44
1 Kalam 26 / 2014 Sepotong situasi: 1950-an Goenawan Mohamad hadir di gelanggang sastra Indonesia sekitar satu dasawarsa setelah kematian Chairil Anwar. Dalam esainya “Potet Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang” Goenawan menulis: “Pada umur yang kedelapan-belas (yakni, 1959—ZH), seorang anak muda menulis sajak.” 1 Tapi, karyanya yang paling awal dan berhasil dikumpulkan dalam Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 adalah puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun. 2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta memisahkan Zen Hae menulis puisi, cerita, esai dan kritik sastra. Buku kumpulan cerita pendeknya adalah Rumah Kawin (2004) dan buku puisinya Paus Merah Jambu (2007). Versi pertama tulisan ini berjudul “Setelah 89 Puisi dan Seorang Majenun” dan disampaikan pada peluncuran buku puisi 70 Puisi dan Don Quixote karya Goenawan Mohamad di Dia.lo.gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan, 27 Juli 2011. 1 Pada mulanya esai ini dimuat dalam buku Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Sebagai Si Malin Kundang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1971), 9-20. Esai itu kemudian dimuat lagi dalam Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 55-66. Komentar dalam kurung dari penulis. Selanjutnya ditulis Kesusastraan dan Kekuasaan. 2 Goenawan Mohamad, Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001, suntingan Ayu Utami dan Sitok Srengenge (Jakarta: Metafor, 2001). Sebagian besar pembahasan puisi- puisi Goenawan Mohamad dalam esai ini bersumber pada buku ini, selain 70 Puisi (Jakarta: Tempo dan Grafiti Pres, 2011) dan Don Quixote (Jakarta: Tempo & Grafiti Pers, 2011). Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas Zen Hae

Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    8

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

1 PB

Kalam 26 / 2014

Sepotong situasi: 1950-an

Goenawan Mohamad hadir di gelanggang sastra Indonesia sekitar

satu dasawarsa setelah kematian Chairil Anwar. Dalam esainya

“Potet Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang” Goenawan

menulis: “Pada umur yang kedelapan-belas (yakni, 1959—ZH),

seorang anak muda menulis sajak.”1 Tapi, karyanya yang paling awal

dan berhasil dikumpulkan dalam Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 adalah

puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20

tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta memisahkan

Zen Hae menulis puisi, cerita, esai dan kritik sastra. Buku kumpulan cerita pendeknya adalah Rumah Kawin (2004) dan buku puisinya Paus Merah Jambu (2007).

Versi pertama tulisan ini berjudul “Setelah 89 Puisi dan Seorang Majenun” dan disampaikan pada peluncuran buku puisi 70 Puisi dan Don Quixote karya Goenawan Mohamad di Dia.lo.gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan, 27 Juli 2011.

1 Pada mulanya esai ini dimuat dalam buku Goenawan Mohamad, Potret Seorang

Penyair Sebagai Si Malin Kundang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1971), 9-20. Esai itu kemudian dimuat lagi dalam Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 55-66. Komentar dalam kurung dari penulis. Selanjutnya ditulis Kesusastraan dan Kekuasaan.

2 Goenawan Mohamad, Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001, suntingan Ayu Utami dan Sitok Srengenge (Jakarta: Metafor, 2001). Sebagian besar pembahasan puisi-puisi Goenawan Mohamad dalam esai ini bersumber pada buku ini, selain 70

Puisi (Jakarta: Tempo dan Grafiti Pres, 2011) dan Don Quixote (Jakarta: Tempo & Grafiti Pers, 2011).

Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas

Zen Hae

Page 2: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

2 PB

Kalam 26 / 2014

Goenawan dengan Chairil, tetapi, sebaliknya, menghubungkan

keduanya, juga dengan situasi di sekitar kemunculannya, yakni di

pengujung era 1950-an.

Kematian Chairil Anwar pada 28 April 1949 menimbulkan

perkara serius dalam gelanggang sastra Indonesia. Setelah kematiannya

orang mulai menyoal, antara lain, nasib Angkatan 45, pengaruh

persajakan Chairil terhadap penyair-penyair sesudahnya, krisis

penciptaan sastra akibat kepulangan Chairil selaku tokoh terpenting

angkatan tersebut, plagiarisme yang ditujukan kepada beberapa puisi

Chairil, hingga soal kemunculan angkatan baru setelah Angkatan

45. Begitulah, meskipun sejumlah eksponen Angkatan 45—bahkan

Pujangga Baru—masih tetap berkarya setelah kematian Chairil—

sekadar menyebut beberapa nama: Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus,

Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang,

pada awal 1950 mulai muncul keluhan akan krisis atau kelesuan di

dalam kesusastraan Indonesia modern, dan itu berlangsung hingga

pertengahan dasawarsa itu.3 Malah, Soedjatmoko, salah seorang

3 Soal ini kemudian menjadi pembahasan penting dalam “Symposium Kesusasteraan Indonesia Modern” yang diselenggarakan oleh Sticusa di Amsterdam, 26 Juni 1953; “Symposium Kesusasteraan” yang diselenggarakan mahasiswa Fakultas Sastra UI di Jakarta, 5 Desember 1954, dan menjadi bahan polemik di media massa. Beberapa penulis mencoba membantahnya dengan mengajukan sejumlah bukti. Di antaranya Nugroho Notosusanto dalam empat seri esai “Situasi 1954” dan H.B. Jassin dalam “Kesusastraan Indonesia Modern Tak Ada Krisis”. Untuk esai Nugroho Notosusanto, baca E. Ulrich Kratz, ed., Sumber Terpilih Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), 270-303; selanjutnya ditulis Sumber Terpilih. Untuk esai H.B. Jassin, baca H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei III

(Jakarta: Gramedia, 1985), 1-25. Juga Asrul Sani, dalam “Salah Sangka Sekitar Kata ‘Krisis’” dalam Siasat, 13 Maret 1955, yang kemudian dimuat dalam kumpulan esainya Surat-Surat Kepercayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), 133-139.

Page 3: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

3 PB

Kalam 26 / 2014

pemikir kebudayaan yang aktif di masa itu, menyebut kriris sastra itu

sebagai akibat dari “krisis kepemimpinan politik”.4

Memang, saat itu telah muncul satu generasi sastrawan baru

yang cukup menonjol—seperti Kirjomulyo, Ajip Rosidi, Rendra,

Ramadhan K.H., Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardoyo—

tetapi dengan kualitas dan orientasi budaya yang berbeda dari

Angkatan 45. Setidaknya, mereka tidak lagi sibuk dengan proyek

meraih pengakuan sebagai “ahli waris kebudayaan dunia”—

sebagaimana dinyatakan dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”.5

Mereka lebih tergolong ke dalam generasi pengarang yang “menjadi

Indonesia”, sebuah situasi kebudayaan yang berlangsung sepanjang

1950-1965.6 Malah, Nugroho Notosusanto, dalam esainya “Situasi

1954”, bagian 4, esai yang ditulisnya untuk Ramadhan K.H. dan dimuat

di majalah Kompas, mencirikan generasi sastrawan baru ini sebagai

generasi yang orientasinya kepada sastra dunia “tidak seluas mereka

4 Soedjatmoko, “Mengapa Konfrontasi” dalam majalah Konfrontasi, edisi I/1954. Baca juga uraian Ajip Rosidi tentang krisis ini dalam Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah

Sastra Indonesia (Jakarta: Binacipta, cetakan ketiga, 1992), 135-140.5 Esai karangan Asrul Sani yang bertitimangsa “Jakarta, 18 Februari 1950” ini

kerap disebut sebagai pandangan umum Angkatan 45. Esai ini muncul pertama kali dalam lembar seni dan sastra “Gelanggang” di majalah Siasat edisi 22 Oktober 1950. Sebelumnya, pernah pula dibacakan dalam sebuah pertemuan budayawan dan intelektual di paviliun Hotel Indes, Jakarta, pada Juni 1950. Informasi terakhir ini saya peroleh dari skripsi Alex Supartono, “LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965” (Jakarta: STF Driyarkara, 2000).

6 Dalam pengantar untuk bunga rampai yang disuntingnya bersama Maya H.T. Liem, Jennifer Lindsay menulis: “Menjadi Indoneisa pada tahun 1950 adalah menjadi modern. Ada rasa girang terhadap ‘kebaruan’ menjadi ‘terlahir’ sebagai bangsa dan warga baru, dan kata-kata ‘baru’, lahir’ dan ‘modern’ merembes pada tuisan periode tersebut.” Baca, Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, ed., Ahli

Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965 (Denpasar: Pustaka Larasan, Jakarta: KITLV, 2011), 18.

Page 4: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

4 PB

Kalam 26 / 2014

yang mengecap pendidikan Belanda dulu”. Sebaliknya, karya-karya

dan mahakarya-makakarya sastrawan dunia yang terkemuka yang

mereka baca “kebanyakan dari wilayah bahasa Inggeris”, termasuk

juga “teori dan esai yang menunjukkan pertumbuhan-pertumbuhan

terbaru di dalam sastra dunia”. Selanjutnya, Nugroho menyatakan:

Karena hal itu, karya-karya mereka lebih mempunyai corak Indonesia. Pengaruh sastrawan-sastrawan luar negeri tidak sampai membinasakan kepribadiannya. Alam pikiran mereka, motif-motif yang mereka pakai, tema mereka, bercorak Indonesia dan mereka peroleh langsung dari degupan jantung hidup Indonesia.7

Pandangan Nugroho Notosusanto ini memberi cetak tebal

kepada proyek “menjadi Indonesia” di atas. Semacam nasionalisasi

kesusastraan demi membedakan generasi pengarang baru ini dari

generasi sastrawan yang berambisi menjadi warga dunia (Angkatan

45) atau menjadi “epigones dari ‘80” (Angkatan Pujangga Baru).8

Karena itu, Nugroho mengajukan nama-nama baru yang menurutnya

telah menjadi pembeda dari Chairil Anwar dan kawan-kawan

segenerasinya: Rijono Pratikto, S.M. Ardan, Sukanto S.A., Ajip

Rosidi, Hussayn Umar, Yusach Ananda, Suwardi Idris.

Akan tetapi, jika kita maju ke beberapa tahun kemudian,

akan tampak fakta-fakta baru yang keluar dari perhitungan Nugroho

Notosusanto. Penyair-penyair seperti Kirjomulyo, Ajip Rosidi,

7 Sumber Terpilih, 270-303. 8 Yang terakhir ini adalah sebutan Chairil Anwar untuk generasi Pujangga Baru.

Generasi pengarang ini ditengarai banyak dipengaruhi oleh generasi pengarang Angkatan 1880 di Belanda. Baca, surat Chairil kepada H.B. Jassin dalam Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, suntingan Pamusuk Eneste (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cetakan ke-21, Juni 2009), 97.

