Upload
arthurmawuntu
View
246
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
A case report describing a classic manifestation of Foix-Jefferson syndrome of the cavernous sinus
Citation preview
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
LAPORAN KASUS
PENDAHULUAN
Sella turcica merupakan struktur fossa cranii media yang penting. Hal ini
dikarenakan struktur yang berada di sekitar sella maupun di dalam sella memiliki
fungsi neurologis dan endokrinologis yang penting. Bagi seorang neurolog, patologi
daerah sella selalu harus dianalisis dengan pendekatan topis/ neurologis dan juga
endokrinologis.1,2
Proses patologi daerah sella sendiri bisa berupa tumor, infeksi, gangguan
vaskular, trauma, gangguan endokrin fungsional, atau sebab lain.3
Defisit neurologis akibat proses patologi daerah sella bisa secara umum akibat
peningkatan tekanan intrakranial atau fokal akibat efek terhadap struktur di
sekitarnya. Gangguan penglihatan adalah manifestasi yang paling sering
ditemukan. Selain itu bisa ditemukan gangguan gerakan bola mata, nistagmus, dan
rasa tebal atau parestesi wajah. Seringkali kumpulan defisit neurologis yang muncul
khas sehingga diberikan eponimnya sendiri seperti sindrom Foix-Jefferson akibat
penekanan sinus cavernosus di salah satu sisi sella turcica.2,3
Gangguan endokrin yang muncul sangat bervariasi, berupa defisiensi atau
kelebihan hormon-hormon hipofisis.1,2
Berikut akan dilaporkan kasus pasien dengan tumor daerah sella turcica yang
memberikan manifestasi sindrom Foix-Jefferson dan kelebihan hormon prolaktin.
ILUSTRASI KASUS
Ny TT, seorang perempuan, 48 tahun, suku Batak, tinggal di jalan Matraman,
pekerjaan pegawai swasta, cekat kanan, masuk ke IGD RSCM tanggal 12 September
2007 dengan keluhan utama kelopak mata kiri tidak bisa dibuka sejak 1 hari
sebelum MRS. Kelopak mata kiri tidak bisa dibuka dialami bertahap. Awalnya,
sekitar 4 hari sebelum MRS, teman-teman penderita mengatakan kelopak mata
kirinya agak jatuh tapi penderita tidak merasakan apa-apa. Dua hari sebelum MRS
penderita melihat kelopak mata kirinya turun tapi dia masih bisa melihat dan
kelopak mata kirinya itu masih bisa sedikit digerakkan. Pada pagi hari saat bangun
tidur 1 hari sebelum MRS penderita tidak bisa lagi membuka kelopak mata kiri.
Kelopak mata kiri hanya bisa dibuka bila diangkat dengan tangan.
Penderita juga merasa nyeri kepala hebat bersamaan dengan saat kelopak
matanya sudah tidak bisa dibuka lagi. Nyeri berdenyut di kepala bagian kiri, tidak
menjalar, timbul spontan dan agak membaik dengan minum obat sakit kepala.
1
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Nyeri disertai muntah tapi penderita tetap sadar. Nyeri memberat bila penderita
batuk.
Sebelumnya, sekitar 10 hari sebelum MRS, penderita beberapa kali mengalami
serangan nyeri kepala di kepala bagian kiri tetapi tidak hebat. Nyeri berdenyut,
tidak menjalar, timbul spontan, lama nyeri kepala sekitar 1 – 2 jam, menghilang
sendiri. Karena nyeri kepala ini, penderita menjadi malas makan atau beraktivitas.
Bila kelopak mata dibuka, penderita merasa penglihatan mata kirinya tidak
mengalami perubahan tetapi memang penderita sebelumnya sudah harus memakai
kaca mata.
Penderita juga mengeluh melihat ganda bila melirik ke berbagai arah tetapi
terutama bila melirik ke kiri.
Penderita tidak merasa ada gangguan lain pada mata kiri dan kanan. Gangguan
menghidu tidak ada. Mulut mencong, sukar menelan, suara serak, dan bicara pelo
tidak ada. Rasa kebas di daerah wajah tidak ada (saat diperiksa di ruangan
keesokan harinya penderita mengeluh rasa kebas di daerah dahi dan pipi kiri).
Penurunan pendengaran, mendengar bunyi berdenging, gangguan keseimbangan,
pusing berputar atau bergoyang tidak ada. Kelemahan anggota gerak sesisi tidak
ada. Penurunan kesadaran atau kejang tidak ada. Riwayat panas-panas
sebelumnya, trauma kepala atau wajah sebelumnya tidak ada. Penurunan berat
badan yang drastis tidak ada. BAB dan BAK biasa.
Keluhan ini baru pertama kali dialami penderita.
Haid pertama dialami saat usia sekitar 13 – 14 tahun. Selama sekitar empat
tahun penderita merasa tidak pernah merasa ada masalah dengan haid. Saat
sekitar usia 17 – 18 tahun, haid penderita berhenti. Penderita lalu memeriksakan
diri ke dokter kandungan. Saat dilakukan pemeriksaan, dari puting penderita keluar
cairan putih waktu dipencet. Penderita dikatakan mengalami kekurangan hormon
oleh dokter yang memeriksa tetapi tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Penderita selanjutnya diberi obat hormon. Saat minum obat, penderita bisa datang
bulan teratur tetapi bila obat tidak diminum, haid penderita berhenti. Setelah
beberapa bulan penderita berhenti minum obat karena bosan dan haidnyapun
terhenti. Sampai saat ini penderita tidak pernah haid lagi.
Selain tidak haid bila tidak minum obat penderita tidak mengeluhkan gejala
lain. Timbul benjolan di payudara atau perut tidak ada.
Penderita sedang tidak dalam pengobatan untuk penyakit tertentu atau sedang
mengkonsumsi obat tertentu. Riwayat penyakit darah tinggi, kencing manis,
kolesterol tinggi, asam urat tinggi, jantung, paru, ginjal, rematik tidak ada. Riwayat
alergi tidak ada. Riwayat operasi sebelumnya tidak ada.
2
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Dalam keluarga penderita hanya penderita yang sakit seperti ini. Riwayat tumor
atau kanker tidak ada.
Penderita tinggal dengan ibunya. Belum menikah. Belum pernah hamil atau
punya anak. Tidak merokok atau minum alkohol.
Saat diperiksa di IGD RSCM, didapatkan tekanan darah 140/90. Pemeriksaan
fisik umum dalam batas normal. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan paresis
N. III OS total dan N. IV OS. Diagnosis saat MRS adalah paresis N. III OS total dan N.
IV OS karena lesi desak ruang intrakranial dd tumor atau infeksi.
Pada pemeriksaan di ruangan didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang;
Kesadaran kompos mentis; Tekanan darah: 140/90 mmHg di lengan kiri dan kanan;
Nadi: 88 x/mnt, regular, isi cukup; Pernafasan: 20 x/mnt; Suhu badan: 36,8OC.
Pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pemeriksaan ginekologis dalam batas
normal.
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan GCS: E4M6V5 = 15. Pupil: bulat
anisokor kanan < kiri, diameter 3 mm/ 5 mm, simetris, RC +/-, RCTL +/-. TRM: kaku
kuduk (-), Laseque > 70º/ > 70o, Kernik > 135º/ > 135o, Brudzisky I dan II (-). Nervi
craniales: N. II: visus OD 6/60, koreksi dengan “pinhole” menjadi 6/12, astigmat;
visus OS 6/7, astigmat, lapangan pandang kesan normal pada pemeriksaan
kampimetri; penglihatan warna normal; funduskopi OD: papil bulat, batas tegas,
rasio aa/vv = 2:3, refleks makula (+), “crossing phenomenon” (-), perdarahan (-),
funduskopi OS: papil bulat, batas tegas, rasio aa/vv = 2:3, refleks makula
(+),“crossing phenomenon” (-), perdarahan (-); N.III, IV, VI: paresis total N. III OS, N.
IV OS, dan N. VI OS; N. V: hipestesi pada daerah inervasi N. V1,2 sinistra, refleks
kornea masih (+). Pemeriksaan neurologis lain dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan penunjang saat MRS: Hb: 10,6; Ht: 32; Leukosit: 14.800;
Trombosit: 414.000; Ureum: 22; Kreatinin: 1,3; GDS: 212; Elektrolit serum:
138/2,7/93; AGD: pH: 7,521; pCO2: 42,3; pO2: 70,0; Saturasi O2: 94,3; HCO3-: 35,0.
