Upload
albernande1993
View
68
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sindrom nefrotik
Citation preview
Pendahuuan
1. Latar belakang
Sindrom nefrotik (SN) ialah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria
masif, hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Angka
kejadian SN di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di
bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak
per tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Sindrom nefrotik
merupak an penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus
Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara
tahun 1995-2000.
Semua penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan
kebocoran protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan
menyebabkan terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3,
yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit
sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik.
Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang
dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai
prognosis buruk. Pada tulisan ini hanya akan dibicarakan SN idiopatik.
Sindrom nefrotik (SN) pada anak yang didiagnosis secara histopatologik
sebagai lesi minimal, sebagian besar memberikan respons terhadap pengobatan
steroid (sensitif steroid). Sedangkan SN lesi nonminimal sebagian besar tidak
memberikan respons terhadap pengobatan steroid (resisten steroid).1-4International
Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) membuat panduan gambaran klinis
dan laboratorium untuk memperkirakan jenis lesi pada anak yang menderita SN.
Gambaran klinis dan laboratorium tersebut adalah usia saat serangan pertama, jenis
kelamin, hipertensi, hematuria, rerata kadar kreatinin, komplemen C3, dan kolesterol
serum. Seperti telah diketahui, bentuk histopatologik memberikan gambaran
terhadap respons pengobatan steroid, seperti jenis glomerulonefritis mesangial
proliferatif (GNMP) sebesar 80-85% adalah resisten seroid. Sampai saat ini, belum
terdapat data gambaran histopatologik di Indonesia, sehingga pada sindrom nefrotik
resisten steroid (SNRS) dan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) akan
memberikan gambaran klinis yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
1
ISKDC. Kadar protein nonalbumin diikutsertakan pula dalam penelitian ini karena
belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan
antara berbagai gambaran klinis dan laboratorium secara bersama-sama dengan
respons terhadap pengobatan steroid (SNRS dan SNSS). (Behrman, 2000)
2. Tujuan
2.1. Tujuan Umum
Bagi coas mampu memahami konsep dasar medis dan asuhan
keperawatan pada klien dengan penyakit sindroma nefrotik
2.2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan pengertian dari sindroma nefrotik
b. Menjelaskan etiologi dari sindroma nefrotik
c. Menjelaskan patofisiologi dan pohon masalah (pathways)
dari sindroma nefrotik
d. Menjelaskan manifestasi klinik dari sindroma nefrotik
e. Menjelaskan pemeriksaan penunjang dari sindroma nefrotik
f. Menjelaskan penatalaksanaan dari sindroma nefrotik
g. Menjelaskan komplikasi dari sindroma nefrotik
2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
Sindroma Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia,kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal (Ngastiyah, 2005). Sindroma Nefrotik adalah
keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas glumerulus terhadap
protein plasma yang menimbulkan proteinuria, hipoalbumenemia, hiperlipidemia,
dan edema (Betz, Cecily dan Sowden, Linda. 2002). Sindroma Nefrotik merupakan
kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri oleh glomerular yang terjadi pada anak
dengan karakteristik; proteinuria,hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia,
dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001). Sindroma Nefrotik merupakan
sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kg BB/24
jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/ 100 ml) yang disertai atau tidak di
sertai dengan edema dan hiperkolesterolemia ( Rauf, 2002).
Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan
bahwa sindroma nefrotik pada anak adalah status klinis yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan
kehilangan protein urinaris yang massif, dengan karakteristik : proteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, disertaia atau tidak disertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia.
3
2. Anatomi dan Fisiologi
Gambar 1.1
2.1. Anatomi Ginjal
terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid yang
berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap tiap piramid dipisahkan oleh
columna bertini. Dasar piramid di tutup oleh korteks, sedang puncaknya (papila
marginalis) menonjol kedalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi
kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor / minor ini bersatu
menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter. Korteks sendiri
terdiri atas glomerulus dan tubuli, sedangkan pada medula hanya terdapat tubuli.
Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk nefron, satu unit nefron terdiri dari
glomerulus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang di
masukkan pula duktus koligentes) (Price, 2001).
Tiap ginjal mempunyai ± 1,5 – 2 juta nefron, berarti pula ± 1,5 – 2 juta
glomeruli. Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada glomerulus ini
filtrat dimulai, filtrat adalah isotonik dengan plasma pada angka 285 mosmol.Pada
akhir tubulus proksimal 80% filtrat telah diabsorbsi, meskipun konsentrasinya masih
tetap sebesar 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden
lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden,
4
konsentrasi makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada
ujung atas lengkung, saat filtrat bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi
semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotik dengan plasma darah pada ujung
duktus mengumpul. Ketika filtrat bergerak turun melalui duktus pengumpul sekali
lagi konsentrasifiltrat meningkat pada akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air
sudah direabsorbsi dan hanya sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih
(Price, 2001).
