43
SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM MASALAH KHILĀFĪYAH Oleh: Endang Madali NIM: 12.3.00.1.01.01.0011 Promotor: Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, MA Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA Konsentrasi Syariah Program Doktor Pengkajian Islam SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M

SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

  • Upload
    lythuan

  • View
    233

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA

DALAM MASALAH KHILĀFĪYAH

Oleh:

Endang Madali NIM: 12.3.00.1.01.01.0011

Promotor:

Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, MA Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA

Konsentrasi Syariah

Program Doktor Pengkajian Islam SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/2015 M

Page 2: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

iii

بسم الله الرحمن الرحيم

KATA PENGANTAR

ين كلو وكفى باهلل شهيدا .الحمد هلل الذى أرسل رسولو بالهدى ودين الحق ليظهره على الد ر ن فوسنا بهدى موالنا نا ويطه ي نا نبيا ي علمنا الكتاب والحكمة وي زك وأشهد أن ال الو اال اهلل ب عث في

.ت بارك وت عالى Al-ḥamdulillāh, dengan rahmat dan pertolongan Allah swt-lah,

akhirnya selesai juga karya penelitian Disertasi ini. Oleh karenanya penulis

selalu bersyukur atas segala limpahan rezeki-Nya; rezeki pemahaman, rezeki

peluang waktu, rezeki materi dan berbagai macam rezeki lainnya. Salawat

dan salam tercurahkan pada panutan umat manusia, yang telah mengajarkan

kepada kita al-Kitāb, al-Ḥikmah, juga yang telah membersihkan hati kita dari

berbagai kesyirikan, yakni melalui ajaran-ajaran yang telah disampaikannya,

baik via hadis/Sunnahnya maupun dalam memberikan stimulan untuk

memperhatikan alam sekitar kita, beliau adalah Rasulullah Muhammad saw.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat, terima

kasih, dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada kedua orang-tua

penulis, yaitu H. Abdul Karim dan Hj. Saʻanah, yang mana atas dukungan

dan doa keduanya, baik siang maupun malam, akhirnya penulis bisa belajar

hingga ke jenjang Program Doktor. Sebagai anak, penulis hanya ingin

mendoakan untuk mereka berdua agar selalu bahagia, baik di dunia maupun

di akhirat kelak. Selanjutnya, dalam kelancaran studi penulis ditentukan pula

bantuan dan dukungan dari keluarga, isteri dan keempat putra-putri kami,

guru-guru, sahabat dan tentu saja lembaga tempat penulis belajar.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (Periode 2010-2014), dan Prof.

Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Periode 2015-2019).

2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Periode 2010-2015), dan Prof. Dr.

Masykuri Abdillah, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta (Periode 2015-2019).

3. Prof. Dr. Suwito, MA, selaku Ketua Program Doktor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta (Periode 2013-2015), dan Prof. Dr. Didin Saepudin,

MA, selaku Ketua Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Periode 2015-2019).

Page 3: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

iv

4. Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, MA dan Prof. Dr. Hj. Huzaimah

Tahido Yanggo, MA, keduanya selaku Pembimbing/Promotor penulis, di

mana dari ide-idenya yang mencerdaskan dan mencerahkan, sehingga

penulis untuk terus bergerak dalam berpikir guna menyelesaikan

penelitian Disertasi ini.

5. Para verifikator dan penguji, baik di Ujian Proposal Disertasi, Work in

Progress (WIP), Ujian Komprehensif, Ujian Pendahuluan Disertasi

maupun Ujian Promosi Doktor. Mereka itu adalah, di antaranya: Prof.

Dr. Said Agil Husin Al-Munawar, MA, Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA,

Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, Prof. Dr.

Murodi, MA, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA, Prof. Dr. Yunasril Ali,

MA, Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA, Prof. Dr. Ahmad Rodoni,

MM, Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA, Prof. Dr. Irfan Idris, MA, Dr.

Yusuf Rahman, MA, Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA, dan Dr. Muhbib

Abdul Wahab, MA. Dalam hal ini, penulis perlu sampaikan pula secara

khusus kepada Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD, sebagai inspirasi

awal dalam pemberian judul Disertasi, yang memang sebelumnya beliau

merupakan salah satu tim penguji dalam Ujian Masuk Mahasiswa

Program Magister dan Doktor Semester Gasal 2012/2013, pada Juli-

Agustus 2012.

6. Para dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan motivasi, ilmu pengetahuan, dan bimbingan selama

perkuliahan.

7. Dr. KH. Muhammad Idris Abdul Shomad, MA (Sekjen IKADI [Ikatan

Dai Indonesia] dan Wakil Walikota Depok, periode 2010-2015) dan Dr.

KH. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, MA (Ketua Umum MUI [Majelis

Ulama Indonesia] Kota Depok, periode 2003-2008, 2009-2014 & 2014-

2019). Mereka berdua sebagai pemberi Surat Rekomendasi kepada

penulis untuk dapat melanjutkan ke jenjang Program Doktor di Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012.

8. Para donatur penulis, baik secara pribadi maupun instansi, mereka itu di

antaranya: Kedua orang-tua dari isteri (mertua), yaitu Ujang Carman dan

Jaenah; Dr. H. Aizirman Djusan, M.Sc.Econ (mantan Kepala Bagian

Penelitian dan Pengembangan [KaBaLitBang] Kementerian Komunikasi

dan Informatika RI dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta); Ir. H.

Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, M.Si (Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat [DPR] RI, sejak masa Pemerintahan Prof. Dr. H. Susilo Bambang

Yudhoyono, 2004-2009 & 2009-2014 hingga sekarang dan Ketua Lajnah

Tanfidziyah KPPSI [Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam]

Sulawesi Selatan); Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Pusat; dan Yayasan

Beasiswa Jakarta (YBJ). Dari mereka dan beberapa instansi tersebut,

sebagai motivasi penulis dalam mengeksplorasi cakrawala ilmu

Page 4: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

v

pengetahuan, sekaligus sebagai “penebar kebajikan” dalam menanam

benih-benih arti sebuah kehidupan.

9. Seluruh staf administrasi Sekolah Pascasarjana (Graduate School) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dan para staf Perpustakaan Riset

Pascasarjana (Graduate Research Library) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

10. Para dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)

Hidayatullah Depok serta Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Bani

Saleh Bekasi, dari mereka lah, penulis selalu tumbuh dan berkembang,

baik dalam berpikir maupun bersikap.

11. Para sahabat dan penjuru dakwah penulis, baik yang aktif di Cemerlang

Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

Bogor, Radio Fajri 99,3 FM di Kota Bogor maupun Radio Rasil 720 AM

di Kota Bekasi. Juga, beberapa sahabat yang sedang mengembangkan

misi dakwah Islam dengan sistem dan metode dakwah yang berbeda-

beda, seperti kalangan intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), para

kader Hidayatullah, tokoh muda Muhammadiyah, pemerhati Persatuan

Islam (Persis), pengurus HASMI (Harakah Sunniyah untuk Masyarakat

Islami), dan para karkun („pegawai Allah‟, bahasa Urdu) Jamāʻah

Tablīgh.

12. Penulis sampaikan pula kepada rekan-rekan kampus Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik yang se-angkatan,

“kakak kelas” maupun “adik kelas”, seperti Umdatul Hasanah, Hery

Purwosusanto, Nasimul Falah, Alwi Saggaf Aljufri, Pinehas Djendjengi,

Raden Siti Fadilah Tohiriyyah, Teguh Slamet, dan Rifqiyatunnisa. Juga,

rekan-rekan yang telah diwisuda oleh Sekolah Pascasarjana ini, seperti

Nurbaiti, Jufri Alkatiri, Muhammad Babul Ulum, Fahruroji, Iffa Nurul

Laili, Sri Wahyuni, dan Siti Suniah. Dari mereka lah sebagai community

of motivation bagi penulis dalam rangka mengimplementasikan

sepenggalan ayat suci Al-Qur‟an, yakni fastabiqū al-khayrāt, berarti

berlomba-lomba lah dalam menuju kebaikan (keilmuan).

13. Wa al-ḥāṣil, semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan

penelitian Disertasi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Depok, 07 Shaʻbān 1436 H/

25 Mei 2015 M

Penulis

Page 5: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

x

ABSTRAK

Kesimpulan – Penelitian ini membuktikan bahwa sikap Salafi Wahabi

tidak toleran dalam masalah khilāfīyah hingga menimbulkan polemik di kalangan

masyarakat, dari sisi akidah tidak ada toleransi, namun dari sisi ibadah hanya

sebagian saja yang dapat ditoleransi oleh mereka.

Posisi Disertasi – Penelitian ini mendukung beberapa pernyataan dari

tulisan „Alī Jumʻah (Ali Gomma) dalam “al-Mutashaddidūn Manhajuhum wa

Munāqashatu Ahammi Qaḍāyāhum”, Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī dalam

“al-Salafīyah: Marḥalah Zamanīyah Mubārakah Lā Madhhab Islāmī” (2001), dan

Muḥammad Saʻīd al-Ashmāwī dalam “Uṣūl al-Sharīʻah” (1983), yang menyatakan

bahwa mengklaim terhadap sebuah mazhab yang baru dengan nama “Salafiyah”

merupakan bentuk dari taʻaṣṣub (fanatisme), tidak masuk dalam kategori ittibāʻ.

Dalam beberapa hal, hukum tradisional harus dibebaskan dari sisi idealis

keagamaan, dan harus dijiwai oleh “prinsip-prinsip umum syariah”. Oleh karenanya

kesempurnaan syariah hanya bisa diraih dengan menyesuaikan pada kondisi sosial

dan kepentingan manusia yang terus-menerus berubah. Penelitian ini pula

memperkuat beberapa pernyataan, seperti Natana J. Delong-Bas dalam “Wahhabi

Islam: From Revival and Reform to Global Jihad” (2004), Abdullahi Ahmed an-

Naʻim dalam “Islam and Secular State: Negotiating the Future of Sharia” (2008),

dan pendapatnya Mazen Hashem dalam “Contemporary Islamic Activism: The

Shades of Praxis”, Sociology of Religion (2006), yang menyatakan bahwa Islam

Wahabi sebagai aliran, mazhab, dan gerakan yang radikal, yaitu mereka selalu

mengajak kepada „ajaran murni‟ yang mereka yakini untuk dapat diaplikasikan oleh

kalangan umat Muslim. Di samping itu, Wahabi memiliki pandangan Islam yang

puritan, yakni bersikap tidak toleran dalam berbagai perbedaan, sehingga

memaksakan adanya keseragaman pemahaman keagamaan di Indonesia. Oleh

karenanya belum ada dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa Salafi Wahabi

bersifat moderat (wasaṭīyah).

Metodologi – Disertasi ini ditulis dengan menggunakan pendekatan

sosiologis antropologis, yaitu suatu pendekatan keagamaan yang dikorelasikan

dengan beberapa pendekatan ilmu sosial lainnya, seperti pendekatan sosio-kultural,

teologi normatif, juga pendekatan sikap dan perilaku religius. Sumber utama

penelitian berasal dari library research (studi pustaka) yang berkaitan dengan

penelitian, yaitu karya-karya Firanda Andirja Abidin, Yazid bin Abdul Qadir Jawas,

„Alī Jumʻah, Muḥammad Saʻīd al-Ashmāwī, Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī,

Wael B. Hallaq, Abdullahi Ahmed an-Naʻim, Khaled Abou El-Fadl, dan Natana J.

Delong-Bas. Adapun sumber sekundernya, yaitu mencakup karya-karya para tokoh

Wahabi yang dijadikan rujukan oleh pengikut Salafi Wahabi. Juga, yang membahas

atau mengkritisi pemikiran Ibn Taymīyah dan Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb. Di

samping sebagai kajian komprehensif, penelitian ini juga menggunakan studi

dokumentasi, serta wawancara secara intens atau mendalam dengan pihak-pihak

tertentu.

Page 6: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian

Disertasi ini, adalah sebagai berikut:

A. Konsonan

Arab Latin Arab Latin

ḍ ض - ا

ṭ ط b ب

ẓ ظ t ت

‘ ع th ث

gh غ j ج

f ف ḥ ح

q ق kh خ

k ك d د

l ل dh ذ

m م r ر

n ن z ز

w و s س

h ه sh ش

ʼ / y ي / ء ṣ ص

Page 7: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

xiv

B. Vokal Pendek

__ = a __ = i __ = u

C. Vokal Panjang

ū = و ī = ي ā = ا

D. Diftong

aw = او ay = اي

E. Shaddah

Shaddah/tashdīd (~ __ ) ditransliterasikan dengan huruf yang

sama pada huruf yang ber-shiddah tersebut, contoh:

rabbanā = ربنا

F. Kata Sandang

Kata sandang (ال) dilambangkan dengan (al-), baik yang

mengikutinya huruf shamsīyah maupu qamarīyah, contoh:

.al-qalam = القلن al-shams atau = الشمس

G. Tā Marbūṭah (ة)

Tā marbūṭah yang dipakai dalam penulisan disertasi ini

dimatikan atau diberi harakat sukun, contoh:

al-salafīyah = السلفية

Page 8: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

xv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …… iii

TRANSLITERASI …… xiii

DAFTAR ISI …… xv

BAB I PENDAHULUAN …… 1

A. Latar Belakang Masalah …… 1

B. Permasalahan …… 22

1. Identifikasi Masalah …… 22

2. Pembatasan Masalah …… 23

3. Perumusan Masalah …… 24

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan …… 24

D. Tujuan Penelitian …… 30

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian …… 30

F. Metodologi Penelitian …… 30

G. Sistematika Penulisan …… 36

BAB II TOLERANSI DALAM MAZHAB FIKIH …… 37

A. Bermazhab dan Taklid dalam Islam …… 39

B. Toleransi dalam Pandangan Imam Mazhab …… 59

C. Perdebatan Toleransi dalam Bermazhab …… 68

D. Toleransi dalam Praktik …… 77

BAB III SALAFI WAHABI DI INDONESIA DAN PARA TOKOH

PENDIRINYA …… 85

A. Asal Usul Istilah Salafi Wahabi …… 86

B. Awal Sejarah Munculnya Salafi Wahabi di Indonesia …… 94

C. Tokoh Pendiri Salafi Wahabi dan Para Penerusnya …… 103

BAB IV MASALAH KHILĀFĪYAH SALAFI WAHABI …… 119

A. Masalah Akidah …… 120

B. Masalah Ibadah …… 140

C. Seputar Ahl al-Sunnah wa al-Jamāah dan Salafi Wahabi ……

155

BAB V MANHAJ SALAFI WAHABI DAN SIKAP MEREKA

TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT …… 179

A. Karakteristik Manhaj Salafi Wahabi dalam Berdakwah ……

179

B. Tajdīd Ibn Taymīyah dan Konsep Ajaran Muḥammad ibn ‘Abd

al-Wahhāb …… 196

Page 9: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

xvi

C. Sikap Salafi Wahabi terhadap Perbedaan Pendapat …… 227

BAB VI PENUTUP …… 235

A. Kesimpulan …… 235

B. Implikasi Penelitian …… 237

DAFTAR PUSTAKA …… 239

GLOSARIUM …… 267

SINGKATAN …… 279

INDEKS …… 281

BIOGRAFI PENULIS …… 299

LAMPIRAN …… 301

Page 10: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an dan Sunnah berfungsi sebagai dua sumber “standar” agama

Islam (sharīʻah),1 sebagai rujukan segala perbuatan dan keyakinan dalam

Islam. Berkenaan dengan hal ini, maka segala bentuk keyakinan atau

perbuatan dalam agama yang tidak memiliki rujukan langsung dari dua

sumber ini sering kali dipandang tidak islami. Istilah yang paling populer

yang dipakai untuk menunjukkan keyakinan dan perbuatan semacam itu

adalah bidʻah, yang secara harfiah berarti “hal-hal yang baru” (innovation

atau inovasi).2 Dalam sosiologi agama, tuduhan bidʻah ini menjadi polemik

bila dikaitkan dengan tradisi-tradisi lokal yang biasa dilakukan oleh

masyarakat sekitar.

Istilah “bidʻah” selalu diusung oleh kalangan kaum puritan Salafi.

