71
kemasan menurut UU No. 7 Tahun 1996 Bab 1 Pasal 1 tentang Pangan, adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Saat ini banyak jenis bahan yang digunakan untuk mengemas makanan, diantaranya adalah berbagai jenis plastik, kertas, fiberboard, gelas, tinplate, dan alumunium. Dalam industri pangan, kemasan mempunyai peranan yang sangat penting. Fungsi kemasan, antara lain: (1) melindungi produk terhadap pengaruh cuaca, sinar matahari, benturan, kotoran, dan lain-lain, (2) menarik perhatian konsumen, (3) memudahkan distribusi, penyimpanan, dan pemajangan, (4) tempat penempelan label yang berisi informasi tentang nama produk, komposisi bahan, isi bersih, nama dan alamat produsen/importir, nomor pendaftaran, kode produksi, tanggal kadaluarsa, petunjuk penggunaan, informasi nilai gizi, tanda halal, serta klaim atau pernyataan khusus (López Cervantes et al, 2003). Menurut Astawan (2008), kemasan harus dirancang agar memenuhi beberapa persyaratan penting, yaitu: (1) faktor ergonomi, meliputi kemudahan untuk dibawa, dibuka, dan dipegang, (2) faktor estetika, meliputi paduan warna, logo, ilustrasi, huruf, dan tata letak tulisan, (3) faktor identitas agar tampil beda dengan produk lain dan mudah dikenali. Berdasarkan urutan dan jaraknya dengan produk, kemasan dapat dibedakan atas kemasan primer, sekunder, dan tersier. Kemasan primer adalah kemasan yang langsung bersentuhan dengan pangan, sehingga dapat terjadi migrasi komponen bahan kemasan ke pangan yang berpengaruh terhadap rasa, bau, dan warna. Kemasan sekunder adalah kemasan lapis kedua setelah kemasan primer, dengan tujuan untuk lebih memberikan perlindungan kepada produk. Kemasan tersier adalah kemasan lapis ketiga setelah kemasan sekunder, dengan tujuan untuk memudahkan proses transportasi sehingga lebih praktis dan efisien. Kemasan tersier dapat berupa kotak karton atau peti kayu (Astawan, 2008). Syarat keamanan kemasan pangan, di antaranya (Astawan, 2008): 1. Kemasan tidak bersifat toksik dan beresidu terhadap pangan. 2.

Simulan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

terkait simulan

Citation preview

kemasan menurut UU No. 7 Tahun 1996 Bab 1 Pasal 1 tentang Pangan, adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Saat ini banyak jenis bahan yang digunakan untuk mengemas makanan, diantaranya adalah berbagai jenis plastik, kertas, fiberboard, gelas, tinplate, dan alumunium. Dalam industri pangan, kemasan mempunyai peranan yang sangat penting. Fungsi kemasan, antara lain: (1) melindungi produk terhadap pengaruh cuaca, sinar matahari, benturan, kotoran, dan lain-lain, (2) menarik perhatian konsumen, (3) memudahkan distribusi, penyimpanan, dan pemajangan, (4) tempat penempelan label yang berisi informasi tentang nama produk, komposisi bahan, isi bersih, nama dan alamat produsen/importir, nomor pendaftaran, kode produksi, tanggal kadaluarsa, petunjuk penggunaan, informasi nilai gizi, tanda halal, serta klaim atau pernyataan khusus (Lpez Cervantes et al, 2003).Menurut Astawan (2008), kemasan harus dirancang agar memenuhi beberapa persyaratan penting, yaitu: (1) faktor ergonomi, meliputi kemudahan untuk dibawa, dibuka, dan dipegang, (2) faktor estetika, meliputi paduan warna, logo, ilustrasi, huruf, dan tata letak tulisan, (3) faktor identitas agar tampil beda dengan produk lain dan mudah dikenali. Berdasarkan urutan dan jaraknya dengan produk, kemasan dapat dibedakan atas kemasan primer, sekunder, dan tersier. Kemasan primer adalah kemasan yang langsung bersentuhan dengan pangan, sehingga dapat terjadi migrasi komponen bahan kemasan ke pangan yang berpengaruh terhadap rasa, bau, dan warna. Kemasan sekunder adalah kemasan lapis kedua setelah kemasan primer, dengan tujuan untuk lebih memberikan perlindungan kepada produk. Kemasan tersier adalah kemasan lapis ketiga setelah kemasan sekunder, dengan tujuan untuk memudahkan proses transportasi sehingga lebih praktis dan efisien. Kemasan tersier dapat berupa kotak karton atau peti kayu (Astawan, 2008). Syarat keamanan kemasan pangan, di antaranya (Astawan, 2008): 1.Kemasan tidak bersifat toksik dan beresidu terhadap pangan. 