhan
bahan-bahan tersebut rata-rata dari kedua kelompok tani perajin tersebut mencapai
Rp 106.600,- dengan tenaga kerja 5 orang senilai Rp 40.000,- .
Dalam 1 bulan, proses produksi dapat dilakukan rata-rata sebanyak 25 hari
kerja, dan dalam 1 tahunnya ada 250 hari kerja (keadaan cuaca normal). Nilai
kebutuhan bahan-bahan dan tenaga kerja ternyata cukup tinggi, yaitu Rp
3.665.000,-/bulan dan Rp 36.650.000,-/tahun (Tabel 2). Disamping bahan-bahan
seperti terlihat pada Tabel 2, juga digunakan peralatan yang cukup banyak
macamnya dengan nilai penyusutan sebesar Rp 628.500,-/tahun. Hasil analisis
menunjukkan, bahwa biaya produksi usaha tortilla jagung di Bojonegoro dalam 1
tahunnya (tahun 2004) mencapai Rp 42.571.000,- Dengan demikian pendapatan
usaha tortila jagung oleh kelompok wanita tani di Bojonegoro cukup tinggi yaitu
sebesar Rp 54.929.000,-/kelompok.(Tabel 3).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
411
Tabel 2. Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pengolahan tortilla jagung dalam
satu kali proses produksi yang dilakukan oleh kelompok tani ”Makmur Asri”
dan “Jaya Makmur” Desa Tulungrejo, Kec.Trucuk, Bojonegoro, selama
tahun 2004
Jenis bahan Jumlah Satuan Nilai (Rp)
1. Jagung
2. Minyak tanah
3. Bensin
4. Minyak goreng
5. Kayu bakar
6. Bawang putih
7. Penyedap masakan
8. Garam
9. Kantong plastik
38
2
1
3
2
1
1
0,5
1
Kg
lt
lt
kg
pikul
kg
bungkus
kg
pak
45.600
4.000
2.000
36.000
9.000
4.000
2.500
500
3.000
Nilai total - - 106.600
Tabel 3. Nilai kebutuhan bahan dan tenaga kerja dalam satu tahun untuk
pengolahan tortilla jagung yang dilakukan oleh kelompok tani“Makmur
Asri” dan “Jaya Makmur” Desa Tulungrejo, Kecamatan Trucuk, Bojonegoro,
selama tahun 2004
Bahan dan
Tenaga kerja
Nilai bahan dan tenaga kerja (Rp)
Dalam 1 kali
proses produksi Dalam 1 bulan Dalam 1 tahun
1. Bahan-bahan
2. Tenaga kerja
106.600
40.000
2.665.000
1.000.000
26.650.000
10.000.000
Total Bahan dan
tenaga kerja
146.600 3.665.000 36.650.000
Keterangan : Dalam 1 kali proses dibutuhkan 5 tenaga kerja
Dalam 1 bulan dilakukan 25 hari kerja
Dalam 1 tahun ada 10 bulan = 250 hari kerja
Tabel 4. Nilai penyusutan alat yang digunakan dalam pengolahan tortilla jagung
yang dilakukan oleh kelompok tani “Makmur Asri” dan “Jaya Makmur”
Desa Tulungrejo, Kecamatan Trucuk, Bojonegoro, selama tahun 2004
Macam alat Jumlah
(unit) Nilai (Rp)
Umur
ekonomis (th)
Nilai
penyusutan
per-th (Rp)
1. Wajan besar
2. Kompor
3. Dandang besar
4. Penggiling jagung
5. Pengaduk
6. Pemipih
7. Widik
8. Panci
9. Seler
10. Pemotong tortila
11. Irig
2
2
2
2
1
4
200
4
1
1
5
180.000
140.000
300.000
3.500.000
15.000
400.000
200.000
80.000
120.000
20.000
25.000
20
10
10
20
5
5
2
5
10
10
2
9.000
14.000
30.000
350.000
3.000
80.000
100.000
16.000
12.000
2.000
12.500
Nilai penyusutan per-tahun - - - 628.500
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
412
Tabel 5. Analisis ekonomi usaha tortilla jagung yang dilakukan oleh kelompok tani
“Makmur Asri” dan “Jaya Makmur” Desa Tulungrejo, Kecamatan Trucuk,
Bojonegoro, selama tahun 2004
Uraian Nilai (Rp)
1. Penyusutan alat
2. Kredit dan bunga 6 %/tahun
3. Bahan-bahan
4. Tenaga kerja
5. Total biaya
6. Nilai produksi tortila matang
7. Pendapatan
621.000
5.300.000
26.650.000
10.000.000
42.571.000
97.500.000
54.929.000 Keterangan : Dalam 1 kali proses menghasilkan 30 kg tortila matangharga Rp 13.000,-/kgDalam 1 tahun
menghasilkan 30 kg x 25 x 10 = 7.500 kgatau senilai Rp 97.500.000,-
Dampak Teknologi Pengolahan Tortilla Jagung
Indikator dampak pengkajian teknologi pengolahan tortilla jagung di
Kabupaten Bojonegoro oleh dua kelompok wanita tani tersebut di atas, dapat dilihat
dari pendapatan perajin yang mengadopsi teknologi tersebut. Dari indikator
tersebut serta diketahuinya biaya yang dikeluarkan selama pengkajian, maka dapat
dihitung nilai dampak komersialnya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata satu perajin selama
1 tahun (tahun 2004) adalah Rp 54.929.000,- dengan nilai dampak sebesar Rp
109.918.000,- . Biaya pengkajian yang dikeluarkan oleh BPTP Jawa Timur selama 2
tahun adalah sebesar Rp 11.900.000,- , sehingga nilai dampak bersihnya adalah
sebesar Rp 98.018.000,- (Tabel 6).
Dampak teknologi pengkajian tortilla jagung yang lain di lokasi pengkajian
adalah (1) digunakan sebagai tempat magang bagi kelompok perajin lain, (2)
pengurus kelompok tani sering digunakan sebagai instruktur di tempat pelatihan
dan (3) digunakan tempat studi banding oleh kelompok perajin lain dan (4) tortilla
yang dihasilkan digunakan sebagai komoditas unggulan bagi pemda Bojonegoro.
Tabel 6. Dampak pengkajian teknologi tortilla jagung oleh kelompok tani “Makmur
Asri” dan “Jaya Makmur” Desa Tulungrejo, Kecamatan Trucuk, Bojonegoro,
selama tahun 2004
Uraian Nilai (Rp)
1. Pendapatan perajin (Rp)
2. Jumlah perajin (kelompok)
3. Nilai dampak (Rp)
4. Biaya selama pengkajian (Rp) *)
5. Nilai dampak bersih (Rp)
54.929.000
2
109.918.000
11.900.000
98.018.000 *) Pengkajian tortilla di Bojonegoro dilakuakan selama 2 tahun (2000 –2001)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
413
KESIMPULAN
Pengkajian tortilla jagung yang telah dilakukan oleh BPTP Jawa Timur di
Bojonegoro di desa Tulungrejo, kecamatan Trucuk (tahun 2000 – 2001), telah dapat
mengalihkan teknologi pengolahan tortila dari peneliti kepada pengrajin. Pengkajian
tersebut melibatkan dua kelompok wanita tani yaitu “Makmur Asri” dan “Jaya
Makmur”. Teknologi pengolahan tortilla jagung telah diadopsi oleh kedua kelompok
wanita tani tersebut. Pada saat ini jangkauan pasarnya tidak hanya di Bojonegoro,
tetapi juga di kota Tuban, Surabaya, Jakarta dan Denpasar.
Dengan diadopsi teknologi pengolahan tortilla jagung tersebut telah
berdampak cukup tinggi terhadap pendapatan kelompok wanita tani serta
memberikan nilai komersial yang cukup tinggi. Pendapatan dua kelompok wanita
tani selama tahun 2004 adalah sebesar Rp 54,9 juta dengan nilai dampak sebesar Rp
109,8 juta serta dampak komersial sebesar Rp 97,9 juta. Dampak pengkajian tortilla
jagung yang lain adalah (1) digunakannya sebagai tempat magang bagi kelompok
perajin lain, (2) pengurus kelompok wanita tani sering digunakan sebagai instruktur
di tempat pelatihan dan (3) digunakan tempat studi banding oleh kelompok
pengrajin lain serta (4) tortilla jagung yang dihasilkan digunakan sebagai komoditas
unggulan bagi pemda Bojonegoro.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur. 2002. Laporan Tahunan 2001. Dinas
Pertanian Propinsi Jawa Timur.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. 2003. Sewindu BPTP Jawa
Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur.
Mudjisihono, R., S.J. Munarso dan Sutiono. 1993. Pasca Panen dan Pengolahan
Jagung. Bull. Teknik. Sukamandi.
Roger.E.M., dan F. Shomaker. 1981. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Disarikan
Oleh Abdilah Hanfi. Usaha Nasional. Surabaya.
Suhardjo, Suhardi, S.R. Soemarsono, Yuniarti dan W. Istuti. 2001. Pengkajian
Teknologi Pengolahan Hasil Tanaman Pangan di Pedesaan. Prosiding
Seminar dan Ekspose Teknologi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jawa timur. 457 – 467.
Suhardjo, Suhardi, W. Istuti dan Yuniarti. 2002. Pengkajian Teknologi Pengolahan
dan Pengemasan Tortila di Pedesaan. Prosiding Seminar dan Ekspose
Teknologi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. 728 – 732.
Tim Peneliti Unibraw. 2001. Kajian Rekayasa Model Pengembangan Bisnis Pangan
Olahan. Laporan Kerjasama BKP Pemprov dan Unibraw Malang.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
414
EVALUASI DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI
PENGELOLAAN TANAMAN PADI SECARA TERPADU
(Kasus di Wilayah Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu di Kabupaten
Blitar dan Bojonegoro)
Pudji Santoso*), Purwanto*), Ali Yusron*) dan Rika Asnita*)
ABSTRAK
Pengkajian ini bertujuan ; (1) memperoleh informasi adopsi dan difusi teknologi
pengelolaan tanaman padi secara terpadu dan (2) memperoleh informasi dampak
penerapan teknologi pengelolaan tanaman padi secara terpadu terhadap
produktivitas, pendapatan usahatani padi dan nilai komersialnya. Evaluasi dampak
penerapan teknologi pengelolaan tanaman padi secara terpadu ini dilakukan di
wilayah program peningkatan produktivitas padi terpadu di kabupaten Bojonegoro
dan Blitar. Teknologi pengelolaan tanaman padi secara terpadu yang dianjurkan pada
saat pelaksanaan program tahun 2002 terdiri dari ; (1) penggunaan varietas unggul
baru dan umur bibit yang ditanam, (2) jumlah bibit per-rumpun dan jarak tanam, (3)
penggunaan bahan organik dan pemupukan rasional. Evaluasi dampak penerapan
teknologi tersebut dilakukan pada bulan Juli – September 2004 dengan metode survei.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa teknologi anjuran yang telah diadopsi oleh
petani peserta 57 % (Blitar) dan 60 % (Bojonegoro), sedangkan teknologi anjuran yang
terdifusi pada petani non peserta mencapai 27 % (Blitar) dan 31 % (Bojonegoro).
Diantara keempat komponen teknologi anjuran tersebut, hanya penggunaan varietas
unggul baru dan umur bibit yang paling banyak diadopsi oleh petani, di Kabupaten
Blitar maupun Bojonegoro. Adopsi teknologi tersebut telah berdampak positip
terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani padi, disamping
berdampak secara komersial cukup tinggi. Selama musim hujan 2003/2004 adopsi
teknologi tersebut di Kabupaten Blitar telah berdampak terhadap produksi padi
sebesar 1.548 ku GKP atau senilai Rp 185,7 juta dengan dampak komersial sebesar Rp
128 juta, sedangkan di Kabupaten Bojonegoro, adopsi teknologi tersebut dalam musim
yang sama telah berdampak terhadap produksi padi sebesar 3.400 ku GKP atau
senilai Rp 408 juta dengan dampak komersial sebesar Rp 281,5 juta.
Kata Kunci : Dampak teknologi, terpadu , produktivitas dan pendapatan usahatani padi
ABSTRACT
The aim of the impact evaluation assessment were 1) to find information on
technology adoption and diffusion of integrated rice management, and 2) to find
information on the impact of technology application of integrated rice management to
the productivity, farming income and their commercial value. The impact evaluation on
technology application of integrated rice management was done in the location of
integrated program in increasing rice productivity in Blitar and Bojonegoro regencies.
_______________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
415
Technology on integrated rice management of which was recommended during
program implementation in 2001 were 1) the use of new superior variety and age of
seedling, 2) number of seedling per cluster and planting space, and 3) the use of
organic manure and rational fertilization. The impact evaluation on those technology
application was done during July until September 2004, using survey method. The
result showed, that the recommended technology adopted by the farmers was 57% (in
Blitar) and 60% (in Bojonegoro), while those which diffused by non-cooperator
farmers was 27% (in Blitar) and 31% (in Bojonegoro). Between four components of
those recommended technologies, the use of new superior variety and age of seedling
were mostly adopted by the farmers, both in Blitar and Bojonegoro. Those technology
adoption gave positive impact to the increasing of productivity and income of rice
farming system and also gave high commercial impact. During rainy season in
2003/2004, in Blitar regency, gave impact to the rice production as much as 1,548 ku
GKP (Rp. 185,700,000.-) with commercial impact as much as Rp. 128,000,000.-, while
in Bojonegoro in the same season gave impact as much as 3,400 ku GKP (Rp.
408,000,000.-) to the rice production with commercial impact Rp. 281,500,000.-,
respectively.
Key words : Technology impact, integrated management, productivity, rice farming income.
PENDAHULUAN
Selama periode 1997 – 2001 rata-rata produktivitas padi di Jawa Timur
adalah 53,56 ku/ha, masih di bawah sasaran yang telah ditetapkan tahun 2001,
yaitu sebesar 54,98 ku/ha. Penurunan produktivitas ini ternyata tidak diikuti
dengan penurunan biaya produksi, sehingga menyebabkan efisiensi dan pendapatan
usahatani menurun (Kasijadi, et al, 2001). Suwono, et al (2003) mengemukakan
bahwa faktor penyebab menurunnya produktivitas padi adalah ; (1) penggunaan
varietas relatif tetap, (2) intensitas pertanaman yang tinggi dalam setahun (IP padi -
300), berakibat menurunnya tingkat kesuburan tanah karena rendahnya
penggunaan bahan organik (3) penggunaan pupuk anorgaik yang kurang rasional
dan (4) berkembangnya organisme pengganggu tanaman (OPT).
Upaya untuk meningkatkan produktivitas padi antara lain dengan
pengelolaan tanaman padi secara terpadu (PTT). Pengelolaan tanaman padi secara
terpadu ini bersifat holistik, merupakan keterpaduaan antara beberapa komponen
teknologi, yaitu (1) varietas unggul baru dan umur bibit yang ditanam, (2) jumlah
bibit per-rumpun dan cara tanam, (3) penggunaan bahan organik dan (4)
pemupukan rasional dan penggunaan bagan warna daun (Mahfud, et al, 2001).
Model PTT pada usahatani padi sawah ini telah diuji coba pada MH 1999/2000 di
Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) Sukamandi, Jawa Barat, menunjukkan
bahwa produktivitas padi dapat meningkat 7 % – 38 % dengan R/C rasio antara 1,4 –
2,29. Pada tahun 2001 model PTT ini dijadikan jaringan penelitian dan pengkajian
(litkaji) antara Balitpa dengan BPTP di delapan propinsi, termasuk BPTP Jawa
Timur dengan melibatkan partisipasi petani (Balitpa, 2003). Hasil pengkajian model
PTT yang di lakukan oleh BPTP Jawa Timur di Kabupaten Malang dan Blitar pada
tahun 2001 dan 2002 menunjukkan bahwa produktivitas padi dapat meningkat 11 %
- 27 % (Mahfud, et al, 2001).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
416
Dengan keberhasilan hasil uji coba tersebut, maka model PTT ini diterapkan
dalam program peningkatan produktivitas padi (P3T) di Jawa Timur. Program P3T
di Jawa Timur dimulai tahun 2002 yang dilakukan di dua Kabupaten, yaitu Blitar
dan Bojonegoro. Luas kegiatan P3T masing-masing lokasi adalah sekitar 100 ha
dengan pola tanam Padi – Padi – Padi. Lokasi kegiatan P3T di Kabupaten Blitar
terdapat di Kelurahan Klemunan, Kecamatan Wlingi, dengan melibatkan 4
kelompok tani (252 orang), yaitu kelompok tani “Among Tani I”, II dan III,
sedangkan di Kabupaten Bojonegoro, terdapat di Desa Kemamang dan Sidobandung,
Kecamatan Balen, dengan melibatkan 4 kelompok tani (237 orang), yaitu kelompok
tani Lumbung Bandung I dan II serta Sri Rahayu II dan III.
Program peningkatan produktivitas padi (P3T) di Jawa Timur telah
dikembangkan dengan tiga kegiatan utama, yaitu (1) pengelolaan tanaman terpadu
(PTT) padi, (2) sistem integrasi padi – ternak sapi (SIPT) dan (3) kredit usaha
mandiri (KUM). Ketiga kegiatan tersebut dihimpun dalam satu kelembagaan yang
disebut kelompok usaha agribisnis terpadu (KUAT). Biaya kegiatan P3T di dua
kabupaten tersebut dibantu oleh Pemerintah, melalui batuan langsung masyarakat
(BLM) pada kelompok tani bersangkutan, masing-masing sebesar Rp 832.000.000,-
Biaya tersebut antara lain digunakan untuk kegiatan PTT padi sawah, SIPT dan
KUM. Alokasi biaya untuk masing-masing kegiatan (PTT padi, SIPT dan KUM)
ditentukan berdasarkan rencana usaha kelompok yang disusun oleh kelompok tani
sendiri.
Rakitan teknologi yang diterapkan pada kegiatan P3T (PTT padi dan SIPT)
didasarkan atas kesepatan antara petani, penyuluh lapang dan petugas BPTP Jawa
Timur. (Tabel 2 dan 3). Setelah kegiatan berjalan dua tahun, yaitu tahun 2004
dilakukan evaluasi adopsi dan dampak teknologi tersebut. Dengan demikian
pengkajian ini bertujuan ; (1) memperoleh informasi adopsi dan difusi teknologi
pengelolaan tanaman padi secara terpadu dan (2) memperoleh informasi dampak
penerapan teknologi pengelolaan tanaman padi secara terpadu terhadap
produktivitas, pendapatan usahatani padi dan nilai komersialnya.
BAHAN DAN METODE
Kajian ini merupakan evaluasi dampak penerapan teknologi PTT padi di
wilayah P3T yang telah dilakukan di Kabupaten Blitar dan Bojonegoro. Rakitan
teknologi PTT padi sawah yang dianjurkan pada saat kegiatan program P3T tahun
2002 di dua lokasi seperti terlihat pada Tabel 1.
Petani responden dibedakan menjadi dua yaitu (1) petani peserta dan (2)
petani non peserta. Petani peserta adalah petani yang ikut program PTT padi
sawah. Lokasi kegiatan program P3T tahun 2002, yaitu di Kelurahan Klemunan,
Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar dan di Desa Kemamang dan Sidobandung,
Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro. Sedangkan petani non peserta adalah
petani diluar program yang diambil di desa lain, tetapi masih dalam satu
Kecamatan yang sama dan digunakan sebagai pembanding.
Jumlah contoh petani peserta program PTT padi di Kabupaten Blitar adalah
sebanyak 28 orang dan petani non peserta sebanyak 16 orang, sedangkan di
Kabupaten Bojonegoro petani peserta sebanyak 29 orang dan petani non peserta
sebanyak 11 orang.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
417
Tabel 1. Rakitan teknologi pengelolaan tanaman padi secara terpadu di sawah irigasi
Kabupaten Blitar dan Bojonegoro Komponen teknologi Blitar Bojonegoro
1. Varietas unggul dan umur
bibit ditanam
Ciherang, IR-64 dan unggul
lainnya dan umur bibit < 21
hari
Ciherang, IR-64 dan unggul
Lainnya dan umur bibit < 21 hari
2. Jumlah bibit per rumpun dan
cara tanam
Jumlah bibit 1 – 2 bibit per-
rumpun
Cara tanam :
a. Tapin
20 x 20 cm, 20 x 25 cm atau
20 x 18 cm
b. Jajar legowo
- Tanam ganda 40 cm (20 x
10 cm)
- Baris ganda berselang
seling 40 cm dan 20 cm
Jumlah bibit 1 – 2 bibit per-
rumpun
Cara tanam :
a. Tapin 20 x 20 cm, 20 x 25 cm
atau 20 x 18 cm
b. Jajar legowo
- Tanam ganda 40 cm (20 x
10 cm)
- Baris ganda berselang
seling 40 cm dan 20 cm 3. Penggunaan bahan organik Pupuk kandang 1 t/ha Pupuk kandang 1 t/ha
4 Pemupukan rasional
a. Urea
b. ZA
c. SP-36
d. KCl
e. Phonska
+ 300 kg/ha
50 kg/ha
75 kg/ha
50 kg/ha
50 kg/ha
200 kg/ha
50 – 100 kg/ha *)
-
-
120 kg/ha
Sumber = Tim Teknis BPTP Jawa Timur, 2002
Keterangan = *) Pemberian khusus lahan yang mengalami stagnasi pertumbuhan (asem-aseman) pupuk
N berdasarkan bagan warna daun (BWD)
Tingkat adopsi teknologi PTT padi sawah dihitung berdasarkan nilai skor dari
masing-masing komponen teknologi anjuran. Jumlah petani adopter teknologi PTT
padi sawah dihitung dari jumlah petani peserta maupun petani non peserta
dikalikan dengan tingkat adopsi teknologi di suatu wilayah. Luas areal adopsi
teknologi PTT padi sawah dihitung dari jumlah petani adopter dikalikan dengan
rata-rata luas garapan usahatani dari komoditas yang bersangkutan. Dampak
teknologi PTT padi sawah dievaluasi dari tingkat penerapan teknologi anjuran
dengan cara membandingkan sebelum dan sesudah kegiatan. Sebelum kegiatan
didekati melalui petani di luar wilayah pengkajian (non peserta), sedangkan sesudah
kegiatan didekati melalui petani di wilayah pengkajian (petani eks peserta).
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei pada bulan Juli – September
2004.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Adopsi dan Difusi Teknologi PengelolaanTanam Terpadu Padi Sawah
Pola tanam lahan sawah di lokasi pengkajian Kabupaten Blitar adalah Padi –
Padi – Padi, baik petani peserta maupun petani non peserta. Di Lokasi tersebut
berupa lahan sawah irigasi tehnis, sehingga petani cenderung menanam padi tiga
kali dalam setahun. Di Kabupaten Bojonegoro pola awal pelaksanaan P3T (tahun
2002) adalah Padi – Padi – Padi, mengalami perubahan menjadi Padi – Padi –
Kedelai (tahun 2004). Terjadinya perubahan pola tanam ini disebabkan karena
kondisi air yang tidak memungkinkan sehingga pada MK II hanya dapat ditanami
kedelai.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
418
Varietas padi yang ditanam setiap musimnya berbeda, tergantung dari
kesepatan kelompok. Dengan demikian pola gilir varietas telah diterapkan di
wilayah tersebut. Gilir varietas ini merupakan salah satu komponen dalam
pengendalian hama penyakit secara terpadu (Mahfud, et al, 2001). Biaya produksi
usahatani padi untuk petani peserta umumnya lebih tinggi bila dibandingkan
dengan petani non peserta, yaitu 3,52 % (Blitar) dan 3,43 % (Bojonegoro). Hal ini
dikarenakan petani peserta menggunakan input yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan petani non peserta, terutama dalam hal penggunaan benih dan pupuk
anorganik.
Tabel 2. Biaya produksi usahatani padi musim hujan 2003/2004 petani peserta dan
petani non peserta P3T di Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar dan
Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro, Tahun 2004
Kabupaten
Biaya produksi (Rp/ha)
Petani peserta Petani non peserta Persentase
perbedaan (%)
1. Blitar
2. Bojonegoro
6.027.000
6.038.000
5.822.000
5.838.000
3,52
3,43
Adopsi teknologi merupakan suatu proses mental dan perubahan perilaku
baik yang berupa pengetahuan, sikap dan ketrampilan petani sejak mengenal
sampai memutuskan untuk menerapkannya. Proses difusi teknologi tidak berbeda
jauh dengan proses adopsi, nanum dalam difusi sumber informasinya berasal dari
dalam sistem masyarakat tani itu sendiri, sedangkan adopsi sumber informasinya
berasal dari luar sistem masyarakat tani (Roger dan Shomaker, 1981).
Paket teknologi yang dianjurkan PTT padi sawah pada saat pelaksaan P3T
tahun 2002 terdiri dari empat komponen yaitu (1) penggunaan varietas unggul baru
dan umur bibit yang ditanam, (2) jumlah bibit per-rumpum dan cara tanam, (3)
penggunaan bahan organic, dan (4) pemupukan rasional. Rakitan teknologi yang
telah diadopsi oleh petani peserta telah mencapai sekitar 57,7 % (Blitar) dan 60,1 %
(Bojonegoro). Dari keempat komponen teknologi anjuran , ternyata penggunaan
varietas unggul baru dan umur bibit yang paling tinggi diadopsi oleh petani peserta,
baik di Kabupaten Blitar maupun di Kabupaten Bojonegoro.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
419
Tabel 3. Nilai skor tingkat adopsi teknologi PTT pada musim hujan 2003/2004
petani peserta P3T di Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar dan
Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro, Tahun 2004
Komponen teknologi Nilai skor tingkat adopsi teknologi (%)
Blitar Bojonegoro
1. Penggunaan varietas unggul dan umur bibit
ditanam
a. Tepat varietas
b. Tepat umur bibit yang ditanam
2. Jumlah bibit per-rumpun dan cara tanam
a. Tepat jumlah bibit per-rumpun
b. Tepat cara tanam
3. Penggunaan bahan organik
a. Menggunakan bahan organik
b. Tepat dosis
4. Pemupukan rasional
a. Tepat jenis pupuk
a. Tepat dosis pupuk
b. Tepat waktu/cara pemupukan
15,0
5,4
8,5
8,5
14,1
2,0
1,4
1,4
1,4
15,0
5,9
9,0
9,0
14,2
1,9
2,1
1,5
1,5
Total nilai skor 57, 7 60,1
Di Lokasi pengkajian di Kabupaten Blitar, adopsi varietas unggul baru cukup
tinggi, yaitu 15 %. Varietas unggul baru ini ini diperkenalkan pada saat kegiatan
P3T, yaitu melalui kegiatan demoplot dan petani peserta PTT padi sawah. Dari
petani peserta ini, varietas tersebut disebarkan kepada petani lainnya. Beberapa
varietas unggul padi yang diperkenalkan pada saat kegiatan P3T adalah Ciherang,
Cibogo, Fatmawati dan padi hibrida telah direspon cukup tinggi oleh petani, kecuali
padi hibrida. Hal ini karena harga benih padi hybrida, disamping mahal harganya
juga sulit memperolehnya. Varietas padi yang banyak ditanam oleh petani peserta
dan non peserta pada musim hujan 2003/2004 di Kabupaten Blitar maupun
Bojonegoro adalah Ciherang, sedangkan Fatmawati hanya ditanam oleh petani
peserta di Kabupaten Blitar (Tabel 4).
Tabel 4 Varietas padi yang ditanam pada musim hujan 2003/2004 oleh petani
peserta dan petani non peserta di Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar dan
Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro, Tahun 2004
Varietas padi Blitar (%) Bojonegoro (%)
Peserta Non peserta Peserta Non peserta
1. Ciherang
2. Cibogo
3. IR-64
4. Fatmawati
5. Membramo
69
14
3
14
0
37
25
25
0
13
93
7
0
0
0
27
27
27
0
19
Luas sebaran varietas padi unggul yang ditanam oleh petani pada musim
hujan 2003/2204 di Kabupaten Blitar yang terluas adalah Ciherang, yaitu 494 ha
terdiri 69 ha petani peserta dan 425 ha petani non peserta, sedangkan di Kabupaten
Bojonegoro yang terluas adalah Cibogo dan IR-64 masing-masing seluas 693 ha dan
686 ha (Tabel 5).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
420
Tabel 5. Luas sebaran varietas padi yang ditanam pada musim hujan 2003/2004 oleh
petani peserta dan petani non peserta di Kecamatan Wlingi, Kabupaten
Blitar dan Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro, Tahun 2004
Varietas padi
Blitar (ha) Bojonegoro (ha)
Peserta Non
peserta
Total Peserta Non
peserta
Total
1. Ciherang
2. Cibogo
3. IR-64
4. Fatmawati
5. Memberamo
69
14
3
14
0
425
287
287
0
149
494
301
290
14
149
93
7
0
0
0
686
686
686
0
483
779
693
686
0
483
Alasan petani menanam padi varietas tersebut yang paling banyak adalah
berproduksi tinggi dan melakukan gilir varietas (Tabel 6). Gilir varietas ini
merupakan salah satu komponen dari pengendalian hama dan penyakit secara
terpadu, disamping komponen teknologi lainnya, seperti pengamatan hama penyakit
secara dini, pelaksanaan pola tanam, penggunaan varietas tahan hama/penyakit,
tanam serempak, pemanfaatan musuh alami, pengendalian cara mekanis serta
penggunaan pestisida secara bijaksana ( Mahfud, et al, 2001).
Jumlah bibit per-rumpun yang ditanam oleh petani peserta di Kabupaten
Blitar sekitar 1 – 2 bibit/rumpun, sedangkan petani non peserta 2 – 3 bibit/rumpun.
Petani peserta di Kabupaten Bojonegoro jumlah bibit per-rumpun yang ditanam
adalah 2 – 3 bibit/rumpun dan petani non peserta lebih dari 3 bibit/rumpun. Dengan
demikian kebutuhan benih per -hektar untuk petani peserta lebih rendah bila
dibandingkan dengan petani non peserta, yaitu di Kabupaten Blitar 33 kg/ha (petani
peserta) dan 45 kg/ha (petani non peserta), sedangkan di Bojonegoro 40 kg/ha (petani
peserta) dan 45 kg/ha (petani non peserta).
Tabel 6. Alasan petani peserta dan non peserta menanam varietas padi pada musim
hujan 2003/2004 di Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar dan Kecamatan
Balen, Kabupaten Bojonegoro, Tahun 2004
Alasan tanam varietas Blitar (%) Bojonegoro (%)
Peserta Non peserta Peserta Non peserta
1. Produksi tinggi
2. Gilir varietas
3. Tersedianya bibit yang
ada
4. Kombinasi 1, 2 dan 3
54
26
6
17
62
13
10
15
39
32
6
23
54
18
8
20
Penggunaan bahan organik oleh petani peserta di Kabupaten Blitar adalah
berupa pupuk kandang berasal dari ternak sapi yang umumnya milik sendiri. Petani
peserta umumnya telah mengerti tentang manfaat penggunaan pupuk kandang,
antara lain dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik, terutama pupuk N
serta tanah lebih gembur jika diolah.
Sumber informasi teknologi tentang penggunaan varietas unggul tersebut
bagi petani berasal dari : (1) penyuluh lapang, (2) kontak tani/petani lainnya serta
(3) toko/kios pertanian dan (4) petugas/pamong desa. Dari keempat sumber informasi
tersebut, ternyata yang paling banyak dihubungi oleh petani peserta di Kabupaten
Blitar adalah petugas/perangkat desa, sedangkan di Kabupaten Bojonegoro adalah
kontak tani/petani lainnya (Tabel 7). Perangkat desa dan kontak tani ini adalah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
421
dianggap oleh petani sebagai pemimpin formal dalam sistem sosial yang merupakan
orang dalam sistem masyarakat desa, sehingga mempunyai kedudukan strategis
dalam program pembangunan desa (Sudarmanto, et al, 1989). Dengan demikian,
posisinya berbeda dengan petugas yang berasal dari luar desa.
Tingkat difusi teknologi PTT padi sawah oleh petani non peserta baru
mencapai 27,4 % (Blitar) dan 31,1 % (Bojonegoro). Dari empat komponen teknologi
anjuran, tingkat difusi yang tertinggi di Kabupaten Blitar dalam penggunaan
varietas unggul baru dan umur bibit ditanam, demikian juga di Kabupaten
Bojonegoro, masing-masing mencapai 16,2 % dan
Tabel 7. Sumber informasi teknologi PTT yang sering dihubungi petani peserta di
kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar dan Kecamatan Balen,
Kabupaten Bojonegoro, Tahun 2004
Sumber informasi teknologi Blitar (%) Bojonegoro (%)
a. Penyuluh lapang
b. Kontak tani/petani lainnya
c. Toko/kios pertanian
d. Petugas/pamong desa
14
14
14
58
31
48
0
21
16,8 % (Tabel 8). Penerapan komponen teknologi lainnya masih relatif
rendah, baik jumlah bibit per-rumpun dan cara tanam, penggunaan bahan organik
dan pemupukan rasional. Dalam hal penggunaan bahan organik yang banyak
digunakan adalah pupuk kandang sapi milik sendiri, karena umumnya petani non
peserta di wilayah pengkajian di Kabupaten Blitar rata-rata memiliki 1 ekor sapi.
Tabel 8. Nilai skor tingkat difusi teknologi PTT pada musim hujan 2003/2004
petani peserta P3T di Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar dan
Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro, Tahun 2004
Komponen teknologi Nilai skor tingkat difusi teknologi (%)
Blitar Bojonegoro
1. Penggunaan varietas unggul dan umur bibit
ditanam
a. Tepat varietas
b. Tepat umur yang ditanam bibit
2. Jumlah bibit per-rumpun dan cara tanam
a. Tepat jumlah bibit per-rumpun
b. Tepat cara tanam
3. Penggunaan bahan organik
a. Menggunakan bahan organik
b. Tepat dosis
4. Pemupukan rasional
a. Tepat jenis pupuk
a. Tepat dosis pupuk
b. Tepat waktu/cara pemupukan
15,0
1,2
2,3
2,3
3,5
1,2
1,9
0,0
0,0
15,0
1,8
2,3
2,3
6,3
1,1
1,8
0,0
0,0
Total nilai skor 27,4 31,1
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
422
2. Dampak Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah
Dampak teknologi PTT padi sawah di Kabupaten Blitar dan Bojonegoro dapat
dilihat dari beberapa indikator, yaitu teknologi anjuran telah diadopsi petani,
meningkatnya produktivitas dan pendapatan usahatani padi. Salah satu indikator
dampak teknologi anjuran yang telah diadopsi oleh petani adalah jumlah petani
yang mengadopsi teknologi atau adopter beserta luasannya.
Wilayah lahan sawah P3T di kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar tahun 2002
adalah seluas 100 ha dengan jumlah petani peserta 252 orang. Dari hasil survei
diperoleh rata-rata luas garapan petani peserta seluas 0,50 ha. Teknologi PTT yang
diadopsi oleh petani peserta pada musim hujan 2003/2004 adalah 57,1 % (Tabel 7),
sehingga jumlah petani adopternya adalah sebanyak 144 orang (252 x 57,1 %)
dengan luas 72 ha. (144 x 0,50 ha), sedangkan luas sawah irigasi di Kecamatan
Wlingi adalah seluas 1.149 ha (di luar P3T). Dari hasil survei diperoleh rata-rata
luas garapan di wilayah tersebut adalah seluas 0,42 ha, sehingga jumlah petaninya
ada 2.736 orang. Teknologi PTT yang diadopsi oleh petani non peserta (terdifusi)
adalah 27,4 % (Tabel 8), sehingga jumlah petani yang terdifusi ada 750 orang (273 x
27,4 %) dengan luas 315 ha (750 x 0,42 ha).
Luas areal sawah P3T di Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro tahun
2002 adalah seluas 100 ha dengan jumlah petani peserta 237 orang. Dari hasil survei
diperoleh rata-rata luas garapan petani peserta sebesar 0,44 ha, sedangkan tingkat
diadopsi teknologi oleh petani peserta pada musim hujan 2003/2004 adalah 60,1 %
(Tabel 7), sehingga jumlah petani adopternya adalah sebanyak 142 orang (237 x 60,1
%) dengan luas 62 ha (142 x 0,44 ha), sedangkan luas sawah irigasi di Kecamatan
Balen adalah sebesar 2.540 ha (di luar P3T). Dari hasil survei diperoleh rata-rata
luas garapan di wilayah tersebut adalah seluas 0,62 ha, sehingga jumlah petaninya
ada 4.097 orang.
Tabel 9. Jumlah Petani Adopter Paket Teknologi PTT Padi Sawah, Musim Hujan
2003/2004 di Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar dan Kecamatan Balen,
Kabupaten Bojonegoro, Tahun 2004
Uraian Jumlah petani
(orang) Luas (ha)
Jumlah petani
adopter
(orang)
Luas (ha)
1. Blitar
a. Petani peserta
b. Petani non
peserta
Total
2. Bojonegoro
a. Petani peserta
b. Petani non
peserta
Total
252
2.736
2.988
237
4.097
4.334
100
1.149
1.549
100
2.540
2.640
144
750
894
142
1.274
1.416
72
315
387
62
790
850
Teknologi PTT yang terdifusi oleh petani non peserta adalah 31,1 % (Tabel 8),
sehingga jumlah petani yang terdifusi ada 1.274 orang (4.097 x 31,1 %) dengan luas
790 ha (1.274 x 0,62 ha).
Dampak teknologi kegiatan PTT padi sawah terhadap produktivitas dan
pendapatan usahatani dapat dilihat dari perbandingan antara produktivitas padi
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
423
dan pendapatan usahatani padi petani peserta dengan produktivitas dan
pendapatan usahatani padi petani non peserta. Produktivitas padi pada musim
hujan 2003/2004 rata-rata yang dicapai oleh petani peserta lebih tinggi, bila
dibandingkan dengan petani non peserta. Produktivitas padi yang dicapai petani
peserta adalah 61 ku GKP/ha (Blitar) dan 62 ku GKP/ha (Bojonegoro), sedangkan
petani non peserta hanya mencapai 57 ku /ha GKP (Blitar) dan 58 ku GKP/ha
(Bojonegoro). Luas areal dampak pada musim tersebut, di Kabupaten Blitar
mencapai 387 ha dan 850 ha di Kabupaten Bojonegoro (Tabel 10). Dengan demikian
dampak produksi fisik adalah 1.548 ku GKP atau senilai Rp 185.756.000,- (Blitar)
dan 3.400 ku GKP atau senilai Rp 408.000.000,- (Bojonegoro).
Kegiatan PTT ini telah berdampak terhadap peningkatan pendapatan
usahatani padi sawah yang cukup tinggi, dari Rp 1.018.000 menjadi Rp 1.293.000,-
/ha atau meningkat 27 % (Blitar) dan Rp 1.122.000,- menjadi Rp 1.402.000,-/ha atau
meningkat 25 % (Bojonegoro). Disamping itu juga pengkajian PTT padi sawah
berdampak terhadap peningkatan efisiensi usahatani yang ditunjukkan dari
meningkatnya nilai R/C rasio dari 1,174 menjadi 1,214 (Blitar) dan 1,191 menjadi
1,232 (Bojonegoro).
