12
Yahya Edo Wicaksono, Semiotika Tari Tjokronegoro sebagai Tarian Khas Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur 121 SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS KABUPATEN SIDOARJO, PROVINSI JAWA TIMUR (THE SEMIOTIC OF TJOKRONEGORO DANCE AS TRADITIONAL DANCE FROM SIDOARJO REGENCY, EAST JAVA PROVINCE) Yahya Edo Wicaksono SMP Muhammadiyah 10 Surabaya Jalan Sutorejo 98-100, Kelurahan Dukuh Sutorejo, Kec. Mulyorejo, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, Indonesia E-mail: [email protected] Naskah diterima: 26 April 2018; direvisi: 6 Juni 2018; disetujui 10 November 2018 Abstract This research reveals the symbol or in the language of science is a semiotic study that is in a work of dance creation Munali Fatah. This dance work is titled Tjokronegoro Dance. Tjokronegoro dance was created at the request of the 13th Sidoarjo Regent. Regent named Soewandi is obsessed to realize a dance form that describes the character or character of the former Sidoarjo Regent namely Tjokronegoro. With the hope of Sidoarjo Regency has a distinctive dance which is a symbol of leadership and heroism of the Tjokronegoro figure. Therefore Soewandi summoned Munali Fatah to be asked to realize his desire to create a work of dance. The chocolate dance is included in the heroic dance. This study uses a qualitative approach, where the data presented is not a number but rather a description. This description contains about the beginning of the process of Tjokronegoro dance creation until the symbol or message contained behind the form of this dance work. In order to get a proven result of the data, the researcher uses various ways either through observation, document study, visual audio documentation study, or direct interview. It is expected that the results of this writing into a repertoire of science, especially in the field of performing arts (dance). Apart from the growing variety of performing arts issues, we must all continue to preserve and preserve traditional dance arts as a local product of local cultural wisdom. Keywords: semiotic, Tjokronegoro dance, creative process, dance, Sidoarjo Abstrak Penelitian ini mengungkapkan simbol atau dalam bahasa keilmuan adalah kajian semiotik yang ada dalam sebuah karya tari ciptaan Munali Fatah. Karya tari ini berjudul Tari Tjokronegoro. Tari Tjokronegoro tercipta atas permintaan Soewandi, Bupati Sidoarjo ke-13. yang terobsesi untuk mewujudkan suatu bentuk tarian yang menggambarkan watak atau karakter dari Bupati Sidoarjo terdahulu yakni Tjokronegoro. Dengan harapan Kabupaten Sidoarjo memiliki tarian khas yang merupakan simbol kepemimpinan serta kepahlawanan dari tokoh Tjokronegoro tersebut. Oleh sebab itu Soewandi memanggil Munali Fatah untuk diminta mewujudkan keinginan beliau yaitu menciptakan sebuah karya tari. Tarian Tjokronegoro termasuk dalam tarian heroik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, di mana data yang disajikan bukan berupa angka melainkan berupa deskripsi. Deskripsi ini berisi tentang awal proses penciptaan tari Tjokronegoro hingga simbol atau pesan yang terkandung dibalik bentuk karya tari ini. Agar mendapatkan hasil yang teruji keabsahan datanya maka peneliti menggunakan berbagai macam cara baik melalui observasi, studi dokumen, studi dokumentasi audio visual, maupun wawancara secara langsung. Diharapkan hasil penulisan ini menjadi suatu khasanah ilmu khususnya di bidang seni pertunjukan (seni tari). Terlepas dari berbagai macam problematika seni pertunjukan yang terus berkembang, kita semua harus terus menjaga dan melestarikan seni tari tradisional sebagai produk lokal kearifan budaya setempat. Kata Kunci: semiotika, tari Tjokronegoro, proses penciptaan, tari, Sidoarjo

SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

Yahya Edo Wicaksono, Semiotika Tari Tjokronegoro sebagai Tarian Khas Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

121

SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS KABUPATEN SIDOARJO, PROVINSI JAWA TIMUR

(THE SEMIOTIC OF TJOKRONEGORO DANCE AS TRADITIONAL DANCE FROM SIDOARJO REGENCY, EAST JAVA PROVINCE)

Yahya Edo WicaksonoSMP Muhammadiyah 10 Surabaya

Jalan Sutorejo 98-100, Kelurahan Dukuh Sutorejo, Kec. Mulyorejo, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima: 26 April 2018; direvisi: 6 Juni 2018; disetujui 10 November 2018

Abstract This research reveals the symbol or in the language of science is a semiotic study that is in a work

of dance creation Munali Fatah. This dance work is titled Tjokronegoro Dance. Tjokronegoro dance was created at the request of the 13th Sidoarjo Regent. Regent named Soewandi is obsessed to realize a dance form that describes the character or character of the former Sidoarjo Regent namely Tjokronegoro. With the hope of Sidoarjo Regency has a distinctive dance which is a symbol of leadership and heroism of the Tjokronegoro figure. Therefore Soewandi summoned Munali Fatah to be asked to realize his desire to create a work of dance. The chocolate dance is included in the heroic dance. This study uses a qualitative approach, where the data presented is not a number but rather a description. This description contains about the beginning of the process of Tjokronegoro dance creation until the symbol or message contained behind the form of this dance work. In order to get a proven result of the data, the researcher uses various ways either through observation, document study, visual audio documentation study, or direct interview. It is expected that the results of this writing into a repertoire of science, especially in the field of performing arts (dance). Apart from the growing variety of performing arts issues, we must all continue to preserve and preserve traditional dance arts as a local product of local cultural wisdom.