2.2. Fisiologi Ginjal
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang
sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya
ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari
seluruh cardiac output. Menurut Syarifuddin (2002) “Fungsi ginjal yaitu
mengeluarkan zat-zat toksik atau racun; mempertahankan keseimbangan cairan;
mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh;
mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh;
mengeluarkan sisa metabolisme hasil akhir sari protein ureum, kreatinin dan
amoniak”.
Tiga tahap pembentukan urine :
a. .Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti
kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel
terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan
yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran
darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau
sekitar 1200ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit
dialirkan melalui glomeruluske kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi
glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). GFR normal dewasa : 120
cc/menit/1,73 m2 (luas permukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90
cc/menit/luas permukaan tubuh anak.Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut
5
filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler
glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler
glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik
filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi
glomerulus tidak hanya dipengaruhioleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga
oleh permeabilitas dinding kapiler.
b. Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : nonelektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat
tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
c. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah
melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara
alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin).Substansi yangsecara alamiah terjadi
dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. Pada tubulus
distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen
dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium
keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan
tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi,
hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan
disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini
(hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis
ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan
lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat
menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan
kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik. Pada anak-anak
jumlah urine dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan umur :
1) 1-2 hari : 30-60 ml
2) 3-10 hari : 100-300 ml
3) 10 hari - 2 bulan : 250-450 ml
6
4) 2 bulan – 1 tahun : 400-500 ml
5) 1 – 3 tahun : 500-600 ml
6) 3 – 5 tahun : 600-700 ml
7) 5 – 8 tahun : 650-800 ml
8) 8 – 14 tahun : 800-1400 ml
3. Epeidemiologi
Biopsi studi pada anak dengan sindrom nefrotik telah menunjukkan sejenis
histologi di India dan Turki, dibandingkan dengan apa yang diharapkan di negara
Barat. Pada orang dewasa Pakistan dengan sindrom nefrotik., Spektrum histologis
dari biopsi ginjal ditemukan untuk menjadi serupa dengan yang terlihat di negara-
negara barat.
Di sebagian Afrika dan Timur Tengah (misalnya, Mesir), penyakit glomerular
dapat berhubungan dengan infeksi urogenital schistosomal [20] Namun, apa yang
disebut “sindrom nefrotik tropis” (misalnya, dari penyakit parasit seperti malaria
atau schistosomiasis). Mungkin tidak menjadi entitas yang benar.
Doe dkk melaporkan penyebab sindrom nefrotik pada anak-anak Afrika dan
tidak menemukan bukti untuk peran mendominasi steroid tahan glomerulopathies
tropis, melainkan biopsi ginjal yang paling sering menunjukkan temuan histologis
khas (glomerulosklerosis fokal dan segmental dan penyakit perubahan minimal).
Sambungan dari sindrom nefrotik terhadap malaria quartan tidak mapan.
Memang, Pakasa dan Sumaili meminta perhatian terhadap penurunan nyata dari
parasit terkait sindrom nefrotik di Kongo. Ada kemungkinan bahwa hubungan yang
dirasakan antara sindrom nefrotik dan infeksi parasit adalah kebetulan, karena
7
didukung oleh peningkatan berkelanjutan dan mungkin terjadinya penyakit ginjal
kronis di Kongo.
Karena diabetes adalah penyebab utama sindrom nefrotik, Indian Amerika,
Hispanik, dan Afrika-Amerika memiliki insiden yang lebih tinggi sindrom nefrotik
daripada orang kulit putih. HIV nefropati merupakan komplikasi infeksi HIV yang
tidak biasa dalam putih, hal ini terlihat dengan frekuensi yang lebih besar di Afrika
Amerika glomerulosklerosis fokal tampaknya overrepresented di Afrika-Amerika
anak-anak, dibandingkan dengan anak putih, sebagai penyebab nefrotik. sindrom.
Ada dominasi laki-laki dalam terjadinya sindrom nefrotik, karena ada untuk
penyakit ginjal kronis pada umumnya. Ini overrepresentation pria juga terlihat di
membranous nephropathy paraneoplastic. Namun, nefritis lupus mempengaruhi
kebanyakan wanita.
4. Etiologi
Penyebab sindroma nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen-antibodi.
Menurut Ngastiyah, 2005, umumnya etiolog di bagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. Sindroma Nefrotik bawaan.