2.Kemasan harus mampu menjaga bentuk, rasa, kehigienisan, dan gizi bahan pangan. 3.Senyawa bahan kimia berbahaya kemasan tidak boleh bermigrasi ke dalam bahan pangan terkemas. 4.Bentuk, ukuran, dan jenis kemasan memberikan efektivitas. 5.Bahan kemasan tidak mencemari lingkungan hidup. Menurut Peraturan Kepala Badan POM RI No 00.05.55.6497/2007 tentang Bahan Kemasan Pangan, jenis bahan kemasan terdiri dari plastic (termasuk varnishesdan coating), selulosa teregenerasikan (regeneratedcellulose), elastomer dan karet, kertas dan karton, keramik, kaca/gelas, logam dan paduan logam (alloy), kayu/gabus, produk tekstil, lilin parafin, dan mikrokristal. Masing-masing jenis bahan pengemas ini memiliki keunggulan untuk jenis pangan tertentu. 3 Di antara berbagai jenis bahan kemasan pangan yang dikenal, plastik menempati porsi terbesar. Kemudahan dibentuk, fleksibilitas yang tinggi,dan tampilan yang menarik dengan aneka warna cetakan merupakan sejumlah alasan plastik lebih dominan dibandingkan bahan kemasan lain dalam beberapa dekade terakhir. Bahan kemasan plastik berupa polietilen (PE),polipropilen (PP), poliester (PET, PEN, PC), ionomer, etilen vinil asetat (EVA), poliamida (PA), polivinil klorida (PVC), poliviniliden klorida (PVdC), polistiren (PS), stiren butadiena (SB), akrilonitril butadiena stirena (ABS), etilen vinil alkohol (EVOH), polimetil pentena (TPX), polimer tinggi nitril (HNP), fluoropolimer (PCTFE/PTFE), materi berbasis selulosa, dan polivinil asetat (PVA) (Kirwan and Strawbridge, 2003). Dalam proses pembuatan plastik, berbagai bahan tambahan sering ditambahkan ke dalam bahan dasar plastik untuk mempengaruhi sifat fisik, warna atau bentuk kemasan. Bahan-bahan tambahan tersebut, antara lain: pemlastis (plasticiser), antimikroba ( antimicrobial ), pengawet ( preservative ), pembentuk busa ( blowing agent), perekat ( adhesive ), pewarna ( colorant ), anti statik, penahan api ( flame retardant), pelumas ( lubricant ), pengisi ( filler ), penstabil ( stabilizer ), dan pemutih (bleaching) (Hutapea, 2008). Dr Leo Hendrik Baekeland, seorang Belgia, menemukan reaksi antara fenol dan formaldehida tahun 1907 yang kemudian diproduksi dengan nama dagang bakelite pada tahun 1920. Mulai dari penemuan tersebut itulah dianggap sebagai awal industry plastic. Pada waktu itu muncul pula saingan dari seluloida yang dinilai terlalu mudah terbakar, yaitu bahan plastic lainnya selulosa asetat yang kemudian digunakan untuk film foto dan bioskop (Syarief et al 1989). Bahan pembuat plastic dari minyak, arang, dan gas sebagai sumber alami, dalam perkembangannya digantikan oleh bahan sintetis sehingga dapat diperoleh sifat-sifat plastic yang diinginkan dengan cara kopolimerisasi, laminasi, dan ekstrusi. Penggunaan plastic sebagai kemasan dapat berupa kemas bentuk (fleksibel) atau sebagai kemas kaku. Makanan padat yang umumnya memiliki umur simpan pendek atau makanan yang tidak memiliki perlindungan yang hebat dibungkus dengan kemas bentuk. Akan tetapi makanan cair dan patan yang memerlukan perlindungan yang kuat perlu dikemas dengan wadah