Keywords: semiotic, Tjokronegoro dance, creative process, dance, Sidoarjo

Abstrak Penelitian ini mengungkapkan simbol atau dalam bahasa keilmuan adalah kajian semiotik yang

ada dalam sebuah karya tari ciptaan Munali Fatah. Karya tari ini berjudul Tari Tjokronegoro. Tari Tjokronegoro tercipta atas permintaan Soewandi, Bupati Sidoarjo ke-13. yang terobsesi untuk mewujudkan suatu bentuk tarian yang menggambarkan watak atau karakter dari Bupati Sidoarjo terdahulu yakni Tjokronegoro. Dengan harapan Kabupaten Sidoarjo memiliki tarian khas yang merupakan simbol kepemimpinan serta kepahlawanan dari tokoh Tjokronegoro tersebut. Oleh sebab itu Soewandi memanggil Munali Fatah untuk diminta mewujudkan keinginan beliau yaitu menciptakan sebuah karya tari. Tarian Tjokronegoro termasuk dalam tarian heroik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, di mana data yang disajikan bukan berupa angka melainkan berupa deskripsi. Deskripsi ini berisi tentang awal proses penciptaan tari Tjokronegoro hingga simbol atau pesan yang terkandung dibalik bentuk karya tari ini. Agar mendapatkan hasil yang teruji keabsahan datanya maka peneliti menggunakan berbagai macam cara baik melalui observasi, studi dokumen, studi dokumentasi audio visual, maupun wawancara secara langsung. Diharapkan hasil penulisan ini menjadi suatu khasanah ilmu khususnya di bidang seni pertunjukan (seni tari). Terlepas dari berbagai macam problematika seni pertunjukan yang terus berkembang, kita semua harus terus menjaga dan melestarikan seni tari tradisional sebagai produk lokal kearifan budaya setempat.

Kata Kunci: semiotika, tari Tjokronegoro, proses penciptaan, tari, Sidoarjo

Page 2: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

122

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

A. PENDAHULUANKabupaten Sidoarjo, merupakan sebuah

kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan ibukota Sidoarjo. Kabupaten ini terletak antara 7o 3’ dan 7o 5’ Lintang Selatan dan antara 112o 5’ dan 112o 9’ Bujur Timur. Kabupaten ini berbatasan dengan Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik di utara, Selat Madura di timur, Kabupaten Pasuruan di selatan, serta Kabupaten Mojokerto di barat. Sidoarjo dikenal sebagai penyangga utama Kota Surabaya, dan termasuk kawasan Gerbangkertosusila (singkatan dari Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan).

Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu penyangga Kota Surabaya sebagai Ibukota Provinsi Jawa Timur merupakan daerah yang mengalami perkembangan pesat. Keberhasilan ini dicapai karena berbagai potensi yang ada di wilayahnya, seperti industri dan perdagangan, pariwisata, serta usaha kecil dan menengah dapat dikemas dengan baik dan terarah. Dengan adanya berbagai potensi daerah serta dukungan sumber daya manusia yang memadai, maka dalam perkembangannya Kabupaten Sidoarjo mampu menjadi salah satu daerah strategis bagi pengembangan perekonomian regional.

Selain sebagai daerah strategis bagi pengembangan perekonomian regional, Sidoarjo juga memiliki banyak sekali kesenian, seperti: jaranan, reog cemandi, ludruk, wayang kulit, campursari, dan lain-lain. Salah satunya adalah seni tari yang berjudul tari Tjokronegoro karya dari Almarhum Munali Fatah yang dulu dipakai sebagai maskot dari Kabupaten Sidoarjo.

Sebuah kesenian pasti memiliki simbol atau makna yang terkandung di dalam kesenian tersebut, termasuk tari Tjokronegoro yang berasal dari Kabupaten Sidoarjo. Hal ini dikarenakan pada seorang koreografer setiap menciptakan sebuah tarian pasti mempunyai maksud tertentu dan setiap gerakan memiliki filosofi masing-masing. Hal tersebut dimaknai bahwa sebuah karya seni adalah ungkapan ekspresi sang pencipta (koreografer) dalam menyampaikan maksud tertentu kepada masyarakat yang melihat. Tari merupakan ekspresi jiwa manusia

yang diungkap melalui media gerak yang ritmis dan indah. Menurut Widaryanto, tari diyakini secara luas bisa mengkomunikasikan sesuatu tanpa harus menggunakan kata-kata atau bahasa spesifik. Artikulasi tubuh dan gerak saja sudah dapat mengekspresikan apapun yang diinginkan. Berdasarkan pendapat di atas, tari dapat diartikan sebagai ekspresi jiwa manusia yang diungkap melalui media gerak tubuh yang ritmis dan indah. Tari memiliki tujuan menginformasikan sesuatu kepada penonton melalui simbol-simbol yang tidak diungkapkan melalui lisan, tetapi melalui tubuh penari (Widaryanto, 2007: 10).

Tarian Tjokronegoro termasuk dalam tarian heroik. Penciptaan tarian ini didasari oleh permintaan Bupati Sidoarjo yang ke-13 pada saat ulang tahun Kabupaten Sidoarjo pada tanggal 31 Januari 1975. Tarian ini menggambarkan sosok Bupati Sidoarjo pertama yang bernama Tjokronegoro, dengan karakter tarian yang gagah, berwibawa, dan tegas.

Berangkat dari latar belakang yang sudah diutarakan, penulis mengadakan penelitian ini untuk mengungkap simbol-simbol (semiotik) yang terkandung dalam sebuah karya tari yang berjudul Tari Tjokronegoro. Mengingat betapa pentingnya proses penciptaan awal lahirnya tarian tersebut yang dulu dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap Tjokronegoro, bupati pertama Kabupaten Sidoarjo. Selain itu, penulisan ini juga berfungsi sebagai media pencatatan kekayaan kesenian yang ada di Kabupaten Sidoarjo, supaya dapat menjadi bahan bacaan serta menjadi bahan koleksi penulisan pencatatan kekayaan intelektual di bidang seni dan budaya, khususnya seni pertunjukan tari.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini, yakni: Bagaimanakah awal terciptanya Tari Tjokronegoro yang dimaksudkan untuk menghormati bupati pertama Kabupaten Sidoarjo serta simbol-simbol apa saja yang ada di dalamnya? Sebab, jika berbicara tentang seni tari, maka ada maksud tertentu dalam setiap proses gerakan maupun metode dalam penciptaannya. Penulis berharap dengan adanya proses penulisan ini menambah

Page 3: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

Yahya Edo Wicaksono, Semiotika Tari Tjokronegoro sebagai Tarian Khas Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

123

khasanah dalam bidang kepenulisan khususnya bidang seni pertunjukan tari.