Foto toraks: dalam batas normal. EKG: dalam batas normal. CT-scan: Massa
ekstraaksial di sella turcica, berbatas tegas, berlobus-lobus, dengan komponen
kalsifikasi yang mendesak struktur di sekitarnya; diagnosis bandingnya parasellar
meningioma, giant aneurism; Saran: MRI, MRA dengan MRS.
Diagnosis saat MRS adalah paresis N. III OS total dan N. IV OS karena lesi desak
ruang intrakranial dd tumor atau infeksi; hipokalemia.
Penatalaksanaannya adalah dengan elevasi kepala 30O; pasang jalur intravena
(iv) dengan NaCl 0,9% 500 cc per 12 jam; Dexamethasone 5 mg inj bolus 2 amp iv
dilanjutkan 6 jam berikut 1 amp iv per 6 jam (pro tappering off); Ranitidin 50 mg inj
iv per 12 jam; Ketorolac 30 mg inj iv per 8 jam. Setelah nyeri kepala membaik,
3
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
analgetik diganti kapsul campur Paracetamol 300 mg + Ibuprofen 200 mg +
Amytriptilin 12,5 mg kalau nyeri. Penderita juga diberikan pencahar.
Hasil-hasil pemeriksaan penunjang selama dirawat: LED: 26; Hb: 10,1; Ht: 31,8;
Leukosit: 13.800; Trombosit: 292.000; Hitung jenis: 0,3/0,1/66/26,1/7,8.
Ureum: 11; Kreatinin: 0,6; GDS: 219; GDP: 87; GD2PP: 153 (70 – 140); HbA1c
6,4 (4,5 – 6,3); SGOT: 15; SGPT: 10; Albumin: 3,90.
T3 total: 0,48 (0,97 – 1,69); T4 total: 4,41 (5,53 – 11,00); TSH sensitif: 0,650
(0,465 – 4,680); LH: < 0,1 (8,0 – 33 pada masa menopaus); FSH: 0,8 (17 – 95 pada
masa menopaus); Prolaktin: 146,8 (0,5 – 12 pada masa menopaus);
MRI otak: Massa tumor pada dasar kepala di daerah sella turcica, dicurigai
berasal dari kraniofaringioma.
Foto toraks dan EKG kontrol dalam batas normal. Ekokardiografi: Dijumpai
disfungsi diastolik st I (mild) dengan LV fungsi sistolik yang baik.
Hasil-hasil konsul selama dirawat: konsul Neuro-oftalmologi 20 September
2007, Kesimpulan: Oftalmoplegi total sinistra; Lesi N. V1,2 sinistra; Gangguan
hormonal. Dapat sesuai dengan tumor parasellar. Saran: MRI, cek hormon-hormon.
Konsul Bedah Saraf 24 September 2007, Diagnosis: Tumor regio sella yang
meluas ke parasellar. Sikap: Pasien terindikasi untuk operasi removal tumor trans-
sfenoid.
Konsul Endokrinologi tanggal 2 Oktober 2007, Masalah: Tumor regio sella
turcica, curiga kraniofaringioma; Hiperglikemia reaktif dd DM tipe lain; Hipertensi
terkontrol; Anemia normositik-normokromik. Penatalaksanaan: Periksa KGDH; saat
ini observasi tanpa terapi hiperglikemia; Captopril 25 mg tab per 12 jam; Lain-lain
sesuai Neurologi.
Konsul Ginekologi 23 Oktober 2007, didapatkan status ginekologis dalam batas
normal; Kesan: Hiperprolaktinemi karena curiga tumor suprasella; Sikap: Pasien
tidak ada tindakan emergensi saat ini. Kontrol poli setelah rawat jalan. Saran:
Operasi tumornya.
Konsul Kardiologi 26 Oktober 2007, Dijumpai disfungsi diastolik st I (mild)
dengan LV fungsi sistolik yang baik toleransi operasi ringan.
Konsul Pulmonologi 26 Oktober 2007, toleransi operasi sedang.
Selama dirawat penderita diberikan tambahan terapi Bromocriptine dimulai
dengan dosis 1,25 mg per 8 jam selama 2 minggu lalu dinaikkan menjadi 2,5 mg
per 8 jam selama 1 minggu. Setelah pemakaian selama 3 minggu dikontrol kadar
prolaktin dan didapatkan hasil prolaktin: 1,9 (0,5 – 12 pada masa menopaus).
Selanjutnya Bromocriptine diturunkan lagi menjadi 1,25 mg per 8 jam. Penderita
4
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
diberikan obat antihipertensi Captopril karena terdiagnosis hipertensi st I.
Pemantauan KGDH dilakukan karena adanya hiperglikemia yang masih dicurigai
bukan karena DM tetapi karena hiperglikemia reaktif saat awal penyakit dan efek
pemberian steroid. Hasil pemantauan gula darah setelah steroid dihentikan 1 bulan
menunjukkan kadar gula darah sudah kembali normal. Penderita sempat
drencanakan operasi dengan pertimbangan ukuran tumor yang besar namun CT
scan kontrol tanggal 7 November 2007 memperlihatkan massa sudah jauh mengecil
sehingga operasi dibatalkan. Penderita kemudian direncakan rawat jalan dengan
anjuran obat-obat diminum teratur, kontrol poliklinik setelah 1 minggu, dan
direncakan untuk pemeriksaan hormon-hormon ulang. Penderita dipulangkan
tanggal 9 November 2007.
Diagnosis
Klinis : Paresis total nervus occulomotorius sinistra, nervus
trochlearis sinistra, dan nervus abducens sinistra; gangguan
nervus trigeminus rami opthtalmica et maxillare sinistra,
hiperprolaktinemi.
Topis : Sinus cavernosus sinistra, sella turcica.
Etiologis : Kompresi, peningkatan produksi hormon prolaktin.
Patologis : Neoplasma.
Prognosis
Quo ad vitam : Bonam.
Quo ad functionam : Dubia ad malam.
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam.
5
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
ANATOMI SELLA TURCICA DAN SINUS CAVERNOSUS
Sella Turcica
Sella turcica merupakan bagian dari fossa cranii media, yaitu bagian dari
struktur tulang dasar tengkorak yang terutama dibentuk oleh bagian-bagian dari os
sphenoidalis, os temporalis, dan os parietalis. Di fossa cranii media, sella turcica
berada di bagian medial fosa tersebut. Gambar 1 menunjukkan sella turcica dan
struktur di sekitarnya.4,5
Gambar 1. Sella turcica dan struktur di sekitarnya.
Sumber: Baehr, Frotscher (2005)
Nama sella turcica (pelana Turki) didapat dari bentuknya yang mirip pelana
kuda tradisional Turki. Sebenarnya sella turcica merupakan bagian dari corpus ossis
sphenoidales, berupa suatu depresi dalam di atas sinus sphenoidalis. Depresi ini
diisi oleh hipofisis. 4,5
Terdapat suatu peninggian di bagian anterior sella turcica yang disebut
tuberculum sellae. Tuberculum sellae membatasi sella turcica dari dua sulci
prechiasmatica di depannya yang berjalan ke lateral menuju canalis opticus
masing-masing sisi. 2,4,5
Di bagian posterior, sella turcica dibatasi oleh suatu lempeng tulang persegi
yang disebut dorsum sellae. Angulus superior dorsum sellae memiliki penonjolan,
disebut proccesus clinoideus posterior yang menjadi tempat perlengkatan
tentorium cerebelli. Ke inferoposterior, dorsum sellae berhubungan dengan clivus.