Dampak dari kegiatan pengkajian PTT padi sawah juga dapat dilihat dari
kegiatan kelompok tani, seperti pertemuan kelompok. Kegiatan pertemuan
kelompok tani masih dilakukan secara rutin, yaitu sebulan sekali, baik di
Kabupaten Blitar maupun Bojonegoro. Pertemuan kelompok tersebut dihadiri oleh
petugas lapang (PPL) dan perangkat desa. Materi yang dibicarakan pada pertemuan
kelompok tersebut adalah hal-hal yang berkaitan dengan budidaya padi, seperti
penentuan waktu tanam, varietas padi yang akan ditanam, pengendalian hama
tikus serta masalah yang berkaitan dengan ternak sapi dan perkreditan. Inisiatif
diadakannya pertemuan kelompok tani ini umumnya berasal dari pengurus/anggota.
Tabel 10. Dampak kegiatan PTT padi sawah, terhadap produktivitas, pendapatan dan
efisiensi usahatani pada musim hujan 2003/2004 di Kecamatan Wlingi,
Kabupaten Blitar dan Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro, Tahun
2004 Uraian Blitar Bojonegoro
1. Produktivitas padi (kw GKP/ha)
a. Petani peserta
b. Petani non peserta
Perbedaan a dan b
2. Pendapatan (Rp/ha)
a. Petani peserta
b. Petani non peserta
Perbedaan a dan b
3. R/C rasio
a. Petani peserta
b. Non peserta
Perbedaan a dan b
4. Jumlah petani adopter (orang)
5. Luas areal dampak (ha)
6. Dampak produksi (kw)
7. Nilai dampak (Rp)
8. Biaya kegiatan PTT *)
9. Nilai dampak bersih (Rp)
61
57
4
1.293.000
1.018.000
275.000
1,214
1,174
0,040
894
387
1.548
185.760.000
172.960.000
128.000.000
62
58
4
1.402.000
1.122.000
280.000
1,232
1,191
0,041
1.416
850
3.400
408.000.000
126.450.000
281.500.000
*) Dana untuk kegiatan PTT padi sawah di wilayah P3T pada tahun 2002
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
424
KESIMPULAN
Program peningkatan produktivitas padi terpadu di Kabupaten Blitar dan
Bojonegoro telah dapat mengalihkan teknologi pengelolaan tanaman terpadu padi
sawah. Teknologi anjuran pengelolaan tanaman terpadu padi sawah yang telah
diadopsi oleh petani peserta 57 % (Blitar) dan 60 % (Bojonegoro), sedangkan
teknologi pengelolaan tanaman terpadu padi sawah yang terdifusi pada petani non
peserta mencapai 27 % (Blitar) dan 31 % (Bojonegoro). Komponen teknologi anjuran
pengelolaan tanaman terpadu padi sawah yang paling banyak diadopsi oleh petani
di Kabupaten Blitar maupun Bojonegoro adalah penggunaan varietas unggul baru
dan umur bibit yang ditanam. Adopsi teknologi tersebut telah berdampak positip
terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani padi. Disamping itu
juga adopsi teknologi PTT padi sawah telah berdampak secara komersial yang
cukup tinggi. Selama musim hujan 2003/2004 adopsi teknologi tersebut di
Kabupaten Blitar telah berdampak terhadap produksi padi sebesar 1.548 ku GKP
atau senilai Rp 185,7 juta dengan dampak komersial sebesar Rp 128 juta, sedangkan
di Kabupaten Bojonegoro adopsi teknologi PTT dalam musim yang sama telah
berdampak terhadap produksi padi sebesar 3.400 ku GKP atau senilai Rp 408 juta
dengan dampak komersial sebesar Rp 281,5 juta
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Tanaman Padi. 2003. Integrasi Sistem Pengendalian Hama
Terpadu ke Dalam Model Pengelolaan Tanaman Terpadu. Warta Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 25 (4) : 8 – 10.
Kasijadi., A. Suryadi dan Suwono. 2001. Penerapan Rakitan Teknologi Dalam
Meningkatkan Daya Saing Usahatani Padi di Jawa Timur. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. 4 (1) : 1 – 12.
Mahfud. M. C., G. Kartono., C. Ismail., Suhardi., W. Istuti dan A. Suryadi. 2001.
Kajian Penerapan Pengelolaan Tanaman Padi Secara Terpadu. Laporan
Akhir Tahun. BPTP Jawa Timur.
Roger. E.M dan F. Floyd Shoemakher. 1981. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru.
Disarikan Oleh Abdilah Hanafi. Usaha Nasinal. Surabaya.
Sudarmanto., W.H. Utomo., I. Soetrisno., E.D. Cahyono dan S. Suprapto.
1989. Studi Dampak Demontrasi Plot Terasiring Dalam Rangka Usaha
Pelestarian Tanah dan Air di Daerah Aliran Sungai Brantas Hulu. Jurnal
Universitas Brawijaya. 1 (1) : 51 – 58.
Suwono., W. Istuti., M. C. Mahfud., F. Kasijadi dan G. Kartono. 2003. Rakitan
Teknologi Usahatani Padi Sawah Berdasarkan Pengelolaan Tanaman Padi
terpadu (PTT) di Jawa Timur. Petunjuk Teknis Rakitan Teknologi
Pertanian. BPTP Jawa Timur. 47 – 57.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
425
ALTERNATIF MODEL KELEMBAGAAN PEMBIAYAAN UNTUK
PENGEMBANGAN PERTANIAN DI JAWA TIMUR
Purwanto*), Mat Syukur*), Pudji Santoso*), Bambang Irianto*) dan Rika Asnita*)
ABSTRAK
Kinerja pembangunan pertanian selama tiga dasawarsa cukup
menggembirakan, utamanya dalam meningkatkan produksi dan produktivitas
pertanian, namun kooptasi birokrasi yang berlebihan mengakibatkan melemahnya
kelembagaan ekonomi pertanian dan membawa dampak kepada rendahnya akses
pelaku usaha pertanian terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan
kemampuan SDM dan informasi pasar. Akses pelaku usaha pertanian yang rendah
pada sumber pembiayaan memerlukan kreasi lembaga pembiayaan yang tepat bagi
sektor ini. Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi permasalahan
kelembagaan, utamanya kelembagaan pembiayaan pertanian dan merumuskan
alternatif pemecahan masalah tersebut. Analisis data dilakukan secara deskriptif
dengan menggunakan Tabel tunggal dan silang. Hasil penelitian memperlihatkan
beberapa hal sebagai berikut : Penyaluran kredit sektor pertanian (termasuk
perkebunan, peternakan dan perikanan) di Jawa Timur mengalami peningkatan
yang signifikan. Penyaluran kredit sektor pertanian selama periode 1998-2002
meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 34,6 % per tahun, lebih tinggi daripada
sektor non pertanian. Kredit usahatani (KUT) kurang menunjukkan perkembangan
yang menggembirakan. Sebelum krisis ekonomi tingkat tunggakan KUT relatif
kecil namun selama 2 tahun setelah krisis moneter tunggakan KUT meningkat
tajam dimana proporsi tunggakan KUT pada MT 1998/1999 sebesar 63% meningkat
menjadi 74% pada MT 1999/2000. Penyaluran KUT sebagian besar digunakan untuk
usahatani padi. Pengamatan pada tingkat mikro memperlihatkan bahwa
kebanyakan petani menggunakan modal yang berasal dari modal sendiri (65%)
petani), hanya 13% petani yang menggunakan modal seluruhnya dari modal
pinjaman dan 22% petani modalnya berasal dari gabungan modal sendiri dan modal
pinjaman. Sumber modal pinjaman lebih banyak diakses dari sumber modal
informal. Secara umum petani di Jawa Timur kurang akses terhadap sumber
permodalan khususnya sumber modal dari lembaga formal. Di kabupaten Gresik,
Bojonegoro dan Probolinggo petani bahkan hampir tidak mempunyai akses terhadap
sumber permodalan dari lembaga formal. Akses terhadap sumber modal formal
kebanyakan terkendala masalah agunan. Alternatif model pembiayaan pertanian
tampaknya diperlukan untuk pengembangan pertanian di Jawa Tmur.
Kata kunci : Kebijakan, pembangunan pertanian, lembaga pembiayaan, sumber permodalan
__________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
426
ABSTRACT
The performance of agricultural development in the last three decades has
been satisfying especially in increasing the agricultural production and productivity;
however, over-cooptation of bureaucrats in institutional aspect results in asymmetric
information which gives in low access of agricultural practitioners to capital,
technology and human resources as well as market information. Limited access to
financial resources needs some creation of proper financial institution in this sector.
The purpose of this research was to identify institutional problems, especially those
related to agricultural financing and to formulate the solution of those problems.
Data analyses were carried out descriptively using both single and cross tabulation
techniques. The results showed several findings such as follows : Credit realization
in agricultural sectors (including estate crops, livestock and fisheries) in East Java
was significantly increasing. Within the period of 1998-2002, the credit realization
was increasing with a growth rate of 34.6% per year, which was higher than that of
non-agricultural sectors. There was not satisfying development of Farmers’ credit
(KUT). The arrears of KUT were smaller before monetary crisis, but within two years
after the crisis there were significant increase in arrears from 63% in 1998/1999 to
74% in 1999/2000. Most of agricultural credit realization was for rice farming.
Observation at micro level showed that most of farmers relied on their own capital
(65%), only 13% used all the capital from the credit scheme and 22% used the
combination capital resources. Informal credit scheme was more popular among
farmers in East Java. Farmers in Gresik, Bojonegoro and Probolinggo almost have
no access to formal financial resources which mostly caused by collateral problem.
Alternatives model of financial institution need to be developed to support
agricultural development in East Java.
Keywords : policy, agricultural development, financial institution, capital resource
PENDAHULUAN
Era Otonomi daerah yang telah berjalan beberapa tahun ini menuntut
pemerintah daerah Jawa Timur untuk lebih aktif berperan dalam menggali potensi
sumberdaya yang ada si wilayahnya, dan mengidentifikasi sumber-sumber
pertumbuhan baru untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi wilayah. Sektor
pertanian merupakan salah satu sektor andalan propinsi ini. Oleh karena itu sudah
selayaknya sektor pertanian diberikan perhatian yang sungguh-sungguh mengingat
sektor ini menjadi tumpuan harapan penghidupan sebagian besar penduduk
pedesaan.
Kinerja pembangunan pertanian selama lebih dari tiga dasawarsa cukup
menggembirakan terutama keberhasilannya dalam meningkatkan produksi dan
produktivitas pertanian. Namun efek lain dari pembangunan pertanian juga muncul
yakni kelembagaan ekonomi lokal banyak mengalami kelumpuhan akibat kooptasi
birokrasi yang berlebihan. Padahal selama ini kelembagaan lokal termasuk
didalamnya kelembagaan pembiayaan pertanian berkembang baik di masyarakat
dan berperan dalam pemerataan pendapatan. Lemahnya kelembagaan pembiayaan
pertanian akibat kooptasi yang berlebihan ini membawa konsekuensi pada makin
terbatasnya sumber-sumber pembiayaan yang dapat diakses oleh petani.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
427
Kooptasi birokrasi yang berlebihan telah memunculkan kondisi asimetris informasi antara sebagian besar masyarakat (petani kecil secara umum) dengan
kelompok lainnya. Asimetris informasi ini membawa implikasi sangat luas pada
rendahnya akses pelaku usaha di sektor pertanian terhadap sumberdaya modal,
teknologi, peningkatan kemampuan (human capital), informasi pasar, dan sebagainya.
Selama lebih dari tiga dasawarsa, pemerintah telah banyak mengintroduksikan
skim pembiayaan pertanian, namun efektivitas dan peranannya dalam mendorong
pengembangan pertanian masih rendah. Akses sebagian pelaku usaha pertanian
tampaknya juga masih rendah. Rendahnya akses tersebut disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya adalah keterbatasan pelaku usaha untuk menyediakan agunan
(kolateral) fisik kepada sumber pembiayaan (lender). Akses petani yang rendah terhadap lembaga kredit (terutama kredit formal)
mengakibatkan lemahnya kemampuan petani untuk mendanai usahatani yang pada
modal dengan dana sendiri. Padahal aplikasi teknologi pertanian modern yang
diharapkan akan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani,
membutuhkan pengerahan modal intensif.
Hasil penelitian Hermanto dan Syukur (1994) di Jawa Barat dan Lampung,
memperlihatkan bahwa 59% petani tidak mampu berswadana dalam usahataninya.
Sementara itu penelitian Syukur at al (1999) di Kabupaten Cianjur menunjukkan
bahwa lebih dari 90% petani mengandalkan modal dari swadana.
Fajardo (1992) mengemukakan bahwa petani kecil mempunyai aksesibilitas
yang sangat rentan terhadap fasilitas kredit formal, Hal ini disebabkan petani kecil
kurang memenuhi syarat kualifikasi yang ditetapkan oleh lembaga kredit tersebut.
Keterbatasan kemampuan ini membuat pelaku agribisnis (khusunya usaha kecil) sulit
berhubungan dengan lembaga kuangan formal. Lembaga keuangan formal juga
enggan melayani mereka, karena ragu-ragu dengan kemampuan mereka dalam
mengembalikan kredit dan biaya operasional untuk melayani nasabah kecil dianggap
terlalu besar sehingga tidak memberikan keuntungan yang sebanding.
Ketidaksanggupan petani untuk mendanai usahataninya menyebabkan mereka tidak
mempunyai pilihan lain kecuali meminjam uang pada lembaga kredit informal dan
non-program.
Segmen pasar (petani kecil) ini merupakan pasar kredit potensial bagi penyedia
kredit informal. Jarak yang dekat baik secara fisik maupun sosial dengan nasabah
merupakan kelebihan lembaga kredit informal dalam menggarap potensi/segmen
pasar petani kecil. Di samping beberapa kelebihan, pasar informal ini juga memiliki
kelemahan yakni tingkat bunga yang tinggi dan kemungkinan mobilitas perputaran
uang dalam jumlah besar relatif kurang karena terpecah-pecah dan terisolasinya
lokasi usaha pertanian secara fisik (Zeller, et al dalam Syukur, at al. 2000).
Segmen pasar (petani kecil) ini merupakan pasar kredit yang potensial bagi
penyedia kredit informal. Jarak yang dekat baik secara fisik maupun sosial dengan
nasabah merupakan kelebihan lembaga kredit informal dalam menggarap
potensi/segmen pasar petani kecil. Di samping kelebihan yang dimiliki, pasar informal
ini juga memiliki kelemahan yakni tingkat bunga yang lebih tinggi dan kemungkinan
mobilitas perputaran uang dalam jumlah besar relatif kurang karena terpecah-
pecahnya dan terisolasinya lokasi usaha pertanian secara fisik (Zeller, et al dalam
Syukur, at al. 2000)
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
428
Dengan pemahaman kritis terhadap akses pelaku usaha pertanian dan
mekanisme penyaluran skim-skim pembiayaan yang diakses petani diharapkan
dapat dirumuskan skim pembiayaan yang sesuai dan relevan dalam upaya untuk
memperoleh jalan pemecahan untuk rekayasa kelembagaan pembiayaan dalam
mendorong penegmbangan usaha pertanian di pedesaan.
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian lapangan dengan menggunakan
metode survey melalui wawancara langsung dengan petani responden, sedangkan
data sekunder diperoleh dari dinas dan instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik
dan Dinas Pertanian Proipinsi Jawa Timur.
2.2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di empat kabupaten untuk menggambarkan empat
koridor pertumbuhan yang ada di Jawa Timur yakni kabupaten Gresik (koridor
Utara-Selatan), Magetan (koridor Barat Daya), Probolinggo (Timur), dan Bojonegoro
(koridor Utara). Kabupaten contoh dipilih berdasarkan pertimbangan potensi lahan
dan produktivitasnya dengan kriteria sedang. Penarikan sampel petani pada lingkup
desa/kelompok tani diarahkan pada petani pemilik lahan sawah yang mempunyai
produktivitas rendah dan tinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.3. Metode analisis
Data-data yang telah terkumpul baik data primer maupun data sekunder
dianalisis dan diinterpretasi secara deskriptif dengan menggunakan Tabel tunggal dan
Tabel silang.
3.1. Ketersediaan Kredit Pertanian
Di Jawa Timur, penyaluran kredit sektor pertanian (termasuk perkebunan,
peternakan dan perikanan) mengalami peningkatan yang signifikasn. Laju
pertumbuhan penyaluran kredit pertanian selama periode 1998-2002 sebesar 34,6 %
per tahun lebih tinggi daripada sektor non pertanian (Purwanto, at al, 2003). Kredit
usahatani juga menunjukkan peningkatan yang sangat besar. Peningkatan
penyaluran kredit usahatani (KUT) yang ;luar biasa terjadi pada MT 1998/1999,
dimana realisasi penyaluran kreditnya mencapai 29 kali lipat dibandingkan musim
tanam tahun sebelumnya (Tabel 1). Peningkatan penyaluran kredit MT 1998/1999
tampak tidak wajar dan terkesan ada pemaksaan dalam penyaluran (realisasinya).
Hal ini tampak dari melonjaknya tunggakan KUT pada tahun yang sama.
Secara umum kinerja KUT di Jawa Timur menunjukkan perkembangan yang
cukup baik sebelum terjadi krisis moneter. Nilai kredit yang disalurkan memang lebih
kecil dibandingkan nilai kredit selama 2 tahun setelah krisis moneter tetapi proporsi
tunggakan kreditnya juga relatif kecil yakni sekitar 15% dari jumlah kredit yang
disalurkan. Kururn waktu 2 tahun setelah krisis moneter, tunggakan KUT meningkat
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
429
tajam. Pada MT 1998/1999, proporsi tunggakan KUT sebesar 63% meningkat menjadi
74% pada MT 1999/2000 meskipun nilai absolut/riilnya menurun. Ada 2 penyebab
utama membengkaknya tunggakan KUT. Pertama, kebijakan pemerintah yang
membuka luas penyediaan KUT yang berakibat terjadinya manipulasi data
permintaan kredit (data fiktif). Kedua, menurunnya kemampuan ekonomi petani
akibat melonjaknya harga sarana produksi dan kebutuhan konsumsi.
Ditinjau dari wilayah pertumbuhan yang ada di Jawa Timur, Koridor Utara-
Selatan mendapat alokasi kredit (KUT) yang lebih besar dibandingkan tiga koridor
lainnya. Tampaknya kurang ada kesesuaian antara potensi/luas lahan pertanian
suatu wilayah dengan besarnya alokasi kredit yang disalurkan. Koridor Utara-
Selatan yang luas lahan pertaniannya paling kecil mendapat porsi penyaluran kredit
yang paling besar dibandingkan tiga koridor lainnya. Padahal porsi KUT ini
sebagian besar untuk tanaman padi yang tentunya banyak diusahakan di lahan
sawah. Dengan demikian selayaknya wilayah yang memiliki lahan pertanian
(sawah) yang lebih luas mendapat porsi alokasi kredit yang lebih besar. Sementara
itu alokasi kredit di ketiga wilayah lainnya yakni koridor Utara, Timur dan Barat
Daya lebih sesuai dengan potensi/luas lahan pertanian yang ada di masing-masing
wilayah (Tabel 2 s/d 5).
Permintaan kredit untuk usahatani padi masih mendominasi penyaluran
KUT di Jawa Timur. Hal ini terkait erat dengan program peningkatan produksi
pangan yang lebih memprioritaskan pada peningkatan produksi padi (beras).
Sementara itu tanaman hortikultura yang merupakan tanaman bernilai ekonomi
tinggi kurang mendapat perhatian dalam program peningkatan produksi dan
dukungan penyediaan kreditnya. Pada masa mendatang tanaman hortikultura
perlu mendapat perhatian yang lebih besar dalam kebijakan pemerintah untuk
peningkatan produksi pertanian di Jawa Timur.
Sejak tahun 2001, KUT berubah menjadi kredit ketahanan pangan (KKP).
Perubahan skim kredit daari KUT menjadi KKP ini juga tidak banyak membawa
perubahan yang berarti terhadap kinerja perkreditan pertanian. Proporsi tunggakan
KKP bahkan lebih besar dibandingkan KUT. Total penyaluran kredit ketahanan
pangan di Jawa Timur sampai dengan Juli 2003 sebesar 350 milyar rupiah dengan
tingkat pengembalian kredit sebesar 10,5%. Sementara itu penyaluran KUT pada
MT 1999/2000 sebesar 312 milyar rupiah dengan tingkat pengembalian kredit
sebesar 25%.
Berbeda dengan KUT yang banyak disalurkan untuk tanaman padi, porsi
penyaluran KKP lebih banyak digunakan untuk budidaya tanaman tebu. (85% dari
total kredit). Alokasi kredit untuk budidaya padi dan palawija maupun jenis usaha
lainnya relatif kecil. Hal ini sesuai dengan plafon kredit yang disediakan untuk
masing-masing jenis usaha (komoditas yang diusahakan). Ditinjau dari tingkat
pengembalian kreditnya, justru terjadi hal yang sebaliknya dimana tingkat
pengembalian KKP untuk budidaya tebu relatif kecil (6,4%) sementara tingkat
pengembalian kredit untuk budidaya padi dan palawija mencapai 34% (Tabel 6 & 7).
Tingkat pengembalian KKP untuk budidaya tebu yang relatif kecil ini tampaknya
terkait dengan siklus panen tebu yang lebih lama dibandingkan tanaman padi dan
palawija sehingga pada saat pencatatan pengembalian kredit (Juli 2003) banyak
petani yang belum panen dan belum mengembalikan kredit.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
430
Tabel 1 Realisasi dan Tunggakan KUT (1995/1996 – 1999/2000) menurut musim tanam di Jawa Timur.
No M.Tanam Plafond
(Rp.000)
Credit Order Realisasi Tunggakan
Kop/LSM Nilai (Rp.000) Kop/LSM Padi (ha) P.Wija (ha) Horti (ha) Jumlah (ha) Nilai (Rp.000) Kop/LSM % Thd Real
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 14
I. TP 95/96 27,109,000 623 41,941,294 608 145,039 4,651 37 149,727 37,922,845 223 15.46
MT 95/96 546 37,652,555 535 133,979 4,177 37 138,193 34,043,388 211 16.16
MT 96 77 4,288,739 73 11,060 474 0 11,534 3,879,457 12 9.28
II. TP 96/97 31,058,284 458 37,172,277 458 50,157 4,681 61 54,899 34,794,742 193 15.57
MT 96/97 413 33,849,017 413 45,649 1,791 61 47,501 31,785,154 192 17.03
MT 97 45 3,323,260 45 4,508 2,890 0 7,398 3,009,588 1 0.15
III. TP 97/98 63,966,508 755 64,766,077 755 152,455 37,334 188 189,977 62,529,877 226 9.86
MT 97/98 324 32,959,284 324 92,105 15,477 70 107,652 31,838,174 120 11.18
MT 98 431 31,806,793 431 60,350 21,857 118 82,325 30,691,703 106 8.48
IV. TP 98/99 1,918,103,000 1,460 1,841,301,020 1,725 853,943 320,265 74,031 1,248,239 1,841,301,020 1,566 63.17
MT 98/99 1,018 1,184,136,183 1,015 682,400 227,414 41,143 950,957 1,184,136,183 912 56.33
MT 99 710 657,164,837 710 171,543 92,851 32,888 297,282 657,164,837 654 75.51
V. TP 99/00 425,000,000 753 311,626,860 756 183,137 50,203 0 233,340 311,782,975 692 74.42
MT 99/00 717 293,272,637 717 173,644 45,262 0 218,906 293,272,637 657 74.50
MT 00 39 18,354,223 39 9,493 4,941 0 14,434 18,510,338 35 73.12
Jumlah 2,465,236,792 2,296,807,528 4,302 1,384,731 417,134 74,317 1,876,182 2,288,331,459 2,900 61.73
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
431
Tabel 2. Realisasi dan Tunggakan KUT (1995/1996 – 1999/2000) menurut musim tanam di Koridor Utara Jawa Timur
No. Kabupaten/Kdy
MH 1995/1996 - 1999/2000 MK 1996 - 2000 Total 1995/1996 - 1999/2000
Realisasi % Tung.
Realisasi % Tung.
Realisasi % Tung.
Kop/LSM (Rp.000) Kop/LSM (Rp.000) Kop/LSM (Rp.000)
1 Bojonegoro 123 33,295,407 43.59 53 20,784,098 59.09 176 54,079,505 49.55
2 Tuban 84 57,165,315 58.20 32 20,580,421 58.13 116 77,745,736 58.18
3 Lamongan 136 80,275,648 53.45 39 30,237,494 65.24 175 110,513,142 56.67
4 Ngawi 148 59,196,114 43.74 34 7,799,582 59.67 182 66,995,696 45.59
5 Bangkalan 88 102,200,239 52.38 7 155,994 0.00 95 102,356,233 52.30
6 Sampang 20 11,877,335 56.31 3 43,354 0.00 23 11,920,689 56.10
7 Pamekasan 37 43,595,113 45.76 14 2,006,195 75.68 51 45,601,308 47.08
8 Sumenep 192 127,636,538 57.78 11 597,905 0.00 203 128,234,443 57.51
Jumlah 828 515,241,709 52.50 193 82,205,043 61.00 1,021 597,446,752 53.67
Tabel 3 Realisasi dan tunggakan KUT (1995/1996 – 1999/2000) menurut musim tanam di Koridor Timur Jawa Timur
No. Kabupaten/Kdy
MH 1995/1996 - 1999/2000 MK 1996 - 2000 Total 1995/1996 - 1999/2000
Realisasi %
Tung.
Realisasi % Tung.
Realisasi % Tung.
Kop/LSM (Rp.000) Kop/LSM (Rp.000) Kop/LSM (Rp.000)
1 Probolinggo 119 52,457,965 76.08 51 21,688,426 79.54 170 74,146,391 77.09
2 Lumajang 117 33,942,536 37.77 101 24,938,673 51.01 218 58,881,209 43.38
3 Bondowoso 131 56,362,846 52.81 104 30,916,033 74.92 235 87,278,879 60.64
4 Situbondo 78 48,846,478 82.78 30 3,810,390 64.74 108 52,656,868 81.47
5 Jember 161 92,909,703 66.29 78 72,000,890 73.69 239 164,910,593 69.52
6 Banyuwangi 167 54,973,306 63.89 104 58,202,128 84.88 271 113,175,434 74.68
Jumlah 773 339,492,834 64.70 468 211,556,540 74.71 1,241 551,049,374 68.54
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
432
Tabel 4 Realisasi dan Tunggakan KUT (1995/1996 – 1999/2000) menurut musim tanam di Koridor Utara-Selatan Jawa Timur
No. Kabupaten/Kdy
MH 1995/1996 - 1999/2000 MK 1996 - 2000 Total 1995/1996 - 1999/2000
Realisasi %
Tung.
Realisasi %
Tung.
Realisasi %
Tung. Kop/LSM (Rp.000) Kop/LSM (Rp.000) Kop/LSM (Rp.000)
1 Surabaya 7 1,939,806 23.64 4 881,845 39.51 11 2,821,651 28.60
2 Gresik 58 38,805,592 56.91 40 25,777,229 67.77 98 64,582,821 61.24
3 Sidoarjo 54 13,051,225 33.59 22 9,138,024 81.53 76 22,189,249 53.33
4 Mojokerto 71 27,842,803 57.48 37 31,307,942 74.65 108 59,150,745 66.57
5 Pasuruan 93 45,539,646 59.91 62 26,682,893 74.67 155 72,222,539 65.36
6 Malang 123 272,070,584 79.84 110 120,558,335 90.50 233 392,628,919 83.11
7 Blitar 112 56,179,583 24.80 70 33,406,435 23.46 182 89,586,018 24.30
Jumlah 518 455,429,239 66.17 345 247,752,703 74.87 863 703,181,942 69.24
Tabel 5. Realisasi dan Tunggakan KUT (1995/1996 – 1999/2000) menurut Musim Tanam di Koridor Barat Daya Jawa Timur
No. Kabupaten/Kdy
MH 1995/1996 - 1999/2000 MK 1996 - 2000 Total 1995/1996 - 1999/2000
Realisasi %
Tung.
Realisasi %
Tung.
Realisasi %
Tung. Kop/LSM (Rp.000) Kop/LSM (Rp.000) Kop/LSM (Rp.000)
1 Jombang 114 30,347,288 56.83 51 45,967,683 79.41 165 76,314,971 70.43
2 Madiun 95 27,400,592 28.55 17 5,157,069 56.50 112 32,557,661 32.98
3 Magetan 96 26,123,080 9.85 15 3,383,433 20.28 111 29,506,513 11.05
4 Ponorogo 108 46,526,164 41.74 23 9,773,537 52.60 131 56,299,701 43.62
5 Pacitan 34 18,003,739 16.91 13 11,396,016 54.03 47 29,399,755 31.30
6 Kediri 120 48,140,434 61.40 71 56,634,494 72.16 191 104,774,928 67.22
7 Nganjuk 117 32,951,517 52.22 45 23,359,046 84.18 162 56,310,563 65.48
8 Tulungagung 97 24,402,061 40.82 50 15,901,081 44.46 147 40,303,142 42.26
9 Trenggalek 61 11,016,879 14.62 7 169,278 5.21 68 11,186,157 14.48
Jumlah 842 264,911,754 40.94 292 171,741,637 69.30 1,134 436,653,391 52.09
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
433
Dukungan lembaga perkreditan swasta tampak kurang dalam pengembangan usaha di
sektor pertanian. Partisipasi lembaga keuangan (bank) dalam penyaluran kredit ketahanan
pangan lebih banyak didominasi oleh bank pemerintah (Tabel 8). Menarik untuk dicermati
data penyaluran kredit oleh Bukopin karena tingkat pengembalian kreditnya mencapai 84%,
sementara bank lainnya tingkat pengembalian kreditnya relatif kecil.
Tabel 6 Realisasi penyaluran dan pengembalian kredit ketahanan pangan pada berbagai jenis
usaha di Jawa Timur (Posisi s/d Juli 2003)
No. Jenis Usaha
Realisasi Kredit (juta rupiah) %
pengembalian
thd penyaluran
Penyaluran Pengembalian
Jumlah % thd
total Jumlah
% thd
total
1 Pengadaan Pangan 13696.66 3.82 4713.98 12.50 34.42
2
Budidaya Padi, Jagung,
Kedelai
U. Kayu dan U. Jalar 25861.29 7.22 8824.74 23.40 34.12
3 Ternak Sapi potong,
Ayam buras dan Itik 11189.84 3.12 4572.30 12.12 40.86
4 Budidaya Tebu 306352.99 85.52 19534.93 51.80 6.38
5 Penangkapan dan
Budidaya Ikan 1131.40 0.32 68.63 0.18 6.07
Total 358232.19 100.00 37714.57 100.00 10.53
Tabel 7 Plafon dan penyaluran kredit ketahanan pangan pada berbagai jenis usaha di Jawa
Timur (posisi s/d Juli 2003)
No Jenis Usaha
Penyediaan dan Realisasi Kredit (juta rupiah) % penyaluran
thd Plafon Plafon Penyaluran
Jumlah % thd
Total Jumlah
% thd
Total
1 Pengadaan Pangan 62971.00 11.70 13696.66 3.82 21.75
2
Budidaya Padi, Jagung,
Kedelai
U. Kayu dan U. Jalar 48426.19 9.00 25861.29 7.22 53.40
3 Ternak Sapi potong,
Ayam buras dan Itik 26711.15 4.96 11189.84 3.12 41.89
4 Budidaya Tebu 398563.45 74.06 306352.99 85.52 76.86
5 Penangkapan dan
Budidaya Ikan 1477.90 0.27 1131.40 0.32 76.55
Total 538149.69 100.00 358232.19 100.00 66.57
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
434
Tabel 8 Partisipasi lembaga keuangan (bank) dalam penyaluran kredit ketahanan pangan di
Jawa Timur (Posisi s/d Juli 2003)
No Bank Pelaksana
Realisasi Kredit (juta rupiah) %
pengembalian
thd penyaluran Penyaluran Pengembalian
Jumlah % thd total Jumlah % thd total
1 Bank Jatim 49879.74 13.92 2072.90 5.50 4.16
2 B N I 29458.47 8.22 6462.81 17.14 21.94
3 B R I 183757.44 51.30 8592.33 22.78 4.68
4 Bank Agro 87112.89 24.32 16543.90 43.87 18.99
5 Bukopin 4322.83 1.21 3647.84 9.67 84.39
6 Mandiri 908.05 0.25 394.79 1.05 43.48
7 B C A 1292.76 0.36 0.00 0.00 0.00
8 Niaga 1500.00 0.42 0.00 0.00 0.00
Total 358232.19 100.00 37714.57 100.00 10.53
3.2. Sumber Permodalan Petani
Secara umum petani di Jawa Timur tidak banyak yang menggunakan modal pinjaman
untuk berusahatani. Sebagian besar petani (52%) menggunakan modal sendiri. Hanya 8%
petani yang menggunakan modal seluruhnya berasal dari modal pinjaman. Sementara itu 40%
petani menggunakan modal yang berasal dari gabungan antara modal sendiri dan modal
pinjaman.
Hasil survey di 4 kabupaten memperlihatkan adanya variasi dalam penggunaan modal
untuk usahatani. Di Kabupaten Magetan dan Probolinggo, petani yang menggunakan modal
dari sumber modal sendiri cukup besar masing-masing sebesar 75% dan 57%. Sementara itu
petani di Kabupaten Bojonegoro dan Gresik sebagian besar menggunakan modal pinjaman dan
masing-masing hanya 42% dan 40% petani yang menggunakan modal sendiri.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa akses petani terhadap sumber permodalan
dari luar kurang dari 15%. Hal ini sejalan dengan kondisi perkreditan pertanian baik untuk
wilayah Jawa Timur maupun nasional dimana alokasi kredit untuk sektor pertanian tidak
lebih dari 10% (BPS Jatim, 2002).
Modal pinjaman yang diperoleh petani pada umumnya berasal dari sumber modal
informal yaitu kerabat dekat/tetangga, kelompok tani, dan toko/kios saprodi. Hanya 5% petani
yang akses terhadap sumber permodalan dari lembaga formal. Di kabupaten Gresik,
Bojonegoro dan Probolinggo petani hampir tidak mempunyai akses terhadap sumber
permodalan dari lembaga formal.
Kisaran pinjaman dari sumber permodalan berkisar antara Rp 200.000,- hingga Rp 5
juta, dengan bunga pinjaman berkisar antara 0% hingga 2,5% per bulan. Bunga 0% umumnya
dikenakan oleh sumber permodalan yang berasal dari kerabat dekat/famili. Sifat menolong
masih sangat kental dalam transaksi pinjaman dari sumber ini. Sementara itu bunga
pinjaman sebesar 1,5% hingga 2,5% per bulan dikenakan oleh sumber permodalan dari
lembaga formal seperti bank BRI atau koperasi.Transaksi pinjaman dari sumber pembiayaan
formal tersebut sudah mengikuti mekanisme dan harga pasar.
3.3. Akses Petani Terhadap Sumber Pembiayaan
Akses petani terhadap sumber modal/pembiayaan dari luar dipengaruhi oleh
kemampuan dan kemauan petani dalam memanfaatkan peluang untuk mendapatkan modal
tersebut. Ada kalanya petani secara ekonomi mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan
untuk mendapatkan kredit tetapi tidak mau/enggan mengambil kesempatan untuk
mendapatkan pinjaman modal, sebaliknya ada petani yang mau/menginginkan mendapatkan
pinjaman untuk membiayai usahanya tetapi tidak mampu memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh suatu lembaga untuk mendapatkan pinjaman. Dalam prakteknya, syarat
kemampuan ekonomi banyak diterapkan oleh lembaga pembiayaan formal yang relatif besar,
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
435
sedangkan lembaga pembiayaan informal/mikro pada umumnya tidak menerapkan
persyaratan ini secara kaku. Jaringan hubungan informal yang terjalin antara lembaga
penyedia kredit dan petani dapat membuka peluang bagi petani untuk memperoleh akses
terhadap sumber pembiayaan dari sektor informal.
Hasil survei terhadap petani di empat kabupaten di Jawa Timur memperlihatkan
adanya keterkaitan yang cukup kuat antara kemampuan ekonomi yang diindikasikan oleh
luas pemilikan lahan, umur, tingkat pendidikan dan ragam pekerjaan dengan akses petani
terhadap sumber pembiayaan/perkreditan. Petani pemilik lahan luas, umur yang lebih muda,
pendidikan yang lebih tinggi dan jenis pekerjaan yang lebih beragam mempunyai akses yang
lebih besar terhadap sumber perkreditan dibandingkan petani pemilik lahan sempit, umur
tua, pendidikan rendah dan jenis pekerjaan yang tidak beragam (Tabel 9). Faktor resiko
merupakan pemicu dan penghambat utama bagi petani dalam mengambil keputusan apakah
mereka akan memanfaatkan peluang kredit yang tersedia atau tidak. Umur muda, pendidikan
yang tinggi, ragam pekerjaan yang lebih variatif dan pemilikan lahan yang luas merupakan
pemicu yang kuat bagi petani untuk menanggung resiko apabila terjadi kegagalan dalam
berusaha sehingga mereka lebih berani dalam memanfaatkan peluang kredit yang tersedia.
Tidak jarang petani enggan memanfaatkan peluang kredit yang tersedia baginya karena
enggan atau tidak berani menanggung resiko (kawatir tidak bisa mengembalikan kredit
apabila usahanya gagal). Keengganan mengambil resiko tampak jelas karena sebagian besar
(68%) petani mengaggap bahwa mencari pinjaman atau kredit tidak sulit tetapi kebanyakan
petani tidak memanfaatkan peluang kredit yang tersedia..
Tinjauan pada lingkup/wilayah yang lebih kecil memperlihatkan hubungan yang lebih
variatif antara kemampuan ekonomi dengan akses petani terhadap sumber perkreditan.
Seperti halnya yang terjadi di Jawa Timur, ada indikasi yang kuat antara kemampuan
ekonomi dan akses petani terhadap sumber perkreditan di koridor Utara (Tabel 12), namun di
koridor Utara-Selatan dan koridor Timur tidak menunjukkan adanya indikadi yang serupa. Di
koridor Utara-Selatan (Magetan) petani yang lebih banyak memanfaatkan kredit justru petani
dengan pemilikan lahan sempit, umur muda, tingkat pendidikan yang rendah, dan ragam
pekerjaan kecil (Tabel 10). Petani di wilayah ini umumnya mengambil kredit bukan untuk
pengembangan usaha tetapi karena keterpaksaan akibat tidak mempunyai modal untuk
membiayai usahataninya. Mereka umumnya meminjam modal dari saudara atau kerabatnya
yang tidak dikenakan biaya bunga. Sementara itu petani yang lebih banyak memanfaatkan
kredit di koridor Timur adalah petani dengan kriteria pemilikan lahan sempit, umur muda,
tingkat pendidikan rendah dan ragam pekerjaan besar (Tabel 13). Sumber perkreditan yang
dominan bagi petani di koridor Timur adalah kelompok tani dan kredit bantuan pemerintah
yang disediakan melalui desa. Di koridor Barat Daya sebagian besar petani tidak
memanfaatkan kredit untuk membiayai usahataninya (Tabel 11)
Secara umum dapat dikemukakan bahwa petani di empat kabupaten yang diamati
menunjukkan bahwa petani tidak merasa sulit untuk akses pada sumber permodalan karena
ada sumber modal informal. Hanya saja untuk akses pada sumber permodalan formal memang
masih terkendala adanya persyaratan agunan.
Rendahnya akses pada sumber permodalan formal ini menuntut adanya kreasi lembaga
pembiayaan alternatif yang dapat memudahkan petani akses pada permodalan dengan
persyaratan yang sesuai dengan karakteristik sebagian besar petani.
