16
II SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM A. TANDA BAHASA DALAM ILMU HUKUM Bahasa dan hukum merupakan kesatuan. Bahasa hukum harus memenuhi syarat-syarat serta kaidah-kaidah bahasa hukum mempunyai karakteristik tersendiri yang menyebabkan sulitnya masyarakat untuk memahaminya. Disamping itu juga karena masih adanya bahwa dunia hukum itu terlalu formal dan kompleks serta adanya ketidak percayaan terhadap hukum pada umumnya. ( mustafa siregar , 2003 : 1 ) Berkembangnya struktur kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, majemuk, dan heterogen menjadikan dasar paradigma hukum positivism mengalami krisis. Masyarakat secara spontan akan bereaksi terhadap putusan putusan dalam masalah hukum jika itu menyangkut masallah keadilan. Pemahaman orang tentang hukum selalu terkait dengan cita keadilan. Artinya, setiap kita berbicara tentang hukum maka konsep keadilan merupakan fokus yang sangat penting. Kenyataannya pemahaman orang tentang keadilan sangat multi-interpretasi. Kata penertiban sering digunakan oleh pemerintah untuk memindahkan secara paksa masyarakat , seperti penghuni sepanjang bantaran sungai di jakarta. Para pejabat secara konsisten selalu menggunakan istilah dan isyarat sejenis untuk memperkuat kesan “penertiban”.

SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bahasa indonesia hukum

Citation preview

Page 1: SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

II SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

A. TANDA BAHASA DALAM ILMU HUKUM

Bahasa dan hukum merupakan kesatuan. Bahasa hukum harus memenuhi syarat-syarat serta kaidah-kaidah bahasa hukum mempunyai karakteristik tersendiri yang menyebabkan sulitnya masyarakat untuk memahaminya. Disamping itu juga karena masih adanya bahwa dunia hukum itu terlalu formal dan kompleks serta adanya ketidak percayaan terhadap hukum pada umumnya. ( mustafa siregar , 2003 : 1 )

Berkembangnya struktur kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, majemuk, dan heterogen menjadikan dasar paradigma hukum positivism mengalami krisis. Masyarakat secara spontan akan bereaksi terhadap putusan putusan dalam masalah hukum jika itu menyangkut masallah keadilan. Pemahaman orang tentang hukum selalu terkait dengan cita keadilan. Artinya, setiap kita berbicara tentang hukum maka konsep keadilan merupakan fokus yang sangat penting. Kenyataannya pemahaman orang tentang keadilan sangat multi-interpretasi.

Kata penertiban sering digunakan oleh pemerintah untuk memindahkan secara paksa masyarakat , seperti penghuni sepanjang bantaran sungai di jakarta. Para pejabat secara konsisten selalu menggunakan istilah dan isyarat sejenis untuk memperkuat kesan “penertiban”.

Dipihak lain ,mereka yang meras menjadi korban atas keputusan dan tindakan para pejabat itu juga mempunyai pola yang sama. Tanda bahasa yang muncul bisa terungkap dalam retorika dan diekspresikan dalam bentuk lain, seperti spanduk, gambar, poster, selebaran , atau dengan simbol-simbol lainnya. Semua itu dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai untuk mendapatkan posisi yang lebih dominan dari lawan. Bersamaan dengan usaha mendominasi satu sama lain, berbagai ‘tanda’ lainnya ikut andil.

Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sering mencederai rasa keadilan masyarakat. Keadilan itu dipahami masyarakatsebgai ekspresi kolektif yang merupakan impian terhadap putusan tersebut. Ekspresi itu biasa muncul dari kesadaran.

Page 2: SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

Hukum menjadi sesuatu yang bersifat elitis atau menjadi kaum elit hukum). Para ahli hukum sebagai orang yang mempunyai otoritas dalam menafsirkan hukum , malah berbicara dalam bahasa yang sulit dimengerti masyarakat. Bahasa hukum dipandang sebagai bahasa khusus yang kurang akrab ditelinga orang awam. Bahasa yang sulit dimengerti itu sebagai ciri khas hukum. Bahasa indonesia dipandang kurang memadai untuk menjelaskan masalah masalah hukum sehingga standarisasi bahasa hukum menjadi milik praktisi hukum, bukan milik masyarakat hukum.

