Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315
e-ISSN 2615-3289
55
SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK Tenggelam Dalam Budaya Pop di Jepara
Suharto
Desain Komunikasi Visual UNISNU Jepara
Abstrak
Perjalanan seni ukir di Jepara merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk diangkat dalam culture study. Kehadiran seni ukir yang lazim juga disebut kriya mengalami perjalanan yang melewati beberapa masa pemerintahan, yaitu mulai dari masa pemerintahan yang dipimpin oleh tokoh wanita Ratu Kalinyamat, R.A. Kartini dan dilanjutkan pada masa orde baru yang melibatkan Ibu negara yaitu Ibu Tin Soeharto. Karya yang diciptakan pada masa lalu merupakan karya kriya yang memiliki falsafah yang kental dengan budaya Nusantara, terutama budaya Jawa yang merupakan budaya adi luhung.Pada ujung perjalanan kriya ukir pada umumnya orang menyebut seni ukir masuk dalam era globalisasi. Adanya era globalisasi mengakibatkan terjadinya krisis moneter pada kisaran tahun 1990-an hingga 2000. Krisis moneter mengakibatkan pemutusan atau pengurangan tenaga kerja dimana-mana, hampir disetiap negara di dunia. Namun berbeda dengan Jepara, Krisis moneter memberikan keberuntungan pada masyarakat Jepara. Menurunnya nilai rupiah terhadap dolar mengakibatkan lonjakan-lonjakan ekspor ukir yang ada di Jepara dengan keuntungan yang lebih tinggi.Kebutuhan untuk mendapatakan keuntungan yang besar dan kebutuhan akan rasa seni saling berbenturan. Tak dapat dielakkan akhirnya terjadi pergulatan hingga akhirnya seni ukir terjerumus dalan gerbang budaya pop. Bukan hanya cukup sampai di sini, perjalanan kemenangan budaya pop dalam berkompetisi ternyata manpu meraih simpati masyarakat Jepara dalam dunia pewayangan.Limbuk dan cangik yang biasanya menjadi media pitutur bagi generasi muda yang ada di Jepara tak mampu membendung rayuan budaya pop.
Kata Kunci: Seni Ukir, Limbuk dan Cangik, Budaya Pop
Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315
e-ISSN 2615-3289
56
Abstract
Phenomenon of wood sculpture in Jepara is interested, as always, to be analyzed in a cultural study. The existence of wood sculpture, called craft, started from the reign of Kalinyamat queen, R.A Kartini, and continued by Ibu Tin Seharto in new order period. The creation of artworks, in the meantime, had its own philosophy of Nusantara culture, particularly Javanese culture as the highest culture.In the end of journey time of the craft of carving, generally people called wood sculpture entering globalization era. The existence of it had an impact of monetary crisis during 1990s until 2000s. Monetary crisis impact is work termination or reduction of manpower everywhere, almost all countries in the world. However, it was different to Jepara, in which monetary crisis gave profit to Jepara people. Deflation of rupiah to dollar made the product of carvings incredibly increased. The need to get big profit and the need of sense of art were collide. It could not be neglected then eventually wood sculpture fell to pop culture. Furthermore, it was in fact pop culture could compete and gave sympathy to the world of wayang. Limbukdancangik, commonly being story telling media for young generation in Jepara could not stay away from pop culture.
Pendahuluan
“Kota Ukir”merupakan citra yang
telah begitu melekat di Jepara. Ukir
kayu telah menjadi idiom kota kelahiran
Putri bangsa penyandang gelar pejuang
emansipasi wanita yaitu Raden Ajeng
Kartini, bahkan belum ada kota lain
yang layak disebut sepadan dengan
Jepara untuk industri kerajinan mebel
ukir. Namun untuk sampai pada kondisi
seperti ini, Jepara telah mengayunkan
langkah menempuh perjalanan yang
sangat panjang. Sejak jaman kejayaan
Negara-negara Hindu di Jawa Tengah,
Jepara Telah dikenal sebagai pelabuh-
an utara pantai Jawa yang juga
berfungsi sebagai pintu gerbang
komunikasi antara kerajaan Jawa
dengan Cina dan India .