Gerakan Salafi ini dinisbatkan kepada Imam Aḥmad ibn Ḥanbal (164-241

H/780-855 M), kemudian kepada Shaykh al-Islām Taqī al-Dīn ibn Taymīyah

(661-728 H/1263-1328 M), di mana ia dianggap sebagai pendiri madrasah

al-salafīyah.3 Sebagian kaum puritan Wahabi menisbatkan gerakan Salafi ini

kepada pembaru dan pendirinya, Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb (1115-

1206 H/1703-1792 M).

Gerakan Salafi ini tumbuh di Jazirah Arab, yakni bagian Arabia

Tengah yang notabene menjadi pusat bagi kerajaan Saudi dan gerakan

Wahabi.4 Pada tahun 1745 M Ibn Saʻūd, kepala sebuah pemerintahan

kesukuan kecil di Arabia Utara, menjalin hubungan dengan seorang penyebar

1 Pemahaman terhadap sharīʻah berarti jalan yang ditetapkan oleh Allah swt, di

mana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak-Nya. Ia adalah

konsep praktis yang berhubungan dengan tingkah laku pribadi an sich. Namun, sharīʻah

secara luas dapat dipahami sebagai totalitas dari aturan-aturan Allah yang terdiri dari semua

kehidupan agama, politik, sosial, pribadi dan domestik umat Islam, serta aktivitas-aktivitas

dari umat lain yang ditolerir sejauh mereka tidak merusak agama Islam. Lihat, Amir

Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, Cet. ke-2 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2000), 1; Lihat,

Fazlur Raḥmān, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Cet. ke-4 (Bandung: Pustaka, 2000), 141;

Lihat pula, Encyclopedia of Islam, Cet. ke-4 (t.tp.: t.pt., 1995), term “Syariʻa”. 2 Ahmad Haris, Bidʻah dalam Literatur Islam, Cet. ke-1 (Jakarta: Referensi, 2012),

1. 3 Wā‟il al-Ḥasāwī, Baḥth al-Ḥarakah al-Salafīyah, merupakan diskusi kedua bagi

pembaharuan pemikiran Islam dan masa depan yang diselenggarakan dengan bantuan

Kementerian Wakaf dan Urusan Islam di Kuwait, dengan judul “al-Fikr al-Ḥarakī wa Subūl

Tajdīduhu”, dilaksanakan pada 16-18 Sha‟bān 1413 H/08-10 Februari 1993 M. 4 Lihat, J. B. Kelly, Eastern Arabian Frontiers (London: Faber and Faber, 1963),

53, 62; Lihat pula, Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to

Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 7.

Page 11: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

2

mazhab Ḥanbalī,5 Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb.

6 Dakwah Muḥammad

ibn „Abd al-Wahhāb adalah mengajak orang agar mengamalkan tauhid

dengan murni, menghilangkan segala macam bidʻah dan membuang segala

bentuk khurafat yang dikait-kaitkan dengan Islam.7

Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb (w. 1792 M) konsisten terhadap

pengamalan fikih mazhab Ḥanbalī. Dari sisi pemikiran, beliau mengadopsi

tajdīd (pembaharuan) Ibn Taymīyah (w. 1328 M).8 Beliau banyak

terpengaruh dengan buku-buku Ibn Taymīyah9 dan buku-buku murid darinya,

yakni Shams al-Dīn ibn Qayyim al-Jawzīyah (w. 751 H).10

Dakwah

Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb sebagai pelopor bagi para tokoh modern di

dunia Islam. Banyak sekali tokoh Islam yang muncul setelahnya, seperti

Muḥammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Muḥammad ibn al-„Uthaymin, „Abd al-

5 Taqī al-Dīn ibn Taymīyah, Muḥammad ibn Qayyim al-Jawzīyah dan Muḥammad

ibn „Abd al-Wahhāb adalah para pengikut termasyhur dari Aḥmad ibn Ḥanbal. Penganut

mazhab Ḥanbalī terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina, dan Arabia. Di Saudi Arabia

mazhab ini merupakan mazhab resmi dari negara. Di antara keempat mazhab yang ada

sekarang, mazhab Ḥanbalī lah yang kecil penganutnya. Lihat, Harun Nasution, Islam

Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cet. ke-5 (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,

2012), 12-13. 6 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam (terj.), Cet. ke-1, Bagian Ketiga

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), 189. 7 Muḥammad Saʻīd Mursī, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj.

Achmad Faozan, et. al., Cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), 299. 8 Nama lengkap Ibn Taymīyah adalah Aḥmad Taqī al-Dīn Abū al-„Abbās Aḥmad

Abū al-Ḥalīm ibn al-Imām Majd al-Dīn Abī al-Barakāt „Abd al-Salām ibn Abī Muḥammad

ibn „Abd Allāh Abī al-Qāsim ibn Muḥammad ibn al-Khuḍr ibn „Abd Allāh ibn Taymīyah al-

Ḥarrānī. Lihat, Muḥammad Abū Zahrah, Ibn Taymīyah: Ḥayātuhu wa ‘Aṣruhu, Ārā’uhu wa

Fiqhuhu (Kairo: Dār al-Fikr al-„Arabī, tt.), 17-20; Lihat pula, Muḥammad al-Sayyid al-

Julaynī, al-Imām Ibn Taymīyah wa Mawqifuhu min Qaḍīyah al-Ta’wīl (Kairo: al-Maktab al-

Amīrīyah, 1973), 15. 9 Nurcholish Madjid menyebut Ibn Taymīyah sebagai tokoh besar di dalam sejarah

Islam dan dikenal sebagai seorang mujāhid (pejuang) yang dicatat karena kepahlawanannya

di medan perang. Dia juga seorang mujtahid (ahli ijtihad) dengan sejumlah besar fatwa yang

memiliki kompetensi tinggi. Selain itu, dia dikenal luas sebagai seorang mujaddid

(pembaharu) yang dengan gigih berjuang untuk membebaskan kaum Muslimin pada

zamannya dari sikap taklid agar mereka kembali kepada kemurnian agama Islam. Lihat,

Nurcholish Madjid, Ibn Taymiyyah on Kalam and Falsafa (A Problem of Reason and

Revelation in Islam) (Chicago: University of Chicago, 1984), 55. 10

Di masa mudanya, Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, adalah seorang penganut

Sufi, namun demikian beliau terpengaruh oleh tulisan-tulisan Ibn Taymīyah, yang

penolakannya terhadap pertumbuhan-pertumbuhan takhayyul dan doktrin-doktrin intelektual

Sufi -- khususnya doktrin tentang kesatuan Wujud (wiḥdah al-wujūd) yang dikemukakan

oleh Ibn „Arabī -- dan di atas segalanya, yang kegairahan moral puritanikalnya telah

memberikan pengaruh yang menentukan sikap baginya. Lihat, Fazlur Raḥmān, Islam, 288;

Lihat pula, Ala‟ Bakar, Studi Dasar-dasar Manhaj Salaf, terj. Fuad Riady, Cet. ke-1 (Solo:

Pustaka Barokah, 2002), 57.

Page 12: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

3

„Azīz ibn „Abd Allāh ibn Bāz, al-Qāsimī, dan para pembaharu serta para dai

yang lain.11

Dakwah yang diusung oleh Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb adalah

selalu kembali ke sumber utama Islam, yakni Al-Qur‟an, Sunnah, dan ijmak,

sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam dari masa Nabi Muhammad

saw hingga abad ketiga Hijriyah. Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb juga

mengajak orang untuk tidak terikat dengan mazhab tertentu. Oleh karena itu,

setiap hakim dianjurkan untuk mengambil pendapat dari mazhab mana saja

yang dianggap lebih dekat kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Di samping itu, dia

juga mengajak orang Arab untuk memainkan peran yang dominan dalam

menyampaikan dakwah.12

Gerakan dakwah Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb

lebih mengarah kepada pengaruh dakwah yang riil, bukan bersifat

pembahasan ilmiah atau diskusi panjang. Hal ini dapat dilihat dari tulisan-

tulisan beliau yang bersifat praktis, seperti kitab-kitab yang ditulisnya tidak

terlalu tebal, berjilid-jilid, atau hingga sekian ratus halaman.13

Munculnya istilah “salafī” adalah karena setelah wafatnya Nabi

Muhammad saw. Sebelum beliau wafat, risalah Islam telah disampaikan

secara sempurna, sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur‟an surat al-

Mā‟idah (5) ayat 3, yang artinya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan

agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah

Aku ridai Islam sebagai agamamu” (QS. al-Mā‟idah [5]: 3). Dari ayat ini

dapat dipahami, bahwa Islam telah disempurnakan, baik dari sisi halal dan

haram maupun seluruh hukum Islam. Juga, telah Allah sempurnakan terhadap

segala sesuatunya tanpa ada keraguan atau kesamaran serta tidak ada

kekurangan sedikitpun di dalam ajaran Islam.14

Di samping itu, Islam telah

Allah ridai hingga akhir zaman nanti, sebagaimana yang telah ditegaskan

dalam firman-Nya, yang artinya, “Siapa saja yang memilih agama selain

11

Muḥammad Saʻīd Mursī, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, 299. 12

Muḥammad Saʻīd Mursī, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, 299. 13

Hal ini juga diakui oleh Ḥasan al-Bannā, peletak dasar gerakan Ikhwān al-

Muslimīn di Mesir. Selama hidupnya, beliau tidak menulis banyak buku. Buku beliau rata-

rata praktis, tidak berpanjang-panjang kalām (dialog kajian), tidak bertele-tele dengan

perdebatan. Misalnya Risālah al-Taʻlīm, al-Ma’thūrāt, Daʻwatunā bayna al-Amsi wa al-

Yaumi, al-Mudhakkirāt, dan lain-lain. Menurut pandangan Ḥasan al-Bannā, apabila

mencurahkan diri bergumul (melibatkan diri dengan sesuatu hal) dengan khazanah ilmu yang

sedemikian luas, maka akan banyak menyita waktu dan energi. Menurutnya, dibutuhkan

orang-orang khusus yang akan memfokuskan waktunya untuk mengkaji khazanah ilmu itu.

Lihat, AM. Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi: Bantahan Kritis dan Fundamental

Terhadap Buku Propaganda Karya Syaikh Idahram, Cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

2011), 188. 14

Al-Imām Abī al-Fidā‟ al-Ḥāfiẓ ibn Kathīr al-Damshiqī, Tafsīr Al-Qur’ān al-

‘Aẓīm, Jilid II, Cet. ke-1 (Beirut: Dār al-Fikr, 1418 H/1997 M), 15-17; Lihat, Wahbah al-

Zuḥaylī, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Sharīʻah wa al-Manhaj, Jilid VI (Damaskus:

Dār al-Fikr, 1991), 85.

Page 13: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

4

Islam, Allah tidak akan menerima amalnya. Orang itu di akhirat kelak

termasuk orang-orang yang celaka nasibnya.” (QS. Āli „Imrān [3]: 85).

Kemudian, komitmen dari seorang Muslim adalah mereka berjanji untuk

menyebarkan agama-Nya, menjadi contoh yang baik dan taat bagi yang

lainnya, dan mengajarkan serta memberikan kebajikan dan kebaikan kepada

semua umat.15

Generasi sahabat dipandang generasi terbaik16

dalam menjaga

kemurnian Islam. Menurut Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī (w. 1435

H/2014 M),17

yang menyebabkan mereka dipandang sebagai generasi terbaik

adalah karena memiliki dua keistimewaan, yaitu: Pertama, penguasaan

bahasa Arab yang matang dan murni dari pengaruh masyarakat luar Arab.

Kedua, fitrah agama Islam yang suci yang selalu mengajak kepada ketaatan

dan ketundukan. Menurutnya pula, bahwa kebutuhan untuk menentukan

standar (ukuran) ilmiah di dalam mengelaborasi (menggarap) hukum dari Al-

Qur‟an dan Sunnah adalah hal yang baru karena lemahnya pengetahuan

tentang bahasa Arab. Atau, karena perbedaan yang timbul di antara beberapa

golongan di dalam usaha mereka untuk memahami naṣṣ (teks) dan adanya

perbedaan pendapat yang timbul dari pemahaman itu. Kedua sebab ini tidak

ada pada masa sahabat terutama pada fase-fase awal.

Sesungguhnya sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al-

Qur‟an dan Sunnah adalah sumber rukun iman yang harus dijunjung tinggi

oleh tiap-tiap individu Muslim, sumber praktik-praktik ritual yang mesti

mereka jalankan, serta ajaran-ajaran moral dan etika yang mereka hormati

atau anuti. Oleh karenanya Al-Qur‟an dan Sunnah adalah pedoman bagi umat

Islam dalam mengembangkan hubungan-hubungan, baik individual, sosial,

kultural, maupun emosional.

Dasar pemikiran sebuah wacana Islam adalah bahwa setiap Muslim

bertanggung jawab untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang menjadi

kewajiban agama. Salah satu kewajiban seorang Muslim adalah untuk

mendakwahkan Islam kepada orang lain, baik sesama Muslim maupun non-

15

Lihat, Muḥammad al-Ghazālī, Tafsir Tematik dalam Al-Qur’an, terj. M. Qodirun

Nur dan Ahmad Musyafiq, Cet. ke-1 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1425 H/2005 M), 75. 16

Masuk kategori “generasi terbaik” di sini adalah mulai masa Nabi Muhammad

saw hingga abad ketiga Hijriyah, yakni masa sahabat, tābiʻīn, dan atbāʻ al-tābiʻīn. Hal inilah,

menurut kalangan pengikut Wahabi, yang masuk kategori al-Salaf al-Ṣāliḥ, karena masa

setelah itu disebut kaum khalaf, yakni suatu kaum/golongan yang hidup setelah masa atbā’

al-tābiʻīn tersebut. 17

Lihat, Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī, al-Salafīyah: Marḥalah Zamanīyah

Mubārakah Lā Madhhab Islāmī, Cet. ke-2 (Damaskus: Dār al-Fikr, 2001), 27. Muḥammad

Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī ini merupakan salah seorang pemikir Islam berkebangsaan Suriah,

beliau meninggal dunia saat seusai mengajar majelis taklim di sebuah masjid yang berada di

Suriah, yakni pada tahun 2014.

Page 14: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

5

Muslim.18

Terlebih ditujukan sesama Muslim guna memperbaiki sikap,

perilaku, moral hingga keyakinan atas dasar Islam yang konkret. Tidak

terkecuali termasuk golongan Wahabi, di mana mereka mengklaim sebagai

aṣhāb al-daʻwah wa al-dīnīyah (para penggiat dakwah dan keagamaan).19

Keunikan gerakan ini, ia tidak membentuk sistem organisasi dakwah secara

khusus. Dakwah berjalan alami melalui ḥalaqah20

ilmu, majelis taklim,

khutbah, penulisan kitab-kitab,21

pemberian fatwa, amar maʻrūf dan nahī

munkar, bahkan al-jihād fī sabīlillāh.22

18

Dalam berdakwah sesama Muslim justru lebih utama dibanding kepada non-

Muslim, hal ini mengingat bahwa “meng-Islam-kan orang Islam” termasuk kategori jihad.

Jihad merupakan sebuah manifestasi iman seseorang dalam mempertahankan

keyakinanannya. Dengan demikian, ketika seseorang mengajak kepada kebajikan maka ia

pun dituntut untuk melakukan terlebih dahulu, khususnya dari apa yang diajak itu. Lihat,

Endang Madali, Kesalehan Individu dan Sosial dalam Ber-Amar Ma‟rūf dan Nahī Munkar,

Cet. ke-1 (Ciputat: Cinta Buku Media, 2013), 12. 19

Gerakan Wahabi tidak berbeda jauh dengan gerakan Ikhwān al-Muslimīn di

Mesir, Jamāʻah Tablīgh di India, Ḥizbu al-Taḥrīr di Yordania, Jamāʻah Islāmīyah di

Pakistan, Hamas di Palestina, atau Masyumi di Indonesia. Bahkan gerakan Wahabi lebih tua

usianya daripada gerakan-gerakan dakwah lainnya, yaitu sudah muncul sekisar tahun 1750 M

(abad ke-18 M). Penyandingan gerakan dakwah ini merupakan misi tiap-tiap keunikan

mereka dalam menerapkan sistem dan metode dalam berdakwah. Seperti Jamāʻah Tablīgh

merupakan gerakan keagamaan transnasional yang pada mulanya lahir dan berkembang di

India. Gerakan ini didirikan pada tahun 1926 M di Mewat India, tokoh pendirinya adalah

Shaykh Maulānā Muḥammad Ilyās Kandahlawī ibn Maulānā Ismāʻīl al-Kandahlawī (1885-

1944 M). Uniknya, istilah “Jamāʻah Tablīgh” bukanlah berasal dari mereka sendiri, akan

tetapi dari orang luar jamaah yang menjuluki mereka karena melaksanakan aktivitas tabligh

secara berjamaah. Sedangkan bagi komunitas ini menyebut gerakan mereka sebagai gerakan

iman (taḥrīk al-īmān). Lihat, Yusran Razak, Jamaah Tabligh: Ajaran dan Dakwahnya,

Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008, 28. 20

Istilah “ḥalaqah” secara bahasa berarti lingkaran, sedangkan menurut istilah,

ḥalaqah dapat didefinisikan sebagai pengajian di mana orang-orang yang ikut di dalamnya

duduk melingkar, biasanya terdiri dari 5-6 orang atau lebih yang dipimpin seorang murabbī

untuk membahas hal-hal yang bersifat ilmiah (keilmuan). Tradisi ḥalaqah sangat umum di

Timur Tengah, terutama di Masjid Makkah al-Mukarramah dan Masjid Madinah al-

Munawwarah. Setiap hari dua masjid ini dipenuhi ḥalaqah-ḥalaqah yang mengkaji tentang

ilmu akidah, fikih, Al-Qur‟an, hadis, dan lain sebagainya. 21

Kitab-kitab/buku-buku berpaham Wahabi ini selalu dijadikan rujukan bagi para

pengikut Salafi Wahabi, seperti yang dikarang oleh Ibn Taymīyah, Ibn Qayyim al-Jawzīyah,

Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, Ibn Kathīr, Shams al-Dīn al-Dhahabī, „Abd al-„Azīz ibn

„Abd Allāh ibn Bāz, Muḥammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Ibn Ṣāliḥ al-„Uthaimin, Ṣāliḥ ibn

Fawzān ibn „Abd Allāh al-Fawzān, Muḥammad ibn Ibrāhīm Ālu al-Shaykh, dan para tokoh

lainnya. 22

Lihat, AM. Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi:.., 245.