Penafsiran penafsiran yang multi interpretasi ini tidak hanya terbatas pada istilah keadilan saja tetapi hampir pada sebagian besar istilah-istilah hukum. Sistem hukum kita yang diwarnai hukum barat, membuat hakim sering sulit menangkap istilah hukum yang telah ada dalam kultur kita, sehingga keputusan yang di keluarkannya sama sekali tidak menjadi ekspresi tuntutan nilai kolektif masyarakat. Selama ini ada dua cara hakim untuk menemukan hukum (rechtsvinding) pertama adalah metode eksposisi bermaksud menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian atau arti. Adapun interpretasi adalah usaha menemukan arti. Peraturan perundang-undangan adalah tujuan rechtsvinding. Persoalan bahasa hukum digunakan selama ini berasal dari kultur tertentu yang akar sosialnya berbeda dengan budaya tempat hukum itu dibumikan, bukan merupakan alasan rechtsvinding .disini hukum tetap menjadi ‘dewi keadilan yang memegang timbangan dengan mata tertutup’. Buta terhadap kenyataan tetapi justru dengan yakin dan arbitrer menyatakandiri paling benar dan tepat.

Satjipto rahardjo adalah salah satu pakar sosiologi hukum yang mempelajari semiotik untuk mengkaji hukum, mengemukakan bahwa pekerjaan penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat. Hukum untuk manusia yaitu hukum yang betul- betul hadir untuk melayani manusia sebagai tuan bukan memperbudak manusia dengan belitan semak belukar pasal-pasal dalam untdang-undang. Contoh dalam kasus perwira versus bintara dalam jentera hukum (2002:5) seorang Bintara didakwa dan dipidana karena terbukti menembak mati seseorang yang dicurigai sebagai anggota fretilin. Dalam persidangan, Bintara mengaku mendapatkan mandat agar soal ini “ segera diberesi” maka sebagai prajurit, ia pun dengan sigap melakukan apa yang diperintah kepadanya. Sementara kata ‘diberesi’ ketika diucapkan perwira kepada Bintara kalimatnya adalah ‘tawanan itu segera diberesi!’. Ternyata makna yang terekam dalam alam fikiran keduanya berbeda.

1 . Maksud perwira yang ‘diberesi’ adalah urusannya.

2 . Maksud Bintara yang ‘diberesi’ adalah orangnya.

Page 3: SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

Tentu saja Bintara tersebut menjadi seorang pembunuh karena salah tafsir terhadap perkataan Perwiranya. Kata ‘diberesi’ mengandung makna ambiguitas. Makna yang dibangun oleh kata ‘diberesi’ sangat dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu serta dipengaruhi konteks pewacana. Menurut Cass R. Sunstein dalam kajian-kajian legal semiotics yang berangkat dari paradigma strukturalisme konflik Neo marxian, adanya kesengajaan kelas-kelas mapan mengembangkan linguistic coordinate system, yang mendominasi percaturan hukum dengan dengan nyata diungkapkan dan di kritik. Hukum digambarkan sebagai teks-teks normatif yang tersusun dalam berbagai linguistic signs yang teknis dan khas, yang secara diam-diam mengandung berbagai pesan dan kepentingan para pembuat dan pensirkulasinya. Akibatnya , menjadikan khayalak awam teraliensi dari segala bentuk proses pendayagunaan hukum yang mendambakan interpretasi-interpretasi yang lebih substansif.

Semiotika (kridalaksana) adalah salah satu bidang ilmu bahasa yang mempelajari lambang-lambang dan tanda-tanda kebahasaan. Tanda bahasa dapat berupa kata-kata baik yang terucap maupun yang tertulis, bisa juga dalam bentuk isyarat atau simbol lainnya (seperti rambu lalu lintas, kode morse, atau gerakan anggota tubuh dalam pola tertentu).

Bahasa hukum adalah bahasa yang memiliki ciri khas tertentu, yaitu dominasi tanda-tanda kebahasaaan. Metode semiotik berfungsi sebagai pisau analisis suatu dialaog guna mengungkap pesan pesan yang tengah di imbal balikan oleh subjek yang terlibat dalamdialog tersebut.