Arteri basilaris dan pons dibatasi di anterior oleh dorsum sellae dan clivus.4,6
6
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Bagian superior sella turcica tidak dibatasi oleh struktur tulang tetapi oleh dura
mater yang disebut diaphragma sellae. Bagian tengah diaphragma sellae berlubang
dan menjadi tempat lewatnya infundibulum hypophysealis (tangkai hipofisis). Di
atas sella terdapat chiasma opticum, (bagian dari hipotalamus yang berperan
dalam transmisi impuls optik), yang dipisahkan dengan hipofisis anterior oleh
diaphragma sellae. Tangkai hipofisis menghubungkan lobus posterior hipofisis
dengan struktur di atasnya yaitu tuber cinereum hipotalamus sisi kiri dan kanan. Di
atas chiasma opticum dan tangkai hipofisis terdapat rongga ventrikel ke tiga. 4,6
Bagian lateral kanan dan kiri sella turcica dibatasi dengan sinus cavernosus
masing-masing sisi beserta isinya. Bagian inferior sella dipisahkan oleh tulang
dengan sinus sphenoidalis. 4,6
Sinus Cavernosus
Sinus cavernosus merupakan bagian dari sistem sinus venosus otak. Nama
cavernosus didapat karena di bagian dalam sinus ini terdapat sejumlah trabekula
yang melintas sehingga struktur dalamnya mirip spons. Sinus ini terletak di fossa
cranii media di kiri dan kanan os sphenoidalis. Saat melewati sella turcica di bagian
medialnya, kedua sinus cavernosus berhubungan dengan hipofisis. Setiap sinus
meluas dari fissura orbitalis superior ke apex pars petrosa ossi temporales. Sinus ini
mengalir ke posterior ke dalam sinus petrosi superior et inferior, serta ke inferior ke
dalam plexus venosus pterygoidei. Sinus cavernosi dextra et sinistra saling
berhubungan melalui sinus intercavernosi anterior et posterior yang berjalan di
dalam diaphragma sellae di depan dan belakang tangkai hipofisis. Tiap sinus
mempunyai hubungan penting dengan vena fasialis melalui vena oftalmika
superior.4,5,6
Beberapa struktur penting terdapat di lateral dan dalam sinus cavernosus
masing-masing sisi, yaitu: 1) arteri karotis interna beserta pleksus saraf simpatikus
yang mengelilinginya; 2) nervus occulomotorius (N. III); 3) nervus trochlearis (N. IV);
4) rami opthalmica (N. V1) et maxillare (N. V2) nervus trigeminus; dan 5) nervus
abducens (N. VI). Struktur-struktur tersebut diperlihatkan dalam Gambar 3. 4,5,6
7
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Gambar 3. Sinus cavernosus dan struktur-struktur di sekitarnya.
Arteri karotis interna beserta pleksus saraf simpatikus yang mengelilinginya
berjalan di tengah sinus cavernosus tetapi dipisahkan dari darah oleh suatu lapisan
endotel. Di lateral arteri karotis interna terdapat rami opthalmica et maxillare
nervus trigeminus yang berjalan ke anterior dan di bawahnya terdapat nervus
abducens. Arteri karotis interna lalu membelok tajam ke arah balik di bawah
proseccus clinoideus anterior sehingga arahnya menjadi ke belakang. Bentuk ini
disebut “carotid siphon”. Di sini arteri karotis interna memberi cabang yang segera
membelok ke anterior, yaitu arteri oftalmika. Setelah keluar dari sinus cavernosus,
arteri ini akan menembus dura mater. Selanjutnya arteri karotis interna menanjak
ke atas di dalam ruang subaraknoid hingga mencapai sirkulus Willisi.5,7
Nervus occulomotorius keluar dari sisi anterior mesensefalon, medial dari
pedunculus cerebri, menembus dura mater untuk selanjutnya menuju ke anterior ke
arah orbita. Dalam perjalanannya, nervus ini melewati sisi lateral sinus cavernosus
dari arah posterior ke anterior di atas nervus trochlearis. Setelah melewati sinus
cavernosus, sebelum memasuki orbita lewat fissura orbitalis superior, nervus
occulomotorius terbagi menjadi ramus superior dan ramus inferior. Nervus
occulomotorius melewati fissura orbitalis superior ke dalam kavum orbita bersama-
sama dengan nervus trochlearis, rami opthalmica nervus trigeminus, nervus
abducens.5,6,8
Nervus trochlearis merupakan saraf otak yang paling halus. Saraf ini keluar dari
sisi posterior mesensefalon tepat di bawah colliculus inferior. Ia kemudian
melengkung ke depan mengitari pedunculus cerebri, menembus dura mater, lalu
berjalan ke anterior melewati sisi lateral sinus cavernosus di bawah nervus
occulomotorius.5,6,8
Rami opthalmica et maxillare nervus trigeminus melewati sisi lateral sinus
cavernosus di bawah nervus trochlearis dan lateral arteri karotis interna. Ramus
opthalmicus selanjutnya akan memasuki fissura orbitalis superior sedang ramus
maxillaris memasuki foramen rotundum.5,6,9
8
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Nervus abducens merupakan saraf otak yang perjalanannya paling panjang.
Saraf ini keluar dari hubungan pontomedular tepat di atas pyramis medula
oblongata lalu berjalan ke atas di samping arteri basilaris, kemudian menembus
dura mater di samping clivus. Dari sini, nervus abducens membelok tajam ke
anterior dan masuk ke sinus cavernosus. Di dalam sinus cavernosus, nervus
abducens lalu berjalan ke anterior menuju fissura orbitalis superior di bagian lateral
bawah arteri karotis interna.2,5,6
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIPOFISIS
Gambaran Umum
Hipofisis atau glandula pituitaria adalah struktur lonjong kecil yang
menggantung pada permukaan bawah diensefalon lewat infundibulum.
Diameternya sekitar 1 cm dan beratnya 0,5 – 1 g. Kelenjar ini terlindung dengan
baik karena terletak dalam sella turcica.1,10
Hipofisis berperan penting dalam sistem endokrin karena menghasilkan
hormon-hormon yang mempengaruhi aktivitas berbagai kelenjar endokrin lain di
tubuh. Hal inilah yang menyebabkan hipofisis juga disebut kelenjar utama (”the
master gland”).10
Hipofisis dibagi menjadi lobus anterior atau adenohipofisis dan lobus posterior
atau neurohipofisis (pada beberapa literatur dikatakan bahwa neurohipofisis bukan
hanya terdiri dari lobus posterior tetapi juga tangkai hipofisis, nukleus supraoptik,
dan nukleus paraventrikular.). Lobus anterior kemudian dibagi lagi menjadi pars
anterior (kadang-kadang disebut pars distalis) dan pars intermedia. Keduanya
dipisahkan oleh suatu celah, sisa kantong embrional. Juluran dari pars anterior, pars
tuberalis, meluas ke atas, sepanjang permukaan anterior dan lateral tangkai
hipofisis.6,10,11
Ada enam jenis hormon penting dan beberapa hormon yang kurang penting
yang disekresikan oleh lobus anterior hipofisis. Hormon-hormon tersebut yaitu: 1)
hormon pertumbuhan; 2) kortikotropin; 3) tirotropin; 4) prolaktin; 5) gonadotropin
yang terdiri atas hormon luteinisasi (”luteinizing hormon” = LH) dan hormon
perangsang folikel (”follicle stimulating hormon” = FSH). Terdapat dua jenis hormon
penting yang disekresikan neurohipofisis, yaitu: 1) vasopresin atau ”antidiuretic
hormon” (ADH) dan 2) oksitosin.10
Secara histologik, sedikitnya ada lima jenis sel di hipofisis anterior yang fungsi
sekresinya berbeda-beda, yaitu: 1) sel somatotropik: mensekresi hormon
pertumbuhan; 2) sel kortikotropik: mensekresi kortikotropin (ACTH); 3) Sel
tirotropik: mensekresi hormon perangsang tiroid; 4) sel gonadotropik: mensekresi
9
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
gonadotropin, yaitu hormon luteinisasi dan hormon perangsang folikel; 5) sel
laktotropik: mensekresi prolaktin.2,10
Sel-sel yang mensekresi hormon hipofisis posterior tidak terletak dalam lobus
posterior tetapi dalam neuron-neuron besar yang terletak di nukleus supraoptik dan
nukleus paraventrikular hipotalamus. Hormon-hormon tersebut selanjutnya
diangkut ke lobus posterior hipofisis lewat aksoplasma serat–serat saraf neuron
yang berjalan dari hipotalamus ke hipofisis.10,11
Struktur hipofisis, sella turcica, dan sekitarnya paling baik divisualisasi dengan
MRI khusus untuk daerah tersebut. Lobus anterior hipofisis yang normal akan
terlihat isointens dengan substantia grissea pada pencitraan T1WI tanpa kontras
serta T2WI. Lobus posterior akan terlihat hiperintens pada T1WI. Kelenjar hipofisis
akan menyangat secara cepat dan homogen pada pemberian kontras.1,12
Perkembangan dan Pembagian Hipofisis
Adenohipofisis (lobus anterior) berkembang dari evaginasi sel-sel epitel
stomodeum embrional (ektoderm) yang nantinya juga membentuk atap rongga
mulut dan faring. Pada usia kehamilan empat minggu, stomodeum akan
membentuk suatu divertikulum ke arah kranial yang disebut kantong Rathke.