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau reaksi maternofetal, resisten
terhadap semua pengobatan. Gejala : Edema pada masa neonatus.
2. Sindroma Nefrotik sekunder.
a. Malaria kuartana atau parasit lain
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritemosus desiminata, purpura anafilaktoid.
c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena renalis.
8
d. Bahan kimia seperti trimetadion,paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, air raksa.
e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif, hipokomplementemik.
3. Sindroma Nefrotik Idiopatik atau sindrome nefrotik primer
Sekitar 90% nefrosis pada anak dan penyebabnya belum diketahui,
berdasarkan histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron. Diduga ada hubungan dengan genetik,
imunologik dan alergi Sindroma Nefrotik juga bisa disebabkan dari sejumlah obat-
obatan yang merupakan racun bagi ginjal dan penyakit (www.medicastore.com,
2009), diantaranya :
1. Obat-obatan, contoh :
a.Obat pereda nyeri menyerupai aspirin.
b.Senyawa emas.
c.Heroin intravena,
d.Penisilamin.
2.Penyakit, contoh :
a.Amiloidosi
b.Kanker.
c.Diabetes
d.Glumerulopati
e.Infeksi HIV
f.Leukemia
g.Limfoma.
h.Gemopati monoklonal.
i.Lupus eritematosus sistemik.
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis yang menyertai Sindroma Nefrotik menurut Ngastiyah,
2005 dan (Betz, Cecily L.2002 ) antara lain :
9
1. Proteinuria.
2. Edema
Biasanya edema dapat bervariasi dari bentuk ringan sampai berat
(anasarka).Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan
umumnyaditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah
genitalia dan ekstermitas bawah.
3. Penurunan jumlah urine, urine gelap, dan berbusa.
4. Hematuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun
tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik
5. Anoreksia disebabkan karena edema mukosa usus
6. Diare.
7. Pucat.
8. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang).
9. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan
umumnya terjadi.
10. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang),
6. Patofisiologi
Sindroma Nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma, yang menimbulkan proteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema. Meningkatnya permeabilitas dinding
kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan
terjadi proteinuria. Lanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia.
Dengan menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan
intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut
menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah
aliran darah ke renal karena hypovolemi. Karena terjadi penurunan aliran darah ke
renal, maka ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin–
angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi
aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan air, dengan retensi natrium dan
air akan menyebabkan edema (Betz C, 2002 ). Pada Sindroma Nefrotik terjadi
10
peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan stimulasi
produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan onkotik
plasma. Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein
dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak yang
banyak dalam urin (lipiduria). Pada Sindroma Nefrotik juga disertai dengan gejala
menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh
karena hipoalbumin. Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui
urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein dihati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin),
tetapi mungkin normal atau menurun (Carta A Gunawan, 2008).
Proteinuria merupakan kelainan dasar Sindroma Nefrotik. Proteinuria sebagian
besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian
kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas
membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah
albumin. Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan
kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui
membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier
(suatupolyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier (Carta AGunawan,
2008).
Pada hiperlipidemia, kolesterol serum, very low density lipoprotein(VLDL),
low density lipoprotein(LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density
lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan
peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein
dari darah. Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin
serum dan penurunan tekanan onkotik (Carta A Gunawan, 2008). Lipiduri, Lemak
bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini
berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel
(Carta A Gunawan, 2008). Edema, dahulu diduga edema disebabkan penurunan
tekanan onkotik plasmaakibat hipoalbuminemia dan retensi natrium (teori underfill).
Hipovolemi menyebabkan peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan
katekolamin plasma serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian
infus albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi
11
glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan
edema berkurang (Carta A Gunawan, 2008).
Membran glomerulus yang normalnya impermiabel terhadap albumin dan
protein lain menjadi permiabel terhadap protein terutama albumin, yang melewati
membran dan ikut keluar bersama urine (hiperalbuminemia). Hal ini menurunkan
kadar albumin (hipoalbuminemia), menurunkan tekanan osmotik koloid dalam
kapiler mengakibatkan akumulasi cairan diinterstitial (edema) dan pembengkakan
tubuh, biasanya pada abdomnal (ascites). Berpndahnya cairan dari plasma
keinterstitial menurunkan volume cairan vaskulr (hipovolemia), yang mengaktifkan
stimulasi sistem reninangiaotensin dan sekresi ADH serta aldosteron. Reabsorpsi
tubulus terhadap air dab sodium meningkatkan volume intravaskuler (Donna
L.Wong, 2004 : 1404)
12
7. Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
a. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephritic
syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah.
Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila
dilihat dengan mikroskop cahaya
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus
sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis,
bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
c. Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi
yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah
edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan
kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak
dilakukan dialysis.
8. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberap pemeriksaan
penunjang berikut:
Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik. Proteinuria berkisar 3+
atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam
sulfosalisilat.3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih,
yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.2
Pemeriksaan sedimen urin
13
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel
yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit,
torak hialin dan torak eritrosit.2
Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot
collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari
jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total
protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.2, 8
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan
kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.2,8
Albumin serum
- kualitatif : ++ sampai ++++
- kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen
ESBACH)
Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.2
Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8
tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat
manifestasi nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy
mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis patologi penting
dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang
berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan
glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih
baik terhadap steroid.2
Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:2
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)
- α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml)
- α2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml)
- β globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml)
- γ globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml)
14
- rasio albumin/globulin <1 (N:3/2)
- komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan.
b. USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan
ginjal.
c. Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk glomerulonefritis
kronis atau pembentukkan jaringan parut yang tidak spesifik pada glomeruli. (Betz,
2002)
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.
Diagnose SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium berupa proteinuria massif >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemia <3 g/dl, edema, hiperlipideia, lipiduria, dan hiperkoagulabilitas.
Pemeriksaan tambahan seperti venerologi diperlukan untuk menegakkan diagnose
thrombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk
menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan
respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
Studi diagnostik untuk sindrom nefrotik di antaranya adalah : urinalisis pemeriksaan sedimen Urine pengukuran protein Urin serum albumin Serologi untuk infeksi dan kelainan kekebalan
tubuh ultrasonografi ginjal biopsi ginjal
15
Pada bayi dengan sindrom nefrotik, pengujian genetik untuk mutasi NPHS1 dan NPHS2 mungkin berguna. Ini adalah mutasi nephrin dan podocin, masing-masing.
Pada anak dengan steroid tahan sindrom nefrotik, pengujian untuk mutasi NPHS2 dapat diindikasikan.
Penelitian selanjutnya untuk biomarker kemih dimana penyebab dan keparahan sindrom nefrotik dapat diidentifikasi.9. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
9.1. AnamnesisKeluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.9.2. Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.
10. Diagnois Banding
1. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal, edema Quincke.
2. Glomerulonefritis akut
11. Penatalaksaan
Tatalaksana sindrom nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan
imunosupresif dan atau imunomodulator, dan pengobatan suportif atau simtomatik.
Penatalaksanaan ini meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit
penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria,
memperbaiki hipoalbuminemia, serta mencegah dan mengatasi penyulit.2,5
16
11.1. Terapi Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang
memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid.Pengobatan dengan
kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan pengobatan relaps.2,5
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya
pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari
selama 4 – 8minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu,
tapering di 4 bulan berikutnya.Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan
sampai 20-24 minggunamun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah
kortikosteroid dihentikan.2,5
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap,
remisi parsial dan resisten.Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria minimal (< 200
mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar
dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5
g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema.
Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau
perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.5
Kelompok SNSS dalam perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi 4 kelompok,
yaitu SN non-relaps (30%), SN relaps jarang (10-20%), SN relaps sering dan SN
dependen steroid (40-50%).
Sindrom nefrotik non relaps ialah penderita yang tidak pernah mengalami
relaps setelah mengalami episode pertama penyakit ini. Sindrom nefrotik relaps
jarang ialah anak yang mengalami relaps kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan
atau kurang dari 4 kali dalam periode 12 bulan setelah pengobatan inisial. Sindrom
nefrotik relaps sering ialah penderita yang mengalami relaps >2 kali dalam periode 6
bulan pertama setelah respons awal atau > 4 kali dalam periode 12 bulan. Sindrom
nefrotik dependen steroid bila dua relaps terjadi berturut-turut pada saat dosis steroid
diturunkan atau dalam waktu 14 hari setelah pengobatan dihentikan. 5,7
Pegobatan SN relaps sering atau dependen steroid dapat diberikan dengan
steroid jangka panjang, yaitu setelah remisi dengan prednison dosis penuh
dilanjutkan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan bertahap
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kg
