Upload
others
View
20
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SEMIOTIKA ‘ADUWW SESAMA MANUSIA
DALAM AL-QUR’AN:
PERSPEKTIF CHARLES SANDERS PEIRCE
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Dewi Aprilia Ningrum
1113034000125
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
SEMIOTIKA ՛ ADUWW SESAMA MANUSIA DALAM
AL-QUR’AN: PERSPEKTIF CHARLES SANDERS PEIRCE
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Dewi Aprilia Ningrum
NIM: 1113034000125
Pembimbing
Kusmana, Ph.D
NIP: 196504241995031001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
ABSTRAK
Semiotika ՛ aduww sesama manusia dalam al-Quran: Perspektif Charles
Sanders Peirce
Kajian ini mendiskusikan tentang konsep ‘aduww sesama manusia dalam al-
Qur‟an menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Peirce, dengan fokus
mendiskusikan makna dan konsep ‘aduww dalam al-Qur‟an. Kajian ini terinspirasi
atas fenomena banyaknya permusuhan sesama manusia yang mengakibatkan
perselisihan, peperangan, bahkan pembunuhan. Penulis tertarik untuk mengkaji
lebih jauh hal ini tapi dari sisi bagaimana al-Qur‟an menginformasikan dan
mewacanakannya. Pada penelitian ini, kata ‘aduww terfokus pada pencegahan akan
munculnya permusuhan dalam al-Qur‟an untuk mengarahkan pada perdamaian.
Penelitian dalam karya skripsi ini bersifat kepustakaan murni (library
research) dengan pendekatan metode mauḏû’î (tematik) yaitu mengumpulkan ayat-
ayat yang merupakan derivasi dari kata ՛ aduww. Analisis yang digunakan dalam
karya tulis ini bersifat deskriftif analisis, yakni menggambarkan dan menguraikan
data-data penafsiran al-Qur‟an menggunakan analisis semiotika Charles Sanders
Peirce. Ada dua langkah yang digunakan dalam skripsi ini, yaitu kepertamaan
(firstness) yaitu qualisign, sinsign, legisign, analisa kepertamaan ini berkutat pada
relasi antar tanda yang bersifat subjektif (berdasarkan pengalaman pribadi) yang
fokus kajiannya adalah agensi dan keketigaan (thirdness) yang terdiri dari rheme,
dicent, dan argument. Analisa pada ketigaan ini membahas relasi antar tanda yang
bersifat maknawi yang fokus kajianya adalah teks.
Kajian ini menambahkan bahwa dalam ranah kajian permusuhan yang
digambarkan pada fakta yang tidak kunjung selesai dan berbagai macam karya tulis
belum ditemukan solusi dalam menyikapi permusuhan tersebut. Berdasarkan pada
diskusi QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2 (membalas dendam dengan didasari kebencian), QS.al-
Fussilât/ 41: 34 (membalas permusuhan dengan kebaikan), QS. al-Taghâbun/ 64: 14
(memaafkan). Dari para mufassir yaitu Al-Thâbarî, Sayyid Quthb, dan Quraish
Sihab. Penelitian ini menemukan bahwa sesungguhnya terma „aduww dimaknai
secara negatife saat ini bukan fenomena yang tidak dapat diselesaikan, tetapi
fenomena yang dapat dicarikan solusinya karena al-Qur‟an sejatinya mengantisipasi
konsep ‘aduww secara positif, yaitu mengarahkan manusia yang berseteru pada
perdamaian.
Kata Kunci: ‘Aduww, Manusia, Semiotika Charles Sanders Peirce.
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah Swt., Dzat yang memberikan nikmat, yakni
hembusan nafas, pandangan mata, sehingga dapat memandang indahnya alam
semesta dan nikmat-nikmat lain yang tidak mampu dihitung oleh hamba-Nya. Penulis
panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya. Ṣalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada sosok Rahmatan li al-‘Âlamîn, cahaya di atas cahaya,
manusia paling sempurna, Nabi Muhammad saw., Rasul penutup para Nabi, serta
doa untuk keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga zaman menutup mata.
Alhamdulillâh, berkat rahmat dan ‘inayah Allah swt. penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini adalah karena keterlibatan
berbagai pihak yang jika tanpanya karya ini tidak akan terwujud. Kepada beliau-
beliau penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya.
Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan
karunia- Nya lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan
skripsi ini, alhamdulillâh dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-Nya dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bapak Prof. Dr. Dede Rosada,
MA., yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bapak Prof. Dr.
Masri Mansur, MA., ketua dan sekretaris jurusan ilmu al-Qur‟an dan Tafsir
Ibu Dr Lilik Ummi Kaltsum, MA., dan Ibu Drs. Banun Bina Ningrum,
M.Pd., serta seluruh dosen yang telah mentransformasikan ilmu pengetahuan
dengan tulus ikhlas dan penuh perhatian.
3. Bapak Kusmana, Ph.D, sebagai pembimbing yang telah membimbing,
mengarahkan dan memberikan kemudahan serta memberikan kesempatan
penulis mengikuti kajian-kajian beliau terkait epistemologi, hermeneutika
dan semiotika. Juga melalui beliau tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru,
sehingga penulis semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Kedua orang tuaku tercinta, ayahanda Narto dan ibunda Susilawati yang
telah mengarahkan, dengan penuh kasih sayang tanpa pamrih, tak pernah
lelah dan tak bosan dalam memberikan dukungan moral maupun materil,
serta do‟a dan semangat yang selalu membanjiri hati buah hatimu ini.
5. Kepada tim “NGAJI KEHIDUPAN” yaitu ka Fasjud Syukroni, MA, ka Irfan
Sanoesi, ka Adi Fadhilah S.Th.I, ka Rizki Yazid, MA, Salman L՛ Farisy
iii
S.Ag, Nurul Fauziah Gusmayanti S.Ag, Rino Ardiansyah S.Ag. dan Faris
Maulana Akbar S.Ag.
6. Sahabat seperjuangan saya di kosan “AT-TAQWA” yaitu Siti Chuzaemah
S.Ag, Aini Indah Dwi Chayani S.Ag, Siti Arimah dan Lintang Vertikasari
7. Seluruh teman-teman jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir 2013 Muhammad
Iqbal S.Ag, Nurul Ihya S,Ag, Yeni Yulianti S.Ag, Jauharotul Nabilah S.Ag,
Indra Gumilang, Fitria Wulandari, Nasrullah, Nuzulina Azka, Fildzah Nida
terima kasih atas doa kalian dan dukungan kalian yang semua nama-nama
tidak saya sebutkan satu persatu.
8. Teman-teman dari ISYFA alumni Daarul Muttaqien Yuniawati, Siti
Maesaroh, Tamara Audina, Lilis Ariska, Abdurrahman Saka, Reno
Ardianto, Siti Khusnul Khatimah trima kasih atas doa kalian dan dukungan
kalian yang semua nama-nama tidak saya sebutkan satu-satu.
9. Teman-teman dari ISTIQOMAH alumni Pesantren Sabilussalam Retsha
Ayu Setianingsih, Maya, Ida Mafrukha dan Desi Salma Aeni trima kasih atas
doa dan semangatnya.
10. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam
proses penyelesaian skripsi ini, namun luput untuk penulis sebutkan, tanpa
mengurangi rasa hormat dan terima kasih penulis.
Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini
masih terdapat kekurangan dan bahkan tidak menutup kemungkinan di dalamnya
skripsi ini terdapat kekeliruan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan sarannya untuk penulis yang lebih baik lagi kedepannya dan harapan
penulis semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi pembaca dan
semoga Allah Swt. selalu memberkahi dan membalas semua kebaikan pihak-pihak
yang turut serta membantu penyelesaian skripsi ini.
Âmîn yâ Rabb al-Âlamîn.
Ciputat, 31 Mei 2018
Dewi Aprilia Ningrum
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ vii
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat ...................................................................................... 6
D. Metodologi Penelitian ................................................................................... 7
1. Pendekatan .............................................................................................. 7
2. Jenis Penelitian ........................................................................................ 9
3. Sumber Data ............................................................................................ 9
4. Pengolahan Data ...................................................................................... 10
E. Kajian Pustaka ............................................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ................................................................................... 14
BAB II. METODE PENELITIAN: TAFSIR TEMATIK DAN TEORI
SEMIOTIKA CHARLES SANDERS PEIRCE ................................................... 15
A. Argumentasi Metodologi .............................................................................. 15
B. Metode Tematik (Mauḏû‘î) ........................................................................... 17
C. Semiotika Charles Sanders Peirce ................................................................. 18
1. Mengenal Semiotika ................................................................................ 18
2. Sekilas Biografi Charles Sanders Peirce ................................................. 21
v
3. Pemikiran Charles Sanders Peirce .......................................................... 24
4. Teori Semiotika Charles Sanders Peirce ................................................. 26
5. Semiotik Sebagai Metode Interpretasi ..................................................... 33
BAB III. KONSEP ‘ADUWW: DEFINISI, DIMENSI, KONTEKS DAN
PENAFSIRAN-PENAFSIRAN .............................................................................. 37
A. Term ‘Aduww: Derivasi dan Definisi ............................................................ 37
B. Sinonim Kata ‘Aduww .................................................................................. 41
C. Dimensi dan Agensi ‘Aduww Dalam al-Qur‟an ............................................ 44
D. Penafsiran Para Ulama ................................................................................... 56
1. Teks al-Qur‟an ........................................................................................ 58
2. Asbâb al-Nuzûl ........................................................................................ 59
3. Al-Ṯabarî ................................................................................................. 60
4. Sayyid al-Quṯb ......................................................................................... 65
5. Quraish Shihab ....................................................................................... 71
BAB IV. APLIKASI DIMENSI MAKNA ‘ADUWW DALAM SEMIOTIKA
CHARLES SANDERS PEIRCE ............................................................................ 77
A. Makna Generik (Firstness) ........................................................................... 78
1. Dimensi Makna Ayat (Mencari Makna Awal) QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2, QS.
Fussilat/ 41: 34, QS. al-Taghâbun/ 64: 14 ............................................... 78
2. Makna Konteks Awal dan Semiosis QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2, QS. Fussilat/
41: 34 QS. al-Taghâbun/ 64: 14 .............................................................. 83
vi
3. Analisa Perbandingan Redaksi Ayat dan Asbâb al-Nuzûl QS. al-Mâ‟idah/
5: 2, QS. al-Taubah/ 9: 83, dan QS. al-Taghâbun/ 64: 14 ....................... 86
B. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce Atas Penafsiran (Thirdness) .... 89
1. Proses Semiosis al-Ṯabarî ....................................................................... 89
2. Proses Semiosis Sayyid Quṯb .................................................................. 95
3. Proses Semiosis Quraish Shihab.............................................................101
C. Analisa Perbandingan Semiosis Antara Redaksi Ayat, Konteks Ayat, Tiga
Mufassir Dari QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2, QS. Fussilat/ 41: 34 dan QS. Al-
Taghâbun/ 64: 14 ........................................................................................ 105
D. Relevansi Makna ‘Aduww Sesama Manusia Menggunakan Semiotika Charles
Sanders Peirce ............................................................................................ 117
BAB V. PENUTUP ............................................................................................... 124
A. Kesimpulan ................................................................................................ 124
B. Saran ........................................................................................................... 125
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 126
LAMPIRAN .......................................................................................................... 129
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada buku
Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2013/ 2014.
A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksra Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D de د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
viii
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ؼ
q Ki ؽ
k Ka ؾ
l El ؿ
m Em ـ
n En ف
w We ك
h Ha ق
apostrof ‟ ء
Y Ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong). Untuk vokal tunggal, ketentuan
alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fathah ـ
I kasrah ـ
U dammah ـ
ix
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
يـ Ai a dan i
وـ Au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas ػػػػػػػػػػػاـ
Î i dengan topi di atas ػػػػػػػػي
Û u dengan topi di atas ػػػػػػػػػو
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf
(al), dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân bukan ad-diwân.
E. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda (ـ ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. akan tetapi, hal ini tidak berlaku
x
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata رورة tidak ditulis dengan ad-darûrah الض
melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
F. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh
3).
No Kata Arab Alih Akasara
tarîqah طريقة .1
اإلسالميةاجلامعة .2 al-jâmi‟ah al-islâmiyyah
wahdat al-wujûd وحدة الوجود .3
G. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ال (alif lam ma‘rifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya (اجلزيه)
al-jizyah, (االثار) al-âtsâr dan (الذمه) al-dzimmah. Kata sandang ini
menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.
2. Tasydîd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya al-
muwatta’.
xi
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis sesuai
dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur‟an, hadis dan lainnya.
H. Singkatan
Swt. = Subḥȃnahu wa-ta’âlâ
Saw. = Salla Allâh ‘alaih wa sallama
Ra. = Raḍiya Allȃh ‘anhu
QS. = al-Qur‟an Surat
HR. = Hadis Riwayat
M. = Masehi
H. = Hijriyah
h. = Halaman
b. = bin/ ibn
ed. = Editor
Cet. = Cetakan
T.tp. = Tanpa tempat penerbit
T.pn. = Tanpa penerbit
T.t. = Tanpa tahun
no. = Nomor
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semiotika didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs),
pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apa pun yang
memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau
sebagai sesuatu yang bermakna. Jika kita mengikuti Charles Sanders Peirce, maka
semiotika tidak lain dari pada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal
tentang tanda-tanda” (the formal doctrine of signs); sementara bagi Ferdinand de
Saussure, semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang
mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat” (a scince that studies the life
of signs within society).1
Dengan demikian, bagi Peirce semiotika adalah suatu cabang dari filsafat;
sedangkan bagi Saussure semiologi adalah bagian dari disiplin ilmu psikologi sosial.
Di dalam perkembangan selanjutnya semiotika telah banyak dipengaruhi oleh
strukturalisme dan pasca strukturalisme seperti, misalnya, antropologi struktural
Claude Levi-Strauss, neo-Marxisme Louis Althusser, “arkeologi” Micheal Foucault,
Neo-Freudianisme Jacques Lacan, serta gramatologi Jacques Derridda.2
Baik istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk
kepada ilmu tentang tanda-tanda (the science of signs) tanpa adanya perbedaan
1 Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas (Yogyakarta: Jalasutra,
2011), h. 2 2 Budiman, Semiotika Visual, h. 3.
2
pengertian yang terlalu tajam. Satu-satunya perbedaan di antara keduanya, menurut
Hawkes, adalah bahwa istilah semiologi lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi
tradisi linguistik Saussurean; sementara istilah semiotika cenderung dipakai oleh para
penutur Inggris atau mereka yang mewarisi tradisi Peircian.3 Semiotika pada dasarnya
dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry), yakni
sintaksis, semantik, dan pragmatik.4
Menurut Ali Imron, semiotika tidak hanya merupakan disiplin ilmu yang
mengkaji tentang tanda-tanda, yaitu tanda-tanda yang terdapat pada masyarakat.
Imron mengatakan bahwa al-Qur‟an dengan menggunakan bahasa sebagai media
merupakan lahan subur juga bagi semiotika, sehingga, al-Qur‟an dapat dikaji dengan
menggunakan semiotika, yang di dalamnya mengkaji tanda-tanda yang ada di dalam
al-Qur‟an, dengan menggunakan konvensi-konvensi yang ada di dalamnya.5
Tanda dalam al-Qur‟an tidak hanya bagian-bagian terkecil dari unsur-
unsurnya, seperti kalimat, kata atau huruf, tetapi totalitas struktur yang
menghubungkan masing-masing unsur termasuk dalam kategori tanda al-Qur‟an. Hal
ini menunjukkan bahwa seluruh wujud al-Qur‟an adalah serangkaian tanda-tanda
yang memiliki arti,6 sehingga teks al-Qur‟an merupakan sekumpulan tanda-tanda
bersistem yang mengandung pesan-pesan dari Tuhan untuk disampaikan pada
manusia.
3 Budiman, Budiman, Semiotika Visual, h. 3.
4 Budiman, Semiotika Visual, h. 4.
5 Imron mengutip pendapat dari buku yang dikarang oleh Nasr Hâmid Abû Zaid, yang
berjudul Al-Nass wa al-Sulṯah wa al-Haqîqah (Beirut: Al-Markaz al-Saqafî al-„Arabî, 2000) h.169;
Lihat Imron, Semiotika Al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf, h. 33. 6 Imron, Semiotika Al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf, h. 34.
3
Dalam al-Qur‟an terdapat kata (tanda) „aduww yang sering dimaknai pada
terjemahan al-Quran7 sebagai musuh.
8 Padahal hal ini merupakan pecahan pecahan
derivasi (musytaq) dari susunan kata yang terdiri dari huruf „ain, dâl, dan huruf
mu‟tal, kata ini menunjukkan makna melampaui sesuatu dan mendahuluinya untuk
mencari kepuasan.9
Menurut penulis kata ՛ aduww dapat diartikan musuh dilatarbelakangi
karena adanya seseorang atau kelompok yang melampaui batas atau melanggar aturan
yang telah dibuat dan disepakati. Hal ini dapat kita lihat dari permusuhan yang terjadi
pada tatanan sosial di mana ketika seseorang melanggar aturan atau norma
kemanusiaan maupun sosial. Orang tersebut akan dianggap sebagai seorang
pelanggar dan kebanyakan dari pelanggar ini akan dimusuhi oleh orang-orang yang
taat akan aturan atau norma yang berlaku.
Konflik agama yang terjadi antara Sunni dan Syi‟ah, kedua aliran ini
menanggapi perbedaan teologis tersebut sehingga sebagian dari mereka menyebabkan
adanya konflik yang terjadi antara kedua aliran agama Islam ini. Karena kedua belah
pihak yakin bahwa aturan yang mereka buatlah yang paling benar sehingga ketika ada
satu kelompok yang melanggar aturan yang mereka buat, dianggap sebagai musuh
7 Al-Quran Departemen Agama tahun 2012.
8 Berikut ini yang mengartikan „aduww sebagai musuh atau lawan, seperti QS. al-Baqarah/ 1:
168, 208, QS. Al-An‟âm/ 6: 142, QS. al-A„râf/ 7: 22, QS. al-Isrâ‟/ 17: 53, QS. al-Kahf/ 18: 50, QS.
Ṯâhâ/ 20: 117, QS. Fâṯir/ 35: 6, QS. Yâsîn/ 36: 60, QS. al-Zukhruf/ 39: 62, QS. al-Taghâbun/ 64: 14,
dsb. Lihat juga pada Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Surabaya;
Pustaka Progresif, 1997), h. 908. 9Aḥmad Ibn Faris, Mu‟jam Maqâyis al-Lughah, jil. 4 (T.tp.: Dâr al-Fikr, T.t.), h. 249.
4
karena kelompok yang melanggar aturan ini akan mengakibatkan ketidakharmonisan
dalam tatanan beragama.10
Contoh kasus lain adalah kasus suami bakar istri dan anak kandungnya.
Peristiwa sadis ini terjadi di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Binjai, Sumatera Utara,
Jumat dini hari (6/10/2017). Tersangka Surya Darma membakar istrinya Siti Maria
(54) dan putranya Ilhamsyah Suma (25) berawal dari sang suami merasa tidak
dihargai sebagai kepala keluarga.11
Dari kasus ini dapat kita lihat bahwa pertikaian
yang terjadi antara suami-istri serta anak ini, disebabkan oleh seorang istri yang
melanggar aturan atau norma keluarga, dimana dalam norma keluarga terdapat aturan
bahwa antara suami-istri juga anak mesti saling menghargai dan menghormati.
Begitupun sebaliknya sang suami juga telah berlebihan dalam bersikap dan bertindak,
sehingga timbullah pertikaian dalam keluarganya.
Dari pengertian „aduww di atas terdapat kontradiksi antara pengertian kata
“„aduww” yang biasa diterjemahkan di dalam al-Qur‟an sebagai “musuh” dengan
pengertian kata “„aduuw” yang terdapat pada kamus yang dimaknai “melampaui
batas”. Berdasarkan pertimbangan fenomena pemaknaan „aduww dan potensi
penggunaan analisa semiotika inilah penulis mengangkat tema kajian skripsi tentang
„aduww dengan menggunakan perspektif semiotika dengan judul “Semiotika
10
Febrinia Azizah, “Sekillas Tentang Konflik Syiah-Sunni Di Sampang, Madura”, artikel ini
diakses pada 26 Oktober 2017 dari http://www.christiansciencemonitor.org/2002/1205/p01s03-
wome.html 11
Tanjung Zailani, “Astaghfirullah, Suami Bakar Istri dan Anak Kandung”, artikel ini diakses
Sindonews, pada 26 Oktober 2017 dari https://daerah.sindonews.com/read/1246005/191/astagfirullah-
suami-bakar-istri-dan-anak-kandung-1507280461
5
‘Aduww Sesama Manusia Dalam al-Qur’an: Perspektif Charles Sanders
Peirce”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pada kata „aduww dan derivasinya yang telah dikelompokkan berdasarkan
agensinya yaitu, Allah dan Makhluk-Nya (Mukmin, Yahudi, Kafir, dll), antar
manusia, setan, hewan, waktu, tempat. Akan tetapi penulis membatasinya dengan
memfokuskan pada agensi „aduww antar manusia yang klasifikasinya meliputi:
hubungan orang mukmin dan orang kafir, pencegahan akan munculnya permusuhan
dalam al-Qur‟an, Syariat dalam permusuhan, ketetapan akan adanya permusuhan di
dunia, permusuhan internal Yahudi sebagai balasannya dalam memusuhi Allah Swt
dan kisah permusuhan para Nabi Saw.
Namun pada agensi antar manusia, penulis menentukan pada antar manusia
yang klasifikasinya meliputi pencegahan akan munculnya permusuhan dalam al-
Qur‟an yang terdiri dari enam golongan makna yaitu, larangan membalaskan dendam
dengan didasari oleh kebencian seperti di QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2, dianjurkan hidup
rukun dan damai berdampingan dengan orang non-muslim seperti dalam QS.
Mumtahanah/ 60: 7, jangan memancing permusuhan dengan menghina orang muslim
seperti dalam QS. al-An„âm/ 6: 108, membalas permusuhan dengan kebaikan seperti
dalam QS. Fussilat/ 41: 34, mensyukuri persaudaraan dan persatuan setelah hilangnya
permusuhan seperti dalam QS. Âli „Imrân/ 3: 103, dan memaafkan seperti dalam QS.
al-Taghâbun/ 64: 14. Akan tetapi dalam proses analisis semiotika Charles Sanders
Peirce penulis menggunakan tiga golongan makna pada agensi antar manusia yaitu,
larangan membalaskan dendam dengan didasari oleh kebencian seperti di QS. al-
6
Mâ‟idah/ 5: 2, membalas permusuhan dengan kebaikan seperti dalam QS. Fussilat/
41: 34, dan memaafkan, seperti dalam QS. al-Taghâbun/ 64: 14.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam
skripsi ini adalah: Bagaimana makna „Aduuw sesama manusia dalam al-Qur‟an
dengan perspektif Semiotika Charles Sanders Peirce?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk menggali dan mengetahui pandangan al-Qur‟an tentang kata „aduww
dalam al-Qur‟an.
b. Untuk mengaplikasikan metode semiotika Charles Sanders Peirce terhadap
kata „aduww di berbagai ayat dalam al-Qur‟an.
Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu secara akademis dan praktis.
Manfaat secara akademis adalah untuk melengkapi penelitian sebelumnya
mengenai kajian semiotika al-Qur‟an, khususnya skripsi karya Aan Nurjanah
yang berjudul Musuh („aduww) dalam Perspektif al-Qur‟an (Studi Kitab Tafsir
Fî Zilâl al-Qur‟ân), penelitian ini berfokus pada kajian „aduww penafsiran al-
Qur‟an oleh Sayyid Quthb. Manfaat secara praktis adalah sebagai rujukan
alternatife dan bahan bacaan dalam mendukung mata kuliah Pendekatan Modern
terhadap al-Qur‟an dan Kajian Barat terhadap al-Qur‟an.
7
D. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif 12
dan analitis13
. Pertama,
penulis menggunakan metode deskriptif analisis untuk memaparkan data dari kata
„aduww secara kategori berdasarkan langkah tafsir14
maudû„î.15
Seperti yang kita
ketahui terdapat banyak metode maudû„î,16
namun dalam skripsi ini penulis
meminjam metode Salâh Abd al-Fatâh al-Khulidî untuk melihat konsep „aduww
dalam al-Qur‟an.
Adapun analitis dengan perspektif semiotika Charles Sanders Peirce untuk
mengkonstruksi makna „aduww di dalam al-Qur‟an, yang mana Peirce membagi
12
Metode deskriptif adalah menguraikan secara teratur seluruh konsep yang akan dikaji. Anton
Bakker dan achmad Chairis Zubair, Metode Penulisan Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h.65. 13
Metode Analitis adalah metode yang digunakan untuk pemeriksaan secara konseptual atas
data-data yang ada, kemudian mengklarifikasi sesuai permasalahan, dengan maksud untuk
memperoleh atas data yang sebenarnya. Lois O Katsoff, Pengantar Filsafat, Penerjemah Suyono
Sumargono (Yogyakarta: T.pn., 1992), h.70. 14
Menurut Hayyân dalam Bahr al-Muhîṯ berkata: Ilmu Tafsir adalah suatu ilmu yang
membahas di dalamnya cara menuturkan (membunyikan) lafad-lafad al-Qur‟an, madlûl-madlûlnya
baik mengenai kata tunggal maupun mengenai kata-kata tarkîb dan makna-maknanya dan
dipertanggungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi yang demikian seperti
mengetahui naskh, sebab nuzûl, kisah yang menyatakan apa yang tidak terang (mubham) di dalam al-
Qur‟an dan lain-lain yang mempunyai hubungan rapat denganya.” Lihat Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Ilmu al-Quran dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h.159. 15
Menurut Baqîr al-Sadr istilah mauḏû‟î memiliki tiga makna: Pertama, bermakna
“objektivitas” lawan kata dari “subjektifitas”. Mauḏû‟î dalam makna ini menunjukkan sikap berpegang
teguh pada ketentuan-ketentuan ilmiah yang berlandaskan kepada realitas peristiwa dalam membahas
setiap perkara dan kejadian yang sama, tanpa terpengaruh sedikitpun dengan perasaan dan pendirian
peribadinya dan tidak memihak dalam menentukan hukum-hukum serta hasil-hasil yang diperoleh dari
pembahasanya. Kedua, istilah mauḏû‟î memiliki makna memulai pembahasan dari tema realitas sosial
kemudian didialogkan dengan ayat-ayat al-Qur‟an sehingga ditemukan jawaban yang tepat dari realitas
tersebut. Ketiga, istilah mauḏû‟î dimaksudkan untuk segala sesuatu yang dinisbatkan kepada suatu
tema, saat seorang mufassir memilih tema tertentu, kemudian mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang
berkaitan dengan tema tersebut dan menafsirkannya, serta menyimpulkan pandangan al-Qur‟an dari
ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut. Lihat Lilik Umi Kaltsum, “Metode Tafsir Mauḏû‟î
Bâqir al-Sadr”, (Disertasi S3 Bidang Ilmu Agama Islam, Universitas islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 98-99. 16
Karena menurut Dr. Salâh „Abd al-Fatâh al-Khulidî tafsir maudhû„î terbagi menjadi tiga
macam: tafsîr mauḏû„î li al-sûrah al-Qur‟ân, tafsîr mauḏû„î li al-musṯalah al-Qur‟ân, tafsîr mauḏû‟î li
mauḏû„î al-Qur‟ân. Lihat Dr. Salâh Abd al-Fatâh al-Khulidî, Tafsîr Mauḏû„î (T.tp.: Dâr Al-Nafâisy,
T.t.), h. 52.
8
proses pemahaman tanda pada tiga metode yaitu firstness (kepertamaan) merupakan
relasi antar elemen tanda yang bersifat subyektf (berdasarkan pengalaman pribadi)
yang fokus kajiannya adalah agensi. Sementara secondness (kekeduaan) adalah relasi
antar elemen tanda yang bersifat material (terindra) yang fokus kajiannya adalah
obyek, dan thirdness (keketigaan) adalah relasi antar tanda yang bersifat maknawi
(interpretasi) fokus kajiannya pada teks.
Kepertamaan (firstness), kekeduaan (secondness), keketigaan (thirdness).
Model metode pertama terdiri dari qualisign untuk firstness, signsin untuk
Secondness, dan legisign untuk thirdness. Dalam model metode kedua firstness
menghubungkan pada ikon, secondness pada indeks, dan thirdness pada simbol.
Terakhir dalam metode ketiga firstness menghubungkan rheme, secondness pada
decisign, dan thirdness pada argument.
Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode firstness
(kepertamaan) untuk melihat redaksi dan konteks ayat-ayat „aduww itu sendiri, dan
thridness (keketigaan) menelaah penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat „aduww
dalam al-Qur‟an. Selain itu, menurut hemat penulis teori semiotika Charles Sanders
Peirce yang di dalamnya terdapat proses semiosis akan mampu membantu penulis
untuk mendapatkan pemaknaan ataupun interpretasi atas penafsiran para mufassir
tentang ayat-ayat „aduww. Teori semiotika Charles Sanders Peirce yang berlandaskan
dengan logika dan pragmatisme mampu membantu penulis untuk mendudukan
pemikiran para mufassir tentang „aduww.
9
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian jenis kualitatif yang menggunakan data-
data kepustakaan (library research),17
karena yang menjadi objek utama dalam
penelitian ini adalah penafsiran atas teks al-Qur‟an. Penulis akan menggunakan teori
semiotika Charles Sanders Peirce dalam menganalisis konsep „aduww dalam al-
Qur‟an, artinya konsentrasi penelitian ini adalah untuk mendapatkan dan mengelola
data-data pustaka, baik berbentuk buku, jurnal, maupun artikel yang berhubungan
dengan teori semiotika Charles Sander Peirce yang nantinya akan digunakan dalam
melihat fungsi kata „aduww yang terdapat di dalam al-Qur‟an tersebut.
3. Sumber Data
a. Sumber Primer
Data yang dijadikan sumber primer sebagai berikut: al-Qur‟an18
, kutub tafsîr
mauḏû‟î, dan menggunakan tafsir-tafsir yang mendukung interpretasi pada konsep
„aduww antara lain: Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân karya al-Ṯabarî, Tafsîr fî
Ẕilâl al-Qur‟ân karya Sayyid Quṯb, Tafsîr Al-Misbâh karya Quraish Shihab.
b. Sumber Sekunder
Sementara data sekunder yang digunakan adalah kamus-kamus Arab seperti:
Lisân al-„Arab lî Ibn Manẕûr, Mu„jam Maqâyis al-Lughah, Munawwir, Mufradât
Alfâz al-Qur‟ân, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfâz al-Qur‟ân al-Karîm. dan Furuq al-
17
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 1989), h. 16. Bahan atau
sumber tertulis yang dapat digunakan dalam penelitian yaitu manuskrip, buku, majalah, surat kabar,
dan dokumen lainya. Lihat, Abuddin Nta, Metodologi Studi Islam ( Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003),
Cet. 8, h. 125. 18
Al-Qur‟an Dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Direktorat Urusan Agama Islam Dan Pembinaan Syariah, 2012.
10
Lughawiyyah dan buku-buku tafsir mauḏû„î secara umum, tafsir-tafsir, jurnal, serta
artikel yang berkaitan dengan „aduww, dan buku-buku semiotika secara umum
diantaranya buku-buku mengenai semiotika Charles Sanders Peirce seperti Semiotika
al-Quran, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, Semiotika Visual,
Semiotika Untuk Kajian Sastra dan al-Quran, Semiotika Budaya, Semiotika dan
Dinamika Sosial Budaya, The Soul Of Classical American Philosophy dan lain-lain
serta esai-esai Charles Sander Peirce.
Untuk panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada “Pedoman Penulisan
Skripsi”19
dalam buku Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2013/ 2014 Program Strata 1.
4. Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, data-data yang didapat dan terkumpul akan diolah
dengan cara deskriptif-analitis.
Deskripsi, yaitu mengumpulkan kata „aduww dalam al-Qur‟an dan
derivasinya dengan menggunakan kamus-kamus bahasa Arab dan menggunakan
langkah tafsîr mauḏû„î untuk membantu klasifikasi ayat berdasarkan tema yang
terkait dan mengambil perwakilan dari ayat.
Analisis, yaitu melakukan analisis data-data yang diperoleh dengan
menggunakan dua tahap yang dianalisis menggunakan teori semiotika Charles Sander
Peirce. Yang pertama penulis menganalisis malalui tahap firstness untuk mengetahui
19
Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, dalam Tim Penyusun, Pedoman Akadmik
Program Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2014 ( Ciputat:
Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta), h. 361-394.
11
makna generik dari redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl yang fokus kajian nya pada
agensi. Dan tahap kedua melalui thirdness adalah relasi antar tanda yang bersifat
maknawi (interpretasi) fokus kajiannya pada teks pada penafsiran-penafsiran.
Pada penelitian ini penulis tidak menggunakan Kekeduaan (secondeness),
karena objek kajian pada penelitian ini tidak berupa sesuatu yang terindra (abstrak)
seperti gambar patung atau simbol lainya.
E. Kajian Pustaka
Kajian tentang konsep „aduww dalam al-Qur‟an telah banyak dilakukan dalam
setiap karya tafsir seperti, dalam pemaknaan kata „aduww atau musuh di dalam al-
Qur‟an sudah pernah banyak dibahas oleh beberapa kitab tafsir diantaranya Jâmi„ al-
Bayân fî Tafsîr al-Qur‟ân, Mafâtih al-Ghaib, Rûh al-Ma„ânî, Tafsîr fî Zilâl al-
Qur‟ân, al-Misbâh dan sebagainya.