B. KAJIAN PUSTAKASugiyono menjelaskan dalam bukunya

Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, bahwa terdapat tiga kriteria terhadap teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, yakni: relevansi, kemutakhiran, dan keaslian. Relevansi berarti teori yang dikemukakan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Kemutakhiran terkait dengan kebaruan teori atau referensi yang digunakan. Keaslian terkait dengan keaslian sumber, maksudnya supaya peneliti menggunakan sumber aslinya dalam mengemukakan teori (Sugiyono, 2011: 291). Bagian ini akan dipaparkan mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang relevan, teori yang berhubungan dengan kajian, serta kerangka berpikir

B.1. Teori SemiotikSemiotik (semiotic) adalah teori tentang

pemberian ‘tanda’. Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu: semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic) (Littlejohn, 2009).

B.1.a. Semiotik Pragmatik (Semiotic Pragmatic)Semiotik Pragmatik menguraikan tentang

asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik prakmatik arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Hasil persepsi tersebut kemudian dapat memengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat memengaruhi pemakainya.

B.1.b. Semiotik Sintaktik (Semiotic Syntactic)Semiotik Sintaktik menguraikan tentang

kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.

B.1.c. Semiotik Semantik (Semiotic Semantic)Semiotik Sematik menguraikan tentang

pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.

B.2. Bidang Terapan SemiotikPada prinsipnya jumlah bidang terapan

semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada sistem budaya yang lebih kompleks. Menurut Umberto Eco, terdapat 19 bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian ilmiah semiotika, antara lain: (a) semiotika binatang (zoomsemiotic); (b) tanda-tanda bauan (olfactory signs); (c) komunikasi rabaan (tactile communication); (d) kode-kode cecapan (code of taste); (e) paralinguistik (paralinguistics); (f) semiotika medis (medical semiotics); (g) kinesik

Page 4: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

124

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

dan proksemik (kinesics and proxemics); (h) kode-kode musik (musical codes); (i) bahasa-bahasa yang diformalkan (formalized languages); (j) bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written languages, unknown alphabets, secret codes); (k) bahasa alam (natural languages); (l) Komunikasi visual (visual communication); (m) sistem objek (system of objects); (n) Struktur alur (plot structure); (o) teori teks (text theory);(p) kode-kode budaya (culture codes); (q) teks estetik (aesthetic texts); (r) komunikasi massa (mass comunication); dan (s) retorika (rhetoric) (Eco, 1979: 9-14).

B.3. Koreografer dan KoreografiKoreografer adalah orang yang menyusun

sebuah karya tari (Sumandiyo 1999: 136). Menurut Murgiyanto (1983: 8) seorang penata tari harus:a. Memiliki sikap yang terbuka, artinya selalu

bersedia dengan teliti mengamati tingkah laku sesamanya, baik secara emosional maupun secara jasmaniah;

b. Memahami keunikan dari setiap pribadi, mulai dari pribadinya sendiri yang benar-benar harus dia kenal, dan pribadi orang lain, termasuk guru-guru, penari-penarinya, yang memiliki keunikannya masing-masing;

c. Mempunyai rasa struktural, yaitu mampu menangkap dan menghayati segala macam bentuk dan wujud yang hadir di sekitarnya;

d. Memiliki rasa dramatik, yaitu peka terhadap perkembangan situasi dramatik, baik yang diungkapkan dalam alur (plot) yang nyata atau dalam bentuknya yang lebih abstrak;

e. Memiliki kemampuan mematut, yaitu kemampuan untuk membuang gerakan yang vulgar dari yang halus, kemampun untuk tidak mencampur-aduk gerakan yang lemah gemulai dengan yang primitif, untuk membedakan rasa treatikal yang benar dengan tipuan yang dicari-cari, dan kemampuan untuk memerangi hal-hal yang klise, dan yang semata-mata sensasional;

f. Memiliki sifat-sifat cerdik, cekatan, dan cakap menilai;

g. Memiliki kemampuan bahasa. Seorang penata tari dengan pikiran yang tajam dan dengan penguasaan bahasa yang jelas atau yang puitis akan mudah menyampaikan maksud-maksudnya kepada para penarinya;

h. Benar-benar menguasai masalah yang hendak diungkapkan.

Adapun koreografi berasal dari kata koreograf yang artinya ahli mencipta dan mengubah gerak yang disebuat koreografer. Koreografi adalah seni mencipta dan mengubah gerak tarian (Tim Penyusun Kamus, 2008: 811).

Koreografi adalah istilah baru dalam khasanah tari di negeri kita. Istilah itu berasal dari bahasa Inggris choreography. Asal kata dari dua kata Yunani, yaitu choreia yang artinya “tarian bersama” atau “koor”, dan graphia yang artinya “penulisan‟. Jadi, secara harfiah, koreografi berarti “penulisan dari sebuah tarian kelompok‟. Akan tetapi, dalam dunia tari dewasa ini, koreografi lebih diartikan sebagai pengetahuan penyusunan tari atau hasil susunan tari, sedangkan seniman atau penyusunnya dikenal dengan nama koreografer, yang dalam bahasa kita sekarang dikenal sebagai penata tari (Murgiyanto, 1983: 3). Istilah koreografi pertama dikenal dalam kamus bahasa Inggris-Amerika seputar tahun 1950-an. Sebelum istilah ini muncul, penamaan yang umum digunakan di film-film menyebutkannya sebagai: “ensembel pementasan oleh”, “tarian”, “pengarah tari”, “pementasan tarian oleh”, “musical numbers directed by”, atau “musical numbers staged and directed by”. Koreografer seringkali melakukan improvisasi untuk mencari hal-hal (gerakan maupun aksesoris) yang paling sesuai dengan musik yang dimainkan. Menurut Murgiyanto bahwa setiap tradisi memiliki kriteria atau pedoman tentang sebuah tarian yang baik, kecuali memiliki tatanan struktur dan teknik penyusunan, ada pula tata cara menggunakan perbendaraan gerak yang ditandai dengan cara menggunakan ruang, ritme, atau dinamika khas tradisi yang bersangkutan. Ada pula kriteria keberhasilan dalam membuat tarian gaya tertentu untuk mempertahankan (atau mengembangkan)

Page 5: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

Yahya Edo Wicaksono, Semiotika Tari Tjokronegoro sebagai Tarian Khas Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

125

tujuan ekpresifnya. Ada pola-pola lantai yang baku, yang oleh penata tari kontemporer boleh juga dianggap tak lagi memadai untuk membuat sebuah koreografi modern (Murgiyanto, 2002: 15).