3.4. Alternatif Model Kelembagaan Pembiayaan Pertanian
Berdasarkan kondisi nyata akses pelaku usaha pertanian terhadap sumber pembiayaan
formal, dimana terdapat inkompatibilitas praktek-praktek lembaga pembiayaan formal
(perbankan) dengan kemampuan sumberdaya pelaku usaha pertania, maka introduksi model
pelayanan pembiayaan konvensional yang dimodifikasi (modified-conventionalfinancial service model) akan lebih esuai dan merupakan pilihan logis dan reasonable bagi petani (Gambar 1)
Dalam model tersebut kelembagaan koperasi pertanian dan lembaga keuangan mikro
(LKM) lainnya dipertimbangkan sebagai pilihan kelembagaan pembiayaan bagi petani. Pola
ini tentu saja memerlukan beberapa persyaratan dasar. Sumberdaya manusia (SDM)
pengelola yang berkualitas dan sumberdana yang cukup adalah dua syarat dasar yang harus
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
436
dipenuhi oleh kelembagaan sumber pembiayaan koperasi pertanian dan LKM. Tanpa itu
tampaknya agak sulit untuk menghasilkan suatu kelembagaan pembiayaan yang kuat dan
resonable bagi petani.
Pengembangan kelembagaan pembiayaan bagi sektor pertanian sebagaimana
dikemukakan di atas dapat ditempuh melalui integrasi sektor pembiayaan perbankan dengan
kelembagaan non-perbankan skala mikro melalui aliansi strategis dengan cara membentuk
pooling fund bagi lembaga pembiayaan non-perbankan yaitu koperasi pertanian dan LKM
lainnya. Hal ini ditempuh untuk mensinergikan kekuatan dan sekaligus mengurangi
kelemahan dari kedua bentuk lembaga pembiayaan tersebut.
Pembukaan outlet atau unit pelayanan LKM/Koperasi Pertanian yang berlokasi dekat
dengan pelaku usaha pertanian adalah pilihan strategis dan ekonomis dalam rangka
menjembatani keterbatasan kemampuan sumberdaya petani dan sekaligus mengurangi biaya
transaksi yang tinggi bagi LKM dan koperasi pertaniaan. Fungsi outlet ini adalah sebagai
principal agent bagi LKM/Koperasi Pertanian yang tidak hanya berfungsi menseleksi
(screening) petani yang layak mendapatkan kredit, tetapi juga dapat berfungsi sebagai alat
kontrol dalam penggunaan pinjaman. Mekanisme ini diharapkan dapat meningkatkan akses
petani pada sumber pembiayaan dengan tetap memberlakukan praktek-praktek pembiayaan
yang mengacu pada aspek kehati-hatian (prudent). Dalam hal ini kelompok tani juga dapat
berfungsi sebagai outlet.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
437
Tabel 9. Akses petani terhadap sumber perkreditan di Jawa Timur
Akses Luas Lahan Umur Pendikan Ragam Pekerj
≤ 0.5 0.5-1.0 > 1.0 ≤45 Th > 45 Th ≤ 6 th > 6 th 1 Jenis > 1 jenis
Pinjam 44.7(17) 47.5 (19) 52.2 (12) 59.3 (35) 31.0 (13) 46.0 (23) 49.0 (25) 44.4 (20) 50.0 (28)
Tidak 55.3 (21) 52.5 (21) 47.8 (11) 40.7 (24) 69.0 (29) 54.0 (27) 51.0 (26) 55.6 (25) 50.0 (28)
Total 100.0 (38) 100.0 (40) 100.0 (23) 100.0 (59) 100.0 (42) 100.0 (50) 100.0 (51) 100.0 (45) 100.0 (56)
Keterangan : ( ) angka dalam kurung adalah jumlah responden
Tabel 10 Akses petani terhadap sumber perkreditan di koridor Utara-Selatan Jawa Timur
Akses Luas Lahan Umur Penddk Ragam Pekerj
≤ 0.5 0.5-1.0 > 1.0 ≤ 45Th > 45 Th ≤ 6 th > 6 th 1 Jenis > 1 jenis
Pinjam 62.5 (5) 50.0 (6) 70.0 (7) 65.0 (13) 50.0 (5) 62.5 (10) 57.1 (8) 69.2 (9) 52.9 (9)
Tidak 37.5 (3) 50.0 (6) 30.0 (3) 35.0 (7) 50.0 (5) 37.5 (6) 42.9 (6) 30.8 (4) 47.1 (8)
Total 100.0 (8) 100.0 (12) 100.0 (10) 100.0 (20) 100.0 (10) 100.0 (16) 100.0 (14) 100.0 (13) 100.0 (17)
Keterangan : ( ) angka dalam kurung adalah jumlah responden
Tabel 11. Akses petani terhadap sumber perkreditan di koridor Barat Daya Jawa Timur
Akses Luas Lahan Umur Penddk Ragam Pekerj
≤ 0.5 0.5-1.0 > 1.0 ≤ 45Th > 45 Th ≤ 6 th > 6 th 1 Jenis > 1 jenis
Pinjam 11.1 (1) 38.5 (5) 0.0 (0) 28.6 (2) 23.5 (4) 23.5 (4) 28.6 (2) 25.0 (3) 25.0 (3)
Tidak 88.9 (8) 61.5 (8) 100.0 (2) 71.4 (5) 76.5 (13) 76.5 (13) 71.4 (5) 75.0 (9) 75.0 (9)
Total 100.0 (9) 100.0 (13) 100.0 (2) 100.0 (7) 100.0 (17) 100.0 (17) 100.0 (7) 100.0 (12) 100.0 (12)
Keterangan : ( ) angka dalam kurung adalah jumlah responden
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
438
Tabel 12 Akses petani terhadap sumber perkreditan di koridor Utara Jawa Timur
Akses Luas Lahan Umur Penddk Ragam Pekerj
≤ 0.5 0.5-1.0 > 1.0 ≤ 45Th > 45 Th ≤ 6 th > 6 th 1 Jenis > 1 jenis
Pinjam 58.3 (7) 50.0 (6) 100.0 (2) 68.8 (11) 40.0 (4) 45.5 (5) 66.7 (10) 57.1 (4) 57.9 (11)
Tidak 41.7 (5) 50.0 (6) 0.0 (0) 31.3 (5) 60.0 (6) 54.5 (6) 33.3 (5) 42.9 (3) 42.1 (8)
Total 100.0 (12) 100.0 (12) 100.0 (2) 100.0 (16) 100.0 (10) 100.0 (11) 100.0 (15) 100.0 (7) 100.0 (19)
Keterangan : ( ) angka dalam kurung adalah jumlah responden
Tabel 13. Akses petani terhadap sumber perkreditan di Koridor Timur Jawa Timur
Akses Luas Lahan Umur Penddk Ragam Pekerj
≤ 0.5 0.5-1.0 > 1.0 ≤ 45Th > 45 Th ≤ 6 th > 6 th 1 Jenis > 1 jenis
Pinjam 44.4 (4) 66.7 (2) 33.3 (3) 56.3 (9) 0.0 (0) 66.7 (4) 33.3 (5) 30.8 (4) 62.5 (5)
Tidak 55.6 (5) 33.3 (1) 66.7 (6) 43.8 (7) 100.0 (5) 33.3 (2) 66.7 (10) 69.2 (9) 37.5 (3)
Total 100.0 (9) 100.0 (3) 100.0 (9) 100.0 (16) 100.0 (5) 100.0 (6) 100.0 (15) 100.0 (13) 100.0 (8)
Keterangan : ( ) angka dalam kurung adalah jumlah responden
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
439
Gambar 1. Modified Conventional Financial Model bagi Pelaku Usaha Pertanian
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Di Jawa Timur, penyaluran kredit sektor pertanian (termasuk perkebunan,
peternakan dan perikanan) mengalami peningkatan yang signifikan. Penyaluran
kredit sektor pertanian selama periode 1998-2002 meningkat dengan laju
pertumbuhan sebesar 34,6 % per tahun, lebih tinggi daripada sektor non pertanian.
Kredit usahatani (KUT) juga menunjukkan perkembangan yang cukup baik
dengan tingkat tunggakan yang relatif kecil sebelum terjadi krisis moneter. Nilai
kredit yang disalurkan memang lebih kecil dibandingkan nilai kredit selama 2 tahun
setelah krisis moneter tetapi proporsi tunggakan kreditnya juga relatif kecil yakni
sekitar 15% dari jumlah kredit yang disalurkan. Kururn waktu 2 tahun setelah
krisis moneter, tunggakan KUT meningkat tajam dimana proporsi tunggakan KUT
pada MT 1998/1999 sebesar 63% meningkat menjadi 74% pada MT 1999/2000.
Penyaluran KUT sebagian besar digunakan untuk usahatani padi.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
440
Pengamatan pada tingkat mikro memperlihatkan bahwa kebanyakan petani
menggunakan modal yang berasal dari modal sendiri (65%) petani), hanya 13%
petani yang menggunakan modal seluruhnya dari modal pinjaman dan 22% petani
modalnya berasal dari gabungan modal sendiri dan modal pinjaman. Sumber modal
pinjaman lebih banyak diakses dari sumber modal informal.
Secara umum petani di Jawa Timur kurang akses terhadap sumber
permodalan khususnya sumber modal dari lembaga formal. Di kabupaten Gresik,
Bojonegoro dan Probolinggo petani bahkan hampir tidak mempunyai akses terhadap
sumber permodalan dari lembaga formal. Akses terhadap sumber modal formal
kebanyakan terkendala masalah agunan.
4.2. Saran
- Dalam jangka pendek, perlu diupayakan adanya lembaga pembiayaan
alternatif (Lembaga Keuangan Mikro) yang dapat memudahkan akses
petani terhadap permodalan dengan persyaratan yang sesuai dengan
karakteristik sebagian besar petani. Modal lembaga pembiayaan alternatif
ini dapat ditempuh melalui integrasi sektor pembiayaan perbankan dengan
kelembagaan non-perbankan melalui pembentukan “pooling fund”.
- Dalam jangka panjang, alokasi kredit sektor pertanian secara bertahap
perlu ditingkatkan untuk mendorong percepatan pertumbuhan usaha di
sektor pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, A. 1995. Memahami Persoalan Pasar Keuangan di Wilayah Pedesaan.
Dalam Agricultural Planning, Vol. 1. Kerjasama Australian Eastern
Universities Project dengan Universitas Mataram, Lombok.
BPS Jawa Timur, 2002. Jawa Timur dalam Angka Th 2002. BPS Jawa Timur.
Surabaya.
Fajardo, F. R. 1992. Agricultural Economics. Rex Printing Company Inc. Manila.
Hermanto dan Mat Syukur. 1998. Kajian Sumber Modal Pertanian Sub Sektor
Tanaman Pangan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Metode Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian di BLPP Cihea-Cianjur. Jawa Barat. 12 Jan s/d
10 Feb 1994.
Syukur, M,. at al. 1999. Kajian Skim Kredit Menunjang Pengembangan IP Padi 300
di Jawa Barat. Kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian
dengan ARM Project-II. Badan Litbang Deptan.
Syukur, M., at al. 2000. Peningkatan Peranan Kredit dalam Menunjang Agribisnis di
Pedesaan (Laporan Hasil Penelitian). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Syukur, M., at al. 2003. Analisis Rekayasa Kelembagaan Pembiayaan Usaha
Pertanian (laporan Hasil Penelitian). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
441
ANALISIS PEMANFAATAN INFORMASI IKLIM UNTUK PENGELOLAAN
TANAMAN KENTANG DI PANGALENGAN JAWA BARAT
Moh. Ismail Wahab*)
ABSTRAK
Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2003 di
Kecamatan Pengalengan, Bandung dengan tujuan untuk mengetahui kontribusi
informasi terhadap variabilitas produksi dan merekomendasi sistem usahatani
tactical management dengan mempertimbangkan faktor iklim yang dapat
menghasilkan keuntungan maksimal. Ketinggian tempat lokasi penelitian sekitar
1450 m dpl (diatas permukaan laut). Musim tanam kentang di Pengalengan dibagi
dalam 3 musim tanam, yaitu Porekat (Januari-April), Ceboran (Mei-Agustus), Wuku
(September-Desember). Perlakuan yang diuji dalam skenario model simulasi adalah
populasi tanaman dan dosis N (Urea) yang diaplikasikan. Perlakuan populasi
tanaman yang diuji terdiri atas 3 taraf, yaitu : . 48000, 44000, and 40000 tanaman
per ha, dengan jarak tanam 70x30 cm2, 75x30 cm2 and 75x35 cm2 . Sedangkan taraf
perlakuan dosis pupuk N yanfg diuji adalah 300 kg Urea/ha, 400 kg Urea/ha and 500
kg Urea/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Usahatani Tactical management yang direkomendasikan pada saat fenomena El-Nina di musim Porekat, tanggal
tanam 15 April dengan teknologi J2N3 (jarak tanam 75 x 30 cm, dosis 230 kg N/ha),
untuk musim ceboran pada tanggal 1 Agustus dengan perlakuan J3N3 (jarak tanam
75 x 35 cm, dosis 230 kg N/ha). Sedangkan musim Wuku, tanggal tanam 1 Sptember
dan perlakuan J3N2 (jarak tanam 75 x 35 cm, dosis 184 kg N/ha). Bila terjadi
peristiwa La-Nina, teknologi yang tepat untuk tiap musim penanaman, yaitu :
Tanggal tanam 15 April, perlakuan J2N3(musim Porekat); tanggal tanam 15
Agustus dengan perlakuan J3N3 (musim Ceboran); tanggal tanam 15 September
dengan teknologi J3N3. Pada kondisi iklim normal, teknologi rekomendasi adalah
J3N3 dengan waktu tanam 1 Maret (musim Porekat), 15 Juli (musim Ceboran), dan
1 Oktober (musim Wuku).
Kata kunci : Iklim, kentang, manajemen, simulasi, Jawa Barat, Pengalengan
ABSTRACT
This study was to examine the contribution of climate information to yield
variability and develop recommended crop managements that yield maximum
benefits under variable climate condition (tactical management). The study was
carried out from Februari to June 2003 at Pengalengan, Bandung-West Java. The
elevation of location is 1450 m above sea level. Planting times for potato at
Pengalengan are divided into three periods, i.e. Porekat (between January and April),
Ceboran (between May and August) and Wuku (between September and December).
_________________ *) Staf Peneliti - Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
442
The alternative technologies being evaluated were the population and N fertilization.
Population consists of three levels, i.e. 48000, 44000, and 40000 plants per ha, with
plant spacing of 70x30 cm2, 75x30 cm2 and 75x35 cm2, respectively. Nitrogen
application at three levels, i.e. 300 kg Urea/ha, 400 kg Urea/ha and 500 kg Urea/ha.
The results of the studies showed that crop management technologies being
recommended in El-Nino years for Porekat season was to grow on April 15, using
plant spacing of 70 x 35 cm2 with 230 kg N/ha, for ceboran season, August 1 using
plant spacing of 75 x 35 cm2 with 230 kg N/ha, and for Wuku season September 1,
using plant spacing of 75 x 35 cm2 with 184 kg N/ha. During La-Nina years, the
recommended technologies for porekat season was to grow the crop on April 15,
using plant spacing of 70x35 cm2 with 230 kg N/ha, for Ceboran season August 15,
using plant spacing of 75x35 cm2 with 230 kg N/ha, for Wuku season September 15,
using plant spacing of 75x35 cm2 with 230 kg N/ha. During normal years, the
recommended technologies are the same for all seasons, i.e. plant spacing of 75x35
cm2 with 230 kg N/ha, and the optimum planting time will be March 1 for Porekat,
Juli 15 for Ceboran and October 1 for Wuku.
Key words : Climate, potato, management, simulation, East Java, Pengalengan
PENDAHULUAN
Jawa Barat merupakan propinsi utama penghasil kentang. Produksi kentang
rata-rata tahun 1985-1994 mencapai 253 614 ton atau 29% dari total produksi
kentang di Indonesia (Sawit et al., 1997). Kabupaten Bandung sebagai salah satu
kabupaten di Jawa Barat mempunyai luas wilayah produksi kentang paling tinggi,
yaitu sekitar 50-70% dari luas total produksi kentang selama tahun 1995-2000.
Kecamatan Pengalengan merupakan sentra produksi kentang di Kab. Bandung
(kontribusi produksi 75.2% terhadap total produksi kentang kab. Bandung. (Diperta
Kabupaten Bandung, 2001).
Saat ini telah banyak penelitian teknis budidaya yang dilakukan peneliti
(Balai Penelitian) pada tanaman kentang dengan luas lokasi penelitian yang relatif
kecil (0.25 - 0.50 ha). Dari hasil tersebut biasanya dibuat suatu rekomendasi sistem
usahatani yang tepat, seperti penggunaan varietas, cara tanam, pemupukan dan
pengendalian hama dan penyakit. Untuk pengembangan teknologi lebih lanjut pada
skala yang lebih luas biasanya lebih didasarkan pada unsur kesamaan jenis tanah,
tetapi kurang memperhatikan unsur iklim. Hal ini mengakibatkan terjadinya
variasi hasil tanaman dari rekomendasi atau terjadi senjang hasil. Laporan Ditjen
Produksi Hortikultura dan aneka tanaman (2000) menyatakan bahwa rata-rata
produktivitas kentang Nasional adalah 15 ton/ha, sedangkan rata-rata produtivitas
penelitian mencapai 35 ton/ha (Sahat, 1990) sehingga terjadi kesenjangan
produktivitas yang masih jauh, yaitu 20 ton/ha (57.1%). Selain itu pada saat terjadi
iklim ekstrem, belum banyak rekomendasi yang dibuat berdasarkan kondisi
tersebut dan masih bersifat umum.
Dengan pendekatan pemanfaatan model simulasi tanaman diharapkan dapat
menggabungkan beberapa cara usahatani kentang yang berada di tingkat petani
sehingga dapat diperoleh suatu model rekomendasi usahatani kentang yang lebih
baik.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
443
Model sistem usahatani yang lebih efisien dapat diperoleh petani sehingga
peningkatan produksi tidak harus diimbangi dengan peningkatan biaya produksi
yang lebih besar.
Analisis perubahan produksi kentang akibat anomali iklim menggunakan
paket program DSSAT (The Decision Support System for Agrotechnology Transfer)
versi 3.5. DSSAT adalah suatu diagram skematis yang terstruktur dalam
menjelaskan hubungan proses yang kompleks antara tanah, atmosfer dan tanaman
untuk strategi pengelolaan tanaman (Tsuji et al., 1994). Paket program ini dapat
digunakan untuk mengkaji pengaruh variabilitas iklim terhadap keragaman
produktivitas suatu tanaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi pemanfaatan informasi
iklim terhadap keragaman produksi usahatani kentang dan merekomendasikan
sistem usahatani kentang yang lebih menguntungkan dengan pertimbangan iklim
(tactical management).
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2003 di
Pengalengan, Bandung Selatan, Jawa Barat pada ketinggian ± 1450 m dpl (di atas
permukaan laut). Varietas kentang yang diteliti adalah varietas Granola. Penelitian
ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu validasi DSSAT dan penyusunan tactical management.
Validasi Model DSSAT
Model perlu divalidasi dengan parameter masukan yang kemungkinan
berbeda dengan masukan ketika model dibuat di berbagai lokasi. Peubah masukan
yang digunakan dalam adalah teknologi petani yang terdiri waktu tanam, jarak
tanam, dan dosis pupuk N, P, dan K yang diterapkan petani. Adapun nama petani,
waktu tanam, jarak tanam dan dosis pupuk NPK yang digunakan dalam validasi
model terdapat pada Tabel 1.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
444
Tabel 1. Bentuk usahatani kentang yang digunakan dalam validasi model
No. Petani Tgl
tanam
Jarak
tanam
(cm x cm)
Populasi/
m2
Pupuk Anorganik (kg/ha)
N P K
1 H. Abin 6/1/02 75 x 35 3,8 184 72 249
2 Ayong 6/4/02 75 x 30 4,4 138 36 100
3 E. Suhendar 6/5/02 75 x 35 3,8 230 72 249
4 Undang 6/11/02 75 x 30 4,4 138 36 125
5 Aa Atam 6/12/02 75 x 35 3,8 345 72 249
6 Asep 6/12/02 75 x 30 4,4 138 36 125
7 H. Adis 6/15/02 75 x 30 4,4 138 36 125
8 Dadang 6/15/02 75 x 30 4,4 184 72 149
9 Rukma 6/15/02 70 x 35 3,8 345 72 249
10 Endin 9/1/02 75 x 35 3,8 138 36 100
11 Acaman 9/2/02 70 x 35 4,0 184 36 125
12 Amad 9/3/02 70 x 30 4,8 138 36 125
13 Awis 9/5/02 75 x 35 3,8 184 36 125
14 Ayi rahmat 9/5/02 75 x 30 4,4 184 36 100
15 Ana Rohana 9/9/02 75 x 45 3,0 276 86 125
16 Amir 9/15/02 70 x 30 4,8 138 45 125
17 H. Aep 9/15/02 75 x 30 4,4 230 72 249
18 Hamin 9/16/02 70 x 30 4,8 230 72 249
19 Usep tatang 9/17/02 75 x 30 4,4 230 72 249
20 Edy Yusup 9/18/02 75 x 30 4,4 230 72 249
21 Ating 9/19/02 70 x 30 4,8 276 72 249
22 Ade yayan 10/7/02 75 x 35 3,8 244 132 60
23 Asri 11/1/02 75 x 35 3,8 135 72 120
24 Pandi 1/3/03 75 x 35 3,8 184 75 125
25 Sujono 1/5/03 75 x 35 3,8 185 75 125
26 Saman 1/10/03 75 x 40 3,3 185 72 125
27 Undang 2/15/03 75 x 35 3,8 230 72 150
28 Koko 2/20/03 75 x 35 3,8 276 79 100
Penyusunan Sistem Tactical Management (TM)
Acuan rumusan Tactical Management disusun dalam 9 bentuk usahatani
pola petani dan 1 bentuk usahatani rekomendasi. Bentuk perlakuan usahataninya
terdiri atas 3 bentuk jarak tanam dan dosis pupuk N (Tabel 2). Sedangkan
perlakuan jarak tanam dan dosis pupuk N rekomendasi adalah 75 x 30 dengan dosis
pupuk 136 kg N/ha. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan sistem usahatani
yang paling efisien (biaya rendah, produksi tinggi).
Rumusan tersebut disimulasi dengan DSSAT ver. 3.5 dengan waktu
penanaman selang 15 harian atau awal dan pertengahan bulan penanaman dari
Januari sampai dengan Desember, sehingga terdapat 24 waktu tanam. Sejumlah
waktu tanam (24 waktu tanam) tersebut disimulasi dengan data iklim 20 tahun
(1982-2001).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
445
Tabel 2. Kombinasi perlakuan usahatani kentang
Jarak tanam Dosis pupuk N (kg/ha)
138 (N1) 184 (N2) 230 (N3)
70 x 30 (J1) J1N1 J1N2 J2N3
75 x 30 (J2) J2N1 J2N2 J2N3
75 x 35 (J3) J3N1 J3N2 J3N3 Keterangan .: Pupuk P dan K yang digunakan 72 P dan 125 K; Pemberian
pupuk N 2 kali, yaitu pada saat tanam dan 30 HST (Hari
Setelah tanam)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Validasi DSSAT ver-3.5 (the Decision Support System for Agrotecnology
Transfer)
Hubungan antara produksi hasil pengamatan dengan hasil simulasi
menghasilkan koefisien korelasi sebesar 74% (Gambar 1). Hal ini menunjukkan
bahwa model DSSAT dapat mempresentasikan kondisi aktual melalui proses
simulasi.
Gambar 1. Hubungan Hasil Produksi Kentang Simulasi dan Observasi
Penentuan Teknologi yang Tepat pada masing-masing Musim Penanaman
Penggunaan teknologi yang berbeda menghasilkan respon yang berbeda
terhadap kejadian iklim yang terjadi (Gambar 8, 9 dan 10). Secara keseluruhan
waktu tanam, produktivitas kentang pada musim Ceboran lebih tinggi pada semua
kejadian iklim (El-Nina, La-nina, dan Normal), karena pada musim tersebut, modul
penggunaan irigasi otomatis pada sistem DSSAT ver 3.5 diaktifkan, sehingga
kondisi air tanah pada musim ceboran selalu tersedia dan mencukupi kebutuhan
tanaman. Akan tetapi pola rata-rata produktivitas simulasi perlakuan pada musin
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
446
tersebut masih terlihat berbeda pada setiap kejadian iklim. Hal ini menunjukkan
walaupun kekurangan air ditambah dari irigasi, tetapi perbedaan curah hujan yang
terjadi masih tetap berpengaruh terhadap produksi. Curah hujan mempunyai
interkasi dengan unsur iklim yang lain seperti radiasi, suhu, dan evapotranspirasi.
Pada kondisi El-Nina, waktu tanam dengan produktivitas perlakuan tertinggi
terdapat pada tanggal tanam 1 Agustus dan perlakuan J3N3 (38.94 t/ha), sedangkan
waktu terjadi La-Nina waktu tanam dan produktivitas tertinggi diperoleh pada
tanggal tanam 15 Agustus dan perlakuan J3N3 (36.98 t/ha). Saat kondisi iklim
normal, waktu tanam dan produki tertinggi terjadi pada tanggal tanam 15 Juli
dengan perlakuan J3N3 (43.62 t/ha).
Saat terjadi iklim ekstrim di musim Porekat (El-Nino dan La-Nina), waktu
tanam dan teknologi yang menghasilkan produktivitas tertinggi berada pada
tanggal tanam dan teknologi yang sama, yaitu tanggal tanam 15 April dengan
perlakuan J2N3 yang menghasilkan produktivitas berturut-turut 19.57 t/ha dan
17.99 t/ha. Akan tetapi bila kondisi iklim normal, maka waktu tanam dan teknologi
terbaik adalah tanggal tanam 1-Maret dengan jenis perlakuan J3N3 (21.37 t/ha).
Saat terjadi periode El-Nino, curah hujan di musim porekat berkurang, sehingga
tingkat pencucian hara yang terjadi lebih kecil dari kondisi iklim normal/La-Nina
(Gambar 9). Kondisi ini menyebabkan tingkat produktivitas antar teknologi menjadi
lebih nyata. Sedangkan bila terjadi periode La-Nina, curah hujan menjadi lebih
banyak, sehingga dengan perubahan teknologi apapun, produktivitas yang
dihasilkan tidak banyak bebeda (Gambar 9) .
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
447
Gambar 8. Rata-rata produktivitas simulasi musim ceboran
pada berbagai kejadian iklim
Fase El-Nino
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1-Mei 15-Mei 1-Jun 15-Jun 1-Jul 15-Jul 1-Agt 15-Agt
Waktu Tanam
Pro
dukt
ivita
s (
ton/h
a)
J1N1
J1N2
J1N3
J2N1
J2N2
J2N3
J3N1
J3N2
J3N3
REKOM
Fase La-Nina
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1-Mei 15-Mei 1-Jun 15-Jun 1-Jul 15-Jul 1-Agt 15-Agt
Waktu Tanam
Pro
dukt
ivita
s (
ton/h
a)
J1N1
J1N2
J1N3
J2N1
J2N2
J2N3
J3N1
J3N2
J3N3
REKOM
Fase Normal
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
1-Mei 15-Mei 1-Jun 15-Jun 1-Jul 15-Jul 1-Agt 15-Agt
Waktu Tanam
Pro
dukt
ivita
s (
ton/h
a)
J1N1
J1N2
J1N3
J2N1
J2N2
J2N3
J3N1
J3N2
J3N3
REKOM
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
448
Gambar 9. Rata-rata produktivitas simulasi musim porekat
pada fase El-Nina, La-Nina dan Normal
Pada musim Wuku, saat terjadi El-Nina penanaman dengan produktivitas
tertinggi (29.77 t/ha) terjadi pada tanggal tanam 1 September dengan perlakuan
J3N2 dan tanggal tanam 15 September dengan teknologi J3N3 (41.09 t/ha) bila
terjadi La-Nina. Bila kondisi iklim normal, maka penanaman terbaik diperoleh pada
tanggal 1-Oktober dengan perlakuan J3N3 (32.63 t/ha). Alternatif teknologi terbaik
yang lebih banyak di musim wuku saat terjadi perubahan iklim menunjukkan
bahwa variabilitas iklim berpengaruh lebih nyata terhadap produktivitas pada saat
musim Wuku dibandingkan dengan musim Porekat.
Fase El-Nino
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1-Jan 15-Jan 1-Peb 15-Peb 1-Mar 15-Mar 1-Apr 15-Apr
Waktu Tanam
Pro
dukt
ivita
s (
ton/h
a)
J1N1
J1N2
J1N3
J2N1
J2N2
J2N3
J3N1
J3N2
J3N3
REKOM
Fase La-Nina
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1-Jan 15-Jan 1-Peb 15-Peb 1-Mar 15-Mar 1-Apr 15-Apr
Waktu Tanam
Pro
dukt
ivita
s (
ton/h
a)
J1N1
J1N2
J1N3
J2N1
J2N2
J2N3
J3N1
J3N2
J3N3
REKOM
Fase Normal
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1-Jan 15-Jan 1-Peb 15-Peb 1-Mar 15-Mar 1-Apr 15-Apr
Waktu Tanam
Pro
dukt
ivita
s (
ton/h
a)
J1N1
J1N2
J1N3
J2N1
J2N2
J2N3
J3N1
J3N2
J3N3
REKOM
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
449
Gambar 10. Rata-rata produktivitas simulasi fase El-Nino, La-Nina
dan normal pada musim wuku
Pengaruh jarak tanam dan pemupukan terhadap produktivitas kentang
sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim selama pertumbuhan tanaman. Pengaturan
jarak tanam selain mempertimbangkan unsur kesuburan tanah, juga harus
mempertimbangkan ketersediaan air tanah yang dipengaruhi oleh curah hujan.
Payne (2000) menemukan bahwa pengaturan kerapatan tanaman tidak
mempengaruhi kerusakan tanaman pada saat kondisi lahan kekeringan, walaupun
Fase El-Nino
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1-Sep 15-Sep 1-Okt 15-Okt 1-Nov 15-Nov 1-Des 15-Des
Waktu Tanam
Pro
dukt
ivita
s (
ton/h
a)
J1N1
J1N2
J1N3J2N1
J2N2
J2N3
J3N1J3N2
J3N3
REKOM
Fase La-Nina
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
1-Sep 15-Sep 1-Okt 15-Okt 1-Nov 15-Nov 1-Des 15-DesWaktu Tanam
Pro
dukt
ivita
s (
ton/h
a)
J1N1
J1N2
J1N3
J2N1
J2N2
J2N3
J3N1
J3N2
J3N3
REKOM
Fase Normal
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1-Sep 15-Sep 1-Okt 15-Okt 1-Nov 15-Nov 1-Des 15-Des
Waktu Tanam
Pro
dukt
ivita
s (
ton/h
a)
J1N1
J1N2
J1N3
J2N1
J2N2
J2N3
J3N1
J3N2
J3N3
REKOM
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
450
pada kondisi suplai hara rendah. Dalam hal efisiensi penggunaan air, kerapatan
tanaman dapat ditingkatkan baik dalam kondisi tanah cukup air (energy limited)
maupun tanah kering (water limited). Pada beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat serapan N meningkat dengan peningkatan dosis pupuk N (MacLean,
1984), selain itu serapan N dipengaruhi oleh keadaan bioilogi tanah, suhu tanah,
dan kelembaban tanah (Gosselin dan Trudel, 1986).
Adanya beberapa alternatif teknologi pada saat terjadi perubahan iklim di
musim Porekat dan Wuku, maka perlu dilakukan analisa ekonomi usahataninya
(Tabel 5 dan 6) sehingga diperoleh suatu nilai ekonomi teknologi akibat perubahan
iklim tersebut. Analisa ekonomi usahataninya menunjukkan bahwa dari segi
efisiensi produksi (biaya/kg kentang) dan keuntungan (B/C ratio), ternyata pada
musim Porekat bila kondisi iklim normal, petani mempunyai usahatani yang lebih
efisien dan lebih menguntungkan daripada musim El-Nina atau La-Nina.
Sedangkan pada musim Wuku, usahatani petani lebih efisien dan menguntungkan
saat kondisi iklim normal atau terjadi iklim La-Nina dibandingkan dengan saat
terjadi El-Nina.
Tabel 5. Perbandingan nilai ekonomi usahatani perlakuan J2N3 (El-Nino, La-Nina)
dan J3N3 (Normal) pada musim Porekat
Tolok Ukur J2N3 (El-Nino) J2N3 (La-Nina) J3N3 (Normal)
Biaya (Rp,.) Biaya (Rp,.) Biaya (Rp,.)
Bibit 6.500.000 6.500.000 6.000.000
Pupuk 5.925.000 5.925.000 5.925.000
Pestisida 4.087.808 4.087.808 4.087.808
Tenaga Kerja 1.469.750 1.469.750 1.469.750
Lain-lain 1.631.536 1.631.536 1.631.536
Total Biaya 19.614.094 19.614.094 19.114.094
Rata-rata Produksi (kg) 19.574 17.985 21.367
Biaya/kg (Rp/kg) 1.002 1.090 895
Harga (Rp/kg) 2.000 2.000 2.000
Total Penerimaan 39.148.000 35.970.000 42.734.000
Keuntungan 19.533.906 16.355.906 23.619.906
B/C Ratio 0,99 0,83 1,2 Keterangan : biaya tolok ukur lain selain bibit dan pupuk N dianggap sama
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
451
Tabel 6. Perbandingan nilai ekonomi usahatani perlakuan J3N2 (El-Nino) dan J3N3
(Normal dan La-Nina) pada musim Wuku
Tolo, Ukur J3N2 (El-Nina) J3N3 (Normal) J3N3 (La-Nina)
Biaya (Rp,.) Biaya (Rp,.) Biaya (Rp,.)
Bibit 6.000.000 6.000.000 6.000.000
Pupuk 5.815.000 5.925.000 5.925.000
Pestisida 4.087.808 4.087.808 4.087.808
Tenaga Kerja 1.469.750 1.469.750 1.469.750
Lain-lain 1.631.536 1.631.536 1.631.536
Total Biaya 19.004.094 19.114.094 19.114.094
Rata-rata Produksi (kg) 29.767 32.628 41.088
Biaya/kg (Rp/kg) 638 585 465
Harga (Rp/kg) 1.800 1.800 1.800
Total Penerimaan 53.580.600 58.730.400 73.958.400
Keuntungan 34.576.506 39.616.306 54.844.306
B/C Ratio 1,8 2,07 2.87 Keterangan : biaya tolok ukur lain selain bibit dan pupuk N dianggap sama
KESIMPULAN
1. Usahatani Tactical management yang direkomendasikan pada saat terjadi
fenomena El-Nina di masing-masing musim penanaman, yaitu Musim
Porekat, tanggal tanam 15 April dengan teknologi J2N3 (jarak tanam 75 x 30
cm, dosis 230 kg N/ha), untuk musim ceboran pada tanggal 1 Agustus dengan
perlakuan J3N3 (jarak tanam 75 x 35 cm, dosis 230 kg N/ha). Sedangkan
musim Wuku, tanggal tanam 1 Sptember dan perlakuan J3N2 (jarak tanam 75
x 35 cm, dosis 184 kg N/ha).
2. Bila terjadi peristiwa La-Nina, teknologi yang tepat untuk tiap musim
penanaman, yaitu : Tanggal tanam 15 April, perlakuan J2N3(musim Porekat);
tanggal tanam 15 Agustus dengan perlakuan J3N3 (musim Ceboran); tanggal
tanam 15 September dengan teknologi J3N3. Pada kondisi iklim normal,
teknologi rekomendasi adalah J3N3 dengan waktu tanam 1 Maret (musim
Porekat), 15 Juli (musim Ceboran), dan 1 Oktober (musim Wuku).
3. Pada musim Porekat bila kondisi iklim normal, petani mempunyai usahatani
yang lebih efisien dan lebih menguntungkan daripada musim El-Nina atau La-
Nina. Sedangkan pada musim Wuku, usahatani petani lebih efisien dan
menguntungkan saat iklim normal atau La-Nina dibandingkan dengan El-
Nina.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
452
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. 2001. Laporan Tahunan 2001 Diperta Kab.
Bandung. Bandung.
Ditjen Produksi Hortikultura dan Aneka Tanaman. 2000. Informasi hortikultura
dan aneka tanaman. Direktorat Jendral Produksi Hortikultura dan Aneka
Tanaman. Jakarta.
Gosselin A, MJ Trudel. 1986. Root-zone temperature effects on pepper. Am. Soc.
Hort. Sci. 111 (2) :220-224.
MacLean AA. 1984. Time of application of fertilizer nitrogen for potatoes in Atlantic
Canada. Am. Potato J. 61 (1) : 23-30.
Payne WA. 2000. Water relations of sparse canopied crops. Agron. J. 92:807.
Sahat S. 1990. Hasil-hasil penelitian sayuran dataran tinggi. Dalam Evaluasi dan
Perencanaan Penelitian serta Pengembangan Produksi dan Industri
Sayuran di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Sayuran. Lembang,
22-24 Nopember.
Sawit, et al. 1997. Perubahan pola konsumsi komoditas hortikultura di Indonesia.
Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Bada Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Bogor.
Tsuji GY, G Uehara, S Balas. 1994. DSSAT v3. University of Hawaii, Honolulu.
Hawaii.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
453
JADWAL ACARA SEMINAR NASIONAL
DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI DALAM AKSELERASI PENGEMBANGAN
AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN (AIP)
MALANG, 13 DESEMBER 2005
08.00 – 08.45 Pendaftaran peserta
08.45 – 09.00 Pembukaan
09.00 – 09.20 Strategi Pengembangan Agroindustri dalam Pengembangan
Wilayah Sentra Produksi Pertanian (Direktur Jendral
Pengolahan dan Pemasaran Hasil, Departemen Pertanian)
09.20 – 09.40 Konsep Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) (PSE Bogor)
09.40 – 10.00 Dukungan Teknologi Pasca Panen dalam Pengembangan
Agroindustri Pedesaan (Fakultas Teknologi Pertanian
Unibraw)
10.00 – 11.00 Diskusi
11.00 – 11.20 Strategi Pembangunan Pertanian Jawa Timur dalam
Pengembangan Agribisnis (Bappeprop Jatim)
11.20 – 11.40 Pengembangan Agribisnis Mangga Podang Urang (Dr.