Adapun skripsi yang telah membahas kata „aduww atau musuh di dalam al-
Qur‟an adalah karya Aan Nurjanah yang berjudul Musuh („aduww) dalam Perspektif
al-Qur‟an (Studi Kitab Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân).20
Di dalam tulisannya penulis
meneliti tentang konsep musuh menurut Sayyid Qutub dalam kitab Tafsir Fî Zilâl
Qur‟ân dan cara menghadapinya. Skripsi selanjutnya ditulis oleh Muhyi Wijaya
Kusuma Atmaja yang skripsi tersebut berjudul Konflik Yahudi Dan Nasrani
Terhadap Umat Islam Kajian Surah al-Baqarah: 120 Menurut Tafsir Fî Zilal al-
Qur‟an. Di dalam tulisannya ini, penulis meneliti mengenai cara mensikapi umat
20
Aan Nurjanah, Musuh ( „Aduww ) dalam Perspektif al-Qur‟an ( Studi Kitab Tafsir Fi Zilal al-
Qur‟an), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2016)
12
Yahudi dan Nasrani yang menggunakan penafsiran Sayyid Qutub terhadap surat al-
Baqarah ayat 120.21
Penulis juga menemukan karya tulis ilmiah berupa skripsi S1 mengenai
semiotika al-Qur‟an maupun umum. Pertama oleh Lexi Zulkarnaen Hikmah yang
berjudul Hadits Tentang Keutamaan Ibu Suatu Tinjauan Dan Analisis Semiotik
Charles S. Peirce. Di dalam skripsinya membahas pemahaman hadits keutamaan ibu
dengan menggunakan teori semiotik Charles S. Peirce.22
Selain skripsi S1 yang
membahas semiotika al-Qur‟an yang menggunakan metode Charles Sanders Peirce
ini, juga ditemukan penelitian semiotika Charles pada skripsi S1 dari fakultas lain,
diantaranya fakultas Dakwah dan Komunikasi yang penelitiannya berjudul “Semiotik
Peircean: Buku Gusdur Menjawab Perubahan Zaman” yang ditulis oleh Mukhtar
Fauzi, di dalamnya membahas bagaimana struktur sistem tanda pada bagian ketiga
buku tersebut mengemas tema kepemimpinan moral spiritual secara representasi yang
melingkupi ide dan objek.23
Penelitian semiotika Charles Sanders Peirce ini juga ditemukan dalam
beberapa jurnal ilmiah. Di antaranya yang berjudul “Representasi Diri Ibu di Televisi
Analisis Semiotika Peirce dalam Program Talk Show Indonesia Lawyers Club TV
One)” yang ditulis oleh Maruli Bonardo Tua, “Kigo Pada Haiku Kobayashi Issa
21
Muhyi Wijaya Kusuma Atmaja, Konflik Yahudi Dan Nasrani Terhadap Umat Islam Kajian
Surah al-Baqarah: 120 Menurut Tafsir Fi Zilalil al-Qur‟an, “ (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009) 22
Lexi Zulkarnaen Hikmah, Hadits Tentang Keutamaan Ibu Suatu Tinjauan Dan Analisis
Semiotik Charles S. Peirce. ,” (Jakarta Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2008) 23
Mukhtar Fauzi, Semiotika Peircean: Buku Gusdur Menjawab Perubahan Zaman ( Skripsi S1
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011)
13
Dalam Perspektif Semiotika Charles Sanders Peirce” yang ditulis oleh Dian
Setyowati, Endang Poerbowi, D. Jupriono, “Representasi Citra laki-laki Budaya
Sunda ( Studi Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce Dalam Sinetron Preman
Pensiun)” yang ditulis oleh Nanda Utaridah, “Representasi Pakaian Muslimah Dalam
Iklan (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce pada Iklan Kosmetik Wardah di
Tabloit Nova)” oleh Mutri Candra Dewi, dan yang terakhir jurnal ilmiah yang
berjudul “Analisis Lirik Lagu „Sebuah Pengakuan‟ Karya Abu Nawas: Kajian
Semiotika Charles Sanders Peirce” oleh Muzawwir.
Sarjana lain yang melakukan hal serupa adalah dengan melakukan penelitian
mengenai Semiotik Charles S Peirce adalah Dosen Fakultas Ushuluddin yaitu Fariz
Pari yang dituangkan dalam tesisnya yang berjudul “Epistemologi Semiotik Peirce:
Kajian dan Terapan Semiotik”.24
Karya ini menjelaskan teori semiotik Peirce dan
Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari beberapa karya yang disinggung di atas, penulis berasumsi bahwa
pembahasan semiotika Charles Sanders Peirce kata „aduww dan kata „aduww antar
manusia sendiri masih belum diteliti. Yang mana pada proses semiotika Charles
Sanders Peirce menggunakan dua tahapan yaitu firstness merupakan relasi antar
elemen tanda yang bersifat subyektif (berdasarkan pengalaman pribadi) yang fokus
kajiannya adalah agensi. dan thridness adalah relasi antar tanda yang bersifat
maknawi (interpretasi) fokus kajiannya pada teks. Dan dengan mudah mengetahui
fungsi konsep „aduww dalam al-Quranmelalui teori “pragmatisme”. Charles Sanders
Peirce.
24
Fariz Pari, Epistimologi Semiotik (Jabaru:Kopi Center, 2012), h. 1
14
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, menyeluruh, dan terpadu,
disusunlah sistematika pembahasan sebagaimana berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang membahas tentang latar belakang
masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas alasan mengemukakan metode, pengertian, langkah-
langkah penafsiran, aplikasi metode tematik tersebut serta mengemukakan metode
analisa semiotika Charles S. Peirce mulai dari riwayat hidup, pemikiran, pengertian
semiotika secara umum, bentuk semiotika Charles S. Peirce dan kemudian aplikasi
semiotika Charles S. Peirce.
Bab tiga, membahas kata „aduww secara bahasa dan terminologis,
penggunaan-penggunaan kata „aduww di dalam al-Qur‟an, dimensi makna „aduww
dalam al-Qur‟an serta menampilkan penafsiran-penafsiran al-Ṯabarî, Sayyid Quṯb dan
al-Misbâh.
Bab empat, menganalisis semiotika demensi makna „aduww antara manusia
dalam al-Qur‟an.
Bab lima, adalah penutup dan kesimpulan. Bab ini menjawab rumusan
masalah penelitian ini dan memberikan rekomendasi serta saran untuk penelitian
lebih lanjut.
15
BAB II
METODE PENELITIAN: TAFSIR TEMATIK DAN TEORI SEMIOTIK
CHARLES S. PIERCE
A. Argumentasi Metodologi
Untuk memahami ayat-ayat tentang kata „aduww, penulis menggunakan dua
metode. Pertama penulis menggunakan metode tafsir tematik (maudû‟î) dan kedua
analisis menggunakan semiotika Charles Sanders Peirce. Secara etimologi maudû‟î
berasal dari bahasa Arab artinya masalah atau pokok pembicaraan. Dalam kamus
bahasa Arab maudû‟î berarti materi yang menjadi pokok pembicaraan atau
penulisan seseorang.1 Kata tersebut dapat juga berarti membahas tentang tema atau
topik tertentu.
Sedangkan secara terminologis metode tematik (maudû‟î) adalah metode
yang mengarahkan pandangan pada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-
Qur‟an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang
membicarakanya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat dan lain-lain.
Sambil memperkaya uraian dengan hadis-hadis yang berkaitan untuk kemudian
disimpulkan dalam satu pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang
dibahas.2
Kedua, metode semiotika adalah metode sistematis produksi ataupun
interpretasi tanda, cara kerja, dan manfaatnya dalam kehidupan manusia. Karena
1 Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyah, al- Mu„jam al-Wasîṯ (Kairo: Dâr al-Ma„arif, 1980), h.
1041. 2 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
Dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur‟an (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 385.
16
kehidupan manusia sangat dipenuhi oleh tanda, dengan perantara tanda-tanda
proses kehidupan yang lebih efisien. Banyak ilmuan yang membahas teori
semiotika ini di antaranya Ferdinand de Saussure, Umberto Eco, Roland Barthes
dan Charles Sanders Peirce dan lain-lain. Dari semua ilmuan tersebut, penulis
hanya menggunakan teori Charles Sanders Peirce dalam penelitian ini.
Adapun alasan penulis memilih teori Charles Sanders Peirce karena berbeda
dengan teori semiotika yang lainnya, Peirce membagi proses pemahaman tanda ke
dalam tiga bagian model pemahaman. Pemahaman pertama di mana subjek
memberi makna atau tanda, pemahaman kedua di mana subjek memberi makna
rasional atas tanda fisik, dan pemahaman ketiga dalam subjek menafsirkan tanda
untuk mencari kebenaran. Peirce membagi tanda dalam tiga tingkatan: kepertamaan
(firstness), kekeduaan (secondness), dan keketigaan (thirdness). Pada model
kepertamaan atau firstness terdiri dari qualisign, sinsign, dan legisign. Dan model
kekeduaan, ikon, indeks, simbol. Terakhir, dalam model keketigaan terdiri dari
rheme, dicent, dan argument.
Pada kajian ini, penulis hanya menggunakan dua model analisis semiotika
Charles Sanders Peirce yaitu kepertamaan (firstness) yaitu qualisign, sinsign,
legisign. Dan keketigaan (thirdness) yang terdiri dari rheme, dicent, dan argument.
Ini yang membuat penulis menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce
untuk menganalisis tanda „aduww dalam al-Qur‟an.
Mengapa metode maudû‟î dan Semiotika Charles Sanders Peirce ini dipakai
dalam memahami secara menyeluruh konsep „aduww. Pertama, untuk
mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan „aduww dan derivasinya
17
menggunakan metode tematik (maudû‟î). Dengan menggunakan metode maudû‟î
penulis mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai konsep „aduww
dalam al-Qur‟an. Kedua, untuk mengetahui ayat-ayat yang membahas secara
implisit mengenai kata „aduww, sehingga masuklah metode analisis semiotika
sebagai ilmu yang mengkaji tanda-tanda yang ada dalam al-Qur‟an. Ada dua alasan
mengapa metode semiotika ini digunakan. Pertama, untuk menerapkan teori
semiotika dalam al-Qur‟an, mengetahui makna „aduww dalam al-Qur‟an, dan
menghidupkan tanda dari makna „aduww pada masa sekarang dibantu dengan
penafsiran.
B. Metode Tematik (Maudû‘î)
Untuk menghimpun seluruh ayat- ayat „aduww dalam al-Qur‟an, penulis
menguraikan langkah operasional yang telah diuraikan oleh Salâh „Abd al-Fatâh
al-Khulidî mengenai tafsîr maudû„î li al-mustâlah al-Qur‟ân, ada empat langkah:
Pertama menelusuri potensi makna dalam kamus serta memperhatikan penggunaan
bahasanya, penelusuran ini memperhatikan makna dari kata tersebut dengan
merujuk kembali kepada kamus-kamus bahasa Arab al-Qur‟an, seperti Lisân al-
„Arab Lî Ibn Manzûr,3 Mu„jam Maqâyis al-Lughâh,
4 Munawwir, Mufradât Alfâz al-
3 Kamus ini ditulis oleh Ibn Manẕûr yang nama lengkapnya ialah Abu al-Faḏl Jamâl al-Dîn
Muhammad ibn Mukram ibn Manẕûr al-Arifqî al-Misrî. Ulama leksikografis ini wafat pada tahun
711 H. Ibn Manẕûr dalam Lisân al-„Arab ini telah meringkas leksem-leksem yang sekiranya penting
untuk diringkas dari kamus-kamus yang sering digunakan di masanya. Kamus-kamus yang telah
diringkas oleh Ibn Manẕûr ini meliputi kamus Tahdzîb al-Lughah yang ditulis al-Jauharî, al-
Jamharah yang ditulis Ibn Darid dan al-Nihâyah yang ditulis oleh Ibn al-„Aṯir. Lihat al-Khulidî,
Tafsîr Mauḏû„î, h. 63. 4 Kamus ini ditulis oleh Abû al-Husain ibn Fâris ibn Zakariyâ yang wafat tahun 395 H.
„Abd Salâm Harun dengan penuh kegigihan telah berusaha menyunting kitab ini dan diterbitkan
dalam enam jilid tebal. Lihat al-Khulidî, Tafsîr Mauḏû„î, h. 63.
18
Qurân,5 dan kamus dan Furuq al-lughawiyyah, kedua, menjabarkan derivasinya
dengan menggunakan kamus Mu‟jam al-Mufahras Li Alfâz al-Qur‟ân al-Karîm6
ketiga, menjelaskan maknanya melalui signifikasi konteks dalam al-Qur‟an, dan
keempat, mengeluarkan esensi/hakikatnya. Kemudian ayat yang sudah terhimpun
melalui proses maudû‟î akan dipilah berdasarkan tema dan kemudian dianalisis
menggunakan metode Semiotika Charles Sanders Peirce.
C. Semiotika Charles Sanders Peirce
1. Mengenal Semiotika
Mungkin sejak manusia pertama hidup di bumi, ketika itu pula manusia
mampu melakukan komunikasi. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh
komunikasi. Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan
komunikasi dengan sesamanya.7 Menurut Berger tanda-tanda adalah sesuatu yang
berdiri pada sesuatu yang lain atau menambahkan dimensi yang berbeda pada
sesuatu, dengan memakai segala apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan
sesuatu lainnnya.8
Sebetulnya gagasan mengenai pemikiran manusia dan fungsi komunikasi
dengan memahami tanda-tanda berlangsung lama dalam tradisi Barat. Seorang
5 Kamus ini ditulis oleh ar-Râghib al-Asfahânî yang nama lengkapnya ialah al-Husain ibn
Muhammad ibn al-Mufaḏḏal dan beliau wafat Kisaran tahun 425 H. Edisi cetakan yang paling bagus
ialah sepeti yang diterbitkan oleh Dâr al-Qalam yang disunting secara baik pula oleh Safwân Dawri;
Lihat al-Khulidî, Tafsîr Maudû„î, h. 63. 6 Kamus ini ditulis oleh Muhammad Fu‟âd „Abd al-Bâqî. Kamus ini merupakan kamus
yang paling terkenal dan paling banyak digunakan. Selain itu, kamus ini sangat praktis dan secara
susunan terbilang sangat bagus. Lihat al-Khulidî, Tafsîr Mauḏû„î, h. 64. 7
Alex Sobur, Semitika Komnikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 15.
8 Arthur Asa Berger, Tanda-Tanda Dalam Kebudayan Kontemporer, Penerjemah: M. Dwi
Marianto dan Sunarto (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), h. 1.
19
tokoh Sofis, Prodicus, mendasari pengajarannya bahwa pemilihan kata-kata yang
tepat sangat penting bagi efektifnya sebuah komunikasi.
Semiologi dan semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni
logika, retorika, dan poetika. Akar namanya sendiri adalah semeion tampaknya
diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya
terhadap simptomatologi dan diagnostik iferensial.9
Semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the
study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem
apapun yang memungkinkan seseorang memandang entitas-entitas tertentu sebagai
tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna.
Semiotika merupakan cabang keilmuan modern yang mengkaji sistem
tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, semiotika berarti studi sistematis
mengenai produksi ataupun interpretasi tanda, cara kerja, dan manfaatnya dalam
kehidupan manusia. Kehidupan manusia sangat dipenuhi oleh tanda, dengan
perantara tanda-tanda proses kehidupan lebih efesien.10
Ahmad Muzakki dalam bukunya yang berjudul ”Kontribusi Semiotika
dalam Memahami Bahasa Agama” yang mengungkapkan bahwa semiotika juga
sebuah model ilmu pengetahuan sosial dalam memahami dunia sebagai sistem
hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan “ tanda”.11 Menurut
pengertiannya, semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani yang berarti
9 Kurniawan, Semiollogi Roland Barthes (Magelang: Indonesia Tera, 2001), h. 49.
10 Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas Bambu, 2008),
h. 5. 11
Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika Dalam Memahami Bahasa Agama (Malang:
UIN-Malang Press, 2007), h. 9.
20
penafsiran tanda. Ada juga yang mengatakan semiotika berasal dari kata semeion,
yang berarti tanda. Oleh sebab itu beberapa ilmuan sering menyebut semiotika ini
sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial dan kebudayaan merupakan sekumpulan tanda-tanda, sehingga
dalam hal ini semiotika dianggap ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-
aturan atau konvensi yang memungkinkan suatu tanda memiliki arti.
Pemikiran tentang tanda sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman Yunani.
Para ahli filsafat Yunani sekali-kali sudah memikirkan fungsi tanda. Selain itu,
pada masa filsafat Yunani Abad pertengahan pengertian serta penggunaan tanda
juga telah disinggung. Istilah semiotika sendiri baru digunakan pada abad ke-18
oleh Lambert (seorang filsuf dari Jerman) sebagai sinonim kata logika, dan orang
baru memikirkan secara sistematis tentang penggunaan tanda dan ramai-ramai
membahasnya pada abad ke-20. 12
Berdasarkan perkembangan sejak zaman Yunani sampai zaman Modern,
kelahiran semiotika modern tidak dapat dilepaskan dari dua tokoh yang sering
disebut sebagai bapak semiotika modern, yaitu: Ferdinand de Saussure (1857-1913)
dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Akan tetapi kedua tokoh ini tidak saling
mengenal dan masing-masing mengembangkan teori semiotika di daerah yang
berbeda. Saussure mengembangkan teori semiotika di Prancis, sedangkan Peirce di
Amerika. Kedua tokoh ini pun memiliki perbedaan-perbedaan terutama dalam
penerapan konsep. Perbedaan ini disebabkan karena latar belakang yang berbeda.
12
Ali Imron, Semiotika al-Qur‟an, h. 10.
21
Saussure adalah seorang ahli bahasa dan menjadi cikal bakal linguistik umum,
sementara itu Pierce adalah seorang ahli filsafat dan logika.13
2. Sekilas Biografi Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Peirce lahir dari keluarga intelektual pada tanggal 10
September 1839 di Cambridge. Dia dikenal sebagai filusuf Amerika, ahli
matematika, ahli logika dan pendiri semiotika modern.14
Peirce adalah anak dari
Benjamin Peirce, seorang profesor matematika dan astronomi yang berlian di
Harvard, dan Sarah Mills, anak dari senator Elijah Hunt Mills. Peirce adalah anak
kelima dari lima bersaudara, dan empat saudaranya sangat berbakat. Salah satu nya
adalah James Mills Peirce, kakaknya, yang mengikuti jejak ayahnya menjadi
professor matimatika di Harvard. Saudaranya yang lain, Herbert Henry Davis
Peirce mengukir karir terhormat di Foreign Service, sedangkan adiknya yang
terkecil Benjamin Mills Peirce, menunjukkan bakatnya menjadi seorang insinyur,
akan tetapi ia meninggal saat masih muda. Bakat yang dimiliki Peirce bersaudara,
terutama Charles, merupakan bagian kemampuan intelektual yang luar biasa yang
dipengaruhi oleh kemampuan ayah mereka.15
Charles Peirce mewarisi dari ayahnya bukan hanya kecerdasan dan
kecakapan belajar yang luar biasa, tapi juga atas kemampuan menguasai ilmu
matematika dan tatanan keilmuan lainya. Penghormatan religius untuk matematika
13
Ali Imron, Semiotika Al-Qur‟an, h. 11. 14
Jorgen Dines Johansen and Svend Erik Larsen, Signs in Use an Introduction to Semiotics
(New York: The Taylor dan Francise- Library, 2005), h.227. 15
Lexi Zulkarnaen Hikmah, “Hadis Tentang Keutamaan Ibu: Suatu tinjauan dan Analisis
Semiotik Charles S. Peirce”, ( Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2008), h. 15-16.
22
dan tatanan keilmuan lainya. Ini dibuktikan dengan menerima gelar secara berturut-
turut dengan gelar B.A., M.A., dan B.Sc. pada tahun 1859, 1862, dan 1863 dari
Universitas Harvard. Selama lebih dari tiga puluh tahun, yaitu antara 1858-1860
dan tahun 1861-1891, Peirce banyak melakukan tugas astronomi dan geodesi untuk
Survei Pantai Amerika Serikat (United States Coast Survey). Dari tahun 1879
sampai tahun 1884, ia menjadi dosen paruh waktu dalam bidang logika di
Universitas Johns Hopkins.16
Peirce adalah seorang filusuf Amerika yang paling orisinal dan
multidimensional. Namun, sikapnya yang temperamental karena penyakit syaraf
yang dialaminya membuatnya dipukuli oleh para koleganya. Penyakit dan
medikasinya berkontribusi pada ketidakmampuannya dan tidak beradab, yang
membuat ia dikeluarkan sebagai dosen dari Universitas Johns Hopkins. Sebab
penyakitnya itu juga Peirce tampaknya memiliki kemampuan untuk menghina
orang dan pada umumnya tidak menyenangkan. Selanjutnya, dia menceraikan
istrinya yang bernama Harriet Melusina Fay, yang seorang feminis dan kemudian
menikahi wanita yang dianggap berselingkuh dengannya yang bernama Juliette
Pourtalai.
Pada abad ke sembilan belas, ini tidak hanya tidak bisa diterima, tapi
tampaknya tak termaafkan. Kekurangan pribadi Peirce termasuk ketidakmampuan
menangani uang, Karena menghabiskan sumber dayanya dengan nekat dan selalu
16
Wildan Taufiq, Semiotika: Untuk Kajian Sastra dan al-Qur‟an ( Bandung: Yrama
Widya, 2016), h. 28.
23
berharap bahwa dia punya ide menghasilkan uang di tikungan berikutnya.
Akibatnya, di masa tuanya ia mendapati dirinya jatuh miskin.17
William James adalah orang yang pertama kali menyelamatkanya dari
kemiskinan dan kelaparan bersama istri keduanya itu. James adalah seorang sahabat
bagi Peirce, sampai bertahun-tahun lamanya dia kembali mencerminkan kembali
kehidupan dan pendidikannya, dan merawat istri keduanya melalui
ketidakmampuan dan kemiskinan, dan ia juga mengabdikan dirinya pada karya
filosofis. Sehingga Peirce mendapat posisi sebagai salah satu filusuf penting dalam
sejarah filsafat, meskipun ia tidak dapat memperoleh posisi permanen di
Universitas sebagai profesor. Hari ini, ia dikenal di seluruh dunia dan belajar untuk
kontribusinya terhadap logika, epistemologi, filsafat sains, dan semiotika atau teori
tanda-tanda. Tidak hanya itu, Peirce menonjol sebagai ayah pragmatisme yang
diakui. Dia juga mengembangkan sistem metafisika, teologi, dan etika yang kaya
dan terpadu.18
Peirce meninggal pada tanggal 19 April 1914 di Milford, Pensylvania pada
umur 75 tahun. Tulisan-tulisanya dikenal secara luas dari tahun 1857 hingga dekat
dengan kematianya, sebuah periode yang lamanya kurang lebih 57 tahun. Tulisanya
yang diterbitkan hampir 12.000 halaman dan tulisannya yang tidak diterbitkan
mencapai 80.000 halaman tulisan tangan. Topik-topik yang ditulisnya memiliki
cakupan yang sangat luas dari mulai matematika, fisika hingga ekonomi dan ilmu-
17
Richard P. Mullin, “The Soul Of Classical American Philosophy”, New York: State
University of New York Press, h.119. 18
Richard, “The Soul Of Classical American Philosophy”, h. 120.
24
ilmu sosial. Penerbitan karya-karya Peirce yang luas membuat tulisanya terpencar
diberbagai media, dan sulit untuk dikumpulkan.
Tidak lama setelah kematianya pada 1914, janda Peirce, Juliette, menjual
naskah-naskah yang tidak diterbitkan ke Departemen Filsafat Universitas Harvard.
Pada mulanya, naskah-naskah tersebut di bawah pemeliharaan Josiah Royce, tetapi
setelah kematiannya pada tahun 1916, dan terutama setelah berakhirnya Perang
Dunia I, naskah-naskah tersebut tidak terpelihara. Beberapa di antaranya salah
penempatan, hilang, diberikan kepada orang, dan teraduk-aduk.
Carolyn Eisele adalah seorang di antaranya yang berusaha menempatkan
dan memasang tulisan-tulisan Peirce tersebut, dan ia juga menemukan peti yang
hilang yang berisikan tulisan dan naskah-naskah Peirce di tahun 1950-an. Rupanya
peti tersebut dirahasiakan untuk beberapa decade di bawah Perpustakaan Harvard.19
3. Pemikiran Charles Sanders Peirce
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bahwa Charles Sanders Peirce
mempunyai dasar berfikir pada filsafat dan logika. Hal ini tidak mengherankan
karena Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang terkemuka. Ia dianggap sebagai
pendiri filsafat pragmatisme, di samping William James, John Dewey, dan George
Hebert Mead. Oleh karena itu teori semiotika Charles Sanders Peirce didasarkan
pada filsafat pragmatismenya, yang sudah kita kenal sampai saat ini. Peirce
mendefinisikan pragmatisme sebagai berikut:
19
Lexi Zulkarnaen Hikmah, “Hadis Tentang Keutamaan Ibu: Suatu tinjauan dan Analisis
Semiotik Charles S. Peirce, h. 16
25
“According to Peirce, pragmatism means a method for clarifying the
meaning of ideas”.20
Dengan ini, kita dapat menemukan makna sebuah gagasan dengan bertanya
kepada diri kita sendiri apa konsekuensi praktis yang akan terjadi jika sebuah
gagasan itu benar adanya. Contohnya konsep “bobot” . Dalam pandangan
pragmatism, “bobot” adalah suatu benda jika tidak ditopang maka akan jatuh.21
Demikianlah Peirce mendefinisikan pragmatisme sebagai metode untuk
mengklarifikasi gagasan dalam struktur filosofis yang lebih besar.
Oleh karena itu, sejumlah pengamat menempatkan Peirce sebagai bagian
dari pragmatisme. Dasar pemikiran tersebut dijabarkan dalam bentuk tripihak (
triadic) yakni setiap gejala secara fenomenologis mencangkup yang pertama,
bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain
(qualisigns, firstness, in-itselfness). Kedua, bagaimana hubungan gejala tersebut
dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu (sinsign,
Secondness/ over-againstness). Dan ketiga, bagaimana gejala tersebut dimediasi,
direpresentasi, dikomunikasikan, dan “ditandai” (legisigns, thirdness/ in-
betweenness).
Ketiga kategori di atas menunjukkan bahwa realitas hadir dalam tiga
kemungkinan. Dari situ kemudian dihasilkan tiga trikonomi: trikotomi pertama
adalah qualisign, sinsign, dan legisign; trikotomi kedua adalah ikonis, indeks, dan
20
Richard, “The Soul Of Classical American Philosophy,” h. 121. 21
Wildan Taufiq, Semiotika: Untuk Kajian Sastra dan al-Qur‟an, h. 30.
26
simbol; trikotomi ketiga adalah term (rheme), proposisi (dicent), dan argument.
Relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:22
Definisi tanda dari Peirce berkaitan dengan kategori firstness, secondness
dan thirdness. Dengan demikian, ia membedakan tiga tipe tanda berdasarkan tiga
kategori fenomenologinya. Tanda sebagai firstness yaitu tanda yang “ditangkap”
oleh penerima tanda, yang disebut representamen. Tanda sebagai secondness yaitu
yang berdasarkan pengetahuannya merujuk pada objek. Dan tanda sebagai
thirdness tanda berdasarkan hubungan representamen dan objek, penerima tanda
akan melakukan penafsiran yang disebut interpretan.23
4. Teori Semiotika Charles Sanders Peirce
Bagi Peirce segala sesuatu adalah tanda. Dengan perantaraan tanda-tanda
kita dapat melakukan komunikasi. Namun tanda tidak hanya dipakai dalam
komunikasi saja, tetapi kita juga menggunakan tanda dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu apabila kita mencoba memahami dunia, dan apabila kita sadar atau tidak
dalam tindakan ditentukan oleh cara kita menginterpretasikan tanda.
Menurut Piece kita berpikir hanya dalam tanda, dan ia pun yakin bahwa
segala sesuatu adalah tanda. Peirce mendefinisikan tanda sebagai berikut:
“I define a sign as anything which is so determined by something else,
called its Object, and so determines an effect upon a person, which effect, I call its
Interpretant, that the latter is thereby mediately determined by former”.
22
T. Christomy dan Untung Yuwono, Semiotika Budaya (Depok :Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010),
h.115-116. 23
Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya ( Depok: Komunitas Bambu:
2014), h. 176.
27
“Saya mendefinisikan tanda sebagai apa pun yang ditentukan oleh sesuatu
yang lain, yang disebut Objek, dan menentukan suatu pengaruh pada seseorang,
yang pengaruh itu saya sebut Interpretant, yang mana Interpretant ditentukan oleh
Objek”.24
Dari definisi di atas disebutkan bahwa apapun dapat menjadi tanda. Yang
dimaksud apapun di sini tidak hanya benda fisik yang dapat menjadi tanda, namun
pikiran pun dapat menjadi tanda, seperti yang dikatakan Peirce bahwa semua
pemikiran adalah tanda. Jadi tanda tidak hanya berbentuk khusus seperti: signal,
simtom, paraf, pernyataan linguistik, dan lain-lain.
Peirce menggambarkan bahwa tanda terjadi karena suatu proses yang
disebutnya semiosis. Proses itu dimulai dengan masuknya unsur tanda yang berada
di bagian “luar” ke dalam indra manusia, yaitu representamen atau ground, yang
mungkin dapat dibandingkan dengan penandanya Saussure. Jika proses
pengindraan sudah terjadi, maka proses selanjutnya di dalam proses kognisi
manusia adalah pengacuan pada apa yang disebutnya objek, yakni hal (makna)
yang mewakili oleh representamen. Misalnya, kita melihat lampu berwarna merah.
Karena kita sudah mengetahui konvensi yang berlaku, lampu berwarna merah itu
kita anggap merujuk pada pengertian “larangan” (objek), yang mungkin dapat kita
bandingkan dengan petanda menurut Saussure. Selanjutnya adalah interpretan,
yaitu saat kita memberikan penafsiran berkaitan dengan situasi tempat kita berada.
Jika lampu merah itu terdapat di jalan sebagai rambu lalu lintas dan kita
mengemudikan mobil, kita akan menafsirkanya sebagai kewajiban hukum untuk
berhenti dan kemudian akan menafsirkanya sebagai izin secara hukum untuk
24
Fariz Pari, Epistimologi Semiotik Peirce (Jabaru:Kopi Center, 2012), h. 28.
28
meneruskan perjalanan apabila lampu telah berganti hijau. Interpretan
mempengaruhi perilaku kita dalam situasi tertentu. 25
Dengan kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang
saling terkait: Representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsi (perceptible),
Objek (O) sesuatu yang mengacu kepada hal lain (referential), dan interpretan (I)
sesuatu yang dapat diinterpretasi (interpretable).26
Dengan ini, Peirce melihat tanda dalam mata rantai tanda yang tumbuh.
Maka Peirce menjabarkan tanda ini dalam bentuk tripihak/ (triadic) yaitu firstness,
secondness, dan thirdness. Firstness adalah kualitas perasaan, atau hanya
penampilan, yaitu mengacu pada keberadaan seperti adanya tanpa menunjuk ke
yang lain yang potensial, misalnya: sifat, perasaan, watak, esensi. Istilah kualitas
perasaan ini dimaksudkan Peirce mengacu pada unsur-unsur pertama dari
kesadaran, termasuk disini adalah data yang membangkitkan pada putusan persepsi
dalam semua pengetahuan empiris kita.27
Secondness adalah relasi, yaitu mengacu
pada keberadaan seperti adanya dalam hubungannya dengan yang lain, seperti
konfrontasi dengan kenyataan. Secondness mengacu pada suatu hubungan. Tipe
idea secondness adalah pengalaman berupaya. Pengalaman upaya tidak dapat eksis
tanpa pengalaman perlawanan dari upaya. Upaya hanya berarti upaya berdasarkan
apa yang dilawankannya, dan dalam pengalaman itu tidak ada unsur ketiga yang
masuk. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud adalah pengalaman berupaya bukan
25
Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, h. 263 26
T. Christomy dan Untung Yuwono, Semiotika Budaya, h. 117 27
Pari, Epistimologi Semiotik Peirce, h.20
29
perasaan, dengan demikian tidak ada unsur psikologi.28
Thirdness adalah
representasi, yaitu mengacu pada suatu interpretant, dan merupakan unsur mental.
Thirdness adalah keberadaan pada yang berlaku umum, seperti: aturan, hukum,
kebiasaan. Semua pemikiran Peirce untuk semiotik dianalogikan kepada trilogi
ini.29
Dari situ kemudian dihasilkan tiga trikotomi: trikotomi pertama adalah
qualisign, sinsign, dan legisign; trikotomi kedua adalah ikonis, indeks, dan simbol;
trikotomi ketiga adalah term (rheme), proposisi (dicent), dan argument.30
Jika kita arahkan perhatian kita pada sifat dari tanda itu sendiri sebagai
representamen, terpisah dari objeknya atau interpretannya, maka terdapat tiga
macam tanda. Tanda dalam hubungannya dengan firstness, yaitu qualisign, sinsign,
dan legisign. Pertama, qualisign (diambil dari kata quality) adalah merupakan
tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat, contohnya, merah.
Karena merah merupakan tanda pada apa yang mungkin, seperti sosialisme, cinta.
Qualisign atau tone (sifat) adalah tanda yang merupakan kualitas atau
penampakkan belaka. Suatu qualisign tidak dapat beroperasi secara simbolis
sampai tanda itu diberi bentuk atau diwujudkan, namun tidak mempengaruhinya
sebagai suatu tanda. Kedua, sinsign (diambil dari kata singular) adalah tanda yang
merupakan dasar tampilnya dalam kenyataan, seperti jeritan, tertawa, nada suara,
metafora, juga termasuk segala pernyataan individual yang tidak dilembagakan.
Sinsign dinamakan juga token, dapat berupa objek atau kejadian individual. Sinsign
28
Pari, Epistimologi Semiotik Peirce, h.21 29
Pari, Epistimologi Semiotik Peirce, h.23 30
T. Christomy dan Untung Yuwono, Semiotika Budaya, h. 115-116.
30
hanya dapat menunjukkan dirinya melalui kualitasnya, suatu qualisign atau lebih
tepat lagi kelompok qualisign, karena ditentukan oleh beberapa kualitas. Ketiga,
legisign (diambil dari kata legitimation) adalah tanda-tanda yang merupakan tanda
atas dasar sebuah peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode,
misalnya mengangguk berarti „ya‟, tanda lalu lintas, jabat tangan. Setiap tanda
konvensional adalah suatu legisign. Legisign bukan merupakan objek tunggal, tapi
suatu tipe umum, yang telah disetujui mempunyai arti. Karena legisign bersifat
umum, legisign hanya dapat berfungsi melalui contoh atau replica dari dirinya
sendiri. Tapi replika ini harus suatu sinsign yang melibatkan qualisign.31
Dalam hubungannya antara representamen dan objeknya, Peirce
membedakan antara icon, index, dan symbol. Icon adalah tanda yang mengandung
kemiripan “rupa” (resemblance) sebagaimana dapat dikenali oleh para pemakainya.