Yasraf (2003:270) mengemukakan bahwa analisis semiotik pada dasarnya beroperasi dalam dua hal, yaitu pertama analisis tanda secara individual, misalnya jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda, dan makna tanda secara individual.

Semiotika merupakan salah satu cara agar penafsiran hukum tidak terlalau melenceng dari harapan praktisi maupun akademisi hukum. Pratisi hukum tidak lagi merasa kesusahan menafsirkan kalimat kalimat hukum yang ada di dalam KUHP. Bahasa hukum pun tidak lagi hanya menjadi milik orang orang hukum karena masyarakat sebagai pengguna hukum pun perlu mengetahui makna dari istilah istilah hukum.

Dalam semiotika, sebuah kata mampu membentuk makna dan nilai tertentu yang berlaku dalam kalangan tertentu dalam kalangan tertentu pula. Peluang untuk membangun nilai-nilai dan makna-makna yang lainnya pada kalangan lain juga sangat terbuka. Istilah mengambil telah membangun struktur pengertian dan pemikirian yang berbeda dengan pengertian yang terbangun dikalangan hukum, seperti apa yang terungkap di sidang pengadilan.

Page 4: SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

Hukum adalah sejumlah teks , baik yang positif dan tertulis maupun yang implisit dan lisan selalu membangun dari kata-kata dan istilah berikut hasil abstraksi-abstraksinya ke dalam wujud konsep, asas dan dan doktrin.

Bahasa hukum hanya dapat dimengerti oleh mereka yang dapat mendayagunakan tanda-tanda khusus yang membentuk teks-teks hukum. Mereka yang awam dan tidak terlatih secara khusus tidak akan mampu memahami an mendayagunakannya. Oleh karena itu , mereka termarjinalkan dan menduduki posisi yang tidak di untungkan atau malah terkucil dari kehidupan hukum.

B. SEMIOTIKA

Kata semiotika di turunkan dalam bahasa inggris semiotics. Nama lain semiotics adalah semiologi, keduanya memiliki pengertian yang sama, yaitu ilmu tentang tanda. Kata semiotics maupun semiologi berasal dari bahasa yunani, yaitu semeion yang berarti tanda.

Pada umumnya orang mengartikan semiotika sebagai imu yang secara sistematis mempelajari tanda tanda dan lambang lambang, sistem-sistemnya dan proses pelambangan. Kajian ilmu semiotika sudah banyak di manfaatkan oleh disiplin ilmu lain, seperti psikologi, komunikasi, desain, hukum.

Secara bebas, semiotika dapat di artikan sebagai suatu cabang ilmu linguistic yang mengkaji tanda-tanda kebahasaan. Tanda tanda kebahasaan bisa berupa kata kata baik yang terucap maupun tertulis, bisa juga dalam bentuk isyarat atau simbol lainnya (seperti warna atau gerakan anggota tubuh dalam pola tertentu).

1. Ferdinand de Saussure

Saussure merupakan suatu bapak linguistic yang hasil karyanya menjadi acuan bagi para linguis seluruh dunia. Semiotik di definisikan oleh Saussure sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan social”. Implicit dalam definisi Saussure adalah prinsip, bahwa semiotik sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode social (social code), yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Saussure (komatsu dan harris, 1993:87) mengakui bahwa sifat arbiter dalam hubungan antara penanda dan petanda tidak absolute. Saussure menganggap kta sebagai istilah uang di temptkan dalam suatu sistem, yaitu sebagai suatu nilai.

2. Roland Barthes

Roland Barthes merupakan pengikut sausurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda mencerminkan asumsi asumsi dari asumsi masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.memaknai bahwa objek objek tidak hanya

Page 5: SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

membawa informasi karena objek objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi.

Barthes secara lugas mengulas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun dalam sistem lain yang telah ada sebelumnya. Barthes menjelaskan ada 2 tingkatan dalam pertandaan , yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adaah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dengan petanda, atau antara tanda dengan rujuknya realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Sementara konotasi adalah tingkat petandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda , yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti ( artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran).

3. Charles Sanders Pierce

Pemahaman akan struktur semiotis Peirce (1839-1914) menjadi dasar yang tidak dapat ditidakan bagi penafsiran dalam upaya pengembangan pragmatism. Seorang penafsir adalah yang berkdudukanebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek di pahaminya.