17
secara alternating. Dosis ini disebut sebagai dosis treshold, diberikan minimal
selama 3-6 bulan, kemudian dicoba untuk dihentikan.5,7
Peobatan lain adalah menggunakan terapi nonsteroid yaitu:Siklofosfamid,
Klorambusil, Siklosporin A, Levamisol, obat imunosupresif lain, dan ACE
inhibitor.Obat-obat ini utamanya digunakan untuk pasien-pasien yang non-responsif
terhadap steroid.5
11.2. Terapi suportif/simtomatik
Proteinuria
ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik dan
glomerular serta proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada pasien
dengan insufisiensi ginjal moderat sampai berat.Restriksi protein tidak lagi
direkomendasikan karena tidak memberikan progres yang baik.1,4
Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan
SN yang disertai dengan diare, muntah atau hipovolemia, karena pemberian diuretik
dapat memperburuk gejala tersebut.Pada edema sedang atau edema persisten, dapat
diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per hari.Pemberian spironolakton dapat
ditambahkan bila pemberian furosemid telah lebih dari 1 minggu lamanya, dengan
dosis 1-2 mg/kg per hari.Bila edema menetap dengan pemberian diuretik, dapat
diberikan kombinasi diuretik dengan infus albumin.Pemberian infus albumin diikuti
dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg intravena.Albumin biasanya diberikan
selang sehari untuk menjamin pergeseran cairan ke dalam vaskuler dan untuk
mencegah kelebihan cairan (overload).Penderita yang mendapat infus albumin harus
dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung.1,2,5,7
Dietetik
Jenis diet yang direkomendasikan ialah diet seimbang dengan protein dan
kalori yang adekuat. Kebutuhan protein anak ialah 1,5 – 2 g/kg, namun anak-anak
dengan proteinuria persisten yang seringkali mudah mengalami malnutrisi diberikan
protein 2 – 2,25 g/kg per hari. Maksimum 30% kalori berasal dari
lemak.Karbohidrat diberikan dalam bentuk kompleks seperti zat tepung dan
maltodekstrin.Restriksi garam tidak perlu dilakukan pada SNSS, namun perlu
dilakukan pada SN dengan edema yang nyata.1,2,5,7
Infeksi
18
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah selulitis
dan peritonitis.Hal ini disebabkan karena pengeluaran imunoglobulin G, protein
faktor B dan D di urin, disfungsi sel T, dan kondisi hipoproteinemia itu
sendiri.Pemakaian imunosupresif menambah risiko terjadinya infeksi.Pemeriksaan
fisis untuk mendeteksi adanya infeksi perlu dilakukan.Selulitis umumnya
disebabkan oleh kuman stafilokokus, sedang sepsis dapa SN sering disebabkan oleh
kuman Gram negatif.Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh kuman Gram-
negatif dan Streptococcus pneumoniae sehingga perlu diterapi dengan penisilin
parenteral dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ke-tiga, seperti sefotaksim
atau seftriakson selama 10-14 hari. Di Inggris, penderita SN dengan edema anasarka
dan asites masif diberikan antibiotik profilaksis berupa penisilin oral 125 mg atau
250 mg, dua kali sehari sampai asites berkurang.1,2,5,7
Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau
terjadi sebagai akibat efek samping steroid.Pengobatan hipertensi pada SN dengan
golongan inhibitor enzim angiotensin konvertase, calcium channel blockers, atau
beta adrenergic blockers.1,2,5,7
Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang
tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah.
Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi
buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak
memberi keluhan nyeri abdomen.Hipovalemia diterapi dengan pemberian cairan
fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat
badan.1,2,5,7
Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan
hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular,
keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor
pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan
dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin.
Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2
g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN dengan
risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan
19
pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah
terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100
U/kg tiap 4 jam secara intravena.1,2,5,
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida,
fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun
kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol
berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria. Keadaan
hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan onkotik plasma
sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid dan
lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia
pada SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal pada keadaan
remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan pengurangan diit lemak. Pengaruh
hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler
pada anak penderita SN masih belum jelas.Manfaat pemberian obat-obat penurun
lipid seperti kolesteramin, derivat asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase
(statin) masih diperdebatkan.1,2,5,7
Pengobatan spesifik dari sindrom nefrotik tergantung pada penyebab penyakit itu. Pada minimal-perubahan nefropati, glukokortikosteroid, seperti prednison, digunakan. Anak-anak yang kambuh setelah keberhasilan penggunaan prednison atau yang tidak menanggapi prednison (yaitu, mereka dengan steroid-tahan penyakit) dapat diobati dengan rituximab, antibodi terhadap sel-B. Rituximab juga telah digunakan di membranous nephropathy pada orang dewasa.
Dalam beberapa bentuk nefritis lupus, prednison dan siklofosfamid berguna.Amiloidosis sekunder dengan sindrom nefrotik dapat menanggapi pengobatan anti-inflamasi dari penyakit primer.
Dalam membranous nephropathy, manajemen hamil tanpa imunosupresi dapat digunakan untuk 6 bulan pertama, pada pasien dengan risiko rendah untuk kemajuan (yaitu, mereka yang memiliki tingkat kreatinin serum <1,5 mg / dL). Pasien dengan
20
insufisiensi ginjal (kreatinin serum tingkat> 1,5 mg / dL) mempunyai risiko lebih besar untuk pengembangan stadium akhir penyakit ginjal dan harus menerima terapi imunosupresif.