Kantong Rathke akan bermigrasi ke arah kranial sambil membentuk saluran yang
disebut ductus craniopharyngealis. Kantong Rathke lalu memisahkan diri hingga
membentuk vesikel Rathke yang mengelilingi infundibulum dan membentuk bagian-
bagian adenohipofisis yaitu pars distalis, pars tuberalis, dan pars intermedia
(Gambar 4). Asal embrionik ini menjelaskan ciri histologik sel-sel adenohipofisis
yang berupa sel-sel epitel kelenjar.1,11
Neurohipofisis (lobus posterior) merupakan evaginasi dari lantai diensefalon
(neuroektoderm). Dengan demikian dapat dimengerti mengapa neurohipofisis
mengandung banyak sekali sel-sel glia. Dalam neurohipofisis bahkan terdapat suatu
tipe sel glia yang unik yang disebut pituisit.1,11
Dalam embriogenesis, adenohipofisis dan neurohipofisis bertemu di dalam sella
turcica, berdempetan satu sama lain. Jadi hipofisis mewakili hubungan erat antara
sistem saraf dengan sistem endokrin yang secara bersama melakukan fungsi
homeostasis.11
10
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Gambar 4. Embriogenesis hipofisis.
Sumber: Kahle, Frostcher (2003)
Infundibulum
Hipotalamus berhubungan dengan hipofisis melalui infundibulum. Malahan
lobus posterior hipofisis dapat dikatakan sebagai perluasan dari hipotalamus. Di
hipotalamus bagian bawah sisi kanan dan kiri terdapat suatu massa substantia
grissea yang konveks yang disebut tuber cinereum.5,11
Infundibulum atau tangkai hipofisis merupakan perluasan ke arah kaudal dari
tuber cinereum. Ujung kaudal tuber cinereum yang membentuk infundibulum
disebut eminentia mediana. Di tengah tangkai ini terdapat rongga yang disebut
recessus infundibularis. Suatu lapisan jaringan tipis adenohipofisis meluas ke atas
hingga tuber cinereum dan melingkupi bagian anterior infundibulum.5,9,11
Infundibulum dan pars tuberalis adenohipofisis disebut bagian proksimal
hipofisis dan bagian distal adalah bagian yang berada dalam sella turcica (pars
distalis dan intermedia adenohipofisis serta lobus posterior). Permukaan bagian
proksimal yang saling kontak (permukaan kontak) ini penting dalam interkoneksi
sistem saraf dan sistem endokrin. Lapisan serat glia yang biasanya menutupi
permukaan otak tidak ditemukan di sini dan pembuluh kapiler porta memasuki
adenohipofisis dari infundibulum (Gambar 5).11
11
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Gambar 5. Struktur hipofisis.
Sumber: Kahle, Frostcher (2003)
Vaskularisasi Hipofisis
Suplai darah ke hipofisis cukup besar. Malah lobus anterior hipofisis menerima
aliran darah yang paling banyak dibanding organ tubuh lain yaitu 0,8 ml/g/menit.
Arteri yang memperdarahi hipofisis terutama berasal dari dua pasang arteri yaitu
sepasang arteri hipofisialis superior dan sepasang arteri hipofisialis inferior. Dua
pasang arteri ini berasal dari arteri karotis interna. Dua arteri hipofisialis superior
membentuk cincin melingkari bagian proksimal infundibulum. Dari sini keluar
beberapa arteri-arteri kecil menembus selaput adenohipofisis dan masuk ke
infundibulum.7,10,11
Adenohipofisis merupakan kelenjar yang mempunyai banyak sekali pembuluh
darah dengan sinus kapiler yang sangat luas di sepanjang sel-sel kelenjarnya.
Hampir semua darah yang memasuki sinus ini mula-mula akan melewati ruang
kapiler pada bagian bawah hipotalamus. Darah kemudian melewati pembuluh porta
hipotalamus-hipofisis kecil ke sinus hipofisis anterior. Arteri kecil menembus ke
dalam eminentia mediana, bersatu untuk membentuk pembuluh-pembuluh darah
porta hipotalamus-hipofisis. Pembuluh-pembuluh darah ini akan berjalan ke bawah
sepanjang tangkai hipofisis untuk mengalirkan darah ke sinus hipofisis anterior.10,11
Sepasang arteri hipofisialis inferior mensuplai neurohipofisis dengan beberapa
cabangnya bisa mencapai pars intermedia. Darah dari neurohipofisis dialirkan lewat
pembuluh-pembuluh darah porta yang pendek ke ruang kapiler adenohipofisis.11
Xuereb, Pritchard, dan Daniel memetakan vaskularisasi hipofisis seperti pada
Gambar 6 sebagaimana dikutip oleh Kahle dan Frostcher (2003).11
12
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Gambar 6. Vaskularisasi hipofisis.
Sumber: Kahle, Frostcher (2003)
Regulasi Hipofisis
Hampir semua sekresi kelenjar hipofisis diatur baik oleh hormon atau sinyal
saraf yang berasal dari hipotalamus. Sekresi kelenjar hipofisis posterior diatur oleh
sinyal-sinyal saraf yang berasal dari hipotalamus dan berakhir pada hipofisis
posterior. Sebaliknya, sekresi kelenjar hipofisis anterior diatur oleh hormon-hormon
yang disebut hormon (atau faktor) pelepas hipotalamus dan hormon (faktor)
penghambat yang disekresikan ke dalam hipotalamus sendiri dan selanjutnya
dijalarkan ke hipofisis anterior melalui pembuluh darah porta hipotalamus-hipofisis.
Di dalam kelenjar hipofisis anterior, hormon pelepas dan hormon penghambat ini
bekerja terhadap sel kelenjar dan mengatur sekresi kelenjar tersebut.10
Hipotalamus sebenarnya menerima sinyal-sinyal dari hampir semua sumber
yang mungkin dalam sistem saraf, seperti rangsangan nyeri, emosi, rangsangan
olfaktorik, kadar air, kadar hormon, nutrisi, dll. Jadi hipotalamus dianggap sebagai
pusat pengumpul informasi mengenai homeostasis tubuh dimana sebagian besar
informasi ini digunakan untuk mengatur sekresi sebagian besar hormon hipofisis.
Skema regulasi hipofisis diperlihatkan oleh Gambar 7 dan 8.5,10
13
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Gambar 7. Lobus posterior hipofisis. Serat-serat neurosekretorik mencapai lobus posterior secara langsung lewat traktus supraoptikohipofisis.
Sumber: Baehr, Kahle (2005)
14
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Gambar 8. Lobus anterior hipofisis. Hormon-hormon pelepas (“releasing hormones”) dan hormon-hormon penghambat pelepasan (“release-inhibiting hormones”) diproduksi hipotalamus dan dihantarkan lewat serat-serat neurosekretorik ke jaringan kapiler pertama di eminentia mediana/ area neurohemal) dimana hormon-hormon ini memasuki aliran darah. Hormon-hormon ini selanjutnya dibawa oleh aliran darah ke lobus anterior hipofisis, mencapai jaringan kapiler kedua yang berada di sekitar sel-sel kelenjar penghasil hormon (sistem porta hipotalamus-hipofisis). Jadi, sekresi hormon oleh lobus anterior hipofisis diregulasi oleh aliran darah.