kaku dalam bentuk botol, jerigen, kotak atau bentuk lainnya. Penggunaan plastic untuk kemasan makanan cukup menarik karena sifat-sifatnya yang menguntungkan. Seperti luwees mudah dibentuk, mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti wadah logam, serta mudah dalam penanganannya. Di dalam perdagangan dikenal plastic untuk kemasan pangan (food grade) dan kemasan untuk bukan pangan (non-food grade). Karena perlu hati-hati dalam memilih jenis plastic untuk kemasan makanan agar terhindar dari kemungkinan adanya gangguan bagi kesehatan (Syarief et al 1989)Menurut McCort-Tipton and Pesselman (1999), simulan pangan adalah larutan yang dapat menyerupai aksi pelepasan komponen dari pangan yang berair, asam, beralkohol, dan berlemak. Simulan pangan digunakan sebagai pengganti pangan pada uji migrasi kemasan. Uji dengan pangan langsung terkadang sulit dilakukan karena produk pangan merupakan matriks yang sangat kompleks. Makanan terdiri dari beberapa komposisi yang sangat kompleks, sehingga sulit untuk memperoleh jumlah migrasi kemasan ke produk tersebut (makanan). Oleh karena itu digunakan simulan pangan yang merupakan single komponen untuk mewakilkan komposisi pangan yang bertujuan untuk memudahkan melihat dan menghitung jumlah migrasi dari bahan kemasan. Dalam buku Pedoman Uji migrasi yang dikeluarkan oleh BPOM menyebutkan bahwa menurut aturan Uni Eropa (EU) batas migrasi menjadi duyaitu batas migrasi total dan batas migrasi spesifik. Batas migrasi total adalah perpindahan seluruh zat yang berpindah dari kemasan ke dalam pangan dalam simulant tertentu sesuai jenis atau tipe pangan dengan batas maksimal sebesar 60mg/kg pangan. Sementara batas migrasi spesifik adalah jumlah maksimum suatu zat spesifik yang diperbolehkan berpindah dari suatu FCS (food contact substances) dari kemasan ke dalam pangan dan dipresentasikan sebagai perpindahan senyawa spesifik (FCS) tersebut ke dalam simulant pangan. Simulan pangan yang direkomendasikan Food and Drug Administration (FDA) dan European Union (EU) diklasifikasikan berdasarkan tipe pangannya, yakni pangan berair, asam, berlemak, dan beralkohol. Secara umum, FDA merekomendasikan simulan etanol 10% untuk pangan berair dan asam; etanol 10% atau 50% untuk pangan beralkohol; dan minyak makan, HB307 (campuran trigliserida sintetis), atau Miglyol 812 (minyak kelapa yang difraksinasi) untuk makanan berlemak. FDA juga mengatur tentang beberapa simulan pengganti untuk pangan berlemak, bila penggunaan minyak makan tidak praktis. Simulan tersebut terdiri dari etanol 95% dan 50%, tergantung polimer yang diuji. Alternatif simulan pangan yang disarankan oleh FDA, antara lain: air destilasi dan asam asetat 3% untuk pangan berair dan asam; dan etanol 50% atau 95% atau heptana untuk pangan berlemak (McCort-Tipton and Pesselman, 1999).EU membagi penggunaan simulan pangan menjadi empat bagian, yaitu air destilasi untuk pangan berair (pH>4,5); asam asetat 3% untuk pangan asam (pH 4.5) Air destilasi atau air lain yang serupa Simulant A Pangan asam (pH < 4.5) Asam asetat 3% (w/v) Simulant B Pangan beralkohol Etanol 10%, disesuaikan dengan kandungan alcohol sebenarnya dari pangan tersebut jika melebih 10% (v/V) Simulant C Pangan berlemak Simulant pangan berlemak Simulant D Pangan kering Tidak ada Tidak ada Simulan A, B, dan C disebut aqueous food Simulankarena berbasis air, sedangkan Simulan D fatty food Simulan. Dalam penelitian Warsiki (2008) menyebutkan bahwa total migrasi bahan kemasan kaleng yang digunakan untuk sop torbun yang menggunakan Simulan A, B, dan C masih di bawah ketentuan Commission Directive