Page 15: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

6

Salah satu kunci keberhasilan dakwah Wahabi, ialah adanya

dukungan penuh dari institusi negara (Keluarga Kerajaan Ibn Saʻūd).23

Juga,

gerakan Wahabi ini memperoleh kekuasaan karena dianut oleh Muḥammad

ibn Sa‟ūd dari Dir‟īyah, pendiri Kerajaan Saudi Arabia.24

Dakwah Ibn „Abd

al-Wahhāb terinspirasi oleh kondisi masyarakat Muslim di Najd25

yang

banyak menyimpang dari sisi akidah, syariat, dan akhlak. Oleh karenanya

muncul motivasi yang kuat dalam menyebarkan misi-misi dakwah yang

diyakininya.

Reformisme Wahabi mengambil posisi yang ekstrem dalam

penolakan keyakinan dan pemujaan terhadap para wali atau terhadap setiap

manusia sebagai bentuk syirik atau politeisme. Wahabi juga menolak model

teologi Sufi yang bersifat panteistik. Ibn „Abd al-Wahhāb dan para

pengikutnya menegaskan bahwa Al-Qur‟an dan Nabi Muhammad saw

merupakan satu-satunya otoritas Muslim yang paling valid atau absah.

Dengan demikian, kalangan Wahabi selalu mengklaim bahwa golongannya

lah yang termasuk kategori firqah nājiyah (kelompok yang akan selamat).

Hal ini, karena mereka berkeyakinan sudah melaksanakan berbagai perintah

agama (ummah al-ijābah).26

Di Indonesia, nama “salafi” secara khusus mulai populer pada tahun

1995 bersamaan dengan terbitnya Majalah Salafi yang dibidani oleh Jaʻfar

„Umar Ṭālib dan kawan-kawannya.27

Nama Salafi ini dinisbatkan kepada

golongan Wahabi yang sudah ada sejak sekitar 287 tahun lalu di Dirʻīyah,

Saudi Arabia, yang ditandai dengan adanya upacara sumpah penetapan Ibn

Saʻūd sebagai amīr dan Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb sebagai imām

urusan agama pada tahun 1744 M oleh mereka berdua, sebagai tonggak awal

perjuangan dakwah Wahabi.28

23

Lihat, J. B. Kelly, Eastern Arabian Frontiers, 53-54; Lihat pula, Natana J.

Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad, 39. 24

John Obert Voll, Islam: Continuity and Change in the Modern World, Edisi II

(New York: Syracuse University Press, 1982), 60. 25

Najd sekarang masuk ke dalam kawasan Kota Riyadh, Saudi Arabia. 26

Lihat, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf, Cet. ke-1

(Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2008), 35-36; Lihat pula, Ala‟ Bakar, Studi Dasar-dasar Manhaj

Salaf, 45. 27

Noorhaidi Hasan, “Reformasi, Religious Diversity, and Islamic Radicalism after

Suharto”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, Vol. 1 (2008), 39,

http://www.kitlv-journals.nl/ index.php/jissh/index. 28

Gerakan puritan kaum Wahabi muncul seiring Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb

menyaksikan merajalelanya praktik-praktik takhayul yang menjurus pada perbuatan syirik di

berbagai wilayah di Arab dan sekitarnya, karena itu ia bertekad untuk memberantasnya.

Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 25; Lihat pula, Charles Allen, God’s Terrorists: The

Wahhabi Cult and the Hidden Roots of Modern Jihad (Cambridge: Da Capo Press, 2006),

52; Bandingkan dengan, J. B. Kelly, Eastern Arabian Frontiers, 62.

Page 16: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

7

Kendati demikian, sejak awal tahun 1980-an, terjadi perkembangan

dakwah yang lebih berbeda di Indonesia daripada sebelumnya. Hal itu

disebabkan oleh kedatangan elemen-elemen pergerakan dakwah Islam dari

luar negeri ke Indonesia. Terlebih, pada tahun 1970-an merupakan tahun

“internasionalisasi” bagi jamaah-jamaah dakwah tertentu, sehingga di tahun

1980-an mulai muncul ke permukaan kelompok-kelompok dakwah, seperti

Tarbīyah (Ikhwān al-Muslimīn), Jamāʻah Tablīgh (JT), Ḥizbut Taḥrīr (HT),

Jamāʻah Islāmīyah (JI), dan lain-lain.29

Di Indonesia pula, gejala semakin tumbuhnya komitmen umat Islam

untuk menjalankan agamanya secara baik merupakan bagian dari potret

global kebangkitan agama. Salah satu kebangkitan agama di Indonesia dapat

dilihat lewat krisis modernitas.30

Proses materialisasi kehidupan,

terpinggirnya spiritualitas dan menonjolnya nilai-nilai rasionalitas yang

diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi merupakan bagian dari

kebangkitan agama dalam merespon berbagai problematika kontemporer.31

Terlebih, bila dilihat dari maraknya pengajian-pengajian yang dilakukan oleh

kalangan menengah ke atas. Juga di masjid-masjid kampus, perumahan-

perumahan terlihat kelompok-kelompok kajian keislaman yang kian ramai.

Pengertian dakwah secara literal berarti “panggilan keagamaan” yang

dibebankan pada setiap individu. Tujuan dakwah secara umum mengarah

pada pembentukan pribadi Muslim yang lebih baik. Islam merupakan sebuah

konsep yang melampaui batas-batas geografi dan demografi di belahan dunia

ini.32

Dengan semaraknya kegiatan-kegiatan Islam sebagaimana disebutkan

di atas, sebagai suatu indikasi kebangkitan Islam itu sendiri.

29

Lihat, Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Cet. ke-1

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), ix-x; Lihat pula, Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah

Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama, Cet. ke-20

(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), 39. 30

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, 13. 31

Mazen Hashem, “Contemporary Islamic Activism: The Shades of Praxis”,

Sociology of Religion, Vol. 67, No. 1, http://www.jstor.org (Spring, 2006), 26 (diakses pada

02 Juli 2012). 32

Sebagaimana kebanyakan agama lainnya, kontak Indonesia dengan Islam masa

awal dimungkinkan berjalan lewat para pedagang yang mengikuti rute perdagangan yang

sudah ada sebelumnya. Selama kekuasaan „Umar ibn al-Khaṭṭāb (13-23 H/634-643 M)

wilayah Islam, yang disebut sebagai Dār al-Islām, telah menguasai sebagian besar dari

kerajaan Byzantium (Romawi) dan Persia, dan perkembangan berikutnya benar-benar

menunjukkan pertumbuhan yang cepat, baik dari segi wilayah maupun pertumbuhan

masyarakat Islam. Dengan demikian, bisa dipahami kalau ekspansi Islam itu dapat menyebar

ke berbagai arah, tak terkecuali benua Asia, termasuk Asia Tenggara. Lebih lanjut mengenai

pembahasan tentang ekspansi Islam masa awal, dapat dilihat pada W. Wilson Cash, The

Expansion of Islam: An Arab Religion in the Non-Arab World (London: Church Missionary

Society, 1928); H. A. R. Gibb, Mohammedanism: A Historical Survey (London: Oxford, and

New York: Oxford University Press, 1970), 1-15; C. A. O. van Nieuwenhuijze, The Life

Styles of Islam: Recourse to Classicism, Need of Realism (Leiden: E. J. Brill, 1985), 18-36;

Page 17: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

8

Beberapa tahun terakhir, tepatnya pasca-jatuhnya Soeharto yang

menyebabkan terjadinya aksi-aksi yang bertolak belakang dengan kelompok

mayoritas Muslim di negeri ini yang lebih dikenal toleran dan moderat di

tengah-tengah masyarakat. Runtuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru dalam

memunculkan gerakan-gerakan sosial, politik dan keagamaan baru.33

Begitu

peluang kebebasan terbuka, muncul banyak organisasi sebagai wadah bagi

penyuaraan aspirasi. Munculnya gerakan secara masif (besar, kuat) itu

dimungkinkan karena adanya respon sosial politik yang tertunda (delayed

responses) terhadap sistem politik yang otoriter Orde Baru.34

Dengan

demikian, tidak mengherankan bila muncul gerakan-gerakan sosial politik

yang bertolak belakang dengan gerakan-gerakan mono-ideologi yang terjadi

pada masa Orde Baru dengan sistem demokrasi terpimpin oleh Soeharto.

Salah satu tokoh Nasional Nahdlatul Ulama (NU), Said Agil Siraj,35

berpendapat bahwa setiap muslim hendaknya memiliki dasar penghayatan

agama yang ḥanīf (lurus), yaitu meliputi; toleran, moderat, dan akomodatif.

Ketiga sikap ini, setidaknya dapat menyatukan umat Islam dan mewujudkan

masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang. Namun, kondisi ini

dikejutkan oleh kehadiran sekelompok orang dengan ciri-ciri yang khas:

memakai baju koko putih, bersorban atau berpeci, memelihara janggut,

celana warna gelap di atas mata kaki. Satu sisi, dengan menggunakan sorban

dan memelihara janggut merupakan hal yang baik lagi sunnah, di sisi lain

dalam kajian Islam merupakan hal yang bersifat sosial yang hendaknya

diseimbangkan dengan amalan-amalan agama yang selaras dengan sosial

Khalid Yahya Blankinship, The End of the Jihād State: The Kingdom of Hisham ibn ‘Abd al-

Mālik and the Collapse of the Umayyads (Albany: State University of New York Press,

1994), 11-35; Berkenaan ekspansi Islam tersebut di atas telah dikutip oleh Ahmad Haris,

Bidʻah dalam Literatur Islam, 23; Hal ini dapat pula dilihat Fazlur Raḥmān, Islam, 7-24. 33

Salah satu fenomena Islam di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru adalah

menguatnya fundamentalisme Islam (al-uṣūlīyah al-islāmīyah). Fenomena ini bisa dilihat

dari fenomena Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), dan Majelis Mujahidin Indonesia

(MMI). Ketiganya memiliki persamaan agenda yang mengklaim tengah berjuang untuk

menegakkan syariat Islam sebagai al-manhaj al-salafī (cara hidup Islam ortodoks [masa

Nabi dan al-Khulafā’ al-Rāshidūn]). Ekspresi gerakan ketiga organisasi ini memang berbeda.

MMI, misalanya, ingin memperjuangkan agenda penerapan syariat Islam lewat cara damai

dalam bingkai sistem politik demokrasi yang diusung Orde Reformasi. Sementara Laskar

Jihad dan Front Pembela Islam (FPI) sering menampilkan tindak kekerasan. Lihat, Sukron

Kamil, Islam & Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI,

Antikorupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syariah, Cet. ke-1 (Ciputat: PSIA UIN

Jakarta, 2013), 163. 34

Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, Fundamentalisms Observed (Chicago:

The University of Chicago Press, 1991), 9. 35

Said Agil Siraj, “Kata Pengantar”, dalam Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah

Sekte Salafi Wahabi:.., 9. Said Agil Siraj ini mendapat beasiswa dari Saudi Arabia, dan

menempuh ilmu di sana selama 14 tahun, yaitu terhitung sejak 1980 hingga 1994. Lihat, AM.

Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi:.., 67.

Page 18: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

9

yang tinggi guna menjaga keharmonisan masyarakat dan ukhuwah Islamiyah

sebagai tolok ukur keberagaman dalam mengamalkan suatu ajaran yang

murni.

Stephen Sulaiman Schwartz, seorang Muslim Amerika yang menjadi

Direktur Eksekutif Center for Islamic Pluralism, sebagaimana yang

diungkapkan oleh Azyumardi Azra,36

membuat kategorisasi antagonis secara

sosio-kultural dan epistemologis terhadap Islam; Islam moderat dan Islam

fundamental/puritan. Secara sosio-kultural, Islam moderat memiliki wajah

yang ramah, bersahabat, toleran, dan inklusif yang siap berdampingan hidup

dengan para penganut keyakinan yang berbeda. Sementara itu, Islam

fundamental/puritan dikategorisasi sebagai berwajah garang, mudah marah,

tidak toleran, dan eksklusif. Sedangkan secara epistemologis, pihak pertama

dikenali sebagai Islam berwajah kontekstual, mengakui perbedaan dan

keragaman, dan bisa berbagi ruang untuk kebenaran yang berbeda. Adapun

pihak kedua dikenali memiliki wajah tekstual, menginginkan keseragaman,

dan mengklaim hanya kelompoknya yang benar.

Oleh karena itu, hal-hal yang bersifat simbolik tidaklah cukup untuk

mewakili bahwa ia telah mengamalkan suatu ajaran agama secara sempurna.

Terlebih, dalam ajaran Islam tidak bisa diwakili hanya dengan simbol-simbol

belaka. Dalam mengkaji dan memahami beberapa masalah yang berkaitan

dengan sosiologi agama hendaknya kita harus mendeteksi berbagai

gejala/fenomena-fenomena masyarakat secara komprehensif, sebab seluruh

tindakan pada masyarakat juga dapat memengaruhi terhadap perilaku

keagamaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.37

Perilaku keagamaan seseorang akan bermakna bila menjunjung tinggi

kebersamaan dan keharmonisan dalam lingkungan hidup seseorang. Terlebih,

Islam sangat menjunjung tinggi persaudaraan dan rahmat bagi seluruh umat,

sehingga sosiologi keagamaan banyak dipengaruhi oleh adat istiadat atau

budaya hidup masyarakat yang notabene menjadi kebutuhan hidup bersama.

Dengan demikian akan terjadi kristalisasi suatu norma yang baku, sekaligus

merupakan tatanan sosial yang mengandung niai-nilai religius.

Terkadang agama merupakan suatu kekuatan radikal, bukannya

konservatif. Seperti halnya adanya gerakan-gerakan revitalisasi atau

milenarian di seluruh dunia dan sepanjang sejarah manusia.38

Gerakan-

gerakan sosial semacam itu merupakan radikalisasi dalam area religius dan

politik yang berimbas pada perubahan dunia menurut cara pandang yang

36

Azyumardi Azra, “Islam Indonesia; Masalah Tradisi”, dalam Supani, Kontroversi

Bidʻah dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat Muslim di Indonesia, Cet. ke-1 (Purwokerto:

STAIN Press, 2013), iii. 37

Rohadi Abdul Fatah, Sosiologi Agama, Cet. ke-1 (Ciputat: Kencana Mas, 2004),

16-17. 38

Rohadi Abdul Fatah, Sosiologi Agama, 14.

Page 19: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

10

fundamental seperti gerakan Wahabi,39

Ikhwān al-Muslimīn, Ḥizbut Taḥrīr,

Jamāʻah Islāmīyah, dan lain sebagainya. Islam Indonesia secara mayoritas

dikelompokkan sebagai Islam wasaṭīyah, yang diwakili oleh Nahdlatul

Ulama/NU (berdiri di Surabaya, 1926), Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti

(berdiri di Minangkabau, 1926), al-Jāmiʻah al-Washlīyah (berdiri di

Sumatera Utara, 1930), Mathlaʻul Anwār (berdiri di Menēs Banten, 1916),

Nahdlatul Wathan (berdiri di Lombok, 1934), Muhammadiyah (berdiri di

Yogyakarta, 1912), Persatuan Islam/Persis (berdiri di Bandung, 1920),

Jāmiʻat Khair (berdiri di Jakarta, 1901), Persatuan Umat Islam/PUI (berdiri di

Majalengka, 1917), dan banyak organisasi arus utama lain. Muhammadiyah

dan Persis sebagian pemikirannya, terutama dalam masalah tradisi lokal,

lebih dekat dengan pemikiran Salafi, karena berusaha memerangi bentuk

apapun yang berbau takhayul, khurafat, dan bidʻah.40

Juga, ada organisasi

masyarakat (Ormas) Islam yang relatif baru didirikan di Indonesia, yaitu

HASMI (Ḥarakah Sunnīyah untuk Masyarakat Islami). Salah satu misi

dakwahnya adalah menegakkan tauhid dan melenyapkan berbagai bentuk

syirik.41

39

Meskipun awalnya kaum Wahabi sebagai pengikut Muḥammad ibn „Abd al-

Wahhāb, yang mana ia sendiri telah menyatakan sebagai penerus Ibn Taymīyah, dan Ibn

Taymīyah dikenal sebagai salah seorang ulama Mazhab Ḥanbalī, namun kaum Wahabi

sangat jarang mewarisi tradisi intelektual Ibn Taymīyah dan Aḥmad ibn Ḥanbal. Bahkan,

kecenderungan Wahabi malah menjadi kelompok literalis dan terlalu mudah menyerang

kelompok lain. Serangan tidak hanya berupa tuduhan bidʻah, sesat, dan bahkan syirik.