Peranan Raden Ajeng Kartini dalam
pengembangan seni ukir juga sangat
besar. Salah satu perhatian R.A. Kartini
yang cukup menonjol ialah kepedulian-
nya yang besar pada kegiatan para
senimam dan pengrajin, khususnya
kepada para pengrajin yang bekerja
dibidang mebel ukir (Gustami, 2000 : 4).
Raden Ajeng Kartini yang melihat
kehidupan para pengrajin tak juga
beranjak dari kemiskinan, batinnya
terusik, sehingga ia bertekat mengang-
kat derajat para pengrajin. Ia memanggil
beberapa pengrajin dari Belakang
Gunung (kini salah satu padukuhan
Desa mulyoharjo) di bawah pimpinan
Keywords: wood sculpture, Limbuk and Cangik, Pop Culture
Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315
e-ISSN 2615-3289
57
Singowiryo, untuk bersama-sama mem-
buat ukiran di belakang kantor
Kabupaten. Oleh Raden Ajeng Kartini,
mereka diminta untuk membuat
berbagai macam jenis ukiran, seperti
peti jahitan, meja keci, pigura, tempat
rokok, tempat perhiasan, dan lain-lain
barang souvenir. Barang-barang ini
kemudian di jual Raden Ajeng Kartini ke
Semarang dan Batavia (sekarang
Jakarta), sehingga akhirnya diketahui
bahwa masyarakat Jepara pandai
mengukir.
Berkat kegigihan Kartini,seni ukir
telah memasuki babak baru yang bukan
hanya sebagai hasil seni yang tak bisa
dijual, tetapi telah menjadi sebuah
industri kerajinan yang dapat dijual
dengan harga yang layak sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan
pengrajin ( Reksonegoro, 1978:27).
Akibat banyaknya pesanan yang
datang, hasil produksi para pengrajin
Jepara bertambah jenisnya, seperti
kursi pengantin, alat panahan angin,
tempat tidur pengantin dan penyekat
ruangan serta berbagai jenis kursi tamu
dan kursi makan.Raden Ajeng Kartini
juga mulai memperkenalkan seni ukir
Jepara keluar negeri.Caranya, Raden
Ajeng Kartini memberikan souvenir
kepada sahabatnya di luar
negeri.Akibatnya ukir terus berkembang
dan pesanan terus berdatangan.
Perkembangan seni ukir mencapai
puncak perkembangan saat memasuki
masa era globalisasi. Proses perkem-
bangan globalisasi pada awalnya
ditandai kemajuan bidang teknologi
informasi dan komunikasi. Bidang
tersebut merupakan penggerak
globalisasi.Dari kemajuan bidang ini
kemudian mempengaruhi berbagai
aspek.Salah satu aspek yang
terpengaruh adalah kebudayaan.Dari
sini timbul pertanyaan, bagaimana
budaya pop mampu memasuki dunia
seni ukir di Jepara?
Kehadir Budaya Pop Telah
Menggeser Budaya Lokal
Jika kita perhatikan perkembangan
seni ukir di Jepara, maka kita temukan
bagaimana Masyarakat Jepara dalam
berkarya. Adakah idiologi yang tercer-
min dalam karyayang diciptakan.Sejauh
mana masyarakat Jepara memahami
dan mempertahankan idiologi dalam
penciptaan karya seni ukir yang juga
merupakan karya kriya. Memang
ideologi bukanlah fantasi perorangan,
namun terjelma dalam cara hidup
kolektif masyarakat. Bagi kebanyakan
orang, ideologi mewakili suatu
kecenderungan umum untuk
menukarkan yang benar dengan apa
yang tidak baik bagi kepentingan
sendiri. Sekalipun anggapan yang
sangat luas tersebar ini tidak harus
berarti bahwa ideologi adalah suatu
Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315
e-ISSN 2615-3289
58
konsepsi palsu mengenai kesadaran,
namun anggapan itu mengakui bahwa
hanya ada satu ideologi saja yang dapat
dikatakan benar, dan ada tanda-tanda
bahwa kita dapat menemukan ideologi
mana yang benar dengan bersikap lebih
objektif (Sobur, 2006:213-214). Karya -
karya yang diciptakan betul-betul
merupakan ungkapan rasa yang di
miliki, setiap karya mengandung
makna, baik makna spiritual maupun
makna lain yang semuanya merupakan
karakteristik yang mendasar dari
kriyawan. Kreativitas kriyawan Jepara
yang senantiasa tidak lepas dari budaya
lokal sebagai sumber inspirasi merupa-
kan kekuatan dalam berkarya,
disamping kemampuan skill berupa
ketrampilan mengukir.Berkarya dalam
pandangannya merupakan perkawinan
sakral yang penuh pergulatan ritual
untuk melahirkan karya cipta yang
agung atau luhur.