Page 5: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

5 PB

Kalam 26 / 2014

Rendra, Ramadhan K.H.—golongan sastrawan yang tidak terlampau

dikuasai Nugroho, dan karena itu dalam esainya itu ia menyerahkan

tilikan terhadap kaum penyair ini kepada Ramadhan—memberikan

rerinci yang berbeda satu sama lain. Kirjomulyo,9 misalnya, melihat

tempat-tempat di Indonesia saat itu sebagai semacam ladang

pelancongan, tempat-tempat yang dari mereka ia mengambil ilham

perenungan, menarik abstraksi di antara belitan lirisisme, dan

kecenderungan memberat-beratkan persoalan. Sementara Ajip,10

menempatkan subyek lirik puisi-puisinya secara autobiografis untuk

memotret perkembangan psikologi anak muda perantauan desa di

Jakarta. Ia mencairkan kembali seraya menggelapkan kepadatan dan

kejernihan larik-larik puisi Chairil Anwar. Dalam pada itu, dengan

puisi naratif berjenis balada yang terbilang barang baru dalam

kesusastraan Indonesia—seraya menyadap gaya persajakan Federico

Garcia Lorca—Rendra tampil dengan tokoh-tokoh hero kampung dan

pikiran mereka yang masih tampak murni.11 Di sini alam pedesaan

antah-berantah tampak cerah dan berwarna-warni, menghasilkan

kontras yang tajam terhadap nasib tokoh-tokohnya yang brutal, fatal,

dan tanpa harapan. Ihwal sikap tokoh-tokoh puisinya yang tampak

remaja, tak pelak, menyisakan pengaruh pengucapan remaja sajak-

9 Kirjomulyo, Romance Perjalanan (1957). Pada 1979 buku ini diterbitkan kembali bersama buku puisi Romansa Perjalanan II dengan judul Romansa Perjalanan.

10 Sepanjang dasawarsa 1950 Ajip Rosidi menerbitkan tiga buku puisi: Ketemu di

Jalan (bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan, 1956), Pesta (1956), Cari Muatan

(1959) dan Surat Cinta Enday Rasidin (1960). 11 Buku puisi Rendra yang dimaksud adalah Ballada Orang-Orang Tercinta (1957).

Berkat buku ini Rendra meraih Hadiah Sastra Nasional dari BMKN. Tentang pengaruh Lorca pada sajak-sajak awal Rendra, sila baca Subagio Sastrowardoyo “Kerancuan Kepribadian Rendra-Lorca” dalam Sosok Pribadi dalam Sajak

(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 169-212.

Page 6: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

6 PB

Kalam 26 / 2014

sajak Chairil Anwar. Sementara Ramadhan K.H.12 mengajukan puisi

lirik dengan latar tanah Priangan yang indah tetapi juga remuk-

redam oleh perang saudara—di samping menyadap pula puitika

Lorca. Serangkaian puisi yang mencoba menyejajarkan keindahan

bunyi dengan kehancuran dan ketidakpastian nasib manusia. Di sisi

lain ada penyair Subagio Sastrowardoyo yang tampil dengan buku

puisi Simphoni (1957), dengan sajak-sajak simbolis yang meluaskan

pencariannya dari kampung halaman, kisah 1001 Malam, hingga imaji

biblikal dan solidaritas warga dunia.13

Apa yang ditampilkan Ramadhan K.H. dalam Priangan Si Jelita

adalah satu eksemplar merasuknya suasana revolusi dalam karya sastra

yang diproduksi sepanjang dasawarsa 1950-an. Para pengarang yang

mengalami langsung revolusi 1945 maupun yang tidak, yang pernah

menjadi tentara ataupun tidak, menulis kembali dampak revolusi itu

dalam pelbagai karya mereka. Dampak buruk perang dan perilaku

manusia di dalamnya, termasuk cita-cita luhur kemerdekaan dan

kebebasan manusia, cinta kasih di tengah derita, menjadi perhatian

Toto Sudarto Bachtiar di masa sebelumnya—dan Taufiq Ismail yang

lebih kemudian. Juga pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Asrul

Sani, Subagio Sastrowardojo, Nugroho Notosusanto, Toha Mohtar,

Trisnojuwono—sekadar menyebut beberapa nama—menggemakan

kembali sepotong kalimat dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”,

“bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai”.

12 Ramadhan K.H., Priangan Si Jelita: Kumpulan Sajak 1956 (1958). Buku ini mendapat Hadiah Pertama BMKN (1957-1958).

13 Uraian ringkas tentang kemunculan generasi mereka baca A. Teeuw, Modern

Indonesian Literature II (The Hague: Martinus Nijhoff, 1979), 1-11.

Page 7: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

7 PB

Kalam 26 / 2014

Separuh suasana, setengah ide

Goenawan Mohamad tidak menulis puisi tentang revolusi 45 atau

revolusi daerah sebagaimana rekan segenerasinya atau pendahulunya. Ia

juga tidak menggarap panorama desa yang indah sekaligus mematikan

sebagaimana dilakukan oleh Ramadhan K.H. dan Rendra. Bahkan,

ia tidak menulis sejenis “puisi sosial” yang dilancarkan Ajip Rosidi

dan Toto Sudarto Bachtiar di masa sebelumnya. Yang ditulis oleh

Goenawan di masa awal kepenyairannya adalah puisi yang bergerak

bolak-balik antara suasana dan ide, antara desa dan kota. Keharuan si

penyair tidak diarahkan kepada manusia (si pengemis, si tentara atau

si pengelana), tetapi kepada sebuah wilayah yang lebih luas lagi: kota,

bahkan sebuah negeri, sebagai sebuah entitas yang lengkap. Bentuknya

adalah puisi-puisi yang bertumpu pada permainan rima akhir yang

tidak terlampau tertib—berbeda dari puisi-puisinya yang kemudian.

Ada pemerian ekstrem akan alam benda—sehingga puisinya menjelma

“puisi fisik” (physical poetry), meminjam istilah John Crowe Ransom14—

tetapi ada pula ide tentang sesuatu di luar puisi. Itulah ide yang lahir dari

pertalian bunyi dan citraan. Semacam penjelajahan terhadap tegangan

abadi dalam puisi: bunyi (sound) dan makna (sense). Puisi “Di Muka

Jendela” (1961), salah satu puisi Goenawan Mohamad yang paling

awal, menandai permainan dua kaki tersebut. Saya kutip lengkap:

DI MUKA JENDELA

Di sini cemara pun gugur daun. Dan kembali ombak-ombak hancur terbantun.

14 Cleanth Brooks, Modern Poetry and the Tradition (Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 1967), 71. Selanjutnya ditulis Modern Poetry and the

Tradition.

Page 8: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

8 PB

Kalam 26 / 2014

Di sini kemarau pun menghembus bumi menghembus pasir, dingin dan malam hari ketika kedamaian pun datang memanggil ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil dan sebuah kata merekah diucapkan ke ruang yang jauh:—Datanglah! Ada sepasang bukit, meruncing merah dari tanah padang-padang yang tengadah tanah padang-padang tekukur di mana tangan-hatimu terulur. Pula ada menggasing kincir yang sunyi ketika senja mengerdip, dan di ujung benua mencecah pelangi: Tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini ketika bangkit bumi, sajak bisu abadi, dalam kristal kata dalam pesona?

Dalam puisi ini suasana terbangun, setidaknya, dalam dua

cara. Pertama, hadirnya kata dan frasa yang sugestif: “cemara gugur

daun”, “ombak hancur terbantun”, “kemarau menghembus bumi”,

“menghembus pasir”, “dingin dan malam hari”, “angin terputus-

putus”, “hatimu menggigil”, “kata merekah”. Citraan penglihatan yang

ditampilkan dalam puisi ini telah mendorong pembaca pada suasana

yang kurang lebih lengkap: kesepian dan kedamaian. Sementara

permainan rima akhir yang didominasi oleh bunyi “i” dan variasinya,

membuat suasana sajak itu bertambah lirih. Dan vokal “a” di dua larik

terakhir (merekah, Datanglah) muncul sebagai semacam harapan dari

suasana lirih tadi. Kata yang merekah di tengah panorama alam benda

Page 9: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

9 PB

Kalam 26 / 2014

adalah bukti adanya ide yang mencuat dalam sajak suasana ini. Kata

itu memanggil seseorang atau sesuatu datang ke tengah panorama

ini, menjadi semacam disonansi citraan. Ia sebenarnya memanggil

suara penyair yang di bait berikutnya akan tampak jelas maunya.

Pola ini kemudian diulang pada bait kedua, di mana permainan

rima akhir tampak lebih beragam. Dua larik pertama di bait ini,

yang masih memainkan rima akhir “ah” (merah, tengadah) menjadi

semacam pengembangan dari rima akhir pada dua larik terakhir bait

pertama tadi. Dua larik ini akan bersilangan bunyi akhirnya dengan

dua larik berikutnya (tekukur, terulur). Tetapi enjabemen pada larik

keempat (. . .terulur. Pula/ada menggasing. . .) membuat tegangan

beralih dari “bunyi dan makna” menjadi “sintaksis dan semantik”.

Secara sintaksis larik keempat tampak gerumpung, tetapi secara

semantik ia berhubungan dengan larik berikutnya. Setelah itu, di

larik-larik berikutnya, yang muncul adalah dominasi rima akhir “i”,

sebagaimana pada bait pertama, dengan seruan yang sepola dengan

dua baris terakhirnya. Bandingkan dan sebuah kata merekah/diucapkan

ke ruang yang jauh:—Datanglah! pada bait pertama dengan dalam kristal

kata/dalam pesona pada bait terakhir. Keduanya tampak sejajar bukan

hanya dalam bunyi, tetapi juga dalam makna.

Jika optimisme di bait pertama baru sekadar harapan, maka

pada bait kedua ia tampil dengan pemerian yang lebih lengkap.

Manusia akan terpesona, akan hidup kembali perasaannya, begitu

menyaksikan bumi yang bangkit dengan pelbagai pesonanya,

sebagaimana telah diungkapkan di bait pertama. Sementara puisi yang

mengungkapkan semua pesona itu, hanya sebatas mengungkapkan,

seakan bisu abadi. Di sinilah kembali dimainkan tegangan yang telah

menjadi permanen dalam puisi. Sajak akan bisu di hadapan pesona

Page 10: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

10 PB

Kalam 26 / 2014

bumi, tetapi penyair menampilkan kebisuan itu lewat sederetan kata-

kata. Kebisuan yang mesti dikatakan adalah paradoks yang tak ada

habisnya dalam puisi. Maka kini, kata-kata itulah yang berpijar dan

menampilkan pesona. Kata-kata yang berhasil menghidupkan puisi,

baik yang menampilkan suasana maupun ide, akan tetap memesona

siapa pun yang membacanya.