Sejarah juga menunjukkan mereka melegalkan serangan fisik. Tidak sedikit sejarawan

menyatakan terjadinya pembantaian. Apalagi ketika mereka berkolaborasi (bekerja sama)

dengan kekuasaan Bani Saʻud di Kerajaan Arab Saudi. Selanjutnya lihat, Marshall G.S.

Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2 (Chicago: The University of Chicago Press, 1974),

161; Lihat, Khaled Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (terj.) (Jakarta:

Serambi, 2005), 71; Lihat pula, A. Shihabuddin, Membongkar Kejumudan: Menjawab

Tuduhan-tuduhan Salafi Wahhabi, Cet. ke-1 (Jakarta: Noura Books, 2013), v. 40

Paham keagamaan dapat dikategorikan dua kelompok, yaitu; kelompok Islam

modernis dan kelompok Islam tradisionalis. Lebih lanjut dapat dilihat, Azyumardi Azra,

“Islam Indonesia; Masalah Tradisi”, iii; Lihat juga, Rumadi, Post-Tradisionalisme Islam:

Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, Cet. ke-1 (Jakarta: Direktorat Pendidikan

Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, dan Departemen Agama Republik

Indonesia, 2007), 35. 41

HASMI adalah suatu organisasi masyarakat (Ormas) Islam yang dilahirkan di

Indonesia dengan tujuan terciptanya masyarakat islami. Ormas ini bergerak dan berupaya

mendakwahkan Islam dengan cara tenang dan santun, membentuk masyarakat Rabbani yang

sesuai dengan syariat Islam. Berdirinya HASMI secara resmi dengan akta notaris baru pada

tahun 2005. Beberapa inti dakwah HASMI, yaitu; tegakkan tauhid, lenyapkan syirik,

terapkan syariat Islam, wujudkan masyarakat islami, hidupkan sunnah, matikan bidʻah, dan

tinggalkan kemaksiatan. Kata “Sunniyah” sendiri menekankan bahwa ḥarakah ini berjalan di

atas Sunnah Rasulullah saw dan menolak seluruh bidʻah. Secara umum, istilah “bidʻah”

digambarkan sebuah keyakinan atau praktik hal-hal yang tercela atau salah. Namun, dari sisi

kebahasaan, bidʻah tidak lebih dari sebuah istilah generik yang berarti inovasi (badaʻa al-

Page 20: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

11

Kaum Salafi Wahabi misalnya -- atau mereka yang lebih suka disebut

dengan kaum al-muwaḥḥidūn (orang-orang yang bertauhid), meskipun

sebutan ini juga masih belum tepat -- adalah penerus paham Ibn al-Taymīyah

yang “diadoni” dengan radikalisme dan penyimpangan Muḥammad ibn „Abd

al-Wahhāb.42

Selain sikap kerasnya yang menonjol, golongan ini juga sering

menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadis Nabi saw secara tekstual (apa

adanya kalimat) dan literal (harfiah), serta menafikan arti majāzī (kiasan) dan

ta’wīl.43

Oleh karena itu, mereka menjasmanikan (tajsīm) dan menyerupakan

(tashbīh) Allah swt secara hakiki dengan makhluk-Nya.44

Golongan mushabbihah mengatakan bahwa Allah itu bertangan,

bermuka, berkaki dan bertubuh seperti halnya manusia -- notabene sebagai

ciptaan Allah swt jua. Golongan ini pula dapat disebut sebagai golongan

mujassimah, yakni kaum yang menubuhkan, karena mereka menubuhkan

Tuhan, mengatakan Tuhan bertubuh yang terdiri dari darah daging, bermuka,

bermata, bertangan, berkaki, dan bahkan ada yang mengatakan bahwa Tuhan

itu berkelamin dan kelaminnya itu adalah laki-laki.45

Mayoritas kaum

mushabbihah atau mujassimah ini berasal dari orang-orang yang menganut

shay’), sesuatu yang ditemukan tanpa ada contoh sebelumnya atau dapat disebut khilāf al-

sunnah. Lihat, Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, Jilid I (t.tp.: Dār al-Lisān al-„Arab, 1970), 174;

Aḥmad Riḍā, Muʻjam Matn al-Lughah, Jilid I (Beirut: Dār Maktabah al-Hidāyah, 1958),

254; Muḥammad „Ajjāj al-Khaṭīb, Uṣūl al-Hadīth: ‘Ulūmuhū wa Musṭalaḥuhū (Beirut: Dār

al-Fikr, 1427 H/2006 M), 16; Lihat pula, Ahmad Haris, Bidʻah dalam Literatur Islam, Cet.

ke-1 (Jakarta: Referensi, 2012), 207. 42

Munzir Tamam, “Kata Pengantar”, dalam Syaikh Idahram, Ulama Sejagad

Menggugat Salafi Wahabi, Cet. ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), 19. 43

Menurut Muḥammad Jawwād Mughnīyah, bahwa kaum Wahabi tetap pada

pendiriannya terhadap penggunaan nas, baik Al-Qur‟an maupun Sunnah, secara tekstual dan

literal dalam memahami sifat-sifat Allah, bahkan, menurut Jawwād, kaum Wahabi

berpendapat bahwa bagi siapa saja yang mentakwilkan suatu ayat dapat dikategorikan kafir,

karena sudah berdusta di sisi Allah dan Rasul-Nya. Lebih lanjut lihat, Muḥammad Jawwād

Mughnīyah, Hādhī Hiya al-Wahhābīyah (t.tp.: t.pt., tt.), 54, 66. 44

Pembahasan tentang mujassimah dan mushabbihah yang dinisbatkan pada Ibn

Taymīyah dapat dilihat pada buku Siradjuddin Abbas, Iʻtiqad Ahlussunnah wa al-Jama’ah,

Cet. ke-21 (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1996), 262-269. KH. Siradjuddin Abbas ini adalah

salah seorang sarjana yang, menurut pengakuannya sendiri, belajar di Makkah selama 7

tahun (1927-1933) dan tetap setia pada prinsip-prinsip tradisionalis, di mana salah satu karya

tulisannya seperti 40 Masalah Agama, secara substansi dari kajian bukunya itu ialah tetap

mempertahankan tradisionalisme dan Syafiʻismenya. Untuk lebih mendalami kajian

Siradjuddin Abbas ini, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Haris dalam bukunya Bidʻah dalam

Literatur Islam, dapat ditelusuri pada Howard M. Federspiel, “The Endurance of Muslim

Traditionalist Scholarship: An Analysis of the Writings of the Indonesian Scholar Sirajuddin

Abbas”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Toward A New Paradigm: Recent Developments in

Indonesian Islamic Thought (Tempe: Arizona State University, 1996), 193-320. 45

Lihat, Ibn Abī al-Ḥadīd, Nahju al-Balāghah, Juz III (Kairo: „Īsā Bābī al-Halabī,

1385 H/1965 M), 225; Lihat pula, Siradjuddin Abbas, Iʻtiqad Ahlussunnah wa al-Jamaʻah,

253.

Page 21: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

12

mazhab Ḥanbalī, kendati demikian Imam Aḥmad ibn al-Ḥanbal tidak

berkeyakinan sebagaimana mereka.46

Kaum mushabbihah mengatakan bahwa ayat-ayat seperti, “Dan wajah

Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal” (QS. al-

Raḥmān [55]: 27) atau, “Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka” (QS.

al-Fatḥ [48]: 10), bahwa Tuhan mempunyai muka dan itulah yang kekal dan

mempunyai tangan yang lebih tinggi dari tangan manusia.47

Dalam hal ini,

kaum mushabbihah mengartikan ayat-ayat tersebut secara lahiriyahnya saja.

Kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jamāʻah menentang pemahaman ini, karena

menurut mereka di sisi lain ada ayat yang menjelaskan tentang tiada yang

dapat menyerupai seseorang atau sesuatu apapun yang dinisbatkan kepada

Tuhan (QS. al-Shūrā [42]: 11). Apabila kaum mushabbihah mengatakan

demikian, maka Tuhan berarti bermuka dan bertangan sebagaimana halnya

ciptaan-Nya sendiri, manusia, tentunya hal ini adalah mustahil bagi Allah

swt. Oleh karenanya kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jamāʻah men-ta’wīl-kan

kata “al-wajh” dengan, “Dan yang kekal adalah Zat-Nya yang qadīm” yang

“mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. Demikian pula pada ayat kedua,

dengan mengatakan, “Kekuasaan Allah di atas dari kekuasaan manusia”.48

Namun, bila kita melihat penjelasan dari Kitab Shaykh al-Islām Ibn

Taymīyah,49

seperti Sharh al-ʻAqīdah al-Wāsiṭīyah li Shaykh al-Islām ibn

Taymīyah -- sebagai inspirator dari Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, tokoh

utama kaum Salafi Wahabi -- dinyatakan bahwa mustahil (tidak mungkin)

bagi Allah dapat diserupakan dengan makhluk-Nya.50

Misalnya orang-orang

yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki

oleh makhluk, memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh

makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki

46

Siradjuddin Abbas, Iʻtiqad Ahlussunnah wa al-Jamaʻah, 253. 47

Siradjuddin Abbas, Iʻtiqad Ahlussunnah wa al-Jamaʻah, 255. 48

Siradjuddin Abbas, Iʻtiqad Ahlussunnah wa al-Jamaʻah, 255-256. 49

Gelar “Shaykh al-Islām” bukan hanya dimiliki oleh Ibn Taymīyah. Dalam sejarah

keilmuan Islam, gelar Shaykh al-Islām juga disandang oleh tujuh orang, yaitu: Ibn Qudāmah

al-Maqdisī, „Izz al-Dīn ibn „Abd al-Salām, al-Imām al-Nawawī, Taqī al-Dīn ibn Daqīq al-„Īd,

Taqī al-Dīn ibn Taymīyah, Taqī al-Dīn al-Subkī, dan Ibn Ḥajar al-Asqalānī. Taqī al-Dīn Ibn

Taymīyah mendapatkan gelar ini, menurut hemat Syaikh Idahram, karena para pengikutnya

selalu mengagung-agungkan dirinya dengan gelar tersebut dan tidak menyebut dirinya

kecuali dengan gelar itu. Di sisi lain, menurut hematnya lagi, pendanaan kelompok yang satu

ini cukup kuat, sehingga penyebaran buku-buku yang memuat nama Ibn Taymīyah dengan

gelar Shaykh al-Islām begitu banyak di masyarakat Muslim. Kondisi ini berimplikasi kepada

intensitas penyebutan nama Shaykh al-Islām cenderung kepadanya. Lihat Syaikh Idahram,

Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, 63. 50

Saʻīd ibn „Alī ibn Wahf al-Qahṭānī, Syarh Aqidah Wasithiyah Syaikh al-Islam

Ibnu Taimiyah, terj. Hawin Murtadha (Solo: At-Tibyan, tt.), 30.

Page 22: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

13

oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang mustahil atau batil

bagi Allah swt.51

Ketika Ibn Taymīyah berusaha untuk berlepas diri dari paham tashbīh

atau tajsīm, yakni bahwa anggota-anggota badan yang dinisbatkan kepada

Allah swt, seperti wajah, tangan, kaki dan lain sebagainya tidak boleh

diserupakan dengan anggota-anggota badan makhluk lainnya. Bahkan, harus

dipastikan bahwa Allah tidak dapat diserupai oleh seseorang atau sesuatu apa

pun. Namun harus ditegaskan pula bahwa Dia memiliki anggota-anggota dan

sifat-sifat, seperti bersemayam di atas ʻArsh, tanpa menjelaskan bagaimana

keadaannya (bilā kayf).52

Dorongan Al-Qur‟an yang terus-menerus kepada orang Islam agar

mencintai orang lain dan menyatukan barisan adalah untuk menumbuhkan

rasa cinta pada orang lain, mengutamakan kepentingan orang lain, berbuat

kebaikan pada individu dan masyarakat, memperlemah rasa benci dan marah,

menghilangkan perbuatan zalim dan permusuhan, serta memperlemah

kecenderungan cinta diri dan egois.53

Terlebih, dalam beragama yang

ditekankan adalah terwujudnya ikatan kasih sayang, sifat tolong-menolong,

saling menghargai, toleran satu sama lain, hingga bekerja sama dan

mengusung semangat persaudaraan. Dalam penelitian sosiologi agama,

praktik pengamalan agama bisa saja berbeda dengan apa yang terkandung

dalam doktrin kitab suci. Terlebih, sosiologi agama bukan mengkaji benar

atau salahnya suatu ajaran agama, tetapi yang dikaji adalah bagaimana agama

tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya.54

51

Menurut salah seorang pengikut Salafi Wahabi, „Abd al-„Azīz ibn „Abd Allāh ibn

Bāz, selain tamthīl atau tashbīh yang menyerupakan makhluk dengan Pencipta, seperti

orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masīḥ putera Maryam dengan Allah swt dan

orang-orang Yahudi yang menyerupakan „Uzayr dengan Allah pula. Juga, yang

menyerupakan Pencipta dengan makhluk, ada pula tashbīh jenis ketiga, yaitu menyerupakan

Sang Pencipta dengan ma’dūmāt (sesuatu yang tidak ada), yang mustahil, tidak sempurna,

dan benda-benda mati. Menurut Ibn Bāz, inilah tashbīh yang dilakukan oleh orang-orang

yang menganut paham Jahmīyah dan Muʻtazilah. Lihat, Sa‟īd ibn „Alī ibn Wahf al-Qahṭānī,

Syarh Aqidah Wasithiyah Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, 30-31. 52

Berkenaan tashbīh atau tajsīm ini, penulis telah mewawancarai bersama Ahmad

Farhan Hamim, Sekretaris Yayasan Al-Sofwa, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, bahwa ketika

seseorang memahami yad Allāh (tangan Allah) misalnya, tetap dipahami sebagai tangan

Allah, tanpa tamthīl (penyerupaan), tanpa taʻṭīl (peniadaan), juga bilā kayf (tanpa bertanya

bagaimana). Dengan demikian, bagi Ahmad Farhan, pemahaman ini dapat diarahkan tanpa

ta’wīl yang berlebihan. Hasil wawancara bersama Ahmad Farhan Hamim, pada Jumʻat, 10

April 2015. Lihat pula, Muḥammad Abū Zahrah, Ibn Taymīyah: Ḥayātuhū wa ‘Aṣruhū,

Ārā’uhū wa Fiqhuhū (Kairo: Dār al-Fikr al-„Arabī, tt.), 282. 53

Muḥammad „Uthmān Najātī, Psikologi Qur’ani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni,

terj. Hedi Fajar dan Abdullah, Cet. ke-1 (Bandung: Marja, 2010), 257. 54

Dalam kebebasan beragama berarti bahwa setiap orang bebas memilih, mengganti

dan mengamalkan agamanya sesuai dengan keyakinan (suara hati)-nya, asalkan ia tidak

mengganggu hak orang lain. Selanjutnya lihat, AP. Budiyono HD, Membina Kerukunan

Page 23: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

14

Agama yang terdapat dalam doktrin kitab suci merupakan das sollen,

sesuatu yang seharusnya terjadi. Sedangkan agama yang terdapat dalam

kenyataan adalah das sein, sesuatu yang tampak terjadi di lapangan. Antara

agama yang terdapat pada dataran das sein dengan yang terdapat pada das

sollen bisa saja terjadi kesenjangan. Inilah yang selanjutnya dianggap sebagai

problema yang harus didekati dengan melakukan berbagai kegiatan

pembaharuan melalui jalur pendidikan, dakwah, pembinaan, dan

sebagainya.55

Dari beberapa jalur pembaharuan tersebut diharapkan dapat

menyatukan umat dengan situasi dan kondisi di mana mereka hidup.