Pada tahun 1990-an kondisi Jepara
mengalami pergeseran budaya, yang
disebabkan adanya globalisasi yang
mengakibatkan krisis moneter. Adanya
krisis moneter mendorong-orang asing
terutama para investor untuk mencari
peluang bisnis dalam dunia ukir. Hal ini
akan terjadi interaksi antar masyarakat
dunia secara luas, yang akhirnya akan
saling mempengaruhi satu sama lain,
terutama pada kebudayaan daerah.Hal
ini berpengaruh terhadap aspek
kejiwaan.
Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi
penting artinya apabila disadari, bahwa
tingkah laku seseorang sangat
dipengaruhi oleh apa yang ada dalam
alam pikiran orang yang bersangkutan.
Contoh sederhana dengan teknologi
internet, parabola dan TV, orang di
belahan bumi manapun akan dapat
mengakses berita dari belahan dunia
yang lain secara cepat.
Keberadaan globalisasi telah
mampu melahirkan budaya populer
yang dirawat oleh kaum kapitalis demi
meraup keuntungan besar.Keterbukaan
pintu dunia memberi kemudahan pada
siapapun untuk memasukinya, ternasuk
masyarakat Jepara yang tanpa mengerti
atau tidak, disadari atau tidak, telah
memasuki lorong budaya
populer.Melalui jaringan internet
masyarakat Jepara telah membuka
komunikasi dengan berbagai negara
dengan mudah dan cepat. Budaya pop
yang dikembangkan oleh sistem
kapitalis sebagai alat untuk
memasarkan komoditi telah menggeser
budaya Indonesia termasuk Jepara
hingga menjadikan masyarakat
konsumtif dan hedonis. Bahkan yang
menyedihkan, media massa yang
semestinya berperan sebagai filter
kebudayaan malah menjadi agen
penyebaran yang menelan banyak
Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315
e-ISSN 2615-3289
59
korban. Diantaranya kriyawan, di mana
karya-karya yang dihasilnya cuma
bersifat temporer tanpa landasan filosofi
seperti halnya seni adiluhung atau
klasik yang abadi.
Apresiasi publik pada seni
mengalami penyeragaman lewat media
televisi dan sejenisnya.Orientasi budaya
leluhur kita sebenarnya untuk menjaga
harkat dan martabat manusia sesuai
dengan fitrahnya.Namun karena
perkembangannya semakin tersisih oleh
budaya pop yang merangsek dari waktu
ke waktu, pola pikir masyarakat menjadi
berubah menjadi praktis dan pragmatis.
Orientasi seniman dalam mencipta
kekaryaan pun bergeser.Idiologi yang
dimiliki telah luntur. Cavallaro
(2005:136-137) berpendapat bahwa
idiologi adalah: Sekumpulan ide, cita-
cita, nilai atau kepercayaan; Filsafat,
Agama, Nilai-nilai palsu yang digunakan
untuk mengendalikan seseorang,
seperangkat kebiasaan atau ritual,
suatu media tempat sebuah budaya
membentuk dunianya, ide-ide yang
diunggulkan oleh kelas sosial, gender
atau kelompok ras tertentu, nilai-nilai
yang melanggengkan struktur
kekuasaan dominan, suatu proses di
mana sebuah budaya memproduksi
makna dan peran-peran bagi subjek-
subjeknya, gabungan antara budaya
dan bahasa, perwujudan konstruksi
budaya sebagai kenyataan yang
sesungguhnya.
Jika sebelumnya kriyawan
melakukan kajian yang cermat terhadap
simbol-simbol yang diselaraskan
dengan persepsi publik terhadap kultur
yang berlaku di lingkungannya,
sekarang hal itu terabaikan. Kini yang
dijadikan pertimbangan seniman dalam
memproses karya hanyalah
pertimbangan praktis, mudah (simple)
dan sesuai selera pasar (marketable).