Suhardjo/ BPTP Jatim)
11.40 – 12.30 Diskusi
12.30 – 13.30 ISHOMA
13.30 – 13.50 Pengelolaan Jagung Varietas Lokal Sumenep (Ir. Sukarno
RM, MS/ BPTP Jatim)
13.50 – 14.10 Model Pengembangan Agribisnis Pisang Spesifik Lokasi
(Dra. Wahyunindyawati, MP/ BPTP Jatim)
14.10 – 14.30 Model Usahatani terpadu CropFish-Livestock System
(CFLS) di Lahan Sawah Tadah Hujan (LSTH) (Ir. Zainal
Arifin, MP/ BPTP Jatim)
14.30 – 15.30 Diskusi
15.30 – 16.00 Perumusan
16.00 Penutupan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
454
SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL DAN EKSPOSE
DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI DALAM AKSELERASI
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN
A. PENGARAH : Kepala Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian
Kepala BPTP Jawa Timur
B. TIM PERUMUS :
Ketua : Dr. Tri Sudaryono
Anggota : Dr. Gatot Kartono
Dr. Q. Dadang Ernawanto
Ir. Luki Rosmahani, MS
Ir. Zaenal Arifin, MP
Ir. Anang Muharyanto
C. TIM PENYUNTING :
Ketua : Ir. Pudji Santoso, MS (Ahli Peneliti Madya)
Anggota : Dr. Mat Syukur (Ahli Peneliti Muda)
Dr. Tri Sudaryono (Peneliti Muda)
Ir. Yuniarti, MS (Ahli Peneliti Madya)
Ir. Zainal Arifin, MP (Peneliti Muda)
D. PANITIA PELAKSANA :
Ketua I : Ir.Moh. Ismail Wahab, MSi
Ketua II : Dra. Endang Widajati
Sekretaris I : Elok Wahyuni Rinasari
Sekretaris II : Ratna Herawati
Bendahara : Kuswardoyo dan Al. Gamal Pratomo
SEKSI-SEKSI
1. Seksi Sidang : Ir. Kasmiyati, MS
Ir Diding Rachmawati
Rika Asnita, SP
Ir. Tini Siniati, MS
Ir. Sri Yuniastuti, MS
Prayitno Surip
2. Seksi Poster : Ir. Wigati Istuti
Ir. Endah Retnaningtyas
Ir. Baswarsiati, MS
Ir. Dyah Prita Saraswati
Ir. Rohmad Budiono
Musclih Purwoko
3. Seksi Konsumsi : Dra. Iffah Irsjadina
Era Parwati
Indriana
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
455
4. Seksi Transportasi : Thohir Zubaidi, BSc
5. Seksi Perlengkapan : Slamet Riyanto
Nonot Widarso
Achmad Kusaeri
6. Seksi Dokumentasi : Ir. Suhardi dan Joko Siswanto
7. Seksi Keamanan : Martono dkk
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
456
DAFTAR PESERTA
No. Nama lengkap Alamat/Instansi
1. Ir. Adi Wibowo PT. Saraswati Anugrah Makmur
2. Muji Widodo PT. Pertani
3. Ir. Hano Hanafi, MSi BPTP. Yogyakarta
4. Ir. Iga Sumery BBDATPO Ketindan, Lawang-Malang
5. Ir. Nani Handani BBDATPO Ketindan, Lawang-Malang
6. Nurlela, SST BBDATPO Ketindan, Lawang-Malang
7. Sevi Melati, SP BBDATPO Ketindan, Lawang-Malang
8. Tri Martini, SP, MSi BPTP Yogyakarta
9. Penny Kristianto PT. Petrokimia Kayaku
10. Dhenok Sulistyorini Brag Malang
11. Ir. Sugeng Widodo, MP BPTP Yogyakarta
12. Soetanta A. Puslit Koka
13. Rita Hanafi, Dr. FP. Universitas Widya Gama
14. Tri Wardani, Ir, MP FP. Universitas Widya Gama
15. Subagiyo BPTP Yogyakarta
16. Styorini Widyayanti, SP BPTP Yogyakarta
17. Heni Purwaningsih, STP, MP BPTP Yogyakarta
18. A Antoyo BMG-Staklim Karangploso
19. Ir. Joko Susilo BPTP Jawa Tengah
20. Ir. Nur Hidayat, MS BPTP Yogyakarta
21. Dian Adi A. E, STP BPTP Bali
22. Ahmad Subhan, STP BPTP Kalimantan Selatan
23. Ir. Rismarini Zuraida BPTP Kalimantan Selatan
24. I Ir. Aidi Noor, MP BPTP Kalimantan Selatan
25. Simbolon P. BPTP Papua
26. Willopo K. NPH Surabaya
27. Abrahan Patemon II A/27 Surabaya
28. Lathifah Agustina Diperta Buhkut Kota Pasuruan
29. Ir Ninik Purwandwi, MT DPU Pengairan
30. Ir. Zainal Arifin, MP BPTP Jawa Timur
31. Ir. Bambang Pikukuh BPTP Jawa Timur
32. Ir. Al. Gamal Pratomo BPTP Jawa Timur
33. Hairil Anwar BPTP Jawa Tengah
34. Cahyani Setiarini BPTP Jawa Tengah
35. Sodiq Jauhari BPTP Jawa Tengah
36. Endang Iriani BPTP Jawa Tengah
37. Teguh Prasetyo BPTP Jawa Tengah
38. Lilik S. Diperta Kota Malang
39. Rika Endang Wigati Diperta Kota Malang
40. Yilianti Farida Diperta Kota Malang
41. Suniyah Diperta Kota Malang
42. M. D. Santos Diperta Kota Malang
43. Hadi Sucipto Diperta Kota Malang
44. Bewud Hariyanto Diperta Ketahanan Pangan Jombang
45. Sukabulanwar Diperta Ketahanan Pangan Jombang
46. Ir. Sarwono BPTP Jawa Timur
47. Ir. Tini Siniati BPTP Jawa Timur
48. Ir. Endah R. BPTP Jawa Timur
49. Dr. Mohamad Soleh BPTP Jawa Timur
50. Ir. Suhardi BPTP Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
457
51. Niniek Tjahjowati Dinas Perindag Jawa Timur
52. Noeriwan, Ami BPTP Jawa Timur
53. Gunawan BPTP Jawa Timur
54. Ita Yusnita BPTP Jawa Timur
55. Dr. F. Kasijadi BPTP Jawa
56. E. Romjali Lolit Sapo Pasuruan
57. Dicky Pamungkas Lolit Sapo Pasuruan
58. Thohir Zubaidi, Api BPTP Jawa Timur
59. Suprihana FP. Universitas Widyagama
60. Dapdoqiy P3GI Pasuruan
61. LY. Krisnadi BPTP Jawa Timur
62. Bambang Siswanto Lab. Diseminasi Wonocolo Surabaya
63. Eddy P. Lolit Grati Pasuruan
64. Ir. Eka Yogawati Lab. Diseminasi Wonocolo Surabaya
65. Suarni Balit Sereal Maros
66. Ir. Yuniarti, MS BPTP Jawa Timur
67. Ir. Pudji Santoso, MS BPTP Jawa Timur
68. Ir. Roesmiyanto BPTP Jawa Timur
69. Ir. Luki Rosmahani, MS BPTP Jawa Timur
70. Ir. D. Prita S. BPTP Jawa Timur
71. Djajati, MM UNN Veteran Jatim
72. Tajib S. Sos Ponorogo
73. Ir. Titiek Purbiati BPTP Jawa Timur
74. Sri Zunaini, S. SP BPTP Jawa Timur
75. Ir. Eli Korlina BPTP Jawa Timur
76. Ir. P. E. R. Prahardini BPTP Jawa Timur
77. Ir. Harwanto BPTP Jawa Timur
78. Ir. R. Susiyati BPSB. TPH. Jawa Timur
79. Dra. Endang Widajati BPTP Jawa Timur
80. Sugiono, SP BPTP Jawa Timur
81. Nurul Istiqomah, SP BPTP Jawa Timur
82. Jumadi BPTP Jawa Timur
83. Martono BPTP Jawa Timur
84. Mulyo/Jhony Caprina
85. Agustina Z. K. Ditjen PPHP
86. Erna Nurjayati Balittas Malang
87. M. Daldiri BPTP Jawa Timur
88. Dewi Nur Setyorini Dinas Perikanan Propinsi
89. Sunesno PRI
90. I. Ketut Kamada BPTP Bali
91. Rohmad Budiono, SP BPTP Jawa Timur
92. Yuliantono Diperta Propinsi Jawa Timur
93. Ir. Sriharwanti BPTP Jawa Timur
94. Drs. Bambang Tegopati BPTP Jawa Timur
95. Ir. Baswarsiati, MS BPTP Jawa Timur
96. Robi’in BPTP Jawa Timur
97. Ir. Gatot Kustiono Kebun Percobaan Mojosari
98. Heri Sutanto BPTP Jawa Timur
99. Ir. Al. Budijono BPTP Jawa Timur
100. Ali Ari Widodo BPTP Jawa Timur
101. Ajun Prayitno BPTP Jawa Timur
102. Drs. Martinus Sugiyarto, MP BPTP Jawa Timur
103. Ir. H. Maskur UD. Sadartani Jombang
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
458
104. Dr. Tri Sudaryono BPTP Jawa Timur
105. Ir. Nugroho P. Lab. Diseminasi Wonocolo, Surabaya
106. Ir. Endang P. K, MS BPTP Jawa Timur
107. Ono Sutrisno, SP BPTP Jawa Timur
108. Ir. Santoso, MMA BKP Jawa Timur
109. Ir. Fatchul Arifin BPTP Jawa Timur
110. Ir. Diding Rachmawati BPTP Jawa Timur
111. Abu BPTP Jawa Timur
112. Moh. Monawi BPTP Jawa Timur
113. Supangat BPTP Jawa Timur
114. Al. Gamal Pratomo BPTP Jawa Timur
115. Dra Iffah Irsyahdina BPTP Jawa Timur
116. Ratna Herawati BPTP Jawa Timur
117. Rina Elok BPTP Jawa Timur
118. Ir. Ruli Hardiyanto BPTP Jawa Timur
119. Drs. Heru Sudarsono BPTP Jawa Timur
120. Achmad Kusaeri BPTP Jawa Timur
121. Slamet Riyadi, BSc BPTP Jawa Timur
122. Ir. Emi Srihastuti BPTP Jawa Timur
123. Khusnul Makhin, SP BPTP Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
337
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA VIRGIN COCONUT OIL (VCO)
DI DESA BANARAN KECAMATAN GALUR KABUPATEN KULON PROGO
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Subagiyo*) Heni Purwaningsih *) dan Setyorini Widyayanti*)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui prospek pengembangan usaha virgin coconut oil (VCO) di desa Banaran, kecamatan Galur, kabupaten Kulonprogo.
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2005. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu metode survai, dengan jumlah responden sebanyak 20 orang.
Pemilihan responden dilakukan secara acak sederhana sehingga semua responden
mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai responden, metode
analisis sederhana dengan membandingkan input output dan Break Event Point (BEP) harga dan produksi Hasil Penelitian menunjukkan bahwa usaha virgin coconut oil mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Berdasarkan hasil
wawancara permintaan akan VCO terus meningkat dari waktu ke waktu. Hasil
analisis menunjukkan bahwa pendapatan bersih usaha virgin coconut oil sebesar
Rp 26.917.600/th, dengan BEP harga Rp 15.514 dan BEP produksi 4.654 ltr serta
ROI 29 persen.
Kata kunci: Prospek, pengembangan, Virgin Coconut Oil.
ABSTRACT
This aim research to know the prospect of development of virgin coconut oil
(VCO) in Banaran, Galur, Kulonprogo. Research was conducted on October 2005.
Used method in this research that is survey, with amount responder 20 people.
Responder celection was conducted at random modestly so that all responder have
the same as opportunity to be chosen as responder, simple analysis method by
compared input and input and Break Event Point ( BEP) price and produce. Result
of Research indicated that the effort of virgin coconut oil have the prospect which is
good to developed, pursuant to result of interview request of VCO to increasing from
time to time. Result of analysis indicated that the net earning of enterpasing of virgin
coconut oil of equal to Rp 26.917.600/th, by BEP is price Rp 15.514 and BEP produce
4.654 ltr , ROI 29 persent
Keyword : Development, prospect, virgin coconut oil.
________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
338
PENDAHULUAN
Kelapa (Cocos nucifera) mempunyai peran yang cukup penting dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, karena kelapa banyak dibudidayakan oleh
sebagian besar masyarakat sebagai tanaman tahunan yang mempunyai nilai
ekonomis dan sosial. Kelapa juga sering disebut sebagai pohon kehidupan (tree of life) dan pohon surga (a heavenly tree) karena hampir semua bagian tanaman dapat
dimanfaatkan untuk kehidupan (Andi, 2005).
Luas areal perkebunan kelapa di Indonesia mencapai 3.712 juta hektar
dengan produksi sebesar 12.915 milyar butir per tahun, namun permasalahannya
bukan pada luas areal dan produksi, akan tetapi produk yang dihasilkan masih
berupa produk primer sehingga tidak kompetitif (Andi, 2005). Kelapa dapat
diproduksi menjadi beraneka produk, salah satunya adalah buah kelapa yang dapat
diambil untuk pembuatan minyak kelapa atau pembuatan virgin coconut oil (minyak
kelapa murni). Virgin coconut oil merupakan minyak murni yang dalam proses
pembuatannya tidak mengalami proses pemanasan atau tambahan bahan apapun
sehingga komponen anti oksidannya tidak mengalami kerusakan. Selain itu dalam
pembuatan VCO tidak ada proses fermentasi ataupun penambahan enzim, sehingga
hasil yang diperoleh berupa VCO yang berwarna bening, tidak berbau tengik tetapi
beraroma khas kelapa dan berat jenisnya lebih kecil dari air (biomervco.com).
Minyak kelapa murni atau VCO mengandung 53 persen asam laurat dan
sekitar 7 persen asam kapriat. Keduanya merupakan asam lemak jenuh sedang
yang biasa disebut medium chain fatty acid atau MCFA. Asam lemak jenuh rantai
sedang apabila dikonsumsi manusia tidak bersifat merugikan karena seperti asam
laurat (rantai karbonnya 12), bila terserap tubuh akan diubah menjadi monolaurin
dan asam kaprat yang diubah menjadi monokaprin. Monolaurin merupakan
senyawa monogliserida yang bersifat antivirus, antibakteri dan antiprotozoa
sehingga dapat menanggulangi serangan virus seperti influenza, HIV, maupun
herpes simplex virus-1 (HSV-1), berbagai macam bakteri patogen seperti Listeria monocytogenes, dan Helicobacter pyloryd serta protozoa seperti Glambia lamblia(www.suarapembaruan.com-Biotek). Sedangkan Monokaprin merupakan
asam lemak rantai sedang berantai karbon 10 yang dalam tubuh manusia
bermanfaat bagi kesehatan untuk mengatasi penyakit seksual (Andi, 2005). Selain
itu Asam lemak jenuh rantai sedang (MCFA) dalam minyak kelapa murni
mempunyai beberapa keuntungan yaitu mudah dicerna langsung oleh lever menjadi
energi, mudah dibakar, tetapi tidak dapat bersintesa menjadi kolesterol, tidak
tersimpan dalam tubuh sebagai lemak dan tidak terjadi trans pada reaksi
oksidannya (biomervco.com) serta tahan terhadap panas, cahaya, oksigen dan proses
degradasi karena struktur kimianya tidak mengandung ikatan ganda (Andi, 2005).
Luas areal perkebunan kelapa di kabupaten Kulonprogo tahun 2002 mencapai
14.274 ha dengan produksi 20.118.6 ton (Anonimus, 2003). Desa Banaran,
kecamatan Galur, kabupaten Kulonprogo, masyarakatnya telah memanfaatkan
kelapa sebagai bahan baku produk virgin coconut oil (VCO) atau minyak kelapa
murni. Jumlah pengrajin di desa tersebut mencapai lebih dari 30 orang, pada
umumnya pembuatan minyak kelapa murni di desa Banaran dengan metode
pancingan.
Luas areal kelapa yang berbanding lurus dengan banyaknya produksi kelapa
di Kulonprogo memberikan peluang usaha minyak kelapa murni. Oleh karena itu
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
339
penelitian ini bertujuan mengetahui prospek pengembangan virgin coconut oil (VCO)
di desa Banaran, kabupaten Kulonprogo supaya industri ini menjadi industri yang
berkelanjutan.
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode survai dan pengamatan langsung, yang
dilakukan pada bulan September 2005 di desa Banaran, kecamatan Galur,
kabupaten Kulonprogo dengan jumlah sampel 20 responden, pengambilan sampel
dilakukan secara proposive acak sederhana. Data yang terkumpul selannjutnya di
analisis secara komprehensif dari permasalahan yang dihadapi, analisis data
dilakukan secara deskriptif. Sedangkan analisis finansial yang digunakan yaitu
analisis pendapatan, Titik Impas Harga (TIH), Titik Impas Produksi (TIP) dan
Return On Investment (ROI) (Malian. 2004; Riyanto, B. 1983 ; Kadariah, et al., 1978).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Potensi
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki areal kebun kelapa dengan luas
3.172 ha. Kebanyakan areal perkebunan kelapa tersebut adalah milik rakyat
sehingga hasilnya menjadi sumber pendapatan bagi 2.5 juta keluarga petani
(www.suarapembaruan.com-Biotek.). Luas areal perkebunan kelapa di kabupaten
Kulonprogo 14.274 ha dengan produksi 20.118.6 ton (Anonimous, 2003), dan jumlah
pengrajin minyak kelapa virgin di desa Banaran 30 orang. Setiap hari rata-rata 200
butir kelapa. Rendemen kelapa menjadi VCO sekitar 10 persen, sehingga dengan
200 butir kelapa dihasilkan VCO 20 liter. Menurut Taufikhurahman dalam Barlina
(2005) bahwa konsumsi minyak nabati yang digunakan untuk makanan di Belanda
meningkat dari 85.000 MT menjadi 157.000 MT pada tahun 2001. Di Belanda
konsumsi minyak kelapa murni berada pada urutan kedua setelah minyak kedelai,
dengan demikian menunjukkan bahwa ada peningkatan permintaan terhadap
minyak kelapa murni di Eropa, hal ini merupakan peluang pemasaran bagi produk
VCO di Indonesia khususnya di DIY. Secara umum pembuatan VCO sangat
sederhana sehingga mudah dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di daerah tersebut,
proses pembuatan VCO ditunjukkan pada Gambar 1.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
340
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan VCO
Minyak siap panen
Blondo
Air Pisahkan
VCO Penyaringan dengan
kertas saring
Penjernihan dengan
ziolit dan arang aktif
VCO siap kemas
Santan kental Santan bening /air
Santan kental Minyak pancingan Diamkan 8 jam
Pisahkan
Dikupas Tempurung dan sabut
Diparut
Kelapa Parut Air mineral
Dipres
Santan
Kelapa segar
Diamkan 1 jam
Dicuci
Ampas
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
341
2. Mutu dan harga
Sampai saat ini banyak dipasarkan produk-produk minyak kelapa murni dari
berbagai daerah dengan berbagai macam kualitas dan harga. Harga di tingkat
pengrajin mulai dari Rp 40.000 – 60.000 per liter. Banyaknya produk (merk) minyak
kelapa murni yang menawarkan tambahan keistimewaan mengakibatkan
kebingungan di tingkat konsumen. Konsumen awam sering dikelabui dengan mutu
minyak kelapa murni yang belum jelas pengujiannya. Berdasarkan pengujian yang
dilakukan Balai Besar Pasca Panen, kadar air yang memenuhi syarat CODEX Stan
19-1981 (Rev.2-1999) adalah 0,05 persen dan jumlah asam laurat 50,50 persen dan
asam kaprat 8,60 persen.
Salah satu kelompok pengrajin minyak kelapa murni di desa Banaran,
kecamatan Galur, kabupaten Kulonprogo, telah melakukan pengujian komposisi asam
lemak minyak kelapa murni yang dihasilkan di Laboratorium PAU UGM dan
hasilnya seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak kelapa virgin murni
Asam Lemak Jumlah (%)
Asam Kaprilat 7.30
Asam Kaprat 6.47
Asam Laurat 51.51
Asam Miristat 18.57
Asam Palmitat 8.03
Asam Stearat 4.76
Asam Oleat 1.03
Asam Linoleat 2.3
Kadar air 1.12
Berdasarkan hasil uji laboratorium tersebut, mutu produk yang dihasilkan oleh
kelompok pengrajin di Banaran cukup baik. Selain terbukti dengan hasil
laboratorium, terbukti pula dengan semakin banyaknya pesanan baik dari Kulonprogo
maupun dari luar daerah Kulonprogo. Bahkan salah satu rumah sakit di Jakarta
secara rutin telah memesan produk minyak kelapa murni tersebut. Kadar air yang
masih tinggi di atas 1.00% akan mempengaruhi keawetan minyak kelapa murni.
Karena semakin rendah kadar airnya semakin tinggi tingkat keawetan produk
minyak kelapa murni. Oleh karena itu diperlukan perbaikan mutu kadar air dengan
penyaringan berulang sampai kadar air di bawah 0.1%. Kemasan minyak kelapa
murni yang digunakan telah memenuhi persyaratan dan pembuatannya sudah
higienis, terbukti dengan dikeluarkannya no.SPIRT 207340101029 oleh Departemen
Kesehatan RI.
Produk minyak kelapa murni dijual dalam berbagai kemasan mulai dari 100 ml
hingga 330 ml. Harga cukup bervariasi, dengan harga yang relatif murah dan kualitas
yang baik, menjadi kelapa murni yang diproduksi pengrajin di desa Banaran dapat
bersaing dengan produk daerah lain.
3. Analisis finansial
Analisis finansial pengusahaan VCO di desa Banaran, kecamatan Galur,
kabupaten Kulonprogo berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pengrajin
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
342
VCO menunjukkan bahwa produksi rata-rata 200 butir kelapa per hari menghasilkan
20 liter VCO (rendemen 10 persen), tenaga kerja tiga orang dengan jumlah hari kerja
per bulan 25 hari.
Hasil analisis menunjukan bahwa, pendapatan bersih usaha VCO sebesar Rp
29.700.000/tahun, dengan titik impas produksi (TIP) 4.515 liter dan titik impas harga
sebesar Rp 15.514, sedangkan nilai return on investmen (ROI) sebesar 29 persen.
Nilai tersebut secara ekonomis dalam kategori menguntungkan, karena berada diatas
titik impas (BEP). Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa usaha
VCO secara finansial menguntungkan dan layak diusahakan. Untuk lebih jelasnya
analisis biaya dan pendapatan ditunjukkan pada Tabel 2 .
Tabel 2 Analisis finansial virgin coconut oil (VCO) di Desa Banaran,
Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo.
Uraian Volume Harga satuan Jumlah
A Investasi
- Alat pres 1 unit 4,500,000 4,500,000
- Alat parut kelapa 1 unit 750,000 750,000
- Toples plastik 10 bh 19,000 190,000
- Ember besar 10 bh 75,000 750,000
- Galon aqua 10 bh 35,000 350,000
- Despenser 2 95,000 190,000
- Drum plastik 10 100,000 1,000,000
Total Investasi 7,730,000
B Biaya Tetap (Fixed Cost)
a Biaya penyusutan
- Alat pres 810,000
- Alat parut kelapa 135,000
- Toples plastik 34,000
- Ember besar 135,000
- Galon aqua 63,000
- Despenser 34,000
- Drum plastik 180,000
Total penyusutan 1,391,000
b Bunga modal investasi 18 % /tahun 1,391,400
Total biaya tetap 2,782,400
C
Biaya Tidak Tetap (Variable Cost)
- bahan baku (kelapa) 200 btr 650 130,000
- air mineral 20 ltr 5,000 100,000
- starter 1 ltr 11,000 11,000
- tenaga kerja 3 hok 15,000 45,000
- listrik 15,000 15,000
Total biaya tidak tetap/hari 301,000
Total biaya tidak
tetap 1 tahun 90,300,000
D Total Biaya (biaya tetap + biaya tidak tetap) 93,082,400
E Penerimaan 6.000 ltr 20,000 120.000.000
E Pendapatan 26,917,600
BEP harga 15,514
BEP produksi 4,654 liter
ROI 29 %
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
343
KESIMPULAN
Desa Banaran mempunyai potensi dan prospek yang cukup baik untuk
pengembangan VCO terbukti dengan banyaknya pengrajin VCO di daerah tersebut
dengan didukung ketersediaan bahan baku yang melimpah dan pemasaran yang
baik.
Berdasarkan hasil analisis finansial menunjukkan bahwa, usaha VCO
memberikan keuntungan sebesar Rp 26.917.600 /th, dengan titik impas harga (TIH)
Rp 15.514 dan titik impas produksi (TIP) 4.654 ltr serta ROI 29 persen.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2002. Kulonprogo Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
KulonprogoTahun 2002.
Andi Nur Alam Syah. 2005. Virgin Coconut Oil : minyak penakluk aneka penyakit.
AgroMedia. Jakarta.
Andi Nur Alam Syah. 2005a. Minyak Kelapa Murni : Harpan Nilai Tambah Yang
Menjanjikan WARTA Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 27(2).
Bagaimana kondisi asam lemak pada minyak kelapa. www.biomervco.com.
Barlina R, dan N. Hengky. 2005. Minyak Kelapa Murni : Pembuatan dan
Pemanfaatan. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Dody Baswardojo / INDO-COCO. http\\: indo-coco.com. Seluk Beluk Pembuatan
Minyak Kelapa & Vico.
Kadariah, L. Karlina. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Program Perencanaan
Nasional lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. Fakultas
Ekonomi. Univ. Indonesia. Jakarta.
Malian, A. Husni. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial
Teknologi Pada Skala Pengkajian. Makalah Pelatihan Analisa Finansial dan
Ekonomi bagi pengembangan sistem dan usahatani agribisnis wilayah.
Bogor, 29 Novemeber – 99 Desember 2004.
Manfaat Virgin Coconut Oil Bagi Manusia. www.suarapembaruan.com-Biotek
Riyanto, B. 1983. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yayasan Badan Penerbit
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
344
KELAYAKAN FINANSIAL INDUSTRI PENGOLAHAN KACANG GARING
DI KABUPATEN KEBUMEN
Nur Hidayat*), Rahima Kaliky*), Subagiyo*), Sri Budhi Lestari*)dan Sugeng Widodo*)
ABSTRAK
Hasil Produksi Kacang tanah di Kabupaten Kebumen umumnya dijual dalam
bentuk segar, dengan harga relatif rendah. Hal ini seringkali merugikan bagi petani
dimana pendapatan yang diterima tidak sebanding dengan input yang dikeluarkan.
Untuk itu diperlukan introduksi teknologi guna pengolahan raw material tersebut
menjadi barang jadi atau barang setengah jadi seperti kacang garing, sebagai upaya
meningkatkan nilai tambah (value added) bagi petani kacang tanah. Untuk itu perlu
untuk dikembangkan industri penanganan pasca panen kacang tanah, seperti pengolahan kacang
garing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan finansial industri pengolahan kacang
garing. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kebumen pada periode bulan Mei – Agustus 2003.
Metode penelitian yang digunakan adalah survei, jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer
dan data sekunder. Kelayakan finansial industri pengolahan kacang garing dianalisis dengan
pendekatan B/C ratio, analisis NPV(Net Present Value). IRR(Internal Rate of Return) dan Payback
Period. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi industri pengolahan kacang garing secara
finansial layak untuk dikembangkan. Hal itu ditunjukkan dari nilai NPV positif, IRR estimasi lebih
tinggi dari tingkat suku bunga aktual dan B/C ratio > 1.
Kata Kunci : Kelayakan finansial, kacang garing
ABSTRACT
The production yield of peanut in Kebumen Regency is generally sold in the
form of fresh, at the price of relative lower. This matter oftentimes harm for farmer
where earnings accepted ill assorted with the sacrificed input. That is needed by
technological introduction utilize the the processing raw material become the finished
goods or fabricating material goods of like crunchy bean, as effort improve the added
value for peanut farmer.The effort improving added value for peanut farmer felt
important to be developed by industry of handling post harvest the peanut, like
crunchy bean processing. The aim of this research was to know the feasibility
financial of crunchy bean processing industry. This Research was held at Kebumen
Regency at period of May-August 2003. The research method used by survey, the
data collected were based on the primary and secondary data. The data were
analyzed by using approach B/C ratio, analyse the NPV(Net Present Value).
IRR(Iternal Rate of Return) and Payback Period. Result of research indicate that the
industrial invesment of crunchy bean processing by finansial is competent to be
developed. That matter is shown from positive value NPV, higher IRR Estimation
from storey; level of rate of interest of aktual and B/C ratio > 1.
Key Word : Financial feasibility, crunchy bean
_______________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
345
PENDAHULUAN
Pembangunan Pertanian ditujukan untuk menghasilkan produk-produk
unggulan yang berdaya saing tinggi, menyediakan bahan baku bagi keperluan
industri secara saling menguntungkan, memperluas lapangan kerja serta
kesempatan berusaha melalui upaya peningkatan usaha pertanian secara terpadu,
dinamis dan berbasis agroekosistem menuju terwujudnya agroindustri dan
agribisnis yang tangguh(Anonimus, 1998).
Berdasarkan Properda Jawa Tengah tahun 2001-2005, pembangunan sektor
pertanian antara lain akan ditempuh melalui program pengembangan agribisnis.
Sasaran yang ingin dicapai adalah memperbesar nilai tambah ekonomi yang
dihasilkan dari sumberdaya yang dimiliki rakyat daerah, dan memperbesar nilai
tambah ekonomi yang dapat dinikmati oleh rakyat daerah melalui pemberdayaan
organisasi ekonomi rakyat lokal (Bappeda Propinsi Jawa Tengah, 2001). Program
pengembangan agribisnis (termasuk agroindustri) merupakan strategi pendekatan
guna memacu kegiatan ekonomi yang berbasis pada bisnis dan industri pangan
untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan
Properda tersebut, Pemda Kabupaten Kebumen memiliki rencana untuk
mengembangkan agroindustri dan salah satunya adalah mengembangkan industri
pengolahan kacang garing. Studi ini dimaksudkan untuk menilai kelayakan
ekonomis (feasibility study) kacang garing.
Pemerintah Kabupaten Kebumen telah mengidentifikasikan beberapa
komoditas unggulan daerah, diantaranya adalah komoditas kacang tanah (
Pem.Kab.Kebumen, 2002).
Luas panen dan produksi kacang tanah di Kabupaten Kebumen berfluktuatif
dari tahun ke tahun. Pada tahun tahun 1993 luas panen kacang tanah adalah 9.296
ha dengan produksi 8.517 ton. Lima tahun kemudian, 1997 luas panen menurun
menjadi 7.877 ha dengan poduksi 8.343 ton, kemudian pada tahun 2002 meningkat
menjadi 10.007 ha dengan produksi 9.302 ton (Kebumen Dalam Angka, 1998,2002).
Hasil Produksi Kacang tanah di Kabupaten Kebumen umumnya dijual dalam
bentuk segar, dengan harga relatif rendah. Hal ini seringkali merugikan bagi petani
dimana pendapatan yang diterima tidak sebanding dengan input yang dikorbankan.
Untuk itu diperlukan introduksi teknologi guna pengolahan raw material tersebut
menjadi barang jadi atau barang setengah jadi seperti kacang garing, sebagai upaya
meningkatkan nilai tambah (value added) bagi petani kacang tanah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam upaya meningkatkan nilai tambah
bagi petani kacang tanah dirasa perlu untuk dikembangkan industri penanganan
pasca panen kacang tanah, seperti pengolahan kacang garing. Dalam rencana
pembangunan atau perluasan atau rehabilitasi suatu proyek (penanaman investasi
baru), perlu terlebih dahulu dilakukan penelitian/studi kelayakan investasi guna
memperoleh gambaran apakah pelaksanaan investasi itu layak (feasible) dibangun
dan juga apakah akan memperoleh manfaat ( benefit ).
METODOLOGI
Metode penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survei. Lokasi
penelitian di Desa Petangkuran Kecamatan Ambal (sentra kacang tanah. Penelitian
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
346
ini dilaksanakan selama lima bulan terhitung mulai tanggal 16 Juni s/d 16
November 2003. Populasi penelitian ini adalah para petani kacang dan pengolah
kacang garing Sampel petani diambil dengan menggunakan metode random
sederhana (Simple random), sedangkan sampel pengolah kacang garing diambil
secara purposive dengan pertimbangan jumlah populasi yang kecil. Jenis data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer
dihimpun dengan menggunakan instrumen penelitian (kuesioner). Pengumpulan
data dilakukan dengan cara : (1) wawancara terstruktur berdasarkan daftar
pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan, (2) Observasi lapang dengan
melakukan pengamatan langsung pada aktivitas responden, dan (3) menghimpun
data dari industri, lembaga/instansi terkait.
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Kelayakan finansial industri
pengolahan kacang garing dianalisis dengan menggunakan pendekatan B/C ratio,
analisis NPV (Net present value) , IRR (Internal rate of return) dan Pay Back
Period(Munandar, 2001); dengan kriteria sebagai berikut :
Benefit cost ratio (B/C ratio)
B/C Ratio merupakan perbandingan antara present value proceeds
(benefit)dengan present value dari investasi (cost). Investasi akan layak
dilaksanakan jika nilai B/C ratio 1, jika B/C ratio 1, investasi tidak layak
dilaksanakan.
CostPV
BenefitPVRatioCB
)(
)(/
NPV (Net present value)
NPV sebagai kriteria penilaian investasi dengan cara mendiskonto seluruh
aliran kas ke nilai sekarang (present value). Apabila nilai NPV positif, maka
investasi diterima. Sebaliknya bila negatif maka investasi tersebut ditolak/tidak
layak
n
tti
CtBtNPV
1 )1(
IRR (internal Rate of Return)
IRR sebagai kriteria penilaian investasi untuk mengetahui tingginya tingkat
bunga (discount faktor) agar present value proceed sama dengan present value
investasi,atau dapat dikatakan IRR merupakan tingkat bunga tertentu dimana NPV
sama dengan nol.Apabila IRR discount rate, investasi tersebut layak
dilaksanakan. Sebaliknya jika IRR discount rate, investasi tersebut tidak layak
untuk dilaksanakan.
)( 12
21
11 iix
NPVNPV
NPViIRR
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
347
Payback period
Payback Periode sebagai kriteria penilaian investasi dengan melihat jangka
waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal suatu investasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Produksi Kacang Tanah di Kabupaten Kebumen
Kacang tanah (Arachis hipogaea) mempunyai peranan penting sebagai bahan
pangan, bahan baku industri, pakan ternak, sumber pendapatan petani, sumber
pendapatan daerah dan devisa negara. Upaya peningkatan produksi kacang tanah
dilakukan melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi. Alternatif kedua sangat
sulit dilakukan di Pulau Jawa mengingat keterbatasan lahan. Prioritas wilayah
pengembangan tanaman kacang tanah adalah pada lahan sawah dan lahan kering
(Manwan, et al,1990). Di Kabupaten Kebumen kacang tanah umumnya
dibudidayakan pada lahan kering (tegalan dan sawah tadah hujan). Tingkat
produktivitas kacang tanah di Kebumen tahun 2001 adalah 0,88 ton/ha (Kebumen
Dalam Angka, 2002) , sementara produktivitas kacang tanah di Jawa Tengah adalah
1,115 ton/ha (Jawa Tengah Dalam Angka, 2001), dan di Bali produktivitasnya
mencapai 1,8 ton polong kering /ha (Distan Bali, 1998. dalam Suprapto et al.,2002).
Keragaan luas panen dan produksi kacang tanah di Kabupaten Kebumen
tahun 1991 – 2001 terlihat pada gambar 1 dan harga jual kacang tanah tingkat
grosir dan konsumen, pada semester pertama tahun 2003 dalam Tabel 1.
Permasalahan rendahnya produktivitas kacang tanah tersebut disebabkan
oleh banyak faktor diantaranya adalah tingkat kesuburan tanah, rendahnya
penguasaan dan penerapan teknologi oleh petani, (dosis pemupukan rendah,
varietas bukan unggul, dsb), dan kacang tanah tidak dapat dipanen sampai dengan
umur panen optimal karena faktor alam (misalnya kekeringan). Petani umumnya
menjual kacang tanah dalam bentuk kupasan (wose) bukan polong sebagaimana
yang dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan kacang garing.
Investasi awal
PP = ------------------------------
Aliran kas netto/tahun
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
348
Gambar 1. Keragaan luas panen dan produksi kacang tanah di Kabupaten
Kebumen, tahun1993-2002
Penerapan teknologi spesifik lokasi merupakan syarat mutlak dalam upaya
meningkatkan produktivitas kacang tanah di Kabupaten Kebumen. Adanya paket
teknologi budidaya kacang tanah spesifik lokasi akan sangat membantu petani
untuk memanfaatkan lahannya secara optimal.
Harga jual kacang tanah di tingkat grosir dan konsumen di Kabupaten
kebumen pada semester I tahun 2003 disajikan dalam tabel 3
Tabel 1. Keragaan harga kacang tanah tingkat grosir dan konsumen semester I
tahun 2003
Bulan Harga Kacang Tanah (Rp/Kg)
Kulit - kering Ose - kering
Grosir Konsmn Grosir Konsmn
Januari - 4500 7000 7500
Pebruari - 4500 5500 6500
Maret - - - -
April - 4000 7000 7500
Mei 3000 3600 6500 7000
Juni 3000 3600 7000 6600
Rata-rata 3000 4040 6600 7020
0
5, 000
1 0, 000
1 5, 000
Luas panen (Ha ) 8,100 7,096 7,122 7,872 7,877 11,11 7,097 10,82 10,34 10,00
P roduksi (Ton) 8,517 8,449 8,945 12,67 8,343 10,31 6,048 10,26 9,129 9,302
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
349
2. Potensi Pasar Kacang Tanah
Hasil produksi kacang tanah di Kab. Kebumen sebesar 10.261 ton pada tahun
2000. Menurut data statistik pada tahun 2000 rata-rata konsumsi kacang tanah di
Kab. Kebumen sebesar 3,61 gram per kapita per hari; dengan jumlah penduduk
pada tahun 2000 sebesar 1.174.306 jiwa maka kebutuhan Kacang tanah di
Kabupaten Kebumen dapat dihitung sebesar 1.526,128 ton. Sementara itu produksi
kacang tanah pada tahun 2000 di Kab. Kebumen sebesar 10.261 ton, sehingga
terdapat kekurangan sebesar 8.734,87 ton kacang tanah yang harus didatangkan
dari luar Kebumen. Ini artinya potensi pasar kacang tanah di Kab. Kebumen
sangat besar
3. Industri Kacang Garing
Industri kecil yang menangani pengolahan kacang tanah (industri kacang
garing) di Kabupaten Kebumen sampai tahun 2003 ini ada 3 unit. Sebelumnya
terdapat 4 unit namun salah satu unit industri itu tutup pada tahun 2001. Ketiga
unit industri itu berlokasi di Kecamatan Gombong. Masing-masing adalah Harum
Sari (HS), Panca Sakti, dan Argo Sari. Omzet produksinya rata-rata 5 ton per-hari.
4. Kelayakan Investasi
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengusaha kacang asin yang ada di
Gombang investasi yang diperlukan untuk industri kacang asin mencapai sekitar
Rp 135.500.000,- Dana tersebut digunakan untuk keperluan mendirikan bangunan
dan peralatan lainnya, dengan perincian seperti terlihat pada Tabel 2 berikut
Tabel 2. Biaya Investasi industri kacang asin kapasitas 5 ton/hari
TOLOK UKUR VOLUME HARGA
SATUAN (Rp.)
JUMLAH
(Rp.)