Dalam perspektif sosiologis yang menjadi konsentrasinya adalah

struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia, dan kebudayaan termasuk

agama.56

Dengan demikian, objek-objek pengetahuan, praktik-praktik, dan

institusi-institusi dalam dunia sosial, oleh para sosiolog dipandang sebagai

produk interaksi manusia dan konstruksi sosial. Agama adalah salah satu

bentuk konstruksi sosial.57

Dalam tatanan sosiologi keagamaan, masyarakat

merupakan suatu bentuk kehidupan sosial, interaksi sosial, yang diiringi

dengan nilai-nilai agama (religiusitas) yang mengkristal, juga dipengaruhi

oleh kultur-kultur sosial yang terjadi dalam komunitas masyarakat tersebut.

Dengan kesadaran bersosial yang tinggi dapat mengarah pada

keharmonisan dalam kehidupan masyarakat, baik komunitas yang terbatas

maupun komunitas yang lebih luas lagi, sehingga akan terbentuk suatu

jaringan sosial yang harmonis terhadap perilaku keagamaan seseorang dalam

kehidupan sehari-harinya.

Pengaruh sosiologi keagamaan secara langsung maupun tidak

langsung akan memengaruhi perilaku individu maupun sosial dalam

kehidupan masyarakat, hal ini karena masyarakat Indonesia adalah

masyarakat yang religius dan pluralis.58

Terlebih, menurut Nurcholish Madjid

(lahir 1939), cendikiawan Muslim Indonesia, kemajemukan atau pluralitas

umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan.59

Hal

ini pula selaras dengan firman Allah dalam surat al-Ḥujurāt (49) ayat 13:

Hidup Antar Umat Beriman 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 218; Lihat pula, Abuddin Nata,

Metodologi Studi Islam, Cet. ke-20 (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 402. 55

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 403. 56

Lihat, Peter Berger, The Social Reality of Religion (Hamondsworth: Penguin,

1993), 1; Lihat pula, Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. ke-28 (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 1999), 25. 57

Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, Cet. ke-

2 (Yogyakarta:LKiS, 2009), 271. 58

Rohadi Abdul Fatah, Sosiologi Agama, 16. 59

Dalam konsep filsafat Islam, Allah menghendaki adanya pluralitas dalam

kehidupan masyarakat, karena jika Allah menghendaki hanya ada satu umat saja tentu sangat

mudah bagi Allah untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, konflik sosial politik keagamaan

yang sering kali terjadi dengan mengambil bentuk-bentuk kekerasan pada dasarnya terjadi

Page 24: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

15

(49 /الحجرات :

13)

Wahai manusia, sungguh Kami ciptakan kalian dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kalian

berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling

memahami. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di

sisi Allah adalah orang yang paling bersih dari syirik. Sungguh

Allah Maha Mengetahui lagi Mahaluas ilmu-Nya. (QS. al-Ḥujurāt

[49]: 13).

Dari Kitab Suci tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa manusia

diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal

dan menghargai. Pada dasarnya manusia diciptakan dari hal yang satu; dari

diri (nafs) yang satu, dari Adam dan Hawa, sehingga mereka sama di

hadapan Allah swt, dan yang membedakan di antara mereka adalah

ketakwaan, yakni menjaga kekerabatan dalam mencapai rida Allah swt dan

membersihkan hati dari hal-hal yang mengotori diri. Terlebih, tidak ada celah

untuk saling sombong atau saling membanggakan diri, hal ini karena

semuanya bersumber dari keturunan yang sama.60

Di samping itu, dalam surat al-Rūm (30) ayat 22, dinyatakan bahwa

dengan adanya perbedaan bagi manusia, baik dari sisi bahasa maupun warna

tidak pada sumber ajaran agamanya, yang pada hakikatnya semua agama bersumber dari

Tuhan yang satu, dan hanya satu Tuhan yang ada, yang menciptakan dan memelihara semua

kehidupan yang ada ini, hanya saja agama-agama itu datang melalui jalan yang berbeda,

sehingga secara historik, kultural dan bahasa agama-agama itu mempunyai wajah dan nuansa

penampakan yang berbeda, sesuai dengan faktor historik, kultural dan bahasa yang ada.

Lebih lanjut lihat, Musa Asyʻari, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir, Cet. ke-3

(Yogyakarta: LESFI, 2002), 168; Lihat pula, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan

Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan

Kemoderenan, Cet. ke-1 (Jakarta: Paramadina, 1992), xviii. 60

Selanjutnya lihat, al-Imām Abī al-Fidā‟ al-Ḥāfiẓ Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān al-

‘Aẓīm, Jilid I-IV, Cet. ke-1 (Beirut: Dār al-Fikr, 1418 H/1997 M), 237-238; Lihat pula,

Wahbah Al-Zuḥaylī, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Sharīʻah wa al-Manhaj, Jilid

XXVI, Cet. ke-2 (Damaskus: Dār al-Fikr, 1991), 259-260.

Page 25: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

16

kulit hendaknya dapat dijadikan positif-optimis terhadap kemajemukan,

sehingga akan terwujud keharmonisan dan saling menghormati antara satu

sama lainnya. Hal ini pula dapat dijadikan acuan dalam menghargai

keberagaman berbagai hal, di antaranya sosial, budaya, hingga adat istiadat

yang berkembang di suatu wilayah atau negara.

Berkembangnya kelompok salafisme, merupakan ideologi salaf yang

mengajarkan umat Islam agar mencontoh perilaku Nabi Muhammad saw dan

para sahabat. Kelompok salafisme ini mereformulasi (merumuskan) paham

salafnya kepada aspek purifikasi (penyucian, pembersihan) agama, pemikiran

sosio-politik, metode pendidikan, dan metode pemikiran. Purifikasi agama

adalah paham yang menolak taklid yang ditawarkan oleh fikih dan teologi

dalam pemahaman Islam yang tradisional, dan bertujuan mengembalikan

segala permasalahan yang ada kepada sumber Islam yang sejati, yaitu Al-

Qur‟an dan Sunnah.61

Dengan demikian, munculnya Salafi di Indonesia lebih

toleran dibanding Salafi yang ada di negara Arab. Hal ini karena mereka

memahami bahwa di Indonesia masyarakatnya bersifat multi-kultural serta

pluralistik dari sisi perkembangan agama yang ada di negeri ini.62

Meski ada

sebagian salafi lain yang identik bersikap agresif terhadap segala kemunkaran

yang mereka saksikan dalam kehidupan sehari-hari.

Syariat Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang

dalam fikih menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual,

muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun muṭlaqah (teknik

operasionalnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga mengatur

hubungan antara sesama manusia dalam bentuk muʻāsharah (pergaulan)

maupun muʻāmalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup).

Di samping itu, ia juga mengatur hubungan dan tata cara keluarga, yang

dirumuskan dalam komponen munākaḥah. Untuk menata pergaulan yang

menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan

dalam komponen jināyah, jihād, dan qaḍā.63

Pemikiran sosio-politik yang ditawarkan oleh kelompok salaf dapat

dilihat dalam konsep kesempurnaan Islam, yang pada intinya mengajarkan

doktrin bahwa kekuasaan adalah milik Allah semata. Metode pendidikan

61

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, vii. 62

Dalam tinjauan Azyumardi Azra, bahwa puncak dari „teologi kerukunan‟ Islam

Indonesia adalah penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini

karena konteks hubungan antar agama di Indonesia, Pancasila dapat dikatakan sebagai

perwujudan dari panggilan mengembangkan istilah kalimatun sawā’, yakni mewujudkan

perdamaian atau keharmonisan antara satu keyakinan terhadap keyakinan lain. Selanjutnya

lihat, Idris Thaha, “Doktrin dan Sejarah: Memperluas Cakrawala Pemikiran” dalam

Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina,

1999), xii. 63

MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Cet. ke-2 (Yogyakarta: LKiS, 2012),

xxxiii.

Page 26: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

17

menekankan pada nilai moral agama, seperti takwa, qanāʻah (menerima

pemberian Allah), syukur, zuhd (bersikap sederhana dalam urusan dunia),

sabar, dan tawakal. Dan terakhir, metode pemikiran mengutamakan dimensi

akidah-akhlak yang selanjutnya menggolongkan manusia menjadi „saudara‟

dan „musuh‟. Metode ini juga menolak realitas kebudayaan non-islami.

Empat hal inilah yang mendasari gerakan salaf di seluruh Dunia Islam.64

Menurut Abdullahi Ahmed an-Naʻim (lahir 1946),65

tidaklah terlalu

tepat menyatakan bahwa Indonesia adalah negeri dengan populasi Muslim

terbanyak di dunia, karena orang Islam di Indonesia memiliki pemahaman

dan praktik keislaman yang berbeda, yang sebagiannya justru tidak akan

dianggap bagian dari tradisi Islam oleh Muslim di belahan dunia lain.

Meskipun demikian, menurut an-Naʻīm, pada saat yang sama, mereka juga

mengidentifikasi diri sebagai Muslim dalam pengertian yang mereka pahami;

yang secara tradisional benar-benar plural dan toleran terhadap perbedaan.

Benar bahwa ada semacam trend (kecenderungan) ke arah pandangan Islam

yang lebih puritan,66

seperti Wahabi yang berusaha untuk menentang sikap

dan praktik toleran dan memaksakan adanya keseragaman pemahaman

keagamaan di negara ini.67

Menurut Muḥammad al-Ghazālī (1917-1996),

ulama besar kenamaan al-Azhar sekaligus teman dekat Yūsuf al-Qaraḍāwī

(lahir 1926)68

yang pernah mengajar di Saudi Arabia, dalam bukunya Humūm

Dāʻīyah (Dai Bermasalah), bahwa golongan Salafi Wahabi tidak

mementingkan persatuan dan kesatuan umat Islam.69

Ketidak ada persatuan

64

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, vii. 65

Abdullahi Ahmed an-Naʻim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa

Depan Syariah, Cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 1428 H/2007 M), 394. 66

Puritan adalah orang saleh yang menganggap bahwa kesenangan dan kemewahan

sebagai dosa. 67

Abdullahi Ahmed an-Naʻim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa

Depan Syariah, 394-395. 68

Yūsuf „Abd Allāh al-Qaraḍāwī, dikenal dengan sebutan Yūsuf al-Qaraḍāwī, lahir

pada 09 September 1926 di desa Ṣafat Turāb Markaz al-Muḥallah al-Kubrā wilayah Barat

Mesir. Ṣafat Turāb merupakan sebuah desa kecil yang belum, saat itu, dimasuki listrik, air

bersih, jalan raya, dan juga belum ada beberapa fasilitas umum lainnya. Dengan demikian,

wilayah tersebut merupakan salah satu kampung tradisional di kawasan Barat Mesir, yang

mana sahabat terakhir Rasulullah saw dimakamkan, yakni „Abd Allāh ibn al-Ḥārith ibn Juz‟u

al-Zubaydī. Selanjutnya lihat, Tarjamah Mūjazah ‘an al-Shaykh al-Qarḍāwī, Yūsuf al-

Qarḍāwī, Kalimah fī Takrīmihī wa Buḥūth fī Fikrihī wa Fiqhihī (Mesir: Doha, 2002), 21. 69

Muḥammad al-Ghazālī, Humūm Dāʻīyah (t.tp.: Dār al-Qalam, tt.), 44. Di samping

itu, secara empiris dalam konteks ke-Indonesia-an, sebagaimana diutarakan oleh Habib „Alī

ibn „Abd Allāh al-Qadrī, bahwa antara tahun 2007 hingga 2010, Habib Mundhir al-Musāwā,

Pimpinan Majelis Rasulullah, keliling beberapa kota besar di Indonesia, di antaranya Kota

Bali dan Papua, menyatakan bahwa kaum Salafi Wahabi hanya sibuk menyalahkan kaum

Muslimin dari kalangan mereka sendiri tentang kegiatan majelis zikir, tawassul, istighāthah,

atau yang serupa. Justru mereka itu tidak mengajak kepada kalangan non Muslim untuk

mendapatkan hidayah menuju agama Allah, atau mengislamkan orang Muslim agar terus taat

Page 27: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

18

dan kesatuan inilah, yang menurut penulis menjadi menarik untuk dibahas.

Dalam hal ini, Islam selalu identik dengan persatuan dan kesatuan umat.

Juga, Muḥammad Sa‟īd Ramaḍān al-Būṭī dalam bukunya al-Salafīyah

Marḥalah Zamanīyah Mubārakah lā Madhhab Islāmī, mengatakan bahwa

Salafi Wahabi ini sebagai pemicu pertikaian dan perdebatan di antara dunia

Islam.70

Khususnya dalam hal khilāfīyah yang menjadi tolok ukur terjadinya

suatu perdebatan, yang terkadang tidak bersifat prinsipil dalam praktik-

praktik Islam.

Sebagaimana diketahui bahwa, Indonesia adalah negara yang sangat

menjaga toleransi antar umat beragama, karena mayoritas bangsa Indonesia

adalah umat Islam yang agamanya memiliki pilar-pilar toleransi sangat tinggi

dan kokoh.71

Terlebih pada satu agama, satu keyakinan, dan satu bangsa, di

mana toleransi ini sudah terbangun dengan sangat baik dan bersifat positif,

sehingga harus dipertahankan dan ditingkatkan kebersamaan tersebut satu

sama lain.

Satu sisi gelombang gerak ke arah syariat yang lebih murni itu

menjadi semakin besar dengan adanya sebagian kaum Muslim Indonesia

yang berhasil mengadakan kontak dengan para ulama Saudi Arabia dari

aliran pemikiran Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, di tanah suci.72

Di sisi

lain, keberadaan Salafi Wahabi selalu dipertanyakan oleh khalayak ramai,

apakah mereka selalu identik dengan memakai baju koko putih, bersorban

atau berpeci, memelihara janggut, celana warna gelap di atas mata kaki

(celana ngatung), mayoritas menggunakan cadar bagi akhwāt (saudari

perempuan) dan sebagainya. Juga, terkadang mereka menggunakan istilah-

istilah yang terkesan memonopoli kebenaran, seperti “ahl al-sunnah”, “salaf”,

“al-salaf al-ṣāliḥ”, “tauhid”, “ahl al-bidʻah”, “musyrik”, “golongan selamat”

(firqah nājiyah), “sesat”, “penerbit Islam ilmiah terpercaya”, dan yang

semisalnya.

Dalam teori pragmatisme tentang kebenaran (the pragmatist theory of

truth), bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata

terhadap agamanya dalam berbuat kebajikan. Hasil wawancara dengan Habib „Alī ibn „Abd

Allāh al-Qadrī, pada Kamis (malam) dalam acara Majelis Shalawat dan Zikir

Syababunnajah, 30 April 2015. 70

Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī, al-Salafīyah: Marḥalah Zamanīyah

Mubārakah lā Madhhab Islāmī, 231. 71

Meski demikian, Indonesia tidak menganut paham sekular yang membuat Negara

dan pemerintah sama sekali tidak memperdulikan peri kehidupan beragama. Tidak pula

negara agama, yang memihak kepada salah satu agama. Selanjutnya lihat, Habib Rizieq

Syihab, Wawasan Kebangsaan: Menuju NKRI Bersyariah, Cet. ke-1 (Jakarta: Suara Islam

Press, 2013), 88; Lihat pula, B. J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia

(Netherland: The Hague Martinus Nijhoff, 1971), 38. 72

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan:.., 32.

Page 28: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

19

bergantung kepada asas manfaat.73

Kebenaran suatu pernyataan dapat diukur

dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional/bermanfaat

bagi kehidupan masyarakat atau bersifat riil dalam kenyataan sehari-harinya.

Dengan perkataan lain, kebenaran dapat terbukti bila ada kesesuaian antara

pernyataan tentang sesuatu dengan realita yang terjadi.

Berkaitan dalam memahami ilmu Al-Qur‟an misalnya, Ibn Taymīyah

(w. 728 H/1328 M) dalam Majmūʻ Fatāwā-nya menyebutkan bahwa, ashal

ilmu yang harus lebih diprioritaskan daripada ilmu-ilmu pelengkap, seperti

‘ilm al-kalām, dialektika, khilāfīyah, furūʻ (cabang-cabang keagamaan) yang

langka, taqlīd yang tidak diperlukan, hadis-hadis gharīb (asing) yang tidak

thābit (berkekuatan tetap) dan tidak bermanfaat, dan berbagai jenis ilmu pasti

yang tidak ada ḥujjah-nya dengan meninggalkan menghafal Al-Qur‟an yang

tentunya lebih penting dari semua itu.74

Di samping itu, hierarki ilmu

pengetahuan menurut Ibn Taymīyah bahwa, urutan ilmu yang paling pokok

kepada yang berstatus pelengkap adalah: ilmu akidah, ilmu syariat serta

menghafal, memahami, dan mengamalkan Al-Qur‟an, juga ilmu lainnya yang

diperlukan oleh masing-masing individu. Berkenaan dengan yang bersifat

individu ini, menurut Ibn Taymīyah adalah bersifat relatif tergantung pada

keperluan individu tersebut.75

Misalnya bila seseorang menggeluti dunia

dakwah, maka ilmu-ilmu agama harus dikuasainya secara mendalam hingga

mengetahui mana yang uṣūl (pokok-pokok agama) dan mana yang furūʻ

(cabang-cabang agama). Dengan demikian akan tercapai sebuah

kemaslahatan umat terhadap kesatuan dan kebersatuan mereka.