Karya ukir yang sekarang
berkembang menghiasi kota Jepara
maupun mancanegara diproduksi
secara massa di setiap perusahaan,
baik perusahaan yang dimiliki oleh
masyarakat lokal maupun orang asing
dari berbagai negara yang ada di
Jepara. Melalui teknologi industri karya
kriya diproduksi secara berulang-ulang
dengan dalam jumlah yang cukup
banyak, bisa mencapai ratusan bahkan
ribuan.
Kalau pada masa lalu seni ukir di
persembahkan untuk para raja dan
kehadirannya juga dari dalam kerajaan
yaitu pada masa Ratu Kalinyamat,
maka sekarang hampir semua
masyarakat mampu membeli dan
memilikinya, pada ujungnya mereka
terhipnotis untuk membelinya.
Pada jaman corak produksi
kapitalisme sekaranglah, seni ukir telah
digunakan oleh kelas berkuasa sebagai
Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315
e-ISSN 2615-3289
60
alat untuk mendominasi budaya dan
ideologi masyarakat.Seniman atau
kriyawan secara tidak sadar telah
dipaksa mengabdi pada kekuasaan dan
penindasan. Aspek-aspek pembentuk
kebudayaan seperti kesenian, adat-
istiadat,kebiasaan dan sebagainya akan
memiliki patron, menyesuaikan dengan
pihak yang menguasai budaya global di
dunia.
Seni ukir berubah menjadi kerajinan
yang disajikan dalam ranah modern
sebagai identitas baru.Menurut Burton
(2008:153) bahwa identitas manusia
dikonstruksi melalui jejaring makna dan
hubungan sosial yang ada di sekitar,
baik dari diri sendiri maupun dengan
budaya dominan. Dengan demikian,
seni ukir menjadi identitas baru dengan
adanya penandaan terhadap tata cara
struktur sosial yang telah memosisikan-
nya.
Perubahan seni ukir menjadi
budaya pop berdampak pada pola hidup
mayarakat, bagi produsen dan
karyawan, secara ekonomis mengalami
peningkatan yang cukup tinggi,
sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan mastarakat.Ini merupa-
kan dampak positif yang dirasakan
masyarakat Jepara. Namun tanpa
disadari, dampak negatif juga hadir
secara beriringan pada sisi lain. Dalam
dunia hiburan misalnya, Wayang yang
merupakan salah satu artefak budaya
Jawa yang adiluhung, dalam
pementasanya tak mampu memper-
tahankan keluhurannya. Dengan kata
lain larut menjadi budaya pop.
Bagaimana ini terjadi?sebuah
pertanyaan yang perlu kita renungkan.
Ideologi dalam budaya Jawa adalah
paham spiritual yang amat wingit.Hanya
orang yang benar-benar respek saja
biasanya yang mampu menyelami
ideologi asli orang Jawa lewat budaya
pop. Ideologi dalam layar,wayang kulit
yang berbau budaya pop jelas
membutuhkan pemahaman yang
komprehensif. Oleh karena di dalamnya
memuat aneka ragam muatan
budaya.Aneka kehidupan yang bersifat
ideologis kejawen, biasanya masuk ke
dalam drama tersebut.Karena, para
pengarang atau pujangga sengaja atau
tidak memang mernbungkus pesan
yang terselubung melalui estetika
khusus. Budaya pop disadari atau tidak
telah masuk dalam wayang tersebut
dan sering dianggap sekedar bingkisan
berbau latah. Bahkan kalau meminjam
istilah Strinati (2003:9) karya itu hanya
placebo (pemanis bibir) moralitas
masyarakat.
Wayang Kulit sebagai Budaya Pop
Kehadiran budaya clasik yang
dipersandingkan dengan budaya pop
memang sering memunculkan tawar-
menawar nilai. Keduanya saling isi-
mengisi dan memoles suasana. Hal ini
Jurnal SULUH
akan nampak ketika kita menikmati
pertunjukan wayang kulit, di sana ada
tawaran nilai budaya klasik yang
seakan-akan sulit berubah, sementara
budaya pop harus masuk di dalamnya.
Tarik-menarik antara budaya Jawa
klasik dan pop akan selalu ada
manakala penikmat wayang kulit juga
berbeda.
Merebaknya media massa,
merupakan arena bermain budaya pop.