Dari nadanya yang optimistis, bisa dipastikan puisi ini

setidaknya berilhamkan puisi “Derai-Derai Cemara” (1949) karya

Chairil Anwar. Puisi yang ditulis di masa akhir hidup sang penyair itu

memperlihatkan suasana murung menjelang malam tiba, semacam

isyarat kepasrahan akan maut maut yang siap menjemput. Orang

mengingat kematian, atau merasa kematian akan menjemputnya,

begitu melihat tanda-tanda alam seperti ini: cemara menderai, hari

malam, dahan merapuh, angin memukul. Sementara dalam sajak

Goenawan Mohamad suasana itu justru menimbulkan harapan

baru. Goenawan di sini bukan hanya menggunakan kembali motif

“cemara menderai” yang kini menjadi “cemara gugur daun”, tapi juga

menambahkan pemerian dengan “ombak-ombak hancur terbantun”

dan “kemarau menghembus bumi”, “angin terputus-putus”. Frasa-

frasa ini punya konotasi yang kurang lebih sama: kehancuran

dan situasi yang menyakitkan. Tapi ia tidak terperosok kepada

jebakan Chairil yang siap menantang maut. Ia justru merindukan

manusia lahir dalam situasi seperti ini, tanda kehidupan akan terus

berlangsung. Optimisme ini tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata,

karenanya melihat situasi ini “sajak bisu abadi”.

*

Page 11: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

11 PB

Kalam 26 / 2014

Begitulah, puisi-puisi awal Goenawan Mohamad adalah serangkaian

perhitungan akan efektivitas pengucapan puisi dan keluasan dunia.

Puisi mau tidak mau adalah sebuah pernyataan penyair akan dunia

di sekitarnya, atau dunia yang di sana, di masa silam ataupun di masa

datang. Sebagai sebuah pernyataan tentang dunia, pada mulanya

puisi-puisi Goenawan Mohamad tampak gagap berhadapan dengan

modernitas kota. Kota dengan segala keajaiban dan kebrengsekannya

masih dilihat sebagai lawan dari desa yang menjanjikan ketenangan

dan kedamaian.

Goenawan Mohamad menampilkan lukisan suasana yang

sebentar, segera menggantikannya dengan pernyataan pikiran

si penyair. Ia hendak bercerita tetapi segera cerita yang belum

sempurna itu terdesak oleh abstraksi yang tampaknya datang kelewat

cepat. Dalam tegangan seperti ini kita mendapatkan hanya separuh

sajak suasana, setengah sajak ide, dan lebih dari itu adalah percobaan

bentuk yang belum matang.

Goenawan Mohamad baru mencapai kematangan puisi-puisi di

masa awalnya ketika ia menulis puisi naratif yang bertumpu pada satu

tokoh, baik dari tradisi lokal maupun dari kehidupan modern. Parikesit,

misalnya. Dalam puisinya “Pariksit” (1963) watak naratif puisinya

tampak menonjol, di samping permainan senandika (monolog) yang

permanen di dalamnya. “Pariksit” diberi semacam pengantar satu bait/

paragraf yang dicetak miring yang menunjukkan kuasa penyair dalam

puisi ini. Ia menjelaskan duduk perkara sajak ini: tentang Parikesit yang

tengah menungggu kutukan Crengi. Akankah ia terbebas dari Naga

Taksaka atau tidak, itulah soalnya. Setelah itu bait-bait puisi bebas yang

menampung luapan perenungan Parikesit tentang dirinya, tentang

wibawanya sebagai raja, juga kepengecutannya, dan nasib rakyatnya

Page 12: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

12 PB

Kalam 26 / 2014

setelah kematiannya nanti. Dalam senandika itu ia telah memastikan

bahwa ia akan mati oleh naga Taksaka: “Pada akhirnya kita/tak

senantiasa bersama. Ajal/memisah kita masing-masing tinggal.”

Tapi kematian bukan akhir dari puisi ini, sebagaimana yang

diharapkan di akhir kisah tentang kematian seseorang. Puisi ini adalah

medan perenungan yang tanpa batas. Itulah permenungan yang

mementingkan bukan akhir prosesnya itu, tapi bagaimana si narator

atau si subyek lirik mengungkapkannya. Puisi ini berakhir dengan

lukisan suasana tentang betapa fananya manusia di tengah alam yang

luas ini, tapi hanya menampilkan satu pemandangan: malam, bulan

yang baru tumbuh dan cemara yang menggigil di bawahnya. “Dan

setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang / dan senja / dan setiap

kali demikian baka, tapi demikian fana / seperti bulan tumbuh / dan

cemara / menggigil dingin ke udara.”

Lukisan suasana itu dengan mudah kita temukan dalam

puisi-puisi Chairil Anwar sebelumnya. Pada larik “Bulan inikah yang

membikin dingin, / Jadi pucat rumah dan kaku pohonan” (“Malam di

Pegunungan”, 1947) atau “Cemara menderai sampai jauh” (“Derai-Derai

Cemara”, 1949). Hal ini, sekali lagi, membuktikan kaitan erat antara

Goenawan Mohamad dan Chairil Anwar. Termasuk, menyangkut

kemahiran keduanya dalam mendayagunakan kembali pantun dalam

puisi modern, sebagaimana terbahas dalam bagian berikut ini.

Dua jalan pantun

Jika seorang penyair mesti berpegang teguh pada prinsip “keseorangan

yang benar-benar utuh” (Kesusastraan dan Kekuasaan, 59), maka itulah

pula anutannya pada sebuah tradisi sastra. Goenawan Mohamad,

Page 13: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

13 PB

Kalam 26 / 2014

sebagaimana pengakuannya dalam esainya itu, telah memilih Chairil

Anwar sebagai pemula, tradisi sastra yang paling dekat dengan

dirinya, sebelum yang lain-lain. Tetapi kemudian ia menjalankan

tradisi itu dengan caranya sendiri. Ia seperti menangkap kembali

gema kalimat Cleanth Brooks, “A healthy tradition is capable of

continual modification” (Modern Poetry and the Tradition, 69). Dalam

memandang pantun, atau kuatrin pada tradisi sastra di belahan dunia

lain, sebagai sumber ciptaan, kedua penyair, yang jarak kelahirannya

terbentang 19 tahun, telah menempuh jalan yang sedikit berbeda.

Chairil Anwar telah memperluas bentuk pantun berkait dan

memainkan secara kreatif posisi sampiran yang berisi citraan alam

dan isi yang menegaskan maksud subyek lirik. Pada puisi “Senja di

Pelabuhan Kecil”, misalnya, ia membuka puisinya dengan selarik

pernyataan subyek lirik dan kemudian larut di dalam lukisan suasana

hingga bait kedua sebelum akhirnya si pengujar itu muncul kembali

menyatakan suasana hatinya di tengah kepungan citraan alam pada

bait ketiga.15 Atau, ia memperluas sampiran pada satu bait pertama

dan isi pada dua bait terakhir dalam puisi “Derai-derai Cemara”16.

Sementara pada puisi “Hampa” ia menampilkan sepenuhnya citraan

alam dalam satu puisi, sehingga menjelma puisi suasana.

Goenawan Mohamad masih memainkan pola sampiran dan

isi pantun dalam puisi-puisinya. Musikalitas pantun dihidupkannya

bukan hanya dalam bentuk kuatrin tetapi juga puisi bebas. Hubungan 15 Lebih lanjut simak tulisan saya tentang puisi-puisi Chairil Anwar, “Chairil

Anwar dan Sebuah Lompatan”, makalah untuk diskusi “Chairi Anwar, Hari Ini” di Freedom Institute, Jakarta, 29 April 2010.

16 Nirwan Dewanto, Arus Tengah, bahan kuliah umum untuk peringatan 70 Tahun Sapardi Djoko Damono, di Teater Salihara, 26 Maret 2010. Esai ini kemudian dimuat dalam Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta, ed., Membaca

Sapardi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), 00-00.

Page 14: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

14 PB

Kalam 26 / 2014

antara sampiran dan isi pantun tetap dipertahankan berurutan, tetapi

skala keduanya diperluas. Seperti dalam puisi “Cambridge” (1990)

berikut ini:

CAMBRIDGE

70 camar pucathinggapdi gelombang yang beku.

Sungai jadi kedap.Putih merambat. Surya layu.

Ranting jadi rangka, tebing muram durja. Hari menyembilu.

Pagi ini tak ada koran untukku.

Kian nikam suhu. Lapar mengetam. Gedung-gedung menggertakkan geraham: bata merah padam yang tak punya lagi pohon-pohonan. Di sisinya uap, kabut, embun, kelabu. Etalase-etalase es. Langit yang seperti asbes.

Menit pun memberat, seakan waktuberlindungkan mantel bulu.Dan ketika malam datang, bulan cuma 3 gram,seperti sebutir merjan.Trotoar gemetar. Angin menyajikan harum restoran.

Hari ini tak ada koran untukku.

Kudengar gerutumu, pemabuk di Masachussets Avenue. Tapi dunia dan kitatak berteguran, dunia dan kita tak bersapaan.

Page 15: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

15 PB

Kalam 26 / 2014

Kota telah terkurungdalam parantesis salju.

Citraan rupa yang yang bekerja di dalam bait-bait puisi

ini diusahakan sepadat mungkin seraya menyuling tenaga haiku.

Bayangan Cambridge di musim salju membentang begitu rupa dan

kemurungan meraja lela di situ. Semacam situasi yang tanpa harapan.

Semua citraan alam pada lanskap tampak paralel: “70 camar pucat”,

“gelombang beku”, “surya layu”, “tebing muram durja”. Benda-benda

di situ dibangkitkan nalar manusiawinya sehingga tebing pun bisa

bermuram durja sebagaimana manusia dan suasana murung dan

pedih itu kemudian meledak pada satu pernyataan yang bekerja dalam

tenaga personifikasi: “Hari menyembilu”. Tetapi itu masih bersifat

pembangun suasana, sebab yang ingin disasar kemudian adalah

pernyataan dalam cetak miring: “Pagi ini tak ada koran untukku.”

Pernyataan seseorang yang belum bisa kita kenali, apakah ia seorang

tokoh atau si pengujar puisi.

Bait kelima masih merinci lanskap, tetapi pandangan mulai

bergeser. Dimulai dari lapar yang teramat perih, ia mengetam seperti

kepiting atau ani-ani, lapar dari perut seseorang yang merindukan

koran pagi, beranjak gedung-gedung bata merah tanpa pohonan,

dengan suasana murung yang belum lagi hilang, sebab di sisi lain ada

uap, kabut, embun yang sewarna: kelabu. Es yang menempel pada

dinding gedung, juga langit yang tidak lagi biru, tetapi abu-abu seperti

asbes, langit yang tak menggirangkan hati.