Apabila kita ingin memahami sebuah agama maka kita harus

mengidentifikasi lima aspek, yaitu: Konsep ketuhanan, pembawa agama atau

nabi, kitab suci, sejarah agama, dan tokoh-tokoh terkemuka agama tersebut.76

Pada realitas Islam di Indonesia, akan terlihat corak budayanya yang berbeda

antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini karena tiap-tiap wilayah

mempunyai adat yang berbeda-beda. Begitu pula corak Islam yang dianut di

Timur Tengah, akan berbeda dengan yang dianut orang-orang di Jawa

Tengah. Ini terlihat dari tata cara merayakan hari-hari besar Islam di Iran,

akan jauh berbeda dengan tradisi yang telah ada di Indonesia. Tradisi

berlebaran di Indonesia dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri jauh

lebih semarak daripada di Makkah dan Madinah. Atau, tradisi Idul Adha

73

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Cet. ke-12 (Jakarta: Rajawali Pers,

2013), 118-119. 74

Shaykh al-Islām Taqī al-Dīn Aḥmad ibn Taymīyah, Majmūʻ Fatāwā, Jilid 23

(Riyadh: Dār al-Aʻlām al-Kutub Riyadh, 1412 H), 53-55. 75

Shaykh al-Islām Taqī al-Dīn Aḥmad ibn Taymīyah, Majmūʻ Fatāwā, Jilid 23, 53-

55. 76

H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

1991), 37-38.

Page 29: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

20

yang dilakukan di Indonesia merayakannya biasa-biasa saja, justru di Saudi

Arabia lebih semarak, dan sebagainya.

H. A. Mukti Ali77

berpandangan bahwa, Muḥammad ibn „Abd al-

Wahhāb dan para pengikutnya melihat bahwa kelemahan umat Islam dan

kejatuhan martabatnya dewasa ini tidak lain disebabkan karena akidahnya.

Pada mulanya akidah Islam bersih dari campuran syirik, dan arti lā ilāha

illallāh (tiada yang patut disembah kecuali Allah) mengangkat diri seseorang

lebih tinggi daripada batu dan patung serta orang yang dianggap besar. Orang

menjadi tidak takut mati dalam menjalankan sesuatu yang hak, dan tidak

takut membenci sesuatu yang munkar dan mengajak sesuatu yang makruf,

sekalipun menghadapi tantangan dan rintangan. Mereka merasa bahwa hidup

ini tidak ada artinya, kecuali harus dipergunakan untuk menegakkan

kebenaran dan menolak kezaliman.

Dalam kenyataannya, “Wahabisme” telah menjadi istilah generik,

yang dapat diterapkan tidak hanya kepada gerakan khusus yang dicetuskan

oleh Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, namun juga pada semua jenis

fenomena yang analog (serupa) di seluruh dunia Islam yang mencanangkan

“pemurnian” agama dari bidʻah-bidʻah yang merendahkan derajat agama.78

Di samping itu, Wahabisme tidak hanya terbatas pada gerakan Wahabi aktual

seperti yang dikenal sejarah, namun juga menjadi suatu istilah “ide Wahabi”

atau terinspirasi dakwah Wahabi, yang meliputi semua fenomena yang serupa

di dunia Islam.79

Ia pun menegaskan untuk kembali monoteisme

(kepercayaan yang mengakui hanya ada satu Tuhan) dan persamaan manusia,

dikomparasikan dengan berbagai tingkat penafsiran kembali warisan positif

aktual tradisi Islam demi terwujudnya kembali masyarakat Islam, yaitu di

bawah pengamalan Al-Qur‟an dan Sunnah.

Agama merupakan satu bentuk pengakuan dari pemeluk agama

terhadap adanya satu Dzat Yang Maha. Jadi, sebuah agama atau aliran

keyakinan berdiri menuju satu kekuatan di luar kekuatan manusia yang

diyakini menciptakan semua hal yang ada di jagat raya. Dia lah yang

menciptakan kehidupan dunia dan kehidupan setelah di dunia. Ada banyak

sebutan untuk Dia, yaitu Allah, Tuhan, Ilah, Sang Hyang Widi, Yahweh, Hu

dan lain-lain.80

Kendati demikian, dari beberapa penyebutan tersebut

hanyalah ditujukan kepada sang al-Khāliq, pencipta alam semesta ini.

77

H. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta:

Djambatan, 1995), 48-49. 78

Fazlur Raḥmān, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Cet. ke-4 (Bandung: Pustaka,

2000), 289. 79

Lihat, Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to

Global Jihad, 8; Lihat pula, Noorhaidi Hasan, “Reformasi, Religious Diversity, and Islamic

Radicalism after Suharto”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, 41. 80

Lihat, Azyumardi Azra, “Pendidikan Islam di Pesantren”, Jurnal Pendidikan

Pesantren (2013), 12.

Page 30: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

21

Agama pada dasarnya adalah iman, tidak ada agama tanpa iman, dan

iman dalam pengertian agama, bukan sekadar pengakuan dan pengetahuan

tentang adanya Tuhan saja, tetapi iman itu dibangun dari pengalaman yang

intens berhubungan secara langsung dan pribadi dengan Tuhan.81

Salah satu

cara berhubungan secara pribadi yang dilakukan oleh umat Islam adalah salat

yang dilakukan pada dataran iḥsān, yaitu dalam salatnya ia seakan-akan

melihat Tuhan dan jika tidak, maka ia meyakini bahwa Tuhan melihat

dirinya, sehingga bacaan yang diucapkan dalam salatnya sepenuhnya menjadi

komunikasi dan dialog pribadi dengan Tuhan-nya, juga membekas pada

jiwanya, dan mendorong pribadinya untuk dapat mencegah dan menjauhi

perbuatan keji dan kotor.82

Pengembangan hukum Islam pada masa mendatang akan sangat

dipengaruhi bagaimana hukum Islam dikembangkan dengan kerangka filsafat

ilmu. Hukum Islam sebagai ilmu mempunyai karakteristik keilmuan yang

dihasilkan dari akumulasi pengetahuan-pengetahuan yang tersusun melalui

asas-asas tertentu, pengetahuan-pengetahuan tersebut terjaring dalam satu

kesatuan sistem, dan mempunyai metode-metode tertentu. Dari karakteristik

hukum Islam sebagai ilmu tersebut memperlihatkan bahwa apapun yang

dihasilkan dari hukum Islam adalah suatu produk penalaran yang berarti pula

menerima konsekuensi-konsekuensinya sebagai ilmu.83

Di samping itu, untuk mengembangkan pemikiran dan studi hukum

Islam dalam kehidupan masyarakat pada masa yang akan datang, selain studi

normatif selama ini, sudah saatnya dan sangat urgen bagi para pakar hukum

Islam mempertimbangkan studi dan pemikiran hukum Islam dalam kerangka

sosiologi dengan pendekatan sejarah sosial.84

Setelah dijelaskan pendekatan

sejarah sosial dalam studi dan pemikiran hukum Islam, lalu menggunakan

pendekatan sosiologis. Maksud pendekatan sosiologis ini adalah mempelajari

faktor-faktor sosial, politik, dan kultural apa yang melatarbelakangi lahirnya

81

Sebagaimana yang dikutip oleh Musa Asyʻari, bahwa pengalaman spiritual atau

pengalaman mistik dan kadang juga disebut pengalaman agama dapat dikatakan sebagai

esensi dari keberagamaan seseorang. Seluruh doktrin agama selalu menempatkan hal ini

secara eksplisit di dalam teologi atau dogmanya. Kondisi pengalaman spiritual atau

pengalaman keagamaan (religious experience) bisa menjadi salah satu kriteria dari kebenaran

agama, karena sesungguhnya pengalaman transendensi ini merupakan hal yang umum terjadi

di dalam seluruh tradisi-tradisi agama. Lihat Philip C. Almond, Mystical Experience and

Religious Doctrine (Berlin: t.tp., 1982), 5; Fazlur Raḥmān, Islamic Methodology in History

(Karachi: Central Institute is Islamic Research, 1965), lihat khusus pada bagian “Spiritual

Life: Sufism”, 105-117; Lihat pula Musa Asyʻari, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam

Berpikir, Cet. ke-3 (Yogyakarta: LESFI, 2002), 169. 82

Musa Asyʻari, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir, 169. 83

Yusdani, dalam Ṭāḥā Jābir al-Ulwānī, Metodologi Hukum Islam Kontemporer,

terj. Yusdani, Cet. ke-1 (Yogyakarta: UII Press, 2001), xiii. 84

Yusdani, dalam Ṭāhā Jābir al-Ulwānī, Metodologi Hukum Islam Kontemporer,

xiv.

Page 31: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

22

suatu produk pemikiran hukum Islam, dan bagaimana dampak produk

pemikiran hukum Islam itu terhadap masyarakat.85

Untuk mengisi kekurangan tersebut, para yuris (ahli hukum, sarjana

hukum) Muslim telah menggunakan akalnya dan hasilnya adalah produk

pemikiran hukum yang ada sekarang ini. Apa warna atau bagaimana

dinamika produk pemikiran hukum itu akan tergantung kepada keberanian

para pemikir hukum Islam yang ada sekarang.86

Terlebih dalam pandangan

kaum salaf, bahwa Islam hendaknya ditemukan ajaran sejatinya, yaitu

kembali pada ajaran murninya yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah.

Agenda besar salafisme adalah pencarian otentisitas, yang kemudian dapat

dijadikan sebuah konsep murni ajaran Islam, seperti akhlak Islam, syariat

Islam, masyarakat Islam, pandangan hidup Islam, negara Islam, hingga

khilafah Islam. Oleh karenanya akan terbangun ukhuwah islamiyah yang riil

di dalam lingkungan Islam itu sendiri.

Di samping itu, membentuk hubungan spiritual beragama, menjalin

silaturahmi antar sesama, hingga membuat komunitas Muslim yang ideal,

yaitu penuh kasih sayang, hormat-menghormati, mencintai kebaikan,

kebenaran dan keadilan hingga membuat riil bahwa bangsa Indonesia ini

benar-benar mayoritas Muslim yang sekaligus berprinsip, berperilaku dan

berakhlak qur‟ani, dan sesuai dengan ajaran Sunnah Rasulullah saw.

B. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Secara umum pembahasan tentang Salafi Wahabi banyak dikaji oleh

para peneliti, baik berbahasa Arab, Inggris maupun Indonesia. Namun, belum

banyak sarjana keislaman yang mencurahkan perhatiannya pada kajian sikap

pengikut Salafi Wahabi dari sisi khilāfīyah di Indonesia. Hal tersebut

disebabkan penelaahan yang belum komprehensif berkenaan tinjauan apa

saja yang menjadi polemik di kalangan masyarakat antara Islam moderat dan

Islam fundamental/puritan.

Dalam bahasa Arab, ada sebuah buku yang berjudul al-Salafīyah:

Marḥalah Zamanīyah Mubārakah Lā Madhhab Islāmī (Salafi: Sebuah Fase

Sejarah Bukan Mazhab), karya Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī. Ramaḍān

al-Būṭī ini merupakan salah seorang pemikir Islam Timur Tengah Damaskus,

Suriah, kelahiran Turki. Ia menyatakan bahwa Wahabi berganti nama

menjadi “Salafi” atau terkadang Ahl al-Sunnah -- tanpa diikuti dengan kata

wa al-Jamāʻah -- karena mereka merasa risih disebut sebagai Wahabi. Hal ini

disebabkan masa lampau yang buruk yang pernah dilakukan oleh pengikut

Wahabi awal. Dalam buku ini dibahas tentang pernyataan, bahwa mengklaim

85

M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 246. 86

M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi

(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), 127.

Page 32: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

23

bermazhab salaf adalah bidʻah, juga membahas dampak negatif yang timbul

atas umat Islam akibat dari amalan bidʻah. Oleh karenanya akan terlihat pada

pembahasan sejarah berkenaan asal mula munculnya istilah “mazhab

salafīyah”. Namun belum ditelusuri pembahasan tentang sikap pengikut

Salafi Wahabi dalam kancah pergolakan umat terhadap fenomena sosio-

kultural yang berkembang, khususnya di Indonesia secara spesifik.

Al-Lāmadhhabīyah: Akhṭaru Bidʻah Tuhaddidu al-Sharīʻah al-

Islāmīyah (Paham Anti-Mazhab: Bidʻah yang Paling Berbahaya Mengancam

Syariat Islam), yang mana buku ini merupakan karya kedua dari Muḥammad

Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī. Dalam buku ini merupakan sebuah klarifikasi

munculnya buku yang berjudul “Hal al-Muslim Mulzām bi Ittibāʻ Madhhab

Muʻayyan? (Apakah Seorang Muslim Wajib Mengikuti Mazhab Tertentu?).

Penulismya menggunakan nama “sahabat pena” (samaran), yaitu Shaykh

Muḥammad Sulṭān al-Maʻṣūmī al-Khajnadī, seorang pengajar di Masjid al-

Ḥarām. Al-Būṭī menjawab terhadap buku kecil tersebut (al-kurrās), yaitu

dengan cara memaparkan penyelewengan-penyelewengan di dalamnya,

mengkritik argumen-argumennya, dan menjelaskan bagaimana sebenarnya

tata cara bermazhab yang benar dalam Islam serta pandangan ulama terhadap

sikap perbedaan dalam bermazhab dan bertaklid. Dari kajian kritik tersebut

dapat diantarkan ke arah pemahaman terhadap bagaimana bermazhab dan

bertaklid, karena hal ini dapat dikaitkan pada kajian toleransi dalam

bermazhab dan taklid dalam Islam.

Salah seorang ulama besar (Grand Shaykh) Al-Azhar,87

juga seorang

Mufti Agung Mesir, yaitu „Alī Jumʻah (Ali Gomma), dalam kajian bukunya

al-Mutashaddidūn Manhajuhum wa Munāqashatu Ahammi Qaḍāyāhum, di

mana ia menjelaskan bahwa, mereka (kaum Salafi Wahabi, pen.) telah

mengubah nama “Wahabi” menjadi “Salafi” untuk mengelabui (merancukan)

umat Islam bahwa ajaran Wahabi ini tidak bersumber dari Muḥammad ibn

„Abd al-Wahhāb, melainkan dari Salaf. Juga, agar mereka merasa aman dan

nyaman dari sorotan masyarakat dalam menyebarkan dakwahnya.88

Dalam

kajian tersebut, „Alī Jumʻah berupaya untuk meluruskan akidah dan

pemahaman orang-orang yang keras atau kaku dalam beragama, sehingga

terlihat gerakan dakwah yang cenderung bersifat ekstrem bahkan sangat

meresahkan. Hal ini, tidak terkecuali dakwah tersebut masuk ke Indonesia.

87

Beliau adalah Guru Besar bidang Uṣūl al-Fiqh di Universitas Al-Azhar, Kairo-

Mesir, di antara buah karyanya dalam bidang tersebut, yaitu al-Ijmāʻ ‘inda al-Usūlīyīn dan

Taʻāruḍ al-Aqīsah ‘inda al-Usūlīyīn, masing-masing diterbitkan oleh Dār al-Risālah, Kairo,

pada tahun 2002 dan 2004. 88

Berkenaan hal ini dapat ditelusuri pada http://www.muslim.net/vb/

showthread.php?t = 388005; Juga telusuri, http://aljazeeratalk.net/forum/showthread.php?t =

242583, berjudul: al-Salafīyah wa al-Fikr al-Salafī li Faḍīlah al-Muftī al-Duktūr ‘Alī

Jumʻah.

Page 33: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

24

Misalnya, dari pihak mereka selalu mengkampanyekan takfīr (pengafiran),

tashrīk (pemusyrikan), atau tabdīʻ (pembidʻahan) kepada kalangan yang tidak

sepaham dengan mereka. Adapun kajian dalam bukunya tersebut meliputi, di

antaranya: mazhab Asyʻari, hukum memperingati maulid Nabi saw,

menghitung lafal zikir dengan subḥaḥ (tasbih), masjid yang bersambungan

dengan kuburan, tawassul, dan lain-lain.