Koreografi adalah proses penyeleksi dan pembentukan gerak ke dalam sebuah tarian, serta perencanaan gerak untuk memenuhi tujuan khusus. Selama pengalaman-pengalaman dalam gerak dan elemen-elemen waktu, ruang, serta energi untuk tujuan pengembangan kepekaan, kesadaran, dan eksplorasi berbagai macam materi tari. Pengalaman-pengalaman tersebut dapat dikatakan sebagai pendekatan-pendekatan koreografi (Sumandiyo, 1999: 133). Proses koreografi merupakan langkah pertama dalam pembentukan gerakan, sebelum disusun menjadi sebuah rangkaian tari. Ada dua macam bentuk koreografi, yaitu koreografi tunggal dan koreografi kelompok. Perbedaan dari dua bentuk koreografi tersebut adalah koreografi tunggal yaitu bebas dalam ketentuan langkah, sedangkan dalam koreografi kelompok harus mementingkan penari sebagai salah satu subjek dalam tari (Pramesthi, 2010: 21).

Proses penciptaan karya seni tari adalah suatu usaha untuk mewujudkan imajinasi yang diperoleh dari suatu penginderaan ke dalam suatu bentuk, sedangkan mencipta berarti membuat sesuatu bukan lantaran teknis saja, tetapi adanya kecenderungan kesadaran dan kesengajaan (Murgiyanto, 1996: 18). Seorang pencipta tari di dalam merenungkan idenya atau berproses kreatif dapat terwujud dengan proses terbentuknya ide dan proses garap. Proses terbentuknya ide melalui tahap intuisi atau ilham, imajinasi, dan daya kreasi; sedangkan proses garap melalui tahap eksplorasi, improvisasi, dan komposisi (Murgiyanto, 1981: 12-13).

C. METODEC.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yang bersifat kualitatif. Menurut Bog dan Tailor, seperti yang dikutip oleh Moleong (1996: 3), penelitian kualitatif sebagai prosedur

penelitian dengan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati. Sesuai dengan karakteristiknya maka penelitian tentang Semiotika Tari Tjokronegoro ini adalah menggunakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya, serta data yang digunakan merupakan data kualitatif, yaitu data yang tidak menggunakan angka-angka. Subjek dalam penelitian ini adalah orang yang berkompeten di bidangnya, dalam hal ini yaitu putra dari koreografer tari Tjokronegoro, almarhum Munali Fatah dan peneliti sendiri. Obyek dalam penelitian adalah tari Tjokronegoro karya almarhum Munali Fatah. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah sumber data manusia, merupakan sumber yang didapat dari manusia itu sendiri pada saat melakukan penelitian dan terjun secara langsung. Selain itu juga menggunakan sumber data non manusia, merupakan sumber-sumber lain yang bukan dari sumber data utama, yaitu buku-buku dan catatan, tentang estetika paradoks, simbol, seni pertunjukan, artikel tentang kesenian di Kabupaten Sidoarjo, tayangan video tari Tjokronegoro atau pendukung kelengkapan data yang berkaitan dengan penelitian. Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono. 2012: 224).

Penelitian ini juga menggunakan teknik observasi. Observasi merupakan pengamatan langsung oleh peneliti terhadap subjek dan objek yang diteliti. Informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang, pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan (Bungin, 2007: 115) Terdapat beberapa bentuk observasi yang digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi dan observasi nonpartisipasi. Penelitian tentang Semiotika Tari Tjokronegoro ini menggunakan observasi langsung non partisipasi. Maksudnya, peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek penelitian, namun peneliti hanya menempatkan diri sebagai orang luar dan hanya mengamati obyek dan subyek tanpa ikut berperan

Page 6: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

126

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

dalam kegiatan yang dilakukan oleh subyek peneliti. Adapun observasi yang dilakukan oleh peneliti yakni datang langsung di kediaman Munali Fatah serta melihat proses latihan tari Tjokronegoro di sanggar Kreasi Dance Sidoarjo.

Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara terbuka sehingga dengan wawancara ini pertanyaan dapat dijawab dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkan oleh peneliti. Hal ini sesuai dengan pendapat Moleong, bahwa penelitian kualitatif sebaiknya menggunakan wawancara terbuka di mana para narasumber tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui apa maksud wawancara itu. Untuk metode ini, peneliti mengadakan wawancara langsung dengan narasumber putra dari mendiang Munali Fatah di kediamannya, Jalan Banjar Kemantren, Sidoarjo (Moleong, 1993: 136).

Adapun studi dokumentasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan observasi terhadap dokumen berbentuk rekaman audio visual (video rekaman) pertunjukan Karya Tari Tjokronegoro yang dipentaskan ketika malam Tasyakuran Hari Jadi Kabupaten Sidoarjo. Pementasan tersebut dilaksanakan di Panggung Terbuka Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo.

C.2. Teknik Analisis DataC.2.a. Data Reduction (Reduksi data)

Tujuan dari reduksi data ialah untuk memperoleh gambaran yang lebih akurat tentang hasil pengamatan, dan mempermudah peneliti mencari kembali data-data pelengkap penelitian. Sebelumnya peneliti telah memperoleh gambaran dari internet untuk memahami konsep garap tari Tjokronegoro. Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan secara global. Kemudian laporan tersebut direduksi, dirangkum, dan dipilih hal yang pokok dan kemudian disusun secara sistematis sehingga mudah untuk dipaparkan dan dipahami.

C.2.b. Data Display (Sajian Data)Data yang telah disusun, dirangkum dan

disimpulkan lalu akan disajikan secara utuh dan sistematis. Sajian data tersebut akan dijadikan sebagai bukti dalam menentukan hasil dari penelitian Semiotika Tari Tjokronegoro karya Munali Fatah. Dalam hal ini yang menjadi objek analisis adalah pertunjukan tari Tjokronegoro dan mengungkap simbol atau pesan yang disampaikan dalam karya tari tersebut.