Di dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya terwujud sebagai
kesamaan dalam beberapa kualitas”. Misalnya suatu peta atau lukisan memiliki
hubungan ikonik dengan objeknya yang keduanya terdapat keserupaan.32
Index
adalah tanda yang memiliki keterikatan fenomenal atau eksistensial di antara
representamen dan objeknya. Di dalam indeks hubungan antara tanda dan objeknya
bersifat konkret, actual, dan biasanya melalui suatu cara yang sekuensial atau
kausal. Jejak telapak kaki di atas permukaan tanah, misalnya, merupakan indeks
dari seseorang yang telah lewat di sana, misalnya ketukan pada pintu merupakan
31
Pari, Epistimologi Semiotik Peirce, h.30-31 32
Budiman, Semiotika Visual, h. 20
31
indeks dari kehadiran atau kedatangan seseorang di rumah kita.33
Sedangkan simbol
adalah tanda yang representamenya merujuk kepada objek tertentu tanpa motivasi
(unmotivated); symbol terbentuk melalui konvensi-konvensi atau kaidah-kaidah,
tanpa adanya kaitan langsung di antara representamen dan objeknya, contohnya
adalah kata “buku” yang dalam bahasa inggris book adalah simbol. Karena relasi di
antara kata tersebut sebagai representamen dan sebuah buku betulan yang menjadi
objeknya tidak bermotivasi alias arbiter dan konvensional. 34
Dalam hubunganya dengan interpretan yang ditandainya, suatu tanda adalah
rheme, dicent, dan argument, atau sesuai dengan term, proposisi, dan argumen.
Pertama, rheme adalah suatu tanda kemungkinan kualitatif, yakni tanda apapun
yang tidak benar dan tidak pula salah. Sebuah huruf atau fonem yang berdiri sendiri
adalah rheme, bahkan nyaris semua kata tunggal dari kelas apapun baik kata kerja,
kata benda, kata sifat, dsb adalah rheme, kecuali „ya‟ dan „tidak‟ atau „benar‟ dan
„salah‟. Misalnya kata “Meja” adalah tanda bahasa. Kedua, design atau dicent
adalah tanda eksistensi aktual, suatu tanda factual yang biasanya berupa proposisi.
Sebagai proposisi, dicent adalah tanda yang bersifat informasional seperti pada
kalimat “Andi adalah seorang bayi laki-laki”. Ketiga, argument adalah tanda
“hukum” atau kaidah, suatu tanda nalar, yang didasari oleh leading principle yang
menyatakan bahwa peralihan dari premis-premis tertentu kepada kesimpulan
tertentu adalah cenderung benar. Apabila tanda dicent hanya menegaskan eksistensi
sebuah objek, maka argumen mampu membuktikan kebenaranya. Contoh yang
33
Budiman, Semiotika Visual, h. 20 34
Budiman, Semiotika Visual, h. 22
32
paling jelas dari sebuah argument adalah silogisme, silogisme adalah “Semua
manusia tidak hidup kekal”. “Sokrates adalah manusia”. “Sokrates tidak hidup
kekal”.35
Relasi ini dapat digambarkan pada diagram sebagai berikut:
Modifikasi Diagram 2.1
(Sumber: Toeti Heraty, 1992 dalam makalah; Semiotik dan Filsafat)36
RELASI
DAN
KATEGORI
PROSES TIPOLOGI FUNGSI KATEGORI
KEHADIRAN
(FENOMENOLOGI)
Tanda dengan
ground
menghasilkan
pemahaman
(firstness)
Penampilan
relevansi
untuk subjek
dalam
konteks
- qualisign
- sinsign
- legisign
- predikat
- objek
- kode,
konvensi
- firstness
- secondness
- thirdness
Tanda dengan
objek
(secondness)
Proses
representasi
objek oleh
tanda
- ikon
- indeks
- symbol
- kemiripan
- petunjuk
- konvensi
- firstness
- secondness
- thirdness
Tanda dengan
interpretant
pada subjek
(thirdness)
Proses
interpretasi
oleh subjek
- rheme
- decisign
- argument
-kemungkinan
- proposisi
- kebenaran
- firstness
- secondness
- thirdness
Dari proses di atas dapat kita lihat bahwa Peirce membagi proses
pemahaman tanda pada tiga metode yaitu firstness merupakan relasi antar elemen
tanda bersifat subyektif (berdasarkan pengalaman pribadi) dan fokus kajiannya
adalah agensi. Sementara secondness adalah relasi antar elemen tanda bersifat
material (terindra) dan fokus kajiannya adalah obyek, dan thridness adalah relasi
antar tanda bersifat maknawi (interpretasi) dan fokus kajiannya pada teks.
35
Wildan Taufiq, Semiotika: Untuk Kajian Sastra dan al-Qur‟an, h. 37-38 36
Pari, Epistimologi Semiotik Peirce, h. 31.
33
5. Semiotik Sebagai Metode Interpretasi
Peirce mencoba menjelaskan bagaimana sebuah proses berfikir dalam pikiran
manusia terjadi. Hal ini terjadi ketika manusia berinteraksi dengan tanda, karena
bagi Peirce semuanya adalah tanda, maka baik bunyi, tulisan, bau, warna atau
apapun itu yang dapat dipahami manusia adalah tanda. Proses tanda tersebut terdiri
dari tiga langkah; pencerapan tanda, penggambaran objek, dan interpretasi. Sebagai
contoh hal ini dapat dilihat ketika seorang pengendara motor menginterpretasi salah
satu lampu dari tiga lampu lalu lintas sebagai sebuah tanda. Lampu tersebut terdiri
dari tiga warna yang berbeda, yang masing-masing lampu mewakili perintah
tertentu; merah (perintah untuk berhenti), hijau (perintah untuk jalan), dan kuning
(perintah untuk berhati-hati). Ketika pengendara motor melihat lampu berwarna
merah maka secara otomotis sang pengendara motor tersebut langsung berhenti.
Proses berfikir pengendara motor dapat digambarkan dengan semiotika sebagai
berikut:
O
Perintah untuk
berhenti
R
Lampu berwarna
Merah
I
Berhenti
34
Lampu berwarna merah merupakan tanda yang dicerap sang pengendara
motor, yang kemudian berelasi dengan objek “perintah untuk berhenti” yang pada
akhirnya membentuk interpretasi “berhenti.”
Tanda yang sama, boleh jadi memiliki objek yang berbeda sehingga
menimbulkan interpretasi yang berbeda. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Dari gambaran di atas terlihat tiga individu yang berbeda melihat sebuah
tanda yang sama dan melalui proses representasi dengan objek yang berbeda maka
menghasilkan interpretasi yang berbeda dari setiap individu. Individu 1,
berinteraksi dengan tanda „a‟ kemudian berelasi dengan objek‟x‟ maka
menghasilkan interpretan „x‟. Individu 2, berinteraksi dengan tanda yang sama „a‟
kemudian berelasi dengan objek „y‟ dan menghasilkan interpretan „y‟. Terakhir
Individu 3, berinteraksi dengan tanda yang sama pula „a‟ kemudian berelasi dengan
objek „z‟ dan menghasilkan interpretasi „z‟.
Sebagai contoh adalah ketika ada tiga orang mendengar kata “teh” dalam
sebuah pertanyaan “Kalian mau minum teh ?,” maka setidaknya terdapat tiga
interpretasi mengenai kata “teh” dalam pertanyaan tersebut. Proses tersebut dapat
digambarkan dengan semiotik sebagai berikut:
Ox
Oy
Ra Ra
Iy
Individu 1
Ix
Individu 2
Oz
Ra
Iz
Individu 3
35
Selain itu, tanda yang berbeda boleh jadi memiliki objek yang sama
sehingga menghasilkan interpretan yang sama pula. Proses semiotik tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Rumus di atas memperlihatkan bagaimana tiga individu berinteraksi
dengan tiga tanda yang berbeda akan tetapi menghasilkan objek dan interpretasi
yang sama. Individu 1, berinteraksi dengan tanda „x‟ kemudian berelasi dengan
objek „a‟ dan menghasilkan interpretan „a‟. Individu 2, berinteraksi dengan tanda
„y‟ dan berelasi dengan objek „a‟ dan menghasilkan interpretan „a‟. Individu 3,
berinteraksi dengan tanda „z‟ dan berelasi dengan objek „a‟ kemudian menghasilkan
interpretasi „a‟.
Teh Tawar
Teh Manis
Kata ‘teh’ Kata ‘teh’
Teh Manis
Orang 1
The Tawar
Orang 2
Teh Botol
Kata ‘teh’
Teh Botol
Orang 3
Oa
Oa
Rx Ry
Ia
Individu 1
Ia
Individu 2
Oa
Rz
Ia
Individu 3
36
Sebagai contoh adalah ketika seseorang menyebutkan beberapa merek
handphone seperti Samsung, Xiomi, Asus, hal tersebut akan mengacu kepada satu
interpretasi jenis handphone. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Semiotik merupakan suatu epistimologi pragmatis. Hal ini tercermin dari
teori kebenarannya. Benar bagi semiotik adalah apabila berfungsi dan efektif dalam
kehidupan, yang berarti dapat dimanfaatkan dalam pengalaman hidup sehari-hari.
Oleh karena itu, semiotik sebagai epistimologi bertumpu pada pengalaman. Dari
pengalaman ini dengan melalui proses semiosis, diperoleh struktur yang rinci. Dari
pengalaman ini pula diperoleh wawasan dan pengembangan pengetahuan yang
dinamis, artinya pengetahuan ini bertambah dan berubah terus seiring dengan
pengalaman hidup sehingga pengetahuan manusia berkembang terus.37
37
Pari, Epistimologi Semiotik Peirce, h.129.
Handphone
Handphone
Samsung Xiomi
Handphone
Orang 1
Handphone
Orang 2
Handphone
Asus
Handphone
Orang 3
37
BAB III
KONSEP ‘ADUWW: DEFINISI, DIMENSI, KONTEKS DAN
PENAFSIRAN-PENAFSIRAN
A. Terma ‘aduww: Derivasi dan Definisi.
Kata „aduww (عدو) pada kosa kata Arab dimaknai sebagai musuh atau
lawan1 ini ditinjau dari segi etimologi merupakan pecahan (musytaq) dari susunan
kata yang terdiri dari huruf „ain, dâl, dan huruf mu‟tâl yang menunjukkan makna
melampaui sesuatu dan mendahuluinya untuk mencari kepuasan,2 sebagaimana
dalam QS a-An„âm/ 6: 108:
ي ٱلذين تسبوا علمبغياوعدٱللوف يسبواٱللودونمنعوندول لك ةلكلزي ناكذ ثعملهمأم
مإل رجعهمرب (١)ملوني عكانواباف ي نبئ همم“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Makna dasar dari al-„adw menurut Ibn Manẕûr ialah al-haḏr (datang)
namun ada juga yang menyebutkan bahwa ia bermakna menghadiri atau
mendatangi hingga ia menyusul, menangkap, melampauinya. Pecahan-pecahan
lain dari susunan huruf tersebut diantaranya ialah al-„adwu, al-„adâwah, al-
mu„addah, al-„udwân, al-„udawa dan lain sebagainya.3
Dalam Maqâyis Lughât, al-Khalil memaknai pecahan-pecahan dari
„aduww dengan berbagai makna, diantaranya ada kata al-„adw (العدو) berarti
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Surabaya; Pustaka
Progresif, 1997), h. 908. 2Ahmad Ibn Fâris, Mu‟jam Maqâyis al-Lughât, jil. 4 (T.tp.: Dâr al-Fikr, T.t.), h. 249.
3 Ibn Manzur, Lisân al-„Arab, (Kairo; Dâr al-Ma„ârif, 1119), h. 2845.
38
menyerang (الغزو), al-„aduww (العدو) bermakna datang dan menahan (وقعود ,(حضور
al-„âdin ( لعادا ) bermakna orang yang memusuhi orang lain secara dzalim dan
aniaya, dan „adw (العدو) bermakna lari, sedangkan „udwân (عدوان) bermakna lari
yang cepat dan mantap, al-udwân (العدوان) bermakna perbuatan dzalim yang jelas
dan nyata, sedangkan i‟tidâ‟ (إعتداء) merupakan pecahan (musytaq) dari „udwân
berarti melampaui atau melebihi sesuatu untuk (التعدى) dan at-ta‟addî ,(عدوان)
mencari kepuasaan.4
Dalam Lisanul Arab, kata „udawân (عدوان) atau al-„addâ‟ (العداء)
merupakan bentuk mubâlaghah (superlatif) dari kata al-„adw (العدو).5 Dalam
Mufradât Alfâẕ al-Qur‟ân disebutkan bahwasanya kata al-„adw bermakna al-
tajâwuz (التجاوز; melampaui, melewati, menaklukkan) dan munâfât al-ilti‟âm
اإللتئام) menentang kebaikan) kadangkala menggambarkan tentang hati ;منافاة
.(القلب)
4 Ibn Fâris, Mu‟jam Maqayis al-Lughât, jil. 4, h. 249.
5 Ibn Manzur, Lisân al-„Arab, h. 2845.
39
Kadangkala ia adalah gambaran tentang berjalan (املشي), seperti berlari
kencang. Kadangkala ia juga berhubungan dengan rusaknya suatu keadilan dalam
hubungan manusia, juga kadangkala ia menunjukkan tentang tempat atau lokasi,
sebagaimana ungkapan “عدواء ذو bermakna suatu (‟makân dzû „udawâ) ”مكان
tempat yang tidak dapat memberikan ketenangan bagi siapa saja yang berdiam di
sana.6
Dalam Lisân al-„Arab, disebut bahwa kata „aduww menunjuk kepada
syaitan, yang lebih khusus lagi dinyatakan mempunyai dua bentuk yaitu jin dan
manusia.7 Hal ini didasarkan pada QS. al-An‟âm/ 6: 112 berikut ini:
جع لك طياعدونبيلكلنالوكذ اغرورلٱلقورفزخب عضإلب عضهميوحينوٱلسنٱإلشي()ت روني فوما ىمفذر ف علوهماربكءشآولو
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka
membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-
indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka
tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-
adakan”
.
Dari beberapa pendapat yang penulis uraikan, dapat diketahui bahwasanya
kata „aduww dan segala derivasinya merupakan kata musytaraq8 yang mempunyai
makna: datang, berlari, melampaui, menyerang, memusuhi, menaklukkan,
mendzalimi, melanggar.
Berikutnya, berdasarkan uraian al-Asfahânî dalam Mufradat Alfâẕ al-
Qur‟ân, dapat diketahui bahwa setidaknya kata „aduww dan pecahannya dalam al-
6 Al-Râghib al-Ashfahânî, Mufradat Alfâẕ al-Qur‟ân (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2009), h.
553. 7 Ibnu Manâûr, Lisân al-„Arab, h. 2846.
8 Musytarak ialah suatu lafadz yang memiliki aneka makna yang berbeda-beda; Lihat
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 108.
40
Qur‟an mempunyai beberapa kemungkinan makna, yaitu sebagai berikut:
Pertama, mengungkapkan suatu keadaan yang tidak sesuai dengan hati karena
tidak sesuai dengan fitrah manusia, seperti kata „aduww dalam konteks
permusuhan, karena manusia secara fitrah merupakan makhluk sosial yang saling
tergantung satu sama lain, sehingga permusuhan dan perpecahan adalah hal yang
menyalahi kecenderungan fitrah manusia.
Kedua, menggambarkan perbuatan atau tindakan yang keluar dan
menyimpang dari norma, ataupun melebihi dan melampaui batas-batas yang telah
ditentukan. Al-Qur‟an menyebutkan konteks menentang, melanggar dan
melampaui batas. Ketiga, pengungkapan mengenai sesuatu yang merusak keadilan
khususnya dalam hubungan kemanusiaan, misalnya perampasan hak milik orang
lain, penindasan dan penganiayaan terhadap orang lain, perbuatan dzalim dan
ketidakadilan, dan sebagainya.
Selanjutnya Ibn Faris membagi „aduww dengan dua jenis, pertama ialah
„aduww yang bermaksud sebagai permusuhan sebagaimana dalam QS. An-Nisâ/
4: 92 mengenai pembunuhan yang dilakukan satu pihak ke pihak lain, Qs Al-
Furqân/ 25: 31 mengenai permusuhan antara orang kafir dan tiap Nabi, dan
sebagainya.
ف تحرير خطأ مؤمنا ق تل ومن خطأ إل مؤمنا ي قتل أن لمؤمن كان إلوما مسلمة ودية مؤمنة رق بةوإ مؤمنة رق بة ف تحرير مؤمن وىو لكم عدوي ق وم من كان فإن قوا يصد أن إل ق ومأىلو من كان ن
أ إل مسلمة فدية ميثاق ن هم وب ي نكم ب ي متتابعي شهرين فصيام د لي فمن مؤمنة رق بة وترير ىلو (٢) ت وبةمناللووكاناللوعليماحكيما
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya
(si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si
41
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Nisâ/4: 92)
()وكذلكجعلنالكلنبيعدوامنالمجرميوكفىبربكىادياونصيا“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari
orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk
dan Penolong”. (QS. al-Furqân/ 25: 31) Kedua, kata „aduww bermakna suatu keadaan yang bertentangan dengan
sesuatu yang harus dilakukan seperti dalam QS. al-Baqarah/ 2: 65 mengenai
pelanggaran kaum Yahudi pada ibadah hari Sabtu, dan QS. al-Baqarah/ 2: 229
mengenai peringatan mengenai aturan talak.
كونواقردةخاسئي بتف قلنالم () ولقدعلمتمالذيناعتدوامنكمفالس“Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar
diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu
kera yang hina". (QS. al-Baqarah/ 2: 65)
ول بإحسان تسريح أو بعروف فإمساك مرتان الطلق إل شيئا آت يتموىن ما تأخذوا أن لكم ل ييقيماحدوداللوفلجناحعليهمافيم يقيماحدوداللوفإنخفتمأل ااف تدتبوتلكأنيافاأل
حدوداللوفأولئكىمالظالمونحدوداللوفلت عتدوىاو (٢)مني ت عد“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-Baqarah/ 2:
229)
B. Sinonim Kata ‘Aduww
Sinonim antara kata al-adâwah “permusuhan” dan al-bughḏu “kebencian”
adalah al-adâwah itu jauh dari sikap perkongsian atau pertemanan. Semantara itu,
42
lawan kata dari al-adâwah ialah al-Wilayah, yang bermakna mendekat dengan
sikap pertemanan. Sedangkan al-bughḏu diartikan sebagai kehendak untuk
menghina, merendahkan lawan. Kata dari al-bughḏu ialah sikap sayang atau suka
dan dari rasa sayang, suka dan cinta ini lahirlah rasa untuk menghormati dan
mengagungkan.
Perbedaan mendasar antara kata „aduww “musuh” secara lahir dan al-
kasyih “musuh secara batin/ musuh dalam selimut”, al-kasyih ialah musuh yang
sikap permusuhannya tidak ditampakkan di luar. Dalam pada itu, musuh ini
menyembunyikan permusuhannya di bawah sakunya. Si A melakukan kasyih ke
padamu mengandung arti bahwa si A tersebut memusuhimu secara batin. Kasyih
ini dalam bahasa Arab memiliki bentuk nomina seperti al-kasyihah dan al-
mukasyahah.
Perbedaan antara al-„adâwah “permusuhan” dan as-syana„ânî “mencari-
mencari kesalahan orang”, al-„adâwah “permusuhan” artinya ialah bersengaja
untuk menimpakan keburukan kepada yang dimusuhinya. Al-„adâwah sendiri
makna aslinya ialah kecenderungan, dan dari arti kecenderungan ini, turun kata
dawt al-wadi yang artinya berada di dekatnya. Arti al-„adâwah juga jauh dari rasa
pertemanan.
Kemudian dari al-„adâwah ini muncul pula kata „adwa al-dâr yang artinya
jauh. Jika melakukan adw, maksudnya ialah melampaui batas seolah menjauh dari
sikap seimbang. Sedangkan as-syana‟âni seperti yang dikatakan oleh „Alî ibn
„Âmis ialah mencari-mencari kesalahan orang lain karena sikap permusuhannya.
Ibn „Âmis bahkan mengatakan bahwa permusuhan tidak termasuk ke dalam
kategori as-syana„ân namun jika permusuhan tersebut disertai dengan mencari-
43
mencari kelemahan orang lain, maka itu disebut dengan al-syana„ân. Artinya jika
ditinjau lebih lanjut, al-„adâwah ialah termasuk ke dalam kategori yang juga bisa
disebut sebagai penyebab terjadinya as-syana„ân, jadi ada sebab dan
musabbabnya dalam memahami kata ini.
Dalam tafsir surat al-Mâ‟idah/ 5: 2 disebutkan: (syana„ânu qaumin),
artinya kebencian suatu kaum. Terkadang syana‟ân juga dibaca dengan sukun,
artinya kebencian suatu kaum sebagai syun‟un seperti yang dapat dilihat pada kata
sukr yang menjadi sukran.
Perbedaan antara al-mu‟adah “permusuhan” dan al-mukhassamah
“permusuhan”, al-mukhassamah merupakan permusuhan yang tercermin dalam
kata-kata atau bahasa verbal. Sedangkan al-mu‟adah termasuk ke dalam kategori
pekerjaan hati. Sehingga bisa saja seseorang memusuhi orang lain secara verbal
tapi itu bukan berarti ia memusuhinya secara hati dan sebaliknya juga bisa, artinya
bisa saja seseorang memusuhi secara hati tanpa harus diartikulasikan ke dalam
bahasa verbal.
Perbedaan antara al-mu‟adah dan al-munâwah “menyerang”, bermunâwah
artinya ialah menyerang orang lain secara kejam dalam peperangan atau dalam
permusuhan. Akar kata munâwa„ah dari al-naw„ yang dipolakan menjadi pola
mufâ„alah, yakni bangkit dengan penuh susah payah dan rasa berat.
Dari makna ini, Allah SWT berfirman dalam QS. al-Qasas/ 28: 76:
“Sesungghunya kunci-kuncinya akan hadir dengan sekelompok orang”. Wanita
44
yang berbadan besar disebut sebagai na„at jika ia berdiri. Jadi kata al-naw„ bisa
berarti berdiri dan tidak terbalik.9
C. DIMENSI DAN AGENSI ‘ADUWW DALAM AL-QUR’AN
Kata „aduww (عدو) dan segala pecahannya disebutkan sebanyak 106 kali10
dalam al-Qur‟an. Dengan menggunakan bentuk fi‟il mâḏî (kata kerja yang
menunjukkan waktu lampau)11
terdapat dua jenis; „âdâ (عادى) sebanyak 1 kali dan
i„tadâ (اعتدى) sebanyak 6 kali. Dengan menggunakan bentuk fi„il muḏâri„ (kata
kerja yang menunjukkan waktu sekarang, saat ini, sedang berlangsung, atau akan
berlangsung), 12
terdapat tiga jenis; ya„duna atau ta„duna ( يعدون sebanyak (تعدون/
3 kali, yata„adda (يتعد) sebanyak 3 kali, dan ya„taduna atau ta„taduna
sebanyak 8 kali, sedangkan yang menggunakan fi„il amar i„tadû (تعتدون/يعتدون)
sebanyak satu kali. Dengan menggunakan isim fâ„il (kata yang (اعتدوا)
mengandung arti pelaku/subjek)13
terdapat dua jenis. Pertama, bentuk mujarrad
„âdin (عاد) sebanyak 3 kali, begitu pun bentuk jama‟-nya (plural) „âdûna (عادون)
9 Abû Hilâl al-Hassân ibn „Abdillâh ibn Sahl al-„Askarî, al-Furuq al-Lughawîyah (Bairut:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 2010), h. 131. 10
Muhammad Fu‟âd „Abd al-Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur‟ân al-Karîm
(Kairo; Dâr al-Hadîts, 2007), h. 551-553, 11
Busyro, Shorof Praktis Metode Krapyak (Yogyakarta: Menara Kudus, 2003), h. 182. 12
Busyro, Shorof Praktis Metode Krapyak, h. 183. 13
Busyro, Shorof Praktis Metode Krapyak, h. 193.
45
sebanyak 3 kali dan bentuk jama‟ „âdiyât (عاديات) sebanyak 1 kali. Kedua, bentuk
mazid mu„tadin (معتد) sebanyak 3 kali, begitu pun dalam bentuk jama„-nya
(plural) mu‟tadûna (معتدون) sebanyak 6 kali.
Sedangkan dengan menggunakan isim masdar (invinitif, kata benda jadian
yang tidak terkait dengan waktu)14
terdapat berbagai macam, yakni; dengan
menggunakan „adw (عدو) sebanyak 1 kali, menggunakan „aduww (عدو) sebanyak
43 kali, menggunakan „adāwah (عداوة) sebanyak 6 kali, menggunakan „udwan
( وانعد ) sebanyak 8 kali, menggunakan „udwah (عدوة) sebanyak 2 kali dan
menggunakan jama„-nya a‟dā‟ (أعداء) sebanyak 7 kali.
Sedangkan dalam penggunaan makna berdasarkan tematik tema, penulis
meringkasnya dalam tabel di bawah ini berdasarkan al-Qur‟an Departemen
Agama tahun 2012, sebagai berikut gambaran umumnya:
14
Busyro, Shorof Praktis Metode Krapyak, h. 189.
46
No. Bentuk Jumlah Tema Dimensi
1 Fi‟il Maḏî „âda
(عادى)
1 kali Orang mukmin
dan orang kafir
Allah tidak melarang orang muslim berbuat baik dan adil kepada musuhnya, orang
kafir ketika ia memerangi orang muslim. Seperti dalam QS. al-Mumtahanah/ 60: 7.
2 Fi‟il Maḏî
i„tadâ (اعتدى) 6 kali Tindakan
melampaui
batas atau
pelanggaran
syariat Agama
1 Kecaman Allah bagi siapa pun yang melampaui batas aturan mengenai qishash
dan diyat. Seperti dalam QS. al-Baqarah/ 2: 178.
2 Larangan berburu di waktu ihram. Seperti dalam QS. al-Mâ‟idah/ 5: 94.
3 Larangan melanggar batas mengenai persaksian dalam hal waris. Seperti dalam
QS. al-Mâ‟idah/ 5: 107.
Orang mukmin
dan orang kafir
4/5 Diperbolehkannya berperang dengan serangan yang setimpal dibulan Haram
ketika ia diserang oleh orang kafir. Seperti dalam QS. al-Baqarah/ 2: 194, ia
disebutkan 2 kali.
Yahudi 6 Peringatan mengenai ibadah hari Sabtu. Seperti dalam QS. al-Baqarah/ 2: 65.
3 Fi‟il Muḏâri„
ya„dûna atau
ta„duna
(تعدون/يعدون)
3 kali Hawa Nafsu 1 Peringatan Allah kepada Nabi Muhammad agar tidak tergoda dengan perhiasan
duniawi orang kafir. Seperti dalam QS. al-Kahf/ 18: 28.
Yahudi 2/3 Mengenai ibadah hari Sabtu. Seperti dalam QS. al-Nisâ‟/ 4: 154, QS. al-A„râf/
7: 163.
4 Fi‟il Muḏâri„
ya„taddu (يتعد) 3 kali Tindakan
melampaui
batas atau
pelanggaran
syariat Agama
1/2 Peringatan agar tidak melanggar batas aturan Allah tentang talak. Seperti dalam
QS. al-Baqarah/ 2: 229, QS. al-Ṯalâq/ 65: 1.
3 Peringatan agar tidak durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Seperti dalam QS.
al-Nisâ‟/ 4: 14.
47
5 Fi‟il Muḏâri„
ya„tadûna atau
ta„tadûna
(تعتدون/يعتدون)
8 kali Orang mukmin
dan orang kafir
1 Diperbolehkannya berperang dengan serangan yang setimpal dan tidak
melampaui batas ketika ia diserang oleh orang kafir. Seperti dalam QS. al-
Baqarah/ 2: 190.
2 Larangan membalaskan dendam lebih kepada musuhnya yang didasari oleh
kebencian, seperti dalam QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2.
Antar manusia 3 Larangan menahan dan mendzalimi istri. Seperti dalam QS. al-Baqarah/ 2: 231
Tindakan
melampaui
batas atau
pelanggaran
syariat Agama
4 Larangan melampaui batas dalam hal konsumtif. Seperti dalam QS. al-Mâ‟idah/
5: 87.
5 Peringatan agar tidak melanggar batas aturan Allah tentang talak. Seperti dalam
QS. al-Baqarah/ 2: 229.
6/
7/ 8
Kedurhakaan Bani Israil terhadap ayat Allah dan membunuh para nabi. Seperti
dalam QS. al-Baqarah/ 2: 61, QS. Âli „Imrân/ 3: 112, QS. al-Mâ‟idah/ 5: 78
6 Fi‟il Amar
i„taddû (اعتدوا) 1 kali Orang mukmin
dan orang kafir
Diperbolehkannya berperang dengan serangan yang setimpal dibulan Haram ketika ia
diserang oleh orang kafir. Seperti dalam QS. al-Baqarah/ 2: 194.
7 Isim Fâ„il
mujarrad „âdin
(عاد)
3 kali Tindakan
melampaui
batas atau
pelanggaran
syariat Agama
1/
2/ 3
Larangan melampaui batas dalam hal konsumtif. Seperti dalam QS. al-Baqarah/
2: 173, QS. al-An„âm/ 6: 145, QS. al-Nahl/ 16: 115.
8 Isim Fâ„il
mujarrad
„âduna (عادون)
3 kali Tindakan
melampaui
batas atau
pelanggaran
syariat Agama
1/
2/ 3
Larangan melampaui batas dalam hal seksual. Seperti dalam QS. al-Mu‟minûn/
23: 7, QS. al-Syu„arâ‟/ 26: 166, QS. al-Ma‟ârij/ 70: 31.
48
9 Isim Fâ„il
mujarrad
„adiyât
(عاديات)
1 kali Lari Kuda yang berlari kencang untuk menyerang musuhnya. Seperti dalam QS. Al-
„Âdiyât/ 100: 1.
10 Isim Fâ„il
mazîd mu„tadin
(معتد)
3 kali Balasan hari
akhir
1 Balasan neraka bagi mereka yang enggan melakukan kebajikan dan melampaui
batas. Seperti dalam QS. Qâf/ 50: 25.
2 Kecaman bagi orang yang melampaui batas di hari akhir. Seperti dalam QS. al-
Muṯaffifîn/ 83: 12.
Antar manusia 3 Larangan untuk mematuhi orang yang melampaui batas. Seperti dalam QS. al-
Qalam/ 68: 12.
11 Isim Fâ„il
mazîd
mu„tadûna
(معتدون)
6 kali Orang mukmin
dan orang kafir
1 Kecaman Allah terhadap orang kafir yang melanggar perjanjian gencatan
senjata kepada orang mukmin. Seperti dalam QS. al-Taubah: 10.
2 Diperbolehkannya berperang dengan serangan yang setimpal dan tidak
melampaui batas ketika ia diserang oleh orang kafir. Seperti dalam QS. al-
Baqarah: 190.
Tindakan
melampaui
batas atau
pelanggaran
syariat Agama
3/ 4 Larangan melampaui batas dalam hal konsumtif. Seperti dalam QS. al-Mâ‟idah/
5: 87, QS. al-An„âm/ 6: 119.
5 Anjuran untuk tidak berlebihan dalam berdoa baik. Seperti dalam QS. al-A„râf/
7: 55.
Rasul dan
kaumnya
6 Allah mengunci mati orang-orang yang melampaui batas meski telah Ia
turunkan beberapa Rasul kepada mereka. Seperti dalam QS. Yûnus/ 10: 74
12 Sîghat 2 kali Orang mukmin 1 Larangan memaki sesembahan orang kafir agar mereka tidak melampaui batas
49
mubâlaghah
„adw (عدو)
dan orang kafir dalam memaki Allah. Seperti dalam QS. al-An„âm/ 6: 108
Bani Israil dan
Fir‟aun
2 Fir‟aun yang mengejar Bani Israil untuk menindas dan mendzalimi mereka.
Seperti dalam QS. Yûnus/ 10: 90.
13 Isim Masdar
„aduww (عدو)
43 kali Godaan setan 1-
10
Pengingatan Allah kepada manusia agar tidak mengikuti setan. Seperti dalam
QS. al-Baqarah/ 2: 168, QS. al-Baqarah/ 2: 208, QS. al-An„âm/ 6: 142, QS. al-
A„râf/ 7: 22, QS. al-Kahf/ 18: 50, QS. Ṯâhâ/ 20: 117, QS. Fâṯir/ 35: 6, QS.
Yâsîn/ 36: 60, QS. al-Zukhruf/ 43: 62, QS. al-Isrâ‟/ 17: 53.
11 Tipu daya setan kepada saudara-saudara Yusuf untuk mencelakai adiknya,
Yusuf. Seperti dalam QS. Yûsuf/ 12: 5.
Antar manusia 12/
13/
14
Ketetapan Allah mengenai adanya pertikaian dan permusuhan antar manusia di
dunia. Seperti dalam QS. al-Baqarah/ 2: 36, QS. al-A„râf/ 7: 24, QS. Ṯâhâ/ 20:
123.
15 Syariat Allah mengenai pembunuhan antara dua pihak. Seperti dalam QS. al-
Nisâ‟/ 4: 92.
16/
17
Penyesalan Nabi Musa yang membantu salah satu dari dua pihak yang
bermusuhan. Seperti dalam QS. al-Qasas/ 28: 15 dan 19.
18 Permusuhan antar manusia, kecuali yang bertakwa, di hari kiamat. Seperti
dalam QS. al-Zukhruf/ 43: 67.
19 Kewaspadaan terhadap orang yang mau menjerumuskan kita, bahkan itu
keluarga sendiri. Seperti dalam QS. al-Taghâbun/ 64: 14.
Permusuhan
terhadap Allah
20/
21/
22
Siapa yang memusuhi Allah, rasul-rasul, dan malaikat-malaikat-Nya, maka ia
adalah musuh Allah. seperti dalam QS. al-Baqarah/ 2: 97 dan pada ayat 98 yang
disebutkan dua kali.
50
23 Larangan menjadikan musuh Allah menjadi teman dekat. Seperti dalam QS. al-
Mumtahanah/ 60: 1.
24 Kisah Ibrahim dan Azar yang tidak beriman kepada Allah. seperti dalam QS. al-
Taubah/ 9: 114.
25 Kisah kedurhakaan Fir‟aun. Seperti dalam QS. Ṯâhâ/ 20: 39.
Orang mukmin
dan orang kafir
26/
27
Anjuran Allah untuk bersiap-siap menghadapi orang kafir. Seperti dalam QS.
al-Anfâl/ 8: 60, disebutkan dua kali dalam satu ayat.
28 Anjuran untuk berperang bersama Nabi Muhammad meski ia tidak merasakan
kepayahan yang diakibatkan orang kafir. Seperti dalam QS. al-Taubah/ 9: 120.
29 Diperbolehkan men-qashar shalat jika ia takut diserang oleh orang kafir.
Seperti dalam QS. al-Nisâ‟/ 4: 101.
30 Larangan menjadikan musuhnya (orang kafir) sebagai teman dekat. Seperti
dalam QS. al-Mumtahanah/ 60: 1.