Sumber: Baehr, Kahle (2005)
GAMBARAN KLINIS PATOLOGI DAERAH SELLA TURCICA DAN
SEKITARNYA
Gangguan Neurologis
Seperti telah disebutkan sebelumnya, defisit neurologis akibat proses patologi
daerah sella bisa secara umum akibat peningkatan tekanan intrakranial atau fokal
akibat efek terhadap struktur di sekitarnya. Gangguan penglihatan adalah
manifestasi yang paling sering ditemukan. Selain itu bisa ditemukan gangguan
gerakan bola mata, nistagmus, dan rasa tebal atau parestesi wajah.2
15
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Bila lesi menyebabkan disfungsi hipofisis dan hipotalamus, maka gambaran
klinis yang dijumpai bisa lebih luas, mencakup gejala dan tanda
neuroendokrinologik. Untuk memudahkan, maka gejala dan tanda tersebut bisa
digolongkan sebagai berikut:2
- Gangguan regulasi suhu tubuh.
- Gangguan kesadaran dan tidur.
- Gangguan autonom.
- Gangguan keseimbangan air tubuh.
- Gangguan keseimbangan kalori.
- Gangguan fungsi reproduksi dan seksual.
- Gangguan endokrin lainnya.
- Gangguan memori.
- Gangguan tingkah laku emosional dan afek.
- Kejang gelastik.
- Nyeri kepala.
- Gangguan ketajaman penglihatan atau lapangan pandang.
- Diplopia, perubahan pupil.
Sella turcica berada pada dasar tengkorak. Gangguan-gangguan pada dasar
tengkorak harus dibedakan berdasarkan manifestasi klinisnya untuk menentukan
lokasi lesi. Gambar 9 secara ringkas melukiskan hubungan antara lokasi lesi di
dasar tengkorak dan manifestasi klinis yang ditimbulkannya.3
Sindrom Foix-Jefferson
Sindrom Foix-Jefferson bisa ditemukan pada kasus-kasus tumor sella. Sindrom
Foix-Jefferson adalah kumpulan gejala klinis berupa paresis nervus occulomotorius,
trochlearis, dan abducens sesisi serta gangguan rami ophtalmica et maxillare
nervus trigeminus sesisi. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan secara terpisah
masing-masing oleh Sir Geoffrey Jefferson* di Inggris dan Charles Foix** di Perancis.
Jefferson melukiskan sindrom ini sebagai akibat kompresi atau gangguan pada
salah satu sinus cavernosus di fossa cranii media. Selain itu, dikenal berbagai
sindrom yang terjadi akibat proses patologis di fossa cranii yang memberi arti
diagnosis topis yang penting. Ropper dan Brown (2006) merangkumkan sindrom-
sindrom akibat lesi di fossa cranii pada Gambar 9.3
Penyebab sindrom Foix-Jefferson bermacam-macam seperti trombosis sinus
cavernosus, aneurisma arteri karotis interna di daerah infraklinoid, tumor di daerah
sella atau parasella, tumor nasofaring, dan tumor di fossa cranii media.3
Pasien dengan sindrom Foix-Jefferson mengeluhkan kelumpuhan salah satu
bola mata yang berlangsung progresif. Kelumpuhan total nervus occulomotorius
16
* Sir Geoffrey Jefferson (1886 – 1961): Ahli Saraf dan Bedah Saraf Inggris.** Charles Foix (1882 – 1927): Ahli Penyakit Dalam dan Saraf Perancis.
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
sesisi ditandai dengan gangguan gerakan mata ke medial, atas, lateral atas, dan
bawah, ptosis serta hilangnya refleks cahaya. Kelumpuhan nervus trochlearis
ditandai gangguan lirikan ke arah medial bawah. Kelumpuhan nervus abducens
ditandai kelumpuhan pada arah lirikan ke lateral. Selain itu dapat dijumpai
gangguan sensibilitas wajah bagian atas bahkan bisa ditemukan neuralgia
trigeminal.3,13
Menurut Ropper & Brown (2005), oftalmoplegi total sesisi yang disertai
gangguan N. V1 dan V2 sesisi sebenarnya hanya merupakan salah satu bagian dari
sindrom Foix-Jefferson. Jefferson sendiri membedakan sindrom ini atas tiga
kelompok: 1) anterior-superior, berhubungan dengan sindrom fissura orbitalis
superior; 2) tengah, menyebabkan oftalmoplegi dan gangguan nervus V1 dan V2;
dan 3) kaudal, disertai gangguan seluruh nervus V.3
Gangguan Endokrinologis
Perlu diingat bahwa gangguan endokrinologis yang terjadi bisa akibat
gangguan hipofisis, gangguan struktur di sekitar hipofisis yang menekan hipofisis,
dan gangguan hipotalamus yang mempengaruhi hipofisis. Gejala dan tanda yang
muncul sangat beragam. Secara garis besar, manifestasi klinis gangguan hipofisis
dapat berupa:
- Gangguan akibat penurunan aksi hormonal: dwarfisme, hipogonadisme,
hipotiroidisme, defisiensi glukokortikoid (biasanya dengan panhipopituitarisme).
- Gangguan akibat kelebihan sekresi hormon: sindrom Cushing, gigantisme
(anak-anak), akromegali (dewasa), hiperprolaktinemi.1,2
BEBERAPA TUMOR OTAK YANG SERING DIJUMPAI DI DAERAH SELLA
TURCICA
Tumor otak masih menjadi tantangan besar bagi dunia kedokteran modern
terutama neurologi. Meskipun demikian, perkembangan terbaru tentang klasifikasi
molekular tumor otak dan identifikasi gen-gen yang berperan dalam progresivitas
tumor telah menghasilkan pendekatan baru dalam hal terapi tumor otak, seperti
prevensi tumor dan terapi gen untuk meningkatkan sensitivitas tumor terhadap
kemoterapi dan radiasi.1,14
17
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Gambar 9a. Sindrom-sindrom di fossa cranii.
Sumber: Ropper, Brown (2006)
18
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Gambar 9b. Sindrom-sindrom di fossa cranii.
Sumber : Ropper, Brown (2006)Diagnosis dan penatalaksaan tumor otak membutuhkan pemahaman yang baik
tentang biologi tumor maupun neuroanatomi. Mempelajari tumor otak
membutuhkan pendekatan multidisiplin dengan bidang lain selain neurologi,
termasuk ilmu-ilmu dasar kedokteran.
Di Amerika Serikat, tumor otak primer termasuk dalam sepuluh besar penyebab
kematian yang berhubungan dengan kanker (1,4% dari seluruh kanker dan
19
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
penyebab 2,4% kematian yang berhubungan dengan kanker). Setiap tahun, 14 dari
100.000 orang di AS didiagnosis tumor otak primer dan 6 – 8% dari 100.000 orang
didiagnosis sebagai tumor ganas.15
Tumor daerah sella turcica memiliki keunikan karena dua hal, yaitu lokasi
anatomiknya dan peranan hipofisis yang berada di sella turcica sebagai kelenjar
utama dalam homeostasis hormonal.1,2
Tumor daerah sella yang utama adalah adenoma hipofisis (menempati urutan
ke tiga dari seluruh tumor intrakranial setelah glioma dan meningioma dengan
prosentase 10 – 15%), kraniofaringioma dan, pada beberapa pasien, tumor sel
granular tangkai hipofisis.1,15,16
Pendekatan diagnostik harus mencakup setidaknya dua tahap yaitu: 1)
diagnosis anatomik/ neurologik; dan 2) diagnosis endokrinologik. Penanganan dan
pemantauan lanjut pasien tumor daerah sella juga harus mempertimbangkan
masalah penanganan gangguan neurologik maupun endokrinologik.1,2
Adenoma Hipofisis
Adenoma hipofisis merupakan neoplasma yang berasal dari sel-sel pada
adenohipofisis. Dengan demikian adenoma hipofisis memiliki beberapa subtipe
yaitu: 1) adenoma nonfungsional; 2) prolaktinoma; 3) adenoma hormon
pertumbuhan; 4) adenoma kortikotropin; dan 5) adenoma tiroropin.1
Sampai saat ini, asal adenoma hipofisis masih diperdebatkan apakah terjadi
akibat respons yang tidak normal terhadap stimulasi hipotalamus atau berasal dari
abnormalitas intrinsik di hipofisis. Aspek genetik tumor ini berkembang setelah
ditemukan beberapa onkogen dan gen supresor tumor yang berperan dalam
tumorigenesis adenoma hipofisis. Mutasi subunit alfa gen stimulator “guanine
nucleotide-binding protein” (gsp) yang terletak di kromosom 20 menghasilkan suatu
sistem sinyal adenilat siklase yang aktif secara independen sehingga meningkatkan
“cyclic adenosine monophospate” (cAMP) yang kemudian mempercepat progresi
siklus sel. Mutasi gen supresor tumor seperti gen p53 ditemukan pada banyak
kasus adenoma nonfungsional invasif dan adenoma ACTH.1,17
Gejala awal adenoma hipofisis sangat bervariasi tergantung jenis sel yang
terlibat dan ukuran tumor. Hollenhorst & Younger (1973) seperti yang dikutip oleh
Brazis, Masdeu, dan Biller (2007) menyatakan ada beberapa gejala utama adenoma
hipofisis. Gejala utama tersebut adalah: gangguan penglihatan, nyeri kepala,
akromegali, berhubungan dengan hipopitutarisme, amenore, diplopia, lain-lain.2
MRI merupakan teknik pencitraan terpilih untuk tumor hipofisis. Gambaran MRI
suatu adenoma hipofisis biasanya berupa massa hipofisis yang hipointens di T1WI.