C.2.c. Cloncusion Drawing/ Verivication (Mengambil Kesimpulan dan Verivikasi)Tujuan dari kesimpulan dan verifikasi, yaitu

agar peneliti bisa memahami makna dari data yang dikumpulkan, sehingga dapat ditemukan pola, tema, hubungan, persamaan, hipotesis, dan data lain sebagainya. Jadi kesimpulan akan diteliti kembali selama penelitian berlangsung sehingga hasil penelitian dapat dijabarkan secara sistematis. Dari sistematika susuanan data hasil observasi dan kuesioner tersebut maka peneliti akan menyimpulkan untuk mengambil simpulan apa yang harus disajikan pada laporan penelitian Semiotika Tari Tjokronegoro.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN D.1. Asal Usul Tari Tjokronegoro

Tari Tjokronegoro diciptakan pada tahun 1975 yang tepatnya pada hari jadi Kabupaten Sidoarjo, tanggal 31 Januari. Tari Tjokronegoro tercipta atas permintaan Bupati Sidoarjo ke-13, Soewandi, yang terobsesi untuk mewujudkan suatu bentuk tarian yang menggambarkan watak atau karakter dari bupati pertama Kabupaten Sidoarjo, yakni Tjokronegoro. Dengan harapan Kabupaten Sidoarjo memiliki tarian khas yang merupakan simbol kepemimpinan serta kepahlawanan dari tokoh Tjokronegoro tersebut. Kemudian Soewandi memanggil Munali Fatah untuk diminta mewujudkan keinginannya, yaitu menciptakan sebuah karya tari.

Dalam proses penciptaan tari Tjokronegoro, Munali Fatah melakukan meditasi. Hal ini dilakukan karena tari Tjokronegoro lebih menggambarkan sosok karakter atau watak tokoh Tjokronegoro. Selain itu, Munali Fatah tidak tahu sama sekali bagaimana sebenarnya sosok dari

Page 7: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

Yahya Edo Wicaksono, Semiotika Tari Tjokronegoro sebagai Tarian Khas Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

127

tokoh Tjokronegoro. Dalam prosesnya ada empat tahapan meditasi yang telah dilaluinya sebelum akhirnya ia memperoleh ilham yang diperoleh dengan cara hubungan kebatinan dengan tokoh tersebut. Adapun keempat tahapan pencarian ide tersebut berlangsung di beberapa tempat, yakni: di bawah pohon jambu depan rumah Munali Fatah, di bawah rumpun bambu (barongan) di belakang rumah, di ruang tamu, dan terakhir di dalam kamar dengan pemadaman total seluruh sinar (gelap gulita). Di tempat terakhir ini, setelah beberapa waktu ia mulai merasakan tubuh bergerak dengan sendirinya dan selama beberapa waktu bergerak di atas tempat tidur tersebut telah menghancurkan sebuah kain seprei. Setelah sadar kembali, ia kemudian merenung dan mencoba merangkai keseluruhan gerak-gerak yang ia peroleh dalam proses meditasi tersebut. Jangka waktu yang digunakan pada proses meditasi yang dilakukan oleh Munali Fatah dimulai sejak pukul 00.00 hingga 03.00 WIB.

Setelah Munali Fatah menyusun dan merangkai gerak-gerak yang telah diperoleh melalui ilham, maka tersusunlah suatu bentuk tarian yang menggambarkan watak dari Bupati Tjokronegoro. Penggambaran tersebut, oleh Munali Fatah dipertegas dengan gerakan-gerakan dinamis dan bahkan banyak mengandung unsur silat atau bela diri yang menandakan bahwa pemimpin itu dalam bertindak dan mengambil keputusan harus memiliki sikap tegas. Penggunaan properti seperti tombak lebih meyakinkan, bahwa tarian tersebut adalah penggambaran seorang pemimpin yang tegas, berwibawa, dan bertanggung jawab. Dari hal tersebut selanjutnya tarian ini diberi nama tari Tjokronegoro.

D.2. Bentuk PenyajianD.2.a. Penari

Tari Tjokronegoro tergolong tari tradisional yang diciptakan oleh Munali Fatah di Sidoarjo. Tari Tjokronegoro merupakan sebuah karya tari yang menggambarkan watak seseorang, di mana tarian ini dapat ditarikan oleh seorang penari (tunggal) maupun ditarikan secara massal. Penarinya dapat pria maupun wanita, akan tetapi

gaya tarinya tetap tarian putra. Tari Tjokronegoro dipentaskan pertama kali pada tahun 1975, ditarikan secara massal dengan peserta para siswa SD. Selanjutnya sering ditampilkan sebagai tarian tunggal atau komposisi beberapa penari untuk memeriahkan resepsi-resepsi atau pesta-pesta.

D.2.b. IringanTari Tjokronegoro menggunakan iringan

gamelan Jawa dengan gendhing Alas Kobong dan gendhing Tjokronegoro. Musik pengiring notasi iringan tari Tjokronegoro adalah sebagai berikut:

Gendhing Alas Kobong Slendro 8/9Buka : 2 . 1 . 2 . 6 3 . 2 . 1 . [ 6 ]Penari keluar:/// - 2 – 1 - 2 – 2 - 3 – 2 - 1 – [6 ] //Gendhing Alas Kobong dilakukan 10 kali

gongan, baru masuk gendhing Tjokronegoro irama II, sebagai berikut:

Gendhing Tjokronegoro// i – 6 – 3 – 2 - 6 – 5 – 3 – 2 3 – 2 – 6 – 5 - 2 – 1 – 2 – [6] //Gendhing Tjokronegoro dilakukan 5 kali

gongan, 12 kali gongan pada saat sekaran saron untuk gerakan pencak, ditambah 3 kali gongan saat gerakan beksan dan tindak lawung di tempat. Setelah itu mulai masuk kembali pada gendhing Alas Kobong irama I 8 kali gongan.

D.2.c. Tata Rias dan BusanaTata rias dan busana merupakan suatu

rangkaian yang dapat menunjukkan suatu karakter dari sebuah garapan tari. Tata rias dan busana mempunyai fungsi untuk memperjelas peran dalam suatu pementasan tari. Tanpa dukungan kedua unsur tersebut pementasan akan terkesan kurang hidup.