Rasul dan
Kaumnya
31/
32
Kisah Musa dan Fir‟aun. Seperti dalam QS. Ṯâhâ/ 20: 39, QS. al-Qasas/ 28: 8.
33 Kisah Ibrahim dan kaumnya. Seperti dalam QS. al-Syu„arâ‟/ 26: 77.
34/
35
Ketetapan Allah mengenai adanya musuh bagi tiap-tiap nabi. Seperti dalam QS.
al-An„âm/ 6: 112, QS. al-Furqân/ 25: 31.
Munafik 36 Karakter munafik. Seperti dalam QS. al-Munâfiqûn/ 63: 4.
37 Tidak bolehnya orang munafik ikut berperang dengan Rasulullah. Seperti dalam
QS. al-Taubah/ 9: 83.
51
Bani Israil dan
Fir‟aun
38 Penindasan Fir‟aun Terhadap Bani Israil. Seperti dalam QS. al-A‟râf/ 7: 129.
39 Penyelamatan Allah Kepada Bani Israil. Seperti dalam QS. Ṯâhâ/ 20: 80, dll.
14 Isim Masdar
„adāwah (عداوة)
6 kali Yahudi 1 Orang Yahudi dan orang musyrik ialah orang yang keras terhadap Islam.
Seperti dalam QS. al-Mâ‟idah/ 5: 82.
2/ 3 Permusuhan internal antar Bani Israil. Seperti dalam QS. al-Mâ‟idah/ 5: 14, 64.
Godaan setan 4 Peringatan untuk tidak mengikuti setan termasuk dalam hal berjudi dan mabuk.
Seperti dalam QS. al-Mâ‟idah/ 5: 91.
Antar manusia 5 Anjuran untuk menolak kejahatan dan permusuhan dengan kebaikan. Seperti
dalam QS. Fussilât/ 41: 24.
Rasul dan
kaumnya
6 Nabi Ibrahim yang berlepas tangan terhadap kaumnya. Seperti dalam QS. al-
Mumtahanah/ 60: 4.
15 Isim Masdar
„udwân (عدوان)
8 kali Yahudi 1/ 2 Sikap buruk Bani Israil yang berlomba-lomba dan tolong menolong dalam
kejahatan dan permusuhan. Seperti dalam QS. al-Baqarah/ 2: 85, QS. al-
Mâ‟idah/ 5: 62.
Orang mukmin
dan orang kafir
3 Anjuran memerangi permusuhan orang kafir sampai hilangnya fitnah dan
permusuhan itu sendiri. Seperti dalam QS. al-Baqarah/ 2: 193.
4 Larangan membalaskan dendam lebih kepada musuhnya yang didasari oleh
kebencian, seperti dalam QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2.
Waktu 5 Perjanjian Nabi Musa untuk mengabdi kepada Nabi Syuaib selama batas waktu
yang ditentukan, tidak lebih. Seperti dalam QS. al-Qasas/ 28: 28.
Antar manusia 6/ 7 Anjuran untuk menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan. Seperti
dalam QS. al-Mujâdalah/ 58: 8 dan 9.
Balasan hari
akhir
8 Neraka sebagai balasan bagi yang melanggar hukum dan berbuat dzalim.
Seperti dalam QS. al-Nisâ‟/ 4: 30.
52
16 Isim Masdar
„udwah (عدوة)
2 kali Tempat 1/ 2 Posisi antara kubu muslim dan kubu orang kafir pada saat perang Badar. Seperti
dalam QS. al-Anfâl/ 8: 42 yang disebutkan 2 kali.
17 Sîghat
mubâlaghah
jama‟ a„dā‟
(أعداء)
7 kali Balasan hari
akhir
1 Kekekalan Neraka Sebagai Balasan Terhadap Musuh-Musuh Allah. seperti
dalam QS. Fussilât/ 41: 28.
2 Sesembahan orang-orang kafir akan menjadi musuh-musuh orang kafir itu
sendiri. Seperti dalam QS. al-Ahqâf/ 46: 6.
3 Balasan atas musuh-musuh Allah. seperti dalam QS. Fussilât/ 41: 19.
Orang mukmin
dan orang kafir
4 Kekejaman orang kafir yang menginginkan orang mukmin menjadi kembali
kafir. Seperti dalam QS. al-Mumtahanah/ 60: 2.
5 Allah sebagai pelindung orang mukmin dari orang kafir. Seperti dalam QS. al-
Nisâ‟/ 4: 45.
Antar manusia 6 Printah mensyukuri rasa persaudaraan yang ada setelah adanya permusuhan di
kalangan manusia setelah datangnya Islam. Seperti dalam QS. Âli „Imrân/ 3:
103.
Rasul dan
kaumnya
7 Kisah Musa dan Harun menghadani kedurhakaan Bani Israil. Seperti dalam QS.
al-A„râf/ 7: 150.
53
Dari penjabaran penulis mengenai dimensi „aduww dalam al-Qur‟an penulis
ingin menjabarkan agensi „aduww dalam beberapa garis besar, seperti di bawah ini:
NO. AGENSI ‘ADUWW AYAT
01 Allah dan Makhluk-
Nya (Mukmin,
Yahudi, Kafir, dll.)
Al-Baqarah/ 2: 61, 65, 97, 98, 173, 178, 229; Âli „Imrân/ 3:
112; al-Nisâ‟/ 4: 1, 14, 30, 154; al-Mâ‟idah/ 5: 78, 87, 94,
107; al-An‟âm/ 6: 119, 145; al-A„râf/ 7: 55, 163; al-Taubah/
9: 114; Ṯâhâ/ 20: 39; Yûnus/ 10: 74; al-Nahl/ 16: 115; QS.
al-Mu‟minûn/ 23: 7; al-Syû„arâ‟/ 26: 166; Fussilât/ 41: 19,
28; Ahqâf/ 46: 6; al-Mumtahanah/ 60: 1; al-Ma‟ârij/ 70: 31;
Qâf/ 50: 25; Al-Ṯalâq/ 65: 1; Muṯaffifîn/ 83: 12.
02 Antar Manusia Al-Baqarah/ 2: 36, 190, 194, 231; Âli Imrân/ 3: 103; al-
Nisâ‟/ 4: 45, 92, 101; al-Mâ‟idah/ 5: 2, 14, 64, 82; al-An„âm/
6: 108, 112; al-A„râf/ 7: 24, 129, 150; al-Taubah/ 9: 10, 83,
120; Ṯâhâ/ 20: 39, 80, 123; Yûnus/ 10: 90; al-Anfâl/ 8: 60;
al-Syuarâ‟/ 26: 77; al-Qasas/ 28: 8, 13, 19; al-Furqân/ 25: 31;
Fussilât/ 41: 24; al-Mumtahanah/ 60: 1, 2, 4, 7; al-
Taghâbûn/ 64: 14; al-Zukhruf/ 43: 67; Munâfiqûn/ 63: 4;
Mujâdalah/ 58: 8, 9; al-Qalam/ 68: 12
03 Setan QS. al-Baqarah/ 2: 168, QS. al-Baqarah/ 2: 208, QS. al-
Mâ‟idah/ 5: 91; QS. al-An„âm/ 6: 142, QS. al-A„râf/ 7: 22,
QS. al-Kahf/ 18: 50, QS. Ṯâhâ/ 20: 117, QS. Fâṯir/ 35: 6, QS.
Yâsîn/ 36: 60, QS. al-Zukhruf/ 43: 62, QS. al-Isrâ‟/ 17: 53
03 Hewan Al-„Âdiyât/ 100: 1
04 Waktu Al-Qasas/ 28: 28
05 Tempat Al-Anfâl/ 8: 42
Dari beberapa agensi „aduww penulis menfokuskan pada agensi „aduww antar
manusia yang meliputi:
1. Hubungan orang mukmin dan orang kafir:
a. Diperbolehkan memerangi orang kafir ketika diserang sampai hilangnya
fitnah dan permusuhan, tidak sampai melampaui batas Seperti di QS. al-
Baqarah/ 2: 190, 194.
b. Bersiap-siap dalam menghadapi musuh. Seperti dalam QS. al-Anfâl/ 8: 60
54
c. Anjuran berperang bersama meski tidak merasakan kepayahan dari
musuh. Seperti dalam QS. al-Taubah/ 9: 120.
d. Kerasnya permusuhan Yahudi, orang kafir dan orang musyrik terhadap
Islam, seperti dalam QS. al-Mâ‟idah/ 5: 82.
e. Larangan mengikuti dan dekat dengan orang kafir, seperti dalam QS. al-
Mumtahanah/ 60: 1, dan QS. al-Qalam/ 68: 12.
2. Pencegahan akan munculnya permusuhan dalam al-Qur‟an:
a. Larangan membalaskan dendam dengan didasari oleh kebencian. Seperti
di QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2.
b. Dianjurkan hidup rukun dan damai berdampingan dengan orang non-
muslim. Seperti dalam QS. al-Mumtahanah/ 60: 7.
c. Jangan memancing permusuhan dengan menghina orang muslim. Seperti
dalam QS. al-An„âm/ 6: 108.
d. Membalas permusuhan dengan kebaikan, seperti dalam QS. Fussilât: 34.
e. Mensyukuri persaudaraan dan persatuan setelah hilangnya permusuhan,
seperti dalam QS. Âli „Imrân/ 3: 103.
f. Memaafkan, seperti dalam QS. al-Taghâbûn/ 64: 14.
3. Syariat dalam permusuhan:
a. Mengenai qishash dan denda akibat terjadinya pembunuhan anatar dua
pihak yang bermusuhan. Seperti dalam QS. al-Nisâ‟/ 4: 92.
b. Diperbolehkan menqashar shalat dalam keadaan perang dan was-was akan
musuh. Seperti dalam QS. al-Nisâ‟/ 4: 101.
4. Ketetapan akan adanya permusuhan di dunia:
55
a. Sejak pertama di dunia, seperti dalam QS. al-Baqarah/ 2: 36, QS. al-A„râf/
7: 24, QS. Ṯâhâ/ 20: 123.
b. Sampai hari kiamat, seperti dalam QS. al-Zukhruf/ 43: 67.
c. Musuh bagi tiap-tiap nabi, seperti dalam QS. al-An„âm/ 6: 112, QS. al-
Furqân/ 25: 31.
5. Permusuhan internal Yahudi sebagai balasannya dalam memusuhi Allah,
seperti dalam QS. al-Mâ‟idah/ 5: 64.
6. Kisah permusuhan para Nabi:
a. Nabi Musa dan Fir‟aun, seperti dalam QS. Ṯâhâ/ 20: 39, QS. al-Qasas/ 28:
8.
b. Nabi Ibrahim dan kaum yang memusuhinya, seperti dalam QS. al-
Syu„arâ‟: 77, QS. al-Mumtahanah/ 60: 4.
c. Nabi Musa dan Harun terhadap kedurhakaan Bani Israil, seperti dalam
QS. al-A„râf/ 7: 150.
Namun, pada proses semiosis yang dipakai penulis hanya terfokus pada
agensi „aduww antar manusia yaitu pada makna pencegahan akan munculnya
permusuhan dalam al-Qur‟an pada QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2, QS. al-Fussilât/ 41: 34 dan
QS. al-Taghâbun/ 64: 14. Pembatasan ini dilakukan dengan pertimbangan teoritis dan
pragmatis. Secara teoritis, aplikasi analisa semiotika memerlukan kasus yang
mewakili fenomena yang didiskusikan, agar peneliti dapat menjaga keteraturan kajian
dan memastikan ketuntasan aplikasi analisa teori yang digunakan. Secara pragmatis,
pembatasan pada aspek pencegahan terjadinya permusuhan antar sesama manusia
56
menurut al-Qur‟an memiliki kekuatan dan relevansi tinggi dalam perkembangan
zaman sekarang yang semakin kompleks.
D. Penafsiran Para Ulama
Dalam pembagian dimensi „aduww sesama manusia dalam al-Qur‟an perlu
kiranya penulis mengetahui sebab turunya ayat (konteks) untuk membantu penulis
memahami ayat. Kemudian penulis juga perlu mendiskusikan pendapat mufassir
untuk kepentingan perbandingan dan pelacakan history of idea-nya. Untuk keperluan
tersebut penulis mendiskusikan pendapat tiga mufassir yang dapat
mengkontekstualisasikan dimensi „aduww, yaitu: al-Tâbarî, fî Ẕilâl al-Qur‟an, dan
tafsir al-Misbâh.
Tafsir-tafsir tersebut sangat dibutuhkan untuk mendiskusikan hubungan
dengan makna dari kata „aduww. Hubungan makna dari kata „aduww dengan teks-
teks lainnya disebut intertekstualitas. Intertekstualitas tersebut sangat dibutuhkan
dalam penelitian ini untuk membantu proses penggalian makna semiotika Charles
Sanders Peirce pada tahapan thirdness dalam relasi antar tanda yang bersifat maknawi
(interpretasi) fokus kajiannya pada teks.
Selain itu, penafsir ketiga kitab tafsir tersebut merupakan representasi yang
kuat sebagai perwakilan zaman ataupun perwakilan kecenderungan pemikiran. Imam
al-Tabarî15
dalam tafsirnya Jâmi„ al-Bayân fî Ta‟wîl Ây al-Qurân mengungkap
beragam makna al-Qur‟an dan susunan bahasa. Dalam tafsirnya tidak hanya
15
Imam Al-Tâbarî yang bernama lengkap Abû Ja„far Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin
Katsîr bin Ghâlib al- Al-Tâbarî ini lahir pada tahun 223 H, sedangkan Nabi Muhammad wafat pada
tahun 57 H. Rentan waktu antara mereka berdua adalah 166 tahun. Lihat Husnul Hakim, Ensiklopedia
Kitab-kitab Tafsir; Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir Dari Masa Klasik Sampai Masa Kontemporer
(Depok: ELSIQ Press, 2013), h. 5.
57
mencantumkan dari beberapa riwayat, ia juga menjelaskan tentang huruf-huruf al-
Qur‟an yang sama penuturnya dengan bahasa-bahasa lain. Kemudian ia berbicara
masalah bahasa-bahasa al-Qur‟an yang mana diturunkan dengan bahasa-bahasa Arab
yang bermacam-macam.16
Kemudian mufassir kedua adalah Sayyid Quṯb17
memiliki Tafsîr fî Ẕilâl al-
Qur‟ân yang menggunakan metode tahlîlî/ tartib mushafi dan memiliki corak
penafsiran al-Adabî al-Ijtimâ„i (sastra, budaya, dan kemasyarakatan) yang memiliki
kecendrungan ekspresi ortodoks modern-nya. Ketiga adalah Tafsîr al-Misbâh karya
M. Quraish Shihab18
yang memiliki kecenderungan rasionalisasi kebijaksanaan
tradisionalnya. Dianggap penting oleh penulis, untuk memahami makna kata „aduww
dalam bingkai konteks keindonesiaan modern. Dari Ketiga mufassir tersebut
menekankan pada kontribusi interpretasi ayat, sehingga ketiga mufassir tersebut
memiliki otoritas dalam menggali dimensi tanda/ makna „aduww. Berikut ini adalah
pemaparannya:
16
Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 72. 17
Nama lengkapnya adalah Sayyid Quṯb Ibrâhîm Husain al-Syâdzilî. Beliau ini dilahirkan
pada tanggal 9 Oktober 1906 di Desa Musya, sebuah desa yang terletak di Provinsi Asyuth (salah satu
provinsi dengan akar peradaban paling tua di Mesir yang terletak paling selatan dan berbatasan dengan
Negara Sudan). Beliau menulis tafsir momentalnya yaitu Fî Ẕilâl al-Qur‟ân dalam penjara, beliau
menjadikan penjara sebagai tempat meningkatkan iman dan ilmunya. Lihat Shalah al-Khalidî, Biografi
Sayyid Quṯb (Yogyakarta: Pro-U Media, 2016), h. 23. 18
Salah satu tujuan M. Quraish Sihab menulis Tafsir al-Mishbâh yaitu memberikan langkah
yang mudah bagi umat Islam dalam memahami isi dan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dengan jalan
menjelaskan secara rinci tentang pesan-pesan yang dibawa oleh al-Qur‟an dan juga menjelaskan
tentang tema-tema yang berkaitan tentang perkembangan kehidupan manusia. Lihat Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. vii.
58
1. Teks al-Qur’an
a) QS. Al-Taghâbûn/ 64: 14
منأزواجكموأولدكمعدوالكمفاحذروىموإنت عفواوتص اللوياأي هاالذينآمنواإن فحواوت غفروافإن()غفوررحيم
Artinya: “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu
dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
(mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
b) QS. al-Fussilât/ 41: 34
نوعداوة نكوب ي يئةادفعبالتىيأحسنفإذاالذيب ي يمولتستويالسنةولالس ()كأنوولح
Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan
itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara
dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”.
c) QS. al-Mâ’idah/ 5: 2
أي ها ييا آم ول القلئد ول الدي ول الرام هر الش ول اللو شعائر لوا ت ل آمنوا الرامالذين الب يتشنآ يرمنكم ول فاصطادوا حللتم وإذا ورضوانا م رب من فضل المسجدي بت غون عن وكم صد أن ق وم ن
وات ق والعدوان ث اإل على ت عاونوا ول قوى والت الب على وت عاونوا ت عتدوا أن شديدالرام اللو إن اللو وا ()العقاب
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-
syi´ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya”.
59
2. Asbâb al-Nuzûl
a) QS. al-Taghâbun/ 64: 14
Menurut al-Suyûṯî yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzî dan al-Hâkim yang
telah dishahihkan oleh keduanya yang bersumber dari Ibn al-„Abbâs yang berkata:
bahwa turunnya ayat ini جكممنإنءامن واٱلذينأي هاآي لكعدووأولدكمأزو فٱحذروىمما
berkenaan dengan kaum ahli Mekah yang telah masuk Islam, tetapi isteri-isteri dan
anak-anak mereka tidak mau berhijrah ke Madinah. Ketika mereka sampai ke
Madinah, mereka melihat teman-temannya banyak yang pandai dan memahami
agama, karena mendapatkan pelajaran dari Rasulullah Saw. Mereka hendak menyiksa
isteri-isteri dan anak-anaknya karena menjadi penghalang hijrah ke Madinah. Maka
Allah menurunkan ayat berikutnya “ وإ رحيمغفورٱللوفإنفرواوت غفحواوتصافوعت ن
berkenaan dengan peristiwa itu yang menegaskan bahwa Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyanyang.19
b) QS. al-Mâidah/5:2
Menurut al-Suyûṯî pada penggalan ayat “Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” memiliki asbâb al-nuzûl yang
19
Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân al-Suyûṯî, Lubâb Al-Nuqûl fī Asbâb al-Nuzûl, h. 267.
60
diriwayatkan oleh Ibn Abî Hâtim dari Zaid ibn Aslam bahwasanya ia berkata,
“Rasulullah Saw dan para sahabat berada di Hudaibiyyah ketika orang-orang musyrik
menghalangi mereka pergi ke Baitullah. Hal itu membuat marah para sahabat ketika
dalam keadaan demikian, beberapa orang musyrik dari daerah Timur melintasi
mereka menuju Baitullah untuk melakukan umrah, para sahabat berkata, “Kita
halangi mereka agar tidak pergi ke Baitullah, sebagaimana mereka menghalangi
kita”. Lalu Allah Swt menurunkan firman-Nya, “dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidil Haram…).20
Tergambar bahwa ayat ini merupakan larangan keras agar para sahabat tidak
melakukan balas dendam kepada orang yang telah menghalang-halanginya dalam
perjalanan ke Masjidil Haram. Sebaiknya menolong mereka dalam kebajikan dan
takwa. Menurut penulis dari latar belakang ini dapat kita lihat bahwa al-Qur‟an
mengajarkan kita untuk membalas kejahatan seseorang tidak harus dengan kejahatan,
melainkan dengan kebaikan.
3. Penafsiran Al-Tâbarî
a) QS. al-Taghâbun/ 64: 14
Pada ayat ini al-Ṯabarî menjelaskan bahwa Allah Swt memerintahkan kepada
orang Beriman kepada-Nya dan rasul-nya, bahwa “Sesungguhnya diantara anak dan
istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu,” yang menghalangi
kalian dari jalan Allah Swt dan merintangi kalian dari ketaatan kepada Allah Swt.
20
Al-Suyûṯî, Lubâb Al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl, h. 118
61
“Maka berhati-hatilah kamu,” waspadalah kamu, jangan sampai menuruti keinginan
mereka untuk tidak menaati Allah Swt. karena disebutkan juga ayat ini diturunkan
berkenaan dengan orang-orang yang ketika itu hendak masuk Islam dan ikut
berhijrah, namun istri-istri dan anak-anak mereka menghalang-halangi mereka.21
Sebagaimana yang telah digambarkan al-Tabarî dalam sebuah riwayat:
Hannâd ibn al-Sarî menceritakan kepada kami, dia berkata: Abu al-Ahwas
menceritakan kepada kami dari Samak, dari Ikrimah, tentang firman Allah, firman
Allah Swt, “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-
anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu”. dia berkata,
Ketika itu ada seseorang laki-laki hendak menemui Rasulullah Saw, namun
keluarganya berkata kepadanya, “Ke mana engkau akan pergi dan meninggalkan
kami?”, laki-laki ini telah berislam dan memiliki pemahaman yang dalam tentangnya.
Ia berkata, “Aku akan kembali karena mereka telah menghalang-halangi hal ini. Aku
benar-benar akan melakukanya, aku akan membalas mereka”. Allah Swt menurunkan
kelanjutan ayat nya yang berfirman: “Jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.22
Maksud firman Allah Swt: “Jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. Menurut al-Tabarî jika orang beriman memaafkan perbuatan anak dan
yang menghalang-halangi kalian dari hijrah di jalan Allah Swt, dan mengampuni
21
Abû Ja„far Muhammad ibn Jarîr al-Tâbarî, Tafsîr al-Tâbarî, Penerjemah: Akhmad Affandi,
Juz 25 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 122. 22
Al-Tâbarî, Tafsîr al-Tâbarî, Juz 25, h. 123.
62
mereka dengan mengurungkan niat kalian untuk membalas mereka, serta
mengampuni kesalahan-kesalahan mereka lainya. Karena Allah Maha pengampun
dan penyayang bagi hambanya yang mau bertaubat. 23
Bahwa pendapat Imam al-
Tâbarî mengenai ayat ini terlihat bahwa ketika sebagian anak dan istri bisa menjadi
musuh maka sikap yang paling utama dilakukan oleh para mukmin adalah
memaafkan.
b) QS. al-Fussilât/ 41: 34
Menurut al-Ṯabarî penggalan ayat pada QS. al-Fussilât ayat 34 yang berbunyi
“walâ tastawî al-hasnât walâ al-sayyi‟ât/ “Dan tidaklah sama kebaikan dengan
kejahatan”, maksudnya adalah sesuatu yang tidak sama dengan sesuatu yang lain,
maka sebagiannya pun tidak sama dengan sesuatu yang lain, maka sebagaiannya pun
tidak sama dengan yang lain, maka yang lain itu juga sama denganya.24
Atau tidaklah
sama antara iman kepada Allah dengan taat kepada-Nya, dan mempersekutukan Allah
dengan melakukan perbuatan durhaka kepada-Nya.
Maka dari sini Allah berfirman: Idfa„ billatî hiya ahsan/ “Tolaklah (kejahatan
itu) dengan cara yang lebih baik”, maksudnya adalah Allah Swt berfirman kepada
Nabi Muhammad Saw, “Wahai Muhammad, tolaklah kebodohan orang yang berbuat
bodoh kepadamu dan berbuat jahat kepadamu dengan kesabaran dan maafmu.
Tolaklah sesuatu yang tidak menyenangkan dari mereka dengan sikap sabarmu”.
Seperti yang digambarkan pada riwayat:
“Ali menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Shalih menceritakan kepada
kami, ia berkata: Mu‟awiyah menceritakan kepadaku dari Ali, dari Ibnu Abbas,
23
Al-Tâbarî, Tafsîr al-Tâbarî, Juz 22, h. 128. 24
Al-Tâbarî, Tafsîr al-Tâbarî, Juz 22, h. 750.
63
tentang ayat, Idfa„ billatî hiya ahsan”/ “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik”, ia berkata, “Allah memerintahkan orang beriman agar bersabar ketika
marah dan memaafkan ketika disakiti. Jika mereka mampu melakukan itu, maka
Allah Swt pasti menjaga mereka dari setan, dan musuh mereka pasti tunduk kepada
mereka, seakan-akan musuh mereka itu menjadi penolong yang setia.”25
Dan al-Tâbarî juga menjalaskan makna adâwah di sana, sebagaimana
penggalan firman Allah Swt: “maka tiba-tiba orang yang diantaramu dan diantara Dia
ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia,” maksudnya
adalah, Allah berfirman, “Wahai Muhammad, lakukanlah apa yang Aku perintahkan
kepadamu ini. Balaslah kejahatan orang yang berbuat jahat kepadamu dengan berbuat
baik, seperti yang Aku perintahkan kepadamu, sehingga orang yang berbuat jahat
kepadamu itu bersikap lembut kepadamu dan berbuat baik kepadamu seakan-akan ia
adalah teman dekatmu yang berasal dari keluarga dekatmu”, seperti yang telah
digambarkan pada riwayat:
“Bisyr menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid menceritakan kepada
kami, ia berkata: Sa‟id menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa‟id menceritakan
kepada kami dari Qatadah, tentang ayat, Seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia,” ia berkata, maksudnya adalah seolah-olah telah menjadi teman dekat.”26
Pendapat Imam al-Ṯabarî ini menekankan bahwa segala hal perbuatan buruk
yang dilakukan kepada kita sebagai manusia harus dibalas dengan perbuatan baik.
Karena dengan sikap membalas dengan kebaikan itu akan membuat manusia tersebut
memiliki hubungan persaudaraan yang harmonis.
c) QS. al-Mâ’idah/ 5: 2
Pada ayat ini al-Tâbarî menjelaskan secara komprehensif, akan tetapi penulis
hanya mengambil penjelasan mengenai ta„tadû dan „udwânan. Pada kata ta„tadû/
25
Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Juz 8, h. 751-752. 26
Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Juz 8, h. 753-754.
64
berbuat aniaya (kepada mereka), maksudnya adalah melampaui batas yang telah
ditetapkan Allah Swt dalam meyikapi mereka. Dengan demikian, takwil ayatnya
adalah “Wahai orang-orang beriman, janganlah sekali-kali kebencian kepada suatu
kaum yang menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram membawa kalian berbuat
zalim terhadap hukum Allah, dalam memperlakukan mereka sehingga kalian
melampaui batas yang dilarang, melainkan tetaplah taat kepada Allah Swt pada
perkara yang kalian sukai dan kalian benci.27
Digambarkan pada suatu riwayat yang berkaitan dengan larangan menuntut
balas dendam pada masa Jahiliyyah. Muhammad bin Amr menceritakan kepadaku, ia
berkata: Abu Ashim menceritakan kepadaku, ia berkata: Isa menceritakan kepada
kami dari Ibn Abi Najih, dari Mujahid, tentang firman Allah Swt, “an ta„tadû/
berbuat aniaya (kepada mereka)”, bahwa seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah
Saw membunuh seseorang laki-laki dari sahabat Rasulullah saw membunuh
seseorang dari sekutu Abu Sufyan dari Hudzail pada hari penaklukan Mekah di
Arafah, karena ia pernah membunuh seorang sekutu Muhammad SAW, maka beliau
bersabda: “ Allah melaknat orang yang membunuh karena dendam Jahiliyyah.28
Kemudian al-Tabarî juga menjelaskan bahwa penggalan ayat selanjutnya
mengenai firman Allah Swt: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Hendaknya saling menolong di antara kalian dalam kebaikan, yakni
melaksanakan perintah-Nya”.
27
Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Juz 22, h. 287. 28
Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Juz 22, h. 288.
65
Kata yang diartikan “taqwâ” di sini adalah menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi durhaka kepada-Nya. Sedangkan kata yang diartikan “Dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa”, maksudnya adalah, “Hendaklah satu sama lain di
antara kalian tidak tolong-menolong dalam berbuat dosa, yakni dalam hal
meninggalkan perintah Allah Swt. dan dilanjutkan dengan “pelanggaran” maksudnya
adalah hendaknya tidak melampaui batas-batas yang telah Allah Swt tentukan untuk
kalian dalam agama kalian dan kewajiban bagi kalian terhadap diri kalian sendiri dan
orang lain”.
4. Penafsiran Sayyid Quṯb
Pada tahun 1954-1955 Quṯb menulis tafsinya yang menomental yaitu “Fî Zilâl
al-Qurân”. Pada saat beliau berada di penjara dan dalam kondisi yang sedang sakit.
Walaupun beliau di penjara beliau tidak mau mengucilkan diri, sibuk dengan duka,
beban, atau sakit yang dideritanya.29
Sebelum beliau masuk penjara dan menulis tafsirnya, kondisi Mesir pasca
Perang Dunia II (PD II) pada tahun 1949, baik di bidang politik, sosial, maupun
ekonomi sangat menghawatirkan. Tentara Colonial Inggris menduduki Mesir. Di
samping itu, Raja Faruk yang bobrok masih bercokol dan didukung para pengikut
setianya. Kaum komunis pun giat mempropagandakan paham mereka, dengan cara
memberi iming-iming murahan kepada rakyat miskin, kelompok buruh, dan petani
dengan surge palsu, tentunya dengan mengekspoitasi situasi yang tidak baik.30
29
Al-Khulidî, Biografi Sayyid Quthb, h. 250. 30
Al-Khulidî, Biografi Sayyid Quthb, h. 181.
66
Penderitaan ini turut dirasakan oleh Sayyid Quṯb yang merasa gelisah melihat
fenomena sosial yang buruk. Fenomena yang terjadi pada saat itu sangat
mempengaruhinya sampai tibanya ia di penjara dan merenungkan al-Qur‟an dan
membuat karya tafsir yang menumental ini. Di bawah ini adalah penafsiran:
a) QS. al-Taghâbun/ 64: 14
Menurut Quṯb bahwa penafsiranya pada ayat ini yang menekankan pada kata
„aduww atau anak dan istri dapat menjadi musuh karena mereka menjadi penyebab
kekurang optimalan dalam mengemban berbagai beban tanggung jawab keimanan,
seperti seorang Mukmin menunaikan kewajibannya secara optimal lalu ia
menghadapi apa yang dihadapi seorang Mujahid di jalan Allah Swt menghadapi
resiko dan pengorbanan yang sangat besar, dan keluarganya mengalami kesulitan.
Bisa jadi seorang Mujahid ini sanggup menghadapi kesulitan akan tetapi anak dan
istri tidak sanggup menghadapinya, sehingga ia bersikap bakhil dan takut demi untuk
memberikan kenyamanan dan keamanan atau kesenangan harta untuk mereka. Atau
bisa saja mereka berada pada jalan yang bersebrangan dengan jalanya sedangkan dia
tidak mampu memisahkan diri dari mereka dan melakukan totalitas untuk Allah Swt
semata. Hal demikian menurut Quṯb merupakan sebagaian gambaran permusuhan
yang berbeda-beda tingkatanya.31
Menurut penulis, kondisi seperti itu merupakan permusuhan yang kompleks
dan saling berkaitan ini memerlukan peringatan dari Allah Swt, untuk
31
Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân; Di bawah Naungan al-Qur‟an, Penerjemah: Aunur
Rafiq Shaleh Tamhid dan Khoirul Halim, Cet. 1, Juz 11 (Jakarta: Rabbani Press, 2002), h. 508.
67
membangkitkan kesadaran di dalam hati orang-orang beriman dan mewaspadai
penyelinapnya perasaan-perasaan ini dan tekanan dari berbagai faktor.
Pendapat mengenai seorang suami dalam menjadi Mujahid juga dibuktikan
dengan dirinya yang lebih mementingkan menyibukkan diri untuk menjadi seorang
Mujahid dengan para tokoh revolusi dan kelompok Ikhwân al-Muslimîn sehingga
menyita seluruh waktunya. Walaupun beliau berniat ingin menikah, akan tetapi
hubungan tersebut gagal sampai hampir usia Quṯb 57 tahun.32
a) QS. al-Fussilât/ 41: 34
Menurut Sayyid Quṯb penggalan ayat walâ tastawî al-hasanât walâ sayyi‟ât/
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan”. Artinya tidak boleh membalas dengan
kejahatan, karena kebaikan itu tidak sama dampaknya sebagaimana tidak sama
nilainya dengan kejahatan. Kesabaran, toleransi, dan mengalahkan keinginan hati
untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Semua itu bisa mengembalikan jiwa
yang meradang kepada kondisi tentram dan yakin, sehingga permusuhan itu bisa
berbalik menjadi loyalitas, keras menjadi lembut: seperti firman Allah Swt: “Tolaklah
(kejahatan itu) dengan kebaikan”. Akhirnya ia melepas rasa malunya, kehilangan
kendali, dan bangkitlah kesombongannya yang menyebabkanya berbuat dosa.33
“Cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia
ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia”. Dari penggalan ayat
ini terbukti pada 99.9% kondisi. Kesallah berubah menjadi rasa sayang, marah
berubah menjadi tenang, sikap keras berubah menjadi malu; lantaran ucapan yang
32
Al-Khulidiy, Biografi Sayyid Quthb, h. 165. 33
Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, Juz 11, h. 506-507.
68
baik, intonasi yang tenang, senyuman yang hangat di wajah orang yang kesal, merah,
keras kepala, dan hilang kendali. Quṯb mengatakan jika perbuatan baik dibalas
dengan perbuatan yang sama, maka ia semakin kesal, marah, keras kepala, dan
membangkang.
Namun perbuatan membalas kejahatan dengan kebaikan sangat membutuhkan
hati yang besar, penyayang, dan lapang. Meskipun ia mampu berbuat jahat dan
membalas. Hal ini sangat penting agar toleransi membuahkan dampaknya, agar
kebaikan itu tidak dipersepsi sebagai kelemahan di hati orang yang berbuat jahat. Jika
dipersepsi sebagai kelemahan, maka ia tidak akan menghormatinya, dan kebaikan itu
tidak memiliki dampak sama sekali.
Quṯb juga mengatakan bahwa menolak kejahatan dengan kebaikan merupakan
mengalahkan dorongan-dorongan kebencian dan kemarahan, serta membutuhkan
kesabaran.34
Maka menurut penulis menolak kejahatan dengan kebaikan adalah satu
satu sikap toleransi yang baik dan dapat menghindari dari sikap permusuhan antara
sesama. Walaupun kita harus menahan dorongan-dorongan kemarahan kita terhadap
lawan („aduww).