Peirce menyebutkan bahwa tanda terdiri dari 3 komponen, yaitu:

a. Representamen adalah bentuk yang tidak semata fisik.b. Interpretant adalah kesan yang ditimbulkan tanda dalam pikiran pemerhati

yang dapat menjadi tanda lain .c. Objek adalah apa yang direpresentasikan oleh tanda.

Kita harus memahami konsepsi peirce tentang tand dengan memahami konsepsinya tentang pemunculan “ada” (mode of being). Peirce (1940:75) membagi penampkan keadadaan menjadi 3 komponen, yaitu firstnees, secondness, dan thirdness. Scoot menyebutkan bahwa

a. Firstnees adalah perasaan sesaat dan segera yang tidak dapat di analisis seperti ketika kita mengalami rasa sakit yang sangat atau merasakan kesenangan fisik sehingga firs tidak dapat dipikirkan

b. Secondnees berisi pikiran mengenai suatu yang bersifat kedua dan di dasarkan pada tindakan yang dinamis.

c. Thirdnees merupan aturan untuk bertindak dan merasakan sesuatu yang melibatkan tindakan intelektual dan berpikir logis yang menciptakan ketertiban, hukum, dan kebiasaan dalam kekacauan dan ketidakpastian.

Dalam mengkaji objek yang di pahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatu dilihat dri tiga jalur logika . Berdasarkan trikotomi firtstnees, secondnees, dan thirdnees,

Peirce mengelompokkn tnda menjadi 3 kategori, yaitu:

Page 6: SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

a) Hubungan penalaran dengan jenis penandanya:1) Qualisign : penanda yang bertalian dengan kualitas.2) Sinsig : penanda yang bertalian dengan kenyataan3) Legisign : penanda yang bertalian dengan kaidah

b) Hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya:1) Ikon adalah tanda yang menghubungkan penanda dan petandanya

bersifat bersamaan bentuk alamiah atau ada kemiripan antara tanda denga objek yang diacunya.

2) Indeks adalah tanda yng menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda yang bersifat kausal atau tanda yang mengacu langsung pada kenyataan.

3) Simbol adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.

Contoh perbedaan antara ikon, indeks, dan symbol dengn objek “kuda’’:Ikonis indeksikal simbolis

ikonis indeksikal simbolis1. Lukisan kuda2. Gambar kuda3. Patung kuda4. Foto kuda5. Sketsa kuda

1. Suara kuda2. Suara langkah

kuda3. Bau kuda4. Gerak kuda

1. Diucapkan kata kuda

2. Makna gambar kuda

3. Makna suara kuda

4. Makna bau kuda5. Makna gerak

kudac) Hubungan pikiran dengan jenis penandanya:

1) Rheme or seme : penanda yang bertalian dengan mungkin terpahaminya objek petanda bagi penafsir.

2) Dicent or dicisign or pheme: penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya

3) Argument : penanda yang petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah

4 . Umberto Eco

Teori yang dikemukakan Eco secara eksplisit terkait dengan suatu teori

tentang pembangkitan kode dan tanda,titik tolak yang mendasarinya adalah

pengertian pierce tentang ‘semiosis yang tak terbatas’. Menurut lechte

(2001:200 dalam sobur,2006:77) ‘semiosis yang tak terbatas’nya Eco dalam

Page 7: SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

kaitannya dengan kedudukan pembaca. Meskipun ‘semiosis yang tak terbatas’

ini adalah hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda lain ,

dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak

terhingga banyaknya. Eco ingin menghindari kemungkinan makna tunggal di

satu sisi melawan makna yang tak terhingga disisi lain. Akan tetapi , semiosis

yang tak terbatas lebih terkait dengan pengertian ‘interpretan’ dan peirce, yaitu

makna ditetapkan dalam kaitannya dengan kondisi kemungkinan. Eco

memastikan diri untuk menyelidiki sifat-sifrat dinamis tanda dalam bukunya

yang berjudul Theory Of Semiothics (1976,2979)/ dia menjelaskan pandangan

epistimologinya dengan menggunakan suatu perbandingan.

