5
Shalat adalah tiang agama, jika benar shalat seseorang, maka benar pula agamanya. Begitulah bunyi dari salah satu hadis yang sering kita dengar. Nyatanya, Saat ini, kewajiban shalat yang dikerjakan belum bisa mencegah berbagai keburukan dan kemungkaran sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ankabut: 45 (inna shalaata tanhaa ‘anil fahsyaa’ wal munkar). Justru banyak orang yang mengerjakan shalat tapi juga tidak meninggalkan berbagai kemungkaran. Sehingga banyak orang yang mengerjakan shalat tapi tidak takut melakukan korupsi. Bahkan kejahatan dan aksi teror yang mengatasnamakan agama (Islam) semakin meraja rela. Akibatnya, banyak orang menyatakan bahwa shalat bukanlah ukuran baik-tidaknya seseorang. Ironis, bagaimana mungkin firman Allah tersebut tidak terbukti. Dalam Al-Quran, perintah shalat disebutkan dengan kata aqimis shalaah (dirikanlah shalat), bukan if’alus shalaah (kerjakanlah shalat). Mendirikan shalat ibarat mendirikan bangunan karena banyak unsur yang harus saling terkoneksi dan tersinkronisasi satu sama lain sebelum menjadi bangunan yang kokoh dan utuh sebagai satu kesatuan. Dan ibarat bangunan, shalat juga harus didirikan di atas fondasi yang kuat; fondasi fiqh(aturan dan kaidah) dan fondasi akhlak (termasuk di dalamnya muamalah), serta makna hakiki masing-masing hukum fiqh-nya. Fondasi fiqh meliputi fiqh saat berwudlu, ketika shalat, dan doa setelah salam. Ketiganya memiliki tata cara tersendiri. Ini menyiratkan bahwa dalam keadaan apa pun, orang yang mendirikan shalat harus mematuhi peraturan yang berlaku baik sebelum, sedang, maupun setelah mengerjakan segala sesuatu sehingga akan terbentuk pribadi seorang muslim yang tidak anarkis. Ini sesuai dengan makna harfiah kata Islam itu sendiri, yaitu agama yang menghantarkan pada keselamatan dan kedamaian. Sedangkan fondasi akhlak adalah lanjutan dari fondasi fiqh. Segenap peraturan yang ada dalam shalat semestinya dilakukan dengan akhlak. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa yang terbaik dari kita adalah yang paling baik akhlaknya (innamaa bu’itsta liutammima makaarimal akhlaak). Dengan ini, sudah semestinya seorang hamba dapat memperlakukan-Nya dengan cara yang jauh lebih indah dari pada orang yang paling dicintainya karena ia menyadari akan betapa butuhnya ia terhadap Allah Swt. Akan betapa ringkihnya

Shalat Adalah Tiang Agama

Embed Size (px)

DESCRIPTION

shalat benar

Citation preview

Page 1: Shalat Adalah Tiang Agama

Shalat adalah tiang agama, jika benar shalat seseorang, maka benar pula agamanya. Begitulah bunyi dari salah satu hadis yang sering kita dengar. Nyatanya, Saat ini, kewajiban shalat yang dikerjakan belum bisa mencegah berbagai keburukan dan kemungkaran sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ankabut: 45 (inna shalaata tanhaa ‘anil fahsyaa’ wal munkar). Justru banyak orang yang mengerjakan shalat tapi juga tidak meninggalkan berbagai kemungkaran. Sehingga banyak orang yang mengerjakan shalat tapi tidak takut melakukan korupsi. Bahkan kejahatan dan aksi teror yang mengatasnamakan agama (Islam) semakin meraja rela. Akibatnya, banyak orang menyatakan bahwa shalat bukanlah ukuran baik-tidaknya seseorang.  Ironis, bagaimana mungkin firman Allah tersebut tidak terbukti.

Dalam Al-Quran, perintah shalat disebutkan dengan kata aqimis shalaah (dirikanlah shalat), bukan if’alus shalaah (kerjakanlah shalat). Mendirikan shalat ibarat mendirikan bangunan karena banyak unsur yang harus saling terkoneksi dan tersinkronisasi satu sama lain sebelum menjadi bangunan yang kokoh dan utuh sebagai satu kesatuan. Dan ibarat bangunan, shalat juga harus didirikan di atas fondasi yang kuat; fondasi fiqh(aturan dan kaidah) dan fondasi akhlak (termasuk di dalamnya muamalah), serta makna hakiki masing-masing hukum fiqh-nya.