1) Tata RiasBentuk tata rias pada Tari Tjokronegoro

adalah satria yang gagah dan berwibawa, mengingat tarian ini menggambarkan watak dari seorang tokoh bupati pertama Kabupaten Sidoarjo yang disegani. Tata rias tari Tjokronegoro menggunakan tata rias karakter satria cakra yang gagah berwibawa. Untuk tata riasnya hanya

Page 8: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

128

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

mempertebal bayangan wajah. Sebuah bentuk wajah bukanlah syarat mutlak menjadi seseorang yang berwibawa, karena kewibawaan itu terletak pada kebersihan dan kejujuran dari tingkah laku seseorang.

2) Tata BusanaTata busana berfungsi membantu peran penari

sehingga terbentuk keutuhan dari tarian yang ditampilkan. Busana tari yang baik adalah busana yang dipakai tidak mengganggu keleluasaan gerak dari penari, sehingga dapat membantu terciptanya keindahan dan ekspresi gerak. Motif tata busana pada tari Tjokronegoro cukup sederhana, dengan memakai baju dan celana hitam dengan strip kuning, dilengkapi dengan sembong berupa kain panjang motif Sidoarjo yang disebut rawan. Pada bagian kepala menggunakan ikat kepala motif Sidoarjo, yang disebut modang (bagian tengah bermotif batik bagian pinggir berwarna putih dan).

Busana yang digunakan pada Tari Tjokronegoro ada kemiripan dengan busana pencak silat, antara lain: a) Bagian kepala menggunakan ikat dengan

motif modang. Corak ini merupakan ciri khas dari Kabupaten Sidoarjo.

b) Bagian badan mengenakan baju lengan panjang berwarna hitam dengan lapisan atau strip kuning pada lengan. Warna hitam menggambarkan sifat berwibawa dan pandai, sedangkan warna kuning menggambarkan kebijaksanaan, serta kerendahan hati. Selain baju lengan panjang juga mengenakan sembong dari kain panjang dengan motif rawan berwarna putih, yang memiliki arti kebersihan hati serta jiwa dari keangkaramurkaan.

c) Bagian kaki menggunakan celana 3/4 berwarna hitam dan berstrip kuning pada bagian pinggiran bawah. Dari bentuk busana serta warna-warna

yang ada, pencipta tari Tjokronegoro ingin menyampaikan pengertian bahwa setiap manusia memiliki empat sifat dasar yang timbul dari dalam diri manusia, yakni: aluamah (makan), amarah

(amarah), sufiah (seksual), dan muthmainah (kesucian). Namun semuanya tergantung dari sifat dasar yang muncul atau dominan pada setiap orang.

D.2.d. Property (Perlengkapan) Perlengkapan yang digunakan adalah

clangkreng atau nenggala berbentuk tombak dengan panjang kurang lebih 1,5 meter dan berwarna merah. Warna merah melambangkan keberanian dan tanggung jawab. Pada bagian ujung clangkreng terdapat ukiran dari lempengan tembaga yang dibentuk mirip dengan angka “2”.

D.2.e. Ragam Gerak Tari TjokronegoroTari Tjokronegoro bila ditinjau dari susunan

ragam gerak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal (pendahuluan), bagian isi, dan bagian penutup.1) Bagian Pendahuluan Ragam gerak bagian pendahuluan, meliputi:

tindak cokro ulat-ulat tanjak, mulat kiwo tengen ngarep mburi, ulat-ulat jangkah 4 gawang, tanjak towok ngarep mburi sapu, ulat saliro, dan jongkok sembahan bapangan.

2) Bagian Isi Ragam gerak bagian isi, meliputi: jumeneng

tanjak bantingan bapangan, tindak kecak bapangan, keter siku bapangan, pasangan bapangan, kelit sangkol pesut, ayun bapangan, siku bapangan, tanting siku kiwo tengen bapangan, langkah maju panahan kiwo tengen, dan sirig mundur bapangan.

3) Bagian Penutup Ragam gerak bagian penutup, meliputi:

dengkul kipas, tarikan kipas andhap, slewah kipas andhap, kipas maju mundur bapangan, tanjak beksan maduran lenggang lawung, gedruk ulat-ulat candak tumbak, ulat-ulat tantangan, langkah miring kiwo tengen towok, sikap jejeg hormat, dan tindak jalak Tjokronegoro.Tari Tjokronegoro memiliki durasi waktu

sekitar 10 menit 50 detik. Tarian ini merupakan tarian tunggal, akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk ditarikan secara berkelompok

Page 9: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

Yahya Edo Wicaksono, Semiotika Tari Tjokronegoro sebagai Tarian Khas Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

129

atau massal. Tari ini termasuk jenis tarian watak dan berpola tradisional, dengan tema heroik atau kepahlawanan.

D.3. Semiotika dalam Tari TjokronegoroSemiotika yang terkandung dalam tari

Tjokronegoro meliputi tanda-tanda dan simbol-simbol yang terdapat pada tari tersebut.

D.3.a. TandaTanda adalah suatu hal atau keadaan yang

menerangkan objek kepada subjek (Herusatoto, 2001: 10). Tanda-tanda yang terkandung dalam tari Tjokronegoro dapat dikaji menjadi tiga bagian, yakni: tanda pada gendhing atau iringan, tanda pada rias dan busana, dan tanda pada gerak tari Tjokronegoro.

1) Tanda pada IringanIringan yang digunakan dalam Tari

Tjokronegoro adalah gendhing Alas Kobong dan gendhing Tjokronegoro. Alas Kobong memiliki arti hutan yang terbakar. Hutan atau alas yang terbakar apinya pasti berkobar-kobar dan sulit dipadamkan. Dalam tari Tjokronegoro gendhing Alas Kobong ini dapat diartikan sebagai semangat yang berkobar-kobar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin seperti halnya pada tokoh Tjokronegoro I. Gendhing Alas Kobong dilakukan 10 kali gongan (pada bagian pendahuluan) dan 8 kali gongan (pada bagian penutup).