Ketika Quṯb menafsirkan demikian, Quṯb mengalami hal yang membuatnya
sadar, bahwa meredam emosi adalah hal yang terbaik. Hal ini karena Quṯb pernah
mengalami suatu hal yang membuat dirinya tidak bisa mengendalikan emosi yang
mengakibatkan permusuhan tidak akan pernah selesai.
34
Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, Juz 10, h. 508.
69
b) QS. al-Mâ’idah/ 5: 2
Menurut Quṯb bahwa konteks ayat ini sekilas beribacara mengenai syiar-syiar
haji dan umrah, serta berbagai larangan bagi orang yang sedang ihram untuk haji dan
umrah.35
Akan tetapi penulis di sini tidak membahas mengenai larangan apa saja yang
dilarang di saat haji dan umrah. Akan tetapi lebih memfokuskan pada ranah ta„tadû/
„udwân. Dalam hal ini kata ta‟tadû merupakan penjelasan bahwa Allah Swt tidak
melampaui batas terhadap orang-orang yang menghalangi mereka dari Masjidil
Haram di tahun Hudaibiyyah, juga sebelumnya, sehingga tindakan ini melukai
perasaan kaum Muslimin dan menimbulkan kebencian di dalam hati mereka.
Kemudian Allah berfirman pada QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2 ini bahwa “Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya
(kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Swt amat berat siksa-Nya”.36
Menurut Quṯb firman Allah Swt merupakan puncak dalam hal pengendalian
diri dan toleransi hati, akan tetapi tidak menyulitkan jiwa manusia dan tidak
membebaninya dengan sesuatu di luar kemampuanya. Islam mengakui hak jiwa
manusia untuk marah dan membenci. Tetapi ia tiak berhak melakukan permusuhan
dalam gejolak kemarahan dan dorongan kebencian. Di satu sisi, Islam menjadikan
kerjasama umat Mu‟min dalam hal kebaikan dan taqwa, bukan dalam dosa dan
35
Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, Juz 3, h. 504. 36
Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, Juz 3, h. 506.
70
permusuhan. Kemudian mengancamnya dengan hukuman Allah dan
memerintahkannya untuk bertaqwa kepada-Nya, agar perasaan ini bisa membantu
dalam menahan amarah, mengendalian diri, bertoleransi, takut kepada Allah dan
mencari ridha-Nya.37
Menurut penulis, kondisi bangsa Arab saat itu kerjasama dalam
dosa dan permusuhan lebih dekat dan lebih kuat ketimbang kerjasama dalam
kebaikan dan takwa. Mereka saling membela dalam kebatilan sebelum kebenaran.
Sehingga tolong menolong pada suatu kaum dan dilarang berbuat dosa menjadi suatu
pelanggaran yang jika dilanggar sangat berat siksaan Allah Swt.
Pada penafsiran Sayyid Quṯb pada QS. al-Fussilât/41: 34 dan QS. al-Mâ‟idah/
5: 2, contoh kasusnya telah dialami oleh dirinya sendiri seperti perang sastra yang
terjadi di Padang pada tahun 1934-1947.38
Pada saat itu memang terjadi perang sastra
dan kritik sastra. Banyak sastrawan yang menjadi lawan pada saat itu denganya,
bahkan kata-kata yang sangat tajam. Quṯb dengan sifatnya yang keras tidak mau
sampai dikalahkan oleh lawanya, sampai ia mempersiapkan tameng yang kuat untuk
menampik serangan balik lawan.39
Di samping mempersiapakan tameng Quthb juga menggunakan gaya bahasa
yang keras dan tajam, menghunjam dan menggelegar. Tak jarang, bahasa yang ia
gunakan sangat kasar dan menusuk, bahkan hampir mendekati cacian dan makian.
Semua gaya ini ia pergunakan dalam melawan musuh-musuhnya.40
Dari sinilah
penulis beranggapan bahwa penafsiran yang ditulis saat itu dalam kondisi dimana
37
Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, Juz 3, h. 507. 38
Al-Khulidî, Biografi Sayyid Quthb, h. 140. 39
Al-Khulidî, Biografi Sayyid Quthb, h. 138. 40
Al-Khulidî, Biografi Sayyid Quthb, h. 139.
71
beliau dalam penjara merenungkan al-Qur‟an dan menyadari segala sikap yang terjadi
di masa lalu.
5. Penafsiran Quraish Shihab
Sebelum penulis menjelaskan penafsiran Quraish Shihab, terlebih dahulu
penulis akan menjelaskan situsasi sosial pada saat-saat Quraish menulis Tafsir al-
Mishbâh. Pada tahun 1998, tepatnya di akhir pemerintahan Orde Baru, ia pernah
dipercaya sebagai Menteri Agama oleh Presiden Suharto, kemudian pada 17 Febuari
1999, Quraish mendapat amanah sebagai Duta Besar Indonesia di Mesir. Kemudian
pada masa 1999-2003 Quraish sedang menulis tafsirnya dengan memberikan langkah
yang mudah bagi umat Islam dalam memahami isi dan kandungan ayat-ayat al-
Qur‟an dengan jalan menjelaskan secara rinci tentang pesan-pesan yang dijelaskan al-
Qur‟an. Di bawah ini adalah pesan yang ditulis oleh Quraish dalam Tafsir al-
Mishbâh:
a) QS. al-Taghâbun/64: 14
Quraish dalam ayat ini mengatakan bahwa sebagian pasangan dan anak
merupakan musuh dapat dipahami dalam arti sebenarnya, yaitu yang menaruh
kebencian dan ingin memisahkan diri dari ikatan perkawinan.
Sebagian pasangan dan anak merupakan musuh dapat dipahami dalam arti
musuh yang sebenarnya, yang menaruh kebencian dan ingin memisahkan diri dari
ikatan perkawinan. Ini bisa saja terjadi kapan dan di mana pun. Dan bisa juga
permusuhan dimaksud dalam pengertian majazi, yakni bagaikan musuh. Ini karena
dampak dari tuntunan dari mereka yang menjerumuskan pasanganya dalam kesulitan
72
bahkan bahaya, layaknya perlakuan musuh terhadap musuhnya.41
Ini karena dapat
menjerumuskan pasangannya dalam kesulitan, bahkan bahaya, layaknya perlakuan
musuh terhadap musuhnya. Dapat dipahami bahwa pasangan dan anak bisa menjadi
musuh karena sebab memisahkan ikatan perkawinan bahkan dapat menjadi korban
pembunuhan baik antara suami, istri dan anak.
Setelah penulis menelusuri tahun dimana Quraish menulis tafsirnya, penulis
melacak kondisi sosial pada masa tersebut di mana pada masa Quraish menulis
tafsirnya perceraian pada tahun tersebut semakin meningkat sampai 250.000 kasus
perceraian, setelah diteliti dampak keluarga yang mengalami perceraian pada tahun
1999-an menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga bercerai memiliki prestasi
akademik, perilaku, penyesuaian psikologis, konsep diri dan relasi sosial yang lebih
rendah dibanding keluarga yang sangat utuh.42
b) QS. al-Fussilât/ 41: 34
Pada ayat ini, Quraish terlebih dahulu menjelaskan kata la yang bermakna
tidak yang terdapat pada firman Allah Swt: wa lâ tastawî al-hasanât wa lâ al-
sayyi‟ât/ tidaklah sama kebaikan dan tidak (juga). Menurut Quraish kata lâ tersebut
bersifat ta‟kid yakni penekanan makna ketidaksamaan itu, ada juga yang berpendapat
bahwa penggalan ayat ini bermaksud mengisyaratkan adanya peringkat-peringkat
bagi kebajikan sebagaimana ada peringkat bagi kejahatan. Contohnya perbedaan
terhadap perbuatan kebaikan yang sangat baik seperti memaafkan sekaligus berbuat
baik kepada yang bersalah, ada juga yang hanya baik, seperti sekedar memaafkan
41
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh, Vol. 14, h. 279. 42
Asniar Khumas, “Model Penjelasan Intensi Cerai Perempuan Muslim”, Jurnal Fakultas
Psikologi, tanggal 3-Desember-201, h. 190.
73
tanpa berbuat baik. Sama halnya kejahatan ada yang mencapai puncak kejahatanya
itu sendiri seperti syrik yang tidak terhapus kecuali ketulusan bertaubat, dan ada juga
tingkatatnya seperti dosa kecil dan dapat dihapus dengan berwudhu dan shalat
begitupun seterusnya.43
Adapun kata yang dipakai pada ayat ini adalah menggunakan kata „adâwah
permusuhan bukan kata „aduww/ musuh, agar mencangkup segala macam
permusuhan dan peringatanya, dari yang rendah sampai dengan yang tertinggi.
Sehingga ayat ini dianjurkan agar berusaha berbuat baik kepada lawan selama dia
adalah seorang manusia bukan setan, karena jika yang kita ketahui bahwa
permusuhan setan yang abadi bukan manusia.44
Quraish juga menjelaskan bahwa ayat tersebut mempunyai pengaruh berbuat
baik terhadap manusia sekalipun terhadap lawan. Karena jika manusia bersikap
sebaliknya terhadap lawan dan memusuhi orang lain dan memperlakukanya secara
tidak wajar, maka pada saat itu pula sebenarnya dia sadari atau tidak ada benih
kebaikan dalam diri yang memusuhi itu terhadap yang dimusuhi ke bawah alam
sadarnya. Tetapi bila perlakuan yang tidak wajar tadi dihadapi oleh siapa yang
memusuhinya itu dengan sikap lemah lembut dan bersahabat, maka kemungkinan
besar sikapnya bersahabat dan lemah lembut itu mengundang munculnya benih-benih
kebaikan yang dipendam oleh yang memusuhinya tadi, sehingga tiba-tiba segera pula
ia nampak ke permukaan, sehingga dikatakan kelanjutan ayat ini maka tiba-tiba
43
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh, Vol. 12, h. 413-414. 44
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 12, h. 414.
74
orang antaramu dan antara dia ada permusuhan, akan berubah terhadapmu sehingga
seolah-olah dia telah menjadi teman yang setia.45
Saat Quraish menulis tafsirnya, terjadi konflik agama yang terjadi di Ambon.
Yang terjadi pada tanggal 1 januari 1999 yang menewaskan tujuh orang dan
menghanguskan sekitar 200 rumah. Dari beberapa jurnal maupun makalah dan juga
cerita dari orang-orang yang tinggal di sana, konflik antar orang muslim dan non
muslim di ambon dipicu oleh keegoisan kedua belah pihak yang tidak mau mengalah
dan mengakibatkan korban lebih banyak lagi.46
Selain di Ambon juga terdapat di Maluku Utara, konflik ini pertama kali
terjadi pertama kali terjadi bulan Agustus 1999 yang di picu oleh pertikaian anatara
suku Kao yang merupakan suku asli daerah tersebut dengan suku Makian yang
merupakan pendatang dari pulau Makian. Pada konflik ini kurang lebih 16 desa Suku
Makian diratakan dengan tanah, sementara jumlah korban yang meninggal kurang
100 orang dan kebanyakan dari komunitas Islam.47
Sehingga penulis berpendapat
bahwa penafsiran Quraish mengenai ayat ini memberikan pesan penting pada masa
tersebut agar menolak kejahatan dengan kebaikan.
c) QS. al-Mâidah/5:2
Quraish menyatakan bahwa ayat ini berkaitan erat dengan haji dan umrah.
Akan tetapi dalam ayat ini, penulis tidak memfokuskan dalam pembahasan haji dan
umrah. Akan tetapi lebih menekankan kepada kata „udwân/ ta„tadû yang pada
45
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 12, h. 415. 46
Nur Asri Hakimah, “Analisis Konflik Agama di Ambon Tahun 1999”, Unej, 15 Desember
2015. 47
Mantri Karno Diharjo, “Sumber-Sumber Konflik Di Maluku Uatara (1999-2004)”, Word
Press, 25 Juni 2008.
75
sebelumnya terdapat penjelelasan bahwa ayat ini melarang kaum muslimin
menghalangi kaum musyrikin yang akan melaksanakan haji sesuai keyakinan mereka.
Hal demikian memang dilarang khusus untuk memasuki kota Mekkah akan
tetapi larangan tersebut karena pertimbangan kemanan dan kesucian kota itu. tetapi
toleransi yang diberikanya kepada penganut keyakinan lain untuk mengamalkan
ajaran agamanya selain di kota tersebut, tetap berlaku. Hingga kini kita masih
mengenal kebijaksanaan-kebijaksanaan khusus yang ditempuh oleh negara-negara
demokrasi dalam mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh mengunjungi kota atau
tempat-tempat tertentu. Seperti kesepakatan negara-negara untuk mengharuskan
adanya visa untuk memasuki satu wilayah adalah salah satu cermin tentang sahnya
mengizinkan atau melarang seorang memasuki satu tempat, berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan masing-masing Negara.48
Jadi menurut penulis bahwa
orang muslim melarang orang musyrik berkunjung ke Baitullah berdasarkan
keamanan dan kesucian kota tersebut. Bukan didasarkan kepada kebencian dan
kedengkian.
Quraish berpendapat bahwa kata syana‟ân/ kebencian yang mencapai
puncaknya. Sebagaimana firman Allah Swt: Dan janganlah sekali-kali kebencian
kepada suatu kaum karena mereka menghalangi-halangi kamu dari Masjid al-Hâram
mendorong, kamu berbuat aniaya, merupakan bukti nyata bahwa al-Qur‟an
menekankan keadilan.
Musuh yang dibenci walau telah mencapai puncak kebenciannya sekalipun
lantaran menghalangi tuntunan Agama mesti harus dilakukakan secara adil, apalagi
48
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 12, h. 12-13.
76
musuh atau dibenci tapi belum sampai ke puncak kebencian dan oleh sebab lain yang
lebih ringan. Artinya sekalipun orang musyrik berkunjung ke Kota Mekah kita harus
bisa menyikapinya dengan aturan dan norma yang berlaku sesuai dengan aturan yang
diperintahkan oleh Negara. Bukan dengan mendendam dam berbuat kebencian.
Seperti firman Allah Swt: Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan
ketakwaan jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, merupakan prinsip
dasar menjalin kerjasama dengan siapa pun, selama tujuanya adalah kebajikan dan
ketakwaan.49
Sehingga penulis berkesimpulan bahwa pendapat Quraish ini
melakukan sikap yang adil dalam permasalahan yang terjadi mengenai orang Musyrik
yang berkunjung ke Mekkah yang tidak harus dengan cara kekearasan dan
perkelahian melainkan dengan aturan negara yang sudah ditetapkan bahwa dilarang
orang Musyrik mengunjungi kota Mekkah karena masalah kesucian dan keamanan.
Satu riwayat juga mengatakan bahwa larangan ayat ini turun berkenaan
dengan rencana beberapa kaum muslimin untuk merampas unta-unta yang dibawa
oleh serombongan kaum musyrikin dari suku penduduk Yamanah, dengan alasan
bahwa unta-unta itu adalah milik kaum muslimin yang pernah mereka rampas.50
49
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 3, h. 13-14. 50
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 3, h. 12.
77
BAB IV
APLIKASI DIMENSI MAKNA ‘ADUWW DALAM PERSPEKTIF
SEMIOTIKA CHARLES SANDERS PEIRCE
Mengenai konsep „aduww dalam al-Qur‟an yang sudah dipaparkan pada
bab sebelumnya, penulis menfokuskan pada agensi „aduww antar manusia yang
meliputi, pencegahan permusuhan di dalam yaitu al-Qur‟an pada QS. al-Mâ‟idah/
5: 2, QS. al-Fussilât/ 41: 34, dan QS. al-Taghâbun/ 64: 14, selain itu penulis akan
menganalisa ayat-ayat tersebut menggunakan metode semiotika Charles Sanders
Peirce.
Dalam kajian ini, penulis hanya menggunakan dua model analisis Peirce
yaitu kepertamaan (firstness) yaitu qualisign, sinsign, legisign, dan ketigaan
(thirdness) yang terdiri dari rheme, dicent, dan argument. Analisa kepertamaan ini
berkutat pada relasi antar tanda yang bersifat subjektif (berdasarkan pengalaman
pribadi) dan fokus kajianya adalah agensi yang melibatkan ayat-ayat „aduww
dalam al-Qur‟an kemudian akan diurai berdasarkan tafsir mauḏû„î dan analisa
pada ketigaan ini berkutat pada relasi antar tanda yang bersifat maknawi yang
fokus kajiannya pada teks. Sehingga kita dapat mengetahui fungsi dari tanda
„aduww dengan menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Peirce.
Penulis tidak menggunakan analisa keduaan (secondness) yaitu ikon,
indeks, symbol, karena fokus kajian pada keduaan adalah suatu objek yang
terindra seperti gambar, patung, dan lain-lain. Oleh karena penulis hanya
menggunakan analisa kepertamaan dan ketigaaan.
78
A. Makna Generik (Firstness)
Untuk mengetahui dan mendapatkan pemahaman awal (makna awal/
generik) dari kata ‘aduww dalam al-Qur‟an, penulis mengacu pada dimensi makna
ayat tersebut (redaksi ayat) dan juga asbâb al-nuzûl.
1. Dimensi Makna Ayat (Mencari Makna Awal) QS. al-Mâ’idah/ 5: 2, QS.
al-Fussilât/ 41: 34, dan QS. al-Taghâbun/ 64: 14.
Makna awal dari kata ‘aduww dalam al-Qur‟an dapat dicari melalui redaksi
ayat tersebut:
Ayat al-Qur’an Subjek Representamen Objek Interpretasi
QS. al-Mâ’idah/ 5:
2
Orang
Beriman
ن و ٱلعدو
ت عت دوا
Orang
Kafir
Orang Beriman
yang dilarang
melakukan
aniaya dan juga
dilarang
melakukan
pelanggaran
dengan orang
Musyrik.
QS. al-Fussilât/ 41:
34
Manusia ة و د Manusia ع
yang
lain
Permusuhan
dengan manusia
lain.
Al-Taghâbun/ 64:
14
Orang
Mukmin ا دو Anak ع
Istri
Anak Istri dapat
menjadi musuh.
79
a) Aplikasi Semiotika QS. al-Mâ’idah/ 5: 2
Lafadz ت عت دوا merupakan fi„il muḏârî„, pada ayat ini diartikan sebagai أ ن
berbuat zalim dan aniaya. Dan menjadi representamen/ tanda yang pada proses ini
dikategorikan sebagai qualisign (karena sumber /tanda yang kita ambil langsung
dari redaksi al-Qur‟an itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek
“Orang Beriman”, maka membuahkan Interpretan “Orang Beriman tidak boleh
berbuat aniaya terhadap orang Beriman (Musyrik)”.
Pada redaks ayat selanjutnya tersebut terdapat satu Lafaz yang mempunyai
makna “Pelanggaran” yaitu “ نوٱل عدو ” merupakan isim masdar dari kata „Adw.
Dan berelasi dengan Objek “Orang Beriman” sehingga terjadi penggabungan dari
interpretan pertama dikarenakan memiliki Objek sama-sama “Orang Beriman”
dan menjadi “Orang Beriman dilarang melakukan perbuatan aniaya dan
pelanggaran dengan orang Beriman (Musyrik)”.
R1
أ نت عت دوا
(Qualisign)
I1
Orang Beriman
tidak boleh berbuat
aniaya terhadap
orang Beriman
(Musyrik)
R2
ن و ٱلعدو
O1
Orang Beriman
O2
Orang Musyrik
I2
Orang Beriman
dilarang melakukan
perbuatan aniaya dan
pelanggaran dengan
orang Beriman
(Musyrik)
80
Dari proses semiosis redaksi ayat di atas dapat kita lihat bahwa QS. al-
Mâ‟idah/ 5: 2 berbicara tentang anjuran al-Qur‟an untuk tidak melakukan balas
dendam, hal ini terlihat ketika ayat ini berbicara mengenai orang Musyrik berlaku
jahat atau aniaya kepada orang Muslim, maka sebagai orang Muslim kita tidak
boleh membalas aniaya tersebut kepada mereka (Orang musyrik). Menurut
penulis anjuran al-Qur‟an untuk tidak melakukan balas dendam ini merupakan
wujud dan jawaban al-Qur‟an atas deathlock yang terjadi pada konflik-konflik
yang tidak kunjung usai.
Dari hasil analisa penulis mengenai redaksi ayat di atas, sudah mulai
terlihat tentang fungsi pesan dari ayat tersebut mengenai solusi permusuhan yaitu
jangan membalas dendam/ berbuat aniaya. Namun untuk melihat lebih dalam lagi
mengenai makna ayat tersebut maka penulis akan menganalisa asbâb al-nuzûl
ayat ini dengan tujuan melihat konteks ayat ketika diturunkan.
b) Aplikasi Semiotika QS. al-Fussilât/ 41: 34
R1
ة و د ع (Qualisign)
I1
Permusuhan
sesama manusia
lain.
R2
Cara menyikapi
permusuhan
sesama manusia.
O1
Manusia O2
Berlaku baik terhadap
yang memusuhi
I2
Cara menyikapi
permusuhan antara
sesama manusia yaitu
menolak kejahatanya
dengan berlaku baik
terhadap yang memusuhi.
81
Lafaz ة و د merupakan isim masdar bermakna permusuhan yang menjadi ع
representamen/ tanda yang pada proses ini dikategorikan sebagai qualisign
(karena sumber/ tanda yang kita ambil langsung dari ayat al-Qur‟an itu sendiri)
kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Manusia”, maka membuahkan
Interpretan “Permusuhan sesama manusia lain”, dan menjadi tanda
kedua/representamen kedua “cara menyikapi permusuhan sesama manusia” dan
berelasi pada objek “Berlaku baik terhadap yang memusuhi” dan membuahkan
interpretan “Cara menyikapi permusuhan antara sesama manusia yaitu menolak
kejahatanya dengan berlaku baik terhadap yang memusuhi”.
Dari proses semiosis redaksi ayat di atas, dapat kita lihat bahwa ayat ini
merupakan ayat yang membahas tentang cara kita untuk menyikapi permusuhan
antara sesama manusia umumnya, dan khususnya untuk menyikapi seseorang
yang berlaku jahat terhadap kita, yaitu dengan cara tetap berlaku baik terhadap
musuh-musuh orang yang berlaku jahat terhadap kita. Solusi yang ditawarkan al-
Qur‟an ini merupakan salah satu cara al-Qur‟an untuk meluruskan kompleksitas
permusuhan yang terjadi antara manusia, karena seperti yang kita ketahui bahwa
jika suatu kejahatan/ permusuhan disikapi dengan hal yang sama maka impian
untuk mewujudkan “Negeri yang Damai” hanyalah sebuah angan-angan. Namun,
sebagai kitab suci al-Qur‟an kembali menunjukkan dirinya sebagai pedoman
hidup manusia yang akan terus mampu menjawab permasalahan umat.
82
c) Aplikasi Semiotika Al-Taghâbun/ 64: 14
Lafaz ا دو merupakan isim masdar bermakna musuh dan menjadi ع
representamen/ tanda yang pada proses ini di kategorikan sebagai qualisign
(karena sumber/ tanda yang kita ambil dari redaksi ayat al-Qur‟an itu sendiri),
kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Anak dan Istri”, maka
membuahkan Interpretan “Anak Istri dapat menjadi Musuh”. Interpretan ini
ditransformasi menjadi tanda baru/reprsentamen kedua “Anak istri dapat menjadi
musuh” yang pada proses ini dikategorikan sebagai qualisign (karena sumber/
tanda yang kita ambil dari lanjutan redaksi ayat tersebut. Kemudian tanda ini
berhubungan dengan Objek “memaafkan”, maka membuahkan Interpretan baru
yang pada proses ini di kategorikan (karena sumber/ tanda yang kita ambil dari
redaksi ayat al-Qur‟an itu sendiri yaitu “ketika anak Istri menjadi musuh maka
sangat dianjurkan memaafkan”.
Pada semiosis redaksi ayat di atas menjelaskan bahwa salah satu anggota
keluarga mungkin saja menjadi musuh, pada ayat ini disebutkan anak istri mampu
R1
ا دو ع (Qualisign)
I1
Anak Istri dapat
menjadi Musuh
R2
Anak Istri dapat
menjadi
Musuh.
O1
Anak Istri
O2
Memaafkan
I2
Ketika anak Istri
menjadi Musuh maka
sangat dianjurkan
dimaafkan
83
menjadi musuh bagi suami. Ketika terjadi hal tersebut, maka al-Qur‟an
menganjurkan agar suami dapat memaafkan anak dan istri. Tawaran untuk
memaafkan ini merupakan usaha al-Qur‟an untuk tetap menjaga keharmonisan
dan keutuhan keluarga, karena bagaimanapun al-Qur‟an menjadi selalu menjadi
petunjuk bagi manusia untuk belajar saling menghargai, toleransi dan lain-lain.
2. Makna Konteks Awal dan Aplikasi Semiotika QS. Al-Mâ’idah/ 5: 2,
QS. al-Fussilât/ 41: 34 dan QS. Al-Taghâbun/ 64: 14.
Pertama, penulis akan membahas salah satu dari dimensi perbuatan yang
menimbulkan „aduww yang terdapat pada QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2 yang berkenaan
para sahabat yang dilarang menaruh kebencian terhadap orang Musyrik
dikarenakan mengahalangi dalam perjalanan ke Masjidil Haram. Di bawah ini
adalah proses semiosis dari konteks awal.
a) Aplikasi Semiotika QS. Al-Mâ’idah/ 5: 2
R1
أ نت عت دوا
(Qualisign)
I1
Tidak boleh berbuat
aniaya dan
menghalangi
perjalanan orang
Beriman (Musyrik)
yang hendak ke
Masjidil Haram.
R2
Tidak Boleh Balas
dendam
O1
Orang Beriman
O2
Kebencian
I2
Rasa kebencian tidak
boleh membuat
orang Mukmin
melakukan balas
dendam.
84
Lafaz ت عت دوا yang menjadi representamen/ tanda pada proses ini di أ ن
kategorikan sebagai Sinsign (karena sumber / tanda yang kita ambil langsung dari
asbâb al- nuzûl (konteks) ayat tersebut kemudian tanda ini berhubungan dengan
Objek “Orang Musyrik” maka membuahkan Interpretan ”Tidak boleh berbuat
aniaya dan menghalangi perjalanan orang Beriman (Musyrik) yang hendak ke
Masjidil Haram”, dan menjadi tanda baru atau representamen kedua menjadi
“Tidak boleh balas dendam”. Kemudian berelasi pada Objek “Kebencian” karena
bentuk dari balas dendam mereka lantaran kebencian, yang membuahkan
interpretan kedua yaitu “Rasa kebencian tidak boleh membuat orang Mukmin
melakukan balas dendam”.
Dari proses semiosis di atas dapat kita lihat bahwa ayat ini turun untuk
memberikan peringatan terhadap orang mukmin, bahwa rasa benci/ kebencian kita
terhadap orang Musyrik tidak boleh mendorong kita untuk melakukan balas
dendam. Menurut penulis dari konteks asbâb al-nuzûl ayat ini, dapat kita lihat
bahwasanya al-Qur‟an sebagai petunjuk untuk manusia menganjurkan untuk tidak
membalas dendam.
b) Aplikasi Semiotika QS. Al-Taghâbun/ 64: 14
-
O1
Anak Istri
O2
Suami
O3
Menghalangi
Hijrah
O4
Memaafkan
R1
ا دو ع (Qualisign
I1
Anak Istri dapat
menjadi musuh
(Sinsign)
I3
Anak dan Istri
menjadi musuh bagi
suami karena
mereka menghalangi
suami untuk
R5/ I4
Ketika anak dan istri
menjadi musuh bagi
suami maka sikap
suami adalah
memaafkanya,
setelah mereka
menyadari,
menyesali,
perbuatan.
R2
Anak istri
dapat
menjadi
musuh
I2
Anak dan Istri
dapat menjadi
musuh bagi suami
R3
Anak dan Istri
menjadi musuh
bagi suami yang
telah menghalangi
hijrah.
R4
Anak istri menjadi
musuh karena mereka
menghalangi suami
melaksanakan
perintah Allah.
85
Lafaz ا دو ع yang menjadi representament/ tanda pada proses ini di
kategorikan sebagai Sinsign (karena sumber/ tanda yang kita ambil langsung dari
asbâb al-nuzûl (konteks) ayat tersebut kemudian tanda ini berhubungan dengan
Objek “Anak Istri” maka membuahkan Interpretan ”Anak Istri dapat menjadi
musuh”, dan interpretan tersebut menjadi tanda baru/ representamen kedua yang
berelasi pada objek “Suami” yang mana objek tersebut membuahkan interpretan
“Anak dan Istri dapat menjadi musuh bagi suami”. Kemudian interpretan ini
menjadi tanda baru/representamen baru “Anak dan Istri menjadi musuh bagi
suami yang telah menghalangi hijrah” yang berelasi pada objek “Menghalangi
Hijrah” yang membuahkan interpretan “Anak dan Istri menjadi musuh bagi suami
karena mereka menghalangi suami untuk berhijrah”. Interpretan tersebut menjadi
tanda baru/ representamen baru “Anak Istri menjadi musuh karena mereka
menghalangi suami melaksanakan perintah Allah Swt” dan menjadi Objek
“memaafkan” dan menjadi menjadi interpretan “Ketika anak dan istri menjadi
musuh bagi suami maka sikap suami adalah memaafkanya setelah mereka
menyadari perbuatanya”.
Dari proses semiosis asbâb al-nuzûl di atas, dapat kita lihat bahwa kata
“musuh” pada ayat ini menjelaskan bahwa anak dan istri dapat menjadi musuh
bagi suami dan jika itu terjadi sikap suami harus memaafkan. Jadi, ayat ini
menjelaskan bahwa memaafkan merupakan salah satu solusi untuk menyikapi
permusuhan. Menurut penulis, dengan anjuran memaafkan ini Al-Qur‟an sekali
lagi menunjukkan bahwa permusuhan yang deathlock masih bisa menemukan
jalan keluar yang bijak. Memaafkan memang hal yang sulit namun, setidaknya
dengan memaafkan kita dapat belajar untuk berbesar hati dan ikhlas, memaafkan
86
mungkin tidak akan mampu mengembalikan segala sesuatu yang telah rusak
akibat dari permusuhan namun, memaafkan bisa menjadi satu awal mula yang
baik untuk memulai hubungan yang lebih baik antara sesame manusia, tentunya
dengan tujuan agar terwujudnya masyarakat madani.
3) Analisa Perbandingan Redaksi Ayat dan Asbâb al-Nuzûl QS. Al-Mâ’idah/ 5:
2, QS. al-Fussilât/ 41: 34 dan QS. Al-Taghâbun/ 64: 14.
a) Aplikasi Semiotika QS. Al-Mâ’idah/ 5: 2
Dari proses semiosis antara redaksi ayat dan asbâb al- nuzûl yang telah
dilakukan oleh penulis, dapat kita lihat bahwa kedua proses semiosis di atas
sebenarnya saling mendukung dan menjelaskan, selain itu dari proses di atas dapat
kita lihat bahwasanya persamaan/ kesepakatan (legisign) yang disepakati dari
redaksi ayat dan asbâb al- nuzûl pada QS. Al-Mâ‟idah/ 5: 2 adalah Allah Swt,
menimbulkan permusuhan antara satu kaum dengan kaum yang lain karena
perbuatan buruk sangka mereka terhadap Allah Swt. Hal ini akan penulis
tunjukkan dengan proses semiosis sebagai berikut:
\
R3 I2
Rasa benci tidak boleh
mendorong seseorang
untuk membalas
dendam
(Legisign)
O2
Kebencian
R1
أ نت عت دوا (Qualisign)
R2
Tidak boleh balas
dendam
O1
Orang Beriman
REDAKSI AYAT ASBÂBUN NUZÛL
I1
Tidak boleh berbuat
aniaya (Menghalangi
orang Beriman
(Musyrik) yang
hendak ke Baitullah) .
(Sinsign)
87
Lafaz أ نت عت دوا yang menjadi representamen/ tanda yang pada proses
ini dikategorikan sebagai qualisign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari
redaksi ayat al-Qur‟an itu sendiri). Kemudian tanda ini berhubungan dengan
Objek “Orang Beriman”, maka membuahkan Interpretan “Tidak boleh berbuat
aniaya (menghalangi orang Beriman (Musyrik) yang hendak ke Baitullah)”.
Interpretan ini ditransformasi menjadi representamen baru “Tidak boleh balas
dendam" yang pada proses ini di kategorikan sebagai sinsign (karena sumber/
tanda yang kita ambil dari asbâb al-nuzûl (konteks) ayat al-Qur‟an itu sendiri).
Kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Kebencian”, maka membuahkan
Interpretan baru yang pada proses ini di kategorikan sebagai Legisign (karena
interpretan tersebut diambil berdasarkan persamaan/ kesepakatan yang terlihat
antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl) yaitu ”Rasa benci tidak boleh mendorong
seseorang untuk membalas dendam.”
Menurut penulis antara redaksi ayat dan asbâb al-nûzul keduanya saling
mendukung satu sama lain, dan ketika dihubungkan maka terungkap pesan al-
Qur‟an yang sebenarnya mengenai kata „aduww pada ayat tersebut yaitu sebagai
seorang muslim, al-Qur‟an menganjurkan kita untuk tidak berbuat aniaya dengan
melakukan balas dendam atas dasar rasa benci.
b) Aplikasi Semiotika QS. Al-Taghâbun/ 64: 14
Dari proses semiosis antara redaksi ayat dan asbâb al- nuzûl yang telah
dilakukan oleh penulis, dapat kita lihat bahwa kedua proses semiosis di atas
sebenarnya saling mendukung dan menjelaskan, selain itu dari proses di atas dapat
kita lihat bahwasanya persamaan/kesepakatan (legisign) yang disepakati dari
88
redaksi ayat dan asbâbun nuzûl pada QS. al-Taghâbun/ 64: 14. Hal ini akan
penulis tunjukkan dengan proses semiosis sebagai berikut:
Lafaz ا دو yang menjadi representamen/ tanda yang pada proses ini di ع
kategorikan sebagai Qualisign (karena sumber/ tanda yang kita ambil dari redaksi
ayat Qur‟an itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Anak dan
Istri”, maka membuahkan Interpretan “Anak dan Istri menjadi musuh”.
Interpretant ini ditransformasi menjadi representamen baru “Anak dan Istri
menjadi musuh” yang mana proses ini di kategorikan sebagai sinsign (karena
sumber / tanda yang kita ambil dari asbâbun nuzûl (konteks) ayat al-Qur‟an itu
sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Suami”, maka
membuahkan Interpretan baru yaitu “Anak dan Istri menjadi musuh bagi suami”
yang pada proses ini dikategorikan masih berdasarkan Sinsign (karena
sumber/tanda yang kita ambil dari asbâb al- nuzûl (konteks) ayat al-Qur‟an itu
sendiri). Kemudian interpretan ini menjadi tanda baru dan berelasi pada objek
“memaafkan” yang akan membuahkan interpretan “Ketika anak dan Istri menjadi
R3 I2
Ketika anak dan Istri
menjadi musuh bagi
suami, maka sikap
yang harus dilakukan
oleh suami adalah
memafkan.