Penampakan di T2WI bervariasi tetapi sering hiperintens. Makroadenoma secara
20
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
khas menyangat dengan pemberian kontras dan terlihat berekspansi ke luar sella
turcica (ke sinus cavernosus, ruang suprasella, atau ruang infrasella). Gambar 10
memperlihatkan suatu prolaktinoma.1,5,12
Gambar 10. Suatu tumor hipofisis besar (prolaktinoma) pada seorang laki-laki 40 tahun, terlihat pada potongan koronal (a,b), dan sagital (c) T1WI MRI. Gambar b dan c diambil setelah pemberian bahan kontras. Tumor intrasellar dan suprasellar yang besar menekan chiasma opticum dari bawah dan meregangkannya (a). Terdapat penyangatan kontras yang jelas (b,c). Sella turcica terlihat jelas membesar (c).
Sumber: Baehr, Frotschner (2005)
Terapi adenoma hipofisis sangat bergantung pada jenis tumor dan sejauh mana
tumor tersebut mengganggu kualitas hidup pasien. Sering kali pemeriksaan
radiologi yang ditujukan untuk hal lain justru menemukan tumor di hipofisis tanpa
gejala klinis. Pada semua pasien dengan kasus seperti ini, tetap harus dilakukan
pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan hormon. Bila hasilnya normal maka
dilakukan observasi. Bila terdapat kelainan, segera diterapi. Tujuan terapi adalah
meningkatkan kualitas hidup dan kesintasan (“survival”), menghilangkan efek
massa dan gejala serta tanda yang ditimbulkannya, normalisasi hipersekresi
hormon, mempertahankan atau memulihkan fungsi hipofisis, dan mencegah
rekurensi. Modalitas terapi berupa terapi bedah, medikamentosis, dan radioterapi.
Terapi bedah merupakan terapi lini pertama untuk adenoma hipofisis kecuali
prolaktinoma karena prolaktinoma sangat responsif terhadap terapi dengan
Bromocriptine. Radioterapi dengan iradiasi dan Gamma Knife telah dibuktikan
merupakan terapi adjuvan yang efektif untuk mencegah rekurensi tumor.1,18,19,20
Kraniofaringioma
Kraniofaringioma adalah neoplasma jinak yang berkembang dari sel-sel epitel
kantong Rathke di daerah sella turcica atau suprasellar. Insiden tumor ini adalah
sekitar 0,5 sampai 2 kasus per 2.000.000 orang. Tidak ada perbedaan antara laki-
21
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
laki dan perempuan. Tumor sering terdiagnosis pada masa kanak-kanak usia 5 – 10
tahun atau di usia 50 – 60 tahun.1,21
Secara histologis kraniofaringioma merupakan tumor jinak tetapi tumor ini
menyebabkan konsekuensi klinis yang serius. Berdasarkan lokasinya, tumor bisa
meluas ke daerah pre-chiasmatic, retro-chiasmatic, sub-chiasmatic, atau
berekspansi ke lateral. Secara histopatologi, tumor ini diklasifikasikan setidaknya
menjadi tiga tipe, yaitu tipe adamantinomatosa, papilar, dan campuran. Tumor tipe
adamantinomatosa merupakan tipe yang paling sering ditemui. Sel-sel epitelnya
menyerupai tumor odontogenik adamantinoma, yang menjadi asal penamaan tipe
kraniofaringioma ini. Sel-sel tumor dapat membentuk pola seperti lembaran,
nodular, trabekular, mirip daun semanggi, atau kistik. Struktur kistik diisi dengan
cairan kecoklatan mirip oli mesin. Cairan tersebut bisa merupakan debris nekrotik,
jaringan ikat, kalsifikasi, atau partikel kolesterol.1,21,22
Kraniofaringioma tipe papilar adalah tumor pseudopapilar skuamosa
berdiferensiasi baik yang timbul pada daerah suprasellar ventrikel ke tiga. Varian ini
hampir eksklusif terjadi pada orang dewasa. Kraniofaringioma tipe papilar bersifat
solid dengan papil-papil tapi bisa mengandung komponen kista kecil. Kandungan
cairan kaya kolesterol dan kalsifikasinya lebih sedikit daripada tipe
adamantinomatosa. Secara mikroskopis terlihat epitel skuamosa berdiferensiasi
baik dengan stroma fibrovaskular. Epitel terlihat terpisah-pisah hingga membentuk
struktur mirip papil. Ciri mikroskopik tumor adamantinomatosa seperti bentuk
palisade dan keratin basah tidak ada pada tumor tipe papilar. 1,21,22
Tumor tipe campuran memiliki karakter histopatologi dan lokalisasi yang
menyerupai gabungan tipe adamantinomatosa dan papilar.1,21
Kraniofaringioma umumnya berkembang lambat dan interval antara munculnya
tumor dengan timbulnya gejala adalah sekitar satu sampai dua tahun. Gejala klinis
tergantung lokasi awal pertumbuhan, arah pertumbuhan, dan struktur di sekitar
tumor yang terganggu. Nyeri kepala, gangguan penglihatan, dan gangguan
endokrinologik paling banyak dijumpai. Gambaran klinis gangguan endokrinologik
pada anak biasanya berupa postur pendek dan keterlambatan pertumbuhan.
Gangguan pada remaja biasanya berupa terlambat mengalami atau tidak
mengalami pubertas. Pada orang dewasa, gangguan paling sering berupa
penurunan libido, menstruasi yang tidak teratur. Bisa juga ditemukan perubahan
status mental dan kejang.1,23,24,25
Pada MRI, komponen kistik kraniofaringioma memberikan gambaran yang
bervariasi. Komponen kistik ini paling sering terlihat hipointens di T1WI dan
hiperintens di T2WI. Peningkatan sinyal di T1WI jarang dijumpai dan mungkin
menandakan adanya konsentrasi protein yang tinggi atau produk degradasi darah.
22
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Struktur solid dan dinding kista tumor ini menyangat dengan pemberian kontras.
Gambar 11 menunjukkan suatu kraniofaringioma.1,12
Penanganan membutuhkan pendekatan multidisiplin. Terutama dibutuhkan
evaluasi neurologik, neuroftalmologik, neuropsikologik, dan endokrinologik.
Penanganan berupa terapi bedah, radioterapi, kemoterapi, dan medikamentosis.
Gambar 11. Kraniofaringioma
DISKUSI KASUS
Pasien dalam ilustrasi kasus ini masuk dengan keluhan utama kelumpuhan bola
mata kiri. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya oftalmoplegi total sinistra yang
disertai gangguan N. V1 dan V2 sinistra. Pemeriksaan ketajaman penglihatan dan
lapangan pandang dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
kadar hormon prolaktin yang sangat meningkat. Dengan demikian dibuat diagnosis
klinis oftalmoplegi total sinistra, gangguan N. V1,2 sinistra dan hiperprolaktinemi.
Diagnosis topis pada kasus ini adalah sinus cavernosus sinistra. Gangguan pada
sinus cavernosus sinistra akan menyebabkan gangguan pada struktur yang lewat di
sekitar sinus tersebut. Sebagaimana yang telah kita ketahui, nervi occulares dan N.