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut :
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik
Remisi Kambuh
Kambuh tidak sering Kambuh sering Responsif-steroid Dependen-steroid
Resisten-steroid Responder lambat Nonresponder awal Nonresponder lambat
Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut.Proteinuria ³ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi. Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan. Kambuh ³ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau ³ 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan. Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan. Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu. Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.
21
Resisten-steroid sejak terapi awal.
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.
PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
11.3. Sindrom nefrotik serangan pertama
Perbaiki keadaan umum penderita :
Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat.
Berantas infeksi. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema
anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.
Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
Sindrom nefrotik kambuh (relapse)
22
Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan.
Perbaiki keadaan umum penderita.Sindrom nefrotik kambuh tidak seringAdalah sindrom nefrotik yang kambuh 4 kali dalam masa 12 bulan.1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2. RumatanSetelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.
11.4. FarmakoterapiKortikosteroid Kortikosteroid (prednison), cyclophosphamide, dan siklosporin digunakan
untuk menginduksi remisi pada sindrom nefrotik. Diuretik digunakan untuk mengurangi edema. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin II reseptor blocker diberikan untuk mengurangi proteinuria.
Pengobatan harus ditentukan oleh jenis patologi ginjal menyebabkan sindrom nefrotik. Minimal-perubahan penyakit memiliki respon yang sangat baik terhadap kortikosteroid, sedangkan di glomerulosklerosis fokal, hanya 20% pasien merespon baik terhadap kortikosteroid. Biopsi ginjal sangat membantu untuk membedakan minimal-perubahan penyakit dan variannya seperti nefropati IgM dan nefropati C1q. Percobaan acak Sangat sedikit yang tersedia untuk memandu pengobatan untuk minimal-perubahan penyakit pada orang dewasa. Prednisone dalam kursus singkat dari durasi 12-20 minggu tetap menjadi andalan pengobatan untuk pasien dengan minimal-perubahan penyakit.
Obat imunosupresif
23
selain steroid biasanya disediakan untuk pasien resisten steroid dengan edema persisten, atau untuk steroid tergantung pasien dengan steroid yang signifikan terkait efek samping.
Cyclophosphamide Cyclophosphamide dapat bermanfaat bagi pasien yang sering kambuh steroid
sensitif sindrom nefrotik. Komplikasi yang terkait termasuk penekanan sumsum tulang, rambut rontok, azoospermia, sistitis hemoragik, keganasan, mutasi, dan infertilitas.
Siklosporin Siklosporin diindikasikan bila kambuh terjadi setelah pengobatan
siklofosfamid. Siklosporin mungkin lebih baik dalam laki-laki pubertas yang berisiko terkena siklofosfamid akibat azoospermia. Siklosporin adalah terapi perawatan yang sangat efektif untuk pasien dengan steroid-sensitif sindrom nefrotik yang mampu menghentikan steroid atau mengambil dosis yang lebih rendah, namun, beberapa bukti menunjukkan bahwa meskipun remisi dipertahankan selama siklosporin diberikan, kambuh sering terjadi ketika pengobatan dihentikan .Siklosporin dapat nefrotoksik dan dapat menyebabkan hirsutisme, hipertensi, dan hipertrofi gingiva.
Untuk glomerulosklerosis fokal, predisone, siklosporin, dan siklofosfamid semuanya telah digunakan dalam pengobatan. Kortikosteroid harus menjadi agen lini pertama, dengan siklofosfamid atau siklosporin sebagai cadangan untuk steroid resisten kasus. Mofetil dan rituximab juga telah digunakan dalam mengobati glomerulosklerosis fokal. Namun, data tentang penggunaan 2 agen yang terakhir tidak meyakinkan.
Untuk nefropati membranosa idiopatik, prednison bersama dengan klorambusil atau siklofosfamid tetap penting untuk pengobatan. Obat lain yang telah digunakan untuk pengobatan adalah siklosporin, kortikotropin sintetis, dan rituximab.
Rituximab Rituximab telah efektif pada beberapa kasus sindrom nefrotik yang kambuh
setelah pengobatan prednison atau dalam kasus yang resisten terhadap pengobatan prednison. Obat ini adalah antibodi murine atau melawan antigen CD20 sel B. Ini mungkin diberikannya manfaatnya oleh produksi antibodi menekan. Efek negatifnya menyebabkan imunosupresi tidak dapat diabaikan.