Hidup subur budaya pop ditopang oleh
media massa yang canggih dan
gencarnya arus komunikaksi. Situasi ini
telah memoles komersialisasi seni dan
budaya. Akibatnya bukan tidak mungkin
wayang kulit sebagai cipta sastra dan
seni harus terbawa arus tersebut
menuju pada suatu titik nol yang belum
jelas. Yang lebih rumit, gerakan budaya
pop dalam wayang tersebut mau tida
mau harus perang melawan ideologi
kejawen yang luhur.
Akibat dari benturan budaya lama
(klasik) dan baru itu, budaya pop
Gambar 1. Hasil produk ukir masa
budaya pop
e
nampak ketika kita menikmati
pertunjukan wayang kulit, di sana ada
tawaran nilai budaya klasik yang
akan sulit berubah, sementara
budaya pop harus masuk di dalamnya.
menarik antara budaya Jawa
klasik dan pop akan selalu ada
wayang kulit juga
Merebaknya media massa,
merupakan arena bermain budaya pop.
Hidup subur budaya pop ditopang oleh
media massa yang canggih dan
gencarnya arus komunikaksi. Situasi ini
h memoles komersialisasi seni dan
budaya. Akibatnya bukan tidak mungkin
wayang kulit sebagai cipta sastra dan
seni harus terbawa arus tersebut
menuju pada suatu titik nol yang belum
jelas. Yang lebih rumit, gerakan budaya
pop dalam wayang tersebut mau tidak
mau harus perang melawan ideologi
Akibat dari benturan budaya lama
(klasik) dan baru itu, budaya pop
muncul adanya subordinasi budaya
yang tak jelas
parameternya.Subordinasi bukan
sekedar persoalan pemaksaan
(coercion) melainkan juga
konsensus.Budaya pop, yang telah
banyak menyita sastra, estetika, dan
nilai luhur dipandang tetap berharga.
Perhatian cultural studies, dikatakan
sebagai landasan tercapai atau tidaknya
konsensus.Sebagai sebuah jalan untuk
menjelaskan kesalingterkaita
kekuasaan dan tujuan, kedua konsep
yang saling terkait tersebut terus
menerus digunakan dalam teks
awal cultural studies, meskipun
keduanya tidak begitu berakhir
yakni ideologi dan hegemoni.
Pada masyarakat barat, menurut
Williams (Strinati, 2003:7) memang
masih sering mengambil jarak antara
budaya populer dan budaya "tinggi"
atau "pengetahuan tinggi".Pendapat ini
juga sering terjadi dalam masyarakat
Jawa, ketika memahami fenomena
wayang kulit yang ada di Jepara.Kaum
tua biasanya menghendaki wayang kulit
tampil "bersih" sebagai perisai budaya
luhur, sementara kaum muda telah
berpikir konsumtif budaya.Sedangkan
anak muda sebaliknya, menginginkan
tampilan seni pop yang modernis.Kaum
tua seperti menghendaki wayang kulit
tetap sebagai agent of art, anak muda
ke arah agent of change.Bagi anak
Hasil produk ukir masa
p-ISSN2615-4315 e-ISSN 2615-3289
61
muncul adanya subordinasi budaya
yang tak jelas
parameternya.Subordinasi bukan
sekedar persoalan pemaksaan
melainkan juga soal
konsensus.Budaya pop, yang telah
banyak menyita sastra, estetika, dan
nilai luhur dipandang tetap berharga.
erhatian cultural studies, dikatakan
sebagai landasan tercapai atau tidaknya
konsensus.Sebagai sebuah jalan untuk
menjelaskan kesalingterkaitan antara
kekuasaan dan tujuan, kedua konsep
yang saling terkait tersebut terus-
menerus digunakan dalam teks-teks
awal cultural studies, meskipun
keduanya tidak begitu berakhir-akhir ini,
yakni ideologi dan hegemoni.
Pada masyarakat barat, menurut
(Strinati, 2003:7) memang
masih sering mengambil jarak antara
budaya populer dan budaya "tinggi"
atau "pengetahuan tinggi".Pendapat ini
juga sering terjadi dalam masyarakat
Jawa, ketika memahami fenomena
wayang kulit yang ada di Jepara.Kaum
nghendaki wayang kulit
tampil "bersih" sebagai perisai budaya
luhur, sementara kaum muda telah
berpikir konsumtif budaya.Sedangkan
anak muda sebaliknya, menginginkan
tampilan seni pop yang modernis.Kaum
tua seperti menghendaki wayang kulit
ent of art, anak muda
ke arah agent of change.Bagi anak
Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315
e-ISSN 2615-3289
62
muda yang penting wayang itu enak
ditonton, menyenangkan, dan
nikmat.Oleh karena itu konsep
komersial sering berbaur dalam budaya
pop.