Pada dasarnya, fungsi tanda merupakan interaksi antara berbagai norma :

“kode memberikan kondisi untuk hubungan timbal balik fungsi-fungsi tanda

secara kompleks”.(Eco,1989:56). Menurutnya, sistem aturan yaitu kode yang

terdiri atas hierarki subkode-subkode yang kompleks, sebagian darinya kuat

dan stabil. Adapun yang lainnya lemah dan bersifat sementara.

Selain teori para ahli diatas, pendekatan semiotik hukum greimasian

merupakan salah satu teori yang digunakan dalam penelitian bahasa hukum.

Semiotik greimasian berakar dari tradisi strukturalis. Pendekatan ini

mengambil dari sejumlah ahli semiotik, seperti Saussure, Jakobson,

Levystraus, Hjenslev. Perhatian utamanya adalah menjelaskan sturktur yang

mendasari produksi semiotik , yaitu bagaimana arti ditimbulkan/dibangkitkan

dari struktur (dalam) atau bagian yang tersembunyi ini. Dalam perspektif

semiotiknya bahasa tidak mengacu pada realitas luar tetapi mempunyai referent

Page 8: SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

sepenuhnya dalam bahas itu sendiri (misalnya nonreferensial). Jadi referent

(kesan mental atau interpretant) yang oleh signifier disampaikan adalah bagian

dari sturktur dasar yang dapat dicari dari bahasa itu sendiri.

Tanda dan hubungan kemudian menjadi kata-kata kunci dalam analisis

semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara

mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunan bahasa itu.

Usaha-usaha menggali makna teks harus dihubungkan dengan aspek-aspek lain

diluar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut sebagai konteks. Teks dan

konteks menjadi dua kata yang tak terpisahkan ,keduanya saling berkaitan

membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang

keberadaannya dapat dipilah menjadi dua, yaini intratekstualitas dan

intertektualitas. Intratekstualitas menunjuk pada tanda-tanda lain dalam teks,

sehingga produksi makna bergantung pada bagaimana hubungan antar tanda

dalam sebuah teks. Sedangkan intertekstualitas menunjuk pada hubungan antar

teks alias teks yang satu dengan teks yang lain.

Semiotika adalah suatu studi yang tidak lagi (hanya) klaim linguistik atau

sastra, tetapi telah merambah ke berbagai disiplin ilmu lain yang

kemanfaatannya diakui oleh banyak kalangan, termasuk hukum. Apalagi

hukum senantiasa bergulat dengan nalar, budaya (bahasa), dan masyarakat.

Semiotika hukum merupakan kajian baru dalam sosiologi hukum. Namun

demikian, kajian tentang penafsiran dalam atau mengenai hukum atau

mengenai makna simbolik telah cukup ada cukup lama, hal ini dapat dilihat

Page 9: SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

dalam perkembangan pemikiran realisme hukum di amerika ( Anthon F.

susanto , 2005:15).

Berikut adalah salah satu contoh dari satu keberagaman bentuk tanda sebuah

kata yang arbitrer dicetuskan manusia.

Contoh :objek “rumah”

Orang Indonesia akan mengatakan bahwa itu adalah gambar rumah,

semntara dari daerah jawa barat akan mengatakan imah, orang inggris

mengatakan house, orang spanyol mengatakan casa , orang prancis mengatakan

maison. Setiap bahasa mempunyai tanda yang berbeda utntuk gambar yang

sama.

Page 10: SETIOTIKA DALAM PENAFSIRAN HUKUM

Begitu pula dengan tanda-tanda yang lain seperti ‘sikat’.

Contoh :

a. “sikat,sikat,sikat sepatunya pak ! “

b. Satu,dua,tiga, sikaaat ! “

c. Banyak makanan, nih , sikat terus sampai habis !”

d. “sikat,bu beli sikatnya!”

Selain tanda-tanda yang bisa mempunyai makna beragam , ada juga tanda

baasa yang bersifat konvensional. Uraian diatas mempertegas bahwa tanda itu

tidak satupun diciptakan dan disirkulasikan seluas mungkin untuk

memengaruhi dan menguasai alam pikiran manusia. Semuanya di lakukan

untuk memperebutkan posisi tertentu yang dominan.