(Legisign)
O2
Memaafkan
R1
ا دو ع (Qualisign)
R3
Sikap
terhadap
musuh.
O1
Anak dan istri
REDAKSI AYAT ASBÂB AL-NUZÛL
I1
Anak Istri menjadi
musuh bagi suami.
(Sinsign)
I1
Anak dan istri
menjadi musuh
(Sinsign)
O1
Suami
ASBÂB AL-NUZÛL
R2
Anak dan istri
menjadi musuh
(Sinsign)
89
musuh bagi suami, maka sikap yang harus dilakukan oleh suami adalah
memafkan”. Yang pada proses ini di kategorikan sebagai Legisign (karena
interpretan tersebut diambil berdasarkan persamaan/ kesepakatan yang terlihat
antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl.
Pada proses analisa perbandingan saling mendukung satu sama lain
sehingga ketika penulis menggabungkan antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl
terlihat jelas bahwa ayat ini turun untuk meluruskan kompeksitas permusuhan
yang terjadi dikeluarga umumnya, dan khususnya ketika anak dan Istri menjadi
musuh karena mereka melarang suami untuk melaksanakan perintah Allah Swt
berhijrah (Mekkah ke Madinah) dan solusi yang ditawarkan oleh al-Qur‟an adalah
memaafkan.
Menurut penulis solusi al-Qur‟an mengenai permusuhan antara keluarga
yang dianjurkan untuk memafkan itu adalah solusi yang sangat tepat, Karena
belajar memaafkan kesalahan seseorang harus dimulai dari unit terkecil terlebih
dahulu yakni keluarga dan hal dapat ini dapat diaplikasikan pada tatanan
masyarakat luas.
B. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce Atas Penafsiran (Thirdness)
1. Proses Semiosis al-Ṯabarî
- QS. Al-Mâ’idah/ 5: 2
Pada ayat ini Imam al-Tabarî merujuk kepada asbâb al-nûzul konteks alasan
ayat ini turun. Menurut Imam Al-Tabarî ayat ini merupakan anjuran al-Qur‟an
agar kebencian seseorang terhadap sesuatu kaum (orang musyrik). Tidak
mendorong mereka melakukan balas dendam dengan menghalangi orang musyrik
90
dalam perjalanan. Namun, jika terjadi konflik/ permusuhan mereka hendaknya
sebagai orang muslim saling membantu dalam menjalankan perintah Allah Swt.
Lafaz أ نت عت دوا yang menjadi representamen/ tanda yang pada proses
ini dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut). Kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Orang Beriman”, maka membuahkan Interpretan “Tidak boleh
berbuat aniaya (menghalangi orang Beriman (Musyrik) yang hendak ke
Baitullah”. Proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan
argumen dari al-Tabarî mengenai makna kata musuh dalam ayat tersebut).
Interpretasi tersebut menjadi tanda kedua “Dilarang balas dendam” dan menjadi
Objek “Kebencian” menjadi interpretan “Rasa benci tidak boleh mendorong
seseorang untuk berbuat balas dendam”. Yang mana interpretan ini menjadi
tanda baru/repesentamen baru “Orang Muslim dilarang balas dendam atas dasar
kebencian” dan berelasi pada Objek “ saling membantu” dan membuahkan
interpretan “Orang muslim tidak boleh melakukan balas dendam, namun harus
I3
Orang muslim tidak
boleh melakukan balas
dendam, namun harus
membantu orang
Musyrik menjalanakan
perintah Allah Swt.
(Argumen)
O2
Saling membantu
R2
Dilarang balas
dendam
I2
Rasa benci tidak
boleh mendorong
seseorang untuk
membalas dendam
(Argumen)
O2
Kebencian
R1
أ نت عت دوا (Rheme)
O1
Orang Beriman
I1
Tidak boleh berbuat
aniaya (Menghalangi
orang Beriman
(Musyrik) yang
hendak ke Baitullah).
(Argumen) R3
Orang Muslim
dilarang balas
dendam atas dasar
kebencian.
91
membantu orang Musyrik menjalankan perintah Allah Swt”, yang mana
interpretan tersebut menjadi argumen yang didasarkan pada penafsiran al-Tabarî.
Dari proses semiosis di atas dapat kita lihat Imam al-Tabarî berpendapat
bahwasanya ayat ini memaparkan anjuran al-Qur‟an kepada umat muslim agar
rasa benci terhadap satu kaum (orang Muyrik) tidak boleh membuat kita
melakukan balas dendam. Namun semestinya kita harus membantu orang Musyrik
untuk menjalankan perintah Allah Swt.
Pada pembahasan redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl yang sudah dipaparkan,
bahwa makna ayat ini menunjukkan seorang muslim tidak boleh melakukan balas
dendam atas dasar kebencian terhadap musuh. Pendapat demikian juga disetujui
oleh al-Tabarî karena dalam tafsiranya mengungkapakan demikian. Akan tetapi
dalam tafsirnya al-Tabarî menambahkan selain seorang muslim tidak boleh
melakukan balas dendam atas dasar kebencian terhadap musuh, seorang muslim
semestinya membantu musuhnya dalam hal menegakkan/ menjalankan perintah
Allah. Menurut penulis penafsiran al-Tâbarî ini merupakan wujud dari
kemampuan seorang muslim untuk tidak mengikuti hawa nafsu dengan
melakukan balas dendam, karena ketika seseorang terus mengikuti hawa nafsunya
maka permusuhan tidak akan pernah bisa terselesaikan.
- QS. al-Fussilât/ 41: 34
Pada ayat ini Imam al-Tâbarî memaparkan QS. al-Fussilât/ 41: 34 merupakan
anjuran/ ajaran al-Qur‟an untuk menyikapi orang yang berlaku jahat dan hendak
memusuhi kita agar membalasnya dengan sebuah kebaikan hal ini bertujuan agar
kita dapat menjalin tali persahabatan. Berikut ini adalah proses semiosisnya:
92
Lafaz ة و د ع yang menjadi representamen/tanda yang pada proses ini
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Manusia”, maka membuahkan Interpretan “permusuhan sesama
manusia lain”, dan menjadi tanda baru/representamen kedua menjadi “ Cara
menyikapi permusuhan antara manusia” dan berelasi pada objek “Menolak
kejahatan dengan cara yang baik” yang membuahkan interpretan “Cara
menyikapi antara sesama manusia yaitu menolak kejahatanya dengan berlaku
baik terhadap yang memusuhi”. Yang membuat representamen baru/ tanda baru “
Agar terjalin teman yang setia” dan berelasi ada Objek “ Teman yang setia” dan
membuat interpretan “Bersikap baik terhadap musuh akan menimbulkan
pertemanan yang setia”. Proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi
ini merupakan argumen dari al-Tabarî mengenai makna kata musuh dalam ayat
tersebut).
R1
ة و د ع (Rheme)
I1
Permusuhan
sesama manusia
lain.
(Argumen)
R2
Cara menyikapi
permusuhan
sesama manusia.
O1
Manusia
I2
.Cara menyikapi
permusuhan antara
sesama manusia yaitu
menolak kejahatanya
dengan berlaku baik
terhadap yang
memushui
(Argumen)
O2
Menolak kejahatan
dengan cara yag baik.
O3
Teman yang
setia
I2
.Bersikap baik terhadap
musuh akan
menimbulkan
pertemanan yang setia.
(Argumen)
R3
Agar terjalin
teman yang setia
93
Dari proses semiosis di atas dapat kita lihat Imam al-Tabarî berpendapat
bahwasanya ayat ini merupakan anjuran al-Qur‟an kepada umat muslim agar
dapat membalas kejahatan dengan kebaikan karena, membalas dengan kebaikan
akan membuat kita mempunyai teman yang setia, meskipun orang tersebut
merupakan musuh yang berbuat jahat kepada kita. Menurut penulis, apa yang
dipaparkan pada proses semiosis di atas saling mendukung dengan proses
semiosis pada redaksi ayat dimana keduanya sama-sama memaknai ayat ini
sebagai suatu anjuran al-Qur‟an untuk menghadapi permusuhan yaitu dengan
membalasnya dengan berlaku baik terhadap musuh karena dengan hal ini maka
tidak aka nada permusuhan yang ada malah persahabatan dan perdamaian.
- QS. Al-Taghâbun/ 64: 14
Pada ayat ini Imam al-Tabarî berpendapat bahwa anak dan istri dapat
menjadi musuh bagi suami ketika mereka melarang suami untuk menjalankan
perintah Allah Swt (Berhijrah dari Mekkah ke Madinah). Selanjutnya Imam al-
Tabarî menjelaskan bahwa untuk menyikapi problematika tersebut maka seorang
suami harus memaafkan anak dan istrinya. Karena menurut Imam al-Tabarî Allah
Swt maha Pengampun lagi Maha Penyayang dan memaafkan hambanya jika
hambanya bertobat dan tidak mengulangi kesalahan. Selain memafkan seorang
suami juga harus berhati-hati terhadap anak dan istri yang dapat menjadi musuh.
94
-
Lafaz ا دو ع yang menjadi representamen/ tanda yang pada proses ini
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut). Kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Anak Istri”, maka membuahkan Interpretan “Anak dan Istri
menjadi musuh” dan menjadi tanda baru “Anak dan Istri menjadi musuh” dan
mengacu pada Objek “Suami” yang membuahkan interpretan “anak dan istri
menjadi musuh bagi suami, karena melarang dalam berhijrah”. Kemudian
interpretan ini menjadi tanda baru menjadi “Anak istri menjadi musuh karena
melarang untuk berhijrah” dan mengacu pada objek “memaafkan dan berhati-
hati” dan menjadi interpretan “Ketika anak dan Istri menjadi musuh bagi suami,
maka sikap yang harus dilakukan oleh suami adalah memafkan”. Yang pada
proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan argumentasi
dari Imam al-Tabarî mengenai makna kata musuh dalam ayat tersebut).
R4 I3
Ketika anak dan
Istri menjadi
musuh bagi
suami, maka sikap
yang harus
dilakukan oleh
suami adalah
memafkan.
(Argumen)
O3
Memaafkan
dan berhati-hati
R1
ا دو ع (Rheme)
I2
Anak Istri
menjadi musuh
bagi suami karena
melarang
berhijrah.
(Argumen )
I1
Anak dan istri
menjadi musuh
(Argumen)
O2
Suami
R2
Anak dan istri
menjadi musuh
R3
Anak Istri menjadi
musuh bagi suami
karena melarang
berhijrah.
O1
Anak dan Istri
95
Dari proses semiosis di atas dapat kita lihat ayat ini merupakan anjuran/
ajaran mengenai sikap seorang suami/ kepala keluarga ketika anak dan isrinya
menjadi musuhnya karena melarang sang suami untuk berhijrah maka maafkanlah
mereka, karena sebagai ciptaan Tuhan semestinya kita bisa lebih bijaksana dalam
menyikapi konflik yang terjadi dalam keluarga, selain memaafkan seorang suami
juga harus lebih berhati-hati terhadap anak dan istrinya.
Menurut penulis, dari pembahasan redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl yang
sudah dipaparkan bahwa ayat ini merupakan solusi dari al-Qur‟an untuk
menghadapi menyikapi permusuhan yang terjadi pada lingkup keluarga yaitu
memaafkan, dan pada penafsiran Imam al-Tâbarî selain memaafkan seorang
suami juga harus bersikap hati-hati terhadap anak dan istri. Menurut penulis
tawaran al-Qur‟an ini bertujuan untuk tetap menjaga keutuhan dan keharmonisan
keluarga.
2. Proses Semiosis Sayyid Quṯb
- QS. Al-Mâ’idah/ 5: 2
Menurut Sayyid Quṯb pada ayat ini berpendapat bahwa ayat ini merupakan
puncak dalam hal pengendalian diri dan toleransi hati, maksudnya Islam
mengakui hak jiwa manusia untuk marah dan membenci, tetapi ia tidak berhak
melakukan permusuhan dalam gejolak kemarahan dan dorongan kebencian.
Diantaranya proses semiosis sebagai berikut:
96
Lafaz أ نت عت دوا yang menjadi representamen/ tanda yang pada proses ini
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut). Kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Orang Beriman”, maka membuahkan Interpretan “Tidak boleh
berbuat dzalim kepada orang Beriman (Musyrik)”, yang pada proses ini disebut
dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari Sayyid Quṯb
mengenai makna kata permusuhan dalam ayat tersebut). Interpretasi tersebut
menjadi tanda baru/ representamen kedua dan menjadi “Dianjurkan untuk tidak
balas dendam terhadap orang Beriman (Musyrik)” yang membentuk objek
“mengendalikan diri dan bertoleransi” dan menjadi interpretan “Tidak melakukan
balas dendam terhadap orang Beriman (Musyrik) merupakan puncak dari
pengendalian diri karena hal ini merupakan wujud dari toleransi”. Yang mana
interpretan ini menjadi argument yang didapatkan dari penafsiran Sayyid Quṯb.
R3 I2
Tidak melakukan balas
dendam dengan orang
Musyrik merupakan puncak
dari pengendalian diri karena
hal ini merupakan wujud dari
toleransi.
(Argumen)
O2
Mengendalikan diri
dan bertoleransi
R1
أ نت عت دوا (Rheme)
R2
Dianjurkan untuk tidak
balas dendam dengan
orang Beriman
(Musyrik)
O1
Orang Beriman
I1
Tidak boleh berbuat
dzalim kepada orang
Beriman (Musyrik)
(Argumen)
97
Sayyid Quṯb berpendapat puncak dari pengendalian diri seseorang adalah
dengan tidak membalas dendam atas dasar kebencian karena dengan tidak
membalas dendam kita belajar untuk bertoleransi, Perlu diingat sebelum
memaparkan pendapatnya Quṯb melihat asbâb al-nuzûl ayat tersebut. Menurut
Quṯb konteks turun ayat ini merupakan anjuran bagi orang muslim agar tidak
dikuasai hawa nafsu (kebencian).
Menurut penulis, argument Quṯb di atas merupakan pelengkap dari
argumen Imam al-Tabarî karena seperti yang telah disinggung pada bab
sebelumnya bahwa menurut al-Tabarî ayat ini merupakan anjuran bagi seorang
muslim untuk tidak melakukan balas dendam karena dorongan kebencian terhadap
satu kaum (orang Musyrik). Namun, Quṯb menambahkan bahwa dengan tidak
melakukan balas dendam (bertoleransi) merupakan wujud nyata dari pengendalian
seseorang.
- QS. al-Fussilât/ 41: 34
Pada ayat ini, Sayyid Quṯb berpendapat bahwa penggalan ayat “Tolaklah
kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang diantaramu
dan antara dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang setia”
membuktikan 99.9% kondisi maksudnya adalah kekesalan berubah menjadi rasa
sayang, marah berubah menjadi tenang, sikap keras kepada berubah menjadi
malu, lantaran ucapan baik, intonasi yang tenang, senyuman yang hangat di wajah
orang yang kesal, marah, keras kepala, dan hilang kendali. Berikut ini adalah
proses semiosisnya:
98
Lafaz ة و د yang menjadi representamen/ tanda yang pada proses ini ع
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut). Kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Manusia”, maka membuahkan Interpretan “Permusuhan antara
manusia” yang mana interpretan ini menjadi tanda baru/ interpretan kedua “Cara
menyikapi permusuhan”, dan membentuk Objek “Tidak boleh membalas
permusuhan” dan membentuk interpretan menjadi “ Tidak boleh membalas
permusuhan dengan keburukan karena ketika manusia tersebut membalas
permusuhan dengan keburukan akan mengakibatkan permusuhan yang
berkepanjangan”. Proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini
merupakan argumen dari Sayyid Qutb mengenai makna kata permusuhan dalam
ayat tersebut).
R1
ة و د ع (Rheme)
I1
Permusuhan
antara mansusia.
(Argumen)
R2
Cara
menyingkapi
permusuhan
O1
Manusia
O2
Tidak boleh
membalas
permusuhan.
I2
Tidak boleh membalas
permusuhan dengan
keburukan karena ketika
manusia tersebut membalas
permusuhan dengan
keburukan akan
mengakibatkan
permusuhan yang
berkepanjangan.
(Argumen)
99
Dari proses semiosis di atas dapat kita lihat menurut Sayyid Quṯb untuk
menyikapi kompleksitas permusuhan yang deathlock (mentok) kita harus berbuat
baik terhadap musuh kita karena dengan bersikap baik maka permusuhan tersebut
akan dapat terselesaikan tanpa harus adanya konflik yang sampai terjadi
pertumpahan darah.
Menurut penulis, pendapat yang dipaparkan Quṯb ini merupakan
pelengkap dan penguat dari argumen al-Tabarî mengenai ayat ini, yang
berpendapat bahwa untuk menyelesaikan sebuah konflik/ permusuhan sesama
manusia maka kita harus bersikap baik terhadap musuh tersebut.
- QS. Al-Taghâbun/ 64: 14
Pada ayat ini, Sayyid Quṯb berpendapat bahwa anak dan istri dapat
menjadi musuh karena bisa menjadi penyebab kelalaian dari mengingat Allah
Swt, karena telah menjadi penghalang untuk menunaikan kewajiban demi
kemaslahatan anak dan istri tersebut. Quṯb menjelaskan perlu adanya peringatan
dari Allah Swt, untuk membangkitkan kesadaran di dalam hati orang-orang yang
beriman dan mewaspadai menyelinapnya perasaan-perasaan ini dan tekanan
berbagai factor. Sebagaimana proses semiosis di bawah ini.
100
-
Lafaz ا دو yang menjadi representamen/ tanda yang pada proses ini ع
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut). Kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Anak Istri”, maka membuahkan Interpretan “Anak dan Istri bisa
menjadi musuh” dan membentuk interpretan baru “Lalai mengingat Allah Swt”,
kemudian berelasi pada Objek “Penghalang Dakwah”, dan membuahkan
interpretan “Anak dan Istri dapat menjadi musuh karena menghalangi dakwah”
dan membentuk representamen baru “Anak dan Istri menghalangi dakwah”, dan
berelasi pada Objek “Peringatan dari Allah Swt”, dan pada proses tersebut
membentuk interpretan “Peringatan dari Allah Swt bagi suami bahwa anak dan
istri dapat menjadi musuh karena menghalangi dakwah”. Pada proses ini disebut
dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari Sayyid Quṯb
mengenai makna kata musuh dalam ayat tersebut).
R4 I3
Peringatan dari Allah
Swt bagi suami bahwa
anak istri dapat
menjadi musuh karena
menghalangi dakwah
(Argumen)
O2
Peringatan dari Allah
Swt
R1
ا دو ع (Rheme)
O1
Anak dan istri
I2
Anak dan Istri dapat
menjadi musuh
karena menghalangi
dakwah.
(Argumen)
I1
Anak dan istri
bisa menjadi
musuh
(Argumen)
O1
Penghalang
Dakwah
R2
Lalai
mengingat
Allah Swt
R3
Anak istri
menghalangi
dakwah
101
Dari proses semiosis di atas, dapat kita lihat bahwa menurut Quṯb ayat ini
merupakan sebuah peringatan bagi suami bahwasanya anak dan istri juga dapat
menjadi musuh karena mereka telah menghalangi suaminya untuk melaksankan
perintah Allah Swt/ berhijrah (berdakwah).
Menurut penulis pendapat Quṯb, pada ayat ini tidak menyinggung
bagaimana sikap kita untuk menghadapi konflik/ permusuhan yang terjadi di
lingkup keluarga. Namun, Quṯb lebih melihat ayat ini sebagai peringatan yang
artinya seorang suami harus berhati-hati karena salah seorang anggota keluarga
juga dapat berpotensi menjadi musuh.
3. Proses Semiosis Quraish Shihab
- QS. Al-Mâi’dah/ 5: 2
Dari pemaparan yang di tafsirkan oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya.
Quraish menekankan pada kata ( ن ان ش ) yang diartikan sebagai kebencian yang telah
mencapai puncaknya. Maksudnya musuh yang dibenci walau telah mencapai
puncak kebencian sekalipun karena menghalang-halangi pelaksanaan tuntunan
agama, masih harus diperlakukan secara adil yaitu dengan perlakuan yang baik.
Di bawah ini adalah proses semiosisnya:
R3 I2
Perlakukanlah musuh secara
adil dengan tidak berbuat
aniaya terhadapnya.
(Argumen)
O2
Adil
R2
Tidak boleh berlaku
zalim/ aniaya
O1
Orang Beriman
I1
Tidak boleh berlaku zalim/
aniaya terhadap musuh
orang Beriman (Musyrik)
(Argumen)
R1
أ نت عت دوا (Rheme)
102
Lafaz أ نت عت دوا yang menjadi representamen/ tanda yang pada proses ini
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut). Kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Orang Beriman”, maka membuahkan Interpretan “Tidak boleh
berlaku zalim/aniaya terhadap musuh orang Beriman (Musyrik)”. Proses ini
membentuk representamen baru menjadi “Tidak boleh berlaku zalim/aniaya”, dan
berelasi pada objek “adil” dan membetuk interpretan “Perlakukanlah musuh
secara adil dengan berbuat aniaya terhadapnya”. Proses ini disebut dengan
argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari Quraish Shihab
mengenai makna kata musuh dalam ayat tersebut).
Pada proses semiosis di atas dapat kita lihat Quraish berpendapat bahwa
ayat ini merupakan anjuran untuk memperlakukan musuh kita secara adil yaitu
dengan cara tidak berlaku aniaya/zalim terhadapnya, Namun, kita harus tetap
melakukan kebaikan kepada musuh kita.
Menurut penulis, pendapat Quraish di atas merupakan pelengkap dan
pendukung dari tafsir sebelumnya yaitu al-Tabarî dan Sayyid Quṯb, di mana kedua
mufasir tersebut berpendapat bahwa ayat ini merupakan anjuran al-Qur‟an untuk
tidak membalas dendam atas dasar kebencian karena berlaku baik (bertoleransi)
kepada musuh merupakan wujud nyata dari pengendalian diri.
- QS. al-Fussilât/ 41: 34
Menurut Quraish pada ayat ini kata )عداوة( „adâwah/ permusuhan bukan
( aduww/ musuh, agar mencakup segala macam permusuhan dan„ (عدو
peringkatnya, dari yang rendah sampai yang tertinggi. Alhasil ayat ini
menganjurkan untuk berusaha berbuat baik kepada lawan selama dia adalah
103
seorang manusia bukan setan, karena permusuhan setan bersifat abadi. Menurut
Quraish ayat di atas lebih menekankan betapa besar pengaruh berbuat baik
terhadap manusia walau terhadap lawan.
Lafaz ة و د yang menjadi representamen/ tanda yang pada proses ini ع
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut). Kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Manusia”, maka membuahkan Interpretan “Permusuhan manusia
dengan manusia lain”. interpretan ini juga menjadi tanda baru/representamen
kedua menjadi “ Perbuatan menyikapi permusuhan”, dan membentuk interpretan
baru “berbuat baik kepada lawan” yang berelasi pada Objek “berbuat baik
kepada lawan” yang membuahkan interpretan “Cara menyikapi permuushan
adalah dengan cara berbuat baik kepada lawan.”. Pada proses ini disebut dengan
argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari Quraish Sihab
mengenai makna kata musuh dalam ayat tersebut).
Pada proses semiosis di atas, dapat kita lihat Quraish berpendapat bahwa
ayat ini merupakan tawaran al-Qur‟an untuk menyikapi sebuah permusuhan, yaitu
dengan cara berbuat baik terhadap lawan. Menurut penulis, pendapat Quraish ini
R3 I2
Cara menyikapi
permusuhan adalah
dengan berbuat baik
kepada lawan.
(Argumen)
R1
ة و د ع (Rheme)
R2
Perbuatan menyingkapi
permusuhan
O1
Manusia
I1
Permusuhan manusia
dengan manusia lain.
(Argumen)
O2
Berbuat baik
kepada lawan.
104
merupakan penguat untuk argument pendapat kedua penafsir sebelumnya yaitu al-
Tabarî dan Sayyid Quṯb.
- QS. Al-Taghâbun/ 64: 14
Dalam ayat ini, Quraish Shihab yang telah mengkontekstualisasikan ayat
ini dengan menyatakan pasangan dan anak merupakan musuh dapat dipahami
dalam arti musuh yang sebenarnya, yang menaruh kebencian dan ingin
memisahkan diri dari ikatan perkawinan. Demikian ini adalah proses semiosis.
Lafaz ا دو yang menjadi representamen/tanda yang pada proses ini ع
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut). Kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Anak dan Istri”, maka membuahkan Interpretan “Anak dan Istri
dapat menjadi musuh” pada membentuk representamen kkedua atau tanda kedua
“permusuhan di lingkup keluarga inti” dan berelasi pada Objek “Menaruh
kebencian dan memisahkan diri dari ikatan perkawinan”, dan membentuk
interpretan “ Istri dan anak dapat menjadi musuh karena telah menaruh
kebencian dan memisahkan dari ikatan perkawinan”. Pada proses ini disebut
R3 I2
Istri dan anak dapat menjadi
musuh karena telah manaruh
kebencian dan memisahkan
dari ikatan perkawinan.
(bercerai)
(Argumen)
O2
Menaruh kebencian dan
memisahkan diri dari
ikatan perkawinan
R1
دو اع (Rheme)
R2
Permusuhan di
lingkup keluarga inti.
O1
Istri dan Anak
I1
Istri dan anak dapat
menjadi musuh.
(Argumen)
105
dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari Quraish dalam
Tafsir al-Mishbâh mengenai makna kata musuh dalam ayat tersebut). Dari proses
semiosis di atas dapat kita lihat bahwa Quraish berpendapat bahwa anak istri
dapat menjadi musuh yang nyata bagi seorang suami dan permusuhan ini dapat
mengakibatkan kebencian hingga usaha untuk memisahkan diri dari ikatan
perkawinan (cerai).
Menurut penulis, pendapat Quraish ketika memiliki perbedaan dengan
kedua penafsir sebelumnya. Yiatu al-Tabarî dan Sayyid Quṯb. Ketika kedua
mufassir ini berpendapat bahwa ayat ini merupakan tawaran al-Qur‟an untuk
menyikapi konflik/ permusuhan yang terjadi pada keluarga yaitu dengan
memaafkan. Namun, Quraish melihat ayat ini sebagai akibat yang akan terjadi jika
terjadi sebuah konflik dalam keluarga. Namun, menurut penulis perbedaan ini
justru saling melengkapi dengan dua tafsir sebelumnya yaitu al-Tabarî dan Sayyid
Quṯb.
C. Analisa Perbandingan Semiosis Antara Redaksi Ayat, Konteks Ayat, Tiga
Mufassir Dari QS. Al-Mâ’idah/ 5: 2, QS. Fussilât dan QS. Al-Taghâbun/ 64:
14
1) QS. Al-Mâ’idah/ 5: 2
Dari semua tafsir pada QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2 yang telah penulis teliti
dengan menggunakan metode semiotika Charles Sander Peirce, penulis melihat
dan menemukan bahwa dari ketiga tafsir di atas sebenarnya tidak saling
kontradiktif melainkan saling mendukung satu sama lain dan membentuk dan hal
ini dapat penulis buktikan melalui proses semiosis dibawah ini:
106
Lafaz أ نت عت دوا dan ن و ٱلعدو yang menjadi representamen/ tanda yang pada
proses ini di kategorikan sebagai Qualisign (karena sumber/ tanda yang kita ambil
dari redaksi ayat Qur‟an itu sendiri). Kemudian tanda ini berhubungan dengan
objek “Orang Beriman”, maka membuahkan Interpretan “Tidak boleh berbuat
aniaya (menghalangi orang Beriman (Musyrik) ke Baitullah)” yang pada proses
ini di kategorikan sebagai Sinsign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari
asbâb al nuzûl (konteks) ayat al-Qur‟an itu sendiri). Interpretan ini ditransformasi
menjadi representamen kedua “Tidak boleh balas dendam”. Kemudian tanda ini
mengacu pada Objek “Kebencian”, maka membuahkan Interpretan baru yang
pada proses ini dikategorikan sebagai Legisign (karena interpretan tersebut
diambil berdasarkan persamaan/ kesepakatan yang terlihat antara redaksi ayat dan
REDAKSI
AYAT ASBAB AL-
NUZÛL Al-THÂBÂRI SAYYID QUTUB
O1
Orang
Beriman
O2
Kebencian
O3
Saling
Membantu
O4
Mengendalikan diri
dan bertoleransi
R1
أ نت عت دوا
ن و ٱلعدو (Qualisign)
I1
Tidak boleh
berbuat aniaya
(menghalangi
orang Beriman
(Musyrik) ke
Baitullah)
(Sinsign)
I3
Orang muslim
tidak boleh
melakukan
balas dendam
namun harus
membantu
orang Beriman
(Musyrik)
menjalankan
perintah Allah
Swt.
(Argumen)
I4
Tidak
melakukan
balas dendam
dengan orang
Beriman
(Musyrik)
merupakan
puncak dari
pengendalian
diri. Karena
hal ini
merupakan
wujud dari
toleransi.
(Argumen)
R2
Tidak boleh
balas dendam
I2
Rasa benci tidak
boleh
mendorong
seorang untuk
membalas
dendam.
(Legisign)
R3
Orang Muslim
dilarang balas
dendam atas
dasar kebencian
AL-MISHBÂH
O5
Adil
R4
Tidak balas
dendam dengan
orang Beriman
(Musyrik.)
I5
Perlakukanlah
musuh secara
adil dengan
tidak berbuat
aniaya
terhadapnya.
(Argumen)
R5
Tidak boleh
berlaku dzalim.
107
asbâbun nuzûl) yaitu “Rasa benci tidak boleh mendorong seseorang untuk
membalas dendam” yang kemudian tanda ini menjadi representamen ketiga
“Orang Muslim dilarang balas dendam atas dasar kebencian”, dan berelasi pada
Objek “Saling membantu”, maka membuahkan Interpretan baru “Orang muslim
tidak boleh melakukan balas dendam namun harus membantu orang musyrik
menjalankan perintah Allah Swt”.
Pada proses ini disebut dengan argumen karena interpretasi ini merupakan
argumen dari al-Tabari mengenai makna kata musuh dalam ayat tersebut), lalu
tanda ini menjadi represetamen ke empat “Tidak balas dendam dengan orang
Beriman (Musyrik)”. Berhubungan lagi dengan objek “Mengendalikan diri dan
bertoleransi”, maka membuahkan Interpretan baru “Tidak melakukan balas
dendam dengan orang Beriman (Musyrik) merupakan puncak dari pengendalian
diri karena hal ini merupakan wujud dari toleransi”. Pada proses ini disebut
dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari Sayyid Quṯb
mengenai makna kata musuh dalam ayat tersebut). Kemudian tanda ini menjadi
representamen ke lima menjadi “Tidak boleh berlaku dzalim” dan berelasi pada
Objek “Adil” dan membentuk interpretan “Perlakukanlah musuh secara adil
dengan tidak berbuat aniaya terhadapnya” yang pada proses ini disebut dengan
argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari Quraish Sihab
mengenai makna tanda musuh dalam ayat tersebut).
Pada proses semiosis di atas dapat kita lihat bahwa semua mufassir
sepakat ayat ini merupakan anjuran untuk menyikapi permusuhan. Namun, setiap
mufassir memiliki argumen yang berbeda tentang cara menyikapi permusuhan
tersebut. Perbedaan pendapat tersebut sebagai berikut:
108
1. Al-Tabarî berpendapat bahwa seorang muslim tidak boleh membalas
dendam atas dasar kebencian.
2. Sayyid Quṯb berpendapat sama dengan al-Tabarî. Namun, bagi Quṯb
sikap tidak melakukan balas dendam atas dasar kebencian merupakan
wujud nyata dari usaha untuk mengendalikan diri.
3. Quraish Sihab berpendapat bahwa seseorang harus bersikap adil
(maksudnya tetap berlaku baik terhadap lawan) hal ini agar
bermusuhan tidak terus menerus berkelanjutan.
Menurut penulis perbedaan pendapat mengenai sikap untuk menghadapi
musuh/ permusuhan ini bukan untuk melemahkan argument mufassir satu dengan
yang lain. Namun, justru perbedaan pendapat ini saling mendukung satu dengan
lainya.
2) QS. al-Fussilât/ 41: 34
Dari semua tafsir pada QS. al-Fussilât/ 41: 34 yang telah penulis teliti
dengan menggunakan metode semiotika Charles Sander Peirce, penulis melihat
dan menemukan bahwa dari ketiga tafsir di atas sebenarnya tidak saling
kontradiktif melainkan saling mendukung satu sama lain dan membentuk dan hal
ini dapat penulis buktikan melalui proses semiosis di bawah ini:
109
Lafaz ا دو ع yang menjadi representamen/ tanda yang pada proses ini di
kategorikan sebagai qualisign (karena sumber/ tanda yang kita ambil dari redaksi
ayat Quran itu sendiri). Kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek
“Manusia” maka membuahkan Interpretan “Permusuhan dengan manusia lain”
yang pada proses ini di kategorikan sebagai sinsign (karena sumber/ tanda yang
kita ambil dari asbâb al nuzûl (konteks) ayat al-Qur‟an itu sendiri). Interpretant ini
ditransformasi menjadi representamen kedua “Cara menyikapi permusuhan
sesama manusia”. Kemudian tanda ini mengacu pada Objek “Berlaku baik
REDAKSI AYAT Al-TABARÎ
SAYYID
QUTUB
O1
Manusia
O2
Berlaku baik
terhadap yang
memusuhi
O3
Teman Yang
Setia
O4
Tidak boleh
membalas
permusuhan dengan
keburukan
R1
ة و د ع (Qualisign
)
I1
Permusuhan
dengan
manusia lain.
(Sinsign)
I3
Bersikap baik
terhadap musuh
akan
menimbulkan
pertemanan
yang setia
(Argumen)
I4
Tidak boleh
membalas
permusuhan
dengan
keburukan
karena ketika
manusia
membalas
permusuhan
dengan
keburukan akan
mengakibatkan
permusuhan
yang
berkepanjangan.
(Argumen)
R2
Cara
menyikapi
permusuhan
sesama
manusia
I2
Cara menyikapi
permusuhan
antara sesama
yaitu menolak
kejahatannya
dengan berlaku
baik terhadap
yang
memusuhi.
(Legisign)
R3
Agar terjalin
teman yang
setia.