RENCANA INVESTASI: 135,500,000
- Mesin kubota untuk mencuci, Dp-18 pk 1 unit 3,500,000 3,500,000
- Bak beton Oven kapasitas 2 ton/jam 3 unit 20,000,000 60,000,000
- Bak beton pencucian (+ 12m2) 3 buah 2,500,000 7,500,000
- Bak beton perebusan dilapis stainlesstill (+ 2,252) 2 buah 4,000,000 8,000,000
- Lantai Jemur (+ 200 m2) 1 unit 20,000,000 20,000,000
- Rumah produksi dan gudang (+ 50 m2) 1 unit 25,000,000 25,000,000
- Tangki dan kompor minyak tanah 2 unit 1,500,000 3,000,000
- Pompa air (alkon) 5 pk 2 unit 2,500,000 5,000,000
- Gerobak angkut 1 unit 500,000 500,000
- Timbangan kapasitas 1 kw 1 unit 3,000,000 3,000,000
Berdasarkan data investasi tersebut kemudian dianalisis kelayakan finansial
industri kacang asin tersebut. Untuk keperluan analisis kelayakan finansial, maka
perlu diketahui lebih dahulu rencana biaya dan pendapatan dari industri kacang
asin tersebut. Untuk lebih jelasnya rencana biaya dan pendapatan dari industri
kacang asin dapat disajikan dalam Tabel 3 sebagai berikut.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
350
Tabel 3. Rencana biaya dan pendapatan kacang asin 5 ton/hari
TOLOK UKUR VOLUME HARGA
SATUAN (Rp.)
JUMLAH (Rp.)
RENCANA INVESTASI: 135,500,000
Mesin kubota untuk mencuci, Dp-18 pk 1 Unit 3,500,000 3,500,000
Bak beton Oven kapasitas 2 ton/jam 3 Unit 20,000,000 60,000,000
Bak beton pencucian (+ 12m2) 3 Buah 2,500,000 7,500,000
Bak beton perebusan dilapis stainlesstill (+ 2,252) 2 Buah 4,000,000 8,000,000
Lantai Jemur (+ 200 m2) 1 Unit 20,000,000 20,000,000
Rumah produksi dan gudang (+ 50 m2) 1 Unit 25,000,000 25,000,000
Tangki dan kompor minyak tanah 2 Unit 1,500,000 3,000,000
Pompa air (alkon) 5 pk 2 Unit 2,500,000 5,000,000
Gerobak angkut 1 Unit 500,000 500,000
Timbangan kapasitas 1 kw 1 Unit 3,000,000 3,000,000
PENDAPATAN PER TAHUN
Kacang asin kulit (rendemen 50%) 175,000 kg 6,000 1,050,000,000
BIAYA OPERASIONAL PER TAHUN : 955,795,000
Kacang tanah basah (5 ton per-hari) 350,000 kg 2,500 875,000,000
Bahan bakar solar (20 L per-hari) 1,400 liter 1,750 2,450,000
Bahan bakar minyak tanah (60 L per-hari) 1,400 liter 1,200 1,680,000
Perlengkapan lain (ember, nyiru, karung, kranjang
dll) 1 paket 1,500,000 750,000
Tenaga kerja tetap (25 HOK per-hari) 7,500 HOK 10,000 75,000,000
Tenaga kerja tdk tetap (15 OK per-hari) 4,500 kg 70 315,000
Perawatan mesin (olie, filter olie & filter solar) 6 Kali 100,000 600,000
Berdasarkan rencana biaya dan pendapatan tersebut selanjutnya dibuat
proyeksi cash flow untuk lima tahun kedepan, Tabel proyeksi cash flow dapat dilihat
pada Tabel 4.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
351
Tabel 4. Analisis cash flow investasi industri kacang garing kapasitas 5 ton/hari
CASH OUTFLOW 135,500,000
-Mesin pencuci Dp-18 pk 3,500,000
Oven beton kapasitas 2 ton 60,000,000
- Bak pencucian (+ 12m2) 7,500,000
- Bak perebusan 8,000,000
- Lantai Jemur (+ 200 m2) 20,000,000
- Rumah produksi(+ 50 m2) 25,000,000
- Tangki kompor miny tnh 3,000,000
- Pompa air (alkon) 5 pk 5,000,000
- Gerobak angkut 500,000
- Timbangan kapasitas 1 kw 3,000,000
Tahun-0 Tahun-1 Tahun-2 Tahun-3 Tahun-4 Tahun-5
PENGHASILAN 1,050,000,000 1,050,000,000 1,050,000,000 1,050,000,000 1,050,000,000
Kacang garing /asin 1,050,000,000 1,050,000,000 1,050,000,000 1,050,000,000 1,050,000,000
BIAYA 968,322,500 968,322,500 968,322,500 968,322,500 968,322,500
Biaya Tunai 954,880,000 954,880,000 954,880,000 954,880,000 954,880,000
Bahan baku 875,000,000 875,000,000 875,000,000 875,000,000 875,000,000
Bahan bakar solar 2,450,000 2,450,000 2,450,000 2,450,000 2,450,000
Bahan bakar minyak tanah 1,680,000 1,680,000 1,680,000 1,680,000 1,680,000
Perlengkapan lain 750,000 750,000 750,000 750,000 750,000
Tenaga kerja tetap 75,000,000 75,000,000 75,000,000 75,000,000 75,000,000
Tenaga kerja tidak tetap 315,000 315,000 315,000 315,000 315,000
Perawatan mesin 600,000 600,000 600,000 600,000 600,000
Biaya Penyusutan 13,442,500 13,442,500 13,442,500 13,442,500 13,442,500
Mesin kubota untuk mencuci, Dp-18 pk 665,000 665,000 665,000 665,000 665,000
Bak beton Oven kapasitas 2 ton/jam 5,700,000 5,700,000 5,700,000 5,700,000 5,700,000
Bak beton pencucian (+ 12m2) 712,500 712,500 712,500 712,500 712,500
Bak beton perebusan lapis stainstill 760,000 760,000 760,000 760,000 760,000
Lantai Jemur (+ 200 m2) 1,900,000 1,900,000 1,900,000 1,900,000 1,900,000
Rumah produksi dan gudang (+ 50 m2) 2,375,000 2,375,000 2,375,000 2,375,000 2,375,000
Tangki dan kompor minyak tanah 285,000 285,000 285,000 285,000 285,000
Pompa air (alkon) 5 pk 950,000 950,000 950,000 950,000 950,000
Gerobak angkut 95,000 95,000 95,000 95,000 95,000
Timbangan kapasitas 1 kw 285,000 285,000 285,000 285,000 285,000
LABA SEBELUM PAJAK 81,677,500 81,677,500 81,677,500 81,677,500 81,677,500
PPH (1,5%) 0 1,225,163 1,225,163 1,225,163 1,225,163
LABA SETELAH PAJAK 81,677,500 80,452,338 80,452,338 80,452,338 80,452,338
NILAI SISA 0.00 0 0 0 0 1,710,000
CASH FLOW -135,500,000 95,120,000 93,894,838 93,894,838 93,894,838 95,604,838
Berdasarkan Analisis cash flow tersebut kemudian dilakukan analisis
krieteria investasi dengan menggunakan alat analisis Net Preset Value (NPV),
Internal Rate of Return (IRR), B/C ratio dan waktu pengembalian investasi (Payback periode) seperti terlihat pada Tabel 5 dan 6.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
352
Tabel 5. Analisis NPV investasi pembangunan industri kacang garing
Tahun ke Proceeds
(Rp) DF. 18 %
PV Proceeds
(Rp)
1 95,120,000.00 0.847 80,610,169.49
2 93,894,837.50 0.718 67,433,810.33
3 93,894,837.50 0.609 57,147,296.89
4 93,894,837.50 0.516 48,429,912.62
5 95,604,837.50 0.437 41,789,755.59
PV Proceeds 295,410,944.91
Investasi 135,500,000.00
Net Present Value 159,910,944.91
B/C Ratio 1.85
Pay back Periode 1 tahun 5 bulan
Tabel 6. Analisis IRR investasi pembangunan industri kacang garing
Tahun
ke
Produksi
(Rp)
DF RendaH DF Tinggi
DF 36 % PV DF 40% PV
1 13,623,542.68 0.735 10,017,310.79 0.714 9,731,101.91
2 93,894,837.50 0.541 50,764,942.42 0.510 47,905,529.34
3 93,894,837.50 0.398 37,327,163.54 0.364 34,218,235.24
4 93,894,837.50 0.292 37,327,163.54 0.260 24,441,596.60
5 95,604,837.50 0.543 27,946,294.68 0.186 17,776,231.16
Total Present Value 163,382,874.98 134,072,694.26
Present Value Invesment 135,500,000.00 135,500,000.00
Net Present Value 27,882,874.98 (1,427,305.74)
IRR 39,81
Catatatan: Nilai IRR diperoleh dengan metode trial and error
Tabel 5 dan 6 hasil analisis kelayakan finansial industri kacang garing
menunjukkan bahwa nilai NPV positif (Rp 159,910,944.91) yang mempunyai arti
bahwa investasi tersebut menguntungkan dan layak. Demikian pula dengan
nilai IRR sebesar 39,81 %, artinya bahwa nilai IRR estimasi lebih tinggi dari
tingkat suku bunga aktual (18 %) yang berarti bahwa investasi tersebut
menguntungkan dan layak. Nilai B/C ratio sebesar 1,85 yang berarti bahwa
setiap satu satuan biaya yang dikorbankan akan menghasilkan keuntungan /
manfaat 1,85 kali, ini menunjukkan bahwa industri ini menguntungkan dan
layak, sedangkan tingkat pengembalian investasi adalah 1 tahun 5 bulan,
artinya biaya investasi tersebut akan kembali dalam jangka waktu 1 tahun 5
bulan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa investasi dalam industri
kacang asing tersebut layak untuk dilaksanakan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
353
KESIMPULAN
Investasi industri pengolahan kacang garing secara finansial layak untuk
dikembangkan, ditunjukkan dari nilai NPV positif , IRR estimasi lebih tinggi
dari tingkat suku bunga aktual, dan B/C ratio >1; sedangkan tingkat
pengembalian investasi adalah 1 tahun 5 bulan, artinya biaya investasi tersebut
akan kembali dalam jangka waktu 1 tahun 5 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar.A.,1999. Reposisi Peran Sektor Pertanian dalam Abad XXI. Makalah
disampaikan pada: Pertemuan Tim Ahli Bimas dan Tim Teknis Bimas
Regional di Jawa Tengah. Semarang, 5-8 Oktober 1999.
Anonim, 1999. Undang-Undang Otonomi Daerah,1999. Restu Agung.
BPS. Kabupaten Kebumen Dalam Angka, 1993-2002.
Bappeda Propinsi Jawa tengah, 2001. Properda Jawa Tengah 2001-2005
Fauzi.A.,Johar Arifin, M. Fakhrudi.2001. Aplikasi Exel dalam Finansial Terapan.
PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Munandar, 2001. Buku Materi Pokok Managemen Proyek. Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka
Pemda Kebumen, 2002. Produk dan Peluang Investasi di Kabupaten Kebumen.
(Publikasi Pemda Kebumen dalam bentuk Folder).
Pemerintah Kab. Kebumen, 2002. Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen
Nomor 18 Tahun 2002. Tentang Rencana Strategis Pembangunan
Daerah Kab. Kebumen Tahun 2002-2005.
Purba, 1997. Analisis biaya dan Manfaat (Cost and Benefit Analysis) Rineka
Cipta. Jakarta.
Sub Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Ketahanan Pangan. Dinas Peranian
Kab. Kebumen. Profil Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Kebumen
Tahun 2001.
Suprapto dan Rubiyo, 2002. Penggunaan Pupuk Alternatif Pada Usaha Tani
Kacang Tanah di Bali. dalam Peningkatan produktivitas, Kualitas, dan
Efisiensi Sistem Produksi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Menuju Ketahanan Pangan dan Agribisnis. Prodising. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengemangan
Tanaman Pangan. Hal. 474-480.
Zainal.M.R.,A.Z.Fachri Yasin, Zulkarnaen, D.Bakce, D.Karya, Noviandri,
Zulkarnaini, Sumardi Suriatna, E.H.Halim, I.M.Adnan, 2001. Petani
Usaha Kecil dan Koperasi Berwawasan Ekonomi Kerakyatan.
Universitas Riau Press Pekanbaru.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
354
PENGARUH PENAMBAHAN STARTER DAN UREA SEBAGAI
SUMBER N PADA PRODUKSI NATA DE COCO
Dian Adi A. *) Elisabeth*) dan Destialisma*)
ABSTRAK
Nata de coco merupakan produk makanan yang dihasilkan dari air kelapa
yang mengalami proses fermentasi dengan melibatkan bakteri Acetobacter xylinum,
sehingga membentuk kumpulan biomassa yang terdiri dari selulosa dan memiliki
penampilan seperti agar-agar berwarna putih. Nata de coco digolongkan sebagai
makanan sehat karena tinggi serat dan rendah kalori. Penambahan bakteri
Acetobacter xylinum sebagai starter dan penambahan sumber N sebagai sumber
makanan bagi starter sangat berpengaruh dalam memproduksi nata de coco. Oleh
karena itu, penelitian untuk mengkaji hal tersebut telah dilakukan di Laboratorium
BPTP Bali pada bulan Juli-Agustus 2005. Pengkajian menggunakan Rancangan
Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor, yaitu : a) penambahan jumlah starter,
masing-masing : 10%, 15%, dan 20%; serta b) penambahan jumlah urea sebagai
sumber N, masing-masing : 0,10%; 0,50%; dan 0,70%; dengan dua kali ulangan.
Parameter yang diamati adalah pH media starter, jumlah nata yang terbentuk, dan
rendeman nata. Hasil analisis menunjukkan bahwa kisaran pH media starter
adalah 3,70-4,00. Jumlah nata yang terbentuk antara 44 gram sampai 100 gram.
Perbandingan jumlah nata dengan jumlah air kelapa yang digunakan menghasilkan
rendeman nata. Hasil analisis menunjukkan rendemen nata adalah 10,80-20,00
persen. Rendemen nata tertinggi sebesar 20,00 gram didapatkan dari kombinasi
penambahan starter 20% dan urea 0,10%. Secara statistik, penambahan jumlah
starter, penambahan urea sebagai sumber N, dan kombinasi keduanya tidak
berpengaruh nyata pada produksi nata de coco.
Kata kunci : Nata de coco, air kelapa, starter, Acetobacter xylinum, urea, sumber N
PENDAHULUAN
Nata de coco berasal dari Filipina dan mulai diperkenalkan di Indonesia
sekitar tahun 1987. Nata memiliki bentuk padat, berwarna putih seperti kolang-
kaling sehingga sering dikenal sebagai „kolang-kaling imitasi‟. Nata de coco
dihasilkan dari air kelapa yang mengalami proses fermentasi dengan melibatkan
bakteri Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Nata de coco mengandung selulosa,
yang dikenal sebagai serat pangan alami (dietary fiber) yang mempunyai manfaat
dalam proses pencernaan makanan di dalam usus halus manusia dan penyerapan
air di dalam usus besar.
Menurut penelitian dari Balai Mikrobiologi, Puslitbang Biologi LIPI, di dalam
100 gram nata de coco terkandung nutrisi, antara lain : kalori 146 kal; lemak 0,2%;
karbohidrat 36,1 mg; Ca 12 mg; Fosfor 2 mg; dan Fe 0,5 mg. Nata juga mengandung
air yang cukup banyak (sekitar 80%), namun tetap dapat disimpan lama (Warisno,
2005).
________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
355
Karena memiliki kandungan serat tinggi dan rendah kalori serta tidak
mengandung kolesterol, maka nata de coco sangat cocok digolongkan sebagai makanan
kesehatan atau makanan diet.
Menurut data statistik, di seluruh wilayah Indonesia, tanaman kelapa yang
ditanam pada lahan seluas ± 3.384.000 ha dapat menghasilkan sekitar 11.465.000
butir kelapa per tahun. Dengan volume air kelapa rata-rata 0,3 liter per butir, dapat
dihasilkan air kelapa sebanyak ± 3.439.000 liter per tahun yang mempunyai prospek
untuk dimanfaatkan dalam pembuatan nata, baik dalam skala rumah tangga maupun
industri skala besar (Pambayun, 2002).
Di dalam air kelapa banyak terkandung nutrisi yang berguna bagi
pertumbuhan dan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Di dalam Warisno (2005)
disebutkan bahwa air kelapa mengandung 91,27% air; 0,29% protein; 0,15% lemak,
7,29% karbohidrat, dan 1,06% abu. Selain itu, juga terkandung nutrisi lain yaitu
sukrosa, dekstrosa, fruktosa, serta vitamin B kompleks, seperti asam nikotinat, asam
pantotenat, biotin, riboflavin, dan asam folat. Meskipun di dalam air kelapa telah
terdapat kandungan N yang berasal dari protein dan senyawa N lainnya, namun
karena jumlahnya yang sangat kecil, perlu ditambahkan sumber N dari luar, seperti
ZA (amonium fosfat) dan urea (amonium sulfat). Nitrogen (N) bagi bakteri Acetobacter xylinum dibutuhkan sebagai unsur makro bagi pertumbuhan dan aktivitasnya;
bersama dengan unsur karbon (C) yang dapat diperoleh dalam air kelapa dalam
bentuk karbohidrat sederhana (Pambayun, 2002).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan jumlah
starter dan urea sebagai sumber N terhadap produksi nata, yaitu jumlah nata yang
terbentuk dan rendemen nata; juga terhadap pH media fermentasi nata.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah air kelapa, biakan starter
Acetobacter xylinum, gula pasir, urea sebagai sumber N, dan asam asetat glasial
(99,8% asam cuka). Sementara, alat yang digunakan adalah wadah/kotak plastik,
kertas koran, karet gelang, kain saring, timbangan, gelas ukur, baskom, panci,
pengaduk, kompor, dan pHmeter.
Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok
Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu : a) penambahan jumlah starter, masing-
masing : 10%, 15%, dan 20%; serta b) penambahan jumlah urea sebagai sumber N,
masing-masing : 0,10%; 0,50%; dan 0,70%. Setiap perlakuan diulang sebanyak dua
kali. Parameter yang diamati adalah pH media fermentasi, jumlah nata yang
terbentuk, dan rendemen nata. Pengamatan dilakukan pada panen pertama produk
nata de coco. Penghitungan rendemen nata menggunakan rumus :
Jumlah Nata Terbentuk (g)
Rendemen = ________________________________________ x 100%
(*) Jumlah Air Kelapa yang Digunakan (ml)
Keterangan : (*) Dalam penelitian, jumlah air kelapa yang digunakan adalah 500 ml
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
356
Hasil pengamatan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis sidik
ragam, yang dilanjutkan dengan Uji Duncan jika hasil yang diperoleh berbeda nyata.
Waktu dan Lokasi
Penelitian produksi nata dilakukan di Laboratorium Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Bali pada bulan Juli sampai Agustus 2005.
Metode Pembuatan Nata de Coco (Mentah/Lembaran)
(Balitbangtan, 1997 dan Menristek, 2001)
Air kelapa
Disaring; lalu direbus
Ditambah gula pasir dan asam asetat glasial
Larutan dididihkan sambil terus diaduk
Ditambah urea sesuai perlakuan
Dididihkan kembali selama 15 menit
Ditu Dituangkan ke dalam wadah/kotak fermentasi
Wadah/kotak ditutup dengan kertas koran dan didinginkan
Ditambah biakan starter sesuai perlakuan
Difermentasi selama 14 hari
Lembaran nata dipanen, lalu dicuci sampai bersih
Wadah/kotak
fermentasi disterilkan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
357
HASIL DAN PEMBAHASAN
pH Media Fermentasi
Pengamatan terhadap pH media fermentasi menunjukkan kisaran hasil3,70-
4,00 (Tabel 1). pH media yang rendah (asam) disebabkan oleh penambahan asam
asetat glasial (asam cuka 99,8%). Suasana asam ini sangat cocok untuk
pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Menurut Pambayun (2002), Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada media dengan kisaran pH 3,5-7,5; namun,
pertumbuhan dan aktivitas optimumnya terjadi pada pH 4,3; atau pada kisaran pH
4,0-4,5 (Saragih, 2004).
Tabel 1. pH Media fermentasi
Jumlah starter Penambahan urea
0,10% 0,50% 0,70%
10% 3.80 3.90 3.70
15% 3.70 3.80 3.90
20% 4.00 4.00 3.80
Hasil analisis sidik ragam terhadap pH media fermentasi menunjukkan
bahwa jumlah starter, penambahan urea sebagai sumber N, dan kombinasi
keduanya tidak berpengaruh nyata pada pH media fermentasi.
Jumlah Nata yang Terbentuk
Hasil pengamatan terhadap jumlah nata yang terbentuk pada panen pertama
nata adalah 44-100 gram (Tabel 2). Lembaran nata terbentuk karena aktivitas
bakteri Acetobacter xylinum yang mampu menyusun/ mempolimerisasi senyawa
glukosa menjadi polisakarida, berupa selulosa. Lembaran benang-benang selulosa
ini terkumpul menjadi sangat banyak dan mencapai ketebalan tertentu sehingga
tampak seperti lembaran putih transparan dengan permukaan licin dan halus, yang
disebut nata (Pambayun, 2002). Hasil rata-rata nata terbentuk yang tertinggi adalah
pada perlakuan jumlah starter 20% dengan penambahan urea 0,10%, yaitu 100
gram. Sementara, hasil terendah adalah pada perlakuan jumlah starter 10% dengan
penambahan urea 0,70%, yaitu 44 gram.
Tabel 2. Jumlah nata yang terbentuk (gram)
Jumlah starter Penambahan urea
0,10% 0,50% 0,70%
10% 54 56 44
15% 64 60 56
20% 100 63 77
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah starter, penambahan
urea sebagai sumber N, dan kombinasi keduanya tidak berpengaruh nyata pada
jumlah nata yang terbentuk pada saat penelitian.
Secara teoritis, menurut Pambayun (2002), pembentukan nata dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti : ketersediaan nutrisi (sumber C dan sumber N),
tingkat keasaman media fermentasi, temperatur, dan ketersediaan oksigen. Urea
(amonium sulfat) yang dipergunakan dalam penelitian sebagai sumber N yang
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
358
mampu merangsang pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum memiliki
kandungan N antara 20,5-21%, berbentuk kristal, dan berwarna putih (Saragih,
2004).
Rendemen Nata
Hasil penghitungan terhadap rendemen nata yang diperoleh menunjukkan
kisaran 8,80-20,00% (Tabel 3). Hasil ini berbanding lurus dengan jumlah nata yang
terbentuk pada Tabel 2.
Tabel 3. Rendemen nata yang diperoleh (%)
Jumlah starter Penambahan urea
0,10% 0,50% 0,70%
10% 10.80 11.20 8.80
15% 12.80 12.00 11.20
20% 20.00 12.60 15.40
Hasil analisis sidik ragam terhadap rendemen nata menunjukkan bahwa
jumlah starter, penambahan urea sebagai sumber N, dan kombinasi keduanya tidak
berpengaruh nyata pada rendemen nata yang diperoleh pada saat penelitian;
meskipun secara angka pada Tabel 3 dapat dilihat adanya kecenderungan bahwa
rendemen nata meningkat dengan semakin banyaknya jumlah starter yang
ditambahkan.
KESIMPULAN
1. Penambahan starter Acetobacter xylinum, penambahan urea sebagai sumber
N, dan kombinasi keduanya tidak berpengaruh nyata pada pH media
fermentasi, jumlah nata yang terbentuk, dan rendemen nata yang diperoleh.
2. Jumlah nata dan rendemen nata tertinggi diperoleh dari perlakuan jumlah
starter 20% dan penambahan urea 0,10%, yaitu 100 gram nata terbentuk
dengan rendemen 20,00%.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbangtan. 1997. Pengolahan Buah Kelapa dan Hasil Ikutannya. BPTP Biromaru,
Manado.
Menristek. 2001. Nata de Coco. TTG Pengolahan Pangan. Diakses dari
“www.iptek.net.id”. Selasa, 10 Juni 2004.
Pambayun, R. 2002. Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.
Saragih, Y. P. 2004. Membuat Nata de Coco. Puspa Swara. Jakarta.
Warisno. 2005. Mudah dan Praktis Membuat Nata de Coco. Cetakan ke-3.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
359
INOVASI TEKNOLOGI DAN PERMODALAN
DALAM AKSELERASI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI METE
Cahyati Setiani*), Sodiq Jauhari*), dan Teguh Prasetyo*)
ABSTRAK
Studi mengenai Inovasi Teknologi dan Permodalan dalam Akselerasi
Pengembangan Agroindustri Mete dilakukan di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah
pada tahun 2004. Mete merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Wonogiri,
namun produksi dari tanaman yang ada belum dapat memenuhi permintaan pasar.
Areal pertanaman Mete di Kabupaten Wonogiri mencapai 20.403 ha yang dikelola
oleh 92.666 KK. Hasil Mete dalam bentuk glondong kering mencapai 388.499 ton
atau 294 kg/ha. Tujuan studi adalah untuk menilai kinerja inovasi teknologi dan
permodalan pada komoditas Mete yang diimplementasikan tahun 2002 - 2004.
Inovasi teknologi yang diintroduksikan adalah perbibitan, pemupukan,, dan
pengolahan pasca panen, sedangkan permodalan diintroduksikan menggunakan
pendekatan Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). Studi dilakukan
menggunakan metode survey dengan kuesioner terstruktur pada 39 kelompok tani.
Hasil studi menunjukkan bahwa: 1). Jumlah bibit Mete yang mengalami kematian
sebanyak 10%, sedangkan pertambahan bibit Mete yang dikembangkan oleh
kelompok selama kurun waktu tiga tahun mencapai sekitar 115.000 batang.
Pengembangan perbibitan Mete diarahkan pada lahan kritis yang di Kabupaten
Wonogiri mencapai 26.991 ha, 2). Inovasi teknologi budidaya Mete (pemupukan)
dapat meningkatkan hasil antara 20-30%, sedangkan pengelolaan pasca panen
dapat meningkatkan produktivitas 30-40%, 3). Permodalan sangat bermanfaat bagi
kelompok tani, namun belum sesuai dengan sasaran, 4). Disarankan untuk
pengembangan agroindustri Mete, BPLM yang diimplementasikan dikaitkan dengan
usaha produktif lain yang mendukung pengembangan agroindustri Mete, 5).
Pembinaan maupun pelatihan perlu dilakukan tidak hanya terbatas pada aspek
teknis tetapi juga aspek manajemen, 6). Batas waktu pengembalian BPLM perlu
ditinjau kembali disesuaikan dengan arus perputaran modal dan perlu memberikan
tenggang waktu.
Kata kunci: Inovasi teknologi, permodalan, akselerasi, agroindustri mete
ABSTRACT
Study about Technology Innovation and Capitalization Development
Acceleration of Cashew Agri-Industry was carried out in Wonogiri regency, Central
Java in 2004. Cashew is one of superior and priority product in Wonogiri regency,
but the production of the existing plants is not capable in meeting market demand
yet. Width of cashew planting in Wonogiri regency is about 20,403 ha which are
planted by 92,666 households. The cashew product in form of dry unprocessed is
388,499 tons or 294 kg/ha. The purpose of this study is to evaluate performance of
technology innovation and capitalization on cashew commodity which are
implemented in 2002 – 2004.
_________________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
360
The technology innovation introduced are seedling, fertilization and processing post
harvest, whereas capitalization is introduced by using The Direct Loan for Society
(Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat / BPLM). The study is carried with
survey method using structured questionnaire to 39 farmers group. The results of
this study show : 1) The amount of death seed of cashew about 10%, whereas
increasing of cashew seed that improved by the group for during three years reach
115,000 plants. This improvement is directed into the 26,991 ha of critical land in
Wonogiri regency. 2) Technology innovation of cashew agriculture (fertilization) can
increase the output for about 20 – 30%, whereas post-harvest process can increase
the productivity for 30 – 40%. 3) The capitalization is very useful for farmer group,
but it‟s not appropriate with the target yet. 4) It‟s suggested for developing agri-
industry of cashew, BPLM that is implemented are related with others productive
activities that support development of cashew agri-industry. 5) Establishment and
training should be implemented , not only for technical aspects but also management
aspects. 6) The limit time for paying back BPLM should be review again, adjusted
into recycling capital and need to give longer time.
Keywords : Technology innovation, capitalization, acceleration, cashew agri-industry
PENDAHULUAN
Pembangunan adalah suatu perubahan sosial yang dilakukan secara sengaja
atau berencana (Syahyuti, 2003). Salah satu model pembangunan pertanian yang
dilakukan di Kabupaten Wonogiri adalah percepatan pengembangan agroindustri
mete melalui pendekatan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN).
Pendekatan tersebut berorientasi pada pasar melalui peningkatan inisiatif dan
partisipasi masyarakat, dimana peran pemerintah difokuskan pada penyediaan
fasilitas umum, seperti prasarana dan sarana, Iptek dan regulasi yang didasarkan
kepada mekanisme insentif dan disinsentif. Dalam pelaksanaannya ditempuh
melalui 4 (empat) program prioritas yang meliputi: a). peningkatan ketahanan
pangan, b). pengembangan agribisnis, c). pendidikan luar sekolah, dan d).
pengetahuan lingkungan sosial (Disbun Prop. Jateng, 2003).
Pengembangan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN),
termasuk dalam program pengembangan agribisnis yang bertujuan untuk
mengembangkan agribisnis perkebunan yang berwawasan lingkungan guna
meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil, mendayagunakan sumberdaya
perkebunan di pedesaan dan meningkatkan pendapatan pekebun yang didukung
dengan program pendidikan luar sekolah dan pengetahuan lingkungan sosial.
Kebijakan program yang diterapkan tentu akan membawa dampak bagi masyarakat
terutama di kawasan KIMBUN, termasuk pengembangan KIMBUN Mete.
Secara konseptual pengembangan agroindustri mete melalui pendekatan
KIMBUN, mengacu pada faham Karl Mark bahwa aspek materialistik akan
mendorong dan mempercepat terjadinya perubahan. Inovasi teknologi dan
permodalan diharapkan akan menjadi pemicu terjadinya pengembangan
agroindustri mete. Hal ini dapat dimengerti mengingat keterbatasan teknologi dan
modal merupakan permasalahan utama yang dihadapi masyarakat pedesaan /
perkebunan dalam melakukan kegiatan usahanya, termasuk usaha agroindustri
Mete (Setiani et al., 2005).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
361
Inovasi teknologi yang diintroduksikan pada pengembangan agroindustri
mete meliputi: teknologi perbibitan, budidaya, dan pasca panen. Selain itu juga
diintroduksikan sistem permodalan melalui Bantuan Pinjaman Langsung
Masyarakat (BPLM). Teknologi perbibitan dan budidaya diarahkan untuk
pengembangan tanaman mete yang pada saat ini cenderung mengalami penurunan
produktivitas. Teknologi pasca panen diarahkan untuk mendapatkan nilai tambah
dan daya saing hasil. Sedangkan permodalan diarahkan untuk memperkuat posisi
tawar. Inovasi teknologi dan permodalan tersebut diintroduksikan sejak tahun 2002
dengan sasaran KIMBUN Mete. Hasil kinerja Inovasi teknologi dan permodalan
diuraikan pada makalah ini.
METODE PENGKAJIAN
Kegiatan inovasi teknologi dan permodalan dalam akselerasi pengembangan
agroindustri Mete dilakukan di Kabupaten Wonogiri yang merupakan lokasi
pengembangan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) Mete.
Kegiatan dilaksanakan sejak tahun 2002-2004. Untuk mengetahui kinerja inovasi
teknologi dan permodalan tersebut dilakukan evaluasi pada TA. 2005.
Evaluasi dilakukan menggunakan pendekatan survey. Pemilihan responden
dilakukan secara purposive random sampling, pada pekebun yang menjadi sasaran
program pengembangan KIMBUN Mete di Kabupaten Wonogiri. Pemilihan lokasi
didasarkan pada hasil konsultasi dengan Dinas. Secara keseluruhan jumlah
kelompok tani yang menjadi sasaran KIMBUN Mete di Kabupaten Wonogiri adalah
39 kelompok yang terbagi berdasarkan tahun 2002 sejumlah 15 kelompok, tahun
2003 sejumlah 15 kelompok dan tahun 2004 sebanyak 9 kelompok. Ke 39 kelompok
tersebut tersebar pada 11 kecamatan. Dari 39 kelompok sasaran KIMBUN Mete
dipilih 3 kelompok yang dianggap mewakili dalam mengembangkan model
pengembangan perbibitan Mete, yaitu: a). Sari Mulyo, Desa Pengkol, Kecamatan
Jatiroto, b). Margo Mulyo, Desa Wonorejo, Kecamatan Wonogiri, dan c). Sedyo
Mulyo, Desa Gemawang, Kecamatan Ngadirojo.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Pengembangan Agroindustri Mete
Potensi Biofisik
Mete merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Wonogiri. Produksi dari
tanaman yang ada setiap musim panen belum dapat mencukupi permintaan pasar
sehingga diperlukan adanya pengembangan tanaman jambu mete di Kabupaten
Wonogiri. Lahan yang ada masih dapat menampung tanaman baru karena
penanaman jambu mete tidak secara monokultur tetapi ditumpangsarikan dengan
tanaman lain baik semusim maupun tanaman tahunan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
362
Tabel 1. Tataguna lahan di Kabupaten Wonogiri
Tataguna lahan Luas (ha) Persentase (%)
Sawah
Tegal
Bangunan/Pekarangan
Hutan Negara
Hutan Rakyat
Lain-lain
30,913
57,583
37,306
16,290
16,202
23,942
16,96
31,60
20,47
8,94
8,89
13,14
Jumlah 182,236 100,00
Luas areal penanaman pohon mete mencapai 20.403 ha atau 11,19% dari total
luas Kabupaten Wonogiri. Produksi per tahun yang dapat dicapai pada tahun 2003
adalah 388.499 ton glondong kering. Rata-rata produksi per ha mencapai 294 kg dan
masih lebih rendah dari rata-rata produksi nasional (341 kg/ha (Achmad Abdullah,
2000). Jumlah petani yang mengusahakan tanaman mete sebanyak 92.666 KK atau
38,72% KK yang berdomisili di Kabupaten Wonogiri.
Topografi wilayah Kabupaten Wonogiri bervariasi dari datar sampai
bergelombang dan berbukit. Ketinggian tempat juga bervariasi dimulai dari 106
m.dpl s/d 600 m.dpl. Kaitannya dengan tanaman mete ketinggian tempat yang ideal
untuk usaha tanaman mete adalah 100 – 600 M.dpl. dengan demikian dapat
dikatakan bahwa tanaman mete dapat diusahakan diseluruh wilayah Kabupaten
Wonogiri.
Potensi pengembangan mete adalah lahan kritis. Di Kabupaten Wonogiri
tercatat lahan kritis sebesar 26.991 ha yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten
Wonogiri. Bila diasumsikan bahwa lahan kritis tersebut baru 50% yang
dibudidayakan, maka tanaman mete yang dapat diusahakan diwilayah lahan kritis
dapat mencapai 13.440.000 pohon (10x10 Cm). Selain dari aspek finansial tanaman
mete di lahan kritis juga bermanfaat untuk upaya konservasi tanah, karena
tanaman mete tidak memerlukan pengolahan lahan dan daun/tajuknya dapat
menahan pukulan air hujan sebelum jatuh ditanah.
Potensi Sumberdaya Manusia
Berdasarkan hasil survey, diketahui bahwa umur anggota kelompok tani yang
mengusahakan Mete berkisar antara 30-70 tahun dengan rata-rata 46 tahun.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa usaha mete sebagian besar diusahakan oleh
penduduk usia produktif. Tingkat pendidikan yang dicapai rata-rata hanya lulus SD.
Bila kedua indikator tersebut dikaitkan, maka dalam pengembangan usaha mete
masih diperlukan pembinaan teknologi maupun manajemen, walaupun pengalaman
mereka dalam usaha mete lebih dari 10 tahun.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
363
Tabel 2: Luas areal dan produksi mete di Kabupaten Wonogiri berdasarkan
kecamatan, 2003
Kecamatan
Luas areal (ha)
Jumlah
Produksi
ton
glondong
kering
Jumlah
petani
(KK)
Rata-rata
prod/ha TBM TM TT/TR
Pracimantoro
Parangupito
Giritontro
Giriwoyo
Batuwarno
Karangtengah
Tirtomoyo
Nguntoronadi
Baturetno
Eromoko
Wuryantoro
Manyaran
Selogiri
Wonogiri
Ngadirejo
Sidoharjo
Jatiroto
Kismantoro
Purwantoro
Bulukerto
Puhpelem
Slogohimo
Jatisrono
Jatipurno
Girimarto
76
170
122
42
162
5
25
63
43
181
76
79
26
93
335
1334
1514
90
335
181
101
430
553
161
180
160
51
235
193
305
34
168
176
393
377
160
186
342
297
2.798
1.535
1.346
675
514
180
110
439
1.236
515
810
14
7
26
29
23
12
26
19
24
11
14
12
19
19
147
106
103
10
21
13
10
16
73
23
13
250
228
183
264
491
51
219
248
460
569
250
277
387
409
3.283
2.975
2.963
775
870
374
221
885
1.862
699
1.003
47.04
15.05
67.45
55.39
86.32
9.72
48.55
50.51
111.22
111.22
46.56
55.61
101.57
90.59
979.30
529.58
471.10
218.70
164.48
51.30
31.46
130.82
432.60
151.93
230.85
489
663
2.041
2.041
2.385
239
2.650
2.170
2.170
5.814
2.333
3.153
2.361
3.074
10.309
5.607
3.299
3.970
4.704
1.728
1.478
4.148
7.230
3.873
4.450
294
295
287
287
283
286
289
287
283
295
291
299
297
305
350
345
350
324
320
285
286
298
350
295
285
Jumlah 6.378 13.235 790 20.403 3.884.99 92.666 294
Sumber: Statistik Perkebunan Kabupaten Wonogiri, 2003
Ditinjau dari mata pencaharian, mayoritas petani mempunyai usaha
sampingan. Artinya hasil usahatani (termasuk usaha mete) belum mencukupi
kebutuhan rumahtangga. Berbagai usaha sampingan dilakukan petani untuk dapat
memenuhi kebutuhan rumahtangga, baik sebagai tukang batu maupun dagang.
Kondisi ini dapat dimengerti karena penguasaan lahan petani relatif sangat sempit
(Tabel 3).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
364
Tabel 3. Karakteristik petani yang mengusahakan mete, 2005
No. Uraian Kelompok Tani
Sari Mulyo Margo Mulyo Sedyo Mulyo
1
2
3
4
5
6
7
Umur (tahun)
-rata-rata
-kisaran
Pendidikan formal
-rata-rata
-kisaran
Pengalaman UT mete (tahun)
-rata-rata
-kisaran
Mata pencaharian
-utama
-sambilan
Anggota keluarga (orang)
-jumlah
-aktif dalam usahatani mete
Penguasaan lahan (Ha)
-tegalan
-sawah
-pekarangan
Pemilikan ternak (ekor)
-sapi
-kambing
-ayam
55
(40-70)
Lulus SD
(SD-SLTA)
15
(10-20)
Tani
Tukang batu
4 (3-7)
2 (2-3)
0,1 (0,05-1)
0,1 (0,1-1)
0,07 (0,02-0,5)
1 (1-2)
3 (2-7)
15 (5-30)
34
(30-60)
Lulus SD
(SD-SLTA)
10
(12-30)
Tani
Dagang
4 (3-5)
2 (2-3)
0,3 (0,1-0,5)
0.25 (0,1-0,5)
0,15 (0,07-0,5)
1 (1-2)
3 (2-5)
14 (5-20)
50
(30-63)
Lulus SD
(SD-SLTA)
10
(12-30)
Tani
Tukang batu
3 (2-5)
3(2-5)
0,1 (0,1-0,5)
0,4 (0,1-0,5)
0,02 (0,01-0,5)
1 (1-2)
3 (2-5)
15 (5-20)
Jumlah penduduk Kabupaten Wonogiri sebesar 1.106.418 jiwa dengan
perincian 551.937 laki-laki dan 544.431 perempuan. Tercatat jumlah penduduk boro
sebanyak 110.404 orang diantaranya 57.050 laki-laki dan 53.354 perempuan.