Bait keenam mulai masuk kepada permainan citraan yang

segera terasa ajaib, waktu yang tidak pernah bisa kita indrai kini

maujud: ia memberat seperti seseorang yang mengenakan mantel

Page 16: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

16 PB

Kalam 26 / 2014

bulu. Waktu telah dimanusiakan, sebagaimana malam yang datang

kepada kita dengan bulan yang kecil sekali, ibarat sebutir merjan,

seperti emas 3 gram. Dingin musim salju belum habis sebab trotoar

gemetar seperti manusia yang kedinginan tanpa mantel. Lapar

jahanam yang tadi muncul di bait kelima kian punya arti, sebab “angin

menyajikan harum restoran.” Lapar kian menjadi-jadi sebab si aku

mencium bau makanan dimasak di dapur restoran. Dan pernyataan

dalam cetak miring kembali di ulang dengan sedikit variasi: “Hari ini

tak ada koran untukku.” Artinya sudah seharian si aku tidak membaca

koran, di samping perutnya yang keroncongan.

Pada bait kedelapan baru tampak bahwa si pengujar itu adalah

tokoh puisi naratif ini, sebab si pengujar yang sebenarnya menyapanya

dalam kalimat: “Kudengar gerutumu, pemabuk di Massachussets Avenue.

Tapi dunia dan kita tak berteguran, dunia dan kita tak bersapaan.”

Artinya, aku-pengujar sebenarnya bernasib sama dengan aku-tokoh,

si pemabuk, sama-sama diacuhkankan dunia, sama-sama kelaparan.

Dan tidak ada jalan keluar untuk dua orang yang lapar dan diacuhkan

ini. Sebab di akhir larik, si pengujar mengembalikan semuanya itu

kepada lukisan suasana seperti semula: “Kota telah terkurung / dalam

parantesis salju.”

Dari pemaparan di atas dapat dipetakan bahwa pengembangan

bentuk sampiran dan isi berkembang dengan cara membagi sampiran

utama ke dalam dua sampiran sekunder dan dua isi sekunder,

sementara isi utama dilengkapi lagi atau ditutup dengan satu sampiran

sekunder.

Pengorganisasian sampiran dan isi yang berlapis-lapis ini

dikerjakan juga oleh Goenawan Mohamad pada puisinya yang lebih

awal “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” (1966).

Page 17: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

17 PB

Kalam 26 / 2014

DI BERANDA INI ANGIN TAK KEDENGARAN LAGI Di beranda ini angin tak kedengaran lagiLangit terlepas. Ruang menunggu malam hariKau berkata: pergilah sebelum malam tibaKudengar angin mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat

Di luar detik dan kereta telah berangkatSebelum bait pertama. Sebelum selesai kataSebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semulaBersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kataPohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendelaMengekalkan yang esok mungkin tak ada

Secara garis besar bait pertama puisi ini melukiskan alam

dalam tatapan dan pendengaran seorang subyek lirik, baik yang

tampak jauh maupun dekat atau mendekat ke arahnya. Sebuah lukisan

suasana yang menguatkan kesepian di sebuah rumah, kesepian batin

dua orang menjelang perpisahan. Bait kedua adalah ilustrasi tentang

perpisahan yang tergesa-gesa sebelum segala selesai dan dipahami.

Sedangkan bait terakhir adalah pernyataan batin subyek lirik tentang

risiko perpisahan itu. Ia bersiap kecewa dan bersedih tanpa kata-

kata. Kekecewaan dan kesepian yang tidak perlu ditangisi, tak perlu

dikatakan. Tapi bukankah “bersedih tanpa kata-kata” itu dinyatakan

dalam serangkaian kata-kata?

Masuk lebih ke dalam lagi, akan tampak sejumlah masalah

di tiap-tiap bait. Larik “Di beranda ini angin tak kedengaran lagi”

menunjukkan wataknya yang khas sebagai puisi lirik yang mencoba

Page 18: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

18 PB

Kalam 26 / 2014

meneguhkan irama pembacaan sebagaimana yang umum pada

pantun. Ia mencoba menciptakan kesejajaran irama di antara kata-

kata yang menyusunnya. Goenawan lebih memilih kata “kedengaran”

ketimbang “terdengar”. Sebab dengan “kedengaran” ia bisa

mempertahankan kemiripan bunyi kata “di beranda” di paruh larik

berikutnya, sehingga terciptalah irama dengan penyejajaran bunyi

vokal i-e-a-a pada kata “di beranda” dengan bunyi vokal e-e-a-a pada

kata “kedengaran”. Padahal, sebenarnya, ia bisa memainkan aliterasi

jika menggunakan bentukan yang benar dalam ragam tulisan, “tak

terdengar”. Tetapi permainan aliterasi itu menjadi kurang sedap di

telinga sebab tidak bisa menyalin bunyi vokal pada kata sebelumnya.

Munculnya ciri-ciri kelisanan ini membuktikan sekali lagi

bukan hanya intertekstualitas antara Goenawan Mohammad dengan

Chairil Anwar dan penyair Pujangga Baru,17 tetapi juga menunjukkan

risiko pantun yang dihidupkan kembali dalam sastra tulis. Puisi

modern, betapa pun ia mendayagunakan puitika pantun, tetaplah

bagian dari sastra tulis, sastra cetak, bukan sastra lisan. Sementara

pantun adalah milik kebudayaan lisan yang tidak mengenal tulisan.

Karena itu, irama dalam puisi modern yang mendayagunakan puitika

pantun, jika ia tercipta, bukanlah irama yang lazim dalam pelisanan,

tetapi irama yang menyembul dalam struktur larik setelah ia dituliskan

dengan tipografi dan montase tertentu.

Montase pula yang mengizinkan kehadiran citraan lain yang

bisa jadi tidak sejajar sebab hakikat montase adalah menghadirkan

pelbagai benda, bunyi, warna, yang berbeda-beda demi komposisi

tertentu. Montase pula yang membuat fokus perhatian subyek lirik

17 Simak lagi tulisan saya “Chairil Anwar dan Sebuah Lompatan.”

Page 19: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

19 PB

Kalam 26 / 2014

puisi ini bergerak dari “beranda ini” ke “langit terlepas”, dari sepi

yang terasa sempit kepada yang sepi yang mahaluas tetapi mendesak,

sebelum akhirnya ia kembali ke ruang dengan yang kesepian yang

lain lagi, ruang yang “menunggu malam hari”. Itulah ruang yang

mengalami personifikasi dan telah mengambil alih tugas si kita dalam

menunggu malam, momen perpisahan.

Frasa “langit terlepas” itu sendiri adalah kasus menarik dalam

puisi ini. Ia menawarkan sejumlah kemungkinan pemaknaan karena

strukturnya yang gerumpung. Apakah ia berarti langit yang terlepas

dari gantungan dan jatuh menimpa kita? Seperti langit-langit kamar?

Atau ia langit yang terlepas seperti burung yang kian meluaskan

dirinya. Atau ia langit yang terlepas dari tatapan kita? Atau ia memang

citraan yang secara sengaja diselipkan dalam kesejajaran antara

“beranda” dan “ruang”, yang keduanya adalah bagian dari rumah.

Kecuali langit-langit, langit tentu saja bukan bagian dari bangunan

sebuah rumah. Tetapi, dengan begitu, “langit terlepas” menimbulkan

kontras pada kalimat berikutnya: “ruang menunggu malam hari”.

Yang satu terkesan teramat luasnya dan tidak bisa dijangkau, yang

lain terukur dan gampang dijelajahi. Dengan begitu pula, frasa

“langit terlepas” memperkuat unsur disonansi dalam puisi ini. Tapi

dalam puisi puisi Goenawan Mohamad, disonansi bukan sekadar

disharmoni bunyi, bunyi lain yang menyeleweng dari tertib irama,

tetapi juga disharmoni citraan yang muncul sebagai efek montase

tadi. Sebab puisi, sebagaimana musik, pada akhirnya bukan semata-

mata keindahan belaka, tetapi “organisasi citraan”. Sebagaimana

dikatakan Northrop Frye, “music is concerned not with the beauty but

with the organization of sound.”18

18 Alex Premiger dan T.V.F. Brogan, The New Princeton Encyclopedia of Poetry and

Page 20: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

20 PB

Kalam 26 / 2014

Jika dua larik pertama ini kita terima sebagai serangkaian

citraan alam, maka larik ketiga adalah pernyataan “kau”, lawan bicara

subyek lirik: “Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba”. Kemunculan

kalimat perintah ini menjadi bagian dari pengekstreman kesepian

tadi. Ruangan mesti dikosongkan dari manusia, si subyek lirik,

ia yang selama ini menguasai ujaran puisi. Tapi harus ke mana ia?

Menyongsong langit yang terlepas atau ke entah? Atau ke luar puisi?

Tidak jelas. Tentu saja aku tidak menjawab, atau tidak menuruti

perintah itu. Dan ketiadan jawaban aku itu sebenarnya melanjutkan

kesepian tadi. Ketimbang menjawab, ia malah mendengar “angin

mendesak ke arah kita”. Citraan aural yang seolah-olah memberi

sedikit penghiburan kepada perpisahan yang kelak terjadi.

Permainan citraan aural ini masih berlanjut ke bait kedua,

terutama pada dua larik pertama: “Di piano bernyanyi baris dari

Rubayyat / Di luar detik dan kereta telah berangkat”. Saya kesulitan

menemukan hubungan maknawi antara nyanyian piano dengan

detik dan kereta yang berangkat, kecuali bahwa keduanya diikat

oleh rima akhir yang sama (Rubayyat, berangkat) dan menunjukkan

suatu proses. Tetapi keberangkatan detik dan kereta terjadi ketika

nyanyian itu belum lagi usai. Keberangkatan keduanya yang tergesa-

gesa adalah hal yang tidak diharapkan, sebab seharusnya mereka

berangkat setelah nyanyian itu selesai. Tetapi detik dan kereta tidak

bisa menunggu. Detik menuruti alur waktu, kereta menuruti jadwal

keberangkatan.

Soalnya kemudian: bagaimana detik dan kereta itu berangkat?

(Sebagaimana klausa “sore dan debu bertaut” dalam puisi “Skhak”,

Poetics (Princeton: Princeton University Press, 1993), 299.