V1,2 setiap sisi akan melewati sinus cavernosus ipsilateral sehingga gangguan pada
sinus cavernosus sinistra akan menyebabkan kelumpuhan nervi occulares sinistra
dan gangguan N. V1,2 sinistra. Bila ditemukan keterlibatan nervi occulares dan N. V1
sesisi saja, maka dipikirkan lesinya berada di daerah fissura orbitalis superior sisi
yang sama sebab N. V2 dan V3 tidak melewati fissura orbitalis superior (N. V2
melewati foramen rotundum dan N. V3 melewati foramen ovale). Bila ditemukan
adanya gangguan pada seluruh cabang N. V sesisi maka dipikirkan lokasi lesi
berada di belakang sinus cavernosus sebab N. V3 tidak melewati sinus cavernosus.
Lesi kemungkinan tidak menyebabkan gangguan struktur suprasella sebab tidak
ditemukan gejala gangguan chiasma opticum.2,3
23
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Etiologi gangguan sinus cavernosus ini dipikirkan sebagai suatu neoplasma
yang berasal dari struktur di sella turcica. Dari anamnesis pasien diketahui sudah
mengalami amenore dan galaktore pada usia sekitar 17 – 18 tahun. Menarche
pasien ini terjadi pada usia 14 – 15 tahun dan berlangsung normal hingga tiba-tiba
tidak haid lagi. Haid bisa terjadi bila penderita minum obat hormon. Amenore dan
galaktore yang terjadi kemungkinan besar disebabkan saat itu pada penderita telah
terjadi peningkatan kadar prolaktin. Efek prolaktin yang menghambat sekresi
gonadotropin menyebabkan amenore dan infertilitas sekunder pada perempuan
usia subur.10,19 Galaktore pada hiperprolaktinemi berhubungan dengan efek
laktogenik prolaktin sendiri pada kelenjar payudara.10,20 Dalam fisiologi kehamilan
dan laktasi, efek prolaktin selain secara langsung sebagai hormon laktogenik juga
menekan fungsi estrogen dan progesteron yang selama kehamilan meningkat dan
bersifat antilaktogenik.10
Diagnosis banding trombosis sinus cavernous disingkirkan karena tidak
ditemukan adanya nyeri okular, kemosis, atau eksoftalmus yang biasanya
ditemukan pada trombosis sinus cavernosus. Infeksi juga disingkirkan karena
meskipun ada leukositosis ringan, tetapi gejala dan tanda klinis infeksi tidak
ditemukan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada pasien tidak ditemukan
adanya riwayat trauma sehingga kemungkinan trauma kepala disingkirkan.
Hasil pencitraan kepala selanjutnya memang menunjukkan gambaran tumor
sella yang meluas ke parasella. Tidak ditemukan gambaran infeksi, perdarahan,
infark, atau fraktur.
Kemungkinan gangguan endokrinologik pada pasien ini didapat dari anamnesis
adanya riwayat amenore dan galaktore. Hasil pemeriksaan hormon mengkonfirmasi
kecurigaan gangguan endokrinologik karena menunjukkan adanya kadar prolaktin
yang tinggi dalam darah. Hasil konsultasi Ginekologi menunjukkan status ginekologi
dalam batas normal, tidak ada dugaan neoplasma ginekologi.
Peningkatan kadar prolaktin pada tumor sella bisa diakibatkan oleh adenoma
hipofisis khususnya sel pensekresi prolaktin atau tumor non-fungsional yang
menekan infundibulum (tangkai hipofisis).1,2 Pada adenoma, peningkatan prolaktin
menjadi tidak terkontrol dan tidak mengindahkan efek pengaturan umpan balik
hormonal aksis hipotalamus-hipofisis-organ target. Pada penekanan infundibulum,
terjadi hambatan aliran dopamin dari hipotalamus ke sel-sel pensekresi prolaktin
yang fungsinya menghambat sintesis prolaktin.1,2
Kepastian jenis tumor sella membutuhkan konfirmasi histopatologik. Namun
dugaan sementara mengarah ke suatu makroadenoma hipofisis. Hal ini didasarkan
pada beberapa pertimbangan. Dari pemeriksaan klinis didapatkan adanya
gangguan endokrinologis yang telah berlangsung lama sebelum muncul defisit
24
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
neurologis. Dari kepustakaan diketahui bahwa meskipun suatu adenoma hipofisis
fungsional masih berukuran kecil dan belum menyebabkan efek pendesakan/
meningkatkan tekanan intrasella tetapi sudah bisa menyebabkan gangguan
endokrinologis karena bersifat fungsional.2,19
Data epidemiologi juga menyatakan bahwa pada orang dewasa tumor daerah
sella yang paling banyak adalah adenoma hipofisis.1,14
Hasil CT scan kepala menunjukkan massa yang relatif isodens dengan parenkim
otak yang menyangat pada pemberian kontras di daerah sella turcica. Ukuran
diameter massa tumor lebih dari 10 mm dan menekan ke lateral sella turcica.
Struktur massa tumor tidak menunjukkan daerah kistik sebagaimana yang sering
ditemui pada kraniofaringioma.12 Hasil MRI kepala menunjukkan massa yang
hipointens pada T1WI di dasar sella dan terlihat hiperintens inhomogen dengan
fokus-fokus kistik hemoragik pada T2WI. Hipointensitas di T1WI menyokong
gambaran suatu adenoma hipofisis sementara fokus-fokus hemoragik menunjukkan
terjadinya perdarahan dalam tumor.
Hasil pemeriksaan hormon menunjukkan kadar prolaktin yang sangat tinggi
(146 IU/l). Kadar prolaktin yang sangat tinggi (di atas 140-150 IU/l) lebih menyokong
ke arah suatu adenoma hipofisis (prolaktinoma) daripada penekanan tangkai
hipofisis oleh tumor non-fungsional yang biasanya menyebabkan hiperprolaktinemi
yang moderat.1,19 Kadar hormon FSH dan LH yang rendah menunjukkan penekanan
fungsi sel penghasil hormon yang dapat disebabkan oleh penekanan oleh tumor.
Pendekatan terapi pada pasien ini dilakukan secara medikamentosis. Terapi
medikamentosis dilakukan dengan pemberian Bromocriptine, suatu agonis
dopamin. Pemberian Bromocriptine bertujuan untuk menekan sekresi prolaktin.
Pemberian Bromocriptine juga memberi efek mengecilkan ukuran tumor. Menurut
kepustakaan Bromocriptine dan agonis dopamin merupakan terapi pilihan untuk
prolaktinoma.1,19
Sebenarnya penderita direncanakan untuk dioperasi tetapi tidak jadi dilakukan
karena pada pemeriksaan CT scan ulang, massa tumor sudah jauh mengecil
dibanding CT sebelumnnya. Terapi bedah memang merupakan terapi lini pertama
untuk kebanyakan makroadenoma hipofisis. Meskipun demikian, untuk jenis
prolaktinoma, pendekatan bedah sebenarnya baru dilakukan apabila terapi
medikamentosis ternyata tidak memberi hasil yang memuaskan.1
Prognosis ad vitam pasien ini bonam sebab belum ditemukan penyulit yang
mengancam nyawa seperti herniasi otak, destruksi struktur-struktur vital, ataupun
krisis endokrinologik yang mengancam nyawa. Respons tumor terhadap terapi juga
baik dimana tumor terlihat jauh lebih kecil pada CT scan setelah terapi dengan
Bromocriptine.
25
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
Defisit neurologis pada pasien tumor sella yang telah berekspansi hanya sedikit
yang kembali pulih sempurna. Pada pasien ini juga tidak didapatkan pemulihan
gerakan bola mata tiga minggu setelah terapi dengan Bromocriptine. Terapi bedah
sendiri belum menjamin akan terjadi pemulihan oftalmoplegi terutama jka telah
terjadi neuroetmesis. Jadi prognosis ad functionam untuk oftalmoplegi pada pasien
ini adalah dubia ad malam.
Prognosis ad sanationam pasien ini dubia ad bonam. Hal ini karena respons
yang baik terhadap terapi medikamentosis. Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan kadar serum prolactine yang menjadi normal setelah diberi
Bromocriptine. Hasil CT scan juga menunjukkan pengurangan massa tumor yang
besar sehingga tidak lagi dilakukan operasi (Gambar 12). Namun perlu diingat
bahwa rekurensi masih bisa terjadi terutama bila terapi dihentikan. Jadi masih
diperlukan pemantauan lanjut dan pemeriksaan neurologis serta endokrinologis.