Cokronegogoro ditinjau dari asal katanya adalah cakra dan negara. Cakra dapat berarti: cakrak, roda, dan nama senjata Wisnu atau Bethara Kresna. Cakrak berarti tampan, gagah, tegas dan berwibawa. Untuk roda dapat berarti perputaran nasib kehidupan. Sedangkan cakra sebagai senjata Wisnu adalah sebuah senjata yang ampuh yang digunakan oleh Sri Bethara Kresna atau Sang Hyang Wisnu untuk memelihara ketentraman dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Tjokronegoro berasal dari kata cakrak (tampan, gagah, tegas dan berwibawa) dan negoro (negara atau pemerintahan) yang mempunyai makna “satria“, identik dengan tokoh negara atau pemimpin (misalnya: presiden, raja, bupati,

dan sebagainya). Dalam tari Tjokronegoro dapat dikatakan bahwa pemimpin sepak terjangnya atau tingkah lakunya harus dijaga, selalu berbuat kebajikan, dan penuh wibawa yang menjadi contoh atau suri tauladan bagi masyarakat semua.

Gendhing Tjokronegoro dilakukan 5 kali gongan, 12 kali gongan, dan 3 kali gongan. Pada 5 kali gongan dapat diartikan pancawarna atau pasaran, yaitu: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Sedangkan 12 kali gongan dapat diartikan bulan-bulan dalam perhitungan Jawa, yaitu: Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Selo dan Besar. Selanjutnya, 3 kali gongan dapat diartikan bahwa bahwa manusia selalu mengalami tiga hal dalam hidup, yaitu: lahir, berkembang, dan kematian.

2) Tanda pada Tata Rias dan BusanaTata rias pada Tari Tjokronegoro cukup

sederhana, yaitu dengan memakai baju lengan panjang, celana 3/4, sembong, dan ikat kepala. Warna pada tata busana tari Tjokronegoro mempunyai makna atau arti. Hitam artinya watak berwibawa dan pandai, kuning artinya kebijaksanaan serta kerendahan hati. Untuk sembong motif rawan berwarna putih artinya kebersihan hati dan jiwa. Kemudian bagian kepala menggunakan ikat kepala atau iket dengan motif modang (bagian tengah bermotif batik dan bagian pinggir berwarna putih). Corak ini merupakan ciri khas dari Kabupaten Sidoarjo.

Dalam tari Tjokronegoro, penari meng-gunakan perlengkapan senjata tombak, yang disebut clangkreng atau nenggala, yaitu tombak dengan bagian ujung berbentuk seperti angka ”2” dan warna batang tombak merah, yang berarti keberanian dan tanggung jawab. Angka ”2” dapat diartikan bahwa di dunia terdapat dua hal yang saling berlawanan, yakni: baik-buruk, hidup-mati, pria-wanita, dan lain sebagainya.

D.3.b. SimbolSimbol atau lambang ialah suatu hal atau

keadaan yang memimpin pemahaman subjek kepada objek. Simbol yang muncul atau nampak

Page 10: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

130

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

pada tari Tjokronegoro meliputi:1) Simbol yang menggambarkan sikap kete-

gasan, berwibawa, serta fleksibel terdapat pada ragam gerak bagian pendahuluan, yakni: tindak cokro ulat-ulat tanjak, mulat kiwo tengen ngarep dan ragam ulat-ulat jangkah 4 gawang.

2) Simbol yang menggambarkan sikap adil dan bijaksana terdapat pada ragam gerak bagian isi, yakni: tanting siku kiwo tengen.

3) Simbol yang menggambarkan sikap meng-hormati atau penghormatan terdapat pada ragam gerak bagian penutup, yakni: jejeg hormat.

Tanda-tanda yang terkandung dalam tari Tjokronegoro dapat dikaji menjadi tiga bagian, yakni: tanda pada gendhing atau iringan, tanda pada rias atau busana, dan tanda pada gerak Tari Tjokronegoro. Gendhing yang digunakan dalam tarian ini adalah Gendhing Alas Kobong dan Gendhing Tjokronegoro. Gendhing Alas Kobong dapat diartikan sebagai semangat yang berkobar-kobar yang harus dimiliki seorang pemimpin. Gendhing Alas Kobong dilakukan 10 kali gongan (pada bagian pendahuluan) dan 8 kali gongan (pada bagian penutup). Untuk Gendhing Tjokronegoro dilakukan 5 kali gongan, 12 kali gongan, dan 3 kali gongan. Pada 5 kali gongan dapat diartikan Pancawara atau pasaran, yakni: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Pada 12 kali gongan diartikan bulan-bulan perhitungan Jawa, yakni: Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Selo dan Besar. Pada 3 kali gongan akan diartikan bahwa manusia selalu mengalami tiga hal dalam hidup, yakni: lahir, berkembang, dan kematian. Diri manusia juga terbagi dalam tiga bagian, yaitu: raga, piker, dan jiwa. Tanda pada gendhing tersebut termasuk pada tanda suara dan musik yang digunakan untuk membangkitkan respon emosional.

Tata rias pada Tari Tjokronegoro menggunakan tata rias karakter satria gagah berwibawa, yaitu hanya mempertebal bayangan wajah. Tata busana pada tari Tjokronegoro

meliputi: baju lengan panjang, celana 3/4, sembong, dan ikat kepala. Warna pada tata busana tari Tjokronegoro mempunyai makna, yakni: hitam artinya watak berwibawa dan pandai; kuning artinya kebijaksanaan serta kerendahan hati; dan uUntuk sembong motif rawan warna putih artinya kebersihan hati serta jiwa. Selain itu menggunakan ikat kepala bermotif modang, yaitu corak khas Sidoarjo. Tari Tjokronegoro menggunakan perlengkapan tombak, yang disebut clangkreng atau nenggala, yang ujungnya berbentuk angka ”2”, bahwa di dunia ada dua hal yang berlawanan, yakni: hidup-mati, baik-buruk, pria-wanita, dan lain sebagainya. Sedangkan warna merah pada batang tombak berarti keberanian dan tanggung jawab. Tanda-tanda pada tata rias dan busana merupakan tanda objek dan budaya material (pakaian dan perlengkapan), sedangkan warna pada pakaian termasuk pada penggunaan warna (arti warna).