11.5. Intervensi Diet
24
Tujuan diet pada penderita sindrom Nefrotik adalah untuk mengganti kehilangan protein terutama albumin atau mengurangi edema dan menjaga keseimbangan cairan tubuh Selain itu juga bertujuan memonitor hiperkolesterolimia dan penumpukan trigliserida serta mengontrol hipertensi dan engatasi anoreksia
Diet pada pasien dengan sindrom nefrotik harus menyediakan energi yang cukup (kalori) dan asupan protein yang cukup (1-2 g / kg / hari).
Tambahan protein diet adalah tidak ada nilai terbukti. Diet tanpa garam ditambahkan akan membantu untuk membatasi kelebihan cairan.
Pengelolaan hiperlipidemia bisa penting beberapa jika negara nefrotik terjadi berkepanjangan.
Restriksi cairan per se tidak diperlukan. Ada pembatasan aktivitas tidak untuk pasien dengan sindrom nefrotik.
Kegiatan yang sedang berlangsung, daripada bedrest, akan mengurangi risiko pembekuan darah.
Syarat Diet Energi cukup untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif, yaitu
35 kkal/kg BBI/hari Protein sedang, yaitu 1,0 g/kg BBA, atau 0,8 g/kg BBA ditambah dengan
jumlah protein yang dikeluarkan melalui urine. Utamakan penggunaan protein yang bernilai biologi tinggi
Lemak sedang, yaitu 15 – 29 % dari kebutuhan energy total. Perbandingan lemak jenuh, lemak jenuh tunggal dan lemak jenuh ganda adalah : 1: 1:1.Karbohidrat sebagai sisa kebutuhan energy. Utamakan penggunaan karbohidrat kompleks
Natrium dibatasi, yaitu 1- 4 g sehari, tergantung berat ringannya edema. Kolesterol dibatasi < 300mg, begitu pula gula murni, bila ada peningkatan
trigliserida darah. Cairan disesuaikan dengan banyaknya cairan yang dikeluarkan melalui
urine ditambah 500 ml pengganti cairan yang dikeluarkan melalui kulit dan pernafasan.
Jenis dan Indikasi Pemberian;
Karena gejala penyakit bersifat sangat individual, diet disusun secara
individual, dengan menyatakan banyak protein dan natrium yang dibutuhkan
didalam diet. Misalnya: Diet Sindroma Nefrotik, Energi: 1750 kkal, Protein: 50 g,
Na: 2 g.
25
12. PROGNOSIS
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab kematian
terseringda SN.Pengobatan SN dan komplikasinya saat ini telah menurunkan
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan sindrom.Saat ini, prognosis
pasien dengan SN bergantung pada penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi
dengan atau tanpa pemberian kortikosteroid.2
Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi
proteinuria, 10 % lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien yang
mengalami frequent relaps, menjadi dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit
ginjal kronik dapat muncul pada 25-30 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal
segmental dalam 5 tahun dan 30-40 % muncul dalam 10 tahun.2
Orang dewasa dengan minimal-change nephropathymemiliki kemungkinan
relaps yang sama dengan anak-anak. Namun, prognosis jangka panjang pada fungsi
ginjal sangat baik, dengan resiko rendah untuk gagal ginjal.2Pemberian
kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal,
remisi lengkap atau parsialpada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada
glomerulosklerosis fokal segmental.Perlu diperhatikan efek samping pemakaian
kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis,
hipertensi, diabetes mellitus.2,4
Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran yang kurang
baik. Prognosis dapat bertambah buruk disebabkan (1) peningkatan insidens gagal
ginjal dan komplikasi sekunder dari SN, termasuk episode trombotik dan infeksi,
atau (2) kondisi terkait pengobatan, seperti komplikasi infeksi dari pemberian
imunosupressive.2Penderita SN non relaps dan relaps jarang mempunyai prognosis
yang baik, sedangkan penderita relaps sering dan dependen steroid merupakan kasus
sulit yang mempunyai risiko besar untuk memperoleh efek samping steroid. SN
resisten steroid mempunyai prognosis yang paling buruk.2,8
Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer yang
menyertainya.Pada nefropati diabetik, besarnya proteinuria berhubungan langsung
tingkat mortalitas.Biasanya, ada respon yang baik terhadap blockade angiotensin,
dengan penurunan proteinuria, dan level subnefrotik.Jarang terjadi remisi nyata.
Resiko penyakit kardiovaskular meningkat seiring penurunan fungsi ginjal, beberapa
pasienakan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.2
26
Wong W. Idiopathic nephrotic syndrome in New Zealand children, demographic, clinical features, initial management and outcome after twelve-month follow-up: results of a three-year national surveillance study. J Paediatr Child Health. May 2007;43(5):337-41. Kumar J, Gulati S, Sharma AP, Sharma RK, Gupta RK.