Fondasi fiqh meliputi fiqh saat berwudlu, ketika shalat, dan doa setelah salam. Ketiganya memiliki tata cara tersendiri. Ini menyiratkan bahwa dalam keadaan apa pun, orang yang mendirikan shalat harus mematuhi peraturan yang berlaku baik sebelum, sedang, maupun setelah mengerjakan segala sesuatu sehingga akan terbentuk pribadi seorang muslim yang tidak anarkis. Ini sesuai dengan makna harfiah kata Islam itu sendiri, yaitu agama yang menghantarkan pada keselamatan dan kedamaian.

Sedangkan fondasi akhlak adalah lanjutan dari fondasi fiqh. Segenap peraturan yang ada dalam shalat semestinya dilakukan dengan akhlak.  Dalam suatu hadits disebutkan bahwa yang terbaik dari kita adalah yang paling baik akhlaknya (innamaa bu’itsta liutammima makaarimal akhlaak). Dengan ini, sudah semestinya seorang hamba dapat memperlakukan-Nya dengan cara yang jauh lebih indah dari pada orang yang paling dicintainya karena ia menyadari akan betapa butuhnya ia terhadap Allah Swt. Akan betapa ringkihnya seseorang tanpa bantuan dan pertolongan-Nya. Serta kesadaran bahwa tanpa izin-Nya, kita tidak akan bisa melakukan apa pun.

Apalagi shalat adalah momen di mana seorang muslim menghadap pada Tuhannya, dan semestinya orang yang mendirikan shalat bisa menunjukkan akhlak terbaik pada Tuhannya. Akhlak tersebut bisa ditunjukkan dengan kondisi pakaian dan tubuh kita ketika menghadap-Nya. Mesti tidak diatur dalam fiqh, sudah seyogyanya selain berwudlu, kita juga harus melakukan kegiatan bersih-bersih lainnya seperti memakai pakaian dan mukena yang bersih, shalat di atas sajadah yang bersih, serta mebersihkan ruangan dan bahkan memberikan pewangi khusus untuk ruangan shalat. Bukankan kebersihan adalah sebagian dari iman? (anna dzoofatu minal iiman).

Karena itu, Rasulullah pun menyunnahkan memakai wewangian ketika shalat karena shalat bukan hanya momen seorang hamba menghadap Allah Swt, tapi juga momen seorang hamba menghadap Zat Maha Cinta sekaligus Zat Maha Pencemburu. Ia adalah Zat yang tidak butuh pujian tapi senang dengan pujian, yang tidak butuh disembah tapi senang dengan perlakuan mesra hamba-Nya. Dari sinilah akhlak seorang hamba terlihat; sejauh mana sanjungan, rasa

Page 2: Shalat Adalah Tiang Agama

syukur, dan penghargaan seorang hamba terhadap-Nya atas segala nikmat yang diberikan-Nya yang tak pernah habis. Oleh karena itu, bacaan dalam shalat didominasi dengan pujian dan doa kepada-Nya.

Di luar shalat, fondasi akhlak ini hendaklah terus dijaga agar melahirkan insan yang juga senantiasa menjaga akhlaknya kepada sesama makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya.

Selanjutnya, mencoba memaknai secara hakiki makna hukum fiqh itu sendiri. Wudlu sebelum shalat bukan hanya bermakna pembersihan diri terhadap najis dlohir yang ada pada badan kita, tapi juga najis bathin yang ada dalam hati kita karena akan menghadap Zat Yang Maha Suci. Ia sangat tau kondisi bathin kita sedang dalam keadaan apa. Karena itu, banyak sekali orang yang shalatnya tidak diterima-Nya karena ia tidak menyadari bahwa masih banyak najis bathin yang melekat pada dirinya. Padahal kita selalu berada dalam pengawasan-Nya, sesuai dengan Surat Al-Hadiid: 4 “Allah selalu bersama kita di mana pun kita berada”  (wa huwa ma’akum aina ma kuntum). Dengan ini, orang yang mendirikan shalat akan terus-menerus merasa diawasi-Nya sehingga cenderung berhati-hati dalam segala tindakannya sehingga fungsi shalat sebagai pencegah keburukan dan kemungkaran (inna shalaata tanhaa ‘anil fahsyaa’ wal munkar) dapat tercapai.

Pengakuan yang selalu dibaca pada doa iftitah (dalam shalat) yaitu, inna shalaati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillaahi robbli ‘aalamiin (sesunguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta Alam), mengisyaratkan bahwa apa pun yang dilakukan semuanya ditujukan sebagai amal bakti seorang hamba terhadap Tuhan-Nya. Dan tidak ada satu kemungkaran pun yang diperuntukkan kepada Allah Swt.