Page 21: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

21 PB

Kalam 26 / 2014

2010).19 Di sini, detik adalah metonimi dari jarum jam, dari waktu

secara keseluruhan, yang mengalami personifikasi dan sejajar dengan

kereta. Keduanya kini ditempatkan sebagai yang visual dan aural

sekaligus. Visual jika dalam jarak pandang tertentu kita masih bisa

melihat kereta (dan detik) yang meninggalkan stasiun. Aural jika kita

mendengar deru atau pluit kereta, juga detak detik, yang melaju di

luar jarak pandang kita.

Akan tetapi, gerak detik mengacu kepada waktu, dari awal

ke akhir, sementara gerak kereta merujuk kepada tempat atau ruang,

dari sini ke sana, atau sebaliknya. Inilah penyejajaran yang akhirnya

mengguncangkan nalar semantik kita. Sang penyair mungkin tidak

membayangkan betapa berisikonya jukstaposisi dua matra yang

berbeda ini, terutama jika kita memikirkan ke mana tujuan atau akhir

keberangkatan detik dan kereta itu. Mungkin ia sedang mengejar efek

surrealisme, suasana yang juga bisa kita temukan dalam pantun.20 Tetapi

19 Mengorek logika metafora seperti ini memang bisa tampak sebagai pertanyaan orang awam yang letih. Kita bisa tidak ambil peduli atau menerima saja permainan metafora itu seperti apa adanya, toh pada akhirnya kita akan paham sesuai kadar kepahaman kita. Dalam sebuah puisinya “Di Depan Sancho Panza” (Don Quixote, 62) Goenawan melukiskan sikap tidak ambil peduli atau ketidakmengertian seseorang pada permainan metafora yang ajaib, seperti ini: “Di sepan Sancho Panza yang lelah, / seorang perempuan bercerita / tentang sajak /

yang disisipkan ke dalam hujan /yang tak tidur. // Tentu saja Sancho tak mengerti /

bagaimana sajak disisipkan / ke dalam hujan, tapi ia mengerti / cinta yang sungguh.

Dipegangnya tangan / perempuan itu dan berkata, “Jangan cemas.”

20 Dalam permainan petak umpet anak-anak di Betawi ada pantun seperti ini: “Tengkeroeng ketimun bonteng / Kuda lari di atas genteng / Capcipcup bondol ijo /

Kaki Kuncup berak melinjo.” Kita bisa membayangkan betapa ajaibnya kuda yang berlari di atas genteng atau kakek yang berak melinjo, tetapi suasana surreal itu tercipta tanpa menimbulkan tanda tanya. Salah satu sebabnya, karena kita telah dibikin nyaman oleh permainan rima akhir pada pantun itu, oleh rangsangan petualangan dalam permainan kanak-kanak itu. Kesejajaran bunyi dan rangsangan rasa menjadi lebih penting ketimbang kesejajaran semantik.

Page 22: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

22 PB

Kalam 26 / 2014

yang juga masuk akal adalah bahwa sang penyair ingin mencapai akibat

keberangkatan itu: suasana ketergesa-gesaan dan sepi pada segala yang

ditinggalkan. Hari bertambah malam, yang berangkat kiat menjauh,

yang ditinggalkan kian sendirian, kesepian kian terasa di rumah itu.

Lebih jauh dari itu, larik kesatu bait kedua menunjukkan

kondisi intertekstualitas. Bisa jadi Rubayyat yang dimaksud mengacu

kepada rubayyat apa pun yang pernah ada di dunia ini. Tetapi jika

rubayyat dalam larik ini mengacu kepada Rubayyat karya Omar

Khayyam, pujangga Persia Klasik itu, jelaslah bagaimana pertautan

keduanya. Dalam Rubayyat Omar Khayyam hasil terjemahan dan

suntingan Edward FitzGerald, terutama kuplet kedua dan ketiga,

terlukis begini:

Dreaming when Dawn’s Left Hand was in the SkyI heard a Voice within the Tavern cry,“Awake, my Little ones, and fill the CupBefore Life’s Liquor in its Cup be dry.”

And, as the Cock crew, those who stood beforeThe Tavern shouted—“Open then the Door!You know how little while we have to stay,And, once departed, may return no more.” 21

Dalam dua contoh ini momen boleh berbeda: subuh pada Omar

Khayyam, senja pada Goenawan Mohamad. Tetapi suasananya lebih-

kurang sama: perintah untuk pergi secepatnya. Yang pertama, dengan

prinsip “Carpe Diem”, mendesak agar seseorang keluar dari rumah

untuk menyongsong pagi, memberi makna pada yang sebentar (motif

21 Edward FitzGerald, Rubaiyat Omar of Khayyam (New York: Oxford University Press, 2009), 17.

Page 23: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

23 PB

Kalam 26 / 2014

yang juga kerap muncul dalam puisi-puisi Goenawan Mohamad);

yang kemudian mendesak agar seseorang menyongsong malam, tanpa

kepastian untuk apa. Yang pertama membayangkan pergi yang tak

kembali, yang kemudian mengekalkan kehilangan yang tak tertebus.

Jika baris-baris rubayyat Omar Khayyam itu memberi suasana

yang menyaran kepada keberangkatan detik dan kereta, itu pula yang

dilakukan detik dan kereta kepada si kita. Keberangkatan mereka

yang tergesa-gesa itu berasosiasi dengan kepergian aku dari kau

yang sebentar lagi terjadi, sebelum malam tiba. Memang hingga larik

terakhir puisi ini tidak menunjukkan bagaimana aku meninggalkan

kau, tetapi di bait terakhir itulah kita temukan momen ketika

subyek lirik menyatakan perasaannya: “Aku pun tahu: sepi kita semula

/ bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata”. Cukuplah sampai di situ.

Sebab selebihnya adalah citraan alam yang secara tidak langsung

juga menggambarkan bagaimana kesepian dan kesementaraan yang

masih cukup berharga: “Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela

/ mengekalkan yang esok mungkin tak ada”.

Puisi ini memulai dirinya dengan lukisan suasana dan

menutupnya dengan lukisan suasana pula. Dominannya lukisan

suasana dalam puisi ini bukan kasus yang berdiri sendiri, sebab di puisi-

puisi Goenawan Mohamad yang lain tampak pula kecenderungan itu.

Dan kecenderungan Goenawan dalam menggarap puisi-puisi suasana,

di samping puisi ide, pada akhirnya memberikan ciri tersendiri pada

puisi-puisinya. Suasana bukan perkara latar belaka, tetapi lebih dari

itu, semacam perlambang dari kondisi batin si pengujar, ia yang

terserimpung dalam melankoli.

Page 24: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

24 PB

Kalam 26 / 2014

Gerimis melogam, darah menghijau

Saya menandai permainan citraan dalam puisi “Di Beranda

Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” sebagai semacam percobaan awal

Goenawan Mohamad untuk melangkah lebih jauh kepada permainan

citraan yang lebih berani. Terutama yang menyangkut pembangunan

suasana surreal, ajaib, dengan dengan teknik montase dan jukstaposisi.

Puisi “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”

(1971) membuktikan kecenderungan itu lagi:

DI KOTA ITU, KATA ORANG, GERIMIS TELAH JADI LOGAM

Di kota itu, kata orang, gerimis telah jadi logam. Di bawah cahaya hari pun bercadar, tapi aku tahu kita akan sampai ke sana.

Dan kita bercinta tanpa batuk yang tersimpan, membiarkan gumpal darah di gelas itu menghijau. Dan engkau bertanya mengapa udara berserbuk di antara kita?

Lalu pagi selesai, burung lerai dan sisa bulan tertinggal di luar, di atas cakrawala aspal.

Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu. Tapi tutup matamu, dan bayangkan aku menjemputmu, mautmu.

Bagi saya, soal utama puisi ini adalah permainan citraan yang

sudah sampai taraf gila-gilaan dan tergelincir pada kegelapan—jika

bukan melejitkan humor dan parodi. Bayangkan jika gerimis yang telah

menjadi logam itu jatuh di atap seng akan riuh sekali suaranya, atau siapa

saja yang berjalan di bawahnya, pasti akan benjol-benjol atau terluka

kepalanya. Tetapi permainan citraan yang gila-gilaan ini terkesan

disengaja karena ada frasa yang mendahuluinya “kata orang”. Frasa ini

Page 25: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

25 PB

Kalam 26 / 2014

bersinonim dengan kata konon yang bisa berarti “gosip”, “desas-desus”,

“kabar yang belum tentu kebenarannya”, “sesuatu yang boleh dipercaya

boleh tidak”. Sesuatu dalam status “kata orang” atau “konon” memang

bisa sangat ajaib, tidak masuk akal, tetapi justru di situlah daya tariknya.

Di luar permainan citraan yang gila-gilaan itu, kalimat ini

sebenarnya menegaskan semacam daya tarik yang luar biasa dari

sebuah kota—semacam modernitas kota yang menyedot orang untuk

datang sebagai kaum urban. Sebab kalimat berikutnya menunjukkan

adanya hasrat orang untuk ke sana: “Di bawah cahaya hari pun bercadar,

tapi aku tahu kita akan sampai di sana.” Masalahnya adalah pada

kalimat pertama. Mengapa hari bercadar di bawah cahaya? Di bawah

cahaya matahari atau cahaya lampu jalan? Apakah ia seperti seorang

perempuan Afganistan saat rezim Taliban berkuasa? Jika kita terima

perumpamaan “hari bercadar”, apakah itu berarti ia tengah melindungi

dirinya bukan hanya dari cahaya, tetapi dari gerimis yang melogam. Di

sini kembali muncul majas yang menyejajarkan waktu (hari) dan ruang

(cahaya), seperti dalam kalimat “Di luar detik dan kereta telah berangkat”

dalam puisi “Di Beranda Angin Tak Kedengaran Lagi”. Waktu yang

telah meruang itu telah masuk ke dalam kancah montase, sekali lagi.

Bait kedua berfokus pada percintaan kita, yang belum jelas

tempak kejadian perkaranya. Sekali lagi, lukisan percintaan ini

menimbulkan efek surreal. Sebab mereka bercinta dengan membiarkan

gumpal darah di gelas itu menghijau. Mereka bercinta tanpa halangan

sama sekali, tanpa batuk yang menjengkelkan. Seakan-akan mereka

telah memindahkan darah yang semula di dada mereka ke dalam

gelas di atas meja. Yang karenanya bisa mereka pandangi darah itu

bukan lagi berwarna merah, tetapi hijau, warna yang membawa

kesejukan dan kegembiraan. Tapi sampai di mana kebebasan itu?