Pemeriksaan hormon-hormon hipofisis juga harus dilakukan selama terapi.
Gambar 12. Perbandingan massa tumor sebelum dan sesudah terapi pada CT scan.
PENUTUP
Gangguan pada sinus cavernosus dapat menyebabkan sindrom Foix-Jefferson
berupa oftalmoplegi total ipsilateral dan gangguan N. V1 dan V2. Sindrom ini harus
dibedakan dengan sindrom-sindrom lain di basis cranii yang topisnya berbeda-beda.
Penyebab gangguan pada sinus cavernosus bermacam-macam termasuk
26
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
penekanan oleh massa tumor. Tumor daerah sella turcica yang meluas ke lateral
bisa menekan sinus cavernosus dan menyebabkan timbulnya gejala-gejala sindrom
Foix-Jefferson.
Selain defisit neurologi, tumor daerah sella turcica dapat menyebabkan
manifestasi gangguan endokrinologik yang beragam akibat peningkatan atau
penurunan sekresi hormon karena gangguan hipofisis. Tumor daerah sella turcica
yang paling banyak adalah adenoma hipofisis. Selain itu tumor daerah sella juga
bisa berupa kraniofaringioma atau tumor lain. Jenis adenoma hipofisis yang paling
sering ditemui adalah prolaktinoma. Manifestasi endokrinologis prolaktinoma
berupa galaktore dan amenore sekunder dengan kadar prolaktin yang tinggi (nilai >
140 – 150 IU/l hampir pasti disebabkan oleh suatu prolaktinoma). Defisit neurologis
terjadi apabila adenoma telah menekan struktur-struktur di sekitar sella. Gejala
yang timbul paling banyak adalah gangguan penglihatan dan lapangan pandang,
nyeri kepala, dan kelumpuhan mata. Kraniofaringioma dan tumor lain di daerah
sella juga bisa menyebabkan peningkatan prolaktin yang ringan sampai moderat
akibat penekanan infundibulum yang menyebabkan terhambatnya aliran dopamin
ke adenohipofisis yang berfungsi menghambat sekresi prolaktin.
MRI merupakan teknik pencitraan terpilih untuk tumor-tumor daerah sella. MRI
mampu memperlihatkan tumor dan hubungannya dengan struktur-struktur sekitar
secara lebih mendetil.
Pengelolaan kasus-kasus onkologi termasuk neuroonkologi membutuhkan suatu
pendekatan multidisiplin. Dalam penanganan tumor daerah sella harus diingat
untuk melakukan pendekatan neurologik dan endokrinologik dalam mendiagnosis
dan menterapi pasien.
Kasus-kasus prolaktinoma berespons terhadap terapi Bromocriptine baik dalam
hal menurunkan kadar prolaktin ataupun mengurangi ukuran tumor. Bromocriptine
dan agonis dopamin merupakan terapi pilihan untuk suatu prolaktinoma berukuran
kecil (mikroadenoma, < 1 cm). Pada makroadenoma, maka modalitas terapi bedah
perlu dipertimbangkan.
27
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
DAFTAR PUSTAKA
1. Jane JA, Dumont AS, Vance ML, Laws EP. Pituitary adenomas and sellar lesions: multidisciplinary management. In: Schiff D, O’Neill BP, editors. Principles of neuro-oncology. New York: McGraw-Hill, 2005. p. 381-414.
2. Brazis PW, Masdeu JC, Biller J. Localization in clinical neurology. 5-th edition.The localizations of lesions affecting the hypothalamus and pituitary gland. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007. p. 383-98.
3. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of neurology. 8-th ed. Major categories of neurologic disease: intracranial neoplasm and paraneoplastic disorders. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 546 – 92.
4. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran bagian 3. Edisi 3. Kepala dan leher. Alih bahasa: Tambajong J. Editor edisi bahasa Indonesia: Wijaya C. Jakarta: EGC, 1991. hal. 1-216.
5. Baehr M, Frotscher M. Duus’ topical diagnosis in neurology: anatomy-physiology-signs-symptoms. 4-th completely revised edition. Diencephalon and autonomic nervous system: hypothalamus. Taub E: English translation. New York: Thieme, 2005. p. 274-434.
6. Snell RS. Clinical neuroanatomy. 6-th edition. The cerebrum: diencephalon. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. p. 242 – 8.
7. Rohkamm R. Color atlas of neurology. Fundamentals: blood vessels. Stuttgart: Georg Thieme Verlag, 2004. p. 10-23.
8. Brazis PW, Masdeu JC, Biller J. Localization in clinical neurology. 5-th edition.The localizations of lesions affecting the ocular motor system. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007. p. 169-270.
9. Brazis PW, Masdeu JC, Biller J. Localization in clinical neurology. 5-th edition.Cranial nerve V (the trigeminal nerve). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007. p. 271-86.
10. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-9. Hormon dan pengaturannya oleh hipotalamus. Alih bahasa: Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A. Editor edisi bahasa Indonesia: Setiawan I. Jakarta: EGC, 1996. hal. 1171 – 85.
11. Kahle W, Frotscher M. Color atlas & textbook of human anatomy volume 3: nervous system and sensory organs. Diencephalon. Stuttgart: Georg Thieme Verlag, 2003. p. 169 – 206.
12. Nabors LB. Neuroimaging. In: Schiff D, O’Neill BP, editors. Principles of neuro-oncology. New York: McGraw-Hill, 2005. p.53-80.
13. Campbell WW. deJong’s The neurologic examination. 6-th ed. The cranial nerves. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005. p.97 – 296.
14. Preston-Martin S, Davis F, McKean-Cowdin R. Epidemiology of primary brain tumor. In: Liau LM, Becker DP, Cloughesy TI, Bigner DD. Brain tumor immunotherapy. Totowa, New Jersey: Humana Press, 2001. p. 47 – 72.
15. Bondy ML, El-Zein R, Wrensch M. Epidemiology of brain cancer. In: Schiff D, O’Neill BP, editors. Principles of neuro-oncology. New York: McGraw-Hill, 2005. p. 3 – 16.
16. Cohen-Gadol AA, et al. Granular cell tumor of the sellar and suprasellar region: clinicopathologic study of 11 cases and literature review. Mayo Clin Proc. 2003:78:567-73.
28
Presentasi Kasus: Sindrom Foix-Jefferson pada tumor sella turcica: anatomi & patofisiologi
Arthur H.P. Mawuntu
17. Duff JM, Dietrich PI, de Tribolet N. Current therapy for primary brain tumor. In: Liau LM, Becker DP, Cloughesy TI, Bigner DD. Brain tumor immunotherapy. Totowa, New Jersey: Humana Press, 2001. p.73 – 90.
18. Kobayashi T, Kida Y, Mori Y, Hasagawa T. Long-term results of gamma knife surgery for the treatment of craniopharyngioma in 98 consecutive cases. J Neurosurg (6 Suppl Pediatrics). 2005:103:482-8.
19. Schlechte JA. Prolactinoma. N Engl J Med. 2003:349:2035-41.
20. Leung AKC, Pacaud D. Diagnosis and management of galactorrhea. Am Fam Physician. 2004:70:543-50,553-4.
21. Wasserman JR, Koenigberg RA. Craniopharyngioma. Available from: http://www.emedicine.com. Cited: November 04 2007. 17 of 17 screens.
22. Bobustuc GC, Groves MD. Craniopharyngioma. Available from: http://www.emedicine.com. Cited: November 04 2007. 24 of 24 screens.
23. Kennedy HB, Smith RJS. Eye signs in craniopharyngioma. Brit J Ophtal. 1975:59:689-95.
24. Larijani B, Bastanhagh MH, Pajouhi M, Shadab FK, Vasigh A, Aghakhani S. Presentation and outcome of 93 cases of craniopharyngioma. Euro J Cancer Care. 2004 Mar:13(1):11-15.
25. Rush JL, Kusske JA, de Fed DR, Pribram HW. Intraventricular craniopharyngioma. Neurology. November 1975:25:1094-6.
29