Al-Fatihah yang berarti pembuka, di dalam shalat menjadi bacaan wajib tiap rakaatnya. Secara hakikat, ini berarti orang yang mendirikan shalat mesti menjadi orang yang membuka dan mengawal segala perbaikan. Bahkan juga diharapkan bisa menjadi pembuka segala kunci berbagai masalah yang kerap ada dalam hidup ini.

Shalat juga memiliki posisi dan gerakan-gerakan yang berbeda-beda. Dari posisi berdiri, kita dipindahkan ke posisi ruku’ lalu kemudian ke posisi sujud, duduk di antara dua sujud, hingga kembali berdiri. Sudah banyak kita tahu bahwa gerakan-gerakan ini mengindikasikan posisi-posisi seseorang dalam hidupnya. Ada kalanya ia berdiri tegak dan berada di atas. Saat sedang “di atas”, kita tidak boleh sombong karena haruslah disadari bahwa selanjutnya kita akan berada pada tengah (ruku’) dan posisi terendah dalam hidup hingga dengan segala daya upaya dan terutama karena hak-Nya, kita akan dikembalikan lagi ke posisi tertinggi. Hal seperti ini akan membuat seorang hamba kian menyadari bahwa kaya-miskin dan tinggi-rendah-nya seseorang adalah hak-Nya.

Selain itu, shalat mengandung makna pengakuan bahwa kita hanyalah seorang hamba yang tidak pernah merasa memiliki suatu apa pun kecuali keyakinan bahwa semua yang ada hanyalah amanah yang dititipkan-Nya yang harus dikembalikan sewaktu-waktu dalam keadaan utuh. Sehingga, mereka yang melakukan kemungkaran akan mendapat siksa karena tidak menjaga amanah yang dititipkan.

Page 3: Shalat Adalah Tiang Agama

Kehambaan juga bermakna pasrah, rela, dan ikhlas dengan segala takdir yang ditetapkan-Nya, sehingga meskipun Allah Swt memerintahkan kita untuk berikhtiar sebagaimana disebutkan dalam surat Ar-Ra’d: 11, innallaaha laa yughaiyyiru ma biqoumin hatta yughaiyyiru maa bi anfusihim (sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubahnya), akan tetapi setelah segala ikhtiar tersebut dikerjakan, seorang hamba tidak boleh memaksakan hasilnya sesuai dengan keinginannya karena segala yang sudah menjadi ketetapan-Nya pasti sudah yang terbaik dan yang terpantas untuknya. Ini sesuai dengan salah satu dzikir harian yang berbunyi laa haula wa laa  quwwata illa billaahil ‘aliyyil adziim(tidak ada daya dan upaya kecuali hanya kepada Allah Swt).

Kepantasan takdir seseorang pastinya disesuaikan dengan kapasitas yang telah Allah berikan pada masing-masing pribadi baik takdir yang dapat meninggikan dirinya di hadapan manusia maupun takdir yang merendahkan dirinya di hadapan manusia. Dengan keyakinan ini, takdir dan amanah apapun yang diberikan-Nya tidak akan menimbulkan perasaan iri, rendah diri, atau bahkan sikap sombong karena segalanya bersumber dari-Nya yang sewaktu-waktu dapat dicabut kembali. Keyakinan akan kebaikan segala takdir yang ditetapkan terkait dengan hakikat diciptakannya manusia berbeda-beda karena tiap manusia mendapatkan peran dan fungsi kekhalifahan yang juga berbeda. Dengan ini,  akan terbentuk masyarakat madani yang saling bersinkronisasi antara peran kekhalifahan yang satu yang satu dengan yang lainnya.

Selain itu, segala takdir-Nya juga mengisyaratkan kita untuk selalu mengambil pelajaran yang dapat dipetik di dalamnya sebagaimana banyak diulang dalam Al-Quran, afala tatafakkaruun (apakah mereka tidak merenungkan?). Semakin sering seseorang bertafakkur, maka akan semakin baik pula perilakunya karena ia menjadi semakin sadar akan peran kehambaan dan kekhalifahannya. Inilah yang menyebabkan tafakkur memiliki nilai lebih baik dari pada ibadah seribu tahun karena tafakkur dapat mengubah seseorang menjadi lebih baik sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah: 257, minaz zhulumaati ilan nuur (dari kegelapan menuju cahaya). Oleh karena itu, perlulah kita membenahi shalat kita masing-masing agar shalat yang dikerjakan benar-benar dapat mencegah keburukan dan kemungkaran.

Tags: fiqh akhlak shalat mendirikan hamba freeze hakikat