Page 26: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

26 PB

Kalam 26 / 2014

Ternyata hanya sesaat. Sebab pada larik berikutnya sepasang kekasih

itu dihadang oleh pemandangan surrealis yang lain lagi. Pemandangan

yang segera menawarkan berahi yang semula bergelora. “Dan engkau

bertanya mengapa udara berserbuk di antara kita?” Udara yang beserbuk

ini tampaknya berkorelasi dengan gerimis yang telah melogam di bait

pertama. Serbuk logam dan gerimis logam menandai suasana dan

tempat yang sama. Bisa dipastikan sepasang kekasih itu sudah menjadi

penghuni kota dengan gerimis yang melogam itu. Sebuah kota yang

telah memberikan mereka kebebasan bercinta, yang membebaskan

mereka dari gosip tetangga di kampung dan ancaman penyakit.

Bait ketiga menegaskan datangnya pagi dan percintaan yang

usai. Ada burung terbang dan sisa bulan pucat di atas cakrawala aspal.

Lukisan suasana yang menjadi jeda dari kekerasan pemandangan di

dua bait pertama. Tetapi itu pemandangan yang tidak mengenakan

hati, sebuah pemandangan yang sudah mulai dirasakan si engkau

ketika mereka tengah bercinta: udara beserbuk.

Suasana tanpa harapan ini kemudian dipertegas di bait

berikutnya. Perhatikan kalimat pertama bait terakhir: “Jika samsu

pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu.” Ada permainan elipsis di

sini sehingga kalimat itu tampak macet, terutama menjelang “juga

pelupukmu”. Struktur yang lengkap dari kalimat ini, bisa jadi, adalah:

“Jika samsu pun berdebu, kekasihku, begitu juga pelupukmu.” Jelas

sudah maksudnya, sebab sebelumnya engkau merasa udara beserbuk,

dan karenanya pelupuknya ikut berdebu. Namun, kalimat berikutnya

membuat kita terhenyak: “Tapi tutupkan matamu, dan bayangkan aku

menjemputmu, mautmu.” Dari mata yang kelilipan debu logam beranjak

ke ambang kematian. Dengan kalimat ini kita bisa bertanya, siapa

sebenarnya si aku? Sang kekasih atau elmaut? Mengapa ia hendak

Page 27: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

27 PB

Kalam 26 / 2014

menghabisi engkau setelah percintaan itu usai? Kita bisa menerima

satu perkiraan bahwa aku adalah maut yang menyaru sebagai kekasih

dan terus menguntit kau yang sakit (TBC) itu. Dengan kata lain,

penyair telah menghidupkan penyakit sebagai sesosok kekasih, untuk

menunjukkan betapa beratnya sakit yang merundung engkau. Ia

bukan lagi sesuatu yang ditakuti, tetapi dicintai, seperti kekasih yang

tidak bisa dipisahkan. Sejatinya, otoritas pengucapan puisi ini telah

diserahkan kepada elmaut yang memanusia.

Dengan permainan citraan yang gila-gilaan di awal, puisi ini

pada isinya adalah puisi yang memilukan. Sebab sebuah kota yang

menggoda orang untuk datang, tersebab dirinya yang modern,

adalah tempat yang mematikan. Sebuah kota tempat cakrawala telah

melelehkan segalanya, yang paling keras sekalipun. Kaum urban,

siapa pun ia, akan mati di kota yang modern tetapi ganas itu. Apakah

itu perlambang untuk Jakarta di awal Orde Baru?

Dengan dua contoh ini bisa disimpulkan bahwa puisi-puisi

Goenawan Mohamad meski dibangun oleh teknik montase yang

amat berisiko dan permajasan yang ajaib, ternyata memiliki struktur

yang cukup jelas. Ada pengorganisasian bait yang cukup ketat. Ada

tilas cerita yang bergerak dari awal menuju akhir. Dan karena ia

menceritakan perpisahan atau kematian, nada akhirnya kerap kali

murung. Murung yang di puisi-puisi lainnya tampak bukan lagi nada

minor, tetapi nada mayor.

Puisi suasana, pantun, puisi ide

Dalam khazanah puisi Indonesia modern, puisi suasana sudah

tampak pada Chairil Anwar, terutama dalam puisi “Hampa”. Tetapi

Page 28: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

28 PB

Kalam 26 / 2014

istilah “puisi suasana” baru muncul pada 1970-an. Terutama ketika

Goenawan Mohamad, di samping Abdul Hadi W.M., dan Budi

Darma, memakai istilah itu, bersama “puisi ide”, untuk membicarakan

sejumlah puisi Indonesia modern yang relevan dengan dua istilah

itu.22 Dalam puisi suasana subyek lirik sebagai pengujar puisi absen

dari apa yang ia ujarkan, yang hadir hanyalah hasil ujarannya. Ia

seperti berada entah di mana, tetapi ujarannya kita tangkap kata demi

kata, larik demi lari, hingga puisi itu selesai. Ia seakan-akan pantun

yang sepenuhnya berisi sampiran, tanpa isi. Dengan begitu, ia seperti

mengosongkan manusia dari puisi dan melulu menghadirkan alam

(benda) dengan berbagai citraannya—semacam “puisi fisik” ala John

Crowe Ransom. Saya kutip lagi puisi Chairil Anwar yang pernah

dijadikan contoh oleh Goenawan Mohamad itu:

HAMPA

kepada Sri yang selalu sangsi

Sepi di luar, sepi menekan mendesakLurus-kaku pohonan. Tak bergerakSampai ke puncakSepi memagutTak suatu kuasa-berani melepas diriSegala menanti. Menanti-menantiSepi.Dan ini menanti penghabisan mencekikMemberat-mencengkung punda

22 Goenawan Mohamad “Puisi Suasana, Puisi Ide” dalam Satyagraha Hoerip, Sejumlah Masalah Sastra (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1982, 159-171. Selanjutnya ditulis Sejumlah Masalah Sastra. Untuk dua nama lain, Abdul Hadi W.M. dan Budi Darma, saya memakai pembacaan Dami N. Toda dalam esainya “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa” di buku yang sama.

Page 29: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

29 PB

Kalam 26 / 2014

Udara bertubaRontok-gugur segala. Setak bertempikIni sepi terus ada. Menanti. Menanti.

Maret 1943

Mengacu kepada puisi ini, dalam esainya itu Goenawan

Mohamad menegaskan bahwa “Dalam sajak-sajak ‘imajis’, yang

sering berupa puisi ‘suasana’, imaji muncul atau bermunculan bebas—

mereka dibebaskan dari konsep, dari tertib yang diatur oleh rencana

pikiran. Mereka tidak berperan sebagai lambang. Mereka itu ‘mandiri’,

bagian yang hidup dari latar (set) yang memberi aksen pada suasana,

bukan diambil dari alam benda yang dengan disengaja sebagai bahan

perbandingan bagi suatu gagasan” (Sejumlah Masalah Sastra, 167).

Jika kita cermati lagi puisi itu, sebenarnya, masih ada jejak-

jejak subyek lirik di sana. Bagaimanapun tampak desak-mendesak

dan berantakan, montase citraan pada puisi itu hanya bisa muncul

karena rancangan si pengujar, semacam desain visual yang membuat

larik pertama tidak bisa dipindah ke larik terakhir atau frasa “rontok-

gugur segala” tidak mungkin menggantikan frasa “segala menanti”.

Dalam puisi itu pula, bagi saya, citraan alam pada akhirnya juga

semacam perbandingan untuk suatu gagasan. Memang bukan

gagasan yang kerap dinyatakan Chairil pada sajaknya yang lain, tetapi

gagasan yang tertunda untuk dinyatakan. Simaklah larik kelima dan

keenam puisi ini: “Tak suatu kuasa-berani melepas diri / Segala menanti.

Menanti-menanti”. Di sini aku yang juga ikut menanti dan tak berani

melepaskan diri dari sepi. Dengan begitu ia sebenarnya menjadi

bagian dari suasana alam itu sendiri, dan judul sajak itu kemudian

memperkuat suasana kehampaan yang sedang mengamuk.

Page 30: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

30 PB

Kalam 26 / 2014

Goenawan Mohamad sendiri menciptakan beberapa jenis

puisi suasana. Di awal-awal kepenyairannya ia mencoba jenis puisi

suasana yang hampir total, sebagaimana tercermin dalam puisi

“Di Muka Jendela” atau “Dingin Tak Tercatat” atau “Sydney” atau

“Pangrango”. Saya kutip lengkap “Sydney” (1978):

SYDNEY

Pada jam ke-24kota seperti khianat:Sydney telah terkuncidalam gelas pagi

Ada bulan mengukur luaslaut dan musim panasAda beton membentang bentukdan bayang hanya merunduk

Ada melintas jutaan mimpimenyeberangi galaksisebelum akhirnya tertembak matarilalu lenyap, lagi, ke hutan besi

Seusai jam ke-24kitalah yang berkhianat

Jika puisi suasana tampak seperti pantun yang seluruh

tubuhnya terbangun oleh sampiran (apakah ia masih bisa disebut

pantun?), di manakah sebenarnya isinya? Di manakah tempat untuk

pernyataan pikiran penyair? Sebetulnya, di dalam bait-bait yang tidak

memuat pernyataan isi pikirannya, penyair mempersilakan pembaca

untuk menyusun sendiri isi menurut cara pembacaan masing-masing.

Page 31: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

31 PB

Kalam 26 / 2014

Pembaca ditantang untuk mengikuti ke mana puisi itu bergerak dan

menyaran ke mana permainan citraan di dalamnya. Khusus dalam

puisi suasana Goenawan Mohamad, ketika kita selaku pembaca tidak

dapat meraih isi puisi, maka kita dipersilakan menikmati permainan

citraan itu sebagai pengganti dari isi yang tertunda. Lantaran apa

sebuah kota terkunci dalam gelas pagi, mengapa bulan mengukur luas

laut dan musim panas, dan seterusnya.

Goenawan Mohamad memang tidak pernah membiarkan

pembaca puisinya sepenuhnya menikmati lukisan suasana atau alam

benda. Ia selalu punya kepentingan menyusupkan pemikirannya

ke dalam suasana yang sudah terbangun sebelumnya. Pertanyaan

“Tuhan, kenapa kita bisa bahagia” (puisi “Dingin Tak Tercatat”, 1971)

membuktikan kesadaran penyair untuk memecahkan tamasya visual

atau menangguhkan kenikmatan itu. Tidak boleh terlalu banyak

tamasya itu, kita butuh perenungan dan itu selalu kita dapatkan di

bait terakhir. Sebagaimana dalam puisi “Sydney”: “Seusai jam ke-24 /

kitalah yang berkhianat”.