Berdasarkan kondisi sumberdaya yang ada, pengembangan usaha mete sangat
strategis bila dikaitkan dengan banyaknya jumlah penduduk yang boro. Hal ini
disebabkan karena kebutuhan tenaga kerja usaha mete tidak terlalu banyak,
sehingga dapat membantu memenuhi kebutuhan pendapatan rumahtangga.
Tabel 4. Banyaknya penduduk boro menurut jenis kelamin per kecamatan di
Kabupaten Wonogiri, akhir tahun 2003
Kecamatan
Jenis kelamin
Laki-laki
(orang)
Perempuan
(orang)
Laki-laki +
Perempuan
(orang)
Jumlah 2003
Jumlah 2002
54.000
57.050
51.410
53.354
105.410
110.404
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
365
Inovasi Teknologi
Perbibitan
Pendekatan yang diterapkan oleh Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Tengah
adalah model kawasan yang mengikutsertakan berbagai kelompok. Usaha
berkelompok merupakan salah satu pemenuhan skala ekonomi yang dapat
memperkuat posisi tawar. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Raharjo (1994),
bahwa salah satu upaya untuk memperkuat posisi petani/pekebun adalah
melakukan usaha secara berkelompok. Dikatakan oleh Fagi dan Karyasa (2004),
pola hidup gotong royong masyarakat pedesaan yang umumnya didominasi oleh
petani semestinya dapat menjadi landasan kuat untuk melakukan usaha secara
berkelompok .
Program yang diterapkan oleh KIMBUN Mete di Kabupaten Wonogiri,
menggunakan pendekatan kelompok. Semua kelompok tani yang menjadi sasaran
KIMBUN Mete dipersyaratkan melakukan perbibitan Mete yang dipersiapkan
untuk ditanam di lahan sendiri. Hal ini disebabkan karena pada umumnya petani
hanya mengusahakan mete di lahan pekarangan/ tegalan tidak secara monokultur
(tumpangsari dengan tanaman pangan yang bersifat semusim).
Pengembangan perbibitan mete dilakukan dengan cara subsidi sejumlah
7.200 batang (2002), 6000 batang (2003), dan 5000 batang (2004). Selain itu juga
melalui kelompok sasaran program Kimbun (39 kelompok), masing-masing
kelompok mengembangkan bibit mete sebanyak 10-20 kg (setiap kg dapat
menghasilkan bibit sebanyak 150-200 batang). Berdasarkan survey di lapangan
jumlah bibit mete yang mengalami kematian sebanyak 10%, sedangkan
pertambahan bibit mete yang dikembangkan oleh kelompok mencapai sekitar
115.000 batang. Pendekatan yang dilakukan telah dapat mencapai sasaran.
Pemupukan
Teknologi pemupukan yang diintroduksikan dibedakan antara tanaman muda
(umur 2-8 tahun) dan tanaman dewasa (> 8 tahun). Dosis pupuk per pohon muda
adalah Urea 550 gr; SP36 225 gr; KCL 150 gr; dan Pupuk Kandang 25 kg.
Sedangkan dosis pupuk per pohon dewasa adalah Urea 900 gr; SP36 450 gr; KCL
400 gr; dan Pupuk Kandang 25 kg. Pemupukan dilakukan dua kali yaitu pada awal
musim hujan (MH) dan akhir MH. Pemupukan awal MH pohon muda dengan dosis
Urea 300 gr; SP36 100 gr; dan KCL 75 gr dan sisanya dilakukan pada akhir MH.
Pemupukan awal pohon dewasa adalah 450 gr; SP36 250 gr; KCL 200 gr dan sisanya
digunakan untuk pemupukan akhir MH. Menurut petani teknologi tersebut dapat
meningkatkan hasil sekitar 20 – 30%.
Pasca Panen
Teknologi pasca panen yang diintroduksikan adalah pengupasan kulit luar
glondong mete dengan kacip. Proses pengupasan diawali dengan penjemuran
glondong mete selama + 1 hari tergantung pada cuaca. Selanjutnya diangin-
anginkan selama 1 jam dan diberi kapur agar kulit arinya mudah dikupas. Langkah
berikutnya, kupasan mete dipanaskan di atas kompor sambil dilakukan
pembuangan kulit ari. Dalam 1 hari petani mampu mengacip 20-25 kg glondong
mete, atau menghasilkan 5-6 kg kupasan mete. Teknologi pengacipan ini menurut
petani dapat meningkatkan produktivitas sebesar 30 – 40%.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
366
Gambar 1. Proses pascapanen pengupasan glondong mete
Inovasi Permodalan
Penguatan modal kelompok merupakan salah satu pendekatan yang
diarahkan untuk mendorong dan mempercepat pengembangan agroindustri mete.
Penguatan modal tersebut merupakan Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat
(BPLM) untuk permodalan usaha pascapanen dan pemasaran mete. Pada tahun
2002 penguatan modal yang disalurkan sebesar Rp. 8.000.000/kelompok dan pada
2003 sebesar Rp. 20.000.000/kelompok. Kelompok penerima BPLM wajib
mengembalikan bantuan modal, perluasan / pengembangannya menggunakan
sistem perguliran.
Jangka waktu pengembalian pinjaman modal pada BLM 2002 selama 4 tahun
dengan bunga 2%/tahun dari pinjaman pokok, atau Rp. 160.000/tahun, sedangkan
pola pengembaliannya tidak diatur. Pada BPLM 2003 jangka waktu pelunasannya 3
tahun dengan bunga 2% dari sisa pinjaman pokok, dengan pola pengembalian: tahun
pertama kelompok diwajibkan mengembalikan Rp. 5.400.000, tahun kedua Rp.
5.300.000, dan tahun ketiga Rp. 10.200.000.
Dana BPLM dirasakan sangat membantu dalam permodalan usaha
pascapanen dan pemasaran mete, karena tingkat bunga rendah dan prosedurnya
mudah. Meskipun demikian, jumlah BPLM yang diberikan dirasakan masih
kurang, karena hanya mencukupi untuk aktivitas usaha pascapanen dan
perdagangan selama 3 bulan. Jumlah dana BPLM 2002 yang dikembangkan pada
kelompok tani selama 3 tahun (2002-2005) berkembang sebesar 75%, sedangkan
BPLM 2003 selama 2 tahun (2003-2005) perkembangannya bervariasi antar
kelompok, berkisar 14,5% - 56,5%. Peningkatan jumlah modal yang dimiliki
kelompok telah memperluas jumlah anggota, yakni berkisar 25% - 85%/kelompok.
Analisa finansial usaha pascapanen dan pemasaran mete sebagaimana
tercantum pada Tabel 5. Dalam analisis diasumsikan (1) jumlah modal yang
Glondong mete
Dijemur + 1 hari
Pengupasan
kulit luar
Pengupasan
kulit ari
Dianginkan + 1-2 jam
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
367
diputar dalam usaha pascapanen dan pemasaran mete sesuai dengan jumlah
pinjaman untuk masing-masing petani adalah Rp. 1.000.000; (2) biaya bunga modal
2%/bulan, (3) harga input dan output produksi berdasarkan harga pasar pada
Agustus 2005. Penguatan modal bagi usaha pascapanen dan pemasaran mete
mampu menghasilkan keuntungan Rp. 251.000/bulan/petani. Dengan perolehan
keuntungan tersebut, maka diharapkan perguliran dana BLM dapat berjalan lancar.
Petani mengharapkan adanya penambahan pinjaman modal, karena sesuai dengan
potensi mete yang ada di Kabupaten Wonogiri, skala usahanya masih dapat
ditingkatkan.
Tabel 5. Analisa finansial usaha pascapanen dan pemasaran mete (skala modal Rp.
1.000.000/petani)
Uraian Kuantitas Satuan Harga/satuan
(Rp.) Jumlah
Input :
Glondong mete 125 kg 7.000 875.000
Tenaga kerja 5 HOK 15.000 75.000
Minyak tanah 3 liter 1.500 4.500
Penyusutan peralatan
(kompor, kacip)
5.000
Biaya pemasaran 25.000
Bunga modal 20.000
Total input 1.004.500
Output
Mete 31,25 kg 40.000 1.250.000
Kulit 1 sak 6.000 6.000
Total output 1.256.000
Keuntungan 251.000
R/C ratio 1,25
KESIMPULAN DAN SARAN
Ditinjau dari potensi biofisik dan sumberdaya manusia, wilayah Kabupaten
Wonogiri sangat potensial bagi pengembangan usaha agroindustri mete.
Potensi akan mencapai optimal bila ada pembinaan dalam bentuk inovasi
teknologi maupun permodalan dari Pemerintah
Jumlah bibit mete yang mengalami kematian sebanyak 10%, sedangkan
pertambahan bibit Mete yang dikembangkan oleh kelompok selama kurun
waktu tiga tahun mencapai ± 115.000 batang. Pengembangan tanaman mete
diarahkan pada lahan kritis yang di Kabupaten Wonogiri mencapai 26.991 ha
Inovasi teknologi budidaya mete (pemupukan) dapat meningkatkan hasil
antara 20-30%, sedangkan pengelolaan pasca panen dapat meningkatkan
produktivitas 30-40%,
Dana BPLM bagi penguatan modal kelompok mampu meningkatkan
pendapatan Rp. 251.000/bulan/petani. Jumlah dana BPLM 2002 yang
dikembangkan pada kelompok tani selama 3 tahun (2002-2005) berkembang
sebesar 75%, sedangkan BPLM 2003 selama 2 tahun (2003-2005)
perkembangannya bervariasi antar kelompok (14,5% - 56,5%).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
368
Disarankan untuk pengembangan agroindustri Mete, BPLM yang
diimplementasikan dikaitkan dengan usaha produktif lain yang mendukung
pengembangan agroindustri mete. Pembinaan maupun pelatihan perlu
dilakukan tidak hanya terbatas pada aspek teknis tetapi juga aspek
manajemen. Batas waktu pengembalian BPLM perlu ditinjau kembali
disesuaikan dengan arus perputaran modal dan perlu memberikan tenggang
waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Abdullah. 2000. Posisi Jambu Mete dan Prospek Pengembangannya di
Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor
Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Tengah. 2003. Laporan Tahunan. Dinas
Perkebunan Propinsi Jawa Tengah. Ungaran
Fagi dan Karyasa.2004. Ulasan Makalah Sistem dan Kelembagaan Usahatani
Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian. Departemen pertanian.
Jakarta
Rahardjo, 1994. Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan agribisnis. UGM-
Jogjakarta
Setiani C., Kendriyanto, D. Maharso, Suprapto, T. Prasetyo. 2005. Evaluasi
Pengembangan KIMBUN Mete di Kabupaten Wonogiri. Dinas Perkebunan
Propinsi Jawa Tengah. Semarang
Statistik Perkebunan Kabupaten Wonogiri, 2003. Perkebunan Dalam Angka. Dinas
Perkebunan Kabupaten Wonogiri, Wonogiri
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
369
PENGKAJIAN PENGARUH BEBERAPA VARIETAS JAGUNG
TERHADAP MUTU TORTILA
Suhardjo*) dan I.E. Lestari**)
ABSTRAK
Produksi jagung di wikayah Jawa Timur cukup besar dan yang umumnya
petani melakukan kegiatan panen langsung jual. Pada saat hasil melimpah, harga
produk rendah, maka sangat perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah
hasil produksi pertanian. Salah satu produk olahan dari jagung yang cukup
disenangi konsumen adalah tortila. Sedangkan di Jawa Timur banyak ditanam
berbagai varietas jagung hibrida maupun lokal. Tuhuan dari pengkajian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh varietas jagung terhadap mutu tortila. Varietas jagung
yang digunakan adalah Pioner 7, Pioner 11, Bisi 2, Bisi 7, lokal Putih (Senduro,
Lumajang) dan lokal Madura (Talango, Sumenep). Pengkajian dilakukan di
laboratorium Pasca Panen BPTP Jawa Timur tahun 2004 dengan metode RAK, 3
kali ulangan. Parameter yang diamati adalah mutu tortila, yang meliputi sifat
kimia (kadar air, protein, lemak, abu), fisik (kekerasan) dan organoleptik (warna,
kerenyahan dan rasa). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kandungan protein
dan lemak pada tortila dipengaruhi oleh varietas dan yang tertinggi adalah dari
lokal Madura (7,68 % dan 19,04 %). Sedangkan kadar abu tidak ada beda nyata pada
antar perlakuan, yaitu sekitar 2,19 -2,43 %. Kekerasan dan kerenyahan tertinggi
dihasilkan olah produk tortila dari varietas Pioner 11 (1,53 g/cm2), da pada uji
kerenyahan juga Pionere 11 (skor 3,40) yang paling tinggi.. Panelis juga menyatakan
bahwa tidak ada perbedaan rasa tortila dari semua perlakuan. Namun panelis
menyatakan bahwa warna tortila yang paling disukai adalah dari Bisi 2 (skor 4,30).
Kata Kunci : Jagung, varietas, tortila, mutu.
ABCTRACT
Production of corn in East Java Province is very high yield, and commonly the
farmers sell their corn after harvested directly. The price of corn was very low, when
the production was higher. So, for to add value of this corn, processing was for
solution. One of cultivar product from corn was tortilla. But for raw material of
tortilla, there were many cu;tivars of corn in East Java. The aim of this assessment
was to know the effect of corn varieties on tortilla quality. The assessment was done
in postharvest laboratory of Assessment Institute for Agriculture Technology East
Java in 2004. The method of this assessment used Randomized Block Design (RBD)
with 3 replications. There were 6 (six) corn varieties for treatments : Pioner 7, Pioner
11, Biai 2, Bisi 7, Madura (Talango, Sumenep) and Putih (Senduro, Lumajang).
Observation parameters were chemical characteristics before and after processing,
hardness, and organoleptic test (hedonic test on texture, colour and taste).
________________
*) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur **) Alumni Faperta - UMM
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
370
The result showed that there were different of composisition and colour corn varieties
for raw material. There were significant different on tortilla qualities (protein, fat,
hardness, tekxture, colour), but there were no different on water content (1,77-1,97 %),
ash (2,19-2,43 %) and taste (score 2,7- 3,1). Protein and fat content of Madura was
about 7,68 % and 19,04 %, was highes than an other varieties. Hardness and texture of
Pioner 11 (1,53 g/cm2, score 3,4) was highest than the other varieties. The result of
colour test indicated that Bisi 2 had score 4,30 highest than the others.
Key Words : Corn, vatiety, tortilla, quality.
PENDAHULUAN
Sebagian besar pendapatan petani masih belum cukup untuk meningkatkan
taraf hidup mereka. Kenyataan ini disebabkan oleh menurunnya harga riil dari
komoditas primer dan sempitnya kepemilikan lahan pertanian. Sebagian besar petani
menjual dalam bentuk produk primer, sehingga nilai tambah yang cukup tinggi
dinikmati oleh pihak lain (Husodo, 2003).
Jagung merupakan bahan pangan kedua setelah beras. Namun dalam
kenyataannya sebagian besar dari jagung untuk makanan ternak dan hanya sekitar
30 % menjadi makanan manusia. Padahal jagung mempunyai nilai protein (7-10 %)
yang sama dan bahkan bisa lebih tinggi daripada beras (7 %) dan dapat diolah menjadi
berbagai produk olahan yang menarik bagi konsumen (Harijono, 1999 dan 2001)
Salah satu produk olahan jagung yang cukup sederhana dalam pengolahannya
adalah tortila (Mudjisihono et al., 1993 dan Harijono, 1999) dan telah dikenalkan/
dikembangkan oleh BPTP Jawa Timur dengan sasaran ke wanita tani sejak tahun
2000 (Suhardjo et. al., 2001 dan 2003) serta juga telah dibuat rakitan teknologinya
(Suhardjo, et.al., 2002). Namun dalam rakitan teknologi yang dianjurkan, belum
tertuang varietas jagung yang baik untuk diolah menjadi tortila.
Menurut Lukmanto (1996), saat ini konsumen menuntut produk olahan yang
bermutu dan terjamin. Untuk itulah dalam pengemangan industri pangan selalu
harus dilakukan inovasi secara luas dan terus-menerus, yaitu manajemen penyediaan
bahan baku, peralatan dan prosesing (Ainuri dan Guritno, 1996). Susanto (2002) juga
menyatakan bahwa bahan baku merupakan salah satu permasalahan dalam industri
kecil.
Di Jawa Timur, banyak ditanam berbagai varietas jagung, yang terdiri dari
varietas lokal maupun hibrida. Varietas lokal jagung antara lain lokal Madura, lokal
Putih dan lain-lain serta varietas kagung hibrida antara lain Pioner 7, Pioner 11, Bisi
2, Bisi 7 dan lain-lain. Jagung tersebut mempunyai komposisi dan warna biji yang
berbeda.
Tortila adalah jenis makanan kering yang porous dan mempunyai tekstur
renyah, bila dikunyah mempunyai bunyi gemeretak. Secara umum, seperti produk
pangan lainnya, mutu tortila ditentukan antara lain adalah oleh faktor kenampakan
(warna, ukuran), kerenyahan, rasa dan nilai gizi (Suhardjo, et al., 2001). Dengan
demikian, ada kemungkinan bahan baku jagung yang digunakan untuk pengolahan
dapat mempengaruji mutu produk tortila.
Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan
berbagai varietas jagung terhadap mutu produk tortila yang diperoleh. Hasil
pengkajian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengrajin tortila dalam
menggunakan bahan baku jagung yang baik.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
371
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah jagung hubrida 4 (empat)
varietas, yaitu Pioner 7, Pioner 11, Bisi 2 dan Bisi 7, yang diperoleh dari petani di
Kediri dan 2 (dua) varietas lokal, yaitu Madura (dari Talango, Sumenep) dan Putih
(Senduro, Lumajang). Pengkajian dilakukan di laboratorium Pasca Panen BPTP
Jawa Timur pada tahun 2004.
Pelaksanaan pengkajian dilakukan dengan metode RAK (Rancangan Acak
Kelompok) dengan 3 kali ulangan. Sedangkan parameter yang diamati adalah
analisis proksimat (kadar air, protein, lemak dan abu) pada jagung sebelum dan
sesudah diolah menjadi tortila, kemudian juga kekerasan dan sifat organoleptik
(warna, kerenyahan, rasa). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
sidik ragam. Sebagai panelis adalah para mahasiswa sebanyak 20 orang. Uji
organoleptik dengan menggunakan uji peferensi (kesukaan) dengan memberikan
skor 1 adalah sangat tidak suka dan skor 5 adalah sangat suka.
Pengolahan tortila pada pengkajian ini menggunakan cara sebagai berikut :
(Suhardjo et al., 2002).
1. Jagung sebanyak 0,250 kg dibersihkan, kemudian dicuci
2. Kemudian direndam dalam larutan kapur 3 % (90 g / 3 liter air) selama
semalam
3. Rendaman jagung direbus setengah masak (sekitar 1 jam), kemudian dicuci
sampai bersih
4. Jagung direbus kembali sampai masak (sekitar 2 jam)
5. Jagung masak ditiriskan, dalam keadaan masih panas dicampur dengan
bumbu-bumbu yang diinginkan, misal garam 1,25 % dan bawang putih 2 %..
6. Masih dalam keadaan panas/hangat, jagung digiling dengan alat penggiling
sampai lembut
7. Kemudian jagung yang sudah lembut dibuat lempengan-lempengan tipis
dengan alat pemipih.
8. Lempengan dikeringkan sebentar dibawah sinar matahari sampai lempengan
menjadi sekitar setengah kering (masih lunak)
9. Lempengan kemudian dipotong-potong denghan menggunakan gunting
dengan ukuran sekitar 2 x 3 cm.
10. Pengeringan dilanjutkan dibawah sinar matahari sampai kering.
11. Setelah kering, kemudian digoreng dan dikemas dengan plastik dengan
ukuran 0,08 mm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisik bahan baku
Hasil pengamatan bahan baku jagung menunjukkan, bahwa relatif ada
perbedaan antar varietas. Perbedaan terlihat pada kadar air, kadar protein dan
kadar abu. Namun perbedaan ini masih bersifat relati, mengingat kadar air yang
dikandung cukup banyak berbeda (Tabel 1).
Perbedaan kadar air sangat dipengaruhi pada proses pengeringan, sebelum
jagung dilakukan analisis. Pada pengkajian ini jagung diperoleh langsung dari
petani dan proses pengeringan dilakukan oleh petani.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
372
Berdasar pengamatan tersebut (Tabel 1), tampaknya jagung varietas Madura
mempunyai kadar protein yang tertinggi (11,24 %), sedangkan varietas Pioner 7
yang terendah (8,22 %). Demikian pula, warna biji jagung berbeda untuk setiap
varietas. Warna jagung pada umumnya mengandung warna oranye, kecuali pada
varietas jagung Putih yang berwarna putih.
Tabel 1. Komposisi dan warna biji beberapa varietas jagung
No. Varietas K. air
(%)
K.protein
(%)
k.lemak
(%)
K.abu
(%)
K,karbo-
hidrat (%) Warna biji
1. Pioner 7 12,86 8,22 3,24 1,06 74,62 Oranye
terang
2. Pioner 11 11,33 8,70 3,34 1,25 75,38 Oranye
3. Bisi 2 12,87 9,51 3,95 0,78 72,89 Kuning
oranye
4. Bisi 7 10,69 10,09 3,27 0,65 75,30 Kuning
oranye
5. Madura 8,10 11,24 3,88 1,16 75,62 Oranye
6. Putih 10,70 8,29 3,28 1,05 76,68 Putih
Karateristik hasil tortila
Hasil pengamatan sifat kimia tortila yang dihasilkan menunjukkan bahwa
varietas jagung yang digunakan untuk bahan baku, berpengaruh nyata terhadap
komposisinya, yaitu pada kadar protein dan kadar lemak (Tabel 2).
Hasil pengamatan tersebut di atas menunjukkan bahwa kadar protein
tertinggi pada tortila yang berbahan baku varietas Madura (7,68 %). Demikian pula
kadar lemak tertinggi juga pada tortila berbahan baku varietas Madura (19,04).
Kadar minyak/lemak yang tinggi ini juga menunjukkan bahwa tortila berbahan
baku varietas Madura cukup banyak menyerap minyak sewaktu penggorengan.
Pada varietas lokal Putih-pun tampaknya juga banyak menyerap minyak sewaktu
dalam penggorengan (18,92 %)
Tabel 2. Hasil pengamatan komposisi tortila setelah digoreng.
No. Varietas K. air
(%)
K.protein
(%)
k.lemak
(%)
K.abu
(%)
1. Pioner 7 1,84 a 6,75 bc 16,18 b 2,26 a
2. Pioner 11 1,91 a 6,85 cd 16,18 b 2,19 a
3. Bisi 2 1,89 a 6,44 a 15,75 a 2,43 a
4. Bisi 7 1,77 a 6,58 ab 15,84 ab 2,25 a
5. Madura 1,97 a 7,68 e 19,04 c 2,23 a
6. Putih 1,90 a 7,33 d 18,92 c 2,37 a Catatan: Huruf pada kolom yang sama, yang diikuti huruf (a,b,c,d,e) yangsama,
tidak menunjukkan beda yang nyata pada uji Duncan α 5 %.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
373
Hasil pengamatan penggunaan beberapa varietas menunjukkan bahwa hasil
tortila yang diperoleh berbeda yata pada kekerasan, kerenyahan dan warnanya.
Namun terhadap rasa, panelis tidak memberikan pebedaan yang nyata (Tabel 3).
Angka kekerasan semakin tinggi menunjukkan bahwa produk tortila semakin
keras. Pada tingkat kekerasan tertentu, orang mengatakan renyah, keras atau
lembek. Kekerasan tertinggi diperoleh pada varietas Pioner 11 (1,53 g/cm2) dan
terendah pada lokal Putih (0,83 g/cm2), dan ternyata panelis memilih varietas Pioner
dan Madura yang kerenyahannya disukai. Padahal kekerasan varietas Madura
(1,23 g/cm2) lebih kecil dari pada varietas Pioner 7 (1,33 g/cm2), tetapi ternyata
panelis lebih menyukai kerenyahan varietas Madura.. Seseorang menyatakan
produk kripik itu renyah adalah bila dikunyah mudah patah, timbul bunyi, dan ada
kaitannya dengan kadar air (Vickers, 1979.
Tabel 3 Hasil pengamatan organoleptik dan kekerasani tortila setelah
digoreng.
No. Varietas Kekerasan
(g/cm2)
Kerenyahan
(skor)
Warna
(skor)
Rasa
(skor)
1. Pioner 7 1,33 d 2,95 a 2,60 b 2,7 a
2. Pioner 11 1,53 e 3,40 b 3,75 c 3,1 a
3. Bisi 2 1,13 b 3,25 a 4,30 d 2,9 a
4. Bisi 7 1,43 e 3,20 a 3,55 c 3,1 a
5. Madura 1,23 c 3,85 b 3,30 c 2,9 a
6. Putih 0,83 a 3,35 ab 1,80 a 2,9 a Catatan: Huruf pada kolom yang sama, yang diikuti huruf (a,b,c,d,e,f,) yang sama, tidak
menunjukkan beda yang nyata pada uji Duncan α 5 %. Skor 1 = sangat tidak suka ;
skor 5 = sangat suka.
Hasil uji warna tortila menunjukkan bahwa panelis sangat menyukai varietas
Bisi 2 (skor 4,30). Hal ini menunjukkan bahwa panelis sangat menyukai warna
yang kuning oranye, sesuai dengan warna biji jagung Bisi 2 sebelum diolah (Tabel 1).
Namun ternyata panelis menyatakan tidak ada perbedaan rasa tortila dari semua
perlakuan varietas.
KESIMPULAN
1. Komposisi dan warna biji jagung yang digunakan untuk bahan baku tortilla
mempunyai perbedaan untuk setiap varietas.
2. Varietas jagung berpengaruh nyata terhadap kadar protein, lemak, kekerasan,
kerenyahan dan warna tortila yang dihasilkan.
3. Kadar protrein dan lemak tertinggi diperoleh pada varietas Madura, yaitu
sebesar 7,68 % dan 19,04 %. Sedangkan kekerasan dan kerenyahan tertinggi
pada Pioner 11 (1,53 g/cm2 dan skor 2,40) dan warna yang disukai oleh panelis
adalah Bisi 2 (skor 4,30).
4. Varietas jagung tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air (1,77-1,97 %),
kadar abu (2,19-2,43 %) dan rasa (skor 2,7-3,1).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
374
DAFTAR PUSTAKA
Ainuri, M dan A.D. Guritno. 1996. Opimasi Model Penyediaan Bahan Baku pada
Indusi Kecil Kelompok Pangan Produk Unggulan di DIY. Agritech 16 (4) :
23-29
Harjono. 1999. Teknologi pengolahan beberapa jenis pangan produksi local di
pedesaan Jwa Timur. Makalah pada Gelar Teknologi Pengolahan Pangan
Lokal. Kanwil Jawa Timur. Surabaya, 9 Nopember 1999.
Harjono. 2001. Rekayasa pengolahan pengganti beras. Fakultas Teknologi
Pertanian Brawijaya.
Husodo, S.Y. 2003. Pemberdayaan Petani dalam Era Pasar Bebas. Makalah pada
Seminar NasiomalDaya Saing Sektor Pertanian Memasuki Era AFTA 2003.
Sewindu BPTP Jatim. Malang, 4 Juni 2003.
Lukmanto, A. 1996. Tuntutan konsumen dalam Negeri terhadap Mutu Produk
Pangan. Agritech 16 (4) : 1-6
Mudjisihono, R., S. J. Munarso dan Sutrisno. 1993. Pascapanen dan pengolahan
jagung. Bull. Teknik. Sukamandi. No.1. Subang.
Suhardjo, Suhardi, S.R. Soemasono, Yuniarti dan W. Istuti. 2001. Pengkajian
Teknologi Pengolahan Hasil Tanaman Pangan di Pedesaan. Prosiding
Seminar dan Ekspose BPTP Jawa Timur. PSE. Bogor. Hal. 457-487.
_______, Suhardi dan Bonimin. 2002. Rakitan Teknologi Pengolahan Tortila
Jagung. Petunjuk Teknis. BPTP Jawa Timur.
________, Suhardi, W. Istuti dan Yuniarti. 2003. Pengkajian Teknologi Pengolahan
dan Pengembangan Tortila di Pedesaan. Prosiding Seminar dan Ekspose
Teknologi BPTP Jawa Timur. PSE. Bogor. Hal. 728-732.
Susanto, T. 2002. Peningkatan mutu dan nilai tambah produk hasil pertanian yang
berkerakyatan. Makalah pada Ekspose dan Seminar Nasional Mekanisasi
Pertanian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Malang, 28 Juli-1
Agustus 2002.
Vickers, Z. 1979. Cripness and Crunchiness of Food Texture and Rheology.
Academic Press London.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
375
APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN TORTILA JAGUNG
PADA SKALA INDUSTRI RUMAH TANGGA PETANI
Yuniarti*), Endah R*)., Suhardi*) dan Pudji Santoso*)
ABSTRAK
Tujuan pengkajian adalah menumbuh-kembangkan secara komersial usaha
pengolahan tortila jagung pada skala industri rumah tangga petani, untuk
mendukung pemgembangan agroindustri pedesaan di kabupaten Blitar. Pengkajian
dilakukan di desa Birowo, kecamatan Binangun, kabupaten Blitar pada bulan Januari
sampai dengan Desember 2004 melalui tahapan 1) Aplikasi teknologi pengolahan
tortila oleh perajin, 2) Penggunaan alat pengering sederhana, 3) Evaluasi dan
perbaikan mutu hasil tortila, serta 4) Rintisan dan pengembangan pasar. Pengamatan
dilakukan terhadap mutu hasil tortila, beban tenaga kerja, biaya produksi pengolahan
tortila, dan tujuan serta serapan pasar. Hasilnya menunjukkan, bahwa pembuatan
tortila jagung oleh tani-wanita telah dapat dilakukan dengan hasil yang memuaskan.
Tortila goreng mempunyai daya simpan 2 minggu dalam kantong plastik polietilen
tebal 0,05 mm tanpa perubahan mutu. Penggunaan alat pengering sederhana untuk
mengeringkan tortila sangat membantu dalam musim penghujan, dengan mutu hasil
tortila sama dengan yang dijemur. Tujuan pemasaran hasil tortila adalah Malang,
Batu, Surabaya, Sidoarjo dan Denpasar, Bali. Keuntungan yang diperoleh tani-wanita
selama setahun sebesar Rp. 2.469.200,- dari hasil produksi tortila goreng sebanyak 170
kg.
Kata kunci : Tortila jagung, industri rumah tangga, mutu hasil, pemasaran.
ABSTRACT
The aim of the assessment was to grow and develop corn-tortilla processing
industry commercially, to support the development of village-agroindustry in Blitar
regency. The assessment was done in Birowo village, Binangun district, Blitar regency
from January until December 2004 through some activity steps such as 1) Application
of the tortilla processing technology by the women farmers, 2) The use of simple drier,
3) Evaluation and product quality improvement, and 4) Marketing initiation and
development. Observation was done on product quality, working load of the labour,
production cost of tortilla processing, and market destination and quantity of the
product. The result showed, that corn-tortilla which produced by the women farmers
was marketable and had good quality. Fried tortilla can be stored as long as 3 weeks in
0.05 mm thickness polyethylene bag without any quality change. The use of simple
drier was very helpful during the rainy season and the product quality was same with
those using sun shine. Market destination were to Malang, Batu, Surabaya, Sidoarjo
and Denpasar, Bali. The profit received by the women farmers was Rp. 2,469,200.- per
year for 170 kg of fried tortilla which was produced.
Key words: Corn-tortilla, home-industry, product quality, marketing.
_______________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
376
PENDAHULUAN
Pembangunan industri pengolahan pangan pada dasarnya ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan produk pangan masyarakat dengan mutu terjamin dan harga
yang kompetitif, disamping meningkatkan nilai tambah dan ekspor serta
memperluas kesempatan berusaha dan bekerja (Sutardi, 1996). Kegiatan
agroindustri adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi pengolahan komoditas
pertanian sebagai bahan baku menjadi bahan olahan jadi atau setengah jadi.
Disamping sebagai produsen komoditas hortikultura di Jawa Timur,
kabupaten Blitar juga dikenal sebagai penghasil komoditas tanaman pangan, antara
lain adalah jagung. Hasil panen jagung di wilayah ini masih belum dimanfaatkan
dengan baik. Peningkatan nilai tambah jagung menjadi produk olahan yang
bermutu akan dapat meningkatkan pendapatan petani serta membuka peluang
bekerja bagi masyarakat setempat.
Tortila adalah salah satu jenis keripik berbahan baku jagung yang mudah
dibuat dengan biaya yang murah. Rakitan teknologi pengolahan tortilla sudah
dihasilkan BPTP Jawa Timur dan teknologi ini sangat sesuai untuk diadopsi dan
dikembangkan dalam usaha komersial skala rumah tangga oleh kelompok tani-
wanita di pedesaan.
Pada tahun 2002, di desa Birowo kecamatan Binangun, Blitar telah dilakukan
sosialisasi dan pelatihan rakitan teknologi pengolahan tortilla jagung hasil BPTP
Jatim kepada ibu-ibu anggota kelompok tani-wanita “Mawar Putih” dibantu oleh
salah satu LSM setempat (Retnaningtyas, et. al., 2002). Pengkajian ini merupakan
lanjutan dari pengkajian yang telah dilakukan pada tahun 2002 di desa Birowo
tersebut dengan tujuan menumbuh-kembangkan usaha pengolahan tortila jagung
pada skala industri rumah tangga dengan memanfaatkan keterampilan yang telah
diperoleh ibu-ibu menjadi usaha komersial yang dapat menambah penghasilan
keluarga.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilakukan di desa Birowo, kecamatan Binangun, kabupaten Blitar
pada bulan Januari sampai dengan Desember 2004 yang merupakan lokasi
pengkajian BPTP Jawa Timur tahun 2002. Tahapan pengkajian meliputi 1) Aplikasi
teknologi pengolahan tortila oleh tani-wanita, 2) Penggunaan alat pengering
sederhana, 3) Evaluasi dan perbaikan mutu hasil tortila, serta 4) Rintisan dan
pengembangan pasar. Pengamatan dilakukan terhadap mutu hasil tortila, beban
tenaga kerja, biaya produksi pengolahan tortila serta tujuan dan serapan pasar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rakitan Teknologi
Rakitan teknologi BPTP Jawa Timur yang telah dilatihkan kepada kelompok
tani- wanita di desa Birowo pada tahun 2002 adalah sebagai berikut.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
377
Jagung pipilan bersih
Rendam dalam air kapur 24 jam
Rebus 1/2 matang
Cuci dan hilangkan kulitnya
lalu rebus lagi sampai matang
Giling sampai lembut dan tambah bumbu
Pipihkan dan jemur 1/2 kering
Potong sesuai selera
dan jemur sampai kering, goreng
Tortila goreng
Bagan 1. Rakitan Teknologi Pengolahan Tortila Jagung Hasil BPTP Jawa Timur.
Rakitan teknologi tersebut sudah dapat diadopsi oleh ibu-ibu anggota
kelompok „Mawar Putih” dengan hasil yang cukup baik namun saat itu hasilnya
masih digunakan untuk konsumsi sendiri.
Evaluasi Hasil Olah dan Modifikasi Proses
Aplikasi rakitan teknologi oleh anggota kelompok telah dilakukan dan
hasilnya telah dicoba untuk dipasarkan. Selama proses berproduksi, selalu
dilakukan pengamatan mutu hasil dan perbaikan-perbaikan dalam upaya
meningkatkan mutu kenampakan, kerenyahan dan rasa. Hasil penelitian
menunjukkan, bahwa untuk menambah kerenyahan hasil tortila, perlu pemberian
5% tepung tapioca dari berat bahan baku yang digunakan (Yuniarti dan Adinda,
2005). Selanjutnya, disepakati untuk menambah komponen tepung tapioka pada
bahan jagung yang telah dihaluskan sebanyak 5% berat jagung yang digunakan.
Bagan teknologi modifikasi tersebut menjadi seperti Bagan 2.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
378
Jagung pipilan bersih
!
Direndam dalam air kapur 24 jam
!
Langsung direbus sampai setengah matang (sekitar ¾ - 1 jam)
!
Cuci bersih, buang kulitnya
!
Rebus sampai matang (sekitar ¾ - 1 jam)
!
Tepung tapioca 5% berat jagung, bawang putih, garam, bumbu masak
secukupnya,
campurkan dengan jagung matang
!
Giling sampai halus (kira-kira 8 x penggilingan), pipihkan
!
Dikeringkan sampai setengah kering
!
Dipotong persegi panjang (ukuran 1,5 cm x 4 – 5 cm)
!
Dikeringkan sampai kering, digoreng
!
Tortila goreng
Bagan 2. Modifikasi Pengolahan Tortila Jagung Teknologi BPTP Jatim.
Rendemen hasil tortila jagung dengan teknologi modifikasi disajikan seperti
bagan 3 berikut.
Jagung pipilan kering
100%
!
Ditambah tepung tapioca 5% dan bumbu lainnya
!
Tortila kering (krecek)
77 - 78%
!
Tortila goreng
98 - 99%
Bagan 3. Rendemen Berat Pengolahan Tortila Jagung Teknologi Modifikasi BPTP.
Mutu Hasil Olah dan Daya Simpan Tortila
Mutu hasil olah tortila yang dibuat kelompok tani-wanita setelah disimpan
selama 3 minggu seperti pada Tabel 1 dan 2 berikut.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
379
Tabel 1. Mutu hasil tortila setelah 3 minggu dalam kantong plastik polietilen tebal
0,05 mm disimpan dalam suhu ruang
Parameter pengamatan Hasil
Warna Tetap, tidak berubah
Rasa Mulai berubah, karena tekstur kurang renyah
Aroma Tetap, tidak berubah
Ketengikan Tidak tengik
Tekstur/Kerenyahan Mulai melempem/Kurang renyah
Aroma plastic Tidak terasa
Tabel 2. Daya simpan tortila dalam kantong plastik polietilen tebal 0,05 mm
disimpan dalam suhu ruang
Lama penyimpanan
(minggu)
Hasil
2 Keadaan masih baik, masih renyah, rasa dan
warna tidak berubah
4 Tekstur melempem, rasa berubah tidak enak
Berdasarkan Tabel 1 dan 2 maka untuk memasarkan tortila harus diingat
untuk mengganti pasokan setelah 2 minggu dari saat pembuatannya. Dengan
demikian, pemasaran tortila dengan plastic polietilen tebal 0,05 mm mempunyai
batas kadaluwarsa 2 minggu setelah tanggal pembuatan. Perbaikan daya simpan
dapat dilakukan dengan penggunaan kemasan yang lebih tebal, yaitu 0,08 mm.