Salah satu karya paling akhir, dalam bahasa Inggris, adalah Wahhabi

Islam: From Revival and Reform to Global Jihad, karya Natana J. Delong-

Bas, penerbit Oxford University Press, New York, tahun 2004. Dalam buku

ini, Natana J. Delong-Bas menegaskan bahwa, Muḥammad ibn „Abd al-

Wahhāb adalah seorang ahli hukum dan sarjana yang telah melaksanakan isi

kandungan Al-Qur‟an ke dalam memorinya pada usia sepuluh tahun.89

Dari

berbagai tulisannya sudah dibangun pondasi yang kuat guna mendasari

pandangan dunia Muslimnya. Di samping itu, Natana J. Delong-Bas

menggambarkan juga bahwa Islam Wahabi sebagai aliran pemikiran,

mazhab, dan gerakan yang radikal, di mana mereka selalu mengajak kepada

„ajaran murni‟ yang mereka yakini untuk dapat diaplikasikan oleh kalangan

umat Muslim. Terlebih, otoritas pada Islam Wahabi, sebagaimana

digambarkan oleh Delong-Bas, membuat gerakan ini lebih baik, juga

mengambil sikap bagaimana Wahabisme lebih militan setelah wafatnya

Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, karena proses keadaan sejarah, di mana

mengakibatkan interpretasi berbeda terhadap ajarannya.90

Dalam penelitian

tersebut, Natana J. Delong-Bas belum menjelaskan secara konkret berkenaan

sikap Salafi Wahabi dalam masalah keagamaan, khususnya dalam bidang

khilāfīyah, sehingga belum tergambar pada hal-hal yang melatarbelakangi

berkembangnya Salafi Wahabi dalam bidang penerapan hukum keagamaan.

Hal tersebut justru yang menjadi polemik dalam lingkungan masyarakat

Muslim secara khusus, dan kalangan masyarakat non-Muslim secara umum.

Ada penulis asal Sudan, Abdullahi Ahmed an-Naʻim, yang dikenal

luas sebagai pakar Islam dan hak asasi manusia (HAM), dalam perspektif

lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu-isu ketatanegaraan di negeri-

negeri Islam dan Afrika, di samping isu-isu tentang Islam dan politik. Di

Indonesia, tepatnya pada akhir Juli hingga awal Agustus tahun 2004, ia

pernah keliling ke berbagai kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta,

Aceh, dan Makassar. Hal ini bertepatan dengan peluncuran bukunya yang

berjudul Islam and Secular State: Negotiating the Future of Sharia. Edisi

bahasa Indonesianya berjudul “Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan

89

Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global

Jihad, 17-18. 90

Catatan dari Natana J. Delong-Bas dalam sebuah interview yang ia berikan

melalui the Saudi-American Forum; tersedia di http://www.saudi-american-forum-

org/Newsletters2004/SAF_Item_Of_Interest_WahhabiIslam1.htm.

Page 34: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

25

Masa Depan Syariah”. Adapun panitia penyelenggara lokalnya yaitu Center

for the Study of Religion and Culture (CSRC). Dalam penjabaran

penelitiannya, di antaranya ia mengatakan bahwa syariah memiliki masa

depan yang cerah dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini disebabkan

syariah dapat berperan dalam menyiapkan anak-anak bangsa untuk hidup

bermasyarakat, membina keluarga dan lembaga, hingga dapat beradaptasi

dalam sosio-kulturalnya. Terlebih, syariah akan terus memainkan peran aktif

dalam membentuk dan mengembangkan, baik norma maupun nilai etika yang

dapat direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui

proses politik yang adil dan berdaulat, yakni secara demokratis. Oleh karena

itu, menurut an-Naʻim, sebagai ajaran suci, syariah hendaknya dilaksanakan

oleh setiap Muslim secara suka rela. Dengan lain perkataan, syariah tidak

boleh diatur oleh negara secara formal dan paksa, sehingga menyebabkan

hilangnya otoritas dan nilai kesuciannya dari prinsip-prinsip syariah tersebut.

Dalam konteks kajian gerakan Wahabi yang pernah terjadi di Jazirah Arab,

bagian Arabia Tengah, telah dikuasai oleh kerajaan Saʻudi hingga seakan ada

pemaksaan dalam penerapan ajaran agama.91

Hal ini tentunya akan

mengurangi identitas syariah dalam aplikasi kehidupan seorang Muslim.

Muḥammad Saʻīd al-Ashmāwī,92

seorang pemikir liberal kelahiran

Mesir, dalam bukunya Uṣūl al-Sharīʻah, membuat kerangka teori dalam

membedakan antara agama sebagai ide murni dan sebagai pemikir untuk

menjabarkan ide murni tersebut. Ia berpendapat bahwa hukum tradisional

harus dibebaskan dari sisi idealis keagamaan, dan harus dijiwai oleh “prinsip-

prinsip umum syariah”. Prinsip-prinsip umum syariah itu meliputi: 1) syariah

merupakan pandangan hidup yang penuh dengan semangat kedermawanan

dan kasih sayang. Dengan semangat ini niscaya syariah akan siap

diaplikasikan secara komprehensif dan sempurna; 2) interpretasi yang benar

terhadap syariah dan diimplementasikan bersama realitas kehidupan manusia;

dan 3) syariah harus siap melayani kepentingan publik (umum), dan

penghilangan terhadap salah satu ayat oleh ayat yang lain (naskh) tidak

memiliki fungsi untuk melayani kepentingan ini, dan 4) diperlukan

penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an untuk membedaan antara ayat yang

menunjukkan arti universal dan ayat yang khusus untuk diri Nabi saw saja.93

Dalam hal ini, bagi al-Ashmāwī bahwa kesempurnaan syariah hanya bisa

91

J.B. Kelly, Eastern Arabian Frontiers, 54-55. 92

Ia menyelesaikan studinya di fakultas hukum, yang mana dapat mengantarkan

dirinya menjadi seorang hakim dan penasihat hukum di dunia peradilan Mesir. Dari sisi

jabatan, ia pernah mengemban amanat menjadi Ketua Mahkamah Pidana dan Mahkamah

Keamanan Negara, yaitu sebuah pengadilan khusus yang menangani kasus-kasus subversif

(bertujuan mengganggu ketertiban) dan perlawanan terhadap negara. Kini, ia menjadi salah

satu anggota Kejaksaan Agung Mesir. 93

Muḥammad Saʻīd al-Ashmāwī, Uṣūl al-Sharīʻah (Beirut: Dār Iqra‟, 1983), 55-59.

Page 35: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

26

diraih dengan menyesuaikan pada kondisi sosial dan kepentingan manusia

yang terus-menerus berubah.94

Wael B. Hallaq mengadakan penelitian tentang sejarah teori hukum

Islam, yakni mulai dari masa kebangkitan sampai dengan masa modern

sekarang ini. Di samping itu, ia juga mengadakan sebuah analisis tentang

pembentukan teori hukum Islam yang pertama, yaitu meliputi latar belakang

munculnya teori hukum Islam, argumen-argumen di kalangan para mujtahid,

serta meneliti pertumbuhan sinkronik95

dan diakronik96

yang menyebabkan

timbulnya berbagai macam aliran dan sekte dalam agama. Buku tersebut

berjudul A History of Islamic Legal Theories: In Introduction to Sunni Ushul

Fiqh. Yang lebih menarik lagi dalam penelitian Hallaq ini adalah, ia

menjabarkan suatu teori hukum tentang realitas sosial yang berlaku umum.

Juga, teorinya tersebut memiliki pengaruh yang penting dalam pembentukan

hukum modern. Dari penelitian Hallaq tersebut, penulis dapat

mengkorelasikannya dengan pembentukan maqāṣid al-sharīʻah yang

dijabarkan oleh al-Shāṭibī dalam kitabnya al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-

Sharīʻah,97

di mana kalangan Salafi Wahabi mempraktikkan ijtihad mereka

dalam penerapan hukum Islam.

Demikian pula yang dijabarkan oleh seorang pemikir Islam

kontemporer, Khaled Abou El-Fadl, dalam karyanya The Great Theft:

Wrestling Islam from the Extremists, di mana ia meluruskan pemahaman

jihad dengan makna “berperang”. Menurut El-Fadl, jihad yang tertera dalam

Al-Qur‟an adalah segala komitmen yang berimplikasi pada perjuangan

mendapatkan ilmu pengetahuan, konsentrasi (fokus) terhadap manusia yang

lemah (termasuk manusia yang sakit dan miskin), membela kebenaran dan

keadilan. Jadi, menurut El-Fadl, jihad tidak hanya diartikan dengan

pengertian “perang” saja, sebab term (istilah) “holy war” (perang suci) dalam

bahasa Arab disebut al-ḥarb al-muqaddasah. Adapun Al-Qur‟an

menggunakan istilah al-qitāl untuk makna berperang. Terlebih, Al-Qur‟an

juga memperhatikan tentang proses negosiasi dan resolusi dalam berperang,

yaitu lebih mengutamakan perdamaian (peace) dengan cara memaafkan dan

dilakukan dengan cara lemah lembut, bukan dengan kekerasan.98

Berkenaan

kata jihad tersebut, dalam kontek gerakan Wahabi, ia juga ditunjukkan untuk

94

Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: In Introduction to Sunni

Ushul Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 241. 95

Kata “sinkronik” atau sinkronis yaitu berkenaan dengan bahasa, adat-istiadat, dan

sebagainya pada waktu yang tertentu. 96

Kata “diakronik” atau diakronis yaitu bersifat historis dalam hal pendekatan

terhadap bahasa dengan melihat perkembangan zaman. 97

Abū Isḥāq Ibrāhīm ibn Mūsā ibn Muḥammad al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-

Sharīʻah (t.tp.: Dār al-Fikr, tt.). 98

Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists

(New York: Harper San Francisco, 2005), 221-225.

Page 36: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

27

memenangkan dakwah, dan memberantas praktik-praktik syirik,99

sehingga

kata jihad dapat dilihat dari berbagai sisi yang melatarbelakangi penunjukan

kata tersebut.

Penelitian terdahulu yang dapat dikorelasikan pada pembahasan sikap

pengikut Salafi Wahabi adalah Kontroversi Bidʻah dalam Tradisi

Keagamaan Masyarakat Muslim di Indonesia yang ditulis oleh Supani,

diterbitkan oleh STAIN Press, Purwokerto, tahun 2013. Salafi Wahabi

banyak menyinggung persoalan tradisi, yang mereka anggap bidʻah, sehingga

pembahasan dalam buku tersebut banyak menitikberatkan pada pembahasan

tawassul, membaca uṣallī, peringatan maulid Nabi, dan lain-lainnya.

Penelitian ini merupakan kajian komparatif antara pemikiran A. Hassan

(1887-1958 M) dan Siradjuddin Abbas (1905-1980 M) berkenaan dengan

masalah-masalah tradisi keagamaan yang dinilai bidʻah. Dari penelitian ini

akan diantarkan pada pembahasan tradisi keagamaan masyarakat Muslim di

Indonesia.100

Ada pembahasan tentang hadis-hadis bidʻah yang ditulis oleh Ahmad

Tanthawi, di mana penelitian ini sebagai hasil karyanya, sekaligus tesis di

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, tahun 2009. Penelitian ini berjudul “Bidʻah Perspektif „Abd Allāh

ibn Bāz dan Muḥammad ibn „Alawī”. Ada dua substansi dalam penelitian ini,

yaitu mengenai paradigma pemikiran dan metodologi yang digunakan oleh

dua tokoh, „Abd al-„Azīz ibn „Abd Allāh ibn Bāz, salah seorang tokoh Salafi

Wahabi dan Muḥammad ibn al-„Alawī, yaitu interpretasi tentang hadis-hadis

bidʻah.

Ada sebuah penelitian tentang sikap Salafi Wahabi yang ditulis oleh

A. Shihabuddin, yaitu dengan judul Membongkar Kejumudan: Menjawab

Tuduhan-tuduhan Salafi Wahhabi, yang diterbitkan oleh Noura Books, tahun

2013. Buku ini relatif baru dan komprehensif, karena diuraikan bukan hanya

amalan-amalan yang dianggap bidʻah oleh kalangan Salafi Wahabi, juga

ditulis berkenaan peran kaum „Alawiyyīn di Nusantara101

dan sejarah

99

AM. Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi: Bantahan Kritis dan Fundamental

Terhadap Buku Propaganda Karya Syaikh Idahram, Cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

2011), 217. 100

Yang dimaksud dengan tradisi keagamaan masyarakat Muslim di Indonesia

adalah praktik-praktik keagamaan yang dijalankan oleh sebagian masyarakat Muslim

Indonesia sebagai hasil perpaduan antara Islam dan budaya lokal. Bentuk dan wadahnya

diambil dari budaya lokal, tetapi substansinya berupa ajaran Islam. Praktik tersebut hingga

sekarang menjadi tradisi sebagian Muslim Indonesia, antara lain; kebiasaan melakukan acara

selamatan kematian, berbagai aktivitas seputar kuburan, peringatan Maulid Nabi, dan

melakukan tawassul. Lihat, Supani, Kontroversi Bidʻah dalam Tradisi Keagamaan

Masyarakat Muslim di Indonesia, Cet. ke-1 (Purwokerto: STAIN Press, 2013), 2. 101

Pemusnahan peran bangsa Arab, khususnya kaum Sayyid „Alawiyyīn, dalam

penyebaran Islam di Indonesia, merupakan agenda utama Pemerintahan Kolonial Hindia

Page 37: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

28

Walisongo, yakni seputar para Sayyid (Tuan) Tanah Jawa dan ajaran-

ajarannya. Dalam buku tersebut digambarkan pula bahwa kaum Salafi

Wahabi dikenal sebagai golongan yang memiliki cara berpikir fundamentalis-

literalis, yakni dalam menafsirkan, baik Al-Qur‟an maupun Hadis, secara

tekstual. Dengan demikian, bagi siapa saja yang tidak sependapat dengan

mereka dianggap bidʻah, syirik, bahkan kafir. Terlebih, dalam kajian ini

dipaparkan berkenaan beberapa kekeliruan para ulama Salafi Wahabi dalam

memahami ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadis, ketidakkonsistenan mereka dalam

mengemukakan dalil, serta sejarah munculnya Salafi Wahabi.

Dari beberapa penelitian tersebut di atas, akan menjadi inspirasi bagi

penulis dalam mengembangkan kajian ilmiah yang mengarah pada sikap

pengikut Salafi Wahabi, lebih khusus berkenaan dengan khilāfīyah (perkara-

perkara cabang) dalam praktik keberagamaan di kalangan masyarakat. Di

samping itu, membahas hal-hal krusial dalam beragama, seperti masalah

akidah yang menjadi benteng kekuatan umat Islam itu sendiri. Namun,

menjadi persoalannya adalah bagaimana mengkomparasikan antara ketentuan

hukum agama yang ketat dengan hukum yang bersifat fleksibel hingga dapat

diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.

Oleh karena itu, di satu sisi pembahasan tentang Salafi Wahabi,

gerakan Salafi Wahabi hingga prinsip-prinsip dakwah Salafi Wahabi sudah

banyak dikaji oleh para penulis atau peneliti. Namun, di sisi lain, secara

spesifik pembahasan sikap pengikut Salafi Wahabi, khususnya di Indonesia

masih minim atau bahkan belum rampung secara komprehensif, baik dari

tinjauan akidah maupun ibadah.

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, memiliki beberapa tujuan, yaitu:

a. Memberikan gambaran yang jelas tentang awal sejarah munculnya

Salafi Wahabi di Indonesia.

b. Menelaah secara seksama berkenaan masalah-masalah khilāfīyah

yang menjadi polemik di kalangan umat Islam itu sendiri.

c. Mengetahui sikap Salafi Wahabi, baik dari sisi akidah maupun ibadah,

terhadap pemahaman keagamaan.

D. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat/signifikansi, baik secara teoritis

maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini akan menambah khazanah ilmu

Belanda. Dengan berbagai cara, Pemerintah Kolonial Belanda menghilangkan peran kaum

„Alawiyyīn (julukan keturunan Nabi saw yang berasal dari Hadramaut/Yaman Selatan)

membumikan Islam di Nusantara. Selanjutnya lihat, A. Shihabuddin, Membongkar

Kejumudan: Menjawab Tuduhan-tuduhan Salafi Wahhabi, Cet. ke-1 (Jakarta: Noura Books,

2013), 473.