Histopathological spectrum of childhood nephrotic syndrome in Indian children. Pediatr Nephrol. Jul 2003;18(7):657-60.
Ozkaya N, Cakar N, Ekim M, Kara N, Akkök N, Yalçinkaya F. Primary nephrotic syndrome during childhood in Turkey. Pediatr Int. Aug 2004;46(4):436-8.
Kazi JI, Mubarak M. Pattern of glomerulonephritides in adult nephrotic patients–report from SIUT. J Pak Med Assoc. Nov 2007;57(11):574.
Barsoum R. The changing face of schistosomal glomerulopathy. Kidney Int. 2004;66:2472-2484.
27
Doe JY, Funk M, Mengel M, et al. Nephrotic syndrome in African children: lack of evidence for ‘tropical nephrotic syndrome’?. Nephrol Dial Transplant. 2006;21:672-676.
Pakasa NM, Sumaili EK. The nephrotic syndrome in the Democratic Republic of Congo. N Engl J Med. Mar 9 2006;354(10):1085-6.
Sumaili EK, Krzesinski JM, Zinga CV, Cohen EP, Delanaye P, Munyanga SM, et al. Prevalence of chronic kidney disease in Kinshasa: results of a pilot study from the Democratic Republic of Congo. Nephrol Dial Transplant. Jan 2009;24(1):117-22.
Kopp JB, Winkler C. HIV-associated nephropathy in African Americans. Kidney Int Suppl. Feb 2003;S43-9.
Bonilla-Felix M, Parra C, Dajani T, Ferris M, Swinford RD, Portman RJ. Changing patterns in the histopathology of idiopathic nephrotic syndrome in children. Kidney Int. May 1999;55(5):1885-90.
Arneil GC, Lam CN. Long-term assessment of steroid therapy in childhood nephrosis. Lancet. Oct 15 1966;2(7468):819-21.
Donadio JV Jr, Torres VE, Velosa JA, Wagoner RD, Holley KE, Okamura M. Idiopathic membranous nephropathy: the natural history of untreated patients. Kidney Int. Mar 1988;33(3):708-15.
Jude EB, Anderson SG, Cruickshank JK, et al. Natural history and prognostic factors of diabetic nephropathy in type 2 diabetes. Quart J Med. 2002;95:371-7.
Varghese SA, Powell TB, Budisavljevic MN, et al. Urine biomarkers predict the cause of glomerular disease. J Am Soc Nephrol. 2007;18:913-22.
Cohen EP, Lemann J. The role of the laboratory in evaluation of kidney function.Clin Chem. 1991;37:785-796.
Gupta K, Iskandar SS, Daeihagh P, et al. Distribution of pathologic findings in individuals with nephrotic proteinuria according to serum albumin. Nephrol Dial Transplant. May 2008;23(5):1595-9.
28
Palmer SC, Nand K, Strippoli GF. Interventions for minimal change disease in adults with nephrotic syndrome. Cochrane Database Syst Rev. Jan 23 2008;CD001537.
Waldman M, Crew RJ, Valeri A, Busch J, Stokes B, Markowitz G, et al. Adult minimal-change disease: clinical characteristics, treatment, and outcomes. Clin J Am Soc Nephrol. May 2007;2(3):445-53.
Fervenza FC, Abraham RS, Erickson SB, et al. Rituximab therapy in idiopathic membranous nephropathy: a two year study. Clin J Am Soc Nephrol. 2010;5:2188-2198.
du Buf-Vereijken PW, Branten AJ, Wetzels JF. Idiopathic membranous nephropathy: outline and rationale of a treatment strategy. Am J Kidney Dis. Dec 2005;46(6):1012-29.
Gulati A, Sinha A, Jordan SC, Hari P, Dinda AK, Sharma S, et al. Efficacy and safety of treatment with rituximab for difficult steroid-resistant and -dependent nephrotic syndrome: multicentric report. Clin J Am Soc Nephrol. Dec 2010;5(12):2207-12.
Chen M, Li H, Li XY, et al. Tacrolimus Combined With Corticosteroids in Treatment of Nephrotic Idiopathic Membranous Nephropathy: A Multicenter Randomized Controlled Trial. Am J Med Sci. Mar 2010;339(3):233-8.
Roberti I, Vyas S. Long-term outcome of children with steroid-resistant nephrotic syndrome treated with tacrolimus. Pediatr Nephrol. Mar 9 2010
Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159.
Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical Nephrology. London : Mosby; p. 5 : 21.1-4.
A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The primary nephrotic syndrome in children :
29
Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr 98 : 561.Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW, editor. Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Company pp. 681-726.
30