Penggunaan Alat Pengering Sederhana
Sebagai upaya mempertahankan kontinyuitas produksi selama musim
penghujan, maka dilakukan uji coba penggunaan alat pengering sederhana untuk
mengeringkan tortila yang biasanya menggunakan sinar matahari. Spesifikasi alat
pengering yang digunakan adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Spesifikasi pengering sederhana untuk mengeringkan tortila
Uraian Spesifikasi
Badan alat Panjang 3,50 m
Lebar 1,00 m
Tinggi 1,50 m
Kipas angin (blower)
Daya 65 Watt
Voltage 220 V
Bahan Besi
Sumber panas Alat Kompor tekan
Bahan bakar Minyak tanah
Kapasitas Ruang pengering Tortila basah dari 10 kg bahan baku
jagung pipilan
Rak pengering 20 buah, masing-masing memuat +
800 gr tortila basah
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
380
Alat ini terdiri dari empat komponen, yaitu kompor tekan minyak tanah
sebagai sumber panas, ruangan pemanas yang berisi pipa-pipa besi yang langsung
berhubungan dengan kompor dan cerobong asap, ruangan pengering yang berisi rak-
rak tempat meletakkan tortila yang akan dikeringkan dan blower yang digunakan
untuk mendorong udara yang telah dipanaskan masuk ke dalam ruangan
pengering.
Perbandingan rendemen hasil tortila dari proses yang menggunakan alat
pengering tidak berbeda jauh dengan tortila dari proses yang menggunakan sinar
matahari, seperti disajikan pada Tabel 4 berikut. Demikian pula mutu hasilnya
(Tabel 5). Dengan rendemen dan mutu yang relatif sama, penggunaan alat
pengering ini akan sangat membantu pada musim penghujan, dimana kontinyuitas
produksi sangat dibutuhkan pada saat pasar sudah terbentuk.
Tabel 4. Rendemen hasil tortila yang diolah dengan alat pengering dan dengan sinar
matahari
Tahapan Persentase Berat Hasil Dibandingkan Berat Bahan
Baku Jagung Pipilan (%)
Bahan Baku Alat Pengering Sinar Matahari
Jagung Pipilan 100 100
Jagung pipilan
ditambah tepung dan
bumbu-bumbu
185 183
Setengah kering, siap
dipotong
125 124
Kering* (bentuk
krecek)
76 76,5
Matang (goreng) 99 99,5 * Kriteria kering secara fisik: Rapuh, mudah dipatahkan, jika digesekkan berbunyi gemerisik.
Tabel 5. Mutu hasil tortila yang diolah dengan alat pengering dan dengan sinar
matahari
Parameter Hasil Evaluasi*
Tortila Mentah (krecek) Tortila Matang (goreng)
Pengamatan Alat
Pengering
Sinar
Matahari
Alat
Pengering
Sinar
Matahari
Warna Kuning cerah,
bening, lebih
merata
Kuning cerah,
bening
Kuning cerah,
bersih
Kuning
cerah, bersih
Tekstur Sangat
renyah,
mudah
dipatahkan
Renyah,
mudah
dipatahkan
Renyah Renyah
* Bahan baku yang digunakan jagung BISI 9.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
381
Alokasi Waktu, Kapasitas Bahan Baku/Produksi dan Denyut Nadi Pekerja
Waktu yang dibutuhkan oleh tenaga kerja wanita untuk mengolah tortila,
kapasitas bahan baku/produksi dan denyut nadi pekerja pada masing-masing
tahapan proses disajikan pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Alokasi waktu, kapasitas bahan baku/produksi dan denyut nadi pekerja
pada masing-masing tahapan pengolahan tortila
Tahapan Pengolahan
Alokasi Waktu dan
Kapasitas Produksi per
Tahapan Proses
Denyut Nadi Pekerja
Wanita Setelah Melakukan
Pekerjaan (kali/menit)
Perendaman jagung
pipilan
24 jam -
Perebusan 2 jam -
Penggilingan 30 menit/2 kg bahan
baku jagung pipilan
basah/2 orang tenaga
wanita
95
Pemipihan 60 menit/2 kg bahan
baku jagung pipilan/2
orang tenaga wanita
77
Pengeringan awal 20 menit penjemuran,
15 menit dengan alat
pengering suhu 55° –
60° C
-
Pengguntingan 5 menit/500 gr tortila
siap potong/3 orang
tenaga kerja wanita
90
Pengeringan akhir 120 menit penjemuran,
90 menit dengan alat
pengering suhu 55° –
60° C
-
Penggorengan 15 menit/500 gr tortila
kering
90
Saat pekerjaan selesai 80
Dari Tabel 6 diketahui, bahwa tahapan proses yang memerlukan banyak
biaya adalah perebusan, yang memakan waktu total 2 jam yaitu perebusan awal
untuk memudahkan pemisahan kulit ari dan perebusan akhir untuk melunakkan
jagung sehingga siap untuk digiling. Dengan waktu yang lama ini biaya bahan bakar
menjadi tinggi. Denyut nadi pekerja setelah melakukan masing-masing tahapan
pekerjaan berkisar antara 77 – 95 kali/menit. Hal ini menunjukkan, bahwa beban
pekerjaan yang ditanggung pekerja masih termasuk golongan ”ringan”, bukan beban
pekerjaan ”berat”. Denyut nadi yang termasuk golongan beban pekerjaan ”berat”
adalah 125 – 150 kali/menit (Granjean, 1985).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
382
Rintisan dan Pengembangan Pasar
Setelah dilakukan perbaikan mutu melalui modifikasi proses, maka dilakukan
pengembangan pasar dengan cara mempromosikan dan menitipkan hasil tortilla di
warung/toko/kios wisata di sekitar lokasi pengkajian maupun di kota besar lainnya.
Uang hasil penjualan akan diambil dan tortila yang baru akan disetor 10 – 13 hari
kemudian. Dalam pengembangannya, ternyata banyak pedagang yang mengambil
tortila mentah untuk dijual lagi di kota-kota besar dan tujuan wisata, baik dalam
bentuk mentah maupun goreng. Pemasaran mengalami peningkatan, terlihat pada
Tabel 7 dan 8.
Tabel 7. Hasil Rintisan Pasar pada Bulan I dan II Awal Pemasaran
Bulan Lokasi
Jumlah dan
jenis tempat
penjualan
Jumlah
terjual/
bulan
(bungkus)
Rata-rata
penjualan/tempat
/bulan (bungkus)
Agustus 2004 Sekitar lokasi 5 (warung dan
toko)
74 14,8
Blitar 1 (toko) 8 8
Malang 1 (agrowisata) 20 20
Surabaya 1 (warung) 40 40
September
2004
Sekitar lokasi 6 (warung dan
toko)
108 18
Blitar 1 (toko) 19 19
Malang 1 (agrowisata) 23 23
Surabaya 1 (warung) 40 40
Oktober 2004
(sampai
tengah bulan)
Sekitar lokasi 6 (warung dan
toko)
31 -
Blitar 1 (toko) 5 -
Malang 2 (warung) 17 -
Surabaya 1 (warung) 40 -
Tabel 8. Hasil Pengembangan Pasar pada Bulan September 2005
Lokasi Jumlah dan jenis
tempat penjualan
Jumlah terjual
matang
(bungkus/bulan)
Jumlah terjual
mentah (kg)
Blitar 2 (toko dan instansi) 20 -
Malang 6 (toko dan warung) 20 8
Batu Sentra agribisnis 10 2
Surabaya Agroklinik - 2
Sidoarjo 1 (pedagang) - 5,5
Bali 1 (pedagang) - 3
Analisis Ekonomi
Analisis ekonomi usaha tortila jagung per kelompok per tahun di desa Birowo,
Binangun, Blitar disajikan pada Tabel 9.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
383
Tabel 9. Analisis ekonomi usaha tortila jagung per kelompok per tahun di Desa
Birowo, Binangun, Blitar*
Uraian Fisik Nilai satuan
(Rp.) Nilai (Rp.)
Jagung pipilan kering 9 kg 1.500 13.500
Tepung tapioca 0,375 kg 8.000 3.000
Bawang putih, garam - - 7.500
Bensin untuk diesel 1,5 lt 6.000 9.000
Minyak goreng 3,5 kg 5.500 19.250
Kayu bakar 12 ikat 500 6.000
Plastik kemasan 150 lb 100 15.000
Tenaga kerja (2 orang ibu) 36 jam 1.000 36.000
Jumlah biaya produksi/kelompok/
3 x proses**
109.250
Produksi/kelompok/ 3 x proses** 6,3 kg krecek
Produksi/kelompok/ 3 x proses** 8,01 kg tortilla
matang atau
150 bungkus
1.500/bungkus 225.000
Keuntungan/kelompok/3 x
proses**
115.750
Jumlah biaya produksi/kelompok
/bulan
291.350
Jumlah produksi/kelompok/bulan 21,.36 kg
tortila matang
atau 400
bungkus
1.500/bungkus 600.000
Keuntungan/kelompok/bulan 308.650
Jumlah biaya
produksi/kelompok/tahun
2.330.800
Jumlah
produksi/kelompok/tahun
170,88 kg
matang atau
3.199 bungkus
1.500/bungkus 4.800.000
Keuntungan/kelompok/tahun 2.469.200 * Rendemen hasil: Jagung pipilan 100% - tortilla matang 98%.
** Proses produksi dengan bahan baku 3 kg jagung pipilan dapat diselesaikan dalam sehari (6 jam) oleh 1
kelompok yang terdiri dari 2 orang ibu.
***Per tahun berproduksi 64 x (2x/minggu, 8x /bulan, 64x/tahun), biaya produksi termasuk penyusutan
alat/tahun.
KESIMPULAN
Teknologi pengolahan tortila jagung telah diadopsi oleh kelompok tani-wanita
di desa Birowo, kecamatan Binangun, kabupaten Blitar. Tortila goreng mempunyai
daya simpan 2 minggu dalam kantong plastik polietilen tebal 0,05 mm tanpa
perubahan mutu. Penggunaan alat pengering sederhana untuk mengeringkan tortila
sangat membantu dalam musim penghujan, dengan mutu hasil tortila sama dengan
tortila yang dikeringkan dengan sinar matahari. Tujuan pemasaran hasil tortila
adalah Malang, Batu, Surabaya, Sidoarjo dan Denpasar, Bali. Keuntungan yang
diperoleh tani-wanita selama setahun sebesar Rp. 2.469.200,- dari hasil produksi
tortila goreng sebanyak 170 kg.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
384
DAFTAR PUSTAKA
Granjean, E., 1985. Fitting the Task to the Man. An Ergonomic Approach. Taylor and
Francis (Printers) Ltd., London.
Retnaningtyas, E., S. Sumarsono, Yuniarti, Zainal Arifin, Baswarsiati, Wigati I.,
2002.
Pengkajian Peningkatan Pemberdayaan Wanita Pedesaan dalam Usaha Pengolahan
Hasil Pertanian. Laporan Hasil Pengkajian BPTP Jatim. BPTP Jatim,
Malang.
Sutardi, 1996. Peranan Teknologi Pengolahan Dalam Era-Pengembangan
Agroindustri.
Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian Agritech vol. 16 (4): 7 – 13.
Yuniarti dan Adinda T., 2005. Penentuan Varietas Jagung dan Jenis Tepung
Tambahan Terbaik Dalam Pembuatan Tortila Jagung. BPTP Jawa Timur,
Malang (belum dipublikasi).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
385
PENGKAJIAN INOVASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN
TEPUNG KASAVA
Suhardi*), Suhardjo*), Yuniarti*), F. Kasijadi*), W. Istuti*), Al. Budijono*),
Jumadi*) dan Bonimin*)
ABSTRAK
Tepung merupakan bentuk hasil olahan setengah jadi yang lebih cocok untuk
mengawetkan umbi-umbian sumber karbohidrat, dengan beberapa keuntungan
antara lain memperpanjang masa jual, menghemat ruang simpan, mempermudah
transportasi dan meningkatkan nilai guna. Tepung kasava dengan sebutan tepung
biskuit, sudah mulai dikenal masyarakat meskipun dalam jumlah terbatas.
Keragaman bentuk produk olahan dari tepung kasava diharapkan akan dapat
memberikan peningkatan nilai tambah dan akan menumbuhkan agroindustri di
pedesaan. Pengkajian bertujuan untuk menumbuhkan kawasan agroindustri tepung
kasava beserta produk olahannya dan mendapatkan altenatif teknologi pengolahan
tepung kasava yang efektif dan efisien. Pengkajian dilakukan pada tahun 2004.
Lokasi pengkajian kecamatan Pagak, kabupaten Malang, kecamatan
Tanggunggunung, kabupaten Tulungagung dan kecamatan Maospati, kabupaten
Magetan. Untuk mendapatkan teknologi pengolahan tepung kasava yang lebih
efektif dan efisien, dilakukan dengan beberapa cara pengolahan tepung kasava,
yaitu teknologi anjuran; teknologi anjuran tanpa dipres; pengolahan gaplek dengan
ubikayu yang telah dikupas dicuci, dibelah, dikeringkan, ditepungkan; gaplek dari
petani dicuci, dikeringkan kemudian ditepungkan; dan penepungan gaplek petani.
Pengolahan tepung dilakukan pada saat panen raya ubikayu. Pengkajian
menunjukkan bahwa secara fisik tepung kasava dengan beberapa cara pembuatan,
dengan teknologi anjuran memiliki warna yang paling putih. Tepung kasava yang
diperoleh diolah menjadi bentuk kerupuk dengan campuran tepung jagung atau
tapioka, dan tanpa campuran. Pengolahan menjadi kue basah dan kering
memerlukan campuran dengan terigu. Kerupuk dengan campuran tepung jagung
atau tapioka mempunyai mutu yang lebih baik daripada tanpa campuran dilihat
dari warna, aroma, tekstur dan rasa. Tepung yang berasal dari gaplek (dicuci dan
tanpa dicuci) yang telah disimpan tiga bulan untuk pembuatan kerupuk, dengan
campuran tepung jagung menunjukkan warna kerupuk yang agak coklat sampai
coklat tua, tekstur keras, aroma apek bahkan ada rasa pahitnya. Harga tepung
dengan cara disawut Rp. 1300,-/kg, sedangkan dari gaplek Rp. 750,- sampai Rp. 800,-
/kg. Pemasaran tepung selain menjual sendiri juga mentitipkan produk kepada
pedagang dan perajin olahan aneka tepung. Tepung kasava yang diproses dengan
teknologi anjuran tanpa pengepresan, memberikan keuntungan tertinggi dibanding
dengan teknologi lainnya, di Tulungagung Rp.32.000,- dan di Malang Rp.50.000,-/ton
ubikayu segar.
Kata kunci : Ubikayu, tepung kasava, agroindustri, olahan
_______________ *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
386
ABSTRACT
Flour is a proper intermediate form of processed product to preserve
carbohydrate source tubers because it could lengthen the sale period, compact, easy
to be transported and value added generating. Cassava flour is commonly known as
biscuit flour although still in small quantity. The diversity of cassava flour base
processed product is expected to be able to increase the value added and development of
rural agroindustry. The purpose of the assessment is mainly to establish a cassava
flour agroindustry area and its derived products and to obtain more effective and
efficient alternative technologies. This assessment has been conducted in 2004 in
Pagak (Malang), Tanggunggunung (Tulungagung) and Maospati (Magetan). The
activities included a superimposed research applying several technologies such as
recommended technology; recommended technology without pressing; cassava flour
making using peeled, washed, split and dried cassava; cassava flour making using
farmers‟ washed cassava; and cassava flour making using farmers‟ cassava cake. Flour
processing was carried out during cassava harvesting season which were usually sold
for Rp.100 to Rp.150 per kg in all three areas. Physically, the flour produced by
recommended technology had the brightest white color. Further activities included
processing of cassava flour into various type of product, such as crackers which was
combined with corn flour and tapioca. Wheat flour was needed in cassava flour
processing into moist and dried cake. Cassava crackers made from corn flour and
tapioca mix showed better quality than those made from cassava flour alone in color,
taste, texture and flavor. Crackers made from Cassava flour made from farmers‟
cassava cake held in three months and mixed with corn flour was organoleptically
unacceptable. The selling price of cassava flour made from scrapped cassava was
Rp.1300,- per kg, while that made from cassava cake was Rp.750,- to Rp.800,- per kg.
Besides sold the product by themselves, the farmers‟ cassava flour was sold through
traders and various cake processors. The cassava made by recommended technology
(without pressing) has produced the highest profit, Rp.32,000 per ton fresh cassava in
Tulungagung and Rp.50,000 per ton fresh cassava in Malang.
Keywords : Cassava, cassava flour, agroindustry, processed product.
PENDAHULUAN
Produksi ubikayu nasional tahun 2000 mencapai sekitar 16 juta ton, produksi
Jawa Timur pada tahun yang sama mencapai 4.029.366 ton (Anonim, 2001). Produksi
ubikayu sebagian besar (77%) digunakan sebagai bahan pangan (Dimyati dan
Manwan, 1992 dalam Saleh dan Hartojo, 2001). Ubi kayu mempunyai kelemahan,
antara lain menempati ruang yang besar („bulky/volumeous‟), pada saat di panen
mengandung air tinggi (40-70%) sehingga mudah rusak/tidak tahan simpan, karena
selama 3 hari dalam suhu ruangan mutu ubi sudah menurun (Hartojo, dkk. 2001).
Petani di lahan kering utamanya di daerah marjinal, pada umumnya kurang
mampu, pendidikan dan penguasaan teknologi usahataninya masih rendah. Di
wilayah marjinal pada umumnya selain beras ubi kayu sebagai pangan pokok, namun
selain dikonsumsi dalam bentuk segar, penyimpanannya dalam bentuk gaplek atau
dibuat tiwul.
Tepung merupakan bentuk olahan setengah jadi (intermediate product) yang
sangat sesuai untuk mengawetkan umbi-umbian dan buah-buahan sumber
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
387
karbohidrat. Beberapa keuntungan mengubah produk menjadi bentuk tepung, yaitu
memperpanjang daya simpan, menghemat ruang simpan dan mempermudah
transportasi, meningkatkan nilai guna karena bentuk tepung mudah diolah menjadi
berbagai jenis produk makanan, dan diformulasi menjadi tepung komposit (Widowati
dan Darmardjati, 1993), dalam upaya untuk meningkatkan gizi produk olahan
(Suhardi, dkk. 2002).
Tepung kasava yang sudah mulai dikenal masyarakat meskipun masih dalam
jumlah terbatas, karena beberapa hal antara lain masih banyak yang belum
mengetahui kegunaannya dan baru beberapa tempat tertentu yang sudah mulai
memproduksi dan menjual. Tepung kasava yang sudah disosialisasikan melalui
pertemuan-pertemuan atau pameran dan media elektronik mendapatkan respon
masyarakat cukup bagus (Suhardi, dkk. 2003).
Pengembangan tepung kasava diharapkan akan meningkatkan nilai rebut
tawar (bargaining position) dari petani. Petani dapat memperpanjang masa jual dan
akan memberikan nilai tambah ekonomi, sosial dan kegunaan. Dari sisi kegunaan,
bentuk tepung nilai gunanya lebih luas dibanding dalam bentuk segar, namun masih
diperlukan sosialisasi dan perluasan penyebaran ke sasaran rumah tangga dan
industri makanan berbahan baku tepung. Keragaman bentuk produk olahan dari
tepung ini diharapkan akan dapat memberikan peningkatan nilai tambah dan
menumbuhkan agroindustri di pedesaan.
Petani kasava di daerah pusat produksi, pada umumnya melakukan
pembuatan gaplek untuk memperpanjang daya simpannya sebagai cadangan bahan
makanan. Namun karena proses pembuatannya yang hanya dengan mengupas,
membelah ubikayu kemudian menjemur di lokasi penanaman, dan gaplek yang
dihasilkan mempunyai mutu yang kurang baik. Selain warna yang coklat kehitaman
karena tanpa pencucian, gaplek masih mempunyai kadar air yang cukup tinggi,
sehingga dalam waktu tiga bulan sudah menunjukkan adanya serangan hama.
Pemanfaatan gaplek tersebut utamanya untuk bahan baku tiwul sabagai makanan
dengan atau tanpa campuaran beras.
Bahan makanan dalam bentuk tepung secara komersial mempunyai prospek
yang baik untuk dikembangkan dalam sistem agroindustri (Damardjati, dkk., 1993).
Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian pengembangan produksi tepung kasava
dikombinasikan dengan aneka tepung atau bahan lainnya yang ada di lokasi setempat
sebagai bahan dasar pengembangan agroindustri tanaman terpadu.
Pengembangan/modifikasi paket teknologi pengolahan aneka tepung yang berasal dari
hasil penelitian sebelumnya maupun teknologi setempat yang sudah ada diharapkan
dapat memberikan nilai tambah bagi produk kasava.
Secara teknis, pembuatan tepung kasava dan pengolahan berbahan baku
tepung kasava baik tanpa maupun dengan tambhan tepung lainnya, anggota
kelompok tani merasa mudah untuk mengaplikasikannya. Permasalahan yang
dihadapi adalah pemasarannya, baik dalam bentuk tepung sendiri maupun hasil
olahannya. Tepung kasava yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi ini
mempunyai harga yang cukup tinggi yaitu Rp. 1.500,- per kilogram (Suhardi, dkk., 2003).
Tepung kasava yang sudah mulai beredar di pasar (lebih dikenal dengan tepung
biskuit) mempunyai harga yang lebih murah daripada tepung kasava hasil
pengkajian, meskipun beberapa komponen mutu antara lain aroma dan warna masih
lebih baik tepung kasava hasil pengkajian dan kandungan HCN masih di atas yang
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
388
diijinkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi
produksi tepung kasava yang direkomendasikan masih memerlukan peningkatan
efisiensi.
Pengkajian bertujuan untuk menumbuhkan kawasan agroindustri tepung
kasava beserta produk olahannya dan mendapatkan alternatif teknologi peroduksi
tepung kasava yang efektif dan efisien.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian pengembangan agroindustri tepung kasava dilaksanakan di 3 (tiga)
daerah sentra produksi ubikayu yaitu 1. Desa Sumbermanjing Kulon, Kecamatan
Pagak – Kabupaten Malang, 2. Desa Tanggunggunung, Kecamatan Tanggunggunung
– Kabupaten Tulungagung dan 3. Desa Kraton, Kecamatan Maospati - Kabupaten
Magetan. Di masing-masing tersebut telah tersedia satu unit pengolahan tepung
kasava.
Pengembangan dirancang dengan pola plasma-inti, sebagai plasma adalah
kelompok tani/petani ubikayu dalam skala petani/rumah tangga yang memproduksi
sawut kering, sedangkan kelompok inti adalah skala industri, berfungsi sebagai inti
berperan menampung sawut kering, memproduksi dan memasarkan tepung kasava.
Apabila kelompok plasma ingin mengolah lebih lanjut menjadi hasil olahan dengan
bahan baku tepung kasava, kelompok plasma membeli tepung tersebut kepada
kelompok inti. Pemasaran produk bisa dilakukan sendiri atau melalui kelompok inti.
Apabila menurut kesepakatan dan agar produk yang keluar lebih seragam dengan
satu merek, pengolahan diharapkan menggunakan teknologi yang telah baku,
kelompok inti menampung produk olahan tersebut kemudian memberikan label.
Perakitan teknologi alternatif yang mampu mengurangi biaya produksi tepung
kasava perlu dilakukan. Untuk mendapatkan teknologi alternatif pengolahan tepung
kasava yang efisien dengan mutu baik dan dapat diterima pengguna. Rakitan
teknologi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Kode Proses pengolahan tepung kasava
1. ubikayu – kupas – cuci – sawut – pres – keringkan/jemur – ditepungkan
2. ubikayu – kupas – cuci – sawut – tanpa pres – dikeringkan/jemur –
ditepungkan
3. gaplek dari petani – dicuci – dikeringkan/jemur – ditepungkan
4. gaplek dari petani – ditepungkan
Metode evaluasi dilakukan dengan pengumpulan data dilakukan dengan
pengamatan terhadap mutu produk yang dihasilkan (pengamatan fisik dan kimia
tepung kasava), biaya input-output dan respon petani terhadap teknologi. Data mutu
produk yang diperoleh dengan mengamati secara obyektif (laboratorium) terhadap
kadar lemak, protein, abu dan secara subyektif (organoleptik) terhadap
kenampakan/warna, aroma, tekstur dan rasa. Data input-output (biaya produksi dan
perkiaraan harga jual atau pendapatan) diperoleh dengan menghitung penggunaan
bahan dan tenaga kerja serta wawancara dengan petani kooperator, sekaligus
informasi mengenai penerimaan teknologi (adopsi) yang diapresiasikan dan
diaplikasikan pada masing-masing lokasi pengkajian.
Kelompok tani sebagai kooperator adalah kelompok tani yang berada di wilayah
desa/kecamatan tersebut, masing-masing kecamatan diambil 1 (satu) kelompok tani
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
389
yaitu satu kelompok tani sudah terpilih pada kegiatan tahun sebelumnya. Penentuan
kelompok tani ditentukan bersama petugas/penyuluh di lapangan. Masing-masing
kelompok tani kooperator terpilih terdiri atas sekurang-kurangnya 10 orang anggota.
Teknologi pengolahan berbahan baku tepung kasava menjadi aneka produk
olahan, dengan mengaplikasikan teknologi pengolahan yang sudah tersedia yang
dihasilkan melalui kegiatan percobaan-percobaan pendahuluan yang dilakukan di
labotaorium pasca panen Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur.
Teknolgi tersebut diinformasikan kepada kelompok tani, dan aplikasinya teknologi
yang dipilih ditentukan dengan kesepakatan bersama masing-masing kelompok
tani.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Di ke tiga lokasi pengkajian (Malang, Tulungagung dan Magetan), masing-
masing telah tersedia satu unit peralatan pengolahan tepung kasava. Semua
peralatan beroperasi dengan baik. Adopsi teknologi pengolahan tepung kasava bagi
anggota kelompok tidak mengalami kesulitan, bahkan beberapa anggota
menyatakan mudah untuk melakukan pengolahan dengan teknologi yang
dianjurkan. Secara kualitas tepung yang dihasilkan dengan mengapliksikan
teknologi anjuran mempunyai beberapa keunggulan, antara lain sudah memenuhi
standar mutu yang telah ditentukan oleh Satuan Nasianal Indonesia (SNI),
terutama bila dilihat dari warna, aroma dan kandungan HCN-nya.
Masalah yang muncul adalah dengan teknologi anjuran tersebut, terasa
masih memerlukan masukan (in-put) cukup tinggi, harga pokok tepung kasava juga
cukup tinggi (Rp. 1.500,- per kilogram), akibatnya tepung sulit untuk diterima
beberapa konsumen atau pengguna tepung untuk berbagai olahan dan belum
mampu bersaing di pasaran. Hal tersebut mungkin karena para konsumen tepung
sampai saat ini belum berorientasi kepada mutu tepung tetapi masih melihat
kepada harga yang lebih murah, di samping masih belum paham terhadap pengaruh
yang ditimbulkan oleh kandungan HCN pada tepung kasava yang berada diatas
batas yang diijinkan.
Pengkajian dilaksanakan, pada saat musim panen raya ubikayu, mulai
dipanen oleh petani/penebas, harga ubikayu rata-rata pada masing-masing lokasi
adalah sebagai berikut: di Sumbermanjing Kulon, Pagak, Malang dan di
Tanggunggunung, Tulungagung berkisar antara Rp. 100,- - Rp. 150,- per kilogram,
sedangkan di Magetan antara Rp. 150,- -Rp.250,- per kilogram.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
390
Tabel 1. Kandungan kimia tepung kasava dengan beberapa proses pengolahan (asal
Malang)
Perlakuan
Kadar (%) Kadar
HCN
(ppm) Air Abu Protein Lemak
Karbo-
hidrat Amilosa
ML-1 9,82 2,23 1,74 0,22 85,99 21,12 39,42
ML-2 9,95 2,13 1,67 0,22 86,03 20,56 46.28
ML-3 10,92 2,37 1,77 0,23 84,71 20,53 42,39
ML-4 12,34 2,24 1,54 0,17 83,71 22.24 61,39 Keterangan:
Ubikayu yang digunakan adalah jenis pahit
Kode Proses pengolahan tepung kasava
ML-1 ubikayu – kupas – cuci – sawut – pres – keringkan/jemur – ditepungkan
ML-2 ubikayu – kupas – cuci – sawut – tanpa pres – dikeringkan/jemur – ditepungkan
ML-3 gaplek dari petani – dicuci – dikeringkan/jemur – ditepungkan
ML-4 gaplek dari petani – ditepungkan
Dari pengamatan visual, tepung kasava yang berasal dari Malang dengan
proses pengolahan menggunakan teknologi anjuran (ML-1) menunjukkan bahwa
warna yang paling putih, diikuti oleh teknologi anjuran dengan sawut tanpa
diperlakukan pengepresan (ML-2) (setelah disawut langsung dikeringkan/dijemur
sinar matahari). Namun tepung ini masih nampak lebih putih daripada tepung yang
berasal dari gaplek yang diproduksi petani (ML-4), dicuci kemudian dikeringkan,
setelah kering baru digiling/ditepungkan. Tepung yang berasal dari gaplek petani
tanpa diberi perlakuan pencucian terlebih dahulu, menunjukkan warna tepung
nampak kurang putih dan bahkan ada sedikit aroma apek. Menurut pengakuan dari beberapa anggota kelompok tani di Tanggunggunung,
tepung dari gaplek yang disimpan agak lama (6 bulan setelah digiling) memberikan
bau apek dan bila dibuat olehan, terutama untuk kerupuk dan kue basah mempunyai
rasa agak pahit.
Komposisi kimia tepung seperti terlihat pada Tabel 1, dilihat dari kandungan
HCN-nya, ternyata tepung kasava dengan bahan baku ubikayu jenis pahit, perlakuan
perendaman dan pencucian harus dilakukan untuk menurunkan kandungan HCN-
nya. Dengan perlakuan tersebut kandungan HCN berada dibawah 40 ppm. Hal
tersebut telah sesuai dengan standar yang ditentukan SNI, yaitu 40 ppm.
Tabel 2. Kandungan kimia tepung kasava dengan beberapa proses pengolahan asal
Tulungagung
Perlakuan
Kadar (%) Kadar
HCN
(ppm) Air Abu Protein Lemak
Karbo-
hidrat Amilosa
TA-1 11,56 2,70 1,32 0,23 85,99 22,74 18,08
TA-2 11,61 2,43 1,62 0,21 84,72 21,71 26,78
TA-3 12,27 2,23 2,30 0,39 83,73 20,92 31,05
TA-4 11,11 2,10 1,35 0,27 84,88 20,70 36,18 Keterangan:
ubikayu yang digunakan adalah ubikayu jenis manis
Kode Proses pengolahan tepung kasava
TA-1 ubikayu – kupas – cuci – sawut – pres – keringkan/jemur – ditepungkan
TA-2 ubikayu – kupas – cuci – sawut – tanpa pres – dikeringkan/jemur – ditepungkan
TA-3 gaplek dari petani – dicuci – dikeringkan/jemur – ditepungkan
TA-4 gaplek dari petani – ditepungkan
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
391
Pengamatan terhadap warna tepung yang berasal dari Tulungagung, warna
paling putih diperoleh dari tepung yang berasal dari gaplek petani yang langsung
ditepungkan (TA-5), diikuti oleh tepung yang diproses dengan menggunakan
teknologi anjuran (TA-1). Perlakuan dengan menggunakan teknologi anjuran tanpa
perlakuan pengepresan TA-2, TA–3 dan TA– 4, warna tepung tampak agak
kekuningan.
Kandungan HCN tepung kasava yang berbahan baku ubikayu jenis manis,
mempunyai kandungan HCN yang lebih rendah daripada tepung berbahan baku
ubikayu jenis pahit. Di samping jenis atau varietasnya, kandungan HCN dapat
dikurangi/dihilangkan dengan beberapa cara, yaitu: direndam dalam air,
dipanaskan, dipres dan difermentasikan (Suprapti, 2002), sehingga apabila tepung
kasava diproses dengan cara yang sama, yang membedakan adalah janis atau
varietas ubikayu tersebut. Di Tulungagung kebanyakan petani menanam ubikayu
adalah jenis manis, sehingga tepung yang diproses dengan cara dicuci, direndam,
disawut, dengan atau tanpa pengepresn, bahkan dari gaplek dicuci atau tanpa
dicuci, dilihat kandungan HCN-nya lebih rendah daripada tepung dari Malang dan
Magetan, dan masih memenuhi standar tepung kasava yang ditentukan oleh SNI
(Tabel 2).
Tabel 3. Sifat fisik tepung kasava asal Malang yang disimpan pada suhu ruang
Kode Lama penyimpanan
1 bulan 2 bulan 3 bulan 6 bulan
ML – 1 Warna putih, Warna putih, Warna putih, Warna putih,
ML – 2 Warna putih Warna putih Warna putih Warna putih
ML – 3 Warna putih Warna kurang
putih
Warna kurang putih,
aroma apek
Warna kurang
putih, aroma apek
ML – 4 Warna kurang
putih,
Warna kurang
putih,
Warna tidak putih
putih, aroma apek
Warna tidak putih,
aroma apek Keterangan:
Kode Proses pengolahan tepung kasava
ML-1 Malang. ubikayu – kupas – cuci – sawut – pres – keringkan/jemur – ditepungkan
ML-2 Malang. ubikayu – kupas – cuci – sawut – tanpa pres – dikeringkan/jemur – ditepungkan
ML-3 Malang. gaplek dari petani – dicuci – dikeringkan/jemur – ditepungkan
ML-4 Malang. gaplek dari petani – ditepungkan
Tepung yang dihasilkan sebagian dicoba untuk observasi pengolahan di
laboratorium untuk mendapatkan formulasi berbagai olahan, sedangkan yang
lainnya digunakan oleh anggota kelompok tani/koopertaor dan beberapa perajin
olahan berbahan baku tepung, untuk digunakan sebagai bahan untuk pengolahan
kue basah, kering dan kerupuk. Untuk mengetahui daya simpannya dilakukan
penyimpanan tepung pada suhu ruang. Penyimpanan dilakukan dengan cara
mengemas tepung dalam kantong plastik polipropilen dengan ketebalan 0,08 mm,
dengan bobot 1 kilogram tepung per kemasan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
392
Tabel 4. Sifat fisik tepung kasava asal Tulungagung yang disimpan pada suhu ruang
Kode Lama penyimpanan
1 bulan 2 bulan 3 bulan 6 bulan
TA – 1 Warna putih, Warna putih, Warna putih, Warna putih,
TA – 2 Warna putih Warna putih Warna putih Warna putih
TA – 3 Warna putih Warna kurang
putih
Warna kurang
putih, aroma apek
Warna kurang
putih, aroma apek
TA – 4 Warna kurang
putih,
Warna kurang
putih,
Warna tidak putih
putih, aroma apek
Warna tidak putih,
aroma apek Keterangan:
Kode Proses pengolahan tepung kasava
TA-1 Tulungagung. ubikayu – kupas – cuci – sawut – pres – keringkan/jemur – ditepungkan
TA-2 Tulungagung. ubikayu – kupas – cuci – sawut – tanpa pres – dikeringkan/jemur –
ditepungkan
TA-3 Tulungagung. gaplek dari petani – dicuci – dikeringkan/jemur – ditepungkan
TA-4 Tulungagung. gaplek dari petani – ditepungkan
Analisis ekonomi dari beberapa paket teknologi pengolahan tepung kasava
ternayata dengan paket teknologi anjuran, dan teknologi anjuran dimodifikasi tanpa
pengepresan memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibanding dengan paket
teknologi produksi tepung yang lainnya (lampiran 1 dan 2).
Berdasarkan hasil uji organoleptik hasil olahan yang berbentuk kue basah
(seperti bolu gulung dengan segala variasinya) dan kering, tepung dari Tulungagung
lebih disukai daripada yang berasal dari Malang. Untuk kue kering baik dari
Malang maupun dari Tulungagung mempunyai penampilan/kenampakan dan rasa
yang sama, sedangkan terhadap tekstur panelis lebih menyukai kue kering dari
tepung kasava berasal dari Malang dan Magetan.
Tabel 5. Mutu kerupuk tepung kasava ditambah dengan tepung jagung hasil olahan
kelompok tani di Tulungagung
Perbandingan tepung kasava : tepung jagung 100 % tepung
kasava 1 : 1 1 : 2 1 : 3
Warna
mentah
Kuning cerah Kuning cerah Kuning
kecoklatan
Coklat muda
Warna
matang
Kuning
kecoklatan
Kuning
kecoklatan
Coklat sedikit
kuning
Coklat muda
Tekstur Renyah Renyah Agak renyah Sedikit keras
Aroma Tidak ada
aroma ubikayu,
jagung
Tidak ada
aroma ubikayu,
jagung
Tidak ada
aroma ubikayu,
jagung
Terasa khas
ubikayu
Rasa Enak Enak Enak Enak
Hasil olahan berupa kerupuk dari campuran tepung kasava dengan tapioka,
dengan perbandingan 1:1, tepung dari ke tiga lokasi pengkajian, mempunyai tingkat
kesukaan yang sama, bila dilihat dari warna, aroma, tekstur dan rasa kerupuk.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
393
Tabel 6. Mutu kimia kerupuk tepung kasava hasil olahan kelompok tani di
Tulungagung
Kandungan kimia Perbandingan tepung kasava : tepung jagung 100 %
tepung kasava 1 : 1 1 : 2 1 : 3
Kadar air 12,28 12,32 12,12 11,98
Kadar abu 2,78 2,66 2,42 1,57
Kadar protein 4,54 4,22 3,97 1,71
Kadar lemak 2,07 2,17 1,99 0,43
Kadar karbohidrat 78,33 78,63 79,29 84,31
Secara teknis beberapa anggota kelompok tani pada semua lokasi pengkajian
tidak mengalami masalah dalam aplikasi teknologi, dari anggota kelompok tani ada
satu sampai tiga orang yang sudah mempunyai pengalaman dan terampil dalam
pembuatan aneka kue. Tentunya hal ini merupakan modal bagi kelompok untuk bisa
membantu dalam sosialisasi pemanfaatan tepung kasava menjadi aneka bentuk
olahan, karena dalam aplikasi teknologi pengolahan kelompok dapat tukar menukar
pengalaman dan berlatih bersama untuk meningkatkan keterampilan masing-masing
anggota dan mutu hasil olahan lebih baik.
Mutu hasil olahan yang berupa kerupuk dengan tambahan tepung jagung,
mempunyai tampilan warna yang lebih menarik dibanding dengan kerupuk yang
tanpa tambahan tepung jagung, baik pada kerupuk mentah maupung setelah
digoreng. Ada kecenderungan bahwa semakin banyak tepung jagung yang
ditambahkan, kerupuk mempunyai warna yang kuning cerah dan mempunyai tekstur
yang lebih renyah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan:
Dari kegiatan pengembangan agroindustri tepung kasava ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa :
1. Teknologi pengolahan tepung kasava yang dimodifikasi bisa menekan biaya
produksi tepung, tetapi karena mutu tepung yang lebih rendah daripada tepung
kasava dengan teknologi anjuran, harga jual tepung juga lebih rendah di lokasi
pengkajian Kabupaten Malang maupun Tulungagung
2. Pengolahan kerupuk dengan bahan baku tepung kasava yang dikompositkan
dengan tepung jagung memberikan mutu kerupuk yang lebih bagus dilihat dari
warna kerupuk (mentah dan matang), kerenyahan dan disukai konsumen.
3. Pemasaran tepung kasava kepada industri hasil olahan berbahan baku tepung
masih belum bisa berjalan lancar.
Saran:
Masih diperlukan sosialisasi yang terus menerus untuk mempercepat dan
memperluas tersebarnya informasi pemanfaatan tepung kasava.