Begitulah, dalam puisi modern subyek lirik tidak pernah bisa

lagi membiarkan sepenuhnya citraan alam bermain sendirian. Selalu

saja subyek lirik atau pernyataannya menyeruak atau mengendap-

ngendap di balik bangun puisi yang seakan-akan telah kehilangan

manusia itu. Kondisi ekstrem lenyapnya manusia dalam puisi suasana

hanya bisa kita temukan dalam haiku. Dalam haiku benda-benda di

alam dibiarkan pada dirinya sendiri dalam potretnya yang imajistis.23

Dengan sendirinya benda-benda di alam itu memiliki kualitas

sensibilitas tertentu yang menggetarkan batin penyairnya. Karena

23 Matsuo Bashō, Bashō’s Haiku, terjemahan, anotasi, pengantar oleh David Landis Barnhill (Albany: State University of New York Press, 2004), 8.

Page 32: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

32 PB

Kalam 26 / 2014

itu selalu ada garis lurus antara keheningan alam dengan keheningan

dalam batin penyair, kekosongan. Tema yang juga penting dalam Zen.

Menunda manusia untuk menginterupsi alam, itulah

tantangan utama puisi suasana.

Sehubungan dengan itu, puisi “Pastoral” (2002) berhasil dengan

wataknya yang ganda: puisi suasana sekaligus puisi ide. Sebagai puisi

suasana ia menyadap tenaga haiku dengan amat baiknya karena dua

hal. Pertama, larik-lariknya, bahkan bait, ditata sedemikian baik,

sehingga kepadatan dan keringkasan terselenggara di sana. Kedua,

subyek liriknya sendiri berhasrat mengosongkan diri dari puisi untuk

membiarkan alam berbicara sebagai semacam perlambang untuk

dirinya. Sebagai puisi ide ia menyajikan pernyataan subyek lirik yang

tidak terperangkap pada abstraksi. Ia tidak diskursif tetapi metaforis.

Saya kutipkan enam bagian pertama:

PASTORAL

I15 meter dari jalan ke Batuan, ada pematang pada tebing, dan seseorang hingar menggusah burung, seseorang turun ke kali dan menyanyi, seseorang mencicipi alir, mengikuti bunyi kercap dingin liang hutan, arus yang menyisir batu batu yang, seperti pundak kerbau, menahanmu

Pada pukul 7:15, jernih sungai menelanjangimu

Page 33: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

33 PB

Kalam 26 / 2014

II Terkadang aku ingin Kita hilang seperti kadal di ilalang

seperti kilau –

IIIMungkin sudah tiba saatnya kita membiarkan kata terpesona pada luas lumut atau pada jeram dan parit yang menciut

Mungkin sudah saatnya kita terpesona

IVSementara di selatan jerami telah dihimpun, dan orang hingar menggusah burung,

“Hai! Hai! Hai!”

sebaris bangau membubuhkan putihnya pada padi

VKatakan, kenapa di tubuhmu yang sempurna sungai seperti tak menyentuhapa-apa?

Page 34: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

34 PB

Kalam 26 / 2014

VIMisalkan terkait teratai pada air misalkan terkait air pada hijau misalkan terkait kekal

pada daun aku akan tetap takut sengak maut pada petang yang rembang

seperti dosa

Bagian I adalah lukisan alam yang sudah barang tentu

akan menggugah sensibilitas pembaca. Hampir seluruh indra kita

dibiarkan bekerja menikmati lukisan itu: penglihatan, pendengaran,

pengecapan, perabaan—dan secara mengejutkan citraan visual

yang erotis juga muncul di akhirnya. Tamasya alam ini mendorong

manusia dengan rela hati untuk lenyap sepenuhnya merasakan alam

yang kini hidup dalam seluruh indranya itu. Bahkan pada bagian II

si pengujar ini menjadi bagian dari alam itu sendiri, menjadi kadal

dan kilau: “Terkadang aku ingin / kita hilang seperti kadal di ilalang /

seperti kilau—”. Itulah mengapa pada bagian III muncul pernyataan

yang menggugah kita agar membiarkan kata-kata, perangkat utama

para penyair, terpesona pada pelbagai anasir alam (lumut, jeram,

parit), kata-kata yang peka pada alam, yang menghadirkan alam

secara indrawi, bukan lewat abstraksi. Dengan kata lain, sebenarnya

Page 35: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

35 PB

Kalam 26 / 2014

Goenawan Mohamad ingin mengatakan, jika soal soal citraan alam

ini mau ditarik kepada tradisi kepenyairan kita hari ini, “Wahai

penyair, pedulilah kalian pada detail, konkretlah. Rincilah secara

indrawi, jangan lewat abstraksi.”

Di bagian IV subyek yang terpesona pada alam itu dibiarkan

menikmati citraan alam yang yang khas dalam lukisan-lukisan Mooi

Indie: Orang menghimpun jerami dan menggusah burung, bangau

di atas pepadian. Tetapi itu jeda visual yang nyaman sebelum kita

sampai pada teka-teki di bagian berikutnya: Tubuh yang sempurna,

yang berdarah-daging, tetapi bisa ditembus oleh air, semacam tubuh

yang kosong, yang menyiratkan ketakutan. Itulah ketakutan pada

maut yang ditegaskan lewat permajasan di bagian VI.

Selanjutnya adalah porsi puisi ide, terutama bagian VII-IX.

Kehendak merumuskan sesuatu yang hakiki sebagai bagian dari kerja

filsafat berlangsung dalam permainan metafora yang menggetarkan.

Dan itu tentang waktu, kesementaraan, yang masih punya makna.

Berikut ini:

VIIDetik adalah lugut yang bertebar di tengah oktober dan hari gatal, dan ajal turun, pada jam yang menyulap kapas ke dalam embun

VIIISaat kau sentuh putrimalu kau lihat tangkai waktu

Page 36: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

36 PB

Kalam 26 / 2014

IXYang sementara tak akan menahan bintang hilang di bimasakti

Yang bergetar akan terhapus

Yang bercinta akan berhenti

Tapi aku teringat sebuah sajak yang meminta: “Sandarkan sirahmu, kekasihku, ke lenganku yang tak percaya”

Goenawan Mohamad dengan cara yang Heideggerian

merumuskan pemikirannya tentang waktu ke dalam puisi, ia “pemikir

selaku penyair”.24 Semaksimal mungkin ia menghindari abstraksi

sebab abstraksi hanya berurusan dengan pikiran, sementara pelukisan

yang metaforis mendekatkan dirinya kepada sensibilitas pembaca.

Ia telah memikirkan hakikat waktu dan kematian dengan cara yang

amat konkret. Waktu, detik dalam kasus ini, dirumuskan bukan

sebagai rentang masa yang abstrak, tetapi yang bisa diindrai sebagai

“lugut yang bertebar / di tengah oktober” dan membuat “hari gatal”. (Di

puisinya yang lain, “Di Sebuah Losmen”, ia juga merumuskan nasib

dengan caranya yang konkret sekaligus metaforis: “Nasib adalah

24 Baca, Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought, terjemahan dan pengantar oleh Albert Hofstadter (New York: Perenial Classic, 2001)

Page 37: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

37 PB

Kalam 26 / 2014

persentuhan / di sebuah losmen / sebelum fajar. / Tak lebih, tak kurang. /

Dan di luar, / hanya ada lorong batu.”) Detik memang satuan yang amat

kecil, layaknya lugut, tetapi dalam jumlahnya yang besar, ia adalah

kekuatan yang bisa mendesak hari. Ia membuat hari tidak nyaman,

seperti orang yang kegatalan terkena lugut atau miang. “Hari gatal”

adalah majas yang sama ajaibnya dengan “detik dan kereta telah

berangkat” dengan “sore dan debut bertaut”. Hari yang tidak nyaman

adalah hari ketika maut datang dan itu adalah pagi hari, ketika

kabut yang seperti kapas bersitegang dengan embun: “pada jam yang

menyulap kapas / ke dalam embun”.

Manusia akan mati, sementara waktu berjalan terus. Jika

manusia mati di pagi hari, waktu baru menunjukkan awalnya kepada

kita, “Saat kau sentuh putrimalu / kau lihat / tangkai waktu”. Tetapi

kapan pun masanya, kematian menjadi semacam isyarat bahwa hidup

manusia hanya sebentar saja. Segalanya punya batas, akan berujung

pada ketiadaan. Karena itu, setelah menampilkan jeda visual tentang

petualangan ke negeri jauh, ke teluk yang jauh, dan mempertanyakan

apa itu makna ujung, puisi ini akhirnya kembali menegaskan apa

yang pernah dinyatakan di bagian II: hilang yang bukan kematian,

tetapi menjadi anasir alam. Sebab hanya dengan begitu manusia bisa

menjelang kematiannya yang pasti. Bait XII:

XII15 meter dari jalan ke Batuan, ada pematang pada tebing. Terkadang aku inginkita jatuh, seperti rama-rama jatuh dari dahan

sebelum mati yang pasti

Page 38: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

38 PB

Kalam 26 / 2014

Dengan caranya sendiri, puisi ini juga menyajikan satu

paradoks. Alam yang indah adalah juga alam yang menyaran kepada

kematian. Pada mulanya manusia menghayati alam raya, kemudian

merasuk ke dalam benda-benda, lenyap dari tatapan manusia, sebelum

akhirnya mengalami kematiannya yang pasti. Paradoks seperti ini

pernah muncul dengan sangat baik dalam buku puisi Priangan Si Jelita

karya Ramadhan K.H. Bahwa alam Priangan yang indah di saat yang

bersamaan juga menyimpan kesedihan, melecutkan tragedi karena

pemberontakan DI/TII S.M. Kartosuwiryo. Motif kematian manusia

dalam puisi ini dengan sendirinya berkaitan dengan motif lenyapnya

“aku” sebagai juru bicara puisi. Soal yang dalam beberapa puisi

Goenawan Mohamad juga menarik untuk mendapat penjelasannya.

Aku yang kalah lagi majenun

Sebagaimana watak dasarnya, puisi lirik menempatkan aku sebagai

agen bahasa.25 Ialah yang membahasakan maksud penyair di dalam

puisi. Sebagi pemegang otoritas aku adalah subyek yang paling

menonjol dalam puisi—hanya sesekali ia menyertakan kau dalam

ujarannya. Karena sering kali ia tidak membutuhkan lawan bicara;

pertanyaan-pertanyaannya bersifat apostrofik. Pada puisi Chairil

Anwar, misalnya, jelas aku adalah subyek lirik yang sangat dominan

dan tampil dengan pelbagai pernyataan. Ia subyek yang hampir tidak

bisa diusir atau dilenyapkan di dalam puisi: “Aku ini binatang jalang”

(puisi “Aku”), “kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri” (puisi “Aku

25 Mutlu Konuk Blasing, Lyric Poetry: The Pain and The Pleasure of Words (Princeton: Princeton University Press, 2007), 30.