Dalam pengertian itu, budaya pop
dalam wayang kulit memang memiliki
berbagai arah dan sasaran. Arah dan
sasaran itu akan berkombinasi dengan
kepentingan, antara lain: (a) banyak
disukai orang, (b) jenis kerja rendahan,
(c) karya yang dilakukan untuk
menyenangkan orang, (d) budaya yang
memang dibuat oleh orang untuk dirinya
sendiri. Jadi disetujui atau tidak budaya
pop wayang kulit memang bergerak dari
aspek pragmatik.Asalkan pertunjukan
itu dapat dinikmati, meskipun jauh dari
rasa Kehadiran budaya pop pada
pementasan wayang di Jepara
dipengaruhi oleh adanya peningkatan
ekonomi kaum muda yang ada di
masyarakat. Sehingga mereka mampu
menghadirkan wayang pada acara
tertentu, seperti pernikahan , sunatan
maupun acara peresmian perusahaan
yang dimiliki. Kehadiran wayang dalam
acara ini digunakan sebagai alat untuk
membangun kemitraan antar
pengusaha atau relasi dan juga
karyawan yang rata rata kaum
muda.Sebagai masyarakat pesisir,
musik dangdut merupakan musik yang
begitu populer di telinga
mereka.Disinilah budaya pop merasuk
pada pementasan wayang kulit di
Jepara.Melalui tokoh limbuk dan cangik
musik dangdut disuguhkan bagi
penggemar-nya.
Pengusaha, ketika cabang
komunikasi telah meretas sekat budaya
ideologi itu juga mencair.Definisi
ideologi kejawen memang amat
luas.Seluruh hal dapat menjadi ideologi,
manakala berkaitan dengan gagasan
sentral masyarakat Jawa. Untuk
memperjelas pandangan ideologi, ada
baiknya menyimak pernyataan
Cavallaro (2005:136-137) bahwa ide
adalah: sekumpulan ide, cita-cita, nilai
atau kepercayaan; Filsafat, Agama,
Nilai-nilai palsu yang digunakan untuk
mengendalikan seseorang, seperangkat
kebiasaan atau ritual, suatu media
tempat sebuah budaya membentuk
dunianya, ide-ide yang diunggulkan oleh
kelas sosial, gender atau kelompok ras
tertentu, nilai-nilai yang melanggengkan
struktur kekuasaan dominan, suatu
proses di mana sebuah budaya
memproduksi makna dan peran-peran
bagi subjek-subjeknya, gabungan
antara budaya dan bahasa, perwujudan
konstruksi budaya sebagai kenyataan
yang sesungguhnya.
Belajar dari pendapat demikian,
apabila mencermati ideologi kejawen
dalam pertunjukan wayang kulit menjadi
semakin terang.Ideologi dalam wayang
kulit yang telah dipoles dengan budaya
Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315
e-ISSN 2615-3289
63
pop pun dapat dipahami dalam
kaitannya dengan nilai dan konstruksi
budaya Jawa yang melingkupinya.
Wayang kulit adalah bangunan
estetis klasik.Oleh karena itu, pada
waktu dikemas dengan budaya pop,
estetika sering berbaur.Pembauran
estetika klasik dan pop itu banyak
berkaitan dengan tuntutan
pengguna.Yang lebih rumit lagi,
menurut Eagleton (Callavaro, 2004:138)
estetika berulang-ulang dibelenggu oleh
keharusan-keharusan yang bersifat
ideologis. Estetika telah digunakan
untuk menunjukkan bahwa seseorang
dapat diajak bersama-sama menuju
sebuah keluarga bahagia sebuah dunia
berbagi perasaan yang harmonis untuk
menghapuskan kenyataan sebenarnya
dari pasar (marketplace) dan ketiadaan
'konsensus ideologi' dalam 'hubungan-
hubungan sosial yang sungguh-
sungguh'.