Page 38: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

29

pengetahuan dan memberikan konstribusi dalam bentuk deskripsi

pergerakan-pergerakan Salafi Wahabi di Indonesia.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau

sumber inspirasi bagi peneliti lebih lanjut. Terlebih di zaman sekarang ini,

mayoritas masyarakat umum lebih mudah terprovokasi dengan isu-isu

keagamaan atau keyakinan, sehingga dapat terhindar dari hal-hal yang

menyebabkan mudarat (tidak berguna) yang lebih besar.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu

menitikberatkan pada kajian kepustakaan (library research) dan akan

menghasilkan data deskriptif hingga memerlukan pendekatan deskriptif

analitis. Deskriptif analitis ini digunakan dalam memaparkan awal

sejarah munculnya Salafi Wahabi dan keberhasilan mereka dalam

pergerakan dakwah. Oleh karenanya penelitian ini juga mengarah pada

metode penelitian historis dengan cara mengumpulkan data dari sisi

pandangan sosial teks dan konteks yang melatari beberapa kasus

tersebut.102

Hal ini perlu dilakukan karena dalam menelusuri suatu

pergerakan hendaknya dicari sebab dan faktor-faktor secara seksama,

sehingga menghasilkan sebuah kajian kritis.

Kajian analisa-kritis tersebut menggunakan sumber-sumber dari

berbagai peristiwa sejarah yang memiliki korelasi terhadap permasalahan

yang dikemukakan di atas. Dengan demikian, informasi yang diperoleh

lalu dikaji secara kritis dan mendalam hingga mengetahui sejauh mana

informasi tersebut memiliki kredibilitas atau tidak, juga mengetahui

apakah dokumen yang memuat tentang informasi sejarah bersifat otentik

atau tidak. Penelitian dengan menggunakan metode sejarah

mengantarkan kepada penyelidikan yang kritis terhadap keadaan-

keadaan, perkembangan, serta pengalaman di masa lampau dan

menimbang secara cukup detail dan hati-hati tentang bukti validitas dari

sumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber keterangan

102

Metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk

mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan

mendalam, hingga mengajukan sebuah sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk

tertulis atau diaplikasikan dalam sebuah kajian ulang. Di samping itu, metode historis

merupakan metode penelitian yang bertujuan untuk merekonstruksi masa lampau secara

sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, dan

mensintesiskan bukti untuk menetapkan fakta-fakta dan mencapai kesimpulan yang lurus/

tegak. Lihat, Stephen Issac dan William B. Michael, Handbook in Research and Evaluation

(California: Robert R. Knapp, Publisher, 1974), 14-17; Lihat, ʻUbaydat, et. al., al-Baḥth al-

‘Ilmī: Mafhūmuhu, Adawātuhu, Asālībuhu (Oman: Dār al-Fikr, 1992), 169; Lihat pula,

Dudung, Metodologi Penelitian Sejarah (Jogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007), 53-54.

Page 39: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

30

tersebut.103

Di samping itu, sejarah merupakan ilmu yang didefinisikan

sebagai ilmu yang membahas peristiwa dengan memperhatikan unsur,

tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa

tersebut.104

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif (qualitative research)

yang merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata atau tulisan dari orang-orang dan perilaku

yang diamati.105

Oleh karenanya penelitian ini memiliki beberapa ciri

dari sebuah karakteristik penelitian kualitatif, yaitu meliputi: a) natural

setting sebagai sumber data langsung dan peneliti sebagai instrumen106

kunci; b) bersifat deskriptif; c) lebih mengutamakan hasil daripada

proses; d) analisis data secara induktif; dan e) makna atau meaning

merupakan perhatian utamanya.107

2. Sumber Data

Dalam proses pengumpulan data, peneliti akan menelusuri

tulisan-tulisan pengikut Salafi Wahabi, misalnya buku yang ditulis oleh

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Mulia dengan Manhaj Salafi”, di sana

penulis menggambarkan tentang keutamaan al-Salaf al-Ṣāliḥ disertai

dalil-dalil yang menyatakan bahwa al-manhaj al-salafī sebagai ḥujjah

(dalil) yang wajib diikuti oleh kaum Muslimin. Juga, prinsip-prinsip al-

manhaj al-salafī dalam hal akidah, ibadah, hingga dakwah salafiyah. Di

samping itu, peneliti mendasarkan pula pada telaah naskah atau

dokumen, yaitu untuk mengetahui sebuah tindakan sosial dapat ditelusuri

dari beberapa hal, seperti fatwa-fatwa, khutbah (pidato) atau syair-syair

yang relevan terhadap pokok-pokok bahasan yang dikaji.108

Sumber data

yang dikategorikan primer berkenaan Salafi Wahabi di antaranya adalah

al-Salafīyah: Marḥalah Zamanīyah Mubārakah lā Madhhab Islāmī dan

al-Lāmadhhabīyah: Akhṭaru Bidʻah Tuhaddidu al-Sharīʻah al-Islāmīyah.

Kedua buku tersebut ditulis oleh Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī, di

mana ia mengatakan dalam bukunya itu, buku pertama, bahwa metode

103

Mohammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1988),

55. 104

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2004), 46. 105

Lihat, Robert K. Yin, The Case Study Anthology (California, Thousand Oaks:

Sage, 2004), xix; Lihat pula, Norman K. Denzim & Yvonna S. Lincoln, The Sage Hanbook

of Qualitative Research (California, Thousand Oaks: Sage, 2005), 1. 106

Instrumen berarti sarana penelitian untuk mendapatkan sumber data atau data

yang akan dikaji. 107

Bogdan dan Biklen, Qualitative Research for Education: An Introduction for

Theory and Methods (London: Allyn and Bacon, Inc., 1982), 27. 108

Lihat, Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta:

Yayasan Alo Indonesia, 2007); Lihat pula, Siti Baroroh Baried, et. al., Pengantar Teori

Filologi (Yogyakarta: BPPF UGM, 1994).

Page 40: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

31

pemikiran, manhaj al-tarbīyah hingga tradisi yang dilakukan oleh para

sahabat Nabi saw pada masa Islam awal, merupakan metodologi

komprehensif dalam mengembangkan ajaran Islam secara utuh (kāffah).

Di samping itu, dijelaskan pula tentang dampak negatif yang timbul atas

umat Islam akibat dari amalan bidʻah. Adapun buku yang kedua

menyoroti tentang keniscayaan sebuah taklid, yaitu bagi penulis

bukanlah sebuah larangan dalam bermazhab pada salah satu imam

mazhab. Hal ini disebabkan taklid merupakan legal secara syariah dan

konsisten dalam bermazhab merupakan sesuatu yang tidak dilarang.

Ada pula buku yang dikategorikan primer, yaitu Wahhabi Islam:

From Revival and Reform to Global Jihad, yang ditulis oleh Natana J.

Delong-Bas. Dalam buku tersebut dijabarkan tentang teologi dan

pandangan pemikiran Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb berkenaan

mempraktikkan interpretasi Al-Qur‟an dan Hadis dalam kehidupan

seorang Muslim. Menurut pandangannya bahwa monoteisme (suatu

ajaran yang mempercayai adanya satu Tuhan) merupakan keyakinan

dalam beragama yang bersifat absolut (mutlak). Dengan lain perkataan,

tidak lagi mengakui kekuasaan di atas kekuasaan Tuhan, seperti

pengkultusan terhadap wali, percaya kepada takhayul, bidʻah, dan

churafat/khurafat (TBC), serta praktik-praktik amalan keseharian yang

dinisbatkan pada ajaran agama yang tidak bersandar pada Al-Qur‟an dan

Sunnah. Juga, dijelaskan tentang interpretasi tradisi klasik terhadap jihad

yang dilakukan oleh Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb dalam dakwahnya.

Di samping itu, menyoroti pula tentang peranan wanita dalam era

modern dan hak asasi mereka dalam pergumulan hidup bersosial.

Selanjutnya, ada sebuah penelitian tentang pemahaman Salafi

Wahabi, yaitu yang berjudul Membongkar Kejumudan: Menjawab

Tuduhan-tuduhan Salafi Wahhabi, karya A. Shihabuddin, tahun 2013.

Dalam penelitian buku tersebut, penulis menelusuri tentang tuduhan-

tuduhan kaum Salafi yang sering mengkritik amalan-amalan kaum

tradisionalis, khususnya amalan-amalan kaum Nahdliyyin di Indonesia.

Di antaranya sejumlah ritual Islam seperti ziarah kubur, yasinan dan

tahlilan di rumah duka, ber-tawassul kepada Nabi saw dan para wali

dalam berdoa, maulidan, pembacaan istighāthah, dan sebagainya.

Alasannya yang sering mereka katakan bahwa amalan-amalan tersebut

tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, atau para sahabat Nabi saw.

Lebih jauh, penulis buku mengkaji bahwa meskipun awalnya tuduhan-

tuduhan tersebut merupakan konsekuensi pilihan metodologi

pemahaman agama. Namun, menurut A. Shihabuddin, justru terlihat dari

radikalisme itu tidak semata soal metodologi. Tetapi sudah semacam

„ideologi‟ yang cenderung mengkristal (mengeras, mengakar) dan tidak

bisa diubah. Dengan demikian, tuduhan kufur, musyrik dan bidʻah

Page 41: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

32

adalah terminologi yang pada akhirnya dialamatkan kepada mereka yang

tidak segolongan.109

Selain sumber primer di atas, dalam kajian ini juga menggunakan

sumber sekunder guna memperkaya khazanah ilmu pengetahuan,

sekaligus sebagai kajian interdisipliner.110

Hal ini penting dilakukan,

karena untuk mengkorelasikan antara satu zaman kepada zaman lain

hendaknya disertai pada peninjauan perkembangan sosio-kultural.

Terlebih, interaksi dalam mengembangkan visi dan misi dakwah serta

keyakinan selaras dengan perkembangan pemikiran para generasi

selanjutnya, baik di dunia Islam maupun di Indonesia itu sendiri.

3. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa kajian ini

merupakan penelitian kualitatif, sehingga peneliti itu sendiri sebagai

instrumen kunci, baik dalam pengumpulan datanya maupun analisis

datanya.111

Dalam proses pengumpulan data, selain mengkaji melalui

penelitian kepustakaan (library research), mengadakan observasi, dan

sistem tanya-jawab, juga mendasarkan diri pada telaah naskah atau

dokumentasi.112

Oleh karena itu, di samping menggunakan sumber data

109

Berkenaan tuduhan-tuduhan ini pernah disinggung oleh Nabi saw dalam sebuah

sabdanya, yang artinya: “Barangsiapa yang berkata pada saudaranya „hai kafir‟, kata-kata itu

akan kembali pada salah satu di antara keduanya. Jika tidak (artinya yang dituduh tidak

demikian), maka kata itu kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)” (HR. al-

Bukhārī dan Muslim). Selanjutnya lihat, A. Shihabuddin, Membongkar Kejumudan:

Menjawab Tuduhan-tuduhan Salafi Wahhabi, Cet. ke-1 (Jakarta: Noura Books, 2013), viii-x. 110

Kajian interdisipliner di sini mengarah pada kajian secara komprehensif, karena

dalam pemahaman Islam yang otoritatif (authoritative) diperoleh dari metode yang kuat di

dalam memahami sumber-sumber Islam dan bertanggung jawab, misalnya dengan metode

tajrībī, burhānī, bayānī, dan ‘irfānī. Di samping itu, nilai-nilai ajaran Islam mengakomodir

semua disiplin ilmu yang berkembang di dunia, yaitu sejarah, teologi, hukum, sosiologi,

ekonomi, politik, kedokteran, psikologi, ilmu bahasa, tata ruang, lingkungan hidup, dan lain-

lainnya. 111

Ada beberapa kegunaan dari seorang peneliti yang menggunakan penelitian

kualitatif (qualitative research), yaitu di antaranya: a) responsif, di mana seorang peneliti

dapat merasa, mengalami dan merespon; b) adaptif, yaitu seorang peneliti dapat bersifat

fleksibel hingga dapat berfungsi multi-purpose (berbagai macam tujuan) serta dapat

mengumpulkan informasi multi-factors (berbagai macam faktor/unsur) secara serempak/

berbarengan; c) holistic emphasis, yaitu hanya dari seorang peneliti lah sebagai alat yang

dapat memahami secara keseluruhan konteks; d) tidak menutupkemungkinan perluasan

pengetahuan secara langsung; e) memungkinkan sekali pemprosesan data dengan segera

hingga dapat mengemukakan hipotesis di lapangan; f) banyaknya kesempatan untuk

melakukan klarifikasi dan peringkasan data sewaktu masih di lapangan, dan; g) kesempatan

untuk mencari respons yang atipikal. Lihat, Aminuddin (ed.), Pengembangan Penelitian

Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra (Malang: Hiski, 1990), 15-16. 112

Terdapat beberapa keuntungan dalam studi dokumentasi, yaitu di antaranya: a)

untuk subjek penelitian yang sukar atau tidak dapat dijangkau, studi dokumentasi dapat

memberikan solusi untuk melakukan penelitian; b) tidak reaktif, karena studi dokumentasi

Page 42: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

33

primer dan sekunder, juga peneliti mengakses internet, baik berbentuk

jurnal, kutipan ataupun artikel yang relevan terhadap pembahasan kajian

ini. Selanjutnya dari data yang diperoleh diolah, dianalisa hingga ada

pembacaan ulang yang interpretatif guna menemukan pemahaman yang

mendalam.

4. Analisis Data

Data yang dikumpulkan akan dianalisa dengan metode kualitatif,

yaitu dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan, baik sumber

primer maupun sekunder. Oleh karenanya akan menghasilkan sebuah

kesimpulan yang obyektif, logis, konsisten, dan sistematis dalam

penelitian ini. Di samping itu, semua data-data tersebut yang berhasil

dikumpulkan dianalisis dalam kerangka sosiologis dengan menggunakan

metode deskriptif-interpretatif.113

Deskripsi merupakan uraian dalam

bentuk kategori mengenai fenomena sosial tertentu hingga diperoleh ciri-

ciri yang bervariasi. Dalam kaitan ini dilakukan formulasi sosiologis dan

interpretasi fenomenologis hingga diperoleh pemahaman tertentu

mengenai masalah yang menjadi fokus kajian dalam penelitian.114

Metode kualitatif, sebagaimana konsep Bogdan dan Taylor yang

dikutip oleh Moelong, adalah suatu prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati atau bisa dijadikan sumber informasi.

Dengan demikian, dalam penelitian kualitatif penggunaan data dan

analisis deskriptif-interpretatif dipilih untuk menjawab pertanyaan

mengapa dan bagaimana suatu fenomena sosial dalam kehidupan

masyarakat mengalami proses konstruksi (perubahan atau perbuatan

membangun).115

Proses konstruksi menjadi sebuah keniscayaan pada

setiap waktu dan tempat. Selain hal di atas, penelitian ini juga

menggunakan pendekatan teori fundamentalisme salafi.116

Hal ini,

tidak dilakukan secara langsung dengan orang; c) analisis longitudinal, di mana untuk studi

yang bersifat longitudinal, khususnya yang menjangkau jauh ke masa lalu, maka studi

dokumentasi memberikan cara yang terbaik, dan; d) besar sampel, yaitu dengan adanya

dokumen-dokumen yang tersedia, teknik ini memungkinkan untuk mengambil sampel yang

lebih besar karena biaya yang diperlukan relatif kecil/sedikit. Lihat, Irawan Soehartono,

Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial

Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), 71; Lihat pula, Bailey K. D., Methods of

Social Research, Edisi II (New York: The Free Press, 1982). 113

Sunyoto Usman, Sosiologi: Sejarah, Teori dan Metodologi (Yogyakarta: CIRed,

2004), 99-100. 114

Sartono Kartodirjo, Perspektif Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta:

Gramedia, 1993), 126. 115

Lihat, Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. ke-8 (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 1997), 3, 6. 116

Teori fundamentalisme salafi ini dapat ditelusuri pada pembahasannya dalam

Sukron Kamil, Islam & Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik,

Page 43: SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39703/1/ENDANG... · Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten

34

sebagaimana diketahui bahwa paham salafi juga terbagi pada tiga bagian,

yaitu: dakwahisme, politis dan radikalisme. Dengan demikian akan

ditelusuri pada bagian mana suatu gerakan salafi yang dijalankan oleh

tiap-tiap organisasi atau komunitas tertentu.

Oleh karena itu, analisis data dapat dijalani dengan beberapa hal,

di antaranya:

a. Mendeskripsikan secara sosiologis faktor gerakan sebuah keyakinan

hingga munculnya slogan “bidʻah”, atau bahkan “kafir” bagi yang

tidak sepaham terhadap golongan tertentu.

b. Melakukan pemaknaan terhadap kategori-kategori tersebut hingga

melahirkan deskriptif-interpretatif guna menelusuri faktor-faktor

sosio-teologis terhadap sebuah keyakinan.

c. Menghasilkan sebuah penelitian yang bersifat komparatif-tematis

yang dituangkan tiap-tiap bab pembahasan. Dengan demikian dapat

mengetahui ciri-ciri dan ajaran Salafi Wahabi di Indonesia.

HMI, Anti-Korupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syariah, Cet. ke-1 (Ciputat: Pusat

Studi Indonesia dan Arab UIN Jakarta, 2013), 163-164.