Page 39: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

39 PB

Kalam 26 / 2014

Berkisar Antara Mereka”), bahkan “”aku yang siap binasa-membinasa

dengan Tuhan hingga “Satu menista lain gila” (puisi “Di Mesjid”).

Puisi Goenawan Mohamad tetap mempekerjakan aku di

dalamnya. Bukan hanya sebagai pengujar, tetapi juga tokoh di dalam

puisi. Sebutlah puisi “Pariksit”, “Gatoloco” dan “Penangkapan Sukra”.

Tetapi kita akan segera tahu bahwa aku yang dominan dan heroik ini

hanya dipakai penyair untuk menampilkan pikiran-pikiran subversif

atau segala sesuatu yang berlawanan dengan kewarasan umum. Pada

mulanya ia adalah sosok yang melawan tetapi di akhir kisah segala

perlawanan itu akan berakhir dengan kekalahan dan kematian. Pariksit

yang mencoba melawan kutukan Crenggi dengan cara membangun

menara tertinggi akhirnya mati juga. Gatoloco yang semula pendebat

ulung Tuhan akhirnya kalah juga, menangis ditinggalkan Tuhan.

Atau Sukra yang sejak awal kita tahu telah dibekuk akhirnya dihukum

dengan sangat keji.

Dengan kata lain, tak ada heroisme. Kalaupun Geonawan

Mohamad memasang seorang hero, itu dilakukannya dengan

semangat yang antihero, sebagaimana terselenggara dengan baik

sosok Don Quixote, majenun yang mabuk cinta dan dibekuk polisi.

Dengan kata lain pula, puisi-puisi Goenawan tidak cocok untuk

aku yang pongah dan sok pahlawan, sebagaimana Chairil pernah

mencobanya. Yang lebih cocok adalah aku yang rendah hati, aku

yang memberi tempat kepada kau, aku yang membutuhkan lawan

bicara dan menghidupkan kau di sampingnya, dengan hak suaranya

sendiri. Aku yang bisa kalah oleh pelbagai keadaan, dari cinta hingga

kematian. Itulah Orfeus, perempuan yang dirajam karena berzinah

atas nama cinta, pemburu babi hutan, si bapak penunggang kuda,

Frida Kahlo, si ibu dari Zagreb, Rama, Tiar, pengamen.

Page 40: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

40 PB

Kalam 26 / 2014

Tidak jarang pula Goenawan Mohamad mempekerjakan aku

dengan dengan kerendahatian sudut pandang orang ketiga. Aku absen

dari larik dan bait, tetapi ia membiarkan ujarannya menghampar

sebagai bagian dari penggambaran perasaan dan pikirannya, atau

ia memasang tokoh lain, subyek yang sama sekali tidak berkaitan

dengan dirinya—kecuali dengan penyair—dan itulah Don Quixote,

tokoh sentral proto-roman Don Quixote karya Cervantes.

Goenawan Mohamad telah mengambil Don Quixote dari

khazanah kisah yang jauh, dan mendudukkannya pada khazanah

sastranya hari ini, sebagaimana Gandari. Ia pengarang kesekian yang

menafsir Don Quixote sebagai salah satu tokoh sastra dunia.26 Ia

mengerjakannya dengan prinsip “menuliskan kembali” sehingga ia

bisa mencipta kembali sosok majenun itu dengan semacam perlintasan

pengetahuan yang relevan. Di dalamnya bukan hanya kita temukan

lanskap semenanjung Iberia, tetapi juga penaklukan pasukan Muslim

di Andalusia, hingga situasi interteks dengan kehidupan politik di

Peru, lewat kehadiran tokoh (Vladimiros) Montesinos. Goenawan

memang tidak menghapus humor, tapi mendesakkan terus-menerus

melankoli ke dalamnya. Don Quixote, seorang hidalgo, dengan

abdinya yang setia, Sancho Panza, telah menjelma pencinta yang keras

kepala sekaligus dungu. Dalam puisi “Aku Akan Tugur” (2007) kita

bisa tahu bagaimana ia dengan tabah menjaga Dulcinea del Toboso,

kekasihnya, yang entah di mana:

26 Meski bermula dari Spanyol dan Cervantes diakui sebagi penulisnya, Don Quixote telah ditulis berulang-ulang dari waktu ke waktu, di pelbagai tempat, dalam pelbagai bentuk, oleh banyak pengarang. Salah satu buku yang menelaah internasionalitas Don Quixote adalah: Theo D’haen and Reindert Dhondt, ed., International Don Quixote (New York: Rodopi, 2009).

Page 41: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

41 PB

Kalam 26 / 2014

AKU AKAN TUGUR

Aku akan tugur sepanjang malamdi puri tua itu, Dulcinea.Menjaga mimpimu,meski kau tak pernah ada.

Jalan putih, bulan putih,fajar jauh, aku sendiriseperti tonggaksebelum gempa.

Kutulis sajak yang lelah,mungkindi pelana dinginseperti somnabulis terakhiryang menempuh pasir, sepanjang malamdari tingkap itu, Dulcinea,dengan kasut sedihkata-kata

Itu tentu saja sebuah wujud kegilaan. Dan kegilaan Don

Quixote bukan hanya karena ia mencinati seorang Dulcinea secara

berlebihan, tetapi ia tidak bisa lagi membedakan khayalan dari

kenyataan, baginya fiksi adalah fakta itu sendiri atau sebaliknya.

Bagaimana ia terusik oleh permainan teater boneka dan ingin

masuk ke dalam dunia khayal itu (puisi “Di Teater Boneka”, 2007-

2008) menunjukkan betapa dunia fiksi di balik layar itu adalah juga

dunia sehari-hari yang bisa ia masuki. Tetapi, tampaknya, kegilaan

seperti itu memang bukan semata-mata apa yang dikehendaki oleh

pengarang, tapi hal yang sejatinya diinginkan oleh Don Quixote.

Kegilaan bisa melenyapkan kejemuan hidup, bisa melahirkan kembali

Page 42: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

42 PB

Kalam 26 / 2014

manusia dalam dunianya yang baru, dan itu semua karena tenung,

hidup adalah tenung itu sendiri. Seperti terlukis dalam senandika

dalam dua bait pertama puisi “Justru” (2007):

JUSTRU

Justru karena tenung, telahdiselamatkan kita dari jemu zaitundan warna tua pohon-pohon encina.Memang masih ada sore yang hanyaitu dan dusun yang tak berubah.Tapi ternyata hari bisa berkelindandengan mimpi, dan kau dan akulahir kembali, tercengang dalamcinta yang fiktif, percaya pada harapyang tak bersungguh-sungguh.

Justru karena tenung, aku tak akanmembebaskanmu.

Dalam bait terakhir puisi “Rocinante” (2007) Don Quixote

sebenarnya telah menyadari kegilaannya, tetapi ia ingin tetap

bertahan dengan keperkasaannya sebagai seorang pendekar tua.

Hanya jika ia mati, ia ingin kudanya tercinta itu membawanya keluar

dari kegilaannya selama ini:

Maka jika esok aku mati,dengan kaki tetap di sanggurdi,bawa aku ke laut, Rocinante,dari kegilaan ini.

Page 43: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

43 PB

Kalam 26 / 2014

Dengan strategi naratif yang Borgesian, Goenawan Mohamad

juga mempermainkan hubungan antara pengarang dan tokohnya,

antara penyair dan subyek liriknya, Khalik dan makhluknya.

Hubungan ini bisa dibolak-balik, sudut pandang bisa dimainkan.

Karena itu dalam sudut pandang Don Quixote, sebuah momen

penceritaan kisah dirinya adalah bentangan hidup yang punya awal

dan akhir. Ia seperti menunggu kapan sang sahibul hikayat, Sayid

Hamid Benangeli, akan menamatkan kisahnya. Ia pasrah, tak akan

melawan seperti yang sudah-sudah. Bait terakhir puisi “30 Menit

Sebelum Sayid Hamid” (2007):

Don Quixote mengerti. Pada saat itulah Sayid HamidBenengeli mulai membuat tanda terakhir dengandawat di kertasnya, seperti sebuah titik, sepertimelankoli. Meskipun yang ingin ditulisnya sederetepilog yang berbahagia: “Dan Don Quixote punmelihat, pahlawan terakhir itu telah direnggutkanjantungnya.”

“Ya, di jurang gua.”

Dari bentuknya, puisi-puisi dalam Don Quixote adalah

perpanjangan dari puisi-puisi Goenawan Mohamad selama ini.

Permainan metaforanya, citraannya, bunyinya, pun suasana yang

dibangun di dalamnya adalah pengulangan dan perluasan dari apa

yang telah diupayakan Goenawan sebelumnya. Secara bentuk ia tidak

terlampau mengejutkan, tetapi sebagai sebuah proyek “penulisan

kembali” kita menemukan Don Quixote yang terbikin oleh Goenawan

Mohamad ini sebagai sesuatu yang penting bagi sastra Indonesia. Meski

banyak di antara kita sudah membaca novelnya, dalam bentuknya

Page 44: Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air Tanpa Batas · 2015-06-03 · puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20 tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta

44 PB

Kalam 26 / 2014

sebagai puisi ia tetaplah sesuatu yang lain. Dalam himpunan puisi

ini kita menemukan tegangan yang terus-menerus antara puisi yang

cenderung memadatkan dan prosa yang menguraikan.

Dan yang juga penting dalam proyek ini adalah penyadaran

bahwa sebuah khazanah sastra, sekali lagi, teramat luasnya, ia tidak

tunduk pada nasionalisme, apalagi pada semangat yang keras kepala

untuk menggali estetika dari bumi sendiri. Penulisan kembali Don

Quixote, dan tokoh-tokoh lain yang ditemukan Goenawan Mohamad

dari khazanah luar, memperluas kecenderungan pelancongan dalam

puisi Indonesia sebelumnya, di samping watak puisi Goenawan yang

cenderung transnasional.27 Tanpa pernyataan “kami adalah ahli waris

yang sah dari kebudayaan dunia” Goenawan telah membuktikan

pencarian dan perluasan puisinya hingga kepada kemungkinan yang

tak terbatas. Puisi-puisinya tidaklah bertanah air Indonesia semata,

tetapi tanah air yang seluas dunia. Sebuah kecenderungan yang

pernah ia nyatakan dalam sebuah “esai angkuh” yang ia tulis buat

pertama kali: “‘Tanah air’ atau bumi kelahirannya pada hakikatnya

sebuah daerah yang bersifat terbuka, melepaskan diri dari segala

batasan ajaran” (Kesusastraaan dan Kekuasaan, 68).

27 Tentang “puitika transnasional” puisi-puisi penyair Inggris dan Amerika Utara, baca Jahan Ramazani, A Transnational Poetics (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 2009).