Berdasarkan pendapat tersebut,
berarti ideologi kejawen dalam wayang
kulit akan berdampingan dengan
estetika. Sebaliknya, estetika wayang
kulit juga mempengaruhi hadirnya
ideologi. Dengan kata lain, dorongan-
dorongan ide seniman kreatif wayang
kulit dapat saja dipengaruhi oleh
penonton. Penonton akan memiliki
hegemoni penuh yang dapat mengubah
ideologi. Ideologi kejawen yang luhur,
suatu saat dapat bergeser atas desakan
pasar. Maka, tidak mengherankan kalau
ada wayang kulit yang semata-mata
menuruti pasar, tetapi tetap mempunyai
ideotogi tertentu.Sebaliknya ada pula
wayang kulit yang terdesak oleh
hegemoni penonton sehingga
kehilangan ideologi murni.
Pergelaran wavang kulit adalah
seni yang kompleks. Seni apa saja
dapat masuk di dalamnya, seperti seni
pop, drama, krawitan, lawak, dan lain-
lain. Munculnya aneka ragam seni itu
pada awalnya memang masih
sederhana, belum melibatkan
kolaborasi yang luas.Namun, akibat
tuntutan jaman, berbagai hal sering
masuk dalam pertunjukan wayang
kulit.Anehnya, semakin banyak seni
yang diadopsi dalam wayang, oleh
penonton dianggap sebagai pertunjukan
yang unik.
Hal demikian selalu membuktikan
bahwa wayang kulit selalu berubah-
ubah.Pertunjukan wayang kulit seakan-
akan menerima hegemoni (meminjam
istilah Gramci) penonton.Meskipun
penonton tidak secara terang-terangan
meminta kepada ki dalang harus
membuat sanggit dan gagasan
pertunjukan yang berbeda, hegemoni itu
tetap ada.Hegemoni wayang seperti
dikuasai oleh publik. Publik selalu
dibayangkan sebagai massa yang
menginginkan perubahan, akibatnya
percampuran antara ideologi klasik dan
Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315
e-ISSN 2615-3289
64
ideologi kontemporer masuk di
dalamnya.
Kesimpulan
Adanya globalisasi mengakibatkan
terjadinya krisis moneter di berbabagi
belahan dunia.Kehadiran era globalisasi
ditantai adanya perkem-bangan
teknologi terutama teknologi informasi
dam komunikasi.
Budaya populer turut hadir
mewarnai dunia melalui tangan kapitalis
yang menjadikan media masa sebagai
agennya.Kondisi yang demikian telah
menggilas Jepara sebagai kota
ukir.Jepara yang dulu memiliki seni ukir
yang merupakan artefak budaya yang
adi luhung, kini telah larut menjadi
budaya populer yang telah mengglobal
ke mancanegara.
Akibat produksi yang meningkat
atas permintaan konsumen mampu
meningkatkan perekonomian
Jepara.Hal ini berdampak pada
perubahan sosial budaya
masyarakatnya.Hadirnya budaya pop
yang ada pada ukiran Jepara pada
akhirnya merambah pada dunia
pewayangan.
Limbuk dan cangik dalam
pementasan juga tenggelam dalam
budaya pop yang terlepas dari nilai-nilai
luhur yang harus di sampaikan pada
pakemnya, sebagai pitutur bagi kaum
muda.
Sampai kapankah budaya pop
bertahan di Jepara???Kita kembalikan
pada masyarakat yang mengkonsomsi-
nya.
Daftar Pustaka
Cavallaro, Dani. 2004, Critical and
Cultural Theory, Yogyakarta:
Niagara.
Graeme Burton, 2008, Pengantar untuk
Memahami Media dan Budaya
Populer, Yogyakarta: Jalasutra
Gustami Sp. 1991. “Seni Kriya
Indonesia Dilema Pembinaan
dan Pengembangan", dalam
SENI: Jurnal Pengetahuan dan
Pencitaan Seni. 1/03 - Oktober
1991, B.P ISI Yogyakarta.
Reksonegoro, Kardinah, 1978. Tiga
Saudara(Kartini, Kardinah,
Roekmini).Pemda Dati II
Rembang.
Strinati, Domisic.1995. An Introduction
to theories of Popular Culture.
London dan New York:
Koutledge.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika
Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315
e-ISSN 2615-3289
65