Tanda gerak pada Tari Tjokronegoro terdapat pada jumlah hitungan yang dilakukan. Hitungan (angka) tersebut juga mempunyai arti, yaitu: 1 x 8 “1 = manunggaling kawula gusti”; 2 x 8 “2 = baik-buruk, hidup-mati”; 3 x 8 “3 = lahir-berkembang-mati, manusia terbagi menjadi tiga bagian: raga-pikir-jiwa”. 4 x 8 “4 = arah mata angin (utara, selatan, barat, timur)”. Selain itu, terdapat pada ragam gerak pendahuluan, isi, dan penutup. Tanda gerak tersebut secara umum termasuk pada tanda aktivitas-aktivitas dan penampilan-penampilan (tanda dengan bahasa tubuh, gerak gerik yang kita lakukan).

Simbol-simbol yang tampak pada Tari Tjokronegoro meliputi: simbol yang meng-gam barkan sikap ketegasan, berwibawa, serta fleksibel (pada ragam pendahuluan), simbol yang menggambarkan sikap adil dan bijaksana (terdapat pada ragam isi), dan simbol yang menghormati (pada ragam penutup).

E. PENUTUPDalam pembahasan di atas dapat disimpulkan

bahwa tari Tjokronegoro diciptakan pada tahun 1975, tepatnya pada hari jadi Kabupaten Sidoarjo, tanggal 31 Januari. Tari Tjokronegoro tercipta

Page 11: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

Yahya Edo Wicaksono, Semiotika Tari Tjokronegoro sebagai Tarian Khas Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

131

atas permintaan Bupati Sidoarjo yang ke-13, yaitu Soewandi, yang terobsesi untuk mewujudkan suatu bentuk tarian yang menggambarkan watak atau karakter dari Bupati Sidoarjo yang pertama, yakni Tjokronegoro, dengan harapan Kabupaten Sidoarjo memiliki tarian khas yang merupakan simbol kepemimpinan serta kepahlawanan dari tokoh Tjokronegoro tersebut. Kemudian Soewandi memanggil Munali Fatah untuk diminta mewujudkan keinginannya untuk menciptakan sebuah karya tari. Tari Tjokronegoro tergolong tari tradisional yang diciptakan oleh Munali Fatah di Sidoarjo. Tari Tjokronegoro merupakan sebuah karya tari yang menggambarkan watak seseorang, di mana tarian ini dapat ditarikan oleh seorang penari (tunggal) maupun ditarikan secara massal.

Tari Tjokronegoro menggunakan iringan gamelan Jawa dengan gendhing Alas Kobong dan gendhing Tjokronegoro. Sedang bentuk tata rias pada tari Tjokronegoro adalah satria yang gagah dan berwibawa, mengingat tarian ini menggambarkan watak dari seorang tokoh Tjokronegoro yang disegani. Tata rias tari Tjokronegoro menggunakan tata rias karakter satria cakra yang gagah berwibawa. Penggunaan motif tata busana pada tari Tjokronegoro cukup sederhana, dengan memakai baju dan celana hitam dengan strip kuning. Dilengkapi dengan sembong berupa kain panjang motif Sidoarjo yang disebut rawan. Pada bagian kepala menggunakan ikat kepala motif Sidoarjo disebut modang. Busana yang digunakan pada tari Tjokronegoro ada kemiripan dengan busana pencak silat, mengingat tarian ini menggambarkan watak dari seorang tokoh yang disegani, yang gagah dan berwibawa. Perlengkapan yang digunakan pada tarian ini adalah clangkreng atau nenggala berbentuk tombak yang panjang berwarna merah yang ujungnya berbentuk ukiran yang mirip dengan angka “2”.

Tari Tjokronegoro bila ditinjau dari susunan ragam gerak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: bagian awal (pendahuluan), bagian isi, dan bagian penutup. Simbol-simbol yang tampak pada tari Tjokronegoro meliputi: simbol yang menggambarkan sikap ketegasan, berwibawa,

serta fleksibel (pada ragam pendahuluan); simbol yang menggambarkan sikap adil dan bijaksana (terdapat pada ragam isi); dan simbol yang menghormati (pada ragam penutup).

Sebagai salah satu warisan budaya khususnya di Kabupaten Sidoarjo sudah sepatutnya masyarakat ikut ambil bagian dalam proses pelestarian hasil cipta karya seni tari ini. Menjadikan salah satu maskot atau ikon seni tari, khususnya di Kabupaten Sidoarjo. Banyak cara yang dapat dilakukan pihak pemerintah dalam melestarikan hasil karya asli masyarakat Sidoarjo ini. Dengan didukung oleh masyarakat yang guyub rukun menjadikan karya tari ini menjadi aset seni dan budaya dari Kabupaten Sidoarjo. Memasukkan karya tari ini dalam kurikulum mata pelajaran seni budaya pada sekolah-sekolah di Sidoarjo, selanjutnya membuat workshop tentang tarian ini dan memberikan pemahaman betapa karya tari ini memiliki nilai filosofis tinggi yang dapat dijadikan panutan untuk masyarakat Sidoarjo khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan H.M., 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan. Publik, dan Ilmu Sosial, Jakarta: Kencana Prenama Media Group.

Eco, Umberto. 1979. Theory of Semiotics. Bloominggton: Indiana University Press.

Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia

Littlejohn, Stephen W. 2009. Teori Komunikasi (Theories of Human Communication). Edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika.

Moleong. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda

Murgiyanto, Sal. 1981. Koreografi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

_________. 1983. Koreografi Pengetahuan Dasar Komposisi Tari. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Page 12: SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS …

132

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

_________. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

_________.2002. “Kritik Tari” Bakat dan Kemampuan Dasar. Taipe: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Pramesthi, Rimasari. 2010. “Tari Sabana di Sanggar Tari Toety Production” (Kajian Tentang Koreografi). Semarang: UNNES

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

_________. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sumandiyo, Hadi. 1999. Aspek-Aspek Dasar Koreografi Kelompok. Yogyakarta: Manthili

Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pustaka

Widaryanto, Xaverius Franciscus. 2007. Menuju representasi Dunia Dalam. Bandung: Kelir.