AL-MISHBÂH
O5
Berbuat Baik
kepada lawan
R4
Bersikap Baik
I5
Cara menyikapi
permusuhan
adalah dengan
berbuat baik
kepada lawan.
(Argumen)
R5
Cara menyikapi
permusuhan
110
terhadap yang memusuhi”, maka membuahkan Interpretan baru “Cara menyikapi
permusuhan antara sesama manusia yaitu menolak kejahatanya dengan berlaku
baik terhadap yang memusuhi” yang pada proses ini dikategorikan sebagai
Legisign (karena interpretan tersebut diambil berdasarkan redaksi ayat) yang
kemudian tanda ini menjadi representamen baru “Agar terjalin teman yang setia”
dan berelasi pada Objek “Teman yang setia”, maka membuahkan Interpretan baru
“Bersikap baik terhadap musuh akan menimbulkan pertemanan yang setia”. Yang
pada proses ini disebut dengan argumen karena interpretasi ini merupakan
argumen dari al-Tabarî. Mengenai makna kata musuh dalam ayat tersebut), lalu
tanda ini menjadi representamen baru “bersikap baik”.
Berelasi dengan Objek “Tidak boleh membalas permusuhan dengan
keburukan”, maka membuahkan Interpretant baru “Tidak boleh membalas
permusuhan dengan keburukan karena ketika manusia tersebut membalas
permusuhan dengan keburukan akan mengakibatkan permusuhan yang
berkepanjangan”, yang pada proses ini disebut dengan argumen karena
interpretasi ini merupakan argument dari Sayyid Quṯb. Kemudian menjadi tanda
baru menjadi “Cara menyikapi permusuhan” dan berelasi pada Objek “Berbuat
baik kepada lawan” dan membuahkan interpretan “cara menyikapi permusuhan
adalah dengan berbuat baik kepada lawan”. Pada proses ini disebut dengan
argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari al-Mishbah mengenai
makna tanda musuh dalam ayat tersebut.
Pada proses semiosis di atas dapat kita lihat bahwa semua mufassir
sepakat ayat ini merupakan anjuran untuk menyikapi permusuhan. Namun, setiap
111
mufassir memiliki argument yang berbeda tentang cara menyikapi permusuhan
tersebut. Perbedaan pendapat tersebut sebagai berikut:
1. Al-Tabarî berpendapat bahwa cara menyikapi permusuhan antara sesama
manusia yaitu menolak kejahatanya dengan berlaku baik terhadap yang
memusuhinya.
2. Sayyid Quṯb berpendapat sama dengan al-Tabarî. Namun, bagi Quṯb jika
menyikapi permusuhan dengan kejahatan akan mengakibatkan
permusuhan yang berkepanjangan.
3. Quraish Shihab berpendapat sama seperti dua mufassir terdahulunya yaitu
menyikapi permusuhan dengan berbuat baik terhadap lawan.
Ayat pertama, aplikasi semiotika Charles Sanders Peirce yang diterapkan
pada QS. Al-Mâ‟idah/ 5: 2 yang maknanya adalah dilarang membalas dendam
dengan didasari kebencian melalui proses makna ginerik atau firstness yang
mengahasilkan makna legitimasi yaitu “Dilarang menghalangi dan berbuat
aniaya terhadap orang Musyrik dengan didasari kebencian walaupun telah
menghalangi orang Beriman pergi ke Masjidil Haram”. Artinya makna yang
dilegitimasi dalam redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl disini adalah dilarang
membalas dendam dan menaruh kebencian terhadap orang Musyrik yang telah
menghalangi pergi ke Masjidil Haram.
Selanjutnya proses thirdness yang melihat pada tiga mufassir yang terpilih
yaitu Tafsîr Al-Tabarî, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, dan Tafsîr al-Misbâh. Dalam
proses thirdness ini makna yang dihasilkan dalam aplikasi semiotika Charles
Sanders Peirce dinamakan argumen di antaranya al-Tabarî, “Dilarang balas
dendam dengan orang Musyrik dan sebaiknya saling membantu”, Sayyid
112
Quṯb,”Dilarang balas dendam dengan orang Musyrik sebaiknya mengendalikan
diri dan bertoleransi”, dan Quraish Shihab, “Ketika menjalin hubungan harus
didasarkan tolong menolong dan didasarkan pada prinsip kebajikan dan
ketakwaan”. Ketiga argumen ini saling berkaitan dan saling mendukung, al-
Ṯabarî sebagai tafsiran klasik melarang membalas dendam terhadap orang
Musyrik, Sayyid Quṯb dalam tafsirannya mengharuskan mengendalilkan diri dan
bertoleransi terhadap orang Musyrik, dan Quraish Shihab dalam tafsirnya yang
merupakan tafsir keindonesiaan pada zaman sekarang mengatakan ketika menjalin
hubungan harus tolong menolong dan didasarkan pada kebajikan dan takwa.
Artinya jika dikontekstualisasikan pada zaman saat ini, QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2
menunjukkan kesepakatan yang dihasilnya melalui legisign dari firstness dan
argument dari thirdness menghasilkan “Dilarang membalas dendam dengan
didasari kebencian” yang hal ini mengarahkan pada perdamaian.
Ayat kedua, aplikasi semiotika Charles Sanders Peirce yang diterapkan
pada QS. Fussilât/ 41: 34 yang maknanya adalah membalas permusuhan dengan
kebaikan melalui proses makna ginerik atau firstness yang mengahasilkan makna
legitimasi yaitu “Menolak Kejahatan dengan cara yang Baik”. Artinya makna
yang dilegitimasi dalam redaksi ayat adalah menolak permusuhan dengan cara
yang baik. Dan selanjutnya proses thirdness yang melihat pada tiga mufassir yang
terpilih yaitu Tafsîr Al-Tabarî, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, dan Tafsîr al-Misbâh.
Dalam proses thirdness ini makna yang dihasilkan dalam aplikasi semiotika
Charles Sanders Peirce dinamakan argumen di antaranya al-Tabarî, “Perbuatan
menyikapi permusuhan adalah bersikap baik”. Sayyid Quṯb,” Ketika manusia
tersebut membalas permusuhan akan mengakibatkan permusuhan yang
113
berkepanjangan dan menyebabkan permusuhan”, dan Quraish Shihab, “Ketika
berbuat baik terhadap lawan akan berpengaruh baik dan menjadi teman yang
sangat setia”. Ketiga argumen ini saling berkaitan dan saling mendukung, al-
Tabarî dalam penafsiranya menyikapi permusuhan adalah bersikap baik, Sayyid
Qutb dalam tafsirannya mengatakan bahwa jika permusuhan diselesaikan
dihadapkan dengan cara yang buruk akan menimbulkan permusuhan yang
berkepanjangan, dan Quraish Sihab dalam tafsirnya yang merupakan tafsir
keindonesiaan pada zaman sekarang mengatakan ketika menjalin hubungan baik
terhadap lawan akan berpengaruh baik dan menjadi teman yang setia. Artinya jika
dikontekstualisasikan pada zaman saat ini, QS. Fussilât/ 41: 34 menunjukkan
kesepakatan yang dihasilnya melalui legisign dari firstness dan argumen dari
thirdness menghasilkan “Menganjurkan membalas permusuhan dengan kebaikan”
yang hal ini mengarahkan pada perdamaian.
Ayat ketiga, aplikasi semiotika Charles Sanders Peirce yang diterapkan
pada, QS. al-Taghâbun/ 64: 14 yang maknanya adalah memaafkan melalui proses
makna ginerik atau firstness yang mengahasilkan makna legitimasi yaitu “Ketika
anak dan Istri menjadi musuh bagi suami, maka sikap yang harus dilakukan oleh
suami adalah memafkan”. Artinya makna yang dilegitimasi dalam redaksi ayat
dan asbâb al-nuzûl adalah diharuskan memeberi maaf kepada musuh walaupun
dari pihak keluarga. Dan selanjutnya proses thirdness yang melihat pada tiga
mufassir yang terpilih yaitu Tafsîr Al-Tabarî, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, dan Tafsîr
al-Misbâh.
Dalam proses thirdness ini makna yang dihasilkan dalam aplikasi
semiotika Charles Sanders Peirce dinamakan argumen diantaranya al-Tabarî,
114
“Ketika anak dan istri menjadi musuh bagi suami, maka sikap yang harus
dilakukan oleh suami adalah memaafkan”, yang mana pendapat al-Tabarî ini
serupa dengan asbâb al-nûzul. Sayyid Quṯb, “Peringatan dari Allah Swt bagi
suami dalam menghadapi anak dan istri”, dan Quraish Shihab, “Istri dan anak
dapat menjadi musuh karena telah menaruh kebencian dan memisahkan dari
ikatan perkawinan”. Ketiga argumen ini saling berkaitan dan saling mendukung
al-Tabarî, Sayyid Quṯb, dan Quraish Shihab menganjurkan untuk memaafkan
anak dan istri sekalipun berbuat kesalahan. Artinya jika dikontekstualisasikan
pada zaman saat ini, QS. al-Taghâbun/ 64: 14 menunjukkan kesepakatan yang
dihasilnya melalui legisign dari firstness dan argumen dari thirdness
menghasilkan “Memaafkan ” yang hal ini mengarahkan pada perdamaian.
3) QS. Al-Taghâbun/ 64: 14
Dari semua tafsir pada QS. al-Taghâbun/ 64: 14 yang telah penulis teliti
dengan menggunakan metode semiotika Charles Sander Peirce, penulis melihat
dan menemukan bahwa dari ketiga tafsir yang mewakili jamannya tersebut
sebenarnya tidak saling kontradiktif melainkan saling mendukung satu sama lain
dan membentuk simbol baru, dan hal ini dapat penulis buktikan melalui proses
semiosis dibawah ini:
115
Lafaz ا دو ع yang menjadi representamen/tanda yang pada proses ini di
kategorikan sebagai qualisign (karena sumber/tanda yang kita ambil dari redaksi ayat
Quran itu sendiri). Kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Anak dan Istri”
maka membuahkan Interpretan “Anak dan Istri menjadi musuh bagi suami” dan
membuahkan representamen baru “Anak dan Istri menjadi musuh bagi suami” yang
berelasi pada objek “suami”, dan membuahkan interpretan baru “Anak dan istri
menjadi musuh bagi suami”, dan membentuk representamen baru “Sikap terhadap
musuh”, dan berelasi pada objek “memaafkan”, dan membentuk interpretan “ketika
anak dan istri menjadi musuh, maka sikap yang harus dilakukan oleh suami adalah
dengan memaafkan”, dan membentuk representamen baru “Tindakan suami”. Yang
REDAKSI AYAT, ASBÂB AL-
NUZÛL, Al-THÂBÂRI
SAYYID QUTUB
O1
Anak dan
Istri
O4
Penghalang
dakwah
O5
Peringatan dari
Allah Swt
R1
ا دو ع (Qualisig)
I1
Anak dan
Istri
menjadi
musuh
(Sinsign)
I3
Anak istri
dapat menjadi
musuh karena
menghalangi
dakwah.
(Argumen)
I4
Peringatan dari
Allah Swt bagi
suami bahwa
anak dan istri
dapat menjadi
musuh karena
menghalangi
dakwah.
(Argumen)
R2
Anak dan Istri
menjadi
musuh
I2
Ketika anak
dan istri
menjadi
musuh bagi
suami, maka
sikap yang
harus
dilakukan
oleh suami
adalah
memaafkan.
(Argumen)
R3
Tindakan suami
AL-MISHBAH
O6
Menaruh kebencian
dan memisahkan
diri dari ikatan
perkawinan.
R4
Anak dan Istri
menghalangi
dakwah..
I5
Istri dan anak
dapat menjadi
musuh karena
telah menaruh
kebencian dan
memisahkan
diri ikatan
perkawinan.
(bercerai)
(Argumen)
R5
Peringatan Allah
Swt bahwa anak
dan istri dapat
menjadi musuh..
O2
Suami
I2
Anak Istri
menjadi
musuh
bagi suami
(Legisign)
R2
Sikap
terhadap
musuh
O3
Memaafkan
116
pada proses ini merupakan persamaan dari proses redaksi ayat, asbâb al-nûzul, dan
penafsiran al-Ṯabarî. Representamen baru tersebut berelasi pada objek “Penghalang
dakwah” dan menjadi interpretan “Anak dan istri menjadi musuh karena telah
menghalangi dakwah” dan menjadi representamen baru “Anak dan Istri menghalangi
dakwah” dan menjadi objek “Peringatan dari Allah Swt” dan membentuk interpretan
“Peringatan dari Allah Swt bagi suami bahwa anak dan istri dapat menjadi musuh
karena menghalangi dakwah”. Yang menjadi representamen baru “Peringatan Allah
Swt bahwa anak dan istri dapat menjadi musuh”.
Pada proses ini disebut dengan argumen karena interpretasi ini merupakan
argumen dari Sayyid Quṯb mengenai makna kata musuh dalam ayat tersebut).
Kemudian tanda baru tersebut berelasi pada objek “Menaruh kebencian dan
memisahkan diri dari ikatan perkawinan” yang membuahkan interpretan “Istri dan
anak dapat menjadi musuh karena telah menaruh kebencian dan memisahkan diri
ikatan perkawinan (bercerai)”.
Pada proses semiosis di atas dapat kita lihat bahwa semua mufassir sepakat
ayat ini merupakan anjuran untuk menyikapi permusuhan. Namun, setiap mufassir
memiliki argument yang berbeda tentang cara menyikapi permusuhan tersebut.
Perbedaan pendapat tersebut sebagai berikut:
1. Al-Ṯabarî melihat ayat ini sebagai suatu solusi untuk menghadapi
permusuhan di lingkup keluarga yaitu dengan cara memaafkan anggota
keluarga yang menjadi musuh.
2. Sayyid Qutb berpendapat berbeda dengan al-Ṯabarî yang melihat ini
sebagai solusi untuk menyikapi permusuhan di lingkup keluarga, bagi
117
Quṯb ayat ini merupakan peringatan dari Allah Swt bahwa salah satu
anggota keluarga dapat menjadi musuh.
3. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat ini merupakan akibat dari
permusuhan yang ada di ruang lingkup keluarga, sehingga dapat
mengakibatkan suatu kebencian dan juga dapat menyebabkan perceraian.
D. Relevansi Makna ‘Aduww Sesama Manusia Menggunakan Semiotika Charles
Sanders Peirce
Permasalahan yang terjadi pada saat ini berkenaan dengan QS. al-
Taghâbun/ 64: 14 bentuk dari permusuhan antar keluarga pun berbeda-beda. Pada
konteks sekarang anak bisa menjadi musuh dalam arti seorang anak yang tidak
mendengarkan perintah orang tua dan tidak melaksanakan kewajibanya sebagai
anak seperti selalu bolos sekolah, tawuran, salah pergaulan dan lain-lain. Jika hal
demikian dibiarkan maka dampak yang diperoleh oleh orang tua adalah suatu
yang negatif, yang dapat menjerumuskan orang tua ke dalam kehancuran dan
dosa. Seperti contoh kasusnya yang terjadi seorang pelajar yang diberitakan telah
tawuran di Taman kota 2, BSD City, Tangerang selatan pada hari kamis
(25/1/2018), mereka mengeluarkan beberapa aneka senjata tajam. Mulai dari
celurit, samurai, stik golf, klewang, hingga padang babi, dari tas yang mereka
bawa.1
Contoh kasus lain yang mengakibatkan orang tua ikut ikut dipanggil di
kantor polisi yaitu kasus mengikuti balapan liar, di Jalan Lintas Air Mungkui,
1 Hasan Kurniawan, “Rawa Ragam senjata, Pelajar Tawuran di Taman Kota 2 BSD City”
berita ini diakses pada hari jumat 26 Januari 2018 melalui
https://metro.sindonews.com/read/1276771/170/bawa-ragam-senajata-pelajar-tawuran-di-taman-
kota-2-bsd-city-1516892685
118
Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung, Senin (15/1/2018). Polisi menjelaskan
bahwa anak-anak yang berusia belasan tahun mengikuti balapan liar dan sangat
membahayakan bagi anak tersebut.2 Yang jika dibiarkan akan membuat dampak
negatife juga bagi orang tua. Tidak hanya itu, ada kasus yang memberitakan
seorang anak membunuh Ayah kandungnya sendiri yang terjadi di Bantul, Kamis
(1/2/2018) kejadian berlangsung ketika si Ayah sedang tertidur lelap, polisi
menjelaskan bahwa motif tersangka membunuh ayahnya karena jengkel sering
dinasehati dan dilarang keluar rumah oleh korban. Dari semua kejadian kasus
yang terjadi pada anak tersbut ini merupakan peristiwa yang hampir terjadi pada
masyarakat ini.
Selain pada anak, permasalahan keluarga juga sering terjadi, salah satu
contoh yang terjadi adalah permasalahan istri dan suami. Contoh kejadian yang
telah terjadi pada seorang suami di Aceh pada hari Sabtu, (12/1/2018) yang telah
dibunuh oleh istrinya sendiri menggunakan besi baja yang panjangnya sekitar 50
cm dan kemudian dibungkus plastik warna hitam bekas jemuran cokelat.3
Pada QS. al-Taghâbun/ 64: 14, penulis menemukan bahwa perbuatan
yang harus kita lakukan ketika menghadapi musuh anak dan istri pada zaman
sekarang adalah memaafkan. Menurut penulis solusi yang ditawarkan al-Qur‟an
merupakan pesan al-Qur‟an untuk saling menghormati satu sama lain dalam
keluarga dan juga pentingnya menjaga dan juga memelihara keutuhan keluarga.
Karena bagaimanapun juga tak dapat dipungkiri keluarga adalah satu organisasi
2 “Anak ikut balapan liar, Polis Panggil Orang Tuanya” Berita ini diakses pada hari Senin,
15 januari 2018 melalui: http://belitung.tribunnews.com/2018/01/15/anak-ikut-balapan-liar-polis-
panggil-orang-tuanya#ampshare=http://belitung.tribunnews.com/2018/01/15/anak-ikut-balapan-
liar-polis-panggil-orang-tuanya 3 “Kasus Istri Bunuh Suami di Aceh Tenggara” Berita ini diakses pada hari Jumat, 12
Januari 2018 melalui:http://aceh.tribunnews.com/2018/01/12/kasus-istri-bunuh-suami-di-aceh-
tenggara-begini-pengakuan-sang-istri-di-kantor-polisi.
119
terkecil dalam struktur bermasyarakat namun memiliki peran penting dalam
masyarakat, dimana dari keluargalah seseorang dapat belajar nilai-nilai kebaikan
dan juga keburukan. Sehingga jika ada satu kesalahan yang dilakukan oleh
anggota keluarga akan lebih baik untuk memaafkannya agar keluarga tersebut
dengan tujuan agar tetap terjaganya keutuhan keluarga. Demikian ini adalah
sebagian kasus yang kompleks yang telah terjadi pada persoalan istri terhadap
suami yang ada pada kondisi sosial Masyarakat.
Kemudian QS. al-Fussilât/ 41: 34 yang terkandung makna di dalamnya
yaitu menolak kejahatan dengan cara yang baik. Contoh kasus saat ini yang
berhubungan dengan ayat ini adalah perbuatan balas dendam yang dalam artian
bertolak belakang dengan makna yang terkandung dalam ayat ini adalah kasus
pembunuhan yang terjadi Indramayu yang menemukan korban (Nurjaman) tewas
bersimbah darah di sebuah gudang kosong. Hal ini ini terjadi dilatarbelakangi oleh
balas dendam dengan korban yang akhirnya korban dibunuh oleh temanya
sendiri.4
Contoh kasus lain terjadi pada seorang anak SD di Jurong, Singapura,
yang menjadi korban lelucon balas dendam oleh teman sekelasnya hingga
membuatnya dirawat di rumah sakit. Insiden tersebut bermula ketika korban dan
gadis lainya awalnya berteman baik, tapi mereka tiba-tiba bermusuhan karena
permasalahan sepele, karena kesal dengan gadis itu, gadis lainya meminta
pertolongan kepada teman laki-lakinya untuk membantunya balas dendam.
Kemudian bocah laki-laki memutuskan untuk melakukan balas dendam dengan
menuangkan sabun cuci tangan ke botol air minum milik gadis itu. Sesaat setelah
4 Dwi Ayu Artantiani, “Bejat Cuma Karena Dendam, Pemuda Pukul Teman hingga Tewas”
berita ini diakses pada hari Rabu, 17-Mei-2017 melalui: https://news.okezone.
com/read/2017/05/17/525/1692916/bejat-cuma-karena-dendam-pemuda-pukul-teman-hinggatewas
120
meminum air tersebut, korban dilaporkan mengalami demam dan muntah-muntah
dua kali di sekolah sehingga dia harus dilarikan ke rumah sakit.5 Hal ini adalah
contoh kasus yang kompleks yang ada di Masyarakat saat ini yang sangat bertolak
belakang pada makna yang terkandung pada ayat ini.
Ayat selanjutnya QS. al-Mâ‟idah/ 5: 2 mempunyai makna “saling tolong
menolong walaupun orang Kafir bersikap buruk terhadap orang Mukmin”. Akan
tetapi makna realita yang ada pada masyarakat saat ini adalah sebagaian orang
Muslim banyak yang masih saling membenci orang nonmuslim lantaran pernah
berbuat aniaya terhadap mereka. Contoh kasusnya yang sudah terjadi pada
masyarakat saat ini adalah sikap seorang muslim yang melakukan diskriminasi
terhadap siswa nonmuslim, contohnya seperti berbuat keras kepada siswa terebut
untuk memakai jilbab. Perbuatan demikian termasuk perbuatan yang tidak pantas
dilakukan oleh pihak sekolah yang notabenya adalah seorang Muslim.6
Sebenarnya permasalahan muslim dan non muslim adalah suatu permasalahan
yang kompleks dan merupakan kejadian yang tidak asing terdengar ditelinga kita
saat ini.
Sampai permasalahan yang sangat kompleks di Masyarakat saat ini
dijelaskan bahwa permasalahan mengenai “„Aduww ” juga sudah lama terjadi
pada Masyarakat sebelum Islam datang seperti yang diceritakan dalam buku
Badri Yatim yang berjudul “Historiografi Islam” menjelaskan bahwa permusuhan
di Jazirah Arab telah berlangsung sejak sebelum Islam datang, bahkan dalam buku
5 Yulia Lisnawati, “Bermaksud Balas Dendam, Gadis Cilik Racuni Temanya” berita ini
diakses pada 27- Maret-2017 melalui: http://m.liputan6.com/citizen6/read/2900654/bermaksud-
balas-dendam-gadis-cilik-racuni-temanya. 6 Ada Diskriminasi Terhadap Siswi Non Muslim di Bayuwangi, Bupati Anas Marah, berita
ini diakses pada hari Minggu, 16 Juli 2017 melalui:
https://regional.kompas.com/read/2017/07/16/23005061/ada-diskriminasi-terhadap-siswi-non-muslim-di-banyuwangi-bupati-anas-marah
121
tersebut terdapat pembahasan khusus mengenai permusuhan ini yag dinamai
dengan “Ayyâm al- „Arab” peperang ini merupakan peperangan yang terjadi antar
bangsa Arab atau kabilah-kabilah Arab, perselisihan/ peperangan ini dilakukan
untuk memperebutkan kepemimpinan, perebutan sumber-sumber air dan padang
rumput untuk pengembalaan ternak. Walaupun cerita peristiwa “Ayyâm al- „Arab”
ini merupakan cerita legenda sebelum masuk kepada kisah-kisah historis dan tidak
disandarkan pada sumber-sumber tertulis. Namun, peperangan antar kabilah-
kabilah Arab itu suah menjadi sebuah tradis bagi bangsa arab untuk
mempertahankan kepemimpinan dan daerah yang dikuasainya.
Selain itu pada saat itu terdapat undang-undang yang harus ditaati oleh
bangsa Arab,yaitu berisi tentang aturan “ pembalasan dendam” yang merupakan
hukum suci bagi mereka aturannya yaitu apabila anggota satu kabilah membunuh
anggota kabilah lainya, maka kabilah yang terakhir “berhak” membunuh anggota
kabilah pembunuh. Peperangan ini bisa berhenti jika ada pihak ketiga yang
melerai, dan itupun harus dengan syarat yaitu kedua belah pihak menyepakati dan
melakukan/ membayar denda. Akan tetapi seringkali terjadi pihak yang dirugikan
tidak mau menerima denda, yang mengakibatkan permusuhan yang
berkepanjangan.
Peperangan pra-Islam yang terkenal diantarnya adalah perang al-Basus,
perang Dahis dan al-Ghabrâ, peperangan Fujjar, perang yaum al-Khazaz (Perang
antara kabilah Rabi‟ah dan Yaman). Disini penulis hanya mencantumkan satu
contoh perang yang sudah disebutkan di atas, yaitu perang Dâhis dan al-Ghabrâ:
Peperangan ini terjadi antara kabilah „Abbâs dan kabilah Zabyân, keduanya putera
Bâghiḏ ibn Rabats ibn Ghaṯfân. Disebut juga peperangan Qays, peperangan ini
122
disebabkan oleh taruhan antara Qays ibn Zuhair (dari kabilah „Abbâs) dan
Hammâl ibn Badar (dari kabilah Zabyan), tentang kecepatan Dâhis ( kuda jantan
milik Qays ibn Zubair) dan al-Ghabrâ ( unta betina milik Hammâl ibn Badar).
Mereka bertaruh dengan seratus ekor unta. Mereka kemudian sepakat bahwa
pertandingan itu akan dilaksanakan 40 hari kemudian, karena kedua hewan yang
akan diperlombakan (Dâhis, kuda jantan dan Ghabrâ, unta betina) itu perlu
dipersiapkan sebelumnya.
Setelah 40 hari berlalu, kedua hewan itu dibawa ke pinggir gelanggang.
Dipinggiran semak-semak, Hammâl ibn Badar menempatkan beberapa pemuda di
jalan setapak di pinggiran bukit. Hammâl memerintahkan kepada mereka, agar
mereka membelokkan arah larinya kuda Qays bila tiba lebih dahulu, sehingga
menjauh dari tujuan. Ketika kuda jantan (Dâhis) dan unta betina (al-Ghabrâ)
dilepas, ternyata, unta betina itu keluar dari semak belukar lebih dahulu. Hamal
ibn badar kemudian berkata kepada Qays: “Aku memenangkan pertaruhan”. Qays
menjawab: “Tunggu dulu, sampai kudaku keluar dari semak dan mulai menempuh
jalan yang lebih jelek dilalui, sehingga dapat menyalip unta betina itu”. Ketika
keduanya menanti dan keluar ke jalan yang jelek, Dâhis ( kuda jantan) keluar dan
berhasil melampaui al-Ghabrâ (unta betina).
Pada saat kuda jantan itu hampir mencapai finish, para pemuda tadi
melompati dan berhasil membelokkan Dâhis menjauhi finish. Inilah yang
menyebabkan peperangan antara kabilah „Abas (kabilahnya Qays) dan kabilah
Zabyân (kabilahnya Hammâl ibn Badar). Peperangan itu terjadi berulang-ulang
selama 40 tahun.7
7 Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 29-34.
123
Kemudian penulis juga menemukan skripsi yang ditulis oleh Aan
Nurjanah yang berjudul Musuh („Aduww ) dalam Perspektif al-Qur‟an (Studi
Kitab Tafsir Fî Zilal al-Qur‟an)” dalam pembahasan ini konflik yang dihadirkan
pada peneltian ini adalah kasus pengeboman yang terjadi di WTC. Dan kemudian
skripsi yang lain penulis temukan yang berjudul “al-adâwah dan al-bagdâ, dalam
skripsi ini penulis melatarbelakangi maraknya kasus permusuhan dan kebencian
yang marak terjadi pada saat ini.
Dari berbagai permasalahan permusuhan yang kompleks di atas
sebenarnya permusuhan menjadi sesuatu yang mentok dan bahkan tidak ada solusi
dalam menghadapinya. Maka, dari beberapa realita permusuhan yang penulis
jabarkan di atas dan beberapa penelitian yang penulis jabarkan mengenai
penelitian orang mengenai permusuhan. Dan walapun permusuhan adalah suatu
sikap dan mentalitas negatif, dan dapat mendatangkan perselisihan bahkan
kehancuran terhadap kehidupan dan eksistensi manusia. dan al-Qur‟an sendiri
juga membicarakan mengenai hal permusuhan yang digambarkanya. Ada satu sisi
yang masyarakat saat ini membutuhkan solusi dalam menghadapi permusuhan.
Solusi yang ditawarkan dalam skripsi ini, saling berhubungan erat dengan
realitas saat ini. walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa permusuhan adalah
suatu hal yang tidak akan kunjung selesai dan tidak ada habisnya. Maka dari itu
penulis membuktikan bahwa relevansi yang ditimbulkan untuk mencegah
permusuhan adalah dengan memaafkan, tidak balas dendam dan membalas
dengan kebaikan sebagaimana yang dikatakan dalam al-Qur‟an.
124
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seiring dengan berkembangnya zaman dari waktu ke waktu, bahwa
permusuhan antar manusia sudah ada sejak awal perkembangan Islam di Arab bahkan
pada masa Nabi Muhammad Saw yang masih berkelanjutan dan merupakan
permasalahan yang tidak kunjung selesai. Namun, al-Qur’an merupakan pedoman
bagi umat Islam yang selalu memberikan petunjuk bagi umat Islam. Kata ‘aduww
dalam al-Qur’an walaupun bermakna negatif, pasti ada makna yang mengarahkan
pada suatu hal perdamaian dan perbaikan. Pada makna semiotika ‘aduww sesama
manusia yang penulis analisa menggunakan semiotika Charles Sanders Peirce
terdapat makna yang menunjukkan hal yang mengarahkan pada solusi permusuhan.
Di antaranya ayat yang penulis teliti dalam ayat ini adalah larangan membalaskan
dendam dengan didasari oleh kebencian. Seperti di QS. al-Mâ’idah/5: 2, membalas
permusuhan dengan kebaikan, seperti dalam QS. Fussilât/ 4: 34, dan QS. al-
Taghâbun/ 64: 14 yang maknanya adalah memaafkan.
Maka ketiga proses aplikasi semiotika Charles Sanders Peirce ini,
mensepakati bahwa “dilarang membalas dendam dengan didasari kebencian,
Menganjurkan membalas permusuhan dengan kebaikan dan Memaafkan”. Jika
dikontekstualisasikan pada zaman sekarang, karena memberi jalan praktis untuk
penjelasan permusuhan. Tindakan memaafkan mungkin dapat dianggap sebagai
tindakan lemah, atau mengalah, tapi sesungguhnya tindakan tersebut merupakan
125
kualitas sikap mental luhur yang mempunyai kekuatan untuk menyatukan exsistensi
yang saling menhargai dan hidup dalam harmonis
.
B. Saran
Penelitian semiotik yang penulis lakukan merupakan bagian kecil dari
penerapan teori semiotik Peirce karena penulis hanya berfokus pada solusi yang di
tawarkan al-Qur’an mengenai konsep ‘aduww. Masih terbuka lebar kesempatan untuk
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai tanda ‘aduww menggunakan teori
semiotik Peirce. Ranah lain yang belum penulis sentuh antara lain metode kekeduan
(secondness) dari semiotika Peirce. Selain itu, kategorisasi mengenai ‘aduww
terhadap setan dan lain sebagainya yang telah penulis paparkan pada BAB III.
126
DAFTAR PUSTAKA
Al-Tâbarî, Abû Ja‟far Muẖammad ibn Jarir. Tafsir Al-Tâbarî. Penerjemah; Akhmad
Affandi. editor. Besus Hidayat Amin. Jakarta: Pustaka Azam. 2008.
Al-„Arabiyah. Majma‟ al-Lughah. al- Mu’jam al-Wasît. Kairo: Dâr al-Ma‟arif. 1980.
Al-Khûlidî. Salâh „Abd al-Fatâh. Tafsîr Maudû’î. Dâr al-Nafâisy. t.t.
Al- Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i. Cet 1. Penerjemah Rosihon
Anwar. Bandung: Pustaka Setia. 2012.
As-Suyûṯî, Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân. Lubâb al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl.
Pentashih Aẖmad „Abd al-Syâfî. Bairut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah. t.t.
Al-Ashfahani, al-Raghib. Mufrâdât Alfâz Al-Qur’an. Dâr al-Qalam: Damaskus.
2009.
Al-„Askarî. Abî Hilâl al-Hâsân ibn Abdillâh ibn Sahl. al-Furûq al-Lughawiyyah.
Bairut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah. 2010.
Abd al-Baqî, Muhammad Fu‟ad. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur’ân al-Karîm.
Kairo: Dâr al-Hadîts. 2007.
Al-Khâlidiy, Shalah. Biografi Sayyid Quthb. Yogyakarta: Pro-U Media. 2016.
Azizah, Febrinia. “Sekillas tentang konflik syiah-sunni di Sampang Madura.”Artikel
diakses pada 26 Oktober 2017 dari
https://www.google.co.id/amp/s/azizahfebrinia93.wordpress.com/2013/05/06
/sekilas-tentang-konflik-syiah-sunni-di-sampang-madura/amp/
Busyro. Shorof Praktis Metode Krapyak. Yogyakarta: Menara Kudus. 2003.
Budiman, Kris. Semiotika Visual: Konsep. Isu. dan Problem Ikonitas. Yogyakarta:
Jalasutra. 2011.
Bakker, Anton dan Zubaer, Achmad Chairis. Metode Penulisan Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius. 1994.
Badudu, J.S. Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: P.T.
Kompas Media Nusantara. 2003.
Berger, Arthur Asa Berger. Tanda-Tanda Dalam Kebudayan Kontemporer.
Penerjemah: M. Dwi Marianto dan Sunarto. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta. 2000.
127
Christomy, T dan Yuwono, Untung. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya.
Universitas Indonesia. 2010.
Hakim, H. Husnul. Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir; Kumpulan Kitab-kitab Tafsir
dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer. Depok: ELSIQ Press. 2013.
Hikmah. Lexi Zulkarnaen. “Hadis Tentang Keutamaan Ibu: Suatu tinjauan dan
Analisis Semiotik Charles S. Peirce”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat. Universitas Islam Negeri. Jakarta. 2008.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik.
Jakarta: Paramadina,1996.
Hoed, Benny H. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
2008.
Imron, Ali. Semiotika Al-Qur’an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf.
Yogyakarta: Teras. 2011.
Ibn Faris, Aẖmad. Mu’jam Maqayis al-Lughah. jil. 4. Bairut: Dar al-Fikr. t.t.
Johansen, Jorgen Dines and Larsen, Svend Erik. Signs in Use An Introduction to
Semiotics. New York: The Taylor & Francise- Library. 2005.