DAFTAR PUSTAKA
Adyatna, M.O., M. Syam dan I. Manwan. 1994. Percepatan Proses Adopsi Teknologi.
Dalam Prosiding Kinerja Penelitian Tanaman pangan. Buku I: 183-189
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
394
Anonimous. 1994. Pasca Panen Untuk Agroindustri: Pengembangan model
agorindustri pedesaan terpadu di daerah Wonogiri. Lap. Pen. Tim Koordinasi
Penelitian Pasca Panen, Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Damardjati, D.S., S. Widowati dan Suismono. 1993. Sistem Pengembangan
Agroindustri Tepung Kasava Di Pedesaan (Studi Kasus di Kabupaten
Ponorogo). Disampaikan pada Simposium Penelitian Tanaman Pangan III.
Bogor, (Buku IV).
Damardjati, D.S., Sutrisno, B.A.S. Santoso, S. Widowati dan Suismono. 1994. Petunjuk
Praktis Pembuatan Tepung kasava. Balittan Sukamandi.
Hartojo, K., S. Widowati, Sutrisno, S.D. Indrasari. 2001. Studi Potensi dan
Peningkatan Dayaguna Sumber Pangan Lokal Untuk Mendukung
Penganekaragaman Pangan Di Jawa Timur. Laporan Hasil Penelitian
Diversifikasi Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.
Saleh, N. dan K. Hartojo. 2001. Potensi ubikayu dan ubijalar untuk mendukung
program diversifikasi pangan dan ketahanan pangan nasional. Makalah
BALITKABI. Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Pangan
Lokal dieselenggarakan oleh Badan Ketahanan Pangan, pada tanggal 13-14
Nopember 2001 di Surabaya. 9 p.
Soelistyani, H.P. dan M. Abdul Kadir 1996. Teknologi Masuk Desa Direktorat
Pembangunan Desa. Prob. Daerah Tk I Jatim. Surabaya.
Suhardi,. Suhardi, Suhardjo, Yuniarti, RD. Wijadi, SR. Sumarsono, E. Retnaningtyas,
Bonimin dan Jumadi. 2002. Pengkajian Teknologi Penanganan Hasil Ubikayu
Untuk Mendukung Diversifikasi Pangan Lokal Pedesaan. Laporan Akhir
Tahun 2002. BPTP Jawa Timur.
Suhardi, S. Widowati, Suhardjo, Yuniarti, F Kasijadi, G, Kartono, Roesmiyanto, F.
Rozi, Misgiyarto, P. Raharto, W. Istuti, R.D. Wijadi, L. Sukarno, Al. Budijono,
Bonimin dan Jumadi. 2003. Penelitian/Pengkajian Model Pengembangan
Agroindustri Tepung Kasava Skala Kecil Menengah, Laporan Akhir T.A.
2002. BPTP Jawa Timur.
Suprapti, M.L. 2002. Tepung Kasava. Pembuatan dan Pemanfaatannya. Penerbit
Karnisius. Yogyakarta. 80 p.
Widowati, S. dan D.S. Damardjati. 1993. Tepung Komposit Sebagai Alternatif
Diversifikasi Produk untuk Mempertahankan Swasembada Pangan dalam
Syam, M. Hermanto, A. Musadad dan Sunihardi. (eda) Pros. Simp. Tan.
Pangan III: Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku III: 1622-1631.
Widowati, S. 2000. Identifikasi Bahan Pangan Alternatif dan Teknik Pengolahannya
Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasioanal. Buletin Agrobio 3(2): 45-
50.
Utomo, J.S. 2001.Teknologi Pengolahan ubikayu dan ubijalar mendukung ketahanan
Pangan. Makalah BALITKABI. Disampaikan pada Lokakarya Nasional
Pengembangan Pangan Lokal dieselenggarakan oleh Badan Ketahanan
Pangan, pada tanggal 13-14 Nopember 2001 di Surabaya. 16 p.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
395
Lampiran 1. Analisis ekonomi teknologi pengolahan tepung kasava per 1 ton ubikayu
dan 500 kg gaplek, di Pagak, Malang
Uraian Biaya produksi dan hasil dari teknologi pengolahan tepung kasava (Rp.)
Tekn. I Tekn. II Tekn. III Tekn. IV
Ubikayu 1.000 kg 125.000,- 125.000,-
Gaplek dari petani 500 kg 250.000,- 250.000,-
Pengupasan + pencucian 60.000,- 60.000,-
Penyawutan 20.000,- 20.000,-
Pengepresan 20.000,- -
Pengeringan/penjemuran 30.000,- 45.000,-
Pencucian dan pengeringan - - 20.000,-
Penepungan 28.000,- 28.000,- 49,500,- 50.000,-
Kemasan 6.000,- 6.000,- 10.000,- 10.000,-
Pengemasan 10.000,- 10.000,- 20.000,- 20.000,-
penyusutan alat 20.000,- 20.000,-
Total biaya produksi 319.000,- 314.000,- 349.500,- 330.000,-
Hasil 280 kg tepung 280 kg tepung 495 kg tepung 498 kg tepung
Harga tepung 1.300,-/kg 1.300,-/kg 800,-/kg 750,-/kg
Pendapatan 364.000,- 364.000,- 396.000,- 373.500,-
Keuntungan 45.000,- 50.000,- 46.500,- 43.500,-
Keterangan:
Tekn. I (Teknologi anjuran) : ubikayu – kupas – cuci – sawut – pres – keringkan –
tepungkan – kemas.
Tekn. II (Teknologi anjuran tanpa pres) : ubikayu – kupas – cuci – sawut – keringkan – tepungkan
– kemas.
Tekn. III (teknologi petani modifikasi) : gaplek – cuci – keringkan – tepungkan – kemas.
Tekn. IV (teknologi petani) : gaplek – tepungkan – kemas.
Lampiran 2. Analisis ekonomi teknologi pengolahan tepung kasava per 1 ton ubikayu
dan 500 kg gaplek, Tanggunggunung Tulungagung Uraian Biaya produksi dan hasil dari teknologi pengolahan tepung kasava (Rp.)
Tekn. I Tekn. II Tekn. III Tekn. IV
Ubikayu 1.000 kg 125.000,- 125.000,-
Gaplek dari petani 500 kg 275.000,- 275.000,-
Pengupasan + pencucian 50.000,- 50.000,-
Penyawutan 20.000,- 20.000,-
Pengepresan 25.000,- -
Pengeringan/penjemuran 30.000,- 45.000,-
Pencucian dan pengeringan - - 25.000,-
Penepungan 30.000,- 30.000,- 49.500,- 50.000,-
Kemasan 6.000,- 6.000,- 10.000,- 10.000,-
Pengemasan 10.000,- 10.000,- 20.000,- 20.000,-
Penyusutan alat 20.000,- 20.000,-
Total biaya produksi 316.000,- 306.000,- 379.500,- 355.000,-
Hasil 260 kg tepung 260 kg tepung 495 kg tepung 498 kg tepung
Harga tepung 1.300,-/kg 1.300,-/kg 800,-/kg 750,-/kg
Pendapatan 338.000,- 338.000,- 396.000,- 373.500,-
Keuntungan 22.000,- 32.000,- 16.500,- 18.500,-
Keterangan:
Tekn. I (Teknologi anjuran) : ubikayu – kupas – cuci – sawut – pres – keringkan –
tepungkan – kemas.
Tekn. II (Teknologi anjuran tanpa pres) : ubikayu – kupas – cuci – sawut – keringkan – tepungkan
– kemas.
Tekn. III (teknologi petani modifikasi) : gaplek – cuci – keringkan – tepungkan – kemas.
Tekn. IV (teknologi petani) : gaplek – tepungkan – kemas.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
396
PERBAIKAN MUTU NUTRISI KERUPUK BERBASIS TEPUNG UBIKAYU
DENGAN TEPUNG KACANG TUNGGAK
Suarni*) dan Yuniarti**)
ABSTRAK
Tepung ubi kayu miskin akan nutrisi terutama proteinnya, sehingga produk
kerupuk yang dibuat dari tepung ubikayu perlu ditambah dengan bahan bergizi
tinggi. Kacang tunggak adalah salah satu serealia yang mengandung protein dan
lemak esensial yang sangat memadai untuk memperbaiki mutu nutrisi hasil olahan.
Penelitian pembuatan kerupuk dari bahan dasar tepung ubikayu dan kacang
tunggak telah dilakukan di Laboratorium Pengolahan dan Kimia Balitsereal, Maros
dan Laboratorium Kimia Analitik Unhas, Makassar. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap dengan persentase penambahan tepung kacang tunggak
10, 20, 30 dan 40% terhadap tepung ubi kayu sebagai perlakuan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan 10% tepung kacang tunggak paling disukai
panelis, dengan kadar protein dan lemak kerupuk mentah sekitar 5,5% dan 3%.
Olahan kerupuk termasuk makanan ringan yang disenangi anak usia tumbuh,
sehingga dengan adanya tambahan nutrisi dari bahan lain, produk kerupuk akan
menunjang perbaikan gizi masyarakat. Teknologi tersebut mudah diterapkan pada
masyarakat, sehingga dapat menambah wawasan perajin dan ragam produknya.
Kata kunci: Tepung ubikayu, kacang tunggak, kerupuk.
ABSTRACT
The cassava flour is poor of nutrient especially its protein, so that crackers
made from cassava flour need addition of high nutritious substance. Cow pea is a
cereal containing protein and very adequate fat essential for improving nutrient
quality of the product. Research of crackers making from cassava and cow pea flour
had been conducted in Processing and Chemical Laboratory of Indonesian Cereals
Research Institute (ICERI), Maros and Analytic Chemical Laboratory of Hasanuddin
University, Makassar. This research used a Completely Randomized Design with
percentage of cow pea flour substitution as much as 10, 20, 30 and 40% to cassava
flour as treatments. The result indicated, that the addition of 10% cow pea flour
most preferred by the panelist, with the protein and fat contain of the raw crackers
about 5.5% and 3%. Crackers is a popular snack food of child growth age, so that
with the addition of other nutritious substance, crackers product will support
nutrient improvement of the community. The technology is easy to be applied at the
community, so that it can enlarge the labor knowledge and kind of their products.
Keywords: Cassava flour, cow-pea, crackers.
________________ *)Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros **) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
397
PENDAHULUAN
Pangan merupakan produk strategis baik dalam rangka pemenuhan
kebutuhan dasar manusia maupun sebagai komoditi bisnis. Pertambahan penduduk
Indonesia yang cukup besar di masa datang, menuntut ketersediaan pangan yang
sangat besar yang tidak mungkin dipenuhi oleh produksi padi nasional. Dukungan
scientifics untuk menggali kekayaan fungsional pangan tradisional, perbaikan
teknologi pengolahan, perbaikan penampilan serta promosi sangat diperlukan untuk
meningkatkan citra inferior pangan sehingga mampu disejajarkan dengan pangan
impor (Thahir, 2004).
Ubi kayu adalah bahan pangan yang sangat murah, mudah didapat dan telah
memasyarakat. Kekurangan bahan pangan sumber karbohidrat tersebut miskin
akan gizi terutama kadar proteinnya relatif rendah. Daya tahan simpan ubi kayu
segar relatif singkat, sehingga memerlukan penanganan pascapanen untuk
membuat bahan setengah jadi yang lebih awet dan berdayaguna. Ubi kayu dapat
diolah menjadi sawut atau tepung, hal tersebut sangat menguntungkan karena daya
simpan lebih lama, mudah diolah dan penyimpanan lebih efisien.
Proses awal pengolahan ubi kayu adalah pengupasan kulit. Hal ini
memerlukan waktu dan tenaga. Pengupasan umumnya dilakukan secara manual,
sehingga kapasitas kerjanya rendah. Ubi kayu perlu cepat diproses agar tidak
mudah berjamur dan rusak. Untuk pengolahan ubi kayu dari pengupasan sampai
pembuatan tepungnya, telah tersedia alat/mesin pengolahnya yang dihasilkan oleh
Balittan Maros (Prastowo et al., 1990)
Model agroindustri tepung kasava telah disediakaan BB-Pascapanen dengan
keunggulan teknologi rendemen tepung 27-30%, daya simpan bahan baku lebih
lama, mutu tepung kasava lebih baik dengan kadar HCN dibawah 40 ppm,
kapasitas 1 ton ubi kayu/hari (Anonim, 2003).
Untuk mengatasi kekurangan kalori protein (KKP) pada masyarakat
khususnya yang kurang mampu ataupun masyarakat di daerah terpencil, maka
pemanfaatan tepung ubi kayu perlu ditambah dengan bahan sumber protein lain
antara lain kacang-kacangan. Oleh karena itu dilakukan penambahan kacang
tunggak dalam pembuatan kerupuk. Kacang tunggak mengandung protein sekitar
30 % (Suarni dan Richana, 1994 ) dan 26 % (Siegel dan Cett, 1976).
Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari pembuatan kerupuk dari tepung
ubi kayu dengan campuran tepung kacang tunggak sebagai sumber protein,
perbaikan nilai gizi kerupuk yang dihasilkan serta tingkat penerimaan konsumen.
BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi ubi kayu dan
kacang tunggak varietas lokal. Bumbu yang digunakan untuk pembuatan kerupuk
terdiri dari bawang putih, garam dan bumbu penyedap. Penelitian dilaksanakan di
Laboratorium Pengolahan dan Kimia Balitsereal, Maros serta Laboratorium Kimia
Analitik Unhas, Makassar mulai bulan Agustus 2001 sampai Januari 2002,
menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan persentase penambahan tepung
kacang tunggak 0, 10, 20, 30 dan 40% terhadap tepung ubikayu sebagai perlakuan.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
398
a. Persiapan sampel tepung
Sampel ubikayu dibersihkan dan dikupas, diiris tipis-tipis, dikeringkan
dengan sinar matahari sampai kadar air optimun (12 %), kemudian dilakukan
sortasi sampai diperoleh chip yang bersih, kemudian dilakukan penepungan dengan
alat penepung. Lalu diayak dengan saringan 60 mesh, sehingga diperoleh tepung
ubikayu yang halus.
Sampel biji kacang tunggak dikeringkan, disortasi dan digiling dengan alat
penepung, diayak dengan saringan 60 mesh sehingga diperoleh tepung dan dijemur
hingga kadar air < 12%.
b. Pembuatan adonan
Tepung komposit sebanyak 150 gram dengan komposisi sesuai perlakuan
ditambah bumbu-bumbu yang telah di haluskan, lalu diaduk dengan menambah air
100 ml. Adonan dicetak, dikukus, setelah matang didinginkan, lalu diiris tipis-tipis
kemudian dijemur sampai kering sehingga dihasilkan kerupuk mentah.
c. Uji organoleptik
Uji organoleptik dilakukan terhadap kerupuk yang dihasilkan (Larmond,
1982).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis komposisi kimia kerupuk (Tabel 1) menunjukkan bahwa kadar
air dan kadar abu semua perlakuan hampir sama. Kisaran kadar air kerupuk
antara 7,49 % - 7,96 %, sedangkan kadar abu antara 4,29 % - 5,72 %. Kadar protein
kerupuk dipengaruhi oleh bahan dasar tepung campuran pembuatan kerupuk.
Campuran dengan tepung kacang. tunggak mengandung protein yang lebih tinggi
dibanding tanpa campuran. Kisaran kadar protein campuran dengan kacang
tunggak antara 5,42 - 9,51%, sedangkan tanpa campuran hanya 2,02% (Tabel 1 ),
hal ini disebabkan kacang tunggak varietas lokal mempunyai kadar protein yang
tinggi yaitu 30,24 % (Suarni dan Richana, 1994).
Penambahan kacang tunggak menghasilkan kerupuk dengan kandungan
lemak sekitar 2,88 – 4,256 %, tanpa kacang tunggak hanya 1,55%. Kandungan pati
kerupuk, ternyata dipengaruhi oleh penambahan kacang tunggak seperti terlihat
pada Tabel 1, kisaran kadar pati pada campuran dengan kacang tunggak 59,78 –
66,56%, tanpa penambahan kacang tunggak kadar pati cenderung lebih tinggi
yaitu antara 69,08%. Hal ini disebabkan karena bahan dari tepung ubi kayu
mengandung pati lebih tinggi di banding kacang-kacangan.
Kadar serat kerupuk dipengaruhi oleh penambahan tepung kacang tunggak,
karena kacang tunggak berkadar serat lebih tinggi di banding tepung ubi kayu. Oleh
karena itu penambahan kacang tunggak akan menaikkan kadar serat sesuai hasil
penelitian Richana dan Nasti (1994) dalam pembuatan kerupuk pati ubi kayu
dengan penambahan kedelai dan kacang tunggak.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
399
Tabel 1. Komposisi kimia kerupuk mentah dari tepung ubi kayu dan kacang
tunggak. Maros, 2002.
Tepung
Ubi kayu : k. tunggak Air Abu Protein Lemak Pati Serat kasar
%
100% 7,49 4,29 2,02 1,55 69,08 4,22
90% 10% 7,62 4,88 5,42 2,88 66,56 4,89
80% 20% 7,58 5,13 7,06 2,94 64,71 5,12
70% 30% 7,89 5,41 8,76 3,78 62,46 5,26
60% 40% 7,96 5,72 9,51 4,25 59,78 5,92
Rerata 7,71 5,09 6,55 3,08 64,52 5,08
Uji organoleptik
Hasil uji organoleptik (Tabel 2) dari beberapa panelis menunjukkan bahwa
kerenyahan kerupuk dipengaruhi oleh perbandingan tepung komposit. Tingkat
kerenyahan kerupuk yang paling disukai adalah kerupuk dengan penambahan
kacang tunggak 20% dengan kadar air kerupuk mentah 7,58% (Tabel 1). Perbaikan
tingkat kerenyahan kerupuk dapat dilakukan dengan mengurangi kadar air
kerupuk mentah yang dihasilkan, misalnya dengan pengeringan yang lebih lama.
Rasa kerupuk dipengaruhi juga oleh tepung campuran, penambahan tepung
kacang tunggak menambah rasa enak, tanpa kacang tunggak kerupuk tidak begitu
disukai panelis. Penambahan tepung kacang tunggak sebanyak 10% menghasilkan
kerupuk yang rasanya paling disukai panelis.
Warna kerupuk untuk semua perlakuan penambahan kacang tunggak kurang
disukai oleh panelis, kerupuk tanpa penambahan kacang tunggak yang paling
disukai. Aroma kerupuk yang paling disukai adalah campuran tepung ubi kayu :
kacang tunggak = 90 : 10%. Secara umum sifat sensoris kerupuk dengan
penambahan kacang tunggak 10 % dan 20 % lebih disukai panelis daripada tanpa
ditambah kacang tunggak, kecuali tampilan warna kerupuk yang masih perlu
perbaikan. Namun demikian, di antara ketiga perlakuan tersebut penambahan
kacang tunggak 10% mempunyai mutu rasa dan aroma yang lebih disukai panelis.
Tabel 2.Hasil uji organoleptik kerupuk dari tepung ubi kayu dan kacang tunggak
(skor). Maros, 2002.
Formula tepung campuran
Kerenyahan Rasa Warna Aroma Tepung ubi kayu : Kacang
tunggak
100% - 2,95 ab 3,57 a 3,04 e 4,04 b
90% 10% 2,98 ab 2,46 e 3,29 c 2,29 e
80% 20% 2,19 b 2,71 d 3,16 d 3,46 c
70% 30% 3,08 ab 3,12 c 3,36 b 3,36 d
60% 40% 3,82 a 3,38 b 3,49 a 4,89 a Keterangan: :
Skala Kesukaan (1). sangat suka, (2). suka, (3). agak suka, (4). tidak suka, (5). sangat tidak suka (Larmond,
1982). Angka rata – rata dari 15 panelis.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
400
Setiap angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.
KESIMPULAN
Formulasi tepung campuran (tepung ubi kayu : kacang tunggak = 90%: 10%)
paling disukai oleh panelis, sedangkan warna kerupuk dari semua perlakuan
penambahan tepung kacang tunggak masih perlu perbaikan.
SARAN
Perlu penelitian lanjutan tentang penambahan zat pewarna yang dizinkan
Departemen Kesehatan, agar tampilan warna lebih menarik terutama untuk
konsumen kelompok umur pertumbuhan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Ahza, A.B. 1998. Aspek Pengetahuan Material dan Diversifikasi Produk Sorgum Sebagai Substitutor Terigu (Pangan) Alternatif. Dalam Laporan Lokakarya
Sehari Prospek Sorgum Sebagai Bahan Substitusi Terigu. PT ISM Bogasari
Flour Mills, Jakarta.
Anonim. 2003. Penelitian Teknologi Pengolahan Pangan Tradisional Prospektif Sebagai Alternatif Pangan Pokok. Laporan Penelitian. Balai Penelitian
Pascapanen Pertanian. Bogor.
AOAC. 1984. Official Methods of Analisis on the Asocasion of Oficial Agriculture Chemists Assoc. of Agric. Chem. Washington DC.
Larmond, E. 1982. Laboratory Methods of Sensory Evaluation of Food Research. Branch Canada. Dept. of Agriculture Publication, hal. 121.
Richana N. dan Nasti. 1994 Penelitian Pembuatan Krupuk dari Beberapa Macam Tepung Ubikayu dan Kedelai. Hasil Penelitian Mekanisasi dan Teknologi
1993/1994. Balittan Maros ( XII ) : 103 – 108.
Siegel, A and Faw Cett, B. 1976. Food Legume Processing and Utilization.
International Development Research Centre ( IDRC ) Ottawa, Canada.
Suarni dan Richana. 1994. Teknogi Pembuatan Tempe dari Kacang Tunggak. Hasil
Penelitian Mekanisasi dan Teknologi 1994/1995. Balittan Maros. XIII ( - ) :
107 – 113.
Thahir, R. 2004. Program Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan Tradisional untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan
pada Sem. Nas. Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional. Balai Besar
Penelitian Pascapanen Badan Litbang Pertanian. Bogor 6 Agustus 2004.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
401
PEMANFAATAN BUAH JERUK SIAM SEBAGAI
PRODUK OLAHAN SARI BUAH
Wayan Trisnawati*) dan Dian Adi A. Elisabeth*)
ABSTRAK
Jeruk siam (citrus nobilis var. microcarpa) merupakan anggota jeruk keprok
yang berasal dari Siam (Muangthai). Jeruk siam saat ini banyak diminati, sekitar
60% konsumen lebih menyukai jeruk siam dibandingkan jenis jeruk lainnya. Pada
saat musim panen raya produksi biasanya melimpah sehingga harga rendah, bila
hal ini tidak diatasi maka banyak buah yang tidak termanfaatkan dengan baik.
Untuk mencegah terbuang bahan segar dapat diatasi dengan pengolahan produk,
salah satunya produk olahan sari buah. Desa Selulung Kecamatan Kintamani
Kabupaten Bangli merupakan salah satu sentra pengembangan jeruk siam di Bali.
Proses pengolahan dilakukan di lahan petani pada bulan Juli sampai Oktober 2005
dan analisa kimia dilakukan di laboratorium Universitas Udayana. Kombinasi
perlakuan terdiri dari 2 (dua) perlakuan yaitu konsentrasi gula dan asam sitrat
dengan 3 (tiga) ulangan. Data dianalisa statistik dengan rancangan RAK faktorial
yang dilanjutkan dengan uji beda DMRT 5%. Perlakuan penambahan gula dan asam
sitrat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan kandungan kimia pada sari
buah jeruk. Dimana dengan semakin tingginya konsentrasi gula dan asam sitrat
yang ditambahkan maka semakin rendah kandungan TSS (total zat padat terlarut),
vitamin C, total gula dan total asam. Preferensi panelis pada penambahan 150 gr
gula dan 1 gr asam sitrat terhadap warna, flavor dan rasa manis memberikan hasil
terbaik dengan skor masing-masing 4.18; 3.86; dan 3.53. Konsentrasi gula (150 gr)
dan asam sitrat (1 gr) merupakan hasil terbaik pada produk olahan sari buah jeruk
dengan kandungan TSS : 25.47 %brix ; vitamin C : 28.99 mg/100gr ; total gula : 7.07
%bb dan total asam 0.16 %bb.
Kata kunci : Jeruk, olahan dan sari buah
PENDAHULUAN
Jeruk siam merupakan anggota jeruk keprok, termasuk buah-buahan yang
banyak mengandung vitamin C disamping vitamin-vitamin dan zat-zat mineral
lainnya (Anonim, 1987). Diantara berbagai jenis jeruk, jeruk siam yang paling
banyak mendapat perhatian, dimana diperkirakan pangsa pasar jeruk siam saat ini
sekitar 60% dari semua jenis jeruk. Lidah konsumen jeruk rasanya sudah akrab
dengan cita rasa jeruk siam yang lebih populer dengan sebutan jeruk pontianak
(Anonim, 2003).
Kondisi pertumbuhan tanaman jeruk adalah pada iklim sub tropika, dengan
suhu rata-rata 20oC, dimana pertumbuhannya memerlukan banyak sinar matahari
dan cukup air tanah atau air pengairan. Curah hujan yang dibutuhkan agak tinggi
atau termasuk iklim basah. Kelembaban udara antara 50-85%.
________________ *) Balai Pengkajjian Teknologi Pertanian Bali
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
402
Pada kebun jeruk yang berhawa lembab mengakibatkan penguapan air dari
buah rendah, hal ini menyebabkan buah berkulit tipis, daging buah halus, air buah
lebih banyak dan rasanya lebih enak (Anonim, 1987). Tiap jenis buah jeruk memiliki
ciri-ciri yang berbeda-beda, misalnya jeruk keprok siam dengan ciri buah bulat,
berkulit licin, mudah dikupas (Sarwono, 1986). Sedangkan jeruk manis dengan ciri-
ciri buah agak kasar, kulit tebal dan sukar dikupas (AAK, 1989).
Perkembangan teknik budidaya dan cara penanggulangan hama penyakit,
diharapkan dapat meningkatkan produksi buah jeruk. Peningkatan produksi tanpa
disertai dengan penanganan pasca panen yang tepat berakibat pada jatuhnya harga,
sehingga merugikan petani. Sebagai sentra pengembangan tanaman jeruk siam Bali
adalah di Desa Selulung, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli dengan luas
wilayah 597 ha, terletak pada ketinggian tempat 1100-1200 m dpl sangat sesuai
untuk pertumbuhan tanaman jeruk. Pada saat musim panen raya (bulan September
sampai Oktober) harga buah rendah, sehingga banyak buah yang terbuang terutama
untuk buah yang kecil-kecil (afkir).
Penanganan pasca panen pada saat musim panen raya untuk mencegah
banyaknya buah yang terbuang dan jatuhnya harga dapat dilakukan dengan cara
pengawetan, baik dalam bentuk segar maupun olahan. Dengan melakukan
pengawetan diharapkan dapat mempermudah penanganan dan dapat menutupi
kekurangan produksi di luar musim.
Upaya penanganan buah jeruk dengan melakukan pengolahan, salah satunya
adalah pengolahan buah menjadi sari buah. Sari buah adalah merupakan larutan
inti daging buah yang diencerkan, sehingga memiliki cita rasa yang sama dengan
buah aslinya (Satuhu, 1996).
Proses pengolahan produk sari buah umumnya masih dilakukan secara
sederhana. Sari buah yang dihasilkan masih bersifat keruh dan mengandung
endapan, akibat tingginya kadar pektin buah. Berdasarkan tingkat kekeruhan maka
dikenal dua jenis sari buah, yaitu sari buah jernih dan sari buah keruh. Dimana sari
buah jeruk termasuk golongan sari buah keruh karena mengandung kadar pektin
yang tinggi (Astawan, 1991).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi penambahan gula dan
asam sitrat pada sari buah jeruk siam Bali sehingga menghasilkan sari buah jeruk
dengan formula yang sesuai dengan selera konsumen.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan pada sentra tanaman jeruk, di Desa Selulung,
Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli pada bulan Juli sampai Oktober 2005.
Kombinasi perlakuan terdiri dari 2 (dua) perlakuan yaitu konsentrasi gula, masing-
masing : (1) 100 gr/l; (2) 150 gr/l; (3) 200 gr/l; dan asam sitrat, masing-masing : (1) 1
gr/l ; (2) 2,5 gr/l; (3) 3 gr/l; dengan 3 (tiga) ulangan. Data dianalisa statistik dengan
rancangan RAK faktorial yang dilanjutkan dengan uji beda DMRT 5%.
Pengolahan produk dilakukan di lahan petani dengan melibatkan petani
secara langsung, sedangkan analisa laboratorium dilakukan di laboratorium
Universitas Udayana. Analisa dilakukan terhadap total asam, total gula, vitamin C,
TSS dan organoleptik.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
403
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses pengolahan sari buah dimaksudkan sebagai penganekaragaman
pangan, meningkatkan nilai ekonomi, memperpanjang masa simpan dan
mempertahankan atau memperbaiki mutu gizi buah. Sari buah adalah cairan yang
diperoleh dengan memeras buah, baik disaring ataupun tidak, yang tidak
mengalami fermentasi dimana merupakan minuman segar yang langsung diminum.
Sari buah sebagai salah satu minuman yang cukup disukai karena praktis, enak dan
menyegarkan serta bermanfaat bagi kesehatan dengan kandungan vitamin yang
tinggi (Hidayat dan Wike Agustin, 2005).
Hampir semua buah bisa diolah menjadi minuman sari buah, namun
campuran (formula) penambahan gula dan asam sitrat tidak sama untuk setiap
buah. Gula merupakan bahan tambahan pada pengolahan makanan yang berfungsi
untuk memperbaiki cita rasa sekaligus sebagai bahan pengawet alami dengan
tujuan menghambat pertumbuhan bakteri. Pada minuman ringan seperti sari buah,
fungsi gula adalah untuk memberikan rasa manis, memberikan nilai kalori,
memberikan bentuk dan rasa pada mutu minuman yang dihasilkan (Hidayat dan
Wike Agustin, 2005).
Asam sitrat memiliki bentuk kristal atau serbuk putih, dengan ciri-ciri mudah
larut dalam air, tidak berbau, rasa asam, jika dipanaskan akan meleleh kemudian
terurai selanjutnya terbakar menjadi arang. Pemberian asam sitrat pada minuman
sari buah bertujuan untuk memberikan rasa asam, memodifikasi manisnya gula,
sebagai pengawet dan dapat mempercepat inversi gula dalam minuman (Hidayat
dan Wike Agustin, 2005).
Untuk mengetahui konsentrasi gula dan asam sitrat yang sesuai pada produk
olahan sari buah jeruk siam Bali dilakukan beberapa kombinasi perlakuan, dimana
hasil rata-rata analisa kimia sari buah jeruk pada beberapa kombinasi perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata hasil analisa kimia sari buah jeruk Siam di Desa Selulung,
Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, 2005
No Perlakuan TSS
(% brix)
Vitamin C
(mg/100g)
Total Gula
(% bb)
Total Asam
(% bb)
1 P1 (100:1) 20.33 a 30.72 a 6.03 ab 0.20 ab
2 P2 (100: 2,5) 25.07 a 27.22 a 4.84 ab 0.24 a
3 P3 (100:3) 23.13 a 23.78 ab 4.89 ab 0.24 a
4 P4 (150:1) 25.47 a 28.99 a 7.07 a 0.16 bc
5 P5 (150:2,5) 22.93 a 24.83 ab 6.87 a 0.20 ab
6 P6 (150:3) 16.09 a 30.29 a 6.43 ab 0.23 a
7 P7 (200:1) 16.37 a 18.33 b 6.08 ab 0.15 c
8 P8 (200:2,5) 18.55 a 25.81 a 7.06 a 0.17 bc
9 P9 (200:3) 15.36 a 29.79 a 4.58 b 0.18 bc Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf uji DMRT 5%
Hasil analisa sidik ragam terhadap TSS (total padatan terlarut) menunjukkan
bahwa diantara perlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 1). Persentase TSS tertinggi
ditunjukkan oleh perlakuan P4 (gula 150 gr/liter : asam sitrat 1 gr/liter). Sedangkan
TSS terendah terlihat pada perlakuan P9 (gula 200 gr/liter : asam sitrat 3 gr/liter).
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
404
Analisa sidik ragam terhadap vitamin C, total asam dan total gula
menunjukkan perbedaan yang nyata pada produk olahan sari buah jeruk siam Bali.
Terjadi perbedaan kandungan vitamin C yang nyata pada perlakuan P1 dengan P7,
pada P1 dengan penambahan gula 100 gr/liter memiliki kandungan vitamin C yang
lebih tinggi (30.72 mg/100 gr) dibandingkan dengan perlakuan P7 dengan kadar
vitamin C rendah (18.33 mg/100 gr). Menurut Winarno (1988) kondisi ini disebabkan
karena sifat vitamin C yang mudah rusak, dimana vitamin C mudah larut dalam air
dan mudah teroksidasi oleh panas. Pada proses pengolahan sari buah, dengan
semakin tinggi konsentrasi gula yang ditambahkan maka produk akan semakin
pekat, sehingga waktu yang diperlukan untuk melarutkan gula pada bahan semakin
lama. Pada kondisi ini maka vitamin C yang bersifat mudah teroksidasi oleh panas
akan lebih banyak yang menguap.
Penambahan gula ke dalam bahan bertujuan untuk memberikan rasa manis,
karena adanya pengenceran pada produk olahan sari buah. Perlakuan penambahan
gula sebesar 150 gr/liter, asam sitrat 1 gr/liter memberikan total gula tertinggi (7.07
%bb) dibandingkan dengan penambahan gula 200 gr/liter, asam sitrat 3 gr/liter (4.58
%bb). Kombinasi asam sitrat 1 gr/liter mampu memberikan kombinasi kemanisan
yang tepat dan dapat mempercepat inversi gula kedalam minuman dibandingkan
bila konsentrasi yang lebih tinggi dari 1gr/liter (Hidayat dan Wike Agustin, 2005).
Semakin tinggi konsentrasi asam sitrat yang ditambahkan pada konsentrasi
gula yang lebih tinggi, maka semakin tinggi total asam pada minuman sari buah.
Penambahan asam sitrat bertujuan untuk meningkatkan rasa asam (mengatur
tingkat keasaman), walaupun seperti kita ketahui dalam buah jeruk itu sendiri
sudah mengandung asam (Winarno, 1988). Pada proses pembuatan sari buah nenas
oleh Suyanti dan Sabari (1991), dimana dengan semakin banyak asam yang
ditambahkan cenderung semakin kurang disukai karena sari buah yang dihasilkan
menjadi semakin masam.
Rata-rata nilai kesukaan panelis terhadap produk sari buah jeruk terhadap
warna, flavor, rasa manis, rasa di mulut dan penerimaan secara keseluruhan adalah
bebeda nyata, seperti pada Tabel 2.
Preferensi panelis terhadap warna, flavor dan penerimaan secara keseluruhan
pada olahan sari buah pada perlakuan 150 gr gula dan 1 gr asam sitrat memberikan
skor tertinggi 4.18 (suka sampai sangat suka); 3.86 (biasa sampai suka) dan 3.48
(biasa sampai suka). Sedangkan rasa manis dan rasa dimulut skor tertinggi terdapat
pada perlakuan penambahan gula 200 gr dan asam sitrat 3 gr.
Penerimaan secara keseluruhan terhadap produk olahan sari buah pada
penambahan gula 150 gr dan asam sitrat 1 gr memberikan skor tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
konsentrasi ini bisa memberikan hasil yang terbaik dengan memodifikasi gula dan
asam sitrat sehingga menghasilkan cita rasa yang baik.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
405
Tabel 2. Rata-Rata hasil uji preferensi panelis terhadap olahan sari buah jeruk Siam
di Desa Selulung, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Buleleng, 2005
No Perlakuan Warna Flavor Rasa
Manis
Rasa di
mulut
Penerimaan
Secara
Keseluruhan
1 P1 (100:1) 3.53 ab 3.42 ab 2.55 b 2.45 bc 3.02 ab
2 P2 (100: 2,5) 2.83 b 2.56 c 2.55 b 2.48 bc 2.75 ab
3 P3 (100:3) 2.88 b 2.52 c 2.61 b 2.37 c 2.71 b
4 P4 (150:1) 4.18 a 3.86 a 3.53 a 3.18 ab 3.48 a
5 P5 (150:2,5) 3.47 ab 3.29 abc 2.97 ab 2.75 abc 3.16 ab
6 P6 (150:3) 3.67 ab 3.33 abc 2.89 ab 2.62 abc 3.32 ab
7 P7 (200:1) 3.46 ab 2.94 bc 2.67 b 2.46 bc 2.80 ab
8 P8 (200:2,5) 2.77 b 2.73 bc 3.15 ab 2.72 abc 2.75 ab
9 P9 (200:3) 3.6 ab 3.28 abc 3.60 a 3.31 a 3.19 ab
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf uji DMRT 5%
Perlakuan terbaik berdasarkan uji kimia dan uji organoleptik adalah pada
perlakuan P4 (150 gr gula : 1 gr asam sitrat). Dengan kombinasi ini memberikan
TSS, vitamin C dan total gula yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Pada uji organoleptik, penilaian terhadap warna, flavor, rasa manis dan penerimaan
secara keseluruhan menghasilkan skor tertinggi dan berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya .
KESIMPULAN
Kombinasi beberapa perlakuan pada produk sari buah jeruk untuk
menghasilkan produk yang paling baik berdasarkan uji fisik dan uji organoleptik,
dapat disimpulkan bahwa :
1. Hasil uji kimia terhadap vitamin C, total asam dan total gula menunjukkan
perbedaan yang nyata, sedangkan terhadap total padatan terlarut (TSS) tidak
berbeda nyata.
2. Preferensi panelis terhadap warna, flavor, rasa manis, rasa di mulut dan
penerimaan secara keseluruhan berbeda nyata.
3. Perlakuan terbaik berdasarkan uji kimia dan organoleptik, adalah pada
perlakuan P4 (150 gr gula : 1 gr asam sitrat). Dengan kombinasi ini memberikan
TSS, vitamin C dan total gula yang tidak berbeda nyata. Tetapi juga pada uji
organoleptik penilaian terhadap warna, flavor, rasa manis dan penerimaan secara
keseluruhan memberikan skor tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya.
Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan Tahun 2005 ISBN 979-3450-09-6
406
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1987. Bercocok Tanam Jeruk Siam di Kecamatan Kalimantan Barat.
Depatemen Pertanian. Balai Informasi Pertanian. Kalimantan Barat
Anonim. 2003. Peluang Usaha dan Pembudidayaan Jeruk Siam. Tim Penulis PS.
Penebar Swadaya.
AAK. 1989. Bertanam Buah-Buahan. Penerbit Kanisius. Jakarta.
Astawan, M dan Mita Wahyuni A. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat
Guna. Adademika Pressindo.
Hidayat, N dan Wike Agustin Prima, D. 2005. Minuman Berkarbonasi Dari Buah
Segar. Trubus Agrisarana.
Sarwono, B. 1986.Pengemasan dan Pengangkutan Jeruk Valensia (Citrus sinensis L.
Osbeck) dengan Mobil. Jurnal Hortikultura 1(2) : 49-53.1991. p.49.
Satuhu Suyanti. 1997. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya.
Suyanti dan Sabari, S. 1991. Pengaruh Pengenceran Sari Buah, Penambahan Gula
dan Asam Sitrat, Tingkat Kematangan dan Bahan Penstabil terhadap Mutu
Sari Buah Nenas Palembang. Balai Penelitian Hortikultura Solok.
Winarno, F.G. 1988. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Jakarta.