Kementrian Agama RI. Al-Quran Dan Terjemahannya. Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Urusan Agama Islam Dan
Pembinaan Syariah. 2012.
Katsoff, Lois O. Pengantar Filsafat. Penerjemah Suyono Sumargono. Yogyakarta:
T.pn..1992.
Kaltsum, Lilik Ummi. “Metode Tafsir Maudhû’î Bâqir Al-Shadr”. Disertasi S3
Bidang Ilmu Agama Islam. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2009.
Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesia Tera. 2001.
Kompas.com. “Pertikaian di Ambon bukan Konflik Agama. berita ini dimuat pada 2
Oktober 2011. http://nasional.kompas.com/read/2011/10/02/20394476/
Pertikaian. di.Ambon.Bukan.konflik.Agama
Muzakki, Akhmad. Kontribusi Semiotika Dalam Memahami Bahasa Agama. Malang:
UIN-Malang Press. 2007.
128
Mullin, Richard P. “The Soul Of Classical American Philosophy”. New York: State
University of New York Press.
Munawwir. Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia. Surabaya; Pustaka Progresif.
1997.
Manzur. Ibnu. Lisan al-Arab. Kairo; Dar al-Ma‟arif. 1119.
Mahmud. Mani‟ Abd Halim. Metodologi tafsir: Kajian komprehensif metode para
ahli tafsir. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.2006.
Martin, Ryder. “Semiotik Languange and Culture.” artikel diakses pada tanggal 21
Januari 2008 dari http:///carbon.cudenever.edu/~mryder/semiotikcs
este.html.
Nita, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Ed 1. Cet 8. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2003.
Peirce, Charles Sanders. “Brief Biography” in Standford Encyclopedia of Philosophy
artikel didownload pada tanggal 26 juli 2017 dari
http://plato.stanford.edu/entries/peirce/
Pari, Fariz. Epistimologi Semiotik Peirce. Jabaru: Kopi Center. 2012.
Quthb. Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Quran; Dibawah naungan al-Qur’an. Penerjemah:
Aunur rafiq shaleh Tamhid. Lc. khoirul halim. Lc. Cet 1. Juz 3. Jakarta:
Rabbani Press. 2002.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat. Ketentuan. dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami ayat-ayat al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
2013.
____________ Tafsir al-Mishbâh: Pesan. Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Vol: 1.
Jakarta: Lentera Hati. 2004.
Sh-Shiddieqy. Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu al-Quran dan Tafsir. Semarang:
Pustaka Rizki Putra. 2009.
Taufiq, Wildan. Semiotika: Untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an. Bandung: Yrama
Widya. 2016.
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. .
Zailani, Tanjung. “Astaghfirullah. Suami Bakar Istri dan Anak Kandung.” Artikel
diakses pada 26 Oktober 2017 dari https://daerah.sindonews.com/read/ 1246
005/191/astaghfirullah-suami-bakar-istri-dan-anak-kandung 1507280461
129
LAMPIRAN PERTAMA
AGENSI ՛ ADUWW: AllAH DAN MAKHLUK-NYA (MUKMIN, YAHUDI, KAFIR, DLL.)
NO. NAMA SURAT DAN REDAKSI AYAT
1. QS. al-Baqarah/ 2: 61 إر دذف طؼب جشػي ىص ع ز عقي جذٱد بر ىب شج ضىبسثلخ س ثصيبقبهٱل ػذعب ب ف بئب قث يب ثق
ذى زج ثٱىزأرغ أد خٱىز ش جطا ػيٱ ضشثذ ز بعأى ىن شافئ ص ىخ نخٱىز غ ٱى ثبءثغضت ىلٱلل
ر
ث فش مبان ذ ثأ ب ٱلل زي ق شٱىج ذقثغ ىلٱى مبار بػصا يعتدونث“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja.
Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang
ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya".
Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu
kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta
mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan
membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka
dan melampaui batas”
2. QS. al-Baqarah/ 2: 65
ىقذ ز ػي فٱعتدواٱىز ن ذ ج غٱىغ ماقشدحخ بى فقي “Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami
berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina"
3. QS. al-Baqarah/ 2: 97
قو مب ا عدو شوفئ جج ىۥىـ ۥض جلثئر قي ػي ٱلل ؤ ىي ش ثش ذ ذ بث قبى صذ ٧٩
“Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam
hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita
gembira bagi orang-orang yang beriman”.
4. QS. al-Baqarah/ 2: 98
امب عدو ئنز ي ۦلل سعي ۦ وفئ نى شو جج ٱلل فش ن ىي ٧٩ػذ
130
“Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka
sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir”.
5. QS. al-Baqarah/ 2: 173
ب إ ن ػي زخدش ٱى ٱىذ ىذ خضش ٱى ث و
بأ شۦ ىغ ٱلل طشف ٱض إ ػي لػبدفلإث شثبؽ غ ٱلل د س ٩غفس
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”
6. QS. al-Baqarah/ 2: 178
ب أ ٱىز ن ػي مزت ا قصبصءا ٱى ف ي قز ذشٱى ذشثٱى ذٱى ؼج ذثٱى ؼج ٱى ث ثٱل ث ىٱل ػف فۥف ء ش أخ ٱرجبع
شفث ؼ ىٱى
ر غ ثئد إى أداء ل ف خ سد ثن س فف رخ زذ ىلفيٱػ ذر ۥثؼ أى ٩٩ػزاة
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”
7. QS. al-Baqarah/ 2: 229
ق ٱىطي ز بءار خزاأرأ ىن لذو غ ثئد شخ رغ شفأ ؼ ث
غبك فئ رب ش ش بدذد ق أخبفبأل بإل ٱلل ز خف فئ
بدذد ق أل بفلٱلل بف زذد جبحػي ٱف لدذدۦث ري زؼذدذدتعتدوها فلٱلل ٱلل ئل ى فأ ي
٧ٱىظ“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”
131
8. QS. Âli ‘Imrân/ 3: 112
ضشثذ ىخػي ٱىز و ثذج إل ا بثقف أ ٱلل و دج ٱىبط ثبءثغضت ٱلل ػي ضشثذ نخ غ
مباٱى ثأ ىل ر
ث فش ذ ن ب ٱلل زي ق ٱل زذ مباؼ بػصا ىلثر شدق جبءثغ
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah
dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi
kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan
yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”
9. QS. Al-Nisâ’/ 4: 101
إرا ف ز ضضشث س ٱل صشا أرق جبح ن ظػي حفي ي ٱىص زن أف ز خف إ ٱىز إ ا مفش فش ن ٱى امباىن بعدو ج
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika
kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
10. QS. Al-Nisâ’/ 4: 14
ض ؼ سعىٱلل ىۥدذدويتعد ۥ يذافب بساخ خي ۥذ ػزاة“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
. 11. QS. Al-Nisâ’/ 4: 30
ىل ر ؼو اف و ىلػيعدو ر مب بسا ي فص بفغ ظي غشاٱلل“Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke
dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
12. QS. Al-Nisâ’/ 4: 154
ب سفؼ ق ٱىطسف بى قي قث خياث جبةٱد ٱى بى قي ذا ذفلتعدواعج ج قبغيظبٱىغ ث ب أخز
“Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami
ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: "Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan
Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami
132
telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh”.
13. QS. al-Mâ’idah/ 5: 78
ىؼ ٱىز دا ىغب ءوػي ش إع ث ػغۥدمفشا مباٱث بػصا ىلث
ر ش ٩٩يعتدون“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu,
disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas”
14. QS. al-Mâi’dah/ 5: 87
ب أ ٱىز بأدو ذ اطج الرذش ءا ٱلل إ ا زذ لرؼ ىن ٱلل ٩٩ٱلمعتديهلذت
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas”
15. QS. al-Mâ’idah/ 5: 94
ب أ ٱىز ن ي اىج ءا ٱلل ء ذثش ۥربىٱىص ي ىؼ بدن س ذن أ خبفٱلل ت ثۥ غ ٱى ىلفيٱعتدىف ذر ۥثؼ أى ػزاة
٧ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan
yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia
tidak dapat melihat-Nya. Barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih”
16. QS. al-Mâ’idah/ 5: 107
بفئ أ زذقبػثشػي بفٱع إث ب قب ب ق زذقبخشا ٱىزٱع ػي ى ثٱل ب غ فق بٱلل ب ذر ش ذربأدق ىش
ٱعتديىا إبإراىٱىظ ٩ي
“ Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak
yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya
bersumpah dengan nama Allah: "Sesungguhnya persaksian kami labih layak diterima daripada persaksian kedua
saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang yang
menganiaya diri sendiri"
133
17. QS. Al-An’âm/ 6: 119
ب برمش ميارأ أل ىن ٱع بٱلل إل ن ػي بدش وىن فص قذ ػي ر طشس ٱض إ
شػي ثغ ائ ثأ ضي مثشاى إ إى
ي أػ ٧هٱلمعتديبسثل“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,
kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak
menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.”
18. QS. Al-An’âm/ 6: 145
قو ؼ ط طبػ بػي ذش إى بأد أجذف ۥل خضشفئ ىذ فدبأ غ ب د زخأ أن شۥإل ىغ و قبأ فغ أ ظ سج
ٱلل ۦ ث طشف لػبٱض شثبؽ فدغ د س سثلغفس ئ“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi
karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang
dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
19. QS. Al-A’râf/ 7:55
ػا ٱد إ خ خف ػب رضش ۥسثن ٱلمعتديهلذت“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas”
20. QS. Al-A’râf/ 7: 163
ع ي خػ قش دبضشحٱىزٱى شمبذ جذ ذفإذيعدونٱى ج ىلٱىغ مز رلرأ جز لغ ػب شش ز عج دزب ر
رأ إر
غق بمباف يث ج “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan
pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di
134
permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami
mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik”
21. QS. Al-Taubah/ 9: 114
ب فبسمب زغ ىٱع برج ػذبإبفي ػذح ػ إل لث ش ۥإث ۥأ لل عدو دي ل ش إث إ أ رجش
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang
telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh
Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya
lagi penyantun.”
22. QS. Al-Ṯâhâ/ 20: 39
أ زف فٱىزبثدفٱق زف فٱق ٱى ق ي في ٱىغبدوثٱى خز ليأ ل هعدو ۥوعدو ػ غػي ىزص ذجخ ل ذػي ق أى ٧ “Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu
membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir´aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan
kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku”.
23. QS. Yûnus/ 10: 74
ذث ثؼ ب فجبءثۦثؼث ق ذسعلإى ج ٱى بمزثاث اث بمباىؤ قيةۦف جغػي ىلط مز و قج ٩تديهٱلمع“Kemudian sesudah Nuh, Kami utus beberapa rasul kepada kaum mereka (masing-masing), maka rasul-rasul itu
datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka tidak hendak beriman
karena mereka dahulu telah (biasa) mendustakannya. Demikianlah Kami mengunci mati hati orang-orang yang
melampaui batas”.
24. QS. Al-Nahl/ 16: 115
ب إ ن ػي زخدش ٱى ٱىذ ىذ خضش شٱى ىغ و بأ ٱلل ۦث طشف لٱض شثبؽ عاد غ فئ ٱلل د س غفس
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang
disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak
135
menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
25. QS. Al-Mu’minûn/ 23: 7
ف زغ ٱث ئل ى ىلفأ ساءر ؼبد ٩ٱى
“Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”
26. QS. Al-Syu’arâ’/ 26: 166
رزس ق أز ثو جن أص سثن بخيقىن عادون“Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang
melampaui batas”
27. QS. Al-Fussilât/ 41: 19
شش أعدا ءذ ٱىبسإىٱلل صػ ٧ف“Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah di giring ke dalam neraka, lalu mereka dikumpulkan semuanya.”
28. QS. Al-Fussilât/ 41: 28
ىل أعدا ءجضاءر فبداسٱىبسٱلل ذى خي بمباثٱى ث جضاء ذذ زبج ٩ب“Demikianlah balasan terhadap musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka; mereka mendapat tempat tinggal yang kekal
di dalamnya sebagai balasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami”.
29. QS. Al-Ahqâf/ 46: 6
إرا ٱىبطدشش أعدا ءمباى فش م مباثؼجبدر “Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka
dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.”
30. QS. Al-Mumtahanah/ 60: 1
ب أ الرزخزاٱىز كمءا ثعدويوعدو إى قىبءري حأ د
ٱى بجبءم مفشاث قذ ذق ٱى شج عهخ أٱىش إبم اث رؤ خٱلل إمز سثن ز ذافشج ج زغبءعجي ثٱث إى رغش ضبر ش ح د
ٱى ؼي ف يز بأػ ز ف بأخ ث ي أبأػ اء ع ضو فقذ ن ٱىغجو
136
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia
yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu
karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan
mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita
Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa
yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat
dari jalan yang lurus”
31. QS. Al-Ma’ârij/ 70: 31
ف زغ ٱث ئل ى ىلفأ ساءر ٱلعادون
“Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”
32. QS. Qâf/ 50: 25
ش خ بعىي شتمعتد “yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu”
33. QS. Al-Ṯalâq/ 65: 1
ب أ ٱىج ز طيق ٱىغبءإرا صا أد ر ىؼذ حفطيق ؼذ ٱرقاٱى ٱلل ر أ أ إل شج خ ل ثر شج رخ ل سثن
لدذ ري خ ج ذشخ دثف ٱلل دذديتعد غٱلل ف ظي ۥ فقذ سىؼو لرذ شاٱلل ىلأ ذر ذسثؼ ذ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali
mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui
barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”
34. QS. al-Muṯaffifîn/ 83: 12
ب ةث ۦنز مو معتد إل أث
“Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa”
137
LAMPIRAN KEDUA
AGENSI ՛ ADUWW: ANTAR MANUSIA
NO. NAMA SURAT DAN REDAKSI AYAT
1. QS. Al-Baqarah/ 2: 36
ب فأش ١ط ب ٱش ل ب وبب ف١ ب ب فأخسج جطا ػ جؼط ٱ ف عدو ثؼعى ى ٱلزض د١ غ ئز عزمس
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah
kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai
waktu yang ditentuka.”
2. QS. Al-Baqarah/ 2: 190
زا ل ف ظج١ ٱلل ٱر٠ زى ولتعتدوا ٠م ئ ٩ ٱلمعتديهل ٠ذت ٱلل“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”
3. QS. Al-Baqarah/ 2: 194
س ٱش ذسا س ث ٱ ٱش ذسا ذ ٱ ذس ٱ ف
لصبص ف ٱػزد ٱػزدا ػ١ى ث ث ٱعتدى ماػ١ ٱرما ػ١ى ا ٱلل ٱػ أ غ ٱلل زم١ ٩ ٱ “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa
yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa”
4. QS. Al-Baqarah/ 2: 231
ئذا ظسازا ٱعبء غمز عى ل ر ؼسف ث د ظس ؼسف أ ث عى فأ أج فع لتعتدوا فجغ ه فمد ظ ذ ٠فؼ ا ۥ ل رزخر
ذ ءا٠ ا ٱلل ذ ٱذوسا ص ؼ ٱلل ب أصي ػ١ى ت ػ١ى ىز خ ٱ ذى ٱ ٱرما ۦ ٠ؼظى ث ا ٱلل ٱػ أ ٱلل ء ػ١ ش ثى
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma´ruf,
atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma´ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
138
diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
5. QS. Âli ‘Imrân/ 3: 103
ا ٱػزص ثذج ٱلل لا ل رفس ١ؼب ذ ٱذوسا ج ؼ ٱلل ئذ وز أعداء ػ١ى ز فأصجذز ثؼ لثى ۦ فأف ث١ شفب دفسح ػ وز ب ٱبز ئخ
ب فأمرو ه ٠ج١ ور ٱلل ز ءا٠ ۦى زد ر ؼى“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”
6. QS. Al-Nisâ’/ 4: 45
ٱلل ث بأعدائكم أػ وف ث ٱلل وف ب ١ ص١سا ٱلل“Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan
cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu)”.
7. QS. Al-Nisâ’/ 4: 92
ب ب ئل خط إ أ ٠مز إ ب خط وب إ لز ب أ خ ئ ع ي٠خ خ إ د ۦ ب فزذس٠س زلجخ أ ٠ص ئل ل فا وب
لكملا عدو
فز إ ذس٠س أ خ ئ ع ك فد٠خ ١ث ث١ ث١ى ل ئ وب خ إ ۦزلجخ ثخ ر ززبثؼ١ س٠ ش ٠جد فص١ب خ ف إ رذس٠س زلجخ
ٱلل وب ب ٱلل ب دى١ ٩ػ١“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.
Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa
yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari
pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
8. QS. Al-Nisâ’/ 4: 101
ئذا ف ٱلزض ظسثز جبح أ رمصسا ح ف١ط ػ١ى ٱص أ ٠فزى خفز ئ ٱر٠ ئا وفس فس٠ ى ٱ اوبا ى ب عدو ج١
139
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut
diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
9. QS. Al-Mâ’idah/ 5: 2
ب أ٠ ٠ ئس ٱر٠ ا ل رذا شؼ ءا ل ٱلل س ٱش ذسا ل ٱ د ل ٱ ئد م ٱ ١ ل ءا ج١ذ ٱ ذسا ٱ ز ئذا د ب زظ ث ز فعل ٠جزغ
ف ش ل ٱصطبيا ى ٠جس ػ و أ صد ل عجد ب
ٱ ذسا ا ػ أنتعتدوا ٱ رؼب جس ٱ ا ػ ٱزم ل رؼب ث ن و ٱل ٱرما ٱلعدو ٱلل
ئ ؼمبة شد٠د ٱلل ٱ“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-
orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”
10. QS. Al-Mâ’idah/ 5: 14
ٱر٠ سا ث ب ذو ب فعا دظ م ١ث أخرب س ا ئب ص ۦلب ح فأغس٠ب ث١ ؼدا جغعبء ٱ ٱ ٠ خ ئ م١
ٱ
ف ٠جئ ظ ٱلل ب وبا ٠صؼ ث14. Dan diantara orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah kami ambil
perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka
Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada
mereka apa yang mereka kerjakan
11. QS. Al-Mâîdah/5:64
لبذ ١ي ٠د ٱ ٱلل ثب لبا ؼا ث غذ أ٠د٠
غخ ثه غغ١ ز ب أصي ئ١ه وث١سا ١ص٠د ٠فك و١ف ٠شبء جعغزب وفسا ٠دا ب
م١ب ث أ وة ١ جغعبء ٱلعد ٱ ٠ خ ئ م١ ذسة أغفأب ٱ لدا بزا ب أ و ف ٱلل ٠عؼ ٱلزض فعبيا ل ٠ذت ٱلل فعد٠ ٱ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang
dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia
140
menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan
menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian
di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat
kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan”
12. QS. Al-Mâ’idah/ 5: 82
أشد وة ٱبض ۞زجد ا عد ءا ر٠ ١ي ٱ ا ٱر٠ ءا ر٠ ح ي ألسث زجد أشسوا ٱر٠ ١ع١ لع ه ثأ
ذ س ا ئب ص لب
أ ب جب ز ٢ل ٠عزىجس“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-
orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang
yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena di
antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak
menymbongkan diri”.
13. QS. Al- An’âm/ 6: 108
ل ا رعج ٱر٠ ي ٠دػ ف١عجا ٱلل ا ٱلل ب وب عدو ف١جئ ث سجؼ زث ئ ث خ ػ أ ب ى ه ش٠ ور
ثغ١س ػ ٢ا ٠ؼ“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”
14. QS. Al- An’âm/ 6: 112
ه ور ج ب ى اجؼ عدو ط١ ط ش١ ٱل ج ثؼط شخسف ٱ ئ ي ٠د ثؼع م ٱ ب ٠فزس ب فؼ فرز شبء زثه
غسزا
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).
Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-
adakan.”
15. QS. Al-A’râf/ 7: 24
جطا لبي جؼط ٱ ف عدو ثؼعى ى ٱلزض د١ غ ئز عزمس
“Allah berfirman: "Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai
141
tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan"
16. QS. Al-A’râf/7: 129
ا ه لب أ ٠ زثى ب جئزب لبي ػع ثؼد أ رأر١ب لج كمأذ٠ب ف عدو ٠عزخفى ٱلزض ٩ف١ظس و١ف رؼ“Kaum Musa berkata: "Kami telah ditindas (oleh Fir´aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa
menjawab: "Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), maka Allah akan
melihat bagaimana perbuatanmu”.
17. QS. Al-A’râf/ 7: 150
ب ل ئ ظ م ۦزجغ أ س زثى أ ز أػج ثؼد ب خفز أظفب لبي ثئع اح غعج ٱل ٠جس أخر ثسأض أخ١ لبي ۥ ئ١ ٱث ئ أ
م ٱظزعؼف ٱ ذ ث وبيا ٠مز فل رش غ ٱلعداء ل رجؼ م ٱ ١
ٱظ“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan
yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh
(Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku,
sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu
menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim”.
18. QS. Al-Taubah/ 9: 10
ل ئه أ
خ ل ذ
ئل إ ف ٱلمعتدون٠سلج“Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
19. QS. Al-Taubah/ 9: 83
جؼه فا ز ف ٱلل غبئفخ رن ٱظز ئ ؼ زا رم أثدا ؼ خسج فم رخسجا ا زظ١ز ث عدو مؼي ئى ح ف ٱ س ي غ ٱلؼدا أ ف١ خ ٱ
٢ “Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar
(pergi berperang), maka Katakanlah: "Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh
bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah bersama orang-orang
yang tidak ikut berperang"
142
20. QS. At-Taubah/ 9: 120
ب ل د٠خ وب ٱ د ظي ٱلػساة أ ٠زخفا ػ ز ٱلل ػ فع ل ٠سغجا ثأفع ل ۦ ل صت أ ظ ل ٠ص١ج ه ثأ ذ
صخ ف ظج١ خ ل ٱلل ٠ط غئب ٠غ١ع ىفبز ٱ ل ٠ب عدو ۦ١ل ئل وزت ث ئخ ص ػ ٱل ٠ع١غ أجس ٱلل ذع١
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai
Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang
demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak
suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan
dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-
orang yang berbuat baik”
21. QS. Al-Ṯâhâ/ 20: 39
أ ف ٱزبثد ف ٱلرف١ ف ٱلرف١ ١ ٱ م ١ ف ١ ث ٱ بد له٠أخر ٱع ليوعدو ۥعدو ػ١ زصغ ػ ذجخ م١ذ ػ١ه أ ٩
“Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke
tepi, supaya diambil oleh (Fir´aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang
dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku”
22. QS. Al-Ṯâhâ/ 20: 123
جطب لبي جؼط ٱ ب ثؼعى ١ؼ ب ج عدو د ف ب ٠أر١ى ٱرجغ فا ل ٠شم فل ٠ع داAllah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain.
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak
akan celaka.
23. QS. Yûnus/ 10: 90
ء٠ ئظس شب ثج ج جذس ۞ جي ٱ فسػ ا ثغ١ب ۥفأرجؼ ئذا أيزو وعدو غسق دز ٱ ذ أ ئل ۥلبي ءا ل ئ ٱر ذ ث أب ۦءا ء٠
ا ئظس ث
ع ٱ ١ ٩ “Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir´aun dan bala tentaranya, karena hendak
menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir´aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak
ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)"
143
24. QS. Al-Anfâl/ 8: 60
ا أػد ب ثبغ ٱظزطؼز ز ح ل خ١ ٱ ث ج ۦرس ػد ٱلل ل رؼ ي ءاخس٠ و ػد ء ف ٱلل ش ب رفما ٠ؼ
ظج١ ف ئ١ى ٱلل ٠ ل رظ أز “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang
kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi
dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”
25. QS. Al-Syu’arâ’/ 26: 77
لي فا ئل زة عدو ١ ؼ ٧٧ ٱ“karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam”
26. QS. Al-Qasas/ 28: 8
زمطۥ فٱ ١ى اءاي فسػ ط عدو ب وبا خ جي فسػ ئدصب ١٢
“Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir´aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya
Fir´aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah”.
27. QS. Al-Qasas/ 28: 15
يخ د٠خ ٱ ش١ؼز را ٠مززل جد ف١ب زج١ ب ف أ غفخ د١ ۦػ را ه ث ف ۦعدو ٱر ٱظزغ ش١ؼز ٱرػ ۦ ػد وص ۦ ۥف
ػ١ فمع ظ ػ را لبي ١ط ٱش عدو ۥئ ج١ ع
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki
yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir´aun). Maka orang yang
dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan
matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan
lagi nyata (permusuhannya)”
28. QS. Al-Qasas/ 28: 19
144
ب أزاي أ ٠جطش ث ف ٱرأ ب ث عدو ذ فع ب لز أرس٠د أ رمز و ظ ب لبي ٠ ط ججبزا ف ٱل أ رى ب رس٠د أ ٱلزض ئ رس٠د ئل
رى صذ١ ٩ ٱ“Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: "Hai Musa,
apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak
bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi
salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian"
29. QS. Al-Furqân/ 25: 31
ه ور ج ب ى اجؼ عدو ١ جس ص١سا ٱ ثسثه بي٠ب وف
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu
menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong”
30. QS. Al-Fussilât/ 41: 34
ل ذعخ رعز ل ٱ ١ئخ فاذا ٱزث ٱيفغ ٱع أدع ث١ ٱر وة ۥث١ه عد ۥوأ ١ د
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”
31. QS. Al-Mumtahanah/ 60: 1
ب أ٠ ٠ ا ل رزخرا ٱر٠ كمءا يوعدو ث عدو ئ١ م ١بء ر ح أ ي
ٱ ب جبءو لد وفسا ث ذك ٱ ظي ٠خسج ا ث ٱس أ رإ ئ٠بو ٱلل زثى
خ ئ وز ج سجز ث ٱثزغبء دا ف ظج١ ئ١ رعس سظبر ح ي اء ٱ ظ فمد ظ ى ٠فؼ ب أػز ب أخف١ز ث أب أػ ج١ ٱع
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu
sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar
kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah,
Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat
demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya,
maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”
32. QS. Al-Mumtahanah/ 60: 2
145
ئ ٠ىا ى عز ث أعداء ٠ثمفو أ أ٠د٠ ا ئ١ى ٠جعط ء ٱع رىفس ا ي
“Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka
kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir”
33. QS. Al-Mumtahanah/ 60: 4
لد ١ ئثس ح دعخ ف أظ وبذ ى ؼ ٱر٠ ۥ ي ب رؼجد ى ؤا ئب ثسء ئذ لبا م ٱلل ث١ى ثدا ث١ب وةوفسب ثى جغعبء ٱلعد ٱ
ا ث أثدا رإ دز دد ٱلل ۥ ه ه ب أ ه لظزغفس لث١ ١ ي ئثس ئل ل ٱلل ب ػ١ه ر ث ء ز ش ئ١ه ئ١ه أجب ب ص١س و ٱ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika
mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah
selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan
ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami
hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami
kembali"
34. QS. Al-Mumtahanah/ 60: 7
۞ػع ٱلل ث١ ث١ى أ ٠جؼ عاديتم ٱر٠ ح ي ٱلل لد٠س ٱلل د١ ٧غفز ز
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan
Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
35. QS. Al-Taghâbun/ 64: 14
ب أ٠ ٠ ٱر٠ دو أ جى أش ا ئ اءا ف عدو ى ٱدرز رغفسا فا رصفذا ئ رؼفا ٱلل د١ غفز ز“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
36. QS. Az-Zukhrûf/ 43: 67
ء جؼط ٱلخل ئر ثؼع ئل عدو ٠ زم١ ٧ ٱ“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”
37. QS. Al-Munâfiqûn/ 63: 4
146
٠ذ عدح خشت وأ غ م ئ ٠ما رع رؼججه أجعب ئذا زأ٠ز ص١ ۞ و عج ف ٱلعدو ذخ ػ١ ٱدرز ز ل ٱلل ٠إفى أ
“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan
perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras
ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah
membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)”
38. QS. Al-Mujâdalah/ 58: 8
رس ئ أ ٱر٠ ا ػ ث ٱج ج٠ز ب ا ػ ٠ؼي ث ث نو ٱل ؼص١ذ ٱلعدو ظي ٱس ٠ذ١ه ث ب ن ث ئذا جبءن د١ ٱلل
أفع ف ٠م ثب ل ٠ؼر ج ٱلل ب مي دعج ب فجئط ث ٠ص ص١س ٢ ٱ
“Apakah tidak kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali
(mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada
Rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai
yang ditentukan Allah untukmu. Dan mereka mengatakan kepada diri mereka sendiri: "Mengapa Allah tidak menyiksa kita
disebabkan apa yang kita katakan itu?" Cukuplah bagi mereka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah
seburuk-buruk tempat kembali.”
39. QS. Al-Mujâdalah/ 58:9
ب أ٠ ٠ ا ث ٱر٠ ج فل رز ج١ز ا ئذا ر ءا ث نو ٱل ؼص١ذ ٱلعدو ظي ا ث ٱس ج
ر جس ٱ ٱرما ٱزم ٱلل ٱر رذشس ٩ئ١“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat
dosa, permusuhan dan berbuat durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan”
40. QS. Al-Qalam/ 68: 12
خ١س بع معتد أث١“Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.”
147
LAMPIRAN KETIGA
AGENSI ՛ ADUWW: SETAN
NO. NAMA SURAT DAN REDAKSI AYAT
1. QS. Al-Baqarah/ 2: 168
ب أ٠ ب ف ٱبط ٠ ض وا سأ ث ٱلأ ل تتبعا خط ب لا ط١با ح
ط ١أ ٱش أ ۥإ عدو ى ب١ ١ “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”
2. QS. Al-Baqarah/ 2: 208
ب أ٠ ٠ ا ٱز٠ خا ءا ف ٱدأ أ ث ٱغ ل تتبعا خط وبفتا ط ١أ ٱش أ ۥإ عدو ى ب١ ١
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”
3. QS. Al-Mâ’idah/ 5: 91
ب ٠ش٠ذ إ ط ١أ ٱش ى وةأ ٠لع ب١أ ضبء ٱلعد بغأ أ ش ف ٱ أ خ أ غش ٱ ١أ أ ش ٱ أ ع روأ و ٠صذ ٱلل ع ة ٱص ت أ أت ١ف
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu)”
4. QS. Al-An’âm/ 6: 142
ع أ ٱلأ ب سصلى ب وا شا فشأ تا ح ث ٱلل ل تتبعا خط ط ١أ ٱش أ ۥإ عدو ى ب١
“Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. Makanlah dari
rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu”
5. QS. Al-A’râf/ 7: 22
ب ب رالب فذى جشة بغشس ف سق ٱش ب ع١أ صفب طفمب ٠خأ ب ت ء أ ب ع جت بذثأ أ ب ٱ ىأ ب ع ت ى أ أ أ ب أ ب سب بدى أل ٱشجشة
ب إ ى ط ١أ ٱش عدو بى ب١
148
“maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah
kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga.
Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku
katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”
6. QS. Al-A’râf/ 7: 24
بطا لبي أ ط ٱ أ بعأ ضى أ ف عدو بعأ ى ض سأ ٱلأ ح١ ع إت تمش غأ
“Allah berfirman: "Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu
mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah
ditentukan"
7. QS. Al-Kahfî/ 18: 50
إرأ ئىت أ ب أ جذا ل ٱعأ ١ظ وب إبأ ا إل فغجذ لد ج أ ٱ ش سب أ أ أ ٠ت ۥأفتتخز ۦ ففغك ع رس أ ۥ أ ى د ١بء أ أ ظ عدو بئأ
بذلا ١ ظ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka
kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan
turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu
sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim”
8. QS. Al-Ṯâhâ/ 20: 117
ب أ زا فم إ ـ بد عدو ٠ ب شجى جه فل ٠خأ أ ض جت ه أ ٱ م ١فتشأ
“Maka Kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali
janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka”
9. QS. al-Fâṯir/ 35: 6
إ ط ١أ ف ٱش أ عذ ا ٱتخز ى ب عدو عا حضأ ب ٠ذأ ب ۥإ ح أ أصأ ٱغع١ش ١ىا “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu
hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyal”
10. QS. Yâsîn/ 36: 60
149
بذا أ ل تعأ ءاد ب أ ٠ ى ذأ إ١أ أ أعأ ۞أ ط ١أ ٱش أ ۥإ عدو ى ب١ “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu"
11. QS. Al-Zukhrûf/ 43: 62
ل ى ٠صذ ط ١أ ٱش أ ۥإ عدو ى ب١ “Dan janganlah kamu sekali-kali dipalingkan oleh syaitan; sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”
12. QS. Al-Isrâ’/ 17: 53
ل ٱتعببد ٠ما إ غ أحأ ط ١أ ٱش أ إ ٠ضغ ب١أ ط ١أ ٱش غ لأ اوب ب عدو ا ب١
“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).
Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagi manusia”
13. QS. Yûsuf/ 12: 5
لبي إذا ته ف١ى١ذا ه و١أ إخأ ٠بن ع صصأ سءأ ل تمأ ب ٠ ط ١أ ٱش غ عدو لأ ب١
“Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka
membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia"
14. QS. Al-Ṯâhâ/ 20: 123
بطب لبي أ ط ٱ أ بعأ ضى ب بعأ ١ع ب ج أ عدو ف ذا ت١ى ب ٠أأ ٱتبع فإ م ل ٠شأ فل ٠ض ذا
“Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang
lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat
dan tidak akan celaka”
15. QS. Al-Ṯâhâ/ 20: 117
ب أ زا فم إ ـ بد لك٠ عدو ب شجى جه فل ٠خأ أ ض جت أ ٱ م ١فتشأ
“Maka Kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali
janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka”
150
LAMPIRAN KEEMPAT
AGENSI ՛ ADUWW: HEWAN, WAKTU DAN TEMPAT
NO. NAMA SURAT DAN REDAKSI AYAT
1. QS. Al-Âdiyâṯ/ 100:1
ت دي ١ضبحا وٱلع“Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah”
2. QS. Al-Qasas/ 28: 28
نك بيىي وبيىك أيما قال نقضيت فل ٱلجهيه ذ عهي و عدو ما وقىل وكيم ٱلل ٨٢عه“Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku
sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan"
3. QS. Al-Anfâl/ 8: 42
ويا ٱنعدوة أوتم ب إذ كب و ٱنقصىي ٱلعدوةبوهم ٱند د في ختهفتم أسفم مىكم ونى تىاعدتم ل ٱنر كه نيقضي ٱنميع ون أمرا كان مفعىل نيههك مه ههك ٱلل
مه حي عه بيىت وإن عه بيىت ويحي ٢٨نسميع عهيم ٱلل“(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh sedang
kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah
kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia
melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata
dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”